Ceritasilat Novel Online

Topeng Terkutuk 2

Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk Bagian 2


"Aku harap kamu bisa." Elizabeth tersedu tapi ia tidak membuat
gerakan untuk medorong Jessica.
Aku berpikir sekarang, Jessica berkata sendiri. Ia mendekap
Elizabeth lebih kuat dengan tangan kanannya. Dengan tangan kirinya,
ia berusaha untuk meraih di sekitar punggung saudaranya dan
menjamah topeng di sakunya. Sedikit lagi?sedikit lagi? Ah.
"Kamu bisa memahat labumu besok," kata Jessica dengan suara
yang paling halus. "Aku akan membantumu bila kamu suka." Pelanpelan ia menarik topeng itu. Topeng itu mulai meluncur dengan mulus
dari saku Elizabeth.
"Aku tak tahu." Elizabeth membenamkan kepalanya ke bahu
Jessica.
"Kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa, kok," tambah Jessica.
Hmmm. Bagian terakhir topeng sepertinya tersangkut sesuatu. Dengan
cepat Jessica mencoba jarinya dari arah lain. Berhasil. Ia mengangkat
topeng itu di atas kepala Elizabeth dan menaruhnya ke dalam
kantongnya.
Sepertinya sebuah beban berat telah dilepas dari hatinya."Bagaimana kalau kau ke atas dan istirahat sebentar?" tanya
Jessica. "Kita memasak sendiri untuk makan malam. Aku bawakan
sesuatu nanti, oke?"
"Oke." Suara Elizabeth terdengar sangat letih, pikir Jessica. Ia
pikir itu adalah efek samping dari topeng yang ia miliki. Yang dulu ia
miliki, tambahnya sendiri. Sekarang setelah ia menjauhkan topeng itu
dari Elizabeth, ia akan membuangnya dan itu pasti.
Jessica menolong Elizabeth ke atas ke tempat tidurnya. "Aku
merasa kamu tidak sedang demam," katanya sambil memeriksa kening
saudaranya. "Aku bertaruh kamu akan baikan segera." Pasti! pikirnya.
"Terima kasih." Elizabeth tersenyum pada Jessica. "Hei, Jess?"
gumamnya mengantuk. "Maafkan aku bila aku menyakiti hatimu
tentang labu itu. Aku? aku tahu kau tak akan berbuat seperti itu tanpa
alasan yang tepat, oke?"
"Oke." Jessica tersenyum pada saudaranya dan menyalakan
lampu. "Sampai jumpa." Ketika ia meninggalkan ruangan, ia
memastikan memegang topeng itu agar Elizabeth tak melihatnya.
Untuk berjaga-jaga, katanya pada diri sendiri.
Sambil balik ke arah dapur, Jessica menyembunyikan topeng itu
di bawah tumpukan koran-koran yang akan didaur ulang. Besok aku
akan menguburnya atau yang lain, janjinya sendiri. Ia merasa baikan
daripada hari-hari terdahulu. Jessica pergi ke teras dan melihat labu
yang telah dipahatnya. Kelihatan sangat sedih, tapi ia memutuskan
untuk memilikinya, hanya untuk mengingatkan akan dirinya.
Ia menyalakan lilin lagi. Labu itu masih seperti bulan purnama,
tapi mengapa sekarang hal itu tidak mengganggunya sedikitpun.
Sudah berakhir, pikirnya senang. Semuanya sudah berakhir.***********
Sejam kemudian, Jessica membuka pintu kamar Elizabeth. Ia
memegang nampan dengan semangkuk panas sup ayam dan mentega
kacang dan sandwich jelly pada roti gandum, seperti yang disukai
Elizabeth. "Lizzie?" panggilnya lembut.
Tidak ada jawaban.
Ia pasti sudah tidur, pikir Jessica dengan terkejut. Ia memutar
handle pintu dan memasukinya. Aneh. Lampunya menyala.
Elizabeth tidak ada di tempat tidurnya.
"Elizabeth?" tanya Jessica. Dengan cemas ia berjalan menuju
pintu.
Elizabeth sedang duduk di mejanya. Tiba-tiba ia menggerakkan
kepalanya. "Jangan ganggu aku, pecundang," bisik Elizabeth melalui
topeng buruk itu yang sekali lagi menutupi wajahnya.
Jessica berteriak. Menjatuhkan nampannya dan berlari menuju
pintu depan dan keluar ke malam gelap.Sepuluh
Jessica berlari dan berlari tanpa menghiraukan dimana ia
berada. Pikirannya berantakan. Bagaimana Elizabeth bisa
mendapatkan topengnya kembali? Bagaimana ia dapat menemukan
tempatnya? Dan apa yang membuatnya kembali mengambilnya? Apa
topeng itu mempunyai kekuatan bahkan apabila ia sedang tak
memakainya?
Jantung Jessica berdebar tak karuan sampai akhirnya ia tak
dapat berlari lagi. Ia bersandar pada sebuah pagar. Napasnya
tersengal-sengal dan air mata mulai menetes di pipinya. Elizabeth,
Elizabeth, ia menangis pelan. Elizabeth kembalilah padaku!
Tangisnya mulai mengeras dan mengeras, tapi ia tidak peduli
jika ada orang yang mendengar. Ia menangis keras, lebih keras dari
sebelumnya, sampai akhirnya ia terlalu lelah untuk menangis lebih
lama lagi.
Sambil menghapus air matanya dengan kerah baju, ia melihat
sekelilingnya. Udaranya sangat dingin dan menakutkan. Lampu jalan
menyala redup. Bulan sedang tersembul dari balik awan. Apakah itu
hanya khayalannya, ataukah bulan itu lebih besar dan lebih merah dari
biasanya?Jessica bergetar karena ketakutan dan kedinginan. Ia
memutuskan untuk kembali ke rumah. Kalau Elizabeth masih
memakai topeng itu, aku akan?aku akan mengunci diriku dalam
kamar dan memutar musik sekeras-kerasnya sampai Ayah dan Ibu
pulang. Benar. Dan aku tidak akan menjawab apabila ia mengetuk
pintu, apapun alasannya.
Dan apabila ia tidak memakai topengnya, aku akan mencari
topeng itu sendiri. Dan aku akan?
Aku akan apa?
Jessica sadar bahwa ia tidak ingin menyentuh barang itu.
"Akan aku kubur di pekarangan belakang," ucapnya pelan, katakatanya bergema di jalan yang kosong dan berkabut. Tidak. Elizabeth
akan menggalinya lagi. "Aku akan membuangnya ke toilet." Tidak. Itu
akan membuat berantakan semuanya.
Lalu apa?
"Lalu aku akan memakannya," Jessica berjanji pada dirinya
sendiri dengan menggigil. Dengan cuek, ia melangkah menuju
rumah? dan menyentuh sesuatu yang hangat dan berbulu.
Untuk kedua kalinya pada hari itu, Jessica berteriak.
***********
Aku akan menelpon Elizabeth, pikir Maria malam itu. Ia sedang
duduk di tempat tidurnya sambil berusaha membaca buku untuk kelas
bahasa Inggrisnya, tapi ia tidak bisa berkonsentrasi. Aku ingin tahu
apakah Elizabeth memikirkan kostum sepeda roda tiganya.
Maria menekan nomor keluarga Wakefield. Telepon berdering
empat kali lalu mesin penjawab berbunyi. "Ini rumah keluarga
Wakefield," suara Jessica terdengar tegas. "Kami minta maaf bila takada orang di sini untuk menjawab teleponmu, tapi jika anda
meninggalkan nama dan pesan singkat setelah bunyi biip, kami akan
menelpon kembali." Hanya ada kekosongan tapi tak ada bunyi biip.
"Kecuali jika kamu adalah cowok ganteng," suara Jessica
melanjutkan. "Kamu boleh meninggalkan pesan sepanjang yang kamu
suka!" Lalu terdengarlah suara biip.
"Hai Elizabeth, ini Maria," ia berbicara melalui mikrofon. "Hai
juga pada Jessica kalau kamu adalah orang yang menerima telepon
ini. Aku rasa aku siap untuk memaafkanmu. Oh, dan maaf aku bukan
cowok ganteng. Lagipula, Elizabeth, telepon aku kembali kalau kamu
tidak terlambat sampai di rumah. Oke?"
Maria akan menutup teleponnya ketika terdengar suara berisik
di ujung lain dari telepon.
"Ada orang di sana?" tanya Maria.
Suara bergumam dan marah masuk ke jalur teleponnya.
"Maria?" ucapnya.
Maria menaikkan nada bicaranya. "Jessica?" tebaknya. "Aku
mau berbicara dengan Elizabeth kalau kamu tak berkeberatan."
"Jessica?" suara itu kelihatan kesal. "Apa maksudmu, Jessica?"
"Kamu bukan Jessica?" Maria mulai cemas. Tapi kalau kamu
bukan Jessica, berarti?"
"Ini Elizabeth, tolol!" suara itu berkata.
Maria terkejut.
**********
Hanya seekor anjing, Jessica baru menyadarinya ketika melihat
ke trotoar. Hanya seekor anjing kecil. Walapun begitu, Jessica merasa
dirinya sedang menyingkir dari anjing itu."Anjing baik," katanya dengan tidak yakin. Apakah kamu harus
mengulurkan tanganmu pada anjing yang belum dikenal ataukah
menyembunyikan tanganmu ke belakang? pikirnya. "Anjing manis."
Ia mengulurkan tangan yang satu dan menyembunyikan tangan yang
satunya lagi untuk jaga-jaga. "Anjing baik."
Anjing itu bergoyang dan menatapnya.
"Apa kamu lapar?" tanya Jessica sambil berharap agar anjing
itu tidak menyerangnya. "Oh!" serunya. Anjing itu mempunyai wajah
berwarna oranye!
Jessica menatap anjing itu. Jantungnya berdebar. Apakah ini
anjingnya, ucapnya sendiri. Anjing yang memberi Elizabeth topeng!
Anjing itu bergoyang lagi.
"Ada apa, manis?" kata Jessica muram. Anjing itu berputar dan
berjalan pelan menjauhinya. "Kesini manis, manis, manis!" siulnya.
Anjing itu berhenti dan melihatnya tapi anjing itu tak bergerak ke
arahnya sama sekali.
Ini gila, Jessica berbicara pada dirinya. Aku di sini, di atas
trotoar yang ditinggalkannya, mencoba untuk memperoleh perhatian
dari anjing bodoh! "Hei, boy!" ia menangis sambil menepuk
tangannya.
Anjing itu memberi gonggongan lemah. Seperti mau
menunjukkan, anjing itu memutar kepala di atas lehernya seperti mau
berkata, "Ikutlah denganku!"
"Kamu gila, jika aku mengikuti saranmu," Jessica
memberitahunya. "Setelah yang kau lakukan pada saudaraku? Apa
yang mau kau berikan, sepasang sepatu lusuh yang akan membuatkakiku jadi setan?" Tapi sebelum Jessica sadar, ia mulai mengikuti
anjing itu.
Anjing itu berputar dan memberinya tatapan. Wajahnya tidak
seperti wajah anjing?tapi seperti bulan. Tiba-tiba Jessica menjadi
bersemangat. "Oke," ujarnya. "Kamu duluan, aku akan mengikutimu."
Anjing itu berjalan cepat di jalan, kadang-kadang terlalu cepat
sehingga Jessica hampir kehilangan jejaknya di dalam kabut. Jessica
mencoba untuk menyusul, tapi anjing itu mulai berlari, ia
melambatkan jalannya. Setelah lima menit perjalanan, mereka
kembali ke lingkungan yang dikenal Jessica?
Di luar rumah tua Luna.
Anjing itu berhenti di dekat pagar, sambil menatap langsung
pada Jessica. Di belakang anjing itu, Jessica dapat melihat menara dari
rumah tua itu. Cobalah jangan masuk, pikirnya dengan ketakutan.
Tapi anjing itu bergerak lagi. Anjing itu menerobos di bawah
pagar dan berdiri di sisi yang lain dari pagar.
Lucu, Jessica berkata sendiri.Sepertinya anjing itu tahu hendak
kemana.
Yang berarti?
Jantung Jessica berdebar tak karuan.
Yang berarti, ia berbicara pada dirinya, anjing itu mungkin
tinggal di sini.
*********
Maria menutup teleponnya. Ia hampir tidak mempercayai apa
yang didengarnya. "Elizabeth?"
"Kamu mau membuat sesuatu dengan itu?" suara Elizabeth
berkesan mengejek."Ini?ini Maria," ucapnya gagap.
"Oh, tolong." Suara di ujung telepon yang lain bernada jijik.
"Dapatkah kamu mengerti melalui tengkorak kecilmu bahwa aku sama
sekali tidak memikirkan tentangmu dan juga tentang teman-teman
jelekmu yang lain?"
"Teman-temanku yang apa?" Tiba-tiba Maria merasa pusing.
Ini tidak mungkin, ia mencoba berkata pada dirinya.
"Memangnya kamu kenapa, tuli?" tanya Elizabeth, suaranya
pecah penuh kebencian. "Ini Maria Slater," ia meniru ucapan Maria
dan membuatnya menjadi nyanyian. "Lalu, Maria Slater, tolonglah-T
o-l-o-n-g, kalau kamu tidak bisa mengeja?tutup telepon bodoh itu
dan keluarlah dari sini? Betsy Martin mungkin akan menelepon."
"Betsy Martin?" Kepala Maria terasa berputar. Betsy Martin
adalah salah satu anak yang terjudes di sekolah. Elizabeth selalu
berusaha menghindarinya. Betsy bahkan terlalu judes untuk Unicorn!
"Ya, Betsy Martin." Suaranya terdengar lirih. "Apa hari-harimu begitu
membosankan sehingga harus mengulang setiap perkataanku?"
Maria menggigit bibirnya. Ini pasti bukan Elizabeth, ia
mencoba meyakinkan dirinya. Tidak mungkin! "Jessica," ujarnya
dengan marah, "kenapa kamu mencoba untuk meledekku?"
Tapi yang terdengar hanya kesunyian.
Siapapun yang ada di sana rupanya telah menutup teleponnya.
*************
Anjing itu bergoyang lagi dan menggaruk punggungnya di salah
satu tiang pagar.Jessica mengeluh tak sabaran. "Apa yang mau kamu katakan
padaku, manis?" Mata Jessica mengedip dan? ia beristirahat di salah
satu pagar yang telah bolong.
"Oh, tidak," kata Jessica keras. "Tak mau, Jose! Kamu tidak
akan membuatku mau pergi kesana!" Ia memasukkan tangannya ke
saku dan berbalik.
Anjing itu bergoyang lagi.
Jessica mulai melangkahkan kakinya menuju rumah, tapi
kakinya terasa berat untuk digerakkan dan sepertinya ia terhambat di
trotoar. "Lakukan!" bisiknya. Meskipun otaknya bekerja keras, namun
kakinya tetap tak mau diperintah.
Anjing itu menggonggong beberapa kali.
Pelan-pelan Jessica berbalik kembali. Tanpa berpikir lagi, ia
melangkah melalui lubang di pagar dan masuk ke pekarangan rumah
tua Luna.
Anjing itu menuntunnya ke pojok dan naik ke jendela. Mungkin
banyak laba-laba di sini, pikirnya. Warna kusennya mulai
mengelupas. Jessica merasa gemetar sedikit. Ia menaikkan hidungnya
ke kaca.
Uhh, Sarang laba-laba.
Sambil menahan napas, Jessica menerobos melalui jendela.
Mula-mula yang dilihatnya hanyalah gelap gulita.
"Anjing?" tanyanya. "Sini, manis?"
Tidak ada balasan gonggongan atau endusan. Jessica melihat ke
bawah, tapi ia tak melihat anjing itu lagi. Dengan cemas, Jessica
melihat ke kiri dan ke kanan. Anjing itu tak ada.
Ia telah hilang.Keluar dari sini dengan segera! Otak Jessica berteriak padanya.
Tapi sekali lagi tubuhnya tak mau mendengarkannya. Dengan cemas
dan ketakutan, Jessica bersandar pada jendela. Apapun yang dimaui
oleh anjing itu, ia berbicara pada dirinya, pasti ada hubungannya
dengan jendela ini. Aku ingin tahu ada apa di dalamnya? Ia
menajamkan penglihatannya untuk melihat sekelilingnya.
Apa itu yang bergerak? pikirnya terkejut. Tidak, hanya
bayangan dari pohon di belakang yang tertiup angin, ucapnya sendiri,
tertawa tegang di dalam ketakutannya. Sekali lagi ia mendekati kusen
jendela dan melihat dalamnya.
Sebuah rak, pikirnya. Dan sebuah meja. Ia melihat lebih dekat.
Ataukah sebuah peti mati? Jessica ingin menutup kedua matanya tapi
tidak dilakukannya. Sepertinya rumah tua itu menghipnotisnya. Ada
bahaya di sini, katanya pada diri sendiri. Ia dapat merasakan
jantungnya berdetak kencang ketika matanya menyesuaikan dengan
cahaya di dalam ruangan.
Plester yang sudah terkelupas di dinding. Vampir! Bukan,
bukan kelelawar, ucapnya sendiri cepat. Hanya sebuah mantel, hanya
itu. Tak perlu ditakutkan. Jessica mengambil napas panjang.


Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan sebuah bulan sabit.
"Aneh," kata Jessica lantang, kata-katanya memecah kesunyian
malam. Sangat menghibur dengan mendengar suaranya sendiri.
"Sekarang, bagaimana mungkin ada sebuah bulan sabit di dalam?"
Seketika itu jantung Jessica terasa melompat ke mulutnya.
Sesuatu telah menyentuh bahunya!
Tanpa berani menoleh, Jessica berteriak?
Dan berteriak?Sampai sebuah tangan membekap mulutnya dengan kuat.Sebelas
Lepaskan! Lepaskan! Jessica berusaha untuk berteriak, tapi tak
berguna. Tangan itu sangat kuat membekap mulutnya. Kemudian,
Jessica menendang ke belakang untuk menyerangnya. Kakinya
melayang? dan tak mengenai apapun kecuali angin. Ia tidak hidup,
pikirnya dengan ketakutan. Aku telah dibekap oleh sebuah tangan
tanpa kelihatan wujudnya!
Sambil memberi dorongan yang kuat dengan tangannya, Jessica
mencoba untuk melihat ke belakang. "Mmmmm!" perintahnya sambil
berusaha membuka mulutnya. "Mmmmm!"
"Shh, shh," terdengar suara wanita dari balik bahunya. "Kita
tidak ingin membangunkan seluruh tetangga, bukan?"
Jessica tetap berusaha melepaskan diri. Suaranya terdengar
biasa-biasa saja, pikirnya, tapi ini mungkin tipuan. Ia mungkin sejenis
makhluk angkasa luar yang mencoba untuk bersuara seperti wanita
biasa agar bisa menangkapku dan menculikku. "Mmmmm!" erangnya
sambil memegang tangan itu dengan ujung-ujung jarinya.
"Oh, sayangku," lanjut suara itu, "kamu pasti berpikir bahwa
aku akan menyakitimu!"
Pada kata-kata itu, Jessica mencoba lebih keras. "Tolong!" ia
mencoba untuk berteriak."Aku tidak berniat untuk menyakitimu," lanjut suara itu. "Aku
hanya tidak ingin kamu mengganggu orang lain dengan suara itu. Ini
sudah malam, tahu."
Ya, ini sudah malam, pikir Jessica panik. Terlalu malam untuk
berdiri di depan sebuah rumah yang menyeramkan dengan seseorang
membekap mulutku.
"Namaku Corrina Black," lanjut suara itu. "Kamu bisa
memanggilku Corrina. Kebanyakan tetanggaku tidak tahu aku tinggal
di sini, dan aku?aku tidak suka dilihat orang." katanya sambil
tertawa.
Jessica merasakan jantungnya berdebar-debar. Jadi ini adalah
wanita yang tinggal di sini, pikirnya, wanita yang mirip dengan nenek
sihir dan aku akan jadi santapannya.
"Mari kita buat perjanjian," sambung Corrina. "Aku akan
melepaskanmu jika kamu berjanji tidak akan berteriak lagi. Lalu kita
bisa ke dalam dan kamu bisa mengatakan apa yang kamu mau.
Setuju?"
Pilihan apa lagi yang kudapat? Jessica berkata pada dirinya
sendiri. Ia mengangguk.
"Bagus," jawab Corrina tertawa sambil melepaskan
bekapannya.
Dengan takut-takut, Jessica menoleh.
Corrina mempunyai rambut yang sangat panjang hingga di
bawah pinggangnya. Mata hijau beningnya bersinar di bawah sinar
bulan?seperti mata kucing, Jessica tidak bisa berpikir. Wajahnya
pucat dan kurus, tapi ada sesuatu yang ramah di wajahnya? lebihramah dari yang dibayangkannya sebagai nenek sihir. Berapa
umurmu? Jessica penasaran. Ia bahkan tidak mencoba untuk menerka.
"Jadi kamu tinggal di sini," kata Jessica dengan hati-hati.
Corrina tertawa, lebih malu-malu kali ini. "Ya."
"Ada beberapa orang yang mengatakan kau adalah nenek sihir."
kata Jessica pelan.
"Apa iya?" Mata biru Corrina membakar mata Jessica. Ia
tersenyum.
Katakan bahwa kau bukan nenek sihir, Jessica berucap pelan.
Untuk berjaga-jaga, Jessica mengambil selangkah mundur. Ia terkejut
ketika menabrak tembok rumah itu. "Ooooh!"
"Mengapa kita tidak ke dalam saja," usul Corrina. "Lebih?"
Matanya berbinar. "Lebih bersih dari yang kauduga."
"Tidak ada sarang laba-laba?" kata Jessica ingin tahu.
"Yaa, ada beberapa." Corrina meraih tangan Jessica. "Ayolah.
Mari. Aku tunjukkan jalannya."
Jangan lakukan! Jangan lakukan! Jessica memperingati dirinya.
Tapi sekali lagi, tubuhnya tak mau menurut. Corrina menuntunnya
melalui pintu karatan dan masuk ke dalam rumah tua Luna.
Ruang keluarganya lebih bersih daripada yang dibayangkan
Jessica?agak sedikit bersih, bisa dibilang begitu. "Duduklah," kata
Corrina, menunjuk pada sebuah sofa hijau dengan bantal rambut kuda.
Jessica mengecek sofa itu, apakah ada sarang laba-labanya sebelum ia
duduk. Tidak ada sarang laba-laba, pikirnya, tapi banyak sekali
debunya!"Aku belum membersihkannya. Seperti sudah seabad!" Corrina
menjelaskan dengan tertawa. "Dapatkah aku membawakan sesuatu
untuk diminum?"
"Tidak, terima kasih," jawab Jessica, meskipun tenggorokannya
kering seperti sebuah ampelas.
"Apa kamu yakin?" bujuk Corrina, sambil tersenyum ramah.
Jessica mengedipkan mata. Sepertinya ia tahu apa yang
kupikirkan. "Kalau begitu?ya. Ya, tolong."
"Aku akan kembali sebentar lagi," kata Corrina pada Jessica.
"Anggap saja seperti di rumah sendiri." Ia menghilang di sekitar
sudut.
Anggap saja seperti di rumah sendiri, pikir Jessica, sambil
mengusap hidungnya. Yang benar saja. Apa Corrina tidak mengenal
lampu? Satu-satunya cahaya yang datang, hanya dari beberapa lilin.
Jessica melihat ke tengah-tengah ruangan dan menahan
napasnya. Sebuah bulan sabit berukuran dua kaki berdiri di
permukaan sebuah meja yang dipoles. Bulan itu dipahat menjadi
wajah yang tertawa. "Jadi aku benar-benar melihat bulan di sini,"
gumamnya sendiri. Ia memalingkan matanya segera.
Di belakang meja terletak rak-rak yang terisi oleh buku-buku
tua. Jessica mencoba mencari televisi atau komputer, tapi ia tidak
melihatnya. Mungkin ia tidak mempunyai listrik, hiburnya.
Di atas mantel terdapat empat buah potret. Jessica terperanjat.
Lalu ia berdiri dan mendekatinya untuk melihat lebih jelas. Lukisan
pertama menampilkan seorang pria dengan kerah putih tinggi, sebuah
garis yang tegas terlukis di wajahnya. Di sampingnya adalah lukisan
seorang wanita, rambutnya disanggul beberapa kali. Pakaiannyaterlihat sangat ketinggalan jaman. Jessica pikir ia sedang melihat foto
nenek buyutnya yang mengenakan baju seperti itu. Aku ingin tahu
apakah mereka adalah buyut dari Corrina?
Foto ke tiga menampilkan seorang gadis cantik dengan senyum
yang riang. Rambut pirangnya tergerai dari wajahnya, lalu ada kilauan
di matanya. Jessica melihat lebih dekat dan merasa shock karena
mengenalinya. Ia seperti Elizabeth! "Atau aku," tambahnya dengan
keras. Ia memutuskan bahwa gadis di foto itu tidak lebih dari
enambelas tahun usianya. Kita akan seperti itu empat tahun lagi,
putusnya, sambil memeriksa potret itu dengan seksama. Aku ingin
tahu apakah ia berhubungan dengan kami?
Tapi foto keempat lebih menarik. "Itu Corrina," Jessica berkata
pada dirinya sambil menatap tajam. Meskipun gadis di foto itu
kelihatan seperti seumur Jessica, namun tidak ada yang cocok: rambut
hitam panjangnya, wajah yang kurus, muka yang ramah. Pelukis ini
telah menangkap binar mata hijau Corrina dengan baik. Jessica mulai
merasa nervous di belakang lehernya. Seberapa tua lukisan ini,
lagipula? ia ingin tahu. Ia menyentuhkan jari-jarinya di sepanjang
bingkai. Bingkai itu penuh dengan debu.
Sangat kuno.
Di bawah debu, bingkai itu juga terlihat tua. Dan jika lukisan itu
sudah berada di situ sangat lama, hal itu akan menjelaskan siapa
Corrina?sudah berapa usianya?
Jessica mengangkat bahunya. Lebih tua dari semua orang
seharusnya, itu pasti.
"Aku lihat kamu sedang memandangi potret keluargaku," kata
Corrina memperhatikan ketika kembali lagi ke ruangan itu. Jessicaberputar ke belakang. Ia berjalan sangat pelan, pikirnya, sambil
menahan napasnya. Seperti?
Seperti seekor kucing.
Corrina tertawa pada Jessica, mukanya memerah waktu kembali
ke sofa. "Ya, itu aku di ujung sana, ketika aku umur 12 tahun,"
katanya pada Jessica. Matanya beralih cepat dari satu lukisan ke
lukisan yang lain. "Dan saudara perempuanku, dan orangtuaku. Ini
aku bawakan minuman."
"Terbuat dari apa?" tanya Jessica sambil melihat ke botol
dengan gugup. Mungkin itu adalah darah semacam bir yang berbau
busuk.
Corrina tersenyum. "Kamu suka es teh, kan?" tanyanya sambil
menyerahkan botolnya pada Jessica.
"Oh, ya. Terima kasih." Jessica memperhatikan botol itu dengan
curiga. Apakah hanya sebuah es teh? Ia mencium ujungnya. "Apa
isinya?"
"Baca tulisannya," usul Corrina dengan tertawa. "Teh, jagung,
sirup dan air, sepertinya. Mungkin ditambahkan asam sitrat. Bahan
yang mereka suka tambahkan akhir-akhir ini!"
"Oh." Jessica mengecek labelnya. Ia merasa malu. Buru-buru
mengganti pembicaraan, ia menunjuk bulan sabit. "Untuk apa itu,
Nona Black?"
"Panggil Corrina saja." Corrina duduk di kursi bersandaran
tegak juga dengan kaki yang patah sambil menyedot tehnya. "Itu
adalah simbol dari pencerita. Hal itu dikenal di seluruh dunia. Dimana
ada bulan sabit, pasti ada pencerita. Kamu mengerti?""Oh-hoh." Dengan hati-hati Jessica menyedot es tehnya. Yap,
rasanya seperti es teh biasa, pikirnya dengan lega. "Apakah kamu
seorang pencerita, Corrina?" TEENLITLAWAS.BL0GSP0T.C0M
Wajah Corrina menjadi gelap. "Bisa dikatakan demikian." Ia
menaruh botolnya di atas meja purnama tersebut. "Tapi aku rasa
kamulah yang akan menceritakan sesuatu malam ini," tambahnya
sambil menunjuk Jessica. "Betul, kan?"
Jessica terpaku. "Aku rasa kamu benar," jawabnya pelan. Ia
duduk dengan tegak di sofa. "Aku belum memberitahu siapa-siapa
tentang?ini." Ia tidak tahu mengapa, ia ingin menceritakan segala
sesuatunya pada Corrina tentang Elizabeth dan topeng yang
mengerikan itu. Corrina kelihatannya baik dan juga bijaksana. Hanya
saja Jessica tidak tahu bagaimana mengatakannya.
Corrina tersenyum simpatik padanya. "Tak apa-apa," ujarnya
menenangkan. "Minum lagi tehmu dan tak usah terburu-buru. Aku
tidak akan memaksamu. Aku janji."
Jessica meminum tehnya lagi. Ia mengambil napas panjang dan
mulai bercerita.
Ketika cerita akan berakhir, Corrina duduk terdiam, tangannya
terlipat di pangkuannya, mata hijaunya terfokus pada sesuatu di
kejauhan. Jessica mencoba mengikuti pandangannya. Sepertinya ia
sedang memperhatikan potret keluarganya di atas mantel, tapi di
redupnya cahaya lilin, hal itu belum bisa dipastikan.
"Jadi?" kata Jessica memecah kesunyian. "Jadi apa kamu
mempunyai saran untukku?" Ia membersihkan tenggorokannya.
"Maksudku, apakah kamu tahu darimana topeng itu berasal atau?apa
yang diinginkannya?"Corrina duduk sambil memperhatikan sikapnya seperti orang
yang tak sadarkan diri. Ia menggelengkan kepalanya. "Tidak,"
bisiknya. "Tidak, tidak mungkin."
"Apa?" Jessica mendekat sambil berbicara agak keras karena
penasaran. "Ada apa, Corrina?" Ketika ia berbicara, ia merasakan
angin dingin di wajahnya. Sepertinya itu berasal dari meja bulan
purnama. "Ceritakan padaku."
"Topeng itu telah dikubur selama empatpuluh tahun," bisik
Corrina hampir tak terdengar.
Jessica merasa ada perasaan terbenam dalam perutnya.
"Mengapa?" tanyanya, takut karena ia sudah tahu jawabannya.
"Karena?" Corrina berhenti sejenak dan menjilat bibirnya
dengan gugup. "Karena topeng itu membawa kutukan mematikan."
Jessica merasa jantungnya berhenti. Sekarang ia yakin benar?
topeng itu membawa sesuatu yang buruk pada Elizabeth. Aku harus
melakukan sesuatu, pikirnya, otaknya berputar. "Bagaimana aku dapat
menghilangkan kutukannya dan menyelamatkan Elizabeth?" Suaranya
terdengar keras, matanya memohon pada Corrina untuk memberinya
jawaban.
Corrina menggeleng. "Aku rasa mengalahkan kutukan itu di
luar batas kemampuanku."
"Tidak mungkin! Tentu ada sesuatu yang bisa kamu perbuat!"
tangis Jessica. Sekali lagi ia merasa akan menangis. "Aku tahu! Jika
aku curi lagi topeng itu, dan menguburnya?mungkin kamu bisa
memberitahuku dimana topeng itu dikuburkan sebelumnya?" kata
Jessica sambil mengepalkan tangannya. "Atau jika aku bawa jauh,topeng itu tidak akan kembali lagi?bisakah?" tanyanya dengan penuh
harap.
Corrina menatapnya dengan pasrah. "Mungkin kamu benar."
"Tapi kamu tidak? kamu tidak berpikir aku benar, bukan?"
Jessica duduk lagi disofa.
"Tidak," kata Corrina dengan lembut. "Dan juga ada satu lagi."
Ia mengulurkan tangannya pada lutut Jessica. "Topeng itu dapat
menahan pemakainya untuk selamanya?kalau dipakai cukup lama."
Jessica terperanjat. Kata-kata itu seperti melubangi hatinya.
"Maksudmu?maksudmu hal itu tidak akan membantu walaupun
sudah aku kubur?" tanyanya sambil menelan ludah.
Corrina kelihatan cemas. "Maafkan aku. Semakin lama
Elizabeth memakai topeng itu, semakin kuat pula topeng itu
mengendalikannya."
"Aku harus berbuat sesuatu," ujar Jessica. Ia memaksa tubuhnya
untuk tenang. "Ataukah?" Sebuah firasat buruk mengganggunya.
"Oh, Corrina apakah ini sudah terlambat?"
"Aku rasa tidak," Corrina mencoba meyakinkan. "Dari apa yang
kaukatakan padaku, aku rasa kamu masih punya beberapa hari lagi."
Jessica merasa lega tapi Corrina dengan cepat memotong.
"Bagaimanapun juga, aku rasa hanya itu saja yang bisa kaulakukan."
Otak Jessica berpikir cepat. Potong menjadi bagian-bagian
kecil. Beri pada anjing tetangga. Bawa ke kantor pos dan kirimkan ke
Siberia. Apa saja! "Terima kasih banyak atas tehnya, Corrina,"
katanya. "Aku harus?"
"Ada satu lagi," potong Corrina.
"Apa itu?" tanya Jessica. Ia tidak ingin mendengar jawabannya."Awasilah kenaikan dari bulan," jawab Corrina, suaranya
lembut tapi tegas. Jessica mengangkat bahu. Itulah yang dikatakan
Mandy, ia mengingat. "Kalau saudaramu memakai topeng itu lewat
dari kenaikan bulan, hal itu adalah waktu bagi topeng itu untuk
mengendalikannya secara penuh.
Seluruh tubuh Jessica menjadi dingin. Ia berpikir kembali ke
sore tadi. "Hari ini aku melepas topeng itu dari wajahnya tepat ketika
bulan sedang naik," ucapnya pada Corrina.
Corrina mengangguk. "Tindakan bagus. Kau melakukan hal
yang benar."
"Terima kasih, Corrina," Jessica meminum sisa-sisa terakhir
dari tehnya dan menuju pintu. "Terima kasih atas segalanya. Aku
harus pergi. Sampai jumpa!"
Jessica mengelilingi sudut dan membelakangi pintu. Dari
jendela, ia dapat melihat Corrina duduk di kursi tuanya dan
memandang dengan sedih foto dari keluarganya.
***********
Rumah sangat gelap ketika Jessica sampai. Pelan-pelan, ia
berjingkat ke lantai dua. Dimana topengnya? ia mengira-ngira. Ia
tidak punya pikiran, apa yang akan dilakukannya kalau ia menemukan


Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

topeng itu?tapi bagaimanapun juga ia harus tahu di mana topeng itu
berada.
Jessica menyalakan lampu di kamarnya dan membuka pintu
kamar mandi yang selalu dipakai bersama Elizabeth. Melintas di
depan bak mandi, ia membuka pintu kamar kembarannya.
Elizabeth di atas ranjang, sedang tidur.Jessica membuka pintu sedikit lebih lebar. "Topengnya.
Topengnya," gumamnya sendiri. Untung topeng itu tidak berada di
wajah Elizabeth.
Jessica mempelajari wajah tidur saudaranya. Saudara Corrina
persis seperti kamu, pikirnya. Lalu ia menarik napas. Yang tidak akan
membantuku mencari topeng itu.
Dengan berjingkat, Jessica berjalan menuju laci Elizabeth. Tapi
sebelum ia mencoba meraihnya, ia melihat sesuatu yang membuatnya
terperanjat.
Topeng itu tersembul dari balik bantal Elizabeth.
Dengan cepat, Jessica menuju sisi ranjang Elizabeth. Ia
menyentuh bahan karet dari topeng itu dengan satu tangan.Uh. Sambil
menutup matanya rapat-rapat, ia menariknya sekeras-kerasnya.
Tapi ketika ia sedang beraksi, Elizabeth bergumam dalam
tidurnya dan memeluk bantalnya erat-erat. Walaupun topeng itu
tertarik, tapi tetap saja tidak bergerak. Sambil menghembuskan napas,
Jessica melepaskannya dan menunggu Elizabeth mengendorkan
genggamannya.
"Berbaliklah Elizabeth," bisiknya sambil berdoa agar Elizabeth
dapat menangkapnya dalam mimpinya.
Elizabeth bergumam sesuatu dan semakin memeluk erat
bantalnya.
"Apa itu?" Jessica mendekat.
Elizabeth mengulangnya. Jessica pikir itu kedengaran seperti
"Bulan, bulan."
Sudah pasti. Jessica harus mengambil topeng itu dari
saudaranya. Dengan satu tangan Jessica mengangkat pergelanganElizabeth dan mencoba mengangkat bantalnya. Ia sudah siap untuk
menarik topeng itu dengan tangan yang lain sebelum Elizabeth
terbangun, tapi ia tidak dapat mengenyahkan tangan Elizabeth dari
bantal. Sepertinya ia memegangnya dengan sepenuh hati.
Elizabeth bergumam lebih keras, dan kali ini Jessica mengerti
semua yang dikatakannya. "Bulan, bulan," panggil Elizabeth
ketakutan dari tidurnya. Lalu ia memegangi bantalnya lebih erat dari
sebelumnya.
Jessica mundur. Sudah jelas bahwa kembarannya tidak ingin ia
mengambil topeng itu dengan mudah. Elizabeth sepertinya menjagatopeng itu dengan nyawanya.Dua belas
Malam itu Jessica bermimpi berada di rumah hitam Corrina dan
di sana terlihat bulan di mana-mana. Bulan purnama oranye raksasa,
bulan sabit kuning kecil, bulan-bulan tergantung di langit-langit,
bulan-bulan terpaku di lantai. Dan Corrina, ia tidak terlihat di manamana.
Jessica tersandung di antara bulan ketika sedang mencari
sesuatu. Tapi ia tidak tahu persis apa yang sedang dicarinya. Apapun
itu, barang tidak ada di atas meja Corrina, dan tidak ada di rak-rak.
Lalu Jessica melihat ke potret-potret dan terkejut. Lukisan ketika
Corrina masih muda telah lenyap?dan Corrina sendiri sedang berdiri
di dalam bingkai. Matanya menatap Jessica dengan ekspersi kesedihan
yang mendalam.
Jessica mengalihkan matanya dari pemandangan buruk itu dan
melihat ke potret saudara Corrina. Gadis di potret itu telah berubah?
rambut pirangnya telah ditata menjadi bentuk pony, wajahnya
menyempit sedikit dan ada tahi lalat di dagunya. Ia adalah Elizabeth.
Jessica tidak bisa mengelabui matanya. Lukisan Elizabeth
sepertinya menjadi hidup pada matanya. Mata Elizabeth terpaku, dan
setitik air mata mulai jatuh di wajah Elizabeth.Tiba-tiba Elizabeth mulai menangis dengan suara memilukan
yang pernah didengar Jessica. "Oh, Jess, oh, Jess, tolong aku..."
Tunggu dulu. Jessica duduk dengan tegak di tempat tidurnya
dan menyalakan lampu. Ia tidak bermimpi?Elizabeth benar-benar
memanggil namanya!
"Jess, oh, Jessica!" Elizabeth sedang berdiri di samping ranjang
Jessica. Matanya memerah, seperti baru saja menangis.
"Elizabeth!" Jessica terkejut. "Ada apa?" Ia meraih tangan
saudaranya.
"Aku?aku tidak tahu pasti," kata Elizabeth dengan rasa letih.
"Aku hanya merasa?merasa aneh."
"Aneh kenapa?" Dengan otomatis Jessica menggapai tangan
saudaranya. Ia ingin bertanya tentang topeng itu, tapi ia takut.
"Ceritakan padaku."
"Aku tidak sakit atau yang lainnya," kata Elizabeth padanya.
"Paling tidak, aku merasa tidak begitu." Ia menggelengkan kepala dan
duduk sambil bersandar pada Jessica. "Hanya saja?terasa aneh.
Semuanya seperti telah berubah."
Itu dia, itu dia! Jessica ingin berteriak. Jessica memegang
tangan Elizabeth dan memeluk tubuh saudaranya dengan erat. "Tidak
apa-apa," jawabnya dengan lembut, sambil mengusap punggung
saudaranya. "Semuanya akan menjadi beres. Aku janji."
"Aku harap kamu benar," ujar Elizabeth terkantuk-kantuk.
"Tentu saja aku benar," Jessica meyakinkannya. Aku lega kau
ada di sini dan bukan di kamarmu dengan topeng itu.
Tiba-tiba mata Jessica terbelalak. Benar, pikirnya. Elizabeth
sedang tidak memakai topengnya sekarang. Bahkan, ia terlalu lelahuntuk memikirkan topeng itu. Sekarang adalah saat yang tepat untuk
mengambilnya.
"Bagaimana kalau aku bantu ke tempat tidurmu lagi," kata
Jessica menyarankan sambil mengusap punggung Elizabeth. "Aku
akan membantumu untuk masuk ke kamar, dan?semuanya akan
menjadi beres."
Elizabeth menyela. "Tidak, terima kasih," ujarnya, matanya
menyempit. "Tak usah repot-repot. Aku baik-baik saja. Kamu kembali
saja ke tempat tidur." Ia berdiri dengan cepat dan berjalan menuju
kamarnya.
Jessica duduk kembali di atas ranjangnya, sebuah jari es telah
mencuri hatinya. Seperti?sepertinya topeng itu telah mengambil alih.
***********
"Lihat, bulan selalu berubah ketika ia berevolusi," jelas Steven
pada waktu sarapan di keesokan paginya. Ia mengambil apel dan
menggerakkannya di udara. "Jadi, ada sebuah sisi yang selalu
menjauhi kita, mengerti?"
"Tidak," jawab Jessica merengut. "Dan aku sedang mencoba
menyantap sarapanku. Kalau kamu tak keberatan?" Ia menyuap
sesendok sereal.
Steven menatapnya. "Bagaimana dengan Ibu?" tanyanya.
"Apakah Ibu mengerti apa yang saya katakan?"
Ny. Wakefield menoleh dari koran yang dibacanya. "Maaf,
Steven, Aku tidak mendengarkan," jawabnya. "Apakah tentang
Astronomi lagi?"
"Hu-uh," jawab Steven dengan senang. Ia mengambil apel itu
kembali. "Lihat, bulan itu selalu?""Steven, bagaimana kalau nanti saja ceritanya?" Bu Wakefield
melihat arlojinya dan menaruh kopinya dengan tergesa. "Aku sedang
ada pertemuan penting pagi ini, dan aku harus segera siap."
Steven mengeluh dengan kesal ketika ibunya meninggalkan
dapur. Bagaimana ada orang yang memilih pertemuan daripada
astronomi?
Setelah itu, Steven mendengar Elizabeth menuruni tangga.
Aneh, ia selalu tidur larut malam akhir-akhir ini, pikirnya. Matanya
berbinar ketika Elizabeth datang ke dapur. "Hei, Elizabeth!"
sambutnya. "Mau melihat sesuatu yang hebat?"
"Enggak mungkin," tangkis Elizabeth. Ia berjalan menuju meja
dan mulai menuang sereal ke atas lantai.
Steven memperhatikan saudaranya. Ia semakin aneh dan aneh.
Menuang sereal ke lantai? Jessica saja tidak melakukan hal itu!
Jessica sedang memperhatikan Elizabeth juga, keningnya
mengerut. "Aku lega kamu tidak memakai topeng itu, Elizabeth. Aku
harap kamu?"
"Keluar dari kehidupanku, pecundang," tukas Elizabeth sambil
memotong kotak sereal dan menuangnya ke mangkuk sampai
kepenuhan.
"Wah! Kau membuat semuanya berantakan," ujar Steven.
"Maaf," jawab Elizabeth. Tapi ia tidak berniat untuk
membersihkannya.
Steven mencuri pandang pada Jessica. Jessica terlihat seperti
baru saja ditampar. Ia melihat kembali Elizabeth dan menelan ludah
dengan berat. Ada sesuatu yang tak beres."Hei, kamu dimakan oleh siapa?" tanyanya sambil bercanda,
berharap untuk mengeluarkan moodnya. "Kamu harus dirawat?hanya
tiga hari menjelang Halloween." Steven menuangkan susu ke dalam
gelasnya.
"Oh, aku sudah cukup dirawat," kata Elizabeth setuju. Sebuah
kilatan tampak di matanya. "Aku benar-benar sudah sembuh." Ia
mendiamkan Jessica dengan pandangan?lalu ia tertawa.
Steven terperanjat. Ia belum pernah mendengar Elizabeth
tertawa seperti itu?serasa seperti ada laba-laba sedang merangkak di
tulang punggungnya. Ia sadar bahwa ia pernah mendengar tawa
seperti itu sebelumnya. Tawa itu punya seorang gadis kejam di kelas
saudaranya. "Kamu tahu, kamu seperti Betsy Martin," kata Steven
padanya.
Wajah Elizabeth mendadak serius. "Lebih baik kamu jangan
bicara apa-apa tentang Betsy," peringatnya dengan suara rendah.
"Mengerti?" ia menarik jarinya melintas di kerongkongan. Lalu, tanpa
basa-basi, ia mengambil ranselnya dan menuju pintu.
"Whew!" Steven bersiul. "Kamu benar-benar menakutkanku,
saudaraku!" ia berbalik pada Jessica. "Apa yang membuatnya seperti
itu? Ia bertingkah lebih aneh dari padamu."
Jessica menggelengkan kepalanya dan melihat ke bawah ke
mangkuk serealnya.
Bagus sekali, pikir Steven dengan mendengus. Mereka berdua
benar-benar tolol. Dasar perempuan!
Steven mengecek pekerjaan rumah kelas astronominya. Mari
kita lihat, hari ini bulan akan muncul pada?
"Steven?"Steven mencari lihat. Jessica sedang berdiri di atasnya, sebuah
ekspresi khawatir terlihat di wajahnya. "Steven, aku hanya mau
bertanya?" Ia mengusap dahinya. "Jam berapa bulan akan muncul
hari ini?"
"Bulan?" ulang Steven. Apa yang kamu tahu? Seseorang di sini
menghargai pengetahuan luasku!
"Ya, bulan," kata Jessica padanya. "Kamu bisa tahu, tidak?"
"Bukan masalah," jawab Steven yakin. Ia menggerakkan jarinya
pada PR tabelnya. "Itu di sana, lihat? Jam empat lebih sedikit."
"Jam empat lebih sedikit," ulang Jessica, seperti menanamnya
pada ingatannya. "Terima kasih!"
"Kembali," kata Steven memulai, tapi Jessica sudah berada di
depan pintu. Dengan berkeluh, ia kembali lagi ke tabel dan
menghabiskan susu ketiganya.
Dasar perempuan!
**********
"Kalau ini benar-benar kue, maka aku adalah kodok," Amy
Sutton berkata pada Maria Slater pada waktu makan siang.
Maria tersenyum. Ia menggigit potongannya dan mengunyah.
"Hmm, aku tahu maksudmu."
"Aku rasa ini adalah karet yang diberi perasa," ujar Amy,
menaruh garpunya pada piringnya. Ia melihat sekelilingnya. "Dimana
ya, Elizabeth?"
Maria membersihkan tenggorokannya dan mendekat.
"Sebenarnya, bicara tentang Elizabeth, ada sesuatu yang nggak beres,
Amy. Aku ingin tahu apakah itu." Dengan cepat ia menceritakan pada
Amy tentang telepon yang ia buat untuk keluarga Wakefield kemarin.Amy menaikkan alisnya. "Kamu pikir Jessica berbuat lelucon
lagi?"
"Aku harap iya, tapi aku tidak tahu pasti," Maria mengaku.
"Maksudku, mengapa Jessica terus menerus melakukan hal ini?
Sepertinya itu bukan dia."
"Bukan seperti Elizabeth juga," tunjuk Amy. "Kalau kamu
tanya padaku, itu sama sekali lebih buruk dari Elizabeth."
"Aku tahu, tapi?" Maria memulai. "Itu dia," ujarnya menyela
dirinya. "Hei, Elizabeth!" lambainya.
"Hai, Elizabeth," tambah Amy sambil meminggirkan diri untuk
memberi ruangan.
Elizabeth melintas di meja tanpa berhenti, bakinya penuh berisi
tiga potong kue. "Siapa yang butuh sekelompok orang-orangan ini?"
tukasnya. Mulut mereka terbuka lebar, Maria dan Amy
memperhatikan Elizabeth menuju meja Betsy Martin dan duduk.
"Oke, sekarang aku tahu pasti?tidak mungkin itu Elizabeth,"
ujar Maria dengan tegas. "Itu pasti Jessica." Ia berdiri dari meja. "Ayo
kita kesana dan bilang padanya bahwa ia betul-betul brengsek."
"Oke." kata Amy terdengar ragu. "Tapi bukannya Jessica
biasanya duduk dengan Unicorn?" ia melintaskan pandangan pada
Elizabeth. "Maksudku, Betsy Martin?"
Maria merengut. "Itu Jessica," katanya dengan setegastegasnya. "Kalau dia itu bukan, maka akulah yang jadi kodok." Ia
bergegas memotong kantin ke meja Betsy.
"Amy dan aku sudah muak dengan permainanmu, Jessica,"
ucapnya dengan garang. "Tolong hentikan segera!"Elizabeth memandangnya. Terlihat ada rasa bingung di
wajahnya. "Kamu pikir aku Jessica?" jawabnya dengan mengejek.
"Anak ingusan itu?"
"Siapa yang mengundang badut-badut ini, huh?" tanya Betsy
Martin.
"Bukan aku," jawab Elizabeth sambil berpura-pura memegangi
hidungnya. Ia tertawa. "Minggir, kalian berdua," perintahnya. Ia
mengarahkan jempolnya pada meja Unicorn. "Kalau kalian ingin
Jessica, cari di sana dengan para balita yang sedang bermain kumpulkumpulan."
Maria memandang Unicorner. Oh, tidak. Itu benar-benar
Jessica. Tidak salah lagi. Ia sedang duduk di antara Lila dan Ellen.
Jessica sedang menatap keduanya dengan sedih dan menggelengkan
kepalanya.
Itu Jessica, ini Elizabeth dan aku kodok. Maria menunduk ke
lantai. Ia merasa ingin menangis. "Wibit," gumamnya.
*************
Hari itu adalah hari-hari terburuk dalam kehidupan Jessica.
Seharian penuh, dari berbagai arah, ia mendengar ucapan yang sama,
berulang-ulang. "Kamu harus berbicara pada saudaramu." "Hei,
Jessica, ada apa dengan Elizabeth hari ini?" "Mengapa saudaramu
begitu kejam?"
Ini bukan satu atau dua orang saja, pikir Jessica dengan kesal,
sambil memasukkan buku-bukunya ketika bel terakhir berbunyi.
Semua orang!Todd Wilkins, pacar Elizabeth, menghentikannya ketika ia
sampai ke aula. "Jessica, mungkin kamu bisa memberitahu?apabila
ada sesuatu yang mengganggu Elizabeth?" tanyanya.
Ia kelihatan tidak karuan, pikir Jessica dengan sekilas merasa
kasihan. Ia berkeluh. "Apapun itu, itu bukan salahmu, Todd?oke?"
katanya dengan tegas.
Todd menggaruk dagunya. "Aku rasa. Aku mau trick-ortreating dengan dia, tapi sekarang?" ia menggeleng.
"Semuanya pasti akan berjalan lancar," Jessica berbohong
sambil bergerak untuk mencari Elizabeth. Ia telah berjalan tiga kaki di
belakang Pak Bowman, guru bahasa Inggris si kembar, yang datang
menghampirinya.


Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jessica. Orang yang tepat yang ingin kutemui. Dapatkah kamu
memberitahu apa yang terjadi pada saudaramu?" tanyanya sambil
mengerut.
"Tidak, Pak Bowman." Jessica menggelengkan kepalanya.
"Maaf, aku tidak tahu." Dan kalaupun tahu, anda tak akan
mempercayaiku, tambahnya sendiri, selintas.
Janet Howell mencegatnya ketika ia baru saja lolos dari Pak
Bowman. "Kamu tak akan percaya apa yang dikatakan saudaramu
padaku, Jessica," ucapnya dangan mata berkilat.
Jessica curiga bahwa ia juga mempercayainya. "Maafkan aku,
Janet," ia bergumam.
"Kamu harus." Janet melipat tangannya dan menatap tajam
pada Jessica. "Kamu harus melakukan sesuatu padanya, tahu."
Jessica mengangguk tidak senang. Janet benar, pikirnya. Aku
harus.Harus apa?
**************
Jessica melihat arlojinya. Jam empat kurang dua menit. Kalau
ini adalah hari terburuk dalam hidupku, pikirnya dengan menyesal,
maka ini adalah jam terburuk dalam hari terburuk hidupku.
Semenjak sekolah bubar, Jessica selalu membuntuti Elizabeth
terus-menerus. Ia tidak mungkin lupa apa yang dikatakan Corrina
padanya. "Awasilah kemunculan bulan," ulangnya pelan. Menurut
Steven, bulan terbit beberapa menit lagi dan Jessica harus memastikan
Elizabeth tidak memakai topeng itu ketika bulan terbit atau?
Jessica menelan ludah. Ia tidak mau berpikir tentang "atau"
"Oing, oing, oing!" Betsy Martin memanggilnya. Elizabeth dan
teman-teman barunya sedang berjalan bergandengan tangan naik dan
turun di trotoar dekat kios Es krim Casey's. Kalau mereka berpapasan,
mereka tidak berusaha minggir. Permainan keji; pikir Jessica pahit.
Elizabeth bahkan terlihat beda, Jessica sadar, sambil
memperhatikan baju lama yang dipakai saudaranya. Tidak ada yang
cocok, tidak ada yang pas. Bahkan ada lubang besar di sweater
Elizabeth. Ia tidak pernah memperhatikan mode, pikir Jessica, tapi ini
keterlaluan!
"Oing, oing!" Betsy memanggilnya lagi.
Elizabeth membalik untuk melihat Jessica. "Ia begitu gemuk,
tidak ada yang bisa berjalan di sampingnya tanpa harus jatuh ke
jalan!" ejeknya. Jessica menggigit bibirnya. Aku harus, aku harus bisa
mengendalikan amarahku, peringatnya pada dirinya sendiri.
Paling tidak, topeng itu tidak terlihat.Kelompok itu mendekati seorang pria tua yang sedang
menunggu bus. Ketika Jessica perhatikan, Betsy dan tiga anak lainnya
mulai berjalan searah jarum jam di sekitar orang itu. Pada waktu yang
sama, Elizabeth memimpin anak-anak yang lain dari arah yang lain.
Setiap kali mereka lewat, mereka selalu merapatkan lingkarannya.
"Apa yang kalian lakukan?" pria tua itu merengek sambil
terlihat berjaga-jaga.
"Kita sedang menunggu bus!" jawab Elizabeth sekenanya. Ia
berpura-pura memegang hidung pria itu sementara Betsy tertawa
histeris.
Jessica tidak tahan lagi. "Hentikan kalian!" teriaknya sambil
berjalan maju dan mendorong Elizabeth dari jalan. "Tidak cukupkah
perbuatan kejam yang kalian lakukan hari ini?"
"Hmmm, bukankah ini Nona Kecil Sepasang Sepatu!" ejek
Elizabeth. "Mengapa tidak kamu tolong kertas bonekamu di jalan
raya, hah?"
"Elizabeth Wakefield!" teriak Jessica.
"'Elizabeth Wakefield!'" Elizabeth menirunya, sambil bertolak
pinggang.
Betsy dan teman-temannya terbahak kembali, tapi Jessica tidak
memperhatikannya. Sebaliknya, ia memperhatikan sebuah sinar yang
muncul di langit tepat di atas bahu kiri saudaranya. Jessica merasa
otot-ototnya tegang. Itu adalah bulan yang muncul di cakrawala. Ia
tidak pernah melihatnya begitu besar. Atau begitu merah.
Masih juga, bulan itu terbit. Dan Elizabeth tidak sedang
memakai topengnya ketika bulan itu terbit. Jessica bernapas lega dan
berbalik dari saudaranya yang masih tertawa terkikik.Tapi Corrina benar, ia menyadari dengan sedih ketika ia
kembali ke rumah. Topeng itu mulai bekerja bahkan ketika Elizabeth
tidak sedang memakainya!Tiga belas
"Corrina?"
Hari itu adalah hari Selasa jam delapan malam, dan Jessica
telah memberitahu orangtuanya bahwa ia akan pergi ke rumah Lila. Ia
sangat ingin berbicara dengan Corrina apa yang terjadi sore itu. Ia
mendekati jendela rumah tua Luna dan mengetuk kacanya. "Corrina?"
panggilnya lagi sedikit lebih keras.
Tidak ada jawaban.
"Aku akan coba lewat pintu," gumamnya sendiri, sambil
melintasi halaman menuju pintu yang ia lewati kemarin. Ia
mengulurkan tangan?dan terkejut.
Tembok di depannya benar-benar kokoh.
Sumpah mati ada pintu di sini, kata Jessica pada dirinya.
Dengan perlahan, ia menyentuh sesuatu yang menurutnya itu adalah
pintu. Rasanya seperti bagian dari tembok. Catnya mengelupas, dan
kayunya sudah membusuk.
"Aku rasa aku yang salah," ucapnya lembut sambil melihat ke
atas dan ke bawah untuk melihat apakah ada pintu yang lain. Ternyata
tidak. Jadi bagaimana ia bisa masuk? Bagaimana Corrina bisa masuk
dan keluar?Dengan cemberut, Jessica mengetuk tembok itu, tepat dimana
ada pintu, jika memang ada pintu. Ia menunggu, namun tak ada
jawaban.
Kalau tak ada jawaban, maka ia tak ada di rumah, akhirnya
Jessica memutuskan. Ia berbalik dan mulai berjalan pelan menuju
rumput yang meninggi menuju pagar. Ia akan menyelip di antara
batang-batang pagar, ketika ada seseorang yang memanggilnya dari
trotoar.
"Selamat Halloween, semuanya!"
Sebuah telur melayang ke arah rumah tua Luna. Jessica
memutar untuk dapat melihat telur itu mengenai jendela di loteng.
Serpihan-serpihan kulit telur beterbangan di mana-mana dan kuning
telur belepotan dan menempel di jendela. "Tembakan jitu!" Ada orang
lain yang berteriak. Jessica terpaku. Suara Betsy Martin.
Jessica membungkukkan badannya. Betsy mulai terlihat,
tertawa terbahak-bahak. Ia memegangi sesuatu, seperti sebuah krim
cukur. Dibelakangnya datang tiga orang temannya dan?Elizabeth.
Hati Jessica runtuh ketika Elizabeth melemparkan telurnya.
Telur itu mendarat di kaca depan dari mobil pikup yang diparkir di
jalan.
"Tepat!" teriak Betsy dengan kerasnya. Yang lain tertawa
terbahak.
"Hai, ayo kita kerjain yang ini!" saran Elizabeth, matanya
tertuju pada pagar berkarat Corrina.
"Pagar nenek sihir? Baiklah!" Betsy menggoyangkan pagar
karatan itu dan Elizabeth serta beberapa anak yang lain turut
bergabung."Terima ini, nenek sihir!" kata Elizabeth sambil bernyanyi.
Berhenti, berhenti, Jessica melarang sambil menahan napasnya.
Sebuah pintu terbanting di seberang jalan. "Pergi kamu, anakanak!" Seorang tetangga keluar dari rumahnya ke serambi depan.
"Ganggu orang yang lain saja."
Elizabeth tertawa gila. Berlari menuju jalan, ia melempar
sebuah rol dari kertas toilet ke pekarangan depan wanita itu. Gulungan
itu terlepas di udara, lalu jatuh di cabang-cabang pohon Oak, dan jatuh
di atas atap mobil wanita itu.
"Pergi dari sini, kau perusuh!" teriak wanita itu.
"Tak kenal maka tak sayang!" jawab Elizabeth sekenanya
dengan suara termanja yang pernah didengar Jessica.
Jessica tidak tahan lagi. Ia menerobos pagar dan mulai berlari
ke rumah.
Tapi ketika ia sampai di serambi depan rumahnya, Jessica
berhenti berlari. Tubuhnya telah basah oleh keringat.
Aku selalu berpikir bahwa Betsy Martin adalah orang terkejam
di dunia, pikirnya sambil menangis keras. Tapi sekarang ia harus
mengakuinya?
Ternyata Elizabeth lebih kejam darinya!
**********
Ny. Irene Nicholas, kata papan itu di hadapan Steven. Ketua
Departemen IPTEK Sweet Valley High.
Steven membaca papan itu lagi. Aku harap ia tidak menyangka
ini adalah pertanyaan bodoh, ucapnya sendiri. Dengan seorang guru,
kamu tak bisa menebaknya.
Ia mengambil napas dan mengetuk pintu.Seorang wanita besar berkacamata membuka pintu. "Oh, halo
Steven," sapanya hangat. "Siswa Astronomi terbaikku. Masuklah.
Duduklah."
Siswa Astronomi terbaikmu? pikir Steven sambil terheranheran. Ia melihat sekeliling kantor Bu Nicholas?dan lebih
mengherankan dari sebelumnya.
Lantainya dipenuhi oleh alat-alat IPTEK. Mikroskop dan
tabung-tabung tergantung di rak. Buku-buku sains memenuhi setiap
inci dari meja Bu Nicholas. Poster-poster astronomi terpampang di
dinding. Ini seperti kapal pecah, pikir Steven sambil menggosok
hidungnya. Bahkan lebih buruk dari kamar Jessica!
Steven memutuskan untuk berdiri. "Mmm?aku hanya ingin
bertanya sesuatu, Bu Nicholas," tanyanya malu-malu.
"Sebuah pertanyaan?" kata Bu Nicholas sambil bersandar di
atas tumpukan majalah-majalah sains. "Tentu, silahkan!"
Steven mengosongkan tenggorokannya. "Mungkin ini adalah
pertanyaan bodoh."
Ibu Nicholas membuat suara berwibawa. "Satu-satunya
pertanyaan bodoh, Steven, ialah pertanyaan?"
"?yang tidak kau tanyakan," Steven menyelesaikannya. "Aku
tahu. Aku tahu." Ia telah mendengar kalimat itu cukup sering. Apakah
itu yang dipercayai oleh guru-guru, ataukah itu hanya sekedar
diucapkan saja? "Yang ingin aku tahu adalah apakah mungkin bagi
bulan untuk berwarna merah ketika terbit?"
Ibu Nicholas melepas kacamatanya dan mengelapnya dengan
bajunya. "Warna merah? Bulan selalu berwarna kemerahan?seperti
warna orange?ketika terbit, karena kita melihatnya melalui atmosferketika ia sedang di angkasa. Tapi warna merah terang terdengar
kurang masuk akal. Kenapa?"
Karena aku melihatnya dua hari yang lalu, pikir Steven. Tapi ia
memutuskan untuk menahannya sekarang. "Hanya ingin tahu."
Ibu Nicholas memakai kacamatanya lagi. "Sebuah kebakaran
besar di hutan dapat mewarnai langit menjadi kemerahan sehingga
bulan jadi tampak kemerahan," ujarnya pada Steven. "Aku rasa jika
sinar matahari terhiaskan dengan cara yang tak terpikirkan, itu bisa
membuatnya sedikit merah juga."
"Sedikit merah?" ulang Steven. "Bagaimana kalau warna merah
menyolok? Anda tahu, kan? Warna? warna 'merah darah'?"
Ibu Nicholas tertawa. "Tidak mungkin."
"Tidak mungkin sama sekali?" Steven mencoba meyakinkan.
"Bagaimana kalau ada seseorang yang mengatakan padamu bahwa ia
telah melihat bulan berwarna merah darah?"
"Aku akan berkata bahwa ia baru saja melihat sesuatu," jawab
Ibu Nicholas. "Percayalah. Itu tak akan terjadi."
Steven menggigit bibirnya. "Baiklah, terima kasih," Ia bergegas
keluar dari kantor gurunya. Tapi aku tahu bahwa aku benar-benar
melihatnya, ujarnya pada dirinya. Dan bukan aku saja, Jessica juga
melihatnya!
Apa iya?
Steven menggosok matanya. Mungkin ia terlalu banyak
mengintip lewat teleskop itu. Ia memutuskan untuk bertanya pada
Jessica satu atau dua pertanyaan ketika ia kembali dari sekolah.
***********Jessica pulang dari sekolah hari Rabu sore sambil
memperhatikan Elizabeth. Bulan tidak terbit sebelum jam lima, jadi
aku masih punya waktu untuk memperhatikannya.
Ia tahu bahwa topeng itu mulai mengambil alih, tapi ia tidak
kehabisan akal. Masih ada waktu, masih ada waktu, ia bernyanyi
kecil.
Jessica terus berjalan dan merasa kehilangan akal. Sebentar lagi,
ia tiba di pagar Corrina. Mungkin Corrina ada di rumah sekarang,
ujarnya sendiri, sambil menerobos pagar, yang terasa lebih lebar dari
biasanya.
Jessica menuju jendela dan berhenti sebentar. Pintunya sudah
kembali.
"Ini benar-benar aneh," gumam Jessica. "Pertama ia ada di sini,
kemudian hilang, lalu muncul lagi. Siapa sebenarnya Corrina itu?
Harry Houdini atau sejenisnya?" Ia mendorong pintu itu sekuatkuatnya, takut pintu itu akan menghilang lagi sebelum Corrina
mendengarnya. "Corrina!" teriaknya. "Corrina! Ini aku, Jessica!"
Tiba-tiba pintu terbuka lebar. "Aku mendengarmu sejak tadi,"
jawab Corrina sambil tersenyum. Ketika ia menuntunnya ke sofa tua
di ruang keluarga, Jessica menggosokkan matanya. Sepertinya bulan
sabit Corrina berkedip padanya! Hal ini mulai aneh dari hari ke hari,
pikirnya.
"Aku minta maaf tak ada di sini kemarin," ucapnya lembut.
Jessica berkedip. "Bagaimana kau tahu??"
"Ceritakan padaku," potong Corrina. "Apa masalahnya sudah
tambah parah?"Jessica melihat ke lantai. "Ya, Corrina," ujarnya. "Kelihatannya
topeng itu mulai?mengambil alih dirinya."
"Aku paham." Corrina duduk terdiam sejenak. "Apa saudaramu
mempunyai topeng itu sekarang? Apa kamu tahu di mana topeng itu
berada?"
"Tidak." Jessica berpikir keras. "Mungkin ada di kamarnya.
Tapi aku tak tahu pasti."
Corrina berdiri mengelilingi ruangan. "Apa dia memakainya
ketika bulan terbit kemarin?"
Jessica menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku yang
memastikannya." Lalu ia menutup mukanya dengan tangannya. "Oh,
Corrina, adakah yang bisa kita lakukan?" katanya dengan iba.
Corrina menyentuh tangan Jessica dan Jessica melihatnya.
"Biarkan aku berpikir," jawabnya. Ia menatap pada potret di atas
mantel.
Jessica menunggu dengan sabar. "Tolong, Corrina, tolong,"
semburnya pada akhirnya. "Kalau kamu tidak menolongku, aku tidak
tahu apa yang harus kulakukan, Aku benar-benar tak tahu! Kamulah
satu-satunya yang bisa menyelamatkan Elizabeth!"
"Tidak." Corrina duduk di kursi malasnya. "Kamu salah." Ia
bergegas menuju rak buku dan mengambil sebuah buku. "Aku baru
mendapat ide," ujarnya sambil membuka halaman buku itu dengan
cepat. Ia berhenti dan menunjukkan jari peringatan pada Jessica. "Tapi
mengertilah, sayangku?Elizabethlah satu-satunya orang yang dapat
menyelamatkan dirinya sendiri."
Wajah Jessica tertunduk. "Bagaimana caranya?"Corrina menyingkirkan rambut yang menghalangi matanya.
"Menurut buku ini, ada sebuah kesempatan bagi saudaramu."
"Apa itu?" bisik Jessica penasaran.
Corrina berkonsentrasi dengan bukunya. "Saudaramu harus
menghancurkan topeng itu pada waktu gerhana bulan," katanya.
"Inilah, dan hanya ini yang dapat menghancurkan kutukan itu."
Apa? Jessica menatap Corrina. "Tapi-tapi-tapi itu tidak
mungkin," jawabnya gugup.
"Inilah satu-satunya cara." Corrina menutup bukunya sambil
mengenyahkan debu dan mengembalikannya.
"Bagaimana caranya aku membujuk Elizabeth untuk


Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghancurkan topengnya?" tanya Jessica, suaranya melengking.
"Aku bahkan tidak bisa mengambilnya dari balik bantalnya! Lalu
selama gerhana bulan? Kamu sama saja mengatakan untuk
membuangnya ke bulan!" ia menggigit bibirnya agar tidak menangis.
"Aku minta maaf." Corrina kelihatan kehilangan akal lagi.
Sekali lagi ia melihat potret-potret itu.
Tiba-tiba Jessica mendapatkan ide. Tentu saja! "Aku tahu!" Ia
berdiri dengan girang. "Aku kan mirip dengannya. Aku cari topeng
itu?dan menghancurkannya sendiri!"
Corrina menggeleng dengan tegas. Jessica merasakan angin
dingin dari bulan sabit itu. "Tidak." jawab Corrina. "Yang terkena
kutukan harus menghancurkannya sendiri."
"Itu tak adil," kata Jessica melipat tangannya dengan marah.
"Dapatkah kamu berbuat lebih baik dari pada itu? Pasti ada cara yang
lain.""Tidak ada yang lain." Suaranya terdengar letih. Jessica sadar
bahwa mata Corrina kehilangan binarnya. "Aku tahu perasaanmu,
Jessica."
Kamu tidak tahu, Jessica sudah siap untuk mengelak tapi ia
berhenti sendiri. "Bagimana?bagaimana kalau aku tidak dapat
membuatnya menghancurkan topeng itu?" tanyanya gugup.
"Kutukan itu akan terus berlanjut," jawab Corrina. "Saudaramu
akan menjadi semakin jahat."
"Bagaimana ia bisa lebih jahat dari sekarang?" tanya Jessica.
Suara Corrina berbisik dan angin dari bulan sabit semakin
dingin. "Jangan katakan itu, Jessica. Ada bahaya besar di sini.
Kutukan itu tidak akan hilang hanya dengan jampi-jampi Halloween."
Ia terdiam sejenak dan menatap tajam pada Jessica. "Bahkan kau,
Jessica. Bahkan kau sendiri tidak aman."
"Apa maksudmu?" tanya Jessica, suaranya berbisik di
temaramnya ruangan. Ia duduk kembali dengan pelan.
Corrina berkeluh dan melihat di atas mantel. "Gadis terakhir
yang terkena kutukan oleh topeng itu, terbakar di rumahnya sendiri,"
ucapnya pelan.
Jessica terkejut. Ia merasa perutnya sakit.
"Setiap anggota keluarganya, hilang tertelan api," lanjut
Corrina, seperti berbicara sendirian. "Semuanya kecuali satu."
Jessica mendekat, jari-jarinya menggali telapak tangannya.
"Siapa?siapa itu?"
Ketika Corrina membuka mulutnya, Jessica menyaksikan bulan
merah darah terbit melalui jendela di ruangan itu.
"Aku," kata Corrina dengan pelan.Empat belas
"Ayah sedang menyanyi, apa?" tanya Steven sehabis makan
malam pada hari Rabu malam. Ia sedang mempelajari tabelnya ketika
ayahnya sedang mengelap meja dapur.
"Bernyanyi?" Pak Wakefield menaruh lapnya dan menatap
kosong pada anaknya. "Apa aku sedang menyanyi?"
Steven bermuka masam. "Uh-huh." Suaramu mungkin ada
gunanya, pikirnya, tapi ia berjaga-jaga agar tak terlalu keras
mengucapkannya.
"Benar, Ayah," Jessica menimbrung. Buku matematika sedang
terbuka di depannya, tapi ia kelihatan tidak memperhatikannya.
"Sesuatu tentang?bulan, aku rasa."
"Oh, yang itu!" Pak Wakefield tertawa. "Itu adalah sebuah lagu
daerah Irlandia lama. 'Untuk terbitnya bulan,'" ia mencoba
menyuarakannya, "'untuk terbitnya bulan! Pipa-pipa harus bermain
bersama untuk terbitnya bulan.' Yang itu?"
"Ya, yang itu," jawab Jessica sambil menunjukkan jarinya.
"Aku rasa Ayah belum pernah menyanyikan lagu itu
sebelumnya," kata Steven pelan. Terbitnya bulan, pikir Steven. Ia
merasa gemetar dan rasa ketakutan mulai menjalari punggungnya.Terbitnya bulan? Ia menutup mata dan membayangkan bulan merah
darah di pikirannya.
"Dapatkah Ayah, mungkin?menyanyikan lagu yang lain?"
Suara Jessica memecah kesunyian. Mata Steven terbuka. Steven
menatapnya dengan curiga. Ia benar-benar melihatnya, lalu, pikirnya.
Aku sebenarnya tidak mengada-ada.
"Tentu saja, aku rasa itu benar," Pak Wakefield berkata tak
yakin sambil mengambil lap piring kembali. '"Carilah kacang, carilah
kacang....'"
"Ayah!" seru Jessica. Ia mengosongkan tenggorokannya.
"Apakah ayah memperhatikan ada yang aneh tentang Elizabeth akhirakhir ini?"
Steven menguping.
"Yang aneh?" Pak Wakefield mengerutkan muka. "Ia akhirakhir ini agak sensitif, itu saja."
"Apakah kamu berbicara tentang Elizabeth?" tanya Ibu
Wakefield yang datang ke dapur sambil membawa majalah. "Ia
banyakmenghabiskan waktu dengan teman-teman barunya,
benarkah?"
"Teman-teman!" sembur Jessica. "Bagaimana Ibu bisa
menyebut gadis-gadis itu teman? Kalau Ibu tahu betapa buruknya
Elizabeth ketika bersama mereka?"
Ibu Wakefield membelai rambut Jessica. "Kalau saja kamu tahu
berapa kali Elizabeth telah berkata seperti itu tentangmu dan temantemanmu?""Tapi itu aku!" protes Jessica. "Elizabeth itu lain! Ia orangnya
baik, dan ia tidak pernah menjadi orang yang tidak baik?sampai
kini."
"Ia hanya sedang mengalami suatu fase," kata Ibu Wakefield
menenangkan. "Tak ada yang perlu dicemaskan."
Steven mengernyit. Ia benci ekspresi seperti itu. Kalau
orangtuanya benar-benar percaya, Elizabeth telah melalui banyak fase
dari yang diperkirakan.
Ia membayangkan tentang Elizabeth. Ia tidak suka memuji
Jessica untuk kebenarannya, tapi harus ia akui bahwa Jessica benar.
Elizabeth tidak bertingkah seperti biasanya akhir-akhir ini, itu pasti.
Jessica kelihatan kecewa. "Dan?dan?topeng itu?"
"Ya, itu bukanlah benda yang biasanya dibawa oleh Elizabeth,"
tambah Steven.
"Tunggu, tunggu." Pak Wakefield memberikan sentuhan akhir
pada meja dapur itu dan melempar lap itu ke dalam cucian. "Nilai dua!
Elizabeth sedang mengembangkan kesukaan yang lain, itu saja.
Semua orang melakukannya. Steven, kamu sering melakukannya."
"Aku, tidak!" Steven menatap ayahnya, sambil bertolak
pinggang.
"Tentu saja. Apa yang kau cita-citakan ketika kamu besar?"
tantang Pak Wakefield.
"Itu gampang," jawab Steven. "Seorang ahli Astronomi."
"Tepat." Pak Wakefield tersenyum. "Bulan kemarin, kalau tidak
salah, kamu ingin bergabung ke Chicago Bulls. Musim panas yang
lalu, kamu ingin mempelajari dinosaurus. Lalu ada suatu hari, kau
ingin menjadi ahli kelautan, astronot, wartawan, pemadamkebakaran"?Pak Wakefield mulai memainkan jarinya? "Agen FBI,
pembuat film?apa aku lupa sesuatu?"
"Pembalap," jawab Steven tanpa sadar. "Tentu aku ingin
sesuatu yang lain, tapi yang ini lain." Ia melambaikan tangannya di
udara. "Lihatlah, yang aku inginkan adalah menjadi ahli astronomi,
sedangkan yang lain itu tidak sungguh-sungguh."
Pak Wakefield hanya tersenyum.
"Ini lain, Ayah," kata Jessica dengan polos. "Kalau berganti
pikiran sih benar, seperti kepribadian Steven. Tapi Elizabeth tidak
pernah berubah. Apakah Ayah mengerti?"
"Benar," Steven setuju. "Ia sedang pergi dengan Betsy Martin,
benar? Aku bilang itu adalah perubahan besar bagi saudara
perempuanku."
"Betsy Martin itu orangnya sangat kejam," tukas Jessica
mendramatisir.
Ibu Wakefield hanya tertawa dan memberi Jessica pelukan.
"Kamu tak bisa mengharapkan semua hal akan sama terus-menerus,"
jawabnya. "Anak-anak tumbuh dan berkembang tidak sama dengan
yang lain, itu saja. Minggu depan mungkin ia akan pindah ke teman
yang lainnya."
Sial, Steven berkata pada dirinya. Inilah yang benar-benar kita
butuhkan?sebuah kuliah tentang psikologi anak.
Jessica berdiri, sambil menutup buku matematikanya. "Aku
akan ke atas untuk belajar."
Suaranya lebih tinggi dari biasanya, pikir Steven sambil
memperhatikan Jessica meninggalkan ruangan.
Sepertinya, ada sesuatu yang mengganggunya.**************
Jessica sedang terisak di bantalnya untuk beberapa menit, ketika
ada ketukan di pintu. "Siapa itu?" panggilnya sambil mengeringkan air
matanya. Mungkin itu Elizabeth, ucapnya pada dirinya, dan semuanya
akan baik kembali lagipula...
Yah, benar. Dan mungkin aku akan menjadi vokalis utama pada
album Johny Buck yang akan datang.
"Ini aku," suara Steven datang melalui pintu. "Boleh aku masuk
untuk beberapa menit?"
Steven? Jessica membersitkan hidungnya dan membuka pintu
sedikit. "Apa yang kamu mau?" tanyanya dengan suara yang lebih
keras dari yang ia inginkan.
"Hei, jangan gigit kepalaku!" tukas Steven sambil mendorong
pintu hingga terbuka lebar. Ia masuk dan mendekati ujung tempat
tidur Jessica. "Ini bukan salahku."
"Bukan," ujar Jessica setuju. Ia merasa terlalu lelah untuk
berdebat, dan lagipula ia tahu bahwa Steven benar. "Dengar Steven,
apa yang kamu mau? Aku sedang belajar dan?"
"Aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu," ujar Steven
memotong. "Kamu bilang bahwa kamu melihat bulan berwarna merah
darah, benar?"
Jessica tiba-tiba merinding lagi. Ia mengangguk pelan. "Benar."
Steven memainkan jari di atas rambutnya. Ia mengambil napas
panjang. "Dan, apakah kamu melihatnya lagi hari ini?"
Tanpa peringatan, sebuah gambaran muncul di benak Jessica:
bulan yang terbit di luar jendela Corrina. Bulu kuduknya berdiri. "Ya,
aku melihatnya," jawabnya setengah berbisik.Steven bermuka masam. "Aku juga. Bulan itu lebih merah dari
yang kemarin. Ia ngeri sedikit ketika mengingatnya. "Aku melihatnya
terbit ketika Elizabeth naik ke atas sore ini."
Hati Jessica mendadak dingin. "Elizabeth? Apakah ia
mengenakan topeng?"
Steven menggeleng. "Kenapa kamu bertanya?"
Jessica merasa ragu. "Steven," ujarnya sambil duduk dan
menyipitkan matanya, "kamu setuju kalau Elizabeth bertingkah laku
aneh, kan?"
Steven melipat tangannya. "Aku tidak tahu kalau itu dikatakan
'aneh'. Maksudku, ada yang 'aneh' dan ada pula yang?"
"Aduh!" semprot Jessica. "Bilang saja terus terang."
Untuk sesaat Steven kelihatan terpukul. Lalu ia berkeluh. "Oh,
oke. Ia memang berlaku aneh."
"Baiklah." Jessica menemukan tujuan. "Aku akan menceritakan
sesuatu yang kedengarannya sangat tidak mungkin. Oke?"
Steven menaikkan alisnya dan mengangguk.
"Tapi kamu harus mempercayainya," sambung Jessica.
"Karena?"
"Karena apa?"
Jessica menatap langsung kakaknya. "Karena setiap kata adalah
benar adanya."
**************
"Tunggu, biar aku luruskan dulu," ujar Steven, sepuluh menit
kemudian. "Nenek sihir yang tinggal di rumah tua Luna memberimu
sebotol sesuatu yang ia katakan adalah es teh?dan kau benar-benar
meminumnya?"Jessica berkeluh tak sabaran. "Itu bukan masalahnya, Steven,
dan kamu tahu itu. Pertanyaanya adalah apakah kamu percaya padaku
atau tidak? Kalau tidak, kamu bisa keluar dari kamarku sekarang
juga." Ia memperlihatkan raut muka paling marah dan mulai berdiri.
"Baiklah, aku percaya!" jawab Steven cepat.
"Itu lebih baik." Jessica duduk kembali ke ranjang. Ia belum
yakin bahwa Steven benar-benar mempercayainya, tapi ia
memutuskan bahwa itu bukan masalah. Bahkan kalau ia pikir itu
adalah lelucon, pikirnya, mungkin ia bisa membantuku. "Jadi, kapan
ada gerhana bulan?" tanyanya.
Steven berpikir. "Masa kamu tidak ingat? Aku memberitahumu
segalanya beberapa hari yang lalu."
"Kalau begitu, aku yang tidak begitu mendengarkan," ujar
Jessica. Beri aku kesempatan! Ia merasa mengatakan. Mengapa ia
berpikir aku harus memperhatikan setiap ucapannya? "Jadi, katakan
padaku kapan terjadinya."
"Lusa," jawab Steven. "Malam Halloween. Tengah malam."
Malam Halloween? Jessica duduk tegak. "Lalu akan ada
pekerjaan untuk kita."
"Mengapa begitu?" tanya Steven dengan bingung.
"Elizabeth harus menghancurkan topeng itu pada gerhana
bulan," Jessica mengingatkannya. "Yang artinya kita harus selalu
membuntutinya pada Halloween?entah bagaimana caranya. Dan
waktu kita cuma sedikit." Otaknya berputar cepat. "Mungkin?
mungkin aku dapat memintanya untuk berkostum monster laut
berkepala dua denganku." Jessica berdiri dan mulai bersemangat."Aku mengatakan padanya bahwa itu adalah ide yang bodoh, tapi aku
bisa bilang aku berubah pikiran. Ya, mungkin?"
"Tunggu dulu, Jessica," Steven memotong. "Dari apa yang
kauceritakan padaku, sepertinya ia tak akan suka dengan ide tersebut
sekarang."
Jessica terdiam. "Aku rasa kamu benar." Ia merasa seperti
sedang menaiki balon udara yang bocor pinggirnya. Ia dapat
mendengar ucapan Elizabeth di benaknya ? "Kamu mau melakukan
apa? Dari semua ide yang terburuk, terjelek dan terbodoh yang
pernah... " Ia mengerut. "Itu tak akan berhasil."
"Coba aku pikirkan," ucap Steven sambil berpikir. "Jika
gerhana muncul pada tengah malam... Apakah wanita di rumah tua
Luna itu menyarankan bahwa Elizabeth harus menghancurkan topeng
itu pada saat gerhana, atau hanya pada malamnya saja?"
"Maksudmu Corrina." kata Jessica berpikir ke belakang.
"Selama gerhana."
"Itu akan sulit," tukas Steven sambil menggaruk kupingnya.
Tiba-tiba wajahnya terangkat. "Aku rasa aku punya ide," ucapnya
pada Jessica.
"Apa itu?" Jessica mendekat dengan semangat.
Steven terkikik. "Sabar, sabar!" ujarnya. "Apakah kamu pernah
dengar ada kucing mati karena penasaran?"
"Kalau kamu tidak memberitahukannya pada saat ini," tuntut
Jessica, "kamu akan mati karena penasaran." Ia menangkap tangan
kanan Steven dan memilinnya ke belakang punggung."Baiklah!" jawab Steven dengan cepat. "Ini rencanaku." Ketika
ia memberitahukannya, Jessica mendengarkan dengan penuh
semangat.
Itu mungkin akan berhasil, ia sadar ketika Steven telah selesai.
Ini mungkin akan berhasil!
**************
Ketika bel berdentang pada hari Kamis sore, Jessica dengan
cepat menyelusup ke kamar mandi wanita untuk mengganti bajunya.
Isi tasnya bukanlah buku, melainkan baju-baju terjelek yang ada di
klosetnya: Jeans sobek-sobek, T-shirt yang tidak pernah muat, sweater
yang telah dimakan rayap dan belum dicuci selama bulanan. Uh,
jeleknya, pikir Jessica, tapi tetap saja ia memakainya. Lalu ia berdiri
kembali untuk memeriksa dirinya di depan cermin. Untuk jaga-jaga, ia
mengacak-acak rambutnya sedikit.


Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pintu terbuka dan Amy memasuki kamar mandi. "Oh-hai,
Elizabeth," sapanya dengan gugup, sambil melintasi wastafel dan
berjalan sejauh-jauhnya dari Jessica.
"Ini berhasil, Jessica berpikir dengan kegirangan. Ia memasang
wajah terburuk dan terjahat Elizabeth. "Bisakah kamu tidak
mengikutiku terus?" gusarnya.
Amy terlompat. "Mmm, Aku?aku?" katanya gugup.
Jessica tertawa lebar. Meskipun ia tahu bahwa tujuannya untuk
kebaikan, Jessica merasa simpatik pada Amy. Pasti sangat buruk jika
teman baikmu tiba-tiba berpaling darimu tanpa tahu alasannya. Takut
akan mengatakan sesuatu, Jessica menuju aula dan membanting pintu
yang dilewatinya."Sekarang mencari Betsy," gumamnya, sambil bergegas menuju
aula. Biasanya paling mudah untuk berpura-pura menjadi Elizabeth?
yang ia lakukan adalah berakting dengan baik. Tapi kali ini?
Kali ini ceritanya lain.
Betsy sedang berdiri di tangga depan sekolah. "Hei, Elizabeth!"
Matanya meneliti melihat pakaian Jessica. "Keren, banget. Terlalu,
terlalu keren."
"Terima kasih." Jessica membuat suaranya setegar yang ia bisa.
"Jadi ada pesta di Courage Mountain besok tengah malam. Ia melirik
pada Betsy, jantungnya berdetak cepat. "Ayo kita hancurkan."
"Kamu bercanda atau apa?" Betsy menatap wajah Jessica.
"Hu-uh!" sembur Jessica. "Kalau aku berbohong aku?
maksudku, enggak usah lah," tambahnya sambil melambaikan ide itu
dengan tangan.
Betsy memutar matanya. "Kadang-kadang kau masih agak
dungu," Lalu matanya berbinar. "Jadi, pesta apa?"
"Pesta Sekolah," jawab Jessica sambil memajukan dagunya
seperti yang ia lihat di film-film remaja. "Kamu main-main? Atau
apa?"
"Siapa yang memberitahu?" Betsy kedengaran curiga.
"Kakakku." Yang mana itu adalah benar, Jessica mengingatkan
dirinya?Untuk sebuah perubahan! Ia mendekati Betsy dan
mengedipkan matanya. "Jadi kamu mau datang? Atau kamu penakut?"
"Ha!" Betsy membuat suara jelek di tenggorokannya. "Jangan
sebut aku penakut, saudaraku. Aku akan datang?kalau itu tidak
melampaui jam tidurmu!"Berhasil pikir Jessica. Tahap satu selesai. Ia merasa kegirangan.
"Aku harus pergi," tukasnya, sambil memperlihatkan pada Betsy
sebuah tawa di mulutnya. "Sampai jumpa."
"Yah, sampai jumpa," jawab Betsy, "dan, hei?"
Tapi Jessica telah pergi.
*************
Satu tugas lagi, pikir Jessica.
Ia bergegas kembali ke gedung sekolah dan menuju
perpustakaan. Ia menaruh ranselnya di atas meja. "Datanglah ke
pesta," tulisnya di atas selembar kertas. Tapi ia merasa ragu.
Tidak bagus, Elizabeth akan mengenali tulisanku.
Sambil menyobek sebuah kertas baru, Jessica memulai lagi.
Dalam huruf balok, ia menulis, "DATANGLAH KE PESTA ATAU
MATI" Nah, ini kelihatan lebih baik. Jessica memegangnya di depan
dan melihatnya. Hanya untuk berjaga-jaga, ia menambahkan kata
"BODOH." "Datanglah ke pesta atau mati, bodoh," ia membaca
dengan pelan. Kedengarannya sudah seperti Betsy.
Jessica berkeluh. Sekarang, bagaimana caranya agar Elizabeth
tahu pesta apa yang dibicarakan oleh kertas itu ? Ia mengetukngetukkan jarinya di atas meja dan berpikir. Aha! Ia menambahkan
baris selanjutnya. "PESTA COURAGE MOUNTAIN MALAM
HALLOWEEN, BODOH!" Lebih baik. Di sampingnya ia menuliskan
kata "SEKOLAH" dan menggaris bawahi tiga kali.
Jessica memeriksa pekerjaannya lagi dan mengangguk. Satu
baris lagi. "N.B.," bacanya ketika membuat huruf. "PASTIKAN KAU
MEMBAWA TOPENG KEREN YANG MENANTANG ITU."Tunggu dulu. Betsy bukanlah orangyang bisa mengeja dengan
baik, benarkah? Dengan hati-hati, Jessica menghapus huruf "o" pada
kata halloween dan mengubahnya menjadi huruf "u." Halluween. Ia
akan percaya.
Jessica menandatangani surat itu "Betsy M.," Lalu ia bangun
dari tempat duduknya dan berjalan menuju locker saudaranya. Sambil
menyilangkan jarinya, ia menaruh surat itu di dalamnya.Lima belas
"Kostum yang bagus, anak-anak," Ibu Mandy berkata sambil
mengisi tas Halloween dengan permen. Malam itu adalah malam
Halloween dan Jessica sedang ber-trick-or-treat dengan teman-teman
Unicornnya.
"Punyaku adalah kostum peseluncur es indah yang asli dari
Olimpiade," bangga Lila, menyombongkan sedikit. "Bagus, kan?"
"Bagus," jawab Ibu Miller. "Dan Mary, Aku tidak bisa
membayangkan berapa jam yang kauperlukan untuk membuat
kostummu."
"Terima kasih, Ibu Miller," ujar Mary, sambil menyentuh
pakaian gypsinya dan mengenakannya dengan bangga.
Janet melangkah maju. "Bagaimana dengan ini, Ibu Miller?"
tanyanya sambil berputar memamerkan gaun pestanya. "Ibuku tahu
desainer yang membuat pakaian untuk Ratu dari Inggris?mmm,
mungkin bukan Ratu, tapi salah satu teman terbaiknya. Apakah anda
suka?"
"Menarik," Ibu Miller, berkata menghargai.
Jessica berkeluh tak sabaran. Memperhatikan para temannya
memamerkan kostumnya, padahal acara pamer-pameran itu hal
terkahir yang Jessica inginkan. Kostumnya sendiri tidak begitumembanggakan. Ia begitu khawatir dengan Elizabeth sehingga ia tak
memikirkan kostumnya sampai jam lima sore hari itu. Pada saat itu,
yang ia temukan adalah kain-kain bekas.
Ibu Miller mendekat ke kegelapan. "Siapa itu di sana di tangga
terbawah?"
"Itu Jessica," jawab Lila dengan cepat sambil memutar
matanya. "Kostumnya bagus sekalee," ujarnya.
"Sangat asli," tambah Janet lirih. "Dan aku bertaruh pasti
membuatnya memakan waktu yang lama dan banyak uang untuk
menyatukannya."
"Memangnya kenapa, Aku pikir itu bagus," Ibu Miller berkata
sambil mengerut pada Janet. "Katakan padaku, sayang, kamu mau
menjadi apa?" tanyanya pada Jessica.
"Dengan sebuah kain tua yang membungkus seluruh
tubuhnya?" sindir Ellen. "Dapatkah anda menebak, Ibu Miller? Aku
pikir itu sudah jelas. Ia menjadi hantu, tentu."
"Sebenarnya, Pertama-tama Aku pikir ia menjadi kentang yang
terkupas," gumam Janet pada Lila dalam suara yang cukup didengar
Jessica. Jessica mendadak memerah mukanya. Untungnya kain ini
menutupi mukaku, pikirnya.
"Jangan begitu," ujar Lila sambil memperlihatkan label pada
kain Jessica. "Lihat, ini berkata "MESIN CUCI AIR PANAS." Kamu
tak bisa mencuci kentang di mesin cuci, tahu?" ia tertawa histeris.
Ibu Miller berkeluh. "Selamat ber-trick-or- treating, anak-anak,"
katanya sambil menutup pintu dengan pelan tapi tegas.
"Siapa yang memberimu ide tolol untuk kostum itu, lagipula?"
tuntut Lila ketika kelompok itu mendekati rumah berikutnya.Jessica mengangkat bahu. Ia bahkan tidak punya tenaga untuk
marah pada Lila. "Aku pikir ini akan jadi menyenangkan," jawabnya
simpel.
"Menyenangkan?" Lila mengulangnya dengan tidak percaya.
"Apa yang menyenangkan dengan sebuah kain tua?"
"Kamu tidak menolong untuk menunjukkan bahwa Unicorn
selalu berbaju menarik," Janet menyetujui sambil menatap tajam pada
Jessica.
"Benar, Jessica," kata Tamara. "Apa kamu tidak memikirkan
kesan Unicorn?"
Tapi Jessica tidak berkata sesuatu. Ia memasuki rumah
berikutnya sambil melihat jamnya. Baru jam delapan. Empat jam lagi
sebelum menyelamatkan Elizabeth.
***************
Maria menggelengkan kepala dan berkeluh. "Berkostum sepeda
itu memang mengasyikkan, tapi aku ingin Elizabeth juga
mengikutinya."
"Aku tahu perasaanmu," kata Amy padanya. Dua gadis itu
sedang bersepatu roda dengan tempo yang sama, dihubungkan dengan
sebuah bingkai triplek. Setiap orang membawa roda logam di
tangannya. "Sepertinya ada yang kurang."
Maria memperlambat sepatu rodanya. "Itu dia sekarang."
"Di mana?" Amy melihat di kegelapan.
"Dengan Betsy Martin dan gengnya," ucap Maria sedih,
kelihatan membenci idenya. Ketika ia melihatnya, Elizabeth sedang
membuka kotak surat dan mengambil sesuatu didalamnya. "Cobatebak, apa yang ia ambil, sebuah apel busuk?" tanyanya ketika
ELizabeth berlari dengan tertawa.
"Atau lebih buruk lagi." ucap Amy. "Ayo kita cari tahu."
Berdua mereka berseluncur ke arah kotak surat. Maria membukanya
perlahan dan melihat ke dalamnya. "Uh!" Bagaimana ELizabeth bisa
berbuat seperti ini? pikirnya. Ia mengeluarkan isi labu dari dalam
kotak surat itu. "Lelucon yang tidak lucu," ujarnya pahit.
"Hei, apa itu?" Amy bertanya dengan tiba-tiba.
Dua gadis kecil berlari ke arah mereka. Seorang berpakaian
sebagai balerina dan yang satu lagi sebagai putri. Yang putri sedang
menangis. "Apa yang terjadi, sayang?" panggil Maria.
Gadis itu hanya menangis lebih keras, tapi temannya berbicara.
"Beberapa remaja mengambil kantong permen kami." Ia menatap
seperti mau menangis.
Hati Maria runtuh. "Apa mereka laki-laki atau perempuan?"
tanyanya lembut.
"Perempuan." Si Balerina mengisak. "Mereka langsung lari di
trotoar dan kita tak bisa menghentikannya," jelasnya. "Mereka
berteriak, 'Beri kami permenmu!' dan mereka langsung pergi tanpa
berkata sesuatu."
"Aku turut prihatin," ujar Maria sambil memeluk anak itu.
"Apakah?apakah salah satu dari mereka mempunyai rambut pirang
panjang?" tanyanya dengan curiga bahwa ia sudah tahu jawabannya.
"Hu-uh," Si putri menjawab. "Dan ia mengenakan topeng yang
buruk!"
"Apakah kalian mengenalnya?" Si Balerina bertanya dengan
penasaran. "Apakah ia teman kalian atau yang lain?""Ia bekas teman kita," jawab Maria sedih sambil menoleh mata
Amy. "Sepertinya kita tidak mengenalnya lagi."
*************
"Hei, Jess!"
Biasanya hati Jessica merasa senang ketika melihat Aaron
Dallas, tapi tidak malam ini. Ia sedang berdiri di seberang jalan,
berkostum basket dan melambai padanya. "Oh-hi Aaron," sapanya
balik tanpa antusias.
"Selamat Halloween!" panggil Aaron mulai menyeberang jalan.
"Aku telah mencari-carimu ke mana-mana."
"Masa iya?" Sambil menyuruh para anggota Unicorn yang lain
untuk terus berjalan. Jessica berhenti untuk menunggu Aaron.
"Bagaimana kamu bisa menebak itu aku?" tanyanya penasaran.
"Oh, Aku selalu tahu di mana kau berada," jelas Aaron.
Jessica tidak yakin itu pujian atau tidak, ia tidak berkata apaapa. "Kostum apa itu, lagipula?" tanya Aaron. "Kamu bukan hantu,
kan?" Ia menatapnya, dengan muka bingung dan heran. "Maksudku,
itu akan jadi sangat-sangat tidak asli."
"Oh, Aku bukan jadi hantu," jawab Jessica cepat. "Aku adalah
ilmuwan gila yang menemukan formula yang mengubah orang jadi
setan."
"Oh." Aaron kelihatan bingung. "Dan kau menuangnya di
seluruh tubuhmu?"
Jessica merasa sedikit tersinggung. "Tidak, Aaron. Aku
memakai ini untuk mencegah ada orang jahat menemukanku.""Uh-huh." Aaron menggaruk kepalanya. "Mengapa ada orang
jahat yang mengejarmu dan formula jahatmu?"
Jessica berkeluh. "Lupakan saja."
"Itu tidak masalah lagi, sekarang," putus Aaron. Dengan malumalu Aaron mengulurkan tangannya dan menggosokkannya ke kain
Jessica. "Ini malam yang indah," ucapnya dengan parau.
"Uh-huh." Ia mencoba memegang tanganku, sadar Jessica. Ia
berpikir kembali beberapa hari yang lalu, ketika ia melamunkan
tentang kejadian ini akan terjadi. Tapi, ia merasakannya lain hari ini,
Dengan Elizabeth yang semakin menjadi-jadi, ia tidak berminat untuk
bergandengan tangan dengan Aaron.
"Dan, di sini juga agak sepi." Aaron bergerak ke sekitar kain,
mencari tangan Jessica.
Aaron sangat ganteng, Jessica mengingatkan dirinya. Pelanpelan ia mengeluarkan tangannya dan mencoba untuk meraihnya.
"Kita bisa saja?kamu tahu, ber-trick-or-treat bersama-sama
sementara," saran Aaron, kedengarannya seperti ia baru saja
menemukan ide itu.
"Itu bagus." Tangan Jessica bergerak terus menerus mencari
jalan keluar. Tidak bisa keluar. Ia mencari jalan lain dan mencobanya
lagi.
"Ini benar-benar malam yang indah." Aaron menatap langit.
Jessica masih saja berjuang untuk mengeluarkan tangannya. Tapi
kemanapun tangannya bergerak, tetap saja masih tersangkut di kain. Ia
berkeluh tak sabaran."Kamu baik-baik saja Jessica?" Aaron mendekat dan menaruh
tangannya di bahunya. "Lihatlah ke sana di belakang bagunan itu.
Apakah kamu pernah melihat bulan seindah itu?"
Bulan, pikir Jessica. Tiba-tiba ia panik. Bulan! Ia tidak berani
menatapnya. Kurang dari empat jam lagi, katanya pada dirinya, akan
ada gerhana bulan, dan jika aku tidak menemukan Elizabeth dan tidak
menemukan cara agar Elizabeth mau menghancurkan topengnya,
maka?
"Aaron, seberapa sering gerhana bulan muncul?" tanya Jessica
tiba-tiba sambil mengenyahkan rangkulannya.
Aaron kelihatan terkejut. "Wow, Aku tidak tahu, Jessica,"
jawabnya. Ia mendekat kembali. "Bagaimana kalau kita?"
Tapi Jessica tak mau mendengarnya lagi. "Maafkan aku,
Aaron," ujarnya. Bayangan Elizabeth muncul di benaknya?Elizabeth,
makin kelihatan seperti saudara Corrina, sebuah ekspresi takut muncul
di wajahnya. "Aku harus pergi." Ia membalikkan badan. "Sampai?
sampai jumpa. Atau yang lain." Ia menutup matanya. Bayangan itu
menghilang. "Daa!"
"Hei, tunggu!" panggil Aaron. Tapi sudah terlambat.
Jessica sudah jauh.
************
Jam sebelas malam, Jessica selesai menata bantalnya di balik
spreinya. Mundur selangkah, ia melihat pekerjaannya. Hmm,
Lumayan. Angguknya pelan. Kalau kamu tidak melihat dari dekat,
kau tidak akan menyangka bahwa ada seseorang yang tidur di sini.Jessica menarik napas. Ini harus berhasil, janjinya pada dirinya
sambil berharap agar berhasil. Harus! Pelan-pelan ia menuruni tangga
dan berjinjit di depan ruang keluarga.
"Ya, Aku akan menuju pesta sekarang," ia mendengar Steven
berkata.
"Pesta apa?" Ibu Wakefield kelihatan ragu.
"Ibu ingat. Pesta di Courage Mountain," Steven
mengingatkannya. "Aku sudah mengatakannya minggu lalu."
Jessica menahan napas ketika ia menunggu jawaban ibunya.
"Ya, ini kan Halloween," akhirnya ibu Wakefield berkata.
"Jangan terlambat, itu saja. Di mana adik-adikmu?"
"Jessica sedang tidur," Steven meyakinkannya. "Dan Elizabeth
akan pulang terlambat?kayaknya."


Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah," Ibu Wakefield setuju. "Bersenang-senanglah."
Steven berlari melalui dapur dan sampai di serambi. "Ayo!"
bisiknya pada Jessica ketika melihatnya. Dengan cepat, Jessica berdiri
dan mengikuti kakaknya ke luar garasi. "Aku harap ini berhasil,"
gumamnya sendiri sambil mengayuh sepedanya ke jalan. Jessica tak
berkata apa-apa. Ia menaiki sepedanya sendiri dan mulai mengayuh
dengan cepat menuju Courage Mountain.
"Hei!" Steven mencoleknya dari belakang. "Tunggu aku!"
Tapi Jessica mulai mengayuh sekuat-kuatnya. Setiap menit
dihitung. Angin malam yang dingin serasa hidup. Cepat, cepat! mulai
memburunya. Ia harus sampai di Courage Mountain sebelum
terlambat.Bagaimana kalau Elizabeth tak ada di sana? pikirnya dengan
takut, lalu ia membuang ide itu jauh-jauh. Ia ada di sana, ia ada di
sana, ia ada di sana, nyanyinya dengan pelan.
Menelusuri jalan melengkung beberapa blok dari rumah, Jessica
mulai mempercepat kayuhannya. Suasananya mulai terasa berat
sekarang. Napasnya mulai tersengal, tapi ia tidak berani untuk
memperlambat kayuhannya. Sambil menurun, ia melihat dan
memperhatikan siluet dari pohon tua yang sudah mati, cabangcabangnya mulai membayangi?bulan.
Bulan purnama, pikir Jessica. Ia belum pernah melihat bulan
sebesar dan semerah itu.
***************
"Dasar labu bodoh!" Betsy Martin bernyanyi, sambil
memperhatikan besi serambi keluarga Wakefield.
Elizabeth tertawa. Ia sudah tertawa sepanjang malam,
sepertinya. Ia sudah tertawa ketika Betsy mengambil kantong permen
dari anak-anak yang ber-trick-or-treating. Ia sudah tertawa ketika
gengnya bertemu anak kelas empat yang memakai topi, mengambil
topinya, mengisinya dengan krim cukur dan mengembalikannya lagi
ke atas kepalanya. Ia telah tertawa ketika Betsy melemparkan telur
busuk pada roda-roda mobil yang diparkir. Ia bahkan telah tertawa
ketika Betsy menaruh tanda di rumah tua Luna yang berkata
"Pecahkan pintunya jika kau tak mendengar bunyi bel."
Ini bukan trick-or-treat, pikirnya. Ini trick-or-trick, dan ini lebih
mengasyikkan.Mata Betsy melihat satu-satu ke gengnya dan melihat Elizabeth.
"Hancurkan!" perintahnya. "Lalu kita hancurkan pesta yang kau
bilang itu."
Aku tidak memberitahumu pesta itu, pikir Elizabeth, bingung.
Kamulah yang memberitahuku. "Apa kamu bilang hancurkan?"
tanyanya tidak yakin.
"Kamu bodoh atau apa?" Anak-anak yang lain tertawa.
Elizabeth melihat labu Jessica. Lilinnya menyala tertiup angin.
"Mmm?" mulainya.
"Oh, ayolah, jangan seperti bayi," tukas Betsy tak sabaran.
Sesuatu dalam diri Elizabeth mencoba mengirim pesan
padanya, tapi Elizabeth mencoba untuk mengabaikannya. "Siapa yang
memanggilku bayi?" pintanya, sambil berjalan melintasi pekarangan
ke besi serambi. Ia menatap labu Jessica. Lalu ia ragu-ragu.
"Petok, petok, petok!" Betsy menantangnya.
Elizabeth dengan pelan memegang labu itu di tangannya.
"Hancurkan saja." suara Betsy terdengar keras. "Hancurkan!"
"Ayo, Elizabeth!" seseorang berteriak. "Kita akan terlambat
sampai ke pesta!"
Elizabeth melihat jendela-jendela rumah yang sudah gelap.
Mereka sudah tidur, katanya pada dirinya dengan tegas. Mereka tak
akan tahu. Di belakang topengnya, ia memutuskan untuk
menghancurkan labu Jessica. Berdiri di trotoar, ia mulai mengangkat
labu itu di atas kepalanya.
Lilin di dalamnya mulai menari-nari di cahaya bulan.Elizabeth mengangkatnya?dan lagi. Di atasnya ia dapat
melihat bulan sedang melayang di angkasa. Untuk sejenak, bulan itu
seperti terbakar.
"Lakukan!" teriak Betsy, sambil melangkah menuju Elizabeth.
"Atau!"
Sebuah peperangan aneh mulai terjadi di pundak Elizabeth. Ia
menggelengkan kepalanya dan berdiri di samping rumahnya.
Akhirnya, Elizabeth mengangkat labu itu di atas kepalanya dan mulai
membidik.Enam belas
Jessica melintasi tikungan dengan kecepatan tinggi sambil
menjulurkan kakinya untuk mencegahnya jatuh dari sepeda. Ia melirik
jamnya: Waktunya tinggal sedikit lagi, mudah-mudahan ia ada di
sana! Di belakangnya, ia dapat mendengar Steven mendekat dan
makin mendekat.
"Kita baru setengah jalan, Jess," ujarnya. "Teruskan kerjamu,
nak!"
Jessica menatap bulan yang besar dan bundar di depannya. Apa
itu? Ia mengangkat satu tangan dari setang dan menggosok matanya.
Tidak, tidak mungkin.
"Jessica!" teriak Steven. "Perhatikan jalanmu!"
Apa dia mengada-ada? Jessica melihat ke trotoar, kedua
matanya terbuka sekarang. Ia terkejut. Roda depannya telah mendekati
pinggir dari jalan?dan di perjalanan ke Courage Mountain, tidak ada
pemisah antara trotoar dengan tebing yang mengintai dari balik bukit!
Sambil menyetir kembali ke jalan, Jessica melihat kembali
bulan itu. Tidak, aku tidak mengada-ada, pikirnya tak percaya, sambil
memegang setangnya dengan seerat-eratnya. Bulan itu sedang
terbakar. Lidah api yang sangat hebat memancar dari dalam bulan itu
dan menjilat dengan gilanya ke seluruh bagian. Permukaanya sudahtak kelihatan, tersembunyi di balik api yang menggelora. Seperti
sebuah lilin raksasa yang berputar di angkasa, pikir Jessica. Ia dapat
merasakan napasnya tersengal-sengal.
"Cepat!" panggil Steven. Ia melewatinya, berdiri di atas pedal
dan mendorongnya dengan sekuat tenaga. "Kita tidak punya waktu
lagi sebelum gerhana bulan!"
Disemangati oleh bulan yang terbakar, Jessica mempercepat
lajunya. "Aku datang!" serunya pada kakaknya. Lalu, ia terkejut
ketika mencuri lihat pada mata kucing di belakang sadel Steven.
Seperti sebuah bulan, pikirnya.
Dan itu juga terbakar!
"Steven!" teriaknya, tapi Steven tak memperhatikan. Ia
menutup matanya sebentar, hampir meluncur ke luar jalan dan sadar
bahwa ia tidak bisa keluar?dari bulan yang menyala yang juga ada
dalam benaknya.
Jessica menyeret sepedanya ke pinggir jalan. Sambil menutup
matanya, ia menepis kedua tangannya di depan wajahnya. Aku harus
menyingkirkan bayangan ini, pikirnya?tapi tak bisa. Bahkan tanpa
memakai matanya, ia masih bisa melihat bulan itu terbakar, terbakar
di langit, dan bebatuan rapuh mulai berjatuhan di atas?
Di atas apa? Jessica berkonsentrasi penuh. Bayangan yang ada
di benaknya mulai redup dan masih ada sesuatu yang ia kenal.
Rumahku.
Rumahku, Jessica berkata pada dirinya lagi, jantungnya mulai
berdegup. Api dari bulan itu jatuh di atas rumahku!"Jangan berhenti!" Terdengar suara Steven. Mata Jessica
terbuka. Steven sedang menetapnya dengan wajah khawatir dari
bawah helmnya. "Jangan merengek padaku sekarang!"
Jessica mengambil napas panjang dan menggelengkan
kepalanya. Bayangan itu telah hilang.
"Aku datang," panggilnya dan melompat lagi ke atas sepedanya.
Tapi ketika ia mengendarainya, sebuah bayangan baru mulai masuk ke
dalam benaknya: Bulan sabit Corrina.
Ia membayangkan bulan itu, dan sepertinya lebih nyata dari
segalanya?lebih nyata dari Steven, lebih nyata dari sepedanya, lebih
nyata dari jalan, lebih nyata dari Courage Mountain itu sendiri.
Dan bulan Corrina sedang menangis.
Mengeluarkan air mata-panas, air mata yang terbakar yang tak
terhenti.
Dan kali ini bukan bulan sabit lagi, melainkan wajah Corrina
sendiri.
Ini sebuah pesan, sadar Jessica. Bulan dan Api? mereka tengah
memberitahuku sesuatu. Mereka mencoba memberitahuku?
Tiba-tiba Jessica tahu apa yang harus diperbuat.
"Steven!" teriaknya sambil mengerem keras. Timbul sebuah
bekas decitan di jalan.
Steven berhenti, mukanya cemberut. "Ada apa?" tanyanya.
"Aku?aku?" tenggorokan Jessica terasa kering, tapi ia
berhenti untuk bernapas, wajah Corrina yang menangis tampak sangat
nyata. "Aku rasa mereka tak akan datang," tukasnya, menyadari
bahwa ide itu kedengarannya sangat jelek."Tak datang?" Steven menatapnya dengan bingung. "Apa kamu
bicara pada Betsy? Apakah kamu memberikan pesan pada Elizabeth
seperti yang kau katakan?"
"Iya." Jessica menggigil di kegelapan. Ia tidak berani menatap
bulan. "Aku akan kembali ke rumah."
"Mengapa?" tuntut Steven, sambil menaruh tangannya di
pinggang.
"Hanya karena?." Aku tak bisa menjelaskannya, pikir Jessica.
Dan kamu tak akan mengerti walaupun aku jelaskan. Di dalam
benaknya, wajah Corrina yang tersedu berubah menjadi sesuatu yang
baru? sebuah wajah yang baru, tapi Jessica mengenalinya dari rumah
Corrina.
Saudara Corrina, ucapnya sendiri dengan sedikit ketakutan. Dan
air matanya semakin panas saja.
"Kamu saja yang teruskan," ujar Jessica pada Steven. "Pergilah.
Kalau-kalau mereka muncul."
Steven cemberut. "Ya, baiklah," jawabnya sambil
menggoyangkan kepalanya. Ia melompat ke atas sepedanya.
Sambil mengayuh sepedanya sendirian, Jessica melihat Steven
menghilang di kegelapan.
*************
Sambil meremas labu Jessica dengan tangannya, Elizabeth
melemparnya dengan sekuat tenaga ke tembok rumah keluarga
Wakefield. "Bagus!" ia dapat mendengar Betsy berteriak di
belakangnya.
Tapi Elizabeth tidak mendengarnya. Ia menatap pada labu itu
yang kelihatan melayang dengan gerakan lambat. Ketika iamemperhatikannya, waktu seakan berhenti. Labu itu berputar pada
sisinya. Elizabeth menggosok matanya dari belakang topengnya.
Sesaat labu itu tampak seperti sebuah bulan purnama.
Aku pernah melihat ini sebelumnya, katanya sendiri, sambil
berusaha memikir kembali. Tapi di mana?
Lalu tiba-tiba labu itu menjadi labu kembali dan waktu berjalan
dengan kecepatan normal. Elizabeth menyaksikan ketika labu Jessica
membentur dinding rumah dan hancur berantakan. Labu itu pecah
berkeping-keping dan lilinnya masih menyala, mendarat di atas
tumpukan daun-daun kering di samping rumah.
"Yeah!" teriak Betsy. "Baiklah, teman-teman, tempat ini sudah
hancur. Ayo kita hancurkan pestanya sekarang!"
Elizabeth berdiri terpaku, pandangannya menuju ke arah
tumpukan daun-daun. Dimana lilin itu jatuh, ia dapat melihat sebuah
daun mulai terbakar pelan-pelan. Sebuah asap tipis muncul dari
tumpukan.
"Wakefield!" suara Betsy keras. "Kamu akan datang, atau akan
merengek pada kita?"
Elizabeth tak dapat berbicara. Ketika ia melihat, daun kedua
sedang terbakar?dan yang lain?dan selanjutnya?dan selanjutnya.
Ia menggerakkan bibirnya, tapi tetap saja tak dapat bersuara.
Terdengar suara bergemeretak dan buah api kecil muncul dari labu
indah Jessica.
"Apa yang terjadi denganmu?" tuntut Betsy sambil mendekati
Elizabeth.Sambil menatap api yang lapar, Elizabeth hanya dapat
menggeleng. Dan ia melakukannya, ia merasa sesuatu yang tak ia
harapkan?
Setitik air mata yang panas mulai mengalir di pipinya.
*************
Jessica mengayuh sekuat tenaga, bahkan tak mengerem di
tikungan. Kalau aku jatuh, ya jatuh, katanya pada dirinya sendiri. Aku
harus sampai di rumah. Kalau saja aku dapat sampai ke sana tepat
waktu?
Tepat waktu untuk apa?
Jessica tidak tahu. Dalam benaknya, wajah saudara Corrina
berubah menjadi?Menjadi wajah Elizabeth. Dan Elizabeth juga
menangis, tersedu-sedu seperti hatinya sedang teriris, mengeluarkan
air mata panas?saking panasnya sampai uap mulai timbul dari
pipinya.
Jessica mencoba menghilangkan bayangan itu sambil memutar
kepalanya untuk bisa melihat ke belakang bahunya.
Bulan itu mulai menghilang. Hanya sebagian kecil hilang dari
salah satu sisi, tapi itu cukup membuat Jessica panik.
Hanya beberapa menit lagi sebelum dunia ini gelap gulita.
Elizabeth, pikirnya, hatinya mulai berdegup karena rasa takut.
Elizabeth, satu-satunya saudara perempuanku, di mana kamu ?
*************
"Kebakaran!" Betsy Martin berteriak. "Lari!"
Elizabeth mulai bergerak, tapi ia tak bisa. Kakinya seperti
tertanam ke tanah. Setelah beberapa saat, tak ada sesuatu selain heningdi belakangnya. Mereka telah meninggalkan aku sendirian, pikirnya
sambil melihat api mulai membesar.
Elizabeth tak dapat berlari menjauh. Seluruh tubuhnya seperti
dibebani. Itu adalah orangtuaku yang ada di rumah itu, pikirnya tak
sadar. Kakakku.
Air mata mulai membasahi matanya.
Saudara perempuanku.
Di atasnya, gerhana bulan sudah dimulai. Kegelapan mulai
menutupi bulan sebagian demi sebagian. Elizabeth merasa ada sesuatu
yang runtuh dari dalam hatinya. Api mulai membesar. Dari balik
topengnya, ia membayangkan keluarganya tidur di ranjang mereka,
tak sadar dengan api yang membesar di luar dan dadanya mulai
terangkat.
Ini satu-satunya kesempatanku, ucapnya pada dirinya sendiri
sambil berjuang untuk menggerakkan kakinya. Tapi ia tak dapat
menggerakkan ototnya.
Dalam kegelapan, Elizabeth mulai menangis.
**************
Jessica menengadah ke langit, sebuah mobil hampir saja
menyerempetnya, roda-rodanya berdecit. Bulan itu mulai hilang
setengah bagian. TEENLITLAWAS.BL0GSP0T.C0M
Dimana dia? harapnya putus asa.
Dadanya terasa berat karena terlalu banyak mengayuh. Ia
mengusap cairan yang ada di pipinya dan dengan sekelebat, Jessica
sadar bahwa air mata yang ia bayangkan pada wajah Elizabeth
bukanlah Elizabeth?melainkan wajah Jessica.Tujuh belas
Oh, tidak! Pikir Jessica ketika ia sampai di rumah keluarga
Wakefield dan berhenti dengan tiba-tiba. Api mulai bergelora?dan
Elizabeth berdiri di dekatnya, menangis putus asa.
Tanpa berkata, Jessica menaruh sepedanya, meninggalkan rodarodanya yang masih berputar. Ia berlari menuju Elizabeth dan
memberinya pelukan kilat. Lalu ia bergegas menuju belakang rumah
dan mengambil selang air. Jari-jarinya seperti berukuran duabelas kali
lebih besar ketika memutar keran dengan kekuatan penuh. Pada
permulaannya, ia tak dapat memutar keran itu sama sekali. Kedua
kalinya, air mulai keluar?dan mulai menyemprot dari ujung selang.
Sambil membawa selang di depannya, Jessica berlari lagi
menuju depan dan membidikkannya ke arah api. Aku hanya berharap
agar api itu tidak terlalu besar, ujarnya sendiri. Air mulai berdesis,


Sweet Valley Twins Super Chiller Topeng Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika jatuh ke arah api. Ayolah!, Jessica menyemangati sendiri.
Ayolah!
Jessica tahu bahwa bagian terakhir dari bulan telah menghilang.
Ia mencuri pandang pada wajah saudaranya. Ini waktunya, Lizzie,
bujuknya, berkonsentrasi untuk mengirim pesan pada saudaranya. Ini
saatnya. Harus sekarang atau?Api mulai menjilat tinggi, dan Jessica sadar bahwa ia tak
memperhatikan api itu. Ia maju selangkah dan menyemprotkan air ke
seluruh tumpukan: dedaunan kering, ia melihatnya, tercampur
bersama yang dulu ia kenali sebagai labu miliknya.
Api itu berdesis. Jessica menengadah ke atas. Ketika ia
melihatnya, sebuah bagian kecil dari bulan bersinar di angkasa untuk
sementara?lalu semuanya menjadi gelap.
Ia beralih ke saudaranya. Tubuh Elizabeth menjadi lemah.
Dengan sebuah usaha yang tampaknya menguras tenaganya, Elizabeth
meraih dan melepas topeng itu dari wajahnya.
Sisa-sisa dari api menjilat di tepi pekarangan. Jessica ingin
menolong saudaranya, tapi tiba-tiba ia ingat kata-kata Corrina?
Elizabethlah satu-satunya yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Ia
melihat Elizabeth melepas dan mengepalkan tangannya. Lalu dengan
sebuah gerakan marah dan tegas, ELizabeth membuang topeng buruk
itu dan melemparkannya ke dalam api.
Ada suara berdesis, ketika api mulai membakar ujung topeng itu
lalu terdengar suara ledakan kecil ketika api membakar isi topeng,
dengan diiringi udara yang dingin dan gelap dan terisi oleh bau busuk
karena terbakar?yang selanjutnya Jessica tahu adalah saudaranya
telah melompat ke dalam pelukannya dan menangis histeris.
Dengan satu tangan, Jessica merangkul kembarannya sekuatkuatnya. Sedangkan tangan satunya memegang selang yang mengarah
pada api sampai ember terakhir dan bagian pertama dari bulan telah
tersembul kembali di angkasa. Jessica memberanikan dirinya dan
melihat ke atas.
Sudah tidak merah lagi kali ini.Dan juga sudah tidak terbakar.
Sekarang telah menjadi bulan yang normal dan tua dan yang
telah dilihatnya bertahun-tahun sebelum ada persoalan seperti ini.
Jessica menutup matanya, pelan-pelan lalu semakin tegas. Satusatunya bayangan yang muncul adalah bulan sabit Corrina, sedang
tersenyum seperti biasanya.
Atau mungkin lebih dari biasanya.
Jessica berkeluh dalam di udara malam yang dingin dan beralih
ke saudaranya.
Rambut di sekitar wajah Elizabeth telah basah oleh air mata.
"Oh, Jess?aku?aku minta maaf!" katanya dengan gugup.
"Shhh," kata Jessica menenangkan sambil membelai rambut
yang menghalangi wajah saudaranya. "Hei, Lizzie?" mulainya pelan.
"Bagaimana kalau kita jadi monster laut berkepala dua pada
Halloween yang akan datang, setuju?"
**************
"Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepadamu,
Corrina," ujar Jessica dengan penuh perasaan.
Hari itu adalah hari Sabtu pagi, dia dan Elizabeth sedang duduk
di sofa tua Corrina sambil meminum es teh. Corrina duduk di kursi
kesukaannya, dengan senyum di wajahnya.
"Sebenarnya, akulah yang ingin berterima kasih kepadamu,"
tambah Elizabeth sambil mendekat. "Kalau anda tidak berusaha untuk
menolong Jessica, aku sudah?aku sudah menjadi?yaa, aku tak tahu
akan jadi apa!" ia mengangkat bahunya.
Jessica merengut. "Apa kamu yakin bahwa topeng itu tidak
kembali lagi?" tanyanya tak yakin. "Aku tahu aku telah melihatnyaterbakar dan pagi ini kami meneliti abu-abunya dan menguburnya,
untuk berjaga-jaga, tapi?"
Corrina menggelengkan kepalanya. "Kita hanya bisa berharap,"
jawabnya. "Tapi sayangnya, kita tidak bisa yakin akan hal itu."
"Aku tidak pernah tahu bagaimana kau bisa sampai ke situ,"
tambah Elizabeth sambil meraih tangan saudaranya. "Hanya
keberuntungan, aku rasa."
Keberuntungan tidak ada hubungannya dengan ini, pikir Jessica
sambil meremas tangan Elizabeth kembali. Ia menyipitkan matanya
ketika mengingat bayangan yang terbentuk di benaknya tadi malam?
bulan, bola api, bulan sabit Corrina menangis lalu wajah Elizabeth
sendiri. Keberuntungan? Yang benar saja! Di sudut matanya, Jessica
dapat melihat Corrina mengedip padanya dengan simpatik.
Ia tahu semuanya, Jessica berkata pada dirinya dengan
tersenyum. Entah kenapa, ia tak terkejut sama sekali.
Corrina berdiri dan meregangkan badannya. "Aku akan
mengambil es teh lagi," katanya. "Apa kalian mau lagi?"
"Tidak, terima kasih," jawab Elizabeth ketika Jessica
menggelengkan kepalanya.
"Baiklah," Corrina berkata padanya. Aku akan segera kembali.
" Ia menghilang ke dapur.
"Ia adalah orang yang mengagumkan," gumam Elizabeth ketika
melihatnya pergi.
"Kamu memang benar," sahut Jessica. "Kamu tahu, mungkin
kita harus melakukan sesuatu sebagai tanda terima kasih kita."
Elizabeth tersenyum. "Mungkin kita bisa menawarkan untuk
membersihkan tamannya." tukasnya bersemangat."Aku akan lihat apakah mesin potong rumput itu dapat bekerja
kembali dan mungkin aku akan membersihkan semua daun yang
memacetkan pisaunya," tambah Jessica.
"Dan kita bisa membuatkan kue untuknya setiap minggu," tukas
ELizabeth sambil melompat, "dan memberi rumah ini cat yang
bagus?"
"Dan menyedot debunya setiap saat," potong Jessica, "dan
membeli beberapa buah lampu."
Elizabeth terkikik. "Lucu kalau kau bersemangat untuk
melakukan pekerjaan."
Jessica menyentuh rambutnya sambil tertawa. "Ya, aku bisa
sangat berguna kalau itu adalah kemauanku."
"Percayalah, aku tahu!" Elizabeth tertawa. "Tapi serius, Jess,
kita tidak bisa melakukan pekerjaan itu semuanya. Bagaimana kalau
kita mengunjunginya sesering yang kita bisa."
Jessica mengangguk. "Ide yang bagus." Elizabeth benar,
ujarnya pada dirinya sendiri. Kita bisa melakukan apa saja, tapi
silaturahmi adalah yang terpenting. Ia menatap potret di atas matel.
"Hanya ada satu hal yang masih menggangguku," lanjutnya. "Siapa
yang memperoleh topeng itu sebelumnya?"
Elizabeth bermuka masam. "Apa maksudmu?"
"Ada kebakaran," ujar Jessica pelan, "dan semua yang ada di
keluarga Corrina telah mati, kecuali Corrina. Yang aku mau tahu
adalah, apakah topeng itu membuat saudara Corrina menjadi jahat?
atau malah mengubah Corrina sendiri jadi jahat?"
Elizabeth melihat ke arah potret. "Aku tak tahu," jawabnya,
menggeleng. "Tapi kamu tahu apa yang sedang kupikirkan?""Apa?" tanya Jessica.
Elizabeth meminum tehnya. "Aku rasa kamu harus
membiarkannya. Aku rasa Corrina akan memberitahumu jika ia
menginginkan."
Jessica berkeluh. Elizabeth kadang-kadang sangat penuh
pemikiran.
Lagipula, Jessica juga tidak ingin tahu.
Corrina kembali lagi ke ruangan duduk di bawah potret. "Aku
prihatin dengan Halloweenmu," ujarnya. "Tapi akan ada Hallowen
yang lain tahun depan, ya, kan?"
"Ya, sudahlah," jawab Jessica cepat. "Aku merelakan seratus
Halloween untuk membuang kutukan itu."
"Seratus?" Elizabeth tersenyum.
Ya, mungkin bukan seratus. "Thanksgiving yang berikutnya,"
tunjuk Jessica. "Itu juga akan mengasyikkan."
"Tidak sebagus Halloween, tapi juga tidak buruk," Elizabeth
setuju. "Mari kita lihat?" Sebuah pandangan serius datang dari
matanya dan menatap Jessica. "Turkey Bell, turkey bells, turkey all
the way!" ia bernyanyi lantang.
"Elizabeth!" rengek Jessica sambil bangkit dari duduknya.
"Memangnya kenapa, kamu tak suka aku bernyanyi?" tuntut
Elizabeth.
Jessica duduk kembali dan memberi saudaranya sebuah pelukan
yang besar. "Aku sangat senang kau sudah kembali," ujarnya. END
Memanah Burung Rajawali 2 Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa Pendekar Sadis 15

Cari Blog Ini