Ceritasilat Novel Online

Klub Horor 1

Fear Street Klub Horor The Thrill Club Bagian 1


Bab 1 SHANDEL CARTER gemetaran dan cepat-cepat menoleh
lewat bahunya. Apakah ini khayalanku, tanyanya dalam hati, atau apakah seseorang mengikutiku?
Pasti cuma imajinasiku. Tapi kenapa begini gelap? Dan kenapa tidak ada lampu jalan di bagian Fear Street sini? Sudah cukup mengerikan bahwa ia harus berjalan lewat kuburan sendirian. Paling tidak seharusnya ada sedikit cahaya bulan menemaninya.
Sepatu karetnya berdebam di atas trotoar ketika Shandel
berjalan tergesa-gesa menuju rumahnya. Ia mendengarkan kalau-kalau ada suara langkah-langkah kaki di belakangnya lagi. Tapi yang terdengar hanya suara sepatunya dan lolongan kucing di suatu tempat jauh dari situ.
Kenapa aku berjalan pulang sendirian di Fear Street malam-malam begini? tanya Shandel pada dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepala seraya mengernyitkan dahi, lalu mempercepat langkah.
Kalau saja ia dan Nessa tidak terlibat dalam debat konyol itu.
Nessa bisa mengantarnya pulang, seperti malam-malam sebelumnya.
Tapi, tidak. Shandel menggelengkan kepala, diam-diam
mengomeli dirinya sendiri. Kenapa sih aku harus selalu keras kepala?
Kenapa aku harus selalu merasa benar sendiri?
Shandel bahkan tidak ingat apa yang telah menyulut
percekcokan itu. Ia dan Nessa sedang mengobrol dan tertawa-tawa, seperti biasa, pura-pura mengerjakan PR mereka. Entah bagaimana obrolan itu sampai ke topik hantu.
"Aku melihat hantu," ujar Nessa sambil lalu. "Semalam. Waktu itu aku sedang berjalan pulang dari rumah Maura lewat kuburan Fear Street."
"Hantu." Shandel tertawa. "Laki-laki membawa pisau daging yang besar. Pakai topeng hoki. Aku pernah menonton film itu."
Wajah Nessa Troy tampak menerawang. Rambutnya yang
cokelat gelap diekor kuda di belakang wajahnya yang cantik dan lembut.
"Tidak," kata Nessa pelan. "Seorang perempuan. Perempuan dalam gaun pengantin. Ia melayang dari kuburan dan menatapku selama beberapa detik. Lalu lenyap."
"Itu saja?" Shandel kecewa. "Kurang seram untuk cerita hantu."
"Ini bukan cerita!" Nessa berkeras. "Ini sungguh-sungguh terjadi. Benar-benar kualami."
Nessa mengalihkan perhatian kembali ke PR matematikanya. Ia mengernyitkan dahi pada salah satu jawaban dan kemudian
menghapusnya. Shandel merasa marah sendiri. "Ayolah, Nessa. Kau tidak berharap aku mempercayai ceritamu, kan?"
Nessa mengalihkan pandangannya dari buku catatannya. "Apa katamu?"
"Kau tidak benar-benar berharap aku percaya kau melihat hantu, kan?"
"Tentu saja aku ingin kau mempercayainya. Kau sahabatku, Shandel. Jika kau tidak mempercayai aku, lalu siapa yang akan percaya?"
Shandel tidak menjawab. Nessa mengalihkan pandangannya ke bukunya lagi.
Shandel mencoba menyelesaikan sebuah soal, tapi tidak bisa berkonsentrasi. Bagaimanapun juga, cerita itu membuatnya jengkel.
Hantu dalam gaun pengantin. Kenapa hal itu begitu mengganggunya?
Ia mengulurkan tangan dan merampas pensil dari jari-jari Nessa.
"Mengaku sajalah," ujarnya. "Mengakulah, kau cuma mengarang-ngarang cerita itu."
Nessa tak mau mengalah. "Aku cuma menceritakan apa yang kulihat, Shandel. Sekarang boleh kuambil pensilku lagi?"
Shandel menggenggam pensil itu erat-erat. Ia tahu sikapnya kekanak-kanakan. "Tidak akan kukembalikan sampai kau mengaku bahwa kau mengarang-ngarang cerita itu."
"Tidak," Nessa berkeras. "Jadi, kembalikan pensil konyol itu!"
Nessa merebut pensil itu dengan marah, tapi Shandel keburu menghindar.
Nessa menatap Shandel di seberang meja dengan marah. "Kalau kau tidak mempercayai ceritaku, silakan keluar dari rumahku."
"Oke," Shandel balas membentak. "Aku pergi"
Shandel berdiri. Ia mengumpulkan buku-bukunya, menyambar jaketnya, lalu menghambur keluar dari pintu depan, masih sambil menggenggam pensil Nessa. Dimasukkannya pensil itu ke dalam tas bahunya, lalu melangkah pergi.
Tidak jauh kok. Rumahnya di Canyon Road, cuma sepuluh
menit berjalan kaki. Tapi kenapa begini gelap sih?
Angin sepoi-sepoi berembus berputar-putar, membuat
pepohonan seperti berbisik. Udara tiba-tiba terasa dingin. Awan yang membentuk selimut tebal melayang-layang rendah, menutupi bulan.
Ketika sampai di kuburan Fear Street dengan batu-batu nisan kunonya yang mencuat dari tanah seperti gigi-gigi bengkok, Shandel berputar. Ia menatap kegelapan di belakangnya.
Sesuatu bergerak. Sebuah sosok hitam mengendap-endap di
balik pohon. Cuma khayalanku? Bisa jadi. Tapi mungkin juga tidak.
Aku tak ingin berkeliaran di sini untuk mencari tahu!
Shandel berlari secepat-cepatnya sambil memeluk tas bahunya seperti dalam permainan football. Kalau saja aku bisa lari secepat ini dalam perlombaan atletik, pikir Shandel seraya memperlebar langkahnya. Mungkin aku bisa jadi juara negara bagian.
Hampir melewati kuburan. Akhirnya Shandel berhenti untuk menarik napas. Salah satu simpul tali sepatunya terlepas. Ia membungkuk dan mengikatnya.
Ketika meluruskan punggung, Shandel terpaku.
Apa itu? Ia menahan napas dan mendengarkan dengan saksama. Sebuah suara. Bisikan yang teramat lembut.
"Shandel." Lari! Shandel memaksa dirinya sendiri. Lari!
Tapi kakinya tak mau bergerak. Kakinya bagai tertanam dalam tanah.
"Shandel," suara itu kembali berbisik. Menggelitik, menggoda.
"Nessa," desis Shandel, "kalau kau mencoba menakut-nakuti aku, aku takkan pernah memaafkanmu."
Shandel menoleh ke arah bisikan itu. Bayang-bayang itu
tampak melayang-layang keluar dari kuburan.
Sekonyong-konyong di langit yang ungu ia melihat awan hitam.
Asap. Ia menatap ketakutan, mengawasi bayangan itu melayang dari balik batu nisan yang miring.
Tidak. Tak mungkin, pikirnya.
Tak mungkin aku berdiri di sini, menyaksikan semua ini.
Tolong, tolong.... Jangan biarkan itu hantu.
"Shandel." Bisikan. Tepat di belakangnya. Tepat di telinganya.
Shandel bagai kehabisan napas saat sesuatu yang dingin
menyentuh lehernya. Sesuatu yang dingin dan tajam. Geraknya cepat dan halus.
Ia merasakan sesuatu yang basah dan panas sebelum merasa kesakitan.
Ia mengangkat kedua tangannya. Ketika menurunkannya
kembali, tangannya berlumuran darah hitam.
Tenggorokanku, ia tersadar. Seseorang menggorok leherku.
Kakinya terasa seperti karet. Lemas.
Ia jatuh berlutut. Tanah yang gelap menyambutnya.
"Ohhh!" rintihan pelan keluar dari tenggorokannya.
Tenggorokannya terluka dan berdarah.
Ia merasa amat hangat dan sekaligus dingin pada saat
bersamaan. Tas bahunya tiba-tiba terbuka saat menghantam trotoar, hingga melontarkan semua isinya ke luar.
Tenggorokanku... Aku berlumuran darah. Tolong aku!
Shandel meraba-raba seperti orang buta, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkannya.
Yang ditemukannya hanya sebatang pensil.
Bab 2 TALIA BLANTON selesai membaca cerita itu dan memandang
sekeliling ruangan dengan matanya yang biru. Ia yakin teman-temannya di Klub Horor menikmati ceritanya.
Lima anggota klub yang lain duduk berselonjor di ruang
rekreasi Seth Varner yang kecil. Ekspresi mereka tampak bingung dan sungguh-sungguh. Tak seorang pun berbicara.
Kurasa ceritaku benar-benar menarik, pikir Talia. Ia
mengedipkan mata kepada Seth. Cowok itu membalasnya dengan senyum sekilas.
"Wow!" Rudy Phillips yang pertama kali berkomentar. Matanya yang cokelat berbinar-binar gembira di balik kacamatanya yang berbingkai emas. "Cerita yang mengagumkan, Talia."
"Cerita itu membuatku merinding. Sungguh," Maura Drake menyela. "Maksudku, aku bisa merasakan darah mengalir turun dari lehernya."
Rudy terkekeh, suaranya melolong tinggi. Ia melingkarkan tangannya di leher Maura.
"Rudy---lepaskan!" Maura menggeliat-geliat melepaskan diri dari cengkeraman Rudy. "Rudy terlalu kecil untuk mendengarkan cerita-cerita ini," gumam Maura. Ia menatap Rudy dengan wajah cemberut. "Sudah saatnya kau tidur, iya, kan?"
"Aku tidak akan tidur malam ini. Tidak setelah cerita itu!" kata Rudy. Ia menoleh kepada Nessa yang duduk berselonjor di lantai di seberangnya. "Hei, Nessa---kau punya pensil yang bisa kupinjam?"
Semua tertawa. Nessa menyeringai kepada Rudy. "Sejak kapan kau belajar menggunakan pensil?"
"Oooh! Dia meledekmu, man!" kata Seth kepada Rudy. Ia melompat dari sofa dan memukul punggung Rudy.
"Mungkin seharusnya kita mengubah kelab ini menjadi kelab komedi," gumam Maura. "Kita semua dapat melakukan kebiasaan sehari-hari."
"Tahu lelucon-lelucon bagus lagi?" tanya Rudy sambil melihat sepintas berkeliling ruangan. "Tahu lelucon-lelucon kotor?"
"Seekor babi jatuh ke kubangan lumpur!" kata Nessa. "Itu lelucon kotor."
"Ha-ha!" tukas Maura tajam. "Aku tidak mendengar lelucon itu sejak umur lima tahun!"
"Ayo kita bicarakan cerita Talia lagi," saran Nessa.
"Oke. Pesan apa yang dapat diambil dari cerita itu?" Rudy menyeringai.
"Jangan pernah meminjam pensil dari Nessa!" sela Seth.
Semua tertawa. Nessa Troy menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak. Pesan sesungguhnya dari cerita itu adalah, jangan pernah meragukan kata-kataku," katanya sambil memainkan jemarinya di rambutnya yang cokelat gelap. "Jika kukatakan aku melihat hantu, aku memang melihat hantu."
"Boo!" ujar Maura sambil memutar bola matanya.
Sambil berdiri di depan ruang rekreasi itu, Talia mendengarkan kelima anggota klub yang lain bicara bersamaan. Mendirikan Klub Horor benar-benar ide yang hebat, pikirnya. Enam Sekawan bertemu setiap minggu di rumah para anggota secara bergilir, untuk bertukar cerita dan saling menakut-nakuti. Talia bangga pada tugasnya sebagai penulis di kelab itu. Ia paling suka waktu-waktu seperti ini, ketika cerita-ceritanya baru berakhir. Semua orang mengaguminya, bertanya-tanya bagaimana ia bisa mengarang cerita yang menakutkan setiap minggu.
Semua orang, kecuali Seth tentu saja. Seth tahu rahasia
kotornya. Ia tahu Talia tak punya waktu untuk mengarang akhir-akhir ini.
Jadi, Seth mengarang beberapa kisah terakhir untuknya.
Begitu tersadar dari lamunannya, Talia mendapati salah seorang anggota klub amat diam.
"Shandel?" tegur Talia. "Ada yang tidak beres?"
Shandel Carter duduk sendirian di pojok ruangan, kakinya yang panjang digantungkan di lengan kursi malas. Melihat wajah Shandel yang tegang, Talia tiba-tiba merasa amat menyesal.
Tapi bukan aku yang melakukan, ia mengingatkan dirinya
sendiri. Aku tidak mengarang cerita itu. Seth yang menulisnya.
"Ada apa?" tanyanya pada Shandel. "Kau tidak suka cerita itu?"
Shandel menyentuh lehernya, seakan-akan memeriksa apakah berdarah. Shandel cewek yang menarik, tinggi langsing, tulang pipinya tinggi, dan matanya yang indah berbentuk almond amat kontras dengan kulitnya yang gelap. Ia selalu mengenakan jaket merah tua dan abu-abu tim atletik Shadyside High-nya.
"Suka?" mata Shandel terbelalak tidak percaya. "Aku benci cerita itu! Kenapa kau harus menggunakan nama beneran dalam ceritamu?"
Talia juga menanyakan kepada Seth pertanyaan yang sama
ketika Seth menunjukkan cerita itu tadi sore. Ia sendiri harus menyelesaikan laporan sejarah, jadi Seth menawarkan diri untuk mengarang cerita untuknya.
Sekarang Talia mengulang perkataan Seth untuk menjawab
pertanyaan Shandel. "Karena dengan begitu cerita itu lebih menakutkan, tak terpikir olehmu, kan?"
"Well, jangan gunakan namaku lagi," Shandel mengingatkan.
"Aku tidak suka leherku digorok---meskipun cuma dalam cerita konyol itu."
"Konyol?" seru Talia, seperti ada yang menikam dirinya.
Shandel menatap Talia dengan marah. "Kau tahu apa
maksudku," gumamnya. "Jangan pakai namaku lagi, oke?"
"Menurutku menggunakan nama-nama beneran di dalam cerita itu bagus," sela Maura. "Maksudku, itu kan malah membuat ceritanya lebih nyata. Kau jadi bisa membayangkan orang yang lehernya digorok itu."EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
"Aku tak ingin membayangkannya!" Shandel berkeras sambil memegang lehernya lagi.
Semua tertawa. Talia menatap Maura. Ia tak bisa menyembunyikan
keheranannya karena Maura membelanya. Maura itu cewek gemuk berambut merah dengan mata hijau yang lebar. Wajahnya yang kurang menarik berbintik-bintik.
Talia tidak pernah mendengar kata-kata manis diucapkan oleh Maura---tidak sejak Talia pacaran dengan Seth.
Ia bertanya-tanya dalam hati apakah Maura sudah melupakan Seth. Mungkin aku dan Maura bisa berteman lagi, pikir Talia sedih.
Mungkin kami bisa berhenti bertengkar sekarang.
Tapi kemudian ia melihat Maura tersenyum kepada Seth.
"Mungkin aku seharusnya mengucapkan selamat padamu juga, untuk cerita itu!" katanya licik.
Seth pura-pura tidak tahu apa maksud Maura.
Talia merasa wajahnya panas. "Hei! Apa maksudmu?"
Maura mengangkat bahu dan mengusap rambutnya yang
pendek dan berwarna tembaga perlahan-lahan. Satu-satunya bagian yang indah pada diri Maura, pikir Talia benci.
Rambut Talia jauh lebih indah---panjang, pirang, dan lembut bak sutra, melengkapi kesempurnaan matanya yang biru jernih. Ia tahu betapa cantiknya dirinya. Dan kalaupun Talia lupa, selalu saja ada banyak cowok yang mengingatkannya.
"Hei, jangan bersikap sok lugu begitu, Talia," kata Maura.
"Maksudmu Seth tidak membantumu mengarang cerita-ceritamu--sama seperti ia membantu pelajaran matematikamu?"
"Sama sekali tidak," protes Talia. "Setiap kata dalam ceritaku adalah milikku. Setiap kata! Beritahu dia, Seth."
Seth duduk di dekat Maura, di sofa vinil merah. Tubuhnya tinggi kurus, rambutnya hitam berombak, dan wajahnya amat tampan.
Ia bergeser dengan jengah sambil menyilangkan tungkainya yang panjang. "Uh---terserah," gumamnya pasrah.
Benar-benar menolong, pikir Talia getir. Ia bertanya-tanya apakah Seth sering membicarakan rahasia mereka kepada Maura.
Beberapa cowok seperti itu. Selalu setia kepada pacar lamanya.
Terkadang Talia bertanya-tanya kenapa ia betah menjadi pacar Seth. Seth jarang bicara dengannya lagi, nyaris tak pernah menciumnya. Pacar yang hebat.
Yang dikerjakannya cuma PR-ku. Minggu depan, janji Talia, aku akan mengarang cerita sendiri---kalau aku punya ide yang bagus.
Ia tersenyum kepada Maura. "Oke, Maura, mungkin ceritaku berikutnya adalah tentang kau. Tentu saja kau akan menjadi korbannya."
"Pastikan saja kematianku akibat cokelat!" gurau Maura.
Semua tertawa kecuali Shandel. Cewek itu berdiri dari kursinya dan dengan malas meluruskan lengannya yang panjang di atas kepalanya. "Daya khayal Talia memang hebat," katanya.
"Shandel---apa sih masalahmu?" Talia balas menembak.
"Orang lain juga punya perasaan, tahu?" keluh Shandel. "Kau seharusnya ingat waktu mengarang cerita-cerita ini."
Talia memandang ke sekeliling ruangan sejenak. Semua
mengawasinya, menunggu jawabannya. Ia mencoba mencairkan ketegangan dengan bergurau.
"Jadi, apa lagi yang tidak beres pada diriku?" tanyanya. "Kita bisa membuat daftar kesalahanku, dari A sampai Z."
"Siapa yang punya waktu?" tukas Shandel tajam. "Aku harus pulang sebelum jam sebelas!"
Maura tertawa ngakak. Yang lainnya tersenyum geli.
Talia merasa dongkol. Ia benar-benar benci menjadi bahan tertawaan.
Shandel segera mengambil kesempatan itu. "Coba lihat,"
katanya sambil pura-pura berpikir keras. "Kenapa tidak kita mulai dengan huruf A? Kupikir Annoying---Menjengkelkan--- dimulai dengan huruf A."
"Hei---dia bisa mengeja!" komentar Talia tajam.
"Aku tahu satu kata yang dimulai dengan huruf B," Maura menambahkan sambil tertawa mengikik.
Talia menunggu seseorang membelanya. Tapi tak seorang pun melakukannya. Bahkan Seth pun tidak. Pacar macam apa dia, pikirnya sedih.
Nessa masih duduk di lantai, punggungnya bersandar di
dinding. Ia membungkuk ke depan, tersenyum. "Serangan dari Anggota Klub Horor!" teriaknya seraya tertawa.
Shandel membungkuk dan meletakkan kedua telapak tangannya rata di lantai, seolah-olah sedang mengadakan pemanasan untuk perlombaan lari.
"Aggravating---Menyebalkan---juga dimulai dengan huruf A,"
katanya, diluruskannya tubuhnya sambil tersenyum.
Talia menghela napas dalam-dalam, lalu menahannya. Shandel selalu kasar. Sikapnya selalu sedikit kasar. Tapi kali ini sikapnya keterlaluan.
Aku harus menghentikannya sebelum aku kalah, pikir Talia.
Apa yang dapat kulakukan?
Dengan pikiran kacau ia menepuk saku jins-nya.
Penyelesaiannya muncul begitu saja. Pisau. Ia lupa ia memilikinya.
Benda itu akan menghentikan Shandel.
Talia berjalan pelan tapi mantap. Ia menyeberangi ruangan itu sampai berhadap-hadapan dengan Shandel. Lalu ia merogoh sakunya dan menarik pisau lipat otomatis.
Ketika mata pisau perak itu terhunus, mulut Shandel ternganga.
Ia mengangkat kedua tangannya untuk mempertahankan diri.
"Bagaimana kalau Ampun?" tanya Talia, tangannya mengangkat pisau itu dengan penuh ancaman. "Kupikir itu juga dimulai dengan huruf A."
Talia tidak menunggu sampai Shandel menjawab.
Ia mengangkat pisau itu dan menghunjamkannya ke dada
Shandel, mengincar jantungnya.
Sasarannya benar-benar sempurna.
Bab 3 SHANDEL terengah-engah ketakutan. Matanya terbelalak tidak percaya.
Tangannya menolak keras-keras, lalu ia terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya.
Di belakangnya Talia mendengar teman-temannya berteriak
kaget. Talia mengangkat pisau itu tinggi-tinggi, memamerkan mata pisaunya yang keperakan. Lalu ia tertawa. "April Mop!" serunya gembira.
Masih sulit bernapas Shandel menunduk melihat sweternya.
Tak ada darah. "Hei---" teriaknya, lebih terkejut daripada marah.
Sambil tertawa Talia menekan mata pisau itu ke telapak
tangannya. Mata pisau itu tidak mengoyak kulitnya, melainkan melesak masuk ke dalam gagangnya.
"Wow!" terdengar Rudy berteriak. "Pisau boongan!"
Talia menekan pisau itu ke dadanya sendiri. Ia menariknya keluar dan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Mata pisaunya menyusup ke dalam gagangnya."
"Hebat!" teriak Rudy. Ia menyeberangi ruangan, lengannya terulur. "Boleh kulihat?"
Talia menyerahkan pisau itu kepada Rudy. Ia membeli pisau itu tadi sore di toko kartu; semacam pisau yang digunakan di atas pentas dan di film-film. Ia merasa pisau itu bakal berguna pada pertemuan malam itu.
Teman-temannya mengobrol dan menertawakan pertunjukan
kecil itu. Shandel masih tampak linglung.
Senang dengan kemenangannya, Talia tiba-tiba merasa aneh.
Menikam Shandel seperti itu---tampaknya amat nyata.
Rasa dingin mengaliri punggungnya. Mungkin sebenarnya amat mudah untuk sungguh-sungguh membunuh seseorang, pikirnya.
Begitu mudah. Begitu cepat.
Sungguh perasaan yang aneh....
Talia melirik Shandel yang masih berdiri di tengah ruangan, linglung tapi tidak terluka. Ia sedang memegangi tempat bekas tusukan pisau itu dengan tangannya, seakan sedang mengucapkan janji setia.
Talia berharap semoga ia tidak terlalu membuat takut temannya.
Ia mengulurkan tangan untuk menepuk lengan Shandel.
Tapi Shandel melompat ke belakang. "Talia," bentaknya,
"jauhkan lenganmu dariku. Aku serius!"
"Memangnya kenapa sih?" goda Talia. "Ini kan Kelab Horor, Shandel. Tidak bisakah kau menerima lelucon ini?"
"Lelucon?" Shandel menggelengkan kepala. "Rasa humormu benar-benar aneh."
"Shandel," Talia memohon, "jangan marah padaku ya."
Shandel memandangnya dengan judes, matanya yang lebar
berbentuk almond menyipit penuh amarah. "Kau kenal aku, Talia.
Aku tidak marah. Aku balas dendam."
Seperti kebiasaannya sebagai juru damai, Nessa berusaha
menenangkan semuanya. "Ayolah, Teman-teman. Semua sudah selesai. Tidak bisakah kita melupakannya?"
Sambil menatap Talia, Shandel mengulangi kata-katanya
dengan nada dingin yang sama, "Seperti kataku tadi. Aku tidak marah.
Aku balas dendam." Pertemuan itu selesai beberapa menit kemudian. Shandel dan Nessa pulang bersama-sama. Talia mengantar mereka ke pintu, berharap Shandel mau menerima permintaan maafnya. Tapi Shandel hanya menatap Talia dengan dingin dan bergumam, "Sampai nanti."
Dengan perasaan terluka Talia kembali ke ruang rekreasi untuk menemui Maura dan Seth yang duduk berdekatan di sofa. Mereka bicara dengan berbisik-bisik.
Talia menatap mereka dari koridor. Ketika Seth mendirikan Klub Horor beberapa bulan yang lalu, ia ingat, Seth dan Maura telah berpacaran setahun penuh.
Tapi Seth tampaknya amat ingin memutuskan Maura. Ia terus-menerus mengajak Talia kencan, sampai akhirnya Talia bersedia keluar bersamanya. Talia tahu itu akan menghancurkan
persahabatannya dengan Maura---tapi ia amat tertarik kepada Seth. Ia tak pernah merasa seperti itu terhadap cowok lain.
Talia mengawasi mereka di sofa. Maura tertawa sambil
menyentuh ringan pergelangan tangan Seth.
Kenapa aku tidak merasa cemburu? Talia bertanya dalam hati.
Benarkah aku sudah bosan dengan Seth?
Baru dua bulan yang lalu, ia berpikir dirinya benar-benar telah jatuh cinta kepada Seth. Sekarang ia tidak yakin.
Seth telah banyak berubah sejak kematian ayahnya tiga minggu yang lalu. Kadang ia tampak begitu jauh. Nyaris seperti orang asing.
"Hei," suara Rudy membuatnya terkejut. Talia lupa Rudy ada di situ. Rudy pelan-pelan berjalan ke sampingnya. "Cerita yang hebat,"
pujinya. "Sungguh. Cerita itu benar-benar membuatku ngeri."
"Trims," jawab Talia dengan perasaan tidak enak.
Rudy tersenyum kepadanya. Ia lebih pendek dari Talia, tapi sekarang tampak tegap setelah rajin olahraga. Ia memiliki mata cokelat yang ramah, lembut, dan ingin tahu di balik kacamatanya yang berbingkai emas.
Sebelumnya Talia tak pernah sungguh-sungguh memperhatikan mata itu. Rudy menampakkan kesan kuat dan lembut dalam waktu bersamaan.
"Kupikir suatu hari kelak kau akan jadi terkenal," Rudy meramal. "Talia Blanton, pengarang cerita horor terkenal. Orang-orang akan antre untuk dibuat takut oleh tulisan-tulisanmu.


Fear Street Klub Horor The Thrill Club di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sungguh?" Talia merasa tersanjung. "Kau berpikir begitu?"
"Tentu." Rudy mengangguk.
Rudy baru saja selesai bicara ketika Maura berlari
menyeberangi ruangan dan memegang lengannya. "Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya curiga.
"Bukan apa-apa," jawab Talia lugu. "Hanya bicara tentang ceritaku."
"Semua orang amat tertekan malam ini," ujar Maura sambil menyeret Rudy ke pintu. "Aku tak mengerti mengapa."
Rudy menatap Talia sekilas waktu berjalan ke luar. "Sampai ketemu di sekolah," serunya.
"Tidak kalau aku bertemu kau duluan!" Talia bercanda.
"Gurauanmu ketinggalan zaman," Talia mendengar Maura bergumam. Mereka menghilang di balik pintu.
Seth masih membungkuk di sofa, menatap sepatu karetnya
dengan murung. Sekarang hanya tinggal kami berdua, pikir Talia.
Ia duduk di samping Seth dan mengambil tangannya. Ia
berharap dapat melakukan sesuatu untuk membuat Seth gembira. Seth biasanya suka lelucon seperti pisau palsu itu. Ia dan Talia akan duduk dan tertawa berjam- jam untuk hal-hal paling konyol seperti itu.
Akhir-akhir ini Seth tampak murung dan pikirannya hampir selalu kacau.
"Kau baik-baik saja?" tanya Talia lembut.
"Yeah. Aku baik-baik saja kok," jawab Seth membela diri.
Talia mengangkat bahu. "Kau kelihatan sangat pendiam malam ini."
Seth tidak menjawab. Talia benci kalau Seth bersikap seperti itu, begitu jauh dan tak terjangkau. Seperti tak menyadari keberadaan Talia.
Talia meraih dan menggenggam tangan Seth, lalu menjalin
jemarinya di antara jemari tangan Seth.
"Semua orang menyukai cerita yang kautulis untukku,"
gumamnya. "Kau baik sekali mau menolongku."
"Itu bukan apa-apa," jawab Seth sambil menekan lembut tangan Talia. "Aku senang melakukannya."
Talia merasakan rasa bersalah yang tidak jelas. Seth telah mengarang ketiga cerita terakhir untuknya. Ia sendiri sibuk dengan hal-hal lain, dan Seth tampaknya tidak keberatan.
Tapi sekarang Talia cemas. Terutama sejak anggota kelab yang lain mulai curiga. Ia tak ingin kehilangan tempat sebagai penulis di grup itu.
"Kau tidak memberitahu Maura, kau yang menulis cerita itu, kan?" tanya Talia, tidak bermaksud bersuara nyaring.
Seth menarik tangannya. "Hei---sama sekali tidak."
"Bagus." Talia merasa lega. "Maura sungguh-sungguh membenciku, kurasa. Maksudku---"
Seth memotong kalimatnya dengan mendoyongkan tubuh dan
mencium bibir Talia dengan lembut. Ciuman itu benar-benar kejutan yang menyenangkan. Talia ingin ciuman itu tidak berakhir. Ciuman itu mengingatkannya akan kebahagiaan yang mereka miliki sebelum Seth berubah.
Seth begitu tampan, pikir Talia. Ia menyukai rambutnya yang ikal dan gelap jatuh terjurai di keningnya; wajahnya yang berseri-seri saat tersenyum. Dulu, waktu ia suka tersenyum.
Dulu kami begitu bahagia....
Seolah-olah bisa membaca pikirannya, Seth melepaskan
pelukannya. Matanya menatap kejauhan.
"Seth?" Talia menggoyangkan tangannya di depan wajah Seth.
"Halo...? Ada yang tidak beres?"
Seth mengangguk pelan. Suaranya gemetar. "Aku tak tahan.
Aku terus saja memikirkan ayahku."
Talia merasa bersalah. Mementingkan diri sendiri. Tentu saja Seth berubah. Ayahnya baru saja meninggal.
"Aku benar-benar minta maaf," gumam Talia.
"Ada---ada sesuatu yang tidak kuceritakan kepadamu," kata Seth ragu-ragu. Rasanya bayangan kesedihan melintas di wajahnya.
Talia menunggu Seth melanjutkan.
"Akulah yang menemukan dia. Ia duduk saja di belakang mejanya. Duduk tegak seakan-akan ia masih hidup. Kaset rekaman yang aneh itu diputar dengan suara keras. Sangat keras."
Seth menghirup napas dalam-dalam. Ia mengembuskannya
pelan-pelan, lalu melanjutkan, "Aku melihatnya duduk di sana, di depan tape. Aku---aku berbicara dengannya dan ia--- ia tidak menyahut. Aku berjalan mendekat. Matanya terbuka, tapi ia tidak bernapas. Saat itu aku sadar, ia telah pergi. Aku memanggil ambulans, tapi sudah terlambat."
"Mereka tahu apa yang menyebabkan kematiannya?" tanya Talia lembut.
Seth menggelengkan kepala. "Ini misteri, Talia. Sungguh-sungguh misteri. Para dokter, petugas yang memeriksa sebab-sebab kematian seseorang, tak seorang pun bisa mengetahuinya. Akhirnya mereka hanya mengatakan karena sebab-sebab biasa."
"Menyedihkan sekali." Kata-kata itu terasa janggal. Tapi Talia tidak tahu apa lagi yang harus dikatakannya.
"Ada lagi," Seth melanjutkan, menghindari tatapan mata Talia.
"Kabar buruk belum berakhir."
"Apa lagi?" tanya Talia ragu-ragu.
"Mom bilang kami tidak punya uang. Dad tidak meninggalkan apa-apa untuk kami. Mungkin kami harus keluar dari rumah ini. Kau percaya?"
"Aku amat prihatin." Talia membelai lengan Seth, berusaha menghiburnya. "Semuanya akan membaik," katanya.
"Membaik!" seru Seth. Wajahnya tiba-tiba berubah. Ia melompat berdiri dari sofa. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," katanya menyipitkan matanya. "Sesuatu yang sangat aneh."
Talia mengikuti Seth naik ke kamarnya di lantai dua. Mereka berjalan pelan-pelan agar tidak mengganggu Mrs. Varner yang sedang tertidur di sofa ruang tamu. Menurut Seth, ibunya tidak bisa tidur di kamarnya sendiri sejak suaminya meninggal.
Kamar Seth kecil tapi rapi, hampir tak cukup luas untuk
ranjang, meja, dan rak. Sebuah poster pemain basket menempel di salah satu dinding. Gitarnya tersandar di pintu lemari dinding.
Talia menatap foto berbingkai di atas rak. Fotonya dan Seth, diambil sebelum dansa di sekolah. Foto yang lucu. Mereka berdua menyeringai seperti orang tolol, ngeceng di depan kamera.
Ketika menoleh dari rak, Talia sadar ia bisa melihat ke dalam kamar tidur rumah tetangga. Tirainya terbuka dan lampunya menyala.
Talia melihat seseorang berjalan di sana.
Seth mengambil sebuah kaset dari laci. "Akan kupasang ini untukmu," kata Seth serius.
"Kaset? Maksudmu kaset musik?"
"Bukan." Seth memasukkan kaset itu ke dalam tape.
Pada saat itu sebentuk wajah muncul di jendela kamar tetangga sebelah. Sekonyong-konyong Talia bagai tak sanggup bernapas saking terkejutnya. Ia menatap dengan saksama, berusaha melihat lebih jelas.
Tidak mungkin. "Seth---lihat! Itu Maura," bisiknya menahan napas. "Apakah dia memata-matai kita? Apa yang dilakukannya di sana?"
Bab 4 TALIA menarik lengan baju Seth. "Ngapain dia di sana, Seth?"
bisiknya. "Dia tinggal di sana," jawab Seth tenang. "Apa kau tidak tahu kami bertetangga?"
Talia menggelengkan kepala. "Aku tahu Maura tinggal di blokmu, tapi aku tidak hadir pada pertemuan di rumahnya. Tentu saja aku tidak tahu kau bisa melihat tepat ke dalam jendelanya. Benar-benar aneh."
"Sebenarnya," kata Seth, "sangat asyik waktu kami masih pacaran. Jika kami mau, kami bisa duduk di kamar kami masing-masing dan mengobrol semalaman. Tapi sekarang jadi sedikit aneh."
Talia menatap ke jendela itu lagi. Matanya bersirobok dengan mata Maura. Maura melambaikan tangan.
Talia tidak balas melambai. Ia berjalan ke jendela dan menarik turun tirai kamar Seth. Selamat malam, Maura, pikirnya.
Talia merasa tidak sabaran. Sudah larut, ia dan Seth bahkan belum menyentuh PR matematika mereka.
Ia menjauhi jendela. Seth telah memasukkan kaset tadi ke dalam player. "Seth---aku tak punya waktu untuk mendengarkan musik," katanya. "Kita harus---"
"Ini rekaman ayahku," sela Seth. "Rekaman inilah yang sedang didengarnya pada malam aku menemukannya di mejanya. Lihat ini."
Seth menunjukkan kotak plastiknya yang bening. Talia
memicingkan mata untuk membaca labelnya. Ada dua kata di atasnya, hasil cetak mikroskopis Dr. Varner: REKAMAN PEMINDAHAN.
"Rekaman Pemindahan? Apa artinya?"
"Kau harus mendengarnya," kata Seth serius. "Ini sangat aneh."
Mata Seth yang berkilat-kilat membuat Talia gelisah, "Kau tahu ayahku seorang ahli antropologi di universitas, kan? Well, ia sedang menyelidiki suku primitif di New Guinea tepat sebelum ia meninggal."
Seth menekan tombol dan rekaman itu pun terdengar. Talia mendengar suara nyanyian. Suara-suara yang dalam dan melengking, bernyanyi bersama-sama dalam irama yang mantap dan terus-menerus.
"Suara itu kedengarannya bukan suara manusia," bisik Talia.
"Suara itu terus berulang-ulang, tak henti-hentinya."
"Shhh." Seth mengangkat telunjuknya ke bibir. "Dengarkan saja."
Seth menutup mata dan tampak jatuh ke alam tak sadar.
Talia mengawasi bibir Seth bergerak tanpa suara. Apa yang dilakukannya? Apakah ia ikut larut dalam nyanyian itu?
Seth membuatnya cemas. Suara-suara yang aneh itu bertambah keras. Iramanya
bertambah cepat, bertambah cepat.
Kepala Talia serasa dipukul-pukul. Tiba-tiba ia merasa pusing.
Aku tak tahan lagi, pikirnya. Ia menutup kedua telinganya, tapi tangannya tak bisa menghalangi suara-suara itu. Ia menarik lengan baju Seth, tapi Seth tetap menutup mata. Bibirnya bergerak pelan, sesuai dengan nyanyian yang cepat itu.
"Ini membuatku gila! Matikan!" jerit Talia.
Seth tampaknya tidak mendengar jeritannya.
"Seth! Seth---please!"
Masih tidak ada jawaban. Tiba-tiba Talia mencengkeram kedua bahu Seth dengan kedua tangannya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Seth? Seth? Kau bisa mendengarku? Apakah kau baik-baik saja?"
Bab 5 "HUH?" Pelan-pelan Seth membuka matanya.
Talia melepaskan pegangannya dari bahu Seth. "Seth---musik itu---kau tidak mendengar aku---kau---" Talia tergagap.
Seth menatapnya, mulutnya membentuk huruf O saking
terkejutnya. Ia kelihatan kaget menemukan Talia di kamarnya. "Apa?
Apa maumu?" "Seth!" tukas Talia tajam. "Matikan kaset itu---please!
Mengerikan! Aku tidak menyukainya. Aku amat membencinya. "
********** Kepala Talia berdenyut-denyut waktu ia berjalan pulang.
Nyanyian mengerikan itu. Suara-suara jelek itu. Seperti mimpi buruk, pikirnya.
Mengapa Seth memaksanya mendengarkan kaset itu? Mengapa
Seth mendengarkannya? Talia melihat arlojinya sepintas. Sudah larut dan ia benci berjalan sendirian di Fear Street. Seth biasanya mengantarnya pulang, tapi Seth tidak enak badan setelah membantunya mengerjakan PR
matematikanya dan kemudian mendengarkan rekaman mengerikan itu lagi.
Talia tidak protes. Ia tahu Seth sakit. Sekali-sekali berjalan kaki pulang tidak akan membunuhnya.
Pohon-pohon tua berbisik di atasnya ketika ia berjalan. Semua rumah gelap. Kabut pucat bergelayut pada bulan separo yang menggantung rendah, bagaikan tirai tipis yang menghalangi cahayanya. Halaman rumput yang gelap dan berembun berkilauan di bawah cahaya samar dan pucat itu.
Setiap beberapa langkah Talia berhenti dan menoleh, untuk meyakinkan dirinya tak ada yang mengikutinya.
Tak seorang pun ada di sana.
Angin membuat pagar tanaman yang tinggi bergetar.
Sepatu karetnya menggesek trotoar. Ia berjalan semakin cepat.
Tenang, Talia menegur dirinya sendiri. Kau sudah berjalan di sini jutaan kali.
Tapi Fear Street adalah Fear Street. Ada begitu banyak cerita mengerikan tentang jalan ini. Talia tidak mempercayainya. Tapi tetap saja ia berharap Seth tinggal di jalan yang lain.
Ketika sampai di kuburan, Talia merasa bulu kuduknya
merinding. Ia berdiri diam-diam dan mendengarkan dengan saksama, matanya menatap lurus ke dalam kegelapan.
Sebuah langkah memecah keheningan di belakangnya.
Ia teringat ceritanya. Cerita yang ditulis oleh Seth. Bayangan Shandel terkapar di tanah, meraba-raba mencari pensil, berkelebat di benaknya.
Ingatan itu membuat lehernya tercekat, menjeratnya dalam rasa ngeri yang amat sangat. Jantungnya berpacu semakin cepat.
Talia tidak menoleh ke belakang.
Ia berlari terus. Tapi kakinya terasa berat. Ia nyaris tak dapat menggerakkan kakinya.
Apa yang tidak beres pada diriku? Kenapa? Talia bertanya pada dirinya sendiri dengan ketakutan.
Langkah-langkah kaki itu semakin keras sekarang. Semakin dekat.
Talia mengayunkan lengannya sekuat tenaga.
Ayo! ia memerintah dirinya sendiri. Ayo cepat!
Ia bisa merasakan keringat dingin di keningnya yang panas.
Setiap langkah membuat paru-parunya terasa nyeri.
Langkah-langkah kaki berdebam-debam mengentak telinganya.
Semakin dekat. Semakin dekat. Pengejarnya semakin mendekatinya.
Cukup dekat untuk membisikkan namanya.
"Talia," kata suara itu, selembut angin.
Lakukan sesuatu! kata Talia pada dirinya sendiri. Aku harus melakukan sesuatu!
Kemudian ia ingat pisau itu. Bukan pisau betulan, tapi
pengejarnya tidak akan tahu.
Satu-satunya kesempatanku.
Sambil berlari Talia memasukkan tangannya ke saku jinsnya. Ia menarik pisau itu.
Ia mengentakkannya untuk membuka pisau lipat itu.
Ia mengangkat tangannya, bersiap-siap.
"Oh!" Talia berteriak ketika tersandung sesuatu---sepeda roda tiga kecil. Ia terjerembap ke depan, menghantam trotoar dengan keras.
Pisau itu terbang dari tangannya. Ia mengawasi benda itu mendarat di rumpun semak belukar yang rendah di pagar kuburan.
Talia tertelungkup di pinggir jalan, terengah-engah, ketakutan.
Langkah-langkah kaki itu berdebam di atas trotoar---berhenti hanya beberapa senti dari kepalanya.
Yang bisa dilakukan Talia hanya memohon belas kasihan.
"Tolong!" jeritnya. "Kumohon---jangan sakiti aku!"
Bab 6 "TOLONG---" teriak Talia, suaranya yang melengking gemetar.
"Tolong---" "Ayolah," kata suara yang tidak asing lagi. "Kau boleh berdiri sekarang."
Oh, tidak, pikir Talia. Tidak mungkin.
"Talia," kata suara itu. "Mari kubantu berdiri."
Talia mengulurkan tangannya kepada tangan yang terulur
kepadanya, lalu menarik dirinya sendiri untuk bangkit dari trotoar. Ia tidak tahu apakah harus merasa lega atau geram.
"Sekarang pertemuan kita di Klub Horor bisa pindah tempat secara resmi," ujar Shandel riang. "Ini balasannya karena menggunakan namaku di ceritamu malam ini. Dan untuk pertunjukan kecilmu dengan pisau itu."
Talia mengibaskan kotoran dari kedua lututnya. Ia tidak terluka, hanya ketakutan dan malu. "Well," gumamnya, "kukira kita seri sekarang."
"Kaukira?" Shandel terdengar tidak puas. "Pertunjukanmu dengan pisau itu tidak lucu, Talia. Benar-benar kejam. Kau sungguh-sungguh membuatku ketakutan."
Mungkin Shandel benar. Lelucon itu sudah keterlaluan, bahkan di Klub Horor.
"Aku sungguh-sungguh minta maaf," kata Talia kepada Shandel. "Kau mau menerima permintaan maafku?"
Talia menunggu. Ia lega ketika Shandel akhirnya mengangguk.
"Melihat aku baru saja membuatmu takut setengah mati," kata Shandel tergelak. "Kukira baiklah. Aku memaafkanmu."
Mereka berjalan bersama-sama. Berjalan cepat-cepat melewati kuburan itu. Jantung Talia masih berdebar-debar.
Setelah satu atau dua menit berlalu, Shandel memecah
keheningan. Suaranya bernada simpatik. "Seharusnya kau membunuh Maura di ceritamu---bukan aku. Apa kaulihat caranya memandang Seth dengan matanya yang seperti lem itu?"
"Aku melihatnya," Talia meyakinkan Shandel. "Omong-omong, ada apa dengan Maura dan Rudy? Apa mereka punya masalah?"
Maura sangat tidak menarik, pikir Talia jahat. Aku heran apa yang dilihat Rudy pada dirinya. Rudy cowok yang sangat baik. Imut, lagi. Matanya yang cokelat dan besar. Bahunya yang bidang. Maura tak pantas punya cowok seperti dia.
"Kau kan tahu si Maura," kata Shandel mengangkat bahu. "Ia tak pernah benar-benar melupakan Seth. Aku benci mengatakan ini, Talia, tapi kau salah karena memutuskan hubungan mereka."
"Aku tidak melakukannya," potong Talia cepat. "Seth mengajakku kencan. Aku tidak memutuskan hubungan mereka."
Shandel mengabaikan protesnya. "Kau bahkan tidak tampak terlalu peduli terhadap Seth," katanya.
"Itu tidak betul," protes Talia. "Seth berarti segalanya bagiku.
Hubungan kami benar-benar baik."
Meskipun berkata seperti itu, Talia sadar ia tidak mengatakan yang sebenarnya. Hubungannya dengan Seth tidak berjalan baik, tidak lagi. Seth terlalu jauh, terlampau tertutup oleh masalahnya sendiri.
"Hei, itu bukan urusanku!" lanjut Shandel. "Tapi kau dan Seth--hubungan kalian nggak bakal berhasil."
"Itu benar," bentak Talia. "Itu bukan urusanmu."
Beberapa blok terakhir mereka lalui dalam keheningan yang tidak enak.
Angin yang terlalu dingin untuk musim semi menerpa mereka.
Tirai kabut hitam menutupi bulan.
Talia berhenti di depan rumahnya. "Well," ujarnya kaku, "trims mau menemaniku pulang."
Shandel mengangguk dan berjalan lagi tanpa mengucapkan
selamat tinggal. Talia terkejut oleh perasaan marah yang kuat yang menerpanya.
Kemarahan yang tak pernah dirasakannya terhadap Shandel
sebelumnya. Apa yang terjadi? tanya Talia kepada dirinya sendiri. Shandel kan temanku. Ia selalu bicara seperti itu. Ia selalu mengatakan apa yang ada di pikirannya.
Jadi kenapa aku tiba-tiba merasakan kemarahan yang
menakutkan seperti ini? ************* Ketika bangun keesokan harinya, Talia merasa tidak tenang dan tertekan. Ia tidak bisa tidur nyenyak. Nada gila yang diputarkan Seth semalam menghantui mimpinya.
Mimpi-mimpi menakutkan. Ia dikejar-kejar di lorong tak berujung-pangkal oleh orang-orang yang tak kasatmata. Anjing-anjing menyalak. Semuanya ribut dan sangat membingungkan. Pokoknya yang ia tahu, ia tidak mau tertangkap.
Sekarang Talia merasa amat letih, seakan-akan telah berlari semalaman.
Aku bukan diriku sendiri, pikirnya.
Waktu akhirnya ia bisa menarik dirinya menuruni tangga, ia mendapati ibunya sedang duduk di meja dapur, tampak sempurna.
Seperti biasa. Ibuku, sang pengacara, pikir Talia. Setelannya yang bercita rasa tinggi tak pernah kusut sedikit pun. Rambutnya tak pernah berantakan sehelai pun.
"Well, well," kata Mrs. Blanton. "Lihat siapa yang akhirnya memutuskan untuk menghormati kita dengan kehadirannya."
"Yap," gumam Talia. "Mom memang beruntung."
Talia membuka kulkas dan menarik karton jus jeruk.
"Kau bisa makan telur untuk sarapan pagimu, Sayang," Mrs.
Blanton memberitahu Talia. "Atau bagaimana kalau wafel?"
"Nggak ah," kata Talia. "Aku lagi tak selera makan pagi ini."
"Kau harus makan pagi," ibunya berkeras. "Itu makanan paling--" "Penting untuk hari ini," ujar Talia menyelesaikan kalimat ibunya. "Aku tahu."
"Mom tahu Mom seperti menggurui. Tapi tanpa sarapan, orang tidak dapat berfungsi," kata Mrs. Blanton tersenyum ceria. "Ini kenyataan alam yang sederhana."
Jadi Talia memaksa dirinya menelan dua wafel panggang yang disiram sirup. Kemudian dengan susah payah ia naik ke atas, mandi cepat-cepat, lalu memakai celana jinsnya yang paling enak dipakai dan sweter hijau longgar. Biasanya ia mengenakan pakaian yang modis ke sekolah, tapi rasanya ia tak ingin bersusah-susah sekarang.
Ia mengoleskan lipstik dan tersenyum di kaca. Seorang cewek cantik berparas riang membalas senyumnya. Wajahnya terbingkai rambut pirang yang lembut.
Well, pikirnya, setidaknya aku tidak kelihatan amburadul.
Seperti biasa Talia tidak banyak bicara dengan ibunya selama perjalanan ke sekolah. Hubungan mereka sangat dekat, tapi Talia bukanlah orang yang suka bicara di pagi hari. Ia merasa tidak sungguh-sungguh seperti dirinya sendiri sampai saat makan siang.
Ibunya mengetahui hal ini, jadi ia membiarkan Talia sibuk dengan pikirannya sendiri. Abang Talia, Dave, yang sekarang mahasiswa tingkat dua di Duke, punya kebiasaan yang sama.
Mrs. Blanton tersenyum ketika mereka berhenti di depan pintu masuk utama Shadyside High. "Nikmati hari ini, Tally. Aku akan berada di pengadilan seharian, dan kemudian aku harus pergi ke kantor. Tapi aku tiba di rumah sebelum jam enam."
"Oke," jawab Talia linglung. "Maksudku, sampai nanti."
Apa yang salah pada diriku? Talia cemas. Ia berjalan pelan-pelan di jalan kecil menuju pintu ganda. Kenapa aku merasa aneh begini sih?
Waktu Talia memasuki bangunan sekolahnya, ia tidak
bersemangat. Aku tak ingin berada di sini, pikirnya. Aku hanya ingin berada di rumah, berbaring di tempat tidur.
Segalanya jadi semakin buruk waktu ia berbelok dan melihat Seth berdiri di depan lokernya, menunggunya seperti anjing yang setia.
Aku tak ingin bertemu dengannya, pikir Talia. Tidak sekarang.
Pokoknya aku tak ingin bicara dengannya.
Sebelum Seth melihatnya, Talia mengendap-endap mengitari pojokan itu dan menghilang dari pandangan. Biasanya yang pertama diharapkannya di pagi hari adalah bertemu Seth. Tapi sekarang ia tidak begitu yakin.
Ketika tidak sedang menarik diri, Seth akan mengikutinya seperti adik kecil yang menjengkelkan. Dengan Seth pokoknya segalanya serbasalah deh. Ya kalau tidak merasa dicuekkan, Talia merasa dilimpahi kasih sayang.
Dan sekarang Talia harus mencari tempat untuk bernapas.
Apa yang akan dilakukannya dengan Seth? Mendepaknya?
Tetap mencoba meneruskan hubungan mereka? Menyuruhnya duduk dan bicara dari hati ke hati dengannya?
Haruskah Talia memberitahu Seth betapa tidak bahagia dirinya dengan semua yang terjadi di antara mereka?
Ia tak dapat memutuskan. Kejam sekali kalau aku memutuskan hubungan dengannya sekarang, waktu ia masih amat bersedih karena kematian ayahnya.
Talia memutuskan ia harus menunggu lebih lama, sampai Seth cukup kuat untuk mengatasi semuanya.
Ia berjalan kembali ke lokernya. Seth tidak terlihat di sana.
Dua gadis yang dikenalnya---Jade Smith dan Deena Martinson--memanggilnya. Ia balas melambai, kemudian memusatkan perhatian untuk membuka lokernya. Rasanya ia tidak suka bicara dengan siapa pun.
Ia merasa agak baikan waktu pelajaran pertama selesai dan ia masuk kelas matematika. Barangkali ibunya benar soal wafel-wafel itu. Ia duduk di samping Nessa dan meletakkan buku catatannya di meja.
"Hai," sapa Nessa.
"Hai juga," jawab Talia, wajahnya cemberut.
"Kau kenapa?" tanya Nessa.
Di depan kelas Mr. Hanson membersihkan tenggorokannya.
Kursi-kursi berderit. Buku-buku catatan dibuka. Ocehan berhenti.
"Talia," kata Mr. Hanson. "Aku perlu bicara denganmu."
"Apa?" Talia tak yakin ia mendengar dengan benar.
Raut wajah gurunya serius. Suaranya terdengar tidak senang.
Sekilas Talia melihat Nessa sedang menoleh untuk
membisikkan sesuatu pada Maura. Mata Maura terbelalak terkejut.


Fear Street Klub Horor The Thrill Club di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada yang tidak beres, pikir Talia seraya bangkit berdiri dengan gemetar dari kursinya.
Waktu menghampiri meja gurunya, Talia melewati Rudy dan
Seth. Rudy melemparkan pandangan simpatik. Seth menundukkan kepala, pura-pura memeriksa kembali PR-nya.
Talia berdiri gugup di hadapan Mr. Hanson dan mencoba
tersenyum. "Ya?" tanyanya. "Ada yang tidak beres?"
Mr. Hanson tidak membalas senyumnya. Ia seorang laki-laki botak, wajahnya merah muda. Ia mengenakan kacamata berbingkai kulit penyu. Setahu Talia, Mr. Hanson hanya punya dua pasang setelan, satu biru dan satu lagi abu-abu, dan ia memakainya bergantian setiap hari. Hari ini ia memakai setelan biru.
"Keluar," kata Mr. Hanson seraya berdiri dari kursinya. "Aku perlu bicara empat mata denganmu."
Ketika mereka melangkah ke koridor, Mr. Hanson
menyerahkan selembar kertas kepadanya. PR-nya yang kemarin.
Talia mengernyitkan dahi. Seth yang mengerjakan PR itu
untuknya sementara ia menonton TV. Hal yang takkan pernah lagi terjadi, pikirnya.
"Katakan kepadaku dengan jujur," kata guru itu sambil mengawasi Talia lekat-lekat dengan matanya yang curiga. "Benarkah ini pekerjaanmu?"
"Tentu." Talia mencoba bicara dengan meyakinkan, tapi suaranya ternyata melengking dan gemetar.
Guru itu menatapnya dengan tajam, matanya yang kelabu
kebiru-biruan menyipit di balik kacamatanya yang tebal. "Kau yakin?"
Talia mengangguk. "Saya yakin. Saya bukan tukang contek, Mr. Hanson."
Mr. Hanson mengambil kertas itu dari tangan Talia. "Kau murid yang baik," katanya lembut. "Jangan kecewakan aku."
Mr. Hanson membuka pintu. Talia mengikuti di belakangnya. Ia merasakan wajahnya terbakar, dan sadar bahwa wajahnya merona merah.
Ketika berjalan ke bangkunya, pandangan matanya lurus ke depan. Ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Talia duduk dan memandang ke sekeliling kelas, bertanya-tanya apakah seseorang telah mengadukan dia. Tapi kenapa? tanyanya dalam hati. Kenapa seseorang ingin menyulitkan dirinya?
Rudy menatapnya dari seberang kelas, wajahnya penuh
perhatian. Seth sendiri tetap terpaku pada PR-nya. Maura dan Nessa saling berbisik.
Lalu mata Talia mendarat ke arah Shandel. Ia duduk di deretan nomor tiga, memakai overalls putih di atas kaus ketat warna pink.
Cewek itu menatap balik ke arahnya.
Di wajah Shandel tersungging senyuman yang paling aneh.
"Aku tidak marah," Talia ingat kata-katanya. "Aku balas dendam."
Bab 7 NESSA tidak mengerti. Sudah pukul 19.05, tapi hanya seorang anggota Klub Horor yang datang di pertemuan yang diadakan di rumahnya. Biasanya satu atau dua anak memang datang terlambat--biasanya Maura dan Talia--- tapi empat? Ini betul-betul aneh.
"Aku tak mengerti," katanya kepada Rudy. "Kaupikir mereka ke mana ya?"
Rudy meletakkan National Geographic yang diambilnya dari meja kopi dan hanya mengangkat bahu dengan cepat. "Aku tahu Maura akan datang terlambat," katanya, "karena ia tadi meneleponku.
Tapi siapa yang tahu di mana Talia, Seth, dan Shandel?"
"Aku benci sekali menunggu," keluh Nessa. "Kalau pertemuan dijadwalkan mulai jam tujuh, seharusnya mulai jam tujuh. Maksudku, paling tidak aku punya dua jam untuk mengerjakan PR setelah pertemuan selesai."
"Jangan ngomong!" gumam Rudy. Ia menghela napas lemas.
"Aku harus membaca tiga bab sejarah sebelum ulangan hari Jumat."
"Ugh," ujar Nessa memutar bola matanya. "Jangan ingatkan aku."
Beberapa menit berlalu. Nessa mengambil kikir kuku dari
dompetnya dan mulai merapikan kukunya. Rudy mengambil National Geographic edisi lain.
"Mungkin mereka membunyikan bel pintu dan kita tidak mendengarnya," ujar Rudy.
Nessa menggelengkan kepala. "Orangtuaku ada di ruang baca di atas. Mereka pasti mendengar bel pintu."
Ketika Nessa mengamati kukunya, ia memikirkan kembali
pembicaraannya dengan Shandel di telepon setengah jam yang lalu.
Suara Shandel terdengar gembira. Katanya ia punya rahasia yang ingin diceritakan kepada Nessa. Nessa ingin sekali mengetahui apa rahasia itu.
"Ini tidak seperti kebiasaan Shandel," kata Nessa. "Ia selalu tepat waktu. Seth juga."
"Tunggu mereka beberapa menit lagi," saran Rudy. "Jika tak seorang pun datang dalam sepuluh atau lima belas menit, kita bisa mulai menelepon mereka."
Nessa nyaris terlompat dari sofa ketika bel pintu berdering.
Akhirnya, pikirnya. Sekarang kita bisa mulai.
Ia bergegas menaiki tangga ruang bawah tanah, melewati
koridor, dan membuka pintu depan. Maura berdiri tersenyum di teras.
Rambutnya yang merah dan pendek basah berkilauan.
"Maaf aku terlambat," katanya. Ia menarik-narik rambutnya yang basah. "Aku harus keramas."
"Kau orang ketiga yang hadir di sini," kata Nessa kepadanya.
"Hanya kau, aku, dan Rudy."
"Sungguh?" Maura terbelalak kaget ketika melangkah masuk ke koridor. "Ke mana yang lain?"
"Pertanyaan bagus," jawab Nessa. "Kuharap aku tahu."
Mereka turun ke ruang bawah tanah dan bergabung dengan
Rudy. Rudy meletakkan National Geographic dan mengambil Sports Illustrated.
Nessa tertawa sendiri saat meraih kikir kukunya. Ia dan
kakaknya menggoda ayahnya dengan mengatakan bahwa ruang
rekreasi itu seperti ruang praktek dokter; semua majalah berserakan di meja kopi.
"Taruhan aku tahu di mana Talia," goda Maura sambil menjatuhkan dirinya di sofa di samping Rudy. "Barangkali dia ada di rumah Seth, menunggu Seth menyelesaikan ceritanya yang baru di komputer. Mungkin disk-nya rusak atau apa."
"Maura, sudahlah," tukas Rudy. Ada nada kasar dalam suaranya yang membuat Nessa mengangkat wajahnya dari kukunya. "Tolong jangan mulai soal itu lagi," ia mengerang.
"Kenapa tidak?" Maura kembali tersenyum, matanya yang hijau berkilat-kilat nakal. "Omong-omong, kau sebenarnya ada di pihak siapa? Di pihakku atau Talia?"
Nessa tak mau ikut campur. Ia menunduk dan pura-pura asyik merawat kukunya.
"Aku di pihakmu, Maura," Rudy cepat-cepat meyakinkan Maura.
Jawaban yang bagus, pikir Nessa. Kuku-kukunya kelihatan
sempurna, tapi ia tetap mengikirnya, hanya untuk menyibukkan diri.
"Seth membiarkan Talia memanfaatkan dirinya habis-habisan,"
Maura melanjutkan, nadanya bertambah serius. "Seth mengerjakan PR-nya, menyopirinya ke mana-mana, dan membuntuti dia seperti anjing piaraan kecil. Talia memperlakukan dia seperti budak dan Seth hanya memohon terus-menerus. Beberapa cowok memang begitu--menyedihkan." Nessa tak dapat menahan diri. Soalnya, kalau soal psikologi cowok, ia menganggap dirinya ahli. Bagaimanapun juga ia telah mencurahkan banyak waktu dan usaha untuk mempelajari topik yang satu itu.
"Kalau menurutku sih," katanya kepada Maura, "jika Talia memperlakukan Seth seperti budak, itu karena Seth mau diperlakukan seperti itu. Dan jika Seth membiarkan dirinya diperlakukan seperti budak oleh Talia, Seth pasti menikmatinya. Jadi, siapa sih kita yang bisa mengerti mengapa Seth membiarkan hal itu terjadi? Atau mengapa Talia melakukannya?"
"Oh, hebat." Maura memutar bola matanya. "Trims untuk analisis yang ahli itu."
Nessa akan menjawab, tapi menghentikannya ketika mendengar pintu ruang bawah tanah terbuka. Langkah-langkah kaki berdebam-debam di anak tangga.
Ia menoleh dan melihat Seth masuk ke ruang rekreasi,
mengenakan celana jins hitam dan T-shirt loreng-loreng, pakaian favoritnya sejak kematian ayahnya. Seth mengangguk dan duduk di kursi lipat yang terbuat dari metal.
"Hei," sapa Nessa. "Siapa yang mengizinkanmu masuk?"
"Ayahmu," jawab Seth. "Ia duduk di beranda, mengisap pipa.
Katanya, ibumu tidak mengizinkan dia merokok di dalam rumah."
"Yeah," kata Nessa. "Ibuku agak keras untuk soal itu."
"Sori aku terlambat," kata Seth lagi. "Ibuku menyuruhku mencuci piring." Matanya menyipit ketika ia melihat ke sekeliling ruangan. Ia memandang arlojinya sekilas. "Hei, di mana Talia dan Shandel? Ini hampir jam 19.20."
"Aneh," kata Nessa. "Shandel tak pernah terlambat. Kau akan berpikir ia seharusnya sudah menelepon sekarang."
Rudy menoleh kepada Seth. "Talia bilang padamu bahwa ia akan datang terlambat?" tanyanya.
Seth mengusapkan jari-jarinya di rambutnya yang berombak.
Kelihatannya ia sedang memutar otak untuk memikirkan sebuah jawaban. "Tidak," katanya setelah ragu-ragu sejenak. "Aku tadi bicara dengannya sepulang sekolah, dan katanya ia akan menemuiku di sini.
Katanya ia sedang mengerjakan cerita baru."
"Wah, berita bagus nih," kata Maura, kemudian tertawa.
"Apanya yang lucu?" tanya Seth.
Nessa bangkit dengan tidak sabar dari kursinya. "Aku akan menelepon Shandel," ujarnya. "Aku bosan menunggu."
Nessa telah berjalan sampai ke kaki tangga ketika mendengar pintu ruang bawah tanah terbuka lagi. Talia tergesa-gesa menuruni tangga, wajahnya merah, ekspresinya tegang.
"Ini aku," kata Talia tanpa menarik napas. Disibakkannya seuntai rambutnya yang pirang dari matanya. "Aku betul-betul minta maaf."
"Apa yang terjadi?" tanya Nessa. "Ke mana saja kau?"
Talia mengernyitkan dahi. Ia menatap Nessa lekat-lekat tanpa menjawab.
"Aku---aku tak tahu," katanya akhirnya sambil menggelengkan kepala dengan bingung. "Kayaknya aku cuma lupa waktu."
Talia merasa gugup, seolah-olah ia baru saja terbangun dari tidur siang.
Hampir pukul 19.30! Bagaimana ini bisa terjadi?
Ia berangkat dari rumahnya 25 menit yang lalu! Dan dari
rumahnya ke rumah Nessa hanya membutuhkan waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki, paling lama lima belas menit.
Apa yang tidak beres pada diriku? tanyanya dalam hati.
"Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Nessa.
"Yeah. Aku baik-baik saja kok," jawab Talia. "Aku hanya mengatur napasku."
"Boleh kuambil swetermu?" Nessa menawarkan diri.
Talia menunduk dan melihat sweter putih yang tergulung di tangannya. Ia tidak ingat telah melepaskan sweter itu.
Kenapa aku membawanya? tanyanya dalam hati.
"Trims---tidak usah," katanya seraya mempererat genggamannya. "Biar kupegang saja."
Nessa menatapnya dengan wajah bingung. "Tak apa-apa, Talia.
Aku akan meletakkannya di kamarku bersama jaket Maura. Lagi pula aku memang mau naik ke sana. Aku harus menelepon Shandel untuk mengetahui apa yang membuatnya begini telat."
Setelah mengusir rasa pusingnya cukup lama, Talia kemudian melihat ke sekeliling ruangan itu. "Shandel tidak di sini?" tanyanya sambil menyerahkan sweternya dengan enggan kepada Nessa.
Nessa menggelengkan kepala. "Aku tak percaya ia tidak menelepon," keluhnya. Dilewatinya Talia lalu naik ke lantai atas.
"Shandel biasanya tidak seperti ini."
Talia merasa lebih baik setelah mengetahui bahwa ia bukanlah satu-satunya orang yang terlambat hadir di pertemuan itu. Ia duduk di kursi lipat di samping Seth. Ia menyapa Rudy dan Maura.
Seth meraih tangan Talia dan menggenggamnya. Ia
mencondongkan tubuhnya, mendekatkan mulutnya ke telinga Talia.
"Bagaimana? Semua oke?" bisiknya. Suaranya lembut, meyakinkan.
"Aku mengkhawatirkanmu."
"Ya---kayaknya," Talia balas berbisik.
"Apa yang terjadi?" tanya Seth. "Kenapa kau begini telat?"
Talia ragu-ragu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, pikirnya. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan hal itu, sekalipun kepada Seth?
"Nggak ada apa-apa," jawabnya. "Cuma lupa waktu."
Rudy menutup majalah di pangkuannya dan menjatuhkannya ke meja kopi. "Aku tak sabar mendengar cerita horormu yang baru,"
katanya kepada Talia. Sebelum Talia berkata bahwa ia tidak bisa menulis cerita, Nessa telah kembali menuruni tangga sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ada yang tidak beres," katanya mengumumkan. "Aku baru bicara dengan ibu Shandel. Katanya Shandel berangkat hampir setengah jam yang lalu. Padahal kan hanya perlu berjalan kaki sebentar dari rumahnya ke sini."
"Aku yakin ia akan tiba di sini sebentar lagi," kata Maura.
"Mungkin ia berhenti untuk membeli keripik atau apa."
"Kenapa kita tidak pergi saja mencari dia?" saran Rudy. Ia bangkit dari sofa. "Lebih baik daripada duduk-duduk saja di sini, mengikir kuku-kuku kita," tambahnya sambil tersenyum jail kepada Nessa.
"Ide yang bagus," Seth setuju. "Mobilku ada di luar. Muat untuk kita berlima"
Maura melompat dari sofa dan memalingkan wajahnya ke
Talia. "Ayo pergi," katanya tidak sabar. "Tunggu apa lagi?"
"Baik," kata Talia.
Satu-satu mereka menaiki anak tangga yang berkarpet menuju koridor. Talia merasakan tatapan Maura yang tajam mengebor punggungnya. Kenapa sih si Maura? pikirnya lagi.
Maura berhenti di pintu depan, memukul dahinya sendiri
seakan-akan ia teringat sesuatu. "Aku akan menyusul kalian di mobil,"
katanya kepada yang lain. "Aku harus ke atas untuk mengambil jaketku."
"Bisakah kauambilkan sweterku juga?" tanya Talia kepadanya.
"Kata Nessa, ia meletakkannya di kamarnya."
"Tentu," sahut Maura.
Talia mengikuti yang lainnya keluar. Kegelapan belum turun.
Bulan sabit yang pucat tergantung di langit kelabu, dan angin sepoi-sepoi yang dingin menerpa puncak-puncak pohon.
Talia menggigil di balik T-shirt-nya. Kapan sih musim semi benar-benar datang? tanyanya dalam hati.
"Kau ingin duduk di depan?" tanya Seth kepadanya.
"Tak usah," kata Talia. "Aku senang berdesak-desakan di belakang."
"Aku saja yang duduk di depan," kata Nessa cepat. Dibukanya pintu mobil dan duduk di jok depan. "Seumur hidup aku selalu duduk di belakang."
Rudy duduk di jok belakang. Talia berdiri sendirian di pinggir jalan, menggosok-gosok lengannya untuk melawan rasa dingin.
Beberapa detik kemudian Maura datang berlari-lari kecil di pinggir jalan sambil membawa sweter Talia. "Ini---tangkap," katanya seraya melemparkan sweter itu kepada Talia.
Talia menarik sweter itu dari atas kepalanya, amat hati-hati agar rambutnya tidak berantakan. Ia merasa enakan setelah mengenakan sesuatu yang hangat. "Trims," katanya kepada Maura.
Tapi Maura tidak menjawab.
Matanya terbelalak, mulutnya melongo melihat sweter Talia.
"Apa---ada apa?" tanya Talia gagap.
Maura menunjuk noda yang lebar dan gelap di lengan kanan sweter itu.
"Talia," teriaknya. "Bagaimana kau sampai terkena noda darah itu?"
Bab 8 TALIA menunduk melihat lengan sweternya.
Noda cokelat kemerahan yang aneh itu memanjang sampai ke pergelangan tangan sweter putihnya.
Apakah ini noda darah? Dari mana asalnya? Ia mengedipkan mata dan memeriksa sekali lagi.
"Apa kau terluka?" tanya Rudy dari jendela tempat duduk belakang.
"Rasanya tidak," jawab Talia ragu-ragu.
"Mungkin kau mimisan," kata Rudy lagi. "Kadang-kadang malam-malam aku mimisan, waktu tidur. Aku bahkan tidak tahu sampai aku bangun, dan mendapati bantalku penuh darah."
Talia ngeri membayangkan bantal yang berlumuran darah.
"Mungkin," katanya ragu-ragu. Ia tak pernah mimisan. "Barangkali ini cuma kotoran."
"Kelihatannya seperti noda darah," kata Maura. Ia menyipitkan mata menatap lengan sweter itu.
Nessa menurunkan kaca jendelanya. "Bisakah kita berangkat?"
teriaknya tidak sabar. "Ayo kita cari Shandel."
Sebelum masuk ke dalam mobil Talia menggulung kedua
lengan sweternya hingga di atas siku. Dengan begitu ia tidak harus melihat noda darah itu, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan lagi.
Kemudian ia membungkukkan badan masuk ke jok belakang, duduk di antara Maura dan Rudy.
Seth menghidupkan mesin station wagon ibunya dan bersitatap dengan Talia di kaca spion. Tampaknya Seth sedang mengawasinya dengan saksama.
"Kita berangkat," ujarnya sambil menjalankan mobilnya. "Klub Horor sedang patroli."
"Barangkali kita akan menemukan Shandel setelah berjalan setengah blok," kata Maura sambil melihat ke luar dengan serius.
"Kuharap begitu," kata Nessa tegang. "Aneh sekali kita tidak mendengar kabar dari dia."
"Taruhan ia bertemu temannya dan mengobrol," ujar Rudy.
"Ini pertemuan Klub Horor paling aneh yang pernah kita alami," kata Seth. Ia berhenti di lampu merah perempatan jalan.
"Mungkin kita harus membatalkan pertemuan ini dan pergi makan piza," Rudy memberi pendapat sambil mengelus perutnya.
"Paling tidak sudah sejam sejak aku terakhir makan."
Maura tertawa. "Dasar rakus."
"Tidak," Rudy berkeras. "Aku masih bertumbuh, itu saja."
Yang lainnya tetap diam penuh ketegangan.
Seth mengarahkan mobil itu ke Canyon Road, melewati rumah-rumah besar dengan halaman rumput luas berbukit-bukit dan dua atau tiga mobil di garasi. "Padahal tempat ini berbukit-bukit pun tidak,"
katanya. "Kalian pikir kenapa mereka menyebutnya Canyon Road--Jalan Tebing?" "Barangkali yang memberi nama Mr. Canyon," Rudy bergurau.
"Di mana Shandel?" tanya Nessa, suaranya melengking. "Aku benar-benar tidak menyukai ini."
Tak ada yang mengobrol sementara mata mereka menatap
rumah-rumah gelap dan halaman rumput yang mereka lalui. Meskipun masih sore, hanya ada beberapa mobil yang melintas di jalan. Dan tak seorang pun berjalan di trotoar.
Rasanya mereka baru saja berangkat dari rumah Nessa ketika Seth memberitahu, "Kita sampai."
Ia menghentikan mobilnya di depan rumah besar dari batu.
Sebuah Saab perak dan minivan merah tua diparkir di jalan masuk mobil.
Talia mengerjap-ngerjapkan mata. Benarkah mereka telah
sampai di rumah Shandel? "Aku sama sekali tidak suka," kata Nessa. "Aku tadinya yakin kita akan bertemu dengannya di tengah perjalanan."
"Taruhan ia mengambil jalan pintas lewat kuburan," ujar Talia.
"Jalan yang kulewati bersamanya waktu berjalan pulang minggu lalu."
Nessa menoleh ke belakang. "Aku ragu," katanya. "Kuburan itu membuat Shandel ketakutan. Ia tak pernah jalan lewat kuburan sendirian."
"Mungkin ia bertemu seseorang," kata Maura.
"Ayo kita coba lewat sana," tukas Seth tegas. Ia memutar mobilnya di depan rumah Shandel, berjalan dua blok lewat Canyon Road, lalu membelok ke Fear Street dan menuju kuburan.
"Kalau kita tidak bertemu dengannya, kita kembali saja ke rumahku," kata Nessa cemas. Ia menatap lekat-lekat ke kegelapan.
"Mungkin ia menumpang atau entah apa. Mungkin ia ada di rumahku, menunggu kita."
Talia merasa mual ketika mereka sampai di kuburan.
"Aku tidak melihat dia," kata Nessa ketika mereka meluncur melewati pintu gerbang besi kuburan yang hitam.
"Tahan napas kalian!" teriak Rudy. Dihirupnya napas dalam-dalam.
"Rudy---kenapa sih kau?" bentak Maura.
"Kau harus menahan napas waktu melewati kuburan," katanya kepada Maura. "Kalau tidak, kau bisa tertimpa kemalangan."
Maura memandang Rudy dengan kesal. "Benar-benar tolol. Kau tidak mengkhawatirkan Shandel, ya?"
Otot-otot Talia menegang ketika ia menatap deretan batu-batu nisan yang mencuat sepanjang bukit yang landai di balik pagar itu.
Tiba-tiba mata Maura terbelalak. "Hei---berhenti!" teriaknya.
"Seth---berhenti. Kembali!"
Seth menekan rem dalam-dalam, hingga melemparkan mereka
semua ke depan. "Apa? Apa itu?" teriak Nessa nyaring.
"Lihat!" teriak Maura. Ia membuka pintu mobil dan buru-buru keluar.
Talia mengawasi Maura berlari di rumput di pinggir jalan.
Kemudian ia keluar dari mobil menyusul Maura.
Mereka semua berlari sepanjang pagar kuburan, berlari
sekencang-kencangnya, berlari mengikuti Maura.
Mereka berhenti ketika mendengar jeritan Maura.
"Tidaaaaak!" Tangisan Maura memecah kesunyian.
Dan kemudian disusul ratapan, "Tidak! Tidak! Oh, Tuhan--tidaaaaaaak!" Bab 9 "TIDAAAAAAK!" jeritan Nessa melengking seperti lolongan binatang yang terluka.
"Nessa---kenapa?" teriak Seth. Ia berlari menghampiri Nessa.
Talia tertinggal di belakang, jantungnya berdebam memukul-mukul. Ia tak ingin melihat apa yang membuat Nessa menjerit. Ia tak ingin melihat....
Saat Talia tiba Nessa sedang menangis tersedu-sedu di pelukan Rudy.
Talia melangkah di rumput yang basah, memaksa dirinya
menatap sosok yang dikenalnya terbaring di tanah.
Oh, tidak, pikirnya. Kumohon, tidak. Bukan Shandel. Bukan Shandel temanku. "Panggil ambulans!" jerit Maura tak terkendali. "Cari telepon!
Siapa kek---panggil ambulans!"
Shandel tertelungkup di rumput, lengannya terentang, seakan-akan memeluk tanah. Talia menatap huruf-huruf putih di punggung jaket tim atletiknya. Bunyinya TIGERS.
Seth berjongkok di samping Shandel, lalu menekan pergelangan tangannya, mencari-cari nadi. Lengan Shandel tergantung lemas saat ia mengangkatnya dari tanah.
Seth terisak pelan ketika ia menurunkan kembali lengan itu. Ia mendongak memandang yang lain. "Dia meninggal," gumamnya.
Maura menjerit nyaring. Nessa menangis tersedu-sedu. Rudy sesak napas, dadanya naik-turun.
"L---lihat lehernya," Maura tergagap sambil menunduk ketakutan. "Lehernya---lehernya digorok. Seseorang menggorok dia!
Seseorang menggorok dia!"
Talia melangkah mundur menjauhi tubuh Shandel, seolah-olah seseorang mendorongnya. Gelombang rasa mual naik dari perutnya. Ia membuka mulut untuk menjerit, tapi tak sebuah suara pun keluar.
Suara kakinya berdecit-decit dan basah ketika ia
menggerakkannya di pinggir jalan.
Talia menatap ke bawah. Kemudian ia menjerit, lama dan keras.
Sepatu kets putihnya yang baru, basah bersimbah darah.
************* Setengah jam berikut berlalu dalam pendaran cahaya merah-biru dari lampu mobil polisi dan ambulans.


Fear Street Klub Horor The Thrill Club di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Talia tak sanggup menghentikan tangisnya. Semua ingatan
tentang Shandel---tawanya, mulutnya yang mencibir ketika tersenyum--- membuat air mata segar terus membanjiri matanya.
Bagaimana ini bisa terjadi? tanyanya pada diri sendiri. Monster macam apa yang menggorok leher orang?
Ambulans berlalu. Talia merasakan tangan Seth jatuh dengan lembut di pundaknya. Ketika ia menoleh Seth menatapnya dengan mata yang sedih dan penuh pengertian. "Polisi menyuruh kita semua ikut ke kantor polisi," kata Seth.
"Kenapa?" tanya Talia, berusaha menghentikan tangisnya.
"Mereka ingin menanyai kita," jawab Seth. "Mereka ingin mengumpulkan informasi. Tentang Shandel."
Talia mengangguk. Aku harus tenang, katanya kepada dirinya sendiri.
"Mereka sedang menelepon orangtua kita," Seth melanjutkan.
"Mereka juga akan ke kantor polisi."
Kantor polisi? Aku cuma anak remaja, pikir Talia. Kenapa aku harus pergi ke kantor polisi?
Temanku dibunuh. Kata-kata itu menusuknya, tajam seperti mata pisau.
Aku harus pergi ke kantor polisi---karena temanku terbunuh.
Talia mengikuti Seth menyeberangi jalan menuju station
wagon. Maura, Rudy, dan Nessa sudah menunggu di jok belakang.
Wajah mereka pucat dan sembap oleh air mata.
Seth menghidupkan mesin mobil dan mereka melaju mengikuti mobil polisi. Tak seorang pun bicara sampai mereka membelok ke lapangan di belakang Kantor Polisi Shadyside.
"Aneh sekali," kata Nessa, suaranya gemetar. "Shandel.
Kuburan. Semuanya persis seperti cerita horor Talia yang terakhir."
"Aku tahu," Maura mengiyakan sambil bergidik. "Benar-benar mengerikan."
"Kebetulan yang mengerikan," gumam Rudy sambil menggelengkan kepalanya dengan sedih.
Talia bergerak-gerak jengah di jok depan, bingung oleh arah pembicaraan itu. Ia ingin sekali mengakui, Seth-lah yang menulis cerita itu untuknya. Tapi ia menahan diri.
Kematian Shandel, pikirnya. Cuma itu yang penting sekarang.
Kaki Talia terasa gemetar dan lemah ketika ia dan temantemannya keluar dari mobil. Seorang petugas polisi yang jangkung, berambut pirang, dan berkumis memegangi pintu station wagon.
Kantor polisi itu kelihatan terang dan modern. Talia menaungi matanya dengan tangan, menunggu matanya terbiasa dengan kantor yang terang benderang itu.
Kemudian ia melihat orangtuanya menunggu di meja depan,
bersama ibu Seth dan ayah Maura. Ia langsung menangis tersedu-sedu.
Dua jam kemudian Seth mengantarkan Talia pulang dari kantor polisi, mengikuti mobil orangtua Talia. Ibu dan ayah Talia telah bicara dengan orangtua Shandel dan sangat terguncang.
Seth menawarkan diri untuk mengantarkan Talia pulang hingga mereka bisa bicara berdua saja. Tapi Talia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Seth menghentikan mobilnya di depan rumah Talia. Mereka
melihat orangtua Talia menghilang masuk ke dalam rumah. Seth mematikan mesin mobil dan bergeser mendekat, lalu memegang lengan Talia.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Seth.
"Aku---rasanya aku baik-baik saja," jawab Talia. Suaranya lemah. Ia merasa bersalah karena terus menghindar dari Seth beberapa hari ini. Seth sangat baik sepanjang sore ini, begitu tenang dan mendukungnya. "Terima kasih kau mau membantu aku," katanya kepada Seth. "Malam ini sangat mengerikan."
Seth mengangguk. Bisikan tertahan keluar dari tenggorokannya.
"Mengerikan," gumamnya.
"Aku benci harus menjawab semua pertanyaan itu," ujar Talia.
"Aku terus berpikir polisi itu berusaha menuduh aku melakukan sesuatu."
"Aku juga," Seth mengakui. "Aku benci cara mereka mengulang-ulang pertanyaan yang sama."
Talia mengangguk. Rasa dingin mengalir di punggungnya.
Petugas itu terus menanyakan apakah Shandel mempunyai
musuh, apakah seseorang menyimpan dendam kepada Shandel, apakah ada yang pernah mengancam Shandel?
Talia takkan tahan jika saja orangtuanya tidak berada di sana membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ia bisa melihat betapa hati-hatinya detektif itu melontarkan pertanyaan-pertanyaannya, sebab ia tahu ibu Talia pengacara.
"Kuharap Maura tidak menyebut-nyebut cerita horor yang kautuliskan untukku," kata Talia. "Kurasa itulah sebabnya mereka menanyai aku begitu lama."
"Kau bilang kepada mereka bahwa aku yang menulisnya?"
tanya Seth. Ia memalingkan wajah dan memandang ke depan.
"Aku sebenarnya ingin mengatakannya," jawab Talia. "Tapi kelihatannya malah lebih menyulitkan daripada bermanfaat. Apakah menurutmu aku harus mengatakannya?"
"Nggak penting," kata Seth. "Bukan ceritamu yang membunuh Shandel. Yang membunuh dia orang sungguhan, dengan pisau betulan. Polisi kan tahu."
Siapa yang membunuh Shandel?
Pertanyaan itu menjejal masuk ke benak Talia.
Siapa yang membunuh Shandel?
Seseorang yang dikenal Shandel?
Orang asing? Salah satu anggota Klub Horor?
Tidak! Talia kembali menangis. Seth mendekat dan memeluknya.
"Lupakan cerita horor itu," bisiknya. "Jangan pikirkan. Ini cuma kebetulan yang konyol."
Talia menghapus air matanya dan mengangguk. Seth amat tegar sepanjang malam ini, begitu baik. Talia memberinya kecupan selamat malam dan mengusap rambut Seth yang berombak dengan jari-jarinya.
"Lebih baik aku masuk," katanya. "Orangtuaku menungguku."
"Oke," jawab Seth. Tapi sebelum Talia membuka pintu mobil, Seth memeluknya sekali lagi dan menekankan mulutnya ke mulut Talia.
Pertama-tama bibir Seth menenangkan seperti biasa, tapi
kemudian jadi lebih bernafsu. Talia segera merasa hangat oleh ciuman Seth.
Mendadak Seth mengakhiri ciumannya. Kemudian ia
mengulurkan tangan membukakan pintu untuk Talia. "Telepon aku besok," bisiknya.
Talia bingung dan gemetar. Ia keluar. Ditutupnya pintu mobil, lalu berjalan pelan-pelan di halaman rumput.
Dipandangnya mobil Seth sebelum masuk ke dalam rumahnya.
Orangtuanya berdiri tegang di ruang tamu, menunggunya. Talia melihat ibunya sedang menangisi Shandel.
"Kau baik-baik saja?" tanya ayahnya seraya berjalan menghampiri putrinya.
"Aku tak apa-apa," jawab Talia ragu.
Ibunya terpana ketika melihat sepatu Talia yang berlumuran darah. "Kenapa kau tidak berganti baju saja?" saran ibunya. "Setelah itu turunlah, aku akan membuatkan cokelat panas dan kita bisa bicara."
Talia menghela napas letih. "Oke," ia setuju.
Ia berjalan sempoyongan ke kamarnya dan melepaskan
sepatunya tanpa menyentuhnya.
Kemudian ia menyeberangi kamar menuju rak berlaci.
Dibukanya laci tengah dan diulurkannya tangan untuk mengambil baju tidur.
Namun ia malahan merasakan sesuatu yang dingin, tajam, dan basah.
"Hah?" Talia mengerjap-ngerjapkan mata, lalu bagai kehabisan napas, seakan-akan udara meninggalkan tubuhnya.
Dadanya naik-turun. Kamar itu bergoyang- goyang. Ditatapnya laci itu.
Ditatapnya pisau itu. Pisau itu berlumuran darah, tebal dan lengket.
Bab 10 TALIA tidak menyebut-nyebut soal pisau itu kepada siapa pun selama dua hari---sampai Seth datang menjemputnya untuk
menghadiri pemakaman Shandel. Ia memberitahu Seth tentang pisau itu dalam perjalanan ke upacara pemakaman.
Seth mendengarkan dengan sungguh-sungguh, wajahnya tegang karena amat berkonsentrasi. "Tapi kenapa ada orang mau repot-repot menaruhnya di lacimu?" tanya Seth sambil menekan pedal rem di lampu merah. "Maksudku, apa maksudnya meletakkan pisau itu di lacimu?"
"Aku tak tahu," aku Talia seraya menggelengkan kepala. "Aku tak tahu, Seth."
"Jadi, kauapakan pisau itu?" tanya Seth.
Talia menarik-narik keliman rok hitamnya. "Aku
membungkusnya dengan kertas koran dan membuangnya ke tempat sampah."
Seth melirik Talia dengan sudut matanya. "Sudah kaulaporkan kepada polisi?"
"Rencananya aku akan melapor," jawab Talia. "Tapi rasanya aku tak sanggup membayangkan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan lagi. Terutama jika aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu."
Talia menghela napas panjang. "Aku tak tahu bagaimana pisau itu ada di sana," katanya, suaranya nyaris seperti bisikan. "Benar-benar tidak tahu. Yang kutahu seseorang berusaha membuatku tampak sebagai pelaku pembunuhan itu."
"Tapi bagaimana pisau itu sampai ke lacimu?" tanya Seth.
Talia mengernyitkan dahinya. "Mungkin ada orang masuk ke rumah waktu kami semua di kantor polisi malam itu dan meletakkan pisau itu di laciku."
Lampu lalu lintas berganti. Mereka melaju lagi. "Apakah ada tanda-tanda seseorang telah mendobrak masuk rumahmu?" tanya Seth.
"Tidak," jawab Talia pelan. "Tapi kami meninggalkan kunci cadangan di bawah keset pintu depan. Mungkin orang yang berusaha menjebakku menggunakan kunci itu untuk masuk rumah."
"Well, kalau begitu pelakunya bukan salah satu anggota Klub Horor," kata Seth. "Kan saat itu kita semua ada di kantor polisi juga."
Seth terus diam selama sisa perjalanan itu. Ia tidak mengatakan apa-apa sampai mereka memasuki lapangan parkir Gereja St. Paul yang penuh sesak.
"Jadi, seperti apa bentuk pisau itu?" tanyanya sambil memarkir mobilnya di salah satu tempat parkir yang masih kosong. "Apakah pisau itu besar?"
"Itulah yang paling aneh," jawab Talia. "Pisau di laciku itu--hampir sama persis dengan pisau palsu yang kubeli di toko kartu. Tapi bedanya, ini pisau sungguhan."
Talia melangkah keluar dari mobil dan mengerjap-ngerjapkan matanya yang silau oleh sinar matahari pagi yang menyengat.
"Mungkin ada orang yang sedang berusaha membuatku gila. Aku sungguh-sungguh tak dapat memecahkan misteri ini."
Seth melingkarkan lengannya di pinggang Talia. Mereka
berjalan pelan-pelan menyeberangi lapangan parkir, lalu naik ke tangga depan gereja yang lebar-lebar. "Tak masuk akal," kata Seth.
Mereka berhenti di depan pintu kayu yang berat. "Tak seorang pun di dunia ini pernah berpikir bahwa kau telah membunuh Shandel."
"Aku---aku tak tahu harus berpikir apa," Talia mengakui. Ia menurunkan lengan Seth dari pinggangnya, lalu bersandar pada Seth.
Seth tampak sangat muram dan matang dalam setelan birunya.
Setelan sama yang dipakainya waktu upacara pemakaman ayahnya kurang-lebih sebulan yang lalu.
Seth yang malang, pikir Talia. Upacara pemakaman ini pasti juga berat baginya.
"Kita akan masuk bersama-sama," bisik Seth.
Talia ingin memeluknya, tapi Seth sudah menarik pintu hingga terbuka.
Talia merasa gemetar dan malu pada dirinya sendiri ketika mereka berjalan pelan-pelan di gang di antara bangku-bangku gereja.
Mereka bergabung dengan teman-teman mereka yang duduk di bangku kayu berwarna gelap di deretan kelima itu.
Rudy tersenyum menyambutnya. Maura pura-pura tidak melihat Talia. Nessa terisak pelan, lalu menghapus matanya dengan tisu.
Hanya beberapa detik setelah Talia dan Seth duduk, pendeta berdiri di belakang podium di altar. Empat orang dalam setelan gelap mendorong peti yang tertutup di gang di tengah-tengah gereja itu.
Kerongkongan Talia serasa tercekik. Ia menahan agar dirinya tidak menangis tersedu-sedu.
Benarkah Shandel yang berbaring di dalamnya? tanyanya
kepada dirinya sendiri. Ditatapnya peti mati yang mengilat di bawah cahaya lampu yang terang itu.
Kenapa seseorang ingin membunuh dia?
Dan kenapa orang itu ingin agar seakan-akan akulah yang
melakukannya? Pikiran Talia terus berputar dan berputar, pertanyaanpertanyaan, pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, berulang-ulang tanpa akhir.
Pikiran Talia pecah oleh suara isak tangis yang tersendat dari deretan depan. Ibu Shandel jatuh ke pelukan suaminya. Orangtua yang malang, pikir Talia. Pasti peristiwa ini sangat mengerikan bagi mereka.
********** "Ini minggu paling buruk dalam hidupku," ratap Nessa. "Aku tak percaya Shandel telah pergi. Aku tak percaya besok aku akan ke sekolah dan tidak bisa makan siang dengannya."
Nessa menggelengkan kepala. Matanya bengkak dan berkacakaca bekas menangis. "Shandel sahabat paling baik yang pernah kumiliki."
Setelah pemakaman, lima anggota Klub Horor berkumpul di
Kedai Kopi Alma. Talia merasa amat hampa dan lelah. Yang bisa dilakukannya hanya menatap sandwich tunanya.
Dengan garpunya Rudy mendorong kentang gorengnya dari
salah satu sisi piring ke sisi yang lain. "Aku juga tak percaya,"
gumamnya. "Aku tak percaya seseorang membunuhnya," kata Maura datar.
Pandangan matanya tertuju kepada Talia. "Aku hanya terus bertanya-tanya, apakah pembunuhan itu dilakukan oleh orang yang
mengenalnya?" Talia merasa darah mengalir ke wajahnya. Kenapa ia
menatapku? tanyanya dalam hati. Kenapa sih si Maura?
"Aku tak bisa makan sejak pembunuhan itu," kata Talia. Ia menunduk menatap sandwich-nya.
"Aku juga," kata Nessa sedih. Ia memegang serbet kertas di tangannya dan menyobek-nyobeknya menjadi potongan-potongan kecil.
"Aneh sekali, Shandel mati persis seperti dalam cerita Talia,"
Maura menambahkan. Talia dapat merasakan wajahnya merah padam ditatap seperti itu oleh teman-temannya.
Rudy mengangkat cheeseburger-nya, membuka mulut,
kemudian meletakkan burger itu kembali ke piring tanpa
menggigitnya. "Aku dan Maura membicarakannya semalam," katanya.
"Kami berdua sepakat barangkali sebaiknya kita menunda pertemuan minggu depan."
"Yeah, betul," Seth setuju. Ia mengulurkan tangannya ke seberang meja untuk menusuk beberapa potong kentang goreng Rudy.
"Mungkin kita harus menundanya sampai dua minggu lagi."
Pikiran Talia melayang jauh. Ia tak dapat berhenti memikirkan pemakaman Shandel. Sekali lagi ia melihat peti mati itu tenggelam ke dalam liang kubur yang masih baru. Sekali lagi ia teringat suara tanah yang mengerikan jatuh menimpa tutup peti mati yang mengilat itu.
Ketika Talia mendongak Maura sedang melotot lagi kepadanya.
"Swetermu sudah kaucuci?" tanyanya dengan suara mengejek.
"Maaf---apa?" tanya Talia.
"Sweter yang kaupakai pada malam pembunuhan itu. Apa kau telah mencuci noda darah segar di swetermu?" ulang Maura dengan nada dingin.
Bab 11 KERONGKONGAN Talia tercekik karena kemarahan---dan
ketakutan. Sekarang Maura terang-terangan menuduhnya.
Dipandangnya sekeliling meja itu sekilas. Talia sadar setiap orang sedang menatapnya, sedang menunggu jawabannya. Pikirkan sesuatu, katanya kepada dirinya sendiri. Pikirkan.
Matanya bergerak lambat ke seberang meja, melewati tempat tisu dan tempat garam, mendarat ke botol-botol tempat bumbu.
"Itu---itu bukan darah," gumam Talia. "Itu saus tomat."
************* Talia menatap pesawat telepon. Malam Minggu.
Berderinglah, katanya pada pesawat itu. Kumohon,
berderinglah. Aku tak ingin duduk di sini sendirian. Tidak malam ini.
Ia merasa aneh seharian. Kesal. Hampa. Mati. Ia harus keluar dari rumah ini, melakukan sesuatu yang menyenangkan untuk membantu melupakan semua masalahnya.
Seharian ia berharap bisa keluar dengan Seth. Lalu kenapa Seth tidak menelepon? Seth biasanya dapat diandalkan.
Hanya dalam dua hari, Talia sadar, banyak yang telah berubah di antara mereka. Awal minggu ini ia menghindar dari Seth, dan benar-benar berpikir untuk putus dengannya. Sekarang ia merasa membutuhkan cowok itu.
Ia meletakkan tangannya di pesawat telepon.
Berderinglah, pintanya dengan sangat. Jangan membuatku
kesepian malam ini. Oh, well, pikirnya. Mungkin aku harus menelepon dia. Talia mengangkat gagang telepon, lalu memencet nomor telepon Seth.
Seth menjawab pada dering ketiga. "Halo?"
"Ini aku," katanya, berusaha terdengar riang dan biasa-biasa saja. "Kau melupakan sesuatu?"
"Uh---apa itu?"
"Apa kita tidak akan pergi nonton film malam ini?" Talia mengernyitkan dahi sebab suaranya terdengar merengek. Suaranya terdengar seakan memohon. "Kapan kau menjemputku?"
Seth ragu-ragu. "Aku tak bisa, Talia. Aku baru saja akan meneleponmu."
"Tapi, Seth," Talia mengerang. "Kita sudah janji."
"Aku tahu," jawab Seth. "Ini karena... well, ada sesuatu."
"Hah? Sesuatu apa?" Alasan konyol apa itu!
"Ibu---ibuku tidak enak badan," jelas Seth. "Ia tidak enak badan.
Kupikir tidak baik meninggalkan dia sendirian."
Talia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia punya firasat bahwa Seth berbohong, namun tentu saja ia tidak dapat menuduhnya.
"Aku ikut prihatin," kata Talia. "Kau ingin aku ke sana? Kita bisa nonton TV atau melakukan sesuatu."
"Kupikir itu bukan ide yang bagus," jawab Seth. "Ibuku mungkin menderita penyakit menular atau semacamnya."
Seth pembohong yang buruk, Talia memutuskan. Pembohong
yang sangat buruk. Ditelannya ludahnya keras-keras. Talia merasa amat terluka.
Ada apa sih sebenarnya dengan Seth?
"Oke," ujar Talia. "Maukah kau meneleponku besok?"
"Tentu," jawab Seth. "Besok."
Talia meletakkan gagang telepon, melompat dari tempat tidur, dan mulai berjalan mondar- mandir.
Sekarang apa? Rasa gelisah bergolak dalam dirinya. Aku harus melakukan sesuatu, pikirnya. Untuk menyibukkan pikiranku. Aku harus melupakan Seth, Shandel---segalanya.
Matanya mendarat di komputernya.
Kenapa tidak mengarang cerita? Cerita yang sangat menakutkan untuk pertemuan Klub Horor berikutnya.
Terapi horor! Talia menyalakan komputernya dan menatap layar yang
kosong. Kursor berkelap-kelip tidak sabar. Ia duduk diam, berkonsentrasi sekeras mungkin. Menunggu inspirasi.
Kenapa aku tak bisa berpikir?
Talia tak mampu memikirkan satu kata pun. Setiap kali ia mencoba menulis, yang bisa dilihatnya adalah Shandel yang terbaring di rumput.
Ditatapnya layar yang kosong, dipelototinya kursor yang
berkelap-kelip. Waktu didengarnya bel pintu berdering, Talia merasa lega.
Mungkin itu Seth, pikirnya. Mungkin ibunya sembuh secara ajaib.
Ia memeriksa rambutnya di kaca meja rias, kemudian bergegas turun dan membuka pintu.
Ia terperangah. Dua laki-laki berpakaian gelap berdiri di beranda. Mereka menunjukkan sesuatu. Lencana polisi! Talia ingat laki-laki yang lebih pendek---ia pernah melihatnya pada malam Shandel terbunuh.
"Talia Blanton," katanya. "Saya Detektif Monroe. Kita pernah bicara sebentar malam itu. Ini rekan saya, Detektif Frazier."
"Kami perlu bicara denganmu," kata Detektif Frazier dengan lembut. "Orangtuamu ada di rumah?"
"Mereka sedang ke pesta jamuan malam," jawab Talia. "Mereka seharusnya pulang sekitar sejam yang lalu."
Jika saja mereka di sini sekarang, pikir Talia.
"Bisakah saya menanyakan satu pertanyaan?" tanya Detektif Monroe tenang.
"Oke," jawab Talia.
Frazier mengusapkan jari-jarinya di rambutnya yang tipis.
Kenapa ia menatapku seperti itu? tanya Talia dalam hati. Ia menghindari tatapan tajam detektif itu.
"Kau baru menelepon ibu Shandel Carter?" tanya Frazier.
"Mrs. Carter? Tidak," jawab Talia. "Aku tidak bicara dengannya sejak---sejak pemakaman itu."
Monroe menggarukTgaruk kepala. Ia tampak bingung. "Coba pikir sekali lagi," katanya seraya menyipitkan matanya. "Kau harus mengatakan yang sebenarnya pada kami."
"Lho, saya memang mengatakan yang sebenarnya kok," Talia berkeras.
Kedua detektif itu saling bertukar pandang. "Aneh sekali," kata Detektif Frazier. "Mrs. Carter baru saja menelepon kantor polisi, melaporkan bahwa kau menelepon dia beberapa waktu yang lalu dan mengaku telah membunuh putrinya."
Bab 12 HARI Senin, waktu makan siang, Talia berjalan hati-hati di kafeteria sambil membawa nampannya. Matanya mencari-cari tempat untuk duduk. Kenapa semua orang memandangku? tanyanya dalam hati. Tidak bisakah mereka membiarkan aku sendirian?
Maura dan Nessa duduk bersebelahan di meja dekat jendela.
Talia menghela napas lega melihat mereka. Akhirnya, pikirnya, wajah-wajah familier. Orang yang tidak menatapku seakan-akan aku ini orang aneh dari sirkus.
Talia Blanton, Orang Gila yang Memegang Pisau.
Ia tidak tahu bagaimana mulanya, tapi desas-desus telepon ke Mrs. Carter telah menyebar ke seantero sekolah.
Maura dan Nessa membungkuk di atas baki mereka, bicara
dengan suara bisik-bisik. Mereka langsung diam begitu melihat Talia, seakan-akan takut rahasia mereka bocor.
"Hai," sapa Talia, suaranya agak keras. "Kalian tidak keberatan aku duduk di sini?"
"Bagaimana kabarmu?" tanya Nessa sambil memberi tempat untuk Talia.
Talia duduk. Maura dan Nessa tidak melanjutkan obrolannya.
"Jadi," ujar Talia, "apa yang kalian bicarakan?"
"PR," jawab Maura cepat.
"Cowok," kata Nessa hampir bersamaan.
Talia cemberut. Mereka sedang membicarakan aku, ia tahu.
Semua orang sedang membicarakan aku. Aku topik pembicaraan di Seantero sekolah ini.
Kapan aku akan memperoleh kehidupanku kembali?
"Sebenarnya," Nessa mengakui, "kami sedang memikirkan dirimu. Kami mendengar desas-desus yang agak aneh."
"Aku---kukira aku baik-baik saja kok," gumam Talia, meskipun ia tahu orang-orang sedang mengawasinya dan membisikkan namanya sepanjang hari.
Apa yang harus ia lakukan? Berdiri di atas meja dan
mengumumkan bahwa ia tidak bersalah, bahwa ia tidak membunuh Shandel?
Nessa menyisip Coca-Cola-nya. Talia melihat mata Nessa
masih bengkak bekas menangis. "Minggu ini menyedihkan bagi semua orang," ujar Nessa lembut. "Aku sangat kehilangan Shandel."
Talia menunduk menatap piringnya. Hamburgernya tampak
seperti buku catatannya; sama-sama tidak menarik selera. Ia tidak makan apa-apa seharian. Selera makannya lenyap sama sekali.
"Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi," katanya.


Fear Street Klub Horor The Thrill Club di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suaranya meledak penuh emosi. "Kupikir seseorang sedang berusaha menunjukkan bahwa aku---bahwa akulah---yang membunuh Shandel.
Polisi berpikir begitu juga. Mereka percaya aku tidak melakukannya."
"Tak seorang pun berpikir kau membunuh dia," Nessa meyakinkannya.
Kuharap itu betul, pikir Talia. Tapi kenapa semua anak di ruang makan ini menatapku?
Dan kenapa polisi berkeras menanyai Talia selama satu jam sejak orangtuanya pulang malam Minggu kemarin?
Ingatan Talia kembali pada pembicaraan itu.
"Apa pun yang terjadi, kita tetap mempertahankan Klub Horor bersama-sama," kata Nessa dengan suara lantang. "Kita harus melanjutkan hidup ini dengan normal. Kurasa itulah yang diinginkan Shandel."
Kehidupan yang normal? Kalimat itu menusuk benak Talia. Apakah aku akan pernah
memperoleh kehidupan yang normal lagi? Bisakah kami semua memperolehnya?"
Apakah aku akan pernah duduk di kafeteria ini lagi tanpa merasakan semua orang mengamati aku, bertanya dalam hati apakah aku menggorok leher temanku?
Talia menengadah dan bersirobok dengan mata Maura yang
hijau, yang tengah menatapnya lekat-lekat. Maura tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak Talia duduk.
Ia menganggap aku yang membunuh Shandel, Talia tersadar.
Maura sungguh- sungguh berpikir aku ini monster.
Aku tak tahan, pikir Talia. Aku harus keluar dari sini. Ia melompat, meninggalkan makanannya di meja tanpa menyentuhnya.
Maura dan Nessa menatapnya dengan bingung.
Makam Bunga Mawar 20 Gento Guyon 10 Tangan Rembulan Mushasi 18

Cari Blog Ini