Ceritasilat Novel Online

Kembang Jelita Peruntuh 3

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p Bagian 3


tertawa-tawa sambil menjawab, "Hebat, tidak
kusangka kalau semuanya bisa berjalan
selancar ini. Hubungan Lau Cong-bin dan Li
Giam semakin panas......."
Lalu dengan singkat Han Cao menceritakan
selengkapnya apa yang baru saja terjadi di
tempat kediamannya Lau Cong-bin.
Kat Hu-yong tertawa, lalu menoleh kepada
Go Liong alias Goh Lung, "Kelihatannya, dengan
dua atau tiga langkah lagi, Li Giam akan bisa
terdepak. Aku ingin kau hubungi orang-orang
kita yang ada dalam istana, agar mereka segera
menemui aku di tempat ini."
"Baik, Kun-su."
* * * Beberapa hari kemudian, seorang keponakan
perempuan Li Giam tiba-tiba saja diperkosa dan
dibunuh oleh beberapa orang lelaki berkedok.
Kembang Jelita 2 / IV 40 Belum sempat perempuan itu dimakamkan,
toko anak sulung Gu Kim-sing terbakar habis
dengan seluruh penghuninya ada di dalamnya
dan ikut menjadi mangsa api. Beberapa orang
saksi yang selamat dari api memberikan
kesaksian bahwa di antara orang-orang yang
menyerbu, terdapat seorang yang bersenjata
sepasang cambuk dan seorang lagi bersenjata
sepasang pedang. Tuduh-menuduh antara Li Giam di satu pihak
dan Lau Cong-bin serta Gu Kim-sing di pihak
lain, tak terhindari lagi. Li Giam masih berusaha
menahan diri dalam perkara musibah
keponakan perempuannya, sambil berulang kali
menyatakan kepada Lau Cong-bin maupun Gu
Kim-sing bahwa ia tidak menuduh mereka,
melainkan hanya akan menyelidiki pelaku
sebenarnya, sekaligus memperingatkan kepada
Jenderal Lau maupun Jenderal Gu agar tidak
mudah diadu-domba. Tetapi dalam peristiwa
kebakaran toko kain anaknya, Gu Kim-sing tidak
bisa bersikap setenang Li Giam. Disokong oleh
Lau Cong-bin, langsung saja Gu Kim-sing
Kembang Jelita 2 / IV 41 menuntut agar Li Giam menyerahkan Oh Kuihou dan Yo Kian-hi agar "batok kepala mereka
bisa ditaruh di meja sembahyang anakku",
bahkan melancarkan pengaduan sampai ke
depan Sidang Kerajaan. Lau Cong-bin yang
selalu menganggap Li Giam sebagai "duri dalam
daging" juga menyokong tuntutan Gu Kim-sing.
Tentu saja Li Giam menyangkal kalau kedua
perwiranya, Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, terlibat
pembakaran itu. Ketegangan antara ketiga
Jenderal Pelangi Kuning itu pun meningkat.
Kaisar Tiong-ong tidak membiarkan pertentangan itu berlarut-larut dan membahayakan pemerintahannya yang berumur belum sampai sebulan, la tidak ingin
salah satu dari ketiga jenderalnya menjadi sakit
hati, maka Kaisar bersikap netral. Dalam suatu
sidang kerajaan, ia mengangkat Jenderal Li
Giam menjadi Tin-se Tai-ciangkun (Panglima
Pengamanan Wilayah Barat), yang akan
berkedudukan di kota Ling-he jauh di barat.
Alasannya, wilayah itu berbatasan dengan
Propinsi Se-cuan, propinsi lumbung besar, yang
Kembang Jelita 2 / IV 42 masih dikuasai oleh Jenderal Thio Hian-tiong,
seorang jenderal dinasti Beng yang tetap setia
kepada pemerintahan lama. Diam-diam Kaisar
berharap, dengan pindahnya Li Giam dari Pakkhia, akan meredam perselisihan tidak habishabisnya antara Li Giam dengan Gu Kim-sing
maupun Lau Cong-bin. Gu Kim-sing kelihatan sangat kurang puas
dengan keputusan Kaisar, yang sama sekali
tidak menghukum Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi
yang dituduhnya sebagai pembakar anaknya,
namun karena Kaisar bersikap tegas, Gu Kimsing tidak berani berbantah-bantah lagi.
Di saat Gu Kim-sing masih penasaran akan
kematian anaknya itulah datang sebuah gagasan
ke kupingnya, berasal dari mulut Ang Bik, tanpa
Gu Kim-sing sadari bahwa gagasan itu
sebenarnya aslinya dari sebuah komplotan
Manchu yang berpusat di sebuah warungbakmi. Suatu gagasan untuk melenyapkan Li
Giam di tengah perjalanan, dengan meminjam
"tangan pihak ketiga" yang mudah dicari asal
ada hadiahnya. Atas bisikan Ciong Ek-hi, Ang
Kembang Jelita 2 / IV 43 Bik menyatakan sanggup mengurus segalagalanya sampai beres.
Penugasan itu disambut Li Giam dengan hati
terbuka, sebagai seorang prajurit yang patuh
kepada rajanya. Begitulah, beberapa hari Li
Giam mengadakan persiapan, kemudian
berangkatlah ia menuju ke tempat tugasnya.
Dengan kereta, pasukan berkuda dan seribu
prajurit. Di tempat tugasnya ia akan
membawahi ratusan ribu prajurit bekas laskar
Pelangi Kuning yang belum sempat diurus sejak
Kaum Pelangi Kuning menduduki Pak-khia.
Tentu saja dua pembantu kesayangannya
dibawa, yaitu kakak-beradik seperguruan Oh
Kui-hou dan Yo Kian-hi. Yo Kian-hi nampak menunggangi kudanya di
sebelah kereta yang ditunggangi Li Giam
sendiri. Wajah Yo Kian-hi nampak murung, ia
berkuda sambil terus-terusan menunduk.
Sampai Li Giam melalui jendela kereta
menyapanya, "Tidak ada yang perlu disesali,
Saudara Yo. Aku sama sekali tidak merasa
terbuang, biarpun ditempatkan jauh di sebelah
Kembang Jelita 2 / IV 44 barat, bahkan dekat dengan kampunghalamanku. Lagi pula aku sudah merasa sumpeg
dengan udara kota Pak-khia yang penuh dengan
fitnah dan kedengkian..."
Yo Kian-hi menarik napas dan menjawab,
"Jenderal, aku cuma masih penasaran akan
tuduhan Lau..... eh, maksudku Jenderal Lau dan
Jenderal Gu yang mengatakan bahwa aku dan
Kakak-seperguruanku terlihat tampil dalam
pembakaran toko anak-sulung Jenderal Gu.
Sungguh aku penasaran. Aku dan Kakakseperguruanku benar-benar tidak melakukan
itu." "Aku percaya." "Aku merasa lega bahwa Jenderal tetap
mempercayai aku, tapi aku benar-benar
penasaran sebelum menangkap orang yang
berani menyamar sebagai aku dan Kakakseperguruanku itu."
"Ya, aku juga penasaran. Sayang kita tidak
punya waktu yang cukup untuk menyelidikinya,
karena harus buru-buru ke tempat tugas..."
Kembang Jelita 2 / IV 45 "Jenderal, aku khawatir ini adalah kerja
pihak ketiga yang berusaha mengadu-domba
sesama pembesar-pembesarnya Sri Baginda
untuk keuntungan mereka."
"Siapa pihak ketiga yang kau maksud?"
"Kalau bukan sisa-sisa dinasti Beng, ya
orang-orang Manchu. Atau malah bisa keduaduanya mengadakan semacam persekutuan
taktis, persekutuan sementara sampai kita
kalah, sesudah itu mereka sendiri akan
mengadu kekuatan." "Mudah-mudahan Jenderal Lau dan Jenderal
Gu menyadari kemungkinan ini..."
"Jenderal, masalah yang dipertaruhkan
terlalu besar, terlalu penting untuk dipertaruhkan hanya dengan sekedar kata
'mudah-mudahan' saja. Maaf kalau aku kurang
ajar, tetapi terang-terangan saja, pemikiran
Jenderal Lau dan Jenderal Gu terlalu jauh dari
kemungkinan itu. Jenderal Lau cuma sibuk
mengumpulkan perempuan-perempuan cantik,
dan Jenderal Gu sibuk mengumpulkan harta
lewat anak-anaknya yang memegang berbagai
Kembang Jelita 2 / IV 46 hak monopoli barang-barang perdagangan.
Mereka tidak waspada terhadap ancaman
orang-orang Manchu atau sisa-sisa dinasti Beng.
Mereka menganggap kemenangan saat ini
sudah tuntas dan semua musuh sudah
lumpuh...." Karena luapan perasaannya, Yo Kian-hi
sampai-sampai terengah-engah bicaranya.
"Saudara Yo, jangan kau anggap kekhawatiranku lebih kecil dari kekhawatiranmu. Tetapi kita bisa apa? Kita sudah
ditugaskan jauh dari Pak-khia."
"Jenderal, ijinkan aku kembali ke Pak-khia
secara diam-diam untuk menyelidiki orangorang yang memalsu diriku dan Kakakseperguruanku itu."
"Jangan, Saudara Yo, kalau sampai
kehadiranmu di Pakhia terlihat oleh kakitangan Jenderal Lau dan Jenderal Gu, bisa
menimbulkan masalah baru. Bisa saja mereka
menyebarkan fitnah baru tentang diri kita.
Begitu pula, pihak ketiga yang kita curigai itu
Kembang Jelita 2 / IV 47 juga akan melakukan banyak hal atas namamu
dan Kakak-seperguruanmu...."
"Tentu saja aku akan memasuki Pak-khia
dengan menyamar, Jenderal, tidak terangterangan dengan wajah aslinya.."
"Tidak. Aku tetap ingin kau bersamaku.
Bukan aku meragukan kelihaian penyamaranmu, melainkan aku khawatir kalau
ada yang melihat kau tidak ada di sampingku
untuk beberapa saat, dan kalau di Pak-khia
kebetulan terjadi sesuatu lagi, bukankah amat
gampang menuduhmu, dan aku akan jadi
semakin repot membelamu?"
Yo Kian-hi bungkam tak menjawab lagi,
tetapi dalam hatinya ia masih meronta
penasaran. Sementara itu, beberapa penunggang kuda
yang disuruh berjalan mendahului pasukan
untuk mencari tempat berkemah yang
memadai, telah kembali dan melaporkan bahwa
di sebelah depan, di kaki sebuah bukit, ada
tempat berkemah yang ideal untuk Jenderal Li
dan pasukannya. Kembang Jelita 2 / IV 48 "Ada sebuah kolam kecil di kaki bukit yang
airnya mengalir dari atas bukit. Airnya jernih
dan bagus....." lapor orang itu.
"Bagus, kita akan mendirikan perkemahan di
sana. Apakah di dekat-dekat situ juga ada
pemukiman penduduk?"
"Ada sebuah desa. Penduduknya juga
mempergunakan air dari danau kecil itu."
"Kalau begitu, umumkan kepada seluruh
pasukan, kita akan berkemah di situ dan
larangan untuk mengganggu rakyat sipil tetap
diberlakukan." "Baik, Jenderal."
Menjelang terbenamnya matahari, pasukan
itu tiba di tempat yang dilaporkan oleh prajurit
berkuda itu. Sebuah dataran sempit di kaki
sebuah bukit, ada rumput untuk kuda, ada air
berlimpah, memang cocok untuk mendirikan
perkemahan di situ. Para prajurit pun segera mendirikan
perkemahan. Seribu prajurit berkemah di satu
sisi dari danau di kaki bukit itu. Dan kehadiran
dari prajurit-prajurit itu segera terasa di desa
Kembang Jelita 2 / IV 49 yang tidak jauh dari situ. Desa itu langsung


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi sepi. Orang-orang bersembunyi dalam
rumah, pintu-pintu ditutup, gadis-gadis desa
bersembunyi lebih rapat dari siapa pun juga,
takut menjadi korban keganasan para serdadu.
Melihat tidak seorang pun penduduk yang
nampak di tepi danau kecil, sebagai orang yang
pernah hidup di pedesaan, Li Giam menjadi
heran. Tanyanya, "Katanya penduduk desa juga
menggunakan air telaga ini, kenapa tidak
nampak seorang pun? Padahal sore hari begini,
biasanya orang-orang desa, terutama: perempuan-perempuan suka mengambil air...."
"Mungkin mereka takut, Jenderal," sahut
seorang perwiranya. "Takut?" "Ya, begitu. Orang-orang desa selalu takut
kepada orang-orang berseragam tentara seperti
kita ini. Mereka dihantui anggapan lama, bahwa
serdadu selalu merampas perbekalan, memperkosa dan menjatuhkan hukuman
semena-mena....." Kembang Jelita 2 / IV 50 Li Giam menarik napas, la menoleh kepada
Yo Kian-hi yang berdiri di sebelahnya, "Pergi ke
desa itu. Katakan kepada penduduk desa bahwa
kita adalah sahabat-sahabat mereka sehingga
mereka tidak perlu takut. Kalau mereka ada
keperluan dengan air telaga kecil ini, suruh
mereka lakukan seperti biasa, kita tidak akan
mengganggu mereka." "Baik, Jenderal."
Yo Kian-hi melangkah menyusuri tepian
melihat desa yang terlihat dari seberang telaga
kecil itu. Jadi antara perkemahan tentara Li
Giam dan desa itu berseberangan.
Matahari sudah tenggelam ke bawah garis
cakrawala, tinggal sisa-sisa cahayanya di langit,
ketika Yo Kian-hi melangkah memasuki desa
itu. Dan ia tidak begitu heran lagi ketika melihat
lorong di tengah-tengah desa itu begitu sepi,
deretan rumah-rumah di kiri-kanannya
menutup rapat-rapat pintu-pintu mereka. Tak
seorang pun kelihatan, bahkan tak sebuah pelita
pun dinyalakan meski hari sudah mulai gelap.
Kembang Jelita 2 / IV 51 "Seragam prajurit ini agaknya menakutnakuti orang-orang desa ini," Yo Kian-hi berkata
dalam hatinya sambil mengamat-amati pakaiannya sendiri. "Orang-orang desa yang
patut dikasihani. Mereka selalu ketakutan
melihat orang-orang berpakaian prajurit, sebab
mereka selalu mengalami nasib kurang baik
dari para serdadu, dari pihak mana- pun, di
masa perang atau damai. Bahkan juga dari
pihak Pelangi Kuning kami yang mengaku
sebagai pembela-pembela rakyat. Ternyata
kemenangan kami atas dinasti Beng tidak sertamerta
diartikan oleh rakyat sebagai kemenangan mereka. Mereka tetap saja
ketakutan. Dulu takut kepada prajurit-prajurit
Beng dan sekarang kepada kami........"
Yo Kian-hi pernah mendengar bagaimana
kelakukan prajurit-prajurit bawahan Lau Congbin maupun Gu Kim-sing. Bagaimana mereka
yang mengaku "pejuang-pejuang pembebasan"
itu menjadi momok-momok rakyat kecil dan
sudah membangkrutkan banyak warungmakanan dengan kerakusan mereka. Kalau
Kembang Jelita 2 / IV 52 ditagih, mereka hanya mengingatkan kepada si
pemilik warung akan jasa-jasa mereka. Selain
itu, Lau Cong-bin yang punya kegemaran
berburu di luar kota dengan "pasukan
bidadari"nya itu juga tidak kalah menimbulkan
bencana pada rakyat pedesaan di luar kota Pakkhia. Tak terhitung kembang-kembang desa
yang direnggut Lau Cong-bin si Jenderal Hidung
Belang itu, sebagian masuk "koleksi" nya dan
sebagian hanya "sekali pakai" langsung dibuang.
Jadi rakyat yang dulunya diperintah dinasti
Beng, kemudian sekarang diperintah kaum
Pelangi Kuning, hanya mengalami pergantian
bendera tetapi tidak pernah mengalami
pergantian nasib. Yo Kian-hi yang melangkah di lorong desa
yang sepi itu jadi teringat kata-kata Jenderal Li
yang diulang-ulang senantiasa di hadapan
perwira-perwiranya, "Berakarlah di hati rakyat,
kalian akan kokoh. Rebutlah hati rakyat di suatu
negara, dan kalian akan merebut negara itu."
Itu bukan teori belaka buat Li Giam dan
pasukannya, melainkan dipraktekkannya di
Kembang Jelita 2 / IV 53 jaman perjuangan duJu. Waktu itu pasukan Li
Giam mendapat sokongan dari rakyat, baik
dalam hal perbekalan makanan maupun tenaga,
tidak sedikit pemuda pedesaan yang bersimpati,
lalu bergabung menjadi laskar Pelangi Kuning.
Akhirnya Yo Kian-hi memutuskan untuk
mengetuk pintu salah satu rumah.
Ia mengetuk, mula-mula perlahan, tetapi
ketika lama tidak dibukai pintu, maka
ketukannya pun jadi keras. Ketika ketukannya mulai keras, pintu dibuka dan seorang lelaki
desa setengah baya langsung menyambutnya
dengan berlutut di ambang pintu, apalagi
setelah melihat pakaian perwira Yo Kian-hi,
"Ampun.....ampun.... Tuan Perwira, bukan kami
penduduk desa ini yang meracuni air telaga itu...
bukan kami..... kami diancam oleh orang-orang
itu dan bahkan ada yang sudah dibunuh..."
Yo Kian-hi terkesiap mendengar omongan
itu. "Hei, Pak, apa maksudmu?"
"Siang tadi ada belasan orang menebarkan
racun di telaga itu. Penduduk desa kami
diancam agar tidak memberitahu siapa-siapa
Kembang Jelita 2 / IV 54 tentang perbuatan mereka. Bahkan seorang
warga desa yang banyak bertanya-tanya telah
dibunuh mati oleh orang-orang kejam itu...."
Akhirnya batallah Yo Kian-hi melakukan
seperti yang diperintahkan kepadanya oleh
Jenderal Li Giam, yaitu menenteramkan hati
penduduk. Bagaimana bisa tenteram, kalau Yo
Kian-hi tiba-tiba membayangkan prajuritprajuritnya bergelimpangan keracunan?
Karena itu, Yo Kian-hi tiba-tiba saja
meninggalkan tempat itu dan berlari
sekencang-kencangnya menuju ke perkemahan, meninggalkan si lelaki desa yang
terlongong-longong. Ketika Yo Kian-hi tiba di perkemahan
tentara, ia memang melihat kesibukan yang
agak lebih dari biasanya. Ia bertanya-tanya, dan
diberitahu kalau ada puluhan prajurit yang
muntah-muntah setelah meminum air telaga
kecil itu, beberapa di antaranya dalam keadaan
gawat. Maka tabib tentara pun menjadi sibuk.
"Di mana mereka sekarang?"
"Di kemah pengobatan."
Kembang Jelita 2 / IV 55 Yo Kian-hi berlari-lari ke kemah yang
disebutkan itu, dan melihat di sekitar kemah itu
banyak tubuh bergelimpangan, sementara para
tabib dibantu serdadu-serdadu yang, masih
sehat sedang berusaha mati-matian menolong
mereka. Ada yang ditekan-tekan perutnya agar
muntah, ada yang diminumi obat dan
sebagainya. Ada juga beberapa korban yang
sudah diminggirkan karena sudah tidak
tertolong lagi. Tidak lama kemudian, Li Giam dan
pengawal-pengawalnya pun datang ke tempat
itu. Rupanya ia sudah mendapat laporan, dan
dia heran melihat Yo Kian-hi sudah kembali ke
tempat itu. "Secepat ini kau kembali?" tanya Denderal Li.
Yo Kian-hi memberi hormat dan menjawab,
"Dari orang desa pertama yang aku jumpai, aku
langsung tahu tentang peristiwa keracunan di
sini, lalu aku secepatnya kemari."
Seorang perwira Li Giam mengomentari
dengan geram, "Pasti ini adalah ulah busuk sisasisa dinasti Beng. Banyak kabar yang
Kembang Jelita 2 / IV 56 mengatakan bahwa mereka masih sering
berkeliaran di sekitar kota Pak-khia, di hutanhutan dan gunung-gunung. Mereka pengecut
yang tidak berani bersikap jantan, beraninya
hanya menebarkan racun....."
Yo Kian-hi menyahut, "Bukan hanya sisa-sisa
dinasti Beng yang ingin kita mampus, bahkan
orang-orang yang mengaku seperjuangan
dengan kita juga....."
"Yo Kian-hi!" Li Giam cepat-cepat memotong.
Li Giam tahu Yo Kian-hi masih panas hati
terhadap Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing, namun
Li Giam khawatir kalau Yo Kian-hi
mengeluarkan uneg-unegnya secara terbuka
dan didengar oleh perwira-perwira lain, maka
perpecahan akan menghebat di golongan
Pelangi Kuning sendiri. Golongan yang sekarang
sedang memerintah. Seorang bertubuh pendek dan kurus yang
sejak tadi berdiam diri dengan wajah murung di
samping Jenderal Li, seorang yang berpakaian
biasa dan tidak berseragam perwira, kini
membuka suara, Kembang Jelita 2 / IV 57 "Kejadian ini menyedihkan, tetapi kita tidak
harus kehilangan pengendalian diri. Jangan
sembarangan mengeluarkan pendapat yang
akan lebih membingungkan seluruh pasukan,
lebih baik kalau kita selidiki."
Lelaki pendek kurus itu agaknya mempunyai
cukup kewibawaan atas diri Yo Kian-hi, sebab
lelaki itu adalah Kakak-seperguruan Yo Kian-hi
yang bernama Oh Kui-hou yang berjuluk Thailik Ku-hou (Macan Kerempeng Berkekuatan
Raksasa). Meskipun ia gigih membantu
perjuangan Li Giam sejak dulu, namun setelah Li
Giam menjadi salah seorang tokoh di
pemerintahan yang baru, Oh Kui-hou tetap
emoh menerima kedudukan untuk jasa-jasanya.
Itulah sebabnya ia tidak berpakaian prajurit,
bahkan tidak punya pangkat apa-apa, meskipun
tetap berada di dekat Li Giam dan suaranya
disegani siapa pun. Malahan Oh Kui-hou secara
berkelakar pernah berkata, "Tubuhku terlalu
kecil untuk berpakaian seragam prajurit. Nanti
malah dikira anak kecil sedang bermain
prajurit-prajuritan."
Kembang Jelita 2 / IV 58 Ketika itu, langit sudah gelap, obor-obor
sudah dinyalakan. Prajurit-prajurit yang
kehausan terpaksa hanya berani minum sedikitsedikit dari bekal air yang mereka bawa dari
Pak-khia, tidak berani minum dari air telaga itu.
Jenderal Li berunding dengan pembantupembantu kepercayaannya, dan akhirnya
memutuskan untuk menyuruh Yo Kian-hi
mencoba menyelidiki pihak mana yang
meracuni air itu. "Tentu saja dalam penyelidikanmu tidak
dalam pakaian seragam prajurit seperti itu.."
kata Jenderal Li. "Pakai-lah pakaian preman.
Dan ingat, ada batas waktunya. Besok pagi-pagi
hari haruslah kau sudah kembali ke
perkemahan ini untuk melapor, tidak peduli
penyelidikanmu berhasil atau tidak."
"Baik, Jenderal..." sahut Yo Kian-hi sudah
akan beranjak pergi, namun langkahnya
tertahan karena Jenderal Li berkata, "Tunggu!"
"Masih ada pesan apa lagi, Jenderal?"
"Kau hanya boleh menyelidiki di sekitar
tempat ini, tidak boleh sampai masuk kembali
Kembang Jelita 2 / IV 59

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, Jenderal___" sahut Yo Kian-hl sudah akan
beranjak pergi, namun langkahnya tertahan karena
Jenderal Li berkata, "Tunggu!"
Kembang Jelita 2 / IV 60 ke Pak-khia, meskipun Pak-khia belum jauh dari
sini." Yo Kian-hi menarik napas. Kadang-kadang
sikap Jenderal Li yang kelewat berhati-hati itu
membuatnya kesal juga. Toh ia menjawab juga,
"Baik." "Satu hal lagi."
Yo Kian-hi mendengarkan dengan patuh,
sekali pun hatinya sudah tidak sabaran.
Ternyata hanya ini yang dikatakan Jenderal
Li Giam, "Tugasmu hanya menyelidiki, tetapi
tidak untuk bertindak menangani sendiri.
Menyelidiki lalu melaporkan kepadaku, hanya
itu, paham?" Rupanya Li Giam khawatir kalau-kalau dalam
urusan itu Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing
berada di belakang layar sebagai dalang, dan
kalau kepergok Yo Kian-hi yang berdarah panas
itu, akan terjadi pertentangan terbuka antar
jenderal-jenderal Pelangi Kuning. Li Giam juga
jengkel terhadap Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing,
tetapi dalam kejengkelannya ia masih ingat
bahwa pemerintahan Pelangi Kuning yang
Kembang Jelita 2 / IV 61 masih "bayi" itu membutuhkan persatuan,
karena ada bahaya sisa-sisa dinasti Beng dan
orang-orang Manchu di luar perbatasan. Itulah
sebabnya ia tidak mengijinkan Yo Kian-hi
bertindak sendiri, melainkan harus melaporkannya lebih dulu.
Yo Kian-hi pun berangkat, menembus
gelapnya malam di luar perkemahan. Dalam
pakaian orang biasa, namun sudah tentu tidak
ketinggalan adalah sepasang pedang tebalnya
yang tergendong menyilang di punggungnya.
Di perkemahan sendiri, suasana tegang
melingkupi di segala sudutnya. Suara orang
bercakap-cakap terdengar jarang-jarang, sehingga suara keluhan dari prajurit-prajurit
yang keracunan yang dikumpulkan di kemah
pengobatan terdengar nyata. Malam itu,
beberapa prajurit lagi menyusul temantemannya ke akherat, tetapi ada juga yang
membaik setelah muntah-muntah dan minum
obat. Dengan demikian, muncul masalah baru
buat Li Giam. Sudah tentu dia tidak dapat
membawa pasukannya untuk melanjutkan
Kembang Jelita 2 / IV 62 perjalanan, setidak-tidaknya dalam beberapa
hari, sampai prajurit-prajurit menjadi sembuh
semuanya. Namun berkemah di tempat itu pun
menimbulkan masalah, yaitu air.
Suasana perkemahan begitu sunyi, penjagapenjaga disebar di pinggir-pinggir perkemahan,
mengawasi setiap gerakan di luar perkemahan
dengan waspada. Api unggun dinyalakan di
beberapa tempat untuk menerangi keadaan.
Menjelang tengah malam, ketika sebagian
besar penghuni perkemahan sudah lelap, dari
sisi perkemahan yang berhadapan dengan
hutan lebat, tiba-tiba meluncurlah dua butir
batu yang langsung menghantam jidat dari dua
prajurit yang berjaga di sebelah situ. Kedua
prajurit itu tumbang seketika.
Suasana jadi gempar. Prajurit-prajurit lain
bersiaga sambil berseru-seru.
"Awas, ada serangan musuh!"
"Awasi pinggiran hutan itu!"
"Awasi tempat lain juga!"
Belum sampai diketahui siapa pelempar
batu-batu itu, dari balik semak-semak di arah
Kembang Jelita 2 / IV 63 lain tiba-tiba berluncuran panah-panah,
kembali beberapa prajurit menjadi korban.
Bahkan ada panah-panah api yang membakar
perkemahan. Sementara batu-batu pun kembali
beterbangan dari tempat gelap, mengincar jidatjidat sasarannya.
Bersambung jilid V Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 16/07/2018 20 : 36 PM
Kembang Jelita 2 / IV 64 Kembang Jelita 2 / V 1 ( Bagian II ) JILID V Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / V 2 Kembang Jelita 2 / V 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid V P ara prajurit Li Giam yang terlatih itu,
meskipun pada mulanya terkejut, namun
segera dapat mengatur diri. Serangan batu-batu
dan panah-panah tidak banyak berarti lagi
ketika prajurit-prajurit Li Giam mulai
menggunakan tameng-tameng mereka. Bahkan
kelompok-kelompok yang berani mulai bergerak mendekati tempat asal serangan gelap
itu, sambil membalas memanah meskipun
sasarannya masih belum kelihatan, masih
bertabir kegelapan. Dari pinggir hutan dan dari semak-semak
kemudian muncul puluhan orang yang
pakaiannya beraneka ragam, dengan bersenjata
Kembang Jelita 2 / V 2 beraneka ragam pula. Mereka segera bertempur
dengan prajurit-prajurit Li Giam di pinggir
perkemahan. Salah seorang perwira Li Giam yang
bertugas di tempat itu, agaknya otaknya jalan
juga, la melihat orang-orang yang muncul itu
hanya berjumlah puluhan, biarpun setangguh
apa pun mereka, pasti tidak mungkin
mengalahkan orang-orangnya Li Giam, sebab
dalam perjalanan ke barat itu Jenderal Li
membawa seribu prajurit. Mungkinkah orangorang yang menyerang itu tidak punya
perhitungan, tidak bisa menghitung kekuatan
sendiri dibandingkan dengan kekuatan lawan?
Rasanya mustahil. Maka si perwira lalu
meneriaki rekan-rekannya, "Jangan semuanya
ke sini. Perketat penjagaan di sekitar kemah
Jenderal Li! Orang-orang ini hanya berusaha
memancing kita kemari agar penjagaan di
tempat Jenderal Li lemah!"
Agaknya perkiraan perwira itu benar.
Orang-orang yang muncul dari pinggir hutan
maupun dari semak belukar itu tidak berusaha
Kembang Jelita 2 / V 3 merangsak ke tengah perkemahan, melainkan
hanya bertempur di pinggir perkemahan yang
gelap, tidak terjangkau cahaya obor, sambil
berputar-putar di antara pepohonan dan
bebatuan besar. Taktik itu selain karena mereka
jumlahnya kalah jauh dari prajurit-prajurit Li
Giam, sekaligus juga memperkuat dugaan si
perwira bahwa tugas mereka cuma memecah
perhatian. Karena itulah, prajurit yang menangani
kekacauan di pinggir perkemahan itu juga
hanya beberapa regu, dan itu sudah cukup
untuk menanggulangi pengacau-pengacau itu.
Mula-mula, para pengacau itu agak
memandang remeh terhadap serdadu-serdadu
itu. Dianggapnya serdadu-serdadunya Li Giam
itu tidak ada bedanya dengan serdadu-serdadu
"kantong nasi" lainnya yang hebat gerakannya
tetapi tidak becus. Tetapi setelah bertempur,
nyata bahwa prajurit-prajurit Li Giam yang
selalu dilatih itu berbeda dengan prajuritprajurit lain. Prajurit-prajurit Li Giam
bertempur tangguh baik dalam ikatan kelompok
Kembang Jelita 2 / V 4 maupun secara perorangan, maka para
penyerbu itu pun bertambah hati-hati. Bahkan
ketika mereka bersuit, mereka mengundang
teman-teman dengan suitan mereka itu.
Para penyerbu di pinggir hutan itu agaknya
memang ditugaskan sekedar menarik perhatian,
sebab tidak lama setelah mereka bertempur,
dari dalam hutan muncul sekelompok orang
lain yang berjumlah sedikit namun nyata adalah
orang-orang yang tangguh. Jumlahnya hanya
belasan orang, tetapi mereka berlari amat
kencang seperti angin, menyeberangi gelanggang pertempuran dan langsung hendak
menembus penjagaan para prajurit ke dalam
perkemahan. Senjata mereka juga aneh-aneh,
ada yang bersenjata cangkul, kipas, bahkan ada
yang di tangannya cuma membawa sepasang
keranjang rotan. Prajurit-prajurit Li Giam pernah mendapat
petunjuk, kalau ketemu lawan yang aneh-aneh
macam itu, tidak boleh memandang rendah.
Begitu juga, munculnya sepuluh orang aneh ini
membuat seorang perwira langsung Kembang Jelita 2 / V 5 mengingatkan pasukannya,"Perketat penjagaan!
Awas musuh-musuh baru!"
Ternyata prajurit-prajurit lapisan pertama
yang mengawal perkemahan itu, tidak sanggup
menghadang sepuluh orang aneh itu. Bukan saja
karena kesepuluh orang itu berlari amat
kencang dengan berkelok-kelok, juga karena
mereka amat tangkas dan punya gerakangerakan aneh yang tidak terduga oleh para
prajurit. Para prajurit juga dilatih silat, namun
dalam gerakan-gerakan dasar yang sederhana,
dan kini menghadapi gerakan-gerakan "tidak
normal" maka mereka pun bingung.
Salah satu dari kesepuluh orang itu
bertubuh pendek dan kurus mirip Oh Kui-hou,
tetapi senjata yang dipakainya justru adalah
sebatang toya yang panjangnya hampir tiga kali
panjang badannya sendiri. Orang mungkin bisa
geli kalau melihat dia membawa senjatanya,
sedang orang-orang bertubuh normal saja
senjatanya tidak sepanjang itu. Namun dalam
pertempuran itu, begitu si pendek kerdil
beraksi, tidak ada lagi yang sempat merasa geli.
Kembang Jelita 2 / V 6 Mula-mula ia berlari kencang dan berkelokkelok, menghindari para prajurit, dan ketika
langkahnya terhadang oleh sekelompok prajurit
yang membuat pagar betis sambil menodongkan tombak-tombaknya, si kerdil
tiba-tiba menjatuhkan diri bergulingan dan
menderulah toya maha-panjangnya, menyapu
kaki para prajurit, sehingga para prajurit roboh
berpelantingan. Si pendek kerdil pun melompat
bangun dan memasuki perkemahan karena
pertahanan sudah bobol. Di pihak lain, ada seorang musuh
berpakaian jubah macam kaum terpelajar,


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu pula topinya, dan senjatanya juga cuma
sebuah kipas bersulam gambar kembangkembang.
Ketika langkahnya dihadang beberapa prajurit, ia cuma mengebutkan
kipasnya, dari kipas itu menghambur bubuk
lembut seperti pupur, baunya pun wangi seperti
pupur, namun ternyata para prajurit
bertumbangan jatuh setelah menghisap "pupur"
itu. Si kipas-kembang pun melaju ke dalam
perkemahan tanpa tertahan.
Kembang Jelita 2 / V 7 Yang paling aneh adalah seorang penyerbu
yang bertubuh tegap gempal, jelas-jelas seorang
lelaki, namun ia memakai pakaian wanita dan
senjatanya adalah sepasang keranjang rotan,
seperti orang hendak berbelanja ke pasar saja.
Menghadapi hadangan para prajurit, ia
terkikik-kikik genit, berlenggang-lenggok menghindari para prajurit, lagaknya seperti
perempuan yang hendak dicubit lelaki kurang
ajar di tengah pasar. Sambil meliuk-liukkan
tubuhnya menghindar, ia berkali-kali menjerit
kecil seperti perempuan. Namun begitu ia "mengaktifkan" sepasang
keranjang rotannya, hasilnya pun mengejutkan.
Seorang prajurit menebas dengan goloknya,
dihindarinya sambil menjerit seperti perempuan genit, "Iiiiih, jangan kurang ajar, ah
aku panggilkan kakakku lho..."
Lalu sambil menjerit manja, "Ini lho, Kak,
Adikmu dinakali orang......." keranjang di salahsatu tangannya menghantam ke wajah si
serdadu yang "menakalinya itu. Si serdadu tidak
Kembang Jelita 2 / V 8 bisa nakal lagi karena wajahnya remuk seperti
semangka dijatuhkan dari atap rumah.
Para prajurit segera sadar kalau Si Banci ini
ternyata cukup berbahaya. Mereka mencoba
menahan, tetapi tidak berhasil. Si Banci
langsung melesat ke dalam perkemahan sambil
tertawa terkikik-kikik genit.
Perwira yang memimpin pertempuran di
pinggir perkemahan itu segera insyaf betapa
gawatnya keadaan, keselamatan Jenderal Li
benar-benar terancam oleh munculnya sepuluh
orang jagoan aneh yang tak terbendung itu.
Namun perwira itu juga tidak dapat
meninggalkan prajurit-prajuritnya bertempur
tanpa pimpinan di situ, maka ia hanya
menyuruh seorang prajuritnya untuk melapor
kepada Jenderal Li tentang ancaman bahaya itu.
"Mudah-mudahan para pengawal pribadi
Jenderal dapat menahan orang-orang gila itu.."
Memang Li Giam punya 30 orang pengawal
pribadi yang kelasnya di atas rata-rata prajurit.
Di samping itu, di samping Li Giam masih ada
Kembang Jelita 2 / V 9 Thai-lik-ku-hou Oh Kui-hou yang membuat
perwira itu sedikit lega.
Sementara itu, sepuluh jagoan aneh itu
terus merangsak ke tengah-tengah perkemahan.
Meskipun perlawanan para prajurit Li Giam
cukup gigih, namun belum berhasil menahan
mereka. Mereka benar-benar regu pembunuh
yang diupah untuk membunuh Li Giam.
Dan mereka tidak menyembunyikan
maksud mereka. Ketika mereka dibentak oleh
para prajurit, ditanyai apa maksudnya, Si Banci
menjawab sambil cekikikan, "Kami datang cuma
untuk berbelanja, membeli batok kepalanya Li
Giam untuk dibuat sup. Hi-hi-hi... kalian
prajurit-prajurit manis-manis dan tampantampan, lebih baik minggir. Tulang-tulang
kalian tidak seenak tulangnya Li Giam, kami
tidak berselera.." Sudah tentu para prajurit yang setia kepada
Li Giam itu tidak mau disuruh minggir begitu
saja. Mereka melawan dengan gigih, meskipun
beberapa orang jatuh menjadi korban
keganasan regu pembunuh itu. Prajurit-prajurit
Kembang Jelita 2 / V 10 Li Giam juga sudah menggunakan senjatasenjata jarak-jauh seperti panah dan lembing,
tetapi rupanya tidak banyak berarti buat
kesepuluh orang itu. Akhirnya orang-orang itu tiba juga di depan
kemah Li Giam. Kemah Li Giam mudah dikenali
di antara kemah-kemah sebanyak itu, sebab di
puncak kemah berdiri bendera besar bertulis
huruf "Li". Li Giam sudah berdiri di depan kemahnya
dengan pakaian perang, didampingi oleh Oh
Kui-hou, dan dikelilingi pengawal pribadinya
yang bersiaga. Bagaimanapun besarnya nyali para pembunuh itu, namun kini mereka agak
tergetar juga oleh kewibawaan Li Giam. Li Giam
bukanlah orang yang mahir dalam pertempuran
perseorangan, tetapi nama-besarnya sebagai
seorang Jenderal Pelangi Kuning yang banyak
jasanya, mau tidak mau ada wibawanya juga.
Sementara itu, prajurit-prajurit Li Giam
yang tidak termasuk pengawal pribadi, juga
telah melingkari tempat itu. Bagaimanapun
Kembang Jelita 2 / V 11 hebatnya pembunuh-pembunuh itu, mereka
takkan membiarkan begitu saja Li Giam
dibunuh. Para perwira yang kemampuan
tempur perorangannya lebih baik dari prajuritprajurit biasa, menempatkan diri di depan, dan
siap bergabung bersama para pengawal pribadi
untuk menghalang-halangi niat kesepuluh
orang itu. Beberapa saat suasana sunyi mencekam,
sampai Oh Kui-houlah yang memecahkan
kesunyian dengan suara tertawanya, "Luar
biasa. Tujuh Pembunuh dari Gurun Utara dan
Tiga Serigala Perbatasan yang biasanya
berebutan rejeki, kini bergabung dalam satu
regu dan melakukan kunjungan tak terduga
ini.........Selamat datang, sobat-sobat. Tetapi
barangkali aku hanya bisa mengucapkan
'selamat datang' namun takkan dapat
mengucapkan 'selamat jalan' sebab kalian
takkan bisa pergi dari sini, kecuali ke rumah
nenek-moyang kalian. Kalian sudah membunuhi
prajurit-prajurit kami."
Kembang Jelita 2 / V 12 Seorang bertubuh sedang, berambut
panjang terurai dengan wajah pucat yang ganas,
menjawab perkataan Oh Kui-hou itu, "Kami
bertujuh bisa datang, tentu bisa pergi juga, tidak
peduli perkenan kalian. Kami mau mengambil
batok kepala Li Ciam, setelah itu kami akan
pergi, coba kalian bisa menghalangi kami atau
tidak." Seorang lainnya, yang berwajah penuh bulu
dan memegang Long-ge-pang (Tongkat Gigi
Serigala), yaitu tongkat besi yang di salah satu
ujungnya "dihiasi" berlarik-larik gigi tajam yang
mirip geraham serigala, mendengus dingin dan
membantah Si Muka Pucat, "Toat-sat, jangan
bermulut besar. Kamilah yang akan membawa
pergi kepalanya Li Giam."
Rupanya, seperti kata-kata Oh Kui-hou yang
mengenali mereka bersepuluh, sepuluh orang
itu tidak terdiri dari satu kelompok saja,
melainkan dua kelompok yang bergabung.
Bergabung sambil sekaligus bersaing juga
memperebutkan hadiah, siapa yang berhasil
membunuh Li Giam. Kelompok yang tujuh orang
Kembang Jelita 2 / V 13 disebut Pak-bok-jit-sat (Tujuh Pembunuh
Gurun U-tara), Si Muka Pucat tadi adalah orang
pertamanya. Sedang yang bersenjata Long-gepang adalah orang tertua dari kelompok Tiga
Serigala Perbatasan. Mereka datang bersama-sama ke perkemahan itu, karena tenaga mereka disewa
orang, dan mereka mengajak anak buah masingmasing. Saat itu, suara pertempuran di pinggir
perkemahan masih terdengar.
Mereka pula yang menyebarkan racun di
telaga, dengan harapan Li Giam dan pengiringpengiringnya akan keracunan dan mati semua,
atau setidak-tidaknya menjadi lemah sehingga
perkemahannya gampang diterobos. Itulah yang
membuat mereka berani menerjang ke
perkemahan. Demikianlah, meskipun batok kepala Li
Giam masih nongkrong di atas lehernya, mereka
sudah berani memperebutkannya, seolah-olah
kepala itu sudah copot dan sudah boleh
diperebutkan. Kembang Jelita 2 / V 14 Keruan Oh Kui-hou menjadi gusar, dan
berkata, "Kalian tidak usah berebutan. Lebih
baik bersatu, menggabungkan tenaga, dengan
demikian perlawanan kalian akan sedikit lebih
kuat, meskipun akhirnya akan sama saja, kalian
akan mati juga di tempat ini."
Si Banci bersenjata sepasang keranjang
rotan itu menyahut, pura-pura berkata kepada
pemimpinnya yang berambut panjang dan
bermuka pucat, "Kak, siapa Si Kerdil ini?
Mulutnya besar juga, aku jadi ingin membawa
kepalanya juga....."
Sementara itu, meskipun Oh Kui-hou sedang
marah karena "tamu-tamu" kurang ajarnya itu,
namun tidak kehilangan perhitungannya. Ia
merasa berat juga harus menghadapi sepuluh
pembunuh profesional yang seumur hidupnya
memang hanya berlatih mdmahirkan teknikteknik membunuh itu. la mengukur dirinya
sendiri paling-paling hanya bisa mengimbangi
Tiga Serigala Perbatasan, sedangkan Tujuh
Pembunuh Gurun Utara harus ditangani oleh
orang lain kecuali Oh Kui-hou sendiri.
Kembang Jelita 2 / V 15 "Andaikata Yo Kian-hi ada......" pikir
Oh Kui-hou. Yo Kian-hi adalah adik
seperguruannya, tetapi lebih jago dari dirinya,
sebab lebih berbakat. Sayang, saat itu Yo Kian-hi
justru sedang pergi, seandainya tidak, paling
tidak empat orang dari Tujuh Pembunuh akan
bisa dihadapi sekaligus oleh Yo Kian-hi dengan
sepasang pedang tebalnya.
Namun tidak ada gunanya berandai-andai di
hadapan lawan-lawan kejam yang sudah di
depan hidung itu. Oh Kui-hou memberikan
petunjuk seperlunya dengan berbisik-bisik
kepada komandan pengawal pribadi, bagaimana
menghadapi Tujuh Pembunuh itu. Sudah tentu
mereka bertujuh tidak bisa dilawan secara
perseorangan, sebab hal itu hanya akan
menambah jumlah korban di pihak Li Giam. Oh
Kui-hou mencoba membesarkan hatinya,
dengan mencoba memberi "nilai" kepada
beberapa pengawal pribadi Jenderal Li. Meski
tak seorang pun yang setara dengan Yo Kian-hi,
tetapi ada beberapa orang dan mereka akan
maju bersama-sama. Kembang Jelita 2 / V 16 Sementara itu, Si Banci melangkah
mendekat Oh Kui-hou sambil tertawa terkikikkikik, sambil berkata, "He, orang kerdil, apa
yang sedang kau bisik-bisik-kan? Apakah kau
sedang menitipkan pesan untuk keluargamu di
rumah sebelum kau mampus?"
Suatu gagasan tiba-tiba melintas di benak
Oh Kui-hou. Si Banci itu agaknya memandang
remeh aku, pikir Oh Kui-hou, kalau begitu
malah bagus. Dengan serangan kilat bisa
kuhabisi dia, jadi mengurangi jumlah lawan dan
meringankan pihakku. Karena itulah Oh Kui-hou sengaja


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunjukkan sikap gentar dan melangkah
mundur sementara Si Banci mendekatinya.
Namun Si Muka Pucat berambut panjang
agaknya punya naluri yang tajam, yang dapat
"mencium" gelagat betapa berbahayanya Oh
Kui-hou yang tampangnya tidak seberapa itu.
Karena itu, dia pun memperingatkan Si Banci,.
"Hati-hatilah, Si Kerdil ini jangan kau anggap
remeh, sebab..." Kembang Jelita 2 / V 17 Kata-kata peringatannya belum selesai
karena Oh Kui-hou sudah bertindak mendahului
dengan gerakan yang cepat, bahkan maha cepat,
tidak memberi kesempatan calon korbannya
menjadi waspada oleh peringatan kawannya.
Oh Kui-hou tiba-tiba saja melejit laksana seekor
belalang ke arah Si Banci. Sepasang tangannya
terkembang seperti sayap-sayap elang, namun
sepasang cambuk panjangnya masih tergulung
di kedua genggamannya, belum diurai. Gerak
lompatannya itu barulah suatu gerak pancingan.
Si Banci memang amat kaget melihat
lompatan kilat itu, dia mengira mukanya akan
ditendang, maka menggunakan sepasang
keranjang rotannya sekaligus untuk membela
diri dan balas menyerang. Dengan keranjang di
tangan kiri ia hendak "menangkap" kaki Oh Kuihou, sekaligus keranjang rotan yang lain hendak
menghantam lambung Oh Kui-hou.
Saat itulah cambuk di tangan kanan Oh Kuihou menggeletar dahsyat mengguncang udara
malam di tepi telaga kecil itu, membuat
lingkaran-lingkaran panjang untuk menjerat
Kembang Jelita 2 / V 18 sepasang lengan Si Banci. Tujuan Oh Kui-hou
dengan lompatan kilatnya tadi memang
memancing agar sepasang lengan musuh
"keluar" untuk bisa dijerat.
Sepasang lengan Si Banci memang tak
sempat ditarik mundur, masuk ke dalam
lingkaran-lingkaran itu dan terjerat erat .
Tetapi Si Banci agaknya juga seorang yang
tangkas, ia malah melompat maju mengikuti
tarikan cambuk Oh Kui-hou atas lenganlengannya yang terjerat. Ia bermaksud
membenturkan tubuhnya yang tinggi gempal itu
ke tubuh Oh Kui-hou yang pendek-kecil supaya
Oh Kui-hou "ringsek" dan mendapat kesempatan untuk melepaskan lenganlengannya.. Tak terduga saat itulah cambuk di tangan
Oh Kui-hou "keluar" pula. Si Banci terkejut,
tidak menyangka kalau lawannya bersenjata
sepasang cambuk. Maklum malam cukup gelap
sehingga ia tidak melihat cambuk yang
tergulung rapi di telapak tangan itu. Lagi pula
tidak lazim orang bersenjata sepasang cambuk,
Kembang Jelita 2 / V 19 sebab kalau tidak benar-benar mahir maka
cambuk itu malahan akan saling membelit dan
merepotkan diri sendiri. Maka "keluar"nya
cambuk kiri Oh Kui-hou yang bagaikan kilat itu
mengejutkan Si Banci dan untuk sedetik
mematikan seluruh reaksinya untuk menangkalnya. "Lan-lan, awas....." beberapa temantemannya dari kelompok Tujuh Pembunuh
serempak berseru dengan cemas. Rupanya Si
Banci ini benar-benar lebih senang jadi
perempuan, sehingga namanya pun nama
perempuan. Bahkan salah seorang dari rekannya, yaitu
Si Cebol yang bersenjata toya yang tiga kali
panjang tubuhnya, sudah menubruk maju
dengan nekad untuk menolong Lan-lan si banci.
Ujung toyanya yang amat panjang itu
disodokkan ke ulu hati Oh Kui-hou.
Sayangnya, segala seruan peringatan dan
tindakan pertolongan itu terlambat semuanya.
Pertama, karena Oh Kui-hou sudah menyiapkan
serangan dadakannya itu dengan baik dan
Kembang Jelita 2 / V 20 gerakannya tanpa ragu-ragu, sebaliknya Si
Banci Lan-lan ketika serangan itu terjadi sedang
dalam sikap memandang remeh lawannya,
karena belum kenal siapa lawannya. Dua faktor
yang membuat rencana Oh Kui-hou sukses,
yaitu mengurangi jumlah lawan dengan
segebrakan saja. Cambuk Oh Kui-hou yang sebelah kiri
menyambar samping leher Lan-lan. Cambuk itu
hanyalah helai-helai kulit tipis yang dianyam
tiga helai jadi satu, namun di tangan Oh Kui-hou
menjadi begitu tajam sehingga leher Lan-lan
sampai hampir putus. Si Banci yang jadi anggota
kelompok Tujuh Pembunuh Gurun Utara itu
pun roboh dan menggelepar sebentar di
rerumputan seperti ayam disembelih sebelum
terdiam selama-lamanya. Sementara Oh Kui-hou harus cepat-cepat
bergulingan menghindari ujung toya Si Cebol
yang hampir saja menyodok ulu-hatinya.
Si Cebol itu menatap tubuh Lan-lan, air
matanya tiba-tiba mengalir deras, tanpa malumalu berlutut di samping tubuh Lan-lan sambil
Kembang Jelita 2 / V 21 terisak-isak dan berkeluh-kesah, "Lan-lan.... tak
kuduga hanya sampai sekian saja kita bersamasama. Sungguh aku tidak akan melupakan saatsaat indah..." Dan seterusnya. Cukup panjang
kata-katanya, yang cukup untuk dijadikan lima
buah lagu cengeng sekaligus. Orang-orang dari
kelompok Tujuh Pembunuh memang tahu kalau
antara Si Banci Lan-lan dan Si Cebol bertoya
panjang itu ada "hubungan istimewa" meskipun
kedua-duanya adalah laki-laki. Tidak mengherankan Si Cebol begitu meratapi
kematian "pacar"nya.
Sementara Oh Kui-hou sudah berdiri
bersiap di depan tubuh Jenderal Li, menjadi
perisainya, sepasang cambuknya sudah
tergulung rapi di tangannya kembali. Begitu
cepat ia melakukannya, secepat seekor ular
menarik lidahnya, atau seekor kodok menarik
lidahnya sehabis menyambar seekor nyamuk di
udara. Oh Kui-hou lega "rencana jangka
pendek"nya sukses, tetapi sadar bahwa
pekerjaan bagi pihaknya cukup berat. Seperti
Kembang Jelita 2 / V 22 rencana yang dibisikkannya kepada perwiraperwira pengawal pribadi Jenderal Li tadi, Oh
Kui-hou akan mencoba menahan Tiga Serigala
Perbatasan sekaligus, dan para pengawal akan
mencoba menahan Tujuh Pembunuh yang
sekarang tinggal enam. Tetapi segalanya bisa
saja berjalan melenceng dari rencana.
Sementara itu, Si Cebol yang kehilangan
kekasih itu sekarang menjadi kalap, la bangkit
dengan mata berapi-api memandang Oh Kuihou, sambil memungut toyanya. Geramnya
dengan gigi gemeretak, "Manusia cebol, kau
sudah membunuh Lan-lan, sekarang kau harus
membayar dengan jiwamu sendiri!"
Demikianlah dia mencaci Oh Kui-hou
sebagai "manusia cebol" padahal ia sendiri lebih
pendek dari Oh Kui-hou. Dan begitu selesai kata-katanya, ia
melompat seperti serjgala dengan toya
menyodok ke arah Oh Kui-hou.
Oh Kui-hou melompat menghindar sambil
berdesis, "Sesuai rencana!"
Kembang Jelita 2 / V 23 Oh Kui-hou melompat menghindar sambil berdesis,
"Sesuai rencana!"
Kembang Jelita 2 / V 24 Sesuai dengan rencana yang tadi sudah
dirundingkan secara berbisik-bisik dengan para
perwira, Oh Kui-hou akan menghadapi Tiga
Serigala sekaligus, karena itu ia tidak akan
terpancing menghadap Si Cebol bertoya
panjang itu. Demikianlah Oh Kui-hou bergulingan cepat
menjauhi Si Cebol. Sementara Si Cebol dengan penuh dendam
kesumat terus memburu sambil memutar
toyanya, dan berteriak sengit, "Hei, Cebol!
jangan menghindari aku! Kau harus membayar
hutang darah kekasihku!"
Dari tempat yang tak terjangkau toya orang
itu, Oh Kui-hou membalas mengejek, "Hei, orang
yang lebih cebol dari aku, jadi lelaki jelek yang
bukan manusia bukan siluman itu kekasihmu?"
Si Cebol tambah gusar, biarpun Si Lan-lan
itu di mata orang lain adalah lelaki banci jelek
yang tingkah-lakunya membuat bulu-kuduk
berdiri, tetapi bagi Si Cebol adalah kekasih yang
tak tertandingi kejelitaannya. Bahkan andaikata
Si Cebol disuruh memilih antara Lan-lan dan
Kembang Jelita 2 / V 25 Tan Wan-wan yang disebut-sebut sebagai
perempuan tercantik di kolong langit, pastilah
Si Cebol akan memilih Lan-lan.
Ejekan Oh Kui-hou seperti minyak
disiramkan ke dalam api, toya-super-panjang si
pendek itu membawa deru angin keras
menyambar lagi ke pinggang Oh Kui-hou.
Namun para pengawal pribadi Jenderal Li
Giam juga bertindak sesuai dengan rencana
seperti yang dibisikkan Oh Kui-hou. Seorang
pengawal yang bersenjata tameng besi di
tangan kiri dan golok di tangan kanan, segera
melompat maju dan menyodorkan tamengnya
untuk menahan laju toya Si Cebol.
Terdengar suara berdentang amat keras
ketika tameng digebuk toya. Tameng itu
menjadi cacad permukaannya, memunculkan
sebuah jalur bekas toya, sedangkan lengan si
pengawal yang memegangnya terasa linu,
seolah-olah persendiannya copot semua, dan
tubuhnya yang tegap itu sampai rebah ke
rerumputan saking kuatnya gebukan Si Cebol.
Kembang Jelita 2 / V 26 Dengan amarah meluap-luap, Si Cebol
berteriak kepada si pengawal, "Kau menghalangi aku membalaskan kematian
kekasihku, kalau begitu biarlah kau dulu yang
mampus!" Dan toyanya menyambar ke kepala si
pengawal yang belum sempat bangkit dan tentu
saja belum dapat membela diri dengan baik
kecuali mengangkat perisainya tinggi-tinggi.
Tetapi pengawal-pengawal lain tidak
membiarkan rekan-rekannya terancam bahaya.
Seorang pengawal lain, yang juga bersenjata
toya tetapi berukuran "normal", menghadang
toya Si Cebol dengan toya sendiri, sementara
seorang pengawal lainnya melompat menyerang dengan pedangnya, dan dari arah
lain seorang rekannya menyerang Si Cebol
dengan bandringan berantai. Begitulah, karena
Si Cebol ini bersenjata kelewat panjang, maka
pengawal-pengawalnya Li Giam harus bekerjasama untuk menghadapinya. Ada yang menahan
senjata musuh dan ada yang menyerang.
Pengawal-pengawal itu juga bukan orang
Kembang Jelita 2 / V 27 bodoh, mereka merangsek dan berusaha dalam
pertempuran jarak dekat yang pasti akan
merepotkan sekali lagi Si Cebol yang bersenjata


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amat panjang. Tak terduga Si Cebol agaknya sudah siap
menghadapi kejadian seperti ini. Ia melompat
mundur beberapa langkah, dan seolah-olah ia
mematahkan toya panjangnya menjadi beberapa bagian, dan berubahlah toya super
panjang itu menjadi empat batang tongkat
sedang yang satu sama lain dihubungkan
dengan cincin-cincin. Orang lazimnya mengenal
senjata yang disebut Sam-ciat-kun (Toya Tiga
Ruas), tetapi yang dipegang Si Cebol ini adalah
Si-ciat-kun (Toya Empat Ruas).
Dengan toya empat ruasnya inilah dia
menghadapi empat orang pengawalnya Li Giam,
termasuk yang bersenjata tameng tadi.
Rupanya toya panjang Si Cebol itu bagian
dalamnya berongga, sehingga bisa menjadi toya
panjang, bisa juga menjadi toya empat ruas.
Para pembunuh bayaran dari Gurun Utara
tidak membiarkan rekan mereka dikeroyok.
Kembang Jelita 2 / V 28 Atas perintah pemimpin mereka, sisa lima
orang lainnya termasuk pemimpinnya yang
berambut panjang itu, maju menyerbu.
Sesuai dengan rencana, pengawal-pengawal
Li Giam pun menghadang mereka, dibantu
perwira-perwira bukan pengawal yang sedikit
banyak harus diperhitungkan juga.
Demikianlah, sementara di pinggir perkemahan terjadi pertempuran yang belum
selesai, di dalam perkemahan, dikemah Li Giam
pun terjadi pertempuran yang lebih hebat.
Orang-orang yang bertempur lebih sedikit
jumlahnya, namun lebih hebat sebab yang
sedikit itu adalah jagoan-jagoan ulung.
Karena perkemahan Li Giam itu menghadap
ke arah danau, maka pertempuran antara
pembunuh-pembunuh bayaran dengan pengawal-pengawal Li Giam pun meluas sampai
ke tepian danau, bahkan ke dalam air yang
dalamnya sampai ke lutut.
Sementara itu, Tiga Serigala yang datang
bersama dengan Tujuh Pembunuh namun tidak
benar-benar bersatu hati, sekarang melihat
Kembang Jelita 2 / V 29 kesempatan untuk merebut pahala bagi
kelompok mereka sendiri tanpa mengikutsertakan kelompok Tujuh Pembunuh. Di
kalangan hitam, saling sikut di antara sesama
teman adalah soal biasa, bahkan seandainya
mereka sedang terikat dalam perjanjian
kerjasama. Tiga Serigala itu adalah tiga kakak-beradik,
dua lelaki dan satu perempuan, yang wajahnya
mirip satu sama lain. Dan kalau dilihat dari
senjata-senjata yang mereka bawa, bisa ditebak
kalau mereka adalah orang-orang yang
mengandalkan kekuatan. Si Kakak Tertua
bersenjata Long-ge-pang (Toya Gigi Serigala)
yang bobotnya berat, si Nomor Dua bersenjata
sepasang tongkat masing-masing satu meter
panjangnya, dan untuk menegaskan ciri
kelompok Tiga Serigala, di batang tongkat itu
juga diberi berlarik-larik gerigi yang mirip gigi
serigala. Yang nomor tiga adalah perempuan,
tidak muda lagi, tetapi dengan dandanannya
dan rias wajahnya yang dahsyat dia berusaha
tampak muda, senjatanya juga sepasang
Kembang Jelita 2 / V 30 Tongkat Gigi Serigala seperti Kakak-keduanya,
namun agaknya lebih ringan bobotnya,
disesuaikan dengan pembawaannya sebagai
seorang perempuan. Melihat sebagian besar pengawal Li Giam
sudah terlibat dengan kelompok pembunuh
Gurun Utara, ketiga "serigala" ini saling
bertukar isyarat mata, dan mereka pun
merencanakan suatu sergapan mendadak atas
Li Giam. Tanpa sepatah kata pun mereka
"berunding" dengan isyarat mata mereka. Dan
mereka memutuskan Li Giam akan mereka
tangkap hidup-hidup dulu, sebagai sandera agar
mereka bisa meninggalkan tempat itu. Nanti
setelah tidak dikejar Jagi, barulah Li Giam akan
mereka sembelih dan batok kepalanya akan
ditukar dengan hadiah dari orang-orang yang
menyewa mereka. Tetapi, mereka tidak mau langsung
menerjang begitu saja, sebab mereka telah
melihat Oh Kui-hou bergeser ke dekat Jenderal
Li. Agaknya Oh Kui-hou tidak pernah lengah
mewaspadai ketiga serigala itu.
Kembang Jelita 2 / V 31 Tiga Serigala itu mulai bergeser maju,
membuat sisa pengawal Li Giam yang belum
"kebagian" lawan berwaspada, begitu pula Oh
Kui-hou. Tetapi sekian lama ketiga "serigala" itu
belum bertindak juga, mereka rupanya sedang
membuat perhitungan-perhitungan.
Oh Kui-hou juga menghitung-hitung.
Menurut teori, menghadapi keroyokan musuh
yang lebih dari satu, tidak boleh membiarkan
musuh mendekat dalam garis menebar, sebab
itu berarti membiarkan musuh menyerangnya
dari sudut yang berbeda-beda dan akan sangat
merepotkan. Harusnya Oh Kui-hou mengambil
posisi sedemikian rupa, sehingga ketiga
lawannya akan selalu dalam posisi "antri" ke
belakang hingga tidak bisa menyerang
serempak. Harusnya begitu menurut teori.
Tetapi keadaan itu begitu khusus, di situ ada
Jenderal Li Giam yang harus dilindunginya,
sehingga Oh Kui-hou tidak bisa menerapkan
teori "mengantrikan lawan", meskipun Li Giam
masih ditemani beberapa pengawal namun
Kembang Jelita 2 / V 32 cukup riskan kalau harus menghadapi
pembunuh-pembunuh bayaran itu.
Begitulah, Oh Kui-hou mau tidak mau harus
menghadapi tiga lawan dalam keadaan menebar
itu. Namun Oh Kui-hou diam-diam mengincar si
"serigala" ketiga kelihatannya paling lemah,
untuk dibereskan lebih dulu dengan serangan
mendadak seperti tadi dia membereskan Si
Banci Lan-lan. Kalau pun tidak seberhasil tadi,
kalau bisa menciderainya akan bisa menjadi
"keuntungan awal" yang barangkali saja bisa
mengendorkan semangat lawan.
Maka Oh Kui-hou pura-pura melangkah
maju menyongsong si "serigala" pertama, sudut
matanya mengincar ke "serigala" ke tiga. Si
"serigala" pertama menunggu dengan tegang
karena tadi sudah melihat kehebatan Oh Kuihou ketika menjatuhkan satu dari Tujuh
Pembunuh hanya dalam segebrakan. Sementara
kedua adikpya bersiaga di kiri kanannya.
Bentakan Oh Kui-hou menggelegar, cemeti
panjangnya yang di tangan kiri tiba-tiba
menggeletar pula memenuhi angkasa seperti
Kembang Jelita 2 / V 33 seribu petir mengamuk berbareng. Ketika
perhatian ketiga lawannya tertarik ke cemeti
yang kiri, cambuk kanan "keluar sarang" tanpa
suara dan menyapu pasir di tanah sehingga
muncrat ke wajah ketiga lawannya.
"Licik!" seru Si Serigala Pertama, sambil
memalingkan muka menghindari pasir masuk
ke mata, la mengira dirinyalah sasaran utama
Oh Kui-hou, sebab bukankah tadi Oh Kui-hou
sudah memelototinya terus? Begitu juga kedua
adiknya menyangka, sehingga kedua-duanya
serempak berseru, "Awas, Kakak!"
Kedua "serigala" yang lain pun harus
menghindari pasir yang beterbangan itu.
Namun mereka sama sekali tidak menduga
kalau Oh Kui-hou tiba-tiba menubruk ganas ke
arah Serigala Ketiga dengan sabetan sepasang
cambuk yang beruntun dan membingungkan.
Serigala Pertama dan Serigala Kedua kaget,
berlomba-lomba mereka hendak menyelamatkan adik mereka. Tetapi agak
terlambat, sepasang tongkat gigi serigala di
tangan si adik perempuan itu sudah dibelit
Kembang Jelita 2 / V 34 cambuk dan direnggut lepas sehingga terlempar
ke dalam danau kecil oleh cambuk kiri Oh Kuihou. Sedang cambuk kanan Oh Kui-hou berhasil
menyabet betis si Serigala Ketiga sehingga
celana dan kulitnya robek.
Serigala Ketiga menjerit.
Serigala Pertama dan Serigala Kedua
beringas menerjang. Oh Kui-hou meladeninya
dengan semangat berkobar, namun pada saat
pertempuran dimulai, Oh Kui-hou sudah
memetik keuntungan lebih dulu.
Begitulah di depan kemah Jenderal Li di tepi
telaga itu terjadi pertarungan sengit antara para
pembunuh bayaran dan pengawat-pengawalnya
Li Giam. Para prajurit yang kurang tinggi
ilmunya hanya bisa menonton di sekeliling
arena, sambil mengangkat obor-obor mereka
tinggi-tinggi. Sementara suara pertempuran di pinggir
perkemahan juga masih terdengar.
Pengawal-pengawal Li Giam yang berjumlah
banyak, untuk sementara bisa menahan Tujuh
Pembunuh yang tinggal enam setelah matinya
Kembang Jelita 2 / V 35 Si Banci itu. Namun kemudian terlihat bahwa
pemimpin dari kelompok Tujuh Pembunuh itu,
si lelaki berwajah pucat dan berambut panjang,
memiliki kelebihan dari rekan-rekannya dan di
sini Oh Kui-hou agak salah hitung.
Orang ini bersenjata pedang yang
bentuknya sempit dan ujungnya amat runcing,
agak berbeda dengan pedang-pedang biasa.
Caranya bermain pedang sungguh ganas
didukung gerakannya yang cepat dan langkah
kakinya yang lincah menyelinap ke sana kemari.
Oh Kui-hou sudah "menjatah" orang ini dengan
lima orang pengawal pilihan, dan ia
menganggap itu cukup. Ternyata yang lima
orang itu dalam waktu singkat sudah tinggal
dua orang yang kebingungan menghadapi
kecepatan gerak Si Muka Pucat.
Beberapa pengawal lagi terjun ke
gelanggang, menghadang Si Muka Pucat ini,
tetapi kelihatannya tidak akan banyak
menolong. Kecepatannya terlalu sulit ditandingi
oleh pengawal-pengawal biasa, yang bagaimanapun juga hanyalah prajurit-prajurit
Kembang Jelita 2 / V 36 biasa yang memiliki kelebihan dari temantemannya lalu dipilih menjadi pengawal pribadi.
Tidak jarang para pengawal itu malahan saling
bertubrukan sendiri karena sasarannya
menghilang begitu saja dengan gerak mahacepatnya.
Dari jarak agak jauh, Oh Kui-hou juga bisa
melihat kesulitan para pengawal menghadapi
pimpinan Tujuh Pembunuh Gurun Utara itu.
Beberapa pengawal sudah tewas, dan korbankorban berikutnya pasti akan menyusul kalau
keadaan tidak segera berubah. Tetapi Oh Kuihou tidak tahu harus berbuat apa, sebab dirinya
sendiri sibuk menghadapi Tiga Serigala. Serigala
Ketiga yang kehilangan sepasang tongkat gigi
serigala dan luka betisnya itu pun ternyata
masih mampu bertempur mengeroyok Oh Kuihou bersama kakak-kakaknya, yaitu setelah
membalut betisnya dengan robekan baju, lalu
mengeluarkan sepasang pisau belati.
Dengan demikian, si pimpinan kelompok
Tujuh Pembunuh itu agaknya takkan bisa
dihadang dalam usahanya mendekati Li Giam.
Kembang Jelita 2 / V

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

37 Para pengawal Li Giam tidak segan-segan
kehilangan nyawa demi pemimpinnya, namun
keberanian dan ke-nekadan saja tidak cukup
untuk membendung Si Muka Pucat.
Para prajurit lain, yang tidak termasuk
pengawal Li Giam, agaknya juga merasakan
gelagat ancaman terhadap Jenderal mereka,
maka mereka menempatkan diri berlapis-lapis
di depan Jenderal Li, sedangkan jenderal Li
sendiri diungsikan agak jauh dari kemah.
Si Muka Pucat menjadi gusar karena jadi
lebih sulit mendapatkan Li Giam. Tetapi dalam
gusarnya ia malahan tertawa melengking dan
berkata, "Percuma menyembunyikan Li Giam
biar sampai ke ujung bumi sekalipun. Biarpun
sampai ke langit juga. Kalau aku sudah
mengincarnya, aku akan mendapatkannya. Dan
semakin banyak orang yang dipasang untuk
melindungi nyawanya, hanya akan menambah
jumlah korbanku saja!"
Ucapannya mungkin kedengaran amat
sombong, yang terang, satu detik setelah
ucapannya itu, pedang tipis-runcingnya
Kembang Jelita 2 / V 38 berkelebat amat cepat dalam gerak tipu Thaipeng-tian-ci (Garuda Membentangkan Sayap),
dengan tusukan dua kali ke kanan dan kiri, dia
merobohkan lagi dua pengawal. Para pengawal
yang terlatih itu jadi kelihatan begitu lamban di
hadapannya. Namun sesosok bayangan tiba-tiba meluncur datang seolah-olah dijatuhkan dari
langit, dan langsung menjawab, "Apa iya?"
Seorang pemuda bertubuh tegap dan beralis
tebal, dengan sepasang gagang pedang yang
mencuat dari belakang sepasang pundaknya
yang kekar. Dialah Yo Kian-hi yang sore tadi
ditugaskan Jenderal Li untuk menyelidiki siapa
yang meracuni air telaga kecil itu, namun Yo
Kian-hi belum sempat menemukan apa-apa
ketika mendengar suara pertempuran di
perkemahan Jenderal Li, sehingga ia bergegas
balik ke perkemahan. Si Muka Pucat menudingkan pedangnya,
"Siapa kau?" "Salah seorang bawahan Jenderal Li."
Kembang Jelita 2 / V 39 Si Muka Pucat tidak mempercayai jawaban
itu begitu saja, cara datangnya maupun
penampilan Yo Kian-hi yang lain daripada yang
lain menunjukkan kalau Yo Kian-hi pasti bukan
pengawal biasa. Kata Si Muka Pucat,
"Nampaknya kau memang melebihi pengawalpengawal lain, anak muda. Tetapi ketahuilah, di
hadapanku, kelebihanmu itu percuma. Kau akan
mati seperti yang lain-lainnya.."
Sambil berkata, Si Muka Pucat menuding
mayat para pengawal yang bergelimpangan.
Sahut Yo Kian-hi, menirukan kata-kata
lawannya, "Nampaknya kau memang melebihi
pencoleng-pencoleng lain, Muka Pucat. Tetapi
ketahuilah, di hadapanku, kelebihanmu itu
percuma. Kau akan tertangkap seperti
pencoleng-pencoleng lainnya di pasar...."
Dada Si Muka Pucat hampir meledak oleh
kemarahan, tetapi ia menahan diri dan malah
tertawa dingin, "Kau pintar bercanda, anak
muda, sayang kau memilih saat dan tempat
yang salah untuk bercanda. Lebih baik
pulanglah, Ibumu akan menetekimu....."
Kembang Jelita 2 / V 40 Yo Kian-hi menjawab, "Kau pintar bercanda,
pencoleng kecil, sayang kau memilih saat dan
tempat yang salah untuk bercanda. Lebih baik
pulang saja, Ibumu akan menetekimu....."
"Keparat! Cabut pedangmu, agar aku tidak
dituduh membunuh orang yang tidak
bersenjata!" "Keparat! Gerakkan pedangmu, agar aku
tidak dituduh membunuh orang yang tidak
melawan!" Si Muka Pucat habis sabarnya, tak peduli Yo
Kian-hi belum menghunus pedangnya, ia sudah
menyerang lebih dulu. Pedangnya bergerak
secepat lidah seekor ular yang menyambar ke
depan, ke tenggorokan Yo Kian-hi. Seperti
kebiasaannya, waktu menikamkan pedangnya,
ia langsung mengerahkan seluruh kecepatan,
kekuatan, bahkan seluruh jiwa dan semangatnya diikut-sertakan juga. Permainan
pedangnya tidak kenal segala macam gerak
kembangan yang dianggapnya hanya membuang-buang waktu saja.
Kembang Jelita 2 / V 41 Suatu kebiasaan lain, ia sering memejamkan
mata waktu begitu yakin bahwa serangannya
kena. Ia menganggap sebagai suatu kenikmatan
kalau ujung pedangnya tertancap di leher
lawan, getarannya sampai ke dalam jiwanya
setelah melalui batang pedang dan lengannya. la
benar-benar membunuh bukan sekedar untuk
uang, melainkan karena kenikmatan.
Begitu pula kali ini, terasa nikmatnya
merasakan ujung pedangnya sudah terjepit
daging tubuh lawan. Tetapi ia kaget dan membuka mata ketika
merasakan lambungnya kena tumbukan keras
sehingga ia terpental ke belakang dengan perut
terasa mual. Ia melihat lawan muda yang diremehkannya itu telah menjepit ujung pedangnya
dengan sepasang telapak tangan yang
ditangkupkan. Itulah sebabnya tadi ia merasa
pedangnya seolah-olah sudah kena sasaran,
ternyata bukan. Dan tumbukan keras ke
lambungnya tadi adalah tendangan Yo Kian-hi.
Kembang Jelita 2 / V 42 Sekarang ia melihat Yo Kian-hi dengan sikap
amat menghina mematah-matahkan pedang
tipis kebanggaannya itu menjadi empat potong,
hanya dengan jari-jari tangannya.
Si pemimpin kelompok Tujuh Pembunuh ini
pun gusar bukan main, ia mencabut sepasang
pedang belati yang tersembunyi di sepatunya,
lalu menerjang Yo Kian-hi.
Begitulah, terjadi pertempuran baru.
Ternyata dengan sepasang belatinya, Si Muka
Pucat tidak kalah berbahayanya dengan ketika
masih memegang pedangnya. Cuma kali ini
karena kebentur Yo Kian-hi, mau tidak mau
harus tersudut pada pengakuan dalam hati,
bahwa lawan yang satu ini tidak bisa "dilewati".
Pengakuan dalam hati yang diperkuat oleh
nyeri-nyeri di sekujur tubuhnya yang sering
terkena tangan atau kaki Yo Kian-hi dan
membuatnya sering jatuh terguling-guling.
Dengan demikian, rasanya regu pembunuh
upahan itu sudah kehilangan harapan akan
menerima upah dengan membawa batok kepala
Li Giam. Tidak peduli dari kelompok Tujuh
Kembang Jelita 2 / V 43 Pembunuh Gurun Utara (Pak-bok 3it-sat)
maupun Tiga Serigala Perbatasan (Koan-gwa
Sam-long), justru para pembunuh itulah yang
terancam bahaya. Mungkin merekalah yang
bakal kehilangan batok kepala di tangan algojoalgojonya Li Giam.
Tetapi rupanya masih ada "kartu" yang
belum keluar di pihak pembunuh-pembunuh
itu. Salah satu dari mereka tiba-tiba bersuit
nyaring. Biasanya, isyarat seperti itu berarti
menyuruh mundur semua orang-orangnya.
Namun, kali ini nampaknya suitan itu bukan
isyarat untuk mengundurkan diri, melainkan
semacam mengundang bantuan. Oh Kui-hou
dan Yo Kian-hi bisa merasakannya, sehingga
kakak-beradik seperguruan itu biarpun masingmasing sedang sibuk bertempur dan berjauhan
satu sama lain, seolah digerakkan oleh satu
pikiran, bersama-sama memperingatkan para
pengawal, "Awas! Tetap lindungi Jenderal U!"
Li Giam pun seperti terkurung di tengahtengah sekelompok pengawal pribadi dan
Kembang Jelita 2 / V 44 perwira-perwira yang dengan senjata terhunus
mengitarinya dengan membelakangi Jenderal Li,
menghadap ke segala arah dengan waspada.
Dan mereka yang menghadap ke arah telaga
adalah yang pertama-tama menyaksikan suatu
pemandangan yang mencengangkan. Dari
kegelapan di tengah-tengah telaga, ada sesosok
tubuh yang...berjalan di atas permukaan air
telaga! Sesosok tubuh kurus, memakai jubah,
namun wajahnya tidak kelihatan, sebab
dikerudungi kantong kain hitam yang dilubangi
hanya pada sepasang matanya.
Bahkan jagoan-jagoan sekaliber Oh Kui-hou
dan Yo Kian-hi pun berdesir jantungnya, sekilas
pandang saja mereka sudah tahu kalau yang
datang ini adalah tokoh yang sekaliber guru
mereka. Mereka berdua bergabung pun belum
tentu bisa menandingi tokoh yang baru datang
ini. Bersama-sama mereka mengeluh dalam
hati. Agaknya upaya untuk melindungi Jenderal
Kembang Jelita 2 / V 45 Li harus menghadapi tantangan berat, bahkan
berhasil atau tidaknya juga diragukan.
Orang yang datang dari tengah-tengah
telaga itu melangkah dengan santai ke tepian,
nampak tidak membawa senjata apa-apa,
namun terang jauh lebih berbahaya dari
gerombolan regu pembunuh bayaran itu.
Apakah orang ini juga pembunuh bayaran?
Pertempuran seolah dikomando sehingga
berhenti, semua mata memperhatikan orang ini.
Ketika orang itu mulai naik ke tepian,
terlihat pada sepasang sepatunya diikatkan
papan-papan kecil, jadi ia tadi tidak benarbenar "berjalan di atas air", melainkan dibantu
papan-papan itu. Toh ilmu meringankan tubuh
setinggi itu menunjukkan kelasnya di dunia
para jagoan. Ketika ia mendarat, sepasang
papan itu dikebaskannya lepas dari kakikakinya seperti orang melepaskan sandal.
Ia menatap para pembunuh bayaran itu,
sambil bertanya dengan suara dingin, "Kenapa
kalian memanggil aku?"
Kembang Jelita 2 / V 46 Si Muka Pucat yang pongah itu pun kini
bersikap hormat, bahkan agak takut-takut,
ketika berkata, "Kami mohon maaf, terpaksa
merepotkan Tuan. Perkara upah, kami rela
dikurangi separuh karena kegagalan kami.
Sekarang kami hanya berkedudukan sebagai
pembantu Tuan..." Cukup dengan kata-kata dari Si Muka Pucat,
orang-orang di pihak Jenderal Li Giam sudah
dapat menyimpulkan kalau orang yang datang
lewat telaga itu tidak sekomplotan dengan
pembunuh-pembunuhnya, tetapi bahkan orang
yang mengupah pembunuh-pembunuh itu.
Dengan demikian, orang itu akan lebih
berbahaya dari pembunuh-pembunuh bayaran
itu, bukan karena ilmunya saja yang tinggi
melainkan juga pastilah pamrih kepentingannya
akan lebih kuat. Oh Kui-hou, Yo Kian-hi, pengawal-pengawal
pribadi dan lain-lainnya sudah berjajar merapat
di depan Li Giam, siap melindungi junjungan
mereka mati-matian. Kembang Jelita 2 / V 47 Sambil mengamat-amati orang kurus
berjubah yang datang dari telaga itu, Oh Kuihou samar-samar teringat sepertinya pernah
melihat orang itu. Tetapi kapan dan di mana, ia


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah tidak bisa mengingatnya, lagi pula saat
itu pikirannya sedang dikerahkan untuk
mengamat-amati gerak-gerik musuh, tidak
sempat melamun ke masa lalu.
Orang kurus berjubah itu melangkah
dengan santai mendekati orang-orang yang siap
melindungi Li Giam. Gayanya benar-benar amat
santai, tidak sedikit pun mirip dengan orang
yang hendak berkelahi, melainkan seperti orang
sedang berjalan-jalan mencari angin saja.
Kata-katanya juga tidak membentak atau
berteriak atau mengancam, tetapi lembut
seperti orang membujuk anak-anak yang
sedang menangis, "Aku cuma ingin batok kepala
Li Giam seorang, tidak mau yang lain-lainnya.
Maka yang lain minggirlah, aku kasihan kepada
kalian." Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi mengertak gigi
dengan geram, tapi mereka sadar juga bahwa
Kembang Jelita 2 / V 48 Sambil mengamat-amati orang kurus berjubah
yang datang dari telaga itu, Oh Kui-hou samar-samar
teringat sepertinya pernah melihat orang itu.
Kembang Jelita 2 / V 49 lawan kali ini jauh lebih tinggi kemampuannya
dari mereka berdua digabung sekalipun. Namun
mereka tidak mau minggir. Mereka sudah
bertekad, kalaupun mereka kalau gagal
melindungi Jenderal Li, mereka sendiri rela ikut
mati. Dan tekad yang sama agaknya juga
menyala di hati pengawal-pengawal Li Giam
lainnya. Orang kurus berjubah itu menunggu
sejenak, dan ketika melihat tak seorang pun
pengikut-pengikut Li Giam itu yang mau
minggir, ia menggeleng-gelengkan kepala
sambil menarik napas berulang-ulang. Katakatanya bernada sesal, "Kenapa kalian begitu
bandel, anak-anak? Apakali kalian menyangka
aku tidak dapat membunuh kalian semua?
Apakah kalian menyangka aku hanya memiliki
ilmu berjalan di atas air saja?"
Lalu Si Kurus Berjubah itu memutar tubuh,
menghadap ke sebuah pohon yang batangnya
sebesar paha, mengayunkan telapak tangannya
seperti membacok ke batang pohon itu. Telapak
tangannya tidak mengenai pohon itu, sebab
Kembang Jelita 2 / V 50 jaraknya ada sepuluh sebelas langkah, namun
pohon itu roboh. Sebab batangnya terpotong
rapi seperti dibacok dengan golok tajam yang
diayunkan dengan kekuatan raksasa.
Semua orang terkesiap, Oh Kui-hou bahkan
langsung mengenali ilmu itu dan tanpa sadar
berdesis, "Bu-heng To-hoat (Ilmu Golok Tak
Berwujud)..." Tetapi ada hal mengejutkan lainnya yang
terjadi. Sebab dari atas pohon yang tumbang itu
tiba-tiba melompat keluar seorang yang
berpakaian hitam dan mengenakan kedok pula.
Orang itu mengumpat, "Kat Hu-yong, kalau kau
cuma mau pamer ilmu picisanmu, kenapa kau
paksa aku keluar dari persembunyianku?"
Maka seolah terjadi rangkaian kejutan di
tempat itu, termasuk orang kurus berjubah itu
sendiri, karena namanya segera dikenali oleh
orang yang melompat dari pohon itu. Begitu
juga karena sekian lama ada orang bersembunyi
di dekatnya namun tidak diketahuinya,
menandakan kalau orang yang baru muncul itu
bukan orang sembarangan juga.
Kembang Jelita 2 / V 51 Sedangkan bagi Jenderal Li, Oh Kui-hou dan
lain-lainnya, nama Kat Hu-yong yang
disebutkan oleh orang berkedok yang datang
belakangan itu pun mengejutkan. Mereka tentu
saja pernah mendengar nama Kat Hu-yong
biarpun belum pernah melihat wajahnya. Nama
itu adalah nama seorang penasehat militer
Pangeran Toh Sek-kun, Panglima Angkatan
Perang Manchuria yang terkenal. "Musuh
bersama" baik sisa-sisa Dinasti Beng maupun
kaum Pelangi Kuning. Sebab orang Manchu
dianggap sebagai penyerbu asing yang
senantiasa berambisi menyerbu negerinya
bangsa Han. Orang Han dari golongan Dinasti
Beng maupun golongan Pelangi Kuning, samasama menganggap bangsa Manchu sebagai
musuh berbahaya yang tidak layak diberi
kesempatan. Sementara ingatan Oh Kui-hou sendiri
langsung menjadi cerah, ingat kapan dan di
mana ia pernah melihat Si Kurus Berjubah yang
ternyata adalah tangan kanan Pangeran Toh
Sek-kun itu. Dulu ketika kaum Pelangi Kuning
Kembang Jelita 2 / V 52 masih berjuang menumbangkan Dinasti Beng,
Oh Kui-hou ada di pihak Pelangi Kuning. Dan
saat itu pun orang-orang Manchu sudah ikut
campur dalam pertikaian antara sesama bangsa
Han itu. Waktu itu Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi
tertangkap oleh prajurit-prajurit Dinasti Beng,
dan hendak dibawa ke Pak-khia untuk dihukum
mati. Di tengah jalan, guru Oh Kui-hou dan Yo
Kian-hi, yaitu Tiat-thau-siang (Gajah Berkepala
Besi) Ko Beng-seng menghadang iring-iringan
dengan maksud membebaskan muridmuridnya. Ko Beng-seng hampir berhasil, tetapi
kemudian gagal karena munculnya Kat Hu-yong
yang saat itu juga berkedok.
Kini ternyata yang mendalangi usaha
pembunuhan terhadap Li Giam bukannya Lau
Cong-bin dan Gu Kim-sing, melainkan justru
orang Manchu ini pula. Tidak heran kalau pihak
Manchu pun menghendaki lenyapnya Jenderal
Li, panglima yang paling berwibawa dan
berotak cemerlang yang diperhitungkan akan
menjadi lawan paling berat buat pihak Manchu
apabila kelak menyeberangi perbatasan.
Kembang Jelita 2 / V 53 Kat Hu-yong, Si orang kurus berjubah itu
menjadi gusar karena identitasnya dikenali
orang yang baru datang itu. Sesaat ia
mengamati orang yang baru datang itu.
Dilihatnya di belakang pundak orang mencuat
sebuah gagang pedang yang pelindung
pegangan pedangnya berbentuk seekor elang
yang mengembangkan sayapnya. Maka Kat Huyong pun segera bisa mengenali siapa yang
datang itu. Katanya, "Helian Kong, kau pun
percuma bersembunyi di balik kedok itu, sebab
aku sudah mengenalimu. Lebih baik kalau
malam ini kita bekerja sama membunuh Li
Giam. Bukankah pihakmu dan pihakku samasama mengingini kematiannya? Bukankah Li
Giam juga yang menyerbu istana Kerajaan Beng
dan memaksa rajamu, Yang Mulia Sri Baginda
Cong-ceng, menggantung diri di Bukit Bwe-san?
Inilah kesempatan untuk membalaskan sakit
hati rajamu.." Begitulah, untuk membujuk Helian Kong
bekerja sama, Kat Hu-yong tidak segan-segan
Kembang Jelita 2 / V 54 menyebut Kaisar Cong-ceng dengan "Yang
Mulia Sri Baginda" segala.
Sementara di pihak orang-orangnya Li Giam
pun berdebar-debar menunggu bagaimana
tanggapan Helian Kong terhadap tawaran Kat
Hu-yong itu. Kalau Helian Kong menerima
tawaran itu, pihak Li Giam akan bertambah
kedodoran. Orang berkedok yang datang belakangan itu
membuka kedoknya, dan ternyata ia memang
Helian Kong. Panglima setia Dinasti Beng yang
masih buron dan diketahui masih memiliki
pasukan yang kuat yang entah bersembunyi di
mana. Helian Kong adalah buronan kelas kakap
bagi pihak Pelangi Kuning. Tak terduga
sekarang berani muncul di perkemahannya Li
Giam. Suasana sunyi senyap, menunggu jawaban
Helian Kong. Lalu terdengar kata-katanya
sepatah demi sepatah, "Aku membenci kaum
Pelangi Kuning yang sudah menumbangkan
junjunganku, Baginda Cong-ceng. Aku harus
Kembang Jelita 2 / V 55 menyelesaikan sakit hati ini suatu kali kelak,
tetapi dengan syarat..."
Helian Kong berhenti beberapa saat, dan
suasana tetap sunyi mencekam, sampai
kelanjutan kata-kata Helian Kong terdengar,
"Dengan syarat tidak ada pihak ketiga yang
mengambil keuntungan dari pertikaian sesama
bangsa Han. Apalagi kalau pihak ketiga itu
adalah bangsa asing dari luar perbatasan."
Kat Hu-yong tertawa dingin, "Jadi, buat apa
kau muncul kemari?" "Buat memukul mundur kau, orang
Manchu!" sahut Helian Kong sambil menatap
tajam Kat Hu-yong. "Dan memperingatkan
setiap bangsa Han di pihak mana pun, bahwa
ada kekuatan asing yang mengintai di luar
perbatasan dan menyebar jaring mata-matanya
di dalam negeri." Hampir bersamaan Jenderal Li Giam dan
pengawal-pengawalnya menghembuskan napas
lega. Orang menghembuskan napas mestinya
suaranya tidak terlalu keras, tetapi karena
banyak orang melakukannya bersama-sama,
Kembang Jelita 2 / V 56 maka jadi seperti "paduan suara" yang aneh.
Dalam hatinya, Li Giam, Oh Kui-hou serta Yo
Kian-hi sangat menghormati sikap satria Helian
Kong yang tidak mau mengambil keuntungan
atas pihaknya selagi dalam keadaan terjepit,
tetapi lebih mengutamakan keselamatan
seluruh tanah air daripada golongan politiknya
sendiri. Sikap yang sama juga pernah
ditunjukkan Li Giam ketika ia mengambil
keputusan untuk melindungi keluarga Siangkoan dari gelombang hukuman mati yang
sedang "diobral" oleh Lau Cong-bin sebagai
Panglima Tertinggi, tidak peduli keluarga
Siangkoan adalah keluarga pembesar Dinasti
Beng. Li Giam tahu Siangkoan Hi adalah seorang
pembesar yang jujur dan dicintai banyak orang.
Kalau sampai orang seperti Siangkoan Hi
dihukum mati, banyak orang akan memendam
kemarahan yang pada waktunya nanti bakal
tidak menguntungkan kaum Pelangi Kuning,
Jadi Li Giam dan Helian Kong, biarpun musuh,
punya pikiran yang sama, yang menomorsatukan tanah air dari kepentingan golongan.
Kembang Jelita 2 / V 57 Sedangkan Kat Hu-yong yang orang Manchu
pun hormat kepada sikap itu, meskipun ia
menentangnya dalam kedudukannya sebagai
orang yang memperjuangkan kepentingan
bangsanya. Kata Kat Hu-yong, "Helian Kong,
golongan manusia yang kau sebut bangsa Han
itu dulu-dulunya juga memiliki berbagai asalusul yang beraneka ragam, dengan hak apa kau
menganggap dirimu sebagai orang Han asli
kemudian merasa berhak menganggap kami,
orang-orang Manchu, sebagai orang asing?
Bukankah nama depanmu saja menunjukkan
bahwa kau bukan orang Han asli melainkan
orang Liao?" Memang nama keluarga Helian berasal dari
kawasan barat laut. Kawasan itu pada jaman
ratusan tahun yang lalu, dihuni bangsa Liao
yang tidak termasuk bangsa Han, sedangkan
yang termasuk bangsa Han hanyalah penduduk
Kerajaan Song waktu itu. Kemudian setelah
Song runtuh, disusul ratusan tahun pemerintahan dinasti-dinasti Goan dan Beng
yang mencakup kawasan barat laut, maka


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembang Jelita 2 / V 58 orang-orang barat laut itu ikut-ikutan menyebut
diri mereka "orang Han" juga, bersatu dengan
orang-orang kawasan tengah dan selatan, meski
tampang muka dan logat bahasanya sedikit
berbeda. Sanggahan Kat Hu-yong tidak membuat
Helian Kong mundur. Ia mencabut pedang di
punggungnya, pedang Tiat-eng Po-kiam
(Pedang Pusaka Elang Besi), ujung pedang
ditudingkan ke arah Kat Hu-yong sambil
berkata, "Kat Hu-yong, menyingkir dari sini
bersama orang-orangmu!"
Menurut tingkatan-tingkatan di kalangan
para jagoan, Helian Kong belum pantas
menantang Kat Hu-yong, sebab Kat Hu-yong
setingkat dengan guru Helian Kong yang sudah
almarhum. Tetapi sikap Helian Kong yang
begitu mantap tak tergetar sedikit pun,
menimbulkan dugaan kalau Helian Kong punya
sesuatu yang diandalkan untuk menghadapi Kat
Hu-yong. Kat Hu-yong jadi gatal tangannya melihat
sikap Helian Kong itu. Katanya, "Baiklah,
Kembang Jelita 2 / V 59 sebelum aku ambil kepala Li Giam, aku ambil
dulu kepalamu." Lalu tubuhnya terlontar cepat ke arah
Helian Kong, dengan sepasang lengan
menerkam bersamaan. Agaknya dalam gebrakan-gebrakan pertama, Kat Hu-yong tidak
langsung menggunakan Bu-heng To-hoatnya. Ia
ingin menjajal dulu kecepatan, kekuatan dan
ketangkasan Helian Kong yang mengingatkannya kepada muridnya, Sek Honghua.
Ternyata Helian Kong dapat mengimbanginya, sehingga terjadilah pertarungan seru antara dua jagoan dari
angkatan yang berbeda itu. Meskipun Helian
Kong menggunakan pedangnya sedang Kat Huyong bertangan kosong, tetapi tidak seorang
pun menganggap pertandingan itu tidak adil,
sebab Kat Hu-yong itu tingkatannya sama
dengan guru Helian Kong. Apalagi Kat Hu-yong
punya "golok tak berwujud" yang belum
digunakan dalam pertempuran itu. Bahkan Kat
Kembang Jelita 2 / V 60 Hu-yong sendiri juga tidak merasa diperlakukan
tidak adil. Demikianlah, pertarungan satu lawan satu
itu berlangsung makin sengit disaksikan orangorang dari kedua pihak. Kat Hu-yong menerjang
bagaikan angin puyuh yang menggulung, Helian
Kong mencoba mengimbangi setangkas
harimau jantan yang perkasa. Berguling,
melompat, menerjang dengan amat cepat,
pedangnya yang cuma sebatang itu seolah
pecah menjadi belasan batang yang bayangannya berkelebatan ke sana ke mari.
Melihat ketangkasan Helian Kong, Yo Kianhi diam-diam menarik napas. Dulu Helian Kong
itu tingkat ilmunya bisa dibilang seimbang
dengan Yo Kian-hi, kalau pun ada sedikit
kelebihan di pihak Helian Kong, maka kelebihan
itu hanyalah selapis tipis. Jaman itu ada tiga jago
muda yang setingkat, yaitu Helian Kong, Yo
Kian-hi dan Sek Hong-hua. Sekarang Yo Kian-hi
harus mengakui bahwa Helian Kong sudah maju
pesat dan beberapa langkah di depannya.
Seandainya Yo Kian-hi yang disuruh melawan
Kembang Jelita 2 / V 61 Kat Hu-yong, pastilah tidak lebih dari dua puluh
gebrakan Yo Kian-hi akan keok, tetapi sekarang
dilihatnya Helian Kong dapat begitu gigih
melawan seorang angkatan tua macam Kat Huyong, mau tidak mau Yo Kian-hi jadi kagum.
Namun lama kelamaan, setelah hampir
seratus jurus gebrakan, kelihatan juga kalau
Helian Kong belum mampu mengimbangi Kat
Hu-yong, tidak peduli betapa hebat semangatnya dan betapa pesat kemajuannya.
Helian Kong mulai sering terdesak, dan kadangkadang sempoyongan kalau serangan Kat Huyong mengenainya. Waktu itu Kat Hu-yong
masih menggunakan pukulan biasa, belum
"golok tanpa wujud" nya.
Yo Kian-hi tidak tahan lagi melihat Helian
Kong sering dikenai, bahkan dijatuhkan
serangan lawannya. Sejenak lupa kalau Helian
Kong berasal dari golongan yang bertentangan
dengan golongannya, Yo Kian-hi saat itu hanya tidak rela melihat
Helian Kong bakal menjadi korban dalam
usahanya membela Li Giam. Maka ketika
Kembang Jelita 2 / V 62 melihat untuk ke sekian kalinya Helian Kong
agak pontang-panting menghadapi hujan
serangan yang gencar dari si Penasehat Militer
Manchu itu, Yo Kian-hi melupakan permusuhannya dengan Helian Kong dan
melompat ke tengah gelanggang dengan
sepasang pedangnya sudah terhunus, langsung
menyabet bersilangan ke arah Kat Hu-yong.
Karena serangan itu, Kat Hu-yong terpecah
perhatiannya, dan ini memberi kesempatan
kepada Helian Kong untuk memperbaiki
posisinya. "Adik Yo!" Oh Kui-hou memanggil adik
seperguruannya, khawatir tindakan tanpa ijin
itu akan kurang berkenan di hati Li Giam.
Tetapi Li Giam yang menyahut, "Biarkan
saja, Saudara Oh, aku setuju dia membantu
Helian Kong." Begitulah, pertempuran sekarang jadi satu
lawan dua. Ada dua orang dari kelompok
pembunuh bayaran yang juga hendak
memasuki gelanggang untuk membendung Yo
Kian-hi, tetapi Kat Hu-yong sendiri yang
Kembang Jelita 2 / V 63 membentak para pembunuh bayaran itu,
"Jangan ikut campur! Aku sendiri senang
bermain-main dengan kedua anak manis ini!"
(Bersambung jilid VI.) Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 17/07/2018 10 : 07 AM
Kembang Jelita 2 / V 64 Kembang Jelita 2 / VI 1 ( Bagian II ) JILID VI Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / VI 2 Kembang Jelita 2 / VI 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid VI D emikianlah Kat Hu-yong dikeroyok dua.
Sebagian besar beban perlawanan ada di
pundak Helian Kong sebab tingkat kepandaiannya lebih dari Yo Kian-hi, namun Yo
Kian-hi bukannya tanpa arti. Perwira muda
yang bersenjatakan sepasang pedang yang tebal
dan berat itu seperti seekor gajah yang
mengamuk, dan biarpun tidak sepesat Helian
Kong, ada juga kemajuan Yo Kian-hi.
Sekarang pertempuran itu kelihatannya
seimbang. Tetapi yang masih mengherankan
semua orang adalah Kat Hu-yong belum juga
memakai "golok tak berwujud"nya.
Kembang Jelita 2 / VI 2 Dan seandainya orang-orang yang menonton pertempuran itu tahu isi hati Kat Huyong, mereka akan lebih heran lagi. Sebab diamdiam Kat Hu-yong timbul rasa sayangnya
kepada kedua anak muda lawannya itu! Ya, rasa
sayang! Itulah yang terjadi. Kalau seorang
panglima Dinasti Beng seperti Helian Kong
sampai bisa bekerja sama dengan seorang
panglima Pelangi Kuning seperti Yo Kian-hi saja
sudah sesuatu yang mengherankan, maka
timbulnya perasaan sayang Kat Hu-yong kepada
kedua lawannya yang muda itu tentunya
sesuatu yang tidak masuk akal. Tetapi memang
itulah yang terjadi di gelanggang itu, meski
tidak dapat dilihat dengan mata jasmaniah.
Muncul ikatan-ikatan batin antar sesama
manusia yang secara kebetulan berdiri di pihakpihak yang bermusuhan.
Helian Kong dan Yo Kian-hi tentu saja belum
sempat merasakan getar hati Kat Hu-yong itu.
Mereka cuma masih heran kenapa "golok tak
berwujud" itu tidak keluar-keluar juga, meski
Kembang Jelita 2 / VI 3 mereka sudah siap-siap menghadapinya sejak
tadi. Akhirnya ilmu golok yang dinantinantikannya keluar juga. Pada suatu gebrakan,
Kat Hu-yong tiba-tiba meluncur mundur dengan
sepasang kaki tetap menempel di tanah,
sepasang lengannya dengan telapak tangan
terbuka menyilang di depan dadanya, matanya
menyorot tajam dari balik kain kedoknya.
"Awas!" Helian Kong dan Yo Kian-hi saling
memperingatkan. Bahkan Oh Kui-hou yang di luar gelanggang
juga ikut berseru, "Awas!"
Sepasang telapak tangan Kat Hu-yong sudah
terayun sejajar ke depan dan dua jalur angin
tajam juga mendesis ke depan. Bu-heng To-hoat
akhirnya keluar juga. Tetapi ternyata Kat Huyong tidak mengarahkan serangannya ke tubuh
Helian Kong maupun Yo Kian-hi, melainkan
hanya ke senjata-senjata mereka.
Helian Kong merasakan pedang Tiat-eng Pokiamnya seperti ditabrak halilintar, telapak
tangannya yang memegang pedang terasa panas
Kembang Jelita 2 / VI 4 dalam satu detik dan saat itu pulalah pedangnya
terbang dan jatuh menancap di tepi telaga.
Untung saja pedang pusaka perguruannya itu
tidak nyemplung dan tenggelam di tengah
telaga. Demikianlah pula yang dialami Yo Kian-hi.
Sepasang pedangnya seolah tersapu mendatar
oleh kekuatan tak terlihat yang membuat
sepasang pedangnya lepas dari tangannya pula.
Menyangka bahwa serangan susulan jarak
jauh akan dilancarkan, Helian Kong dan Yo
Kian-hi sama-sama bersiaga. Tetapi ternyata
Kat Hu-yong tetap berdiri di tempatnya dengan
sikap santai dan berkata, "Cukup sekian
permainan kita, anak-anak muda. Ketangguhan


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian membuat aku merasa cepat tua......"
Helian Kong dan Yo Kian-hi termangumangu, tidak tahu harus menjawab yang
bagaimana terhadap kata-kata yang tidak
bersifat bermusuhan itu. Bingung juga mereka.
Di satu pihak mereka tahu Kat Hu-yong adalah
musuh, di lain pihak mereka berdua bukan
orang tolol, mereka memahami bahwa baru saja
Kembang Jelita 2 / VI 5 Demikianlah pula yang dialami Yo Kian-hi. Sepasang
pedangnya seolah tersapu mendatar oleh kekuatan tak
terlihat yang membuat sepasang pedangnya lepas
dari tangannya pula. Kembang Jelita 2 / VI 6 Kat Hu-yong berbelas kasihan kepada mereka
dengari hanya merontokkan senjata mereka
namun tidak menciderai mereka.
"Sekarang mau apa kau?" akhirnya Oh Kuihaulah yang bertanya. Sambil menempatkan
diri di depan tubuh Jenderal Li, bersiaga kalaukalau tokoh Manchu itu masih berniat
membunuh Jenderal Li, Ternyata jawaban Kat Hu-yong di luar
dugaan, "Aku mau pulang, makan, lalu tidur
sampai pagi." Keruan orang-orang di pihak Li Giam
senang mendengar kata-kata itu, namun tidak
dapat segera mempercayai. Khawatir kalau
kata-kata itu sekedar untuk melengahkan
kewaspadaan mereka. Sementara itu, kelompok para pembunuh
bayaran yang sudah terlanjur mengerahkan
anak buah, menyabung nyawa, dan yakin bahwa
tentu saat itu ada anak buah mereka yang sudah
terbang ke akherat, malahan dari kelompok
Tujuh Pembunuh juga sudah kehilangan satu
teman mereka, yaitu Si Banci Lan-lan, tentu saja
Kembang Jelita 2 / VI 7 menjadi penasaran mendengar keputusan Kat
Hu-yeng yang membatalkan untuk mengambil
kepala Li Giam itu. Lalu buat apa pengorbanan
mereka yang sudah sekian jauh, kalau akhirnya
harus pulang dengan tangan kosong?
Sedangkan mereka yakin Kat Hu-yong dengan
kepandaiannya yang tinggi akan bias
membunuh Li Giam. Tetapi sebelum kelompok pembunuh itu
menyatakan rasa penasaran mereka, mereka
lebih dulu terkejut karena sorot mata Kat Huyong menatap penuh kemarahan dari balik
lubang kedoknya. Menatap penuh kemarahan
ke arah pembunuh-pembunuh itu sendiri,
bukan ke arah lawan-lawan mereka.
Para pembunuh itu terkejut dan bertanyatanya dalam hati, apa salah mereka?
Yang kemudian terdengar adalah suara Kat
Hu-yong yang dingin, "Kita pergi dari sini."
Si pemimpin kelompok Tujuh Pembunuh
memberanikan diri bertanya, "Bagaimana
dengan rencana kita membunuh Li Giam? Kami
sudah terlanjur..." Kembang Jelita 2 / VI 8 "Tutup mulutmu! Ada yang harus kalian
pertanggung-jawabkan terhadapku."
"Apa?" "Kita pergi dulu dari sini."
Kemarahan yang terpancar dari mata Kat
Hu-yong agaknya menggetarkan para pembunuh itu. Sehingga mereka tidak
membantah lagi diajak pergi dari situ, sambil
membawa mayat Si Banci Lan-lan yang masih
saja ditangisi oleh Si Cebol bertongkat panjang.
Jenderal Li Giam memerintahkan seluruh
anak buahnya agar tidak menghalang-halangi
kepergian mereka. Li Giam sendiri boleh merasa
lega bahwa Kat Hu-yong tiba-tiba saja "tidak
berselera" lagi kepada kepalanya, entah kenapa
sebabnya. Mungkin sudah punya perhitungan
baru. Dengan mundurnya Kat Hu-yong serta
pembunuh-pembunuh bayaran itu, tentu saja
anak buah para pembunuh itu juga ikut pergi,
maka pertempuran di perkemahan itu pun
selesai, dengan korban-korban di kedua pihak.
Sementara itu, setelah perginya Kat Huyong, Helian Kong kini sendirian menghadapi
Kembang Jelita 2 / VI 9 Jenderal Li dan orang-orangnya yang bersikap
canggung, "Nah, apakah sekarang kalian hendak
menangkap aku, si buronan sisa-sisa Kerajaan
Beng ini?" Meskipun baru saja bekerja sama
menghadapi Kat Hu-yong, Yo Kian-hi menjadi
panas hati mendengar kata-kata Helian Kong
yang bernada menantang itu. Ia memungut
sepasang pedangnya yang tadi dijatuhkan oleh
Kat Hu-yong, memegangnya erat-erat sambil
menggeram, "Di hadapan iblis Manchu tadi kita
bersatu, sekarang iblis itu sudah pergi, dan kita
tentukan nasib melalui pedang-pedang kita.
Jangan kau sangka kami takut melihat kemajuan
permainan pedangmu."
Helian Kong melangkah ke tepi telaga,
mengambil pedangnya yang tadi juga terlempar,
namun untuk langsung disarungkan. Yo Kian-hi
menjadi gusar karena menyangka Helian Kong
sedang meremehkan dirinya, "Helian Kong, kau
ingin menghadapi aku dengan tangan kosong?
Sungguh congkak kau!"
Kembang Jelita 2 / VI 10 Namun sebelum Yo Kian-hi melabrak Helian
Kong, Jenderal Li Giam agaknya lebih peka
menangkap sikap Helian Kong, cepat-cepat
mencegah Yo Kian-hi, "Saudara Yo, agaknya
kedatangan Tuan Helian ke perkemahan ini
punya maksud lain dari yang kita sangka.
Tidakkah kita membiarkannya bicara?"
Helian Kong kemudian berkata, "Memang,
aku datang untuk sekedar melunasi hutangpiutang. Aku mengucapkan terima kasih karena
selama ini kalian telah melindungi isteriku, ayah
mertuaku dan saudara iparku di Pak-khia.
Sekarang aku sudah menolongmu dari iblis
Manchu dan pembunuh-pembunuh upahan itu,
dengan demikian utang-piutang kita impas.
Selanjutnya kalau kita bertemu di medan
tempur, kita tidak akan saling sungkan-sungkan
lagi." "Sungguh besar mulut orang ini...." geram Yo
Kian-hi sambil menoleh kepada Jenderal Li,
minta persetujuan untuk diperbolehkan
menyerang. Kembang Jelita 2 / VI 11 Ternyata sikap Jenderal Li malahan lain. Li
Giam mengangguk ramah dan berkata, "Baik.
Aku juga mengucapkan terima kasih secara
pribadi kepadamu, Tuan Helian, karena
kedatanganmu bagaimanapun membuatku
batal bertamasya ke akherat melalui tangan
orang Manchu tadi. Kalau Tuan mau menerima,
aku mengundang Tuan untuk minum arak
bersama sambil sejenak melupakan permusuhan kita." "Tidak," sahut Helian Kong getas. "Aku
harus pergi." "Tuan takut kami suguhi arak beracun?"
"Tidak. Aku percaya orang sejantan Jenderal
Li takkan melakukan tipu-daya serendah itu.
Tetapi aku ada pekerjaan lain. Apakah aku
diijinkan pergi dengan baik-baik, atau harus
kuterobos dengan pedangku?"
Yo Kian-hi kembali mengertakkan gigi
dengan geram mendengar kata-kata ini. Tetapi
sikap Li Giam tetap lebih terkendali, sahutnya
sambil tersenyum, "Malam ini kuanggap kita
dapat saling lebih mengenal pribadi masingKembang Jelita 2 / VI
12 masing, meskipun itu sama sekali tidak akan
mempengaruhi kedudukan kita dalam pihakpihak yang masih bermusuhan. Selamat jalan,
Tuan Helian, aku akan memerintahkan orangorangku untuk tidak merintangimu."
Helian Kong mengambil dua potong papan
yang ditinggalkan Kat Hu-yong tadi, papanpapan yang digunakan Kat Hu-yong untuk
menyeberangi telaga, lalu sekarang Helian
Konglah yang menggunakannya untuk pergi
dari situ dengan melewati air telaga. Dengan itu,
Helian Kong seolah mampu menunjukkan
bahwa seandainya Li Giam menyuruh orangorangnya untuk menghalangi, tentunya juga
takkan ada yang bisa. Tak ada orang-orangnya
Li Giam yang bisa berbuat seperti itu, termasuk
Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi sekalipun.
Tetapi agaknya Yo Kian-hi merasa
tertantang oleh kepongahan itu. Ia berdiri di
tepi telaga sambil mengatur napas dan
memusatkan tenaga, tiba-tiba kakinya menghentak ke permukaan tanah di tepi telaga
itu, berulang kali, sambil berteriak ke arah
Kembang Jelita 2 / VI 13 Helian Kong yang sudah belasan kaki dari
tepian, "Hati-hati, Tuan Helian, ada gelombang
besar!" Memang hasil hentakkan kaki Yo Kian-hi itu
menimbulkan gelombang air yang meskipun
tidak sebesar gelombang lautan, namun
tingginya lebih setengah meter, mendampar
keras ke tengah-tengah telaga yang semula
airnya bening bagaikan kaca.
Dengan datangnya "gelombang buatan" itu,
Helian Kong tidak dapat lagi meluncur di air
dengan santai, melainkan terguncang dan harus
melakukan beberapa gerakan agak panik agar
tidak tercebur ke dalam telaga itu. Helian Kong
berhasil menyelamatkan "perahu-perahu kecilnya" dari damparan gelombang, tetapi tak
urung sekujur tubuhnya basah kuyup.
Sebelum Helian Kong menghilang di
kegelapan milam di tengah telaga, Helian Kong
masih sempat mengacungkan jempolnya
kepada Yo Kian-hi. Padahal Yo Kian-hi sendiri
sedang masygul karena gagal menjungkirkan
Helian Kong ke air. Kembang Jelita 2 / VI 14 Sementara, yang terpikir oleh Li Giam
adalah sesuatu yang lebih besar, yaitu
keselamatan seluruh tanah air yang wajib
dipikirkan setiap orang Han, entah dari
"golongan Pelangi Kuning maupun Dinasti Beng,
yaitu dengan ikut campurnya orang-orang
Manchu dalam masalah itu. Dan Li Giam
sungguh prihatin membayangkan bahwa baik
Lau Cong-bin maupun Gu Kim-sing pasti tidak
waspada akan hal itu. Akhirnya di tengah-tengah kesibukan
pasukannya mengurusi orang-orang yang
terluka dan terbunuh, Li Giam memikirkan
untuk mengirim orang ke Pak-khia, memberi
peringatan kepada Kaisar Tiong-ong tentang
keterlibatan orang-orang Manchu. Keterlibatan
yang tidak tanggung-tanggung sebab Penasehat
Militer Pangeran Toh Sek-kun sendiri, Kat Huyong, muncul di Pak-khia dan sekitarnya.
Sementara, dengan pikiran yang sama
dengan Li Giam, Helian Kong juga sedang pusing
memikirkan keterlibatan orang-orang Manchu.
la bermusuhan dengan orang-orang Pelangi
Kembang Jelita 2 / VI 15 Kuning, tapi kalau pihak Manchu mengancam, ia
akan lebih senang bergandengan dengan orang
Pelangi Kuning untuk menghadapi Manchu.
Biarpun musuh, Helian Kong menganggap Li
Giam lebih baik daripada Lau Cong-bin yang
mata keranjang maupun Gu Kim-sing yang
rakus harta, dan sungguh celaka bahwa orang
semacam Li Giam justru sedang "dibuang"
dengan ditempatkan ke pos yang jauh dari
ibukota. Sambil berlari-lari menembus kegelapan
malam, menuju tempat persembunyian

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasukannya di tengah hutan, Helian Kong
berpikir-pikir, "Selama keadaan masih sama
saja, pembesar yang baik disingkirkan dan
pembesar yang korup makin berpengaruh,
maka kesengsaraan orang-orang kecil akan
sama saja. Keadaan negeri yang rapuh juga akan
memberi kesempatan kepada orang-orang
Manchu......." Tempat persembunyian Helian Kong dan
pasukannya, adalah sebuah desa buatan yang
terbenam jauh di tengah hutan pegunungan.
Kembang Jelita 2 / VI 16 Setiap lelaki dewasa di "desa tiban" itu adalah
prajurit anak buah Helian Kong, yang sehariharinya hidup berladang namun oleh Helian
Kong tidak pernah lupa diwajibkan latihan agar
setiap saat dapat digerakkan untuk kembalinya
dinasti Beng ke singgasana. Tidak heran kalau
di desa itu amat jarang ditemui wanita dan
anak-anak, sebab ketika para prajurit
mengungsi ke tempat itu, mereka tidak sempat
membawa keluarga mereka. Kebanyakan
keluarga para prajurit masih ketinggalan di Pakkhia atau sekitarnya. Helian Kong mengijinkan
orang-orangnya menengok keluarganya di Pakkhia dan sekitarnya secara bergantian, asalkan
berhati-hati, jangan sampai tertangkap oleh
orang-orang Pelangi Kuning yang sedang
berkuasa, apalagi kalau sampai disuruh
menunjukkan tempat persembunyian. Keluarga
Helian Kong sendiri sudah berkumpul bersama
di tempat itu, yaitu ayah mertuanya, Siangkoan
Hi yang adalah bekas seorang menteri di jaman
Kerajaan Beng, lalu saudara iparnya, Siangkoan
Kembang Jelita 2 / VI 17 Heng, dan isterinya, Siangkoan Yan yang tengah
hamil muda. Ketika Helian Kong tiba di tempat
tinggalnya di tengah hutan itu, sebuah gubuk
berdinding tanah liat dan beratap ilalang, di
tengah-tengah ratusan gubug serupa dari para
prajurit, Helian Kong melihat masih ada cahaya
api menyorot dari celah-celah pintu rumahnya,
per-tanda isterinya masih menunggu kedatangannya biar sudah larut malam.
Helian Kong mengetuk pintu dan Siangkoan
Yan isterinya membukakan pintu.
"Sudah tidur semua?" tanya Helian Kong
lirih agar tidak membangunkan ayah mertua
dan saudara iparnya yang sudah tidur.
Siangkoan Yan cuma mengangguk.
Helian Kong melepas pedang dari
punggungnya sambil bertanya pula, "Ada
kejadian penting?" "Tidak." "Tidak ada laporan dari orang-orang kita di
Ibukota Pak-khia atau dari tempat lain?"
Kembang Jelita 2 / VI 18 Hampir saja Siangkoan Yan menggeleng
pula, ketika dari kejauhan terdengar suara
derap kuda yang dipacu kencang, makin lama
makin dekat, di kesunyian malam.
Helian Kong memiringkan kepalanya sedikit
untuk mempertajam pendengarannya. Didengarnya derap kuda itu berhenti sekejap,
mungkin dihentikan oleh penjaga-penjaga yang
dipasang oleh Helian Kong di sekitar tempat itu.
Kemudian derap kuda itu terdengar kembali
meskipun tidak sekencang semula, dan berhenti
tepat di depan gubug kediaman Helian Kong.
Penunggang kuda itu seorang yang
berpakaian seperti pengemis, tetapi kuda
tunggangnya adalah kuda yang sangat baik,
kuda yang benar-benar mahal. Buat orang yang
mata duitan, pasti akan memilih kudanya,
bukan penunggangnya. Tetapi Helian Kong telah membuka pintu
rumahnya dan menyongsong orangnya, bukan
kudanya. "Saudara In.."
Si pengemis gadungan yang bernama In Kaipeng itu membungkuk hormat dan berkata,
Kembang Jelita 2 / VI 19 "Maaf kalau mengejutkan Cong-peng. Ada hal
penting yang harus aku laporkan."
Wajah Helian Kong menegang, tetapi ia
berusaha untuk tenang, "Katakan, Saudara In."
"Si jenderal hidung-belang Lau Cong-bin
memutuskan untuk menggerakkan pasukan
besar menggempur San-hai-koan...."
Jantung Helian Kong berdesir. San-hai-koan
adalah sebuah kota perbatasan di timur-laut,
sebuah kota kecil tetapi punya posisi kunci,
sebuah kota yang masih tetap mengibarkan
bendera dinasti Beng di bawah pimpinan Bu
Sam-kui, sahabat baik Helian Kong. Sebuah kota
yang letaknya terjepit antara wilayah Manchu di
utara dan timurnya, dan wilayah kaum Pelangi
Kuning di sebelah barat dan selatannya.
Tiba-tiba Helian Kong berkeringat dingin, ia
adalah sahabat Bu Sam-kui si penjaga San-haikoan, dan ia paham betul bahwa Bu Sam-kui
bukan seorang yang teguh pendirian. Gencetan
dari pihak Lau Cong-bin bukan tidak mungkin
akan mendorong Bu Sam-kui masuk ke dalam
rangkulan pihak Manchu, dan kalau kota kunci
Kembang Jelita 2 / VI 20 San-hai-koan jatuh ke tangan orang Manchu,
berarti balatentara Manchu yang dahsyat itu
akan mendapatkan jalan masuk yang leluasa ke
seluruh daratan tengah. "Gila! Apa yang mendorong Lau Cong-bin
melakukan hal itu?" In Kai-peng tampaknya tahu jawabannya,
tetapi beberapa saat lamanya ia seperti raguragu.
"Cepat katakan, Saudara In. Kau tahu
awabannya bukan?" "Ya, tahu.." "Nah, katakan!"
"Cong-peng, aku... aku hanya mendengar
berita yang kurang jelas tentang.... tentang..
yang mendorong si Hidung Belang itu
memutuskan demikian. Ini... ini menyangkut
diri.. Nona Tan Wan-wan...."
Helian Kong menarik napas mendengar
disebutnya nama Tan Wan-wan. Pantas kalau In
Ka-peng yang biasanya bicara dengan tegas itu
sekarang ragu-ragu mengatakannya, rupanya
karena tahu kalau Tan Wan-wan bekas kekasih
Kembang Jelita 2 / VI 21 Helian Kong. Tan Wan-wan pernah juga menjadi
mata-mata andalan Li Cu-seng dalam
pemberontakannya menggulingkan dinasti
Beng, mestinya setiap orang dinasti Beng
membenci Tan Wan-wan, tetapi setiap anak
buah Helian Kong tetap sungkan kalau
menyebut Tan Wan-wan mengingat "hubungan
khususnya" dengan Helian Kong. Apalagi Tan
Wan-wan juga pernah melindungi keselamatan
isteri, ayah mertua dan ipar Helian Kong. Itulah
sebabnya orang-orangnya Helian Kong menyebut Lau Cong-bin sebagai Si Hidung
Belang dan Gu Kim-sing sebagai Si Kerbau,
bahkan Li Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong juga
mereka sebut "kaisar-kaisaran", tetapi terhadap
Tan Wan-wan, semuanya tetap bersikap hormat
dalam menyebutnya, setidak-tidaknya di depan
Helian Kong. Helian Kong sendiri juga berusaha
memendam dalam-dalam kenangan lamanya
terhadap Tan Wan-wan, selalu berusaha
mengingatkan diri sendiri bahwa betapapun
istimewa Tan Wan-wan baginya, namun Tan
Kembang Jelita 2 / VI 22 Wan-wan sekarang berkedudukan sebagai
musuh, orang yang menyebabkan runtuhnya
dinasti Beng, Lagi pula secara pribadi Helian
Kong sudah punya isteri, dan Helian Kong harus
belajar menyingkirkan perempuan lain dari
hatinya. Namun kali ini, mendengar laporan yang
begitu penting dan ada sangkut-pautnya dengan
Tan Wan-wan, mau tidak mau Helian Kong ingin
tahu juga, "Katakan saja, tidak usah sungkansungkan, Jangan ada yang disembunyikan,
sebab antara aku dan.... Wan-wan sudah tidak
ada hubungan apa-apa lagi..."
Di sini Helian Kong sedikit berbohong soal
"sudah tidak ada hubungan apa-apl lagi" itu.
Bagaimanapun, kenangan masa lalu tidak
mudah dihapuskan begitu saja.
In Ka-peng menyahut, "Baiklah, Cong-peng,
tetapi sekali lagi aku katakan bahwa yang aku
dengar ini bukan laporan orang-orang kita
melainkan cuma kabar angin dari sana-sini.."
"Iya, iya, cepat katakan."
Kembang Jelita 2 / VI 23 "Katanya, Lau Cong-bin bertekad menggencet Bu Sam-kui di San-hai-koan
sebagai pelampiasan kejengkelannya ke pada
Nona Tan. Seperti kita ketahui, Si Hidung Belang
itu sebenarnya sangat menginginkan Tan Wanwan, dan berhasil menyekapnya. Tetapi selama
dalam penyekapan itu, kabarnya ia tidak pernah
berhasil menyentuh Tan Wan-wan biarpun
cuma dengan ujung jarinya. Harga dirinya lebih
terpukul lagi, katanya... tapi sekali lagi ini cuma
kabar angin lho......katanya.... katanya..."
"Saudara In, kau biasanya bicara dengan
tegas, singkat dan jelas, kenapa sekarang
bicaramu plegukan macam ini?"
"Maaf, Cong-peng. Katanya Tan Wan-wan
setiap kali menolak ajakan Lau Cong-bin, Tan
Wan-wan selalu membandingkan Lau Cong-bin
yang gembrot dan jelek itu dengan Bu Sam-kui
yang ramping dan tampan. Tetapi ini cuma
kabar angin lho.." masih saja In Ka-peng
bersikap sungkan. Dulu sebelum runtuhnya dinasti Beng,
kedok Tan Wan-wan sebagai mata-mata Pelangi
Kembang Jelita 2 / VI 24 Kuning yang diselundupkan ke istana keburu
dilucuti oleh Puteri Tiang-ping. Untung Puteri
Tiang-ping menaruh belas kasihan karena
mengetahui riwayat Tan Wan-wan yang penuh
kepahitan, maka Puteri Tiang-ping hanya
mengeluarkan Tan Wan-wan dari istana ke
suatu tempat tersembunyi. Tidak dibunuh, asal
tidak lagi berdekatan dengan Kaisar Cong-ceng
dan mendapat bocoran rahasia kerajaan. Tetapi
rupanya persembunyian itu diketahui oleh Bu
Sam-kui yang sudah lama tergila-gila kepada
Tan Wan-wan, padahal waktu itu Bu Sam-kui
sudah punya kedudukan strategis sebagai
penjaga San-hai-koan. Untuk "menenangkan"
Bu Sam-kui, Tan Wan-Wan pun dijanjikan akan
diberikan kepada Bu Sam-kui untuk menjadi
isterinya. Sayang, sebelum janji itu terwujud,
Kotaraja Pak-khia sudah direbut oleh kaum
Pelangi Kuning. Tan Wan-wan menjadi tokoh
Pelangi Kuning yang dihormati karena jasabesarnya, Bu Sam-kui tetap berada di bawah
bendera Tit-goat-ki (bendera dinasti Beng) dan
Kembang Jelita 2 / VI 25 terpencil sendirian di Pak-khia, terjepit di
antara kekuatan-kekuatan besar.
Kini urusan hubungan Tan Wan-wan dan Bu
Sam-kui tiba-tiba menjadi penting kembali
karena pertaruhannya menyangkut nasib
seluruh negeri. Sesuatu yang barangkali tak
terjangkau oleh pikiran Lau Cong-bin yang
memang malas berpikir itu.
Ada sesuatu yang menggigit hati Helian
Kong, membayangkan betapa sakit hati Tan
Wan-wan diperlakukan seperti benda mati yang
dipindah-pindah tangankan ke sana ke mari.
Nemesis 1 Gento Guyon 15 Sang Pembantai Warisan Kitab Pusaka 2

Cari Blog Ini