Pedang Pengacau Asmara Karya Okt Bagian 4
Siau-hong sendiri merasa kuatir, sebab semuanya ini terjadi akibat tingkah lakunya
juga. Lain lagi dengan Kun-eng yang merasa kesal hatinya melihat betapa Jin-hong jadikeripuhan sekali seperti orang kebakaran jenggot kehilangan istri barunya. Sekali lagi
Thian-lok turun tangan dan mengajak Jin hong mencari Ceng-ci di sekitar tempat itu
dengan hasil sia-sia.
Namun usaha keduanya sia-sia saja. Bahkan kemudian Jin-hong menghilang pada
malam hari itu juga dengan hanya meninggalkan sepucuk surat dimana ia menyatakan
tidak akan kembali lagi sebelum Ceng-ci dapat dicarinya.
Kesusahan hati nyonya Cin dan Thian lok semakin bertambah. Begitu juga dengan
Sau hong dan ensonya kebingungan. Sampai tujuh hari lamanya mereka menunggu
sekalian keliling mencari Jin hong tanpa berhasil.
Tidak lama kemudian yaitu pada musim pertama dari musim rontok, Thian-lok
menutup mata setelah beberapa hari jatuh sakit. Betapa sedih hati Kun-eng yang hampir
saja bunuh diri jika Siau-hong yang terus menerus mendampinginya.
Istri Thian-lok sendiri sampai jatuh pingsan beberapa lali. Bagusnya nyonya Cin
bersedia tinggal di rumah besannya itu yang dapat menghibur hatinya.
Berlalunya sang waktu sangat cepat. Tak terasa telah tiga tahun lamanya semenjak
menghilangnya Ceng-ci disusul kaburnya Jin-hong. Bahkan Kun-eng sekarang menjadi
anak yatim piatu, karena selang setahun kematian Thian-lok ibunya kemudian menyusul
sang suami ke alam baka.
Sedangkan nyonya Cin kemudian kembali ke kampung halamannya. Jadi dengan
begitu yang tinggal dalam rumah itu kini hanya Kun-eng ditemani oleh Siau-hong.
Setelah terjadinya pelbagai hal yang tidak menyenangkan itu, barulah kemudian
Kun-eng dan Siau-hong teringat pada pedang Toh hoa kiam yang tersimpan di atas loteng
Siangkiam lauw. Ternyata loteng itu kurang mendapatkan perhatian sehingga banyak
berdebu di sana sini ketika keduanya naik ke atas.
Siau-hong lebih dahulu lompat ke atas penglari untuk menurunkan peti pookiam.
"Hai, mengapa rasanya ringan sekali?" katanya dalam hati seraya lompat turun,
"Jangan-jangan kembali ada yang mencurinya!"
Tanpa membuang banyak waktu Kun-eng cepat membuka penutup peti. Ternyata
isinya kosong! Toh hoa kiam bagaikan mempunyai sayap terbang berikut sarungnya!
Kun-eng memerintahkan semua pelayan-pelayan dan pembantu baik laki-laki
ataupun perempuan kumpul semuanya. Ternyata seorang pelayan laki-laki yang bernama
Lo-cit tidak ada. Ketika ditanyai keterangan, pelayan ini telah meninggalkan rumah itu
tidak lama sesudah Patpi Jin him meninggal. Lagi pula pelayan ini bekerja hanya beberapa
hari saja.
Belum lagi Jin-hong dan Ceng-ci berhasil dicari, sekarang muncul kembali
persoalan baru yang tidak kalah hebatnya. Itulah sebabnya mengapa kedua enso dan ipar
itu mengadakan perjalanan buat mencari Lo cit sekalian menyerapi kabar Jin hong serta
Ceng-ci.Seperti telah kita ketahui, kedua wanita itu berhasil menemui Lo-ci t di Ma lan-tun
secara tak terduga. Bahkan Lo-cit tidak sampai mengenalinya dan mengira keduanya
sebagai sepasang bunga raya yang mudah dipermainkan. (Baca jilid pertama.)
Ternyata Lo-cit yang memang sengaja menyaru jadi pelayan dalam keluaga Him,
adalah seorang kepala buaya darat yang bergelar Touw-pa-cu, dari siapa didapat
keterangan bahwa kedua pedang telah dijualnya. Yang satu pada seorang jago di Ji liongcung, sedangkan yang lain kepada seorang kepala paderi dari Kim san-si.
Keduanya memutuskan sebelum melanjutkan perjalanan akan singgah lebih dulu
di Lok-an untuk menjenguk nyonya Cin. Begitulah keesokan harinya mereka
meninggalkan Ma-lan-tun.
Ternyata nyonya Cin sedang sakit keras dimana kedatangan Siau-hong beserta
Kun-eng sangat kebetulan sekali sehingga dapat merawat ibunya sampai sembuh. Dengan
demikian juga keduanya jadi tertahan sebulan lamanya. Namun Jin hong yang diharapharap kemunculannya tak kunjung datang.
Bagusnya nyonya Cin dapat sembuh juga dari penyakitnya itu. Barulah Siau-hong
berani mengutarakan maksudnya akan pergi bersama Kun-eng buat mencari Toh-hoakiam.
Karena memerlukan uang banyak, terpaksa Kun-eng meminjam uang sebanyak
2.000 tail perak pada nyonya Cin. Uang mana dimaksudkan untuk menebus kembali Tohhoa kiam. Penadah pedang itu memang bukan mendapatkannya dengan cara mencari,
dengan begitu juga adalah suatu keharusan yang pantas jika pedang itu ditebusnya
kembali sebagai penggantinya yaitu dengan uang juga.
Setelah mendapatkan ijin dari nyonya Cin keduanya segera berangkat dengan
tujuan lebih dulu ke Kim-san-si.
Singkat cerita keduanya dengan selamat telah tiba di Kim-san-si langsung mencari
kepala kelenteng yang diketahui bernama In-koan Ho siang.
Akan tetapi kedatangannya ternyata terlambat karena In-koan Hosiang telah
menutup mata sebulan yang lalu, dan yang menggantikan kedudukannya ialah It-tim
Hosiang yaitu murid kapala Kim-san-si.
It-tim Hosiang keluar menyambut kedatangan kedua tamunya dengan baik dan
menanyakan juga maksud kedatangan mereka. Kun-eng menjelaskan maksudnya hendak
meminta kembali pedang Toh-hoa-kiam dengan uang tebusan lebih tinggi dari
pembeliannya.
Di luar dugaan It-tim telah menolak maksud mereka dengan mengemukakan
alasan bahwa menurut pesan gurunya Toh hoa-kiam mesti disimpan terus di Kim-san si
dan pedang mustika itu telah dijadikan penunggu kelenteng serta tidak boleh diserahkan
kepada siapapun.
Melihat sikap orang yang tak dapat diajak berdamai, Siau-hong dari bersikap manis
dan menghormat berbalik jadi gusar."Kau keterlaluan sekali!" Bentak Siau-hong seraya menuding imam itu. "Kau
sendiri bukannya tidak tahu bahwa pokiam itu hasil curian dan miliknya keluarga Him.
Sekarang kami bermaksud bukan dengan cara meminta pulang begitu saja, dan bersedia
menebus dengan harga pantas, tetapi mengapa kau berkepala batu?"
Mendengar kata-kata kasar ini, si hwesio tidak menjadi gusar dan menjawab
sambil tersenyum lebar.
"Biarlah siauceng bicara terus terang saja, kouwnio. Seperti telah kukatakan tadi
bah wa siang-kiam itu sudah menjadi pedang mustika penjaga Kim-san-si caranya yaitu
dengan menenggelamkan pedang tersebut ke dalam sungai di kaki bukit ini! Nah, kalau
kouwnio berkeras hati juga hendak mengambil pedang itu siauceng persilahkan kouwnio
menyelam ke dalam dasar sungai dan siau-ceng tidak kehendaki uang biar satu bun
sekalipun dari kouwnio..."
Kun-eng terkejut mendengar pedang mustika itu ditenggelamkan ke dalam sungai,
sebuah keterangan yang tidak boleh dipercaya begitu saja. Ia mencurigai kalau-kalau Ittim Hosiang hanya memberikan alasan belaka.
"Kalau jiwi kouwnio tidak percaya, silahkan saja bertanya pada penduduk sekitar
sungai di bawah bukit ini," It-tim menjelaskan lebih lanjut melihat air muka Kun-eng yang
seperti tidak mempercayainya.
Antara percaya dan tidak keduanya lalu kemudian menuruni bukit untuk bertanya
pada penduduk sekitarnya. Betul saja, setiap penduduk yang ditanyakan membenarkan
keterangan itu. Kira-kira dua tahun yang lalu Kim-san-si telah mengadakan upacara
penenggelaman sebuah pedang yang dikatakan sebagai pedang mustika Toh-hoa-kiam ke
dalam dasar sungai yang airnya bergolak keras, pertanda adanya arus yang keras pada
mata air sungai itu.
Keduanya tidak pandai berenang, sedang kan menurut keterangan penduduk arus
air sekitar mata air itu berbahaya sekali. Tidak seorangpun diantara mereka yang berani
coba-coba berenang sekitar mata air itu.
Tiba-tiba Kun-eng teringat pada sebuah nama yaitu Auw-goan yang bergelar Suisiang-eng-hiong (pendekar jago air). Auw-goan juga kenalan baik ayahnya, bertempat
tinggal di kaki bukit Thian ma-san daerah Cauw teng.
Tak ada jalan lain selain coba meminta pertolongan jago air itu yang pckerjaannya
memang biasa menyelam.
Tanpa memandang jauhnya jarak buat mencapai bukit Thian-ma san keduanya
segera bergegas berangkat dan dua hari dua malam lamanya tanpa mengaso barulah
mereka tiba di sana.
Bagusnya Auw-goan yang mungkin mengingat hubungan baiknya dengan Thianlok, menyatakan kesediaannya untuk menyelami mata air Kim san si. Ketika itu juga ia
mempersiapkan perahunya dan mengambil jalan air menuju Kim san-si.Ternyata dengan mengambil jalan air tidak sampai setengah hari mereka telah tiba
di kaki Kim san si. Kemudian Kun-eng memberitahukan di mana arah dilemparkannya
Toh-hoa kiam.
Berdiri di ujung perahu sesudah diketepikan, Auw-goan memberitahukan
taksirannya berapa dalam mata air itu yang diperiksakannya ada sedalam lebih dari
seratus kaki. Lantas ia terjun dan berenang menuju ke bagian tengah yang airnya bergolak
keras.
Sementara itu di tepian sungai telah banyak penduduk yang turut menyaksikan, di
antaranya ada juga paderi-paderi dari Kim san-si Semua mata mata ditujukan ke
permukaan air buat melihat hasil tukang selam itu.
Lama juga Auw-goan menyelam, memberi rasa kagum pada orang banyak karena
daya tahan orang berlama-lama didalim air. Kemudian Auw goan muncul juga dengan
tangan kosong. Ia lantas lompat naik ke atas perahu.
"Aku tidak mendapatkan apa-apa di dasar sungai itu," Lauw hay liong
menerangkan pada kedua wanita muda itu. "Sepotong besi berkarat sekalipun tidak
kutemukan!"
Ketika It-tim-Hosiang dimintai keterangannya ia jadi marah juga sampai
berjingkrak.
"Aku seorang iman yang bersih mustahil berani memberi keterangan palsu.....!"
"Aku ingin tahu juga, suhu." Auw-goan turut campur bicara. "Dikatakan bahwa
Toh-hoa-kiam telah dijadikan pedang mustika penjaga Kim-san-si, tapi mengapa sampai
mesti ditenggelamkan ke dasar sungai? Apa alasannya?"
Ditanya begitu It-tim-Hosiang menjadi sabar kembali Kemudian dijelaskan
olehnya bahwa di dalam Kim-san-si gurunya telah melihat diantara murid-muridnya ada
tanda-tanda hendak menguasai pedang tersebut. Untuk meredakan niat jahat itu, diambil
keputusan Toh hoa kiam sebaiknya disimpan di dasar sungai dengan suatu upacara
keagamaan. Dengan begitu juga niatan jahat ingin memiliki sendiri pedang itu dikuatirkan
akan disalah gunakan kaum paderi Kim-san-si menjadi reda dengan sendirinya.
It-tim-Hosiang mengemukakan juga pendapatnya, karena pedang Toh hoa kiam
itu ringan mungkin saja terbawa arus sungai yang kuat itu. Ia menganjurkan supaya
menyelam lebih jauh lagi.
Ketika itu hari sudah mulai malam, Auw-goan mengambil keputusan keesokan
pagi saja usaha pencaharian pedang dilanjutkan. Siau-hong dan Kun-eng tidak
berkeberatan. Begitulah malam itu mereka jadi bermalam di kelenteng Kim-san-si.
Keesokan pagi harinya sesudah tangsal perut mereka telah berkumpul di tepi
sungai. Baru saja Auw-goan akan terjun ke dalam air, tiba-tiba ia merandek dan
perhatiannya ditujukan pada sebuah perahu kecil dari mana terdengar suara senandung
yang amat merdu dengan kata-kata syair yang aneh terdengarnya.Semakin lama perahu kecil itu semakin mendekat yang ternyata dikendalikan oleh
seorang bocah tanggung usia antara belasan tahun. Dengan tenang ia berkayuh sambil
terus mengulangi syair lagu tersebut.
"Tanda-tanda taman Toh-goan telah tiada lagi
Bunga yang tak kekal berguguran daun-daun merah
Pasangan wan-yo sumbernya pedang
Meninggalkan rasa penasaran tak terkira
Juga terbawa arus air deras
Serta berkesiurnya sang angin Timur."
Siapapun yang baru pertama mendengar syair lagu ini akan merasakan
keanehannya, sebab hampir tak bermakna biarpun didengarnya merdu sekali. Akan tetapi
yang jelas seperti juga mempunyai arti sesuatu pesan. Ketiganya jadi saling berpandangan.
Ketika perahu kecil itu sudah mendekat sekali, Kun-eng melambaikan tangannya
memanggil bocah itu, siapa segera mengayuh perahunya mendekat.
"Suaramu sungguh merdu sekali," kata Kun-eng kemudian sambil
memperlihatkan jari jempolnya memuji, "Tapi aku tak mengerti apa artinya? Dari siapa
kau pelajari syair lagu itu?"
Si bocah tertawa kecil sebelum ia menyahut.
"Kami sendiri tidak tahu apa arti syair lagu itu. Tapi karena enak untuk
menyanyikan jadi yah. ... lumayan buat penyeling waktu........" kata bocah itu dengan
suara jenaka, "Yang mengajarkan kami ialah seorang tosu muda yang gagah dan cakap
berselang dua bulan yang lalu. Ia datang kemari bersama seorang nelayan tua yang rambut
serta alisnya semuanya serba putih. Ada kira-kira delapan hari lamanya keduanya dengan
perahu berkelana sekitar sini sehingga kami kenal pada keduanya. Sebelum mereka
berangkat pergi, kami diajarinya lagu syair ini hingga kami hapal benar. Kami suka
menyanyikannya karena lagunya menyenangkan sekali."
Dengan perkataan "kami" berarti bukan si bocah itu sendiri saja yang bisa
menyuarakan nyanyian itu.
"Apakah kau kenal siapa tosu muda dan nelayan tua itu?" Siau-hong bertanya
pula, dan hatinya bercekat kalau-kalau yang dimaksud dengan si tosu muda tak lain
adalah saudaranya sendiri yang jadi nekad menjadi orang suci.
"Tidak, aku tidak tahu," sahut bocah itu, "Pernah kami menanyakan, tetapi
mereka tidak mau memberitahukan siapa nama mereka."
"Ya, sudahlah kalau kau tidak tahu," Kun-eng kemudian memberikan persen uang
kecil kepada si bocah yang tak mengira akan mendapatkan rejeki karena menyanyikan
lagu kesenangannya itu. Ia cepat berlalu seraya mengulangi kembali lagunya.
Pada saat itu Auw-goan sudah akan terjun yang cepat dicegah oleh Kun-eng.
"Kita tak usah mencari pokiam itu lebih lanjut! Bukankah arti syair lagu itu jelas
telah memberi keterangan buat kita?""Ya! Menurut dugaanku si tosu muda tak lain adalah koko adanya," Siau-hong
menimpalinya juga. Mendengar ini wajah Kun-eng berobah merah.
"Tapi mustahil ia merelakan diri menjadi seorang tosu?" Balas tanya si enso.
"Kalian toh baru menduga-duga saja. Baiknya aku coba menyelam lagi sampai
sejauh lima li!" Kata Auw goan yang lantas melempar dirinya terjun ke dalam air sungai.
Keduanya menanti di atas perahu. Masing-masing dengan jalan pikirannya sendirisendiri, membuat ke duanya saling berdiam diri.
Kun-eng mengingat-ingat syair dan lagu yang huruf-huruf depannya membentuk
kata-kata "Toh-hoa kiam-ya" yang tak salah lagi dimaksudkan pedang yang sedang
mereka cari telah didapatkan oleh si tosu muda dengan bantuan si nelayan tua. Sedangkan
si tosu muda yang menurut si bocah tadi berwajah cakap dan gagah betulkah Jin-hong
suaminya?
Mereka menunggu sampai matahari mulai naik tinggi, kemudian barulah Auwgoan terlihat berenang menghampiriperahu.
"Setiap jengkal dasar sungai telah kususuri tapi aku tak menemui pedang itu," kata
Auw-goan setelah naik ke atas perahu, "Sampai sejauh sepuluh li dari sini . . ."
Kemudian Auw-goan masuk ke dalam bilik perahu untuk salin pakaian.
"Tak salah lagi dugaanku," kata Siau-hong kepada ensonya, "Tentunya Toh-hoakiam telah berhasil didapatkan oleh kedua orang itu. Bukankah dengan kata-kata "tandatanda taman Toh goan" serta "sumbernya pedang" dan "meninggalkan rasa penasaran",
menunjukan bahwa pedang sudah tak ada di dasar sungai ini. Lebih jelas lagi secara
keseluruhan syair itu berisikan penuturan bahwa sudah terbawa arus air ikut bersama
berkesiurnya angin timur....."
"Ah, kau benar, kouwnio!" Tiba-tiba Kun-eng berseru, "Jelas merupakan petunjuk
bagi kita supaya kita mengambil arah timur dari aliran sungai ini untuk mendapatkan
kembali pedang mustika kita!"
"Yah, sebaiknya kita mencari perlahan-lahan saja," jawao kemudian Siau-hong.
Pada saat mana Auw-goan keluar dari biliknya. Kun-eng cepat mengucapkan kata-kata
terima kasihnya.
"Aku tak dapat menerima penghaturanmu, nyonya," kata Auw goan sambil
tersenyum, "Aku belum sampai berbuat pahala apa-apa. Tapi aku berjanji untuk
selanjutnya akan coba-coba mencari tahu juga perihal Toh-hoa-kiam itu."
Kun-eng kembali mengucapkan terima kasihnya sambil melukiskan bagaimana
bentuk pedang tersebut. Pada mulanya Auw-goan menawarkan jasanya untuk
mengantarkan keduanya menyusuri sungai dengan perahunya untuk mencari si tosu yang
dimaksud. Akan tetapi Kun-eng dengan halus menolak tawaran itu, dengan alasan
tentunya akan memakan banyak waktu.
Dengan demikian di situ mereka berpisahanSelanjutnya dengan menunggang kuda keduanya melanjutkan perjalanan
menyusuri sungai. Kalau jalanan sepanjang sungai agak sukar, terkadang terpaksa mereka
memintas jalan yang lebih mudah dilewati oleh kuda mereka.
Pada setiap rumah suci (kelenteng) yang ditemukan pasti dikunjungi keduanya
dengan alasan untuk sembahyang. Padahal mata keduanya diam-diam mengamat-amati
para imamnya.
Pada suatu hari mereka kemalaman di tengah jalan yang jauh kesana kemari.
Bagusnya mereka membawa bekal hingga tak perlu kuatir akan kelaparan di jalan.
Sesudah tangsal perut mereka melanjutkan jalan, tapi kemudian keduanya kecewa
karena kedua tunggangannya kelihatan sudah lelah sekali,
"Bagaimana sekarang, binatang tunggangan kita rasanya sudah tidak kuat lagi,"
Kun-eng berkata seperti mengeluh kepada Siau-hong.
"Tapi sekitar sini tak ada rumah penduduk!" tak kurang pula kesalnya Siau-hong.
Keduanya kemudian turun, dari punggung kuda untuk dituntun perlahan-lahan.
Maksudnya untuk mencari rumput supaya kudanya dapat mengaso sekalian makan. Baru
saja mereka melewati sebuah tikungan jalan, ketika terdengar suara lonceng dari arah
depan.
Keduanya jadi girang. Suara lonceng itu tentunya datang dari sebuah kuil atau
rumah semacam itu. Kedua kuda itu setengah terseret ditarik mereka supaya cepat
mencapai tempat itu. Bagusnya pada saat itu rembulan bersinar terang yang
mempermudah langkah mereka.
Tak lama kemudian mereka tiba di muka kelenteng. Dengan bantuan sinar
rembulan, di atas pintu masuk terbaca "Goan-ceng-koan."
"Ah, kuilnya golongan Too kauw." Kun-eng mengeluh sambil mengerutkan
Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepasang alisnya. Too kauw semacam kumpulan orang suci yang jarang berhubungan
dengan orang luar.
"Apa boleh buat, barang kali saja di sini kita bisa menemui si Toosu muda yang
mendapatkan pokiam kita," ujar Siau-hong setengah menggoda.
"Ah, ingatanmu pada Toh hoa kiam saja! Hayo, kita masuk," jawab Kun-eng
seraya mengetuk pintu. Tak lama kemudian terdengar dari dalam yang menanyakan siapa
di luar.
"Kami berdua orang pengembara yang kemalaman di tengah jalan," Kun-eng
menyahuti. "Bolehkah kami numpang bermalam di sini?"
Ketika pintu dibuka kelihatan seorang toosu wanita yang berusia lanjut dan
mengawasi pada keduanya dengan sinar mata menyelidik. Kemudian ia menganggukkan
kepala.
"Silahkan masuk! Kalian jiwi bolehlah bermalam di sini!" Kata toosu itu
kemudian.Kun-eng merasa lega hatinya karena ternyata kelenteng itu tempat para imam
wanita. Ia melirik pada Siau-hong. "Di sini jangan kau harapkan akan menemui si Toosu
muda itu . . ."
Kun-eng tidak melanjutkan kata-katanya karena si toosu mengangsurkan
tangannya menunjuk pada kedua ekor kuda tunggangan mereka. "Serahkan kedua kuda
jiwi yang akan kutempatkan di belakang. Sebelumnya dipersilahkan menunggu di
ruangan Sam-ceng thian."
Sam ceng thian adalah ruangan untuk bersembahyang dimana pada kelenteng itu
dipuja ketiga patung pendiri Too kauw. Kun-eng dan Siau-hong segera memasang hio
sebagai penghormatan.
Toosu tadi selesai mengurus kuda telah kembali dan mengajak kedua tamunya
masuk ke dalam ruangan sebelah timur dimana ada sebuah kamar kosong.
"Silahkan jiwi mengambil tempat di sini," kata toosu tua itu, "Nanti kubawakan
keperluan tidurnya."
Siau-hong dan Kun-eng merasa kecewa pada keadaan kamar yang tidak
menyenangkan tanpa pembaringan dan rupanya tempat menyimpan alat-alat keperluan
kelenteng itu. Akan tetapi mereka harus menerima apa adanya sebagai orang yang
menumpang.
Si toosu tua telah kembali dengan membawa sepasang tikar dan sebatang lilin yang
kesemuanya diletakkan di atas tanah.
"Aku hanya dapat memberikan apa adanya, harap jiwi tidak menjadi kurang
senang hati," katanya seraya bermaksud mengundurkan diri.
"Oh, terima kasih ini jauh lebih pantas dari pada kami tidur di tengah jalan," kata
Siau-hong sambil tertawa kecil.
"Jiwi habis berjalan jauh, silahkan ambil istiranat," si toosu lalu pamitan sambil
merapatkan pintu kamar.
Setelah langkah toosu itu tak terdengar lagi, Siau-long membuka bungkusannya
dan mengeluarkan makanan kering.
"Bagaimana kita bisa makan, persediaan air minum kita sudah habis," Siau-hong
mengeluh dan Kun-eng cepat mengulapkan tangannya.
"Biarlah aku keluar sebentar buat minta air teh pada loo too-po," katanya pula
seraya keluar kamar.
Keadaan sekitar sangat sepi, tapi dengan bantuan sinar lilin yang dibawanya Kuneng bisa melihat deretan kamar kelenteng yang ternyata semuanya ada delapan pintu.
Kun-eng menghampiri kamar yang terdekat dan mengetuk pada daun pintu
dengan perlahan. Ia tidak sampai menunggu terlalu lama, pintu di buka dan seorang
tookouw muda berdiri di muka pintu.Hampir saja lilin yang dipegang Kun-eng terlepas dari tangannya ketika ia
mengenali siapa imam wanita muda yang cantik itu, begitu juga si imam yang air
mukanya segera berobah.
"Bukankah kau Ceng-ci?......"PEDANG PENGACAU ASMARA
(Jilid 6)
Karya : OKT A
"Bukankah kau enci Kun-eng?" Too-kouw itu bahkan balas bertanya.
Keduanya tidak saling menyawab malah saling bertanya, tahu-tahu seperti ditarik
kekuatan gaib masing-masing pihak kemudian saling berpelukan sedangkan air mata
keduanya berderai keluar. Seketika lamanya masing-masing tak dapat mengeluarkan katakata.
Too-kouw itu memang Ceng-ci adanya yang pada saat ia keluar rumah segera
menuju ke pegunungan Liok-an tanpa tujuan tertentu. Tiga hari tiga malam lamanya ia
berjalan terus tanpa mengetahui bahwa kepenatan badannya justru membuat jalan
pikirannya kalang kabut.
Tiba pada sebuah celah bukit yang keadaannya sunyi, kenekadan Ceng-ci timbul
kembali. Tanpa merasa ia membuka angkinnya dan menghampiri sebuah pohon untuk
menambatkan angkinnya di atas dahan. Kemudian di bawah pohon itu ia berlutut sambil
meratap sambil menyebut nama ibunya yang telah tiada, juga kepada ayahnya ia
mengucapkan selamat tinggal. Kata-katanya sungguh mengharukan sekali. Setelah mana
ia menjura kehadapan langit sampai delapan kali
Kemudian Ceng-ci bangkit berdiri menghampiri dahan dimana ia tadi
menambatkan angkinnya. Ia merasa keheranan karena ternyata angkinnya tidak berada
di tempat tadi. Ia mencari-cari di tanah dengan sia-sia. Biarpun ketika itu tak ada angin
kencang, namun ia masih menduga barangkali terhembus angin dan dicarinya di sekitar
tempat itu.
Melihat sebuah batu besar, timbul pikiran lain dalam cara menghabiskan
nyawanya sendiri, ia mengawasi sebentar pada batu itu, lalu merapatkan giginya dan
menegangkan kakinya. Dengan mana ia bersikap akan lompat menerjyang batu itu
dengan kepalanya.
"Plassss . . .!"
Akan tetapi ternyata Ceng-ci menubruk angin kosong. Ia jatuh terjerembab di atas
rumput! Anehnya batu besar itu dapat pindah sendiri! Ceng-ci terduduk keheranan seraya
memandang ke batu besar itu.
"Tidak mungkin ada setan yang memindahkan batu sebesar ini ... . Tentu ada
tangan orang berilmu yang sedang iseng ..." begitu pikir Ceng-ci. Ia memandang ke
sekitarnya.Ketika ia masih tertegun, tiba-tiba dirasanya bahunya ada yang menepuk dari
belakang. Cepat ia berpaling dengan rasa terkejut. Seorang nikouw memandanginva
sambil tersenyum.
"Apa yang kau kehendaki?" Tanya Ceng-cie penuh rasa gusar karena maksudnya
terhalang jelas ni-kouw ini yang perbuat. "Kau seorang petapa, apa perlunya mencampuri
urusan orang lain?"
Namun, ni-kouw itu hanya tertawa.
"Aku memang seorang petapa yang paling senang mencampuri urusan orang
biasa," sahutnya dengan suara lunak, "Aku justeru hendak bertanya apakah sebabnya kau
mengambil pikiran pendek. Sedangkan seekor semut masih sayang pada nyawanya,
apalagi kau sebagai manusia?"
"Ceng-cie tidak menjawab tapi ia berontak melepaskan diri dari jamahan paderi
wanita ini. Ia percaya pada kekuatan tenaganya namun percuma saja segala dayanya
biarpun ia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, ia mengerti tengah berhadapan
dengan seorang berilmu tinggi luar biasa
Ceng-gan sin menduga dengan benar, karena ni-kouw ini tak lain adalah Hut-thian
Siankou In-ceng Suthay Ouw-ci hee, salah seorang pencipta Toh hoa-kiam yang telah kita
kenal. Maka tak heran kalau Ceng-cie tak dapat melepaskan diri dari pegangannya.
Tiba tiba saja Ceng ci berobah pikiran, cepat ia berlutut di hadapan nikouw itu
sambil menganggukkan kepalanya.
"Kau telah mencegah niatku, suhu," kata Ceng ci sambil berlinang air mata, "Aku
seorang yang bernasib malang dan tak mempunyai rumah tangga lagi. Kalau suhu tidak
mengijinkan aku hunuh diri, sudilah suhu mengangkat aku menjadi murid suhu. Aku mau
menjadi seorang nikouw..."
"Menjadi paderi bukanlah tempat pelarian buat seorang wanita muda seperti kau,"
kata In-ceng Su-thay sambil tertawa.
"Tetapi mengapa suhu merintangi maksudku," potong Ceng ci, "Kalau suhu tidak
bersedia menerimaku sebagai murid, lepaskanlah aku biar aku membunuh diri secara
baik-baik!"
"Baiklah kita bicara secara sadar. Kau kelihatannya sangat nekad, anak baik.
Tuturkanlah apa kesulitanmu? Menjadi orang suci adalah pekerjaan mudah kalau
memang kau berniat keras. Nah, terangkanlah kesulitanmu itu!"
Diperlakukan secara sabar begitu Ceng ci menjadi lebih tenang, ia pikir tiada
buruknya kalau ia ceritakan semuanya. Ia menganggap masih banyak waktu baginya
untuk menghabiskan nyawanya sendiri kalau paderi ini tidak memberikannya kepuasan.
"Inilah aku tak menduga sama sekali." kata In-ceng Suthay dalam hati, begitu ia
mendengar penuturan Ceng-ci perihal Toh-hoa-kiam ciptaannya sendiri ternyata telah
membawa banyak peristiwa yang hebat, ia berpikir sebentar sebelum ia berkata kepada
Ceng ci."Kalau nona sudah bulat hati hendak mencukur rambut buat menjadi seorang
paderi, tentu saja kalau hal ini sudah jodoh kau tak dapat kucegah. Cuma saja kalau kau
terus menerus mengikuti aku yang seringkali melakukan perjalanan tentu akan sangat
menyusahkan kau. Sebaiknya terlebih dulu kau menjadi seorang imam di Goan ceng
koan. Di Pek-sek-san ada seorang too kouw yang tentu akan mau menerima sebagai
muridnya."
Pikir Ceng-ci menjadi ni-kou atau too-kou adalah sama saja yaitu seorang petapa
juga. Karenanya ia menyatakan persetujuannya.
Sesungguhnya ada terkandung maksud lain bagi In-ceng Suthay yang sengaja
menitipkan Ceng-ci di Goan ceng-koan, karena ia sendiri bermaksud berangkat ke Liokan guna memberitahukan Jin-hong agar ia menjemput isteri keduanya itu. Akan tetapi di
tengah perjalanan ia berjumpa dengan Say-cee thian Sian ceng Sian su yaitu
persekutuannya ketika membuat Toh-hoa-kiam itu. Ketika diceritakannya perihal
peristiwa pedang mustika yang berakibat luas terhadap keluarga Him. Sian-ceng sian-su
menertawakannya. Ia jelaskan pada ni-kouw bahwa segala takdir akan lewat dengan
sendirinya, bahwa pedang tersebut akan bertemu kembali seperti halnya kelak pasangan
suami dengan kedua isterinya tentu akan bertemu kembali.
Dengan demikian In ceng Suthay membatalkan maksudnya, kemudian ia ikut
bersama Thio kong-thay untuk berkelana kembali.
Nasib dapat meramalkan, tapi kalau sesuatu telah terjadi dan menjadi kenyataan
yang tak dapat dibantah lagi tentunya ini sudah merupakan takdir. Demikian pula dengan
pertemuan antara Kun-eng dan Siau-hong dengan Ceng-ci. Pertemuan yang tak disangkasangka.
Melupakan segala ganjalan hati, kedua "madu" ini saling berpelukan dengan rasa
terharu bercampur girang. Dalam sekejap saja Kun-eng merasa senang dan suka pada
Ceng ci yang ia duga tentunya telah banyak mengalami kesusahan hati. Begitu pula
dengan Ceng-ci terhadap Kun-eng yang tak disangkanya telah melakukan perjalanan
sedemikian jauh dan sukar untuk mencarinya. Tak terasa keduanya saling menangisi
dengan sedih sekali.
Tangisan keduanya membuat beberapa too-kouw yang berada di situ terbangun,
begitu juga Sau-hong yang segera datang. Siau-hong dapat mengenali Ceng-ci bukannya
ia menjadi gusar, selain terperanjat ia segera menubruk si enso kedua ini sambil menangis
dan juga mencaci halus.
"Oh, enso.......kau sungguh kejam membuat kami berdua sengsara....."
Beberapa imam yang segera mengerti duduk persoalan segera menyela agar
mereka menahan rasa duka mereka sebab pertemuan itu tentunya merupakan suatu
kegembiraan dan bukan untuk disedihkan. Namun bagi Ceng-ci kegirangan ini hanya
sebentar saja, karena Siau-hong segera menceritakan bahwa Toh hoa-kiam telah tercuri
kembali dan Jin-hong masih belum juga pulang.
Tiba-tiba saja wajah Ceng-ci berobah menjadi murung dan tak berani memandang
pada Kun-eng."Semuanya ini gara-gara aku seorang yang membuat kacau sebuah keluarga ... .oh
betapa berdosanya aku ini," dengan suara perlahan Ceng-ci seakan berkata pada dirinya
sendiri. Ia menyesalkan dirinya juga yang berlemah hati ketika bermaksud menghabiskan
nyawa telah berhasil dibujuk oleh In-ceng Suthay.
"Mengapa kau bisa sampai kemari dan mensucikan diri, enso?" Tanya Siau-hong
yang polos tak dapat menahan rasa keinginan tahunya. Begitu juga Kun-eng menanyakan
hal yang sama.
Ceng-ci menceritakan tentang perjalanannya, dan bagaimana ketika ia berlaku
nekad dengan maksud membunuh diri telah dihalangi oleh seorang ni-kouw yang
mengaku bergelar In-ceng Suthay.
"In-ceng Suthay?" Kun-eng membelalakkan matanya ketika Ceng-ci menyebut
nama paderi aneh itu. "Ia adalah salah seorang pencipta Toh hoa-kiam."
"Ah, pantas saja ketika kuceritakan hal ikhwal Toh-hoa-kiam ia kelihatannya
tertarik sekali....." ujar Ceng-ci teringat kembali pertemuannya dengan ni-kouw itu.
"Kalau tak salah ia menggerutu sendiri dan katanya bermaksud berangkat seorang diri ke
Liok-an untuk mengunjungi sahabat baiknya ..."
"Kalau begitu bagus sekali, pencipta Toh-hoa-kiam itu tentu tidak berdiam diri
terjatuhkannya pedang mustika itu ke tangan yang tidak berhak," Kata Sau-hong dengan
gembira, "Nah, sekarang marilah kita pulang. Ibu tentu sudah sangat mengharapkan kita.
Kemudian kita boleh mencari koko."
Kun-eng kuatir apabila Ceng-ci menolak, ia turut membujuknya, "Mari kita
pulang, adikku. Kalau kau tidak mau ikut dan Jin-hong sendiri sudah kembali mengetahui
kau ada di sini, bagaimana kami mempunyai muka mengatakannva?"
Sejenak Ceng-ci menundukkan kepalanya seperti sedang berpikir keras. Ia dapat
memahami betapa susah hatinya nyonya Cin itu kalau ia tidak mau ikut serta. Sedangkan
perginya Jin-hong karena akibat masuknya ia ke dalam keluarga Cin. Disamping itu
kelihatannya Kun-eng terhadap dirinya tidak menaruh iri lagi. Sulit sekali baginya buat
menolak ajakan ini.
Akhirnya Ceng-ci tak dapat mengeluarkan kata-kata sepatahpun, sebagai gantinya
air matanya mengalir deras dan kembali ia memeluk tubuh Kun-eng.
"Sudahlah, adikku......." Kun-eng berusaha menghibur Ceng-ci, "Mari kita
lupakan saja semua peristiwa yang telah lewat. Rupanya sudah menjadi kehendak Thian
kalau kita harus selalu berdampingan. Maafkan kata-kataku pada malam itu yang
tentunya sangat menyakiti hati sehingga kau melarikan diri ..."
Ceng-ci menganggukkan kepala,, Siau-hong menjadi girang sekali menyaksikan
kedua enso itu berbaikan seperti sepasang saudara layaknya.
Pertemuan ini membuat rasa mengantuk mereka jadi hilang sendirinya. Ada saja
yang mereka bicarakan sampai fajar telah menjelang, kemudian mereka bersiap-siap.Setelah meminta ijin kepada kepala kuil, ketiganya segera berangkat. Ceng-ci
masih mengenakan pakaian sebagai seorang paderi, karena keputusan boleh keluarnya
atau tidak ia mesti menemui In-ceng Suthai yang "membaptiskannya" sebagai seorang
paderi itu.
Kalau Kun-eng dan Siau-hong menunggang kuda, sebagaimana kelaziman
seorang paderi Ceng-ci menunggang keledai itulah sebabnya mereka tak dapat berjalan
cepat untuk mengimbangi larinya keledai.
Pada hari keempat mereka telah tiba di tapal batas An-hui. Ketika mereka hampir
mendekati bukit Hok-hou-nia, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari arah
belakang mereka. Sebentar kemudian seekor kuda dengan penunggangnya seorang tinggi
besar telah lewat di samping mereka.
Karena kuda dilarikan dengan kencang sekali telah meninggalkan debu yang
terlepas ke muka. Ketiganya cepat menutupi wajah mereka dengan tangan mereka seraya
memalingkan kepala.
"Dasar tak tahu diri, kurang ajar! ..." Maki Siau-hong, sedangkan tangannya siap
akan menyerang dengan senjata pisau. Hatinya lebih mendelu lagi ketika laki itu sempat
pula tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi kuda yang menyusulnya lari terlalu keras
sehingga Siau-hong tak mungkin melaksanakan amarahnya itu.
Belum jauh mereka menjalankan tunggangannya, ketika laki-laki tadi tampak
mendatangi dari arah yang berlawanan. Kini ia tidak melarikan kudanya secepat tadi.
Dengan senyum menyindir ia memandangi pada kedua wanita itu.
"Aku sengaja memerlukan diri balik kemari buat meminta maaf pada nona-nona
sekalian," ujarnya dengan suara yang dipaksakan sehormat mungkin, "Di samping itu aku
penasaran kalau belum melihat paras elok kalian yang tadi tak mungkin kuperhatikan
karena tertutup oleh debu .... Ha .... ha ... ha .... nyatanya kalian benar-benar tidak
mengecewakan, nah sampai bertemu!"
Setelah mana laki-laki itu cepat membalikkan kudanya kembali seraya
mengulapkan tangannya ke arah ketiga wanita itu. Dengan begitu terlihat jelas di
punggung laki-laki ini menggemblok sebuah bungkusan panjang mirip sebilah pedang.
"Cuih!.." Siau-hong membuang ludah ke arah laki-laki ceriwis itu tapi tak sempat
mengenainya karena ia lebih dulu telah melarikan kudanya yang dapat bergerak gesit.
Ketika Siau-hong hendak menyusul, Kun-eng cepat mencegahnya.
"Lebih baik kita jangan mencari keributan," kata Kun-eng menyabarkan Siauhong, "Hari sudah hampir malam, lebih baik kita tidak membuang waktu supaya dapat
segera melewati bukit Hok-hou nia ini. Menurut tia tia di Hok-hou nia ini dikuasai oleh
tujuh kepala begal yang cukup lihai. Mudah-mudahan dengan memandang pada nama
tia-tia kita tidak mengalami gangguan dari mereka."
Kemudian Siau-hong menyatakan perhatiannya tertarik pada laki-laki tadi karena
ia melihat bungkusan seperti sebilah pedang di punggung laki-itu Ceng ci membenarkan
penglihatan Siau-hong."Siapa tahu laki-laki tadi adalah Hun bian-tian liong yang menguasai Toh-hoakiam!" Berkata pula Ceng-ci yang menambah penasarannya Siau-hong, "Kau berdua
boleh menyusulnya, aku bisa menjaga diri."
Tanpa banyak bicara lagi Siau-hong segera membedal kudanya, dan Kun-eng
terpaksa mengikutinya sambil berpesan pada Ceng-ci agar berhati-hati.
Jalan menembus bukit banyak berbatu, lagi pula mendaki, sehingga Siau-hong dan
Kun-eng tak dapat melarikan kudanya dengan cepat. Langkah kuda laki-laki tadi sudah
tak terdengar lagi, tiba pada sebuah persimpangan jalan keduanya ragu-ragu jalan mana
yang mesti diambil.
Jalan arah ke kiri menuruni bukit ialah jalan umum menuju ke sebuah pedesaan,
sedangkan ke kanan akan tiba ke atas bukit atau tempat bersarangnya gerombolan begal
Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang diketahui oleh Kun-eng berada dibawah pimpinan tujuh kepala begal. Seorang
diantara kepala begal itu adalah seorang wanita yang bernama Pat-launia Cee-hong-cu
kenal baik dengan ayahnya. Sementara itu hati telah mulai gelap.
"Laki-laki tadi seperti telah hapal benar dengan jalan di sini," kata Kun-eng
kemudian sambil memandang ke atas bukit, "Ada dua kemungkinan, ia kebetulan lewat
di sini dan meneruskan perjalanannya mengambil arah sebelah kiri. Kalau ia salah seorang
begal di sini tentunya akan mengambil arah ke kanan. Lebih baik kita singgah pada desa
di bawah bukit ini sambil mencari keterangan."
"Kemungkinan juga laki-laki itu kenal baik dengan kepala begal di sini, kemudian
bertamu ke atas bukit ... ." Siau-hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dari
antara semak-semak belukar timbul cahaya-cahaya obor, ternyata keduanya telah
terkurung oleh segerombolan begal yang siap dengan senjata terhunus.
Seorang pemimpinnya yang bernama To-hin segera maju ke muka. Senjatanya
sebuah tongkat panjang dibuat untuk menuding ke arah Siau-hong. Sedangkan seorang
begal diantaranya dengan kurang ajar sekali mengangkat tinggi-tinggi obornya menyuluhi
wajah Siau-hong. Diantara cahaya obor itu kelihatan benar betapa kecantikan Sau-hong.
"Kalian tentunya sudah mengetahui peraturan di sini," Kata To hin sambil
mengedipkan matanya dengan ceriwis, "Siapa saja yang lewat di sini harus membayar
biaya keamanan kalau ingin selamat! Seratus tail satu orang, duaratus untuk sebuah
gerobak, lima puluh untuk seekor kuda....."
"Jangan berlaku kurang ajar!"
"Oh, aduh!"
To-hin menahan kata-katanya, karena Siau-hong yang merasa sebal pada kekurang
ajaran orang yang telah menyuluhinya itu telah bergerak menebas putus batang obor dan
sekalian mendupak pundak orang itu sehingga ia tak ampun lagi jatuh terguling sambil
mengeluh kesakitan. Sedikitpun ia tak mengira kalau gadis itu sedemikian cepat
gerakannya, sedangkan dupakannya lebih keras dari tendangan seekor kuda."Lima ratus tail perak denda bagi siapa saja yang melukai anak buah kami," ujar
To-hin kemudian sambil tertawa, "Jadi jumlah keseluruhan yang nona mesti bayar kepada
kami ialah delapan ratus tail tak dapat ditawar lagi!"
"Bapak moyangmu yang buat peraturan apa itu?!" Seru Siau-hong yang habis
kesabarannya dan lompat turun dari atas kudanya langsung menyerang pada To-hin,
"Bagaimana kalau kubayar dengan batok kepalamu saja, bangsat!"
"Tahan, adikku!" Seru Kun-eng pula sambil turun dari atas kudanya dan
menghadangi gerak Siau-hong selanjutnya, kemudian ia berkata kepada To-hin, "Aku
terpaksa menerangkan siapa diriku supaya tidak sampai terjadi pertumpahan darah. Kalau
kau pernah mendengar namanya Patpi Jinhim Him thian-lok, aku adalah puterinya!"
Kun-eng sengaja ketika menyebut nama ayahnya dengan suara keren dan agak
keras, tapi tak disangka kalau To-hin bahkan tertawa terbahak-bahak.
"Ha . . ha . . . ha . . . . tak kusangka kalau malam ini aku berjodoh berhadapan
muka dengan puterinya Him-thian-lok yang termasyur kecantikannya itu. Tentu saja aku
pernah mendengar namanya bahkan pernah pula berhadapan muka dengannya. Tapi
apakah kau tak mengetahui nona, sedangkan perusahaan ayahmu sudah dibubarkan yang
dengan sendirinya perjanjian dengan pimpinan kami menjadi batal. Apalagi ayahmu
sudah lama meninggal dunia Ha ...ha .... ha.....sekarang begini saja kalau kau berdua tak
membawa bekal masih ada peraturan lain yang mudah saja sebagai pengganti upeti ..Ha
.... ha .... ha ... ."
Riuh rendah suara tertawa gerombolan itu begitu To-hin mengeluarkan katakatanya yang terakhir. Melihat sikap To-hin dan cara berbicaranya, Siau-hong sudah
mengerti apa yang dimaksudkan dengan peraturan lain itu. Ia sudah mulai bergerak
melepaskan diri dari pegangan Kun-eng sambil membuang ludah ke tanah. Wajahnya
dirasa panas sekali.
"Tenang adikku, serahkan saja padaku," berkata Kun-eng sambit tersenyum.
Sikapnya tenang sekali. "Aku akan tunduk pada segala peraturanmu. Terus terang saja,
kau telah menduga dengan tepat bahwa kami memang tak membawa bekal yang berharga.
Nah, katakanlah apa yang kau maksud dengan peraturan pengganti itu, sedangkan aku
sendiri akan mengajukan dua syarat sebelumnya . . . ."
"Bagus! Bagus, kau memang tepat sebagai puterinya Him-thian-lok yang sudah
kami kenal baik itu," potong bicara To-hin dengan cepat sambil tersenyurn lebar,
"Kebetulan juga malam ini Sutaunia Touw-beng akan pesta besar merayakan
pernikahannya. Kalau tak dapat membayar upeti sebagai gantinya, kalian berdua
kebetulan memiliki tubuh yang tak tercela boleh menemani kami semalam suntuk. Tentu
saja aku Sataunia To-hin adalah orang pertama yang beruntung akan melayani kalian
berdua . . . . . Ha . . . ha . . . ha . . . Oa! . . ."
Siau-hong benar-benar kehilangan kesabarannya telah melesat mengirim
serangannya ke arah kepala To hin yang jadi terkejut dan cepat menundukkan badannya
sambil menyorongkan toyanya.
"Tring! . . ."To-hin merasakan tangannya kesemutan begitu senjatanya berbenturan dengan
pedang Siau-hong. Mengertilah ia kalau Siau-hong bukan sembarangan wanita yang
ternyata memiliki tenaga besar.
"Aku bermaksud menyelidiki laki-laki tadi, dengan mengorek keterangan dari
begal ini, bersabarlah ....." bisik Kun-eng di telinga Siau-hong ketika kembali ia
menghalangi tindakan Siau-hong sambil memeluk tubuhnya.
"Huh, dasar betina galak," gerutu To-hin sambil lompat menjauh, "Kalau kau
tidak naksir padaku, kau boleh pilih pemimpin kami yang lain. Padahal wajahku toh tidak
terlalu buruk, sedangkan temanmu tidak menyatakan rasa keberatannya bukan? Nah,
sebutkan saja kedua syaratmu itu, nona Him kun.....eeh aku lupa siapa namamu, nona?"
"Him Kun-eng!" jawab Kun-eng, "Syaratku yang pertama mudah saja, aku
membutuhkan keteranganmu. Tahukah kau siapakah laki-laki bertubuh tinggi besar yang
belum lama berselang lewat di sini. Siapakah dia dan arah kemanakah dia?"
"Hm, tentu saja aku dapat memberi keterangan yang kau kehendaki itu," jawab
To-hin dengan sedikit rasa keheranan karena ternyata syaratnya ringan saja, "Hun bian
tian liong dari Cee ciu memang sengaja diundang kemari. Ia adalah sahabatnya sutaunia
Touw beng. Nah, apa syaratmu yang kedua, nona?"
Kaum pria lebih banyak berpikir dengan otaknya, sedangkan wanita lebih banyak
dengan perasaannya. Terkadang perasaan wanita sedemikian tajamnya dan menerka
dengan jitu. Ternyata perasaan yang diutarakan oleh Ceng ci bahwa laki-laki itu tak lain
adalah Hun bian tian-liong benar adanya.
Kun-eng dan Siau-hong saling berpandangan dan mengerdipkan mata.
"Baik1ah, nah sekarang syarat kedua mungkin terlalu berat buat dipenuhi
olehmu," kata Kun-eng lebih lanjut sambil tersenyum manis kemudian wajahnya berubah
keren, "Aku sedia menemani kau semalam suntuk asalkan kau secara sukarela menebas
batang leher sendiri dengan pedangku ini!"
Suara riuh tertawa para begal termasuk To-hin terhenti sendiri, sedang To-hin
menjadi gusar sekali.
"Bangsat betina yang tak tahu penyakit, sekarang jangan banyak tingkah!" Maki
To-hin sambil mengayunkan toyanya menyerang Kun-eng. Siau-hong menerjang ke arah
gerombolan yang telah mengepung mereka.
Dengan tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga Siau-hong berhasil merobohkan
beberapa begal, sehingga yang lainnya merasa jeri. Beberapa diantaranya kemudian
meloloskan diri ke atas bukit buat memberi kabar kepada pemimpin mereka yang lain.
Kun-eng telah bertempur selama lebih dari tigapuluh jurus dengan To-hin.
Kelihatannya keduanya cukup seimbang, di samping itu Kun-eng memang sengaja
mengulur waktu supaya Ceng-ci dapat menyusul ke tempat itu. Ia menguatirkan juga
keselamatan Ceng-ci.Tidak lama berselang dari arah atas bukit segerombolan begal lainnya yang
dipimpin oleh toatau-nia Li cin dan ngotaunia Mo tiong segera mengepung kedua gadis
itu. Kedatangan bala bantuan ini memberi semangat baru pada rombongan To-hin.
Mereka mengepung lebih erat dengan bersemangat sambil berteriak-teriak.
Sekarang barulah Kun-eng memperlihatkan seluruh kepandaiannya. Tubuhnya
yang gesit beberapa kali berkelebat diantara gerombolan itu, setelah lebih dulu ia berhasil
berkelit dari serangan toya To-hin seraya mengirim usulan pedangnya lurus dan tepat
mengenai bahu lawan yang segera jatuh terguling.
Melihat suasana yang tidak menguntungkan bagi pihaknya, apalagi Mo tiong
merasa tidak unggulan melawan Siau-hong ia segera memberi isyarat dengan siulannya.
Sambil menyambar tubuh To-hin ia mendahului lari ke atas bukit diikuti oleh lain-lainnya.
Tentu saja Siau-hong tidak membiarkan lawan-lawannya kabur begitu saja, ia ikut
mengejar sambil memaki dengan sengit. Beberapa begal yang tak dapat berlari cepat
terpaksa harus membiarkan tubuhnya menjadi bulan-bulanan pedang Siau hong yang
telengas itu
Pada mulanya Kun-eng bermaksud melarang Siau-hong, akan tetapi nona itu
bergerak luar biasa gesitnya sehingga ia sendiri terpaksa ikut mengejarnya.
Tapi keduanya segera kehilangan jejak yang diburu, entah bagaimana mereka tidak
kelihatan lagi batang hidungnya. Siau-hong tidak memperdulikan pada peringatan Kuneng dan ia masih mengejar. Dengan demikian Kun-eng menemaninya terus.
Tiba-tiba saja keduanya berseru kaget karena mereka rasakan tubuh menjadi
sedemikian ringan dan keduanya terpelanting. Ternyata mereka telah terjebak. Tiba pada
sebuah dataran ternyata merupakan sebuah jebakan dan di bawahnya ada sebuah lobang
yang dalam sekali merupakan sebuah sumur mati. Keduanya begitu menginjak tempat
kosong yang tertutup rapi seperti rerumputan biasa tak ampun lagi terperosok ke
dalamnya.
Segera saja terdengar suara-suara yang kegirangan menyoraki berhasilnya mereka
membawa lawannya terpancing ke tempat yang merupakan sebuah jebakan. Sinar terang
benderang dari obor-obor segera mengelilingi sekitar tempat itu. Mereka juga mengerti
kalau kedua wanita itu akan dapat melompat naik ke atas dengan ilmu ringan tubuhnya.
Karenanya mereka telah siap dengan bekal semacam racun yang terbungkus dalam sebuah
kantong dan segera dilemparkan ke dalam lobang itu.
Bagusnya Kun-eng dan Siau-hong bisa mengendalikan rasa kagetnya. Begitu
mengetahui dirinya terjebak keduanya segera mengatur keseimbangan badan agar tidak
sampai terjatuh dengan deras. Keduanya bersyukur karena ternyata mereka hanya
terjatuh pada dasar yang lunak sehingga tidak membahayakan tubuh mereka.
Cahfiyj obor di atas terlihat jelas dan dianta ra c ihrtya itu teTsImbol beberapa
kepala yang. memandang keduanya sambil tertawa mengejek. Siau-hong mendelu m a n
bati."Hayo enso, kita naik ke atas buat menghajar mereka!" Serunya kemudian tanpa
mengatakan apa-apa Kun-eng bertautan bahu dengan masing-masing sebelah kaki
keduanya menjejak pinggiran tebing lobang dengan cepat merambat ke atas.
Mendadak Kun-eng mengendus semacam bau tidak sedap yang datangnva dari
sebuah bungkusan yang dilemparkan dari atas. Ia tidak sempat lagi memperingatkan Siauhong supaya menutup hidungnya, karena ia sendiri merasakan kepalanya pusing dan
sekujur tubuhnya terasa lemas. Tanpa ampun lagi keduanya melayang jatuh lagi dalam
keadaan tak sadarkan diri.
"Siapkan tambang dari kita tunggu sebentar sampai kita tahu benar kalau kedua
kelinci betina itu benar-benar sudah tak berdaya! "Seru Mo-tiong yang berwajah hitam,
"Minggir! Jangan terlampau dekat lobang itu, pengaruh racunnya sedang meluap ke atas."
Orang-orang segera menjauhkan diri dari tepian lobang. Mereka masih bersoraksorak juga sambil saling mengajukan diri buat turun ke bawah guna meringkus kedua
tawanan itu.
"Ha..... ha...... ha......, tanpa diperintahpun aku bersedia turun ke bawah guna
menjemput sepasang kelinci mungil itu!......"
"Apa kau tidak takut kalau keduanya hanya pura-pura pingsan? Tapi aku bersedia
menjadi orang pertama turun,...... ha...... ha . . . . ha . . ."
"Kalau sudah begini siapapun bersedia, lumayan sambil menyelam memeluki
tubuh orang jelita, ha ... ha .... ha ... ."
Setelah berselang beberapa lama kemudian, Mo-tiong memerintahkan seorang
anak buahnya yang bernama A-koan sambil membawa dua helai tambang besar untuk
turun ke bawah.
Dengan kegirangan A-koan tampil ke depan dan setengah berlari ia mendekati
tepian lobang.
Tapi tinggal beberapa langkah legi ia skan tiba di tepian lobang, sekonyong2
berteriak mengaduh sambil memegangi lehern a dan jatuh terguling tanpa berkutik lagi.
Beberapa kawannya mengejar hendak memberi pertolongan, tapi cepat dicegah
oleh Li-cin.
"Jangan sembarang bergerak, mungkin hawa racun belum hilang! Lebih baik kita
menantikan beberapa saat lagi."
Akan tetapi seorang diantaranya merasa penasaran, dengan berindap-indap ia
tampil ke muka. Hidungnya mendengus-dengus ke arah tepian lobang. Namun disaat
langkah kakinya hampir mendekati dimana tubuh A koan tergeletak ia mengalami nasib
sama, jatuh menggeletak di samping A-koan setelah berteriak kesakitan.
Melihat cara kedua anak buahnya terjatuh sambil berteriak mengaduh dengan
memegangi lehernya, Mo-tiong menjadi curiga. Dilemparnya sebuah obor ke arah
tergeletaknya kedua anak buahnya. Ujung obor tepat menancap di atas tanah dekat tubuh
keduanya, akan tetapi apinya serta merta padam sendiriAkan tetapi Mo-tiong dengan matanya yang tajam sempat melihat diantara cahaya
obor tadi bahwa pada bagian leher A koan terlihat tanda merah seperti darah. Matanya
segera menatap ke sekeliling, tapi tak terlihat sesuatu gerak yang mencurigakannya.
"Awas ada musuh gelap! .." Ia berseru dengan suara keras, tapi sebelum ia dapat
melanjutkan kata-katanya ia merasa berdesurnya angin yang menjurus ke bagian
lehernya. Cepat ia menundukkan kepala.
"Aduh!"
Seorang anak buahnya yang lain yang kebetulan ada di sampingnya segera roboh
sambil memegangi lehernya yang mengucurkan darah.
"Senjata jarum beracun!" Teriak Li-cin terkejut, seperti laku Mo-tiong iapun
memandangi sekelilingnya. "Musuh gelap, segeralah perlihatkan diri! Jangan bertindak
pengecut menyerang secara gelap!"
"Apa tindakan kalian menjebak lawan secara begini merupakan tindakan terangterangan dan bukan pengecut? Huh, enak saja buka mulut kau yang bau!"
Hanya suara itu saja yang terdengar sebagai jawaban makiannya Li-cin. Li-cin
menggerakkan tangan kanannya mengirim beberapa buah senjata piauw ke arah suara
datangnya dari atas salah sebuah pohon besar itu.
"Huh, segala mainan kanak-kanak dipertontonkan di hadapanku!" Maki suara itu
yang dengan cepat telah berpindah tempat ke lain pohon.
Kini semuanya dapat memastikan bahwa yang mengirim suara-suara tadi yang
terdengar halus dan melengking adalah dari seorang wanita ternyata pula dari
bayangannya yang berkelebat berpindah tempat itu. Bayangan dari seorang wanita
bertubuh langsing tapi berpakaian seperti seorang imam perempuan!
Kiranya wanita ini yang tak lain adalah Ceng-ci, sambil lompat berpindah jejak di
dahan pohon yang lain telah mengirimkan serangan gelapnya berupa puluhan jarumjarum rahasia beracunnya.
Kepandaian silat para begal itu umumnya masih rendah, segera terdengar suara
mengaduh berturut-turut dan beberapa tubuh roboh tanpa dapat berkutik lagi.
"Dalam keadaan gelap begini, sangat berbahaya sekali serangan jarum rahasianya
itu," pikir Li-cin, karenanya ia segera memerintahkan semua anak buahnya mundur. Ia
tidak berani bertindak gegabah karena lawan menang di atas angin berada di tempat
ketinggian. Diperintahkannya juga untuk mematikan obor, kemudian mereka
meninggalkan tempat itu.
Ceng-ci tidak mengejar. Secepat kilat ia lompat ke dalam lobang sambil membawa
ujung tambang yang lain. Sebentar kemudian ia telah naik kembali. Baru saja hendak
menarik ujung tambang yang lain untuk menarik keluar tubuh Kun-eng dan Siau-hong,
mendadak ia berbalik dan kedua tangannya bergerak beberapa kali.
Terdengar suara mengaduh beberapa kali dan beberapa sosok tubuh terguling
menerjang belukar. Rupanya gerombolan itu mengerti kalau Ceng-ci hendak memberipertolongan pada kedua korban di dalam lobang jebakan telah sengaja bersembunyi untuk
membokong. Sayangnya Ceng-ci tak dapat tertipu mentah-mentah, sehingga gerombolan
yang lain jadi ketakutan dan k bur ke atas bukit.
Siau-hong yang sadar lebih dulu merasa girang mendapatkan dirinya dan Kun-eng
selamat berkat pertolongan Ceng-ci.
"Oh, ensoku yang baik,"' katanya, "Kedatanganmu tepat pada waktunya
bagaimana enso bisa mengetahui kalau kami berdua terjebak di sini
Ternyata Ceng-ci menjadi tidak sabar lagi karena tunggangan keledainya hamperhampir tak kuat mendaki jalan. Terpaksa ia menambat keledai itu pada sebatang pohon
dan ia sendiri kemudian menggunakan ilmu ringan tubuh berlari menaiki bukit, menyusul
Kun-eng dan Siau-hong yang dikuatirkan keselamatannya.
Benar saja tiba pada persimpangan jalan ia menemukan bekas-bekas pertempuran,
tapi ia tak melihat kedua kuda Siau-hong dan Kun-eng. Ketika ia bersangsi akan
mengambil jalan arah ke kiri atau kanan, didengarnya suara rintihan dekat sebuah batu
besar. Ternyata seorang begal diantaranya dalam keadaan terluka parah terlupakan oleh
kawan-kawannya dan menggeletak di sana seorang diri.
Dari keterangan begal itu setelah diancam ia mengerti kalau Siau-hong dan Kuneng telah masuk perangkap gerombolan itu. Sedangkan kedua kuda tunggangan mereka
telah dibawa kabur oleh kawanan begal itu.
Begitulah Ceng-ci segera menyusul ke atas bukit dan mengambil jalan di atas
pohon. Tidak menjadi halangan baginya yang sudah terbiasa main-main di atas pohon.
Bagaikan seekor kera ia bergelayutan dari satu dahan ke dahan yang lain sampai ia melihat
cahaya terang di sebuah daratan. Kedatangannya tepat pada waktunya dan seperti telah
dituturkan ia berhasil mencegah kawanan begal itu yang bermaksud menawan Kun-eng
dan Siau-hong.
"Kurang ajar kawanan kurcaci itu!" Maki Siau-hong setelah mendapat keterangan
dari Ceng-ci bahwa kedua kuda mereka telah dibawa kabur, "Mereka lelah berhasil
merampas kedua binatang tunggangan kita berikut semua perbekalan kita. Bagaimana
sekarang? Hayo Kita kejar mereka!"
Akan tetapi Kun-eng tak menyetujui usul Siau-hong itu, "Aku kuatirkan mereka
membuat penjagaan dan persiapan lain macam jebakan. Sukar bagi kita naik ke atas bukit
itu."
Ceng-ci mengusulkan supaya mereka mengalah dulu, karena di samping mereka
Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah lelah tentunya gerombolan itu sudah mengadakan persiapan buat menghadapi
mereka. Ceng-ci mengajak keduanya menuruni bukit untuk kemudian mengatur siasat.
"Malam ini mereka sedang mengadakah pesta," kata Ceng-ci lebih lanjut, "Adalah
sangat tidak menguntungkan bagi kita menerjang mereka yang sedang berkumpul itu
.....Awas!!"Ceng-ci tidak meneruskan kata-katanya, karena ia mendengar suara
bergelindingnya banyak batu-batu gunung ke arah mereka, ia mendahului menyingkir
sambil memperingatkan keduanya.
Dari atas bukit hujan batu bergelindingan menerpa bagian dataran itu. Bagusnya
mereka sempat menyingkir sehingga batu-batu itu tidak sampai melukai mereka. Batu
batu itu masih terus juga berjatuhan dibawah sorak sorai gerombolan di atas bukit.
Dengan demikian Siau-hong terpaksa mengalah dan mengikuti kedua kawannya
menuruni bukit. Sampai pada jalan persimpangan, Siau-hong menanyakan perihal keledai
tunggangannya Ceng-ci.
"Sebaiknya tak usah dihiraukan lagi pada binatang itu yang kuyakin juga sudah
dibawa kabur oleh mereka," ujar Ceng-ci yang jalan lebih dulu mengambil arah sebelah
kiri.
Siau-hong kesal sekali mengingat barang-barang mereka kena rampas, sehingga
tertinggal pakaian yang melekat di tubuh mereka saja. Sepanjang jalan ia memaki seorang
diri tak ada hentinya.
Belum jauh mereka jalan menuruni bukit, tampak seorang penduduk desa tengah
jalan setengah berlari ke arah mereka. Sambil menangis ia nampak kelelahan dalam
melangkahkan kakinya mendaki jalan ke atas bukit itu. Usianya sudah setengah lanjut
dan pakaiannya menunjukkan dirinya termasuk seorang desa yang berada.
Ketika mereka berpapasan, laki-laki setengah baya itu kelihatannya keheranan
sambil berusaha menghapus air mata dengan ujung bajunya.
"Kalian bertiga wanita sungguh bernyali besar sekali," katanya kemudian serava
merandek, "Kalian masih begitu muda berwajah cantik, apa yang kalian cari di sini? Di
atas bermukin kaum berandal yang kejam dan kalau mereka melihat kalian pastilah akan
ditangkap buat dibawa kabur ke atas bukit. Kalau kejadian demikian apa bukan cari
kematian namanya?"
Kun-eng tertawa, "Kami memang bermaksud ke atas sana buat merebut kembali
perbekalan kami yang telah dirampas mereka."
Orang itu kelihatannya terkejut,
"Akh ........sudah beruntung kalau mereka hanya merampas perbekalan kalian saja
.....Kau tahu, anak gadisku justeru hendak dibawa kabur oleh mereka! Kepala begal yang
keempat yang bernama Touw beng telah menaruh hati pada anak gadisku. Ia telah
mengutus anak buahnya lima hari yang lalu dan menetapkan hari ini dan malam ini juga
anak gadisku akan diambilnya sebagai nyonya kepala begal. Kendatipun anak gadisku
tidak sudi dijadikan istri kepala berandal, tapi ia tak dapat berbuat apa-apa selain
menangis sepanjang hari. Itulah sebabnya sekarang aku bermaksud menemui Touw beng
agar pernikahan itu dibatalkan saja dan aku bersedia membayar berapa saja sebagai gantinya .....!"Berkata sampai di sini, ia menangis kembali dengan sedihnya Tiba-tiba Ceng-ci
mendapat akal setelah ia mendengar keterangan orang itu. Baru saja ia hendak
mengutarakan pikirannya, laki-laki itu sudah membuka suara kembali.
"Kami suami istri sudah dua belas tahun lamanya menikah tapi belum dikaruniai
seorang puterapun. Sebagai pedagang keliling kami hidup serba berkecukupan, dan pada
suatu hari di Hoo ciu pada sebuah penginapan kami bertemu dengan seorang anak gadis
yang baik sekali sehingga istriku menjadi sayang kepadanya. Kemudian anak gadis itu
kami beli dari yang memeliharanya dan kami bawa pulang. Sejak itu kami lebih senang di
rumah sambil membuka pertanian. Anak gadis yang ternyata bisa membawa diri telah
kami anggap sebagai anak sendiri. Belum lama kami menikmati kebahagiaan ini, sekarang
ia hendak dirampas orang, bagaimana kami tidak menjadi sedih. Isteriku sampai jatuh
pingsan beberapa kali . . . uh . . . h u . ... hu . . ."
Tercekat hati Siau-hong mendengar keterangan yang terakhir ini. Ia mendahului
mulut Ceng-ci yang sudah hendak bicara itu.
"Siapa nama anak gadismu itu?" Tanya Siau-hong bernapsu.
"Aku she Oey bernama Sam Lim," jawab laki-laki itu menerangkan namanya lebih
dulu sehingga membuat Siau-hong gegetun. Ia sampai menarik baju laki itu.
"Aku tidak menanyakan namamu, tapi siapa nama anak gadismu itu!" Bentaknya
pula.
"Oh, Giok lan!" jawabnya dengan keheranan melihat sikap Siau-hong.
Mendengar nama yang lain, Siau-hong menjadi lemas sendiri dan melepaskan baju
Sam Lim. Kun-eng yang mengerti apa yang dikehendaki oleh Siau-hong tersenyum
sendiri. Ia memang pernah menceritakan perihal Pui eng cia, anak gadis yang "dibelinya"
di Hoo ciu yang kemudian telah dijual kembali kepada orang lain itu.
"Kau jangan kuatir." kata Ceng-ci kemudian kepada Sam Lim, "Aku mendapat
akal buat menolong anak gadismu!"
Sam-lim yang kemudian dapat menerka kalau ketiga wanita bukan orang
sembarangan apalagi dilihatnya mereka membekal senjata, cepat menjatuhkan diri
berlutut di hadapan mereka sambil mengucapkan terima kasih serta menanyakan daya
apa yang akan dilakukan.
"Kalau kami dapat tertolong, sian kouw ........." katanya lebih lanjut, "Aku Oey
Sam lim tidak akan melupakan budi. Kalau dalam penjelmaan sekarang aku tak dapat
membalas budi, biarlah di dalam penjelmaan nanti aku menjadi anjing atau kuda . . . ."
Siau-hong yang semula uring-uringan, melihat sikap dan kata-kata Sam-Lim ia jadi
geli dan tak tertahan lagi ia tertawa ter-bahak-bahak. Karena girangnya Sam-lim telah
merobah bahasa panggilan kepada mereka sebagai dewi-dewi.
"Baiklah, kau boleh bangun!" ujar Ceng-ci sambil memberi isyarat agar Sam-Lim
berdiri kembali, "Aku hendak bertanya di mana kau tinggal?""Kami tinggal tidak jauh dari sini," kaia Sam-Lim sambil menunjuk kesatu arah di
bawah bukit, "Mari kita ke rumshku, puteri dan isteriku tentu akan merasa terhibur
dengan adanya pertolongan dari Siankouw."
Sam-Lim jalan di muka sebagai penunjuk jalan. Sambil berjalan Ceng-ci
menerangkan dengan suara perlahan kepala Siau-hong dan Kun-eng akal apa yang akan
dilakukan menghadapi kaum gerombolan itu. Kun-eng yang sudah lebih dulu menduga
akal tersebut hanya menganggukkan kepala saja.
Berjalan sejauh tidak lebih dari 5 li, mereka tiba di sebuah perkampungan yang
terdiri dari beberapa rumah saja. Pada salah sebuah rumah yang cukup besar, Sam-Lim
membuka pintu pekarangan disambut oleh beberapa ekor anjing yang mengenali
majikannya segera mengibaskan ekornya sambil menjilati kakinya
Mendengar suara menyalaknya anjing, pintu depan rumah kelihatan dibuka dari
dalam dan dua orang wanita yang sebelumnya telah mengintip dari dalam segera keluar
menyambut. Isteri Sam-lim keheranan melihat suaminya datang bersama tiga orang
wanita tak dikenal, akan tetapi tidak demikian dengan Giok-lan. Ia seperti tidak percaya
pada matanya sendiri yang beberapa kali dikucaknya sambil memperhatikan Siau-hong.
Ia maju lebih dulu dan tiba-tiba ia berseru kegirangan.
"Oh . . .! Kau Ci ci?! Ci ci Siau!" Teriak Giok-lan sambil berlari menubruk Siauhong yang juga segera mengenali Eng-cia yang sudah menjadi seorang remaja berusia
kira-kira tujuh belasan, juga merasa terharu bercampur girang menyambut dengan
pelukannya Eng-cia menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Siau-hong yang mengusap
rambutnya dengan rasa sayang.
"Dari semula mendengar keterangan ayah angkatmu, hatiku sudah tercekat kalau
anak gadis yang dimaksud adalah kau adanya," kata Siau-bong. "Kau sudah begini besar
Eng-cia? Tentunya ayah angkatmu yang memberi nama baru sebagai Giok-lan, bukan?"
Sam-lim dan istrinya, begitu juga Ceng-ci merasa heran menyaksikan adegan ini.
Tapi sebelum mereka bertanya, Siau-hong menerangkan bagaimana ia mengenal Eng-cia
yang sudah dibelinya dari Phoa-ji. Kemudian tertipu oleh Phoa-ji yang ternyata telah
berlaku nakal disaat ia dan Jin bong menitipkan Eng-cia pada sebuah rumah penginapan.
Eng-cia telah 'dijualnya' kembali kepada orang lain. Ternyata Sam-lim dan istrinya telah
mengangkat Eng-cia sebagai anak sendiri dan mengganti namanya dengan Giok-lan.
Mengerti duduk persoalannya, sambil tertawa ia memberi selamat pada Siau-hong
serta memperingatkan agar kegembiraan itu sebaiknya ditunda dulu karena waktu sudah
sangat mendesak guna mengatur siasat mereka.
Sam-lim dan istrinya segera mengajak tamunya masuk ke dalam. Di dalam Cengci menerangkan bagaimana akalnya itu. "Kalau sebentar lagi mereka menjemput
pengantin perempuan, kami bertiga yang akan naik ke bukit sana. Salah seorang diantara
kami akan menggantikan Giok-lan sebagai pengantin dan yang dua sebagai pengantarnya.
Di sana kita akan labrak mereka!"
"Siapa yang akan menyamar sebagai Giok-lan?" Tanya Siau-hong sambil tertawa,
"Ia akan naik di atas joli dan digotong ke atas Hok-bouw-nia."Sam-lim dan istrinya segera mempersiapkan segala sesuatunya sebagaimana
kebiasaan di rumah orang yang mengadakan perayaan pernikahan anak gadisnya.
Pelayannya menjadi sibuk sekali menghias rumah dan memasang kain merah di muka
pintu.
"Siapa lagi kalau bukan kau, adikku?" jawab Kun-eng kemudian, "Kami berdua
pernah menjadi pengantin baru, bukan?"
"Cis!" Desis Siau-hong membuang ludah.
"Siapa yang kesudian bertekuk lutut bersama menghadapi meja sembahyang?"
Wajah Siau-hong jadi merah padam digoda oleh kedua ensonya itu, tapi ia tidak
menolak ketika pelayan meriasi dirinya.
"Mengapa kau tidak mau mengatakan akan tinggal bersama si begal dalam sebuah
kamar?" Ceng-ci masih juga turut menggodanya "Jangan pendek pikiran, adikku. Begitu
kita sampai di atas bukit, tak usah sampai masuk ke dalam kamar ataupun
bersembahyang, kita tidak boleh memberi kesempatan!"
Tak lama kemudian meja perjamuan telah tersedia, Sam-lim dan istrinya segera
mengundang mereka berdahar. Tanpa malu lagi ketiganya segera duduk di hadapan meja
ditemani oleh tuan rumah serta Giok-lan yang tak pernah melepaskan diri di samping
Siau-hong.
Selesai makan Kun-eng dan Ceng-ci minta sebuah kamar dimana keduanya
bermaksud merias diri untuk menyamar. Dimintanya juga sepasang pakaian model untuk
orang tua.
Wajah mereka yang putih bersih diberi pupur dicampur sedikit abu serta tempelan
yanci yang tidak rata. Sedangkan bibir dibuat begitu merah, dan memakai anting model
orang kampung. Selesai berdandan keduanya keluar kamar sambil senyum di hadapan
Siau-hong, yang menjadi tertawa terpingkal-pingkal melihat cara kedua ensonya
berdandan itu. Saking gelinya, Siau-hong sampai menekan perutnya yang dirasa mulas.
Sedangkan Siau-hong sendiri telah rampung dirias yang oleh pelayan dibuat sedapat
mungkin mirip dengan wajah Giok-lan. Kebetulan juga bentuk tubuhnya tidak jauh
berbeda.
Ketika mereka saling berguyon, tiba-tiba terdengar suara ribut di luar rumah yang
sudah dihias dengan lampu-lampu sehingga terang benderang. Terdengar suara Sam-lim
yang memaki seseorang.
Ternyata Sam-lim tengah bertengkar dengan seorang paderi pengemis yang
berpakaian kotor sekali. Rambutnya yang panjang tak teratur beriap di belakang
punggungnya. Wajahnya tirus tapi memiliki sinar mata tajam, sedangkan tubuhnya yang
kurus membuat ia kelihatan kecil. Apalagi kakinya yang sebelah mengenakan kasut
rumput, tapi yang sebelah lagi tanpa alas. Tangan kanan memegangi batok kelapa yang
diangsurkan ke muka Sam-lim, sedangkan tangannya yang lain memegang sebuah tongkat
kayu.Sam-lim kelihatannya gusar sekali dan tangannya beberapa kali bergerak memberi
isyarat agar paderi pengemis itu cepat berlalu.
"Sabar Loo jin kee," kata Ceng-ci sambil memperhatikan pada pengemis itu.
"Tidak ada harganya ribut dengan orang macam begini. Beri saja dia uang beberapa ci
dan suruh dia pergi....eh....."
Sementara Ceng-ci bicara paderi pengemas itu nampak mengawasinya dengan
tajam. Begitu juga ketika Siau-hong dan Kun-eng keluar, ia kelihatan tersenyum sambil
menganggukkan kepalanya.
Tiba-tiba saja Ceng-ci merasakan hatinya berdebar. Ia seperti pernah berjumpa
dengan wajah pengemis kotor ini, tapi entah dimana. Begitu juga perasaan Siau-hong dan
Kun-eng. Apa lagi Siau-hong sampai memerlukan diri mendekat ke arah pengemis itu.
Akan tetapi paderi pengemis itu undurkan diri beberapa langkah
Sam-lim berpaling ke arah Ceng-ci yang sudah dalam penyamaran seperti badut
itu, ia tak dapat menahan rasa ingin tertawanya
"Sian kouw.." suara Sam-lim tertahan begitu Ceng-ci mengerdipkan mata. ".. b....
kau babu! Kau lihat saja paderi pengemis yang kurang ajar ini sudah kuberi uang dan nasi
dengan lauk pauknya beberapa mangkok, tapi ia masih minta tiga kati arak pengantin
baru. Coba saja kau pikir, kita sendiri hanya mempunyai lima kati. Bagaimana buat
keperluan kita sendiri?"
"Oh, hanya persoalan anak saya," kata Ceng-ci kemudian setelah dapat
menetapkan hatinya karena tak mungkin orang yang seperti pernah dikenalnya ini begini
kurus, "Biarlah kita berikan saja. Tapi mintanya tiga kati sedangkan tempatnya hanya
sebuah batok kelapa mana bisa muat?"
Pengemis itu kembali tersenyum. Sekali ini Kun-eng yang hatinva juga tergetar. Ia
seperti biasa melihat senyuman jenaka itu. Tapi kalau benar orang itu menyamar mana
mungkin ia sedemikian kurusnya? Tapi selain senyumnya yang mirip, sinar matanya yang
tajam itu sama benar seperti yang dimiliki oleh Jin-hong, suaminya. Ceng-ci dan Kun-eng
saling berpandangan.
"Kau seperti pernah kukenal, sobat pengemis," akhirnya Siau-hong bersuara juga.
Akan tetapi pengemis ini menggelengkan kepala seraya berpaling, sedangkan tangannya
bergerak membuka bajunya bagian atas dan mengeluarkan semacam kantong kulit yang
diberikannya kepada Ceng-ci.
"Eh, ini kukira cukup buat menampung tiga kati arak." kata pengemis itu pula,
"Sian-kouw eh .. babu, terima kasih atas kebaikan hatimu . . . he he . . ."
Selagi pengemis itu tertawa, orang dapat melihat giginya yang putih dan bersih.
Ketika pengemis tadi membuka bajunya bagian atas Siau-hong yang berdiri dekat
pengemis itu dapat melihat dadanya yang berkulit bersih dan tumbuh sedikit rambut.
Giginya yang bersih dan dadanya yang nampak tidak berdebu sangat bertentangan dengan
keadaan luarnya yang kotor. Tanda-tanda ini mirip seperti Jin-hong."Bukankah kau, koko?" Tanpa sadar Siau-hong menegur sambil lebih mendekat.
Akan tetapi pengemis itu kembali menjauh, bahkan menghampiri Giok-lan yang menjadi
ketakutan.
"He . . . he . . . he . . . senang juga kau panggil aku koko. nona ... eh . . pengantin
baru," ujar pengemis itu dengan lagak seperti orang kurang waras, "Kedatanganku kemari
justru buat ikut minum arak keselamatan pengantin. Ei..kau sudah besar..anak . . . he . . .
he . . . he . . dan cantik juga . . ."
Kata-katanya yang terakhir ditujukan kepada Giok-lan dan ujung tongkatnya
tanpa dapat dikelit oleh gadis itu telah mengusap bagian rambutnya. Melihat tingkah ini
akhirnya Siau-hong jadi gusar.
"Hai, jangan berlaku kurang ajar di sini!" Bentaknya seraya lompat dengan
maksud mendupak pengemis itu, yang menjadi ketakutan dan cepat melarikan diri ke
muka pintu pekarangan.
Sementara itu Ceng-ci yang tadi masuk ke dalam buat mengisi kantong kulit itu
dengan arak yang sengaja di campurkannya dengan air, keluar sambil menjinjing kantong
itu yang segera dilemparkan ke arah si pengemis.
"Melihatku kau teringat kepada kokomu. Apa salahnya aku kalau melihat gadis
manis itu jadi teringat pada adik angkatku yang lima tahun yang lalu sudah menghilang?
. . . eh . . . hupp! ..."
Sementara Ceng-ci melemparkan kantong kulit.yang penuh berisikan arak itu, si
pengemis masih sempat berkata-kata. Kantong itu tidak diikat pada bagian kepalanya.
Apabila si pengemis tak dapat menerimanya atau tidak tepat memegangnya, sudah dapat
dipastikan isinya akan berhamburan.
Namun bagi si pengemis "permainan" ini ditanggapinya dengan gembira sekali.
Ujung tongkatnya menyanggah bagian bawah kantong dan sedikit mendorong ke atas.
Dengan demikian ia berhasil membuat bagian atas kantong yang seperti kepala botol itu
menukik ke bawah dengan araknya mengucur dan tepat jatuh di mulutnya yang terbuka
lebar-lebar.
Semuanya menjadi tercengang. Tiba-tiba pengemis itu berseru sambil membuang
arak yang berada dalam mulutnya. Tongkatnya bergerak perlahan dan kantong kulit itu
tepat jatuh di atas tangan kanannya yang dicekalnya pada bagian kepalanya. Ia
mengendus beberapa kali, lantas ia mendengus seraya menggoyangkannya berulang.
Cairan dari dalam kantong jadi berhamburan jatuh ke tanah.
"Mengapa kau buang arak itu?' Tanya Ceng-ci pura-pura marah, tapi dalam
hatinya ia merasa kagum pada tenaga dalam si pengemis yang ternyata memiliki ilmu luar
biasa sehingga dapat menguasai gerak kantong itu, "Kalau begitu percuma saja dermaan
arakku itu!"
"Aku memang seorang paderi pengemis yang miskin, tapi hidungku masih cukup
kaya dengan indera penciumannya." ujar pengemis luar biasa ini, "Aku dapat
membedakan bau air dan arak. Nah, boleh kau endus yang terbuang ke tanah itu berbau
arak atau air!"Setelah berkata begitu iapun berlalu tanpa berpaling lagi.
Siau-hong berjongkok sambil mengendus ke bagian tanah yang basah. Ia tidak
mengendus bau arak, tapi berbau air. Ia terkejut seraya memperhatikan ke arah jalan
dimana pengemis tadi berlalu. Tapi pengemis tadi sudah tak kelihatan lagi bayangannya.
Sementara itu terdengar suara tambur dan gembreng yang datangnya dari arah atas
bukit. Kun-eng memerintahkan supaya Giok lan cepat bersembunyi. Semuanya mengerti
kalau rombongan penjemput pengantin sudah akan tiba. Sekali lagi Sam-lim dan istrinya
berpesan agar ketiga penolongnya itu berlaku hati-hati dan mengharap agar pekerjaannya
tidak sampai gagal.
"Kau tidak usah kualir, tenangkan diri saja!" Kata Ceng ci sambil tertawa.
Tak lama kemudian rombongan begal itu telah tiba di muka rumah. Beberapa
puluh diantaranya memegang lampu tengloleng mengiringi joli yang terias bagus yang
digotong oleb empat orang di muka dan empat orang di belakang. Yang memegang alat
tetabuhan masih terus juga memukul alat musiknya. Seorang diantaranya segera tampil
ke muka sambil berteriak.
"Oey Cinkee, lekas keluarkan pengantinnya untuk dinaikkan ke atas joli!"
Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sam-lim kelihatan menjadi gugup sehingga gerak geriknya menjadi sibuk sekali. Ia
berada dalam kegugupan dan pura-pura sehingga iapun berulang-ulang berteriak-teriak
dengan kata-kata yang kurang jelas.
"Lekas! Lekas!..... Naik!"
Kun-eng kemudian memimpin Siau-hong diiringi oleh Ceng-ci buat membantunya
naik ke atas joii. Begitu si pengantin telah duduk di tempatnya, joli segera diangkat dengan
kaget.
"Perlahan!" Bentak Ceng-ci, "Jangan membikin kaget nona pengantin!"
Pemimpin rombongan itu menganggukkan kepala sambil tertawa. Sam-lim
menunjuk ke arah Ceng-ci dan Kun-eng, menerangkan pada pemimpin rombongan
penjemput pengantin bahwa keduanya adalah pengasuh dan pelayan sang pengantin agar
diperlakukan dengan baik. Kembali si pemimpin menganggukkan kepalanya dan dengan
tergesa-gesa ia membalikkan badan memburu rombongan pengangkut joli yang sudah
jalan lebih dulu.
Sebentar kemudian rombongan ini telah tiba di kaki bukit, Siau-hong di sepanjang
jalan sebentar-sebentar memperdengarkan suara tangis pura-puranya, sehingga
rombongan ini tidak curiga kalau mereka sebenarnya sedang menggiring serigala ke
sarang mereka.
Pada jalan mendaki setelah sedikit melewati persimpangan jalan, Ceng-ci melihat
si pengemis yang memegang tongkat dan batok kelapa berdiri di tepi jalan. Ia tertawa
kepadanya."Babu, nona asuhanmu dinikahkan dengan kepala penguasa bukit ini sungguh
cocok sekali!" katanya dengan suara jenaka, "Cuma aku kuatirkan kalau rejeki sang
penguasa bahkan menjadi suram ... he... he........ he"
"Hai, paderi pengemis bau," bentak seorang begal diantaranya seraya mengayun
cambuk ke arah pengemis itu. "Lekas menggelinding pergi, jangan ngaco di sini!"
Pengemas itu hanya menggeser kakinya sedikit dan ujung cambuk hanya memukul
angin kosong. "Ha...ha.he he Kalau di rumah pengantin perempuan aku memperoleh
suguhan arak kegembiraan, mustahil tee-cu kalian tidak akan menyuguhi aku?"
Beberapa begal segera turun tangan mengusir sipengemis yang menjadi ketakutan
dan lari tertatih-tatih ke bawah bukit.
"Akh, pengemis itu benar-benar sudah gila," kata Ceng-ci sambil tertawa "Pada
kawanan begal ia masih berani juga buat mengemis, pantas saja ia menerima ganjaran
dicambuk sekalipun!"
Segera juga mereka telah tiba di pesanggerahan gerombolan Hok houw nia itu yang
telah dihias dengan kain merah serta keadaannya terang benderang dengan lampu-lampu
hiasan. Rombongan disambut dengan tampik sorak terutama dari anak buahnya sutaunia
Touw-beng.
Touw-beng dengan pakaiannya yang mentereng tampil ke muka dengan paras
berseri-seri, ia mengulurkan lehernya melalui jendela joli bermaksud melihat si pengantin
yang dirindukannya. Baru saja tangannya bergerak hendak membuka kain penutup wajah
pengantin, Kun-eng telah mencegahnya sambil menggawil lengan Touw-beng yang
menjadi terkejut.
"Heh, kalau belum sembahyang belum diperbolehkan membuka cadar pengantin!"
Kata Kun-eng dan tak terasa ia telah mengerahkan sedikit tenaga dalamnya.
Touw-beng menurut sambil menyengir dan sejenak ia mengawasi Kun-eng, tibatiba ia tertawa sendiri, ia lupa atas keterketannya tadi terkena sentuh tenaga dalam Kuneng, begitu melihat riasan wajah Kun-eng yang babeool itu. Ia merasa geli di dalam hati.
Ia tertawa gembira ketika joli diturunkan dan si pengantin keluar dari joli diiringi
oleh kedua pengasuh atau pelayan itu. Touw-beng maju hendak menggandeng si
pengantin, tapi segera dicegah Ceng-ci, "Tee-cu ya harap jangan bertindak semberono
sehingga mengagetkan nonaku!"
Diam-diam Siau-hong mengintip dari balik cadarnya, diantara tamu-tamu itu
tampak seorang laki-laki tinggi besar yang tak lain adalah Hui bian tian-liong itu.
Bungkusan panjangnya masih tetap melekat di belakang punggungnya.
Hui bian duduk di samping Li-cin yang sedang menerima laporan dari kepala
rombongan yang menceritakan pula perihal perjumpaan mereka dengan seorang paderi
pengemis.Kun-eng dan Ceng-ci yang mengiringi Siau-hong menuju ke meja sembahyang
melihat dengan jelas betapa Hui bian terkejut mendengar perihal paderi pengemis itu ia
sampai berdiri dan bertanya sendiri pada kepala rombongan itu.
"Apakah ia membawa sebuah tongkat panjang dengan sebelah tangannya yang
lain memegang batok kelapa?" Tanyanya bernapsu sekali. Atas pertanyaan ini si kepala
rombongan membenarkan.
"Ada apa Hui-bian Toako?" Tanya Li-cin kemudian, "Jangan kuatir! Kalau kau
memang bermusuhan dengan paderi itu, kami siap membantu Toako apabila ia berani
menyateroni kemari."
"Ia meminta semacam barang padaku. Kami pernah pula bertarung dan ia lihai
sekali, ia sengaja mencariku di Ceng-ciu, dan hanya dengan suatu daya saja aku berhasil
melarikan diri dan sekalian kemari tak disangka kalau ia mengendus juga kedatanganku
kemari."
"Barang apakah kiranya sampai begitu berharga Toako mempertahankannya matimatian?" Tanya Li cin ingin tahu.
"Toh hoa kiam!" Kata Hui-bian dengan bangga, "Aku membelinya dengan sah
dari seorang yang bernama Lo cit. Sayang yang kumiliki ini yang betina, sedangkan yang
jantan sudah dijualnya pada seorang pendeta yang tidak diberikannya kepadaku."
Semuanya yang mendengar keterangan Hui bian menjadi kagum dan meminta
agar ia memperlihatkan pedang yang terkenal itu. Hui-bian tidak keberatan, diambilnya
bungkusan di belakang punggungnya. Setelah bungkusan dibuka dan pedang yang
beronce benang perak itu dikeluarkan dari sarungnya segera menerbitkan sinar terang dan
hawa hangat di sekitarnya.
Li-cin, Kong-ciauw, To-hin, Mo-tiong, Thian-lok dan Hong-cu segera mengangkat
cawan araknya memberi selamat kepada Hui bian tian liong yang berhasil memiliki Toh
hoa kiam yang termashur itu biarpun yang betina.
Kun-eng coba menahan rasa gusarnya, bahkan ia mengajak Ceng-ci mempercepat
langkah mereka meninggalkan Touw-beng serta pengiringnya jadi tergesa-gesa menyusul.
Mereka merasa heran kalau sang pengantin dan kedua pengiringnya dapat berjalan begitu
cepat.
Ketika Touw-beng hampir menyusul mereka, tiba-tiba Siau-hong berbalik. Sebuah
sinar nampak berkelebat dan Touw-beng tak sempat lagi berkelit dan hampir tanpa suara
lagi kepalanya segera saja terpisah terbabat putus oleh pedang Siau-hong yang dicabutnya
dari balik baju pengantinnya itu.
Darah menyembur keluar bagaikan air pancuran dari batang leher Touw-beng
yang telah terpisah dari kepalanya itu. Ketika orang-orang yang tak mengira terjadinya
kejadian ini masih termangu-mangu, Kun-eng dan kedua kawannya telah melemparkan
pakaian penyamarannya.Kun eng lompat ke arah Hui-bian dan langsung memberikan tusukan pedangnya
ke bagian dada orang. Menyadari datangnya bahaya, Li-cin yang terlebih dahulu berteriak
sambil mengangkat toyanya yang digunakan untuk menahan badan Kun-eng
"Pemberontak! Kita tertipu! Anak anak siap ..!"
Sebenar kemudian keadaan menjadi kalang kabut. Perhatian Kun-eng lebih terarah
kepada Hui-bian dan bermaksud merampas Toh-hoa-kiam. Tapi ia pun telah melihat
gerakan Li-cin dengan toyanya mengarah perutnya. Dalam keadaan terdesak, sedangkan
Hui-bian sendiri menggunakan Toh hoa kiam menangkis pedang Kun-eng, terpaksa Kuneng menerima toya Li-cin dengan tangan kirinya seraya mendorongnya.
"Tring! Aduhhh ...!"
Pedang Kun-eng terpapas, sedangkan suara mengaduh datangnva dari mulus Li
cin yang segera menyemburkan darah segar. Ujung toyanya sendiri telah terdorong
sedemikian keras tepat mengenai ulu hatinya, menyebabkan Li-cin terluka dalam. Segera
ia roboh pingsan.
Ceng-ci yang sudah menyediakan senjatanya berupa cambuk lemas Hong hwee
pian, bersama Siau-hong dengan pedangnya juga sudah mulai bergerak menghadapi Motiong dan Kong-ciauw. Ternyata keduanya terlampau ringan bagi Ceng-ci dan Siau-hong.
Dalam segebrakan saja pada saat Mo-tiong bermaksud menghantam kepala Siauhong dengan ruyung besarnya, si nona pengantin tubuhnya meletik dan pedangnya sendiri
segera bekerja menebas kepala si muka hitam dari atas. Mo-tiong mengalami nasib serupa
seperti Touw-beng.
Lebih cepat lagi gerak Ceng-ci yang tidak menunggu dirinya diserang, cambuknya
yang terlebih dulu melilit lengan Kong-ciau yang memegang golok. Kemudian ia
menyentak keras sehingga tubuh lawannya terangkat tinggi, lalu di hempaskannya
membentur dinding dengan keras. Kong-ciau roboh dengan kepala rengat untuk tak
berkutik lagi.
Kawanan begal itu yang melihat tiga orang pemimpinnya telah roboh dalam waktu
singkat menjadi jeri sendiri, mereka hanya mengambil sikap mengurung sambil berteriakteriak.
Tapi nasib sial menimpa Kun-eng yang kini terpaksa melayani Hui-bian hanya
bertangan kosong. Ia tidak mengira kalau Hui-bian yang bertubuh tinggi besar dapat
bergerak gesit, ia menjadi keripuhan berkelit kesana kemari menghindarkan diri dari
serangan pedang Toh-hoa-kiam. Matanya menjadi kesilauan dan tubuhnya mengucurkan
keringat deras karena hawa yang dari sinar pedang itu luar biasa panasnya.
Melihat keadaan Kun-eng yang sedang terdesak itu, Ceng-ci meraup senjata
rahasianya berupa jarum-jarum beracun yang segera disebarkan ke arah kawanan begal
itu. Suara mengaduh bersahut-sahutan, dengan begitu ia berhasil membuka jalan dan
bersama Siau-hong melompat ke arah Kun-eng untuk membantunya.
"Mundur, toako!" Teriak To-hin kepada Hui-bian. Hui-bian yang sudah menang
di atas angin, dengan pedang Toh-hoa-kiamnya ia tidak merasa jeri biarpun menghadapiketiga wanita itu, tapi ia menurut juga pada seruan itu, dan ia segera lompat keluar dari
gelanggang.
Pada saat ketiganya merasa keheranan mengapa Hui-bian menghindarkan diri,
mereka terkejut karena merasa lantai tempat berpijak bergerak turun. Ketiganya amblas
tanpa dapat melompat menyingkir. Tapi Ceng-ci masih berusaha mengayunkan
cambuknya pada sebuah tiang ketika lantai sudah bergerak akan tertutup.
Usahanya menjadi sia-sia, karena Hui-bian membabat putus cambuknya. Dengan
senjata biasa senjata Hong-bwee pian yang terbuat dari baja lemas tak pernah terpapaskan.
Dengan begitu Ceng-ci sendiri terjatuh kembali menyusul Kun-eng dan Siau-hong.
Ternyata lobangnya tidak terlampau dalam dan mereka masih dapat mendengar suara
ramai di atas.
"Jangan membuang waktu lagi, lepaskan asap beracun!"
"Mereka memiliki tenaga dalam yang ampuh, hayo tunggu apa lagi!"
"Jangan kuatir, lapisan lantai di bawah ini terbuat dari baja!"
Biarpun mengetahui kalau lapisan di atasnya terbuat dari baja, Ceng-ci berusaha
lompat ke atas dengan kedua telapak tangan menekan keras.
"Prang! Brak ....!"
Berulang-ulang ketiganya saling melompat, tapi usaha mereka sia-sia belaka. Pada
saat mana dari lobang-lobang kecil yang terdapat pada dinding, keluar asap yang berbau
tidak enak.
"Cepat tahan napas!...." seru Ceng-ci yang lebih dulu mengendus bau ini.
Ketiganya segera duduk bersemadi dan menahan napasnya. Sebentar kemudian ruangan
di bawah tanah itu telah penuh dengan asap.
Mana mungkin mereka dapat menahan napas begitu lama? Satu persatu dimulai
dengan Siau-hong ketiganya sudah jatuh pingsan. Dengan demikian ketiganya telah
menjadi tawanan yang teringkus ketat.
Ketika mereka sadar kembali mendapatkan dirinya terikat dengan rantai bagaikan
lepat pada tiang dan di hadapan mereka sebuah meja sembahyang dan tiga buah peti mati.
Kawanan begal itu kelihatannya berduka sekali.
"Kita telah tertipu mentah-mentah sehingga mesti mengorbankan tiga orang
pemimpin kita," Li-cin, yang ternyata tidak sampai terluka parah oleh Kun-eng itu,
membuka suara dengan keras, "Aku akan berangkat sekarang juga buat meringkus orang
she Oey guna diambil jantungnya buat persembahan Beng-toako. Keluarganya beserta
seisi rumahnya akan kubumi ratakan! Nah, sekalian toako di sini boleh melangsungkan
upacara sembahyang dan mempersembahkan ketiga jantung bangsat betina ini tanpa
menunggu lagi.''
Selesai berkata ia cepat berlalu dengan mengajak belasan anak buahnya.
Sebelumnya sempat juga ia memaki dan meludahi wajah ketiga tawanan itu. Siau-hongdan kedua kawannya tak dapat berbuat apa-apa, hanya dapat menerima nasib sambil
mendelikkan mata.
Kemudian dengan suara garang To-hin tampil ke depan tawanan dan menunjuk
kepada Siau-hong, "Bangsat betina ini yang membunuh Beng Hiantee! Mestinya ialah
orang pertama yang dicongkel jantungnya sebagai korban sembahyang kita, tapi kalau
diijinkan aku bersedia menyiksanya lebih dulu dengan caraku sendiri! .... ha . ... ha ha
......"
Penutup kata-katanya To-hin tertawa terbahak-bahak seraya dengan ceriwisnya ia
mengusap pipi Siau-hong yang cepat membuang ludah ke muka To-hin. Sambil tetap
tertawa To-hin menampar pipi yang halus itu sehingga meninggalkan bekas memerah.
Tindakannya lebih lanjut menarik baju si gadis sehingga dadanya yang putih bersih
terbuka lebar. Kawanan begal bersorak-sorak mendukung permintaan To-hin, yang
kemudian memandang kepada Cee-hong-cu meminta keputusan pemimpin ini.
Ceng-hong-cu adalah seorang wanita dan ia adalah istrinya Lim-kong-cau yang
terbunuh oleh Ceng-ci. Selain berduka ia gusar sekali, tanpa pikir panjang ia
menganggukkan kepala.
"Kalau memang diijinkan, aku juga mengajukan diri untuk meramaikan pesta kita
ini!" Seru Hui-bian sambil menunjuk dengan pedangnya ke arah Kun-eng. "Ia telah
berlaku kurang ajar padaku, aku bersedia mempermainkannya .... ba .... ha ...."
Kembali tampik sorak kaum berandal menggema dalam ruangan itu memberikan
dukungannya.
"Untuk melampiaskan sakit hati Kong-cau Toako yaag terbunuh oleh paderi
celaka ini, aku akan menanganinya sendiri!" Seru pula Thian-lok, "Terlalu enak bagi
mereka dibunuh tanpa diberi rasa! Sekalian kita membuktikan apakah paderi ini masih
gadis atau janda! .... ha .... ba ..... ha . . . ."
To-hin telah membuka bajunya dan sambil cengar-cengir ia menghampiri Siauhong.
"Cepat kalian bunuh kami bertiga!" Bentak Siau-hong dengan sengit, dan ia
berusaha memberontak dengan sia-sia. Belenggu itu terlalu kuat baginya, dan ketiganya
jadi berduka karena mengerti apa yang akan diperbuat mereka itu.
Percuma saja bagi Siau-hong yang terus menerus memaki-maki To-hin yang sudah
tak bersabar lagi bermaksud merobekkan bagian celananya. Tak terasa ia menangis sambil
bermohon doa. Ia merasa sedih dirinya jadi bahan permainan orang sebelum menemui
ajal. la lebih mau mati tersiksa dari pada terhina begitu rupa.
Begitu juga dengan Kun-eng dan Ceng-ci yang masing-masing tengah menghadapi
tingkah Hui bian dan Thian-lok yang masing-masing juga telah membuka baju luar
mereka. Kun-eng memaki-maki Hong-cu yang dikatakan tidak memandang mata pada
ayahnya yang telah mengikat persahabatan dengan kepala begal itu. Ceng-ci berusaha
menyadarkan mereka dengan ajaran-ajaran agama. Tapi semuanya ini tak dihiraukan
mereka. Sedangkan Cee hong-cu hanya tersenyum ewa. Bahkan ia sendiri yang
memerintahkan Hui-bian agar segera bertindak.Segera pedang Toh-hoa-kiam berkelebat tidak sampai menyentuh kulit tubuh Kuneng, tapi baju atasnya segera terbelah dan terlepas sama sekali. Para begal bersiul-siul dan
memberikan sorakan ketika kulit pada bagian dada Kun-eng yang putih meletak itu
terlihat jelas.
Namun tampik sorak itu tiba-tiba terhenti sendiri, karena suatu peristiwa gaib telah
terjadi. Tiba-tiba saja pedang yang dipegang oleh Hui-bian memperdengarkan suara kesiur
kencang dan bergerak sendiri melepaskan diri dari genggaman Hui-bian.
Hui-bian terkejut dan rasa kagetnya belum hilang disusul dengan teriakan
kesakitannya dan tubuhnya menyusul roboh mandi darah. Toh-hoa-kiam runce perak
meminta nyawa tuannya sendiri telah menikam menembus dadanya sampai ke belakang.
Pada saat yang bersamaan nasib yang sama dialami oleh To-hin dan Thian-lok.
Seberkas sinar bersorot keemasan bergerak gesit, menghalangi dengan serentak lengan Tohin dan Thian-lok yang susul menyusul berteriak kesakitan pada saat mereka hendak
melepaskan pakaian Kun-eng dan Ceng-ci. Lengan mereka masing-masing terpapas
putus!
Peristiwa-peristiwa itu terjadi begitu cepat disusul kemudian dengan suara
bergelutuknya beberapa benda bulat yang ketika diperhatikan ternyata berupa puluhan
kepala tanpa badan dari Li-cin dan anak buahnya yang dilempar dari luar!
"Kebakaran! Ke.bakaran!. . . Api. api! . . ." Kemudian disusul seruan-seruan di
luar pesanggerahan, ternyata tempat itu telah terkurung api yang cahayanya menembus
ke dalam ruangan. Semua orang menjadi panik Cee hong-cu yang tidak kurang
terkejutnya mengerti datangnya bahaya dan ia menduga semuanya ini perbuatan si paderi
pengemis seperti yang dikatakan dan dikuatirkan oleh Hui-bian itu. Ia tidak sempat
memerintahkan sesuatu kepada anak buahnya yang berlarian keluar itu ketika sebuah
bayangan berkelebat dari arah pintu gerbang melalui kepala orang-orang yang serabutan
itu. "Toh-hoa-kiam hanya boleh dipergunakan kepada hal yang baik saja, dan ia akan
merupakan senjata pemakan tuannya kalau digunakan untuk kejahatan!" Seru bayangan
yang telah berdiri dengan tenang di dekat tiang-tiang di mana ketiga wanita itu
terbelenggu, ternyata si paderi pengemis yang memegangi sebuah tongkat panjang.
"Kini sepasang Toh-hoa kiam telah berkumpul kembali, kemari!!" Seru pengemis
itu sambil menjulurkan kedua tangannya ke arah sinar perak dan emas yang masih
berputar-putar di dalam ruangan itu. Tongkatnya dilempar ke lantai. Bagai memiliki
telinga kedua sinar itu setelah berputar-putar beberapa kali kemudian terbang ke arah si
pengemis. Kedua pedang itu segera tergenggam dalam kedua tangannya!
Kun-eng dan kedua kawannya melihat pertolongan yang datang seperti turun dari
langit ini jadi melengak dan dengan penuh rasa syukur, dengan cepat mereka menutup
tubuh dengan jubah yang diberikan oleh si pengemis setelah mereka dibebaskan dari
belengguannya. Hanya dalam sekejap mata saja sipengemis telah merontokkan belenggu
ketiganya dengan menggunakan pedang Toh hoa-kiam yang luar biasa tajamnya itu.
"Kalian cepat keluar dari tempat ini yang sebentar lagi menjadi lautan api,
Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serahkan kaum begal ini padaku!" Si pengemis berteriak memerintahkan ketiganya agarberlalu dari tempat itu yang sudah terkurung api, sedangkan ia sendiri telah memainkan
sepasang pedang Toh-hoa-kiam menghadapi Cee-hong-cu, To-hin dan Thian-lok yang
dengan nekad telah datang menyerang.
To-hin dan Thian-lok tanpa memperdulikan masing-masing lengannya yang putus
dan bercucuran darah segera berseru mengajak anak buahnya menyerbu kepada musuh.
"Kau tak salah lagi adalah koko!" Siau-hong berseru dengan gembira ke arah si
pengemis yang diduganya dengan pasti adalah Jin-hong sedang menyamar itu, apalagi
setelah ia mengenali cara bergeraknya si pengemis menggunakan Toh-hoa-kiam itu.
Sementara itu kaum begal yang tadi berlarian keluar telah kembali masuk, karena
sudah tak ada jalan keluar bagi mereka yang sudah terkurung api. Kun-eng dan kedua
kawannya menyambut mereka dan setelah berhasil merebut senjata mereka, sebentar
kemudian teriakan-teriakan mengaduh terdengar susul menyusul. Mereka yang tengah
panik dan memikirkan keselamatan jiwa tak dapat membendung amukan ketiga wanita
itu. Yang paling bengis adalah Siau-hong, dengan bersenjata sebuah golok besar yang
dirampasnya itu beberapa begal telah dicabut nyawanya. Sedikitpun ia tidak memberi hati
lagi.
Kalau si nona mengamuk tanpa kenal daratan, tidak demikian dengan Kun-eng
dan Ceng-ci, sambil bertempur mata keduanya sebentar-sebentar melirik ke arah si paderi
pengemis yang dengan lincahnya melawan si begal wanita Cee-hong-cu yang dibantu oleh
To-hin dan Thian-lok.
"Padi mulanya kunjunganku kemari karena ada urusan dengan Hui-bian-thianliong saja," si paderi pengemis masih sempat berbicara, "tapi setelah melihat kebuasan
kalian apa boleh buat komplotan ini memang harus dimusnahkan sampai ke akarakarnya. Jangan katakan aku berlaku telengas! hiyaaaa . ........"
Terdengar suara keretak gigi yang keluar dari mulut si pengemis.
"Aiyaaaaa!....."
To-hin yang pertama berseru tertahan dan tubuhnya terbelah menjadi dua potong!
Kemudian terdengar rintihan-rintihan menyusul suara berkerotaknya kayu yang termakan
api dan roboh menimpa puluhan begal di bawahnya. Siau-hong dan kedua kawannya
sempat lompat menyingkir menghindar dari hujan balok dan kayu yang roboh termakan
api. Diantara cahaya api yang terang benderang itu, terlihat jelas wajah si pengemis
yang terbayang seperti memakai kedok terbuat dari kulit halus, tak salah lagi ia adalah
Cin-jin-hong! Apalagi suaranya yang pada pertemuan semula sengaja dirobah, kini disaat
ia berkata-kata dengan suaranya yang asli.
Kun-eng teringat pada keterangan seorang bocah nelayan di dekat kelenteng Kimsan si yang menyanyikan sebuah syair seakan semacam pesann itu. Bukit Hok-hou-san
letaknya tepat arah Timur dan Kim san-si ternyata si tosu muda seperti keterangan si
bocah itu adalah Cin jin-hong sendiri yang dengan bantuan seorang nelayan tua yangtentunya juga bukan orang sembarangan telah berhasil mendapatkan Toh hoa-kiam jantan
beronce emas itu.
Tiba-tiba Kun-eng merasa berduka, ia tidak memperdulikan lagi pada kaum begal
yang sudah tidak menyerang mereka lagi dan lari kesana kemari mencari jalan keluar dari
kurungan api itu. Ia tidak memperdulikan juga pada hawa panas di sekeliling itu. Ia berdiri
menjublak memandang kosong ke arah Jin hong suaminya itu yang masih bertempur
menghadapi Hong-cu seorang. Thian-lok sudah lebih dulu diselesaikannya.
Karena peristiwa Toh-hoa-kiam diri mereka jadi terlunta-lunta. Ia sesalkan
munculnya dua orang luar biasa pada saat ulang tahun ayahnya itu yang kemudian telah
menghadiahkan sepasang pedang Toh-hoa-kiam. Biarpun Toh-hoa-kiam secara langsung
tidak bersalah menyebabkan rumah tangganya menjadi berantakan tapi toh bertanggung
jawab juga terjadinya kekeruhan itu. Sungguh tepat kalau pedang Toh-hoa-kiam
dikatakan saja sebagai "pedang pengacau asmara"
Ia tidak mau menjatuhkan kesalahan ke atas diri Ceng-ci yang cukup menelan
kesengsaraan sampai menyediakan dirinya menjadi orang pertapaan. Ia menganggap
dirinyalah yang tidak beruntung. Kalau tak ada lagi yang mesti dicintainya di dalam hidup
ini, dengan begitu ia hidup sebatang kara. Kalau begitu apa gunanya hidup?
Apa perlunya bagi Jin-hong melakukan penyamaran sebagai seorang paderi?
Benarkah ia masuk menjadi tosu kaum suci petapa untuk menghindarkan diri dari dirinya.
Kalau begitu apa gunanya pertemuan ini?
Memikirkan ini semua, ia tidak terkejut lagi ketika Cee-hong-cu berseru keras
sambil menutup dadanya yang sudah terpanggang oleh Toh hoa-kiam ronce perak! Ia
membiarkan dirinya akan tertimpa lurukan kayu yang termakan api! Tiba-tiba ia merasa
ada yang menyambar tubuhnya sambil memperingatkannya.
"Hei, mengapa kau melamun, cici?!"
Ternyata Ceng-ci telah menolong dirinya dari bahaya. Dengan bersuara berdubrak
keras reruntuhan api jatuh tepat di bagian tempat ia berdiri tadi. Barulah Kun-eng sadar
pada keadaan sekelilingnya, ia mendapatkan ratusan tubuh yang berserakan sebagian
sudah hangus terbakar atau terluka parah. Rintihan-rintihan terdengar di sana-sini, hanya
tertinggal beberapa saja yang masih berusaha menerobos api untuk menyelamatkan
dirinya.
"Sebentar lagi wuwungan utama bangunan ini akan runtuh sama sekali!" Seru
Siau-hong sambil menunjuk ke atu arah, "Tadi koko lompat ke arah sana, kita
diperintahkan mengikuti jejaknya dan ia berpesan akan menemui kita di persimpangan
jalan! Hayooo!!"
Tanpa ayal lagi ketiganya dengan menggunakan keringanan tubuhnya lompat
menerobos di antara api yang berkobar-kobar itu. Ilmu ringan tubuh mereka cukup
mampu melewati kobaran api dan berhasil turun di tempat yang aman. Lalu ketiganya
berlari-lari menjauh pada saat wuwungan terakhir dari bangunan itu roboh menimpa sisasisa yang widup di dalamnya! Sayup-sayup diantara suara kerotak api yang melahap
kekayuan itu terdengar teriakan lirih dari orang-orang yang termakan api.Sekali lagi mereka memandang ke tempat itu. Api menjulang tinggi sangat
mengerikan. Bagusnya bangunan itu terletak agak jauh dari pepohonan hutan, hingga
tidak sampai merembet ke dalam hutan. Tapi hawa panas masih terasa dari tempat
mereka berdiri.
Ketiganya menghela napas. Habislah riwayat gerombolan ganas dari bukit Hokhou-san itu.
Kemudian ketiganya membalikkan badan dan melangkahkan kaki menuruni jalan
ke bawah bukit. Kalau Kun-eng dan Ceng-ci berjalan perlahan sambil menundukkan
kepala, tidak demikian dengan Siau-hong yang merasa gembira akan menemui kokonya
seperti yang dijanjikan akan menunggu mereka di persimpangan jalan itu. la sampai lari
berlompat-lompat meninggalkan keduanya.
Setelah jalan agak jauh, barulah Siau-hong sadar kalau ia telah meninggalkan
keduanya di belakang. Terpaksa ia menunggu keduanya, untuk kemudian ia merasa
keheranan karena keduanya jalan kelewat lambat dan wajah mereka seperti orang yang
berpikir. Terlihat pula linangan air mata di pipi Kun-eng.
"E-eh, apa-apaan ini," akhirnya Siau-hong menegur sambil ikut berjalan
mendampingi keduanya, "Toh-hoa-kiam sudah berhasil direbut pulang oleh koko. Yang
dicari-cari orangnya sudah ketemu, dan sebentar lagi kita akan berkumpul lagi. Lalu apa
yang dibuat duka? Hah apa kalian tadi berdua sudah berselisih lagi sehingga sengaja tidak
mau jalan seiring denganku?"
Mendengar kata-kata lucu dari gadis lincah ini, mau tak mau Kun-eng dan Cengci jadi tersenyum. Memang benar diantara keduanya sudah ada saling pengertian, tapi
bagaimana dengan Jin-hong sendiri? Jelas kalau Jin-hong berlaku luar biasa dengan
penyamarannya itu. Keduanya sukar menduga bagaimana pendirian Jin-hong sekarang.
Tak lama kemudian ketiganya telah tiba di persimpangan jalan. Mereka
mendapatkan binatang tunggangan mereka tertambat pada sebuah pohon. Perbekalan
berikut senjata mereka juga lengkap terletak di atas pelana kedua kuda dan keledai itu.
Tapi sebuah tongkat panjang menggeletak pula membujur di atas tubuh ketiga binatang
itu. Sepucuk kertas lebar dengan banyak tulisan di atasnya terlihat melambai-lambai
terikat dengan seutas benang kasar pada ujung tongkat.
Ketiganya menjadi kagum pada cara kerja si paderi pengemis atau Cin-jin-hong
itu. Ketika Kun-eng dan Ceng-ci mengagumi dan keheranan, Siau-hong yang mengenal
sifat kokonya yang senang berjenaka itu segera mendahului maju dan mengambil surat
itu. Ternyata isinya berupa syair. Pada bagian pertama sudah dikenalnya berupa semacam
lagu syair yang dinyanyikan oleh si bocah nelayan dari kelenteng Kim-san si itu Siau-hong
membacanya dengan suara keras.
"Tanda-tanda taman Toh-goan telah tiada lagi
Bunga yang tak kekal berguguran daun merah
Pasangan wan-yo sumbernya pedang
Meninggalkan rasa penasaran tak terkira
Juga terbawa arus air deras
Serta berkesiurnya sang angin Timur"
Taman Toh-goan telah tersusun kembaliDua perahu saling bertatapan
Tapi sang nelayan menerima tugas lain
Walau tiada penasaran lagi
Bertemu pengurus taman memberi sapu
Supaya akhli menjaga taman......"
Kemudian pada bagian paling bawah dari tulisan itu tertulis nama dengan pesan
"kita akan bertemu kembali" dan Cin-jin-hong."
Ketiganya berpikir keras mencari arti dari syair itu. Tiba-tiba Siau-hong menepuk
paha dan tertawa keras.
"Aku sudah dapat menerkanya!" Kata Siau-hong dengan suara kegirangan, "Tohboa-kiam memang telah meminta banyak korban manusia serta perasaan kita. Tapi
setelah kita berkumpul kembali, ternyata koko dalam penyamarannya telah bertemu
dengan pencipta Toh-hoa-kiamt yaitu Sian ceng Sian-su dan In-ceng Su-thay yang telah
memberikan pengajaran-pengajaran kepadanya. Tentunya yang dimaksud dengan taman
Toh-goan ialah rumah kita di Liok-an....."
Berkata sampai di sini Siau-hong terdiam sendiri karena melihat kedua ensonya
berdiam saja. Ia turut memeluk tangan berpikir keras, akhirnya ia merasa kesal sendiri dan
membanting tongkat yang masih dipegangnya itu.
Siau-hong membanting tongkat dengan keras dan menimpa sebuah batu hingga
menimbulkan bunyi berkerotak. Anehnya tongkat itu jadi terbelah dua potong dan dari
dalam tongkat yang ternyata berongga melompat jatuh sepasang pedang lengkap dengan
sarungnya. Ternyata sepasang pedang Toh-hoa-kiam!
Fajar mulai menyingsing. Dari bawah bukit masih terlihat asap mengepul tinggi
dari atas bukit. Terlihat iringan dua orang wanita berpakaian ringkas dan menunggang
kuda sedangkan yang seorang lagi berpakaian sebagai seorang paderi perempuan di atas
keledainya yang berjalan lambat-lambat. Mereka menuruni bukit perlahan-lahan. Masingmasing dengan pikirannya sendiri-sendiri, tapi semuanya mengharapkan agar orang yang
menentukan terjadinya perpisahan untuk berkumpul kembali itu segera muncul di Liokan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
SELESAI
Pendekar Muka Buruk 10 Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar Kisah Sepasang Bayangan Dewa 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama