Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy Bagian 1
?BIDADARI BERMATA BENING Penulis: Habiburrahman El Shirazy
BAGIAN 1 Hujan baru saja reda. Genting-genting masih basah. Ujung-ujung dedaunan sesekali masih meneteskan air sisa hujan. Air menggenang di beberapa bagian halaman pesantren. Angin dingin mendesau mengibarkan jilbab para santriwati yang sedang berjalan menuju tempat makan pagi. Sebagian menuju dapur Bu Nyai Fauziyah, sebagian menuju dapur para ustadzah senior yang dipercaya menyediakan makan para santri.
Wajah para santriwati itu tampak semringah.
Di dapur yang di kelola Bu Nyai Nur Fauziyah, ratusan santriwati riuh berkerumun seumpama kawanan bidadari. Wajah-wajah mereka polos murni berseri-seri. Sebagian telah mendapatkan jatahnya, mereka duduk di bangku-bangku panjang dan melahap menu sarapannya sambil bercengkerama. Sebagian masih antre. Sebagian lainnya sedang mengulurkan piringuntuk diisi menu sarapannya. Sebagian lagi sibuk mencari tempat duduk. Dan bila tidak menemukan tempat lagi untuk duduk, mereka membawa sarapannya ke serambi asrama pesantren dan makan di sana.
Ayna dan tiga orang santriwati khadimah Bu Nyai melayani para santriwati dengan cekatan. Wajah Ayna tampak lebih bercahaya dibandingkan ketiga temannya. Seorang santriwati kecil mengulurkan piringnya pada Ayna sambil terus memandangi wajahnya. Tangan Ayna meraih piring itu dan mengisinya dengan nasi, sayur oseng kangkung, sepotong tempe goreng, sepotong telur dadar, dan sambal. Ayna merasa wajahnya terus diperhatikan oleh santri kecil itu.
"Ada apa, Dik?" tanya Ayna sambil memberikan piring itu kepada santri kecil itu.
"Ah, nggak. Saya hanya suka mandang wajah Mbak Ayna. Adem dan sedap."
"Waduh, emangnya wajahku ini mi goreng ya?"
"Menurutku Mbak Ayna paling cantik di sini. Suer!"
"Hus! Ngawur kamu! Sudah sana, masih banyak yang antre!"
Santri kecil berkerudung biru itu ngeloyor pergi sambil sesekali menengok dan melihat wajah Ayna.
Seorang santri gemuk mengulurkan piring sambil tersenyum.
"Eh, Rohmatun, sudah balik lagi. Lho, katanya pulang ke Trenggalek?"sapa Ayna.
"Iyo, Na. Tapi hari ini kan pengumuman hasil UN, ya aku harus balik. Penasaran!"
"Kan bisa diberitahu sama temen-temen pakai SMS, Tun. Tapi bapakmu nanti datang kan pas acara perpisahan?"
"Ya, insya Allah, kalau lulus."
"Insya Allah, lulus."
"Aamiin." "Jadi lanjut kuliah ke Malaysia?"
"Nggak, mamaku inginnya aku kuliah di Surabaya saja."
Tiba-tiba santriwati yang ada di belakang Rohmatun yang tadinya sibuk ngobrol dengan santriwati di belakangnya ikut nimbrung.
"Kau sangat beruntung bisa lanjut kuliah, Tun. Lebih beruntung daripada Ayna! Ya kan, Na?"
Ayna diam. "Kamu nggak lanjut kuliah, Na? Kamu kan pinter, lebih pinter daripada aku? Mosok nggak kuliah."
"Bukan masalah pinter, tapi masalah mental dan habitus keluarga. Jika Ayna lulus Aliyah, lalu lanjut mondok di sini jadi khadimah Bu Nyai, itu sebuah kemajuan luar biasa. Daripada lulus Aliyah jadi TKW di Arab, kayak ibunya!"
Ayna terhenyak mendengar kalimat yang menusuk itu. Ia menahan emosinya.
"Kamu nggak boleh ngomong gitu, Neng!" Rohmatun mengingatkan tegas.
"Lho, kenapa? Hei Ndut, aku ini ngomong kenyataan. Lihat saja nanti, setelah kita lulus nanti, enam bulan aku tunggu kabarnya. Prediksiku Ayna nggak bakalan kuliah. Ia akan tetap jadi khadimah di sini, atau jadi babu di Arab kayak ibunya dulu!"
"Neneng, tolong jangan bawa-bawa ibuku!"potong Ayna.
Suasana agak panas. "Nggak usah marah, ini cuma prediksi. Kau juga boleh memprediksi diriku. Yang jelas, aku sudah diterima di salah satu universitas terkenal di Jakarta, bahkan sebelum UN."
"Biar aku yang memprediksi deh. Kalau Ayna aku tahu nggak tegaan. Kau akan kuliah di universitas swasta di Jakarta, terus belum selesai kuliah kau nikah sama lelaki yang kau merasa salah pilih! Itu masih lumayan. Mungkin besok, malah justru kamu yang jadi babu di Arab!" sahut Rohmatun.
"Prediksi yang ngawur!"
"Kau juga ngawur. Lihat saja, aku kalau nyepatani orang sering jadi kenyataan! Hati-hati!" gumam Rohmatun sambil mengeloyor pergi. Beberapa santriwati tersenyum mendengar kata-kata Rohmatun yang ceplas-ceplos tanpa beban. Ayna tersenyum dalam hati. Ia merasa tidak perlu membalas ejekan Neneng, sebab Rohmatun telah mewakilinya.
"Nyepatani itu apa sih?" tanya Neneng kepada santriwati yunior yang ada di belakangnya. Meskipun sudah hampir tiga tahun belajar di pesantren itu, tapi tidak semua kosa kata bahasa Jawa ia pahami.
"Nyepatani itu artinya menyumpahi," jawab yang ditanya.
"Sial, dasar gendut mulut bebek, awas nanti!" geram Neneng sambil memandangi Rohmatun yang semakin jauh.
"Neng, mau sarapan nggak? Adik-adik pada nunggu antrean." Ayna mengingatkan pelan.
"Kalau nggak mau sarapan ngapain aku di sini? Bloon banget sih! Nih, tolong nasinya dikurangi dikit, sayurnya dibanyakin, yah!" ketus Neneng sambil menyodorkan piringnya.
Ayna mengulurkan tangannya untuk mengambil piring Neneng.
"Na!" Seorang santriwati berjilbab biru berjalan tergesa mendekati Ayna.
"Na, dipanggil Bu Nyai. Penting!"
"Yah, baik." Ayna urung mengambil piring Neneng dan bergegas ke rumah Bu Nyai tanpa melihat wajah Neneng sama sekali. Neneng tampak kesal merasa dicuekin.
"Neng, kamu bisa tolong menggantikan posisi Ayna. Kasihan itu adik-adik harus segera masuk kelas. Kalau kamu kan sudahnggak masuk kelas. Tolong, yah!" kata Mbak Ningrum sambil sibuk meladeni para santriwati yang mengambil jatah sarapan.
"Wah, tapi saya ada kerjaan di kamar, Mbak! Penting!" Neneng menolak dengan nada mengeluh.
"Biar saya saja Mbak," seorang santriwati berkerudung hijau muda mengajukan diri.
"Oh Zulfa, terima kasih, Zul. Semoga kau lulus UN, dan barokah hidupmu, Zul." "Aamiin."
Ayna mengendarai sepeda motor matic dengan kecepatan sedang. Meskipun sudah tidak hujan Ayna tetap memakai jas hujan, ia khawatir tiba-tiba hujan turun lagi. Selain itu juga untuk menahan dingin saat berkendaraan.
Ayna menambah kecepatan laju motornya.
Ia harus segera tiba di Pasar Pahing Secang. Kalau terlambat, ia bisa tidak mendapatkan barang-barang yang diinginkan Bu Nyai, karena penjualnya terlanjur pulang. Ia tidak berani memacu lebih kencang, jalanan tampak licin karena masih basah oleh air hujan. Selokan di kanan kiri jalan mengalirkan air cukup deras. Di beberapa tempat air selokan meluap sampai tengah jalan. Areal persawahan di kanan kiri jalan tertutup air berwarna cokelat. Hujan tadi malam memang deras dan lama.
Ayna mengendarai motornya sambil memperbanyak membaca shalawat. Shalawat adalah doa keselamatan dan kesejahteraan. Siapa mengirim satu shalawat kepada Baginda Nabi, maka Allah akan mengirim sepuluh shalawat kepadanya. Orang itu dalam jaminan keselamatan Allah SWT. Seperti itu Pak Kyai Sobron Ahsan Muslim, suami Bu Nyai Fauziyah, pengasuh utama pesantren di mana ia belajar, mengajarkan.
Pasar Pahing Secang masih ramai. Ayna lega. Ia memarkir motor di tempat langganannya. Setelah membuka helm dan jas hujan ia berjalan ke dalam pasar. Beberapa pasang mata memerhatikan dirinya dengan saksama.
"Oalah Nduk, anake sopo, kok ayune koyok wedokdari!" gumam lelaki setengah baya berkumis tebal sambil terus memandangi sosok Ayna.
"Ojo kurang ajar, War, itu santrinya Kyai Sobron. Kuwalat kamu! Itu juga langgananku. Awas, kalo macem-macem sama dia!" sahut Pak Maksum, penjual daging ayam.
Ayna mendengar obrolan itu, tapi ia pura-pura tidak dengar. Selama mereka tidak ada yang benar-benar kurang ajar, ia tidak akan meladeni. Jika sedikit saja berbuat kurang ajar, meski cuma sekadar mencolek, ia akan menghajarnya. Dan ia sangat yakin orang-orang pasar akan membelanya, sebab mereka sangat menghormati Kyai Sobron Ahsan Muslim.
Bu Nyai Nur Fauziyah memintanya untuk mencari ikan tongkol, bumbu mangut, serta buah mlanding untuk dibuat bothok.
"Kyai Thayyib dari Cirebon akan mampir. Kyai Thayyib itu teman karib Romo Kyai Sobron pas mondok di Ploso, Kediri, dulu. Kesukaannya mangutikan tongkol, dan bothokikan teri yang dikasih buah mlanding. Kamu cari di pasar, harus dapat. Dan nanti langsung kamu masak! Bothoknya biar aku yang buat, kamu masak mangutikan tongkolnya. Kata Romo Kyai Sobron, mangut buatan kamu paling enak yang pernah ia rasakan."
Kata-kata Bu Nyai Nur Fauziyah masih terngiang di telinganya. Ada kebahagiaan menyusup ke dalam hatinya, bahwa masakannya dipuji Bu Nyai dan Pak Kyai. Ia seperti mendapatkan kehormatan luar biasa. Bu Nyai dan lebih khusus Pak Kyai, tidak bisa menerima masakan setiap khadimah. Dan masakan yang ia buat tidak hanya diterima tapi disanjung.
Ayna sampai di depan lapak penjual ikan tongkol. Lapak itu kosong. Ayna menengok ke kiri dan ke kanan mencari-cari kalau ada yang jualan ikan tongkol.
"Beli lele saja Mbak. Bu Tuminah, bakul ikan tongkol nggak berangkat," sapa Mbok Yem, penjual ikan lele.
"Matur nuwun, Mbok. Bu Nyai inginnya ikan tongkol."
"Ogitu. Coba ke pojok barat sana. Pak Darsono kadang-kadang bawa ikan tongkol. Kalau dia nggak bawa, coba kamu langsung ke rumahnya Bu Tonah."
"Rumah Bu Tuminah mana, Mbok."
"Desa Pucang." "Ancer-ancer-nya, Mbok?"
"Dari sini, kamu ke arah utara. Itu susuri jalan Klopo-Sanggrahan sampai ketemu MI Ma'arif Pucang. Lha, tak jauh dari situ nanti ketemu warung miayam Al Barokah, di belakang warung itu rumahnya. Yang jualan mi ayam itu anaknya."
"Matur nuwun nggih, Mbok Yem."
"Sama-sama. Titip salam buat Bu Nyai. Bilang kok lama nggak beli lele. Apa para santri nggak kangen lele."
"Ya, nanti saya sampaikan, Insiya Allah."
Ternyata Pak Darsono tidak punya ikan tongkol. Ayna menyusuri seluruh bagian Pasar Pahing, tidak ia temukan ikan tongkol. Ia merasa bertanggung jawab untuk mendapatkan ikan tongkol itu, maka setelah mendapatkan bumbu mangut dan bahan-bahan membuat bothok ia langsung mengendarai sepeda motornya ke rumah Bu Tuminah, bakul ikan tongkol. Sayang, sampai di sana, Bu Tuminah tidak punya stok ikan tongkol sama sekali.
"Kalau ada barangnya, ya saya pasti ke pasar, Mbak. Sejak kemarin saya tunggu kiriman dari Tuban, nggak datang-datang."
"Kira-kira di mana saya bisa dapat ikan tongkol, ya Bu? Penting banget. Barang itu kadang-kadang pas tidak diperlukan ada banyak di hadapan kita, eh pas diperlukan susah dicari."
"Coba kamu ke Pasar Secang, bukan Pasar Pahing, lho ya. Pasar Secang. Di sana ada Yu Darsih, semoga dia jualan dan ada stok."
"Inggih, Bu. Matur nuwun."
Tanpa membuang waktu, Ayna meluncur ke Pasar Secang menembus derai hujan yang kembali turun. Akhirnya ia mendapatkan ikan tongkol dari lapak Yu Darsih, meskipun harganya sedikit lebih mahal dibandingkan Bu Tuminah.
Kesibukan memburu ikan tongkol dan memasaknya membuat Ayna lupa bahwa hari itu adalah hari pengumuman hasil UN. Ayna masih asyik di dapur ndalem Bu Nyai Fauziyah, mangut ikan tongkol telah selesai ia masak dan siap dihidangkan. Kini ia membantu Bu Nyai membungkus adonan bothok dengan daun pisang sebelum dikukus.
"Na, rampungkan lalu dikukus. Setelah itu boleh kamu tinggal. Aku mau shalat Dhuha dulu."
"Inggih, Bu Nyai."
Ayna meneruskan pekerjaan Bu Nyai. Tinggal beberapa bungkus saja. Setelah itu ia kukus. Ia bersiap bersih-bersih badan. Ia baru sadar bahwa dirinya belum mandi. Usai shalat Shubuh ia langsung membantu memasak di dapur untuk ratusan santri, lalu ikut melayani para santriwati yang mengambil jatah sarapannya.
Kini, ia merasakan bahwa ia lapar dan letih. Ia juga belum sarapan. Rasanya ingin makan, mandi lalu istirahat tidur. Ayna bergegas meninggalkan dapur ndalem Bu Nyai menuju dapur kantin tempat para santriwati makan.
Mbak Ningrum, Mbak Titin, dan Mbak Romlah, sudah mulai bekerja menyiapkan bahan-bahan untuk makan siang para santriwati.
"Sarapan masih ada, Mbak Rum?"
"Masih. Itu di bawah tudung."
"Kok agak pucat dan lemes, kamu lulus kan?"
"Oh iya ya, hari ini pengumuman."
"Kamu belum ambil?"
"Belum. Ini baru kelar semua urusan, alhamdulillah."
"Makan dulu terus ambil pengumuman. Teman-temanmu masih di sana. Semoga lulus semua. Kasihan kalau ada yang tidak lulus."
"Aamiin." Ayna menyantap nasi dan sayur kangkung yang sudah dingin. Meski begitu, ia tetapmerasa nikmat karena deraan rasa lapar yang teramat sangat. Mbak Titin membuatkan teh panas. Di dapur ini bersama para khadimah, ia merasa memiliki sebuah keluarga yang sangat hangat.
"Kalau saya, lulus senang, kalau nggak lulus juga senang," gumam Ayna.
"Kok, aneh tho kamu, nggak lulus kok senang," tukas Mbak Romlah dengan suara agak cempreng.
"Kalau nggak lulus kan berarti ilmu masih kurang, itu jadi introspeksi bagi saya untuk belajar lagi. Lebih dari itu, kalau nggak lulus kan aku masih di sini bersama mbak-mbak semua yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri."
"Kalau masalah masih di sini, kau bisa saja setelah lulus tetap di sini. Jadi baiknya ya lulus," sahut Mbak Ningrum.
"Doanya saja, mbak."
"Pasti." Dari kejauhan tampak Zulfa berlari dengan wajah riang ke arah dapur. Tangan kanannya tampak membawa dua amplop.
"Aynaaaaaa! Selamaaaaat!" teriak Zulfa.
Semua yang di dapur memandang ke arah Zulfa dengan wajah berbinar. Mereka sangat yakin Zulfa membawa kabar baik.
"Wah, ka. . . kamu heb. . . hebat Ayna," kata Zulfa dengan napas masih terengah-engah.
"Ambil napas dulu yang enak, baru bicara."
"Iya, Na. Ini sudah enakan."
"Kamu lulus?" "Alhamdulillah, Na."
"Aku?" "Kamu tidak hanya lulus, tapi nilai UN-mu terbaik di pesantren ini."
"Kau sudah buka milikku?"
"Belum. Nih, masih utuh segelnya," Zulfa menyodorkan amplop berisi surat hasil UN.
"Kok kamu tahu nilaiku?"
"Tiga nilai terbaik di masing-masing jurusan di-umumkan di papan pengumuman. Jurusan kita, IPS, terbaik kamu. Jurusan IPA terbaik Siti Mahmudah anak Kalimantan, dan jurusan Keagamaan yang terbaik Gus Afif, putra Romo Kyai. Dari semuanya, yang paling tinggi nilai kamu. Edan kamu, Na!"
"Berapa sih nilaiku? Jadi penasaran."
"Sini, Na, aku bukakan. Aku juga penasaran," sahut Mbak Ningrum sambil bawa gunting. Ayna menyerahkan amplop itu pada Mbak Ningrum. Amplop itu tertutup rapat. Dengan hati-hati Mbak Ningrum menggunting bagian pinggir lalu mengeluarkan selembar kertas dari dalam amplop.
"Subhanallah, jumlah nilainya 55,60. Nih, aku baca ya. Bahasa Indonesia nilanya 8,9. Bahasa Inggris 9,5, dan Ekonomi 9,8. Matematika, waduh ini edanbanget,
Matematika 10. Subhanallah. Terus Sosiologi 9,1, dan Geografi 8,3."
Mbak Ningrum menyerahkan kertas itu pada Ayna. Kedua mata Ayna berkaca-kaca membaca isi surat hasil UN miliknya. Zulfa ikut membaca dengan wajah berbinar bangga. Sejurus kemudian Ayna bertakbir dan sujud syukur di lantai dapur itu.
Tak terasa air mata Mbak Ningrum, Mbak Romlah dan Mbak Titin meleleh haru. Baru kali ini ada seorang khadimah bisa meraih nilai tertinggi di pesantren. Ayna seolah-olah mewakili mereka. Ayna bangkit dari sujud syukurnya dan langsung memeluk Mbak Ningrum.
"Terima kasih, Mbak. Ini semua juga karena jasa kalian semua."
"Ini karena kamu telah belajar sungguh-sungguh dan berusaha sangat keras. Aku tahu itu. Di atas segalanya adalah taufik dari Allah."
"Iya, taufik dari Allah. Tapi saya tak bisa melupakan kebaikan Mbak Ningrum, Mbak Romlah, Mbak Titin, juga Mbak Tari yang memberikan saya kesempatan fokus belajar selama dua bulan."
"Kalau itu, wewenang Bu Nyai."
"Saya tahu, yang usul Mbak Ningrum, dan mbak-mbak khadimah yang lain."
"Kami ikut bangga dengan hasil yang kau capai, semoga barokah."
"Saya sebagai teman satu kelas, dan satu kamar juga ikut bangga bahkan sangat bangga," sambung Zulfa ketika Ayna melepas pelukannya pada Mbak Ningrum.
"Alhamdulillah tsumma alhamdulillah tsumma Alhamdulillah," ucap Ayna berkali-kali.
"Eh, Iha Si Neneng gimana? Masuk tiga besar IPS?"tanya Mbak Titin.
"Si Mulut Bebek itu nggak masuk tiga besar, tapi lulus. Tampaknya dia syok. Selama ini dia merasa paling baik di IPS, tapi di ujian paling menentukan ternyata nggak masuk tiga besar,"jawab Zulfa.
"Nomor dua sama nomor tiganya siapa?" tanya Mbak Titin lagi.
"Nomor dua setelah Ayna, si Rifki Pambudi, anak Rembang. Tapi nilainya jauh dari Ayna."
"Lha, nomor tiganya?" kejar Mbak Titin.
"Boleh aku tebak?" sahut Ayna.
"Boleh. Siapa coba?" tukas Zulfa.
"Selama ini yang bersaing dengan Neneng adalah Wirda dan kamu, Zulfa. Tapi kali ini aku menebak nilaimu lebih baik dari Neneng dan Wirda. Nomor tiganya kamu. Iya, kan?"
Kedua mata Zulfa tiba-tiba berkaca-kaca.
"Iya, alhamdulillah, dan aku harus berterima kasih padamu, Na. Aku banyak tertolong oleh ringkasan yang kamu buat. Kau tahu sendiri kan menjelang UN aku sakit."
"Segala puji hanya milik Allah."
"Aku tidak bisa membayangkan seperti apa perasaan Neneng yang sombongnya nggak hilang-hilang itu. Apa ya masih bermulut besar? Semoga jadi pelajaran berharga baginya," gumam Mbak Romlah.
"Ya, semoga dia berubah, tapi kali ini dia tetap angkuh. Aku tadi dihinanya habis-habisan. Menuduhku tidak layak, pasti menyontek, dapat bocoran soal dan lain-lain. Paling parah, ya, tentu saja menghina Ayna."
"Menghina seperti apa lagi?" tanya Romlah.
"Dia bilang tidak masuk akal Ayna dapat nilai setinggi itu kalau tidak dapat bocoran soal. Kalau tidak dapat bocoran soal seperti yang lain lulus saja sudah untung untuk anak haram hasil serong seorang TKW di Arab. Ya, dia boleh bangga saat ini nilainya tertinggi, tapi lihat saja nasibnya nggak akan jauh dari ibunya. Paling-paling nanti jadi TKW di Arab, terus pulang perutnya bunting kayak ibunya dulu! Begitu katanya. Hatiku sakit mendengarnya, tapi aku kalah bicara meladeni dia."
Wajah Ayna memerah mendengar cerita Zulfa.
"Bener dia ngomong kayak gitu, Zul?"
"Demi Allah, bener. Nggak percaya?Nih, kebetulan aku merekamnya. Aku merekam polah tingkah kegembiraan teman-teman, eh Neneng malah kayak gitu!"
Zulfa memutar rekaman video di ponselnya. Ayna menyimak dengan saksama. Apa yang diceritakan Zulfa benar adanya. Api kemarahan membakar dadanya.
"Dia boleh menghina diriku semau dia. Selama ini aku diam saja dikata-katain apa saja sama dia. Tapi dia tidak boleh menghina almarhumah ibuku sedikitpun. Kali ini aku harus buat perhitungan dengannya!" geram Ayna.
Ayna melangkah hendak meninggalkan dapur.
"Ayna, jangan! Jangan kau ladeni si Neneng itu. Biarkan saja, sebentar lagi toh kalian berpisah!" cegah Titin.
"Nggak Mbak. Dia sudah keterlaluan menghina ibu saya. Kali ini saya tidak bisa memaafkan dia begitu saja. Mbak Titin tenang saja, ini urusan pribadi saya sama Neneng. Saya harus kasih pelajaran sama dia agar tidak mudah meremehkan dan menghina siapa pun, tidak hanya saya dan ibu saya."
Gadis itu dengan cepat berkelebat menuju kelas dengan muka merah padam. Zulfa mengikutinya di belakang. Ningrum minta Titin melaporkan kejadian itu pada Bu Nyai. Ningrum melihat Ayna yang biasanya lembut dan pemaaf kali ini benar-benar murka. Ayna tidak main-main.
BAGIAN 2 Belasan santriwati masih ramai berbincang dan berkelakar di taman sekolah, tak jauh dari kantor guru. Mereka membincangkan rencana-rencana setelah lulus. Ada yang ingin belajar lagi di pesantren di kota lain untuk fokus menghafal Al-Qur'an, ada yang ingin melanjutkan belajar di kampus-kampus umum terkenal seperti UI dan UGM, ada yang ingin meneruskan ke UIN, ada yang ingin ke Malaysia, ada yang ingin mencari beasiswa kuliah di Mesir, ada ingin belajar di Yaman, ada juga yang berterus terang akan bekerja membantu orang tua.
"Yang paling kasihan menurutku tetap si Ayna. Lihat aja, dia paling-paling akan meneruskan jejak ibunya jadi TKW. Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya! Nilai UN-nya yang kebetulan tinggi tak akan menolongnya sama sekali!" Nyinyir Neneng yang tidak menyadari bahwa Ayna yang ia gunjing telah sampai disampingnya bersama Zulfa.
"Jaga mulutmu, Neng!"
Kata-kata Ayna yang tegas membuat kaget Neneng dan semua yang ada di situ. Seketika suara riuh mereka sirna sesaat.
"Aku punya salah apa sih padamu, Neng? Apa aku pernah menjahili kamu? Pernah menyakiti kamu, sampai kau terus menghinaku? Hah!"
"Siapa yang menghinamu, santai saja!"
"Kau kira aku tidak dengar? Kau kira aku tidak tahu?"
"Kau terlalu sensitive, Na. Nggak usah sombong nilai UN-mu paling tinggi, terus sensitif begitu!"
"Sensitif? Sombong? Apa nggak kebalik. Okelah, aku maafkan segala penghinaanmu pada diriku. Terserah, kau boleh mengatakan apa saja tentang diriku, Neng. Tapi, tidak tentang ibuku! Kau tidak aku maafkan atas penghinaanmu pada ibuku, kecuali..."
"Kecuali apa?" "Kecuali kau mencabut kata-katamu, kau umumkan di depan seluruh santriwati, kau ngaku salah, lalu minta maaf dan bertaubat tidak akan mengulangi perbuatanmu. Kalau tidak, maka..."
"Maka apa?" "Maka kau layak dicambuk delapan puluh kali!"
"Hah, ngawur emang aku budakmu yang bisa seenak perutmu kau cambuk! Lagian siapa sih yang menghina ibumu? Siapa?"
"Belum ada satu jam yang lalu kau menghinaku sambil menghina ibuku. Kau katakan aku ini anak haram seorang TKW yang serong di Arab, iya kan? Kau mengatakan begitu?"
"Iya betul, tapi aku tidak menghina ibumu. Itu adalah kenyataan. Itu fakta. Ibumu TKW kan? Terus dia pulang dari Arab dalam kondisi hamil, lalu melahirkan anak perempuan di desanya, dan itu adalah kamu! Itu fakta kan?"
"Benar, ibuku TKW pulang dalam kondisi hamil. Tapi ibuku tidak serong. Aku bukan anak haram! Kau menghina ibuku, menuduh ibuku berbuat keji! Ini qadzaf. Aku tidak terima!"
"Dengar ya, Ayna. Aku mendapat informasi lengkap tentang ibumu dari sumber A1, sumber yang sangat bisa dipercaya! Kalau ibumu tidak serong, mana ayahmu, mana?!"
"Ayahku telah meninggal di Stockholm, Swedia, saat merampungkan S3, saat ibuku hamil tiga bulan mengandung diriku. Ibuku menikah di sana!"
"Ha, ha, ngarang, mana mungkin TKW di Arab menikah di Stockholm dengan mahasiswa S3, apalagi dengan orang Arab yang sedang S3. Terus meninggal di sana. Kalau mengarang yang agak masuk akal sedikit Ayna. Dasar anak haram, segala cara ditempuh untuk meraih tujuan, termasuk mengarang cerita nggak masuk akal!"
"Saya akan buktikan semua yang aku katakan benar. Justru kamu yang menempuh segala cara untuk mencapai tujuan. Dan sayangnya meskipun cara haram kau tempuh, kau tidak meraih apa yang kau inginkan! Hai teman-teman, dengarkan semua! Kita semua tahu, Neneng ini dua semester terakhir rangking satu. Kita semua tahu. Dan kita tahu, tiga bulan sebelum ujian, kepala madrasah menggembleng kita untuk persiapan ujian UN dengan mendatangkan tutor-tutor dari luar di samping guru-guru kita. Siang-malam kita berjibaku dengan soal-soal sampai kurus badan kita. Tapi kita semua tahu, Neneng tidak ikut berjibaku dan berdarah-darah seperti kita. Kita mengerjakan tugas, dia santai dan tidur. Ketika ditanya sama Bu Guru, dia jawab yang penting saya nanti bisa jawab UN dengan nilai tertinggi di provinsi. Kalian tahu apa sebabnya? Ternyata Neneng ini beli bocoran soal dari pacarnya!"
Seketika semua santriwati yang mendengar hal itu saling berpandangan antara percaya dan tidak percaya.
"Diam kau Ayna, jangan memfitnah? Siapa yang beli soal, siapa yang pacaran? Aku sobek mulutmu!"
Ayna menyahut tenang, "Ssstl Dengarkan dulu, biar aku lanjutkan setelah itu silakan sobek mulutku kalau bisa! Memang kau lihai dalam hal menyelinap keluar pesantren dengan alasan-alasan yang kau buat, dan para ustadzah percaya sebab kau dianggap yang terpandai. Tapi aku tahu, diam-diam kau pacaran dengan Mas Roni, putranya Bu Munah pemilik toko kelontong di sebelah pondok, kan? Kau juga beli bocoran soal UN dari Mas Roni itu yang harganya persoal tiga ratus ribu kali enam berarti satu juta delapan ratus ribu. Iya, kan? Nggak usah mengelak. Aku bisa hadirkan Mas Roni ke sini, kalau aku mau, sebab dia juga nawari aku supaya beli bocoran soal darinya. Selain kau, ada empat anak lain yang ikut beli bocoran soal itu darinya. Salah satunya tidak lulus UN. Kau dan empat anak itu ditipu sama Mas Roni, kan? Dia ngaku pakdenya orang penting dinas pendidikan kabupaten yang bisa mengambil soal ujian untuk UN, ternyata soal yang kau beli tidak sama dengan soal UN. Itulah kenapa nilai UN kamu jeblok, bahkan kau sangat kalah sama Rohmatun yang sering kau hina dengan panggilan Gendut itu! Kau tidak bisa menerima kenyataan ini, biasanya kau terbaik, kini kau jeblok. Masih untung kau lulus. Lalu kau bikin fitnah untuk melampiaskan kekecewaanmu itu. Ayo, ngaku aja kalau semua yang aku katakan ini benar!"
Neneng mendengar kata-kata Ayna itu dengan muka memerah dan kemarahan yang memuncak.
"Tukang fitnah! Kau memfitnahku! Aku tidak terima aku sobek mulutmu! Kurang ajar!"
Tiba-tiba Neneng menyerang Ayna, dengan sangat cepat. Tangan kanannya menampar muka Ayna. Tapi sungguh di luar dugaan Neneng dan siapa pun di situ, dengan tenang Ayna menghindar sambil mengirim pukulan yang telak mengenai pelipis Neneng.
Neneng bertambah kalap. Ia langsung menerkam Ayna. Dengan gesit, Ayna menghindar dan menendang pantat Neneng. Tanpa dikomando, Zulfa, Rohmatun dan orang-orang yang ada di situ, tertawa melihat kejadian itu.
Neneng semakin murka, ia merasa menjadi bahan ejekan.
Neneng melihat kursi tua yang rusak ada di dekatnya. Ia mengambil potongan kayu kaki kursi, lalu menyerang Ayna. Dua kali Neneng menyabetkan kayu itu ke arah Ayna namun meleset. Neneng benar-benar serius ingin menghajar Ayna. Kali ini Ayna lebih waspada, ia mengangkat rok bawahannya sehingga tampaklah celana training-nya. Neneng menyerang dengan sekuat tenaga, Ayna menghindar, dan dengan sangat cepat ia melancarkan tendangan memutar yang tepat mengenai pinggang Neneng.
"Ahhkh!" Neneng mengaduh, lalu jatuh terjerembab dengan muka tepat mengenai batu bata yang menjadi hiasan taman. Neneng sempat mengerang, lalu pingsan dengan bibir pecah dan muka berdarah.
"Yang merasa temannya Neneng, terutama yang ikut beli bocoran soal UN bareng dia, itu temen-nya ditolong! Bawa ke Balai Kesehatan!" kata Ayna kalem, lalu dengan tenang melangkah pergi meninggalkan taman itu.
Ayna tidak memerhatikan lagi apa yang kemudian terjadi dengan Neneng, dan kegemparan apa yang dibincangkan para santriwati setelah kejadian itu. Ayna sibuk membantu Bu Nyai menyambut rombongan Kyai Thayyib dari Cirebon. Ayna ditugasi mengeluarkan minuman dan makanan ringan.
Ketika mengeluarkan minuman, Ayna sempat menangkap bahwa selain kangen-kangenan antar dua kyai besar, kunjungan itu bukan kunjungan biasa. Secara tersirat Kyai Thayyib menyampaikan kalau salah satu putrinya ada yang mau lulus kuliah di IIQ Jakarta dan belum punya calon, lalu menanyakan kabar Gus Asif Barkhiya, putra Kyai Sobron yang sedang S2 di Turki. Kyai Sobron menjawab bahwa pertengahan Ramadhan yang akan datang, Gus Asif akan menyelesaikan program master dan pulang ke Tanah Air. Kyai Sobron berharap bisa mengajaknyasowan ke Cirebon secepatnya.
Ayna membayangkan betapa beruntungnya putri Kyai Thayyib itu jika benar dapat suami Gus Asif Barkhiya. Dulu awal ia nyantri, ia sempat diajar Gus Asif Barkhiya selama satu tahun. Diajar mata pelajaran tafsir. Penjelasannya enak. Orangnya rendah hati. Mukanya teduh dan sedap dipandang. Mbak Ningrum, khadimah paling senior, sering cerita bahwa Gus Asif Barkhiya, boleh disebut anak Kyai Sobron paling cerdas. Menurutnya, semua anak Pak Kyai Sobron cerdas, tapi dia paling cerdas. Namun menurut Mbak Titin, yang paling cerdas adalah Gus Afif.
Kecerdasan Gus Asif telah disaksikan para santri Pondok Pesantren Kanzul Ulum, ketika ia menjadi penerjemah seorang syaikh yang datang dari Mesir. Namanya Syaikh Hasan Syabrawi. Datang untuk berkunjung dan memberikan ceramah serta ijazah beberapa kitab fiqh kepada para santri. Bahasa Arab Gus Asif terdengar sangat fasih ketika menerjemahkan pertanyaan para santri kepada Syaikh Syabrawi. Di waktu yang lain, Gus Asif menjadi penerjemah seorang ulama Turki yang datang berkunjung. Kali ini, kepiawaian Gus Asif berbahasa Turki dilihat ribuan santri dan tamu undangan, termasuk Kyai Thayyib.
Sementara menurut Mbak Titin, kecerdasan Gus Afif dapat dilihat secara nyata bahwa dia hafal Al Quran dan Alfiyah Ibnu Malik sekaligus, juga selalu menang dalam lomba baca kitab kuning. Kalau Gus Afif nanti sudah kuliah di luar negeri akan lebih hebat dari kakaknya.
"Tapi apakah putrinya Kyai Thayyib sekualitas Gus Asif ?"batin Ayna. Lalu ia membayangkan, apakah mungkin ia punya suami yang seperti Gus Asif atau Gus Afif. Tentu tidak mungkin dapat suami salah satu dari mereka. Tiba-tiba ia malu pada dirinya sendiri. Siapa dirinya kok berani menilai putri Kyai Thayyib. Dan siapa dirinya kok berani lancang membayangkan nanti punya suami yang seperti Gus Asif atau Gus Afif. Apakah pikiran seperti ini sudah termasuk zina hati? "Astaghfirullah, ya Allah ampuni hamba," lirih Ayna dalam hati.
Kunjungan itu berakhir indah. Sebelum pulang Pak Kyai Thayyib sempat memuji mangut ikan tongkol yang disuguhkan. Bahkan, ketika Kyai Sobron menawarkan apakah mau dibungkuskan? Dengan sungguh-sungguh Kyai Thayyib menjawab mau. Setelah Kyai Thayyib dan rombongannya pergi, secara khusus Bu Nyai Nur Fauziyah menyampaikan pujian kepada Ayna.
"Namun pujian ini, dan rasa terima kasihku kepadamu ini tidak berarti menghalangi ditegakkannya keadilan di pesantren ini. Usai shalat Ashar, kau harus menjelaskan apa yang kau lakukan pada Neneng kepadaku dan kepada Pak Kyai," kata Bu Nyai Fauziyah.
"Inggih, Ummi, " lirih Ayna.
"Luka Neneng cukup serius, Balai Kesehatan Pesantren tidak mampu menangani. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit. Katanya, gigi depannya rontok, dan mungkin mengalami gegar otak ringan. Apa yang sebenarnya kau lakukan padanya, Ayna?" tanya Bu Nyai Fauziyah.
Sore itu Ayna disidang oleh Bu Nyai Fauziyah, Kyai Sobron, Ustadzah Reni yang bertanggung jawab di Asrama Rabi'ah Al Adawiyah tempat Ayna bernaung, dan Ustadzah Wiwik yang menjadi wali kelas Ayna dan Neneng.
"Ummi, mohon maafkan saya kalau saya dianggap bersalah. Saya siap menanggung hukuman apapun yang diberikan kepada saya. Namun jujur, saya merasa tidak bersalah sama sekali. Saya tidak melakukan apa-apa kecuali membela kehormatan ibu saya, Ummi. Selama di pesantren inisaya dihina dan direndahkan, saya masih bisa bersabar. Dan selama di sini, saya tidak pernah berkelahi dengan siapapun, saya juga tidak pernah usil dan bikin masalah dengan siapapun. Saya berusaha menjadi santriwati dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan adab dan etika yang Ummi, Pak Kyai dan para ustadzah ajarkan. Saya juga berusaha menjadi sebaik-baik teman bagi semua santriwati di sini, kakak bagi yang lebih muda, dan adik bagi yang lebih tua. Neneng bukan kali ini merendahkan saya, dan bukan kali . ini saja dia mengusili saya. Tidak hanya saya, juga teman-teman yang lain. Kali ini saya tidak bisa menerima kelakuan Neneng, sebab dia telah menghina almarhumah ibu saya. Dan saya tidak menyerang dia, dia yang menyerang saya. Dan saya membela diri. Keadaannya sekarang adalah buah dari kelakuannya sendiri," jawab Ayna dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Penghinaan seperti apa yang dilakukan Neneng kepada almarhumah ibundamu?"
"Dia menghina ibu saya sebagai pezina, TKW yang melakukan serong. Hasil serong itu lahirlah saya. Demi Allah, Ummi, dunia akhirat saya tidak terima. Kalau Sayyidina Umar bin Khattab ra. masih hidup, saat ini akan saya adukan tuduhan keji ini kepadanya. Ini namanya qadzaf. Menuduh orang baik-baik berbuat zina. Hukumannya keras dalam Islam. Neneng harus dicambuk delapan puluh kali!"
"Mungkin Neneng tidak bermaksud begitu, kamu saja yang salah dengar atau salah tafsir."
"Ummi, izinkan saya memanggil saksi dan alat bukti. Kalau saya salah tafsir hukumlah saya dengan seadil-adilnya."
Bu Nyai Nur Fauziyah mengangguk. Pak Kyai Sobron menarik napas, ada keprihatinan tergurat dalam raut wajahnya. Ayna beringsut mundur pelan-pelan lalu keluar dari ruang tamu rumah Kyai Sobron. Ia pergi memanggil Zulfa yang memang sudah bersiap tak jauh dari halaman rumah pengasuh Pesantren Kanzul Ulum itu. Zulfa dihadirkan sebagai saksi. Dan Zulfa menjelaskan peristiwa yang terjadi sejak awal sampai akhir. Kemudian Zulfa memutarkan video penghinaan Neneng di ponselnya. Bu Nyai Nur Fauziyah mengerutkan keningnya mencermati dengan saksama kalimat demi kalimat yang diucapkan Neneng. Ia bahkan minta diputar ulang sampai tiga kali. Ustadzah Wiwik tampak memerah mukanya.
"Ayna menurut saya tidak salah. Bukan berarti saya condong membela Ayna, Ummi. Saya berusaha obyektif dan adil. Ayna sebenarnya datang untuk meminta Neneng agar minta maaf, bertaubat dan mencabut kata-katanya. Bukan untuk ngajak berkelahi. Neneng yang menyerang lebih dulu. Ini videonya, saya merekam semuanya di ponsel."
Kembali Zulfa memperlihatkan rekaman video di ponselnya. Bu Nyai Nur Fauziyah memerhatikan dengan saksama dari awal saat Ayna mendatangi Neneng hingga Neneng menyerang Ayna pakai kayu, sampai akhirnya Neneng terjerembab mukanya mengenai batu bata. Bu Nur Fauziyah juga mempersilahkan Pak Kyai Sobron menontonnya. Wajah Kyai Sobron tampak kaget seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lelaki yang jenggot tipisnya sudah memutih itu menghela napas, lalu memejamkan kedua mata agak lama. Dari ujung kedua matanya meleleh air matanya.
"Ada apa, Abah?" tanya Bu Nyai pada suaminya.
"Saya merasa gagal mendidik santri. Kok, masih ada yang tidak bisa menjaga ucapan seperti itu. Ayna sama sekali tidak salah, yang salah Neneng. Ayna berhak membela kehormatan ibunya. Tuduhan Neneng bukan main-main itu. Ucapan Neneng, itu sudah masuk qadzaf, menuduh zina pada almarhumah ibundanya Ayna. Hukumannya tidak ringan. Neneng sudah akil baligh."
"Bagaimana kalau yang dikatakan Neneng misalnya benar?"
"Ummi, apakah Ummi punya pikiran seperti Neneng? Tidak percaya dengan ibu saya?" Ayna menyahut dengan suara agak keras. Semua yang hadir di situ kaget. Ayna menyadari ia berlaku kurang sopan.
"Maafkan kelancangan saya, Ummi," lirih Ayna.
"Tenanglah, Ayna. Aku sama sekali tidak punya pikiran seperti Neneng. Ini tentang qadzaf, aku bertanya pada Pak Kyai."
"Apakah Neneng bisa menghadirkan empat saksi bahwa ibundanya Ayna melakukan perbuatan itu? Apalagi Ayna sebagai anak sudah menolaknya dan menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi pada ibunya."
"Bagaimana dengan pernyataan Neneng, apakah masuk akal TKW di Arab menikah di Stockholm, Swedia?"
"Itu nanti Ayna biar menjelaskan, tapi semua pembelaan Neneng tidak ada artinya kalau ia tidak bisa menghadirkan empat orang saksi, dan pasti ia tidak akan bisa menghadirkan sebab ia tidak berada di Arab saat ibundanya Ayna ada di Arab. Pasti Neneng akan mengatakan ia dapat cerita dari si anu atau si anu."
Bu Nyai mengangguk-anggukkan kepala.
"Coba ceritakan siapa ibu kamu, bagaimana ceritanya bisa melahirkan kamu, siapa ayah kamu? Kalau ibu kamu Jawa, Ummi sangat yakin ayah kamu bukan Jawa. Sebab wajah kamu ada guratan Arabnya. Mata kamu yang lebar dan bening, hidung kamu, alis kamu, tidak murni Jawa. Coba ceritakan."
"Injih, Ummi," jawab Ayna tenang.
"Sama sekali tidak salah yang mengatakan ibu saya adalah seorang TKW. Itu benar. Tapi salah besar yang menuduh ibu saya pernah berbuat serong atau zina sehingga lahirlah saya. Itu tuduhan keji sekali. Ibu saya perempuan desa biasa. Lahir di Kaliwenang, Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan. Katakanlah lahir di Purwodadi mudahnya. Ibu saya bernama Istiqomah, dan dia benar-benar orang yang istiqomah di jalan yang lurus menurut saya. Ibu saya yatim sejak kecil. Tidak berada di tengah-tengah keluarga dan lingkungan santri, tapi bukan berarti dari keluarga tidak baik. Nenek saya semasa hidupnya, saya tahu gemar ngaji sama kyai. Beliau setiap pekan selalu pergi ke Girikusumo, Mranggen untuk ngaji thoriqoh. Ibu saya tidak pernah nyantri seperti saya, tapi suka ngaji juga. Sekolahnya umum, SD, SMP lalu SMA di dekat desa. Kalau sore ngaji di madrasah. Ibu cerita pernah mondokposonan di pesantren ARIS Kaliwungu. Itu saja pengalaman mondoknya."
Ayna mengambil napas dan diam sesaat.
"Teruskan, Ayna, kami mendengarkan," gumam Bu Nyai.
"Lulus SMA ibu kerja di pabrik tekstil di Semarang. Di situ ibu kenal dengan seorang lelaki, lalu ibu menikah dengannya. Tapi tidak panjang usia pernikahan itu. Ibu minta cerai setelah tahu suaminya ternyata sudah punya istri dan anak di Kendal. Untung ibu belum hamil dan belum punya anak. Ibu lalu mengadu nasib dengan kerja di Arab. Ikut sebuah biro di Semarang. Dengan kerja di Arab, ibu berharap bisa menunaikan ibadah haji. Ibu berharap bekerja di Mekkah atau Madinah. Ternyata ibu disalurkan ke Amman, Yordania."
"Ibu merasa tidak beruntung. Tetapi tenyata justru itu sebuah kebaikan bagi ibu. Majikan ibu adalah keluarga muda, yakni sepasang suami-istri yang baru menikah. Namanya Tuan Abdullah Jalal dan Nyonya Jihan Afifi. Tuan Abdullah Jalal, demikian ibu selalu memanggil, adalah dosen di University of Jordan, Amman. Sedangkan Nyonya Jihan seorang pebisnis, pemilik salon kecantikan khusus perempuan di Amman. Mereka memiliki seorang anak kecil berumur dua tahun, namanya Ameera. Mereka sangat baik kepada ibu. Tugas ibu hanya mengasuh Ameera. Dua tahun ibu tinggal di Amman, dan si kecil Ameera mengganggap ibu saya seperti ibunya sendiri. Menginjak tahun ketiga, Tuan Abdullah Jalal, demikian ibu selalu memanggil, mendapat tugas belajar S3 di Uppsala University, Swedia. Itu adalah universitas tertua di Skandinavia, didirikan tahun 1477. Uppsala adalah sebuah kota berjarak 64 km di sebelah utara barat Stockholm. Tuan Abdullah Jalal mengambil S3 bidang Sosiologi Pendidikan dan menulis disertasi dibimbing oleh Professor Wiil Edgren."
Ayna kembali menarik napas dan berhenti bicara.
"Ibumu diajak serta ke Stockholm?" tanya Pak Kyai Sobron.
"Injih, Pak Kyai."
Bu Nyai Nur Fauziyah mengangguk-angguk.
"Ibu saya diajak serta oleh Nyonya Jihan, sebab si kecil Ameera seolah tidak bisa lepas dari ibu. Kata ibu, satu tahun pertama adalah masa-masa indah keluarga kecil itu. Namun memasuki tahun kedua, sebuah cobaan datang. Nyonya Jihan divonis menderita kanker ganas yang mengharuskannya rutin berobat. Agak beruntung mereka ada di Eropa dan kesehatan mereka telah diasuransikan. Tapi kanker adalah penyakit yang menakutkan, bahkan bagi para dokter sekalipun. Nyonya Jihan divonis tidak berumur panjang secara medis, dan tidak bisa menunaikan tugas sebagai istri dengan baik. Akhirnya, Nyonya Jihan menyarankan Abdullah Jalal agar menikah lagi, itu demi menghindari fitnah. Tuan Abdullah tidak mau, tapi Nyonya Jihan tetap memaksa. Nyonya Jihan meminta agar Tuan Abdullah menikahi pengasuh anak mereka, yaitu ibu saya."
"Dia perempuan salehah, jujur, baik, beradab, bisa baca Al-Qur'an, dan dia paling mengerti tentang anak kita setelah kita berdua," kata Nyonya Jihan kepada Tuan Abdullah Jalal. Akhirnya pernikahan itu terjadi. Tuan Abdullah
Jalal, menikahi ibu saya. Akad nikah berlangsung di KBRI Stockholm dengan wali hakim. Walimah dilaksanakan di Masjid Stockholm. Lima bulan setelah itu Nyonya Jihan wafat."
"Apakah surat nikah ibumu itu ada?"
"Injih, ada, Abah. Saya bawa, ada di kamar. Tidak hanya surat nikah, foto-foto saat akad nikah dan foto-foto lainnya di Stockholm juga ada. Nanti saya tunjukkan. Atau saya ambil sekarang?"
"Tidak usah, nanti saja. Sekarang lanjutkan ceritamu!"
"Tuan Abdullah Jalal sangat sedih dan ingin kembali ke Amman, tidak melanjutkan S3. Tetapi pihak kampus yang memberi beasiswa meminta agar Tuan Abdullah Jalal yang itu tak lain adalah ayahku, agar merampungkan disertasinya. Akhirnya Tuan Abdullah Jalal melanjutkan belajarnya di Stockholm dengan ditemani ibu sebagai istrinya dan ditemani Ameera. Sampai tibalah malam itu. Malam ditengah musim dingin yang menggigil. Ibu dan Ameera yang tinggal di apartemen mereka, menunggu kepulangan ayah dari kampus. Sampai jam 11 malam belum pulang, sementara salju di luar terus turun. Ibu menelepon pihak kampus menanyakan keberadaan ayah apakah masih di kampus. Tak lama kemudian pihak kampus menelepon menemukan ayah wafat di ruang kerjanya, di kampus. Ayah wafat dalam keadaan duduk sedang menulis disertasi. Ibu bilang ayah wafat kena angin duduk, tapi kemungkinan besar serangan jantung." Ayna terisak. Air matanya meleleh. "Semoga ayahku ditulis termasuk golongan mereka yang mati syahid."
"Aamiin," lirih Pak Kyai.
Ayna diam. Keheningan tercipta sesaat lamanya.
"Saat itu kamu belum lahir?" tanya Bu Nyai.
"Benar, Ummi. Saat itu ibuku sedang hamil tiga bulan. Mengandung diriku. Ayah dimakamkan di Stockholm. Setelah semua urusan selesai, ibu membawa Ameera ke Amman. Ibu sempat dua bulan di Amman, lalu pulang kampung dan tidak pernah kembali ke Amman. Tapi keinginan ibu untuk pergi haji sudah terlaksana, sebab sebelum berangkat ke Stockholm sempat diajak beribadah haji oleh Tuan Abdullah Jalal dan Nyonya Jihan."
"Kenapa ibumu tidak tinggal di Amman saja bersama keluarga ayahmu?" Bu Nyai tampak penasaran.
"Di Amman, ayah boleh dikatakan sebatang kara. Keluarga besarnya ada di Gaza, Palestina. Ayah belajar SI di Mesir, lalu S2 di Amman dan berjumpa dengan Nyonya Jihan, lalu mereka menikah dan mendapat kewarganegaraan Yordania. Ayah tidak punya apa-apa, ia menghidupi keluarganya dengan gajinya sebagai dosen. Yang kaya itu Nyonya Jihan. Ibu sempat ditawari agar bekerja di rumah kerabat Nyonya Jihan, tapi ibu tidak mau, setelah menyerahkan Ameera kepada keluarga Nyonya Jihan, ibu pamit pulang ke Indonesia. Ibu sebenarnya ingin merawat dan membawanya ke Indonesia, tetapi tidak diizinkan."
"Apakah keluarga Nyonya Jihan atau mungkin keluarga dari ayahmu yang ada di Palestina, pernah mencari keberadaan kalian di Indonesia?"
"Mungkin mereka pernah mencari, tapi tidak ketemu. Sebab mereka tidak punya alamat ibu yang sebenarnya. Sebab ketika ibu pergi ke Arab menjadi TKW, paspor dan lain sebagainya dibuatkan oleh pihak agen dengan alamat Jakarta. Itulah kisah nyata siapa ibuku." Pak Kyai mengangguk-angguk.
Tiba-tiba seorang santriwati mengetuk pintu. Zulfa beringsut membuka pintu.
"Nyuwun sewu, Abah, Ummi, ada wartawan, katanya mau wawancara dengan Abah sekaligus wawancara dengan Ayna, katanya. Pripun?" jelas santriwati berkerudung biru muda penuh takzim.
Pak Kyai Sobron tampak kaget.
"Apakah kejadian Neneng ini sudah tercium wartawan?"
"Oh, mungkin bukan terkait Neneng, Abah. Mohon maaf saya lupa menyampaikan, tadi sebelum Zhuhur memang ada wartawan kontak ke kantor sekolah mau wawancara terkait prestasi Ayna," kata Ustadzah Wiwik.
"Prestasi Ayna?"
"Ya, nilai UN Ayna ternyata tertinggi se-Provinsi Jawa Tengah bidang IPS, dan tertinggi nomor sepuluh tingkat nasional, Abah."
"Subhanallah, alhamdulillah, astaghfirullah. Tadi malam aku mimpi melihat bangunan pesantren kita seperti modod tinggi banget. Ini rupanya tafsirnya. Alhamdulillah."
Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gerimis turun ketika para santri usai wiridan shalat Isya. Sebagian tetap di dalam masjid untuk ngaji kitab Fathul Mu'in yang langsung dibacakan oleh Kyai Sobron. Sebagian ngaji kepada Bu Nyai Fauziyah. Sebagian ngaji kepada ustadz dan ustadzah. Pengajian yang diampu Kyai Sobron diikuti santri senior putra dan putri. Pengajian Bu Nyai dan para ustadzah khusus untuk santri putri. Dan pengajian beberapa ustadz, khusus untuk santri putra.
Ayna ikut pengajian Fathul Mu'in. Pengajian itu berlangsung hanya empat puluh lima menit, lalu tibalah para santri makan malam. Ayna dengan cepat lari ke dapur untuk membantu Mbak Ningrum dan yang lain, meladeni para santri mengambil jatah makan malam. Hampir semua santriwati yang bertemu Ayna mengucapkan selamat atas prestasinya karena meraih nilai UN tertinggi dalam sejarah pesantren itu. Mereka juga memberikan dukungan atas apa yang dilakukan Ayna pada Neneng.
Tiba-tiba Ustadzah Wiwik datang tergesa dan membisikkan pesan ke telinga Ayna,
"Kau dan Zulfa dipanggil Pak Kyai dan Bu Nyai. Keluarga Neneng datang minta pertanggungjawaban."
Ayna langsung bergegas mencari Zulfa dan menghadap Pak Kyai dan Bu Nyai.
Suasana di ruang tamu rumah Pak Kyai Sobron tampak tegang. Di ruang itu telah duduk Pak Kyai, Bu Nyai, dan Gus Asyiq, putra sulung Pak Kyai yang menjadi tangan kanan Pak Kyai. Di hadapan mereka hadir keluarga Neneng, yaitu papa dan mama Neneng yang katanya datang dari Jakarta didampingi paklik Neneng yang memakai seragam polisi.
Ayna dan Zulfa masuk diiringi Ustadzah Wiwik.
"Mana yang bernama Ayna?!" kata Bu Yeti, mama Neneng tanpa basa-basi dengan nada menghardik.
"Saya Ayna, Bu. Mohon maaf, ibu siapa?" jawab Ayna tenang dengan wajah menunduk. Zulfa juga menunduk.
"Oh, kamu belum tahu ya, aku ibunya Neneng yang kau jahati itu!"
"Oh, maaf, Bu, saya belum tahu. Saya sama sekali tidak menjahati Neneng, justru sebaliknya, Bu, mohon maaf kalau saya lancang," gumam Ayna dengan menunduk tanpa melihat wajah Bu Yeti sama sekali.
"Hebat, berani mendebat kamu, ya. Sekarang kau berani bicara, ingat, satu pekan lagi kau akan meringkuk dipenjara! Ini, Pak Projo, terhitung pakliknya Neneng. Dia anggota kepolisian Magelang!" sengit Bu Yeti.
"Kalau diproses hukum dengan sungguh-sungguh, saya khawatir justru Neneng yang dipenjara, Bu. Maaf."
"Lancang kamu! Anak kurang ajar kamu!"
"Sabar, Ma!" Pak Boni, suami Bu Yeti, menenangkan.
"Abah, Ummi, Ustadzah dan bapak ibu keluarga Neneng, bolehkah saya menyampaikan sesuatu?" Zulfa angkat suara.
"Silakan, Zul. Bu Yeti dan Pak Boni, ini Zulfa, teman sekelas Neneng dan Ayna. Kita dengarkan kesaksiannya," kata Bu Nyai Nur Fauziyah tenang.
"Ya, coba apa yang mau kau sampaikan?" ketus Bu Yeti.
"Bu Yeti, saya mau tanya kalau boleh, apakah Neneng itu anak kandung Bu Yeti dengan Pak Boni?"
"Iya, jelas. Dia anak kandung kami."
"Misal, ini missal, mohon maaf. Ada yang bilang ke banyak orang bahwa ayah Neneng sebenarnya bukan Pak Boni, ayahnya nggak jelas. Neneng itu anak haram hasil hubungan gelap Bu Yeti dengan lelaki lain atau mungkin dengan banyak lelaki. Kira-kira bagaimana perasaan ibu?"
"Kau jangan ngawur ya! Itu fitnah luar biasa. Saya tidak akan terima dunia akhirat!"
"Itu cuma misal. Neneng, anak ibu telah melakukan fitnah keji itu pada Ayna."
"Nggak mungkin, aku sudah ke rumah sakit. Ayna yang menjahati Neneng, menuduh Neneng beli bocoran soal dan lain sebagainya. Neneng lalu dikeroyok oleh Ayna dan teman-temannya."
Pak Kyai dan Bu Nyai tampak menggelengkan kepala.
"Ini video kejadian itu, saya yang merekam. Ada dua video. Silakan ibu lihat. Ini tidak ada rekayasa. Video ini jujur dengan sejujur-jujurnya."
Zulfa lalu memperlihatkan dua video itu dari ponselnya. Bu Yeti menyaksikan dengan saksama. Demikian juga Pak Boni dan Pak Projo. Setelah menyaksikan video itu, wajah Bu Yeti, Pak Boni dan Pak Projo tampak berubah.
"Tapi yang menyebabkan Neneng terjerembab itu karena kau menendangnya dengan keras. Ayna, saya tetap akan tuntut di meja hijau!" Bu Yeti masih belum terima.
Ayna diam tidak menjawab.
"Ayna hanya membela diri. Yang menyerang duluan Neneng. Yang mengambil kayu dan sungguh-sungguh memukul ingin mencelakakan juga Neneng. Yang bikin masalah juga Neneng. Seluruh santriwati di pesantren ini akan bersaksi membela Ayna," tegas Zulfa tanpa rasa takut sedikitpun.
"Menurut pendapat Pak Projo bagaimana setelah mendengar kesaksian, penjelasan, dan melihat langsung video tadi. Sebagai informasi saja, tuduhan dan penghinaan Neneng kepada ibundanya Ayna itu dalam hukum Islam termasuk qadzaf, menuduh zina. Hukumannya serius, dicambuk delapan puluh kali dan kesaksiannya tidak diterima selamanya, kecuali mau bertaubat. Saya sudah klarifikasi ibundanya Ayna perempuan baik, muslimah salehah, dia menikah dengan orang Palestina di KBRI Stockholm. Surat nikahnya ada. Bukan TKW yang berzina dengan majikannya atau orang Arab, bukan. Bagaimana menurut Pak Projo?"
"Awalnya saya mengira ada tindak kriminal terhadap Neneng. Terutama ketika mendengar pengakuan sepihak dari Neneng. Setelah saya mendengar semuanya dan melihat video tadi, saya jadi tahu yang jadi trouble maker justru Neneng. Jadi, mbakyu Yeti dan mas Boni, sebaiknya permasalahan ini tidak diperpanjang. Neneng yang salah. Oh ya, dari video tadi, Dik Ayna seperti orang yang bisa beladiri, apa betul?"
"Tidak terlalu, Pak. Mungkin insting saja, dulu waktu SD dan SMP memang saya ikut ekstra kurikuler Karate!"
"Pantas, sudah saya duga. Saya juga karateka. Osh!" Pak Projo mengucapkan salam karate seraya membungkukkan badan ke arah Ayna.
"Osh!" jawab Ayna refleks dan bersikap yang sama. Meski sudah lama tidak berlatih di dojo, tapi salam itu masih ia hafal betul.
Pak Kyai dan Bu Nyai sedikit takjub dengan apa yang baru saja mereka lihat.
Pak Projo kembali berkata,
"Seorang karateka ditempa untuk jujur dan bersikap luhur. Saya tidak ragu dengan Dik Ayna. Saya malah tertarik mengusut apakah benar Neneng beli bocoran soal UN? Apakah Dik Ayna bisa memberi bukti?"
Ayna agak kaget ditanya hal itu, tapi cepat menguasai diri.
"Mohon maaf, sebaiknya Pak Projo langsung menginterogasi Mas Roni putranya Bu Munah, pemilik toko kelontong sebelah pesantren. Atau, mohon maaf kalau lancang, dibantu Abah Yai, saya yakin Mas Roni nggak akan bisa mengelak. Saya hanya bisa memberitahu info, dan demi Allah, saya bersumpah, apa yang saya sampaikan benar, saya memang pernah ditawari bocoran soal dan kunci jawaban UN oleh Mas Roni. Apakah itu soal UN betulan atau tidak, saya tidak tahu persis, sebab saya menolaknya. Lha, Mas Roni bilang bahwa sudah banyak yang beli, termasuk Neneng. Jadi tinggal diusut saja, petunjuknya kan jelas."
"Baik. info ini akan saya tindaklanjuti. Terima kasih, Dik Ayna."
BAGIAN 3 Pesantren itu boleh disebut sebagai salah satu pesantren tua di Magelang. Terletak di pinggiran Secang. Tepatnya di Desa Candiretno. Menurut catatan sejarah, pesantren itu didirikan jauh sebelum Republik Indonesia diproklamirkan, bahkan sebelum NU dan Muhammadiyah ditubuhkan. Pendirinya adalah Simbah Kyai Aflahul Abror, sering dipanggil Mbah Aflah. Konon, ayah Mbah Aflah adalah salah satu prajurit Pangeran Diponegoro yang berhasil lolos dari sergapan Kompeni Belanda, dan menyamar sebagai petani ketika Pangeran Diponegoro ditangkap secara licik oleh Belanda.
Pesantren itu awalnya adalah pesantren tradisional salaf murni. Kini sudah berkembang dan mengadopsi sistem modern. Namun program dan sistem salafnya dipertahankan. Awalnya pesantren itu hanya bernama Majelis Ngudi Ilmu Candiretno, namun oleh Kyai Muslim, diresmikan namanya menjadi Pondok Pesantren Kanzul Ulum, Candiretno. Kyai Muslim atau dikenal juga dengan sebutan Mbah Muslim adalah putra tunggal Mbah Aflah. Lalu Kyai Muslim punya anak lelaki bernama Kyai Ahsan, yang tak lain adalah ayahanda Kyai Sobron, pengasuh utama pesantren itu sekarang.
Kini pesantren itu memiliki lembaga pendidikan mulai dari PAUD hingga Madrasah Aliyah. Para santri sebagian besar ikut program pendidikan yang ada ujian negaranya dan di akhir kelulusan mendapatkan dua ijazah, ijazah lokal dari pesantren dan ijazah dari negara. Namun tetap banyak juga santri yang hanya ngaji kitab kuning saja, masih murni ikut program salaf. Jumlah santri dari PAUD sampai Madrasah Aliyah tak kurang dari dua ribu lima ratus santri.
Asrama dan tempat belajar santri putra dan putri dipisah dengan sangat ketat. Hanya saja dalam kegiatan-kegiatan besar, semua santri dikumpulkan jadi satu dengan tempat duduk dipisah. Salah satu kegiatan akbar yang diadakan tiap tahun adalah kegiatan Haflah Akhirussanah, atau di sekolah-sekolah umum dikenal dengan misalnya Acara Perpisahan SMA atau SMP.
Rangkaian Haflah berlangsung sampai satu minggu, dengan berbagai jenis kegiatan yang melibatkan masyarakat sekitar. Uniknya yang merancang dan menjadi panitianya, semuanya adalah para santri, khususnya anak-anak kelas 2 Madrasah Aliyah. Puncaknya adalah pengajian akbar, yang di dalam pengajian itu diumumkan santri terbaik dan teladan yang lulus MTS atau MA. Yang paling ditunggu adalah yang lulus MA. Nama-nama santri teladan akan terus diingat oleh para santri generasi berikutnya. Tradisi itu dicanangkan oleh Kyai Ahsan untuk menumbuhkan sikap fastabiqul khairat, semangat berlomba dalam kebaikan yang sehat, bukan persaingan yang tidak sehat. Kyai Sobron dan seluruh guru terus memberikan pemahaman fastabiqul khairat yang benar.
Sore itu matahari bersinar lembut. Pesantren itu seperti sedang berpesta. Bazar busana muslimah dan bazar buku digelar sebagai bagian Perayaan Haflah Akhirussanah. Di masjid pesantren diselenggarakan Seminar Sastra Islam Nasional. Dua sastrawan penulis novel Islami dan seorang guru besar sastra Arab dari UGM dihadirkan. Peserta seminar membeludak. Yang mengikuti tidak hanya para santri Kanzul Ulum, tapi juga dari pesantren-pesantren lain. Acara itu lebih layak disebut Pengajian Akbar dibandingkan seminar, karena lebih mirip pengajian melihat besarnya jumlah peserta. Ayna, Rohmatun, dan Zulfa, termasuk peserta yang khusyuk menikmati seminar itu.
"Kenapa judul-judul karya Anda sebagian besar ada kata-kata cintanya? Apakah ada rahasia yang disembunyikan di sana?" Laila, santriwati dari Tasikmalaya bertanya penuh antusias di akhir sesi tanya jawab.
"Dik Laila, mohon maaf. Waktu kita sudah habis. Ini sudah jam empat lebih dan kita belum shalat Ashar. Nanti, Insya Allah beliau akan menyampaikan jawabannya secara tertulis dan akan kita muat di majalah pesantren."
Laila dan para santriwati tampak kecewa dengan kebijakan moderator, yang tak lain adalah Gus Asyiq. Tapi waktu memang tidak mengizinkan, tradisi shalat tepat pada waktunya tidak boleh digeser sedikit pun dan oleh alasan apapun.
"Oh ya, untuk yang mau minta tanda tangan beliau, silakan bukunya dikumpulkan kepada panitia seminar. Dan mohon maaf tidak ada sesi foto bersama dengan beliau."
"Huuu." Para santri menggerutu kecewa. Sang sastrawan hanya tersenyum melihat wajah-wajah bercahaya mereka. Seminar disudahi, dan adzan dikumandangkan, lalu shalat ditegakkan. Ribuan wajah luruh dalam sujud mensucikan asma Allah.
Usai shalat Ashar, Rohmatun mengajak Ayna untuk melihat panggung wayang kulit. Salah satu yang istimewa dalam Haflah Akhirussanah di pesantren itu yang jarang ditemui di pesantren lain adalah adanya pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Tradisi ini dimulai oleh Mbah Muslim untuk nguri-uri budaya leluhur sekaligus mendekatkan pesantren dengan masyarakat secara luas. Yang unik, semua yang terlibat dalam pertunjukan wayang kulit dari dalang, sinden sampai penabuh gamelan diminta untuk bertata krama secara islami. Sinden, misalnya, tidak akan ditemukan berpakaian ketat dengan memamerkan belahan dada dan leher. Mereka akan berpakaian sopan, rapi dan anggun berkerudung.
"Tapi aku kudu ngewangi Mbak Ningrum masak, Tun," jawab Ayna.
"Sebentar aja. Ini grup wayang kulit dari Solo, dalangnya terkenal, sering jadi bintang iklan di televisi. Mereka sudah datang semua katanya. Aku penasaran banget. Yuk, sebentar aja."
"Nggak bisa, Tun. Nanti malam aja, kita lihat."
"Na, sana kau jalan-jalan lihat-lihat. Nggak apa-apa, biar masalah masak aku rampungkan sama Mbak Titin dan yang lain. Ini kan pesta kalian yang mau meninggalkan pesantren." Tiba-tiba Mbak Ningrum nyahut di dekat Ayna.
"Bener, Mbak?" mata Ayna yang indah dan bening itu berbinar-binar.
"Iya, bener. Di sana ada yang jual jilbab datang dari Bandung, bagus-bagus. Kau bisa beli. Mumpung murah."
"Sebenarnya pengin, tapi..."
"Tenang, masalah uang gampang, nanti aku pinjami. Yuk!" tukas Rohmatun.
Ayna tersenyum. Mereka beranjak meninggalkan serambi masjid menuju lapangan desa yang terletak di samping pesantren, tempat di mana panggung pagelaran wayang didirikan.
"Kami ikut!" Zulfa dan Laila berlari kecil mengejar.
Mereka berempat menuju lapangan. Jalan depan pondok telah menjadi pusat keramaian. Bermacam-macam dagangan digelar. Ratusan pedagang kecil dari berbagai daerah datang membuka lapak. Ada yang jualan mainan anak, topi, sabuk, pakaian, buku, stiker, jam tangan murah, jas hujan, akik, kaca mata, tas dan dompet, es buah, dawet, gorengan, martabak, serabi, siomay, kacang tanah godog, jagung godog, tahu pong, gethuk ketek, pentol cilot, dan lain sebagainya.
Acara pesantren telah menjadi rahmat bagi banyak rakyat kecil.
Warga di sekitar pesantren juga kecipratan rezeki. Ratusan orang tua wali murid dari luar daerah banyak yang datang menginap. Dan pesantren bekerjasama dengan warga sekitar menyediakan penginapan. Ya, para wali murid itu bisa menginap di rumah-rumah warga di sekitar pesantren. Pihak pesantren terlebih dahulu telah menentukan standar dan etika dalam menerima tetamu tersebut. Di antara wali murid itu banyak yang menyewa kamar sampai satu pekan, yaitu selama rangkaian Perayaan Haflah Akhirussanah berlangsung. Sebab, selama satu pekan itu Pak Kyai Sobron membuat pengajian khusus ba'da Shubuh. Yaitu membacakan kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi, dan sering memberi ijazah serta amalan kepada yang ikut mengaji. Amalan itu bersanad dari para ulama hingga sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Itu adalah pengajian favorit yang ditunggu para santri dan masyarakat luas.
Malam itu langit biru tua. Bintang gemintang memamerkan kerlipnya. Udara sejuk mengalir dari lereng Merbabu menyapu kawasan Grabag dan Secang. Ribuan orang tumpah ruah di kawasan Pesantren Kanzul Ulum Candiretno, Magelang. Suara gamelan mengalur menciptakan suasana magis tersendiri. Rerumputan dan dedaunan bergoyang diterpa angin, mereka seumpama jamaah thariqah yang berzikir mengiringi irama gamelan.
Terdengar suara sinden mengalunkan lagu Lir Ilir, lalu Shalawat Badar, dan syiir Ilahi Lastu lil Firdaus-nya Abu Nawas. Ayna mendengarkan keindahan gending itu sambil mencuci pakaian di kamar mandi rumah Kyai Sobron.
"Lho, aku kira kamu lihat pertunjukan wayang kulit sama Ningrum dan yang lain, kok malah mencuci pakaian malam-malam begini. Kenapa nggak besok pagi saja?" Bu Nyai Nur Fauziyah melongok dari pintu kamar mandi yang terbuka.
"Kalau besok pagi kasihan Gus Afifuddin, katanya ini mau dipakai besok ba'da Shubuh. Tadi siang, kulo dititipi Kang Bardi, tapi lupa. Semoga bisa kering."
"Lho, kamu mencucikan pakaian Afif, tho? Lha, si Bardi-nya ke mana?"
"Katanya diminta Pak Kyai ke Jakarta." "Oh iya, benar. Kenapa nggak pakai mesin cuci?"
"Kan sudah tiga hari ini rusak, Ummi."
"Lho, belum diperbaiki tho. Masya Allah, padahal sudah dua kali aku nyuruh si Bardi ngundang tukang servisnya. Habus ini kau mau apa, Na?"
"Lha, ada apa tho,Mi?"
"Kalau kamu nggak mau nonton wayang, itu tolong si Naufal, anaknya Gus Asyiq ditemani belajar. Dia nggak mau belajar kalau tidak di temani. Besok dia UAS . Lha, ibunya sedang sibuk menerima tetamu dari luar daerah di aula. Sebenarnya mau aku temani, tapi Naufal malah bilang nggak bisa belajar kalau aku yang menemani."
"Injih Mi, nanti saya temani Dik Naufal."
"Dia di ruang tengah, lagi main game. Cepetan, ya."
"Injih, Mi." Usai menjemur cucian, Ayna menemui si kecil Naufal yang sedang menatap layar laptop asyik main game. Ayna duduk di samping Naufal.
"Gus Naufal, yuk belajar dulu."
"Nggak mau! Ini lagi asyik."
"Besok UAS, tho."
"Biarin, aku sudah hafal semua."
"Ah yang bener, Mbak Ayna tidak percaya."
"Terserah!" Naufal mengacuhkan Ayna dan terus asyik bermain game.
"Gus Naufal, katanya suka lego, ya?"
"Iya, kenapa?" "Tadi sore, Mbak Ayna lihat di luar sana, dekat lapangan ada yang jualan lego. Kalau Gus Naufal mau belajar, Mbak temani. Besok, Mbak kasih hadiah lego, satu. Gimana?"
Seketika anak berumur sebelas tahun itu menghentikan aktivitasnya dan memandang wajah Ayna dengan kedua mata penuh binar.
"Benar?" "Insya Allah." "Janji, tho, awas kalau tidak!"
"Iya. Sudah laptopnya dimatikan dan sekarang kita belajar. Besok ujian mata pelajaran apa?"
"Ilmu Pengetahuan Alam," sahut Naufal sambil mematikan laptop. Anak itu lalu membuka tas ransel yang ada di sampingnya lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas.
"Ini ringkasan yang dibuatkan Bu Guru, sudah aku hafal semua. Mbak Ayna pura-pura tanya pakai ringkasan ini, nanti aku jawab ya?"
"Oh ya, bagus. Sini!"
Naufal mengulurkan kertas ringkasan mata pelajarannya kepada Ayna.
"Ayo, Mbak, mulai!"
"Baca bismillah dulu, baca doa dulu!"kata Ayna sambil tersenyum.
"Oh iya lupa. Bismillahirrahmanirrahim. Rabbi zidni ilma warzuqni fahma waj'alni min'ibaadikas salehin. Aamiin."
"Aamiin. Baik, Mbak mulai. Tidak harus urut ya?"
"Iya." "Sebutkan urutan metamorfosis yang terjadi pada kupu-kupu!"
"Telur, ulat, kepompong, kupu-kupu."
"Benar, anak pintar. Kentang berkembang biak dengan...?"
"Akarnya!" "Salah." "Kok salah, benar dengan akarnya. Bukan dengan akar tapi dengan umbi batang. Ini lihat!"
Naufal mengamati baris kalimat yang ditunjukkan Ayna, dan tersenyum,
"Hihi, iya, dengan umbi batang!"
"Naufal perhatikan, itulah pentingnya belajar. Coba kalau kau tidak belajar dan soal seperti ini yang keluar besok, kamu pasti salah! Makanya jangan main game terus!" ujar Bu Nyai Nur Fauziyah dari ruang kerjanya.
"Iya, tahu. Mbah Putri nggak usah cerewet kayak nenek sihir. Berisik! Mbah Putri ngurusi kerjaan Mbah aja, nggak usah ganggu Naufal belajar!"
Ayna tersenyum, kalau bukan cucu Bu Nyai tidak mungkin berani seperti itu.
"Yo wis, Mbah diam aja wis."
Sementara itu, di perpustakaan pribadi yang terletak di samping ruang kerja Bu Nyai, Pak Kyai Sobron menahan tawa mendengarkan itu semua.
"Ayo lanjutkan, Mbak!"
"Baik. Sekarang tentang tata surya ya. Apakah tata surya itu?"
"Tata surya adalah suatu sistem yang terdiri dari Matahari sebagai pusat tata surya itu dan dikelilingi dengan planet-planet, komet, meteor, satelit, dan asteroid."
"Anak pinter. Sekarang siapa yang menciptakan sistem tata surya itu?"
"Nggak ada!" "Kok nggak ada?"
"Itu nggak ada di kertas ringkasan itu."
"Iya benar nggak ada di sini. Ini pertanyaan yang membuat Mbak sendiri, siapa yang menciptakan tata surya itu?"
"Bu Guru waktu itu menjelaskan, bahwa dulu-dulu sekali ada ledakan besar, terus dari ledakan itu jadi alam semesta termasuk tata surya gitu."
"Jadi meledak dengan sendirinya, gitu."
"Iya, kayaknya begitu?"
"Salah!" "Kok salah, terus yang bener bagaimana?"
"Bagaimana alam semesta ini tercipta yang paling tahu persis hanya Allah SWT. Kalau pun terjadinya alam semesta dimulai dari ledakan besar, maka yang meledakkan itu adalah Allah, Tuhan seru sekalian alam. Bukan terjadi dengan sendirinya atau meledak dengan sendirinya. Sebab Allah-lah Tuhan Yang Maha Pencipta. Allah-lah Pencipta alam semesta ini. Allah-lah sumber segala yang ada. Mengerti?"
"Iya, mengerti."
"Berarti sistem tata surya siapa yang menciptakan, siapa yang mengatur?"
"Allah." "Pinter. Allahu Akbar, apa artinya?"
"Allah Maha Besar."
"Pinter." "Sekarang, kenapa ada siang dan malam?"
"Karena bumi berotasi."
"Pinter. Rotasi bumi itu apa?"
"Rotasi bumi adalah bumi berputar pada porosnya."
"Kurang benar."
"Kok kurang benar, diringkasan itu begitu, kok?"
"Iya, tapi ini kurang benar."
"Terus yang benar bagaimana?"
"Yang benar, bumi diputar oleh Allah pada porosnya. Bumi bukan berputar sendiri, ada yang memutar, yaitu Allah subhanahu wa ta'ala."
"Jadi semuanya diatur oleh Allah."
"Benar sekali, anak pintar. Allahu ak.."
"Akbar. Allahu Akbar. Allah Maha Besar."
"Pinter." "Mbak, tapi aku masih bingung, lho, kalau bumi berputar pada . . ."
"Diputar!" "Ya, bumi diputar oleh Allah pada porosnya, kok aku nggak merasa, ya. Kok genteng-genteng nggak rusak. Katanya itu bumi berputarnya ..."
"Diputar!" "Ya, katanya bumi ini diputar oleh Allah pada porosnya dengan sangat cepat, kok rumah ini nggak roboh? Apa bener bumi diputar pada porosnya?"
Ayna tersenyum. "Begini. Gus Naufal pernah naik mobil, naik bis, atau naik kereta?"
"Iya, pernah. Bulan lalu aku ke Jakarta bareng Mbah Kakung, Mbah Putri dan Abi sama Bunda ke Jakarta pakai kereta api. Naik dari Jogja. Wih, kereta apinya kenceng banget!"
"Lha, kereta itu berjalan kenceng banget kan? Gus Naufal bawa minuman nggak? Ada yang jual minuman nggak di kereta?"
"Iya, ada petugas yang jual kopi, teh panas. Abi beli kopi panas."
"Diletakkan di mana?"
"Di meja kecil bisa dilipat, depan tempat duduk."
"Minumannya tumpah nggak?"
"Nggak." "Lha, seperti itu perumpamaannya. Kita bersama dengan udara di atmosfer bumi semuanya dengan izin Allah berputar bersama-sama. Kita lihat rumah ini yang kita ada di sini diam saja, hal ini sama seperti kalau kita dalam kereta yang sedang berjalan. Kita lihat semua benda dalam kereta diam. Kopi panas tidak terbang. Bayi yang tidur juga terlelap tenang. Padahal keretanya melaju sangat cepat. Itu karena kita melihat benda-benda dalam kereta. Begitu kita melongok keluar maka tampaklah kalau kereta sedang melaju kencang. Sampai kedua mata kita kadang salah menilai, sepertinya pepohonan yang berjalan. Sama, bumi diputar oleh Allah, buminya yang bergerak pada porosnya dengan izin Allah, dengan kecepatan tinggi, kira-kira seribu enam ratus kilometer perjam dari barat ke timur, tapi yang tampak seolah matahari yang berjalan mengelilingi bumi dari timur ke barat."
"Aku mengerti sekarang."
"Alhamdulillah."
Tanpa sepengetahuan Ayna, Kyai Sobron dan Bu Nyai Nur Fauziah menyimak dengan saksama penjelasan Ayna. Kyai Sobron sampai gemetar dan meneteskan air mata ketika Ayna menjelaskan berulang kali bahwa bumi diputar oleh Allah. Penjelasan tentang Tauhid yang dimasukkan dalam pelajaran ilmu pengetahuan alam. Kyai Sobron menyadari bahwa Ayna adalah santri yang cara berpikirnya di atas rata-rata. Wajar jika nilai UN-nya terbaik se-Jawa Tengah dan masuk sepuluh besar nasional.
Jam tiga dini hari, rembulan bersinar terang. Angin pegunungan semilir menggoyang dedaunan. Asrama pesantren putri lengang. Suara dengkur terdengar dari sebagian santri yang lelap. Beberapa santri sudah bangun dan tahajud.
Di luar pesantren, orang-orang baru saja bubar nonton wayang kulit dengan lakon Dewaruci. Puluhan santri putra mengikuti pertunjukan itu sampai selesai. Pertunjukan wayang kulit adalah malam terakhir rangkaian Perayaan Haflah Akhirussanah, sebelum acara puncak berupa pengajian akbar dan seremonial pelepasan santri siang hari berikutnya.
Ayna menyelesaikan shalat witirnya lalu berdoa, meminta keselamatan dunia dan akhirat untuk dirinya, almarhumah ibundanya dan seluruh umat Rasulullah Saw. Setelah itu ia bergegas melihat cucian yang diamanahkan kepadanya. Seperti yang ia duga, belum kering. Tapi baju koko, sarung dan serban itu akan dipakai Gus Afif mengisi pengajian setelah Shubuh di Masjid Raya Secang. Ayna mengambil baju, sarung dan serban yang masih belum kering benar dan membawanya ke kamarnya. Ia menyiapkan setrika. Lalu mengeringkannya dengan cara menyetrikanya.
Kamar Ayna berada di bagian paling belakang rumah Pak Kyai Sobron, berdampingan dengan dapur pribadi keluarga Pak Kyai. Kamar dua belas meter persegi itu dihuni lima orang khadimah. Ia termasuk beruntung, sebab di asrama santri, kamar dengan luas yang sama dihuni delapan orang santriwati. Karena ia masih sekolah di Madrasah Aliyah, secara administrasi kesantrian ia dimasukkan dalam kelompok asrama Rabi'ah Al Adawiyyah. Untuk santri putri, dengan jumlah sembilan ratusan santriwati menginap, ada enam gedung asrama, yaitu asrama Siti Khadijah, Maryam Al Battul, Fatimatuz Zahra, Rabi'ah Al Adawiyah,Cut Nyak Dien, dan Rahma El Yunusiyah. Sedangkan untuk putra, dengan delapan ratusan santri, ada lima gedung asrama, yaitu asrama Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab, Imam Syafii, Imam Ghazali dan Pangeran Diponegoro. Pesantren ini menganut konsep anak didik lelaki dan perempuan dipisah dalam proses belajar mengajar.
Semua khadimah sudah di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi, kecuali Ayna dan Mbak Ningrum. Ayna mulai sibuk menyetrika masih dengan memakai mukenanya, sementara Mbak Ningrum tampak masih berzikir.
"Mbak, bisa pinjam uang?" tanya Ayna begitu melihat Mbak Ningrum bangkit.
"Bisa, berapa?"
"Lima puluh ribu saja."
"Untuk apa? Mau beli jilbab lagi, bukannya sudah dipinjami sama Rohmatun?"
"Bukan, mau beli lego."
"Lego mainan anak-anak itu? Untuk siapa?"
"Gus Naufal, aku janji mau kasih hadiah sama dia."
"Oh, ya." Ningrum meraih dompetnya dan mengulurkan selembar uang kertas warna biru pada Ayna sambil tersenyum.
"Begitu ada rezeki aku kembalikan. Insya Allah."
"Santai aja. Aku tinggal ke dapur dulu, yah."
"Iya, Mbak, nanti kususul."
Di pojok dapur, di tempat agak gelap, Bu Nyai Nur Fauziyah mendengar pembicaraan itu dengan air mata meleleh. Demi memenuhi janji membelikan mainan buat cucunya, Ayna sampai harus berhutang.
Suara tarhim merdu mengalun dari masjid pesantren. Pertanda Shubuh akan segera datang. Para ustadzah dan para pengurus membangunkan santriwati, demikian juga para ustadz membangunkan para santri yang masih tidur.
Gus Afifuddin keluar dari kamarnya sambil menenteng handuk.
"Ummi, lihat koko Afif nggak. Biasanya ditaruh disini sama Kang Bardi usai dia cucikan, koknggak ada,ya?"
"Bardi-nya kan sedang ke Jakarta."
"Waduh celaka, kok Kang Bardi nggak laporan, waduh kapiran aku. Terus dimana kokonya, waduh gimana ini?"
"Pakai yang lain kan bisa?"
"Itu koko paling pas, dan paling aku suka, Mi. Tidak hanya koko, sarung dan serban juga. Gimana ini?"
"Nggak usah panik, itu semuanya sedang disetrika sama Ayna?"
"Iya, dicucikan sama Ayna."
"Asfaghfirullah!" muka Gus Afifuddin langsung pucat.
"Lho, kenapa?" "Kok dicucikan Ayna, malu aku, Mi. Wah, Kang Bardi ngawur tenan!"
"Nggak usah malu, sana dilihat di kamar khadimah. Ayna nggak bakalan ngantar bajumu itu ke kamarmu. Kamu yang harus ambil ke sana."
"I. iya, Mi." Gus Afifuddin atau biasa dipanggil Gus Afif melangkah ke dapur, lalu menuju kamar khadimah yang terbuka. Ia melihat Ayna sedang menyetrikakan serbannya. Hatinya berdesir. Santriwati cantik dengan nilai UN terbaik se-Jawa Tengah itu tengah menyiapkan pakaian dan serbannya. Ada kebahagiaan dan harapan menyusup begitu saja dalam hatinya. Ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan. Ia tidak tahu perasaan itu namanya apa.
Ayna telah selesai menyetrika. Ia ragu untuk mengetuk pintu. Ia mengambil napas lalu berdehem. Seketika Ayna melihat ke asal suara dehem. Dan agak kaget ketika melihat Gus Afif tak jauh dari pintu.
"Em, alhamdulillah ini sudah selesai. Mohon maaf kalau baunya mungkin agak beda, soalnya belum terlalu kering terus disetrika," lirih Ayna menyerahkan lipatan baju, sarung dan serban.
"Terima kasih, maaf sudah merepotkan," sahut Gus Afif sambil menerima pakaiannya.
"Ah tidak, ini sudah tugas saya sebagai khadimah."
"Jangan bilang begitu, aku tidak pernah menganggapmu sebagai khadimah. Aku selalu menganggapmu sebagai pelajar yang cerdas di pesantren ini."
"Terima kasih. Maaf Gus, saya harus membantu Mbak Ningrum dan teman-teman di dapur kantin."
"Eh iya." Gus Afif tergagap, ia baru menyadari kalau dirinya berada di tengah pintu. Ia menggeser tubuhnya beberapa langkah ke kanan. Ayna bergegas ke dapur kantin tanpa menutup pintu kamarnya. Gus Afif berdiri beberapa saat dan berpikir apakah diizinkan oleh orang tuanya jika ia meminta Ayna sebagai istrinya? Ayna yang hanya seorang khadimah. Apakah kakak-kakaknya akan mendukungnya jika ia memilih seorang khadimah, yang bukan keturunan kyai besar?
Kakak sulungnya, Khairul Asyiq, menyunting Mbak Malihah putri Kyai Khalil, kyai besar pengasuh pesantren Al-Qur'an di Purworejo. Lalu kakaknya persis, Asif Barkhiya, akan dijodohkan dengan putri Kyai Thayyib dari Cirebon. Dan adik perempuannya, Afaf, yang masih mondok di Pesantren Gontor Putri Mantingan sudah ditanyakan oleh Kyai Maksum Mojokerto untuk dipinang buat Gus Zuhri, putranya yang masih kuliah S2 di Pakistan. Dialah satu-satunya yang belum ada bayangan calon jodohnya diantara saudara-saudara.
Tiba-tiba ia merasa geli, apakah sudah pantas ia memikirkan jodoh? Bukankah ia baru saja lulus Madrasah Aliyah dan harus melanjutkan kuliah. Tapi ia merasa bahwa Ayna seperti intan permata sangat mahal yang sayang jika tidak didapatkan. Kualitas Ayna tidak kalah dengan putri kyai besar. Kecerdasannya bahkan bisa jadi mengalahkan mereka. Buktinya, Ayna mampu lulus UN dengan nilai terbaik se-Jawa Tengah.
"Saat masih muda, saat masih dalam fase menuntut ilmu sebaiknya tidak memikirkan kecuali ilmu. Ingat, ilmu tidak akan didapat kecuali dengan dikejar sungguh-sungguh. Sedangkan jodoh sudah disediakan oleh Allah. Kalau saat kau harus mengejar ilmu malah mengejar jodoh, kau bisa kecewa jika ternyata yang kau kejar bukan jodohmu, dan ilmu sudah pergi jauh dari jangkauanmu." Kata-kata abahnya saat memberi nasihat para santri di masjid pesantren tiba-tiba terngiang di telinganya.
Ia harus segera mandi, cepat-cepat berkemas dan berangkat ke Masjid Raya Secang. Ia harus shalat Shubuh berjamaah di sana lalu mewakili ayahnya ngisi pengajian Ahad pagi di sana. Sebab ayahnya harus ngisi pengajian khusus di masjid pesantren dalam rangka Haflah Akhirussanah. Cepat-cepat ia buang jauh-jauh pikirannya tentang jodoh. Ia harus fokus memikirkan ilmu, ilmu dan ilmu. Jodoh akan datang dengan sendirinya jika tiba saatnya. Jika jodohnya adalah Ayna, maka tak akan tertukar dengan yang lainnya. Jika bukan Ayna tidak bisa dipaksakan juga.
BAGIAN 4 Pagi itu suasana mendung, meskipun tipis, tidak tebal. Matahari tertutup awan. Alangkah cepat perubahan cuaca. Malam sebelumnya, langit masih cerah berhias bintang gemintang dan rembulan, paginya mendung datang menutupi langit meskipun tidak turun hujan.
Hari itu adalah hari yang dinantikan para santri yang mau meninggalkan pesantren. Seremonial acara puncak Perayaan Haflah Akhirussanah Pondok Pesantren Kanzul Ulum dan pengajian akbar akan digelar di halaman utama pesantren. Deklit dan panggung yang megah telah disiapkan. Semua santri berharap hujan tidak turun hingga acara selesai dilangsungkan.
Santri putra yang diwisuda memakai jas biru dongker, celana hitam, lengkap dengan dasi, serban putih dan peci hitam. Mereka tampak begitu gagah, modern dan terkesan intelektual. Kesan sebagai santri kitab kuning yang kumuh sirna melihat penampilan mereka pagi itu. Satu persatu mereka mulai menempati kursi yang disediakan khusus buat mereka.
Santri putri memakai jas biru dongker, bawahan hitam dan jilbab putih bersih. Mereka tampak seperti bidadari-bidadari yang berjalan di atas muka bumi. Tampak murni, anggun, bersih, cerdas, dan modern. Mereka juga mulai berdatangan menempati kursinya.
Ayna dan Zulfa tampak berjalan bersama tujuh santri rombongan asrama Rabi'ah Al Adawiyah. Jika rombongan itu seumpama bidadari, maka Ayna tampak bagaikan ratu bidadari. Wajahnya paling bercahaya dibandingkan wajah santriwati lainnya. Ia juga sedikit lebih tinggi dari mereka. Hidung, bibir, mata, alis, dan pipinya terpahat begitu serasi. Guratan perpaduan kecantikan alamiah Jawa dan keanggunan Arab yang memesona. Maha suci Tuhan yang menciptakan makhluk sedemikian indah.
"Kalian ada yang lihat Neneng? Dia datang nggak?" tanya Rohmatun sambil berjalan pelan.
"Dia datang, tadi kulihat ia datang bersama keluarganya di asrama sebelah," Sahut Azka.
"Dia sudah minta maaf sama kamu belum, Na?"
Ayna menghentikan langkah diikuti yang lain.
"Belum, tapi pas sidang itu pamannya sudah menyampaikan permintaan maaf mewakili Neneng dan keluarga. Sudahlah nggak usah dibahas. Sudah saya maafkan semuanya. Kita mau berpisah, kita lupakan semua masalah. Kita semua ini saudara kandung dalam ilmu. Kita sama-sama dikandung dalam rahim pesantren ini, kita harus saling membantu dan menjaga."
"Aku jadi sedih, kita mau berpisah ya," lirih Zulfa.
Rohmatun mengusap kedua matanya yang basah.
"Ayna layak untuk jadi santri terbaik kali ini, aku yakin dewan kyai dan dewan guru tidak akan salah pilih," gumam Luluk.
"Saya tidak pernah berpikir jadi terbaik, saya bisa jadi sahabat kalian sudah keberuntungan luar biasa. Tidak banyak gadis di desa saya yang bisa sekolah dan belajar di pesantren seperti kita. Yang paling penting adalah ilmu yang manfaat dan barokah," jawab Ayna.
"Bener banget. Kita tetep 'keep in touch' yah setelah keluar dari sini!" pesan Zulfa.
"Insya Allah," jawab yang lain hampir bersamaan.
Mereka melanjutkan langkah. Memasuki tempat acara, rombongan santriwati itu menjadi pusat perhatian. Terutama keberadaan Ayna. Banyak dari santriputra yang berbisik dan memandang ke arah Ayna. Sebab sebagian mereka baru kali itu melihat Ayna. Mereka penasaran dengan sosok Ayna yang sudah masuk koran sebagai siswi dengan nilai UN bidang IPS tertinggi se-Jawa Tengah. Itu adalah sejarah bagi pesantren itu.
Panitia bagian dokumentasi terus mengambil gambar Ayna dan teman-temannya yang baru datang hingga duduk. Ayna merasa agak risih.
"Sstt, Dik, sudah sudah! Kayak apa aja difoto terus!" seru Ayna setengah berbisik pada santriwati yang memegang kamera DSLR.
"Ya, biarin tho, Na, sekali-kali jadi kayak artis gitu," guyon si Rohmatun.
"Artis dari Hong Kong," sahut Ayna.
"Nggak-lah, artis dari Purwodadi."
"Sudah, ah!" Ayna dan rombongannya menempatkan diri. Para santri terus berdatangan, demikian juga orang tua wali santri, dan tetamu undangan. Setengah jam berikutnya, tempat acara itu sudah penuh. Hanya tersisa beberapa kursi di deretan depan yang masih kosong. Itu adalah kursi untuk tamu-tamu undangan paling penting. Para kyai sepuh, pejabat, dan rektor beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta yang ada di Jawa Tengah dan DIY.
Tiba-tiba terdengar rebana ditabuh dan syair thala'al badru dikumandangkan. Semua hadirin seketika menengok ke arah suara. Tampak rombongan Pak Kyai Sobron dan Gus Asyiq datang mendampingi para tamu penting memasuki arena acara.
"Ahlan wa sahlan wa marhaban bikum, selamat datang Romo Kyai Haji Yusuf Badrudduja dari Sleman Yogyakarta, selamat datang Simbah Kyai Hamdan Baijuri dari Watucongol, selamat datang Kyai Izzuddin dari Tegalrejo, selamat datang Bapak Wakil Gubernur Jawa Tengah, selamat datang Bapak Bupati Magelang dan rombongan, selamat datang Bapak Kakanwil Kemendikbud Provinsi Jawa Tengah, Bapak Kakanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah, selamat datang Bapak Ketua PWNU dan Bapak Ketua PW Muhammadiyah, selamat datang Bapak Rektor UGM, UNY, UNDIP, UNTIDAR, UIN Walisongo, UM Magelang, dan UNSIQ Wonosobo. Selamat datang di Pondok Pesantren Kanzul Ulum, Candiretno, Secang, Magelang!"
Dengan suara yang empuk, pembawa acara menjelaskan siapa-siapa yang datang diiringi oleh Pak Kyai Sobron dan Gus Asyiq. Acara hari itu benar-benar istimewa karena dihadiri sekian banyak tokoh penting di Jawa Tengah. Rebana terus mengalun hingga semua tamu duduk di kursi paling depan.
"Jam berapa, Zul?" lirih Ayna pada Zulfa yang duduk di sampingnya. Yang ditanya langsung melihat jam tangannya.
"Jam delapan kurang lima menit."
"Tepat waktu, lima menit lagi acara akan dimulai."
Tiba-tiba Ustadzah Wiwik tampak celingak-celinguk mencari seseorang, hingga akhirnya menemukan wajah Ayna dan memandangnya sambil tersenyum. Ustadzah Wiwik dengan hati-hati mendekati Ayna dan merapatkan mulutnya di telinga Ayna dan berbisik,
"Keluargamu ada yang datang, Na?"
Ayna menggeleng. "Oh ya, baik kalau gitu."
"Ada apa ustadzah?"
"Nggak ada apa-apa. Tenang aja," lirih Ustadzah Wiwik lalu pergi menuju tempat duduk Bu Nyai melaporkan pembicaraannya dengan Ayna.
Sepasang pembaca acara yang wibawa dan anggun berdiri di samping kanan panggung. Mereka santri putra dan santri putri kelas 2 MA. Dengan suara kompak mereka mengucapkan salam pertanda acara dimulai. Suara keduanya enak didengar, diksinya tepat, artikulasinya jelas, intonasinya pas. Seluruh hadirin dibawa dalam suasana nyaman dan mulia. Pembawa acara itu membuka acara dengan mengajak seluruh hadirin membaca induknya Al-Qur'an yaitu Surah Al Fatihah, setelah itu ia mempersilakan seorang santri pemenang MTQ tingkat kabupaten untuk membaca ayat suci Al-Qur'an, dilanjut dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dipimpin grup paduan suara MTs Kanzul Ulum.
Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suasana religius yang kental berpadu dengan jiwa kebangsaan yang kokoh. Seluruh santri dan hadirin menyanyikan lagu kebangsaan itu dengan penuh semangat dan penghayatan.
Indonesia Raya, merdeka, merdeka, tanahku negeriku yang kucinta!'''''''
Lalu sambutan dari Pengasuh Utama Pesantren Kanzul Ulum, KH. Sobron Ahsan Muslim, Lc. Dalam sambutannya, Kyai Sobron menyampaikan sesuatu yang unik, bahwa sudah menjadi tradisi di Pesantren Kanzul Ulum para pejabat yang hadir, sepenting apapun, sambutannya akan diwakili oleh Pak RT setempat.
"Jadi tanpa mengurangi hormat kami, nanti Pak Bupati, Pak Wakil Gubernur, Pak Kakanwil Kemendikbud Jateng, Pak Kakanwil Kemenang Jateng, tidak akan memberi sambutan di sini. Nanti diwakili oleh Pak RT. Kalau semua kasih sambutan malah jadi kayak lomba pidato. Tadi intiinti yang akan disampaikan para pejabat sudah ditulis dan disampaikan kepada Pak RT. Jika sudah bawa sambutan tertulis nanti akan dimuat di majalah pesantren edisi tahun ajaran baru. Dan ini acaranya haflah, artinya pesta. Di sini kita berpesta. Jadi para pejabat, para tokoh, para rektor nanti akantetap naik ke panggung ini untuk berpesta. Mereka akan mempersembahkan sebuah penampilan. Boleh baca puisi, boleh nyanyi, boleh nyanyi dangdut asal isi syairnya baik, mendidik, group band dan nasyid santri siap mengiringi!"
Tepuk tangan seketika bergemuruh.
Inti sambutan Pak Kyai Sobron adalah mengembalikan para santri yang sudah lulus kepada orang tua masing-masing. Pak Kyai mewakili seluruh dewan pengajar menyampaikan permohonan maaf jika ternyata dirasa kurang mampu mendidik, atau belum sesuai yang diharapkan oleh orang tua wali. Pak Kyai juga berpesan agar para santri teguh dan istiqomah menjaga jiwa-jiwa kesantrian, istiqomah berislam, beriman, dan berihsan. Kyai Sobron lalu minta seluruh santri berdiri untuk disumpah, atau dibaiat sebelum mereka meninggalkan pesantren. Para santri dibimbing membaca syahadat bersama lalu dibimbing untuk bersumpah bahwa mereka tidak akan meninggalkan Islam hingga akhir hayat, selalu menjaga akhlakul karimah dan akan menjunjung nama baik pesantren di mana pun berada, membantu sesama alumni pesantren, berjuang di jalan Allah membela agama, nusa dan bangsa apapun profesinya kelak.
Sumpah itu menggema dan menggelegar. Para santri mengucapkan sumpah itu sambil meneteskan air mata haru. Orang tua wali yang mendengarnya terbawa suasana dan merasa mereka telah meletakkan anak-anak mereka di tempat yang tepat.
Selanjutnya adalah persembahan tari Saman dari santri putra asrama Imam Al Ghazali. Barulah sambutan ketua RT. Dalam sambutannya ketua RT yang kocak itu menyampaikan bahwa jadi ketua RT itu tidak kalah rumitnya jadi Bupati.
"Pak Bupati banyak stafnya tinggal perintah, enak, sementara ketua RT itu malah banyak diperintah-perintah sama warganya, contohnya yang sekarang ini. Saya diperintah sama salah satu warga saya, Al Mukarram Kyai Sobron. Harusnya saya yang perintah beliau, karena di RT ini saya imamnya, eh malah saya yang diperintah, katanya kansayyidul qaumi khadimuhum, artinya kira-kira Ketua RT itu, ya khadim-nya atau pembantunya para warga!"
Seketiga gelak tawa terdengar riuh. Bagi yang jeli, akan tahu bahwa Pak RT adalah orang berilmu. Dilihat dari nukilan-nukilan bahasa Arab dalam sambutannya yang seger dan fasih. Memang ketua RT itu juga salah satu pengajar di pesantren.
Pak RT lalu menyampaikan inti-inti yang hendak disampaikan para pejabat, termasuk apresiasi dari Pak Bupati yang akan membantu pesantren hampir seratus juta untuk pengadaan buku buat perpustakaan pesantren. Bantuan itu dari saku pribadi Pak Bupati.
"Ini yang tak kalah penting, Pak Bupati juga memberikan hadiah buat ananda Ayna Mardeya binti Abdullah Jalal, atas prestasinya meraih nilai UN tertinggi se-Jawa Tengah dan masuk sepuluh besar nasional yang telah mengharumkan Magelang. Pak Bupati memberi hadiah uang tunai dua juta rupiah!"
Disambut dengan tepuk tangan. Ayna gemetar mendengar hal itu. Air matanya meleleh.
"Tidak hanya Pak Bupati, Pak Wagub juga memberi hadiah kepada ananda Ayna, tabungan senilai tiga juta untuk membantu beli buku saat nanti kuliah. Pak Kakanwil Kemendikbud dan Kakanwil Kemenag masing-masing memberi hadiah tabungan satu juta rupiah. Sementara Pak Rektor UNY menyampaikan apresiasi berupa tawaran menjadi mahasiswa di UNY tanpa tes buat ananda Ayna!" Ayna tak kuasa menahan isak tangisnya. Bintang acara itu adalah Ayna. Hari itu sepenuhnya milik Ayna. Semua yang hadir di situ seolah datang untuk merayakan prestasi Ayna. Tari Saman dipersembahkan untuk Ayna seorang. Ketika group band dengan penuh kegembiraan dan keceriaan menyanyikan lagu "Senyum" milik Raihan, lirik syairnya seolah sepenuhnya untuk Ayna.
manis wajahmu kulihat di sana,
apa rahsia yang tersirat?
Apalagi sang vokalis yang berwajah cukup ganteng, beberapa kali menunjukkan tangannya ke arah Ayna saat mendendangkan syair itu. Beberapa santri putri sampai ada yang tidak sadar berteriak histeris. Demikian juga ketika grup itu mendendangkan lagu-nya SNADA berjudul "Arti Cinta". Seolah-olah syair-syairnya dibuat untuk merayakan perasaan hati Ayna yang diliputi rasa cinta dan syukur hari itu.
cinta suci luar biasa, rahmat dari yang kuasa, kepada semua hamba-hamba-Nya.
Hingga tibalah acara inti pengajian akbar hari itu, yaitu mau'izhah hasanah yang akan disampaikan oleh KH. Yusuf Badrudduja, MA. Seorang kyai muda, mubaligh terkemuka dari Yogyakarta yang sudah masuk televisi nasional, yang juga seorang dosen dan pengasuh pesantren mahasiswa. Seluruh hadirin menunggu-nunggu ceramah dari dai berwajah teduh yang sering muncul di layar kaca tersebut.
"Namun sebelum kita menikmati hidangan ruhani dari Al Mukarram KH. Yusuf Badrudduja, MA. Terlebih dahulu kita dengarkan pengumuman yang paling sakral dalam acara Haflah Akhirussanah, yaitu pengumuman santri teladan berprestasi tahun ini, yang namanya akan diukir dalam sejarah para santri berprestasi di pesantren ini. Kepada yang kami hormati Kepala Madrasah Aliyah Kanzul Ulum, Ibu Nyai Hajjah Nur Fauziyah Al Hafizhah, S. Pd. I kami persilakan!"
Dengan tenang, Bu Nyai Nur Fauziyah menaiki panggung dan berdiri tepat di tengah panggung sambil membawa sebuah amplop. Setelah menyapa hadirin dan menyampaikan sepatah dua patah kata, Bu Nyai mengumumkan,
"Santri teladan berprestasi nomor tiga adalah ananda Siti Mahmudah binti Komarun dari Palangkaraya. Siti Mahmudah lulus dengan nilai UN IPA tertinggi di madrasah ini, dia selalu juara di kelasnya, dan tahun lalu memenangkan Olimpiade Matematika Pelajar tingkat Jateng di Semarang. Ananda Siti Mahmudah dan kedua orang tuanya, saya persilakan naik ke panggung."
Tepuk tangan membahana. "Santri teladan berprestasi nomor dua adalah ananda Muhammad Afifuddin bin KH. Sobron. Wah, ini anak kandung saya sendiri. Tapi dia terpilih bukan karena anak saya dan Kyai Sobron. Sebab saya tidak termasuk tim penilai kali ini, jadi bukan nepotisme,ya. Ananda Muhammad Afifuddin, meraih nilai UN juga tertinggi di madrasah ini untuk program keagamaan. Dia sudah hafal Al-Qur'an dan Alfiyah Ibn Malik. Tahun lalu memenangkan Musabaqoh Qiraatul Kutub antar pesantren se-Jawa Tengah di Benda, Brebes. Ananda Muhammad Afifuddin dan Abah-nya silakan naik ke panggung!"
Kyai Sobron naik ke panggung bersama Gus Afif dengan senyum lebar diiringi senyum dan tawa para hadirin.
"Selanjutnya dan ini yang kita tunggu-tunggu santri berprestasi nomor satu, paling berprestasi dan teladan utama tahun ini adalah ananda Ayna Mardeya binti Abdullah Jalal. Dia santri yang .. hiks ..."
Tiba-tiba Bu Nyai terisak, air matanya meleleh. Suasana senyap sesaat. Hadirin terbawa suasana haru. Di tempat duduknya, air mata Ayna kembali meleleh, ia tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Siapakah dirinya sampai disebut paling berprestasi dan teladan utama? Ia merasa tidak layak mendapat predikat itu, Gus Afif seharusnya lebih layak.
"Dia santri yang luar biasa. Yatim piatu. Ditinggal wafat ayahnya sejak dalam kandungan ibunya. Di pesantren ini, dia memikul pekerjaan yang lebih berat dari teman-teman seusianya. Dia khadimah. Dialah dan khadimah-khadimah yang lainnya yang setiap hari bangun lebih pagi dari yang lain untuk menyiapkan sarapan pagi para santri. Demi Allah, setiap pekerjaan yang dibebankan kepadanya diselesaikan dengan tuntas. Dia tidak akan menyerah sampai amanahnya tertunaikan. Meski sedemikian bebannya, dia berhasil menuliskan sejarah emas pesantren ini. Ketika ia diberi waktu untuk fokus belajar saat menghadapi UN, dia mampu mencetak prestasi yang belum pernah dicetak santri-santri sebelumnya. Yaitu meraih nilai UN 55,60. Bahasa Indonesia 8,9, Bahasa Inggris 9,5, Ekonomi 9,8, Matematika waduh ini edan banget, Matematika 10. Rata-rata nilainya 9,2. Ananda Ayna silakan maju."
Ayna bangkit dan berjalan menuju panggung diiringi suara rebana dan syair thala'al badru. Sebagian besar hadirin meneteskan air mata haru. Mbak Ningrum dan para khadimah menangis lirih terisak-isak di barisan paling belakang. Mereka menangis bahagia, karena Ayna seolah mewakili mereka.
Ayna berdiri di samping Kyai Sobron sambil berkali-kali menyeka air matanya.
Bu Nyai Nur Fauziyah meminta KH. Yusuf Badrudduja untuk mengalungkan medali keteladanan dari pesantren kepada ketiga santri. Dimulai dari Siti Maemunah, Gus Afif lalu Ayna. Mereka lalu foto bersama. Bu Nyai juga meminta para tokoh untuk foto bersama sebentar. Para wartawan sibuk mengabadikan momen itu. Setelah itu Bu Nyai meminta Ayna memberikan sambutan singkat.
"Biasanya yang memberikan sambutan adalah wali muridnya, tetapi karena ayahanda Ayna sudah wafat, dan tidak ada keluarganya yang datang, maka biarlah Ananda Ayna langsung memberikan sambutan. Silakan!"
"Bismillah. Alhamdulillah. Was shalatu was salamu "ala Rasulillah. "Amma ba'du. Saya merasa tidak layak berdiri di sini dan menerima predikat ini. Saya yakin ada yang lebih layak dari saya. Karenanya saya tidak layak memberikan sambutan. Saya memohon kepada ayahanda saya selama saya belajar di sini, abah saya, Romo Kyai Sobron untuk mewakili almarhum orang tua saya."
Para santri belum pernah menyaksikan Kyai Sobron meneteskan air mata di atas panggung seperti yang terjadi pada hari itu.
Haflah itu berlangsung sukses. KH. Yusuf Badrudduja memuaskan dahaga seluruh hadirin yang menunggunya.
Kyai Hamdan Baijuri, ulama paling sepuh yang hadir dalam acara itu menutup dengan doa yang membawa jiwa seolah terbang mengetuk pintu langit. Doa yang begitu kuat dan dalam, yang menggerakkan angin turut serta mengaminkan.
Usai acara, para santri sibuk berfoto dan berangkulan penuh haru, karena tak lama lagi mereka akan berpisah. Sebagian besar dari mereka telah mengemas seluruh barangnya dan akan pulang bersama kedua orang tua dan keluarganya, meninggalkan pesantren untuk selamanya.
BAGIAN 5 Ada sore, ada pagi. Ada siang, ada malam. Ada kelahiran, ada kematian. Ada tua, ada muda. Ada datang, ada pergi. Ada suka, ada duka. Ada tangis, ada tawa. Ada sedih, ada bahagia. Ada ramai, ada sepi. Ada pertemuan, ada perpisahan. Ada kebersamaan, ada kesendirian. Itulah kenyataan hidup yang harus siap dihadapi siapa saja di atas muka bumi ini. Para nabi sekalipun mengecap dan merasakan kenyataan itu.
Pagi itu cerah, terang tanpa hujan. Burung gelatik melayang dan hinggap di dahan pohon sawo yang ada di halaman pesantren. Matahari bersinar kekuningan.
Ayna duduk sendirian di beranda asrama Rabi'ah al-Adawiyah yang sepi. Semua teman seangkatannya telah pergi meninggalkan pesantren setengah bulan yang lalu. Dan adik-adik kelasnya sedang libur panjang setelah menerima rapor.
Pesantren yang biasanya ramai oleh ribuan santri, kini terasa lengang. Hanya puluhan santri putra dan puluhan putri yang tersisa. Mereka adalah para santri salaf yang fokus hanya ngaji kitab kuning.
Ayna memandang beranda masjid. Tempat di mana ia sering bercengkerama dengan teman-teman usai shalat. Suara Rohmatun, suara Zulfa, suara Laila, suara Fara, suara Luluk, suara Azka, suara Nanik dan suara-suara teman-temannya yang lain seperti ia dengar kembali. Wajah-wajah mereka terbayang. Episode-episode kebersamaan dengan mereka kembali hadir dalam pikirannya. Tak terasa air matanya meleleh. Belum juga satu bulan berpisah dengan mereka hati terasa rindu. Masa-masa belajar di Madrasah Aliyah bersama mereka kini ia rasakan sebagai kenangan yang sangat manis dirasa.
Rohmatun mungkin kini sudah mulai mencari kosdi Surabaya. Mungkin temannya yang gendut itu akan kuliah di UIN Sunan Ampel, atau Unair. Zulfa jadinya kuliah di Solo apa di Salatiga, ia belum mendapat kabarnya. Tapi jelas Zulfa akan melanjutkan kuliah. Laila mungkin jadi merantau di Jakarta. Kuliah sambil membantu bibinya yang punya warteg di sana. Fara sudah kirim surat kalau ia kini mondok di Pesantren Annur, Ngrukem, Bantul, Yogyakarta. Ia mau serius menghafalkan Al-Qur'an dan perlu tempat yang baru biar fresh, katanya.
"Di sini ada kakak kelas kita dulu, Teh Indah dari Cianjur, dia sudah khatam haf Al-Qur'annya, sudah dapat sanad, dan jadi tangan Bu Nyai di sini. Tiga hari di sini aku langsung betah. Oh ya di sini juga bisa sambil kuliah di STIQ Annur. Dosennya keren-keren. Ada yang Master Ilmu Tafsir dari Al Azhar, Kairo," tulis Fara.
Ayna lalu ingat Siti Mahmudah dan Wirda Qanita.
Dua anak itu sangat beruntung, menurutnya. Siti Mahmudah sang juara jurusan IPA itu mendapat beasiswa bidikmisi dari Fakultas Kedokteran Unair Surabaya, sedangkan Wirda Qanita mendapat beasiswa MORA Kemenag untuk kuliah di Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Ia sendiri tidak mendapatkan dua beasiswa itu karena mendaftarnya sebelum UN, pakai nilai rapor. Sementara nilai rapornya yang meyakinkan hanya ketika dirinya duduk di kelas 1, saat ibunya masih ada dan ia belum jadi khadimah. Setelah itu, nilainya biasa saja yang penting naik kelas. Maka ia tidak bisa mendaftar dua beasiswa tersebut. Dan ia memang tidak berpikir untuk daftar saat teman-temannya sibuk mendaftar. Dari belasan yang daftar hanya dua orang itu yang diterima.
Yang diam-diam membuatnya bangga adalah Novi Wulandari, anak pengusaha busana muslim dari Cirebon itu, katanya lanjut kuliah di Monash, Melbourne, Australia. Mengambil jurusan desain dan ekonomi kreatif. Hebat, santriwati bisa kuliah di negara maju. Novi kuliah dibiayai full oleh kedua orang tuanya. Yang ia suka dari Novi adalah sikap rendah hatinya selama di pesantren. Ia tidak pernah menampak-nampakkan diri sebagai anak seorang konglomerat. Makan pun ia sama dengan yang lainnya, tidak minta dibedakan.
Sedangkan Neneng? Ya Neneng Kamila Dewi dari Bekasi yang pernah ia tendang itu. Ah, cepat-cepat ia hapus nama itu. Yang lalu biarlah berlalu. Ia mendoakan semoga yang bersangkutan menemukan jalan hidup yang lurus dan baik.
Ia lalu ingat, Yayah Badriyah, anak paling suka tidur di kelas. Semua guru tidak akan melupakan anak itu, karena telah dijuluki "Puteri Tidur". Di kelas banyak tidur, pas ngaji juga banyak tidur. Di mana anak itu? Lanjut kuliah atau mondok lagi, atau balik kampung? Ia tidak tahu beritanya.
Yang agak mengagetkan baginya adalah Maryati. Teman satu kelas yang pendiam itu memberi kabar kepada Bu Nyai kemarin pagi, bahwa ia akan menikah. Ia dilamar anak kepala dusun di kampungnya. Hari dan tanggal akad nikah telah ditentukan yaitu akhir bulan Syawal yang akan datang. Mungkin Maryati adalah santriwati yang nikah duluan dari semua teman-temannya.
Teman-teman satu angkatannya sudah meninggalkan pesantren ini. Semuanya. Hanya dia saja yang masih di pesantren. Ia tidak tahu apakah akan lanjut kuliah ataukah tetap di pesantren berkhidmah kepada Pak Kyai dan Bu Nyai. Ia juga belum tergerak untuk pulang ke desanya di barat Purwodadi. Bukan karena desanya tandus dan tidak menarik, bukan. Walau bagaimana pun itu tempat kelahirannya, tempat ia menghabiskan masa kecil bersama ibunya dan neneknya. Tempat yang sangat dia cintai. Ia merasa enggan pulang karena ia merasa tidak ada lagi rumah yang menerimanya dengan hangat di sana, setelah ibunya dan neneknya tiada.
Satu-satunya keluarga yang ia miliki di sana adalah keluarga Pakdenya. Pakde Darsun ia biasa memanggilnya. Pakde Darsun tak lain adalah kakak ibunya, tunggal ibu beda ayah. Rumahnya berdampingan dengan rumah neneknya yang ia tempati bersama ibunya. Seharusnya, pada keluarga Pakdenya itulah ia kini berlabuh dan berteduh. Tapi ia sama sekali tidak merasakan kehangatan, dan pertalian ruh dengan mereka, kecuali Si Tikah atau Atikah, anak bungsu Pakde Darsun. Hanya Atikah yang ia rasakan hangat dan benar-benar menganggapnya sebagai keluarga.
Pakde Darsun dan istrinya Bude Mijah terasa seperti orang lain. Tak ada kasih sayang yang ia rasakan sejak kecil dari mereka. Tak ada penghargaan dari mereka kepadanya. Ia merasakan mereka justru lebih banyak reseknya kepada ibunya dan dirinya. Perasaan tidak nyaman itu terus ia lawan selama ini. Ia terus berusaha berbaik sangka kepada mereka. Ia terus berusaha menganggap mereka adalah keluarganya, orang-orang paling dekat yang ia miliki saat ini.
Mas Tono dan Mbak Ripah, anak pakde Darsun yang usianya lebih tua dari dirinya lebih sering mengejek dan mem-bully dirinya sejak kecil. Ketika ia sudah mondok sekalipun, mereka tidak menunjukkan kehangatan sebagai saudara. Ia lebih sering mendengar kata-kata ketus, nyinyir dan sinis dari mereka. Ia sama sekali tidak dendam kepada mereka, dan ia ingin membuang jauh-jauh perasaan negatif kepada mereka dalam pikirannya. Tetapi pengalaman dan kenyataan tidak bisa ia enyahkan begitu saja.
Karena pesan ibunyalah ia tetap hormat dan takzim kepada keluarga Pakdenya.
"Jangan kau putus tali silaturahim dengan keluarga pakdemu! Merekalah keluarga yang kau miliki. Mereka keluargamu. Pakdemu anggaplah sebagai ayahmu dan budemu anggaplah sebagai ibumu!" Itulah wasiat ibunya beberapa hari sebelum menghembuskan napas terakhirnya di RS Hogorejo Semarang karena sakit liver.
Meskipun pakde dan budenya bukan orang tua kandungnya, semestinya hari-hari ini adalah hari-hari bahagianya bersama mereka. Semestinya mereka bahagia, senang dan bangga ia meraih prestasi yang diimpikan banyak anak remaja. Karena prestasinya itu ia sampai masuk koran beberapa kali. Tapi harapan itu tidak terjadi. Pakde dan budenya tak sudi datang ke acara Haflah Akhirussanah yang sangat penting baginya. Padahal ia sudah menyampaikan pesan berkali-kali lewat si Tikah agar pakde dan budenya datang.
Sehari setelah Haflah Akhirussanah, si Tikah datang bersama temannya, Ayuk, namanya. Si Tikah mengucapkan selamat atas prestasinya dan minta maaf tidak bisa membujuk kedua orang tuanya untuk datang.
"Saya juga anyel sama Pak'e dan Buk'e. Kalau punya acara penting banget bisa dimaklumi nggak bisa datang. Lha, Pak'e nggak bisa datang alasannya mau mancing sama Kartolo di waduk, katanya. Lha, Mak'e malah ngomong, males jauh! Saya sampai bilang ini cuma sekali seumur hidup bagi Dik Ayna, mbok ya disempat-sempatkan, apalagi Dik Ayna sudah masuk koran. Mereka tetap nggak mau datang. Aku kan jadi mangkel banget, Dik!" terang si Tikah. Meskipun usianya lebih muda dua tahun darinya, Tikah memanggilnya Dik dan Ayna memanggilnya mbak. Sebab Atikah anak pakde-nya.
Karena itu, pesantren ini ia rasakan adalah rumahnya yang paling hangat saat ini. Ia memang kehilangan banyak teman seangkatan, tetapi ia masih punya Mbak Ningrum, Mbak Titin dan para khadimah lainnya yang sangat hangat layaknya keluarga. Lebih dari itu,saat pesantren sepi seperti ini, ia justru semakin dekat dengan Bu Nyai. Ada banyak dan kesempatan yang membuatnya bisa menemani Bu Nyai, karena kesibukan Bu Nyai berkurang. Berkali-kali Bu Nyai menyuruhnya liburan dan pulang, tetapi ia mengatakan ingin liburan di pesantren. Ingin lebih lama di pesantren. Ia tidak menceritakan tentang perlakuan pakde dan budenya kepadanya. Bu Nyai menyarankan agar ia melanjutkan kuliah di Jogja saja. Tawaran rektor UNY agar diambil.
"Ummi punya teman baik. Dia yang punya toko pakaian di daerah Malioboro. Kau bisa kerja di sana sambil kuliah. Kalau ummi yang minta sama dia, insya Allah tidak ditolak," kata Bu Nyai dengan penuh kesungguhan kepadanya saat ngobrol suatu pagi setelah sarapan.
Itu adalah tawaran yang sangat ideal baginya. Tetapi ia juga merasa kalau tetap mengabdi di pesantren adalah pilihan yang indah. Suasana pesantren yang damai ini tidak mudah dicari gantinya. Shalat berjamaah, zikir, ngaji, ingat Allah, ingat Kanjeng Nabi Saw., adalah kenikmatan yang mungkin tidak mudah didapat saat nanti kuliah di Yogya. Maka ia menyampaikan kemungkinan dirinya tetap berkhidmah di pesantren.
"Jujur, sebenarnya Ummi merasa eman-eman kalau kau cuma jadi khadimah di sini. Apa kata masyarakat, santri dengan nilai UN tertinggi se-Jawa Tengah kok putus kuliah? Pesantren ini juga malu rasanya. Tapi ya tidak apa, kalau kau merasa nyaman tetap ngaji di sini, kau boleh tetap membantu ummi. Tapi nanti tidak lagi seperti kemarin, bantu masak, nyuci, ngepel, tidak. Tidak boleh begitu. Kau nanti jadi asisten pribadi ummi, selain itu kau nanti ikut ngajar di TK sana biar dapat pemasukan. Kalau nanti Pak Kyai jadi bikin Sekolah Tinggi, kau harus lanjut kuliah."
Tawaran Bu Nyai itu sangat membahagiakan dirinya. Dan itu juga didukung oleh Mbak Ningrum dan Mbak Titin.
Sinar mentari pagi mulai terasa panas dikulitnya. Ayna bangkit, ia belum dhuha. Ia berjalan ke tempat wudhu, di kejauhan ia mendengar namanya dipanggil-panggil. Suara anak kecil. Ia dengarkan dengan saksama. Itu suara Gus Naufal.
"Mbak Ayna, mbak Ayna dipanggil Mbah Putri!"
"Iya, Gus, Mbak segera ke sana." Ia melongok ke asal suara. Ayna mengambil air wudhu lalu melangkah menemui Bu Nyai.
"Segera kau kemas-kemas. Ikut ummi dan abah jalan-jalan ke Jogja pagi ini. Kita rekreasi!" perintah Bu Nyai sambil tersenyum.
"Gus Naufal ikut?" tanya Ayna kepada Naufal yang ada di situ.
"Yo kudu ikut. Lha yang nyetir mobil kan, Abiku. Mamaku kan juga ikut, masak aku ditinggal sendiri!" cerocos Naufal.
"Ya, iya Naufal ikut, cepat ganti pakaian sana!"
"Siap, Mbah Putri yang baik, nanti jangan lupa beliin robot ultramen, lho. Awas kalau tidak!"
Bu Nyai Nur Fauziyah geleng-geleng kepala melihat polah cucunya.
"Khadimah yang diajak saya aja, Ummi? Mbak Ningrum nggak diajak?"
"Kamu aja. Cepat sana kemas-kemas!"
"Injih, Ummi." Hari itu Ayna benar-benar merasakan rekreasi. Sudah lama ia mendengar nama Kota Yogyakarta, tapi baru hari itu ia menginjak kota yang pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia itu. Kira-kira jam sepuluh pagi rombongan itu sudah memasuki Kota Yogyakarta. Ia banyak ditolong oleh Gus Naufal yang ceriwis bertanya ini dan itu kepada mamanya.
"Ma, kok ada orang bule, mereka turis ya, Ma?"
"Bisa jadi turis bisa jadi tidak."
"Kalau bukan turis, terus apa dong?"
"Bisa saja mereka mahasiswa, mereka belajar di sini, kan kita ada di kawasan UGM. Universitas Gadjah Mada."
"Oh, ini tempatnya Bu Elvi belajar ya, Ma?"
"Bu Elvi yang mana?"
"Itu yang ngajar Naufal matematika pas kelas empat."
"Oh ya, benar."
"Kok kita ke sini, ngapain sih, Ma? Katanya mau ke Taman Pintar."
"Kita ngantar Mbah Kakung dulu, baru ke Taman Pintar."
"Lha, Mbah Kakung ngapain di sini?"
"Mau ngisi pengajian para dosen. Kita antar Mbah Kakung, lalu kita ke Taman Pintar. Sementara Mbah Kakung ngisi pengajian, kita main-main di sana. Kalau Mbah Kakung sudah selesai baru kita jemput lagi."
Ayna hanya diam dan menyimak dengan saksama. Ia jadi tahu kampus UGM, Malioboro yang terkenal itu, Taman Pintar, dan Keraton Jogja meskipun cuma lewat di depannya. Siang itu setelah menjemput Kyai Sobron lagi mereka makan siang di jalan Imogiri, tepatnya di Sate Klatak. Setelah makan siang dan shalat Zhuhur mereka meluncur ke Jalan Kaliurang.
"Kita mau ke mana lagi, Ma?"
"Kita mau berkunjung ke rumahnya Mbah Yusuf."
"Wah asyik, nanti jumpa Mas Faros, ya?"
"Bukan mas, tapi om."
"Masih kecil, bahkan sama aku tua aku kok, aku manggil om sih, Ma?"
"Mbah Nur, ayahnya Om Faros itu kan adik sepupunya Mbah Putri. Lha, mama saja kalau panggil Mbah Nur itu Paklik. Berarti kau panggil Faros, ya om."
"Ah nggak enak, nggak mau. Aku manggil Mas aja!"
"Ya, udah." Kyai Sobron, Bu Nyai Nur Fauziyah dan Gus Asyiq tersenyum mendengar dialog itu. Ayna hanya meraba-raba siapa yang dipanggil Mbah Yusuf. Ia membayangkan umurnya sudah lebih lima puluh tahun, sebab sudah dipanggil Mbah.
Mobil Innova Silver itu memasuki halaman sebuah rumah yang asri. Di samping rumah ada gerbang kecil, di atas gerbang ada plang bertuliskan "Pesantren Mahasiswa Al Manhal Al Islami". Gus Asyiq memarkir mobilnya di bawah pohon talok. Satu persatu penumpang turun dari mobil. Gus Asyiq memencet tombol bel. Seorang pemuda berkopiah putih membuka pintu.
"Eh, Gus Asyiq, eh, Romo Yai." Anak muda itu mencium tangan Gus Asyiq dan Kyai Sobron dengan penuh takzim.
"Monggo pinarak, Yai Yusuf membe ngaos ten masjid kampung, sekedap melih kundur," ucap pemuda itu dengan sangat ramah. Gus Asyiq dan Kyai Sobron masuk ke ruang tamu dan langsung duduk diikuti yang lain. Ayna duduk dengan sikap menunduk. Ia tidak berani melihat-melihat. Tapi sekilas tadi saat masuk ia melihat foto KH. Yusuf Badrudduja bersama seorang ulama memakai jubah dan serban putih di kepalanya. Ia langsung tahu ini adalah rumah mubaligh muda yang terkenal itu. Rupanya beliau masih adik sepupu Bu Nyai Nur Fauziyah.
Tak lama kemudian terdengar suara sepeda motor memasuki halaman. Kyai Sobron menengok ke jendela.
"Itu dia datang."
Sejurus kemudian Kyai Yusuf sudah ada di ambang pintu.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam wa rahmatullah," jawab Kyai Sobron dan rombongan hampir kompak.
"Mbah Nur, Mas Faros, sama Mbak Fina mana? Kok nggak ada suaranya?" celetuk Gus Naufal polos.
"Sedang kursus renang di kolam renang."
"Boleh nggak aku susul ke sana?"
"Sebentar lagi mereka sampai, ini sudah di jalan pulang. Mereka tahu Dik Naufal mau datang, makanya langsung pulang."
"Kalau gitu, aku pinjam mobil-mobilannya Mas Faros yang ada remote-nya, boleh nggak, Mbah?"
"Naufal! Jangan tho," tegas Malihah.
"Biar, nggak apa-apa. Mbah ambilkan sebentar ya," kalem Kyai Yusuf Badrudduja.
Kyai Sobron dan Bu Nyai Nur Fauziyah geleng-geleng melihat polah cucunya yang berani mengekspresikan pikiran dan keinginannya secara terbuka.
"Ini, tapi hati-hati mainnya ya. Main di halaman belakang saja sana lebih enak!"
"Iya, Mbah. Terima kasih."
Kedua mata Naufal tampak berpijar bahagia ketika menerima mobil-mobilan sedan dengan antena panjang dan remote-nya dari tangan Kyai Yusuf.
"Ma, temani Naufal main dong!"
"Ayo, mama antar ke halaman belakang, nanti biar Mbak Ayna yang nemeni, ya?"
"Iya. Ayo, Mbak Ayna!"
Malihah bangkit dari duduknya diikut Ayna. Malihah berjalan melewati ruang tengah, dapur, beranda belakang hingga sampailah di halaman belakang yang cukup luas. Halaman itu berpagar tembok setinggi satu meter setengah. Di ujung halaman tampak pendopo berbentuk joglo. Di kanan dan kiri halaman, tambah berdiri bangunan bata merah ala Bali dua lantai. Bu Nyai ternyata ikut menyusul ke belakang tapi duduk di kursi yang ada di beranda belakang. Angin sejuk semilir mengalir. Pamuda yang tadi membukakan pintu mengantar empat gelas es degan dan pisang goreng. Bu Nyai memanggil Ayna dan Malihah. Sementara Naufal asyik dengan mobil-mobilannya.
"Sebelah kanan itu pesantren putri, yang sebelah kiri pesantren putra. Semua yang nyantri mahasiswa. Ada yang kuliah di Uli, UPN, UGM, UIN, UNY, UMY, UPN, AMIKOM dan kampus lainnya," gumam Bu Nyai seperti menjelaskan kepada Ayna, namun pandangannya terus mengawasi cucunya yang asyik bermain di halaman.
"Jumlah santrinya sekarang totalnya berapa sih, Mi, kalau mungkin tahu?" tanya Malihah.
"Terakhir, Dik Yusuf bilang putra-putri ya seratus tiga puluhan. Tujuh puluhan mahasiswi, selebihnya mahasiswa. Untuk ukuran pesantren mahasiswa yang sudah banyak itu."
Mereka berada di rumah Kyai Yusuf Badrudduja cukup lama. Terutama setelah si kecil Faros dan Fina datang dan bertemu Naufal. Mereka langsung lengket, Faros langsung mengeluarkan semua mainan yang ia miliki. Itu membuat Naufal sangat kerasan.
"Naufal itu sudah saatnya punya adik," lirih Bu Nyai kepada Malihah menantunya. Ayna diam dan tersenyum dalam hati.
"Injih, Mi," jawab Malihah.
Bu Nyai lalu mengajak Ayna melihat-lihat pesantren putri yang diterima dengan keramahan dan rasa takzim dari seluruh santri. Apalagi ketika ada yang tahu bahwa Ayna adalah pemilik nilai UN terbaik se-Jawa Tengah. Para mahasiswi tampak antusias mengajak foto. Ayna dibebaskan untuk ngobrol-ngobrol atau istirahat di tempat para santriwati. Barulah setelah shalat Maghrib mereka meninggalkan Kaliurang menuju Secang.
Dalam perjalanan pulang Ayna membayangkan jika ia bisa nyantri di pesantrennya Kyai Yusuf Badrudduja bareng mbak-mbak yang ramah dan baik hati itu sambil kuliah, duh alangkah bahagianya. Tapi darimana ia akan dapat uang untuk membiayai itu semua. Yang masuk akal kalau ia kuliah, ya sambil bekerja cari uang, bukan sambil belajar di pesantren. Alangkah bahagianya mbak-mbak yang bisa kuliah sambil belajar di pesantren itu. Mereka punya orang tua atau keluarga yang membiayainya.
Ayna tidak mau mikir yang macam-macam dan tinggi-tinggi. Ia harus banyak bersyukur, apa yang ia alami siang itu adalah sebuah kenikmatan yang tidak semua orang merasakannya. Diajak jalan-jalan seperti itu, ia merasa dianggap bagian dari keluarga pengasuh pesantren paling besar di Secang. Sepanjang perjalanan, Bu Nyai dan keluarganya sama sekali tidak memperlakukan dirinya layaknya pembantu, justru dia merasa tidak enak karena sesekali malah Bu Nyai yang meladeni dirinya. Misalnya, saat di rumah Kyai Yusuf, malah Bu Nyai yang mencarikan mukena untuknya karena ia lupa tidak bawa mukena. Bu Nyai juga yang membelikan dirinya oleh-oleh agar nanti ada yang bisa dibagi dengan para khadimah lainnya.
Maka ia berpikiran, ia tetap bisa mengabdi dan belajar di pesantren itu, dekat dengan Bu Nyai dan Pak Kyai, sudah merupakan hal yang membahagiakan.
Makhluk Mungil Pembawa 1 Siluman Ular Putih 06 Lembah Kodok Perak Wanita Iblis 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama