Ceritasilat Novel Online

Kristy Dan Ide Gemilangnya 2

Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya Bagian 2


"Eiiiiii!" jerit Rosie. Ia berlari ke arah Claudia, lalu berdiri di
pangkuannya. Claudia tidak sedikit pun mengangkat wajahnya dari
buku yang dibacanya.
"Dor!" teriak Rob. "Dor! ...Hei, baby-sitter, aku akan
membunuhmu! ...Oke? ...Baby-sitter?"
"Nanti saja," sahut Claudia. "Aku lagi sibuk."
Claudia tetap membaca, kemudian mengeraskan suaranya
ketika sampai pada bagian cerita tentang Tuan McGregor yang sedang
memburu Peter, sambil mengacungkan sebuah penggaruk rumput.
Brenda berhenti melompat-lompat, lalu duduk kira-kira semeter
dari Claudia. Ia mencoba untuk mendengarkan ceritanya, tapi tanpa
memperlihatkan rasa tertarik.
Rosie terus berlari keliling ruangan. Dia sudah berhenti
berteriak-teriak. Setiap kali lewat di depan Claudia, dia memperlambat
langkahnya untuk ikut melihat gambar-gambar di dalam buku itu.
Pada saat ceritanya selesai, Jamie, Rosie, dan Brenda sudah
tertidur. Claudia memindahkan mereka ke atas sofa. Dia menemukan
buku berjudul Where the Wild Things Are, membukanya, dan
membacakan kisah Max yang memakai baju serigala dan selalu nakal.
"Apakah dia sama nakalnya denganku?" tanya Rob dari
seberang ruangan. "Pistol"-nya diturunkannya.
"Tidak juga," sahut Claudia. Rob kelihatan puas. "Kalau kamu
mau ke sini," Claudia melanjutkan, "kamu bisa mengetahui apa yang
terjadi dengannya."
Rob tidak mengatakan apa-apa, tapi dia duduk di lengan sofa
dan mendengarkan cerita itu. Dan dua cerita lagi setelah itu.
Begitulah pengalaman pertama Claudia sebagai anggota Babysitters Club, sekaligus kisah mengenai keberhasilannya menjinakkan
anak-anak Feldman.
Bab 9 Kamis, 25 September
Kemarin aku menjaga adik Kristy, David Michael. Kristy bilang
kita harus menuliskan pengalaman kita di buku catatan baby-sitter club ini.
Dengan demikian setiap anggota klu bisa belajar dari masalah-masalah yang
dialami oleh anggota yang lain. Tapi aku sama sekali tidak menemui masalah
selama menjaga David Michael. Dia anak yang baik. Ketika Kristy sedan sibuk
mengejar-ngejar kedua monster itu?Punky dan Miffy, atay siapa pun nama
mereka, aku malah bisa bersenang-senang dengan David Michael.
HAH! Tentu saja Stacey bisa bersenang-senang di rumahku,
soalnya dia sempat berkenalan dengan Sam. Stacey agak gila-cowok
dan kakakku agak gila-cewek. Mereka langsung merasa cocok satu
sama lain. Walaupun begitu, Stacey tidak mengabaikan tugasnya
menjaga David Michael. Tapi setelah hari Rabu, dia terus berbicara
tentang Sam. Sebaliknya, Sam juga begitu. Terus terang, sebenarnya
aku agak heran. Sam adalah murid SMA Dia baru masuk tahun ini.
Sedangkan Stacey baru duduk di kelas tujuh. Sebagian besar cowok
SMA pasti merasa gengsi untuk melirik cewek SMP? kecuali kalau
cewek itu memang luar biasa. Karena itu aku menyimpulkan bahwa
Stacey?yang rambutnya keriting, pakaiannya berwarna-warni, dan
berasal dari New York City?termasuk cewek yang luar biasa di mata
mereka.
Stacey sampai di rumahku tepat pada waktu David Michael
pulang dari sekolah, yaitu sekitar sepuluh menit sebelum aku
berangkat ke rumah anjing-anjing raksasa itu. Meskipun agak terburuburu, aku sempat memperlihatkan rumah kami padanya. (Soalnya aku
tidak tahu jam berapa Sam atau Charlie akan pulang.)
"Ini dapurnya?mesin cuci piringnya rusak? David Michael
boleh diberi makanan kecil?biskuit ada dalam stoples?dia tidak
boleh makan setelah jam setengah lima?dia alergi cokelat?oh, ini
Louie?dia takkan merepotkanmu?semua nomor telepon penting ada
di dekat telepon?ibuku bisa ditelepon?kamu juga bisa menghubungi
aku?TV ada di ruang keluarga?kami tidak boleh nonton video kalau
Mama tidak ada di rumah?David Michael suka main monopoli?ada
di lemari dekat perlengkapan stereo?tolong periksa apakah ada pesan
dari gurunya di dalam kotak makanannya? ada pertanyaan?"
Stacey menggelengkan kepalanya.
"Oke." Aku berlutut di depan David Michael. "Ini Stacey," aku
memberitahunya. "Dia temanku. Dia akan menjagamu hari ini."
David Michael mengangguk. Dia sudah biasa dengan babysitter.
"Aku akan menjaga anak di tempat lain, tidak jauh dari sini.
Aku akan pulang sekitar jam lima. Oh ya, Stacey, kakak-kakakku
bernama Charlie dan Sam. Charlie enam belas tahun dan Sam empat
belas. Aku tidak tahu apa rencana mereka siang ini. Mungkin mereka
akan pulang, mungkin juga tidak. Baik-baik, ya!" Aku berlari ke luar
dari pintu depan.
Stacey bilang, dia dan David Michael duduk di meja dapur
sambil makan kue, setelah aku pergi. Lima menit kemudian, Sam
muncul. Tampangnya lagi kesal. Dia meninju-ninju sarung tangan
baseball-nya. Tapi dia langsung berhenti ketika melihat Stacey duduk
di dapur. Menurut Sam, Stacey adalah cewek kece, dan menurut
Stacey, Sam adalah cowok keren. Ketika aku mendengar ceritanya,
aku langsung membayangkan bagaimana tampang mereka waktu itu,
sambil menebak-nebak kenapa mereka saling tertarik. (Aku sendiri
sama sekali tidak tertarik pada cowok. Walaupun begitu, aku
menyadari bahwa informasi seperti ini mungkin akan berguna di
kemudian hari.)
Aku ingat, waktu itu Stacey memakai rok dan blus dari bahan
wol dengan warna abu-abu yang senada. Ada tulisan angka sepuluh
besar berwarna kuning di bagian depan blusnya. Rambutnya dijepit ke
belakang dengan jepitan berwarna pelangi. Anting-anting kecil
berwarna perak menggantung di telinganya. Semuanya serba gaya,
tapi tetap berkesan agak kekanak-kanakan. Apalagi dia sedang minum
susu.
Kemudian aku membayangkan Sam. Sebenarnya sih, tampang
kakakku itu lumayan juga. Rambutnya gelap berombak, matanya biru
bercahaya, dan ada bintik-bintik di mukanya. Masalahnya,
penampilannya selalu acak-acakan. Waktu itu dia memakai celana
jeans lusuh, (sebenarnya Mama sudah lama menyuruhnya untuk
membuang celana itu, tapi sampai sekarang belum juga dilakukannya)
dan T-shirt dengan tulisan: I KNOW YOU ARE; BUT WHAT AM I?
Kecuali itu, dia sedang marah.
Aku heran, bagaimana mungkin cewek yang masih kekanakkanakan dibilang kece, dan cowok yang begitu acak-acakan dibilang
keren?
Terus terang, aku benar-benar tidak tahu.
Pokoknya, Sam berhenti marah-marah, dan Stacey
menghabiskan susunya secepat mungkin, lalu memastikan bahwa
tidak ada sisa yang menempel di atas bibirnya.
"Hai," ujar Stacey.
"Ha-lo," sahut Sam. Dia meletakkan buku-buku dan sarung
tangannya di atas meja, bersandar pada meja dapur, kemudian
menyilangkan kakinya dan mengusap rambutnya dengan sebelah
tangan. Aku sering melihatnya bertingkah seperti itu. Dia pikir bisa
kelihatan lebih mantap dan gaya.
Stacey dan Sam membuka mulut secara bersamaan.
"Aku Stacey, teman Kristy," ujar Stacey, dan Sam berkata,
"Kamu pasti Stacey."
"Oh," jawab Stacey merasa tersanjung. "Apakah Kristy pernah
bercerita tentang aku?"
"Ehm, ya. Dia bilang kamu akan menjaga adikku hari ini.
Sebenarnya aku ingin pergi ke rumah Ernest, tapi mungkin... Ah,
kurasa dia lagi sibuk. Lebih baik aku tinggal di rumah saja, deh."
"Ehm," Stacey bergumam, "apakah kamu ingin aku pergi? Kan
ibumu tidak perlu membayar seorang baby-sitter kalau kamu ada di
rumah."
"Bukan begitu maksudku," sahut Sam cepat-cepat. "Perjanjian
dengan Mama adalah bahwa Charlie, Kristy, dan aku bertugas
menjaga David Michael masing-masing sekali dalam seminggu.
Selebihnya itu kami bebas melakukan apa saja, sekalipun kami ada di
rumah."
"Wow, ibumu sangat bijaksana."
"Bolehkah aku minta kue lagi?" David Michael memotong
percakapan mereka.
Stacey melihat jam tangannya. "Boleh saja. Tapi apakah kamu
tidak kekenyangan nanti?"
"Tidak," kata David Michael bersungguh-sungguh.
"Oke, deh."
David Michael mengambil beberapa potong kue dari stoples,
kemudian menawarkan sepotong pada Sam. "Nih," katanya. "Kamu
mau?"
"Jelas, dong." Sam mengambil sebuah, membelahnya menjadi
dua, dan memberikan setengahnya pada Stacey.
"Oh... tidak, terima kasih," jawab Stacey.
"Pasti kamu yang lagi diet," ujar Sam. "Kristy bercerita bahwa
ada temannya yang sedang berdiet. Perlu kemauan keras, tuh."
"Yah, begitu deh." Stacey berdiri. "Nah," katanya pada David
Michael. "Bagaimana kalau kita main monopoli sekarang?"
"Yea!"
"Eh, aku ikutan, dong!" seru Sam. "Kita bisa bikin kejuaraan.
Yang menang dua kali berturut-turut jadi juara."
"Kamu mau ikut main?" Mata David Michael terbelalak.
"Yeah, jelas dong!"
"Tapi biasanya kamu tidak per..."
"Hei, Dik, tali sepatumu terlepas, tuh."
"Masa?" David Michael melihat sepatunya. Dia memakai
sepatu kets tanpa tali pengikat. "Sepatuku tidak ada talinya," sahutnya
dengan kesal.
"Ketipu, tuh!" Sam mengejek sambil berlari ke luar dapur.
"Awas, kuadukan Mama nanti!" teriak David Michael.
"Hei, tupai!" panggil Sam dari ruang keluarga. "Ayolah!
Sebaiknya kita mulai main saja. Nanti waktunya tidak cukup untuk
menentukan juaranya."
David Michael, Stacey, dan Sam duduk di lantai, lalu bermain
monopoli. Mereka masih asyik ketika aku pulang dari menjaga anjinganjing. Belakangan, di kamarku, Stacey bilang bahwa dia sangat
gembira. Hanya saja Sam selalu mengganggu David Michael, dan
menuduhnya bermain curang. Stacey tidak tahu siapa yang harus
dibelanya. Di satu pihak dia ingin menarik hati Sam, tapi di pihak lain
dia adalah baby-sitter David Michael. Dia bilang, sih, akhirnya dia
berpihak pada keduanya. Setelah itu aku bercerita tentang Pinky dan
Buffy McKeever, dan Stacey tertawa terpingkal-pingkal.
Kalau dipikir-pikir, Stacey-lah yang mendapatkan tugas paling
mudah dari keempat anggota Baby-sitters Club. Pengalaman Mary
Anne ternyata agak mengerikan, tapi sangat menarik... setidaktidaknya bagiku.
Bab 10 Sabtu, 27 September
Aku jadi tak mengerti apa yang selalu diributkan oleh Kristy.
Anak-anak Watson sangat lucu. Karen berumur lima tahun dan Adrew tiga
tahun. Aku aras Kristy pasti menyukai anak-anak itu, kalau saja ia mau
menjaga mereka. Kamu membaca ini, Kristy? Aku berharap begitu.
Kristi bilang, buku catatan ini berguna untuk menuliskan
pengalaman-pengalaman dan masalah-masalah kita, terutama masalahmasalanya. Terus terang, memang ada beberapa masalah di rumah Watson.
Kalau aku mengatakan bahwa Andrew dan Karen lucu sekali, maka yang
kumaksud adalah mereka kelihatan lucu. Dan hampir sepanjang waktu mereka
juga bersikap lucu. Tapi kadang-kadang Karen agak menjengkelkan. Itu
masalah yang pertama. Masalah lain adalah Boo-Boo, si kucing. Tapi masalah
yang paling besar adalah Bu Porter, tetangga sebelah. Semua orang yang akan
menjaga Andrew dan Karen sebaiknya tahu tentang Boo-Boo dan Bu Porter
dari semula.
WATSON menjemput Mary Anne jam sembilan kurang
seperempat pada Sabtu pagi, lalu berangkat bersama-sama ke rumah
Watson. Dia tinggal jauh dari Bradfort Court, jadi sulit untuk pergi ke
rumahnya dengan sepeda.
Menurut Mary Anne, Watson sangat ramah waktu naik mobil.
Aku memang sudah menduga begitu. Dia selalu berusaha bersikap
manis terhadapku, karena dia tahu bahwa aku tidak suka kalau dia
datang ke rumahku. Karena itu, tidak heran kalau dia juga bersikap
manis terhadap sahabatku.
Mary Anne bercerita bahwa Watson tinggal di sebuah rumah
yang indah dan besar. Aku rasa dia punya banyak uang. Memang
sudah seharusnya begitu, karena dia sering menghamburkan uangnya
untuk membelikan kami masakan Cina, atau pergi dengan Mama
hampir setiap malam. Pokoknya, rumahnya besar, dan Andrew serta
Karen mempunyai kamar yang nyaman. Dan mainan mereka bukan
main banyaknya. Belum pernah Mary Anne melihat mainan sebanyak
itu?ada binatang-binatangan berukuran raksasa, boneka-boneka,
sebuah kereta api yang benar-benar bisa dinaiki berkeliling halaman
belakang, mobil-mobilan, sepeda, sebuah rumah-rumahan tempat
bermain, dan baju-baju aneh untuk bermain. Semuanya sangat
mengagumkan. Rasanya seperti berada di dalam toko mainan.
Watson bukan hanya ayah yang baik, tapi juga pelanggan yang
menyenangkan. Hal pertama yang dilakukannya adalah
memperkenalkan Mary Anne pada Andrew dan Karen, yang baru saja
diantar oleh ibu mereka ke sana. Setelah itu dia menunjukkan kamarkamar mereka di lantai dua, kemudian mengajak Mary Anne turun
lagi. Dia menunjukkan letak segala sesuatu yang diperlukan untuk
membuat makan siang, dan akhirnya menyodorkan sebuah daftar
nomor telepon yang mungkin akan dibutuhkan oleh Mary Anne.
Dan setelah itu dia membawa Boo-Boo keluar.
Dari apa yang diceritakan Mary Anne, Boo-Boo adalah seekor
kucing jantan yang lain daripada yang lain. Bulunya berwarna abuabu. Matanya besar, berwarna kuning, dan berkesan lucu. Tapi
badannya gendut sekali. Dia kelihatan seperti bantal bulu berkaki.
Kalau dia berdiri, perutnya menyentuh lantai, dan kalau dia mencoba
berlari, perutnya ikut bergoyang ke sana kemari. Gendutnya benarbenar minta ampun.
"Beratnya delapan setengah kilo," ujar Karen bangga.
"Kami rasa seharusnya dia dicatat dalam Guinness Book of
World Records (buku tentang rekor-rekor dunia)," Watson
berkomentar.
Mary Anne tidak tahu mengapa Watson memperlihatkan BooBoo padanya. Oke, dia memang gendut sekali. Lalu kenapa? Yang
jelas dia tidak perlu diberi makan lagi, karena sudah terlalu gendut.
Watson berdehem sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Ada beberapa hal yang harus kamu ketahui tentang Boo-Boo,"
katanya.
Nah, Mary Anne bukanlah seorang pemberani. Dia bilang
bahwa pada saat itu dia mulai merasa agak waswas. Dengan gelisah,
dia mulai menggigiti kuku jari tengahnya.
"Pertama," ujar Watson, "Boo-Boo suka menggigit kalau dia
marah. Dan mencakar."
"Dia memang galak," tambah Karen.
"Sebaiknya kamu jangan dekat-dekat dengannya," Watson
melanjutkan. "Saya pernah mencoba mengurungnya kalau saya tidak
ada di rumah, tapi Boo-Boo tidak menyukainya."
"Dia menggerogoti pintu ruang cuci sampai hampir bolong,"
Karen menjelaskan.
"Sebaiknya kamu tidak usah memperhatikannya saja."
Mary Anne mengangguk.
"Jangan sekali-kali menyentuh dia," Watson mewanti-wanti.
Mary Anne mengangguk lagi.
"Baiklah, saya kira itu saja. Ada pertanyaan?"
"Rasanya tidak ada. Makan siang pada jam setengah satu, kan?"
kata Mary Anne.
"Betul."


Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana dengan Bu Porter, Pa?" tanya Karen.
"Oh, sepertinya dia sedang berlibur," jawab Watson. "Jadi
kalian tidak perlu khawatir tentang dia." Dia berpaling pada Mary
Anne. "Bu Porter adalah wanita tua yang tinggal di sebelah. Orangnya
agak aneh, dan Karen yakin kalau dia adalah nenek sihir. Tapi tentu
saja bukan. Hanya saja dia tidak menyukai binatang, terutama BooBoo. Kami selalu berusaha agar mereka tidak saling bertemu. Oke,
Anak-anak, Papa pergi dulu." Watson mencium Andrew dan Karen.
"Saya pulang jam setengah dua," katanya pada Mary Anne.
Mary Anne baru memikirkan cara untuk menghibur anak-anak
Watson, ketika Karen mulai mengoceh. Dan ternyata Karen agak
cerewet. "Kami sudah bercerai," dia mengumumkan.
"Yap," sahut Andrew.
"Orangtua kami tinggal di tempat yang berbeda."
"Yap," sahut Andrew. Dia sedang duduk di sebuah kereta kecil.
"Ibu kami akan menikah lagi."
"Yap," sahut Andrew, sambil menjalankan kereta dengan
kakinya berkeliling ruang bermain.
"Setelah itu, kami akan punya seorang ibu dan dua orang ayah,"
"Yap," sahut Andrew. Dia mundur dan menabrak rak buku.
"Dan kalau Papa menikah lagi, berapa orang ibu dan ayah yang
kita punya, Andrew?"
"Yap."
Mary Anne ketawa cekikikan. "Ayo, teman-teman. Hari sedang
cerah, nih. Kita bermain di luar, yuk?"
"Boleh juga, deh!" seru Karen. "Aku punya boneka baru. Papa
membelikannya untukku. Dia belum pernah kena sinar matahari. Aku
pikir dia perlu berjemur, supaya kulitnya tidak terlalu pucat. Benar,
kan? Boneka juga bisa berjemur, lho. Mereka sama saja dengan orang.
Mereka bisa melakukan apa yang dilakukan orang. Mereka bisa
menggambar dan menari breakdance dan..."
Mary Anne mulai merasa pusing mendengar ocehannya. "Mau
bermain di luar, Andrew?"
"Yap."
Mary Anne mengajak anak-anak itu ke halaman belakang yang
luas. Andrew menarik keretanya, lalu membawa Boo-Boo berkelilingkeliling.
"Apakah dia boleh melakukan itu?" tanya Mary Anne pada
Karen. "Kan ayahmu melarang kita menyentuh Boo-Boo."
"Oh, maksudnya kamu yang tidak boleh menyentuh Boo-Boo.
Kamu kan orang baru di sini. Tapi Boo-Boo sudah kenal kami. Dia
tidak akan menyakiti kami." Karen berhenti untuk menarik napas,
kemudian melanjutkan. "Kamu lihat rumah itu? Yang di sebelah itu,
lho?"
Mary Anne mengintip lewat rumpun mawar dan celah-celah
pepohonan. Rumah di sebelah adalah rumah besar bergaya kuno,
dengan menara-menara kecil di atas atapnya, dan lengkunganlengkungan kayu di terasnya. Catnya sudah mengelupas di banyak
tempat, dan salah satu daun jendelanya miring. Belakangan Mary
Anne bercerita bahwa rumah itu kelihatan suram dan menyeramkan.
"Ada apa dengan rumah itu?" ia bertanya pada Karen.
"Di sanalah tempat tinggal si nenek sihir. Benar kan, Andrew?"
Andrew menubrukkan keretanya pada sebuah pohon dan BooBoo melompat keluar. "Yap."
"Itu rumah Bu Porter. Aku yakin kalau dia seorang nenek sihir.
Bu Porter hanyalah nama samaran. Nama sebenarnya Morbidda
Destiny. Aku tahu dari anak-anak di seberang jalan itu. Makanannya
kodok, dia suka mengucapkan mantra-mantra, dan setiap tengah
malam dia terbang ke pertemuan para tukang sihir naik gagang
sapunya."
Mary Anne menatap rumah itu. Tanpa sadar dia mulai
menggigiti kukunya lagi. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya
pada Karen. Kalau dia mengatakan bahwa cerita itu tidak benar, maka
itu mungkin akan menjadi permulaan yang kurang menyenangkan
bagi seorang baby-sitter. Tapi kalau dia membenarkan pendapat
Karen, maka itu sama saja dengan membohongi anak itu. Akhirnya
Mary Anne bertanya, "Apakah kamu percaya cerita tentang Morb...
Bu Porter?"
Karen mengangguk. "Aku punya bukti, kok."
"Masa iya, sih?"
"Yap. Buktinya adalah Boo-Boo. Bu Porter-lah yang telah
membuatnya menjadi gendut. Suatu hari, ketika Boo-Boo masih
kurus, dia masuk ke taman Bu Porter dan mengobrak-abrik bungabunganya. Bu Porter keluar dari rumahnya sambil berteriak-teriak dan
marah-marah. Besoknya Boo-Boo mulai membengkak."
"Yap," sahut Andrew.
"Jadi sekarang kami harus menjauhkan Boo-Boo dari rumah Bu
Porter. Kami tidak mau dia terkena kutukan lagi. Membuatnya
menjadi gendut, sebenarnya tidak jelek juga. Tapi aku takut kalau Bu
Porter akan melakukan sesuatu yang lebih jahat lagi."
"Nah," ujar Mary Anne, "kita tidak perlu khawatir tentang hal
itu, kan hari ini Bu Porter tidak ada di rumah."
Bersamaan dengan itu, sebuah daun jendela di lantai atas rumah
Bu Porter membuka. Mary Anne melihat seraut wajah yang berkerutkerut dengan hidung besar mengintip dari balik kaca jendela.
Karen juga melihatnya. "Ooh!" dia menjerit. "Itu Morbidda
Destiny! Dia ternyata ada di rumah! Di mana Boo-Boo? Di mana
Boo-Boo?"
Mary Anne mulai merasa takut lagi. Sebenarnya dia tidak
percaya akan adanya nenek sihir. Tapi yang jelas, wajah di balik
jendela itu sama sekali tidak ramah. Andrew menangis, dan Karen
panik.
"Baiklah." Mary Anne mencoba untuk tetap tenang. Dia teringat
pada ucapan Watson tadi?bahwa Bu Porter hanyalah wanita tua yang
agak aneh. "Ayo, kita cari Boo-Boo," katanya.
"Tidak perlu lagi," Karen meraung. "Itu dia! Dia..." Karen
menelan ludah sambil menunjuk ke arah rumah sebelah. "Dia ada di
taman Morbidda Destiny!"
"Tenang saja, aku akan mengambilnya?bagaimanapun
caranya," ujar Mary Anne. Dia teringat bahwa dia tidak boleh
menyentuh Boo-Boo, apalagi mengangkatnya.
"Si Nenek Sihir sudah pergi dari jendelanya!" teriak Karen.
"Dia menuju pintu! Pasti, deh!"
"Oke, oke. Karen, tolong awasi Andrew sebentar, ya. Kamu
tetap tinggal di sini, dan jaga adikmu. Aku segera kembali."
Mary Anne bercerita bahwa jantungnya berdebar-debar ketika
dia menyeberangi halaman rumah Watson, dan berdiri di tepi
pekarangan Bu Porter. Boo-Boo berada kira-kira tiga meter darinya.
Dia sedang menggali tanah di tengah-tengah kebun bunga krisan.
"Boo-Boo," Mary Anne memanggil dengan lembut, sambil
melirik ke arah rumah sebelah. Tidak ada tanda-tanda bahwa Bu
Porter mengetahui kejadian itu. Mungkin dia tidak melihat Boo-Boo.
"Boo-Boo," Mary Anne kembali memanggil. "Ayo, sini!" Dia
menjentikkan jari-jari tangannya.
Boo-Boo tidak mempedulikannya sama sekali.
"Yuu-huu! Boo-Boo!" Mary Anne berjalan mendekat. Boo-Boo
duduk dan menggaruk-garuk badannya. "Boo-Boo. Hei, kucing
gendut!"
"Boo-Boo. Hei, kucing gendut!" sebuah suara parau ikut
memanggil.
Jantung Mary Anne nyaris copot. Dia mencari-cari dari mana
suara itu berasal. Pada saat itu dia bisa mendengar jeritan Karen dari
halaman rumahnya. Mary Anne menoleh. Di belakangnya berdiri...
seorang nenek sihir. "Sumpah, deh!" katanya padaku belakangan. "Dia
benar-benar kelihatan seperti nenek sihir di buku-buku komik."
Bu Porter?atau Morbidda Destiny, atau siapa pun namanya?
berpakaian serba hitam, mulai dari kepala sampai ujung kakinya.
Rambutnya kelabu dan acak-acakan. Ada sebuah kutil di ujung
hidungnya. Tadinya Mary Anne menyangka dia membawa sapu
terbang. Tapi ternyata benda itu adalah sebuah penggaruk rumput
biasa.
"Kucing gendut itu," ujar Bu Porter, sambil mengacungkan
penggaruk rumputnya, "merusak bunga krisan saya!"
"Saya tahu, saya tahu. Maafkan. Saya sedang mencoba untuk
mengambilnya." Mary Anne memutuskan untuk melupakan
peringatan dari Watson. Dia melangkah mendekati Boo-Boo, dan
mencoba untuk menggapainya.
Boo-Boo mendesis, dan mengayunkan cakarnya ke arah Mary
Anne.
Mary Anne langsung melompat mundur.
"Keterlaluan!" kata Bu Porter. Dia melompat ke taman dan
mengayunkan penggaruk rumputnya ke arah Boo-Boo.
Mata Boo-Boo terbelalak melihatnya. Dia melompat di atas
bunga-bunga krisan berwarna kuning, lalu kabur. Untungnya dia
langsung masuk ke halaman Watson.
Bu Porter mengangkat penggaruk rumputnya tinggi-tinggi
sambil berteriak, "Amburadul!" Kemudian dia kembali masuk ke
rumahnya. Mary Anne sempat mendengar omelannya. "Anak-anak
dan kucing... sama brengseknya!"
Ketika Mary Anne kembali ke halaman Watson, ia disambut
oleh Karen yang berurai air mata. "Kamu dengar apa yang
dikatakannya? Itu sebuah kutukan!"
"Yang mana? Amburadul?" tanya Mary Anne. Dengan gelisah
ia menoleh ke belakang, ke arah kebun bunga krisan yang baru saja
ditinggalkannya.
"Yeah!"
"Bukan, itu bukan kutukan. Amburadul kan cuma kata biasa.
Bu Porter hanya memaki-maki Boo-Boo, bukannya meneriakkan
mantra."
"Kamu yakin?"
"Yakin sekali. Benar, kan, Andrew?"
"Yap."
"Aku tidak tahu, ah," ujar Karen. "Aku tidak begitu yakin."
"Coba," Mary Anne melanjutkan. "Apakah kamu pernah
melihat Morb... Bu Porter membuat ramuan-ramuan aneh, atau
mencari kaki kelelawar?"
"Tidak..."
"Apakah kamu pernah melihat dia menumbuk kotoran kodok,
atau mengaduk-aduk sesuatu dalam kuali besar?"
"Tidak..."
"Lalu kenapa kamu begitu yakin bahwa dia mengucapkan
mantra?" tanya Mary Anne dengan perasaan menang.
"Dia kan nenek sihir. Dia bisa melakukan apa saja yang... Hei!"
pekik Karen sambil menunjuk.
Mary Anne langsung deg-degan. Secara spontan, dia menoleh
ke arah halaman rumah Bu Porter. Dalam hati dia membayangkan
wanita tua itu berjalan menyeberangi halaman rumput dengan pakaian
anehnya yang berwarna hitam. Tapi ternyata Bu Porter tidak ada di
sana. Rupanya bukan itu maksud Karen. Dia menunjuk ke arah BooBoo.
"Lihat, tuh!" teriak Karen. "Dia jadi gila."
Kelakuan Boo-Boo memang seperti kucing gila, belakangan
Mary Anne bercerita padaku. Kucing itu berlari ke sana kemari
melintasi halaman belakang rumah Watson, berhenti dengan
mendadak, berlari berputar-putar, kembali melesat ke tempatnya
semula, lalu pontang-panting naik ke atas pohon.
"Oh," kata Mary Anne dengan gugup, "kucing-kucing memang
biasa bertingkah begitu." Sebenarnya Mary Anne belum pernah
mempunyai kucing, dan dia tidak tahu banyak tentang perilaku
mereka. Tapi dia pernah sekali melihat kucing keluarga Pike, yang
bernama Sarge. Waktu itu Sarge baru terbangun dari tidur lelap. Dia
melompat turun dari sofa, lalu meloncat ke atas pesawat televisi, dan
secara mendadak dia tertidur lagi.
"Boo-Boo tidak pernah bertingkah konyol seperti itu," kata
Karen sambil merapat ke arah Mary Anne. "Dia terlalu gendut dan
tua."
Mary Anne memegang tangan Karen dan Andrew. Mereka
berdiri dan memperhatikan Boo-Boo. Selama beberapa saat,
kelihatannya dia ingin tidur di atas pohon itu.
Karen mulai bosan. "Ssst," bisiknya beberapa saat kemudian.
"Morbidda Destiny berdiri di jendelanya lagi... dan dia melihat
kemari."
Memang benar, wajah tua itu nampak samar-samar di balik
kaca jendela. Morbidda mengangkat tangan kanan dan menyentuh
hidungnya...
...dan Boo-Boo terduduk tegak, tergelincir, lalu merosot, dan
akhirnya terjatuh dari pohon. Kucing gendut itu mendarat di atas kakikakinya, lalu melintas di depan Mary Anne, Karen, dan Andrew.
Kemudian dia kabur sambil mendesis.
"Ya ampuuun!" Karen meraung-raung. Mary Anne meremas
tangan anak itu.
Boo-Boo berlari menaiki tangga teras belakang, dan menunggu
di depan pintu.
"Aku rasa sebaiknya kita biarkan dia masuk," ujar Mary Anne.
"Setidak-tidaknya kita tidak perlu khawatir dia bakal mengacak-acak
kebun bunga Bu Porter lagi."
Mary Anne membuka pintu, dan Boo-Boo berlari masuk. Dia
langsung menuju ruang cuci pakaian, dan melompat ke dalam
keranjang cucian. Dia tetap tinggal di sana, sementara Mary Anne,
Karen, dan Andrew makan siang. Setiap kali Mary Anne masuk ke
ruang cuci pakaian, kucing itu hanya mengintip dari keranjang cucian
sambil mengeong panjang.
Mary Anne ingin mengatakan kepada Karen bahwa kejadian
tadi hanyalah suatu kebetulan saja. Tapi karena dia tidak tahu
bagaimana menjelaskannya, maka akhirnya dia diam saja.
"Papa, Boo-Boo dikutuk lagi," cerita Karen pada Watson, sesaat
setelah ayahnya itu pulang.
Watson tertawa. "Ah masa, sih? Kutukan kan hanya ada dalam
dongeng-dongeng saja."
Tapi setelah kejadian itu, Mary Anne pun tidak yakin benar. Dia
lega sekali karena akhirnya bisa pulang.
Bab 11 HARI Rabu, setelah Mary Anne menjaga anak-anak Watson,
kami berempat mengadakan pertemuan rutin Baby-sitters Club di
kamar Claudia. Pada saat itu sudah jam enam kurang seperempat, dan
telepon sudah berdering dua kali. Yang pertama dari Bu McKeever,
yang baru kembali ke Stoneybrook. Aku mengatakan padanya,
walaupun Pinky dan Buffy sangat manis, tapi kami bukanlah penjaga
binatang peliharaan. Telepon kedua dari seorang pelanggan baru.
Stacey yang menerimanya. "Halo. Baby-sitters Club."
"Halo, saya Bu Marshall," jawab suara di ujung sana. "Saya
tinggal di Jalan Rosedale. Saya telah menerima selebaran kalian, dan
saya membutuhkan seorang baby-sitter untuk Jumat malam. Maaf
kalau saya baru memberitahu sekarang. Sebenarnya kami sudah
mendapatkan seorang baby-sitter, tapi dia tiba-tiba berhalangan."
"Oh, tidak apa-apa," ujar Stacey. "Mungkin ada baiknya kalau
saya menceritakan sedikit tentang klub kami. Kami di sini berempat,
dan semuanya berumur dua belas tahun. Pada Jumat malam, kami bisa
bertugas sampai jam sepuluh. Paling tidak salah seorang dari kami."
"Oh, kebetulan sekali," jawab Bu Marshall. "Suami saya dan
saya akan keluar untuk makan malam. Kami akan pulang sekitar jam
setengah sepuluh."
"Oke," ujar Stacey. "Ada berapa orang anak yang harus dijaga?"
"Dua."
"Dan berapa usia mereka?"
"Nina berumur tiga tahun dan Eleanor satu tahun."
"Apakah Anda punya binatang peliharaan?" (Ada orang yang


Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agak terkejut kalau kami mengajukan pertanyaan ini, tapi Bu Marshall
memakluminya.)
"Kami mempunyai seekor kucing. Tapi dia tidak merepotkan
sama sekali."
"Dan apakah ada hal-hal khusus yang harus diketahui atau
dilakukan oleh baby-sitter yang bertugas di rumah Ibu?"
Bu Marshall terdiam sejenak. (Aha! Ketahuan juga, kan?)
"Ehm, Eleanor harus diberi obat tetes telinga. Infeksi telinganya baru
mau sembuh. Dia selalu menangis dan agak rewel, tapi akhirnya dia
akan membiarkan kita meneteskan obat ke dalam telinganya."
Kedengarannya, sih, tidak terlalu sulit. "Oke," jawab Stacey.
"Saya lihat dulu siapa yang punya waktu untuk Jumat malam nanti.
Saya akan segera menelepon Ibu kembali."
Kata-kata Stacey tadi menunjukkan bahwa kami telah belajar
banyak dari pengalaman minggu lalu.
Claudia-lah yang menerima tawaran itu, karena yang lain
berhalangan. Stacey tidak mau menjelaskan kenapa dia tidak bisa.
Sedangkan ayah Mary Anne dan ibuku bisa histeris kalau kami belum
pulang pada jam setengah sepuluh tepat. Keluarga Kishi tidak (terlalu)
keberatan kalau Claudia sedikit terlambat pulang.
Setelah kami menelepon Bu Marshall kembali, aku berkata,
"Hei, kenapa kita tidak menghitung berapa banyak uang yang telah
kita hasilkan minggu ini?"
"Oke!" sahut Stacey. Dia menyukai segala sesuatu yang
berhubungan dengan uang. Claudia memberinya selembar kertas dan
sebatang pensil. Kemudian aku membuka buku agenda kami dan
membacakan jumlah uang yang telah kami terima untuk masingmasing pekerjaan. Jumlah keseluruhannya 26 dolar dan 75 sen.
"Hei, boleh juga!" seruku. "Kalian tahu apa yang harus kita
lakukan? Kalau kita masing-masing menyumbang kira-kira tiga dolar,
kita bisa mengadakan pesta pizza pada Sabtu siang."
"Yeah, perayaan untuk klub kita," ujar Claudia penuh semangat.
"Sukses nih, yee?"
"Kita juga bisa membeli Coca-Cola dan permen cokelat isi
kacang," aku mengusulkan.
"Pokoknya semua jajanan yang enak-enak!" tambah Mary Anne
dengan gembira.
Stacey diam saja.
"Aduh, Stace," kataku tiba-tiba. "Sori, ya, kami lupa tentang
dietmu. Mungkin..."
"Oh, tidak apa-apa, kok," Stacey memotongku. "Mungkin aku
juga tidak bisa ikutan. Ehm, kami sekeluarga mau pergi ke... ke New
York pada hari Jumat. Dan mungkin kami belum kembali pada waktu
pesta nanti."
"Lho, bukankah kamu baru saja ke sana?" tanya Claudia.
"Yah, memang. Tapi masih banyak hal yang harus diselesaikan.
Soal kepindahan kami dan sebagainya."
Claudia mengerutkan keningnya. "Rasanya kamu pernah
bercerita bahwa semuanya sudah beres."
"Oh! Kami... kami masih harus berpamitan pada beberapa orang
teman. Wah, sudah jam enam. Aku pulang dulu, deh. Sampai ketemu,
ya."
Stacey berlari keluar dari rumah Claudia.
Claudia, Mary Anne, dan aku berpandangan tak mengerti.
**************
Sesampainya aku di rumah sore itu, aku melihat Watson duduk
di sofa ruang tamu kami sambil membaca koran. Gayanya seperti
sudah menjadi penghuni rumah kami saja. Aku merengut sambil
menahan rasa jengkel. Untung saja Watson tidak melihatku. Dia
bahkan tidak melepaskan pandangan dari koran yang sedang
dibacanya. Dengan berjingkat-jingkat aku berhasil melewati ruang
tamu, lalu mencoba menyelinap masuk ke dapur tanpa perlu
menyapanya. Pada saat itulah Watson melihatku.
"Eh, halo, Kristy," katanya dengan riang.
"Hai," sahutku. Aku terdiam untuk beberapa saat, karena tidak
tahu harus bilang apa. Akhirnya aku masuk ke dapur tanpa berkata
apa-apa lagi.
Mama pasti juga baru pulang. Dia sedang membuka kulkas, lalu
mengeluarkan sayuran dan sisa makanan kemarin untuk makan
malam. "Hai, Sayang," katanya. "Bagaimana di sekolah tadi?"
"Baik-baik saja. Ehm, Ma, Watson ada di ruang tamu kita, lho."
Mama tersenyum padaku. "Mama sudah tahu. Tadi kami datang
bersama-sama. Mama menjemputnya sepulang dari kantor."
"Apakah dia makan malam di sini?"
Mama mulai mengiris tomat. "Ya."
"Apakah Mama sadar kalau dia sudah tiga kali makan malam
dengan kita dalam seminggu ini?"
"Kristy..."
"Kali ini apa yang dibawanya untuk kita? Masakan Yunani?
Masakan Itali?"
"Tidak ada," sahut Mama dengan lembut. "Dia mau ikut makan
makanan sisa kemarin."
Wah, ini pertanda buruk. Rupanya Watson merasa bahwa dia
sudah tidak perlu lagi mencari muka di depan kami. Sebaliknya,
Mama pun merasa sudah tidak perlu lagi menghambur-hamburkan
uang untuk pergi ke restoran, kalau ia mau mengajak Watson makan
malam. Kelihatannya mereka telah merasa cocok satu sama lain. Dan
ini juga berarti Watson sudah merasa cukup cocok dengan kakakkakakku, adikku, dan aku. Benar-benar pertanda buruk.
Mama memandang wajahku.
"Ada apa?" tanyaku.
"Sayang, tolong cepat naik dan kenakan gaun."
"Gaun?. Kenapa?" Rasanya pakaian yang kupakai ke sekolah
cukup pantas untuk makan malam. Di samping itu, aku tidak pernah
memakai gaun? kecuali kalau terpaksa sekali.
"Karena aku ibumu, itulah sebabnya."
Aku ketawa cekikikan. Mama memakai T-shirt merah dengan
tulisan BECAUSE I'M THE MOMMY di bagian depannya.
"Pakailah gaun biru-putih yang baru kita beli, oke?"
Aku mengeluh. "Oke."
Waktu aku sampai di atas, semua saudara laki-lakiku sedang
sibuk menyisir rambut. Ketiganya memakai kemeja dan pantalon yang
sopan. "Ada apa, sih?" tanyaku pada Sam.
Dia mengangkat bahu. "Entahlah, sepertinya ada hubungannya
dengan Watson. Mama menyuruh kami berpakaian rapi."
Aku mengerutkan kening sambil meringis. Aku memang paling
bisa membuat ekspresi wajah yang aneh-aneh. Salah satu kelebihanku
yang tidak dimiliki oleh anak-anak lain seumurku?tidak juga oleh
anak-anak cowok?adalah membalikkan pelupuk mataku keluar. Dan
itulah yang kulakukan.
"Kristy, dewasa sedikit, dong," kata Charlie. "Jangan seperti
anak-anak terus."
"Ih, mengerikan," David Michael berkomentar.
"Sori," kataku. Aku membantunya mengancingkan kemejanya.
Setelah itu aku memakai gaun biru-putihku. Aku sengaja tidak
menyisir rambutku, lalu turun. Sam, Charlie, dan David Michael
sedang membantu Mama dan Watson menyiapkan meja di ruang
makan. Mama menyalakan lilin-lilin.
"Mama," kataku, "ada apa sih sebenarnya? Tidak biasanya kita
makan malam seperti ini."
"Soalnya kita merayakan sesuatu."
"Dengan sisa spaghetti kemarin?!"
"Tidak jadi soal apa yang kita makan. Pokoknya meriah, kan?"
"Kenapa? Kenapa harus meriah?"
Mama dan Watson saling berpandangan. Watson mengedipkan
matanya. "Nanti juga kamu tahu," kata Mama.
"Mama, rasanya aku agak kurang enak badan, nih," kataku tibatiba.
Mama menatapku selama beberapa detik. "Jangan macammacam, Kristy," ujarnya.
"Oke, oke, oke."
Beberapa menit kemudian, kami semua telah duduk
mengelilingi meja makan. Tatanan mejanya hampir sama dengan
tatanan meja pada pesta Thanksgiving. Mama telah menggelar taplak
berwarna hijau dan melapisinya dengan kain berwarna putih. Mama
juga mengeluarkan perlengkapan makan yang paling bagus. Semua
orang mendapat gelas untuk minum anggur, tapi hanya gelas Mama
dan gelas Watson yang berisi anggur. Gelas David Michael dan
gelasku berisi susu. Gelas Sam dan gelas Charlie berisi Coca-Cola.
Spaghetti dan Coca-Cola. Benar-benar hidangan makan malam
yang "istimewa".
Kami mulai mengedarkan makanan. Mama dan Watson tidak
mengomentari makanan apa yang kami ambil. Setelah semua orang
mengambil makanannya masing-masing, Mama berdiri di ujung meja
dan mengangkat gelasnya. "Ada peristiwa penting hari ini," katanya.
Aku menarik napas panjang.
"Watson ingin mengajak Mama bertunangan. Dia minta agar
Mama bersedia untuk mempertimbangkan ajakannya itu."
Aku mengembuskan napas.
"Selamat ya, Ma," ujar Sam.
"Selamat, ya!" kata Charlie.
"Yea!" teriak David Michael, ikut-ikutan.
"Apa artinya ini?" tanyaku.
"Ini berarti ibumu masih belum mau menerima cincin
tunangan," jawab Watson sambil tersenyum.
Langkah yang tepat, Ma, aku berkata dalam hati.
"Tapi Mama akan mempertimbangkannya," tambah Mama.
"Nah," kata Sam, "kalau pertunangan adalah selangkah lagi
menuju pernikahan, berarti masih ada dua langkah lagi yang harus
ditempuh, dong?"
Mama dan Watson tertawa. "Kelihatannya begitu," jawab
Mama. ebukulawas.blogspot.com
Bagus. Begini saja terus.
"Kalau kalian menikah," tanyaku, "di mana kita akan tinggal?"
"Mama belum tahu, Sayang," sahut Mama. "Kami belum
berpikir sejauh itu."
"Apakah kami harus pindah sekolah?"
"Mama belum..."
"Apakah Karen dan Andrew akan tinggal bersama kita? Apakah
Mama akan tetap bekerja? Apakah Papa masih akan mengirimkan
uang tunjangan pada kami?"
"Kristy, Mama belum tahu. Sekarang, cukup dulu
pertanyaannya. Ini kan perayaan. Nanti saja kita pikirkan bersama, ya.
Ayo, makan dulu, deh... eh, apa yang kamu makan?"
"Biskuit," sahutku. "Biskuit dan ayam goreng."
"Kalau begitu, habiskanlah biskuit dan ayam gorengmu."
Semuanya ketawa mendengar itu.
Aku memaksakan diri untuk ikut tersenyum. Berita Mama tadi
rasanya sukar dipercaya. Kenapa Mama mau mengambil risiko
dengan menikah lagi? Aku berharap semoga saja Mama sadar
sebelum terlambat, dan kami semua bisa kembali seperti sediakala.
Bab 12 BABY-SITTERS CLUB merencanakan untuk mengadakan
pesta pizza pada Sabtu siang. Untuk itu, masing-masing anggota
menyumbangkan tiga dolar pada pertemuan rutin hari Jumat. Tapi
jumlah uang yang terkumpul hanya sembilan dolar, bukannya dua
belas. Ini disebabkan karena Stacey tidak hadir. Begitu pulang dari
sekolah, dia dan kedua orangtuanya langsung pergi naik mobil. Stacey
melambaikan tangan kepada Claudia dan aku ketika mereka lewat di
depan rumah kami.
"Mereka berangkat ke New York," ujar Claudia. "Waktu makan
siang di sekolah tadi, Stacey bilang mereka mungkin akan kembali
besok pagi. Tapi mungkin juga mereka baru pulang pada malam
harinya."
"Terus, bagaimana dengan rencana pesta kita?" tanyaku.
"Aku juga belum tahu," jawab Claudia pelan.
"Kalau begitu kita harus membicarakannya dalam pertemuan
nanti."
Dan itulah yang kami lakukan.
"Bagaimana kalau pestanya ditunda saja sampai Sabtu depan?"
Mary Anne mengusulkan. Sambil meringkuk di tempat tidur Claudia,
ia mengambil sekantong permen rasa buah dari dalam sarung bantal.
"Rasanya lebih seru kalau semua anggota klub bisa hadir."
"Memang, sih," ujar Claudia. "Tapi kita kan sudah
merencanakannya untuk Sabtu ini."
"Betul juga," Mary Anne dan aku menyahut.
"Begini saja, deh. Besok pagi kita membeli semua barang yang
kita perlukan?kecuali pizza-nya. Kalau Stacey pulang sebelum
malam, maka kita masih sempat memesan pizza. Habis itu kita tinggal
berpesta. Tapi kalau dia belum datang sampai jam enam, maka kita
simpan semua barang sampai minggu depan. Oke?"
Semuanya setuju. Dan kami memang berusaha untuk
melaksanakan rencana itu. Tapi ternyata rencana tinggal rencana.
Keesokan paginya kesulitan datang bertubi-tubi. Rumah kami
benar-benar kacau balau. Waktu bangun, David Michael mengeluh
bahwa perutnya mulas. Rupanya ia terserang virus. Louie mondarmandir di lantai bawah. Tiba-tiba ia tergelincir di atas karpet, dan
kakinya keseleo. Mama cemberut terus. Charlie tidak bisa menemukan
seragam olahraganya, dan Sam bangun kesiangan sehingga terlambat
untuk rapat darurat Klub Matematika.
Aku sendiri baik-baik saja sampai telepon berbunyi. Telepon
pertama dari Mary Anne. Dia menangis.
"Aykutidmengjikamemblaku," ratapnya.
"Apa? Mary Anne, aku tidak mengerti apa yang kaukatakan.
Ada apa, sih?"
Dia berusaha menenangkan diri, lalu mengulangi ucapannya.
"Ayahmu?" aku bertanya. "Tidak mengizinkan kamu...
membelanjakan uangmu... untuk apa? Untuk pita? ... Oh, untuk pesta
pizza... Oh, Mary Anne. Kamu bercanda, ya? Kamu tidak bisa
membujuknya?"
"Sudah kucoba."
"Kenapa dia tidak mengizinkannya?"
"Papa bilang, sebaiknya uangku disimpan untuk hal-hal yang
lebih penting, seperti pakaian dan universitas."
"Maksudmu, mulai sekarang kamu harus membeli baju dengan
uangmu sendiri?"
"Aku tidak tahu. Dan kurasa ayahku juga tidak tahu. Pokoknya
dia tidak mengizinkan aku mengeluarkan tiga dolar hanya untuk pizza.
Itu saja."
"Wah, kok jahat benar, sih?"
"Yeah." Mary Anne membersit hidungnya.
"Hmm, uang kita disimpan di rumah Claudia. Dia bisa
mengembalikan bagianmu. Kalau Stacey ikut iuran, maka jumlah
uang kita masih sembilan dolar. Kurasa satu pizza ukuran besar cukup
untuk kita berempat. Lagi pula, kemungkinan besar Stacey tidak ikut
makan."
"Tapi, Kristy, aku tidak mau datang ke pesta," kata Mary Anne.
"Lho, kenapa tidak?"
"Aku tidak mau kalau kalian yang membayar se... Tunggu
sebentar," bisiknya. Lalu, "Oke, terima kasih atas bantuanmu. Soal
matematika ini memang rumit," ujar Mary Anne keras-keras. "Tapi
sekarang aku sudah tahu apa yang harus dikerjakan."
"Ayahmu pasti baru masuk, ya?" aku menyelidiki.
"Ya."


Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berarti kita tidak bisa ngobrol lagi?"
"Ya. Eh, sekali lagi terima kasih, June. Sampai hari Senin, ya."
"June? Bye Mary Anne."
Dengan demikian Mary Anne adalah orang pertama yang tidak
bisa mengikuti pesta.
Telepon kedua dari Claudia. Dia tidak menangis, tapi suaranya
seperti baru berhenti menangis, atau sebentar lagi akan menangis.
"Coba tebak," katanya dengan kesal.
"Ada apa?"
"Tadi pagi orangtuaku menerima surat pemberitahuan dari wali
kelasku. Dalam surat itu dikatakan bahwa aku kurang tekun mengikuti
pelajaran di sekolah. Menurut wali kelasku, aku seharusnya bisa jadi
murid yang pandai, kalau saja aku mau lebih berkonsentrasi."
"Jadi? Bukankah kamu biasa menerima surat seperti itu setiap
awal tahun ajaran baru?"
"Yeah, tapi kali ini ayahku membacanya persis sebelum aku
bercerita soal pesta pizza kita. Ayahku langsung bilang bahwa mulai
sekarang tidak ada pesta-pestaan untukku. Katanya, aku harus lebih
rajin. Dia juga bertanya apakah ada PR yang harus diselesaikan untuk
minggu depan. Waktu aku bilang ada, dia menyuruhku menghabiskan
akhir pekan ini untuk mengerjakan PR."
"Seluruh akhir pekan untuk sepuluh soal matematika?"
"Ehm, sebenarnya bukan hanya untuk PR matematika, tapi
untuk semua tugas yang belum kukerjakan."
"Oh, begitu."
"Sori, Kristy."
"Yah, bagaimana lagi? Mary Anne juga tidak bisa datang.
Kelihatannya pesta kita terpaksa batal."
"Belum tentu. Aku akan berusaha untuk membujuk orangtuaku.
Sebaiknya pesta kita jangan dibatalkan dulu, kecuali kalau Stacey
tidak pulang pada waktunya."
"Boleh saja."
"Baiklah. Sekarang aku mulai mengerjakan PR matematika.
Nah, aku punya pertanyaan. Menurutmu, apakah ada gunanya kalau
kita tahu bagaimana caranya mengalikan bilangan pecahan?"
"Entahlah."
"Apakah kamu pernah melihat seseorang melakukan hal itu?
maksudku selain guru atau mahasiswa matematika?"
"Tidak."
"Apakah kita perlu tahu caranya agar bisa pergi belanja,
menyiapkan makan malam, atau menjaga anak?"
"Tidak."
"Nah, terbukti kan? Sekolah memang tidak ada gunanya."
"Sampai ketemu, Claudia."
"Sampai ketemu."
Kejadian paling aneh siang itu menyangkut Stacey. Sekitar jam
setengah dua belas, aku memutuskan untuk menelepon keluarga
McGill untuk mengetahui apakah mereka sudah pulang atau belum.
Ibu Stacey yang mengangkat telepon. Aku memperkenalkan diri, lalu
menanyakan Stacey. Bu McGill terdiam sejenak. Sepertinya dia
menutup gagang telepon dengan sebelah tangan. Sesaat kemudian
suaranya terdengar kembali. "Maaf, Kristy," katanya. "Stacey lagi
pergi."
"Oh," kataku kecewa. "Pergi ke mana dia?"
"Ehm, dia... ehm... dia menginap di rumah temannya di New
York, Kristy. Dia baru pulang besok malam."
"Oh. Terima kasih," kataku dengan murung. Begitu aku
meletakkan gagang, teleponnya berdering lagi. "Halo?" kataku.
"Hai, ini aku." Ternyata Mary Anne.
"Hai! Apakah ayahmu berubah pikiran?"
"Mana mungkin! Aku hanya ingin memberitahumu bahwa
Stacey sudah pulang. Tadi, waktu aku naik sepeda ke rumah keluarga
Pike?sekarang aku lagi di sana; mereka menelepon dan memintaku
untuk menjaga anak mereka pagi ini?aku disusul oleh mobil keluarga
McGill. Tapi Stacey tidak melihatku."
"Mary Anne, kamu yakin bahwa Stacey ada di mobil?" tanyaku.
"Ya, yakin sekali. Dia duduk di belakang dan memakai topi
bulu hitam milik Claudia. Kenapa memangnya?"
"Karena aku baru saja berbicara dengan Bu McGill. Dia bilang
Stacey menginap di rumah temannya di New York. Wah, ada yang
tidak beres, nih."
"Yeah," sahut Mary Anne pelan. "Seseorang pasti berbohong.
Dan bukan aku, lho."
"Yeah... dan mungkin bukan hanya Bu McGill," aku
menanggapinya.
"Tolong jelaskan apa maksudmu," kata Mary Anne. "Tapi
jangan berbelit-belit. Soalnya aku tidak enak kalau menelepon lamalama."
"Maksudku, pasti Stacey yang menyuruh ibunya berbohong.
Seorang ibu takkan berbohong tanpa alasan. Ini pasti ada apa-apanya.
Sepertinya, dia memang tidak mau datang ke pesta kita."
"Mungkin karena dia lagi diet?" Mary Anne menduga-duga.
"Hmm, mungkin juga. Dia memang selalu menolak kalau
ditawari makanan kecil. Sebenarnya ada apa sih dengan dia?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Eh, sudah dulu, ya. Bye!"
Aku pun meletakkan gagang. Tapi aku langsung
mengangkatnya kembali, dan memutar nomor telepon lain. Pada saat
itulah Mama masuk ke dapur. Tampangnya masih saja cemberut.
"Kristy," katanya, "sudah berapa lama kamu memakai telepon
itu?"
"Telepon ini? Sekitar satu jam. Kalau telepon Gedung Putih,
sekitar..."
"Kristy...," Mama memperingatkanku.
"Sori. Bagaimana keadaan David Michael?" tanyaku.
"Sudah mendingan. Sebentar lagi dia pasti sudah sembuh."
"Syukurlah." Aku kembali menghadap pesawat telepon.
"Kristy..."
"Sekali lagi, Ma. Penting, nih."
"Oke, tapi sekali saja. Kamu sebetulnya bisa pergi ke rumah
Mary Anne atau Claudia kalau ada yang perlu kalian bicarakan.
Mereka kan tidak tinggal di Eropa."
"Oke, oke. Ini yang terakhir." Aku memutar nomor telepon
Claudia. Dia langsung menyahut.
"Hei, aku lagi berusaha untuk membuat pekerjaan rumahku,
nih," dia memberitahuku dengan nada marah.
"Tidak lama, kok, aku janji," kataku. "Ada sesuatu yang tidak
beres dengan Stacey. Mary Anne sempat melihat keluarga McGill
pulang tadi. Katanya, dia melihat Stacey duduk di bangku belakang
mobil mereka. Tapi waktu aku menelepon mereka, Bu McGill bilang
Stacey menginap di rumah temannya di New York Aku rasa, Stacey
sebenarnya ada di dekat telepon. Dia hanya tidak mau datang ke pesta
kita."
"Hmmm," Claudia bergumam. Sepertinya ia agak heran. "Aku
tidak tahu apa arti semuanya ini. Tapi kalau Mary Anne tidak bisa
datang ke pesta, dan Stacey tidak mau, dan aku tidak boleh, rasanya
sih percuma saja kalau kita mengadakan pesta."
"Memang," kataku. Kami berdua meletakkan gagang telepon
dengan kecewa.
Seketika telepon berdering lagi.
"Kristy!" seru Mama. "Jangan main telepon terus!"
"Apakah Mama mau menerimanya?" tanyaku. "Aku sudah
capek."
"Baiklah." Mama mengangkat gagang telepon. "Halo?" katanya
dengan ketus, lalu dengan lembut, "Oh, halo."
Pasti Watson, deh.
"Apa kabar? ... Ya? ... Oh, tidak... Ehm, David Michael sedang
sakit... Baby-sitters Club? Aku harus tanya Kristy dulu... Apa? ...Aku
tidak tahu. Tapi mungkin saja. Tentu... Dua puluh menit. Mestinya sih
ada yang bisa. Sampai ketemu, Sayang."
"Kristy," Mama memanggil sebelum sempat meletakkan
gagang telepon. "Mama mau minta tolong. Watson baru saja
menelepon. Dia harus ke rumah sakit?sekarang juga. Nah, Watson
menanyakan apakah salah seorang anggota Baby-sitters Club punya
waktu untuk menjaga anak-anaknya siang ini. Sebenarnya Mama tidak
keberatan kalau mereka dititipkan di sini, tapi Mama takut mereka
akan ketularan virus David Michael."
"Aduh, Ma!" teriakku. "Terpaksa aku, dong."
Aku tidak punya pilihan lain.
Bab 13 PERSIS dua puluh menit kemudian, Watson datang naik mobil.
Dua anak kecil duduk di bangku belakang. Mama menggiringku
keluar, lalu menyuruhku duduk di depan, di sebelah Watson. Ternyata
Watson harus ke rumah sakit karena mantan istrinya?ibu Andrew
dan Karen?mengalami kecelakaan. Dia terjatuh, dan pergelangan
kakinya patah. Sekarang dia ada di ruang gawat darurat. Watson
diminta datang ke sana, mungkin untuk menyelesaikan urusan
asuransi. Mantan istrinya itu juga perlu ditunggui, dan diantar pulang.
Soalnya calon suaminya sedang pergi selama akhir pekan ini. Watson
tidak mau anak-anaknya ikut ke rumah sakit.
Watson menginjak pedal gas. Mobilnya langsung melesat ke
jalan. Belum pernah aku melihat orang yang begitu terburu-buru?
hanya gara-gara pergelangan kaki yang patah. Kalau bisa, Watson
pasti akan menerbangkan mobilnya ke rumahnya.
Dalam hati aku bertanya-tanya bagaimana perasaan Mama,
melihat Watson pergi terburu-buru untuk menjenguk mantan istrinya.
Tapi aku tahu bahwa Watson bercerai secara baik-baik, dan bahwa ada
beberapa hal yang masih harus dibereskan. (Urusan asuransi,
misalnya.) Tapi bagaimanapun juga, Mama pasti merasa agak kikuk.
Selama menuju ke rumahnya, Watson berusaha untuk
menjelaskan segala sesuatu yang perlu kuketahui. Tapi dia sama sekali
tidak menyinggung soal Bu Porter, nenek sihir yang tinggal di sebelah
rumahnya, maupun Boo-Boo, si kucing galak. Untung saja aku sudah
membaca pengalaman Mary Anne dari buku catatan Baby-sitters
Club. Aku tak akan membawa anak-anak ke luar?atau setidaktidaknya Boo-Boo yang kukurung di dalam rumah.
"Anak-anakku bernama Andrew dan Karen," kata Watson
terengah-engah. "Andrew berumur tiga tahun dan Karen lima tahun.
Sebentar lagi mereka harus makan siang. Roti dengan selai kacang
juga boleh. Karen bisa menunjukkan letak segala sesuatu yang
dibutuhkan. Nomor-nomor telepon darurat ada di dekat pesawat
telepon. Tapi karena aku akan pergi ke rumah sakit, maka kalau ada
keadaan darurat, sebaiknya kamu menelepon ibumu saja."
"Oke," sahutku, merasa agak pusing.
"Sekitar jam dua, Andrew harus tidur siang. Kurasa itu saja
yang perlu diketahui. Sayang aku tak punya waktu untuk
menunjukkan semuanya padamu, tapi Karen bisa menggantikanku.
Oke, Sayang?"
"Oke!" sahut Karen.
"Anak pintar," ujar Watson. Ban mobilnya berdecit, ketika ia
berhenti di depan sebuah rumah besar berwarna putih di salah satu
lingkungan termewah di Stoneybrook. Rumah itu dikelilingi halaman
rumput yang luas, di sana-sini ada pohon-pohon tua dan taman bunga.
Aku langsung mencari rumah si nenek sihir waktu turun dari mobil.
"Jangan nakal, Anak-anak," kata Watson. "Dan, Kristy, terima kasih
banyak atas bantuanmu."
Aku menahan pintu belakang mobil agar tetap terbuka. Andrew
dan Karen melompat keluar. "Sampai nanti!" seru Watson. Dia
langsung ngebut lagi.
Aku berdiri di halaman depan rumah Watson sambil menatap
Andrew dan Karen. Kalau tidak terpaksa, aku tidak akan mau menjadi
baby-sitter mereka.
Aku mendesah panjang. "Baiklah. Apakah kalian lapar?"
"Lapar sekali," sahut Karen. "Kamu tahu apa yang kumakan
pagi tadi? Cuma roti tawar. Sepotong roti tawar dan jus jeruk.
Sebenarnya aku kepingin sekali makan donat, tapi Mama tidak
mengizinkannya. Mama bilang jajanan seperti itu kurang bergizi. Tapi
kadang-kadang Papa mengizinkan kami memakannya. Papa
mengizinkan tapi Mama tidak. Kan aneh, ya? Aku jadi sebal, deh."
"Kamu lapar, Andrew?"
"Yap."
"Baiklah, ayo kita makan."
Kami berjalan menuju pintu depan rumah Watson. Yang
pertama kulihat bukanlah ruang penerima tamu yang sangat besar dan
indah, atau pohon yang tumbuh di ruang duduk. Bukan pula lampu
kristal yang berkilau, atau jendela kaca yang berwarna-warni,
melainkan seekor makhluk gendut. Pasti Boo-Boo.
Memang benar. "Hai, Boopa-de-Boo," teriak Karen sambil
memeluknya. "Ini Boo-Boo," katanya padaku. "Dia kucing Papa. Dia
sudah tua. Papa memeliharanya sejak sebelum kawin dengan Mama.
Tahukah kamu, dia sudah dua kali kena kutukan nenek sihir? Nenek
sihir itu tinggal di sebelah. Rumahnya mengerikan, lho."
Aku mendesah lagi. Rasanya hari ini akan melelahkan sekali.
"Ayo, sekarang kita makan siang dulu," kataku.
Di dapur, Karen menunjukkan letak segala sesuatu yang
diperlukan untuk membuat sandwich. Kemudian aku memotongmotong apel dan wortel, dan memberi mereka masing-masing segelas
susu.
"Nyam," kata Karen. "Nyam-nyam! Kamu baby-sitter yang
pintar. Makanannya enak, lho."
"Yap," sahut Andrew.
Karen beberapa kali menggigit sandwich-nya, lalu tiba-tiba
menatapku dengan serius. Matanya yang berwarna cokelat nampak
bersinar. "Ibu kami tidak apa-apa, kan?" tanyanya padaku.
"Oh, tentu tidak," jawabku. "Patah pergelangan kaki bukan
cedera yang parah, kok. Kakinya harus digips, dan untuk sementara
dia harus menggunakan tongkat penopang. Tapi semuanya akan
kembali normal dalam beberapa minggu. Lagi pula, enak juga, kok,
kalau kaki kita digips. Semua orang bisa membuat tanda tangan dan
gambar yang lucu-lucu di atasnya."
"Apakah kaki kamu pernah digips?" tanya Karen.
"Pernah, musim panas yang lalu," kataku. "Pergelangan kakiku
juga patah, persis seperti ibumu."
"Wah, bagaimana ceritanya?"
"Waktu itu aku lagi mengajak anjing kami, Louie, berjalanjalan..."
"Kamu punya anjing? Bolehkah aku melihatnya sekali waktu?"
Karen memotong, sambil menghapus bekas susu di mulutnya.
"Boleh saja," sahutku. "Nah, waktu itu aku sedang mengajak
Louie berjalan-jalan. Aku naik sepeda sambil memegang tali pengikat
Louie. Dia berlari di sebelah sepedaku. Waktu kami melewati sebuah
pohon, Louie lewat di sebelah kanan, sedangkan aku di sebelah kiri.
Talinya tersangkut di sekeliling pohon, dan whoosh! Aku terlempar
dari sepedaku."
Karen ketawa cekikikan. Andrew, yang biasanya selalu pasang
tampang serius, ikut tersenyum. Aku mulai merasa lebih enak. Mary
Anne benar. Karen dan Andrew tidak terlalu buruk?apalagi kalau
diingat bahwa Watson-lah ayah mereka.
"Jadi begitulah ceritanya. Pergelangan kakiku patah, dan kakiku
digips selama enam minggu. Sepanjang musim panas aku tidak bisa
berenang."
"Yak," ujar Karen.
"Yak," ujar Andrew. Ternyata perbendaharaan katanya bukan
hanya "Yap" saja. Dia kembali memakan rotinya, dengan perlahan dan


Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rapi. Satu gigitan, kres, kres, kres, kres, kres, kres, kres, menelan,
melap mulutnya, lalu mulai lagi.
Untuk beberapa saat Karen juga makan tanpa berkata apa-apa.
Aku langsung tahu bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. Akhirnya
dia meletakkan sandwich-nya ke piring, dan berkata, "Kamu Kristy,
ya?"
"Ya," sahutku.
"Apakah ibumu bernama Edie Thomas?"
"Benar." Satu hal harus kuakui: Karen cukup cerdas.
"Ayahku bilang dia mencintai ibumu."
"Bisa jadi," sahutku. Dalam hati aku merasa agak tidak enak.
Tapi kemudian aku menyadari kalau Karen juga agak salah tingkah.
"Kalau mereka menikah, ibumu akan jadi ibuku."
"Ibu tiri," aku mengoreksi. "Dan coba tebak. Kamu akan
menjadi adik tiriku. Dan kamu juga, Andrew."
"Yap," sahut Andrew.
Karen merenung sejenak. "Ah, tidak apa-apa," ia akhirnya
berkata. Kemudian, "Apakah kamu suka dengan perceraian, Kristy?"
"Tidak terlalu," kataku.
"Kenapa?"
"Karena aku tidak pernah melihat ayahku. Dia pindah ke
California. Tempatnya jauh sekali dari sini."
"Ooh," sahut Karen. "Kami juga tidak suka dengan perceraian,
tapi kami bisa sering melihat ayah kami."
"Aku tahu," kataku datar. Sebenarnya dari dulu aku sudah tahu.
Walaupun sudah bercerai dari istrinya, Watson tetap ayah yang baik.
"Ibu kami akan menikah lagi."
"Aku tahu."
"Kami tidak suka itu, benar kan, Andrew?"
"Yap."
"Kalian tidak suka?" tanyaku.
"Tidak. Menurut Mama, Andrew dan aku sangat beruntung,
karena kami akan mempunyai dua ayah, dan suatu hari mungkin
malah dua ayah dan dua ibu. Tapi sebenarnya Andrew dan aku hanya
menginginkan ayah dan ibu yang dulu?dan semuanya tinggal
bersama-sama dalam satu rumah.
"Aku tahu maksudmu." Karen memang benar.
Tiba-tiba aku mendengar isakan di sampingku. Andrew sedang
menangis, dan air matanya jatuh ke atas piring. Karen langsung
berdiri, lalu mengelilingi meja untuk memeluk adiknya. "Maaf,
Andrew," katanya. "Maaf."
"Ada apa?" tanyaku gelisah.
"Dia selalu sedih kalau aku berbicara tentang itu. Seharusnya
aku tidak mengoceh terlalu banyak tadi."
"Oh." Aku menghapus air mata Andrew dengan serbetku. "Hei,
bagaimana kalau aku siapkan pencuci mulut istimewa untuk kalian?
Ada yang berminat makan es krim?"
"Pada waktu makan siang?" tanya Karen dengan ragu-ragu.
"Kenapa tidak?" sahutku. Aku membuka pintu kulkas sambil
berharap-harap. Untung saja Watson punya persediaan es krim.
"Anak-anak yang orangtuanya bercerai, adalah anak-anak yang
istimewa. Setuju tidak, Andrew?"
Wajah Andrew menjadi agak cerah. "Setuju," katanya sambil
berusaha senyum.
"Begitu, dong!" Aku mengusap-usap rambutnya.
Aku meletakkan tiga buah mangkuk berisi es krim di atas meja.
Kemudian kami mulai makan dengan gembira. Karen sangat gembira,
sampai-sampai tidak bisa bicara. Ketika kami tengah menikmati
suapan terakhir, Boo-Boo tiba-tiba muncul di dapur. Karen langsung
berdiri, lalu berlari ke pintu belakang.
"Tunggu!" seruku. "Karen, jangan keluarkan dia, oke?"
"Tapi dia mau keluar. Dia boleh keluar, kok."
"Apakah Bu Porter ada di rumahnya?" tanyaku.
Karen mundur selangkah dari pintu. "Oh... aku tidak tahu."
"Mungkin lebih baik kalau Boo-Boo tetap di dalam. Paling
tidak sampai ayahmu pulang, oke?"
"Yeah," sahut Karen. "Ide bagus."
"Tapi kita boleh keluar," tambahku. Aku rasa tak ada salahnya,
asal kami tidak bermain dekat-dekat halaman Bu Porter.
"Ya, soalnya kita anak-anak yang orangtuanya bercerai adalah
anak-anak yang istimewa," kata Andrew.
"Itu dia," aku menanggapinya.
Andrew ketawa cekikikan. "Itu dia? Lucu sekali!"
Andrew, Karen, dan aku bermain petak umpet sampai waktunya
Andrew tidur siang. Lalu Karen dan aku duduk di teras belakang dan
membaca Little Toot, The Snowy Day, dan The Tale of Mrs. TiggyWinkle. Kami sedang membaca The Little Engine That Could ketika
Watson pulang.
"Bagaimana keadaannya?'' tanyaku. Aku tidak tahu bagaimana
aku harus memanggil mantan istri Watson. Aku bahkan tidak tahu
namanya.
"Dia sudah pulang dan bisa berjalan," jawab Watson.
"Setidaknya, dia bisa berjalan dengan satu kaki. Dia tidak apa-apa.
Tapi kamu dan Andrew," katanya pada Karen, "akan tinggal bersama
Papa selama akhir pekan ini. Soalnya Mama harus beristirahat, oke?"
"Asyik!" ujar Karen.
"Apakah kalian sudah mulai akrab?" tanya Watson.
"Begitulah," sahutku. Tiba-tiba aku merasa malu.
"Papa, aku suka Kristy," Karen memberitahu ayahnya. "Aku
tidak keberatan kalau dia menjadi saudara tiriku."
Watson tersenyum, tapi aku tersipu-sipu. "Bagus, Papa senang
sekali kalau kalian bisa akrab," ujarnya.
"Apakah dia harus pulang sekarang?" tanya Karen.
"Wah, Papa tidak bisa mengantarnya kalau Andrew lagi tidur.
Apakah dia sudah tidur?"
"Dia tertidur sekitar?" aku melihat arlojiku? "hampir sejam
yang lalu."
"Hmmm," Watson bergumam. "Aku tidak ingin
membangunkannya. Apakah kamu mau menelepon ibumu supaya dia
bisa menjemputmu?"
"Sebaiknya tidak," kataku. "Kemungkinan besar dia juga tidak
mau meninggalkan David Michael sendirian di rumah."
"Apakah kamu tidak keberatan untuk menunggu? Kira-kira
setengah jam lagi Andrew pasti sudah bangun."
"Aku tidak keberatan." Aku memang benar-benar tidak
keberatan. Sambil menunggu Andrew bangun, Karen dan aku
berganti-gantian main dam dengan Watson. Setiap kali Watson yang
menang. Dalam hati aku bersyukur. Sebab kalau dia membiarkan aku
menang, maka aku pasti curiga bahwa dia mau cari muka.
Belakangan, pada saat Watson mengantarku pulang, Karen
berkata, "Kristy, aku berharap kamu menjadi kakak tiriku, kalau bisa
sekarang juga."
"Hmm," kataku, "bagaimana kalau aku jadi baby-sitter-mu
saja?"
"Boleh juga," ujar Karen.
"Yeah, boleh juga," Andrew menirukan.
Aku melirik ke arah Watson. Dia pun sedang melirik ke arahku.
Kami sama-sama tersenyum.
**********
Malam itu, setelah Mama menidurkan David Michael, dia
masuk ke kamarku. Aku sedang menuliskan pengalamanku di rumah
Watson dalam buku catatan Baby-sitters Club.
"Nah," katanya, "mumpung kita hanya berdua, Mama ingin tahu
bagaimana pengalamanmu di rumah Watson. Maaf kalau Mama
terpaksa merepotkanmu hari ini, tapi mungkin justru ada manfaatnya."
Aku senang dia tidak mengatakan, "Mama kan sudah bilang."
"Semuanya berjalan lancar," kataku. "Andrew dan Karen lucu
sekali. Tapi Andrew hampir tidak pernah berbicara. Karen bilang
Andrew merasa sedih karena orangtuanya bercerai."
"Ya, itu juga," balas Mama. "Tapi kecuali itu, Andrew punya
kakak yang cerewet sekali. Dia hampir tidak punya kesempatan
bicara."
"Karen memang cerewet," aku menyetujui pendapat Mama.
"Tapi kurasa dia sangat cerdas."
"Memang. Dia baru masuk Taman Kanak-kanak, tapi gurunya
sudah mempertimbangkan untuk memasukkannya ke kelas satu
setelah Natal nanti."
"Wow," ujarku.
"Kristy, apakah kamu mau menjaga anak-anak Watson lagi,
kalau dia memerlukannya?"
"Aku sudah bilang pada Karen, karena aku belum bisa jadi
kakak tirinya, setidak-tidaknya aku bisa jadi baby-sitter-nya."
Mamaku kelihatan senang.
"Bu?" tanyaku. "Apa yang akan terjadi setelah Mama dan
Watson menikah? Maksudku, kalau Mama dan Watson menikah.
Apakah Andrew dan Karen akan tinggal bersama kami? Ataukah kita
semua akan tinggal di rumah Watson? Rumahnya besar sekali."
"Apakah kamu kecewa kalau Mama memberitahumu bahwa
kami belum membuat rencana untuk itu?"
"Ya," sahutku. "Aku ingin tahu apa yang akan terjadi."
"Maaf, Sayang, tapi Mama belum bisa memberikan jawaban
yang pasti."
"Kalau begitu tolong berikan jawaban yang belum pasti saja,
deh?"
Mama tersenyum. "Baiklah. Yang jelas, hak untuk mengasuh
Karen dan Andrew akan tetap dipegang oleh ibu mereka. Jadi, di
manapun kita akan tinggal, Andrew dan Karen tidak bisa tinggal
bersama kita. Mereka hanya akan berkunjung sekali-sekali. Dan
sekarang ini, kelihatannya kita mungkin akan pindah ke rumah
Watson. Soalnya di sana lebih banyak tempat."
"Tapi aku tidak mau pindah!"
"Kristy, Mama mengatakan 'mungkin'."
"Oke."
"Nah, sudah waktunya tidur. Selamat malam, Sayang."
"Selamat malam, Ma."
Bab 14 HARI Senin, pada pertemuan Baby-sitters Club berikutnya,
kami semua sudah kembali seperti biasa. Dan hampir semua
membawa berita baru.
"Coba kalian terka!" kata Mary Anne, di sela-sela dering
telepon.
"Apa?" Claudia, Stacey, dan aku bertanya serempak.
"Sepanjang Sabtu lalu, aku diam-diaman dengan ayahku. Habis,
aku masih kesal karena tidak boleh membelanjakan uangku untuk
pesta pizza bersama kalian. Tapi kemarin, pada hari Minggunya, aku
memutuskan untuk berbuat sesuatu. Tak ada ruginya mencoba, kan?
Pertama-tama aku menjelaskan pada ayahku bahwa aku akan
mendapat banyak uang lewat Baby-sitters Club. Lalu aku tanya
apakah aku boleh membelanjakan setengah dari uang itu sesukaku?
kalau aku berjanji bahwa setengahnya lagi akan kutabung di bank.
Ternyata ayahku bilang boleh! Artinya, kalau kita jadi mengadakan
pesta, maka aku bisa ikut!"
"Wah, bagus sekali!" seruku. "Kamu benar-benar menghadapi
ayahmu dengan berani."
"Yeah...." Mary Anne tersipu-sipu, tapi aku tahu bahwa dia
sangat bangga dengan dirinya.
"Aku juga punya kabar gembira," ujar Claudia. "Hampir semua
pekerjaan rumah yang kutunda-tunda selama ini sudah berhasil
kuselesaikan. Dan aku dapat nilai B-minus untuk kesepuluh soal
matematikaku. Dan, tadi malam aku berbicara dengan kedua
orangtuaku. Aku bilang bahwa aku bukan Janine, dan mereka
mengatakan bahwa mereka tahu itu. Lalu mereka berkata bahwa aku
harus mulai menyisihkan waktu untuk pekerjaan rumah? setiap hari.
Aku langsung takut kalau ayahku akan melarangku ikut Baby-sitters
Club. Tapi ternyata dia bilang bahwa waktu satu jam setelah makan
malam sudah cukup, dan bahwa dia, ibuku, Janine, dan Mimi akan
membantuku. Itu berarti waktu nonton TV-ku berkurang. Tapi bagiku,
lebih baik tidak nonton TV daripada tidak ikut kursus kesenian, atau
tidak menjadi anggota klub." Claudia menggapai ke bawah kasurnya,
dan mengeluarkan beberapa keping cokelat. Ia segera mulai membagibagikannya. Seperti biasa, Stacey menolak.
"Beres deh, kalau begitu," komentar Mary Anne. "Aku bangga
pada kita semua. Kamu juga kan, Claudia?"
"Yeah," sahut Claudia.
Sebenarnya aku pun ingin bercerita bahwa aku telah menjaga
anak-anak Watson, tapi aku lebih penasaran mengenai Stacey. Aku
ingin tahu kenapa dia berbohong.
"Jadi, Stace," kataku dengan cerah. "Bagaimana dengan akhir
pekanmu? Apa saja yang kaulakukan selama di New York?"
"Oh, baik-baik saja. Aku pergi berbelanja ke Bloomingdale dan
membeli ini." Dia menunjuk celana panjang wol bermotif kotak-kotak
yang dipakainya. "Aku juga membeli topi dengan warna yang
senada."
"Cantik," kataku. "Bagaimana kabar teman-temanmu di sana?"
"Baik." Stacey menyingkirkan sepotong benang yang
menempel di celananya. Sepertinya, dia sengaja tidak mau menatap
kami.
"Kamu pasti senang sekali karena bisa menghabiskan begitu
banyak waktu bersama mereka."
"Yeah."
"Eh, tahu tidak? Hari Sabtu yang lalu ada kejadian yang benarbenar aneh," ujarku. Seperti biasa, aku tidak bisa menahan diri. Aku
merasa bahwa aku harus mengatakan segala sesuatu yang kuketahui.
Aku takkan bisa dihentikan, meskipun Claudia sudah memberi isyarat
dengan matanya. Diam, kedua matanya berkata padaku. Jangan
diteruskan. Tapi sudah terlambat, walaupun aku tahu akibatnya pasti
kurang baik... Walaupun aku tahu bahwa aku dan Mary Anne masih
dianggap bayi oleh Claudia, sementara Stacey dianggapnya canggih
sehingga patut dijaga perasaannya.
"Sabtu pagi, Mary Anne melihatmu pulang dengan kedua
orangtuamu," kataku. "Kenapa kamu menyuruh ibumu untuk bilang
bahwa kamu menginap di New York?"
Stacey langsung memelototiku. Matanya nampak berkilat-kilat.
Kelihatannya dia seperti ingin membunuh Mary Anne, atau aku, atau
mungkin malah kami berdua. "Kamu menuduh ibuku berbohong?"
teriaknya.
Aku berpikir sejenak. "Begitulah."
Stacey berdiri sambil bertolak pinggang. "Kristy, kamu...
kamu..."
Sebenarnya, pada saat itu Stacey bisa saja beralasan macammacam. Dia bisa saja menyalahkan ibunya dengan mengatakan bahwa
ibunya menghukumnya selama akhir pekan atau semacam itu, dan
bahwa orangtua memang tidak mau mengerti. Tapi Stacey tidak
melakukan itu. Dia hanya marah-marah. Dan dia sama sekali tidak
memberikan alasan kenapa dia dan ibunya telah berbohong.
Belakangan, waktu aku hanya berdua dengannya, Mary Anne berkata
bahwa semuanya itu membuktikan satu hal: Stacey (dan ibunya)
berusaha menyembunyikan sesuatu.
Pokoknya, pada waktu itu Stacey berdiri di kamar Claudia,
sambil memandang tajam ke arahku. "Aku tidak percaya kamu telah
berkata seperti itu, Kristy. Kamu memang kekanak-kanakan."
"Kamu tak punya sopan santun," tambah Claudia. Ia langsung
membela Stacey, persis seperti yang kuperkirakan.


Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mary Anne diam saja. Dia paling tidak suka pertengkaran
seperti itu.
"Oke! Tapi sekarang coba bayangkan bagaimana perasaanku
waktu aku sadar bahwa aku telah dibohongi!" aku berseru. "Aku
merasa diperlakukan seperti anak kecil."
"Kamu memang anak kecil," ujar Claudia. "Lihat saja caramu
berpakaian."
Aku melihat pakaianku. "Apa yang salah dengan caraku
berpakaian?"
"Aduh, Kristy! Baju hangat dengan gambar butir salju dan
orang-orangan salju? Kamu tampak seperti anak umur empat tahun."
"Nah, kamu sendiri memakai jepit rambut berbentuk domba!"
balasku dengan sengit. "Kamu pikir itu cocok untuk orang dewasa?"
"Domba lagi mode sekarang," Claudia menjelaskan dengan
nada meremehkan.
"Siapa yang peduli? Semuanya bisa saja jadi mode. Mula-mula
katak, lalu babi, sekarang domba. Minggu depan mungkin saja orangorangan salju. Lagi pula, mana mungkin aku mengikuti perkembangan
mode? Aku tidak punya waktu untuk itu."
"Ya, soalnya kamu dan Mary Anne terlalu sibuk main boneka."
"Boneka!" teriakku. (Mary Anne pasang tampang seakan-akan
wajahnya baru saja kena tampar. Aku tahu bahwa dia sebentar lagi
akan menangis, dan itu membuatku bertambah marah.) "Kami tidak
bermain boneka!" Sebetulnya, baru musim panas ini saja kami
berhenti main boneka.
Pada saat itu, Mary Anne tiba-tiba angkat bicara. "Claudia,
Kristy tidak bermaksud menyinggung perasaan Stacey." Dagu Mary
Anne bergetar, dan matanya mulai berkaca-kaca.
"Tidak bermaksud menyinggung perasaannya! Dia telah
menuduh ibunya berbohong."
Mary Anne mulai menangis.
"Oh, dasar cengeng!" ujar Claudia, tapi aku tahu dia merasa
bersalah.
Tiba-tiba pintu diketuk.
"Ada apa?" teriak Claudia.
Pintu terbuka sedikit. Aku berdebar-debar karena
membayangkan Janine-lah yang datang. Komentarnya yang aneh-aneh
pasti akan membuat suasana bertambah tegang.
Tapi ternyata Mimi yang datang. Ia menyembulkan kepalanya
dari balik pintu. "Maaf, Anak-anak," kata nenek Claudia dengan
ramah. Suaranya masih berlogat Jepang. "Apa yang sedang terjadi di
sini? Teriakan kalian terdengar sampai ke bawah. Ada apa
sebenarnya? Apa bisa kubantu?"
Kami semua terdiam. Aku merasa agak malu. "Maafkan kami,
Mimi," kata Claudia. Kami pura-pura duduk dengan tenang,
sepertinya tidak terjadi apa-apa. Padahal beberapa detik yang lalu
kami semua masih berdiri dan berdebat dengan seru, sampai-sampai
rasanya ingin saling membunuh.
"Kalian baik-baik saja? Benar, tidak ada yang bisa dibantu?"
tanya Mimi lagi.
"Tidak, terima kasih," ujar Claudia dengan suara lembut. "Kami
tidak bermaksud membuat kegaduhan."
"Baiklah. Kalau kalian membutuhkanku, aku ada di dapur.
Claudia, teman-temanmu harus pulang lima belas menit lagi, lho."
"Oke."
Mimi berjingkat-jingkat ke luar dan menutup pintu dengan
pelan. Aku memperhatikan posisi duduk kami. Sepertinya kami sudah
siap bertempur lagi: Mary Anne di sebelahku di lantai, Claudia dan
Stacey di atas tempat tidur. Kami saling memelototi.
Tiba-tiba telepon berdering.
"Biar aku yang angkat," kami semua berkata bersamaan sambil
berebutan meraih telepon. Masing-masing bertekad untuk menjawab
telepon tersebut. Stacey dan aku yang pertama-tama memegang
gagang telepon. Karena masih dalam suasana permusuhan, kami
saling menarik dengan seru. Tapi akhirnya akulah yang berhasil
merebut gagang telepon dari genggaman Stacey.
"Baby-sitters Club," kataku keras-keras. "Ya? ... Ya?" Ada klien
baru. Dia memerlukan baby-sitter untuk hari Kamis setelah sekolah,
untuk menjaga anak perempuannya yang berumur tujuh tahun. Aku
mencatat semua informasi itu, dan berkata akan meneleponnya
kembali sekitar lima menit lagi.
"Bagaimana?" kata Claudia setelah aku meletakkan gagang
telepon.
Wajah Stacey merah padam. Dia begitu marah sampai-sampai
tidak bisa berkata apa-apa.
"Siapa yang bebas pada hari Kamis siang?" tanyaku. "Ada anak
umur tujuh tahun, Charlotte Johanssen, di Kimball Street."
"Aku bisa," ujar Claudia.
"Aku juga," Stacey menggeram.
"Aku juga," ujar Mary Anne malu-malu.
"Aku pun begitu," tambahku.
Kami saling berpandangan.
"Nah, sekarang bagaimana?" kata Stacey.
"Yeah." Claudia menyipitkan matanya. "Siapa yang punya ide
bodoh mendirikan klub ini? Ada empat orang, semuanya
menginginkan pekerjaan yang sama. Itu kan bodoh namanya."
"Karena klub ini adalah ide bodohku," bentakku, "akulah yang
akan mengerjakan pekerjaan bodoh itu." Dan itulah yang kulakukan.
Setelah meletakkan gagang telepon untuk kedua kalinya, aku berkata
pada Mary Anne, "Ayo, kita pergi saja. Kita tidak diinginkan di sini."
Claudia kelihatan agak bengong. "Kristy...," katanya ragu-ragu.
"Sudah! Aku tak mau bicara lagi denganmu."
Mary Anne dan aku meninggalkan rumah Claudia tanpa
berpamitan pada Mimi. Mary Anne menangis lagi. Aku hampir
memarahinya. Tapi aku menyadari kalau aku melakukan itu, maka ada
kemungkinan Mary Anne akan memihak pada Stacey dan Claudia.
Dan itu lebih buruk daripada sekarang.
"Jangan menangis," kataku akhirnya.
"Maaf. Aku hanya benci pertengkaran. Itu saja."
"Aku juga. Tapi aku yakin ini tidak akan berlangsung lama.
Kita pasti akan berbaikan lagi."
"Aku harap begitu."
"Pasti, kok. Kita kan punya klub yang bisa mempersatukan kita.
Benar, tidak?"
"Benar," Mary Anne setuju.
Tapi nadanya tidak terlalu yakin, dan aku pun merasa begitu.
**************
Aku sangat khawatir akan pertengkaran itu, dan sangat
menyesal akan apa yang telah kulakukan. Meskipun begitu, aku
percaya bahwa tidak lama lagi semuanya akan berakhir dengan baik.
Malamnya, aku mendengar berita yang mengejutkan, yang
membuatku lupa pada pertengkaran itu.
Mama dan Watson keluar makan malam. Setelah Charlie, Sam,
David Michael, dan aku menyelesaikan pekerjaan rumah masingmasing, kami duduk mengelilingi meja dapur sambil bermain
monopoli. Sebenarnya hanya Charlie, Sam, dan aku yang bermain
monopoli. David Michael sedang sibuk membuat boneka G.I. Joe-nya
menyerang musuh yang ganas, yaitu sebuah kotak tissue. Dia telah
sembuh dari sakit perutnya. Sam sudah berhasil membeli keempat
stasiun kereta api dan mulai membuat Charlie dan aku bangkrut. Tibatiba pintu belakang terbuka. Ternyata Mama dan Watson yang datang.
Kami tidak menyangka mereka akan pulang begitu cepat.
"Kejutan!" seru Mama, sambil masuk ke dapur. Pada saat itu
Watson melemparkan segenggam guntingan kertas warna-warni ke
arah Mama.
Kami semua tersenyum melihatnya. "Ada apa, sih?" tanya
Charlie.
Mama dan Watson saling berpandangan dengan mata berbinar.
Aku langsung merasa curiga.
"Kamu saja yang memberitahu mereka," ujar Watson.
Mama berpaling ke arah kami. Dia kelihatan berseri-seri.
"Mama telah setuju untuk bertunangan," katanya.
Begitu cepat?
Mama mengangkat tangan kirinya. Sebuah cincin bermata
berlian sebesar batu kali melingkar di jari manisnya.
"Wow," aku tidak dapat menahan perasaanku.
Kami semua menghambur ke arahnya untuk melihat cincin itu.
"Bagus sekali," kata David Michael.
"Ini berarti Watson akan menjadi ayah tiri kalian," kata Mama
padanya.
"Benarkah-benarkah-benarkah?" David Michael melompatlompat. Sam memeluk Mama, dan Charlie bersalaman dengan
Watson. Tapi aku hanya berdiri saja di situ. Aku tidak kecewa, tapi
tidak juga gembira. Berbagai macam pertanyaan muncul dalam
pikiranku. Akhirnya, aku mengajukan salah satu di antaranya. "Kapan
pernikahan akan dilangsungkan?"
"Oh, tidak dalam bulan-bulan ini," jawab Mama.
Aku menarik napas panjang. Jawaban itu melegakanku.
Bab 15 HARI Selasa, Mary Anne dan aku berusaha untuk menghindari
Claudia dan Stacey selama di sekolah. Seusai jam pelajaran terakhir,
aku memberanikan diri untuk bertanya pada Claudia apakah besok dia
mau mengadakan pertemuan Baby-sitters Club seperti biasa. Dia
berkata boleh saja.
Malam itu ada acara menarik. Tidak seperti biasanya, Mama,
saudara-saudaraku, dan aku pergi ke rumah Watson untuk makan
malam bersama. Andrew dan Karen juga ada di sana. Mereka lebih
sering tinggal di rumah Watson, karena ibu mereka mengalami cedera
pergelangan kaki.
Karen kelihatan gembira. Dia senang sekali karena banyak
teman yang bisa diajak bercakap-cakap, dan tak henti-hentinya
mencari kejelasan soal hubungan kami. "Seandainya ayahku dan
ibumu menikah...," dia mulai mengoceh padaku sambil melompat dari
satu kaki ke kaki yang lain.
"Setelah kami menikah," potong Watson. Ia sedang
mengedarkan sepiring keripik kentang dengan bawang goreng.
"Oke, setelah kalian menikah. Kristy, kamu akan menjadi kakak
tiriku... dan Charlie, kamu akan menjadi saudara tiriku yang paling
besar... Berapa umurmu, sih?"
"Coba tebak," ujar Charlie.
"Tiga puluh lima?"
Charlie langsung tersentak ketika mendengarnya. "Tiga puluh
lima! Memangnya tampangku sudah begitu uzur, sehingga..."
"Eh, jaga omonganmu, anak muda!" timbrung Mama. "Kalau
usia tiga puluh lima tahun sudah dianggap uzur, maka Mama
seharusnya sudah tinggal di rumah jompo, dong."
Semua tertawa mendengar itu.
"Dua puluh sembilan?" tebak Karen lagi.
"Salah!" kata Charlie. "Aku enam belas tahun."
Karen menatapnya sambil mengerutkan kening. "Oke," dia
akhirnya berkata. Dia berbalik ke arah Sam. "Kamu akan menjadi
saudara tiriku yang kedua besar."
"Yeah, dan kamu tahu berapa umurku? Seratus dua belas
tahun."
Aku tertawa cekikikan. Begitu juga Karen.
"Dan kamu akan menjadi saudara tiriku yang terakhir," katanya
pada David Michael. (Untung saja dia tidak mengatakan "saudara
tiriku yang terkecil".)
"Kamu tahu berapa umurku?" tanya David Michael.
Aku berharap Karen lebih berhati-hati menjawab pertanyaan
David Michael, karena adikku itu sangat mudah tersinggung kalau ada
orang yang menyangkanya masih berumur di bawah enam tahun.
"Delapan?"
Aku menarik napas lega. Wajah David Michael berseri-seri.
"Mau lihat kamarku?" tanya Karen padanya.
"Tentu saja!"
David Michael dan Karen berlari ke atas. Andrew membuntuti
mereka.
Aku duduk bersandar sambil melihat sekeliling ruang duduk.
Lantainya terbuat dari kayu yang mengkilap karena dipelitur. Tapi
tidak dilapisi karpet. Hanya ada permadani-permadani kecil di sanasini yang justru mempermanis ruangan. Di salah satu sudut, tumbuh
sebuah pohon kecil di dalam pot yang terbuat dari kuningan. Di ujung
ruangan terdapat perapian yang besar. Di seberangnya berdiri sebuah
piano besar yang berkilap. Setelah mengamati semuanya untuk
beberapa saat, aku menyadari bahwa aku merasa betah di ruangan itu.
Aku pasti bisa menyesuaikan diri dengan cepat di rumah Watson.
Makan malamnya sangat menyenangkan. Watson membuat
fondue. Dia menyiapkan sepanci penuh keju cair yang panas, lalu
meletakkannya di tengah-tengah meja. Masing-masing orang
mendapat sebuah garpu panjang, dan sebuah piring dengan potongan
roti Prancis. Cara makannya adalah seperti ini: Potongan roti ditusuk
dengan garpu, dicelupkan ke dalam keju cair, lalu dimakan. Watson
membuat peraturan: siapa yang menjatuhkan roti ke dalam keju cair,
harus mencium orang yang duduk di sebelah kanannya.
"Ih! Yak!" ujar David Michael.
Setelah itu setiap orang mulai membuat peraturan-peraturan.
"Kalau ada yang meneteskan keju ke taplak meja," ujar Charlie,
"maka orang itu tidak boleh makan selama dua menit." "Kalau ada
orang yang menjatuhkan roti orang lain, maka orang pertama harus
mau disuruh apa saja oleh orang kedua," kataku.
Mulai saat itu semuanya berhati-hati.
Tapi akhirnya terjadi juga. Aku sedang memasukkan garpuku
ke dalam panci, ketika rotiku jatuh dan mendarat di atas keju cair. Dan
coba tebak siapa yang duduk di sebelah kananku. Watson.
Aku tidak berani mengangkat wajahku. Dalam hati aku
berharap tidak ada yang melihat rotiku jatuh.
Tapi ternyata semua orang melihatnya.
"Oo-ooh, Kris-tiii," ganggu Sam.
"Cium Papa, cium Papa!" teriak Karen.
Aku memandang ke seberang meja dan mendapati Mama
sedang mengamatiku. Aku tahu apa yang dipikirkan Mama. Ia pasti
menyangka aku tidak akan mau melakukannya, bahkan membuat
keributan. Hah, tunggu saja!
Sebelum yang lain menyadarinya, aku telah mencondongkan
badanku, dan dengan cepat memberi Watson sebuah kecupan di
pipinya. Lalu aku kembali meneruskan makan malamku.
Belakangan, ketika kami sedang membersihkan dapur, aku
mulai merasa agak bersalah. Sebenarnya aku bisa bersikap lebih
lembut waktu mencium Watson. Karena itu aku menyelinap masuk ke
ruang kerja Watson, mengambil selembar kertas, lalu menulis pesan
untuknya:
Watson yang baik,
Lain kali kalau kamu membutuhkan seorang baby-sitter untuk
Andrew dan Karen, tolong telepon aku dulu. Aku akan sangat senang
menjadi baby-sitter mereka.
Dari,
Kristy
N.B.l. Makan malamnya sangat menyenangkan.
N.B.2. Aku suka rumahmu.
N.B.3. Kalau kamu dan Mama ingin menikah, aku setuju saja.
Aku hampir menulis "Salam manis, Kristy" tadi, tapi aku tidak
ingin bersikap cengeng, jadi aku tidak menulis macam-macam. Aku
menempelkan pesan itu di depan cermin kamar mandi Watson.


Baby Sitter Club 1 Kristy Dan Ide Gemilangnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*************
Keesokan harinya, Mary Anne dan aku berjalan menuju rumah
Claudia untuk pertemuan rutin klub. Kami pergi bersama-sama,
karena dengan begitu kami merasa lebih aman. Waktu kami sampai di
depan kamar Claudia, kami mendengar dia sedang bercakap-cakap
dengan Stacey. Tapi ketika kami masuk, mereka langsung
menghentikan percakapan. Sepi. Tidak ada yang bicara.
Mary Anne dan aku duduk. Aku memutuskan untuk tidak
menjadi orang pertama yang memecahkan keheningan. Aku merasa
telah cukup berusaha dengan bertanya pada Claudia tentang
pertemuan rutin ini.
Beberapa lama kemudian, Claudia berkata, "Aku minta maaf,
karena telah menghinamu kemarin. Dan aku juga minta maaf karena
telah berteriak-teriak di depanmu." Tapi dia hanya melihat ke arah
Mary Anne dan tidak ke arahku.
"Tidak apa-apa," sahut Mary Anne.
"Dan aku minta maaf karena telah berbohong," ujar Stacey.
"Claudia, apa kamu hanya perlu minta maaf pada Mary Anne?
Bagaimana dengan aku, apa kamu tidak perlu minta maaf padaku
juga?" tanyaku dengan kesal.
Claudia menarik napas. "Kristy," katanya, "aku minta maaf
karena telah kehilangan kesabaran. Benar, lho. Sebenarnya aku tidak
punya alasan untuk berteriak-teriak di depan Mary Anne. Kamulah
yang membuatku marah."
"Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Kamu sendiri juga tahu sebabnya."
Aku menatap lantai. "Karena aku ikut campur urusan orang
lain. Dan karena aku tidak bisa tutup mulut."
"Yeah."
"Hmm, aku memang telah berbohong pada kalian," kata Stacey.
"Tapi kebohonganmu itu kan tidak menyakiti orang lain," sahut
Claudia. "Sejauh yang kuketahui, lho. Dan kamu pasti punya alasan
yang kuat untuk berbohong. Apalagi kamu melibatkan ibumu. Tapi
bagaimanapun juga, seharusnya Kristy tidak menuduhmu
sembarangan. Menurutku, perbuatan seperti itu sangat kasar. Dan
karena kamu sahabatku, maka aku membelamu."
"Tapi aku juga sahabatmu, kan," kataku.
"Betul," ujar Claudia. "Aku juga tidak suka kalau sahabatsahabatku jadi kasar. Kristy, kalau aku tidak menganggapmu sebagai
sahabatku, maka aku tidak akan bersusah-susah untuk menjelaskan
semua ini. Kalau kamu bukan sahabatku, buat apa aku marah
padamu?"
Aku memikirkan kata-katanya. "Ada satu hal yang ingin
kukatakan tentang kebohongan. Aku tidak suka dibohongi, dan
kupikir, aku punya hak untuk mengatakannya." Sepertinya, mereka
tidak mau menyelesaikan masalah kebohongan Stacey sampai tuntas.
Dan aku tidak suka itu. Tapi kurasa tidak pada tempatnya mendesak
Stacy sekarang. Yang penting, kami harus berbaikan dulu. "Ada lagi
yang harus kukatakan," aku meneruskan. "Aku akan mencoba untuk
mengontrol mulutku mulai sekarang. Sungguh! Sudah sering aku
terlibat dalam kesulitan karena mulutku ini tidak bisa diam. Tanyakan
saja pada ibuku."
"Tanyakan saja pada semua orang," sahut Claudia.
Kami semua cekikikan mendengarnya.
"Pernah suatu kali, ketika nenekku pulang dari salon
kecantikan, aku menanyakan padanya kenapa rambutnya dicat ungu,"
kataku. "Jelas saja Nenek kesal mendengarku berkata begitu. Waktu
itu aku benar-benar dalam kesulitan."
"Pernah suatu kali, aku menangis di depan kelas," Mary Anne
mengakui.
"Oh, kasihan sekali. Bagi seorang anak kecil hal itu memang
memalukan," ujar Stacey penuh pengertian.
"Anak kecil? Kejadiannya baru minggu lalu, kok"
Kami cekikikan lagi mendengarnya.
Kemudian telepon berdering dan kami mulai bekerja.
Pada jam enam aku berkata, "Aku punya ide bagus! Sekarang
kita semua kan sudah berhasil menyelesaikan masalah kita. Kupikir
sudah sewajarnya kalau kita merencanakan pesta pizza lagi. Stace,
kamu benar-benar tidak perlu khawatir akan dietmu. Kamu bisa
makan salad sebagai pengganti pizza. Salad-nya enak juga, lho."
"Baiklah," katanya pelan.
"Dan," tambahku, sambil berpikir tentang Stacey dan Sam, "ada
baiknya kalau kita mengadakan pesta pizza di rumahku."
Mata Stacey berbinar. "O-kai! Aku pasti datang, deh!"
"Apakah semua bisa datang pada hari Sabtu?" tanyaku.
Kami sepakat mengadakan pesta pizza pada hari Sabtu jam lima
sore. Dalam benakku, aku berniat bertanya pada Mama apakah ketiga
temanku itu boleh menginap di rumah. Jadi acara menginap bisa
dimulai jam lima sore.
************
Tanpa bertele-tele Mama mengizinkanku untuk mengajak
ketiga temanku menginap di rumah. Dia menyukai Baby-sitters Club.
"Bagaimanapun juga," katanya padaku, "klub itulah yang membuatmu
bisa dekat dengan Watson."
Aku mengangguk. "Baby-sitters Club telah menolong kami
semua. Menolong Stacey mendapatkan teman-teman. Mendorong
Mary Anne untuk berani mengeluarkan pendapat di depan ayahnya.
Dan menunjukkan pada Claudia bahwa dia bisa juga mengerjakan
pekerjaan lain selain seni, walaupun dia tidak sepandai Janine." Aku
sangat bangga dengan Baby-sitters Club, dan aku merasa senang
karena Mama menyukainya.
Pada hari Sabtu jam lima sore, Mary Anne, Claudia, dan Stacey
datang ke rumahku. Pesta pizza dan acara menginap pun dimulai.
Kami makan dan makan dan makan. Sebenarnya hanya Claudia, Mary
Anne, dan aku yang begitu. Stacey cuma makan salad dan sebuah
apel. Tapi belakangan ia mau minum sekaleng soda diet dan bahkan
ikut makan popcorn bersama kami.
Pada jam sebelas kami sudah mengenakan pakaian tidur
masing-masing, dan bersiap-siap tidur. Kami mulai menggelar
kantong-kantong tidur di lantai kamarku. Baju Stacey-lah yang paling
hebat, dengan warna emas berkelap-kelip dan gambar siluet kota New
York di bagian depannya.
"Wow," ujar Mary Anne, "kamu sangat beruntung pernah
tinggal di New York, dan bisa berlibur ke sana setiap kali. Aku baru
dua kali ke sana."
Stacey mengatupkan kedua telapak tangannya. Dia
memejamkan matanya untuk beberapa saat, lalu membukanya dan
berkata, "Teman-teman, ada sesuatu yang ingin kukatakan."
"Apa?" kataku tak sabar. Kedengarannya akan ada sebuah
pengakuan besar, nih.
Claudia menatapku untuk mengingatkanku, Hati-hati dengan
perkataanmu.
Aku langsung menutup mulut.
"Aku punya sebuah rahasia," Stacey memulai.
Aku harus berusaha keras untuk tidak berseru, "Pantas! Dari
semula aku sudah tahu kalau kamu menyembunyikan sesuatu."
"Kalian tahu tentang dietku, kan? Nah, itu bukan diet
sembarang diet. Dan perjalananku ke New York bukan hanya sekadar
mengunjungi teman- teman. Aku ke sana karena harus pergi ke dokter.
Malah kadang-kadang aku harus tinggal di rumah sakit semalaman."
Claudia dan Mary Anne tampak prihatin. "Oh, Stace," kataku
dengan lembut. "Aku tahu. Kamu sakit anorexia (hilangnya selera
makan), kan? Pasti itu yang menyebabkanmu melakukan semua diet
gila itu."
"Anorexia?" ulang Stacey. "Bukan."
Bukan?
"Aku?aku sakit diabetes," dia memaksakan dirinya untuk
mengatakan itu. "Aku terkena penyakit ini sejak setahun yang lalu."
Mary Anne membuka matanya lebar-lebar.
"Oh, Stacey yang malang," kata Claudia sambil memeluknya
dengan salah tingkah.
Tapi aku berkata, "Diabetes? Cuma itu?"
"Cuma itu?" seru Stacey. "Apa maksudmu?"
"Yah, maksudku... kenapa tidak dari dulu kamu mengatakannya
pada kami? Sepupuku Robin juga sakit diabetes. Itu artinya kamu
punya masalah dengan gula. Tubuhmu tidak mengolah gula sebaik
tubuh kebanyakan orang. Terlalu banyak atau terlalu sedikit gula bisa
berbahaya, begitu, kan? Dan mungkin juga kamu harus menyuntikkan
insulin ke dalam tubuhmu setiap hari. Kedengarannya memang tidak
biasa. Tapi hal itu bukanlah sesuatu yang aneh atau buruk, yang perlu
ditutup-tutupi. Mulai sekarang kami takkan menawarimu permen lagi.
Oke?"
Claudia kembali melempar pandangan ke arahku. Kali ini
artinya, Bagus, Kristy.
"Tapi apakah kalian tidak peduli?" tanya Stacey.
"Tentu saja kami peduli," sahutku.
"Maksudku, apakah hal ini tidak mengganggu kalian?"
"Jelas tidak. Kenapa harus mengganggu?" sahut Claudia, sambil
mengerutkan dahi.
"Yeah," Mary Anne dan aku menambahkan.
"Entahlah. Ibuku selalu bersikap seolah-olah hal ini semacam
kutukan. Anak-anak di sekolahku yang dulu selalu saja menertawaiku
karena aku berdiet. Dan aku pernah pingsan beberapa kali di sekolah.
Oleh sebab itu, ibuku memutuskan untuk pindah ke 'kota kecil yang
tenteram', supaya aku bisa tinggal di tempat yang 'beradab dan
tenang'."
"Itukah sebabnya kamu pindah kemari?" kata Mary Anne
seakan tak percaya.
Stacey mengangguk. "Yah, salah satu sebabnya."
"Wow," kataku.
"Jadi kupikir mungkin ada baiknya aku merahasiakan
penyakitku. Karena kepindahanku bisa menjadi suatu awal baru
bagiku untuk membuat perubahan. Tapi ternyata merahasiakan hal ini
pada kalian malah membuat keadaan lebih buruk daripada sebelum
aku pindah kemari. Masalahnya malah menjadi lebih rumit dari yang
kuduga sebelumnya."
"Yah," sahut Mary Anne penuh pengertian, "mungkin ada
baiknya kalau kamu tidak menceritakan hal ini pada semua orang.
Tapi kami memang perlu tahu. Ini penting, karena kita sering bertemu.
Mungkin kamu perlu tutup mulut tentang hal ini di sekolah?tapi
jangan berbohong lagi, lho."
"Betul juga," Stacey setuju. Wajahnya mulai tenang. "Kalian
memang hebat."
Kami tersenyum.
"Aku pikir sebaiknya kita mengadakan acara menginap sebulan
sekali," serunya.
"Yeah," sahutku. "Setelah Mama dan Watson menikah, kita bisa
mengadakannya di rumah Watson. Kalau kami pindah ke sana, lho.
Sip juga kalau kita bisa menginap di rumah Watson. Kita bisa
memakai ruang di tingkat tiga."
"Setelah ibumu dan Watson menikahi" teriak Claudia.
Aku mengangguk. Lalu aku menceritakan semuanya pada
teman-temanku.
Sesaat sebelum aku selesai bercerita, pintu diketuk. "Hei,
cewek-cewek!" terdengar suara Sam. "Mama menyuruhku
membawakan ini untuk kalian. Jangan takut, aku tidak akan masuk.
Aku akan meninggalkannya di depan pintu. Dan sekarang aku akan
pergi ke bawah..." Langkah kakinya kedengaran menjauh.
Aku membuka pintu dan menemukan nampan berisi empat
buah gelas, sebotol soda diet, sebuah apel, sekantong kue, dan pesan
dari Mama bahwa ia sengaja mengirim banyak makanan agar kami
tidak perlu menggerayangi kulkas kalau lapar.
Aku membawa nampan itu ke dalam.
"Kakakmu keren sekali, Kristy," ujar Stacey.
"Yah, lumayan. Mengingat dia itu cowok, tampang sebegitu sih
cukupan, deh."
"Aku serius, nih. Apa kamu tidak suka sama cowok, Kristy?"
Aku menyeringai.
"Apakah..." Stacey mulai berkata, tapi aku menempelkan
telunjuk di bibirku.
"Ssst!" desisku. "Apakah kalian dengar itu?"
"Apa?"
"Ada sesuatu di jendela."
Kami terdiam, tapi tidak mendengar apa-apa.
"Ah, tidak ada apa-apa, kok," ujarku. Tapi suasana tegang tadi
sengaja saja kutambah-tambahi. Aku mematikan lampu, kemudian
berbisik pada yang lain, "Kira-kira kejadian apa yang paling
menakutkan yang pernah kalian alami waktu bertugas sebagai babysitter?"
Dengan berbisik-bisik kami mulai bercerita tentang malammalam yang menakutkan, ketika kami duduk di rumah yang sepi,
sambil menunggu orangtua pulang. Lalu kami mulai bercerita tentang
hantu.
Aku merasa ngeri-ngeri senang?dan bahagia. Kami sudah
akrab kembali. Urusan dengan Watson sudah beres. Baby-sitters Club
berhasil. Aku, Kristin Amanda Thomas, telah membuatnya berhasil,
atau setidaknya sudah membantu sampai berhasil. Aku berharap agar
Mary Anne, Claudia, Stacey, dan aku?Baby-sitters Club?bisa
bersama-sama terus untuk waktu yang lama.END
Domba Domba Telah Membisu 5 Hulubalang Raja Karya Nur St. Iskandar Pusaka Tongkat Sakti 5

Cari Blog Ini