Ceritasilat Novel Online

Takhta Bayangan 4

Takhta Bayangan The Shadow Throne Karya Jennifer A. Nielsen Bagian 4


Aku memberinya isyarat untuk mengikutiku ke tempat yang lebih sunyi, dan di sana menjelaskan apa yang dikatakan Napas Anyir, dan tentang ketidakhadiran raja Avenia. Semakin lama dibicarakan, aku semakin yakin ada yang sangat salah. Vargan menginginkan Drylliad, tentu saja, tetapi dia mengirimkan Mendenwal untuk tugas itu. Dia tidak akan peduli siapa yang hidup atau mati dalam pertempuran karena kota ini bukanlah tujuan utamanya.
"Komandan yang baru saja berbicara denganku percaya Vargan ingin menangkapmu kembali," kata Roden.
"Yah, tidak akan. Aku sudah cukup kenyang berurusan dengan Vargan dalam hidup ini."
Ada kesunyian lagi, lalu Roden berkata, "Berapa banyak dari percakapanku tadi yang kaudengar?"
"Dari saat dia bertanya apa kau dapat memenangi perang ini. Kenapa?"
"Dia mengatakan sesuatu sebelum itu, yang takkan kau sukai.
"Apa itu?" Roden menarik napas, dan cukup lama sehingga aku tahu beritanya pasti buruk. "Fink berhasil mencapai Bymar. Dia yang membuat tentara mereka berada di sini untuk bertempur.
"Ya, aku tahu itu. Dia pergi atas perintah Amarinda."
"Setiap hari sejak kembali dari bajak laut, Fink merecokiku untuk melatihnya bertarung dengan pedang. Aku akhirnya memberinya pedang kayu dan memberitahunya agar kembali ketika dia lebih berotot."
"Ada apa dengan Fink?" Aku tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran dalam suaraku, atau meredakan rasa panik yang muncul dalam diriku.
"Menurut komandan itu, Fink sedih mendengar kematianmu, tetapi berkata kepada semua orang bahwa itu tidak mungkin benar. Jadi, dia pergi kembali ke Avenia sehingga dia dapat mencarimu sendiri. Mereka percaya dia tertangkap di perbatasan. Tidak seorang pun mendengar kabarnya sejak itu." Roden mendesah. "Aku seharusnya mengajarkannya menggunakan pedang."
"Mereka akan membuat Fink bicara," kataku. "Dan dia akan membawa mereka ke Danau Falstan. Bagi Fink, itu tempat satu-satunya yang diketahuinya yang ada dalam rencanaku. Vargan menginginkanku dan dia menduga akan menemuiku di sana."
Ketika aku mulai berlari menjauhinya, Roden berkata, "Jika Vargan ingin menemukanmu di Danau Falstan, kau seharusnya tidak pergi ke sana."
"Oh ya," aku merespons. "Di sanalah tepatnya dia akan menemukanku."
BAB 28 SEBELUM pergi ke Danau Falstan, Mott, Roden, dan aku menyusun rencana. Mott dan aku akan langsung pergi dan tiba di kamp Falstan sebelum fajar. Sementara itu, Roden akan membawa pasukannya ke timur untuk mencari pertempuran di tempat lain. Tidak diragukan, dia akan menemukannya.
Mott berargumen bahwa aku seharusnya tidur malam ini dan kami akan mulai besok pagi dengan segar, tetapi aku memberitahunya mustahil bagiku untuk tidur, jadi hal itu tidak akan ada gunanya. Lagi pula, karena negeriku terus dipenuhi oleh tentara musuh, aku percaya kami lebih aman berjalan di bawah lindungan kegelapan.
Perjalanan ke kamp Falstan tanpa suara dan memerlukan waktu lebih singkat daripada yang kuantisipasi. Komandan yang menyambut kami terlihat sangat mirip dengan Mott, kecuali rambut panjang berkepangnya yang sampai setengah punggung. Dia berkata Mendenwal terus berkemah di dekat sana, tetapi meyakinkanku bahwa tidak ada tanda-tanda Avenia di mana pun di daerah situ. Setidaknya untuk sekarang, semua tenang.
"Aku tidak salah tentang hal ini," aku berkata kepada Mott
sementara komandan membawa kami ke arah tenda-tenda. "Avenia akan datang."
"Avenia mengirim Mendenwal untuk melakukan pekerjaan sulit dalam pertempuran kemarin," kata Mott. "Mungkin dia akan melakukannya lagi di sini."
Komandan melangkah maju, "Raja, Anda terlihat lelah. Sebuah tenda telah disiapkan bagi Anda, dan kami menduga tidak akan ada masalah malam ini."
"Tolong tidurlah," Mott berkata. "Besok akan lebih baik kalau kau dapat menghadapinya dengan kepala jernih. Lagi pula," dia menambahkan begitu aku mulai menentang, "aku tidak bisa tidur kalau kau tidak tidur, dan aku juga sangat lelah."
Aku tidak yakin apakah bisa tertidur, namun pada saat itu aku mau mencoba melakukannya. Nyeri dan pedih dari pertempuran telah kurasakan dan bahkan menunduk memasuki tenda terasa seperti pekerjaan yang mustahil. Aku ambruk di dipan dengan pakaian lengkap dan pulas sebelum Mott pergi.
Aku tidur nyenyak sampai cahaya pertama muncul, ketika aku terbangun dan harus bekerja. Pertama-tama aku mengganti jaket dari Dawn yang kotor karena bertempur, dengan kemeja bertali abu-abu dan ikat pinggang bagi senjata-senjataku. Kemudian setelah makan hidangan yang lezat, aku pergi sendirian untuk meninjau daerah itu, dan akhirnya mendapati diriku di tempat yang menghadap ke Lembah Falstan. Jauh di bawahku, Sungai Roving bermuara di lembah ini, menciptakan danau luas yang indah. Yah, dulunya indah.
Sungai Roving berasal di suatu tempat di pegunungan Gelyn dan mengalir ke selatan melalui Carthya, memasok air bagi sebagian besar rakyat kami. Sungai yang sama ini mengalir di belakang Farthenwood, dan aku terbaring di sana setelah berpacu liar dengan salah satu kuda Conner yang belum terlatih. Juga tempat aku mengakui identitasku yang sebenarnya kepada Mott. Dawn dan para wanita di Drylliad sekarang menjaga sungai ini dekat tembok-tembok istana.
Ketika meninggalkan Drylliad, Sungai Roving perlahanlahan memotong bumi lebih dalam, meninggalkan tebing ngarai yang tinggi di kedua sisinya. Aku berdiri salah satu tebing itu sekarang, tidak jauh dari perkemahanku.
Danau Falstan, dan lembah yang mengelilinginya, dinamai dari seorang penjelajah terdahulu di wilayah ini. Dia berkomentar dalam buku hariannya tentang pemandangan indah ketika melihat air biru sejuk di danau. Rakyat kami menikmatinya sejak saat itu, aku juga punya banyak kenangan akan berayun ke dalam air dari tali yang digantung dari beberapa pohonpohon yang tinggi di tepiannya.
Namun selama lebih dari sebulan, dasar danau ini kering. Yang melewati dasar danau yang berlumpur kering sekarang hanya sejalur tipis air sungai, hanya bayangan pucat dari apa yang ada sebelumnya.
Danau Falstan masih ada, atau setidaknya, air dari danau masih ada. Namun alih-alih danau yang lebar dan dalam, airnya terkumpul di ngarai di belakangku, terjebak di balik dinding terjal bebatuan, gelondong-gelondong kayu, dan lumpur. Bersama dengan naiknya air, demikian pula bendungan puingpuing itu. Sekarang hampir sama tinggi dengan tebing tanah di bawah kakiku. Dari arahku, kelihatannya seperti seluruh sisi bukit di suatu tempat di hulu telah runtuh dan puing-puingnya menyumbat di sini.
Seperti yang diindikasikan komandan tadi malam, Avenia tidak terlihat di mana pun, tetapi Mendenwal bercokol dalam kamp mereka sendiri tidak jauh dari dasar danau yang lama. Para tentara dari kamp itu punya cukup air untuk masak dan minum, serta untuk mempertahankan binatang-binatang mereka. Tersisa sedikit. Jelas tidak ada cukup air bagi mereka untuk mandi, dan aku berharap bau begitu banyak tentara yang berkeringat dan kotor itu mencekik mereka. Aku sendiri tidak berada dalam posisi untuk menghakimi. Setelah begitu banyak pertempuran dan jarak berkilo-kilometer jalan berdebu di antaranya, aku sendiri perlu mandi. Sekarang aku yakin bauku bahkan bisa membuat iblis-iblis tersinggung, suatu pencapaian yang tak bisa dikatakan kecil.
Mendenwal pasti tahu kamp kami ada di sini, meski demikian, mereka tidak menyerang. Mengapa" Mungkin mereka menunggu Vargan dan pasukannya. Aku heran mereka mau menunggu. Mendenwal memiliki ribuan orang di sini, jauh lebih banyak daripada yang kutemui dekat Drylliad. Tentunya mereka menyadari jumlah kami yang lebih sedikit dan melihat keunggulan mereka.
Dari apa yang dapat kusimpulkan, Mendenwal memadatkan pasukan mereka ke dalam beberapa tempat setengah terlindung yang hampir mustahil bisa ditembus pasukanku. Mereka berada di dekat dasar danau yang kering, tetapi dikelilingi lerenglereng curam. Jauh bagi kami untuk mencapainya dari selatan dan menyerang dari atas lereng. Dan aku yakin jalan menuju kamp mereka dijaga sangat baik sekiranya kami mencoba untuk langsung memasukinya. Satu-satunya cara untuk mengalahkan mereka adalah memancing mereka keluar. Aku punya ide untuk melakukannya.
Setelah meninjaui daerah itu dengan hati-hati, aku kembali ke kamp dan mengadakan rapat dengan Mott, Tobias, dan Amarinda, serta pemimpin-pemimpin militerku. Kami mendeskripsikan semua yang kami lihat dalam pertempuranpertempuran kami, dan mereka menceritakan kisah-kisah yang mirip dengan kesulitan mereka. Yang kami diskusikan hanya sedikit yang menggembirakan.
Mott berbagi pesan yang datang dari Drylliad tadi pagi, pertempuran kami kemarin yang jaraknya begitu dekat telah membuat ibu kota kacau.
Seperti yang kami duga akan dibutuhkan, Harlowe telah membuka penjara bagi siapa saja yang bersumpah untuk membela negara. Tetapi dengan kekacauan di kota, satu tahanan yang tidak ditawari kesempatan utuk bertempur tetap melarikan diri.
"Conner," desahku. "Di mana Conner?"
Tentu saja, tidak seorang pun di sini dapat menjawabku, tetapi ketidakhadirannya membuatku cemas. Apalagi karena aku tahu Conner berkomunikasi dengan Vargan. Aku tidak punya waktu untuk bertanya-tanya ke mana dia pergi, tetapi aku jelas salah karena tetap membiarkannya hidup selama ini. Aku membenci pemikiran bahwa dia bebas di dunia, mungkin tidak akan pernah tertangkap lagi, dan jelas sedang berusaha membuat lebih banyak kehancuran.
Mott hanya mengangkat bahu merenspons pertanyaanku. Dan tidak ada yang tahu kabar Fink, yang sama mengganggunya bagiku.
Kemudian kami mendiskusikan banyaknya tentara Mendenwal yang berkemah di dekat situ dan komandanku percaya bahwa mereka sedang bersiap untuk menyerang. Walaupun aku ingin menunggu Avenia, vital bagi kami untuk menyerang lebih dahulu, sebelum Mendenwal bergerak. Jadi dengan peta daerah itu tersebar di atas meja dalam tendaku, aku memberikan perintah kepada para letnanku. Tetapi ekspresi suram di wajah mereka sangat jelas menunjukkan keengganan untuk menjalankannya, dan dalam cara yang jelas dan penuh respek, beberapa dari mereka bahkan menyatakan kekhawatirankekhawatiran tertentu. Sayangnya, tidak ada yang salah dari apa yang mereka katakan. Kami memang mempertaruhkan banyak hal, dan juga bergantung terlalu banyak pada keberuntungan untuk membawa kami menuju kemenangan. Kepercayaan diri yang kurasakan dari awal menjadi goyah karena argumen-argumen mereka.
"Apakah keraguan akan menjadi musuh kita sekarang?" aku bertanya kepada mereka. "Karena keraguan akan mengalahkan kita jauh lebih cepat daripada pasukan mana pun. Tidak ada rencana yang sempurna, tetapi tidak ada alasan untuk menyerah. Kecuali ada yang punya pilihan yang lebih baik, kita akan maju seperti yang direncanakan." Dan berharap agar aku tidak membawa pasukanku menghadapi kematian mereka.
Salah satu letnanku mendekat maju. "Rajaku, kami akan mengikutimu sampai akhir. Tetapi kami melihat jumlah mereka. Dengan perhitunganku, kita kalah jumlah setidaknya lima banding satu."
Aku bersandar di kursiku dan tersenyum, "Hanya lima banding satu" Kita bisa mempertimbangkan untuk mengirim pulang setengah dari pasukan kita, kalau begitu, agar tidak mengintimidasi musuh kita."
Tawa gelisah tersebar di antara kelompok itu dan cengiranku melebar. Aku tidak dapat memperlihatkannya, tetapi sebenarnya, aku sama cemasnya dengan mereka terhadap pertempuran yang akan datang. Mungkin lebih.
Pada saat itu kami sudah tiba di pengujung rapat yang sangat panjang, dan aku lelah. Aku jauh lebih kuat sejak melarikan diri dari kamp Avenia, tetapi pertempuran kemarin itu berat dan besok akan menuntut lebih banyak lagi dariku. Hanya tidur sebentar malam sebelumnya, beban dari semua yang kutanggung di pundak terasa melelahkan. Aku memberi tanda sedikit agar semua orang pergi ketika Mott menyapu mereka ke luar seakan mereka membawa wabah.
"Kau perawat raja yang ideal," kataku kepadanya. "Membelaku dengan pedang di satu tangan, dan menggunakan tangan satunya untuk menyelimutiku di di ranjang untuk tidur siang."
Mott tersenyum. "Membelamu membutuhkan kedua tangan. Jadi kau boleh menyelimuti diri sendiri di tempat tidur, atau melakukan apa saja yang dibutuhkan untuk tidur."
"Bagaimana bisa?" Wajahku muram, dan aku merasakan desakan untuk berdiri dan mondar-mandir. "Bahkan jika semua berakhir dengan baik besok, kita berdua tahu bahwa Avenia masih berada di suatu tempat di luar sana."
"Lalu apa yang dapat kulakukan?"
"Carikan aku lima orang untuk malam ini," kataku. "Orang yang bisa memanjat."
Alis Mott terpaut. "Jaron, kau belum bisa memanjat sejak kakimu terluka."
"Aku tidak pernah bilang aku akan memanjat. Sekarang carikan aku lima orang. Dan ingatkan yang lain agar menggunakan hari ini untuk beristirahat. Kita akan bergerak sebelum fajar menyingsing."
Dia memberiku hormat, lalu pergi dari tenda. "Aku akan mencarikan orang-orang yang kauminta, kalau kau mau beristirahat."
Aku berbaring sebentar, tetapi tidak tidur, lalu bangun dan makan sedikit sambil mempelajari peta daerah itu. Kamp ini lebih tinggi, sulit bagi Mendenwal untuk melancarkan serangan mendadak terhadap kami, tetapi bukannya hal itu mustahil. Ada jalan sempit dan terjal yang mengarah langsung dari kamp ke punggung bukit di atas mereka. Mungkin tidak bisa menanggung seluruh pasukan, tetapi itu adalah rute cepat ke kamp kami.
Aku mempertimbangkan untuk bergabung dengan yang lain di luar untuk mendiskusikan hal itu, tetapi Mott akan mengomeliku karena tidak tidur, dan aku tidak ingin itu terjadi.
Besok akan menjadi hari yang sangat penting. Aku benarbenar berharap tidak akan menyesalinya.
Seperti yang diminta, lima prajurit tiba di tendaku malam itu tidak lama setelah gelap. Aku berhasil tidur sebentar dan merasa siap menghadapi apa yang akan terjadi. Sepelan mungkin, aku menjelaskan apa yang kubutuhkan dari mereka masing-masing dan bahaya besar yang terkait, lalu menyilakan kalau-kalau ada yang ingin mengundurkan diri. Tak seorang pun menerima tawaran itu, yang menambah kebanggaan terhadap keberanian pasukanku. Namun sebelum kami pergi, aku membatalkan dua orang dari mereka. Satu karena aku tahu dia punya keluarga muda di rumah, dan yang satunya memijat pergelangan tangannya diam-diam. Apa pun yang menyebabkan rasa tidak nyaman itu, dia bukan orang terbaik untuk rencanaku.
Aku menunjukkan kepada mereka peti besi-dan-kayu kecil yang dibawa dari Drylliad beberapa minggu sebelumnya, kemudian menyuruh dua orang yang paling kuat untuk membawanya ke punggung bukit yang menghadap ke dasar danau. Sambil berjalan, aku menjelaskan lebih detail lagi risiko-risiko dan tantangan-tantangannya. Jika saja tentara Mendenwal memiliki kecerdasan setara jamur yang membusuk, mereka akan berjaga-jaga atas serangan kami. Jadi walaupun bukit di sisi bendungan terjal dan licin, mereka dapat menuruninya tanpa suara dan dalam gelap, lebih banyak menggunakan akal dan pengalaman mereka yang lalu dengan tebing yang hampir vertikal. Lebih dari itu, mereka harus menurunkan peti berat itu menggunakan tali, lalu menunggu isyaratku untuk menggunakannya.
"Pastikan kalian dapat melakukannya," kataku. "Semua tergantung kalian besok."
Ketiga orang itu berjanji dengan nyawa mereka bahwa mereka akan berhasil. Aku mendapatkan kesetiaan mereka; sekarang aku hanya dapat mendoakan keselamatan mereka. Kami tidak punya kesempatan kedua kalau mereka gagal.
Begitu mereka pergi, aku kembali ke kamp tempat Mott berdiri dengan kepala pasukan, menunggu perintah.
"Berapa banyak orang kita di sini?" tanyaku.
Salah satu dari mereka menjawab, "Hampir seribu, Tuan."
"Kalau begitu aku minta seratus orang yang paling lemah. Dengan sedikit senjata, tetapi di atas kuda."
"Untuk dikorbankan?" kapten yang lain bertanya ragu.
"Sama sekali tidak," sahutku. "Untuk menjadi pahlawanpahlawan Carthya. Mereka akan memenangi pertarungan besok bagi kita. Begitu bulan tinggi di langit, minta mereka bertemu di luar tendaku."
"Bagaimana dengan yang lain?" Mott bertanya.
"Yang lain harus bersiap untuk berkuda. Kita bertempur besok."
Aku bergerak pergi, tetapi Mott mengejarku. "Jaron, rencanamu terdengar ceroboh dan berbahaya. Dan karena aku mengenalmu, mungkin juga mustahil."
"Kedengarannya benar."
Dia terkekeh. "Kau siap dengan apa yang akan datang?"
Aku tersenyum saat meliriknya. "Aku siap. Pertarungan kemarin hanya pengalihan dari rencana Vargan yang lebih besar. Besok, arah perang ini akan berubah."
BAB 29 AKU berhasil tidur sedikit lagi malam itu, walapun aku sudah terbangun ketika penjaga datang untuk memberitahukan seratus orang sudah berkumpul.
Di atas brigandine tebal, aku mengenakan lapisan biru tua berbordir lambang Carthya emas dan dengan lempengan metal dipasang ke kain untuk melindungi lengan dan dada. Mott sepenuhnya tidak setuju dengan pakaian itu. Dia mau aku mengenakan baju zirah lengkap, tetapi terlalu berat bagiku, terutama karena aku masih kurang kuat dibanding sebelum berada di kamp Vargan. Selain itu, aku bukan yang terbesar atau terkuat dalam pertempuran ini. Harapanku satu-satunya adalah menjadi yang tercepat, dan untuk itu, aku butuh perlengkapan ringan. Dan ada berita yang lebih baik, Mott memberitahuku bahwa kudaku, Mystic, telah dikirim ke kamp untuk mengantisipasi kedatanganku. Aku teramat senang karenanya. Mystic mengenalku dengan baik dan akan bekerja sama dengan baik sesuai rencanaku, dibanding kuda lain yang kurang begitu galak. Aku menyuruh Mott pergi untuk mempersiapkan Mystic untuk ditunggangi sementara aku menyelesaikan bersiap-siap. Yang tersisa hanya memasangkan pedangku dan membisikkan permintaan kepada para iblis agar tidak ikut campur dalam rencana-rencanaku.
Kecuali kali ini, kelihatannya tidak cukup, dan ingatanku beralih kepada para santa. Ketika aku masih kecil, para pendeta selalu merengut dan saling bergumam ketika aku memasuki kapel setiap minggu. Terus terang, mungkin itu karena aku jarang melewatkan kesempatan untuk melontarkan lelucon keras-keras kepada kakakku tentang khotbah mereka yang membosankan. Para pendeta berkata aku tidak akan mendapat berkat apa pun dari para santa sampai aku mendengarkan dengan serius, tetapi aku cenderung percaya bahwa para orang suci bosan dengan khotbah-khotbah mereka, sama sepertiku. Lagi pula, aku tidak pernah menganggap diriku sebagai tipe orang yang akan membuat para santa tertarik untuk menolong. Ketika berpikir tentang hari yang akan datang, aku berharap pendapatku salah.
Dalam kesunyian tendaku, aku merefleksikan apa yang pendeta-pendeta itu katakan tentang akhirat. Pemikiran bahwa mereka yang telah meninggal tetap menjadi bagian dari kehidupan kita, selamanya mengawasi kita, menarik bagiku dalam cara yang tidak pernah terjadi ketika aku masih lebih kecil. Dan jika pendeta-pendeta itu benar, Imogen pasti menjadi seorang santa sekarang, demikian juga keluargaku. Para orang suci akan menolongku. Imogen akan membuat mereka menolongku"aku tahu dia akan melakukannya. Jadi untuk pertama kalinya, aku tidak memiliki kekhawatiran akan muslihat para iblis. Aku akan berkuda ke dalam pertempuran di atas sayap-sayap para malaikat.
Ketika melangkah keluar dari tenda, kekang Mystic dijejalkan ke tanganku. Aku menaikinya dan segera melihat Mott sudah di atas kudanya.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku kepadanya.
"Sangat memalukan," katanya. "Ternyata aku adalah salah satu dari seratus orangmu yang paling lemah."
"Bukan." "Kurasa itu benar." Bahkan sambil berbicara, Mott tidak bisa menahan senyum. "Ini sumber rasa malu yang luar biasa, Yang Mulia, dan kumohon kau tidak bertanya lebih lanjut."
Aku terkekeh lagi, kemudian berkuda ke tempat semua orang dapat melihatku. "Kawan-kawanku, apa yang akan kita lakukan bukanlah pertempuran pendahulu-pendahulu kita, atau strategi yang telah diuji waktu. Hal ini belum pernah dilakukan, atau agar adilnya, tidak pernah dikerjakan dengan sukses. Tetapi ini yang akan membuat kita hebat. Kalian akan menceritakannya kepada anak-anak kalian, dan cucu-cucu kalian, mengenai saat ini. Dalam masa tuamu, senyum terakhir di bibirmu adalah kenangan akan apa yang akan kita lakukan sebentar lagi. Komandan-komandan kalian tidak diragukan lagi telah memberitahu kalian bahwa aku ingin orang-orang paling lemah dari pasukan kita untuk berkuda bersamaku di sini hari ini. Bersyukurlah bahwa kalian telah terpilih, karena melalui yang paling lemah, lengan-lengan Carthya yang tangguh akan menggunakan kekuatannya. Teman-temanku, kita berkuda sebagaimana akan selalu dilakukan yang lemah: tanpa suara dan bahkan tanpa menarik perhatian burung yang sedang tidur di jalan kita. Ikuti aku."
Hanya ada beberapa lentera redup menerangi ekspresi muram para tentara, tetapi aku melihat wajah Mott cukup jelas. Dia tersenyum kepadaku dengan tatapan yang pernah kulihat sebelumnya: Dia pikir aku orang terdungu yang pernah dikenalnya, dan berharap hal itu akan menyelamatkan kami semua. Aku juga berharap begitu.
Aku memimpin di sepanjang jalan yang telah kupelajari sebelumnya hari itu. Jalan ini akan membawa kami dari kamp yang mengarah ke lembah, turun ke dasar melalui jalur sempit yang sebagian besar terhalang pepohonan lebat dan semaksemak tinggi. Pada akhirnya akan berakhir tidak jauh dari tempat aku berniat untuk diam menunggu kedatangan Mendenwal.
Kelompok kami bergerak tanpa suara sama sekali. Tentu saja, kuda-kuda menciptakan banyak kegaduhan, tetapi itu biasa saat malam hari di sini, angin berputar di seluruh lembah. Selama kami berhati-hati, suara kami tidak akan terbawa sampai ke kamp Mendenwal.
Saat fajar, aku duduk di punggung Mystic di ujung dasar lembah, berada dalam jangkauan Mendenwal. Mott berada di sampingku dan seratus tentara Carthya yang kurang meyakinkan duduk di atas kuda mereka di belakangku. Kurangnya kemampuan mereka ditutupi oleh postur percaya diri dan keteguhan mereka yang tenang.
Para penjaga Mendenwal melihat kami begitu hari terang dan dengan cepat berkuda kembali ke kamp mereka dengan teriakan tanda bahaya.
"Mereka akan mengumpulkan pasukan mereka sekarang," aku mengumumkan. "Semua bersiap dan tunggulah di sini."
Begitu kelompok pertama dari Mendenwal memasuki dasar lembah, aku berkuda maju, diapit Mott dan pembawa panji, memegang bendera Carthya yang berkibar di angin pagi. Dihiasi lambang keluargaku di atas warna biru dan emas yang selalu menjadi simbol kasih dan keberanian negaraku. Kami berhenti hanya sampai jarak yang dapat didengar satu sama lain, tidak lebih dekat daripada yang diperlukan.
Komandan mereka membawa sepuluh orang di depan bersamanya. Karena aku hanya punya Mott dan pembawa bendera yang nyaris tak bersenjata, kelihatannya rasio 1:5 sebelumnya itu benar. Aku berseru kepada komandan mereka, "Apa yang membawa Mendenwal ke dalam perang melawan Carthya" Kami tidak punya perselisihan dengan kalian."
"Kami datang atas perintah dari Raja Humfrey. Dia punya alasan sendiri."
"Dan kau yakin alasan-alasan itu senilai dengan kematianmu?" Mott berdeham sebagai peringatan bagiku, tetapi aku hanya tersenyum dan meninggikan suara. "Aku tidak bermaksud menyinggung raja kalian, tentu saja, tetapi jelas bahwa kemampuan berpikir telah meninggalkannya. Mungkin kalian sebaiknya membawa pasukan kalian pulang, selagi bisa."
"Kau tidak boleh menghina raja Mendenwal!" teriak komandan.
"Ini bukan menghina. Hanya pengamatan terhadap kenyataan. Satu-satunya alasan Raja Humfrey menyerang negaraku adalah karena dia diancam atau Avenia menjanjikan sesuatu yang terbuat dari emas dan mengilap. Tolong percayailah aku ketika berkata kepada kalian bahwa Avenia tidak akan menepati janji. Mereka menggunakan kalian untuk menghancurkanku, dan selanjutnya akan berbalik pada kalian. Demi kebaikan kalian sendiri, Komandan, aku mendesakmu untuk berkuda pulang secepat kuda sempoyongan kalian dapat membawa kalian." Wajah komandan menegang, hampir membuatku tertawa.
Aku belum pernah dengan sengaja membuat seseorang semarah ini sejak Master Grave mencoba mengajariku huruf-huruf di Farthenwood beberapa bulan lalu, dan rasanya menyenangkan.
Sang komandan memberikan tanda kepada seratus orang yang berada jauh di belakangku. "Apakah itu pasukanmu, Raja Jaron" Kau membawa anak kucing yang paling buas dari negerimu?"
Aku menoleh sebentar kepada mereka. "Kuperingatkan. Anak-anak kucing kami akan mencakar seperti singa. Pasukan di belakangku adalah mereka yang ingin mendapat kehormatan menghancurkan pasukanmu."
"Akan kukirimkan perawatku di sini untuk melawan orangorang itu."
"Sayang sekali kau kurang menghargai perawat-perawatmu. Kami undang mereka untuk menjadi warga negara Carthya. Kau sudah diperingatkan, Komandan. Kami akan mengalahkan seluruh pasukanmu yang berkemah di sini hari ini. Aku serius dengan apa yang kukatakan sebelumnya. Sebagian besar pasukanmu tidak akan selamat. Termasuk kau."
Komandan itu terbahak. "Menyerahlah kepadaku sekarang, Jaron."
"Tidak, kaulah yang seharusnya menyerah kepadaku!" aku berteriak. "Aku bosan dengan pembicaraan ini. Entah kau berjanji untuk meninggalkan Carthya sekarang juga dan tetap hidup, atau pergi dan bawa tentaramu. Aku akan menghabisi beberapa ribu yang pertama sendirian. Mungkin lebih, kalau mereka tak lebih pintar daripada kau."
Sang komandan memandang temannya, yang mendenguskan penghinaannya kepadaku, kemudian dia berkata, "Baiklah, Raja Jaron. Kau telah menetapkan malapetakamu."
"Begitu juga kata orang yang terakhir kukalahkan. Pergilah kalian, kalau begitu! Silakan menghancurkan kami, lakukan dengan cepat! Aku terbangun pagi-pagi dan berharap bisa tidur siang hari ini."
Ketika kelompok Mendenwal itu berderap pergi, Mott menoleh dan berkata, "Kau sudah gila?" Aku membalas senyumnya dan dia berkata, "Tentu saja. Tolong katakan bahwa kau punya rencana."
"Ini rencanaku," aku menjawab. "Kita diam di sini. Ada lagu yang bisa disiulkan sementara kita menunggu?"
Kelihatannya, Mott tidak mengetahui lagu apa pun untuk disiulkan, tetapi dia menyenandungkan paduan suara gerutuan dan desahan yang bagus.
Tentara Mendenwal pasti sudah siap untuk berbaris, karena tidak lama kemudian aku melihat mereka. Tentara Mendenwal adalah tentara berpedang, terlatih baik dan sangat disiplin. Jumlah mereka terlalu banyak untuk bisa bergerak dengan kuda, jadi hampir semuanya memasuki lembah dengan berjalan kaki. Aku melihat komandan dan para pemimpinnya di atas kuda, tetapi mereka memimpin dari belakang, seperti yang kuharapkan. Mereka ingin orang-orang mereka yang kurang berarti, berada di depan, untuk menerima yang terburuk dari apa saja yang akan diberikan pasukanku.
"Berapa banyak orang yang datang?" aku bertanya kepada Mott.
Dia menyipitkan mata. "Kuperkirakan setidaknya seribu sudah berbaris, tetapi aku tidak dapat melihat akhir dari barusan itu. Mana mungkin kita melawan mereka semua."
"Tidak," kataku. "Kita tidak akan melawan mereka sama sekali."
Begitu mereka sudah cukup dekat untuk mulai bertempur, perintah diberikan kepada para tentara untuk berlari menyerang kami bertiga. Aku membuat komentar lantang tentang malangnya kecenderungan wanita-wanita Mendenwal untuk menumbuhkan kutil di wajah mereka, lalu berbalik dan mulai berkuda pergi. Tidak terlalu cepat. Hanya sedikit lebih cepat daripada lari mereka.
"Seratus orang kita tidak akan bisa mengatasi mereka," kata Mott. "Beberapa adalah petarung yang sangat buruk."
"Karena itulah mereka berada di sini, dan bukan bersama yang lain."
Mott mempercepat kudanya untuk mengimbangi kecepatanku. "Sulit kupercaya kau akan mengorbankan orang-orang ini untuk alasan apa pun. Kau tidak seperti itu."
Aku hanya tersenyum. "Berapa banyak orang di belakang kita sekarang?"
Dia menoleh ke belakang dan berkata, "Barisan mereka tidak teratur. Tetapi lembah terisi dengan cepat."
Pada saat kami mencapai pasukanku, kepanikan tampak jelas di wajah mereka. Sebagian besar telah menarik pedang mereka, siap untuk bertempur yang jelas akan berakhir dalam kegagalan yang menyedihkan.
"Mengapa kalian semua terlihat begitu khawatir?" aku bertanya, berkuda mengelilingi mereka. "Kalian melihat cerahnya matahari terbit hari ini" Adakah yang merasa hangat?"
Melihat keringat di wajah mereka, mereka semua kepanasan. Atau mungkin hal itu tidak ada hubungannya dengan panas. Orang-orang ini teramat ketakutan.
"Kalau begitu, mari kita pergi," kataku. "Jangan terlalu cepat. Tetapi tetap lebih cepat daripada tentara mereka."
Jadi, kami pun berkuda. Kalau ingin memberi pujian pada tentara Mendenwal, beberapa dari mereka pelari yang sangat baik dan tidak kelihatan lelah, jadi kami bergerak lebih cepat daripada yang kusukai. Di belakang kami, lembah yang luas terus terisi, dan tentara-tentara mereka menjadi semakin marah.
Akhirnya, kami hampir berada di ujung lembah. Kamp Carthya jauh di atas kami hampir seluruhnya kosong sekarang. Kami tidak punya kesempatan kedua, tidak ada dukungan, dan jika rencana ini tidak berjalan dengan baik, tidak ada tempat untuk menyelamatkan diri. Dengan Mendenwal di belakang kami dan tanjakan teramat terjal di hadapan kami, aku tidak akan pernah bisa membawa semua orang ke tempat aman.
Namun aku tidak berniat mencapai puncak. Hanya mencapai tempat sedikit lebih tinggi daripada wilayah kami sekarang.
Aku berkuda ke belakang pasukanku dan menaikkan pedang. Kemudian aku berteriak kepada Mendenwal, "Letakkan senjata kalian sekarang kalau mau tetap hidup." Mereka hanya terus berlari mengejarku, sayangnya, tetapi dapat diduga. "Baiklah," aku menggumam. Apa pun akhirnya, ini saatnya untuk melaksanakan rencanaku yang telah kuantisipasi berbulan-bulan. Dalam beberapa menit kemudian, kami akan menghadapi entah kesuksesan besar atau pembantaian yang pasti terjadi.
BAB 30 DENGAN seratus orang pasukanku yang tidak sampai satu menit lagi benar-benar akan terjebak di antara dinding tebing yang terjal, aku meningkatkan kecepatan kudaku. Mott menyamai kecepatanku dan bersama-sama kami kembali ke depan kelompok, lalu memberikan tanda kepada tiga orang yang telah menuruni bukit dalam kegelapan. Mereka bersembunyi di dasar tebing, dan sekarang siap di tempat. Dengan tanda dariku, sebuah obor menyala diangkat tinggi. Mereka menyalakan sumbu yang mengarah ke dalam peti kayu-dan-besi yang terbuka, lalu lari ke atas bukit.
"Kita harus berkuda lebih cepat," kataku kepada Mott.
"Sepertinya aku tahu isi peti itu." Sambil mengikutiku, dia berkata, "Katamu, hanya bubuk mesiu di kamp Vargan itulah yang kaumiliki."
"Yang kumiliki bersamaku," aku mengoreksinya. "Bukan semua yang kumiliki."
"Kau akan meledakkan dinding itu?"
Fokusku tetap pada api yang menjalar di depan kami. "Itu bukan dinding, Mott. Itu bendungan."
Salah satu tindakan pertamaku sebagai raja adalah mengirim setiap orang yang tersisa ke daerah ini untuk membendung Sungai Roving. Aku mengharapkan barikade yang terlihat seperti dibuat oleh aliran alami puing-puing, dan visi itu telah dijalankan dengan sempurna. Kenyataannya, aku mendengar bendungan sebesar itu dibuat hanya dengan mengirimkan benda-benda besar ke hilir sungai untuk menyumbat jalur limpasannya.
Sekarang, dengan kecepatan penuh, aku berpacu ke samping ke arah perbukitan dengan pasukan di belakangku. Awalnya, para tentara Mendenwal terlihat lebih terganggu oleh api di dasar bendungan ketimbang konsekuensinya. Begitu mereka menyadari apa yang terjadi, sudah terlambat.
Ledakan meletus sebelum pasukanku mencapai bukit, dan mengguncang tanah seperti guntur hebat. Mystic panik dan mencoba melarikan diri, tetapi dalam pertarungan tekad di antara kami, aku berniat untuk menang. Itu satu-satunya cara kami untuk selamat. Aku menancapkan kaki kuat-kuat ke badannya dan mendesaknya maju. Telingaku berdenging seperti lonceng kapel dalam kepalaku dari suara ledakan itu, sementara guncangan udara menekan seperti gelombang di punggungku.
Dasar bendungan meledak dengan kemurkaan yang tidak dapat kubayangkan. Dalam sekejap, dinding di atasnya runtuh, mengirimkan bukan hanya air, tetapi juga bebatuan, dan dahan-dahan pohon terlempar ke lembah seperti serangan besarbesaran.
Pasukanku basah kuyup pada saat kami tiba di tepi bukit, tetapi kami semua berada di sana. Dan para tentara Mendenwal yang telah mengisi lembah seperti semut-semut sibuk tersapu hanyut dalam air bah. Danau Falstan kembali seperti semula.
Dalam beberapa detik yang berharga, lebih dari separuh tentara mereka musnah.
Pasukanku bersorak, tetapi perang baru dimulai. Tidak semua orang Mendenwal memasuki lembah, dan mereka akan panik sekarang dan memerlukan waktu untuk berkumpul kembali dan mengangkat pemimpin baru. Kami tidak akan membiarkan mereka pulih sama sekali. Sisa tentaraku telah meninggalkan kamp dan sudah siap, mendekat dari belakang.
"Pertarungan ini lebih seimbang sekarang," kataku kepada Mott. "Kita dapat memenangi ini." Lalu aku mengarahkan perhatianku kepada para tentara yang bersamaku. "Kalian telah lolos tes keberanian, yang merupakan tes terberat. Sekarang waktunya untuk berperang, dan aku tahu kalian dapat melakukannya. Tetaplah di atas kuda kalian untuk bertarung dan terus bergerak. Kalian memegang pedang di tangan, tetapi ingatlah bahwa setiap bagian tubuhmu adalah senjata. Kalian punya kaki, dan punggung yang kuat, dan yang terbaik dari semuanya, kalian punya otak. Jangan pernah berhenti berpikir, jangan pernah berhenti memandang ke depan dan membuat rencana. Selama kalian berpikir, kalian akan selamat."
Sekarang bersemangat untuk membuktikan diri dalam pertempuran yang sesungguhnya, para prajurit itu berseru kembali, dan aku memimpin mereka kembali ke arah kamp Mendenwal. Di pesisir danau yang telah pulih kembali, beberapa tentara yang selamat dari air tergolek di lumpur, kuyup dan tertegun. Mungkin sampainya mereka di pantai karena tidak dihalangi persenjataan yang berat, atau mereka cukup kuat berenang untuk menyelamatkan diri. Tidak bersenjata dan panik, mereka berlari ke arah kamp ketika melihat kami berkuda ke arah mereka. Aku membiarkan mereka lari. Lebih baik mendapatkan pasukan mereka terkumpul di satu tempat ketika aku tiba.
Kami berkuda ke kamp Mendenwal di tengah-tengah kacaunya pertempuran dengan pasukanku yang lain, yang sudah masuk dari arah yang berlawanan. Kamp itu berada di lekukan kecil lembah dengan sedikit tanaman dan dikelilingi tebing tinggi dari batu abu-abu tajam. Kami masuk dari satu sisi, dan pasukanku memblokir satu-satunya jalan keluar yang lain. Dalam lekukan ini, ratusan tentara melawan satu sama lain di atas kuda atau berjalan kaki. Mendenwal jelas terkesima, yang memberikan keuntungan bagi pasukanku. Aku memerintahkan seratus tentaraku untuk mengelilingi kamp sebaik mungkin sehingga tak seorang pun dapat melarikan diri, kemudian menemukan jalan sempit yang kulihat di peta malam sebelumnya, jalan yang berada di dinding tebing mengarah ke punggung bukit di atas medan perang.
Aku berkuda ke sana, siap dengan pedangku, dan menggunakannya kapan saja dibutuhkan untuk membersihkan jalan di depan. Karena sebagian besar pasukan mereka hilang, termasuk sebagian besar pemimpin mereka, Mendenwal tidak punya harapan untuk menang berapa pun lamanya mereka melawan. Tetapi aku juga tidak berharap perang ini akan berlangsung lama. Setiap prajurit yang tewas memiliki keluarga di rumah yang mencintai mereka. Sebagian besar memiliki istri atau anak-anak atau ibu yang bergantung kepada mereka untuk bertahan hidup. Setiap melewati orang Carthya yang gugur menimbulkan rasa tidak enak di perutku. Sudah waktunya bagi pertempuran ini untuk diakhiri.
Sebelum melangkah ke jalan yang terjal, aku menyarungkan pedang dan sebagai gantinya mengambil obor. Itu pendakian yang lambat dan berat bagi Mystic, dan jalan berlapis kerikil lebih licin daripada yang kuharapkan. Tebing terjal di bawahku menjanjikan kejatuhan langsung ke dasar lembah, tetapi Mystic mantap melangkah dan kuat. Begitu aku berdiri di puncak, aku memandang pertempuran itu. Seratus tentaraku telah berada di tempat mereka mengelilingi kamp. Hampir semua orang bertarung, tetapi kami mengendalikan jalan keluar. Mendenwal masih lebih banyak, tetapi jumlah mereka juga berkurang dengan cepat. Tanpa pemimpin, mereka hanya melanjutkan bertarung dengan keputusasaan untuk bertahan hidup. Yang mereka butuhkan hanyalah alasan untuk berhenti, dan kesempatan untuk hidup. Aku akan menawarkan itu.
Pertama, aku mengeluarkan tali dari kantong pelana Mystic dan mengikatkan satu ujungnya ke pohon. Kemudian, aku berlari ke sebuah batu di dekat sana. Diperlukan segenap kekuatanku untuk menggulingkannya ke tepian, lalu tidak diragukan lagi, dorongan dari para santa membantuku menggulirkannya ke bawah lereng. Batu itu mengumpulkan kekuatan saat terguling dan melepaskan beberapa yang lainnya"jelas merupakan bonus. Batu itu menimbulkan banyak suara dan ancaman sehingga banyak orang yang terdekat harus berhenti bertarung dan lari menyelamatkan diri.
Akhirnya, aku mendapatkan perhatian semua orang. Dengan obor di satu tangan dan tali di tangan satunya, aku menaikkan kedua lengan dan berteriak, "Di ujung lain dari tali ini ada bahan peledak yang kurang lebih sama banyaknya dengan yang meledakkan bendungan. Kalau kunyalakan, hal yang sama akan terjadi pada kalian, namun makam kalian akan berada di batu, bukan di air. Kalian lihat apa yang terjadi pada saudarasaudara kalian di dasar danau, betapa cepat jumlah kalian habis separuh. Bayangkan apa yang akan terjadi di sini. Pasukanku tahu bagaimana cara menyelamatkan diri dari ledakan itu. Bagaimana dengan kalian?"
Pasukanku tersenyum kepadaku. Sebenarnya, tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana menyelamatkan diri dari ledakan batu ini, mungkin karena memang caranya tidak ada. Namun tetap saja mereka percaya kepadaku untuk membuatnya terjadi.
"Kalian punya dua pilihan," aku melanjutkan. "Letakkan pedang kalian dan kalian akan diberi jalan pulang yang aman untuk kembali ke rumah dalam damai. Atau mencoba mempertahankan pedang kalian, dan kalian akan ditusuk oleh orang Carthya terdekat. Jika aku tidak mendapatkan kerja sama dari kalian semua, akan kunyalakan tali ini dan membuat ledakan dua kali lebih besar daripada yang baru saja kalian lihat. Tidak satu pun yang akan melihat rumah dan keluarga kalian lagi."
Para tentara Mendenwal memandang satu sama lain, tanpa suara membuat pilihan mereka. Aku berharap itu adalah pilihan yang kuinginkan.
Aku membiarkan lenganku yang memegang obor turun sedikit. "Ini mulai berat, jadi aku tidak akan memberi kalian banyak waktu untuk memutuskan untuk hidup atau mati. Bagaimana kalau aku berhitung mundur dari lima?"
Dan hitunganku dimulai. Pada hitungan lima, hampir setengah orang Mendenwal segera menjatuhkan senjata mereka dan jatuh berlutut. Pada hitungan tiga, dentang pedang jatuh ke tanah dapat terdengar. Namun pada akhir hitungan, aku masih melihat ada terlalu banyak pemberontak, memilih mati di atas kaki sendiri ketimbang menyerah kepada si raja kecil.
Aku menghargai itu"sungguh"tetapi tidak bisa menoleransinya. Perang ini harus usai.
Jadi aku melangkah maju dan, dengan ujung tali terangkat berkata, "Kita akan bertemu lagi di akhirat, kalau begitu. Kalian akan sampai di sana lebih dulu, jadi pastikan ada tempat yang nyaman bagiku."
Dan aku menyalakan ujung tali, yang berhasil mengecoh mereka. Mereka yang menolak dipaksa berlutut di tanah oleh kawan-kawan mereka yang panik. Tali hanya terbakar beberapa senti sebelum aku menunduk melihat penyerahan lengkap dan total dari tentara Mendenwal.
Aku mematikan api di bawah sepatu botku, lalu memanggil para komandanku untuk segera memulai evakuasi bagi orangorang Mendenwal. "Kalian akan meninggalkan semua senjata kalian, tetapi boleh membawa yang terluka dan perlengkapan yang diperlukan untuk merawat mereka. Dan kalian tidak akan datang lagi untuk berperang melawan Carthya. Begitu kalian menerima syarat-syarat itu, kalian bebas untuk pergi dalam damai."
Kemudian aku meletakkan obor di tepi tebing, dan duduk untuk menyaksikannya. Keluarnya mereka kelihatannya akan berlangsung beberapa jam, dan aku membutuhkan waktu itu untuk menentukan tindakan selanjutnya. Aku tahu di mana aku berharap menghadapi Avenia dalam perang; aku hanya tidak tahu bagaimana cara membuatnya terlaksana. Lebih dari itu, aku perlu istirahat. Merasa terbebani dan kepanasan oleh brigandine dan baju zirah, aku akhirnya melepaskannya sehingga dapat bersandar lebih nyaman dalam pakaian dalam yang sederhana.
Di bawahku, evakuasi berjalan lebih cepat daripada yang kuantisipasi. Dengan demikian, aku belajar rahasia utama untuk menang perang: Buat pihak lain percaya kau lebih gila daripada mereka. Mendenwal ingin pergi sejauh mungkin sebelum aku benar-benar menjadi gila dan menyalakan sumbu itu kembali. Tentu saja, tidak ada bahan peledak yang tersisa, tidak pernah ada di atas sini, tetapi aku menyukai kenyataan mereka meninggalkan Carthya secepat lari mereka.
Pada akhirnya, sebuah seruan datang dari bawah, orang Mendenwal terakhir telah pergi. Aku bertengger di sini terlalu lama dan terlalu egois. Sudah waktunya bertemu kembali dengan para komandanku dan mempertimbangkan langkah kami selanjutnya.
BAB 31 DENGAN mundurnya tentara Mendenwal sepenuhnya, aku berdiri lagi dan memasukkan baju zirah ke kantong pelana Mystic. Aku mengencangkan brigandine di seputar dadaku dan menyarungkan pedang, bersiap-siap untuk berkuda menuruni lereng. Tetapi dari suatu tempat di lapangan jauh di belakangku, kudengar suara yang kukenal memanggil namaku. Mencariku.
"Fink?" Aku menyambar pedangku dan berlari ke arah suaranya. Dia tidak jauh lebih tinggi daripada rumput-rumput di sini, tetapi dia terus memanggilku.
Akhirnya aku melihatnya, sangat timpang dan dengan tangan diikat di depan. Bajunya koyak dan ada lebam gelap di satu pipi, tetapi selain itu, kelihatannya dia tidak apa-apa.
Aku mulai berlari ke arahnya, tetapi ketika dia melihatku, dia hanya mulai menggeleng dan tersedu. "Maafkan aku," tangisnya. "Jaron, aku minta maaf."
"Untuk apa?" Dia telah mendapatkan maafku, dan akan selalu begitu, tetapi aku perlu tahu apa yang telah terjadi.
"Aku memberitahu mereka tentang Falstan. Itulah sebabnya mereka tidak berada di sini sebelumnya. Mereka membiarkan Mendenwal tenggelam di danau dan menunggu sampai semua selesai."
"Siapa?" "Tentara Vargan. Aku sangat menyesal."
Begitu dia mengucapkan kata-kata itu, aku mendengar suara dari dasar bukit tempat Fink dan aku berdiri. Kuda-kuda mendengus sementara derap kaki mereka menggetarkan batu dan tanah. Kami tidak sendirian, dan dapat dipastikan bahwa siapa pun yang datang bukanlah sahabatku.
Di kejauhan, sosok para prajurit berkuda mendekat. Bahkan dari sini aku dapat melihat jaket seragam hitam mereka yang bergaris merah. Pernah dikelilingi mereka begitu lama, seragam Avenia itu membangkitkan kenangan buruk bagiku. Jauh di depan mereka ada kelompok yang mengawali di atas kuda, dan aku hampir mengenali mereka semua. Yang memimpin, Raja Vargan ditemani Komandan Kippenger dan pembawa panjipanji Avenia. Seorang laki-laki lain berkuda bersama mereka, tidak dalam warna Avenia, tetapi sebaliknya berpakaian jubah bangsawan yang bagus. Kusipitkan mata untuk melihatnya lebih baik. Tidak mungkin...
Namun benar. Bevin Conner berkuda persis di samping raja Avenia. Conner menunjuk lebih dahulu kepadaku, dan Vargan berkuda langsung ke arahku. Aku memberitahu Fink untuk berdiri di belakangku, lalu menarik pedang, bersemangat untuk menguji ketajamannya. Dari semua pernyataan sombong bahwa semua yang dilakukan Conner adalah untuk kebaikan negara kami, ini adalah pengkhianatan total terhadap Carthya. Apa pun tawaran yang dibuatnya untuk berkuda di samping Vargan sekarang, dia tidak akan pernah bisa membenarkan pengkhianatan ini, bahkan kepada dirinya sendiri.
"Kita lari saja," kata Fink.
"Tidak ada tempat untuk kabur," aku menggumam kepadanya. Sejauh mata memandang, tidak ada yang lain kecuali seragam merah dan hitam bertumbuh di cakrawala. Dan tidak ada apa pun di balik kami kecuali tebing terjal dan jatuh dari jarak jauh.
Pedangku sudah siap ketika mereka berhenti di depan kami. Aku belum memutuskan siapa dari mereka yang bisa diserang, karena kemungkinan aku hanya memiliki satu target sebelum yang lain menghentikanku. Akan memuaskan jika mendapatkan Conner, tetapi cibiran di wajah Vargan membuatku murka, dan Kippenger berpartisipasi aktif dalam penyiksaan yang kualami di kamp Vargan. Aku harus membalas tindakan mereka semua.
Vargan lebih dahulu menyapaku. "Raja Jaron, alangkah senangnya bertemu denganmu lagi. Maafkan aku karena terlambat untuk segala kesenanganmu bersama Mendenwal."
"Andai tadi kau datang. Aku akan senang kalau kau mengalami nasib mereka. Lebih suka begitu, sebenarnya."
Vargan menaikkan sebelah alis. "Tidak ada yang tersisa?" "Tidak, kecuali mereka perenang andal. Apa pun alasannya, kau tidak akan mendapatkan bantuan mereka lagi."
"Pasukan Mendenwal lain berada di sini, di negerimu," katanya. "Kau tidak mengalahkan mereka semua."
"Tidak," kataku. "Belum. Tetapi kaptenku dan aku bertaruh. Siapa pun yang memenangi pertempuran lebih banyak boleh melelehkan mahkotamu untuk mendapatkan emasnya. Aku berencana untuk menang, karena kita punya urusan yang harus diselesaikan"aku menjanjikannya."
Vargan tertawa, diikuti orang-orang yang mengapitnya. Dia berkata, "Aku tidak sabar untuk melihatmu menghancurkan pasukanku yang hebat, raja kecil."
Kalau saja hanya ada aku di bukit ini, keputusanku sudah jelas. Aku akan berlari menghampiri Vargan dengan pedang terhunus, membiarkan konsekuensi terjadi semestinya. Tetapi Fink masih di belakangku, dan aku tidak dapat mengabaikannya.
"Kau menghadapi keputusan sulit sekarang," Kippenger berkata. "Apakah kau akan menyerang kami dan kehilangan anak laki-laki di punggungmu" Atau mencoba melarikan diri, dan dengan cara itu kau juga akan kehilangan anak laki-laki itu." "Yang kami inginkan hanyalah kau," Vargan memberitahuku. "Turunkan pedangmu dan kami akan membiarkan anak itu pergi."
"Tidak adakah yang lebih hina daripada kau?" tanyaku. "Dia hanya anak kecil, bukan jaminan dalam pembicaraan kita."
"Anak kecil yang kudengar sangat berarti bagimu." Vargan melirik Fink, bersemangat untuk mengetahui kekejaman sedalam apa yang dapat memengaruhiku. "Apa yang akan kauberikan kepadaku untuk menyelamatkan nyawanya?"
"Sayatan yang dalam dengan pedangku," aku merespons. "Carthya tidak akan tunduk menyembahmu, Vargan."
"Carthya sudah menyembahku! Menurutmu tawaranku untuk membiarkanmu bertaktha akan berlangsung selamanya" Tidak, Jaron, kau telah kehilangan kesempatanmu. Keadaan akan berubah. Sekarang, Lord Conner akan menjadi raja Carthya, tunduk kepada kerajaan Avenia. Perjanjian kami sudah dibuat."
Conner melengkungkan leher dan menunduk melihatku. Jadi akhirnya dia akan mendapatkan takhtanya juga.
"Dia bukan raja," kataku. "Pemimpin tidak diangkat hanya karena mereka duduk di takhta. Raja yang sesungguhnya melayani rakyat, melindungi mereka, dan mengupayakan kebahagiaan mereka kalau bisa."
Bibir Conner mengerucut ketika dia bertanya, "Bagaimana dengan mati bagi rakyatnya?"
Mataku melirik ke samping sejenak. "Ya, dia akan mati, kalau perlu. Walaupun aku berharap kita berbicara tentang kematianmu, dan bukan kematianku."
"Raja Vargan dan aku telah membuat beberapa perjanjian," Conner berkata dengan nada mengejek. "Mereka akan memastikan salah satu dari kita hidup makmur dan panjang umur. Kau bisa menebak siapa orang itu?"
Aku berbalik kepada Vargan. "Kau mungkin raja yang jahat, dan karena itu, orang yang jahat juga. Tetapi Conner lebih parah. Dia pengkhianat dan pembunuh. Berhati-hatilah dengan perjanjianmu."
"Jika aku dituduh sebagai seorang pengkhianat, lebih baik aku bersikap seperti itu," Conner menjawab. "Dan terhadap tuduhanmu yang lain, aku bermaksud menjadi penyebab satu kematian lagi, yang telah kunantikan selama berbulan-bulan."
Kematianku. Senyum Vargan mengungkapkan hasratnya terhadap hal itu. "Kau terperangkap di sini, Jaron, tebing di belakangmu dan ribuan pasukanku di setiap penjuru. Tidak bisa melarikan diri kali ini."
Pengamatan sekilas ke bukit-bukit menyingkapkan jumlah tentaranya yang luar biasa banyak, lebih dari apa pun yang dapat kuharapkan untuk dikalahkan. Sebagian besar dari mereka masih bergerak ke arah lembah, ke tempat pasukanku berada tanpa menyadari apa yang datang ke arah mereka. Sama seperti kami menutup jalan keluar Mendenwal, mereka akan segera menutup jalan keluar kami.
"Kau akan ikut bersama Lord Conner dan aku ke Farthenwood," kata Vargan.
"Sama sekali tidak." Aku menggeleng untuk menekankan penolakanku. "Conner sudah pernah membawaku ke Farthenwood. Percayalah, dia bukan tuan rumah sebaik yang pura-pura dia tampilkan."
Conner tertawa kelam. "Kupikir kau akan senang mendengarnya. Untuk melihat kekuasaanmu berakhir di tempatnya berawal."
"Farthenwood adalah tempat kau menemukan kejatuhanmu, Conner. Bukan tempat aku akan menemukannya." Mataku terpaku pada wajah Vargan yang merengut. "Kalau kita harus bicara, mari kita lakukan di Drylliad. Tidak ada alasan bagi kita untuk pergi ke Farthenwood."
"Tentu saja ada." Vargan terkekeh sekarang, seolah dia dan Conner mengetahui lelucon yang belum mereka ceritakan kepadaku. "Kau sendiri yang memilih Farthenwood. Kau ingat kapan?"
Pesan yang kukirimkan melalui pencuri Avenia. Dia membawanya kepada Vargan ketimbang memenuhi janjinya kepadaku. Itulah lelucon mereka.
Conner terlihat hampir kecewa. "Aku berharap lebih banyak darimu, Jaron."
"Dan aku tidak menaruh harapan terhadapmu." Aku nyengir. "Walaupun kupikir kalau kau dan Vargan menggabungkan kekuatan otak kalian, kalian mungkin cukup pandai bagiku. Hampir."
Vargan menjadi kaku mendengar hinaan itu. "Aku akan menyuruhmu digantung minggu ini juga, dan membunuh semua yang berada dipihakmu, seperti yang kulakukan terhadap Imogen."
Jantungku berdebar ketika namanya disebut, tetapi aku akhirnya melihat arti kematiannya. Tidak peduli apa pun yang terjadi dalam perang ini, aku tidak dapat membiarkan orang lain yang kucintai tewas. Aku harus mencari cara untuk mendapatkan jalan keluar.
Dengan pikiran itu, mataku beralih dari Conner ke Vargan. "Aku mengerti keinginanmu untuk menggantungku," kataku. "Tetapi lebih dulu aku harus melaksanakan janjiku untuk menghancurkanmu. Dan aku mungkin butuh lebih banyak waktu untuk itu, karena sekarang aku harus menambahkan Conner ke dalam daftarku." Aku memberikan tanda kepada Komandan Kippenger. "Mungkin kau juga, omong-omong."
"Tangkap dia," Vargan memerintahkan.
Kippenger berkuda mendekatiku, tetapi aku menyambar sebilah pisau dari ikat pinggangku dan melontarkannya kepada Conner. Sisinya yang datar mengenai kudanya, yang mengentak kuat dan mengagetkan kuda Kippenger. Kippenger dan Conner jatuh ke tanah, yang menciptakan kebingungan yang lebih besar lagi di antara binatang-binatang itu. Aku berbalik dan mendorong Fink ke depan bersamaku. Di suatu tempat di belakangku, Vargan meneriakkan perintah untuk mengejar saat kami berlari ke arah tebing.
"Mereka datang!" teriak Fink.
Aku tidak dapat menuruni jalan terjal yang kudaki sebelumnya. Risiko seseorang mengejar kami terlalu besar. Tetapi ketika kami tiba di langkan, aku tahu hanya ada satu pilihan tersisa, dan itu tidaklah bagus.
"Seberapa kuat ikatan tanganmu?" aku bertanya.
Fink menariknya, tetapi ikatannya bergeming. "Sangat kuat."
"Letakkan di atas bahuku." Aku menunduk cukup rendah bagi Fink untuk melakukannya sementara aku menarik tali yang sebagian kubakar untuk tentara Mendenwal. Aku membuat simpul, kemudian melilitkannya dua atau tiga kali ke pinggangku. Tidak ada waktu untuk melakukannya dengan baik.
Fink berusaha menggeliat lepas dariku. "Jangan, Jaron. Kumohon jangan."
"Ya, Fink. Tutup matamu kalau perlu."
Kippenger yang pertama tiba di langkan dan mengayunkan pedang kepadaku. Pedangnya menyengat lengan, tetapi aku sudah kabur. Dengan Fink di punggungku dan menjerit di telingaku. Aku berlari melewati tepi langkan ke udara yang tipis.
BAB 32 SEPANJANG sejarah hidupku, hal terbodoh yang pernah kulakukan adalah pada umur tujuh tahun, ketika aku menguji kekuatan katapel tua terhadap sasaran tegak di halaman istana. Darius dan aku baru saja mendapatkan pelajaran tentang cara kerja katapel, dan aku penasaran. Namun bidikanku tidak akurat dan alih-alih mengenai sasaran, batu besar itu membuat lubang menembus atap apartemen pribadi ayahku. Untungnya, ruangan-ruangan itu kosong pada saat itu, kecuali salah satu pelayan kurang beruntung yang menyelamatkan diri dengan mencebur ke kakus dalam air berbau busuk di bawahnya.
Itulah hal terbodoh yang pernah kulakukan, yang satu itu, sampai aku melompat dari tebing dengan lengan Fink di seputar leherku dan tali terikat di pinggangku. Pada detik terakhir sebelum aku melompat, terpikir olehku bahwa aku belum memeriksa kalau ikatan simpul itu cukup kuat, atau seberapa panjang tali itu. Apakah Fink dan aku akan terempas ke dasar lembah sebelum tali itu menarik kencang"
Namun pasukan Vargan sedang mengejarku, jadi kalau tidak melompat, nasibku dapat dipastikan. Aku hanya berharap kalau ini gagal, kematianku akan cepat. Aku benci rasa sakit.
Ternyata, para santa mungkin mendengarkan ketika aku meminta pertolongan mereka. Atau setidaknya, kami tidak terempas ke dasar lembah. Tetapi para iblis jelas senang menggodaku ketika kami berhadapan dengan panjangnya tali.
Hal pertama yang kurasakan adalah tali itu menarik erat di pinggang kemudian mengencang seperti jerat di tulang iga. Sensasi berikutnya adalah lengan Fink mengunci di leherku. Itu satu-satunya cara dia dapat berpegangan ketika kami melompat, tetapi tetap saja dia mencekikku. Dari sana, kami menabrak dinding tebing. Aku menahannya dengan bahu, yang kurang begitu membantu dalam menahan tali"satu hal yang membuat kami tidak terjatuh lebih bawah lagi. Tali itu telah dililitkan dua atau tiga kali seputar pinggangku, tetapi sekarang tidak lagi. Begitu kami menghantam dinding tebing, saat itu aku menyadari kedua telapak tanganku perih karena tergesek tali.
Kami masih hidup, tetapi kesulitan jauh dari usai. Kami sekitar separuh jalan menuruni dinding tebing"terlalu jauh untuk melompat ke bawah dan terlalu berbahaya untuk memanjat naik. Beberapa tentaraku melihat apa yang kami lakukan dan meneriakkan tanda bahaya dari bawah. Di atas kepala, Vargan menyadari dia telah terlihat. Tetapi aku merasa getaran tali dari atas dan tahu mereka tidak akan pergi sampai mereka melakukan yang terbaik untuk membatalkan pelarianku, begitulah.
"Cari pegangan di dinding!" seruku kepada Fink. "Mereka memotong talinya!"
Aku memutar badannya ke depanku, kemudian berpegangan pada dinding sementara dia memindahkan beratnya dariku ke batu. Begitu berhasil, aku mendapatkan posisi yang lebih baik, tetapi ketika aku bergerak, tali dari atas jatuh. Aku bisa jatuh bersamanya jika Fink tidak menyelipkan kakinya seputar kaki kananku yang lebih lemah.
Vargan mengintip dari pinggir tebing. "Aku diberitahu kau belum pernah memanjat sejak kembali dari bajak laut. Kau akan jatuh dari sana."
Aku tidak menjawabnya. Diperlukan konsentrasi tinggi untuk tidak membuat gerakan yang akan membuktikan bahwa dia benar.
Vargan menggeram kepadaku, tetapi saat itu para pemanahku sedang membidiknya dan dia tidak punya pilihan selain lari. Aku berteriak ke bawah bahwa Carthya perlu berkumpul untuk cepat mundur. Aku telah melihat pasukan Vargan. Kami bukan lawan seimbang bagi jumlah mereka.
Perintah diteriakkan ke berbagai jurusan di bawahku, tetapi satu suara terdengar lebih keras daripada yang lain. Mott.
"Kami akan menurunkan kalian berdua dari sana. Bertalianlah!" dia berseru.
"Pasukan mereka akan datang," teriakku. "Pergilah!"
Tetapi Mott tidak mengindahkanku dan sebaliknya meminta bantuan dari para pemanjat yang bisa mencapaiku. Ini memalukan. Sebelum Roden mematahkan kakiku, aku dapat memanjat dinding ini dalam beberapa menit. Sekarang, aku membeku di sana.
Aku berputar cukup jauh untuk meraih pisau kedua, yang lebih kecil, yang disisipkan di sepatu bot, kemudian menggunakannya pada tali yang mengikat tangan Fink. Begitu bebas, dia dapat berpegangan lebih erat ke dinding, walaupun buku-buku jarinya memutih dan wajahnya menunjukkan ketegangan ototototnya.
"Dengarkan aku," kataku kepada Fink. "Memanjat ya memanjat, tetapi jatuh sebagian besar terjadi sewaktu menuruni tebing. Setiap gerakan yang kaulakukan itu penting. Jangan berbuat bodoh ketika turun, tidak sekali pun."
"Bodoh?" teriak Fink. "Seperti melompat ke jurang" Karena itu benar-benar langkah yang besar ke arah bawah, Jaron!"
Dia masih terlalu panik untuk membuat keputusan yang aman. Tebing di bawah kami terlalu mulus untuk dituruni, dan para pemanjat tidak akan bisa naik untuk menyelamatkan kami. Jauh di sebelah kanan ada pohon yang berakar ke tebing. Tidak besar, tetapi dapat menahan berat kami. Aku masih memiliki ujung tali yang kupakai untuk melompat. Kalau kuikatkan ke batang pohon, dapat membawa kami cukup dekat ke dasar.
Aku memiringkan kepala ke arah pohon. "Kita akan ke sana." Kemudian memanggil Mott di bawah. "Aku memerintahkan kalian untuk mundur! Vargan membawa pasukannya langsung ke lembah ini. Kita akan terperangkap kalau kalian tidak keluar!"
"Tak seorang pun akan meninggalkanmu!" Mott balas berteriak.
Gerakan itu membuat bahuku sangat sakit, tetapi aku mengayun sejauh mungkin. Walaupun jarak kami jauh, aku berusaha membuat Mott melihat kesungguhan di wajahku. "Pergi," kataku kepadanya. "Mott, inilah perintahku. Buat semua orang pergi atau mereka akan mati. Aku akan mencari cara untuk turun."
Kali ini, Mott mengangguk. Dia bergabung bersama yang lain, memberikan perintah dan menyuruh para komandan untuk memindahkan pasukan kami dari lembah dan menjauhi danau. Begitu dia membuat mereka bergerak, dia kembali ke dasar tebing dan berseru lagi. "Sekarang yang kauinginkan sudah terjadi. Tetapi aku tidak akan pergi sampai kau bersamaku."
Kali ini giliranku untuk mengangguk. Aku menyerahkan tali kepada Fink dan memberitahunya apa yang harus dilakukan kalau aku jatuh. Aku berharap tangan dan kaki kiriku dapat menahanku di tebing ini untuk bergerak horisontal, tetapi itu tidak bisa dipastikan. Otot-ototku secara signifikan lebih lemah disebabkan luka lama di kakiku dan dipenjara di kamp Vargan. Tanganku perih karena melompat barusan dan bahuku lebih nyeri daripada seharusnya. Aku benar-benar tidak tahu apa aku dapat bertahan di atas sini.
Jadi kami pun bergerak perlahan. Aku menghindari bertumpu di kaki kanan, dan memilih peganganku dengan hati-hati. Kemudian aku memberi Fink instruksi spesifik untuk setiap pegangan yang harus diraihnya. Itu bagian tersulit karena dia lebih kecil dan rentangan tangannya tidak sejauh itu. Kecepatan kami tidak mengesankan, tetapi setidaknya kami bergerak. Dengan sedikit kesabaran dan ketahanan luar biasa, kami dapat mencapai pohon itu. Dan begitu di sana, mudah saja untuk mengikatkan tali dan meluncur turun.
Tetapi tidak pernah ada yang sederhana dalam hidupku. Dan kali ini, bukan hanya aku yang akan menderita. Di luar lengkung lembah ini, di tempat pasukanku yang mundur berada, suara pertempuran hebat telah dimulai. Tentara Vargan telah menemui mereka. Kami gagal mundur pada waktunya.
Mott juga menyadarinya, dan mendesak kami untuk turun dari tebing secepat mungkin. Aku mendorong Fink untuk bergerak lebih cepat, tetapi otot-ototnya gemetar karena tegang. Aku mencoba mengalihkan perhatiannya, bertanya bagaimana dia bisa tertangkap oleh Vargan.
"Setelah aku meninggalkan Bymar, kupikir tidak akan sulit melalui Avenia lagi," kata Fink. "Tidak seorang pun mengusikku sebelumnya. Tetapi Vargan merekrut hampir semua pencuri Erick menjadi pasukannya. Dan ketika aku mencoba melewati perbatasan ke Carthya, salah satu mengenaliku. Mereka tahu aku bersamamu sekarang, jadi mereka mengirimku langsung kepada Vargan untuk ditanyai."
Aku menunjukkan kepada Fink pegangan selanjutnya di tebing, lalu bertanya, "Selain rencanaku untuk Danau Falstan, apa kau memberitahukan hal lain kepadanya"
"Ya," Fink tersenyum. "Kubilang padanya dia tidak punya kesempatan untuk memenangi perang ini melawanmu. Saat itulah dia menjadi marah."


Takhta Bayangan The Shadow Throne Karya Jennifer A. Nielsen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami melanjutkan bergerak ke arah pohon itu. Aku menyadari mustahil untuk mengabaikan suara pertempuran dan rasa takut akan apa yang sedang terjadi. Tersiksa rasanya mendengar teriakan orang-orang yang terluka, mendengar perintah-perintah diberikan, dan rasa ngeri mendengar dentang pedang saling beradu, semua terjadi ketika aku terjebak di dinding ini. Yang terbaik, aku tidak berguna. Dan yang terburuk, aku adalah pengalih perhatian yang mematikan.
Di bawah kami, Mott berkata bahwa Mystic telah turun sendiri dari tebing itu. Aku menyipitkan mata cukup lama untuk melihat kudaku di bawah, lalu merengut ke arahnya. Mungkin lebih baik membawa Fink menuruni jalan setapak. Mungkin tidak"tak diragukan lagi, Vargan akan mengikuti. Tetapi Mystic tidak terlihat lebih parah setelah semua ini, sementara Fink dan aku memar-memar, kelelahan, dan tetap merayap ke samping untuk menyelamatkan diri.
"Aku tidak bisa lebih jauh lagi," Fink akhirnya berkata.
Aku menoleh kepadanya. Kami semakin dekat ke pohon itu, jaraknya hanya empat atau lima cengkeraman yang dilakukan dengan berhati-hati.
"Kau bisa melakukannya," kataku kepadanya.
"Aku tidak bisa. Kuberitahu kau, Jaron, kalau kau menyuruhku terus, aku akan jatuh!"
"Dengarkan aku," kataku tegas. "Kalau kau jatuh dari sini, akan jauh lebih sakit dibanding sakitmu sekarang, dan kau akan mati. Begitu kau mati, akan kukatakan kepada para santa agar menolakmu masuk ke akhirat. Kau akan menjadi roh gentayangan, tidak pernah mendapatkan waktu untuk istirahat."
Ancamanku berhasil. "Kau tidak akan berani melakukannya," katanya.
"Kau tahu aku akan melakukannya. Jadi kau akan berpegangan, awas kalau tidak." Kemudian aku mengertakkan gigi dan bergerak lebih cepat. Dengan kaki yang kuat, aku dapat berada di sana kurang dari satu menit, dan otot Fink gemetar tidak terkendali sekarang. Untuk mengetesnya, aku meletakkan cukup beban pada kaki kanan untuk membantuku bergeser sedikit lebih tinggi ke arah pohon, tetapi pijakanku ambles. Aku kehilangan pijakan dan genggaman di tangan kananku. Yang membuatku tetap berada di tebing hanyalah buku jari telunjuk kiriku, yang telah kujejalkan di lekukan akar kecil yang melengkung dari dalam tanah.
Fink berteriak ketika aku terpeleset, dan di suatu tempat jauh di bawah, Mott berlari untuk berdiri di bawahku. Tetapi aku hanya mengumpat dan menarik diriku kembali ke atas.
"Jangan lakukan itu lagi!" maki Fink.
"Hus!" Marah pada diriku sendiri atas kelemahan yang masih tidak dapat kuatasi, aku memanjat dengan lebih gigih, dan berhasil sampai ke pohon. Kulemparkan tali ke seputar batang pohon, menyimpulnya erat, kemudian menyangkutkannya ke bawah lengan. Aku berayun kepada Fink dan menyambarnya, kemudian benar-benar melepaskannya dari tebing dan kembali ke pohon.
Begitu berada di sana, aku melepaskan diri dari tali, kemudian melingkarkannya di Fink dan perlahan-lahan menurunkannya ke dasar. Mott mendorongnya ke tepi tebing, di sana tempat teraman baginya. Perang terus berlanjut di luar lingkaran lembah, dan bergerak ke arah kami. Pertempuran itu akan menyerap kami dengan cepat untuk bertarung. Aku harus bergabung dengan mereka"tetapi aku merasa kekuatanku berkurang. Sudah lama sekali sejak aku memanjat, dan aku belum menyadari tuntutan penggunaan otot-otot yang biasanya jarang kugunakan.
"Ikatkan talinya, Jaro n!" Mott memerintahkan.
Kali ini, aku tidak kesal atas usahanya untuk menyuruh-nyuruhku dan mengambil tali itu lagi. Tetapi aku turun lebih cepat daripada yang kuinginkan, sebagian besar karena sulit mengendalikan gerakan turun dengan lenganku yang lelah. Dan ketika aku masih jauh di atas ketimbang tempat aku seharusnya berada, peganganku lepas sepenuhnya dan aku jatuh begitu saja. Aku separuh mendarat di atas Mott, yang telah mengantisipasi jatuhnya aku. Hal itu menyelamatkanku dari terluka parah, walaupun aku tetap jatuh di kaki yang lemah. Kaki itu mengirim gelombang nyeri ke punggung dan aku mencengkeram kaki itu untuk meredakan gemetarnya. Tetapi aku tidak berkata apa-apa.
"Dapatkah kau berjalan?" Mott bertanya seraya berdiri.
Aku tidak sepenuhnya yakin bisa melakukannya. Fink berlari mendekatiku dan meletakkan pundaknya di bawah lenganku. Dengan bantuannya dan Mott, aku berdiri dan mendapatkan keseimbanganku. Mott membantuku menaiki sadel Mystic, lalu aku berkuda cukup jauh ke dalam lembah untuk melihat bagian luar dari pertempuran itu. Sebagian besar pertarungan telah bergerak menjauh dari kami, tetapi terlalu banyak prajuritku gugur di sini. Kami tidak bertarung dalam peperangan; kami menjadi target pembantaian.
Ketika Mott dan Fink berkuda di sampingku, aku bertanya, "Pertarungan ini mengarah ke mana?"
Mott memandang ke horison. "Kembali ke tanah yang lebih tinggi, menjauh dari danau."
"Ke arah kamp kita?" Mataku terbelalak ngeri. "Tobias dan Amarinda masih ada di sana!"
"Kita tidak bisa melewati pertempuran untuk memperingatkan mereka," kata Mott.
Aku mengarahkan Mystic untuk memutar. "Kita akan memanjat ke tempat bendungan itu dulu berada."
"Kau meledakkan sebagian besar tepi bukit itu," kata Mott. "Kau yakin ada yang bisa dipanjat di sana?"
"Kalau tidak ada, kita akan membuat jalan ke atas," kataku. "Kita harus memperingatkan mereka sebelum Vargan tiba."
BAB 33 MOTT benar tentang jalan pintas ke atas ke kamp kami"bagian yang tersisa berada dalam kondisi yang amat buruk, dan jelas tidak aman untuk mencoba melewatinya dengan berkuda. Tetapi pertarungan antara tentaraku dan Avenia bergerak melalui lembah dan ke arah kami. Untuk menghindarinya, ini harus menjadi rute kami.
Kami meninggalkan kuda-kuda di kaki bukit. Aku benci meninggalkan Mystic, tetapi sebagian besar pendakian kami akan melibatkan merangkak di atas bebatuan dan melintasi sisa-sia tipis dari jalan setapak yang terjal. Kami tidak punya pilihan lain.
Kakiku masih berdenyut-denyut karena jatuh dari tebing, tetapi aku tidak berkata apa-apa tentang hal itu kepada Mott. Lagi pula, dia mungkin sudah menyadarinya, berdasarkan caraku berjalan. Setidaknya, dia tetap di belakang untuk menawarkan dorongan kapan saja aku membutuhkannya.
Ketika hampir mencapai puncak, kami tiba di tepian jalan setapak yang memungkinkan untuk melihat ke pertempuran di bawah. Jantungku seolah berhenti berdenyut ketika menyadari perang ini akan menjadi lebih buruk daripada yang ku takutkan. Bukit-bukit itu dinodai darah dan dipenuhi tubuh tak bernyawa dan terluka, yang merintih sakit, berteriak meminta tolong. Ratusan orang Avenia telah gugur, tetapi setidaknya pasukanku yang gugur sama banyaknya. Dan mereka yang selamat di pihakku tetap bertarung, sementara peluang mereka untuk menang terus berkurang. Kami akan kalah.
Di sampingku, Mott dan Fink sedang menyerap pemandangan mengerikan yang sama. Akhirnya, Mott menepuk bahuku dan berkata, "Pertempuran itu bergerak ke arah sini, Jaron. Kita harus naik ke puncak."
Kami menyelesaikan panjatan seakan api ada di tumit kami, dan apa yang kutemui begitu mencapai kamp mengejutkanku. Orang-orang yang tetap berada di sana dengan cepat mengorganisasi kain-kain, meja-meja, dan tempat tidur untuk menerima yang terluka dari pertempuran.
Beberapa yang terluka telah tiba dan Tobias bergegas dari satu orang ke yang lain, berusaha merawat luka mereka. Ketika Tobias berkata bahwa dia sedang belajar menjadi dokter, aku tidak tahu seberapa jauh yang dipelajarinya. Dia melakukan lebih dari sekadar membalut luka atau memberikan obat. Dia menjahit luka, menghentikan perdarahan, bahkan terlihat melakukan pembedahan yang lebih rumit. Di tengah-tengah semua kekacauan dan teriakan, dia berada dalam kondisi puncak, bekerja keras dan tangkas. Amarinda berdiri di sisinya, bekerja sebagai asistennya dan menenangkan setiap orang sebaik mungkin.
Aku melambat hanya cukup lama untuk melihat mereka berdua. Mereka bekerja sebagai tim, satu merupakan separuh dari yang lainnya. Mereka berjodoh.
Amarinda melihat kami lebih dahulu. Dia menyambar seember air dan bergegas ke arah kami. Dia menawarkan centong kepadaku, dan sementara aku minum, dia memeriksa luka di lenganku yang disebabkan Kippenger. Ketika aku selesai, kuberikan centong itu kepada Mott dan Fink, kemudian Amarinda dan aku menghampiri Tobias.
Matanya membelalak tetapi tenang ketika dia melihatku. Tobias membuat isyarat ke arah seseorang yang terluka di depannya dan berkata, "Aku hanya membaca tentang hal ini, tetapi aku melakukannya sebisaku."
"Kau akan melakukan ini di tempat lain," kataku. "Pertempuran datang ke arah ini. Kalian harus pergi."
"Tidak!" Tobias melanjutkan menjahit luka orang yang berada di antara kami. "Aku tidak bisa bertempur, aku tidak berguna untuk strategi perang, dan aku hanya akan menjadi penghalang di sini sebagai seorang regen. Tetapi aku dapat membantu menyelamatkan orang-orang ini."
Amarinda menyentuh lenganku. "Kami ingin melakukan ini, Jaron."
Setiap nyawa yang mungkin mereka selamatkan di sini berarti bagi Carthya. Tetapi aku memberi tanda ke seberang kamp dan berkata, "Dalam beberapa menit, seluruh perbukitan ini akan menjadi medan perang. Kau dan Fink, semua harus pergi sekarang, atau mereka akan membawa sang putri. Amarinda berada dalam bahaya."
Tanpa menunda sedetik pun, Tobias menyelesaikan ikatan jahitan di luka itu dan meletakkan peralatannya. Dia meraih tangan Amarinda sementara gadis itu memanggil bantuan untuk mengangkat orang-orang yang terluka ke gerobak untuk segera berangkat.
Sementara itu, Mott mengumpulkan beberapa prajurit yang bertahan di kamp, kemudian mendapatkan beberapa kuda baru bagi kami berdua. Dia membantuku menaiki kudaku, lalu naik ke kudanya. "Perintahmu, rajaku?"
Ketika dia dan aku berdua saja, Mott jarang menyapaku dengan gelar apa pun, dan itu mengejutkanku sampai aku menyadari dia sengaja berbicara seperti itu. Sepintas aku melirik ke belakang untuk melihat Fink membantu Tobias dan Amarinda. Mereka akan segera pergi, tetapi hal terbaik yang dapat kami lakukan adalah menahan tentara musuh yang datang terlalu awal.
Aku berbalik menatap Mott dan menarik pedangku. "Kita akan berkuda."
Mott nyengir dan menarik pedangnya sendiri, diikuti tentara-tentara lain di belakang kami. Bersama-sama, kami mengendalikan kuda-kuda untuk maju dan berrderap menuju pertempuran.
Kami segera bertemu sekelompok kecil pasukan berkuda yang pergi terlebih dahulu, lebih dekat ke kamp daripada yang kuinginkan. Namun mereka sudah lelah karena bertempur sejauh ini, dan aku tidak sabar untuk mengambil bagian dalam perang ini. Kami menyisihkan kelompok ini cukup mudah, kemudian berangkat lagi.
Hanya ada satu tentara di belakang mereka, tetapi dia sebesar seorang bajak laut dan terlihat sama ganasnya. Pedang kami bertemu, tetapi dia mendorong cukup keras untuk menjatuhkanku dari kuda. Aku jatuh ke tanah dan berguling menghindar agar tidak terinjak kuda-kuda kami. Dia mulai bergerak pergi, kemudian menyadari siapa aku dan memutar kembali. Kali ini ketika dia menyerang, Mott menabraknya seolah dia adalah kambing jantan aduan pribadiku. Orang itu menghantam tanah dengan dentuman keras.
Aku berayun kembali ke sadel kudaku, tetapi hanya punya waktu untuk mengangguk cepat untuk menunjukkan terima kasih sebelum bertemu kelompok lain. Beberapa orang yang di depan besar-besar, sombong, dan jelas meremehkan betapa hebat aku bertarung ketika marah. Ini negeriku, tanah yang dipertahankan leluhurku turun-temurun. Sampai semua diambil dariku, aku tidak akan membiarkannya terlepas.
"Di kananmu, Jaron!"
Peringatan itu datang dari Mott, yang terkunci dalam pertarungan dengan seorang tentara yang membawa gada, yang diayunkannya dengan terampil di atas kepala. Aku menyerang orang di sebelah kananku. Dia memiliki tabung panah di punggungnya dan memegang busur di tangan yang sama dengan yang memegang kendali kudanya. Kapak perang yang terlihat tidak bersahabat menggantung di pinggangnya.
Dia melihatku datang dan meraih anak panah, tetapi pada saat itu aku sudah cukup dekat untuk memberinya sayatan dalam yang juga memutuskan tali yang menahan kapak perangnya. Ketika dia mulai terjatuh dari kudanya, aku meraih busur dan panah yang telah dipasangnya. Begitu keduanya ada di tangan, aku memasang anak panah itu, berputar, dan memanah orang yang membawa gada. Seharusnya panahku meleset, tetapi pada saat-saat terakhir, kudanya bergerak ke kiri dan panahku mengenai perut orang itu. Gadanya masih bergerak, dan ketika dia condong ke depan, gadanya mengayun ke kepalanya sendiri.
Sekarang lebih banyak yang bergabung dengan kami, dari belakang dan dari depan, tetapi di sini juga ada lebih banyak orang Avenia. Jauh lebih banyak. Kami mungkin telah membeli waktu bagi Tobias dan Amarinda sekitar lima belas menit lagi untuk melarikan diri, tetapi waktu itu hampir tidak cukup. Jalan di depan mereka lebih cocok untuk kuda ketimbang kereta. Jika Tobias memilih tinggal bersama yang terluka di kereta mereka, dia dan Amarinda tidak akan punya kesempatan. Mereka membutuhkan setiap menit yang dapat kuberikan.
Jadi aku pun mendesak ke tepi bukit. Mott sedikit lebih depan, bertarung dengan kelompok kecil yang berkuda ke arah kami. Aku bergabung dengannya dan beradu pedang dengan orang yang kuingat ketika aku berada di kamp Vargan. Dia terampil berpedang, kemungkinan lebih baik daripadaku, dan yakin akan memenangi duel ini. Namun demikian, aku tertawa dan memberitahunya bahwa dia bertarung seperti wanita tua. Nenek tua buta yang mengidap disentri parah, persisnya.
"Kau mendapatkan semangatmu kembali," orang itu membalas. Aku nyengir mendengarnya sampai dia menambahkan, "Untungnya, kau pulih lebih baik daripada gadis yang kupanah. Seharusnya kau yang kena."
Setiap otot di badanku menegang, dan waktu rasanya begitu lambat. Seakan setiap detik dalam hidupku menjadi terfokus pada satu saat itu. Kuayunkan pedang menjauh, kemudian kembali lagi, menusuknya persis di tempat dia memanah Imogen. Seluruh ekspresinya membentuk huruf O, lalu kudanya berderap di bawah tubuhnya.
Aku kembali ke pertempuran melawan orang yang lain dan bertarung dengannya untuk sementara. Dari sudut mataku, aku melihat Mott berkuda ke kelompok yang lain.
Mott petarung yang andal menggunakan pedang, terlatih baik dan mantap dalam ayunannya. Tetapi dia berkuda langsung ke pusat kelompok besar, berharap menarik perhatian mereka ke arahnya dan memberi kesempatan pasukanku yang sudah lelah untuk mengalahkan mereka dari belakang. Itu adalah kesalahan fatal. Tidak ada seorang pun yang dapat menghadapi begitu banyak lawan.
Aku akhirnya berhasil memukul orang Avenia terdekat, menjatuhkan dia dari kudanya, dan berkuda untuk membantu Mott. Sejauh ini, strateginya berhasil"Carthya membuat kemajuan yang bagus di bukit ini. Namun tidak akan berlangsung lama.
Aku memerintahkan kudaku ke tengah-tengah kelompok itu, tetapi kuda jantan ini tidak sekuat Mystic dan tidak begitu kuat untuk memaksa membubarkan lingkaran itu. Jadi aku membuka jalan masuk, memukul kuat-kuat dan mengayunkan pedang kepada setiap simbol merah di seragam Avenia.
Aku hampir mencapai Mott ketika melihat seseorang mendatanginya dari belakang. Aku segera mengenalinya sebagai Fendon, pencuri dengan bekas luka yang kucederai di hutan pada malam aku pergi ke para bajak laut. Dia bersumpah kami akan bertarung saat kami bertemu lagi. Aku memberitahunya dia tidak akan melihatku lagi.
Jelas, aku salah. Pedangnya sudah siap dan dia berteriak kepada yang lain untuk menyingkir. Kunaikkan pedang dan bergerak mendekatinya, tetapi jalanku terhalang. Aku memukul para serdadu Avenia dan berseru kepada Mott untuk waspada. Mott berbalik dan melihat Fendon datang, tetapi tidak bisa mengangkat pedangnya dengan sudut yang benar.
Pedang Fendon mengenai Mott di pinggang, dan menusuk dalam. Darah mengucur dari lukanya dan dia jatuh dari kudanya.
Hampir buta oleh amarah, aku menghantam prajurit Avenia yang masih mengelilingiku seraya membuka jalan ke arah Fendon. Dia melihatku datang dan memundurkan kudanya, mempersiapkan diri untuk perlawanan apa pun yang masih tersisa dalam diriku. Begitu meninggalkan kerumunan di belakang, aku menyerangnya begitu ganas sehingga dia hampir tidak sempat menyadari bahaya yang dihadapinya.
Aku menyerang hanya sekali, dengan dahsyat. Pedangku menembus dadanya dan dia jatuh, langsung tewas.
Dadaku terasa seperti dicengkeram ragum ketika aku melompat dari punggung kuda dan mendatangi Mott, yang berhasil merangkak menjauhi kerumunan. Napasnya pendek dan wajahnya memucat. Mott sekarat.
Darah di mana-mana, begitu banyak sehingga aku tidak dapat memastikan dari mana asalnya. Mott menyeringai kesakitan, tetapi aku sudah merobek sebagian pakaian dalamnya untuk membuat perban. Begitu menemukan lukanya, aku menekan kain itu ke pinggangnya, tetapi aku tidak dapat membuatnya berguling untuk mengikatkan simpulnya.
"Kalau kau lelah bertarung, ada cara lain untuk meninggalkan pertempuran ini," kataku.
Keringat di wajahnya berbaur dengan air mata. "Aku ingin berada di sana ketika kau menuntaskan perang ini."
"Kau akan berada di sana." Sekarang mataku terasa pedih, tetapi aku menolak membiarkannya melihat kesedihanku. "Kau akan sembuh, kau dan aku akan bertarung lagi, berdampingan."
Mott tersenyum. "Kau pembohong yang payah, tak sebaik yang kauduga."
Kuku-kuku jariku menancap di telapak tangannya. "Aku berbohong tak sesering yang diduga orang lain. Dan kau akan hidup. Harus!"
"Berjanjilah kepadaku bahwa kau akan menemukan kebahagiaan dalam hidup, Jaron. Jangan menyerah pada kegetiran." Sekarang air mataku tumpah. "Mahkota itu telah merampas semuanya dariku. Jangan sampai kau juga!"
Dia mencengkeram lenganku, walaupun genggamannya lemah dan menghilang dengan cepat. "Ujianmu selalu sama. Menjadi lebih kuat daripada semua yang dibawa kehidupan ini untukmu. Kau akan bangkit dari ini."
"Tidak tanpamu, Mott. Kau harus tetap bersamaku."
Dia hanya tersenyum dan memejamkan mata.
Aku berdiri dan mencari orang Carthya di sekitarku. "Tolong!" teriakku. "Orang ini perlu bantuan!"
BAB 34 MESKI tak ada respons dalam waktu dekat, aku terus berteriak, putus asa mencari pertolongan. Aku mencoba lagi untuk memindahkan Mott dan berhasil menyeretnya sedikit, tetapi jelas memperparah lukanya. Aku tidak akan bisa melakukannya sendirian.
Aku meletakkan tangan di bawah lengannya, berusaha menariknya lagi, tetapi kali ini aku merasakan perubahan dalam beratnya. Baru satu menit kemudian aku menyadari orang yang mengangkat kakinya, tetapi ketika aku melihat sekilas rambut merah terang di bawah helm Avenia, aku pun ingat. Itu Mavis, yang terjatuh ke dalam perangkap pemburu.
Tidak ada kata-kata di antara kami. Yang kupedulikan saat itu hanyalah Mott sekarat di depan mataku dan tentaraku berjatuhan di sekitarku. Ini adalah kesalahan Avenia, dan apakah Mavis memilih untuk berperang atau tidak, dia bersama mereka. Dia bukan temanku. Tetapi aku melihatnya ketika kami berjuang mengangkat Mott ke kudanya. Mulutnya berubah menjadi senyum muram dan matanya penuh simpati. Mavis juga bukan musuhku.
Akhirnya kami berhasil mengangkat Mott ke sadelnya. Aku mengangguk cepat untuk berterima kasih ke Mavis, kemudian menaiki kuda dan mengitari pertempuran itu untuk kembali ke kamp. Tobias mungkin sudah pergi, tetapi kalau di sana masih ada kereta, Mott dapat dibawa ke tempat tujuan Tobias.
Jadi cukup mengejutkan ketika melihat kereta yang seharusnya dibawa Tobias dan Amarinda masih berada di tempat. Sebagian diriku berharap mereka menggunakan kuda dan berada jauh dari kamp ini sekarang. Tetapi kalau demikian, tidak ada harapan yang tersisa bagi Mott.
Dengan kecepatan yang hampir sama dengan Danau Falstan yang kembali dipenuhi air, kamp itu dipenuhi oleh tentaratentara Carthya dan Avenia. Berada sedikit lebih depan dari pertempuran itu, aku membawa Mott ke kereta dan kali ini dibutuhkan bantuan dua prajuritku untuk membawanya dengan selamat ke dalam. Salah satu berkomentar bahwa tubuh Mott benar-benar bobot mati, dan dengan tatapan sengit kuminta dia agar diam. Mott masih hidup dan aku tidak ingin dia mendengar pembicaraan seperti itu. Walaupun begitu, mungkin sudah terlambat. Aku meminta satu orang untuk tinggal di dalam kereta bersama Mott dan melakukan apa saja yang diperlukan untuk membuatnya bertahan hidup sampai aku mendapatkan pertolongan. Kemudian aku menyuruh tentara yang lain untuk mengemudikan kereta melintasi lapangan luas di pinggir kamp ke dalam hutan lebat. Kurasa Avenia tidak akan mengikuti mereka ke sana. Malam mulai turun dan mereka tentunya hendak bergabung dengan pasukan mereka yang lain.
Begitu aku melihatnya pergi dengan selamat dari keadaan terburuk, aku kembali ke pertempuran, bertarung sebisaku sambil berusaha menyerap besarnya kehancuran yang kami alami.
Untuk setiap orang Carthya yang masih memegang senjata, aku melihat sepuluh orang Avenia dengan senjata yang sama. Udara dipenuhi jerit kesakitan dan teriakan kemarahan. Dan di manamana ada kematian dan penderitaan, semua itu di luar kendaliku. Aku tidak pernah menginginkan perang, dan sekarang menjadi bagian darinya, apa yang aku lihat lebih buruk dari apa pun yang dapat kubayangkan. Aku dipaksa mempertanyakan apakah kebebasan Carthya setimpal dengan semua ini.
Seorang letnan mendapatiku di sana dan berkata dia baru saja menerima sekelompok kecil pasukan kami yang melarikan diri dari pertempuran, lebih ke utara.
"Apa maksudmu melarikan diri?"" tanyaku.
Matanya bergerak cepat, dan aku bertanya-tanya apakah mereka telah meninggalkan kawan sebangsanya. Hukumannya berat dan aku tidak tega menerapkannya sekarang. Tetapi ternyata, beritanya lebih buruk.
"Rajaku, pertempuran itu tidak berlangsung baik. Mereka adalah sedikit yang berhasil selamat."
Aku hampir tidak berani bertanya, "Roden?"
"Dia tertangkap. Tuanku, kami akan bertarung selama yang kauperintahkan, tetapi situasinya tidak baik."
Aku menggesekkan sepatu bot ke tanah, kemudian kembali menatapnya. "Letnan, perintahkan pasukan kita untuk segera mundur ke hutan. Bawa mereka masuk hutan sedalam mungkin, agar tetap aman."
Dia mengangguk, "Ya, rajaku."
Begitu dia mengumpulkan pasukan kami untuk mundur, aku mencari tanda-tanda Tobias dan Amarinda.
Kemudian, dengan kengerian lebih mendalam daripada yang dapat kuserap, aku menyadari lokasi mereka: di balik tumpukan kayu di ujung kamp. Aku tidak dapat melihat mereka, tetapi Fink berdiri di depan tumpukan itu, pedangnya begitu berat sehingga dia hampir tidak kuat memegangnya dengan dua tangan. Fink berusaha melindungi mereka.
Kutendang kudaku, mendesaknya ke arah tumpukan kayu. Beberapa orang Avenia mengikuti, mengerumuniku seperti anjing gila. Tetapi aku tidak punya waktu untuk mereka, dan menghabisi mereka sesengit dan secepat mungkin.
Namun demikian, seorang Avenia lain dengan kuda yang lebih gagah dekat tumpukan kayu telah melihat Fink, yang berteriak ketakutan. Dari balik tumpukan kayu, Tobias melompat ke luar. Dia menyambar pedang dari tangan Fink dan mendorongnya ke samping.
Tobias mengayun liar kepada para tentara, yang dengan cepat menjatuhkannya ke tanah. Orang Avenia itu kemudian mengalihkan tatapannya kepada Amarinda, yang juga muncul. Dia mulai berlari dan tentara itu menendang kudanya untuk mengejar, tetapi Fink melintas di antara Amarinda dan kuda itu, pedangnya kembali di tangannya. Dia begitu pendek sehingga pedang tersebut mengenai tentara itu dengan sudut yang tajam, menusuk baju besi di bawah lututnya dan orang itu berteriak sekeras teriakan Fink. Dia jatuh tersungkur, darah mengucur dari lukanya.
Kemudian Fink melihatku datang, dia berkata, "Aku melakukannya! Aku!"
"Kau bertindak seperti layaknya seorang kesatria," kataku. Ketika Tobias dan Amarinda berada lebih dekat, aku menoleh kepada mereka. "Kalian seharusnya pergi."
"Kami berusaha melakukannya," kata Tobias. "Tetapi mereka datang terlalu cepat."
Aku meluncur turun dan memberi Tobias kendali kudaku dan kuda prajurit yang tewas. "Pergi ke hutan. Kita akan berkumpul di sana."
"Tetapi aku sudah mengirim yang terluka lebih dahulu ke depan."
"Tidak ada yang berada di depan, Tobias! Lihat sekeliling kita!" Kemudian aku menurunkan nada suaraku. "Akan ada lebih banyak yang terluka di hutan. Mott salah satu di antara mereka."
Itu saja yang perlu didengar Tobias. Begitu mereka menaiki kuda, Fink menunjukkan jalan. Tobias dan Amarinda mendorongnya dari belakang, membuatnya bergegas memasuki lindungan hutan.
Pada saat itu, di medan perang hampir tidak ada orang Carthya. Aku ingin tinggal dan berperang, tetapi apa yang bisa kulakukan, yang tidak akan berakhir dengan kematianku"
Aku tidak pernah melarikan diri.
Itu yang pernah kukatakan kepada Gregor, kapten pengawalku yang dulu. Dan sekarang, aku tidak hanya memerintahkan pasukanku untuk mundur, tetapi dipaksa mundur bersama mereka juga.
Yang tertinggal dari kamp Carthya sekarang dimiliki oleh Avenia. Daerah itu dipenuhi tentara-tentara yang terluka dan mati, dan kalau aku tidak mendapatkan jalan keluar, sisanya akan mati besok.
Aku tidak menoleh ke belakang ketika melarikan diri ke hutan.
BAB 35 DARI seribu orang yang ditempatkan di Danau Falstan, kurang dari dua ratus yang berhasil memasuki hutan. Kami mengungsi jauh ke dalam bagian hutan yang paling lebat, tempat sedikit cahaya bintang berhasil tembus. Beberapa api unggun sudah dinyalakan, dan para pasukanku berkumpul di sekitarnya, lelah, hancur, dan tanpa harapan. Tobias dan Amarinda sibuk merawat yang terluka ringan, tetapi yang lukanya lebih serius tetap berada di kereta-kereta. Tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka.
Dan di sana ada Mott, hidupnya goyah di jurang kematian. Aku berdiri di samping kereta yang membawanya ke sini, merasa lebih tidak berdaya daripada yang pernah kurasakan sebelumnya. Tobias sudah membalut luka tusuk itu, tetapi Mott masih berjuang menarik napas dan bolak-balik pingsan.
"Apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkannya?" tanyaku pelan kepada Tobias.
Tobias hanya mengangkat bahu. "Semua tertinggal di kamp kita. Semua perban, dan obat-obatan, dan peralatan. Aku menemukan tanaman aravac yang membantu menahan sakit. Tetapi aku tidak bisa menyelamatkannya. Tidak di sini."
Sampai napas terakhirnya, aku tidak akan menyerah demi Mott. Berapa sering dia menyatakan keinginannya untuk mengikutiku bolak-balik ke neraka" Perang telah tiba, dan dia memang telah mengikutiku ke jalan yang paling kelam. Dia tetap di sini sekarang, melayang dalam bayangan di antara hidup dan mati. Aku harus membawanya keluar lagi dari sana. Tetapi akan mahal harganya.
Aku menggigit bibir sambil mempertimbangkan pilihanpilihanku. Atau, kalau mau jujur, hanya ada satu pilihan buruk tersisa. Selalu ada di dalam benakku, seperti aku tahu dari awal bahwa sesuatu seperti ini tidak terelakkan. Begitu keputusan dibuat, setiap kemungkinan acak lainnya yang pernah kupertimbangkan bergabung dalam kepalaku seperti teka-teki yang rampung. Kepada Tobias, aku berkata, "Jika kau punya perlengkapan itu, dapatkah kau menyelamatkannya?"
"Kumungkin dapat mati banyak orang di sini. Tetapi?" Mata Tobias menyipit. "Tidak, Jaron. Apa pun yang kaupikirkan?"
"Kupikir Mott akan mati!" aku mendesis. "Aku sudah kehilangan Imogen dan itu hampir menghancurkanku. Kita akan kalah dalam perang ini juga. Aku tidak akan kehilangan nyawa yang lain."
"Bagaimana dengan nyawamu" Kamp itu penuh oleh tentara Avenia. Kau tidak bisa menyelinap kembali ke sana!"
"Tidak," gumamku. "Aku tidak bisa menyelinap. Tetapi aku akan mendapatkan perlengkapan itu." Dia memanggilku ketika aku beranjak pergi, tetapi aku mengabaikannya. Aku tak membutukan saran yang rasional.
Amarinda menemukanku beberapa menit kemudian ketika aku berada di tepi pengungsian kami, mencongklang di atas kuda. Tangannya terkepal dan bahunya tegap. Aku mengenali postur itu ketika Imogen berkali-kali marah terhadapku. Sekarang Amarinda berkata, "Aku tahu ke mana kau akan pergi, Jaron. Kumohon jangan lakukan ini!"
Aku tidak tertarik untuk bertengkar dengannya. Baik atau buruk, tidak ada yang dapat mengubah pikiranku saat ini. "Tobias pasti putus asa kalau dia mengirimmu untuk menghentikanku."
"Dia mengirimku juga." Fink muncul dari belakangnya. "Kumohon jangan pergi."
Aku tidak memandangnya. Masih sambil menatap sadel, aku berkata, "Ini harus dilakukan, Fink. Bahkan jika kau belum mengerti alasannya sekarang."
"Aku mengerti sepenuhnya. Mereka akan membunuhmu!" Apakah dia pikir nasibku akan lebih baik kalau berdiam di hutan" Bahkan jika tak seorang pun dari kami mau mengatakannya, kami semua tahu akan ada peperangan lagi besok, jauh lebih buruk daripada bencana hari ini. Tidak peduli betapa keras kami melawan, atau betapa pandai aku menyusun rencana, pada saat matahari terbenam besok, beberapa ratus orang lagi akan tewas. Aku salah satunya.
"Apa yang Imogen ingin kaulakukan?" Amarinda bertanya. "Jika dia memintamu tinggal di sini, apakah kau akan berlari begitu mudah ke arah kematianmu sendiri?"
Suaraku lembut ketika berbicara kepadanya. "Bukan rahasia aku tidak punya keinginan untuk menjadi raja. Mengapa orang berpikir begitu" Aku selalu tahu bagaimana hal ini akan berakhir." Kemudian aku berbalik ke sadel untuk mengencangkan talinya. "Tetapi tidak apa-apa. Aku mengerti sekarang apa yang
Imogen lakukan untukku, dan itu yang akan kulakukan untuk Carthya."
"Imogen akan?" "Dia akan membenciku karena hal ini." Aku melepaskan tali sadel dan sebaliknya meraih tangan Amarinda. "Tetapi bukan berarti aku salah. Aku akan mencoba sebaik mungkin, dan aku tetap memiliki beberapa pilihan. Tetapi kalau keadaan memburuk, dan mungkin itulah yang akan terjadi, jangan bersedih untukku." Dia melengos, tetapi dia perlu mengerti bahwa aku bermaksud mengakhiri perang ini. Dengan cara apa pun, aku akan segera berada dalam kedamaian, memang hanya itu yang kuinginkan. "Imogen akan bertemu denganku di akhirat. Keluargaku akan berada di sana juga, Mott juga, kalau aku tidak mendapatkan obat itu baginya."
Ketika dia bicara, otot-otot di wajah Fink menegang dan mengernyut. "Bagaimana dengan aku" Kau satu-satunya keluarga yang kumiliki." Nada suaranya hampir menghentikanku saat itu. Dia pernah meyakini aku sudah mati. Aku benci harus membuat dia mengalaminya lagi.
Aku melepaskan Amarinda, kemudian meraih pedangku, yang kusandarkan di sebatang pohon. Aku menyuruh Fink mengulurkan tangan, dan di sana, kuletakkan pedang itu.
"Jaga ini," kataku. "Kau kesatria Carthya, ingat" Pedang ini milikmu sekarang."
"Milikku sampai kau kembali." Dia menurunkan pedang ke pinggangnya, kemudian berkata. "Kumohon, kembalilah. Aku tidak mau sendirian lagi."
"Aku berjanji untuk berusaha kembali. Tetapi kalaupun tidak, kau akan selalu punya Amarinda dan Tobias."
"Tobias terlalu banyak menguliahiku." Fink memejamkan matanya erat-erat dan menggeleng. "Lagi pula, aku membutuhkanmu."
"Seluruh Carthya membutuhkanmu," Amarinda menambahkan.
"Maka biarkanlah aku melakukan yang seharusnya kuperbuat untuk menyelamatkannya." Aku selesai menyiapkan kuda itu, tetapi sebelum menaikinya, Amarinda meletakkan tangannya di lenganku.
"Keluargamu akan bangga melihatmu sekarang," dia berbisik. "Mereka akan memberikan apa saja untuk melihat betapa hebatnya kau sebagai pemimpin."
"Mereka memang telah memberikan segalanya." Aku mendesah ketika wajah mereka melintas di benakku. "Apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah katakan aku mengecewakan ayahku. Katakan pada rakyat aku melakukan segalanya sebisaku."
"Mereka sudah mengetahuinya. Kembalilah kepada kami, Jaron."
"Kalau kau tewas, akan kukatakan kepada para santa agar tidak mengizinkanmu masuk," Fink berkata jengkel. Hampir sama seperti yang kukatakan kepadanya ketika kami terdampar di tebing.
Aku menjawab bahwa sebaiknya dia berharap para santa mengizinkanku masuk, kalau tidak, siapa yang akan menjaganya nanti di akhirat" Aku tersenyum ketika berkata begitu, tetapi Fink hanya mengertakkan rahang, hampir sama dengan yang kulakukan ketika sedang keras kepala. Kemudian kukecup pipi Amarinda, dan menaiki kuda. Sebelum pergi, aku berbalik kepada mereka dan berkata, "Jika Tobias menjadi raja negeri ini, jangan biarkan dia menyentuh pedangku. Dia akan melukai seseorang, dan bukan dengan cara yang baik pula."
Aku berkuda tanpa menoleh ke belakang, dan berhenti hanya sekali, di tepi hutan. Kamp yang menjadi milikku hanya beberapa jam sebelumnya sekarang menampilkan warna Avenia, dan tampak hidup dengan derak api dan aroma stew. Bayang-bayang para tentara yang sedang bertugas jaga sering melintas di depan api, dan perintah-perintah diteriakkan untuk menempatkan semua orang dalam kamp itu malam ini. Aku melihat tendaku dari jauh, terang dari dalam oleh lentera-lentera. Mungkin Vargan berada di sana, mungkin Conner juga.
Pertanyaan Amarinda bergema di kepalaku, akan apa yang dikatakan Imogen jika dia berada di sini. Dia akan mengamuk, itu pasti. Dan kemudian aku akan mengingatkannya bahwa hal itu tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukannya bagiku. Mengorbankan diri sehingga orang lain dapat hidup merupakan bukti cinta tertinggi.
Itulah yang Mott ingin aku pahami, dan sekarang aku mengerti. Dari semua perasaan yang ada, tidak ada yang lebih kuat daripada cinta. Ironisnya, jika dia tahu rencana-rencanaku, Mott akan bangun dari tempat tidurnya dan merangkak ke sini untuk menghentikanku. Seandainya dia tahu apa yang akan kulakukan, bahkan para iblis dan kematian tidak akan bisa menghentikannya.
Teringat akan dia sekarang, dan mendesaknya waktu, aku maju. Namun ingatan tentang bagaimana orang-orang Vargan memperlakukanku sebelumnya masih segar dalam ingatan, seperti bekas luka belum lama yang segera akan menganga lagi menjadi luka baru. Akan lebih parah kali ini, dan bayangan akan itu membuat tanganku gemetar begitu hebat sampai susah memegang kendali. Aku mengutuki kepengecutanku dan memberitahu diri sendiri bahwa ini adalah harapan terakhir yang kami miliki. Bahkan meski menyadarinya, aku tetap harus memaksa kakiku mendorong kuda untuk maju.
Para penjaga melihatku datang dari kejauhan dan selusin atau lebih dari mereka datang berkuda menemuiku. Terrowic, orang yang telah begitu kejam ketika aku menjadi tahanan dulu, yang pertama kali tiba. Aku tidak bersenjata dan menyatakan hal itu sebelum mereka tiba, tetapi mereka tetap mengepungku seolah aku membawa banyak bubuk mesiu. Walaupun aku bukan ancaman, ketika Komandan Kippenger tiba, dia menarikku dari kuda dan melemparkanku ke tanah. Anak buahnya dengan hati-hati memeriksa seandainya aku membawa senjata, kemudian akhirnya dia menarikku berdiri dan menuntut untuk mengetahui mengapa aku datang.
"Bawa aku ke Raja Vargan," kataku. "Kalau dia dapat mendengar panggilanmu, yang lebih keras daripada suara dengkurnya." "Raja dan Lord Conner pergi ke tempat lain di Carthya. Ada pertempuran lain, tahu kan."
"Tetapi pertempuran inilah yang berarti." Aku memperhatikan mata Kippenger. Dia terlihat sama letihnya dengan yang kurasakan, dan jelas lelah berperang. "Kita berdua sama-sama kehilangan banyak orang di sini hari ini. Ada satu yang istimewa, kawan baikku, yang akan meninggal kalau aku tidak mendapatkan bantuanmu."
Kippenger bersedekap, tetapi tidak menunjukkan kesombongan dingin seperti yang kubayangkan. Dia hanya berkata, "Mengapa aku harus menolongmu?"
"Karena akan menguntungkanmu juga. Kalau kau ingin mendapatkan pujian dari rajamu, bantulah aku. Kalau mau, aku akan memberimu apa yang paling diinginkannya."
"Apa itu?" Aku memutar bola mataku. "Yah, aku." Tentu saja.
"Kau berani memasang syarat" Aku menahanmu sekarang."
"Kau menahan diriku yang mau bekerja sama sekarang. Coba bawa aku dengan paksa, dan aku berjanji salah satu dari kita tidak akan sampai ke Vargan hidup-hidup. Syarat-syaratku mudah, Kippenger."
Kesabarannya denganku sudah menipis. "Kalau begitu, apa yang kauinginkan?" dia bertanya.
"Mengakhiri pertempuran ini. Bawa orang-orangmu dan tinggalkan tempat ini. Dan aku ingin pengiriman cepat dari seluruh perlengkapan medis di kamp ini untuk pasukanku yang berada di hutan."
"Ah. Dan untuk itu, aku boleh membawamu kepada rajaku?"
Untuk pertama kalinya sore itu, napasku lega. "Lebih daripada itu. Sebagai ganti permintaanku, aku akan menyerahkan Carthya."
BAB 36 MESKI curiga aku sedang melakukan tipuan, Komandan Kippenger dengan cepat menyetujui syarat-syaratku. Dia menuntut aku melepaskan brigandine. Karena sudah kotor dari berperang seharian, aku setuju, dengan syarat dia mencarikan sesuatu yang pantas untuk menggantikannya dan bukan dalam warna Avenia. Kemudian Kippenger menyuruh agar perlengkapanperlengkapan medis segera dibawa ke hutan. Begitu hal itu berlangsung, dia mengumumkan kepada pasukannya bahwa seluruh orang Avenia akan meninggalkan kamp secepat mungkin, dan membawaku bersama mereka.
"Raja Vargan meninggalkan pesan spesifik jika kau tertangkap," katanya.
"Tetapi kau tidak menangkapku. Aku menyerahkan diri. Jadi, kecuali perintahnya adalah memberiku makan malam bebek panggang, kau seharusnya tidak perlu merasa perlu menurutinya."
"Perintahnya adalah mengirimkanmu untuk dieksekusi." Kippenger terdiam, kemudian menambahkan, "Di Farthenwood."
Aku melontarkan kutukan yang kemungkinan akan membuat mendiang ibuku marah. "Tidak, itu tidak dapat diterima.
Kerajaanku berawal di Drylliad dan di sanalah satu-satunya tempat perang ini harus diakhiri."
Petualangan Manusia Harimau 3 Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W Pembunuhan Terpendam 4

Cari Blog Ini