Ceritasilat Novel Online

Kolam Darah 2

Kolam Darah Karya Abdullah Harahap Bagian 2


Rudi hanya tersenyum, kalem. Ia diam me?nunggu,
sampai akhirnya yang ia tunggu berbicara juga.
"Aku ini cuma anak pembantu rumah tangga,
Rudi," kata Agus. Tenang luar biasa. Sama te?nang?nya,
ia mengakhiri, "Ja?di, anggap saja sudah kulepaskan."
Berkata demikian, Agus pun memutar tubuh lantas
berlalu meninggal?kan ruang duduk yang mendadak
sontak berubah jadi sepi menyentak. Baik Suherman,
Maharani, bahkan Elisa sedikit pun tak percaya Rudi
akan bertanya sejauh itu dan lebih tak percaya lagi
pada ketenangan Agus ketika men?jawabnya.
Hanya satu orang di ruang duduk itu yang tam?pak
menggeliatkan senyum. Senyuman puas. Yakni,
Juragan Besar Anggadi?reja yang diam men?dekam pada
kanvas lukisannya. Sambil sepasang mata lembut pada
lukisan tua itu untuk sesaat tampak seperti berbinarbinar. Bahagia.
Tetapi Elisa sangat tidak berbahagia. Amarahnya
justru tengah meluap dan luapan itu perlu penyaluran
lang?sung dan seketika, sebelum ia pingsan sendiri
oleh kamarahannya. Maka sebelum yang lain sempat
bereaksi, Elisa pun cepat melangkah maju dan tegak
kaku di hadapan sang suami, seraya bertanya dengan
suara bergemetar, "Tahu hadiah apa yang patut kau
te?rima saat ini, Mas Rudi?"
"Hadiah?" Rudi balik bertanya. Heran.
90 9/25/2013 8:42:36 AM "Benar!" jawab sang istri. Marah tiada terperi.
"Ini..." Lalu tangan Elisa tahu-tahu sudah terangkat naik
dengan cepat. Kemudian tangan itu hinggap di pipi
sang suami dengan sebuah tamparan kuat dan keras.
Se?demikian kuat dan kerasnya, sehingga wajah sang
suami sampai terpaling ke sam?ping. Selagi Rudi masih
terkejut, Elisa sudah berlari menaiki tangga sambil
tampak menyeka air mata. Dan dalam tempo singkat
sudah menghilang di lantai atas.
Maharani diam terkesima melihat apa yang sudah
terjadi. Di sebelah?nya, sang suami berbicara pada
Rudi disertai gelengan kepala prihatin. "Kami sudah
memperingatkanmu." Dan di atas tungku pendiangan, bibir Juragan
Besar Anggadireja yang selama seratus tahun hanya
ter?senyum tipis dan misterius, untuk sesaat tampak
menggeliat hidup dan memperlihatkan seringai lebar.
Tetapi pada saat berikutnya bibir itu sudah menggeliat
lagi dengan cepat. Kembali pada senyumannya yang khas; tipis, mis?
terius. i-Kolam Darah.indd 91 91 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 92 10 KEMARAHAN dan kasih sayang"suka atau tidak,
ada kalanya dapat dicairkan hanya dengan satu
kalimat pendek: kita ini adalah keluar?ga.
Tetapi Maharani memulai dangan bijaksana meski
tidak enak didengar. Khususnya di telinga Rudi.
Diajak duduk dan dibujuk dengan lembut oleh sang
suami supaya kepalanya sedikit didinginkan, Maharani
kemudian mele?sakkan satu pertanyaan mematikan
pada adiknya. "Tahu berapa banyak har?ta Mama maupun Papa
yang sudah dipakai oleh Agus selama ini, Rudi?"
Dan sebelum sang adik sempat membuka mulut,
Maharani dengan cepat sudah me?nambahkan. "Mak?
sudku, di luar uang jajan, baju baru atau sepatu baru
se?waktu ia masih bersekolah dan tinggal bersama
kita!" 92 9/25/2013 8:42:36 AM Rudi tahu apa jawabannya, tetapi memilih diam
dan membiarkan sang kakak yang menjawab sendiri.
Tegas dan tuntas. "Tak satu sen pun juga. Biaya sekolah maupun ku?
liah?nya ia cari sendiri, dibantu oleh Pak Ardi. Kau?"
Persis Papa, pikir Rudi sakit hati. Setelah berbicara
mengenai Agus, disusul tembakan mematikan pada
dirinya; kau" Rudi tahu berapa banyak yang sudah ia habiskan.
Di?habiskan dengan sia-sia terutama karena lebih ba?
nyak berspekulasi: produk baru yang lagi-lagi gagal dan
permainan valas yang pada akhirnya menjerumus?kan
karena kurangnya perhitungan. Dan entah apa ? lagi.
Barangkali, satu-satunya sukses yang pernah di?capai
oleh Rudi hanyalah ketika ia berhasil me?nyingkir?kan
sekian orang saingan berat untuk mendapatkan Elisa.
Sukses satu-satunya, yang kini terancam hancur
pula! Seakan menyelami sakit hati serta kehancuran
Rudi, Suherman bergumam lembut menghibur, "Te?
nang, Rudi. Dan dengarkan apa kata kakakmu."
Dan Maharani pun mengatakannya, "Sekali kelak
terbukti sah secara hukum bahwa Pak Ardi bersalah,
aku sendiri yang akan mengejarnya sampai ke ujung
langit sekalipun. Tanpa itu, aku bersumpah. Dia"
lebih-lebih lagi anaknya Agus, tetaplah keluarga kita!"
Rudi pun menyerah. Dengan terpaksa. Dan, tanpa
kata. i-Kolam Darah.indd 93 93 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 94 Kemarahan Agus pun demikian juga. Menyerah
lalu mencair, begitu ia meninggalkan rumah induk
dan menemukan kedua orangtunya berdiri me?nunggu
dengan wajah cemas di depan paviliun.
Ibunya yang memulai, "Kami berdua mendengar
se?muanya, Nak" Sarijah menyambut sang anak de?
ngan sua?ra kuatir. "Kau tidak serius dengan ancam?
anmu pada Den Rudi, bukan?"
Sempat terkejut, Agus memaksakan diri tersenyum
lalu berkata menenangkan sang ibu. "Ah, Emak ini.
Itu kan cuma luapan emosi. Sudah kulupa?kan,
kok!" Ardi menambahkan, disertai linangan air mata,
"Aku bangga padamu, Nak!"
"Oleh kemarahanku?" tanya Agus heran.
Sang ayah menggeleng, "Pernyataanmu satunya
lagi." "Yang mana?" Sang ayah menjawab disertai senyuman haru, "Bah?
wa kau, dengan suka?rela melepaskan hak dirimu
sebagai pewaris!" Merangkul lalu menepuk bangga
pundak anaknya, Ardi meneruskan. "Kami siap untuk
pergi ke mana pun kau menghendaki, anakku."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" jawab Agus, ikut
tersenyum, bahagia. Karena tadinya ia sudah kuatir
kalau ayah maupun ibunya dibuat kecewa. "Bereskan
dan bawalah pakaian kalian seperlunya!"
Ardi mengangguk gembira lalu mengajak istrinya
94 9/25/2013 8:42:36 AM masuk ke kamar untuk memenuhi permintaan sang
anak tercinta. Sementara Agus duduk termenung, di
pilar teras paviliun. Teringat pesan sahabatnya,
Hindarto, "Ingat, ayahmu masih dikenakan wajib la?
por. Tak boleh pergi jauh, supaya sewak?tu-waktu da?
pat kami panggil untuk pemeriksaan lebih lanjut..."
Selagi memikirkan langkah-langkah apa yang harus
ia lakukan untuk membuktikan ayahnya tidak ber?
salah, Agus dibuat terkejut oleh Maharani yang tahutahu sudah tegak di hadapannya. Dan langsung ber?
tanya, serius, "Jadi pergi bersama orangtuamu?"
"Apa boleh buat, Kak Rani," jawab Agus juga tak
kalah se?rius. "Hanya itulah satu-satunya jalan keluar
yang ter?baik untuk kita semua."
"Apakah kau tidak melupakan sesuatu?"
"Melupakan apa, Kak Rani?"
"Jenazah Papa akan dibawa pulang malam ini. Se?
kaligus tahlilan, sebe?lum kita kuburkan besok pagi!"
"Jenazah Juragan Papa. Astaga...!" desah Agus ter?
kejut. Lalu cepat memutuskan, "Baiklah. Demi
Juragan Papa, kami akan tetap tinggal di sini. Sampai
selesai pemakaman beliau, tentu saja!"
"Terima kasih, Gus!" Maharani tampak lebih santai
se?karang. "Tetapi masih ada satu hal lagi!"
"Apa?" "Aku dan suamiku telah berbicara dengan Rudi.
Dan Rudi akhirnya sepakat untuk melupakan per?
nyata?anmu tadi." i-Kolam Darah.indd 95 95 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 96 "Pernyataan yang mana?" tanya Agus.
Melihat kecurigaan di mata Agus, Maharani pun
ter??senyum manis. Lalu ia memberitahu dengan manis pula, "Yang
se?pakat kami lupakan adalah pernyataanmu. Bahwa
kau telah melepas hak warismu!" Sebelum Agus sem?
pat berkomentar, Maharani sudah memutar tubuh
untuk kembali ke rumah induk sam?bil pamit dengan
santai. "Sudah ya?"
Ternyata belum. Karena baru dua tiga langkah ia
berjalan, Maharani sudah berhenti. Dan kembali ber?
tanya, serius, "Kapan kau berhenti memanggil?nya
Juragan Papa?" Tahu yang dimaksud, Agus menyahuti tersenyum,
"Tak akan pernah, Kak Rani!"
"Mengapa?" Jawabannya sederhana dan Agus tidak akan pernah
melupakannya sampai kapan pun. Yakni ketika suatu
hari di masa bocahnya, Suharyadi memberinya hadiah
ulang tahun seperangkat mainan mekanik yang se?
belumnya buat A?gus tak lebih dari impian belaka.
M?erangkul gembira dan bahagia, Agus pun berkata
terharu. "Terima kasih, Juragan."
Sang juragan cepat melepaskan rangkulan Agus,
lalu berkata mendengus, "Stop memanggilku Juragan.
Aku ini ayah angkatmu!"
Sempat gugup, Agus pun menjawab polos. "Saya,
Juragan Papa!" 96 9/25/2013 8:42:36 AM Terdiam sejenak, sang ayah angkat kemudian ter?
tawa membahak. "Hahaha, Juragan Papa! Sebutan yang lebih baik
dan juga terdengar enak di telinga. Aku menyukainya.
Juragan Papa! Hahaha...!"
"Gus?" Agus mengerjap tersadar dan melihat Maharani
ma?sih berdiri mengawa?sinya. Sambil bertanya heran.
"Apa yang membuatmu tersenyum?"
"Jawaban pertanyaanmu tadi, Kak Rani," Agus pun
mem?beritahu. "Aku berharap, di alam kuburnya be?
liau tetap gembira karena masih tetap ada yang me?
manggilnya Juragan Papa!"
Lama tahun berselang, Maharani juga mendengar
tawa membahak yang se?akan menggetarkan seantero
ru?mah itu. Juragan Papa. Dan Maharani pun ikut tersenyum.
i-Kolam Darah.indd 97 97 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 98 11 ARDI sesungguhnya lebih suka angkat kaki secepat
mungkin dari rumah majikannya. Maka ia sangat
gembira ketika Agus mengajaknya pergi dan lantas
dibuat kecewa manakala Agus kemudian membatalkan
rencana kepergian mereka meski hanya untuk satu
malam saja. Tetapi ia dapat memahami alasan anak?
nya, menghormati sang Juragan Papa.
"Begitu jenazahnya selesai dimakam?kan, siapa pun
dan dengan alasan apa pun tidak akan mencegah kita
untuk pergi!" begitu Agus menjanjikan.
Ardi percaya pada anaknya, namun itu tidak cukup
untuk mengurangi pe?rasaan takutnya tinggal berlamalama di rumah sang majikan. Bukan kare?na kuatir
per?seteruan anaknya dengan Rudi akan semakin me?
runcing. Akan tetapi lebih dikarenakan oleh kehadiran
sosok lainnya. 98 9/25/2013 8:42:37 AM Sosok di lukisan tua, sang Juragan Besar.
Perasaan takut Ardi semakin bertambah-tambah
ketika lepas Magrib, jenazah majikannya dibawa pu?
lang ke rumah dan disemayamkan di ruang duduk
pula. Tepat di hadapan sang Juragan Besar yang men?
dekam pada kanvas lukisannya, namun secara naluriah
diyakini Ardi diam-diam terus mengawasi. Mengawasi
sang jenazah, mengawasi setiap peng?huni rumah ter?
masuk Ardi sendiri. Maka ketika para tamu berdatangan untuk melayat
sekaligus ikut melaksanakan tahlilan, Ardi lebih suka
mengurung diri di kamarnya. Dan mem?biarkan Agus
serta Elisa saja yang membantu Sarijah di dapur
untuk keluar-masuk mengantar minuman serta


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penganan untuk para tamu. Dan ke?tika Surat Yasin
berkumandang di seantero rumah, bulu roma Ardi
malah dibuat merinding ngeri. Tidak lagi men?
datangkan perasan sejuk nyaman setiap kali ia sendiri
yang membaca surat itu pada waktu-waktu sebelum?
nya. Gema kumandang suara tahlilan itu di telinga Ardi
seakan datang dari alam kubur. Ditambah pula oleh
bau kemenyan yang menebar masuk ke kamar tidur
Ardi. Bau yang sudah terbiasa dengan hidungnya, te?
tapi kali ini terasa aneh. Karena bau kemenyan yang
ter?bawa angin ke dalam kamar, diiringi tercium?nya
bau mayat. Lalu, mendadak ada suara helaan napas.
i-Kolam Darah.indd 99 99 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 100 Itu bukan suara napasnya sendiri. Karena Ardi
sudah coba menahan tetapi helaan napas berat itu toh
terdengar juga. Sangat dekat di telinganya. Ketakutan
setengah mati, Ardi yang rebah meringkuk meng?
hadap tembok, dengan cepat berbalik tubuh. Ia nyaris
menjerit ke?tika melihat sosok seseorang sudah berdiri
di sam?ping dipannya. Diam mengawasi dengan sorot
mata?nya yang tajam menusuk.
Melihat ketakutan Ardi yang sangat, sang sosok
lantas tersenyum la?lu berkata dengan nada menyesal.
"Maaf jika kedatanganku membuatmu ter?kejut, Pak
Ardi..." "Den Herman," desah Ardi gugup setelah me?
ngenali siapa yang berdiri di hadapannya. "Bagaimana
Aden tiba-tiba sudah ada di sini?"
"Aku bermaksud menghirup hawa segar di teras
belakang ketika kebetu?lan aku melihat pintu kamarmu
terbuka," Suherman menjelaskan. "Lantas aku pun
masuk. Siapa tahu kau butuh teman untuk mengo?
brol." "Pintu kamar saya terbuka?" tanya Ardi heran.
"Tetapi..." Tanpa meneruskan kalimatnya, Ardi cepat melihat
ke pintu kamar yang ia yakini tadi sudah ia tutup
rapat sewaktu acara tahlilan akan dimu?lai. Dan pintu
itu pun kini masih tetap dalam keadaan tertutup.
Malah se?ingat Ardi, juga terkunci.
100 9/25/2013 8:42:37 AM Menyelami jalan pikiran Ardi, Suherman kembali
menjelaskan. Tenang dan tampak apa adanya.
"Oh, aku memang sudah menutupnya lagi. Supaya
angin malam tidak ikut masuk. Kau pasti tahu, hawa
di luar dingin seka?li! Lho, kok" Barusan dia bilang, ingin menghirup
hawa segar. Kok sekarang?"
Keheranan Ardi hanya sampai di situ. Karena
Suherman dengan santai sudah duduk di sebelahnya.
Sekaligus bertanya dengan santai pula. "Apa yang
membuatmu sedemikian terkejut ketika melihatku.
Seolah kau melihat hantu?"
Hantu! Ardi kembali merinding, seraya menjawab takuttakut. "Saya mengira Aden ta?dinya adalah"dia !"
"Dia?" tanya Suherman, mengernyitkan kening.
"Dia siapa?" "Juragan Besar!"
"Wah. Jadi, kau didatangi lagi?"
Ardi mengangguk sambil tampak semakin takut.
"Kapan?" "Tadi sore. Sewaktu saya masih terkurung dalam
sel polisi," jawab Ardi. Lirih dan gemetar. "Hanya
saja, Den Herman. Penampilannya kali ini berbeda
dengan penampilannya yang dulu-dulu..."
"Perbedaannya?"
"Mata Juragan Besar. Tidak lagi seperti sebelumsebelumnya. Menyorot merah, semerah darah," jawab
i-Kolam Darah.indd 101 101 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 102 Ardi sambil tampak mengingat-ingat. "Wak?tu dia
men?datangiku lagi sore tadi, matanya memang tam?
pak gelap. Teta?pi entah mengapa, dibalik kegelapan
matanya itu saya merasakan kelembu?tan. Juga ketika
Sang Juragan Besar berbicara..."
"Dan apa yang dibicarakannya padamu?" tanya
Suherman. Tampak sangat berminat.
"Sesuatu yang membingungkan."
"Oke. Tetapi apa?" tanya Suherman lagi, tak sabar,
karena Ardi kembali diam. Gemetar. Menunggu
sejenak sampai Ardi tampak lebih tenang, Suherman
pun membujuk diiringi senyuman lembut. "Bagai?
mana kalau kauceritakan saja sejak awal pemuncul?
annya?" "Ah, ya. Awal pemunculannya..." Ardi berkata
manggut-manggut. "Serbuan hawa dingin, lalu gumpal?
an kabut tebal yang menyeruak masuk lewat celahcelah jeruji besi. Terus bayang-bayang berjubah..."
Juragan Besar Anggadireja tahu-tahu sudah tegak
di hadapannya, demikian Ardi bercerita. Persis seperti
yang terlihat pada lukisan tua di atas tungku
pendiangan rumah induk. Memakai jubah bangsawan
tempo dulu, lengkap dengan keris yang gagangnya
berbentuk kepala ular terselip di pinggangnya. Sempat
melihat sekilas ke arah wajah sang sosok, Ardi lang?
sung melompat dan bersujut mencium lantai di depan
kaki sang Juragan Besar, sambil memohon-mohon
ketakutan. 102 9/25/2013 8:42:37 AM "Ampun, Juragan Besar. Jangan ganggu saya lagi.
Jangan bunuh saya! Saya..."
Terdengar sahutan berat dan tegas, "Diam dan de?
ngar?kanlah!" "Saya, Juragan. Saya!" Ardi menyahuti gemetar.
Tanpa berani mengangkat muka.
"Darahku...!" "Darahmu?" sempat terkejut dan nyaris meng?
angkat muka, Ardi cepat menciumi lantai kembali.
"Maaf, Juragan Besar. Maafkanlah saya. Silakan me?
neruskan...!" "Darahku," sang sosok mengulangi. "Satukanlah
dengan sosokku!" "Hanya itu saja yang dia katakan," Ardi mengakhiri
cerita?nya dengan gelisah, "Supaya darah Juragan Besar,
disatukan dengan sosoknya..."
"Tidak ada yang lainnya lagi?" tanya Suherman
tampak tidak puas. "Cuma itu," geleng Ardi. "Saya memang sempat
ber?tanya apa yang dia maksud. Tetapi saya keburu
di?kejut?kan oleh kehadiran anak saya, Agus. Yang
tahu-tahu sudah ada di dalam sel saya. Bersama Ins?
pektur yang sahabatnya itu...!"
"Inspektur Hindarto," desah Suherman kembali
tampak berpikir-pikir, "Sa?habat bagaimana?"
"Menurut anak saya, sahabat lama. Teman sekelas
waktu masih di seko?lah menengah!"
i-Kolam Darah.indd 103 103 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 104 "Hm, begitu" Suherman manggut-manggut me?
ngerti lalu meneruskan deng?an senyuman lembut.
"Itu maka kau dengan mudah dibawa pulang oleh
anak?mu ya?" "Mungkin ya, mungkin juga bukan. Karena anak
saya bilang..." "Oke, aku sudah mendengar yang selebihnya dari
Agus," Suherman cepat menyela. Senyuman lembut?
nya cepat pula menghilang, ketika kemudian ia ber?
tanya lagi, "Darahnya. Disatukan dengan so?sok?nya.
Hem, apa kautanyakan maksud Juragan Besar-mu,
eh?" Ardi kembali menggeleng. "Memang saya juga sempat menanyakannya, Den
Herman. Tetapi seperti saya bilang tadi, anak saya
dan sahabatnya yang Inspektur itu keburu muncul.
Dan?" "Darahnya!" gumam Suherman serius. Tampak tak
mem?perhatikan apalagi menanggapi lanjutan penjelas?
an Ardi. "Itu saja sudah membingungkan. Belum lagi,
harus disatukan dengan sosok...!" Diam berpikir se?
saat, Suherman kem?bali bergumam-gumam. "Sosok!
Sosok...! Mengapa harus sosok" Bu?kan tubuh, atau
raga!" "Saya juga berpikir tentang itu, Den Herman. Dan
sampai saat ini tak pernah tahu apa maksudnya."
Suherman akan bertanya lagi, tetapi pintu"yang,
ternyata tidak terkunci, keburu membuka. Dan Agus
104 9/25/2013 8:42:37 AM pun muncul dan langsung berbica?ra pada Suherman.
"Ah, di sini Akang rupanya. Aku sudah sempat bi?
ngung akan mencari ke mana."
"Memangnya ada apa, Gus?" tanya Suherman
sambil mengawasi wajah Agus. "Kok kau tampak mu?
rung!" "Bukan hanya aku, tetapi juga Kak Rani dan Elisa,"
Agus memberi?tahu, "Kami mencemaskan Rudi." Me?
lirik sesaat ke arlojinya, Agus meneruskan, "Sudah jam
segini, dia belum pulang-pulang juga!"
"Ah, paling juga pergi mencari minuman," ko?men?
tar Suherman dengan senyuman santai, "Karena yang
ada di bar ruang tengah, mungkin sudah ia sikat ha?
bis!" "Kau percaya itu, Kang Herman?" tanya Agus.
"Akang sendiri tahu sejak kapan dia mening?gal?kan
rumah. Bahkan ketika jenazah Juragan Papa kita
ambil ke rumah sakit, dia pun juga sudah tak tam?pak
batang hidungnya!" Suherman cepat bangkit dari dipan yang ia duduki.
"Biar?pun dia sudah bukan bocah ingusan lagi, tak
apa?lah aku pergi mencari!"
"Perlu kutemani?"
"Lantas kalian nanti ribut lagi. Seperti biasanya?"
Suherman balik bertanya. "Kau di sini sajalah,
mendampingi kakakmu serta Elisa. Belum lagi tamutamu yang sedang tahlilan. Harus kita layani dan
hormati, bukan?" i-Kolam Darah.indd 105 105 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 106 Ada benarnya juga, pikir Agus. Terutama me?
nyangkut Rudi! Membiarkan Suherman berlalu, Agus kemudian
ber?paling dan bertanya setengah membujuk ayahnya.
"Masih juga enggan ikut tahlilan, Pak?"
Ardi langsung menyahuti. Murung.
"Dan, duduk di dekat jenazah ayah angkatmu.
Yang semua orang sudah pada mendengar, bahwa aku?
lah yang membunuhnya?" Menggeleng sedih, Ardi
meng?akhiri, "Tidak, Nak. Kau masuk dan berkumpul?
lah lagi dengan saudara-saudaramu yang lain."
"Ya sudah, kalau begitu!" angguk Agus memahami
sambil beranjak meninggalkan ayahnya.
"Jangan lupa menutup pintunya, Nak!"
Agus pun menutup pintu. Sementara sang ayah duduk termangu-mangu. Ma?
sih tetap ketakutan, tetapi tidak setakut sebelumnya.
Karena pikirannya kini diganggu oleh hal lain. Ke
mana Rudi" Mengapa Ardi tiba-tiba sangat mencemas?
kan anak yang sudah ia urus semenjak masih bayi
merah itu" Dan, Suherman. Sore tadi, di kantor polisi. Sang Inspektur sempat
tersenyum-senyum jengkel se?waktu Ardi menceritakan
apa yang dialaminya dalam sel. Bahkan anaknya sen?
diri Agus menggeleng-geleng prihatin. Memang Agus
tak mengatakan ti?dak percaya secara langsung. Na?
106 9/25/2013 8:42:37 AM mun secara tidak langsung, Agus menyata?kan isi hati?
nya lewat kata-kata. "Bapak sudah banyak berubah. Tidak lagi setegar
yang sudah pernah kukenal...!"
Kata-kata yang berarti Agus juga tidak percaya.
Suherman percaya. Dan tampaknya menanggapi
serius. Sangat serius malah. Hal itu membuat Ardi
bukannya senang, tetapi malah gelisah bahkan ta?kut.
Tanpa mengetahui, apa sesungguhnya yang ia takut?
kan! i-Kolam Darah.indd 107 107 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 108 12 TEGAK diam mengawasi pemandangan alam di
hadapannya, Somawinata terpejam nikmat menghirup
aroma segar dedaunan teh yang menghampar luas di
kaki bukit tempatnya berdiri. Suatu saat, pikirnya,
bagian perkebunan teh di bukit yang ini akan jadi
milik?ku. Setidak-tidaknya, itulah yang sudah dijanji?
kan oleh Suherman. Ditambah janji lainnya.
"Bila semuanya berja?lan lancar, kau akan kuserta?


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan juga sebagai pemegang saham di pabrik peng?
giling?an yang nanti akan kumiliki."
Somawinata percaya pada Suherman. Andai pun
misalnya Suherman ing?kar janji, Somawinata tidak
perlu merasa kecewa apalagi sakit hati. Ia akan terus
men?dampingi dan mengabdi sepenuhnya pada
Suherman untuk menebus dosa besar yang pernah
di?perbuat oleh pendahulunya pada leluhur pendahulu
108 9/25/2013 8:42:37 AM Suherman. Yang berakibat sekarang ini Somawinata
bahkan juga keturunannya kelak, terpaksa harus ikut
menanggung kutuk. Pikiran terakhir yang melintas tanpa dikehendaki
itu, membuat pera?saan nikmat Somawinata seketika
lenyap, digantikan oleh datangnya ke?marahan. Dan
buntut dari kemarahan itu"seperti biasa, akhirnya
toh membangkitkan dendam serta kebencian juga.
Lantas kembali pula membang?kitkan keinginan yang
acap kali datang menggoda. Hirup saja darah Suher?
man dan makan jantungnya mentah-mentah. Hanya
dengan cara itu kutuk yang diemban oleh Somawinata
dapat ternetralisir. Akan tetapi sanggup atau tepatnya,
beranikah dia" Karena alam gaib sudah memper?ingat?
kan. "Sekali kau gagal, kutuk itu akan langsung me?
nimpa. Dengan lebih hebat, lebih me?nyiksa."
Berubah murung, Somawinata diam termenung
me?mandangi hamparan luas gelombang permadani
dedaunan teh di hadapannya yang tampak hijau ke?
biru-biruan dalam siraman sinar rembulan. Tanpa bisa
lagi menikmati kesegaran aromanya yang luar biasa
itu, Somawinata pun tetap diam, meski telinga gaib?
nya sudah mendengar adanya langkah-langkah kaki
men?datangi, disusul helaaan napas berat yang sangat
dekat di belakang punggungnya.
Sampai saat ini, dia masih yang terkuat. Dan se?
bagai orang yang terkuat, Somawinata menganggap
i-Kolam Darah.indd 109 109 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 110 dirinya tak perlu buru-buru berbalik tubuh lantas ter?
bungkuk-bungkuk menyapa si pendatang.
Maka Somawinata pun membiarkan si pendatang
yang lebih dahulu me?nyapa, "Syukur kau mendengar
panggilan batinku, Ki."
Ya, dia masih yang terkuat. Dan Somawinata pun
menyahuti dingin dan ka?ku, "Mengapa kau meminta
kita bertemu di tempat ini?"
"Bila aku lebih sering bertandang ke rumah Aki,
orang lain akan me?naruh curiga," jawab si pendatang.
"Apalagi pada saat-saat paling menentu?kan seperti
seka?rang ini!" "Hm. Iya juga." Somawinata mengangguk sambil
berbalik tubuh pada akhirnya. Tentu saja dengan
mem?perlihatkan wajah yang juga dingin serta kaku.
Lantas diam tertegun sesaat ketika menangkap rona
wajah si pendatang yang berdiri di hadapannya.
"Oh, oh. Apa yang membuat wajahmu tampak bi?
ngung?" Si pendatang yang tak lain adalah Suherman, lebih
dulu mengawasi apa yang terselip pada ban pinggang
dibalik mantel bulu Somawinata yang dibiarkan ter?
buka, tidak terkancing. Yakni gagang keris yang me?
nyembul keluar dari sarungnya. Gagang keris berukir
dengan bentuk kepala ular yang tampak seperti siap
mematuk. Sama seperti bentuk gagang keris yang
terselip di pinggang Anggadireja, sang Juragan Besar
yang mendekam diam pada kanvas lukisan dirinya di
110 9/25/2013 8:42:37 AM atas tungku pendiangan rumah perkebunan yang di?
warisi oleh para penerusnya. Dan kelak akan diwarisi
Suherman. Pewaris satu-satunya"dan tentu saja, yang
paling berhak! "Pesan itu terulang lagi Ki," Suherman akhirnya
mem?beritahu sam?bil mengalihkan perhatiannya dari
gagang keris ke wajah temannya berbi?cara. "Darah,
yang harus disatukan dengan sosoknya."
"Pada siapa, kali ini?"
"Pak Ardi" "Ardi siapa?" "Pelayan keluarga kami!"
"Oh, dia...." Somawinata akhirnya tersenyum juga.
Lantas ia melanjutkan sambil menunjuk ke gagang
keris di ban pinggangnya, dengan suara menahan geli.
"Yang tempo hari mengantarkan keris ini pada kita."
Untuk diisi oleh Somawinata, pikir Suherman ikut
merasa geli. Ingat bagaimana ia menakut-nakuti Ardi
yang kemudian lari terbirit-birit. Me?ninggalkan keris
yang ia bawa untuk dimanfaatkan oleh Suherman.
"Aneh..." Somawinata bergumam tak mengerti,
"Me?ng?apa harus pada pelayan kalian?"
"Itulah yang membuatku bingung setengah mati,
Ki," jawab Suherman murung. "Karena"sebagaimana
yang kita dengar, selama dua generasi hanya dia turun?
kan pada keturunannya saja!"
"Yang tak pernah mampu mereka terjemahkan!"
Somawinata manggut?-manggut sambil mengusap
i-Kolam Darah.indd 111 111 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 112 jenggot pada dagunya. Berpikir keras. "Kita tak boleh
gagal seperti para pendahulu kita. Terutama, apa mak?
sudnya dengan so?sok. Bukan tubuh!"
"Apa bedanya, Ki?" desah Suherman tak senang.
"Kita sama-sama tahu, seratus tahun silam Anggadireja
raib begitu saja. Jangankan raga, jejaknya pun tak
pernah ada yang melihat...!"
"Dan yang mencemaskan," Somawinata menimpali,
ikut-ikutan murung. "Alam gaib seperti menguji kita.
Diam membisu, berahasia...!" Menghela napas panjang
dan diam berpikir sejenak, Somawinata cepat meng?
alihkan pembi?caraan mereka yang tidak menyenangkan
dan jelas membuat kecewa itu. Te?rutama, di pihak
Suherman. "Siapa targetmu kali ini?"
Pertanyan itu tampak menghibur Suherman, yang
cepat menyahuti. Bersemangat, "Rudi. Tolong cari
tahu keberadaannya. Dan arahkan dia ke tem?pat yang
kuinginkan!" "Hm. Mari kita lihat apa yang dapat kita per?
buat!" Somawinata kemudian mengajak Suherman duduk
pada bidang tanah ter?buka tempat mereka berada saat
itu. Mencabut keris dari sarungnya yang terselip di?
balik ban pinggang, Somawinata kemudian me?nancap?
kan ujung mata keris berlekuk seperti liukan ular itu
ke tanah. Dengan gagangnya yang berbentuk kepala
ular setengah tegak menghadap rembulan di langit
112 9/25/2013 8:42:37 AM malam. Sehingga bintik mata berwarna keputihan
pada gagang keris berben?tuk kepala ular itu terlihat
dengan jelas. Somawinata kemudian bertanya tersenyum pada
Suherman yang duduk kaku tetapi tampak serius di?
hadap?annya, "Siap?"
Suherman menjawab dengan anggukan tak sabar.
Sambil matanya ia fokuskan ke gagang keris. Dan
membiarkan Somawinata sendirian merapal mantra.
Dan hanya mengikuti rapalan mantra itu dalam hati?
nya saja. ?"Naga geni, naga pati. Keluarlah dari kegelapan.
Sinari apa yang ingin kami cari..."
Sementara Suherman semakin memfokuskan per?
hati?annya pada bintik mata di gagang keris,
Somawinata mulai menggerakkan kedua tangan
dengan putaran ritual dari atas gagang keris ke arah
rembulan di la?ngit malam. Putaran yang kian lama
kian cepat bah?kan kemudian bergetar.
Diikuti mantra lanjutan yang dirapal oleh
Somawinata dengan suara yang ikut ber?getar pula,
"Rapat ripit nagapati, hidupkanlah cahayamu, naga
geni. Sina?ri dan perlihatkan yang kami cari...!"
Lambat tetapi pasti, sepasang bintik mata putih
pada gagang keris perlahan-lahan tampak berubah
warna menjadi kemerah-merahan. Dan ber?samaan de?
ngan itu, bola mata Suherman yang tampak gelap
da?lam remang?nya sinar rembulan, tampak ikut me?
i-Kolam Darah.indd 113 113 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 114 merah pula dan terus memerah, sampai seme?rah
darah. Lalu, dibalik merahnya darah itu Suherman pun
akhir?nya melihat yang dicari.
Rudi. 114 9/25/2013 8:42:37 AM 13 TAMPAK setengah mabuk, Rudi turun dari mobil?
nya di pelataran parkir hotel. Bergandengan tangan
gembira dengan seorang wanita muda bergaun malam
sensual yang memperlihatkan kulit pundaknya yang
putih mulus serta gelembung bagian atas payudaranya
yang montok, me?reka berdua pun melangkah masuk
ke lobi hotel dimaksud. Saat itu kebetulan hotel tam?
pak sepi, dengan pelayan desk tampak duduk ter?
kantuk-?kantuk di balik meja penerima tamu.
Rudi sampai merasa perlu mengetuk keras-keras
pada permukaan meja terima tamu untuk membuat
sang pelayan terlompat bangkit lalu ter?bungkukbungkuk meminta maaf, sambil dengan cepat sudah
memperlihatkan senyuman profesionalnya.
"Apa yang dapat saya bantu, Om?"
"Kamar dengan ranjang empuk lagi lebar. Ada?"
i-Kolam Darah.indd 115 115 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 116 Rudi balik bertanya, sambil menggoyangkan kepalanya
yang terasa sedikit pusing.
"Maksud Om, kamar suite?"
Rudi akan mengiyakan ketika teman wanitanya
ber??bicara kuatir, "Bagaimana kalau kita tunda lain
kali saja" Kau tampak tidak begitu sehat."
"Jangan kuatir," jawab Rudi dengan seringai lebar."
Di dalam sana nanti, aku masih mampu melaku?kan?
nya tiga kali jalan. Sampai kau merasa tubuh seksimu
luluh lantak!" "Tetapi..." "Aku sudah membayarmu di muka, bukan?" bentak
Rudi, berubah galak. "Jadi, tutup sajalah mulut?mu.
Kalau pun ada yang harus kau buka, adalah paha?mu.
Selebar-lebarnya! Mengerti?"
Yang ditanya diam membeku saking takutnya.
Sementara pelayan desk, lebih mengutamakan kamar
yang belakangan ini sering kosong akibat gangguan
bom rakitan di sana-sini. Kamar yang harus diisi. Tak
peduli pengisinya orang semacam Rudi, yang tampak
jelas sedang mabuk berat. Juga tak peduli apakah nanti
tamu hotelnya akan memukuli teman wanitanya
sampai berdarah-darah. Maka cepat sekali si pelayan
menyambar anak kunci dari jajarannya di bawah meja,
sambil cepat pula disorongkan ke arah Rudi, disertai
rayuan profesi?onal. "Kamar dengan ranjang buatan Prancis, percaya?
lah!" 116 9/25/2013 8:42:37 AM "Memangnya kenapa kalau buatan Prancis?" tanya
Rudi tertarik. Senyum profesional lagi. Dan jawaban yang men?
debarkan jantung sang tamu. "Begitu disentuh,
ranjangnya langsung menggoyang sendiri!"
"Wah...!" sepasang mata Rudi yang kemerah-merah?
an karena pengaruh alkohol seketika terbuka lebar.
Ber?binar-binar. "Tetapi tolong diisi dulu buku tamunya," si pe?nerima
tamu cepat mengingatkan. Lembut dan tenang. "Sekali?
an saya ingin lihat KTP atau SIM, kalau boleh..."
"Boleh, boleh. Tentu saja boleh!" dengus Rudi ber?
semangat, sambil cepat merogoh saku celana untuk
menge?luarkan dompet di mana KTP serta SIM?-nya
ter?simpan bersama kartu-kartu lainnya. Termasuk
kartu kredit dan ATM. "Asal tidak kau minta surat
nikah saja. Karena kami justru akan menikah nanti di
atas ranjang Prancismu, hahaha..."
Penerima tamu ikut tertawa, meski cuma tawa se?
ada?nya dan sekadar menghormati. Namun apa yang
ia minta tak juga dikeluarkan Rudi dari dompet yang
bagian dalamnya sudah membuka. Karena, Rudi men?
dadak tampak diam tertegun. Dan terus tertegun.
Seperti mendengarkan. Serius.
Jauh di kaki bukit, Suherman membuka mulut dan
berbicara memerin?tah di antara terdengarnya rapalan
mantra Somawinata yang samar-samar, "Keluar dari


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

situ, Rudi! Keluar dan ikutilah petunjukku..."
i-Kolam Darah.indd 117 117 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 118 Pada waktu sama, di lobi hotel yang ia masuki ber?
sama teman wanitanya, Rudi tampak manggutmanggut kaku serta aneh. Dan lebih aneh lagi, dom?
petnya langsung ditutup dan cepat dikembalikan ke
dalam saku. Lantas cepat pula menggamit lengan sang
teman wanita. "Ayo kita cari tempat lain saja..." Si wanita bergaun
dan berpenampilan sensual yang digamit, tentu saja
dibuat heran. Penerima tamu hotel, lebih heran lagi.
"Lho, kok?" gumamnya. Tak habis mengerti. Na?mun
cepat menambahkan. "Ada kamar yang lebih mu?rah
tetapi tetap nyaman jika Om mau. Ranjangnya Itali..."
"Mau Itali mau Tibet, apa peduliku?" tukas Rudi
sambil menarik setengah menyeret lengan teman
wanita?nya menuju pintu. "Kau tidurilah sendiri. Aku
tak tertarik." Tiba di pintu, Rudi berhenti lantas berbalik dan
bertanya pada pela?yan desk. Dengan seringai lebar.
"Kali?an menjual wiski di sini?"
Mau wiski mau brendi bahkan tuak dari Bali pun
ada. Namun sadar tamunya akan tetap pergi, sang
penerima tamu hotel pun, menjawab dengan dengus?
an kasar, "Beli saja di kaki lima. Lebih sesuai dengan
kantongmu, bukan?" Semula Rudi akan menghambur ke depan untuk
menghantam mulut lan?cang yang jelas-jelas menghina
itu. Namun, seperti tadi Rudi mendadak tertegun.
Karena mendadak terdengar bisikan perintah baru.
118 9/25/2013 8:42:37 AM "Sekarang, Rudi. Keluar?lah..."
Entah itu bisikan siapa atau apa, Rudi tidak tahu
dan tidak ingin tahu. Apa yang ada dalam pikirannya
adalah menurut dan harus menurut. Dengan patuh.
Tanpa memahami, mengapa ia harus menurut.
Mengapa harus patuh"
"Bagus, Rudi!" Di perkebunan teh, Suherman ber?
bisik tersenyum. "Naik sekarang ke mobilmu. Dan
yakin?lah, ada tempat yang jauh lebih menyenangkan
untuk bermain cinta dengan teman wanitamu itu."
Lantas Suherman duduk diam. Menunggu.
Kali ini, dengan penuh kesabaran.
Ngebut dengan kecepatan tinggi dan beberapa kali
mobilnya dibuat oleng"terutama di jalanan berbelok
atau menurun tajam, Rudi menyeringai gembira di
be?lakang kemudi. Ia menanggapi protes teman
wanitanya yang berulang kali menjerit-jerit ketakutan
dengan ucapan meyakinkan, "Lihat sajalah. Jangankan
masuk jurang atau menabrak pohon! Bahkan nya?muk
pun dapat kuhindari."
Lantas Rudi kembali menenggak isi botol wiski
yang tadi sempat ia beli di sebuah kios tak jauh dari
hotel yang mereka tinggalkan. Mem?buat mobil kem?
bali oleng dan si gadis sensual kembali menjerit.
"Aduh, Om. Berhentilah sekarang juga. Sebelum
kita celaka!" "Kita tak akan apa-apa, Cantik. Percayalah." Rudi
i-Kolam Darah.indd 119 119 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 120 berkata meyakinkan sambil menyorongkan botol di
tangannya pada sang teman wanita," Kau minumlah
seteguk dua. Supaya kau ikut menikmati perjalanan
kita yang menyenangkan ini!"
"Menyenangkan apanya!" umpat si dada montok,
marah bercampur ngeri apalagi ketika mobil kembali
oleng saat Rudi baru saja mengambil tikungan patah.
Yang syukurnya, selamat mereka lalui. "Atau lebih
baik kauturunkan aku di sini."
"Sudah dekat, Neng, sudah dekat!" sahut Rudi.
Ber?semangat. Dan teman wanitanya yang sudah capek mem?
protes sedang memaksa untuk membuka pintu de?
ngan mak?sud akan melompat keluar tapi tidak punya
keberani?an, akhirnya menyerah dan membiarkan mata?
nya te?tap terpejam. Tak mau melihat ke arah mana
nasib??nya akan berakhir; dinding bukit berbatu-batu,
atau jurang yang hitam menganga dalam kegelapan
malam. Ketika ia membuka matanya kembali lalu me?lihat
ke luar jendela mobil yang tahu-tahu sudah ber?henti,
perempuan itu pun berpikir bahwa ia sudah mati.
Karena apa yang dilihatnya adalah ger?bang lebar dari
jeruji besi. Dibalik itu terlihat se?jumlah batu nisan
tegak diam dan kaku seakan mengawasi!
"Oh, oh, apa..." gumam perempuan malang itu,
terkesima. 120 9/25/2013 8:42:37 AM Sama halnya dengan Rudi. Ia tahu dalam perjalan?
an tadi ada yang menun?tun dirinya. Entah siapa atau
apa. Yang pasti, ia telah tiba dengan selamat dan di
tempat yang tidak ia perkirakan semenjak tancap gas
dari pela?taran parkir hotel.
"Kompleks makam keluarga," bisiknya, heran.
"Tem?pat besok pagi jenazah papaku akan dimakam?
kan!" "Apa?" desah teman wanitanya, mengejut tersadar.
"Aneh," Rudi kembali berbisik sendiri. Sambil tam?
pak heran. "Menga?pa aku tiba-tiba ingin bermain
cinta denganmu, di tempat ini?"
Jauh di tempat terpisah, Somawinata yang sudah ber?
henti merapal mantra dan kini tampak ikut asyik
mengawasi bintik mata ular pada gagang keris yang
ter?tancap pada tanah di hadapannya, juga dibuat
heran. "Anak itu benar," katanya bergumam tanpa meng?
alihkan perhatiannya dari gagang keris. "Mengapa
harus ke sana?" Dengan perhatiannya juga terfokus ke arah yang
sama, Suherman menyahuti tenang, "Aku suka mem?
buat kejutan. Itu saja!"
"Tetapi, makam keluarga. Di mana liang kubur
ayahmu ternganga menunggu..."
Suherman cepat menempatkan jari telunjuknya ke
bibir. "Ssst...!"
i-Kolam Darah.indd 121 121 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 122 Somawinata kembali mengawasi gagang keris de?
ngan pandangan berminat. Sebaliknya si wanita sensual benar-benar sudah ke?
hilangan minat. Bah?kan kejutan awal dari Suherman
itu tampak jelas membuatnya tidak tahan. Karena
begitu menemukan dirinya kembali ia langsung men?
desah ngeri, "Kuburan... Mau apa kau mem?bawa?ku ke
sini?" "Mau apa?" Rudi yang berpaling terkejut. Lantas
berkata menyeringai, "Se?perti kubilang tadi, kau harus
menggoyang pantat?mu di atas pahaku!"
"Di dalam sana?" tanya si perempuan membe?
lalak. "Di mana lagi" Ayolah, aku sudah tak tahan!"
Rudi keluar dari mobil dengan sebelah tangan te?
tap mengenggam botol minuman sementara tangan
lainnya membukakan pintu untuk teman wanitanya,
yang ternyata tak mau keluar dan malah menyahuti
ngeri. "Tidak. Aku tidak sudi masuk ke dalam sana.
Tolong antarkan aku pulang...!"
Mendengar permintaan si perempuan, Rudi pun
mendelik marah. "Pulang, eh" Setelah di tempat judi tadi kau mem?
buat aku kalah banyak dan kau sudah dibayar pula!
Lalu sekarang mau pulang begitu saja" Enak ba?
nget!" 122 9/25/2013 8:42:37 AM Mendengar gerutuan panjang Rudi, si perempuan
pun tersinggung. Lantas ia keluar dari mobil tanpa
di?perintah lagi. Sambil mendengus marah, "Om ka?lah
banyak di sana, bukan karena kesalahanku. Om yang
sa?lah memainkan kar?tu! Dan mengenai uangmu?"
Diam sesaat si perempuan cepat membuka tas tangan?
nya, mengeluarkan tiga lembar uang kertas ratusan
ribu yang langsung dilemparkan ke wajah Rudi
sambil menambahkan dengan marah. "Ini. Ambillah
kembali, Aku lebih suka pergi ke neraka ketimbang
melayani nafsu bercintamu yang mengerikan. Di
kuburan! Hah...!" Menggerutu demikian, si perempuan pun akan ber?
lalu dengan kepala te?gak saking marah. Bahkan sepatu?
nya sempat menginjak selembar dari uang kertas yang
tadi ia lemparkan dan kemudian melayang jatuh ke
tanah. Disertai gerutuan ekstra, "Selamat tinggal. Dan ber?
cintalah dengan penghuni kubur mana saja yang Om
inginkan!" Marah sekaligus terhina, Rudi pun menggeram.
"Pelacur tekutuk!"
Lalu dengan satu lompatan cepat ke depan, botol
yang tergenggam di tangannya langsung dipukulkan
dengan keras pada kepala si perempuan. Sede?mikian
keras, sehingga botol yang sudah setengah kosong itu
sampai pecah dan tak pelak membuat yang dipukul
langsung jatuh tersungkur sambil ter?pekik kesakitan.
i-Kolam Darah.indd 123 123 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 124 Dan ia kembali terpekik-pekik ketika Rudi kemudian
menen?dangnya pula disertai umpatan marah.
"Seenaknya mau pergi, seenaknya menghina pula.
Menghina aku, anak juragan terhormat yang sudah
menghidupi keluargamu...!"
Rudi terus menendang si perempuan yang terus
pula terpekik memohon-mohon am?pun malah sampai
harus menangis. Tetapi entah karena pengaruh
alkohol, entah karena pengaruh kuburan di sekitar
mereka Rudi sudah seperti orang kesurupan. Puas
menendang, Rudi kemudian menjam?bak rambut si
perempuan yang dengan marah ia seret masuk ke
dalam pin?tu gerbang kompleks ma?kam tanpa me?
medulikan jerit kesakitan maupun keta?kutan si pe?
rempuan. "Kau harus membalas penghinaanmu! Kau akan
menjadi penghuni kubur yang berikutnya begitu kita
nanti selesai bercinta. Kau dengar itu, eh" Hahaha!
Setelah kita selesai bercinta..."
"Tidak! Aduh, sakit! Tolong, lepaskan aku! Tolong?
lah, aduh...!" si perempuan terus menjerit-jerit me?
mohon sambil meronta-ronta sekuat tena?ga dalam
usahanya melepaskan diri. Malang, pukulan botol di
kepalanya tadi sudah membuat dirinya teramat pusing
dan rontaannya justru mengakibatkan tenaganya yang
tersisa malah semakin terkuras pula. Sementara tubuh?
nya terus terseret dan terseret melewati kuburan demi
kuburan, batu nisan demi batu nisan.
124 9/25/2013 8:42:37 AM Dan Rudi yang kesurupan terus pula memuntahkan
kemara?hannya, "Kau tahu" Liang kubur ayahku masih
terbuka menganga. Di sanalah kita bercinta. Di
sanalah nanti kau akan terkubur. Dan..."
Gaun malam si perempuan mendadak robek lebar
ketika tersangkut ke ujung salah satu kaki nisan tem?
pat kaki si perempuan coba bertahan. Kayu nisan di?
maksud langsung tumbang dan semakin merobek
lebar gaun yang tersangkut karena tanpa peduli,
tubuh si pemilik gaun terus diseret dengan kejam
oleh Rudi. Sampai akhirnya Rudi melihatnya. Melihat
nyaris keseluru?han gaun yang sudah robek malah se?
bagian lepas tercerai berai. Meninggalkan sesosok
tubuh telanjang berkulit putih mulus dan hanya me?
ngenakan ce?lana dalam, sementara payudara si pe?
rempuan yang tidak memakai kutang tam?pak ter?
guncang-guncang mengundang karena seretan Rudi.
Diam tertegun, Rudi melepaskan cengkeramannya
pada rambut si perem?puan yang semenjak tadi terus
ia jambak dan seret, membuat si pemilik rambut lang?
sung terempas di tanah, menggeliat-geliat kesakitan
dan kehabisan napas untuk bersuara. Geliat yang di
mata Rudi adalah geliat yang disengaja, untuk me?
rangsang berahinya, yang langsung terlompat bangkit
dengan kuat dan kencang. "Hm!" dengus Rudi gembira seraya dengan tak
sabar melepas ban pinggang lalu celananya. "Jika kau
i-Kolam Darah.indd 125 125 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 126 ingin kita melakukannya di sini bukan di liang kubur
ayahku, baiklah..." Lalu Rudi pun menjatuhkan tubuhnya di atas


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh telanjang si perempuan, menarik lapis terakhir
yang tersisa pada tubuh putih mulus itu. Lantas ke?
mu??dian memasukinya, sedalam Rudi ingin masuk.
Sambil di antara desahan napasnya yang tersengal
Rudi menceracau kesurupan.
"Ayo, goyang sekarang, Neng! Jangan diam saja!
Goyanglah lebih keras. Lebih keras!"
Bukan si perempuan, tetapi justru Rudi sendirilah
yang bergoyang. Ma?kin keras, makin kencang.
Dan di kaki bukit teh, Suherman menghela napas
panjang lantas berujar parau. "Saatnya aku pergi..."
Berkata demikian, Suherman mencabut keris yang
tertancap pada tanah di hadapannya, membuat ter?
kejut Somawinata yang sedang asyik dan bergairah.
"Apakah tidak sebaiknya kita menunggu sampai
adik?mu itu selesai?" tanya Somawinata. Kecewa.
"Tidak!" geleng Suherman. Tegas, seraya menyelip?
kan keris di pinggang. "Waktuku tidak banyak..."
"Iya juga." Somawinata mengangguk setuju. "Kau
pergilah, Aku akan membantumu dari sini..."
Suherman balas mengangguk. Lalu setelah ter?
senyum dingin dan kaku pada Somawinata, Suherman
pun berlalu. Sambil jaket kulitnya yang berwarna
gelap tampak bagai membuka sendiri. Bahkan ke?
mudian seperti mengembang lalu memanjang sendiri
126 9/25/2013 8:42:37 AM pula. Dan ketika sosok Suherman semakin menjauh
dan mulai melenyap dalam kegelapan, Somawinata
men?dengar suara kibasan-?kibasan khas yang sudah
sangat dikenali oleh Somawinata. Yakni suara tepi
bawah jubah lebar dan panjang, yang berkibar kibar
oleh tiupan angin keras. Somawinata menggeleng-geleng takjub. "Ilmu gaib
yang kuajarkan padanya, sudah semakin jadi." Lalu
Somawinata kembali mengatur sila di tanah. Ber?
konsentrasi ke tapa semadi, dengan kelopak mata
ter?pejam rapat. Dan bibir yang kembali menggerimit?
kan mantra demi mantra, "Rapat-ripit naga geni.
Jungkat-jangkit naga pati. Bawa dirimu melayang ber?
sama angin gaibmu. Lalu berubah?lah sosokmu. Ber?
ubahlah..." Angin malam di bukit teh perlahan-lahan terdengar
berdesau. Dan terus berdesau-desau. Semakin keras,
semakin liar. Begitu pula goyang pinggul Rudi di tempat yang
jauh terpisah. Juga semakin keras, semakin liar. Bah?
kan Rudi sampai harus memekik-mekik terta?han dan
ke?mudian mengerang panjang tersengal, saat orgasme?
nya akhirnya lepas juga. Mengalir cepat tapi leluasa.
Dan Rudi baru saja akan mengang?kat tubuhnya
dari tubuh perempuan yang dengan pasrah sambil
ber?urai air mata membiarkan dirinya disetubuhi,
mana?kala suara bisikan tajam itu lagi-lagi ter?dengar.
"Puas, Rudi?" i-Kolam Darah.indd 127 127 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 128 14 UNTUK kesekian kalinya malam itu, Rudi ter?
tegun. Diam tertegun seperti itu beberapa saat, Rudi men?
dadak teringat, suara bisikan itulah yang ia dengar
se?waktu memesan kamar di hotel. "Dengarkan aku,
Rudi..." Dan juga dalam perjalanan dengan mobil yang gas?
nya ia tan?cap. "Lebih cepat, Rudi. Lebih cepat Kau
jagonya mengemudi, bukan?"
"Kalau sudah?" bisikan tajam itu kembali ter?
dengar. Kali ini le?bih jelas. Juga, lebih dekat. Dan ada
sesuatu yang berbeda. Rudi tidak mera?sakan dirinya
terhipnotis. Tidak merasakan dirinya dituntut untuk
patuh. Seakan membiarkan Rudi untuk tetap me?
miliki jati dirinya sendiri, kema?uannya sendiri.
Lelah oleh persetubuhan dan sempoyongan karena
128 9/25/2013 8:42:37 AM masih berada di bawah pengaruh alkohol, Rudi pun
bangkit meninggalkan tubuh yang ia tindih, menyapu?
kan pandang ke sekitarnya.
Sambil bertanya takut-takut, "Siapa"yang ber?
bicara itu?" Tak ada sahutan. Memang tidak perlu. Karena Rudi kemudian sudah
melihatnya. Melihat se?sosok tubuh berjubah tegak dalam ke?
gelapan hanya beberapa langkah di sebelah kiri tem?
patnya berdiri. Tegak di tempat terbuka dan bermandi
siraman rembulan, sang sosok tegak diam membeku
mengawasi Rudi dengan sorot matanya yang tajam
meng?hunjam, serta bibirnya yang tersenyum tipis.
Tambahkan itu dengan jubah panjang berwarna gelap
lengkap dengan baju pelapis dalam serta sepatu khas
seorang bangsawan. Plus sebelah tang?an yang setengah
disentuhkan pada gagang keris berbentuk kepala ular
yang terselip di pinggangnya.
Bahkan juga, wajah! Lukisan tua itu, pikir Rudi terkesima.
Tetapi tak ada bingkai kayu jati berukir di sekitar
tubuhnya. Tak ada warna-warna variasi cat pada kain
kanvas. Dan yang terpenting, sosok itu bukan men?
dekam pada tembok di atas sebuah tungku pendiang?
an yang menghangati ruang duduk keluarganya.
Sosok yang berdiri di hadapan Rudi, tegak bebas di
antara gundukan kubur serta batu-batu nisan di kiri
i-Kolam Darah.indd 129 129 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 130 kanan kakinya yang berpijak kokoh pada permukaan
tanah. "Anggadireja..." bisik Rudi, menggagap, "Kau?"
"Heran, cucu buyutku?" bibir tipis itu menggerimit
ter?senyum. Lembut. "Tidak mungkin. Ini tidak benar!" Rudi pun meng?
gagap lagi. Ketakutan. "Kau bukan dia. Kau pasti
cuma"hantunya!"
Cuma hantu" Apa bedanya dengan"Astaga, hantu!
Tersadar oleh pemikiran tiba-tiba yang mengerikan
itu, Rudi pun men?jerit seketika, "Tidak! Jangan
ganggu aku lagi. Tolonglah...! Jangan ganggu aku...."
Lantas Rudi cepat memutar tubuh. Berlari sem?
poyongan ke arah pintu gerbang kompleks makam
yang membuka lebar. Dan ia sudah hampir tiba serta
berpikir sudah a?kan selamat, ketika gerbang berjeruji
besi itu tiba-tiba bergerak menutup sendiri dengan
cepat, disertai empasan keras dan mengejutkan pula.
Rudi berusaha membuka gerbang dengan mendorong
bahkan menarik-narik jeruji besinya sambil menjeritjerit ngeri.
"Buka! Buka pintu ini! Tolong! Tolooong!"
"Percuma, Rudi. Kau tak akan bisa ke manamana!" terdengar suara tajam di belakangnya. Suara
serak dan berat, bukan bisikan. Dan ketika Rudi ber?
paling, Rudi kembali menjerit karena sang kakek
buyut sudah tegak sangat dekat dengan dirinya. Se?
130 9/25/2013 8:42:37 AM demikian dekat, sehingga wajah mereka berdua nyaris
beradu. "Tidaaak!" Rudi pun melolong lantas berlari
menjauhkan diri. Dan terus belari. Tak peduli harus
jatuh tunggang langgang tiap kali menabrak gundukan
kubur maupun batu nisan. Diikuti oleh sang sosok dengan langkah-langkah
tenang dan mantap. Tanpa satu pun dari mereka berdua yang memper?
hatikan apalagi memedulikan adanya sosok lain yang
bangkit di antara gundukan kubur yang mere?ka
tinggal?kan. Yakni teman wanita Rudi. Yang begitu
mendengar lalu meli?hat Rudi lari serabutan tak tentu
arah diikuti oleh sosok lainnya yang berjubah gelap
dan panjang, cepat bangkit dari tanah tempatnya
rebah. Lalu tanpa memedulikan sekujur tubuh te?
lanjangnya yang terasa sakit-sakit, lari menghambur
ke arah pintu gerbang. Yang anehnya, bergerak mem?
buka sen?diri, bahkan sebelum disentuh oleh si pe?
rempu?an! Perempuan itu selamat. Tetapi tidak demikian halnya dengan Rudi yang
tahu-tahu sudah terpe?rangkap sendiri. Sosok sang
kakek buyut tegak di hadapannya, serta liang kubur
menganga di belakang kakinya. Liang kubur yang siap
menunggu untuk diisi. Bakal liang kubur Suharyadi, ayah Rudi!
Sadar terperangkap sementara tenaga bahkan napas
i-Kolam Darah.indd 131 131 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 132 untuk berlari pun sudah terkuras habis, Rudi lang?
sung menjatuhkan diri menyembah sosok sang kakek
buyut sambil menjerit-jerit memohon.
"Tolonglah. Lepaskan dan biar?kan aku pergi; Akan
kubatalkan niatku menjual lukisan dirimu di atas
tungku pendiangan itu! Akan kubayar berapa pun
yang kau minta...!" "Aku hanya meminta satu hal saja dari dirimu,
Rudi," terdengar jawaban tenang dan menjanjikan.
"Apa?" Rudi memberanikan diri mengangkat muka
untuk menatap wajah sang kakek buyut yang tampak
tersenyum sebagaimana di lukisannya: ti?pis dan
terkesan misterius. "Apa yang kauinginkan dariku,
Juragan Besar?" "Darah," jawab sang kakek buyut. Tenang. "Sekali?
gus rohmu...!" Terkejut dan ngeri alang kepalang, Rudi kembali
menyembah-nyembah bahkan sampai mulutnya
dikotori tanah berlumpur selagi menjerit-?jerit minta
dikasihani, "Aduh, tidak. Kau tadi berjanji akan me??
lepaskan dan membiarkan aku pergi. Tolong?lah...!"
"Bukan aku yang berjanji, anak tolol!" Kali ini ter?
dengar suara be?rat tak sabar. Disusul hardikan keras,
"Bangkitlah sekarang!"
Rudi pun bangkit dengan ngeri. Lantas mem?be?
lalak semakin ngeri, manaka?la setelah bangkit, ia lihat
keris berlekuk yang tadi terselip dibalik ban pinggang,
kini ujungnya sudah terpegang di antara jemari ta?
132 9/25/2013 8:42:37 AM ngan sang kakek buyut. Dengan gagang keris ber?
bentuk kepala ular itu setengah disorongkan ke arah
Rudi. "Ini. Ambil dan lakukanlah sendiri!" ujar sang ka?
kek buyut sambil kembali mencoba tersenyum.
"Melakukan apa?" tanya Rudi. Sambil balas me?
maksa?kan senyum. Gugup. Senyuman membujuk di bibir sang kakek buyut
se?ketika lenyap, digan?tikan seringai gusar tak terperi.
"Dasar pemabuk! Kau membuang-buang waktuku
saja!" Berkata demikian, dengan marah pula sang kakek
buyut memutar posisi keris di tangannya dengan
gerak?an cepat. Sangat cepat. Lalu sama cepatnya, ta?
ngan yang kini ganti memegang gagang keris itu lang?
sung menyerbu ke depan. Sebelum Rudi menyadari apa yang terjadi, ujung
keris sudah menghunjam masuk ke dalam lam?
bungnya, menembus sampai ke jantung di mana tusu?
kan ujung keris berhenti sesaat. Pada saat itu, bukan
hanya Rudi, teta?pi juga sang kakek buyut ikut ter?
dongak ke arah langit malam di atas me?reka. Ikut
terpekik. Lengking dan panjang.
Dan bersama pekikan ganda yang mendirikan bulu
roma itu, cairan da?rah merah segar tampak mengalir
keluar dari lambung Rudi, membasahi keris yang
diam menghunjam sampai ke gagangnya, membasahi
dan terus memba?sahi. Sambil basahan darah itu per?
i-Kolam Darah.indd 133 133 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 134 lahan-lahan tampak bersinar dan semakin bersinar.
Sinar merah darah yang keluar meliuk-liuk dari
lambung Rudi, bergerak menari-nari di sepanjang
mata serta gagang keris, untuk kemudian meliuk
lenyap di tangan yang menggenggam.
Barulah setelah itu sang kakek buyut menarik mun?
dur tangannya sekaligus keris yang tetap ia genggam.
Sambil meluruskan wajahnya lalu tegak diam meng?
awasi sosok Rudi yang terlempar ke belakang. Dan
akhirnya mela?yang jatuh ke liang kubur yang se?
belumnya tak terlihat oleh Rudi. Jatuhnya tidak
sinkron dengan posisi liang lahat dan mengakibatkan
tubuh Rudi tidak terjatuh seluruhnya ke dasar liang.
Tetapi setengah menggantung tertekuk di dalam lu?
bang, dengan sebelah kaki terjulur dan kemudian
terkulai diam di salah satu permukaan bibir kubur.
Rembulan di langit malam sampai tersentak dibuat?
nya.

Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

134 9/25/2013 8:42:37 AM 15 S EBAGAI penggali kubur kenamaan, dua ber?
saudara Midun serta Midin tidak percaya, bahkan
boleh dibilang tidak takut pada hantu. Prinsip mere?ka
sederhana; taati saja petunjuk dan nasihat para pen?
dahulu yang mewariskan pekerjaan itu padamu.
Maka, begitu ada pesanan, kedua bersaudara itu
pun melaksanakan petun?juk yang selalu dinasihatkan
baik oleh ayah maupun kakek mereka yang su?dah
almarhum. Yakni lebih dahulu menyirami tanah yang
ditunjuk untuk digali dengan minyak wangi ditambah
taburan bunga rampai yang harum semerbak, baru
setelah itu mulai bekerja. Petunjuk kedua, begitu
jenazah selesai dimakamkan, Midun serta Midin tidak
langsung angkat kaki. Mereka berdua dengan sabar
menunggu orang terakhir dari kerabat si mati lebih
dahulu pergi. Lalu kedua bersaudara itu mengambil
i-Kolam Darah.indd 135 135 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 136 sejemput tanah kubur si mati untuk dicium dengan
khidmat lalu disimpan kembali ke tempat semula.
Setelah itu secara batin mereka mengucapkan kali?mat
yang sama. "Siapa pun penghuni liang lahat ini, kami telah
mem?bantumu dengan cucuran keringat kami. Maka
bantu jugalah agar rohmu maupun roh lain di sekitar?
mu tidak mengganggu kami atau keturunan kami."
Itu saja. Baik Midun serta Midin maupun ayah serta kakek
mereka tak pernah melihat apa yang dinamakan
hantu, walaupun hanya bayang-bayangnya saja. Atau
karena sesuatu hal mereka terpaksa harus melewati
kuburan di tengah malam Jumat Kliwon sekalipun.
Mereka senantiasa dibiarkan le?wat dengan perasaan
tenang serta nyaman. Bahkan burung gagak pun pada
diam membisu, seolah takut suaranya bisa meng?
ganggu. Begitu pula malam ini. Sebagai penggali kubur yang bertanggung jawab
penuh atas pekerjaan mereka, sekalian mendapat gilir?
an tugas ronda malam, Midun serta Midin sepakat
untuk lewat dan masuk ke kompleks makam keluarga
juragan perke?bunan di daerah mana mereka berdua
menetap. Penyebabnya, sederhana saja. Kerabat si
mati"dalam hal ini juragan Suherman, menghendaki
kuburan untuk almarhum mertuanya bukan digali
men?jelang jenazah dimakamkan besok pagi. Tetapi
136 9/25/2013 8:42:37 AM sudah harus selesai digali sore hari begitu jenazah
yang akan diku?burkan dibawa pulang dari rumah
sakit. Permintaan yang aneh memang, dan itu membuat
dua bersaudara Midun serta Midin dibebani tugas
tambah?an demi tanggung jawab penuh atas pe?kerjaan
mereka. Yakni, sambil meronda, apa salahnya masuk
ke kompleks makam keluarga sang juragan perkebun?
an. Untuk memeriksa, siapa tahu liang lahat yang
sudah mereka gali sebelumnya sore tadi, ada bagian
dindingnya yang rom?pal atau runtuh. Sehingga harus
segera dirapikan, agar liang lahat dimak?sud benarbenar harus sudah siap pakai.
Namun, siapa menduga! Baru juga mereka tiba di luar kompleks makam,
dua bersaudara itu su?dah dibuat heran oleh adanya
mobil tak bertuan yang diparkir pas di depan pintu
gerbang keluar masuk kompleks. Disusul kejutan lain?
nya: sesosok tubuh wanita yang sepenuhnya bugil,
men?dadak keluar dari sebe?lah dalam gerbang. Lari
sempoyongan ke arah Midun serta Midin sambil men?
jerit-jerit minta tolong dan mengatakan dirinya diper?
kosa. Belum sempat mereka bertanya, sudah muncul
kejutan lainnya, yakni suara jeritan panjang mem?
bahana dari sebelah dalam kompleks, disusul terlihat?
nya bias merah samar-samar di kegelapan malam.
Curiga ada pencuri mayat tengah beraksi, Midun
serta Midin seketika melupakan si perempuan
i-Kolam Darah.indd 137 137 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 138 telanjang dan langsung menghambur bersama-sama ke
sebelah dalam kompleks. Dan tanpa berpikir panjang
berlari ke arah sua?ra jeritan serta sinar aneh yang me?
reka dengar dan lihat. "Sepertinya dari arah liang lahat yang kita gali sore
tadi," kata Midin sambil berlari di antara batu nisan
demi batu nisan yang mereka lewati.
"Kau benar!" jawab Midun. "Siapkan cluritmu,
sementara aku menyiapkan lampu senterku."
"Clurit" Aku cuma berbekal pentungan!"
Dan mereka pun melihatnya.
Melihat sosok seseorang berjubah panjang berwarna
gelap dan dengan posisi berdiri membelakangi, tam?
pak tengah menatap ke liang lahat yang sore harinya
telah digali oleh Midun serta Midin.
Midun cepat menyorotkan lampu senternya ke sosok
tubuh dimaksud, sementara Midin menyiapkan pen?
tung?an di tangannya sambil berseru lantang, se?tengah
gemetar, "Hei, siapa dan mau apa kau di situ?"
Lalu dua bersaudara itu diam tertegun, manakala
sang sosok berjubah perlahan-lahan membalikkan tu?
buh sambil menyarungkan sesuatu ke balik pinggang?
nya, yang ternyata sebilah keris dengan gagang ber?
bentuk kepala ular. Tetapi bukan keris tersebut yang
membuat Midun serta Midin tertegun dan kemudian
diam terpana. Melainkan emblim-emblim kebangsa?
wanan baik pa?da jubah maupun baju dalam di balik?
nya. Seakan si pemilik jubah akan pergi menghadiri
138 9/25/2013 8:42:37 AM pesta kalangan ningrat entah di mana. Selain itu, si
pe?milik juga tampak memakai kacamata merah"oh,
bukan! Bukan kacamata. Me?lainkan sepasang mata
yang bersinar merah semerah darah. Yang seketika
membuat kedua bersaudara itu langsung terpukau.
"Bagus!" terdengar suara berat dan parau ketika
bibir yang tersenyum tipis di bawah sorot mata yang
semerah darah itu menggerimit terbuka, "Kalian ber?
dua akan menjadi saksiku?"
"Saksi?" tanya Midun menggagap di tengah pukau
yang mempengaruhi dirinya.
Tak ada sahutan, Karena sambil tersenyum tipis dan matanya tetap
me?nyorot semakin merah, sosok berjubah di hadapan
mereka perlahan-lahan tampak mulai mengabur dan
terus meng?abur seperti gumpalan asap tertiup angin.
Untuk kemudian lenyap sirna. Tanpa meninggalkan
bekas. "Ha-han-tukah itu?" bisik Midin kemudian. Lirih
dan gemetar. "Mung... mungkin..." Midun ikut menggagap.
Ngeri. Sambil ribut menyapukan senternya kian ke?
mari untuk mencari keberadaan sang sosok berjubah.
Usaha yang sia-sia, karena sinar senter tidak me?
nangkap apa-apa kecuali gundukan demi gundukan
kubur yang membeku diam dalam gelapnya malam.
"Lihat!" Midin kembali menggagap seraya me?
nunjuk gemetar. i-Kolam Darah.indd 139 139 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 140 Midun cepat menyorotkan lampu senternya ke
arah yang ditunjuk oleh Midin.
Dan tampaklah adanya kaki yang menggantung di
atas gundukan tanah berlumpur. Jelas terjulur dari
sebelah dalam liang lahat.
"Apa itu?" tanya Midun terkejut.
"Hantu lainnya, mungkin!" jawab Midin seraya
mem?beranikan diri maju ke depan diikuti oleh sau?
dara?nya yang langsung menyorotkan sinar senter ke
arah lubang yang menganga hitam di hadapan me?
reka. Dan, di dalam lubang itu tampaklah sesosok tubuh
ber?pakaian tampan yang menggantung terte?kuk di
tengah lubang. Dengan wajahnya yang tampak pucat
dan mati. Mulut terbuka tanpa suara, begitu pula se?
pasang matanya, Membelalak lebar tak berkedip.
Mata yang juga tampak mati.
Dilanda teror. Di tempat terpisah, Somawinata sedikit pun tidak
he?ran apalagi terkejut ketika melihat sosok yang segala
sesuatunya menyerupai lukisan diri Anggadireja di
rumah perkebunan itu muncul dari balik kegelapan
malam. Lalu bergerak mendatangi di antara rimbunan
pepohonan teh dengan langkah-langkah kaki yang
tam?pak setengah melayang.
Somawinata tetap saja tegak dengan tenang di tem?
pat?nya berdiri me?ngawasi dan menunggu. Dan tetap
140 9/25/2013 8:42:37 AM tenang ketika di setiap langkahnya, si pendatang me?
rubah wujud setahap demi setahap. Dan pada saat
ber?henti me?langkah, maka yang tegak di hadapan
Somawinata sudah sempurna kembali ke sosok asli?
nya, Suherman. Yang sambil mengeluarkan keris dari
balik jaket kulitnya yang setengah terbuka, berbicara
dengan suara yang terdengar lelah, "Ini, kukembalikan.
Simpanlah sampai aku nanti membutuh?kannya
lagi!" Sejenak, Somawinata mengamati keris yang ia te?
rima dengan saksama. Lalu seraya memasukkan keris
pada sarungnya yang tersimpan di balik ban ping?gang?
ya sendiri, Somawinata mengomentari lirih, "Semua?
nya berja?lan lancar, kuharap...!"
Suherman mengangguk lelah, "Hanya saja, aku ter?
paksa harus melaku?kannya dengan tanganku sen?
diri!" Barulah Somawinata memperlihatkan muka ter?
kejut, "Oh?" "Dia sedang mabuk berat"," Suherman memberi?
tahu. "Pengaruh sihirku agaknya lantas se?dikit ke?
hilang??an pengaruh!"
Diam mencerna sesaat, Somawinata pun berkata
ter?gelak, "Hahaha. Apa iya alkohol bisa menangkal
sihir?" "Bukan alkoholnya, Ki," sahut Suherman cem?berut.
"Melainkan o?tak Rudi. Yang memang sudah kurang
beres!" i-Kolam Darah.indd 141 141 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 142 "Hm, begitu. Lantas, apa sekarang?"
"Pulang. Untuk berbelasungkawa!" ja?wab Suherman.
Ke?mudian menambahkan di?sertai seringai lebar.
"Sambil berpura-pura ikut ter?kejut dan panik, tentu?
nya !" Somawinata ikut menyeringai gembira. "Oke. Pergi?
lah. Aku akan tinggal di sini sebentar lagi untuk me?
neruskan kontak. Dengan roh para leluhur..."
"Sampai bertemu lagi, Ki!" Suherman pa?mit.
Lantas berlalu ke arah semula ia datang. Masih de?
ngan langkah kaki yang tampak setengah me?layang.
Somawinata diam mengawasi dengan seringai yang
lenyap perlahan dari bibir tuanya. Sambil berbicara
membatin,. "Hm. Aku mencium bau tak sedap di?
balik keringatnya..."
Somawinata kemudian mengeluarkan keris yang
tadi ia simpan pada sarung dibalik ban pinggangnya.
Untuk diamati sekali lagi, lebih saksama. Kali ini, de?
ngan mempergunakan kekuatan gaibnya. Dan di mata
keris berle?kuk-lekuk itu mulai dari gagang sampai ke
ujungnya, pandangan gaib Soma?winata melihat ada?
nya gelombang darah yang bergejolak ribut sambil
mem??perdengarkan jeritan sekarat seseorang yang
sayup-sayup sampai. Setelah gelombang darah serta
suara jeritan sekarat itu lenyap hilang, Somawi?nata
kembali menyarungkan keris. Lalu menatap ke arah
perginya Suherman. Sambil bergumam kuatir, "Hm. Jelas sudah. Dia
142 9/25/2013 8:42:37 AM menghirup sekaligus me?manfaatkan darah korbannya.
Itu akan membuat dia semakin kuat. Dan, ber?ba?
haya?." i-Kolam Darah.indd 143 143 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 144 16 ACARA tahlilan usai sudah.
Para tamu peserta pun sudah pada pulang, kecuali
beberapa kerabat dekat serta staf perkebunan saja
yang masih tinggal. Berbincang-bincang membahas


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pe?laksanaan upacara pemakaman Su?haryadi esok siang?
nya. Dadang ketua RT setempat sedang pamitan pada
Agus serta Maharani yang mengantar sampai ke teras,
manakala Midun muncul ter?gopoh-gopoh sambil ber?
bicara pucat dan panik. "Gawat, Pak RT! Benar-benar? gawat..."
"Apanya yang gawat?" tanya Dadang heran, se?
mentara Agus dan Maharani diam mendengarkan.
Tanpa curiga apa-apa. Midun menjawab kacau tersengal-sengal, "Liang
lahat itu. Sudah terisi!"
"Ya jelas dong." Dadang mengomentari tersenyum.
144 9/25/2013 8:42:37 AM "Semua liang lahat juga pasti sudah ada isinya. Tak
harus membuatmu pucat dan panik begitu!"
"Tetapi, Pak RT. Ini menyangkut liang lahat Jura?
gan Suharyadi!" Barulah saat itu Agus serta Maharani dibuat ter?
sentak. Lima menit kemudian Maharani malah menjadi
shock. Bahkan Elisa sampai jatuh pingsan ketika de?
ngan mata kepala sendiri mereka saksikan tubuh Rudi
yang mati tertekuk setengah menggantung di lubang
kubur yang diperuntukkan untuk Su?haryadi.
Suherman yang muncul belakangan, juga dibuat
terdiam membeku ke?tika melihat ke dalam lubang
kubur yang oleh Midin sudah diterangi deng?an lampu
petromaks. Sambil Suherman bergumam tak percaya,
"Bagaimana mungkin?"
Tetapi sebagai menantu tertua dari Suharyadi.
Suherman kemudian be?nar-benar memperlihatkan
tang?gung jawabnya. Dirinyalah yang paling sibuk me?
nelepon polisi, pengacara, dan entah siapa lagi untuk
mengabarkan kematian adik iparnya. Juga meme?rintah?
kan Midun serta Midin untuk menggali li?ang kubur
baru di samping liang kubur Suharyadi. Plus, dengan
cepat dan sigap mengatur upacara pemakaman ganda
esok siangnya. Semuanya ia atur dengan baik dan
sem?purna. Ia membiarkan istrinya Maharani, Elisa,
dan Agus bisa lebih menenangkan diri.
Tenang" i-Kolam Darah.indd 145 145 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 146 Tidak. Karena Agus sendiri dibuat sibuk untuk
meng?hadapi protes ke?ras Hindarto setelah diberitahu
jenazah Rudi akan langsung dimakamkan tanpa men?
jalani pemeriksaan pendahuluan di rumah sakit.
"Ini atas kehendak ke?luarga," Agus sibuk menyabar?
kan sahabatnya yang dibuat mencak-?mencak ? marah
itu. "Tolonglah hormati..."
"Tetapi ini menyangkut pembunuhan!"
"Oke. Silakan mendatangkan ahli forensikmu
untuk melakukan peme?riksaan setempat. Setelah itu,
biarkan keluargaku melakukan yang selebihnya. "
"Kau tidak bermaksud melindungi dia bukan?"
tanya sang kepala sektor akhirnya. Curiga.
"Dia siapa?" "Ayahmu, Pak Ardi...!"
"Percayalah, Inspektur," Agus menimpali serius,
sam?bil diam-diam merasa lega. "Ada banyak saksi
yang bersedia mernberikan alibi yang sah untuk ayah?
ku. Paling tidak, untuk kasus kematian Rudi!"
"Baiklah." Hindarto akhirnya menyerah. Lalu me?
nambahkan tak puas. "Tetapi aku tidak menyukai
semua ini!" Agus diam saja. Ia juga lebih banyak berdiam diri ketika esok siang?
nya pemakaman ganda itu dilangsungkan dengan
upa?cara yang serba khidmat. Sewaktu ustad yang di?
tunjuk menyampaikan ceramah singkat lalu doa pe?
nutup, perhatian Agus nyaris tak pernah lepas dari
146 9/25/2013 8:42:37 AM dua gundukan kubur bertabur bunga rampai di hadap?
annya. Dua lubang kubur. Yang berarti dua orang telah mati. Dua dari tiga
orang yang ia lihat dalam mimpi buruknya, nyaris
tenggelam dalam ko?lam darah: Suharyadi serta Rudi
yang dalam mimpi buruk itu ia lihat sudah tersedot
sampai sebatas leher sambil tampak menggapai-gapai
putus asa. Tangan Maharani sempat diraih oleh Agus
ketika mimpi buruknya tiba?-tiba berakhir. Apakah itu
berarti kakak iparnya itu berhasil ia sela?matkan, atau
pada akhirnya juga gagal sebegaimana Agus telah
gagal menolong Juragan Papa-nya serta Rudi dari
hisap?an gelombang darah yang mengerikan itu"
Sambil mengaminkan doa-doa penutup yang di?
bacakan oleh sang ustad, Agus diam-diam dibuat
takut oleh pikiran bahwa mimpi buruknya itu adalah
sebuah pertanda. Pertanda datangnya kematian orangorang yang disayangi?nya. Termasuk Rudi, meskipun
sebaliknya Rudi lebih bersikap memusuhi A?gus. Juga
takut memikirkan misteri apa yang tersembunyi di?
balik mimpi buruknya itu: nekat terjun ke kolam
darah, dan masih sempat meraih tangan Maharani.
Tanpa jelas apakah kakak angkatnya itu berhasil ia
se?lamat?kan atau tidak. Atau bahkan boleh jadi malah
ikut tersedot masuk ke dalam gelombang kubang?an
darah itu, bersama Agus sendiri. Yang ikut ter?
seret... i-Kolam Darah.indd 147 147 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 148 Masih ada misteri lainnya, di luar mimpi buruk
Agus. Maharani memang dibuat shock ketika melihat
adik?nya mati tertekuk di tengah liang kubur ayah
me?reka. Tetapi ketika jenazah Rudi dibawa pu?lang
untuk dibersihkan lalu disemayamkan di rumah, Rudi
itu tampak lebih tenang. Bahkan luar biasa tenang.
Dan ketenangan yang di mata Agus me?ngagumkan
sekaligus mengherankan itu, penyebabnya sempat di?
tangkap Agus melalui gumaman Maharani yang
tampak dilontarkan kakak angkatnya itu dengan se?
tengah tak sadar, "Paling tidak, Rudi tak lagi harus
menderita berlama-lama...!"
Maharani tidak menyatakan apa pun lagi setelah
itu. Selain ka?rena tidak ada yang bertanya, juga ka?
rena Maharani kemudian menutup diri dan lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk mendampingi
Elisa yang bo?lak-balik jatuh pingsan.
Tak lagi harus menderita berlama-lama. Apa mak?
sud Maharani" Menderita apa gerangan Rudi"
Begitu banyak pertanyaan, begitu banyak misteri.
Satu-satunya yang jelas dan nyata, barangkali hanya?
lah pernyataan Elisa yang selalu menguta?rakan hal
yang sama disertai isak tangis putus asa, "Jika saja
aku tak berlaku kasar menampar wajahnya, suamiku
tak akan minggat dari rumah. Tak akan pergi mabukmabukan. Tak akan mati mengenaskan!"
148 9/25/2013 8:42:37 AM Atau dengan kata lain, Elisa mempersalahkan diri
sebagai penyebab dari kematian sang suami.
Padahal, itulah misteri lainnya.
Penyebab kematian Rudi"sebagaimana dijelaskan
oleh dokter kepolisian yang buru-buru dipanggil
Hindarto, sama dengan penyebab kematian ayahnya.
Mati oleh tusukan benda tajam ber?lekuk. Dan benda
tajamnya diduga kuat, sebilah keris. Yang lagi-lagi, tak
pernah ditemukan meskipun Hindarto sudah me?
ngerah?kan semua anak buahnya yang terlatih dibantu
seekor anjing pelacak untuk memeriksa setiap jengkal
tanah. Malah boleh dibilang membolak-balik setiap
helai rumput yang tumbuh di kompleks makam
tempat Rudi ditemukan mati terbunuh.
Agus juga lebih banyak berdiam diri ketika selesai
upacara pemakam?an. Hindarto yang karena tugas
mau?pun toleransi pada keluarga Agus memak?sakan
diri untuk datang. Dan sambil melangkah pergi me?
ninggalkan kuburan ganda di belakang mereka, terus
memepet Suherman dengan pertanyaan bertu?bi-tubi
dan juga mengandung misteri.
Didahului pembicaraan basa-basi bahwa keluarga
Agus adalah juga keluarganya, Hindarto mengajukan
per?tanyaannya pada Suherman. Dengan santai, seakan
pembicaraan sambil lalu. "Maaf, Pak Herman. Bukan tak menghormati sua?
sana berkabung. Tetapi boleh saya mengajukan bebe?
rapa pertanyaan pada Anda?"
i-Kolam Darah.indd 149 149 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 150 Sempat tertegun, Suherman akhirnya menjawab
juga. Sama santainya, "Silakan!"
Pertanyaan berikutnya, langsung ke materi perkara.
Mengenai keris Pak Ardi atau ayahnya Agus. Keris
yang katanya hilang tak lama setelah dibeli.
"Benarkah Anda yang menganjurkan dia untuk
mem?belinya?" "Tidak persis seperti itu, Inspektur," jawab Suherman
setelah tampak ber?pikir-pikir sejenak.
"Persisnya?" "Dia melihat, dia berminat, dia bertanya pada saya,"
jawab Suherman disertai senyuman tak acuh. "Lalu
saya bilang, mengapa tidak" Dan jadilah Pak Ardi me?
miliki keris itu!" "Oke. Pertanyaan kedua. Kapan Anda terakhir kali
melihat keris itu di tangan Pak Ardi?"
"Saat dia menutuskan untuk membawanya pada
seorang dukun. Untuk diisi, istilahnya."
"Dengan ajian penangkal roh jahat, itulah yang juga
kami dengar dari mulutnya sewaktu dia men?jalani pe?
meriksaan?" Hindarto memberitahu. Lantas setelah
diam berpikir sejenak, sang perwira polisi itu pun me?
lanjutkan interogasinya. Masih dengan wajah polos,
tam?pak seperti sambil lalu. "Dan dukunnya ber??nama
Somawina?ta. Atau lebih sohor dengan panggil?an Ki
Soma?" Agus sempat heran ketika dengan ekor matanya ia
150 9/25/2013 8:42:37 AM sempat melihat abang iparnya tertegun diam. Tampak
seperti terkejut. Mengapa"
Tetapi dengan cepat Suherman sudah meneruskan
langkah. Sambil cepat pula menjawab. Masih tak
acuh. "Kalau tak salah, ya!"
"Kalau tak salah?"
"Yang merekomendasikan dukun itu pada Pak
Ardi, Inspektur" jawab Suherman, tenang. "Almarhum
mertua saya jasadnya baru saja kita kubur?kan di bela?
kang sana. Saya hanya kebetulan men?dengar pem?
bicara?an mereka. Itu saja." Berhenti melangkah dan
diam sesaat. Suherman balik bertanya. "Apa?kah semua
jawaban saya cukup jelas, Inspek?tur?"
"Sangat jelas. Terima kasih."
"Sekarang giliran saya untuk bertanya. Boleh?"
"Dengan senang hati," jawab sang Inspektur, te?
nang. Sambil berhenti di samping mobil dinasnya
karena saat itu mereka sudah tiba di pelataran parkir
kompleks makam. Interogasi balik dari Suherman, " Mula-mula, keris.
Lalu Ki Soma. Di an?tara kedua hal itu, Inspektur.
Apa sesungguhnya yang ingin Anda cari?"
"Pelengkap informasi yang sudah kami kumpulkan,"
jawab Hindarto. Sambil tampak berhati-hati. "Ter?
utama mengapa dukun itu membantah telah bertemu
Pak Ardi. Apalagi menerima sebilah keris untuk di?
isi!" i-Kolam Darah.indd 151 151 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 152 "Kontras dengan keterangan ayahnya Agus. Yang
tetap bersikukuh dan menyatakan bersedia disumpah
bah?wa dia telah memberi keterangan yang sesungguh?
nya?" "Persis!" "Lantas. Jawaban siapa yang akhirnya kalian pe?
gang, Inspektur?" Hindarto hanya menanggapi dengan senyuman miste?
rius, yang membuat Suherman tampak tidak puas
mes?ki akhirnya menyerah juga. "Baiklah. Itu me?mang
urusan polisi. Tetapi boleh saya memperoleh jawaban
yang sebenarnya dari pertanyaan awal saya tadi?"
"Tentang?" "Apa sesungguhnya yang Anda cari!" jawab
Suherman seraya menatap lurus ke mata sang perwira
polisi di hadapannya. Ganti dirinyalah yang dibuat terdiam sesaat,
Hindarto akhirnya mem?beritahu juga, "Benang merah.
Itulah yang harus kami cari!"
"Benang merah apa?"
"Kaitan antara terbunuhnya dua anggota keluarga
Anda." Jawab Hindar?to sambil kini ganti mengawasi


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lurus ke mata Suherman. "Dengan seorang penyihir.
Dari masa yang telah lama silam!"
Dan selagi Suherman tampak terdiam bahkan se?
perti terkejut, Hindarto cepat membuka pintu mobil?
nya. Sambil kembali berbicara seperti semula. Santai,
152 9/25/2013 8:42:37 AM "Saya mendadak lapar. Ada yang mau ikut pergi
makan bersama-sama?"
"Sebentar, Inspektur," Suherman cepat membuka
mulut. Sambil wajahnya memperlihatkan ketidak?per?
caya?an. "Anda kan polisi. Masa Anda percaya pada
se?mua omong kosong menggelikan itu?"
"Saya dihadapkan pada kasus pembunuhan be?
rantai, Pak Herman," jawab Hindarto, tenang. "Jadi,
kunci yang ada di tangan saya tak ada salahnya saya
coba ke semua pintu, bukan?"
Lagi, Suherman dibuat terdiam. Sementara Hindarto
cepat berbicara dengan senyuman santai.
"Mengenai ajakan saya tadi. Makan siang. Ada
yang mau ikut?" Sambil matanya tampak menerawang jauh,
Suherman menggeleng tak berminat. Dan Hindarto
ganti melihat pada Agus dengan pandangan bertanya
bahkan seperti mendesak. Agus sempat dibuat raguragu, tetapi Suherman yang sudah menemukan dirinya
kembali, cepat menimpali dengan senyuman men?
dukung, "Te?manmu ingin bernostalgia, Gus. Kau pergi?
lah dengannya. Biar aku nanti yang memberitahu
kakak?mu di rumah. Oke?"
"Terima kasih, Kang Herman." Agus mengangguk
gem?bira kerena selain ingin bernostalgia, diam-diam
ia dibuat penasaran oleh interogasi silang yang
barusan ia lihat dan dengar. Dengan bersemangat,
Agus menye?linap masuk ke mobil dinas sahabatnya,
i-Kolam Darah.indd 153 153 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 154 yang begitu duduk di belakang setir dan memacu
mobil tersebut meninggalkan perlataran parkir,
langsung mendengus dengan wajah tampak tegang.
"Abang iparmu itu. Entah ilmu apa yang dia mili?
ki, sehingga mampu membaca apa yang ada dalam
pikiranku!" Agus cepat memanfaatkan kesempatannya. "Dan
apa yang ada dalam pikiranmu, sahabatku Hindarto.
Selain benang merah yang tadi kau sebut-sebut?"
"Hantu ajaib!" "Hantu ajaib?" tanya Agus tercengang.
"Benar. Karena baru kali ini aku mendengar adanya
hantu yang membunuh manusia secara brutal, dan
meng?hendaki manusia lainnya yang ia biarkan hi?dup
untuk menjadi saksi mata. Terhadap apa yang ia
lakukan dan siapa di?rinya sesungguhnya...!"
"Oke, Hindarto," keluh Agus tak sabar di tengah
ke?bingungannya yang kian menjadi-jadi. "Lalu, si
pem?bunuh itu sendiri. Ini, jika mengikuti jalan pikir?
anmu tadi. Hantu siapa?"
"Kakek buyut angkatmu, Sang Juragan Besar!"
154 9/25/2013 8:42:37 AM 17 HAL yang menggembirakan: Ardi kemungkinan be?
sar akan terbebas dari sangkaan sebagai pem?bunuh.
"Paling tidak, karena ada tiga orang saksi yang
mem?beri keterangan jauh lebih gila daripada apa yang
kami peroleh dari ayahmu," demikian Hindar?to ber?
cerita sambil bersantap siang dengan Agus di restoran
ter?dekat. Saksi pertama, seorang wanita pelacur merangkap
maskot di meja judi. Bernama asli Sukaesih, perempuan malang itu
akhir?nya ditemukan polisi masih menangis ketakutan
di rumah petak tempatnya tinggal yang masih jadi
bagi?an perumahan pegawai pemetik teh perkebunan
Anggadireja. Dite?mukan pagi-pagi buta oleh tim
pelacak yang mencari sepanjang sisa malam, Sukaesih
hanya memberi keterangan samar-samar mengenai
i-Kolam Darah.indd 155 155 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 156 sosok misterius yang ia lihat. Gambaran mana ke?
mudian diperjelas oleh kedua bersaudara penggali
ku?bur Midun serta Midin. Yang sempat menyangka
Sukaesih sebagai kuntilanak, ketika melihat perempu?
an itu menghambur keluar dari sebelah dalam makam
sambil berbugil ria. "Berbugil ria?" tanya Agus heran, Sambil me?
nyantap makan siangnya. Nyaris tanpa menikmati
ma?kan?an?nya. "Sepenuhnya telanjang. Tanpa sehelai benang pun
menutupi tubuhnya," Hindarto memperjelas. Suku kata
demi suku kata, seakan sahabatnya yang masih bujangan
itu anak TK yang baru pertama kali masuk sekolah.
"Tentu saja, sebelum Midin me?minjamkan jaketnya
untuk dipakai Sukaesih yang ke?mudian dibawa minggat.
Saking ketakutan, tentunya. Se?telah dua bersaudara
penggali kubur itu meninggal?kan?nya sendirian untuk
memeriksa suara jeritan siapa yang me?reka dengar da?ri
sebelah dalam komplek makam...!"
"Oke. Teruskan!"
"Kau boleh percaya boleh tidak," Hindarto me?
nerus?kan. "Tetapi Sukaesih mengaku di bawah sum?
pah. Bahwa dia telah diseret secara paksa o?leh
almarhum saudara angkatmu ke dalam kompleks ma?
kam. Di sana dia diperkosa secara luar biasa sadis
oleh almarhum saudara angkatmu itu."
Agus seketika berhenti makan, saking tercengang.
"Wah...!" 156 9/25/2013 8:42:37 AM "Setidak-tidaknya," Hindarto mengomentari. "Itu
menjawab kebingungan dokter kami tengah malam
tadi, ketika memeriksa jenazah sau?dara angkatmu se?
cara darurat di TKP...!"
"Bingung mengenai apa?"
"Penyebab pasti dari adanya cairan sperma pada
ke?maluan Rudi." "Oh ya, ya. Dan?"
Agaknya, demikian kesimpulan Hindarto dari ke?
terangan para saksi. Pu?as memerkosa, Rudi dikejut?kan
oleh kehadiran sang Juragan Besar yang tiba-tiba
muncul entah dari mana. Dan entah bagaimana pula
membuat Rudi ketakutan setengah mati dan berusaha
lari menghindar sebelum akhirnya terjebak di dekat
liang kubur ayahnya. Di sana Rudi kemudian diduga
jatuh dan menggantung mati tertekuk dengan
lambung menganga oleh tusu?kan benda tajam.
"Sialnya, kau dan keluargamu sudah lebih dulu
meng?acak-acak tanah berlumpur di sekitar liang
kubur itu, sehingga kami tidak sedi?kit pun menemu?
kan jejak kaki si pembunuh!"
"Tadi kau bilang, si pembunuh mengejar Rudi,"
Agus cepat menanggapi. Setengah membela diri. "Ten?
tu??nya, pengejaran itu juga meninggalkan jejak kaki."
"Perlu waktu lama untuk meneliti dan meng?
identifikasi," Hindarto mengakui, murung. ?"Selain
aku sendiri sangat meragukan apakah jejak kaki si
pem?bunuh akan kami temukan di TKP."
i-Kolam Darah.indd 157 157 9/25/2013 8:42:37 AM i-Kolam Darah.indd 158 "Alasannya?" "Tersangka pembunuhnya hantu, bukan?" jawab
Hindarto, semakin murung.
"Kau percaya itu?" tanya Agus heran. "Juga bahwa
hantu?nya adalah hantu kakek buyut angkatku?"
"Ingat lukisan tua di atas tungku pendiangan ru?
mah kalian?" Agus langsung mengangguk.
"Nah, potret lukisan itulah yang kami tunjukkan
pada dua bersaudara Midun serta Midin. Dan kedua
orang penggali kubur itu sama bersumpah, sosok
dalam lukisan tersebutlah yang mereka lihat. Dan yang
kata mereka kemudian menghilang setelah me?ngata?kan
kedua para penggali kubur itu adalah saksi dirinya...!"
"Menghilang bagaimana?"
"Astaga. Belum mengerti jugakah kau ini?" gerutu
Hindarto jengkel. Tapi kemudian memberitahu juga.
"Ya, lenyap begitu saja. Namanya juga hantu!"
Agus ingin tertawa. "Kau tidak sedang bercanda,
ku?harap!" "Aku serius, Gus," jawab Hindarto, kembali mu?
rung. "Terutama, bila mengingat kembali apa-apa yang
kudengar dari mulut Nyi Imas. Orang pada siapa
ayahmu dahulunya membeli keris!"
"Ah, ya. Nyi Imas!" Agus manggut-manggut ter?sadar.
"Ayahku memang ada menyebut nama itu. Tetapi tidak
pernah bercerita apa-apa lagi, kecuali mengenai proses
jual-beli keris itu sendiri!"
158 9/25/2013 8:42:38 AM "Itu maka aku mengajakmu ikut makan siang."
Hindarto akhirnya terse?nyum juga. "Supaya kau bisa
mendatangi dan mendengar sendiri kisah masa lalu
kakek buyut angkatmu sebelum dinyatakan hilang
tanpa kabar berita. Aku bisa memberitahu di mana
kau dapat menemuinya, kalau kau mau!"
"Pasti. Tetapi..."
"Apa?" "Orang satunya lagi, Ki Soma," jawab Agus sambil
tampak berpikir-?pikir. "Ayahku sampai harus sumpahsumpahan bahwa benar keris itu hilang sewaktu ia
serah?kan ke tangan dukun itu untuk diisi. Apakah
juga Ki Soma melakukan hal yang sama ketika mem?
bantah keterangan ayahku itu?"
"Bersumpah?" tanya Hindarto heran. Lantas ter?
senyum. Masam. "Dia tak perlu bersumpah. Dia ting?
gal menakut-nakuti anak buahku yang kusuruh me?
nemuinya untuk bertanya. Selesai sudah!"
"Menakut-nakuti bagaimana?"
"Namanya juga dukun yang ketangguhan ilmunya
sudah diakui banyak orang, demikian Hindarto men?
jelaskan. Murung. Sialnya Hindarto menyuruh anak
buahnya yang kebetulan mengetahui benar ketangguh?
an Somawinata. Maka begitu Somawinata bertanya
marah, "Kau lebih memercayai PRT sialan bernama
Ardi itu atau aku, eh?" Maka yang ditanya pun lang?
sung mengundurkan diri sambil minta maaf.
"Tetapi dia tetap kami awasi!" Hindarto menambah?
i-Kolam Darah.indd 159 159 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 160 kan. "Sampai kami menemukan alasan kuat untuk
mendatanginya lagi. Jika perlu, olehku sendi?ri!"
"Memangnya sehebat apa sih ilmunya, Inspek?
tur?" Hindarto hanya diam membisu. Tampak tidak ber?
gairah untuk menjawab. 160 9/25/2013 8:42:38 AM 18 TEGAK berdampingan dengan Suherman meng?
awasi bongkahan-bongkahan batu besar di tengah kali
yang airnya mengalir bening dan tenang di hada?pan
mereka, Somawinata berbicara setengah menyesali
Suherman. "Di situlah masalah yang dihadapi orang-orang
muda sekarang ini. Mereka cepat panik." Diam meng?
geleng sesaat seraya memusatkan perhatiannya pada
sebongkah batu hitam berdiameter serangkulan lengan
orang dewasa, Somawinata meneruskan, "Padahal dari
a?pa yang kauceritakan barusan, aku yakin betul bah?
wa dia hanya melempar umpan. Siapa tahu ada yang
menyambar!" "Dan aku telah menyambar umpannya itu!" keluh
Suherman. Murung. "Tanpa kusadari...!"
"Tak usah dirisaukan," Somawinata me?nanggapi
i-Kolam Darah.indd 161 161 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 162 dengan senyuman menghibur. "Kalaupun be?nang
merah yang disebutkan sang perwira polisi itu pada
akhirnya mereka temukan, mereka bisa berbuat apa"
Toh cerita lama itu kini sudah tinggal dongeng
belaka. Untuk menakut-nakuti bocah yang membandel
tak mau tidur." "Kau berbicara tentang leluhurku, Ki!" desah
Suherman tampak tersing?gung.
"Itu benar. Tetapi?" diam lagi sesaat, Somawinata
ke?mudian bergu?mam serius. "Hm. Aku sudah me?
nemu??kannya!" "Apa?" tanya Suherman. Ia bingung oleh perubahan
nada bicara Somawinata. Tetapi setelah melihat ke arah mana pandangan
Somawinata tertuju, Suher?man kemudian mengerti.
Apalagi setelah melihat teman bicaranya tampak ber?


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

konsentrasi penuh dengan sepasang matanya menatap
lurus dan tajam ke bong?kah batu besar di tengah air
kali, beberapa meter jaraknya dari tempat mereka ber?
diri. "Sekarang. Bergeserlah!" Somawinata kembali ber?
gumam dalam bisikan tajam.
Suherman tidak bergeser di tempatnya. Tahu pada
siapa Somawinata berbicara, ia ikut memusatkan per?
hatian ke bongkah batu dimaksud.
Dan tampak?lah batu hitam besar itu seperti ber?
geser pada tempatnya di tengah air kali, lantas per?
lahan-lahan bergerak terangkat ke satu sisi. Se?belum
162 9/25/2013 8:42:38 AM batu raksasa itu terangkat seluruhnya, Soma?winata
sudah bergerak dengan cepat. Sangat cepat. Karena
begitu kakinya melompat dari tanah tem?patnya
berpijak, tubuh dukun renta itu sudah melayang ke
tengah kali. Lalu setiba di batu hitam besar yang
masih bergerak terangkat itu, tangan Somawinata
dengan cepat pula menghunjam ke bawah permukaan
air. Sambil tubuhnya kemu?dian ber?putar dan berbalik
melayang ke tempatnya se?mula.
Pada saat batu hitam besar di tengah kali ber?gerak
terguling dengan keras serta mencipratkan air kian
kemari, sang dukun sudah menginjakkan kakinya
kembali di pinggir kali. Tepat di sebelah Suherman
berdiri memperhatikan. Di tangannya yang tadi meng?
hunjam ke dalam air, sudah tergenggam batu lainnya.
Batu sebesar kepalan tinju, yang tampak basah kuyup
serta hitam berlumut. Selagi Suherman masih takjub, Somawinata menatap
tajam ke bongkah batu dalam genggamannya lalu
berbicara dengan senyuman membujuk, "Nah.
Keluarlah sekarang. Dari tempatmu bertapa!"
Untuk sesaat, batu yang dilihat oleh Suherman
tetaplah batu ada?nya. Benda mati yang diam tak be?
reaksi. Tidak demikian halnya dengan So?mawinata
yang senyumannya kemudian melenyap.
Lantas mendengus gusar, "Hm. Kau harus dipaksa
agaknya." Meluruskan tegaknya dan berkonsentrasi kembali,
i-Kolam Darah.indd 163 163 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 164 Somawinata mencengkeramkan jemarinya ke bong?kah
batu yang ia genggam, sambil bibir tuanya komatkamit merapal mantra. Dan perlahan tetapi pasti,
bong?kah batu di?maksud mulai berderak retak lalu
pecah menjadi beberapa kepingan kecil bahkan se?bagi?
an lantas memasir serta jatuh berguguran ke tanah.
Dan, di antara serpihan pasir yang masih tersisa
di telapak tangan Somawinata, tampaklah sesosok
makhluk kecil yang menggeliat ribut bahkan tampak
meloncat-loncat seperti putus asa. Berusaha melari?
kan diri. Tetapi pada loncatan terakhir dari udang
batu tersebut, Somawinata sudah keburu memper?
gunakan telunjuk serta ibu jari tangan lainnya un?
tuk me?nerkam lalu menjepit. Se?telah itu udang
yang meng?gelepar-gelepar di antara jepitan jemari?
nya ia sodorkan ke arah Suherman sambil berkata
me?me?rintah. "Ambil cepat dan makanlah!"
"Tetapi..." "Jangan menunda waktumu, anak muda!" timpal
Somawinata tak sabar. "Atau kekuatan gaib dari
udang pertapa ini akan keburu sirna."
Tanpa berpikir panjang lagi, Suherman cepat
mengambil alih udang dimaksud, yang cepat pula di?
masukkan ke mulut, dikunyah-kunyah lalu ditelan
dengan wajah memperlihatkan perasaan mual. Diawasi
dengan tersenyum oleh Somawinata.
Sesaat Suherman tampak diam. Bibir?nya su?dah ter?
164 9/25/2013 8:42:38 AM buka untuk berkomentar, mana?kala wajah Suherman
tampak mengernyit sakit sambil kedua telapak tangan?
nya cepat mendekap ke perut. Tampak ber?gemetar
sakit, kedua lutut Suherman kemudian tertekuk dan
membuat Suher?man seketika jatuh berlutut sambil
sekujur tubuhnya tampak gemetar semakin hebat.
Sepasang matanya pun membelalak-belalak liar seperti
o?rang kesurupan. Dengan mulut terbuka tanpa suara,
seakan menderita sesak napas yang tak kurang hebat?
nya. Bukannya mendekat untuk membantu, Somawinata
malah surut menjauh beberapa langkah sambil tampak
siaga. "Kau!" Suherman akhirnya mampu juga berbicara.
De?ngan wajah tampak berubah pucat oleh kemarahan.
"Kau meracuni aku rupanya. Kau, tua bangka ter?
kutuk!" "Itu tidak benar," Somawinata menggeleng di tem?
pat?nya berdiri mengawasi, serius. "Apa yang kaurasa?
kan sekarang ini, tak lebih merupakan reaksi dari..."
"Kau akan kuhajar habis untuk perbuatanmu!"
Suherman menyela dalam jeritan marah. Dan di?dorong
oleh kemarahannya yang luar biasa, Suherman pun
melompat tegak. Sekaligus menyerbu ke depan. De?
ngan tinju yang terarah lansung ke wajah Somawinata.
Sang dukun yang sudah siaga cepat menghindar dan
mem?biarkan tubuh Suherman melewati dirinya. Serbu?
an Suherman yang gagal menyebabkan dirinya terus
i-Kolam Darah.indd 165 165 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 166 ter?dorong ke depan dengan tinjunya yang terke?pal
meng?hantam pohon terdekat di belakang Soma?
winata. Akibatnya, mengejutkan. Bukannya kesakitan"walau sempat meringis,
Suherman malah dibuat takjub alang kepalang ketika
kepalan tinjunya langsung mengeluarkan si?nar merah
darah begitu menghantam batang pohon dimaksud.
Dan membuat kulit pohon tersebut tampak ikut me?
merah. Lalu ketika dengan terkejut Suherman ber?gerak
mundur, tampaklah sinar merah lenyap me?ninggalkan
lubang menganga hitam serta me?nge?luar?kan asap
hitam tebal pada batang pohon yang untuk sesaat
tampak dibuat bergetar. "Apa?" desah Suherman takjub memandangi lubang
hitam menganga be?kas ia tinju pada batang pohon
yang akhirnya berhenti bergetar. Lalu ganti mengawasi
kepalan tinjunya yang tidak menimbulkan rasa sakit
serta juga tidak menimbulkan luka memar apalagi
luka berdarah sedikit pun juga.
"Aku"punya kekuatan gaib seperti itu?"
"Maafkan, Nak Herman." Somawinata menggeleng
tersenyum. "Tetapi apa yang terjadi barusan, tak lebih
dari sebuah pertanda!"
"Pertanda?" "Benar." Somawinata mengangguk tenang. "Dari
Nyi Katon Pemikat!" "Leluhurku," desah Suherman tak percaya.
166 9/25/2013 8:42:38 AM "Sekali lagi, benar. Dan jika kau tak percaya, sila?
kan mencoba sekali lagi. Hanya saja, jangan salahkan
aku jika buku jemari tanganmu nanti?nya retak pa?
tah!" Penasaran, Suherman mengawasi kepalan tinjunya
ke?mudian ganti mengawasi batang pohon di hadapan?
nya. Tampak seperti ingin menguji, namun cepat di?
batalkan. "Baiklah?" ia kemudian mengeluh. Kecewa. "Lan?
tas pertanda apa yang Aki maksud?"
"Bahwa alam gaib"atau persisnya, roh leluhurmu,
sudah mendengar dan siap membantu kita. Untuk
men?jawab pertanyaan yang membingungkan itu."
"Pertanyaan?" "Pesan gaib leluhurmu satunya lagi?" angguk
Soma?winata. Sambil wajahnya tampak berubah mu?
rung. "Darahnya. Yang harus disatukan ke sosok?
nya!" Suherman manggut-manggut mengerti.
"Hm, begitu. Lantas, udang yang tadi kau sebut
udang pertapa. Mengapa harus aku yang memakan
dan dibuat tersiksa karenanya. Bukan Aki?"
"Karena hanya darah keturunan Nyi Katon saja
yang mampu menyerap kekuatan gaib pada darah
makhluk yang menjadi menu utama dari leluhurmu
itu...!" "Menu utama?" "Benar," jawab Somawinata sambil wajah tuanya
i-Kolam Darah.indd 167 167 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 168 tampak semakin murung. "Yang pada akhirnya, men?
datangkan bencana." "Bencana apa?" "Kematian. Serta kutuk yang kemudian menimpa.
Ter?masuk pada diri kita berdua sekarang ini!"
"Oh?" "Kau duduk dan beristirahatlah. Sambil aku men?
ceritakan musibah apa yang waktu itu terjadi."
Suherman menurut. Duduk diam di tanah. Sambil menyimak.
168 9/25/2013 8:42:38 AM 19 PENGKHIANATAN, Itulah yang pada sore hari yang sama didengar
Agus dari mulut orang lainnya. Yakni Nyi Imas, ke
rumah siapa Agus diantarkan oleh Hindarto se?belum
sahabatnya itu kembali ke kantor untuk melaksanakan
tugas-tugas rutinnya sebagai abdi negara.
Perempuan tengah baya dan hidup menjanda itu,
tinggl di rumah kecil sederhana yang terletak
menyendiri di kaki bukit. Masih di lingku?ngan pe?
rumahan para pemetik teh. Namun baik rumah mau?
pun bidang tanah di mana rumah itu dibangun, su?
dah menjadi milik pribadi Nyi Imas sebagaima?na para
pemetik teh senior lainnya yang telah mengabdikan
diri dengan setia di perkebunan teh Anggadireja se?
lama lebih dari 25 tahun.
Begitu membuka pintu dan melihat siapa tamu
i-Kolam Darah.indd 169 169 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 170 yang berdiri di hada?pannya, Imas langsung mendesah.
Lega, "Den Agus, bukan?"
Selagi Agus dibuat heran karena dirinya langsung
dikenali oleh tuan rumah, Imas cepat menam?bahkan.
"Saya ikut hadir pada waktu tahlilan menghormati
jenazah almarhum juragan Suharyadi. Dan anaknya"
Neng Rani, sempat membisiki saya. Bahwa Aden ini
adalah anak almarhum juga. Anak angkat kalau tak
salah. Mari, silahkan masuk!"
Dan sambil mengiringkan tamunya masuk, tuan
rumah menyatakan penyesalannya karena tidak ikut
hadir pada waktu pemakaman.
"Karena begitu mendengar Den Rudi telah jatuh
pula sebagai korban, saya benar-benar tak bisa tidur.
Saking takut." "Takut apanya, Nyai?"
"Penyebab kematian anak beranak yang malang
itu," jawab tuan rumah, lirih dan tampak pucat.
"Untuk itulah Aden datang menemui saya, bukan"
Me?nanyakan seluk beluk keris Nagapati. Yang saya
yakini, adalah senjata pem?bunuh mereka berdua..."
"Duplikat Nagapati persisnya..." Agus mengiyakan,"
Setidak-tidaknya itulah yang saya dengar dari ayahku,
Pak Ardi. Yang katanya membeli keris itu dari
Nyai!" Sebetulnya bukan hasil transaksi jual-beli, demikian
tuan rumah menje?laskan sewaktu menghidangkan
minuman untuk tamunya. Semangkuk besar wedang
170 9/25/2013 8:42:38 AM jahe, plus hidangan tambahan berupa ketela rebus
dengan bumbu parutan ke?lapa muda serta gula aren.
Selera Agus langsung terbangkit meski baru saja
ditraktir makan siang oleh sahabatnya, Hindarto. Tak
pelak lagi Agus langsung mencicipi hidang?an yang
mengundang selera itu dengan nikmat, sambil men?
dengarkan tuan rumah meneruskan pembicara?annya.
"Sewaktu suami saya meninggal tempo hari," demi?
kian Imas menjelaskan. "Suami Neng Rani datang
melayat didampingi Pak Ardi. Den Herman secara
kebetulan melihat keris Nagapati itu di sana." Imas
menunjuk ke salah satu bidang dinding bilik di mana
tersimpan dua tiga keris antik dengan model berbeda
satu sama lain. "Den Herman langsung terkejut dan
tampak jelas sangat ingin memilikinya!"
"Kang Herman?" tanya Agus heran, "Bukan ayah?
ku?" "Memang ayahmulah yang kemudian menawarnya,"


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawab Imas polos. "Teta?pi itu setelah dibisiki oleh
suami Neng Rani!" "Oh. Lantas?" "Sepeninggal suami saya, saya takut untuk tetap
menyimpan keris itu. Ma?ka keris itu pun langsung
saya serahkan pada mereka. Dan suami Neng Rani
me?maksa saya untuk menerima sejumlah besar uang.
Katanya, sebagai imbal jasa. Karena saya telah meng?
gembirakan hati pelayan setia keluarga mere?ka, Pak
Ardi." Diam merenung sejenak. Imas kemudian me?
i-Kolam Darah.indd 171 171 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 172 nambahkan, murung. "Dan kini saya benar-benar
me?nyesal telah melepaskan keris itu ke tangan orang
yang tadinya saya anggap lebih berhak untuk me?
nyimpannya!" "Lebih berhak. Pak Ardi, ayahku?" tanya Agus.
Kem?bali heran. Tuan rumah cepat menggeleng. "Den Herman. Dia
adalah suami Neng Rani. Yang berarti, dia juga ter?
masuk pewaris, bukan?"
"Nanti dulu, Nyai." Agus cepat menyela bingung.
"Pewaris bagaimana mak?sud Nyai" Bukankah keris itu
tak lebih dari duplikat yang dibuat mirip dengan
aslinya?" "Itulah yang membuat saya takut, Den Agus,"
Tuan rumah memberitahu, li?rih dan terdengar ber?
gemetar. "Sesungguhnyalah, keris yang saya dengar
sudah di?hilangkan oleh Pak Ardi itu adalah keris asli.
Nagapati, kebanggaan kakek buyut angkatmu. Juragan
Besar Anggadireja!" Sepasang mata orang yang dibicarakan Imas"pada
waktu sama, tam?pak menatap lembut dari kanvas
lukis?an di atas tungku pendiangan rumah perkebunan.
Me?natap tenang ke arah Ardi yang memasukkan
keping kemenyan tambahan ke dupa menyala di
hadap?annya dengan tangan yang gemetar. Setelah itu
Ardi ganti menatap tengadah ke lukisan tersebut,
seraya berbicara dengan suara gemetar.
172 9/25/2013 8:42:38 AM "Darahmu. Supaya disatukan dengan sosokmu.
Bagai?ma?na dan untuk apa semua itu harus saya laku?
kan, Juragan Besar" Dan apakah mungkin firasat saya
juga benar. Bahwa Nyi Katon Pemikat"seperti juga
rohmu, sudah bangkit dari kubur?"
"Dan leluhur perempuanmu itu?" Somawinata
ber?kata pada Suherman di tempat yang jauh terpisah
dari rumah perkebunan. "Benar-benar sangat terhina.
Bukan saja karena telah diusir semena-mena. Melain?
kan juga, karena bayi dalam kandu?ngannya tidak lagi
diakui anak oleh Anggadireja. Yang balik menuding,
bahwa jabang bayi dalam kandungan Nyi Katon
adalah anak sanggama setan!"
Bak alam sudah mengatur, pembicaraan Somawinata
berlanjut dalam rumah sederhana di kaki bukit.
Melalui mulut Nyi Imas, ?"Tudingan itu mem?buat
Nyi Katon marah besar. Saking marahnya, pada saat
itu juga langsung menggempur Juragan Besar
Anggadireja. Lupa, bahwa suaminya yang tuan tanah
itu adalah juga seorang pertapa!"
"Apa yang kemudian terjadi?" tanya Agus tak sabar
se?waktu tuan rumah diam merenung beberapa saat
lama?nya. "Adu kekuatan gaib, tentu saja!"
Pada mulanya, demikian ucap Nyi Imas, Anggadireja
de?ngan gundik kesayangan?nya yang bernama Nyi
Katon Pemikat itu hanya saling gempur dengan meng?
i-Kolam Darah.indd 173 173 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 174 andalkan tenaga dalam masing-masing. Yang tidak satu
pun mencederai lawan, maklum diam-diam masih
saling mencintai satu sama lain. Namun nafsu ama?rah
ter?utama dari pihak sang gundik akhirnya tak terken?
dalikan juga. Dan setelah gempuran awal mereka hanya me?
nimbulkan kerusakan berat pada ta?nah atau pepohon?
an di sekitar mereka, suami-istri yang sudah sama-sama
dirasuki amarah itu kemudian saling me??nge?luar??kan
senjata ajian masing-?masing. Nyi Katon de?ngan se?
lendang pembalut pinggang yang di tangannya dapat
berubah-ubah wujud menjadi pedang lalu kemudian
ular besar pan?jang menyerupai naga yang menyambarnyambar liar dengan semburan api dari moncongnya
yang menganga. Dan sang suami dengan keris
Nagapati yang langka ia pergunakan kecuali dalam ke?
adaan terpaksa. Maklum, selain ber?ubah-ubah wujud,
da?lam setiap serangannya selendang Nyi Katon sekali?
gus juga mampu menyemburkan racun mematikan,
yang hanya dapat ditangkal oleh keampuhan keris
Nagapati. Siapa nyana dari semula hanya saling bergerak
meng?hindar dan menangkal serangan, pada suatu saat
yang membuat dirinya tersudut, sang suami kelepasan
ilmu yang ia salurkan sepenuhnya ke keris yang ter?
genggam di tangan. Aki?batnya mengejutkan. Bukan
ha?nya selendang yang menjadi senjata penyerang di?
buat robek bahkan hancur menjadi serpihan-serpihan
174 9/25/2013 8:42:38 AM tak berarti. Tetapi juga membuat si empunya selen?
dang terlempar melayang ke tengah sungai di dekat
mana mereka bertempur. Konon, saking kaget oleh serangan pamungkas dari
sang suami, Nyi Katon tak bersiap diri. Tak pelak lagi
saat jatuh dari melayangnya, yang lebih dahulu tiba
pada batu raksasa di tengah sungai adalah kepala Nyi
Katon yang membentur sedemikian keras. Dan mem?
buat Nyi Katon langsung tercebur sekarat di tengah
arus sungai yang kemudian menyeret tubuhnya sam?
pai kembali membentur batu lainnya sebelum berhasil
diraih oleh sang suami yang berenang mengejar.
"Kau tak seharusnya nekat, Nyai!" Anggadireja ber?
kata memelas seraya berjuang menyelamatkan sang
gundik kesayangan ke tepi sungai.
Jawaban yang didengar oleh si pendiri perkebunan,
bukanlah penyesalan yang sama melainkan sumpah
serapah yang dilontarkan dengan sepenuh ama?rah.
"Terkutuklah kau, Anggadireja. Kau akan lihat
suatu hari kelak rohku serta roh anakmu dalam
kandung?anku"akan bangkit. Mencari lalu mengambil
rohmu atau roh keturunanmu untuk kuperbudak"
lalu kupersembahkan kepada setan..."
Terkejut, sang suami memohon agar sang gundik
kesayangan mencabut kutukannya. Sambil secara tak
sadar melontarkan kutukan pula, "Atau akulah kelak
yang akan menjadikan rohmu atau roh keturunanmu
menjadi abdi nera?ka jahanam!"
i-Kolam Darah.indd 175 175 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 176 Tak ada sahutan. Tak ada kutuk yang dicabut.
Karena Nyi Katon sudah keburu mengembuskan
napas terakhir. Dan sesuai aturan alam gaib yang
berlaku abadi, sumpah yang terlanjur terucap akan
terbawa sampai ke alam kubur, tak mungkin dicabut
lagi. "Semua berawal dari pengkhianatan..." kata Nyi
Imas seraya menghidupkan lampu petromaks dibantu
oleh Agus karena tanpa mereka sadari selagi mereka
bercerita waktu terus saja berlalu.
"Dan yang berkhianat?" tanya Agus setengah per?
caya setengah tidak oleh cerita yang ia dengar. Sambil
menggantungkan petromaks ke tempat yang ditunjuk
oleh tuan rumah. "Pertama-tama, tentu saja Nyi Katon," jawab tuan
ru?mah dengan mata menerawang. "Yang ketika dijadi?
kan gundik lalu dinikahi Juragan Besar, tidak mem?
beritahu bahwa dirinya adalah keturunan penyihir.
Misteri Kaca Kaca Remuk 2 Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen Kaki Tiga Menjangan 10

Cari Blog Ini