Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu Bagian 4
yang wajib diisi saat kita menggunakan ruangan klub, entah
untuk kegiatan pribadi maupun untuk bersih-bersih seperti
yang kulakukan saat ini. Seperti tiga hari sebelum?nya,
selembar amplop hitam sudah me?nunggu di sana. Aku tidak
bisa menahan senyum. The Judges benar-benar pamer.
Berhubung ruangan klub selalu dikunci, demikian juga laci,
dengan adanya amplop yang diletakkan di sana berarti
mereka memiliki akses ke mana pun di sekolah ini.
Tapi hari ini isi undangannya agak berbeda.
SELAMAT! Anda lolos ke babak keempat seleksi anggota The Judges,
organisasi rahasia yang menguasai Sekolah Harapan
Nusantara! Hari ini adalah hari penentuan.
Begitu bel masuk berbunyi, datanglah ke perpustakaan
untuk melanjutkan episode tadi malam.
Jangan beritahu siapa-siapa.
Tertanda, Hakim Tertinggi The Judges
PS: Dilarang membawa ponsel dan alat komunikasi lain?
nya dalam ujian. 236 Isi-Omen3.indd 236 Saat ini? Ini berarti kami semua harus bolos? Gawat,
aku kan tidak pernah bolos sebelumnya. Semoga saja
anak-anak The Judges itu memang cukup berkuasa untuk
meloloskan kami dari hukuman guru piket yang kegalak?
annya berbanding lurus dengan kekriboannya.
Namun undangan hari ini benar-benar bikin pe?nasa?r?
an. Hari penentuan? Jelas, setiap tahun anggota baru
terpilih adalah enam orang. Tanpa menghitung Helen
yang tidak muncul semalam, kini kami memang hanya
bersisa enam orang. Apa ini berarti hari ini adalah hari
pe?resmian kami sebagai anggota-anggota baru The
Judges? Tapi, kalau begitu, apa maksudnya "melanjutkan epi?
sode tadi malam"? Lokasi pertemuan pun diadakan di
perpustakaan, tempat terakhir kami berkumpul semalam
(kalau dipikir-pikir, untung tidak dilanjutkan di toilet
cowok. Serius deh, tempat itu benar-benar pesing. Aku
sampai harus bernapas dengan mulut supaya bisa tetap
hidup). Memangnya ada apa ya?
Oke, tidak ada gunanya bertanya-tanya dan membuat
asumsi tanpa dasar. Lebih baik aku langsung pergi ke
sana dan mencari tahu apa yang harus kami lakukan...
Tunggu dulu. Kenapa rasanya kali ini ada sesuatu yang
buruk yang akan terjadi? 237 Isi-Omen3.indd 237 Erika Guruh, X-E "ERRRIKA!" Sumpah, belakangan ini aku benci banget mendengar
panggilan itu. Apalagi di saat-saat seperti ini. Maksudku,
di saat aku sedang meloncat keluar dari kelas melalui
jendela dengan gaya mirip Spider-Man. Nyaris saja aku
terjungkal dengan gaya tak wajar yang bisa membuatku
patah leher?hal yang bakalan sangat memalukan karena
jarak dari jendela ke lantai tidak sampai satu setengah
meter. Semua ini lantaran panggilan yang dilakukan
dengan suara membahana itu.
"Errrika, mau kabur ke mana kamu? Pelajaran sudah
mau dimulai!" "Saya kebelet, Pak!" Entah kenapa, itulah alasan yang
selalu kuucapkan kalau ketangkap basah sedang berada
di luar kelas. Kali ini poseku juga mendukung ber?hubung
aku sedang jongkok. "Udah nggak tahan lagi! Rasa?nya
ginjal saya mulai sakit..."
Si Rufus menatapku dari balik poni kribonya dengan
muka tidak senang. "Dari tampangmu, kelihatan banget
kamu mau bolos." 238 Isi-Omen3.indd 238 "Nggak, Pak!" seruku sambil memasang wajah ter?sing?
gung. "Emangnya Bapak kira saya murid macam apa?"
Mata si Rufus menyipit. "Murid yang tidak bisa diper?
caya." Cih. Benar-benar sebuah penghinaan. Tapi kalau
dipikir-pikir lagi, ada benarnya juga sih. Ya sudahlah, tak
akan ku?debat. "Pak, saya pergi dulu, ya!"
"Tunggu dulu. Kamu mau ke mana, Errrika?"
Dasar guru lintah. Nempel saja kayak prangko. Mung?
kin lebih baik kuceritakan saja alasan sebenarnya. Siapa
tahu dia bisa ditakut-takuti dengan nama The Judges.
"Begini lho, Pak. Saya diundang untuk menghadiri acara
seleksi The Judges..."
"Ah, bohong kamu!" seru si Rufus kaget. "Tidak mung?
kin!" Dasar guru kurang ajar. "Serius, Pak! Ini buktinya, saya
dapet undangan item!"
Selama dua detik si Rufus memandangi undangan hi?
tam yang kuserahkan padanya. "Astaga, Errrika, kamu
curi undangan ini dari mana?"
Guru ini benar-benar... arghhh! "Bapak percaya atau
nggak, pokoknya saya mau pergi. Jangan tahan-tahan
saya, Pak. Saya mau tunaikan kewajiban saya sebagai
salah satu murid yang dianggap paling oke di sekolah
ini." Sial, guru itu bergidik! Memangnya ucapanku menjijik?
kan, ya? "Begini saja, saya ikut kamu ke tempat pertemuan?nya.
Kalau kamu memang diterima di sana, saya akan
melepaskan kamu." Sekarang giliranku yang menatap si guru kribo dengan
239 Isi-Omen3.indd 239 curiga. "Bapak pasti cuma mau ikut-ikut meeting organi?
sasi rahasia itu, kan?"
Eh, gila. Wajah si Rufus jadi merah. Huahahaha.
"Ya udah, Pak. Boleh deh, Bapak ikut, selama Bapak
nggak bikin malu saya." Akhirnya, aku punya kesempatan
untuk mengucapkan kata-kata ini juga pada si Rufus.
Dengan girang si Rufus menguntitku menuju perpus?
taka?an. Ah, sudahlah, mungkin guru piket ini lagi bosan.
Ada bagusnya juga dia ikut. Mungkin setelah ke?temu
anak-anak The Judges yang belagu-belagu, dia akan lebih
menghargai Erika Guruh yang selama ini selalu down to
earth. Sejujurnya, aku heran banget dengan pertemuan kali
ini. Selain tempatnya yang rada aneh (memangnya apa
yang mau kami lakukan di perpustakaan? Lomba baca
buku?), waktunya juga tidak wajar. Biasanya kan kami
melakukannya malam-malam supaya bisa melaku?kan
ujian tanpa ketahuan pihak-pihak lain yang tidak
bersangkutan. Kenapa tiba-tiba sekarang dilakukan pagipagi begini? Apa kini mereka mau kami melakukan
sesuatu di depan publik? Ah, tidak mungkin. Dibanding
tempat-tempat lain di sekolah, saat ini per?pustakaan
adalah tempat yang paling sepi.
Tapi, aku curiga dengan kata-kata "hari penentuan".
Yang benar saja. Kalau info dari Daniel benar, ini berarti
calon-calon yang tersisa adalah anak-anak yang akan di?
resmikan sebagai anggota The Judges. Lalu kenapa masih
ada "hari penentuan"? Dan apa pula artinya "melanjut?
kan episode tadi malam"? Apa mereka kira kami sedang
main sinetron? Kami melewati ambang pintu perpustakaan, dan sesaat
240 Isi-Omen3.indd 240 langkahku tertahan. Aku langsung terbayang Dedi yang
berjalan terseok-seok melewati ambang pintu, dahinya
yang lebar ditancapi paku sehingga tampak mirip dengan
bodi landak, sementara tubuh sebelah kirinya kejangkejang bagai robot yang rusak berat. Benar-benar mengeri?
kan. Aku mengangkat wajah dan mataku bertabrakan de?
ngan Val yang sedang duduk di seberang Bu Mirna, sang
penjaga perpustakaan. Tangan Bu Mirna yang se?dang me?
nyampuli buku terhenti. Wajahnya yang tampak pucat
menyiratkan dia juga memikirkan hal yang sama dengan?
ku. Melanjutkan episode tadi malam. Apa ini berarti saat ini
kami akan ditugaskan mencari pelaku semua kejadian itu
dan menyelesaikan kasus ini?
"Ibu Mirrrna!" Aku tersentak kaget mendengar suara yang dimanismaniskan membahana dari sampingku. Ya ampun, aku
malu banget nongol bareng dengan guru yang centil
ini! "Apa kabarrr? Apa ada anak bermasalah yang tidak
mau mengembalikan buku?"
"Ah, Pak Rufus!" Nah, sekarang Bu Mirna yang ber?
gaya-gaya centil, tapi Val sama sekali tidak terlihat
tengsin. Malahan mukanya lempeng saja seperti biasa.
Memang harus kuakui, aku jauh lebih sensi daripada Val
yang selalu tenang dan kalem. "Pak Rufus memang baik
banget deh. Memang dari dulu saya sudah kepingin men?
cari anak yang tidak mengembalikan buku sejak pekan
MOS." Si Rufus langsung mendelik padaku dengan tampang
241 Isi-Omen3.indd 241 sok berwibawa. "Lagi-lagi kamu, Errrika! Setiap kali Bapak
menyinggung soal pelanggaran peraturan, selalu saja
nama kamu yang muncul!"
Ups. Yah, inilah alasanku selalu menghindari perpus?
taka?an. Bukan karena aku lupa mengembalikan buku,
tapi masalahnya, buku itu rusak gara-gara botol air
mineral plastik yang kumasukkan ke dalam tasku bocor.
Ehm, sebenarnya botol itu pecah lantaran kuhantamkan
ke muka anak belagu teman sekelasku yang bernama
Anus (oke, sebenarnya itu hanya nama panggilan, tapi
me?nurutku pantas kok dengan orang yang menyandang?
nya). Tapi tetap saja, aku kan tidak tahu perpustakaan
menuntut buku mereka harus dikembalikan, tidak peduli
buku itu sudah basah dan kuyu laksana sayur asin yang
direndam kelamaan. Untunglah pembicaraan yang menyudutkanku ini men?
dapat interupsi dengan kemunculan orang-orang yang
lain. Yang pertama adalah Rima, yang langsung me?
nyebab?kan Bu Mirna nyaris jantungan dan Rufus men?
jadi rada pucat, lalu Daniel yang nyaris saja kabur lagi
lantaran ketahuan datang terlambat (kalau tidak datang
telat, dia pasti sudah tertangkap basah waktu kabur dari
kelas denganku). OJ tiba tak lama setelah Aria?keduanya
mengaku minta izin keluar dari kelas dengan alasan mau
ke toilet. Kira-kira sama seperti alasanku, hanya saja
mereka keluar dari kelas dengan cara manusia biasa yang
membosankan, sementara aku keluar dengan gaya SpiderMan.
Oke, semua calon anggota sudah tiba?kecuali Helen
yang kayaknya memang berniat mangkir untuk selama?
nya dari acara-acara beginian. Si Rufus tampak sangsi
242 Isi-Omen3.indd 242 dengan kemunculan anak-anak yang sepertinya tidak
mengesankan baginya. "Yang beginian tidak bisa jadi anggota organisasi raha?
sia!" celetuknya. "Apalagi kamu, Daniel. Mungkin undang?
?an yang kamu terima salah alamat. Lebih baik kamu pergi
saja sebelum diusir."
"Enak aja si Bapak!" cetus Daniel dengan muka bete.
"Asal tau aja ya, Pak, saya ini cowok yang paling diidamidamkan di seluruh sekolah ini!"
"Aduh," cela si guru kribo, "kalau saya sih tidak akan
meng??izinkan anak perempuan saya pacaran dengan
kamu!" "Saya kan nggak punya anak perempuan!" protes
Daniel. "Bahkan Bapak belum punya tanda-tanda mau
kawin! PDKT sama cewek aja nggak."
"Saya tidak perlu kawin untuk punya anak," kata si
Rufus pongah. "Hush, Pak Rufus!" ucap Bu Mirna tersipu-sipu. "Jangan
ngomong seperti itu di depan anak-anak kecil ini!"
"Bener, Pak!" sambungku penuh semangat. "Jangan
cekokin kami yang masih muda, imut, dan innocent ini
dengan ajaran-ajaran sesat dan nggak bermoral dong!"
"Bukan begitu, Errrika!" Si Rufus berusaha membela
diri dengan wajah malu-malu kribo. "Maksud saya, kali?
an semua itu anak-anak saya. Sebagai guru, saya anggap
kalian semua anak-anak saya."
"Yah, Pak," celetuk OJ. "Saya malu kali punya bapak
yang kerjanya malakin anak-anaknya sendiri. Bapak sadar
nggak gaji Bapak siapa yang bayar? Ya kami-kami juga,
anak-anakmu ini, Pak!"
"Bener, Pak!" timpal Aria. "Kalo Bapak emang nganggap
243 Isi-Omen3.indd 243 kami sebagai anak-anak Bapak, cepet kasih kami uang
jajan! Saya belum sarapan, Pak! Beri anak-anakmu ini
makan!" Si Rufus tampak bohwat alias tak berdaya dikepung
anak-anak berlidah tajam dan berotak cemerlang seperti
kami-kami ini. Perlahan-lahan idealismenya yang keren
sebagai guru mulai terkikis oleh rengekan-rengekan me?
nyebal?kan yang sebenarnya memang cukup masuk
akal. "Sudahlah, jangan meributkan hal-hal yang tidak perlu
di saat-saat seperti ini." Dasar guru licik, berani-be?rani?
nya mengalihkan topik dengan paksa! "Omong-omong,
mana anggota The Judges yang asli? Jangan-jangan
kalian cuma ditipu!"
Kurang ajar. Guru ini masih saja mengira kami cuma
berkhayal soal dipilih menjadi anggota The Judges. Me?
mang?nya menjadi anggota organisasi itu sebegitu keren?
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya sampai-sampai kami semua jadi delusional?
"Ada apa ini, Dick?"
Kami semua berpaling ke arah pintu saat Putri Badai
masuk bersama pacarnya yang mirip bajingan, Dicky
Dermawan. Buset, hanya dengan melihat tampang cowok
itu, tinjuku jadi gatal-gatal. Habis, cowok itu benar-benar
bikin naik darah dengan senyumnya yang palsu dan
lagaknya yang sok jagoan. Rasanya hatiku belum puas
kalau belum mencicipi darah si sialan ini.
Ah, sial. Aku mulai kedengaran seperti psikopat lagi.
Aku harus semedi atau apalah untuk mengenyahkan pe?
rasa?an gelap tak menyenangkan ini. Kosongkan pikiran,
kosongkan pikiran.... Sial, jadi ngantuk! 244 Isi-Omen3.indd 244 "Kenapa kalian semua ada di sini?" Suara galak Putri me?
nyadarkanku. "Siapa yang menyuruh kalian ber?kumpul di
sini?" Lho? "Lalu emangnya ini apa?" Aku melambai-lambaikan
undang?anku di depan muka si putri es. "Tiket nonton
Lenong The Judges?" Putri menyambar undangan itu dariku dengan kecepat?
an yang membuatku agak kaget. Wajahnya berubah saat
membaca undangan itu. "Ini bukan undangan dariku," katanya dengan suara
dingin dan berbahaya. Matanya yang bersinar setajam
laser beralih pada pacarnya yang tampak tegang. "Dicky,
ini perbuatanmu?" Tiba-tiba seseorang didorong ke dalam perpustakaan.
Kami semua heran mengenali orang itu adalah Helen, si
cewek paduan suara yang rambutnya acak-acakan seolaholah baru saja dijambak dan wajahnya tampak marah
serta ketakutan. Lebih mengherankan lagi, tahu-tahu ada
lagi yang menyelonong ke dalam perpustakaan, m?e?
ngunci pintu, dan mengantongi kunci.
Orang yang menyelonong dan mengunci kami di
dalam perpustakaan itu adalah Lindi, si feminin yang
rupanya sanggup bergerak dengan sangat gesit.
Semua kejadian itu begitu cepat sehingga tak ada satu
pun di antara kami yang bereaksi. Ya, aku tahu, memang
bodoh banget. Masalahnya, kami benar-benar bingung
dengan semua kejadian ini. Undangan aneh dengan
pengirim tidak jelas, pertemuan di perpustakaan untuk
"melanjutkan episode tadi malam", munculnya Helen
yang tampak seperti diseret dengan paksa supaya mau
245 Isi-Omen3.indd 245 datang ke sini, dan kini kami semua dikunci di dalam
perpustakaan yang membosankan ini.
"Lindi?" Si putri es akhirnya menampakkan emosi
yang lebih manusiawi juga saat ini. Tampangnya yang
dingin menyiratkan keheranan yang tak bisa ditutuptutupi. "Ada apa ini? Kenapa anak yang sudah dieli?
minasi ini dibawa ke sini?"
Namun Lindi sama sekali tidak memedulikan Putri.
Dia menoleh pada Dicky dan menatap cowok itu dengan
wajah penuh tekad yang membuat cewek lemah lembut
itu tidak terlihat lemah lembut lagi. "Oke?"
Seperti dikomando, kami semua ikut memandangi
Dicky yang balas memandang Lindi sambil mengangguk.
Baru pada saat itulah kami menyadari, di ruangan itu,
hanya Dicky dan Lindi yang membawa ransel, karena
pada saat itu juga keduanya mengeluarkan pistol paku
dari dalam ransel milik masing-masing.
"Apa-apaan ini?" bentak si Rufus. "Dicky, letakkan
benda berbahaya itu..."
"Jangan mendekat kalau Bapak nggak ingin mati,"
ucap Dicky dengan suara rendah. Wajah ramahnya men?
dadak hilang, kini berganti dengan wajah aslinya yang
keji dan mengerikan. "Juga yang lain-lain, harap jangan
bertindak yang aneh-aneh. Aku nggak segan-segan mem?
bunuh kalian semua."
Putri bergerak maju, dan pistol Dicky langsung diarah?
kan ke wajah Putri. "Termasuk kamu, Put. Jadi sebaiknya
kamu diam di tempat."
Putri tampak tertegun, tapi entah kenapa, aku malah
ter?senyum senang. Semoga ini bukan karena aku sama
psikopatnya dengan mereka.
246 Isi-Omen3.indd 246 "Jadi begitu. Kalian berdualah pelakunya." Aku menye?
ringai. "Betul sekali," sahut Dicky. "Tapi sayang sekali, kalian
tahu saat semua sudah terlambat."
"Dicky" Putri tergagap. "Kamu yang melakukan se?
mua ini? Kenapa?" Dicky hanya memandangi Putri dengan sinar mata
aneh. Sepertinya dia sama sekali tidak berniat menjawab
pertanyaan Putri. "Put," Daniel tiba-tiba angkat bicara, "gue nggak tau
apa motif Dicky mencelakai Hadi dan Ricardo, ataupun
kenapa dia ingin menghancurkan The Judges, tapi me?
nurut penyelidikan gue," cowok itu diam sejenak, lalu
ber?kata penuh sesal, "sori, Put, Dicky sebenarnya udah
lama menjalin hubungan dengan Lindi. Mereka, ehm,
selingkuh dari elo dan King."
Menurut penyelidikannya? Dasar anak buah sialan!
Kenapa Daniel tidak memberitahuku selama ini? Kalau
dia cerita-cerita, sudah pasti aku bakalan bikin teori kon?
spirasi baik yang masuk akal maupun tak masuk akal
tentang mereka. Siapa tahu salah satu dari teori-teori itu
bisa mendekati kenyataan.
"Apa!" Malangnya si putri es. Wajahnya yang biasa dingin
kini memucat karena shock.
"King gampang dibodohi, karena dia cinta pada Lindi
dan sama sekali nggak menaruh curiga." Daniel melanjut?
kan ocehan sok tahunya. "Tapi elo jauh lebih cerdas. Itu
sebabnya anak-anak cowok kelas sebelas sekongkol untuk
membantu menutupinya. Dari dulu gue udah denger
247 Isi-Omen3.indd 247 gosip soal Dicky sering selingkuh dari elo, Put, tapi
selama ini gue nggak pernah menaruh perhatian."
Putri berpaling pada Dicky dan Lindi. Semua sikap di?
ngin dan wibawanya sudah lenyap saat ini. "Apa yang
dia katakan itu benar, Dick?"
Wajah Dicky tetap datar meski rahasianya sudah
dibeberkan di depan umum. "Betul sekali."
"Tapi..." Putri tergagap sejenak. "Tapi kenapa?"
"Kenapa? Kamu masih bertanya?" Dicky tertawa sinis.
"Kamu memang cantik, Put, tapi kamu hanya boneka
di?ngin dan tak berperasaan. Awalnya aku memang
tergila-gila padamu, tapi saat kita jadian, aku baru sadar
siapa kamu sebenarnya. Kamu hebat sebagai partner,
kamu membantuku mencapai kedudukan yang kini
kumiliki, tapi tetap aja, kamu itu membosankan!"
Putri tampak terguncang mendengar pengakuan Dicky
yang bahkan terdengar menyakitkan di telingaku.
"Sementara Lindi jauh lebih manusiawi dibanding
kamu. Dia tempat curhatku, dia tahu semua dilema dan
pen?deritaanku, dia juga bisa menyenangkan hatiku. Dia
jauh lebih baik daripada kamu, dan aku jauh lebih
bahagia bersamanya daripada denganmu!"
"Tapi..." Rasanya menyedihkan, melihat cewek yang
biasanya dingin dan kuat itu kini menahan air mata
sampai-sampai seluruh tubuhnya gemetaran. "Kamu kan
hanya perlu bilang putus denganku. Untuk apa kamu
mencelakai anak-anak yang nggak bersalah?"
"Bisakah?" Dicky tersenyum sinis. "Apa kamu mau ku?
putusin? Tanpa aku, kamu juga bukan siapa-siapa! Semua
orang mengira kamu berasal dari keluarga kaya. Cih,
yang benar aja! Keluargamu miskin dan hanya bisa
248 Isi-Omen3.indd 248 nebeng pada keluargaku! Dan kalau aku memutuskan
kamu lalu pacaran dengan Lindi, semua orang akan me?
nyalahkanku karena sudah mencampakkan Putri Badai
yang agung. Semua yang kudapatkan bakalan hancur,
termasuk kedudukanku di The Judges. Aku nggak akan
membiarkan itu terjadi. Satu-satunya cara adalah melaku?
kan semua ini. Melakukan kejahatan yang sadis terhadap
calon-calon anggota The Judges yang menjadi tumpuan
harapan sekolah kita dan menimpakan semua kejahatan
itu padamu!" Selama satu detik yang panjang, aku berani bersumpah
tak ada yang bernapas. Serius, semua ucapan itu begitu
keji. Sulit rasanya membayangkan ada cowok yang sang?
gup memiliki pikiran yang begitu licik dan mengerikan
terhadap cewek yang begitu menyayanginya dan semua
orang lain yang sama sekali tidak bersalah dalam masa?
lah ini (termasuk aku, padahal biasanya aku selalu ber?
salah). Bahkan si kribo Rufus yang sudah biasa meng?
hadapi anak-anak nakal pun sekarang kehabisan
kata-kata. "Lalu," suaraku yang cablak memecahkan keheningan,
"kenapa harus dilakukan pagi-pagi buta begini?"
"Ini bukan pagi-pagi buta," kata Dicky dengan tam?
pang heran. "Dan kami harus bertindak cepat. Para polisi
sudah mencurigaiku semalam. Kalau bukan karena desak?
an para pengacara ayahku yang superngotot, sudah pasti
aku ditahan polisi. Sudah waktunya kami menyelesaikan
rencana ini dan menikmati akhir yang bahagia selama?
nya." Cuma orang bodoh yang mengira mereka bisa men?
dapatkan akhir yang bahagia selamanya. Dunia ini tidak
249 Isi-Omen3.indd 249 sempurna, men. Hidup akan selalu ada masalah, kita
harus selalu berjuang, dan orang-orang menyebalkan
selalu berusaha menghalangi kebahagiaan kita. Itu sudah
kodrat kita sebagai manusia. Kecuali mereka mengira
mereka adalah tokoh-tokoh dalam dongeng Disney (tidak
termasuk Shrek lho, soalnya dia bukan anggota Disney
Club). "Jadi, kalo lo mau rencana lo berhasil, semua orang di
ruang?an ini, orang-orang yang udah tau rencana lo,
nggak boleh hidup dong," ucapku ringan.
Dicky tersenyum tipis. "Begitulah kira-kira. Kalian se?mua
akan mati, dibunuh oleh Putri Badai si psikopat gila, dan
kami berdua adalah pasangan yang berhasil ber?tahan
hidup. Aku akan menjadi cowok malang yang di?khianati
oleh pacarnya, dan Lindi akan menghiburku. Se?mua orang
akan mendukung hubungan kami ber?dua."
"Lalu King gimana?" tanya OJ yang, kuperhatikan, dari
tadi mulutnya terbuka lebar saking shocknya.
"Siapa sih yang peduli pada anak cupu begitu? Sudah
sewajarnya dia ditinggal Lindi demi aku. Dia tidak
pernah peduli dengan kebutuhan Lindi, sama seperti
Putri tidak pernah peduli dengan kebutuhanku."
"Benar-benar gila!" desis Pak Rufus. "Kamu sudah gila,
Dicky! Tapi asal tahu saja, rencanamu itu tidak sem?
purna. Apa kamu lupa? Bu Mirna juga punya kunci
ruang?an ini..." Suara si Rufus lenyap saat melihat Dicky yang berdiri
di dekat meja Bu Mirna menggoyang-goyangkan seren?
ceng? kunci. Saat kami menoleh pada Lindi, cewek itu
juga memegangi kunci dengan tangannya yang tidak
memegang pistol paku. 250 Isi-Omen3.indd 250 "Kalian semua terjebak di sini," ucap Dicky kejam,
"dan kalian akan mati satu per satu. Pertanyaannya, si?
apa yang mau mati duluan?"
Pistol pakunya beralih pada salah satu di antara kami.
"Gimana kalo kamu duluan?"
251 Isi-Omen3.indd 251 Valeria Guntur, X-A PERPUSTAKAAN adalah salah satu tempat yang paling
aman di sekolah kami. Ruangan itu terletak di lantai dasar gedung lab, dipe?
nuhi rak-rak yang mencapai langit-langit setinggi tiga
meter, koridor-koridornya terang dan lebar. Di bagian
depan perpustakaan, tak jauh dari meja kepala per?pus?
taka?an, terdapat sebuah lobi berisi banyak meja dan
kursi untuk anak-anak yang belajar atau mengerjakan
tugas. Tidak ada pintu belakang, jendela-jendela tidak
bisa dibuka, dan ventilasi terletak sangat tinggi, sehingga
tidak ada kemungkinan bagi seorang anak untuk menye?
lundupkan buku ke luar dari tempatnya.
Dan kini, tidak ada jalan bagi kami untuk menyelinap ke
luar perpustakaan. Satu-satunya jalan hanyalah me?lalui
pintu depan, sementara dua kunci yang ada di?pegang oleh
Dicky dan Lindi. Pistol paku Dicky tertuju pada orang yang
paling histeris di antara kami, yaitu Helen.
"Jangan aku!" jerit Helen seketika, sementara air mata?
nya mulai berlinang di pipi. "Plis, aku kan nggak salah
apa-apa. Yang lain aja, ya. Pokoknya jangan aku!"
Situasi ini benar-benar gawat.
252 Isi-Omen3.indd 252 "Situasi ini benar-benar bodoh," bisik Erika di samping?
ku. "Kita semua kan jago-jago. Kenapa kita harus di?
tawan sama mereka? Kita bisa bagi dua kelompok untuk
ngeroyok mereka. Berhubung Daniel dan OJ mungkin
segen mukul cewek, biar mereka yang urus Dicky. Suruh
mereka minta bantuan si Rufus juga. Biar si Lindi jadi
urusan kita berdua."
Aku menimbang-nimbang sejenak. Memang benar kata
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Erika, rasanya keterlaluan ditawan begini. Kami bukan
anak-anak tak berdaya. Kami sudah menghadapi banyak
musuh yang lebih berbahaya dan mengancam jiwa.
Mana mungkin kami mau diam-diam saja dan berakhir
mati konyol? Masih mending kalau kami bakalan
dilepaskan asal kami mau menuruti mereka. Namun dua
penjahat bodoh itu sudah mengatakan bahwa kami tidak
akan dibiarkan hidup untuk membongkar kejahatan
mereka. Jadi untuk apa kami menunggu mati?
"Oke," akhirnya aku menyahut pelan. "Ayo, kita kasih
tau Daniel dan OJ..."
Sebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku, men?
dadak tubuhku direnggut dengan kasar.
"Dia aja!" seru Helen dengan suara histeris yang ter?
dengar tak wajar sambil menunjuk-nunjuk pelipisku. Oh,
God, sepertinya cewek ini mendadak berubah jadi
sinting! "Dia lebih tepat dijadiin korban pertama. Dia
kan nggak menonjol sama sekali! Kalo mati juga nggak
ada yang kehilangan!"
"Dasar kurang ajar..."
Erika menerjang ke arahku?atau tepatnya, ke arah
Helen?tapi Dicky membentak. "Jangan bergerak atau
kutembak semuanya!" 253 Isi-Omen3.indd 253 Erika mengertakkan gigi, tapi tidak berani mengambil
risiko lantaran moncong pistol paku Dicky diarahkan
padaku. "Helen, Helen." Dicky tertawa kecil. "Hanya orang
bodoh yang mengira Valeria Guntur bukan apa-apa dan
tidak menonjol. Apa kamu tahu bahwa sebenarnya dia
yang paling berkuasa di antara kita semua? Ayahnya
adalah Jonathan Guntur!" Oke, aku tidak tahu apakah
harus kagum pada pengetahuan Dicky atau sebal karena
orang ini menganggapku penting karena nama ayahku.
"Lagi pula, dia bukannya nggak bisa apa-apa. Dia ini
peraih rangking dua di seluruh angkatan kalian, salah
satu atlet atletik terbaik di sekolah kita, sekaligus anggota
baru yang paling diharapkan di Klub Drama."
Kini aku melongo. Aku memang memiliki reputasi
tercatat sebagai peraih rangking dua dan salah satu atlet
terbaik, jadi kalau ada yang menggali-gali informasi
tentang diriku, tak sulit bagi mereka untuk mengetahui
hal itu. Tapi aku sama sekali tidak merasa sebagai
anggota baru paling diharapkan di Klub Drama. Sejauh
ini aku hanya pernah kebagian peran sebagai peri Puck
dalam drama A Midsummer Night?s Dream.
"Tapi justru itu, lebih baik dia dilenyapkan paling awal.
Ini akan jadi contoh yang bagus bahwa kita nggak
mandang latar belakang dan prestasi seseorang. Dimulai
dari dia, kita akan bunuh satu demi satu, sampai tak bersisa
lagi halangan di antara aku dan Lindi," sambung Dicky.
"Kami nggak menghalangi kalian kok," sela Helen
cepat-cepat. "Kalo kalian mau jadian, ya silakan. Kami
malah akan mendukung dengan sekuat tenaga. Benar
kan, Teman-teman?" 254 Isi-Omen3.indd 254 Tak ada satu pun yang berniat menjawab ajakan Helen
yang pengecut banget. Malahan Erika langsung berteriak,
"Hei, goblok! Kenapa harus dibunuh satu per satu? Kalo
mau bunuh, ayo, bunuh semuanya aja sekalian! Atau elo
nggak sanggup, gitu?"
Aku tahu Erika sedang memancing emosi Dicky. De?
ngan membuatnya marah dan menyerang secara mem?
babi buta, kami punya kesempatan menang lebih besar.
Yah, ini rencana dengan risiko besar, tapi Erika lebih
menyukai penyelesaian cepat dan tegas seperti itu dari?
pada negosiasi yang lama, panjang, dan belum tentu
berakhir menyenangkan. Sayangnya, Dicky tidak terpancing. Cowok itu malah
menyunggingkan senyum keji. "Apa asyiknya cepatcepat? Justru aku ingin menikmati semua ini sebaik
mungkin. Sudah lama aku merencanakan semua ini, dan
sudah lama aku mengidam-idamkan kebebasan ini. Mana
mungkin aku mau menyudahi semuanya dengan gam?
pang? Aku ingin kamu merasakan semua yang kurasakan
selama ini." Ucapan terakhir itu tentunya tertuju pada
Putri, karena tatapan tajam Dicky melekat pada?nya. "Aku
ingin kamu juga merasakan segala ketidak?bahagiaan yang
kurasakan selama ini. Tahu nggak, Put, semua nyawa
yang mati hari ini, semuanya karena kamu. Kamu yang
menyebabkan mereka mati, bukan aku!"
Oh, God. Cowok ini benar-benar gila! Gawatnya, Lindi
malah menatap si psikopat gila dengan tatapan memuja.
Meski tak adil untuk Putri Badai, harus kuakui, pasangan
ini memang serasi banget.
"Selamat jalan, Valeria Guntur. Ingatlah, kematianmu
255 Isi-Omen3.indd 255 ini karena Putri Badai. Jadi, kalau mau balas dendam,
carilah dia di akhirat nanti."
Aku agak kaget karena Dicky langsung menembakku
tanpa memberiku kesempatan bicara lagi. Bukannya aku
punya kata-kata terakhir untuk diucapkan sih, dan aku
juga tahu aku tidak punya apa-apa, jadi tidak perlulah
surat wasiat atau sejenisnya. Tapi etisnya kan aku harus
meninggalkan pesan, kesan, dan kalau perlu, foto kenang?
an. Meski tidak siap, dalam sepersekian detik itu, aku
berusaha menghindar. Sialnya, ada Helen yang
memegangiku erat-erat seakan sengaja menjadikanku
tumbal. Kalau aku terus memaksa, bisa-bisa dialah yang
menjadi sasaran paku-paku itu. Karena aku tidak jahat
seperti dia, jadilah aku menariknya dan menjatuhkan
diri bersama-sama. Paku melesat melewati bagian atas
kepalaku. Hampir saja. Namun itu tidak berarti semuanya berakhir. Saat aku
dan Helen sedang jongkok di lantai dengan muka
blo?on, Dicky menembak lagi. Dalam kondisi digelayuti
Helen yang ketakutan, aku tidak mungkin bisa meloncat
selayak?nya katak seperti yang biasanya kulakukan. Aku
hanya bisa memandangi tiga batang paku yang meluncur
berurutan ke arah wajahku seraya menunggu kilasan
adegan masa-masa bahagiaku melintas di depan mata.
Tidak tahunya, tak ada yang terjadi. Bukannya aku tak
punya masa-masa bahagia, karena belakangan ini, meski
hidupku susah, aku bahagia menjalaninya bersama Erika
dan Les. Mungkin kepercayaan tentang kilasan adegan
kehidupan melintas di depan mata sebelum mati itu
hanyalah mitos belaka. 256 Isi-Omen3.indd 256 Atau memang belum waktuku untuk mati.
Aku hanya melongo saat Daniel tiba-tiba meloncat ke
depanku dan menghalangi paku-paku itu dengan
tangannya. Oh, God, tangannya langsung tertancap pakupaku itu, bahkan satu di antaranya menembus telapak
tangan cowok itu! Padahal Daniel pianis berbakat!
Pada waktu sesingkat itu, langsung terjadi banyak hal.
OJ menyerang Dicky yang berdiri di depanku, sementara
Erika dan Pak Rufus menerjang ke arah Lindi di belakang
kami. Oke, aku ingin sekali menonton aksi Erika dan Pak
Rufus, duet yang tak kuduga akan pernah ada. Akan
tetapi OJ sendirian, sementara aku tahu, tanpa bantuan
Pak Rufus pun, Erika pasti sanggup melakukan apa pun
yang dia inginkan pada Lindi (mungkin menjambak dan
menonjoknya sebelum akhirnya merebut senjatanya)
meski hanya sendiri. Jadi kuputuskan untuk tidak
berdiam diri atau sekadar menangisi pengorbanan Daniel
untukku, melainkan ikut bertindak dan membantu OJ.
Dengan kasar kurenggut diriku dari Helen, lalu aku
bangkit berdiri dan ikut bergabung dengan OJ me?
nyerang Dicky. Dalam sepersekian detik, aku bisa melihat keraguan
Dicky, manakah lawan yang harus dirobohkannya
duluan. Sedetik kemudian, dia menembak bahu OJ. OJ
ber?usaha menghindar, namun gagal dan tubuhnya lang?
sung mental menabrak tembok. Menggunakan kesempat?
an sedetik saat Dicky dipenuhi rasa puas diri, kutendang
tangannya keras-keras dan senjatanya pun terpental
jatuh. Dicky berbalik dan berusaha mengambil kembali
sen?jatanya, tapi aku langsung menarik bajunya. Dicky
mem?berontak, membuat bajunya mulai sobek dan
257 Isi-Omen3.indd 257 peganganku terlepas, jadi aku pun menjambaknya. Oke,
pertarungan ini adalah pertarungan paling cupu dan
tidak keren yang pernah kujalani, tapi tetap saja, kalau
sampai dia lepas, kami semua akan celaka. Jadi aku akan
melakukan apa pun yang perlu kulakukan asal Dicky
tidak terlepas. Sayangnya, usahaku sia-sia. Rambut Dicky yang di?
minyaki membuat jari-jariku meluncur dari rambutnya,
sementara bajunya yang kutarik sobek seutuhnya. Sontak
Dicky membungkuk dan meraih senjatanya, tapi aku
tidak kalah cepat. Aku juga ikut meloncat ke arah yang
sama dengannya. Dicky menyundul rahangku sampaisampai bagian dalam pipiku tergigit, tetapi aku juga
tidak segan bermain kotor. Kusikut matanya sekuat
tenaga sampai dia meraung-raung. Ada rasa basah di
sikuku, menandakan cowok itu sempat mengeluarkan air
mata?atau barangkali darah. Meski kepingin banget bisa
melihat cowok itu dalam kondisi sedang menangis ka?
rena kesakitan, aku tidak sempat melirik. Dalam kondisi
kesakitan dan posisi tak enak, aku merangkak-rangkak
menuju senjata yang tergeletak di lantai dengan gaya
manis namun berbahaya. Dari gerakan menyenggolnyenggol di samping, aku tahu cowok itu sedang melaku?
kan hal yang sama denganku.
Aku bersorak dalam hati saat tanganku berhasil me?
nyentuh pistol paku itu duluan. Tetapi, sorakan itu ber?
ubah jadi jeritan dalam hati saat seseorang menginjak
kaki?ku. Aku mengangkat wajahku dan menemukan Helen
menunduk seraya memandangiku dengan wajah liar.
Hah? Kok bisa? Mata Helen melirik ke sampingku, ke arah Dicky.
258 Isi-Omen3.indd 258 "Lindi bilang, kalo gue berpihak ke elo, gue akan oto?
matis diangkat sebagai anggota The Judges."
"Iya," sahut Dicky yang masih mengerjap-ngerjapkan
matanya yang sakit. "Itu benar."
Helen mengeraskan injakannya pada tanganku, mem?
buat?ku merasakan kesakitan yang membutakan. Kurasa?
kan jeritan yang sedari tadi hanya bergaung dalam hati?
ku akhirnya berhasil lolos juga dari mulutku. Lalu, saat
pikiran dan tubuhku sedang dipenuhi rasa sakit, Helen
menendangku dan meraih pistol pakunya. Kurasakan
moncong itu menempel di pelipisku.
"Jangan cengeng! Ayo, bangun!"
Meski mauku tetap tepar di lantai dan memulih?kan
telapak tanganku dari rasa sakit yang amat sangat, ku?
paksakan diriku bangkit dan berdiri tegak. Mataku lang?
sung bertabrakan dengan Erika yang juga sedang di?
todong oleh Lindi yang wajahnya babak belur. Yah,
mana mungkin cewek lembek itu bisa selamat dari hajar?
an Erika? Tapi aku tidak menyangka dia sanggup me?
nundukkan Erika dan Pak Rufus sekaligus.
"Sori," ucap sobatku dengan wajah pucat dan suara
datar, jelas-jelas menyesali kegagalannya.
"Sama-sama," senyumku lemah.
Lindi mendorong Erika, dan kusadari sahabatku itu
berjalan tertatih-tatih. Spontan tatapanku turun ke ba?
wah, jatuh pada kakinya yang tertancap beberapa batang
paku, sementara aliran darah mengikuti setiap langkah?
nya. Oh, Erika! "Sakit?" bisikku saat kami digiring secara berdamping?
an. 259 Isi-Omen3.indd 259 "Sampe rasanya mau meraung-raung," geramnya per?
lahan. "Tapi gue nggak sudi kedengeran cecungukcecunguk ini. Nantilah kalo udah sendirian di dalam
toilet." Sohibku ini memang cewek paling tabah di dunia.
Kami dikumpulkan di pojokan terdalam perpustakaan
yang paling gelap dan suram. Lampu di dalam ruangan
tidak mencapai pojokan itu, dan cahaya yang ada hanya
berasal dari ventilasi di atas rak-rak buku.
"Kalian semua nggak apa-apa?" tanyaku prihatin pada
yang lain-lain. OJ memegangi bahunya yang terluka sementara Aria
berusaha membersihkan luka OJ. Pak Rufus tampak
tertelungkup tak berdaya di pangkuan Bu Mirna dengan
paku-paku di punggungnya bagaikan landak (bagaimana
benda-benda itu bisa menancap di situ, aku tidak bisa
membayangkan), sementara Daniel masih saja meme?
gangi tangannya yang berdarah. Rima duduk di samping?
nya, wajahnya yang tersembunyi di balik tirai rambut
tampak cemas dan khawatir.
"Lo nggak apa-apa, Niel?" tanyaku sambil berusaha
me?nyembunyikan rasa bersalahku. "Seharusnya lo nggak
usah ngambil risiko begini gede buat aku."
"Santai aja, Val," senyum Daniel. "Ini bukan apa-apa
kok. Kalo cuma buat nonjok orang, gue masih bisa kok.
Udah, nggak usah pasang muka sedih begitu. Gue jadi
tergoda buat tepuk-tepuk kepala lo, tapi takutnya nanti
kepala lo ikut ketancep paku."
Oke, sekarang aku jadi merasa benar-benar jahat. Ha?
bis, cowok ini memang baik banget. Meski aku sudah
menolaknya dengan dingin, dia tetap mengorbankan diri?
260 Isi-Omen3.indd 260
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya demi melindungiku. Bahkan, dalam kondisi terluka
begini, dia berusaha mengurangi rasa bersalahku.
Dan meski aku tergerak, perasaanku padanya sama
sekali tidak berubah. "Kalian semua benar-benar kepingin cari mati."
Aku menoleh, dan melihat mata Dicky yang ditutupi
darah tertuju padaku. Ah, sayang, ternyata dia bukan
me?nangis seperti harapanku. Malahan, wajahnya yang
biasanya ramah dan sok ganteng itu kini tampak geram
dan dipenuhi dendam. "Haha, malu lo! Babak-belur tuh, biarpun udah bawabawa senjata!" ejek Daniel, membuat wajah Dicky dan
Lindi langsung memerah. "Bener banget kata Erika. Lo
emang nggak sanggup menjatuhkan kami semua. Lain
kali, kalo mau cari lawan, tolong yang sepantaran sama
elo aja deh! Jangan malah mau ngejatuhin anak-anak
paling jagoan di sekolah ini!"
"Lo memang pandai berkoar-koar, Niel," dengus Dicky.
"Sial buat lo, semuanya udah berakhir. Gue nggak minat
bermain-main lagi. Gue akan bunuh kalian semua, di?
mulai dengan Valeria Guntur."
Pistol paku yang sudah diserahkan oleh Helen kembali
terarah padaku untuk entah keberapa kalinya. Kali ini aku
tidak bisa mengelak lagi berhubung kini aku terimpit di
antara anak-anak yang sedang duduk, sementara Lindi
yang memegangi senjata juga berdiri tak jauh dariku. Aku
tak akan bisa menghindar sama se?kali.
Jadi, hanya sampai di sinikah semuanya?
Tidak. Enak saja. Pasti masih ada jalan. Pasti ada celah
yang bisa kugunakan. Aku hanya perlu memutar otak
dan mencari kelemahan situasi ini...
261 Isi-Omen3.indd 261 Mendadak saja sebuah buku melayang, tepat mengenai
muka Dicky. Rupanya Putri Badai yang melakukannya,
yang kini sudah tersadar dari kondisinya yang sempat
shock hebat melihat pengkhianatan pacarnya. Lindi ber?
usaha menembak, tetapi beberapa buku lain dilemparkan
ke depannya dengan keras dan cepat. Sebelum orangorang lain tersadar dengan perubahan situasi ini, lagi-lagi
Putri bertindak bersama Aria. Keduanya mendorong salah
satu rak buku hingga roboh ke arah Dicky, Lindi, dan
Helen. Sayang, tiga penawan kami itu berhasil meng?
hindar dari serangan mendadak itu.
Akan tetapi, serangan itu tidak sia-sia. Berkat tindakan
Putri dan Aria, aku mendapat kesempatan untuk memper?
hatikan sekeliling kami. Rak-rak di sekeliling kami tidak
bisa melindungi kami dari para penyerang kami, soalnya
rak-rak itu tidak memiliki dinding pelapis bagian dalam
sehingga, tanpa buku-buku yang menempati rak itu, rakrak itu "tembus pandang" alias tidak memiliki peng?
halang dari sisi satu ke sisi lain.
Namun ada sedikit rak di dekat kami yang diperuntuk?
kan buku-buku impor hard cover. Rak-rak ini tidak hanya
memiliki dinding pelapis bagian dalam, melainkan juga
terkunci. Memang buku-buku impor hard cover itu
ringan-ringan, tetapi berada di dalam rak besar seperti
ini, sulit bagi kami semua untuk menggesernya.
"Rima, Bu Mirna, tolong saya!" teriakku.
Namun bukan cuma Rima dan Bu Mirna yang datang
me?nolongku, melainkan juga Aria dan Putri. Dalam
waktu singkat yang penuh perjuangan keras, kami ber?
hasil memindahkan rak besar itu dan menjadikan benda
itu dinding penghalang antara kami dan para penawan
262 Isi-Omen3.indd 262 kami. Sambil terengah-engah, kami berpandangan satu
sama lain. Untuk sementara, kami selamat.
"Kalian nggak akan selamanya berada di dalam situ!"
ancam Dicky dengan kemarahan yang jelas-jelas terasa
meski dia berusaha menahannya. "Sementara kami bisa
menunggu selama yang dibutuhkan."
Lagi-lagi kami semua saling berpandangan dengan
pucat. Kami sudah melawan mati-matian, melindungi
satu sama lain habis-habisan, tetapi Dicky benar. Kami
tak mungkin bisa bersembunyi selamanya di sini. Terlalu
banyak orang yang terluka. Tapi kami tak mung?kin bisa
keluar juga. Kami pasti akan disambut oleh pistol-pistol
paku yang tak akan berbelas kasihan pada kami.
Tapi, pada saat itulah, mendadak terdengar dobrakan
pintu dan teriakan yang terdengar lamat-lamat dari luar
perpustakaan. "Siapa yang ada di dalam perpustakaan? Tolong buka?
kan pintu!" 263 Isi-Omen3.indd 263 Rima Hujan, X-B AKU tidak pernah terbiasa dengan situasi yang begini
berbahaya. Pada dasarnya, aku adalah cewek yang lebih suka
meng??endap-endap dalam kegelapan dan, alih-alih me?
nyerang, aku akan menjauhi bahaya. Dalam sebuah
pertempuran, aku lebih suka menggunakan otak daripada
tenaga fisik. Dalam olahraga pun, aku jauh lebih ahli
dalam pertandingan catur daripada boling (ya, catur juga
olahraga, kan?). Terkadang aku bisa berlari dengan sangat
cepat, tapi saat mood-ku sedang jelek, bukannya berlari,
aku malah hanya akan melayang-layang tak jelas.
Intinya, aku tidak bisa menghadapi adegan kekerasan
dengan berani dan penuh aksi. Dalam kejadian terakhir
ini, rasanya aku hanyalah penonton yang tak diperhati?
kan semua orang. Hal yang bagus sebenarnya, karena
aku hanya akan membeku ketakutan dan menerima
nasib buruk yang dilimpahkan padaku. Tetapi, ada rasa
malu dan sedih karena tidak berguna pada saat se?mua
orang sedang sibuk menyelamatkan situasi. Ada rasa
terdepak yang sangat kuat saat melihat Daniel terluka
demi menyelamatkan Valeria.
264 Isi-Omen3.indd 264 Dan ada rasa benci pada diri sendiri saat tubuhku ber?
lari menentang otak dan pikiranku, menghampiri Daniel
yang jongkok seraya memegangi tangannya yang ber?
darah-darah. "Jari-jarimu bisa digerakkan?" tanyaku dengan perhati?
an penuh tertuju pada tangannya.
"Nggak tau. Saat ini semua mati rasa."
Demi Cerberus dan semua penghuni neraka! Ingin
sekali kupermak orang yang sudah melukai tangan yang
sanggup menghasilkan alunan musik paling indah di
dunia ini. Tentunya ini hanya ancaman kosong belaka
ber?hubung aku tidak jago berantem, tapi sungguh, rasa?
nya aku benar-benar marah.
Dan kemarahan ini sangat konyol. Habis, cowok ini
tidak segan-segan mengorbankan miliknya yang paling
ber?harga demi cewek lain, dan aku masih saja meng?
khawatirkannya? Aku pastilah cewek paling goblok di
dunia. Tapi aku tidak bisa melakukan hal lain selain ber?
ada di sisinya, berusaha membuatnya merasa nyaman,
sampai kami bisa keluar dari situasi ini.
Meski aku sama sekali tidak punya bayangan bagai?
mana caranya keluar dari situasi pelik di saat ada pasang?
an psikopat yang mengancam untuk membunuh kami
semua dan satu cewek gila lain yang mengira dirinya
bisa selamat dengan mengkhianati teman-temannya.
Oke, kami memang bukan teman Helen, tapi tadinya
kukira kami rekan senasib sepenanggungan sebagai
sesama calon anggota The Judges. Rupanya itu hanyalah
perasaan sepihak. Aku memang jagonya dalam soal perasaan sepihak.
Saat semua perkelahian akhirnya terjadi, aku dan Aya
265 Isi-Omen3.indd 265 hanya bisa bengong menyaksikan satu demi satu teman
kami tumbang oleh paku-paku yang beterbangan. Bahkan
Pak Rufus yang tidak sengaja memunggungi Lindi waktu
menarik cewek itu ke pintu perpustakaan dengan niat
memaksa cewek itu membukakan pintu, ditembak dari
belakang. Sementara itu, Putri hanya bisa terpana seolaholah semua keributan di depan matanya itu tidak terjadi.
Kurasa, di dalam hati dia sedang shock hebat mengetahui
perselingkuhan yang terjadi di belakangnya.
Namun Putri memang tabah. Dengan susah payah, dia
memaksakan diri untuk kembali pada kenyataan. Awal?
nya dia hanya berdiam diri dan berusaha keras me?ma?
hami situasi yang ada, namun saat Valeria terancam
bahaya, dia tidak berpangku tangan lagi. Dengan gerakan
gesit tak terduga, dia meraih buku di dekatnya dan
melemparkannya ke wajah cowok yang kini tentunya
sudah berpredikat mantan pacarnya itu. Lalu, dengan
wajah yang lebih menyiratkan kepuasan, dia melempar?
kan sejumlah buku ke cewek yang menjadi selingkuhan
sang mantan pacar. Saat Aya maju mendorong lemari
buku untuk menimpa ketiga lawan kami, Putri langsung
meloncat maju dan membantu merobohkan lemari yang
sangat berat itu. Inilah Putri Badai, sang pemimpin hebat yang ter?
nama, sang pemimpin legendaris yang sanggup mengerja?
kan ribuan pekerjaan sekaligus.
Tindakan Putri untuk menciptakan kesempatan bagi
kami semua itu membangkitkan semangat semua orang,
termasuk aku yang sedari tadi hanya bisa pasrah karena
menganggap diriku lemah dan tidak berguna. Bersama
Valeria dan Bu Mirna, kami berlima mendorong lemari
266 Isi-Omen3.indd 266 besar yang dipenuhi buku-buku hard cover secepat
mungkin?untungnya lemari ini dikunci. Kalau tidak,
isi?nya pasti sudah tumpah-ruah?dan menjadikannya
ben?teng pertahanan kami. Usaha kami tidak sia-sia.
Dalam sekejap kami sudah punya tempat persembunyian
yang aman. Kelewat aman, sebenarnya, karena kami juga tidak bisa
keluar dari situ tanpa menjadi sasaran empuk para pem?
buru di luar sana. Saat terdengar dobrakan pintu dan teriakan dari luar
per?pustakaan, kami semua merasa lega. Tidak peduli
suara itu hanya terdengar samar.
"Kami di sini!" teriak OJ dengan suara separuh me?
lengking separuh menghilang lantaran tenaganya yang
nyaris terkuras habis. "Kami ditawan orang-orang gila!
Namanya Dicky dan Lindi!"
"Bu Mirna?" Terdengar teriakan lagi dari luar. Seperti?
nya itu suara Pak Tarno, si guru biologi berbodi beruang
yang juga sering dipanggil dengan nama depan?nya, Pak
Bagong. "Bu Mirna, tolong bukakan pintu! Anak-anak
harus meminjam buku anatomi hewan untuk keperluan
praktik bedah minggu depan, Bu!"
"Pak Bagooong...!!!"
"Percuma," geleng Bu Mirna, membuat lolongan OJ lang?
sung berhenti. "Gedung perpustakaan ini punya rancangan
aneh. Kita tidak bisa mendengar suara dari luar dan suara
dari luar tidak bisa menembus ke dalam perpustakaan,
kecuali dilakukan di dekat pintu perpustakaan."
"Jadi nggak ada kemungkinan mereka bisa mendengar
kita?" tanya Valeria dengan tampang kecewa yang me?
lukis?kan perasaan hatiku saat ini.
267 Isi-Omen3.indd 267 Bu Mirna menggeleng. "Tapi Pak Tarno nggak akan berdiam diri. Dia mung?
kin ngirain Ibu sakit atau apa, dan dia akan ngambil
tindak?an. Mungkin minjam kunci dari Ibu Kepala Seko?
lah." Nah, itu baru berita baik.
Sayangnya, sepertinya para penawan kami juga me?
miliki dugaan yang sama. "A-a-apa yang harus kita la-la-lakukan?" Meski tidak
bisa melihatnya, aku yakin kini Helen sedang gemetar
tak keruan. "Me-me-mereka pasti akan mendo-do-dobrak
masuk!" "Helen benar, Dick," ucap Lindi dengan suara cemas.
"Kita harus gimana sekarang?"
"Nggak usah desak aku!" teriak Dicky frustrasi. Tampak
jelas cowok itu tidak bisa berpikir di bawah tekanan.
"Biarin aku mikir sebentar!"
"Tapi sebentar lagi mereka akan mendobrak masuk,
Dick." "Diam! Diam!" Tidak sulit untuk menduga Dicky bukan tipe cowok
yang bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah.
Tidak heran, cowok itu kan si pangeran tajir alias manja.
Selalu ada yang membantunya mengurus semua masalah?
nya?dalam berbagai masalah di sekolah, Putri-lah yang
melakukannya. Kini, tanpa Putri, dia harus memutar otak
seorang diri. Rupanya pekerjaan itu terlalu berat
untuknya. Ketegangan dan emosi yang dia rasakan
sampai terasa di pojokan sempit tempat kami bersem?
bunyi. "Apa lebih baik kita geser perabotan ini aja?" tanya
268 Isi-Omen3.indd 268 Lindi. "Setidaknya kita harus menghalangi mereka supaya
nggak bisa masuk, kan?"
"Oh ya, betul juga. Ayo, cepat kita lakukan!"
Aku dan Valeria beringsut-ingsut mendekati pinggiran
lemari dan mengintip ke luar. Benar saja, ketiga orang
itu sibuk memindahkan perabot ke depan pintu per?
pustakaan. "Oh, sial," bisik Valeria.
Ya, benar. Sial banget. Tak lama kemudian terdengar bunyi klik pada pintu,
namun daun pintu tak kunjung terbuka. Terdengar gedor?
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
an lagi dan beberapa pria mulai berteriak, "Bu Mirna!
Anda di dalam? Ada masalah apa ini, Bu? Kok pintunya
nggak bisa dibuka?" "Apa kita perlu dobrak?"
"Atau mungkin kita perlu panggil ambulans?"
Segala hiruk-pikuk di luar terdengar oleh kami. Tentu
saja, lawan kami bertambah cemas.
"Aduh, Dick, semua ini bener-bener gawat. Bisa berabe
kalo mereka semua berhasil mendobrak masuk dan anakanak itu masih tetap hidup. Mereka akan ceritain semua?
nya dan kita nggak bisa membela diri. Gimana ya, Dick?
Apa kita harus membunuh mereka secepatnya?"
Wah, ternyata cewek feminin seperti Lindi memiliki
hati kejam laksana ular yang tadinya menyatu dengan
rumput dan tahu-tahu saja menyerang dengan pagutan
berbisa yang sanggup mencabut nyawa para korbannya.
Lebih parah lagi, sepertinya Dicky gampang dipengaruhi
olehnya. "Benar juga," kata cowok itu dengan suara tepekur.
"Masalahnya, gimana caranya kita mendekati mereka?"
269 Isi-Omen3.indd 269 Ucapan itu dilanjutkan dengan suara-suara berbisik
yang menandakan mereka sedang membahas rencana
yang tidak patut kami dengarkan.
"Kita harus gimana sekarang?" tanya Bu Mirna de?ngan
suara perlahan yang sarat kecemasan. "Terlalu banyak
yang kena paku di sini. Kalau kita tidak keluar, bisa-bisa
mereka kena tetanus."
"Kalo kita memaksa keluar, kita bakalan jadi penderita
tetanus juga, Bu," sahutku sabar.
"Tapi, masa mereka benar-benar tega membunuh kita?"
tanya Bu Mirna sambil menggeleng-geleng. "Tidak mung?
kin. Itu hanya gertakan mereka. Mereka itu kan anak-anak
dari keluarga baik-baik. Kalau kita bicarakan semuanya
dalam damai, mungkin mereka akan melepaskan kita..."
"Ibu jangan delusi deh," tukas Erika. "Apa Ibu nggak
denger apa kata Lindi? Kalo kita lepas, kita bakalan
cerita?in perbuatan mereka pada polisi. Lagian, Ibu liat
sendiri apa yang udah mereka lakukan pada Pak Rufus.
Kalo Ibu mau, coba aja keluar dan bicarain dengan
damai seperti kata Ibu. Kita liat Ibu bakalan jadi landak
juga atau nggak." "Aku yang akan keluar."
Jujur saja, aku sendiri pun shock dengan ucapan yang
keluar dari mulutku itu. Aku melirik Daniel dan tangan?
nya yang masih meneteskan darah. Ya, aku tidak boleh
mundur dari ucapanku itu.
"Bu Mirna benar," ucapku akhirnya. "Kita nggak bisa
diam aja di dalam sini. Terlalu banyak yang terluka dan
kita nggak bisa menunggu sampai polisi mendobrak ke
dalam sini. Lagi pula, aku yakin nggak ada satu pun di
antara kita yang mau menunggu mati. Kalian dengar
270 Isi-Omen3.indd 270 mereka udah mulai bisik-bisik. Pasti mereka sedang me?
rencanakan sesuatu yang nggak menyenangkan."
Aku memandangi semua orang. Mau tak mau, mataku
bertabrakan dengan Daniel yang membalas tatapanku
lurus-lurus. "Apa rencana lo, Lady Sherlock?" tanyanya.
Aku tersenyum di balik tirai rambutku. "Rencanaku
se?der?hana aja. Aku akan nakut-nakutin mereka. Itu ke?
lebihan utamaku, kan? Itu emang bukan sesuatu yang
hebat, tapi ketakutan dan paranoid pasti bisa membuat
mereka lengah. Di saat mereka lengah, aku tau aku bisa
mengandalkan kalian," aku menoleh pada Aria, Valeria,
dan Putri, "untuk membekuk mereka."
"Maksud lo dengan bikin lengah?" tanya Daniel lagi
penuh selidik. "Aku akan melucuti pistol mereka," sahutku. "Serahin
itu padaku. Sisanya, aku minta bantuan kalian, ya."
Valeria menatapku ragu. "Rim, lo nggak perlu nge?
lakuin hal yang begitu berbahaya. Kita bisa bikin rencana
lain..." "Gue setuju sama Rima." Ucapan Daniel membuatku
ter?pana. "Rencananya udah bagus banget. Daripada buangbuang waktu bikin rencana lain, mendingan kita langsung
jalanin aja rencana ini."
Jleb. Setiap kata yang diucapkan Daniel serasa meng?
hunjam hatiku, satu demi satu, menancap begitu keras
dan da?lam, menyebabkan rasa nyeri yang menembus
hingga ke dalam jiwaku yang terdalam. Oke, dia me?
mang setuju dengan rencanaku, tapi aku yakin itu bukan
karena dia menyukai rencanaku. Dia hanya ingin me?
lindu?ngi Valeria. Daripada Valeria mengajukan rencana
271 Isi-Omen3.indd 271 yang mem?bahayakan dirinya, lebih baik dia membiarkan
aku yang menghadapi bahaya dan mengorbankanku.
Cukup sudah. Ini terakhir kalinya dia memperalatku
untuk melakukan keinginannya.
Aku menoleh pada Valeria, yang mengangguk pada?
ku. "Nggak usah cemas," ucapnya. "Gue nggak akan biarin
apa pun terjadi sama elo, Rim."
Aku membalas anggukannya. Lalu, tanpa menggubris
pandangan Daniel yang, entah kenapa, terus tertuju pada?
ku, aku berkata, "Ada yang punya pensil? Dan kertas?"
"Ini" Bu Mirna menyerahkan sebatang pensil 2B
pada?ku. "Kertas... Nah, ini dia. Tapi sudah ada hasil
cetakan printer di balik?nya..."
"Nggak apa-apa, Bu. Ini udah bagus banget."
Aku mulai menggambar dengan cepat, sementara
semua orang memandangiku seolah-olah aku sudah
gila. Aku tidak heran. Memang gaya melukisku rada
aneh. Ja?ngan membayangkan aku melukis dengan
gerak?an pelan dan anggun. Gerakanku lebih mirip
penyanyi rock yang sedang memukuli drum dengan
kalap atau, lebih tepat lagi, psikopat yang sedang
mencabik-cabik korban?nya. Itulah sebabnya aku tidak
pernah membiarkan ada saksi mata yang menontonku
melukis. Tapi saat ini aku tidak punya pilihan. Lebih
baik aku menunjukkan sisi brutalku pada semua orang
daripada berdiam diri dan membiarkan semua orang
mati konyol. Setelah gambar itu selesai, tanpa mengatakan apa-apa
lagi pada yang lain, aku pun berjalan ke luar.
272 Isi-Omen3.indd 272 Seketika aku disambut oleh sepasang pistol paku yang
mengarah padaku. "Tenang," kataku sambil mengangkat kedua tanganku,
salah satunya memegang gulungan kertas berisi gambar?
ku barusan. "Ini hanya aku."
"Rima," ucap Dicky heran. "Apa yang kamu ingin?
kan?" "Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan pada kalian."
"Apa itu?" Dicky menatapku dengan sinar mata me?
remehkan. "Surat permohonan untuk tetap hidup?"
Tanpa bicara aku menyerahkan gulungan kertas itu.
Dicky membukanya dan kedua kroninya turut melihat.
Sesaat ketiganya hanya menyipitkankan mata dan me?
mandangi lukisanku. Lalu, mata mereka terbelalak tanda
mereka sudah melihatnya. Ya, lukisanku biasanya memang terdiri atas coretancoretan tak jelas. Tetapi, kalau kalian melihatnya dengan
sungguh-sungguh, kalian akan melihat gambar-gambar
yang terkandung dalam coretan-coretan itu. Kali ini aku
menggambar beberapa tubuh terbujur di lantai, lalu tiga
orang anak?satu laki-laki dan dua perempuan, yang
laki-laki dan salah seorang yang perempuan mem?bawa
pistol paku?berdiri dengan dada berlubang, sementara
dua polisi mengacungkan pistol ke arah mereka. Sayang
sekali aku tidak bisa mewarnai gambar itu. Darah yang
menyembur dari dada mereka pasti akan menimbulkan
efek hebat. "Apa-apaan ini?" teriak Dicky dengan wajah pucat.
"Kamu mau nakut-nakutin kami?"
"Nggak," sahutku dengan suara rendah dan wajah
datar. "Kalian tentu udah tau, bakatku adalah peng?lihat?
273 Isi-Omen3.indd 273 an, dan penglihatanku selalu kutuangkan di dalam lukis?
anku. Dalam penglihatanku kali ini, kalian akan mem?
bunuh kami, ya, itu benar. Tapi kalian juga akan mati,
karena..." "Nggak!" jerit Lindi sambil mengacungkan pistolnya
padaku. "Itu nggak benar! Aku dan Dicky harus hidup.
Kami udah ngelakuin semuanya supaya bisa bersamasama..."
"Dasar bodoh." Entah raut wajahku seperti apa, pokok?
nya ketiga orang itu melangkah mundur. "Apa kalian tau
apa yang kalian lakukan? Kalian akan membunuh tujuh
siswa dan dua guru! Kalian kira kalian nggak akan
ketauan? Kalian kira perbuatan kalian akan dimaafkan?
Kalian kira semua itu bisa diselesaikan dengan uang?
Kalian benar-benar bodoh! Polisi udah mengincar kalian
sejak malam kemarin! Anak-anak di sini semua populer
dan guru-gurunya disayang murid-murid. Kalian kira
kalian akan dilepaskan begitu aja?"
Dicky tampak ragu sejenak.
"Jangan mau diperdaya, Dick!" jerit Lindi sambil tetap
mengacungkan pistol padaku. "Meskipun kita menyerah,
kita akan tetap ditangkap! Apa kamu lupa kita udah
menyebabkan Hadi, Ricardo, dan Dedi masuk UGD? Kita
nggak akan bisa lolos, Dick! Mendingan kita ambil risiko
bunuh mereka semuanya. Toh kita sama-sama masuk
penjara!" Sekarang aku yakin, Lindi-lah otak rencana mereka.
Dicky terlalu lemah dan bodoh untuk membuat rencana.
Meski begitu, Lindi melakukannya dengan sangat pandai,
bertanya padanya seraya memasukkan ide-idenya ke da?
lam otak Dicky, dan pada akhirnya, saat Dicky memutus?
274 Isi-Omen3.indd 274 kan, cowok itu mengira semua itu adalah idenya sendiri.
Cewek ini benar-benar manipulator kelas tinggi.
"Kita bunuh mereka aja, Dick, dan mumpung cewek
ini muncul sendirian, kita jadikan dia sandera. Pasti akan
ada yang mau keluar untuk menolongnya. Saat itu, kita
akan bantai satu demi satu."
"Bantai aja," ucapku tenang. "Kalian nggak akan bisa
menghindar dari nasib yang udah digariskan pada kalian.
Kalo kalian menyerah sekarang, paling-paling kalian
dipen?jara. Tapi kalo kalian tetap keras kepala, kalian
akan kehilangan nyawa kalian. Kalian mau mati?"
"Nggak," ucap Dicky spontan. "Gue nggak mau mati.
Lindi..." Tampak putus asa, Lindi tidak membiarkan Dicky
mengambil kendali lagi. Dengan tangan gemetar, dia pun
menembak beberapa kali. Dan sejumlah paku meluncur ke arah mukaku.
Sementara itu, dari belakang, sesuatu menyeruduk kaki?
ku dengan sangat keras. 275 Isi-Omen3.indd 275 Erika Guruh, X-E HAL tersulit yang harus kulakukan adalah hanya berdiam
diri dan tidak melakukan apa-apa.
Rencana Rima betul-betul tolol, tetapi aku tidak bisa
menentangnya. Masalahnya, rencanaku adalah aku akan
mendobrak ke luar dan menghajar muka-muka cecungukcecunguk kecil itu, tapi aksi itu tak bisa kulaku?kan
karena kakiku tertusuk paku yang panjangnya tak lebih
pendek daripada jari telunjukku! Benar-benar menyebal?
kan. Dan memalukan. Saking malunya, aku cuma bisa
berdiam diri saat Rima mengemukakan ren?cana?nya.
Begitu dia keluar, aku menyadari kebisuanku adalah
kesalahan besar. "Hei, elo-elo pade!" ucapku rendah. "Emangnya elo se?
mua begitu lemah sampe harus ngirim Rima buat eksyen,
ya?" "Ssshhh," desis Val tanpa menoleh padaku. Dia sedang
mengendap-endap di balik lemari, tampak siap me?
lindungi Rima. Mengikuti di belakangnya adalah Putri
Badai dan cewek aneh bernama Aria. "Jangan berisik, Ka.
Gue lagi konsen nih."
276 Isi-Omen3.indd 276 "Konsen apaan?" tukasku. "Nggak usah pake konsenkon?senan segala. Sini, seret gue ke situ."
"Ka, kalo lo butuh bantuan buat jalan ke sini, nggak
ada gunanya lo ikut eksyen."
Jadi begini rasanya jadi orang tak berdaya. Bahkan sa?
habatmu sendiri pun memandang rendah kemampuan?
mu. Dengan kesal aku menyeret tubuhku sendiri.
"Ih, Ka," kata Daniel ngeri. "Gaya lo kayak suster nge?
sot." Dasar brengsek. "Lebih tepatnya, preman ngesot," celetuk OJ.
Cowok ini bakalan kujotos kalau semua ini sudah be?
res. Tanpa memedulikan ledekan-ledekan itu, aku terus
beringsut hingga mendekati Val dan kedua konco?nya.
"Kamu ngapain di sini?"
Benar-benar bikin kesal. Aku harus mendongak untuk
memandang Putri Badai yang tampangnya jelas-jelas
meremehkanku. Rasanya betul-betul terhina. Jadi, tanpa
bicara, aku membuang muka.
"Ka," tegur Val kaget. "Lo mau ngapain?"
"Liat aja sendiri."
Aku terus beringsut. Untungnya, orang-orang itu se?
dang sibuk memelototi gambar Rima yang me?nyeramkan
itu. Kuharap mata mereka juling gara-gara melotot. Tapi
biasanya harapanku tidak tercapai, jadi aku terus ber?
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingsut hingga berada di bawah meja di bela?kang Rima.
Sepertinya cewek itu juga lagi tegang karena dia sama
sekali tidak menyadari gerakanku.
Tiba-tiba Val juga sudah bergabung denganku. Mulut?
277 Isi-Omen3.indd 277 nya komat-kamit seperti sedang mengucapkan mantra.
"Lo gila." Aku hanya mengacungkan jempol. Setuju.
"Gimana kalo mereka ngeliat elo?"
Aku menjulurkan lidahku. Kenyataannya nggak tuh.
Val tampak kesal padaku. Yah, aku memang jagonya
bikin orang-orang kesal, dan aku sudah terbiasa melihat
raut wajah seperti itu terpampang di depan lawan bicara?
ku. Tapi aku tidak peduli. Aku adalah Erika Guruh, dan
aku tidak sudi ditinggalkan di garis belakang saat temantemanku berperang di garis depan. Memangnya mereka
kira aku manusia tak berguna macam apa? Tanpa kaki
pun aku masih sanggup menghajar orang kok.
Kami memasang telinga, mendengarkan percakapan
antara Rima dan tiga orang sial yang berani-beraninya
menjebak kami di perpustakaan. Dasar penjahat-penjahat
tolol. Apa tidak ada tempat lain yang lebih bagus?
Mungkin saja kan di tengah-tengah ketegangan ini kami
jadi lapar, kebelet, atau lebih parah lagi, sakit perut.
Sudah bukan rahasia umum lagi, ketegangan sering bikin
orang-orang jadi sakit perut. Yah, aku sih tidak pernah
begitu, tapi kan bukan hanya aku yang ada di sini. Dan
aku tidak mau bikin rencana untuk mendirikan toilet
darurat. Yang begituan bukan bidangku.
Lebih parah lagi, sekarang si cewek tukang selingkuh
mulai histeris. Kurasa cewek itu sudah mulai gila. Gerak?
an matanya tampak liar, sementara tangannya yang
meng?acungkan pistol paku gemetaran begitu hebat se?
olah-olah dia bakalan kelepasan menembak sewaktuwaktu. Aku lumayan kagum pada Rima yang masih saja
menatap mereka lurus-lurus dengan tatapan ala Rima
278 Isi-Omen3.indd 278 Hujan?dingin dan menakutkan, dengan sinar mata se?
tajam laser dari balik rambut Sadako-nya.
Namun dugaanku tak terelakkan. Emosi Lindi akhirnya
tak terkendalikan lagi, dan dia mulai menembak di
tengah-tengah ucapan pacar gelapnya yang juga hobi
selingkuh (memang orang yang hobinya sama lebih baik
ngumpul bareng). Sialnya, tembakan itu bukannya diarah?
kan pada si pangeran tajir superbrengsek itu, melainkan
pada Rima. Tanpa berpikir panjang lagi, aku menggulingkan meja
yang kami gunakan untuk berlindung ke arah Rima.
Ujungnya sengaja kuentakkan sehingga menyenggol bagi?
an belakang lutut Rima, yang tentu saja menyebabkan
cewek itu terjungkal ke belakang. Kakinya tersangkut
pada meja, tapi cewek itu berhasil kuselamatkan dari ba?
haya gegar otak dengan menangkap tubuhnya. Gaya
kami kurang-lebih kayak pangeran ganteng yang ber?
usaha menangkap putri cantik yang terjatuh. Hanya saja,
si pangeran ganteng ternyata cewek preman dan si putri
cantik ternyata Sadako. Tentu saja, aku tak lupa me?
nambah?kan ucapan keren ala Prince Charming, "Lo
nggak apa-apa, Say?"
Rima menatapku seolah-olah aku makhluk superaneh
yang baru pertama kali ditemuinya, yang jelas menghina
banget memandang dia sendiri hantu pertama yang ku?
temui dalam hidupku. "Aku baik-baik aja."
Sesaat aku terpana melihat wajah Rima. Tampang
cewek itu terlihat jauh lebih muda daripada biasanya
dengan rambut tersibak begitu, tapi yang membuatku
shock adalah segaris bekas luka panjang di pelipisnya,
279 Isi-Omen3.indd 279 mirip kelabang yang sedang merayap di balik kulit tipis
Rima. "Wow, keren bener bekas luka lo!"
"Thanks," ucap Rima, lagi-lagi menatapku dengan sorot
mata ganjil, seolah-olah seharusnya aku mengatakan
sesuatu yang sebaliknya. Dasar cewek hantu aneh. Apa
selama ini dia berdandan sebagai Sadako untuk menutupi
bekas luka yang gahar banget itu? Kalau aku jadi dia,
akan kupamerkan ke seluruh dunia dan kubilang, "Yang
bikin luka ini udah gue kirim ke neraka!" Biar semua
jadi ngeper. Omong-omong, ini tidak berarti dunia berhenti ber?
putar saat aku menangkap Rima dan beradegan romantis.
Yang benar saja, memangnya dunia tidak punya kerjaan?
Tepat saat aku menggulingkan meja dengan sekuat
tenaga yang aku bisa, Val langsung mencelat ke atas
seperti jagoan-jagoan di film silat (aku membayangkannya
bergaya-gaya mirip burung bangau, tapi tentu saja Val
tidak sekonyol itu) dan melancarkan tendangan ke arah
cewek histeris tersebut. Cih, dasar sok keren. Seandainya
saja kakiku tidak ditembus paku sialan, sudah pasti aku
yang bergaya-gaya seperti Jacky Chan sementara Val
yang berperan sebagai Prince Charming. Kalau dipikirpikir, Val me?mang pantas banget menjadi pangeran, apa?
lagi se?pengetahuanku dia lebih tajir daripada si pangeran
tajir Dicky. Seharusnya Val yang dijuluki begitu, bukan
si Dicky Dermawan brengsek itu.
Eitsss, lagi-lagi aku OOT alias out of topic. Seharusnya
kan aku mengecek kondisi pertempuran. Aku buru-buru
menoleh dan mendapatkan senjata si cewek histeris
sudah terpental entah ke mana, sementara Val beralih
me?nyerang Dicky yang tentunya lebih berbahaya lantar?
280 Isi-Omen3.indd 280 an masih memegang senjata. Aku membaringkan Rima
de?ngan hati-hati, lalu berdiri dengan susah payah
laksana zombi yang baru bangkit dari kubur. Aku yakin,
raut wajah pucat pasi si cewek histeris pasti gara-gara
me?lihat cara kemunculanku yang tidak sewajarnya manu?
sia, dan gayanya seperti mau ngacir saat melihatku me?
nyeret kakiku, mendekatinya perlahan-lahan, dengan
wajah kelam karena haus darah...
Mendadak si putri es nongol di antara kami.
Sial, aku diserobot! Aku hanya bisa melongo melihat Putri Badai yang
biasa?nya anggun dan dingin itu menjambak rambut
Lindi dengan emosional. Tentu saja korbannya me?rontaronta lantaran tak terima mahkotanya direnggut dengan
kasar (hmm, kalimatku kok terdengar seperti kata-kata di
buku roman murahan, ya?). Lindi benar-benar tidak
menggunakan otak. Habis, apa dia tidak takut tindak?
annya itu malah bakalan membuat rambutnya makin
rontok? "Dasar backstabber!" bentak si putri es. "Berani-berani?
nya kamu bersikap seolah-olah temanku, padahal di
belakang kamu ngejahatin aku?!"
"Bukan, bukan salahku!" jerit Lindi histeris. "Dicky
yang duluan ngedeketin aku! Lagian, Suzy yang duluan
ngejodohin kami!" Si putri es tampak seolah-olah baru ditonjok perutnya.
"Su... Suzy?" "Iya. Semua temen-temen kita tau, dan semuanya
ngedukung aku dan Dicky kok! Cuma kamu dan King yang
nggak tau apa-apa, karena kalian emang nggak peduli?an!"
Dasar cewek sialan. Rasanya kepingin kujotos muka?
281 Isi-Omen3.indd 281 nya. Dan rasanya puas banget melihat si putri es benarbenar menghadiahkan sebuah tonjokan indah ke mulut
dan hidung si cewek histeris. Meski begitu, tentu saja
rasanya akan lebih mantap lagi seandainya aku yang jadi
pelakunya. Dasar paku-paku keparat. Kalau bukan gara-gara me?
reka, aku tak bakalan diserobot orang dan jadi figuran
begini. "Dasar cewek kasar!" Lindi mengusap darah yang
mengalir keluar dari hidungnya dengan napas terengahengah, sementara rambutnya masih saja dalam jambakan
si putri es yang ogah melepaskan lawannya. "Nggak
heran Dicky nggak mau sama kamu lagi!"
"Yang benar aja!" balas si putri es dengan muka keji.
"Di antara kita, siapa yang lebih kasar? Siapa yang mulai
main kasar duluan? Siapa yang mencelakai murid-murid
kebanggaan sekolah kita dengan seenaknya?!"
"Kamu kira aku senang ngelakuin semua itu?" bantah
Lindi. "Aku juga terpaksa! Aku hanya ngikutin keinginan
Dicky..." "Dia bohong." Suara Rima yang rendah terdengar
jelas. "Dia yang merencanakan semua ini, bukan Dicky.
Dicky... nggak punya kecerdasan untuk membuat rencana
sekeji ini." Si putri es diam sejenak, dan sesaat kukira dia bakalan
men?damprat Rima. "Kamu benar, Rim. Dicky memang
nggak sanggup bikin rencana yang begini rumit."
Lalu, dengan tampang tak berperasaan, dia menyentak?
kan rambut Lindi yang masih dijambaknya. Hmm, I like
her style. "Lin, kamu yang membujuk Dicky ngelakuin
semua ini, kan?!" 282 Isi-Omen3.indd 282 "Bukan, bukan aku!" Sepertinya kalimat itu adalah
moto cewek tukang selingkuh yang hobi membela diri
ini. "Dicky yang ngerencanain semuanya. Sumpah, Put,
aku sempet mencegah dia, tapi dia bilang dia udah
nggak tahan lagi sama kamu...!"
Aku menoleh pada si pangeran tajir, kepingin melihat
reaksi wajahnya saat dikhianati oleh cewek selingkuhan
yang membuatnya rela membunuh-bunuhi orang. Tapi
Dicky rupanya tidak mendengar sama sekali lantaran
sedang sibuk mengadu tenaga dengan Val. Bisa kulihat
Val rada kewalahan karena, meski dia sangat terlatih,
tenaganya kalah kuat dibanding Dicky yang jago judo.
Kekurangan Val adalah, dia tidak begitu jago dalam soal
berantem jarak dekat. Dia bukan aku yang bisa saja
menjedukkan jidat ke hidung lawan atau menendang
selangkangan atau, kalau perlu, menjambak bulu ketiak
lawan yang kelewat panjang. Cewek itu terlalu sok ter?
hormat, lebih mengandalkan teknik dan kecepatan yang
sebenarnya hanya akan membuatnya lelah dalam per?
tempuran yang terlalu lama. Seperti saat ini, misalnya.
Satu-satunya yang bisa dilakukannya hanyalah menahan
tangan Dicky yang memegangi senjata sehingga cowok
itu tidak bisa menembak, tapi sepertinya Val sudah
mencapai batas kemampuannya.
Eng-ing-eng! Sudah waktunya aku tampil. Akhirnya,
cewek jagoan nongol juga. Tralalalala.
Aku baru saja ingin menyeret tubuhku mendekati
medan pertempuran ketika terjadi sebuah perkembangan
kecil yang tak terduga. Helen yang kami duga mengkeret
di pojokan, ternyata menyambar gunting besar yang ada
di meja Bu Mirna. Kurasa awalnya dia ingin menusuk si
283 Isi-Omen3.indd 283 putri es, tapi si putri es keburu menyadari keberadaannya.
Mendapat pelototan setajam sinar laser, Helen langsung
mengkeret dan mengubah haluannya. Kami semua samasama shock saat dia mengguntingi rambut Lindi.
"Jangaaan!" jerit Lindi ngeri, tapi Helen tidak meme?
duli?kan?nya. Dia terus menggunting hingga jadilah si
putri es yang ketakutan dan melepaskan rambut Lindi.
Helai-helai panjang segera jatuh ke lantai, sementara
rambut Lindi jadi awut-awutan dan tak jelas bentuknya?
sebagian mencuat seperti sapu dan sisanya panjang ter?
gerai di bahu. Dia tampak mirip alien gaje yang luar
biasa konyol. Jadi jangan salahkan aku kalau tawaku langsung me?
nyembur. Suara ketawaku yang mirip kuntilanak sedang dikitikkitik menggema di ruang depan perpustakaan yang he?
ning itu. Awalnya aku cuek saja lantaran, ayolah, siapa
sih yang tidak kepingin ngakak? Lindi benar-benar ke?
lihatan konyol, berdiri dengan muka tak percaya dengan
rambut yang mirip rambut salah satu musuh Batman
(mungkin Poison Ivy??ah, potongan rambut Poison Ivy
jelas jauh lebih manusiawi ketimbang rambut Lindi itu,
hehehe...). Tapi lalu kusadari hanya aku satu-satu?nya
orang yang tertawa. Semua orang lain meman?dangi Lindi
dengan mulut ternganga lebar. Jadi aku pun berdeham
untuk mengembalikan kewibawaanku dan menyeletuk,
"Nggak ada yang ngerasa lucu, ya?"
"Jelek bener!" sahut Val tidak nyambung. "Sadis ba?
nget orang yang ngelakuin itu pada rambut yang tadinya
begitu bagus." Tidak ada yang melihatnya kecuali aku. Kilat licik da?
284 Isi-Omen3.indd 284 lam mata Val yang selalu tampak kuper dan polos. Ah
ya, aku salah. Terkadang Val berani bermain kotor juga.
Hanya saja, dia melakukannya dengan kepiawaian yang
luar biasa, sehingga terkadang kita malah menganggapnya
"usaha di saat-saat terjepit" atau "tidak punya pilihan
lain". Padahal, kenyataannya, dia sama barbarnya dengan?
ku. Perbedaannya hanyalah dia sangat pandai menyem?
bunyikannya, begitu pandainya sampai-sampai aku,
sahabatnya sendiri, melupakan hal itu.
Mendengar ucapan Val yang penuh provokasi, Lindi
langsung menyerang Helen. Yang tak kami duga adalah,
dia melakukannya setelah menyambar pistol paku yang
rupanya tadi terlempar ke bawah meja Bu Mirna. Sial?
nya, karena kakiku yang terluka, gerakanku jadi kurang
cepat. Lagi-lagi aku diserobot Putri yang langsung me?
nerjang Lindi dan berusaha merebut pistol milik cewek
itu. Helen yang terpojok tidak bisa berbuat apa-apa
selain jongkok dan mengkeret seraya menutupi dirinya
dengan kedua tangannya. Dari jauh dia tampak seperti
patung pajangan cebol yang aneh.
Suasana jadi kacau-balau. Sementara Lindi menyerang
dengan membabi buta, Dicky juga kembali berusaha
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyingkirkan Val yang tetap ngotot kepingin rebutrebutan senjata dengan cowok itu. Beberapa paku mulai
beterbangan, baik dari moncong pistol paku Lindi
maupun Dicky. Terdengar jeritan di sana-sini?Lindi yang
menjerit marah, Helen yang menjerit ketakutan, Bu
Mirna yang menjerit karena ada paku nyasar yang nyaris
mengenai dirinya. Harus ada seseorang, atau sesuatu,
yang menghentikan semua ini.
Pikir, Erika. Pikir yang keras!
285 Isi-Omen3.indd 285 Namun, sebelum ada rencana tersusun dalam otakku
yang biasanya cemerlang itu, mendadak beberapa orang
turun dari tali yang menjuntai dari tingkap langit-langit
dengan gaya ala anggota SWAT. Kukenali tampang-tam?
pang si Ojek, si Obeng, dan si Ajun yang langsung
beraksi bak pahlawan yang datang untuk menyelamatkan
umat tertindas. Keparat! Aku benar-benar tidak diberi kesempatan
sekali pun untuk tampil! 286 Isi-Omen3.indd 286 Valeria Guntur, X-A AKU terperanjat saat seseorang mendorongku ke samping
dan menyingkirkanku dari hadapan Dicky.
Reaksi spontanku adalah hendak memukuli orang itu
hing?ga babak belur. Namun tonjokanku berhenti di
udara saat menyadari oknum kurang ajar itu adalah Les.
Co?wok itu tampak luar biasa ganteng lantaran aku ter?
lalu sibuk fokus pada Dicky yang bertampang psi?kopat.
Sesaat aku tidak bisa berkata-kata.
Dari mana dia nongol? Bagaimana dia bisa masuk?
Kenapa dia bisa tahu kami ada di sini?
Tapi semua pertanyaan itu harus menunggu.
"Mundur, Val." Les melontarkan cengiran jailnya padaku, tetapi aku
ti?dak sempat membalasnya. Cowok itu lang?sung meng?
alihkan perhatiannya pada Dicky yang nyaris mendapat
kesempatan untuk menembakkan paku pada kami. Aku
ingin membantu Les memukuli Dicky, tapi aku tahu
cowok itu tidak suka main keroyokan, jadi terpaksa aku
mundur. "Dasar kepo!" 287 Isi-Omen3.indd 287 Aku menoleh ke asal suara itu dan melihat wajah
Erika yang gelap gulita saking betenya. Aku berusaha me?
nahan tawa, tahu cewek itu tidak senang urusannya dise?
lesai?kan oleh orang lain. Apalagi salah satu penolongnya
adalah Viktor Yamada yang notabene saat ini adalah
musuh bebuyutannya. Tapi harus kuakui, sebelum me?
reka muncul, kami sedang berada dalam kesulitan besar.
Jadi aku sama sekali tidak keberatan dengan campur
tangan mendadak ini. "Ngapain sih mereka muncul di saat-saat terakhir
begini?" ketus Erika sambil cemberut.
Kusadari tatapannya jatuh pada Vik yang sedang me?
nyumpah-nyumpah seraya berusaha memisahkan Lindi
dan Helen. Hmm, diam-diam Erika masih saja meng?
khawatir?kan Vik. "Kita kan udah nyaris selesaiin semua ini. Kerjaan me?
reka cuma beresin sisa-sisanya. Dasar pahlawan kesiang?
an!" "Nggak apalah," hiburku. "Sekali-sekali kita harus
ngalah dan ngebiarin orang lain yang jadi jagoan."
"Sori-sori aja. Nggak ada kata ?ngalah? dalam kamus
gue. Apalagi buat jadi jagoan."
Bulu kudukku mendadak bergidik. Saat menoleh,
kulihat Rima sudah berdiri dekat di belakang kami. Oh,
God, sampai sekarang aku masih saja tidak terbiasa de?
ngan kemunculannya yang tiba-tiba seperti ini!
"Rupanya kita akan selamat," ucapnya datar. "Kukira
kita semua akan mati di sini dengan tubuh bolongbolong ditembus paku."
"Makasih," sahut Erika tidak kalah datarnya. "Lo emang
optimis banget." 288 Isi-Omen3.indd 288 "Lebih baik mati dengan badan bolong-bolong dari?
pada hidup dengan badan bolong-bolong, kan?"
"Lo nyindir kaki gue?"
Oke, saat ini lumayan menghibur juga. Di depan
mata, Les sedang menghajar Dicky yang, meski jago
judo, jelas-jelas bukan tandingannya. Sementara di sam?
ping, terdapat dua cewek tak berperasaan yang sedang
berdebat mengenai topik seram yang bakalan membuat
pucat manusia-manusia normal. Pada saat sedang rileks
begini, barulah kusadari betapa sakit dan nyerinya se?
kujur tubuhku. "Val!" Mendadak Erika menegurku. Wajahnya tampak
cemas, membuatku bertanya-tanya separah apa wajahku
saat ini. "Lo nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa dong," sahutku seraya tersenyum.
"Gue masih hidup dengan badan yang nggak bolongbolong, kan?"
"Iya deh, gue nggak sehoki elo berdua!" ucap Erika
ber?sungut-sungut. "Eh, Jun!"
Ajun Inspektur Lukas yang disapa hanya menepuk
bahu kami tanpa menghentikan langkah. Dengan mu??dah
dia memisahkan Les dan Dicky. "Cukup, Les. Dicky,
kamu juga. Percuma kamu melawan. Saat ini kamu tidak
akan bisa mengelak lagi dari tuntutan yang dijatuhkan
padamu." Mendengar ucapan Ajun Inspektur Lukas, sesaat Dicky
menghentikan perlawanan. Matanya yang jelalatan de?
ngan liar membuatku waswas. Mata itu bukan mata
orang yang sudah menyerah. Apakah dia...
Tepat seperti dugaanku, Dicky menembak ke arah Ajun
Inspektur Lukas. Namun, sebelum cowok itu menarik
289 Isi-Omen3.indd 289 picunya, Ajun Inspektur Lukas sudah menepis tangan
Dicky sehingga paku-paku itu meluncur ke arah langitlangit. Sementara itu, dengan gembira Les menghadiah?
kan satu tonjokan terakhir ke muka Dicky, yang ten?
tunya sangat keras, berhubung si pangeran tajir langsung
tersungkur dalam kondisi tak sadarkan diri.
"Dasar bodoh," gerutu Ajun Inspektur Lukas. "Bisa-bisa?
nya menyerang aparat negara. Itu kan hanya akan
memperberat hukumannya. Kadang saya bingung, kenapa
sih para penjahat ini tidak pernah pakai otak?"
"Yah, kalo mereka pake otak sih, mereka nggak akan
berbuat jahat, Jun," sahut Erika.
"Erika, kalau kamu panggil saya ?Jun? sekali lagi, kamu
akan saya tahan di penjara selama satu malam!"
"Jangan dong. Kaki saya sedang luka parah nih."
"Kakimu?" Bagaikan jin lampu yang baru saja dipanggil, Vik no?
ngol tiba-tiba. Meski tidak terluka sama sekali, tampang
cowok itu seperti baru kena tonjok. Jelas, penyebabnya
bukan dua cewek yang barusan dibekuknya dan kini
sedang digiring polisi. Les ikut menghampiriku. "Kamu nggak apa-apa,
Val?" Aku tersenyum. "Aku baik-baik aja."
"Tapi bibirmu," cowok itu mengusap bibirku yang ter?
gigit lantaran disundul Dicky, "nggak sakit?"
Aku berniat menjawabnya, namun kata-kataku ter?
tahan di udara saat melihat Vik berlutut di depan Erika.
Bukan aku saja yang shock, namun semua yang melihat
kejadian itu juga langsung ternganga. Apa dia ber?
maksud...? Ah, tidak. Tidak mungkin cowok ini berniat
290 Isi-Omen3.indd 290 melamar. Dia cuma ingin memeriksa kaki Erika kok. Tapi
gaya?nya itu lho, keren banget! (Sial, aku terpaksa meng?
akui hal ini!) Berani sumpah, wajah Erika memerah saat Vik men?
dongak padanya. "Sakit?"
"Nggak tuh. Nggak ada rasa apa-ap... awww!" Erika
mendelik pada Vik yang memencet kakinya dengan satu
jari. "Lo belum pernah dirajam pake paku, Jek?
Aaarghhh!" Oke, ini pemandangan luar biasa. Erika Guruh yang
terkenal tangguh, kini dibopong oleh Viktor Yamada
bagai?kan tuan putri yang lemah tak berdaya. Andai
kubawa BlackBerry-ku, sudah pasti kufoto momen yang
mungkin tak akan berulang lagi seumur hidup ini.
"Turunin, Jek!" Si tuan putri meronta-ronta bak lintah
ditaburi garam. "Lo ngerusak reputasi gue aja!"
"Mendingan nggak usah punya reputasi daripada
nggak punya kaki, Ngil. Kita nggak jauh-jauh kok, ada
ambulans di depan." "Ya, tapi tetap aja..."
"Ngil, sekali-sekali mulutmu itu berhenti ngebacot
kek." "Emangnya siapa yang ngebacot?"
Meski berkata begitu, setelah itu Erika bungkam dan
membiarkan dirinya dibawa ke ambulans.
"Akhirnya..." Les memandangi kepergian mereka. "Kita
ikuti mereka?" "Ya," anggukku. "Aku juga mau tau seberapa parah
kondisi kaki Erika. Rima, mau ikut?"
Rima mengangguk tanpa suara.
291 Isi-Omen3.indd 291 Selama beberapa saat kami bertiga mengikuti Erika dan
Vik tanpa berkata-kata. "Jadi," aku berdeham, "dari mana kamu tahu kami
terjebak di dalam?" "Oh. Mmm," Les berpikir sejenak, "ada yang ngasih
tau." "Siapa?" Les tampak salah tingkah. Oke, ini sangat mencuriga?
kan. "Les, kamu punya mata-mata di antara kami?"
"Mmm..." "Jelas punya," tukas Vik dari depan. "Kalian tipe
cewek-cewek yang terlalu mandiri dan yakin dengan ke?
mampuan sendiri. Padahal apa salahnya minta bantuan?
Nggak berarti kami akan menghalangi kalian beraksi,
kan?" "Bukan gitu," kilahku. "Kami kan nggak mau bersikap
drama queen tanpa alasan..."
"Tapi kamu bisa mengirim pesan begitu berada dalam
bahaya, kan?" tegur Les lembut.
"Nggak bisa," sahutku, Erika, dan Rima serempak.
"Tasku tadi ada di dekat Dicky," ucapku, lalu menoleh
pada Rima yang berkata singkat, "Di undangan ditulis
nggak boleh bawa ponsel."
Polos banget cewek ini. "Kalo kamu, Ngil?" tuntut Vik pada Erika.
"Nggak punya pulsa," sahut cewek itu dengan muka
masam. "Belum sempet ngirim SMS minta pulsa yang
ngaku lagi di kantor polisi."
"Oh, jadi selama ini yang sering nyebar-nyebar SMS
292 Isi-Omen3.indd 292 minta pulsa itu kamu?!" teriak Vik. "Dasar kriminal!
Yang begituan aja kamu jalanin, sementara kalo aku..."
Aku melongo saat Erika mulai memukuli Vik.
"Turunin gue, sialan! Turunin!"
Meski kena gebuk, Vik menurunkan Erika dengan hatihati.
"Eh," selaku risi, "kalo boleh tau, emangnya kenapa
sih kalian berantem? Kok kayaknya masalahnya serius
banget?" Erika mendengus dan membuang muka, sementara
wajah Vik yang masam jelas-jelas menyiratkan, "Lo orang
nggak penting. Jadi ngapain gue kasih tau?" Dasar
bajingan. Aku yakin banget dia memaksakan kehendaknya
pada Erika. Masalahnya, memangnya apa kehendaknya
itu? Apakah seperti yang kuduga selama ini?
"Coba kutebak," ucap Rima mendadak. "Viktor Yamada
memaksa untuk ngasih duit ke Erika."
Aku melongo. Erika melongo. Vik apalagi. Serta-merta
dia menyergah, "Hei, kamu sebar-sebar urusan kami..."
"Bukan, semuanya murni tebakanku sendiri." Rima
tersenyum dari balik tirai rambutnya dengan cara me?
ngerikan yang membuatku nyaris yakin dia punya
kemampuan mistis. "Semuanya terlihat jelas. Erika ter?
singgung banget dengan permintaan misterius dari Viktor
Yamada. Melihat reputasi Viktor Yamada, permintaan itu
pasti bukan permintaan tercela. Jadi, Erika ter?singgung
karena permintaan itu berkaitan dengan ke?kurangan
Erika. Sejauh ini, kekurangan Erika yang ter?besar ada?
lah dia miskin." "Eh, Sadako!" teriak Erika dengan muka berang. "Nggak
usah diumumin ke seluruh dunia kali, kalo gue miskin!"
293 Isi-Omen3.indd 293 "Aku nggak mengumumkan ke seluruh dunia..."
Ucapan Rima terhenti saat menyadari semua tatapan
tertuju padanya. Oke, aku juga baru sadar. Rupanya,
bukan hanya aku yang tertarik dengan alasan pertikaian
antara Erika dan Vik. Ajun Inspektur Lukas terlihat jelas
sedang memasang kuping, begitu pula Daniel, Putri
Badai, Aria, OJ, bahkan Bu Mirna dan Pak Rufus yang
awalnya tidak tahu-menahu mengenai kejadian ini.
Berhubung mereka semua sedang berkumpul di dekat
ambulans, gampang bagi mereka untuk ikut menyimak
pembicaraan kami. Menyadari bahwa dia sudah menjadi pusat perhatian,
Rima langsung mengkeret. "Ya, pokoknya begitu deh."
Aku berpaling pada Erika. "Bener gitu?"
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Erika menggeram pada Vik. Oke, itu berarti iya.
"Astaga" Aku menggeleng-geleng. "Pertengkaran
yang konyol banget..."
"Apanya yang konyol?" sergah Erika. "Emangnya gue
cewek apaan, minta-minta duit dari pacarnya? Terus
nanti-nantinya gue disuruh jadi pembokat di rumah dia,
kayak cerita di sinetron? Sori-sori aja, gue masih punya
harga diri..." "Harga diri nggak akan ngasih kamu makan." Oh, God,
tak kusangka Rima berani banget! Erika memelototinya,
tapi cewek itu membalas tatapan Erika tanpa gentar
sedikit pun. "Seperti yang tadi Leslie Gunawan katakan,
kalian terlalu mandiri. Apa salahnya meminta bantu?
an?" Tatapan keji Erika beralih ke Les yang langsung
mundur selangkah. "Kamu nggak perlu menerima itu dengan cuma-cuma,
294 Isi-Omen3.indd 294 Erika," lanjut Rima. Dengar-dengar, kamu jago komputer,
kan? Kantor Viktor Yamada pasti butuh tenagamu,
terutama dalam dunia perbankan yang harus selalu
waspada terhadap serangan hacker..."
"Ya, gue itu hacker-nya," kilah Erika.
"Betul kata Rima," Vik angkat bicara. "Karena kamu
tau jalan pikiran hacker, kamu pasti bisa mengatasi me?
reka, kan?" Erika hanya membisu. "Gimana? Kamu mau bekerja untukku?"
Sesaat Erika tidak menyahut. "Gue nggak akan dijadiin
OB, kan?" "Nggak lah," Vik menggeleng. "OB kan office boy,
sementara kamu itu office girl..." Cowok itu menyeringai
saat Erika mendelik lagi. "Iya, aku nggak akan nyuruhnyuruh kamu melakukan hal remeh-temeh begitu. Kamu
hanya perlu bekerja di depan komputer."
Erika diam lagi. "Akan gue pikirin lagi nanti."
"Dasar jual mahal," cibir Vik. "Yah, sementara kamu
pikir-pikir, kita sekarang berdamai dong."
Wajah sohibku itu tampak malu. "Yep."
"Kamu nggak mau minta maaf sama aku?"
"Buat apa?" dengus Erika.
"Buat ngambek sampe berhari-hari padahal yang aku
pikirin cuma kamu." Wajah Erika makin memerah. Lalu, tanpa kusangkasangka, dia berkata, "Sori, gue emang salah."
Astaga, hari ini memang tidak ada duanya!
Sebelum kami sempat meresapi kenyataan yang tak
bisa dipercaya ini, terdengar suara Rima merusak sua?
sana. 295 Isi-Omen3.indd 295 "Omong-omong," katanya seraya membalikkan tu?
buhnya, "mata-mata kalian itu OJ."
"Mata-mata?" Erika terheran-heran. "Mata-mata apa?"
Tapi Rima tidak mendengar kami lagi. Cewek itu me?
nyeruak di antara kerumunan dan lenyap dalam sekejap.
Entah itu hanya tipuan mata atau apa, tapi terkadang
rasanya Rima memang tidak mirip manusia biasa. Dan
semua yang diucapkannya barusan kedengaran seolaholah dia tahu segala hal.
Seolah-olah dia memang seorang peramal.
Aku berpaling pada Les. "Jadi bener kata Rima? Matamata kalian itu OJ?"
"Yah." Les mengacak-acak rambutnya yang dicat me?
rah. "Di antara kalian, hanya dia yang cukup bersahabat
dan bisa diajak kerja sama." Ditatapnya aku dengan
penuh selidik. "Nggak boleh, ya?"
"Yah, bukannya nggak boleh," sahutku sambil meng?
angkat bahu, "tapi kurasa lebih baik kalau aku yang jadi
mata-mata kalian." "Kamu?" Mata Les berkilat-kilat. "Kamu mau jadi matamataku?"
"Yah, mata-mata pekerjaan yang keren, kan?" seringai?
ku. "Keren banget," sahut Les, "dan aku suka sekali punya
pacar mata-mata yang cantik."
Aku tertawa kecil dan membiarkan Les memelukku.
Kurasakan bibirnya menyapu dahiku dengan lembut.
Perasaan damai dan bahagia melingkupiku, perasaan me?
nyenangkan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Mendadak mataku menangkap sosok yang sedang
296 Isi-Omen3.indd 296 memisahkan diri dari kerumunan. Sosok yang tampak
sedih dan kesepian. Putri Badai. Aku melepaskan diri dari Les. "Les, tunggu sebentar ya."
Les menatapku dengan sorot mata bertanya-tanya, tapi
dia hanya mengangguk. Inilah salah satu yang kusukai
dari Les. Cowok itu sama sekali tidak memaksaku untuk
menjelaskan setiap tindakanku, padahal terkadang aku
bertindak berdasarkan impuls.
Perlahan, aku menghampiri Putri. Rasanya tidak tega
melihat cewek itu menatap lurus ke mobil polisi, melihat
Dicky yang sedang dipaksa masuk ke jok belakang mo?
bil. "Aku paling benci dikasihani."
Aku terperanjat mendengar ucapan itu. Putri masih
menatap mobil polisi itu selama beberapa saat sebelum
akhirnya menoleh padaku. "Mukamu seolah-olah menyiratkan aku cewek paling
malang di dunia," ucapnya dingin. "Kamu salah be?sar."
Oke, aku jadi tidak enak hati tertangkap basah begini.
"Sori." Putri kembali berpaling ke arah mobil polisi. Dicky
sudah lenyap, sementara sirene mulai dinyalakan. "Aku
selalu tahu, aku nggak akan berakhir dengan Dicky.
Bukan karena dia nggak baik padaku. Sebaliknya, selama
ini dia selalu bersikap baik dan murah hati padaku.
Terlalu baik dan murah hati, sampai kadang-kadang ku?????
pikir dia nggak nyata."
Mobil itu meluncur pergi, lalu lenyap dari pandangan,
tapi Putri masih tetap memandangi arah kepergiannya.
"Ternyata dia memang nggak nyata. Di depanku, dia
297 Isi-Omen3.indd 297 selalu menerimaku apa adanya. Begitu memujaku, begitu
me?nyayangiku. Nggak ada cowok lain yang memperlaku?
kan ceweknya sebaik dia memperlakukanku. Tapi di bela?
kangku, dia menganggap dirinya terlalu bagus buatku.
Menganggapku begitu menyebalkan, sampai-sampai harus
selingkuh, sampai-sampai mencelakai begitu banyak
orang hanya untuk lepas dariku."
Mata cewek itu kering, tapi ada begitu banyak rasa
sakit dalam setiap kata yang diucapkannya.
"Suatu saat, akan ada cowok lain yang lebih baik, Kak
Putri," ucapku pelan.
Bibir kecil dan merah itu tersenyum. "Mungkin. Mung?
????kin juga nggak. Apa pun jadinya, untuk sementara ini,
aku nggak akan mikirin hal itu dulu. Lebih baik aku
fokus untuk membangun kembali The Judges."
Aku kaget. "The Judges masih akan tetap berdiri?"
"Udah kubilang, aku nggak akan membiarkan
organisasi yang udah berdiri belasan tahun ini runtuh di
bawah pimpinanku. Tentu saja, beberapa anggota senior
harus dipecat." Putri tersenyum dingin. "Kita nggak akan
memelihara ular berbisa di dalam rumah sendiri, kan?"
Aku menyadari bahwa ular yang dimaksud adalah
teman-temannya yang diam-diam mendukung hubungan
Dicky dan Lindi. "Ya."
"Aku akan membutuhkan bantuanmu." Putri meng?
ulurkan tangannya padaku, dan aku segera menyambut?
nya. "Tolong ya, Valeria Guntur."
"Ya, Kak," senyumku.
"Dan juga kamu, Erika Guruh."
Aku menoleh dan melihat Erika berjalan tertatih-tatih
mendekati kami. 298 Isi-Omen3.indd 298 "Si Putri Es minta bantuan gue." Erika menyalami
Putri seraya nyengir padaku. "Cihuy banget, nggak?"
"Cihuy banget," ucapku geli. "Jadi, apa tugas kita yang
per?????tama?" "Menyusun kepengurusan OSIS yang baru," sahut
Putri, kembali ke sikapnya yang dingin dan serius. "Kita
akan bersikap demokratis di sekolah, tapi sebenarnya
susunan kepengurusan sudah kita atur sehingga semua?
nya sesuai keinginan kita. Erika, aku ingin kamu yang
jadi ketua OSIS tahun depan."
Sesaat Erika hanya menatap kosong. Lalu dia pun
berbalik. "Ayo, Val, kita pulang aja."
"Tapi..." Putri tampak bingung. "Apa kamu nggak mau
jadi ketua OSIS, Erika? Semua kekuasaan itu?"
"Nggak!" "Gimana dengan kamu, Valeria? Kamu bisa menjadikan
sekolah ini lebih baik..."
"Nggak," sahutku sambil tersenyum padanya. "Aku
dan Erika nggak punya ambisi untuk jadi pusat
perhatian. Malahan, semakin tersembunyi semakin baik
buat kami..." "Itu sih elo aja," tukas Erika sambil merangkulku.
"Kalo gue, gue selalu butuh seorang lawan lagi. Cari
ketua OSIS yang keren, Put, ketua OSIS yang bisa jadi
lawan yang pantas buat gue."
Tak pernah kami duga, pilihan Putri Badai belakangan
benar-benar membuat kami berdua tunggang-langgang.
299 Isi-Omen3.indd 299 Epilog Rima Hujan, X-B "RIMA, tunggu!"
Suara itu lagi. Aku berlagak tuli dan meneruskan langkah. Biasanya
itu sudah cukup untuk membuat orang-orang berhenti
memanggilku. Soalnya, yah, aku kan tidak sepenting itu
untuk dikejar-kejar. Tapi orang yang satu ini memang
berbeda. Entah itu karena gigih atau hanya sekadar
bermuka badak. "Rima!" Mendadak lenganku ditahan?dan pelakunya seperti?
nya adalah mumi, karena yang kurasakan bukanlah kulit
manusia, melainkan perban. Jantungku serasa copot dari
rongganya. Meski begitu, aku berhasil membalikkan ba?
dan dan menampakkan wajah tanpa ekspresi, yang
nyaris saja luluh melihat seringai Daniel.
"Kurasa kamu udah diperingatin dokter untuk nggak
ngegunain tanganmu dulu sementara ini," cetusku.
"Tapi mau gimana lagi?" Daniel mendekat, dan jan?
tung??ku makin meloncat-loncat tak keruan. "Gue emang
pa?sien yang bandel kok."
300 Isi-Omen3.indd 300 "Bukan cuma sebagai pasien kan, kamu bandel?"
Aku semakin mengkeret saat Daniel mengangkat ta?
ngan?nya untuk menyisir rambutku. Rasanya seperti
belaian?tapi sayangnya bukan. Pasti rambutku acakacakan setelah berbagai aksi yang kami lakukan di dalam
perpustakaan tadi. Pasti tampangku konyol luar biasa?
konyol dan seram, sesuatu yang jelas-jelas tak enak di?
lihat. Jadi tidak heran dia berusaha merapikan penampil?
anku. "Lo bener-bener berani tadi di dalam sana, Rim," ucap
Daniel dengan suara lembut yang membuatku nyaris
meleleh. Oh, tidak, aku tidak boleh terlena lagi. "Kita
se?mua selamat berkat elo."
"Kita semua selamat berkat kemunculan Ajun Inspek?tur
Lukas," sahutku jujur. "Dan aku nggak lebih berani dari?
pada teman-teman yang lain. Buktinya, kalian semua ter?
luka, tapi aku baik-baik aja." Sesaat aku berusaha me?nahan
diri untuk melontarkan pertanyaan yang mungkin seharus?
nya tak kutanyakan, tapi kekhawatiranku terlalu besar
untuk kusingkirkan. "Gimana tanganmu? Baik-baik aja?"
"Yep." Daniel mengangkat tangannya yang diperban
dan menatapnya dengan bangga. "Katanya, setelah sem?
buh nanti, gue akan tetap bisa main piano seperti biasa.
Yah, seperti biasa, gue emang terlalu jago untuk dihancur?
kan. Huahahaha." Aku tersenyum mendengar tawa yang sengaja dibuatbuat itu. Cowok ini memang tidak kalah pedenya di?
bandingkan Erika. "Baguslah kalo begitu," sahutku, memutuskan sudah
waktunya aku mengakhiri percakapan ini. "Aku pamit
dulu, ya." 301 Isi-Omen3.indd 301 "Tunggu dulu, Rim."
Sekali lagi aku mendapatkan tanganku dicekal oleh
tangan mumi itu. Kali ini aku tidak menoleh.
"Kenapa rasanya lo lagi menghindari gue?"
Aku tersenyum di balik rambut tiraiku. Untunglah, ke?
getiran yang pastinya tecermin di wajahku tidak terlihat
olehnya. "Aku emang menghindari kamu, Niel."
"Kenapa?" Nada suara itu begitu lugu, seolah-olah tidak mengerti
apa yang kumaksud, padahal yang namanya Daniel
Yusman sama sekali bukan makhluk polos dan lugu.
Karena itu, kuputuskan untuk blakblakan saja.
"Karena aku suka sama kamu."
Sumpah, kalau aku tidak tahu lebih baik, aku bakalan
percaya cowok itu sedang shock hebat.
"Aku suka sama kamu, di saat aku tau betul perasaan?
mu hanya tertuju pada Valeria Guntur. Aku tetap suka
sama kamu, di saat kamu jelas-jelas nunjukin bahwa
waktu ada Valeria, kamu nggak memedulikan keberadaan
orang lain, termasuk aku. Juga di saat kamu mengorban?
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan tanganmu untuk Valeria, tanpa ingat bahwa
tanganmu adalah salah satu hal yang paling berharga
bagimu." Aku diam sejenak. "Aku merasa seperti orang
bodoh, berharap setengah mati kamu mau menoleh pada?
ku di saat ada Valeria. Aku merasa tolol karena mengira
kamu benar-benar mau berteman denganku, padahal
kamu hanya mau memanfaatkanku. Aku merasa konyol
mengorbankan diriku karena nggak tahan melihat kamu
terluka. Semua ini harus kuhentikan, sebelum aku mulai
benci sama diriku sendiri. Jadi maaf, kalo kamu mau
mencari cewek untuk diperalat, cari aja cewek lain yang
302 Isi-Omen3.indd 302 lebih bodoh dariku. Aku adalah Rima Hujan, dan meski
aku bukan siapa-siapa, aku juga bukan pecundang..."
Aku terpana saat Daniel menarikku ke dalam pelukan?
nya. Sesaat aku hanya bisa bengong saat dia memelukku
erat-erat. Pelukan cowok itu kokoh dan menenangkan.
Samar-samar tercium bau Betadine bercampur wangi khas
Daniel yang sepertinya berasal dari sabun mahal yang
dipakainya. Andai waktu bisa berhenti selamanya seperti ini.
"Sori, sori gue nggak tau selama ini, Rim. Sori."
Hati?ku tercekat saat merasakan bibir Daniel menyentuh
puncak kepalaku. "Gue emang belet banget."
"Belet?" gumamku antara sadar dan tiada, mabuk oleh
perasaan yang melayang-layang. "Maksudmu bolot?"
"Iya, tapi belet itu levelnya lebih parah."
Tanpa sadar aku tersenyum. Perasaan asing yang ha?
ngat menjalari seluruh tubuhku, masuk jauh ke dalam
hati?ku. Apakah perasaan disayang itu rasanya seperti
ini? Tidak. Daniel itu cowok playboy. Dia tipe cowok yang
sanggup memanipulasi perasaanku, membuatku mengira
dia benar-benar tulus padahal sesungguhnya tidak. Aku
memang bodoh dalam hal-hal beginian, tapi aku tak bo?
leh kembali tertipu dengan begitu mudahnya. Seperti
kata orang bijak, "Fool me once, shame on you, but fool me
twice, shame on me." Kalau sampai aku dibodohi sekali
lagi, saat aku patah hati nanti, semua itu murni kesalah?
an?ku. Aku mendorong Daniel perlahan, melepaskan diri dari
pelukannya. "Rima...." 303 Isi-Omen3.indd 303 "Kamu jangan khawatir. Aku nggak marah sama kamu
kok." "Tapi," suara Daniel terdengar cemas, "kita tetap ber?
teman, kan?" "Ya." "Kayak dulu lagi?"
Aku memilih kata dengan hati-hati. "Sebaiknya nggak."
"Kenapa?" tanya Daniel. Suaranya seakan-akan menyirat?
kan kepanikan?tapi mungkin itu harapanku saja. "Nggak,
enak aja. Gue nggak sudi! Gue nggak mau kehilangan lo,
Rim..." "Niel," selaku lembut. "Aku nggak pernah jadi punya?
mu kok. Gimana mungkin kamu merasa kehilangan?"
Daniel tampak shock mendengar ucapanku, dan aku
sen?diri merasa bersalah melontarkan kata-kata yang
begitu tega itu. Tapi semuanya harus disudahi. Dalam
hidup?ku, aku masih punya banyak tugas penting, dan
aku tidak boleh membiarkan masalah-masalah pribadi
menyita pikiranku terlalu banyak.
"Rima, plis. Ini nggak adil. Jangan begitu sama gue,
Rim. Buat gue, elo..."
Demi kewarasanku sendiri, kuputuskan untuk tidak
meng?indahkan ucapannya lagi. Jadi aku pun melangkah
pergi, keluar dari hidup cowok yang pernah sangat ber?
arti bagiku. *** "Udah selesai drama percintaannya?"
Aku memandangi cewek itu dari balik rambut tiraiku.
Rambut panjang yang dikucir dan ditutupi topi pet
304 Isi-Omen3.indd 304 sudah menjadi ciri khasnya yang selalu efisien dan tidak
banyak cincong, menutupi seraut wajah yang tampak
polos. Yep, tampaknya saja polos, tapi kalau kita benarbenar memperhatikan, kita akan menemukan kerap kali
sepasang mata bulat itu menyorotkan sinar cerdik yang
nyaris mendekati licik. Yah, terkadang cewek ini memang licik juga.
"Ternyata kamu masih perhatiin aku," senyumku pada?
nya. "Kukira kamu terlalu sibuk nyari duit." Lalu dengan
suara rendah kutambahkan, "Si Makelar."
Hanya sesaat, tapi mata cewek itu langsung melayang
ke sekitar kami. Setelah melihat keadaan aman, wajahnya
mulai rileks, tapi bibirnya tetap cemberut. "Jangan pang?
gil gue dengan nama itu."
"Maaf," ucapku menyesal. "Aku tau penyamaran itu
penting untukmu. Hanya aja, saat ini aku nggak punya
mood untuk meladeni sindiran kamu."
"Ya, sebenarnya gue nungguin lo bukan karena gue
kepingin jailin lo. Gue cuma mau meyakinkan lo masih
tetep bisa ngejalanin tugas lo dengan baik."
"Jangan khawatir," ucapku datar. "Sebentar lagi Erika
nggak akan miskin lagi. Saat itu dia nggak akan gengsi
lagi untuk tinggal di tempat yang lebih baik. Dalam
waktu singkat, dia akan menghubungi kamu. Kuharap
kamu bisa membujuknya untuk tinggal bersama kami."
"No problemo. Tapi, seharusnya lo bisa bujuk dia lebih
cepat." "Erika bukan orang yang mau menerima bantuan
cuma-cuma dengan begitu gampangnya. Dia sangat
angkuh dalam soal itu. Kalo kamu melakukan tugasmu
dengan baik, seharusnya kamu tau itu."
305 Isi-Omen3.indd 305 "Iya, iya, gue tau." Cewek itu menggerutu. "Gue cuma
nggak kepingin semua rencana kita hancur berantak?
an." "Semuanya berjalan dengan baik kok," ucapku. "Kedua
cewek itu udah berada di bawah pengawasanku. Putri udah
berhasil memasukkan kita semua ke dalam The Judges..."
"Nyaris gagal, kalo gue boleh komen. Udah gue bilang,
Dicky bukan cowok yang baik, tapi dia nggak mau
dengerin." "Tapi waktu itu kita semua sepakat Dicky Dermawan
salah satu cowok yang memenuhi syarat untuk meng?
angkat status Putri. Dan yang lebih penting, sekarang
semua kekacauan udah dibereskan, kan?" Aku menatap
cewek itu dalam-dalam. "Kamu yakin kamu bisa meng?
hadapi Erika? Hati-hati. Dia nggak akan segampang itu
memercayaimu. Dia jauh lebih parno daripada Valeria.
Apa kamu sanggup mempertahankan penyamaran?mu?"
"Jangan khawatir," senyum Aya, alias Aria Topan. "Serah?
???kan semuanya padaku."
306 Isi-Omen3.indd 306 Profil Pengarang Lexie Xu adalah penulis kisah-kisah
bergenre misteri dan thriller. Seorang
Sherlockian, penggemar sutradara J.J.
Abrams, dan fanatik sama angka 47.
Muse alias dewa inspirasinya adalah F4/
JVKV. Suka banget dengan Big Bang dan
Running Man. Saat ini Lexie tinggal di
Bandung bersama anak laki-lakinya, Alexis
Maxwell. Karya-karya Lexie yang sudah beredar adalah Johan Series yang
terdiri atas empat buku: Obsesi, Pengurus MOS Harus Mati,
Permainan Maut, dan Teror, serta Omen Series yang baru terbit dua
buku: Omen dan Tujuh Lukisan Horor. Selain dua serial ini, Lexie
juga ikut menulis dalam kumcer Before The Last Day bersama rekanrekan penulis.
Kepingin tahu lebih banyak soal Lexie?
Silakan samperin langsung TKP-nya di www.lexiexu.com. Kalian
juga bisa join dengannya di Facebook di www.facebook.com/lexiexu.
thewriter, follow di Twitter melalui akun @lexiexu, atau mengirim
email ke lexiexu47@gmail.com.
xoxo, Lexie Isi-Omen3.indd 307 Isi-Omen3.indd 308 Baca buku pertamanya! GRAMEDIA penerbit Isi-Omen3.indd 309 buku utama Isi-Omen3.indd 310 Jangan lupa buku keduanya!
GRAMEDIA penerbit Isi-Omen3.indd 311 buku utama Isi-Omen3.indd 311 OMEN #3 File 3 : Kasus penganiayaan murid-murid SMA Harapan Nusantara dalam
proses seleksi anggota organisasi rahasia "The Judges".
Tertuduh : Penyelenggara proses seleksi itu, alias para anggota "The Judges"
yang semuanya misterius, mencurigakan, dan menyebalkan. Sifat
sok berkuasa mereka membuat mereka jadi tertuduh ideal. Belum
lagi undangan demi undangan yang dilayangkan pada para anggota
kendati sudah terjadi peristiwa-peristiwa tak mengenakkan,
menandakan mereka tidak peduli pada korban. Tentu saja, tertuduh
utama adalah pemimpin organisasi sok keren ini, si Hakim Tertinggi.
Fakta-fakta : Pada minggu terakhir tahun ajaran, surat-surat undangan
dilayangkan pada anak-anak paling cerdas dan berbakat di kelas
X, mengajak kami untuk mengikuti proses seleksi untuk menjadi
anggota organisasi paling berpengaruh di sekolah kami. Tidak
dinyana, satu per satu kami diserang secara brutal pada proses
seleksi, ditinggalkan dalam posisi seolah-olah mereka menjadi
korban ritual sebuah upacara.
Misi kami : Menemukan pelaku kejahatan sebelum kami sendiri menjadi
korban. Penyidik Kasus, Erika Guruh, Valeria Guntur, dan Rima Hujan
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com
misteri organisasi rahasia the judge.indd 1
Keajaiban Negeri Es 3 Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin Si Tangan Sakti 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama