Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap Bagian 2
Heran. "Katakanlah..." bisik Maria terengah. Dengan
nada memohon. "Bahwa saat ini kau tidak sedang
membayangkan... bahwa aku adalah..."
Ronald tidak langsung menjawab. Lebih dulu ia
mengecup bibir Maria. Baru setelahnya ia berbisik di
telinga Maria.
"Aku tidak membayangkan siapa pun juga,
Maria. Aku hanya menginginkanmu. Menghendaki
dirimu sebagai seorang wanita!"
Namanyalah yang disebut. Dan dirinya sebagai wanita.
102 Di luar sana, terdengar suara sepeda motor
meraung-raung. Seakan pengendaranya sedang
memburu sesuatu. Tetapi Maria tidak perduli. Juga
ketika terdengar raungan sepeda motor lainnya,
menyusul yang pertama tadi. Baru setelah terdengar
raungan sirene, Maria tertegun sejenak. Lantas
berbisik. "Sirene itu"
"Biarkan sajalah," Ronald balas berbisik. "Paling
juga ada yang kebakaran. Entah di mana"
"Bukan. Itu adalah ambulans."
"Ya. Ada orang mendadak sakit kalau begitu!"
tambah Ronald yang sudah mulai membuktikan
dirinya sebagai seorang laki-laki. Dan apa yang harus
dilakukan laki-laki itu pada wanita yang diinginkannya.
Sirine lagi.
Hei. Mengapa mendadak begitu ramai?
"Ronald?"
" apa?"
Maria sebenarnya ingin menyatakan. "Tadi
ambulan. Sekarang, mobil patroli polisi!" Akan tetapi,
karena Ronald sudah melambungkannya semakin
tinggi, Maria kemudian hanya mendesah samar103
samar. Sehingga nyaris tak terdengar, bahkan oleh
telinganya sendiri. "Ah Lupakan saja lah..."
Ya. memang seharusnya begitu
Lupakan saja semua ribut ribut yang muncul
mendadak di luar sana Biarkan para petugas
kesehatan serta polisi-polisi itu menjalankan tugas
entah di sudut mana Jayagiri ini. Lupakan juga
panggilan hati untuk segera keluar dan mengikuti ke
arah mana mereka pergi. Pasti ada berita menarik.
Tetapi itu dapat menyusul.
Bila pun ada yang harus diingat, adalah dokter
Rinaldi. Yang pernah berkata: "Ini bukan pekerjaan
enteng, Maria. Mungkin saja diperlukan waktu paling
tidak satu dua tahun..."
Psikiater itu pasti akan tercengang-cengang
andaikata ia tahu apa yang terjadi sekarang ini. Ronald
tidak lagi perlu dirangsang, tidak lagi perlu dituntun.
Ronald sudah dapat melakukannya sendiri. Dengan
utuh. Dengan cara yang semestinya. Di tempat yang
semestinya pula!
Kalau bukan Maria sendiri yang mengalami dan
merasakannya, pastilah Maria pun akan menertawa
kan bila ada seseorang yang memberitahu bahwa
Ronald sudah berubah secara drastis dan tiba-tiba.
104 Seolah-olah ia adalah seorang Ronald yang lain.
Bukan Ronald yang pernah dikenal Maria.
* * * 105 DELAPAN MARIA terbangun dengan sekujur tubuh terasa
lemas sekitar pukul sembilan pagi dan menemukan
Ronald sudah tidak ada di sebelahnya. Namun sedikit
pun Maria tak kecewa. Apalagi setelah membuka
jendela kamar tidur , ia lihat ke tiga buah truk sudah
tidak ada di pelataran parkir. Pertanda di suatu tempat
sedang ada panen, entah panen apa, dan Ronald
beserta para pembantunya sekarang ini tentu dalam
perjalanan ke sana.
Dihirupnya udara hangat segar yang berlimpahlimpah di luar jendela, sebanyak paru-parunya
sanggup menerima. Seraya membathin bahagia
"Ronald bakal menjadi seorang suami yang hebat!"
Bagaimana tidak hebat, Laki laki yang
dicintainya itu giat bekerja. Juga luar biasa di tempat
tidur. Lihat saja menjelang subuh tadi. "Aku masih saja
mendambakan dirimu Kita ke tempat tidur yuk" bisik
Ronald di telinga Maria. Maria tidak pernah
memimpikan bisa menikmat orgasme tiga kali
berturut-turut hanya dalam tempo tidak sampai dua
jam. Namun Ronald telah mempersembahkan mimpi
indah itu ke haribaan Maria. Dengan lembut serta
106 penuh kasih sayang pula. "Kau wanita pertama dalam
hidupku, Maria. Sampai kapan pun kau tidak akan
pernah kulepaskan dari pelukan ku...!"
Dengan perasaan setengah melayang, Maria
meninggalkan jendela untuk mengambil training nya
dari lemari pakaian. Sedikit berolah raga akan
memulihkan tenaganya kembali. Lalu ia siap memulai
hari-harinya yang baru Hari-hari yang tentu saja akan
sangat berbeda dengan yang sebelumnya telah ia
jalani. Mungkin kebiasaan berkeliaran belum akan ia
tinggalkan (perilaku dan cara manusia menggapai
kehidupan masih tetap merangsang untuk diikuti lalu
dipindahkan ke mesin tik). Akan tetapi beberapa
kebiasaan lainnya, dari sekarang harus sudah mulai
dijauhi Maria. Tidak boleh pergi atau pulang sesukasuka hati. Tidak lagi makan atau tidur dimana serta
kapan saja sempat. Dan entah apa lagi. Karena, Maria
tidak lagi hanya bertanggung jawab pada diri sendiri.
Kini ia juga dibebani (yang ia terima dengan senang
hati), tanggung jawab untuk membuat Ronald betah di
rumah. Lalu pulangnya, ada yang menyambut dan siap
membantu Ronald melepaskan diri dari kelelahan.
Kemudian...
107 "Nyenyak tidurnya, Non?" Nining yang sedang
menatap ruang duduk langsung menyapa begitu sang
majikan nongol dari pintu kamar tidur.
Masih diliputi perasaan bahagia, Maria menyahuti...
diiringi senyuman ceria. "Nyenyak banget, Bi Nining!"
"Syukurlah. Mau sarapan sekarang?"
"Nanti sajalah. Aku jogging dulu sebentar."
Nining memperhatikan dengan pandangan
serius. Lalu, "Tak biasanya Non sesantai ini. Pastilah
Non belum mendengarnya."
Maria yang sudah akan berjalan ke pintu depan,
seketika membalikkan tubuh. Bertanya tertarik
"Mendengar apa, Bi?"
"Ada anjing dimakan... eh, terbalik," Nining
berujar serius. "Maksud saya, Non. Ada orang dimakan
anjing. Tak jauh dari sini!"
Maria membelalak. "Yang benar!"
"Semua orang sekampung juga sudah pada
tahu, Non. Kalau tidak percaya, tanyai saja mereka.
Subuh tadi..."
Subuh tadi!
108 Ribut-ribut yang mengganggu, ambulan, mobil
patroli polisi!
Maria melupakan niatnya berolahraga pagi. la
langsung bergegas ke meja telepon. Sempat keliru
memutar nomor-nomor kantor kepolisian wilayah
Bandung tetapi segera sadar lalu membatalkannya, la
kemudian memutar nomor telepon lainnya. Begitu
dapat sambungan, Maria bertanya tak sabar.
"Hallo. Dengan Polsek Lembang?"
"Betul," terdengar suara-berat dan sedikit kasar
di seberang sana.
"Bisa bicara sebentar dengan pak Herman?"
"Kapten sedang keluar. Ini siapa?"
Maria menyebut identitas dirinya. Lengkap
dengan nama majalah berita mingguan tempatnya
bernaung. Suara di seberang sana telepon seketika
berubah ramah. "Oh. Kau rupanya, Maria. Kapten
barusan pergi ke Polres. Ini aku, Solihin. Apa yang
dapat kami bantu, Maria?"
Maria mengutarakan maksudnya. Tidak lupa
menambahkan."... dan aku sepenuhnya percaya,
Sersan. Bahwa Nining bukan sedang bergurau!"
109 Sepi sejenak. Baru setelahnya, terdengar suara
yang bernada heran. "Jadi kau ada di Jayagiri. Bukan di
rumahmu yang di kota. Kok sampai tidak tahu..."
"Katakanlah, aku kecolongan," sahut Maria
ringkas. "Nah, Sersan?"
"Ya, memang benar ada mayat seseorang di
sana. Hanya saja informasi yang kau dengar sedikit
berlebihan!"
"Pasnya?"
"Sewaktu ditemukan, sepotong dari isi lambung
korban sedang diperebutkan oleh dua ekor anjing,"
Solihin memberitahu dengan kalem.
Perut Maria mendadak terasa mual Kuatir
Solihin tahu lantas diam-diam menertawakan, Maria
menguasai diri dan buru-buru meneruskan. "Ada di
mana mayat itu sekarang?"
"Pertanyaan apa pula itu?" Solihin mendengus.
"Tentu saja sudah dikirim ke Hasan Sadikin. Malah aku
yakin, mereka pun sudah mulai menjagalnya!"
Sarkastik! tetapi Maria dapat memahami. Sifat
macam itu lumrah menghinggapi orang yang terpaksa
harus mengerjakan apa yang pasti dihindari umumnya
manusia; bahkan orang itu sendiri pun tidak
110 menyukainya. Yang pasti, bagaimana pun cara Solihin
mengungkapkannya, satu hal jelas sudah. Mayat
korban sudah dikirim ke meja otopsi rumah sakit.
Untuk dapat memotretnya, Maria terpaksa
menunggu. Dan itu akan makan tempo.
Memang masih ada pilihan lain. Meminjam hasil
pemotretan bagian indentifikasi polisi, atau rekan
seprofesi yang sudah bergerak mendahului Maria.
Pilihan yang sungguh sangat ia benci. Karena Maria
sangat gandrung yang serba eksklusif. Namun, bila
terpaksa... Oh, oh! Mimpi indah Maria agaknya
memang membutuhkan pengorbanan juga...
"Nyawamu masih di situ, Maria?"
Maria menyeringai. "Masih."
"Kalau begitu, datanglah kemari. Siapa tahu ada
informasi yang teman-temanmu belum pada tahu!"
Itu salah satu segi baik pada diri sersan Solihin
maupun rekan-rekannya satu korps di banyak tempat:
tahu betul apa yang dikehendaki Maria. Maria
sebaliknya pula: tahu betul bagaimana caranya
menjaga segi baik itu dapat bertahan untuk jangka
panjang. Sambil memikirkan oleh-oleh apa kiranya
yang pantas dibawa ke sana, Maria berujar tulus.
"Terimakasih, Sersan. Aku akan ke sana nanti."
111 "Kami tunggu, cantik!"
Setelah menyimpan gagang telepon di
tempatnya, Maria bergegas masuk ke kamarnya
kembali. Niat untuk jogging sudah terlupakan, la
langsung mandi, berpakaian buru-buru lalu berdandan
seadanya saja. Bukan mau ke pesta ini!
Dari lemari ia keluarkan tustel cadangan dan
sekotak negatip film yang memang sengaja disimpan
(bersama mesin tik) bila sewaktu-waktu diperlukan
dan ia sedang berada di Jayagiri. Dengan menenteng
tas berisi perlengkapan memotret dan loket uang,
tidak berapa lama kemudian Maria keluar dari
kamarnya. Pelayannya segera mendatangi. "Sarapan sudah
tersedia, Non."
Maria terus saja melangkah menuju pintu
keluar. "Belum lapar. Habiskan saja oleh Bibi!"
Dengan pandangan maklum, Nining mengantar
majikannya sampai ke serambi depan. Sambil
mengawasi mobil sang majikan yang sedang meluncur
ke pintu gerbang, Nining kemudian geleng-geleng
kepala. Lantas bergumam kagum... namun juga
sekaligus prihatin. "Apa kubilang! Pantang ada berita
112 bagus, langsung melompat seketika. Bagaimana tak
sulit mendapatkan jodoh...!"
* * * Maria tidak langsung pergi ke kantor polisi.
Melainkan lebih dulu mendatangi tempat kejadian
peristiwa, la tidak merasa perlu bertanya di mana.
Daerah tempat tinggalnya memang sudah
berbau kota Tetapi kebiasaan rakyat di pedesaan
masih saja mendominasi Di desa, masih juga orang
suka bergerombol menggunjingkan suami isteri
tetangga mereka yang ribut bertengkar. Padahal, di
saat mereka bergunjing itu, si suami isteri tersebut
sudah bergumul lebih hebat di tempat tidur. Tetapi
yang ini. untuk memproduksi calon anak mereka yang
ke sekian!
Tidak sampai seperempat jam berikutnya,
Maria sudah menemukan tempat yang dicari, bahkan
juga orang-orang yang ia kehendaki. Karena memang
sudah mengenal siapa Maria, si penemu mayat
dengan senang hati menceritakan apa yang
Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelumnya telah ia ceritakan pada polisi.
113 "... gonggongan ribut anjing-anjing itu membuat
saya tidak bisa tidur lagi," demikian antara lain isi
ceritanya, "Saya langsung keluar dari rumah saya di
bawah sana. Naik ke sini dan... Aduh, Non Mengerikan
sekali. Andaikata Non ikut menyaksikan, Non mungkin
semaput. Saya sendiri sempat muntah berat. Dan
sampai sekarang belum berani makan apa-apa..."
"Semengerikan bagaimana?"
"Ada tiga ekor anjing. Non. Yang satu sedang
menarik-narik bagian usus yang terburai. Dan yang
lain sedang berebut bagian limpa. Setelah saya usir
dan lempari pakai batu..."
"Kok bisa tahu itu limpa?"
"Yang diperebutkan tertinggal sepotong
sewaktu anjing-anjing itu pada kabur. Lalu orang yang
datang dengan ambulans... sepertinya dia itu dokter,
mengatakan pada polisi yang menanyainya. Bahwa ia
yakin benar bahwa potongan yang tersisa itu adalah
limpa sang mayat!"
"Apakah korban penduduk setempat?"
"Agaknya sih bukan, Non. Sampai sekarang
belum ada yang lapor telah kehilangan anggota
keluarga. Apalagi yang usia maupun postur tubuhnya
114 seperti korban. Bungalow sekitar juga sudah didatangi
satu persatu. Hasilnya sama. Pasti deh orang luar,
Non."
"Anjing-anjing tadi. Boleh lihat?"
"Untuk apa, Non?"
"Dipotret."
"Wah, Non. Sulit, habis temponya singkat, mana
gelap lagi. Jadi saya tidak keburu mengenali itu anjing
mana atau milik siapa. Kalau mau dipotret, saya saja
deh Non..."
"Pasti. Tetapi apakah anjing-anjing itu tidak dicari?"
"Sudah, Non. Malah penduduk sudah
diinstruksikan begitu melihatnya supaya ditangkap
dan dibunuh sekalian!"
"Instruksi? Instruksi dari siapa?"
"Polisi, Non."
"Hem. Lalu?"
"Yah, jelas repot, Non-Ada begitu banyak anjing
di sekitar sini. Sukar untuk memastikan mana anjing
yang terlibat,mana yang tidak..."
115 "Kok anjing-anjing itu bisa buas begitu ya? Tegateganya menggerogoti mayat manusia?"
"Saya juga sempat berpikir begitu Non. Tetapi
yah, namanya juga anjing lihat darah atau daging
segar...!"
Iya juga. Dan setelah merasa cukup
memperoleh keterangan yang ia inginkan, Maria
kemudian memotret tempat mayat ditemukan dan
masih ada sisa-sisa tanda yang dibuat sebelumnya
oleh polisi. Rerumputan di bagian tersebut nyaris
berselimut taburan pasir yang dipergunakan untuk
menutupi ceceran darah di sana sini. Begitu pula
bekas-bekas ban mobil yang tampak diputar paksa
sebelum meninggalkan tempat kejadian, tak luput
dipotret. Si penemu mayat dipotret khusus. Yang ikut
nimbrung memberi keterangan (meski kebanyakan
kacau balau) juga dipotret beramai-ramai... untuk
sekedar menyenangkan hati mereka.
"Jika nanti anjingnya ada yang tertangkap, kami
akan segera antarkan ke rumah Non. Dan..."
Maria dicabik-cabik?
"Tidak, terima kasih. Antar saja langsung ke
kantor polisi!"
116 * * * Saking otaknya asyik memilah-milih bagian
mana dari keterangan tadi yang patut ditulis dan
sekaligus juga menarik untuk dibaca, siang hari itu juga
Maria melenggang masuk ke kantor kepolisian sektor
Lembang... tanpa ingat beli oleh-oleh yang sebelum
nya telah ia rencanakan.
Untungnya sersan satu Solihin sudah pergi
menjalankan tugas lapangan. Kapten Herman
Sumadikun sudah pula kembali ke tempat. Maria
disambut ramah bahkan disuguhi minuman segar oleh
perwira yang juga teman dekat keluarga itu.
"Omong-omong, kapan kita terakhir bertemu,
Maria?"
"Kalau tidak salah, pada waktu papa dan mama
dimakamkan, Om."
"Ah ya, betul. Hem, bila kuingat mengenai
kecelakaan tragis itu... eh, astaga! Kok aku jadi
melantur begini ya?" sang kapten menepuk-nepuk
jidat sendiri. Dengan wajah menyesal. Lalu, "Beginilah
kalau laki-laki sudah mulai ubanan, Maria. Maksud
117 akan mengambil hati gadis cantik yang membuatnya
ingin muda kembali, uh, malah jadinya berantakan!"
Maria tertawa renyai.
"Om masih terhitung muda, kok. Tampan lagi!"
"Sayang aku bukan tipe-mu ya?"
"Aku yang salah, Om. Terlambat lahir sekian
belas tahun!"
Kapten Herman tersenyum dikulum. "Sebelum
hidung tuaku ini bertambah panjang, Maria.
Sebaiknya kupanggil Harsoyo untuk bergabung..."
Letnan dua Harsoyo berusia sekitar 35 tahun.
Posturnya kurus kecil. Dengan wajah serta sorot mata
lembut persis guru mengaji atau pendeta. Sungguh
penampilan yang bisa menipu, mengingat reputasi
maupun unit yang dibawahinya: rampok dan bunuh.
Tetapi jangan ditanya tentang kepercayaan diri
serta bobot setiap perkataan yang keluar dari
mulutnya. "Mengapa korban ditelanjangi? Jelas untuk
melenyapkan petunjuk atau barang bukti pakaian
serta identitas lainnya!"
"Hanya melengkapi kerusakan. Tak lebih dari itu!"
118 "Jadi?"
"Robekan menganga di lambung korban adalah
penyebab ajal datang menjemput. Adapun wajah yang
dirusak bukan tercabik-cabik... dimaksudkan agar
korban sulit dikenali."
"Kesimpulannya?"
"Si pembunuh ada hubungan dekat dengan
korban. Dan tidak mau mengambil resiko diketahui."
"Motivasi pembunuhan?"
"Nanti saja. Setelah korban diketahui, siapa."
"Ada petunjuk?"
"Dari postur dan susunan serta bentuk otototot, kemungkinan besar korban adalah seorang atlit
atau mantan atlit. Angkat besi, atau binaraga.
Selebihnya, masih menunggu hasil otopsi."
Anjing yang melengkapi kerusakan tadi. Apakah
instruksinya tidak cukup dengan ditangkap saja. Tidak
langsung dibunuh?
"Toh pada akhirnya juga harus dibunuh!"
"Mengapa?"
119 "Anjing-anjing itu, Nona Maria. Sekali sudah
menikmati lezatnya darah atau daging manusia, maka
tidak mustahil mereka akan menjadi makhlukmakhluk buas yang dapat membahayakan manusiamanusia hidup di sekitarnya. Lagi pula, isi perut
makhluk-makhluk itu harus segera diteliti di
laboratorium..."
"Untuk?"
"Memastikan sesuatu. Baru berupa dugaan.
Tetapi bila benar, maka si pembunuh adalah manusia
berbahaya dan berperilaku mengerikan!"
"Dasar dugaan?"
"Jantung korban diketahui lenyap. Ada petunjuk
kuat, bukan ulah dari anjing-anjing itu.,.."
"Artinya, si pembunuh..."
Disertai senyuman tipis, letnan dua Harsoyo
memberitahu dengan suara lembut. "Bila kebetulan si
pembunuh berada di didekatmu jagalah jantungmu
baik-baik, Nona!"
"Bila kebetulan si pembunuh berada di
dekatku..." Maria membalas tantangan Harsoyo
dengan seringai lebar. "Yang pertama-tama Ingin
kulihat, apakah ia cukup menarik untuk dikencani!"
120 Kapten Herman yang diam saja dari tadi,
tertawa terbahak.
* * * 121 SEMBILAN KARENA tidak tahu pasti pukul berapa Ronald
pulang ke rumah, sisa hari itu dihabiskan Maria
dengan berkeliaran ke pusat kota mencari bahanbahan berita yang menarik untuk ditulis. Dengan
bersemangat ia menerima ajakan tim buru-sergap
kepolisian sektor Bandung Tengah menciduk dua
orang buronan yang diketahui bersembunyi di rumah
seorang penyanyi club malam, tidak jauh dari komplek
pelacuran Saritem.
Sempat terjadi baku tembak yang singkat
sebelum salah seorang penjahat yang bersenjatakan
revolver kaliber 36 terjerembab mati. Penjahat
satunya lagi berhasil diringkus. Tetapi sempat melukai
lengan seorang polisi wanita yang ikut dalam operasi
penyergapan itu, sewaktu si penjahat yang bersenjata
kan golok berusaha melarikan diri. Lukanya tidak
seberapa, namun toh perlu perawatan segera. Maria
kemudian ikut mendampingi ketika polwan yang
terluka itu dibawa ke rumah sakit
Selagi menunggu di depan ruang gawat darurat.
Maria mendengar suara seseorang dengan sapaan
yang khas. "Hai, cantik!"
122 Bahkan sebelum berpaling, Maria sudah dapat
menebak siapa orang yang menyapa. Sersan satu
Solihin tampak mendatangi dari arah koridor dengan
wajah riang gembira. "Menunggu siapa, Maria?" ia
bertanya enteng sambil melirik ke pintu ruang gawat
darurat yang tertutup rapat.
"Kalau calon suami, air mataku pasti sedang
tersibak!" jawab Maria sama gembiranya. "Anda
sendiri habis dari mana Sersan?"
"Kamar mati. Untuk memastikan mayat itu tidak
buru-buru minggat sebelum memperkenalkan diri!"
"Mayat yang mana?"
"Yang ditemukan subuh tadi. Memangnya ada
berapa mayat yang ingin kau langkahi hari ini, eh?"
"Barusan tadi ada satu lagi," jawab Maria, la
ceritakan sekilas mengenai baku tembak yang
keseluruhan adegan terekam utuh dengan tustelnya.
Lalu ".. jadi, otopsinya sudah selesai?"
"Laporan lengkap sih belum. Kalau tambal
sulam mayat, sudah!"
Maria langsung tertarik. "Mau mengantarkan
aku ke sana, Sersan?"
123 Solihin garuk-garuk kepala. Berpikir-pikir.
Tetapi Maria sudah keburu bangkit dari
duduknya. "Ayolah, Sersan. Mumpung Anda ada
untuk menggendong, kalau-kalau nanti aku jatuh
pingsan. "Kalau urusan menggendongmu sih..." Solihin
menyeringai lebar. Lantas mengikuti Maria pergi
menuju kamar mayat rumah sakit.
Meski bukan sekali dua saja melihat mayat
sehingga lama-kelamaan menjadi terbiasa, namun toh
setelah peti penyimpanan jenazah ditarik keluar dari
tempatnya, Maria dibuat merinding juga. Apa yang
dilihatnya memang benar adalah wajah seorang lakilaki berambut tebal dan ikal. Tetapi itu adalah seraut
wajah yang nyaris kehilangan bentuk. Sebagian daun
bibir dipenuhi jahitan. Begitu pula kelopak mata serta
tulang pipi sebelah kanan. Namun beberapa goresan
dibiarkan tetap sebagaimana adanya, termasuk
robekan menganga di pelipis kiri. Mungkin kalau
dijahit juga, nantinya yang terlihat bukanlah wajah
manusia. Melainkan wajah sesosok monster yang
mengintai dari dalam liang kubur.
Lambung mayat keadaannya lebih parah lagi.
Jahitannya simpang siur dan jelas dipaksakan. Agar
124 kulit serta daging-daging lambung dapat menyatu,
walau tidak lagi kembali pada bidang maupun
bentuknya semula.
Tidak tahan melihat berlama-lama, Maria buruburu mengajak Solihin keluar dari kamar mayat.
Solihin menurut saja. Namun tidak bisa menahan diri
untuk bertanya. "Lho. Kok tidak jeprat-jepret?"
Seraya berjuang keras untuk menahan perutnya
tidak sampai mengulah, Maria menjawab dengan
nafas tersengah-sengal. "Dipotret pun tidak akan
dimuat. Aku akan pinjam sketsa kalian punya saja..."
"Akan kukopi seberapa banyak kau ingin!"
Solihin berjanji. Lalu berdiri diam, memperhatikan
Maria yang menyandar ke salah satu tiang koridor di
luar kamar mayat. Tampak jelas gadis itu sedang
berusaha mengatur nafas serta peredaran darahnya
yang mendadak kacau balau.
Solihin diam-diam merasa iba. Namun dengan
Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sengaja ia justru berkata setengah mengolok-olok.
"Ke mana kau ingin kugendong?"
Benar saja. Maria meluruskan tegaknya
seketika. Lantas dengan wajah masam ia berkata
cemberut. "Dengan tanganmu yang suka jahil itu?
125 Terima kasih, Sersan! Tetapi kalau memang masih
mau membantu, tolong deh aku dipertemukan
dengan dokter yang membehandel mayat tadi!"
"Bagus! Dengan begitu kau akan segera memperoleh apa yang tadi telah kujanjikan di telepon.
Ayolah!"
"Informasi eksklusif?" tanya Maria sambil
berjalan mengikuti.
"Sangat eksklusif. Bila dimuat, kujamin majalah
kalian akan laku keras."
Semangat Maria kembali dengan cepat.
"Tampaknya menarik..."
"Pasti!" Solihin manggut-manggut meyakinkan.
"Tetapi sebagai informasi pembuka aku akan
memberitahu sesuatu. Tadi sebelum meninggalkan
kantor, aku bertemu seorang rekan sejawat dari resort
Gubang. la menyempatkan singgah dalam perjalanan
tugas ke Bandung. Biasa. Untuk saling tukar informasi.
Dan tahu apa yang ku peroleh, Maria? Mereka
menemukan sebuah mobil misterius terbakar di dasar
jurang, sekitar kampung Cibeureum"
"Misteriusnya?"
126 Sambil belok kiri di pertigaan koridor berikut
Solihin menjelaskan "Seumpama mobil itu terjerumus,
pasti ada penumpang, paling tidak pengemudi. Entah
itu terbakar atau sebelumnya sempat melompat
keluar. Tetapi setelah diperiksa dengan cermat, sama
sekali tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan pada
dua kemungkinan itu. Lebih menarik lagi, mobil
tersobut tidak dilengkapi plat nomor!"
"Pasti mobil curian!" gumam Maria, seraya
menduga duga ke mana arah cerita Solihin.
"Mobil curian, Maria. Tidak akan dibuang begitu
saja tanpa lebih dulu mempereteli perlengkapannya
yang berharga dan laku dijual!"
"Hem. Biarkan aku menebak," Maria menukas
"Mobil itu dijerumuskan untuk menutupi sesuatu!"
"Begitu pula dugaan kami," Solihin mengangguk
sependapat. "Nah. Dapat menangkap arah pembicaraanku sekarang? Aku percaya, kau pasti sudah
pergi ke lokasi mayat itu ditemukan..."
Maria seketika teringat pada jejak-jejak ban
mobil yang ia lihat. la pun sudah mempelajari berkat
laporan penemuan mayat, yang diperlihatkan oleh
Letnan Dua Harsoyo. Dalam berkas itu dicantumkan
bahwa dokter pemeriksa mayat di tempat kejadian
127 menyatakan dengan yakin, bahwa korban diperkira
kan meninggal antara pukul satu dan pukul dua dini
hari. "Mobil misterius itu!" gumam Maria "Pukul
berapa ditemukan?
"Menurut penduduk setempat sekitar pukul
dua dini hari," Solihin memberitahu. "Tetapi tidak
lebih dari pukul setengah tiga!"
"Mungkinkah..."
Solihin tak sabar juga akhirnya, la langsung
memotong, dengan bernafsu. "Bukan lagi mungkin,
Maria. Aku malah merasa pasti! Ada dua petunjuk
yang menguatkan. Pertama, jarak tempuh
berkendaraan dari Jayagiri ke Cilimus... apalagi pada
dini hari, tidak akan lebih dari seperempat jam.
Petunjuk lainnya: wajah yang dipermak, pakaian, pasti
juga plus surat-surat pengenal, dipereteli. Berikutnya,
mobil, pasti mobil milik korban dan si pembunuh tidak
berniat memiliki. Karena, jika hanya sekedar untuk
menghilangkan jejak masih banyak cara yang dapat
ditempuh. Tidak harus dengan membakarnya. Apalagi
itu adalah sebuah mobil mewah, pakai AC dan telepon
segala!"
128 "Hem, baiklah," Maria manggut-manggut
"Misalkan itu benar mobil milik si terbunuh. Dan bisa
dipakai sebagai petunjuk untuk mengetahui siapa.
Lantas, apa maksud Sersan tadi menyebut-nyebut
semua itu sebagai informasi pembuka?"
"Karena. Maria," Solihin menjawab dengan
suara dalam "Orang yang kita hadapi, tampaknya
bukan hanya punya otak. Dia pun, bukan sekedar
pembunuh biasa!"
"Maksud Sersan?"
"Persiapkan saja catatanmu." Solihin menurun
kan tekanan suaranya. "Kita sudah sampai."
Tanpa disadari Maria, rupanya mereka sudah
tiba di tempat yang dituju, bagian bedah forensik.
* * * Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan
masuk, mereka berdua langsung berhadapan dengar
seorang laki-laki berusia sekitar 50-an tahun.
Posturnya gemuk, dengan rambut beruban dan wajah
tampak seperti orang baru bangun dari mimpi buruk.
129 Lusuh dan tidak ramah. Duduk santai di belakang meja
sambil menikmati sesuatu yang ia kunyah-kunyah
dalam mulutnya.
"Eh, kau lagi Sersan!" ia menyambut dengan
suara berat "Apa ada yang masih kurang pada
keteranganku tadi?"
"Lebih dari cukup, dokter Johan'" jawab Solihin
disertai seringai lebar "Hanya saja aku kuatir selah
menjelaskan pada temanku ini"
Maria kemudian diperkenalkan. Jabatan tangan
yang ia terima ternyata lembut dan hangat. Begitu
pula kata-kata yang keluar dan dari celah-celah bibir
tebal tuan rumah. "Andai saja setiap hari ada gadis
semolek Nona mau bermurah hati mengunjungi
padang pembantaianku ini... Ayo. Silakan duduk.
Rileks saja."
Mana bisa Maria rilek! Karena pintu tembut ke
ruangan sebelah dalam keadaan setengah terbuka.
Memang dari tempat Maria duduk tidak terlihat apaapa kecuali lantai yang tampak balas menatap dengan
pandangan dingin. Namun dari pintu itu tercium bau
keras formalin. Dan mengingat siapa tuan rumahnya,
pastilah yang di balik pintu itu ruang bedah mayat.
130 Sialnya lagi, sewaktu memalingkan muka dari
pintu setengah terbuka itu, ekor mata Maria secara
tidak disengaja memandang ke sebuah piring di atas
meja. Di piring itu terhidang sesuatu yang memberitahu apa yang tadi ia lihat sedang dikunyahkunyah tuan rumah dengan nikmat. Tampak jelas
beberapa potong daging bakar, dengan bumbu saos
kental berwarna merah darah.
Dokter Johan rupanya menangkap arah lirikan
ekor mata tamunya. Maka sebagai tuan rumah yang
baik, piring itu ia dorongkan lebih dekat ke depan
Solihin dan Maria. Sambil berkata, gembira. "Jangan
kuatir. Aku tidak menyimpan oven di dalam sana..." ia
gerakkan dagu ke arah pintu ruang bedah. "Ini barusan
dikirim dari restoran Jepang langgananku. Silakan
dicoba. Enak kok"
Solihin menanggapi dengan seringai lebar.
Maria, dengan suara setengah menggigil:
"... terima kasih."
Karena tidak ada yang menyentuh, dokter
Johan menarik kembali piring itu ke dekatnya. Dengan
pisau, ia kerat sepotong daging. "Tak baik dibiarkan
dingin!" katanya kalem. Dan kalem pula, keratan
dimaksud ia selipkan ke mulut dengan memperguna
131 kan garpu. Lalu seraya mangui ngunyah nikmat, ia
bergumam ceria. "Nah Apa yang bisa kubantu, Nona?"
Karena wajah Maria tampak seperti tidak enak
badan, Solihin segera memaklumi. Sersan polisi itu
batuk-batuk kecil sebentar. Lantas mengambil
inisiatip. "Begini, Dokter. Seperti tadi kukatakan..."
Dan pembicaraan santai pun berlangsunglah.
Diseling sejumlah istilah kedokteran forensik, yang
oleh Maria beberapa kali minta dieja atau diulangi
tuan rumah, agar Maria tidak sampai salah tulis.
Buntut dari pembicaraan akhirnya tiba juga pada
urusan senjata yang dipergunakan oleh si pembunuh.
Di situlah sikap santai dokter Johan menghilang
perlahan-lahan.
"... bagian yang ini, Nona. Terus terang sifatnya,
off-the-record...!" ia berkata dengan wajah serius.
"Argumentasinya?" tanya Maria. Tidak mau
langsung main terima begitu saja.
"Bila dimuat oleh media cetak, masyarakat
umum akan terganggu. Dan aku akan dijagal bukan
lagi sebagai penjagal!"
Maria terpaksa
mendengar, Dokter..."
menyerah. "Aku siap 132 "Apa yang kami perkirakan semula, ternyata
keliru!" dokter Johan berkata dengan wajah murung.
"Alat yang dipergunakan mencacah wajah dan
merobek lambung korban, bukanlah senjata tajam
biasa atau sudah umum dikenal. Melainkan semacam
cakar!"
"Cakar? Apakah maksud dokter, anjing-anjing itu"
"Memang ada kemiripannya Hanya, yang ini
berlipat ganda lebih besar dan lebih tajam dari cakar
anjing. Dengan kemampuan merobek atau merenggut
bertenaga luar biasa kuat. Apa atau siapa pun pemilik
cakar mengerikan itu, Nona. Satu hal kami merasa
pasti. Bukan anjing-anjing itu, melainkan si pembunuh
lah yang telah mengambil jantung korban."
Sebagaimana dugaan Letnan Harsoyo, pikir
Maria. Untuk apa? Letnan itu menjawab dengan
seloroh: dipakai jimat, barangkali! Maria tidak bisa
menahan diri mengajukan pertanyaan yang sama
pada dokter Johan. "Untuk diapakan, Dokter?"
Wajah yang ditanya tampak bertambah
murung. Dan nada suaranya sungguh-sungguh,
sewaktu ia berujar getir. "Andai kata kami tahu,
Nona..." menarik nafas panjang sejenak, ia kemudian
meneruskan. "Pernah dengar tentang penganut ilmu
133 hitam? Yang memakan bagian tertentu dari tubuh
sesama manusia... untuk melengkapi sebuah upacara
ritual?"
Maria diam. Kerongkongannya seperti tersumbat.
"Itulah yang kumaksudkan tadi, Maria..."
terdengar Solihin bergumam. Lirih. "... pemuja setan!"
Dari arah pintu ruang bedah, bau formalin
tercium semakin keras.
Bau yang sangat tajam
Dan menusuk.
* * * 134 SEPULUH MALAM sudah mulai jatuh ketika Maria ke
Jayagiri. Ronald sendiri yang membukakan pintu. Dan
langsung menyambut Maria dengan pelukan hangat.
"Aku senang kau kembali Maria. Bukan ke rumahmu
yang di kota"
Pelukan hangat dan ucapan Ronald tersebut membuat
jantung Maria bergetar. Sebagai respon ia mencium
wajah serta bibir Ronald sepuas hati. Sampai Maria
tidak tahan sendiri lantas berbisik mesra di telinga
Ronald. "Katakanlah, sayangku bahwa kau
mencintaiku. Atau angkatlah aku ka tempat tidur!"
Ronald mengambil pilihan kedua. Dimana katakata cinta hanyalah sebuah simbol semu. Atau sekedar
bumbu pelengkap cita rasa saja. Maria tidak berani
bahkan juga merasa tidak berhak menuntut. Karena
Ronald memang mampu mengimbangi tuntutan itu
dengan cara Ronald sendiri. Terbukti ketika erosi
mental yang sempai mengguncang kepercayaan diri
Maria sepanjang hari itu, dengan segera sudah
melebur bersama sensasi demi sensasi yang masih
saja membuat Maria terpesona.
135 Maria menunggu sampai pesona tersebut
meninggalkan dirinya perlahan-lahan. Baru kemudian
ia mendesah hati-hati.
"Ronald?"
Ronald menggeliat di bawah selimut. "Hem?"
"Bagaimana, kau mendadak bisa?"
Ronald sempat terdiam. Agak kaget dengan
pertanyaan yang diluar sangkaan itu. Maria sendiri
sudah berniat minta maaf dan menarik kembali
pertanyaannya. Namun Ronald sudah keburu
membuka mulut.
"Apakah itu penting?"
Jadinya Maria terus.
"Penting benar sih tidak. Tetapi karena
lompatahmu begitu jauh dan tiba-tiba pula. mau tidak
mau membuat diriku bertanya-tanya!"
Diam lagi. Kemudian, "... berkat kau juga, Maria."
"Aku?" Maria tertawa. Kecut. "Kau tahu sendiri
ketika kita melakukannya pertama kali, Ronald.,
Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagaimana aku telah berusaha keras untuk
mendorongmu. Dan bagaimana ketika pada akhirnya
kau sampai, ternyata kau memanipulasi situasinya!"
136 "Pada waktu itu memang betul. Namun
setelahnya Maria, aku begitu menyesal. Lalu aku
mencambuk diriku sendiri dengan apa yang selalu kau
Ingatkan. Bahwa jika aku ingin berubah, perubahan itu
harus datang dari dalam diriku sendiri. Bukan
perjuangan yang mudah. Tetapi hasilnya, kau sudah
tahu sendiri..."
"Sesederhana itu?" Maria bergumam, tak puas.
"Benar." sahut Ronald dengan suara setengah
mengantuk. "Sesederhana itu!"
Setengah tidak sadar.
menceletuk. "Aku tak percaya!"
Maria langsung Dalam rebahnya, sepasang kelopak mata
Ronald yang sudah mengatup ingin tidur, serempak
membuka. Nyalang. Bukan untuk memandang ke arah
Maria. Melainkan ke langit-langit kamar tidur. Seperti
tadi. Maria diam-diam menyesali ucapannya yang
lepas kendali, la menggeser posisi rebahnya,
menghadap ke arah Ronald. Pada waktu bersamaan,
Ronald kebetulan berbuat hal yang sama pula. Dua
pasang mata mereka mau tidak mau saling beradu,
tidak terelakkan...
Maria dengan sorot mata menyesal.
137 Ronald dengan sorot mata lurus. Menghunjam.
Sementara Maria terpaksa menelan ludah
untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak
kering, bibir Ronald perlahan-lahan mengguratkan
senyuman tipis. Senyum beribu makna.
"Masih ingat ketika pak Jayus memutuskan
pindah dan menetap di Jakarta sebagai distributor
sayur-mayur yang kita pasok?"
Maria manggut saja. Karena perasaannya
mendadak tidak menentu.
"Pada waktu itu," Ronald melanjutkan. "Dia
bilang aku sudah belajar lebih dari cukup sehingga dia
yakin betul aku cukup mampu menggantikan
tempatnya. Aku sempat mengajukan keberatan,
bukan?"
Lagi Maria manggut-manggut. Tetapi sudah
mulai menangkap ke mana arah pembicaraan Ronald.
Maria ingat betul bagaimana Ronald memprotes keras
sewaktu Maria menerima usul Jayusman begitu saja.
Ronald mengatakan bahwa Maria telah berlaku
ceroboh tanpa memperhitungkan resiko yang
mungkin terjadi. Maklum Ronald belum lama
memasuki kehidupan Maria. Maria belum tahu sejauh
mana loyalitas Ronald, padahal yang dipertaruhkan
138 Maria adalah usaha yang telah dijalani turun temurun.
Menyangkut modal yang bukan sedikit pula. Tangkisan
Maria ketika itu sederhana dan pendek saja.
"Kepercayaan Ronald Adalah kunci menuju sukses!"
"kini. Maria." terdengar gumam lembut
Ronald di sebelahnya "Perkenankan aku mengutip
kata-kata mutiaramu itu. Dengan komposisi yang
sedikit berbeda" Ronald berhenti sejenak Memberi
kesempatan pada Maria untuk mencamkan apa yang
akan ia ucapkan. "Kepercayaan Maria." Ronald
berkata, "Adalah kunci menuju kebahagiaan!"
Marialah yang terdiam sekarang.
Tetapi tidak ada nada kemenangan dalam suara
Ronald sewaktu la kemudian berujar lembut "Sudah
waktunya tidur, Maria" Bibir Maria di kecup. Lembut
juga. "Bermimpilah yang indah!"
Ronald kembali menelentang di bawah selimut.
Sepasang kelopak matanya dengan segera
sudah mengatup kian rapat. Dan beberapa saat
berikutnya, Ronald sudah mendengkur.
Enak. Dan pulas
139 * * * Kelelahan pisik sebenarnya sudah membujuk
Maria agar segera mengikuti jejak Ronald. Tetapi
pikiran menolak. Bagaimana pun kelopak mata
dipejam-pejamkan, toh akhirnya terbuka juga.
Menoleh ke samping, Maria sempat iri pada Ronald
yang begitu cepat tertidur. Nyenyak pula lagi.
Maria bergeser sedikit untuk dapat menggapai
tombol lampu meja di sebelah tempat tidur. Nyalanya
diperbesar sedikit. Cukup untuk memuaskan hati
Maria dapat memperhatikan wajah lelaki yang
dicintainya itu. Beberapa saat lamanya Maria
setengah rebah dengan salah satu siku terlipat di
permukaan kasur. Inilah pertama kali ia
memperhatikan wajah Ronald sebegitu dekat dan
leluasa. Lantas kini mengerti, mengapa.
Dagu. tulang pipi maupun tulang hidung Ronald
tampak kokoh dan memperlihatkan lambang
kejantanan. Akan tetapi telinganya sedikit kecil
dibanding telinga umumnya lelaki seusia dan sepostur
Ronald. Lalu kulit wajah, alis serta bulu mata. dan
terutama garis-garis bibir Ronald sedemikian halusnya
sehingga tampak begitu feminin. Sungguh sebuah
140 kontradiksi unik, yang justru membuat wajah Ronald
memancarkan daya tarik seksuil tersendiri.
Dari apa yang sudah dialami Maria sendiri, serta
mengingat siapa Ronald sebelumnya, kiranyadaya
tarik Ronald itu telah menebar benih benih birahi di
dua arah dengan atau tanpa disadari oleh Ronald
sendiri. Ya pada wanita sekaligus juga pada kaum pria,
khususnya pria berdarah homo.
Maria mengecup kehalusan pipi dan bibir
Ronald dongan penuh kasih; dan tanpa mengusik sang
kekasih tercinta dari tidurnya yang demikian pulas.
Cahaya lampu meja ia kecilkan seperti semula dan
kembali mencoba untuk tidur.
Gagal lagi!
Pikiran Maria masih terus menolak. Memang
benar sebelum tidur Ronald memperlihatkan sikap
yang sedemikian manis dan mesra. Tetapi sorot
matanya yang lurus menghunjam sebelum itu masih
saja mengganggu Maria. Selama ini Ronald tidak
pernah menatap Maria seperti itu. Jangankan dengan
sorot menghunjam. Menatap lurus dan terangterangan pun Ronald tampak segan. Kalau pun pada
akhirnya ia punya keberanian, di balik sorot mata
Ronald hanya tersembunyi dua hal saja. Persahabatan
141 yang tulus. Lalu sesekali... yang membuat Maria sering
rikuh, perasaan hormat.
Namun hari ini sudah dua kali Ronald menatap
Maria dengan lebih berani, lebih terang-terangan
Pertama, ketika mereka mengobrol di dekat tungku
pendiangan. Sorot mata Ronald pada dini hari itu
menghunjamkan birahi yang langsung membangkit
kan gairah Maria dengan hebat. Tetapi yang barusan
terasakan benar menimbulkan akibat lain yang sangat
jauh bertolak belakang. Apa yang dilihat Maria tak
ubahnya sepasang mata yang mengintai dari balik
kegelapan dimana kita terperangkap. Menghujamkan
kemarahan yang sangat dari sang angkara murka yang
siap untuk menerkam lalu mencabik-cabik dengan
buasnya. Sorot mata Ronaid yang barusan itu tampak
begitu asing. Dan menakutkan.
Dimana letak kekalahan yang telah diperbuat
Maria sehingga pengaruhnya sedemikian besar
terhadap Ronald? Apakah pada pertanyaan itu sendiri,
atau cara mengucapkannya?
Oh, oh. Maria yang malang dan tidak tahu diri!
Ronald sudah melimpahi dirimu mimpi-mimpi indah
dan sensasional. Ronald pun telah berubah, bahkan
jauh melebihi apa yang kau harapkan. Dan apa yang
142 kau berikan padanya sebagai ucapan terima kasih?
Melukai hatinya! Dengan ucapan yang seenak perut
pula: "Aku tak percaya!"
Jelas sudah, bukan hanya Maria. Ronald pun
punya ego. Tetapi baiklah. Untuk menjaga agar segala
sesuatunya tetap berjalan dengan baik dan benar
tanpa mempersoalkan ego siapa yang lebih tinggi,
Maria akan mengalah. Cukuplah sudah pengalaman
pahitnya selama ini gara-gara mempertahankan ego
sendiri. Hatinya pun sudah cukup terluka setelah ia
ditinggalkan oleh Parman, menyusul kemudian
Effendi. dan... Untuk saat ini dan semoga seterusnya
(Maria berjanji pada diri sendiri), Ronald adalah satusatunya dan segala-galanya. Bila Ronald pun akhirnya
pergi pula, bukan hanya akan terluka saja. Maria juga
akan habis!
Dan, mumpung hidup belum tamat dan masih
ada yang bisa dinikmati, tidurlah sekarang. Begitu
bangun besok pagi...
Kelopak mata Maria memberat dan terus saja
memberat. Lalu, di tengah transisi dari alam nyata ke alam
mimpi, sesuatu terdengar bergerak di sekitar Maria.
Suara langkah kaki mundar-mandir, disertai desahan143
desahan nafas berat yang aneh dan menakutkan. Juga
terdengar suara pintu... entah dimana, dibuka lalu
ditutupkan oleh seseorang.
Dengan mata masih terasa memberat, tangan
kiri Maria meraba-raba ke sebelahnya. Seraya
berbisik-bisik cemas. "Ronald? Bangunlah, Ronald!
Apakah kau juga mendengar..."
Tidak ada sosok tubuh yang tersentuh oleh jarijemari tangan Maria. Apa yang tersentuh ketika ia
meraba dan meraba lagi, hanyalah sprei yang terasa
kusut dan dingin. Kelopak mata Maria pun lantas
membuka takut-takut. Menoleh ke samping, kasur di
sebelahnya memang dalam keadaan kosong. Bingung
dan semakin takut, Maria memanggil dengan suara
tertahan di tenggorokan. "Ronald? Kemana kau
Ronald?!"
Sepi. Tidak ada sahutan dari Ronald. Bahkan suarasuara aneh tadi pun mendadak hilang begitu saja.
Tidak terdengar apa pun, terkecuali desahan nafas
Maria sendiri. Yang keluar dengan susah payah,
sehingga Maria jadinya terengah-engah.
Oh, oh. Pasti Maria telah bermimpi. Dan Ronald
pasti masih berbaring di sebelahnya. Dalam tidur yang
144 pulas. Kalau tidak percaya, bangunlah sekarang juga,
Maria. Bangun dan lihat!
Namun ketika Maria berusaha untuk bangkit,
sekujur tubuhnya terasa sangat lemas. Luar biasa
lemas. Seolan-olah ia seperti mengalami kelumpuhan
total yang datangnya sangat tiba-tiba. Hal yang
sedemikian itu biasa terjadi pada orang yang sedang
tenggelam dalam lautan mimpi buruk Dan mimpi
Maria sedemikian buruknya.
Coba saja! Di tengah suasana sepi yang
menekan dan semakin menekan itu, telinga Maria
seakan menangkap suara bisikan sayup-sayup sampai.
"Tidurlah, Maria... tidurlah...!"
"Tidak Aku tidak mau!" Maria merintihkan
penoiakan. "Aku harus terjaga sekarang juga Harus!"
"Aku bilang tidur, Maria. Ini adalah perintah.
Ayo, Maria. Tidurlah...!"
Bisikan sayup itu sepertinya suara bisikan
Ronald. Suara yang mengandung daya hipnotis. Dan
membuat Maria tidak kuasa menolak. Terbukti
kelopak matanya kembali memberat dan semakin
berat saja. Yang aneh, alam bawah sadar Maria masih
tetap berfungsi. Alam bawah sadarnya terus saja
145 terjaga. Bersama waktu yang juga terus berjalan. Tidak
dapat dihentikan oleh apapun juga.
Alam bawah sadar itu sepertinya menunggu.
Entah apa yang ditunggu, Maria tidak tahu bahkan
juga tidak mampu untuk memikirkannya. Yang pasti,
menunggu. Dan saat-saat menunggu yang semacam itu
tidak hanya terasa sangat membingungkan serta
melelahkan.
Tetapi juga, menakutkan.
* * * 146 SEBELAS ERWIN GAUTAMA meninggalkan hotel
Papandayan dengan perasan gembira sekaligus tak
sabar. Peragaan tunggal rancangan-rancangan
terbarunya yang dilangsungkan di lobby hotel
terkemuka itu berjalan lancar, malah boleh dibilang
sukses. Dari sekitar 50-an model busana yang ia
lempar ke panggung, lebih dari dua per tiganya
langsung terjual atau dipesan. Baik oleh pemakai
perorangan maupun oleh pelanggan yang biasa
mengambil dalam partai besar. Asesoris pelengkap
jangan dikata lagi. Erwin benar-benar kehabisan stock
Tetapi para pelanggan bersedia menunggu.
Untuk semua itu, seusai penunjukan terpaksa
harus menyediakan waktu luang satu jam untuk
bermanis-manis muka di hadapan para pelanggan
Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setianya Terutama, ibu Walikota. "... Bung Erwin, kan
tahu sendiri bagaimana si Mia. Enam model yang tadi
diambil si bungsu itu, paling banter dalam satu dua
minggu akan habis terpakai. Selelahnya, dia pasti akan
ribut lagi Maka..."
Padahal, betapa sudah tidak sabarnya Erwin
untuk segera angkat kaki dari hadapan mereka semua.
147 Untungnya dalih kelelahan pisik dapat mereka terima
dengan penuh pengertian. Kecuali, Leonardo.
Peragawan andalannya untuk busana-busana pria
eksekutif malam itu, terus saja menempel Erwin,
bahkan sampai ke tempat parkir.
Aku tahu kau masih dalam kondisi fit!" anak
muda kelahiran Maluku yang berpostur gagah itu
berkata mendesak. "Kau sendiri tadi sudah bilang oke.
Dan aku sudah memesan kamar!"
"Batalkan sajalah, Leon." Erwin mengusulkan
"Besok-besok toh masih bisa..."
"Menunggu lebih lama lagi, Erwin, aku bisa gila!
Kau begitu dibuat sibuk oleh koleksi-koleksi terbaru
mu. Sehingga kau melupakan bahwa sudah dua
minggu kita tidak tidur bersama. Ayolah kekasih, kita
masuk lagi ke dalam. Satu jam saja pun jadilah!"
Erwin memutar kunci kontak mobilnya dengan
tak acuh "Maaf, Leon. Aku..."
"Seperempat jam!"
Erwin tertawa mendengarnya. "Seperempat
jam? Apa maksudmu kau akan langsung menembak
bahkan sebelum celanaku dilepas, eh?"
148 "Aduh, Erwin. Kumohon..." suara Leonardo
terdengar bergemetar.
Erwin mengeluarkan kendaraannya dari blok
parkir Tetapi Leonardo masih saja menempel di
sebelah luar. Sambil menuduh. "Kau ada janji dengan
pacarmu yang lain, ya? Pasti. Pasti itulah sebabnya"
Erwin sempat tertegun. Namun mobil terus saja
ia jalankan menuju pintu gerbang parkir. Dan di
belakangnya terdengar jeritan marah Leonardo.
"Terkutuklah kau, Erwin. Dimakan setanlah
engkau hendaknya!"
Penjaga parkir menerima kartu yang disodorkan
Erwin seraya menggeleng-geleng prihatin.
"Maaf, Om." Ia menggumamkan komentar.
"Ucapan teman Anda itu sungguh berbahaya"
Erwin menjawab dengan senyuman. "Biarkan
saja."
"Tetapi, Om. Dimakan setan"
Si penjaga parkir tidak meneruskan omongan
nya. Mobil Erwin sudah berlalu ke jalan raya. Si
penjaga parkir ganti menoleh ke laki-laki satunya lagi.
Yang tampak mundar-mandir dengan tinju terkepal.
149 Disertai sumpah serapah. "Haram jadah terkutuk! Apa
dia pikir aku sudi dikhianati begitu saja? Biarlah setan
jadi saksiku"
Si penjaga parkir mengurut dada. Seraya
berucap, kuatir. "Astagfirullah!"
* * * Erwin terus berpacu menembus kegelapan
malam dengan sedikit penyesalan menggurat dalam
hati. Tidak seharusnya ia berlaku sekasar itu pada
Leonardo. Karena Leonardo adalan peragawan
pavoritnya. Dalam kondisi bagaimanapun, Leonardo
senantiasa tampil antusias dan penuh kepercayaan
diri. Pernah karena kurang menjaga kondisi, sakit
maag anak itu kambuh setengah jam menjelang naik
panggung. Erwin sudah menyarankan Leonardo
supaya pulang ke rumah, berisitirahat. Masih ada
peragawan lain yang diharapkan dapat menggantikan
tempatnya, sementara honorarium Leonardo tetap
akan dibayar penuh. Akan tetapi Leonardo menolak.
150 "Aku tidak mau mengecewakan pelangganpelangganmu," ia berkata teguh. "Beri aku tempo
beberapa menit..."
Dan dengan sedikit pulasan kosmetik untuk
menutupi kepucatan wajahnya, waktu itu Leonardo
benar-benar tampil gemilang. Lima jenis busana yang
diperagakannya, langsung terjual habis.
Leonardo juga punya potensi. "Bagaimana kalau
pola peragaan kau rubah begini..." Selama beberapa
bulan terakhir, Erwin sudah memantau bakat
terpendam anak itu sebagai manajer pemasaran.
Tampaknya Leonardo bakal mampu menggantikan,
atau paling tidak mendampingi Pardomuan Sianipar
yang belakangan ini konsentrasinya semakin terpecah
dua: pada pekerjaan, dan agaknya sudah malah lebih
tercurah pada sang isteri yang terus menerus keluar
masuk rumah sakit untuk menjalani cuci darah.
"Aku senang dan siap menerima penawaranmu
itu..." Leonardo menanggapi positip gambaran Erwin
untuk mengorbitkannya ke masa depan yang lebih
menjamin. "Tetapi ketahuilah. Yang sesungguhnya
lebih kutunggu-tunggu adalah, kapan kau akan
mengajakku hidup serumah?"
151 Itulah salah satu segi kekurangan Leonardo
Masih tidak mau memahami, bahwa Erwin tidak
bersedia terikat dan hidup bersama dengan orang
yang tidak dicintainya. Padahal Erwin sudah beberapa
kali mcmberitahu dengan terus terang.
"Aku pernah jatuh cinta. Dan itu adalah yang
pertama namun juga sekaligus yang terakhir!"
Orang lain boleh saja geleng-geleng kepala.
Namun bagaimana pun Antonius telah mengecewa
kannya. Antonius masih saja satu-satunya kekasih
yang mampu melumpuhkan hati Erwin sampai terkulai
tak berdaya. Dipukuli sampai terluka pun oleh
Antonius yang memang emosionil dan ringan tangan
itu, Erwin tetap sabar dan setia. Asal lelaki yang satu
itu tidak meninggalkannya. Dan ketika toh pada
akhirnya Antonius pergi juga, Erwin tidak menyalah
kan. Yang disalahkan Erwin tetap dirinya sendiri.
Dialah yang membawa Ronald ke pesta tahunan yang
menyakitkan itu.
Suatu hari mobil Erwin mogok mendadak.
Kebetulan ada bengkel yang letaknya berdekatan. Di
sanalah Erwin pertama kali berkenalan dengan
Ronald. Dan dengan matanya yang jeli, ia langsung
mengetahui bahwa si anak pemilik bengkel ternyata
152 berdarah homo seperti dirinya. Tidak tega melihat
anak berpenampilan lembut dan manis itu harus
berkubang di kolong mobil dengan sekujur tubuh
dikotori minyak pelumas bercampur debu, Erwin
kemudian mengajak Ronald ikut hadir dalam pesta
topeng yang diadakan sekali dalam setahun oleh
kelompok mereka. Maksudnya, untuk diperkenalkan
pada seorang pengusaha keroseri yang memang
sedang mencari seorang gay pemula sebagai
nyamikan penyegar Eh, tak tahunya ketika semua
topeng dibuka oleh masing-masing pasangan melantai
Ronald justru berhadapan dengan Antonius. Dan
semenjak hari itu, Antonius tidak pernah lagi
melepaskannya Erwinlah yang kemudian tersingkir
bersama penyesalan yang tak kunjung habis.
Sesekali Erwin memang masih didatangi
Antonius. Tetapi setelah menyadari kedatangan
Antonius itu hanya sebagai pelarian akibat bentrok
dengan kekasih barunya. Erwin dengan berat hati
mengambil keputusan.
"Aku mencintaimu, Anton, dan selamanya akan
tetap begitu!" ia berkata pada kekasihnya "Namun
tidak berarti aku bersedia dijadikan lubang
pelampiasan sementara saja. Pergilah, Anton. Dan
kapan kau ingin menemuiku lagi, camkan dalam
153 hatimu, bahwa kedatanganmu itu nanti harus untuk
selama-lamanya!"
* * * Erwin menerobos lampu merah di perempatan
jalan Cipaganti dengan tak sabar la sudah semakin
dekat ke rumah. Semakin dekat dengan Antonius
tercinta! Rasanya Erwin bagaikan bermimpi ketika di
tengah pertunjukan tadi ada telepon untuknya.
Semula ia sempat mengomel setelah mengetahui
bahwa si penelepon adalah mang Kurdi, pelayannya.
Tetapi sebelum Erwin memutuskan hubungan
telepon, suara mang Kurdi mendadak digantikan oleh
suara orang lain. "Hallo, sayangku. Pulanglah segera.
Aku tidak tahan menunggu!"
Hanya satu orang yang berani mengganggu
Erwin yang lagi sibuk dengan bisnis, dan main perintah
pula. Dan itu, benar-benar suara Antonius. Suara
serak-serak kasar yang tidak akan pernah hilang dari
sanubari Erwin. Suara yang seakan bardaya magis dan
sering membuat Erwm lumpuh tak berdaya. Tadi di
154 belakang panggung pun, Erwin sempat terpesona satu
dua detik. Sampai ada seorang entah siapa menegur
nya dengan berseloroh. "Ada hantu lewat, Om?"
Tapi setelah menenangkan deburan jantungdengan susah payah, barulah Erwin sanggup
menjawab. Itu pun dengan suara lemah. Patah-patah.
"Anton! Setelah sekian tahun. Apa yang"
"Kau pasti sudah tahu mengapa, Erwinku
terkasih!"
"Oh ya. Ya. Sudah beberapa bulan ini kau tidak
kelihaian di club kita. Aku dengar dia meninggalkan
mu" "Untuk selamanya, Erwin. Untuk selamanya.
Kau paham. Bukan?"
Erwin memang sudah mendengar keputusan
Ronald untuk meninggalkan dunia mereka. Terapi
yang dijalani Ronald bahkan sering jadi bahan
pergunjingan. Kebanyakan, menertawakan. Tetapi,
satu dua orang, sempat dibuat berpikir-pikir
"Untuk siapa yang selama-lamanya itu Anton?"
Erwin bertanya, ingin kepastian.
155 "Untukmu, sayangku. Dan bila kau nanti pulang,
kau tidak akan pernah lagi melihat aku pergi pada yang
lain!"
Erwin percaya.
Sepenuhnya percaya, kata demi kata. Memang
kalimat dan cara Antonius mengutarakannya
terdengar agak aneh. Masih tetap romantis, tetapi
bukanlah kebiasaan Antonius beraneh-aneh. Pasti
dikarenakan hatinya yang dibuat sangat terluka oleh
Ronald, pikir Erwin, sambil diam-diam merasa iba.
Lantas membathin. "Mungkin hatinya belum
sepenuhnya kembali. Tetapi lambat laun, sebagian
yang belum kembali itu akan kuraih sedikit demi
sedikit. Yang penting..."
"Erwin?"
"Aku masih di sini, Anton..."
"Lho. Aku kira kau sudah dalam perjalanan!"
Erwin tersenyum.
"Sebentar lagi, Anton. Sebentar lagi. Aku
masih..." dengan hati-hati dan kata-kata terpilih,
Erwin menjelaskan situasi yang ia hadapi dan
memohon dengan sangat agar Antonius mau
mengerti. 156 "Yang penting, kau pulang!" jawab Antonius
datar. "Pasti. Dan, Anton?"
"Heh?"
"Begitu mang Kurdi selesai menyuguhi
minuman, bilang dia supaya langsung pergi tidur.
Supaya kita"
Antonius tertawa serak. "Aku kira saat ini dia
malah sudah terbang ke alam mimpi!"
* * * Erwin membelokkan mobilnya memasuki
halaman sebuah rumah mewah bertingkat di kawasan
perumahan elit Ciumbeuleuit. Pintu gerbang rupanya
dibiarkan dalam keadaan terbuka karena mang Kurdi
tahu dia bakal segera pulang. Tetapi di halaman rumah
tidak tampak adanya mobil. Pastilah Antonius datang
pakai taksi, pikir Erwin sambil memperhatikan
rumahnya yang tampak sepi-sepi saja dari luar. Tetapi
lampu ruang tamu terang benerang. Tidak ada orang
157 di dalam ketika Erwin membuka pintu, yang juga
rupanya dibiarkan tidak terkunci.
Namun tanda-tanda kehidupan masih saja tidak
kelihlatan, walaupun Erwin sudah masuk dan
menyalakan lampu ruang tengah. Erwin berjalan
menuju pintu kamar tidur yang tertutup karena
menduga Antonius pasti menunggunya di situ dengan
maksud membuat surprise langsung di tempat tidur.
Belum juga sampai ke pintu yang ditujunya, telinga
Erwin tahu-tahu menangkap suara bisikan serak.
Terdengarnya seperti sayup namun cukup jelas di
telinga. "Aku di sini, Erwin!"
Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Erwin menoleh ke pintu kamar berseberangan.
Pintu kamar kerjanya dari mana suara itu terdengar,
tampak sedikit terbuka. Suasana di dalam tampak
remang-remang. Rupanya lampu utama tidak
dinyalakan. Jika bukan lampu duduk pastilah yang
dinyalakan oleh Antonius lampu bias meja kerja.
Pernah Antonius merebahkan lalu meniduri Erwin di
atas meja berlapis kaca bias itu, tetapi ketika
kemudian kacanya pecah, mereka lalu pindah ke
lantai. Oh, oh. Agaknya Antonius ingin bernostalgia!
158 Dengan jantung berdebar hangat. Erwin
melangkah masuk ke ruangan yang remang-remang
itu. Memang benar, lampu biaslah yang menyala
Cahayanya yang redup menerangi kursi kerja berjok
tinggi. Di sandaran kursi mana tampak lengan-lengan
telanjang seseorang yang duduk diam-diam tanpa
bergerak. Eh, apa pula maksud Antonius?
Erwin berjalan mendekati kursi yang posisinya
membelakangi pintu itu.
"Anton?"
Kursi kerja berputar perlahan-lahan. Sosok yang
menempatinya tempat duduk dengan kaku. Bias
lampu yang kini membelakangi sosok itu, menimbulan
sinar misterius, dan terasa agak mencekam. Tetapi
lampu ruang tengah yang menerobos masuk lewat
pintu yang barusan dibuka lebih besar oleh Erwin
memperlihatkan dengan jelas sosok tersebut
termasuk seringainya yang tipis namun kejam.
Erwin tersentak.
Terlebih lagi setelah mengenali sosok siapa ang
menunggu di hadapannya.
159 "Ya, ampun..." Erwin bergumam tersedak. "Kau
adalah..."
Sayang, Erwin terlambat.
* * * 160 DUA BELAS NUN jauh lebih ke utara Ciumbeuleuit, yakni di
wilayah berbukit-bukit Jayagiri penungguan yang
melelahkan itu semakin mendekati akhirnya juga.
Maria sama sekali tidak tahu entah berapa lama
waktu menunggu tersebut sudah berjalan ketika
suara-suara tadi kembali terdengar mengisi suasana
sunyi sepi di sekitarnya. Ada langkah-langkah kaki
mendatangi. Langkah yang seperti tersuruk-suruk.
Desahan-desahan nafas berat itu pun muncul lagi,
yang kali ini terdengar seperti terengah-engah.
Lalu terasakan benar adanya sesuatu yang
bergerak di dekat Maria. Sedemikian dekatnya,
sehingga nafas sesuatu itu terasa menyapu wajahnya.
Sapuan nafas yang begitu dingin. Menusuk,
melumpuhkan.
Antara sadar dan tidak. Maria terkejut dan
mencoba membuka kelopak mata. Namun tidak
berhasil. Sementara alam bawah sadarnya dengan
ngeri menyadari bahwa sesuatu itu perlahan-lahan
kemudian duduk diam-diam, mengawasi dirinya
Dengan sorot mata buas. Sorot mata yang haus darah
161 Maria berjuang keras untuk bangun.
Sia-sia. Sekujur tubuhnya kembali mengalami kelumpuhan total. Namun toh rnasih cukup sadar
untuk merasakan adanya tangan yang merayap lalu
menggerayangi lambungnya. Tangan kekar yang
sedingin es. Tangan itu kesat, berlipat-lipat Dengan
jari jemari melengkung, berujung runcing tajam. Jarijemari mengerikan itu menggurat pelan menggoresgores. Seolah olah ingin memastikan sesuatu. Lantas
dengan sebuah renggutan kejam dan sangat tiba-tiba,
jantung Maria pun lenyap sudah.
Yang aneh, Maria tidak langsung mati. Maria
masih bernafas, dan terus bernafas. Malah entah
bagaimana, sepasang matanya mampu terbuka
Membelalak lebar. Melihati muncratnya darah merah
segar. Darah yang kemudian mengalir sangat deras.
Dan, menggenang kemana-mana.
* * * 162 TIGA BELAS
TEROR mengerikan itu diakhiri oleh goncangangoncangan keras pada bahu dan lengan Maria yang
pelan-pelan membuatnya terjaga dari tidur yang
sangat melelahkan. Kelopak mata Maria membuka
lebar dan melihat Ronald yang tengah mengawasi
dengan pandangan cemas. Suara Ronald pun
terdengar begitu kuatir. "Kau baik-baik saja Maria?"
Maria menggeliat di bawah selimut. Lantas
dengan nafas masih tersengal-sengal, balik bertanya.
Tidak percaya. "Apakah aku, masih hidup, Ronald?"
Ronald menghela nafas lega. "Itu pertanyaan
terlucu yang pernah kudengar dari mulutmu,"
katanya. "Tetapi setidak-tidaknya, itu juga pertanda
kau masih hidup. Hanya saja, nafasmu barusan
terdengar sangat sesak!"
Masih tak yakin, Maria merayap bangun dengan
susah payah lalu duduk diam-diam. Tanpa
memperdulikan selimut yang meluncur turun
sehingga Maria seketika berbugil ria. Secara naluriah
tangannya bergerak ke arah lambung. Meraba-taba
gemetar. Ah, ah masih utuh. Jantung pun jelas masih
bercokol di tempatnya. Karena sang jantung terasa
163 berdenyut-denyut teratur dan semakin teratur.
Barulah setelah itu Maria menyadari kebugilannya dan
buru-buru menarik selimut sampai menutup sebatas
leher. "Ya, ampun!" ia mengeluh tersipu sipu. "Kiranya
aku cuma bermimpi. Sudah pukul berapa sekarang,
Ronald?"
"Delapan lebih," jawab Ronald. "Mau kubuka
kan jendela?"
Maria manggut-manggut dan memperhatikan
Ronald yang sudah berpakaian rapih beranjak dan
tempat tidur dan pergi membuka jendela. Matahari
pagi langsung menyeruak masuk. Lembut dan hangat.
Matahari kehidupan yang ternyata masih bisa
dinikmati oleh Maria. Ronald kembali duduk di pinggir
tempat tidur. Kecemasan sudah lenyap dan wajahnya.
"Lucu, kalau mengingat kelakuanku barusan!" ia
berkata ceria. "Bayangkan saja. Tadi aku sudah mau
berangkat, Dan kupikir tidak ada salahnya mengecup
bibirmu sebelum pergi. Lalu aku pun menyelinap lagi
ke kamar ini. Berjingkat segala!. Maksud agar tidurmu
tidak sampai terusik. Nyatanya, apa!" Ronald
menggeleng-geleng, lucu. "Malah kau terpaksa
kuguncang-guncang supaya bangun. Habis? Tubuhmu
164 kaku tak bergerak ,gerak. Tetapi nafas terengah-engah
Keras dan pendek-pendek. Mimpi buruk ya?"
"Sangat buruk..." Maria mengeluh. "Bahkan
rasanya seperti bukan mimpi!" Maria lalu mencerita
kan apa yang dirasakan serta dialaminya dalam mimpi.
Cerita mana diakhiri Maria dengan suara resah. "Kau
lihat bukan? Aku bahkan mengingat setiap detail.
Seolah-olah semua itu benar-benar dan barusan saja
terjadi "
Ronald diam sejenak. Tampak berpikir-pikir.
Kemudian berujar enteng.
"Pasti karena ulahmu juga!"
"Ulahku?"
Ronald mengangguk-"Aku tidak melihatmu
ketika kemarin aku pulang. Lalu bi Nining memberitahu bagaimana kau langsung terlompat begitu
kau mendengar ada seseorang terbunuh tidak jauh
dari rumah ini. Dapat kupastikan sepanjang hari
kemarin kau sibuk melacak berita itu kian kemari.
Melihat mayat yang lambungnya robek menganga,
yang jantungnya lenyap dimakan si pembunuh. Kau
sedemikian menghayati apa yang kau dengar dan lihat
sehingga tanpa kau sadari semua itu lantas terbawabawa dalam tidurmu..."
165 "Benar juga!"
Maria manggut-manggut sependapat. Lantas
diam termenung. Analisa Ronald memang masuk akal,
namun pikiran Maria mendadak terusik begitu saja.
Ada sesuatu yang salah, tetapi apa? Pikiran itu
melintas sekilas saja. Dan sebelum Maria sempat
menangkapnya, sudah menghilang dengan cepat. Apa
yang salah? Di mana letak kesalahannya?
Selagi Maria mengingat-ingat, Ronald tahu-tahu
sudah mengecup pipinya. Lembut dan hangat.
"Sudahlah!" katanya. "Kau mandi dan segeralah
berpakaian. Ingat, jangan berlama-lama. Aku paling
tidak suka sarapan pagi sendirian!"
Habis berkata demikian Ronald berjalan ke
pintu. Setelah tersenyum ke arah Maria kemudian
berlalu. Maria menatap ke pintu yang ditutupkan oleh
Ronald. Ucapan yang ia dengar barusan membuat
Maria sempat termangu.
"Belum juga jadi suami, sudah berani main
perintah." ia membathin. Namun tanpa perasaan
tersinggung. "Apa boleh buat. Jika aku ingin jadi
isterinya, aku harus sudah siap menerima hal-hal kecil
semacam itu!"
166 Lagi pula. sikap Ronald barusan jelas menunjuk
kan bahwa Ronald sudah semakin banyak berubah.
Dan perubahan tersebut justru membuat Maria
semakin jatuh cinta. Jangan berlama-lama, kata
Ronald, dan Maria harus membuktikan bahwa dirinya
adalah seorang calon isteri yang sesuai dengan
harapan laki-laki yang satu ini. Maka, Maria pun
melemparkan selimutnya dan bergegas masuk ke
kamar mandi, la bersiram cepat-cepat. Cukup
membuat dirinya bersih dan merasa lebih segar.
Kembali ke kamar tidur, Maria pun berdandan
seperlunya saja. Juga cukup sekedar membuat dirinya
tampak cantik di mata Ronald. Karena hari itu belum
ada rencana untuk berkeliaran lagi seperti biasa. Tidak
berapa lama kemudian Maria keluar dari kamar hanya
dengan pakaian rumah saja. Gaun warna hijau lumut
yang sangat kontras dengan kulit tubuhnya yang
seputih dan sehalus lilin. Berlengan longgar dengan
leher rendah, sehingga lembah payudaranya
terpampang nyata.
Tak ayal lagi, begitu mereaka berdua duduk
menghadapi meja makan. Ronald mencuri lirik sekilas.
Lantas berujar lirih "Kau membuatku segan
meninggalkan rumah"
167 Maria tertawa bahagia Hangat, ia mengomentari. "Kau, sih. Pagi pagi begini mau kabur.
Memangnya ada yang dikejar?"
Sambil memperhatikan Maria menyendokkan
nasi goreng dan lauk-lauk pelengkap ke piring di
depannya, Ronald menjawab. "Mengedar, tidak.
Mencari, ya!"
"Yang dicari?"
"Panenan kemarin di Cisarua," Ronald memberi
tahu. "Hanya cukup untuk memasok langganan
langganan kita di pasar induk Caringin dan Gedebage.
Stock untuk pak Jayus masih harus dikumpulkan dari
sekitar Cibodas. Aku harap sore ini juga sudah dapat
dikirimkan ke Jakarta."
Maria duduk menghadapi piringnya sendai yang
sudah terisi. "Terus menumpuk uang, ya?"
"Aku cuma pekerja," kata Ronald "Uangnya,
adalah uangmu!"
"Uang kita berdua," Maria membetulkan.
"Ah. Punyaku tak seberapa. Dibanding dengan..."
168 "Dibanding dengan punya lelaki lain," Maria
cepat memotong. Lalu disertai senyum dan kerlingan
nakal, meneruskan. "Punyamu jauh lebih hebat!"
Sejenak Ronald tampak bingung, kemudian
tertawa. "Apa yang tadi malam belum cukup Maria?"
"Tidak akan pernah cukupl" Maria menantang.
"Maka bila nanti kau pergi, janganlah membiarkan aku
gelisah menunggu"
"Eh, nanti dulu. Kau sepertinya
memutuskan untuk menetap di rumah ini!"
sudah "Apa kau keberatan, Ronald?" Maria memanclng.
Ronald menyeringai. "Bodoh sekali bila aku
keberatan Tetapi, Maria. Agaknya kau melupakan satu
hal."
"Hem?"
"Pandangan tetangga sekitar. Maria. Coba saja.
Kita hidup serumah. Dan ..." Ronald tiba-tiba berhenti.
Maria pun sengaja diam. Menunggu. Sampai Ronald
mengerti sendiri. Lalu berujar terkejut. "Kau tentunya
tidak bersungguh sungguh, Maria!"
Maria tetap diam. Kini, dengan jantung
berdebar-debar.
169
Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau sudah menimbangnya masakmasak, Maria?"
Sungguh mati, belum. Tetapi Maria nekat.
"... sudah."
Ronald menatap lurus-lurus ke mata Maria.
Seperti sebelum-sebelumnya, yang ini juga terasa
berbeda. Sorot mata Ronald memang tampak
menyelidik. Namun ada sesuatu di sebaliknya. Sesuatu
yang membuat Maria diam-diam merasa takut. Bukan
takut ditolak. Maria sudah mengenal dan tahu siapa
Ronald. Memang belum keseluruhan. Tetapi yang
selebihnya dapat menyusul kemudian. Karena unsur
terpenting sudah ada. Maria cinta dan mendambakan
Ronald. Lalu mengapa Maria harus takut?
Dan apa yang membuatnya takut?
Seakan mengetahui apa yang sedang bergejolak
dalam pikiran Maria, Ronald tersenyum samar-samar.
"Ada bagusnya kau mengingatkan, Maria" ia
berkata. Lirih. "Bahwa suatu hari kelak, aku toh harus
menikah juga. Punya istri, punya keturunan. Hanya
saja, otakku bergerak sedikit lamban. Mungkin karena
170 selama sekian tahun aku pernah serumah dengan
sesama homo. Lantas "
Maria cepat menyentuh tangan Ronald.
Mengusapnya dengan kasih sayang. Seraya berujar
lunak dan hati-hati. "Kau bukan lagi seorang homo,
Ronald!"
"Katakanlah kau benar. Atau setidak tidaknya,
aku sudah mulai berubah. Tetapi, Maria. Perubahan
itu masih perlu penyesuaian. Barangkali juga waktu.
Kalau segala sesuatunya datang serba mendadak"
"Aku mengerti," bisik Maria, "Yang penting, kau
sudah tahu!"
"Tetapi kau tidak mau hatimu sampai terluka
Maria!"
Maria tersenyum. "Kita sudah saling berterus
terang, Ronald. Sudah lebih terbuka. Itu sudah cukup
membahagiakan diriku!"
"Terimakasih, Maria."
Namun setelah Ronald pergi meninggalkan
rumah tentu saja diantar Maria dengan ciuman
selamat jalan. Maria toh kemudian duduk terhenyak
di sebuah kursi. Memikirkan yang barusan telah ia
bicarakan dengan Ronald. Tidak ada rencana sama
171 sekali. Pembicaran itu muncul dan terjadi dengan
begitu saja. Bukan hanya Ronald. Maria sendiri pun
diam-diam ikut terkejut. Saking terkejutnya ia sampai
berdusta pada Ronald. Nekat saja mengiyakan, ketika
ditanya apakah keputusan untuk menikahi Ronald
sudah dipertimbangkan Maria masak-masak.
Barulah setelah ia ditinggal sendirian, Maria
mulai menimbang-nimbang. Apakah ia benar-benar
sudah siap menghadapi kenyataan tentang keberadaan Ronald yang tadinya seorang homo. Benar Ronald
sudah banyak berubah. Namun setahu Maria,
perubahan itu baru sebatas di tempat tidur saja. Apa
yang ada di dalam jiwa maupun pandangan hidup
Ronald, Maria masih dalam tarap meraba-raba.
"Adalah mustahil kita mengharapkan perubahan total!" terngiang di telinga Maria apa yang pernah
ditandaskan oleh dokter Rinaldi "Kita hanya mampu
merubah dirinya menjadi 60 persen hetero dan 40
persen. Sisanya masih tetap homo."
Bukan mustahil, yang 40 persen itu di kelak
kemudian hari akan menimbulkan efek samplngan
yang tidak dikehendaki Maria, bahkan juga Ronald.
Oke kalau mereka siap dan mampu mangatasi efek
samplngan itu. Tetapi bila tidak?
172 Di ruang tengah, terdengar bunyi telepon
berdering. Maria mau bangkit, tetapi sekujur
tubuhnya terasa begitu lesu. Pembicaraannya tadi
dengan Ronald, tidak menghasilkan apa-apa. Tidak
ada keputusan yang diambil. Kecuali, bahwa Maria
harus bersabar menunggu. Dan Ronald dibebani
tambahan pemikiran yang tentunya tidak enteng dan
tidak mudah dipecahkannya sendiri. Maria masih
harus berjuang, dan...
Pelayannya muncul di ambang pintu ruang
tengah. "Ada telepon, Non," Nining memberitahu,
"Dari kantor polisi!"
* * * 173 EMPAT BELAS
SOLIHIN yang menelepon dan kemudian juga
dengan senang hati menemani Maria turun ke kota.
Tentu saja dengan seijin komandan. "Jauhkan
tanganmu dari dia, Sersan." Kapten Herman berkata
dari belakang meja. "Atau pangkatmu kuturunkan."
"Sungguh hari yang apes buatku ketika itu,"
Solihin menggerutu setelah duduk di dalam mobli
yang dikemudikan Mafia "Padahal aku cuma
bermaksud menangkap kecoa yang hinggap di pantat
rok Nurhayati. Bila kuberitahu lebih dutu, pasti dia
akan menjerit-jerit lintang pukang karena Nurhayati
memang paling takut pada kecoa. Jadi aku langsung
saja main tepuk. Eh, siapa nyana, itu lantas menjadi
tepukan legendaris"
Maria tertawa. "Mereka bilang tidak ada kecoa
di tanganmu, Sersan!"
"Kecoanya lebih gesit. Keburu terbang. Sumpah!"
"Tetapi polwan itu bilang, kau juga main remas"
"Habis? Namanya juga kepalang sudah
mendarat!" Solihim mengaku. Setengah membela diri.
174 "Itu pun cuma sambil lalu "
"Masih untung kau tidak ditembaknya, Sersan."
"Apa? Masih untungkah ditampar seorang
perempuan di depan banyak orang?"
"Tetapi setidak-tidaknya kalian berdua
kemudian jadi kawan akrab. Malah kau diminta jadi
pendamping mempelai ketika polwan Nurhayati
menikah."
"Iya juga. Dan, hem. Kalau kuingat-ingat betapa
beruntungnya suami Nurhayati. Bayangkan Maria.
Pinggul Nurhayati..."
"Biarkanlah, itu tetap jadi milik polwan
Nurhayati. Tidak akan pindah ke pinggul suaminya!"
Solihin tertawa bergelak. "Ah, kau ini. Baiklah, baiklah.
Aku memang sudah melantur. Nah, dari mana aku
harus memulai?"
"Aku memang pernah membeli gaun di butik
Erwin Gautama," Maria berkata. "Tetapi karena
menurutku corak rancangannya terlalu feminin, aku
malah jadi tak suka. Aku dengar-dengar, rencananya
malam tadi ia akan melangsungkan, fashion-show di
hotel Papandayan."
175 "Memang jadi. Sukses, malah. Sungguh sebuah
sukses penutup yang sangat tragis!"
"Jadi, ia terbunuh sepulang dari pertunjukan?"
"Betul."
"Teruskan."
"Menurut informasi yang kami terima, dapat
kami perkirakan bahwa waktu kematian perancang
busana itu juga seperti waktu kematian korban tak
dikenal yang ditemukan di Jayagiri. Yakni antara pukul
satu dan dua dini hari kemungkinan modus operandi
nya juga sama. Korban dijebak, lalu dibunuh "
"Tadi di kantor kalian bilang lambungnya
dirobek?"
"Ya."
"Dan, jantungnya?*
"Juga lenyap, tak berbekas'"
"... oh, oh!"
Solihin menyeringai. "Mulai kehilangan nyali,
eh?" Maria menggelengkan kepala. "Aku hanya
mendadak ingin marah pada diriku sendiri!" ia berujar
176 kesal. "Dua kematian yang beruntun dalam tempo dua
hari. Malah tiga dengan buronan yang tertembak di
depan mata kepalaku sendiri. Dan bahu apa yang telah
kulakukan, sersan?"
"Apa, cantik?"
Maria mengepalkan tangan dan meninju kemudi di
depannya dengan berang. "Tak satu pun, Sersan!
Mesin tikku di rumah masih terkunci. Belum satu huruf
pun yang sudah kuketik!"
Solihin tercengang. "Astaga..."
"Memang astaga!" Maria menggeram. "Dan
entah wartawan apa aku ini!"
"Lantas apa kerjamu sepanjang malam tadi?"
Melampiaskan nafsu!
Hampir saja perkataan itu meluncur dari mulut
Maria yang bergetar marah. Mujur ia keburu sadar
lantas diam-diam malu sendiri. Tersengal sesaat,
Maria kemudian mengeluh. "Kukira peristiwa yang
kudengar dan kulihat sepanjang hari kemarin,
membuat aku begitu lelah lahir bathin. Jadi tiba di
rumah aku langsung jatuh tidur... "
Dan bermimpi.
177 Lambung yang robek, jantung yang lenyap,
muncratnya darah merah segar. Siapa yang telah
menciptakan halusinasi dalam tidurnya? Korban yang
di Jayagiri? Atau Erwin Gautama? Andai saja Maria
tahu pukul berapa saat ia bermimpi melihat
muncratnya darah itu! Maria menggeleng-geleng,
dengan kepala yang terasa berdenyut-denyut. Sakit.
"Bagaimana sempat korban kedua langsung
dikenali?" Maria bertanya asal bertanya. Sekedar
membuang pikiran gundah akibat mengabaikan
pekerjaan yang sebenarnya sudah mendarah daging
sehingga biasanya Maria pantang membuang tempo
sia-sia. "Bagaimana tidak langsung dikenali," jawab
Solihin, heran mendengar pertanyaan Maria.
"Bukankah tadi di kantor sudah kuberitahu. Bahwa si
perancang mode ditemukan mati di rumahnya sendiri.
Dan tidak ada barang bukti yang dilenyapkan. Oh ya,
kecuali jantungnya, tentu saja!"
"Dan si pembunuh..."
"Di situlah segi menariknya, Maria. Memang
ada satu orang yang sudah mereka tahan. Sebagai
tersangka utama, dengan motivasi yang kuat pula.
Tetapi kalau tak salah dengar, kawan-kawan kami
178 yang di Bandung itu agak sedikit dibuat bingung
dengan urusan sidik jari."
"Mengapa?"
"Selain sidik jari tersangka, konon mereka juga
menemukan sejumlah sidik jari lainnya. Ya di telepon,
ya di meja kerja dan juga di sandaran kursi milik
korban. Ada kemungkinan bahwa pengakuan
tersangka yang kini mereka tahan bahwa dirinya tidak
bersalah, boleh jadi benar. Dan pembunuh
sesungguhnya adalah justru si pemilik sidik jari
tersebut. Justru itu pula yang konon membuat mereka
dibuat pusing tujuh keliling."
"Kok aneh!"
"Bagaimana tak aneh, Maria. Karena
sebagaimana yang kudengar, sidik jari yang mereka
temukan katanya bukan sidik jari manusia..."
"Yang benar!"
"Maka itulah aku ditugaskan untuk bergabung
dengan mereka," Solihin menjelaskan. Lantas seraya
tersenyum-senyum, ia menambahkan. "Dan karena
aku keranjingan gadis cantik yang berpinggul besar
pula, aku pun terayu untuk mengajakmu serta!"
179 "Aku sangat berterimakasih, Sersan," Maria
berujar tulus. "Tetapi sebagaimana tadi dikatakan
oleh kapten..."
"Tidak akan ada penurunan pangkat," Solihin
menyeringai. "Asal saja kau tidak ribut memprotes."
Solihin melirik terang-terangan ke pinggul Maria.
Sambil tangannya didekatkan, menggoda. "Secolek
saja. Boleh kan?"
"Sialan!" Maria memaki.
Tetapi rupanya Solihin tidak tahan. "Kepalang
sudah dekat!" ia bergumam lucu, dan pinggul Maria
yang kencang padat sudah dicubit Solihin dengan
gemas. Maria memekik tertahan. Kemudian tertawa.
Tak apalah. Demi persahabatan!
* * * Kasus Erwin Gautama ditangani langsung oleh
satuan serse poltabes Bandung yang berkantor dijalan
Jawa. Maria diajak Solihin langsung ke bagian
identifikasi, dimana pada mereka diperlihatkan
180 seberkas sidik jari. Baik hasil jepretan lensa kamera
maupun sketsa tiruan yang sudah diperbesar dan
diperbanyak.
"... omong kosong bila ada yang meributkan
bahwa ini adalah sidik jari binatang buas!" petugas
yang menerima mereka berkicau tanpa diminta.
Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Coba saja. Binatang buas apa yang sanggup
bertelepon dan bercakap-cakap sebagaimana kita
sekarang ini bercakap-cakap?"
"Siapa tahu, binatang jadi-jadian!" Solihin
menyeletuk.
"Maaf, Sersan. Boleh tanya tetapi tanpa Anda
nanti marah?"
"Lucu!" Solihin menyeringai. "Kalau pertanyaan
nya menyakitkan hati, tentu saja aku tidak terima.
Tetapi karena kau sudah minta maaf ..."
"Aku percaya Sersan adalah orang beragama, kan?"
"Jelas dong!" seringai Solihin benar-benar
meyakinkan.
"Nah. Sebagai orang beragama, mestinya Anda
tidak akan mempercayai tahayul semacam itu."
181 "Mestinya!" Solihin mengangguk setuju. "Tetapi
dalam kitab suci toh ada disebut mengenai hal-hal
yang gaib!"
"Memang. Tetapi itu tergantung dari sudut
mana kita memandangnya," si petugas identifikasi
bersiteguh. "Untuk mereka yang percaya atau lemah
iman, yang gaib itu bisa berubah jadi tahayul..."
Merasa diledek, Solihin menyerbu. "Bagaimana
dengan kau sendiri?"
"Biarlah Tuhan dan aku sendiri yang tahu!" si
petugas menjawab diplomatis. "Tetapi khusus
menyangkut yang satu ini berani bertaruh. Jika bukan
seorang manusia jenius, tentulah si pemilik sidik jari
orang yang mengidap penyakit kulit. Entah apa, terus
terang aku tidak tahu dan memang bukan bidangku!"
"Hem. Kalau begitu, kita singkirkan saja dulu
urusan mengenai penyakit kulit. Lalu, sejenius apa
kiranya orang itu?"
"Dia punya keahlian menciptakan sidik jari
palsu. Namun entah dengan maksud apa, dia
membuatnya sedemikian rupa, sehingga tetap sulit
untuk kita lacak!"
"Letak kesulitannya?"
182 "Lihat saja, Sersan!" si petugas menunjuk ke
garis-garis silang tidak teratur namun tampak sama
pada setiap bagian jari. "Semisal sarung tangan bisa
meninggalkan bekas, maka permukaannya tidak licin.
Menurutku kesat, dan juga berlipat-lipat..."
Maria yang dari tadi hanya mendengarkan, tibatiba menyela tanpa sadar. "... dan, ujung-ujung jari
orang itu pastilah berkuku runcing dan melengkung!"
Petugas identifikasi menatap tajam ke wajah
Maria. Katanya. "Dari bentuk keseluruhan telapak
tangan, tampaknya memang begitu. Tetapi dari mana
Nona tahu?"
"Mimpiku yang mengerikan!"
Maria membathin, dengan bulu kuduk pada
tegak merinding. Dan di mulut, ia berkata gemetar.
"Dokter Johan..."
"Dokter Johan?"
Maria tidak segera menjawab. Solihin melirik
sekilas, lantas membantu. "Ahli bedah forensik di
Hasan Sadikin!"
"O, beliau!"
183 Setelah memperoleh satu copy berkas sidik jari
yang diperbincangkan, Solihin menggamit Maria
untuk meninggalkan bagian identifikasi. Di luar,
barulah Solihin bertanya dengan nada kuatir.
"Kau tampak pucat, Maria. Sakit ya?"
Maria menggeleng lesu. Suaranya pun
terdengar lesu. "Otakku saja yang lelah, barangkali.
Sudah sejak kemarin, Sersan. Semakin banyak aku
mendengar, semuanya tambah mengerikan saja!"
"Hei. Mana ketegaranmu yang menakjubkan itu?"
"Aku ini manusia biasa juga, Sersan. Wanita pula..."
Solihin yang tahu betul sifat Maria, langsung
memanas-manasi.
"Apakah kau ingin berhenti?"
Dagu Maria seketika terangkat. "Dan membuat
diriku tampak seperti orang tolol? Tidak akan,
Sersan!"
"Kalau begitu," Solihin tersenyum gembira.
"Marilah kita pergi ke bagian interogasi..."
Mereka diterima oleh seorang letnan yang
sudah dikenal baik oleh Maria sehingga tuan rumah
dengan senang hati memberikan informasi.
184 "... namanya Leonardo!" demikian antara lain
informasi yang dicatat Maria, "la peragawan top dan
merupakan kesayangan korban Erwin Gautama. Itu
salah satu unsur yang mungkin kelak akan diperguna
kan memperkuat posisi tersangka. Selain sidik jari
yang aneh itu, tentu saja. Masih ada lagi. Pelayan setia
korban dengan yakin memastikan bukan Leonardo
orang yang ia persilahkan masuk dan kemudian
berbicara dengan Majikannya di telepon..."
"Bagaimana dengan si pelayan itu sendiri?"
"Kurdi, atau lengkapnya Ahmad Kurdi... untuk
sementara hanya kami panggil sebagai saksi."
"Mengapa bukan tersangka?"
"Pertama, Maria. Kurdi sudah mengenal Erwin
semenjak Erwin masih ingusan. Dari pengakuannya
sendiri dan juga dari informasi yang kami kumpulkan,
Erwin sudah dianggap dan diperlakukan Kurdi sebagai
anak kandungnya sendiri. Begitu pula sebaliknya. Dua,
kami belum melihat adanya motivasi membunuh dari
pihak Kurdi. Hidupnya serta hidup keluarganya
dicukupi oleh Erwin. Bahkan biaya sekolah anak-anak
Kurdi juga ditanggung sepenuhnya. Dua di antaranya,
sudah pula diberi pekerjaan yang memadai. Terakhir,
dan justru yang terpenting... Kurdi sudah mendekati
185 uzur. Jangankan mampu merobek lambung orang.
Untuk mengancing baju sendiri pun terkadang harus
dibantu."
"Lalu bagaimana dia dapat memastikan bukan
Leonardo orang yang dia persilahkan masuk ke
rumah?"
"Orang misterius itu, menurut Kurdi sama tinggi
dengan Kurdi sendiri. Sedang untuk berbicara dan
melihat ke mata Leonardo, Kurdi harus agak
menengadah..."
"Begitu!" Maria manggut-manggut seraya terus
mencatat yang penting-penting di notesnya. Detail
selebihnya, ia biarkan menyerap di kepala. "Apakah
dia dapat mengenali si tersangka misterius tersebut?"
"Bagian itulah yang paling menarik, Maria!"
"Oh?"
"Menurut keterangan Kurdi, setelah telepon
diambil alih tamunya, Kurdi mendadak terserang
kantuk yang sangat hebat. Dia merasa seperti ada
yang menyuruh dan memaksanya supaya pergi tidur.
Tidak kuasa menolak, orang tua itu lantas
meninggalkan sang tamu tidak dikenal. Bayangkan,
ditinggal begitu saja!"
186 "Terus?" Maria mendesah, tertarik.
"Ketika Kurdi kemudian terbangun oleh suarasuara gaduh yang ditimbulkan Leonardo, orang tua itu
katanya hanya dapat mengingat bahwa ia telah
membukakan pintu untuk seseorang dan kemudian
menyerahkan telepon pada orang tersebut.
Selebihnya, nol besar. Tidak ingat wajah, tidak ingat
nama, juga tidak ingat apa saja yang telah dibicarakan
atau ia dengar Kurdi bersikukuh mengatakan dirinya
pasti terkena guna-guna. Atau... kalau keterangannya
benar, kita anggap saja dia terkena hipnotis!"
Maria dibuat terkesan, sehingga beberapa saat
lamanya, ia hanya diam termangu. Si pembunuh
bukan hanya kejam dan biadab. Si pembunuh juga
jenius, punya sidik jari yang aneh dan kini,
berkemampuan menghipnotis.
"Cukup, Maria?"
Maria tersentak. Lalu
"... bagaimana dengan Leonardo?"
"Alibi Leonardo sangat lemah. Sebaliknya, dia
Punya motivasi kuat untuk membunuh Erwin.
Masukan itu kami terima dari salah seorang penjaga
parkir di hotel papandayan. Belum satu jam yang lalu
187 si penjaga parkir meninggalkan ruangan ini. Kehadiran
nya kami perlukan untuk mengindetifikasi Leonardo,
tanpa diketahui yang bersangkutan."
"Hasilnya?"
"Kadang-kadang aku suka berpikir, Maria..."
sang Letnan tersenyum lebar. "Andaikata kau berniat
melamar di kantor ini, dapat kupastikan kau bakal
diterima!"
Maria balas tersenyum. "Tawaran yang menarik,
Letnan. Tetapi, terimakasih deh..."
"Sayang sekali. Baiklah. Sewaktu kalian berdua
tadi nongol di ambang pintu, kami justru sudah berniat
memeriksa ulang Leonardo. Jadi, tunggulah
sebentar!"
Seorang bawahan segera diperintahkan
mengambil Leonardo dari sel tahanan. Dan tidak
berapa lama kemudian, si peragawan pun muncul.
Tanpa diborgol, namun dengan pengawalan ketat.
Maria melihat sosok atletis seorang anak muda
berpostur tinggi kekar. Pakaian yang melekat di
tubuhnya pasti dari bahan yang mahal namun terlihat
kusut. Sekusut wajah si anak muda yang sebenarnya
tampan dan gagah. Cambang di depan kedua telinga
anak muda itu tercukur rapih. Dan Maria tiba-tiba baru
188 menyadari bahwa cambang seseorang ternyata juga
dapat menimbulkan kesan seksi.
Akan tetapi, kesemua kesan itu perlahan-lahan
mengabur hilang setelah Leonardo menghenyakkan
pantat di kursi yang ditunjuk. Sambil endengus
beringas. Tidak santun sedikit pun.
"Apalagi yang kalian kehendaki dari aku?!"
"Hanya mengulangi apa yang sudah kita
obrolkan sebelum ini," Letnan berujar lembut, "Siapa
tahu ada yang terlupa..."
"Mulutku sudah berbusa!"
"Telan sajalah," Letnan mengomentari dengan
senyuman yang juga sangat lembut. Seolah-olah
dialah penyebab dan yang bertanggung-jawab atas
kelahiran Leonardo ke dunia fana. "Ada yang bilang,
busa di mulut dapat menjadi obat penyembuh yang
mujarab!"
Entah Leonardo menanggapi lalu menuruti
nasihat itu secara harfiah atau entah menyadari
sindiran halus sang letnan, yang. pasti kepala
Leonardo agaknya berubah lebih dingin. Tidak secara
total, memang. Namun ia tampak sedikit melemah.
189 Meski masih disertai tuntutan. "Aku minta didampingi
pengacara..."
"Siapa yang ingin kau tunjuk, Leon?"
"Belum tahu. Habis, bermimpi akan mengalami
yang seperti ini, pun aku belum pernah!"
"Maka mulailah memikirkannya, Leon. Tetapi
itu nanti. Sekarang ini kita ngobrol-ngobrol sajalah
dulu. Dan, santailah. Tidak seorang pun dari kami
berniat menerkammu. Setuju, bukan?"
Leonardo mengangguk-angguk. Kaku.
"Dari mana aku harus memulai?"
"Terserah..."
Lebih dulu Leonardo mengawasi sekitarnya.
Mungkin sambil berpikir-pikir. Ketika sepasang
matanya beradu dengan mata Maria, di mata
Leonardo tidak tampak kesan apa-apa. Maria sedikit
kecewa karena dirinya seperti tidak punya daya tarik
apa-apa buat si peragawan top yang bercambang seksi
itu. Kemudian Maria melihat bahwa Leonardo cukup
lama memperhatikan salah seorang petugas yang tadi
mengawalnya. Malah sempat melempar senyum
190 samar pada si petugas yang berwajah lembut dan
klimis itu.
Kemudian, "... sebagaimana sudah kuceritakan
subuh tadi," Leonardo memulai. "Aku melihat Erwin
tampak lain dari biasa, la mendadak sangat tidak
ramah dan sepertinya menutup-nutupi sesuatu.
Padahal selamanya ia selalu terbuka denganku.
Bahkan sampai ke masalah yang sifatnya sangat
pribadi sekali pun. Tentu saja aku lantas bercuriga.
Firasat buruk mendorongku untuk memanggil taksi
dan menyusul Erwin ke rumahnya..."
"Firasat buruk bagaimana?"
"Entahlah. Yang jelas, aku merasa sesuatu yang
tidak menyenangkan akan menimpa diri Erwin. Dan
aku harus menolongnya!"
"Hem. Terus?"
"Seturun dari. taksi, aku bergegas memasuki
halaman rumah..."
"Jadi taksinya berhenti di tepi jalan. Mengapa
tidak sekalian disuruh masuk ke halaman? Lagi-pula,
bila yang kau takutkan memang benar terjadi... dan
itulah yang kita semua tahu sudah terjadi, supir taksi
mungkin dapat kau mintai bantuan!"
191
Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku hanya bilang, sesuatu yang tidak
menyenangkan!", Leonardo tampak beringas kembali.
"Dan itu tidak berarti pembunuhan!"
"Baiklah", Letnan tersenyum sabar. "Tetapi apa
kiranya hal yang tidak menyenangkan itu, Leon?"
"Aku punya perasaan telah 'dikhianati!"
"Dikhianati bagaimana?"
Agaknya, sadar ia memasuki perangkap,
Leonardo terdiam sejenak sebelum kemudian ia
menjawab hati-hati.
"Aku... aku tidak bisa menjelaskannya."
Senyuman sabar di bibir sang Letnan melenyap,
la condongkan mukanya ke depan, seakan-akan
bermaksud menerkam. "Leonardo," ia mendengus
datar. "Janganlah kau kira kami ini bodoh. Tidak
punya mata, tidak punya telinga. Walaupun hari masih
pagi, bung, disana sini burung-burung sudah pada
ribut bekicau. Apakah perlu kuberitahu kicauan apa
saja yang telah kami dengar?"
"Itu hanya gertakan...", Leonardo mencoba
bertahan. Namun suaranya terdengar melemah.
192 "Oh ya? Bagaimana bila kukatakan ada saksi
dibawah sumpah. Yang tegas-tegas menyatakan kau
telah melontarkan ucapan-ucapan menghasut dan
bernada mengancam keselamatan nyawa Erwin?"
Leonardo mengingat-ingat sebentar. Lalu, "Hem, pasti
itu si penjaga parkir. Dan ia pasti melebih-lebihkan!"
"Pasnya, Leon?"
"Aku... tidak begitu... ingat lagi. Waktu itu aku
sedemikian frustasi karena menyangka Erwin ada
main dengan laki-laki lain..."
"Dengan," Letnan memotong seketika. "...
apa?"
Seolah-olah pertanyaan dengan konotasi apa
bukan siapa itu membuat harga dirinya terinjak-injak,
Leonardo menjawab berang. "Dengan lelaki lain!
Apakah itu salah? Dan apakah juga salah bila aku
lantas cemburu dan merasa dikhianati?!"
Gumam campur aduk berdengung di kiri kanan.
Malah seorang petugas menyeletuk kasar. "Sialan.
Sapa nyana kita rupanya sedang berurusan dengan
homo!"
Letnan menyeringai masam dan melirik ke arah
Maria. Maria tahu itu adalah lirikan sambil lalu dan
193 tidak bermaksud apa-apa. Namun seringai dan lirikan
Letnan itu seakan menghunjamkan sebuah pertanyaan mengejek: "Bagaimana dengan homo yang ada di
tempat tidurmu?!"
Nyaris tanpa disadari olehnya sendiri, Maria
diam-diam merunduk. Malu.
Untunglah suasana tidak menyenangkan itu
dengan segera diredakan oleh suara sang Letnan yang
terdengar lembut. "Baiklah, Leonardo. Aku dapat
memahami perasaanmu. Sekarang, coba kau
ceritakan kembali apa yang kemudian terjadi setelah
kau turun dari taksi..."
Leonardo mengatur nafasnya, sebentar. Kemudian,
"beberapa meter menjelang aku tiba di serambi,
pintu depan rumah, mendadak dibuka seseorang dari
dalam. Takut ketahuan, aku cepat-cepat menyelinap
di balik mobil Erwin yang masih terparkir di halaman.
Dari balik mobil itulah aku lalu mengintip diam-diam.
Dan...". Suara Leonardo mendadak tersendat.
Wajahnya perlahan-lahan memucat, dengan mata
membelalak bagai dilanda teror.
Letnan mendorong dengan lembut. "Dan?"
Leonardo seketika bergemetar di kursinya."...
tolonglah!", ia merintih dengan suara memelas. Lalu
194 seraya menangkupkan wajah di kedua telapak
tangannya, Leonardo pun mengerang. "Aku tidak mau
mengingat-ingat kejadian itu lagi. Hanya akan
membuat jiwaku tersiksa... karena aku terlambat tiba
di sana. Aku pun sangat muak dan benci... pada diriku
sendiri. Harusnya pembunuh biadab itu kuterkam.
Harusnya ia kucincang... untuk membalaskan
penderitaan Erwin. Tetapi aku malah merungkut
ketakutan. Aku biarkan... pembunuh biadab itu berlalu
begitu saja. Pemunculannya begitu mengerikan. Dia...
dia..."
"Apakah kau dapat mengenali siapa orang itu, Leon?"
Kedua telapak tangan Leonardo bergerak turun.
Lalu dengan wajah serta sorot mata membelalak
ketakutan, ia bertanya gemetar. "Orang, Letnan?
Orangkah yang tangan serta mulutnya bergelimang
darah... Dan, mata kuningnya memancarkan sinar api
yang bernyala-nyala itu? Apakah dia yang berjalan
seperti melayang dan... dalam tempo sekejap sudah
melesat hilang? Orangkah dia itu Letnan? Atau setan
yang bangkit dari tengah api neraka?!"
Yang ditanya, bungkam seribu bahasa.
Mereka yang lain saling bertukar pandang tanpa
satu pun yang berselera untuk membuka mulut.
195 Ruang Mencekam. interogasi
seketika terasa sunyi. Dan sekujur tubuh Maria terasa dingin.
Menusuk. (BERLANJUT KE JILID 2)
196 PENGHUNI LEMBAH JAYAGIRI
Karya : Abdullah Harahap
Sesosok tubuh telanjang ditemukan mati secara
misterius di tengah udara berkabut Lembah Jayagiri,
Selain wajah yang sengaja dirusak dan Identitas
lainnya yang sengaja dilenyapkan, jantung korban pun
ikut lenyap pula. Polisi pun dibuat sibuk, apalagi
setelah muncul sinyalemen bahwa perbuatan biadab
Itu dilakukan oleh sekelompok pemuja setan.
Seorang wartawati cantik tergerak untuk ikut
menelusuri penemuan mayat misterius Itu. Tetapi
ketika korban lain kembali berjatuhan, Maria
dihadapkan pada masalah yang tidak hanya pelik
tetapi juga menakutkan. Ada petunjuk kuat bahwa si
pembunuh mengkhususkan diri mencari mangsa dl
kalangan homo seksual.
Dan bukan mustahil korban berikutnya adalah
Ronald yang tengah berjuang untuk kembali hidup
sebagai seorang lelaki sejati, setelah sekian tahun
lamanya menjalani kehidupan mengerikan bersama
teman sejenis.
Lalu teror Itu pun datang. Tidak hanya
memburu Ronald. Tetapi juga Maria. ***
197 Pertemuan Di Kotaraja 10 Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut Elemen Kekosongan 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama