Ceritasilat Novel Online

Kembang Jelita Peruntuh 1

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p Bagian 1


(Bagian II) JILID 1 Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / 1 2 Kembang Jelita 2 / 1 1 Ebook ini selesai dibuat di Pringsewu
dari tanggal 11 Juli 2018 sampai tanggal 29 Juli 2018.
CREDIT TO : Sumber Image : Koh Awie Dermawan
Pertama kali di share di group FB : Kolektor E-book
MOHON UNTUK TIDAK MENGUBAH/MENGHAPUS CREDIT INI
Happy Reading ? Kembang Jelita 2 / 1 2 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid I D ipadang rumput yang sunyi itu, udara
malam serasa dingin menggigit tulang. Di
langit, bulan sepotong memberi penerangan
yang sama sekali tak berarti kepada kelompok
penunggang kuda yang sedang melakukan
perjalanan malam. Sebuah rombongan yang
cukup besar. Hampir lima puluh orang lelaki
yang semuanya menunggang kuda-kuda padang
rumput yang tegar-tegar. Mereka melakukan
perjalanan sambil membisu, hanya kadangkadang saja bercakap-cakap dalam kata-kata
singkat yang "berbau" militer.
Mereka memang serombongan prajurit
Kerajaan Manchu. Kembang Jelita 2 / 1 3 Mereka mempercepat lari kuda mereka
ketika melihat kelap-kelip lampu-lampu
perkemahan tentara sudah nampak di depan
mata. Ke arah perkemahan itulah mereka
menuju. Perkemahan itu adalah sebuah
perkemahan besar tentara di garis depan,
perkemahan yang berhadapan langsung dengan
benteng terdepan musuh yaitu kota San-haikoan, kota benteng paling timur dari deretan
raksasa yang dikenal sebagai Ban-Ji Tiang-shia
(Tembok Besar). Di seberang Tembok Besar
sudah bukan wilayah Man-chu lagi.
Tinggal ratusan langkah dari perkemahan,
rombongan berkuda itu dihadang oleh
serombongan prajurit penjaga yang membawa
obor-obor. "Berhenti!" hardik Si Komandan regu
penjaga. Rombongan berkuda itu pun berhenti
dengan patuh. Para penjaga mengangkat tinggi-tinggi
obor-obor mereka untuk mencoba mengenali
penunggang-penunggang kuda itu. Tetapi wajah
Kembang Jelita 2 / 1 4 para penunggang kuda terlindung bayangbayang caping yang mereka kenakan, meskipun
dari pakaian mereka jelas terlihat kalau mereka
adalah prajurit-prajurit Kerajaan Manchu.
"Siapa Tuan-tuan ini, dan menuju ke mana?"
tanya Si Komandan regu penjaga.
Penunggang kuda yang paling depan tidak
menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan
gagang cambuk kuda ia mendorong pinggiran
capingnya ke atas, memberi jalan kepada
cahaya obor untuk menyoroti wajahnya. Itulah
wajah persegi seorang lelaki berusia kurang
lebih setengah abad, dengan mata tajam dan
hidung besar, kumis dan jenggotnya yang
dipotong pendek itu nampak kaku dan
berwarna campuran antara hitam dan putih,
rahangnya kokoh kuat. Secara keseluruhan, raut
wajah itu menunjukkan sifat orangnya yang
keras dan tegas. Melihat wajah itu, Si Komandan jaga
terkejut karena mengenalinya. Serta-merta ia
menjatuhkan diri berlutut sambil memanggil,
"Pangeran!" Kembang Jelita 2 / 1 5 Maka prajurit-prajurit bawahannya pun ikut
berlutut. Penunggang kuda yang terdepan itu adalah
Pangeran Toh Sek-kun yang punya gelar
kebangsawanan Wi-ceng-ong, berkedudukan
sebagai Panglima Tertinggi di Kerajaan Manchu.
Ia adalah paman dari Kaisar Sun-ti yang masih
kecil, adik-tiri dari Sit-ceng-ong Toh Ji-kun yang
bertindak sebagai Wali Kaisar yang menjalankan pemerintahan sampai dewasanya
Kaisar Sun-ti kelak. Kedudukan Wali Kaisar dan
Panglima Tertinggi sengaja dipecah ke tangan
dua orang terpisah demi mengamankan Kaisar
Sun-ti yang masih kecil. Itu diatur oleh
almarhum Kaisar Thai-cong (1627 -1636), ayah
Kaisar Sun-ti dan kakak dari Pangeran Toh Jikun maupun Toh Sek-kun.
Pangeran Toh Sek-kun dari atas kudanya
berkata kepada komandan regu penjaga yang
masih berlutut itu, "Bangunlah."
Komandan itu menjawab, "Hamba mohon
maaf akan sikap hamba yang tidak sopan
terhadap Pangeran. Hamba benar-benar tidak
Kembang Jelita 2 / 1 6 menduga kalau Pangeran kembali ke
perkemahan di saat larut malam begini dari
Ibukota Jiat-ho..." 'Tidak apa-apa. Kau menjalankan tugas
dengan baik, memeriksa siapa pun yang
mendekati perkemahan, tanpa pandang bulu.
Nah, sekarang biarkan kami lewat."
"Silakan, Pangeran."
Para penjaga pun minggir, membiarkan
rombongan berkuda Pangeran Toh Sek-kun
lewat dan menuju ke perkemahan tentara.
Sambil menatap rombongan Pangeran Toh
Sek-kun menjauh, seorang prajurit muda yang
tergolong kelompok penjaga berdesis, "Beberapa hari yang lalu, utusan-utusan dari
Ibukota Jiat-ho memanggil Pangeran, dan
Pangeran tergesa-gesa menuju Jiat-ho. Malam
ini Pangeran tiba dari Jiat-ho larut malam
begini. Nampaknya situasinya semakin meruncing. Agaknya perang sudah di ambang
pintu. Komandannya menjawab, "Menurut perhitungan, kalau kita hendak menyerbu ke
Kembang Jelita 2 / 1 7 selatan, memang sekaranglah saatnya yang
tepat. Selagi negeri incaran kita di sebelah
selatan Tembok Besar itu belum sempat
membenahi keadaan setelah selesainya perang
saudara yang merobohkan dinasti Beng dan
menegakkan dinasti barunya L i Cu-seng.."
Seorang prajurit bertampang ganas dengan
pipi ada bekas luka senjata, berkata, "Bagus.
Perang itu yang aku tunggu-tunggu, aku hampir
bosan menunggu saja di sini. Aku sudah rindu
mencium bau darah seperti di Tiau-sian (Korea)
dulu!" Namun prajurit muda tadi menarik napas
dan berkata dengan berat, "Perang. Buat apa
kita menjarah kampung-halaman orang lain,
sedang kita sendiri punya kampung halaman
yang pasti tidak suka kalau dijarah orang lain?"
"Kalau kau tidak senang perang, kenapa jadi
prajurit?" "Aku tidak senang perang, aku dipaksa
menjadi tentara. Kampung halamanku terletak
di kaki Pegunungan Tiang-pek-san, sekeluarga
hidup berkecukupan dengan menggali gin-seng
Kembang Jelita 2 / 1 8 dan menjualnya. Suatu kali kampungku
didatangi sekelompok prajurit, lalu pemudapemuda yang sehat di kampungku dikumpulkan
di suatu tempat, bersama pemuda-pemuda dari
kampung-kampung lain. Kami diberi seragam
dan dilatih perang. Disuruh menombak perut
orang-orangan jerami, memenggal kepala
orang-orangan jerami juga, memanah dan
melempar lembing, memanjat tembok sambil
mengangkat perisai di atas kepala dengan
pedang digigit di mulut..."
"Jadi kau belum mengalami perang
sungguhan?" Si prajurit muda berwajah bocah
menggeleng. Si prajurit berwajah ganas tertawa, "Nanti
dalam perang kamu akan menombak perut
orang sungguhan, Nak, bukan orang-orangan
jerami. Asyik lho. Kalau kau tarik tombakmu
keluar dari perut orang itu, sering-sering usus
orang itu ikut brodol keluar. Sekali
mengalaminya, kau akan ketagihan, Nak."
Kembang Jelita 2 / 1 9 Si prajurit berwajah bocah memucat
wajahnya, menahan rasa mualnya membayangkan adegan yang diceritakan
temannya itu. Si komandan regu lalu menengahi, "Perang
atau tidak bukanlah urusan kita orang-orang
bawahan yang cuma menjalankan perintah ini.
Lebih baik kita jalankan tugas kita sendiri,
meronda." Sementara itu, beberapa pengawal Pangeran Toh Sek-kun sudah berjalan
mendahului untuk menyiapkan segala sesuatunya bagi Pangeran itu.
Maka ketika Pangeran Toh Sek-kun
melangkah masuk ke tenda besarnya di tengahtengah perkemahan itu, kemahnya sudah
terang-benderang dan hangat oleh perapian
tembaga berkaki tiga. Tempat tidurnya adalah
lembaran-lembaran kulit binatang yang
ditumpuk berlapis-lapis, merangkap juga
tempat ia duduk untuk makan atau bercakapcakap. Ketika ia masuk, di atas tumpukan kulit
binatang itu sudah ada meja kecil berkaki
Kembang Jelita 2 / 1 10 pendek, dengan mangkuk-mangkuk makanan
yang sudah dihangatkan di atasnya.
Sambil menikmati makanan itu, Pangeran
Toh Sek-kun membayangkan alangkah nyamannya sehabis makan terus tidur sampai
pagi. Tetapi semangat militernya membuat ia
tidak dapat segera melakukan itu. Ada beban
pikiran yang dibawanya dari Jiat-ho, Ibukota
Kerajaan Manchu waktu itu, yang harus segera
dibicarakan dengan orang kepercayaannya.
Maka sehabis makan, ia perintahkan
seorang pengawalnya, "Bangunkan Kun-su
(Penasehat Militer) Kat-hu-yong sekarang juga,
dan mintalah dia langsung kemari."
Buat para pengawal yang sudah terbiasa
dengan tingkah laku Pangeran Toh Sek-kun


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehari-hari, bukan hal aneh kalau hanya disuruh
memanggil dan membangunkan orang di larut
malam seperti itu. Si pengawal hanya
menjawab, "Baik" dan kemudian pergi
melaksanakannya. Lalu sambil menunggu, Pangeran memerintahkan pula untuk menghangatkan
Kembang Jelita 2 / 1 11 arak, untuk menyambut Kat Hu-yong yang bakal
datang. Tidak lama kemudian, di luar kemah
terdengar langkah orang mendekat dan suara,
"Hamba datang, Pangeran..."
Pangeran Toh Sek-kun menjawab ramah
dari dalam kemah, "Silakan masuk, Kun-su. Ada
arak hangat buatmu."
Tirai penahan angin di pintu kemah
tersibak, masuklah seorang lelaki setengah abad
yang bertubuh kurus dan berjenggot jarang,
memakai jubah kain hangat yang biasa dipakai
orang-orang tua di musim dingin. Tapi
berlawanan dengan tampang dan penampilannya yang mudah mengundang
pandangan remeh orang lain, sepasang matanya
justru berkilat-kilat tajam, seolah menunjukkan
betapa tajam pula otak yang ada di balik
tengkorak kepala yang kecil dan memakai topi
bulu sederhana itu. Kat Hu-yong membungkuk member hormat
Pangeran Toh Sek-kun, "Selamat datang
kembali di perkemahan, Pangeran. Tetapi
Kembang Jelita 2 / 1 12 hamba yakin Pangeran mengundang aku
malam-malam begini bukan sekedar karena
arak hangat. Pasti ada yang lebih hangat dari
arak." Pangeran Toh Sek-kun tertawa terbahak,
"Ha-ha-ha tentunya yang merangsang Kun-su
keluar dari selimut Kun-su tentunya juga bukan
cuma arak hangat. Memang ada yang lebih
hangat dari arak. Nah, silakan duduk."
Kat Hu-yong duduk di atas tumpukan helaihelai kulit binatang berbulu itu, duduk
bersebelahan dengan Pangeran Toh Sek-kun
diantara meja kecil berkaki pendek itu.
"Urusannya memang cukup penting dan
mendesak, Kun-su, tapi bukan berarti kita lalu
mengabaikan arak di depan kita. Mari kita
minum dulu secawan."
Dengan tangannya sendiri Pangeran
mengisi cawan Kat Hu-yong, dan cawannya
sendiri, lalu mereka minum bersama-sama.
Setelah cawan pertama lewat, Kat Hu-yong
tidak dapat menahan rasa ingin tahunya lagi,
"Cukup secawan dulu, Pangeran. Hamba ingin
Kembang Jelita 2 / 1 13 Dengan tangannya sendiri Pangeran mengisi
cawan Kat Hu-yong, dan cawannya sendiri,
lalu mereka minum bersama-sama.
Kembang Jelita 2 / 1 14 segera mendengar hasil sidang Dewan Kerajaan
yang baru saja Pangeran hadiri."
"Baiklah. Hasil sidang itu hanya aku
beritahukan kepada Kun-su dalam satu kalimat
kesimpulan. Untuk menyerang ke selatan atau
tidak, sepenuhnya tergantung pertimbangan
militer, berarti sepenuhnya di tanganku sebab
di tanganku-lah kekuasaan militer itu."
"Lalu bagaimana keputusan Pangeran
sendiri. Menyerang atau tidak?"
"Itu juga tergantung kepadamu, Kun-su."
"Lho!" "Sebab Kun-sulah yang punya keterangan
paling lengkap tentang situasi negeri yang akan
kita serang itu. Aku tidak akan membawa
pasukanku ke sana seperti orang-orang buta
yang tidak tahu apa-apa sama sekali."
Kat Hu-yong menggangguk-angguk. Ia tahu
Pangeran Toh Sek-kun adalah pengikut fanatik
"nabi ilmu perang" Sun Cu dengan ujarnya yang
terkenal : Kalau mengenal musuh seperti
mengenal diri sendiri, dalam seratus
Kembang Jelita 2 / 1 15 pertempuran akan mendapat seratus kemenangan. Dan Pangeran menanyakan situasi negeri
selatan kepada Kat Hu-yong, sebab Kat Hu-yong
bukan penasehat yang sekedar main kira-kira
dengan teori-teori dari buku saja, melainkan
nasehatnya berdasarkan keadaan nyata dari
sasarannya. Kat Hu-yong punya jaringan matamata yang rapi dan efektif di negeri musuh, di
seberang Tembok Besar. Jaringan mata-mata
yang bukan cuma sanggup melapor tetapi juga
mempengaruhi. Kat Hu-yong patut berbesar hati, karena
sekarang keputusan Pemegang Kekuasaan
Militer itu pun akan tergantung kata-katanya.
Namun ia tetap berkata dengan rendah hati,
"Pangeran, terlalu berat bagi hamba kalau
Pangeran katakan bahwa keputusannya
tergantung dari kata-kataku. Hamba hanya akan
melaporkan situasinya saja, setelah itu
terserahlah apa yang akan Pangeran lakukan."
"Baik. Nah, mulailah."
Kembang Jelita 2 / 1 16 "Pangeran, meskipun Li Cu-seng berhasil
memenangkan perang dengan merobohkan
dinasti Beng dan memaksa Kaisar Cong-ceng
menggantung diri di Bukit Bwe-san, namun
tidak berarti Li Cu-seng sudah menguasai
seluruh bekas wilayah Kerajaan Beng. Ia hanya
menguasai separoh yang bagian utaranya saja.
Bahkan di bagian utara pun masih ada Bu Samkui di San-hai-koan yang tetap mengibarkan
bendera Jit-goat-ki (Bendera Rembulan dan
Matahari, bendera Kerajaan Beng)...."
"Lalu di bagian selatan?"
"Di bagian selatan masih dikuasai beberapa
bangsawan dan jenderal-jenderal Dinasti Beng
dengan pasukan masing-masing yang takkan
gampang ditundukkan oleh Li Cu-seng."
"Siapa saja penguasa-penguasa di wilayah
selatan itu?" "Yang keturunan Dinasti Beng antara lain
adalah Pangeran Lou-ong yang berkedudukan
di kota Siao-hin Propinsi Ciat-kang, lalu ada
pula Pangeran Hok-ong di Lam-khia, serta
Pangeran Kui-ong di Propinsi Kui-sai.."
Kembang Jelita 2 / 1 17 "Waduh, meriah juga ya?"
"Masih ada juga bangsawan tetapi yang
bukan keturunan raja, misalnya Keluarga Bhok
yang berkuasa di Propinsi Hun-lam."
"Kun-su, kau baru menyebutkan bangsawan-bangsawannya,
bagaimana dengan jenderal-jenderalnya? Mereka adalah orangorang lapangan yang tidak boleh diabaikan
kekuatannya...." "Cukup banyak juga, Pangeran. Ada Jenderal
Su Ko-hoat di Yang-ciu, Jenderal Thio Hian-tiong
di Se-cuan dengan pasukan Thai-se-kun yang
terkenal, Jenderal Thio Hong-gan di Ciat-kang,
Jenderal Li Teng-kok di Hun-lam, Jenderal The
Seng-kong di Hok-kian yang juga mempunyai
armada pasukan laut yang kuat dan
berpangkalan di Pulau Taiwan...."
"dan Jenderal Bu Sam-kui di San-hai-koan di
depan hidung kita, ya?"
"Betul, Pangeran. Tetapi kekuatan Bu Samkui bukan pada kekuatan militernya, melainkan
pada kedudukan strategisnya di San-hai-koan.
Menurut mata-mata hamba di San-hai-koan,
Kembang Jelita 2 / 1 18 tentara Bu Sam-kui di San-hai-koan tidak lebih
dari sepuluh ribu prajurit dengan moril yang
sangat rendah." "Baiklah, Bu Sam-kui bisa kita bicarakan
nanti. Aku ingin tahu lebih banyak tentang sisasisa kekuatan Diinasti Beng di wilayah selatan
itu. Apakah mereka bersatu?"
"Yah, bentrokan terang-terangan memang
tidak atau belum terlihat. Tetapi yang namanya
manusia, hamba rasa di antara mereka akan ada
juga rasa persaingan untuk melanjutkan
kepemimpinan dinasti Beng. Para pangeran itu
tentu merasa punya hak. Sedangkan para
jenderal itu tentu akan kebingungan menentukan kiblat, mau ikut pangeran yang
mana?" "Atau malahan ada di antara para jenderal
itu yang punya ambisi sendiri untuk menjadi
cikal-bakal sebuah dinasti yang baru?"
"Masuk akal, Pangeran. Bukankah mereka
pun merasa punya kekuatan dan wilayah
pengaruhnya masing-masing?"
Kembang Jelita 2 / 1 19 "Siapa yang paling berpeluang untuk
memimpin, menurut pengamatan orangorangmu, Kun-su?"
"Yang paling kuat kelihatannya hanyalah
Pangeran Lou-ong dan Pangeran Hok-ong,
meskipun bukan berarti Pangeran Tong-ong
dan Pangeran Kui-ong lalu mengkesampingkan
ambisinya begitu saja. Namun sampai saat ini
mereka masih belum cakar-cakaran, masih
pura-pura rukun, begitulah. Mereka masih
punya cukup otak untuk menggabungkan
kekuatan meskipun hanya dalam sebuah
persekutuan yang sekedar taktik menghadapi Li
Cu-seng yang menguasai belahan utara. Para
pangeran itu juga tidak mau bertindak gegabah
agar tidak menghilangkan simpati para jenderal
yang menguasai pasukan-pasukan yang kuat
itu." Pangeran Toh Sek-kun tertawa dan berkata,
"Agaknya isi perut mereka tidak tersembunyi
dari kelihaian mata orang-orangmu, Kun-su."
Kembang Jelita 2 / 1 20 Kat Hu-yong pun tertawa, "Orang-orang
hamba adalah cacing-cacing di dalam perut
mereka, Pangeran, tanpa mereka sadari."
"Kalau begitu, tugaskan orang-orangmu
untuk semakin mempertajam persaingan antara
pangeran-pangeran Dinasti Beng itu. Supaya
mereka menjadi lemah."
"Ampun Pangeran, itu sudah hamba
lakukan." Pangeran Toh Sek-kun tercengang sekejap,
lalu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi
perutnya, "Waduh, jadi perintahnya kalah cepat
dari pelaksananya ya? Baiklah, aku akan
menghormatimu dengan secangkir arak lagi."
Keduanya bersama-sama minum arak
dengan riang gembira. "Nah, Kun-su, kau sudah memberi
keterangan memuaskan tentang sisa-sisa
Dinasti Beng di Selatan, sekarang bagaimana
dengan Li Cu-seng di Utara? Kabarnya dia
sedang asyik bermain kaisar-kaisaran dengan
gelar siapa, eh?" tanya Pangeran Toh Sek-kun
sambil tertawa. Kembang Jelita 2 / 1 21 Kat Hu-yong ikut tertawa juga. "Ya
begitulah. Orang kampung itu sekarang
menamakan diri Kaisar Tiong-ong."
"Bukan main lagaknya. Tapi baiklah,
ceritakan tentang dia. Bukankah sebelum
menerjang ke Selatan, kita mau tidak mau
haruslah melewati wilayahnya si Kaisarkaisaran itu?"
"Penyakit lama manusia, Pangeran. Pengikut-pengikut Li Cu-seng itu dulunya ketika


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih berjuang selalu menepuk dada dan
gembar-gembor menyebut diri pejuang-pejuang
pembela rakyat kecil. Tapi begitu mereka
menang perang dan Li Cu-seng duduk di tahta,
pengikut-pengikutnya seperti Lau Cong-bin dan
Gu Kim-sing segera lupa daratan, menggunakan
kekuasaan untuk hidup mewah dan berfoyafoya melebihi bangsawan-bangsawan Dinasti
Beng yang dulu mereka kecam kebobrokannya...." "Kun-su, kau belum menyebut sebuah nama.
Nama seseorang yang justru paling besar
Kembang Jelita 2 / 1 22 jasanya dalam perjuangan Li Cu-seng dulu.
Nama itu adalah Li Giam."
Mendengar nama itu, mimik memandang
remeh di wajah Kat Hu-yong kontan lenyap,
bahkan ada perasaan hormatnya kepada orang
yang di pihak musuh itu. Rasa hormatnya pun
terkandung dalam kata-katanya, "Orang ini
barulah prajurit sejati. Semangatnya tidak
luntur meskipun sudah mencapai kemenangan.
Ia tetap hidup sederhana, berdekatan dengan
anak buahnya, dan tetap memberlakukan
waktu-waktu latihan yang teratur dan keras
terhadap seluruh pasukannya. Li Giam berbeda
dengan pejuang-pejuans gadungan semacam
Lau Cong-bin maupun Gu Kim-sing."
"Kalau begitu, kalau kelak kita gerakkan
tentara menyeberang Tembok Besar, Li Giam
inilah bakal menjadi lawan tangguh kita."
"Betul, Pangeran."
"Terus terang tanganku mulai gatal, Kunsu."
"Maksud Pangeran?"
Kembang Jelita 2 / 1 23 "Saat ini pasukanku sedang dalam kondisi
puncak. Segar, amat terlatih dan bersemangat
tinggi. Aku juga punya resimen-resimen yang
biarpun berjumlah kecil tetapi pasti akan
sanggup membuat kebingungan orang-orang
setolol Lau Cong-bin maupun Gu Kim-sing. Kita
punya Resimen-resimen Gunung orang-orang
Korea yang sanggup menempuh perjalanan
malam di pegunungan yang asing sekalipun
tanpa obor, hanya mengandalkan bintang di
langit, dan mereka akan tiba di sasarannya
secara tepat. Kita juga punya resimen-resimen
berkuda orang-orang Mongol yang akan
sanggup menyapu pasukan darat musuh di
tempat-tempat terbuka. Belum lagi pasukan
induk kita yang akan seperti gelombang lautan,
akan menyapu seluruh pasukan Li Cu-seng di
tempat-tempat yang dilewati, seperti dulu
mereka menyapu pasukan Oshido Matsunari
dari Korea. Sedang di pihak Li Cu-seng
pasukannya masih kelelahan sehabis perang
menumbangkan dinasti Beng. Pasukan mereka
hanyalah prajurit-prajurit amatir yang cuma
Kembang Jelita 2 / 1 24 mengandalkan jumlah besar, namun pasti akan
kebingungan menghadapi ketangkasan dan
kecerdikan tentara kita. Kun-su, rasanya inilah
saatnya kita bergerak. Kita terjang dulu Bu Samkui di San-hai-koan, lalu langsung kita tikam
jantung Li Cu-seng di Pak-khia. Rasa-rasanya
hanya Li Giam yang bakal menguras sedikit
perhatian, yang lain-lainnya cuma kantongkantong nasi belaka."
Pangeran Toh Sek-kun menghentikan katakatanya yang bersemangat itu, ketika melihat
Kat Hu-yong menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa, Kun-su?"
"Hamba punya pertimbangan lain. Hamba
mohon maaf kalau ada kata-kata. yang tidak
berkenan di hati Pangeran."
"Aku selalu senang mendengar pertimbanganmu yang tidak asal mendukung
atau sekedar ikut-ikutan saja, Kun-su.
Katakanlah." "Menurut perbandingan kekuatan militer,
hamba percaya bahwa kita dengan gampang
akan merebut wilayah dari San-hai-koan sampai
Kembang Jelita 2 / 1 25 Pak-khia dengan suatu serangan gerak-cepat
yang mengejutkan. Tapi itu kurang bijaksana.
Itu artinya kita masuk ke negeri orang sebagai
penjajah asing, dan kita akan mendapat
perlawanan dari seluruh rakyat Tiong-goan
yang jumlahnya lebih sepuluh kali lipat dari
jumlah rakyat negeri kita. Dan kita tidak punya
cukup banyak prajurit untuk mempertahankan
setiap jengkal tanah yang kita rebut. Bahkan
tidak mustahil Li Cu-seng malah akan
melupakan permusuhan dengan sisa-sisa
dinasti Beng di Selatan dan mereka akan
bergabung melawan kita, sebab mereka merasa
sebagai sama-sama bangsa Han...."
"Lalu?" "Alangkah akan lebih ringan perlawanannya
terhadap kita, kalau kita masuk ke Tiong-goan
karena diundang masuk oleh Bu Sam-kui
misalnya. Kita akan masuk seolah-olah hanya
sebagai pasukan yang dipinjam untuk
menegakkan kembali dinasti Beng."
"Wah, ini sulit, Kun-su. Mustahil Bu Sam-kui
membukakan pintu San-hai-koan untuk
Kembang Jelita 2 / 1 26 mempersilakan kita masuk, sementara saat ini
meriam-meriamnya menuding ke hidung kita."
"Serahkan kepada hamba, Pangeran.,
Hamba bisa mengaturnya."
Pangeran Toh Sek-kun merenung sejenak,
lalu mengangguk. "Baiklah. Selain menggarap
Bu Sam-kui, apalagi yang kau rencanakan
sebelum pasukan kita bergerak melintasi
perbatasan?" "Melenyapkan Li Giam."
"Kita kirim pembunuh?"
"Tidak, Pangeran, maaf. Itu terlalu kasar. Itu
hanya akan membuat kegiatan kita tersingkap."
"Bagaimana kalau pembunuh-pembunuh itu
kita ambil dari orang luar? Misalnya pembunuhpembunuh bayaran yang siap melakukan apa
saja demi uang? Lalu mereka kita bekali dengan
identitas palsu, sebagai pengikut-pengikut
dinasti Beng, sehingga kalau mereka terbunuh
atau tertangkap pun, mereka tetap tidak
menuding kita?" "Hamba mengusulkan sebuah cara yang
lebih halus, Pangeran."
Kembang Jelita 2 / 1 27 "Bagaimana?" "Li Giam ini punya bibit permusuhan
terhadap Gu Kim-sing. Li Giam merasa bahwa
dirinyalah sebetulnya yang sekarang berhak
menduduki jabatan Panglima Tertinggi,
bukannya Lau Cong-bin. Li Giam menyalahkan
Gu Kim-sing untuk kegagalannya itu. Maka kita
bisa menyingkirkan Li Giam dengan menggunakan tangan Gu Kim-sing atau Lau
Cong-bin. Ada dua keuntungan. Pertama,
tersingkirnya Li Giam itu sendiri. Kedua,
dendam terpendam yang pasti akan menghuni
orang-orang yang setia kepada Li Giam, sebab Li
Giam ini juga banyak pengikutnya."
"Caranya?" Lagi-lagi Kat Hu-yong menjawab dengan
kalem, "Serahkan saja kepada hamba, kalau
Pangeran percaya." "Tentu saja aku percaya. Kalau tidak
percaya kepadamu, mau kepada siapa lagi?
Tetapi masih ada satu pertanyaan yang
mengganjal, kalau terjadi keretakan di tubuh
pemerintahan Li Cu-seng, jangan-jangan nanti
Kembang Jelita 2 / 1 28 yang memanfaatkannya adalah sisa-sisa dinasti
Beng lebih, dulu?" Kat Hu-yong tertawa, "Tidak akan terjadi
seperti itu, Pangeran. Sisa-sisa dinasti Beng
yang terbagi dalam berbagai golongan itu
sedang terlalu sibuk untuk memperkuat
peluang masing-masing terhadap lainnya,
mereka tidak cukup cepat untuk memanfaatkan
perpecahan di tubuh Li Cu-seng seandainya
mereka mengetahuinya. Kitalah yang akan
memanfaatkan kesempatan itu lebih dulu."
"Baiklah. jadi Kun-su sendiri yang, akan
mengerjakan kedua hal ini sekaligus?
Mengusahakan agar Bu Sam-kui mengundang
kita masuk San-hai-koan, sekaligus menyingkirkan Li Giam dengan meminjam
tangan Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin?"
"Hamba akan dibantu orang-orang kepercayaan hamba, baik di San-hai-koan
maupun di Pak-khia."
"Aku percayakan kepadamu dan orangorangmu."
Kembang Jelita 2 / 1 29 "Tetapi untuk masalah yang pertama, yaitu
mengusahakan Bu Sam-kui mengundang kita,
hamba memohon sedikit kerjasama dari
Pangeran." "Sebutkan." "Biarlah Bu Sam-kui tidak lagi memandang
kita terlalu bermusuhan. Untuk itu, hamba
mohon agar Pangeran menjauhkan pasukan
dari San-hai-koan. Mundur beberapa puluh li,
supaya Bu Sam-kui mudah diyakinkan akan
itikad "baik" kita..."
Pangeran Toh Sek-kun tertawa mendengar
Kat Hu-yong memberi tekanan suara yang
khusus pada kata "baik" di belakang kata
"itikad" tadi. "Baiklah. Kapan Kun-su akan
berangkat?" "Sekarang juga, Pangeran."
"Padahal saat ini adalah menjelang dini-hari
yang bukan main dingin hawanya, Kun-su."
"Tidak jadi soal. Urusan Bu Sam-kui dan Li
Giam ini, makin cepat dirampungkan akan
makin baik. Bukankah Pangeran sendiri tadi
bilang sudah mulai gatal tangan?"
Kembang Jelita 2 / 1 30 Pangeran Toh Sek-kun tertawa, lalu
menuangi cawan-cawan kosong di atas meja itu,
sambil berkata, "Aku tidak akan mencegahmu,
Kun-su. Aku hanya akan mengucapkan selamat
jalan dan selamat bekerja dengan arak."
Kedua sahabat itu mengeringkan beberapa
cawan arak lagi, sesudah itu Kat Hu-yong
bangkit dan melangkah ke pintu kemah.
Katanya, "Nah, mumpung masih pagi, Pangeran,
hamba akan memulai perjalanan hamba."
Pangeran Toh Sek-kun bukan hanya
mengantarkan sampai ke depan kemah
pribadinya, bahkan sampai ke pintu perkemahan tentara itu. Ketika Kat Hu-yong sudah
melangkah menjauh, Toh Sek-kun melangkah
lambat-lambat kembali ke kemahnya, tanpa
menggubris beberapa prajurit yang berpapasan
dan member hormat kepadanya. Pikirannya
sedang dipenuhi bayangan pasukan besarnya
yang berbaris tegap dan megah menyeberangi
perbatasan negara tetangga..
**** Kembang Jelita 2 / 1 31 Situasi Ibukota Pak-khia berangsur-angsur
normal setelah pertempuran dahsyat yang
menjatuhkan dinasti Beng, dan menegakkan
sebuah pemerintahan baru di bawah pimpinan
Li Cu-seng yang sekarang bergelar Kaisar Tiongong. Di beberapa bagian kota Pak-khia masih


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak bangunan-bangunan yang rusak atau
bekas dibakar namun belum sempat diperbaiki.
Yang berkeliaran di jalanan kebanyakan bukan
orang sipil, melainkan prajurit-prajurit Li Cuseng yang sebagian sudah berseragam, sebagian
lagi masih tanpa pakaian seragam kecuali ikatkepala kuning mereka, seperti ketika masih
berjuang dulu. Tetapi masih sering terlihat prajurit-prajurit
pemerintahan baru mendobrak masuk ke
sebuah rumah untuk menyeret keluar penghuni
rumah, yang dicurigai atau dituduh berdasar
laporan bahwa mereka adalah "antek-antek
dinasti Beng." Kalau sudah kena tuduhan
demikian, hampir mustahil untuk bisa pulang ke
rumah dengan selamat. Kalau tidak digantung,
ya dipenggal kepalanya, demi menjaga
Kembang Jelita 2 / 1 32 "kewibawaan" pemerintah yang baru. Hanya
orang-orang yang mampu menyogok dalam
jumlah besar saja yang dilepaskan setelah
ditangkap. Begitulah, pemerintahan baru yang
dulu mengaku "berjuang demi rakyat kecil" itu
pun sekarang tidak kalah menakutkan dengan
pemerintahan lama yang dirobohkan.
Kebijaksanaan tangan besi semacam itu
adalah atas perintah Lau Cong-bin yang
sekarang berkedudukan sebagai Panglima
Tertinggi di bawah pemerintahan Kaisar Tiongong alias Li Cu-seng.
Sebenarnya Kaisar Tiong-ong lebih menyukai Li Giam yang bergaya hidup
sederhana dan tetap militan itu sebagai
Panglima Tertinggi dalam pemerintahan
barunya. Ketimbang Lau Cong-bin yang terlalu
senang main perempuan dan punya harem yang
menyimpan puluhan perempuan cantik, hasil
"koleksi"nya selama bertahun-tahun. Tetapi
Kaisar Tiong-ong tidak dapat menjilat ludahnya
sendiri. Dulu ketika masih berjuang, ia
mengucapkan sayembara di depan hulu-balangKembang Jelita 2 / 1
33 hulubalangnya, bahwa siapa yang paling dulu
berhasil menerobos masuk ke dalam Ibukota
Pak-khia, dialah yang akan menjadi Panglima
Tertinggi dalam pemerintahannya kelak. Waktu
itu, semua orang berani bertaruh bahwa Li
Giam-lah yang bakal menjadi Panglima
Tertinggi karena pasukannya begitu pesat maju
ke Pak-khia. Tak terduga, ketika Li Giam tinggal
beberapa langkah ke Pak-khia, ia "disikut" Gu
Kim-sing, juga hulubalang Li Cu-seng yang juga
ingin memenangkan sayembara. Akhirnya
malah Li Giam dan Gu Kim-sing jadi sikutsikutan sendiri, dan dalam serangan terakhir
terhadap Pak-khia, malah Lau Cong-bin yang
berhasil memasuki kota Pak-khia paling dulu.
Mau tidak mau Li Cu-seng yang kemudian
bergelar Kaisar Tiong-ong itu harus menepati
janjinya, mengangkat Lau Cong-bin menjadi
Panglima Tertinggi. Begitulah, kebijaksanaan "menegakkan
kewibawaan" yang dijalankan Lau Cong-bin itu
membuat banyak penduduk Pak-khia mati
penasaran karena dihukum mati dengan
Kembang Jelita 2 / 1 34 tuduhan yang kadang-kadang terlalu lemah,
atau laporan mengada-ada .dari orang lain yang
kebetulan tidak menyenanginya, atau berdasar
"hasil penyelidikan" mata-mata pemerintahan
baru . yang sekedar "mencapai target".
Itulah sebabnya, meskipun di siang hari
bolong, jalan-jalan di kota Pak-khia sangat sepi,
pintu-pintu tertutup, dan orang-orang yang
berlalu-laiang di jalanan sangat sedikit. Yang
sering-sering terlihat adalah prajurit-prajurit
pemerintahan yang baru. Tetapi ada sebuah warung bakmi di simpan
jalan yang setiap harinya tetap saja buka pintu.
Pemilik warung itu dikenal bernama Go Liong,
dan bakmi di warungnya terkenal kelezatannya.
Sebenarnya, warung itu masih sanggup
buka sekian lama tanpa tanda-tanda kebangkrutan, membuat banyak sesama
pemilik warung di Pak-khia menjadi heran.
Sebab pengunjung-pengunjung warung Go
Liong setiap harinya adalah perwira-perwira
pemerintahan baru Kaisar Tiong-ong yang
sedang mabuk kemenangan. Sedikit-sedikit
Kembang Jelita 2 / 1 35 mereka akan mengingatkan orang lain bahwa
mereka telah "mempertaruhkan jiwa untuk
membebaskan rakyat dari dinasti Beng yang
korup", dan untuk itu warung-warung makan
harus "menunjukkan rasa terima kasih" mereka
dengan menjamu secara gratis "pejuangpejuang" itu setiap hari di warung mereka.
Jangan coba-coba minta bayaran, atau akan
dituduh "antek pemerintah lama" dan kemudian
mampus di bawah hukuman mati yang lagi
diobral murah. Maka banyak warung makan
yang bangkrut dalam waktu singkat, atau yang
alih-usaha. Namun warung Go Liong memang
mengherankan orang. Setiap hari warung itu
dipenuhi perwira-perwira yang makan minum
dengan gratis, namun tidak bangkrut-bangkrut
juga. Herannya lagi, Go Liong kelihatannya tidak
menjadi kurang suka dengan kehadiran
perwira-perwira itu, malahan setiap pagi ia
sudah membuka pintu warungnya dan berdiri
di depan pintu untuk menyambut atau
mempersilakan mampir perwira-perwira yang
lewat. Maka dalam waktu singkat Go Liong
Kembang Jelita 2 / 1 36 punya banyak kenalan baik di kalangan
perwira. Begitu juga siang itu. Go Liong dibantu tiga
orang pelayannya sedang sibuk melayani
belasan orang perwira yang sedang nongkrong
di warungnya. Dengan wajah tetap berseri-seri,
Go Liong dan tiga orang pembantunya hilirmudik meladeni apa saja yang dimaui oleh
perwira-perwira itu, asal ada di warungnya.
Suasana di warung begitu riuh-rendah. Para
perwira sedang bercerita satu sama lain tentang
hebatnya pengalaman mereka selama perjuangan dulu. Yang satu bercerita lebih
hebat dari yang lain, satu sama lain tidak mau
kalah. Masing-masing mengaku pernah "hampir-hampir mati" dalam perjuangan
menumbangkan dinasti Beng. Sambil bicara
menggebu-gebu, tentu saja makanan dan
minuman gratis yang disediakan Go Liong tidak
pernah berhenti mengalir ke perut mereka.
Di antara perwira-perwira yang sedang
berlomba membual itu, yang paling menarik
perhatian adalah seorang perwira yang dikenal
Kembang Jelita 2 / 1 37 bernama Ang Bik, karena dialah yang paling
pintar bercerita dan gayanya selalu menarik.
Ang Bik berusia sekitar 25 tahun, berkumis rapi,
agak gemuk dan berkulit bersih, sehingga
sebenarnya kurang cocok untuk tampang orang
yang sudah "berjuang bertahun-tahun" seperti
ceritanya. Ceritanya juga paling hebat, sehingga
orang malah meragukan, ini cerita sungguhsungguh atau cuma hasil rekaan berdaya khayal
tinggi? Tetapi tidak ada orang berani
meragukannya terang-terangan, sebab Ang Bik
ini berkedudukan sebagai salah seorang staf
Jenderal Gu Kim-sing, entah bagaimana
prosesnya bisa sampai menduduki jabatan itu,
hanya setan yang tahu. Pernah ada seorang
perwira mengeluarkan jawaban yang bernada
meragukan cerita Ang Bik ini, biarpun tidak
sengaja, dan perwira lancang mulut ini dalam
waktu beberapa hari saja sudah turun pangkat
menjadi pembersih kandang kuda di tangsi.
Maka orang lain kalau mendengar Ang Bik
bercerita, tidak ada yang berani bersikap tidak
memperhatikan. Semuanya menganggukKembang Jelita 2 / 1
38 angguk, memberi komentar-komentar pujian,
tidak peduli betapa tidak masuk akalnya cerita
Ang Bik. Siang itu, di warungnya Go Liong, Ang Bik
sedang bercerita tentang pengalamannya
"berada di garis depan" dulu. Cuma ia tidak
menyebutkan "garis depan"nya itu di mana dan
kapan peristiwanya. "Kalian pernah melihat rapatnya air hujan?"
tanya Ang Bik kepada pendengarpendengarnya. Tentu saja semua pendengarnya mengangguk. "Nah," kata Ang Bik lebih lanjut. "Waktu itu,
hujan panah yang tertuju ke arahku lebih rapat
dari air hujan yang paling deras sekalipun! Bisa
dibilang setiap pori-pori di kulitku diincar oleh
dua atau tiga panah!"
Beberapa pendengar memeriksa lengannya,
ingin tahu seberapa rapat pori-pori kulitnya,
lalu mencoba membayangkan adegan yang
dikatakan Ang Bik itu, namun sungguh mereka
sulit untuk dapat membayangkannya. Tetapi
Kembang Jelita 2 / 1 39 mereka diam daripada turun pangkat menjadi
pembersih kandang kuda. "Tetapi demi keselamatan pasukanku, demi
jayanya perjuangan kita, aku tidak menghiraukan hujan panah itu. Aku menerjang
terus dengan perisai di tangan kiri dan pedang
di tangan kanan yang terus aku putar-putar
untuk menghalau panah-panah itu. Aku nekad
mendekati ke arah Panglima Kerajaan Beng
yang menunggang kuda itu, ia ada di tengahtengah pengawal-pengawalnya!"
Puji-pujian pun berhamburan.
"Saudara Ang sungguh luar biasa,
perjuangan saudara patut mendapat penghargaan yang lebih tinggi."
"Aku bisa membayangkan Panglima Beng
itu tentu gemetar di atas pelana kudanya ketika
melihat kegagahan Saudara Ang...."
Sementara pendengar-pendengar - nya
memuji-mujinya, Ang Bik pelan-pelan, mengangkat cawannya. Menikmati minuman
sekaligus menikmati pujian orang- orang.
Kembang Jelita 2 / 1 40 Sementara Go Liong si pemilik warung juga
ikut memuji-muji, "Kalau bukan karena
perjuangan orang-orang semacam Tuan Ang ini,
pastilah kami orang-orang kecil ini saat ini
masih di bawah pemerintahan dinasti Beng
yang korup. Aku berbahagia sekali dapat mewakili rasa terima kasih orang banyak , dengan
melayani Tuan-tuan...."
Ang Bik mengangguk-angguk. Tiba-tiba Ang
Bik menghentikan gerakan minumnya dan
menatap keluar jendela dengan wajah tegang.
Matanya menatap seorang wanita muda yang
sedang hamil muda, yang melintas di jalanan
dengan menjinjing sebuah keranjang belanjaan.


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Ang Bik menjadi tegang, sehingga
mengherankan perwira-perwira lainnya.
"Ada apa, Saudara Ang? Kok seperti melihat
hantu?" Ang Bik menghembuskan napas dan
berusaha bersikap setenang, mungkin. Sambil
tersenyum agak dibuat-buat, ia menjawab, "Ah,
tidak ada apa-apa kok..."
Kembang Jelita 2 / 1 41 Namun ia lalu berdiri dari duduknya dan
berkata pula, "Aku ada urusan lain yang harus
dikerjakan dan harus meninggalkan tempat ini.
Hendaknya jangan sampai mengurangi kegembiraan Saudara-saudara, aku pergi dulu."
Lalu Ang Bik bergegas melangkah keluar.
Orang-orang di warung itu merasa agak
heran. Biasanya Ang Bik betah bercerita lama
sekali, tidak peduli pendengarnya menjadi
sebal. Sekarang baru saja bercerita beberapa
kalimat, kok sudah pergi?
Sementara Go Liong dengan gerak-gerik
yang terkendali lalu mengambil mangkukmangkuk kotor di atas meja untuk dibawanya
sendiri ke belakang. Kali ini ia tidak menyuruh
salah seorang pegawainya. Tiba di bagian
belakang warungnya, ia berkata perlahan
kepada seorang lelaki yang membelah kayu di
halaman belakang, "Ang Bik baru saja
menguntit seorang perempuan muda. Cepat kau
ikuti Ang Bik dan selidiki perihalnya. Cepat,
jangan sampai kehilangan jejak, dia menuju ke
sebelah timur." Kembang Jelita 2 / 1 42 Si pembelah kayu meletakkan kampaknya
dan segera berlalu. Tentu saja keluarnya tidak
melalui bagian depan warung, melainkan lewat
gang kecil di samping warung.
Go Liong kembali ke depan, kembali
melayani tamu-tamunya diselingi kata-kata
menjilat yang diobral. Sementara itu, Ang Bik terus menguntit
perempuan hamil muda yang membawa
keranjang belanjaan itu. Ang Bik membuntutinya dengan hati-hati, dan begitu
tegang setiap kali perempuan itu seolah-olah
hendak menoleh ke belakang. Tapi untung,
perempuan itu tidak pernah benar-benar
menoleh ke belakang. Begitu tegang Ang Bik mengikuti buruannya
yang di depan, sehingga ia tidak merasa kalau
dirinya sendiri juga dibuntuti oleh si pembelah
kayu di warungnya Go Liong itu. Agaknya dalam
perkara buntut-membuntuti, si tukang belah
kayu jauh lebih mahir dari Ang Bik. Cara si
pembelah kayu nampak jauh lebih tenang dan
halus daripada caranya Ang Bik yang seperti
Kembang Jelita 2 / 1 43 maling amatir yang baru pertama kali belajar
nyolong. Perempuan muda itu masuk ke sebuah
gang, Ang Bik terus membuntutinya, sampai
melihat perempuan itu menghilang ke sebuah
rumah yang berdinding tinggi, dan satu-satunya
pintunya senantiasa tertutup rapat biarpun di
siang hari bolong. "Hem, kiranya di sinilah tempat sembunyinya Siangkoan Yan," geram Ang Bik
dalam hati. "Kalau bisa menangkap mereka,
bukan main besarnya jasaku, sebab keluarga
Siangkoan adalah keluarga pembesar di jaman
dinasti Beng yang sampai sekarang masih
dicari-cari. Termasuk buronan kelas kakap.
Ternyata mereka masih bersembunyi di dalam
kota Pak-khia ini..."
Nafsu Ang Bik akan kenaikan pangkat dan
hadiah serta pujian pun menyala dalam hatinya.
Namun demi teringat siapa suami dari
perempuan itu, hati Ang Bik jadi gentar. Ia tidak
segera bertindak. Ia tidak mau terburu-buru
Kembang Jelita 2 / 1 44 "menelan ikan" sehingga "tulang ikan melintang
di tenggorokannya". Beberapa saat Ang Bik hanya mengawasi
rumah itu dari kejauhan sambil bersembunyi di
balik pohon. Rumah yang diawasinya tetap saja
tertutup rapat pintunya dan tidak terdengar
suara apa-apa di dalam rumah, namun Ang Bik
tetap tidak berani bertindak sembarang-an.
"Baik, nanti malam akan aku selidiki sendiri
isi rumah itu," akhirnya Ang Bik memutuskan
dalam hati, lalu meninggalkan rumah itu.
Setelah Ang Bik pergi, si pembelah kayu
yang disuruh Go Liong untuk membuntuti Ang
Bik itu pun pergi, setelah lebih dulu menandai
letak rumah berdinding tinggi itu.
Tiba di warung, orang itu melapor kepada
Go Liong di halaman belakang dengan suara
perlahan, "Si pembual itu mengikuti seorang
wanita hamil muda ke sebuah rumah. Ia
nampaknya sangat menaruh perhatian kepada
rumah itu." Sambil mengelap mangkuk yang baru saja
dicuci, Go Liong berkata, "Kalau begitu, kita juga
Kembang Jelita 2 / 1 45 harus mengawasi rumah itu siang dan malam.
Mungkin akan ada apa-apa yang perlu kita
ketahui. Aku perintahkan kau."
"Baik," Si pembelah kayu cuma menjawab
dengan singkat, lalu pergi berlalu.
* * * Kota Pak-khia disungkup malam. Kalau
siang hari saja jalan-jalan masih sepi, apalagi di
malam hari. Yang masih ada di jalanan hanyalah
prajurit-prajurit yang meronda. Orang sipil
tidak kelihatan batang hidungnya satu pun.
Keluyuran di malam hari sungguh berbahaya,
bisa dicurigai dan ditangkap petugas-petugas
keamanan dan akhirnya pasti kehilangan
nyawa. Dengan seragam lengkap seorang perwira,
untuk mengamankan perjalanannya, Ang Bik
meninggalkan rumahnya dan kembali menuju
ke rumah berdinding tinggi yang diawasinya
siang tadi. Namun di balik pakaian seragamnya,
Kembang Jelita 2 / 1 46 ia memakai pakaian lain yang berwarna hitam
dan ringkas, yang disebut Ya-hing-ih (pakaian
pejalan malam). Ternyata Ang Bik tidak langsung menuju ke
rumah itu, melainkan mampir di sebuah tempat
sepi di tengah-tengah kota. Di tempat itu sudah
ada beberapa lelaki berwajah garang yang
menunggunya. Ang Bik berbicara secara singkat
dengan lelaki-lelaki itu, lalu merogoh kantong
dan kelihatannya memberi uang kepada orangorang itu. Setelah itu, barulah mereka berangkat
bersama-sama menuju ke rumah berdinding
tinggi itu. Agaknya Ang Bik merasa perlu membawa
teman, meski sekedar orang bayaran yang tidak
terjamin kesetiaannya, untuk mengamankan
tindakannya. Tiba di salah satu sudut gelap di sekitar
rumah berdinding tinggi itu, Ang Bik mencopot
seragam perwiranya, sehingga sekarang ia
tinggal berpakaian ringkas serba hitam. Bahkan
ia melengkapinya dengan sebuah kedok hitam
yang menutupi wajahnya. Kembang Jelita 2 / 1 47 Sebelum mulai bertindak, sekali lagi ia
memesan tiga orang bayaran yang dibawanya,
"Ingat, tugas kalian adalah melindungi aku
kalau aku terancam bahaya. Sekali lagi, aku
tidak menyuruh kalian mempertaruhkan
nyawa, cukup apabila aku sudah mendapat
kesempatan untuk lari saja. Mengerti?"
"Kami mengerti."
Ang Bik lalu membungkus seragam
perwiranya dan ditaruh di suatu tempat yang
sekiranya harus lari nanti, akan gampang
diambilnya. Lalu Ang Bik melompat ke atas dinding
rumah yang tinggi itu. Namun tiga orang
pembantu bayarannya tidak mampu melompati
dinding setinggi itu. Mereka harus memanjat
dinding itu dengan tali yang ujungnya diberi
kaitan besi. Di atas dinding, Ang Bik sejenak mengawasi
rumah itu. Halaman sudah gelap, di pojok
halaman nampak setumpuk kayu bakar. Namun
di jendela-jendela kertas masih terlihat terang
dalam rumah. Malah ada suara orang bercakapKembang Jelita 2 / 1
48 cakap perlahan. Suara seorang wanita muda
dan seorang lelaki tua. Biarpun Ang Bik tidak mendengar suara
orang yang ditakutinya, suami dari Siangkoan
Yan si wanita hamil muda yang dilihatnya siang
tadi, toh jantung Ang Bik berdentang lebih
kencang dari biasanya. Tidak terdengarnya
suara orang yang ditakutinya itu bukan jaminan
bahwa orang itu sedang tidak ada di rumahnya.
Di atas dinding, beberapa saat Ang Bik
harus menyedot dan menghembuskan napas
kuat-kuat untuk menenteramkan debar
jantungnya, katanya dalam hati, "Kalau benar
Helian Kong ada di kota ini, pastilah dia sudah
lebih dulu mencari aku dan mencekik aku,
bukan aku yang mencarinya seperti malam ini.
Dia yang begitu membenci pemberontak Li Cuseng dan begitu setia kepada dinasti Beng, pasti
sudah membunuhku begitu melihat aku
keluyuran di tempat-tempat umum dengan
seragam sebagai bawahannya Li Cu-seng.
Namun buktinya sampai saat ini aku amanaman saja, artinya Helian Kong tidak ada di kota
Kembang Jelita 2 / 1 49 ini. Entah di mana. Mungkin pergi ke Selatan
untuk bergabung dengan sisa-sisa dinasti Beng
di sana..." Ang Bik terhibur oleh pikirannya sendiri,
dan hatinya pun menjadi agak tenang. Setelah
menarik napas dan menghembuskannya sekali
lagi, dia pun melompat turun seringan mungkin
ke halaman rumah itu. Beberapa saat ia celingukan, kemudian
dengan langkah amat ringan menyeberangi
halaman dan mendekati sebuah jendela yang
masih kelihatan terang, lalu berjongkok di
bawah jendela untuk mendengarkan percakapan di dalam ruangan. Dalam ruangan
itu memang asalnya percakapan antara seorang
wanita muda dan lelaki tua.
Dan yang pertama didengar oleh Ang Bik di
luar adalah suara seorang lelaki tua yang sangat
melegakan hati Ang Bik, suara lelaki tua itu
bernada menghibur, "Sudahlah, Anak Yan, kita
percayakan saja nasib suamimu kepada
perlindungan Yang Maha Kuasa. Meskipun
selama ini suamimu tiada kabar beritanya, aku
Kembang Jelita 2 / 1 50 yakin suatu ketika dia akan menghubungi kita.
Saat ini barangkali hanya belum sempat, karena
penjagaan di kota ini memang terlalu ketat dan
suamimu adalah buronan penting bagi
pemerintahan yang sekarang..."
"Ya, Ayah " suara Si wanita muda menjawab
sambil sesenggukan menangis.
Sebaliknya Ang Bik di luar jendela menjadi
lega bukan main. "He-he-he, ternyata Helian


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kong tidak ada di rumah ini, bahkan mungkin
juga tidak ada di kota ini. Yang sedang berbicara
ini tentulah Siangkoan Yan, isteri Helian Kong,
dengan ayahnya, Siangkoan Hi yang bekas
menteri Kerajaan Beng. Kalau bisa kutangkap
mereka, pastilah jasaku tidak kecil. Mereka
buruan-buruan kakap..."
Sementara itu terdengar suara Siangkoan Hi
si lelaki tua, "Bicara soal tekanan batin, bukan
hanya kau saja yang mengalaminya, Anak Yan.
Aku sendiri apakah kau kira merasa nyaman,
biarpun selamat, berada di bawah perlindungannya?" Kembang Jelita 2 / 1 51 Ang Bik tidak tahu siapa "nya" yang
didengarnya itu, ia pasang kuping sekian lama
untuk tahu siapa si "nya" itu namun ternyata
Siangkoan Hi maupun Siangkoan Yan tidak
menyebut namanya. Kedengarannya mereka
sungkan menyebut nama itu, dan sedapatdapatnya menghindari menyebut nama itu.
Akhirnya Ang Bik sendiri kehabisan
kesabaran, lalu berjingkat-jingkat merunduk ke
jendela yang lain. Jendela itu juga masih
kelihatan terang, namun di dalamnya tidak
terdengar suara percakapan, hanya di kertas
jendela ada bayangan kepala dan pundak
seorang wanita yang agaknya sedang
menyulam. Ang Bik heran bahwa di rumah itu selain
Siangkoan Yan masih ada perempuan lain.
Karena ingin tahu siapa perempuan itu, Ang Bik
membasahi ujung telunjuknya dengan air-ludah,
lalu melubangi kertas jendela. Dari lubang
itulah Ang Bik mengintip. Kembang Jelita 2 / 1 52 Ia melihat seorang wanita maha-jelita
sedang duduk menyulam di samping sebuah
meja, di bawah penerangan lilin berkerudung
kaca. Namun bukan kecantikan wanita itu yang
mengejutkan Ang Bik, melainkan karena ia
mengenal perempuan cantik itu! Begitu kaget
Ang Bik sampai ia berdesis..
Dan malam itu suasana begitu sunyi
sehingga desis Ang Bik terdengar oleh
perempuan cantik yang sedang menyulam itu.
Perempuan itu mengangkat matanya dan
melihat sebuah lubang di jendela, dengan
sebuah mata lelaki yang garang menatap di
balik lubang itu. Perempuan itu kontan menjatuhkan
peralatan menyulamnya sambil menjerit.
Sepersekian detik Ang Bik harus membuat
perhitungan, apakah akan bertindak saat itu
juga untuk meringkus buronan-buronan kelas
kakap itu, atau harus lebih dulu memanggil bala
bantuan yang memadai? Tetapi kalau lebih dulu
ditinggal memanggil bala-bantuan, janganKembang Jelita 2 / 1 53 jangan nanti "kakap-kakap" ini keburu pindah
tempat lairi yang tidak diketahui?
Tetapi Ang Bik bukanlah orang yang berani
mengambil resiko, maka pilihan kedualah yang
diambilnya. Ia akan mencari bala-bantuan
malam itu juga. Mudah-mudahan buruanburuan ini belum sempat pindah tempat.
Dengan demikian, Ang Bik memutuskan
untuk mundur dulu, setelah mendengar
teriakan perempuan cantik yang menyulam
tadi. Tetapi jeritan tadi sudah menimbulkan
reaksi. Sebuah jendela yang lain terpentang
terbuka didorong dari dalam, seorang lelaki
muda melompat keluar sambil memutar-mutar
pedangnya di depan tubuh untuk berjaga-jaga
kalau-kalau mendapat serangan senjata rahasia.
Yang melompat keluar itu adalah Siangkoan
Heng, Kakak laki-laki Siang-koan Yan.
Begitu melihat bayangan seorang berkerudung sedang melintasi halaman dengan
cepat, Siangkoan Heng memburunya dan memKembang Jelita 2 / 1 54 Begitu melihat bayangan seorang berkerudung
sedang melintasi halaman dengan cepat,
Siangkoan Heng memburunya.
Kembang Jelita 2 / 1 55 bentak, "Tunggu! Setelah mengintip-intip
rumah orang, terus hendak kabur begitu saja?"
Lalu dengan tangan kirinya yang tidak
memegang pedang karena Siangkoan Heng
tidak mau melukai orang dari belakang,
Siangkoan Heng hendak mencengkeram
tengkuk Ang Bik sambil memperingatkan,
"Awas serangan!"
Sebagai orang yang dididik secara ksatria,
Siangkoan Heng pantang menyerang secara
diam-diam. Tak terduga kalau Ang Bik tiba-tiba
memutar tubuh, di tangannya sudah tergenggam sebilah belati yang langsung
ditikamkan ke arah perut Siangkoan Heng.
Siangkoan Heng terkejut menghadapi
keganasan buruannya itu, untung ia dengan
tangkas segera mengangkat kakinya untuk
menendang lengan Ang Bik yang memegang
belati itu. Lengan Ang Bik tertendang ke atas,
namun cukup kuat untuk tetap menggenggam
kuat-kuat pisau belatinya.
Kembang Jelita 2 / 1 56 Tanpa menurunkan kakinya, Siangkoan
Heng mengubah gerakan kakinya untuk
menyapu ke samping setinggi pundak.
Suatu gerakan yang memerlukan kelenturan
otot dan persendian, dan Ang Bik pun kena
tendang pundaknya sehingga sempoyongan.
Ang Bik lalu memberi isyarat kepada tiga
orang bayarannya agar bergerak.
Di atas dinding rumah, tiga orang bayaran
itu ragu-ragu juga melihat ketangkasan
Siangkoan Heng. Namun demi membayangkan
mereka akan menerima hadiah dari Ang Bik,
mereka pun berlompatan turun. Dua orang
bersenjata golok dan satu orang bersenjata
pentung. Tiga orang bayaran itu segera menghadang
Siangkoan Heng, sementara Ang Bik segera
kabur melalui pintu setelah membuka palang
pintunya, tidak melompati tembok seperti
datangnya tadi. Ketajaman perhitungan Siangkoan Heng
memberitahu bahwa "pemegang peranan
utama" dalam peristiwa itu adalah Si orang
Kembang Jelita 2 / 1 57 berkedok itu, bukan tiga tukang-kepruk
bayaran itu. Tiga tukang kepruk bayaran itu
kalau pun berhasil ditangkap dan ditanyai,
takkan menghasilkan keterangan yang berarti.
Karena itulah Siangkoan Heng ngotot hendak
mengejar Ang Bik. Tetapi sebuah pentung kayu hitam tiba-tiba
melayang ke hidungnya, terpaksa Siangkoan
Heng harus menangkis dengan pedangnya. Lalu
berturut-turut dua tukang-kepruk lainnya yang
bersenjata golok, juga beraksi.
Begitulah, jadinya Siangkoan Heng harus
berhadapan dengan tiga orang tukang pukul
bayaran itu, sedangkan Ang Biknya sendiri
sempat kabur. Kejengkelan Siangkoan Heng ditumpahkan
kepada ketiga penghalangnya itu. Ia lalu
berkelahi seperti banteng ketaton, dan dalam
waktu yang tidak lama, tiga tukang-pukul
bayaran itu sudah tergeletak di tanah sambil
merintih-rintih kesakitan. Senjata-senjata mereka sudah terlempar dari tangan. Masih
Kembang Jelita 2 / 1 58 untung buat mereka bahwa Siangkoan Heng
tidak berniat membunuh mereka.
Sementara itu, Siangkoan Hi dan Siangkoan
Yan juga sudah keluar rumah. Sambil satu
tangan menggandeng Ayahnya yang sudah tua,
tangan Siangkoan Yan yang lain memegangi
pedang. CaJon ibu muda itu cukup mampu
berkelahi seperti seorang lelaki yang tangkas.
"Ada apa?" tanyanya.
Siangkoan Heng yang ditanya mengalihkan
pandangan kepada Tan Wan-wan, Si perempuan
amat cantik yang tadi menjerit karena
memergoki Ang Bik. Tan Wan-wan menjawab, "Aku sedang
menyulam, ketika mendadak aku mendengar
suara lirih seorang lelaki di jendela. Aku
menoleh dan kaget melihat sebuah mata
mengintip di lubang kertas jendela, lalu aku
menjerit." Kini mata Siangkoan Hi dan Siangkoan Yan
dialihkan kepada Siangkoan Heng, sebab
Siangkoan Henglah yang harus meneruskan
cerita itu. Siangkoan Heng menjawab, "Aku
Kembang Jelita 2 / 1 59 tidak bisa melihat wajahnya karena dia
memakai kedok." Cuma itu jawabannya, dan orang-orang
tidak puas mendengar jawaban sesederhana itu.
"Kalau begitu, kita tanyai saja orang-orang
ini," Siangkoan Yan menudingkan pedangnya
sambil melangkah maju kearah tiga orang
tukang-kepruk bayaran yang masih merintihrintih habis dihajar oleh Siangkoan Heng itu.
Tiga orang itu merasa agak lega karena yang
akan menanyai mereka adalah Si calon ibu
muda yang cantik dan kelihatannya tidak
berbahaya meskipun tangannya menggenggam
pedang. Tetapi mereka kaget dan gentar begitu
Siangkoan Yan bertindak. Siangkoan Yan mendekati seorang yang
berewokan yang rintihannya paling keras. Kata
Siangkoan Yan sambil tertawa, "He, tubuhmu
begitu gagah dan berewokmu begitu lebat,
kenapa tidak malu merintih-rintih seperti anak
kecil? Jagoan macam apa kamu? Lebih baik aku
cukur saja berewokmu....."
Kembang Jelita 2 / 1 60 Di ujung kata-katanya Siangkoan Yan
mengelebatkan pedangnya dengan cepat
beberapa kali di wajah orang itu. Orang itu tidak
sempat mengelak atau menjerit, tahu-tahu cuma
merasakan mukanya dingin. Kelebatan pedang
Siangkoan Yan itu kalau dijumlah waktunya
tidak lebih dari dua detik. Namun dalam waktu
sesingkat itu si berewok sudah berubah
menjadi si kelimis. Rasanya Siangkoan Yan
pantas dianggap sebagai pencukur tercepat di
dunia. Orang itu gemetar ketakutan. Ia tidak lagi
merintih-rintih, dan sebagai gantinya ia
terkencing-kencing di dalam celana.
Siangkoan Yan mulai bertanya, "Nah,
sekarang jawab dengan baik. Siapa orang yang
berkedok tadi?" "Tid... tidak tahu..."
"Lho, datangnya bersama-sama kok tidak
tahu? Apa kau kira aku tidak tega memotong
kuping dan hidungmu?"
Si mantan berewokan yang sekarang kelimis
itu pun sekarang menangis seperti perempuan,
Kembang Jelita 2 / 1 61 "Aku benar-benar tidak tahu siapa dia, Nyonya.
Sumpah. Benar-benar tidak tahu..."
"Wah, rupanya memang sudah bosan punya


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuping...." Siangkoan Yan sudah hendak
bertindak, tetapi Siangkoan Heng mencegahnya,
"Aku percaya dia benar-benar tidak tahu, Adik
Yan." "Kenapa Kakak berkesimpulan demikian?"
"Orang berkedok itu lari meninggalkan
tempat ini begitu saja. Itu tanda bahwa dia
merasa tetap aman di balik kedoknya, biarpun
ketiga cecungguk ini tertangkap oleh kita. Kalau
ketiga cecunguk ini dianggap tahu tentang
dirinya, tentu ketiga orang ini akan dibunuhnya
lebih dulu sebelum dia pergi. Itu kebiasaan
komplotan-komplotan yang ingin menjaga
rahasianya." "Tetapi mereka berempat datang bersamasama."
"Tidak sulit dijelaskan. Tukang-tukang
kepruk kelas kambing seperti tiga orang ini
mudah dicari di mana-mana. Melihat sekeping
atau dua keping uang saja mereka sudah
Kembang Jelita 2 / 1 62 melotot dan sanggup disuruh melakukan apa
saja. Orang berkedok itu mungkin sekedar
menyewa mereka." Tiga orang yang disebut "cecungguk" itu
merasa amat senang mendengar kata-kata
Siangkoan Heng yang lunak itu. Tidak jadi soal
biarpun mereka dimaki sebagai "tukang-tukang
kepruk kelas kambing" dan nyatanya memang
begitu. Salah seorang lalu berkata tanpa dijawab,
"Benar kata-kata Tuan ini. Siang tadi kami
didekati oleh perwira itu..."
"Perwira?" "Ya. Orang berkedok yang melarikan diri
tadi berseragam perwira ketika menghubungi
kami dan minta bantuan kami untuk urusan
ini." Keempat orang penghuni rumah itu saling
berpandangan tanpa kata, namun cukup jelas
artinya bahwa mereka merasa tempat itu sudah
tidak aman lagi, sudah diketahui orang-orang
dari pihak pemerintahan yang baru.
Kembang Jelita 2 / 1 63 Suara Tan Wan-wan yang lembut
memecahkan kesunyian, "Saudara Siangkoan,
bagaimana kalau kita biarkan saja orang-orang
ini pergi?" Siangkoan Heng tidak menjawab, cuma
menggerakkan kepala untuk mengusir ketiga
orang itu. Ketiganya bangkit dengan susahpayah, kemudian meninggalkan tempat itu
dengan tertatih-tatih dan susah-payah pula.
Siangkoan Heng kemudian melangkah
masuk kembali ke dalam rumah dengan wajah
dingin, nampaknya sangat enggan untuk
berkata-kata biarpun hanya sepatah kata
dengan Tan Wan-wan. Siangkoan Yan lah yang kemudian sungkan
sendiri terhadap Tan Wan-wan karena sikap
kakaknya itu. Katanya, "Maafkan Kakakku, Nona Tan......"
Tan Wan-wan menarik napas, tersenyum
pahit dan berkata, "Tidak jadi soal, Adik Yan.
Kakakmu seorang lelaki terhormat, tentu sulit
untuk menghargai seorang wanita seperti aku..."
Kembang Jelita 2 / 1 64 Siangkoan Yan tidak sanggup berkata apaapa tentang masa lalu Tan Wan-wan, seorang
perempuan cantik yang menggunakan kewanitaannya untuk mengubah jalannya
sejarah. Satu pihak memujinya sebagai wanita
tabah yang sanggup mengorbankan apa pun
untuk keberhasilan cita-cita yang didukungnya,
pihak lain mencacinya sebagai perempuan tidak
tahu malu, perempuan yang berpindah-pindah
dari satu lelaki ke lelaki yang lain, bahkan
pernah menjadi "simpanan" Kaisar Cong-ceng,
raja terakhir dinasti Beng yang ditumbangkan
oleh Li Cu-seng. Sementara Tan Wan-wan pun mencoba
keluar dari gejolak perasaannya, dan mengusap
matanya lalu berkata dengan tabah, "Tempat ini
tetap aman. Tempat ini di bawah perlindungan
langsung Jenderal Li Giam."
Bersambung jilid II Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 11/07/2018 13 : 19 PM
Kembang Jelita 2 / 1 65 Kembang Jelita 2 / II 1 ( Bagian II ) JILID II Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / II 2 Kembang Jelita 2 / II 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid II S iangkoan Yan cuma mengangguk-angguk. Ia
tahu, Tan Wan-wan adalah orangnya Li Giam
sejak dulu. Melalui cara yang berliku, Li Giam
berhasil menyelundupkan Tan Wan-wan
sampai ke dalam istana dan menjadi teman
tidur Kaisar Cong-ceng. Itulah yang menyebabkan Li Giam mengetahui setiap
gerakan militer Kerajaan Beng, yang paling
rahasia sekalipun, sehingga pasukan Li Giam
dapat meraih kemenangan demi kemenangan
berkat laporan yang diselundupkan Tan Wanwan dari dalam istana, bahkan dari dalam
kamar tidur Kaisar Cong-ceng sendiri. Itulah
sebabnya, setelah kaum Pelangi Kuning
Kembang Jelita 2 / II 2 mendapat kemenangan, Li Giam tidak
melupakan jasa-jasa Tan Wan-wan, dan
melindunginya. Itulah yang membuat Keluarga
Siangkoan merasa kurang enak tinggal serumah
dengan Tan Wan-wan, karena keluarga
Siangkoan adalah pengabdi-peng-abdi setia dari
dinasti yang lama. Malam itu juga, Tan Wan-wan mengirim
berita kepada Li Giam lewat seorang
kepercayaannya yang tinggalnya berdekatan
dengan rumah itu. Sementara itu, setelah tempat itu sepi
kembali, sosok bayangan yang tadinya
bersembunyi di balik tumpukan kayu bakar,
sekarang menyelinap bagai hantu meninggalkan
rumah itu. Geraknya tanpa suara ketika
membuka palang pintu halaman, dan kemudian
keluar. Dialah si pembelah kayu di warung Go Liong.
*** Larut malam seperti itu, tentu saja warunghakminya Go Liong sudah tentu tutup. Go Liong
sedang berbaring terkantuk-kantuk di Kembang Jelita 2 / II 3 kamarnya yang sempit di bagian belakang
warungnya. Tiba-tiba ia mendengar ketukan perlahan di
pintu samping halaman belakang. Pintu
samping yang menembus ke sebuah gang di
samping warung. Ketukan berirama tertentu,
isyarat sandi. Go Liong menyangka yang datang itu
tentunya Si pembelah kayu yang akan
melaporkan hasil pengamatannya. Ia melompat
bangun dari tempat tidurnya, keluar dari
kamarnya dan langsung membuka pintu itu, dan
langkahnya tertegun melihat siapa yang berdiri
di depannya. Bukan Si pembelah kayu
suruhannya. Melainkan seorang tua kurus
berjubah kain hangat, berjenggot jarang, namun
sepasang matanya amat tajam.
"Kun-su (Penasehat Militer)....." kata Go Liong
tertahan. Orang tua itu menyelinap masuk. Go Liong
menutup kembali pintu itu, kemudian di
belakang pintu itu Go Liong menjalankan
penghormatan keprajuritan ala bangsa Manchu.
Kembang Jelita 2 / II 4 Si orang tua adalah Kat Hu-yong, Penasehat
Militer dari Pangeran Toh Sek-kun, penguasa
militer Kerajaan Ceng (Manchu).
Kata Kat Hu-yong, "Aku ingin bicara
denganmu, Goh Lung."
"Mari kita bicara di dalam, Kun-su."
Ternyata nama asli Go Liong adalah Goh
Lung, nama yang "berbau" Manchu. Namun di
Pak-khia itu diubahnya menjadi nama bangsa
Han, Go Liong. Tidak lama kemudian Kat Hu-yong dan Goh
Lung sudah duduk berhadapan dengan
diterangi sebuah lilin di meja. Goh Lung
mengawali pembicaraan dengan pertanyaan
yang bernada tegang, "Kun-su secara pribadi
mengunjungi aku, apakah ada laporan-laporan
tertulisku lewat burung merpati yang kurang
jelas, atau kurang berkenan kepada Kun-su?"
Kat Hu-yong menggeleng, "Tidak, Goh Camciang (Perwira Goh), laporanmu jelas dan
meyakinkan. Tetapi aku datang karena dalam
hari-hari yang dekat ini ada yang harus kita
lakukan...." Kembang Jelita 2 / II 5 Mata Goh Lung bersinar-sinar. "Apakah
serangan ke selatan akan segera dimulai? Kalau
benar begitu, kami yang di Pak-khia ini sudah
siap membukakan pintu dari dalam."
Kat Hu-yong tersenyum sambil menepuk
pundak Goh Lung yang ternyata adaJah seorang
perwira bawahannya, bahkan berpangkat
cukup tinggi, yaitu Cam-ciang (setingkat Letkol).
Kata Kat Hu-yong, "Perwira Goh, bersemangat
boleh saja, tetapi jangan sampai kehilangan
perhitungan. Memang Pangeran sudah mengambil keputusan untuk menyiapkan
serangan, tetapi dia hanya akan menyerang
kalau sudah dua syarat terpenuhi."
"Dua syarat?" "Ya." "Apa saja, Kun-su?"
"Pertama, tersingkirnya Li Giam. Kedua,
membelotnya Bu Sam-kui ke pihak kita. Harus
terpenuhi kedua-duanya, tidak cuma salah
satu." Goh Lung mengerutkan alisnya. "Kenapa
Pangeran harus bertele-tele dengan kedua
Kembang Jelita 2 / II 6 syarat itu? Tidak dapat disangkal kalau Li Giam
memang seorang perwira yang hebat. Setelah
kemenangan kaum Pelangi Kuning, ia tidak
menjadi mabuk kemenangan maupun kemewahan seperti Lau Cong-bin dan Gu Kimsing. L i Giam tetap hidup secara prajurit sejati,
begitu juga ia memberlakukannya kepada
pasukannya. Pasukannya terus berlatih secara
teratur. Namun buat apa takut kepada Li Giam?
Pasukannya, bagaimanapun terlatihnya, tetap
bukan tandingan pasukan kita yang telah
membuktikan keampuhannya di semenanjung


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiau-sian (Korea) ketika menyapu pasukan
Jenderal Ishido Matsunari. Kemudian soal Bu
Sam-kui di San-hai-koan, apa sulitnya merebut
San-hai-koan dalam satu malam. Biarpun kota
itu digembar-gemborkan sebagai kota yang
strategis dan kuat, bukankah di dalam San-haikoan ada orang-orang kita juga yang siap
bekerja dari dalam? Kenapa untuk menyerbu ke
selatan saja Pangeran harus menunggu jatuhnya
Li Giam dan membelotnya Bu Sam-kwi? Maaf,
kalau aku jadi kedengarannya berlagak pintar
Kembang Jelita 2 / II 7 terhadap rencana Pangeran, tetapi aku benarbenar penasaran....."
Goh Lung berani memperlihatkan rasa
penasarannya di hadapan Kat Hu-yong, sebab
ia kenal betul atasannya ini adalah orang yang
terbuka terhadap pendapat, bahkan kritik, dari
bawahannya. Kat Hu-yong tersenyum dan berkata, "Yang
dipikirkan Pangeran Toh Sek-kun sebenarnya
juga persis dengan yang kau pikirkan. Maunya
main gempur saja dengan mengandalkan
keunggulan militer. Tapi akulah yang
mengajukan dua syarat tadi kepada Pangeran,
dan Pangeran menerimanya."
Goh Lung menarik napas, "Bolehkah aku
mendengar pertimbangannya, Kun-su? Apakah
laporanku masih kurang lengkap tentang titiktitik kelemahan dan kekuatan angkatan
perangnya Li Cu-seng?"
"Tidak. Laporanmu cukup baik. Tetapi kita
harus berpikir jauh ke depan. Kalau kita serbu
Tiong-goan begitu saja, maka seluruh bangsa
Han akan bersatu menentang kita yang akan
Kembang Jelita 2 / II 8 mereka anggap sebagai tentara penjajah asing.
Pengikut Li Cu-seng dan sisa-sisa dinasti Beng
akan melupakan permusuhan mereka dan
mengarahkan senjata mereka kepada kita. Kau
tahu, kalau bangsa Han ini bersatu maka
jumlahnya berpuluh kali lipat dari jumlah
bangsa kita. Biarpun untuk sementara kita bisa
menang, tetapi tidak untuk seterusnya. Itulah
sebabnya serangan ke selatan kita membutuhkan dua syarat tadi. Tersingkirnya Li
Giam oleh rekan-rekannya sendiri, yaitu Gu
Kim-sing atau Lau Cong-bin....."
Goh Lung tercengang dan menukas, "Jadi
syarat tersingkirnya Li Giam itu masih diembelembeli harus oleh rekan-rekannya sendiri?
Kenapa tidak kita bereskan sendiri saja?"
"Perwira Goh, kalau cuma bertindak sekasar
itu, malam ini juga aku bisa menyelundup
masuk ke markas Li Giam dan pagi hari nanti
kubawa pulang batok kepalanya. Tetapi itu
hanya akan membuka jejak kegiatan kita di
negeri ini. Tidak. Kita harus memanfaatkan
ketidak-rukunan Li Giam dan Gu Kim-sing
Kembang Jelita 2 / II 9 semaksimal mungkin sehingga timbul perpecahan hebat yang merugikan kekuatan Li
Cu-seng sendiri, dan haruslah berakhir dengan
tersingkirnya Li Giam. Dengan demikian kelak
kalau kita menyeberangi perbatasan, pasukan
kita akan berkurang seorang musuh tangguhnya. Bisa mengerti caraku berhitung?"
Goh Lung mengangguk-angguk, rasa penasaran di wajahnya berkurang. "Lalu
tentang syarat membelotnya Bu Sam kui?"
"Kalau kita mau, Bu Sam-kui di San-hai-koan
itu bisa kita gulung mentah-mentah. Tetapi kita
bisa memanfaatkannya. Bu Sam-kui adalah
seorang panglima dinasti Beng yang dihargai
oleh sisa-sisa dinasti Beng lainnya, karena
kesetiaannya untuk bertahan di San-hai-koan
biarpun posisinya terjepit. Kalau kita bisa
masuk ke negeri ini dengan bergandengan
tangan dengan Bu Sam-kui, kita setidaknya akan
bisa menarik simpati sebagian sisa-sisa dinasti
Beng, meskipun tidak mungkin semuanya..."
"Ya, mustahil semuanya. Di antara sisa-sisa
dinasti Beng ada orang-orang yang berpendiriKembang Jelita 2 / II
10 Goh Lung mengangguk-angguk, rasa penasaran
di wajahnya berkurang. "Lalu tentang syarat
membelotnya Bu Sam-kui?"
Kembang Jelita 2 / II 11 an keras terhadap bangsa Manchu, bangsa kita,
dan tetap memandang kita sebagai musuh
sepanjang masa." "Mereka tentu takkan bisa menerima
persekutuan antara kita dengan mereka.
Bahkan mungkin sekali mereka akan memilih
bersekutu dengan Li Cu-seng untuk menghadapi kita..." Kat Hu-yong mengangguk. "Kau benar. Itu
pun sudah aku hitung. Di antara sisa-sisa dinasti
Beng ada bermacam-macam sikap terhadap
kita, dan aku akan bersikap gegabah kalau
menyamaratakan saja sikap mereka. Tentu akan
ada sebagian yang tidak senang melihat Bu
Sam-kui bersekutu dengan kita, , namun itu jauh
lebih baik dibandingkan kalau seluruh penghuni
negeri ini, entah pengikut Li Cu-seng entah
pengikut dinasti Beng, bersatu-padu melawan
kita." Kali ini Goh Lung bukan cuma menganggukangguk tetapi tertawa terbahak sampai
kepalanya tertarik ke belakang. Katanya,
"Hebat. Maklumilah keterbatasan pemikiranku,
Kembang Jelita 2 / II 12 Kun-su, aku benar-benar tidak pernah berpikir
sampai ke situ. Aku hanya memperhitungkan
perimbangan kekuatan militer saja."
"Tidak apa-apa. Kau bisa belajar sedikit demi
sedikit. Ada banyak segi yang harus
diperhitungkan kalau ingin kemenangan kita
untuk seterusnya. Kalau cuma ingin menang
segebrakan saja, itu gampang. Merebut dan
mempertahankan, bukan cuma merebut tok."
"Baiklah, Kun-su. Bekerja buat Kun-su sama
saja dengan mendapat guru yang hebat bagiku.
Tetapi kapan Li Giam tersingkir oleh rekanrekannya sendiri, dan kapan pula Bu Sam-kui
membelot kepada kita? Jangan-jangan masih
puluhan tahun lagi, dan selama ini pasukan kita
hanya menunggu dengan jemu di dekat
perbatasan?" "Kita tidak menunggu. Kita akan mengusahakan itu terjadi secepatnya."
"Sudah menemukan caranya?"
"Justru aku datang untuk menemukannya."
Ketika itulah dari arah dapur berhembus bau
masakan yang sedap, sehingga Kat Hu-yong
Kembang Jelita 2 / II 13 mengendus-endus dengan hidungnya dan
bertanya, "Eh, apa ini?"
Goh Lung menjawab sambil tertawa, "Aku
suruh A-ciang memasak bakmi goreng buat
Kun-su. Kun-su tahu, bakmi goreng di warungku
ini nomor satu di Pak-khia. Berkat bakmi
goreng ini, setiap hari warungku dipenuhi
cecunguk-cecunguk bawahannya Li Cu-seng,
saking gembiranya mereka mengobrol dengan
bebas termasuk rahasia-rahasia militer. Dan
banyak dari rahasia-rahasia itu sudah aku
kirimkan kepada Kun-su."
"Baik. Kebetulan aku sedang lapar di malam
dingin ini." Namun sebelum makanan sedap itu
dihidangkan, di pintu samping yang tadi juga
sudah terdengar kembali suara ketukan.
berisyarat itu. Goh Lung bergegas bangkit
sambil berkata, "Maaf, Kun-su, biar aku
membukakannya." Kat Hu-yong cuma mengangguk. Diam-diam
ia mulai juga bisa membayangkan dan
menghayati cara kerja orang-orangnya di PakKembang Jelita 2 / II
14 khia ini. Kadang-kadang di larut malam harus
terbangun karena ada kontak-kontak rahasia,
sedangkan di siang harinya tetap. tidak. boleh
kelihatan mengantuk agak tidak dicurigai orang.
Tidak lama kemudian, Goh Lung sudah
berjalan kembali bersama orang yang siang tadi
ditugasinya membuntuti Ang Bik. Juga seorang
perwira pilihan dari kelompok mata-mata,
kalau siang hari ia menyamar sebagai tukang
belah kayu di warungnya Goh Lung.
Ketika berhadapan dengan Kat Hu-yong,
orang itu berlutut secara militer Kerajaan Ceng
kepada Kat Hu-yong. "Hulan Biao menyampaikan hormat kepada Kun-su!"
"Bangunlah. Apa sehari-harinya kau juga
menggunakan nama Hulan Biao yang sangat
berbau asing itu?" "Tidak, Kun-su, sehari-hari di Pak-khia ini
aku hanya dikenal sebagai Ho Biao, dan
dipanggul A-biao begitu saja."
Kat Hu-yong berkelakar, "Tak kuduga kalau
anak buahku di Pak-khia ini sudah berubah
menjadi bangsa Han semuanya. Tetapi kalian
Kembang Jelita 2 / II 15 bekerja dengan baik, bahkan logat bicara kalian
tidak sedikit pun menandakan orang-orang
timur-laut." "Terima kasih, Kun-su. Semua ini kami
lakukan demi kejayaan bangsa kita."
Goh Lung kemudian ikut bicara, "Kun-su,
Saudara Hulan ini akan melaporkan sesuatu
yang penting." "Duduklah. Aku akan mendengarkan."
Hulan Biao duduk dan mulai menceritakan
ketika dia menguntit Ang Bik....
Tiba-tiba Kat Hu-yong menukas, "Eh, nanti
dulu. Dalam laporan-laporan tertulis kalian
belum pernah menyebut-nyebut nama Ang Bik
sekali saja. Siapa dia?"
Goh Lung menjawab sambil tertawa,
"Seorang pejuang gadungan. Banyak orangorang demikian di Pak-khia sekarang ini. Tidak
pernah memeras keringat sedikit pun, apalagi
mempertaruhkan nyawa, hanya dengan
kepandaian membual, tahu-tahu menepuk diri
sebagai pejuang dengan serangkaian cerita
perjuangan-nya yang dahsyat. Ya orang macam
Kembang Jelita 2 / II 16 inilah Ang Bik .ini. Dia sekarang bahkan adalah
salah seorang pembantu dekat dan terpercaya
Jenderal Gu Kim-sing.."
"Astaga, kalau orang macam ini bisa menjadi
anggota stafnya Gu Kim-sing, bisa aku
bayangkan bagaimana kwalitas pasukan Gu
Kim-sing itu, dan bagaimana pula amburadulnya caranya memimpin pasukannya..." kata Kat Hu-yong menahan geli.


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku memberi perhatian khusus kepadanya,
Kun-su. Bukan karena dia adalah pelanggan
warung bakmiku yang paling rajin, bukan hanya
karena dia adalah pembual besar yang gampang
dipancing untuk membocorkan banyak rahasianya Gu Kim-sing, tapi lebih dari itu
adalah karena dia adalah Ting Hoan-wi, saudara
seperguruan Helian Kong si panglima Kerajaan
Beng yang sampai sekarang masih belum
menyerah kepada Li Cu-seng, dan masih
bersembunyi entah dimana dengan pasukannya
yang terlatih." "Ya, aku masih ingat Helian Kong. Jadi Ang
Bik.... eh, Ting Hoan-wi ini adalah saudara
Kembang Jelita 2 / II 17 seperguruannya? Kalau begitu, dia orang yang
berbobot dan.." "Keliru, Kun-su. Ting Hoan-wi jauh berbeda
dengan Helian Kong biarpun keduanya saudara
seperguruan. Ting Hoan-wi adalah orang yang
sekedar ahli menggunakan kesempatan demi
keuntungan diri sendiri. Beberapa teman kita
yang bertugas di Pak-khia sejak sebelum
keruntuhan dinasti Beng, bahkan tahu bahwa
Ting Hoan-wi ini dulu pernah mengangkangi
harta warisan pamannya yang memeliharanya
sejak kecil. Tahukah Kun-su siapa pamannya
Ting Hoan-wi ini?" "Siapa?" "Ayah Tan Wan-wan, selir Kaisar Cong-ceng
yang ternyata adalah mata-mata Li Giam itu."
"Kalau pamannya Ting Hoan-wi adalah
ayahnya Tan Wan-wan, berarti Ting Hoan-wi
masih bersaudara sepupu dengan Tan Wanwan?"
"Benar." Kembang Jelita 2 / II 18 "Kenapa Ting Hoan-wi tidak ikut menikmati
kemuliaan ketika Tan Wan-wan menjadi
perempuan kesayangan Kaisar Cong-ceng?"
"Ting Hoan-wi lebih suka ketemu hantu
daripada ketemu saudara sepupunya itu,"
"Lho. Kenapa?" "Setelah pamannya yang memeliharanya
meninggal, Ting Hoan-wi menerima tanggungjawab atas harta peninggalan pamannya, tetapi
bukan untuk dirinya semuanya. Separuh untuk
Ting Hoan-wi, separuh untuk Tan Wan-wan,
begitu pesan terakhir pamannya. Apa mau
dikata, Ting Hoan-wi terlalu rakus harta. Harta
peninggalan pamannya dihabiskannya sendiri
di meja judi, termasuk bagiannya Tan Wan-wan.
Bahkan kemudian tidak, segan-segan menjual
Tan Wan-wan, sampai Tan Wan-wan menjadi
wanita penghibur di Soh-ciu. Ting Hoan-wi
sendiri lalu menjadi seorang penyelundup
garam." "Tan Wan-wan?" "Melalui jalan yang berliku, Tan Wan-wan
berhasil diperalat oleh Li Giam dan
Kembang Jelita 2 / II 19 diselundupkan ke istana, menjadi mata-mata Li
Giam yang sangat besar jasanya untuk
kemenangan-kemenangan besar Li Giam atas
tentara kerajaan Beng. Namun suatu ketika,
kedok Tan Wan-wan tercium oleh Puteri Tiangping. Hanya saja Puteri Tiang-ping tidak tega
bertindak keras kepada Tan Wan-wan, sebab
mengetahui riwayat hidup Tan Wan-wan yang
memelas. Puteri Tiang-ping cuma menyingkirkannya dari istana dan mengurungnya di suatu tempat rahasia di luar
istana, kemudian dihadiahkan kepada Bu Samkui karena Bu Sam-kui tergila-gila kepada Tan
Wan-wan....." Tiba-tiba Kat Hu-yong menepuk meja keraskeras, sehingga Goh Lung yang sedang asyik
bercerita itu berhenti bicara karena agak kaget.
"Sudah kutemukan jalannya!" kata Kat Huyong.
"Maksud Kun-su?" Goh Lung masih kaget.
"Masalah Tan Wan-wan, itulah kuncinya.
Bukankah dia mata-mata Li Giam sekaligus
Kembang Jelita 2 / II 20 kekasih Bu Sam-kui? Tetapi entah berada di
mana dia sekarang?" "Itulah yang akan kulaporkan kepada Kun-su
dan Kakak Goh," sekarang Hulan Biao yang
berbicara dengan nada bangga.
"Betul?" Hulan Biao lalu menceritakan hasil
penelitiannya sejak siang tadi ketika menguntit
Ting Hoan-wi yang kini berlindung di balik
nama palsu, Ang Bik. Laporan Hulan Biao
ditutup dengan kata-kata yang membuat hati
Kat Hu-yong bergejolak, "... jadi di dalam rumah itu berkumpullah Tan
Wan-wari, Siangkoan Hi, Siangkoan Heng dan
Siangkoan Yan yang sedang mengandung....."
"Lalu apa yang Ting Hoan-wi lakukan?"
"Siangnya dia menyelidiki rumah itu dari
kejauhan karena terpancing ketika melihat
Siangkoan Yan lewat di depan warung ini.
Agaknya dia ketakutan kalau-kalau bertemu
dengan Helian Kong, saudara seperguruannya
sendiri. Malamnya dia mengajak tiga tukang
kepruk bayaran, lalu Ting Hoan-wi mengintip,
Kembang Jelita 2 / II 21 dan ketika mendengar jerit seorang wanita
maka dia pun kabur. Siangkoan Heng keluar dan
mengejar, tapi dengan bantuan tiga tukang
kepruk bayarannya, Ting Hoan-wi dapat lolos
tanpa terbuka kedoknya."
Kat Hu-yong tiba-tiba bangkit dari duduknya
dan berkata kepada Goh Lung, "Goh Lung,
terpaksa bakmi istimewamu aku tunda dulu
makannya. Malam ini juga aku ingin mengawasi
rumah itu." Dan kepada Hulan Biao, "Tunjukkan aku
rumah itu." "Baik, Kun-su."
Maka Hulan Biao yang baru saja datang itu
pun berangkat kembali untuk mengantarkan
Kat Hu-yong. Kota Pak-khia masih kelihatan sesepi malammalam sebelumnya, namun di balik kesunyian
itu, rencana-rencana besar mulai melangkah.
Pihak-pihak yang berbeda kepentingan bergerak bagaikah arus bawah sebuah sungai,
tenang di permukaan tetapi di bawah
Kembang Jelita 2 / II 22 permukaan nya bisa menghanyutkan sepuluh
ekor kerbau sekalipun. Ang Bik alias Ting Hoan-wi yang melarikan
diri terbirit-birit dari rumah yang diintainya itu,
menghentikan langkah di suatu tempat yang
gelap dan sepi, setelah lebih dulu meyakinkan
tidak ada yang mengejarnya. Lalu dibukanya,
bungkusan pakaian seragam perwira yang tadi
sempat disambarnya dari tempat persembunyiannya. Tentu kurang aman kalau
malam-malam di Pak-khia berkeluyuran dengan
pakaian pejalan malam, maka bergegas
dipakainya seragam perwiranya, sesudah itu
melangkahlah ia sambil memutar otak.
"Selama Tan Wan-wan, Siangkoan Yan dan
orang-orang lain yang mengenali masa laluku
masih hidup, apalagi berada di Pak-khia ini,
ruang-gerakku pastilah terbatas sekali. Bisa saja
suatu saat mereka akan mengenali aku dan
menimbulkan kesulitan bagiku, meskipun
malam ini aku beruntung dapat lolos tanpa
tersingkap identitasku. Namun bagaimanapun
juga, orang-orang seperti Tan Wan-wan,
Kembang Jelita 2 / II 23 Siangkoan Yan dan sebagainya itu haruslah
dilenyapkan, tetapi tidak olehku sendiri....."
Suatu pikiran muncul di benaknya, lalu
melangkahlah Ang Bik ke markas Jenderal Gu
Kim-sing, atasannya, tidak peduli hari sudah
larut malam. Di markas, penjaga-penjaga memberinya
hormat sebab mereka kenal Ang Bik sebagai
salah seorang anggota staf Jenderal Gu. Tetapi
menurut kata penjaga-penjaga itu, Jenderal Gu
sedang tidak ada di markasnya, melainkan di
rumahnya. Ang Bik meminjam seekor kuda dari markas
dan menuju ke rumah pribadi Gu Kim-sing.
Sebuah rumah yang megah dan besar, dulunya
adalah kediaman seorang bangsawan dinasti
Beng, namun ketika kaum Pelangi Kuning
menang perang maka Gu Kim-sing pun
mengambil-alih gedung besar itu "demi
kepentingan rakyat", Yang dimaksud rakyat
adalah Gu Kim-sing sendiri, anaknya dan
isterinya. Kembang Jelita 2 / II 24 Di rumah itu pun Ang Bik hanya ditemui
seorang ajudan pribadi Jenderal Gu yang
mengatakan bahwa malam itu Jenderal Gu tidak
tidur di rumahnya, melainkan di rumah anaksulungnya.
Sambil menggerutu dalam hati, Ang Bik pun
menuju ke rumah anak sulung Jenderal Gu. Ia
tahu tempatnya sebab pernah dijamu di sana.
Sejak kemenangan kaum Pelangi Kuning, anak
Jenderal Gu itu langsung memegang monopoli
atas beberapa macam barang keperluan
penduduk Pak-khia. Menjadi "penyalur tunggal"
beberapa macam barang untuk seluruh Pakkhia. Toko-toko atau perusahaan-perusahaan di
Pak-khia yang berani mengambil barang-barang
tertentu itu dari luar Pak-khia tanpa melalui
"penyalur tunggal" ini, bukan saja bisa
kehilangan harta-bendanya, bahkan bisa
kehilangan batok kepalanya.
Di rumah putera sulung Gu Kim-sing yang
juga megah-mewah itu, barulah Ang Bik
berhasil bertemu dengan Jenderal Gu. Meskipun
Jenderal ini masih mengantuk sekali dan
Kembang Jelita 2 / II 25 berkali-kali menguap ketika menemui Ang Bik.
Maklum, dia sedang tidur nyenyak ketika dia
dibangunkan dan dilapori Ang Bik hendak
melaporkan sesuatu yang penting.
"Laporan apa?" tanya Jenderal Gu dalam
pakaian tidurnya sambil menguap lebar-lebar,
menghadiahkan bau mulutnya ke wajah Ang
Bik. Sambil menahan diri agar tidak semaput, Ang
Bik menjawab, "Jenderal, malam ini ijinkanlah
pasukan bergerak untuk menangkap buruanburuan penting yang sudah aku ketahui
tempatnya karena penyelidikanku siang tadi."
"Ah, buruan penting apa? Paling-paling cuma
orang-orang yang tidak kau senangi, seperti
beberapa hari yang lalu ketika aku
memerintahkan hukuman mati kepada beberapa orang atas laporanmu. Sampai-sampai
aku ditegur oleh Sri Baginda."
"Tidak, Jenderal. Kali ini benar-benar
buruan-buruan penting. Tidakkah Jenderal
pernah mendengar nama Siangkoan Hi...."
Kembang Jelita 2 / II 26 Mata Gu Kim-sing kontan melotot,
"Siangkoan Hi yang dulu adalah menteri di
jaman Kerajaan Beng itu?"
"Betul. Masih ada lagi anak laki-lakinya yang
bernama Siangkoan Heng, anak perempuannya
yang bernama Siangkoan Yan yang menjadi
isteri Helian Kong dan sekarang sedang hamil


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda..." "Waduh, kakap-kakap besar ini. Aku biasa
mendapat muka terang di hadapan Sri Baginda
kalau mempersembahkan batok-batok kepala
mereka ke hadapan Sri Baginda di hadapan
sidang-lengkap istana.."
"Benar sekali, Jenderal. Lagi pula dengan
Siangkoan Yan dalam tangan kita, kita, bias
mengultimatum Helian Kong agar keluar dari
persembunyiannya dan menyerah. Tetapi
bukan cuma itu,..Jenderal, masih ada satu
'kakap' lagi." Kali ini kantuk Gu Kim-sing benar-benar
sudah amblas tak bersisa. "Siapa?"
"Tan Wan-wan." Kembang Jelita 2 / II 27 Gu Kim-sing menepuk pahanya keras-keras.
"Ini baru kakap! Bukankah dia itu dulu adalah
penghibur dari Soh-ciu yang sampai menjadi
perempuan kesayangan nya Kaisar Cong-ceng,
yang kemudian dihadiahkan kepada Bu Samkui?"
"Benar, Jenderal."
Memang soal Tan Wan-wan adalah orangnya
Li Giam yang menyelundup masuk ke istana
Kerajaan Beng sebagai mata-mata, hanya
diketahui oleh kalangan yang amat terbatas.
Oleh Li Giam sendiri dan beberapa pembantu
kepercayaannya yang jumlahnya tidak melebihi
lima orang. Orang di luar kalangan itu, tahunya
cuma Tan Wan-wan sebagai bekas selir Kaisar
Cong-ceng yang kemudian dihadiahkan kepada
Bu Sam-kui karena Bu Sam-kui tergila-gila
kepadanya. Demikian pula yang diketahui oleh
Jenderal Gu dan Ang Bik. Tidak peduli Ang Bik
sebenarnya adalah Ting Hoan-wi, saudarasepupu Tan Wan-wan.
"Kalau begitu, ini pun umpan yang luar biasa
untuk memancing Bu Sam-kui datang ke PakKembang Jelita 2 / II
28 khia dan kita ringkus, atau untuk menekan dia
agar menyerahkan San-hai-koan ke tangan kita.
Ang Bik, jasamu kali ini benar-benar luar biasa!"
Cuping hidung Ang Bik kembang-kempis
karena bangganya mendapat pujian dari
Jenderalnya itu. Sudah dibayangkannya
kenaikan pangkat dan hadiah besar yang bakal
diterimanya. Namun ia berkata, "Jenderal,
malam ini sudah kuketahui tempat persembunyian mereka, mereka ternyata
berkumpul di satu rumah, jadi memudahkan
untuk penangkapannya. Namun untuk mencegah mereka pindah tempat persembunyian karena mungkin mencium
gelagat buruk, maka kita harus secepatnya
bertindak meringkus mereka. Aku minta ijin
menggerakkan pasukan!"
Setelah diberitahu bahwa sasaran penangkapan kali ini benar-benar "kakapkakap" maka Gu Kim-sing tidak lagi berlambatlambatan. Segera ditulisnya sebuah surat
perintah pengerahan pasukan yang akan
dibawa Ang Bik ke markasnya.
Kembang Jelita 2 / II 29 Setelah surat itu dilipat dan diberi sampul,
diserahkannya kepada Ang Bik sambil berkata,
"Yang bertugas malam ini adalah Ciong Ek-hi,
serahkan surat ini kepadanya."
"Baik, Jenderal, aku pamit."
"Bertindaklah cepat, jangan sampai didahului
oleh Li Giam atau pun Lau Cong-bin, sebab
mereka pun berebutan mencari muka di
hadapan Sri Baginda."
Begitulah, sambil memaki orang lain sebagai
pencari-muka, tak sadar Gu Kim-sing juga
mencaci dirinya sendiri. Sementara itu, Ang Bik dengan surat
perintah di kantongnya, memacu kudanya
kencang-kencang ke tangsi-militer Gu Kim-sing.
Beberapa kali ia berpapasan dengan regu-regu
peronda, namun ia dibiarkan lewat karena raguragu peronda itu melihat seragam perwiranya.
Tiba di tangsi, Ang Bik menyerahkan kuda
kepada seorang prajurit, dan ia sendiri
melangkah langsung ke ruang komandan, di
mana seorang perwira staf bernama Ciong Ek-hi
Kembang Jelita 2 / II 30 yang pangkatnya lebih tinggi dari Ang Bik,
malam itu berpiket. "Komandan, ada surat-perintah dari Jenderal," Ang Bik memberi hormat lalu
menyerahkan surat Jenderal Gu kepada Ciong
Ek-hi. Ciong Ek-hi adalah seorang lelaki berusia
empat puluh tahunan, tubuhnya tegap dan
wajahnya garang, semua orang yang pernah
sepasukan dengannya bisa bersaksi tentang
keberanian dan ketangkasannya di medan
tempur. Berbeda dengan Ang Bik yang terpaksa
harus bersaksi untuk dirinya sendiri-sendiri.
Itulah sebabnya dalam pasukannya Gu Kimsing, Ciong Ek-hi adalah orang nomor dua yang
cuma di bawahnya Gu Kim-sing sendiri, dan
sulit bagi saingannya untuk menggeser
kedudukannya. Ia menerima surat Gu Kim-sing tanpa
sepatah kata pun, lalu membaca tulisan bergaya
cakar-ayam dari Jenderalnya itu. Maklum,
biarpun Gu Kim-sing sekarang adalah Jenderal,
tetapi belum lama dia melek huruf. Toh Ciong
Kembang Jelita 2 / II 31 Ek-hi mampu juga membaca tulisan cakar-ayam
itu di bawah penerangan lilin di mejanya, dan
mengerti maksudnya. Segera Ciong Ek-hi menyuruh menyiapkan
pasukannya malam itu juga, dan ia sendiri akan
memimpin penangkapan. Ang Bik akan
menunjukkan jalannya. Demikianlah, di malam yang sunyi itu, dari
tangsi pasukan Gu Kim-sing keluarlah dua ratus
prajurit yang dipimpin Ciong Ek-hi. Mereka
langsung menuju ke sasaran tanpa menggunakan obor. Ang Bik berjalan di
samping Ciong Ek-hi sebagai penunjuk jalan.
Tetapi di tengah perjalanan, Ang Bik tiba-tiba
mengajukan sebuah permohonan yang ganjil
kepada Ciong Ek-hi, "Komandan Ciong,
bolehkah aku tidak usah ikut dalam
pelaksanaan penangkapan nanti?"
Ciong Ek-hi menoleh kepada rekannya ini
dengan heran, sambil terus melangkah, "Lho,
ada apa?" Ang Bik gelagapan, belum menyiapkan
jawaban yang masuk akal. Tentu saja ia tidak
Kembang Jelita 2 / II 32 bisa menjawab terang-terangan bahwa wajahnya takut dilihat Tan Wan-wan maupun
Siangkoan Yan sebab kedua wanita itu sudah
mengenalinya, kalau sampai kedua wanita itu
menyebut namanya, bisa menimbulkan
kesulitan baginya. Belum sempat Ang Bik menjawab, Ciong Ekhi sudah mendesaknya, "Kenapa? Apakah kau
pernah ada hubungan dengan mereka, dan
kuatir hubunganmu dengan mereka terbongkar
setelah berhadapan?"
Keruan Ang Bik berkeringat dingin. Masa itu,
orang gampang sekali kehilangan nyawa asal
kena tuduhan "ada hubungan dengan
pemerintahan lama," apa lagi kalau ada
hubungan dengan tokoh-tokoh kelas kakap dari
pemerintahan lama seperti Siangkoan Hi yang
bekas menteri dan Tan Wan-wan yang bekas
selir Kaisar Cong-ceng. Sebisa-bisanya Ang Bik menjawab, "Aku....
aku hanya ingin wajahku tidak dikenal dulu
oleh sisa-sisa dinasti Beng yang mungkin masih
berkeliaran di kota ini. Kalau wajahku belum
Kembang Jelita 2 / II 33 dikenal, mungkin aku masih bisa menangkap
beberapa kakap lagi..."
Namun dalih itu terlalu lemah bagi Ciong Ekhi, "Ah, buat apa menyembunyikan wajah
segala, sedangkan setiap hari kerjamu jual
tampang saja di warung bakmi itu?"
Ang Bik cep-klakep, tidak bisa membantah
lagi, sebab kalau membantah lagi akan
menimbulkan kecurigaan. Sementara Ciong Ek-hi sudah menetapkan
dengan tegas, "Kau harus ikut bertindak
bersama-sama aku. Perwira harus memberi
contoh kepada para prajurit dengan perbuatan,
bukan cuma dengan kata-kata saja."
"Baik, Komandan....." sahut Ang Bik terpaksa,
namun otaknya mulai berputar keras untuk
mencari jalan bagaimana caranya kalau ketemu
dengan Siangkoan Yan atau lain-lainnya yang
mengenalnya? Tetapi ketika pasukan kecil itu tiba di tempat
yang ditunjukkan oleh Ang Bik, mereka terkejut
karena melihat pasukan lain sudah bersiap
Kembang Jelita 2 / II 34 mengelilingi rumah itu, pasukan yang tidak
kalah jumlahnya. Komandan dari pasukan yang lebih dulu ada
di sekitar rumah itu menyongsong Ciong Ek-hi.
Dia seorang perwira muda bertubuh tegap
dengan sepasang pedang di punggungnya,
gagang-gagang pedangnya mencuat dari
belakang sepasang pundaknya.
Dengan sikap hormat dia berkata kepada
Ciong Ek-hi, "Kakak Ciong, maaf, apakah
maksudmu membawa pasukan ke tempat ini?"
Ciong Ek-hi dengan pongah menunjukkan
sampul surat Jenderal Gu yang dikeluarkannya
dari balik bajunya. "Aku mengemban perintah
resmi dari Jenderal Gu untuk menangkap
beberapa orang yang membahayakan pemerintahan!" "Apakah dimaksud orang-orang yang
membahayakan pemerintahan itu adalah
penghuni-penghuni rumah ini? Seorang lelaki
tua yang sudah sakit-sakitan sehingga berjalan
pun harus dituntun, seorang perempuan muda
Kembang Jelita 2 / II 35 yang sedang hamil muda, seorang perempuan
muda lainnya yang hanya bisa menyulam?"
"Saudara Yo, orang-orang itu membahayakan
negara bukan dengan kekuatan fisik mereka,
namun karena mereka terlibat dalam rencana
menggulingkan pemerintahan kita yang adil
sekarang ini, dan membangkitkan dinasti Beng
dari kuburnya!" "Ada buktinya?"
"Yo Kian-hi, perkara bukti-bukti boleh kau
tanyakan sendiri kepada Jenderal Gu,
sedangkan aku cuma menjalankan tugas.
Sekarang minggirlah, kami mau menangkap
orang-orang itu." Yo Kian-hi, perwira muda itu, menjawab
tetap dengan sopan, "Sekali lagi maaf, Kakak
Ciong, kembalilah melapor kepada Jenderal Gu
bahwa orang-orang di rumah ini ada di bawah


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlindungan Jenderal Li Giam. Dan aku juga
punya surat perintah dari Jenderal Li untuk
melindungi orang-orang itu, dan menjaga agar
tidak ada seorang pun yang mengusik-usik
mereka." Kembang Jelita 2 / II 36 Kedua belah pihak sudah sama-sama "buka
kartu" dan ternyatalah tujuan mereka memang
berbeda. Bukan cuma berbeda, bahkan
berbenturan frontal satu sama lain. Yang satu
mau menangkap, yang lain mau melindungi
yang hendak ditangkap itu. Kedua belah pihak
mengemban perintah yang sama tegasnya dan
sama-sama punya perintah tertulis dari atasan
masing-masing. Suasana langsung jadi tegang.
Pihak Ciong Ek-hi sama sekali tidak menduga
kalau anak buah Jenderal Li Giam bakal
menghalang-halangi tugas mereka. Sebaliknya
Yo Kian-hi juga tidak menduga kalau yang akan
mengganggu Tan Wan-wan adalah pihak
Jenderal Gu, sebab menurut laporan Tan Wanwan hanyalah "seorang berkedok dan tiga orang
tukang kepruk bayaran". Sedangkan Li Giam
dan Gu Kim-sing adalah sama-sama panglima
bawahan Kaisar Tiong-ong. Selama ini memang
kurang rukun namun belum sampai bentrok
secara terbuka, terutama dari pihak Li Giamlah
yang sekuatnya berusaha menahan diri sebab
sadar betapa berbahayanya kalau pemerintahan
Kembang Jelita 2 / II 37 baru yang belum lama berdirinya itu sampai
terpecah-belah. Selain ada ancaman dari sisasisa dinasti Beng di selatan, juga ada ancaman
orang Manchu di utara. Menyesuaikan dengan sikap panglima
atasannya, Yo Kian-hi pun berusaha mengindari
bentrokan, dan memperlunak kata-katanya,
"Kakak Ciong, aku akan memohon kepada
Jenderal Li, atasanku, agar dia bisa
menjelaskannya secara pribadi kepada Jenderal
Gu, atasan Kakak. Jadi kita tidak perlu
bersitegang leher di tempat ini, kita percayakan
bahwa atasan-atasan kita dapat mengatasinya
secara baik-baik. Bagaimana?"
Tetapi dalam benak Ciong Ek-hi muncul
pikiran lain, usul damai Yo Kian-hi itu
ditepisnya mentah-mentah, "Yo Kian-hi,
tahukah siapa orang-orang yang akan kami
tangkap itu?" "Aku tahu, Kak. Tuan Siangkoan adalah
mantan menteri dinasti Beng, puteri-nya adalah
isteri Helian Kong, panglima dinasti Beng yang
sampai sekarang masih belum menyerah dan
Kembang Jelita 2 / II 38 masih bergerilya entah di mana dengan
pasukannya. Begitu juga kami tahu siapa Nona
Tan Wan-wan. Tetapi percayalah, Jenderal Li
punya pertimbangan sendiri dengan melindungi
mereka, Lebih menguntungkan buat pemerintahan kita sekarang ketimbang merugikannya. Jenderal Li akan menjelaskannya kepada Jenderal Gu."
"Tidak. Sisa-sisa dinasti Beng harus dibasmi
supaya pemerintahan kita kokoh-kuat, dan
siapa yang melindunginya akan sama saja
berkomplot dengan mereka!"
Di Pak-khia, siapa yang mendapat tuduhan
berkomplot dengan dinasti lama membuat siapa
pun yang dituduh gemetar ketakutan. Tapi Li
Giam dan orang-orang bawahannya, termasuk
Yo Kian-hi, adalah perkecualian. Malah Yo Kianhi berkata dengan kalem, "Saat ini Sri Baginda
Tiong-ong juga melindungi Puteri Tiang-ping
serta Pangeran Cu Sam, putera-puteri Kaisar
Cong-ceng. Apakah juga harus dihukum dengan
tuduhan berkomplot dengan pemerintah yang
lama?" Kembang Jelita 2 / II 39 Memang saat itu Puteri Tiang-ping yang
buntung sebelah lengannya serta Pangeran Cu
Sam masih ada di istana, diperlakukan dengan
baik oleh Kaisar Tiong-ong alias Li Cu-seng
sebagai penguasa baru. Li Cu-seng agaknya
tidak mau menghukum anak-anak Kaisar Congceng itu, karena khawatir menggusarkan rakyat
yang barangkali saja masih ingat kebaikan
Puteri Tiang-ping dulu. Bantahan Yo Kian-hi itu membuat Ciong Ekhi gusar sampai giginya gemeretak, namun ia
nekad akan bertindak malam itu juga, apa pun
taruhannya. Katanya, "Pokoknya aku hanya
menyodorkan dua pilihan bagimu. Minggir atau
bertempur dengan kami. Kami tetap akan
menangkap orang-orang itu."
Menghadapi sikap kepala-batu Ciong Ek-hi
itu, kesabaran Yo Kian-hi pun habis. Pihaknya
sudah mengalah sedemikian rupa, pihak sana
masih juga bersikap mau menangnya sendiri.
Apalagi kalau mengingat bahwa dulunya orangorang Gu Kim-sing inilah yang di jaman
perjuangan malahan menjegal dari belakang
Kembang Jelita 2 / II 40 terhadap Li Giam yang waktu itu hampirhampir berkesempatan berhasil merebut Pakkhia dan memenangkan sayembara yang
dicanangkan Li Cu-seng waktu itu. Gara-gara
pengkhianatan itulah Li Giam gagal menjadi
orang pertama yang merebut Pak-khia, malahan
Lau Cong-bin yang mendahuluinya. Kini
menghadapi Ciong Ek-hi yang adalah anak buah
Jenderal Gu itu, darah muda Yo Kian-hi pun
menggelegak. Pikirnya, "Mengalah ya mengalah,
tetapi berhadapan dengan orang-orang tidak
tahu diri semacam ini, kalau terlalu mengalah
lama-lama kepala kami bisa diinjak."
Karena itulah jawaban Yo Kian-hi kemudian
bernada menantang, "Kalau Kakak Ciong
bersikeras, ya terserahlah apa maunya. Kakak
menjalankan tugas atasan, aku pun menjalankan tugas atasan. Kakak membawa
perintah tertulis, aku pun punya."
Maka Ciong Ek-hi pun mengibaskan
lengannya ke depan sambil memerintahkan
orang-orangnya, "Serbu!"
Kembang Jelita 2 / II 41 Yo Kian-hi tidak dihadapkan pilihan lain
kecuali melawan. Ia pun memberi Isyarat agar
pasukannya mempertahankan diri.
Begitulah, kesunyian kota Pak-khia malam
itu terkoyak-koyak oleh suara pertempuran di
bagian kota itu. Memang, yang terlibat tidak
sampai ribuan prajurit, sebab prajurit di pihak
Ciong Ek-hi hanyalah dua ratus orang dan di
pihak Yo Kian-hi kurang lebih sama juga, namun
pertempuran berjalan cukup seru. Mula-mula
agak sungkan karena merasa sama-sama
prajuritnya pemerintahan yang baru, tapi lama
kelamaan rasa sungkan itu hilang juga.
Ciong Ek-hi dengan golok bertangkai panjang
(Koan-to), segera menyerang Yo Kian-hi dengan
sebuah serangan Thai-san-ap-teng (Gunung
Thai-san Ambruk ke Kepala), goloknya
melengkung membuat selendang cahaya
keperak-perakan yang hendak membelah tubuh
Yo Kian-hi mulai dari kepala sampai ke
selangkangan. Deru serangannya dahsyat
karena Ciong Ek-hi memang bukan sejenis
perwira yang naik pangkat hanya karena pintar
Kembang Jelita 2 / II 42 membual, melainkan benar-benar perwira
lapangan yang sekian puluh kali mengalami
pahit-getirnya perang. Tetapi Yo Kian-hi juga bukan perwira salon.
Dengan tangkas ia mundur sambil menghunus
sepasang pedang dari punggungnya dan
menyilangkannya di atas untuk menangkis
golok Ciong Ek-hi. Kedua jenis senjata itu
berbenturan keras dan kedua pemiliknya samasama tergetar lengannya, namun Yo Kian-hi
masih punya kelebihan tenaga untuk
mendorongkan sepasang pedangnya masih
dalam posisi bersilang. Ciong Ek-hi terhuyung
ke belakang, namun dengan tangkas memutar
pangkal tangkai-panjang goloknya untuk
menyodok ke lambung Yo Kian-hi.
Yo Kian-hi terus merangsek maju dengan
kedua pedangnya berkelebatan bergantian,
seperti seorang penabuh tambur besar dengan
sepasang pemukulnya. Perkelahian sengit antara kedua perwira itu
seolah mewakili panas hati dua hulubalang
Pelangi Kuning yang sejak lama tidak rukun, Li
Kembang Jelita 2 / II 43 Giam dan Gu Kim-sing, atasan kedua perwira
itu. Dan para prajurit pun mau. tidak mau ikutikutan bertempur pula.
Ang Bik sebenarnya ingin cepat-cepat pergi
dari tempat itu saja, ia merasa agak gemetar
karena tahu betapa terlatihnya pasukanpasukan bawahan Li Giam. Namun sudaih tentu
Ang Bik tidak berani kabur sendirian
meninggalkan Ciong Ek-hi di situ.
Ang Bik sendiri dengan amat terpaksa
bertempur setengah hati melawan seorang
perwira bawahannya Li Giam. Biarpun dirinya
sendiri cuma bertempur ogah-ogahan, tetapi
Ang Bik tidak henti-hentinya meneriakan slogan
pembakar semangat yang dahsyat-dahsyat
seperti : "Kita junjung kehormatan Jenderal Gu!"
'Tunjukkan kitalah prajurit-prajurit sejati
yang berpegang teguh pada tugasnya!"
Dan lain-lainnya. Tetapi prajurit-prajurit bawahan Jenderal Gu
itu biarpun diberi semangat sampai seperti apa.
Kembang Jelita 2 / II 44 Perkelahian sengit antara kedua perwira itu
seolah mewakili panas hati dua hulubalang
Pelangi Kuning yang sejak lama tidak nian,
Li Giam dan Gu Kim-sing Kembang Jelita 2 / II 45 pun, karena memang kalah latihan, ya tetap saja
terdesak Untung juga prajurit-prajuritnya Li Giam
masih agak menahan diri, sehingga mereka
tidak bersungguh-sungguh ingin menumpas
lawan yang sebetulnya bukan lawan melainkan
hanya kawan yang berbeda pasukan. Maka
prajurit-prajurit itu lebih banyak menggunakan
tangkai tombak untuk merobohkan lawan
daripada ujung tombak. Apa mau dikata, agaknya sikap itu malah
dirasakan sebagai penghinaan buat prajuritprajurit Gu Kim-sing. Mereka melawan
sungguh-sungguh. Begitulah, mula-mula ada yang terluka, lalu
ada pula yang mau tidak mau terbunuh. Yang
mula-mula terbunuh justru prajurit dari pihak
Li Giam lebih dulu. Prajurit yang ragu-ragu
membunuh lawannya yang sudah jatuh itu,
justru dibacok dari belakang oleh seorang
prajuritnya Gu Kim-sing lainnya.
Kemarahan prajurit-prajurit Li Giam tidak
bisa dikendalikan lagi melihat kematian kawan
Kembang Jelita 2 / II 46 mereka. Tanpa ada yang memberi aba-aba,
mereka menyingkirkan rasa sungkan mereka
dan melabrak prajurit-prajurit Gu Kim-sing
lebih sengit. Mengamuknya prajurit-prajurit yang lebih
terlatih itu berarti bencana bagi prajuritprajurit Jenderal Gu. Biarpun jumlah kedua
pihak berimbang, namun perbedaan kwalitas
mengakibatkan prajurit-prajurit Gu Kim-sing
terdesak hebat, seperti dihantam gelombang
yang bertubi-tubi. Maka dalam waktu yang
tidak terlalu lama, belasan korban pun jatuh di
pihak pasukannya Gu Kim-sing.
Ang Bik melihat semuanya itu dengan
perasan ngeri, agak menyesal juga ia karena


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa kurang teliti menyelidiki penghuni
rumah itu, sehingga sampai tidak tahu kalau
penghuni rumah itu dilindungi Li Giam,
meskipun tidak tahu apa alasan perlindungan
itu. Ang Bik mengharap Ciong Ek-hi segera
mengeluarkan perintah untuk mundur sebelum
dihancurkan pasukan Li Giam yang sedang
marah itu. Kembang Jelita 2 / II 47 Ketika ia melirik ke arah Ciong Ek-hi, ia
menjadi kesal melihat Ciong Ek-hi agaknya
masih ngotot bertempur melawan Yo Kian-hi,
tidak mempedulikan pasukannya.
Ang Bik lalu meneriaki Ciong Ek-hi,
"Komandan Ciong, agaknya kita perlu..."
Di tengah-tengah pertarungannya melawan
Yo Kian-hi, Ciong Ek-hi menjawab keras,
"Panggil bala bantuan!"
Ang Bik tercengang mendengar perintah itu.
Itu artinya Ciong Ek-hi tidak bermaksud untuk
mundur, melainkan tidak segan-segan akan
melibatkan lebih banyak prajurit demi tetap
mencapai maksud tujuan penangkapan. Ang Bik
jadi ngeri sendiri membayangkan betapa hebat
pertumpahan darah yang akan terjadi kalau
pihak Li Giam juga ikut mendatangkan bantuan.
Ang Bik teringat ketika dulu ia "masih bernama"
Ting Hoan-wi dan menjadi begundalnya Co Huasun, itu menteri dorna dinasti Beng, betapa kota
Pak-khia pernah dilanda pertumpahan darah
besar-besaran antara prajurit-prajurit kerajaan
Kembang Jelita 2 / II 48 sendiri, yaitu antara pihak yang membenci Co
Hua-sun dan pihak yang hendak menyingkirkan Co Hua-sun.
Kini, akankah peristiwa itu terulang di bawah
pemerintahan baru Li Cu-seng alias Kaisar
Tiong-ong ini? Kalau Ang Bik ngeri, bukan
karena mencemaskan nyawa-nyawa yang bakal
melayang tiba-tiba, melainkan mencemaskan
kedudukannya sendiri yang sedang menanjak di
bawah Jenderal Gu. Ia khawatir Jenderal Gu
akan roboh seperti Co Hua-sun dulu, sehingga ia
kehilangan tempat berlindung yang nyaman.
Seperti kata pepatah, "Pohon besar roboh,
burung-burungnya terbang berhamburan."
Keparatnya, Ciong Ek-hi agaknya bersikap
pantang mundur dan siap bertempur habishabisan.
Maka Ang Bik jadi bertempur sambil
setengah melamun, sehingga suatu kali hampir
saja lehernya tergores ujung tombak lawannya.
Ia terkejut, dan masih ditambah lagi
bentakan Ciong Ek-hi, "Ang Bik, aku suruh kau
Kembang Jelita 2 / II 49 memanggil bala bantuan, apakah kupingmu
budeg?" Tiba-tiba sesuatu melintas di benak Ang Bik.
Ia akan keluar dari pertempuran itu, namun
bukan untuk mencari bantuan melainkan untuk
melapor kepada Jenderal Gu akan kenekadan
Ciong Ek-hi itu. Maka menjawablah ia, purapura patuh, "Baik, Komandan!"
Ia lalu menyerahkan lawannya kepada
seorang perwira bawahannya, kemudian ia
sendiri terbirit-birit meninggalkan gelanggang.
Sambil berlari-lari pulang ke tangsi, diamdiam ia merancang sesuatu dalam hati,
"Kecerobohan Ciong Ek-hi kali ini akan
melemparkan dia dari tempatnya yang empuk
di samping Jenderal Gu. Dan siapa yang pantas
menggantikannya, kalau bukan aku? He-hehe....."
Tak terasa sambil berlari-lari dia pun
tertawa terkekeh-kekeh, sehingga andaikata
ada orang lain yang melihatnya, tentu ia akan
disangka orang gila. Kembang Jelita 2 / II 50 Sampai di tangsi, ia langsung berteriak
kepada seorang prajurit rendahan, "Ambilkan
seekor kuda dan pasang pelananya! Aku harus
cepat-cepat menemui Jenderal Gu di rumah
anak-sulung-nya!" Namun prajurit itu menyahut, "Jenderal Gu
baru saja datang di tangsi ini, Tuan Perwira. Itu
tandunya." Rupanya Gu Kim-sing ini setelah mendengar
laporan Ang Bik, hilang kantuknya, tidak bisa
tidur lagi. Sudah terbayang-bayang bagaimana
ia akan mendapat pujian dari Kaisar Tiong-ong
karena berhasil menangkap buruan-buruan
kelas-kakap. Maka setelah Ang Bik pergi
membawa surat-perintahnya, dia pun pergi ke
tangsi untuk melihat tawanan-tawanan itu. Ia
juga ingin melihat seperti apa tampang Tan
Wan-wan yang didesas-desuskan sebagai
wanita tercantik di seluruh negeri itu...
Begitulah, bergegas Ang Bik menghadap
Jenderal Gu di ruangan aula tangsi militer itu,
tempat Jenderal Gu biasa menceramahi
perwira-perwiranya. Ketika Ang Bik masuk, Gu
Kembang Jelita 2 / II 51 Kim-sing sedang duduk santai di kursinya yang
berlapis kulit macan. Melihat Ang Bik melangkah masuk, ia
langsung menyongsongnya dengan pertanyaan,
"Mana tawanan-tawanannya?"
Ang Bik memberi hormat dan menjawab,
"Jenderal, entah kenapa dan bagaimana
caranya, keterangan tentang tawanan-tawanan
itu ternyata juga sampai ke kuping Jenderal Li
Giam, sehingga Jenderal Li lebih dulu
mengerahkan pasukan untuk mengamankan
tempat itu dan menghalang-halangi pasukan
kita melaksanakan tugas...."
Begitulah Ang Bik tidak mau mengakui hal
itu sebagai akibat kecerobohannya, yang kurang
teliti memeriksa sasaran-operasinya sehingga
sampai tidak tahu kalau Tan Wan-wan dan lainlainnya itu dilindungi Li Giam, melainkan
dengan enak Ang Bik memberi alasan "entah
bagaimana keterangan itu sampai ke kuping
Jenderal Li Giam". Dan seperti biasa, Gu Kim-sing yang malas
berpikir itu langsung saja menelan laporan itu
Kembang Jelita 2 / II 52 mentah-mentah, dan dengan gusar ia menepuk
meja keras-keras sambil berkata, "Bajingan
benar Si Li Giam itu! Tajam benar kupingnya
sehingga bertindak mendahului aku, merebut
Payung Sengkala 11 Goosebumps - Darah Monster 3 Imbauan Pendekar 6

Cari Blog Ini