Girl Talk 17 Pentas Mirip Bintang Bagian 1
F YANG DIOBROLIN KALI INI....
SABRINA : Katie! Dia ngontak kita lho!
KATIE : Siapa?! SABRINA : Siapa lagi kalau bukan si produser acara teve itu,
Raymond Foy! KATIE : Ah, massaa! Apa katanya?
SABRINA : Kita berhasil! Kita lolos seleksi dan akan tampil di
televisi! Hari Sabtu pengambilan gambarnya di Minneapolis.
Sebaiknya kita siapkan kostum dan segala pernak-perniknya.
KATIE : Wow! Kalau si hebat Stacy dengar berita ini, aku
yakin dia pasti ngamuk berat deh.
SABRINA : Iya...ya. Hi...hi.... Aku pengin ngelihat mukanya,
deh! BAGIAN SATU "Ayo, cepat dong. Acara hampir mulai nih!" jeritku panik
sambil berlari ke ruang tamu. Aku tak peduli. Apakah sahabatku
mengikuti atau tidak. Kulirik arloji di pergelanganku, jam 7 lewat 29
menit, satu menit lagi acara favoritku dimulai. Pentas Mirip Bintang.
Dalam acara itu, para peserta tampil dengan kostum dan
menyanyikan lagu dari bintang pujaannya. Peserta terbaik, perorangan
atau kelompok, akan mendapatkan hadiah senilai 5000 dollar! Rick
Stevens, pembawa acara, cukup keren juga lho. Setiap malam
Minggu, aku, Katie Campbell, Allison Cloud dan Randy Zak, selalu
nonton acara itu di teve. Nggak tentu tempatnya. Kadang di rumah
Katie, Randy atau Allison. Kebetulan, malam ini rumahku dapat
giliran. "Tenang azzaa Sabs," ujar Randy sembari membawa
semangkuk besar popcorn. "Semenit lagi kan!"
"Sabs, jadi nggak sih taruhan?" tanya Katie dari belakang
Randy seraya meletakkan gelas di meja.
Sambil senyam-senyum, kulirik Katie dan Randy, "Jelas dong!
Aku pasti bisa tenang nontonnya."
Biasanya, setiap kali nonton acara ini, tanpa kusadari kaki dan
tanganku gatal untuk goyang dan menari mengikuti lagu. Malam ini,
Katie, Randy dan A1 mengajak taruhan. Mereka kayaknya yakin, aku
pasti nggak bisa tenang sampai acara tuntas.
"Kini, kami tampilkan si pembawa acara, Riiick Stevens!"
terdengar suara pembuka. "Ssstt!" Perhatian kupusatkan ke teve, "Udah mulai nih, diam dong."
Kami pun berkumpul di depan teve. Rick Stevens tampil ke atas
panggung denganh senyum khasnya. Rambut pirangnya dibiarkan
tergerai hingga ke bahu. Makin oke saja penampilannya.
"Lihat kulitnya yang kemerahan itu," ujar Randy sambil
melepas sepatu butnya. "Sepanjang musim kulitnya nggak bakalan
luntur. Sudah dari sononya sih, lahir dengan kulit sebagus itu." Randy
duduk sila di atas karpet seperti orang Indian.
"Mungkin dia sering ke salon untuk merawat kulitnya," tebak
Katie nimbrung di sebelah Randy.
Ia tetap saja mengenakan sepatu tenisnya. Bahkan talinya
terikat rapih seperti pita rambut pirangnya yang panjang. Dia memang
cewek paling rapih yang pernah kukenal. Kayaknya sih, sifat itu
warisan Ibunya. Rapih, disiplin dan serba teratur.
Lain dengan Randy yang selalu mencopot sepatunya tiap ada
kesempatan. Dia bilang, sepatu membuatnya terbelenggu. Pikiran
macam itu nggak pernah terlintas di benakku sebelum aku
mengenalnya. Menurut Ibu, jiwanya tergolong bebas tapi bertanggung
jawab. Bagiku, dia orang paling cuek. Kepindahannya dari New York
ke Acorn Falls awal tahun ajaran lalu merupakan perubahan besar
baginya. Pengakuannya, di New York banyak hal yang bisa dilakukan.
Untukku sih oke-oke saja. Nggak masalah. Aku sendiri ngebet banget
ingin ke New York. Kayaknya, Randy sudah kerasan tinggal di Acorn
Falls, walau gaya New York-nya sulit dibuang.
"He-eh, di LA kan banyak salon kecantikan," sahut Allison
sembari duduk di lantai, di sampingku.
Ia cewek paling anggun yang pernah kukenal. Tubuhnya tinggi
semampai, langsing lagi. Gerakannya luwes seperti ballerina.
Pokoknya cantik deh seperti peragawati. Dengan rambut hitam
panjang dan tebal serta wajah Indian yang eksotis, A1 selalu menonjol
dan menggoda setiap orang yang melihatnya. Bahkan Belle, majalah
remaja, pernah memintanya untuk dijadikan cover-nya.
"Nggak peduli sama kulitnya," tukasku, "yang penting doski
keren kan. Lihat, pakaiannya modis banget ya." Rick mengenakan
celana panjang hitam, blus kerah tinggi warna putih dan blazer hitamabu-abu yang berkotak-kotak. Kutarik nafas dalam-dalam saking
kagumnya, "Aku rela tuh mati untuknya."
"Ngawur kau Sabs," ujar Randy sambil menimpukku dengan
bantalan kursi, "dia memang keren tapi aku sih nggak siap mati
untuknya." "Siapa dewan juri malam ini?" tanya Katie penasaran. Acara
Pentas Mirip Bintang selalu menampilkan juri untuk menilai
penampilan peserta. Tiga juri tetap dan satu juri tamu, biasanya tokoh
populer di USA. Minggu lalu, juri tamunya seorang dramawan
terkenal. Rick Stevens mulai memperkenalkan para juri. Juri tetapnya sih
nggak begitu menarik. Itu lagi itu lagi. Kamera lalu diarahkan pada
juri tamu malam ini. "Oui!" pekik Randy, "Stacy Q, drumer cewek pujaanku!"
"Wow!" sambutku.
Sekalipun pengetahuan musikku tak seberapa dibanding Randy,
Stacy Q kukenal juga lho. Ia drumer beken memang. Kariernya pernah
kubaca di majalah. Dimulai sebagai drumer di band sekolah. Nggak
beda dengan Randy, drumer Iron Wombat. Aku memang langganan
beberapa majalah untuk memperluas wawasanku. Randy bilang,
koleksiku jauh lebih banyak dibanding majalah yang disediakan di
ruang tunggu dokter. Bagiku, banyak membaca berarti menambah
wawasan. Apalagi cita-citaku jadi aktris, harus luas kan wawasannya?
"Stacy Q top banget lho," ulang Randy memuji. "Aku pernah
nonton konsernya sewaktu di New York. Sulit dipercaya.
Gebrakannya luar biasa."
"Sssttt, acaranya sudah mulai tuh," tukas Katie sambil
menunjuk teve. Kelompok peserta pertama naik pentas. Lima orang
mengenakan pakaian seperti mumi. Dan yang satu mengenakan
pakaian kulit berwarna merah. Mereka mulai meniru penampilan
Michael Jackson dalam album Thriller. Lumayan.
"Boleh juga tuh kostumnya," cetus Katie begitu selesai.
"Tapi sayang, lagunya sudah basi," komentar Allison, "aku
suka sih lagu-lagu lama tapi...."
"Lagu baru yang nggak ngetop lagi, begitu maksudmu?" tegas
Randy. "Dan cara menirukannya juga nggak terlalu bagus," komentarku
datar. Kelak, aku bercita-cita jadi aktris dan kritis dalam menilai
penampilan seseorang. Bulan lalu ada artikel di Young Chic tentang
Price Richards, aktor pujaanku. Menurut Price, cara terbaik
mempelajari seni peran dengan mengamati segala sesuatu secara
kritis. Biasanya sepulang nonton film atau konser, Price
menyempatkan diri membuat tulisan tentang apa saja yang dilihatnya.
Itulah pegangannya untuk aktingnya di film. Cara belajar seperti itu
bagus sekali, dan mulai sekarang aku harus kritis menilai sesuatu yang
kulihat. Dewan juri nampaknya sependapat dengan kami. Penilaian
dibagi tiga kategori; keaslian, penampilan dan ketepatan menirukan
lagu. Angka tertinggi 10 untuk tiap kategori. Jika nilai keseluruhan 30
berarti sempuma sekali. Rick lalu membacakan hasil penilaian juri,
"Nilai 4 untuk keaslian, 9 untuk penampilan dan enam untuk
ketepatan meniru. Nilai keseluruhan untuk peserta pertama 19! Luar
biasa!" Acara lalu diselingi dengan pemutaran iklan.
"Aku ingin sekali tampil di acara ini," ujarku berharap, "pasti
senang. Penampilanku ditonton banyak orang. Siapa tahu ada pencari
bakat yang melihatku lalu menawarkan kontrak dan mengajakku
meniti karier di New York."
"Ehmm, nggak usah mimpi Sabs," ejek Randy dengan
menjentikkan jari dan cengar-cengir melihatku mengkhayal. "Hebat!
Dalam semenit kau bisa buat rencana masa depan?"
Geli ngedengarnya. Rencana masa depan? Yang bener ah.
Boro-boro bisa. Menyusun rencana pakaian yang akan dikenakan
besok saja amburadul. Aku kan masuk golongan cewek labil.
Kemauanku berubah-ubah cepat. Kata peramal, orang-orang Pisces
selalu ruwet pikirannya. "Ada apa nih anak-anak?" ujar Sam tiba-tiba saat melangkah
masuk ke ruangan. Ia kakak kembarku. Setiap orang mengatakan kami mirip sekali,
tapi menurutku nggak juga sih. Dari segi fisik okelah, tapi yang lainlainnya malah bertolak belakang. Sam bilang, sebetulnya kita bukan
kembar karena lahirnya saja beda 4 menit. Cuma selisih 4 menit saja
gayanya sok kakek-kakek. Terus terang, aku merasa jauh lebih dewasa
daripada dia. "Hei!" sapa Randy dengan mengacungkan tangan. Sam
menyambutnya dengan menepukkan tangannya ke tangan Randy.
"Lagi ngapain sih?" celetuk Nick dari belakang Sam. Jason juga
nampak. Kenapa ya, cowok selalu gerombal-gerombol kalau pergi ke
mana-mana. Aku jarang lihat Sam pergi sendiri.
"Nonton Pentas Mirip Bintang," sahutku, "sudah deh, jangan
banyak cingcong. Sebaiknya duduk tenang."
"APPA?!" tanya Sam pura-pura terperanjat, "Kalian kira kami
ini rese ya? Aku tersinggung nih."
"Hei, aku lapar berat," seru Nick yang duduk di lantai, tepat di
sebelahku, "kau lapar nggak Sabs?"
"Kalau soal makan sih nggak menolak," sahutku. Tadi,
sepulangnya dari sekolah aku, Katie, Randy dan A1 mampir di
Fitzie?s untuk makan es krim. Sejam lalu. Sekarang keroncongan lagi.
Fitzie?s tempat ngeceng paling beken kaum muda Acorn Falls.
"Kita pesan pizza yuk," usul Jason, "kalian punya uang nggak?"
Kulirik Sam penuh arti. Entahlah, bagaimana ia mengatur
pengeluarannya. Yang jelas uang sakunya cepat sekali ludes. Dan
pada siapa ia akan mengutang? Aku tentunya. Buat dia, di situlah
asyiknya punya saudara kembar. Segalanya mesti rata.
Sam merogoh saku celananya lalu mengeluarkan dua
penghapus, pensil yang panjangnya sejempol, permen karet, bola karet
mainan Cinnamon, anjing kami, kemudian pisau lipat dan uang 54
sen. Nggak usah heran, pikirku maklum. Ia paling suka mengejek isi
dompetku yang selalu penuh. Tapi lihat isi sakunya.
"Sabs?" panggil Sam memelas.
Kupaksa untuk wibawa seolah-olah siap memberi petunjuk
tentang cara mengatur pengeluaran. Gagal. Tampangnya agak
memelas sih. Nggak tega jadinya.
"Iya deh...," kuserahkan juga 4 dollar, "masing-masing
nyumbang 2 dollar, ya?"
"Trims sumbanganmu," ucap Sam sambil duduk di sofa, di
antara Katie dan Randy. "Lalu, siapa nih yang pesan?"
"Kau mau enaknya saja sih! Dasar kerbau!" kelakar Jason.
"Kalau aku kerbau, kau jadi anaknya dong!" balas Sam terkikih.
Kadang banyolan cowok-cowok aneh dan kasar. Tapi, di antara
mereka nggak pernah ada yang tersinggung lalu ngambek. Aneh.
Sekalipun punya empat saudara lelaki, aku tetap saja nggak bisa
masuk ke gaya bercanda mereka. Bahkan Ibu, sampai detik ini nggak
pernah bisa memahaminya. "Jason, kau saja deh yang pesan," usul Nick, "kau kan paling
feminin di antara kita-kita."
Jason menimpuk Nick dengan bantal kursi, "He-eh deh. Kalian
mau pizza macam apa?"
Saat itu penayangan iklan selesai.
"Hei acaranya mulai lagi," seruku panik, "tenang dikit dong."
Walau mataku ke teve, kurasakan Jason menatapku menunggu
jawaban. "Pokoknya apa saja deh asal nggak pakai anchovies. Oke?"
"Oke," sahutnya bergegas ke dapur. Tapi tak lama kemudian ia
kembali membawa berita, "20 menit lagi pesanan kita diantar."
"Ssstt...," pinta Sam mendesis.
Peserta berikut tiga cewek dengan pakaian berwarna-warni.
Trio itu meniru dan menyanyikan lagu In Touch yang berjudul Hold
Off. "Boleh juga nih lagunya," komentar Randy sembari
mengeluarkan stik drum dari belakang saku jeans-nya lalu diketukketukkannya ke meja.
"Senang deh lihat mereka berdansa," ujarku, "gerakannya asyik
ya." Aku pun berdiri dan mulai meniru. Melompat lantas berputar di
udara dengan lincahnya. Saat asyik-asyiknya bergoyang, kusadari mata Katie, Randy dan
A1 tertuju padaku. O...aku lupa dengan taruhanku. Ternyata sulit
bagiku untuk tetap tenang selama acara ini.
"Lain kali, kau traktir pizza lagi ya Sabs!" goda Katie terbahakbahak. Aku berhenti bergoyang dan kembali duduk di lantai. Sebel
deh kalah taruhan. "Wah! Penampilan yang luar biasa!" puji Rick setelah grup
kedua selesai. "10 untuk keaslian, 10 untuk penampilan dan 10 lagi
untuk ketepatan menirukan lagu. Nilai keseluruhan 30. Sangat
sempurna. Selamat!" "Hebat, hebat," Randy menganggukkan kepala, "mereka pantas
menang kok." "Aku yakin, peserta lain nggak ada yang bisa nyaingin,"
komentar Katie memuji. Dugaannya benar. Tiga peserta berikutnya sama sekali nggak
memenuhi kriteria ?sempurna?. Di akhir acara, trio yang membawakan
lagu Hold Off itu menerima hadiah uang tunai 5000 dollar!
"Tunggu!" seru Nick ketika Allison hendak mematikan teve.
"Pentas Mirip Bintang akan berkunjung ke pelosok-pelosok Amerika
untuk mencari bakat-bakat baru."
"Seandainya mereka datang ke Acorn Falls...," gumamku penuh
harap, "aku yakin kita pasti kepilih untuk ikut acara itu."
"Apa mau mereka kemari," tegas Randy, "pengumuman itu
cuma omong kosong kok. Aku yakin untuk bisa tampil di acara itu
harus punya koneksi."
Randy mungkin benar. Ia tahu banyak dunia pertelevisian
karena ayahnya bergerak di bidang itu sebagai sutradara film iklan dan
video klip. "Kalian mungkin bisa tampil," komentar Nick sambil mesammesem padaku. Katie bilang, Nick diam-diam menaruh hati padaku.
Aku sih nggak percaya. Gombal. Soalnya sepanjang tahun ajaran lalu,
saat kami duduk di kelas enam, Nick selalu kencan dengan si hebat
Stacy. Stacy sendiri selalu menganggap dirinya cewek pujaan. Dan
sampai sekarang pun, ia menganggap Nick cowoknya meskipun
mereka nggak pernah kencan lagi. Harus kuakui, Nick memang keren
lagi imat-imut. Tapi biar bagaimanapun juga dia sahabat kakakku.
Menurut artikel yang pernah kubaca di majalah, nggak baik menjalin
cinta dengan sahabat kakak kita.
"Ya!" Sam setuju. Dikeluarkan bola karet dari saku celananya
lalu dilemparkannya pada Cinnamon. Anjing itu pun langsung
menggigit. "Aku bisa bayangkan penampilanmu di acara itu Sabs."
"Ouw, yee?!" aku terkejut mendengarnya. Jarang lho Sam
mendukung keinginanku. Kalaupun iya, nggak pernah langsung
macam ini. Sam sering membantuku tapi nggak pernah memujiku di
depan orang seperti ini.
Girl Talk 17 Pentas Mirip Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iyya. Tampangmu kocak sih. He...he...he."
"Biarin!" bentakku keki. "Aktris harus bisa berperan apa saja
kan, termasuk badut."
"Tul!" timpal Jason, "Aktris memang harus bisa memerankan
peran yang berbeda-beda."
"Dan Sabs sudah buktikan kepandaiannya," ujar Nick setuju.
"Ingat nggak waktu tampil pada malam kesenian tempo hari? Sebagai
Frenchie dalam drama musikal Grease, penampilannya paling banyak
dipuji kan?" Kuakui, penampilanku di Grease memang memuaskan.
Aktingku dipuji. Meskipun Sandy, pemeran utama, jatuh ke Stacy
Hansen, justru peranku sebagai peran pembantu yang lebih mencolok.
Kurasa aku berbakat deh jadi pemain drama komedi.
Pizza pesanan pun tiba. Kami menghabiskannya sampai tuntas.
Selesai menyantap pizza, cowok-cowok pergi ke halaman untuk main
basket sementara aku dan sahabatku naik ke kamar tidurku. Yang
paling menyenangkan sebagai satu-satunya cewek dalam keluarga
adalah mempunyai kamar pribadi. Letak kamarku sangat nyaman.
Lantai paling atas, tepat di bawah atap rumah. Selain langit-langitnya
yang unik, kamarku mendapat banyak cahaya matahari di siang hari.
Artistik deh desainnya. "Sabs, kau benar-benar baca semua majalah ini sampai halaman
terakhir?" usik Randy seraya memeriksa tumpukan majalah di sebuah
rak dekat sudut kamarku. "Tentu dong," sahutku, "kau kepikiran nggak, banyak hal yang
bisa kau pelajari dari majalah-majalah ini. Lagian ada kuis dan
permainan seru untuk diikuti."
Randy menghembuskan nafas, "Kuis yang kita isi minggu lalu
sama sekali nggak seru tuh," bantahnya. "Tentang cewek penggoda.
Nggak cocok untukku."
"Ternyata, kau tertarik juga kan untuk membacanya?" sindir
Katie dengan senyum menggoda.
Ia melangkah ke meja riasku dan mulai menyisir rambut. Dari
cermin kulihat matanya dikedipkan padaku. Minggu lalu, kubaca
artikel tentang manfaat menyisir rambut. Katanya, makin sering
menyisir rambut makin baik untuk kesuburan rambut sebab sisir
membantu melancarkan peredaran darah di kepala. Jika peredaran
darah lancar, pertumbuhan rambut pun akan subur. Entah betul atau
tidak. Yang jelas, sejak itu selalu kubawa sisir ke mana pun pergi,
termasuk Randy yang rambutnya pendek.
"Menurut kalian, Arizonna mirip nggak dengan Rick Stevens?"
tanyaku sambil melompat turun dari tempat tidur. Arizonna adalah
cowok baru di sekolah kami. Asalnya dari California. Mendengar
tempat itu, rasanya ingin sekali pergi ke sana dan mampir di
Hollywood. Doski keren juga sih. Apalagi rambut panjangnya yang
tergerai dan pirang. Pokoknya, mirip deh sama Rick Stevens.
"Sedikit sih," sahut Randy sambil bolak-balik halaman Belle
edisi bulan lalu. "Kalau dilihat dari puncak gedung sambil
menyipitkan mata," kelakarnya.
Aku tertawa mendengarnya, "Keterlaluan kau Rand." Kulempar
boneka kecil ke kepalanya.
"Jadi, kapan kau berani mengajak kencan Sabs?" desak Katie.
Aku langsung tersipu dan pura-pura asyik memperhatikan
gelang warna-warni yang dihadiahkan Arizonna padaku sebagai tanda
persahabatan. Memang sih, aku naksir dia, tapi ya...biasa-biasa saja.
"Massaa sih, harus aku yang ngajak kencan!" tukasku meledek,
"Kita kan sahabat. Cinta segitiga dong."
Allison, Randy dan Katie bertukar pandang sembari
mengangkat alis tinggi-tinggi.
"Kenapa sih?" tanyaku heran.
"Ah! Nggak apa-apa," sahut mereka bersamaan.
Kurebahkan punggungku dan kutatap poster Alek Carreon yang
kutempel di langit-langit kamar. Cowok beken itu ganteng sekali.
Aktingnya pun bagus. Andaikan aku bisa main sama dia dalam satu
film, gimana ya rasanya? "Hei, kita isi kuis ini yuk," seru Katie membuyarkan
lamunanku. "Kuis tentang ?menemukan pekerjaan yang sesuai?."
Randy mengeluh, tapi akhirnya ikutan juga kumpul di tempat
tidur untuk mengisi kuis.
"Pramugari!" seru Allison setelah kami mengisi dan selesai
menjumlahkan hasilnya, "Aku cocok jadi pramugari?" A1 nampak
tercengang tak percaya. Randy tertawa melihat ulahnya, "Setidak-tidaknya pramugari
lebih cocok untukmu daripada petugas pemadam kebakaran seperti
aku." "Aku nggak bisa bayangkan," tandas Katie ragu, "nggak
mungkin ah!" "Iyyaa. Yang benar saja. Masa Sabs cocoknya jadi tentara sih?"
timpal Randy seraya menatapku.
Sambil tertawa terkikih-kikih, aku pun melangkah tegap
mengelilingi kamar seperti tentara sedang patroli. "Aku pasti bisa jadi
tentara yang hebat," ujarku kembali duduk, "lagipula warna hijau
tentara kan sedang populer tahun ini. Paling enggak, aku nggak
ketinggalan mode." Semua tertawa mendengarnya.
"Nggak kebayang di benakku, rambutmu dipotong super
pendek ala kopral," lanjut Katie, "kayaknya bukan seleramu ya Sabs."
Kuhela nafas sembari mengelas-elus rambut keritingku yang
tebal serta berwarna kemerahan sambil pura-pura menyesal. "Kurasa
kalian benar. Sebaiknya aku tetap dengan cita-citaku semula yaitu jadi
aktris." "Ya!" seru Randy mendukung, "Tapi omong-omong aku masih
lapar nih. Di rumah ini ada persediaan es krim nggak?"
"No problem. Lupa ya? Sekarang kau ada di rumah keluarga
Wells," sahutku seraya berdiri dengan berkacak pinggang, "tentu saja
kami punya banyak persediaan es krim."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" seru Randy tak sabar. Kami
bertiga mengikutinya turun ke dapur.
************ Malam itu aku jatuh tertidur sambil mengingat-ingat perkataan
Nick, hingga mimpi memenangkan 5000 dollar di acara Pentas Mirip
Bintang. Dalam mimpiku, Rick Stevens mengucapkan selamat
padaku, ?Dan...inilah peserta paling berbakat dalam sejarah
pertelevisian kita, Sabrina Wells!?. Aku pun naik ke pentas, menerima
hadiah dalam pakaian seragam tentara dan sepatu but hitam. Sembari
membalas tepukan tangan, kubungkukkan tubuhku dan membuka topi
untuk memberi hormat. Ternyata, rambutku dicukur plontos! Yah
kadang mimpiku suka aneh. Sangat aneh.
BAGIAN DUA "Hari ini kita akan baca Romeo and Juliet," ujar Bu Staats, guru
bahasa Inggris kami esok paginya di kelas.
"Wah...," bisikku pada Randy yang duduk di belakangku. Aku
senang sekali jika membaca beberapa bagian dari sandiwara itu dalam
pelajaran bahasa Inggris. Latihan yang baik untukku. Dan
Shakespeare, si pengarang, termasuk penulis terkenal. Karya-karyanya
sangat istimewa. Jika aku beken sebagai pemain drama nanti, akan
kumainkan karya-karya Shakespeare di daratan Eropa.
"Kuharap ia memilihmu untuk membacanya," bisik Katie. Ia
sendiri kurang suka membaca keras-keras di kelas. Demikian pula Al.
Minggu lalu, Al sudah dapat giliran membaca sehingga hari ini bebas.
"Sabrina, bagaimana seandainya kau menjadi Juliet hari ini?"
tanya Bu Staats sembari membetulkan letak kacamatanya. Dia salah
satu guru kesayanganku. Gayanya mengajar sangat memukau dan
teatrikal. Beda dengan guru-guru lainnya. Ia memperlakukan muridmuridnya seperti sahabat.
Kubersihkan tenggorokanku. Kira-kira, siapa ya yang akan jadi
Romeonya? Siapa pun orangnya sebetulnya nggak masalah sih. Ini
bukan pertunjukan sungguhan kok, hanya pelajaran di kelas. Tapi
tetap saja aku ingin tampil sebaik mungkin.
"Arizonna, kau bisa jadi Romeonya kan," pinta Bu Staats.
"Katanya cuma teman," goda Randy sambil berbisik.
Mendadak saja wajahku bersemu malu. Darah mengalir
memanasi tubuhku. Aku yakin, pipiku pasti berubah warna menjadi
merah. Mokal deh rasanya. Meskipun keren, Arizonna bukan tipe
Romeo yang kubayangkan. Romantis, tinggi, gagah dan tampan lagi.
Dia penggemar berat olahraga papan luncur. Gaya bicaranya super
cuek. "Tentu saja sebatas teman," sahutku membalas bisikan Randy.
Kami pun secara bergantian mulai membacakan beberapa
bagian seperti Montagues dan Capulets. Aku benar-benar hanyut
dalam cerita ini. Hingga lupa bahwa seisi kelas tengah memelototiku.
Bel tanda akhir pelajaran pun berbunyi. Aku melonjak kaget.
Saat itu baru kusadari bahwa aku tengah berada di sekolah.
"Terima kasih anak-anak, terutama Sabrina dan Arizonna," ujar
Bu Staats sembari mengangkat tangan tanda agar kami tetap duduk di
kursi masing-masing. "Karya Shakespeare ini bagus juga ya," komentar Arizonna
membuat seisi kelas tertawa.
"Ibu senang kau menyukainya," sahut Bu Staats sambil
tersenyum pada kami berdua.
Jarang sekali kulihat guru senyum ramah seperti itu pada
muridnya. "Baiklah, untuk pelajaran berikutnya Ibu minta kalian
mempersiapkan dan membaca Act III," pinta Bu Staats. "Sampai
jumpa." Pelajaran berikut berlalu tanpa terasa. Butuh waktu lama untuk
kembali ke keadaan normal. Di beberapa kelas, aku tetap bicara
dengan gaya bahasa Shakespeare. Menurutku, ini akan membuatku
menjadi aktris yang baik. Sebab, aktris yang baik harus menghayati
perannya secara total. Peran Juliet benar-benar kuhayati kan. Bahkan
sewaktu makan siang pun masih kubayangkan ketampanan Arizonna
sebagai Romeo. "Hallo semua. Ada yang mau es krim nggak?" tanyaku saat
menjumpai sahabatku yang tengah berkerumun di depan loker Allison
usai sekolah, "Selama pelajaran terakhir tadi terus-terusan
kubayangkan semangkuk es krim sundae raksasa di benakku."
"Aku nggak; menolak," sahut Randy, "kita ke Fitzie?s yuk."
Saat kami melangkah menuju Fitzie?s, terlihat segerombolan
orang tengah berkerumun di depan papan pengumuman. "Ada apa
sih?" tanya Allison heran.
"Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya," sahutku sembari
menerobos kerumunan. Untungnya tubuhku kecil.
"Astaga!" teriakku sambil menoleh ke belakang pada
sahabatku, setelah membaca poster yang memberitakan kedatangan
panitia Pentas Mirip Bintang ke Acorn Falls. Wah...wah...wah...tepat
nggak tebakanku, mereka akhirnya datang ke sini!
Aku pun berjingkat mencari sahabat-sahabatku. Mereka masih
berdiri di belakang, tapi yang kulihat hanya Allison. "Katie!" pekikku
panik. "Catat baik-baik ya! Sabtu minggu depan di Patterson High
School jam satu hingga empat siang. Perorangan maupun kelompok
siap diuji untuk mengikuti Pentas Mirip Bintang edisi khusus remaja.
Tak perlu kostum khusus. Lima grup terbaik akan diseleksi untuk
menentukan satu pemenang yang akan diberi kesempatan tampil di
televisi." Selesai membaca pengumuman, aku pun kembali menjumpai
sahabatku. "Sudah kau catat semuanya?" tanyaku pada Katie.
"Sudah Sabs," sahutnya. Kulirik buku catatannya untuk
memastikan apakah semuanya sudah tercatat dengan benar.
"Nah...bakatku akan ditemukan," kelakarku saat kami mencari
tempat duduk kosong. "Perasaanku, kita semua akan ikut terlibat," ujar Randy.
"Maksudmu?" tanyaku penasaran. Tentu saja aku takkan tampil
sendirian. "Menurutku juga begitu Rand," cetus Katie sembari tersipusipu, "kita semua akan mengawali karier sebagai aktris."
Semua tertawa mendengarnya. Sahabat-sahabatku memang
sudah kenal watakku. "Tapi Sabs," sela Katie, "jangan terlalu berharap deh. Aku
yakin saingan kita akan banyak sekali."
"Pasti," sahutku. Katie memang sangat rasional. Beda dengan
aku yang terlalu berperasaan. Tapi, justru karena perbedaan itu kami
jadi saling melengkapi. Menurutku, ada baiknya kita berharap dan
optimis, namun harus realistis juga. Saingan pasti akan banyak sekali.
"Peluang kita sama besar dengan mereka kan?" lanjutku, "Dan,
pemenangnya pasti ada."
Katie setuju. Soalnya, pendapatku cukup masuk akal juga sih.
"Lagu apa ya yang akan kita bawakan?" tanya Allison mencaricari, "Tentunya kita perlu latihan kan?
"Yang benar saja...," kudengar sebuah suara nyeletuk keras
menyela percakapan kami, "kalian juga mau ikutan seleksi Pentas
Mirip Bintang?" Kubalikkan tubuhku dan kulihat Stacy Hansen berjalan ke arah
kami diiringi sahabat-sahabatnya, Eva Malone, Laurel Spencer dan
B.Z. Lattimer. "Kamu tahu nggak untuk tampil di teve di samping
punya bakat tampang pun harus oke?" ujar Stacy angkuh seraya
mengibaskan rambut pirangnya yangkeemasan.
"Ouw yeah!? Kalau begitu kalian nggak usah repot-repot ikutan
dong?" tukas Randy ketus.
Kami berempat terkikih-kikih mendengarnya. Kelompok kami
nggak pernah bisa akur dengan kelompok Stacy. Dan kami tak pernah
menyembunyikan ketidakcocokan itu. Mungkin karena itu kebencian
Stacy makin memuncak. Ia ingin kami memujanya seperti anak-anak
yang lain. "Lucu sekali Rowena," ketus Stacy dengan menyebut nama asli
Randy secara sengaja untuk memancing kemarahannya. Randy tak
suka dipanggil dengan nama itu, "Yang jelas, kami bukan saja akan
ikut seleksi, tapi akan keluar sebagai pemenang. Dan begitu Rick
Stevens melihatku, ia pasti memintaku untuk tampil di acaranya!"
"Ah, massaa!?" tukasku tenang. Seperti biasa, Stacy selalu tahu
cara membangkitkan amarahku. "Kami yakin, kamilah yang akan
menang meskipun seleksi itu diadakan besok."
"Jangan mimpi deh Sabs," ketus Eva, "pada malam pertunjukan
nanti kau duduk saja dengan tenang di rumah menyaksikan
penampilan kami di televisi ya."
Stacy dan geng-nya tertawa terbahak-bahak.
"Yah...tentu senang dong lihat kalian mempermalukan diri
sendiri di acara yang disiarkan secara nasional itu," balas Randy
melecehkan sembari cengar-cengir, "bahkan bila perlu kita rekam di
video kaset untuk kenang-kenangan."
"Sudah-sudah." Stacy mengajak konco-konconya pergi.
"Jangan didengerin. Mereka iri pada kita." Ia pun berbalik dan hampir
bertubrukan dengan Arizonna.
"Hei Stacy, kok buru-buru? Ada kebakaran?" sapa Arizonna
sambil memegang lengan Stacy.
"Oh, kau Zone," sambut Stacy dengan suara dibuat semanis
mungkin. Memuakkan. Gigiku jadi sakit mendengar suaranya. Sejak
Arizonna pindah ke Acorn Falls, Stacy langsung tergila-gila padanya.
Kutatap sahabat-sahabatku sambil mengedipkan mata penuh arti.
Asyik juga melihat gaya Stacy merayu cowok. Suatu saat, aku pun
bisa meniru gayanya jika mendapat peran sebagai gadis congkak di
film. "Kita baru saja memberitahukan Sabrina dan sahabatnya bahwa
kita akan ikutan seleksi Pentas Mirip Bintang. Sekarang kami harus
segera pergi untuk dan mempersiapkan latihan."
Girl Talk 17 Pentas Mirip Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wow!" ujar Arizonna datar seraya mendorong dan duduk di
sampingku, "Kayaknya kalian juga perlu latihan deh."
Wajah Stacy langsung pucat mendengar sindiran Arizonna.
Mulutnya membuka lalu menutup lagi seperti ingin mengucapkan
sesuatu tapi nggak mampu mengeluarkan suara. Persis ikan mas koki.
Aku nggak tahan melihatnya dan akhirnya tawa kami pun meledak.
Kontan, Stacy berlalu meninggalkan Fitzie?s. Ketiga sekutunya
tergesa-gesa memburu. Tak ada yang lebih menyenangkan selain
melihat Stacy dongkol dan keki seperti itu.
"Kau benar, mereka memang perlu banyak latihan," ujar Randy
pada Arizonna setelah tawa terhenti. Arizonna tentu saja tak
bermaksud menyindir Stacy karena memang belum tahu duduk
perkaranya. Memang, jarang ada cowok yang menyadari betapa
palsunya sikap Stacy. Entah mengapa. Malah sebagian anak-anak
cowok menganggap Stacy itu imut-imut dan manis.
"Yang kau katakan barusan kocak sekali Zone," timpal Katie.
"Katie...jangan diteruskan lagi ah," tukasku menahan tawa yang
hampir meledak. "Mungkin sebaiknya kau ikut seleksi Zone," ujar Randy.
"Ah, nggak," tolak Arizonna sembari menyendok es krimku dan
menyuapnya, "Kalian sudah memilih lagu yang akan dibawakan?"
Kami berempat menggeleng. Menurutku, untuk memilih lagu
dibutuhkan waktu lama sebab selera musik kami beda-beda. Buktinya
setiap kali pergi ke tempat sewa video, kami membutuhkan waktu
berjam-jam untuk memutuskan film jenis apa yang akan dipinjam.
Randy suka film horor dan aku tentang petualangan remaja,
sedangkan A1 menyukai film-film aneh atau klasik. Untungnya Katie
nggak cerewet. Baginya, film jenis apa pun tetap saja sebuah film.
Jadi buat apa diributkan? Sama toh. Sama-sama dibuat, bukan
sungguhan. "Mungkin bisa kubantu," usul Arizonna.
"Maksudmu, kau akan pilihkan lagu yang pas buat kami?"
tanyaku sedikit bingung. "Bukan. Aku bisa jadi semacam...sutradara!" tegas Arizonna
sambil menyibakkan rambut yang menutupi keningnya. Rambut
pirangnya yang tergerai jauh lebih menarik dibanding rambut Stacy.
"Pasti menyenangkan sekali jadi orang di belakang layar."
"Kau akan mengatur penampilan kami, begitu?" tanyaku lagi.
"He-eh. Gimana? Oke kan?" jawabnya sambil bangkit.
"Ya...aku sih setuju sekali," sahut Randy, "kalian sendiri?"
"Kedengarannya boleh juga," sahut Katie setuju seraya
menyeruput milk shake rasa coklat. "Kayaknya memang perlu
bantuan." "Ide yang bagus," timpal Al.
"Nah, semuanya setuju kan?" seru Arizonna senang, "Cabut
dulu ah. Sampai ketemu lagi!"
"Daahh," aku melambai, "nah, kapan kita mulai latihan?"
tanyaku pada sahabatku, "Waktu kita sempit lho."
"Gimana kalau kita kumpul lagi sehabis makan malam?" usul
Katie, "Ibuku pasti nggak keberatan asal sudah kuselesaikan pekerjaan
rumahku." "Aku juga harus minta ijin orang tuaku," ujar Al, "mereka pasti
mengijinkannya." "Kalau ngumpulnya di rumahku?" usul Randy. "Kujamin,
nggak banyak gangguan deh." Randy tinggal berdua dengan Ibunya di
sebuah gudang tua yang direnovasi menjadi rumah. Sungguh unik
pembagian ruangannya. Ia anak tunggal sehingga tak ada yang
mengganggunya di rumah. Rumah Randy merupakan tempat yang
tepat untuk berkonsentrasi. Seorang aktris kan butuh konsentrasi
banyak, iya nggak? "Sebaiknya aku cabut sekarang ya," Randy melompat turun dari
kursinya. "Ada apa sih buru-buru amat?" tanyaku.
"Soalnya, harus segera kuselesaikan pekerjaan rumahku supaya
kita bisa latihan nanti malam," jawab Randy, "sampai ketemu nanti
malam, jangan keasyikan ngebayangin pacaran dengan Romeo-mu
dong Sabs. Ingat, nanti malam ada janji dengan kami bukan dengan
Arizonna ya," kelakarnya sebelum berlalu.
BAGIAN TIGA "Sabs!" seru Randy begitu membuka pintu rumahnya. "Coba
lihat ini...."teenlitlawas.blogspot.com
Aku melangkah masuk ke ruang tamu. Katie dan A1 ternyata
sudah hadir dan duduk di sofa. "Apa tuh? Kamera video, ya?" tanyaku
sambil memperhatikan sebuah kamera yang dipasang di atas tripod.
"Yap!" sahut Randy dengan senyum lebar. "Dikirimkan D dari
New York. Baru kuterima sepulangnya dari sekolah tadi."
Randy memanggil Ayahnya dengan sebutan ?D? dan ?M? untuk
Ibunya. Mungkin memang begitu kebiasaan orang New York.
Soalnya, Ibu Randy pun melarang kami memanggilnya Bu Zak. Ia
lebih suka dipanggil Olivia, namanya. Hal itu kadang membuat kami
risih, terutama Katie dan Allison. Aku sendiri menyukai hal ini,
memanggil Ibu sahabatku dengan namanya tanpa embal-embel segala.
Unik rasanya. Olivia seorang seniman. Belum lama ia mengadakan
pameran di Minneapolis. Menurut pendapatku, Randy mewarisi
sebagian besar bakat seni Ibunya. Belakangan ini ia sedang tergila-gila
dengan fotografi. Ke mana-mana selalu menenteng kamera dan setiap
ada kesempatan selalu mengabadikan gambarku, A1 dan Katie. Harus
kuakui, senang juga sih berpose di depan kamera. Sebagai calon aktris
diperlukan banyak foto kan. Biasanya koleksi foto seorang aktris
disebut portfolio. Suatu saat aku pasti membutuhkan portfolio itu
dalam karierku. Minggu lalu, Randy mengatakan kalau ia ingin mencoba belajar
menggunakan kamera video. Ia pasti sudah mengemukakan
keinginannya itu pada Ayahnya. Karena itu, Ayahnya lantas
mengirimkan sebuah kamera video untuknya. Sebagai sutradara, tak
sulit bagi Ayah Randy untuk membelikan kamera bagi anaknya.
"Kebetulan sekali kan!" seru Randy, "Kini, kita bisa
merekamnya sendiri lalu menontonnya. Sepertinya sudah diatur untuk
menyukseskan penampilan kita dalam seleksi Pentas Mirip Bintang
itu." "Sekarang yang kita butuhkan adalah sebuah lagu," tukas Katie.
"Dan latihan teratur," timpal Allison.
"Segalanya harus terencana secara rinci..." gumamku sambil
mengayun-ayunkan tangan di udara mencari ilham. Aku harus segera
mendapatkan ide. Perasaanku, bakat yang selama ini terpendam akan
terungkap dan diketahui orang, meskipun belum dapat kujelaskan.
Entahlah, perasaanku mengatakannya begitu. Ramalan bintangku
beberapa hari lalu mengatakan akan terjadi sesuatu yang penting dan
menentukan masa depanku dalam waktu dekat ini. Soal seleksi
inikah? Batinku bilang begitu.
"Nah...lagu apa yang akan kita pilih?" tanya Randy sembari
duduk di sofa. "Sidestep punya lagu baru berjudul Stepping to the Beat.
Lumayan bagus tuh," usul Katie.
"Ya! Iramanya ceria," sahutku. Aku pun lantas mulai berdansa
sambil mendendangkan beberapa bait lagu yang dimaksud Katie tadi.
"Melangkah mengikuti irama...yeah...yeah...kami melangkah
mengikuti irama...."
"Kok seperti lagu pop sih?" tanya Randy sambil mengerutkan
hidungnya sedikit. "Memang. Tapi asyik kan?" cetus Al, "Lagu pop punya nilai
tambah tersendiri karena banyak dikenal orang."
"APPAA?!" tanyaku kurang paham dengan perkataan Al.
"Lagu itu sudah akrab di telinga masyarakat. Nggak asing lagi.
Gittuu lho mangsutnya...," jelas Katie mencoba bergurau.
"Tapi ada juga kelemahannya," bantah Randy. "Maksudku,
dalam penilaian nanti ada kategori keaslian. Jika terlalu banyak orang
tahu tentang lagu itu berarti sudah nggak asli lagi dong...."
"Kau benar," kusetujui pendapat Randy, "sebaiknya kita nggak
usah membawakan lagu yang sudah beken deh. Lebih baik pilih lagu
yang jarang didengar dan nggak dikenal."
"Gimana kalau Kick It dari Posse?" usul Randy.
"The Posse!" seruku, "Itu kan grup rap?"
"Bukan sekedar grup rap Sabs," celetuk Randy, "mereka grup
rap paling terkenal sepanjang sejarah. Sampai detik ini mereka satusatunya grup rap cewek paling beken."
"Kira-kira, bisa nggak ya aku ngikutin gerak-gerik mereka?"
Katie ragu. Lega rasanya mendengar komentar Katie. Aku sendiri
ragu, apakah bisa tampil menyamai mereka. Tak berani kuungkapkan
hal ini di depan sahabatku. Beruntung Katie mewakiliku
mengungkapkan kekhawatiran kami.
"Kalau The Secret of Life dari Lisa Durhan?" usul Allison,
"Lagu itu dibawakan secara grup. Jadi tiap orang dapat giliran
menampilkan kebolehannya di pentas nanti."
"Lagu itu memang bagus tapi kedengarannya agak cengeng
tuh," komentarku tak puas. Ternyata proses pemilihan lagu berjalan
lebih rumit dari yang kuperkirakan. Perutku mulai keroncongan dan
nggak bisa diajak kompromi. Maklum, di rumah tadi aku nggak
bersemangat untuk makan karena memikirkan rencana pertemuan
malam ini. "Sebaiknya kita istirahat dulu yuk dan buat popcorn," usulku
tak sabar, "perut kenyang membuat pikiran jadi terang kan."
Randy mencibir, "Kau keterlaluan deh Sabs," gumamnya
sambil melangkah menuju dapur.
Setiap ruangan rumah Randy tidak dibatasi dinding kecuali
kamar mandi. Bahkan untuk membatasi kamar tidur Olivia dari
ruangan lain hanya digunakan penyekat ruangan tradisional Cina.
Kamar Randy terletak di bagian atas. Aku kagum dengan cara mereka
mengatur gudang besar ini menjadi sebuah rumah. "Kalian mau
bantuin nggak?" tanya Randy.
Kami lantas mengikuti Randy ke dapur.
"Kira-kira Rick Stevens doyan popcorn nggak ya?" tanya
Allison saat mencairkan mentega.
"Tentu saja," angguk Katie, "tapi mungkin ia tidak
menambahkan mentega ke popcorn-nya. Kayaknya, Rick tipe cowok
yang gemar diet deh. Makannya pilah-pilih. Lihat saja body-nya. Pasti
ia melakukan olahraga supaya penampilannya tetap oke." Pokoknya,
urusan membentuk tubuh Katie jagonya. Maklum, ia bisa digolongkan
sebagai olahragawati. Tahun lalu, ia bergabung di tim hoki putra
sekolah. Banyak orang tercengang melihat keikutsertaannya karena ia
satu-satunya cewek yang mencalonkan diri. Sebelumnya ia tergabung
dalam cheerleader, barisan pembawa bendera dan kegiatan lain yang
kedengarannya feminin. Tapi nyatanya, ia malah jadi pemain terbaik
dan mencetak gol kemenangan untuk tim di pertandingan besar musim
dingin lalu. "Ya. Mungkin ia hanya makan sayuran dan air mineral saja,"
timpalku. Sepengetahuanku, para aktor senantiasa minum air putih
bahkan saat pesta sekalipun untuk menjaga kondisi tubuh. Minum air
putih itu sehat lho. Aku pernah mencoba air mineral. Bagiku aneh
rasanya. Nggak seperti air biasa. Aku berusaha membiasakan diri agar
terbiasa dan menyukainya.
Kami bawa semangkuk popcorn ke ruang tamu dan kembali
mendiskusikan soal lagu. Tiba-tiba saja kudapatkan ide yang pasti
akan disetujui sahabatku. "Gimana kalau lagu dari The Connection
yang berjudul Bounce Right Back?" usulku.
"Aku juga suka lagu itu," cetus Randy setuju, "lagu itu ada rapnya kan?"
"Ya...setiap orang punya kesempatan menampilkan suaranya,"
lanjutku, "lagu itu gabungan antara rap, pop dan rock. Liriknya tertulis
di sampul kaset. " "Kedengarannya mantap punya tuh," Katie setuju sambil
meraup popcorn dengan tangannya.
"Gimana pendapatmu Al?" tanyaku seraya menolehkan kepala
ke arahnya. Allison mengangguk. "Aku setuju banget," sahutnya.
"Hmm...akhirnya selesai juga," ujarku lega dan puas. Aku
merasa lega setelah melampaui tahap pemilihan lagu yang cukup sulit
ini. Selanjutnya tinggal latihan dan persiapan.
"Gimana dengan kostumnya?" tanya Randy.
"Nggak perlu dipikirkan sekarang," kilah Allison, "lagian
dalam acara seleksi nanti kan nggak perlu kostum-kostum segala?"
"Iyya sih. Tapi jika sudah tahu apa yang akan kita kenakan,
pasti lebih mudah untuk rencanain gerakan apa yang akan kita
tampilkan nanti," tukas Katie.
"Kau benar Katie," sambungku, "lagipula kostum juga perlu
untuk lebih menghayati lagu yang akan dibawakan. Kita harus
pikirkan kostum sejak awal." Mungkin harus mengenakan pakaian
yang agak mewah. Soalnya kita bakalan tampil di teve kan? Aku
nggak mau kita kelihatan kampungan seperti anak-anak singkong.
Dewasa dan profesional sedikit dong.
"Kita bisa pakai kostum seperti bola warna-warni yang mentalmental di panggung," usul Katie penuh semangat.
Aku tercengang mendengarnya. Beberapa kali mulutku
membuka dan menutup tanpa sepatah kata pun keluar. Nggak
terbayang deh. Penampilan perdanaku yang akan menentukan karierku
di teve mengenakan kostum usulan Katie? Hmm... aku pun tersadar
Katie sekedar berkelakar. Tenang saja nggak usah panik Sabs,
batinku. "Kostum yang bagus," celetuk Al setuju, "pasti menarik."
Lagi-lagi mulutku ternganga saking tercengang. Allison setuju
dengan kostum itu? Ah masa sih!? Bisa jadi Randy nggak bakalan
setuju. "Aku jadi bola hitamnya deh," ujar Randy memilih, "seperti
bola bilyar, kan ada warna hitamnya tuh."
Randy pingin kostum bola warna hitam? Yang bener saja! Aku
nggak percaya dengan apa yang barusan kudengar!
"Sabs, kenapa sih kamu?" tanya Allison sambil mendekatkan
diri padaku, "Kelihatannya kamu nggak setuju ya?"
"Aku?! Emm...," sulit bagiku mengungkapkan
ketidaksetujuanku atas usulan Katie yang didukung Randy dan Al.
Mereka nampaknya bersemangat dengan gagasan kostum bola dan itu
dilakukan demi aku. Kutarik nafas dalam-dalam. Aku tak ingin
mereka kecewa dan patah semangat. Jika kostum bola karet yang
dipilih, yaaa... apa boleh buat. Lagipula sebagai calon aktris harus bisa
tampil walau dalam kostum apa pun. Aku pernah baca tentang Peggy
Lane, pembawa acara teve paling beken saat ini, yang memulai
kariernya sebagai model iklan pasta gigi. Ia harus berperan dan
memakai kostum sikat gigi.
"Okay," sahutku sebelum berubah pikiran, "akan kutunjukkan
kemampuanku berakting," ujarku mencoba berkelakar.
Kutengadahkan kepalaku seperti aktris yang angkuh.
"Aku punya album The Connection di kamar," cetus Randy,
"kita putar yuk sambil menghapal liriknya." Randy segera beranjak ke
kamarnya dan sayup-sayup terdengar lagu mengalun, lalu ia pun
kembali ke ruang tamu membawa kaset yang dimaksud.
Ia melangkah ke stereo set di samping televisi dan memasang
kaset The Connection. Liriknya di awal lagu agak sulit ditangkap
telinga, tapi refrainnya cukup jelas.
"Kami akan melompat, mental, mental ke arahmu...," aku mulai
mengikuti refrainnya. "Ke mana pun kau pergi, apa pun yang kau lakukan, kami akan
melompat, mental ke arahmu...," sambung Randy.
"Kau takkan mampu menghindari kami, tentu saja," tukas
Girl Talk 17 Pentas Mirip Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Allison menyambung Randy.
"Karena itu ikutlah bersama kami, bergoyang mengikuti irama,"
timpal Katie menyelesaikan refrainnya dengan mulus.
"Wah...lumayan juga ya...," seruku senang. ?Yuk, kita ulang
sekali lagi." Tiba-tiba bel pintu berbunyi.
"Uno momento..." sahut Randy dalam bahasa Itali yang artinya
?tunggu sebentar?. Ia pun membuka pintu dan segerombolan cowok
menyerbu masuk. Billy Dixon, Nick, Jason, Arizonna dan kakakku
Sam. "Hallo," sapa Billy sambil melangkah dan menghempaskan diri
di sofa. Diraupnya popcorn, lalu dilahapnya. Beberapa bulan lalu,
Allison pernah menjadi guru pembimbing Billy. Selama ini Billy
dikenal sebagai anak bandel dan menjengkelkan. Nyatanya sih nggak
seburuk itu. Malah agak pemalu dan cenderung tertutup. Kini, Billy
bersahabat dengan Sam dan teman-temannya, terutama Arizonna.
Persahabatan antara Billy dengan Arizonna nampak agak aneh, dan
justru dengan keanehan masing-masing mereka saling mengisi.
Seperti halnya aku dan Katie.
"Gimana latihannya?" tanya Arizonna sembari melangkah
mendekati kamera video. "Wah...hebat punya nih ye!"
"Ya...," Sam setuju dan mengikuti langkahnya.
"Kita sudah menentukan lagu," laporku gembira, "judulnya
Bounce Right Back dari The Connection."
"Lagu yang bagus," ujar Nick setuju, "aku suka tuh bagian rapnya."
"Apa kalian juga harus membongkar lemari pakaian Ibu
masing-masing untuk mencari kostum yang pas?" sindir Sam. Tetapi
di balik olok-oloknya itu, aku tahu sebetulnya Sam sangat
mendukungku. "Katie punya usulan kostum yang agak lain," sahutku. Aku
belum yakin seratus persen dengan ide kostum Katie, tapi telah
kuputuskan untuk menyetujuinya seperti halnya A1 dan Randy.
"Kita akan memakai kostum seperti bola karet raksasa yang
berwarna-warni," seru Katie bangga, "cocok kan dengan lagunya?
Mental ke kanan mental ke kiri."
"Kami akan terpental-pental di pentas!" jelas Randy sambil
memberitahukan penggunaan kamera pada Arizonna.
"Empat bola karet raksasa yang mental ke sana-sini
kedengarannya agak...konyol," komentar Sam, "dan justru kekonyolan
itulah yang membuat kalian terlihat menonjol dan terpilih sebagai
pemenang." "Gagasan hebat, gimana menurutmu BD?" tanya Zone pada
Billy. "Yaa...," sahut Billy seraya senyam-senyum malu ke Allison.
Aku yakin Billy naksir berat sama Allison.
"Jenis tarian macam apa yang akan kalian suguhkan?" usik
Jason, "Tentu harus direncanakan dan latihan serius dong?"
Aku mengangguk. Apa ya yang akan ditampilkan? Otakku
pusing tujuh keliling. Kami hanya bertukar pan dang lalu mengangkat bahu saking
bingung. Tak seorang pun di antara kami memikirkan koreografi.
"Kalau kostum kalian seperti bola karet," tukas Arizonna,
"gerakannya harus mirip bola karet dong."
"Pakai metal, eh mental," sahut Allison terpeleset bingung.
"Mental-mental?" seruku ikutan kaget, "Maksudmu?"
"Ya...seperti dansa gaya slam," jelas Arizonna sambil
mencontohkan gaya yang dimaksud. Tubuhnya mental menabrak
Allison dan aku. "Ngerti nggak sih?! Mental dan tabrak-tubruk satu
sama lain." "Mungkin kita perlu tes dulu," usul Katie ragu.
Sekarang aku menjadi semakin ragu. Dansa gaya slam dan
kostum bola karet raksasa? Mulanya, kubayangkan penampilan yang
sangat berbeda. Misalnya, pakaian mewah dan dansa yang agak
dewasa sedikit. "Direkam saja supaya tahu seperti apa penampilan kita
sebenarnya," desak Randy, "sekaligus tahu kelemahan dan cara
memperbaikinya." "Gimana sih gunainnya?" tanyaku seraya menghampiri kamera,
"Oh...aku tahu. Ini seperti kamera foto. Ada lubang pengintipnya.
Katie, coba kau dansa untukku," aku pun mulai mengarahkan kamera
ke Katie dan Arizonna sambil menekan tombol on.
Katie berdiri malu-malu kucing di depan kamera. Di antara
kami berempat, ia memang paling enggan disorot kamera. Sebaliknya
Sam malah langsung melompat ke depan kamera.
"Ikuti gerakanku non...oke?" Sam mengajak Katie dansa sambil
meletakkan tangannya di bahu Katie. Mereka pun mulai dansa sambil
sesekali menoleh ke kamera.
"Hadirin sekalian, inilah Miss Katherine Campbell si cantik
penuh bakat...," Sam memperkenalkan Katie dengan meniru gaya
pembawa acara di acara lomba ratu kecantikan, "hobinya belajar,
menirukan lagu dan mengalahkan lawan dalam pertandingan hoki
es...." Kami terbahak-bahak mendengarnya. Sam memang konyol
banget deh. "Ada yang ingin ditambahkan Miss Campbell?" tanyanya.
"Ya...aku bahagia sekali bisa tampil malam ini," ujar Katie ikutikutan konyol. Lantas, ia membungkuk memberi hormat di depan
kamera. "Jangan lupa, kau harus mengungkapkan kecintaanmu pada
negerimu," Randy mengingatkan, "setiap finalis lomba kecantikan
selalu mengucapkan itu."
"Ouw ya!" ujar Katie lagi, "Dan...aku sangat mencintai
negeriku." Sekali lagi, aku terkikih-kikih melihat kekonyolan temantemanku.
"Bagaimana dengan anda, Allison Cloud?" Sam melangkah
menghampiri Allison. Tangannya diacungkan ke arahnya seolah-olah
sedang memegang mike. "Anda siap dengan pertanyaan yang akan
kami ajukan?" Allison terlihat gugup. Ia selalu siap menjawab pertanyaan
macam apa pun, apalagi dari seorang bernama Sam. A1 tahu tentang
banyak hal. Sepanjang liburan musim panas lalu, ia menghabiskan
ratusan judul buku! "Menurut pendapat anda, masalah apa yang paling aktual akhirakhir ini di dunia?" berondong Sam sembari mendorong Billy agak ke
pojok sofa sehingga ia bisa duduk di sebelah Allison.
"Mh...apa ya...,"baru saja Allison hendak bicara, Sam sudah
memotong kalimatnya. "Dan juga, bagaimana cara anda mengatasinya?" tanyanya
sambil cengar-cengir, lirak-lirik dan mengedipkan mata ke arahku.
"Bagiku, masalah terpenting adalah kita harus belajar
menghargai bumi sebagai planet tempat tinggal kita," sahut Allison
serius, "jika tidak dijaga dan dilestarikan, mungkin kita tak punya
tempat tinggal lagi di masa tua."
"Jawaban yang bagus...baaagus sekali," Nick dan Jason berseru
sambil bertepuk tangan. "Jangan lupa, katakan juga kita bisa atasi jika mau bekerja
sama," Randy kembali mengingatkan, "semua orang selalu
mengatakan hal seperti itu jika diwawancarai."
"Ou ya!" lanjut Allison sambil mengedipkan matanya,
"Menurutku, untuk melindungi dan melestarikan bumi tercinta ini
memang harus bekerja sama, gotong royong dan kompak," tambahnya
mantap. "Bagus sekali dan terima kasih...," ujar Sam dengan suara yang
dibuat-buat, "dan sekarang nona dari New York, Miss Randy Zak."
Randy segera melompat mendekati Sam lantas berdiri di depan
kamera. "Tunjukkan bakat anda!" pinta Sam.
Randy pun mengeluarkan stik drum dari saku belakang jeansnya dan melakukan gerakan seperti orang tengah menabuh drum.
Mendadak ia hentikan gerakan dan menjatuhkan stik drum-nya ke
lantai. "Oh sori...aku lupa bahwa ini kontes kecantikan," ujarnya
konyol, "bakat apa yang harus kutampilkan? Mungkin...dansa gaya
tap saja?" Agak terkejut juga aku mendengarnya. Dansa gaya tap? Yang
benar saja. Kurasa Randy tak mampu melakukan dansa serumit itu.
Kalian pernah lihat dansa tap? Itu lho...seperti penari Spanyol yang
menghentak-hentakkan kakinya di lantai sehingga menimbulkan irama
lagu. Nyatanya Randy mampu melakukannya! Setelah selesai ia
bungkukkan tubuhnya seperti memberi hormat pada pemirsa.
Penampilannya benar-benar mengejutkan. Ia hanya terkikih-kikih
melihat kami tercengang. "Kok pada bengong sih?!" tanyanya sambil duduk di lantai,
"Kalian nggak tahu bahwa aku bisa tap?"
"Di mana belajarnya?" usutku setelah hilang bingungnya.
"Aku dan Sheck pernah mempelajarinya sewaktu di New York
dulu. Kalau nggak salah waktu kelas empat," Randy mencoba
mengingat, "soalnya aku punya tetangga, laki-laki tapi agak tua, yang
dulunya penari tap terkenal tahun lima puluhan. Dia yang mengajari
kami. Seru kan?" Randy memang penuh kejutan. Ada saja yang dilakukan
sehingga kami tak pernah merasa bosan dengannya. Tapi aku benarbenar tak menduga kalau ia bisa tap.
Kemudian, setelah pulang dan naik ke tempat tidur, baru
kusadari bahwa kami belum menetapkan tarian model apa untuk
penampilan seleksi nanti. Bahkan aku belum bisa membayangkan
penampilan kami sebagai bola karet raksasa. Tapi, soal utama yang
harus kami siapkan adalah menghapal lirik-lirik lagu. Itu yang
terpenting dalam seleksi nanti. Soal tarian, tentu saja harus kami
pikirkan juga. Mentang-mentang, eh mental-mental seperti bola karet.
Mental-mental seperti bola karet.... Aku pun lantas terlelap dan mimpi
jadi bola karet yang mental-mental ke sana-sini.
BAGIAN EMPAT Sabtu pagi, aku bangun dengan perut agak melilit. Mungkinkah
bola karet melonjak-lonjak di perutku? Hari ini seleksi akan
dilangsungkan. Aku segera bangun dari tempat tidur dan melangkah
menuju lemari pakaian untuk memilih baju yang akan kukenakan.
Karena kami tidak mengenakan kostum, aku ingin tampil agak
istimewa. Sesuatu yang dapat menarik perhatian. Sayangnya, pakaian
yang kumaksud tak ada dalam koleksiku.
Aku tak bisa memutuskan apa yang harus kukenakan, maka
kuputuskan untuk mandi lebih dahulu. Kutuang sabun busa ke bak
mandi. Mudah-mudahan dengan berendam di air hangat aku bisa
sedikit rileks. Aku pun mulai membayangkan latihan kami seminggu
lalu. Tiap malam kami berkumpul di rumah Randy. Menghafal kata
demi kata dari lirik lagu sembari melatih gerakan tari. Begitu lagu
dimulai, tarian pun tak beraturan lagi iramanya. Awut-awutan deh.
Arizonna bilang, itu karena kami tidak mengikuti irama lagu dengan
baik. Hari ini hari penentuan. Kuharap kami dapat menghayati lagu
dengan baik sehingga antara lagu dan tariannya pas. Nggak
amburadullah. "Hei Sabs, jangan berendam lama-lama, bisa-bisa tubuhmu
meleleh lho!" seru Sam dari luar.
Kuperhatikan ujung-ujung jariku yang mulai keriput. Aku pun
segera beranjak dari bak mandi dan mengeringkan tubuh. Lalu segera
kupilih baju yang tepat. Akhirnya, setelah memilih dan mencoba hampir semua koleksi
pakaianku, maka kuputuskan untuk mengenakan celana jeans baggy
dengan ikat pinggang besar warna hitam dan t-shirt lengan panjang
warna putih tanpa kerah. Rambutku dipilah jadi dua bagian ke
belakang dan kusematkan dua sirkam bergaris hitam-putih. Saat Ibu
memanggilku dari bawah, aku baru saja mengenakan sepatu hitam.
Ibu yang akan mengantarku ke tempat audisi.
"Sudah siap?" tanya Ibu ketika aku masuk ke mobil.
"Hampir," sahutku gugup, "rasanya tegang deh Bu, aku ingin
semua ini cepat selesai," kurasakan telapak tanganku mulai
berkeringat. "Tenanglah Sabs," ujar Ibu dengan tersenyum. "Selama
seminggu ini kan kalian kerja keras. Begitu sampai di sana nanti,
kalian pasti siap untuk tampil."
Kami menjemput Katie, A1 dan Randy.
"Aduuuh, kok jadi gemeteran begini sih," ujar Katie, "ketika
mengikuti seleksi tim hoki es dulu, aku nggak pernah tegang seperti
ini." "Aku juga," timpal Allison bersemangat, "Ibu mencoba
membujukku menghabiskan sarapan pagi, tapi perutku terasa mual.
Nggak bisa menelan apa-apa."
"Kalian kelihatannya baik-baik saja," tukas Ibu saat mobil
berhenti di depan Patterson High School. "Tampillah sebaik mungkin.
Jam empat nanti Ibu jemput kalian lagi, oke?"
Aku sebenarnya yakin dengan penampilan kami nanti. Randy
seperti biasa mengenakan pakaian serba hitam. Warna kesukaannya.
Ia mengenakan jeans, sepatu koboi, switer dari bahan rajutan dan blus
pendek yang menggantung di atas pusar. Semuanya warna hitam.
Katie mengenakan rok jeans dengan switer warna turkis, serasi
dengan kaos kakinya. Ia selalu tampil rapih mulai dari ujung kaki
sampai ujung rambut. Allison juga kelihatan cantik dengan legging hitam dan kemeja
gombrong warna indigo. Rambut panjangnya yang hitam digelung ke
belakang, dijepit dengan baret cantik berwarna turkis.
Kami ke luar dari mobil dan langsung ke gedung. Kami belum
tahu di mana tepatnya seleksi akan diadakan, namun hal itu tidak
menjadi masalah. Toh, tinggal mengikuti arah kerumunan orang.
"Wah...wah...wah...," decak Randy kagum sambil bersiul,
"sekurang-kurangnya 200 orang tumplek di ruangan ini."
Randy benar. Ke mana pun kalian menolehkan kepala, yang
terlihat hanyalah kepala manusia. Dinding ruangan sama sekali tak
terlihat lagi lantaran ruangan penuh sesak. Waduuuh...berisiknya
minta ampun deh. So pasti, semuanya pasti tegang.
"Kuharap auditorium mampu menampung peserta yang
sedemikian banyaknya ini," ujar Allison. "Aku heran, di mana
produser akan mengumpulkan mereka ya?"
"Kayaknya sih, acara ini nggak mungkin selesai jam empat sore
deh," timpal Katie yakin, "pasti molor sampai malam."
"Hei, kira-kira Rick Stevens hadir di sini nggak?" tanyaku tibatiba. Sejenak kulupakan soal keramaian dan kujulurkan leherku untuk
mencarinya di tengah kerumunan.
"Rasa-rasanya sih nggak tuh," sahut Randy pasti, "dugaanku dia
nggak akan datang hanya untuk seleksi. Lagian banyak orang di sini."
"Perhatian! Perhatian!" terdengar sebuah suara lewat pengeras suara
entah dari mana arahnya, "Kami berusaha menyelesaikan acara seleksi
ini secepat mungkin. Di ruangan ini terdapat enam meja dengan enam
orang asisten yang akan membagikan formulir peserta pada kalian.
Isilah dengan nama grup berikut nomer telepon kalian. Setelah selesai,
silakan duduk sambil menunggu panggilan tampil ke pentas sesuai
nomer urut formulir yang kalian isi. "
Orang-orang pun secara bergerombol mulai bergerak ke arah
meja. "Ya ampun...un," keluhku, "apa dong nama grup kita? Kacau
nih. Kita kan belum memikirkannya."
"Tenang Sabs," ujar Randy kalem, "lihat, antriannya masih
panjang tuh. Masih ada waktu untuk memikirkan sebuah nama untuk
grup kita." "Kalian lihat Stacy nggak?" tanya Katie seraya memperhatikan
sekelilingnya.
Girl Talk 17 Pentas Mirip Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Belum tuh. Tapi kayaknya dia sudah di sini deh," sahutku
yakin, "dan mungkin saja di deretan paling depan."
Tiba-tiba, sekelompok orang terdengar berteriak di deretan agak
belakang. "Jangan-jangan si Rick Stevens datang!" seruku
bersemangat membayangkan datangnya pembawa acara yang keren
itu. "Nada-nadanya nggak ada siapa-siapa," tukas Allison. Dengan
tubuhnya yang jauh lebih tinggi dibanding tinggi rata-rata, salah satu
keuntungannya mampu melihat lebih jauh dari orang lain. "Cuma
teriakan cewek-cewek yang kebetulan bertemu teman-temannya di
sini. Bukan karena kedatangan Rick Stevens."
A1 mungkin benar. Soalnya tak berapa lama teriakan itu
mereda. "Jadi, apa nih nama grup kita?" desak Katie. "Gimana kalau
nyerempet-nyerempet kata super?" usulku, "Super artinya ?yang
paling? dan kita memang akan jadi yang paling baik kan?"
"Nama itu terlalu sering dipakai," tolak Allison.
"Maksudku nggak harus menggunakan kata super. Mirip-mirip
gitulah," kilahku. "Gimana kalau ?Oke Banget??" ujar Randy sembari nyengir
padaku. Kami geli mendengarnya. Soalnya kata-kata itu sering sekali
diucapkan Arizonna. Ia mungkin setuju kata-katanya dipakai.
"Bagaimana kalau ?Nona Manis??" tukas Katie.
Kami semakin terpingkal-pingkal mendengarnya. Sepertinya
hanya buang waktu saja. Padahal kami harus segera memutuskan
sebuah nama. "Hei...," ujarku mendadak serius, "antriannya makin pendek
nih. Ayo, apa dong nama grup kita?"
"Kalau ?The Edge??" cetus Randy sungguh-sungguh. Beberapa
waktu lalu ia menjadi penyiar radio milik sekolah dan menamakan
dirinya Cutting Edge. "Boleh juga tuh!" seruku senang. "The Edge! The Edge...the...."
"Kenapa?! Nggak enak di kuping ya?" tanya Randy.
"He-eh, kedengarannya kurang enak tuh. Sulit diingat,"
komentar Katie sambil mengerutkan hidungnya. "Cari nama lain saja
deh." "Menurutku juga begitu," dukung Al, "cari yang mudah diingat
dan diucapkan." Kami pun mengangguk setuju. Antrian semakin pendek dan
giliran kami hampir tiba. Tinggal dua grup lagi. Nama harus segera
ditemukan. Nggak mungkin tampil tanpa nama kan?
"Gimana kalau ?Ceria??" tandas Allison setelah berpikir lama.
Allison memang selalu penuh kejutan. ?Ceria? merupakan
sebuah nama yang bagus. Kenapa sih, aku nggak sampai ke situ? Dan,
kenapa gagasan itu muncul dari gadis pendiam macam Allison? Aneh,
aneh sekali. Sehari-hari, Al lebih banyak diam dan jauh dari kata
?ceria?. "Wow, oke punya tuh!" seruku senang.
"Aku juga setuju," sela Katie sambil menepuk bahu Al, "Nama
yang bagus Al." "Gimana pendapatmu Rand?" ujarku. Meskipun waktu kami
sudah mepet, toh aku mesti meminta pendapatnya. Bagiku, harus ada
kesatuan pendapat untuk nama grup.
"Boleh juga," sahut Randy tersenyum ke arah Al, "lagipula aku
nggak punya gagasan lain yang lebih bagus dari itu."
Waktunya tepat sekali. Giliran pun tiba untuk mengisi formulir.
Dengan nomer 37, kami segera melangkah ke auditorium. Lumayan.
Padahal melihat antrian yang sedemikian panjangnya tadi,
kuperkirakan akan dapat nomer besar.
"Ini benar-benar pengalaman unik," gumam Randy saat kami
memasuki auditorium. Ruangannya agak gelap terutama di bagian
belakang, di mana kami mendapat tempat duduk kosong. Tetapi, di
bagian panggung terlihat terang-benderang.
Di sekeliling kami terdengar bisak-bisik orang mempersoalkan
perlengkapan shooting. Di pentas nampak lampu neon dengan tulisan
Pentas Mirip Bintang. Kursi sutradara dan beberapa kamera terlihat di
setiap sudut ruangan. Cukup banyak kamera yang digunakan.
"Kameranya besar-besar ya," komentar Katie kampungan,
"lebih besar daripada orangnya."
"Itu yang namanya kamera sungguhan," tegas Randy, "mereka
akan merekam penampilan setiap grup lebih dahulu sebelum
melakukan penilaian. Dengan demikian acara seleksi akan
berlangsung lebih cepat. Hasil rekaman itulah yang akan dijadikan
penilaian." "Wuah...panas banget," gumamku sembari kipas-kipas.
Tubuhku mulai berkeringat, "Pasti gara-gara lampu-lampu gede itu."
"Apalagi di pentas, pasti lebih panas," ujar Allison sok yakin.
"Baiklah, acara akan segera kita mulai," seorang pria
melangkah naik ke pentas. "Nama saya Raymond Foy, produser acara
Pentas Mirip Bintang. Terima kasih atas partisipasi dan kedatangan
kalian di acara ini." Terdengar tepuk tangan gemuruh menyambut
kata-kata sang produser. "Perlu diingat bahwa penilaian didasarkan atas ketepatan gerak
bibir dalam menirukan lagu dan kelincahan tarian," ucap Pak Foy.
Kemudian peserta pertama dipanggilnya.
"Kalian sudah melihat Stacy?" tanya Katie was-was kira-kira
setengah jam kemudian. Sejak tadi sudah kucari-cari. Di mana gerangan si hebat Stacy
berada. "Nggak tahu. Di mana sih?" sahutku sambil memusatkan
perhatian ke pentas. Beberapa grup tampil mengesankan sehingga
seperti menonton televisi di rumah saja. Ada juga sih, grup-grup yang
tidak terlalu bagus penampilannya. Mudah-mudahan kami termasuk
kategori grup ?terbaik? nanti.
Seleksi berlangsung cepat dan ketat karena penampilan peserta
hanya direkam melalui kamera dan tidak langsung diberi nilai.
Penilaian dilakukan belakangan, membuat para peserta makin tegang
saja. Setiap grup tentunya ingin segera tahu hasilnya kan? Setiap
peserta yang dipanggil cukup naik ke pentas, membawakan lagu
pilihan lantas dipersilakan turun untuk digantikan grup berikutnya.
"Darimana kita tahu mereka menilai penampilan kita?" gumamku
semakin tegang. "Tentu saja kita nggak bisa tahu," sahut Randy, "untuk
menilainya kan perlu konsentrasi. Jadi, sekarang cukup merekam
gambarnya saja." "Grup ini boleh juga," komentar Randy saat sebuah grup selesai
membawakan lagu ?rap? milik B.B. Browne yang berjudul Rock the
Block. "Tariannya juga siip."
"Kini giliran peserta nomer 22," terdengar suara produser
memanggil, "The Valentines. Grup nomer 22 dipersilakan ke
panggung!" Empat orangcewek bergegas naik ke atas pentas.
"Astaganaga! Lihat! Stacy!" seru Randy tercengang.
Ya. Mereka terdiri dari Stacy, Eva, BZ dan Laurel! Kukucekkucek mataku setengah tak percaya! Mereka mengenakan kostum
mewah dari satin mengkilap warna merah, lengkap dengan sepatu
tumit tinggi dari bahan dan warna yang sama! Menakjubkan. Tidak
konyol dan aneh seperti kostum kami. Bola karet!
"Culas. Padahal untuk seleksi ini kan belum diperlukan
kostum," protes Katie sengit.
"Ya. Itu kan bukan pakaian biasa," tukasku ikutan sengit.
"Kalau begini nggak sportif ah."
"Sudah deh. Toh, mereka masih harus unjuk kebolehan," redam
Allison, "sebagus apa pun kostum yang mereka kenakan, kalau nggak
hafal lagu dan nggak kompak tariannya, percuma kan?"
Sayangnya, selain kostum bagus, mereka pun hafal betul baitbait Just a Heartbeat Away. Lagu bertempo lambat dari kelompok
Sweet Sixteen. Bahkan mereka pun menari dengan manis dan kompak
sekali. "Oui, sangat mengagumkan!" desisku tak percaya begitu The
Valentines meninggalkan panggung.
"Yah...nggak sejelek dugaanku," aku Randy, "kita pasti lebih
bagus dari mereka. Maksudku, tema kita kan lebih asli, sedangkan
mereka meniru persis penampilan Sweet Sixteen. Iya kan?"
Kami berempat terdiam beberapa saat. Tak ada komentar lagi
tentang si hebat Stacy. Aku yakin, kami punya pendapat yang sama:
Penampilan Stacy dan teman-temannya bagus! Ya, bagus! Bagaimana
jika mereka lolos dalam seleksi ini sementara kami tidak? Oh.... Sulit
membayangkannya. Tak terasa, akhirnya nomer urut kami pun dipanggil. Saat
melangkah ke pentas kelihatannya kami merasa deg-degan.
Kuusahakan untuk mengalahkan ketegangan. Ya, untuk apa tegang?
Toh, sudah berlatih semaksimal mungkin. Kami yakin akan hal itu.
Grup kami jauh lebih bagus daripada si hebat Stacy dan The
Valentines-nya itu! "Sahabatku," ujarku menghentikan langkah mereka sesaat, "kita
nggak usah cemas. Yakinlah, kita jauh lebih baik dari grup mana pun.
Lakukan yang terbaik di pentas nanti. Buang pikiran yang nggak karukaruan. Oke?!"
Randy tersenyum lebar mendengarnya. "Kau benar Sabs,"
sahutnya, "kita harus tunjukkan kemampuan kita!"
"Kita harus ceria!" seruku memberi semangat.
"Ya. Ceria!" tukas Katie bersemangat. Sementara Allison hanya
mengangguk-angguk setuju.
Sekarang perasaanku jauh lebih tenang. Kami siap unjuk gigi.
Begitu tiba di atas pentas, aku pun menyerahkan kaset ke operator.
Tak lama kemudian alunan lagu dari The Connection mengalun lewat
dua buah speaker besar di kanan kiri panggung. Kami pun mulai
menari dan menirukan lirik lagu dengan riang gembira.
Rasanya aneh juga sih. Mulut komat-kamit menirukan lagu tapi
nggak boleh mengeluarkan suara apa pun. Singkatnya, kami pura-pura
bernyanyi. Istilah kerennya lip-synching, sinkronisasi bibir. Ya,
gerakan bibir harus persis dengan lirik lagu. Waktu pun bergulir cepat.
Aku begitu menghayati penampilan kami.
"Wow...lega rasanya!" seru Katie. Penonton pun senang melihat
penampilan kami. Buktinya, tepuk tangan riuh cukup meriah
menyambut usainya penampilan kami.
"Terima kasih," ucap sang produser, "pintu ke luar ada di
belakang panggung. Kami akan hubungi kalian lagi."
Hanya itu yang diucapkan Raymond Foy. Kami pun segera
turun dan menuju belakang panggung. Di sana, seorang perempuan
sudah menunggu. Ia membagikan t-shirt bertuliskan Pentas Mirip
Bintang, lengkap dengan logo dan foto kecil Rick Stevens di pojok
kanan atas. "Nampaknya sih, kesempatan kita untuk lolos seleksi cukup
besar," ujarku berharap, "bahkan penampilan tadi jauh lebih baik
dibanding latihan terakhir kemarin."
"Pendapatku juga begitu," komentar Katie.
"Omong-omong, kapan ya kita diberi khabar?" tanya Allison.
"Kita akan diberi khabar jika kita lolos seleksi. Kalau gagal sih
nggak," sahut Randy.
"Jadi, berapa lama kita harus menunggu?" tanya Katie mulai tak
sabar saat kami melangkah menuju mobil Ibu yang di parkir di
seberang jalan. "Entahlah, tak tahu ya," kuangkat bahuku, "aku yakin, kita akan
mendapat khabar gembira," tukasku mantap, "dan pasti akan
berhasil." Yah...setidaknya lolos dalam seleksi, doaku dalam hati.
BAGIAN LIMA "Wah...wah...coba lihat, sekelompok cewek ?Ceria?," ujar Stacy
sinis saat berpapasan denganku di muka loker Senin pagi, tepat
sebelum jam makan siang. Aku tengah berdiri di depan loker bersama
Al, Katie dan Randy. "Kalian sudah dapat khabar dari Raymond
Foy?" Jantungku berdetak keras. Stacy takkan sembarangan bertanya.
Jangan-jangan ia sudah dengar sesuatu dari Raymond Foy. Kalau
tidak untuk apa dia bertanya? Aku tak menjawab sepatah kata pun dan
berharap ia segera berlalu dari mukaku.
"Kami sudah terima jawaban," lanjut Stacy nyinyir. "Raymond
sendiri yang telpon ke rumah. Dia bilang, The Valentines bakalan
tampil minggu depan. Grup-grup lain yang akan tampil mungkin
sudah dihubunginya. Jadi kalau sampai detik ini Raymond belum
menghubungi kalian, berarti..." Stacy membiarkan kalimatnya
menggantung sambil menahan tawa.
"Dari mana kau tahu Raymond telah menelponmu?" usut
Allison seolah tak percaya akan ucapan Stacy. "Sepanjang hari kan
kita ada di sekolah."
Al benar. Bisa saja Stacy membual untuk menjatuhkan mental
kami. Harus diusut, tak boleh percaya begitu saja.
"Raymond menelpon ke rumah dan bicara dengan Ibuku," sahut
Stacy sambil menyibakkan rambutnya ke bahu, "Ibu lalu menelpon
Ayah dan memintanya agar disampaikan padaku. Bayangkan, aku
sampai deg-degan sewaktu dipanggil ke kantor kepala sekolah tadi.
Kukira Ayahku akan marah." Dengan centilnya Stacy cekikikan geli.
Menurutku leluconnya sama sekali nggak lucu. Semua anak pasti
tahu, Stacy putri tunggnl Pak Hansen, kepala sekolah kami, yang amat
dimanja. "Hi...hi...hi...," Randy menirukan tawa Stacy, lengkap dengan
gerakan ?menyibak rambut? khasnya. Ia mampu menirukannya dengan
pas. Tentu saja Stacy tidak memperhatikan. Ia memang lebih suka jadi
pusat perhatian dan sibuk dengan gayanya sendiri. Kuacungkan ibu
jariku lantas tersenyum melihat ulah Randy.
"Kesimpulannya, sudah kudapat khabar lewat Ayahku," lanjut
Stacy tanpa mempedulikan Randy, "sayang kalian gagal. Aku yakin
pasti sudah berusaha sebaik mungkin. Mudah-mudahan bisa
kuusahakan tiket buat kalian untuk menyaksikan pengambilan gambar
kami minggu depan. Itu pun kalau kalian bersedia. Sudah ya...."
Lagi-lagi Stacy menyibakkan rambutnya. Kali ini agak keras
sehingga ujung rambutnya menyentuh wajahku. Diiringi keempat
dayang-dayangnya, Stacy berlalu sembari cekikikan menuju kantin.
Kami berempat hanya berdiri melompong kayak macan
ompong. Stacy lolos seleksi! Nggak adil ah. Kami sudah berusaha
mati-matian untuk itu! "Hei Sabs," panggil Katie beberapa saat kemudian, "lebih baik
kita telepon ke rumah masing-masing. Barangkali Raymond sudah
menghubungi kita juga."
"Kau benar Katie," sahutku lebih tenang. "Yuk kita cari telepon
umum." Nyatanya tak satu pun di antara kami yang dihubungi Raymond
Foy. Kami berusaha bersikap setenang mungkin dan tidak
menunjukkan kekecewaan. Namun Sam, Jason, Nick dan Arizonna
yang bergabung di meja kami saat makan siang, segera mencium
sesuatu yang tidak beres dalam gerak-gerik kami.
"Ada masalah apa non?" usik Arizonna.
"Ada hubungannya dengan seleksi Pentas Mirip Bintang ya?"
terka Nick sambil menatap tajam ke arahku.
"Masa gagal sih," bantah Arizonna, "kudengar penampilan
kalian cukup menghebohkan."
"Dari mana kau dengar?" tanyaku curiga. Tiba-tiba saja aku
merasa Arizonna mengetahui sesuatu yang tidak kami ketahui.
"Sam," sahut Arizonna.
Kuputar tubuhku dan kutatap Sam dengan tajam. Wajah Sam
berubah merah saking malu. Hampir semerah warna rambutnya. Ia
Girl Talk 17 Pentas Mirip Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dayang Tiga Purnama 2 Siluman Ular Putih 23 Warisan Agung Pelarian 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama