Fear Street Klub Horor The Thrill Club Bagian 2
"Aku---sampai ketemu lagi, oke?" kata Talia.
Dengung obrolan makan siang itu berhenti ketika Talia berdiri.
Saat ia bergegas menuju pintu, ia merasakan semua mata di ruangan itu tertuju padanya.
Aku harus keluar dari sini, pikir Talia sedih sekali. Harus keluar!
Talia merasa baikan saat ia kabur dari kafeteria. Ia nyaris tak bisa bernapas di sana. Di sini, di gang yang sepi ini, rasanya lebih dingin dan lebih tenang. Aku bisa bernapas lagi.
Kalau saja ia bisa menemukan kelas yang kosong, lalu
meringkuk di sudut, dan tidur sepanjang hari.
Kemudian aku terbangun dan semua ini cuma mimpi buruk.
Hanya cerita yang menakutkan. Dan Shandel akan tertawa ketika membacanya.
Ia tertawa pahit. Kau konyol, Talia. Kau tahu itu bukan mimpi.
Shandel takkan pernah menertawakan apa-apa lagi.
Talia melewati ruang musik. Paduan suara Shadyside High
sedang berlatih. Ia mengintip lewat jendela. Anggota paduan suara berdiri dalam tiga baris yang rapi, memegang lembaran musik di tangan mereka. Suara mereka terpadu dalam nada selaras.
Bagaimanapun juga musik itu membuatnya tenang. Talia mulai merasa baikan.
Suara nyanyian itu mengikutinya ke gang sampai ia berbelok di sudut yang menuju ruang olahraga. Tepat ketika ia sedang melewati ruang loker cowok, Rudy melangkah ke luar dan menuju gang.
Rudy menatapnya terkejut. Ia mengenakan celana pendek untuk bersepeda, T-shirt tanpa lengan, dan sabuk kulit untuk angkat besi melingkar ketat di pinggangnya.
"Talia," katanya, "aku baru saja memikirkanmu."
Talia tidak bisa menahan senyumnya. Suara Rudy
menyejukkan. Aku bisa mempercayai Rudy. Ia salah satu dari orang-orang terbaik yang kukenal.
Langkah-langkah kaki yang mendekat bergema di koridor.
Rudy memandang gugup di gang yang kosong itu. Ia menyentuh lengan Talia. "Ayo masuk ke ruang olahraga," katanya kepada Talia.
"Kita bisa ngobrol."
Rudy mendorong pintu, dan Talia mengikutinya masuk ke
dalam ruang olahraga yang gelap. Rasanya aneh berdiri sendirian di tempat yang kosong dan suram bersama Rudy. Sepertinya kami sedang mengasingkan diri dari dunia, pikir Talia.
"Ada apa?" tanya Talia.
Rudy menunduk malu-malu memandang lantai. "Aku---aku mendengar gosip gila tentang kau, Talia," ujarnya lembut. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak mempercayainya."
"Trims, Rudy," kata Talia sambil menghela napas. "Rasanya ini minggu paling buruk dalam hidupku. Terkadang aku berpikir, aku pasti akan jadi gila."
"Kau harus bersabar," kata Rudy lembut. "Dan dengar---jika ada yang bisa kulakukan..." suaranya semakin pelan.
Oh, Rudy, pikir Talia. Aku bisa menciummu karena sikapmu yang baik ini. Ia tersenyum. "Terima kasih," bisiknya.
Wajah Seth berkelebat di benaknya. Talia masih marah kepada Seth karena tidak memenuhi janjinya pada hari Sabtu dan tidak meneleponnya pada hari Minggu.
Seth telah mengecewakannya ketika ia sangat
membutuhkannya. Dan di sini ada Rudy, begitu baik dan penuh perhatian.
Ya. Penuh perhatian. Ia sangat memperhatikan aku, pikir Talia.
Selanjutnya lengannya sudah melingkar di leher Rudy, bibirnya menekan bibir cowok itu dengan lembut.
Bibir Rudy balas menekan.
Talia memejamkan mata, menikmati kejadian itu.
Di belakang mereka, pintu ruang olahraga terayun terbuka dengan bunyi berderak-derak.
Suara napas seseorang. Talia dan Rudy melepaskan pelukan, berputar ke arah suara itu.
Terlambat. Pintu itu sudah terayun menutup.
"Siapa---siapa yang melihat kita?" tanya Talia gugup.
Bab 13 TALIA berlari ke pintu. Rudy mengikuti di belakangnya.
Sesampai di koridor ia menengok ke kanan-kiri. Tak tampak seorang pun.
Terdengar bunyi langkah kaki menghilang di sekitar sudut sebelah sana.
"Oh," ujar Rudy. "Percuma mengejar cowok itu."
"Atau cewek," Talia menambahkan.
Di bawah cahaya lampu Talia melihat wajah Rudy merah
padam. "Maaf," katanya kepada Rudy. "Kuharap bukan Maura. Ia akan marah sekali."
"Atau bisa saja Seth," Rudy mengingatkan. "Lalu kaulah yang mendapat kesulitan."
"Aku tahu," kata Talia. "Hubunganku dengan Seth tak seindah yang kuharapkan."
Rudy tidak mengatakan apa-apa. Ia mengusapkan jari-jarinya ke rambut cokelatnya yang pendek. Ditatapnya koridor yang panjang dan kosong itu.
Talia tak tahu apa yang mendorongnya hingga ia sampai
mencium Rudy dengan penuh nafsu. Ia benar-benar menyukai Rudy, tapi hanya sebagai teman.
"Mungkin orang itu guru," ujar Rudy lagi. "Atau seseorang yang sama sekali tidak mengenal kita."
"Mungkin," Talia sependapat. Ia berharap bisa percaya bahwa itu benar. Ia merasa bersalah. Seandainya Seth memperlakukannya dengan lebih baik, ia tak akan pernah mencium Rudy.
"Ya ampun," Rudy mengangkat bahu. "Itu kan cuma sebuah ciuman! Apa pentingnya sih?"
*********** Kamis pagi Talia menatap wafelnya dengan perasaan tidak
keruan. Wafel-wafel itu balas menatapnya, mengapung di kolam sirup yang lengket. Makanan paling penting di pagi hari.
"Mom," erang Talia. "Aku benar-benar nggak bisa makan pagi ini."
"Sayang---" suara ibunya lembut tapi tegas. "Kau harus mencoba. Sudah berhari-hari kau nyaris tidak makan apa-apa. Aku tahu kau sedih. Tapi kau benar-benar harus makan."
"Maaf, Mom. Aku hanya tidak lapar." Talia tahu dirinya keras kepala, tapi ia tak bisa mengubahnya. Selera makannya telah lenyap bersamaan dengan kehidupannya yang normal.
Sesaat ibunya tidak mendebat. "Oke," katanya sambil memaksa tersenyum. "Lupakan wafel-wafel itu. Ambil bukumu. Aku akan mengantarmu ke sekolah."
Talia berdiam diri di dalam mobil. Dilicinkannya roknya
dengan gelisah. Sepanjang minggu ini ia memakai jins ke sekolah.
Tapi pagi itu ia memaksa dirinya mengenakan rok birunya yang ketat dan selop hitam bertumit tinggi. Kalau orang memang ingin memelototinya, mendingan ia sekalian menyajikan sesuatu untuk dipelototi.
Ibunya bersenandung mengikuti lagu di radio, mencuri pandang sekilas pada Talia. Di lampu merah Mrs. Blanton menoleh kepada putrinya. "Sayang," katanya, "bicaralah padaku. Kadang itu bisa membantu."
Talia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Beberapa minggu terakhir ini sikap orangtuanya amat baik, begitu penuh pengertian dan mendukung. Dan tentu saja pengetahuan hukum ibunya amat
membantu. Tapi Talia tetap tidak suka bicara pagi ini.
Aku tak bisa menerima pertanyaan-pertanyaan lagi, pikirnya.
Biarpun diajukan oleh ibuku. Aku hanya ingin dibiarkan sendiri.
"Semuanya baik-baik kok," kata Talia membela diri.
Ibunya mengangguk sambil mengernyitkan dahi. "Dan
bagaimana dengan Seth?" tanyanya. "Ia tidak kelihatan seminggu ini."
"Ia sibuk," jelas Talia. "Ia banyak pekerjaan di rumah."
"Oh, begitu," kata Mrs. Blanton. "Well, kenapa tidak mengundangnya makan nanti malam?"
"Oke," kata Talia. "Akan kulihat apa yang akan dikatakannya."
Mimpi! pikir Talia. Seth nyaris tidak bicara sepatah kata pun denganku minggu ini.
Mereka berhenti di lapangan parkir Shadyside High. Talia melangkah keluar. Perasaan takut yang tak asing lagi kembali menghantuinya seiring langkahnya menuju gedung sekolah.
Aku tak ingin berada di sini, pikirnya. Aku tak tahan sehari lagi menghadapi tatapan semua orang.
Ia menghela napas dalam-dalam dan mengumpulkan
keberaniannya. Ia memaksa bahunya tegak kembali, lalu memasuki gedung itu. Ia memaksakan senyum di wajahnya. Kau harus kuat, katanya kepada dirinya sendiri.
Ia membetulkan letak tas punggung di bahunya dan berjalan pelan-pelan menuju lokernya. Mungkin aku akan mengundang Seth makan malam, pikirnya. Kami perlu bicara. Setelah mencium Rudy di ruang olahraga, Talia sadar ia masih menginginkan Seth.
Seth kan pacarku, katanya pada diri sendiri.
Rudy hanyalah temanku. Aku dan Seth harus mulai bicara lagi. Aku rindu senyumnya.
Kebiasaan kami bicara selama berjam-jam di telepon. Aku rindu bergandengan tangan di bioskop.
Aku merindukannya. Talia mengeluarkan buku-bukunya dari loker dan memutuskan untuk mencari Seth. Ia ingin tahu apakah dia bisa membujuk Seth untuk menerima undangan ibunya.
Sambil berjalan di koridor, ia sadar hanya beberapa anak yang menatapnya ketika ia lewat. Yang lainnya sibuk dengan urusan masing-masing, mengobrol dan tertawa, bahkan nyaris tidak memperhatikan Talia.
Wow, pikir Talia lega. Mungkin semuanya sudah kembali
normal. Mungkin aku akan baik-baik saja.
Ia berjalan melewati perpustakaan, dan mendengar suara tawa yang tidak asing lagi.
Ia membelok ke arah suara itu. Dilihatnya Nessa berdiri di depan lokernya, memakai jins ketat, sedang menertawakan sesuatu yang diucapkan seorang cowok tinggi kurus kepadanya. Cowok itu berdiri membelakangi Talia.
Nessa melemparkan kepalanya ke belakang dan tertawa lagi, mengibaskan rambutnya yang hitam dan lembut. Tangannya
membelai lengan cowok itu dari atas ke bawah, membiarkan jemarinya yang lentik merayap pelan di pergelangan tangan cowok itu. Tawanya mengisi koridor itu. Tawa bahagia dan ceria.
Nessa memang genit, pikir Talia tersenyum, Minggu lalu
cowoknya pegulat. Dua minggu yang lalu cowoknya dari junior college. Dan minggu ini?
Seakan-akan menjawab pertanyaan Talia, "cowok minggu ini"
itu menoleh. Talia melongo. Buku-bukunya terjatuh dari tangannya.
Seth. Sampai hatinya dia? Dan sampai hatinya Nessa? Kupikir dia temanku.
Talia memungut buku-bukunya dan berjalan setenang mungkin menghampiri loker Nessa. Ia meletakkan tangannya di bahu Seth dan menatap mata Nessa.
"Ada apa nih?" tanyanya ingin tahu, berusaha agar suaranya biasa-biasa saja. "Kalian berdua kok kelihatannya hangat sekali."
Wajah Seth merah padam. Mulut Nessa ternganga kaget.
"T---tapi, Talia," akhirnya Nessa bicara dengan gugup. "Katamu tidak apa-apa. Semalam kauberitahu aku bahwa kau putus dengan Seth."
"Aku?" jantung Talia bagai berhenti berdetak. "Aku mengatakan apa kepadamu?"
"Di telepon," Nessa berkeras. "Katamu aku harus kencan dengan Seth. Kau bilang tidak apa-apa. Apakah kau mendadak lupa, Talia? Kita ngobrol hampir satu jam."
Talia merasa pusing. Mungkin aku akan pingsan, pikirnya.
"Nessa," katanya dengan suara tercekik. "Aku tidak meneleponmu semalam. Kita tidak bicara di telepon. Kita tidak bicara!"
Bab 14 "TALIA---bisanya kau bohong seperti itu!" tukas Nessa. "Aku tidak gila. Kita bicara semalam, persis setelah makan malam."
"Aku juga tidak gila!" Talia berteriak nyaring. "Aku tidak pernah bicara denganmu, Nessa."
Nessa menggigit bibirnya. Ditatapnya Talia dengan marah.
"Katamu kau putus dengan Seth, dan aku boleh-boleh saja mengajaknya kencan. Maura ada di rumahku waktu itu. Ia sama terkejutnya seperti aku."
Seth melepaskan tangan Talia yang menekan pundaknya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Talia? Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Tidak, aku tak pernah bilang begitu," Talia ngotot kepada Nessa. "Kenapa kau berbohong tentang diriku?"
"Aku tidak bohong," gerutu Nessa. "Kenapa aku harus bohong?"
Talia menoleh kepada Seth. "Kau harus percaya padaku."
"Aku tak tahu harus percaya apa," ujar Seth.
Talia menatap wajah keduanya. Mereka teman-temanku,
pikirnya. Mereka tak ingin menyakiti aku.
Atau mereka sebenarnya memang ingin menyakiti aku?
Ada yang tidak beres di sini. Sesuatu yang sangat tidak beres.
Pertama telepon kepada ibu Shandel, dan sekarang ini.
Siapa yang menelepon? Pasti seseorang yang bisa menirukan suaraku. Seseorang yang suaranya mirip denganku sehingga Nessa pun bisa dibohongi?
Apakah aku gila? Atau seseorang sedang berusaha
menghancurkan hidupku? Tolong katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?
*********** Pada pukul tujuh orangtua Talia berangkat untuk menghadiri pertemuan setempat. Ayahnya seorang arsitek dan punya banyak ide.
Ia sangat ingin menyumbangkan keahliannya untuk merapikan taman-taman Shadyside dan bangunan-bangunan setempat.
Talia mengunci pintu setelah mereka pergi, lalu duduk di meja dapur. Setelah kakaknya kuliah di college, ia jadi sering di rumah sendirian kalau orangtuanya kerja lembur atau menghadiri berbagai pertemuan.
Bagi Talia lebih mudah mengerjakan PR tanpa Dave di
dekatnya, soalnya kakaknya itu sering menggodanya atau menyetel musik heavy-metal-nya keras-keras. Tapi ia juga amat kehilangan kakaknya.
Sudahlah, pikir Talia seraya membuka buku matematikanya dan menatap PR-nya. Tahun depan aku akan masuk college. Lalu rumah ini akan kosong. Aku harus berkonsentrasi, katanya pada dirinya sendiri. Aku harus mengerjakan PR ini. Sejak pembunuhan itu, Talia banyak ketinggalan pelajaran.
Mungkin aku harus menelepon Seth, pikirnya. Minta diajari.
Bagaimanapun juga ia jago matematika.
Mungkin itu akan jadi alasan yang bagus agar dapat bicara dengannya. Talia bahkan tidak yakin apakah mereka akan berkencan lagi. Empat hari telah berlalu sejak ia melihat Seth di lokernya. Seth bahkan tak tahu Talia telah diterima di UC Berkeley.
Tidak, putus Talia. Aku tak boleh menelepon dia sekarang. Aku harus mengerjakan soal-soal matematika ini sendiri.
Ia memecahkan soal pertama. Mudah, seperti memecahkan
teka-teki. Ia menatap soal kedua.
Mungkin ia bisa jadi juara di ulangan yang akan datang.
Memenangkan kembali kepercayaan Mr. Hanson. Itu akan jadi permulaan yang bagus.
Ia hampir menyelesaikan soal kedua ketika bel pintu berdering.
Oh, tidak, pikirnya. Sekarang apa?
Jantungnya berdebar-debar saat ia berdiri dan berjalan menuju pintu. Akhir-akhir ini suara bel itu membuatnya ketakutan.
Polisikah itu? Apakah mereka datang untuk menanyakan
Shandel lagi? Apakah itu kabar buruk lagi?
Ia berhenti di depan pintu. Sunyi.
Kemudian tiga ketukan tajam terdengar.
"Siapa itu?" tanyanya.
Tak ada jawaban. Ia menghela napas dalam-dalam dan membuka pintu.
Lalu menjerit ketakutan ketika dilihatnya wajah yang
mengerikan bergerak mendekati wajahnya.
"Talia...," kata wajah itu dengan suara parau. "Talia..."
"Tidak!" jeritnya. "Tidak---jangan! Kumohon!"
Bab 15 SETH melepas topeng mengerikan itu dan menyeringai kepada Talia.
"Kena kau!" teriaknya. Ia tertawa terbahak-bahak.
Selama beberapa detik Talia tak bisa bicara. Ia hanya menatap Seth dengan tidak percaya dan marah.
"Seth---kau jahat!" akhirnya ia berkata dengan suara tercekik.
"Teganya kau!" "Sori," kata Seth, masih tertawa. "Kupikir kau tahu itu aku. Aku tak tahu kau ketakutan! Kusangka kau hanya akan tertawa dan menyuruhku masuk."
Seth memegang topeng itu. Kayu ukiran, dihiasi dengan
sayatan-sayatan warna oranye dan hijau yang berkilat-kilat. Mulutnya yang besar membentuk huruf O berwarna putih, seperti sedang menjerit ketakutan. Matanya memancarkan kemarahan.
"Bukankah ini mengagumkan?" tanya Seth. "Ini topeng penduduk asli dari New Guinea. Ayahku mengumpulkan banyak sekali benda hebat milik suku setempat pada kunjungannya yang terakhir. Kupikir mungkin aku akan memakainya ke pertemuan Klub Horor di rumah Rudy besok malam."
Talia memperhatikan topeng itu ketika ia mempersilakan Seth masuk ke ruang tamu. Meskipun topeng itu seram, ada juga bagian yang menarik. Topeng itu sangat menakutkan, seperti topeng Halloween.
"Maaf kalau aku marah," katanya kepada Seth. "Kukira aku hanya tidak suka tertawa akhir-akhir ini." Ia memaksa dirinya tersenyum. "Tapi aku benar-benar senang bertemu kau lagi."
"Aku juga." Seth meletakkan topeng itu di meja kopi dan memeluk Talia. Talia tak ingin melepaskan pelukan itu. "Aku tidak ingin kehilangan kau," kata Seth kepada Talia.
"Aku khawatir," bisik Talia. "Kupikir kau akan memutuskan hubungan denganku."
"Tidak akan. Aku tidak akan putus denganmu," kata Seth meyakinkan. "Kupikir kau yang akan memutuskan aku."
Talia memeluknya lebih erat. "Maafkan aku, Seth. Segalanya amat membingungkan akhir-akhir ini. Begitu banyak kejadian gila telah terjadi. Kadang aku tak tahu aku ini gila atau apa."
"Kita akan baik-baik saja," ujar Seth. Disingkirkannya rambut Talia dari matanya.
Talia pergi ke dapur untuk mengambilkan Seth sekaleng Coca-Cola. Ia merasa bahagia. Sudah lama ia tidak merasa sebahagia ini. Ia kembali ke ruang tamu, mengulurkan kaleng itu kepada Seth, lalu duduk di sampingnya.
Topeng itu meliriknya dari meja kopi.
Topeng itu benar-benar topeng paling jelek yang pernah kulihat, pikir Talia.
"Jadi, bagaimana?" tanya Seth riang. Ia menyisip Coca-Cola-nya. "Rasanya sudah seabad kita tidak mengobrol."
Ya ampun, pikir Talia. Kukira lebih baik kukatakan kepadanya sekarang. Percuma menundanya. Ia menghela napas dalam-dalam.
"Aku tahu tidak ada kabar bagus akhir-akhir ini," Talia memulai.
"Tapi coba tebak, kabar apa yang kuterima hari ini?"
"Apa?" "Aku diterima di UC Berkeley! Hebat, kan?"
Seth tampak ragu. Talia bisa merasakan kekecewaannya.
Sejak Januari yang lalu, ketika mereka mengirimkan lamaran-lamaran ke beberapa college, Seth membujuknya untuk tinggal di sini saja, mungkin melanjutkan ke universitas setempat bersamanya.
"California jauh sekali," kata Seth murung.
"Tidak jauh sekali ah," jawab Talia. Tapi ia tahu, California tampaknya seperti dunia lain. Tempat matahari bersinar dan kebahagiaan melimpah. Di sana ia bisa memulai kehidupan yang baru, meninggalkan masa lalunya.
"Lagi pula," Talia mengingatkan, "aku akan pulang waktu liburan. Kita bisa surat-suratan. Nggak masalah."
"Entahlah," kata Seth ragu-ragu. "Rasanya aku tidak suka."
Talia tersentuh oleh kesedihannya. Ia benar-benar
memperhatikan aku, pikirnya. Segalanya amat membingungkan. Aku tak percaya aku nyaris membiarkannya pergi lagi.
Seth merogoh kantong jaketnya dan menarik keluar beberapa lembar kertas yang terlipat. "Omong-omong," katanya. "Hampir saja aku lupa. Ini untukmu."
Talia mengambil kertas-kertas itu.
"Ini cerita horor," Seth melanjutkan. "Aku tahu kau masih belum bisa mengarang, jadi aku mengarang ini untukmu. Untuk kaubacakan di pertemuan besok malam."
"Apa?" teriak Talia, terkejut.
"Kenapa?" tanya Seth sambil lalu.
"Kau benar-benar berpikir kita harus mengarang cerita yang menakutkan lagi?" tanya Talia serius.
"Kenapa tidak?" tanya Seth. "Aku tidak percaya takhayul---atau kau percaya takhayul, ya? Lagi pula, apa sih yang bisa terjadi?"
Bab 16 RUDY menatap langit-langit ruang rekreasi bawah tanah milik orangtuanya. Pipa-pipa air itu sempurna, pikirnya. Klub Horor akan menyukainya!
Tipuan paling mengagumkan tahun ini!
Rudy mendengar langkah-langkah kaki. Ia menoleh ke asal
suara itu. Pete, adiknya yang berumur delapan tahun berdiri di kaki tangga ruang bawah tanah itu, menatap Rudy lewat kacamatanya yang tebal.
"Hei," seru Pete. "Apa yang kaulakukan dengan tali besar itu?"
Rudy naik ke atas kursi lipat dan melemparkan salah satu ujung tali melewati pipa yang terbuka. Ia membuat simpul lalu melangkah turun, mengagumi hasil karyanya.
Ini akan hebat sekali! Tak sabar aku melihat wajah mereka.
"Hei, Pete---lihat," katanya dengan gembira. "Kau tahu boneka ventriloquist yang dibeli Dad di pasar loak itu? Boneka berdasi kupu-kupu yang wajahnya berbintik-bintik? Boneka itu hampir sebesar kau?"
Pete mengangguk. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari tali yang terjuntai itu.
"Well," Rudy melanjutkan, "Klub Horor akan ke sini untuk mengadakan pertemuan malam ini. Ketika mereka masuk ke sini, akan kubuat ruangan ini gelap sekali, jadi mereka tidak bisa melihat. Dan boneka itu akan kugantung di pipa itu. Simpul menjerat lehernya."
Mata Pete terbelalak. "Lumayan," komentar Pete. Ia takkan pernah membiarkan dirinya menunjukkan rasa antusias terhadap tipuan-tipuan Rudy.
Soalnya tipuan Rudy itu kebanyakan dilakukan pada dirinya!
Pete meletakkan kedua tangannya melingkari tenggorokannya dan pura-pura tercekik. "Aku digantung! Aku digantung!" teriaknya.
Rudy tertawa. Adiknya selalu membuatnya tertawa terbahak-bahak.
"Mereka semua akan turun dalam gelap dan membentur boneka yang tergantung di langit-langit itu," kata Rudy dengan riangnya.
"Mereka akan ketakutan. Mereka akan sungguh-sungguh ketakutan."
"Boleh aku ikut melihat?" tanya Pete kepingin.
"Tentu," jawab Rudy. "Kau bisa bersembunyi di dalam lemari dinding. Pasti heboh!"
"Bagus." Pete menatap tali itu.
"Jangan bilang Mom dan Dad lho," Rudy mengingatkan Pete.
"Tentu," jawab Pete. Ia berlari-lari naik ke tangga lagi, meninggalkan Rudy sendirian dengan proyeknya.
Rudy membuka lemari dinding, lalu menarik boneka itu.
Boneka itu tampak seperti orang betulan. Rudy nyaris yakin mereka benar-benar bisa mengobrol.
"Hei, Sobat," katanya. Ia mengulurkan tangan untuk menjabat tangan boneka yang terbuat dari kayu itu. "Apa kabar? Senang diam di dalam lemari? Apa di dalam sana cukup gelap?"
Boneka itu tidak menjawab. Ia cuma menatap Rudy dengan
bola matanya yang terbuat dari kaca dan senyuman yang dilukis.
Baik, pikir Rudy. Bersenang-senanglah.
"Karena telah bersalah berbuat kasar," katanya kepada boneka itu, "kuhukum kau dengan menggantung lehermu sampai mati."
Tampaknya boneka itu tidak keberatan. Ia hanya duduk di sana, mengenakan jas yang terbuat dari kain wol kotak-kotak kecil dan berdasi kupu-kupu, tersenyum dengan senyumannya yang abadi.
Rudy mendudukkan boneka itu di sofa.
"Bapak Hakim," katanya, berbicara kepada hakim dalam khayalannya, "terdakwa tidak menunjukkan penyesalan yang dalam."
Rudy naik lagi ke kursi lipat, menyambar ujung tali yang terjulur, dan mulai membentuk simpul. Ia pernah ikut pramuka, dan mendapatkan lencana untuk ikatan simpul.
Sekarang latihannya berguna juga. Setelah selesai simpul itu terjuntai mengerikan dari pipa, menunggu seorang korban.
Ini pasti hebat! pikir Rudy lagi.
Ia mengangkat boneka itu dan mendekatkannya ke simpul itu.
Fear Street Klub Horor The Thrill Club di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dicobanya untuk menyelipkan tali itu di leher kayunya, tapi tidak cukup. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Sial. Aku membuatnya terlalu kecil.
Ia menurunkan boneka itu, lalu naik lagi ke atas kursi. Dengan hati-hati dikendurkannya simpul itu. Kali ini simpulnya cukup besar.
Tergerak oleh rasa ingin tahunya, Rudy memasang simpul itu ke lehernya sendiri.
"Lihat?" serunya kepada boneka yang tergeletak di bawah.
"Nggak apa-apa kok."
Boneka itu menyeringai setuju kepada Rudy.
Sambil menjaga keseimbangan Rudy mengangkat tangan untuk melepaskan simpul itu.
"Hei---" Rupanya agak sulit, dan ia malah menarik simpul itu tanpa sengaja.
Simpul itu semakin kencang.
"Hei---" Ketakutan, sekarang Rudy benar-benar kehilangan
keseimbangannya. "Hei---" Tali itu makin mencekik dan melukai lehernya.
"Pete?" ia tercekik. "Pete? Kau dengar aku?"
Sunyi. "Pete?" Satu-satunya suara adalah bunyi pipa di atas kepalanya.
"Tolong! Aku---tak---bisa---bernapas!"
Sambil mencakar-cakar tali itu, ia menyepak ke belakang.
Dilihatnya boneka itu menyeringai kepadanya. Seringai senang iblis.
Dan kemudian Rudy merasa kursi itu bergerak, lalu roboh dari bawah kakinya.
"Aaaaaaack!" Teriakan Rudy yang terakhir---ia terayun-ayun di atas lantai, mencakar-cakar jerat itu tanpa daya sampai semuanya menjadi hitam.
Bab 17 "BAGUS sekali!" seru Talia.
Wajah Seth berseri-seri menerima pujian itu.
"Cerita horor yang bagus sekali!" ulang Talia sambil menggeleng-gelengkan kepala penuh kekaguman. "Benar-benar hebat."
Seth terus tersenyum, senang dengan reaksi Talia. "Aku tahu karanganku tidak sebagus kau, tapi tulisanku semakin baik, kan?"
Talia menatap topeng mengerikan di meja kopi itu. "Cerita itu hebat, tapi aku merasa tidak enak," akunya.
"Kenapa?" Seth ingin tahu.
"Aku tak ingin membacakan cerita itu di Klub Horor dengan memakai nama Rudy. Kau tahu---setelah apa yang menimpa Shandel."
"Tapi, Talia---"
"Tidak bisakah kita mengganti namanya saja? Kita pakai nama Rick atau sesuatu seperti itu?" saran Talia.
"Kenapa?" tanya Seth. Ia tampak terkejut mendengar saran Talia.
"Kenapa?" Talia ternganga heran. "Sebab cerita ini hanya akan membuat kita semua memikirkan Shandel. Kebanyakan mereka menuduh aku yang membunuh Shandel," ia menambahkan dengan muram.
Seth tersenyum. "Karena itulah kupikir kita harus
mempertahankan nama Rudy dalam cerita itu," kata Seth. "Jika kau membaca cerita ini besok malam, orang akan tahu kau tidak bersalah."
Talia tidak memahami alasan Seth. Seth pintar, tapi jalan pikirannya jadi aneh.
"Nggak mungkin!" tukas Talia. "Bagaimana membacakan cerita tentang Rudy yang tidak sengaja menggantung dirinya sendiri bisa membuktikan apa pun yang terjadi pada Shandel?"
"Mudah," jawab Seth. "Dengan membacakan cerita lain yang memakai nama sesungguhnya, kau membuktikan kepada semua orang bahwa kau tidak punya sesuatu untuk disembunyikan. Bahwa kau tidak punya perasaan bersalah. Bahwa kau tak pernah punya maksud apa-apa seperti yang sudah-sudah."
Talia mengangguk penuh pertimbangan. Apa yang dikatakan
Seth kelihatannya meyakinkan. "Hanya ada satu masalah," katanya.
Seth menaikkan alisnya. "Apa itu?"
Rudy takkan menyukainya," kata Talia. "Pikirnya aku ingin mengerjai dia atau seperti itu."
Seth menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak. Kau tahu Rudy punya rasa humor yang tinggi. Lagi pula kalau namanya diganti, itu akan merusak ceritanya. Semua tahu Rudy suka membuat simpul. Ia memasang simpul di ruang rekreasinya setiap kali kita mengadakan pertemuan di situ. Ia akan menganggap cerita itu lelucon. Percayalah, Talia."
Talia tidak tahu harus berpikir apa. Ia ingin membacakan cerita itu. Namun akhir cerita itu begitu mengerikan. Rudy tergantung, memegangi jerat itu, megap-megap kehabisan napas. Boneka itu menyeringai kepadanya.
Haruskah aku membacakan cerita itu atau tidak? tanyanya pada diri sendiri.
Aku punya waktu sampai besok malam untuk memutuskannya.
************ Sepulang sekolah keesokan sorenya, Talia memandang ke
dalam lokernya. Aku lupa, pikirnya. Aku tahu aku harus membawa sesuatu pulang. Tapi apa?
Sebuah tangan jatuh ke pundaknya---dan ia terlonjak kaget.
Rudy menarik tangannya. "Wow! Sori." Rudy terkejut oleh reaksi Talia. "Aku tak bermaksud menakut-nakuti. Aku hanya ingin menyapa."
Talia merasa tolol. Ia tersenyum malu-malu. "Tidak apa-apa, Rudy. Aku amat tertekan akhir-akhir ini. Apa pun membuatku terkejut."
Rudy mengangguk penuh simpati.
Rudy amat tampan, pikir Talia, wajahnya merah teringat
ciuman mereka. Tak seorang pun di antara mereka mengingat-ingat hal itu lagi.
Kami hanya berteman, Talia mengingatkan dirinya sendiri.
Harus tetap seperti itu. "Omong-omong," ujar Rudy, "aku hanya ingin memastikan kau akan datang ke pertemuan Klub Horor di rumahku nanti malam.
Pertemuan itu tidak akan seru tanpa kehadiranmu."
"Tentu aku akan datang!" seru Talia. "Tak ada apa pun yang dapat membuatku tak datang ke pertemuan itu." Ia memelankan suaranya, "Kau perlu bantuan? Bisa kubawakan sesuatu? Melakukan sesuatu? Apakah kau akan memasang dekorasi yang mengerikan?"
"Yeah," kata Rudy sambil mengedipkan mata. "Aku sudah merencanakan sesuatu yang menakutkan."
Ia akan memasang simpulnya lagi, kata Talia pada dirinya sendiri.
"Kalau kau mau, aku bisa datang lebih awal dan membantumu memasang segalanya," Talia menawarkan.
"Sungguh?" Rudy kelihatan gembira. "Trims. Aku tak sabar mendengar ceritamu yang baru."
Talia merasa lemas. Bayangan kepala Rudy dalam jerat yang mencekik berkelebat di depan matanya. Apakah aku benar-benar ingin membacakan cerita itu?
"Aku tak yakin tentang cerita yang baru ini," kata Talia serius.
"Mungkin aku tak akan membacakannya sama sekali."
"Kau harus," Rudy berkeras. "Ceritamu adalah bagian terbaik dalam pertemuan kita."
"Well," kata Talia enggan, "mungkin aku akan membacakan untukmu duluan dan melihat apa pendapatmu." Ia menyentuh lengan Rudy dengan lembut. "Jam berapa aku harus ke sana?"
"Bagaimana kalau sekitar jam enam?" saran Rudy. "Kita akan punya cukup waktu untuk memasang dekorasi dan membaca cerita itu."
"Bagus." Talia tersenyum. "Sampai jumpa nanti malam."
************ Akhirnya musim semi tiba. Sore itu cerah dan matahari bersinar terang. Bau udara manis dan segar.
Bunga daffodil bermekaran. Daun-daun segar bermunculan di pepohonan.
Indah sekali, pikir Talia sambil berjalan di Taman Shadyside sepulang sekolah. Permulaan yang baik. Mungkin semuanya akan kembali seperti dulu.
Ia menangkap suara langkah kaki yang terburu-buru di
belakangnya. Ia berbalik untuk melihat siapa itu.
Maura menghampirinya sambil berlari-lari kecil di jalan
setapak. Ia berhenti setelah Talia terkejar. Napasnya terengah-engah, pipinya merah habis berlari.
"Talia," katanya terengah-engah, "di mana kau pernah belajar berjalan begitu cepat? Sudah tiga blok aku mengejarmu."
"Kenapa kau mengejarku?" tanya Talia curiga. "Ada yang tidak beres?"
"Tidak sih." Maura menarik napas dan tersenyum. "Aku hanya ingin bicara denganmu soal... sesuatu."
Rudy, pikir Talia. Pasti dialah yang masuk ke ruang olahraga itu dan melihatku berciuman dengan Rudy. Talia menguatkan diri.
"Bicara denganku?" tanyanya dengan nada biasa. "Soal apa?"
"Talia, aku tahu kita bukan teman akrab. Dan aku tahu ini sama sekali bukan urusanku, tapi aku mencemaskan Seth."
"Seth?" Talia merasakan darahnya mendidih. Maura tak berhak ikut campur soal hubunganku dengan Seth. Katanya tajam, "Ada apa dengan Seth, Maura?"
Maura bimbang. "Ia---uh---yah gila, Talia. Aku---hmmm, kupikir ia gila, Talia. Aku sangat . mencemaskan dirinya. Kurasa ia benar-benar gila!"
Bab 18 "MAURA ---apa katamu?" tanya Talia, suaranya nyaring.
Maura menghela napas dalam-dalam. "Hmmm---dari jendela kamarku, aku bisa melihat ke dalam kamarnya. Yang dikerjakannya cuma berjalan mondar-mandir. Pada malam hari. Maju-mundur.
Kadang semalaman. Ia kelihatannya marah sekali pada sesuatu."
Talia terpana memandang Maura. "Seth berjalan mondar-mandir sepanjang malam?"
Maura mengangguk. "Yeah. Dan ia melakukan yang aneh-aneh.
Ia menggerak-gerakkan tangan, sepertinya sedang bicara kepada dirinya sendiri. Dan kalau tidak berjalan ia duduk di mejanya memeriksa kertas-kertas dan kaset-kaset rekaman. Kukira barang-barang itu pasti milik ayahnya. Sepertinya ia terobsesi atau semacam itulah."
"Wow!" gumam Talia.
Maura cemberut. "Aku menyayangi Seth, Talia. Aku hanya berpikir kau harus tahu keadaannya. Tingkah lakunya aneh sekali."
Talia bisa membayangkannya. Seth yang malang. Dihantui oleh kematian ayahnya. Mencoba memahami tragedi mengerikan itu.
Tapi Maura tak punya hak untuk mencampuri kesedihan hati Seth yang amat pribadi itu. Meskipun ia tetangga sebelah rumah dan bisa melihat ke dalam jendela kamar tidur Seth.
"Cuma segitu?" bentak Talia. "Kau mengejarku sepanjang tiga blok hanya untuk memberitahu aku bahwa kau telah memata-matai pacarku? Mungkin kau seharusnya menikmati hidup ini, Maura.
Mungkin seharusnya kaututup saja tiraimu dan biarkan Seth sendirian."
Pipi Maura memerah. Ia benar-benar tersinggung. "Kau tidak mengerti, Talia. Aku hanya ingin kau tahu supaya kau bisa menolong dia. Dia pacarmu. Aku tahu. Semua ini kulakukan karena aku masih menyayanginya sebagai sahabat."
Talia benar-benar jengkel. "Oh, aku mengerti," katanya nyaring.
"Aku amat sangat mengerti. Kau mengawasi pacarku dan mengikuti aku ke mana-mana. Mungkin lebih baik kau mengurus urusanmu sendiri."
"Maaf kalau aku membuatmu marah," jawab Maura sambil menatap tanah dengan sedih. Ia mengusap rambutnya yang merah.
"Aku hanya ingin menolong." Ia mendongak, cemberut pada Talia.
"Mungkin kita harus menunda pertemuan malam ini. Mungkin kita sudah cukup mengalami ketakutan untuk sementara ini. Kupikir kita semua butuh istirahat."
"Sudah terlambat sekali untuk membatalkannya," tukas Talia cepat. "Aku ingat. Aku harus buru-buru, Maura. Aku sudah janji kepada Rudy akan ke rumahnya lebih awal untuk membantu dia membuat persiapan."
"Apa?" Maura tampak terkejut. "Kau akan pergi lebih awal ke rumah Rudy?"
Aduh, pikir Talia. Mungkin seharusnya aku tidak menyebut-nyebut hal itu. Well, kasihan Maura. Kalau dia bisa tinggal di rumah dan mengawasi Seth, aku bisa membantu Rudy menyiapkan
pertemuan! Talia berbalik dan berlalu. Ia dapat merasakan tatapan Maura mengawasinya, seakan membakar punggungnya.
*********** Nessa tidak sabar menunggu pertemuan Klub Horor di rumah Rudy. Aku perlu bersenang-senang, katanya dalam hati. Hidup ini jadi begitu menyedihkan akhir-akhir ini. Yang bisa kulakukan cuma duduk memikirkan Shandel.
Ia berjalan cepat-cepat di sore yang hangat. Matahari baru saja tenggelam di balik pepohonan. Nessa mencoba menebak dekorasi seperti apa yang ada dalam pikiran Rudy.
Rudy sudah memberi gambaran kepadanya bahwa dekorasi
malam itu adalah yang terbaik yang pernah dibuatnya, tapi Nessa tidak percaya itu bisa mengalahkan manekin yang benar-benar seperti hidup, yang dipakainya pada pertemuan terakhir.
Nessa tersenyum sendiri mengingat bagaimana takutnya ia saat itu; laki-laki memakai setelan kerja, terayun-ayun ke belakang dan ke depan di atas lantai, ekspresi ngeri tergurat dalam di wajah plastiknya.
Konyol! Mereka berolok-olok tentang manekin itu sepanjang sore.
Yah, pikirnya. Lebih baik jangan meremehkan Rudy. Daya
khayalnya benar-benar hebat!
Ketika Nessa sampai di rumah Rudy, ia mendapati Maura dan Seth sedang berdiri di beranda depan. Wajah mereka tampak bingung.
"Hei---ada apa?" sapa Nessa ingin tahu. "Sudah kaupencet belnya?"
Seth mengangguk. Ia mengenakan jins hitam dan baju loreng-loreng---pakaian sehari-harinya. Seth menggaruk-garuk kepalanya.
"Tiga kali," jawabnya. "Dan Rudy masih belum menjawab."
"Ada apa sih!" tanya Maura geram. "Ia tahu kita akan datang."
"Di mana orangtuanya?" tanya Nessa.
"Kata Rudy hari ini mereka akan mengantar Pete ke pertemuan Pandu Remaja," kata Maura. Ia menekan jarinya di bel pintu dan memencetnya lama sekali. "Rudy seharusnya mendengar ini."
Mereka menunggu beberapa menit lagi. Nessa menekan
wajahnya di pintu dan mengintip ke dalam. Mungkin ini bagian dari lelucon itu, ia tersadar.
"Pintunya terbuka," tunjuk Nessa setelah mengguncangkan pegangan pintu. "Kenapa kita tidak masuk saja?"
"Kita beri waktu dia semenit atau dua menit lagi," saran Seth.
"Kelihatannya nggak bagus ah, masuk ke rumah orang lain tanpa dipersilakan masuk."
Mereka berdiri tidak sabar di beranda, saling melempar senyum gelisah. Sebuah mobil biru melaju pelan melewati rumah itu. Musik country berdentum dari jendelanya yang terbuka. Mereka mengawasi mobil itu hilang di belokan.
Seth menggigit-gigit kuku jarinya dengan gelisah. "Kuharap Talia segera tiba."
"Barangkali Talia malah sudah ada di sini," tukas Maura jengkel. "Katanya ia akan ke sini lebih awal untuk membantu Rudy mendekorasi. Aku yakin mereka ada di bawah sana. Aku tak mengerti kenapa mereka menyuruh kita menunggu seperti ini."
Nessa berusaha menyembunyikan keheranannya. Apa yang
dikerjakan Talia sendirian di ruang bawah tanah bersama Rudy, sementara Maura menunggu di luar? Boleh dibilang agak
mencurigakan, kan? Terutama sikap Talia akhir-akhir ini, meneleponnya dan
mengatakan bahwa ia ingin memutuskan hubungan dengan Seth, lalu menyangkal ia pernah menelepon.
Nessa memegang gagang pintu. "Apa yang kita tunggu?"
tanyanya. "Ayo turun dan lihat apa yang membuat mereka betah di sana."
Seth memegangi daun pintu agar tetap terbuka supaya cewek-cewek itu bisa masuk duluan. Nessa mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakan diri dengan kegelapan rumah itu.
Keheningan yang aneh menggantung di udara ketika mereka
melewati dapur menuju pintu ruang bawah tanah. Mereka berhenti di puncak tangga.
"Rudy!" panggil Maura. "Talia! Apa kalian di bawah?"
Tak ada jawaban. Maura menoleh kepada Nessa dengan raut wajah bingung. "Aku tak mengerti," katanya. "Seharusnya mereka ada di sana."
Nessa menggigit bibir dan mencoba berpikir. "Mungkin mereka pergi ke toko atau ke suatu tempat," katanya menimbang-nimbang.
"Kita toh sudah di sini," kata Seth tegas. "Jadi sekalian saja kita cek ruang bawah tanah."
Mereka berjalan menuruni tangga. Nessa berjalan paling
belakang. Anak tangga kayu itu berderak-derak menyangga tubuh mereka. Di dasar tangga mereka membelok ke kanan dan masuk ke ruang rekreasi.
Nessa mendengar yang lain terkejut tak bernapas sebelum ia sendiri melihat tubuh itu.
Lalu ia melihat Rudy. Tergantung dari pipa-pipa di atas, tali putih yang bersih menjerat erat lehernya.
Wajahnya tampak besar sekali di jerat itu, ungu dan amat ketakutan.
Maura membawa tangannya ke mulut untuk menahan teriakan.
Ia terhuyung-huyung seakan-akan mau pingsan.
Nessa merasakan kesedihan Maura yang amat dalam. Ia
mengulurkan tangan memeluk Maura.
"Ia gantung diri," gumam Seth. Matanya terpaku menatap pemandangan yang mengerikan itu.
Nessa merasa perutnya teraduk-aduk.
"Ohhhhh," Maura mengerang.
Lalu tanpa diduga Nessa mulai tertawa.
Melengking, tawa tak terkendali.
Ia tak bisa berhenti tertawa.
Bab 19 NESSA tertawa gelak-gelak, hingga perutnya sakit.
Seth dan Maura melongo, shock menatapnya. "Nessa---kenapa sih kau?" teriak Maura.
Nessa menarik napas dengan susah payah. Ia mengabaikan
pertanyaan Maura. "Oke, Rudy," ia terbatuk-batuk. "Kau boleh turun sekarang."
Kesunyian yang dalam menyelimuti ruangan itu. Satu-satunya suara adalah keriat-keriut pipa-pipa di langit-langit itu.
Mulut Seth terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Mata Maura menyipit memandang Nessa.
"Nessa---hentikan tawamu!" suara Maura tercekat.
"Tidakkah kaulihat? Ini lelucon!" teriak Nessa. Ia tertawa sampai air matanya keluar dan mengalir turun di kedua pipinya yang pucat. "Kata Rudy, ia sedang mempersiapkan sesuatu yang sangat istimewa untuk pertemuan malam
"Nessa---tidak---" bisik Maura.
Rudy terayun-ayun di atas karpet, wajahnya ungu tertimpa cahaya neon.
"Ayolah, Rudy!" teriak Nessa. "Kau berhasil menipu kami.
Turunlah sekarang." Ia menoleh kepada Maura dan Seth. "Ini hanya lelucon, guys.
Kalian tidak lihat, ya?"
"Nessa---please. Ini---ini bukan lelucon," kata Maura tergagap.
Seth menelan ludah keras-keras, matanya menatap tubuh yang terayun-ayun itu.
Perut Nessa melilit tegang. "Iya, benar," ia berkeras. "Ini lelucon. Ini pasti lelucon."
Nessa berjalan selangkah mendekati tubuh itu. "Rudy--bagaimana kau dapat membuat wajahmu ungu begitu?" teriaknya.
"Bagaimana kau membuatnya, Rudy? Katakan kepada kami!"
Kemudian ia berbalik kepada kedua temannya yang kelihatan ngeri. "Ini lelucon. Kukatakan kepada kalian---ini lelucon!" ia berkata keras kepala, tiba-tiba suaranya melengking dan penuh keraguan.
Maura tidak menjawab. Ia berjalan sempoyongan mendekati
tubuh itu. Ia memegang lengan Rudy dan menariknya.
Ekspresi di wajah Rudy yang amat ketakutan tidak berubah.
Maura melepaskan lengan itu. Lengan itu jatuh lemas, tidak bernyawa, kembali ke samping tubuh Rudy.
"Ini bukan lelucon," Maura mengulangi dengan pelan seraya mendongak menatap wajah pacarnya yang ungu. "Oh, Rudy,"
ratapnya. "Siapa yang melakukan ini padamu?" Kakinya serasa tak sanggup menyangga tubuhnya, hingga Maura jatuh berlutut perlahan-lahan dan menyembunyikan wajahnya di kedua tangannya.
Nessa merasa kehabisan napas. Jeritannya asing, seperti datang dari suatu tempat di luar dirinya sendiri. "Ia mati!" didengarnya dirinya sendiri menjerit. "Rudy mati! Apa yang terjadi pada kita?"
Lutut Nessa menekuk dan ia terhuyung. Seth menangkap
lengannya. Lalu dipegangnya bahu Nessa erat-erat. Dan Nessa pun larut dalam tangis.
Ruang bawah tanah itu bergema dengan ratapan kepedihan
mereka. Seth menepuk-nepuk punggung Nessa dengan lembut, mencoba menenangkannya.
"Ayo telepon polisi," bisik Maura di antara air matanya. "Kita harus mencari bantuan."
Seth memapah Nessa pelan-pelan ke sofa dan
mendudukkannya. "Di mana pesawat telepon?" tanyanya seraya melihat ke sekeliling ruangan itu dengan cepat.
"Di atas," Maura terisak, masih berlutut di dekat tubuh Rudy.
"Please---cari bantuan."
Seth menyentuh pipi Nessa dengan tangannya. Nessa tidak bisa menghentikan tangisnya. Ia merasakan air mata yang hangat mengalir turun di wajahnya.
"Pejamkan saja matamu dan duduk diam," kata Seth. "Aku akan lari ke atas dan menelepon polisi. Aku akan segera kembali."
Dengan matanya yang kabur oleh air mata, Nessa melihat Seth melangkah cepat menuju tangga, lalu terpaku. Mata Seth terbelalak. Ia berteriak kaget.
"Talia!" Nessa terpaku dingin melihat Talia berjalan sempoyongan
keluar dari bayang-bayang di bawah tangga. Rambutnya yang pirang berantakan dan terjurai di wajahnya.
Talia kelihatan linglung, tidak menyadari keadaan di
sekelilingnya. Matanya tidak terfokus ketika ia berjalan sempoyongan menuju cahaya. Di mulutnya tersungging senyuman hampa dan aneh.
Kedua tangannya terangkat di depan tubuhnya dengan cara
mengerikan, jari-jarinya bengkok seperti cakar.
"Talia!" teriak Seth. "Kami pikir---" Ia tak melanjutkan kalimatnya ketika menatap kedua tangan Talia.
"Tanganmu," ia menahan napas. "Kenapa tanganmu?
Tanganmu merah dan terluka. Apakah itu---melepuh karena tali?"
Bab 20 PERAWAT itu menjulurkan kepala ke dalam ruangan yang
putih dan bersih. "Talia," katanya dengan suara ramah, "ada tamu untukmu."
Talia duduk di ranjang, merapikan bagian depan baju tidur katunnya yang kusut. Ia buru-buru merapikan rambutnya, tapi kemudian membatalkannya.
Untuk apa? pikirnya. Setelah apa yang kulakukan, siapa yang peduli seperti apa rambutku? Kenapa seseorang masih ingin menemuiku?
Ditatapnya kedua tangannya yang diperban dengan pandangan kosong. Ia terus menunduk sampai didengarnya suara itu.
"Talia?" Seth berdiri ragu di depan pintu, matanya menatap Talia dengan lembut. "Ini aku."
Talia tak bisa menahan senyumnya. Ia begitu senang melihat Seth lagi.
Rasanya sudah berbulan-bulan aku berada di rumah sakit ini.
Seth menunggu di depan pintu. Ia kelihatan enggan mendekat.
Talia menepuk kasurnya. "Ke sini dong," katanya menggoda.
"Janji deh, aku tidak akan menggigit."
Seth menyeberangi kamar yang kecil itu, lalu duduk di tepi ranjang dan meraih tangan Talia. Kecuali orangtuanya, Seth adalah tamunya yang pertama. Ia masuk ke St. Elizabeth lima hari yang lalu.
Tempat orang gila, pikir Talia pahit. Rumahnya yang baru.
"Ada apa?" tanya Seth, memaksa tersenyum. "Apakah mereka memperlakukanmu dengan baik?"
"Tidak jelek sih," Jawab Talia sejujurnya. "Mereka memberiku tes-tes. Untuk memastikan apakah aku ini gila. Mereka memaksa aku menatap noda tinta dan mengatakan kepada mereka apa yang kulihat.
Tes semacam itulah."
Seth mengerutkan dahi. "Mereka menanyakan banyak pertanyaan tentang mimpimimpiku dan kejadian-kejadian yang kuingat di masa kecilku," Talia melanjutkan. "Selain itu mereka meninggalkan aku sendirian. Aku membaca, nonton TV, dan tidur siang."
Seth menekan tangannya. Terima kasih kau mau datang, pikir Talia. Terima kasih karena tidak memutuskan aku. Aku membutuhkanmu, Seth. Kaulah satu-satunya sahabat sejati yang masih kumiliki.
Kau tahu aku tidak pernah menyakiti seorang pun.
"Lalu apa lagi?" tanya Seth. Matanya mengawasi ruangan itu.
Fear Street Klub Horor The Thrill Club di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tahu kapan mereka akan memperbolehkanmu keluar dari sini?"
"Mungkin besok," jawab Talia sambil mengangkat bahu. "Akan diadakan pemeriksaan di pengadilan remaja dalam tiga minggu ini.
Sementara itu mereka mengizinkan aku pulang dalam pengawasan orangtuaku."
"Bagus," komentar Seth. "Apa itu artinya mereka berpikir kau tidak bersalah?"
Sama sekali tidak, pikir Talia. Tak seorang pun berpikir aku ini tidak bersalah. Bahkan aku sendiri pun tidak. Tidak dengan semua bukti yang memberatkan aku.
Talia menunduk memandang perban yang membungkus kedua
tangannya. Kedua tangannya yang melepuh. Tangan yang mungkin menarik jerat itu erat-erat di leher Rudy.
Seandainya saja ia bisa mengingat...
Kenapa ingatanku masih gelap? tanyanya pada dirinya. Bahkan para dokter itu pun tidak bisa menjelaskannya.
Ia memandang Seth dan menggelengkan kepala dengan sedih.
"Hanya cara kerja sistem itu," katanya kepada Seth. "Aku tidak bersalah sampai kesalahan itu terbukti. Dan semua hakim kenal ibuku--mereka percaya kepadanya meskipun mereka tidak mempercayai aku. Masalahnya, terkadang aku berpikir akulah yang bersalah."
Seth menggelengkan kepala. "Kau tak boleh berpikir seperti itu," katanya ngotot. "Itu seperti menyerah."
Talia merasa bingung sekali. Setiap kali memikirkan apa yang telah terjadi, kepalanya serasa berputar. Semuanya menunjuk pada kesimpulan bahwa ia seorang pembunuh. Semuanya, tak terkecuali ingatannya sendiri.
Aku tak pernah ingin menyakiti Shandel, katanya kepada
dirinya sendiri. Dan Rudy adalah salah satu orang-orang paling manis yang kukenal. Kenapa aku bahkan bermimpi ingin menyakiti Rudy?
"Sangat mengerikan!" katanya begitu saja. "Aku tak ingat telah membunuh Shandel atau Rudy. Tapi pisau yang berlumuran darah itu ada di laciku. Dan luka karena tali yang masih segar ada di tanganku."
Ia memejamkan mata. Setiap kali memikirkan tangannya, Talia merasa dirinya benar-benar hilang ingatan. Benarkah aku membunuh teman-temanku?
Dengan tanganku sendiri? Apakah aku ini semacam monster yang gila dan jahat?
"Aku---kukira aku melakukannya, Seth. Kukira aku membunuh mereka berdua. Tak ada penjelasan lain. Tapi kenapa? Dan jika aku membunuh mereka, kenapa aku sendiri tidak ingat?"
Sekali lagi Seth memandang ke sekeliling kamar rumah sakit itu. Talia mengikuti arah pandangan matanya. TV di sudut. Jendela di dinding seberang. Kelihatannya ia sedang mencari-cari jalan untuk kabur. Seakan Seth berpikir ia akan menyerangnya sebagai korban berikutnya.
Oh, Seth. Kumohon---jangan takut padaku.
Pandanglah aku, pikirnya.
Kumohon---pandanglah aku.
Tapi Seth tetap memandang ke jendela itu.
"Jangan khawatir," kata Seth dengan suara ragu dan tidak meyakinkan. "Ibumu pengacara jempolan. Dan ia pasti kenal pengacara-pengacara yang lain. Ia akan mencari jalan untuk..."
suaranya melemah. Untuk apa? tuntut Talia dalam hati. Untuk membela agar aku tidak masuk penjara seumur hidup? Membela supaya hidupku tidak berakhir di rumah sakit gila?
Talia menunggu Seth menyelesaikan kalimat. Tetapi Seth hanya melirik arlojinya.
"Oh, tidak," ia mengerang. "Aku tak sadar sudah terlambat. Aku benar-benar harus pergi."
"Secepat ini?" seru Talia. "Tapi, Seth, kau baru saja tiba di sini."
Seth melompat turun dari ranjang. Ia menghindari tatapannya.
"Maaf, Talia. Ini hanya karena aku---aku harus berada di suatu tempat dalam waktu sepuluh menit. Aku harus menemui seseorang."
Suatu tempat? Seseorang? Mengapa begitu misterius? Talia heran. Apa yang disembunyikannya dariku?
"Bagaimanapun juga," kata Seth dengan suara riang yang dibuat-buat, "kau akan segera pulang, iya kan? Aku akan mengunjungimu."
Benar, pikir Talia. Mendadak ia merasakan kesepian yang
hebat. Paling tidak ciumlah aku sebelum pergi, diam-diam ia
memohon pada Seth. Biarkan aku tahu bahwa kau masih
memperhatikan aku. Tapi Seth mengangkat tangan sambil lalu dan melambai untuk mengucapkan selamat tinggal dari pintu. Talia harus menggigit bibir menahan tangisnya.
"Santai saja," kata Seth, lalu menghilang di koridor.
Talia tak pernah merasa begitu dikhianati, begitu sendirian sama sekali. Apa yang akan kulakukan? tanyanya dalam hati. Seth satu-satunya orang yang masih memedulikan aku. Dan sekarang ia bahkan berpikir aku ini pembunuh.
Ia melemparkan penutup ranjang dan meloncat turun.
Kepalanya serasa berputar. Ia menyeberangi ruangan menuju jendela.
Ia memandang ke bawah, ke lapangan parkir rumah sakit itu.
Suatu hari di musim semi yang indah. Awan yang berarak kecil melayang-layang di langit yang cerah. Talia ingin keluar menikmati matahari dan udara segar.
Tapi aku terkurung di sini, pikirnya. Di rumah sakit gila.
Talia memandang ke bawah. Tiba-tiba dilihatnya Seth berjalan cepat-cepat di antara mobil yang berderet-deret di lapangan parkir.
Seorang gadis berambut merah melangkah keluar menyambutnya dari balik station wagon.
Oh, tidak! pikir Talia, menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih jelas. Tidak mungkin!
Maura. Seth dan Maura. Maura dan Seth. Talia menggelengkan kepala, seakan berusaha membuang
pemandangan di bawah jendelanya itu.
Namun ketika ia melihat ke bawah lagi, kedua orang itu masih ada di sana.
Maura dan Seth berdiri berdekatan di tengah-tengah lapangan parkir. Mereka bicara sebentar, lalu Maura merangkul bahu Seth.
Mereka berjalan bersama-sama menuju mobil Seth, berjalan bersama seperti sepasang kekasih.
Sepasang kekasih seperti saat mereka pacaran dulu.
Talia berjalan terhuyung-huyung menjauhi jendela, hatinya terasa sakit oleh pengkhianatan itu. Jadi selama ini Maura menginginkan Seth kembali padanya, pikirnya pahit.
Aku seharusnya tahu. Seharusnya aku tahu Maura
menginginkan Seth kembali.
Kemudian sebuah pikiran mengerikan membuat Talia terempas ke ranjangnya. Seberapa besar Maura menginginkan Seth kembali?
Seberapa besar yang ia inginkan agar aku tidak menghalanginya?
Cukupkah untuk membunuh demi Seth--- dan membuat seolaholah akulah yang melakukan pembunuhan itu?
Bab 21 MALAM itu, lama setelah lewat tengah malam, Talia bersusah payah tetap membuka matanya. Ia ingin menyelesaikan buku yang dibacanya sebelum tidur.
Ia sudah membaca enam buah buku sejak masuk rumah sakit.
Membaca adalah satu-satunya hal yang membuat otaknya waras, satu-satunya kegiatan yang mengingatkan dia akan kehidupan yang pernah ia miliki.
Tiba-tiba huruf-huruf di depannya mengabur dan bercampur dalam pola-pola aneh. Ia mengerjap-ngerjapkan mata sampai huruf-huruf itu akhirnya berhenti berputar.
Nah, pikir Talia. Ini lebih baik.
Ia mendengar langkah-langkah kaki di koridor, lalu mendongak.
Biasanya rumah sakit ini sepi seperti rumah mati di larut malam.
Langkah-langkah kaki itu berhenti di luar pintunya.
Ia mendengar suara bisik-bisik.
Bunyi pintu berderit. Kemudian suara teriakannya sendiri. "Hei---"
Dua remaja melangkah masuk ke kamarnya. Cowok kulit putih dan cewek Amerika-Afrika. Mereka mengenakan baju rumah sakit berwarna putih. Mereka berjalan perlahan sampai berdiri tepat di samping ranjang Talia.
Mereka tersenyum kepadanya. Senyuman aneh dan misterius.
"A---apa yang kalian inginkan?" tanya Talia ngeri. Ditutupnya bukunya dan bangkit dari bantal.
Mereka tidak menjawab. Seringai mereka semakin lebar.
Talia bisa mendengar suara napas mereka yang lebih
menyerupai erangan. "Kalian pasien di sini?" tanya Talia. Ia merasakan rasa takut yang dingin menjalari punggungnya.
Mereka menatapnya, napas mereka berat. Cowok itu terkekeh, tawa kekanak-kanakan yang nyaring.
"Kalian masuk ke kamar yang salah?" tanya Talia.
Cowok itu terkekeh lagi. Si cewek mengulurkan tangan dan menyentuh rambut Talia.
"Please---" gumam Talia. "Bisakah kalian kembali ke kamar kalian sendiri? Apakah kalian perlu bantuan?"
Si cewek mengelus rambut Talia seolah-olah ia seekor anjing.
Awalnya lembut, kemudian semakin keras.
"Hentikan---please!" Talia berkeras, tubuhnya kembali merinding. "Please---"
Cowok itu kembali mengikik. "Ingin main? Ingin main dengan kami?" Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Talia.
"Tidak---" kata Talia.
"Kita bisa mempermainkan rambutmu," kata si cewek dengan suara parau menakutkan. Ia merenggut rambut Talia dan
memegangnya. "Lepaskan!" teriak Talia, berusaha menarik rambutnya.
Si cewek menggenggam rambutnya lebih erat.
"Main dengan rambutnya. Main dengan rambutnya!" si cowok menyanyi. Bahunya berguncang-guncang naik-turun.
"Rambut bagus," kata cewek itu, senyumnya melebar. "Rambut bagus."
"Kumohon---" Talia memohon, penuh ketakutan. "Kumohon---"
Ia menatap mereka. Menatap mata mereka yang liar tak
berkedip. Menatap senyum mereka yang lebar.
Dan tiba-tiba ia mengenali mereka.
Rudy dan Shandel. "Kalian---kalian di sini?" Talia menjerit ketika mereka bergerak menyerangnya.
Bab 22 "PERGI! Pergi dari situ!" sebuah suara serak terdengar.
Talia melihat dua pasang tangan yang kuat menarik Rudy dan Shandel menjauh.
Mereka tidak melawan. Dua perawat laki-laki yang masih muda membimbing mereka ke pintu.
"Arnold, Mayrose, apakah kalian bingung?" salah satu perawat itu bertanya dengan lembut. Apakah kalian masuk ke kamar yang salah?"
Talia merinding. Dadanya masih penuh oleh rasa ngeri. Ia memejamkan mata dan mendengarkan sampai suara-suara itu lenyap di koridor.
Ia masih dapat merasakan cewek itu menjambak rambutnya,
masih dapat melihat senyuman curiga cowok itu.
Arnold? Mayrose? "Ohhhh." Talia mengerang pelan. Mereka bukan Rudy dan Shandel. Tentu saja mereka bukan Rudy dan Shandel. Mereka cuma dua pasien yang masuk ke kamar yang salah.
Talia melingkarkan kedua lengannya di dada, memeluk dirinya sendiri erat-erat.
Apa yang tidak beres pada diriku?
Apa yang tidak beres? *********** Seth menggigit-gigit pensilnya dan mempelajari soal
matematika itu. Ia menulis beberapa nomor dengan cepat di kertas buram, lalu menggelengkan kepala.
Tidak, pikirnya. Pasti salah.
Berpikirlah, ia memaksa dirinya. Konsentrasi dong.
Telepon berdering. Suaranya tajam seperti alarm yang
menyengat. Konsentrasinya pecah seperti pecahan kaca jendela.
Dengan geram ia meraih pesawat itu.
"Halo?" Talia. Menelepon dari rumah. Ia baru keluar dari rumah sakit.
"Seth?" Ia kedengaran marah karena sesuatu. "Kau sedang apa?"
"Sekarang ini?" tanya Seth.
"Ya," jawab Talia. "Menit ini juga."
Seth melirik PR matematikanya dengan sedih. "Tak ada,"
katanya berbohong. "Setidaknya tak ada yang penting."
"Bisakah kau ke sini?" tanya Talia. "Aku perlu sekali bicara denganmu."
"Kau bisa bicara denganku sekarang," jawab Seth.
"Aku perlu bertemu denganmu," Talia ngotot. "Ini penting sekali."
"Oke," kata Seth menghela napas. Kadang Talia bisa begitu menuntut. Terutama akhir-akhir ini. "Kapan aku harus ke sana?"
"Sekarang," jawab Talia. "Secepat mungkin."
Seth mengangguk dengan letih. "Aku segera ke sana."
Tak lama kemudian Seth memarkir mobilnya di depan rumah
Talia dan menaiki anak tangga. Ia memencet bel. Sebaiknya ini benar-benar penting, pikirnya.
Talia membuka pintu tanpa sepatah kata sambutan. Ia
memegang lengan Seth dan membimbingnya masuk ke kamar baca. Ia tampak gelisah. Matanya yang biru berkilat-kilat misterius.
Ia duduk di sofa. Lalu menepuk bantal di sampingnya.
"Duduklah," katanya. "Jangan takut."
Takut? pikir Seth. Apakah aku kelihatan takut? Ia duduk di sofa, meraih tangan Talia.
"Aku tidak pernah takut kepadamu," katanya menghibur. "Aku tahu kau tidak pernah menyakiti siapa pun."
"Barangkali kau satu-satunya yang berpikir begitu," gumam Talia sedih. "Yang lain berpikir aku ini gila. Mereka ingin memenjarakan aku, Seth."
"Itu tidak benar," Seth berbohong. "Kau hanya harus bersabar.
Saat ini semua orang sedih dan marah. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka percaya. Ada seorang pembunuh yang berkeliaran, dan orang-orang ketakutan. Tapi mereka terus mencari. Cepat atau lambat mereka akan tahu kau tidak bersalah."
Talia melompat dari sofa. Rambutnya yang pirang berkilauan di bawah cahaya yang lembut. "Cepat atau lambat?" Ia tertawa dengan suara serak. "Berapa lama? Sebulan? Setahun? Sepuluh tahun? Berapa lama aku harus menunggu?"
"Aku tak tahu," jawab Seth jujur. "Hanya waktu yang akan bicara."
"Well, aku tidak tahan lagi," tukas Talia tajam.
Seth merasa kaget. Sesuatu dalam suara Talia membuatnya
terkejut. Talia tak seperti biasa.
"Apa maksudmu?" tanya Seth.
Talia tidak menjawab. Ia tertawa pelan, lalu berjalan
menyeberangi ruangan dan berlutut di depan sebuah lemari yang menempel di dinding seberang.
Ia membuka pintu bagian bawah, lalu mengulurkan tangannya ke dalam dan mengeluarkan dua benda aneh. Bulat. Kira-kira sebesar kelapa.
Apa yang ia lakukan? tanya Seth dalam hati.
Talia meletakkan benda-benda itu di rak buku dan menoleh kepada Seth.
"Bagaimana?" tanyanya bangga. "Kau suka? Ini pialaku."
Seth menatap kedua benda itu lebih tajam.
Tidak mungkin. Tawa yang parau dan aneh keluar dari kerongkongan Seth. Ia melompat berdiri dan melangkah menuju rak buku itu.
Kemudian ia terpaku. Dua buah kepala manusia sedang menatapnya.
Kulitnya hijau dan berkerut-kerut. Sebagian rambutnya sudah rontok. Tapi Seth segera mengenali mereka.
Shandel dan Rudy. Seth menoleh kepada Talia, mulutnya terbuka membentuk huruf O karena ngerinya.
"Aku menyimpan mereka," jelas Talia seenaknya. "Piala-pialaku."
Sebuah benda perak panjang berkilat-kilat di tangannya.
Gergaji besi! Dari mana ia mendapatkan benda itu?
Seth mengangkat kedua tangannya untuk mempertahankan diri.
Talia bergerak maju dengan kecepatan menakjubkan, membelah udara dengan gergajinya.
"Aku butuh piala lagi," katanya kepada Seth.
Bab 23 "TIDAK!" teriak Talia. Suaranya tegas dan mantap. "Aku tidak mau melakukannya, Seth. Aku sama sekali tidak mau membacakan cerita itu di pertemuan nanti malam."
"Tapi, Talia---" Seth memohon.
"Lupakan," bentak Talia. Air mata merebak di matanya. "Aku tak bisa, Seth. Tidak setelah semua yang terjadi. Aku tak percaya kau memanggil Klub Horor untuk mengadakan pertemuan malam ini tanpa membicarakannya denganku dulu. Kau bahkan tidak
memberitahu mengapa aku harus datang ke rumahmu. Dan sekarang Maura dan Nessa akan segera tiba di sini. Bagaimana mungkin kausuruh aku membaca cerita mengerikan seperti itu kepada mereka?"
Seth tidak mengatakan apa-apa. Ia meletakkan cerita itu di meja ayahnya. "Tak apa," gumamnya lembut. "Kalau tidak mau, kau tidak harus melakukannya. Aku hanya berpikir kau mungkin mau
membacakan sesuatu malam ini. Demi masa lalu. Jadi semua orang tahu kau tidak apa-apa."
Bagaimana ia bisa berpikir seperti itu? Talia heran. Bagaimana ia bisa bermimpi bahwa aku mungkin mau membacakan cerita tentang menyimpan kepala Shandel dan Rudy sebagai pialaku? Cerita yang mengakui bahwa aku ini pembunuh gila?
Kadang-kadang Seth benar-benar tak punya perasaan, tidak masuk akal!
Dan bagaimana jika polisi tahu cerita ini? Bagaimana jika mereka memakainya untuk melawan dia di pengadilan?
Pemeriksaan perkaranya tinggal dua minggu lagi. Cerita itu hanya akan mengkonfirmasikan semua yang dipikirkan orang tentang dirinya. Bahwa ia monster yang tidak punya perasaan dan tidak berperikemanusiaan. Seorang yang membunuh teman-temannya tanpa penyesalan sedikit pun.
Talia menelungkup di sofa, tiba-tiba ia merasa capek sekali.
Bel pintu berdering. Seth menghambur keluar untuk
membukakan pintu. Talia tidak suka tinggal sendirian di kamar belajar ayah Seth. Ia memandang sekeliling ruangan itu dengan perasaan tidak enak. Di dindingnya bergantungan senjata-senjata aneh dari New Guinea--tameng-tameng, pedang-pedang, dan tombak-tombak primitif. Banyak topeng aneh, seperti salah satu topeng yang dipakai Seth ke rumahnya malam itu.
Di kamar inilah Dr. Varner meninggal, Talia ingat dengan ngeri. Mati di mejanya karena sebab-sebab misterius.
Tak lama kemudian Seth kembali bersama Maura dan Nessa
yang bergandengan tangan. Kecuali melihat Maura sekilas dari jendela rumah sakit, Talia tidak pernah melihat seorang pun di antara mereka sejak ia keluar dari St. Elizabeth.
Ia tidak menyalahkan mereka karena menatapnya seperti itu.
Mungkin mereka berpikir apakah ia Talia yang mereka kenal selama ini, atau orang lain sama sekali, seorang pembunuh gila yang berbahaya.
Ini aku, Talia memohon diam-diam. Talia. Sahabat kalian.
Tolong jangan membenciku.
"Hai," sapa Nessa hangat. "Senang sekali bertemu denganmu, Talia."
"Aku juga." Talia tersenyum. Ia ingin memeluk Nessa, tapi ia tidak tahu apakah pelukan itu akan membuat Nessa ketakutan. Ia tetap duduk di sofa. "Senang sekali aku bisa kembali."
Maura melangkah mundur, bersembunyi di belakang Nessa.
Ditarik-tariknya manset bajunya dengan gelisah.
Ia bersembunyi, pikir Talia. Ia malu bertemu aku. Terutama sejak ia melewatkan waktu dengan Seth di balik punggungku.
"Bagaimana keadaanmu di rumah sakit?" tanya Maura. "Apa mereka memperlakukanmu dengan baik?"
"Baik kok," jawab Talia. "Mereka memberiku terapi shock hanya kalau aku tidak mau makan."
Talia berpikir itu lelucon yang cukup bagus---tapi tak seorang pun tertawa.
Benar-benar tegang di sini, Talia tersadar. Sepertinya kami ini orang asing.
"Hei, ayolah, guys!" seru Seth. "Ini bukan pemakaman."
"Kita mengalami terlalu banyak pemakaman akhir-akhir ini,"
Maura mengingatkan sambil menatap lantai. "Aku telah menghadiri cukup banyak pemakaman bulan lalu untuk dilewati selama hidupku."
Nessa menarik sehelai rambutnya yang cokelat di belakang telinga. "Entahlah," katanya muram. "Aku tidak yakin kita harus mengadakan pertemuan ini. Setelah semua yang terjadi, mungkin kita seharusnya membubarkan saja Klub Horor ini."
Maura tidak setuju. "Dulu kita menyukainya. Kita harus berusaha membuat hidup kita senang, kan?"
Talia tidak berkomentar. Ia masih tak dapat menerima
kenyataan bahwa hanya mereka berempat yang hadir. Ia terus memandang pintu masuk, menunggu Shandel dan Rudy datang.
Reuni Klub Horor. Seth bergeser mendekatinya. Ia meletakkan tangannya dengan lembut di pundaknya. "Talia," katanya, cukup keras untuk didengar semua orang, "kenapa kau tidak membacakan ceritamu?"
Talia terbelalak kaget. Sesaat ia tidak mengerti apa yang dikatakan Seth. "Cerita apa?" tanyanya.
Seth memegang seberkas kertas di tangannya. Ia pasti telah mengambilnya dari meja ayahnya ketika ia kembali masuk ke ruangan ini. "Ini," katanya. "Cerita yang kaubacakan untukku sebelum Nessa dan Maura tiba."
Talia merasa terperangkap. Bagaimana mungkin ia mengingkari menulis cerita itu setelah Seth memegangnya seperti itu? Dan bagaimana ia bisa menolak membacanya?
Kenapa Seth melakukan ini padaku? tanya Talia dalam hati.
"Aku tidak menyukainya," katanya sungguh-sungguh, berharap alasan itu akan membebaskannya dari kesulitan.
"Bacakanlah," kata Nessa membesarkan hatinya. "Aku benar-benar rindu cerita-ceritamu. Kau penulis hebat."
Talia berharap ia bisa mengatakan yang sebenarnya kepada mereka. Aku tidak menulis cerita ini, atau cerita terakhir, bahkan cerita sebelumnya. Seth yang melakukannya. Dialah penulis hebat itu, bukan aku.
Tapi jika ia mengakui semua itu, pengakuannya itu akan
membuatnya seperti pembohong---padahal ia membutuhkan
kepercayaan dari teman-temannya sekarang ini.
"Jika kau enggan membacakannya," kata Seth kepadanya, "aku akan senang membacakannya untukmu." Ia menepuk gulungan cerita di atas lututnya itu dengan tidak sabar. "Kupikir cerita ini sungguh-sungguh hebat," katanya kepada Maura dan Nessa. "Salah satu cerita terbaik Talia."
Seth, kumohon, pikir Talia. Kenapa kaulakukan ini? Kenapa kau begitu tidak punya perasaan?
"Kuharap kau mau membacakan cerita itu untuk kami," Maura menambahkan dengan suara manis yang mengejutkan.
Apa yang dapat kulakukan? Talia bertanya dalam hati.
Berpikirlah, katanya. Pasti ada jalan keluarnya.
Dan tiba-tiba, Talia punya ide. Solusi yang sempurna. Ia akan memulai cerita itu seperti yang ditulis Seth, tapi kemudian mengganti akhir ceritanya.
Aku bukannya mengambil kepala Shandel dan Rudy dari
lemari, tapi mengambil kepala yang mengerut dari New Guinea. Itu akan cukup mengerikan, tanpa menyakiti perasaan siapa pun. Seth takkan berani mengeluh.
Oke, pikirnya. Ini dia. Talia mengambil kertas-kertas itu dari tangan Seth,
membersihkan tenggorokannya, dan mulai membacanya dengan suara gemetar dan lembut, "Seth menggigit-gigit pensilnya dan mempelajari soal matematika."
Begitu mulai membaca, perasaan gugupnya hilang. Suaranya sendiri menenangkan dirinya. Kekuatan dari kalimat-kalimat itu.
Ia melihat kejadian itu dalam kepalanya. Seth bermobil ke rumahnya. Duduk di sampingnya di sofa. Mengawasinya ketika ia menunduk dan membuka lemari itu.
"Ia membuka pintu bagian bawah, lalu mengulurkan tangannya ke dalam, dan mengeluarkan dua benda misterius. Bulat. Kira-kira sebesar kelapa."
Talia berhenti untuk mengumpulkan pikirannya. Sekarang aku harus mulai mengarang, katanya dalam hati. Lupakan kata-kata di halaman itu.
Fear Street Klub Horor The Thrill Club di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia memandang pendengarnya sekilas. Maura dan Nessa
memperhatikannya lekat-lekat, gelisah menunggu kalimat berikutnya.
Kemudian ia mengalihkan matanya kepada Seth, dan melihat sesuatu yang aneh. Seth bahkan tidak memperhatikan dirinya! Ia sedang mendengarkan Walkman-nya. Menggerak-gerakkan bibirnya mengikuti musiknya yang didengarnya. Ia tidak sedang mendengarkan kata-kata yang kuucapkan!
Aku bisa mengganti semua ini seperti yang kuinginkan, Talia tersadar. Seth bahkan tidak akan pernah tahu.
Ia terdiam sedetik. Suara mendengung tajam yang amat
mengganggu masuk ke dalam kepalanya.
"Ow!" teriak Talia.
"Ada apa?" tanya Maura.
"Tidak apa-apa," Talia menjawab ragu.
Apa ini? tanyanya dalam hati. Apa ini yang mendengung di kepalaku?
"Teruskan dong," Nessa memohon. "Aku benar-benar penasaran, apa yang terjadi berikutnya?"
Meskipun ia bermaksud membuat akhir cerita versinya sendiri, Talia tetap saja membacakan cerita yang telah dituliskan Seth untuknya.
Ada apa denganku? Talia heran. Kenapa aku tidak bisa
menghentikan diriku sendiri?
Ketika ia membacakan bagian yang menakutkan itu, ia melirik ke arah Seth. Sekarang cowok itu memandangnya sambil tersenyum.
Sebelum ia sadar, ia telah sampai pada akhir cerita yang mengerikan itu. "Talia bergerak maju dengan kecepatan menakjubkan, membelah udara dengan gergajinya. 'Aku butuh piala lagi.'"
Talia merasa gemetar. Ia menurunkan halaman-halaman cerita itu dan memandang sekilas pendengarnya.
Maura dan Nessa balas menatap Talia dengan mata terbelalak, raut wajah mereka kelihatan ngeri.
"Itu cerita yang mengerikan, Talia," Nessa berkomentar.
"Teganya kau membacakannya untuk kami? Maksudku---dua orang di antara kita telah meninggal dan---"
Dengung di kepala Talia menutupi suara Nessa.
Seketika bunyi dengung itu lenyap---dan sebuah suara mulai berbicara di kepalanya.
Suara baru. Suara memerintah yang lembut.
Gergaji itu, kata suara itu. Ambil gergaji itu. Ada di meja.
Talia merasa dirinya sendiri bergerak aneh menyeberangi
ruangan itu. Ia berhenti di meja.
Ia merogoh tas belanja cokelat polos.
Ia menarik keluar sebuah gergaji.
Ia menjalankan ujung-ujung jarinya dengan lembut di atas mata pisau itu.
Bagus, kata suara lembut di kepalanya.
Sekarang ambil piala yang lain.
Bab 24 KEPALA Talia mendengung. Ia bergerak kaku menyeberangi
ruangan sambil mengayun-ayunkan gergaji itu di depannya.
Maura, suara itu memerintah. Pergilah ke Maura.
Dengan tidak berdaya Talia mengikuti perintah itu.
Ia menyeberangi ruangan dan berhenti di depan Maura yang mendongak menatapnya dengan mata hijaunya yang ketakutan.
Talia menurunkan gergaji itu ke leher Maura.
"Hentikan, Talia," teriak Maura. "Ini tidak lucu."
Dari sudut matanya Talia melihat Nessa berdiri dari kursinya.
Awas Nessa, kata suara itu. Jangan biarkan ia menyerangmu.
Dengan patuh Talia berbalik mengancam Nessa dengan
gergajinya. "Duduklah, Nessa," Talia mendengar dirinya berkata dengan suara yang berubah dalam.
"Kalau kau tak ingin menjadi korban berikutnya."
Dengan enggan Nessa kembali duduk. Ia langsung menoleh
kepada Seth. "Lakukan sesuatu!" teriak Nessa. "Ada yang tidak beres dengan Talia!"
Pergi ambil pialamu, perintah suara itu.
Talia menoleh ke Maura yang gemetar ketakutan di kursinya, berusaha melindungi wajah dan lehernya dari gergaji itu.
Ambil pialamu---sekarang! perintah suara itu.
Talia mengangkat gergaji itu tinggi di atas kepalanya.
Maura menjerit dan berusaha menghindar.
Talia menjambak segenggam rambut Maura dengan marahnya.
Ia menebaskan mata pisau itu ke arah leher Maura.
Tapi sebuah tangan menarik lengannya.
Nessa! "Kau gila apa?" jerit Nessa. "Kau sinting?"
Lepaskan dirimu, kata suara itu. Jangan biarkan Nessa
menghentikanmu. Dengan tenaga yang kuat Talia melepaskan dirinya
cengkeraman Nessa. Ia terhuyung ke belakang ke arah meja Dr.
Varner. "Talia---rupanya benar, kaulah pembunuh Shandel dan Rudy!"
ia mendengar Nessa menjerit. Nessa bergerak untuk melindungi Maura dengan tubuhnya. "Kau benar-benar membunuh Shandel dan Rudy!"
Habisi Nessa, kata suara itu. Ia tahu terlalu banyak.
Dengan patuh Talia berjalan menyeberangi ruangan,
menyambar kerah baju Nessa, dan bersiap mengambil pialanya.
Bab 25 TANPA ragu Talia menekan gerigi gerjaji yang tajam itu ke leher Nessa.
Sekarang! perintah suara itu. Sekarang!
Nessa menjerit ketika Talia menebaskan mata pisau itu ke lehernya.
Talia berteriak ketika Maura memukulnya dengan keras,
menangkap pinggang Talia, dan membantingnya.
Talia jatuh ke lantai sambil mengerang keras.
Gergaji itu terlempar dari tangannya. Dilihatnya benda itu bergeser di lantai.
Gergaji itu di bawah meja, kata suara di kepala Talia. Lepaskan dirimu dan ambil gergaji itu.
Ruangan berputar cepat ketika Talia bergulat dengan Maura di lantai. Ia mencekik leher Maura.
Maura menggeliat untuk melepaskan diri dari cengkeraman
Talia dan menyerang balik dengan buasnya.
Di tengah pergulatan Talia menatap ke atas, dilihatnya Seth tidak bergerak dari kursinya.
Kepalanya menunduk. Headphone masih menutupi kedua
telinganya. Suara itu berkata lagi dalam kepala Talia. Ayolah, ejeknya. Kau bisa melakukan lebih baik daripada itu.
Maura berhasil mengatasi Talia. Ia menendang dada Talia
dengan kedua lututnya dan menekan lengan Talia. Talia tak bisa bernapas. Ia berbaring telentang, menatap marah kepada Maura dari balik helai-helai rambut pirangnya yang tergerai.
"Cukup?" tanya Maura sambil terengah-engah dan wajahnya merah padam.
Pura-pura menyerah, kata suara itu.
Talia melakukan seperti yang diperintahkan. Merasa Talia menyerah, Maura mengendurkan pegangannya.
Sekarang! teriak suara itu.
Dengan kecepatan menakjubkan Talia membebaskan salah satu tangannya dan mengulurkan tangan itu untuk menjambak rambut merah Maura. Maura berteriak kesakitan, tapi tidak menyerah.
Ditendangnya pundak Talia Jebih keras dengan kedua lututnya sampai jari-jari Talia melepaskan rambutnya.
"Cukup?" tanya Maura lagi.
SEKARANG! perintah suara itu. LAKUKAN!
Dengan patuh Talia melengkungkan punggungnya, lalu
mengangkat lutut Maura ke udara. Ia meraung seperti binatang, lalu membanting tubuh Maura dengan keras.
Maura berteriak ketika ia kehilangan keseimbangannya dan roboh ke lantai.
Meja itu, kata suara itu. Gergaji itu ada di bawah meja.
Talia membebaskan diri dan merangkak menuju meja itu. Jari-jarinya tinggal beberapa senti dari gergaji ketika Nessa mengempaskan tubuhnya seperti terbang, dan kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Talia.
Maura berjuang membantu Nessa. Bersama-sama kedua gadis
itu menjepit Talia. LAWAN! jerit suara itu. KAU PASTI BISA!
Sekali lagi Talia berjuang hebat untuk melepaskan diri,
menggelepar-gelepar seperti binatang buas yang masuk perangkap.
Tapi Maura dan Nessa memeganginya.
Tubuh Talia menjadi lemas.
Ini buruk, kata suara itu. Aku harus turun tangan sendiri.
Bab 26 TALIA mengerjap-ngerjapkan mata dan memandang
sekelilingnya dengan bingung.
Di mana aku? tanyanya dalam hati. Apa yang terjadi?
"Maura? Nessa? Apa yang kalian lakukan?" tanyanya dengan suara terputus-putus. "Kalian---kalian menyakiti aku. Lepaskan aku!"
"Kau tidak akan menipu kami," teriak Maura terengah-engah.
"Jangan pura-pura, Talia."
"Ow! Lepaskan aku!" Talia memprotes. "Kalian menyakiti lenganku!"
Kedua gadis itu tetap menindihnya di lantai.
Talia sadar ia tak dapat melawan mereka. Ia merasa capek dan kehabisan tenaga.
"Di mana gergaji itu?" tanya Nessa.
"Di bawah meja. Ia tidak bisa mengambilnya," jawab Maura.
"Gergaji?" seru Talia. "Gergaji apa? Apa yang terjadi?
Kumohon---lepaskan aku!"
"Kami tidak akan melepaskanmu---sampai polisi tiba," kata Maura kepadanya. Ia menoleh kepada Nessa. "Aku bisa memegangi dia. Cepat---panggil polisi."
Talia berbaring tak berdaya ketika Nessa berdiri dan buru-buru meraih pesawat telepon.
Ketika Nessa mencapai pesawat telepon, Seth mendadak
tersadar. Ia menarik headphone-nya dan melompat berdiri.
Kemudian ia merampas gagang telepon dari tangan Nessa.
Mulutnya menyunggingkan senyuman kejam.
"Tak seorang pun bisa lolos malam ini," katanya tenang dan dingin. "Tak seorang pun bisa meloloskan diri."
Bab 27 "TAK seorang pun bisa lolos," Seth mengulangi sambil menatap mereka dengan mata berapi-api.
Talia merasa Maura melepaskan lengannya. Ia duduk,
kepalanya menoleh. "Seth?" teriak Talia dengan suara melengking. "Apa katamu?"
Seth tertawa serak. Matanya berkilat-kilat senang. "Talia---kau tidak bisa menebak juga? Ayahku tidak mati. Ia melarikan diri!"
Talia merasa gelombang ketakutan menyapunya.
Apa yang terjadi? Pertama aku bangun di lantai, sekujur
tubuhku sakit. Dan sekarang Seth sama sekali tidak waras!
"Seth, kau bicara seperti orang gila," katanya. "Kumohon--tenanglah. Cobalah untuk tenang."
Seth tidak mendengarkan. "Tak seorang pun bisa lolos," ia bergumam lagi. "Tak seorang pun!"
"Seth, please," Talia memohon. "Kau tidak masuk akal." Talia melihat Maura dan Nessa terpana menatap Seth. Mulut mereka terbuka, wajah mereka kebingungan.
"Ayahku bisa meloloskan diri," ulang Seth mengabaikan permohonan Talia. "Tapi tidak orang lain."
"Ayahmu apa?" tanya Talia.
"Meloloskan diri," jawab Seth tidak sabar. "Ia tidak mati. Ia meninggalkan kami. Ia melarikan diri dari kami."
"Tapi, Seth," teriak Maura bingung. "Kau tahu ayahmu telah meninggal. Kami hadir bersamamu di pemakaman. Ia---ia dikubur di Old Mill Road."
Talia berdiri limbung, matanya menatap Seth.
Seth yang malang, pikirnya. Ia begitu tertekan karena kematian ayahnya. Dan sekarang---ia kehilangan semuanya.
"Jangan bergerak," kata Seth. Ia melangkah melewati sofa dan menarik kaset dari Walkman-nya. Kemudian ia menyeberangi ruangan dan memasukkan kaset itu ke dalam tape deck di meja ayahnya.
Beberapa detik kemudian nyanyian yang aneh memenuhi
ruangan itu. Sekujur tubuh Talia kejang oleh perasaan ngeri.
Ia ingat rekaman itu. Rekaman nyanyian yang diputarkan Seth untuknya malam itu di kamarnya.
Ya. Ia ingat bagaimana nyanyian itu merasuki pikirannya.
Bagaimana nyanyian itu membuatnya merasa begitu aneh, begitu pusing dan lemah. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Seth mengecilkan volume tape itu. "Ayahku benar-benar telah meloloskan diri! Ini bukan rekaman biasa," ia menjelaskan. "Tidakkah kauingat apa yang ditulis di kotaknya, Talia? Ingat label di kotak itu?"
"Ya," jawab Talia. "Ditulis 'rekaman pemindahan'."
"Benar. Ini adalah rekaman pemindahan," jawab Seth sambil terus menatapnya. Sorot matanya yang kosong membuat Talia menggigil.
"Ini adalah rekaman pemindahan pikiran, Talia. Ayahku membawanya pulang dari daerah tempat tinggal suku New Guinea yang sedang dipelajarinya. Jika kau bergabung, jika kau ikut menyanyi mengikuti suara-suara itu, pikiranmu mengapung bebas dari tubuhmu."
Seth terisak sedih. "Ayahku memainkannya dan meloloskan diri ke tubuh orang lain--- dan ia tidak pernah kembali."
Mata Seth terbuka lebar ketika ia melanjutkan, "Pada suatu malam aku menyetel rekaman ini. Aku menyanyi. Aku tahu apa yang bisa dilakukan rekaman ini."
Mata Seth menyipit. Wajahnya berubah menyeringai getir.
"Tahukah kau seberapa dalam sakit hatiku ketika aku tahu, Talia? Kau tahu berapa banyak ayahku telah menyakitiku?"
Talia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia bisa mendengar kepedihan dalam suara Seth. Tapi bagaimana ia bisa menolongnya?
Semuanya begitu membingungkan, begitu aneh.
"Seth," Talia memohon. "Duduklah. Mari kita bicarakan semua ini."
"TIDAK!" Seth menjerit, menghantamkan tinjunya ke meja ayahnya.
Nessa dan Maura berteriak terkejut.
Seth benar-benar hilang ingatan, Talia sadar. Ia bisa melakukan apa saja. Ia bisa membunuh kami semua.
Apa yang akan kami lakukan? Apa?
"Jadi, selamat datang ke pertemuan Klub Horor terakhir," kata Seth pahit.
Ketiga gadis itu berpelukan ketika Seth menarik pisau suku New Guinea yang panjang dari dinding di atas sofa dan berjalan ke arah mereka.
Aku yang ia inginkan, Talia tahu.
Seth mengangkat pisau itu. "Kau tidak peduli kepadaku,"
katanya kepada Talia. "Kauperalat aku, itu saja. PR matematikamu.
Cerita-cerita horormu. Aku melakukan semuanya untukmu.
Semuanya. Tapi kau tidak memperhatikan aku. Hanya apa yang bisa kulakukan untukmu. Aku tahu kau ingin meninggalkan aku.
Meninggalkan aku, persis seperti yang dilakukan ayahku!"
Talia menatap Seth tajam ketika ia sampai di depannya. Please, Seth, ia memohon dalam hati. Kumohon---jangan sakiti aku.
"Seth, itu sama sekali tidak benar," katanya kepada Seth dengan suara gemetar.
Seth menggelengkan kepala dengan tidak sabar. "Aku tahu kau siap mendepak aku demi Rudy, Talia. Tapi aku tidak bisa membiarkan kau melakukan itu. Aku ingin kau membutuhkan aku seperti aku membutuhkanmu. Aku ingin kau bergantung padaku---tidak hanya untuk PR matematikamu yang konyol itu."
Senyuman sedingin es mengembang di wajahnya. "Aku harus mengambil tindakan tegas. Jadi kugunakan rekaman ini. Aku menyanyi. Aku masuk ke kepalamu. Aku merayap masuk ke
pikiranmu. Aku menyuruhmu melakukan semuanya!"
Jantung Talia berdebar-debar di dadanya. "Apa?" bisiknya.
"Kau suruh aku melakukan apa?"
"Aku menyuruhmu membunuh!" Seth berseru gembira.
"Kematian Shandel memberiku ide itu. Sebenarnya waktu itu cuma kecelakaan. Aku memasuki kepalamu. Rencananya untuk menakut-nakuti dia. Tapi kita mengambil pisau yang salah. Shandel yang malang. Kupikir kita mengambil pisau palsu itu. Mengejutkan sekali!"
Seth tertawa buas. "Tapi Rudy---dia yang minta," Seth melanjutkan sambil mengacung-acungkan pisau panjang itu. "Rudy ingin mencurimu dariku, Talia. Ketika aku melihatmu berciuman dengannya hari itu di ruang olahraga, aku tahu Rudy harus mati. Kujelaskan semua itu kepada Rudy waktu ia tercekik dan menggelepar-gelepar, matanya memohon belas kasihan!"
Sekujur tubuh Talia menjadi dingin. Jadi, itulah yang terjadi.
Itulah sebabnya aku tidak bisa mengingat.
Ia ternganga memandang Seth dalam ketakutan dan
ketidakpercayaan. "Kauperalat aku untuk membunuh teman-temanku?"
Seth mengangguk, cahaya dalam matanya sirna sama sekali.
"Benar, Talia. Aku memperalatmu. Persis seperti kau memperalat diriku! Aku mengapung ke dalam pikiranmu. Aku yang mengontrol--dan kau bahkan tidak mengetahuinya!"
Talia tak bisa bicara. Ia hanya menunduk menatap kedua
tangannya, tangan yang telah membunuh Shandel dan Rudy.
Tapi aku tidak melakukannya, ia mengingatkan dirinya sendiri.
Tanganku yang melakukan, tapi aku tidak.
Seth yang melakukannya. Nessa memecah kesunyian itu. "Seth," katanya lembut,
"kumohon---letakkan pisau itu. Jangan melukai orang lagi. Kami teman-temanmu.
"Kau perlu pertolongan," Maura menambahkan, suaranya nyaris berupa bisikan. "Jika kauletakkan pisaumu, kami janji kau akan mendapatkan bantuan. Sungguh."
Seth mengabaikan permohonan mereka. Ia menggapai tape deck dan memperbesar volume suaranya. Nyanyian yang tidak berirama itu memenuhi ruangan.
Seth mulai bernyanyi dengan suara mendengung dan pelan.
Dengan perasaan ngeri dan ketakutan Talia menekan jarijarinya menutupi telinga untuk menghilangkan suara yang
menakutkan itu. "Hentikan!" pintanya. "Please! Apa yang kaulakukan?"
r' "Nyanyian itu---itu akan membunuh kita semua!" Maura menjerit.
Nessa menutup telinganya dan memejamkan mata. "Matikan!
Matikan! Sebelum pikiran kita semuanya melayang pergi!"
"Terlambat---" gumam Seth.
Bab 28 SETH menyanyi sekuat tenaga.
"Tangkap dia!" teriak Talia. "Hentikan dia!"
Maura melangkah maju dan menangkap lengan Seth.
Pisau panjang itu meluncur dari tangan Seth dan melambung ke atas karpet.
Seth menyanyi keras-keras. Kemudian mendadak ia berhenti.
Ia melotot kepada Talia. "Terlambat," ulangnya lagi. "Benar-benar terlambat."
Dilihatnya lutut Seth tertekuk. Talia lari menghampirinya.
Ia dan Maura menurunkan tubuh Seth pelan-pelan ke karpet.
Talia mendekatkan wajahnya ke bibir Seth. Seth tidak bernapas.
Matanya menatap dia. Kosong. Tidak bernyawa.
Tubuhnya terasa hangat, tapi ia tahu, Seth tidak ada lagi di dalam tubuhnya.
"Seth juga meloloskan diri," gumam Talia. "Ia tidak kembali. Ia mati."
*********** Talia merangkai bunga di vas dan meletakkannya di tengah-tengah meja dapur. Ia berhenti sebentar untuk mengagumi hasil rangkaiannya.
"Terima kasih," katanya. "Bunga-bunga ini benar-benar indah.
Tapi kuberitahu saja, ini bukan ulang tahunku."
Maura tersenyum. "Yah, apa lagi yang bisa dirayakan?"
"Bagaimana karena semua tuntutan terhadap diriku dibatalkan?"
usul Talia. "Kupikir pengadilan tidak percaya. Tapi mereka juga tidak bisa membuktikan bahwa aku telah membunuh seseorang."
Maura menggelengkan kepala. "Kau tidak membunuh. Seth yang melakukannya. Tapi mari kita rayakan hari ini karena ini adalah hari Sabtu," katanya datar.
"Oke," Talia sependapat. "Yaaa, Sabtu!" senyumnya lenyap.
"Sulit melupakan semua yang telah terjadi, sulit untuk mengusirnya."
Maura mengangguk sependapat.
"Seth yang malang," kata Talia. "Aku kehilangan dia. Aku sungguh-sungguh kehilangan dia. Aku tahu ini aneh, Maura. Tapi aku selalu memikirkan diri Seth sebelum ayahnya meninggal. Sebelum ia berubah. Ia begitu pandai dan penuh perhatian. Itulah yang kurindukan dalam diri Seth."
Maura mengangguk. "Aku juga kehilangan dia, Talia. Kami sering mengobrol sepanjang malam lewat jendela kamar tidur kami.
Kadang-kadang ia bisa sangat lucu lho."
Ruangan itu menjadi hening. Kedua gadis itu hanyut dalam pikiran masing-masing.
Maura melirik arlojinya sekilas. "Uh-oh. Aku harus pergi.
Telepon aku nanti malam. Mungkin Nessa mau bergabung dengan kita dan kita bertiga bisa nonton film atau melakukan sesuatu."
"Boleh juga," kata Talia. Ia mengantar sahabatnya ke pintu depan.
"Selamat tidak ulang tahun," kata Maura sambil berhenti di beranda depan.
"Selamat berhari Sabtu," jawab Talia. "Trims bunganya. Tahu apa yang akan kulakukan sekarang?"
Fear Street Klub Horor The Thrill Club di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa itu?" Talia tersenyum. "Aku akan menulis cerita horor yang lain."
Wajah Maura menjadi pucat. "Talia," katanya, "apa kau yakin itu ide bagus?"
"Jangan khawatir," jawab Talia. "Akan kupastikan bahwa yang satu ini punya happy ending!" END
Memburu Iblis 4 Dewa Linglung 28 Selubung Awan Hitam Api Di Bukit Menoreh 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama