Girl Talk 25 Trauma Sang Joki Bagian 2
kedengarannya tidak masuk akal, aku yakin Thunder mendengarkan
omonganku. "Dengar, Thunder, nggak apa-apa kok kalau kamu belum
bersedia jadi temanku. Orang lain juga ada yang begitu. Nggak usah
buru-buru. Barangkali besok kubawakan lagi sebatang wortel. Kamu
boleh memakannya...tapi kalau nggak mau juga nggak apa-apa."
Thunder hanya memandangku, tapi aku mulai merasa ada
pengertian di antara kami. Sepertiku, ia memang tidak pernah ramah
pada "orang baru". Dia juga tidak suka disuruh-suruh. Aku juga
begitu, tanya saja pada guru-guruku.
Tidak salah lagi, aku dan Thunder punya banyak persamaan. Ia
harus berjuang mengatasi permusuhannya dengan manusia, sedangkan
aku harus mengatasi traumaku sewaktu berkuda. Siapa tahu, karena
persamaan-persamaan itu kami bisa jadi teman dan bisa mengatasi
masalah kami bersama-sama.
BAGIAN ENAM "Hai, Pumpkin," sapaku begitu memasuki istalnya. "Lama
nggak ketemu." Susah dipercaya kalau sekarang kami sudah tiba di pelajaran
keempat. Sekarang kami lebih banyak menghabiskan waktu di padang
gembalaan atau gelanggang untuk berlatih macam-macam langkah
kuda. Sampai saat ini, kami sudah latihan trooting, yaitu gerakan
menderap atau berlari kecil dengan sepasang kaki bersilangan
(misalnya kaki kiri depan dan kaki kanan belakang) secara bersamaan.
Kami bahkan mencoba gaya canter, gaya menderap yang lebih cepat
daripada trot tapi tak sampai ajrut- ajrutan.
Kulirik Thunder, lalu kukedipkan mata padanya. Sudah
beberapa kali aku mampir di muka istalnya. Sekarang ia tidak sekedar
mau memakan wortel dari tanganku, ia bahkan selalu mengharapkan
oleh-oleh cemilan asyik itu setiap aku mampir. Ia sengaja maju ke
bagian depan istalnya, lalu memberiku kesempatan istimewa untuk
menggaruk bagian belakang telinganya. Hubungan kami baik sekali,
tapi aku belum berani cerita ke siapa-siapa, ke Al juga belum. Aku
menganggap hubungan kami itu pribadi sifatnya.
Aku pun semakin mahir memasang pelana di atas punggung
Pumpkin ? dalam tempo sesingkat-singkatnya, deh. Lalu kukendarai
dia ke padang gembalaan berpagar, yang lokasinya tepat di luar
peternakan. Sabs sedang duduk di atas pagar putih sambil ngobrol
dengan Richard, yang berdiri di luar pagar.
"Cepat sekali," puji Richard sambil menepuk hidung Pumpkin.
"Pumpkin sih nggak macam-macam. Malah kayaknya dia bisa
deh masang pelana sendiri," aku bergurau sambil mengangkat bahu.
"Eh, aku juga punya cerita sukses nih. Akhirnya aku berhasil
membuat Bilbo mau buka mulut untuk memasang tali kekang," kata
Sabs sambil melompat turun dari pagar.
"Dengan memencet mulutnya di titik yang kutunjukkan?" tanya
Richard. Sabs menggeleng. "Aku cuma mengibaskan sejumput rambutku
di bawah hidungnya, lalu simsalabim ...."
Aku dan Richard tertawa geli. Dari kejauhan tampak April
berjalan ke arah istal. Dipanggilnya anak itu.
"Kelihatannya ladam Whillikers lepas sebelah," Richard
memberitahu April setelah anak itu mendekati pagar. "Kuda itu tak
bisa ditunggangi hingga pelajaran berikut. Nah, kuda yang tersedia
tinggal Thunder." Ia memandang April dengan pandangan ragu.
"Aku bukan meremehkanmu, April. Kamu memang pengendara
mahir tapi Thunder sangat sulit diatur, bahkan olehku sekalipun."
April mengangkat bahu. "Aku bisa mengendalikannya. Aku
pernah melatih kuda-kuda untuk perlombaan, lho," sahutnya dengan
penuh percaya diri. April adalah penunggang kuda terbaik di kelompok kami.
Minggu lalu dia bahkan bercerita bahwa ortunya hendak membelikan
seekor kuda untuknya supaya dia bisa ikut berlomba lagi. Katanya
lahan di sekitar rumahnya, cukup luas untuk mendirikan istal, kalau
hanya untuk seekor kuda. Tapi Richard tampaknya tak begitu setuju April mengendarai
Thunder. Ia menatapku dengan pandangan bertanya-tanya, dengan
cara mengangkat kedua alisnya. "Barangkali kita harus mengganti
beberapa pasangan. Jadi, hari ini Thunder bisa dikendarai oleh orang
lain." Buru-buru aku berpaling dan mempererat cengkeramanku pada
tali kekang Pumpkin. Aku tahu Richard lebih suka kalau aku saja yang
mengendarai Thunder. Ia pernah melihatku berhandai-handai di dekat
kandang Thunder. Dan kepercayaan diriku sudah mulai pulih kembali.
Bahkan sebenarnya aku pernah punya niat minta persetujuan Richard
untuk menunggang Thunder dalam waktu dekat.
Tapi sekonyong-konyong aku membeku. Kalaupun aku mau
menunggangi Thunder, aku tidak mau ditonton banyak orang. Aku
maunya berdua saja dengan kuda itu. Hubunganku dengan Thunder
akhir-akhir ini mengalami sedikit kemajuan. Tapi kusadari bahwa
kami masih belum siap menjadi kawan dekat, apalagi berpasangan.
"Ran, kenapa sih kamu nggak mau mengendarai Thunder?"
tanya Sabs. "Yang punya masalah kan kudanya si April," jawabku.
"Pumpkin sih baik-baik saja."
"Tapi kamu kan sudah lihai," desak Sabs lagi. "Kan asyik naik
kuda yang lebih menantang?"
"Randy kan setia sama Pumpkin," potong Al. Ia telah
mengeluarkan Sweetheart dari istal dan menuntunnya ke arah kami di
dekat pagar. "Iya, nih, aku nggak tega ninggalin pak tua ini di gudang,"
kataku. ebukulawas.blogspot.com
"Aku pasti mampu mengendalikan Thunder," kata April dengan
nada tersinggung. "Aku nggak ngerti, apa sih masalahnya, Richard!?"
"Kalau kau yakin mampu, April," jawab Richard sambil
memandangku sekali lagi, "silakan pasang pelananya. Tapi
kuingatkan ya, kau harus tegas. Tapi jangan kasar. Dia nggak akan
suka, lain dengan Whillikers."
"Aku tahu apa yang harus kulakukan," jawab April mantap.
Aku dan Al menunggangi kuda kami mengelilingi padang
rumput sambil menunggu anak-anak lain memasang pelana. Ketika
melihat April di atas punggung Thunder, hampir tidak kuat deh
rasanya. Memang sih Thunder kelihatannya sudah berhasil mengatasi
masalah "anti-orang"-nya, tapi rasanya aku masih belum mampu
mengatasi traumaku sendiri. Thunder "cuek bebek" ketika lewat di
depanku. Melirik pun tidak!
"Sekarang aku mulai bisa menikmati asyiknya naik kuda," kata
Sabs saat ia dan Bilbo berhenti di sisiku. "Tapi kaki dan bokongku
masih sakit gara-gara enjot-enjotan." Maksudnya adalah posting,
gerakan naik-turun yang perlu kita lakukan kalau kuda kita sedang
berderap, supaya jokinya tidak terpental-pental. Tapi ya kaki ini...jadi
pegal-pegal! "Waktu pertama kali posting, aku hampir nggak bisa jalan,"
sambung Al, yang tahu-tahu sudah bergabung dengan kami, dari atas
punggung Sweetheart. "Rasanya kayak orang invalid aja."
Kata-kata mereka hanya kudengar sepotong-sepotong. Saat itu
perhatianku justru lebih banyak tertuju pada April dan Thunder.
Pasangan itu hanya dua kuda (kira-kira lima atau enam meter) di
depan kami. "Tali kekangmu terlalu kencang, April," Richard mewantiwanti. Ia berkendara di sisi April sambil mengawasi anak itu dengan
seksama. "Longgarkan, beri dia ruang gerak."
"Aku ... aku nggak mau dia menguasaiku," jawab April. Ia terus
saja menarik kendali Thunder ? menyebabkan kuda itu berjalan
dengan gerak acak-acakan, menggeleng-gelengkan kepalanya, dan
mendengus marah. Jelas, dia tak suka ditunggangi oleh April.
"Kau harus peka padanya," Richard memberi peringatan lagi.
"Tapi nggak berarti kau harus lepas kendali!"
"Oke," jawab April, senewen. Ia pun mengendurkan
kekangnya, tapi cuma sedikiiit banget.
Aku pribadi sepaham dengan Richard. Thunder tak sama
dengan kuda-kuda yang lain. Pengendaranya harus orang yang peka.
Aku yakin Thunder akan lebih mudah dikendalikan kalau ia diberi
lebih banyak kebebasan. Kalau aku jadi kuda, pasti perasaanku juga
begitu. "Tahu nggak?" bisik Sabs.
"Apa?" tanyaku.
"Richard belum punya cewek," jawab Sabs. "Dulu memang
punya, tapi sudah putus."
"Tahu dari mana, kamu?" desak Al.
"Ada aja...," sahut Sabs seenaknya.
Aku tersenyum. "Umurnya sudah enam belas tahun, Sabs,"
kataku mengingatkan. "Nyerah saja, deh."
Kami berjalan pelan-pelan menyeberangi padang rumput,
sambil memperhatikan April dan Thunder. "Si April kelihatannya
agak tegang, ya?" kata Al.
"Omong-omong soal tegang," kata Sabs, "menurut kalian Katie
ketakutan nggak ya, menghadapi pertandingan hoki malam ini?"
"Waktu makan siang tadi sih, kelihatannya dia tenang-tenang
aja tuh," jawab Al. "Eh, belum tentu," tukasku. "Siapa tahu dia sebenarnya takut
juga, tapi ditutup-tutupi. Kadang-kadang tambah jadi lho, kalau
diceritakan ke orang lain."
Al memandangku heran, tapi sebelum ia sempat ngomong apaapa, tiba-tiba Thunder melesat dengan kencangnya. Mula-mula dia
hanya beberapa kaki di depan kami, tapi beberapa detik setelah itu
tahu-tahu dia sudah berlari secepat kilat melintasi padang gembalaan.
Debu beterbangan oleh derap kakinya.
Tanpa pikir panjang, kupacu Pumpkin untuk mengejar April
dan Thunder. Kami baru memacu beberapa puluh meter ketika
Richard dan kudanya, Duke, memotong tepat di hadapan Pumpkin dan
menahannya hingga berhenti.
"Jangan dikejar. Bisa lebih parah nanti!" teriak Richard.
"Tapi dia bisa terlempar!" teriakku panik. Bisa kudengar jeritan
April nun di depan sana, juga bunyi ringkik liar Thunder yang jauh
lebih keras. "April mungkin masih bisa mengendalikan Thunder," seru
Richard, "tapi kalau kau kejar kuda itu, dia tak akan mau berhenti."
Thunder sudah sampai di tengah padang rumput, membawa
April yang hampir jatuh di bagian belakang punggungnya. Tiba-tiba
kulihat April merosot. Kaki kirinya sudah terlepas dari sanggurdi, dan
ia meluncur pelan di sisi kiri Thunder.
"Tahan, April! Jangan sampai lepas!" teriak Richard sambil
mengepalkan kedua tangannya karena sudah frustrasi.
Kami menyaksikan dengan tegang ketika Thunder mulai
berputar perlahan, lalu berlari ke arah kami sementara April terayunayun di sisinya. Sekonyong-konyong pegangan April terlepas
sehingga ia pun jatuh. Kaki belakang Thunder melesat di atasnya, dan
kami semua dapat mendengar jeritan April ? ketakutan campur sakit.
"Randy," seru Richard tegas, "cepat lari ke rumahku. Ajak
ayahku ke mari. Ceritakan pada beliau apa yang teijadi."
Aku melirik ke arah Thunder dengan ragu. Ia sedang melompatlompat di padang rumput dengan senang. Kurasa ia memang belum
bisa sepenuhnya menghilangkan rasa permusuhannya dengan
manusia. "Sekarang!" perintah Richard. Ia menjulurkan badannya lalu
menepuk belakang Pumpkin, sehingga kuda itu berderap cepat.
Aku betul-betul shock. Aku tidak ingat lagi bagaimana aku
menderap Pumpkin ke peternakan, atau saat mengetuk pintu dan
menceritakan kejadian itu kepada Pak Cole.
Tahu-tahu saja kami aku dan Pak Cole ? sudah kembali ke
padang gembalaan naik mobil pick-up butut. Dan ketika kami tiba,
semua orang sedang mengerumuni April. Ia tampak masih menangis,
tapi untunglah, kelihatannya ia tidak apa-apa. Thunder masih
menderap berputar-putar di lapangan, sambil melempar-lemparkan
kepalanya ke segala arah. Dia benar-benar cuek berat.
"Maafkan aku, April," Richard terus-terusan minta maaf.
"Harusnya ini tidak terjadi."
Setelah memastikan bahwa April baik-baik saja, Pak Cole
berkeras untuk mengantarkan April pulang, sekalian ingin minta maaf
pada orangtua anak itu. April berusaha tampak tenang, tapi kami
semua tahu pasti bahwa sebenarnya ia terguncang.
Pak Cole merangkul anaknya. "Kamu berani ambil risiko
dengan membolehkan April mengendarai Thunder. Untung saja anak
itu tidak apa-apa. Tapi ini sebuah peringatan. Kita harus
menjungkirkan si hitam itu."
Richard mengangguk. "Kuda itu memang harus dilatih lebih
lanjut." "Kita tidak ada waktu untuk mengurusi dia," kata Pak Cole.
"Dia cuma menghabiskan uang saja. Sekarang malahan kita nyaris
dibikin susah." Pak Cole menggeleng sedih. "Keputusanku sudah
bulat, Nak." Richard berjalan ke arah Thunder yang sedang merumput
dengan tenang. Diraihnya tali kekang kuda itu lalu dituntunnya
kembali ke kandang. "Randy, tolong bawakan si Duke," kata Richard pelan.
"Richard," tanyaku, "gimana nasib Thunder?"
"Pemeliharaan kuda menghabiskan biaya banyak. Kami tak
mampu memelihara kuda yang tak menghasilkan apa-apa. Sekarang
saja sudah pas-pasan, kok." Ia berhenti sejenak. "Kami terpaksa
menjualnya, Randy," sambungnya.
************** "Hei, curang!" teriak Sabs malam itu di arena hoki es. Kala itu
kami sedang menonton pertandingan seru antara Bradley dan
Windmere, dan sejauh ini Katie belum pernah keluar arena.
"Wasitnya mana, sih? Buta, ya?" Al ikut-ikut gemas.
"Penalti, tuh! Keluarkan bandit itu!" teriakku tak sabar.
Salah seorang pemain Windmere, namanya Bad Bart, baru saja
mengait kaki Katie dengan tongkatnya. Jelas-jelas itu pelanggaran
berat. "Katie pasti ngamuk berat," komentar Sabs.
"Ya, tapi dia bisa apa?" sahutku. "Cowok itu dua kali lebih
gede badannya." "Si Bart memang gawat," kata Arizonna yang duduk di
belakang kami. Nasib Arizonna persis sama dengan nasibku, tapi
dalam versi California. Dia juga baru pindah ke Acorn Falls tahun ini.
Dulu dia seorang pecandu berat selancar air, tapi karena di Minnesota
sini tidak ada ombak, aku mengajaknya main skateboard. Anak itu
"hampir" semahir aku.
"Kasihan Katie. Sakitnya pasti dari ujung rambut sampai ujung
kaki," keluh Sabs. "Bart harus hati-hati, kalau nggak, Scottie pasti akan
menghabisinya sehabis pertandingan nanti," kata Al. Scottie adalah
teman seregu Katie. Mereka pernah kencan beberapa kali.
"Katie mana mau Scottie melakukan apa-apa demi dia. Biarpun
untuk menghadapi jago berantem," komentarku.
Kini Katie telah berhasil bangkit dan meluncur dengan gerak
trengginas di atas es. Kulihat puck (bola dalam permainan hoki es
yang berbentuk bulat pipih) melayang di atas es menuju ke arahnya,
yang segera ia tangkap dengan tongkatnya. Secepat itu pula Katie
meluncur membelah arena, berhasil melewati dua pemain lawan, dan
langsung menuju gawang dengan ayunan kaki penuh.
Sepersekian detik kemudian ia mengayunkan tongkatnya,
Girl Talk 25 Trauma Sang Joki di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memukul puck tersebut, melayang deras ke arah penjaga gawang
Windmere. Cowok penjaga gawang itu segera berlutut untuk mencoba
menahan tembakan Katie itu, tapi gagal. Jelas ... goool!
Detik itu juga bel listrik berbunyi, pertanda adanya tim yang
mencetak angka. Penonton di salah satu sisi arena yang dipadati
suporter dan barisan penggembira Acorn Falls berdiri sambil
bersorak-sorak riuh (termasuk aku, tentunya).
Katie membuat putaran lebar lalu meluncur melewati Bart
sambil tersenyum lebar. Tampak ia mengatakan sesuatu kepada Bart,
tetapi tentu saja kami tak bisa mendengarnya.
"Bagus, Katie," teriakku.
"Kira-kira apa ya, yang dikatakannya pada Bart?" tanya Sabs.
Namun sambil nyengir ia pun menyambung, "Tapi sebodo amat, ah."
"Yang pasti bukan, Semoga banyak senang hari ini, sih,"
jawabku. "Sekarang kedudukan sama kuat," kata Al.
"Hoki es ternyata asyik juga, ya," kata Arizonna. "Aku mau
nyoba, ah. Gerakan-gerakan mereka benar-benar luar biasa."
Kulihat dua orang pemain berebut puck di tengah arena.
Tongkat mereka saling berbenturan dengan suara nyaring, dan
pecahan es beterbangan di antara kilatan pisau es pada sepatu mereka.
Pemain Bradley menang, tetapi sedetik kemudian Bart berhasil
merebutnya kembali. ebukulawas.blogspot.com
"Si Bart memang jago," komentar Sabs. "Buat apa lagi dia
banyak tingkah?" "Siapa tahu dia senang dianggap bertingkah," cetus Al.
Tiba-tiba Katie melesat ke sisi Bart. Dengan suatu gerakan
memotong yang tangkas, direbutnya puck dari Bart lalu dioperkannya
pada Scottie. "Lihat ekspresi wajahnya," ujar Sabs senang. "Pasti si Bart
nggak nyangka Katie seberani itu. Jangan anggap enteng!"
"Aku juga nggak nyangka," kataku. Katie bukan hanya berani
menghadapi serangan Bart, ia jelas-jelas sengaja mengejarnya.
Mungkin ia mau menunjukkan bahwa dirinya sama sekali tidak takut.
Scottie mengoper kembali puck ke arah Katie, yang segera
meluncur dengan kecepatan tinggi. Tapi sayang, Bart lebih cepat. Ia
berbalik tepat ke arah Katie. Pilihan Katie cuma dua: menyingkir atau
kena terjang! "Aduh, mak! Aku nggak sanggup lihat!" teriak Sabs ketika Bart
dan Katie bertumburan. Katie terpeleset lalu jatuh terguling-guling di
atas es, dan akhirnya terhempas ke dinding arena.
Selama beberapa saat kedua anak itu hanya terbaring diam
dengan nafas terengah-engah. Bart bangkit lebih dahulu kemudian
meluncur melewatinya sambil mengatakan sesuatu yang tentunya
cuma bisa didengar oleh mereka berdua.
"Pasti bukan Semoga banyak senang juga, yang dikatakannya."
komentar Al, pahit. Perlahan-lahan Katie bangkit. Dari gerakannya jelas terlihat
bahwa tubuhnya sakit semua. Tampak seorang pemain baru dari
bangku pemain cadangan Bradley meluncur menghampiri Katie lantas
menepuk pundaknya "Pelatih menyuruh dia keluar lapangan," kata Sabs. "Untung,
deh. Aku nggak sanggup melihat dia dihajar lagi."
Katie menegakkan bahunya dan menggeleng mati-matian
kepada calon penggantinya.
Kemudian ia berbalik ke arah pelatihnya dan dengan tampang
keras kepalanya, ia menggeleng lebih tegas. Sang pelatih tampak
mengerutkan kening. Menurut aturan, pemain sama sekali tidak boleh
menentang keputusan pelatihnya. Kuharap Katie tidak akan mendapat
kesulitan karenanya. Tetapi ketika Katie kembali menatapnya penuh
harap, pak pelatih itu tersenyum lebar ke arah Katie lantas bertepuk
tangan. Tampaknya ia kenal betul siapa Katie.
"Bart harus hati-hati, nih," kata Al. "Katie kelihatannya benarbenar sudah panas."
Beberapa menit kemudian, Bart berhasil mengambil alih
kendali atas puck dan segera meluncur ke arah gawang Bradley. Tapi
Katie sudah menantinya. Bart mencoba ngeles ke kiri, tapi Katie
menghalanginya. Begitu juga waktu ia berusaha mengecoh ke arah
kanan. Katie menunggu dengan tenang saat Bart menderu ke arahnya.
Satu-satunya jalan untuk menghasilkan gol ialah dengan melewati
Katie, tapi anak itu sama sekali bergeming.
Tiba-tiba Bart ? sengaja! ? menerjang Katie dengan
kecepatan penuh. Tak pelak lagi, keduanya bertabrakan kemudian
jatuh terguling-guling di atas es. Tangan, kaki, dan tongkat es
terpelanting ke mana-mana. Waktu mereka akhirnya berhenti, Katielah yang berhasil bangkit duluan. Ia membungkuk dan mengulurkan
tangannya kepada Bart, membantu cowok itu bangkit! Sportivitas luar
biasa! "Baguuus!!" teriakku bangga. Katie boleh jadi babak belur
habis-habisan sekarang ini, tapi dia masih mau menawarkan bantuan
kepada Bart. Boleh juga anak itu.
Bart tentu saja menolak uluran tangan Katie. Gengsi, dong. Tapi
setelah itu ia tidak berani lagi mendekati Katie.
Seusai pertandingan, kami semua berkumpul di Fitzie untuk
merayakan kemenangan 3-2 untuk Bradley. Memang ini cuma
pertandingan eksebisi, di luar musim kompetisi, tapi kemenangan ini
tetap penting buat tim hoki Bradley. Maklum, kedua tim ini musuh
bebuyutan. Tak heran suasana di Fitzie sangat meriah malam ini.
"Untuk Katie, alias si Manusia Bonyok," seruku sambil
mengangkat kaleng sodaku. Kami semua bersulang untuk Katie
dengan saling menyentuhkan kaleng masing-masing.
"Pertandingan yang hebat," kata Al. "Sayang kamu nggak akan
bisa jalan lagi habis ini."
"Nggak lucu, ah," kata Katie, tapi wajahnya tampak puas.
"Dengan aspirin, bantal panas, dan berbaring di sofa sambil merintih
sekali-sekali selama dua minggu, pasti bisa pulih."
"Yang jelas," kata Sabs, "nggak akan ada lagi yang berani
melecehkan bahwa cewek nggak pantas ikut tim hoki."
"Kecuali si Bart," sambungku sambil tertawa. "Mungkin dia
nggak akan mau lagi main lawan cewek."
"Wah, terima kasih berat atas dukungan kalian," ujar Katie.
"Punya suporter seperti kalian besar lho artinya buatku. Aku hampir
menyerah waktu pelatih menyuruhku keluar. Tapi aku lalu ingat
kalian," kata Katie sambil tertawa. "Apalagi kamu, Randy. Mana mau
aku dianggap pengecut di depan mata Nona Pantang Mundur."
Kulihat Al melirikku sekilas tapi cepat-cepat pula ia berpaling
ke arah lain. Untung saja aku tak perlu ngomong apa-apa, karena tibatiba seorang cowok bertubuh super gede menghampiri meja kami.
Ternyata si Bart! "Hai," sapanya, agak kaku. "Kamu nggak apa-apa, Katie?"
Katie mengangkat pundaknya. "Yang jelas masih hidup."
"Aku juga," jawab Bart sambil mengusap-usap bahunya.
"Pertandingannya seru, ya."
"Ya, lumayan," sahut Katie sambil memandang Bart dengan
tampang bingung. "Terus terang, waktu kudengar di tim Bradley ada pemain
cewek, kupikir pasti gampang deh merontokkan kalian."
"Sudah kuduga kamu punya pikiran seperti itu," jawab Katie
sambil mengangguk. Bart mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman. Mula-mula
Katie kelihatan ragu, tapi kemudian disambutnya uluran tangan Bart.
"Sampai ketemu lagi, ya," kata Bart sambil melangkah pergi.
"Kami pasti menang." Kali ini dengan nada lebih riang dan
bersahabat. Katie tertawa. "Nggak bakalan," jawabnya.
"Anak itu sebetulnya bisa lebih keren, lho," kata Sabs sambil
memandang Bart menjauh, "kalau dia mau menghilangkan tampang
manusia purbanya." "Aku lega semua sudah berakhir," kata Katie sambil mendesah
lalu menjatuhkan diri di kursi. "Sebelum pertandingan, aku sempat
senewen berminggu-minggu. Untung sekarang semua sudah selesai."
"Nyatanya nggak sejelek yang kamu bayangkan, kan?" tanya
Al. "Ya jelek juga. Jelek banget! Tapi rasanya nggak ada yang lebih
jelek dari hal-hal yang kubayangkan sebelum pertandingan. Aku
nggak ngaku pada kalian waktu itu, tapi aku sampai mimpi ketemu
monster raksasa di arena es. Tingginya sepuluh kaki dan tubuhnya
selebar arena es." "Tapi kamu kok kelihatannya tenang-tenang aja waktu makan
siang tadi. Kenapa nggak bilang kita-kita kalau kamu takut?" tanya
Sabs. "Berat sih rasanya mau ngaku. Sekarang juga masih. Ketakutan
itu sangat mempengaruhi pikiranku, sampai-sampai sulit mau cerita,
bahkan pada kalian sekalipun. Barangkali aku takut kelihatan jelek.
Tapi begitu Bart menubrukku dan pelatih mencoba menyuruhku
keluar, muncul deh imajinasi ..."
"Untuk pindah ke olahraga tenis?" potong Sabs, membikin
Katie tertawa, demikian pula kami.
"Hampir," jawabnya tergelak. "Tapi yang penting, mimpi
burukku sudah lewat. Ternyata nggak apa-apa, tuh?" Katie
mengangkat bahunya, lalu mulai menyantap eskrim butterscotch
sundae-nya. Aku juga segera menyantap eskrimku tanpa bicara sepatah kata
pun. Katie benar-benar seorang pemberani. Cukup berani untuk
menghadapi Bad Bart. Juga untuk mengaku kepada kami semua
betapa takutnya dia menghadapi pertandingan itu.
Aku? BAGIAN TUJUH Setelah pertandingan hoki, paginya aku berangkat ke
peternakan dengan skateboard-ku. Begitu keluar dari halaman rumah,
terdengar seruan Allison, "Randy! Tunggu!"
Kulihat dia, kira-kira setengah blok jauhnya dari rumahku. Al
berlari menghampiriku. Betul-betul kejutan, nih.
"Hai, Al. Ada apa?" sapaku.
"Aku mau ikut ke istal," jawabnya santai.
"Kok tahu aku mau ke sana?" tanyaku. Soalnya aku pergi diamdiam. M saja nggak tahu, kok.
"Kemana lagi bawa-bawa wortel sebanyak itu kalau bukan ke
sana?" "Eh, betul juga, ya," kataku. Baru kuingat bahwa saku-saku
jaketku penuh wortel, mungkin setengah karung.
"Lagipula, setelah perjuangan Katie semalam di pertandingan
hoki, juga ... peristiwa April dan Thunder Jum'at lalu ..." Al
mengangkat bahu. "Aku yakin kau jadi kangen pada istal. Itu saja,
kok." Kuanggukkan kepala, pura-pura tak acuh. "Boleh aku ikut?"
"Ya pasti boleh, dong."
"Siiplah, soalnya aku nggak mau kehilangan kesempatan
melihatmu di atas Thunder," kata Al kalem.
"Rasanya aku nggak rela, deh. Thunder mau dijual, Al. Kurasa
dia kuda hebat." Kuangkat skateboard-ku lalu kami berjalan bersamasama ke arah peternakan Rolling Hills.
"Barangkali itu jalan yang terbaik, Ran."
"Nggak bisa!" Kugelengkan kepalaku.
Allison tampak sedih. "Kadang-kadang aku mikir, kenapa dulu
Sabs menemukan iklan Rolling Hills segala. Buktinya sekarang,
semuanya nggak seperti yang dia bayangkan. Memang sih, kuakui,
rasanya asyik juga bisa menunggang Sweetheart, tapi kan nggak
istimewa-istimewa banget."
"Ya, aku ngerti," jawabku. "Aku juga nggak yakin Sabs bisa
menikmati asyiknya berkuda. Pasti lain dengan khayalannya dulu."
"Selain itu, sekarang kau jadi ingat mimpi burukmu dulu."
"Yang lucu, aku satu-satunya di antara kita yang seharusnya
paling menikmati asyiknya berkuda. Yah, paling nggak, pernah
menikmati. Sekarang kepalaku penuh dengan hal-hal lain: Thunder,
Katie, dan anggapan orang tentang aku. Tapi yang paling bikin pusing
adalah anggapanku tentang diri sendiri."
"Kacau semua," kata Al sambil mengangguk.
"Pikiran yang bodoh," kataku. Tiba-tiba aku merasa bosan
memikirkan itu semua. "Semua nggak ada gunanya. Kenapa mesti
takut jatuh dari kuda? April terlempar dari punggung Thunder, tapi
buktinya dia nggak apa-apa. Lagipula Thunder dan aku kan sohib.
Rasanya nggak mungkin deh dia melemparkan aku."
"Jadi kau berani menunggangi Thunder?" tanya Al dengan nada
agak khawatir. "Ya, dong," jawabku, berusaha terdengar yakin (biasa, demi
gengsi). "Akan kukendarai dia. Aku yakin nggak akan ada masalah.
Habis itu, semua pasti beres."
"Randy, aku nggak yakin dengan idemu itu," tukas Allison.
"Kalau April nggak apa-apa, nggak luka parah waktu jatuh dari
Thunder, itu kan karena kebetulan saja."
"Aku tahu, Al, tapi kapan lagi? Pokoknya aku harus mencoba
menungganginya." Ketika kami tiba di peternakan, perasaanku masih meluap-luap.
Aku bosan khawatir terus. Soalnya itu bukan sifatku. Kalau ada
masalah, aku biasanya siap menghadapinya. Pemecahannya memang
tidak selalu tepat, tapi paling tidak aku sudah berusaha sebisa-bisanya.
Dan biasanya, semuanya pun akan beres.
Sebenarnya aku berharap Richard melihatku lalu mencegah aku
melakukan hal-hal nekad. Sialnya, anak itu nggak kelihatan. Mobil
pick-up bapaknya juga nggak ada, tuh.
Kami mampir di kandang Thunder, dan kuberi dia wortel. Kami
sekarang berteman. Ia sudah mau memakan wortel langsung dari
tanganku, dan membolehkan aku menepuk-nepuk moncongnya.
"Halo teman, apa kabar?" tanyaku. "Senang kamu hari ini?"
Sekalipun bukan psikolog kuda, aku bisa tahu perasaannya, lagi
senang atau sebal. "Mau nggak jalan-jalan?"
"Randy, kau nggak minta izin dulu sama Richard?" tanya Al,
kaget. Aku menggeleng. "Aku sudah tahu jawabannya. Paling-paling
dia akan bilang jangan, bahaya, lihat saja nasib April."
"Tapi, dia lebih tahu daripada kita, kan?" kata Al lagi.
"Maksudku, April kan lebih berpengalaman."
"Aku ngerti gimana Thunder," aku ngotot. "April saja yang
nggak bisa menanganinya dengan baik. Thunder kan pemberontak,
jadi semakin keras kita berusaha mendisiplinkannya, semakin seru
perlawanannya. Ia perlu ruang. Ia lebih suka bikin keputusan sendiri."
"Kayaknya kamu lagi ngomongin dirimu sendiri, deh," tutur Al
lembut. "Bisa jadi," jawabku setuju, "tapi itu benar, kok. Thunder persis
seperti aku. Atau, paling nggak, paling mirip aku kalau dibandingkan
dengan kuda-kuda lain."
"Lha, gimana caranya kamu menunggangi dia kalau tahu
Thunder nggak suka disuruh-suruh?" debat Al lagi. Sangat masuk akal
memang. "Ya kompromi, dong," jawabku. "Dijamin berhasil. Tapi kalau
kita berusaha menguasainya seperti April dan Richard, dia pasti
berontak. Sederhana, kan?"
Allison menggeleng. "Aku masih belum yakin, Randy."
"Kalau aku sih yakin," kataku pura-pura mantap (padahal agak
deg-degan juga). Tapi aku tahu Thunder mulai menyukaiku. Gimana
nggak suka, sudah dikasih wortel, dipuji, masih digaruk-garuk juga.
Kurang apa! "Akan kupasang pelananya," kataku. Tiba-tiba aku merasa
Girl Talk 25 Trauma Sang Joki di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus buru-buru melaksanakan rencana nekadku.
"Pikir-pikir dulu, deh," teriak Al ketika aku berlari ke ruang
perlengkapan. "Kalau kupikir-pikir lagi, sampai kapan juga aku nggak akan
melakukannya," balasku.
Ternyata tak sulit memasang pelana Thunder. Kutunjukkan dulu
pelana itu ke hadapannya, lalu kutanyai dia, keberatan nggak kalau
kupasangi pelana. Tentu saja dia tak menjawab, tapi rasanya lebih
enak kalau aku minta izin dulu.
"Kelihatannya dia senang," komentar Al selagi aku mempererat
sabuk pelana dengan hati-hati sekali.
"Sejauh ini oke," kataku. Kutepuk bagian samping tubuh
Thunder. "Mau nggak jalan-jalan keluar sama aku?" tanyaku.
Thunder menjawab dengan melangkah menuju pintu kandang.
Aku berpaling pada Al sambil tersenyum lebar. "Betul, kan? Kan
sudah kubilang bahwa kami saling mengerti sekarang."
Kami berhenti sebentar di luar kandang. "Nah," kataku, sambil
berusaha tegar, "sekaranglah waktunya."
Aku berdiri di sebelah Thunder, tangan kiriku memegangi tali
kekangnya. Aku tak mau memaksanya. Sampai saat ini, dia masih
mau bekerjasama. Barangkali dia tahu, ya, bahwa ini kesempatan
terakhir buat kami berdua.
"Nah, Thunder," kataku sambil mengusap lehernya. "Sekarang
aku mau naik ke atas punggungmu. Tapi kalau kau keberatan, nggak
apa-apa juga." "Mudah-mudahan dia ngerti," kata Al.
"Wah, aku belum segila itu, Al," jawabku. "Aku nggak percaya
kalau dia bisa ngerti omonganku. Aku cuma pingin dia tahu, akulah
yang akan memegang kendali."
Kutarik nafas panjang lalu kuraih segenggam surai Thunder.
Tangan kananku gemetar ketika memegangi sanggurdi dan
menyelipkan kakiku. "Al, aku senang jadi temanmu," kataku. Al
kelihatan begitu khawatir sehingga aku malah mengkhawatirkannya.
Kugunakan kaki kiriku sebagai pijakan, lalu kuayunkan kaki
kananku, sambil menahan nafas.
Thunder bergeming. Kuhembuskan nafasku dengan perasaan
lega. "Aku masih hidup," kataku gemetar.
"Ran, hati-hati, ya," kudengar Al memohon.
"Lihat sendiri. Aku sangat hati-hati sekali," jawabku. "Ayo,
Thunder, mau ke mana kita?"
Kelihatannya Thunder juga tak tahu mau ke mana. Ia maju
beberapa langkah lalu berhenti untuk menghembus-hembus tiang
pagar. "Rasanya cukup kan sampai di situ?" tanya Al tegang.
"Baru tiga atau empat langkah sih, belum sah namanya,"
jawabku. Aku sudah berani naik ke punggung Thunder. Itu saja sudah
cukup hebat, lho. Tapi kan belum cukup untuk menghilangkan trauma
berkudaku, juga untuk meyakinkan Richard bahwa Thunder tak perlu
dijual. Thunder mulai melangkah menuju pintu gerbang ke arah
padang rumput. Begitu sampai di gerbang, ia berhenti lalu
menghentak-hentakkan kakinya ke tanah.
"Lihat, dia ngasih tahu apa yang dia inginkan," kataku.
Al segera berlari untuk membuka pintu pagar, lalu Thunder
melangkah ke padang rumput. "Bagus, Thunder," kataku. "Betul kan,
Al? Dia cuma ..." Sebelum aku sempat meneruskan omonganku, tiba-tiba
Thunder melesat. Seperti peluru kendali rasanya. Dengan cemas
kueratkan peganganku pada tali kekang lalu membungkuk di pelana.
Kucoba meneriakkan, "Whoa, whoa!" tapi suaraku hilang ditelan
angin. Thunder menderu kencang, sementara aku berjuang matimatian, sambil ketakutan akan terlempar. Mimpi burukku melintas di
depan mata. Kalau kamu belum pernah mengendarai kuda yang menderu
kencang, tak akan terbayang bagaimana kuatnya dia. Aku merasa
seperti kutu saja di punggungnya. Lapangan rumput seolah-olah
mendesing, yang tampak hanya sapuan hijau yang samar-samar. Di
depan sana tampak pagar yang membatasi padang rumput dari ladang
gandum, yang setiap detik seakan bertambah dekat.
"Ayo, dong, berhenti," pintaku. "Whoa, whoa." Kutarik tali
kekangnya, kuayunkan ke sana ke mari, dalam usaha menyuruhnya
berbelok untuk memperlambat larinya. Tetapi Thunder tetap berlari
kencang menuju pagar. Lewat sudut mataku, kulihat seekor kuda lain dan
pengendaranya mendekatiku, tapi tak jelas siapa. Lagipula aku sedang
berjuang mengatasi ketakutanku yang banget-banget.
Pagar di depan mataku tampak semakin jelas, tapi Thunder
tetap tak mau memperlambat larinya. Tiba-tiba semua senyap. Tak
ada lagi suara derap kaki Thunder di tanah. Kami melayang di udara
melewati pagar. Aku menjerit. Sama seperti dulu. Aku menjerit, lalu kaki
kananku terlepas dari sanggurdi. Aku panik, sampai-sampai tak
mampu mengingat cara-cara bertahan di punggung Thunder.
Tahu-tahu aku melayang sendirian di udara. Kulihat tanah
seakan-akan melompat menyambut tubuhku. Yang kutahu aku jatuh,
berguling dua kali, lalu terhenti dengan posisi tertelentang beralaskan
tumpukan gandum. Mulutku penuh tanah.
Beberapa saat lamanya aku terbaring tak bergerak. Sejarah
berulang! Mimpi burukku terjadi lagi. Aku bahkan telah berteriak
persis seperti di New York dulu.
Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil namaku. Ternyata
Richard datang dengan mengendarai Duke. Ia melompat turun lalu
bergegas menghampiriku. Disusul oleh Al yang terengah-engah akibat
berlari-lari mengejarku. Kupandangi mereka, persis seperti sekelompok perawat yang
mengerumuniku dulu. Aku ingin menangis, tapi tiba-tiba keinginan itu
hilang begitu saja. Kuludahkan tanah dari mulutku. Dan ajaib, aku tertawa!
"Ran, nggak apa-apa, kan?" tanya Al. Suaranya panik dan
nafasnya tersengal-sengal.
"Kaki dan tanganmu masih bisa digerakkan?" tanya Richard
serius. Aku hanya dapat membalas pertanyaan mereka dengan ledakan
tawa yang tak tertahankan lagi. Aku mencoba mengatakan sesuatu
untuk menenangkan mereka, tapi malah tawaku yang kian keras. Lalu
kucoba untuk bangkit, tapi tubuhku sakit semua sampai-sampai aku
tak mampu bergerak. Menurutku hal ini lucu, jadi tawaku semakin
keras. "Anak ini meracau," kata Richard. "Pasti kepalanya terbentur."
Wah, semakin geli aku jadinya. Jadi sekarang aku tak bisa
bangkit karena tertawaku terlalu seru. Lagipula punggungku terasa
memar semuanya. "Tidak," kudengar Al menjawab. "Menurutku sih dia baik-baik
saja." Al dan Richard membantuku berdiri, kemudian Al
membersihkan rambutku dari tangkai-tangkai jerami yang tersangkut
di situ. "Lepas landasnya oke, tapi mendaratnya payah," komentar
Richard. "Kami harus minta bayaran ekstra, nih, untuk pelajaran
terbangnya." Akhirnya aku berhenti ketawa. Tapi kulihat mereka terkikik
oleh lelucon tadi, jadi tawaku meledak lagi.
"Aku suka waktu dia jungkir-balik," kata Al. "Akrobatis
sekali." "Aku nggak jungkir-balik," protesku.
"Iya saja," kata Richard. "Tapi cuma satu putaran. Kamu harus
latihan lebih giat kalau mau ikut tim senam Olimpiade."
Kami terdiam ketika mendengar suara ringkik kuda yang
lantang. Kami berpaling ke arah suara itu dan tampaklah Thunder
menderap melintasi ladang gandum ke arah kami.
"Sungguh sayang," kata Richard. "Kurasa Thunder tak punya
kesempatan lagi sekarang. Padahal tadinya aku berharap, kalau kau
berhasil mengendarainya, kami tak perlu menjualnya."
Tawaku hilang seketika. "Tapi dia nggak jahat," belaku.
Richard mengangguk setuju. "Dia memang kuda bagus. Tapi
kami memerlukan kuda yang dapat ditunggangi murid-murid kursus.
Ngaku saja deh, memang sulit mengontrol dia. Sebenarnya, maunya
aku sih menjadikan dia sebagai kuda pribadiku, tapi aku sudah punya
Duke. Lagipula binatang-binatang di sini harus bisa dimanfaatkan." Ia
menunduk, memandangi sepatu bootnya. "Uang kami tak cukup untuk
membiayai kuda yang tak bisa dipakai kursus. Tambahan lagi, baik
aku maupun Ayahku tak punya waktu untuk melatih Thunder."
Thunder melangkah tepat di depanku. Ia meringkik manja dan
menjulurkan moncongnya minta ditepuk-tepuk. "Bagus, ya," cetusku,
pura-pura marah, "sudah melemparku ke ruang angkasa, masih minta
dimanja dan dianggap teman. Enak saja."
"Kelihatannya kalian seperti teman akrab," kata Richard.
"Aku memang mirip dia," aku mengaku sambil mengelus
bagian samping tubuh Thunder. "Meskipun dia selalu bikin ulah."
Perutku melilit membayangkan akan berpisah dengan Thunder. Siapa
tahu pembelinya tinggal di negara lain.
Tiba-tiba, tanpa kusadari (dan sebelum kedua temanku sempat
protes) kuraih surai Thunder, lalu aku kembali menaiki punggungnya.
"Randy, sudah nggak waras, ya?" pekik Al. "Dia kan baru saja
melemparkanmu!" Richard tak berkata apa-apa. Ia malah menatapku dalam-dalam.
"Suruh dia belok ke kiri," perintahnya beberapa waktu kemudian.
"Tapi...," jawabku gugup. "Rasanya dia nggak suka disuruhsuruh."
"Kau harus tegar," kata Richard tegas. "Dia harus belajar. Dan
kalau kau mau jadi pengendara kuda, baik itu Thunder atau yang lain,
kau harus belajar memberi perintah."
"Tapi Thunder lain," aku protes.
"Boleh jadi, Randy. Dan mungkin juga kau memang bisa
memahami dia. Tapi dia juga harus belajar ditunggangi orang. Kalau
tidak, dia akan jadi kuda yang tak ada gunanya." Richard bersedekap.
"Nah, Randy, suruh Thunder berbelok dan melangkah ke kiri."
Aku mengerti maksud Richard. Tapi sejauh ini aku berhasil
mendapatkan kepercayaan Thunder dengan tidak menyuruhnyuruhnya. Tapi tentu saja, kalau kalau Pak Cole harus menjual
Thunder, aku dan Thunder tak akan bisa berteman lagi.
Kutarik tali kekang ke kiri, lalu kujepit paha Thunder dengan
kedua kakiku supaya dia mau melangkah maju. Di luar dugaan
Thunder menurut dan melangkah membentuk lingkaran penuh.
Kubawa dia keliling padang rumput dengan langkah santai.
Kusuruh dia berhenti, belok ke kanan, belok ke kiri lagi, lalu berlari
menuju Richard dan kusuruh dia berhenti.
"Aku nggak tahu apa yang salah," kataku heran. "Nggak sulit
kok, mengendarai dia."
"Dia perlu orang yang mau bekerja sama dengannya," kata
Richard. "Seseorang yang bisa dia percaya."
"Aku mau latihan sama dia. Pulang sekolah, beberapa jam
seminggu." Kata-kataku itu keluar begitu saja.
Richard mendesah sedih. "Aku sih setuju saja. Tapi setelah
April terlempar, Ayahku pasti tidak akan memberi izin."
"Aduh!" keluhku.
"Maaf, Randy. Asal tahu saja, aku pasti akan diomeli Ayahku
habis-habisan kalau tahu kau mengendarai Thunder sore ini."
"Aku ngerti." Aku mengangguk, berusaha sekuatnya untuk
tidak kelihatan kecewa. "Yah, kalau kau oke-oke saja, aku terus dulu, ya. Masih banyak
pekerjaan. Kau mau, kan, menuntun Thunder kembali ke
kandangnya?" "Tentu," kataku. Aku pun meluncur turun dari punggung
Thunder sambil memegangi tali kekang dengan tangan kananku.
Ajaibnya, aku berhasil menghilangkan ketakutanku
mengendarai Thunder dan kini aku benar-benar kecewa karena
Richard melarangku mengendarainya lagi, bahkan untuk
mengembalikannya ke kandangnya sekalipun.
Richard melompati pagar lalu bersiul memanggil Duke yang
sedang asyik merumput. "Dengar, Randy. Aku tahu kau sayang pada Thunder, jadi kau
pasti sedih sekarang. Tapi kau sudah berusaha mati-matian. Ayahku
memang sulit diyakinkan, sih. Sori," kata Richard sambil menghela
nafas. "Aku ngerti. Sampai ketemu di peragaan besok," kataku.
Richard melambaikan tangannya ke arah kami lalu melaju di
atas Duke. Al dan aku kembali ke kandang. Thunder melangkah jinak
di belakang kami, kutuntun.
"Pagi yang penuh ketegangan," kata Al. "Benar, nih, kamu
nggak apa-apa?" "Justru sebaliknya, aku merasa hebat," kataku. "Ajaib, ya?
Kejadiannya persis seperti yang di New York dulu. Tapi seperti kata
Katie tadi malam, itu cuma dibesar-besarkan saja. Kenyataannya
nggak seburuk yang kubayangkan, tuh." Aku tersenyum nakal. "Aku
juga menjerit, sama seperti dulu. Pasti jelek sekali kedengarannya!"
"Ah, bukan jeritan, kok," komentar Al sambil menahan tawa.
"Habis, apa dong?" desakku.
"Teriakan! Kau seperti meneriakkan sesuatu."
Kupandang Al dengan tatapan curiga. "Teriakan apa?"
"Begini," jawab Al, "seperti teriakan Auwo!"
Tawa kami meledak lagi. Bahkan Thunder ikut meringkik
senang. "Coba aku bisa membujuk Pak Cole supaya membatalkan
rencananya menjual Thunder," kataku penuh harap.
"Sedih juga, ya," timpal Al. "Tapi dia memang
melemparkanmu, kan, Ran. Sama seperti April."
"Betul, tapi aku kan hampir berhasil," sahutku. Kutepuk-tepuk
Thunder yang kini melangkah di sisiku dengan tenang.
"Kedengarannya memang gila, tapi Thunder sudah membantuku
mengatasi traumaku akan kuda. Makanya aku ingin membantunya
mengatasi masalahnya dengan manusia. Rasanya seperti utang, gitu,
ke si nakal ini." "Ah, kedengarannya nggak gila, kok," komentar Al sambil
tersenyum. "Apalagi buat orang macam kamu. Tapi gimana caranya
membujuk Pak Cole?" "Nggak tahu, ya," aku terpaksa mengakui.
"Barangkali Thunder punya gagasan." Kuhentikan langkahku.
Thunder ikut berhenti. Kupandang matanya, lalu kutanyai dia.
"Gimana menurut kamu, Thunder? Kamu punya akal, nggak?"
Ia cuma menatapku lekat-lekat. Lantas ia mendongakdongakkan kepalanya, dan akhirnya meringkik lantang. Al dan aku
begitu kagetnya sampai-sampai tawa kami meledak lagi.
"Apa jawabnya?" tanya Al.
"Katanya dia nggak tahu, tapi dia mau cari akal."
Al hanya bisa menggelengkan kepala. "Yang jelas, dia
beruntung ada yang mau mengerti perasaannya."
"Kami sama-sama untung," jawabku. Aku yakin Thunder dan
aku akan menemukan cara untuk mengubah keputusan Pak Cole.
BAGIAN DELAPAN Randy menelepon Allison ALLISON : Halo? RANDY : Hai, Al, aku nih.
Girl Talk 25 Trauma Sang Joki di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ALLISON : Eh, Ran. Apa kabar?
RANDY : Masih agak sakit, gara-gara terlempar dari kuda, tapi
aku puas. Rasanya bebanku sudah lepas.
ALLISON : Bagus, deh. Sekarang lagi ngapain? Nonton?
RANDY : He-eh, dan sudah bosan, nih, M menyewakan
beberapa video tentang kuda buatku.
ALLISON : Pintar juga. Buat menenangkan kamu menjelang
peragaan besok. RANDY : Ah, mana bisa terhibur kalau sendirian begini? Pada
ke sini, dong. Kita makan pizza sama-sama.
ALLISON : Wah, harus lihat jadwal dulu, nih. Maklum, orang
sibuk. Hmm...(hening sejenak) Hmm...bagus, aku bisa!
RANDY : Asyik. Aku nelepon Sabs dan Katie, deh.
ALLISON : Oke, satu jam lagi aku datang.
RANDY:Baguslah. ALLISON:Sampai ketemu. RANDY:Tunggu dulu! ALLISON:Ada apa lagi? RANDY:Terima kasih, ya. ALLISON:Emangnya kenapa? RANDY:Tahu sendiri, deh. ALLISON:Ah, jangan dipikirin, deh. Namanyajuga teman.
Randy menelepon Sabs BU WELLS : Rumah Sakit Jiwa Wells di sini.
RANDY : Salam, Bu Wells. Saya Randy Zak.
BU WELLS : Puji Tuhan. Sabrina dan Sam berantem terus
sesore ini. RANDY : Perkara apa lagi?
BU WELLS : Mereka sih nggak perlu alasan. Tapi kayaknya
soal remote control teve, deh.
RANDY : Begini, saya mau mengundang Sabs ke rumah untuk
nonton video sama-sama. BU WELLS : (tertawa) Manis sekali kamu, Randy. Saudaranya
boleh ikut juga? Tentu nggak, ya, berantakan semua nanti. Tunggu
sebentar, Ibu panggil anaknya.
SABRINA : Randy, aku heran punya saudara kembar seperti
Sam. Kekanak-kanakan begitu. Percaya, nggak...
RANDY:Pasti percaya, dong.
SABRINA:Mudah-mudahan kamu nelepon aku buat ngajak aku
keluar rumah. Jauh dari kembaranku yang menjengkelkan itu.
RANDY:Ssst, dia dengar tuh.
SABRINA:Biar saja. RANDY : Mau nggak nonton video sambil makan pizza di
rumahku? SABRINA:Aku segera berangkat.
RANDY:Bagus, kutunggu, ya?
Randy menelepon Katie KATIE:Tempat tinggal keluarga Beauvais dan Campbell di sini.
RANDY : Halo, Katie, ini Randy. Punya rencana apa malam
ini? KATIE:Apa, ya? Paling-paling beres-beres lemari pakaian,
bikin pe-er IPA, nonton TV, keramas.
RANDY : (tertawa) Jadi nggak ada rencana, kan?
KATIE:Nggak. RANDY:Nonton video sambil makan pizza yuk, di tempatku?
KATIE: Asyik! Filmnya apa?
RANDY : Tentang kuda. Ada banyak, nih.
KATIE:Kayaknya seru. Pakaiannya? Sepatu boot, topi koboi,
atau yang semacam itu? RANDY:Terserah. KATIE:Ya, deh, aku ke sana.
RANDY:Kutunggu, ya! BAGIAN SEMBILAN "Ayo, teman-teman, pizza sudah datang," seruku sambil
membawa kotak-kotak pizza ke dapur. Kuletakkan semuanya di atas
meja, lalu kubuka tutup kotaknya. "Pepperoni dan vegetarian."
Teman-temanku duduk mengelilingi meja dapur, sedang asyik
dengan "kesibukan" masing-masing. Sabs sedang mengepang rambut
Katie, sedangkan Al membaca majalah seni milik M.
Aku sudah menceritakan kepada Sabs dan Katie tentang
kejadian tadi pagi. Keduanya beranggapan aku sudah gila, tapi
kelihatannya mereka terkesan juga. Bagi mereka, itu sama saja dengan
kagetan-kagetanku yang lain. Cuma Al yang mengerti arti kejadian itu
bagiku. "Nah, buat nonton video," lanjutku, "ada popcorn, keripik
jagung, keripik kentang, dan soda sebanyak kalian suka."
"Soda diet ada, nggak?" tanya Sabs, sambil mengalihkan
pandangannya dari rambut Katie.
"Yap, soda diet yang ajaib rasanya itu juga ada," jawabku.
"Pizza ini kayaknya enak." Al menaruh sepotong pizza
vegetarian ke piringnya. "Film apa sih, yang mau kita tonton?" tanya Katie. Kepangnya
baru separuh jadi, tapi aroma pizza yang sedap menggoda Sabs dan
Katie. Keduanya berhenti bereksperimen dengan gaya rambut terbaru,
lalu mulai makan. Kuambil video yang disewakan oleh M untukku. "Black
Beauty," kubaca judul video yang pertama sambil melambailambaikannya. "Lalu National Velvet, The Black Stallion, The Return
of the Black Stallion."
"Gimana kalau kita nonton National Velvet?" usul Al. "Film itu
tentang peragaan-peragaan kuda, jadi bisa membantu kita menghadapi
peragaan besok." "Aku nggak tahu perasaan kalian, yang jelas aku agak
senewen," kata Sabs sambil mencukil sepotong kecil keju dari
pizzanya dengan garpu. Anak ini memang rajin berdiet, padahal
menurutku tidak terlalu perlu. "Aku cuma nggak mau kelihatan seperti
orang culun di peragaan besok. Setelah itu, paling-paling aku cuma
berkuda sekali-sekali saja."
"Kapok, ya?" tanya Al. "Padahal kamu yang maksa kita-kita
ikut kursus." "Iya juga sih," jawab Sabs sambil tersenyum kecut. "Tapi
rasanya lain dengan yang kubayangkan. Bayangkan, sebelum
dipasangi pelana, kuda harus disikat dulu. Habis berkuda, ia harus
disisir dan disikat. Lama-lama aku merasa seperti juru rias kuda.
Belum lagi membersihkan peralatan, angkut-angkut pelana, ngasih
makan kuda. Semula kukira kita akan berkuda dengan ..."
"...angin bertiup di rambutmu?" potong Al.
Sabs tertawa. "Terus terang, aku bosan badanku bau jerami dan
kotoran kuda." "Ya, aku ngerti," kata Al. "Aku masih suka berkuda, tapi sekalisekali saja."
"Kamu gimana, Randy?" tanya Sabs. "Pasti seru kalau bisa
mengendarai Thunder. Bukan Pumpkin."
"Asyik banget kalau bisa begitu. Tapi nggak janji, deh. Richard
bilang, ayahnya sudah bertekad mau menjual Thunder dan beliau
melarang siapa pun mengendarainya. "
"Kamu pasti paling hebat besok."
"Besok aku akan mengendarai Pumpkin," aku mengingatkan.
"Biarpun kutinggal tidur pun dia pasti bisa jalan sendiri."
"Sayang, ya, kamu nggak bisa naik kuda yang satunya," kata
Katie. "Kayaknya dia lebih cocok buat orang yang urakan macam
kamu." "Thunder belum siap ikut peragaan. Bisa bertahan di
punggungnya saja sudah untung." Kugelengkan kepalaku. "Coba aku
bisa menebak maunya dia."
"Aku tahu Bilbo," kata Sabs. "Dia cuma suka sama rambutku,
yang bolak-balik hampir dimakannya."
"Barangkali kamu harus pakai topi," usul Al sambil meraih
sepotong pizza lagi. "Topi?" Sabs menimbang-nimbang. "Boleh juga. Topi berkuda
gaya Inggris mungkin bagus, ya. Yang dari beludru hitam dan atasnya
bundar, kan?" "Wah...," ujar Al. "Sebentar lagi kayaknya ada acara belanja,
deh nih." Tapi aku tidak begitu memperhatikan obrolan mereka. Aku
masih memikirkan Thunder, membayangkan betapa gampangnya ia
dikendalikan ? setelah ia melemparkan aku dari punggungnya.
Rasanya jawaban atas masalahku sudah di depan mata, tinggal
dipecahkan saja teka-tekinya.
*********** "RANDY!" Kebetulan aku mengangkat muka. Kalau tidak, aku tidak akan
mendengar M berteriak memanggilku, meskipun beliau di ambang
pintu kamarku. Waktu itu aku sedang asyik-asyiknya menggebuk
drum. Ini biasa aku lakukan kalau sedang menghadapi persoalan
penting. Kalau sudah begitu, suaranya bisa memecahkan kaca jendela
saking serunya. Tapi M tak pernah keberatan, tuh. Malah katanya
suara drumku bisa membantunya berkonsentrasi. Aneh!
"Hai M." Kuletakkan stick drumku. "Ada apa?" tanyaku dengan
nafas terengah-engah. "Enggak ke istal?" tanya M. Ia mondar-mandir memamerkan
baju barunya ? rok bawahan suede berwarna coklat dengan sepatu
boot dan blazer yang serasi. Di kepalanya bertengger sebuah topi yang
cantik dengan tepi lebar melambai-lambai. "Aku sudah siap, nih."
"M, oke punya nih," pujiku. "Cocok dengan acara berkuda."
Gaya pakaian M ada dua macam: kalau sedang berkarya, ia
mengenakan baju berhiaskan cipratan cat, tapi kalau bepergian ia
selalu mengenakan pakaian keluaran perancang beken. Gaya, deh.
"Kamunya kok malah belum apa-apa?"
Aku mengangkat bahu. "Aku lagi kelebihan tenaga, nih. Jadi
harus kubuang dulu enerji yang berlebih ini," jawabku. M mengerti
betul perasaanku tentang drum. Itu caraku menyelesaikan masalah
atau melepaskan diri dari ketegangan. Kadang-kadang, kupikir, kalau
aku tidak sempat main drum tiap hari, aku bisa "meledak."
"Sekarang bersiaplah. Aku sudah nggak sabar, pingin lihat
kamu bergaya di atas Pumpkin."
"Jangan berharap terlalu banyak, lho, M," kataku sambil
tertawa. "Biarpun aku ketiduran, Pumpkin pasti bisa bergaya sendiri."
M tertawa. "Sayang, ya, Thunder punya masalah. Padahal
kelihatannya dia keren."
"Memang," sahutku. Aku sudah bercerita kepada M tentang
Thunder. Bahkan tentang bagaimana dia melemparkan aku kemarin.
M tenang-tenang saja mendengar ceritaku itu, setelah kuyakinkan
bahwa aku tidak apa-apa. M bahkan senang karena aku berhasil
mengatasi traumaku. "Thunder nggak cocok buat peragaan," tambahku. "Terlalu
agresif." "Sayang sekali. Barangkali kamu harus mengajarinya main
drum," goda M. Tiba-tiba pikiranku jadi terang. "Aduh, M hebat, deh!"
"Ya, dong, tapi memangnya kenapa?"
"Kemarin, setelah melemparku dari punggungnya, Thunder jadi
tenang. Bukan karena jahat, lho. Ia perlu berlari melepaskan enerjinya
yang berlebih." "Seperti kamu? Perlu main drum dulu," kata M.
"Thunder perlu main drum!" seruku penuh semangat. "Untuk
menenangkannya." "Apa?" tanya M.
"Nggak ada apa-apa, kok." Aku segera melompat dari bangku
lalu langsung mandi. "Peragaan dimulai!" seruku riang.
Ketika kami tiba di peternakan, aku berlari ke gudang,
sedangkan M langsung menuju bangku penonton. Semua temanku
sudah siap di gudang, sedang memasang pelana. Katie juga ada di situ.
"Akhirnya datang juga," kata Al yang sedang berdiri di muka
kandang Sweetheart. "Kami kira kamu nggak akan muncul."
"Biasa, aku main drum sampai lupa waktu. Tapi aku punya
gagasan istimewa." Al hanya memandangku. Aku yakin dia tahu apa yang
kumaksud. Dia juga tahu bahwa semakin sedikit hal itu dibicarakan,
semakin baik buatku. "Richard menyuruh kita memasang pelana dan memberi tahu
urutan kita masing-masing. Katanya, kalau kamu nggak terlambat,
kamu nanti keluar terakhir bersama Pumpkin."
"Bagus," kataku, lalu segera menuju ruang perlengkapan.
Dalam perjalanan ke sana, kulihat Katie dan Sabs berhandai-handai di
depan kandang Bilbo. "Nah! Lihat, dia nggak suka sama topiku!" seru Sabs riang. Ia
mengenakan topi berkuda warna hitam, dan rambut keritingnya tertata
rapi di dalamnya. Bilbo memandangi Sabs seolah-olah tidak
mengenalinya. "Sabs, dia kan cuma mau makan rambut kamu sedikiiit saja.
Rambutmu kan banyak," kataku, menggoda.
"Kasih saja rambutmu kalau mau," jawabnya.
"Kayaknya dia lebih suka rambut merah," candaku lagi.
"Kuda suka makan rambut?" tanya Katie. Kelihatannya dia
bingung, kami lagi bercanda atau bukan, sih?
Kemudian Richard memasuki gudang bersama April dan kedua
orang tuanya. April melintas di hadapan kami tanpa menyapa sama
sekali. Bukannya pergi ke kandang Whillikers, ia malah menuju
kandang Thunder. Richard menatapku sebentar, lalu cepat-cepat berpaling.
"Ini dia!" kata April sambil berdiri di kandang Thunder. "Bagus
kan?" "Memang bagus, tapi bukankah dia yang dulu
melemparkanmu?" "Ayah, kita kan sudah omong-omong tentang hal ini berkalikali," kata April tidak sabar. "Dia cuma perlu dilatih secara keras.
Begitu dia tahu siapa yang boss, pasti hebat jadinya," desaknya lagi.
"Betul kan, Richard?"
"Ia memang perlu latihan," kata Richard dengan berat hati.
"Menurutmu, kuda ini bisa dilatih sehingga anakku bisa
mengendalikannya, begitu?" tanya ayah April kepada Richard.
"Ya, Pak," jawabnya. "Kalau Thunder ditangani dengan baik, ia
bisa jadi kuda tunggang yang hebat." Kembali Richard melirikku
sejenak, tapi secepat itu pula ia membuang muka.
"Nggak tahu, ya, April...." Ayahnya tampak masih ragu-ragu.
"Katanya aku mau dibelikan kuda," kata April sambil
bersedekap, "yang bisa kupakai bertanding. Kuda ini sempurna, Yah.
Aku yakin bisa menguasainya nanti."
Nada suara April sama yakin dan mendesaknya dengan waktu
ia berkeras mengendarai Thunder dulu. Tampaknya cara ini berhasil
melunakkan hati orangtuanya. Ayah dan ibunya bertukar pandang
sejenak, lalu ayahnya menyerah. "Kalau memang ini kuda yang kamu
inginkan, dan kalau Ayah berhasil menawar dengan pemiliknya di
sini, ya okelah." April berseru riang lalu memeluk ayahnya. Perutku serasa
ditendang rasanya. Richard pasti melihat itu, soalnya ia lalu permisi
dan mendatangiku. "Maaf, Randy," bisiknya setelah April menuntun Whillikers
keluar dari kandang, lalu berlalu bersama orang tuanya. "April dan
orangtuanya menelepon Ayahku soal Thunder. Aku nggak bisa apaapa."
"Tapi...April nggak tahu apa-apa sama sekali tentang Thunder.
Dia nggak tahu cara menanganinya. Dengar nggak tadi omongannya
Girl Talk 25 Trauma Sang Joki di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentang latihan yang keras?" debatku. Kata-kataku terhenti karena
kerongkonganku seperti tersumbat.
"Aku tahu, Randy. Kata-katamu benar. Tapi kita mau bilang
apa? Menurut Ayahku, masih untung ada yang mau beli. Akui sajalah,
Thunder memang belum siap dipakai untuk pelajaran berkuda. Kalau
bisa, sih...pasti kupaksa Ayahku terus memeliharanya."
"Aku tahu itu," kataku. Tapi suaraku terdengar hampa, aku
sendiri pun bisa mendengarnya. Kulihat Al, Sabs, dan Katie berdiri di
dekatku sambil menguping. Wajah-wajah mereka juga sedih seperti
aku. "Yah, peragaan harus tetap berlangsung," kata Richard
akhirnya, sambil berusaha kedengaran ceria. "Sampai nanti di arena,
Randy. Kamu dan Pumpkin keluar terakhir, ya?"
Ia pun berlalu, dan hanya berhenti sebentar untuk mengusapusap moncong Thunder penuh sesal.
"Nggak adil," kata Al.
"Randy, aku ikut sedih," tambah Sabs sambil merangkul
pundakku. "Jangan khawatir, aku pasti bisa mengatasinya," kataku muram.
"Yang kukhawatirkan justru Thunder." Aku berhenti sejenak. "Eh,
ayo pada siap-siap. Jangan khawatirkan aku."
Sabs tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi Al menggelengkan
kepalanya. Ia tahu kata-kata apa pun tak akan mampu menghiburku
saat itu. "Aku ke tempat penonton, ya?" Katie berpamitan, canggung.
Aku hanya mengangguk. Rasanya malas ngomong. Aku bahkan
mendatangi Thunder lalu mengelus-elus moncongnya.
Sabs berhasil memasang pelana pada punggung Bilbo lalu
melangkah menuju arena peragaan. Dari luar terdengar suara
penonton, yang pada umumnya terdiri dari keluarga murid-murid
sekolah berkuda ini. Teman-teman "sekelas"-ku sudah mulai menuntun kudanya
masing-masing sambil bicara dengan nada senewen. Aku hanya
berdiri di depan kandang Thunder.
Lama-kelamaan kusadari ternyata aku tinggal sendirian di
gudang. Yang lain sudah memulai peragaan. Kudengar penonton
bertepuk tangan. Di dalam sini tinggal aku, Pumpkin, dan Thunder.
Kusadari sekaranglah waktunya untuk beraksi. Aku berjalan
menuju ruang perlengkapan untuk mengambil pelana. Ketika
melewati kandang Thunder, kudengar dia meringkik lembut.
Kuhentikan langkahku, lalu kupandangi dia.
"Apakah kau juga memikirkan hal itu, Thunder?" tanyaku.
Thunder menghentak-hentakkan kakinya dan melambunglambungkan kepalanya.
"Oke, kalau kau setuju, aku juga bersedia," jawabku sebelum
melanjutkan langkahku ke ruang perlengkapan.
Thunder dan aku tak punya risiko apa-apa. Ayah Richard sudah
pasti akan menjualnya. Paling-paling aku terlempar lagi di hadapan
penonton dan dianggap joki super bebal.
Gagasan ini memang tampak gila. Tapi aku kan memang perlu
sedikit gila, toh? BAGIAN SEPULUH Kudengar Sabs dan Bilbo dipanggil keluar.
Berarti akulah giliran berikutnya. Kuhela nafas dalam-dalam,
lalu mulai beraksi. Barangkali tidak ada kuda yang dipasangi pelana
secepat Thunder saat itu.
Kutuntun dia ke pintu gudang yang membuka ke arah sisi yang
tidak terlihat dari arena. Lalu aku naik ke punggungnya.
"Ayo, teman," kataku pada kuda itu. "Mau belajar main drum?
Ayo kita mulai." Setelah kuberi aba-aba, Thunder langsung melesat
berlari. Pintu ke arah padang rumput terbuka, dan kami melintasinya
dengan kecepatan tinggi. Thunder berlari sejadi-jadinya, seperti angin. Debu beterbangan
di antara kakinya, dan suara derap kakinya memang menggelegar
seperti guruh, sesuai dengan namanya.
Kubiarkan ia berlari beberapa menit lamanya, lalu, karena
waktu yang terbatas, kubelokkan dia ke arah arena peragaan.
"Ayo, Thunder," seruku. "Aku tahu kamu masih pingin mainmain, tapi sekarang kita harus menyelesaikan tugas kita dulu."
Kutegakkan kepalaku, dan tampaklah Sabs menepuk-nepuk
leher Bilbo sembari menuntunnya keluar dari arena.
Kupacu Thunder menuju pagar yang mengelilingi arena.
Menurutku, kami harus keluar dengan penuh gaya untuk menarik
perhatian. Sekali lagi kurasakan keheningan yang mencekam saat kami
melompati pagar. Aku berhasil bertahan di punggung Thunder,
sekalipun rasanya nyaris terbang juga tadi. Kutarik tali kekangku, dan
Thunder bereaksi dengan sempurna. Ia mau berhenti.
Kudengar tepukan riuh para penonton. Barangkali mereka kira
ini bagian dari peragaan. Tapi kulihat wajah Richard begitu ketakutan.
"Mari, Thunder," bisikku. "Tunjukkan kebolehanmu. Ini bukan
latihan lagi, lho." Setiap pengendara diharuskan memandu kudanya dan
memamerkan macam-macam langkah: melangkah biasa, menderap
kecil, menderap lebih cepat, dan berlari. Lalu kami harus bisa
menyuruhnya mundur, berbelok ke berbagai arah, dan melompati
sejumlah rintangan rendah.
Kukira kewajiban melompati rintangan sudah kulewati dengan
melompati pagar. Aku masih senewen memikirkan langkah-langkah lainnya.
Selama ini aku kan belum pernah mencoba mengendalikan Thunder.
Mudah-mudahan saja dugaanku benar, Thunder hanya perlu
penyaluran enerji yang berlebih sebelum melakukan sesuatu. Dengan
kata lain, kuharap Thunder memang seperti aku.
************ "Aku tahu dia kuda yang baik," kata April.
Kami sedang berada di gudang setelah peragaan selesai,
merawat pasangan kami masing-masing. Aku berbalik dan kulihat
April mendekat diikuti orangtuanya. Hatiku tak karuan rasanya. Aku
tidak tahu, apakah April masih ingin membeli Thunder. Atau justru
ayah Richard yang membatalkan maksudnya menjual kuda itu.
Thunder memang kuda yang bagus. Usaha gila-gilaanku bahkan
semakin menunjukkan betapa hebatnya dia.
"Kamu memang selalu benar, Nak," jawab ayahnya.
"Bayangkan kalau dia sudah terlatih, pasti lebih bagus lagi dia,"
kata April lagi. "Apalagi kalau pengendaranya lebih mahir."
April tidak memandangku sama sekali, tapi aku tahu dia sengaja
mengatakan itu agar aku mendengarnya.
"Halo semua," sapa Pak Cole begitu masuk gudang.
"Eh, Pak Cole," sapa ayah April sambil mengulurkan tangan.
"Mudah-mudahan Bapak tidak menaikkan harga Thunder setelah
peragaan tadi," guraunya.
Pak Cole menggelengkan kepalanya. "Wah, maaf. Saya tidak
jadi menjual Thunder."
"Maksud bapak?" tanya April sengit. "Aku akan melatihnya
dengan benar. Ia harus jadi milikku!"
"Begini, rupanya kami salah duga tentang Thunder, April,"
jelas Pak Cole tenang. "Kelihatannya ia bisa dikendarai, tapi ia perlu
pengertian," tambah beliau sambil tersenyum padaku. "Kelihatannya
sebaiknya kami tetap memeliharanya."
"Tapi aku mampu melatihnya," desak April. "Aku bisa
bertanding dengannya di kejuaraan daerah. Kalau Bapak mau uang
lebih banyak, Ayahku mampu ..."
"Kata Pak Cole, Thunder tidak jadi dijual," potongku.
"Lagipula Thunder memang sudah direncanakan untuk bertanding di
kejuaraan daerah, dan dia pasti menang."
Kadang-kadang kita mengatakan sesuatu begitu saja, tanpa pikir
panjang. Betul-betul bodoh.
"Oh, ya?" kata April. "Lalu siapa jokinya?"
"Aku," jawabku. "Dan kami pasti menang." Lalu kusadari
bahwa kuda yang kubicarakan itu bukan milikku. Cepat-cepat kulirik
Pak Cole. Ia masih tersenyum padaku, jadi tentunya ia tidak
keberatan. "Kalau Pak Cole setuju."
"Tentu saja, itu gagasan yang baik," ujar beliau. "Richard dapat
membantumu melatih Thunder. Betul kan, Nak?"
"Aku sih setuju saja," jawab Richard. Belum pernah kulihat ia
secerah ini. "Ya, sudah," kata April pedas. "Aku bisa cari kuda lain."
"Masih banyak kuda lain yang bisa kamu pilih, sayangku,"
bujuk ayah April sambil menepuk-nepuk pundak putrinya. "Ayo
pulang. Orang-orang di sini tidak mengerti cara berbisnis."
April mengangguk, lalu segera berbalik dan keluar dari gudang
dengan langkah gusar, meninggalkan kedua orangtuanya yang
mengikutinya dari belakang.
"Terima kasih, Pak Cole," kataku.
"Jangan pada saya," jawab beliau sambil menganggukkan
kepalanya ke arah Richard. "Tanganku sudah ditelikung oleh anakku
ini." "Aku hampir pingsan waktu melihat kau dan Thunder
melompati pagar itu," kata Richard, mengaku. "Tapi dia memang
kelihatan hebat. Gimana sih, caramu membuat dia mau dikendalikan?"
Aku tersenyum lebar pada teman-temanku. "Kuajari dia main
drum, itu saja." "Aku tak akan bertanya apa maksudmu." Richard
menggelengkan kepala lantas balas tersenyum. "Apakah kau sungguhsungguh mau jadi joki Thunder di kejuaraan daerah?"
"Eh...," aku tidak bisa menjawab. Kata-kata itu keluar begitu
saja ketika menghadapi April. Kedengarannya terlalu ambisius, ya?
"Yah..." "Yang benar saja," kata Katie sebelum aku sempat menjawab.
"Aku berani taruhan uang jajan sebulan bahwa dia sungguh-sungguh."
"Aku juga," sambung Sabs. "Tapi uangnya sudah kupakai buat
beli topi." "Kamu nggak ngerti, sih, Richard," sambung Al. "Yang kita
bicarakan ini Randy Zak, lho."
Teman-temanku tersenyum lebar padaku. Mau tak mau aku
terpaksa ikut tersenyum. "Sudah tahu jawabannya, Richard?" tanyaku.
"Aku cuma ingin lebih yakin," jawabnya. "Kau dan Thunder
benar-benar pasangan ideal. Aku sungguh-sungguh bersedia
menolongmu melatih Thunder."
"Bagus...aku memang perlu bantuanmu," kataku sedikit malu
atas pujiannya, "Bagaimana dengan Thunder? Mau tidak dia bertanding di
kejuaraan daerah?" tanya Al sambil memandangku dengan pandangan
jahil. "Wah, dia harus kubujuk dulu," jawabku sambil tertawa. "Dia
kelihatannya senang dapat tepuk tangan meriah."
"Membujuknya?" tanya Katie terheran-heran.
"Tentu," jawabku sambil mengangkat bahu. "Kami suka tawarmenawar. Memecahkan masalah, gitu."
Kuhampiri kandang Thunder lalu kutepuk-tepuk kepalanya. Ia
sudah menolongku, dan aku telah membalasnya. Kini kami berdua
berhasil mengatasi masalah kami. Aku senang karena tidak
mengecewakannya. Kami benar-benar saling mengerti.
Seperti kata Richard, aku dan Thunder memang pasangan
serasi. Dan dapat kurasakan bahwa itu tadi baru pertunjukan pertama
kami. Masih banyak show yang dapat kulakukan bersama Thunder.
Mudah-mudahan saja.END Panah Cakra Neraka 1 Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta Romantika Sebilah Pedang 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama