COVER 1 ISTRI TIDAK SETIA 2 ISTRI TIDAK SETIA Karya Abdullah Harahap Diterbitkan pertama kali oleh penerbit ALAM BUDAYA Jakarta
Cetakan pertama 1984 Lukisan cover oleh Zaldy 3 UDARA yang kering menggantung di terminal bis
Cililitan meskipun hari masih terhitung pagi. Baru jam
sepuluh lewat sepuluh. Alice bermaksud menyapu
butir-butir keringat halus di puncak hidungnya yang
mencuat manis kemerah-merahan ketika ia merasa
telah kehilangan sesuatu, la yakin ketika tadi turun
dari mobil yang mengantarkannya sampai di pintu
masuk terminal, saputangan batik yang ia butuhkan
terlipat dalam genggaman telapak tangannya. Tidak,
tidak mungkin ia masukkan kembali ke dalam tas.
Matanya mencari-cari dan kemudian melihat
saputangan itu, setengah terhampir di lantai bis dan
ujung sebuah sepatu lelaki hampir saja menginjaknya.
Alice buru-buru membungkuk untuk memungut
saputangan itu. dan padd waktu yang bersamaan si
lelaki rupanya juga melakukan hal yang serupa. Lelaki
itu ternyata lebih cepat dan Alice sudah duduk dengan
4 lurus ketika si lelaki menyerahkan saputangan itu
seraya bergumam : "Apakah ini yang ...," suara itu terhenti tiba-tiba.
Lalu, berlanjut dalam bentuk seruan tertahan : "Alice.
Kau!" Tertengadah Alice seketika, dan ia segera be
hadapan dengan seraut wajah yang tidak terlalu
tampan dengan garis-garis tegas dan bentuk dagu
yang menunjukkan kesungguhan hati. la ini
tampaknya sudah berumur empat puluh, lima tahun
lebih tua dari usianya yang sebenarnya, dan sepuluh
tahun lebih telah berlalu semenjak terakhir kali Alice
melihatnya, namun tetap tidak bisa melupakan dia.
Tercengang sesaat, Alice membelalakkan mata dan
kemudian balas berseru : "Hendra. Ngapain kau di sini?"
Laki-laki itu tertawa kecil, kemudian mengambil
tempat duduk di sebelah Alice yang memang masih
kosong. Tidak banyak penumpang ketika itu, dan
perjumpaan yang tidak diduga-duga di manapun juga
seringkah terjadi dengan akibat kehadiran orangorang lain apalagi penumpang penumpang sambil lalu
dan sebuah bis antarkota tidak menjadi penting
5 artinya. Seraya berjabatan tangan dengan riangnya,
laki-laki bernama Hendra itu berceloteh :
"Ngapain aku di sini? Karena enggan jalan kaki,
tentu. Jarak Jakarta Bogor bisa menghabiskan satu
lusin sepatu," ia tertawa lagi. "Dan kau, nyonya
dokter?" Wajah Alice sedikit memerah.
"Husy, jangan ..."
"Baiklah, Alice. Mau ke Bogor juga?"
Ke Bogor atau tidak, bus telah merangkak ke
luar dari terminal. Mula-mula merambat dan setelah
berada di jalan lurus ke arah Bogor, mulai tancap gas
disertai tancapan suara kenek bis yang tak putusputusnya meneriakkan rit kendaraan hampir kepada
setiap orang yang tengah berdiri untuk satu dan lain
maksud sepanjang pinggir jalan. Alice dan Hendra
hanya saling pandang selama beberapa menit dengan
wajah sama-sama seperti memperoleh surprise, dan
sekali lagi : dalam hal ini, penumpang-penumpang lain
sangatlah tidak penting artinya.
Lama kemudian : 6 " ... rasanya lama waktu sudah berlalu, Alice,
tetapi kau masih tampak seperti dahulu juga. Sudah
berapa anakmu?" "Tiga. Yang seorang di teka, yang dua masih di
es-de. Sebaliknya dengan kau, Hendra. Kau sudah
berubah, tidak lebih tua betul tetapi tampak lebih
matang." "Di panggang kehidupan kota Metro."
"Sudah berapa pula anakmu?"
"Kali dua dengan kau, tambah satu ..."
"Amboi, rapat benar. Tidak ka-be?"
"Ka-be sih ka-be, tetapi paling-paling hanya
dalam soal pengaturan uang gaji," dan mereka
tertawa berderai lagi. "Enak ya kedudukanmu sekarang?"
"Alah, apalah artinya pegawai negeri. Guru lagi.
Memang di perguruan tinggi. Tetapi dengan anakanak yang kalau berkumpul memerlukan dua buah
meja makan, kau kan bisa maklum. Kalau tidak, aku
sebenarnya lebih suka naik kendaraan sendiri. Malu
dong sama mahasiswa, bisa dihitung dengan jari
berapa banyak yang mau berlelah-lelah berebutan
7 kursi di dalam bis. Dan kau, mengapa naik bis pula,
Alice?" "Suamiku ..." Sampai di situ, Alice tertegun sejenak, la
memandang lurus ke mata Hendra yang juga
memandang ke matanya. Ada pembahan pada mata
lelaki itu ketika Alice mengucapkan kata "suamiku",
dan yang pasti, tiba-tiba ada semacam perasaan
terlanjur dalam diri Alice setelah mengucapkannya.
Beberapa saat ia hanya terdiam, kemudian
memalingkan muka ke luar jendela, mencoba
basi. Tiada lagi surprise, tiada lagi kegembiraan yang
mereka peroleh sekejap tadi di terminal Cililitan,
hanya semata-mata karena secara tidak disengaja
persoalan telah beralih pada sumber mala petaka itu;
beruntungnya Alice dengan mas kawin yang
dihadiahkan oleh suaminya. Dokter Surahman
Harjalukita. Sisa perjalanan ke Bogor jadinya lebih banyak
mereka isi dengan lamunan, dan hanya Tuhan yang
tahu apa yang ada di benak mereka berdua. Alice
berusaha dengan susah payah ?seperti sepuluh
tahun lebih sudah ia lakukan?, untuk tidak mengingat
8 kembali kenangan manis selama dua tahun ia
berhubungan secara intim dengan Hendra selagi
mereka masih sama-sama tinggal di Sukabumi.
Mereka baru saja akan mencanangkan rencana untuk
melanjutkan hubungan itu dalam tali perkawinan,
ketika musibah itu muncul seperti petir di siang
bolong. Pembersihan besar-besaran di Perusahaan
Perkebunan tempat ayah Alice bekerja menghasilkan
sebuah besluit pensiun jauh sebelum waktunya, justru
pada saat ibu Alice sedang digerogoti oleh penyakit
kanker yang menyita hampir semua daging-daging
ditubuhnya. Pada saat yang sama, dua orang adik Alice
yang lelaki menamatkan studi di es-em-a, dan nilai
mereka yang baik dan masa depan mereka yang sudah
lama di angan-angankan terancam punah. Sedangkan
Hendra, hanyalah anak seorang petani biasa, yang
orangtuanya dengan susah payah harus banting
tulang di sawah untuk bisa memenuhi keinginan anak
satu-satunya itu masuk perguruan tinggi. Dan
muncullah Surahman Harjalukita, dokter muda yang
ketika itu belum jadi spesialis dan masih berpraktek
sebagai dokter umum, yang selama ini merawat ibu
Alice. Hendra tahu diri, dan membiarkan Alice
9 bersimbah air mata ketika ia duduk di pelaminan
bersama suaminya yang sekarang.
Satu-satunya yang bisa menghibur hati Alice
ketika itu di samping kesehatan ibunya yang pulih dan
terangkatnya kembali reruntuhan hidup keluarganya,
adalah kabar bahwa Hendra kemudian menikah
dengan anak gadis seorang Haji yang kaya di Cianjur
dan dengan bantuan mertuanya itulah Hendra bisa
menamatkan studinya yang sempat terbengkalai.
Semenjak itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Alice
diboyong suaminya ke Jakarta, dan belakangan ia
dengar Hendra juga memboyong isterinya ke kota
yang sama. Namun rupanya mereka berpendirian
sama dalam satu hal : berusaha saling melupakan,
dengan cara berusaha untuk tidak saling mencari satu
dengan yang lain. Siapa nyana, setelah lama tahun berlalu
" ... turun di mana, Lies?"
Alice tersentak, la memandang Hendra dan
ketika itulah laki-laki yang duduk di sampingnya
menyadari satu hal; pipi perempuan itu basah
berkilauan. "Kau kau," dan Hendra tidak melanjutkan
kata-katanya, setelah nalurinya mengingatkan : ia
10 tidak boleh membuka rahasia pribadi Alice di depan
umum. Alice menangis! "Hhh ...," keluh Alice dalam, dan mencoba
tersenyum. "Aku turun di terminal. Dari sana, naik bemo ke
tetapi apa gunanya ia memberitahu alamat orang
tuanya? "Dan kau?"
Sebagai jawaban, Hendra menggapai ke arah
kondektur bis yang bertanya lantang : "Istana ada
yang turun?" Bis berhenti. Beberapa orang penumpang
turun, tetapi justru Henda yang tadi menggapai, tidak.
Kondektur memperhatikan Hendra dengan penuh
tanda tanya tetapi cepat-cepat Hendra berkata : "Tak
jadi," dan bus berjalan lagi. Alice yang sempat
terenyuh waktu tadi Hendra menggapaikan tangan,
memperlihatkan kegembiraan yang tersembunyi di
balik sinar matanya, la berharap Hendra tidak
mengetahui hal itu dan dengan tersenyum manis
bertanya sambil lalu : "Kau termasuk penumpang yang cerewet ya?"
"Tepatnya, penumpang yang bayar!"
11 Dan mereka sama-sama tersenyum, dengan
kegembiraan yang perlahan-lahan menyelinap
kembali, tanpa diminta, seperti juga tak sampai
setengah jam berselang, lenyap tanpa diminta.
Mereka berdua kemudian sama-sama turun di
terminal dan sudah banyak bemo yang ke luar masuk
tanpa satupun yang mereka naiki. Mereka hanya
berdiri saja memperhatikan kendaraan-kendaraan
kecil itu pulang balik dalam keadaan hampir kosong,
sambrl duduk berdamping di ruang tunggu,
menghirup udara yang sedikit lebih segar ketimbang
udara terminal Cililitan.
" ... jam berapa kau mengajar?" tanya Alice
setelah lama mereka hanya saling berdiam diri.
"Dua belas lewat lima belas."
Alice melirik arlojinya, dan terkejut:
"Kau hampir terlambat, Hendra."
"Ya." "Lalu mengapa "
"Kau belum mengatakan kapan kita bisa
bertemu lagi." "Hendra..." 12 "Bagaimana kalau jam empat sore?"
"Aku harus sudah kembali pada anak-anakku,
Hendra." "Satu jam sebelumnya?"
"Orangtuaku pasti masih kangen"
"Kalau begitu, kita jalan-jalan sebentar ke kota
sekarang? Ada tempat minum di"
Alice tersenyum. Katanya, setengah mengingatkan :
"Dulu kau suka ngomel-ngomel kalau ada dosen
kalian yang tak muncul di saat kau dan temantemanmu membutuhkannya. Apakah kau mau
menjilat ludah, Hendra?"
Laki-laki itu terdiam. la sudah tiga puluh lima tahun. Belum terlalu
tua. Dan Alice, kata Hendra tadi; masih seperti dulu
juga. Alice menarik nafas. Panjang. Kemudian, seraya
memandangi ujung sepatunya, bergumam :
"Bagaimana kalau kita coba saling melupakan,
Hendra? Kita toh telah pernah melakukannya."
Tidak ada jawaban. Alice menunggu. Tetap tidak
ada jawaban. 13 Ketika ia menoleh, Hendra sudah lenyap dari
sampingnya. Alice tersentak dan seketika terlonjak
berdiri. Ketika itulah sebuah kartu nama terjatuh dari
haribaannya, la cepat-cepat memungutnya. Kartu
nama itu milik Hendra, dilengkapi alamat tempat
tinggal, dan alamat perguruan tinggi di mana ia
mengajar. Di balik kartu nama tertulis : Antara jam
10.00-14.00 phone ke ...,"
dan tercantum nomor telephone yang sama dengan
alamat kantor fakultas yang terlampir di permukaan
pertama tadi dari kartu nama itu. Alice termenung.
"Jangan, Hendra. Aku tak akan" kalimat itu
Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya tercetus di dasar hatinya, la ingin mengutarakan
itu pada si lelaki, dan dengan panik matanya mencaricari di seputar ruang tunggu. Dari sana, ia meluncur ke
tempat bemo ke luar masuk dan memperhatikan
setiap penumpang, bahkan juga bemo-bemo yang
sedang menjauh. Sebuah bus dari Bandung masuk ke
terminal, menghalangi penglihatannya. Alice mundur
buru-buru, dan setelah bus itu tidak menghalangi
pemandangannya lagi, kembali ia mencari-cari ke
kejauhan. Jauh, jauh, semakin jauh, dan tiba-tiba Alice
merasa ia telah kehilangan sesuatu. Betapa inginnya,
sesuatu itu setengah terhampar di dekat kakinya, lalu
ada ujung sebuah sepatu lelaki hampir menginjaknya,
14 Alice memungutnya bersamaan dengan si lelaki
memungut itu pula, lalu : "Alice, kau ...!" Tetapi tidak
ada seruan tertahan yang riang. Tidak ada yang
mereka pungut bersamaan. Karena yang hilang itu,
bukanlah lagi sehelai saputangan kecil yang tidak
berarti apa-apa, melainkan sesuatu yang hanya ada di
sudut hati Alice, dan tidak bisa dinilai dengan apapun
juga ... *** 15 MASIH memeluk boneka kesayangannya, si bungsu
Melly lelap juga tidurnya setelah lewat jam tujuh.
Kedua orang saudaranya sedang ribut mempertengkar
kan soal matematika ketika Alice masuk kembali ke
ruang tengah untuk menemani mereka. Ramandita
dengan muka merah padam berteriak dengan sengit
pada kembarannya si rambut galing Pranajaya :
"Blo'on! Ngaco! Besok kubilangi ibu guru biar
kau di" "Getok pakai mistar ya?" balas adiknya yang
berbeda kelahiran hanya tiga jam. "Boleh. Boleh. Tak
bakalan kupinjami kau buku bahasa Inggeris-ku lain
kali, hayo!" "Biar!" "Sumpah?" Pranajaya mengkaitkan jari telunjuk
yang ia lengkungkan langsung ke jari telunjuk
Ramandita. 16 "Hai, apa-an?" tegur Alice dengan mata
dipelototkan. "Kecil-kecil sudah tidak bisa kerja-sama.
Main sumpah-sumpah segala. Mau jadi apa kalian
kalau sudah besar-besar, he?"
"Mohammad menjawab. Ali!" enak saja Ramandita "Dokter. Seperti papa!" tak mau kalah
Pranajaya. "Kau, Rama. Kalau mau jadi Mohammad Ali,
harus berkepala dingin, tidak emosi-emosian begitu.
Dan kau, Yaya, kalau mau jadi seperti papamu, jangan
pelit-pelitan. Kalau terlalu hitungan, bisa-bisa kau sakit
otak dan bukannya dokter, malah kau jadi pasien
papamu," lantas seraya tersenyum melihat kedua
orang anak kembarnya yang duduk satu kelas itu
saling berpandang-pandangan. Alice memerintah :
"Hayo. Sekarang, salam-salaman. Kalau kalian
tak kompak, siapa nanti yang jaga Melly kalau ada
yang ganggu?" Meskipun toh mereka tidak bersalam-salaman
tetapi cukup dengan saling tukar senyum kecut kedua
bersaudara itu setengah jam berikutnya bergandengan tangan masuk ke kamar tidur,
menyusul adik mereka, meninggalkan Alice duduk
17 sendirian menghadapi televisi, sedikit tersenyum
memikirkan tingkah laku anak-anaknya. Tetapi acara
di televisi tidak menarik. Wawancara lagi, wawancara
lagi, dan ia segera mematikannya, dan mencoba
mengisi waktu dengan membuka beberapa lembar
majalah yang tadi sore ia beli di jalan. Seperti biasa,
dari rumah sakit Surahman tidak pulang langsung,
melainkan terus ke tempat di mana ia buka praktek
pribadi. Kalau pasien jarang biasanya ia sudah pulang,
tetapi hidangan di meja makan sudah semakin dingin
dan suaminya belum muncul juga.
Alice sudah bisa membayangkan bagaimana
kondisi suaminya nanti. Dan benar saja. Setelah gelisah bukan karena menunggu
melainkan terutama karena pikiran yang bercabangcabang semenjak ia bertemu hari itu dengan Hendra,
akhirnya Alice mendengar juga suara sentakansentakan klakson mobil dengan iramanya yang khas
itu. Pembantu rumah-tangganya bergegas dari
belakang untuk membuka pintu depan tetapi Alice
menahannya. "Kembali saja ke belakang, mbok."
18 Lantas dengan langkah-langkah gontai ia
berjalan ke pintu depan. Suaminya sudah berada di
depan ambang pintu, dengan jas yang lusuh, rambut
sedikit awut-awutan, tangan lunglai menjinjing tasnya
yang besarnya dan berat serta yang sudah pasti; mata
kemerah-merahan. Senyumnya rutine saja ketika ia
melihat siapa yang membuka pintu. Juga
pertanyaannya yang sambil lalu ketika masuk:
"Anak-anak sudah tidur, mam?"
Alice menyambut tas kerja
menyimpannya ke dalam sambil
seperlunya : suaminya, menyahuti "Sudah, pap." "Bagaimana kabar bapak dan ibu di Bogor? Aku
harap mereka baik-baik saja."
"Alhamdulillah, baik-baik saja. Kirim salam
mereka untukmu." Tiada reaksi. Tentu saja. Lelah setelah bekerja
sepanjang hari, Surahman memerlukan waktu
istirahat, dan tidak punya kesempatan memikirkan
soal-soal yang tidak ada hubungan dengan
pekerjaannya, bahkan kadang-kadang persoalan yang
menyangkut rumahtangganya sendiri, la harus rilek,
19 dan diusahakan tetap santai waktunya setiap ada di
rumah. Karena ke luar dari rumah, maka pikiran,
perasaan dan otot-ototnya akan bekerja keras tanpa
henti-hentinya, dan lebih banyak tanpa memperduli
kan jangankan kesenangan, malah juga kesehatan
dirinya sendiri. Alice membantunya membuka pakaian kerja
dan menyiapkan pakaian rumah.
"Makan dulu, atau mandi pap?" Pertanyaan
rutine, tentu lagi. Jawabnya jelas:
"Nanti saja ...!"
la kemudian masuk ke kamar-kerjanya untuk
menyelesaikan beberapa pekerjaan sementara Alice
mempersiapkan segala sesuatu di kamar mandi dan
menyuruh pembantu untuk menyediakan segala
sesuatunya di meja makan Surahman mandi sebentar,
dan makanpun cuma sedikit. Setelah itu ia rebahan di
sofa, tak lupa sambil lalu bertanya :
"Film seri apa sekarang ya mam?"
Tak bersemangat. Alice menyahut:
"Born free ..."
20 "Oh. Petualangan di gurun Kenya itu" lantas
acuh tak acuh pada Alice yang memainkan chanel tivi,
ia menyambar selembar surat kabar dan mulai
membaca. Tahu kebiasaan suaminya, Alice bertanya
hati-hati: "Tak dimasukkan garasi mobilnya, pap?"
"Nanti saja" Dan, beberapa menit setelahnya, keerrr ...
Surahman sudah mendengkur di sofa. Koran yang ia
baca menggelimpang di lantai. Terkapar tidak
berdaya. Seperti juga Alice, yang duduk menghadapi
televisi, dengan jantung yang berdenyut-denyut tanpa
daya, sehingga beberapa kali ia terpaksa menarik
nafas panjang, berat dan menyakitkan. Betapa
inginnya ia ditanya apa saja kesan-kesan di jalan waktu
ke Bogor, bagaimana keadaan adik-adik Alice, apakah
ibunya tidak bertambah pikun sekarang, atau bus
masih suka ngebut atau tidak dan etese etese ...
Terutama malam ini, betapa inginnya Alice ditanya :
"Ketemu kenalan lama di jalan?"
Dan ia akan menceritakannya. Menceritakan
pertemuannya dengan Hendra, dan bahwa mereka
berpisah secara baik-baik, serta apa yang mereka
percakapkan adalah hal-hal yang biasa, la ingin
21 melihat reaksi suaminya, la ingin tahu, bagaimana
kalau suaminya itu tahu perasaan apa yang
mencengkeram jantung isterinya saat itu, setidaktidaknya saat-saat ia berpisah dengan Hendra di
terminal. Cemburukah ia. Marah. Atau memberi tanda
sympathi. Atau yang paling pahit : acuh tak acuh.
Tetapi Surahman sudah mendengkur. Dan Alice
kembali dan kembali hanya bisa menarik nafas.
Benar. Dulu ia tidak cinta pada laki-laki ini,
ketika ia pertama kali naik bersama ke ranjang
pengantin. Tetapi setelah kelahiran si kembar
Ramandita-Pranajaya, terlebih-lebih si mungil Melly,
maka tidak ada lagi persoalan cinta atau tidak. Saling
menyukai, sudah lebih dari cukup. Rumah tangga
jarang diisi pertengkaran, dan hampir semua
kebutuhan selalu terpenuhi. Piknik ke luar daerah, ke
luar kota bahkan pernah ke luar negeri. Mula-mula
sekali seminggu, kemudian sekali sebulan, kemudian
lagi makin jarang dan setelah sepuluh tahun berlalu,
jangankan untuk ke luar kota. Ke luar rumah sajapun
Surahman sudah tidak punya waktu, la seorang ahli
bedah yang tenaganya sangat dibutuhkan, yang
bantuannya diperlukan oleh ribuan orang setiap
saat...! 22 "Oh! Aku terlalu egois!" keluh Alice tiba-tiba,
menyesali diri. Padahal ia sudah tabah selama ini. Sudah
terbiasa. Tetapi setelah kemunculan Hendra ...
"Tidak. Aku harus menjaga kehormatanku
sebagai seorang isteri dan ibu yang setia ..."
Alice menyeka pipinya yang basah, dan
bersimpuh di samping sofa.
"Maafkan aku, pap," dan ia mengecup pipi
suaminya. Surahman menggeliat, dan dalam tidurnya
berubah menelentang sehingga piyamanya berubah
letak. Kancing-kancing kemejanya terlepas mem
perlihatkan dada bidang yang berbulu, bergerak
teratur. Alice mengelus bulu-bulu dada itu dengan jari
jemari gemetar, menggosokkan pipinya ke tempat
yang sama dengan hati yang ikut tergetar.
Surahman tersenyum dalam tidurnya, tampak
betapa manis. "Sayangku," desah Alice dan mencium bibir
yang tersenyum itu dengan mesra.
23 Surahman membuka matanya.
Tetapi Alice semakin membenamkan bibirnya,
dan mulai memeluk laki-laki itu. la tidak sadar kalau
suaminya terbangun, dan baru mengetahuinya ketika
Surahman pelan-pelan membalas pelukannya dan
dengan segenap kekuatan yang ada padanya menarik
tubuh perempuan itu ke atas sofa, menghimpit
tubuhnya sendiri. Mereka berpelukan dan berciuman
dengan nafas mendesah-desah, sampai akhirnya
dengan mata setengah mengatup Alice berbisik
ditelinga suaminya : "Jangan di sini, pap ..."
Berpelukan mereka masuk ke kamar tidur.
Dan Alice baru saja melepas pakaian yang
melekat di tubuhnya dan sudah siap naik ke ranjang,
ketika telephone berdering keras di ruang tengah,
menyentak kesepian yang menggetarkan di antara
mereka. Alice terkejut sebentar, kemudian tersenyum
lalu menekan tubuh suaminya ke tempat tidur. Tetapi
telephone itu terus berdering. Berdering. Dan
berdering. "Kuputus saja ya pap?"
24 Alice sudah menyambar selimut untuk masuk
ke ruang tengah, tetapi suaminya mendahului : "Kau
tunggu di sini. Paling-paling dari rumah sakit... "
Alice setengah menghempas di ranjang.
Matanya mulai terasa perih, la sudah bisa
membayangkan! Surahman masuk ke kamar dan langsung
berganti pakaian. Katanya: "Ada korban pembunuhan. Terlambat sedikit,
kata mereka tidak akan punya harapan lagi!"
Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
la kemudian mengecup bibir isterinya yang
bergulung di bawah selimut.
"Aku tak akan lama, sayang."
Lalu ia pergi. Alice menangis tersendat-sendat.
Tak lama, katanya, tetapi jam empat pagi ia
baru pulang ke rumah, dan Alice baru saja tertidur
dengan kepala yang masih berdenyut-denyut. Ketika
Alice bangun, suaminya sudah tidur di sampingnya,
dengan sebuah nota di kepala tempat tidur :
25 "Bangunkan aku jam sembilan, mam." Alice
memandangi nota itu dengan mata yang terasa sangat
perih. Ingin rasanya ia menelan nota itu, siapa tahu
bisa jadi obat mujarab terhadap perasaan mual dalam
lambungnya. Mereka sarapan tanpa bicara sepatahpun juga.
Surahman hanya bertanya sedikit: "Anak-anak
sudah pergi?" "Ya, pap." "Kau antar sendiri ke sekolah?"
"Taksi, pap. Aku harus membangunkan kau
pada waktunya, bukan?"
Habis sampai di situ. Apakah yang menggelisahkan suaminya, soal
senggama mereka yang tidak selesai tadi malam?
Kalau ya, pasti ada penyesalan di matanya atau nada
suaranya. Tetapi tiada gambaran itu. Tiada pula
pernyataan maaf. Jadi jelaslah sudah ; laki-laki itu
tengah memikirkan operasi yang ia lakukan di meja
bedah rumah sakit sepanjang malam, dan sekarang
harus ia teliti hasilnya. Oh.
*** 26 KONON kata orang, perempuan yang sedang dilanda
sakit hati akan mampu membalikkan dunia semudah
ia membalikkan telapak tangannya. Hal ini rupanya
berlaku juga pada diri Alice. la tidak pernah
berkeinginan ?bahkan teringat pun tidak!? untuk
membalikkan peradaban umat manusia dipermukaan
bumi ini seperti telah pernah dilakukan kaumnya yang
bernama Cleoparta dan Eva Braun di jaman yang
berbeda-beda. Ketika ia meninggalkan rumah pagi itu,
Alice pun sama sekali tidak menduga langkahnya yang
ia ambil akan sempat menggoncangkan kehidupan
rumahtangganya, paling tidak menggerogoti kesetiaan yang selama ini ia pegang teguh sebagai
seorang isteri. la telah menelephone Hendra.
Dan satu jam kemudian, dengan naik taksi ia
telah tiba di sebuah bar yang tidak begitu populer di
kawasan Menteng. Di samping karena tarip
27 hidangannya yang mahal juga karena pengunjungnya
hanya orang-orang tertentu saja. Yang ingin
memisahkan diri dari orang lain, karena satu dan lain
hal ingin tidak terganggu oleh banyaknya orang-orang
yang hadir, la tidak pernah tahu tempat itu sebelum
ini. la hanya menolak ketika Hendra bertanya apakah
mereka bertemu di rumah Alice dan tentu saja Hendra
tidak mau Alice berkunjung ke rumahnya pula. Dan
mereka tidak mau, ada seseorang yang mengenal dan
kemudian pasang mulut ke mana-mana...
"Seorang kawan pernah menyebut sebuah
tempat," Hendra yang memberi usul.
Dan ketika Hendra menerangkan situasi tempat
yang ia usulkan, sempat Alice nyekiki. Sindirnya :
"Apa kau baru terima gaji?"
Dijawab oleh Hendra dengan nada kemalu-maluan :
"Dua gelas minuman cukup untuk basa-basi
pada pemilik bar itu, bukan?"
Dan Hendra sudah menunggu di sana ketika Alice tiba.
Hendrapun benar-benar memenuhi ucapannya.
Mereka hanya minum masing-masing segelas sari
buah ditambah beberapa potong kue ringan. Untuk
lebih leluasa, mereka memilih sebuah meja yang
28 terletak di pojok berdindingkan daun-daun lebar
pohon palma berwarna merah hati disatu bidang,
tembok dengan lukisan candi di bidang kedua dan
bidang ketika teak-wood setinggi dada bila berdiri.
Bidang ke empat adalah pintu masuk, namun terlalu
sempit untuk seseorang yang bermaksud untuk
mengintai ke dalam tanpa terlihat dengan jelas. Dan
siapa pula tamu-tamu baru seperti itu yang mau
bersusah payah untuk melakukannya, kecuali kalau
tamu itu seorang yang bermuka tembok.
"Aku senang kau mau menemuiku lagi," itulah
ucapan pertama Hendra setelah mereka duduk
berhadapan. Sambil berkata demikian, ia letakkan
telapak tangannya yang lebar dan bertonjolan uraturatnya di punggung tangan Alice, tanpa perempuan
itu berusaha untuk menghindarnya.
Memerah cupil telinga Alice.
"Aku hanya mau minta maaf," dalihnya.
"Maksudmu?" "Kemaren aku berlaku kasar."
Hendra tersenyum. 29 "Justru aku yang tidak bisa tidur sepanjang
malam, karena membiarkan kau sendirian, tanpa
pamit." Lantas Alice teringat bagaimana perasaannya
ketika itu. "Aku sangat kehilangan kau," katanya, jujur,
polos, tak terduga, sehingga pipinya kemerahmerahan oleh perasaan malu sebab terlanjur.
"Alice!" desah Hendra seraya mempererat
pegangannya, setelah mendengar ucapan yang tidak
disengaja itu. Sesuatu yang tidak disengaja, selalu
terlahir dari sesuatu yang murni dan tidak palsu.
Hendra tahu itu, dan dengan yakin ia bertanya secara
langsung: "Kau mencintainya?"
Alice terjengah. "Hendra, pertanyaanmu terlalu sulit untuk ...
Ah, maksudku, kau kan harus tahu, biar bagaimana
pun aku adalah isteri mas Surahman."
"Kau berbahagia?" Hendra menyederhanakan.
"Ya. Maksudku, belum pernah terjadi sesuatu
yang bisa menimbulkan perpecahan di antara kami.
30 Dan ..." dan apa yang ia lakukan, bukankah suatu jalan
termudah menuju sebuah perpecahan. Tiba-tiba Alice
sadar akan dirinya dan dengan halus melepaskan
genggaman tangan Hendra. "Bagaimana dengan kau
sendiri?" ia balas bertanya, sekedar untuk mengurangi
ketegangan yang perlahan-lahan merayapi dadanya.
Hendra mengeluh. Enggan, ia meneguk minuman di gelasnya.
"Makanlah kuenya, Lies."
"Kau belum jawab pertanyaanku."
"Ah. Sama sukarnya. Dengan tujuh orang anak,
kau tahu." "Lahirnya anak belum jadi jaminan lahirnya
kebahagiaan," Alice menuduh, dan ia sendiri memang
sudah merasakannya selama ini. Kelahiran Ramandita,
Pranajaya kemudian Melly, lebih tepat disebut sebagai
tali pengikat yang menimbulkan suatu pertanggung
jawaban. Kebahagiaan itu memang ia miliki, dari anakanaknya, tetapi tidak dari suami. Ada kalanya orang
cukup dengan kebutuhan yang berbentuk pembalut
tubuh, tetapi seorang perempuan terutama sangat
membutuhkan isi jiwa dari tubuh yang dibalut itu.
"Kau benar " 31 "Maksudmu, selama ini kau ..."
"Lies, tak baik menjelek-jelekkan rumahtangga
sendiri, kata orang. Tetapi apa yang terjadi dengan
diriku? Hampir semua orang tahu. Perkawinan itu
lebih mirip dari persatuan balas budi, sebuah yayasan
yang orang-orangnya terikat pada suasana saling
membutuhkan secara materiel. Kau tahu masa laluku
sebelum menikah dengannya, bukan?"
Alice mengangguk hati-hati. Hati-hati pula ia
menambahkan : "Hanya dengar-dengar."
Hendra mengeluh lagi. Dalam. Dan kembali
mereguk minumannya. Kali ini sampai habis. Melihat
itu, Alice tersenyum. "Kau masih sanggup membayar extra satu gelas lagi?"
Hendra terjengah oleh peralihan suasana itu.
"Ha?" cetusnya.
"Kalau tidak, kau habiskan saja punyaku" dan
kembali ia tidak bisa menahan diri. "Bukankah dulu
punyaku adalah-punyamu pula?"
Dan kembali kedua belah pipi Alice yang ranum,
memerah. 32 la menjadi khawatir, lama-lama ia benar-benar
bisa lupa diri. Oleh karena itu ia cepat-cepat melirik ke
arloji tangannya dan kemudian berdiri.
"Maafkan aku, Hendra," katanya. "Aku harus
menjemput anak-anak."
"Baru sedetik, Lies ..."
"Sudah lebih dari satu jam!"
"Kau kira, cukupkah itu, setelah lebih dari
sepuluh tahun berlalu dengan sia-sia?"
"Aku aku ..." "Aku tak pernah bisa melupakan kau, Lies.
Seringkali aku berangan-angan buruk. Bila suatu ketika
kelak aku berjumpa lagi denganmu, rasanya maulah
aku mengorbankan segala sesuatu yang kumiliki saat
itu." "Hendra!" Alice berusaha agar sudut-sudut
matanya tidak berlinang. la menggigit bibirnya keras-keras, lalu :
"Aku harus pergi. Melly masih kecil. Masih
Taman Kanak-Kanak!" 33 Hendra bernafas dalam. Kemudian berdiri, dan
mereka bergandengan ke luar dari balik box, berjalan
kemeja kassier dan Alice lebih cepat, la membayarkan
apa yang telah dipesan oleh Hendra, dan laki-laki itu
tidak berselera untuk menjaga gengsi. Ketika
menunggu taksi di luar bar, Hendra mendesak :
"Kapan aku bisa menghubungimu lagi, Lies ..."
"Jangan!" cegah Alice dengan wajah pucat.
"Aku takut, seseorang di rumah bisa nguping."
"Kalau begitu, kapan kau akan hubungi aku lagi?"
"Aku aku sungguh, Hendra. Aku tak tahu apa
yang mau kukatakan," dan Alice benar-benar
berlinang air matanya kini. la menggenggam jarijemari Hendra erat-erat, seakan-akan ingin
menyalurkan segala keresahan hatinya ke tangan
lelaki itu. Dalam usahanya menahan tangis, ia sedikit
tengadah, dan matahari hampir saja berada di ubunubun. Melly sudah lama tentunya menunggu di
kelasnya, menunggu saudara-saudaranya selesai
mengikuti pelajaran untuk kemudian bertiga mereka
menunggu Alice tersayang.
Hendra menggapai sebuah taksi.
34 Alice naik, dan Hendra cepat-cepat memutuskan:
"Aku akan menunggui di sini pada jam yang
sama besok!" Dan taksi itu melaju, meninggalkan Hendra:
berdiri termangu-mangu. Alice melihatnya lewat kaca belakang
mobil,terkesan oleh bayangan yang semakin menjauh
dari laki-laki itu. Betapa hangat tadi dadanya ketika
mereka bertemu, dan betapa bergejolak darahnya kini
ketika mereka berpisah. Dan Alice sudah berhadapan
dengan anak-anaknya siang itu, namun kehadiran
bocah-bocah itu tak mampu untuk menggoyahkan
tekadnya. Besoknya mereka duduk lagi di pojok yang sama.
Dan Hendra berbisik dengan suara serak :
"Belum pernah aku sebahagia ini."
Lalu ia bukan saja lagi menggenggam, tetapi
kemudian mencium punggung tangan Alice yang ia
bawa ke wajahnya, ia dekapkan lama di sana, dan
dengan mata yang seperti menerawang jauh mirip
bulan yang berusaha melarikan diri dari kepungan
35 awan pekat, ia me meneruskan, "Cintaku tidak pernah
padam-padam, Lies. Camkanlah itu!"
"Ingat anak-anakmu, Hendra," memperingat
kan Alice dengan jantung yang seperti mau copot.
"Itu merupakan berbedaan."
"Kalau bregitu, ingatlah istrimu."
"Ia telah merasa cukup memberikan tujuh
orang anak dan merasa terlalu sibuk mengurus
mereka. Ia sudah tidak teringat lagi mengurus dirinya
dan hanya untuk anak-anaknya, bukan lagi milik
suaminya Dan kau, Lies, kau pasti tahu. Ia hanya
memiliki jasadku selama ini. Tidak jiwaku"
"Oh!'" Alice ganti menarik tangan Hendra.
Seraya menangis ia mencium tangan laki-laki itu
berulang-ulang, dan mendesah dengan suara
terputus-putus : "Jangan ulangi lagi, Hendra, bisa mati aku kau
buat. Oh!"
Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga empat kali di bar, akhirnya pada kali yang
kelima mereka memberanikan diri untuk memilih
tempat yang lebih tertutup dari box yang memang
sudah sangat tertutup itu. Keputusan itu sampai
menimbulkan pertentangan. Hendra yang mengaju
36 kan, dan Alice dengan muka merah mula-mula
menolak. "Apakah itu perlu kita lakukan?" tanyanya
dengan suara getir. "Kita saling membutuhkan, Alice!"
"Cukup dengan bertemu begini. Dan bertukar
pikiran." "Seorang laki-laki yang sudah dewasa, tidak
puas dengan itu. Demikian pula dengan seorang
perempuan yang sama dewasanya."
"Kau mencari kepuasan belaka?" tuduh Alice.
"Bukan badani," tangkis Hendra. "Tetapi jiwa!"
Dengan suara meyakinkan, Hendra berkata. Tandas:
"Kau pasti memerlukannya."
"Tetapi, Hendra ..."
"Kita bertemu di sini lagi, besok dan setelah itu
kita pergi ke tempat yang lebih berarti daripada
sebuah box kecil di antara box-box lain seperti di sini."
"Jangan besok."
"Kapan?" 37 "Kau mendesak."
"Apakah kau tidak, Alice?"
Lama Alice berpikir. Bimbang. Lalu :
"Selasa depan! Sedikit lebih pagi. Pada waktu
itu, mas Surahman harus bertugas di tiga rumah sakit
sekaligus, sehingga ia tidak berpraktek pribadi.
Seorang baby sister tetap akan hadir di rumah. Dan
pada hari itu, akan ada pertemuan isteri-isteri dokter.
Mutlak milik isteri-isterinya, tanpa kehadiran suami,
dan tanpa turut campur orang lain. Biasanya untuk
bergunjing, dengan dalih silaturrahmi. Cocktail,
pemutaran film kewanitaan, sedikit diskusi, makan
siang, dan film import yang belum diputar untuk
umum. Hampir satu hari penuh. Apakah itu cukup?"
Hendra tersenyum. "Apakah kau kira cukup, Lies?" ia balik bertanya.
"Tak akan pernah, sayangku," Alice mengakui.
Dan mereka semakin erat bergenggaman
tangan, dengan sikap seperti sudah tidak sabar untuk
saling bergenggaman lebih dari sekedar tangantangan kecil yang karena keadaan, hanyalah bendabenda lemah yang tidak punya kemampuan apa-apa
38 untuk mempersatukan kebahagiaan yang sesungguh
nya dari hidup ini! *** 39 TETAPI ketika sudah berada di lingkungan anakanaknya, pikiran Alice kembali bimbang. Memandang
Melly yang sibuk dengan boneka-bonekanya dan
berlagak sebagai seorang ibu terhadap anak-anaknya,
pengasih, telaten dan suka bercerita lucu sambil
kadang-kadang menyusun boneka-bonekanya di
depan peralatan masak-memasak yang terbuat dari
plastik seakan mengajari boneka-boneka itu tentang
urusan dapur. Alice sangat terpukul. Anak umur empat
tahun yang baru duduk di kelas nol kecil itu, tanpa
disadarinya telah menyindir pribadi ibunya sendiri. la
seharusnya hidup untuk anak-anaknya, tidak lagi
untuk dirinya sendiri, seperti apa yang oleh Hendra
dilakukan oleh isteri laki-laki itu. Tanpa sadar, ia
melompat memeluk bocah mungil yang lucu itu.
Ia memeluknya, danan menangis terisak-isak.
"Mami. Mami kok nangis mami," bibir kecil
itu merengek dan hampir ikut latah untuk menangis.
40 "Oh, tidak anakku. Ibu tidak menangis," buruburu Alice menyeka air matanya.
"Mami bohong. Mami bohong. Kok pipinya
basah ..." "Hanya pedih." "Pedih kenapa, mami? Kemasukan pasir ya?
Mana sinir bukakan mata mami ... biar Melly korek."
"Eh, kok dikorek," Alice tiba-tiba tertawa
sendiri. "Nanti mami buta."
"Kalau gitu jangan nangis dong."
"Tidak, nak. Tidak lagi."
"Eeeyy, jadi mami benar nangisnya tadi ya?"
"Ampun ini anak!"
Dan Alice tertawa terbahak-bahak.
Ia menangis, la tertawa. Tanpa tempo yang
terlalu jauh. Dan itu adalah perlambang, betapa ia
sangat mencintai anak-anaknya. Dan malam itu ia
utarakan pada suaminya menjelang tidur. Alangkah
baik, bila mereka berhari Minggu sesekali.
"Bukankah kau selalu membawa mereka,
Alice?" tanya Surahman.
41 "Tanpa kau tidak lengkap, pap."
"Hem ..." "Sekali ini saja pap. Sudah lebih setahun kita
tidak berjalan jauh..."
"Apa rencanamu?"
"Bali!" "Wah. Itu berarti akan makan tempo," dan
untuk menguatkan alasannya ia mengingatkan :
"Jangan ajari anak-anak untuk bolos dari sekolah."
"Pap. Sabtu ini mereka pulang jam sepuluh pagi.
Jam berikutnya kita terbang ke Bali, dan Minggu sore
pulang. Jangan tolak permintaanku sekali ini, Pap,"
dan ucapannya seolah-olah memperlihatkan, bahwa
niat itu terutama bukan saja untuk menyenangkan
anak-anak mereka, akan tetapi juga untuk
menyenangkan Alice sebagai seorang isteri yang
sudah jarang mendapat perhatian. Surahman bisa
memahami keadaan itu, dan ia kemudian
memutuskan : "Okey. Tetapi harus benar-benar sampai
Minggu sore saja!" 42 Alice berseru riang dan mengulum bibir
suaminya lama-lama. Dalam hatinya, ia bersorak : suasana bahagia di
Bali, akan membuang jauh-jauh keinginan untuk
melakukan apa yang telah ia rencanakan bersama
Hendra. Alangkah terkutuknya. Seharusnya bertemu
di bar, bercakap-cakap dengan leluasa mengadukan
hal masing-masing, sudah lebih dari cukup. Mereka
seharusnya hanya berhubungan sebagai teman-kalau
perlu sebagai saudara. Tidak lagi harus tergugah oleh
masa lalu, yang telah pernah berhasil dibunuh Alice!
la segera mempersiapkan segala kebutuhan
mereka untuk berweekend itu sementara suaminya
mengebut pekerjaan sebanyak mungkin agar dua hari
waktu yang ia pergunakan tidak akan merepotkan
asisten-asistennya. Dalam keadaan terdesak, ia
menunjuk seorang dokter bedah pengganti. Begitulah
hasil laporan Surahman pada Alice, hari pertama. Dan
hari kedua ia muncul di rumah dengan wajah lesu dan
mata yang takut-takut menatap Alice.
Berdebar dada Alice. "Ada apa, pap?"
43 "Atasan menugaskan aku untuk meninjau
praktek bedah baru oleh dokter-dokter Jepang di
Tokyo." "Bukankah itu suatu kesempatan?"
"Benar. Masalahnya, soal waktu."
"Maksudmu Dengan suara menyesal, Surahman menerangkan :
"Aku harus berangkat sore ini juga, dan baru
bisa kembali Minggu pagi lusa!"
Alice terduduk dengan tubuh lemas.
"Maafkan aku, Alice."
Alice berdiam diri. Bibirnya kering.
"Penugasan itu mendadak. Bukan kehendak, ku.
Barangkali, di lain Minggu kita"
"Ya. Ya. Barangkali," dan Alice bangkit terhuyung-huyung dari kursi. "Barang-barang apa saja
yang akan kau bawa?"
Dan tanpa menunggu jawaban suaminya, Alice
menyeret kakinya masuk ke kamar kerja Surahman.
*** 44 HARI SELASA Pagi-pagi, seorang perempuan muda telah hadir
di rumah mereka, la adalah baby-sitter yang pernah
diceritakan oleh Alice pada Hendra. Sudah biasa
bertugas di rumah mereka manakala anak-anak
karena sesuatu keperluan tidak bisa ditemani ibu
mereka. "Kau agak pucat, zus Renny," sambut Alice
ketika tamunya masuk. "Ah. Hanya sedikit pusing. Tetapi tak akan
mengganggu, saya harap."
"Okey, kalau begitu. Segala yang kau butuh kan
sudah tersedia seperti biasa. Dan mobil tidak dipakai
oleh papinya anak-anak. Seorang supir dari rumah
sakit akan menemani bila perlu."
"Terimakasih." "Mudah-mudahan tidak mengganggu masa
pengantin zus Renny. Tentu masih sono-sonoan
dengan sang suami ya?"
"Ah. Sudah lewat waktu bulan madu, Tante."
"Syukurlah." 45 Dan hari itu Alice meninggalkan rumah dengan
pikiran tenteram terhadap keselamatan anakanaknya, namun bercampur dengan keresahan yang
menggebu-gebu, kalau teringat akan apa yang bakal ia
perbuat. Tidakkah ini merupakan suatu pengkhianatan? Tetapi ia telah bertemu dengan
Hendra. Dan bukan sekali dua. Itu saja sudah bisa
dicap penghianatan. Sekarang, kepalang basah ...
Lagipula, mas Surahman itu! Kariernya adalah yang
pertama-tama. Anak isteri, harus puas dengan
menempati urutan kedua. Mungkin yang ketiga,
setelah dirinya sendiri! "Kau sedikit terlambat," sambut Hendra waktu
mereka bertemu di Menteng.
"Aku harus ke wisma dulu. Memberikan alasan
ketidak hadiranku." "Yang penting, kau telah datang, Lies."
Dan dengan taksi mereka ngebut ke Puncak,
dan langsung ke bungalow mungil yang mereka
rencanakan semula. Letaknya agak jauh dari jalan raya
utama, melalui jalan tak beraspal yang berliku-liku,
dan persis berada di kaki sebuah bukit. Bukit itu
merupakan dinding belakang bungalow, dan latar
depan setelah pekarangan yang diisi tanaman bunga
46 anggrek adalah sebuah lereng yang tidak begitu terjal
yang bertemu dengan persawahan yang padinya
sudah mulai menghijau. Pemandangan di situ betapa amat menarik hati.
Tetapi, Hendra dan Alice tidak bernafsu untuk
melihatnya. Begitu turun dari mobil, mereka langsung
masuk ke bungalow. Dan setelah penunggu bungalow
menyerahkan anak kunci, Hendra membuka pintu,
dan dengan elegance sedikit membungkuk
mempersilahkan Alice : Lady first! Pintu kemudian
tertutup di belakang mereka, dan suasana remangremang di dalam tidak memerlukan tempo lama untuk
menggugah hati kedua anak manusia itu. Mereka
berdiri berhadap-hadapan, saling tatap dengan
kelopak mata tidak berkedip, dan kemudian tas
tangan milik Alice, terjatuh ke lantai waktu mereka
saling merenggut dalam sebuah pelukan yang seperti
tidak akan terlepaskan lagi.
Untuk pertama kali setelah lebih sepuluh tahun,
bibir mereka saling berpagut.
Semacam kerinduan yang tidak tertahankan,
segera menyusul. Masih berpelukan, mereka saling menyeret
tubuh ke kamar tidur yang pintunya terbuka.
47 "Hendra ...," desah Alice sengau.
"Alice!" balas Hendra, terengap.
Entah siapa yang memulai, mereka telah tidak
saling berpakaian selembar benang pun lagi. Alice
menangis ketika ia merebahkan tubuhnya di atas
ranjang. Dan ia masih menangis, ketika lebih dari satu
jam kemudian ia memeluk Hendra dengan tubuh yang
lemah lunglai seraya berbisik terputus-putus di telinga
lelaki itu : "Demi Tuhan, sayangku, belum pernah aku
sebahagia hari ini!"
Hari yang bahagia itu mereka isi seluruhnya di
dalam bungalow. Bukan karena mereka tidak tertarik
dengan panorama di luar. Bukan pula karena mereka
takut seseorang yang mengenali diri mereka
dikirimkan Tuhan untuk lewat di sekitar bungalow.
Tetapi, hari yang berbahagia itu, hanya bisa disebut
demikian, karena kebahagiaan itu habis mereka cicipi
di dalam. Sekali mereka ke luar dari pintu, maka
Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka akan kehilangan sebahagian dari kebahagiaan
yang sangat berharga itu!
Namun begitu, waktu terasa berlalu sangat cepat.
48 Menjelang tiba di rumah sore harinya Alice tidak
merasa perlu mendandani dirinya secara berlebihan
selagi duduk di jok belakang taksi yang membawanya
setelah berpisah dengan Hendra di Menteng.
Kebahagiaan yang meluap-luap membuat keinginan
nya sangat keras untuk menyaksikan wajahnya saat itu
di depan kaca toilet kamar tidurnya. la ingin tahu, Alice
yang bagaimanakah ia sekarang, setelah ia menikmati
kebahagiaan yang tiada bertara dalam hidupnya
selama ini. Dan Alice tidak pernah sempat berkaca.
Baby-sitter yang bernama Renny itu tidak lagi
menemani anak-anaknya ketika Alice masuk melalui
pintu yang menganga terbuka. Mobil mereka ada di
depan, tetapi juga ia tidak melihat supir rumah sakit.
Di pekarangan, pembantu rumah tengah menyiram
kembang-kembang dan karena ia membelakangi jalan
perempuan tua itu tidak mengetahui kehadiran Alice.
Dan Alice pun tidak perlu bertanya pada
pembantunya, mengapa Renny tidak menunggu
sampai Alice pulang sebagaimana yang telah ia
instruksikan. Tiadanya Renny, diterangkan langsung oleh
ayah anak-anaknya! 49 Surahman tengah main halma bertiga dengan
Ramandita dan Pranajaya, ketika Alice masuk ke ruang
tengah. Kedua anak itu tekun menghadapi permainan,
akan tetapi Surahman yang wajahnya tampak kusut,
melihat kehadiran Alice. Ia menoleh, memperhatikan
isterinya hanya secara sambil lalu. Hanya sambi Ialu.
Lantas sambil menjalankan biji dadu untuk
gilirannya, ia bertanya juga sambil lalu :
"Kukira kau tak akan pulang secepat ini, Alice."
Alice berdiri mematung, tak bisa menghindari
kegugupan di matanya. Bahkan ia pucat ketika itu,
tetapi untunglah suaminya berusaha menekuni
permainan seperti anak-anak mereka, sehingga
perubahan yang sekejap terjadi di wajah Alice, tidak ia
perhatikan. Atau, pura-pura tidak ia perhatikan?
Alice hampir-hampir tak sanggup mengatur nafas.
*** 50 LALU sambil berjalan ke pintu kamar tidurnya, ia
bergumam : "Tidak dinas, pap?"
"Terpaksa tidak!"
Alice tertegun. Kembali gugup, lalu bergegas
masuk ke kamar. Di kaca, ia lihat, betapa pucat
wajahnya, la berusaha merapihkan diri, memupuri
wajahnya dengan powder dan eye shadow untuk
menutupi keterkejutan. Baru setelah itu ke luar, berusaha tenang dan
ikut asyik melihati permainan halma itu, ia
mengemukakan rasa ingin tahunya:
"Renny sudah pulang?"
"He-eh. Tengah hari ia menelephone ke rumah
51 sakit. Katanya tidak enak badan. Setelah kudesak, ia
baru mengakui bahwa ia tengah hamil muda. Apa
boleh buat, terpaksa kuijinkan ia pulang."
"Oh!" Sepi sebentar. Lalu : "Ee, koplok!" seperti biasa, Ramandita
menghardik adiknya. "Kau turun tangga sampai di sini
...," dan ia menggeser ke bawah biji halma Pranajaya.
Untung, kali ini adiknya mengaku salah.
"Aku sudah coba hubungi kau ke Wisma ..."
celetuk Surahman. "Aku tak di sana, pap. Aku membezuk seorang
teman yang sakit." "Mereka juga mengatakan begitu," ia tiba-tiba
menegor Ramandita : "Eh, kau jangan licik," dan ia
geser biji halma anaknya yang juga terkena kotak
larangan. Ramandita garuk-garuk kepala seraya
tersenyum-senyum kecut, sementara Pranajaya
menjulurkan lidahnya ke depan muka abangnya.
Ramandita melotot, dan hampir naik pitam kalau tak
keburu ayahnya memperingatkan : "Hayo, giliranmu
sudah tiba lagi!" 52 Tidak ada keinginan Alice untuk tertawa melihat
tingkah laku anak-anaknya yang tidak pernah kompak
itu. Karena, sebelum perutnya digelitik oleh rasa
geli, Surahman sudah melanjutkan : "Aku telah
mencoba menyusun sejumlah daftar, Alice."
"Daftar?" "Alamat teman-teman terdekatmu, sejauh yang
kuketahui. Tetapi setelah menelephone mereka satu
persatu, mereka semua bilang mereka sehat-sehat
saja, dan tidak melihat kau hari ini ..."
Alice terjebak. Tetapi ia tidak mau menyerah semudah itu.
"Pap, kau toh tidak bermaksud menuduh"
"Aku tak berkata begitu."
Alice kini terjepit. Untuk menghindar dari kesulitan itu, ia
mengalihkan persoalan : "Mana Melly?"
Acuh tak acuh, Surahman menyahut:
"Justru karena dialah aku pulang. Kata zus
Renny, suhu badan Melly meninggi. Setelah kuberi,
53 obat, baru turun lagi. Tak usah cemas, la sudah tidur
nyenyak di kamarnya"
Namun toh berlari juga Alice ke kamar.
Benar. Melly tidur nyenyak, dan suhu badannya
agak panas. Alice menggigit bibir. Dalam hati, ia menjerit :
"Anakku. Maafkan dosa ibumu yang terkutuk ini!"
Tidak habis sampai di situ rasa penyesalan Alice.
Suaminya tak lama kemudian pamit untuk kembali ke
rumah sakit. Namun sebelum pergi ia toh masih
sempat menyatakan "sympathi"-nya :
"Kuharap penyakit temanmu itu sudah sembuh,
Alice." Akibatnya, Alice menangis tersedu-sedu di
kamar anaknya. *** HARI demi hari berlalu tanpa terjadi sesuatu
yang ditakutkan Alice datang dari pihak suaminya.
Surahman bersikap biasa saja, seolah-olah tidak
terjadi sesuatu yang patut ia curigai, la tetap
melakukan kesibukan-kesibukannya dan kalau berada
di rumah tetap dengan kebiasaan-kebiasaannya. Bila
54 tidak sedang dicekoki persoalan pekerjaannya, ramah
pada anak-anak dan berusaha membimbing mereka
dalam pelajaran sekolah yang sulit-sulit. Terhadap
Alice, sikapnya tidak mengalami perubahan. Namun
jauh di dasar sanubari perempuan itu, tergurat sebuah
luka. Tiap kali berpandangan mata dengan suaminya,
tiap kali ia melihat sesuatu yang tersembunyi di balik
mata itu. Betapa inginnya ia agar Surahman mengemuka
kannya terus terang. Dan ia akan berkata jujur tentang
segala-galanya. Ia bahkan berani untuk menyatakan ini :
"Terserah kau, pap. Aku memang bersalah, dan
apapun yang ingin kau lakukan atas diriku, akan
kuterima dengan pasrah."
Tetapi Surahman tetap kebungkamannya yang
misterius. Dan Alice semakin tersiksa. Meskipun ia melihat
adanya perubahan lain pada kebiasaan suaminya
setelah hari berbahagia yang penuh dosa bagi Alice
itu, si perempuan tetap tertekan bathinnya. Hampir
hampir tidak ada artinya baginya hal-hal yang baru ini
: Surahman berusaha semakin sering didekat isteri dan
anak anaknya, ia akan menelephone dari rumah sakit,
55 seperti mula-mula mereka kawin, untuk mengatakan
jam berapa ia akan pulang, atau apakah ia akan makan
siang di rumah atau di kantin saja. Malam hari, ia tidak
lagi ngorok di sofa dengan majalah atau suratkabar
terhampar kian kemari. Juga ini: Dering telephone
yang selama ini kebanyakan sangat dibenci Alice,
mulai pula dibatasi Surahman untuk melayani.
Perasaan berdosa itulah yang mendorong Alice
untuk melanggar janji kencan dengan Hendra,
sebagaimana yang mereka ikrarkan tersama ketika di
Puncak. Jangankan ke bungalow. Ke bar yang penuh
pengertian di Menteng itupun, Alice sudah bersumpah
tidak akan menginjaknya lagi seumur hidup. Tentu saja
; bila Hendra menunggunya di sana, tanpa kehadiran
Surahman, suami Alice. Sekali waktu, Hendra nekad menelphone ke
rumah Alice. Untung ia sendiri yang menerima, dan tidak ada
orang di rumah kecuali pembantu.
"Ya Tuhanku. Aku sudah demikian cemas
memikirkan kau. Kusangka kau jatuh sakit, atau apa
..." "Aku sehat-sehat saja, Hendra. Berkat do'amu."
56 "Tetapi mengapa ..."
"Kumohon, Hendra," ujar Alice sungguhsungguh. "Putuskan hubungan telephone ini. Dan
akhiri segala dosa yang telah kita perbuat."
"Lies!" "Perlukah aku datang untuk bersujut di telapak
kakimu, Hendra? Kalau memang itu syaratnya, aku
bersedia!" "Hai, apa ini?"
"Hanya soal sepele, Hendra : Kesetiaan."
"Ah ..." "Memang tidak lucu kedengarannya. Tetapi aku
tidak bermaksud mengumbar kata-kata muluk.
Ingatlah, Hendra. Kau punya isteri dan sejumlah anakanak. Tidak. Jangan potong kata-kataku dulu.
Kuulangi, kau punya isteri dan anak. Aku juga, Hendra.
Aku masih syah jadi isteri Surahman tunggu, demi
Tuhan, jangan memutus pembicaraanku," nafas Alice
sesak di corong telephone. "Perasaanku terhadap mas
Surahman masih seperti semula. Percayalah, Hendra.
Tetapi terhadap anak-anakku Oh!" Alice terisak.
"Tahukah kau apa yang terjadi dengan Melly ketika
dosa itu kuperbuat di Puncak bersamamu?" ia
57 mengurut dadanya yang seperti mau meledak. "Ia
sakit panas, Hendra!"
"Barangkali suatu kebetulan dan"
"Demi Tuhan. Itu naluri. Naluri seorang anak!"
"Mustahil!" "Kau tak akan mengerti. Karena kau seoranglaki-laki."
"Baiklah. Jangan tersinggung. Tetapi, tak
mungkin perpisahan kita harus secara ini."
"Apa boleh buat, Hendra. Akupun merasa berat,
terlalu konyol dan dungu rasanya."
"Sekali saja, Lies!"
"Tidak!" "Untuk terakhir kali, kalau itu yang kau
kehendaki!" "Tidak ..." "Kumohon padamu, Lies."
"Okey. Berjanjilah, untuk terakhir kali. Dan
hanya untuk berjabatan tangan sebagai tanda
perpisahan terhadap masa-masa manis yang kita
58 jalani, sekaligus tanda persaudaraan untuk masa-masa
datang..." Ada keluhan dalam di seberang sana. Lalu :
"Aku setuju." "Kapan?" "Hari ini juga!"
Itu lebih baik. Makin cepat, makin mudah
menetapkan pendirian. Terutama, setelah Alice kini
digantungi dosa yang kian memberat itu, dan dicekoki
oleh penyesalan tiada tara. Tidak akan Hendra bisa
merubah pendiriannya lagi.
Masih punya waktu dua jam sebelum
menjemput anak-anak ke sekolah, Alice segera
mengebut mobilnya ke Menteng. Tidak lagi
mempergunakan taksi. Toh, pertemuan ini adalah
untuk tujuan baik, bukan lagi untuk ... Wahai, betapa
mengerikannya kebahagiaan itu. Betapa terkutuknya
karunia yang penuh kenikmatan itu!
Alice menggigit bibirnya keras-keras, agar tidak
sampai menangis. la harus tabah di hadapan Hendra.
59 Tetapi setelah berada di balik box tertutup itu,
Hendra melakukan sebuah gerakan yang tidak terduga
oleh Alice. Dibantu oleh suasana bar yang memang
sedang tiada pengunjung karena masih terlalu pagi,
Hendra langsung saja memeluk Alice dan menekan
tubuhnya ke tembok. Alice meronta tetapi ia merasa
malu untuk berteriak. Dan mana kala bibirnya
Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbenam dalam kuluman bibir Hendra yang panas
berapi api, ia bahkan tidak teringat lagi untuk
menjerit. la justru membalas pelukan lelaki Itu.
Menyambut ciumannya dengan segenap rasa
cinta. "Kekasihku. Kekasihku," desahnya kemudian.
Dan ia benar-benar menangisi!
Bukan itu saja. "Ada hotel beberapa ratus meter dari sini, Lies,"
bisik Hendra. "Hendra, jangan ..."
"Aku bisa gila kau kau menolak, Lies!"
"Tetapi..." "Jangan mendustai dirimu."
60 Dan mereka ngebut ke hotel yang dimaksud
demikian tergesa-gesa sampai Alice lupa mereka
mempergunakan mobil suaminya. Betapa tidak. Di
mobil Hendra menyatakan betapa inginnya ia bercerai
saja. Dengan Alice melarikan diri ke tempat jauh,
betapa tidak berbahagianya ia selama sepuluh tahun
ini, dan betapa indahnya hari-hari yang sekarang tak
ubahnya karunia Tuhan yang tiba-tiba dijatuhkan dari
langit untuknya. Untuk Alice. Untuk mereka berdua.
Hanya mereka berdua! Mereka sudah siap memasuki pintu sebuah
kamar diantar oleh seorang pelayan, ketika seseorang
berseru : "Hai, bung Hendra. Ngapain di sini?"
Celakanya, pelayan sudah membuka pintu
kamar, bahkan sudah mempersilahkan Hendra dan
"isteri" ?sebagaimana ia cantumkan di buku tamu?,
ketika orang itu datang mendekat dan kemudian
berhadap-hadapan dengan Hendra yang wajahnya
mendadak berubah kecut. "Aku ah. Perkenalkan. Ini, Alice."
Laki-laki setengah baya dan berkacamata itu,
memperhatikan Alice dengan seksama. Tiba-tiba, ia
tersenyum kecil, dan bermain mata dengan Hendra,
61 sambil menyindir : "Seorang mahasiswi untuk teman
berpraktek lagi, Hendra?" dan ia mengulurkan tangan
untuk berjabatan dengan Alice. Dan segera terkejut
waktu menyadari betapa pucat wajah dan betapa
gemetar tubuh si perempuan. Butir-butir air
mengambang di sudut-sudut mata Alice.
"Maafkan Nona, saya tidak bermaksud"
Ucapan itu tidak perlu ia lanjutkan. Karena,
seketika Alice sudah menghambur meninggalkan
mereka, dan berlari-lari seperti maling dikejar hansip
menuju ke mobil yang diparkir di halaman hotel.
Disaksikan pandangan mata orang-orang yang
keheranan, Alice menghidupkan mesin mobil,
membelok ke jalan besar dengan suara ban yang
menjerit-jerit lengking, kemudian terbang membelah
lalu lintas yang ramai seperti seorang pembalap yang
sudah ketinggalan beberapa lap dari lawan-lawannya.
Hendra, dengan wajah pucat pasi, menarik
temannya kebalik sebuah tiang beton besar dan tinggi.
"Demi setan!" ia memaki "Apa yang kau
lakukan?" Bingung, temannya menyahut:
62 "Aku kira ia salah seorang mahasiswi nakal yang
berhasil kau rayu seperti biasa, jadi ..."
"Kau pikir kau suci, eh?"
"Memang tidak. Tetapi dengan anak didik
sendiri" "Setan alas! Ia kekasihku semenjak selusin
tahun berselang. Bodoh. Jadah!" dan selusin pula
umpat caci yang ia lontarkan seraya menyingkir dari
hotel melalui halaman samping. Betapa malunya
Hendra. Tidak saja terhadap orang-orang di situ.
Tetapi terutama terhadap Alice. Benar, ia suka main
perempuan selama beberapa tahun terakhir, tapi
semua itu karena tiada kebahagiaan dalam rumah
tangganya. Dengan Alice, ia bersungguh-sungguh, dan
akan berusaha dengan segala daya upaya untuk
memperoleh perempuan itu.
la akan mengobarkan kecemburuan suaminya, kalau
perlu, dan kalau perlu lagi, ia akan bersabar untuk
menunggu sampai Alice kembali sendirian, dan ia bisa
melamarnya, sebagar isterinya yang tercinta. Sama,
seperti rencana yang sudah pernah, ia pikirkan masa
selusin tahun berselang. Dan hanya dalam tempo beberapa detik, semua
itu buyar berantakan! 63 *** Alice tidak ke sekolah. la langsung ke rumah sakit, dan bersabar
menunggu suaminya ke luar dari kamar operasi.
Matanya sembab ketika akhirnya mereka
bertemu. Surahman memandang Alice dengan wajah
terheran-heran. "Ada apa, sayangku? Melly panas lagi?"
Alice memeluk suaminya. Tersendat, ia berkata. "Aku telah berdosa, pap. Aku "
Aku Surahman tersenyum polos. Dan, berkata
lembut. "Aku tahu. Dan aku juga tahu, setelah
menyadari dosa-dosamu, kau akan menemuiku.
Sudahlah. Jangan pula menangis di sini. Tidakkah kau
lihat, sarung tanganku bergelimang darah? Dan eh"
ia mengangkat dagu isterinya, menatap mesra ke
matanya : "Sudah waktunya anak-anak dijemput,
mam. Kita ke sekolah bersama-sama, ya?"
*** 64 SEPI HATI MIRANDA PADA pandangan yang pertama, mereka berdua
sudah sama-sama memutuskan untuk menerima
lamaran pekerjaan yang diajukan laki-laki yang
memperkenalkan diri dengan nama Sundoro itu. la
berumur 30 tahun dan telah melalui masa dua tahun
bekerja sebagai seorang supir taxi liar sebelum
membaca iklan di surat kabar yang kini ia paparkan di
atas meja tamu dengan menambah sedikit alasan :
"Saya sudah lelah memburu setoran yang tidak
selalu bisa saya penuhi. Soalnya, taxi semakin banyak.
Sudah waktunya saya mencari penghasilan yang
tetap...!" Alasan yang benar-benar terlalu sedikit, tetapi
cukup masuk akal. Bagi Miranda alasan Sundoro itu
65 sebenarnya tidak urgent betul. Apa yang mendorong
hatinya untuk seketika menerima lamaran lelaki itu
adalah wajah Sundoro yang lembut, tatapan matanya
yang ragu-ragu sehingga sekali pandang tampaknya ia
adalah seorang laki-laki yang mudah diatur.
Lain halnya dnngan Melanie. Begitu membuka
pintu untuk tamu itu seperempat jam berselang ia
sudah terkesan oieh bentuk tubuhnya yang atletis
kemudian langkah jalannya yang gagah ketika
melangkah masuk dan ragu-ragu sebelum dipersilah
kan duduk. Namun ada satu hal yang paling pokok dan
satu-satunya pula hal yang sama dalam pandangan
kedua perempuan itu : Sundoro benar-benar seorang
lelaki yang tampan! Setelah Miranda saling pandang dengan
Melanie, pelan-pelan ia bertanya :
"Berapa permintaan gaji yang kau ingini?"
Andai saja laki-laki itu mengajukan harga yang
tinggi, tentulah Miranda tidak akan menampiknya.
Namun tentu pula ia harus berbincang-bincang dulu
dengan Melanie untuk mendapatkan persetujuan dari
anak gadisnya itu, sekedar agar ia tidak tampak terlalu
otoriter dan terlalu bernafsu untuk menerima
66 kehadiran lelaki itu. Bisa-bisa anak gadisnya menjadi
curiga. Di luar dugaan, Sundoro menjawab :
"Posisi saya adalah sebagai orang yang
menadahkan tangan. Jadi soait jumlah gaji, saya
serahkan kepada orang yang akan memberi!"
Jawabannya tegas. Dan sangat diplomatis.
Melanie mendehem kecil, sebellum bertanya:
"Suka ngebut tidak?"
Laki-laki itu ragu-ragu sebentar. Lalu :
"Tergantung " "Ya?" Sundoro menjelaskan : "Tiap ada penumpang yang naik ke taksi saya,
saya akan selalu mengajukan pertanyaan yang sama :
slow saja, Tuan? Tetapi sekali seorang penumpang
tampak sangat terburu-buru, maka saya akan
langsung tancap gas. Apalagi kalau sudah penumpang
sendiri yang minta. Malah pernah ada yang maksa
saya lari seratus di tengah-tengah lalu lintas yang
ramai." 67 "Gila!" "Apa boleh buat. Maunya penumpang.
Namun...," Sundoro tersenyum kecut. "Tak jarang pula
terjadi, Bandung-Lembang yang biasanya memakan
tempo seperempat jam, harus saya tempuh dalam
satu jam lebih. Penumpang yang ini mungkin punya
turunan dengan siput"
Miranda dan Melanie tertawa berbareng, dan
keputusan pun dibuat: "Okey. Anda kami terima!"
Satu dua hari pertama, segalanya berjalan
lancar. Sundoro ganti berganti mengantarkan kedua
perempuan itu. Miranda ke butik yang sudah
bertahun-tahun ia usahakan tak jauh dari Braga.
Kadang-kadang ke pertemuan dengan organisasi
wanita, dan arisan-arisan. Melanie punya Honda
bebek yang ganti setengah tahun sekali, tetapi
semenjak kehadiran Sundoro ia mulai manja.
Jangankan shoping atau pergi ke kuliah. Pergi ke
rumah teman pun ia minta di antar. Sundoro appel
tiap jam tujuh pagi di rumah anak beranak itu dan
mengakhiri pekerjaannya sekitar jam sepuluh malam,
setelah mana ia kemudian boleh pulang ke rumah di
mana katanya ia kost di Tegal lega.
68 Sampai pada suatu malam, penyakit pusingpusing yang sudah rutine mendatangi Miranda,
muncul sekonyong-konyong sedangkan persediaan
obat di rumah sudah habis. Melanie buru-buru
menelephone dokter langganan ibunya, tetapi
ternyata telephone rusak. Terpaksalah tengah malam
itu juga Melanie mengebut mobilnya ke rumah dokter
dan menjelang subuh penyakit ibunya mulai reda.
Tetapi sebuah putusan mereka kompromikan dari
kejadian malam itu : Sundoro tidak boleh jauh-jauh
dari mereka, agar sesewaktu diperlukan ia selalu
hadir. Jadi satu-satunya jalan adalah menawarkan
posisi baru bagi laki-laki itu.
Pagi-pagi, ketika ia muncul dan ikut sarapan,
pada Sundoro diajukan pertanyaan setengah
memohon ini: "Apakah kau keberatan tinggal bersama kami?
Ada kamar yang bisa kau tempati. Makan tak usah
bayar" Sundoro tidak menolak. Alasannya kali ini juga
masuk akal, teramat masuk akal:
"Kebetulan sekali. Ongkos indekost semakin
melangit saja sekarang ini."
69 Namun tentu sebagai seorang laki-laki yang
tahu harga diri --setidak-tidaknya sebagai orang Timur
yang bisa menjaga sopan santun, ia merasa perlu
untuk menambahkan basa-basi ini : "Tetapi saya
merasa diberi kehormatan terlalu tinggi. Padahal saya
belum lama bekerja dan Anda berdua belum kenal
betul dengan pribadi saya."
Hanya Tuhan yang tahu, mengapa anak beranak
itu menjawab serempak : "Lebih dekat akan lebih ..."
Sundoro mengernyitkan dahi, memandang
kedua orang perempuan itu, yang menjadi tersipusipu karenanya. Dengan bijaksana Miranda
mengulangi apa yang ia dan anak gadisnya tadi ingin
katakan: "Maksud kami, bukankah semakin berdekatan,
semakin mudah untuk mengenal pribadi masingmasing?" ia kemudian tersenyum. Manis, dan
berusaha agar sinar matanya tidak tampak terlalu
gembira waktu melanjutkan : "Jadi, bung Sundoro
tidak keberatan tinggal bersama kami. Kapan kau
bermasksud pindah? Maksud saya, agar mbok Paijah
kami suruh mempersiapkan kamar untukmu"
Pembantu rumah yang sudah tua itu telah
merapihkan kamar yang akan ditempati Sundoro pada
70 hari itu juga. Tetapi laki laki itu baru menempatinya
tiga hari kemudian, dengan alasan ia harus memberes
kan segala sesuatunya di tempat lama. Miranda dan
Melanie kembali sama-sama maklum; tentulah
Sundoro tidak ingin ketahuan, betapa bernafsunya ia
untuk segera bisa pindah ke rumah mereka. Begitu
Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sundoro menempati kamar yang cukup besar dengan
segala perabotan yang sudah disediakan lengkap,
maka laki-laki itu pun rupanya tahu membalas budi
juga. Pada waktu Mercedez mereka menganggur,
maka Sundoro membantu pekerjaan tukang kebun di
pekarangan depan dan di belakang rumah. Sehingga,
malang bagi tukang kebun itu. Meskipun ia diberi
pesangon setahun gaji, ia terpaksa harus melepaskan
pekerjaannya dengan hati berat. Majikannya bukanlah
orang yang suka mengeluarkan uang dari sela-sela jari
yang dirapatkan dengan dahi dikerutkan. Lebih sering
memberi hadiah daripada melemparkan kata-kata
kemarahan. Untunglah Miranda memberikan jalan :
"Bawa surat ini ke Tuan Harjadinata di
Supratman. la akan menerimamu bekerja di sana"
Tukang kebun itu sangat berterimakasih.
Tadinya dalam hati ia sudah hampir mengutuk
71 Sundoro. Kehadiran orang itu telah merampas
kebahagiaannya. Kini, ia meninggalkan rumah itu
dengan dada yang agak lebih lapang, serta
mendo'akan kebahagiaan serta panjang umur bagi
kedua orang majikannya, la tidak pernah tahu, di kelak
kemudian hari bukan saja kebahagiaannya yang telah
dirampas orang baru itu, akan tetapi juga kebahagiaan
kedua orang majikannya. Dan perampasan yang
dilakukan Sundoro itu betapa kejam. Betapa
mengerikan! *** Dalam waktu yang singkat, Sundoro sudah bisa
mengenal pribadi kedua orang perempuan yang
menjadi majikannya. Di antara Miranda dan Melanie
terdapat perbedaan umur yang sangat menyolok.
Sang ibu sudah mencapai usia 45 tahun, namun sangat
telaten merawat diri dengan bantuan kosmetik kelas
satu dan rajin ke salon dan belakangan ia ketahui juga
suka minum jamu. Tidak heran kalau perempuan ini
tampak sepuluh tahun lebih muda. Pakaiannya sering
diganti. Kadang-kadang tiga empat kali sehari.
Tergantung berapa kali ia pergi ke luar rumah,
terutama ke butik tempat ia menduduki jabatan
sebagai direktris dan pemegang saham terbesar
setelah anaknya Melanie. Tetapi saham yang disebut
72 terakhir ini baru bisa jadi milik penuh Melanie, apabila
Melanie sudah menikah dengan sepertujuan Miranda.
Melanie sendiri yang menentukan syarat itu sebagai
tanda bakti seorang anak terhadap ibunya yang sudah
hidup menjanda. Anak itu tidak ingin mengabaikan
kedudukan Miranda sebagai seorang ibu yang tidak
ada pelindungnya lagi, kecuali Melanie sendiri.
Pada minggu-minggu pertama Sundoro bekerja
di rumah itu sebagai supir pribadi merangkap tukang
kebun, ia bisa mengetahui bahwa ada beberapa orang
lelaki yang secara tetap berhubungan dengan janda
yang sudah berumur akan tetapi masih tetap cantik
dan bertubuh sintal itu. Mula mula ia menduga
tentulah lelaki-lelaki itu sanak famili, kenalan biasa
atau bussines-bussines man biasa. Tetapi dari hasil
sesekali nguping ia kemudian bisa memaklumi sejauh
mana kedudukan orang-orang itu dalam diri Miranda.
Tuan Suparja misalnya, seorang duda dengan tiga
orang anak dan bekerja sebagai manager sebuah
perusahaan tekstiel, teramat berminat untuk
memperisteri perempuan itu. Tetapi Miranda lebih
mementingkan lelaki itu sebagai jalan termudah
memperoleh bahan baku yang baik dengan harga
murah untuk butik yang ia jalankan.
73 Lain halnya dengan Tuan Ferdian, seorang lelaki
yang suka bicara soal politik dan kesibukannya
menjelang Pemilihan Umum sebagai seorang Perwira
Menengah, la rupanya bekas teman sekerja suami
Miranda di ketenteraan, sebelum laki-laki yang
disebut terakhir ini meninggal dalam sebuah
kecelakaan mobil dan telah dianggap orang dekat
dalam keluarga mereka. Mata Sundoro yang tajam
bisa melihat, andaikata tuan Ferdian yang berpangkat
Kolonel itu tidak terikat oleh disiplin yang keras
dengan keharusan beristeri satu, maka dalam waktu
yang singkat ia sudah bisa menjadi penghuni tetap
rumah Miranda. Akan tetapi, hal itu bukan merupakan
halangan buat tuan Ferdian untuk sesekali
"berkunjung" ke tempat tidur janda tua berwajah
cantik dan bertubuh sintal itu.
Hal ini rupanya diketahui juga oleh anak
gadisnya, Melanie. Tetapi sekali waktu, dalam pembicaraan yang
entah mengapa menjadi intim antara Sundoro dengan
gadis yang menginjak usia 21 tetapi belum berniat
untuk hidup sendiri itu, Melanie mengemukakan
pendiriannya: 74 "Mama seorang manusia biasa, la bukan
seorang Dewi, dalam arti ingin mempertahankan
kesucian, la butuh penyaluran. Sekurang-kurangnya,
ia membutuhkan seorang teman"
"Bukankah ada Nona?"
"Aku? Paling-paling untuk membicarakan
mode, soal tingkah laku teman-temannya
pergantian menu di rumah, dan kadang-kadang
masa depanku. Lucu, kalau kami bicara
kebutuhan akan sex!"
soal soal soal soal "Toh tak ada salahnya. Nona sudah dewasa
untuk itu." Gadis itu tersenyum riang.
"Mama punya lingkungan sendiri, demikian juga
aku. Dan kami ingin berdiri di lingkungan kami masingmasing. Saling menghormati. Tidak saling mengusik.
Dengan demikian kami bisa terhindar dari usaha saling
cakar-cakaran. Kau kan tahu, kami sama-sama
perempuan!" Dan mereka sama-sama berjalan terpisah.
Miranda dengan tuan Ferdian, dan Melanie dengan
pemuda-pemuda yang sebaya dengan dirinya. Anton,
temannya satu kuliah, Lukman Santosa yang masih
75 terhitung famili, Hardianto yang menjadi pelatih tetap
Melanie mempergunakan senjata api di Perbakin, dan
masih ada sederetan nama-nama lagi yang tidak bisa
dihapal satu persatu oleh Sundoro. Dalam keadaankeadaan tertentu, Melanie suka juga membicarakan
teman-teman lelakinya itu yang ia layani seadanya
saja, sesuai dengan kedudukannya sebagai orang
gajian. Lebih banyak ia sahuti dengan kata-kata : ya, ah
masa', tidak, oh ya, begitu? Paling banter ia
berkomentar sesekali : orang pemarah memang
begitu, mungkin ia cemburu, habis sih nona
mengabaikan janji dengannya.
"Kau juga suka naik pitam kalau pacarmu
nyalahi janji, bung Sundoro?" tanya gadis itu dalam
sebuah kesempatan. "Tergantung ..."
"Apanya?" "Kalau gadis saya itu cantik jelita, saya terpaksa
harus makan hati. Kalau tak kuat nahan hati, cari saja
pacar yang jeleknya engga ketolongan!"
Melanie tertawa bergelak.
"Pacarmu pasti cantik ya?" ia menerka.
"Oh, tidak." 76 "Yang benar!" "Punya juga belum kok!"
Sundoro sebenarnya berdusta dengan
mengatakan ia tidak punya pacar. Kalau tidak punya
pacar tetap, barulah benar. Soalnya, Sundoro lekas
bosan dengan seorang perempuan. Terutama, karena
ia belum punya penghasilan tetap sebelum ini, serta
masa depan tidak ada sama sekali, la khawatir tidak
bisa bertanggung jawab penuh untuk membentuk
suatu rumah tangga, sedangkan perempuanperempuan, sekali jatuh cinta, akan lantas minta
kawin. Tak heran kalau Melanie mendesak:
"Bohong kau ya?"
"Sungguh!" "Sungguh-sungguh bohong?"
"Ya eh, bukan!"
Melanie tertawa bergelak lagi. Entah mengapa,
duduknya semakin merapat ke tubuh Sundoro. Suatu
siang, pulang kuliah waktu Melanie ia jemput gadis itu
bukan saja merapatkan duduknya, akan tetapi malah
juga mengajukan sebuah penawaran:
77 "Ada film bagus di President Pingin nonton,
tetapi teman-teman yang lain lagi punya acara sendirisendiri. Mau kau temani aku, Sundoro?"
Dan mereka masuk gedung pertunjukan, teraya
bergandengan tangan! Terus terang saja, perhatian Sundoro tidak lagi
tertuju ke layar putih selama pertunjukan
berlangsung. Tangan gadis itu tidak mau lepas dari
genggamannya, belum lagi desah nafas hangat yang
sesekali menyapu leher. Hanya karena tahu
kedudukannya sebagai orang gajian yang menyebab
kan Sundoro berusaha untuk tetap tenang dan hanya
sesekali membalas tatap mata si gadis dalam
keremangan bioskop, la tahu apa arti tatapan mata
Melanie, dan Sundoro agak gemetar jadinya ketika
mereka pulang ke rumah dan sebelum berangkat
menjemput Miranda ke butik, telinga Sundoro sempat
mendengar bisikan mendesah dari mulut si gadis :
"Nanti malam, pintu kamarku tidak akan terkunci"
*** 78 GONCANGAN hati yang membahana terus menerus
mengganggu pikiran Sundoro sementara ia mengebut
kendaraan milik majikannya ke tengah kota. Tingkah
laku anak gadis majikannya akhir-akhir ini sudah
menjurus ke satu hal, dan kata-kata : "Pintu kamarku
tidak terkunci" bukan lagi sebuah ajakan, tetapi sudah
merupakan tantangan. Sundoro pelan-pelan menghubungkan tantangan itu dengan masa
depannya yang suram. Sekarangkah waktunya ia
mengambil kesempatan? Tetapi tiba-tiba ia berpikir. Melanie sering
berganti pria. Habis yang satu, ambil yang lain.
Bukankah ada kemungkinan suatu ketika juga ia akan
dicampakkan begitu saja? Tetapi gadis ini kaya, cantik
pula lagi. Sayang, ayah yang membimbing sudah tidak
ada, sedangkan ibunya lebih sering berada di luar
rumah. Ke butik, ke rapat organisasi, ke arisan, ke
salon, menghadiri show-show amal ini dan itu,
79 meskipun tampaknya semua kesibukan itu lebih tepat
didorong oleh keinginan untuk melupakan pikiranpikiran buruk hidup menjanda. Miranda lupa, ia lepas
kontrol terhadap anak gadisnya Melanie. Dan kontrol
yang lepas itu kini mengalir kejurusan Sundoro.
Tidakkah Melanie terlalu cepat?
Tiba di butik, barulah Sundoro bisa memahami
mengapa Melanie seperti berkejaran dengan waktu, la
disambut senyuman manis yang mengembang di bibir
Miranda. Senyuman manis yang sering diterima
Sundoro akhir-akhir ini dari perempuan itu. Di butik, di
jalan, bahkan di meja makan sehingga tidak luput dari
perhatian Melanie. Biasanya kalau Miranda
tersenyum manis, maka Sundoro sudah siap-siap
untuk menerima hadiah. Baju baru, sepatu baru,
kacamata atau arloji tangan. Pernah Sundoro
menyatakan dengan halus :
"Bagaimana kalau barang itu tak usah di beli?
Lebih baik uangnya ditambahkan pada Tabanas saya di
bank" Kali inipun, seraya membereskan meja
kerjanya, perempuan itu berkata dengan riang dan
sifat pemurahnya: 80 "Aku dapat untung besar, Sundoro. Tetapi aku
tidak mau makan sendiri. Aku sedang memikirkan
untuk membeli mobil sendiri untuk Melanie.
Bagaimana pendapatmu?"
Ditanya begitu, Sundoro berpikir sebentar. Lalu:
"Wah. Pertanyaan itu sebaiknya nyonya
tanyakan pada yang bersangkutan saja"
"Ku ingin surprise. Betul toh?"
"Lah, tak ada persoalan kalau begitu."
Miranda geleng-geleng kepala, dan
tampaknya amat serius waktu menjelaskan :
ia "Inilah persoalannya. Sebuah mobil baru,
berarti diperlukan seorang supir baru
"Oh!" sahut Sundoro, agak tersudut. "Benar
juga. Supir untuk siapa kira-kira, kalau boleh saya
tahu?" Perempuan itu menatap lurus ke mata Sundoro.
Tajam dan tidak ingin di bantah. Katanya :
"Melanie, tentu!"
Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh!" lagi. 81 "Mengapa oh?" Miranda memandang dengan
curiga. Sundoro berusaha tersenyum sepolos mungkin.
Polos pula, ia menjawab :
"Akan diperlukan waktu yang lama untuk
menemukan supir yang cocok dengan selera nona
Melanie. Dan itu pun, kalau ia membutuhkan supir
yang lain. Mudah-mudahan ia lebih suka menyetir
sendiri kendaraannya"
Hari sudah malam ketika mereka meninggalkan
butik. Miranda tidak ingin langsung pulang ke rumah.
"Kita makan di restoran saja malam ini,"
katanya. Dan selagi makan, setelah berpikir agak lama
sehingga seleranya tampak agak menurun, Miranda
nyeletuk: "... yang kubingungkan, Sundoro, kalau Miranda
lebih suka dicari supir baru."
"Oh ya? Clear dong kalau begitu."
"Kalau untuknya, memang. Tetapi kalau yang ia
cari untukku ... nah! Inilah yang membuatku bingung."
82 "Mengapa?" tanya Sundoro, sedikit berhatihati.
"Aku menginginkan kau, Sundoro. Hanya kau!"
Sundoro terkejut. Itu bukanlah lagi sekedar perintah resmi. Ada
bau-bau tidak resmi dalam nada suara janda berumur
itu. Bau-bau yang hanya laki-laki bermata awas saja
yang bisa memahaminya, laki-laki yang sudah biasa
berhadapan dengan perempuan. Sundoro berpikirpikir, apakah ini artinya mengapa nyonya Miranda
mulai membatasi hubungannya dengan tuan Fredian?
Sang Kolonel sudah semakin jarang ke rumah mereka
bahkan kali terakhir ia datang, hanya sempat duduk di
kursi tamu untuk minum sesloki scoth. Miranda
berusaha keras agar suami dari perempuan beranak
tujuh itu tidak berkesempatan melangkahkan kaki ke
kamar tidurnya sebagai mana biasa ...
"Bagaimana pendapatmu, Sundoro?"
Bingung juga Sundoro menjawab. Tetapi kemudian :
"Kalau itu putusan nyonya, saya toh harus ..."
"Kerelaanmu, Sundoro. Kerelaanmu yang ku
kehendaki!" 83 Sundoro mencoba tersenyum.
"Bagaimana nyonya saja. Saya toh hanya orang
gajian." Perempuan itu tampaknya tersinggung.
"Bodoh!" umpatnya. Pendek. Lalu buru-buru
berdiri lantas bergegas meninggalkan restoran.
Untunglah Sundoro selalu membekali kantongnya
dengan sejumlah uang, sehingga rekening ia bisa
bayarkan tanpa harus menahan majikannya.
Di dalam mobil, perempuan itu kusut mukanya.
Barulah ia tampak tua. Sundoro merasa kasihan
dan salah tingkah. Setelah lama saling berdiam diri, ia
akhirnya memulai : "Maafkan saya, nyonya..."
Perempuan itu menarik nafas.
"Ah. Tak ada yang perlu dimaafkan," sahutnya.
"Tetapi nyonya, kata-kata saya tadi ah,
bagaimana ya. Soalnya saya malu untuk menentukan
sikap. Maklumlah, saya ini hanya orang lain dalam
keluarga nyonya, sehingga ..."
84 "Sundoro," ujar perempuan itu, dan tiba-tiba
saja tangannya telah menyentuh lengan supir
pribadinya itu. Sundoro kaget, tetapi bisa menahan
diri. Diam-diam saja ia dengarkan lanjutan kata-kata
majikannya : "Kau sudah lama tinggal bersama kami,
Sundoro. Kami tidak memperlakukan kau sebagai
orang lain selama ini, bukan? Bagi kami, kau tak
bedanya dengan keluarga sendiri, bahkan ... bahkan
mungkin lebih dari itu!"
"Nyonya ...," Sundoro tidak melanjutkan katakatanya, oleh karena si perempuan tau-tau telah
merebahkan wajahnya di bahu Sundoro. Tidak sepatah katapun terucap dari bibir perempuan itu,
kecuali rebahan wajah itu. Mobil agak tergoncang oleh
ketidak stabilan tangan Sundoro di setir, terlebih-lebih
lagi setelah dengan ekor matanya ia lihat pipi
perempuan itu basah. Bahkan ia dapat merasakan
betapa jari-jemari Miranda yang mencengkeram
lengannya, gemetar. Dalam kebingungannya, sebelah tangan
Sundoro meninggalkan setir lantas dengan ragu-ragu
mengembang untuk memeluk pundak Miranda.
Pelukan itu membuat si perempuan benar-benar
menangis. Di antara isak tangisnya ia berkata
tersendat-sendat: 85 "... jadi kau mengerti ... Sundoro ... Kau sudah
tahu, perasaanku. Aku ... aku tidak mungkin kucingkucingan dengan lelaki... Sudah waktunya aku
memilih. Padamulah pilihanku jatuh, Sundoro. Aku
yakin itu, semenjak kau datang ke rumah dengan
selembar koran di tangan. Aduh, Sundoro, aku cinta
padamu, sayangku. Patutkah ini? Patutkah?"
Sundoro menelan ludah. Perempuan ini cantik. Tubuhnya sintal, bahkan
ia dapat merasakan betapa hangat dada perempuan
itu terasa menempel di lengannya. Tetapi ia sudah
empat puluh lima, sedangkan dengan jujur Sundoro
harus mengakui bahwa diam-diam ia lebih
menjuruskan perhatiannya pada Melanie, anak gadis
Miranda. "Mengapa kau diam saja, Sundoro? Katakanlah
sesuatu. Biarpun menyakitkan, aku akan tabah
mendengarkannya. Apakah karena karena aku sudah
berusia lanjut, Sundoro?"
Memang itulah pokok pangkalnya,
Sundoro, Tetapi di mulut ia berkata lain :
pikir "Bukan itu persoalannya, Nyonya. Tetapi"
86 "Nyonyal Nyonya! Kapan kau berhenti
memanggilku dengan sebutan yang buruk itu? Panggil
saja namaku, Sundoro. Bukankah sudah tahu? Atau
kalau kau segan dan masih dibatasi oleh soal
perbedaan usia, panggil aku "mami" atau apa saja,
asal jangan nyonya ,..."
Sundoro membasahi bibirnya yang kering
Usia yang jauh berbeda, pikirnya. Aku tiga
puluh, ia ini empat lima. Aku masih punya kesempatan
banyak dan cukup jauh, sedang ia ini tidak lama lagi.
Mungkin tinggal setahun dua tahun lagi, siapa tahu?
Dan setelah itu, dengan ia tercantum sebagai suami
yang syah ... Sundoro memutuskan : "Miranda, bagiku tak ada persoalan. Aku
menyukaimu, namun ..."
"Itu sudah cukup, Sundoro," pelukan Miranda
kian erat, disertai pula sebuah ciuman yang mendarat
di bibir pemuda itu. Panas. Dan berapi-api.
"Untuk menikah diperlukan cinta yang tulus.
Aku harus berlaku jujur..."
"Aku tidak membutuhkan cinta, Sundoro. Aku
sudah muak dengan itu. Almarhum suamiku juga
87 mengatakan itu, tetapi toh masih juga ia menyimpan
perempuan lain di luaran. Ferdian, apalagi, tetapi
kalau ia benar benar cinta, apa susahnya menceraikan
isterinya? Tidak, Sundoro. Aku tidak membutuhkan
ucapan omong kosong itu lagi. Aku membutuhkan
seorang laki-laki. Seorang yang bersedia dan suka
melindungiku" Mereka hampir sampai. Sundoro sudah melihat rumah mereka, dan
bahkan ia seolah-olah sudah bisa melihat Melanie.
Melanie, di kamar yang pintunya tidak terkunci... Kau
menghendakiku, Melanie, bagaimana aku juga
menghendaki kau, tetapi ibumu ... Rupanya Miranda
juga sudah melihat rumah mereka, karena dengan
tiba-tiba ia menyuruh Sundoro membelokkan
Mercedez itu. Setelah jauh dari rumah, Sundoro
bertanya ke mana mereka harus pergi.
"Aneka Plaza saja, Sundoro-ku," menyahut
Miranda. Mesra. Dua jam lebih mereka habiskan waktu di nite
club itu. Ketika mereka ke luar keringat membasahi
hampir sekujur tubuh, dan perempuan itu tampak
sudah mulai mabuk, la hampir tersungkur di pintu ke
luar kelab malam kalau tak keburu dipegangi Sundoro
88 yang membantunya naik ke dalam mobil. Setelah
duduk di belakang setir, Sundoro memperingatkan :
"Apa Melanie tak marah kalau melihat kau
mabuk, Miranda?" Perempuan itu tersenyum. "Kalau demikian, sebaiknya aku pulang dalam
keadaan segar bugar."
"Wah. Bagaimana mungkin?"
"Ada sebuah motel di Karangsetra, Sundoro."
Sundoro tersenyum. Jalan di depan mobil
tampak terbuka lebar. Lebar. Semakin lebar ...
la tancap gas dengan dada yang berbunga-bunga.
*** 89 SEBELUM membelok memasuki motel, Sundoro
meminta Miranda ke luar sebentar dari dalam mobil.
"Hirup udara segar banyak-banyak ..."
"Untuk apa?" tanya Miranda dengan kepala
teleng karena mabuk. "Hirup saja. Panjang ... lebih panjang lagi"
Susah payah, Miranda berhasil juga melakukan
apa yang diperintahkan oleh Sundoro. Ada dua
maksud dari laki-laki itu. Pertama, biar kepala Miranda
yang puyeng agak ringan sedikit sehingga ia tidak
harus merasa malu membawa seorang perempuan
yang berjalan tersuruk-suruk masuk motel. Di samping
itu, kesediaan Miranda berarti banyak hal buat
Sundoro. Perempuan itu mau diperintahnya. Biarpun
dalam keadaan setengah mabuk, tetapi sebagai
permulaan sudah cukup. Tidak lagi ia yang berada di
bawah perintah. Hal ini sangat penting artinya bila
90 sekali waktu ia harus hidup sebagai suami perempuan
ini. Meskipun tamu perempuan yang muncul
bersama laki-laki tampan yang berbeda jauh usianya
itu tampak sedikit mabuk, penerima tamu motel
bersikap acuh tidak acuh saja. Yang ada di benaknya
hanyalah musim hujan yang panjang, mana bulan
tanggung sehingga kamar-kamar motel banyak yang
kosong. Tidak pula boleh diabaikan begitu saja, tip
yang lumayan yang diberikan oleh Miranda pada
penerima tamu itu, sehingga ia bergegas memanggil
pelayan untuk mengantarkan tamu mereka ke kamar
yang mereka sukai. Ketika tamunya itu menjauh, si
penerima tamu bersungut-sungut iri:
"Pemuda itu pasti seorang gigolo. Beruntung
benar dia dapat perempuan ini. Memang sudah tua,
tetapi cantik dan pinggulnya ..." ia gemetar sendiri,
seraya mengepal-ngepal kan tangan yang terasa gatal.
Setelah pintu tertutup di belakang mereka,
Miranda langsung memeluk dan menciumi Sundoro
dengan bernafsu. Laki-laki itu melayaninya sebentar,
kemudian berkata terengah-engah.
"Aku mau ke kamar mandi dulu ..."
"Nanti saja!" cengah Miranda.
91 "Tetapi..." "Ngggg" Miranda bergayut di leher Sundoro
dengan kedua belah mata setengah terpejam dan
mulut setengah terbuka, mengeluarkan bau minuman
keras. Sundoro terpaksa mengikuti kemauan Miranda
untuk segera naik ke atas kasur busa yang lebar dan
hangat. Mereka langsung jatuh bergulingan di atas
permukaan kasur itu, sampai setengah bagian tubuh
mereka tenggelam tampaknya di dalam kasur. Ada
sebuah jendela yang terbuka, menghadap ke taman
yang samar-samar tampak dalam kegelapan di luar.
Sundoro melihatnya dan berusaha melepaskan
pelukan dan ciuman Miranda yang bertubi-tubi.
"Mau ... ke mana kau!"
"Jendela terbuka"
"Biar ..." "Dingin." "Biar!" "Entar ada yang ngintip."
"Ngghml Biar. Biar! Biar...!"
Dan tubuh mereka yang mandi keringat
semakin tenggelam ke dalam kasur.
92 *** DINIHARI baru mereka pulang ke rumah.
Untuk menghindari kecurigaan Melanie,
Miranda yang langsung memijit bel sementara
Sundoro menunggu di dalam mobil tepat di depan
pintu garasi yang tertutup. Dalam hati Miranda
berharap yang membuka pintu adalah mbok Paijah,
Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan anak gadisnya. Sebenarnya ia tidak perlu
khawatir Melanie tahu permainannya dengan
Sundoro karena selama ini Melanie toh tidak perduli
dengan lelaki mana saja ibunya pergi, seperti Miranda
juga berusaha untuk tetap menghormati tiap pemuda
yang membawa Melanie untuk berkencan.
Tetapi adalah terlalu pagi untuk membuka kartu
sekarang. Melanie yang membuka pintu. Rambutnya
kusut, dan matanya tampak agak kemerah-merahan.
Ketika mengetahui siapa yang berdiri di hadapannya,
gadis itu memperhatikan ibunya sejurus. Pernah sekali
dua ia melakukan hal yang sama, akan tetapi kali ini
tatapan mata Melanie, dimata Miranda tampak
sangat ganjil. Sebaliknya, ibunya selama ini bersikap
biasa tiap kali Melanie membuka pintu untuk
perempuan yang ia kasihi itu. Akan tetapi, tidakkah
93 salah pandangan Melanie? Sinar mata mama kok
tampak janggal ... "... belum tidur, nak?" sapa Miranda sambil
masuk setelah lama mereka berdua tertegun dan
saling berdiam diri, "Belum, mama."
"Tekun belajar lagi ya?" Melanie angkat bahu.
"Tolong kau bukakan pintu garasi."
Melanie tersentak. Membukakan pintu garasi? Bukankah Sundoro
bisa melakukannya sendiri? Dan mengapa harus
ibunya memerintah dia? Mesti. Mesti ada apa-apa diantara mereka. Tak
biasa mama pulang selarut ini. Kalau ia rapat atau
arisan atau apa, biasanya Sundoro selalu pulang ke
rumah, untuk mengisi waktunya yang kosong dengan
mengurus anggrek atau tanaman lain di kebun.
Sundoro tidak menyiram kembang-kembang itu sore
ini. la tidak pulang, untuk mengerjakannya, atau untuk
menanyakan apakah Melanie perlu diantar ke rumah
teman atau ke mana, dan pada waktunya baru pergi
lagi untuk menjemput Miranda. Pasti. Pasti ada apaapa yang telah terjadi antara ibunya dengan Sundoro!
94 Atau, apakah Melanie salah sangka? Karena
cemburu? Dengan perasaan tidak menentu. Melanie
masuk ke garasi. Sebenarnya ia bisa saja
membangunkan pembantu rumah tangga mereka
untuk melakukan pekerjaan itu. Tetapi ah, kasihan
mbok Paijah yang sudah tua itu. la teramat lelah
mengurus rumah seharian, memasak, mencuci,
biarpun dengan mempergunakan mesin-mesin
elektris dan gas serta kadang-kadang dibantu oleh
Melanie sendiri, tetapi haknya untuk tidur nyenyak
yang cuma-sedikit tak patutlah direbut semena-mena,
hanya untuk membukakan pintu garasi.
Sundoro tersenyum waktu memasukkan mobil
ke garasi. Wajah pemuda itu tampak biasa, sehingga
Melanie berusaha membuang pikirannya jauh-jauh.
Ah, mana mungkin ibunya main kucing-kucingan
dengan laki-laki yang berusia sangat jauh berbeda, dan
sudah pantas jadi anaknya? Mana mungkin Sundoro
tertarik pada perempuan yang lebih patut ia anggap
ibu? Terlebih lagi, Melanie, yang lebih muda, lebih
cantik, sudah terang-terangan mengemukakan
perasaan hatinya tadi siang!
95 "Hai nona Melanie"
Gugup, Melanie menyahut. "Hai ..." "Belum tidur?" Ibunya juga menanyakan hal yang sama. Apa
artinya? Ah, tentu saja tidak ada arti apa-apa. Lumrah
mereka menanyakan mengapa ia belum tidur selarut
ini. Padahal ia tidak sedang menghadapi tentamen
atau ujian-ujian semacamnya. Kampus sedang disibuki
oleh masa perkenalan mahasiswa baru yang sudah
hampir usai, sehingga kuliahpun berjalan tidak terlalu
lancar. Apa yang membuat Melanie tidak bisa tertidur,
hanya satu hal. la terus menerus memikirkan lelaki ini,
tanpa dapat melupakannya barang sedikitpun juga.
"Sundoro?" Pemuda yang sedang menutup kembali pintu
garasi, tertegun. "Ya?"
Melanie rapat sekali dengan tubuhnya.
Sukar bagi Sundoro, untuk menghindari tatapan
gadis itu, betapapun ia takut rahasia dirinya akan
terukir jelas-jelas di matanya, tak ubahnya mata lensa
96 televisi yang memperlihatkan adegan-adegan seronok
yang tadi ia lakukan bersama Miranda di motel.
" ... dari tadi aku menunggumu."
"Oh," Sundoro bernafas lega.
"Aku merindukanmu ..."
Sundoro tersenyum. "Kok senyum!" Senyum Sundoro lenyap seketika.
"Bodoh. Ciumlah aku, sayangku!"
Ragu-ragu, Sundoro merundukkan wajah.
Dengan tidak sabar, Melanie merangkulkan
kedua lengan di pundak Sundoro, menaikkan tumitnya
dan dengan setengah paksa menjejalkan bibirnya ke
bibir Sundoro, melumatnya dengan rakus sementara
pemuda itu bingung tidak tahu mau berbuat apa.
Setelah puas mencium, Melanie mendesak dengan
suara setengah mengisak :
"Kau tak sehangat yang kuduga, sayangku ..."
Gugup, Sundoro menyahut: "Nona, aku, aku"
97 Melanie tersenyum. "Jadi itukah sebabnya?" mata si gadis berbinarbinar. "Sebab kau masih merasa dirimu pegawai
ibuku? Sundoro, sayangku. Lupakan. Lupakanlah
semua yang telah berlalu. Coba anggap dirimu sebagai
anggota keluarga kami setidak-tidaknya, sebagai
temanku. Temanku yang tersayang!"
"Nona ..." "Sekali lagi Nona, aku harus tidur di garasi!"
"Ah ..." "Hayo?" "Baiklah, Melanie. Akan"
"Nah. Begitu lebih baik," Melanie mengecup
pipi Sundoro. "Kita katakan pada mama sekarang?"
Sundoro tercengang. Lalu :
"Jangan!" "Eh. Mengapa?" "Terlalu cepat, Melanie."
"Lambat atau cepat, tak ada bedanya. Sekarang
lebih baik." 98 "Tetapi aku malu. Lagi pula ...," Sundoro
berusaha mencari jalan ke luar yang terbaik di tengahtengah kepanikan yang menggoncangkan kepalanya.
"Lagi pula, lebih baik di-approach dulu
perlahan-lahan. Didadak, bisa pingsan nanti ibumu!"
"Lani?" sekonyong-konyong terdengar Miranda
memanggil dari dalam. Kedua remaja itu terkejut.
"Ya mama?" "Kok lama?" Melanie gugup. Cepat-cepat Sundoro membisikkan :
"Bilang pintu garasi macet!"
"Macet, mama!" seru Melanie cepat-cepat.
"Apanya yang macet?"
"Pintu, mama." "Pintu?" "Ya, mama. Pintu mobil, eh pintu garasi!"
Lantas seraya tertawa kecil ia bergegas masuk
ke pintu korridor belakang dan dari sana masuk ke
ruang tengah. Miranda rupanya sudah berganti
pakaian. Ketika Melanie masuk, ibunya tengah
99 memperhatikan beberapa buah sket dari disain
pakaian yang sore tadi diantar perancang mode
mereka ke rumah. Tanpa melihat pada Melanie, Miranda bertanya
acuh tak acuh. "Zus Ita tak pesan apa-apa?"
"Tidak, mama. Hanya disain disain itu saja."
"Mudah-mudahan saja ia tidak lupa dengan
show minggu depan. Ada beberapa peragawati yang
mulai bertingkah, kau tahu ..."
"Ya, mama." Miranda meninggalkan disain-disain di atat
meja kerjanya itu, lalu duduk di sofa.
"Tolong ambilkan minuman untukku, Lani."
"Ya mama." Setelah Melanie mengantarkan segelas Martini
tanpa es, ia kemudian berusaha duduk tenang di dekat
ibunya. "Kau tak ke mana-mana sepanjang sore?"
"Di rumah saja Mama. Menghapal!"
100 "Syukurlah," ujar Miranda. Dan dalam hati
Melanie bersyukur juga, sambil nyeletuk : coba kalau
mama tahu, yang kuhapa! adalah wajah dan liku-liku
tubuh Sundoro yang menggetarkan jantung! Setelah
berbincang ke sana ke mari, ibunya bertanya dengan
serius: "Tampaknya Honda bebekmu itu sudah jarang
kau pakai, Lanni." "Ah. Lagi males saja, mama. Cuaca sedang
buruk-buruknya." "Andai mama ganti dengan mobil, mau?"
Melanie terlonjak, kemudian berlari memeluk
ibunya dan mengecup kedua belah pipi perempuan itu
dengan segenap kasih sayang. Baru kemudian ia
berdiri seraya memandangi ibunya dengan mata
bertanya tanya: "Mema beriungguh-sungguh?"
"Apa mama pernah bermain main, Lanni?"
"Oh!" Melanie menekapkan tangan ke dada.
"Kau suka merk apa?"
DAN bayangan punya mobil sendiri
menyebabkan Melanie malam itu lupa apakah pintu
101 kamarnya terkunci atau tidak, la tertidur nyenyak
malam itu, dan baru setelah bangun agak kesiangan
keesokan harinya ia sadar kalau pintu kamarnya bukan
saja tidak terkunci, malah tidak tertutup. Sejenak ia
berpikir-pikir apakah ia hanya bermimpi tadi malam?
la naik mobil sepanjang jalan ke luar kota, ngebut
diantara lidah-lidah ombak yang menjilati pantai
dengan Sundoro duduk rapat di sampingnya. Ya, ya,
itu memang hanya impian, yang tak bakal lama lagi
akan menjadi kenyataan, la tentunya lupa mengunci
pintu, dan karena pulang terlalu larut, Sundoro pasti
tertidur dan lupa pula bahwa Melanie berpesan
bahwa gadis itu akan menantikannya di kamar tidur
untuk ... "Hem. Biarlah," bisik Melanie pada dirinya
sendiri sambil turun dari tempat tidur, membuka
jendela dan menghirup udara pagi yang segar.
"Nanti nanti juga kesempatan bercumbu cukup
banyak" Lantas seraya bernyanyi-nyanyi kecil ia bergegas ke
kamar mandi. *** 102 MIRANDA benar. Apa yang ia khawatirkan segera
terjadi setelah Melanie memiliki mobil sendiri. Gadis
yang manja itu memilih jenis yang lebih mungil dan
lebih ringan dari Mercy ibunya. Sebuah Capella.
Sebenarnya Melanie tidak mengalami kesulitan
menyetir sendiri, dan ia memang melakukannya untuk
beberapa waktu. Tetapi diam-diam ia memperhatikan
bagaimana kemanjaan ibunya telah terbagi dua, tidak
lagi terhadap Melanie seorang tetapi juga terhadap
Sundoro. Pemuda itu tidak lagi tampak sebagai
pegawai di rumah mereka. Dandanan serta apa-apa
yang ia pakai sudah semakin mentereng. Dan di
rumah, ia sudah ikut menentukan mulai dari rencana
usaha butik, beberapa buah rumah kontrakan
peninggalan almarhum ayah Melanie, sampai kepada
jadwal waktu untuk mereka lakukan sehari-hari.
"Aku tak mengerti," desah Melanie penasaran
ketika suatu hari ia berkesempatan berdua-dua saja
103 dengan Sundoro di rumah. "Mama tampaknya sudah
memperlakukan kau sebagai kepala keluarga, bukan
lagi sebagai pegawai ..."
"Penasihat usaha tepatnya," Sundoro memperbaiki ucapan Melanie. Lalu sambil tersenyum
dengan gaya yang menarik, ia menatap lurus ke mata
Melanie waktu meneruskan : "Atau, kalau kau
menginginkan aku kembali pada kedudukanku yang
semula, aku tidak akan keberatan, kekasihku ..."
"Kekasihku. Oh!" Melanie terlonjak, lalu
memeluk dan menciumi pemuda itu. "Itulah yang
semestinya. Kau adalah kekasihku, bukan pegawai
kami ... Sayang, kau pernah melanggar janji."
Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah?" "Tak ingat?" "Sungguh, aku" "Nah. Belum apa-apa, sudah mulai lalai.
Bukankah pernah aku mengatakan, pintu kamarku
tidak terkunci?" "Kau!" Sundoro mencubit paha Melanie.
Gemas. "Tawaranku masih berlaku, sayang."
104 "Kapan?" tanya Sundoro bimbang.
"Setiap saat kau mau. Sekarangpun boleh"
"Husy. Kau lupa, aku harus menjemput mama
lima menit lagi." "Nanti malam?" "Lani ..." "Nanti malam, atau tidak sama sekali!"
Melanie setengah mengancam, dan Sundoro
tidak bisa menolak. Ketika ia pergi untuk menjemput
Miranda dari tempat arisan, pikirannya berbuncah. la
tidak saja memperoleh kasih sayang, tetapi juga
memperoleh kebutuhan materi yang berlimpah dari
kedua perempuan itu. Namun, untuk meniduri
mereka sekaligus, Sundoro masih harus berpikir.
Miranda dan Melanie anak beranak. Sundoro tidak
bisa membayangkan ia akan membuat sebuah dosa
terbesar yang paling di kutuk Tuhan. la telah cukup
merasa berdosa selama ini, memberi hati kepada
perempuan itu meskipun secara sembunyi-sembunyi
di hadapan yang satu dengan yang lain. la juga berdosa
telah bergaul dengan Miranda di luar nikah. Barangkali
dosa yang ini bisa dihapus bila kelak suatu saat mereka
jadi suami isteri. 105 Namun ada sebuah dosa yang sukar untuk
dilupakannya. Dalam hati Sundoro masih belum bisa
melepaskan keinginan yang bukan-bukan itu. Yakni,
kelak setelah ia menjadi suami Miranda, perempuan
itu tidak berumur lebih panjang. Pusing-pusing yang
rutine dialami Miranda terutama diakibatkan darah
tinggi. Hanya wajah dokter yang marah-marah yang
membuat Miranda mampu untuk menahan keinginan
memakan jenis-jenis makanan yang merupakan
pantangan penyakitnya. Tetapi kelak bila Sundoro
sudah jadi suaminya, maka dengan berpura-pura
sayang pada isteri, Sundoro akan berkata:
"Obat mudah dicari, Miranda. Dan soal umur,
toh Tuhan sudah menentukan. Kalau kau bersikeras
untuk makan daging yang berlemak itu... ya,
bagaimana aku bisa melarang?"
Dan itu merupakan jalan tercepat menuju ke
kematian! Sebagai seorang bekas mahasiswa fakultas
hukum yang gagal, Sundoro melihat kematian
Miranda itu tidak akan melibatkan dirinya barang
seujung rambutpun juga. la bebas dari segala tuduhan,
bersih dari segala tuntutan hukum, sehingga dengan
106 demikian maka iapun bisa dinyatakan bersih sebagai
seorang pewaris yang berhak penuh atas sebagian
besar peninggalan Miranda.
"Kalau tak sudah terlanjur," Sundoro mengeluh
setiba di tempat arisan. "Maulah aku lari saja dari
belenggu kemewahan yang mengerikan ini!"
*** KEPALANG basah, malam itu ia memenuhi
janjinya pada Melanie. Gadis itu cuma mengenakan kimono tidur
warna merah darah yang tipis, kontras dengan warna
kulitnya yang putih cemerlang waktu Sundoro
berjingkat-jingkat memasuki kamar tidurnya.
"Tutupkan pintu, Sundoro ...," bisik si gadis,
bergetar. Gemetar pula jari jemari Sundoro ketika
menutup dan sekaligus memutar anak kunci di lubang
pintu. Lututnya apalagi, ketika ia berdiri di pinggir
tempat tidur, dan dengan mata terkembang lebar
memperhatikan gadis yang menelentang di atas
ranjang. Seraut wajah yang lembut tanpa garis-garis
ketuaan, liku-liku tubuh yang penuh padat, tidak
107 selembek yang dimiliki Miranda, dan tentunya lebih
panas dari api ... "Apa lagi yang kau tunggu, sayangku?"
"Ibumu ..." "Mama? Kau menunggu mama?"
Melanie tersenyum nakal. "Maksudku eh, kalau tiba-tiba ia bangun"
"Jangan khawatir, Sundoro. Tadi sudah ku
masukkan obat tidur dalam minumannya."
Sundoro menelan ludah. Gadis ini bekerja tidak
kepalang tanggung, pikirnya. Dan Melanie memang
tidak pula kepalang tanggung melampiaskan hasrat
keperempuannya malam itu pada Sundoro. Lelaki itu
sampai sakit-sakit otot-otot tubuhnya waktu kembali
menjelang subuh ke kamar tidurnya sendiri. Betapa
tidak. Di kamar yang berlainan, selagi Melanie
menghadapi kuliahnya di fakultas, Sundoro telah lebih
dahulu melayani ibu si gadis. Lain kali, ia akan
berusaha mengatur waktu. Harus.
Kalau tidak, bakal habis dia!
Merasa puas pada malam itu, rupanya Melanie
sudah menetapkan pilihannya, ia seketika melupakan
108 nama-nama Lukman, Anton, Hardianto, Akhdiat,
Handrian dan banyak nama lain yang sempat mengisi
lubuk hatinya. Lebih-lebih karena Sundoro rupanya
tidak kecewa setelah mengetahui bahwa Melanie
sudah tidak perawan. Terus terang Melanie pada
malam itu juga mengaku dengan jujur perbuatannya
selama ini. Dimulai dari secara tidak sengaja ia pernah
melihat ayah ibunya ketika masih berumur enambelas
tahun, dan lebih sering sengaja daripada tidak pada
tahun-tahun berikutnya Oom Ferdian menggantikan
tugas ayahnya atas tempat tidur ibunya.
" ... kau tidak sampai hamil?" tanya Sundoro
heran, setelah agak lama terdiam.
"Mama tidak, mengapa aku juga tidak? Obat
gampang dicari!" Sundoro termenung. "Kau kecewa?" tanya Melanie cemas.
"Kecewa? Ah, tidak. Kecuali, kalau aku kau
anggap sama dengan lelaki-lelaki sebelum aku"
"Sayangku, lebih baik aku mati kalau aku
berpikir seburuk itu. Demi Tuhan, hanya kau kini yang
kucintai. Kau seorang, sayangku!"
109 Dan, hanya Sundoro semenjak itu yang harus
menemani Melanie ke mana saja gadis itu ingin pergi,
meskipun untuk memenuhi keinginan itu ia harus
bertengkar dengan ibunya! Tak terperikan marahnya
Dari Mulut Macan 6 Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan Hoa San Lun Kiam Karya Chin Yung Senopati Pamungkas I 6