Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya Bagian 1
BAB 1 THE BABY-SITTERS CLUB. Dengan bangga aku katakan
bahwa akulah yang mencetuskan ide itu, walaupun rencana
selanjutnya dipikirkan oleh kami berempat. "Kami" adalah Mary Anne
Spier, Claudia Kishi, Stacey McGill, dan aku sendiri? Kristy
Thomas.
Ide itu muncul pada hari Selasa pertama aku duduk di kelas
tujuh(setingkat kelas satu SMP di sini). Waktu itu panasnya betulbetul minta ampun. Kebetulan sekolahku?Stoneybrook Middle
School?tidak menggunakan AC, sehingga para guru terpaksa
membuka semua pintu dan jendela, serta mematikan semua lampu.
Rambutku sampai lengket di tengkuk. Dalam hati aku menyesal
karena tidak membawa karet gelang untuk mengikat rambut. Beberapa
ekor tawon terbang ke dalam kelas dan berputar-putar di atas kepala
kami. Pak Redmont, guru kami, membiarkan kami berhenti bekerja
untuk membuat kipas dari kertas karton. Kipasnya tidak banyak
membantu, kecuali menghalau tawon-tawon, tapi paling tidak jam
pelajaran IPS jadi berkurang sepuluh menit.
Pokoknya, siang itu rasanya seperti berabad-abad. Akhirnya
jarum jam dinding di atas papan tulis menunjuk angka 14.42 dan bel
berbunyi. Aku langsung melompat dan berseru,. "Hore!" Aku begitu
gembira karena akhirnya terbebas dari siksaan. Bukannya aku tidak
menyukai sekolah, tapi kadang-kadang rasanya jenuh juga.
Pak Redmont nampak terkejut. Ia pasti merasa sudah cukup
berbaik hati dengan membiarkan kami membuat kipas. Tapi ternyata
ada murid yang sama sekali tidak menghargai kebaikannya itu.
Aku merasa bersalah, tapi aku memang tidak dapat menahan
kegembiraanku tadi. Begitulah sifatku. Kalau menurutku ada yang
perlu dikatakan, maka aku akan mengatakannya. Kalau menurutku ada
yang perlu dilakukan, maka aku akan melakukannya. Aku sering
ditegur oleh Mama, karena sifatku itu sudah berulang kali
menimbulkan kesulitan.
Kali ini pun aku mengalami kesulitan. Aku dapat
merasakannya. Aku sudah begitu sering berada dalam kesulitan,
sehingga bisa menciumnya dari jarak satu kilometer.
Pak Redmont berdehem. Ia sedang berpikir bagaimana caranya
menghukumku tanpa mempermalukanku di depan anak-anak lain.
Hal-hal seperti itu sangat penting baginya.
"Kristy," Pak Redmont mulai berkata. Tapi kemudian ia
berubah pikiran. "Anak-anak," katanya, "kalian sudah mendapat tugas
untuk dikerjakan di rumah. Sekarang kalian boleh pulang. Kristy,
Bapak ingin bicara sebentar denganmu."
Anak-anak membereskan buku-buku dan kertas-kertas mereka,
lalu meninggalkan ruang kelas sambil bercakap-cakap dan ketawa
cekikikan. Sementara itu aku menghampiri meja Pak Redmont.
Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, aku cepat-cepat minta maaf
padanya. Kadang-kadang ada gunanya bersikap seperti ini.
"Pak Redmont," kataku, "saya betul-betul menyesal. Saya tidak
bermaksud apa-apa. Maksud saya, saya bukannya senang karena
sekolah telah usai. Maksud saya, saya hanya gembira karena bisa
pulang ke rumah. Soalnya rumah saya memakai AC..."
Pak Redmont mengangguk. "Tapi lain kali, Kristy, Bapak harap
kamu lebih tahu tata krama."
Sebenarnya aku kurang mengerti apa yang dimaksud dengan
tata krama, tapi rasanya Pak Redmont menghendaki agar aku tidak
melompat-lompat sambil berteriak hore kalau bel berbunyi.
"Baik, Pak," jawabku. Kadang-kadang bersikap sopan juga bisa
membantu.
"Bagus," ujar Pak Redmont. "Tapi Bapak ingin agar kamu ingat
terus kejadian ini. Dan cara terbaik bagi kita untuk mengingat suatu
hal adalah dengan menuliskannya. Jadi, Bapak minta agar kamu
membuat karangan sepanjang seratus kata tentang tata krama di ruang
kelas."
Brengsek! Ternyata aku tetap harus mencari arti tata krama
yang dimaksud Pak Redmont.
"Baik, Pak," sahutku lagi.
Aku kembali ke bangkuku, mengumpulkan buku-buku dengan
sangat perlahan-lahan, lalu keluar dari ruang kelas sambil berjalan
perlahan-lahan. Aku berharap Pak Redmont memperhatikan sikapku
itu, karena aku berani bertaruh bahwa sikap seperti itu merupakan
bagian penting dari adat di dalam kelas.
Mary Anne Spier ternyata masih menungguku di depan pintu
ruang kelas. Ia bersandar di dinding sambil menggigit-gigit kuku jari
tangannya.
Mary Anne adalah sahabatku. Rumah kami bersebelahan. Kami
bahkan agak mirip satu sama lain. Kami berdua termasuk pendek
untuk gadis seusia kami, dan kami berdua memiliki rambut coklat
yang panjangnya melebihi bahu. Tetapi hanya sampai di situ
kesamaan kami, soalnya aku ini model anak yang banyak bicara,
sedangkan Mary Anne sangat pendiam dan pemalu. Untungnya ini
cuma luarnya saja. Orang-orang yang mengenalnya dengan baik,
seperti Claudia, Stacey, dan aku, mengetahui betapa menyenangkan
anak ini di balik sifatnya yang pendiam dan pemalu itu.
"Hei," aku menyapanya, sambil menarik tangannya keluar dari
mulut dan melihat kuku-kuku jari tangannya. "Mary Anne!
Bagaimana kamu bisa memakai cat kuku kalau selalu melakukan ini?"
"Oh, cat kuku," katanya mengeluh. "Umurku pasti sudah 75
tahun sebelum ayahku membolehkan aku memakainya."
Ayahnya adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Ibunya
sudah meninggal, dan ia tidak punya saudara laki-laki maupun
perempuan. Masalahnya, ayah Mary Anne sangat keras dan disiplin.
Mama selalu berkata bahwa hal ini disebabkan karena Pak Spier
terlalu khawatir terhadap Mary Anne, satu-satunya miliknya.
Meskipun demikian Pak Spier seharusnya membolehkan Mary Anne
mengurai rambutnya, atau sekali-sekali mengizinkannya naik sepeda
ke pertokoan bersama Claudia dan aku. Tapi, tidak. Di rumah Pak
Spier yang ada hanya peraturan, peraturan, dan peraturan melulu.
Ajaib juga bahwa Mary Anne bisa menjadi anggota Baby-sitters Club.
Kami berjalan meninggalkan sekolah, dan tiba-tiba aku mulai
berlari. Aku sama sekali lupa pada teguran Pak Redmont tadi, karena
aku mendadak teringat sesuatu. "Ya, ampun!" seruku.
Mary Anne berlari menyusulku. "Ada apa, sih?" tanyanya
terengah-engah.
"Ini kan hari Selasa," aku menoleh ke belakang sambil terus
berlari.
"Memangnya kenapa? Tunggu dulu, Kristy. Udaranya terlalu
panas untuk berlari-lari seperti ini."
"Aku harus buru-buru. Selasa siang kan giliranku menjaga
David Michael. Mestinya aku sudah berada di rumah sebelum dia
pulang. Dia masih terlalu kecil untuk bisa menjaga dirinya sendiri."
David Michael adalah adikku yang baru berumur enam tahun.
Hari Senin, Selasa, dan Kamis, kedua kakak laki-lakiku?Charlie dan
Sam?dan aku sendiri bergantian menjaga David Michael sampai
Mama pulang kerja. Kathy, seorang gadis berumur lima belas tahun
yang tinggal beberapa blok dari kami, menjaga David Michael pada
hari Rabu dan Jumat. Bedanya, Kathy mendapat upah, sedangkan
Charlie, Sam, dan aku tidak.
Mary Anne dan aku terus berlari sampai ke rumahku. Kami
sampai di halaman depan dalam keadaan bercucuran keringat dan
terengah-engah. Benar saja, David Michael sudah ada di sana. Ia
sedang duduk terbengong-bengong di tangga depan rumah.
Rambutnya yang keriting jatuh menutupi keningnya.
Ia langsung menangis begitu melihat kami.
"Hei, ada apa, sih?" tanyaku, sambil ikut duduk di sebelahnya
dan melingkarkan lenganku di bahunya.
"Aku tidak bisa masuk," katanya meratap.
"Lho, di mana kuncimu?"
David Michael menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu." Ia
mengusap matanya yang sembap.
"Ya sudah, tidak apa-apa," aku berusaha menenangkannya
sambil mengeluarkan kunci dari dalam tas.
David Michael mulai menangis lagi. "Aku tidak bisa masuk,
padahal aku mau pipis."
Aku membuka pintu. Kalau David Michael bertingkah seperti
ini, sebaiknya kita pura-pura tidak melihat air matanya dan
menganggap bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa.
Mary Anne memegang pintu, dan aku langsung mengantarkan
adikku ke kamar mandi. Anjing collie kami yang bernama Louie
dengan cepat berlari ke luar rumah sementara pintu masih terbuka. Ia
sudah ingin sekali keluar setelah dikunci di dalam rumah sejak waktu
sarapan pagi tadi.
"Sementara kamu di kamar mandi," kataku pada David
Michael, "aku akan membuatkan jeruk dingin untuk kita bertiga,
setuju?"
David Michael langsung tersenyum. "Setuju!"
Aku memang punya bakat menghadapi anak-anak kecil. Begitu
juga Mary Anne. Mama yang berkata begitu. Pada sore hari, atau
akhir pekan, kami berdua sering bekerja sebagai babysitter.
Sebenarnya, pada siang itu pun aku mendapat tawaran untuk menjaga
seorang anak. Tetapi aku terpaksa menolaknya karena harus menjaga
David Michael.
Hal itu mengingatkanku akan sesuatu. "Hei," kataku pada Mary
Anne sambil menghidupkan AC. "Bu Newton memintaku untuk
menjaga Jamie siang ini. Apakah dia tidak menghubungimu setelah
meneleponku?"
Mary Anne duduk di meja dapur dan memperhatikan aku
mengaduk sirop jeruk dan air di dalam poci besar. Sambil
menggelengkan kepala ia berkata, "Tidak. Barangkali dia menelepon
Claudia."
Claudia Kishi tinggal di seberang jalan, persis di depan
rumahku. Claudia, Mary Anne, dan aku tinggal di Bradford Court
sejak lahir. Kami berteman sejak kecil, tapi entah kenapa Claudia
tidak pernah seakrab Mary Anne dan aku. Mungkin karena Claudia
suka seni dan selalu mengikuti les kesenian, atau mengurung diri di
dalam kamarnya untuk melukis dan menggambar. Atau membaca
cerita-cerita misteri. Itu satu lagi kegemarannya. Dia jauh lebih
dewasa dibandingkan Mary Anne dan aku. Ketika kami masih kecilkecil, Mary Anne dan aku senang bermain sekolah-sekolahan, atau
bermain boneka, atau memakai baju yang lucu-lucu. Tapi kami selalu
harus memaksa-maksa Claudia agar mau bermain bersama-sama.
Lama-lama sih capek juga, sehingga akhirnya kami jarang
mengajaknya. Tapi Claudia tidak pernah menolak kalau diajak
bermain sepeda, atau pergi ke bioskop, atau ke kolam renang umum.
Claudia beruntung bahwa ayahnya bukan Pak Spier. Pak Kishi
memang selalu bersikap tegas kalau menyangkut pelajaran sekolah
anaknya, tetapi ia tidak melarang kalau kami mengajak Claudia ke
pusat kota untuk minum Coca-Cola atau mengerjakan hal-hal lain.
Tetap saja, Claudia tidak pernah bisa akrab dengan kami. Dan
tahun ini, sejak sekolah mulai lagi, jarak di antara kami semakin lebar.
Biarpun kami sama-sama duduk di kelas tujuh, Claudia tiba-tiba
kelihatan lebih... tua. Dia selalu berbicara tentang cowok, dan dia
selalu sibuk menambah isi lemari pakaiannya atau bercakap-cakap
melalui telepon. Dalam waktu singkat, dia telah berubah banyak.
David Michael masuk ke dapur dengan wajah lebih ceria.
"Nah, ini untukmu," kataku. Aku menyodorkan segelas jeruk
dingin setelah ia duduk di sebelah Mary Anne.
Tak lama kemudian Charlie datang sambil melempar-lempar
bola sepaknya. Sam datang beberapa menit kemudian?disusul oleh
Louie, yang berputar-putar mengelilinginya. Charlie berusia enam
belas tahun, dan Sam empat belas tahun. Mereka berdua bersekolah di
Stoneybrook High School. Sam baru masuk, sedangkan Charlie telah
dua tahun mendahuluinya.
"Hei, semuanya. Halo, tupai kecil," Charlie menyapa David
Michael.
"Aku bukan tupai," jawab David Michael.
Charlie berpendapat bahwa dirinya amat hebat, karena dia baru
saja terpilih sebagai anggota tim sepakbola sekolahnya. Charlie
bersikap seakan-akan dialah orang pertama yang membela panji
Stoneybrook High School sebagai pemain sepakbola.
"Kami mau main sepakbola di halaman belakang keluarga
Hanson," Sam mengumumkan. "Mau ikut main, Kristy?"
Aku mau saja, tapi David Michael belum bisa ikut. Dia masih
terlalu kecil. "Lain kali saja. Mary Anne dan aku mau mengajak David
Michael ke sungai. Bagaimana kalau kita bermain-main di sungai,
David Michael?" tanyaku.
Dia mengangguk gembira.
"Sampai nanti!" aku berseru ketika Sam dan Charlie
meninggalkan rumah sambil membanting pintu depan.
Mary Anne dan aku membawa David Michael dan Louie ke
sungai. Kami mengawasi David Michael bermain air. Dengan gembira
ia membuat perahu layar dan mencoba menangkap ikan-ikan kecil.
Louie berlari-lari, sambil mencari tupai.
"Aku pulang dulu, ya," ujar Mary Anne setelah kira-kira satu
jam. "Ayahku sebentar lagi pulang."
"Yeah. Ibuku juga pulang sebentar lagi. David Michael," aku
memanggil adikku, "sudah waktunya pulang."
Dia berdiri dengan enggan, lalu kami bertiga dan Louie berjalan
pulang bersama-sama.
Ketika kami sampai di depan rumahku, David Michael
langsung berlari menyeberangi lapangan rumput, dan Mary Anne
berbisik kepadaku, "Jam sembilan, ya?"
Aku tersenyum lebar. "Oke." Mary Anne dan aku punya kode
rahasia. Mary Anne yang menciptakannya. Kami berdua sering saling
mengirim sinyal-sinyal dengan menggunakan lampu senter. Kalau
menengok dari jendela kamarku, aku bisa melihat ke kamar Mary
Anne. Kami sering ngobrol dengan bantuan senter, karena Mary Anne
tidak boleh menggunakan telepon setelah makan malam ?kecuali
untuk hal-hal seperti urusan baby-sitter atau mencari informasi tentang
PR. Mama datang beberapa waktu kemudian. Ia membawa pizza.
Aku dan kedua kakakku berdiri di dapur sambil mencium enaknya bau
keju dan cabe hijau.
Tapi Sam dan Charlie kelihatan curiga. "Pasti ada udang di
balik batu," Sam bergumam.
"Yeah," kata Charlie.
Mama hanya membelikan pizza untuk kami, kalau memerlukan
bantuan kami.
Aku memutuskan untuk mencari sebabnya. "Kenapa Mama
membelikan kami pizza?" tanyaku.
Charlie menendang pergelangan kakiku, tapi aku tidak
mempedulikannya. "Ayolah! Apa yang Mama inginkan dari kami?"
Mama tersenyum. Ia tahu persis apa yang dilakukannya. Dan ia
juga tahu bahwa kami telah mengetahuinya. "Baiklah," katanya.
"Kathy menelepon Mama di kantor untuk memberitahukan bahwa
besok dia tidak bisa menjaga David Michael. Mama ingin tahu apakah
di antara kalian..."
"Aku latihan sepakbola," sahut Charlie dengan cepat.
"Aku ada pertemuan Klub Matematika," timbrung Sam.
"Aku menjaga anak keluarga Newton," kataku.
"Wah, bagaimana, nih?" Mama berkata.
Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami menyesal karena tidak bisa membantu Mama," Sam
menambahkan.
"Ya, Mama mengerti."
Setelah itu kami mulai melahap pizza, sementara Mama
menelepon ke sana kemari.
Mama menelepon Mary Anne. Tapi Mary Anne berhalangan,
karena harus menjaga anak keluarga Pike.
Kemudian Mama menelepon Claudia. Claudia pun tidak bisa,
karena ada les kesenian.
Setelah itu Mama menelepon dua anak SMA, tapi mereka juga
tidak bisa karena ada latihan drum band.
David Michael hampir menangis.
Akhirnya Mama menelepon Bu Newton, lalu menanyakan
apakah David Michael bisa dibawa serta kalau aku menjaga Jamie.
Untung saja Bu Newton tidak keberatan.
Sambil mengunyah dengan mulut penuh keju dan cabe hijau,
aku berpikir. Kasihan sekali Mama, pizza-nya sudah mulai dingin
sementara ia sibuk menelepon ke sana kemari. Aku juga merasa
kasihan pada David Michael. Dia pasti merasa telah menyusahkan
semua orang, hanya karena dia masih berumur enam tahun dan tidak
bisa menjaga dirinya sendiri.
Pada saat itulah ide untuk membentuk Baby-sitters Club
muncul, dan aku hampir tersedak karenanya.
Aku hampir tak sabar menunggu sampai jam sembilan, karena
aku ingin cepat-cepat menyampaikan rencana besar ini pada Mary
Anne.
Bab 2 MALAM itu, setelah makan malam, aku langsung menuju
kamar tidurku dan menutup pintu. Kemudian aku duduk di meja
belajar dengan beberapa lembar kertas dan sebatang pensil yang telah
diruncingkan. Ada tiga hal yang harus kukerjakan: karangan tentang
tata krama di ruang kelas, PR, dan beberapa pemikiran tentang Babysitters Club. Aku merencanakan untuk bekerja sesuai dengan uruturutan di atas, yang paling merepotkan lebih dulu kuselesaikan.
Aku mencari arti kata tata krama di dalam kamus. Di situ
dikatakan: "Penyesuaian dengan kebiasaan umum; kesopanan. Lihat
persamaan kata pada etiket." Aku terpaksa membaca penjelasan
mengenai kesopanan dan etiket agar mendapat gambaran yang jelas.
Akhirnya aku mengerti juga. Aku telah berlaku tidak sopan. Kenapa
Pak Redmont tidak langsung bilang begitu? Itu akan mempermudah
segala sesuatu. Kemudian aku membuat karangan tentang bagaimana
sikap yang tidak sopan dapat mengganggu murid-murid lain, dan
memberi kesan buruk terhadap para pengunjung Stoneybrook Middle
School. Aku menghitung jumlah kata pada karanganku. Sembilan
puluh sembilan. Sebagai pelengkap, kutambahkan kata "Tamat" pada
akhir karangan, sehingga jumlah katanya menjadi persis seperti yang
diminta Pak Redmont.
Kemudian aku mengerjakan PR matematika, dan membaca
buku tentang Paraguay untuk pelajaran IPS.
Nah, setelah semua tugas sekolah selesai, aku mulai
memikirkan Baby-sitters Club.
Aku mengambil selembar kertas dan mulai membuat daftar.
1. Anggota:
Aku Mary Anne
Claudia
Siapa lagi?
2. Iklan:
Selebaran
Telepon
Surat kabar?
3. Mengatur jadwal pertemuan, dan menentukan jam berapa
saja klien bisa menelepon kami.
Di mana pertemuannya?
4. Iuran mingguan untuk ongkos-ongkos?
Jadi ideku sebenarnya begini: Mary Anne, Claudia, dan aku
akan membentuk klub yang mengatur segala macam urusan asuhmengasuh anak. Kami akan memberitahu klien-klien kami, bahwa
pada waktu-waktu tertentu dalam seminggu, kami bisa dihubungi
lewat satu nomor telepon. Kami akan mengadakan pertemuan pada
saat itu. Dengan cara ini, jika seseorang membutuhkan baby-sitter,
maka ia hanya perlu memutar satu nomor telepon saja dan sudah dapat
berbicara dengan tiga orang yang berbeda. Salah satu di antara kajni
pasti punya waktu. Tentu saja orang-orang bisa menelepon kami
secara perseorangan pada waktu-waktu lain, tapi kelebihan klub ini
justru karena para klien bisa menghubungi beberapa baby-sitter
sekaligus. Dengan demikian klien-klien kami tidak perlu bersusah
payah seperti Mama pada waktu makan malam tadi.
Kemudian aku memutuskan bahwa kami harus pasang iklan.
Kuharap Claudia mau membantu membuatkan selebaran untuk
dimasukkan ke dalam kotak-kotak surat di sekitar Bradford Court. Dia
juga bisa menggambar sesuatu yang lucu pada iklan kami.
Aku melihat arloji. Jam sembilan kurang seperempat. Lima
belas menit lagi baru aku dapat memberi sinyal pada Mary Anne. Aku
mulai gelisah. Aku punya ide gemilang, tapi tidak bisa memakai
telepon untuk menceritakan ide ini pada Mary Anne. Pak Spier pasti
akan mengatakan bahwa aku bisa menemui Mary Anne besok di
sekolah.ebukulawas.blogspot.com
Aku menarik napas panjang.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku.
Aku langsung tahu bahwa itu Mama, karena ketiga saudara lakilakiku biasanya langsung menyerobot masuk tanpa mengetuk pintu
dahulu.
"Masuk," seruku.
"Hei, Sayang," kata Mama. Ia menutup pintu dan duduk di
pinggir tempat tidur. "Bagaimana di sekolah tadi?"
Mama selalu berusaha menyediakan waktu untuk bicara berdua
dengan anak-anaknya. Dia merasa bersalah karena dia dan Papa
bercerai, sehingga dia harus bekerja sehari penuh untuk membiayai
kami. Dia pernah mengatakan ini kepada kami. Sebetulnya dia tidak
perlu merasa bersalah. Bukan salah Mama bahwa Papa pergi ke
California dan kawin lagi, dan tidak mengirimkan uang tunjangan
yang cukup. Mama pernah berkata bahwa ia tidak menginginkan
tambahan uang dari Papa. Mama bekerja di salah satu perusahaan
besar di Stamford, dan dia bangga karena bisa menghidupi kami. Hal
ini membuatnya merasa mandiri. Tapi tetap saja dia merasa bersalah.
Papa kadang-kadang menyebalkan. Sudah lebih dari setahun dia
tidak pernah menelepon kami. Dia bahkan melupakan ulang tahunku
yang kedua belas bulan lalu.
Aku terdiam sejenak, sambil memikirkan bagaimana cara
menjawab pertanyaan Mama, tanpa menyinggung karangan yang telah
kubuat.
"Kristy?" tanya Mama.
"Baik-baik saja, kok."
"Oke, ada apa sebenarnya?"
Mama tak pernah bisa dikelabui.
"Begini," kataku, "Mama tahu kan bagaimana panasnya siang
tadi?"
"Ya."
"Dan Mama juga tahu bahwa hari yang panas kadang-kadang
terasa amat panjang?"
"Jangan berbelit-belit, Kristy."
Aku terpaksa berterus terang. Mama hanya ketawa. Lalu ia
membaca karanganku dan berkata bahwa menurutnya karangan itu
bagus. Aku bertanya apakah kata "Tamat" bisa dihitung sebagai kata
keseratus, dan dia tersenyum sambil berkata bisa saja.
Mama memang hebat.
Ketika dia meninggalkan kamarku untuk menuju kamar Sam,
jam tanganku menunjukkan pukul sembilan.
Aku mengeluarkan senter, mematikan larmpu di meja belajar,
dan berdiri di muka jendela yang berhadapan dengan kamar tidur
Mary Anne.
Aku menyalakan senter sejenak, agar dia tahu bahwa aku sudah
siap.
Mary Anne langsung membalas. Bagus, berarti dia pun sudah
siap.
Kemudian aku mengirim sinyal ini (perlu waktu lama sekali,
lho!):
PUNYA IDE BAGUS UNTUK BABY-SITTERS CLUB.
HARUS BICARA. PENTING. TIDAK BISA DITUNDA. KITA
BISA DAPAT BANYAK PEKERJAAN.
Untuk sesaat tidak ada jawaban. Lalu Mary Anne membalas:
APA? dan aku terpaksa mengulangi pesanku?kali ini lebih singkat.
Akhirnya Mary Anne menjawab: BAGUS. SAMPAI BESOK.
Kemudian kami menyimpan kembali senter masing-masing. Mary
Anne belum pernah tertangkap basah, dan memang lebih baik begitu.
Aku baru saja menutup laci tempat menyembunyikan senter,
ketika Mama sekali lagi mengetuk pintu.
"Masuk," kataku agak heran, sambil menyalakan lampu lagi.
Tidak biasanya Mama datang untuk kedua kalinya. Sebaliknya, tidak
biasanya pula aku menutup pintu kamarku lama-lama.
Kali ini, Mama duduk di meja belajar dan aku duduk di tempat
tidur.
"Mama hanya ingin memberitahu," katanya, "bahwa Mama
akan pergi bersama Watson malam Minggu nanti. Tadi Mama lupa
mengatakannya padamu."
Aku mendesah tertahan. Mama sudah beberapa kali pergi
dengan Watson dalam empat bulan terakhir ini. Mama amat
menyukainya, tapi aku tidak. Watson telah bercerai dengan istrinya
dan punya dua anak kecil. Ditambah lagi kepalanya mulai botak.
"Mama tidak minta izin padamu, Kristy," Mama berkata.
"Mama hanya ingin kamu tahu bahwa Mama akan pergi malam
Minggu nanti, hingga acaramu dapat kauserasikan. Charlie juga ada
janji, tapi Sam akan di rumah."
Aku mengangguk.
"Mama harap kamu tidak berprasangka buruk terus terhadap
Watson," ujarnya. "Mama tidak bisa memaksa kamu menyukainya,
tapi kamu tidak pernah memberi kesempatan padanya."
Sebenarnya, aku memang tidak pernah memberi kesempatan
pada semua laki-laki yang pergi kencan dengan Mama. Aku takut
kalau aku memperlakukan mereka dengan ramah, salah satu dari
mereka akan mengawini Mama. Coba pikir, apa yang mungkin terjadi
setelah itu. Kami telah cukup bahagia dengan apa adanya sekarang.
"Ada satu hal lagi," kata Mama. "Kamu tahu, kan, bahwa
Watson dan bekas istrinya secara bergantian mendapat kesempatan
untuk berakhir pekan dengan anak-anak mereka, Andrew dan Karen.
Nah, akhir pekan ini giliran Watson untuk bertemu dengan anakanaknya, tapi dia harus bekerja pada Sabtu pagi. Sebenarnya dia tidak
menyukai hal ini, tapi apa boleh buat. Dia menanyakan apakah kamu
mau menjaga Andrew dan Karen selama dia masih di kantor."
Aku langsung menggelengkan kepala. Paling tidak sudah tiga
kali Watson menanyakan hal yang sama padaku, tapi aku tidak mau.
Aku tidak mau berurusan dengan dia, atau dengan keluarganya. Aku
selalu mencari alasan untuk menolak permintaannya, bahkan kadangkadang menolaknya mentah-mentah.
"Oke," kata Mama. "Terserah kamu, deh." Sepertinya dia
bermaksud mengatakan, "Dasar keras kepala".
Tapi kemudian dia mendekatiku dan mengecup dahiku, jadi aku
tahu bahwa dia tidak marah.
"Sudah mau tidur?" tanyanya.
"Ya. Pintunya biar terbuka saja," kataku pada saat Mama keluar
dari kamarku.
Aku mengucapkan selamat malam pada Charlie, Sam, dan
David Michael, dan setengah jam kemudian aku merayap ke tempat
tidur. Louie merebahkan diri di sampingku. Aku berbaring sambil
mengelus-elusnya, dan berpikir tentang Mama, Watson, Andrew, dan
Karen. Lalu aku teringat pada Baby-sitters Club, dan hal ini agak
menghiburku.
Aku sudah tak sabar menunggu sampai besok!
Bab 3 PAK REDMONT menerima karanganku tentang tata krama di
dalam kelas tanpa banyak cincong. Aku menyerahkannya sebelum
sekolah dimulai, sehingga ia tidak perlu membacanya di depan kelas.
Ternyata ia tidak menghitung jumlah kata. Ia hanya membacanya
sepintas lalu, kemudian memandangku dan berkata, "Bagus, Kristy.
Kamu telah mengerjakan tugasmu dengan baik. Kamu pandai
mengungkapkan pikiran di atas kertas."
Selesailah persoalannya. Tidak ada nasihat maupun petuah.
Aku menarik napas panjang, lalu berjalan ke bangkuku dengan
sopan.
Seusai sekolah, Mary Anne dan aku berlari pulang ke rumah.
Udara tidak sepanas kemarin, jadi kami tidak begitu tersiksa.
"Nanti kamu menjaga anak-anak keluarga Pike, ya?" tanyaku
pada Mary Anne sambil terus berlari.
Mary Anne mengangguk.
"Berapa anak yang harus kamu jaga?" Kami berdua tahu bahwa
keluarga Pike mempunyai delapan orang anak.
"Cuma dua, Claire dan Margo."
"Oh, masih lumayan," kataku. Claire berusia empat tahun,
sedang Margo enam tahun. Mereka anak-anak yang manis. Dan yang
paling penting, mereka menyukai baby-sitter.
"Kamu sendiri menjaga siapa hari ini?" tanya Mary Anne.
"Anak keluarga Newton. David Michael akan ikut denganku.
Dia bisa bermain bersama Jamie."
"Hei, kebetulan sekali! Mungkin aku akan membawa Claire dan
Margo ke sana. Mereka bisa bermain bersama-sama. Dan kamu bisa
menceritakan rencanamu tentang baby-sitter club itu."
"Oke!" jawabku.
Setelah sampai di rumahku, kami berpisah. Aku bersyukur
karena tiba di rumah sebelum David Michael. Aku membiarkan Louie
keluar dan membuat sepoci penuh jeruk dingin.
Tepat pukul setengah empat sore, David Michael dan aku telah
berdiri di depan pintu keluarga Newton. Ketepatan waktu adalah
bagian penting dari pekerjaanku ini. Belum pernah aku datang
terlambat. Klien-klienku sangat menghargai sikapku itu.
Aku membiarkan David Michael memencet bel. Beberapa detik
kemudian pintu depan membuka.
"Hi-hi!" seru Jamie. Jamie berusia tiga tahun.
David Michael memandangku seakan-akan berkata, masa aku
harus bermain dengan anak berumur tiga tahun yang baru bisa bilang
hi-hi?
Aku menepuk pantatnya.
"Halo, Jamie," jawabku.
"Lihat, nih!" Jamie berseru, ketika kami masuk ke ruang depan
rumah keluarga Newton. "Lihat apa yang aku punya!" Dia memegang
sebuah boneka kecil berpakaian tentara. "Aku punya boneka G.I. Joe."
"Betulkah?" David Michael tiba-tiba merasa tertarik.
"Yap," kata Jamie dengan bangga.
"Ada yang lainnya?" adikku bertanya.
"Ada, dong," jawab Jamie. "Ke sini, deh."
Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka langsung menghilang. Bu Newton menyapaku dari
dapur. "Untung ada G.I. Joe," katanya.
Aku tersenyum. "Maaf soal David Michael, tapi kelihatannya
mereka bisa berteman." Aku paling tidak suka membebani klienklienku.
"Aku yakin semuanya akan baik-baik saja," ujar Bu Newton
sambil menepuk-nepuk perutnya yang gendut. "Jamie memang harus
membiasakan diri menghadapi anak-anak lain."
"Berapa lama lagi adiknya lahir?" tanyaku.
"Sekitar dua bulan lagi."
Aku menarik napas lega. "Oh, saya harap semuanya berjalan
dengan cepat dan lancar!"
"Apalagi saya!"
Bu Newton menyebutkan tugas-tugasku sore itu.
"Saya hanya pergi ke dokter dan mengurus keperluan lain," ia
lalu berkata padaku. "Saya akan pulang sekitar jam setengah enam."
"Oke, setengah enam," aku mengulangi.
Begitu Bu Newton pergi, aku langsung menelepon Mary Anne
di rumah keluarga Pike. "Kamu boleh datang kapan saja," kataku.
Mary Anne muncul kira-kira sepuluh menit kemudian, karena
rumah keluarga Pike hanya berjarak beberapa rumah dari keluarga
Newton. Ia menarik Claire dan Margo di dalam sebuah keretakeretaan berwarna merah.
"Hi-hi!" Jamie menyapa mereka dengan riang.
"Hi-hi!" jawab Claire yang berumur empat tahun.
David Michael dan Margo saling berpandangan dengan curiga.
Mereka jarang bermain bersama-sama, dan David Michael selalu
bersikap hati-hati terhadap semua anak perempuan, terutama yang
tidak sekelas dengannya di sekolah.
Kami mengajak anak-anak itu ke pekarangan belakang untuk
bermain ayunan. Ketika mereka sedang asyik bermain, Mary Anne
berkata, "Nah, bagaimana dengan baby-sitters club itu?"
"Begini," jawabku. "Aku pikir kita berdua, dan beberapa teman
lain yang juga suka bekerja sebagai baby-sitter, bisa mendirikan
sebuah perkumpulan?semacam perusahaan..."
Kami terganggu oleh bunyi gedebuk yang disusul suara tangis
meraung-raung. Rupanya Jamie terjatuh dari ayunan.
"Waaaaaa!" tangisnya.
Aku berlari ke arahnya dan langsung memeriksanya. Tidak ada
benjolan di kepala, ataupun luka di lutut.
"Waaaaaa!"
"Mana yang sakit?" tanyaku padanya.
Dia menunjuk perutnya, lalu lututnya, dan akhirnya kepalanya.
"Semuanya?" tanyaku lagi.
Dia mengangguk dengan sedih.
"Mungkin lebih baik kalau kami pulang dulu," kata Mary Anne
sambil menggandeng Claire dan Margo.
"Oke," kataku. "Eh, bagaimana kalau kita memberitahu Claudia
tentang ide ini? Kita bisa ke rumahnya setelah selesai menjaga anakanak. Dia pasti sudah pulang dari les gambarnya nanti."
"Boleh saja. Sampai nanti, ya."
Setelah masuk, aku memberikan sepotong kue pada Jamie. Dia
dan David Michael mulai bermain lagi dengan boneka G.I. Joe,
kemudian mereka menonton Sesame Street di TV. Ketika ibunya
pulang, Jamie sudah melupakan kecelakaan kecil yang sempat
dialaminya.
Bu Newton membayarku, dan aku langsung berlari pulang ke
rumah. Aku meninggalkan David Michael bersama Sam, lalu berlari
menyeberangi jalan ke rumah Claudia Kishi.
Belakangan ini, aku merasa agak kikuk kalau mengunjungi
Claudia. Rasanya tidak seperti dulu.
Dia lebih cepat menjadi dewasa dibandingkan kami. Dia mulai
memakai BH, dan selalu berbicara mengenai cowok.
Claudia bersikap seakan-akan semua cowok yang sudah duduk
di kelas tujuh bukan lagi anak-anak konyol yang tahun lalu sekelas
dengan kami. Tahun lalu, pada waktu kami masih duduk di kelas
enam, mereka sering bertanya, "Mau permen karet PBK?", kemudian
mengeluarkan permen karet dari mulut sambil berkata, "Nih, PermenBekas-Kunyah!" Setelah itu mereka akan ketawa terpingkal-pingkal.
Tahun lalu, mereka juga sering mendorong-dorong kami, atau
menarik-narik rambut kami. Selain itu, mereka juga suka iseng di
dalam kelas dengan melempar-lempar kapal terbang dari kertas, atau
menggoyang-goyang meja ketika kami sedang menulis. Tapi tahun ini
(kalau kalian mendengarkan apa kata Claudia), semua anak laki-laki
adalah pahlawan. Padahal aku sendiri sama sekali tidak melihat
perubahan pada diri mereka.
Aku menekan bel di rumah keluarga Kishi. Claudia yang
membuka pintu. Ia mengenakan celana pendek, baju luar wol merah
jingga yang amat longgar, blus putih berenda, topi bulu hitam, dan
sepatu kanvas merah tanpa kaus kaki. Rambutnya yang panjang dan
hitam dikepang dengan rapi. Dibandingkan dengannya, aku ini benarbenar lusuh dan kumal.
Aku sudah terbiasa melihat Claudia dengan pakaian seperti itu.
Tapi aku sempat terkejut karena dia memakai make-up. Pelupuk
matanya diberi warna biru, di atas matanya ada warna emas, dan
pipinya diberi warna merah muda.
"Claudia!" aku berseru tertahan. "Wajahmu! Kamu kelihatan
seperti"?aku tidak sempat berhenti? "seperti mau tampil di sirkus...
maksudku... ehm... wajahmu begitu berwarna-warni."
"Terima kasih."
"Bukan itu maksudku, Claud. Kamu tidak butuh make-up.
Wajahmu begitu cantik..."
"Maksudmu, wajahku lain dari anak-anak Amerika pada
umumnya, ya?" sahut Claudia.
Hmm, mungkin memang itu yang kumaksud. Kedua orangtua
Claudia berasal dari Jepang. Mereka pindah ke Amerika Serikat ketika
mereka masih muda sekali. Claudia memiliki rambut hitam
berkilauan, mata berwarna gelap, dan kulit yang halus tanpa jerawat
sama sekali. Dia benar-benar cantik. Hanya saja dia suka berdandan
agak aneh. Claudia pernah membeli ikat pinggang yang terbuat dari
bulu, dan ia tidak segan-segan untuk memakai kaus kaki panjang
dengan gambar pohon kelapa. Tapi selama ini dia belum pernah
memakai make-up.
"Apa kamu akan berdandan seperti ini untuk ke sekolah
besok?" tanyaku sambil menunjuk wajahnya.
"Kalau bisa, sih..."
Aku mengangguk. Orangtua Claudia sangat kolot. Mereka sama
sekali tidak mengerti selera Claudia. Memang mereka
mengizinkannya memakai topi bulu hitam atau perlengkapan aneh
lainnya?walaupun harus dibelinya sendiri dengan uang hasil
kerjanya sebagai baby-sitter?tapi urusan make-up ini rasanya sudah
keterlaluan. Aku tidak bisa membayangkan reaksi mereka kalau
melihat wajah Claudia seperti sekarang ini. Aku juga tidak tahu
bagaimana tanggapan para guru.
Aku menyapa Mimi, nenek Claudia, yang sedang sibuk
menyiapkan makan malam. Kemudian aku mengikuti Claudia ke
kamarnya di lantai atas. "Di mana Janine?" aku bertanya.
"Di mana lagi kalau bukan di kampus!" ujar Claudia sambil
menatapku dengan kening berkerut.
Janine adalah kakak Claudia. Usianya lima belas tahun.
Sebenarnya dia masih duduk di SMA, tapi dia sudah mengikuti
beberapa mata kuliah di Stoneybrook University. Janine memang
seorang jenius. Manusia rata-rata memiliki IQ 100. Orang di atas ratarata mempunyai IQ antara 120 sampai 140. Orang dengan IQ 150
dianggap sebagai jenius.
Janine memiliki IQ 196.
Kadang-kadang dia membuat aku kesal setengah mati. Claudia
pun sering dibuat kesal, karena Janine beranggapan bahwa dia tahu
segala sesuatu. (Sebenarnya sih, memang hampir tidak ada yang tidak
diketahuinya.) Janine selalu membetulkan ucapan kami. Kalau aku
mengatakan, "David Michael, hari ini kamu tidak bisa main di luar
karena hari hujan," Janine akan berkomentar, "Kristy, seharusnya
kamu mengatakan, 'David Michael, hari ini kamu tidak boleh main di
luar.' Jika kamu mengatakan tidak bisa, maka itu berarti bahwa
adikmu secara fisik tidak sanggup. Padahal maksudmu adalah bahwa
dia tidak diizinkan untuk main di luar."
Janine selalu memberi ceramah seperti itu. Satu-satunya sahabat
yang ia miliki adalah seorang jago matematika berusia empat belas
tahun, yang sebentar lagi akan lulus SMA. Selain itu Janine hanya
berteman dengan komputernya.
Aku yakin Janine-lah yang menyebabkan Claudia memusatkan
perhatiannya pada kesenian, dan bukan pada pelajaran sekolah yang
lain.
Aku lega sekali Janine tidak ada di rumah.
Claudia dan aku duduk di tempat tidurnya. "Sebentar lagi Mary
Anne datang," kataku. "Aku punya ide bagus yang ingin kuceritakan
pada kalian."
Kedua mata Claudia langsung berbinar-binar. "Ide apa, sih?"
"Baby-sitters Club," jawabku.
"Baby-sitters Club?" pekiknya.
"Yeah, aku akan menjelaskan rencanaku kalau..." Tepat pada
detik itu bel pintu berbunyi.
Claudia berlari menuruni tangga sambil berteriak, "Aku yang
buka!" Ia segera membuka pintu depan lalu mengajak Mary Anne ke
kamarnya. "Sudah lama aku ingin membentuk sebuah kelompok," ia
berseru. "Coba jelaskan rencanamu."
"Semuanya berawal semalam," kataku. Aku menceritakan
kesulitan Mama menemukan seorang baby-sitter untuk David
Michael. "Karena itu aku pikir ada baiknya kalau kita bergabung saja.
Toh kita semua baby-sitter. Kita bisa pasang iklan, agar mendapat
lebih banyak pekerjaan. Kita akan bertemu beberapa kali dalam
seminggu, dan memberitahukan waktunya pada para klien. Sekali
mengangkat telepon, mereka bisa menghubungi kita semua sekaligus.
Malahan kalau Bu Pike memerlukan dua orang, dia pun hanya perlu
menelepon sekali saja." Penuh semangat aku menjelaskan rencana
selanjutnya, lalu menyimpulkan. "Jadi, ada dua hal yang perlu kita
pikirkan. Pertama, di mana kita akan mengadakan pertemuan; dan
kedua, siapa lagi yang mungkin berminat untuk bergabung?"
"Aku bisa menjawab kedua pertanyaan itu," ujar Claudia.
"Sebaiknya pertemuan itu diadakan di sini saja, sebab aku punya
pesawat telepon di kamar."
"Wah, kebetulan sekali!" aku berseru. (Padahal, diam-diam aku
memang berharap agar Claudia mengajukan usul seperti itu.)
"Dan aku juga tahu seseorang yang mungkin mau bergabung."
"Siapa?" Mary Anne dan aku bertanya berbarengan.
"Dia anak baru. Dia baru saja pindah ke Stoneybrook. Dia
tinggal di Fawcett Avenue, dan dia teman sekelasku. Namanya Stacey
McGill."
"Hmm, oke...," kataku. "Tapi kita harus berkenalan dulu
dengannya."
"Oh, tentu. Kalian pasti menyukainya. Sebelum pindah ke sini,
Stacey tinggal di New York City," Claudia menambahkan.
Aku langsung terkagum-kagum. Begitu juga Mary Anne. Ia
malah membelalakkan mata. "Aku ingin tahu kenapa orangtuanya
mau pindah dari sana, lalu tinggal di sini," ia berkata.
Claudia mengangkat bahu. "Entahlah. Tapi aku senang mereka
mengambil keputusan seperti itu. Stacey benar-benar menyenangkan."
Mary Anne dan aku saling berpandangan. Kami tidak begitu
yakin apakah ini pertanda baik.
"Apakah kalian ada kesibukan besok sore?" tanya Claudia.
"Kalau tidak, maka kita bisa mengadakan pertemuan pertama."
"Asal sesudah jam setengah enam," kata Mary Anne. "Soalnya
aku ada tugas."
Kami bersepakat untuk bertemu besok sore. Dan itulah awal
dari Baby-sitters Club.
Bab 4 KEESOKAN harinya, tepat pukul setengah enam sore, aku
berlari menyeberangi jalan menuju rumah Claudia. Sesampainya di
sana, aku langsung membunyikan bel. Claudia sendiri yang
membukakan pintu. Kali ini dia memakai blus longgar berwarna
kuning dengan kotak-kotak hitam, celana panjang hitam, sepatu
merah, dan gelang berbentuk spiral yang mirip kabel telepon. Antinganting berbentuk tengkorak manusia yang bergelantungan di telinganya, ikut bergerak-gerak setiap kali Claudia menggerakkan kepala.
Tapi, setelah aku perhatikan, ternyata dia tidak memakai make-up.
"Kedua orangtuaku melarangku memakai make-up," ujarnya.
"Tapi kamu tidak dilarang memakai anting-anting panjang itu."
Claudia tersenyum lebar. "Aku baru memakainya setelah
sampai di sekolah. Sekarang hanya Mimi yang ada di rumah, dan dia
tidak keberatan kalau aku memakai anting-anting ini."
Dasar Claudia! Dia memang tidak pernah kehabisan akal.
Sambil menaiki tangga, Claudia berkata, "Stacey sudah datang.
Aku harap kamu menyukainya." Setengah berbisik dia berkata,
"Janine ada di rumah, lho."
Aku mendesah perlahan.
"Sori, ya. Pintu kamarnya terbuka, lagi."
Pada detik itulah Janine menyembulkan kepalanya di ujung
tangga. "Oh, halo, Kristy," katanya. "Pantas aku seperti mendengar
orang bercakap-cakap. Claudia sudah bercerita tentang Baby-sitters
Club. Kedengarannya seperti ide yang luar biasa."
"Yah, aku rasa akan...," kataku memulai.
Wajah Janine langsung berubah, seakan-akan ada yang tidak
beres pada ucapanku tadi. "Kristy, kata rasa di sini sebenarnya kurang
tepat. Banyak orang mencampuradukkan penggunaan ungkapan 'saya
rasa' dan 'saya pikir'. Padahal, 'saya rasa' berarti segala sesuatunya
belum pasti, sedangkan 'saya pikir' berarti segala sesuatunya sudah
pasti, karena sudah dipikirkan. Kalau saya..."
Aku tahu tidak ada gunanya berdebat dengannya. "Maaf,
Janine, aku tinggal dulu, ya," aku memotong pembicaraannya sambil
menyusul Claudia ke kamarnya. "Stacey sudah menunggu, sih.
Sampai nanti, ya." Memang sulit menghadapi Janine. Dia selalu
menemukan kesalahan pada kata-kataku. Sangat mengherankan
bahwa Claudia bisa hidup di bawah satu atap dengan kakaknya itu.
Bel pintu rumah berbunyi pada saat aku sampai di kamar
Claudia. "Itu pasti Mary Anne," ujarku.
"Biar aku yang membukakan pintu, Claud," seruku sambil
berlari menuruni tangga. Aku membukakan pintu dan segera
memperingatkan Mary Anne agar berhati-hati, karena Janine ada di
rumah. Setelah itu kami berlari lagi menaiki tangga. Kami sengaja
tidak menoleh ke arah pintu kamar Janine yang masih terbuka, dan
langsung menuju kamar Claudia.
"Halo," kata Claudia sambil menutup pintu. "Teman-teman, ini
Stacey McGill. Stacey, ini Kristy Thomas dan ini Mary Anne Spier."
"Halo!" Stacey dan aku berkata hampir bersamaan.
Mary Anne nampak tersipu-sipu. "Halo," katanya perlahan,
seperti berbicara pada diri sendiri saja.
Setelah kuperhatikan, aku menyadari mengapa Stacey berteman
dengan Claudia. Stacey memakai sweter merah jambu yang berkelipkelip, dengan gambar burung beo berwarna ungu di depannya; celana
jeans ketat dengan ritsleting di sepanjang sisinya; dan sepatu plastik
merah jambu. Dia cantik sekali, tinggi, dan langsing. Matanya yang
besar dan berwarna biru dikelilingi oleh bulu mata yang lentik dan
berwarna hitam. Rambutnya yang halus dan pirang kelihatannya
seperti baru saja dikeriting. Aku melirik ke arah Mary Anne. Kami
berdua masih mengenakan pakaian sekolah?rok dan blus. Aku
memakai kaus kaki panjang putih dan sepatu kets. Mary Anne juga
begitu. Rambutnya dikepang, sedangkan rambutku dikuncir dengan
karet warna biru.
Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami berdua kelihatan seperti anak kelas dua, sedangkan
Stacey dan Claudia mirip peragawati.
Suasana menjadi agak hening dan tidak mengenakkan.
"Baiklah," kataku sambil berdehem. "Claudia, kamu sudah
bercerita tentang Baby-sitters Club pada Stacey?"
"Hanya yang kita bicarakan kemarin," jawabnya.
"Apakah kamu pernah bekerja sebagai baby-sitter waktu di
New York?" aku bertanya pada Stacey.
"Oh, sering sekali. Kami tinggal di gedung besar. Ada lebih dari
dua ratus apartemen di situ..."
"Wow," kata Mary Anne.
"... dan aku biasa memasang iklan di ruang cuci pakaian. Sering
sekali orang memanggilku." Ia berhenti sebentar. "Pada malam Sabtu
dan malam Minggu aku boleh keluar sampai jam sepuluh malam."
Sekali lagi terdengar kata "Wow" dari mulut Mary Anne.
Aku semakin merasa seperti anak kecil. Bagaimana mungkin
kita bisa merasa seperti anak kecil di depan seseorang yang sebaya
dengan kita?
"Aku ingin sekali bergabung dengan kalian," ujar Stacey. "Aku
belum banyak kenal anak-anak di Stoneybrook. Dan enak juga kalau
kita bisa mencari tambahan uang saku. Ayah dan ibuku membelikanku
pakaian, tapi aku harus cari uang sendiri untuk hal-hal lain?kalian
tahu kan, kaset, perhiasan..."
"Kenapa kamu pindah dari New York?" tanya Mary Anne. Dia
sangat mengagumi New York? terutama lampu-lampu dan
pertokoannya. Ia ingin sekali tinggal di kota seperti itu kalau sudah
dewasa nanti.
Stacey menatap lantai. Ia mulai mengayun-ayunkan kaki
kanannya ke depan dan ke belakang. "Oh," katanya pelan, "ayahku
harus pindah kerja. Wah, kamu punya poster-poster yang bagus,
Claudia."
"Terima kasih. Yang dua itu kubuat sendiri, lho." Claudia
menunjuk gambar kuda yang sedang berlari menyeberangi gurun
pasir, dan gambar seorang gadis yang sedang duduk di jendela sambil
memandang ke luar.
"Wah, kalau aku tinggal di New York, aku takkan mau pindah
dengan alasan apa pun," Mary Anne meneruskan. "Ayo, cerita, dong!
Seperti apa sih hidup di sana? Seperti apa sekolahmu?"
"Baiklah," Stacey memulai. "Aku bersekolah di sekolah
swasta."
"Apakah kamu harus pakai seragam sekolah?" tanya Claudia.
Dia bergidik membayangkan kemungkinan itu.
"Tidak. Kami boleh memakai pakaian sehari-hari."
"Naik apa kamu kalau pergi ke sekolah?" tanya Mary Anne
lagi.
"Naik kereta bawah tanah."
"Wow."
"Sekali waktu," tambah Stacey karena melihat betapa
kagumnya Mary Anne, "aku naik kereta bawah tanah dari apartemen
kami sampai ke taman hiburan di Coney Island. Berkali-kali aku harus
ganti kereta."
"Wow. Pernahkah kamu naik taksi sendirian?"
"Tentu saja. Sering sekali."
"Wow."
Setelah "Wow" terakhir keluar dari mulut Mary Anne, kami
semua mulai cekikikan.
"Mengenai Baby-sitters Club," aku kembali ke pembicaraan
semula, "kita harus membuat dua daftar: yang satu tentang peraturan,
dan yang satu lagi tentang apa yang akan dilakukan..."
"Apakah ini berarti," Stacey memotongku, "aku boleh
bergabung bersama kalian?"
Aku melirik pada Mary Anne, dan ia menganggukkan kepala.
Aku tahu pendapat Claudia:
"Yap," kataku.
"Oh, hei! Terima kasih!" seru Stacey sambil tersenyum lebar.
Claudia mengacungkan jempolnya sebagai tanda "Hebat".
Kemudian ia menarik sebungkus permen cokelat berisi kacang dari
bawah bantalnya. "Ini harus kita rayakan," ia berkata sambil
menawarkan permennya.
Mary Anne dan aku masing-masing mengambil segenggam
penuh, dan melahapnya seperti orang kelaparan. Tapi Stacey hanya
melirik bungkusan itu, lalu mengembalikannya pada Claudia. "Ini
kan... wah, tinggal lima buah lagi," katanya.
"Oh, tidak apa-apa," jawab Claudia. "Aku masih punya banyak
persediaan. Ibu dan ayahku tak pernah tahu soal itu." Ia lalu bercerita
bahwa ia menyembunyikan beberapa potong permen karet di laci
pakaian dalamnya, sebatang cokelat di balik buku-buku
ensiklopedinya, sebungkus Twinkies di laci mejanya, dan beberapa
buah Wint-o-green Life-savers di celengannya.
"Tidak, terima kasih," sahut Stacey. "Aku, eh, lagi diet."
"Diet? Kamu?" aku berseru. "Kamu sudah kurus begitu!" Aku
baru tahu bahwa ada anak seusiaku yang sudah diet. "Berapa sih berat
badanmu?" tanyaku.
"Kristy!" celetuk Claudia. "Itu bukan urusanmu."
"Tapi kan berbahaya diet tanpa ada perlunya. Ibuku pernah
berkata begitu. Apakah ibumu tahu kamu sedang diet?"
"Eh, dia..."
"Nah kan, aku yakin dia tidak mengetahuinya."
Pada saat itu, ada yang mengetuk pintu kamar Claudia dari luar.
"Mary Anne!" Janine memanggil. "Ayahmu menelepon, katanya
sudah waktunya kamu pulang."
Mary Anne melihat jam tangannya. "Enam lewat sepuluh!"
serunya. "Aduh, aku terlambat. Ayahku tidak suka kalau aku
terlambat. Terima kasih, Janine. Teman-teman, aku harus pulang."
"Tunggu dulu," ujarku. "Kita belum selesai membuat rencana,
nih."
"Bagaimana kalau kita ketemu besok pada waktu keluar main di
sekolah," Claudia menengahi.
"Benar begitu?" kataku. Belakangan ini, Claudia menghabiskan
waktu istirahat di sekolah dengan memperhatikan cowok-cowok
ganteng main bola basket. Dia tidak pernah mau bermain dengan
Mary Anne dan aku.
"Tentu saja," katanya. "Habis makan siang, kita ketemu di
depan pintu ruang olahraga. Salah satu harus membawa kertas dan
pena."
"Aku deh, yang bawa," kataku sukarela.
Mary Anne langsung berdiri dan berlari ke rumahnya.
"Aku juga mau pulang," kata Stacey.
"Aku juga," sahutku.
Claudia mengantarkan kami sampai di pintu depan, dan
kemudian kami berpisah.
***********
Menu makan siang di Stoneybrook Middle School pada hari
Jumat selalu sama: daging cincang saus tomat, agar-agar berisi
potongan buah-buahan, selada, susu, dan donat.
Aku tidak menyukai makanan-makanan itu, kecuali kue
donatnya.
Mary Anne dan aku cepat-cepat menghabiskan makan siang
kami, lalu keluar untuk menemui Claudia dan Stacey. Kami tidak
makan bersama mereka di kafetaria, karena mereka duduk semeja
dengan anak-anak perempuan kelas tujuh yang paling top (kami tidak
begitu kenal anak-anak itu) dan dengan beberapa anak laki-laki. Aku
tak habis pikir bagaimana mereka bisa makan bersama cowok-cowok.
Cowok-cowok selalu bertingkah aneh-aneh. Misalnya, mereka suka
mencampuradukkan makanan dalam kotak susu, hanya untuk melihat
warna apa yang bakal muncul. Tapi sepertinya Claudia malah
menganggap hal-hal seperti itu lucu.
Mary Anne dan aku sampai di depan pintu ruang olahraga lebih
dulu dari Claudia dan Stacey. Sambil menunggu mereka, kami sempat
bermain tetherball. Seperti biasa, aku yang menang. Aku memang
punya bakat olahraga.
"Halo, teman-teman!" panggil Claudia kira-kira sepuluh menit
kemudian. Dia dan Stacey sedang berjalan menyeberangi lapangan
bermain.
"Halo!" kami menjawab.
Kami berempat mencari sudut yang agak sepi, lalu duduk di
atas peti-peti kosong.
"Aku membawa kertas dan pena," kataku. "Dan ada satu lagi."
Aku mengeluarkan daftar yang kubuat Selasa malam lalu, dan
menunjuk nomor dua, yaitu IKLAN. "Inilah langkah berikutnya:
memberitahu orang-orang tentang apa yang akan kita lakukan."
"Betul," kata Claudia dari bawah topinya yang berwarna merah
menyala. Aku yakin para guru melarangnya memakai topi seperti itu
di dalam kelas.
"Rasanya cara paling mudah untuk menyebarkan berita tentang
klub kita adalah dengan membuat selebaran. Kita bisa merancang
iklan yang menarik, dan ibuku bisa memfotokopinya di kantor.
Setelah itu kita masukkan selebaran itu ke dalam kotak-kotak surat.
Misalnya di sekitar rumah-rumah kita, atau di jalan-jalan lain.
Pokoknya di mana saja yang bisa dicapai dengan naik sepeda. Mary
Anne, apakah ayahmu mengizinkan kamu menjaga anak di blok lain
yang tidak terlalu jauh?"
"Aku rasa boleh," jawab Mary Anne ragu-ragu.
Aku melihat Stacey melirik Mary Anne dengan heran.
"Bagus," sahutku. "Oke, kita sudah punya nama ?yaitu Babysitters Club. Menurut kalian, apakah kita juga harus punya logo? Itu
lho, seperti logo di kaleng kue Girl Scout, atau logo matahari pada
alat-alat kantor yang dipakai di kantor ibuku?"
"Yeah!" kata Stacey. "Itu ide yang bagus. Kita bisa meletakkan
logonya di bagian atas selebaran kita. Claudia, bagaimana kalau kamu
menggambar sesuatu untuk kita?"
"Bagaimana, yah?" ujar Claudia.
"Ayolah, kamu kan jago menggambar," seruku. "Kamu bisa
menggambar apa saja."
"Aku tahu bahwa aku bisa menggambar, tapi aku kurang bisa
membuat... logo dan hal-hal seperti itu. Janine lebih bisa
membuatnya."
"Aduh, Janine tidak usah ikut campur, deh," kataku. "Biar kita
saja yang mencari logo yang bagus. Kita kan tergabung dalam satu
klub. Kita harus punya persetujuan bersama. Nah, sekarang kita cari
ide dulu."
"Baiklah," kata Mary Anne. "Logo itu bisa berupa sesuatu yang
ada hubungannya dengan baby-sitter, seperti seorang anak atau tangan
yang mau menolong. Bisa juga sesuatu yang kita suka, seperti pelangi
atau bintang atau seekor katak..."
"Katak!" kataku tiba-tiba. Aku mulai cekikikan. Begitu juga
Claudia dan Stacey.
Wajah Mary Anne memerah. Tapi kemudian dia ikut tertawa.
"Bagaimana kalau tikus tanah saja?" Claudia mengusulkan.
"Atau kadal!" kata Stacey
"Makanan anjing!" Kami semua tertawa terpingkal-pingkal
sampai tidak dapat bicara.
"Oke, sekarang serius," ujarku setelah suasananya agak tenang.
"Waktu keluar main tinggal sepuluh menit lagi."
"Bagaimana dengan sesuatu yang memuat nama-nama kita di
dalamnya?" Stacey mengusulkan.
"Yeah!" Mary Anne, Claudia, dan aku menyambut usulnya
penuh semangat. Sayangnya kami tidak berhasil menemukan contoh
yang bagus.
"Bagaimana dengan kubus yang bertuliskan huruf-huruf depan
nama kita?" kata Mary Anne.
"Boleh juga," sahut Claudia. "Tapi kita berempat, sedangkan
sebuah kubus paling banyak hanya bisa menampilkan tiga sisi saja."
"Oh... yeah," kata Mary Anne perlahan. Soal gambarmenggambar, Claudia memang lebih berbakat dibandingkan kami
bertiga.
"Tunggu dulu!" Claudia tiba-tiba berseru. "Aku tahu. Aku bisa
membuatnya begini." Ia mengambil pena dan kertas dariku dan
menggambar logo seperti ini:
"Hebat! Betul-betul hebat!" seruku. "Cocok sekali! Claudia,
kamu benar-benar..." Aku berhenti. Aku hampir mengatakan jenius,
tapi aku tahu bahwa Claudia kurang suka kata itu. "...profesional," aku
meneruskan.
Bel berbunyi dan kami harus masuk kelas lagi. Tapi
sebelumnya kami sudah berjanji akan mengadakan pertemuan pada
akhir pekan untuk membicarakan Baby-sitters Club.
Bab 5 PADA hari sabtu, keempat anggota Baby-sitters Club bekerja
keras. Mary Anne, Claudia, dan aku menelepon keluarga-keluarga
yang anak-anaknya pernah kami jaga, untuk memberitahu mereka
tentang klub kami. Setelah itu kami membuat iklan singkat tentang
Baby-sitters Club, lalu menelepon harian Stoneybrook News. Iklan
kami akan dimuat pada hari Rabu mendatang. Rasanya kami sudah
tidak sabar menunggu.
Tiba-tiba Stacey mendapat ide. "Kupikir kita perlu menentukan
siapa yang akan menduduki jabatan apa dalam klub kita." Seperti
biasa kami sedang duduk-duduk di di kamar Claudia.
"Jabatan?" ulang Claudia agak bingung. Ia mungkin berpikir
tentang jabatan dalam pemerintahan.
"Yeah. Seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris,
dan... dan..."
"Seorang bendahara!" tambahku. "Kebetulan sekali. Ada empat
jabatan dan kita juga berempat."
"Oh, sekarang aku mengerti," kata Claudia. "Baiklah, aku
mencalonkan Kristy sebagai ketua. Klub ini kan idenya."
"Setuju," Mary Anne menyahut.
"Aku juga," ujar Stacey. "Berarti ketua Baby-sitters Club telah
terpilih dengan suara bulat."
Aku tersenyum lebar. "Wow! Terima kasih, teman-teman. Oke,
sekarang aku mencalonkan Claudia sebagai wakil ketua, karena kita
memakai kamarnya, teleponnya, dan nomor teleponnya. Dia mungkin
akan banyak menerima telepon sementara yang lainnya tidak ada di
sini."
"Setuju," kata Mary Anne lagi.
"Aku juga," Stacey menyetujui. "Berarti suara bulat lagi."
Wajah Claudia berseri-seri.
Mary Anne menelan ludah dan menatap ke sekeliling dengan
gelisah. "Stacey, kalau kau tidak keberatan, aku ingin menjadi
sekretaris. Aku punya bakat mencatat."
"Bagus sekali," sahut Stacey, "karena aku bisa mengurus uang
dan angka dengan baik. Aku memang berharap bisa menjadi
bendahara."
Kami tidak membuang-buang waktu untuk melakukan
perhitungan suara untuk jabatan Mary Anne dan Stacey, sebab mereka
toh sudah sepakat.
Untuk merayakan pengangkatan pejabat baru, Claudia
mengambil sekantong permen dari tempat pensilnya lalu membagibagikannya.
Sebelum kantong itu sampai ke Stacey, ia sudah melompat
berdiri, menutup mulutnya dengan sebelah tangan, dan berseru,
"Aduh! Aku harus pulang dulu, tapi aku akan segera kembali."
"Stacey," kataku, "kau masih meneruskan dietmu, ya? Katakan
Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja kalau memang begitu. Kau tidak perlu melarikan diri. Lihat, akan
kami simpan permen-permen ini."
"Bukan, bukan itu maksudku. Aku hanya... aku hanya lupa
sesuatu. Aku hanya pergi sebentar saja." Stacey berlari keluar dari
kamar Claudia.
Mary Anne, Claudia, dan aku saling memandang dan
mengangkat bahu.
Stacey kembali kira-kira dua puluh menit kemudian. Tapi dia
tidak membawa apa-apa.
"Mana barangnya?" tanyaku.
"Barang apa?"
"Yang kau lupa bawa tadi."
"Yang aku...? Oh, bukan, aku hanya lupa melakukan sesuatu.
Tapi sekarang semuanya sudah beres."
Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu, tapi Claudia
langsung membelalakkan matanya padaku supaya aku menghentikan
ocehanku.
Kemudian kami mulai membuat selebaran, dan setelah
semuanya selesai, seperti inilah jadinya:
"Aku akan memberikan selebaran ini pada ibuku," kataku. "Dia
bisa membuat fotokopi pada hari Senin, dan mulai minggu depan
selebarannya sudah bisa dibagi-bagikan. Lagi pula aku harus pulang
sekarang. Sudah hampir jam makan malam. Ibuku akan keluar dengan
Watson malam ini," aku menjelaskan sambil menyeringai.
"Siapa Watson?" tanya Stacey.
"Pacar ibuku," jawabku. "Orangtuaku sudah bercerai."
"Oh," sahut Stacey. Ia agak salah tingkah.
"Apakah orangtuamu juga sudah bercerai?" tanyaku. Aku baru
menyadari betapa sedikitnya yang kuketahui tentang dia.
"Tidak. Mereka telah menikah selama lima belas tahun."
"Orangtuaku telah menikah selama dua puluh tahun," sahut
Claudia.
"Ibuku meninggal ketika aku masih bayi," ujar Mary Anne
pelan. "Dia sakit kanker."
Sekali lagi muka Stacey memerah.
"Tidak apa-apa. Sungguh. Aku tidak ingat seperti apa Mama.
Tapi kadang-kadang aku berharap aku masih ingat."
Aku berdiri. "Aku benar-benar harus pergi sekarang. Sampai
besok, ya!" seruku sambil menuruni tangga.
************
Watson datang jam setengah tujuh.
David Michael berlari untuk menemuinya. Ia sayang pada
Watson. Hal itu disebabkan karena ia tidak ingat seperti apa Papa,
sehingga ia berpikir bahwa Watson masih lebih baik daripada tidak
punya ayah sama sekali.
Aku diam di kamar sampai Mama memanggilku. "Kristy!
Watson datang!"
Kenapa dia selalu menyuruhku turun untuk menemui Watson?
Dia kan tahu bagaimana perasaanku terhadap pacarnya itu.
"Ya, sebentar," seruku. Aku sengaja pura-pura jengkel, seakanakan Mama telah mengganggu urusan penting yang sedang
kukerjakan.
Ketika aku sampai di bawah, Watson sedang berdiri di dapur. Ia
membawa beberapa kardus berisi masakan Cina.
"Kejutan!" katanya.
"Apa?" tanyaku penuh curiga.
"Tidak tertarik, Kristy?" kata Mama dengan cerah. "Watson
membawakan masakan Cina untuk kita. Kita bisa makan bersamasama dulu sebelum Watson dan Mama pergi."
Watson selalu membawakan makanan kalau dia datang. Lamalama aku jadi curiga bahwa dia punya restoran.
"Siapa yang menjaga anak-anakmu?" tanyaku dengan ketus.
Menurutku sangat tidak adil jika pada saat Watson mendapat giliran
untuk berakhir pekan dengan anak-anaknya, dia malah pergi bekerja,
lalu meninggalkan mereka lagi dengan seorang baby-sitter agar bisa
pergi dengan Mama.
"Aku telah menemukan seorang baby-sitter yang sangat baik,"
ujar Watson dengan sabar. "Dia menjaga Andrew dan Karen tadi pagi
ketika aku pergi ke kantor, dan mereka sangat menyukainya."
"Oh," sahutku.
Watson mengatur kotak-kotak berisi masakan Cina di meja dan
mulai membukanya. Sementara itu Sam dan aku mengatur piring,
serbet, dan sendok-garpu. Aku memperlihatkan wajah jengkel pada
Sam, supaya dia tahu bahwa aku tidak menyukai acara makan malam
seperti ini, tapi Sam malah berkata, "Terima kasih, Watson. Makanan
ini kelihatannya enak sekali." Sam dan Charlie pun menyukai Watson.
Pernah sekali waktu Sam menjaga anak-anak Watson. Aku sendiri
takkan pernah mau menjadi baby-sitter untuk mereka. Taruhan,
mereka pasti nakal-nakal.
"Yeah," sahut Charlie. "Aku punya rencana untuk makan
hamburger bersama Carole malam ini, tapi aku tidak keberatan untuk
makan dulu." Charlie memang mempunyai perut karet.
"Ma?" tanyaku. "Apakah masih ada sisa ayam goreng?"
Mama memelototiku. Ia tidak menjawab pertanyaanku.
"Kenapa, Kristy?" tanya Watson. "Kupikir kau suka masakan
Cina."
"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya lagi tidak berminat."
Watson kelihatan agak kecewa.
Ketika meja telah teratur rapi, kami duduk dan masing-masing
orang mulai sibuk melayani diri sendiri. Watson membawa beberapa
jenis masakan. Ada babi Moo Shoo, ayam dengan kacang mete,
daging sapi cah jamur, dan masih beberapa jenis lainnya. Sebenarnya
aku lapar sekali, dan aku sangat suka masakan Cina?terutama ayam
dengan kacang mete?tapi aku tidak ingin Watson tahu. Karena tidak
ada sisa ayam goreng, aku membuat sandwich berisi selai kacang dan
selai strawberry. Aku meletakkannya di atas piring, lalu mulai
menggigitnya sampai bentuknya mirip orang-orangan salju. Baru saja
aku akan menggigit kepala orang-orangan saljuku, Watson berkata,
"Bagaimana kabarmu, Kristy?"
"Baik-baik saja."
"Sekolahmu?"
"Sama juga."
"Mungkin ada hal menarik yang sedang kaukerjakan?"
"Tidak ada."
"Hei, Watson, Klub Matematikaku menjuarai lomba
matematika ketiga kemarin," Sam menyelamatkan suasana. Dia benci
kalau aku mulai bersikap memusuhi Watson.
Watson bingung sejenak. Dia tidak pernah bisa memahamiku.
"Apa, Sam? ...Oh, lomba matematika ketiga? Hebat sekali!"
"Dan coba terka!" seru David Michael. "Mama akan
membelikanku G.I. Joe baru?salah satu kesukaanku."
"Kedengarannya sangat menarik," sahut Watson. "Aku tidak
tahu banyak tentang boneka G.I. Joe. Kurasa Andrew tidak bermain
dengan boneka itu."
"Oh, belum tentu," sahutku dengan nada dibuat-buat. "Mungkin
kau saja yang tidak tahu, soalnya kau tidak pernah bermain
bersamanya. Semua anak laki-laki menyukai G.I. Joe." Aku melirik
pada Mama. Aku seakan-akan melihat asap keluar dari telinganya,
ketika ia mengingatkanku bahwa aku telah membuat suasana menjadi
tidak enak. Tapi aku tetap meneruskan, "Selain itu, G.I Joe bukan
boneka, tapi mainan perang-perangan. Betul kan, David Michael?"
David Michael berseri-seri. "Betul, Kristy."
"Dan Karen mungkin punya boneka Rainbow Brite. Pernah
dengar tentang boneka itu?"
Tiba-tiba Mama membanting garpunya dengan keras ke piring.
Dia berdiri dengan cepat sampai hampir menggulingkan kursinya.
"Kristy, sekarang juga kau harus minta maaf pada Watson. Habis itu
pergi ke kamarmu."
"Tapi," kataku dengan sopan, "aku belum menyelesaikan makan
malamku yang lezat ini."
"Kristin Amanda Thomas! Kau benar-benar cari perkara, Non!"
Aku berdiri. "Aku menyesal, Watson," aku bergumam, lalu
keluar dari dapur dan mulai menaiki tangga. Di tengah tangga, aku
berteriak, "Aku menyesal kau seorang ayah yang begitu payah!" Aku
berlari ke kamarku dan membanting pintu.
Sebenarnya, Watson seorang ayah yang baik. Karen, Andrew,
dan ibu mereka tinggal di sini, di Stoneybrook. Watson tidak pernah
lalai menjenguk anak-anaknya. Secara bergantian dengan bekas
istrinya, dia merayakan hari-hari besar bersama mereka. Dan dia
selalu menelepon pada hari raya yang bukan gilirannya. (Ayahku
sama sekali tidak pernah ingat.) Tapi aku tetap tidak suka Watson
masuk dalam keluarga kami. Dia tidak seharusnya berada bersama
kami.
Mama dan Watson pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal
padaku.
Aku merasa sangat bersalah akan apa yang telah kulakukan.
Sebelum tidur, aku meninggalkan sebuah surat pendek di
tempat tidur Mama. Isinya: Mama sayang, aku sangat menyesal
karena telah bersikap kasar. Aku rasa aku perlu belajar lebih banyak
tentang tata krama. Aku harap Mama bisa bersenang-senang malam
ini. Aku sayang Mama. Kristy.
Ketika aku bangun keesokan harinya, suratku telah dibalas oleh
Mama. Isinya: Kristy sayang, Mama juga sayang padamu. Mama.
Bab 6 BEGITU bel sekolah berbunyi pada Rabu sore, aku langsung
keluar kelas dan berlari pulang ke rumah. Aku sudah tak sabar untuk
melihat iklan kami di Stoneybrook News. Seperti biasa, tukang
korannya main lempar saja, sehingga aku terpaksa mencari-cari di
pekarangan depan. Akhirnya aku menemukan surat kabar itu
tergeletak di bawah semak-semak. Aku menjatuhkan tasku, dan
langsung duduk di situ juga, lalu membalik-balik surat kabar sampai
menemukan halaman yang berisi iklan. Benar saja, iklan kelima dari
bawah pada kolom ketiga adalah iklan kami. Seperti ini bunyinya:
THE BABY-SITTERS CLUB
Perlu seorang baby-sitter?
Sekali menelepon, dapatkan empat orang
baby-sitter.
Telepon KL 5-3231 Senin, Rabu, Jumat,
17.30 - 18.00
Sebenarnya kami menginginkan informasi lebih lengkap dalam
iklan ini, misalnya nomor-nomor telepon lain. Tapi ketika kami
menghubungi redaksi Stoneybrook News, kami diberitahu bahwa
biaya pemasangan iklan di koran dihitung per baris. Iklan kami yang
singkat saja sudah cukup mahal. Untuk membayarnya, kami terpaksa
menghabiskan seluruh uang iuran klub untuk minggu pertama. Tapi
bagaimanapun juga, iklannya mengasyikkan sekali. Sangat
menyenangkan rasanya kalau nama klub kami masuk koran.
"Hei, Kristy, sedang apa kau?" Claudia berlari menyeberangi
pekarangan rumahku. Ranselnya terpontang-panting di punggungnya.
"Lihat, nih!" seruku. "Ini lho! Iklan kita!"
"Oh, mana? Coba aku lihat!"
Claudia berlutut di sebelahku, dan aku menunjukkan iklan itu.
"Wow! Nah, kalau kita bisa selesai membagikan selebaranselebaran hari ini," ujarnya, "bisa jadi kita mulai mendapat telepon
pada hari Jumat."
"Memang benar!" Rasanya aku ingin memekik dan melonjaklonjak kegirangan.
"Ayo kita jemput Mary Anne untuk membantu."
"Oke," sahutku. "Dan Stacey."
"Jangan, dia sibuk sore ini. Dia sudah mengatakannya padaku di
sekolah tadi."
"Apa yang dikerjakannya?"
"Aku juga tidak tahu. Ayolah! Kau sudah siap?"
"Sebentar, aku mau menaruh buku-bukuku ke dalam dulu,"
sahutku, "dan melihat apakah Kathy sudah datang. Dia harus menjaga
David Michael hari ini."
Kathy dan David Michael sedang bermain di teras belakang,
jadi aku langsung mengambil semua selebaran yang ada di meja
tulisku dan berlari ke luar menemui Claudia. "Ibuku telah menambah
lima lembar lagi kemarin. Tinggal segitu yang ada padaku," kataku.
"Aku masih punya enam lembar."
Kami menjemput Mary Anne. Dia ternyata juga masih punya
enam lembar. Kemudian kami mengambil sepeda masing-masing dan
melaju ke Quentin Court, yang tidak terlalu jauh dari rumah Stacey.
Kami memasukkan semua selebaran yang kami bawa ke kotak-kotak
surat yang ada di sana.
"Nah, selesai!" ujarku pada Claudia dan Mary Anne.
Mereka tersenyum lebar.
"Sekarang kita tinggal duduk dan menunggu telepon."
"Benar."
"Setuju."
************
Dua hari kemudian, keempat anggota Baby-sitters Club
berkumpul di kamar tidur Claudia. Semuanya bersemangat sekali.
Biarpun di dalam selebaran sudah ditulis bahwa para klien hanya bisa
menelepon antara jam 17.30 dan 18.00, kami semua datang lebih pagi.
Akulah yang datang pertama. Aku mengetuk pintu kamar tidur
Claudia, yang sekarang telah dilengkapi dengan papan nama bergaya
resmi.
THE BABY-SITTERS CLUB
Waktu: Sen, Rab, Jum, 17.30 - 18.00
"Masuk!" sahut Claudia. Meskipun baru jam 16.30 waktu aku
masuk ke kamarnya, Claudia ternyata sedang duduk bersilang di atas
tempat tidur sambil memangku pesawat telepon. Tangan kanannya
menggenggam gagangnya.
"Hei, teleponmu takkan pergi ke mana-mana," aku
menggodanya.
Claudia tersenyum malu. "Aku tahu. Tapi rasanya aku sudah
tidak sabar lagi."
Sebenarnya aku pun sama tegangnya. "Aku juga, kok!" pekikku
tiba-tiba. Langsung saja aku melompat ke atas tempat tidurnya.
"Sudah sepanjang minggu aku menunggu hari ini. Apa yang akan
terjadi, ya? Oh, semuanya pasti berjalan lancar. Aku yakin kita bakal
mendapat beberapa pelanggan. Kamu sependapat, kan?" Aku merebut
pesawat telepon dari Claudia dan meletakkannya di pangkuanku.
Terdengar ketukan di pintu. Mungkinkah seorang pelanggan...?
Claudia dan aku saling berpandangan.
"Mungkin Mary Anne," ujarku.
"Oh, mungkin juga," jawab Claudia. "Masuk!"
Pintunya membuka.
Ternyata Janine.
Perutku rasanya jatuh sampai ke lutut.
Janine berdehem. "Ehem," katanya, "aku telah mengamati
papan nama kalian dari luar, dan aku rasa kalian mungkin telah
membuat kesalahan."
Aku segera berdiri untuk membaca papan nama itu. Tapi
menurutku tidak ada yang salah. Kata Baby-sitters ditulis dengan
benar; Claudia tidak lupa menuliskan dua "T". Dia juga menuliskan
semua singkatan kata dengan benar.
Aku bertolak pinggang. "Apanya yang salah"? tanyaku.
"Begini," Janine memulai, "aku tidak begitu yakin apakah
kalian memang membuat kesalahan. Aku belum pasti apakah kalian
harus membubuhkan titik di belakang singkatan nama hari. Soalnya,
kalau tidak memakai titik..."
Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Halo, semua!" suara Stacey terdengar dari bawah. Bagi
Claudia dan aku, suaranya mirip sirene kapal pada malam yang penuh
kabut.
"Selamat!" aku bergumam sambil menarik napas panjang. "Hei,
Stace!"
Stacey berlari ke atas. Aku menariknya masuk ke kamar tidur
Claudia, dan langsung menutup pintu. Janine masih berdiri di luar dan
berusaha memecahkan Misteri Titik-nya.
Mary Anne datang beberapa menit kemudian. Untung saja dia
tidak sempat bertemu dengan Janine.
Sekarang sudah jam 17.05.
Kami berempat duduk di tempat tidur Claudia.
Tidak ada yang berbicara.
Jam 17.10, Claudia berdiri, mengambil kotak sepatu bertuliskan
SNEAKERS dari dalam lemarinya, membukanya, dan membagibagikan permen karet. Seperti biasa, Stacey menolak.
Jam 17.25, aku mulai melirik jam tanganku, lalu
memperhatikan jarumnya bergerak dari menit ke menit?17.26, 17.27,
17.28, 17.29.
Tepat jam 17.30 telepon berdering.
Aku menjerit.
"Wah! Ada yang menelepon!" seru Mary Anne.
Cepat-cepat Claudia mengeluarkan permen karet dari mulutnya.
"Aku yang angkat, aku yang angkat," pekiknya. Dengan tergesa-gesa
ia menyambar gagang telepon dan berkata dengan ramah, "Selamat
sore. Baby-sitters Club."
Namun kemudian wajahnya kelihatan kecewa. Dengan lesu ia
menyodorkan gagang telepon padaku. "Kristy, ibumu."
Aku pun mengeluarkan permen karet dari mulutku. "Aduh,
Ma!" aku langsung berseru setelah menerima gagang telepon. "Ini
jam-jam bisnis kami. Seharusnya Mama tidak... Apa? Betul? Oh!"
Aku benar-benar terkejut. "Tunggu sebentar, ya."
Aku meletakkan tanganku di mulut gagang telepon supaya
suara kami tidak terdengar. "Ibuku memerlukan seorang baby-sitter
untuk menjaga David Michael!" seruku. "Rabu depan Kathy tidak bisa
datang."
Kami semua menahan napas.
"Sebentar ya, aku lihat buku agenda kita dulu," kata Claudia.
"Nah, Mary Anne, hari itu kamu harus pergi ke dokter gigi. Aku ada
les kesenian. Jadi tinggal kamu"?Claudia menunjuk padaku? "dan
Stacey."
Aduh, harus bagaimana, nih? "Tunggu sebentar lagi, Ma,"
kataku. ebukulawas.blogspot.com
Kemungkinan bahwa beberapa dari kami berminat pada
tawaran yang sama memang belum terpikir olehku.
"Hmm...," aku bergumam.
"Dia adikmu," ujar Stacey. "Jadi seharusnya kamu saja yang
terima tawaran ini."
"Tapi kalau kamu yang ambil pekerjaan ini, kamu bisa mulai
mengenal orang-orang di lingkungan sini. Malahan kamu mungkin
bisa berkenalan dengan Sam dan Charlie, kedua kakakku."
"Kakak laki-laki?" tanya Stacey. Matanya bersinar-sinar.
Cowok! "Tapi apa yang akan kaukerjakan kalau aku menjaga adikmu?
Mondar-mandir dan menonton kami?"
"Yah, aku berharap bisa dapat pekerjaan lain, dong," jawabku
agak tersinggung. "Kau saja, deh, yang ambil pekerjaan ini, Stacey.
Aku tidak mau ibuku menjadi klienku yang pertama. Kurang seru,
dong!"
"Oke deh, kalau begitu," ujar Stacey pelan. Kemudian dia
tersenyum lebar. "Terima kasih!"
"Sama-sama," kataku. Aku membuka mulut gagang telepon.
"Ma, Stacey yang akan menjaga David Michael hari Rabu nanti. Pada
jam yang biasa, ya? ... Oke. Eh, Mama telepon dari mana, sih? ... Oh,
dari kantor."
Claudia menyikutku. "Cepat sedikit, dong! Bagaimana kalau
ada orang lain yang juga mau menelepon kita?"
Aku mengangguk. "Ma, sudah dulu, ya. Sampai ketemu di
rumah... Oke... Oke... Bye." Aku meletakkan gagang telepon.
Teleponnya langsung berdering lagi. Claudia menatapku,
seolah-olah berkata, "Nah, apa kubilang?"
"Aku yang terima, ya?" tanya Mary Anne.
"Boleh saja," sahutku.
Mary Anne mengangkat gagang telepon. "Selamat sore. Babysitters Club," katanya. Dia terdiam beberapa lama. "Oh, mungkin
Anda salah nomor. Di sini tidak ada yang bernama Jim Bartolini." Dia
meletakkan gagang telepon.
Pada jam 17.42 telepon berdering untuk ketiga kalinya. Kami
semua saling berpandangan. "Kamu saja yang angkat, Kristy," ujar
Mary Anne. "Kan kamu ketuanya."
"Oke... Halo. Baby-sitters Club.... Ya... ya. Tunggu sebentar."
Aku menutup mulut gagang telepon. "Siapa di antara kalian yang
kenal Bu McKeever? Rumahnya di Quentin Court."
Claudia, Stacey, dan Mary Anne menggelengkan kepalanya.
"Apa masalahnya?" tanya Claudia.
"Dua anak kecil, Buffy dan Pinky," jawabku.
"Buffy dan Pinky!" seru Stacey. "Buffy dan Pinky?"
"Sst, jangan keras-keras!" aku menegurnya.
"Berapa umur mereka?" Mary Anne ingin tahu.
"Aku tidak tahu. Tunggu... Halo, Bu McKeever? Kami
memerlukan sedikit informasi. Berapa umur Buffy dan Pinky? ... Oh!
Oke." Aku berpaling pada teman-temanku. "Dia bilang mereka
berumur tiga tahun. Mungkin kembar."
"Kapan dia memerlukan baby-sitter?" tanya Mary Anne.
"Rabu sore. Oh, rasanya tinggal aku yang masih bebas," aku
tiba-tiba menyadari. Kebetulan sekali aku memang ingin mendapatkan
klien baru. Langsung saja kuterima tawaran itu, lalu mencatat semua
informasi yang diperlukan. Kemudian Bu McKeever mengajukan
seribu pertanyaan tentang diriku. Dia ingin tahu berapa umurku,
apakah aku sudah berpengalaman sebagai baby-sitter, dan masih
banyak hal seperti itu.
Ketika aku meletakkan gagang telepon, aku berkata pada Mary
Anne, "Hei, sekretaris, kau harus mencatat semuanya di buku agenda."
"Baiklah." Aku menyerahkan buku agenda padanya dan dia
segera mulai mencatat.
Dua kali telepon berikutnya adalah untuk Jim Bartolini.
Claudia mulai kelihatan jengkel. "Wah, ini benar-benar aneh,"
katanya. "Aku sudah sering terima telepon yang salah sambung, tapi
belum pernah ada yang menanyakan Jim Bartolini. Apalagi tiga kali
dalam setengah jam."
Jam 17.55 Mary Anne berdiri. "Aku pulang dulu," katanya. Dia
memakai baju hangatnya sambil mengunyah permen karetnya dengan
keras.
Telepon kembali berdering. Stacey yang mengangkat, lalu
menyodorkannya padaku. "Ibumu lagi, Kristy."
Aku membelalakkan mata. "Ma?" kataku. "Ada apa? Apakah
Kathy juga berhalangan pada hari Jumat? ... Oh... Oh... Oh, jangan!
Jangan aku! Aku tidak mau menjaga mereka. Mama kan tahu bahwa
aku... Oke, tunggu dulu... Watson memerlukan seorang baby-sitter
untuk anak-anaknya hari Sabtu pagi. Bukan Sabtu besok, tapi Sabtu
minggu depan," aku memberitahu yang lain. "Tapi aku tidak mau!"
"Biar aku saja, deh," ujar Mary Anne. "Aku jadi ingin tahu
seperti apa mereka. Apakah kamu tidak ingin tahu juga, Kristy?"
Sebenarnya aku pun ingin melihat bagaimana monster-monster
Watson itu. "Ah, tidak juga," jawabku. "Kamu saja yang terima
tawaran ini."
Ketika Mary Anne hendak meninggalkan kamar Claudia,
telepon berdering untuk ketujuh kalinya sejak jam 17.30. "Aku yang
angkat," kata Mary Anne. "Ini yang terakhir... Halo? ... Apa?" Kepang
rambut Mary Anne seakan-akan berdiri karena terkejut. "Dari cowok,"
katanya. "Dia bilang namanya Jim Bartolini. Dia ingin tahu apa ada
telepon untuk dia!"
"Kau bercanda!" seru Claudia.
"Oh, tunggu dulu!" kataku tiba-tiba. Aku segera merebut
gagang telepon dari tangan Mary Anne. "Sam, ini kamu, ya?"
"Bukan," jawab orang itu. "Di sini Jim Bartolini. Aku ingin tahu
kalau..."
"Sam, jangan konyol!" aku marah-marah. "Ini bisnis penting.
Awas, kuadukan pada Mama nanti!" Aku membanting gagang
telepon.
"Kurang ajar benar!" Mary Anne berkomentar.
Tapi Claudia dan Stacey malah mulai cekikikan. "Ah,
sebenarnya sih lucu juga," ujar Claudia.
"Bagi kalian, mungkin," jawabku ketus.
"Oh, jangan terlalu serius, dong! Yang jelas, kita semua sempat
ketipu. Dan idenya lebih baik daripada bertanya 'Apakah kulkas Anda
masih baik?' atau hal-hal semacam itu."
"Betul juga, sih," kataku.
Jam kantor pertama?atau tepatnya, setengah jam kantor
pertama?Baby-sisters Club diakhiri dengan rasa kesal. Dan pada
malam hari pun suasana tidak bertambah baik. Aku pulang dan
menceritakan perbuatan Sam pada Mama. Sam langsung mengatangataiku sebagai pengacau dan tukang ngadu. "Kamu yang suka
mengacau!" seruku dengan kesal. "Kamu yang suka mengacau!" Sam
menirukanku dengan nada dibuat-buat. "Ah, dasar brengsek!" aku
mengomel. "Ah, dasar brengsek!" Sam pun mengulangi. Akhirnya
Mama tidak tahan lagi. Dia melarang Sam memakai telepon selama
satu jam berikut, lalu menyuruhku masuk ke kamar. Malah kebetulan,
sebab aku tahu bahwa Watson mau berkunjung.
***********
Beberapa saat sebelum Mama dan Watson pergi, aku diizinkan
keluar kamar untuk menerima telepon. Ternyata dari Claudia. "Aku
baru saja dapat pekerjaan!" katanya. "Bu Newton menelepon. Dia
memerlukan seorang baby-sitter untuk besok, jadi aku ambil saja
pekerjaan itu."
Bu Newton? "Bagus, Claud," sahutku. Tapi aku merasa agak
kecewa waktu meletakkan gagang telepon. Biasanya aku yang
menjaga Jamie. Claudia seharusnya memberitahu semua anggota klub
kalau ada pekerjaan yang ditawarkan, bukannya langsung mengambil
untuk diri sendiri. Kami memang menggunakan nomor teleponnya
sebagai nomor telepon utama, tapi itu tidak berarti bahwa dia selalu
mendapat kesempatan pertama kalau ada pekerjaan yang ditawarkan.
Dan kenapa Bu Newton menelepon nomor itu setelah jam enam? Aku
yakin dia sebenarnya ingin menghubungiku. Kelihatannya orangorang tidak terlalu memperhatikan jam dan nomor telepon yang
dicantumkan pada selebaran dan iklan kami di koran, padahal kami
telah bersusah payah menyusunnya. Tepat jam sembilan, aku
menyorotkan lampu senterku untuk menceritakan hal ini pada Mary
Anne. Jawabannya berbunyi TERLALU.
Tapi bagaimanapun juga aku sudah mendapatkan klien baru,
aku berkata dalam hati ketika aku pergi tidur. Hari Rabu aku akan
bertemu dengan Pinky dan Buffy McKeever. Klien baru selalu
menarik.
Kalau saja aku bisa meramalkan bagaimana menariknya
pengalamanku nanti...
Bab 7 HARI Rabu sore, aku telah siap untuk mengerjakan tugas
pertama sebagai anggota Baby-sitters Club. Aku sudah tak sabar untuk
bertemu dengan Pinky dan Buffy. Selama ini aku belum pernah
menjaga anak kembar. Aku ingin tahu seperti apa pengalamanku
nanti. Apakah mereka akan mempermainkanku? Dan kenapa mereka
diberi nama panggilan seperti itu? Jawabannya ternyata di luar
dugaanku.
Seusai sekolah aku pulang ke rumah, lalu langsung berangkat
ke Quentin Court. Aku sengaja berangkat sebelum waktunya, untuk
berjaga-jaga kalau aku tidak segera menemukan rumah keluarga
McKeever. Bu McKeever mengatakan bahwa alamat mereka adalah
Quentin Court nomor 52. Jadi aku menyusuri sisi jalan dengan nomor
genap. Ada Quentin Court 22, Quentin Court 28, 34, 40, 46, dan tentu
saja, ada nomor 52.
Aku berhenti di tepi jalan, lalu mengamati rumah bertingkat dua
itu. Rumahnya bagus. Dindingnya dicat putih bersih, dengan kusen
berwarna hitam. Tapi ada sesuatu yang kurang beres. Apa ya? Sesaat
kemudian aku baru menyadarinya.
Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa rumah itu
dihuni oleh anak-anak kecil.
Tidak ada mainan tersebar di halaman depan, maupun sepeda
roda tiga tergeletak di jalan masuknya. Tidak ada sepatu tertinggal di
teras, ataupun gambar-gambar yang terpajang di jendela. Dalam hati
aku berharap agar Pinky dan Buffy bukanlah anak-anak yang
membosankan, yang biasa menghabiskan waktu dengan mempelajari
kupu-kupu atau hal-hal semacam itu.
Semangatku mulai berkurang sedikit. Aku menarik napas
panjang dan melangkah ke pintu depan.
Ding-dong.
Sunyi. Tidak ada suara kaki berlari, atau suara teriakan seperti
yang biasa kudengar kalau menekan bel pintu di rumah keluarga
Newton.
Setelah beberapa lama, pintu pun dibuka.
Seorang wanita muda berpenampilan menarik berdiri di ambang
pintu, dan menatapku sambil tersenyum. Hmm, aku berkata dalam
hati, paling tidak ibu Pinky dan Buffy tidak kelihatan membosankan.
"Halo?" ia menyapaku.
"Selamat sore, saya Kristy Thomas. Saya kemari untuk menjaga
Pinky dan Buffy, si kembar."
Untuk sesaat wanita itu tidak berkata apa-apa, tapi kemudian ia
mempersilakanku masuk.
Aku diajak masuk ke ruang duduk yang bagus sekali. Tapi
sekali lagi aku mendapat kesan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Aku memerlukan beberapa detik untuk mencari sebabnya. Ya, itu dia!
Pinky dan Buffy pasti bukan hanya anak-anak berumur tiga tahun
yang membosankan, mereka pasti juga sangat berhati-hati. Ruang
duduk keluarga McKeever kelihatan begitu bagus karena dipenuhi
oleh barang-barang kaca dan keramik?guci-guci antik dari Cina,
patung-patung kecil yang terbuat dari kristal, bahkan piring-piring
hias yang dipajang di atas dudukan kayu berukir. Yang jelas, semua
barang itu mudah rusak atau pecah. Di rumah kami, memajang
barang-barang yang mudah pecah malah dianggap sebagai
pelanggaran hukum. Maklum saja, aku mempunyai tiga saudara lakilaki, dan mereka memiliki aneka macam bola dengan berbagai
ukuran?mulai dari bola tenis sampai bola sepak.
Kemudian aku baru menyadari bahwa ada pintu rendah yang
memisahkan ruang duduk dengan ruang-ruang yang lain. Sekarang
aku mengerti kenapa Bu McKeever berani memajang guci antik. Tapi
menurutku, pemecahan itu tidak adil terhadap Pinky dan Buffy.
Ada satu hal lagi yang membuatku heran. Dari tadi aku sama
sekali tidak mendengar suara anak-anak. Tiba-tiba aku mulai curiga.
Aku semakin yakin bahwa ada yang tidak beres. Keluarga McKeever
belum kukenal. Jangan-jangan mereka sengaja menjebak aku untuk...
Ah, mana mungkin. Waktu sarapan pagi tadi, ketika aku memberitahu
Mama ke mana aku akan pergi seusai sekolah, Mama hanya agak
heran. Tapi dia tidak mengatakan, "Jangan pergi, Kristy. Kita tidak
akan pernah bertemu lagi!"
Aku tersenyum cerah pada wanita itu. "Jadi," kataku, "di mana
Pinky dan Buffy?"
Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, mereka ada di ruang cuci pakaian," jawab wanita itu.
Di ruang cuci pakaian? Apakah mereka sedang dihukum? Aku
pun pernah marah pada David Michael, tapi aku tidak pernah
mengurungnya di ruang cuci pakaian.
"Rasanya saya perlu memperkenalkan diri dulu," wanita itu
kembali berkata. "Saya Nona Hargreaves, keponakan Bu McKeever.
Bu McKeever sedang pergi untuk beberapa hari. Itulah sebabnya kami
memerlukan bantuan untuk menjaga Pinky dan Buffy. Saya ada janji
penting siang ini, dan saya rasa Pinky dan Buffy tidak bisa ditinggal
sendiri."
Jelas saja, namanya juga anak kecil. Mana bisa mereka menjaga
diri mereka sendiri?
"Mereka agak sukar diatur," tambah Nona Hargreaves.
"Ohhh," sahutku pura-pura mengerti, padahal aku sama sekali
tidak melihat tanda-tanda kekacauan di dalam rumah yang sepi ini.
"Tidak apa-apa, kok. Saya tahu bagaimana mengatasi anak-anak yang
sukar diatur. Saya juga punya tiga orang saudara laki-laki."
"Oh, ya?"
Aku mengangguk. "Mari kita keluarkan mereka dari ruang cuci
pakaian. Mereka mungkin sudah siap untuk bermain. Mungkin kami
bisa berjalan-jalan ke sungai."
"Kedengarannya seperti ide yang bagus," ujar Nona
Hargreaves, "tapi saya khawatir kamu akan kewalahan."
"Ah, tidak, saya sudah berpengalaman, kok."
"Baiklah kalau begitu."
"Pinky dan Buffy laki-laki atau perempuan?" tanyaku.
"Yah, tidak jadi masalah, kan..."
Tidak jadi masalah?
"...tapi Buffy laki-laki dan Pinky perempuan."
"Oh, begitu," kataku. Aku berusaha untuk kelihatan gembira,
walaupun aku agak merinding mendengarnya.
"Mereka ada di sini!" Nona Hargreaves memberitahu. Kami
berdiri di depan sebuah pintu di sebelah dapur. "Sekarang bersiaplah.
Kedua monster milik bibi saya akan berusaha mendobrak pintu ini,"
katanya dengan penuh kasih sayang.
Mataku terbelalak. "Masa iya, sih?"
"Awas, mundur."
Aku mundur beberapa langkah. Rasanya aku ingin mundur
terus sampai ke rumahku.
Nona Hargreaves membuka pintu. Dua ekor anjing Saint
Bernard menyerbu keluar sambil menggonggong. Makhluk-makhluk
raksasa yang berbulu halus itu saling mendorong dan menubruk Nona
Hargreaves sampai hampir jatuh.
Aku terpekik. "Apakah saya harus menjaga mereka juga?"
"Juga?" ulang Nona Hargreaves. "Siapa lagi yang dapat
membantumu?"
"Bukan, maksud saya, apakah saya harus mengawasi mereka
dan menjaga Pinky dan Buffy?"
"Lho, mereka itulah Pinky dan Buffy!"
"Tapi... tapi...," aku tergagap. "Saya adalah penjaga anak, bukan
penjaga anjing!"
Nona Hargreaves kelihatan bingung. "Saya tidak tahu
bagaimana perjanjianmu dengan bibi saya," ia akhirnya berkata, "tapi
yang jelas, di sini ada dua ekor anjing, dan ada kamu, dan saya harus
pergi."
"Tapi... tapi..."
"Oh, tidak terlalu sulit, kok," lanjutnya. "Sedapat mungkin
mereka harus berada di luar rumah. Karena halaman rumah kami tidak
berpagar, maka kamu bisa membawa mereka keluar dengan tali
pengikat, atau melepas mereka di halaman belakang. Mereka tidak
akan lari kalau kamu bermain dengan mereka. Bola-bola mereka ada
di dalam kotak di dekat pintu belakang, tali pengikatnya tergantung di
atasnya, dan sekitar jam setengah lima mereka harus diberi makan?
sekaleng seekor ?dan masing-masing boleh diberi sepotong biskuit
Mailman sebagai tambahan. Kalau diperlukan, nomor-nomor telepon
darurat digantungkan di samping pesawat telepon di dapur. Ada
pertanyaan?"
Aku menggelengkan kepala dengan terbengong-bengong.
Buffy dan Pinky melompat-lompat dan mengejar Nona
Hargreaves, ketika ia memakai mantelnya lalu keluar dan menaiki
taksi yang sudah datang menjemputnya.
Dengan perasaan waswas, aku membiarkan anjing-anjing itu
keluar ke halaman belakang sambil membawa bola-bola mereka.
Mereka berlari mendahuluiku dan dengan hati-hati kulemparkan bola
merah ke arah mereka. Aku belum tahu pasti apa yang akan mereka
lakukan terhadap bola itu. Kalau Louie biasanya akan berlari mengejar
bola dengan ogah-ogahan, tapi setelah itu dia pura-pura lupa untuk
mengambilnya.
Tidak demikian halnya dengan Pinky dan Buffy. Mereka
mengeroyok bola itu, sambil saling menubruk. Salah satu dari mereka
berhasil merebutnya dari yang lain, tapi aku tidak dapat memastikan
siapa. Habis, tampang mereka sama saja.
Aku berlutut dan menepukkan tanganku. "Oke, bawa kemari!"
panggilku tanpa peduli apakah itu Pinky atau Buffy. Yang jelas,
anjing itu langsung berlari ke arahku. Aku sudah tahu permainan
seperti itu. Louie juga begitu. Dia akan berlari ke arahku, lalu
membelok pada detik terakhir dan melompat-lompat di sekelilingku.
Sepertinya dia tertawa-tawa sambil bermain.
Lain halnya dengan anjing ini. Dia langsung menerkamku. Aku
terperangkap dalam badai bulu. Kamu belum merasakan hidup yang
sesungguhnya kalau belum pernah mengalami hal ini. Benar-benar
minta ampun!
Aku terduduk sambil mengusap pipi dan mataku. Ternyata tidak
ada yang luka. Lalu aku berdiri dengan gemetar dan melihat
berkeliling.
Astaga! Anjing-anjing itu menghilang! Bukankah Nona
Hargreaves tadi berkata bahwa mereka akan tetap tinggal bersamaku
di halaman belakang kalau kuajak bermain? Mungkin mereka tidak
mau tinggal dengan orang yang bisa mereka tabrak sampai hampir
pingsan.
"Pinky!" aku memanggil. "Buffy!"
Sepi.
"Pink-iii! Buff-iii!"
Aku berlari ke halaman depan. Tidak ada anjing.
Aku mencari di jalanan. Tidak ada anjing.
Aku berlari kembali ke halaman belakang dan mencari lagi.
Ternyata mereka ada di sana. Bukan di halaman keluarga McKeever,
tapi di halaman tetangga sebelah. Mereka berlomba lari ke arahku ?
menuju tali jemuran.
"Pinky, Buffy, jangan!!"
Terlambat. Mereka melintas di bawah baju-baju yang
bergelantungan dan berhenti kira-kira setengah meter dariku. Yang
seekor memakai selimut kecil di ekornya, dan yang lain menggigit
celana dalam.
"Anjing nakal!" teriakku. "Duduk... Duduk!"
Aku mengambil selimut dan celana dalam itu, dan dengan
gelisah melirik ke arah rumah sebelah. Kelihatannya sepi-sepi saja.
Mungkin tidak ada orang di rumah. Untung saja tali jemurannya tidak
rusak, hanya selimut dan celana dalam yang hilang.
Aku bermaksud mengembalikan barang-barang itu, tapi
bagaimana dengan Pinky dan Buffy? Kalau aku berlari ke halaman
sebelah, apakah mereka akan mengikutiku? Ataukah mereka akan
menghilang lagi? Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hampir
memilih bersikap masa bodoh saja. Tapi tiba-tiba terdengar suara
mobil memasuki halaman rumah sebelah. Untungnya, jalan masuk
mobil terletak di sisi lain dari rumah itu. Tapi aku harus cepat berbuat
sesuatu. Seseorang mungkin akan keluar untuk mengambil
jemurannya.
"Oke, kamu semua," kataku pada anjing-anjing itu. "Lihat, ini
bola kalian." Perlahan-lahan aku mulai berjalan mundur ke arah tali
jemuran. Mereka berjalan ke arahku karena melihat bola di tanganku.
Aku mencapai tali jemuran. Dan anjing-anjing itu tetap
mengikutiku.
"Ayo," aku berbisik menggoda mereka. Sambil mengepit bola
di bawah lenganku, aku memasang selimut dan celana dalam di tali
jemuran, kemudian berlari kembali ke halaman keluarga McKeever
dengan kecepatan tinggi.
Anjing-anjing itu berlari mengejarku. Rupanya mereka
menyukai permainan seperti itu.
Bagus. Mereka mengikutiku terus masuk ke dalam rumah,
persis seperti yang aku inginkan.
Kami tinggal di dalam rumah sepanjang sore, karena aku tidak
dapat mempercayai mereka di luar, walau dengan tali pengikat
sekalipun. Aku menyetel TV. Anjing-anjing itu menggigit-gigit bola
mereka. Kalau mereka mulai rewel, aku pura-pura membuka pintu
ruang cuci pakaian, lalu mereka akan tenang kembali. Ketika Nona
Hargreaves datang, aku telah mengambil keputusan penting. Babysitters Club harus mempunyai sebuah buku catatan. Setiap kali
seseorang dari kami selesai dengan suatu pekerjaan, dia harus
menuliskan pengalamannya di dalam buku tersebut, sehingga anggota
yang lain bisa membacanya. Dengan cara ini kami bisa belajar dari
pengalaman anggota lain. Dengan sedikit keberuntungan, maka kami
tidak akan membuat kesalahan yang sama lagi. Seperti contohnya,
tidak akan ada lagi pekerjaan menjaga anjing.
Aku berlari pulang, tidak sabar untuk mulai menulis di buku
catatan.
Pekerjaanku yang pertama di Baby-sitters Club sudah selesai.
Aku telah mendapatkan uang tiga dolar dan lima puluh sen.
Bab 8 Kamis,25 September
kristy bilang kita harus mencatat semua pengalaman kita sebagai
baby-sitter di buku ini. Tugas pertamaku sebagai anggota baby-sitter club
adalah pada hari sabtu yang lalu. Kusangka yang harus kujaga cuma Jamie
Newton, tapi ternyata ada tiga orang anak lagi yang ikut kujaga, yaitu sepupusepupu Jamie. Jadi empat anak sekaligus! Bu Newton tidak mengatakannya
waktu meneleponku. Anak-anak itu adalah Jamie, Rosie yang berumur tiga
tahun, Brenda yang berumur lima tahun, dan Rob, yang berumur delapan tahun.
Wah, mereka semua buas-buas!
MEMANG, Claudia betul-betul kewalahan waktu di rumah
keluarga Newton. Dia meneleponku hari Minggu untuk menceritakan
pengalamannya itu. Aku bersyukur karena bukan aku yang mendapat
tugas itu. Kejadiannya begini: kakak Bu Newton, Bu Feldman, beserta
suami dan ketiga anaknya sedang berkunjung ke rumah keluarga
Newton. Para orangtua mendapat undangan untuk mengunjungi
pameran di sebuah galeri seni atau semacam itu, sehingga Bu Newton
memerlukan seorang baby-sitter untuk Jamie dan sepupu-sepupunya
itu. Tapi entah kenapa Bu Newton lupa mengatakan hal ini pada
Claudia, padahal biasanya dia selalu berterus terang. Mungkin karena
dia sangat memikirkan bayi dalam kandungannya. Bu Newton adalah
orang yang jujur dan teliti. Dia selalu memberitahu baby-sitternya
kalau ada perubahan rencana. Malahan pernah sekali waktu dia
memberitahuku bahwa Jamie sedang pilek, dan menanyakan apakah
aku masih mau menjaga Jamie dengan risiko ketularan pilek.
Yah, pokoknya kali ini Bu Newton lupa, dan waktu Claudia
muncul pada hari Sabtu, ia sudah ditunggu oleh keempat anak itu?
dengan segudang masalah. Jamie dan Rosie rupanya tidak saling
menyukai; Brenda cepat marah, karena ia baru sembuh dari sakit cacar
air; dan Rob membenci anak-anak perempuan, termasuk Rosie,
Brenda, ibu Jamie, ibunya sendiri, dan baby-sitter perempuan.
Ketika Claudia memasuki ruang tamu, Rob duduk dengan
mendongkol di salah satu ujung sofa, sambil komat-kamit mengomel,
"Dasar anak-anak perempuan bodoh! Kenapa kita harus dijaga oleh
baby-sitter perempuan yang bego?" Brenda sedang menangis sambil
mengganduli kaki Bu Feldman, sehingga keduanya sulit bergerak.
Sedangkan Rosie dan Jamie sedang bertengkar.
Rosie sedang mencoba untuk merebut sesuatu dari tangan
Jamie.
"Ini punyaku!" teriak Jamie dengan marah.
"Bukan. Ini punyaku!" Rosie berhasil merebut barang itu dan
berlari naik tangga.
Jamie mengejarnya. "Bukan! Aku yang punya!"
"Aku!"
"Aku!" teriak Jamie sekeras-kerasnya. (Claudia berkata bahwa
seluruh rumah rasanya ikut bergetar.) "Anak perempuan tidak bermain
mobil-mobilan. Sini, itu mobilku!"
"Tidak... tidak... tidak... tidak... tidak... tidak!"
Karena para orangtua belum pergi, Claudia ragu-ragu apakah
dia yang harus melerai pertengkaran itu, ataukah orangtua mereka.
Ketika dia hendak berlari menaiki tangga, Bu Feldman akhirnya
berhasil melepaskan Brenda dari kakinya, lalu mengejar Jamie dan
Rosie. Dia menggandeng tangan kedua anak itu. Sambil menuruni
tangga, dia menjelaskan dengan sabar, "Jamie, kadang-kadang anakanak perempuan juga ingin bermain mobil-mobilan. Begitu juga
dengan Rosie dan Brenda. Tapi, Rosie, kamu tidak punya mobilmobilan seperti ini. Kamu pasti keliru. Mobil-mobilan ini punya
Jamie..."
"Kan!" seru Jamie sambil menjulurkan lidahnya. Rosie
langsung membalas dengan cara yang sama.
"...bagaimana kalau kita ambil mobil-mobilanmu dari kotak
mainanmu?" kata Bu Feldman pada Rosie. "Kamu kan bawa tiga buah
mobil, ingat? Nah, sekarang kamu bisa bermain dengan Jamie. Dan
jangan bertengkar lagi, lho."
Jamie dan Rosie saling berpandangan dengan curiga.
Brenda mulai menangis lagi. Ia berlari menubruk ibunya, lalu
memeluk kakinya seperti tadi. Begitulah kejadiannya sampai orangtua
Jamie dan suami-istri Feldman pergi meninggalkan rumah. Brenda
mendekap boneka teddy bear yang sudah usang sebagai pengganti
kaki ibunya.
Claudia mengamati ruang tamu itu dengan gelisah.
Rob menatap sekelilingnya dengan muak Pandangannya
berhenti pada Jamie, yang sedang membelakangi Rosie. Sepupunya
itu sedang menjalankan sebuah mobil ambulans maju-mundur, sambil
menirukan bunyi sirenenya dengan keras. "Hei, Jamie," ujar Rob,
"kita tinggalkan saja anak-anak perempuan ini, oke?" Dia menatap
Claudia dengan pandangan menantang.
"Oke," sahut Jamie samar-samar, karena terlalu sibuk dengan
ambulansnya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Claudia.
"Rahasia," balas Rob, sambil menarik pergelangan tangan
Jamie.
Claudia berlari menyeberangi ruang tamu dan berdiri di ambang
pintu. Rob memutar tubuh Jamie dan menariknya ke arah lain, ke
pintu ruang makan. Tapi Claudia cepat berlari mendahului mereka.
"Kalian mau ke mana?" ia bertanya sekali lagi. "Aku baby-sitter
di sini dan aku harus tahu. Cepat, katakan kalian mau ke mana!"
"Siapa yang bisa memaksaku?"
"Tidak ada. Tapi aku tidak akan membiarkan kamu pergi
sampai kamu mau mengatakannya."
Rob langsung membalik. Dia melepaskan Jamie lalu menarik
adiknya sebagai gantinya. Jamie duduk di lantai dengan heran.
"Pernahkah kita mendapat baby-sitter sejahat dia?" tanya Rob
dengan marah.
"Belum!" sahut Rosie.
Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Belum," isak Brenda, yang belum juga berhenti menangis.
"Apakah akan kita biarkan dia berbuat jahat?"
"Tidak!" teriak adik-adiknya.
"Oke, sekarang kita mulai!"
Claudia mulai berkeringat dingin. Dia sama sekali tidak tahu
apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Feldman. Tapi dia segera
mendapatkan jawabannya.
Rosie mulai berlari berkeliling dan berkeliling di dalam
ruangan, sambil berteriak-teriak dengan keras. Dia tidak meneriakkan
kata-kata yang ada artinya; hanya membuat keributan saja. Brenda
berdiri di atas sofa dan mulai melompat-lompat seperti pemain
akrobat. Dan Rob meniru bentuk pistol dengan sebelah tangannya,
lalu mengarahkannya pada Claudia. "Dor! Dor! Dor-dor-dor! Mati
kau, Bung! ...Maksudku, mati kau, Nona!" Jamie menyaksikan adegan
itu dengan terpesona.
Pada saat itu, Claudia mulai panik dan hampir menelepon
Stacey minta bantuan. Tapi Jamie yang duduk dengan tenang di lantai,
memberinya inspirasi. Claudia teringat waktu dia masih kecil. Kalau
dia atau Janine mulai nakal, ibunya selalu berbisik-bisik pada
ayahnya, "B-i-a-r-k-a-n." Dan itu yang mereka lakukan. Claudia
memutuskan untuk menerapkan taktik itu pada anak-anak Feldman.
Dia duduk di lantai di sebelah Jamie, mengambil buku berjudul The
Tale of Peter Rabbit yang tergeletak dekat kursi malas, dan mulai
membacakannya untuk Jamie. Jamie menyandarkan kepalanya di bahu
Claudia.
Brenda masih terus melompat-lompat di atas sofa.
Naga Naga Kecil 5 Verna Dan Hujan Karya Santhy Agatha Memperebutkan Batu Kalimaya 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama