Nancy Drew Misteri Simbol Yunani Bagian 1
1 Misteri Demi Misteri
"Nancy, apakah kau dapat membantu memecahkan suatu
misteri bagiku sementara engkau ada di Yunani?" tanya Nyonya
Thompson. Nyonya itu sahabat dan tetangga keluarga Drew. Sesuatu
yang sedih menyelubungi matanya yang coklat.
"Oh, dengan senang hati," jawab gadis umur delapanbelas
berambut pirang itu. "Mengenai apakah itu?"
Ayah Nancy, yaitu Carson Drew, adalah seorang pengacara
terkenal di kota River Heights. Ia baru saja memberi tugas yang
menarik kepada puterinya di Athena. Kini detektif muda itu harus
menghadapi dua misteri.
"Akan kujelaskan," kata Jeanette Thompson. Ia melihat gairah
yang terpancar dari wajah Nancy. "Telah dua tahun ini aku
mengirimkan uang kepada keluarga Papadapoulos. Tetapi beberapa
kiriman yang terakhir ternyata hilang."
"Hilang?" ulang Nancy. "Apakah dicuri?"
"Itu aku tak tahu. Aku tidak mengirimkannya langsung ke
Yunani. Di New York ada kantor agen, yaitu Photini Agency. Agen
itu yang mengirimkan sumbangan-sumbanganku. Kantor pusatnya ada
di Athena. Kukira, Tuan Georgiou, menejer kantor di New York,mengirimkannya ke Athena. Kemudian baru disampaikan kepada
keluarga itu."
"Nyonya katakan, sebagian dari uang itu hilang," kata Nancy
melanjutkan. "Maksud anda, keluarga itu tak pernah menerimanya?"
"Betul!" Jawab Nyonya Thompson. "Biasanya aku menerima
surat tanda terimakasih yang manis dari ibunya. Tetapi surat-surat itu
tak pernah datang lagi. Kemudian, minggu yang lalu, aku baru
mendengar kabar dari mereka. Nyonya Papadapoulos mengatakan,
bahwa ia terpaksa menulis surat karena tidak pernah menerima kabar
dariku sekian lama ini. Rupanya ia menghubungi Photini Agency di
Athena mengenai kiriman-kiriman yang tak sampai. Mereka
mengatakan kepadanya bahwa mungkin aku telah jemu. Apa kau
dapat membayangkan hal yang sangat aneh ini?"
Nancy menggeleng keheranan. "Tidak! Saya tak dapat
bayangkan!" katanya. "Bagaimana kantor yang di New York?"
"Ditutup dengan mendadak."
Nyonya Thompson menjelaskan bahwa ia telah berusaha
menelepon Tuan Georgiou beberapa kali. Tetapi tak ada jawaban.
"Akhirnya aku minta polisi untuk menyelidiki. Maka kemudian aku
tahu kantor itu telah ditutup. Menurut pihak kantor pos, semua
kiriman harus kepada Tuan Georgiou dengan alamat kantor yang di
Athena."
"Apa nama depannya?" tanya Nancy.
"Dimitri."
"Apa ia mendapat kuasa untuk cek Nyonya?"
"Ya, benar. Dengan nama Photini Agency dicap di bawahnya,"
berkata nyonya itu. "Akan kutunjukkan itu padamu."Nyonya Thompson masuk ke kamar tidurnya, kemudian segera
kembali membawa kotak logam kecil. Isinya sejumlah cek-cek yang
telah dibatalkan. Ia membalik-baliknya dengan cepat.
"Nah! Ini dia!" Katanya sambil mengulurkan selembar cek
kepada detektif muda itu.
Nancy mengamati tanda tangan yang di bagian belakang.
Tulisannya kuat dan jelas. Rupanya tulisan seseorang yang percaya
pada diri sendiri.
"Nyonya pernah bertemu dengan Tuan Georgiou?" Nancy
bertanya.
"Belum! Semuanya diatur melalui pos. Mula-mula aku
membaca iklan yang mensponsori dana untuk anak-anak tak mampu
di Yunani. Itu awal mulanya. Dalam keluarga Papadapoulos ada tiga
orang anak. Tetapi sumbangan-sumbangan terutama dimaksudkan
untuk menyekolahkan Maria."
Nancy berpikir keras. Apakah Dimitri Georgiou menggunakan
uang itu untuk diri sendiri? Berapa anak keluarga Yunani miskin telah
dirampas haknya? Ataukah, ada orang lain yang mengambil uang itu?
Lalu siapa?
Nancy kemudian menjabat tangan nyonya Thompson dengan
erat. "Kami akan berbuat semampu kami bagi nyonya," berkata
detektif muda itu meyakinkannya.
"Kamiii?" tanya nyonya itu heran.
"Teman-teman saya Bess dan George akan membantu," Nancy
menjelaskan.Bess Marvin dan George Fayne adalah bersaudara sepupu.
Keduanya teman akrab Nancy. Mereka sering membantu memecahkan
berbagai misteri. Bahkan yang di luar negeri.
"Nah, sayang. Masih ada yang perlu kuceritakan lagi?" tanya
Nyonya Thompson.
"Saya ingin meniru tanda-tangan Dimitri Georgiou," kata
Nancy.
Ia mengambil buku catatan dan ballpoint dari dalam
dompetnya, lalu dengan teliti ditirunya tanda-tangan itu.
"Petunjuk pertama!" Ia berkata lalu memasukkan buku notes itu
kembali ke dalam dompet.
Ketika sore itu Nancy tiba di rumah, ia segera menelepon Bess
dan George. Ia ceritakan kunjungannya kepada Nyonya Thompson.
"Nah," ia menyimpulkan, "sementara mencari kemenakan
Helen Nicholas, warisan yang hilang, sekaligus sumbangan Nyonya
Thompson; beban tugas yang banyak di Athena."
"Hai!" kata George, "aku jadi tak sabar lagi!"
Hannah Gruen, pembantu rumahtangga keluarga Drew, yang
mengasuh Nancy sejak umur tiga tahun semenjak ibu Nancy
meninggal, mendengar semua pembicaraan itu.
"Perjalananmu itu kok membuatku gelisah," Hannah
menggumam.
"Ah, Hannah," kata Nancy sambil menjentik dagu Hannah
menyayang, "engkau sangat khawatir?"
*************
Esok harinya, ketika detektif muda itu dengan kawan-kawannya
hendak naik pesawat menuju New York, ia tertawa kecil."Semalam Hannah mimpi bahwa kita di Athena disambut oleh
Gorgon! Itu, makhluk berambut ular!"
Bess Marvin yang montok mengusap ikal rambutnya yang
pirang sambil bergidik.
"Terimakasih atas mimpi yang seram itu. Aku memang merasa
gugup terbang kali ini!"
George tertawa. "Bukankah kau hendak bilang bahwa Hannah
baru keritingkan rambutnya? Mungkin itu sebabnya ia mimpi
demikian."
Setelah mereka duduk dengan enak, George mulai menguap.
"Berapa jam kita harus menunggu di New York nanti, untuk
ganti pesawat?"
"Tiga jam!"
"Selama itu," sambung Bess, "kita dapat lihat-lihat kota."
"Itu juga yang kupikir," sahut Nancy.
Kedua bersaudara itu menatapnya dengan heran. "Engkau
sungguh-sungguh?" George bertanya.
Nancy mengangguk. "Ini alamat Photini Agency di Astoria.
Kita dapat memperoleh petunjuk di sana."
"Di luar sana? kita bisa ketinggalan pesawat!" Bess keberatan.
"Takkan ketinggalan."
"Apa kau tak tahu setiap taksi di New York bersayap?" ejek
George sambil tertawa.
"Persis seperti mobil kita, punya roda empat yang mulusmulus," balas Bess.
Penerbangan ke New York memakan waktu sejam lebih sedikit.
Setelah mendarat duapuluh menit kemudian ketiga remaja itumemanggil taksi. Taksi itu jalan memutar memasuki jalan raya yang
padat.
"Nah, itu dia. Gedung di seberang," berkata sopir taksi sambil
memasuki jalan ke Astoria.
Bess melongo heran melihat sederetan orang-orang berjalan
hilir mudik di sepanjang blok sambil memanggul slogan-slogan.
"Siapa yang mogok?" tanya George.
"Para penghuni," jawab sopir taksi sambil menghentikan
mobilnya di dekat mereka.
Nancy mengeluarkan uang dari dalam dompetnya, lalu
memberikannya kepada sopir.
"Kita turun di sini saja. Terimakasih?!"
"Aku tidak," seru Bess. "Aku akan kembali ke airport."
Sementara itu George memberi isyarat kepada sepupunya,
sedang Nancy melihat-lihat bagian depan gedung dengan papan nama
PHOTINI. Seseorang berambut abu-abu sedang menyapu gedung
yang nampak kosong.
"Mari kita omong-omong dengannya," ajak Nancy.
Tetapi ketika mereka mendesak-desak kerumunan orang, suarasuara kasar meneriaki.
"He, kalian hendak ke mana?" teriak salah seorang.
"Ya! Aku pun ingin tahu!" seru yang lain.
George menatap sepasang mata yang marah.
"Kami hanya ingin..," katanya dengan nada minta maaf.
Orang yang di belakangnya menukas bagaikan petasan.
"He, siapakah kau sebenarnya?" tanyanya kepada George.
"Rupanya seperti anak tuan Sully!.""Itulah dia! Betul dia!" sambung yang lain dengan menuduh.
"Katakan kepada ayahmu, kami ingin gedung-gedung ayahmu diapkir
di seluruh kota!"
"Dia bukan . . .," Nancy menyela. Tetapi kata-katanya itu
terpotong ketika kerumunan itu mendesak semakin dekat. Ia meraih
tangan George, sedang Bess memegang tangan yang lain.
"Kami bersaudara," kata Bess, "dia bernama Fayne, dan aku
berna"
Kata-katanya tidak terselesaikan oleh tukas seseorang.
"Pulanglah nona Sully. Kami tuan rumah yang baru di sini!"
Orang-orang menyambut dengan tertawaan dan memaksa ketiga
remaja itu turun dari kakilima ke jalan.
"Mereka tak mengijinkan kita mendekati kantor perwakilan
itu," kata George.
"Aku tahu. Kita memang harus tetap di airport" sela Bess.
Sementara itu tukang sapu masuk ke dalam gedung.
"Ayo, kita pergi!" ajak Nancy kecewa. Ia lalu menghentikan
sebuah taksi. "Kuharap saja kerja kita semakin baik setiba di Athena."
Mereka bertiga masih terus berbincang sementara menaiki
tangga pesawat, yaitu pesawat jet Olympic Airlines. Bess mendahului
mencari tempat duduk, sedang Nancy berhenti untuk berbicara dengan
copilot. Orangnya masih muda, berambut hitam berombak menjurai di
dahinya.
"Saya pernah menerbangkan sebuah pesawat kecil," kata Nancy
kepadanya. "Tetapi kini aku tak dapat membayangkan bagaimana
duduk menghadapi alat-alat sedemikian banyak.""Nah, selama pesawat belum mengudara, silakan duduk di
sini!" kata copilot sambil menunjuk masuk ruangan depan,
"Apakah boleh?."
"Asal jangan sentuh alat-alat itu! Oke?"
Nancy mengangguk, lalu duduk di kursi lekuk di sebelahnya.
"Luar biasa!"' seru Nancy sambil menjulurkan tubuhnya ke
panel yang penuh dengan tombol-tombol dan meteran-meteran.
Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki menggeram di
belakang mereka.
"Apa-apaan ini? Mau main-main? Anda suruh gadis itu
menerbangkan pesawat ini? Apakah anda sudah sinting?"
Copilot berusaha untuk menjelaskan, tetapi ia tak ada
kesempatan karena orang itu terus nyerocos mengomel. Akhirnya
Nancy bangkit dan memandangi dengan tenang orang yang tegap
besar itu. Wajahnya seperti buah tomat yang pucat.
"Kalau kau yang akan menerbangkan pesawat ini, aku akan
berusaha agar pesawat ini tetap melandas!" teriak orang itu.
"Anda tak perlu khawatir!" jawab Nancy. "Saya pun
penumpang seperti anda!"
"Lalu, mengapa kau duduk di kursi pilot?" orang itu bertanya.
Nancy mencoba menjelaskan. Ia baru saja selesai bicara ketika
salah seorang pramugari datang mendekat.
"Silakan duduk, Tuan Isakos," pramugari mempersilakan lalu
memberikan kepadanya suratkabar berbahasa Yunani.
Tanpa mengucapkan terimakasih, ia hanya mengangkat bahu.
"Gadis-gadis itu seharusnya duduk di tempatnya, tidak boleh
dekat alat-alat kemudi pesawat!".George yang mendengar sebagian omelan itu, jadi marah
terhadap kata-kata congkak orang itu.
"Perlu anda ketahui," katanya sambil berjalan di gang antara
deretan kursi penumpang. "Amelia Earhart adalah jagoan terbang,
demikian pun Nancy Drew!"
Isakos tidak menjawab. Ia lalu duduk tidak jauh dari deretan
tempat duduk gadis-gadis itu.
Nancy cemberut. "Barangkali saja kita harus mendengarkan
segala omelannya sepanjang penerbangan ini."
Ia sengaja mengelak pandangan tajam Isakos ketika menuju
tempat duduknya. Ia melihat secarik kertas di lantai pesawat. Ia lihat
nama PHOTINI tertulis besar-besar di sudut kiri atas. Lalu
dipungutnya kertas itu.
"Apa itu?," tanya Bess ketika Nancy duduk di dekat George
sambil mengenakan sabuk pengaman.
"Entah!" jawab Nancy.
Ketiga detektif muda itu memandangi kertas itu dengan rasa
ingin tahu. Kertas itu adalah sobekan kertas resmi perwakilan kantor
Yunani yang sedang mereka curigai. Di bawah tulisan alamat itu
terdapat coretan misteri berbentuk sebuah huruf yunani.2
Catatan Yang Hilang
Nancy lalu mengambil kaca pembesar dari dalam tas. Ia amati
gambar coretan itu.
"Bentuknya menyerupai huruf Phi," katanya.
"Tetapi, apa arti lengkung-lengkung di ujung pangkalnya itu?"
bisik Bess.
"Barangkali artinya si penggambar sedang memutar-mutar
otaknya," sambung George cekikikan.
"Atau, mungkin juga sesuatu yang penting," kata Nancy. Ia lalu
menjulurkan lehernya lewat jendela untuk melihat ke luar, ketika
pesawat menuju landasan untuk tinggal landas. Di terik matahari
landasan itu tampak mengkilat.
"Apa kau kira di Yunani juga sepanas ini?" tukas Bess.
"Lebih panas," George menggoda. "Pernah kudengar di sana
bisa mencapai 120 derajat Fahrenheit di bayangan ..."
"Pohon zaitun," sambung Nacy sekenanya.
Dengan tidak menghiraukan percakapan kedua temannya Nancy
terus mengamati sobekan kertas tadi. Tiba-tiba ia sadar bahwa
terdapat tulisan tangan yang samar-samar hampir tidak terlihat di atas
kertas surat PHOTINI itu."Lihat ini!," serunya sambil mengulurkan kertas bersama kaca
pembesarnya kepada George.
"Coba aku ikut melihat," kata Bess.
"Sebentar," tolak sepupunya. Ia lalu menaruh kaca pembesar itu
di atas tulisan yang ditunjukkan Nancy.
"Apa yang dapat kubaca hanya Z?appeion dan Maiou. "
"Z?appeion, " Nancy mengulang. "Apakah itu bukannya nama
suatu tempat di Athena? Tempat pameran besar Angkatan
Bersenjata!"
Kedua temannya mengangkat bahu.
"Kukira aku tahu sedikit," kata George. "Maiou berarti bulan
Nancy Drew Misteri Simbol Yunani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mei dalam bahasa Yunani."
Bess kemudian menemukan satu-dua kata lagi. Maka bersamasama mereka menyusun kalimat yang berbunyi : rendevous sto
Z?appeion tis ikosi pende Maiou. Nancy menuliskan huruf-huruf agar
jelas, sementara mesin pesawat mulai menderu. Para pramugari
kembali ke tempatnya masing-masing karena pesawat siap hendak
tinggal landas. Ketika pesawat sudah mengudara, Nancy memanggil
salah seorang pramugari.
"Dapatkah anda menolong menterjemahkan kalimat ini?" ia
minta sambil menunjukkan kalimat pesan dalam bahasa Yunani itu.
Pramugari mengerutkan dahinya, lalu menjawab. "Ini berarti
'pertemuan di Zappeion pada tanggal 25 Mei.? Jadi berarti sebulan
yang lalu."
"Di mana Zappeion itu?" tanya Nancy."Tidak jauh dari apartemen saya. Di belakang The King?s
Garden di tengah kota Athena. Kalau anda belum pernah ke sana
sebaiknya anda melihatnya."
"Sudah pasti kami akan ke sana," sambung Bess. "Di mana lagi
tempat pemandangan yang menarik?"
"Oh banyak. Museum Arkeologi Nasional atau Benaki
misalnya. Kalian juga dapat melihat Plaka, kota tua di Athena. Juga
Monastiraki, pasar loak."
"Apakah itu bukannya tempat yang disebut-sebut oleh Helen
Nicholas?" Bess berbisik kepada Nancy.
"Betul. Katanya hanya dekat untuk dicapai dengan jalan kaki
dari tempat penginapan kita."
Pramugari lalu minta diri. Nancy mengeluarkan buku catatan
dan tanda tangan tiruan Dimitri Georgiou. Ia membandingkannya
dengan kalimat pesan di kertas surat. Bentuk huruf-hurufnya ternyata
sama.
"Ah, kukira dapat kusimpulkan bahwa Dimitri yang telah
menulis pesan ini," kata George. "Dan ia menjumpai seseorang di
Zappeion pada tanggal 25 Mei. Tetapi siapa dan untuk apa? Apakah
pertemuan itu relevan dengan perkara ini?."
"Masalahnya," kata Nancy sambil mencoretkan tanda silang di
bagian belakang kertas surat itu, "Siapa pun yang menulisnya,
kemungkinan ia ada di dalam pesawat ini!".
"Tetapi kita tak ingin dia tahu bahwa kita sedang mencari-cari
Georgiou, bukan?" Bess menjelaskan. Ia memberi tanda X di sudut
petak-petak permainan dam yang sedang dilakukannya."Maksudmu agar kita tak menanyakan siapa pemilik kertas
surat ini, aku setuju," kata Nancy.
Nancy dan Bess lalu bermain dan sejenak. Kemudian makan
siang pun dihidangkan. Di setiap nampan disajikan porsi mousaka
yang besar, bersama slada segar dihias dengan keju feta dan buah
zaitun hitam kecil-kecil.
"Aku suka sayuran begini," kata Bess sambil mengunyah
sesendok makanan yang terakhir.
Selesai makan mereka memasang earphone dan mendengarkan
hidangan musik. Kemudian pindah memasang untuk mendengarkan
film yang diputar di dalam pesawat. Mereka pun senang karena film
itu buatan Athena. Maka Nancy sangat memperhatikan liku-liku jalan
ceritanya. Itulah yang akan mereka selidiki esok harinya.
Ketika film selesai diputar lampu dalam pesawat tetap redup.
Penumpang yang kecapaian berdiri untuk mengendorkan otot-otot
yang kaku. Penumpang lain, termasuk detektif muda itu, minta bantal
dan selimut.
"Selamat malam," kata George sambil menguap.
"Malam," sahut Bess.
Nancy merapatkan tasnya di sebelahnya, lalu menutup matanya.
Sebentar kemudian ia pun terlena nyenyak. Sejam kemudian ia
mendusin karena merasa tasnya tergeser menekan badannya. Dengan
menahan rasa kantuk ia melirikkan mata ke arah gang di antara
deretan kursi-kursi. Tak seorang pun yang nampak.
"Ah, hanya khayalan," pikirnya, lalu tidur lagi.Beberapa jam kemudian sinar matahari menerangi ruang
pesawat. Pesawat menderu melintasi daratan Eropa Selatan. Sudah
jam tiga waktu New York, tetapi baru jam sembilan waktu setempat.
"Kita kehilangan enam jam," kata Bess menguap.
"Bergembiralah," sahut George, sepupunya. "Kau akan
mendapatkannya kembali bila tiba di rumah nanti."
"Mau berjanji?," tanya Bess.
Ia memejamkan mata kembali sementara Nancy membuka
tasnya.
"Hilang!" serunya tiba-tiba.
"Apa yang hilang?," tanya George.
"Itu, kertas surat!"
"Kau yakin?" sela Bess.
"Kau lihat sendiri!" jawab Nancy.
Ia mengeluarkan dompetnya, buku catatan, buku cek, tiket
pesawat, paspor. Hanya kunci-kunci yang tertinggal dalam tas. Betul
juga, hanya kertas surat PHOTINI yang tiada.
"Barangkali telah kau buang," kata George. "Bersama-sama
serbet makan!."
Nancy menggeleng.
"Kau tak ingat, ketika kita main dam? Kan telah kumasukkan
dalam tas sewaktu hendak makan?," Ia bersandar putus asa di
kursinya. "Pasti ada orang yang mengambilnya," sambungnya.
Kemudian ia mengatakan, bahwa antara sadar dan tidak ia
seperti merasa tasnya menggeser menekan badannya malam tadi.
"Tetapi aku begitu capai hingga tak menghiraukan.""Jangan putus asa," Bess coba menenangkannya. "Paling tidak,
kita jadi tahu bahwa di dalam pesawat ini ada seseorang yang ada
hubungannya dengan perkara Dimitri."
"Nah, sekarang yang dapat kita lakukan hanyalah menanyai
ke?300 orang sekitar," sambung George.
Nancy menyapu hidungnya.
"Nah, kau dan Bess lakukan itu di kelas ekonomi, dan aku di
kelas satu!," jawab Nancy dengan ketawa cekikikan.
Mereka lalu mengesampingkan peristiwa kehilangan itu
sementara waktu. Ketika turun tangga pesawat, mereka lalu
mengambil barang-barang bawaannya. Di luar, matahari dengan
teriknya, di atas daerah Glyfada.
"O, panasnya bukan main," seru George, merasakan suhu
merayap merembes melalui sandal di kakinya.
"Kita harus membiasakannya," sahut Nancy yang terus lari
menuju tempat sewa taksi. Tak lama kemudian gadis-gadis itu sudah
berada dalam perjalanan menuju Hotel Skyros, suatu tempat yang
menawan hati dekat lapangan Omonia.
"Luar biasa!," seru Bess ketika penjaga pintu mengantarkan
mereka ke kamar hotel.
Kamar itu cukup luas, pintu geser menghadap teras dengan
pandangan arah ke Acropolis. Pada dinding kamar tergantung
permadani sulaman. Di dekat setiap ranjang terdapat permadani
flokati kecil.
"Jika kita bangun pagi-pagi," Bess berkata. "Kita seolah-olah
terbang melayang di awang-awang Athena."Nancy dan George menyambut ucapan itu dengan tertawa
sementara membuka kopornya.
Nancy mengeluarkan payung lipatnya, lalu berkata : "Ini
sebenarnya dapat ditinggal di rumah saja."
Sebelum ia sempat melanjutkan mengeluarkan barang-barang
dari dalam kopor, seseorang mengetuk pintu kamar. Pelayan hotel
datang membawa sebuah keranjang buah apel yang nampaknya lezatlezat.
"Untuk nona-nona," pelayan berkata, lalu meletakkan di atas
meja dekat pintu kaca.
"Terimakasih," ucap Nancy.
"Barangkali kiriman Ned," kata Bess begitu pelayan pergi.
Maksud Bess pacar istimewa Nancy. "Ada kartu nama?."
"Tak kulihat," sahut Nancy. "Barangkali hadiah selamat datang
dari Hotel."
Ia tergoda hendak mencicipinya, tetapi kemudian memutuskan
untuk menggantungkan pakaiannya dahulu. Sebaliknya George segera
memungut apel itu sebuah yang paling atas. Ketika ia menggigitnya,
matanya melihat sesuatu yang hijau bersisik di dalam keranjang.
Benda itu merayap naik di sela-sela buah apel. George menjatuhkan
apel di tangannya lalu melangkah mundur.
"Ada ular! Dalam keranjang! Awas, Nancy! Bess!," serunya.
Kepala ular berancun kini ke luar. George menahan napas dan
melangkah undur lagi. Nancy meraih payung lipatnya.
"Jangan bergerak!," ia menyuruh George. Kemudian ia ulurkan
payungnya di bawah tubuh makhluk liar itu.Bagaikan kilat binatang itu menjulurkan kepala ke depan untuk
kemudian berayun kembali.
"Hiii," teriak Bess. "Hati-hatilah!."
"Ssst!", sepupunya menangkapnya.
Detik-detik berlalu dengan lambat. Nancy coba mendekat dan
berharap ular itu dapat dijebak ke atas payungnya. Dengan lega
dilihatnya binatang liar itu mulai melilit lipatan payungnya.
"Tolong ambilkan keranjang sampah dan sebuah permadani
flokati itu," perintahnya pada Bess. "Kita gunakan untuk
memenjarakannya!."
Dengan tubuh gemetaran Bess menuruti perintah Nancy. Ia
tempatkan keranjang di dekat meja dan meletakkan permadani di
dekatnya. Lalu ia melompat mundur ke luar dari tempat berbahaya.
Nancy memutar tubuhnya perlahan-lahan di atas tumitnya dengan
mata terus mengamati binatang berbisa itu. Perlahan-lahan payungnya
diturunkan ke dalam keranjang.
"Huuhh!," ia menghela napas lega ketika ular itu meluncur
masuk ke dalam keranjang.
Dengan segera George menutupi keranjang itu dengan
permadani, sedang Nancy menelepon petugas hotel.
"Ada yang akan datang dan membuangnya," berkata Nancy
kepada teman-temannya.
"Kapan?," tanya Bess tetap gemetaran.
"Segera! Secepatnya!."
Seperti yang dijanjikan seorang petugas hotel yang masih muda
muncul. Ia tidak berkata apa pun. Tetapi ketika Nancy mengulurkan
keranjang sambil membuka tutup permadaninya, petugas muda ituternganga menahan napas. Ia segera berbalik lari turun membawa
keranjang tersebut.
"Kasihlah dia buah apel itu!," seru Bess. "He, bung!, bung!," ia
memanggil. Tetapi terlambat. Pemuda itu sudah menghilang di balik
jalan ke luar menuruni tangga.
"Biarkan dia," kata Nancy sambil memunguti buah apel dari
keranjang buah. "Barangkali saja masih ada yang disembunyikan di
dalam!."
"Misalnya? kalajengking?," sahut Bess.
"Kalau memang ada, barangkali saja lembaran uang dolar,"
katanya penuh misteri. "Ingat dongeng Yunani kuno Apel Emas?
Buah itu dijaga seekor ular yang melilit pada tiang Heracles. Itu kan
jadi simbol uang dolar kita!."
"Kukira apel itu hadiah percintaan Aphrodite, " balas Bess
setengah melamun.
Tanpa menghiraukan ucapan Bess, Nancy melongok ke dalam
keranjang.
"Tak ada apa-apanya," katanya sambil memasukkan apel-apel
itu ke dalam keranjang kembali.
"Nah, bagaimana sekarang?," tanya Bess, menjatuhkan diri di
ranjang. "Aku sudah lemas."
"Kau dibuat lemas karena bayangan takut," George ketawa
cekikikan. "Ayo bangun. Kita harus bekerja!."
"Sekarang juga?", gerutu Bess.
Nancy melirik ke arlojinya."Mungkin kita masih sempat bertemu Tuan Vatis sebelum ia
pulang kantor," katanya. Nancy maksudkan pengacara yang
menangani perkara warisan Helen Nicholas dari pamannya.
Ketiga dara remaja itu naik taksi mencari alamat yang diberikan
pak Drew kepada Nancy, yaitu kantor pengacara Vatis & Vatis.
Mereka dibuat heran karena ternyata kantor pengacara itu telah
pindah. Dan di tempat alamatnya tertera nama lain.
Di dalam kantor itu Nancy memperkenalkan diri kepada
penerima tamu yang tersenyum sopan mendengar pertanyaan Nancy.
"Apa yang saya ketahui, ayahnya, yaitu Vatis Senior, telah
meninggal beberapa waktu yang lalu. Saya sama sekali tak
mengetahui di mana anaknya itu. Tak seorang pun tahu."
"Terimakasih," kata Nancy kecewa.
Ketika berbalik hendak pergi, mereka hampir saja bertubrukan
dengan seorang laki-laki dari belakang. Rupa-rupanya orang itu
sedang menunggu giliran pelayanan penerima tamu. Ketiga gadis itu
meminta maaf, lalu ke luar dengan hati bingung.
"Aku heran ke mana perginya Vatis," kata Bess.
"Siapa yang tahu?," George mengeluh. "Masalahnya, ke mana
kita akan pergi dari sini?."3
Topeng Bizantin
"Kita berada tidak jauh dari Plaka," Nancy menjawab Bess.
"Nah, tunggu apa lagi?," tanya Bess. "Kudengar tempat itu
sangat menarik dan penuh rahasia."
Dalam waktu lebih kurang sepuluh menit mereka telah sampai
di kota kuno dari Athena, ibukota Yunani modern yang dibangun
sejak tahun 1800.
"Bentuk rumah-rumahnya sungguh menarik," kata Nancy
terpesona.
Gedung-gedung itu di atas tempat-tempat bertingkat seperti
anak-anak tangga yang dibuat pada lereng-lereng bukit kuno. Dan
kebanyakan bertiraikan tumbuh-tumbuhan merambat, masing-masing
dilengkapi kota-kotak jendela di mana terdapat pot-pot dari tanah
berisi tanaman bunga berwarna-warni. Melati bunga madu
menghamburkan bau semerbak menyebar di udara sekitar.
"Sungguh sedap baunya," kata Bess. Ia menghirup napas
dalam-dalam. Mereka pun berjalan-jalan di gang-gang sempit
berkelok-kelok.
Mereka berhenti di depan sebuah bangunan gereja Bizantin
kecil, ketika seorang rahib berjanggut mengenakan jubah hitam cepatmelewati mereka. Nancy memandangi jubah di atas yang sudah luntur
warna merahnya.
"Tentunya ini telah berumur ratusan tahun," katanya. "Apakah
kita akan masuk?."
"Tentu!," sahut George.
Bau dupa setanggi memenuhi ruangan gereja karena kebaktian
baru saja berakhir. Di pintu masuk, lilin-lilin kecil berwarna putih
menyala redup memberikan cahaya remang-remang di sekitar gambar
guci di dekat mereka. Sebuah panel kayu bergambar seorang suci.
Rahib berjanggut meletakkan sebuah kotak perak yang mungil di
depan gambar tersebut.
"Apa yang ia lakukan itu?," bisik Bess ketika rahib bergegas ke
luar.
"Ia meletakkan persembahan kepada orang suci itu," Nancy
menjelaskan. Kemudian ia melangkah mendekat.
Ia jadi heran melihat ukiran kapal-kapal pada tutup kotak
tersebut. Apa rahib itu dari anggota keluarga pelaut? Kalau begitu
tentunya ia kenal Constantine Nicholas!.
"Mari ikut!," seru detektif muda itu sambil mendahului ke luar.
Rahib ortodoks itu ternyata telah jauh di depan mereka. Nancy
pun kecewa ketika rahib itu dengan cepat menghilang di antara
kerumuman para pejalan kaki di kaki bukit.
"Yaahh," keluh Nancy ketika rahib itu tak nampak lagi.
Bau jagung bakar menarik ketiga gadis itu masuk semakin jauh
Nancy Drew Misteri Simbol Yunani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke dalam Nonastraki. Bermacam-macam barang bergantungan di
depan pintu-pintu toko yang terbuka."Lihat itu kemeja-kemeja sulaman," seru Bess, "Manis-manis,
ya?."
"Aku akan membeli sebuah," kata George.
"Aku juga!," sepupunya itu menimpali.
Nancy terpaku pandangannya kepada dua helai taplak meja
lenan yang di seberang. Ia lalu membelinya. Kemudian ia berhenti lagi
di depan sebuah toko lain. Pada papan nama di atas pintu tertulis
CHRYSOTEQUE.
"Sebuah toko emas," kata Nancy begitu Bess dan George
berada di sampingnya. "Lihat permata-pertama yang indah itu!."
Yang tampak menantang adalah sebuah topeng emas yang
dipajang di tengah.
"Aih, bukan main indahnya," kata George.
Mereka heran karena di dalam toko itu tak ada seorang pembeli
pun. Tetapi dari balik tirai di belakang terdengar suara-suara marah
saling teriak-meneriaki.
"Kukira lebih baik kita pergi saja," gumam Bess ketika seorang
anak laki-laki menghambur ke luar dari balik tirai bercucuran airmata.
Kemudian muncul seorang wanita dengan tersenyum ramah.
"Apa saya dapat membantu kalian?," ia bertanya.
"Saya tertarik pada topeng yang di jendela itu," sahut Nancy.
"O, itu sudah terjual," pemilik toko itu menjelaskan. "Kami tak
mempunyai lagi."
"Kalau begitu, saya beli peniti ini saja," sahut Bess. Ia
menunjuk sebuah peniti berbentuk topeng. "Apa pendapat kalian?."
"Jangan lupa kau bawa-bawa barang melalui pabean," kata
sepupunya. "Tas-tas kita jadi menggembung berisi belanjaan.""Tetapi yang ini kan ringan," Bess mendesak. Lalu menanyakan
harganya.
"Tidak mahal," jawab pemilik toko. "Kurang dari seribu
drahme."
"Berapa dolar Amerika itu?," tanya George.
"Tiga?empat!"
"Nampaknya seharga lebih dari tigapuluh," bisik Nancy kepada
Bess.
"Biarlah," kata gadis itu. "Aku akan membelinya. Kiranya
menghabiskan uang drahme lebih senang daripada menghabiskan
uang dolar."
George memutar-mutar biji matanya ke arah langit-langit.
"Lebih baik aku menghemat travelers check-ku untuk barangbarang yang benar-benar kubutuhkan," katanya sambil berjalan
keluar. "Untuk berlayar di laut Aegia, misalnya."
Sekarang mereka telah merasa lelah. Setiap kali Nancy harus
meletakkan tas belanjaannya yang berat itu di lantai kakilima. Ia telah
melakukan sampai dua kali, dan untuk yang ketiga kalinya hampir
saja tasnya tertendang orang yang sedang lewat.
Akhirnya Bess berkata : "Mari kita pergi dari sini. Tak tahan
aku melihat demikian banyak orang. "
Mereka berjalan menuju lapangan Syntagma. Di sana anak-anak
hiruk-pikuk sedang mengerumuni seorang tua. Orang tua itu
mengenakan sebuah topi pipih terbuat dari sepon asli. Di kedua
lengannya tergantung beberapa topi dari beberapa bentuk dan ukuran."Barba Yanni! Barba Yanni!, " teriakan seorang anak kecil.
Dengan penuh gairah anak itu menawarkan sebuah sepon besar untuk
beberapa keping uang.
"Yang jelas, orang tua itu tak perlu payung!," kata George.
"Hujan yang paling lebat pun akan diserap seponnya!."
"Aku lebih senang menyerap sesuatu yang segar," berkata Bess
sewaktu melewati tukang es-krim.
"Bagaimana kalau sambil duduk mengaso?" ajar George.
Mereka menuju sebuah bangku kakilima. Setelah memesan
seorang anak muda menyediakan kursi.
"Kalian dari Amerika?," tanyanya dengan bahasa Inggris patahpatah.
"Betul!," jawab George.
"Boleh saya menunjukkan kalian kota Athena?" ia menawarkan
diri.
"Ah, kami tak dapat . . ." jawab Bess.
"Tidak usah! Terimakasih!," sela Nancy dingin.
"Entaxi, " kata orang itu mengeluh. "Oke, nona-nona. Sampai
jumpa lagi!."
Dengan ketawa cekikikan Bess menjulurkan tubuh ke arah
teman-temannya.
"Kukira, kita telah menyinggung perasaannya," katanya sambil
memandang orang itu pergi.
George lalu membelokkan arah percakapan mereka. "Boleh
kulihat taplak mejamu?," ia meminta kepada Nancy. Nancy lalu
membuka tasnya."Lho, apa ini?," katanya lalu mengeluarkan sebuah bungkusan
lain. Bungkusan itu serupa bungkusan-bungkusan yang berasal dari
toko emas. Ia menariknya ke luar dan membukanya.
"Eh, ini kan topeng emas yang di jendela itu?", seru Bess.
"Bagaimana bungkusan itu bisa masuk ke dalam tasku?," kata
Nancy terheran-heran.
George mengangkat bahu. "Bentuknya mirip barang antik,"
sambungnya. "Seperti bukan barang tiruan!."
Ia mengambil benda itu dari tangan temannya. Dibalikkan
benda itu dan mengamatinya dengan teliti.
"Apa pula ini?," katanya sambil menunjuk sebuah sticker warna
emas terikat benang di bagian dagu.
"Gambar coretan!," seru Nancy tergugah hatinya.
"Coretan?."
"Iya! Serupa yang ada di kertas surat PHOTINI. Huruf Phi.
Tetapi ujung-ujungnya tidak melengkung. Seperti bentuk kepala
ular!."
"Secara keseluruhan simbol ini melukiskan tubuh seekor ular,"
kata Bess. "Menurutmu, apa artinya?."
"Tak tahu! Tetapi akan kuselidiki," jawab Nancy. Ia lalu
mengatakan hendak kembali ke toko emas secepatnya.
"Sekarang juga?," tanya Bess. "Tak dapat mengaso sebentar?
Aku benar-benar sudah mengantuk."
"Sebaiknya engkau kembali ke hotel!," kata George melihat
sepupunya berdiri dengan goyah kakinya.
"Kukira kau benar!" jawab Bess. "Apa karena udara panas, atau
entah karena apa."Nancy mendesak agar George menemani sepupunya. Ia sendiri
takkan pergi lama-lama. Ia jadi kecewa mendapatkan toko emas itu
tutup.
Waktu tidur siang itu Nancy menjentik-jentikan jari tangannya
sambil berpikir. Apa barangkali museum arkeologi dapat memberikan
informasi tentang topeng itu. Ia naik taksi. Ternyata museum itu pun
sedang akan menutup pintu. Jam istirahat. Penjaga pintu menerocos
dalam bahasa Yunani ketika ia meminta dengan sangat agar
diperbolehkan masuk. Tak ada gunanya, pikir Nancy.
Kemudian ia menunjukkan topeng emasnya.
Heran! Orang itu merebutnya dari tangannya dan mengatakan
sesuatu dalam bahasa Yunani. Nancy menggelengkan kepala tak
mengerti. Orang itu memegang tangan Nancy dan menariknya masuk
ke ujung koridor. Kuharap saja aku dibawa ke pak kurator, pikirnya.
Kuharap pak kurator dapat berbahasa Inggris.
Ketika mereka masuk ruangan, penjaga itu lewat meja
sekretaris dan masuk ke ruang dalam. Di belakang meja duduk
seorang yang berambut coklat, rambut pelipisnya mulai memutih.
Penjaga itu berbahasa Yunani kepadanya, lalu meletakkan topeng itu
di atas meja.
"Saya penanggung jawab museum," kata orang di belakang
meja itu. "Siapa anda. Di mana dapatkan benda ini?."
Gadis detektif itu memperkenalkan diri dan menjelaskan. "Saya
dapatkan benda ini dalam tas saya."
"Di dalam apa?" tanya kurator itu.
"Di..."
"Sebentar," ia menyela lalu memutar tombol telepon.Dalam beberapa detik seseorang datang masuk dengan
terengah-engah. Kurator itu berkata kepada Nancy bahwa orang itu
adalah detektif yang ditugaskan setelah terjadi pencurian.
"Topeng ini dicuri orang dari museum ini, nona Drew," kata
kurator. "Apa anda tahu tentang hal itu?."
"Tidak! Bagaimana saya dapat tahu?."
Pandangan tajam menyala, detektif museum itu tiba-tiba saja
membuatnya merasa bersalah.
"Sebenarnya topeng ini akan dipamerkan berkeliling di
Amerika," sambung kurator.
"Maksud anda di beberapa museum?," tanya Nancy.
"Kalau begitu anda tahu sesuatu!," sela detektif itu dengan
bahasa Inggris patah-patah.
"Tidak . . . Saya . . . tidak tahu. Saya sedang berbelanja di pasar
loak . .
Penjaga yang tak tahu bahasa Inggris itu berdiri tegak bagaikan
patung, sedang detektif tertawa-tawa.
"Lucu . . . beli topeng di pasar loak! Hahaha!." Ketiga orang itu
kemudian berunding beberapa menit. Kurator membalikkan topeng.
Rupanya ia lalu memperbincangkan simbol yang tertera di balik
topeng itu. Kemudian dengan menuding mereka menuduh Nancy.
Aneh, pikir Nancy. Mereka mengira aku pencuri!.
"Bila para pencuri itu sadar tak dapat menjual topeng ini,
mereka ingin membuangnya," kata kurator. "Apa itu tidak masuk akal,
nona Drew?.""Saya kira begitu. Barangkali mereka mengira bahwa anda
mulai mencium jejak mereka. Mereka lalu melemparkan topeng itu
pada saya."
"Atau barangkali anda termasuk komplotannya," kata detektif
itu patah-patah. "Apa anda kawan atau saudara salah seorang
anggotanya?."
"Bukan!," jawab Nancy marah. Ia berusaha untuk berlaku
tenang, lalu sambungnya : "Kalau pun saya anggota, misalnya, saya
tak akan terperosok ke dalam perangkap yang lemah demikian."
"Biar begitu, kami akan menahan anda di sini. Sampai kami
dapat mengetahui yang sebenarnya."4
Gangguan Penyelinap
Mendengar kurator berkata demikian, wajah Nancy memerah
karena marah.
"Anda hendak menahan saya?"
"Betul!" jawab kurator. "Kami tak dapat melepaskan anda
setelah memperoleh bukti atau pun petunjuk pertama ini. Jelaskan
simbol ini!."
"Mana dapat . . . saya tak tahu bagaimana simbol ini terdapat
pada topeng ini. Atau siapa yang telah memasangnya." Kemudian
Nancy bertanya : "Bolehkah aku menelepon ke hotel?."
"Anda dapat gunakan telepon ini."
Nancy girang bahwa George segera menyahut. Mendengar
cerita Nancy, George terkejut.
"Kita . . . maksudku, aku segera datang ke museum," sahut
George. "Bess merasa tak enak badan. Biarlah ia tetap tinggal di hotel.
Sampai ketemu!."
"Tunggu! Jangan tutup dulu George!." kata Nancy cemas.
"Tolong telepon ayahku. Ia akan tahu apa yang sebaiknya kita
lakukan."Nancy meletakkan gagang telepon. Ia berharap pak Drew akan
dapat menolongnya, entah bagaimana. Meski jaraknya beribu-ribu
kilometer. Dengan segera George minta petugas hotel mengusahakan
sambungan ke kantor pengacara di New York. Tetapi dijawab hal itu
akan memakan waktu berjam-jam.
George meletakkan gagang telepon, lalu berkata kepada Bess :
"Nancy tak dapat menunggu lama-lama. Aku akan turun ke kios
penjual majalah di sudut itu. Di sana tentu ada telepon umum."
"Apa aku harus ikut?." tanya Bess sambil mengangkat kepala
dari atas bantalnya. TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
"Kau tidur saja!." jawab George, lalu menutup gorden-gorden
dan berjalan ke luar.
Bess kembali menyusup ke bawah selimut. Ia meringkuk
mencari posisi tidur yang enak. Ia segera tidur pulas. Sesuatu yang
berisik dekat ranjangnya membuat ia terbangun. Dengan setengah
sadar ia palingkan kepala ke arah pintu. Ia melihat sekilas punggung
seseorang dengan mengendap-endap menutup pintu. Bess ternganga
karena terkejut. Hanya dering telepon telah mengurungkan dia untuk
mengejar.
"Halo!," katanya gemetar.
"Di mana George?," tanya Nancy sebelum Bess sempat
menceritakan sesuatu. "Sudah pergi hampir sejam sejak percakapan
tadi."
Tiba-tiba pandangan Bess melayang ke meja di mana tadi
terdapat keranjang apel. Sekarang keranjang apel itu telah lenyap.
"Aduh, Nancy!," teriaknya. "Ada sesuatu yang mengerikan!."
"Apa itu? Mengenai George?.""Bukan! Ada orang telah masuk ke kamar kita..."
"Apa?."
"Orang! Ia mengambil keranjang apel. Aku tak sempat
melihatnya dengan jelas. Tak mau lagi aku tinggal di sini sendirian.
Aku mau menyusulmu ke museum!."
Bess meletakkan gagang telepon. Cepat-cepat mencuci muka,
berpakaian dan berlalu sambil menyambar dompetnya.
*************
Di museum, Nancy duduk lunglai di kursi kantor kurator. Ia jadi
cemas memikirkan George, gangguan penyelinap dalam kamarnya di
hotel, dan bagaimana cara melepaskan diri dari detektif yang terus
mengawasinya. Suara yang dikenalinya terdengar di pintu masuk. Ia
merasa lega.
"George!," serunya. Ia berlari ke arah pintu.
Rambut George yang hitam itu awut-awutan tak keruan.
Napasnya tersengal-sengal sehabis berlari-lari.
"Ma-af! Sssampai begitu lama!," kata George terbata-bata.
"Telepon di hotel sulit. Yang di kios rusak. Aku lalu ke kedutaan
Amerika. Aku bicara dengan salah seorang atase ..."
"He, siapa anda?," sela kurator.
Tepat saat itu Bess menghambur masuk. "Ah, George, sungguh
gembira kau pun ada di sini," katanya, lalu memperkenalkan diri
kepada kurator.
"Nancy sedang menangani suatu perkara. Sebaiknya anda
lepaskan dia," sambungnya.
"O, begitu?," tukas petugas itu."Wah, engkau menambah kesulitan," gerutu George. Bess lalu
berhenti berbicara.
Semuanya diam untuk beberapa saat. Sekretaris memberi
isyarat kepada kurator agar ke luar dari ruangan, diikuti oleh detektif.
Tinggal penjaga yang mengawasi ketiga gadis-gadis itu.
"Ada apa ini?," tanya Bess.
Nancy dan George mengangkat bahu.
"Barangkali roda peradilan sudah mulai berputar," jawab
sepupunya.
Ramalan itu ternyata tepat. Nancy segera dilepaskan, tetapi
dengan peringatan.
"Anda sangat mungkin bermanfaat bagi Polisi Amerika,"
berkata detektif museum itu. "Tetapi tidak bagi kami. Karena itu
jangan ikut campur perkara kami."
Meskipun menerima peringatan yang tajam, Nancy tersenyum
sopan, lalu minta diri. Dengan meninggalkan topeng, George dan Bess
mengikuti Nancy ke luar meninggalkan museum.
"Kau takkan berhenti menangani perkara ini, bukan?," tanya
Nancy Drew Misteri Simbol Yunani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bess.
"Kau dengar sendiri kata-kata orang tadi," jawab Nancy. Tetapi
dari sinar matanya nampak oleh teman-temannya bahwa ia takkan
melepaskannya.
Bess sekali lagi mengungkapkan gangguan yang menyelinap
masuk ke dalam kamar mereka. Peristiwa ini merisaukan kedua
teman-temannya.
"Orang itu mungkin sudah ada dalam kamar sebelum kita
masuk," kata George. "Mungkin ia ke luar ke serambi ketikamendengar kita datang. Aku rasa aneh bahwa gorden-gorden setengah
tertutup. Tetapi mungkin pelayan hotel yang menutupnya."
"Dan yang aneh lagi," sambung Bess, "Mengambil keranjang
apel yang mungkin sekali dia sendiri yang kirim."
"Semua itu hanya dugaan belaka. Barangkali buah apel itu
dimaksudkan untuk orang lain," kata Nancy.
"Kiranya begitu juga dengan ular itu," George melanjutkan.
"Bagaimana pun, siapa yang tahu kalau kita pergi ke Yunani? Kecuali
teman-teman kita sendiri?."
Mereka lalu bersepakat bahwa rencana selanjutnya adalah
mengunjungi Photini Agency. Kantor itu terletak di lantai paling atas
dari bangunan Bank di pusat kota. Pegawai-pegawainya berlari-larian
dari lemari berkas ke meja kerja, menimbulkan suasana sibuk.
Sungguh berbeda dengan suasana perwakilan yang ada di New York.
"Di sini takkan kekurangan pekerjaan," kata Nancy. Kemudian
ia minta bertemu dengan pimpinan.
Orangnya pendek, ramah, bermata hitam.
"Saya Diakos," sambutnya hangat.
Nancy memperkenalkan diri serta teman-temannya.
Ditambahkan bahwa mereka baru saja mengunjungi perwakilan yang
di New York.
"Ah, kalau begitu kalian datang untuk keluarga-keluarga miskin
di sini," kata Tuan Diakos. "Mereka memerlukan bantuan."
Nancy pikir rupanya ia mengira mereka berminat membantu
seseorang."Ini, lihat ini," kata orang itu sambil menarik laci meja dan
mengambil sebuah potret seorang anak kecil berwajah sedih. "Anak
manis. Tetapi lihat, tak ada senyum."
"Saya . . .," Nancy mencoba untuk menyela.
"Dan yang ini, lihat," kata Tuan Diakos menunjukkan potret
yang lain. "Ini kakaknya. Mereka tinggal di Athikia."
Kemudian ia mengeluarkan sebuah map dari laci yang lain.
"Semua anak-anak ini dari keluarga Angelo Kastro, sebuah kota di
Peloponesos. Keluarga mereka sangat miskin, dan . . ."
"Tuan Diakos, kami berminat hanya pada satu keluarga saja
waktu itu." Nancy berhasil menyela.
"Begitu?," menejer itu mengedip-ngedipkan matanya.
"Namanya Papadapoulos. Mereka tinggal di Agionori."
Tanpa mendengarkan lebih lanjut, Tuan Diakos minta
sekretarisnya memeriksa berkasnya. Tak terdaftar nama itu.
Dengan terheran-heran Nancy menceritakan tentang hilangnya
sumbangan-sumbangan Ny. Thompson dan menghilangnya Dimitri
Georgiou.
"Apakah anda tahu atau mendengar tentang dia?," tanya
George.
"Belum! Tetapi itu tak mengherankan. Saya memang masih
baru di sini. Masih membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri."
"Apa kantor ini pernah mengirimkan daftar nama kepada Tuan
Georgiou, untuk mencari penyumbang-penyumbang tetap?," tanya
Bess.
"Ya. Tetapi hanya beberapa saja yang disumbang oleh orang
Amerika. ""Lalu bagaimana dengan yang lain-lain?."
"Mereka masih memerlukan sumbangan!."
"Apa mungkin," tanya Nancy, "Bahwa Tuan Georgiou
menerima penyumbang-penyumbang tanpa melaporkannya kepada
anda?."
"Itu pun mungkin, tetapi mengapa . . .? Bagaimana ia dapat
melakukan hal itu? Sungguh jahat sekali mengambil milik orangorang miskin!." Gagasan itu membuat Tuan Diakos marah. "Dimitri
Georgiou harus bertanggung jawab tentang hal ini." sambungnya
marah-marah.
"Tetapi belum dapat dipastikan bahwa ia mengambil uang itu,"
kata Bess menenangkannya.
"Setidak-tidaknya ada orang yang mencurinya," kata Tuan
Diakos.
Sebelum ketiga gadis-gadis itu pergi, Tuan Diakos mencatat
alamat hotel dan nomor telepon mereka.
"Jika saya mendengar sesuatu tentang Dimitri, saya akan
memberitahu anda sekalian," katanya mengakhiri.
"Yaa, jalan buntu lagi," kata Bess kecewa. "Sekarang
bagaimana?."
"Kita sekarang ke Nikos Shipping Company," Nancy
mengusulkan. "Tetapi sebaiknya kita lebih dahulu menemui teman
ayah, Tuan Mousiadis. "Ia mungkin dapat meminjami mobil." Ia
mengeluarkan kartu nama dari sakunya. "Letak kantornya tak jauh
dari Hotel Skyros."
Ketika mereka tiba di kantor itu, mereka ditemani oleh seorang
pegawai yang masih muda dan tampak cerdas. Ia mengantarkanmereka ke ruang kerja Tuan Mousiadis. Tuan ini bertubuh jangkung,
kokoh, berwajah menyenangkan. Mereka dipersilakan duduk di kursi
yang empuk. Sebelum Nancy memintanya, ia telah menawarkan
mobilnya.
"Sungguh anda sangat baik hati," Nancy berucap. "Terimakasih
. . ."
Orang itu mengangkat tangan seperti hendak menghentikan
kata-kata terimakasih Nancy.
"Ayahmu telah menceritakan kepadaku untuk apa kalian
datang. Aku senang dapat membantu kalian. Sayang sekali aku harus
pergi ke Italia besok pagi. Maka aku tak bisa mengantar kalian putarputar kota. Meskipun begitu roda-empatku tentu dapat mengantarkan
kalian." Ia tersenyum lebar. "Tetapi aku ada usul bagi kalian!."
"Apa usul itu pak?," tanya Bess.
"Kalau kalian ada minat, silakan beli sebuah mati. Itu semacam
jimat untuk melindungi kalian: Na min avaskatbi. Semoga tak ada
sesuatu menimpa kalian." Ia menyerahkan serenceng kunci mobil
kepada Nancy. Ia pun mengatakan kepergiannya itu selama satu
minggu.
Jalan-jalan di kota Athena dipenuhi mobil-mobil pribadi dan
taksi-taksi. Kendaraan roda empat itu saling meliuk satu sama lain
sambil membunyikan klakson. Kadang-kadang dapat menimbulkan
bahaya, karena saling menyerempet. Nancy pegang kemudi dengan
hati-hati menuju ke pinggiran kota. Jalan-jalan yang sempit itu kini
ditampung oleh sebuah jalan raya. Ia ikuti jalan raya itu menuju
Piraeus, yaitu pelabuhan yang paling ramai di Yunani."Nah, itulah dia!," seru George melihat sebuah bangunan abuabu dengan papan nama NIKOS di bagian atas.
Di dalam gedung itu Nancy menanyakan kemenakan Helen,
Constantine. Ia pun tidak heran mendapat jawaban bahwa yang dicari
itu sudah tidak bekerja di situ lagi.
"Apa anda tahu di mana dia sekarang?," tanya Nancy sambil
memandangi orang itu tajam-tajam.
"Tidak. Constantine adalah anak binal dan berteman anak-anak
yang binal pula. Ia telah menghamburkan ludes uang peninggalan
orangtuanya. Kemudian ? uff ? ia menghilang seperti asap!."
"Bagaimana dengan tuan Vatis, pengacaranya?,"
Nancy bertanya untuk menjajagi.
"Tak punya kerjaan lagi!."
George menggumam. "Aku ada firasat, kita detektif-detektif
River Heights tak bakalan punya kerja lagi!."
"Kuharap saja tak bakal begitu," kata Nancy. Ia lalu minta izin
kepada orang itu untuk melihat-lihat di salah satu kapal Nikos.
Orang itu memberikan tiga lembar surat pas. Mereka dibuat
heran karena ia juga memberikan sebuah potret seorang pemuda
tampan.
"Inilah Constantine," katanya sambil mengangguk. "Untuk
kalian!."
"Tampangnya menyerupai Helen, bukan?," tanya Bess, melihat
mata coklat lunak dan rambut berombak.
"Ya, sedikit," Nancy mengangguk setuju. Ia lalu menyimpan
potret itu dalam dompetnya. Ia perhatikan dengan seksama petunjuk-petunjuk ke salah sebuah kapal barang yang ditambat di dekat
galangan.
"Tentu akan ada orang yang mengantarkan kalian ke kapal,"
kata orang itu. "Saya harap kalian dapat menikmati pesiar yang
menyenangkan dalam liburan ke negeri kami."
Ketiga gadis itu mengucapkan terimakasih lalu pergi.
"Kau kira, apa yang akan kita temui?," tanya George.
"Tentu beberapa pelaut yang manis-manis," jawab Bess dengan
mencibir.
"Atau tikus-tikus Yunani!", George nyengir.
Bess bergidik melihat kapal tanker kelabu yang besar di
depannya.
"Ayo, kita naik," ajak Nancy. Mereka berjalan naik ke tangga
kapal. Mereka menunjukkan surat pas mereka kepada pelaut yang
berjaga. Pelaut itu hanya dapat berbicara bahasa Yunani.
"Nah, begini lagi," keluh George. "Apa tidak ada seseorang
yang dapat bicara Inggris?," ia tanya pelaut penjaga.
Pelaut itu hanya memandangi George, mengangkat bahu, lalu
pergi. Mereka ditinggalkan begitu saja di kapal. Ketiga gadis itu lalu
turun ke palka bawah. Tiba-tiba kapal itu mulai bergerak.
"Kita akan dibawa ke mana?," teriak Bess.5
Terperosok Ke dalam Selokan
Ketiga detektif muda itu berlari ke atas. Kapal barang telah
bergerak beberapa meter dari tambatannya.
"Stop!," teriak Nancy kepada seorang pelaut. George dan Bess
melambai-lambaikan tangannya dengan kalang kabut ke dermaga.
"Turunkan kami!," teriak mereka.
Pelaut itu menjawab nyerocos dalam bahasa Yunani yang tidak
mereka mengerti. Ia lalu berteriak kepada seorang kawannya yang lalu
lari melompat masuk ke pintu besi.
"Apa yang harus kita lakukan bila kapal tak mau berhenti?,"
tanya Bess cemas.
"Lompat ke dalam air, dan berenang pulang!," George
menggoda.
"Itu tak perlu," kata Nancy tenang-tenang. "Kita akan kembali."
"Aduh! Hampir saja," Bess menghela napas. "Kita terculik. . .
.!"
"Lalu ditinggalkan di pulau tenggelam agar mati!" kata
sepupunya ketika mereka turun ke dermaga."Besok kita melakukan sesuatu yang tak begitu menegangkan,
oke?" kata Nancy. Ia mengusulkan untuk pergi menemui Maria
Papadapoulos.
"Apa keluarga mereka tahu kita bakal datang?" tanya George.
"Tentu saja tidak! Kecuali kalau Nyonya. Thompson menyurati
mereka. Tetapi bagaimana pun ia telah membekali aku sebuah surat
perkenalan."
Mobil melaju kencang beberapa mil melewati kebun-kebun
zaitun di sepanjang jalan raya yang berkelok-kelok menuruti Canal Of
Carimth. Ketika mereka sampai di sisi sebuah bukit, Nancy masukkan
persneling rendah karena jalanan menanjak terjal. Untuk sesaat ia
tidak memperhatikan pandangan. Ia tidak menyadari bahwa sebuah
pickup kecil sedang melaju di tikungan dari arah yang berlawanan.
"Ya, ampuun!" teriak George ketakutan.
Pickup bertambah melaju oleh jalanan turun. Dalam beberapa
detik kedua kendaraan itu pasti akan bertabrakan. Tak ada jalan
simpang atau jalanan masuk halaman rumah untuk dapat menghindar.
Yang ada hanyalah sebuah selokan berlumpur.
"Berpegang!" seru Nancy, lalu memutar kemudi dengan tajam
ke kanan, tepat menghindari arah lintasan pickup. Mobil melompat
seperti seekor kuda ke arah selokan. Roda belakang berputar putaran
tinggi, sementara roda depan menerjang masuk ke dalam lumpur.
Lumpur bermuncratan ke segala arah sebelum mobil itu berhenti sama
sekali.
Nancy melepaskan kemudi, lalu bersender di tempat duduknya.
"Yuuuh! Hampir saja!" ia berseru. "Kalian tak apa-apa?"
"He-eh! Tak apa-apa!" jawab Bess dengan suara lemah.George sambil meringis sempat membanyol. "Aku rasa seperti
cowgril. Untung kuda kita tidak binal dan mau berhenti. Kau sendiri
bagaimana, Nancy?"
"Tak apa apa!"
Sebenarnya tangan dan lengan Nancy terasa pegal dan sakit
karena memegang kemudi erat-erat. Ia mengambil napas dalamdalam.
"Mari kita coba mendorong mobil ke luar dari lumpur, "katanya
mengajak kedua teman-temannya.
"Takkan mungkin berhasil," jawab Bess seperti meramal.
"Tunjukkan pikiranmu yang positif dan kreatif!" berkata
George cerah.
George lalu memasang kuda-kuda di bumper belakang sebelah
kanan. "Siaap!" Ia melirik ke arah Nancy yang juga mengambil posisi
yang sama di sebelah kiri.
"Siap!"
Bess mendorong di tengah-tengah di antara kedua temantemannya. "Satu, dua, tiga, dorong!" ia beri aba-aba. Tetapi mobil tak
bergerak.
"Remnya sudah dilepas?" tanya Bess.
"Sudah," jawab Nancy sambil menghembuskan napas ke luar.
"Sekali lagi! Satu, dua, tiga, dorong!"
Kali ini mobil bergerak sedikit, tetapi tidak jauh.
"Sia-sia!" Bess mengeluh dan menjatuhkan diri ke atas tubuh
mobil.George bersandar pada mobil, sementara Nancy berjalan
menuju bagian depan mobil. Roda-roda depan mobil sudah terbenam
dalam lumpur.
"Kita perlu sebuah derek," katanya mengeluh.
Di kejauhan, seorang wanita tegap berpakaian katun muncul
dari sebuah rumah pertanian. Bersama dia ikut tujuh orang anak-anak,
bergantungan pada gaunnya, sementara wanita itu bergegas berjalan
menuju ke tempat kejadian. Ia berceloteh kepada ketiga gadis-gadis
itu dalam bahasa Yunani dan memandangi mobil dengan perasaan
penuh iba.
"'Parakalo, tunggu sebentar!" Nancy angkat bicara sambil
membuka buku kamus kecil dari dalam dompetnya. Dengan cepat ia
membuka halaman-halam kamus. Ia temukan kata-kata voithia
autokinito dan mihaniko, yang berarti tolong, mobil dan montir.
Wanita itu mengangguk mengerti, lalu menepuk-nepuk anaknya
sambil berkata :"Zoe Grigora Grigora! "
"Itu mungkin artinya "Cepat" bisik Bess kepada Nancy.
"Fere ton Baba!" wanita itu melanjutkan.
Tidak lama kemudian anak itu kembali bersama ayahnya,
seorang yang sedikit lebih tinggi dari isterinya, tetapi berotot kekar. Ia
lalu mengitari mobil itu dan kemudian masuk ke dalamnya. Ia
menstarter mobil itu dan menginjak pedal gas sampai rapat ke lantai
mobil. Yang lain semua mundur menghindar dari cipratan lumpur
karena putaran roda-roda sangat cepat. Tiba-tiba mobil bergerak ke
depan.
"Efharisto, efharisto. terimakasih!" ucap Nancy ketika mobil
telah berdiri di jalan lagi.Suami isteri itu tersenyum cerah ketika ketiga gadis-gadis itu
membagi-bagi kepingan uang Amerika kepada anak-anaknya. Mereka
Nancy Drew Misteri Simbol Yunani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ketika kemudian
ketiga gadis pelancong itu meneruskan perjalanannya ke rumah
keluarga Papadopoulos, sebuah rumah kecil dari batu di pedalaman
jauh dari jalan raya.
Nancy memberikan surat perkenalan dari nyonya Thompson.
"Aku tak dapat baca," kata nyonya itu. "Maria, engkau saja ..."
Anak perempuannya yang berumur antara sembilan atau
sepuluh tahun berkata: "Ibu hanya mengerti sedikit bahasa Inggris."
"Tetapi bahasa Inggrismu bagus sekali," kata George.
"Itu karena saya bersekolah di Athena."
Maria melirik ke surat dan melihat nama Nyonya Thompson di
bawahnya. Ia lalu tersenyum.
"Ia nyonya yang baik. Ia telah banyak membantu kami. Tetapi
sekarang tidak lagi."
Sementara anak itu berkata para pendengarnya melihat melalui
pundaknya ke permadani-permadani, tenunan tangan dengan benang
wol merah dan coklat. Sangat berbeda dengan kain-kain katun putih
bersih yang terdapat di atas meja dan kursi-kursi.
"Nyonya Thompson tidak pernah berhenti kirim sumbangan
kepada nyonya," kata Nancy menjelaskan. "Ada orang yang
mencurinya!"
Maria tertegun dan menggumam dalam bahasa Yunani kepada
ibunya. Ibunya pun nampak terkejut. Matanya berkaca-kaca. Ia dapat
menguasai diri ketika George minta untuk melihat buah tangannya.
Dengan segera Maria mengambil sebuah kantong dari kain. Ibunyamembukanya dan mengeluarkan sehelai selendang yang disulam
indah.
"Indah sekali," Bess memuji. "Apa ini dijual, Maria?"
Anak kecil itu mengulang pertanyaan itu dalam bahasa Yunani.
Nyonya Papadopoulos menggeleng.
"Untuk hadiah!" katanya sambil menghapus airmatanya.
"Anda baik sekali, Nyonya," kata Bess dengan manis. "Tetapi
saya tak dapat menerimanya, kecuali kalau saya boleh membayar. Ini
bukan untuk saya sendiri. Saya akan memberikan kepada orang lain."
Setelah diberikan penjelasan oleh Maria, ibunya mau menerima
uang itu, walau dengan setengah hati. Kemudian ia mengambil lagi
sehelai saputangan putih dengan bertepi renda yang lain dari pada
yang lain. Ia memberikannya kepada Bess.
"Untuk anda," katanya. Lalu mengambil dua helai lagi untuk
George dan Nancy.
"Efharisto," kata mereka menyatakan terimakasih.
"Saya kira, nyonya Thompson tidak . . ." kata Maria.
Tetapi disela oleh Nancy: "Ketika ia menerima surat ibumu,
nyonya Thompson sangat bingung."
"Itu saya yang menuliskan untuk ibu ..."
"Ya, nyonya Thompson menyadari bagaimana kalian
memerlukan bantuannya." Sebelum ia dapat meneruskan, pintu rumah
terbuka dan masuklah dua anak kecil yang lebih muda dari Maria.
"Ela! ela! Michali, Anna!" panggil ibunya. Kemari, ada tamu."
Ia menyuruh mereka mengambil beberapa gelas susu kambing segar
untuk tamu-tamunya. Bess meminumnya dengan cepat."Sedap sekali," katanya, "sebaiknya kalian membuat gula-gula
susu kambing."
"Begitu?" jawab Maria tersenyum. "Berapa banyak susu yang
akan diperlukan untuk itu? Kami hanya mempunyai tiga ekor
kambing."
"Kalau demikian, saya minta permisi sebentar," kata Bess. Ia
kembali membawa sebuah keranjang besar berisi makanan yang lezat
dari Athena.
"Di mana kau sembunyikan itu?" tanya George keheranan.
"Di tempat begasi, tentu," jawab Bess tak acuh.
Kemudian makan disiapkan. Meskipun semuanya makan
dengan penuh selera, namun masih tersisa banyak untuk keluarga
Papadapoulos.
Ketika kemudian ketiga dara itu kembali menuju Athena,
Nancy dan George memuji-muji Bess.
"Baru kali ini kau makan tidak minta tambah!" George
menggodanya. "Nah, setelah engkau memulai diet, bagaimana kalau
itu kauteruskan saja?"
Bess diam tidak menjawab.
Kemudian mereka melaju melalui pantai pemandian. Nancy
melihat daerah tempat pemandian yang berpasir putih itu dengan rasa
tertarik.
"Kalau saja kita membawa pakaian mandi," katanya menghela
napas.
"Nah, ini kejutan yang kedua!" seru Bess. Tanpa setahu temantemannya ia membawa pakaian mandi buat mereka lalu pergi ke loket,
kemudian menuju ke tempat berganti pakaian. Cepat-cepat merekaberganti pakaian, melemparkan handuk-handuknya ke pasir pantai,
lalu segera mencebur ke dalam laut, dan George menyelam ke bawah
ombak yang datang bergulung. Dan Bess berenang-renang menyusuri
pantai.
"Sedap!" pikirnya, merasakan air laut yang sejuk menyentuh
tubuhnya. Ia berbalik arah, kemudian berhenti dan berdiri di dalam
air. Tiba tiba ia berteriak kesakitan.6
Mengejar Tersangka
Mendengar teriakan Bess, Nancy dan George berenang dari
arah yang berlawanan menuju tempat Bess. Mereka meluncur dengan
cepat. Tetapi sebelum mereka sampai, seorang penjaga pantai telah
lebih dulu mencapai Bess.
"Kakiku sakit!" kata Bess kepadanya sambil terpincang-pincang
berjalan ke tepi pantai.
Penjaga pantai itu berlutut memeriksa kulit kaki Bess yang
memar merah.
"Disengat ubur-ubur," katanya, lalu ia berdiri. "Akan segera
sembuh. Aku punya . . . ."
"Ada apa?" George menyela begitu ia dan Nancy tiba di tempat
Bess.
Pandangan Nancy menyapu kaki Bess yang memerah. "Ada
alkohol untuk mengurut?" tanyanya kepada penjaga pantai.
"Tidak! Tetapi aku punya larutan amoniak."
"Amoniak" seru Bess dengan mulut ternganga.
Penjaga pantai itu lari ke sebuah tas di dekat kursi dan
mengambil sebuah botol berisi cairan bening. Kemudian ia
meneteskan pada tempat memar merah."Aduuuh!" teriak Bess. "Panas sekali. Lebih sakit dari sengatan
ubur-ubur!" Ia menyepak-nyepakkan kakinya, tetapi kemudian merasa
lega karena rasa sakitnya segera lenyap.
"Nah, kubilang apa? Rasa sakit itu akan segera sembuh," kata
penjaga pantai itu. "Alexis tak pernah salah!"
Bess membalas senyuman sesaat sehingga pipinya bersinar di
cahaya matahari.
"Alexis!" katanya menunggu disebutnya namanya yang
lengkap.
"Hios".
"Keluarga perkapalan?" tanya Nancy.
"Betul! Kami dari sebuah pulau yang juga bernama Hios."
"Lalu, mengapa engkau di Loutraki sini? Dan tidak berlayar
dengan kapal pesiarmu?" tanya Bess.
"Nanti akhir musim panas. Kalian ingin ikut?" jawabnya segera.
Cahaya matahari menari-nari di bahunya yang coklat
kepanasan, hingga membuat tamu-tamunya menjadi lebih kerasan
tinggal di pantai pesisir Yunani.
"Ingin sekali," kata Bess.
"Tetapi kami takkan tinggal selama musim panas di sini,"
sambung George dengan cepat.
"Sebenarnya kami di sini karena suatu urusan," Nancy
menimpali. "Dan sesungguhnya urusan itu melibatkan keluarga
perkapalan Nicholas, pemilik Pelayaran Nikos."
"O, itu! Aku kenal mereka!"
"Kau kenal?""Sudah tentu," kata Alexis. "Kaum perkapalan merupakan satu
masyarakat yang akrab."
"Kalau begitu kau kenalConstantine Nicholas?" sambung
George.
"Ya!"
"Bagus! Kami sedang mencari dia. Maksudku, Nancy yang
mencari."
Alexis kini agak membatasi diri. "Aku tahu ia menghilang
dengan sejumlah uang. Sebagian me? warisan dari orangtuanya, dan
selebihnya uang curian. Tetapi mungkin juga itu hanya suatu gossip."
"Sekarang apa yang ingin kaudengar dari kami?" tanya Nancy.
"Pertama: mengapa tiga dara manis dari Amerika begitu ingin
tahu?"
Dengan singkat gadis detektif itu mengatakan bahwa ayahnya
adalah pengacara dari keluarga Nicholas. Nancy diminta untuk
mencari kemenakan Helen yang hilang, yaitu Constantine.
"Mengenai uang curian yang kausebutkan itu, apakah itu dicuri
dari kekayaan paman Nicholas?"
"Barangkali. Kutahu bahwa orang tua itu menginginkan
Constantine meneruskan usahanya setelah ia meninggal. Tetapi
sekarang ia menghilang. Tak seorang pun tahu di mana dia."
Alexis tak dapat mengungkap perkara itu lebih jauh. Mereka
lalu mengobrol tentang negeri Yunani.
"Apa kalian sudah pernah melihat bukit Lycabettus?" tanya
Alexis.
"Di mana itu?" Bess balik tanya."Di Athena," jawabnya. "Tempat itu mempunyai pemandangan
yang bagus atas kota Athena. Di sana juga ada gereja kecil dan sebuah
rumah makan. Barangkali kalian ingin ke sana? Bersama aku sore
nanti?"
"Enak juga kedengarannya," jawab George.
"Bagaimana kalau kita bertemu jam delapan tigapuluh?" Nancy
menawarkan, sementara ketiga dara itu meraih handuknya masingmasing.
"Baik! Katakan di mana anda bertiga tinggal." kata Alexis.
"Hotel Skyros," jawab Bess. Lalu melambaikan tangannya
memberikan salam selamat tinggal. "Sampai nanti!"
Ketiga detektif muda itu lalu berganti pakaian. Pada waktu
mereka menuju ke Athena, Nancy menyebut-nyebut nama nyonya
Thompson.
"Kukira, aku perlu menelepon dia, menyeritakan kunjungan kita
ke Agionori."
"Jangan menelepon dari hotel," kata George. "Sampai tua
takkan dapat sambungan!"
Maka sesudah Nancy mengembalikan mobilnya ke dalam
garasi, bertiga mereka pergi ke kios dekat hotel. Nancy menelepon,
mendengar bunyi bel sambung berulang-ulang tak ada yang
menyahut, lalu gagang telepon diletakkan kembali. Dicobanya pula
nomor Helen Nicholas yang juga tak menjawab.
"Barangkali saja ayah ada di rumah," guman Nancy, lalu
memutar nomor telepon lagi.Ia merasa lega ayahnya segera menyahut. Nancy menceritakan
berita yang terakhir. Sementara itu Bess menarik George ke
sampingnya.
"Kaulihat orang yang di seberang itu?"
Seseorang yang jangkung, berambut hitam, tampak mondarmandir di depan pagar besi.
"Kukira dia orangnya yang mengambil keranjang apel dari
dalam kamar hotel kita," kata Bess.
"O ya?" kata George." Mari kita awasi dia!"
Begitu Nancy selesai menelepon, Bess segera menceritakan
tentang orang yang dicurigainya. Tiba-tiba ia berseru dengan suara
tertahan.
"Lihat pula siapa yang datang itu!" serunya.
Orang yang dilihat mereka datang mendekati orang asing itu
ternyata Isakos, yaitu orang yang menjengkelkan ketika mereka
berada dalam pesawat menuju Athena dahulu.
"Ikut aku," Nancy mengajak teman-temannya. Ia bawa kedua
temannya itu ke jalan yang memutar ke arah belakang jalan tempat
kedua orang asing itu bertemu.
Bertiga mereka berjalan cepat menuju rumpun tanaman
bugenvil yang merambat di pagar besi. Dengan menyibakkan bungabunga bugenvil itu mereka dapat melihat jelas wajah Isakos yang
merah. Bibirnya nampak bergerak-gerak, tetapi suaranya hampir tak
terdengar. Tiba-tiba ia berkata dengan suara agak keras.
"Besok pagi, kira-kira jam dua atau tiga tak akan ada orang di
sekitar St. Mark!" suaranya menjadi ngotot. "Itu akan lebih baik. Kita
dapat. ""Jangan terlalu keras bicaramu!" kata yang seorang lagi
memperingatkan.
"Aku tak mendengar apa yang mereka bicarakan," bisik Bess
kepada Nancy.
"Ssst!" sepupunya memperingatkan.
Mereka hanya dapat mendengar kata-kata sepatah-sepatah
seperti kata mosaik, sebelum kedua orang itu mulai beranjak pergi.
Mereka menyeberang jalan. Rupanya menuju hotel Skyros.
"Apakah mereka tinggal di sana?" tanya Bess. Ia lalu mengikuti
Nancy bersama sepupunya menyeberangi lapangan.
"Jika tidak keduanya, aku yakin salah seorang dari mereka!"
kata Nancy sambil memasuki hotel. Ia berhenti di meja petugas hotel
untuk bertanya sesuatu.
"Memang betul," jawab petugas hotel. "Di kamar 986 tinggal
seseorang bernama Isakos."
"Terimakasih!" ucap Nancy.
"Apa nona ada pesan?"
"Ah, tidak!" jawab Nancy. Nomor kamar orang itu sangat
mengesankan di benaknya. Kamar mereka sendiri bernomor 968. Apa
ular di dalam keranjang itu dimaksudkan untuk Isakos? Bila demikian,
mengapa?
Pikiran itu pun terlintas di benak George.
"Kamar kita cukup jauh dari kamar nomor 986," katanya
sewaktu menaiki elevator menuju lantai sembilan.
Tiba di sana mendapati serambi lantai itu kosong. Tak seorang
pun yang nampak."Aman!" kata Bess. Lalu berjingkat-jingkat menuju kamar
Isakos bersama kedua teman-temannya. Mereka mencoba mencuri
dengar sejenak, tetapi tak terdengar sesuatu.
"Barangkali yang seorang itu telah pergi," bisik George.
"Mungkin juga mereka sedang di tengah jalan kembali," kata
Bess. "Lebih baik kita pergi."
Ketiga dara itu bergegas kembali ke kamarnya untuk istirahat.
Kemudian mereka mandi dan berganti pakaian. Kurang dari satu jam
Alexis akan datang, Nancy sudah selesai mengenakan rok dan blus
biru kehijauan yang manis. Bess memakai pakaian putih dengan
bulatan-bulatan kecil, sedang George mengenakan baju sutera
berwarna kecoklatan.
Ketika bersantai-santai meninggalkan elevator menuju lantai
pertama, mereka mendapatkan Alexis sudah duduk di sebuah kursi
malas di bawah pohon palem. Kulihatnya yang coklat sangat
menyolok dalam bajunya yang putih.
"Halo!" seru mereka serentak menyebabkan pemuda itu
terperanjat bangkit untuk berdiri.
"Aku ada berita baik untuk kalian," ia berkata penuh teka-teki.
"O ya?," kata Bess ingin tahu.
"Kukira aku telah melihat Constantine."
"Di mana?," tanya Nancy heran.
"Di dekat Plaka. Aku berusaha untuk menemuinya, tetapi tak
berhasil. Terlalu banyak orang di sekitar itu."
Nancy Drew Misteri Simbol Yunani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin Constantine bekerja di pasar loak," kata Nancy
penuh pikiran. "Sebaiknya besok pagi kita ke sana untuk mencari
sekiranya dapat ditemukan."Teman-tcmannya menyetujui. Kemudian saat mereka sampai di
bukit Lycabettus percakapan mereka telah berganti arah.
"Bagaimana kita dapat sampai di sana?," tanya Bess.
"Dengan funicular, " sahut Alexis sambil menunjuk kereta
gantung yang sedang siap memasuki sebuah terowongan.
"Itu akan menuju gereja St. George."
"Berbicara tentang St. George," kata Nancy ketika mereka
berada dalam salah satu ruangan kereta gantung, "Apakah di dekatdekat ini ada gereja yang bernama St. Mark?."
Alexis berpikir sejenak. "Aku kurang tahu!," katanya.
"Yaah! Aku teringat suatu tempat yang disebut St. Mark yang
barangkali mempunyai ikon-ikon atau mosaik yang indah," kata
Nancy melanjutkan.
"O ya. Sebuah biara!."
"Ada di Athena sini?."
"Bukan! Di pinggiran kota sebelah utara."
Pada waktu Alexis berkata demikian, kereta gantung bergerak
memasuki terowongan yang gelap, perlahan-lahan meninggalkan
gedung-gedung di bawah.
"Luar biasa!," seru George ketika mereka telah mencapai
puncak bukit.
Gereja itu kecil saja, berwarna putih menyolok membuat
pemandangan yang indah dari bukit. Alexis menunjuk ke arah
Acropolis, di mana bianglala lampu-lampu menghiasi puing-puing
tersebut. Kemudian ia menunjuk ke arah Istana Raja, sedang ke arah
lain adalah pelabuhan Piraeus."Kami takkan pernah sampai di sini bila tak bertemu
denganmu," kata Bess kepada Alexis. "Terimakasih."
"Dengan senang hati," jawabnya, "Kuharap kalian mau tinggal
di sini selama musim panas ini."
Senja cepat berlalu. Ketiga dara itu berjanji akan selalu
berhubungan dengan teman barunya.
*************
Keesokan paginya mereka bangun pagi-pagi. Setelah sarapan
pagi, mereka segera pergi menuju toko emas di monastiraki. Nancy
bertanya kepada pemilik toko. "Apakah anda ingat nama orang yang
membeli topeng emas itu?."
Nyonya pemilik toko itu memandang Nancy yang tampak heran
sambil melihat ke teman-temannya.
"Topeng emas? Topeng emas apa?," tanya nyonya itu.
"Itu, yang dahulu dipajang di jendela," kata Nancy.
"Saya tidak mengerti yang anda katakan."
"Tentunya anda ingat dengan kami bertiga ini," Nancy
melanjutkan.
Pemilik toko tetap membungkam. Tetapi ketika Bess hendak
membeli sebuah gelang benang emas, ia mulai tersenyum.
"Pilihan yang bagus. Maafkan sebentar, akan saya bungkus."
"Aneh," kata George saat nyonya itu masuk ke balik gorden.
Tetapi ketika ia dengar percakapan bisik-bisik maka ia pun berhenti
berbicara, Nancy berjingkat ke dekat gorden. Ia menangkap kata-kata
Yunani : simera, ti ora, stis ekto apopse dan akhirnya nama hotel
mereka.
"Ada terjadi sesuatu di hotel Skyros!," kata Nancy tertegun.7
Nyaris Kecurian
Sebelum Nancy sempat bicara dengan teman-temannya, gorden
itu tersibak terbuka. Pemilik toko itu muncul memegangi barang yang
dibeli Bess.
"Ada sesuatu yang kalian kehendaki lagi?," tanyanya.
"Sudah. Terimakasih!," jawab George sambil memberi isyarat
kepada sepupunya untuk pergi.
Di luar toko, Nancy membuka kamus Yunani? Inggrisnya lalu
berkata : "Sesuatu akan terjadi pada salah seorang dari kita malam
nanti jam delapan. Di hotel."
"Apa?," seru Bess.
"Tetapi di mana?," tanya George. "Takkan mungkin kita awasi
seluruh hotel. Empat belas lantai.. .".
"Dan sebuah lobby," Bess menyela. "Kau merasa pasti katakata pemilik toko itu?."
"Memang tidak pasti!," kata Nancy. "Tetapi naluriku
mengatakan demikian. Bagaimana pun, kita harus tetap waspada apa
yang akan terjadi di sekitar hotel."
Sore itu, pada jam tersebut ketiga dara itu berjalan-jalan ke
setiap sudut hotel. Untuk tindakan berjaga-jaga, Nancy berpesankepada petugas meja penerima tamu dan operator telepon untuk tidak
memberitahukan nomor kamar mereka kepada siapa pun. Bess
menawarkan diri untuk mengawasi pintu masuk yang selalu ramai.
"Di mana kalian berdua?," ia bertanya.
Sebelum mereka menjawab, terdengar panggilan suara
pengeras, ada telepon untuk Nona Nancy.
"George," katanya, "Maukah kau menyelidikinya untukku?."
"Tentu. Ke mana kau sendiri?."
"Ke atas! Ke kamar kita!."
"Sendirian?," tanya Bess khawatir.
"Takkan ada apa-apa. Kau awasi saja pintu masuk. Tak perlu
merisaukan aku. Kudapat firasat, telepon itu hanya untuk memisahkan
diriku dari kamar."
Gadis itu naik elevator ke laptai sembilan. Firasatnya
mengatakan bahwa ia harus ke luar dengan hati-hati. Ketika akan
mendekati kamarnya, sekonyong-konyong ada orang laki-laki muncul
dari pintu tangga. Di tangannya menggenggam sebuah kunci. Cepatcepat orang itu memasukkan kunci ke lubang kunci kamar mereka.
"Tunggu!," Nancy berseru sambil berlari mendatangi.
Orang itu seketika berbalik dan melemparkan sesuatu
kepadanya, kemudian lari melesat ke tangga.
"Berhenti!," teriak Nancy sementara mengelak dari benda yang
dilemparkan orang itu. Ia terus mengejar orang itu ke lantai bawah.
Orang itu lari masuk elevator bersamaan dengan masuknya sepasang
suami isteri. Pintu segera menutup ketika Nancy tiba. Mungkin orang
itu menuju lobby, pikir Nancy.Cepat-cepat Nancy berlari kembali ke tangga, dan meluncur
turun. Tiba di lantai pertama ia menengok ke sana kemari dengan
napas memburu. Ia berharap dapat melihat orang itu ada di lobby.
Tetapi baik orang itu maupun sepasang suami? isteri tak nampak.
Nancy kemudian bergegas ke meja penerima tamu.
"Parakalo maafkan saya," katanya. "Saya mencari seseorang."
Ia menyebutkan orang yang dicurigainya beserta sepasang suami?
isteri. "Apakah mereka tinggal di hotel ini?."
"Saya tak mengenali orang itu. Tetapi suami-isteri itu rupanya
saya kenal. Namanya Zimmer. Mereka tinggal di sini. Mungkin,
mereka anggota wisatawan asal Massachusets. "
Tepat waktu itu George melihat Nancy datang menghampiri.
"Telepon itu datang dari seorang wartawan," katanya. "Ia ingin
menulis sebuah artikel tentang dirimu."
"Tentang diriku?," tanya Nancy. "Mengapa?."
"Rupanya ia dengar kau ada di Athena untuk memecahkan
suatu perkara. Ia ingin mengetahui perkara apa itu!."
"Kau tentunya tidak mengatakannya, bukan?."
"Jelas tidak! Aku takkan mengatakan kepada siapa pun.
Kubilang, detektif macam apa aku ini bila mengatakan kepada anda
lewat telepon!."
"Lalu apa katanya?."
"Ia tidak ingin sampai ke perinciannya. Cukup untuk menyusun
artikel yang menarik. Biar begitu, kataku, saya sungguh-sungguh tak
dapat membantu," ia berhenti sebentar. "Kukira, ia menganggap aku
adalah engkau, sampai aku terlepas mengatakan bahwa aku bukan
Nancy Drew. ""Lalu bagaimana?."
"Ia marah-marah, lalu menutup percakapan."
"Kau tahu siapa dia namanya?," tanya Nancy mendesak.
"Ya. Ia sebutkan nama Irwin."
"Lalu untuk suratkabar apa Irwin itu bekerja?."
"Ia seorang wartawan lepas. Paling tidak, itu yang ia katakan. Ia
mengatakan khusus menulis tentang orang-orang Amerika yang
tinggal atau sedang berkunjung ke Yunani."
Nancy menyatakan kesimpulannya.
"Kukira, Irwin, jika memang itu namanya, hanya berusaha agar
aku jauh dari kamar ketika kawannya berusaha masuk ke dalam kamar
kita." Nancy lalu menceritakan apa yang terjadi di lantai sembilan.
"Orang itu mirip orang yang mengambil keranjang apel ..."
"Dari mana ia mendapat kunci kamar kita?," tanya George.
"Apakah ia bekerja di hotel ini?."
"Mungkin. Atau ia mencuri kunci induk, lalu membuat
duplikatnya."
"Mengerikan," kata George menggeleng-gelengkan kepala.
"Bila benar dugaanmu, ia akan datang lagi sewaktu-waktu."
"Kita tak punya barang-barang yang pantas untuk diambil
pencuri," kata Nancy.
"Yang kini kurisaukan ialah bahwa ia dapat menyakiti kita.
Kalau begitu, apel itu memang dimaksudkan untuk kita."
George mengangguk cemas. "Sebaiknya kita bertukar kamar
saja, sebelum . . ."
Pada saat itu Bess datang. "Tunggu! Dengarkan dulu!," ia
berkata terengah-engah."Ada apa?."
"Seorang laki-laki lari ke luar elevator. Hampir menubruk aku.
Kudengar ia menyebut nama ?Drew?."
"Kau tak ikuti dia?," tanya George.
"Kucoba mengikutinya, tetapi ia dapat melepaskan diri. Ia
melompat masuk ke dalam sebuah mobil, dan mereka ngebut!."
"Mereka?," tanya George.
"Ada seorang lagi, temannya yang pegang kemudi."
"Kau lihat sepasang suami?isteri bersama mereka?," tanya
Nancy.
"Aku ingat-ingat dahulu. Ada dua orang lagi dalam elevator itu.
Tetapi mereka tak ikut dengan dia. Nampaknya mereka pun jengkel
seperti aku ketika orang itu lari melintas di depan mereka. Aku yakin
orang kasar itu yang kita lihat bersama Isakos!."
Tiba-tiba Nancy teringat benda yang dilemparkan orang itu ke
arahnya di serambi dekat kamarnya.
"Mari kita ke atas," katanya. "Sambil berjalan akan kuceritakan
semua yang terjadi kepadamu." Ketika Bess mendengar ada orang
yang akan masuk ke kamar mereka, ia menjadi pucat.
"Kita harus pindah dari sini!," ia mendesak. "Bagaimana kalau
mereka menyelundupkan ular berbisa lagi?."
"Kalau merasa lebih aman di kamar lain," kata Nancy. "Dapat
saja kita atur. Aku sendiri akan tetap di kamar ini."
"Apa untungnya kau mau jadi sasaran bahaya?."
"Apa amannya kita ada di kamar yang lain? Kalau kita pindah
hotel lain, berarti kehilangan jejak mereka. Dan itu aku tidak mau.
Aku ingin dapat menangkap mereka.""Nancy benar," sela George. "Kita merupakan satu kelompok.
Menghadapi bahaya berarti setengah menang dalam perang."
Mereka lalu berhenti di dekat kamar 968. "Itu dia!," seru
Nancy, melihat suatu benda tergolek di atas karpet serambi. Ia
mendahului maju dan memungut benda tersebut.
"Sebuah stempel logam!," katanya.
Di bawah tertera simbol ular yang aneh itu. Simbol yang
mereka lihat pada topeng emas!.8
Amarah Yang Berharga
Apakah pencuri dan Isakos bekerja sama sebagai pencuri benda
seni? Begitulah Nancy bertanya-tanya dalam hati. Jika benar demikian
apa salah satu orang di antaranya telah meletakkan topeng itu dalam
tas Nancy? Yaitu dengan harapan jika Nancy mengembalikannya ke
museum, justru dialah yang akan ditangkap?
"Betul-betul tak masuk akal," kata George dengan meneliti
stempel.
"Stempel ini tentunya digunakan untuk menandai benda-benda
curian dari museum," kata Bess menduga-duga.
Tetapi mengapa orang asing itu yang membawanya? Lalu
mengapa pula ia melemparkannya? Apa karena tindakan putus asa?
Tak ada satu jawaban pun diperoleh ketika ketiga gadis-gadis itu
memasuki kamar mereka.
"Barangkali kita harus melakukan penyelidikan di biara St.
Mark," kata George.
"Aku tak heran mengapa Isakos dan teman-temannya itu
mencuri patung-patung."
"Lalu dicap dengan stempel itu?," sambung George."Hmm. Aku punya firasat, malam ini kita akan menghadapi
malam yang panjang," Bess mengeluh. "Bukanlah Isakos mengatakan
sesuatu pada jam dua atau jam tiga dini hari?."
"Apakah kita dapat tidur beberapa jam?," usul Nancy. Ia lalu
mengeluarkan kunci mobil pak Mousiadi dari dalam dompetnya dan
meletakkannya di dekat jam beker. "Jika aku terbangun dan melihat
ini, pasti dengan segera aku akan bangkit."
Ketiga dara itu tak ada yang dapat tidur dengan nyenyak. Ketika
malam itu mereka bangun jam menunjukkan pukul satu.
"Semua siap?," tanya Nancy riang.
Bess mengangkat kepalanya dari bantal, menggumam dan
membalikkan tubuhnya.
"Ayo bangun, tukang tidur!," bentak sepupunya.
"Pergilah!," gerutu Bess namun toh memaksa diri bangun.
Begitu wajahnya tersentuh air, Bess menjadi segar dan ingin
segera memulai perjalanannya ke bukit-bukit. Tetapi suara deru mobil
membuatnya mengantuk lagi.
"Berapa jauh yang harus kita tempuh?," tanya Bess ketika
sampai di pinggiran kota.
"Beberapa mil lagi," jawab Nancy menekan ingin menguap.
Tidak lama kemudian ia mengemudikan mobilnya di jalanan
yang sempit, berkelok-kelok di antara rumah-rumah yang gelap.
Mendekati pintu besi biara deretan pohon cemara makin tumbuh rapat.
Sebuah lilin nampak menyala dari balik sebuah jendela.
"Bagaimana kita dapat masuk?," bisik Bess. "Pintu pagarnya
terkunci!."
Nancy mematikan lampu depan dan menghentikan mobilnya."Di mana ada kemauan, di sana ada jalan," katanya.
Dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, ketiga detektif
itu merayap dalam suramnya sinar bulan, bergerak menuju ke pintu
pagar.
"Untung," bisik Nancy. "Palang pintu pagarnya patah."
"Barangkali telah dipatahkan seseorang," bisik Bess.
"Atau memang sudah karatan," bisik sepupunya sambil
membantu Nancy menguakkan pintu pagar yang berat itu.
Mereka mengendap-endap melintasi halaman. Dengan
memandangi jendela yang diterangi cahaya lilin, mereka bersembunyi
di balik sebatang pohon. Tiba-tiba suara mengaung mengundang para
rahib dari sel-sel mereka.
"Ada apa ini?," bisik Bess.
Ia menjulurkan kepalanya dari balik pohon memandangi para
rahib yang berjalan lambat-lambat memasuki pintu gereja di ujung
halaman.
"Apa kau ingin diketahui orang-orang itu?," bisik sepupunya
dan menariknya kembali berlindung di balik pohon.
"Tak mungkin tampak oleh mereka. Gelapnya bukan main,"
jawab Bess.
"Ssst," Nancy mengisyaratkan agar diam.
Ia melihat sesuatu cahaya berkelip-kelip di seberang halaman.
Nancy Drew Misteri Simbol Yunani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barangkali ada seorang rahib yang tertinggal di selnya, memasang
lampu lalu memadamkannya lagi. Tetapi dilakukan berulang-ulang?
Apa mungkin suatu isyarat?
Kedua bersaudara pun melihat. Tetapi mereka diam saja ketika
seseorang yang berjubah hitam panjang berlari melintas di depanpersembunyian mereka. Suara mengaung telah berhenti. Para rahib
berjalan kembali melintasi halaman menyebar menuju ke sel-sel
masing-masing.
"Mari kita ke kebun sana!," bisik Nancy.
Bess menangkap lengannya. "Bagaimana kalau mereka keluar
lagi?."
"Kalau,kalau," gerutu George. "Bagaimana kalau langit runtuh,
anak ayam?."
Dengan mengeluh Bess melangkah dari balik pohon.
"Berhenti di tempat!," suara berat terdengar memerintah.
"Ya ampuun!," Bess tertegun ketakutan.
Nancy membalikkan tubuhnya dan cepat menghadapi detektif
raksasa yang pernah hendak menangkapnya di museum.
"Anda membuntuti kami?," Nancy bertanya.
Ketika mereka sedang berangkat kemari, Nancy memang
melihat lampu mobil di belakangnya. Tetapi mobil itu melewatinya
ketika ia memarkir mobilnya.
"Saya?seperti kata anda?selalu mengawasi kalian."
"Tetapi saya tak mengatakan kepada siapa pun tentang
kepergian kami ini," kata gadis detektif itu.
"Bukan soal. Hotel kalian sangat membantu polisi."
"Maksud anda, ada seseorang di hotel yang melapor kepada
anda tentang datang maupun kepergian kami?," tanya George tak
percaya.
Detektif itu tak menghiraukan pertanyaannya.
"Kalian tak ada hak datang ke sini," katanya menuduh. "Ini
milik pribadi.""Kami sedang menyelidiki sesuatu," George menjelaskan.
Khawatir kepada Bess karena takutnya akan mengungkap
terlalu banyak, maka dengan cepat Nancy menyela percakapan itu.
"Kami punya alasan, percaya ada seseorang sedang
merencanakan pencurian di sini. Mungkin ia sedang melakukannya
sekarang ini juga."
"Tak masuk akal," detektif itu mengejek.
"Anda boleh tak percaya," sahut George secara naluriah. "Kami
akan menunjukkannya!."
"Kami?," kata Bess keheranan.
Terlintaslah di benak Nancy dan George, orang yang berjubah
hitam panjang itu adalah Isakos atau komplotannya. Nancy melirik ke
arlojinya. Sudah jam 2.30 dini hari.
"Ia pergi ke sana," kata Nancy, menunjuk jalanan batu di
seberang.
Ia menunjukkan jalan ke sebuah kamar sempit. Pintunya sedikit
terbuka. George mendorongnya perlahan-lahan. Nancy melihat
dinding-dindingnya tanpa hiasan. Ada sebuah altar sederhana.
Seorang rahib sedang berlutut dan berdoa. Ia tiba-tiba mendongak
waktu mendengar pintu berderit, tetapi tidak menengok.
"Maafkan kami," George mohon maaf, lalu segera menutup
pintu.
Ketika mereka berada kembali di terangnya bulan, detektif itu
menggeram marah.
"Jika saya dapati lagi kalian berbuat begini, kalian saya kirim
kembali ke Amerika."
"Tetapi . . ." gerutu Bess."Jangan banyak omong!," tukas detektif. "Lekas kembali ke
hotel!."
Untuk meyakinkan mereka pergi kembali ke hotel, detektif itu
mengawal ketiga gadis-gadis itu ke pintu pagar dan seterusnya menuju
mobil mereka.
"Orang yang memuakkan! Aku benci!," Bess menggerutu.
"Boleh saja kau mencaci demikian," kata George setuju.
Di lain pihak Nancy memutar otak sendirian. Kecewa, lemas,
kemudian ia kemudikan mobilnya kembali ke lapangan Omonia.
Setelah memarkir mobil, mereka berjalan kembali ke hotel. Mereka
melihat petugas penerima tamu mendengkur di kursinya.
Begitu sampai di kamar Bess membuka suara: "Yang pertama
kulakukan besok pagi adalah pergi ke toko emas di monastraki."
"Jam berapa?," tanya George.
"Jam tujuh atau jam delapan," kata Bess menggoda.
"Kalian berdua saja yang pergi," kata Nancy sambil menguap.
"Aku akan tidur sepuas-puasku."
"Tetapi kan tidak seharian?," teman-temannya meledak tertawa.
Mereka tahu bahwa Nancy takkan berbuat demikian.
Pagi berikutnya Nancy bangun lebih dahulu. Meskipun ia hanya
tidur selama enam jam, rupanya ia cukup segar. Bess dan George pun
sudah pulih tenaganya.
"Aku sudah tak sabar untuk menanyai nyonya itu," kata Bess.
"Nyonya yang mana? Dan apa yang akan kau tanyakan?," tanya
George.
"Nyonya yang di toko emas itu," jawab sepupunya, lalu diam
agar tidak kelepasan bicara.Ketika bertiga mereka memasuki toko, ada dua orang wanita
berdiri di belakang meja pajangan.
"Kalian akan membeli apa lagi?," tanya wanita yang tua setelah
mengenali mereka.
"Tidak! Hari ini tidak membeli, terimakasih," kata Bess. Lalu
segera menyambung: "Apa Constantine Nicholas ada di sini?."
George melirik wajah Nancy untuk mengetahui reaksinya.
"Ia bekerja di sini, bukan?," sambung Nancy.
Wanita yang lebih muda menatap dengan mata coklatnya
kepada tiga dara tersebut.
"Tidak! Saya tidak tahu di mana dia. Apa yang kalian inginkan
dari dia?."
"Saya hanya ..." Bess ingin mengatakan.
"Kalau dia kembali," kata wanita muda itu menggelegar, "Ia
adalah milikku! Engkau tak dapat memilikinya!."
Bess terkejut mendengar kata-kata itu.
"Anda tidak mengerti ..."
"Aku mengerti ....!"
Sambil memotong jawaban itu, wanita yang tua memarahinya
dengan bahasa Yunani. Nancy merasa tidak ada gunanya lagi untuk
bertanya lebih lanjut.
"Bess! George!", katanya setengah berbisik sambil
menggelengkan kepala menuju ke pintu. Mereka meminta diri ketika
teman Constantine itu menghilang di balik gorden dengan marahmarah.
Di saat mereka membelok ke sudut jalan, ketiga dara itu tertawa
terkekeh-kekeh."Dia kira aku akan merebut kekasihnya," kata Bess.
"Dalam satu hal, aku senang ia berbuat demikian. Kita
menemukan jejak Constantine. Mungkin sekali ia akan mampir ke
toko itu suatu hari nanti."
"Dengan demikian kita dapat kembali ke sana lagi," kata
George. "Tetapi tentu saja tanpa engkau, Bess."
Bess mengerutkan dahi mendengar kata-kata jenaka itu. "Bagus
sekali, akhirnya kita menemukan seseorang yang kenal kemenakan
Helen Nicholas."9
Patung Ajaib
Sementara ketiga dara itu meneruskan berjalan-jalan, mereka
sampai ke sebuah rumah minum di kakilima, di tengah-tengah
lapangan Syntagma. Angin lembut membelai rambut mereka yang
sedang melihat-lihat daftar minuman.
"Parakalo aku ingin segelas visinada, " pesan Nancy kepada
pelayan.
"Menarik juga rupanya," sahut Bess. "K?ego aku juga!."
"Tria, " kata George ikut-ikutan. Ia menoleh ke Nancy. "Apa
sih itu sebenarnya?."
Nancy hanya mengangkat bahu dan tersenyum.
"Aku juga tidak tahu. Tetapi Helen Nicholas mengatakan agar
aku mencobanya. Katanya minuman ini sangat terkenal di negeri ini."
Dalam beberapa menit kemudian pelayan itu kembali membawa
sebuah nampan berisi tiga buah gelas soda ceri.
"Waaah! Kegemaranku," seru Bess meneguk minuman itu
dengan gembira.
George mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya. Ia lalu
menyobek beberapa lembar kertas."Mau apa kau?," tanya sepupunya melihat George menuliskan
beberapa kata di atas setiap lembar kertas itu.
"Kukira kita harus main dam-das lagi. Barangkali saja dapat
memecahkan tabir rahasia simbol Yunani itu."
Sampai waktu itu George selesai menuliskan kata-kata :
warisan, Helen, Constantine dan Dimitri.
"Tambahkan Isakos, jangan lupa!," kata Bess.
"Dan juga kapal, topeng emas dan simbol, " kata Nancy
menambahkan.
Di kertas yang tertinggal, George menuliskan Papadapoulos dan
Nyonya Thompson.
"Wah, banyak juga petunjuknya," kata Bess. Kemudian kertaskertas itu diatur dalam petak-petak permainan dam-das. Mereka
mengharap memperoleh arti dari rangkaian kata-kata itu.
"Tak ada gunanya," katanya pada akhirnya. "Tak ada yang
cocok satu dengan lainnya.
Sekarang giliran Nancy. Ia letakkan gelas minumannya di
pinggir meja. Lalu dipungutnya kertas dengan tulisan nama
Constantine.
"Di sini saja," katanya sambil meletakkan kertas itu di sudut sisi
kanan petak-petak.
"Bagaimana dengan Helen?" tanya Bess sambil menopang
kepala pada kedua tangannya.
"Di sudut kiri bawah," jawab Nancy. Kemudian ia menyusun
kertas-kertas itu menjadi terbentuk susunan :Simbol topeng emas Constantie
Ship warisan Dimitri
Helen Isakos
"Lalu di mana akan kau letakkan Papadapoulos dan Nyonya
Thompson?," tanya George.
"Ah, mereka hanya penonton yang tak bersalah," kata Nancy.
"Tempat yang kosong di tengah bawah itu untuk apa?," tanya
Bess sambil menunjuk dengan jari tengahnya.
"Mungkin saja itu untuk petunjuk yang belum ditemukan,"
jawab Nancy.
"Atau," kata Bess. "Kau boleh cantumkan namamu di sini."
Baru saja ia akan menyobek kertas lagi, seekor kucing besar
tiba-tiba melompat melintas di atas meja.
"Ya ampuuun," seru George.
Gelas-gelas minuman bergoncang dan dua di antaranya
terguling sebelum mereka sempat menangkapnya. Air soda tertumpah
membasahi beberapa sobekan kertas sementara beberapa lainnya
diterbangkan hembusan angin.
Nancy mencoba menangkapnya, tetapi hanya dua lembaran
kertas dapat ditangkapnya. Sisanya terbang menuju seorang wanita
Yunani yang datang membantu menangkapnya.
"Inilah," kata wanita muda itu sambil tersenyum mengulurkan
lembaran kertas-kertas itu kepadanya.
"Lho, anda teman Constantine ya," kata Nancy mengenali dia di
toko emas.
"Betul! Saya . . saya menyesali peristiwa di toko emas tadi,"
katanya.Ketika berdua berjalan menuju tempat duduk Bess dan George,
seorang pelayan sedang mengelap meja. Kedua saudara sepupu itu
menjadi tertegun melihat kedatangan wanita muda itu.
"Saya Stella Anagnost," wanita muda itu memperkenalkan.
"Saya Bess Marvin," jawab Bess menjabat tangannya. "Ini
saudara sepupu saya, George Fayne."
"Dan anda?," tanya Stella menengok ke Nancy.
"Nancy Drew!."
Gadis detektif itu memikirkan perubahan sikap dari Stella.
Meskipun ia ingin sekali menanyakannya, tetapi ia menunggu sampai
Stella yang memulai bicara.
"Apa anda tahu di mana Gonstantine? Maksud saya apa anda
dapat menduganya di mana?," wanita muda itu bertanya.
"Tidak! Kami belum tahu," jawab George.
"Saya tahu bahwa ia ada dalam kesulitan," sambung Stella
dengan khawatir. "Ia sudah lama tidak ke toko dan tidak pernah
meneleponku lagi. Yang terakhir saya melihat dia, ia berlaku aneh,
aneh sekali . . .
"Stella!."
Seorang laki-laki berdiri di dekat meja dan menyapa wanita
Yunani itu dengan marah. "Kau harus bekerja. Ayo ikut!."
Dengan mulut ternganga ketiga gadis-gadis detektif itu menatap
muka orang itu. Rupanya mirip dengan orang yang bersama Isakos.
Apa hubungan Stella dengan orang itu? Orang itu menangkap lengan
Stella dan menariknya dari kursi.
"Tunggu sebentar," Stella seperti memohon. "Mereka dapat
membantu menemukan Constantine ...""Sudahlah! Jangan kau omong kosong lagi!," tukas orang itu
dan memaksa Stella ikut dia.
"Tetapi Mimi . . ." Stella menggagap. Ia berusaha melepaskan
diri, tetapi ia bukan tandingan orang itu.
"Mimi?," kata Bess, matanya mengikuti mereka berdua
menghilang masuk ke dalam taksi.
Sebelum orang itu masuk, sebuah tempat uang logam dari perak
terjatuh dari dalam sakunya. Ia tidak mendengar benda itu jatuh di
tanah karena ia berteriak kepada Stella lalu melompat masuk dalam
taksi. Segera taksi dijalankan pergi. Nancy berlari memungut tempat
uang itu.
"Lihat!," serunya sambil menunjukkan tempat uang itu kepada
teman-temannya. Di bagian belakang tempat uang itu tertera inisial
D.V. "Mimi rupanya nama panggilan dalam bahasa Yunani bagi
Dimitri."
Nancy teringat akan penjelasan dalam kamus Yunaninya.
"Sayang bukannya D.G.," kata George. "Kalau D.G. maka
kemungkinan ia itu Tuan Georgiou yang menghilang itu."
Nancy memasukkan petunjuk baru itu ke dalam sakunya.
"Kalau nanti kita bertemu Stella lagi, kita dapat
mengembalikannya dan juga memperoleh beberapa informasi."
"Maksudmu, kalau kita ketemu lagi," jawab George. "Rupanya
ia terlibat pergaulan dengan orang-orang jahat. Mereka dapat
mencelakainya, jika ia berusaha keluar dari komplotan itu."
"Tetapi kukira kesulitan itu terutama pada Constantine," Bess
hendak menjelaskan. "Ia hanya tergila-gila kepadanya.""Nah, karena toko emas itu segera akan tutup dalam beberapa
menit lagi," kata George. "Kita simpan dahulu saja tempat uang ini.
Mari kita lihat-lihat kota dahulu sebelum kita meninggalkannya sama
sekali."
"Setuju," sahut Bess.
"Bagaimana kalau kita ke Acropolis?," usul Nancy. Ia lalu
mengumpulkan lembaran-lembaran kertas petunjuk yang ditulis
George. "Ini pun harus dimasukkan dalam kantong."
Sinar matahari sore itu bagaikan lidah-lidah api, dan ketiga
gadis-gadis itu lalu mencari taksi. Tetapi setiap kendaraan itu lewat,
selalu ada penumpang-penumpangnya.
"Ah, gerah bukan main di luar sini," keluh Bess merasakan
keringat menetes turun di kuduknya.
Nancy Drew Misteri Simbol Yunani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya Nancy berhasil mendapatkan sebuah taksi. Kaca-kaca
jendela dibuka agar udara segar dapat leluasa masuk. Sementara taksi
itu terus melaju di jalan-jalan yang ramai.
Ketika sampai di gerbang masuk Acropolis, mereka turun lalu
istirahat sebentar. Kemudian mereka membayar karcis masuk dan
mulailah perjalanan naik yang panjang. Di depan mereka nampak
Parthenon. Bagaikan mahkota, permata kuil itu berdiri megah di
antara puing-puing bangunan kuno.
"Luar biasa, ya?," ucap George mengagumi tiang-tiang Doric
yang menjulang tinggi dengan serambi marmer di sebelah
menyebelahnya. Pandangan Nancy mengembara ke sisi bagian utara
di mana dahulu terdapat serambi besar bertiang-tiang tinggi menaungi
bekas pasar."Tahukah kalian, sejumlah patung-patung telah dicuri dari sini
sekitar tahun 1800?an," katanya.
"Dicuri?," tanya Bess.
"Bukan! Lord Elgin yang waktu itu duta besar di Turki,
memperoleh izin dari pemerintah untuk memindahkan patung-patung
itu. Pada waktu itu Athena adalah bagian dari Turki."
"Lalu ia menjual patung-patung tersebut kepada pemerintah
Inggris, yang kemudian menyimpannya di British Museum di
London."
"Panjang benar kisahnya," George berkomentar. "Kukira belum
lama ini pun pemerintah Yunani telah memindahkan beberapa patung
lainnya."
"Betul!," sambung Nancy. "Karena polusi dan adanya
wisatawan-wisatawan yang mencongkel-congkel marmer itu untuk
kenangan kunjungannya."
Bess menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak senang,
sementara mereka terdiam mendekati sederetan tiang-tiang. Mereka
seperti mendengar suara lirih mendengung yang berganti-ganti datang
dari tiang-tiang tersebut.
"Aku ingin tahu dari mana suara itu datangnya," berkata Bess
akhirnya. Ia membalikkan tubuh agar dapat melihat pemandangan di
bawah.
Genting-genting merah di rumah-rumah berkelompokkelompok di Plaka seolah warna merah pada palet seorang pelukis.
Benar-benar sangat memukau. Ketika ia membalikkan tubuhnya lagi
untuk bergabung dengan teman-temannya, ia sadar kalau tutup
dompetnya terlepas."Wah, asal jangan ada yang hilang uangku," pikirnya dan
mengeluarkan dompetnya untuk memeriksa.
Ia terperanjat ketika tiba-tiba saja seorang bocah melompat dari
balik tiang dan merebutnya.
"Kembalikan!," teriak Bess. Teriakan itu membuat Nancy dan
George tersadar akan maling cilik itu.
"Ia mencuri dompetku!."
Mereka mengejar menuruni tangga batu, berlari cepat melintas
lantai marmer yang berbongkah-bongkah.10
Tamu-Tamu Tidak Terduga
"Tunggu aku!," seru Bess yang lari di belakang temantemannya.
Mereka beberapa meter mendahului, berusaha untuk tidak
kehilangan jejak maling cilik. Tetapi akhirnya maling cilik itu lenyap
ditelan kerumunan wisatawan-wisatawan yang mulai turun. Nancy
dan George berhenti berlari.
"Mengapa berhenti?," tanya Bess terengah-engah.
"Ia telah menghilang," jawab Nancy menjelaskan.
"Dan kakiku," George mengeluh. "Lecet!," Ia membungkuk
untuk mengendorkan tali sepatunya.
"Lalu bagaimana dengan dompetku?," tanya sepupunya. Ia
mulai menangis. "Ludes seluruh uangku."
"Tidak semua," George mengingatkan. "Kau masih punya
traveller check dalam kopor, bukan?"
"Betul," Bess mengaku. "Tetapi aku baru saja menguangkan
limapuluh dolar. Dan anak itu merebut semuanya!."
Nancy lalu merangkul Bess.
"Kita lapor polisi!," katanya menenangkan."Kalau kau perlu uang untuk membeli sesuatu," kata George.
"Kau boleh pakai uangku."
"Betul begitu?," tanya Bess tersenyum menghargai.
"Kami berdua mau memberinya," Nancy ikut menegaskan.
Gadis itu lalu menghapus airmatanya dengan tissue. Kemudian
mereka turun ke kaki bukit.
Cepat mereka mendapatkan sebuah taksi, lalu pergi ke kantor
polisi terdekat. Bess melaporkan apa yang terjadi.
"Saya tidak tahu," sambil menggeleng kapten polisi itu berkata.
"Dompet uang anda mungkin akan hilang selamanya. Tetapi saya akan
berusaha untuk menemukan bocah itu. Katakan, apa isi dompet itu
uang Amerika?."
"Ya, beberapa," jawab Bess. "Mengapa?."
"Sangat mungkin ia akan membawanya ke tempat penukaran
uang. Mereka memberikan nilai kurs lebih baik daripada di hotel.
Lebih banyak drahma untuk satu dolarnya."
"Barangkali saja kami sendiri pun dapat mengusutnya," kata
Nancy. "Ada beberapa tempat penukaran uang di Athena ini?."
"O, cukup banyak," jawab Kapten itu. "Tetapi dengan ratusan
sampai ribuan wisatawan, kukira tak seorang pun penukar uang dapat
ingat seorang anak kecil." Polisi itu mengernyitkan dahi sejenak, lalu
menambahkan : "Kalau kita berhasil menangkapnya, kita akan segera
memberitahu kalian."
"Efbaristo," kata Bess. Mereka lalu berbalik untuk pergi.
"Sekarang bagaimana?," ia bertanya. "Kukira tak berguna
mengusut di setiap tempat penukaran uang.""Betul!," jawab Nancy. "Tetapi aku punya firasat, anak itu akan
datang ke tempat penukaran uang yang dekat di Acropolis."
"Kita telah melewatinya tadi ketika mencari taksi," kata George.
"Itu di sana!," Ia menunjuk ke suatu gang kecil yang dibatasi
sederetan gedung gedung apartemen.
Dengan cepat Nancy berjalan ke lampu lalu lintas. Kedua
sepupu itu mengikuti. Mereka menyeberang jalan dan berjalan
melewati gedung-gedung apartemen. Mereka sampai di sudut jalan di
mana terletak tempat penukaran uang yang mereka tuju.
"Lihat antrian itu!," kata George.
"Antrian yang mana?," tanya Bess. "Ada lima antrian di situ."
"Mari masuk," kata Nancy sambil memasuki ruangan.
Ruangan itu penuh orang. Ada orang-orang yang duduk di
bangku sepanjang dinding, tetapi lebih banyak lagi yang berdiri.
Ketiga gadis-gadis detektif berpisah dan memencar. Bess
Pembalasan Dari Liang Lahat 1 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Gunung Rahasia 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama