Ceritasilat Novel Online

Misteri Pedang Samurai 1

Hardy Boys Misteri Pedang Samurai Bagian 1


1. Sinar misterius
Hujan angin mengguyur lapangan terbang Bayport. Bulan
bersembunyi di balik langit yang hitam, tetapi cahaya lampu-lampu
sorot menyinari lapangan terbang itu bagaikan siang hari.
Sekelompok orang, terbungkuk-bungkuk di bawah payung.
Mereka terpukau mengawasi sebuah pesawat terbang jet kecil muncul
dari kegelapan, dan berhenti dengan roda-roda menjerit di antara
lampu-lampu landasan.
"Tepat beberapa detik lagi jam sepuluh," kata Frank Hardy,
umur delapanbelas tahun dan berambut hitam. Ia melirik sebentar ke
jam tangannya. "Pesawat Satoya telah mendarat."
"He! Ada apa itu di sana?" tanya Joe bergumam, setahun lebih
muda umurnya dan berambut pirang.
Melalui jendela kaca bagian depan terminal, nampak seseorang
tua berjanggut, berteriak-teriak mulutnya dan tangannya menggapaigapai. Ia mengayun-ayunkan sebuah pedang bersarung di atas
kepalanya.
"Kelihatannya seperti sebuah pedang samurai Jepang," kata
Frank. "Itu jelas! Tetapi, mengapa orang itu?" Joe bergumam keras. "Ia
seperti menari tarian perang, atau hanya mau menarik perhatian?"
Sebelum Frank menjawab, seorang polisi telah mendatangi. Ia
membawa orang berpedang itu pergi, meskipun tetap meronta
melawan. Sementara itu sebuah tangga beroda didorong ke pintu pesawat.
Pesawat itu memakai lambang Perusahaan Penerbangan Satoya yang
berwarna merah dan putih: sebuah pedang samurai yang melengkung
di bawah matahari terbit.
"Sudah pernah melihat Tuan Satoya, ayah?" tanya Frank kepada
ayahnya. Ia berdiri di samping anak-anaknya.
Fenton Hardy menggeleng. "Belum! Hanya beberapa orang saja
yang pernah melihat dia tahun-tahun belakangan ini. Ia menguasai
sebuah perusahaan dunia. Tetapi hampir seperti hidup membiara.
Bahkan ia hampir tak pernah dipotret orang."
"Boleh dikatakan begitu. Itu juga sering dikatakan para
wartawan. Hanya karena ia sangat sulit dijumpai atau diwawancarai."
"Menurut ayah, siapa kiranya yang telah membocorkan
kunjungan ini kepada surat kabar?" tanya Joe.
"Pertanyaanmu bagus," jawab ayahnya menyeringai. "Aku
justru ingin menemukan jawaban itu. Perusahaannya sendiri sangat
merahasiakan kunjungan ini. Kita pun sudah berusaha sekuatnya
untuk melakukan pengamanan."
Detektif jangkung yang berpakaian rapih itu dahulu adalah
seorang penyelidik ulung pada Jawatan Kepolisian Kota New York. Ia
kini dibayar untuk melindungi raja uang Jepang itu dari ancaman
pembunuh atau perusuh selama berada di Amerika. Tetapi walaupun
seketat itu segala usaha merahasiakannya, namun ternyata ada
sejumlah wartawan yang hadir menyaksikan kedatangannya.
Untunglah polisi berhasil mencegah mereka untuk lebih mendekat.
Hanya dua orang wartawan diizinkan masuk. Mereka ini lalu
bergabung dengan Hardy dan anak-anaknya. Yang seorang adalah
pembantu lama pak Hardy, bernama Sam Radley. Seorang lagi
bertubuh tegap besar, seorang Jepang dengan tinggi 1,90 meter
bernama Kawanishi. Ia adalah salah seorang pembantu utama Tuan
Satoya, yang telah berada lebih dulu di Amerika bersama seorang
temannya. Dialah yang mengatur segala persiapan kedatangan Tuan
Satoya. Seorang yang tegap, berambut abu-abu dan berkumis tebal,
turun dari pesawat,
"Nah! Itulah majikan saya yang mulia. Takashi Satoya," berkata
Kawanishi. Setelah memberi hormat majikannya secara adat Jepang,
ia lalu memperkenalkannya kepada keluarga Hardy dan Sam Radley.
Seorang yang lebih muda mengikuti Tn. Satoya turun dari
pesawat. Ternyata ia juga seorang pembantu dekat dari hartawan
Jepang itu, lebih rendah sedikit kedudukannya dari Kawanishi.
Namanya Ikeda. Tubuhnya ramping dan kuat, rambutnya yang hitam
dicukur pendek.
"Saya kira lebih baik kita segera berangkat, tuan. Begitu mobil
tuan selesai diturunkan," berkata pak Hardy kepada Tuan Satoya.
Hartawan itu mengangguk dengan hormat. "Apa kata anda
sajalah, tuan Hardy. Keamanan kami sejak sekarang berada di tangan
anda!"
Pintu bagasi pesawat terbuka. Sebuah mobil sedan Limousin
hitam keluar turun dari perut pesawat ke landasan. Mobil itu lebih
besar dan lebih panjang dari kebanyakan mobil Jepang. Joe bersuit
kagum, ketika sopir berwajah keras bagaikan batu cadas
mengemudikan sedan limousin itu dengan halus menuju ke tempat
mereka. "Luar biasa!"
"Kau boleh bilang begitu," kata Frank setuju. "Tentu telah
diatur khusus untuk dia!"
Tuan Satoya dan pembantunya. yang muda, Ikeda, duduk di
dalam limousin. Sam Radley, mungkin menggerutu, disuruh duduk di
depan bersama sopir.
Si tubuh tegap besar Kawanishi ikut di mobil pak Hardy,
mengikuti di belakang sedan limousin. Sedang seorang anggota polisi
lalu lintas dengan sepeda motor membuka jalan di depannya.
Frank dan Joe, juga bersepeda motor, diberi tugas mengawal
"Buka mata baik-baik sepanjang jalan," pesan pak Hardy
sebelum menghidupkan mesin. "Lihat kalau ada kesulitan!"
"Siap, pap!" kata Joe.
"Untung kita bawa jas hujan," kata Frank. Kedua kakak-beradik
lalu menuju ke sepeda motor mereka.
"Mungkin kita basah kuyup nanti," sahut Joe. "Tetapi ada juga
untungnya, hujan ini mengurangi lalulintas sedikit."
Sebuah aba-aba terdengar lewat radio, dan iring-iringan itu
mulai bergerak keluar gerbang lapangan terbang. Setelah sampai di
jalan besar, iring-iringan itu menambah kecepatannya. Mereka
menikmati keadaan nyaman beberapa mil. Tetapi ketika jalan yang
dilalui mulai melingkar-linikar di lereng perbukitan, polisi pengawal
di depan melambaikan tangannya dengan tiba-tiba.
Frank dan Joe mendengar suara lewat radio CB mereka.
"Rupanya jalan macet!"
Dua atau tiga mobil di depan mereka telah berhenti. Polisi
pengawal maju melewati ketiga mobil itu untuk menyelidiki penyebab
kemacetan. Frank dan Joe mengikuti. Mereka segera injak rem. Di
hadapan mereka sebatang pohon melintang di tengah jalan.
"Hujan angin itu pasti telah merobohkannya dari lereng bukit,"
Frank berpendapat.
"Ada apa, anak-anak?" terdengan suara pak Hardy di radio.
"Pohon tumbang. Tidak berat, ayah!" jawab Joe. "Kita akan
segera berangkat lagi."
Kakak-beradik turun, lalu membantu polisi menyingkirkan
rintangan. Pohon itu tidak besar, tetapi cukup sulit untuk diangkat
seorang diri.
Begitu pohon telah disingkirkan, mobil-mobil itu mulai
bergerak. Frank dan Joe baru hendak mengangkat kaki menaiki sepeda
motor, ketika tiba-tiba sebuah pancaran cahaya berkilat dari sisi bukit
di sebelah kanan.
"Apa itu?" tanya Joe.
Dua kali lagi cahaya itu berkilat, sangat menyilaukan mata.
"Mungkin seorang jurupotret!" kata Frank.
"Betul!" kata Joe. "Mengambil foto Tuan Satoya tentunya."
Setelah pulih dari rasa silau, mereka melihat sesosok tubuh
meloncat dari semak-semak. Berlari mendaki lereng bukit berlumpur,
menghilang di kegelapan. Kakak-beradik Hardy hendak mengejar,
tetapi klakson-klakson mobil bersautan tak sabar di belakang mereka.
"Tak ada peraturan melarang memotret," polisi berkata dengan
tenang. "Kukira anda benar," kata Frank setuju, meski hatinya kecewa.
"Sayang, kita tak dapat membuktikan apakah pohon itu sengaja
dilintangkan di tengah jalan!"
Kakak-beradik itu bersama polisi kembali menghidupkan mesin
sepeda motornya, Diikuti iring-iringan bergerak menuju Bayport.
Mereka melewati pinggir kota. Tidak lama kemudian mereka
sampai di kota bawah. Hujan telah reda. Jalan yang basah bercahaya
memantulkan sinar lampu jalanan.
Mereka mendekati Hotel Chilton Bayport. Joe melihat
seseorang pendek gemuk, bahunya bidang, berdiri di samping seorang
pelayan hotel. Ia mengawasi terus iring-iringan itu. Ternyata ia adalah
Tuan Oyama, yang telah datang terlebih dulu bersama Kawanishi.
Oyama memakai perlengkapan radio di kepalanya. Sebuah
pemancar dua arah tersembul di saku dadanya. Joe mengira sopir
mobil Tuan Satoya tentu sudah memberitahu lewat radio.
Mobil hitam tampan itu berhenti tepat di bawah atap pintu
masuk hotel. Mobil pak Hardy berhenti di belakangnya. Kakakberadik Hardy bersama polisi pengawal memarkir sepeda motornya di
pinggir tikungan.
Yang pertama turun adalah sopir. Sam Radley, pak Hardy dan
Kawanashi mengikuti. Sementara itu sekelompok kecil orang-orang
berkerumun ingin melihat tamu penting yang duduk di dalam mobil
mewah tersebut. Sopir menyuruh penjaga pintu menyingkir, lalu
membukakan pintu mobil. Ia terus berdiri tegak menunggu
majikannya keluar. Tetapi tidak ada Tuan Satoya yang keluar.
Fenton Hardy dan Kawanishi bertindak bersama-sama. Mereka
segera mengira tentu ada sesuatu yang tidak beres. Hampir saja kepala
mereka beradu, ketika bersama-sama membungkukkan badan
menengok ke dalam mobil
"Apa yang terjadi, ayah?" tanya Frank. Ia melihat ke wajah
ayahnya yang nampak terkejut.
Sejenak kemudian, ketika anak-anak Hardy ikut mendekat,
mereka baru sadar mengapa ayahnya nampak demikian. Ikeda
tergeletak lunglai di tempat duduk belakang, pingsan. Tuan Satoya
sendiri tidak nampak di mana-mana.
2. Percikan petunjuk rahasia
Berita itu segera menjalar bagai kobaran api di antara para
penonton. Mereka berdesakan mendekat dan berseru bingung.
"Bagaimana dengan Ikeda, Ayah?" tanya Joe.
"Rupanya kena dibius," kata ayahnya. ia baru saja membuka
mata Ikeda serta memeriksa manik matanya. "Panggil dokter hotel,
Joe, orang ini mungkin perlu perawatan!"
Dokter segera datang. Ia membenarkan pendapat pak Hardy.
Tetapi ia katakan bahwa Ikeda takkan menderita apa-apa setelah
siuman. Melihat ada orang Jepang yang pingsan dibawa masuk hotel,
orang-orang yang menonton menjadi gempar lagi. Untunglah polisi
lalulintas mampu menertibkan mereka.
"Kau ada sesuatu pendapat tentang kejadian ini, Sam?" tanya
pak Hardy kepada pembantunya.
"Tak ada," Radley mengaku. Ia nampak menyesal dan heran.
"Kaca pemisah antara tempat duduk sopir dan jok belakang hanya
tembus pandang satu arah. Yang duduk di samping sopir tak melihat
sama sekali yang duduk di belakang."
Ia jelaskan bahwa sopir tidak menggunakan kaca spion biasa. Ia
gunakan periskop sudut lebar di atas mobil.
"Apa mungkin Tuan Satoya melompat keluar, ketika kita
berhenti di jalan? Pada waktu menyingkirkan rintangan pohon itu?"
tanya Frank.
Pak Hardy mengernyitkan dahinya. "Nampaknya untuk
sementara, itu adalah satu-satunya jawaban. Tetapi mobilku tepat di
belakang dan aku tak percaya ia dapat keluar tanpa aku dan Kawanishi
tahu!"
Si orang Jepang yang tegap besar itu setuju, lalu menambahkan:
"Sayang sopir itu, Shigemi, kurang mengerti bahasa Inggris. Tetapi
aku telah tanya, ketika dokter itu sedang memeriksa Ikeda. Ia pun tak
dapat memberikan titik terang pada misteri ini."
Frank melirik ke sopir berwajah keras itu. Dalam hati ia
bertanya-tanya, apakah sopir ini tahu lebih banyak dari pada yang ia
katakan. Tetapi wajahnya yang tak acuh itu tak menunjukkan sesuatu
yang melintas di benaknya.
"Apakah kau tidak tahu pintu belakang telah dibuka orang?"
tanya Joe kepada Sam Radley.
Detektif itu ragu sebentar sebelum menjawab. Kemudian ia pun
mengangguk sedih. "Ya, aku bisa melihatnya. Tetapi aku tak tahu
pasti."
Oyama, pembantu utama yang tua itu tengah berbicara dengan
sopir dalam bahasa Jepang. Kemudian ia berpaling kepada mereka.
"Di dashboard ada lampu merah yang menyala jika pintu-pintu
belakang dibuka orang. Bahkan juga bila pintu itu kurang baik
menutupnya," ia mengatakan. "Shigemi merasa pasti lampu itu tidak
menyala."
"Ya kalau lampu itu bekerja baik," kata pak Hardy menangkis
dengan cerdik. "Lebih baik suruh sopir memeriksanya."
Oyama menterjemahkan perintah itu ke dalam bahasa Jepang.
Sopir itu memberi hormat dengan memegang ujung topinya tanpa
berkata. Ia lalu masuk kembali ke dalam mobil dan menutup pintu. Ia
menjalankan mobil melewati hotel, lalu membelok ke suatu tangga
yang menuju garasi di bawah tanah.
Pada waktu itu wartawan dan awak televisi yang tidak berhasil
berwawancara dengan Tuan Satoya di pelabuhan udara, berdatangan
di hotel. Mereka berkerumun di sekeliling para detektif dan kedua
orang jepang, memberondongi mereka dengan pertanyaan-pertanyaan.
Kesibukan ini menambah kegaduhan.
"Apa kesimpulanmu, Frank?" tanya Joe.
"Tak tahulah," kata Frank. "Tetapi semua ini pasti
menempatkan ayah dalam kesulitan."
"Kukira begitu," kata Joe mengiyakan. Mereka lalu menuju ke
ruang depan hotel. "Perusahaan Satoya telah membayar ayah untuk
melindungi pemimpinnya. Kini, Satoya hilang belum sampai satu jam
setelah mendarat! Pasti itu akan membuat berita buruk di suratsuratkabar. Apalagi jika"
Frank memberi adiknya isyarat lirikan mata sekejap ketika Joe
tiba-tiba berhenti bicara. "Ada apa, Joe?" tanyanya.
"Itu di sana. Di dekat meja penerima tamu," kata Joe menunjuk.
"Itu orang yang di lapangan terbang mengayun-ayunkan pedang!"
Orang berjanggut itu baru saja membuka jas hujannya. Ia
melipatnya, lalu meletakkannya di atas kopornya. Ia berdiri antri di
belakang dua orang untuk mencatatkan nama di meja penerima tamu.
Ketika mendongakkan kepala, ia melihat kedua kakak-beradik Hardy
mendatangi. Wajahnya seketika nampak malu-malu dan ingin
menyembunyikan sesuatu.
"Kami Frank dan Joe Hardy. Termasuk pengawal Tuan Satoya,"
kata Frank. "Apa anda tidak berkeberatan mengatakan kepada kami,
mengapa anda mengayun-ayunkan pedang di lapangan terbang?"
Wajah orang itu menjadi merah dan hidungnya bergerak-gerak
seperti hidung kelinci. Rambutnya ikal acak-acakan, menambah
goresan rasa kebingungan pada wajahnya.
"Yah, ehh, dapat dikatakan suatu gaya siasat periklanan," orang
itu tertawa, lalu menelan ludahnya. "Saya mengharapkan dapat
beruntung menjual!"
"Beruntung menjual?" tanya Joe heran. "Menjual apa?"
"Pedang samurai yang anda lihat itu. Itu suatu katana, pedang
panjang. Hasil karya sempurna dari abad delapanbelas. Saya pikir, jika


Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuan Satoya melihatnya, ia akan tertarik untuk membeli."
Ia lalu membungkuk, membuka kopornya yang besar, agar
kedua kakak-beradik dapat melihat isinya. Dengan heran mereka
melihatnya. Isinya sejumlah pedang bersarung dan pisau-pisau belati.
"Itulah barang dagangan saya. Benda-benda seni ketimuran.
Seperti anda lihat saya mengkhususkan diri menjual benda-benda
tajam bermutu seni," katanya.
Ia menutup lagi kopornya, lalu mengeluarkan kartu nama dari
dompetnya dan memberikan kepada kedua kakak-beradik Hardy.
Tertera dalam kartu nama itu, Axel Gorky dan nomor telepon serta
alamat kawat di Boston.
Joe bertanya: "Bagaimana anda bisa tahu bahwa Tuan Satoya
datang di Bayport?"
"Sesungguhnya saya tidak tahu," jawab Gorky, heran mendapat
pertanyaan itu. "Jika tahu, saya tentu menulisnya. Minta bertemu
dengan cara lebih sopan. Saya sendiri baru saja datang di sini sore ini,
tidak lama sebelum dia datang. Saya melihat para awak televisi, lalu
bertanya. Ada yang mengatakan industrialis Jepang yang ternama itu
akan datang. Nah, maka saya mencari kesempatan."
Wajah Gorky kembali menjadi merah. "Mungkin saya seperti
orang sinting. Mengayun-ayunkan pedang seperti itu. Tetapi saya
harus berusaha menarik perhatian. Untuk dapat menjual sesuatu."
"Apa anda berkeberatan mengatakan apa urusan anda di
Bayport sekarang ini?" tanya Frank .
"Ah tidak! Saya datang untuk menemui beberapa orang
langganan. Termasuk penari terkenal Warlord. Mungkin anda sudah
tahu, ia menggunakan bermacam-macam pedang dan pisau dalam
nomor-nomor tariannya."
Pada waktu itu, kedua tamu yang berdiri antri di depannya telah
selesai mencatatkan namanya. Gorky minta permisi dan maju ke meja
penerima tamu. Nampaknya ia lega dapat lepas dari kedua kakakberadik Hardy.
"Kaukira, kata-katanya itu benar?" tanya Joe, sambil melangkah
menyeberang ruang depan.
Frank menyeringai. "Kata-katanya cukup meyakinkan. Aku
cenderung untuk percaya. Bagaimana pun, ia tercatat sebagai tamu di
Chilton. Kita mudah menemuinya jika memerlukan keteranganketerangannya lagi."
Mereka melihat ayahnya bersama Kawanishi masuk ke dalam
hotel, diiringi oleh komandan Collig, kepala kepolisian di Bayport.
Wartawan-wartawan mengerumuninya ingin mendapatkan beberapa
foto serta cukilan-cukilan berita, untuk dimuat di halaman depan esok
pagi yang merupakan berita sensasi menghilangnya hartawan Jepang
itu. "Tak ada gunanya menemui ayah," kata Frank. "Ayo lihat apa
yang terjadi di luar!"
"Oke!"
Kerumunan orang-orang menjadi lebih banyak dari semula,
hilirmudik di kakilima, di antaranya beberapa orang detektif
berpakaian sipil. Kakak-beradik Hardy melihat Sam Radley bersama
polisi lalu-lintas berusaha menertibkan wartawan-wartawan lainnya
Anak-anak Hardy memeras jas hujan mereka yang basah dan
kemudian melipatnya. Lalu dimasukkan ke dalam tempat bagasi
sepeda motornya.
"Eh, eh!" seru Frank tiba-tiba.
Joe berpaling ke kakaknya. "Ada Apa?"
"Itu! Lihat jurupotret!"
"Mana?"
"Itu, di sana. Yang sedang memotret polisi di sepeda motornya
itu."
"Mengapa dia?"
Frank menarik lengan baju adiknya dan mendekati si jurupotret.
Jurupotret itu menggunakan alat kamera Jepang yang mahal. Sebuah
alat 35 mm dengan lampu blitz yang sangat kuat untuk mengambil
foto jarak jauh di waktu malam.
Joe memandangi kakaknya dengan heran. "Aku tak mengerti,
apa yang harus kulihat!"
"Perhatikan percikan-percikan lumpur di celananya itu," bisik
Frank. Kaki celana orang itu penuh percikan lumpur sampai di bagian
lutut. Jas hujannya pun berbekas percikan-percikan lumpur.
"Ohoo!" Joe mendesis. "Mungkin ia orangnya yang memotret di
lereng bukit, ketika iring-iringan datang dari arah lapangan terbang!"
Desis Joe rupanya agak terlalu keras. Orang itu membalikkan
badannya dan memandang kepada kakak-beradik itu dengan curiga.
Detik berikutnya ia cepat melesat menyeberang jalan.
"Kejar!" seru Frank tertahan.
Kedua kakak-beradik itu lari mengejar. Buruan itu telah
menghilang satu blok jauhnya. Orang itu nampak masih muda dan
sehat, berumur sekitar duapuluhan. Ia lari menjauh dengan kakikakinya yang panjang. Frank dan Joe hampir-hampir tidak mampu
untuk terus mengawasi ke mana larinya.
Ia menikung di sudut jalan, lalu masuk ke jalanan yang gelap.
Kakak-beradik Hardy dengan sempoyongan berlari di tikungan itu
untuk terus mengejar. Tetapi mereka tak melihat lagi sesuatu di depan
mereka. Pengejaran itu rupanya gagal. Tetapi Joe dapat menangkap
adanya suatu gerakan di sudut matanya. Segera ia ikuti menengok ke
arah rumah di sebelah kiri. Ia melihat sesosok tubuh meringkuk di
ambang pintu yang gelap.
"Berhenti, Frank!" seru Joe, sambil menahan laju larinya
dengan sol sepatunya yang menderit. "Kukira aku menemukannya!"
Joe menjengukkan kepala ke ambang pintu. Tak disangkasangka sebuah tinju melayang ke mukanya!
3. Wajah di balik jendela
Ayunan tinju itu terlalu tergesa-gesa dilontarkan. Tenaganya
tentu saja banyak berkurang, tetapi cukup keras untuk mengganggu
keseimbangan Joe. Namun ia menubruk jas hujan lawannya erat-erat
dan meletakkan tubuhnya pada musuh hingga tak mampu melarikan
diri. Frank sementara itu sempat menghampirinya. Tak mau tunggu
lagi tinju-tinjunya melayang serabutan. Buruan itu akhirnya sadar
telah terpojok, lalu menyerah.
"Oke! Jangan pukuli aku lagi," kata juru potret itu megapmegap.
"Engkau yang memulai!" berkata Frank marah.
"Lalu, harus bagaimana? Kalian mengejar sampai di jalanan
gelap. Harus tetap diam? Membiarkan diri dirampok?"
"Siapa mau merampokmu? Kami hanya ingin sedikit bertanya
padamu!"
"Bagaimana aku dapat tahu?"
"Jika kau tak menyembunyikan sesuatu, mengapa kau lari?"
tanya Joe menyela.
"Apa yang harus kusembunyikan? Aku belum pernah lihat
kalian sebelumnya!"
"Belum pernah? Tadi di jalanan, ketika kami mengawal Tuan
Satoya dari lapangan terbang?"
Jurupotret muda itu membelalak pilon. "Aku tak mengerti katakatamu!"
"Jangan berlagak bodoh!" bentak Frank." "Film di dalam
kameramu akan membuktikan, apa kau benar memotret atau tidak di
lereng bukit tadi!"
"Lalu, bagaimana kalau aku memang memotret? Kan tak ada
larangan untuk itu!"
"Tetapi ada larangan untuk menghalangi jalanan. Melintang
sebatang pohon di jalan raya umum, seperti yang telah kaulakukan!"
"Buktikan itu!"
"Sudah! Jangan buang-buang omongan percuma!" potong
Frank. "Kalau kaukehendaki aku panggil polisi, segera akan
kupanggil. Jelaskan saja kepada mereka, apa yang terjadi. Tetapi jika
kaupilih bicara baik-baik dengan kami, akan kami dengarkan. Dan
kalau kau benar-benar tak terlibat kejahatan, takkan aku laporkan."
Juru potret itu termangu-mangu tidak pasti. Ia memandang
berganti-ganti kepada kakak dan adik Hardy. Akhirnya ia
berketetapan hati. "Oke, aku akan bicara. Tetapi tidak banyak yang
dapat kubicarakan!"
"Kami akan menilainya," kata Joe. "Kau tahu siapa kami?"
"Tentu. Kalian adalah kakak-beradik Hardy. Dan kudengar,
ayahmu yang menjamin keamanan Tuan Satoya."
Frank memicingkan mata. "Siapa yang bilang?"
Jurupotret itu mengangkat bahu. "Tak seorang pun. Itu
omongan semua wartawan di sekitar sini. Aku mendengarnya dari
para wartawan di kafetaria lapangan terbang sore tadi."
"Kau tahu dari mana kuli-kuli tinta itu memperoleh berita itu?"
"Aku mendapat kesan, seseorang telah menelepon salah satu
suratkabar. Ia ungkapkan seluruhnya tentang kunjungan Satoya
kemari. Termasuk kawalan Fenton Hardy yang menjamin
keamanannya."
"Engkau bekerja untuk Bayport Herald?
"Bukan. Saya wartawan setempat pemburu berita. Seorang
wartawan lepas."
Jurupotret yang ternyata bernama Pete Ogden mengaku
menghalang jalan dengan dibantu beberapa orang anggota Gang
Gung-Ho. Seorang menunggu di lapangan terbang. Ia yang menelepon
Ogden dari telepon umum, bila iring-iringan mobil itu mulai bergerak
ke Bayport.
Anggota Gang sepeda motor Gung-Ho yang lain membantu
Ogden memasang rintangan pohon yang dirobohkan sedemikian
sehingga jatuh dari lereng bukit dan menghalangi jalan. Kemudian
anggota-anggota gang itu menghadang di jalan. Sebuah walkie-talkie
memberitahu Ogden kapan mobil Satoya akan mendekat.
"Aku berpikir, jika berhasil membuat beberapa foto yang
bagus," kata Jurupotret itu," bukannya akan kujual dengan harga
mahal, tetapi barangkali saja dapat membuka jalan hidupku
memperoleh pekerjaan di salah satu suratkabar yang besar."
"Tunggu sebentar," kata Frank sambil mengerutkan dahi. "Apa
kau berhasil membuat foto-foto yang bagus?"
"Aku tak tahu. Belum dicuci. Tetapi kuharap saja demikian.
Aku ingin membuat beberapa foto lagi di hotel. Ternyata Satoya
menghilang."
"Tetapi bagaimana? Kaukira berhasil membuat foto dia?" tanya
Frank mendesak.
Ogden menggaruk-garuk kepala. "Yah, kukira aku berhasil
memotret seseorang. Pada kilatan kedua dan ketiga, kulihat ada
seseorang yang wajahnya nampak di kaca jendela mobil."
"Apa kaupasti wajah siapa? maksudku dapatkah sebutkan ciriciri wajah itu?"
"Tak sempat kuamati. Semuanya begitu cepat. Terus terang, aku
pun tegang!"
Frank dan Joe saling bertukar pandang. Kini Joe mulai mengerti
maksud kakaknya.
"Setan alas!" seru Joe. "Jika saja kita dapat melihat foto-foto itu,
pastilah kita dapat tahu apakah Tuan Satoya melompat keluar mobil
atau tidak sewaktu jalan macet!"
Pete Ogden tidak begitu gembira untuk membagi foto-foto hasil
jerih payahnya itu dengan kakak-beradik Hardy. Tetapi ia sadar jika
menolak, maka polisilah yang akan menyita kameranya, dengan
alasan film isinya sebagai barang bukti. Karena itu ia setuju mencuci
film secepatnya dan membiarkan Frank dan Joe memeriksa hasil
potretannya.
Kakak-beradik Hardy bersama Ogden lalu berjalan kembali ke
tempat mobil Ogden di parkir, yaitu di dekat hotel. Selanjutnya Frank
dan Joe mengikuti mobil Ogden dengan bersepeda motor. Ogden
tinggal di sebuah flat, di sebelah atas sebuah toko buku. Letaknya di
pinggir kota.
Frank dan Joe menunggu sementara Ogden mencuci film. Film
negatif itu ternyata terlalu kecil untuk dapat mengenali wajah di balik
jendela kaca mobil, meskipun di lihat dengan kaca pembesar. Maka
Ogden lalu mencetak foto dengan ukuran delapan-kali-sepuluh.
Ternyata orang yang melihat melalui jendela kaca mobil itu
adalah pasti Tuan Satoya. Matanya mebelalak, mulutnya setengah
menganga. Suatu ciri seorang yang terkejut oleh jepretan kamera
dengan kilatan lampu blitz.
"Nah, sudah jelas bahwa dia ada di dalam mobil. Bahkan juga
setelah pohon kita singkirkan!"
"Jelas pula bahwa ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan
melompat keluar dari mobil. Setelah kita berjalan kaki!" Frank
menambahkan.
Pete Ogden memandang kakak-beradik Hardy dengan wajah
tegang. "Jadi, kalian maksudkan foto ini menjadi bukti tentang misteri
itu?"
Frank mengangguk. "Dapat kukatakan, Tuan Satoya tidak
menghilang di jalan raya."
"Hee! Bagaimana, ya?" Ogden berseru sambil membunyikan
jari-jari dengan jempolnya. "Kiranya aku akan dapat menjual foto ini
lebih mahal dari yang kuduga. Terimakasih, bung!"
Di luar rumah Ogden, ketika mereka hendak naik sepeda
motornya, tiba-tiba Joe membisiki kakaknya. "Apa kaulihat sesuatu
yang bergerak dan menghilang?"
"Seperti apa?"
"Tak tahu persis. Sesosok hitam, di sana, di taman!"
"Sebetulnya aku pun lihat. Tetapi kukira bayangan angan-angan
saja. Mari ke sana, kita periksa!"
Taman itu berupa lapangan rumput berbentuk segitiga yang
terletak di pertemuan tiga jalan. Mereka berdua berlari ke taman, dan
beberapa lamanya memeriksa di antara semak dan pohon-pohon.
Tetapi tidak menemukan sesuatu jejak pun.
"Lucu juga," kata Joe ketawa lirih. "Aku berani sumpah telah
melihat seseorang berpakaian hitam dari kepala sampai ke ujung
kaki."
"Jangan-jangan angan-angan kita telah bekerja terlalu berat,"
kata Frank. "Harus diakui, tak banyak orang yang berpakaian
demikian kecuali manusia katak."
"Kemana sekarang?" tanya Joe. Mereka menaiki sepeda motor
mereka. "Lapor kepada ayah?"
"Boleh juga," kata Frank ragu-ragu. "Kau pernah baca cerita
Sherlock Holmes, Joe?"
"Tentu! Buku kesukaan ayah! ia katakan, Sherlock Holmes dan
detektif ciptaan Edgar Alan Poe adalah ahli mengambil kesimpulan
paling jitu yang pernah ditulis orang. Mengapa kau tanyakan?"
"Bila kau ingat, salah satu kaidah Holmes menyebutkan, jika
telah kaubatasi semua petunjuk-petunjuk sampai tinggal satu saja,
yang satu itulah jawabannya. Tak menjadi soal betapa pun luas
masalahnya."
Joe mengernyitkan dahi. "Lalu? Jawaban apa yang
kaupikirkan?"
"Begini," jawab Frank. "Ketika kita tadi malam ke Bayport
tidak melihat sorot lampu sebuah mobil pun. Satu-satunya tempat
berhenti hanya sewaktu terjadi kemacetan. Jika Tuan Satoya tidak
melompat keluar mobil, maka...."
"Ia harusnya masih berada di dalam mobil pada waktu tiba di
hotel!" Joe menyimpulkan. "Itu jalan pikiran yang lurus, Frank. Yaitu
jika tak seorang pun melihat dia ketika sopir membuka pintu"
Frank memotong kata-kata Joe: "Maka ia tentunya bersembunyi
di dalam mobil!"
"Itu berarti, di dalam mobil ada tempat rahasia. Ayo, kita
periksa sekarang juga!"


Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka sampai di Chilton hanya dalam waktu tiga menit.
Kerumunan orang yang menonton sudah jauh berkurang. Ayah dan
Sam Radley tidak nampak di sana. Kakak-beradik Hardy
menggunakan elevator turun ke garasi bawah tanah.
Sedan limousin hitam itu sudah dikenali. Tetapi Joe berhenti
dengan tiba-tiba.
"O, ya! Kita perlu kunci untuk dapat masuk!"
Tanpa mengucap satu kata pun, Frank mengacungkan sebuah
kunci. "Ayah telah memberikan kunci ini padaku sebelum berangkat
dari lapangan terbang. Ia telah mengatur sebelumnya bersama
Kawanishi, agar mendapat tiga buah kunci cadangan. Satu untuk ayah,
satu untuk Sam dan satu lagi untuk kau dan aku. Maksudnya agar
salah satu di antara pemegang kunci cadangan dapat mengemudikan
mobil itu bila terjadi sesuatu."
"Yahuud!" seru Joe. "Mari kita periksa, apa saja yang dapat
ditemukan."
Frank membuka pintu. Mereka lalu memeriksa ruang sopir
maupun ruang duduk belakang dengan teliti. Mereka kagum melihat
karya teknik yang begitu halus, tetapi tidak menemukan tempat
persembunyian.
Joe akhirnya keluar sambil menggaruk-garuk kepala. "Sebentar,
Frank! Kaulihat jarak antara tempat duduk belakang, penyekat dan
tempat duduk depan? Jarak itu tidak perlu begitu panjang, Jika hanya
untuk susunan jok dan per-per!"
"Benar juga!" kata Frank setuju. "Nah, Tombol ini untuk apa?
Ini, tepat di mana kaca penyekat bagian atas bertemu dengan yang bawah? Tentunya bukan kelingan bia"
Seketika, kedua kakak-beradik itu melongo menahan napas,
ketika jari telunjuk Frank menyentuh kepala "paku keling" itu.
Sebagian dari penyekat berlapis kulit itu terangkat ke atas,
menggeser pada kaca penyekat. Ebukulawas.blogspot.com
4. Tersangka tiga serangkai
Penyekat berlapis kulit terus terangkat naik hingga kaca
penyekat antara ruang sopir dan ruang duduk belakang menjadi
tertutup seluruhnya.
Kakak-beradik Hardy melihat sebuah rongga besar menganga di
antara tempat duduk sopir dengan ruang duduk belakang, yang tadinya
tertutup oleh bagian yang bergerak menggeser naik ke atas.
"Setan alas! Rongga itu cukup besar untuk bersembunyi di
dalamnya!" seru Joe.
"Atau untuk menyembunyikan seseorang," kata Frank geram.
"Kaumaksudkan seseorang telah membius Tuan Satoya seperti
halnya Ikeda?" bertanya Joe sambil mengernyitkan alis matanya. Ia
ragu-ragu. "Tetapi hanya ada dua orang duduk di belakang."
"Itu yang kita ketahui hingga kini," tangkis Frank. "Misalkan
ada seseorang yang bersembunyi di dalam rongga ini? Yaitu ketika
mobil ini diturunkan dari pesawat?"
"Kemungkinan satu," kata Joe mengaku. "Jadi ada penumpang
gelap merangkak keluar, kira-kira sebelum tiba di Bayport. Menyuntik
Ikeda dan Satoya dengan obat bius, atau menghembuskan gas
pembius. Kemudian menyembunyikan tubuh Tuan Satoya di dalam
rongga rahasia itu."
"Ya, satu kemungkinan," kata Frank bimbang.
"Ada satu keberatannya...."
"Sudahlah! tak usah kaukatakan. Aku juga sudah tahu!"
"Yaitu si penumpang gelap itu. Bagaimana selanjutnya dengan
dia?"
Frank menyeringai masam. "Dengarkan! Kuajukan sebagian
pemecahannya. Dan kaucari sebagian lainnya!"
"Oke!" kata Joe, menerima tantangan itu. "Jadi! Barangkali saja
si penumpang gelap itu seorang cebol atau seorang kerdil. Ia tidak
hanya menyembunyikan Tuan Satoya, tetapi ia sendiri ikut
bersembunyi, lalu menutup penyekat geser itu."
"Boleh kubilang, cocok sekali! Kalau si kerdil itu sebesar ibu
jari!"
"Memangnya mengapa? Orang kerdil dapat saja kecil sekali."
"O, tentu! Nah, setelah mobil itu diparkir di garasi, si kerdil
melompat keluar sambil memanggul tubuh Tuan Satoya? Begitukan?"
Joe ganti menyeringai. "Yaa, jika kau mempunyai pemecahan
yang lebih baik, katakan bung!"
"Kukira kita sudah melantur. Dari pada menampilkan teori-teori
konyol, ada sesuatu yang sangat penting yang harus dibuat lebih
jelas!"
"Sesuatu yang penting itu apa?"
"Apakah Kawanishi dan Oyama tahu tentang ruang rahasia
itu?"
"Pemikiran bagus! Ayo, kita tanyakan!"
Mereka mengunci pintu mobil, lalu kembali menuju elevator.
Dari petunjuk ayah sebelumnya, mereka tahu tempat kamar-kamar
yang disediakan untuk para tamu Jepang. Mereka naik ke lantai
limabelas, dan menemui penjaga keamanan yang ditempatkan
ayahnya di sana.
"Apakah ayah ada?" tanya Frank.
"Tidak ada. Hanya tuan Kawanishi dan tuan Oyama."
"Kami ingin bicara dengan mereka."
"Tunggu sebentar," berkata penjaga, lalu memberitahu maksudmaksud mereka melalui telpon khusus. Kemudian dengan
mengangguk mempersilakan kedua kakak-beradik masuk.
Tuan Kawanishi, pembantu utama yang tegap besar itu
membuka pintu dan menyilakan mereka masuk. Rekannya, tuan
Oyama, berdiri di samping jendela kamar. Ia membalikkan tubuh dan
menyambut kedua kakak-beradik Hardy.
"Kami ingin menanyakan sesuatu, tuan-tuan. Kalau tidak
berkeberatan," kata Frank.
"Dengan senang hati," kata Kawanishi. "Jika kalian atau ayah
kalian dapat berbuat sesuatu untuk memecahkan misteri ini, kami
sangat berterimakasih."
"Apakah tuan-tuan mengetahui bahwa di dalam mobil tuan
Satoya terdapat ruang rahasia?"
Hening sejenak. Kedua pembantu utama tuan Satoya saling
berpandangan dengan perasaan tidak enak.
"Ya, kami mengetahuinya," jawab Oyama. Ia lalu
mempersilakan kedua kakak-beradik itu duduk di sofa. "Jika kalian
mau duduk, kami akan mencoba menjelaskan."
Kakak-beradik Hardy duduk dan menunggu apa yang akan
dijelaskan kepada mereka.
"Majikan kami yang mulia itu sendiri merencanakan ruang
rahasia itu." kata Kawanishi.
"Untuk apa?" tanya Joe.
"Untuk menghindari para wartawan dan orang-orang yang sok
ingin tahu."
"Apakah tidak lebih sederhana dengan memasang tirai di
jendela?" Frank bersoal. "Atau kaca pandang tembus searah seperti
kaca penyekat antara tempat duduk sopir dan tempat duduk
belakang?"
"Itulah kesan pertama," jawab Oyama. "Tetapi sesungguhnya
itu bahkan mengundang rasa ingin tahu yang besar. Kalian belum
menyadari bagaimana sifat-sifat tuan Satoya yang suka merahasiakan
dirinya itu justru menimbulkan daya tarik makin besar."
"Di Tokyo," sambung Kawanishi, "para wartawan sanggup hilir
mudik sampai berjam-jam di sekitar kantor pusat kami. Hanya untuk
melihat atau membuat foto majikan kami.''
"Jika ruangan dalam mobil tidak nampak dari luar," Oyama
melanjutkan, "Mereka memastikan bahwa tuan Satoya ada di dalam,
baik tertutup tirai atau kaca pandang tembus searah. Dengan demikian
mereka bahkan menjadi lebih keras berusaha untuk mendekatinya."
"Tetapi," kata rekannya menambahkan, "jika mobil kelihatan
kosong, atau seperti kosong, di mana tuan Satoya berada tetap menjadi
satu rahasia, para pengejarnya hanya bisa merasa heran, lalu tak
berminat lagi."
"Begitu!" sambut Frank. Ia mengernyitkan alisnya, dan
menerima penjelasan itu dengan penuh pikiran.
Joe lalu bertanya: "Mengapa kalian tak memberitahu kepada
ayah tentang hal in semua? Ketika untuk pertama kali datang di hotel,
dan baru kemudian ayah tahu bahwa tuan Satoya ternyata tidak ada?"
Suasana menjadi hening dan tak nyaman. Kedua orang Jepang
itu saling berpandangan lagi.
"Kalian memang berhak menegur kami," kata Kawanishi sambil
membungkuk memberi hormat. "Tetapi kami teringat, bahwa tuan
Satoya,ya bagaimana harus kukatakan? mungkin tidak mau lagi
dicuri-potret. Itu seperti telah terjadi di dekat lereng bukit. Jika ia lalu
menghendaki menyembunyikan diri di ruang rahasia itu, itu adalah
haknya pribadi."
Oyama lebih lanjut menjelaskan: "Dalam hal demikian,
tentunya kami tidak dibenarkan untuk bertindak melawan
kemauannya, dan memberitahukan tempat persembunyiannya itu."
Kali ini kedua kakak-beradik Hardy ganti saling berpandangan.
Alasan yang dikemukakan orang-orang Timur itu memang masuk
akal. Tetapi tentu saja berlawanan dengan pemikiran mereka, jalan
pikiran orang Barat yang praktis dan tak sabaran.
"Kalau tuan Ikeda, bagaimana?" tanya Frank "Bagaimana kalian
pikir tentang pembiusan terhadapnya? Ataukah kalian tidak merasa
perlu memikirkan apa yang terjadi dengannya?"
"Ia jauh sekali di bawah tuan Satoya," kata Kawanishi
menjelaskan dengan sabar, seolah-olah ia memberitahu anak kecil
atau orang dungu, yang ketidaktahuannya dapat dimaklumi. "Tentu
saja kami merasa resah melihat keadaan demikian. Namun apa pun
yang mungkin terjadi, tetap kami tidak dibenarkan melawan kehendak
majikan kami."
"Dalam hal yang bagaimana pun," Oyama meneruskan, "kami
takkan tinggal diam menjadi penonton. Barangkali kalian ingat, bahwa
saya langsung pergi ketika sopir membawa mobil ke garasi."
"Lalu apa yang tuan lakukan?"
"Segera ke garasi melalui elevator, siap menunggu mobil masuk
garasi. Saya harus tahu pasti, bila tuan Satoya benar menyembunyikan
diri dalam ruang rahasia."
Frank bertanya: "Lalu apa yang tuan dapati?"
Oyama membentangkan kedua lengannya dan mengangkat
bahu, putus asa. "Tak ada apa-apa. Ruang rahasia itu kosong!"
Kakak-beradik Hardy kemudian mengucapkan terimakasih, lalu
turun kembali ke ruang depan. Mereka gagal lagi mencari ayah
mereka. Ketika mereka meninggalkan hotel, mereka bertemu dengan
teman-teman sekolah mereka, Tony Prito dan si gemuk Chet Morton.
Joe memanggil mereka. "Heee! Mengapa kalian di sini selarut
malam begini?"
"Mau lihat disco yang baru," jawab Tony. "Kemudian kami
dengar berita tengah malam dari radio mobil tentang hilangnya
seorang kakap Jepang. Itulah kami datang mencari kabar lebih lanjut.
Dia mulanya langganan ayah kalian, bukan?"
"Masih tetap langganan ayah," Frank membetulkan. "Jangan
sebut dalam masa lampau."
"Jangan pikirkan masalah tatabahasa atau tetek bengek. Apa
yang terjadi dengan orang itu?" Chet berteriak tak sabaran. "Apa
Serikat Naga telah menculiknya? Untuk upacara kepercayaan
mereka?"
Joe tertawa cekikikan. "Kau ngawur, Chet. Apa yang kita
ketahui tentang Perserikatan Naga dan semacamnya adalah tata adat
Cina. Tuan Satoya adalah orang Jepang. Berbeda adat istiadatnya!"
"Lalu? Mereka keduanya orang-orang Timur, bukan?Jangan
ulur-ulur waktu. Ceritakanlah yang sebenarnya!"
"Kalau saja aku dapat, Chet," kata Frank mengaku. "Berita
terakhir ialah tuan Satoya belum diketemukan. Cara-cara
menghilangnya tetap merupakan teka-teki seperti semula. Kau boleh
percaya omonganku."
"Kalian maksudkan, ayah dan kakak-beradik Hardy sedang
kebingungan?"
"Boleh saja kalian berkata begitu," sahut Joe. "Kami sedang
bekerja keras untuk itu."
"Bagaimana kalau kita mampir sebentar di kedai? Sekedar
minum es krim susu kocok dan makan beberapa hamburger?" usul
Chet. "Dan sementara itu kalian dapat menceritakan kejadian itu
terperinci!"
"Ada usul lebih baik," balas Joe. "Bibi Gertrude mungkin masih
belum tidur. Menunggu berita lebih lanjut tentang misteri ini. Nah,
bagaimana kalau kita ke rumah saja? Mungkin kita dapat membujuk
bibi beberapa potong kue apel. Ya, sebagai pembayaran berita dari
tangan pertama!"
"Oke, jadilah!"
Gertrude Hardy tinggal pada keluarga Hardy. Ia adalah adik
Fenton Hardy, dan tidak mau menikah. Perawan tua jangkung itu
selalu resah memikirkan keselamatan kakak dan kemenakankemenakannya. Tetapi meskipun selalu membayangkan bahayabahaya yang mengancam setiap saat, namun ia selalu haus ceriteraceritera kegiatan mereka yang terbaru.
Dan yang paling penting menurut pandangan, Chet, bibi adalah
jago masak terbaik di seluruh Baypport.
Ketika mereka sampai di rumah keluarga Hardy, ternyata benar
bibi masih menunggu dengan cerewet kedatangan kemenakankemenakannya. Bibi mengenakan kimono merah, kepalanya penuh
jepitan pengikal rambut.
"Chet dan Tony ikut bersama kami, bibi," kata Joe. "Bolehkah
mereka masuk?"
"Tentu saja!" jawab bibi tajam. "Mereka mungkin sama-sama
lapar seperti kalian. Aku senang kalian makan bersama di sini
daripada di kedai drive-in yang gaduh itu!"
"Ya, kalau anda mendesak, nona hardy," kata Chet. Lalu
dengan tak sabar ia melangkah menuju dapur mengikuti Frank dan Joe
di belakangnya.
Tidak lama kemudian keempat anak-anak muda kelaparan itu
telah menyerbu setumpuk roti dagwood dan beberapa potong kue apel
serta beberapa gelas susu.
"Di mana ibu, bibi?" tanya Frank sambil mengunyah.
"Dalam kamar, tidur. Seharusnya kalian sudah di kamar tidur
juga. Waktu sudah begini larut," berkata bibi Gertrude. "Ibumu harus
bangun pagi-pagi esok. Membantu menyiapkan pameran Himpunan
Penyayang Taman. Eh, omongomong, mana ayahmu?"
"Tak tahu, bi," jawab Frank. "Terakhir lihat ayah, sewaktu
sibuk-sibuknya dengan apa yang terjadi malam ini."
"Ya ampuun! Apa pula yang terjadi? Aku tak mengerti seujung
rambut pun siaran berita radio dan TV!"
Anak-anak Hardy lalu menceritakan peristiwa menghilangnya
Takashi Satoya, berikut segala kejadian yang mereka alami. Bibinya
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Hmm, menurutku, sepertinya Satoya diculik lawan-lawan
usahanya!" katanya. "Tak heran! Bayangkan saja betapa besar
perusahaan yang dipimpinnya. Mungkin sebab itu pula ia selalu
menghindar dari penglihatan orang-orang: Ia sadar, bahwa seseorang
sedang berkeliaran hendak menyergapnya."
"Aku pun percaya bahwa ada orang yang ingin menculiknya,"
kata Chet. "Tetapi menurutku gerombolan pembunuh orang-orang
Timur."
"Misalnya?" tanya Joe.
"Bagaimana aku bisa tahu. Mungkin orang berpakaian hitamhitam yang kalian lihat di taman itu adalah salah satu anggota
gerombolan itu."


Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau saja melihatnya dengan jelas," kata Frank menangkis.
"Tetapi semua itu belum dapat mengungkap rahasia misteri
menghilangnya tuan Satoya."
"Kilatan-kilatan lampu blitz di kegelapan itu dapat membutakan
orang dalam sedetik dua detik, ketika kalian berhenti di jalan yang
macet itu," kata bibi Gertrude. "Barangkali sudah cukup lama bagi
para penculik untuk menyeret tuan Satoya keluar dari mobilnya."
"Bagaimana dengan Ikeda? Ia jelas dibius."
"Barangkali si penculik berteman. Ia ini yang menyuntikan obat
bius."
"Hmmm, teori yang menarik," kata Frank menghargai,
meskipun meragukan.
Pada saat itu terdengar suara mobil berhenti di jalan masuk.
Disusul munculnya Fenton Hardy masuk ke dalam rumah seperti
biasanya. Frank dan Joe melihat dengan jelas, bahwa ayahnya sedang
marah dan tersita seluruh perhatian pada kejadian malam ini. Namun
laporan anak-anaknya tentang ditemukannya ruang rahasia di dalam
mobil agak meringankan perasaannya.
"Apa maksud tuan Satoya sesungguhnya datang di sini, ayah?"
tanya Frank.
"Antara lain untuk berunding dengan pimpinan Perusahaan
Sepeda Motor Road King. Ada desas-desus Road King dan
perusahaan Satoya bagian sepeda motor akan bergabung."
"Apa kubilang?" sela bibi Gertrude bangga. "Usaha demikian
sangat mudah membangkitkan musuh-musuh dalam dunia usaha."
"Itu benar," kata Pak Hardy setuju. "Apa yang ingin segera
dapat kutangkap ialah musuh tuan Satoya di dalam perusahaannya
sendiri."
"Bagaimana maksud ayah?" tanya Joe.
Detektif itu berdiri dari kursinya, lalu melangkah mondarmandir di dapur itu. "Seseorang telah membocorkan kedatangan tuan
Satoya kemari kepada surat-surat kabar. Caranya dengan menelpon
beberapa surat kabar dan jaringannya secara gelap. Tentu saja karena
tuan Satoya sendiri juga orang yang penuh rahasia. Mereka sangat
ingin melihatnya. Tetapi kuyakin, siasat pengamananku sendiri tidak
mengalami kebocoran."
"Kapan terjadinya kebocoran itu, ayah?"
"Kukira itu terjadi di dalam tubuh perusahaan tuan Satoya
sendiri," jawab pak Hardy. "Selain awak pesawat dan sopirnya, orangorang yang tahu sebelumnya hanya Kawanishi, Oyama dan Ikeda.
Meskipun sulit dipercayai bahwa Ikeda berani mengorbankan diri
sampai menderita sedemikian."
"Jadi, pokoknya," sambung Frank menduga, "paling sedikit
kita punya tiga orang tersangka yang penting."
***********
Esok hari berikutnya, kakak-beradik Hardy memutuskan untuk
menyelidiki kebenaran cerita Axel Gorky. Cara yang paling baik
rupanya dengan jalan menemui Warlord. Penari termasyhur itu
bersama kelompoknya yang akan melakukan pertunjukan pada
Festival Musim Panas di Bayport. Mereka menginap di kampus
Sekolah Tinggi Bayshore, yang menjadi sponsornya.
Kakak-beradik Hardy tiba di kampus pada jam 10.30. Mereka
diperintahkan ke bangsal olahraga, di mana kelompok itu sedang
berlatih. Ketika mereka sedang memasuki ruang depan gedung itu,
terdengar suara keras marah-marah dari dalam.
"Barangkali kita datang pada waktu. yang salah," kata Joe. "Apa
kita, jadi masuk?"
"Kepalang tanggung," jawab Frank masam. "Aku tak melihat
penerima tamu."
Mereka sedang berjalan menuju ke pintu ruang olahraga, ketika
seseorang keluar dengan terburu-buru. Hampir saja mereka berdua
jatuh tertabrak.
5. Balapan maut
Joe tersadar lebih dulu. "Awas bung!" katanya. "Di mana ada
kebakaran?"
Orang itu, bertubuh besar, kulit berbintik-bintik dan rambut
merah mulai menipis, hanya mendengus. Tanpa mengucap minta maaf
ia mendesak menerobos keluar.
"Orang itu bagaimana," Frank menggerutu. "Monyet sebesar itu
tak tahu sopan santun meminta maaf."
"Seharusnya kuhantam saja dia," kata Joe marah. "Kita kejar
dia; kita paksa untuk minta maaf!"
"Ah, sudahlah," kata Frank menahan marah. "Kita datang bukan
untuk soal begitu."
Kakak-beradik itu lalu masuk ke ruang olahraga. Setengah losin
penari-penari sedang melakukan berbagai latihan. Kebanyakan
berlatih gerakan-gerakan tari ballet dan senam. Dua orang berlatih
akrobatik dipimpin seorapg berambut hitam menjurai seperti suri
singa. Kakak-beradik Hardy segera mengenalinya sebagai Warlord,
seperti yang terlukis pada gambargambar poster. Nama sesungguhnya
ialah Yvor Killian. Ia melihat kedatangan mereka, lalu datang
menghampiri. Ia menanyakan maksud kedatangan mereka.
Frank memperkenalkan diri serta adiknya. Maka segera
Warlord menjabat tangan mereka dengan tersenyum.
"O, tentu! Kalian berdua detektif muda berbakat. Kakak-beradik
Hardy!" Warlord mengacungkan tangan untuk berjabatan. "Senang
sekali dapat bertemu pemburu-pemburu penjahat ternama! Jangan
bilang, kalian datang kemari untuk mencari jejak misteri baru!"
"Secara jujur, benar kami sedang mencari jejak," kata Frank.
"Yang melibatkan menghilangnya seorang pengusaha Jepang bernama
Satoya. Barangkali anda telah mendengar berita pagi ini."
"Betul, aku telah mendengarnya. Tetapi bagaimana aku dapat
membantu kalian?"
"Pertama-tama," kata Joe, mengungkapkan ilham yang timbul
mendadak, "katakanlah siapa orang sinting yang tunggang-langgang
keluar semenit yang lalu itu?"
Warlord meledak tertawa. "Mengapa? Kalian ditabrak dia?"
"Rupanya ia ingin mencobaku. Katakanlah tabrakan yang licik.
Kalau saja ia masih ada beberapa detik, tentu akan terjadi tabrakan
balasan. Antara kepalanku dengan rahangnya."
Dari ledakan tertawa kini Warlord berganti gelak riang.
"Maafkan aku! Aku telah melihatnya dari segi yang lucu. Memang
itulah ciri khas si Humber. Ia memang salah seorang paling angkuh
dan congkak yang pernah kukenal."
"Siapa dia?" tanya Frank ingin tahu. "Seorang kolektor kaya!"
"Koleksi apa?"
"Senjata-senjata yang aneh-aneh. Bukan kaya saja, ia juga
manja. Ia kira jika menginginkan sesuatu, siapa saja harus datang
melayani. Dari saya sekarang ia inginkan yathaghan."
"Apa itu yathaghan?" tanya Joe.
"Sebuah pedang Turki yang agak pendek, berlengkung ganda,"
kata Warlord menjelaskan. "Mungkin kalian tahu, aku gunakan pisau
dan pedang untuk pertunjukanku. Kebetulan yathaghan termasuk salah
satu koleksiku. Dapat dikatakan karya seni yang halus dari jenis
pedang itu. Humber menginginkan pedang itu untuk koleksinya.
Mungkin ia kira, bahwa aku akan memberikan dia untuk dibeli dengan
harga yang dia tentukan sendiri pula."
"Anda menolak," kata Joe menarik kesimpulan, "dan dia
menghambur keluar seperti disengat lebah telinganya."
"Kau pandai membuat kesimpulan!" kata Warlord tertawa.
Kakak-beradik Hardy berpikir, Yvor Killian berbeda sekali dari
gambaran orang tentang seorang penari, terutama dengan seorang
penari ballet pada umumnya. Sebaliknya dari tubuh langsing dan halus
yang sangat kewanitaan, ia justru berwajah keras berahang lebar. Ia
nampak bertubuh lentur dan berotot seperti seorang petinju ringan. Ia
murah tertawa sedang sikapnya menarik, sangat mengesankan bagi
kakak-beradik hardy.
"Sesungguhnya ada seseorang yang kami hendak ketahui dari
anda," kata Frank membelokkan arah percakapan, "yaitu yang
bernama Axel Gorky."
"Ya," kata Warlord sambil mengangguk. "Pedagang barang
antik dari Timur?"
"Anda sudah pernah bertemu dia?"
"Ya, satu dua kali."
"Tadi malam ia katakan kedatangannya ke Bayport ini untuk
menemui beberapa langganan; antara lain anda!"
Sekali lagi Warlord mengangguk. "Ia ingin menunjukkan
sebuah katana, yaitu pedang samurai buatan abad delapanbelas.
Sesungguhnya ia harus sudah datang kemari pagi tadi. Tetapi
kukatakan, aku tidak tertarik."
"Mengapa tidak?" tanya Frank. "Maaf, kalau saya terlalu ingin
tahu."
"Tak apa. Kebetulan aku jatuh hati pada pedang samurai lain.
Pedang yang betul-betul manis yang kulihat di New York baru-baru
ini. Pedang itu akan dilelangkan minggu depan di Galery Palmer
Glade, Manhattan. Aku ingin menjadi penawar tertinggi!"
Frank mengusap dagunya. "Satu hal lagi! Ketika kami pergoki
Gorky di lapangan terbang, ia berlaku seperti sinting."
Lalu kakak-beradik Hardy menceritakan kejadian tersebut.
Frank meneruskan: "Gorky mengaku hanya hendak menarik perhatian
tuan Satoya. Ia berharap agar dapat menjual kepadanya dengan harga
yang pantas."
Sambil melihat ke arah Warlord, Frank menambahkan:
"Apakah menurut anda hal itu masuk akal? Maksud saya mengapa
Gorky beranggapan seorang pengusaha seperti tuan Satoya akan
tertarik untuk membeli pedang tua itu?"
"O tentu! Menurutku sangat masuk akal," jawab penari itu.
"Kalian boleh percaya, Gorky adalah seorang cerdik. Sesungguhnya
aku pun mengira tuan Satoya merencanakan hendak membeli pedang
yang kusebutkan tadi. Pedang yang akan dilelang di Palmer-Glade."
"O, kalau begitu ini menjernihkan masalah Gorky. Terimakasih
atas segala bantuan serta waktu yang anda luangkan, tuan Killian."
"Aku senang, anak-anak muda! Kuharap kalian nanti datang
melihat kelompok senimanku."
"Kami memang ingin sekali," jawab kedua anak-anak Hardy.
"Bagus! Telepon saja, katakan kepada penjual tiket pertunjukan
mana yang kalian inginkan lihat. Akan kuatur agar disediakan tiket
bagi kalian bersama sang pacar!"
Kakak-beradik Hardy meninggalkan tempat itu dengan
semangat tinggi. Tetapi semangat itu menjadi kendor ketika mereka
tiba di rumah. Pak Hardy sedang jalan mondar-mandir di kamar tamu,
sementara ibunya duduk di ujung sofa mencoba menenangkan hati
suaminya. Melihat wajah kedua orangtuanya, Frank dan Joe segera
mengerti, bahwa ada suatu berita buruk yang menimpa keluarga
mereka. "Ada yang tidak beres ayah?" tanya Frank hati-hati.
"Aku diperintahkan untuk lepaskan perkara tuan Satoya."
"Apa?" tanya kedua anak-anaknya seperti tidak percaya.
"Siapa yang perintahkan itu?" tanya Joe.
"Pemerintah Amerika," jawab Hardy tua. "Seolah-olah aku
diminta untuk tangani penyelidikan perkara lain. Tetapi dengan
membaca yang tidak nampak tertulis, pesan itu jelas: lepaskan perkara
tuan Satoya itu!"
"Kurang asem! Mereka tak mungkin berbuat begitu!" kata
Frank meledak.
"Tidak hanya mungkin, nak. Mereka telah lakukan itu. Tak ada
pilihan lain, aku harus turut perintah. Kalau tidak, izinku pasti
dicabut!" Detektif ternama itu jalan mondar-mandir lagi, geram, dan
bibirnya tertutup rapat.
"Apa mereka tak sebutkan alasan-alasannya?"
"Tentu! Sejumlah alasan omong-kosong tentang politik
pemerintah dan hal-hal lain yang penting."
"Artinya?"
"Tebaklah sendiri! Ini adalah pukulan maut bagiku," Pak Hardy
berhenti berjalan, memukul tinju kanan ke telapak tangan yang kiri.
Wajahnya melukiskan kemarahan yang dipendam, karena kecewa.
"Coba, bayangkan! Itu menghilangnya tuan Satoya secara langsung
menjatuhkan pamorku sebagai ahli pengaman maupun detektif swasta.
Kalau aku tak dapat memecahkannya, nama baikku hancur buat
selamanya. Ini soal harga diri! Namun apa yang harus kulakukan,
kalau kedua belah tanganku terikat?"
"Fentonku sayang, kau harus tetap tenang menghadapi masalah
ini," bujuk nyonya Hardy menghibur. "Kuyakin, nama baik tetap kuat
bertahan, apa pun yang terjadi dalam perkara ini. Dalam segala hal,
amarah takkan membantu."
"Kau benar, Laura! Namun begitu, tak semudah itu melepaskan
perkara bagitu saja, dan berpangkutangan, sementara sangat jelas
segala langkah pengamananku disabot orang dalam sendiri!"
"Jangan khawatir, ayah," kata Frank. "Joe dan aku akan
berusaha keras membongkar perkara itu."
"Sudah tentu, ayah!" Joe menimbrung. "Itu janjiku berdua."
"Kuyakin, anak-anakku," kata pak Hardy bangga. Ia lalu
memeluk kedua anak-anaknya. "Tak ada orang lain dapat terima
bantuan sebesar ini."
Frank dan Joe tak banyak kesempatan untuk merundingkan
masalah selanjutnya dengan ayahnya.
Hari itu akan diadakan suatu lomba sepeda motor sebagai
bagian dari suatu Festival Musim Panas di Bayport. Frank sudah
bertekad ikut bertanding dalam apa yang disebut Hare Scrambles.
Kakak-beradik Hardy makan siang dengan cepat. Mereka lalu
memasang kereta gandengan yang berisi sepeda motor pada mobil
mereka, dan kemudian mereka pun berangkat ke tempat perlombaan
itu yang ada di pinggiran kota. Kedatangan kedua anak-anak Hardy
disambut teriakan-teriakan oleh kawan-kawannya yang menonton. Di
antara mereka adalah kawan-kawan karibnya Chet Morton, Tony
Prito, Phil Cohen dan Biff Hooper. Wajah kedua kakak-beradik Hardy
itu bertambah cerah ketika mereka pun melihat adik Chet yang manis,
Iola. Iola adalah gadis favorit Joe. Disebelah Iola berdiri Callie Shaw,
gadis pirang bermata coklat, pujaan Frank.
"Nampaknya kita pun mempunyai kelompok pendukung," seru
Joe tertawa Riang.
Arena lomba adalah sepanjang lima mil, terletak di tanah
terbuka berbentuk tiga daun semanggi yang diberi garis dengan kapur.
Tempat untuk start dan finish berada pada pangkal semanggi, di mana
terdapat pula tempat khusus untuk para anggota juri maupun
penonton. Banyak tempat pengawas ditempatkan di seputar lintasan
lomba. Bentuk daun semanggi itu menghampar di atas tanah yang
miring menanjak. Bundaran tengahnya menjorok agak jauh ke bagian
lereng bukit yang cukup terjal. Dengan demikian sebagian besar dari
arena lomba mudah dilihat oleh para penonton dari tempat start.
Lebih dari selusin pembalap akan bertanding. Pembalap yang
diunggulkan di tempat pertama menggunakan sepeda motor tipe
percobaan. Sepeda motor ini adalah hasil perkembangan terbaru
buatan Perusahaan Sepeda motor Road King. Hasil penemuan yang
sangat menonjol ialah kerangka dan bagian peredam goncangan.
Tetapi Frank dan Joe juga telah bekerja keras mempersiapkan sepeda
motor mereka. Motor mereka dilengkapi sebuah magnet khusus.
Sistem knalpotnya mereka setel secara khusus pula. Dengan demikian
mereka merasa pasti bahwa bagaimana pun sepeda motor itu akan
menunjukkan kemampuan yang baik sekali.


Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang pembalap yang mengenakan topi helm istimewa telah
memasang sebuah lambang dari gang sepeda motor Gung-Ho.
"Awas terhadap pembalap itu," kata Biff memberitahu Frank.
"Dia adalah Lenny Boggs, pemimpin gang, kuyakin, ia pasti akan
gunakan segala akal dan siasat licik!"
"Terimakasih atas kisikanmu, Biff," jawab Frank. "Aku akan
tetap waspada menghadapi dia."
Joe bertindak sebagai petugas tunggal pada pit. Ia melakukan
pemeriksaan terakhir pada sepeda motor Frank. Tidak lama kemudian
Frank sudah bersiap-siap di tempat start.
Pada garis start direntangkan tali karet melintang lintasan. Jika
tanda start telah diberikan dengan lambaian sebuah bendera, maka
pasak di ujung karet akan terlepas dan tali karet melesat mengkerut
kembali ke ujung yang lain. Bersamaan itu meledaklah deru suara
motor-motor tersebut.
Frank dengan sepeda motornya melonjak-lonjak di antara empat
atau lima pembalap lain, hingga membuatnya agak kurang leluasa.
Ketika melintas pada putaran semanggi pertama, Frank mulai dapat
merayap ke bagian depan. Dengan demikian secara mulus ia melewati
Lenny Boggs.
Pemimpin gang itu nampak memberengut seram. Ia menambah
gas sampai habis. Sedikit demi sedikit ia mulai mengejar Frank. Ia
berusaha mendesak Frank agar keluar dari garis lintasannya.
Anak Hardy itu sebaliknya tak sudi digertak dan ditakuti. Maka
mereka berpacu adu siasat. Boggs tidak henti-hentinya menggerunggerungkan deru motornya, berulang-ulang berusaha mendorong Frank
keluar dari lintasannya. Sebaliknya Frank memusatkan seluruh
perhatiannya pada puncak kecepatan. Sekali lagi ia berhasil
meninggalkan pemimpin gang itu.
"Oke, anak pandir! Kau sendiri yang minta diajar!" teriak
Boggs. Pada saat mereka melaju di antara pohon-pohon berumpun
menyebar, Frank melihat sebatang dahan patah menggantung
melintang lintasan. Sedetik kemudian ia mendengar suara retak patah,
ketika pemimpin gang itu menangkap dan mematahkan dahan
tersebut. Boggs menambah lagi gas sepenuhnya, dari sudut matanya
Frank melihat bangsa kerdil itu mendesak dari sisi kanan, berusaha
menghimpit dia keluar lintasan. Tetapi anak Hardy itu pantang untuk
patah semangat.
Sekali lagi Boggs menggunakan siasat licik yang baru. Ia
mengacungkan patahan dahan ke arah roda depan motor Frank,
hendak didorongkan di antara jeruji-jeruji roda.
"Buang itu!" teriak Frank sambil menoleh. "Apa kau sudah
gila?"
Perbuatan Boggs itu tidak saja merupakan pelanggaran yang
menyolok terhadap peraturan dan sportivitas, tetapi juga dapat
menyebabkan kecelakaan yang fatal.
Satu-satunya jalan untuk menghindari dahan itu masuk jeruji
roda depan motornya ialah mengalah minggir keluar jalur lintasan ke
kiri. Tetapi ketika ia kembali melihat ke depan dan hendak
meluruskan kembali motor ke jalur lintasan, napas sesak karena rasa
takut keluar dari mulutnya. Ia sedang laju langsung mengarah ke
sebuah pohon oak raksasa!
6. Akhir lomba yang mencekam
Tak ada waktu lagi untuk menimbang-nimbang. Pilihannya
hanyalah menabrak pohon atau kembali ke jalur lintasan dengan risiko
roda depan motornya berantakan dan kemungkinan kecelakaan pada
kecepatan tinggi.
Sekilas, dalam sepersepuluh detik Frank Membuat keputusan.
Ia menghindari pohon. Tetapi sebaliknya dari kembali ke jalur
lintasan, ia belok tajam ke kanan. Ia sadar ini berarti resiko menabrak
Boggs. Namun dengan mengepotkan roda belakang ke kiri berarti
menghindar dari dahan Boggs masuk jeruji roda depan.
Gerakan Frank ini mengancam Boggs yang kurang waspada. Ia
berteriak ketakutan, menjatuhkan dahan dari tangannya, dan cepat
mengembalikan kedua tangannya mengemudikan motornya dengan
panik. Detik berikutnya, kedua motor beradu dengan suara keras. Dan
kedua pembalap itu terlempar dari sadel, jatuh bergelimpangan di
tanah. Tabrakan maut itu terjadi dekat tikungan balik, di antara
semanggi pertama dan tengah. Di tempat itu jalur lintasan membalik
arahnya kembali menuju tempat start.
"Tikus busuk," geram Joe menggertak gigi. Ia melihat jelas
peristiwa tabrakan itu. Ia segera berlari melintasi lapangan untuk
menolong kakaknya, ia khawatir kakaknya terluka. Beberapa
kawannya ikut berlari ingin membantu sedapatnya....Setengah lusin
anggota Gung-Ho juga berlari-lari untuk membantu.
Sementara itu pembalap-pembalap lain melaju menghindar,
khawatir menabrak lawannya yang terjatuh. Frank dan Boggs segera
merayap bangun. Tubuhnya babak-belur penuh goresan lecet-lecet,
mendapat luka yang tak berarti.
Boggs matanya melotot marah kepada Frank. "Anak bawang
sok pintar! Kau harus tahu rasa untuk semua ini!" ia mengancam. Ia
menyerbu maju dengan kedua kepalan tinju disiapkan.
Mulut Frank menyeringai memandang rendah. Ia tidak mau
buang-buang waktu dengan teriakan menyalahkan biang keladi
kecelakaan itu. Sebaliknya, tinju kirinya cepat dilayangkan
mendahului, membentur dengan uppercut keras pada rahang
lawannya. Lenny Boggs terhuyung mundur lalu jatuh terlentang. Terlalu
pusing untuk segera mengumpulkan tenaga dan membalas.
Tanpa menghiraukan lawan, Frank segera mendirikan sepeda
motornya. Dengan cepat ia memeriksanya. Anak-anak Gung-Ho
melihat pemimpinnya jatuh dihajar Frank, berteriak-teriak mendatangi
hendak merintanginya.
Frank tidak ambil pusing. Segera ia menaiki motornya. Kakinya
cepat bekerja, Persneling diungkit ke netral. Pedal starter diinjak, dan
sedetik kemudian telah menderu mengejar pembalap-pembalap yang
lain. Anak-anak Gung-Ho yang marah meluap-luap menyerbu
mengajak Joe dan kawan-kawannya beradu tinju. Tantangan itu tentu
saja di sambut dengan gembira. Bahkan Phil Cohen telah
melayangkan tinjunya bertubi-tubi ke arah seorang musuhnya yang
terdekat. Untunglah petugas pos pengawas bersama dua anggota panitia
dengan dibantu seorang polisi segera datang di tengah. Mereka
memisahkan dua kelompok yang sedang berkelahi. Mereka berhasil
melerai. Kalau tidak, mungkin dapat berubah menjadi perkelahian
massal. Frank sendiri tidak memperhatikan semua itu. Ia memeras
segala tenaga dan berusaha mengejar ketinggalan. Pertikaiannya
dengan Boggs telah menghilangkan waktu yang sangt berharga.
Kecuali terhadap seorang pembalap yang merayap paling belakang,
Frank berada di bagian ekor pacuan pembalap sepeda motor itu. Jalur
lintasan pada semanggi tengah untungnya menanjak tajam dan motor
Frank merupakan pendaki yang tangguh.
Jarak meter demi meter dilombanya, Frank semakin
memperkecil jarak ketinggalannya. Sampai di tengah sisi semanggi
yang menurun ia telah berhasil menyelinap di tengah-tengah lawanlawannya.
Semanggi ketiga merupakan medan laga yang paling berat.
Bagian ini tidak saja melalui tebaran pohon-pohon, tetapi juga
bertaburan semak-semak. Keadaan yang demikian sering menuntut
jalur lintas berbelok-belok mengitarinya. Tanahnya pun berbenjolbenjol tidak rata. Sebuah parit berlumpur melingkar-lingkar melintang
jalur lintasan hingga motor-motor harus melompatinya dua kali.
Tiga pembalap telah berjungkir-balik di lereng bukit. Dua lagi
berputar-putar miring keluar jalur pada bagian lintasan ketiga itu.
Ketiga pembalap-pembalap terdepan berhasil keluar dari daerah
berpohon, terlihat jelas oleh para penonton maupun Joe, bahwa yang
memimpin terdepan adalah pembalap Road King. Disusul Frank
hanya beberapa meter saja di belakangnya. Sedikit demi sedikit ia
berhasil memperkecil jarak ketinggalannya.
"Ha! Masih ada kesempatan mengejar!" Joe berseru.
"Ia pasti berhasil menyusul!" teriak Chet Morton. Wajahnya
berkilat oleh keringat dan ketegangan.
"Ayo, ayo, Frank! Susuuul!" Iola dan Callie bersorak-sorak.
Tony Prito menggigit kuku jari tangannya menahan napas tegang.
Pembalap-pembalap lainnya cukup jauh ketinggalan. Kini
semua mata tertuju kepada balapan yang sebenarnya, antara pembalap
motor Road King dengan Frank. Suara motor-motor mereka menderuderu karena injakan gas sehabisnya sepanjang lintasan terakhir.
Tetapi keajaiban tak sempat terjadi. Ketika roda depan
pemenang melintas garis finish, dan bendera corak catur melambai
turun, Frank belum berhasil melewati lawan utamanya.
"Balapan yang sangat menarik!" kata Joe. Ia berlari
mendapatkan kakaknya untuk memberi selamat. "Aku yakin, engkau
akan menjadi juara, seandainya si kepala bakso itu tidak berbuat
licik!"
"Tak apalah! Aku juga tidak akan mengadu," sambut Frank.
Ia melepaskan topi helm sambil tersenyum gembira.
"Memang tak perlu mengadu. Kau toh telah memberinya
ganjaran satu pukulan telak!" kata Biff tertawa. "Itu saja sudah
berharga piala perak!"
Tetapi suatu hadiah yang paling berharga ialah ketika Callie,
pacarnya, memberinya sebuah ciuman di depan umum.
Kemudian, setelah para juri mengadakan konsultasi cukup
lama, wasit perlombaan maju ke muka mikrofon. Ia berikan
pengumuman: "Meskipun Dave Stewart, yang pembalap bagi Road
King, adalah pemenang resmi, kami merasa pantas memberi
pengakuan khusus kepada Frank Hardy. Yaitu walaupun mengalami
hambatan yang dilakukan orang dengan sengaja terhadapnya, namun
ia pantang menyerah. Seperti yang anda saksikan, ia kembali ke dalam
pertarungan, dan dengan semangat tinggi dan kemahiran yang luar
biasa, ia mampu mencapai juara kedua."
Pengumuman itu disambut meriah dengan sorakan dan tepuk
tangan. Frank dipanggil menghadap para juri untuk dipotret bersama
sang juara. Sekali lagi ia mendapat penghormatan dari para penonton.
Setelah semuanya selesai, ketika kakak-beradik Hardy sedang
mengikat sepeda motornya pada kereta gandengan, Biff datang
menemani. "Sebaiknya kita harus waspada terhadap berandalan itu,"
katanya sambil memberi isyarat kepada Frank.
Frank mengikuti arah pandangan Biff. Ia melihat pemimpin
gang Gung-Ho sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang
jangkung, berwajah bagaikan burung dan bermata juling. Dari
pandangan mata mereka yang jelas tertuju kepada dirinya serta
adiknya, Frank mengetahui bahwa ialah yang menjadi sasaran
omongan mereka.
Frank mengangguk penuh perhatian. "Kau benar, Biff. Mungkin
kau masih akan dengar tentang diri Lenny Bogg."
***********
Setelah mandi dan berganti pakaian di rumah, Frank menelepon
direktur Galeri Pelelangan Palmer-Glade di kota New York.
"Saya dengar dari penari Warlord, bahwa anda memiliki sebuah
pedang samurai yang sangat halus buatannya, dan akan dilelang tak
lama lagi," kata Frank.
Setelah hening sebentar, direktur itu mendehem, lalu menjawab:
"Ya, seharusnya memang betul!"
Frank menjadi agak bingung. "Maksud anda, pedang itu dicoret
dari daftar pelelangan? Ataukah sudah terjual?"
"Bukan!" terdengar jawaban. "Rupa-rupanya anda belum
dengar berita itu."
"Berita apa?"
"Gedung kami kemasukan pencuri kemarin malam. Pedang itu
yang dicuri."
7. Kucing-kucing pencuri
Mendengar perkembangan yang tidak disangka-sangka itu,
mata Frank membelalak. Ia melihat ke arah adiknya dengan
pandangan terkejut. "Ada barang-barang lain yang dicuri?"
"Untung tidak," jawab suara di telepon. "Rupa-rupanya pencuri
atau pencuri-pencuri itu terganggu sebelum berhasil menggondol
barang-barang lainnya."
"O, begitu?" Frank berhenti sejenak, lalu ia melanjutkan:
"Kejadian itu mungkin ada hubungannya dengan perkara yang sedang
kami selidiki. Jika kami datang ke New York, apakah kami boleh
memeriksa peristiwa pencurian ini?"
"Sudah tentu! Jika kalian, keluarga Hardy, sedia berbuat sesuatu
untuk mencari pencurinya, kami sangat gembira bekerjasama."
Setelah Frank meletakkan gagang telepon, Joe berseru:
"Katakanlah, benarkah pedang itu dicuri?"
Kakaknya mengangguk. "Betul. Terjadi tadi malam!"
"Wah! Itu rupanya lebih daripada suatu kebetulan, Frank! tuan
Satoya menghilang, ketika peroleh petunjuk ia ingin membeli pedang,
kini pedang itu juga hilang!"
"Akur, Joe. Kukira pencurian ini ada juga harganya untuk
diselidiki!"
"Sekali lagi, akur! Mari kita pergi ke New York esok, pagipagi."
*************
Frank dan Joe menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya di
dalam perjalanan. Jam sepuluh mereka telah memarkir mobil mereka
di sebuah garasi, hanya dua blok jauhnya dari Galeri Pelelangan
Palmer-Glade letaknya di Upper East Side di Manhattan
Tuan Sanders, direktur Galery itu, sudah mulai membotak
kepalanya dan memakai kacamata. Ia menerima kedua anak-muda itu
di kantornya. Ia lalu memanggil kepala keamanan untuk
membantunya menjawab pertanyaan-pertanyaan.
"Pertama-tama, tuan," Frank memulai. "Bagaimana nilai pedang
itu?"
"Kami mengharapkan paling sedikit dapat menghasilkan
duapuluhlima ribu dolar nanti pada waktu pelelangan," jawab Sanders.
"Bukan main! Banyak sekali!" Joe menggumam.
"Benar! Harap diingat, pedang Jepang merupakan senjata yang
paling halus buatannya. Banyak hiasan indah-indah sekali. Pada waktu
ini semakin banyak dicari oleh kolektor-kolektor bangsa barat."
"Bagaimana pencurian itu dapat diketahui?"
"Secara kebetulan," jawab kepala keamanan. "Sebuah mobil
patroli polisi yang lewat pada jam 3.00 malam. Polisi-polisi itu
melihat lubang pada kaca jendela di tingkat tiga. Kami menempatkan
penjaga-penjaga di tempat ini setiap malam. Tetapi sewaktu mereka
bukakan pintu untuk polisi-polisi itu masuk, dan lalu dengan cepat
naik ke tingkat tiga, pencuri-pencuri itu telah lari."
"Ada alat tanda bahaya di sini?"
"Ada! Jika jendela dibuka paksa, alat tanda bahaya itu berbunyi.
Tetapi rupanya pencurian ini dilakukan oleh pencuri-pencuri
profesional. Sebagian kaca jendela dipotong dengan menempelkan
tape lebih dulu. Maksudnya agar tidak jatuh berantakan dan
menimbulkan suara. Setelah itu lalu masuk dan memutuskan alat
tanda bahaya."
Frank beralih kembali kepada direktur. "Kami sedang
menyelidiki menghilangnya seorang pengusaha Jepang, Takashi
Satoya, pemimpin Perusahaan Satoya. Kami dengar bahwa ia


Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin ingin membeli pedang yang dicuri itu. Dapatkah anda
mengatakan apakah hal ini mungkin benar?"
Sanders mengeryitkan alis matanya, dan mempermain-mainkan
penindih kertas dari perunggu. "Kalian harusnya mengerti bahwa
perusahaan kami ini dituntut agar berlaku bijaksana. Banyak
langganan hanya mau berhubungan dengan kami, karena PalmerGlade selalu dapat menjamin bahwa segala informasi tentang tawaran
dan diri langganan tak akan kami bocorkan."
"Kami mengerti! Apa yang hendak kami coba peroleh petunjuk
ialah, apa kira-kira ada hubungan antara kejadian pencurian dengan
peristiwa tuan Satoya."
"Kita sepakat begini saja," kata direktur itu setelah berpikir
sejenak. "Kami memang menerima tawaran lewat telegram dari
Jepang."
"Ada nama yang disebut?"
"Tidak. Hanya alamat kawat. Alamat itu pula kami gunakan
untuk kirim jawaban. Tetapi dengan berbagai alasan, saya duga
tawaran itu datangnya dari Satoya."
"Kalau kami boleh tahu, berapa besarnya tawaran itu?"
"Empatpuluh ribu dolar!"
Joe bersuit keheranan. "Tetapi anda tak juga menerimanya?"
Direktur itu mengangkat bahu. "Untuk menjawab itu kurang
sopan. Kami telah pasang iklan pedang itu akan dilelang. Jadi tak
dapat dibatalkan." Ebukulawas.blogspot.com
"Apakah anda punya gambar pedang tersebut? Kami ingin
dapat melihatnya." minta Frank.
"Sesungguhnya ada. Kami buat untuk katalogus penjualan."
tuan Sanders kemudian mengambil sebuah gambar potret berukuran
delapan-kali-sepuluh dari sebuah laci, lalu diulurkan kepada mereka.
Kakak-beradik Hardy sangat asyik mengamati. "Hmm.
Sarungnya tidak meyakinkan," kata Joe.
"Tepat sekali," direktur itu memuji. "Pedang itu sendiri
berbentuk sebuah tachi suatu jenis yang digantungkan pada sabuk.
Sedang jenis yang diselipkan disebut katana. Mata pedangnya sudah
pasti sangat bagus. Ahli-ahli kita membuat tafsiran kira-kira karya
seni abad enambelas, dibuat oleh seorang pandai pedang dari propinsi
Mino. Sarung pedang adalah yang disebut shin-ginto, atau model
angkatan perang. Yaitu logam yang dilapis kulit, seperti yang
digunakan angkatan perang Jepang tahun 1937."
"Sangat menarik!" Frank berucap. "Bagaimana jelasnya tentang
perbedaan di antara keduanya?"
"Sebetulnya bukan hal yang luarbiasa. Banyak perwira-perwira
dari kalangan atas yang memiliki pedang samurai kuno, membawanya
dari suatu tugas peperangan. Tetapi pedang itu lalu diberi sarung
model angkatan perang. Tidak lagi dalam sarung aslinya yang penuh
hiasan-hiasan." Dengan mengernyitkan alis matanya keheranan, ia
melanjutkan. "Tetapi ada sesuatu yang agak aneh."
"Apa itu?"
"Apabila sebuah pedang samurai diubah untuk keperluan
militer, biasanya oleh si pemilik digunakan pula pangkal pedang
secara militer."
"Bagaimana caranya?"
"Sederhana saja. Mata pedang dipasang pada pangkalnya
dengan diperkuat oleh sebatang pasak. Pasak ini menjepit pangkal
pedang memanjang hingga sampai pegangan yang paling belakang.
Jika pasak dikeluarkan, pangkal pedang itu akan terlepas. Tetapi pada
pedang yang ini tidak demikian halnya. Para ahli pedang kami tidak
dapat melepaskan pangkal pedangnya."
"Untuk apa sebenarnya pangkal pedang itu harus dilepaskan?"
"Untuk dapat memeriksa paling belakang dari pangkal pedang
tersebut. Biasanya di sanalah tertera "tanda tangan" pembuatnya.
Hanya dari pedang ini tanda tangan itu tak dapat diketahui. Namun
begitu tanpa mengetahui pembuatnya pun mutu pedang ini sudah
jelas. Tidak saja dilihat dari mata pedangnya, tetapi juga bagian
pangkal serta tsuba yaitu pengaman tangan. Seperti dapat kalian lihat
pada gambar pangkal pedang itu dihiasi cangkang mutiara. Tsubanya
dihiasi ukiran rumit dan dilapisi enamel."
"Sungguh indah, puji Frank lalu bangkit berdiri dari kursi.
"Terirnakasih atas segala informasi anda."
Ketika Joe juga bangkit berdiri, Frank berpaling kepada ketua
keamanan. "Dapatkah kami melihat tempat terjadinya pencurian?"
"Tentu!"
Palmer-Glade menempati sebuah gedung empat tingkat, bekas
rumah tinggal seorang kaya di New York. Barang-barang
dagangannya terbagi menjadi empat bagian. Bagian benda-benda seni
Ketimuran ditempatkan di lantai tiga bagian depan.
Kaca jendela yang dipotong pencuri telah diganti.
"Bagian depan gedung ini boleh dikatakan rata." pikir Joe.
"Bagaimana menurut dugaan anda, cara pencuri-pencuri itu dapat
mencapai jendela?"
"Pertanyaan yang bagus," petugas keamanan itu menjawab
dengan masam. "Kami sampai sekarang belum menemukan
jawabannya."
"Kukira, mereka takkan berani gunakan sebuah tangga, biar pun
pada larut malam," kata Frank. "Bagaimana kalan menggunakan
jangkar kait dengan tali? untuk dapat naik dari bagian depan gedung?"
"Itu mungkin. Tetapi melempar jangkar kait ke atas ada resiko
menimbulkan suara, hingga dapat didengar para penjaga di dalam.
Lagi pula di ambang jendela tak terdapat bekas-bekas terkait."
"Apa mungkin menurunkan tali dari atap?" tanya Joe.
Penjaga keamanan menggeleng. "Tak mungkin. Alat tanda
bahaya akan segera berbunyi bila ada orang di atas atap."
"Tak ada barang lain yang diambil selain pedang itu?" tanya
Frank. "Sejauh kami dapat katakan, kami yakin mereka jadi takut. Pada
waktu malam itu, jalan-jalan boleh dikatakan sepi, hingga suara mobil
yang mendekat dengan jelas dapat mereka dengar. Tentunya mereka
dengar ketika polisi datang mengetuk pintu,.... tak lama kemudian
tanda bahaya berbunyi. Yaitu ketika para polisi dan penjaga berlarian
ke lantai tiga untuk memeriksa."
"Mengapa begitu?"
"Karena pintu kolong yang menuju ke atap terbuka," jawab
petugas keamanan menjelaskan. "Rupa-rupanya dengan cara itu para
pencuri melarikan diri. Melalui atap gedung-gedung bersebelahan,
lalu turun melalui tangga kebakaran yang terdekat."
Tak lama sesudah menyelidiki tempat pencurian kakak-beradik
Hardy pergi meninggalkan Galeri. Mereka berjanji akan memberitahu
jika masalahnya telah terungkap.
"Kita belum tahu pasti apakah kejadian di Galeri ini ada
hubungannya dengan perkara yang kita tangani," Joe mengaku. "Kita
juga belum yakin, apakah benar tuan Satoya menginginkan pedang
samurai yang dicuri itu."
Frank mengangguk. "Barangkali sudah tiba waktunya kita harus
langsung menuju biang keladinya!"
Mereka berhenti di tempat telepon umum, lalu minta hubungan
interlokal ke Bayport. Mereka berhasil menghubungi Oyama di Hotel
Chilton. "Dapatkah anda mengatakan, apakah tuan Satoya mempunyai
rencana membeli pedang samurai dari Palmer-Glade di New York?"
Frank bertanya.
Dari kesunyian sejenak dan suara Oyama ketika menjawab,
Frank mendapat kesan orang Jepang itu terkejut mendapat pertanyaan
itu. Terutama lagi kenyataan bahwa kakak-beradik Hardy telah
mengetahui persoalan tersebut..
"Memang betul," jawab Oyama memastikan. "Bahkan mungkin
inilah tujuan utama tuan Satoya datang ke Amerika."
"Mengapa begitu?"
"Tentunya ada sesuatu yang menyebabkan ia mengambil
keputusan demikian. Saya tak merasa pasti kalau hanya karena urusan
dagang saja ia memutuskan demikian. Barangkali kalian belum
menyadari betapa drastis setiap tindakan tuan Satoya ini. Di Jepang
sendiri pun, di antara bangsanya sendiri, ia selalu menghindarkan diri
untuk tampil di depan umum. Tetapi dengan kepergiannya ke
Amerika, ia mau menampakkan diri lebih dari biasanya."
"Saya dapat mengerti bahwa ia datang untuk mengurus
penggabungan suatu usaha," kata Frank.
"Betul, memang begitu. Ada kemungkinan bahwa Road King
akan bergabung dengan perusahaan kami bagian sepeda motor. Tetapi
jika tuan Satoya menghendaki, saya yakin pihak mereka tentu akan
setuju untuk pergi ke Jepang dan berunding di sana, daripada tuan
Satoya sendiri datang kemari." Oyama lalu menyambung lagi. "Untuk
urusan demikian, saya percaya, Kawanishi atau saya sendiri mampu
melakukan perundingan di bawah pengawasan tuan Satoya."
"Jadi, jika demikian," kata Frank, "Apakah tidak mungkin ia
memerintahkan seseorang untuk membeli pedang itu baginya?"
Frank mendengar di telepon, bahwa Oyama menghela napas
merasa khawatir. "Ya, itu tidaklah mustahil, saya khawatir tidak dapat
memberikan jawabannya."
Frank mengucapkan terimakasih lalu menggantungkan gagang
telepon. Ia memberitahukan hasil percakapannya dengan adiknya.
"Tak banyak membantu," komentar Joe.
Frank mengiakan dan menyambung: "Kita harus mengorekorek mencari petunjuk. Itu saja!"
Kantor-kantor di gedung-gedung pencakar langit kota New
York sedang beristirahat makan siang. Setiap kakilima di pinggir jalan
penuh orang-orang, masing-masing nampak terburu-buru, Frank dan
Joe ikut berdesakan untuk pergi ke tempat parkir mobilnya. Senang
juga menikmati pandangan ribuan wajah-wajah di sekelilingnya.
Untuk menghindarkan mobilnya dari perlakuan penjaga parkir
yang tak bertanggung jawab, mereka telah memilih sebuah garasi
tertutup. Tetapi ketika Frank hendak memasukkan kunci mobil ke
lubang kunci pintu, ia menjadi terkejut.
"Ada apa?" tanya adiknya.
"Lihat itu! Jendela itu dicongkel terbuka, dan pintu mobil tak
terkunci lagi."
Dengan tergesa-gesa mereka memeriksa, apa ada tanda-tanda
pencurian. Ternyata laci telah terbuka dan isinya diobrak-abrik. Tetapi
sebegitu jauh tak ada suatu barang yang hilang. Tempat bagasi tak
menunjukkan tanda-tanda dibongkar paksa.
Frank dan Joe dengan berang mencari petugas yang jaga.
Jendela tempat pembayaran ada di dekat pintu keluar, tak nampak dari
tempat mobil mereka. Tetapi mereka melihat seseorang dalam pakaian
tukang mendatangi sambil mengunyah pangkal cerutu di mulutnya.
"Bung!" seru Frank. "Engkau lihat seseorang mengutik-utik
mobilku?"
"Tidak! Mengapa?"
"Dibongkar orang!"
Penjaga itu lari mendekat. Ketika melihat apa yang terjadi, ia
mengumpat dan membunyikan jari-jarinya. "Ooo, begitu! Aku
memang melihat seseorang mengintip-intip tadi. Kira-kira duapuluh
menit yang lalu. Aku usir dia keluar. Barangkali saja dia yang telah
berbuat begitu."
"Seperti apa rupa orang itu?" tanya Frank.
"Seperti orang Timur, berkacamata hitam. Bertubuh kekar,
orang Jepang kukira!"
8. Orang-orang siluman
Frank dan Joe agak terkejut. Mereka saling berpandangan.
Mereka merasa yakin penjaga parkir itu tidak salah lihat.
"Tak pelak lagi, itu tentulah orang yang kita cari!" kata Frank
kepada penjaga itu.
"Anda hendak melapor polisi, atau menuntut pada asuransi?
Garasi kami dilindungi oleh asuransi bagi kerusakan pada mobil
langganan."
Frank menggeleng. "Tidak seimbang untuk bersusah payah.
Yang rusak hanya laci dan kuncinya. Tak seberapa harganya. Tetapi
kau harus lebih berhati-hati. Jangan biarkan sembarang orang
menggeratak!"
Penjaga itu mengumpat, nampak sangat malu. Ia melepaskan
cerutu dari mulutnya lalu mendehem. "Saya mengerti, saya telah
berusaha. Tetapi selalu saja ada yang berkeliaran, menunggu
kesempatan dan kelengahan untuk memreteli apa yang sempat
dipreteli."
Joe baru saja hendak mernbuka pintu mobil, ketika kakaknya
berkata: "Tunggu. Kita tadi melewati sebuah toko obat di sudut sana,
bukan?"
"Benar. Mengapa?"
"Kita ke sana dulu. Aku ada pikiran."
Mereka berjalan kaki meninggalkan garasi. Tiba di toko obat
Frank mengajak adiknya masuk menuju tempat menjual soda. "Pesan
susu-coklat kocok, Joe. Aku segera kembali. Ada sesuatu perlu
kuselidiki."
"Okee! kata Joe heran.
Ia melihat kakaknya menuju tempat telepon di bagian belakang,
lalu membuka-buka lembaran buku telepon.
Frank segera kembali dan duduk di samping Joe. "Kau tahu apa
Kendo itu?" tanyanya.
"Tentu! Salah satu jenis beladiri seperti Karate atau Kempo.
Hanya Kendo menggunakan pedang. Bukankah begitu?"
"Betul! Kukira di New York ini ada tempat belajar Kendo.
Nyatanya memang ada. Ingin kesana? Kita dapat tahu sedikit-sedikit
tentang pedang samurai. Itu akan dapat membantu dalam perkara ini."
"Bagus! Gagasan bagus!" berkata Joe tertarik. "Bahkan, biar
pun kita tak peroleh apa-apa pun rasanya akan menyenangkan!"
Setelah menghabiskan minuman, mereka berjalan kaki ke studio
Kendo. Letaknya di West Side yang dapat segera dicapai dengan
melintasi Central Park. Sepanjang jalan mereka membicarakan
peristiwa si Jepang yang membongkar mobilnya.
"Menurutmu, apa yang dicari, Frank?"
"Mungkin tak ada yang istimewa," kata Frank menebak.
"Mungkin mencari sesuatu untuk mencari tahu seberapa jauh kita
memahami perkara misteri ini."
"Padahal sampai waktu ini hanya nol besar," kata Joe murung.
"Lain lagi! Kukira ia bukannya tak sengaja memergoki kita dalam
garasi itu. Itu berarti bahwa ia telah membuntuti kita sejak dari
Bayport!"
"Ya, kau benar," kata Frank mengangguk. "Itu memperkuat
teori ayah, bahwa kebocoran itu berasal dari dalam tubuh perusahaan
tuan Satoya sendiri."
"Bagaimana maksudmu?"
"Jika bangsat di garasi itu bukan orang Amerika, padahal ia
terlibat dalam perkara tuan Satoya, maka ia tentu sudah datang lebih
dulu kemari. Sebab ia tahu sebelumnya tentang rencana kepergian
tuan Satoya kemari. Jadi sudah jelas bukan diperoleh dari rencana
yang diatur ayah di sini. Salah seorang dari Perusahaan Satoya tentu
membayar dia atau memberitahu kepadanya."
"Sangat masuk di akal," kata Joe setuju.
Studio Kendo itu terletak di lantai bawah dari sebuah gedung
yang telah dirubah. Di dalam terdengar suara-suara teriakan dan
hentakan kaki. Beberapa orang berkedok serta pakaian berlapis tebal
sedang melakukan latihan dengan pedang bambu. Seorang Jepang
setengah tua berwajah tenang, berpakaian baju katun dan celana
longgar. Orang itu datang menjemput kakak-beradik Hardy,


Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanyakan keperluannya. Setelah mengerti bahwa kedua anak muda
itu kakak-beradik Hardy, ia tersenyum dan membungkuk
menghormat.
"Aaa, so deska? Hambamu yang hina ini sangat bahagia dengan
kunjungan terhormat kalian!" Ia lalu memperkenalkan diri bernama
Ryu Shimada. kakak-beradik itu menjadi tahu, bahwa ia tergabung
dalam misi Jepang di PBB. Ia memimpin sekolah Kendo untuk
memperkenalkan seni beladiri kuno ini kepada masyarakat Amerika.
Frank dan Joe segera merasa bahwa orang ini sangat terhormat,
dan dapat dipercaya sepenuhnya. Mereka lalu menceritakan tugasnya
dalam perkara tuan Satoya. Frank lalu menanyakan pendapatnya
mengenai kedatangan tuan Satoya yang hanya untuk menawar
sepucuk pedang, meskipun tuan Satoya tak suka sama sekali muncul
di depan umum.
"Sungguh, itu tak mengherankan bagi saya," kata tuan Shimada.
"Keluarganya termasuk kaum samurai, keluarga ksatria perang. Di
Jepang pedang merupakan jiwa kaum samurai. Bagi mereka sepucuk
pedang adalah suatu pujaan tidak ternilai, karena itu mereka berani
bersusah-payah untuk mendapatkan sepucuk pedang tertentu.
Terutama jika menyangkut tradisi keluarga."
"Lalu bagaimana jika kenyataannya sarungnya hanya berupa
sarung pedang angkatan perang biasa?"
"Orang yang memberitahu anda benar sekali," kata tuan
Shimada. "Banyak pedang antik yang halus digunakan selama perang.
Beberapa pucuk pedang telah hilang dalam pertempuran karena
pemiliknya gugur atau ditawan. Beberapa pucuk lagi dijual sebagai
kenang-kenangan selama masa pendudukan di Jepang. Saya yakin,
ada sejumlah pedang samurai yang terdampar di toko barang antik di
negeri ini."
Tetapi tuan Shimada heran juga, bahwa pangkal pedang ini
masih tetap yang asli karena tidak dapat dilepaskan.
"Tentang itu saya tidak dapat jelaskan."
Untuk menunjukkan bagaimana "rasanya" seni Kendo, tuan
Shimada suruh mereka mengenakan peralatan Kendo. Peralatan itu
terdiri atas sarung tangan yang berlapis tebal, rok depan dari kulit,
zirah pelindung dada yang berusuk-rusuk serta penutup kepala
berjeruji melintang di bagian mata seperti yang digunakan seorang
pemain baseball. Penutup kepala ini dipakai di atas lapisan handuk
kecil untuk menjaga keringat agar jangan mengalir mengenai mata.
Selama mereka mengenakan peralatan Kendo tersebut mereka
harus berlutut. Ini suatu peraturan yang penting yang disebut reigi,
disiplin atau tata sopansantun dalam Kendo.
"Tujuan dari Kendo, agar kalian ketahui, bukan hanya melatih
orang menjadi perajurit yang ganas," tuan Shimada. Kemudian sambil
menepuk kepala dan dada ia melanjutkan: "Yang jauh lebih penting
ialah pikiran dan perasaan hati."
Dengan mengajar murid-murid untuk mengatasi "Empat Racun
Kendo", yaitu: takut, sangsi, kejut dan bingung, Kendo juga
membantu perkembangan watak dan penguasaan diri.
"Latihan yang diberikan oleh ayah kalian tentang seni
menyelidik, barangkali juga mempunyai pengaruh demikian,"
Frank dan Joe mencoba berlatih beberapa serangan dasar serta
tangkisan serangan. Mereka menggunakan shinai, yaitu pedang bambu
bulat yang dibelah tiga. Mereka diajar bagaimana mendesak maju
sambil mengayunkan pedang dari atas ke bawah, lalu balik mundur
dari jangkauan musuh. Juga cara memarang dengan merunduk.
Teriakan yang mengejutkan atau kiai yang selalu menyertai
setiap pukulan dimaksudkan untuk menambah semangat serta
menjatuhkan mental keseimbangan lawan.
"Seperti yel yang diteriakan kaum Confederate sewaktu Perang
Saudara," kata Joe sambil tertawa.
Kedua kakak-beradik merasa menjalani suatu rencana ajaran
yang serius sewaktu mereka melepaskan peralatan yang dikenakan.
Kemudian mereka dengan penuh perhatian ikut mendengarkan
percakapan antara tuan Shimada dengan para muridnya. Mereka
mempercakapkan seni bela diri Jepang. Misalnya Kyudo atau seni
memanah, Judo, Kempo, Karate dan Sikido. Mereka juga
mempercakapkan senjata-senjata khusus, seperti naginata atau tombak
lengkung, tongkat bo serta kipas besi
Frank dan Joe memasang telinga sungguh-sungguh ketika
mereka menyebut suatu kelas perajurit yang khusus, yaitu Ninja.
Kaum Ninja ini merupakan ahli dalam seni Ninjutan, yaitu seni
"menghilang" atau tak terlihat lawan. Kaum Ninja ini berpakaian
serba hitam. Pada zaman dulu sering digunakan sebagai mata-mata.
"Apakah kaum Ninja sekarang ini masih ada?" tanya Frank.
"O, masih," jawab guru Kendo itu. "Tetapi seni ini tetap
dirahasiakan. Hingga tak seorang pun tahu sungguh-sungguh seberapa
banyak kebenarannya dan seberapa banyak yang bersifat tahayul. Ada
yang menyangka bahwa ninjutsu juga menggunakan ilmu sihir. Tetapi
ada yang mengatakan ilmu ini berdasarkan akal dan hipnotis."
Frank dan Joe minta diri dan kembali ke garasi tempat mobil
mereka dititipkan. Di perjalanan Frank berkata: "Kau ingat orang
serba hitam yang menyelinap ketika kita di rumah Pete Ogden?"
"Aku ingat sekarang," seru Joe. "Barangkali kau juga berpikir
yang sama, yaitu mungkinkah dia itu seorang Ninja?"
"Sekarang aku pun jadi seperti mau percaya segala hal," kata
Frank. "Termasuk bahwa kita sedang dibuntuti."
Joe memandang kakaknya dengan terkejut. "Kau sungguhsungguh?"
"Sudah barang tentu! Ssst! Jangan menengok! Pasang telinga
dan matamu baik-baik!"
Mereka terus memasuki Central Park, tepat di selatan Museum
Sejarah Kebudayaan Amerika. Mereka melintasi sebuah jembatan
papan, lalu berhenti dan memandangi air di bawahnya. Joe
menggunakan kesempatan itu untuk melirik ke belakang.
"Ya, aku lihat dia," ia berbisik. "Orang timur, ia memakai
kacamata hitam. Seperti orang yang dikatakan menggeratak mobil
kita."
Setelah melewati jembatan mereka membelok ke jalan setapak
yang membelok-belok di sepanjang taman. Sambil pura-pura berjalanjalan mereka merencanakan sesuatu untuk menjebak. Suatu lorong
tanah membentang di antara batu-batu cadas terjal, Mereka memasuki
lorong tersebut. Pada tikungan yang tajam melewati semacam jurang,
mereka dengan cekatan memanjat tebing di pinggirnya lalu
merebahkan diri menunggu mangsanya.
Tidak lama kemudian mereka mendengar langkah kaki yang
mendekat, dan segera orang Timur yang membuntuti mereka itu
nampak. Ia memakai baju sport kotak-kotak menyala dan rambutnya
yang hitam dipotong pendek.
"Ayo!" desis Frank. Keduanya turun menyergap. Masingmasing menangkap sebelah lengannya.
"Nah, bung!" kata Frank menggertak gigi. "Katakan, mengapa
kauikuti kami?"
Ia tidak menjawab. Sebaliknya ia memberontak dengan hebat.
Ia ternyata kuat bagaikan banteng dan mahir berkelahi dengan tangan
kosong. Dengan memilin-milin dan meliuk-liuk ia melepaskan diri,
lalu mengayun-ayunkan lengannya.
Joe melihat suatu kesempatan. Ia mengayunkan tinjunya yang
kanan dengan sekeras-kerasnya. Tetapi sepertinya orang itu sudah
tidak ada di sana lagi. Tinjunya melayang di samping kepalanya dan
tepat mendarat di pelipis kakaknya. Frank terhuyung jatuh ke
belakang. Pada detik berikutnya Joe merasakan hantaman tangan terbuka
pada ulu hatinya. Ketika terbungkuk-bungkuk menghela napas, orang
Timur itu lari keluar jurang.
9. Bayang-bayang mengintai
Frank tersadar terlebih dulu. Ia bangkit berdiri, lalu lari
mengejar musuh tak dikenal itu. Tetapi lawannya sudah lebih jauh.
Ketika Joe sampai di dekat kakaknya orang itu sudah menghilang. Ia
mungkin menghilang di antara pohon-pohon atau batu-batuan. Atau
menyelinap di antara para pelancong tanpa menarik perhatian.
"Tikus busuk!" Frank menggerutu. "Kita telah berhasil
menangkap bangsat itu. Kini terlepas. Ia mungkin dapat menjadi
petunjuk tentang apa yang terjadi pada tuan Satoya."
"Maaf, Frank. Aku tadi pukul kau jatuh," kata Joe meminta
maaf. "Aku mau hajar dia!"
"Bukan salahmu! Ia memang licin. Tetapi paling tidak kita telah
mengenal dia kapan kita bertemu dia lagi. Kau lihat gambar-gambar
tatoonya?"
"Ya, aku melihatnya. Naga Cina dan setan-setan jahat. Nampak
dari lengan bajunya. Barangkali juga sampai di lengan atas. Kau lihat
kelingkingnya?"
Frank mengangguk dengan geram. "Itu sisa-sisa kelingkingnya.
Keduanya putus pada ruas terakhir!"
Sore itu mereka kembali ke rumah. Mereka ceritakan kepada
ayahnya tentang penyerang mereka. Dari perubahan pada wajah
ayahnya, mereka segera tahu bahwa ayahnya pun mengenalinya.
"Orang itu tentu seorang Yakuza!"
"Apa itu, ayah? Yakuza?" tanya Joe.
"Gangster Jepang. Mereka hampir merupakan kasta tersendiri di
negaranya. Rambut pendek kacamata hitam dan pakaian yang
menyala merupakan ciri-ciri mereka. Demikian pula dengan gambar
tatoo. Tetapi yang teristimewa ialah jari-jari tangan yang dipotong."
"Mengapa demikian, ayah?"
"Itu dilakukan dengan suatu upacara," kata pak Hardy
menjelaskan. "Jika seorang anggota yakuza membuat kesalahan di
mata pimpinannya, ia dituntut untuk memotong satu ruas dari jarinya.
Itu suatu bukti bahwa ia tetap patuh dan menyesali kesalahannya."
Joe bergidik. "Aku ngeri."
"Kuperingatkan kalian berdua. Kalian sendiri mencari penyakit,
dengan berpetualang di New York mencari segala maling orang
Timur!" hardik bibi Gertrude. Rupanya ia mondar-mandir di dekat
mereka setelah selesai mengatur meja.
"Jika bibi maksudkan pencurian di toko barang antik, itu tidak
ada hubungan tentang orang-orang Timur," Frank mendengus. "Nah,
siapa lagi yang mau mencuri pedang Jepang?"
"Kukira banyak bangsat-bangsat yang mau mencurinya, bibi.
Apalagi jika tahu bahwa harganya mencapai duapuluhlima ribu
dolar!"
"Sudah, jangan berdebat! Ayo, makanan sudah tersedia!" Bibi
Gertrude lalu masuk ke dapur Ia memberengut dan menggerutu:
"Segala gangster pakai gambar tatoo! Jari-jari dipotong! Akhirnya
nanti kita semua mendapat kiriman makanan yang diracuni kotak
pos!"
Setelah selesai makan, Frank dan Joe sempat membaca
suratkabar. Joe mendapat bagian halaman depan, yang memuat
menghilangnya tuan Satoya yang membingungkan. Ada dimuat pula
peristiwa pencurian pedang samurai dari Galeri Pelelangan PalmerGlade.
"He, lihat ini!" Kata Joe kepada kakaknya.
"Kabar apa?" jawab Frank tanpa menoleh dari komik yang
sedang dibacanya.
"Kau ingat, orang yang menubruk kita sewaktu kita hendak
menemui Warlord?"
"Humber, maksudmu? Tentu! Mengapa?"
"Di sini ada dimuat wawancara dengan dia!"
Frank meletakkan komiknya dengan rasa tertarik. "Apa
ceritanya?"
"Ia mengatakan mungkin sekali ada hubungan antara
menghilangnya tuan Satoya dan pencurian pedang. Sebab pedang
yang dicuri itu milik keluarga Satoya!"
"Hee! Lihat!" seru Frank. Ia melompat berdiri dari sofa. Ia rebut
koran dari tangan Joe lalu dengan tidak sabar membaca bagian berita
yang dikatakan Joe tadi.
Rupa-rupanya Humber diwawancarai sebagai orang yang ahli
pedang, karena ia sendiri mempunyai koleksi senjata-senjata aneh.
Disebutkan bahwa Humber mengatakan: "Saya tidak peduli
untuk berspekulasi, mengapa pedang itu dicuri, atau siapa yang
merencanakan pencurian itu. Tetapi waktu yang kebetulan itu sangat
menarik!"
"Wah Humber terlalu berani ambil resiko. Terlalu berani
mengatakan hal sedemikian!"
"Itulah" kata Joe. "Hampir secara terang-terangan menuduh
tuan Satoya! Perusahaan Satoya tentu akan bertindak untuk
membungkam si Mulut Besar!"
"Mungkin ia pun telah memperhitungkan bahwa tuan Satoya
terlalu takut tampil di depan umum untuk mengadukannya ke
pengadilan. Atau barangkali ia ingin mendengar suaranya sendiri!
Lalu membiarkan mulutnya berteriak-teriak sekenanya."
Dari nada angkuh wawancara itu, Humber nampaknya cari
kepuasan, meskipun hanya sedikit dan tidak penting.
"Tetapi kita juga harus tetap memperhatikannya," kata Frank
dengan kepala dingin. Ia kembalikan suratkabar itu kepada adiknya.
"Memang," kata Joe mengangguk. "Jika ia memang tahu apa
yang kita belum tahu, makin cepat menemukannya semakin baik."
Pak Hardy sudah langsung pergi lagi semenjak selesai makan.
Ia meneruskan penyelidikannya sendiri. Karena itu anak-anaknya
tidak dapat meminta pertimbangannya. Untuk itu Frank mengambil
cara pendekatan langsung. Ia menelepon kolektor kaya itu untuk
bertemu. "Hmm! Apakah aku pernah mendengar namamu sebelumnya?"
berkata Dobert Humber dalam telepon.
"Ayah kami seorang detektif swasta, "jawab Frank. "Ia cukup
dikenal!"
"O, ya! Kau dan adikmu tentunya juga melayani tugas detektif
anak-anak, bukan?"
"Memang betul. Kami sedang berusaha mengungkap apa yang
terjadi dengan tuan Satoya. Karena itulah kami ingin berbicara dengan
tuan tentang pedang yang dicuri."
"Begitu? Ya, Jika aku dapat membantu, aku senang meluangkan
waktu bagi kalian. Mungkin sekali pengetahuan dan keahlianku dapat
mengungkap titik terang pada misteri itu."
Joe memandang kakaknya dengan mata bertanya, ketika Frank
meletakkan gagang telepon. "Bagaimana?" tanyanya.
"Ia sedia menerima kita nanti malam," kata Frank dengan
tersenyum.
"Rupanya ia berkepala besar!"
Mereka mengendarai mobilnya untuk bertemu Humber. Ia
tinggal di sebuah daerah berhutan yang indah di luar kota. Rumahnya
dibangun dari batu kelabu, nampak seperti rumah model Inggris kuno
yang besar. Tiba-tiba Frank meletakkan tangannya pada lengan
adiknya. Joe dengan segera menebak bahwa kakaknya tentu melihat
sesuatu yang tidak wajar.
"Ada apa?" bisik Joe.
"Di sisi kiri rumah itu! Kukira ada bayangan yang bergerak."
Tanpa terburu-buru untuk melakukan sesuatu, Joe kembali ke
mobil dan mengambil lampu senter. Kemudian bersama Frank berlari
secepatnya ke arah yang berlawanan agar dapat mencegat buruannya.
Tetapi sinar lampu senternya tak menemukan sesuatu yang
tersembunyi.
"Barangkali aku hanya melihat bayangan saja." kata Frank
resah. "Mungkin, tetapi barangkali tidak, tak rugi untuk selalu


Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waspada!"
Seorang pesuruh mengantarkan kedua kakak beradik ke ruang
lukisan. Humber sudah menunggu mereka. Jika ia mengenali kakakberadik itu sebagai anak-anak muda yang bertabrakan dengannya di
pintu Sekolah Tinggi Bayshore, hal itu tidak ditunjukkannya.
Sebaliknya ia menyuguhkan minuman ringan dan mendesak mereka
untuk melihat-lihat koleksi senjata-senjata antiknya.
Kebanyakan senjata-senjata antik itu dipajangkan dalam kotakkotak kaca, atau digantungkan pada dinding ruang studinya. Frank dan
Joe terpesona ketika Humber menjelaskan harta-miliknya yang
berharga. Di antaranya adalah kapak perang Saxon kuno berasal dari
jaman sebelum Penjajahan bangsa Nor di Inggeris, gada-lempar dari
Afrika, sebuah golok gunting bermata dua dari Timur Tengah, dan
sebuah katar yaitu golok pemukul dari India. Golok pemukul ini pada
gagangnya dilengkapi dengan dua batang melintang. Gunanya untuk
memperkuat pegangan sewaktu memukul yang caranya sama seperti
pukulan jab seorang petinju.
"Senjata aneh ini juga dari India," kata Humber sambil
menunjuk koleksi lainnya. Ia memegang sebuah alat kecil tetapi
nampak ganas. "Batang-batang baja melengkung ini disebut "cakar
macan". Cakar ini dipasang pada sebuah batang kaca, yang pada
kedua ujungnya diberi cincin."
Humber lalu menunjukkan kepada kedua anak muda itu
bagaimana ibu jari dan kelingking dimasukkan ke dalam cincin itu
untuk mencakar lawan.
"Wow!" gumam Joe. "Aku tak berani berkelahi dengan lawan
yang menggunakan senjata itu!"
"Senjata yang menjijikkan," kata Humber mengiakan. "Aku
dengar senjata ini digunakan secara sembunyi-sembunyi, jika lawan
lengah."
Ia rupanya senang melihat minat kedua anak Hardy akan
koleksinya. Ia selalu bersedia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
mereka. Frank kemudian membelokkan percakapan ke arah alasan
kunjungan mereka.
"Kami sangat heran, bagaimana anda tahu bahwa pedang yang
dicuri itu milik tuan Satoya," tanyanya meraba-raba.
Tuan rumah mengatakan bahwa ia mendengar itu dari orang
lain. "Kenyataan itu tidak disebutkan dalam katalogus penjualan untuk
lelang. Tetapi aku adalah langganan yang cukup dihargai oleh PalmerGlade." kata Humber dengan bangga. "Karena itulah para ahli
ketimuran mempercayakan informasi itu kepadaku."
Frank melontarkan pandangan ke Joe. Kedua anak muda itu
mempunyai pemikiran yang sama. Tidak ragu lagi, itulah pula
sebabnya mengapa direktur Galeri percaya bahwa tawaran tanpa nama
dari Jepang itu tentu datangnya dari tuan Satoya. Tetapi ia tidak mau
ungkapkan kepada kedua anak muda itu untuk melindungi nama baik
perusahaannya terhadap para langganannya.
"Sesungguhnya penari Warlord telah mengatakan kepada kami,
bahwa tuan Satoya mungkin tertarik untuk membeli pedang itu," kata
Joe. "Saya heran, darimana ia mendapat tahu!"
"Hmm! Pertanyaan yang bagus," Humber mendengus.
"Menurut pendapatku, si Warlord tidak pantas untuk dipercaya.
Terutama tentang sesuatu yang berkaitan dengan Perusahaan Satoya."
Frank mengerutkan dahi dengan waspada. "Mengapa tuan?"
"Aku punya alasan untuk percaya, bahwa ia pernah terlibat
permusuhan yang menjijikkan dengan perusahaan itu." Humber
mengangkat bahu seolah-olah ia anggap hal itu tidak enak untuk
dipercakapkan. "Itu bermula ketika Warlord ada di Jepang. Terjadi
semacam pertengkaran, suatu tindak kekerasan fisik atau semacam itu.
Tetapi aku tak mau tahu secara terperinci."
Sekali lagi kedua kakak-beradik itu saling berpandangpandangan.
Ketika mereka hendak pulang, Humber berkata: "Ah, sambil
lalu! Aku sendiri memerlukan melakukan penyelidikan sendiri dalam
beberapa hari ini."
Frank dengan sopan menanyakan alasannya.
"Aku merasa ada pencuri-pencuri yang menginginkan koleksi
senjata-senjataku," Jawab Humber. "Barangkali pencuri profesional."
"Apa tuan punya landasan untuk kecurigaan itu?" desak Frank.
"Benar! Meskipun kau akan katakan bahwa aku takut akan
bayangan. Sore ini pada waktu senja menjelang gelap, aku merasa
pasti melihat sesorang mengintip-intip rumah ini. Seseorang dengan
pakaian serba hitam!"
10. Masalah keruwetan di Tokyo
Joe baru saja hendak membuka mulut mengatakan bahwa Frank
juga melihat bayangan berpakaian gelap. Dan bahwa mereka mencaricari dulu sebelum membunyikan lonceng pintu. Tetapi mulut itu
terkatup kembali ketika melihat alis Frank dikerutkan.
"Jika ini terjadi lagi, tuan Humber, panggil saja kami," kata
Frank bersedia. "Kami akan segera datang dan berusaha menjebak
siapa pun yang mengintai rumah tuan."
"Terimakasih! Aku tentu akan menelepon kalian." Ruparupanya Humber benar-benar berterimakasih atas uluran bantuan
tersebut. Ketika kakak-beradik Hardy telah berangkat pergi, Frank
menjelaskan kepada adiknya: "Tak ada gunanya menambah keresahan
dia. Karena itulah aku tadi memberi isyarat padamu, jangan
mengatakan apa yang telah kita lihat. Setidaknya apa yang telah aku
lihat."
"Kukira kau betul," kata Joe mengiakan. "Paling tidak sekarang
kutahu, bahwa kau tidak melihat bayangan khayalan." suasana hening
sejenak, lalu tambah Joe. "Apa kau merasa itu seorang ninja?"
Frank mengangguk dan berpikir. "Rasanya mulai nampak
begitu. Apa pendapatmu tentang perkataan Humber tentang masalah
keruwetan antara Warlord dan Perusahaan Satoya?"
"Menurutku, ia merasa jengkel terhadap Warlord. Karena itu ia
mengungkit-ungkit soal lama untuk menjelek-jelekkan Warlord."
"Kesanku juga demikian. Di lain pihak, jika Warlord memang
mempunyai ganjelan terhadap perusahaan itu, aku ingin mengetahui
lebih banyak lagi."
Waktu belum jam 9.30. Karena itu mereka masih ada
kesempatan untuk menemui penari itu sebelum pergi tidur. Frank
menghentikan mobilnya di pompa bensin. Ia sendiri menelepon
Sekolah Tinggi Bayshore, untuk disambungkan dengan pesawat yang
ada di ruang olahraga.
Seorang anggota kelompok penari menjawab: "Yvor tidak ada
di tempat," katanya, "Apa saya dapat membantu anda?"
Frank menyebutkan namanya, lalu berkata: "Saya dan adik saya
ingin menanyakan kepadanya, tentang sesuatu yang terjadi ketika ia
masih di Jepang."
"Itu tentu terjadi ketika ia belum membentuk kelompok ini.
Karena itu saya tak tahu-menahu tentang hal itu." penari itu
menjawab. "Tetapi kalian yang pernah datang kemari, bukan?
Menyelidiki menghilangnya pengusaha Jepang itu, bukan?"
"Betul!"
"Kebetulan kampus masih terang. Suasana masih ramai di
sekeliling sini. Yvor tentunya tidak lama lagi akan pulang. Jika kalian
mau mencari kesempatan dan datang, saya kira ia mau menerima
kalian."
"Baiklah! Terimakasih!" kata Frank. "Kami akan datang
limabelas atau duapuluh menit. lagi."
Kakak-beradik Hardy itu menuju Bayshore. Karena banyak
mahasiswa libur selama musirn panas, ada dua asrama yang kosong.
Salah satu di antaranya digunakan oleh para penari. Tetapi ternyata
kedua anak muda itu menemui kejutan yang tidak menyenangkan.
Ketika mereka mengetuk pintu, seorang anggota lain
membukakannya. Melihat bahwa ia segera mengenali mereka, Frank
mengira tentunya dia jugalah yang tadi berbicara di telepon.
"Kami Frank dan Joe," kata Frank. "Kami .."
"Saya tahu! Saya tahu siapa kalian," penari itu menyela tidak
sabar. Wajahnya menunjukkan rasa bingung. "Tetapi saya"
Ia didorong ke samping sebelum sempat menyelesaikan katakatanya. Warlord nampak di ambang pintu, wajahnya nampak merah
padam. "Aku tak ada sesuatu untuk dibicarakan dengan kalian!"
serunya. "Kuharap kalian pergi!"
Kakak-beradik itu memandangnya dengan terkejut. Tidak
seperti sikapnya yang sopan, kini penari itu merah padam wajahnya
karena marah-marah.
"Apa yang membuat anda marah?" Frank bertanya dengan nada
yang ramah, mengharap ia akan segera reda marahnya. "Apa yang
kami harapkan hanyalah..."
Tetapi Warlord memotongnya dengan menggeram: "Keluar!"
dan pintu digebrakkan di depan mereka.
Kakak-beradik kembali murung menuju ke mobil.
"Wah! Sungguh tak kukira akan terjadi demikian!" kata Joe.
"Aku juga tak mengira," Frank menimpali. "Apa yang telah
terjadi di Jepang, rupanya masih meninggalkan rasa sakit hati
padanya. Barangkali Humber memang benar."
Ketika mereka tiba di rumah di Jalan Elm, ayah mereka sudah
ada di rumah. Mereka mendapat tahu, bahwa ayah telah pergi ke
lapangan terbang untuk berunding dengan seorang petugas FBI.
Petugas itu datang dari Washington khusus untuk memberikan
petunjuk akan tugas yang baru.
"Apa yang mereka harapkan dari ayah? tanya Joe. "Tentu saja
jika hal ini bukan suatu rahasia untuk kami ketahui."
"Sesungguhnya hal ini dapat dikaitkan dengan perkara tuan
Satoya," jawab ayahnya. "Perusahaan Motor Road King telah
menerima beberapa ancaman."
"Katanya mungkin akan terjadi penggabungan antara Road
King dengan bagian sepeda motor dari Perusahaan Satoya," kata
Frank. "Katanya pula, kedatangan tuan Satoya memang untuk
mengurus hal itu."
Pak Hardy mengangguk. "Betul! Ancaman-ancaman itu pun
mengenai hal itu pula. Road King diminta untuk membatalkan
maksudnya untuk bergabung, kalau tidak mereka akan menyesal."
"Apa ada petunjuk-petunjuk yang dapat dipakai sebagai
pegangan, ayah?"
"Sebenarnya belum, hanya sangkaan-sangkaan. Aku merasa
ancaman itu datangnya dari perusahaan Jepang yang lain, Gerobei
Motors. Mereka menginginkan bergabung dengan Road King sendiri.
Sesungguhnya mereka telah mengajukan penawaran. Jika sangkaanku
benar, aku mungkin harus terbang ke Jepang. Tetapi sebegitu jauh aku
belum pasti."
Setelah mendengar tentang insiden dengan Warlord yang tidak
menyenangkan itu, pak Hardy menawarkan diri untuk menghubungi
polisi Jepang untuk memperoleh informasi. "Aku kenal beberapa
orang dari pimpinan tertinggi kepolisian Jepang di Tokyo," katanya.
"Bahkan aku pernah melakukan penyelidikan bagi mereka. Jika
Warlord memang pernah terlibat dalam suatu keruwetan di sana,
mereka tentu dapat memeriksanya dalam arsip."
"Itu sangat bagus. Terimakasih, ayah," jawab Frank
menanggapi.
*************
Esok berikutnya, Frank dan Joe pergi ke hotel Chilton untuk
menemui kedua pembantu utama tuan Satoya. Mereka melihat sopir
yang berwajah keras dan datar itu sedang duduk di ruang depan. Ia
membalas anggukan mereka dengan membungkuk menghormat.
"Rupanya ia juga ikut pasang mata untuk menjaga segala
kemungkinan," kata Joe berbisik. Mereka lalu menuju elevator.
"Betul. Membantu penjaga-penjaga yang resmi," kata Frank
mengiakan. "Jika terjadi sesuatu, rupanya ia sanggup mengatasinya."
Kawanishi dan Oyama menerima mereka di ruang tamu kamar
hotel mereka.
"Kami ingin menanyakan, apakah anda dapat mengatakan
sesuatu tentang seorang penari bernama Warlord?" tanya Frank
memulai percakapan. "Ia sedang mempersiapkan pertunjukan di
Bayport. Kami mendapat tahu, bahwa ia pernah berselisih dengan
perusahaan Satoya ketika ia ada di Jepang."
Para pembantu Satoya nampak menunjukkan penghargaan yang
lebih tinggi terhadap kakak-beradik itu.
"Kalian anak-anak muda rupanya melakukan tugas
penyelidikan ini dengan teliti," kata Kawanishi. "Apa yang kalian
katakan memang benar. Aku ingat, perusahaan kami pernah
bertengkar dengan penari bernama Warlord itu. Meskipun hal ini telah
terjadi beberapa tahun yang lalu."
Oyama menjelaskan: "Ia telah berkelahi dengan salah seorang
pegawai kami. Suatu perkelahian karena perasaan dendam, kukira.
Pegawai kami terluka parah, dan harus dirawat di rumah-sakit.
Engkau dapat mengetahui, bahwa perusahaan-perusahaan di Jepang
sangat memperhatikan kesejahteraan pegawai-pegawainya. Demikian
pula tentang bagaimana mereka melakukan tugas mereka. Oleh karena
itu perusahaan kami mengambil tindakan hukum terhadap Warlord
demi pegawai kami yang terluka itu."
Akibatnya, katanya selanjutnya, penari itu terpaksa
meninggalkan negeri Jepang. Tetapi masalah ini semua ditangani oleh
pengacara-pengacara mereka. Baik Kawanishi maupun Oyama tidak
mengetahui lebih terperinci lagi. Bahkan sampai kini pun mereka
tidak menyadari, bahwa hal itu sangat penting.
"Apakah kalian mengira, bahwa Warlord mengetahui sesuatu
tentang menghilangnya tuan Satoya?" tanya Kawanishi.
"Inilah salah satu kemungkinan yang ingin kami ketahui," kata
Frank. "Kami juga ingin tahu lebih banyak tentang pedang Samurai
yang dicuri di New York. Tuan Oyama pernah mengatakan kepada
kami melalui telepon, bahwa maksud utama kedatangan tuan Satoya
kemari adalah untuk pedang tersebut."
Kedua orang Jepang itu mengangguk dengan sungguh-sungguh.
Seolah-olah mereka telah merundingkannya sesudah menelepon
mereka. "Majikan kami telah menggunakannya sewaktu ia menjadi
perwira di dalam Perang Dunia II," Oyama bercerita. "Tetapi pedang
itu hilang, ketika ia ditawan oleh tentara Amerika, beberapa waktu
sebelum Jepang menyerah. Rupa-rupanya pedang itu telah
"diamankan" oleh seorang perajurit GI, menurut istilah pada waktu
itu. Bagaimana pun pedang itu hilang. Barangkali kalian tahu
bagaimana seorang Samurai Jepang menghargai pedangnya!"
"Kami telah diceritakan," kata Frank.
"Pedang yang ini sangat dijunjung tinggi, karena telah menjadi
milik keluarga Satoya selama beberapa keturunan," kata Kawanishi
melanjutkan. "Untuk alasan itu, majikan kami telah mengutus
beberapa orang untuk mencarinya di seluruh penjuru dunia. Tuan
Satoya merasa pasti siapa pun yang telah mengambil pedang tersebut,
pada suatu waktu tentu akan menjualnya."
"Banyak peristiwa-peristiwa yang membuktikan bahwa hal itu
ternyata benar," kata Oyama. "Tuan Satoya merasa lega, ketika
pedang itu tertera dalam daftar penjualan pada Palmer-Glade. Ia dapat
mengenalinya dari katalogus penjualan. Tetapi sayang sekali, rupanya
berita pencurian itu telah memberikan pukulan yang berat kepadanya.
Tentunya dengan anggapan bahwa tuan Satoya masih hidup dan
aman."
"Apakah anda menyangka menghilangnya tuan Satoya itu
dilakukan secara sukarela?" bertanya Joe dengan cerdik.
Sekali lagi, kakak-beradik itu melihat mereka saling
berpandangan penuh kesulitan.
"Aku harus mengaku, bahwa kami memang berpikiran
demikian," kata Kawanishi. "Meskipun sebenarnya tidak mempunyai
pegangan satu pun untuk menjelaskan atau bagaimana hal itu dapat


Hardy Boys Misteri Pedang Samurai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi."
"Jika anda sekalian benar, sopir itu tentu terlibat," kata Frank.
Kedua orang Jepang itu mengiakan. "Tetapi tidak ada harapan
sama sekali untuk dapat mengorek dari dia." kata Oyama.
"Mengapa tidak?"
"Sebab ia sangat patuh secara fanatik kepada majikannya.
Kalian tahu, ia mernpunyai seorang anak perempuan kecil. Anak itu
dilahirkan dengan jantung tidak normal. Tuan Satoya telah
mengirimkan anak itu dengan pesawat terbang ke suatu Rumah Sakit
di Texas. Ia membayar segala biaya operasi yang sangat mahal,
sehingga jiwa anak itu tertolong. Sekarang sopir itu merasa lebih baik
mati daripada harus berkhianat membuka rahasia majikannya."
Seperti mendapat ilham secara mendadak Frank lalu menelepon
Warlord dari hotel. Seperti yang diharapkannya, penari itu mau
menerimanya.
"Kami telah mengetahui tentang perkelahian anda dengan
pegawai tuan Satoya, dan bagaimana anda terpaksa harus
meninggalkan Jepang," kata Frank. "Kami ingin mendengar dari pihak
anda, demi keadilan dan kejujuran."
Hening sejenak. Kemudian Warlord menjawab: "Oke, kalian
menang. Datanglah ke kampus. Aku akan menceritakan seluruhnya.
11. Tawaran gelap
"Kami segera datang," Frank berjanji, lalu meletakkan gagang
telepon. Joe sangat gembira mendengar percakapan itu. "Barangkali
akan terungkap sesuatu sekarang."
"Mungkin. Tetapi jangan berharap terlalu banyak. Dapat pula
menjurus ke jalan buntu!"
Mereka berdua bergegas ke Bayshore. Setelah memarkir mobil
di tempat parkir para mahasiswa, mereka melihat Yvor Killian dengan
kelompoknya sedang berlatih di ruang olahraga.
Sikap penari itu agak bingung ketika menerima mereka.
"Mari masuk. Duduklah! Kita cari tempat untuk dapat
berbincang secara pribadi," katanya.
Setelah duduk, Killian memulai ceritanya. "sekitar tiga tahun
yang lalu, sebelum aku membentuk kelompok sekarang ini, aku
belajar seni beladiri di Jepang."
"Mengapa?"
"Aku berpendapat akan dapat menambah gerakan dalam taritarian. Aku sedang rnerencanakan mencipta kreasi tari sendiri. Aku
sangat menikmati segalanya dalam belajar ketrampilan bela-diri cara
Jepang. Juga cara-cara memberikan pelajaran tersebut. Sebagian
karena sifat yang lain samasekali dengan olahraga beladiri di
Amerika. Seperti tinju, misalnya. Tetapi ada seorang murid, namanya
Noguchi, dengan siapa aku tak pernah dapat bergaul baik. Ia sangat
membenci aku. Mungkin karena ayahnya sewaktu perang dengan kita
telah gugur."
Killian mengatakan perasaan buruk itu meledak pada suatu hari
ketika sedang latihan bertanding. Noguchi tidak mau "menahan"
pukulannya. Hal ini membuat Killian menjadi marah. Segera mereka
bertanding secara sungguh-sungguh. Sebelum pelatih dapat
mencegahnya, Killian dapat memasukkan pukulan karate. Noguchi
terluka parah.
Penari itu menundukkan kepala sebentar.
Wajahnya nampak suram teringat suasana yang tidak
menyenangkan hatinya itu.
"Aku segera merasa menyesal," ia melanjutkan. "Aku berusaha
untuk memperbaikinya dengan mengunjunginya di rumahsakit dan
minta maaf. Tetapi sudah terlanjur rusak sama sekali. Noguchi bekerja
di perusahaan Satoya. Perusahaan ini melalui pengacara-pengacaranya
mengajukan tuntutan-tuntutan kepada polisi. Akibatnya aku harus
meninggalkan negeri itu."
"Wah, keras sekali," kata Frank bersimpati.
Warlord mengangkat bahu. "Begitulah, kukira. Noguchi
sembuh. Tetapi aku tetap merasa bersalah. Karena itu aku berusaha
melupakan perkara itu. Jika hal itu terungkap lagi, barangkali dapat
merusak karirku."
"Jangan khawatir. Kami tidak akan membocorkannya," kata Joe
menjamin. "Bukan begitu. Aku yakin tentang itu sekarang. Tetapi pada
waktu aku menerima telepon, dan mendengar keinginan kalian untuk
bertemu mengenai hal itu, aku menjadi lupa daratan. Aku mengira
kalian akan menyeret-nyeret skandal lama itu lagi, dan menyudutkan
aku. Maafkanlah!"
"Lupakanlah," kata Frank. "Tetapi kami ada pertanyaan lain."
"Katakanlah!"
"Anda katakan, bahwa tuan Satoya bermaksud menawar pedang
yang akan dilelang di Pamer-Glade. Ternyata itu betul. Bagaimana
anda dapat tahu?"
"Oya, omong-omong, pedang itu telah dicuri orang," Joe
menyela. Warlord mengangguk. "Aku juga dengar. Nah, aku merasa
Satoya tentu akan tertarik dalam hal ini. Sebab ketika aku mengamati
mata pedang itu waktu dipamerkan, kulihat ada tulisan Satoya pada
mata pedang itu. Kautahu aku telah belajar membaca huruf-huruf
Jepang ketika di sana. Ketika kalian menyebutkan bahwa seorang
pedagang senjata, maksudku si Gorky, berusaha menawarkan kepada
Satoya sebilah pedang samurai, rupa-rupanya ia lebih tertarik kepada
pedang yang merupakan milik keluarganya sendiri."
Penari itu bangkit, lalu jalan mondar-mandir. Sikapnya nampak
agak kurang enak.
"Ada sesuatu lagi yang lebih baik aku katakan kepada kalian
pula," katanya beberapa saat kemudian.
"Kami dengar," kata Frank.
"Kemarin malam aku mendapat panggilan gelap di telepon."
"Mengenai apa?"
"Pedang samurai itu. Rupanya penelepon itu adalah orang yang
mencuri pedang dari Galeri Pelelangan. Atau barangkali tukang
tadahnya. Ia menawarkan pedang itu kepadaku. Mintanya sepuluh ribu
dolar."
Berita Warlord membuat Frank dan Joe heran campur terkejut.
Mereka memandangi Warlord dengan mata membelalak.
"Bagaimana anda hendak menanggapinya?" tanya Frank.
Warlord mempermainkan jari-jari pada rambutnya yang
panjang. Ia nampak gugup. "Secara jujur, aku tak tahu apa yang harus
kukatakan. Ia hanya memberi waktu sedikit untuk mengambil
keputusan. Aku khawatir jika aku mengatakan tidak, berarti aku tidak
lagi akan mendengar hal itu dari dia. Jadi aku menerimanya. Ia
menyebutkan waktu dan tempat untuk transaksi."
"Anda membawa uangnya, dan ia menyerahkan pedang itu?"
"Begitulah."
"Kapan dan di mana transaksi itu akan dilakukan?"
"Tengah malam nanti. Di Seaview Park."
"Apa anda akan teruskan rencana transaksi itu?"
Penari itu mengangkat bahu tak berdaya. "Aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan. Seluruh persoalan itu memenuhi benakku
semenjak aku menerima panggilan gelap di telepon itu. Kukira, karena
itu aku sangat senang kalian akan datang lagi. Kuharap kalian dapat
memberi saran-saran."
"Jika anda membeli barang curian, anda sama besar salahnya
dengan si pencuri," kata Frank.
"Aku sadari. Tetapi aku pun tidak inginkan pedang itu lalu
begitu saja. Bagaimana pun pedang tak ada gunanya bagiku, jika
hanya untuk kusimpan. Aku pikir jika pedang itu kukembalikan ke
Palmer-Glade, mungkin mereka mau menjualnya kepadaku dengan
harga tertentu. Maksudku dengan harga diperhitungkan dengan apa
yang telah kubayarkan."
"Dengan begitu, banyak orang akan menyangka, andalah yang
telah menyikat pedang itu," sambung Joe seenaknya.
Dari pandangan mata yang menggambarkan kekecewaan,
mereka tahu bahwa kemungkinan demikian tidak pernah ia pikirkan
sebelumnya.
"Lalu pilihan yang mana yang ada untukku?" tanya Killian.
"Gunakanlah pertemuan malam nanti untuk menangkap
pencurinya!" jawab Frank.
Tawon Merah Bukit Hengsan 4 Sapta Siaga 09 Tuduhan Palsu Istana Yang Suram 19

Cari Blog Ini