Hardy Boys Misteri Pedang Samurai Bagian 2
"Mereka telah peringatkan aku, agar tidak melapor polisi. Jika
tidak, aku akan menyesal, ia mengancamku. Bukan hanya aku saja
bahkan seluruh kelompokku."
"Anda telah menyetujuinya?"
"Penelepon itu suruh aku bersumpah sebelum menyebutkan
waktu dan tempat."
"Serahkan perkara itu kepada kami," kata Joe, setelah
memandang Frank dibalas anggukan kepala. "Dengan begitu anda
berpegang janji. Frank dan aku akan menjebak mereka."
Wajah Warlord nampak lega merasa dapat lepas dari kesulitan.
Ia segera menyetujui usul kedua kakak-beradik tersebut.
"Satu lagi!" kata Frank. "Bagaimana pencuri-pencuri itu tahu
bahwa anda akan tertarik untuk membeli pedang itu?"
"Bagian humas Galeri telah memotret aku ketika sedang
mengamati pedang itu," jawab Killian. "Gambar itu dipasang di suratsuratkabar. Keterangan gambar itu menyebut aku akan mengajukan
penawaran pada waktu lelang."
"Ya, itu masuk akal," Frank mengiakan.
"Di samping itu," Warlord melanjutkan. "Siapa pun yang telah
menonton pertunjukanku akan tahu, bahwa aku banyak menggunakan
pedang atau pisau dalam nomor-nomor tarian. Dan jenis-jenis senjata
itu adalah otentik."
Ketika kakak-beradik Hardy kembali ke mobil, Frank
menggumam: "Ada apa ini?"
Sebuah lampu merah menyala di dashboard mobilnya. Frank
segera memutar tombol radio CB yang diperolehnya dengan izin
khusus dan dipasang tepat di bawah dashboard.
"H-satu di sini," katanya pada mikrofon.
"G memanggil!"
Sesuatu pada suara wanita itu terdengar bernada cemas.
"Ada apa, bibi Gertrude?" tanya Frank.
"Sam Radley terluka!" kata bibi. "Aku baru terima telepon dari
Shoreham. Ia ditemukan pingsan di jalan. Kepalanya luka-luka!"
12. Pertemuan di tengah malam
"Berita sedih!" seru Frank memandang cemas kepada Joe. "Di
mana Sam sekarang?"
"Mereka membawanya ke rumah sakit Shoreham," jawab bibi.
"Polisi mengenali dia sebagai pembantu ayahmu, karena itu mereka
menelepon kemari. Tetapi sampai kini aku belum berhasil
menghubungi ayahmu memberitahu kabar sedih ini. Maka kuputuskan
menghubungi kalian."
"Baik bibi! Kami senang bibi beritahu kami. Joe dan aku akan
segera berangkat ke rumahsakit. Melihat keadaan Sam sekarang."
Frank mematikan radio CB-nya dan menggantungkan kembali
mikrofonnya. Ia segera menghidupkan mesin mobilnya. Dengan
mulus ia keluar dari tempat parkir. Mereka lalu memacu mobilnya ke
Jalan Pantai, menuju kota Shoreham.
"Apa kaukira ini ada kaitan dengan perkara Satoya?" tanya Joe
kepada kakaknya.
"Aku tidak tahu. Tak tahu pasti tugas apa yang ayah berikan
kepadanya."
Di rumahsakit mereka segera diantar ke ruang darurat, Sam
Radley sudah sadar kembali. Kakak-beradik Hardy menjumpainya
sedang duduk di atas meja periksa, sementara seorang dokter sedang
membalut kepalanya.
"Hah! Lega hatiku!" Frank menghela napas. "Kami tidak tahu
apa yang terjadi, dan bagaimana keadaanmu?"
Joe menyambung: "Apa yang menimpa dirimu, Sam?"
"Kepalaku kena pukul," detektif itu berkata sambil meringis.
"Untung rupanya kepalaku cukup keras!"
"Kau memang keras kepala!" Lalu Frank melihat ke arah dokter
sambil memandanginya dengan mata bertanya-tanya. "Bagaimana dia,
dok?"
"Tidak mengkhawatirkan. Hanya memar dan kulit kepala
terkelupas sedikit. Agak benjol sekarang, tetapi besok pagi bengkak
ini sudah akan kempes. Hanya kuinginkan dia tidur semalam sini.
Sekaligus meyakinkan apakah ia tidak sampai gegar otak."
Dokter mengizinkan mereka bercakap-cakap untuk beberapa
menit saja, sebelum Sam di pindah ke ruang lain di rumahsakit
tersebut. "Kautahu siapa telah memukulmu, Sam?"
"Namanya aku tidak tahu, kalau itu yang kau tanyakan. Tetapi
aku mendapat pikiran..."
Sam Radley adalah satu-satunya penyelidik yang bekerja
sebagai tenaga tetap pada Fenton Hardy. Memang ada beberapa
tenaga lagi yang sewaktu-waktu dipakai, yaitu bila sangat diperlukan.
Sam katakan bahwa ayahnya minta kepada semua pembantupembantunya untuk memasang mata terhadap kemungkinan
munculnya Yakuza, yaitu gangster Jepang.
"Aku pergoki seseorang di Shoreham sini dengan segala ciricirinya," kata detektif itu melanjutkan. "Lengan bertatoo, pakaian
menyala, ruas kelingking dipotong, cara kerja dan sebagainya. Nah,
aku menguntitnya."
"Ke sebuah warung kopi di pantai. Di sana ia bertemu dengan
seseorang. Orang Amerika, kalau dilihat cara tongkrongannya." Sam
berhenti sebentar. Alis matanya mengernyit sakit sewaktu
memusatkan pikirannya.
"Kaukenali dia?"
"Aku tidak tahu. Itu yang meresahkanku."
Sam menjadi ragu dan tetap mengernyit sakit. "Ia sepertinya
kukenal. Tetapi aku tak dapat pastikan. Nah, mereka berdua bercakapcakap sebentar, kemudian yakuza itu berdiri dan pergi. Aku terus
membuntuti.... itulah kesalahanku!"
"Apa jadinya?"
" Kukira, ia curiga dan merasa dibayang-bayangi. Ia
memberitahu si Amerika melihat aku membayanginya keluar dari
warung. Ia mengambil tindakan sendiri, atau ia memberitahu salah
seorang kawanan Yakuza. Entah yang mana. Pokoknya si Jepang
memancing aku ke jalan yang sempit di dekat galangan. Berikutnya,
yang kuketahui hanyalah aku diterkam dari belakang!"
"Kaulihat tampang orang yang menerkammu dari belakang?"
tanya Joe.
"Tidak!" Sam menggeleng kecewa. "Dari sudut mata pun tidak
terlihat. Ia hanya menarik bajuku sedemikian lama, lalu memukul
dengan pentungan atau entah dengan apa di kepalaku. Apa yang
kuingat setelah itu ialah membuka mata di ruang darurat ini."
Sam mengira bahwa penyerangnya bersembunyi di suatu jalan
pintu ketika ia lewat.
Frank dan Joe kembali ke Bayport dengan wajah-wajah muram.
Keduanya merasa resah atas adanya serangan terhadap Sam Radley.
Untuk mengalihkan pikiran, Joe memasang radionya pada gelombang
polisi. Panggilan-panggilan pertama bersifat rutin, tidak ada yang
menarik. Tiba-tiba saja petugas memanggil lewat radio: "Mobil-7,
harap menuju Jalan Ardmore 119, sudut Jalan Deen. Selidiki! Laporan
monyet terlepas!"
"Monyet lepas?" terdengar suara mobil-7 menyahut.
"Roger! Lepas dari toko hewan piaraan!"
Terdengar suara berisik gangguan udara. Kemudian terdengar
lagi: "O, tentu yang terlihat tadi!"
"Apa yang kaulihat tadi?" terdengar suara petugas jengkel.
"Seseorang berlari-lari di jalan. Di kepalanya bertengger seekor
monyet!"
"Apa?"
"Lihat orang lari. Ada monyet di kepalanya," polisi patroli itu
mengulang. "Nampaknya memang kebingungan. Kami heran apa yang
terjadi, tetapi"
"Busyet!" suara dari petugas. "Apa pikirmu? Monyet mencari
kelapa?"
"Bukan! Kami kira monyet itu kesayangannya. Sedang diajak
jalan-jalan, atau berlatih. Begitu kira-kira."
"Dengar! Lain kali kalau kaulihat seseorang dengan seekor
monyet di kepalanya, selidiki langsung, mengerti? Cepat! Tangkap
monyet itu! Sebelum ia menyerang orang lain lagi!"
"Roger!"
Frank dan Joe tertawa terpingkal-pingkal sementara mobilnya
mendekati pinggiran kota Bayport. Sebelum menuju Jalan Elm, rumah
mereka, terlebih dulu mereka mampir ke tanah pertanian Morton.
Mereka menjumpai kawannya si gemuk Chet. Ia sedang berancangancang menghadapi Biff Hooper di kebun.
"Apa-apaan ini? Balas Dendam??" tanya Frank, melihat sikap
Chet dengan dahinya berkerut memusatkan tenaga dan perhatian.
Meskipun Frank berkata demikian setengah membanyol, tetapi ia pun
waspada untuk segera datang di tengah jika terjadi perkelahian.
"Bukan! apa kalian belum dengar?" Biff mengelak.
"Dengar apa?" tanya Joe.
"Chet ikut kursus seni beladiri," Biff jelaskan lagi. "Ia
pertontonkan jurus-jurus karate, atau kungfu, ataukah kucing, atau
entahlah!"
"Kaukira aku main kucing-kucingan, ya?" bentak Chet
tersinggung. "Nah, awas! Ini suatu pukulan kombinasi. Pertama,
serangan pura-pura, lalu mundur memancing, kemudian beberapa
pukulan dari jurus-jurus campuran. Nah, awas!"
Chet melakukan beberapa langkah dengan cepat seperti menari,
kedua lengannya berayun, lalu mundur mengelak balasan lawan.
Sedetik kemudian jab kiri Biff masuk, dan Chet si gemuk terlentang
rebah di tanah.
"Itu tidak jujur!" Chet memrotes keras sambil merayap bangun.
"Kau seharusnya tak boleh terlalu dekat!"
"Bagaimana kutahu apa yang harus kulakukan?" jawab Biff.
"Aku justru hanya bertahan!"
"Nah, kalau begitu lakukan yang benar, daging glinding!"
"Daging glinding? Lihat, siapa berani bilang itu?"
Kedua anak-anak Hardy yang sejak tadi tidak kuat menahan
ketawa, dengan segera melerai di tengah-tengah, sebelum demonstrasi
itu berakhir dengan perang tanding sungguh-sungguh.
"Dengar! Kalian berdua," kata Frank. "Bagaimana kalau kalian
pertontonkan kemahiran lakukan jurus-jurusmu itu malam nanti?"
"Ada apa nanti malam?" tanya Biff.
"Pengintaian dengan tebusan! Aku dan Joe akan mencoba
menangkap pencuri. Jika mereka lari, kami butuhkan pertolongan
kalian. Untuk mencegat dan bekuk dia!"
Kakak-beradik itu lalu menjelaskan telepon gelap yang diterima
Warlord, menawarkan penjualan pedang samurai curian. Pertemuan
transaksi ditetapkan di Seaview Park.
"Aku mendaftarkan diri!" seru Chet. "Nah, aku dapat
kesempatan menunjukkan kepada kalian, bagaimana mereka di negeri
Timur melakukannya. Jika maling itu nanti membuat gerakan yang
salah, kuberi dia hingga kepalanya berputaran!"
"Bagus! Tetapi jangan gegabah," kata Frank memperingatkan.
"Jika ia pegang senjata, atau datang dengan teman-temannya yang
mungkin bersenjata, kita takkan bergerak. Kalian tunggu isyaratku!"
Biff pun ingin seperti Chet, untuk membantu aksi penjebakan
malam nanti.
*************
Malam itu, setelah pengecekan dengan menelepon Warlord
untuk menentukan gerakan mereka, Frank dan Joe lalu menjemput
Chet dan Biff. Kemudian, sejenak setelah jam 10.30 mereka menuju
ke jalan Ardmore. Jalan ini bersambung dengan jalanan yang berlapis
dengan pasir sisa-sisa arang, berliku-liku sepanjang Seaview Park.
Taman itu sendiri berupa bentangan berhutan yang indah
menyenangkan; pada sisi sebelah dibatasi jalan raya pantai dan pada
sisi lainnya tepi laut. Resminya taman itu ditutup pada jam sebelas
malam. Tetapi di sana tidak ada pagar atau penghalang jalan. Remaja
dan pasangan-pasangan berpacaran sering menyelinap setelah jam itu
atau tetap tinggal di sana.
Frank dan teman-temannya memarkir mobil mereka
tersembunyi di antara pepohonan. Mereka berhasil menemukan
tempat yang enak, lalu tidur-tiduran sambil mendengarkan radio
transistor yang dibawa Biff dan mengobrol untuk perintang waktu.
Pada kira-kira jam duabelas kurang seperempat, mereka
mencari tempat berlindung di sekitar tempat yang ditentukan untuk
pertemuan transaksi. Tempat berupa jalan simpangan pendek ke suatu
tempat parkir. Di dekatnya terdapat dua atau tiga buah meja piknik.
Beberapa menit menjelang tengah malam, mereka dengar deru
suara mobil dan segera nampak sinar lampunya. Mereka mulai
bersiap-siap setelah melihat sebuah mobil putih mengkilap berhenti di
tempat parkir.
" Warlord," desis Joe kepada kakaknya yang berjongkok
meringkuk di antara dua buah batu.
Tidak lama kemudian terdengar suara mesin perahu di pinggir
laut. Suara itu tiba-tiba berhenti setelah mesin dimatikan. Tetapi
disusul kemudian suara desiran pasir ketika perahu berhenti di pantai.
Rupa-rupanya pengemudi perahu membiarkan perahu itu meluncur
naik menuju tempat parkir.
Tepat pada saat itu terdengar suara gaduh di antara pohonpohon, beberapa meter dari tempat mereka berlindung. Itulah tempat
teman mereka si Gemuk menyembunyikan diri di cabang-cabang
pohon. "Ada sesuatu yang tidak beres dengan Chet!" seru Frank.
13. Pengendara motor bertopeng
Di kegelapan terang bulan, mereka melihat dengan jelas pohon
tempat Chet bersembunyi bergoyang hebat.
"Ada apa di sana?" tanya Joe tertahan.
"Toloong!" teriak si Gemuk ketakutan.
Sebelum kakak-beradik sempat berbuat sesuatu terdengar
keretak dahan yang patah. Sesaat berikutnya...gedebuk Chet nampak
jelas terguling jatuh!
Frank dan Joe tidak menunggu lagi. Mereka sadar pengintaian
mereka telah gagal. Tetapi mereka harus menolong teman mereka.
Warlord juga melompat keluar mobilnya pada saat yang sama.
"Chet! seru Frank. "Kau tidak apa-apa?"
Si bulat dempal merayap bangun kesakitan, menepis-nepiskan
debu dari pantat celananya. "J-ja..jangan tanya-tanya!" ia menggagap.
"Aku diserang binatang buas di atas pohon!"
"Binatang buas? Mana ada?" Joe ternganga, tak percaya bahwa
Chet bersungguh-sungguh.
"Kau tak dengar aku teriak?" Chet berseru. "Aduh! Betul-betul
ganas! Apa mukaku tidak koyak dicakar?"
"Aku tidak melihat satu goresan pun!" kata Joe.
"Sudah! Jangan pandangi aku begitu! Sepertinya aku gila ...."
Apa hendak dikatakan Chet kepada teman-temannya, tenggelam
dalam suara deru mesin perahu.
Pada saat yang tepat sama, sesuatu jatuh dari atas pohon. Tepat
di kepala Chet: seekor monyet!
Chet menjerit ketakutan, malompat ke sana kemari, kedua
tangannya melekat erat pada penunggangnya.
Frank dan Joe tidak menunggu untuk melihat tontonan yang
gaduh-lucu itu. Setengah geli setengah marah karena gagalnya
rencana yang telah diatur sangat teliti. Mereka berlari secepatnya
menerobos pohon-pohon di taman yang melandai turun ke pantai.
Terlambat sudah! Perahu motor yang mereka dengar telah
meluncur cepat ke dalam kegelapan laut. Pengemudinya dengan
terampil mengikuti bayangan bukit hingga tak mungkin terlihat di
Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sinar bulan. Kedua kakak-beradik itu bahkan tidak tahu berapa banyak
penumpangnya.
"Setan alas!" Frank mengomel. "Hanya sampai di sini saja
pengintaian kita."
"Bukan saja tidak berhasil menangkap maling," kata Joe
kecewa, "bahkan pedang pun tidak."
"Sudahlah! Barangkali seluruhnya itu juga hanya tipuan. Hanya
untuk memberi kesempatan seseorang mendapat uang sejumlah
sepuluhribu dolar."
"Mungkin juga begitu," Joe berusaha meniru sikap kakaknya,
dan menelan segala kekecewaan. "Marah-marah pun tak berguna."
Kakak-beradik itu kembali menaiki pantai menuju ke tempat
pertemuan. Biff datang membantu Warlord setelah melepaskan
monyet yang bercowet-cowet dari tempatnya bertengger di kepala
Chet. Seorang polisi yang sedang lewat mendengar kegaduhan itu. Ia
bergegas mendatangi untuk menyelidik.
"Hee! Ada apa di sana?" ia bertanya penuh curiga. Kemudian ia
mengenali kakak-beradik Hardy. "Lho kalian kakak-beradik Hardy,
Bukan?"
"Betul," jawab Frank. "Kami sedang melakukan suatu tugas
ayah. Kami memasang jebakan untuk pencuri yang kami curigai.
Tetapi buronan lain muncul. Hancurlah segala-galanya."
Sambil menyeringai Frank menunjuk si monyet nakal. Monyet
itu sendiri kini enak-enak mendekam di tangan Biff, menggaruk-garuk
kepala sambil memandangi penontonnya.
"Ya ampun!" seru polisi itu. "Apakah monyet itu yang lari dari
toko binatang piaraan?"
"Tentunya," kata Joe. "Ia terakhir dilihat orang di Jalan
Ardmore, dan langsung menuju taman ini."
"Rupanya kepala orang menjadi kendaraan favoritnya!"
sambung Frank tertawa. "Begitu ketika ia terlihat terakhir di Jalan
Ardmore."
"Lain kali, jika ia mencoba melompat-lompat di kepalaku," kata
Chet marah bercampur malu, "ekornya akan kuikat simpul mati!"
"Tenang!" kata Joe menepuk-nepuk kepala teman akrabnya.
"Inilah mungkin membuat bingung binatang malang itu. Ia
menyangka benda bulat di atas bahumu adalah buah dari pohon itu."
Mendengar lelucon Joe semuanya tertawa terbahak-bahak.
Bahkan Chet sendiri ikut pula tertawa.
Polisi itu menggunakan walkie-talkie untuk melaporkan
penangkapan monyet itu ke suatu pos polisi. Sersan yang bertugas
berjanji akan mengirimkan mobil untuk menjemput binatang itu.
Polisi itu lalu membawa monyet ke gerbang taman menunggu
jemputan. Selama polisi itu berada bersama mereka Yvor Killian hanya
berdiam diri saja. Mungkin karena itu polisi tidak mengenalinya.
"Maaf, jebakan kita tidak berhasil," kata Frank meminta maaf,
ketika mereka menemani penari itu menuju mobilnya.
Warlord menyeringai masam. "Tak mengapa. Untuk bicara
sejujurnya, aku malah merasa lega. Jika kita berhasil menangkap
pencuri itu, tentu akan menjadi berita besar. Dan aku malah tidak
yakin bagaimana akan menghadapi pandangan umum. Mungkin
banyak orang akan menyangka bahwa aku sendiri juga seorang
pencuri. Ditambah lagi aku akan selalu khawatir terhadap komplotan
pencuri-pencuri itu. Jangan-jangan mereka akan membalas dendam."
"Tetapi akhirnya kita juga akan menangkapnya!" Joe berjanji.
"Aku tidak menyangsikan!" Warlord mengacungkan tangannya
mengajak berjabatan, lalu berkata: "Apa kalian semua mau menonton
pertunjukanku?"
"Joe dan aku ingin nonton matinee besok," kata Frank, "kalau
boleh masuk!"
"Itu gampang! Nanti kusediakan karcis di pintu. Untuk kalian
dan pacar kalian."
***********
Frank dan Joe menyambut pertunjukan itu dengan penuh gairah.
Joe mengajak Iola Morton, dan Frank mengajak Callie Shaw.
Sebelumnya sudah diatur, jika hujan pertunjukan diadakan di aula.
Tetapi jika diramalkan tidak hujan pertunjukan diselenggarakan di
panggung terbuka.
Karena Sekolah Tinggi Bayshore tidak mempunyai stadion,
maka kursi-kursi dan panggungnya dipasang di lapangan rumput
segiempat di tengah-tengah kampus.
Pertunjukan dimulai dengan dua nomor dari orkes Simponi
Sekolah Tinggi. Kemudian Warlord dan kelompok tarinya
mempertunjukan tarian-tarian di panggung, disertai seruan-seruan
gembira serta tepuk tangan.
"Aduh! Pakaiannya indah benar!" berseru Iola kagum.
Warlord mengenakan pakaian agak mirip seorang samurai
Jepang, tetapi lebih gemerlapan warnanya. Wajahnya diberi warna
putih dengan garis-garis perang. Ia bersenjata lengkap dengan
sejumlah pisau-pisau dan pedang panjang. Penari-penari yang lain
nampak seram, tetapi mempesonakan.
Sejak nada-nada pertama nomor pembukaan, mereka telah
memukau para penontonnya. Seluruh kelompok merupakan tontonan
yang mendebarkan dalam warna. Tetapi Warlord secara khusus
memaku pandangan dengan lompatan-lompatan yang mencekammendebarkan sambil berputar-putar, sementara tangannya mengayunayunkan pedangnya bagaikan busur-busur cahaya.
"Sepertinya membahayakan!" Callie menggumam.
"Memang benar," kata Frank. Tetapi ia benar-benar seorang ahli
panggung!"
Tiba-tiba Joe disadarkan oleh adanya suara mendengung yang
berlawanan dengan suara musik. Suara itu makin bertambah keras. Ia
melihat ke arah kakaknya dan bertanya: "Hee, suara apa itu?"
"Seperti suara-suara sepeda-sepada motor!"
Kata-kata itu baru saja keluar dari mulut Frank, ketika
sekelompok sepeda motor dengan suara yang memekakan telinga
nampak di antara dua gedung. Mereka menyerbu ke tengah-tengah
lapangan. Pengendara-pengendaranya bertopeng dan berjaket kulit,
menunggang motor bertenaga tinggi, berwarna hitam dan putih
pernekel. "Apa mereka itu sudah gila?" teriak Joe. Terdengar teriakan dan
jeritan panik. Para penonton berlarian dan bertubrukan mencari
selamat. Para pengendara motor menderu-deru di antara penonton,
menumbangkan kursi-kursi dan membuat orang-orang kalang kabut.
Dengan terburu-buru para penonton dan pemain musik
bertebaran ke segala penjuru, sedang para pengendara motor
bertopeng berputar-putar di tengah lapangan. Bahkan ada yang
menderu naik ke panggung. Warlord dan teman-teman penari terpaksa
mencari tempat berlindung.
"Mereka itu harus ditangkap!" teriak Frank. "Ayo, Joe! Bantu
aku!"
"Apa yang bisa kita lakukan?"
Frank hanya menunjuk ke sebuah selang pemadam kebakaran
yang tergulung, menggantung pada dinding gedung sebelah. Wajah
Joe menjadi cerah.
Kakak-beradik itu segera melepaskan selang air dari
gantungannya. Kemudian sementara Frank membuka selang dari
gulungan, Joe memasang ujungnya yang satu pada mulut pompa.
Frank lalu memegang ceratnya sambil memasang kuda-kuda.
Pancaran air yang sangat kuat menyembur keluar ke tengah lapangan,
ketika Joe membuka keran. "Tahan kuat-kuat, Frank!" teriak Joe
sambil lari untuk membantu memegangi sebelum cerat itu
menggentak lepas dari tangan kakaknya.
Pengendara-pengendara motor itu menjadi sangat marah
melihat siasat Frank dan adiknya. Beberapa dari mereka mencoba
menabraknya, tetapi semburan air dari jarak dekat hampir saja
menerbangkan pengendara dari atas motornya. Mereka terpaksa
minggir dengan cepat untuk segera lari menjauh.
Frank dan Joe mempermainkan cerat selang itu ke kiri dan
kanan dengan gencar menyemprot musuh-musuh menjadi basah
kuyup dan gelagapan. Satu demi satu mereka menjauh keluar
lapangan. Raungan sirine mobil polisi mempercepat mereka lari.
Tidak lama kemudian beberapa mobil polisi memasuki
Kampus. Frank dan Joe kemudian menjadi tahu, bahwa seorang
petugas kampus telah menelepon polisi, ketika melihat kericuhan dari
jendela gedung di dekat lapangan.
Sangat disayangkan pengendara-pengendara motor bertopeng
itu telah melarikan sepeda-sepeda motor mereka sedemikian cepatnya
sehingga tidak sempat dipasang penghalang di jalan. Nampaknya
harapan kecil untuk dapat menangkap atau mengenali seorang pun
dari mereka.
"Sungguh bagus kerja kalian berdua," puji sersan Burton
memberi selamat kepada Frank dan Joe. "Apakah kalian melihat
wajah salah seorang dari mereka?"
"Tak sempat memperhatikan. Mereka pakai topeng," kata
Frank. "Tetapi kukira mereka dari gerombolan Gung-Ho."
"Aku yakin," kata Joe meyakinkan.
"Aku juga," Sersan yang tegap besar itu mengiakan. "Kunyukkunyuk hijau itu adalah gang paling brengsek dari segala buaya motor
di sekitar sini. Tetapi memang sulit untuk membuktikan. Kecuali
kalau patroli jalan raya berhasil menangkap salah satu dari mereka!"
Warlord beserta kelompok penarinya tak keberatan melanjutkan
pertunjukan mereka. Tetapi separoh dari penonton telah bubaran.
Orkes pun telah tidak lengkap, di samping banyak lembaran
aransemen lagu yang hilang dan alat-alat yang rusak. Maka
diumumkan bahwa pertunjukan diundurkan sampai tanggal yang akan
ditentukan.
"Maaf, pertunjukan itu menjadi rusak," kata Frank kepada
pacarnya ketika mengantarkan Callie pulang.
"Itu jelas bukan salahmu," kata gadis cantik berambut pirang
dengan senyum renyah. "Kukira kau dan Joe tadi telah bertindak
luarbiasa mengusir gang yang ganas itu!"
Setelah mampir di tanah peternakan Morton, kakak-beradik itu
kembali ke rumah di jalan Elm.
Di tengah jalan Joe bertanya kepada kakaknya: "Apa mungkin
ada alasan tertentu mereka lakukan serangan menggunakan sepeda
motor?"
"Itu pertanyaan baik," jawab kakaknya. "Aku pun bertanyatanya tentang hal itu. Membubarkan suatu pertunjukan benar-benar
tindakan menantang polisi. Menurutku biarpun Gung-Ho sendiri
takkan berbuat sejauh itu. Mereka tentunya punya alasan yang kuat."
"Itu pula pendapatku. Nah, masih satu pertanyaan lagi," kata
Joe melanjutkan. "Apa kau tak mendapat kesan, bahwa kunyukkunyuk itu menyerang kita secara khusus?"
"Dengan jujur, aku akui," kata Frank. "Ketika mereka mulamula muncul, aku merasa sejenak bahwa pemimpinnya mengarah kita.
Tetapi lalu terjadi keributan, dan orang-orang berlarian serabutan.
Mereka terpaksa minggir."
Joe memandang kakaknya dengan mata bertanya: "Lalu
bagaimana keseluruhannya?"
"Jika kautanyakan tentang firasat, kubilang itu semua bukan
hanya sekedar secara kebetulan tepat terjadi setelah peristiwa
pengintaian kita semalam. Akur?"
"Akur! Dengan lain perkataan Warlord juga ikut terlibat dalam
rencana penjebakan si pencuri pedang samurai. Jadi, pembalasan, hari
berikutnya pertunjukan diobrak-abrik!"
"Betul. Kalau dugaan kita benar bahwa perusuh bertopeng itu
memang gang Gung-Ho. Maka berarti gang itu pun bekerjasama
dalam pencurian di Galeri"
Ketika mereka memasuki Jalan Elm dan melihat rumahnya, Joe
tiba-tiba berhenti bicara. Sebuah sedan yang mereka kenal ada di
depan rumah mereka: "Hee! Itu mobil Sam Radley. Heran, ada apa
dengan dia?"
Mereka bergegas masuk ke dalam rumah. Mereka temukan
pembantu ayahnya itu sedang mengobrol dengan ibu mereka. Selain
pembalut yang kini nampak jauh lebih kecil daripada ketika masih di
rumah sakit, nampaknya ia tidak dalam keadaan menderita.
"Tidak kena gegar otak?" tanya Frank sambil menjabat
tangannya dengan hangat.
"Tidak!" kata Radley tertawa kecil. "Aku bangun pagi tadi dan
ingin cepat pulang. Terpaksa mereka izinkan."
Bu Hardy minta permisi untuk melakukan tugas rumah tangga.
Sam lalu cepat-cepat mengungkapkan maksud kedatangannya. Ia
mengatakan bahwa selepas dari rumahsakit pagi tadi, ia kembali
lakukan pengintaian di warung kopi di pantai. Di tempat itulah ia
pernah lihat gangster Jepang itu menemui seorang Amerika.
"Apa kaulihat si Yakuza lagi?" tanya Joe ingin tahu.
"Tidak. Tetapi kulihat orang yang ditemuinya kemarin itu,"
Sam menceritakan bahwa usaha membayangi orang itu gagal, sebab ia
melompat masuk ke dalam sebuah bis yang kebetulan sedang lewat.
"Tetapi kali ini aku berhasil melihat wajahnya dengan jelas. Aku jadi
merasa lebih pasti telah pernah melihat dia. Entah kapan dan di mana.
Aku segera pulang memeriksa berkas-berkasku. Benar dugaanku!"
"Kalau begitu gambar fotonya ada juga dalam berkas-berkas
ayah?" tanya Frank.
"Sudah tentu! akan kutunjukkan padamu!"
Ruang kerja pak Hardy dipenuhi lemari-lemari arsip penuh
dengan berkas-berkas dari setiap tokoh kriminal yang pernah
ditangani. Selain data yang didapat atas penyelidikan sendiri banyak
pula informasi yang didapat dari polisi, FBI maupun guntingan suratsuratkabar.
Sam dengan cepat mengambil sebuah gambar foto dari laci K,
lalu memberikannya kepada kakak-beradik Hardy. "Nah itulah
tampang orangnya. Ia seorang tukang bongkar rumah yang ahli.
Namanya Krunkel!"
Gambar foto itu menunjukkan wajah seorang bermata juling,
berwajah seperti burung betet, berumur kira-kira empatpuluh dan
rambutnya sudah mulai jarang. Ketika melihat gambar foto itu, kedua
anak muda itu terkesiap.
"Hee! Inilah orang yang kita lihat sesudah lomba motor itu!"
kata Joe. "Betul," kata Frank tak mau kalah. "Dialah yang diajak omongomong Lenny Boggs."
14. Suara sirene meraung-raung
Radley menjadi tertarik karena kedua kakak-beradik itu pernah
pergoki Krunkel dalam penyelidikan mereka tentang perkara Satoya.
Ia juga heran mendengar adanya panggilan telepon gelap, yang
menawarkan pedang samurai curian itu kepada Warlord. Demikian
juga tentang pengintaian malam yang gagal.
"Sayang sekali," kata detektif itu berkomentar. "Tetapi setidaktidaknya kita telah mendapat petunjuk yang lebih pasti sekarang.
Boleh kukatakan Krunkel sudah pasti terlibat dalam perkara ini."
Frank dan Joe tambah yakin firasatnya tentang adanya
kerjasama antara Gung-Ho dengan para pencuri pedang samurai
menjadi lebih jelas.
"Secara kebetulan aku dapat dugaan bagaimana pencurian itu
dilakukan."
"Ayo katakan, kita dengarkan!" kata Radley.
"Pencuri itu tak mungkin menurunkan tali dari atas atap PalmerGlade. Sebab di sana dipasang alat tanda bahaya. Tetapi anggaplah
ada dua orang pencuri; mereka secara terpisah memanjat atap rumah
di kedua sisi gedung Palmer-Glade."
"Lalu bagaimana?"
"Mereka saling lemparkan tali satu kepada yang lain. Dengan
demikian tali-tali itu ada di atas atap gedung Palmer-Glade tanpa
menyentuhnya. Kedua tali itu direntang dan kedua ujung-ujungnya
diikatkan dengan kuat. Bagian tengahnya melengkung turun di bagian
depan gedung."
Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku mengerti dugaanmu itu!" seru Joe dengan membunyikan
jari-jari tangannya. "Lalu dengan mudah mereka memanjat turun
dengan tali itu. Sampai di jendela pada tingkat tiga yang akan mereka
bongkar."
"Tepat! Atau dengan menggunakan roda-roda katrol mereka
meluncur turun. Dengan begitu salah seorang menggantung
berpegangan roda, sementara ia memotong kaca jendela."
"Cerdik juga!" kata Sam Radley. "Kukira tepat sekali teorimu
itu, Frank! Lebih-lebih lagi itu cocok sekali dengan M.O. Krunkel."
Kakak-beradik itu tahu di antara para detektif istilah M.O.
berarti modus operandi. Yaitu kebiasaan cara-cara kerja seorang tokoh
kriminal. "Ia biasa bekerja dengan seorang teman," kata Radley
menjelaskan. "Ia selalu menggunakan akal cerdik untuk menghindari
alat-alat tanda bahaya."
"Apa Krunkel sering beroperasi di daerah Bayport?" tanya Joe.
"Itu aku tidak tahu. Tetapi kebanyakan pencuriannya di sekitar
New York atau Boston. Meskipun diketahui pernah satu kali
beroperasi di Miami. Setelah kini aku melihat dia di Shoreham dua
hari berturut-turut, rupa-rupanya ia tinggal di sini. Aku akan
mengecek di hotel-hotel dan motel-motel di daerah sekitar ini."
"Bagus!" kata Frank."
Segera setelah Radley pergi, telepon berdering. Joe yang
menyambut. Wajahnya tampak menjadi tegang, lalu menggapai
kakaknya agar ikut mendengarkan. Suara berbisik terdengar di
telepon. "Apa kau tertarik pada pedang Jepang? Itu yang baru saja dicuri
di New York?"
"Ya, boleh dibilang begitu," jawab Joe. "Maaf, siapa anda?"
"Tak usah pikirkan siapa aku. Tak usah pula berpayah-payah
mencari nomor teleponku. Aku tak lama-lama." Bisikan itu berhenti
sebentar untuk memberi tekanan sebelum melanjutkan. "Aku hanya
berpikir mungkin kau ingin mendapat kisikan."
"Teruskan. Aku dengarkan!"
"Pernah dengar nama Dobert Humber?"
"Tentu. Ia mempunyai koleksi senjata-senjata langka."
"Ya, itulah dia. Ia barangkali sebentar lagi menambah
koleksinya dengan pedang curian itu."
"Bagaimana dapat begitu?" tanya Joe; terjadi saling pandang
dengan Frank.
Kemudian terdengar suara "klik". Penelepon telah meletakkan
gagang teleponnya. Joe bersuit perlahan-lahan, lalu meletakkan
gagang teleponnya.
"Apa pendapatmu, Frank?"
"Rupanya karena pencuri itu tak berhasil menjualnya kepada
Warlord tadi malam, ia mencari pembeli lain."
"Itu betul. Tetapi bagaimana kita dapat tahu bahwa kisikan itu
betul?"
"Hanya ada satu jalan paling mudah," kata kakaknya. "Kita
temui Humber. Sambil bertanya kita perhatikan wajahnya."
Frank menelepon kolektor itu, minta waktu untuk kunjungan.
Humber tidak berkeberatan menerima mereka dengan segera. Mereka
lalu berangkat. Humber mempersilakan mereka duduk di kamar tamu.
"Tuan Humber," Frank memulai percakapannya. "Apa anda
tertarik untuk menawar pedang Samurai yang telah dicuri dari Palmer
Glade itu?"
"O, pasti! Sesungguhnya aku sudah akan lakukan itu. Mengapa
kalian bertanya?"
"Sebab kami baru saja mendapat kisikan bahwa anda sedang
bersiap-siap hendak membelinya dari pencuri pedang itu?"
Reaksi pada wajah Humber terhadap bom yang dilemparkannya
itu sungguh jelas. Rasa terkejut tertera nyata pada wajahnya. Tetapi
kedua anak muda itu tidak dapat menemukan rasa salah.
"Bagaimana bisa begitu? Ini sesuatu yang sangat mengherankan
yang pernah kualami," seru Humber. "Bagaimana mungkin aku dapat
hubungi si pencuri? Jika aku tak tahu sama sekali siapa yang mencuri
pedang itu? Atau apa dia itu yang akan menghubungi aku? Dari siapa
kalian dengar omongan aneh itu?"
"Dari seorang penelepon. Dia tidak sebutkan namanya."
"Tak heran. Ia takkan berani mendakwaku secara terangterangan. Aku dapat menuntutnya melalui hukum. Ingin kutangkap si
pendusta itu. Akan kuhajar dia! Jangan dia mengotori nama baikku!"
Wajah tuan rumah itu menjadi merah padam karena menanggapi
tuduhan itu.
Frank mengangkat tangannya disertai permohonan maaf.
"Demikianlah tuan Humber. Tak usah meyakinkan hal itu pada kami.
Kami menerima telepon, lalu segera menghubungi anda agar anda
sempat untuk menyangkalnya. Rupa-rupanya siapa pun yang
menelepon kami, atau mulutnya bocor, punya maksud-maksud
tertentu dengan anda."
"Apakah anda dapat menduga, siapa dia?" tanya Joe.
Sebelum Humber dapat menjawab, telepon berdering. Ia meraih
gagang telepon dengan tidak sabar. Tetapi beberapa detik kemudian
kakak-beradik itu melihat wajahnya berubah secara dramatis.
Dengan kalut ia menggapai memanggil kedua anak muda itu.
Frank dan Joe melompat bangun lalu membungkukkan badannya
untuk ikut mendengarkan percakapan di telepon.
"Anda dapat peroleh pedang itu untuk sepuluhribu dollar, bayar
kontan!" terdengar suara laki-laki di telepon.
Humber melontarkan pandangan ke arah Frank. Frank
mengangguk.
"Lalu kepada siapa saya harus, eh, membayar?"
"Kepada saya!"
"Bagaimana?"
"Pernah dengar nama Lookont Rock?"
"Hmm, ya! Di pinggiran kota Bayport, kukira. Bagaimana pun
saya dapat temukan."
"Lakukan! Harap ada di sana nanti malam. Jam duabelas tepat.
Dengan bawa uangnya dalam tas. Anda mengerti?"
"Mengerti! Tengah malam di Lookont Rock. Bawa uang
sepuluhribu dolar dalam tas." Humber mengulang.
"Uang itu tak boleh dicatat nomor-nomornya!" tambahnya
dengan tajam. "Bawalah jam tangan. Cocokkan dulu dengan kantor
telepon. Jangan lupa: di Lookont Rock pada puncak bukit. Jika anda
datang lebih dulu, tunggu saja di pertengahan lereng bukit. Nanti,
tepat jam duabelas pergi kesana!"
"Saya mengerti!"
"Baik di sana lakukan transaksi. Uang untuk dipertukarkan
pedang. Dengan anggapan anda tidak terlalu bodoh untuk khianati
saya. Jika anda lakukan siasat, anda akan sesal sendiri."
Penelepon itu meletakkan gagang telepon keras. Humber
sebaliknya meletakkan gagang telepon dengan wajah terpukau.
"Ternyata yang memberikan kisikan kepada kalian memang
tidak salah!" gumam Humber.
Frank mengangguk dan berpikir. "Ia mengira, bahwa anda telah
ditelepon dan menerima tawaran itu."
"Jika ia tahu telepon itu baru akan dilakukan, maka ia tentu
termasuk salah satu pencuri itu. Paling tidak sekutunya!" kata Joe.
"Dan itu seperti pengkhianatan. Mengadukan teman sendiri."
"Te-tetapi, apa aku harus setuju?" tanya Humber sedikit
bingung. "Sudah tentu! Itu akan memberi kesempatan untuk menjebak
pencurinya. Juga pedangnya dapat diperoleh kembali!" kata Joe.
Frank mengerutkan dahi dan menarik bibirnya yang bawah.
"Mungkin mereka mengawasi rumah anda! Untuk meyakinkan bahwa
anda tidak pergi melapor polisi. Mungkin juga mereka menyadap
telepon anda. Apa anda berkeberatan jika kami tinggal di sini sampai
anda berangkat nanti?"
"Tentu saja tidak! Dengan senang hati! Tinggallah. Tetapi jika
para pencuri mengawasi rumah ini, dan melihat kalian juga pergi tepat
setelah aku berangkat, apa itu takkan menambah kewaspadaan
mereka?"
"Kalau mereka melihat kami? Tetapi pasti mereka takkan
melihat kami. Mobil anda ada di garasi, bukan?"
"Sudah tentu! Tetapi ..."
"Dan garasi itu menempel pada rumah. Jadi Joe dan saya dapat
masuk garasi tanpa diketahui."
Kedua mata Humber jadi bercahaya penuh gairah, lalu ia
melanjutkan; "Jadi maksudmu, kalian dapat bersembunyi di dalam
mobilku ketika aku berangkat."
" Begitulah!"
"Anda cerdik sekali! Luarbiasa! Pandai sekali! Kalau saja aku
dapat berpikir demikian!"
Pada jam sebelas seperempat, mobil limousin Humber yang
mahal itu meluncur keluar dari garasi. Humber memegang kemudi,
satu-satunya orang yang tampak di dalam mobil. Sebuah tas berisi
sobek-sobekan kertas koran terletak di bangku sebelahnya. Frank dan
Joe jongkok meringkuk di lantai tempat duduk belakang.
Sementara itu dua bentuk sosok tubuh kekanak-kanakan tampak
sebagai silhuet dari sebuah jendela di rumah mewah tuan Humber.
Nampaknya seperti sedang menikmati acara TV. Sebenarnya hanya
dua boneka yang dibuat oleh kedua anak muda, dengan dibantu tuan
Humber. Dibuat dari pakaian yang diisi dan untuk kepala digunakan
patung dada dari marmer.
Bukit di mana terletak di Lookont Rock adalah pusat semanggi
tengah pada waktu lomba motor dulu. Sebuah Jalan kecil dari tanah
melintang sepanjang kaki lerengnya.
Humber memarkir mobilnya tanpa berkata, di suatu tempat
yang terlindung. Frank dan Joe merangkak keluar dari sisi yang lain,
tak nampak karena terlindung semak-semak. Sebelumnya mereka
telah memutuskan lampu plafon. Jadi sewaktu pintu belakang dibuka,
tak ada cahaya yang menerangi pada waktu mereka keluar.
Humber mulai berjalan mendaki lereng bukit, lalu berhenti
untuk menanti di tempat yang telah ditentukan di tengah lereng.
Kakak-beradik Hardy mengikuti dengan merayap melalui semaksemak. Mereka selalu berlindung untuk mencegah resiko terlihat
orang. Mereka memilih tempat sedemikian sehingga mudah
mengamati Humber dan batu yang menonjol di puncak bukit.
"Jam berapa ini?" bisik Joe setelah tunggu agak lama.
"Jam duabelas kurang satu menit," jawab Frank bisik-bisik
pula. "Tak lama lagi."
Detik-detik berlalu dengan lambat.
"Yah," desis Frank melihat jarum jam menyala kehijauan
menunjuk angka duabelas.
Mereka melihat Humber berdiri, memegang tas, dan berjalan
lambat-lambat mendaki ke puncak.
Kedua anak muda mempersiapkan kuda-kuda, untuk dapat
melesat serbu ke batu begitu pertukaran barang dan uang selesai
dilakukan nanti.
Tiba-tiba terdengar bunyi sirene meraung di bawah. Frank dan
Joe melihat wajah Humber yang terkejut. Tetapi mereka tetap
memasang mata terendah ke puncak bukit.
Di kegelapan terang bulan, mereka melihat seseorang melompat
keluar dari persembunyiannya, berlari menuju ke sebuah sepeda
motor. Segera terdengar suara deru mesin, dan motor bersama
pengendaranya melesat pergi.
Kakak beradik itu berlari mendaki. Tetapi sudah terlambat
untuk menangkapnya. Frank mengeluarkan lampu senternya. Ia
menyapu tanah bukit di sekelilingnya dengan sinar lampu senternya.
Tiba-tiba ia berhenti.
"Joe! Lihat Ini!" teriaknya.
15. Dilaporkan ke polisi
Joe menahan napas ketika melihat benda yang nampak di
cahaya lampu senter. Sebuah pedang panjang bersarung tergeletak di
kaki Batu pengawas. Sarungnya terbuat dari logam polos terbalut
kulit, tetapi pangkalnya dihias indah dengan kulit mutiara.
"Persis seperti gambar foto yang ditunjukkan kepada kita di
Galeri," seru Joe. Ia berlutut untuk dapat melihat lebih dekat. "Tentu
inilah pedang itu!"
"Jangan khawatir. Aku takkan pegang," jawab Joe. "Aku
membawa tali, yang dapat digunakan untuk membawanya."
Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan seutas tali yang kuat,
yang didapatnya dari sebuah bungkusan. Ia mengikatkan salah satu
ujungnya pada pangkal, dan ujung yang lain ke sarung. Dengan
memegangn tali pedang itu dapat diangkat. Tanpa takut meninggalkan
sidik jari pada pedang tersebut.
"Hee! apa yang terjadi dengan Humber?" tanya Frank.
Joe melihat ke bawah lereng, tetapi tidak melihat sesuatu.
"Mobilnya sudah tidak ada!" jawab Joe. "Ia tentu lari sewaktu pencuri
itu mengendarai motornya pergi. Karena itu kita tidak mendengar ia
menghidupkan mesin mobilnya."
Frank tertawa kecil. "Suara raungan sirine itu tentu
membuatnya takut. Ia mungkin takut polisi menangkapnya atas
pembelian curian."
"Berbicara tentang polisi ? mana mereka?" Joe bertanya-tanya
keras-keras pada diri sendiri.
Mereka berdua lari turun ke bawah untuk dapatkan pandangan
lapangan lebih baik, tak terganggu pohon-pohonan dan semak-semak.
Setelah mengamati jalan kedua arah, mereka tak melihat sebuah mobil
pun. Baik sipil maupun polisi.
Joe merengut dan menggaruk-garuk kepalanya. "Hehehe!" ia
tertawa. "Ini sungguh lucu. Barangkali raungan sirine itu hanya sebuah
mobil polisi yang sedang lewat di jalan besar sana."
"Perasaanku, suara itu dekat," kata Frank meragukan.
"Masalah baru yang kutanyakan sekarang: Bagaimana dengan
transportasi kita? Sepertinya kita harus mogok di sini tanpa
kendaraan!"
Mereka rundingkan sebentar. Mereka putuskan salah seorang
pulang ke rumah Humber mengambil mobil mereka yang diparkir di
dekatnya. Yang seorang tetap mengawasi di tempat. Barangkali
pencuri-pencuri itu kembali untuk mengambil pedang. Mereka undi
dengan melempar mata-uang. Joe harus tetap tinggal di tempat.
"Jangan sampai dilihat orang," kakaknya beri pesan, "pilih
tempat yang terlindung, dan tunggu di sana sampai aku datang!"
"Beres!" kata Joe berjanji.
Waktu menunggu ternyata lebih cepat dari yang diduga. Kurang
dari satu jam, mobil kuning mereka telah nampak di jalan tanah pada
kaki bukit. Joe merayap turun dari persembunyiannya untuk
bergabung dengan kakaknya. Pedang samurai dibawa serta.
"Cepat sekali kau!" tukas Joe sambil melangkah masuk mobil.
"Ya, aku beruntung," kata Frank sambil mengemudikan
mobilnya memutar, kembali ke arah dia tadi datang. "Phil Cohen
lewat setelah aku sampai di jalan besar. Ia sedang kembali dari
kencannya, lalu mengompreng aku ke rumah Humber."
"Apa Humber ada di rumahnya?" tanya Joe.
"Barangkali. Tetapi garasi mobilnya tutup, sedang rumahnya
gelap sama sekali, seperti semua sudah tidur." Frank menyeringai.
"Kukira ia mencari alibi, kalau-kalau terjadi perkara."
"Huh, benar-benar tolol!" kata Joe. "Aku jadi bertanya diri
sendiri, bagaimana dia kira kita akan kemukakan sekiranya kita
ditangkap polisi."
"Tak usah katakan. Ia takkan berbuat sesuatu untuk pengusutan.
Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kukira kata-kata Warlord tentang dia adalah benar." kata Frank.
"Humber hanya berminat untuk menjadi Yang Nomor Satu. Manusiamanusia lain tidak begitu penting."
Joe lalu diam sejenak ketika melewati daerah perumahan,
menuju ke daerah kota. Akhirnya ia berkata: "Sekarang, setelah kita
mendapatkan pedang itu, apa kaukira pedang itu ada kaitannya dengan
peristiwa menghilangnya tuan Satoya?"
"Firasatku, ya!" kata kakaknya sambil merenung, "tetapi aku
tak dapat membuktikannya. Sebelum kita mendapatkan jawaban
tentang hal itu, kita harus tahu apakah menghilangnya itu atas
kemauan sendiri ataukah diculik."
"Memang betul, aku pikirkan hal itu tadi selama menunggu,"
kata Joe. "Aku mendapat dugaan, bagaimana tuan Satoya berhasil
menghilang."
"Coba katakan, kudengar!"
"Sederhana saja," kata Joe memulai penjelasannya. "Misalkan
sopir itu begitu patuh seperti dikatakan Oyama. Ketika ia menuju
garasi di bawah tanah, ia dapat menghentikan mobil itu di tengah jalan
menurun. Hanya cukup waktu untuk tuan Satoya keluar dari ruang
rahasia. Kemudian ia terus ke garasi. Ia pura-pura tidak tahu apa-apa
ketika Oyama memeriksa mobilnya. Sementara itu tuan Satoya cukup
menaikkan leher bajunya dan menyelinap di antara kerumunan orang
banyak. Pada waktu itu kan cukup banyak orang yang berkerumun di
sekitar hotel. Takkan ada seorang pun tahu apa yang terjadi!"
Frank sangat terkesan atas teori adiknya. "Kalau kau jelaskan
jalan pikiranmu begitu, kurasa tak pelak lagi, Joe! "Itu sederhana
sekali. Itu kemungkinan jawaban yang paling benar."
"Cocok! Di mana tak ada tetangga yang bertanya-tanya siapa
dia. Ia mungkin suruh orang menyewanya dengan nama palsu,
sebelum ia datang."
Frank mengangguk. Ia memasang mata atas lalu-lintas malam.
Ia mengurangi kecepatan sewaktu melewati daerah antar bagian yang
dipasang lampu kuning berkelip-kelip. Nampaknya Frank terlintas
pikiran baru.
"Joe, andaikan tuan Satoya tahu akan terjadi sesuatu atas
pedang"
"Kaumaksudkan jika seseorang mencoba mencurinya?"
"Mungkin juga. Katakanlah andaikan ia menyembunyikan diri
hingga ia sendiri dapat menguasainya tanpa ada orang yang tahu apa
yang dapat diperbuatnya."
"Aku dapat mempecayai hal itu," kata Joe. "Terutama jika
pedang itu memang milik keluarga Satoya. Ingat saja apa yang
dikatakan Oyama tentang bagaimana kaum samurai menghargai
pedang mereka!"
"Itulah. Tetapi kalau sekarang pedang itu kita serahkan kepada
polisi, maka segalanya akan terlepas dari tangannya. Dengan demikian
tidak ada lagi jalan untuk tuan Satoya dapat meraihnya secara
sembunyi-sembunyi. Tak seorang pun dapat!"
Adiknya memandang kakaknya dengan serius. "Apa yang
kaumaksudkan, Frank?"
"Hanya ini. Jika teori kita itu benar, maka tidak ada alasan lagi
bagi tuan Satoya untuk menyembunyikan diri."
"Kau benar!" kata Joe sambil membunyikan jari-jarinya.
"Sekali ia melihat di TV, atau membaca di suratkabar, maka tuan
Satoya mungkin muncul lagi."
"Andaikan polisi berkeputusan untuk tidak mengumumkan
penemuannya, maka itu hanya untuk sementara, yaitu agar para
pencuri tetap tidak tahu."
"Ya, bagaimana ia dapat tahu?"
"Kita yang ganti mengisik dia!"
Joe terkejut. "Apa kau hendak main-main? Bagaimana kita bisa
berbuat begitu?"
"Coba pikirkan," jawab Frank. "Jika tuan Satoya menghilang
atas kemauannya sendiri, sopir itu tentu membantu dia, bukan?"
"Tentu! Tetapi bagaimana...." Joe berhenti mendadak ketika
dapat menangkap maksudnya. "O, aku mengerti! Jika teorimu itu
benar, barangkali sopir itu tahu di mana majikannya bersembunyi.
Jadi yang kita kisik sopir itu. Dia akan meneruskan kepada
majikannya tentunya!"
"Akur! Tetapi hal itu harus kita lakukan seolah-olah sambil lalu
dan biasa-biasa saja. Kalau tidak begitu, sopir itu akan curiga kalaukalau kita hendak menjebak majikannya."
"Ada pikiran lain?"
"Kita gunakan pedang itu," kata Frank. "Kuharap kita masih
dapat temui sopir itu, meskipun sudah larut malam begini."
Joe menunjukkan bahwa setiap kali mereka pergi ke hotel
Chilton, Sopir itu selalu ada di ruang depan. "Aku jadi berpikir," ia
merenung sebentar, "barangkali tuan Satoya memang menempatkan
dia di sana. Untuk melaporkan segala yang terjadi."
"He, kau mungkin benar," kata Frank setuju. "Jika kau memang
benar, kita tentu dapat menemui dia sekarang."
Ketika mereka memasuki ruang depan yang digunakan pula
untuk lobby, sopir yang berwajah keras seperti batu itu duduk di
tempatnya yang biasa. Frank melihat bahwa matanya membelalak
terkejut ketika melihat Joe membawa pedang yang tergantung pada
tali. "Apa kau dapat berbicara bahasa Inggris?" tanya Frank.
Sopir itu mengangguk: "Sedikit!"
"Apa kautahu, tuan Kawanishi atau tuan Oyama masih
bangun?"
Jawabannya hanya bahu yang diangkat. "Saya tidak tahu.
Barangkali masih."
"Nah, dengarkan!" Frank melanjutkan dengan tenang. "Kami
baru saja menemukan pedang tuan Satoya. Yaitu yang dicuri di New
York. Kami akan membawanya ke polisi. Tetapi kami berpikir,
barangkali pimpinan perusahaan ingin mengetahui juga. Hanya
sayangnya sekarang sudah terlalu larut malam, sedang kami harus
cepat-cepat. Maaf, dapatkah kausampaikan kepada mereka?"
Sopir itu nampak seperti ingin tahu lebih banyak lagi, tetapi
rupanya tidak dapat mengatakannya. Barangkali, pikir mereka, karena
ia tidak dapat berbicara dalam bahasa Inggeris dengan baik.
Sebaliknya sopir itu lalu berdiri dan membungkuk memberi
hormat kepada mereka. "Terimakasih. Saya akan menyampaikannya
kepada tuan Kawanishi dan tuan Oyama."
Kakak-beradik lalu beranjak ke pintu.
"Mulus sekali caramu menangani itu, Frank!" Joe memujinya.
"Aku berani bertaruh, begitu kita keluar dari lobby, ia pasti
menelepon."
Mereka keluar dari hotel menuju ke mobil mereka. Daerah kota
Bayport nampak seperti kosong dan sepi pada malam selarut itu.
Seorang polisi yang kebetulan lewat di jalan memandangi mereka
penuh perhatian.
Tiba-tiba wajah polisi muda itu berubah tegang. Ia
mempercepat langkah-langkahnya, seperti hendak menyergap mereka
sebelum sampai ke mobil.
"Berhenti! Kalian berdua!"
Frank dan Joe berhenti dengan keheranan. "Apa yang tidak
beres?"
"Berikan pedang itu!" perintah polisi muda usia itu.
Joe hendak menjelaskan. "Kami justru hendak membawanya ke
kantor polisi."
Tetapi polisi muda itu memotongnya: "Jangan banyak bicara.
Serahkan saja pedang itu! Kalian berdua kutangkap, karena bawa
barang curian!" Frank mengira bahwa polisi itu masih baru. Belum
pernah dengar tentang kakak-beradik Hardy dan ayahnya yang
ternama. Dengan tenang ia menyarankan kepada adiknya: "Lakukan
apa yang diperintahkan, Joe. Kita dapat jelaskan nanti di kantor
polisi."
Polisi itu memanggil mobil patroli dengan radionya. Dalam
beberapa menit mereka telah berada di kantor polisi. Di sana setelah
saling menyapa dengan ramah pada sersan jaga, mereka lalu
diantarkan masuk ke ruang kepala Polisi Ezra Collig. Pedang itu
sudah terletak di meja.
"Maafkan tentang perlakuan kami tadi, anak-anak muda!"
Nampak agak kemerah-merahan wajahnya. Komandan Collig berdiri
dan menjabat tangan mereka: "Semuanya tadi campur aduk!"
Komandan Collig menjelaskan bahwa polisi mendapat kisikan melalui
telepon tidak lama setelah tengah malam. Penelepon gelap itu
melaporkan melihat dua remaja di daerah Bayport membawa pedang
Jepang yang berharga. Yaitu pedang yang telah dicuri dari PalmerGlade di New York. "Kami lalu menyiarkan perintah radio, agar
semua polisi melakukan pengawasan," Collig melanjutkan. "Aku
sendiri datang ke kantor untuk mengawasi pencarian. Sebab yang
memberi kisikan rasanya meyakinkan. Tetapi aku benar-benar tidak
menyangka kalian terkena jaring."
"Kita juga tidak tahu," kata Frank masam. "Sesungguhnya kami
juga sedang menuju kemari ketika ditangkap." Ia lalu menceritakan
kepada kepala polisi itu tentang segala yang terjadi tadi malam itu.
Kemudian ia menambahkan: "Kita berharap laboratorium dapat
menemukan sidik jari, baik pada pangkal pedang maupun pada
sarungnya."
"Saran bagus! Aku akan suruh memberi bedak," kata Collig
berjanji. "Tetapi sebelum itu aku ingin kalian menjumpai seseorang.
Ia baru saja masuk di sini malam ini. Betul-betul seperti jatuh dari
langit."
Ia mengangkat telepon lalu memberikah perintah singkat.
Beberapa saat kemudian seorang Jepang yang masih muda diantarkan
masuk. Orang baru itu memakai kacamata, berambut hitam,
berpakaian rapih dalam pakaian kerja abu-abu, nampak terpelajar
tetapi tegap sikapnya seperti seorang olahragawan. Collig
memperkenalkannya sebagai Toshiro Muramoto.
"Tuan Muramoto baru saja terbang dari Jepang kemari. Atas
biaya sendiri kalau boleh kutambahkan. Kukira kalian perlu
mendengar apa yang hendak dikatakannya."
Muramoto mengangguk hormat kepada kedua kakak-beradik.
Mereka pun membalasnya. Muramoto berkata: "Saya mengerti, kalian
berdua sedang berusaha mengungkapkan menghilangnya seseorang
yang menyebut dirinya Takashi Satoya."
"Itu benar," jawab Frank sambil mengerutkan dahinya. "Tetapi
mengapa tuan katakan: orang yang menyebut dirinya Takashi
Satoya?"
"Sebab orang yang mendarat di sini tiga hari yang lalu itu
adalah Takashi Satoya gadungan."
16. Tantangan yang berani
Kakak-beradik Hardy memandang dengan terpesona kepada
orang Jepang itu.
"Wah! Ini suatu pernyataan yang sangat berani," kata Frank.
"Terutama jika anda tanya kepada kami untuk percaya, bahwa ia juga
berhasil menipu kedua pembantu utamanya."
"Anda pun mengajukan suatu pernyataan yang baik," kata
Muramoto. "Kita harus berani menarik kesimpulan sendiri apakah
kedua orang itu benar-benar terpedaya atau tidak!"
Kedua kakak-beradik saling berpandangan. "Apa anda dapat
buktikan kata-kata anda?" tanya Joe. "Bahwa orang yang menghilang
itu adalah gadungan?"
Muramoto mengangguk dengan yakin. "Dapat! Tentu saja
dapat! Lagi pula saya akan membuktikannya demikian; dengan
menggunakan pedang di atas meja pak Kepala Polisi sebagai bukti
utama."
Ia terangkan bahwa ia akan memberi waktu kepada orang yang
menyebut dirinya Satoya itu sampai jam sepuluh hari berikutnya,
untuk datang ke kantor polisi dan menghadapi tuduhannya.
"Jika ia gagal untuk muncul," Muramoto melanjutkan, "saya
akan memaksanya dengan memaparkannya sebagai penipuan di suratsuratkabar."
Setelah meninggalkan kantor polisi, kakak-beradik itu memacu
mobilnya ke hotel Chilton kembali, untuk menyampaikan
perkembangan yang mengejutkan ini kepada Kawanishi dan Oyama.
Di perjalanan, Joe menggerutu dengan curiga: "Apakah
kebersamaan waktu dari semua kejadian ini tidak mencurigakan,
Frank?"
"Kupikir begitu! Jika Muramoto memerlukan pedang samurai
itu untuk membuktikan tuduhannya, dari mana ia dapat tahu pedang
itu akan muncul malam ini?"
"Itulah! Itulah pula yang kupikirkan. Apa yang akan
dilakukannya tanpa pedang itu? Apa ia terbang kemari dengan
harapan pedang itu ditemukan pada waktu ia mendarat?"
Frank mengerutkan dahinya dengan benaknya penuh pikiran.
"Kalau dipikirkan sampai di situ, semua ini seolah-olah seperti sudah
diatur saja, ya?"
"Kaukira Muramoto terlibat dalam pencurian pedang?
Demikian juga peristiwa tebusan malam ini?"
"Kau menangkap maksudku, Joe. Tetapi yang ingin kuketahui
justru jawabannya. Dan mengutip kata-katamu tadi, memang ada
sesuatu yang mencurigakan!"
Namun ketika kakak-beradik itu sampai di hotel dan
mengemukakan kecurigaan mereka kepada kedua orang Jepang itu,
tak seorang dari mereka ada yang setuju.
"Boleh dikatakan tak mungkin tuan Muramoto ikut dalam
komplotan untuk mencap majikan kami sebagai gadungan," kata
Kawanishi. "Dengan berbuat demikian ia akan merusak kepentingan
keuangannya sendiri!"
"Bagaimana bisa begitu?"
Pembantu utama tuan Satoya itu menjelaskan bahwa nilai suatu
perusahaan untuk sebagian besar tergantung dari bagaimana baiknya
pengelolaan. Jika terungkap bahwa Perusahaan Satoya dikelola oleh
seorang penipu yang menamakan dirinya Satoya, maka banyak
pemegang saham akan hilang kepercayaan mereka. Mereka lalu
menjual saham-saham milik mereka. Dengan demikian nilai
perusahaan akan segera jatuh.
"Tuan Muramoto yang muda itu memegang saham sangat besar
di Perusahaan Satoya," Kawanishi melanjutkan. "Jadi ia sendiri akan
mengalami kerugian sangat besar. Nilai sahamnya akan merosot
beberapa juta yen dari nilai waktu ini. Mungkin sampai beberapa ratus
ribu dolar kalau dinilai dengan mata uang Amerika.
"Hoho!" Joe bersiul. "Jumlah yang banyak sekali. Hanya untuk
melontarkan berita buruk!"
Oyama mengangguk, menguatkan apa yang dikemukakan
rekannya. "Kalian tahu, paman Muramoto muda adalah Akira
Muramoto, seorang Jendral dalam Perang Dunia II. Ia juga seorang
teman baik majikan kami. Setelah selesai perang, ia menjadi kepala
sebuah bank di Tokyo. Ia meminjamkan modal pada tuan Satoya yang
cukup untuk memulai usahanya sendiri. Sebagai balasan ia mendapat
saham yang besar dalam Perusahaan Satoya."
Ia tambahkan bahwa jendral Muramoto telah meninggal. Tetapi
saham-sahamnya diwariskan kepada kemenakannya yang baru saja
dijumpai kedua kakak-beradik tersebut.
"Tentunya," kata Oyama mengakhiri, "Kami sangat sulit untuk
percaya, bahwa Muramoto muda hendak menimbulkan skandal yang
dapat merugikan perusahaan kami. Seharusnya ia justru menutupi
sesuatu berita buruk, jika ia memang hendak berusaha."
" Sangat sulit untuk ditebak apa yang menimbulkan niat gila ini
kepadanya, yaitu bahwa majikan kita adalah gadungan," kata
rekannya. "Tetapi kukira ia pun berpendapat demikian."
Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua anak-anak Hardy pulang meninggalkan hotel. Mereka
samasekali menjadi tak tahu lagi, karena terjadi penyimpangan begitu
jauh dalam perkara Satoya. Mereka berdua sangat ingin tahu apa yang
mungkin terjadi hari-hari berikutnya.
***********
Tidak lama sebelum jam sepuluh esok harinya, mereka datang
kembali ke kantor polisi. Toshio Muramoto sudah hadir di sana,
menunggu di ruangkerja komandan Collig. Kedua pembantu utama
tuan Satoya, Kawanishi dan Oyama datang tidak lama kemudian.
Muramoto melihat ke jam tangannya. "Sudah hampir jam
sepuluh lewat satu menit," katanya. "Batas waktu sudah dilampaui."
Komandan Collig melihat kepada kedua pegawai Perusahaan
Satoya. Mereka hanya mengangkat bahu. Kemudian pandangannya
beralih kepada Muramoto. "Kita semua menunggu apa yang hendak
dikatakan tuan!" Ebukulawas.blogspot.com
"Baiklah! Saya telah berharap dapat memberikan kesempatan
kepada orang yang menyebut dirinya Takashi Satoya untuk pembelaan
diri secara pribadi. Karena ia tidak hadir di sini, saya hanya dapat
beranggapan bahwa ia takut menghadapi saya. Ini bahkan
memperkuat tuduhan saya bahwa ia adalah penipu, gadungan!"
"Anda masih saja belum mengatakan kepada kami mengapa
anda justru mencurigai dia sebagai tertuduh pertama?"
"Apakah alasanku belum jelas?" tanya Muramoto kembali. "Di
sini ada seseorang yang memimpin salah satu perusahaan terbesar di
dunia. Tetapi ia takut dilihat oleh umum. Sudah bertahun-tahun ia
menghindar dari para wartawan dan juru potret. Ia selalu mengeram
diri jauh dari dunia ramai. Untuk apa ia harus bersembunyi, jika tidak
takut akan kepalsuannya?"
Joe menukas: "Lalu apa dugaan tuan? Apa yang terjadi dengan
tuan Satoya yang sebenarnya?"
Mata Muramoto memandang tajam kepada kedua pembantu
Satoya. Tangannya menuding kepada mereka dengan sikap menuduh.
"Kukira dua orang ini dapat memberikan jawaban lebih dari saya."
" Mengapa?"
"Sebabnya jelas, kukira mereka telah melenyapkan Takashi
Satoya yang sebenarnya. Mereka merupakan kawan kerjanya yang
paling dekat. Hanya mereka yang dapat melakukan tindak kriminal
tanpa diketahui orang. Untuk mengganti Satoya yang sebenarnya,
mereka gunakan seorang gadungan yang mereka kuasai sepenuhnya.
Dengan tenaga dia, mereka dapat menguasai perusahaan untuk
kepentingan pribadi."
Suasana hening memukau setelah Muramoto selesai berbicara.
Keheningan dipecah Frank dengan berkata: "Jika anda benar,
mengapa orang gadungan itu menghilang?"
" Barangkali karena mereka merasa bahwa ia akan segera
ketahuan sebagai gadungan. Selama mereka dapat menyembunyikan
dia, seolah-olah ia menghilang, maka tak seorang pun dapat
membuktikan mereka telah melakukan kejahatan."
Kini semua mata beralih kepada dua orang tertuduh. Tetapi
keduanya tetap tinggal tenang.
Si jangkung tegap besar, Kawanishi yang memulai angkat
bicara. "Anda menanyakan mengapa majikan kami yang terhormat
mau jadi seperti biarawan, yang lebih senang tinggal di luar
pandangan umum? Alasannya bukan rahasia. Sepuluh tahun yang lalu,
isteri dan anak-anaknya meninggal dalam suatu kecelakaan pesawat
terbang."
"Kematian mereka merupakan pukulan yang berat," sambung
Oyama. "Untuk beberapa waktu bahkan ia merasa tak ada gunanya
hidup sendiri. Semenjak itu ia mengasingkan diri dari dunia luar. Ia
tinggal di sebuah villa, di mana ia mempersembahkan dirinya untuk
mempelajari jalan hidup yang disebut Zen, di samping memelihara
kebunnya."
" Memang benar ia memimpin perusahaannya melalui kami,"
Kawanishi melanjutkan. "Tetapi itu adalah kemauannya sendiri. Sebab
dengan cara demikian ia dapat mempertahankan kehidupan
pribadinya. Tadi malam ia menelepon kami. Kami senang sekali dapat
memberitahukan bahwa ia akan muncul kembali pagi ini di sini. Ia
akan menjawab sendiri tuduhan-tuduhan anda!"
Kawanishi duduk di dekat jendela, dan sering melihat ke luar.
Sekarang ia berkata dengan senyum kecil: Sesungguhnya saya percaya
bahwa majikan kami yang terhormat sedang menuju kemari!"
Suasana menjadi gelisah karena tegang. Beberapa saat
kemudian telepon di meja komandan Collig berdering. Setelah
menyambut, seorang berambut mulai memutih, tegap, dan berkumis
terpilin, diantarkan masuk ke ruang kantor. Orang tua yang sama itu
pula yang dilihat Frank dan Joe turun dari pesawat di lapangan
terbang Bayport.
Muramoto memandang tajam kepada orang tua yang baru
datang, yang membalasnya dengan membungkuk hormat.
"Saya mengerti bahwa anda menuduh saya sebagai gadungan."
"Memang benar! Saya menuduh! Dan saya akan membuktikan
tuduhan saya itu!"
"Saya minta anda lakukan. Dengan segala senang hati, silakan!"
Kini giliran Muramoto untuk membungkuk menghormat. "Baik
sekali. Akan saya lakukan suatu percobaan. Dengan menggunakan
pedang samurai yang indah itu. Yang telah menjadi milik keluarga
Satoya selama lebih dari empatratus tahun."
Muramoto maju dan mengambil pedang dari atas meja
komandan Collig. Frank bertanya apakah pedang itu telah diperiksa.
Komandan Collig mengatakan bahwa telah dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Tetapi tidak terdapat sidik jari yang ditemukan. Hal ini
menunjukkan bahwa sarung pedang, mata pedang dan pangkal pedang
telah dilap bersih.
Muramoto melanjutkan pertunjukkannya. "Sudah diketahui oleh
tenjan-teman dekat, atau pun teman-teman seusaha Takashi Satoya
yang sesungguhnya," katanya melanjutkan, "bahwa pedang ini
mempunyai suatu celah rahasia tersembunyi di pangkal pedang.
Rahasia itu dibuat ratusan tahun yang lalu oleh seorang empu yang
ahli yang juga menempa pedang itu."
Hartawan yang telah mulai memutih rambutnya itu
mengangguk: "Memang betul! Rahasia untuk dapat membukanya
diturunkan kepada setiap anggota keluarga laki-laki."
Kedua pembantunya menggumam setuju.
"Baik!" berkata Muramoto yang berkacamata. "Jika sekiranya
tidak ada sanggahan lagi, maka ini pula akan membuktikan bahwa
anda memang Takashi Satoya yang sebenarnya. Saya mohon anda
menunjukkan kepada kami, bahwa anda dapat membuka celah rahasia
itu."
Ia lalu mengulurkan pedang tersebut.
"Sudah tentu! Saya menerima tantangan anda," kata si
hartawan. Ia lalu menerima pedang itu.
Wajahnya nampak tenang ketika ia mulai meraba-raba beberapa
bagian tertentu. Tetapi wajahnya sedikit demi sedikit menunjukkan
kegelisahan. Mula-mula hanya alis mata yang mengernyit, wajahnya
nampak kebingungan, dan akhirnya kekecewaan.
"Ada sesuatu yang tidak beres," katanya.
"Nampaknya begitu," kata Muramoto menghina.
Kedua pembantu Satoya nampak bengong.
Majikan mereka mencoba untuk terakhir kali, lalu menyerah.
"Ini tentu bukan pedang yang asli!" katanya. "Seseorang telah
menggantinya dengan pedang palsu!"
"Begitukah?" tanya Muramoto mengejek. "Aneh sekali, kalau
anda tak dapat menemukan tombol. Nyatalah kini bahwa anda tak
mampu menemukan cara membuka celah rahasia!"
Sambil memandang kepada Kepala Polisi dan kedua kakakberadik Hardy, ia menambahkan: "Saya kira para saksi yang tidak
memihak ini akan setuju, bahwa saya telah berhasil membuktikan
tuduhan saya tanpa meragukan lagi."
Ketiga orang memandang kepada orang yang menamakan
dirinya Satoya. Tanggapan satu-satunya hanyalah mengangkat bahu
tidak berdaya dan bibir terkatup.
"Dalam hal itu," Muramoto meneruskan, "saya akan
mengeluarkan pernyataan melalui suratkabar, bahwa saya telah
berhasil membuktikan kepalsuan orang ini. Saya juga akan mengirim
kawat kepada Pemerintah Jepang di Tokyo. Meminta secara resmi
agar pemerintah mengambil alih Perusahaan Satoya. Sampai pada
waktunya Polisi menemukan nasib yang sebenarnya, yang menimpa
tuan Satoya."
Kawanishi dan Oyama bersama-sama melompat berdiri.
Wajahnya menunjukkan rasa takut yang hebat.
"Tunggu! Jika anda lakukan hal itu, pasti akan menimbulkan
malapetaka bagi jalannya perusahaan!" kata yang seorang.
"Tidak hanya itu! Nilai saham-saham perusahaan akan jatuh di
pasaran bursa. Para penanam modal yang besar pada perusahaan kami
akan menderita rugi jutaan yen!"
"Kalian benar, tuan-tuan," kata Muramoto penuh sesal.
"Sebagai pemegang saham yang besar, saya sendiri akan menderita
rugi yang sangat besar. Tetapi kehormatan diri saya juga menuntut
tidak sedikit. Paman saya almarhum, jendral Akira Muramoto,
merupakan taman lama Takashi Satoya. Jika kalian berdua atau siapa
saja mencelakakan dia, paman tentu akan menuntut keadilan. Yang
salah harus mendapat hukuman, tak peduli berapa juta biayanya."
Tiba-tiba Frank menyela: "Tuan Muramoto, bolehkah kami
mengajukan permintaan?"
Orang Jepang berkacamata itu berkata: "Saya tak mau janjikan
sesuatu. Tetapi saya tentu saja mau mendengarkannya."
"Dari apa yang kami kakak-beradik dengar, perusahaan akan
sangat menderita, jika anda meneruskan mengeluarkan pernyataan
tuduhan anda. Tetapi kami kira, dan tuan sendiri pun mengakui,
bahwa seluruh kejadian ini adalah suatu misteri."
"Satu-satunya misteri menurut saya hanyalah apa yang terjadi
atas diri tuan Satoya yang sebenarnya."
"Katakanlah demikian, jika anda memang menghendaki," kata
Frank.. "Tetapi setidak-tidaknya, berilah kami kakak-beradik
kesempatan untuk memecahkan misteri ini. Apa yang kami minta
hanya waktu selama duapuluh-empat jam sebelum anda mengambil
langkah yang demikian drastis."
Komandan Collig menambahkan: "Apa yang mereka minta,
menurut saya, adalah sangat masuk akal, tuan. Saya berani menjamin
kepada anda, bahwa kedua anak muda ini bukanlah detektif
sembarangan. Mereka telah dilatih oleh ayahnya, barangkali
penyelidik kejahatan terbesar di Amerika. Mereka juga telah banyak
kali berhasil memecahkan perkara-perkara yang penting.
Muramoto nampak ragu-ragu sebentar sebelum menjawab.
Dahinya berkerut. Tetapi akhirnya ia mengangguk.
"Baiklah! Saya akan menunggu sampai besok pada waktu yang
sama, sebelum memberitahukan surat kabar dan mengirim kawat
pemerintah saya. Tetapi tidak lebih dari itu!" Sambil membungkuk
menghormat kepada setiap hadirin, Muramoto memutar badannya lalu
keluar meninggalkan ruang kantor.
Satoya, atau mungkin juga orang yang bertindak sebagai
Satoya, memandang kepada Frank dan Joe penuh rasa terimakasih.
"Anak-anak muda, saya sungguh berhutang budi kepada kalian
berdua. Barangkali jauh lebih tinggi dari apa yang kalian sadari," ia
menjelaskan. "Jika kalian sudi menemani saya kembali ke hotel, saya
akan menjelaskan alasan-alasan saya menghilang dari mata umum."
17. Mimpi buruk dalam belantara
Frank dan Joe sangat ingin mendengar cerita tuan Satoya.
Mereka segera menerima undangannya. Mobil limousin hitam telah
menunggu di tikungan, dengan si wajah keras bagaikan batu di
belakang kemudi. Kedua kakak-beradik duduk di belakang bersama
hartawan itu. Kawanishi dan Oyama mengikuti dengan mobil lain.
"Cerita saya dimulai sejak lama, pada bulan-bulan terakhir
Perang Dunia II," Satoya memulai ceritanya. "Jendral kalian,
McArthur, telah berhasil merebut kembali Pilipina. Jadi hanya soal
waktu saja, bangsa Amerika akan menyerbu Jepang sendiri."
Sekelompok perwira Jepang tertentu, katanya, merasa jalan
yang terbaik hanyalah menyerah dengan terhormat, daripada
menunggu sampai negeri mereka hancur oleh pemboman dan
penyerbuan.
Salah satu anggota kelompok itu ialah Takashi Satoya.
Meskipun ia baru seorang letnan yang masih muda, tetapi ia
bersukarela untuk melaksanakannya. Ialah yang akan membawa
naskah penyerahan tertulis, yang disembunyikan di dalam celah
rahasia pada pedangnya. Tetapi di perjalanan ia terluka parah akibat
serangan udara dari pesawat-pesawat tempur Amerika. Kemudian ia
tertawan. "Selama beberapa minggu saya sakit tak sadarkan diri di rumah
di dalam hutan," kata hartawan itu meneruskan. "Pada waktu saya
mulai sembuh, pedang saya ternyata telah hilang. Mungkin tertinggal
di tempat saya terluka, atau barangkali diambil perajurit GI Amerika
atau pasukan partisan Pilipina."
"Naskah penyerahan itu apa ikut hilang?" tanya Frank.
"Tepatnya demikian!"
"Apa anda tidak mengatakan kepada tentara Amerika, di mana
anda tertawan, tentang dokumen yang anda bawa itu?"
"Saya telah berusaha, tetapi tak seorang pun mau percaya. Saya
kira mereka anggap saya belum sadar benar karena demam. Atau
cerita saya dianggap hanya hendak mencari keuntungan mendapat
rawatan khusus."
Karena naskah penyerahan itu tak pernah sampai di tangan
tentara Amerika yang berwenang, maka perang berkelanjutan hingga
akhir yang menyedihkan, termasuk hancurnya Hiroshima dan
Nagasaki karena bom atom."
"Kemudian setelah perang selesai," kata Satoya, "para perwira
yang telah mengambil bagian dalam rencana penyerahan itu
berkumpul di Tokyo. Mereka setuju untuk tetap merahasiakan hal
itu."
"Mengapa?" tanya Frank. "Pada waktu itu saya kira banyak
orang yang akan menganggap anda bertindak benar!"
"Mungkin nampaknya begitu bagi anda, sekarang di Amerika.
Tetapi masih banyak sekali yang tetap beranggapan yang sebaliknya
di Jepang. Beberapa dari golongan perwira tua masih saja
beranggapan, seyogyanya kita harus gugur demi kaisar. Mereka akan
menuduh kami sebagai pengkhianat, jika rahasia itu bocor."
Bahkan sekarang pun, demikian menurut hartawan itu, sebagian
besar warganegara Jepang masih beranggapan seperti itu.
"Untuk saya sendiri, saya tidak peduli." kata Satoya lebih
lanjut. "Saya sudah tua. Apa yang mereka pikirkan tentang saya sudah
tidak penting lagi. Untuk hal itu kebanyakan perwira tua yang terlibat
dalam penyerahan, misalnya seperti jendral Muramoto telah
meninggal. Meskipun demikian kenyataan itu masih dapat
menimbulkan rasa malu bagi keluarga yang ditinggalkannya, apabila
bocor diketahui umum."
"Jadi," kata Joe, "dalam salah satu hal, sebenarnya anda
melindungi nama baik kemenakan jendral Muramoto, yaitu Toshio
Muramoto. Yang datang kemari dan menyebut anda seorang penipu?"
Satoya tersenyum atas kata-kata Joe. "Begitulah! Hidup ini
sendiri kadang-kadang sering menipu. Bagaimana pun, satu-satunya
jalan untuk memastikan agar cerita itu jangan sampai bocor ialah
menemukan kembali pedang itu. Kemudian menghancurkan dokumen
Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terdapat di dalam pangkalnya."
"Jadi karena itulah anda begitu ingin membeli pedang
tersebut?"
"Tepat sekali! Itulah pula alasan utama bagi saya untuk datang
sendiri ke Amerika, daripada menyerahkan tugas tersebut kepada
orang lain. Saya ingin yakin benar, bahwa tak ada seorang pun yang
menawar lebih tinggi daripada saya di waktu lelangan. Jika pedang
telah ada di tangan saya, dokumen penyerahan itu akan saya
musnahkan."
Limousin itu sudah sampai di hotel Chilton. Frank dan Joe
menemani tuan Satoya masuk, lalu naik elevator menuju ke kamar
pribadi tuan Satoya. Satoya menelepon bagian pelayanan kamar,
minta diantarkan minuman teh. Kemudian ia melanjutkan ceritanya,
tanpa meminta Kawanishi dan Oyama untuk ikut serta.
"Anda belum menceritakan kepada kami mengapa dan
bagaimana anda menghilang?" tanya Frank memperingatkan
pengusaha tua itu.
"Saya memang sedang sampai di situ," jawabnya.
"Kenyataannya ialah bahwa saya mulai curiga, diantara pembantupembantu saya ada pengkhianatnya. Barangkali malah di tingkat
pucuk pimpinan."
Kakak-beradik terkejut. Kata-kata hartawan itu seperti dugaan
ayahnya. "Apa yang menyebabkan anda berpikiran demikian?" tanya Joe.
"Ada dua hal. Pertama, seseorang baru-baru ini telah
membocorkan informasi perusahaan kami kepada saingan kami.
Sebuah perusahaan yang bernama Gerobei Motors. Informasi itu
mencakup data yang hanya diketahui oleh saya sendiri dan dua orang
pembantu tertinggi saya."
"Maksud anda tuan Kawanishi dan tuan Oyama?"
Takashi Satoya mengangguk muram. "Betul! Di samping itu
telah beberapa kali terjadi usaha membunuh saya."
"Wow," seru Joe. "Apakah anda sungguh-sungguh menyangka
salah satu dari mereka telah mencoba membunuh anda?"
"Sesungguhnya saya tak tahu apa yang harus saya pikirkan.
Tetapi satu hal sudah jelas. Perjalanan ke Amerika ini memberikan
kesempatan yang baik untuk membunuh saya. Lalu melemparkan
kesalahan itu kepada teroris-teroris Amerika. Karena itulah saya
memutuskan untuk menghilang. Nampaknya hanya itulah jalan yang
paling baik menjamin keamanan diri saya. Demikian juga dengan
mengawasi Kawanishi dan Oyama, saya berharap dapat menemukan
siapa di antara mereka itu yang menjadi pengkhianat."
Untuk melakukan hal ini tuan Satoya telah mengatur agar kedua
kamar pembantunya itu dipasang jaringan alat elektronik.
"Ketika limousin anda tiba di hotel dari lapangan terbang," kata
Frank, "pembantu anda yang lain, tuan Ikeda, dalam keadaan tidak
sadar. Apakah anda yang membius dia?"
Orang Jepang itu mengangguk: "Ya. Saya harus mengaku,
bahwa sayalah yang membius. Ketika ia sedang asyik melihat ke luar
jendela di sisi lain, saya menusuknya dengan jarum suntik. Saya
gunakan obat bius yang sangat cepat bekerjanya, sebelum ia dapat
berteriak. Saya sesungguhnya malu mengatakan hal jni. Tetapi
rupanya itulah satu-satunya jalan untuk melaksanakan rencana saya."
Setelah Ikeda tidak sadarkan diri, hartawan itu menghilang.
Tepat seperti yang pernah dibicarakan oleh Frank dan adiknya: Ia lalu
menyembunyikan diri di ruang rahasia. Sopirnya disuruh
mengeluarkan dia, jika sudah ada di pertengahan jalan garasi,
sehingga terlindung dari pandangan orang-orang dari arah jalan serta
garasi di bawah tanah. Sopir itu sesungguhnya satu-satunya orang
yang dipercayainya. Dia pula yang telah disuruh pasang alat-alat
elektronik di kamar Kawanishi dan Oyama.
"Satu pertanyaan lagi, tuan," kata Frank." Apakah anda
mempunyai dugaan mengapa dan bagaimana dibuat pedang tiruan
untuk menggantikan pedang keluarga anda?"
Satoya menggeleng tak berdaya. "Saya serahkan seluruhnya
kepada kalian berdua untuk memecahkan misteri ini. Saya hanya
menduga bahwa hal ini merupakan salah satu bagian dari rencana
untuk merebut perusahaan dari tangan saya."
Kakak-beradik Hardy berjanji akan berusaha sebaik-baiknya
untuk memecahkan misteri itu. Mereka diantarkan sopir Satoya ke
kantor polisi untuk mengambil mobil mereka sendiri.
Ketika mereka dalam perjalanan pulang. Joe memasang radio
mobilnya untuk mencocokkan waktu. Penyiar radio sedang membaca
berita. Tiba-tiba ia mewartakan:
"Suatu berita kilat tiba di meja kami. Pengusaha Jepang yang
menghilang itu tuan Satoya, kini telah muncul kembali. Setidaktidaknya orang yang menamakan dirinya Takashi Satoya. Diberitakan,
bahwa ia telah datang di kantor polisi beberapa jam yang lalu. Tetapi
kini ia dituduh sebagai penipu gadungan. Salah seorang pemegang
saham Perusahaan Satoya telah datang dari Jepang untuk mengajukan
tuduhannya."
Penyiar itu melanjutkan: "Ini adalah berita kedua yang datang
tadi pagi mengenai perkara aneh tersebut. Bagi anda sekalian yang
belum mendengar berita terdahulu, telah diketahui pagi ini bahwa
pedang samurai yang bernilai tinggi yang telah dicuri dari PalmerGlade di New York kini telah ditemukan kembali malam tadi di
sekitar Bayport. Menurut laporan yang belum pasti kebenarannya,
pedang itu adalah milik Takashi Satoya yang asli. Kita akan tetap
melayani para pendengar untuk perkembangan selanjutnya."
"Kucing gering," gerutu Joe. "Aku heran apakah Muramoto
mengingkari janjinya untuk memberi kami waktu duapuluhempat
jam?"
"Rupanya begitu," kata Frank mengertak gigi. "Ini berarti kita
harus bekerja lebih cepat."
Ketika tiba di rumah, bibi Gertrude telah menunggu untuk
memeras mereka tentang apa saja yang terjadi di kantor polisi. Belum
sempat mereka memenuhi ingin tahunya bibi Getrude, telepon
berdering. Frank menyambutnya. Penelepon itu adalah Sam Radley.
"Ada apa Sam?" tanya Frank.
"Akhirnya aku dapat menggiring Krunkel dan temannya."
"Maksudmu sudah kautangkap?"
"Belum! Kukira lebih baik diintai dulu untuk sementara waktu,
dan mengharapkan apa yang dapat kita peroleh dari dia."
"Akal yang cerdik!" kata Frank setuju.
Radley menerangkan bahwa ia telah menunjukkan gambar foto
pada beberapa petugas hotel dan motel. Akhirnya ia dapat menemukan
tempat di mana pencuri juling itu tinggal. Ia dan temannya yang
bernama Darbold terdaftar di Seneca Motel di Main Street.
"Aku tetap mengawasi tempat itu," kata Sam meneruskan.
"Tetapi ada dua orang yang harus diawasi. Aku perlu bantuan.
Dapatkah engkau dan Joe membantuku?"
"Tentu!" jawab Frank. "Sebutkan, di mana kita bertemu, aku
dan Joe akan datang dalam sedetik."
Tidak lama kemudian kakak-beradik itu masuk ke warung kopi
di seberang Seneca Motel. Radley duduk di dekat jendela depan
memegang semangkuk kopi.
"Pekerjaan yang bagus, Sam!" kata Frank memberi selamat
kepada pembantu ayahnya. Mereka kini bergabung.
"Apa salah satu dari mereka telah menampakkan diri?" tanya
Joe. "Belum! Tetapi kini telah lewat tengah hari. Tentunya mereka
akan segera keluar mencari makan. Ketika aku menunjukkan gambar
foto Krunkel kepada penjaga motel, katanya mereka masih ada di
kamarnya."
"Apakah ada kemungkinan mereka dapat menyelinap ketika
engkau sedang menelepon?"
"Tak mungkin. Aku menelepon kalian dengan pesawat telepon
yang ada di sudut itu. Jadi aku dapat pandangan yang jelas ke arah
motel itu."
Kakak-beradik itu memesan hamburger. Mereka makan dengan
lahapnya. Mereka tegang bergairah ketika Sam berseru: "Itulah dia!"
Sesosok tubuh yang jangkung sedang muncul dari motel. Betul,
itulah si wajah betet yang mereka lihat bercakap-cakap dengan Len
Bogs setelah lomba motor. Ia sedang berjalan menuju salah satu mobil
di tempat parkir.
Sam melemparkan mata uang untuk diundi siapa yang harus
membayangi dia. Kakak-beradik yang menang.
"Barangkali ini yang paling baik," kata Sam. "Kukira Krunkel
akan lebih cepat mengenali aku daripada kalian. Tetapi hati-hatilah. Ia
memang tidak tercatat sebagai orang yang suka kekerasan. Tetapi
siapa tahu!"
"Kita pasti waspada, Sam!" mereka berjanji.
Frank dan Joe bergegas menuju mobil mereka. Krunkel
meluncur pergi dengan sebuah mobil berwarna perak mengkilat
buatan luar negeri.
Ia menuju ke jalan yang mengarah ke barat daya dari Shoreham.
Itu bukan jalan besar, karena itu mereka harus dapat menjaga jarak di
belakangnya, agar tidak menimbulkan kecurigaan buruan mereka.
Terutama setelah ia membelok masuk ke jalan tanah yang banyak
pohon-pohonnya.
Sebagai tindakan yang aman selanjutnya, Frank melewati
belokan itu lalu berbalik memutar agak jauh. Sekembali di jalan tanah,
mereka mengarahkan laju mobil mereka sepanjang jalan yang dilalui
mobil berwarna perak itu agak jauh di depan mereka.
"Nah, itulah dia," seru Joe.
Krunkel membelok keluar dari jalan lalu turun dari mobilnya.
Frank memasukkan mobilnya di antara pohon-pohonan, terlindung
dari pandangan. Mereka lalu mendekat mengikuti Krunkel dengan
berjalan kaki.
Tujuan Krunkel ternyata adalah sebuah rumah peternakan tua
yang telah ditinggalkan. Rumah itu telah lapuk dimakan cuaca, reot
dan telah miring atapnya. Jendela-jendelanya ditutup dengan papan,
dan tanah di sekitarnya telah rapat ditumbuhi semak.
Dengan merangkak-rangkak menerobos rerumputan yang tinggi
dan semak-semak, mereka melihat Krunkel sedang menyalakan lampu
senternya menerangi ke dalam sumur.
"Apa yang dicarinya?" desis Joe.
"Mana aku tahu!" bisik Frank kembali.
Kemudian si jangkung itu berdiri lalu berjalan ke mobilnya.
Segera setelah terdengar deru mobil menjauh kedua anak muda itu
dengan cepat menuju ke sumur. Frank mengambil lampu senternya
lalu diarahkan ke sumur.
"Setan tauco," seru Joe ketika melihat benda yang diterangi
cahaya senter.
Di dasar sumur itu tergeletak sebuah pedang samurai panjang
dengan sarungnya.
18. Roda-roda gerombolan
Cahaya lampu senter itu menampakkan pangkal yang dihias
indah. "Itulah pedang tuan Satoya yang asli yang hilang di waktu
perang," kata Frank. "Itu sudah pasti!"
"Pasti!" kata Joe setuju. "Tak mungkin ada dua rupa yang tepat
sama. Tunggu!" Ia berhenti dengan tiba-tiba dan membunyikan jarijari tangannya. "Frank aku yakin, bahwa Krunkel tentu telah
mendengar pedang yang lain itu muncul di Bayport. Jadi ia datang
untuk meyakinkan apakah pedangnya masih ada di sini."
"Itu masuk akal!", kata Frank mengangguk.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang hanyalah mengambil
pedang itu dari sumur."
"Aku heran bagaimana caranya Krunkel menaruh pedang itu di
sini, lalu bagaimana ia mengambilnya lagi?"
"Tak tahu. Ia seorang pencuri yang ahli. Barangkali ia
mempunyai tangga lipat di mobilnya. Kupikir sekarang, salah satu
dari kita harus turun dengan tali."
"Betul!" kata Joe. "Kita punya tali di mobil. Ayo kita kembali."
Tetapi ketika mereka sampai di mobil mereka, sebuah lampu
merah pada radio mereka di dashboard menyala. Joe segera memutar
tombol, lalu berbicara di mikrofon.
"H-dua di sini. Silakan masuk!"
"L-memanggil," terdengar suara ibunya. "Kalian baru saja
ditelepon oleh langganan kalian orang asing di hotel. Penting sekali. Ia
ingin dapat bertemu kalian secepat mungkin."
"Terimakasih, bu! Maukah ibu menelepon dia, dan katakan
bahwa kami sedang di perjalanan."
"Roger. Sepuluh-empat."
Joe mengambilkan mikrofon, dan memandang kepada kakaknya
dengan mata bertanya. "Maksud itu tentu tuan Satoya! Apakah lebih
baik kita ambil pedang itu dulu?"
"Lebih baik jangan," kata Frank. "Mungkin itu cukup sulit,
sedangkan telepon itu nampaknya sangat penting. Aku yakin bahwa
pedang itu akan aman jika kita tinggal di sini untuk sementara waktu."
"Oke! Mari kita segera berangkat!"
Kakak-beradik Hardy lalu tancap gas mobilnya menuju ke
Bayport kembali. Di Hotel Chilton Bayport mereka menelepon kamar
tuan Satoya dari lobby, dan dipersilakan langsung ke kamar.
"Saya menerima pesan yang mengejutkan melalui telepon, kirakira setengah jam yang lalu," kata hartawan itu memberitahu mereka
ketika kedua kakak-beradik itu ada di dalam kamar.
"Dari siapa, tuan?"
"Dari pembantu saya yang muda, Haruki Ikeda. Ia mengatakan
bahwa ia telah mendapat kontak dengan pencuri di Galeri. Katanya ia
dapat memperoleh kembali pedang saya yang asli, dengan harga
tebusan seratus ribu dolar."
Kedua kakak-beradik itu ternganga mulutnya mendengar berita
yang tak terduga itu.
"Apa ia memberikan perincian-perincian kepada anda?"
Satoya menggelengkan kepala. "Tidak. Dari suara-suara yang
terdengar di latar belakang, rupa-rupanya ada banyak orang di
sekelilingnya. Ia juga mengatakan bahwa tidak dapat bicara dengan
leluasa."
"Apa yang anda telah katakan?"
"Saya menunda dengan mengatakan bahwa saya membutuhkan
waktu untuk berpikir. Apakah baik atau tidak saya lakukan dagang
dengan seorang kriminal. Karena itu ia akan menelepon lagi untuk
mendapat jawaban saya."
Frank dan Joe saling berpandangan dengan cerdik. Seperti yang
sering terjadi karena akrabnya hubungan mereka, kakak-beradik itu
sudah dapat saling mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran.
Frank mengernyit aneh, dan Joe segera menanggapi dengan
mengangguk.
"Dengar, tuan," kata si kakak sambil berpaling ke arah tuan
Satoya. "Jika Ikeda menelepon lagi saran kami ialah, katakan saja
bahwa anda menerima tawarannya."
Kini giliran si hartawan untuk menjadi terkejut. "Apakah kalian
minta pada saya untuk mempercayai seorang pencuri? Bagaimana
kalau tawaran itu hanyalah penipuan belaka?"
"Sesungguhnya memang demikian, barangkali," kata Frank,
"tetapi jika firasat kami benar, kita dapat menjebak pencuri itu. Dan
mendapat kembali baik pedang maupun uangnya."
Telepon berdering sebelum Frank dapat menyelesaikan
penjelasannya. Tuan Satoya mengkerutkan alis matanya, memilinmilin kumisnya dengan tampak gugup, lalu mengulurkan tangan
meraih gagang telepon.
Percakapan yang singkat dilakukan dalam bahasa Jepang.
Setalah selesai hartawan itu berbalik dan berpaling ke kakak-beradik
Hardy.
Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seperti kalian duga mungkin itu tadi Ikeda. Saya memberi
kuasa untuk mengambil uang tebusan berupa uang tunai. Perusahaan
kami telah membuka rekening dengan bank setempat."
Meskipun Satoya tidak mengatakannya, kedua kakak-beradik
tahu apa yang akan dikatakan. Yaitu bahwa ia telah mengambil resiko
sejumlah seratus-dolar untuk memenuhi firasat mereka.
Itu memang pikiran yang kurang enak. Tetapi Frank menjawab
dengan tegas: "Jika anda mau beserta kami, tuan, Joe dan saya ingin
menunjukkan sesuatu yang penting bagi anda. Jika anda melihatnya,
saya kira tuan tentu setuju bahwa resiko itu cukup berharga."
Pandangan mata Satoya nampak tajam dan dingin, tetapi ia
mengangguk dengan sopan. "Baik, anak-anak muda. Saya akan
lakukan apa yang kalian katakan."
Joe duduk di kursi belakang sementara tuan Satoya duduk di
samping Frank dalam mobil kuning itu. Tak lama kemudian mereka
sudah sampai di luar kota.
Ketika mereka sampai di jalan yang mereka lalui belum lama
ini, kakak-beradik itu mengatakan kepada tuan Satoya arah tujuan
mereka. "Kami kakak-beradik tahu di mana pedang keluarga anda
disembunyikan," kata Frank memulai percakapannya. "Jadi tawaran
Ikeda kepada anda itu memang benar, maka pencuri itu tentu akan
kemari untuk mengambil pedang itu."
"Nah, ketika itulah kita tangkap dia" kata Joe menyambung.
Satoya menerima kata-kata itu dengan mengernyit penuh
pikiran. "Jadi jika terkaan saya benar, kalian sudah tahu pencuri itu?"
Frank mengangguk sambil memutar kemudi di jalan tanah.
"Memang, tuan. Kami kira kami telah mengetahuinya."
"Namun di hotel kalian menyatakan secara langsung bahwa
tawaran tebusan itu hanya tipuan?"
"Saya hanya menghubungkannya dengan apa yang dikatakan
Ikeda."
"Saya kira sebaiknya kalian jelaskan kepada saya, anak-anak
muda!"
"Hmm, ya," si kakak menjelaskan, "satu-satunya hal yang
sudah pasti ialah siapa pun biang keladi yang mengatur semua rencana
ini, tentulah sudah tahu dari semula bahwa tuan akan pergi ke
Amerika. Demikian juga bahwa anda ingin sekali memperoleh
kembali yang ada di Palmer-Glade."
"Saya setuju," Satoya mengangguk.
"Kita barangkali mengecualikan awak pesawat," Frank
melanjutkan, "dan saya kira sopir tuan juga terlalu patuh untuk dapat
dicurigai."
"Ya, memang begitu!"
"Jadi, tinggal pembantu-pembantu anda yang patut untuk
dicurigai."
"Sudah tentu," kata raja uang itu tidak sabar. "Saya telah
katakan kepada kalian, pengkhianat itu Kawanishi atau Oyama, salah
satu!"
"Tuan masih melupakan seseorang," kata Joe mengingatkan,
"Maksud kalian ....?"
"Ikeda, tuan!"
Satoya mengerutkan dahi lagi. "Tetapi pagi tadi saya sudah
mengatakan, bahwa hanya kedua orang itulah yang tahu segala data
yang bocor sampai ke tangan Gerobei Motors."
"Tetapi," kata Frank menjelaskan, "apakah tidak mungkin,
bahwa siapa pun di perusahaan anda dapat memperoleh informasi itu?
Baik dengan menyadap telepon, atau pun memeriksa diam-diam pada
meja dan pada map-map?"
"Hmm... ya, kalau kalian katakan begitu hal itu memang
mungkin."
"Namun tak ada gunanya hanya menerka-nerka," kata Frank.
"Jika kita beruntung, kita segera akan tahu jawab...."
Ia menghentikan kata-katanya dengan tiba-tiba. Joe melihat
kakaknya mengincar tajam kaca spion.
"Ada apa, Frank?"
"Kita mendapat pengawal!"
Hampir bersamaan dengan itu, Joe mendengar deru suara mesin
yang semakin bertambah keras. Dengan memalingkan kepala melihat
ke belakang, ia melihat sekelompok pengendara motor di belakang
mereka. "Teri kerempeng! Rupanya gerombolan Gung-Ho!"
"Betul juga tebakanmu," kata Frank mengertak gigi. "Aku
merasa mereka mengenali mobil kita."
Kakak-beradik Hardy adalah ahli-ahli mesin yang terampil.
Mesin mobil mereka selalu dirawat untuk tenaga puncak. Frank
mengingatkan semuanya untuk mengeratkan sabuk pengaman. Setelah
itu ia mulai tancap gas. Ia pun seorang pengemudi yang terlalu baik
untuk mengambil resiko yang bukan-bukan. Ayahnya telah melatih
anak-anaknya dengan sangat teliti dalam siasat-siasat menghindarkan
diri dari suatu pengejaran. Dan kedua kakak-beradik itu sudah
mengenal sekali jalan-jalan di Bayport.
Dengan mengelak dan memutar-mutar kesana kemari lewat
jalan simpangan, sedikit demi sedikit mereka mulai terlepas dari para
pengejarnya. Joe melontarkan senyuman memuji kepada kakaknya
melalui kaca spion. Bahkan tuan Satoya menggumam: "Bagus sekali,
anak-anak muda!"
Akhirnya mereka memasuki jalan tanah yang mereka gunakan
untuk membayangi Krunkel beberapa waktu yang lalu. Frank
memarkir mobilnya di tempat yang sama yang mereka gunakan
sebelumnya. Tuan Satoya bersama kedua kakak-beradik kemudian
berjalan menuju rumah peternakan yang telah ditinggalkan. Pedang itu
ternyata masih ada di dalam sumur.
Mereka tidak usah terlalu menunggu lama, ketika terdengar
suara mobil yang mendekat. Sebuah station wagon berwarna hijau
berhenti di jalan tanah yang kini penuh ditumbuhi rumputan dan
semak. Seseorang keluar dari pintu mobil: Itulah Haruki Ikeda.
19. Tiga sekawan pemberani
Melihat anak buahnya yang berambut pendek itu, Satoya
mendengus marah. Ia hendak melompat keluar dari persembunyiannya
di dalam kelebatan rumput dan semak. Tetapi ditahan oleh Frank.
"Kita lihat dulu apa yang hendak ia lakukan," kata Frank
berbisik. Setelah membuka pintu mobil belakang, Ikeda mengeluarkan
benda serupa tangga tali yang terbuat dari logam lentur yang ringan. Ia
membawanya lewat jalan tanah, lalu menurunkannya ke dalam sumur
yang mengering itu.
Mereka bertiga mengawasinya. Terlihat orang Jepang yang
kurus itu mencoba-coba pijakan tali dengan hati-hati. Kemudian ia
hilang dari pandangan turun masuk ke dalam sumur dengan bantuan
tangga tali.
Setelah ia muncul kembali beberapa menit kemudian, di
tangannya ia memegang erat-erat sebuah pedang samurai! Ikeda
menyeringai puas.
Kali ini tak ada yang dapat menahan Satoya. Orang tua
berambut abu-abu itu melompat berdiri sambil berteriak-teriak karena
luapan kemarahan dalam bahasa Jepang. Frank dan Joe pun melompat
bangkit berlari mengikuti. Tak ada gunanya lagi mereka terus
bersembunyi.
Ikeda berdiri tak bergerak sejenak. Kemudian wajahnya
berubah seolah dungu penuh kecewa. Tetapi tiba-tiba ia seperti
memusatkan segala tenaga dan semangat lalu berlari menuju ke mobil
stasion wagon.
Ia memegang pedang di tangannya ketika menarik pintu
mobilnya sekuat-kuatnya. Pedang itu dilemparkan di samping, dan ia
menyelinap duduk di belakang kemudi. Kedua tangannya meraba-raba
mencoba menghidupkan mesin mobilnya.
Karena terburu-buru untuk segera melarikan diri, mesin mobil
itu kebanjiran bensin. Dua kali ia gagal menghidupkan mesin. Frank
dan Joe merasa bahwa mereka akan dapat mencapai mobil dan
menghentikannya.
Tetapi pada saat itu juga deru motor yang meledak-ledak
menyita segala perhatian mereka. Suara-suara itu dengan cepat
meningkat semakin keras. Sedetik kemudian sepasukan pengendara
motor nampak menghambur di sela-sela pohon-pohon yang tersebar di
sekeliling rumah peternakan.
"Gerombolan Gung-Ho," teriak Joe. Ia segera mengenali setansetan motor itu untuk yang kedua kali pada hari itu juga.
Pikiran yang sama menyelinap di benak kedua anak-anak
kakak-beradik. Entah bagaimana gerombolan itu dapat menemukan
jejak kembali, yang oleh Frank disangka telah tersesat entah ke mana.
Kini kakak-beradik beserta orang tua itu menghadapi suatu kesulitan.
Frank merasa rupa-rupanya siasat yang digunakan oleh Len
Boggs beserta begundal-begundalnya adalah menggiring mereka
dengan sepeda-sepeda motornya.
"Cepat masuk ke dalam rumah peternakan!" teriaknya kepada
Joe dan Satoya.
Tiga sekawan itu mencapai emperan rumah hanya beberapa
meter mendahului para pengejarnya. Frank menendang pintu terbuka,
yang ternyata hanya bergantung pada satu engsel, dan mereka cepat
melompat masuk ke dalam!
Len Boggs berada paling depan mencoba mengejar naik ke
emperan hendak masuk ke dalam rumah. Tetapi papan-papan yang
telah lapuk itu runtuh di bawah beban sepeda motornya yang berat.
Terjadilah beberapa saat yang hiruk pikuk. Boggs nampak
merah padam, mukanya menahan marah yang amat sangat. Ia
merayap bangun dan berusaha mengeluarkan motornya dari
reruntuhan papan-papan.
Setelah sadar bahwa motor-motor mereka tak ada gunanya
untuk menyerang, anak-anak Gung-Ho buru-buru turun dari motor
mereka. Mereka menerobos masuk melalui apa saja yang dilihat
mereka terbuka. Banyak yang berebutan masuk lewat jendela setelah
melepaskan papan penutupnya. Beberapa lagi masuk lewat pintu
belakang yang tidak ada undakannya lagi.
Sebagai perajurit yang berpengalaman Satoya dengan tenang
mengambil-alih pimpinan. Agak mengejutkan juga bagi anak-anak
Hardy. Ia menyarankan agar kedua kakak-beradik itu berdiri saling
membelakang bersama dia, untuk menangkis setiap serangan lawan.
Tetapi mereka berdiri tidak terlalu dekat satu sama lain. Sebaliknya
dari siasat segi-empat inggris yang terkenal, yaitu suatu siasat yang
digunakan para perajurit berbaju merah pada waktu terkepung atau
menghadapi musuh yang banyak, kini mereka menggunakan siasat
segi-tiga. Masing-masing dengan jarak beberapa kaki saja.
Frank dan Joe dibuat terkejut dan kagum melihat kemampuan
orang tua itu berjuang. Sudah jelas ia sangat terlatih secara ahli dalam
seni beladiri. Kedua anak-anak muda itu terlalu sibuk melontarkan
tinju-tinju mereka, atau pun menyepakkan tendangan-tendangan
karate, dan sewaktu-waktu mereka perhatikan orang tua itu sekiranya
memerlukan bantuan.
Dari jalannya peristiwa bantuan itu nampaknya tidak
diperlukan. Satoya tua dengan paras dingin melempar, membanting
dan mengelak dengan tangkas dan teliti seperti seorang penari ballet.
Pada setiap geraknya seorang penyerang tentu terbang terlempar jatuh.
Frank dan Joe menyeringai. Mereka mengenali teknik mengelak
yang licin sebagai jurus-jurus dari aikido. Dengan teknik itu kekuatan
gerak lawan akan merupakan senjata makan tuan.
Kakak-beradik Hardy lebih menggantungkan diri pada teknikteknik pukulan kuno Amerika yang sangat efektif digunakan untuk
menakut-nakuti lawan-lawan mereka. Rupa-rupanya siasat ini
membawa hasil baik.
Seorang demi seorang dari anak-anak Gung-Ho yang mulai
terengah-engah napasnya kehilangan semangat juang, mundur dan
membiarkan teman yang lain untuk terus berkelahi. Akhirnya mereka
benar-benar merupakan penonton-penonton saja.
Tidak lama kemudian Frank berhasil melontarkan pukulan
kanan yang melemparkan penyerangnya berputar-putar ke arah
dinding rumah. Seorang anggota gang berseru memuji: "Hee, temanteman. Pesolek-pesolek ini adalah orang baik-baik."
Ketika Joe juga berhasil menjatuhkan lawannya dengan
tinjunya, sedang Satoya menerbangkan lawan lain melalui pundaknya,
beberapa anggota gerombolan itu tiba-tiba bertepuk tangan dan
tertawa-tawa.
Kakak-beradik Hardy hampir-hampir tak percaya pada mata
dan telinga mereka sendiri. Mereka berdua dibantu orang tua itu
memberikan perlawanan sampai semua lawan-lawannya berhenti
dengan sendirinya, dan kini mereka mendapatkan sorakan daripada
pukulan-pukulan. Seperti halnya Horatius yang mempertahankan
jembatan di Roma bersama dua orang temannya, demikian pula
pertarungan mereka bertiga juga berhasil mengalahkan lawanlawannya.
"Kalau memang tak bisa mengalahkan mereka bertiga, ikut saja
bergabung dengan mereka!" seru seorang setan motor sambil tertawa.
Ia lalu mengacungkan tangannya ke arah Frank. "Sambutlah,
He kawan!"
Frank agak gengsi, mengira itu suatu siasat licik. Tetapi
kemudian ia menyeringai dan menanggapi uluran tangan itu. "Akur!"
Anggota-anggota yang lain lalu berkerumun mengelilingi, ikut
serta dalam "acara" berjabatan tangan untuk menghisap pipa
perdamaian ala orang-orang Indian.
"He, pak tua!" kata salah seorang dari mereka kepada Satoya.
"Di mana kau belajar segala lemparan pejudo itu?"
"Aikido, maksudmu?" jawab hartawan itu membetulkan. "Aku
belajar di sebuah dojo seni bela diri di Jepang, lama sebelum kalian
dilahirkan. Jika kalian juga ingin mempelajari seni beladiri ini,
mungkin saja dapat kita atur. Perusahaan kami akan segera membuka
pabrik di sini di daerah Bayport. Jika itu terlaksana aku akan
perintahkan untuk mencari pelatih sebagai anggota staf. Ia dapat
memberi pelajaran kepada kalian, anak-anak muda, untuk menjadi
samurai sejati. Bukan sebangsa serigala atau kerbau jantan dungu
yang berbahaya!"
Anak-anak Gung-Ho menyambut teguran itu dengan rasa penuh
hormat, dan bertepuk tangan atas anjuran baik tersebut. Tuan Satoya
nampak gembira. Ia nampak lebih merasa betah berada di tengahtengah anggota gang yang panas dan berandalan itu daripada di antara
suasana sopan di sekitar Hotel Chilton.
"Apa yang menyebabkan kalian menyerbu kami, sebenarnya?"
tanya Joe.
Setan-setan motor itu menyeringai malu dan mengangkat bahu.
"Tak ada sesuatu yang khusus." kata salah seorang. "Kami sedang
berputar-putar ketika melihat kalian. Len Boggs bilang untuk
mengejar. Kukira ia masih merasa sakit hati karena dikalahkan
kakakmu dalam Lomba Motor yang lalu."
Muka pemimpin gang itu menjadi merah malu, tetapi akhirnya
dengan agak ragu-ragu maju ke depan untuk berjabatan tangan
perdamaian dengan kakak-beradik Hardy.
"Apa yang kalian kerjakan di sini?" tanya seorang setan motor
yang lain. "Memecahkan suatu misteri lagi?"
"Sedang mencoba," jawab Frank. "Kami baru saja hampir dapat
menangkap si bangsat itu ketika kalian datang menyerbu tadi.
Sekarang ia telah melarikan diri."
Dengan mendadak sontak timbul sebuah pikiran di benak
Frank. "Hee! Bagaimana kalau kalian membantu kami?" katanya.
"Mengapa tidak?" jawab seorang. "Apa perjanjiannya?"
"Engkau lihat mobil stasion wagon berwarna hijau yang
diparkir di tepi jalan tadi sebelum kalian datang?"
Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu! Mengapa?"
"Ada radio CB di motor-motormu?"
"Ada beberapa yang punya. Mengapa?"
"Bagaimana kalau kalian, menyebar dari sini?" berkata Frank
dengan usulnya "Berusaha mencari tahu ke mana mobil itu perginya!"
"Aku akan membayar seratus dolar kepada siapa yang
melihatnya pertama kali!" kata tuan Satoya, berjanji.
Anak-anak Gung-Ho bertambah semangatnya segera berlarian
ke motor masing-masing, dan sebentar kemudian gerombolan itu
menderu menyebar ke segala jurusan, mengejar mobil pelarian.
Frank dan Joe kembali ke mobil kuning mereka bersama tuan
Satoya. Frank memutar radio CB-nya, dan mereka bertiga menunggu
dengan tegang berita-berita dari setan-setan motor itu.
Akhirnya terdengar suara: "Len Boggs memanggil!"
"Hardy di sini. Kami dengarkan!" jawab Frank. "Silakan
masuk. Kau berhasilkah?"
"Tentu! Aku lihat stasion wagon hijau itu!"
20. Pasukan komando hitam
Kakak-beradik merasakan suatu getaran gairah dengan laporan
Len Boggs. Keduanya merasa bahwa perkara itu sudah mendekati
puncak. Mereka merasa pula bahwa dewi keberuntungan memberi
mereka kesempatan untuk menangkap si pengkhianat dalam tubuh
Perusahaan Satoya. Seorang yang mendalangi misteri pedang samurai.
"Dari mana kau memanggil Len?" tanya Frank melalui
mikrofon CB-nya.
"Dari daerah Pine Glen, dekat Shoreham. Tahu di mana itu?"
"Tentu. Sebelah barat kota. Tak banyak rumah di sana!"
"Betul! Hanya beberapa rumah dan tanah peternakan yang
bersebaran. Mobil itu diparkir di luar rumah di Jalan Locust."
"Kau yakin mobil itu yang kaulihat tadi?" tanya Frank,
berusaha unuk menghindari petunjuk palsu.
Suara Len Boggs terdengar begitu pasti: "Tentu! Nomor
mobilnya mulai dengan angka XZ."
"Ya, betul," kata Joe dengan tegang. Kombinasi angka-angka
itu cocok dengan yang diingatnya.
"Oke! berikan arah-arahnya!"
Len Boggs menurut, menyebutkan beberapa tanda-tanda cukup
jelas agar dapat mudah ditemukan tempat tersebut.
Segera kakak-beradik Hardy meluncur dengan mobilnya
ditemani Takashi Satoya. Pertapa Jepang itu rupanya menikmati
seluruh petualangan itu. Ia makin lama makin dapat melepaskan diri
dari sifatnya yang tertutup. Ia kini banyak bercakap-cakap dengan
Frank dan Joe.
Dalam waktu kurang dari limabelas menit, mereka melihat Len
Boggs memberikan aba-aba dari jalan depan
"Ada tanda-tanda kehidupan atau perkembangan baru?" Frank
bertanya lewat jendela mobilnya ketika ia menginjak rem untuk
berhenti. "Tidak! Stasion wagon itu hanya satu-satunya yang diparkir di
luar. Tak seorangpun menampakkan diri," Len melapor.
"Bagus. Nampaknya kita akan mampu menguasai keadaan,"
kata Joe menyampaikan pendapatnya.
"Jangan cepat berharap sesuatu!" Frank mengingatkan adiknya.
"Ikeda mungkin punya teman-teman di dalam."
Satoya mengangguk. "Adalah bijaksana untuk tidak
menceburkan diri dalam bahaya."
Setelah berunding singkat, mereka memarkir mobil keluar dari
jalan, lalu mendekati rumah dengan berjalan kaki. Mereka cukup
terlindung, oleh pepohonan rumah yang berbentuk bungalow
berwarna putih dilingkari semak-semak yang tinggi.
Len Boggs yang membunyikan lonceng, karena wajahnya
paling tidak dikenali oleh Ikeda. Yang lain-lain menunggu sambil
bersembunyi di dekatnya, di belakang semak-semak.
Pintu terbuka. Ikeda melongok keluar dengan wajah curiga,
"Yaa?"
Detik berikutnya mulutnya ternganga terkejut melihat yang
lain-lain keluar dari semak-semak. Satoya berseru yang terdengar
seperti aba-aba dalam bahasa Jepang. Bersama kakak-beradik Hardy ia
berlari maju. Len Boggs melangkah ke samping.
Ikeda mencoba menutup pintu, tetapi Satoya melompat maju
dan mendorongnya terbuka dengan pundaknya. Kakak-beradik Hardy
dekat di belakangnya.
Tiba-tiba Ikeda melepaskan menahan pintu. Pintu terbuka
mendadak karena dorongan mereka bertiga, dan ketiganya
terjerembab jatuh masuk ke dalam. Kecepatan mereka jatuh
sedemikian besar hingga seolah melayang masuk ke dalam ruang
depan menggelepar tengkurap di lantai.
Ketika Frank dan Joe merayap bangun mereka mendengar Len
Boggs tertawa, dan membanting pintu tertutup kembali. Kamar itu
nampaknya penuh dengan wajah-wajah yang menakutkan. Mereka
sadar bahwa telah terpancing masuk perangkap.
Takashi Satoya bangun dengan tenang. Dari wajahnya yang
datar, rupanya pengusaha beruban itu tak terpengaruh oleh apa yang
baru saja terjadi. Tetapi Frank dan Joe merasa tidak percaya diri
melihat lawan-lawan yang mereka hadapi sekarang.
Disamping Ikeda, terdapat lima orang. Berjajar dalam posisi
yang menguntungkan untuk berkelahi. Dua di antaranya orang
Amerika, yaitu Krunkel dan seorang lain. Tak salah lagi tentu temantemannya di bidang kriminal, Darbold. Tiga orang lain adalah orangorang timur yang kekar, dan lengan-lengannya bertatoo. Ruparupanya Yakuza, gangster Jepang. Di antara mereka, kakak-beradik
Hardy mengenali seseorang yang pernah membayangi mereka di New
York. Satoya berbicara dengan nada dingin dalam bahasa Jepang.
Tetapi kata-katanya itu hanya menimbulkan ejekan.
"Jangan buang-buang waktu!" teriak Krunkel dalam bahasa
Inggris. "Tangkap mereka, lalu diikat. Kemudian barulah kita
tentukan untuk diapakan."
Salah satu Yakuza merogoh ke dalam saku jasnya, seperti
mengeluarkan senjata api dari arung pistol di bahu dan menodong
tawanannya.
Tetapi Satoya bergerak bagaikan kilat. Ia menyambar sebuah
meja kecil dan melemparkan gangster Jepang yang mengancam
dengan senjata, tepat mengenai sisi kepalanya hingga terjatuh.
Dengan teriakan-teriakan marah bangsat-bangsat lainnya
bersama-sama bergerak maju. Tetapi kakak-beradik Hardy dengan
orang tua itu tidak menunggu-nunggu untuk ditangkap tanpa
melakukan perlawanan. Mereka memapaki serangan itu dengan
ayunan tinju dan bantingan aikido.
Dalam satu detik saja kamar itu berubah menjadi ajang
kekerasan. Ikeda, gangster-gangster dan kedua orang Amerika
ternyata merupakan lawan-lawan yang berbahaya dibanding anakanak Gung-Ho. Lagi pula orang-orang Timur itu adalah ahli-ahli
dalam seni beladiri untuk menghadapi kecekatan dan keterampilan
Satoya: Apakah tiga sekawan yang sedang berhadapan lawan-lawan
yang tak seimbang kekuatan maupun jumlahnya itu dapat bertahan,
rupa-rupanya sangat disangsikan. Frank dan Joe merasa imbangan
kekuatan ada di pihak lawan.
Tiba-tiba pintu depan membentang terbuka lebar. Tiga sosok
tubuh berpakaian hitam-hitam menyerbu masuk. Seorang lagi dalam
pakaian pengusaha ikut serta masuk.
"Sam Radley, dan para ninja!" seru Joe. Orang-orang baru yang
menyerang masuk, mengayun-ayunkan tinjunya ke kanan ke kiri.
Dalam beberapa menit saja perkelahian itu menjadi reda. Keenam
bangsat-bangsat, termasuk Ikeda, dijajarkan berdiri merapat dinding,
lalu digeledah.
"Bukan main!" seru Frank terengah-engah. "Kau muncul tepat
pada waktunya, Sam. Bagaimana kau dapat temukan tempat ini?"
"Gampang saja," Sam tertawa. "Krunkel kembali ke motel.
Kemudian ia dan kawannya keluar lagi sejam setelah engkau dan Joe
berangkat. Aku kira mereka tentu mendapat perintah lewat telepon
untuk segera datang ke rumah ini. Aku membuntutinya kemari, lalu
menjemput ayahmu."
"Di mana dia?" tanya Joe.
"Tiga kali tebak!" terdengar suara yang mereka kenal.
Salah seorang yang berpakaian serba hitam membuka tutup
kepalanya. Anak-anak muda itu melihat orang yang berbicara tadi
bukan lain adalah ayahnya, Fenton Hardy.
"Halloo!" seru Frank terpesona. "Mulai kapan ayah jadi ninja!"
Pak Hardy tertawa, lalu melambaikan tangannya ke arah
kawan-kawan hitamnya. "Aku belum mahir benar untuk disebut
seorang ninja. Tetapi kedua tuan-tuan ini telah memberikan latihanlatihan yang ampuh kepadaku. Mereka adalah kawan-kawan
seperjuangan tuan Satoya. Ia menggunakan tenaga mereka sebagai
staf keamanan pribadi."
"Ooo, dari Tokyo?" kata Joe.
Satoya menjelaskan bahwa pada mulanya ia mencurigai
Kawanishi dan Oyama sebagai pengkhianat dalam perusahaannya.
Karena itu ia juga merasa curiga terhadap detektif yang mereka
gunakan untuk melindungi dia.
Kedua ninja itu telah dikirimkan ke Amerika sebelum Satoya
datang sendiri. Mereka diperintahkan untuk mempersiapkan acara
"menghilang" itu. Kemudian mereka diperintahkan untuk mengawasi
keluarga Hardy. Setelah wawancara Humber di suratkabar, kolektor
kaya itu juga diawasi. Barangkali saja ia terlibat dalam pencurian di
Palmer-Glade.
Atas permohonan Satoya secara rahasia kepada Dutabesar
Jepang di Amerika, pihak FBI mencabut Fenton Hardy dari tugasnya
menangani perkara ini. Tetapi akhirnya kedua ninja itu menjadi yakin
bahwa detektif terkenal itu dapat dipercaya. Sejak saat itulah mereka
lalu bekerjasama.
"Tetapi masih banyak yang belum kita ketahui tentang perkara
ini," kata pak Hardy. "Kuharap kalian anak-anak dapat
menerangkannya."
"Kukira saya dapat menerangkan sedikit dari teka-teki ini," kata
Frank. "Ikeda menyewa ketiga gangster ini untuk datang kemari
sebelumnya. Jadi seperti tuan Satoya mengirimkan ninja itu kemari.
Aku menduga bahwa gangster-gangster itu menyewa Krunkel dan
temannya si Darbold untuk mencuri pedang dari Palmer-Glade."
"Betul!" kata Joe. "Tetapi mereka juga membuat pedang
tiruannya. Dengan demikian mereka dapat menukarnya dengan
pedang yang asli. Sehingga tuan Satoya nampak seperti orang
gadungan ketika tidak dapat membuka celah rahasia. Sebab pedang
tiruan itu memang tidak ada celah rahasianya. "
Acara tebusan itu, demikian kakak-beradik itu menjelaskan
lebih lanjut, adalah suatu jalan cerdik agar pedang tiruan itu dapat
jatuh ke tangan polisi tanpa ada yang mengusutnya.
Jika seandainya Warlord membeli pedang tiruan itu, polisi tentu
akan ditelepon secara gelap, agar mereka dapat menemukannya di
tangan Warlord.
Ketika hal itu gagal, kakak-beradik Hardy serta Bobert Humber
yang dipancing ke Lookout Rock dengan acara tebusan yang kedua.
Kali ini mereka bertindak lebih berhati-hati agar jangan terjadi
kesalahan. Kalau tidak mereka sendiri yang akan terjebak oleh polisi.
Siasat sirene digunakan agar pencuri itu seolah-olah lari ketakutan
sambil meninggalkan pedang tiruan di Lookout Rock, di mana kakakberadik Hardy tentu akan menemukannya.
"Suatu hasil pemikiran yang bagus, anak-anakku," kata pak
Hardy memberi selamat.
"Suatu uraian penjelasan yang sungguh cemerlang!" kata tuan
Satoya setuju. "Nah, kini kukira saatnya tiba untuk mendengar apa
yang akan dikatakan oleh pegawaiku yang tak jujur bermartabat
rendah itu."
Haruki Ikeda nampak mengkerut kecil di bawah pandangan
majikannya, yang mencaci-maki dengan pedas dalam bahasa Jepang.
Ia mengaku bahwa sejak beberapa waktu ia telah melakukan
kejahatan dengan mencari untung berganda menjual rahasia
perusahaan kepada para saingan, terutama kepada Gerobei Motors.
Gerobei Motors ini telah menggunakan cara apa pun, termasuk
percobaan pembunuhan, untuk menggagalkan usaha penggabungan
antara Perusahaan Satoya bagian motor dengan Perusahaan Road
King. Dalam usahanya yang terakhir agar penggabungan itu jangan
sampai terlaksana, Gerobei motors telah menekan Ikeda untuk berbuat
sesuatu yang keji. Hal ini disertai suatu rencana yang cerdik untuk
mencap Satoya sebagai penipu gadungan, dan menyingkirkannya dari
usaha perusahaannya sendiri.
Rencana itu timbul pada Ikeda antara lain karena Toshio
Muramoto telah resah, mengira bahwa perusahaan telah jatuh ke
tangan penjahat yang bertindak sebagai Satoya gadungan.
Sesungguhnya Muramoto telah mengupah Ikeda untuk mendapatkan
informasi-informasi dari dalam. Ia melakukan hal itu dengan suatu
iktikad baik, yaitu untuk menelanjangi suatu komplotan yang akan
mengambil-alih Perusahaan Satoya. Tanpa sepengetahuannya, Ikeda
telah berkomplot secara keji dengan para saingan terhadap
perusahaannya sendiri.
Tetapi Ikeda mengaku bahwa alasan utama dari segala
rencananya hanya untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Ia
berusaha untuk dapat membeli saham-saham perusahaan dalam
jumlah yang besar, setelah membocorkan berita bahwa Satoya adalah
penipu dan orang gadungan. Pernyataan ini pasti akan menjatuhkan
nilai saham, sehingga ia dapat memborongnya dengan harga murah.
Setelah itu ia akan menyerahkan pedang yang asli kepada
Satoya dengan uang tebusan seratus-ribu dolar. Jika Satoya telah
berhasil membersihkan namanya, dan membuktikan bahwa ia adalah
yang berhak memimpin perusahaan maka nilai saham tentu akan naik.
Dengan demikian Ikeda dapat menjual saham-sahamnya dengan
untung yang sangat besar.
"Bagaimana kedua cecunguk ini dapat terlibat di dalamnya?"
tanya Sam Radley sambil menunjuk dengan ibu jari tangannya ke arah
Krunkel dan Darbold. "Maksudku mengapa mereka masih saja
berkeliaran di daerah ini setelah melakukan pencurian pedang, dan
menyerahkan hasilnya kepada Ikeda atau gangster sewaannya?"
"Mungkin saja Ikeda menjanjikan bagian dari uang tebusan, di
samping apa yang telah dibayarkan kepadanya untuk mencuri pedang
itu," jawab Frank.
"Tentu saja ia harus memberikan sebagian dari uang tebusan,"
kata Krunkel menggeram. "Kalian kira, kami begitu tolol membiarkan
dia mengangkangi semuanya?"
"Menjadi orang kriminal saja sudah tolol sekali," kata Frank
dingin. Ketika Krunkel dan temannya mulai bicara, maka menjadi
nyatalah bagi kakak-beradik Hardy, bahwa Sam Radleylah yang
membuat mereka takut, sehingga menyembunyikan pedang itu di
dalam sumur. Setelah Krunkel mulai merasa gelisah bahwa Sam
mungkin mengenalinya, maka kedua pencuri itu menjadi takut kalau
pedang itu ketahuan ada di tangan mereka, yaitu menunggu Ikeda
yang akan mengembalikannya kepada majikannya dengan berpurapura telah membayar uang tebusan seratus-ribu dolar.
Seperti yang diduga oleh Joe, berita tentang ketemunya pedang
itulah yang menyebabkan Krunkel buru-buru melihat ke dalam sumur.
Sebab ia bersama temannya tak pernah diberitahu tentang rencana
Ikeda mengenai pedang tiruan.
"Yah, rupanya semua telah menjelaskan seluruh peristiwa ini,"
kata pak Hardy.
"Kecuali tentang suatu dokumen yang tersembunyi di dalam
Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
celah rahasia pedang tuan Satoya." kata Frank sambil melirik kepada
raja uang Jepang itu.
"Saya pun sudah tak sabar untuk memeriksanya," kata tuan
Satoya mengaku.
Setelah melarikan diri dari peternakan yang telah ditinggalkan
dengan mobil stasion wagon sewaan, Ikeda membawa pedang itu ke
rumah di Jalan Locust. Pedang itu tergantung nyata pada dinding
tungku perapian. Frank dan Joe melihatnya dengan terpesona, ketika
tuan Satoya memutar tutup leher gagang pedang sedikit, kemudian
menekan dua hiasan logam pada pangkal pedang yang disebut
menuki. Pada saat itu juga hiasan kulit mutiara pada sisi pangkal
membuka seperti katup.
Dengan tersenyum lega tuan Satoya memasukkan dua jarinya
ke dalam, dan mengambil sehelai kertas terlipat. Tanpa membuka
lipatannya, ia meminjam korek api dari pak Hardy, lalu membakar
dokumen itu. Dalam beberapa detik dokumen itu terbakar mengkerut
menjadi abu.
Frank memandanginya dan tiba-tiba merasa sedih. Inilah akhir
perkara itu. Apa masih ada lainnya? Ia tidak tahu bahwa segera
mereka akan terpanggil lagi untuk perkara berikutnya.
Tiba-tiba suatu pikiran melintas di benaknya. Ia berpaling
kepada ayahnya. "Ayah, apakah anda melihat seorang pengendara
motor lari dari sini? Atau melihat ke mana ia pergi?"
"Memang, sesungguhnya aku melihatnya," kata pak Hardy,
"jawaban atas pertanyaanmu ialah: tidak ke mana-mana. Setidaktidaknya untuk sementara waktu, hingga ia selesai membersihkan diri
di bawah pompa air."
"Mengapa ia?"
" Sebab ia menabrak gerobak-ternak, dan terinjak-injak
sejumlah babi-babi yang membuatnya jengkel."
Sekali lagi detektif tua itu heran melihat anak-anaknya tertawa
terbahak-bahak!
TAMAT Sang Penebus 1 Wiro Sableng 102 Bola Bola Iblis Bukit Pemakan Manusia 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama