Girl Talk 25 Trauma Sang Joki Bagian 1
YANG DIOBROLIN KALI INI ALLISON : Halo? RANDY : Hai, Al, aku nih.
ALLISON : Eh, Ran. Apa kabar?
RANDY : Masih agak sakit, gara-gara terpental dari kuda, tapi
aku puas. Rasanya bebanku sudah lepas.
ALLISON : Bagus, deh. Sekarang lagi ngapain? Nonton?
RANDY : He-eh, tapi sudah bosan, nih. M menyewakan
beberapa video tentang kuda buatku.
ALLISON : Pintar juga. Buat menenangkanmu menjelang
peragaan besok. RANDY : Ah, mana bisa terhibur kalau sendirian begini? Pada
ke sini, dong! ALLISON : Aku lihat jadwal dulu. Hmm...(hening sejenak).
Bagus, aku bisa! RANDY : Nah, begitu dong. Itu namanya teman.
BAGIAN SATU "Perhatian...perhatian...!" seruku sambil mengedipkan sebelah
mata pada sohib-sohibku. "Aku mau terbang."
Rabu sore itu sebenarnya kami sedang jalan-jalan keliling kota.
Dan kupikir, teman-temanku ini perlu diberi sedikit kejutan.
"Lihat, nih." Kulempar skateboard-ku ke trotoar sebelum
melompat ke atasnya. Dengan beberapa ayuhan kuat aku menambah
kecepatannya untuk meluncur ke deretan bangku kayu rendah di
depan kami. Beberapa minggu yang lalu, Departemen PU memasang
bangku-bangku semacam itu di halte-halte bis di seluruh penjuru kota.
Dilihat dari hobiku main skateboard, pemasangan bangku-bangku itu
boleh dibilang ide hebat.
"Randy, awas bangku!" teriak Sabrina Wells, panik.
Tentu saja aku tahu di depanku ada bangku. Aku kan justru
sedang menuju ke sana. Pada detik terakhir, tepat sebelum bangku itu
meremukkan lututku, aku melompat sambil melipat kedua kaki.
Skateboard-ku meluncur melewati kolong bangku
dan aku melayang di atasnya. Sedetik kemudian aku telah
mendarat kembali di atas skateboard-ku. Sedikit oleng sih..., tapi tidak
sampai jatuh, dan aku tetap melaju.
Setelah membuat suatu putaran tajam, aku meluncur kembali ke
arah ketiga sahabatku. Mereka sedang memandangiku dengan mulut
menganga. "Yang tadi itu namanya Gerakan Layang Serangan Zak,"
kataku sambil menyeringai. "Kalian suka?"
"Aduh, Randy, kau ini, bikin aku ketakutan aja!" protes Sabs
sambil mengipasi wajahnya seolah-olah mau pingsan.
"Boleh juga, Ran," kata Katie Campbell sambil mengangguk
kecil. Berbeda dengan Sabs, dia memang tidak gampang terkejut.
Katie anggota tim hoki ? tim cowok, lho. Pemain hoki dikenal
trampil memainkan gerakan-gerakan fantastik dengan sepatu ski es
mereka. Melihat penampilan Katie, sulit membayangkan dia dikasari di
arena hoki dan seringkali "main kayu." Soalnya, pembawaannya
kalem. Oke punya deh. Rambutnya yang pirang dan lurus dibiarkan
panjang. Dandanannya selalu rapi, contohnya kaos kaki yang dipadu
dengan sweater-nya hari ini. Dalam soal watak, Katie berpendirian
teguh. Sekali memutuskan, akan tetap bergeming.
"Kamu pasti sudah latihan berbulan-bulan, deh," kata Sabs.
"Ah, nggak sampai selama itu, kok," jawabku.
"Baru waktu bangku-bangku itu dipasang. Aku hampir mahir
melakukannya dengan mata tertutup, lho. Mau lihat?" Tentu saja aku
cuma omong gede. Aku kan belum gila, hi ... hi....
"Jangan coba-coba, Randy," Sabs mencegah. "Dulu ada
temanku, eh... teman abangku sih. Aku sering diceritain aja. Anak itu
hobi banget bikin macem-macem trik di atas sepedanya. Anaknya
memang jago, malah pernah masuk te-ve segala. Nah, suatu hari dia
mencoba melompati mobil parkir, tapi gagal. Kasihan, ... kakinya
sampai patah! Eh ... kaki atau tangannya, ya?"
Seperti biasa, Sabs mengucapkan semua itu dalam satu tarikan
nafas ? cepat! Anak ini memang luar biasa. Dia bukan cuma mampu
berbicara dengan kecepatan satu mil per menit, tetapi juga orang yang
paling bersemangat di dunia. Sulit membayangkan orang bisa duduk
tenang di dekatnya. Memang, tingginya tidak sampai 160 sentimeter
? imut-imut deh ? tapi penampilannya seperti bola karet berambut
merah keriting setinggi 160 senti. Tahu maksudku, kan?
"Jangan khawatir, aku nggak bakalan patah kaki, kok. Patah
tangan aja nggak," sahutku. "Yah ... memang aku sempat babak belur
juga sih waktu latihan."
"Lho, sudah tahu bahaya kok masih nekad juga?" tegur Sabs.
"Dia kan memang begitu, suka nyerempet-nyerempet bahaya,"
canda Allison Cloud.ebukulawas.blogspot.com
Sahabatku yang satu ini mengenalku lebih baik daripada siapa
pun di dunia (tentunya selain Mamiku dan sahabatku, Sheck, di New
York sana). Al keturunan Indian Amerika asli. Tubuhnya tilang
(tinggi dan langsing), matanya besar berwarna gelap, dan rambutnya
hitam berkilat. Ia pernah ditawari kontrak jadi peragawati, bahkan
pernah jadi model iklan pakaian untuk Daddy-ku yang berprofesi
sebagai produser. Tapi Al lebih suka membaca buku daripada harus
bergaya berjam-jam di depan kamera.
"Wah, kalau di New York sih, jalan-jalan biasa aja bisa jadi
petualangan berbahaya," sahutku sambil tertawa. "Di Acorn Falls sini,
yang kita takutkan paling-paling kena hukuman karena ketiduran di
kelas." Ceritanya aku pindah ke Acorn Falls, Minnesota, bersama
Mamiku setelah beliau bercerai dengan Daddy. Mula-mula kupikir:
tamatlah riwayatku. Bayangkan, Acorn Falls kan bukan tempat yang
oke buat anak muda? Kami pindah pada awal tahun ajaran baru, dan
waktu itu rasanya aku kepingin banget pulang ke New York. Untung
kemudian aku kenalan dengan Sabs, Katie, dan Al, di SMP Bradley.
Suasana pun mulai berubah. Aku bahkan mulai menyukai kota ini.
(Aku sendiri heran kok dengan perubahan ini).
"Ayo ah, kita jalan terus," ajakAl. "Kalau nggak, Fitzie-nya
pasti penuh. Itu juga kalau Fitzie cukup oke buatmu, Randy!"
"Barangkali dia bisa main skateboard melintasi meja-meja di
sana," tambah Katie, bercanda.
"Atau melompati penggorengan," sambung Sabs.
Aku menggeleng. "Kalau kepingin dianggap berani, seharusnya
aku nyoba-nyoba makan burger Fitzie."
Allison memegangi kepalanya, pura-pura panik. "Sepertinya
nggak ada deh orang yang senekad itu!" Kami memang tak begitu
suka makanan berlemak. Ternyata bangku-bangku sudah penuh terisi ketika kami tiba di
kantin itu. Meja langganan kami yang terletak di belakang sudah
?diduduki?, jadi kami langsung saja duduk di tempat kosong pertama
yang kami lihat, di dekat pintu masuk.
Fitzie adalah tempat kongkow-kongkow kami sepulang sekolah.
Hampir setiap sore tempat itu dipadati murid-murid SMP, seperti
kami, juga murid-murid SMA. Tempatnya oke ? agak kuno tapi
punya gaya tersendiri. Di New York ada kira-kira sejuta restoran, tapi
rasanya tak ada yang bisa dijadikan tempat mangkal setiap hari seperti
Fitzie. Kupikir-pikir, ternyata ada enaknya juga hidup di kota kecil.
Seorang pelayan datang untuk mencatat pesanan kami. Katie
dan Al mulai berdiskusi tentang PR bahasa Inggris. Aku duduk tepat
di seberang Sabs. Karena itu akulah yang lebih dulu melihat benda
asing menyembul dari kepalanya.
"Apa ini?" Kucondongkan tubuhku ke arah Sabs untuk
memungut sebuah kartu berwarna putih yang tersangkut di antara
rambut keritingnya. "Sepeda Dijual?" kubaca tulisannya keras-keras,
membuat teman-temanku tertawa.
"Apa?" Sabrina meraba-raba rambutnya. "Lho, ini ada lagi!" Ia
meraba bagian belakang kerah jaketnya lantas meraih secarik kertas
berwarna kuning. "Pengasuh Bayi yang Dapat Diandalkan. Upah
bersaing." Kini tawa kami semakin keras. "Barangkali akibat shampomu,
tuh," goda Allison. "Mungkin juga ini jenis penyakit ajaib seperti yang kita pelajari
di mata pelajaran kesehatan," jawab Sabrina, ringan. "Kepala
Pengumuman." Pada saat itu masuklah sekelompok remaja, dan seketika itu
juga meja kami dihujani oleh kertas- kertas berisi iklan serta
pengumuman. Rupanya sebuah papan pengumuman tergantung di dinding
tepat di belakang Sabs dan Katie. Setiap kali pintu masuk terbuka,
angin dari luar masuk dan menerbangkan kertas-kertas pengumuman
yang tertempel di papan. "Ah, aku tahu sekarang." Sabs berbalik dan memandangi papan
pengumuman yang dipenuhi aneka poster dan iklan.
"Dari dulu aku heran, kenapa meja ini selalu terisi belakangan,"
kata Al sambil merapikan beberapa carik kertas yang mendarat di
meja kami. "Sekarang aku tahu deh penyebabnya."
"Sini, berikan kertas-kertas itu padaku," kata Katie. Ia berbalik
lantas berlutut di kursinya agar dapat menjangkau papan pengumuman
itu. "Akan kuambil paku payung untuk memasang kembali
pengumuman-pengumuman ini."
"Kubantu, ya?" kata Sabs. Lalu ia pun mengikuti perbuatan
Katie. Al dan aku menyerahkan tumpukan kertas pada mereka.
"Eh, sebentar teman-teman!" seru Sabs penuh semangat. Ia
melonjak-lonjak di jok kursinya sambil mengacung-acungkan secarik
kertas berwarna biru. "Dengar! Ini iklan dari istal kuda Rolling Hills."
"Astaga, pasti iklan kuno, tuh," komentar Katie. "Tempat itu
kan sudah ditutup bertahun-tahun yang lalu."
"Kelihatannya baru dibuka lagi, deh. Lihat sendiri, nih." Sabs
menyodorkan iklan yang dihiasi gambar seekor kuda. "Ada diskon
istimewa untuk peserta kursus menunggang kuda. Boleh juga, nih."
"Jadi?" "Kita bisa ikut kursus berkuda sama-sama." Mata Sabs
membesar saking bersemangatnya. "Kita bisa belajar menunggang
kuda, melompati rintangan, dan ... pokoknya apa pun yang bisa kita
lakukan di atas punggung kuda. Inget nggak, di iklan-iklan orangorang selalu menyusuri pantai naik kuda palomino yang surainya
panjang. Berkibar tertiup angin, menderap menyongsong ombak...."
"Hei, Kita di Minnesota, Non," aku mengingatkannya. "Di sini
nggak ada ombak yang bisa disongsong."
"Tapi kan ada hutan dan bukit," jawab Sabs. "Lagipula di sini
kan ada danau. Kita bisa berkuda melintasi hutan menuju danau yang
cantik." Ia mendesah.
"Rasanya aku nggak begitu suka sama kuda," kata Al sambil
menggeleng ragu. "Kok bisa begitu?" tanya Sabs. "Kau kan orang Indian. Kupikir
zaman dulu orang Indian bisa dibilang hidup di atas punggung kuda."
"Aku kan Indian Chippewa," jawab Al. "Yang kau maksudkan
tadi itu suku-suku Indian yang hidup di padang rumput seperti Sioux
dan Cheyenne. Kalau suku Chippewa kebanyakan pakai kano.
Sebenarnya para pendatang dari Eropa yang memperkenalkan kuda ke
Amrik. Dulu-dulu sih penduduk asli Amerika umumnya jalan kaki
atau pakai kano. Di musim dingin, banyak yang memanfaatkan kereta
salju yang dihela anjing." Pengetahuan Al tentang hal-hal semacam itu
sangat luas. Dia memang ?kutu buku?.
"Kamu gimana, Katie?" tanya Sabs. "Nggak kepingin ikut
kursus sama-sama aku?"
Katie mengangkat bahu. "Sebetulnya pasti asyik, ya. Tapi
sekarang aku nggak bisa. Aku kan harus latihan hoki."
"Lho, musim pertandingannya kan sudah lewat," debat Sabs.
"Resminya sih memang sudah, tapi sebentar lagi ada
pertandingan eksebisi melawan Windmere. Ini tradisi tahunan, untuk
amal. Lawannya musuh bebuyutan, lho. Jadwal latihannya padat
banget." "Alasan terus," kata Sabs sambil mengerling-ngerlingkan bola
matanya. "Oke, Randy, sekarang terserah kamu. Menunggang kuda
memang kampungan, tapi menyenangkan, lho."
"Randy Zak naik kuda?" komentar Katie sambil tergelak.
"Randy Zak yang dari New York, naik kuda? Wah, perlu ditonton,
nih." Kulihat Al juga tersenyum, seolah-olah baru mendengar
gagasan yang tidak masuk akal. "Aku justru pingin tahu, yang
diajarkan gaya Inggris atau gaya Barat, ya?" kataku. "Aku sih lebih
suka gaya Inggris. Lebih menantang. Pelana model Barat terlalu aman.
Lagipula, nyopotnya susah, berat." Kupandangi wajah temantemanku, dan rasanya puas banget melihat wajah-wajah bingung
mereka. "Mulai kapan kau tahu soal kuda?" tanya Katie.
Aku mengangkat bahu dengan gaya cuek. "Dulu aku suka
berkuda dengan D di Central Park. Di sana kita bisa nyewa kuda,
melewati lintasan yang ukurannya macam-macam." (Aku memang
memanggil Daddy-ku dengan D, Mami dengan M).
"Di tengah-tengah kota?" tanya Sabs.
"Yap! Tapi tamannya gede, jadi suasananya nggak seperti di
tengah kota. Rasanya malah kayak di pedesaan saja."
"Jadi mau kan ikut kursus bareng aku?" tanya Sabs penuh
harap. Ia terdiam sejenak.
"Yah...tentunya kau sudah mahir, tapi kan bisa ngajarin aku,
supaya kita bisa berkuda sama-sama."
"Aku nggak tertarik," kataku sambil membuang muka.
"Tapi...," Sabs tercekat.
Kupotong kata-katanya dengan gelengan kepalaku tegas-tegas
dan mimik serius. Aku sungguh-sungguh berharap diskusi ini segera
berakhir. "Ah, pokoknya aku mau berkuda," kata Sabs. Tanggapan kami
ternyata tidak mengendurkan semangatnya sama sekali. "Pasti asyik.
Menurutku kau cuma takut."
"Aku memang takut," kata Al. "Tapi yang namanya Randy
sama sekali bukan penakut!"
Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku takut naik kuda? Tak akan
ada yang percaya. Tapi aku senang ketika Katie mengalihkan
pembicaraan kami kembali ke urusan PR Bahasa Inggris, jadi kami
tak perlu omong-omong soal kuda lagi.
BAGIAN DUA Dalam perjalanan pulang dari Fitzie aku benar-benar jadi "raja
trotoar." Seluruh ruas jalan seolah-olah menjadi milik pribadiku. Di
situ kupraktekkan semua jurus skateboard yang kukuasai. Juga sebuah
trik baru: melompat dan mencoba berputar lalu mendarat kembali di
papan skateboard dengan wajah menghadap ke depan. Namun
akhirnya aku menyerah setelah tiga kali berturut-turut aku gagal
mendarat. Yahsetidak-tidaknya aku tidak gentar mencoba. Ketika tiba di
muka "gudang" kami, aku merasa sangat lelah dan tubuhku pun
lumayan sakit. Jangan kaget, kami (maksudku, aku dan M) memang tinggal di
bekas gudang yang dulu pernah dijadikan kandang babi, sapi, dan
boleh jadi juga macam-macam jenis binatang lain yang biasa
"berdomisili" di kawasan pertanian. Kawasan itu sendiri sudah dijual
beberapa tahun yang lalu, kemudian dibangunlah sejumlah rumah di
bekas lahan pertanian dan padang gembalaan. Tapi lokasi gudang
kami agak terpisah dari rumah-rumah baru tersebut, jadi aku dan M
boleh dibilang merdeka dari gangguan.
Keadaan ini sungguh bertolak belakang dengan apartemen
Girl Talk 25 Trauma Sang Joki di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
super modern yang kami tempati di New York, dulu. Canggih dan
penuh gengsi. Walau begitu, aku toh menyukai tempat baru kami.
Kamar tidurku terletak di loteng yang terletak di atas dapur.
Ruangannya tidak seberapa luas, tapi "terlindung" ? cocok buat
latihan main drum. Aku kan drummer group band Iron Wombat, jadi
aku sering juga berlatih sungguh-sungguh di kamarku.
"M, aku sudah pulang!" teriakku begitu masuk rumah. Sampai
sekarang teman-temanku masih sulit mengerti kenapa aku memanggil
ibuku M dan ayahku D. Aku sendiri lupa kapan aku memulai
kebiasaan ajaib ini. Rasanya sih sudah lamaaaa sekali.
"Tanganku penuh gips, nih," sahut M. "Sebentar, ya ..."
M muncul di dapur, dan benar saja, lengannya dilapisi adonan
gips berwarna putih. Ia mengenakan seragam kerjanya: baju montir
berhiaskan cipratan cat dan kain yang diikatkan di kepala. M seorang
seniman. Pekerjaan utamanya melukis. Di bidang ini M memang
jempolan. Tapi menurutnya seniman juga harus bereksperimen dengan
material baru supaya kreativitasnya tidak mandeg. Tak mengherankan
kalau sepulang sekolah aku kadang-kadang mendapatkan M sedang
melakukan hal-hal ajaib, misalnya "mandi" gips seperti saat ini.
"Aku harus cuci tangan. Adonan ini mulai mengeras, rasanya
aku sudah siap dipajang jadi boneka toko."
M bergaya dengan kocaknya. Lengannya yang berlapis gips
diangkat ke atas, dan mimik mukanya kaku seperti boneka pajangan.
Kami tertawa sementara M berjalan menuju bak cuci.
"M, jangan nyuci tangan di bak cuci, ya!" cegahku segera.
"Kenapa?" "Gipsnya bakalan menyumbat saluran. Ingat nggak kejadian
dulu?" "Betul juga, ya. Kalau begitu, aku nyuci tangan cuci di luar saja
deh, pakai selang." M memang tak begitu menguasai hal-hal praktis, misalnya
urusan saluran air. Tapi selebihnya, dia oke punya, lho.
"Gimana jadinya karya seni dengan gips itu?" tanyaku.
"Menurutku sih, bagus punya. Nanti deh, lihat sendiri, tapi
belum jadi betul, lho."
"Aku ngerti. Sedang dalam penyelesaian." Kadang-kadang M
senang kalau aku menontonnya berkarya. Cuma sesekali saja,
terutama kalau sedang bereksperimen. Biasanya, aku baru boleh
menonton hasil karyanya kalau benar-benar sudah selesai.
Ketika M keluar untuk membersihkan lengannya, kuletakkan
tas ranselku di meja sedangkan skateboard kusandarkan di dinding.
Setelah itu kujerang air di teko. Aku tahu, M menyukai secangkir teh
rempah. Aku juga mau. "Beres," kata M setibanya dari luar. "Bersih total tanpa
menyumbat saluran." Disekanya tangannya yang basah dengan
handuk yang ada di dapur. "Bagaimana kabarmu hari ini?"
Aku mengkeret dan menggerak-gerakkan tanganku maju
mundur. "Yah ... gitu deh. Ada test matematika."
"Hasilnya?" "Besok baru dibagikan, tapi rasanya cuma satu soal yang aku
nggak bisa." "Mampir di Fitzie tadi?"
"Ya. Rambut Sabs kejatuhan kertas-kertas dari papan
pengumuman. Lucu, deh." Aku berhenti lalu memandang ke arah lain.
"Terus?" selidik M sambil memandangku lekat-lekat. Untung
teko di kompor mulai bersiul. M mengangkatnya dari kompor. Ia
mengeluarkan dua buah mug dari lemari, kemudian memasukkan
kantung-kantung teh celup ke dalamnya.
"Nggak...nggak ada apa-apa, kok," kucoba untuk kedengaran
cuek. "Cuma tadi Sabs melihat poster tentang istal kuda yang
menawarkan diskon untuk kursus berkuda. Kelihatannya dia pingin
ikut banget." M melirik padaku sambil menuangkan air mendidih ke dalam
mug-mug tadi. "Jadi dia pingin ikut kursus berkuda?"
"Boleh jadi. Dia ngajak kami semua ikut, tapi Al nggak mau,
sedangkan Katie sibuk latihan hoki. Katanya sebentar lagi ada
pertandingan penting."
M meraih mug-nya lantas menggoyang-goyangkan kantung teh
celup dengan jari-jarinya. Sekarang justru M yang pura-pura tenang.
"Kau ingin naik kuda lagi?"
"Aku nggak begitu tertarik," aku menyahut sambil meraih mugku. "Dulu kan sudah pernah. Kupikir lebih baik aku nyoba sesuatu
yang baru, jangan itu-itu melulu. Kan M juga yang selalu bilang
begitu?" "Tapi aku kan tidak pernah menganjurkan engkau
meninggalkan hal-hal yang kau sukai," sahut M dengan lembut.
Alamak, kena batunya deh, aku...
"Dulu kau senang menunggang kuda, kan?" tambah M lagi.
"Barangkali masih mengasyikkan lho, kalau kau mau nyoba lagi. Aku
mau kok membayari kursusmu, tapi separohnya saja. Sisanya dari
tabunganmu." Tumben nih, M melakukan pendekatan seperti ini. Biasanya dia
tidak pernah membujukku, karena sudah hafal dengan sifatku yang
sering keras kepala. "Aku mau main drum sebentar," kataku tiba-tiba.
"Ran," panggil M perlahan.
Aku berbalik dan menatap matanya dengan berat hati.
"Ran, nggak apa-apa, kok. Semua orang punya pengalaman
pahit. Perasaanmu itu wajar. Kalau kau nggak mau berkuda, ya sudah.
Itu kan keputusanmu sendiri. Cuma ... ah, sudahlah."
Aku mengangguk. Kurasa M memang tak perlu menyelesaikan
kalimatnya. Kalau aku mau menunggang kuda lagi, ya baguslah. Tapi
kami berdua sadar bahwa untuk itu aku harus benar-benar siap dulu.
************** Esoknya di sekolah, setiap kali Sabs mencoba ngomong soal
kuda, aku selalu berusaha berbuat sesuatu untuk menarik perhatian
orang banyak, dan (syukurlah) ada saja orang yang menyela. Saat
makan siang kupikir ia sudah menyerah.
Tapi setelah makan ia mengeluarkan sebuah buku. Gambar
sampulnya, astaga, seekor kuda!
"Lihat, apa yang kutemukan di perpustakaan tadi pagi," kata
Sabs sambil menunjukkan buku itu pada kami.
"Jeruknya mau dimakan, nggak, Sabs?" selaku.
Sabs mengangsurkan jeruk itu tanpa terpengaruh selaanku. "Ini
buku tentang kuda yang betul-betul bagus. Lihat saja gambargambarnya." Ditunjukkannya foto sebesar satu halaman penuh yang
menggambarkan kuda-kuda besar berwarna keemasan sedang
bercanda di padang rumput. Memang bagus kuda-kuda itu, tapi waktu
Sabs melirik untuk melihat reaksiku, aku pura-pura terpesona pada
jeruk di tanganku. "Ya, kuda memang hewan yang menakjubkan. Sayangnya aku
cuma bisa belajar tentang kuda lewat buku." Sabs mengedarkan
pandangan penuh harap ke arah kami bertiga.
Al menggeram. "Aduh, jangan ngomong soal kursus berkuda
lagi, dong!" "Kursus berkuda yang ada potongan harganya," Sabs
mengoreksi. "Sabs," Al mencoba menjelaskan dengan sabar. "Katie nggak
ada waktu buat kursus, sedangkan Randy dan aku nggak tertarik.
Kalau kau ngebet banget ikut kursus, barangkali kau harus kursus
tanpa kami." "Aku nggak mau kursus sendirian. Mauku, kalian juga ikut, jadi
kita bisa berbagi pengalaman menarik yang akan memberi kita
pelajaran tentang hidup dan makna tanggung jawab. Lagipula, ini kan
cara yang sip buat ketemu cowok-cowok."
"Itu semua kau pelajari dari buku, ya?" tanya Al penuh curiga.
Sabs tertawa. "Boleh jadi. Kecuali yang soal ketemu cowok."
"Oke deh, aku ikut," sahutku begitu saja.
Aku sendiri tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulutku.
Sungguh, aku tidak bermaksud ngomong begitu. Kata-kata itu tidak
sengaja keluar dari mulutku.
"Kau mau?" tanya Sabs sambil mencondongkan tubuhnya
menyeberangi meja untuk meraih tanganku.
"Kau mau?" ulang Al ragu-ragu.
"Aku" Aku tak bisa meneruskan. Aku dapat saja mengaku
salah omong, atau cuma lelucon. "Aku mau, tapi akhir-akhir ini
pekerjaan meng-koleksi perangko amat menyita waktu luangku."
Kerongkonganku serasa tercekat, dan tiba-tiba jantungku seolah-olah
berdetak terlalu cepat. "Bukan, maksudku...." Kalimatku terhenti lagi.
"Jadi kau mau apa nggak, Ran?" tanya Al sambil
memandangiku dengan tatapan aneh.
Sementara itu, suara-suara di dalam hati kecilku terus berkata,
"Bilang saja tidak, Randy. Bilang tidak." Sayangnya aku benci
disuruh-suruh. "Ya," jawabku, terlontar begitu saja. "Aku mau."
"Asyik!" teriak Sabs. "Pasti luar biasa, deh! Aduh, aku nggak
sabar lagi, nih. Kemarin Rolling Hills sudah kuhubungi dan katanya
kita bisa mulai besok."
"Besok?" Suaraku tercekik, tapi Sabs kelihatannya tidak
memperhatikan hal itu. "Aku pingin milih kuda palomino berwarna keemasan seperti di
gambar ini." Ditunjukkannya foto seekor palomino yang sangat bagus.
Palomino adalah kuda yang warna bulunya keemasan dengan ekor dan
surai berwarna putih atau keperakan.
Aku mengangguk. "The Lone Ranger juga naik palomino.
Tahu, kan? Hai-yo Silver!"
"Kuda-kuda itu bagus juga?" tanya Sabs penuh semangat.
"Bisa jadi," jawabku. "Sebenarnya, warna nggak pentingpenting banget. Ada banyak yang harus diperiksa sebelum kita
memilih." "Misalnya?" tanya Sabs lagi.
"Wah, aku cuma ikut kursus sebentar dan berkuda beberapa kali
di Central Park, jadi nggak ahli banget soal perkudaan. Tapi orangorang di istal selalu omong-omong soal pastern, tali pelana, hock,
dan...macam-macam, deh." (Pastern adalah bagian kaki kuda yang
terletak di antara pergelangan dan kuku. Sedangkan hock terletak di
antara lutut dan pergelangan).
"Wah, kedengarannya asyik banget," seru Sabs. Roman
mukanya seperti membayangkan berkuda menerjang ombak.
"O ya, orang-orang itu juga banyak ngomongin soal
membersihkan kotoran kuda," tambahku.
"Kotorannya?" sahut Sabs.
"Tahu kan ? anjing juga suka buang kotoran di halaman.
Kadang-kadang kita nggak sengaja menginjaknya. Kuda juga begitu.
Mana punya kuda lebih besar, lagi," kataku. "Jauh lebih besar
daripada anjing." Bisa kutebak dari roman muka Sabs bahwa urusan
yang begituan belum pernah terlintas dalam impian manisnya. Siapa
tahu kenyataan-kenyataan seperti itu bisa menyurutkan niatnya, dan
dengan begitu aku juga bebas, kan?
Tapi Sabs cuma mengangkat bahu. "Yang penting naik kuda.
Melintas secepat angin melintasi padang rumput, dengan rambut
tertiup angin, lalu..."
"...lalu jatuh dan mendarat di lumpur," sambung Al.
"Bisa jadi lebih apes dari itu," tambah Katie sambil terkikik.
Aku pasti bereaksi mendengar itu. Untung teman-temanku ini
sedang sibuk tertawa mendengar kata-kata Katie yang lucu, sehingga
tidak memperhatikan perubahan paras wajahku. Kecuali Al. Kadangkadang aku berpikir, semua yang kukerjakan atau kurasakan selalu
ketahuan oleh Al. Yang jelas kini ia memandangku dengan tatapan
penuh curiga, lalu berkata, "Tahu nggak? Pikir-pikir, mendingan aku
ikut kursus juga. Gini-gini aku kan keturunan Indian."
"Katanya suku Chippewa nggak naik kuda," protesku.
Al mengangguk. "Justru karena itu aku harus belajar. Biar saja
orang-orang sesukuku cuma kenal kano dan nggak merasakan
kesenangan-kesenangan lainnya. Aku kan nggak perlu ikut-ikut kuper
begitu?" ia menjelaskan sambil tersenyum.
"Ayo dong, Katie," desak Sabs. "Cuma kamu, lho, yang belum
ikutan." "Wah...kalau kalian semua ikut, kelihatannya aku jadi kepingin.
Tapi aku nggak mungkin bolos latihan, soalnya pertandingan melawan
Windmere makin dekat. Aku harus menghadapi Barton LeFevre. Dia
dijuluki Bad Bart, karena suka menerjang lawan sampai terlempar ke
luar lapangan. Semua orang bilang, dia kayak benar-benar kayak
badak." "Menerjang lawan bukannya melanggar peraturan?" tanya Sabs.
Katie nyengir. "Iyalah. Anak itu selalu kena hukuman, tapi
sementara itu yang ditubruk sudah ambruk, malah remuk. Bart pasti
mengira cuma berhadapan dengan ?kue bolu?. Dia belum tahu akan
dapat kejutan." "Bolu pembunuh, ya?" tanya Al.
"Semacam itu, deh," jawab Katie setuju, sambil tertawa.
Aku ikut tertawa. Tapi sebenarnya mendingan disuruh melawan
sepuluh Bad Bart deh, daripada harus berhadapan dengan satu kuda
yang tidak begitu jahat. Kok aku setuju-setuju saja sih ikut kursus?
Apa mungkin beberapa jaringan otakku jadi kendor gara-gara terjatuh
dari dari skateboard tempo hari?
Untungnya bel berbunyi. Aku tak perlu berlama-lama
memikirkan jawaban pertanyaan-pertanyaan itu.
BAGIAN TIGA "Mari kita mulai dari awal. Ini adalah bagian depan kuda, dan
yang ini bagian belakangnya."
Sejauh ini semuanya oke. Pelajaran berkuda hari pertama
ternyata gampang. Waktu itu hari Jum?at sore dan Richard Cole,
pelatih kami, telah membawa kami berkeliling peternakan Rolling
Hills. Kandangnya ada sepuluh, kudanya sembilan. Kemudian Richard
menuntun seekor kuda berwarna coklat muda yang sudah agak tua
bernama Pumpkin dari kandangnya. Kami disuruhnya berkumpul
untuk mengikuti pelajaran dasar tentang kuda.
Pumpkin berdiri dengan tenang di depan deretan kandangkandang yang lain. Ia cuek saja dijadikan bahan peragaan bagi
"kuliah" Richard.
"Cakep, ya," bisik Sabs sambil menyenggol rusukku dengan
sikunya. Aku yakin dia bukan memuji Pumpkin. Richard, yang usianya
16 tahun, memang keren ? penampilannya seperti layaknya pecinta
alam. Selain itu, rasa humornya tinggi. Orangtuanya pemilik istal kuda
ini. Richard bekerja dan mengajar di situ sepulang sekolah.
"Bagian depan pasti bisa kalian kenali," lanjut Richard,
"soalnya di situlah letak kepala. Tapi bagian badannya mempunyai
dua sisi, dan kita harus bisa mengetahui bedanya." Sementara Richard
berbicara, Pumpkin memandangi kami dengan mata coklatnya yang
besar. Kelihatannya dia bosan. "Kalian harus selalu mendekati kuda
dari sisi kiri. Kuda sudah terbiasa dipasangi pelana dan dinaiki dari
sisi itu. Kalau kalian tiba-tiba muncul di sisi kanannya, dia jadi
bingung." "Sisi kiri disebut sisi dekat kan?" tanya seorang gadis berambut
pirang yang bernama April.
"Betul," jawab Richard. April tersenyum padanya dan tampak
sangat gembira. April adalah anak kelas tiga, satu sekolahan dengan kami. Ia
senang sekali mengumbar bahwa sebenarnya ia sudah mahir berkuda.
Kursus ini semata-mata untuk memperhalus kemahiran saja, begitu
sesumbarnya. Kelompok peserta kursus kami terdiri dari delapan orang: Al,
Sabs, dan aku sendiri, ditambah dua orang gadis yang tampaknya juga
Girl Talk 25 Trauma Sang Joki di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak kelas satu SMP ? entah dari SMP mana, serta dua orang lagi
anak SMP Bradley selain April.
"Kapan sih kita mulai menunggang kuda?" tanya Sabs. Pasti dia
sudah tak sabar ingm merasakan hembusan angin di rambutnya.
"Mmm...namamu Sabrina. kan?" tanya Richard.
Sabs mengangguk. "Begini, Sabrina, kamu boleh menunggang kuda sekarang juga.
Pergilah ke ruang perlengkapan. Ambil salah satu pelana model
Inggris dan sebuah tali kekang, lalu pasangkan pada Pumpkin. Eratkan
sabuk pelananya, atur sanggurdi dan tali dagu, pastikan bahwa posisi
tali kekang pada mulut kuda sudah pas. Setelah selesai, naiklah ke
punggung Pumpkin lalu ajak kuda itu berlari."
Sabs ternganga, mukanya merah padam. Hampir semua hal
membuat mukanya memerah, dan ia paling tidak suka hal itu terjadi,
sehingga aku agak kasihan padanya.
"Jangan khawatir, Sabrina," bujuk Richard. "Sekarang, semua
itu memang kedengarannya teknis banget, tapi beberapa minggu lagi
kamu pasti sudah mahir." Ia tertawa, tawanya menyenangkan. "Tentu
saja untuk bisa menunggang kuda dengan mahir diperlukan waktu
lebih lama lagi. Tapi aku janji, deh, pada pelajaran berikut kamu pasti
sudah bisa naik kuda, asalkan sekarang kamu memperhatikan dasardasarnya secara sungguh-sungguh. Kami bahkan akan mengadakan
semacam pertunjukan sekolah pada akhir kursus supaya kamu bisa
memamerkan kebolehanmu."
Richard melanjutkan pelajaran dasar-dasar anatomi kudanya.
Aku mulai kehilangan konsentrasi saat ia menerangkan soal gigi kuda.
Mataku bolak-balik melirik ke arah seekor kuda yang bagus di istal
paling ujung. Warnanya hitam pekat, kecuali "bintangnya". Yang
disebut bintang pada seekor kuda adalah bercak putih yang menghiasi
dahinya. Kuda hitam itu jelas-jelas memandang ke arah kami. Tapi
kuperhatikan juga kedua kupingnya: agak ditariknya ke belakang. Itu
pertanda suasana hatinya sedang jelek. Dalam hati aku bertanya-tanya:
apa ya yang mengganggunya?
"Dan yang ini apa?" tanya Richard. "Mmm... Randy? Benar kan
ini namamu? Maaf, aku perlu waktu untuk mengenal nama kalian satu
per satu." Aku menoleh dengan kaget. "Ya, Randy," jawabku sambil
mengalihkan pandangan dari si kuda hitam.
"Baik." Richard tersenyum padaku, lalu menunjuk ke bagian
kaki Pumpkin tepat di atas kukunya. "Apa namanya?"
"Pastern," sahutku.
"Bagus sekali," kata Richard.
"Tanpa pastern, bukan kuda namanya." Dulu pernah kudengar
kata-kata itu di istal-istal kuda di New York. Maksudnya, kalau
pastern tidak berada pada sudut yang tepat, seekor kuda pasti akan
mengalami kesulitan. Soalnya yang namanya pastern punya fungsi
sebagai semacam peredam getaran.
Harus kuakui, senang juga melihat tampang Richard yang
terheran-heran. "Kamu sudah pernah naik kuda, ya?" tanyanya.
Kuangkat bahuku dengan gaya tak peduli. "Dulu sekali,
lagipula cuma sebentar."
"Gaya Inggris atau Barat?"
"Inggris," jawabku buru-buru. Pada dasarnya ada dua gaya
berkuda. Gaya Inggris berarti menggunakan pelana yang ringan,
sedangkan pada gaya Barat digunakan pelana koboi yang berat dan
ada tonjolannya. Berkuda dengan gaya Inggris berarti pakai acara
melompat dan pertunjukan menunggang serasi yang disebut dressage.
Nah, kalau yang model Barat lebih seperti bekerja ? dengan keahlian
tali temali dan berbagai keterampilan yang seperti dikerjakan oleh
para koboi. Kurasakan siku Sabs mengenai rusukku lagi. "Kesayangan
guru, nih ye," bisiknya.
Sekarang Richard meneruskan tour keliling Rolling Hills
dengan membawa kami ke ruang perlengkapan yang lazim disebut
TackRoom. Yang disebut tack ialah segala perlengkapan yang
digunakan dalam urusan perkudaan, misalnya pelana, tali kekang,
serta sisir, sikat, dan perleng-kapan lain untuk merawat kuda. Ruang
Perlengkapan di peternakan Rolling Hills sangat rapi. Pelana-pelana
digantungkan pada teralis kayu di sepanjang dinding, sedangkan tali
kekang tergantung pada pasak-pasak yang berjajar di atas teralis.
Peralatan lainnya disimpan dalam sejumlah rak.
Sementara Richard menerangkan betapa pentingnya kita
memelihara peralatan berkuda, aku agak memisahkan diri dan berdiri
di dekat pintu. Kini kami lebih dekat lagi dengan si kuda hitam,
sehingga aku dapat memperhatikannya dengan lebih seksama. Kuda
itu juga dapat melihatku lebih jelas.
"Hai," aku mencoba menyapa.
Kuda itu mendengus, menarik kepalanya ke belakang, lalu
memalingkan muka. "Kamu ternyata nggak ramah, ya?" tanyaku. Aku mendapat
kesan bahwa kuda itu telah menolakku.
"Kelihatannya kamu sudah kenalan dengan Thunder," kata
Richard yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangku. "Ia penghuni
baru di sini. Waktu keluargaku membuka kembali Rolling Hills, kami
harus membeli beberapa ekor kuda tambahan. Kuda hitam ini kami
beli di pelelangan."
"Bagus sekali ya, dia," aku memuji.
"Memang," jawab Richard. "Tapi selama ini merepotkan kami.
Enggak mau diatur." Aku menyeringai mendengarnya. "Ada yang bilang, aku juga
seperti itu." "Sifat itu mungkin bagus pada manusia, tetapi tidak pada kudakuda yang harus dilatih. Aku curiga pada pemiliknya yang dulu,
jangan-jangan memang tidak bisa mengendalikan dia."
"Dia pemberontak," kataku. "Ketahuan dari sorot matanya."
"Enteng sekali caramu mengatakan hal merepotkan itu,"
komentar Richard sambil tertawa. Kemudian ia kembali ke muridmuridnya yang lain, lalu mengajak kami berkumpul di sekitar
Pumpkin sekali lagi. "Sekarang kita akan membahas dasar-dasar perawatan kuda.
Merawat kuda bukan pekerjaan enteng, lho. Tangan kalian bisa sakit
semua. Apalagi kalau cuaca sedang panas. Benar-benar sengsara, deh.
Masalahnya, kuda tidak seperti mobil atau sepeda. Kita tidak bisa
meninggalkannya begitu saja di tempat parkir. Mahluk hidup kan
punya kebutuhan khusus. Kalau kita malas memberi makan dan
merawat kuda, serta membersihkan kandangnya, percuma saja belajar
berkuda. Nah, kalau ada di antara kalian yang tidak sudi melakukan
pekerjaan yang kotor-kotor itu, mengaku saja dari sekarang. Kami
akan mengembalikan uang kursus kalian."
Kami semua diam (biarpun jelas-jelas kudengar Sabrina
mengerang). Selama 15 menit Richard memperagakan cara merawat kuda.
Ditunjukkannya cara menahan seekor kuda dengan simpul silang,
yaitu dengan mengikatkan sepasang tali ke kepalanya sehingga ia
tidak bisa kabur. Kami juga belajar menggunakan sisir dan sikat.
Ketika Richard selesai dengan peragaannya, Pumpkin tampak rapi dan
licin, dan kelihatannya ia merasa nyaman. Kuda pada umumnya suka
dirawat. Kadang-kadang ada kuda yang berusaha ?berterima kasih?
dengan cara memutar kepala untuk menggaruk punggung kita.
"Sebelum kalian pulang, ada satu hal lagi yang akan kita
lakukan," kata Richard. "Akan kujodohkan setiap orang dengan kuda
pasangan masing-masing. Kalian berdelapan dan kami punya
sembilan ekor kuda, jadi gampanglah itu. Kuda-kuda yang akan jadi
pasangan kalian macam-macam sifatnya, dari Pumpkin yang bijak,
super sabar dan penuh pengertian, hingga Thunder yang di sana itu.
Sepertinya kuda itu hanya bisa dinaiki oleh pengendara
berpengalaman." Richard memandangku dengan alis terangkat dan ekspresi
menyelidik. Dengan kaget kucuri pandang ke arah Thunder, lalu
cepat-cepat menunduk. "Sabrina," kata Richard, "kamu memerlukan kuda bertubuh
agak kecil, jadi kupasangkan kamu dengan Bilbo. Itu, kuda mungil
berwarna coklat kemerahan yang di sana itu."
Sabs berjalan menuju Bilbo, yang menjulurkan kepalanya
melewati pintu kandang untuk mencium tangan Sabs.
"Ia suka digaruk telinganya," kata Richard.
Richard melanjutkan tugasnya mencarikan pasangan bagi
murid-muridnya. Pasangan Al adalah seekor kuda bay cantik bernama
Sweetheart. Warna bulu kuda bay berkisar antara keemasan dan warna
gelap kayu, tapi warna surai, ekor, dan bagian bawah kakinya selalu
hitam. Sweetheart memiliki bulu berwarna coklat tua kekuningan.
Dengan rambutnya yang hitam dan kulitnya yang kecoklatan, Al
tampak seperti "kembaran" Sweetheart.
Akhirnya Richard menatapku. Aku sudah tahu apa yang akan
diusulkannya, dan rasanya aku ingin lari. Pelan-pelan aku menjauh
supaya kami tidak akan berdiri tepat di sebelah Sabs atau Al.
"Nah, sekarang tinggal Thunder dan Pumpkin," kata Richard.
"Thunder bisa merepotkan. Tapi, di lain pihak, Pumpkin gampang
ditebak. Kamu tentu sudah tahu apa yang kumaksud."
"Gampang ditebak" berarti membosankan. Semua peternakan
memiliki kuda seperti Pumpkin: tak banyak tingkah, dan biasanya
ditunggangi oleh pemula yang masih takut-takut atau anak kecil dan
"manula." Pumpkin mengenal dengan baik semua lintasan berkuda,
dan menguasai seluk-beluk peternakan ini sedemikian baiknya
sehingga dapat dikatakan bisa "dilepas" sendirian.
Richard menantangku, nih. Dia sengaja menjodohkan temantemanku dengan kuda-kuda yang lain karena ia tahu bahwa temantemanku belum berpengalaman. Akulah satu-satunya yang berani
membayangkan naik kuda seperti Thunder. Sebetulnya ini suatu
kehormatan buatku, tapi aku sama sekali tidak merasa bangga.
Kupandang Thunder agak lama. Ia meringkik dan melemparkan
kepalanya ke belakang, lalu memandangku dengan matanya yang
besar dan berwarna gelap.
"Aku pilih Pumpkin saja," gumamku.
"Nggak salah, nih?" kata Richard. Wajahnya tampak kaget
campur kecewa. "Aku... aku sudah lama nggak berkuda," jelasku sambil
mengkeret. Richard memandangiku sejenak, seakan-akan tidak yakin harus
membujukku atau tidak. "Terserah kamu, deh," kata Richard akhirnya.
Kutepuk moncong Pumpkin dan sengaja tidak mau melihat ke
arah Thunder. Aku merasa bahwa Thunder menantangku dan aku
menyerah ketakutan. Aku tidak mau melihat cemoohan di matanya.
Aku tahu itu bodoh. Maksudku, dia kan cuma kuda.
Rupanya aku tidak begitu berhasil menyembunyikan
perasaanku, soalnya kulihat Al menatapku. Ia menepuk-nepuk
Sweetheart, tapi matanya memandang ke arah Thunder, lalu Pumpkin,
dan akhirnya ke arahku. Al memang begitu seperti selalu dapat menerka perasaanku.
Celakanya, saat ini aku merasa bahwa ia mengenalku terlalu baik.
BAGIAN EMPAT "Bagusan yang mana?" tanya Katie pada suatu Sabtu sore di
mall. Masing-masing tangannya memegang sebuah rok lipit yang
sungguh mati tampak serupa. Dalam soal pakaian, selera Katie agak
berbeda denganku. Tapi menurutku, gaya preppie, alias gaya anak
sekolahan, memang sangat cocok buat Katie.
"Yang kiri?" jawabku ragu-ragu.
"Yang kanan," sergah Sabs, yakin.
Katie menggeleng ragu, lalu dipandanginya kedua rok itu
bergantian. "Kayaknya dua-duanya kurang cocok," katanya.
Kami sedang berdiri di bagian perlengkapan remaja di mall itu.
Biasanya Katie dan Sabs paling serius dalam urusan perbelanjaan,
sedangkan Al dan aku cuma ikut karena senang jalan saja.
Al tak begitu peduli soal baju. Dia pantas pakai apa saja, jadi
tak perlu repot-repot berdandan. Aku sebenarnya suka belanja
pakaian, tapi bukan seperti yang dijual di toko yang sedang kami
kunjungi saat ini. Di Acorn Falls hanya sedikit toko yang bajubajunya oke menurut seleraku. Nanti kalau menengok D di New York,
baru deh aku mau memborong macam-macam baju.
"Kalau kau batal beli rok itu, kita ke Cowgirl Blues saja, yuk?"
usul Sabs. Cowgirl Blues adalah nama toko di mall ini yang khusus
menjual perlengkapan kegiatan luar rumah buat cewek. Pakaian untuk
ski, berkuda, pokoknya yang semacam itulah. Sabs sudah memikirkan
penampilannya sejak pertama kali dapat berkuda bersama Bilbo.
"Aku bener-bener kepingin punya jaket suede yang pakai
rumbai-rumbai," kata Sabs penuh harap. "Atau boot koboi kayak
punya Richard." Suede adalah jaket yang terbuat dari kulit bagian
dalam. "Wah, keren banget, tuh," komentar Katie. "Ayo."
Kami keluar dari toko itu lalu segera menuju Cowgirl Blues.
Katie dan Sabs berlari duluan untuk "cuci mata" di sebuah toko sepatu
yang memajang tulisan OBRAL SEPARUH HARGA besar-besar.
Al dan aku saling memandang. "Kita susul?" tanyaku.
Al mengangkat pundaknya. "Tenang-tenang saja deh. Enerjiku
sudah hampir habis buat jalan."
"Sama," sahutku.
"Lagipula ..." Al berhenti sejenak lalu sebelum memasukkan
kedua tangannya ke dalam kantong depan jeans-nya. "Aku lagi mikir,
sebenernya kamu ini sedang pingin cerita apa nggak, sih? Maksudku,
soal pribadi." "Kamu ngomongin apa sih?" tanyaku, pura-pura bego. Aku
sudah tahu maksud omongan Al, tapi mauku sih dia tidak meneruskan
usaha pendekatannya. Eh, tapi hati kecilku juga bilang supaya dia juga
meneruskan usahanya itu. Enggak tahu ah, aku bingung!
"Aku sih nggak maksa," kata Al akhirnya. Dia tahu, aku paling
nggak suka masalahku tersiar ke mana-mana. Pokoknya aku tidak mau
membicarakan hal itu, titik! Bahkan ke Al juga tidak.
Al duduk di bangku yang tempatnya masih bisa terlihat dari
toko sepatu. Aku ikut duduk di sebelahnya.
"Belakangan ini tingkahmu rada ajaib," Al memulai, hati-hati.
"Aku memang selalu rada ajaib," kataku sambil tertawa tapi
nadanya canggung. "Itu bukan berita baru, Non!"
"Maksudku kemarin, di peternakan, kamu kayaknya ... seperti
orang lain." "Kemarin?" ulangku, seperti beo.
"Di peternakan."
"Di peternakan?" Kerongkonganku serasa tercekat. Enggak
mutu, ya? Tapi aku memang bingung harus ngomong apa lagi.
"Randy, kenapa sih kamu milih Pumpkin? Kenapa bukan
Thunder?" Alamak ... ini dia! Akhirnya keluar juga pertanyaan yang
selama ini kuhindari. "Pumpkin kan baik," jawabku. Eh, aku nggak
bohong, kan? Pumpkin memang baik, kok.
"Iya, sih. Tapi kamu dan Thunder kan.... Maksudku, kalian
benar-benar sejodoh."
"Melihat dia saja aku baru sekali," protesku.
"Bukan itu masalahnya," jawab Al. "Pumpkin memang aman
dan nggak grubak-grubuk. Thunder pemberontak dan agak susah
adatnya. Tapi pilihanmu pada Pumpkin....," Al menggelengkan
kepalanya. "Itu sama sekali bukan sifatmu."
Analisanya tepat banget, nek! Aku jadi mengkeret. "Siapa tahu.
Kelakuanku kan memang nggak gampang ditebak."
"Randy, ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Sesuatu
Girl Talk 25 Trauma Sang Joki di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang besar," kata Al lembut. "Kau nggak perlu cerita kalau memang
nggak mau, aku juga nggak akan mendesakmu lagi. Tapi aku kan
sohibmu." Kuhembuskan nafas keras-keras. Al memandangku dengan
pandangan matanya yang tulus. Matanya yang berwarna gelap itu
seolah memohon agar aku percaya padanya. Terus terang, setelah M
dan Sheck, Al boleh jadi adalah orang yang paling bisa kupercaya.
Lagipula aku memang tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu
darinya. Ia yakin ada yang mengganggu pikiranku. Dan perkiraannya
memang benar. Aku menunduk, memandangi sepatuku, semi boot hitam bertali
ungu. "Aku pernah kecelakaan. Duluu sekali." Aku terdiam sejenak.
Tiba-tiba kejadian itu terlintas jelas, seperti baru terjadi kemarin.
"Waktu naik kuda."
Al membisu. Ia menunggu kelanjutan ceritaku dengan sabar.
Sekonyong-konyong tubuhku bergetar dan berkeringat. Tahu sendiri
kan gimana rasanya mengingat kembali ? semuanya, sampai hal
yang sekecil-kecilnya ? sesuatu yang pernah kita alami? Misalnya
tentang cuaca saat itu, dedaunan musim gugur, dan lain-lainnya.
Nah, sekarang semua itu tergambar lagi semuanya. Juga saat
tubuhku melayang di udara, dan kesenyapan gaib yang kurasakan
sesudahnya. Kuhela nafas panjang, lalu berupaya membuang kenangan
buruk itu. "Kami sedang berkuda di taman, di sepanjang lintasan. Aku
dan D. Di sekitar situ anak-anak sedang main frisbee. Nah, suatu saat
frisbeenya tidak terkendali, lalu mengenai kepala kuda yang
kutunggangi. Ia kaget dan ketakutan, lalu kabur dengan kecepatan
kira-kira seratus kilo meter per jam. Waktu itu tali kekangnya sedang
kulepas, jadi tak mungkin bisa menghentikannya. Bisa kurasakan
kami berlari kencang berkilo-kilo jauhnya, tapi aku cuma bisa
ketakutan sambil pegangan surainya."
"Pasti serem ya," komentar Al, lembut.
Aku mencoba nyengir, tapi pengalaman itu masih terlalu segar
dalam ingatanku. "Bener deh, dibawa kabur kuda benar-benar tegang
rasanya." "Terus, apa yang terjadi?"
Kuusapkan tanganku yang basah pada celana ketatku. "Di
depan kami ada pagar, dan aku menyangka kuda itu pasti akan
berhenti, jadi aku mulai merasa tenteram sedikit. Eh, tahu-tahu dia
nggak berhenti, malahan melompati pagar. Ajaib sekali rasanya.
Seperti terbang. Tiba-tiba suara derap kuda nggak kedengaran lagi.
Yang ada cuma suara ..." Ceritaku terhenti lagi. Aku kan tidak perlu
cerita sampai terinci banget. Suara yang kudengar saat sedang
melayang bersama kudaku, misalnya, kan tidak penting. "Rasanya
seperti terbang. Sialnya, terbangku nggak oke. Peganganku terlepas,
jadi aku melayang sendirian. Aku mendarat di semak-semak, lalu
menggelinding masuk parit."
"Ya ampun!" seru Al. Matanya membelalak.
"Pasti kepalaku terbentur, soalnya begitu buka mata, kulihat
beberapa perawat dan D mengerumuniku. Sungguh bukan cara terbaik
untuk bangun." "Kamu cedera?" "Nggak juga, sih. Cuma memar dan beset-beset."
"Hebat banget ceritamu. Pantas kamu takut naik kuda lagi."
"Ah, nggak takut," kataku agak ngotot. "Buktinya aku mau
kursus berkuda." "Ran, wajar saja kok, kalau kau takut. Maksudku, aku juga
takut sama dokter gigi. Semua orang pasti takut pada sesuatu," hibur
Al. "Aku tahu," jawabku sambil mengangkat pundak. "Tapi
sekarang aku bukannya takut sama kuda, atau sama hal sepele seperti
itu. Aku cuma... cuma ... agak ngerem sedikit, gitu."
"Walah, Randy, kalau aku pernah terlempar dari kuda yang
kabur lalu jatuh pingsan, nggak bakalan aku mau dekat-dekat kuda
lagi. Dari jarak semeter pun! Baru dengar ceritanya saja aku sudah
ngeri. Tapi dengan usahamu nyoba lagi, kau sudah membuktikan
kalau kau pemberani."
"Thank?s, Al," kataku, lega. Lalu aku menunduk lagi. Aneh,
setelah menceritakan rahasia itu pada sahabatku ini, rasanya bebanku
agak berkurang, meskipun dia harus memancingku dulu.
"Eh, itu Sabs dan Katie," kata Al sambil melihat ke arah toko
sepatu. Ia bangkit lalu melambai ke arah mereka.
Katie dan Sabs membalas lambaiannya lalu berjalan ke arah
kami. Masing-masing menenteng sebuah tas belanja.
"Dengar ya, Al," kataku tiba-tiba sambil berdiri di sisinya.
"Aku nggak mau orang lain tahu tentang rahasia yang kuceritakan
barusan. Sabs dan Katie pun nggak boleh tahu. Janji?"
Al diam sejenak. "Iya deh."
"Sungguh?" "Janji," jawab Al.
Tepat setelah itu Katie dan Sabs berlari menuju tempat kami
dengan wajah penuh semangat dan tampak puas karena telah berhasil
mendapatkan barang bagus dengan harga murah.
"Lihat boot baruku," kata Sabs sambil memamerkan sepasang
sepatu boot koboi dari kulit berwarna coklat dari tas belanjanya.
"Keren, kan? Persis seperti punya Richard. Separuh harga, lagi."
"Belanjaan hebat, Sabs," goda Al. "Bilbo pasti terpesona."
"Kupikir juga begitu," jawab Sabs, yang bangga dengan sepatu
barunya. "Ingat kan, Richard pernah bilang, kuda bisa merasa kalau
kita seorang pemula? Nah, kalau Bilbo melihat sepatu boot ini, dia
akan tahu bahwa aku nggak main-main."
"Sabs... kayaknya bagimu boot ini sakti, ampuh, gitu?" kata Al.
"Lihat saja nanti," janji Sabs sambil tersenyum penuh rahasia.
Ia memasukkan kembali sepatu barunya ke dalam tas belanja, lalu
kami sama-sama jalan ke rumah makan pizza favorit kami di pusat
perbelanjaan itu untuk makan siang.
Cara Sabs untuk mengatasi rasa senewennya menghadapi saat
menunggang Bilbo sederhana banget. Beli saja sepasang sepatu boot,
beres deh. Ketika melewati etalase toko sepatu, aku berpikir: coba aku
menemukan pemecahan yang sama gampangnya.... Tapi aku tahu
bahwa dengan membeli sepatu boot, topi, atau jaket berumbai yang
keren sekalipun, perasaan ngeri di hatiku tidak akan bisa hilang begitu
saja. Aku harus mencari cara lain.
BAGIAN LIMA "Tegakkan kepala!" seruku saat melaju melintasi aula sekolah,
Jum?at pagi. "Aku datang!"
Begitu sampai di depan loker, aku segera merem dengan kaki
kananku. Untung guru yang melihatku datang hanya Pak Grey, guru
IPS. Orangnya nggak macem-macem. Memang beliau mengangkat
alis sambil menggerak-gerakkan telunjuknya ke arahku, tapi dari
senyumnya aku tahu bahwa menurutnya aku datang dengan penuh
gaya. Sepanjang minggu ini aku memikirkan obrolanku dengan Al di
mall. Dan telah kuputuskan untuk menyingkirkan rasa takut berkuda
dari pikiranku. Mulai pelajaran hari ini aku akan melakukannya.
Mula-mula akan kukendarai Pumpkin, dan aku tidak akan menyerah
sampai aku bukan cuma berani mengendarai Thunder, tapi juga
bergaya dalam posisi handstand, berdiri dengan kepala di bawah, di
atas punggungnya selagi kuda itu berlari kencang.
Sore itu kami berangkat ke istal langsung dari sekolah. Sabs
mengenakan sepatu boot koboinya yang baru serta jaket kulit bergaya
Western hasil pinjaman dari saudara kembarnya, Sam. Sesuai
janjinya, Sabs benar-benar tampak "siap berbisnis" dengan Bilbo.
"Hari ini kita akan mulai dengan belajar memasang halter
(kendali), pelana, dan tali kekang," kata Richard pada awal pelajaran.
"Lalu kita akan belajar naik ke punggung kuda."
"Akhirnya jadi juga kita naik kuda," bisik Sabs.
Al melirikku. "Aku jadi nggak yakin nih, masih kepingin naik
kuda apa nggak," bisiknya.
Mau tak mau aku tersenyum. Tahu kalau Al juga khawatir
membikin aku merasa enakan sedikit.
Richard menggiring kami ke dalam kandang besar dan
menyuruh kami berdiri di muka kandang pasangan masing-masing. Di
dekat ujung gudang tampak seorang laki-laki berambut abu-abu dan
berkumis lebat sedang menyusun persediaan jerami. "Itu Ayahku,"
kata Richard. Kami semua menganggukkan kepala kepadanya. Pak
Cole, ayah Richard itu, balas mengangguk sambil tersenyum sebelum
melangkah keluar gudang. Kuda Richard, Duke, tampak terikat di lorong, di luar
kandangnya. "Kalian lihat, Duke sudah memakai kendali," kata
Richard mengawali pelajaran, "tapi aku akan mencopotnya, lalu
menunjukkan pada kalian cara memasangnya kembali. Pokoknya
jangan sekali-kali mengeluarkan kuda dari kandangnya kalau belum
dipasangi kendali dan tali penuntun. Tanpa itu, sulit mengendalikan
kuda kalian." "Katanya, kalau dipanggil kuda pasti datang," cetus April.
"Boleh jadi, April, tapi bisa juga sebaliknya," jawab Richard.
"Yang namanya kuda kadang-kadang keras kepalanya luar biasa, lho.
Dan kalau sudah begitu, susah ngaturnya. Perhatikan saja, kuda kan
lebih besar daripada kalian, juga jauh lebih cepat dan lebih kuat."
Richard memasang kembali kendali dengan mengalungkannya
lewat kepala Duke. Lalu dieratkannya sabuk (straps) sebelum
memasang tali penuntun. Kemudian ia meraih salah satu tali penuntun
dan mengikatkannya di "pagar" di sisi kiri lorong. Setelah itu
diraihnya tali penuntun yang sebuah lagi dan mengikatkannya pada
"pagar" di sisi kanan lorong.
"Ini namanya tali silang," jelasnya. "Kalian harus selalu
melakukannya sebelum memasang pelana atau menyikat kuda, supaya
ia tidak banyak bergerak. Memasang pelana bisa bikin frustrasi lho,
soalnya si kuda bisa kabur lewat kolongnya."
"Jadi, kita masang pelananya kapan?" tanya Sabs. Kurasa anak
itu sudah tak sabar. Aku sebaliknya, tidak ingin buru-buru.
"Ya sekarang," jawab Richard. "Ayo ikut aku." Richard
mengajak kami ke ruang peralatan, dan diberinya kami masingmasing sebuah pelana, kekang, dan perlengkapan berkuda lainnya
yang diperlukan. "Sial, berat banget," keluh Sabs saat kami mengangkut
setumpuk perlengkapan tersebut ke kandang pasangan masingmasing. Ia nyaris tenggelam di balik bawaannya: kendali, tali
penuntun, pelana, kekang, juag tali kekang, bantalan pelana, dan sikat.
Richard memberi contoh cara menyusun semua perlengkapan tersebut
sesistematik mungkin sehingga tetap bersih dan mudah ditemukan
kalau diperlukan. "Sekarang pergilah ke kandang pasangan masing-masing, lalu
cobalah memasang kendali," kata Richard. "Aku akan menolong
kalian kalau ada kesulitan."
Mulutku terasa kering ketika memasuki kandang Pumpkin lalu
menutup pintu kandang di belakangku. Orang pasti tak akan dapat
membayangkan betapa besarnya seekor kuda kalau tidak berdiri di
dekatnya. Tapi yang bikin deg-degan sebenarnya bukannya berada di
dekat kuda, melainkan ketika berada di punggungnya.
Kuingatkan diriku sendiri akan janjiku untuk membuang rasa
takut itu. Lagipula Pumpkin kan tidak pantas ditakuti. Malahan,
saking seringnya ia melakukan hal itu, sepertinya ia bisa memasang
sendiri perlengkapannya. Pasti beda banget, kalau yang kupasangi
kendali itu si Thunder. '"Nah, gampang kan memasang kendali?" tanya Richard setelah
akhirnya semua muridnya berhasil. "Selanjutnya agak lebih sulit. Kita
akan menuntun kuda kita keluar gudang dua-dua, karena mereka jadi
panik kalau dikumpulkan jadi satu. Setelah itu kita akan membuat tali
silang lalu memasang pelananya."
Tiba-tiba terdengar jeritan yang sangat kukenal. "Aauu..!
Rambutku dimakan!" teriak Sabs.
Rupanya Bilbo tidak begitu terkesan oleh dandanan Sabs.
Richard segera berlari untuk menarik rambut Sabs dari mulut Bilbo,
lalu mendorong kepala kuda itu menjauh dari kepala Sabs.
"Jangan sekali-kali membiarkan dia memakan rambutmu,"
nasihatnya. "Lambung kuda sensitif sekali."
"Membiarkannya??" seru Sabs. "Gimana melarangnya, coba?"
"Lho, kan kamu yang pegang komando. Ingat ini baik-baik,
Sabrina," kata Richard serius. "Kuda adalah hewan yang hidup dalam
kawanan dan terbiasa diperintah baik oleh pimpinannya atau oleh
manusia. Tapi kalau dibiarkan, ia akan berontak."
Sabs kembali ke Bilbo, sambil terus berusaha menghindarkan
rambutnya dari jangkauan mulut kuda itu. "Mulai sekarang, kamu
harus jadi kuda yang baik, oke?" katanya sambil menepuk-nepuk
moncong Bilbo. "Jinak tidaknya tergantung pada cara kalian menanganinya,"
kata Richard. "Thunder, contohnya. Menurutku, dia sudah sulit
dikendalikan." Saat itu juga Thunder, yang sedang melongokkan kepalanya
keluar pintu kandang untuk menonton apa yang sedang terjadi,
meringkik lantang sambil mendongakkan kepalanya. Semua mata
segera tertuju padanya. Aku seolah-olah bisa memahami
ringkikannya: kuda lain boleh-boleh saja "diperkuda", tapi aku tak
sudi disamakan dengan mereka.
Kuberi dia kedipan mata. Aku sungguh kagum pada sikapnya
itu karena aku memang selalu bersimpati pada siapa saja yang berani
melakukan segala sesuatu menurut kemauannya sendiri.
Teman-temanku agak lambat. Memasang pelana rasanya tidak
selesai-selesai. Apalagi memasang kekang. Kecuali aku dan Pumpkin.
Kan sudah kubilang, ia sepertinya bisa memakai sendiri peralatannya.
Ditundukkannya kepalanya supaya aku bisa mengalungkan kekang ke
lehernya dengan mudah. Ia bahkan membuka mulutnya waktu aku
memasang bagian kekang yang disebut bit ke dalamnya. Lalu setelah
semuanya beres, Pumpkin mengangguk-anggukkan kepalanya seakanakan puas akan hasil kerjaku.
Murid-murid lain tidak seberuntung itu.
"Ih, jijik," keluh Sabs. "Kamu sebenarnya kuda yang baik,
Bilbo, tapi aku tidak suka hidungmu membasahi sekujur tanganku.
Maaf-maaf saja." "Coba terus, Non. Dia pasti mau buka mulut juga," bujuk
Richard dengan sabar. "Dia cuma mau nguji, siapa sebenarnya yang
bisa jadi boss." "Dia boleh jadi boss, kalau mau," jawab Sabs, "asal aku boleh
menungganginya." "Mana bisa kamu menungganginya kalau kekang saja belum
terpasang di mulutnya," jawab Richard sambil tersenyum lebar.
"Kalau dia menggigit, bagaimana?" tanya Sabs.
"Jangan khawatir, di bagian mulut yang itu, kuda nggak punya
gigi, kok." Tiba-tiba Bilbo berkenan membuka mulutnya, sehingga Sabs
berhasil memasukkan kekang ke dalamnya dengan muka meringis
karena jijik. "Tuh, betul kan," komentar Richard, "akhirnya kamu berhasil
mengendalikan kudamu. Kita harus percaya diri."
Saking lamanya teman-temanku memasang pelana, kupikir
kami tidak akan ada waktu lagi untuk berkuda. Tapi ternyata nasibku
tidak sebaik itu. Setiap kali seorang anak berhasil memasang pelana,
ia harus menuntun kudanya keluar dari gudang. Sekalipun lambat,
akhirnya kami semua berhasil dan berkumpul di luar. Hari itu cuaca
sejuk. Matahari sudah mulai condong ke barat. Tiba-tiba saja suasana
sore itu terasa mirip sekali dengan suasana di Central Park bertahuntahun yang lalu.
Girl Talk 25 Trauma Sang Joki di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kurasakan jantungku berdebar lebih kencang, dan kukatupkan
gigiku erat-erat. Sekarang aku baru sadar bahwa niat lebih gampang
diucapkan daripada dilaksanakan.
"Ingat, selalu ? sekali lagi selalu ? naiki kuda dari sisi
dekatnya," kata Richard. "Ayo, siapa yang masih ingat, mana yang
disebut sisi dekat?" sambungnya.
"Sisi kiri," jawab Al. Anak itu memang kuat ingatannya.
"Bagus sekali," puji Richard. "Kuda itu mahluk yang teratur.
Mereka menyukai hal-hal rutin dan sudah terbiasa didekati dari sisi
kirinya. Jadi, kalau kalian naik dari sisi kanan, mereka jadi panik
karena bingung." Kupastikan sekali lagi bahwa aku berdiri di sisi kiri Pumpkin,
sekalipun aku yakin dia bukan tipe bingungan, apalagi panik.
"Baik, sekarang semua mulai memeriksa apakah sabuk pelana
sudah terpasang cukup erat. Kalau tidak, akan memalukan sekali
jadinya nanti. Perhatikan aku."
Aku membungkuk untuk memeriksa apakah sabuk pelana
Pumpkin sudah terpasang erat. Ia meringkik lembut, atau bahasa
sononya nickering. Kedengarannya manis sekali. Aku yakin itulah
caranya mengatakan padaku bahwa sabuknya sudah oke.
"Berdirilah di sisi kiri kudamu, letakkan tangan kirimu pada
leher kuda tepat di atas tulang belikatnya, lalu genggam surainya."
Kami turuti perintah Richard tanpa bersuara. Yang terdengar
hanya bunyi kuda-kuda yang menghentak-hentakkan kaki seakan-akan
tidak sabar ingin berlari.
"Sekarang dengan tangan kananmu, membungkuklah, lalu raih
sanggurdi dan masukkan kaki kirimu," perintah Richard lagi. Ia
berkeliling untuk memeriksa posisi kami satu persatu. "Bukan itu,
Allison, kaki kirimu," katanya begitu ia sampai di dekat kuda
Whillikers. "Kalau seperti itu, kamu akan menghadap ke belakang
nanti. Pastikan bahwa kaki kalian betul-betul masuk ke dalam
sanggurdi, supaya tidak tergelincir."
Setelah semua beres, Richard meminta kami meraih ujung
belakang pelana yang mencuat ke atas ? namanya cantle. "Sekarang
kalian harus melambung ringan lalu ayunkan kaki kanan melewati
punggung kuda. Kaki kananmu harus selalu lurus supaya..."
"Whoa!" jerit Sabrina.
Aku menoleh tepat ketika tubuh Sabs melambung seolah-olah ia
hendak duduk di atas pelana. Malangnya, saat itu pula Bilbo
melompat ke muka sehingga Sabs tergelincir. Sedetik kemudian ia
mendarat di tanah tepat di atas punggungnya. Bilbo merunduk
memandanginya dengan mata coklatnya yang besar, seolah-olah tanpa
dosa. Richard segera menolong Sabs bangkit. "Aku baru mau bilang,
kaki kananmu harus selalu lurus supaya tidak mengenai bagian
belakang kudamu, supaya dia tidak kaget dan bergerak mendadak
seperti tadi." Ditepuknya bahu Sabs. "Kalau sudah begitu, kalian bisa
terlempar seperti Sabs."
"Dia membenciku?" kata Sabs sambil memandang Bilbo penuh
curiga. "Bilbo?" jawab Richard tersenyum. "Dia sangat lembut. Pasti
dia cuma ngajak main."
"Main-main apaan," gerutu Sabrina. "Dasar nasibku, dapat kuda
badut." "Semua siap?" tanya Richard.
Kami semua menjawab ya, biarpun ada yang masih takut-takut.
Jatuhnya Sabs tadi membuat kami agak senewen. Apalagi aku.
Kejadiannya cepat sekali. Tapi kutenangkan diriku bahwa Sabs tidak
apa-apa ? cuma kotor sedikit.
Kuhela nafas panjang. Kurasakan tanganku agak gemetar di
leher Pumpkin. Kalau saja yang kunaiki ini Thunder, dia pasti bisa
merasakan bahwa aku tidak sepenuhnya memegang komando. Untung
juga Pumpkin tidak peduli.
"Kuhitung sampai tiga, ya," seru Richard lantang. "Satu..."
Kumantapkan peganganku sebisa-bisanya. Aku tak boleh
kelihatan takut. Amit-amit, pokoknya tidak boleh.
"Dua..." Tapi gimana ya kalau Pumpkin ternyata tidak semanis yang
kukira? Kalau dia tiba-tiba melesat kabur? Aku masih ingat betapa
ringan rasanya tubuhku sewaktu melayang di udara. Lalu terbayang
wajah-wajah perawat yang mengerumuniku.
"Tiga!" Kueratkan peganganku pada surai Pumpkin. Tapi aku membatu.
Aku tak mampu melakukannya.
Kupandang sekelilingku, lalu kulihat Al duduk dengan enaknya
di atas punggung Sweetheart. Bahkan Sabs pun akhirnya berhasil naik
ke punggung pasangannya, Bilbo. Cuma aku yang masih berdiri
seperti orang bego. Al membungkuk padaku, lalu dengan suara lembut yang hanya
bisa terdengar olehku ia berbisik, "Kau tidak harus melakukan ini
sekarang, Ran." Kupandangi dia, tapi tak kujawab kata-katanya. Anak itu benar,
aku tidak harus melakukan itu sekarang, tapi aku kan harus mencoba.
Kujadikan otakku sebagai autopilot, lalu kuraih sanggurdi dan
kuayunkan kakiku. Sedetik kemudian aku sudah berada di atas
punggung Pumpkin yang lebar.
Ketika aku menoleh ke arah Al, ia tersenyum lantas
mengedipkan mata padaku. *************** Senin sore, sepulang sekolah, aku langsung menghampiri lemari
es. Kuambil apel lalu kukunyah perlahan-lahan. Kemudian kupanggil
M yang sedang bekerja di studionya.
"M, wortel pada ke mana, sih?" seruku.
"Lho, kan kemarin kau yang beli," jawab M juga sambil
berteriak. Enaknya hidup di gudang kami, salah satunya adalah
keterpencilannya, sehingga kami tak perlu merasa khawatir teriakan
kami akan mengganggu tetangga.
"Memang," seruku lagi. "Tapi kan bukan aku yang
mengeluarkan belanjaan itu dari tas." Aku dan M saling berbagi tugas
rumah tangga yang menurut kami membosankan, termasuk berbelanja
bahan makanan. Sebenarnya aku tidak keberatan belanja, soalnya M
seringkali belanja di toko makanan diet bergizi dan pulang tidak bawa
apa-apa selain membawa makanan diet, seperti tahu atau pisang. Aku
bukannya gila coklat atau keripik kentang, tapi kan remaja perlu juga
makan "racun" sekali-sekali, sebangsa hamburger.
M muncul dari studio sambil menadahkan telapak tangan di atas
kuasnya agar catnya tidak menetes mengotori rumah. "Sudah dicari di
lemari?" "Di mana-mana juga wortel tempatnya di kulkas," kataku
membela diri. Tapi benar juga, begitu kubuka pintu lemari, di depan
mataku tampak sekantung wortel bertengger di antara cemilan
cheerios-ku dan granola milik M yang tanpa pemanis.
"Kenapa sih, kok tiba-tiba ngidam wortel?" tanya M.
"Aku mau ke peternakan. Kepingin aja bawa oleh-oleh buat
kuda-kuda di sana." "Tapi kan hari ini nggak ada pelajaran..."
"Aku tahu," potongku. "Aku cuma pingin mampir sebentar kok,
mumpung nggak banyak PR."
"Kalau gitu nggak ada masalah lagi dong, berkudanya."
"Lumayan, deh ... membaik," jawabku.
"Perlu diantar?"
"Nggak usah, aku naik skateboard aja sebentar, terus disambung
jalan kaki," kataku. Ke Rolling Hills kan paling-paling cuma 20
menit. Ketika aku sampai di Rolling Hills, tempat itu sepi, tak ada
siapa-siapa. Lalu kulihat Richard di kejauhan sedang mengendarai
traktor tua yang sudah pantas pensiun. Rupanya kerjaannya di sini
bukan cuma menjadi pelatih berkuda. Anak-anak yang tinggal di
peternakan atau pertanian seringkali harus bekerja sepulang sekolah
? termasuk pada akhir minggu ? untuk membantu orangtua mereka.
Pengetahuan mereka lebih dari sekedar majalah, permen, dan video.
Makanya mereka enak dijadikan teman. Hampir semuanya tidak
seperti yang kubayangkan ketika baru pindah ke Acorn Falls.
Mula-mula aku mampir ke kandang Pumpkin dan memberinya
sebatang wortel. Ia patut mendapatkannya karena telah begitu sabar
terhadapku, meskipun ia pasti tahu bahwa aku masih kaku karena
ketakutan. Ia memang seekor kuda tua yang manis, tapi ya kurang
menantang buatku. Soalnya ia selembut boneka teddy, sih.
Waktu aku mampir di muka kandang Sweetheart, Bilbo, dan
Whillikers, mataku terus mengawasi Thunder. Aku tahu bahwa ia pun
mengawasiku. Aku mendekatinya dengan gaya setak-acuh mungkin. Memang
bodoh kelihatannya, tapi aku tak mau dia merasa bahwa aku datang
khusus untuknya. Bisa GR dia nanti. Itulah kalau keseringan bergaul
dengan kuda. Lama-lama kita percaya bahwa sifat dan perasaan
mereka mirip manusia. Ketika aku mencapai kandangnya, ia memalingkan muka.
Mungkin ia benci padaku, atau mungkin juga ia merasa bahwa aku
senewen. "Hai, Thunder," sapaku.
Kuda itu cuek saja. Tiba-tiba saja aku terpesona pada dinding
kandangnya. Kukeluarkan sebatang wortel yang besar dari kantungku. "Nih,
kubawakan cemilan. Coba, deh."
Ia masih pura-pura jual mahal, maka kusodorkan wortel itu ke
arahnya. Thunder berpaling dan mengintip wortel itu sebentar, lalu
dipandanginya aku tapi kembali membuang muka.
"Dasar kuda bodoh, ini kan wortel enak." Kugigit wortel itu lalu
kukunyah dengan suara berisik. "Tawaran terakhir, nih. Kalau kamu
nggak mau, kumakan sendiri!"
Pelan-pelan aku mendekatinya, sambil menyodorkan wortel ke
arahnya. Aku yakin ia tidak akan melukaiku. Maksudku, dia kan di
dalam kandang, tak mungkin bisa membuka pintu untuk melemparku
lalu kabur melintasi hutan. Namun tetap saja aku senewen. Thunder
lain sekali dengan Pumpkin, meskipun ia sungguh-sungguh mirip
dengan kuda yang di New York dulu.
"Nggak suka wortel, ya? Maaf saja, rasanya aneh ada kuda kok
nggak suka wortel," kataku. "Atau nggak suka sama aku?" Tiba-tiba
aku punya akal. Kuletakkan wortel itu di pagar lalu pergi dari situ.
Thunder berpaling menatapku sambil melirik wortel. Tapi tetap
bergeming. Kuputuskan untuk membalas kelakuannya itu. "Bosan ngobrol?
Sama, dong," kataku lalu berbalik meninggalkannya.
Kemudian kudengar suara gerakannya dan suara dengusnya.
Dan tak lama kemudian kudengar suaranya mengunyah wortel.
Aku berbalik lagi menghadapinya, tapi tak berusaha
mendekatinya. "Kamu nggak mau dikasih apa pun oleh manusia, ya?"
kataku. Aku maju selangkah lalu menjulurkan tangan hendak
menepuk moncongnya, tapi Thunder menarik kepalanya lantas
melangkah mundur. Tapi setidaknya ia tidak membelakangiku
sekarang, jadi lumayan deh, ada kemajuan.
"Ya, aku tahu," kataku. "Memang tidak gampang berteman
kalau kita berbeda. Aku ngerti, kok."
Cepat-cepat aku melihat berkeliling. Agak malu juga sih,
ngobrol sama kuda. Jadi aku tidak mau ada yang tahu. Tapi, sekalipun
Saksi Bisu 5 7 Hari Menembus Waktu Karya Charon Neraka Hitam 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama