Fear Street Terperangkap Trapped Bagian 1
BAB 1
"AKU tak percaya aku ada di sini," gumam Elaine Butler pada
dirinya sendiri. Ia mengemudikan Civic-nya memutari genangan
dalam yang selalu saja ada di depan pintu masuk pelataran parkir
Shadyside High.
Wiper kaca depan bergerak cepat ke kiri dan ke kanan. Elaine
menggigil dalam mantel dan sweater-nya. Pemanasnya hampir-hampir
tak membantu.
Aku tak percaya, pikirnya. Aku betul-betul berada di sini pada
hari Sabtu.
Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini hari sekolah seperti
biasa. Tapi bukan.
Ini hari hukuman.
Aku pasti orang tolol, katanya dalam hati, sementara rasa dingin
menjalari tulang belakangnya. Ia memarkir mobilnya di parkiran dan
mematikan mesin.
Ia tak sanggup memaksa dirinya keluar dari mobil. Angin
kencang menerpakan hujan pada kaca jendela. Ia memandang
Shadyside High di balik kabut. Bangunan tua itu kelabu, dingin, dan
mati. Jendela-jendelanya gelap. Hanya ada dua mobil di pelataran
parkir.Bagaimana aku bisa terlibat dalam persoalan ini? tanya Elaine
dalam hati.
Ia mengingat saat itu dengan jelas?saat-saat panik ketika ia
sadar telah melupakan PR trigonometrinya. Ia meninggalkannya di
meja belajarnya di rumah, sudah menuntaskan rumus terakhir,
melipatnya dengan rapi, siap untuk berangkat. Tapi ia lupa
meletakkannya dalam buku matematika.
Gurunya, Mr. Forest, tidak bersikap simpatik.
"Itu berarti tiga tugas yang tidak dikerjakan, Elaine," katanya,
sambil mengusap kumisnya. Ia melihat buku nilainya di depan seluruh
kelas. "Ya... satu, dua, dan-tiga."
Ia tersenyum. Ia menikmatinya, pikir Elaine.
"Di kelas ini, Elaine, angka tiga adalah keramat. Silakan
bereskan buku-bukumu dan pergi ke kantor kepala sekolah."
Teman-teman sekelasnya diam saja selama kejadian itu. Tapi
Elaine dapat merasakan pandangan mata mereka membakar
punggungnya ketika ia meninggalkan kelas. Mereka barangkali
sedang bersyukur bukan mereka yang harus mengalaminya. Semua
orang tahu jika kau melupakan tiga PR di kelas trigonometri Mr.
Forest, kau akan dihukum.
Tak ada kesempatan kedua.
"Saya mengerjakan PR-nya," Elaine memohon. "Saya hanya
lupa membawanya."
"Sayang sekali," jawab Mr. Forest, ekspresinya tidak berubah.
Elaine tahu untuk apa ia ada di sini. Ia telah mendengar gosip.
Kepala sekolah baru, Mr. Savage, telah mengubah peraturan.Peraturan hukuman adalah hal pertama yang diganti.
Hukumannya bukan lagi menghabiskan dua jam sehabis pulang
sekolah. Itu terlalu gampang. Tidak memecahkan persoalan. Tapi jika
murid-murid harus mengorbankan satu hari penuh untuk menebus
kesalahan mereka...
Lahirlah hukuman hari Sabtu ala Mr. Savage.
"Dan aku adalah kelinci percobaan," gerutu Elaine keras, seraya
memandang ke luar jendela mobilnya. Ia mendesah. Ia tak bisa duduk
di sini selamanya.
Ia merenggut ranselnya dan bersiap untuk lari.
Lihatlah sisi baiknya, katanya pada diri sendiri. Setidaknya aku
tidak menyia-nyiakan hari yang indah.
Ia membanting pintu mobil dan berlari. Jaraknya tidak jauh, tapi
tetesan hujan tetap mengalir ke bawah lehernya seperti butiran es batu
kecil.
Pintu depan sekolah membuka sebelum ia menyentuhnya.
Elaine berhenti mendadak sehingga kakinya berdecit di atas
marmer basah di koridor. Sekilas ia melihat tangan pucat memegang
pintu jeruji dari dalam.
Pintu terbuka makin lebar.
Ia mendongak dan melihat wajah Mr. Savage.
Matanya besar dan tampak letih, dengan lingkaran hitam di
bawahnya. Pipinya cekung. Elaine selalu teringat pada anjing hound
dog yang sedih.
Mr. Savage membuka pintu lebih lebar. "Masuklah, Elaine."
Elaine tidak ragu-ragu. Ia mengibaskan air dari tubuhnya,
sambil mencoba untuk tetap berdiri di atas keset karet besar di sebelahdalam pintu. Menurutnya Savage akan memarahinya jika ia
membiarkan air memerciki seluruh lantai.
Koridor tampak gelap. Cahaya hanya berasal dari kantor depan
di ujung gang.
"Kau yang terakhir," Savage memberitahu. Tapi ia memandang
ke luar pintu yang terbuka seolah-olah menunggu orang lain. Ia
mengenakan jas hitam dan dasi, bahkan pada hari Sabtu.
Siapa yang meninggal? Elaine ingin bertanya.
Savage mengeluarkan desahan panjang, seraya memandang
sekali lagi pada hujan, dan membiarkan pintu terbanting. Akhirnya
pandangannya jatuh pada Elaine.
"Mr. Savage?" tanya Elaine.
Ia mengangkat alis mata. "Ya?"
"Eh...Saya masih baru dalam hal ini," sahut Elaine. "Apa yang
harus saya lakukan?"
Mr. Savage tersenyum dingin. "Kau belum pernah dihukum?"
"Belum."
"Kau murid yang baik, Elaine," ujar Savage. "Aneh juga kau
sampai ditahan, karena itu aku memeriksa arsipmu."
Uh-oh, pikir Elaine.
"Nilai-nilaimu bagus," lanjutnya, "ditambah menjadi pengurus
OSIS, giat dalam olahraga lari dan surat kabar sekolah. Apa
kesalahanmu?"
Pipi Elaine menjadi panas. "Tidak melengkapi tiga PR di kelas
Mr. Forest," gumamnya.
"Oh, betul." Savage mengangguk. "PR yang kautinggalkan di
rumah.""Yeah."
Elaine tahu Mr. Savage tidak mempercayainya. Mengapa harus
demikian? Anak-anak berbohong kepadanya setiap hari. Bahkan
murid-murid yang baik.
"Kurasa kau tidak akan membuat ini menjadi suatu kebiasaan?"
tanya Savage tanpa emosi.
"Tidak."
"Bagus. Memalukan untuk merusak catatan sekolah yang bagus
dengan hukuman." Ia mendesah lagi. "Bahkan aku mengalami
pelajaran berat di zamanku. Betul-betul berat."
Suaranya melirih. Elaine menunggunya untuk mengatakan
sesuatu yang lain, tapi pandangan Mr. Savage tetap menerawang di
atas kepalanya.
Elaine berdeham.
Kepala sekolah itu membelalak kepadanya. "Yang lain berada
di ruang 111," katanya. "Silakan pergi ke sana."
Kepala sekolah itu berbalik dan melangkah menuju kantor
depan. Elaine membayangkan dirinya lari keluar dalam hujan dan
menuju mal. Yeah. Menghabiskan waktu di sana. Menelepon temantemannya. Berbelanja. Lalu bilang pada orangtuanya bahwa hukuman
tidak terlalu buruk...
Tak mungkin.
"Menyebalkan," gumamnya.
Ia melangkah ke koridor yang suram menuju ruang 111.
Langkah-langkah kakinya bergema di gang yang kosong. Bunyi itu
mengingatkannya bahwa ia sendirian di tempat ini. Tak ada teman.Tak ada yang diajak bicara. Tak ada apa-apa selain hujan dan PR
untuk sepanjang hari Sabtu.
Aku takkan ketinggalan PR trigonometri lagi selama hidupku,
janjinya.
Ia mempererat jaketnya dan mencoba mengenyahkan rasa
dingin yang enggan meninggalkan tubuhnya.
Ini akan menjadi hari yang panjang.
Ia tak tahu betapa lamanya?atau betapa berbahayanya.Bab 2
CAHAYA memancar keluar dari ruang 111. Terdengar tawa
ramai. Elaine menggeser berat tas ranselnya dan melangkah ke dalam.
Tawa itu berhenti ketika ia masuk.
Seorang cowok, pendek dan gemuk mengenakan kemeja flanel,
sedang mencoret-coret papan tulis. Rambutnya jatuh di wajahnya dan
jenggotnya kasar seperti ampelas.
Cowok lain duduk di meja bagian depan. Namanya Jerry Fox.
Elaine mengenalnya dari kelas yang diambilnya. Ia pendek dan
langsing, memakai sweater berwarna cokelat dan celana khaki.
Rambutnya yang keriting berwarna pirang pasir dipotong sangat
pendek. Buku teks biologi terbuka di depannya.
Dua lainnya duduk di bagian belakang kelas. Seorang cewek
cantik berambut cokelat, tapi tata rias tebal di seputar mata membuat
wajahnya tampak keras. Ia memakai T-shirt konser rock dan jeans
ketat. Ia meniup gelembung permen karet dan memandangi Elaine.
Elaine mencoba tidak menatap matanya.
Elaine mengenal cowok terakhir cuma dari reputasinya. Bo
Kendall, keparat sejati. Ia mengenakan jaket tentara robek, T-shirt
robek, dan jeans robek. Rambutnya yang hitam pekat dipotong pendek
tajam. Matanya mengunci mata Elaine begitu ia masuk.Wow, Elaine menggerutu dalam hati. Bukan gerombolanku
yang biasa.
Ia tahu cerita tentang Bo. Semua orang tahu. Berantem.
Merokok di kelas. Menyalakan petasan di kamar mandi cowok.
Bahkan yang lebih buruk. Katanya Bo juga mencuri mobil. Tapi tak
seorang pun tahu pasti.
"Em, hai," Elaine bergumam. "Apakah ini kelas hukuman?"
"Bukan, ini kelas bedah," Bo menyahut dengan kasar. "Tikus
mati akan datang sebentar lagi."
"Aku sudah tak sabar," sahut Elaine, mencoba kedengaran
santai.
Cowok di papan tulis terkekeh-kekeh. "Tikus mati adalah
binatang peliharaan hebat," jawabnya. "Kau tak perlu mengajak
mereka berjalan-jalan."
"Jorok." Cewek dengan tata rias menor memutar matanya. Ia
melempar segumpal kertas ke arah Bo.
Bo menangkap kertas itu dan meletakkannya di meja.
Kemudian ia meraih ke dalam saku jaketnya dan mengambil pemantik
gas. Ia membuka penutupnya, menjentikkannya hingga menyala, lalu
mendekatkan bola kertas itu ke nyala api.
Baru jam delapan pagi dan mereka berniat membakar tempat
ini! pikir Elaine.
Kertas itu terbakar dalam sekejap.
"Yow!" teriak Bo, sambil menjatuhkannya ke lantai.
"Kau akan menyalakan sistem penyiram air," Jerry
memperingatkan.
Bo mengejek. "Memangnya kenapa?""Aku tak mau mendapat masalah lagi," jawab Jerry.
"Siapa yang mau?" si cewek menyahut balik.
Jerry kembali pada bukunya.
"Hei, Elaine," panggil Bo. "Kau mau duduk, tidak? Kau bikin
aku gugup saja."
"Maaf," gumam Elaine. Ia menaruh tas ranselnya dan duduk
dekat pintu.
"Hei, Elaine." Jerry mengangguk kepadanya. "Sudah
mengerjakan PR trigonometri?"
"Ha-ha. Lucu benar." Elaine tersenyum, bersyukur melihat
wajah yang ramah. "Apa kesalahanmu?"
"Terlalu banyak menjilat," gumam cowok di dekat papan tulis.
Elaine melihat lebih dekat apa yang sedang ia gambar?grafiti. Dalam
huruf yang melingkar-lingkar, ia menulis: AKU TIDAK AKAN.
Selanjutnya belum ditulis.
Jerry tidak mengacuhkannya. "Apakah kau membedah katak di
kelas biologi?" tanyanya.
"Yeah," jawab Elaine. Memikirkan usus yang lengket dan bau
formaldehida membuat perutnya memberontak. "Itu menjijikkan."
"Aku tak mau melakukannya," kata Jerry, sembari mengerutkan
dahi. "Percuma. Kau tak belajar lebih dari yang kaudapatkan di
diagram. Mengapa kita harus membedah katak?"
"Kau dihukum karena tidak membedah katak?" tanya Bo dari
belakang mereka.
"Kurasa kita tidak seharusnya melakukannya," Jerry
memberitahunya. "Tidak manusiawi."
"Katak itu sudah mati," Bo menjelaskan."Jadi? Apa kau suka mereka membedahmu setelah kau mati?'
"Aku harap mereka melakukannya," Bo membalas. "Mungkin
mereka bisa belajar sesuatu."
Jerry mendengus dan kembali ke Elaine. "Aku hanya tidak
ingin melakukannya."
Elaine mengangkat bahu. Ia tidak memiliki keberatan moral apa
pun dalam membedah katak. Hanya menjijikkan saja.
"Mrs. Blaker menghukummu karena itu?" tanya cowok dekat
papan tulis itu.
"Ia memberiku pilihan," sahut Jerry muram. "Pilih membedah
katak atau dihukum dan menulis laporan seribu kata tentang amfibi."
"Dan kau memilih ini?" tanya cowok itu.
Jerry mengangkat bahu.
"Untuk orang pintar," kata Bo, sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya, "kau betul-betul tolol."
"Aku tak berharap kau bisa memahami, Kendall," ejek Jerry.
"Terserah," jawab Bo. Ia menyobek beberapa halaman buku
teks dan melambaikannya seperti kartu. Ia menjentikkan pemantik dan
membakarnya.
"Hentikan!" bentak Jerry.
"Aku tak bisa," kata Bo. "Aku tak tahu mana yang benar dan
mana yang salah, ingat?"
Serpihan kertas terbakar melayang di udara. Elaine
menundukkan kepala menghindarinya. Ia bertanya-tanya dalam hati
apa yang akan Bo lakukan jika api membakar jarinya.
Bo kembali merobek kertas dari buku di depannya.
" Hei?hentikan!"Elaine berbalik dengan cepat dan melihat Mr. Savage di pintu
masuk. "Padamkan?sekarang juga!" teriaknya.
"Oke, oke," sahut Bo. Ia berjalan pelan ke depan dan
menjatuhkan semua barang itu ke dalam tempat sampah. Lalu ia
merenggut vas bunga dari meja guru, menarik bunga keluar, dan
menuang air ke atas api. Ia menempatkan lagi bunga itu ke dalam vas
yang kosong. Kemudian ia berpaling ke arah kepala sekolah dan
tersenyum menyeringai kepadanya. "Puas sekarang?"
Apakah dia sinting? dalam hati Elaine bertanya. Apa sih yang
ingin ia buktikan?
"Kuharap kau tidak punya rencana apa pun untuk Sabtu depan,
Bo," tutur Savage. Suaranya bergetar marah. "Karena kau akan berada
di sini untuk hukuman lagi."
"Sialan!" Bo memukul dahinya. "Tidak jadi nonton turnamen
kriket."
Si cewek berambut cokelat terkikik sambil menutupi mulutnya.
Elaine tak bisa mempercayainya. Ia dan teman-temannya juga
tidak menyukai Savage. Tapi ia takkan pernah dengan sengaja
bersikap tidak hormat padanya. Itu sama saja mencari gara-gara.
Mr. Savage melangkah mendekati gadis itu. "Kalau ada orang
yang harus tutup mulut, itu kau, Darlene. Kau sudah cukup sering
membolos untuk menghabiskan satu tahun lagi di Shadyside. Kau
Fear Street Terperangkap Trapped di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mau?"
Darlene memandang kuku-kuku jarinya. "Aku rasa tidak,"
gumamnya.
Savage berpaling kepada cowok di papan tulis. Sejauh ini ia
baru sampai AKU TIDAK AKAN MENCORET-CORET."Duduklah, Max."
Max cemberut. Ia menjatuhkan kapur di lantai dan berjalan
dengan langkah berat menuju meja di baris pertama. Savage
mengamati lukisan kapur itu.
"Sayang kau tidak berpikir untuk menggunakan kapur waktu
mencoret-coret bis sekolah," ujar Savage. "Gayamu perlu diperbaiki."
"Anda pengkritik seni?" Max memberengut.
"Barangkali kalau tidak terlalu sering ikut-ikutan Bo, kau bisa
menggunakan bakatmu dengan lebih serius," kata Savage kepadanya.
Max mengangkat bahu.
"Oke, anak-anak," lanjut Savage. "Begini peraturannya. Tak
boleh bicara. Tak boleh bangkit dari tempat dudukmu. Dan dari
sekarang, jika seorang di antara kalian bikin kacau, kalian semua akan
terima akibatnya. Dengan begitu kalian dapat mengontrol diri kalian
sendiri."
Bagus sekali, pikir Elaine. Anak-anak ini akan bikin masalah
sepanjang hari?dan akhirnya aku akan dapat hukuman lagi. Itu tidak
adil!
Tapi tak ada yang dapat ia lakukan mengenai hal itu.
"Mr. Savage, bagaimana orang dapat mengontrol dirihya
sendiri?" tanya Bo.
Savage tidak menggubrisnya. "Jika kalian mengikuti petunjukpetunjuk sederhana ini, kalian akan pulang jam tiga. Jika tidak, kalian
kembali lagi Sabtu depan bersama Bo. Paham?"
"Ya," sahut Jerry, sedikit terlalu keras.
Max mendengus.Savage memeriksa kelompok itu sekali lagi untuk terakhir kali,
pandangannya bergerak dari satu murid ke murid berikutnya. Elaine
tak bisa menduga apakah Mr. Savage menikmati menghukum mereka
atau tidak. Beberapa guru memang senang melakukannya. Mr. Savage
sulit ditebak.
"Aku akan segera kembali," bisiknya, sambil berjalan ke arah
pintu.
Dengan ekor matanya, Elaine melihat gerakan. Ia memandang
sekilas melalui bahunya?dan melihat Bo berdiri tegak. Ia mendengar
suara klik.
Savage tidak berbalik.
Bo mengangkat lengannya di atas kepala. Dengan ketakutan,
Elaine melihat apa yang dipegang Bo.
Pisau lipat.
Napas Elaine tersentak sewaktu Bo melemparkan pisau itu ke
punggung Savage.BAB
3 PISAU itu berputar di udara. Elaine mendengarnya mendesing
ketika melayang di atas kepalanya.
Pintu ruangan kelas terbanting menutup. Pisau itu menancap di
papan buletin di sebelah dalam pintu.
Savage tak pernah tahu apa yang terjadi.
Elaine mengembuskan napas. Bo memilih waktu yang
sempurna... atau begitukah? Bo pasti cukup gila untuk pamer. Tapi
apakah ia cukup sinting membunuh Mr. Savage di depan empat
orang?
Elaine tersadar tangannya mencengkeram erat pinggiran meja.
Buku-buku jarinya memutih. Ia memaksakan diri melepas
genggamannya.
"Awasi itu!" Bo tertawa.
"Apa itu tadi?" tanya Jerry.
"Pisau, bego," jawab Bo, sambil melangkah menuju pintu.
"Pisau itu bisa membunuhnya, Bo!" teriak Darlene.
"Yeah, man," Max setuju. "Tadi itu cukup tolol."
Elaine terkejut. Ia menyangka teman-teman Bo akan
menganggap pisau lipat itu lucu."Well, aku memang tolol, ingat?" balas Bo. "Nilai-nilai jelek,
sikap buruk, tingkah laku buruk. Aku memang cuma anak nakal."
Dicabutnya pisau itu dari papan buletin, dilipat, dan
disimpannya. Lalu ia bergerak ke meja guru dan duduk di sana.
"Kursi yang nyaman," ucapnya. Ia memutarnya ke kanan dan ke
kiri beberapa kali.ebukulawas.blogspot.com
"Kau memang sulit dipercaya," gumam Jerry.
"Kenapa?" tanya Bo polos.
"Kau bisa membunuhnya."
"Kita masih membicarakan soal itu?" erang Bo. Ia bicara
dengan suara melengking tinggi. "Itu sudah lima menit yang lalu."
Elaine memandang sepintas ke arah pintu. Savage bisa kembali
kapan saja, dan dengan Bo duduk di tempat duduknya, berlagak
seperti itu, mereka semua bisa mendapat masalah.
Elaine merosot di kursinya. Kenapa sih ia melupakan PR
trigonometrinya? Seandainya ia tidak lupa, semua ini tidak akan
terjadi. Ini tidak seharusnya dialami oleh murid bernilai A mulus.
Well, murid B-plus sih, ia mengoreksi dirinya. Tapi apa
bedanya? Aku toh bukan kelompok mereka. Bukan kelompok orang
aneh ini.
"Kenapa kau masuk ke sini?" tanya Bo.
Kepala Elaine tersentak. Bo memandang tajam kepadanya.
"Tidak membawa PR," jawabnya. Nada santainya membuatnya
kaget. Mengapa ia mencoba kedengaran seolah-olah berada di sini
bukan persoalan besar?
"Tidak membawa PR," Bo mengulangi. "Hei, Max. Kapan ya
terakhir kali kita bikin PR?""Tabel perkalian di kelas tiga?"
"Yap."
Bo mengalihkan perhatiannya kembali ke Elaine. "Kau pikir
kau hebat?" tanyanya.
"Kurasa tidak," balas Elaine.
"Oh, ayolah," lanjutnya. "Ambil pemantikku. Bakar sebuah
buku untukku."
Sebelum Elaine bisa menjawab, Darlene berjalan di gang. Ia
duduk di atas meja guru di depan Bo, menghalangi pandangannya
pada Elaine.
Elaine merasa seakan-akan beban berat terangkat dari
bahunya?menatap mata Bo membuatnya gugup. Ia memperhatikan
Darlene. Darlene begitu jelas?seperti anjing menjaga wilayahnya.
"Aku bosan, Bo," Darlene mengeluh. "Berhentilah ngomong
dengan Miss Yuppie dan mari kita lakukan sesuatu yang asyik."
Miss Yuppie? Elaine mengerutkan dahi. Ia ingin balik
mengatakan sesuatu, tapi siapa yang tahu reaksi Darlene? Bisa saja ia
mencabut pisaunya sendiri.
"Aku punya ide," kata Bo. "Ayo."
Ia berdiri. Begitu pula Max dan Darlene.
"Apa yang kaulakukan?" tanya Jerry.
"Keluar dari sini," sahut Bo.
Aku tahu, pikir Elaine. Aku akan kena hukuman lagi.
"Kita pergi ke mana?" tanya Darlene.
"Aku tidak tahu," kata Bo. "Tapi aku tak mau membusuk di sini
sepanjang hari. Kita lihat saja apakah kita bisa mendapat sedikit
makanan kecil di kantin.""Asyik," Max setuju.
"Apa kau sinting?" bentak Jerry. "Savage bilang ia akan
kembali."
"Jadi?"
"Aku tak mau dihukum lagi hanya karena kau tidak bisa tetap
duduk," tutur Jerry.
"Kalau begitu tak usah ikut," sahut Darlene.
"Aku memang tak mau."
Bo mencondongkan tubuh di atas meja Elaine. Elaine bisa
melihat jelas wajah yang keras dan mata cokelat yang dalam. Ia
lumayan juga, pikirnya. Kalau kau suka tipe seperti itu.
"Bagaimana denganmu?" tanya Bo kepadanya.
"Bagaimana dengan aku?"
Bo menyeringai padanya. "Apa kau ikut dengan kami?"
Elaine merasa pipinya memanas. Ia mencoba memandang mata
Bo. Kenapa sulit sekali berkontak mata dengannya?
"Ayo pergi," gerutu Darlene.
Bo tidak memedulikannya. Ia terus menatap Elaine.
"Pikirkanlah. Ikut atau tidak, akhirnya kau akan mendapat hukuman
lagi. Savage kan bilang, 'Jika seseorang bikin kacau, maka semuanya
akan dapat masalah.' Ia juga bilang begitu waktu menjadi guru latihan
mengemudi. Pada dasarnya, kau telah melanggar peraturan. Sebaiknya
kau ikut saja dan ambil makanan."
Elaine tahu seharusnya ia tetap tinggal. Tapi ia tak bisa berbuat
lain. Di dasar hatinya, ia senang Bo mau mengikutsertakannya.
Bukannya mereka melakukan sesuatu yang betul-betul buruk. Selain
itu, ia tidak ingin Darlene menyebut-nyebutnya "Miss Yuppie" lagi."Oke," Elaine menjawab, sambil bangkit berdiri. "Ayo kita
pergi."
Bo menyeringai. "Gampang, kan?"
"Hebat," Darlene menggerutu. Ia memutar bola matanya.
"Elaine, apa kau gila?" pekik Jerry. "Kau akan terkena
hukuman!"
"Kau juga, Jerry," sahutnya. "Meski kau cuma duduk di sini.
Ayo."
"Tidak mau."
"Tinggalkan dia, Elaine," geram Max. "Toh dia tidak diajak."
"Oke," teriak Bo. "Yuk, kita pergi dari sini."
Pelan-pelan ia membuka pintu ruangan kelas. Engsel pintu
berdecit. Bo menyelinap keluar pintu dan mengintip koridor. "Aman."
"Aku tidak akan melindungi kalian," teriak Jerry di belakang
mereka.
"Diam," gumam Max.
"Sungguh," lanjut Jerry. "Aku takkan melindungi kalian."
Bo melangkah ke gang. Darlene mencengkeram bagian
belakang jaket tentaranya, dan Max mengikuti. Elaine berjalan pelanpelan di belakang Max.
Koridor itu sepi. Tak ada tanda-tanda keberadaan Savage.
Hujan membasahi jendela kaca di ujung gang, menimbulkan
gelombang cahaya seperti bayangan melintasi lantai. Jantung Elaine
berdegup kencang.
Ini tolol, katanya dalam hati. Semoga tak sia-sia.
Tangan yang berat mendarat di bahunya.
Elaine tersentak. Ia berbalik dan melihat Jerry."Apa yang kaulakukan?" tanyanya. "Kau membuatku ketakutan
setengah mati."
"Sori," jawabnya.
"Senang kau bergabung dengan kami, Fox," gumam Bo.
"Sekarang diamlah."
"Baik," bisik Jerry.
Mereka mulai menuju kantin, berjalan tanpa berkata-kata. Bo
berhenti setiap beberapa langkah. Elaine membayangkan Bo sedang
mendengarkan bunyi sepatu Savage di atas lantai. Elaine menyangka
akan mendengar suara langkah. Tapi mereka tidak mendengar apaapa. Elaine merasa aneh mengendap-endap di sekolah seperti ini. Ini
tempat yang sama yang ia datangi setiap hari?tempat membosankan
yang sama. Tapi sekarang lampunya mati dan koridor kosong, tempat
ini terasa sangat berbeda.
Ia tidak melepaskan pandangannya dari Bo ketika mereka
berjalan. Bo tampak enak saja menyelinap diam-diam seperti ini?
seakan-akan ia sering melakukan hal ini. Asyik juga menjadi Bo,
pikirnya. Ia tak peduli kalau mendapat masalah lagi.
Elaine punya banyak kekhawatiran: nilai-nilai, aktivitas, masuk
ke perguruan tinggi yang bagus. Unggul, kata ayahnya.
Bo dan temannya tidak harus menjadi unggul, pikirnya. Ia
tertusuk rasa iri. Ia tak dapat membayangkan dirinya tidak
mencemaskan orangtua, teman-teman, dan masa depan.
Tapi bahkan tindakan pemberontakan kecil ini merupakan
pengalaman tersendiri. Ini gantinya menghabiskan hari Sabtu dalam
hukuman. Dan ia menyukainya... sejauh ini.Kantin tampak semuram bagian lain sekolah. Meja panjang
berdiri kosong, dilap bersih dari remah-remah makanan berminyak
dan tumpahan susu. Penerangan cuma berasal dari mesin soda di sudut
ruangan dan sorotan cahaya kelabu redup dari satu-satunya jendela
yang ada.
"Kaleng-kaleng itu akan kedengaran seperti suara tembakan
dari luar sana," Max berkomentar.
"Aku nggak mau beli," cela Bo. "Ayo kita masuk dapur."
Ia mendorong pintu ayun di belakang konter makan siang
menuju dapur. Dengan segera ia mengambil nampan.
"Waktunya berbelanja!" serunya. Ia menyerbu jajaran kulkaskulkas, papan-papan pemotongan, dan mixer ukuran besar.
Elaine tidak lapar. Ia sudah sarapan roti panggang. Tapi susu
cokelat kedengarannya enak juga.
"Aku mau keripik kentang," teriak Darlene.
"Apakah ada sandwich es krim di sana?" tanya Max. Ia
membuka sebuah pintu baja besar. Elaine mengintip melalui bahu
Max. Yang ia lihat cuma tabung-tabung besar mayonaise dan mustar.
"Ih," gerutu Max. Dibantingnya pintu kulkas. "Di mana lemari
bekunya?"
"Asyik!" Darlene berteriak penuh kemenangan. Elaine
melihatnya di pojokan dengan sekantong keripik jagung.
Di mana kulkas yang biasa? Elaine bertanya dalam hati. Ia
memandang berkeliling?dan melihat Jerry di depan pintu baja besar
yang lain. Ada beberapa kaleng es teh di lengannya. Elaine
menyeringai kepadanya."Jangan memandangiku seperti itu," keluhnya. "Semua orang
juga melakukannya."
"Aku tahu," jawab Elaine. "Aku mau susu cokelat."
"Oh." Ekspresi Jerry menjadi tenang. "Rak kedua."
Elaine cuma mengambil satu liter meskipun ada ratusan liter di
sana. Tapi yang lain tidak menahan diri. Jerry minum es tehnya
dengan rakus. Darlene mengunyah beberapa kantong keripik. Max
makan sedikitnya empat sandwich es krim.
Elaine memandang sekeliling dapur. Ia begitu senang sehingga
sejenak melupakan Mr. Savage.
Dia sudah tahu kami hilang atau belum ya? pikirnya. Ia melihat
anak-anak lain, bersiap mengusulkan agar mereka kembali saja. Tapi
ada sesuatu yang tidak beres.
Seseorang tidak ada di sini.
"Di mana Bo?" tanyanya.
Yang lain berhenti makan dan melihat berkeliling.
"Ke mana ia pergi?" desak Elaine.
"Apa pedulimu?" bentak Darlene.
"Aku tidak peduli," kata Elaine. "Tapi ia lenyap. Tidakkah kau
peduli?"
Darlene tampak kesal. "Bo!" panggilnya.
Tak ada jawaban.
"Barangkali ia kembali ke kelas," Jerry memberi usul.
"Nggak mungkin," gerutu Max. "Hei, Bo! Ayo dong, di mana
kau?"
Tetap saja tak ada jawaban.
"Kita mesti mencarinya," kata Elaine.Tak ada yang menjawab. Elaine memandang berkeliling pada
peralatan dan mesin yang besar di dapur. Dalam cahaya suram,
semuanya tampak agak menakutkan.
Pandangannya berhenti pada rak peralatan masak di dinding
ujung ruang. Sendok-sendok besar. Penjepit. Dan pisau-pisau.
Fear Street Terperangkap Trapped di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pisau-pisau pemotong daging yang besar.
Dan satu di antaranya hilang.
"Lihat!" teriak Elaine. "Pisau itu lenyap!"
"Memangnya kenapa?" bentak Max.
"Tenanglah, Elaine," kata Jerry.
Darlene mulai bicara. Tapi suara erangan menghentikannya.
Semua diam membeku.
"Apa itu?" Elaine berbisik.
"Bo? Kaukah itu?" seru Max.
Tak ada sahutan.
Elaine sadar kuku-kuku jarinya menusuk telapak tangannya. Ia
memaksakan dirinya untuk santai.
"Ini tidak lucu lagi, Bo," Darlene berteriak. "Hentikan dong."
Erangan lain.
"Tuh kedengaran lagi," bisik Darlene.
"Bo?" panggil Max.
Beberapa langkah di depan mereka, Bo terhuyung dari belakang
kulkas besar. Ia berdiri di sana beberapa saat, tubuhnya bergoyanggoyang. Matanya berkaca-kaca. Cairan merah berkilauan menutupi
kemeja dan lehernya.
Elaine menarik napas dalam-dalam. Ini tidak sungguhan. Ini
tidak...Bo roboh.
Ia mendarat keras di lantai ubin di depan Elaine. Pisau
pemotong daging terlepas dari kepalan tangannya.
Elaine melihat kemejanya. Lehernya. Wajahnya.
Basah oleh darah.
"Tidaak!" ia mengerang. Leher Bo. Lehernya digorok.BAB 4
DARLENE menjerit.
"Bo!" teriak Max.
"Pergi panggil Savage!" perintah Jerry. Tapi tak seorang pun
bergerak. Mereka membeku karena terkejut.
Pandangan Elaine terkunci pada Bo. Matanya yang terbuka
lebar. Luka merah mengerikan yang menyilang di tenggorokannya.
Dan pisau berlumuran darah.
"Ayo!" Jerry memohon. "Kita harus panggil Kepala Sekolah!"
Direnggutnya lengan Elaine, tapi Elaine melepaskan diri. Ia
bergerak mendekati Bo.
"Tunggu," perintah Elaine.
"Apa?" jawab Jerry.
"Tangan Bo bergerak. Ia masih hidup."
"Kau melihatnya?" tanya Max.
Elaine tidak menyahut. Luka itu membuatnya takut, tapi ia
harus yakin apakah Bo masih hidup. Kalau-kalau ia masih bisa
menolongnya. Ia ingin lari. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tetap
di tempat. Sesuatu membuatnya membungkuk di atas tubuh Bo dan
meraih tangannya.
Ia merasakan denyutan nadi.Ia berpaling kepada yang lain. "Ia hidup!"
Tangan Bo terlempar ke atas dan mengepit tenggorokan Elaine.
"Giliranmu!" teriaknya. "Tambah saus!"
Elaine memekik, menepis tangan Bo. Ia terhuyung ke belakang
hingga punggungnya membentur kulkas.
Ketakutannya dengan cepat berubah menjadi kemarahan. "Kau
brengsek! Aku akan membunuhmu!"
"Aku sudah mati," jawab Bo seraya menyeringai. "Dan Jerry?
Aku ingin kau membedahku!"
Elaine mencoba mengendalikan tangannya yang gemetar. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tak percaya kita semua
tertipu."
"Kau benar-benar brengsek," kata Jerry pada Bo.
"Dan kupikir saus hanya cocok dengan kentang goreng," canda
Bo. Ia merenggut handuk basah dan mulai menyeka cairan pekat dan
lengket itu. "Kulihat diriku sendiri di cermin belakang sana, dan ini
kelihatan sungguhan."
"Jangan main-main," kata Darlene sambil merengut.
"Kau sungguh percaya ada orang gila berkeliaran menggorok
leher orang?" tanya Bo.
"Ini Shadyside," Elaine berkomentar.
Semua orang menatapnya.
"Siapa yang tahu dari mana mereka mencari makanan kantin!"
tambahnya.
Kelompok itu meledak dalam tawa. Semua orang kecuali
Darlene, Elaine memperhatikan.
Barangkali ia cemas aku akan mencuri Bo darinya, pikir Elaine.Ia mengabaikan pikiran yang membuatnya tersenyum itu.
"Ayo kita pergi dari sini," kata Bo.
Bo memandu jalan keluar dan masuk ke dalam ruangan utama
lagi. Sejauh ini situasi aman.
"Ke mana?" tanya Max.
"Pilihlah arah," Bo menawarkan.
"Shh!" desis Elaine. "Dengar!"
Semua terdiam. Langkah-langkah kaki berdetak di lantai ubin.
Jantung Elaine mulai berdebar-debar. Ini bukan takut pada
saus?ini sungguhan. "Savage datang!" ia berbisik.
"Ayo jalan," teriak Bo. Ia mendorong Max menuju pintu keluar
di sebelah kiri mereka.
"Jangan!" protes Jerry. "Di sanalah ia sekarang!"
"Tidak, ia tidak di sana," Max menyahut.
Ia menunjuk pintu keluar di sebelah kanan. "Ia di sini."
Langkah-langkah kaki bergema di dinding dan langit-langit
kantin. Elaine merasa tegang, tapi tak bisa mengatakan dari mana
suara itu berasal.
"Kita harus melakukan sesuatu," bisik Elaine. "Ia datang."
"Kembali ke kelas," perintah Jerry.
"Jangan," Bo menjawab. "Ia akan menggorok kita. Aku tahu
jalan. Ayo."
Ia kembali ke dapur yang berliku-liku. Elaine mengikuti. Ketika
mereka berjalan melewati lemari-lemari baja antikarat yang sangat
besar, denyut jantungnya berdentam di telinganya.
Bagaimana jika Savage menangkap mereka?
Hukuman lagi. Atau lebih buruk dari itu.Ia menarik napas dalam-dalam dan terus berjalan.
Bo memimpin mereka menuju pintu di sisi lain dapur. Mereka
berhenti dan mendengarkan.
Langkah-langkah kaki itu tak terdengar.
Untuk saat ini.
Elaine mendesah lega.
Dengan hati-hati Bo menarik selot yang mengunci pintu. Ia
memutar kenop pintu sehingga menimbulkan bunyi klik keras seperti
bunyi tembakan dalam keheningan.
Masih tak terdengar langkah-langkah kaki.
Bo menarik pintu hingga terbuka lebar. Di baliknya ada koridor
panjang dengan deretan loker demi loker?dan nyaris gelap pekat.
Tak ada jendela di koridor ini.
Bo mengisyaratkan mereka untuk maju. Satu per satu, mereka
melangkah ke dalam gang. Pintu dapur menutup di belakang mereka.
Elaine tak bisa melihat apa-apa.
Gedebuk. Gedebuk.
Langkah kaki itu! Makin keras sekarang. Elaine mencoba
menentukan arahnya dalam kegelapan. Langkah kaki itu begitu dekat!
Seolah-olah dari tangga tepat di sebelah dapur.
"Jalan," geram Bo. Ia melesat di sepanjang gang.
Elaine mengejarnya, melakukan gerakan setengah berlari,
setengah berjinjit. Ia tidak menengok ke belakang untuk melihat
apakah yang lain mengikutinya.
Langkah-langkah makin keras. Elaine mencoba berlari lebih
cepat, tapi percuma saja. Gang itu terlalu panjang. Savage akan keluardari tangga, memandang ke ujung gang, dan melihat mereka berlari.
Mendengar kaki mereka menginjak lantai.
Dan permainan akan berakhir.
Mereka sampai di ujung gang dan Bo berhenti.
"Apa kau gila?" kata Jerry marah. "Jalan!"
"Dengar," Bo menjawab.
Suara langkah kaki itu lenyap.
"Kita harus terus berjalan," Elaine mengusulkan. "Ia bisa ada di
mana saja."
Bo menatapnya sejenak, seakan-akan mempertimbangkan yang
ia katakan. Pipi Elaine makin hangat, dan ia berdiri tak nyaman. Ia
jengah kalau Bo menatapnya seperti itu.
"Ia benar," akhirnya Bo berkata. "Jika kita tetap di sini, Savage
akan menangkap kita, pasti."
"Kupikir kau tidak peduli," kata Jerry kasar.
"Memang tidak."
"Aku tahu ke mana kita bisa pergi," Elaine menawarkan. Ia
tidak tahu apakah itu pilihan bagus, tapi tinggal di gang ini terlalu
berisiko. "Ayo."
Ia bergerak ke depan beberapa langkah, lalu melihat ke
belakang.
Keempat-empatnya menatap dirinya.
"Kalian akan memperdebatkan ini atau ikut aku?" tanyanya.
Ia kembali berjalan seraya berkata pada dirinya sendiri bahwa ia
tak peduli mereka ikut atau tidak. Tapi ia peduli. Ia tidak ingin
sendirian di gang yang gelap.Sewaktu ia memandang sekilas ke belakang, ia kaget melihat
yang lain dekat di belakangnya.
Elaine tak dapat menahan senyum. Bo bukan satu-satunya yang
bisa menjadi pemimpin.
Ia hanya berharap rute pelariannya tidak membuat mereka
tertangkap.
"Ke mana kita pergi?' tanya Max.
"Lihat saja nanti," sahut Elaine.
**********
"Berhenti!" seru Bo. "Ini ide hebat."
Elaine mengangguk. Mereka berdiri di atas panggung
auditorium sembari memandang ke bawah pada kursi yang berderet
dalam gelap. Suara mereka bergema di ruang besar itu.
"Bagaimana kalau ada sedikit cahaya?" tanya Jerry.
"Jangan pernah memikirkan itu," Bo memperingatkan.
"Yeah?karena akan merusak lelucon Bo berikutnya," gerutu
Darlene.
Bo tertawa kecil. "Kau masih marah soal itu?"
"Tidak lucu," jawab Darlene.
"Hei, itu lucu," debat Bo.
"Kau memang brengsek, Bo," Darlene menggerutu.
"Seharusnya aku tidak bicara denganmu."
"Tapi tidak," kata Bo padanya. "Karena kau tahu kau tidak bisa
marah lama-lama padaku."
"Oh, benarkah?" sergah Darlene. Tapi seringai kecil di
wajahnya menunjukkan pada Elaine bahwa Bo benar.
"Ini panggung paling jelek yang pernah kulihat," Max menyela.Elaine menoleh untuk melihat. Dekor untuk drama yang sedang
dipentaskan diletakkan di sepanjang dinding belakang panggung. Tiga
lembar kanvas raksasa dibentangkan di bingkai kayu. Langit biru dan
pepohonan hijau terlukis di sana.
"Wah. Jelek," kata Max. "Monyet saja bisa melukis lebih bagus
daripada itu."
"Monyet sih bisa," sindir Bo. "Tapi kau bisa nggak?"
Max menyeringai. "Lihat saja."
Ia bergerak menuju lemari kaca perbekalan yang terbuka di
sebelah kanan panggung. Ia menarik sebuah kotak berisi kalengkaleng cat. Max memilih botol pencet cat akrilik warna hitam?dan
menyemprotkannya pada bentangan kanvas pertama. Lalu ia
membuka tutup botol cat biru. Lalu oranye.
Elaine merasakan getaran rasa malu. Max telah menyeberangi
batas antara kesenangan dan kejorokan yang kelewatan. Beberapa
temannya ikut klub drama. Ia hanya dapat membayangkan reaksi
mereka pada hari Senin pagi.
"Seseorang menghabiskan berjam-jam untuk mengerjakan
dekor itu," gumam Jerry, seakan-akan menggemakan pikiran Elaine.
"Badai Max menghancurkan semuanya," jawab Max. "Mereka
seharusnya menempatkan penjaga."
Suatu bunyi melengking membuat Elaine terlompat.
Ia berpaling melihat Bo berdiri di pinggir panggung, dengan
sebuah biola di tangannya. Ia menggesekkan alat penggesek pada
senar, dan terdengar jeritan melengking di auditorium itu.
"Asyik," komentar Bo sambil nyengir. Ia membuat bunyi
melengking lagi. "Padahal aku sama sekali belum pernah ikut kursus!""Itu untuk Fiddler on the Roof," Jerry berteriak mengatasi bunyi
berisik itu. "Klub drama akan memainkannya dalam beberapa minggu
ini."
Bo memainkan alat penggesek di atas senar lagi.
"Hentikan," teriak Elaine pada Bo. "Mengapa kau tidak sekalian
panggil Savage saja!"
Tapi Bo tetap menggesek senar itu.
Elaine melangkah ke belakang panggung, melewati kotak alatalat pentas dan perlengkapan dekorasi. Di belakang panggung, jauh
dari bunyi lengkingan Bo, ia menemukan tirai hitam. Tergantung dari
atap auditorium? begitu tinggi hingga Elaine tak bisa melihat
ujungnya. Seseorang telah memakukan tirai itu di dinding dengan
paku tajam yang sangat kecil. Aneh, pikirnya. Kenapa mereka
menempatkan tirai begitu jauh dari panggung? Ia menyentakkan kain
itu ke belakang. Paku-paku kecil itu serta-merta mencelat dan jatuh ke
lantai.
Elaine tersentak. Di belakang tirai itu terdapat koridor gelap dan
sempit menjauh dari panggung. Ia belum pernah melihatnya.
Ini asyik sekali, pikirnya. Ia melangkah masuk ke dalam gang.
Kegelapan menyelimutinya. Jari kakinya menghantam sesuatu
yang keras, tapi ia tak tahu apa itu. Ia memekik kecil, kaget
mendengar suaranya yang terdengar nyaring dalam kegelapan.
Ia tidak mendengar suara anak-anak lainnya. Seberapa jauh ia
pergi?
Ia sendirian.Rasa takut menjalari tulang belakangnya. Barangkali
menjelajahi tempat ini bukan ide bagus. Siapa yang tahu apa yang ada
di belakang sini?
Tapi apa yang benar-benar bisa terjadi? Mr. Savage dapat
menangkapnya. Dan ia akan mendapat hukuman lagi.
Tapi kemudian kata lain terlintas dalam pikirannya.
Skorsing.
Elaine mengenyahkan pikiran itu. Itu gila. Cuma anak-anak
bermasalah saja yang mendapat skors. Orang seperti Bo. Darlene dan
Max. Tapi bagaimana kalau mereka tertangkap? Bagaimana jika
Savage menemukan mereka di atas panggung?
Ia memandang sepintas ke sekelilingnya. Koridor ini tempat
sempurna untuk bersembunyi. Cukup gelap hingga tak seorang pun
bisa melihatnya. Tak akan ada yang tahu ia di sana.
Tapi ia tahu ia harus kembali. Ia melangkah menuju panggung.
Lantai kayu di bawahnya berderit. Diikuti bunyi gemeretak
yang keras.
Kemudian, dengan suara berderu, lantai kayu roboh di bawah
kakinya.
Elaine kehilangan keseimbangan. Lengannya menggapai-gapai.
Mencari sesuatu, apa pun untuk menahannya jatuh. Tapi yang ia
pegang hanya udara.
Ia menjerit sewaktu jatuh menembus lantai.BAB
5 ELAINE meluncur cepat dalam kegelapan.
Fear Street Terperangkap Trapped di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Udara berdesir tajam di wajahnya. Perutnya seolah terlontar
sampai ke tenggorokan. Paru-parunya kosong.
Lalu ia membentur lantai.
Terempas keras.
Rasa panas merayap naik di kaki kiri dari pergelangan sampai
ke pinggang. Pandangannya yang berkunang-kunang menyilaukannya.
Ia mendengar bunyi dering keras di telinganya.
Ia tak dapat bernapas. Jantungnya terasa berhenti. Semuanya
menjadi gelap.
Lalu ia merasakan semen dingin di bawahnya. Ia merasakan
tangga baja tajam berpasir menekan bahunya. Jantungnya berdegup di
dada.
Rasa kebas itu berangsur-angsur meninggalkannya, digantikan
tusukan rasa sakit yang spesifik. Pergelangan kakinya berdenyutdenyut. Siku kanannya perih di bawah sweater-nya.
Seberapa jauhkah ia jatuh? Tiga meter? Lima? Lima belas?
Tidak. Lima belas meter pasti akan membunuhnya. Tapi lima meteradalah perkiraan yang bagus. Rasanya seperti selamanya?cukup lama
baginya untuk berpikir ia akan mati.
Tapi aku masih hidup, katanya dalam hati. Dan aku harus tahu
di mana aku sekarang.
Ia duduk tegak, rasa nyeri menyengat seluruh persendiannya. Ia
menyusurkan jari di seputar pergelangan kakinya. Sudah terlalu
bengkak hingga ia tak dapat lagi merasakan tulangnya. Ia berusaha
menggerakkannya.
"Owww!" teriaknya.
Ia belum pernah merasakan sakit seperti ini selama hidupnya.
Tapi ia tahu tulangnya tidak patah. Meski sakit, ia masih dapat
menggerakkannya.
Ia mengelus sikunya, terasa hangat, kulit basah yang seharusnya
terbungkus sweater. Robek, pikirnya pahit. Dan berdarah.
Gelombang rasa mual menyelimutinya. Keringat dingin
menyembul di dahinya.
"Tenang," gumam Elaine di dalam kegelapan. "Aku baik-baik
saja. Aku tidak apa-apa."
Mendengar suaranya sendiri sedikit membuatnya tenang. Ia
berusaha duduk tegak, merasakan tangga baja di belakangnya. Ia tak
dapat melihat seberapa tinggi tangga itu.
Ia menepuk lantai di sekelilingnya. Tangannya menyentuh
beton kasar dan sampah. Botol pecah. Kaleng remuk. Kertas basah.
Di mana dia?
Semacam terowongan bawah tanah sekolah, ia menyimpulkan.
Tapi kenapa ada di sini? Ia belum pernah mendengar apa pun tentang
terowongan ini.Elaine mengambil napas dalam-dalam. Tempat ini lembap,
seolah berlumut. Di mana pun ia berada, tak ada yang turun ke bawah
sini dalam jangka waktu cukup lama.
Ia harus pergi dari sini. Ia merenggut anak tangga dan mencoba
menarik tubuhnya ke atas. Rasa sakit yang tajam menikam
pergelangan kakinya. Ia jatuh kembali ke lantai.
Ya, begitulah.
"Tolong!" ia berteriak.
Suaranya bergema di dinding dan naik ke lubang, tapi terdengar
lirih.
"Siapa saja!" ia mencoba lagi. "Tolong aku! Siapa saja!"
Tak ada jawaban.
Ia sendirian dalam gelap.
Gelombang ketakutan bercampur dengan rasa mual. Bagaimana
jika mereka tidak menemukannya? Ia bisa berada di bawah sini
berhari-hari.
Tak mungkin, pikirnya.
Ia berteriak lagi.
Masih tak ada jawaban.
"Ayo dong!" raung Elaine, seraya mengayunkan tinjunya
dengan frustrasi. Tinjunya membentur dinding beton, menimbulkan
ledakan rasa sakit di lengannya.
Ia menggerenyit dan merosot pada tangga logam yang tajam.
Keringat mengaliri wajahnya. Susah bernapas di udara yang lembap.
Kemudian ia mendengar bunyi.
Bunyi mencicit.
Elaine diam terpaku. Mendengarkan.Hening kini.
Lalu lagi.
Tuk, tuk.
Di sebelah kanannya.
Menyingkir dari lantai, ia memerintahkan dirinya.
Elaine meraba-raba tangga, pergelangan kakinya memprotes
setiap gerakan.
Ia mengangkat tubuhnya untuk berdiri, rasa lega mengalirinya
sewaktu ia memegang logam kasar tangga itu. Lalu ia menarik
tubuhnya ke atas.
Kemudian sesuatu jatuh ke lehernya. Sesuatu yang hangat dan
berat.
Dan hidup.BAB
6 ELAINE menjerit.
Sesuatu di lehernya itu menggeliat-geliat. Cakar-cakar kecil
menusuk kulitnya.
Ia merenggut makhluk itu dan mencoba melemparkannya. Tapi
makhluk itu terjerat di rambutnya. Melengking keras.
Tikus!
Rasa panik mengaliri Elaine. Ia menjerit lagi. Bulu halus itu
melekat di kulitnya. Akhirnya, direnggutnya makhluk itu dari
rambutnya?dan dilemparkannya ke terowongan.
Tikus itu mendarat dengan mencicit.
Elaine menggosok tengkuknya dengan jemari. Ia masih dapat
merasakan cakar-cakar kecil tikus itu menggesek kulitnya.
Sudah pergi, katanya dalam hati. Santai saja. Sudah pergi.
Dan aku keluar dari sini.
Elaine mencekal anak tangga. Diangkat tubuhnya berdiri,
membebankan seluruh berat badannya pada pergelangan kaki
kanannya.Rasa sakit menyergap kaki kiri Elaine. Ia memaksakan dirinya
untuk menaiki anak tangga pertama. Lapisan tipis uap lembap
menutupi logam itu. Tangannya merosot. Ia jatuh ke lantai sekali lagi.
Ia mendarat di atas gumpalan hangat yang menggeliat-geliat.
Gumpalan itu berciut dan menggeliat di bawahnya. Elaine
berteriak. Ia berguling menjauh.
Tikus itu bergegas lari dalam kegelapan.
Elaine berbaring pada punggungnya, hampir menangis.
"Asyik," muncul suara.
Elaine terpaku.
Suara!
"Keluarkan aku dari sini!" teriaknya.
"Ellen... El?siapa namanya?" tanya suara itu.
"Elaine!" geramnya.
Mereka menemukan dirinya! Ia mendengar bunyi berkeriatkeriut yang sama sebelum ia jatuh, dan bunyi debaman keras. Cahaya
dari pemantik Bo muncul di atasnya.
"Ini pintu jebakan," muncul suara Bo. "Seseorang menaruh
papan tua di atasnya?lihat! Elaine kejeblos ke bawah!"
"Apa yang kaulakukan, Elaine, melompat ke atasnya?" ejek
Jerry.
"Bukan?papan itu sudah membusuk," kata Bo.
"Maukah kau menolongku saja?" panggil Elaine. "Pergelangan
kakiku luka."
"Bisakah kau memanjat?" Max bertanya.
Kemarahan mengaliri Elaine. "Apa sih yang kaupikir?"
"Aku akan turun ke bawah," jawab Bo."Apa kau gila?" Elaine mendengar Darlene marah. "Kau bisa
jatuh juga, tahu!"
"Elaine akan menahan jatuhku," canda Bo.
Meskipun dalam keadaan seperti ini, komentar seperti itu
membuat Elaine tersenyum. Setelah Bo ada di sana, ia merasa lebih
aman. Meski di dalam terowongan yang penuh tikus.
Tangga bergetar ketika Bo turun ke bawah. Tangganya
berkeriut dan merintih di bawah beratnya, menyiramkan serpihan
debu ke tubuh Elaine. Kurang dari semenit, Bo telah berdiri di
sebelahnya dalam kegelapan. Teman-temannya yang lain mengikuti
Bo menuruni tangga.
Elaine merenggut tangan Bo dan mengangkat tubuhnya berdiri.
Kulit Bo terasa hangat dan kering. Ia terhuyung sedikit, masih
sempoyongan pada kakinya yang tidak luka. Lengan Bo melingkar di
pinggangnya untuk menahan tubuhnya. Ia memperhatikan bahwa
pergelangan kakinya tidak sesakit yang ia rasakan dengan lengan Bo
di seputar tubuhnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Bo.
"Aku terjatuh."
"Jangan main-main." Ia tertawa tertahan. "Kau beruntung
tengkorakmu tidak pecah."
"Aku tidak mendarat di atas kepalaku," kata Elaine kepada Bo.
Seseorang turun di beton dekat mereka. "Tangga itu sudah
karatan," terdengar suara Max. "Aku heran kita tidak jatuh
menggelinding. Apakah kau merasakannya akan lepas dari dinding?"
"Kalimatmu berima," kata Bo.Max mendengus jijik. "Aku serius, man. Apa yang kita lakukan
di bawah sini?"
"Penyelamatan," kata Bo. Ia mendekap Elaine.
"Aku tak percaya aku melakukan ini," Darlene mengomel,
sambil turun ke lantai yang keras. "Baunya lembap!"
"Itu bau Max," jawab Bo.
"Bisakah kau berdiri, Elaine?" Bo melepaskannya sebelum ia
dapat menjawab.
"Aku tidak apa-apa," balasnya. Ia berjalan pincang ke sebelah
kiri dan menyandar pada dinding untuk menahan tubuhnya. Ia tak bisa
melihat banyak dalam kegelapan.
"Apakah ada orang yang bisa bilang padaku kenapa kita berdiri
dalam selokan pembuangan di bawah Shadyside High School?" tanya
Jerry dengan kasar. Ia melompat ke anak tangga terakhir.
"Ini bukan selokan pembuangan," balas Bo.
"Ayolah," lengking Darlene. "Di mana sih kita?"
"Kita butuh cahaya di situasi seperti ini," tutur Bo. Ia
menjentikkan pemantiknya. Ruangan itu dipenuhi cahaya kuning yang
berkerlap-kerlip.
Semuanya terkesiap dalam kengerian.BAB
7 ELAINE menatap dua kata yang digoreskan di dinding di depan
mereka:
MARI BERPESTA
"Aku pernah dengar tentang tempat ini," kata Bo pelan.
Elaine memandang ke sekeliling. Mereka berdiri di sudut
ruangan luas dengan dinding batu bara. Botol-botol, kaleng-kaleng,
surat kabar, dan bungkus makanan berserakan di lantai. Dindingnya
kotor oleh lapisan lumut hitam dan grafiti yang pudar.
Tulisan MARI BERPESTA dicat dalam warna merah darah.
Catnya membeku dalam tetesan kering ke arah lantai.
Ada beberapa gang gelap menuju berbagai arah.
"Apa ini?" tanya Jerry.
"Labirin," jawab Max tenang. Suaranya kedengaran kagum.
"Yap," Bo setuju. Ia dan Max saling berpandangan senang.
Apa yang terjadi? tanya Elaine dalam hati. "Bagaimana kau
tahu tentang ini?" tanyanya.
"Seseorang yang kukenal, Lloyd, menceritakan tempat ini pada
kami," balas Bo. "Ia mengaku pernah turun ke sini sekali, tapi kami
tidak percaya.""Lloyd bohong hampir dalam segala hal," Max menyela.
"Pokoknya," lanjut Bo, "pada tahun 50-an, mereka membangun
terowongan ini sebagai tempat perlindungan terhadap bom. Diduga
panjangnya berkilo-kilometer. Rencananya untuk menghubungkan
seluruh kota jika kita dihantam bom nuklir. Tapi tak ada yang pernah
membutuhkan tempat perlindungan. Jadi tempat ini menjadi Pusat
Pesta. Anak-anak Shadyside datang kemari dan menggelar pesta-pesta
yang gila-gilaan."
"Tempat keren untuk dikunjungi," tambah Max, "karena tak
seorang pun diizinkan turun. Anak-anak pura-pura tertahan di bawah
sini, dan bom mengejar mereka. Seolah itu adalah malam terakhir bagi
mereka di bumi, dan mereka berpesta gila-gilaan."
Elaine gemetar. Betapa mengerikan. Tapi... keren. Selama ini ia
datang ke pesta-pesta di rumah teman-temannya. Tapi berpesta di
bawah sini pasti lebih menyenangkan. Lebih... berbahaya.
"Aku tak percaya tak ada yang ke bawah sini lagi," Jerry
berkomentar. "Aku heran kau bukan langganan, Bo."
Mata Bo berkilau dalam cahaya kelap-kelip. "Barangkali aku
tidak cukup keren, Jerry."
"Oh, kita membicarakan tempat ini," kata Max tersenyum.
"Tapi kita tak pernah menemukan pintu masuknya."
"Yeah. Terima kasih, Elaine." Bo menyeringai.
"Senang bisa membantu," jawab Elaine. Ia tak tahan untuk tidak
tersenyum walau pergelangan kakinya sakit luar biasa.
"Aku tak percaya Labirin begitu sulit ditemukan," kata Jerry.
"Jadi tak seorang pun turun ke sini selama bertahun-tahun?"
tanya Elaine. Pandangannya mengelilingi dinding yang dipenuhigrafiti. Ia tak dapat menahan kekagumannya. Melupakan gang di atas.
Ini tempat yang tak pernah dilihat teman-temannya yang lain.
"Sudah lama sekali mereka menutup terowongan ini," jelas
Max. "Semua pintu diblokir."
"Kenapa?" tanya Elaine.
"Sesuatu terjadi," jawab Bo. "Sesuatu yang buruk."
Elaine bergidik. Ia mengamati bayangan mereka melayanglayang di dinding. Seolah-olah anak-anak yang berpesta di sini masih
berkeliaran sambil menari-nari.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Aku tak tahu pasti," sahut Bo. "Tapi mereka mati. Banyak
yang mati."BAB 8
"KAU gila!" seru Jerry. "Anak-anak mati di sini? Tak
mungkin!"
"Si Llyod itu yang bilang semuanya padamu?" tanya Elaine.
Bo mengangguk. "Dan bahkan ia tidak mabuk. Itu sebabnya aku
percaya."
Elaine mempercayainya juga. Mula-mula ia berpikir ini
muslihat Bo lainnya. Tapi Bo tampak begitu serius.
"Ayo kita periksa tempat ini," usul Bo. "Aku ingin melihatnya."
"Kenapa tidak?" Max setuju. "Ini lebih baik daripada di atas.
Dan Savage takkan menemukan kita."
"Itu artinya kita akan kena hukuman lagi Sabtu depan," gumam
Jerry.
"Itu berarti kita bisa turun ke sini lagi," Bo menambahkan.
Jerry memutar matanya.
"Aku ingin pergi dari sini," Darlene mengeluh.
"Dua lawan dua," tunjuk Bo. "Elaine kau jadi penengah."
"Siapa yang bilang ini demokrasi?" kata Jerry marah.
"Aku," jawab Bo. "Dan aku bilang Elaine jadi penengah."Semua menatap Elaine. Ia menatap tajam ke dalam salah satu
terowongan gelap. Ia ingin tahu ke mana terowongan itu menuju. Ia
ingin menjelajahi labirin di bawah Shadyside.
Tapi rasa takut karena jatuh tadi tak mau enyah dari dirinya. Ia
masih gemetaran. Pergelangan kakinya sakit, tapi ia dapat berjalan
lagi. Dan ia bisa merasakan darah mengalir turun dari sikunya yang
terluka.
Fear Street Terperangkap Trapped di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagaimanapun, sekarang ia tidak lagi merasa tak nyaman
setelah tahu di mana ia berada dan bagaimana caranya keluar.
"Kubilang sih kita periksa saja," katanya. "Kalau menjijikkan
dan bau, kita segera kembali ke atas."
Jerry mengerang.
Wajah Bo bersinar dalam seringai kemenangan. Tiba-tiba ia
berlutut dan mulai menggali sampah di lantai. Ia berdiri dengan
menggenggam beberapa potong kayu dan kain busuk.
"Apa yang kaulakukan?" tanya Darlene.
"Bikin obor," sahut Bo. Ia membalutkan kain di ujung kayu.
"Pemantikku hampir habis."
Elaine memperhatikan dengan terkejut ketika Bo dengan cepat
membuat tiga obor. Lalu ia menggerayangi jaketnya dan
mengeluarkan sekaleng kecil cairan pemantik.
Elaine terkesiap.
"Buat apa cairan pemantik itu?" tanya Jerry. "Apakah kau
semacam maniak penyulut api?"
"Yang kulakukan di waktu luangku bukanlah urusanmu," jawab
Bo. Ia menyemprotkan cairan itu ke kain hingga basah.Elaine merasa cemas. Bo agak terlalu aneh. Siapa yang
membawa-bawa cairan pemantik ke mana-mana setiap saat?
Ia berkonsentrasi memperhatikan Bo. Bo memegang pemantik
di bawah obor dan pelan-pelan obor itu menyala. Terbakar lemah dan
berasap banyak.
"Lebih baik daripada gelap total," ucap Bo. Ia memberikan satu
obor pada Max dan satu pada Elaine. Ia sendiri memegang yang
terakhir. Jerry melontarkan keluhan, tapi Elaine tidak
menghiraukannya.
Elaine menatap tajam ke kegelapan setiap gang. Ia tak dapat
melihat apa pun. Setiap jalan penuh dengan kemungkinan. Elaine
ingin mencoba semuanya. Ia tak percaya betapa bersemangat ia kini.
"Yang mana yang kita ambil?" tanya Bo.
"Sebelah kanan," kata Jerry.
"Kenapa?" tanya Darlene.
"Kenapa tidak?" jawab Jerry.
Elaine menggenggam obornya erat-erat. Yang lain tampak sama
bersemangatnya seperti dirinya. Sekarang atau tidak sama sekali.
"Mari berpesta!" kata Bo.
Mereka melangkah memasuki terowongan.BAB 9
AKU tak sabar untuk menceritakan ini pada semua orang hari
Senin nanti, pikir Elaine. Ia merasa begitu penuh semangat bertualang
ketika berjalan melewati terowongan.
Tapi tak ada yang akan mempercayaiku. Tak seorang pun akan
percaya Elaine yang praktis dan berpikiran sehat pergi menjelajahi
labirin.
Tapi aku melakukannya!
Elaine mengikuti Bo memutari sudut yang lain. Aku akan
membawa sesuatu sebagai bukti aku benar-benar berada di sini, ia
memutuskan.
Ia mengamati lantai sewaktu mereka berjalan. Tapi yang ia
temukan cuma kaleng bir tua dan kantong-kantong keripik kentang.
"Hi-ho, hi-ho, kita pergi kerja," Max bernyanyi pelan.
Elaine mendengar Jerry mendengus tertawa.
Memang lumayan lucu. Max merusak citranya sendiri sebagai
cowok hebat.
Elaine melihat tumpukan koran di dekat dinding. Barangkali
ada surat kabar lama yang bisa kubawa, pikirnya.
Ia berjalan ke sana dan memungut satu. "Hei, kalian harus lihat
ini," panggilnya.Jerry segera menuju ke arahnya. "Apa sih?"
"Ini koran sekolah tahun 1971," kata Elaine kepadanya.
"Coba kulihat." Darlene merenggut kertas itu dari tangan
Elaine. "Perhatikan rompi yang dipakai cewek itu. Terbuat dari
beberapa kaleng Coke dikaitkan menjadi satu atau apa."
Bo memandang tajam lewat bahu Darlene. "Waduh. Mereka
punya resensi musik dari album Doors yang baru."
Elaine berlutut dan merenggut koran lain. Ia mendengar bunyi
berdecit pelan.
Ia melompat menjauh, menubruk Darlene.
"Lihat-lihat dong," bentak Darlene.
"Aku rasa aku mendengar tikus dari sudut sebelah sana," kata
Elaine.
"Oh, jijik. Aku kembali saja," kata Darlene kepada mereka.
"Aku juga," Jerry setuju.
"Aku tidak." Bo berjalan terus di terowongan. Max berjalan
tepat di belakangnya.
Elaine mengamati lantai terowongan. Ia tidak melihat tikus
seekor pun. Kukira kalau aku terus berjalan, mereka akan menjauh
dariku, pikirnya. Ia lekas-lekas mengejar Bo dan Max.
Beberapa detik kemudian ia mendengar langkah kaki di
belakangnya. Elaine tersenyum. Kurasa Jerry dan Darlene tidak akan
mencoba kembali ke sana tanpa obor.
Mereka berlima bergerak semakin dalam di Labirin. Tak
seorang pun bicara.Elaine mendapati dirinya memikirkan cerita Bo pada mereka.
Gambaran tentang remaja lain menyerbu pikirannya. Anak-anak
seperti dirinya, bersenang-senang di bawah sini.
Dan mati di bawah sini.
Rasa takut menyergap dirinya. Ia ingin memutar balik, tapi tak
bisa. Semua akan menertawakannya. Khususnya Darlene.
Elaine terus berjalan maju dengan susah payah, sementara obor
dipegang tinggi-tinggi. Ia tak bisa kembali, bagaimanapun juga.
Dinding tampak semakin rapat dan rapat.
Sekali-sekali, tikus mencicit dalam kegelapan. Setiap saat pula,
Elaine ingat akan cakar-cakar kecil yang menancap di tengkuknya.
Berada di sini tidak asyik lagi, katanya dalam hati. Aku mulai
takut.
Apa sih yang kutakutkan?
Ia tahu. Di dasar hatinya ia tahu.
Ia selalu takut kegelapan. Waktu kecil, ia mengira monster
hidup dalam gelap. Dan bahkan sekarang, ruangan gelap membuatnya
takut.
Aku harus berhenti bersikap cengeng, katanya pada dirinya
sendiri. Ia berusaha kuat mengenyahkan rasa takut itu, berusaha untuk
tenang. Berhasil?sedikit. Ia dapat melihat melalui nyala obornya dan
berkonsentrasi pada pola kotak-kotak kemeja flanel Max di depannya.
Terowongan turun lebih dalam lagi. Tepat di atasnya, bunyi
gemericik terdengar oleh Elaine.
Bo berhenti.
"Apa itu?" tanya Elaine.
"Lihat sendiri," sahut Bo.Elaine beringsut ke depan. Yang ia lihat adalah kolam air
menggenangi seluruh gang tersebut. Air menyembur keluar dari
langit-langit.
"Dari mana air ini berasal?" tanya Jerry.
"Pertanyaan yang tepat," jawab Bo, "Seberapa dalam? Bisakah
kitp menyeberanginya?"
Elaine melihat sampah mengapung di kolam, timbul dan
tenggelam karena semburan air.
"Aku nggak mau melewati air itu," kata Darlene. "Aku nggak
peduli seberapa dalamnya!"
"Apa sih masalahnya?" tanya Bo. "Cuma air kok."
"Nggak usah ya," kata Darlene sungguh-sungguh. "Aku nggak
bakalan menyeberangi itu."
"Aku juga," Elaine setuju. Jerry mengangguk.
Bo memutar matanya. "Baik. Kita akan memutar dan
menemukan terowongan lain."
Bo berbalik dan menuruni terowongan. Ia berbelok ke kanan
lalu ke kiri, lalu ke kiri lagi. Elaine tetap berada dekat di belakangnya.
Kuharap kita kembali ke tangga, pikirnya. Aku siap untuk pergi
dari sini.
Bo berbelok ke kanan.
"Kenapa kita pergi ke arah sini," kata Jerry. "Kita sudah
mencoba terowongan ini."
"Belum, kita belum mencobanya," jawab Max. "Kelihatannya
saja sama. Mereka semua kelihatan sama."
Bo terus berjalan.
"Kurasa Jerry benar," kata Darlene.Bo berhenti dan menyorotkan obornya ke sekeliling
terowongan. Elaine menyadari ia tidak tahu di mana mereka berada.
Dan ia tak tahu sama sekali bagaimana caranya kembali ke
tangga. Mereka sudah berbelok tiga atau empat kali. Tapi mereka tadi
belok kiri atau kanan? Ia tak ingat.
"Kita tersesat, kan?" tanya Elaine pelan.BAB 10
"KITA tidak tersesat," jawab Bo.
"Ayo kita kembali ke tangga saja," kata Darlene. "Aku muak di
bawah sini."
"Aku juga," Max setuju.
"Baik, baik," kata Bo. "Aku tahu jalannya. Ayo." Ia mulai
menuruni terowongan lagi.
Yes! pikir Elaine. Kita akan keluar dari sini. Dan aku takkan
kelihatan cengeng.
Bo berbelok ke kanan.
"Kukira ini bukan jalannya. Kita benar-benar kesasar," gumam
Jerry.
Beginikah anak-anak itu mati? tanya Elaine dalam hati. Apakah
mereka tersesat di bawah sini?
Jangan memikirkan itu, ia memerintah dirinya sendiri.
"Kau yakin mau ke mana, Bo?" tanya Darlene.
Bo tidak menyahut.
Pergelangan kaki Elaine bertambah sakit setiap kali ia
melangkah. Berapa lama lagi kita akan berada di bawah sini?
tanyanya dalam hati. Rasa dingin menjalari seluruh tubuhnya.Terowongan itu mulai melereng ke bawah. Elaine mendengar
bunyi air mengalir.
"Kita kembali ke tempat kita mulai," teriak Max.
"Hebat, hebat benar," gumam Jerry.
Bo berbalik dengan cepat. "Kau pikir kau bisa melakukan yang
lebih baik?"
Jerry memandang sekilas ke arah terowongan lewat bahunya.
"Tidak," ia menyahut.
"Yang lain?" tanya Bo.
Elaine menggelengkan kepalanya. Begitu pula Max dan
Darlene.
Apa yang kita lakukan sekarang? Elaine bertanya-tanya dalam
hati. Ia memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menenangkan diri.
"Kurasa kita harus menyeberang," Bo memberitahu. "Jika kita
kembali, kita hanya akan berputar di tempat."
Elaine memandang air yang kotor. Ia melihat tikus-tikus.
Makhluk mengilap, berwarna cokelat dengan ekor merah muda yang
gemuk. Mereka berenang bolak-balik, makan gumpalan kertas
membusuk.
"Bo benar," kata Max. "Terowongan ini mengitari kota. Pasti
ada banyak jalan keluar. Kalau kita menyeberang, kita akan
menemukan satu di antaranya."
"Kita masih tak tahu seberapa dalamnya," protes Darlene.
Elaine memperhatikan obor Bo menerangi sesuatu di tanah di
belakangnya.
"Lihat. Ada botol tepat di atas air," teriak Elaine.
"Jadi?" tanya Darlene."Jadi," Elaine mengulangi. "Botol itu berada di tanah. Tidak
mengambang."
"Siapa peduli soal botol tolol?" tanya Darlene.
Bo menyorongkan obornya ke atas kolam, sambil memandang
ke dalam kegelapan. "Elaine benar," katanya. "Di sana tanah kering?
itu langkan kecil. Airnya tidak sepenuhnya melewati terowongan."
"Hebat," gumam Darlene.
"Apakah cukup lebar untuk kita berjalan di atasnya?" tanya
Jerry.
"Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya," kata Bo. Ia
melangkah ke atas langkan itu. Elaine melihatnya sedikit limbung. Ia
melangkah lagi. ebukulawas.blogspot.com
"Tidak begitu parah," komentarnya. "Cukup sempit sih, tapi
kelihatannya langkan ini sampai ke seberang kolam. Ikuti aku!"
"Kau pasti bercanda," erang Darlene.
Bo melangkah lagi. Lalu ia berhenti, seraya memperhatikan
langit-langit.
"Hujan deras," katanya.
"Perhatikan obornya," saran Max.
"Tak soal," jawab Bo.
Ia menunduk melalui curahan air dan melompat ke ujung
seberang langkan.
"Selesai," katanya. "Lebarnya satu meter lebih. Langkan ini
sepenuhnya menyeberangi kolam."
"Aku tidak ikut," debat Darlene. "Tak usah ya."
"Kau ingin keluar dari sini, kan?" tanya Bo.
"Menjijikkan!""Berdiri saja di atas langkan. Kau tidak akan basah."
"Tidak mau."
"Elaine akan melakukannya," kata Bo padanya.
Akankah ia?
Elaine mengambil napas dalam-dalam. Ia harus melakukan ini.
Inilah kesempatan untuk keluar dari tempat ini.
"Bagus," kata Darlene. "Kau bisa jatuh."
Elaine memandang pada Bo melalui kolam. Mungkin satu
meter lebih lebarnya, kata Bo. Langkan kering melintasi seluruh
genangan air.
"Bagaimana?" desak Darlene.
"Aku jalan," Elaine mengumumkan.
Dari mulut Darlene keluar bunyi menjijikkan. Elaine berjalan
pincang ke depan, mencoba melangkah dengan percaya diri meskipun
pergelangan kakinya sakit.
Ia melangkah ke atas langkan. Cadasnya kelihatannya kuat. Ia
mengayunkan langkah di atas kolam. Air membasahi kakinya.
Ia melangkah lagi. Langkan itu menyempit.
"Cepat!" teriak Max.
"Hei, pergelangan kakiku sakit, ingat?"
"Cepatlah!"
Elaine mencoba bergerak lebih cepat. Ia hampir di tengah
kolam sekarang. Air membasahi langkan, membuat sepatu karetnya
basah kuyup. Sekali dua kali ia hampir kehilangan keseimbangan. Tak
ada satu pun yang dapat dijadikan pegangan kecuali dinding? dan
dinding itu licin oleh air.
"Bagaimana denganmu, Jerry?" panggil Bo. "Kau berikutnya?""Aku jalan," sahut Jerry tanpa ragu-ragu.
Elaine terpaku. Kolam itu air hujan asli, bersuhu lumpur salju
musim dingin.
"Lekaslah!" Max mengeluh.
"Aku sedang mencoba!" Elaine mendongak?dan mendapati Bo
menatap ke dalam matanya. Hanya jarak pendek yang memisahkan
mereka.
"Jangan mengkhawatirkan dia," kata Bo dengan tenang.
"Berkonsentrasilah menjaga keseimbanganmu. Tinggal beberapa
langkah lagi kok."
Elaine mengangguk. Ia melangkah ke depan. Ia terus
memandangi Bo. Ia melangkah lagi.
Sesuatu menyentuh kakinya.
Elaine melompat sambil menjerit.
"Elaine," Bo berteriak.
Fear Street Terperangkap Trapped di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia berusaha menjaga keseimbangannya. Dengan cepat, ia
melangkah ke depan. Kakinya mendarat pada sesuatu yang bundar dan
menggeliat. Makhluk itu berlari di bawah tubuhnya, membuatnya
terjengkang ke belakang.
Sepatu karetnya menginjak tepi langkan? dan tergelincir.
Elaine jatuh ke dalam air. Ia mencoba berteriak, tapi mulutnya
dipenuhi air, dan ia mulai menelan cairan busuk.Bab 11
SESUATU yang kenyal dan berminyak menyentuh pipinya.
Tikus!
Elaine merasakan cakar-cakar kecil merayap naik ke lengannya.
Ke punggungnya.
Mereka semua mengerubungiku!
Ia berbalik dan menyentak, mencoba mengibaskan tikus-tikus
itu dari tubuhnya. Air kotor memenuhi hidung dan mulutnya.
Ia memaksa diri untuk memusatkan perhatian. Pertama-tama
keluar dari air, pikirnya. Lalu menangani tikus-tikus itu. Yang mana
dulu?
Jangan panik, perintahnya pada dirinya sendiri. Air ini tidak
begitu dalam! Aku takkan tenggelam!
Sebuah tangan menggapai lengannya. Lalu satu lagi.
Kepalanya muncul di permukaan kolam dan ia menengadah
melihat Bo. Bo menarik tubuhnya keluar dari air.
Elaine merenggut seekor tikus dari bahunya dan melemparnya
kembali ke air. "Ada lagi?" teriak Elaine. "Singkirkan mereka dariku!"
"Sudah pergi," kata Bo padanya.
Elaine batuk dan meludah. Air kotor rasanya sungguh tak enak!
"Harimu sungguh jelek, Elaine," kata Bo sambil nyengir."Kau pikir begitu?" gumamnya. Ia memeras bagian bawah
sweater-nya, tapi tak begitu membantu. Pakaiannya basah kuyup.
Pergelangan kakinya berdenyut-denyut dan sikunya makin perih.
"Barangkali kalau kita tinggal di sini lebih lama, kau akan
kering," Bo menawarkan saran.
Elaine mengerutkan dahi kepadanya. "Nggak lucu," gumamnya.
"Ini," ujar Bo sambil melepaskan jaket tentaranya. "Pakailah.
Setidaknya kau tidak kedinginan."
Elaine mengenakan jaket itu dan membungkuskannya ke
tubuhnya. Besar sekali, tapi terasa hangat karena habis dipakai Bo.
"Terima kasih," kata Elaine, berusaha tersenyum. "Ini
membantu sedikit."
"Hei!" teriak Darlene. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Menyeberanglah," jawab Bo. "Tapi jangan menginjak tikus.
Dan jangan jatuh."
Elaine mengawasi ketika yang lain berbaris menyeberangi
langkan. Max menyeberang dalam tiga puluh detik. Jerry bergerak
perlahan-lahan, tapi tanpa ragu-ragu. Darlene melangkah setapak demi
setapak, sembari merapatkan tubuhnya pada dinding.
Nggak adil, pikir Elaine. Kenapa cuma aku yang harus
berenang?
"Jadi," kata Bo. "Ayo kita pergi. Kita harus menemukan jalan
keluar dari sini. Kau siap, Elaine?"
Elaine mendesah dan mengangkat bahu. "Kenapa tidak? Kurasa
keadaan tidak akan lebih buruk lagi."
**********
Untuk sesaat mereka berjalan bersama dalam keheningan.Mestinya kami sudah menemukan jalan lain, pikir Elaine.
Kenapa begitu lama?
Elaine membenamkan tangannya dalam saku jaket Bo. Ia
memutar-mutar gas pemantik dengan satu tangan, dan merasakan
gumpalan kertas di tangannya yang satu lagi. Entah di lipatan jaket
mana terdapat pisau lipat, sekaleng cairan pemantik, dan siapa tahu
apa lagi.
Elaine tidak mau tahu.
Aku tak percaya aku memakai jaket Bo Kendall, pikirnya.
Kemarin aku tak ingin berurusan dengan cowok itu. Tadinya aku tak
ingin terlihat dengan cowok itu.
Elaine mendesah.
Kurasa aku akan mengenalnya lumayan baik, pikirnya. Bisa jadi
aku akan menghabiskan waktu bersama Bo... bila kami tidak
menemukan jalan keluar dari sini.
Jangan pernah berpikir seperti itu, kata Elaine pada dirinya
sendiri.
Elaine nyaris menubruk Jerry. Di depan, Bo berhenti.
"Lihat ini," katanya.
Elaine tidak melihat apa-apa selain dinding-dinding suram dan
sarang laba-laba tebal.
"Apa sih?" tanya Jerry.
"Kau tidak melihatnya?"
"Kalau aku lihat, kenapa tanya?" Jerry berteriak balik.
"Di sana," kata Bo, sambil menunjuk dengan obornya.
Elaine melihatnya. Sampai sejauh ini semua dindingnya terbuat
dari batu bara dan ubin. Tapi Bo menunjuk bagian setinggi kira-kiradua meter, dari lantai ke langit-langit, terbuat dari batu bata merah tua
yang hancur.
"Tampaknya... ada yang tak sesuai," kata Elaine.
"Aku tahu yang kaumaksud. Tampaknya seperti tak pada
tempatnya," Bo setuju. Ia memberikan obornya kepada Darlene.
Kemudian ia mulai memilih semen yang sudah tua di sekeliling batu
bata.
"Apa yang kaulakukan?" tanya Jerry.
"Cuma memeriksanya," sahut Bo.
Ia menggeser sejumlah bongkahan semen dan memasukkan
jarinya ke dalam celah sekitar batu bata, mencoba membongkarnya.
Batu bata itu tiba-tiba melesak sedalam satu inci, seakan-akan
ditarik dari arah yang lain.
Bo menyentakkan tangannya menjauh.
"Kau yang melakukan itu, Bo?" tanya Max.
"Bukan," kata Bo. Ia membersihkan tenggorokannya.
Wuah, pikir Elaine. Ia merasakan bola ketakutan terbentuk di
tenggorokannya. Apakah ia berkhayal melihat sesuatu? Seseorang?
atau sesuatu?telah menggerakkan batu bata itu.
"Aneh," bisik Darlene.
Elaine membungkus jarinya di seputar manset jaket Bo. Ia ingin
mengatakan sesuatu? seperti mungkin mereka harus melupakan batu
bata tolol itu dan terus berjalan. Mereka tidak harus memeriksa
semuanya?ya kan?
"Bo..." ia mulai bicara, tapi tangan Bo sudah mulai bergerak
menyentuh batu bata lagi.Sebelum ia menyentuhnya, batu bata itu bergerak maju
beberapa inci.
"Uh-oh," gumam Bo.
Ini aneh, pikir Elaine. Ini sungguh, sungguh aneh.
Jari Bo menyentuh batu bata lain dan mendorongnya. Batu bata
itu bergerak muncul beberapa inci, dan berhenti sama sekali.
"Lihat," kata Bo, merasa puas. "Bagaimana?" Seakan-akan
sebagai jawaban, bunyi derum pelan datang dari arah dinding.
Semakin keras, dan ketakutan Elaine semakin bertambah. Lari!
katanya pada dirinya sendiri. Terlambat.
Bunyi itu berubah menjadi geraman. Kemudian seluruh dinding
meledak.Bab 12
KEKUATAN ledakan itu mengempaskan Elaine ke dinding
batu bara. Ia mendarat keras pada bahu kiri. Serpihan bata menyengat
wajahnya. Teriakan-teriakan menggema di telinganya.
Ketika membuka matanya, ia hampir tak dapat melihat.
Semuanya jatuh ke lantai. Cuma satu obor yang menyala. Debu merah
tebal menyelimuti segalanya. Elaine batuk-batuk dan menyeka
rambutnya yang kusut dan basah dari wajahnya.
Ia mengerdip melalui debu merah dan melihat lubang di dinding
bata, cukup besar untuk seseorang masuk ke dalamnya.
"Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Bo.
Ia duduk tegak, menyeka debu dari tubuhnya. Mata Elaine
menyipit. Darah menetes di dahi Bo.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bo padanya.
"Kurasa tak apa-apa," sahutnya. "Itu tadi apa, Bo?"
"Aku tidak tahu," gumamnya. Ia menyeka darah dari wajahnya,
menggerenyit sewaktu menyentuh luka di kepalanya.
Elaine memperhatikannya. Ia merasakan mual di perutnya. Bo
takut. Ia dapat melihatnya.Max berguling dan mendorong bongkahan bata dari tubuhnya.
Ia membuka mulut, lalu mengatup lagi. Ia menggelengkan kepalanya.
"Wuah," gumamnya.
"Itu tadi apa?" tanya Jerry. Ia mengambil kembali kacamatanya
dari lantai dan mencoba menekuknya kembali ke bentuk semula.
"Bo?" Darlene memanggil dengan bingung.
"Aku di sini," jawab Bo.
Darlene bergerak pelan melalui puing dan memeluknya. Ia
merangkulkan lengannya di seputar tubuh Bo. Elaine memalingkan
wajah dan memungut obor yang menyala.
"Aku sungguh ketakutan," erang Darlene. "Apa yang terjadi?"
"Aku tidak tahu," sahut Bo. Ia melepaskan rangkulannya dan
memungut obor. Elaine memberikan pemantik sebelum Bo meminta.
Perlu tiga kali mencoba, tapi akhirnya menyala juga.
"Semua baik-baik?" tanya Bo lagi. Semuanya bergumam bahwa
mereka baik-baik saja.
"Ayo cari jalan keluar dari sini," desak Jerry. "Sungguh aneh."
"Sesuatu meledakkan dinding itu," Max menyetujui.
Darlene batuk. "Aku hampir tak dapat bernapas dalam debu
seperti ini." Ia mengerdip melalui kabut merah, dan Elaine
memperhatikan matanya berair. "Debu tak mau turun."
"Aku tahu," Jerry setuju. "Aku tak bisa bernapas juga. "Apa sih
ini?"
Elaine menutupi mulutnya dan mengangkat obornya ke awan
merah. Butir-butir debu terbang berputar di sekeliling api seperti
ngengat-ngengat yang sangat kecil. Mereka membentuk awan kecilyang menggelegak dan berhenti, tapi tak pernah lenyap. Tidak tampak
seperti debu sama sekali.
Rasanya lebih berat daripada udara biasa, lebih pekat. Dan lebih
hangat.
Elaine mengernyitkan hidung. Debu ini hampir-hampir hidup.
"Ugh," Darlene menggerutu. "Bau apa ini?"
Elaine menciumnya juga. Bau asam daging yang membusuk.
Ia menutup hidungnya dan mengangkat obor lebih tinggi lagi.
Awan itu merah, lebih merah daripada batu bata. Mereka mulai
berkumpul menjadi awan tebal. Awan itu menggeliat di sekeliling
Elaine dan yang lainnya.
"Apa ini?" Max berbisik. Ia bangkit berdiri dan mulai
melambaikan tangannya di depan wajah.
Kabut itu tidak menghilang juga. Kenyataannya bahkan makin
kuat di sekeliling Max. Makin tebal. Tumbuh.
Mulut Max menganga dalam ketakutan. "Ada yang tak beres,"
gumamnya. "Ada yang tak beres di sini."
"Max?" tanya Bo. "Apa ini?"
Tubuh Max kaku. Jarinya menekuk seperti cakar. Matanya
membelalak.
Elaine terkesiap. Apa yang terjadi pada Max?
"Max?!" Bo mulai membuka mulut. Tapi kata-katanya
terputus oleh teriakan Max.
Max meraung lagi?ketika kabut merah mengangkat tubuhnya
dari tanah.Bab 13
DENGAN ngeri Elaine menatap Max.
Max terangkat satu meter dari tanah. Awan merah terbang
berputar-putar di sekelilingnya seperti angin topan. Tubuhnya berputar
dan berpusing di dalamnya.
Lengan kiri Max patah begitu keras hingga sendi bahunya
menyembul. Elaine menahan teriakan ketika lengan kiri Max
menyentak di belakang punggungnya.
Kabut merah itu bergerak ketika ia menggeliat.
"Max!" Bo menjerit. Ia melompat ke arah awan itu dan
merenggut kaki Max.
Sesuatu mengempaskan Bo dengan dorongan yang luar biasa.
Elaine dan Darlene berteriak ketika Bo jatuh membentur dinding.
Tolong berhenti, Elaine berdoa. Ini tak mungkin terjadi!
Ia mendengar tulang patah. Ia menutup telinganya dan menjerit
ketika melihat Max.
Kabut merah berputar di sekeliling Max, seolah-olah
mempererat cengkeramannya.
Kabut itu tak mungkin melakukannya, kata Elaine pada dirinya.
Ia tak bisa melakukan itu karena ia tak hidup! Ia cuma debu. Ia hanya
debu. Ini tidak mungkin terjadi.Kabut merah berputar lebih cepat. Tulang rusuk Max terlipat di
balik kemejanya dan patah dengan suara keras. Remuk dan patah.
Perut Elaine bergolak. Ia hanya bisa menatap yang selanjutnya
terjadi dalam kebisuan penuh ketakutan.
Lengan kiri Max terpuntir dan patah pada siku. Potongan lengan
itu bergerak naik-turun dengan liar di bawah kulitnya.
Bola matanya berputar dalam rongga matanya, berubah menjadi
putih keabuan.
Elaine memegangi perutnya dan bergoyang ke depan dan ke
belakang. Ia merasakan tubuhnya gemetar, tapi tak bisa bangun. Tak
dapat berlari. Tak bisa berteriak. Ia hampir tidak dapat berpikir. Yang
ia tahu ia sedang melihat manusia lain mati.
Kemudian awan merah itu berputar menjauh sepanjang
terowongan. Terbang cepat dengan tidak wajar, meski tak ada angin
yang menggerakkannya. Tubuh Max tergantung di dalamnya, lemas
dan kusut. Kegelapan menelannya.
Ia lenyap.
Elaine menatap kabut merah itu dengan syok. Aku tidak
bermimpi... aku bangun... dan aku gila.
"Ini tak mungkin," bisiknya. "Ini tak masuk akal."
Darlene dan Jerry duduk di sebelahnya di antara bata-bata,
membeku.
Tapi Bo berdiri terhuyung. Dalam raungan kemarahan, ia
mengejar awan merah itu.
"Bo, jangan!" teriak Elaine. Ia memaksa dirinya berdiri dengan
kakinya yang masih sehat. Tapi terlambat untuk menghentikan Bo. Bo
loncat lebih dalam ke Labirin untuk menyelamatkan temannya.Cahaya obornya hilang di dalam terowongan yang gelap.
Tenggorokan Elaine tersumbat. Akankah ia melihat Bo lagi?
Apakah kabut aneh akan melakukan hal yang sama kepada Bo seperti
kepada Max?
"Kita harus pergi dari sini," terdengar suara Jerry yang gemetar
di belakangnya. "Kita hanya harus mencoba dan pergi kembali
melewati air lagi. Setidaknya kita tahu bagaimana kembali ke sana.
Dan kita akan pergi berlawanan arah dari... makhluk itu."
Kata-katanya menyentak perhatian Elaine kembali ke situasi
mereka. "Kita tak bisa pergi tanpa Bo," katanya. "Kita harus
mencarinya."
"Tidak?kita harus pergi." Jerry meraba-raba tanah untuk
mencari obor, tapi tak menemukan satu pun. Ia mencoba merebut obor
milik Elaine, tapi Elaine menariknya menjauh.
"Berikan padaku," perintah Jerry. "Sekarang!"
"Tidak, Jerry," balasnya, sambil mundur. "Kita tak bisa
meninggalkan Bo."
"Kita mesti keluar dari sini!" teriak Jerry. "Sekarang juga!
Sekarang juga! Kita tak bisa kembali pada entah apa itu. Kau paham,
Elaine?"
"Ayolah, Jerry. Kita pergi. Ia boleh tinggal di sini. Kita harus
pergi!" teriak Darlene.
"Kita perlu obor," jelas Jerry.
Fear Street Terperangkap Trapped di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mata Darlene menyipit pada Elaine. "Obor itu harus bersama
kami, entah kau ikut atau tidak."Elaine menatapnya terkejut. Apakah Darlene begitu ketakutan?
Begitu takut untuk melarikan diri?dan meninggalkan Bo? Kurasa
ternyata ia tak begitu tegar, pikir Elaine.
"Tidak," kata Elaine padanya. Ia memegang obor menjauh dari
Darlene.
"Elaine pikirkan ini," Jerry memohon. "Jika kita tidak pergi
sekarang, kita mati!"
"Bagaimana dengan Bo dan Max?" tanyanya.
"Mereka sudah mati," teriak Jerry. "Sesuatu keluar dari lubang
itu dan merenggut Max! Dan ia akan mengejar kita sementara kau
duduk di sini dengan obor tolol itu! Ayo!"
Elaine berhenti sebentar, mendengarkan. Ia tak mendengar apa
pun di koridor.
Di manakah Bo? Apakah kabut merah menelannya juga?
Darlene melangkah ke depan. Tangannya terkepal.
Elaine membayangkan Max tergantung dalam kabut, tercabik di
depan matanya. Tercabik.
Ia harus berkonsentrasi. Harus kuat.
"Berhenti, Darlene," ia memperingatkan.
"Apa yang akan kaulakukan?" tantang Darlene. "Kau tak bisa
bawa kami berdua. Berikan obor itu, Elaine. Sekarang."
Elaine memandang sekilas pada obor itu. Apinya mati dengan
cepat. Dan kalau mati, mereka akan tinggal dalam kegelapan.
Tak ada cara lain untuk menyalakan obor lain tanpa Bo?ia
yang punya pemantiknya.
Darlene maju.Elaine benci mengakui itu pada dirinya sendiri, tapi permintaan
Darlene masuk akal. "Oke, kita pergi," katanya. "Sebelum obor ini
mati."
"Aku yang bawa itu," balas Darlene, sambil merenggut obor
dari Elaine. "Kau mungkin akan terpeleset lagi dan
memadamkannya."
Elaine ingin menghapus seringai dari wajah Darlene. Tapi itu
harus menunggu. Kabut merah itu kembali ke sana dalam terowongan.
Dan ia mendatangi mereka. Elaine ingin lari secepat-cepatnya.
Tapi ia tak bisa. Ia harus tetap tenang.
Jerry dan Darlene lari di depan, sementara nyala api naik-turun
dalam kegelapan.
Ia berjalan pincang secepat ia dapat, menumpukan berat
tubuhnya pada pergelangan kaki yang keseleo.
Tetapi, nyala obor kelihatan makin kecil.
Gelombang besar rasa panik menyerang Elaine. Ia tak bisa
melanjutkan perjalanan dengan mereka. Pergelangan kakinya terlalu
bengkak.
"Tunggu aku," panggilnya.
Obor itu berkedip hilang sewaktu Darlene dan Jerry memutari
sebuah pojokan.
Mereka takkan sungguh-sungguh meninggalkannya... ya kan?Bab 14
ELAINE melontarkan teriakan kecil. Ia menggandakan
kecepatannya. Tikaman rasa sakit menyergap kakinya setiap kali ia
melangkah. Ia mengulurkan tangannya di depan tubuhnya dalam
kegelapan, meraba dinding.
Dinding itu berakhir. Ia mengikutinya di seputar pojokan.
Obor itu ada di depan lagi.
Terima kasih Tuhan, pikir Elaine. Ia berjalan terus dengan
susah payah.
Ia berkonsentrasi pada obor yang berkerlap-kerlip, naik-turun,
naik-turun. Tapi bagaimanapun beratnya ia mendorong tubuhnya, api
itu makin kecil saja.
Ia menendang sebuah botol ke samping. Botol itu pecah,
menyebabkan tikus-tikus panik ketakutan dalam kegelapan.
Pergelangan kakinya berdenyut pada setiap degup jantung dan rasa
sakitnya seperti palu menghunjam.
Baru ia berpikir akan pingsan, Elaine melihat cahaya makin
terang.
Jerry dan Darlene berhenti.
"Kau sebaiknya menunggu," Elaine bergumam pada dirinya
sendiri.Ia bergerak maju ke depan dengan tenaga baru. Tapi
terowongan ini tampak asing. Ia tak dapat mendengar bunyi air
mengalir.
Secapek-capeknya ia, Elaine masih dapat merasakan keadaan
darurat menyentaknya. Kabut merah ada di sana. Ia tidak membuat
bunyi berisik apa pun waktu membunuh Max. Mungkin saja ia berada
di belakang mereka dan mereka tidak akan pernah tahu sampai
segalanya terlambat.
"Kenapa kalian berhenti?" kata Elaine terengah-engah.
"Makhluk itu bisa di mana saja. Kita harus terus jalan!"
Jerry mengerutkan dahi dalam cahaya berkerlap-kerlip. "Aku
pikir air itu seharusnya berada di sini. Dari arah mana kita datang?"
"Aku tak tahu," kata Elaine kepadanya.
Ia menatap ke dalam mata Jerry yang ketakutan. "Aku tidak
tahu bagaimana caranya kembali ke air itu."
"Kita tak bisa keluar," erang Darlene. "Kita tak bisa keluar."
Elaine merasa jengkel. Kenapa Darlene putus asa sekarang?
"Kita harus terus berjalan sebelum kabut merah menemukan kita."
"Tak ada jalan untuk pergi!" bentak Darlene. "Akan lebih
tersesat lagi kalau kita terus berjalan."
"Kita sudah benar-benar tersesat," bentak Elaine. Kemarahan
memenuhi dirinya. Sesudah tadi mengancam untuk mengambil obor
darinya, setelah hampir saja meninggalkan dirinya, kini Darlene
menyerah?
"Berikan obor itu padaku," perintah Elaine. Ia merebutnya dari
Darlene.
"Hei!" protes Darlene. "Siapa yang menjadikanmu ratu?""Diam dan dengarkan," hardik Elaine. "Aku juga takut. Tapi
kita tidak bisa hanya duduk di sini dan membiarkan makhluk itu
menemukan kita. Kita harus berpikir!"
"Lakukan semua pikiran yang kauinginkan," sahut Darlene.
"Kita masih akan terperangkap di bawah sini."
"Tidakkah kau mau tahu makhluk itu tadi?" tanya Elaine.
"Tidakkah kau peduli pada Bo?"
Darlene menggertak padanya. "Kau tahu aku peduli."
"Tidakkah kau mau bertemu dengannya lagi?"
Darlene tampaknya menangis, tapi mengerjap
mengenyahkannya. "Ia mungkin sudah mati," jawabnya.
"Mungkin tidak," debat Elaine. "Tapi kau tak pasti."
"Jadi apa yang mau kaukatakan?" tanya Jerry. "Kaupikir kita
harus berputar kembali dan mencari Bo? Kaupikir kita seharusnya
Medal Of Love 3 101 Kisah Bermakna Dari Negeri China The Powerfull Wisdom From Ancient Stories Karya Lei Wei Ye Pembunuhan Roger Ackroyd 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama