Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 17
Matahari sudah condong di bagian barat. Dua orang kakek itu masih duduk bersila dan menggerakkan tangan masing-masing saling serang. Dua kakek itu masih dalam kedudukan yang seimbang. Akan tetapi ketika matahari semakin rendah di barat dua orang kakek itu sudah makin tampak payah.
Hati Sindu tegang!
Ingin sesungguhnya ia bertindak menolong Gupala. Akan tetapi jiwa ksatrianya mencegah. Maka bagi Sindu tiada yang bisa dilakukan, kecuali berdiam diri sambil menunggu perkembangan.
Di kala menjelang senja. tiba-tiba semua orang terkesima, Demikian pula Sindu. Mendengar suara lengking yang
amat nyaring hampir berbareng. dari mulut Gupala dan Patra Jaya. Belum juga lenyap suara lengking mereka, tubuh Gupala dan Patra Jaya hampir berbareng melesat ke depan.
"Plek-plak buk-buk.... hek.....! '
Kemudian tubuh Gupala dan Putra Jaya masing-masing terpental dan roboh sambil muntah darah segar.
Melihat itu Sindu menghela napas amat menyesal. Di luar dugaannya bahwa perkelahian kakak beradik seperguruan itu, harus berakhir seperti itu. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Masing masing tetap mempertahankan harga diri. Akibatnya, mereka menggunakan tenaga yang terakhir, untuk saling pukul. Sungguh menyedihkan. Sebagai akhir dan perkelahian mereka, kakak-beradik seperguruan ini harus mati sampyuh (mati bersama).
Sungsang kaget sekali dan melompat maju. Ia berlutut di samping tubuh Patra Jaya yang mengeletak. Maksudnya akan menolong. Tetapi, nyawa gurunya telah putus. Sepasang mata Sungsang menyala..
Kematian gurunya adalah karena paman perguruannya sendiri. Tiba-tiba saja murid ini melengking nyaring. lalu tubuhnya melesat ke arah Gupala yang menggletak tak bernyawa pula. Kakinya bergerak untuk menendang Gupala.
"Plak .. aduh ! Bangsat hina, siapa berani berbuat curang......?"
Sungsang mencaci maki, tetapi dua tangannya mengangkat kaki kanan, kemudian berjingkrakan berputaran dengan kaki kiri. Sungsang meringis kesakitan, karena kaki yanq akan dipergunakan menendang itu, sudah terpukul tulang keringnya oleh batu kerikil yang menyambar seperti kilat cepatnya .
Kirtaji yang bermata awas cepat melesat ke arah mana batu tadi menyambar datang. Ia sudah merasa pasti
siapakah orang yang sudah menyambit dengan batu. Kakinya melayang cepat dan......
"Aduhh....."
salah seorang anak buah Kendeng yang kena tendangannya menjerit ngeri. Tubuhnya terlempar beberapa meter jauhnya roboh terguling dan tak berkutik lagi. Tendangan Kirtaji yang penuh tenaga dan mengenakan uluhati itu, berhasil membuat nyawa orang itu putus. Melihat anak buahnya sendiri menjadi korban., ia menyesal tetapi juga penasaran. Jelas ia Sudah salah tendang. Orang yang dimaksud tahu-tahu sudah berpindah tempat tanpa ia ketahui.
Akibatnya tentu saja menjadi geger dan ribut. Keributan ini menolong Sindu untuk menyelinap di antara mereka. Lebih-lebih cuaca sudah mulai gelap, sehingga tanpa kesulitan lagi Sindu menghilangkan jejak.
Akan tetapi Kirtaji juga bukan seorang bodoh. Ia merasa pasti, ada seseorang yang hadir di luar kemauannya. Ia segera melengking nyaring memerintahkan semua anak buah Kendeng tidak boleh meninggalkan tempat. Mereka semua harus berkumpul, dan Kirtaji akan mengadakan pemeriksaan. Orang yang dicurigai menyamar sebagai anak buah Kendeng. Dengan begitu, takkan sulit untuk menangkapnya.
Tetapi perintah Kirtaji itu sudah terlambat. Sindu sudah lolos. Ia melangkah pergi dengan perasaan yang campur-aduk. Pertama, ia bersyukur bahwa Patra Jaya tewas. Berarti berkuranglah seorang pembantu Kirtaji yang paling berbahaya. Kekuatan yang memusuhi Ratu Wandansari berkurang.Akan tetapi sebaliknya ia juga menyesal, bahwa Gupala harus mengorbankan nyawa. Sungguh patut disayangkan orang jujur itu harus mengorbankan nyawa sendiri dalam usaha membersihkan
nama perguruan. Yang ke dua, ia menjadi lega setelah memperoleh keterangan dan bukti, bahwa Titiek SariningSih selamat. Akan tetapi ke manakah Titiek Sariningsih, tidak seorangpun bisa menerangkan. Tiada keterangan apapun tentang muridnya itu. Namun walaupun merasa lega, hatinya masih juga kurang tenteram.
Kemanakah muridnya itu sekarang?
Sindu meninggalkan Pegunungan Kendeng dengan gerak cepat. Ia langsung menuju Tuban. Tentang persoalan Titiek Sariningsih, diserahkan kepada Yang Maha Tinggi. Kalau memang bocah ini diijinkan berusia panjang, sekalipun berhadapan dengan bahaya, tentu Yang Maha Tinggi akan mengulurkan tanganNya juga untuk menolong.
Akan tetapi lagi-lagi hati Siudu bimbang.
Mengapa dirinya harus pergi ke Tuban?
Tanpa disertai Titiek Sariningsih, bukankah hubungannya dengan keluarga Titiek Sariningsih takkan ada artinya?
Salah-salah dirinya malah didesak oleh pertanyaan yang sulit dijawab, kalau keluarga bocah itu bertanya, mengapa Titiek Sariningsih tidak datang bersama?
Teringat kemungkinan adanya pertanyaan macam itu, tiba-tiba terpikir bahwa sebaiknya sekarang juga pergi ke Mataram untuk menghadap Ratu Wandansari atau Pangeran Kajoran, Dirinya mohon pengampunan telah lari dari tugas. Dan sebagai imbalannya, ia akan melaporkan rencana Kirtaji yang akan menghadang rombongan pengantin boyong ke Surabaya.
Demikianlah akhirnya Sindu berbalik haluan menuju Karta. Kalau toh di Karta ia bertemu dengan Reksogati dan Sawungrana, kemudian diminta tanggung jawabnya, yang telah berani melakukan perlawanan, apa boleh buat. Ia takkan ingkar dari tanggung jawab, dan nyawanya akan dipertaruhkan untuk itu.
Perjalanan dilakukan dengan cepat dan tanpa gangguan di perjalanan. Sindu yang melakukan perjalanan seorang diri ini, hanya memerlukan waktu satu hari satu malam. Pagi hari ia melangkahkan kaki masuk ke kota Karta. Begitu masuk kota ini. kenangannya segera kembali pada saat-saat dahulu dirinya menghamba kepada raja. Dahulu ia hidup penuh kemuliaan dan dihormati setiap orang. Akan tetapi selama mengabdi kepada raja itu, ia tak pernah merasa bahagia. Kehormatan dan kemuliaannya sebagai seorang tokoh pengawal keraton, masih saja sering menimbulkan perasaan yang kecewa. Dia selalu mencari apa yang disebut "bahagia". Akan tetapi tidak pernah ia memperoleh.
Kenyataan yang terjadi di dunia ini memang begitulah adanya. Siapa yang mencari. akan berhadapan dengan kecewa dan penyesalan. Sapa yang mencari takkan bisa memperoleh. Bahagia bukan bersemayam pada kedudukan yang mentereng, kedudukan yang tinggi dan kekayaan yang melimpah ruah. Akan tetapi akan diperoleh orang yang tidak mencari dan mengubar. Karena yang tidak mencari dan mengubar itulah yang sudah mendapatkannya. _
Sindupun sekarang sadar. Dahulu ia selalu berusaha memperoleh bahagia itu, tetapi tidak pernah memperoleh. Tetapi sekarang tanpa dicari, bahagia itu sudah datang sendiri. Ia sekarang menjadi seorang yang tidak mempunyai kedudukan apa-apa. Namun ia tidak merasa kekurangan apapun juga. Soalnya adalah karena Sindu sekarang ini, tak lagi dijajah oleh segala macam nafsu. Sekarang dalam dirinya sudah tenang, menerima hidupnya ini sewajarnya. Tidak mencari dan tidak pula menolak. Ia telah dapat menguasai nafsu dan pikirannya
yang suka nggladrah. Yang suka menuntun kepada sesuatu yang dapat menjerumuskan ke jalan salah.
Sindu tersenyum seorang diri sambil melangkahkan kaki di pinggir jalan. Dahulu, ketika dirinya masih sebagai orang yang dekat hubungannya dengan raja dan para bangsawan tinggi setiap kawula Mataram yang berpapasan, masih dalam jarak yang jauh saja. orang sudah mulai membungkuk-bungkuk dalam usahanya memberi hormat, di samping juga agak takut. Akan tetapi sekarang setelah dirinya mengenakan pakaian seperti layaknya para petani, orang-orang yang berpapasan enak saja berjalan. Malah seorang pemikul dagangan yang tergesa dibawa ke pasar. berjalan setengah lari, sehingga keranjang yang dipikul itu menyeruduk tubuhnya.
Orangnya masih tetap sama. Dahulu juga Sindu, sekarang juga Sindu. Namun Sikap orang sudah berlainan. Jadi yang dihormati orang itu, adalah jabatan dan kedudukan saja. Bukan orangnya. Diam diam ia menghela napas.
Mengapa secara tidak sadar manusia di dunia ini sudah dituntun kepada peradatan dan tata santun yang keliru?
Mengapa bukan si manusia yang dihormati, akan tetapi jabatan dan kedudukannya?
Padahal takkan mungkin ada pangkat dan kedudukan tanpa si manusia itu sendiri.
Siapa yang bisa membantah, sadar atau tidak, manusia dituntun oleh tata santun yang menimbulkan golongan golongan dalam kehidupan masyarakat. Ada yang disebut golongan tinggi dan golongan rendah. Dan sebagai akibatnya pula, sikap seseorang terhadap si miskin atau kepada si pengemis, begitu menghina dan tidak menghargai sebagai manusia pula. Kemudian kata -kata "cintailah sesama hidup", pada perkembangannya hanya tinggal merupakan ucapan yang muluk dan menjadi buah bibir. Amat sedikit orang yang dapat mencintai sesama menusua secara jujur. tanpa pamrih!
Nah, pamrih ini sesungguhnya yang menjadi letak pangkal manusia sesat _berpikir. Orang bersikap pura-pura. Terdorong oleh pamrih. Hingga kepada orang yang berkedudukan menghargai, akan tetapi kepada orang yang tiada kedudukan tidak menghargai.
Sindu melangkah terus. Tujuannya kalau mungkin bertemu dengan Ratu Wandansari. Tetapi kalau tidak, ia akan bertemu dengan Pangeran Kajoran.
Semenjak ia mulai masuk ke kota Karta, memang kurang memperhatikan keadaan. Tadi ia melangkahkan kaki sambil menundukkan kepala, karena benaknya dipenuhi oleh beberapa macam perasaan. Tetapi begitu ia memperhatikan sekeliling, tampaklah hiasan hiasan janur kuning dan bangunan-bangunan darurat dibangun di pinggir jalan. Pada jalan masuk ke dalam kampungpun banyak pula dihias dengan janur kuning, daun daunan dan lampu warna-warni yang belum sempat dimatikan pada pagi hari ini. Melihat itu, barulah Sindu teringat bahwa Raja Mataram saat sekarang ini sedang menyelenggarakan perkawinan Ratu Wandansari daup dengan Jaka Pekik atau Pangeran Pekik, Adipati Surabaya.
Teringat akan hal itu. sekarang tiada kemungkinan lagi dirinya menghadap kepada Ratu Wandansari yang sedang menjadi pengantin. Maka tujuannya sekarang, tiada lain kecuali harus menghadap kepada Pangeran Kajoran.
Demikianlah, Sindu melangkah cepat menuju rumah Pangeran Kajoran. Di pagi hari ini, beberapa kali ia berpapasan dengan beberapa orang abdi dalem yang sudah ia kenali .Tetapi ia sengaja tidak menegur, untuk mengetahui bagaimanakah sikap para abdi dalem itu. Ternyata
para abdi dalem itu memandangpun tidak, apa lagi mau menegur. Tetapi Sindu menduga bahwa tentunya orang orang yang sudah ia kenal itu lupa kepada dirinya.
Ketika Sindu masuk ke pintu gerbang rumah Pangeran Kajoran, ia terbiasa oleh keadaannya yang dahulu, kalau masuk ke rumah ini begitu bebas. Ia lupa bahwa dirinya sekarang ini mengenakan pakaian tiada bedanya para petani dan orang desa. Ia lupa bahwa sudah tiga tahun lamanya telah meninggalkan Mataram dan bukan abdi dalem Mataram lagi. Juga lupa pula bahwa ketika masih berlangsung peperangan antara Mataram dengan beberapa bupati dan adipati, banyaklah para prajurit yang gugur dalam medan perang, sehingga banyak pula prajurit-prajurit baru. Lebih-lebih prajurit-prajurit Pangeran Kajoran, di mana setiap terjadi pertempuran, merupakan prajurit-prajurit gagah berani yang selalu bergerak didepan. Maka hampir separo jumlah prajurit Pangeran Kajoran, merupakan orang baru.
Empat orang prajurit muda yang menjaga di kiri dan kanan pintu gerbang rumah pangeran itu, segera melintangkan tombak terhunus menutup jalan sambil membentak kasar,
"Hai! Kau siapa berani lancang masuk tanpa mohon ijin?"
Sindu mundur dua langkah. Bibirnya tersenyum dan tidak marah oleh bentakan itu. Sepasang matanya yang bersinar berwibawa itu mengamati empat orang prajurit muda tersebut. Dan empat orang prajurit itu tak kuat bertatap pandang terpaksa menundukkan kepalanya.
"Terima kasih atas peringatan kalian, dan memang aku bersalah,"
kata Sindu yang mengakui kelancangannya.
"Sekarang aku minta ijin, dan sudilah kalian melaporkan kepada Kangjeng Gusti Pangeran Kajoran, bahwa aku datang mohon menghadap."
Tiba-tiba salah seorang prajurit itu mendelik. Hardiknya,
"Tak gampang orang mau menghadap Kangjeng Gusti Pangeran. Orang macam kau mau menghadap beliau._Ha-ha-ha-ha, sudahlah, lekaslah engkau pergi dari sini. "
Begitu salah seorang dari mereka menghardik dan tertawa, yang lainpun ikut tertawa mengejek. Sikapnya merendahkan sekali. Akan tetapi sikap ini tidak menyebabkan Sindu marah maupun masygul, sesuai dengan pengertiannya tentang manusia hidup di dunia ini. Yang sudah teracuni oleh sikap sikap palsu dan munafik. Terhadap orang lain yang kedudukannya lebih rendah tak menghargai, akan tetapi sebaliknya kepada orang yang berkedudukan lebih tinggi berusaha mengambil hati
Sindu tersenyum. Kemudian katanya tetap halus dan ramah,
"Tetapi saudara, aku akan menyampaikan sesuatu yang penting kepada Kangjeng Gusti Pangeran. Maka kalian harus mengerti, dan ijinkan aku masuk."
Empat orang prajurit itu masih tertawa mengejek. Lalu salah seorang dari mereka berkata,
"Ha-ha-ha-ha. jangan sembarangan membuka mulut. Apakah kedudukanmu sehingga lancang mulut akan bertemu dengan Kangjeng Gusti Pangeran, dan melaporkan sesuatu yang amat penting? Hayo, lekas pergi dari sini atau tidak? Kupukul kau jika masih tetap bandel."
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam pendapa yang luas dan bersih itu,
"Hai prajurit! Mengapa kamu bersikap kurang ajar kepada Sindu'! Hayo, lekas persilahkan dia masuk dan langsung menghadap aku ke mari."
Empat orang prajurit muda itu heran dan mendadak Wajah mereka pucat.
Mengapa terhadap orang yang pakaiannya buruk, junjungan mereka amat memperhatikan?
Sebelum empat orang prajurit itu berbuat sesuatu berlarianlah seorang Tumenggung ke pintu gerbang. Tumenggung ini usianya sekitar limapuluh tahun. Pakaiannya indah, bernama Tumenggung Yudonagoro. Begitu melihat Sindu tumenggung ini tergopoh-gopoh. Lalu menghardik kepada empat orang perajurit itu.
"Huh. kurang ajar kamu semua ini. Butakah mata kamu semua? Sudah tidak mengenal lagi kepada kangmas Sindu? '
Lalu Tumenggung Yudonagoro dengan mulut tersenyum, wajah berseri, sudah menjabat tangan Sindu sambil berkata ramah.
"Ah kangmas... apakah aku ini mimpi? Bertahun-tahun kangmas menghilang. sehingga timbul dugaan-dugaan buruk terhadap kangmas. Mari, Kangjeng Gusti Pangeran menunggu kangmas di dalam pendapa. Mari kita menghadap beliau."
"Terima kasih dimas. mari kita menghadap."sahut Sindu.
Kemudian dua orang itu bergandengan tangan masuk ke dalam melewati halaman yang luas, bersih dan tanam-tanamannya teratur sedemikian rupa.
Empat orang prajurit yang semula sikapnya amat merendahkan Sindu, sekarang menjadi amat khawatir sekali, kalau nanti mendapat marah. Mereka gelisah, dan diam diam mereka amat menyesal. Dan akibatnya kemudian mereka saling menyalahkan, mengapa telah bersikap kurang hormat kepada tamu penting. Tetapi meskipun gelisah masih terdapat semacam perasaan dingin, sebab mereka sama sekali tidak kenal, dan dalam pada itu pakaiannya buruk dan kotor.
Siapa yang menduga orang itu merupakan tamu penting?
Pangeran Kajoran menerima Sindu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. Malah sikap Pangeran Kajoran saat ini luar biasa sekali. Begitu berhadapan, Sindu dipeluk, lalu diajak duduk berdampingan.
Kalau saja hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu, Sindu tentu cepat-cepat turun dari kursi, dan duduk bersila di depan pangeran itu. Karena bagaimanapun pula, dirinya merupakan bawahan, dan sebagai seorang bawahan terikat oleh tata santun harus menghormati atasannya. Tetapi sekarang ini, kedudukan Sindu dan Pangeran Kajoran adalah sama-sama manusia. Maka tidak ada ikatan apa apa lagi. Maka sikapnya menjadi wajar dan bebas.
Dalam pada itu sesungguhnya, Pangeran Kajoran merupakan seorang pangeran yang pandai bergaul dengan para kawula. Seorang pangeran yang tak pernah mengagungkan kedudukannya sebagai putera Panembahan Anyakrawati, dan seorang yang ramah pula. Itulah sebabnya kemudian hari pangeran ini bergelar sebagai Panembahan Romo, dia malah mengesampingkan kedudukan dan sebutannya sebagai seorang pangeran. Kelak Pangeran Kajoran inilah yang bakal menjadi tokoh penting dalam pemberontakan Trunojoyo.
"Sindu, ahh, mengapa bertahun-tahun engkau menghilang tak diketahui khabar beritanya? Orang sampai menduga engkau telah gugur dalam medan perang. Yang tetap kukuh pendapatnya, bahwa engkau tentu masih hidup hanyalah diajeng Ratu Wandansari. Itulah sebabnya Reksogati dan Sawungrana ditugaskan untuk mencarimu. Apakah engkau tidak berjumpa dengan mereka ?" kata Pangeran Kajoran dengan sikapnya yang ramah, dan tuturnya yang halus.
'Akan tetapi ha-ha-ha, tanpa dicari ternyata engkau sudah muncul sendiri. Dan sungguh amat kebetulan, Sindu, diajeng Ratu Wandansari saat ini sedang melangsungkan perkawinannya dengan dimas Pangeran Pekik Adipati Surabaya. Ah. betapa gembira diajeng Ratu Wandansari jika bertemu engkau masih dalam keadaan selamat."
Terharu Sindu mendengar ucapan Pangeran Kajoran ini. Sekalipun masih samar-samar, ia sudah bisa menduga bahwa antara perlakuan Reksogati dan Sawungrana terhadap dirinya, berbeda dengan kenyataan. Perintah Ratu Wandansari hanyalah untuk mencari. Bukan untuk menangkap dan menghukum, serta menuduh sudah lari dari tugas. Kenyataan ini membuktikan bahwa sebenarnya Ratu Wandansari begitu memperhatikan kepada dirinya.
"Gusti, hamba tak dapat lain kecuali menghaturkan terima kasih, atas perhatian paduka dan Gusti Ratu Wandansari."' sahut Sindu,
"Tetapi akan berdosalah hamba apabila mengingkari kenyataan yang telah hamba alami. Gusti, hamba mohon ampun, telah melalaikan tugas dan menurutkan kehendak hati sendiri, tanpa mohon ijin lebih dahulu baik kepada paduka maupun Gusti Ratu Wandansari '."
Kalau saja yang diajak bicara Sindu sekarang ini bukan Pangeran Kajoran, tentu tidak senang hatinya. Malah akan menjadi marah pula, sebab orang yang melalaikan tugas kewajibannya. berarti telah melawan atasannya. Namun Pangeran Kajoran itu mempunyai pandangan yang luas, dan setiap ia berpikir selalu dipertimbangkan secara jauh, dan tidak melupakan pula pertimbangan batin. Pangeran Kajoran tahu, bahwa sebagai manusia biasa takkan bisa terluput dari kesalahan ucapan dan tindak perbuatan. Dengan demikian, kalau Sindu ini bersalah sesuai pula dengan kedudukannya sebagai manusia biasa yang serba kurang dan tak bisa menghindarkan diri dari kesalahan. Malah diam diam pangeran ini memuji akan sikap Sindu yang terus-terang
dan tidak berpura-pura .Merupakan sikap yang amat baik dan terpuji.
Pangeran Kajoran tertawa. Sahutnya,
"Ha-ha-ha ba, mengapa engkau cepat merasa berdosa dan bersalah, Sindu! Setiap orang yang dapat berpikir jauh, tentu tahu bahwa sebagai manusia biasa, takkan luput dari kesalahan. Aku sendiripun bukan orang yang tak pernah bersalah Sindu. Entah sudah berapa kali aku melakukan kesalahan-kesalahan, baik sengaja maupun tidak. Kalau boleh aku bertanya, aku hanya ingin mendengar, kemana sajakah engkau selama ini?"
'Gusti, amat panjang kisahnya,"
sahut Sindu.
"Dan sesungguhnya karena hamba berhadapan dengan peristiwa itu, sehingga kemudian hamba mengasingkan diri."
Secara terus terang diceritakan tentang terjadinya peristiwa yang menyedihkan, dalam rumah Tumenggung Kebo Bangah, sebagai akibat perbuatan tak bertanggung jawab dari orang yang sampai sekarang belum diketahui siapa yang melakukannya. Karena kasihan kepada Titiek Sariningsih, anak yatim piatu itu, kemudian dibawanya bocah itu mengasingkan diri. Akan tetapi tentang ditemukannya warisan ilmu Kiageng Purwoto Sidik, ia tetap merahasiakan. Sebab apabila hal ini diketahui orang, bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan.
"Mengapa sekarang engkau hanya seorang diri? Dan kemanakah muridmu itu?"
tanya Pangeran Kajoran yang tertarik perhatiannya.
Pangeran ini diam-diam kasihan pula mendengar peristiwa yang menyedihkan pada keluarga salah seorang Tumenggung Tuban yang telah gugur dalam pertempuran melawan Mataram.
Tumenggung Yudonagoro yang ikut mendengarpun, tertarik perhatiannya. di samping timbul rasa kasihan pula kepada anak Tumenggung Kebo Bangah. Timbulnya rasa
haru dan kasihan ini memang tidak aneh. Dirinya sendiripun seorang prajurit. Banyak kali meninggalkan keluarga Pergi ke medan tugas. Maka ia bisa membayangkan betapa menyedihkan peristiwa yang menimpa keluarga Tumenggung Kebo Bangah.
Sindu menghela napas panjang. Terbayang dalam benaknya wajah Titiek Sariningsih yang tak diketahui di mana sekarang. Memang ada dugaan, mungkin muridnya itu ditolong oleh "Gadis Baju Kuning". Akan tetapi benar dan tidaknya dugaan tersebut. Sindu belum tahu.
"Gusti, sungguh sayang sekali, hamba terpisah dengan dia, dan tak hamba ketahui di mana sekarang."
Sindu menjawab dengan nada sedih. Kemudian diterangkan pula tentang sebabnya terpisah dengan muridnya itu. Akan tetapi tentang pertemuannya dan perselisihannya dengan Reksogati dan Sawungrana sengaja ia lewati. Sebab sekarang ia tahu bahwa sesungguhnya Ratu Wandansari tidak pernah memerintahkan untuk menangkap. Jadi apa yang dilakukan Reksogati dan Sawungrana adalah kehendak dua orang itu sendiri. Entah apa saja alasannya ia tidak mengerti.
"Ketika hamba dan murid hamba masuk ke desa Tulung. hamba melihat keadaan yang tidak wajar dan mencurigakan."
Sindu meneruskan kisahnya.
"Hamba mengadakan penyelidikan, dan itulah sebabnya hamba terpisah, karena tanpa hamba ketahui bocah itu sudah pergi entah ke mana. Akan tetapi gusti, hamba memperoleh hasil yang amat berharga. Membuat hamba terhibur, dan secepatnya hamba menghadap paduka untuk melaporkan-"
Betapa kaget dan herannya ketika Pangeran Kajoran mendengar laporan tentang adanya rencana pencegatan
rombongan pengantin yang akan boyong ke Surabaya. Yang membuat ia heran adalah ikut sertanya Rara Inten.
"Terima kasih Sindu, laporanmu ini amat berharga dan engkau berjasa terhadap kami. Betapa kesetiaanmu kepada kami, dapat dinilai dengan apa yang engkau lakukan sekarang ini. Walaupun engkau telah menghilang tiga tahun lamanya, begitu muncul engkau memberikan jasamu. Kesalahanmu yang meninggalkan tugas adalah terlalu kecil apabila dibandingkan dengan hasil laporan yang engkau peroleh dan kaulaporkan ini."
"Gusti, kurang ajar benar rencana itu,"
Tumenggung Yudonagoro ikut memberikan pendapatnya.
"Kalau demikian apakah tidak lebih baik, gusti pangeran dalam waktu singkat memerintahkan penghancuran Gerombolan Kendeng, Perguruan Tuban dan Perguruan Semeru? Lebih-lebih kepada Patra Jaya yang terang berkhianat kepada paduka."
Pangeran Kajoran tersenyum. Sahutnya.
"Pendapatmu memang baik, akan tetapi kurang tepat. Sebab penghancuran seperti itu. kecuali membutuhkan tenaga dalam jumlah banyak, juga dapat menimbulkan salah paham bagi perguruan lain. Siapa tahu, pihak tersebut kemudian berbalik dan memfitnah Mataram menuduh bahwa Mataram menghancurkan pihak tersebut sewenang-wenang?"
"Tetapi, gusti, fitnah tersebut dapat dikembalikan kepada fihak mereka sendiri. Justeru mereka telah merencanakan pengkhianatan, yang berarti memberontak pula. Hem, hamba gemas sekali kepada Patra Jaya. Orang yang tak pandai membalas budi."
Yudonagoro menyebut nama Patra Jaya dengan geram, menunjukkan rasa tidak senang dan bencinya.
"Dimas Yudonagoro, orang yang bernama Patra Jaya itu sekarang sudah tewas."
"Ahh, benarkah?"
Tumenggung Yudonagoro kaget dan memotong kata-kata Sindu.
"Engkaukah yang sudah ,membunuh ?"
Pangeran Kajoranpun nampak heran dan kaget. Ia cukup kenal akan kesaktian Patra Jaya, sejak dahulu maSih mengabdi di Mataram. Maka apabila Patra Jaya tewas, tentu lawannya orang sakti mandraguna pula. Lalu tanyanya,
"Kapan tewas? Di mana dan melawan siapa?"
Sindu segera menceritakan perkelahian antara Patra Jaya dengan Gupala yang terjadi di depan tokoh-tokoh Kendeng. Ia menceritakan dengan jelas dan lancar, Pangeran Kajoran dan Tumenggung Yudonagoro mengangguk angguk. Kata Tumenggung Yudonagoro,
"Hemm, jadinya kakak-beradik itu sampyuh! Hem, mereka telah memetik buah tanaman sendiri. Mereka berkhianat kepada Ingkang Sinuhun, mereka kualat !"
"Tetapi tewasnya Patra Jaya, berarti mengurangi kekuatan mereka, dan merupakan satu hal yang menguntungkan kita,"
kata Pangeran Kajoran.
"Sindu, terus terang dalam hal siasat maupun kecerdikan, aku tak menang melawan diajeng Wandansari. Maka menghadapi rencana Kirtaji dan kawan-kawannya itu, lebih tepat apabila aku bicarakan dengan dia, Sindu! Engkau harus ikut aku ke sana. Diajeng Wandansari tentu lebih puas dan senang, apabila dapat mendengar laporanmu secara langsung."
"Tetapi gusti,"
sahut Sindu agak ragu,
"Gusti Ratu Wandansari ......."
"Engkau tentu akan mengatakan baru saja menikah,"
potong Pangeran Kajoran sambil tertawa.
'Tak perlu engkau memikirkan tentang itu ,Sindu. Kalau diajeng Wandansari tak kawin, tentu takkan ada rencana menghadang rombongan boyong itu. Sindu, tahukah engkau
bahwa diajeng Wandansari ingin sekali bertemu dengan engkau? Betapa senang dia dapat bertemu dengan engkau, setelah menghilang beberapa tahun lamanya."
"Akan tetapi, gusti."
kata Sindu dengan nada yang agak ragu,
"sudilah paduka memberi ampun. Murid hamba hilang tak diketahui di mana sekarang. Padahal bocah itu merupakan tanggung jawab hamba. Betapa sedih hati hamba, kalau ternyata kemudian Gusti Ratu Wandansari menahan hamba, dan harus kembali kepada tugas kewajiban hamba semula? Lalu bagaimanakah hamba dapat mencari murid hamba itu, kalau hamba terikat oleh tugas ?"
Pangeran Kajoran tertawa sejuk, kemudian katanya dengan nada menghibur,
"Sindu, kiranya tak perlu engkau khawatir dan ragu akan kebijaksanaan diajeng Ratu Wandansari. Lupakah engkau bahwa setelah diajeng kawin, takkan lagi bebas seperti dahulu? Dan lupa pulakah kiranya engkau, bahwa diajeng Wandansari sekarang telah mempunyai seorang pengawal pribadi yang terpercaya? Siapa yang dapat membantah bahwa dimas Pekik, seorang sakti mandraguna pilih tanding?"
Sindupun tertawa mendengar jawaban Pangeran Kajoran itu. Sebab kekhawatirannya itu justeru tak beralasan. Lupa bahwa suami Ratu Wandansari yang bernama Pangeran Pekik itu, seorang sakti mandraguna. Akhirnya Sindu setuju menyertai Pangeran Kajoran untuk bertemu dengan Ratu Wandansari. Malah kebetulan, dirinya bakal berkenalan pula dengan Pangeran Pekik yang mempunyai nama amat harum itu.
Tumenggung Yudonagoro segera diperintah untuk memerintahkan kepada sais, agar mempersiapkan kereta tunggangannya. Perintah itu cepat dilangsungkan kepada sais .Dan tak lama kemudian, Sindu sudah ikut dalam
kereta Pangeran Kajoran ini, menuju ke tempat kediaman Ratu Wandansari. Ketika kereta itu lewat di pintu gerbang, empat orang perajurit yang tadi membentak-bentak Sindu, memberikan penghormatan dengan sembahnya. Sindu tahu bahwa penghormatan itu tertuju kepada Pangeran Kajoran. Namun diam diam Ia geli juga, kalau tadi oleh perajurit dibentak dan dihardik, tetapi oleh Pangeran Kajoran malah diajak pergi dalam satu kereta.
Sebagai pengantin baru, tentu saja Ratu Wandansari dan Pangeran Pekik amat rukun, hampir tak pernah berpisah. Lebih-lebih di antara mereka lebih dahulu sudah bersemi bibit cinta kasih yang suci. Pengantin baru ini tergopoh ke luar dari ruang tengah menuju ke pendapa .Setelah memperoleh laporan bahwa Pangeran Kajoran datang ingin bertemu. .
"Hai... kau Sindu?"
sapa Ratu Wandansari agak ragu ketika melihat Sindu yang datang bersama Pangeran Kajoran.
"Benar Gusti, hamba Sindu!' sahut Sindu dengan sikap hormat.
'Sindu datang membawa khabar amat penting untukmu, diajeng."
kata Pangeran Kajoran dengan tersenyum.
"Khabar soal apa?"
Ratu Wandansari agak kaget dan menatap Sindu.
"Ahh, Sindu, amat lama engkau tanpa khabar. Betapa senang hatiku, dapat bertemu engkau masih dalam keadaan selamat tak kurang suatu apa. Hayo, lebih enak kita duduk dalam taman di belakang., Nanti saja engkau ceritakan pengalamanmu selama menghilang. Apakah engkau tidak bertemu dengan Reksogati dan Sawungrana? Mereka pergi mencarimu."
Akan tetapi sebelum Sindu menjawab, Ratu Wandansari dan Pangeran Pekik telah mempersilahkan Pangeran Kajoran ke taman belakang. Sindu mengiringkan mereka dan diam-diam ia memuji akan ketampanan Pangeran Pekik, di samping pula sikap dan keramahannya.
Begitu tiba di taman. Sindu diajak duduk sama tinggi pada kursi di taman itu. Mereka duduk mengitari meja kayu. Tak lama kemudian datanglah pelayan menghidangkan minuman dan makanan ringan.
Agaknya Ratu Wandansari memang tertarik bahwa Sindu setelah lama menghilang datang membawa khabar yang amat penting. Maka langsung puteri ini menanyakan kepada Sindu. Sebelum menerangkan. Sindu menatap Pangeran Kajoran. Begitu Pangeran Kajoran mengangguk, Sindu mulai menerangkan dari awal sampai akhir. Bukan saja tentang rencana pencegatan rombongan yang akan boyong, akan tetapi juga sekaligus melaporkan sebabnya menghilang selama tiga tahun.
Mendengar laporan itu. Pangeran Pekik tampak kaget. Sebaliknya Ratu Wandansari tidak menunjukkan rasa kagetnya, malah tersenyum. Katanya kemudian,
"Hem, sejak lama aku sudah menduga bahwa hal itu akan terjadi"
Pangeran Kajoran heran dan cepat bertanya,
"Diajeng, apa alasanmu?"
"Gampang sekali,"
sahut puteri ini sambil melirik Pangeran Pekik.
Yang dilirik merasa, dan cepat bertanya,
"Diajeng, agaknya engkau menduga bahwa soal itu mempunyai hubungan langsung dengan aku?"
"Tentu saja!"
sahut Ratu Wandansari masih tetap
menyingsing senyum,
"Di dalam persekutuan mereka, terdapat Rara Inten."
"Ahhh... tapi... tapi...."
Pangeran Pekik agak menjadi khawatir.
".... . peristiwa itu toh sudah lama berlalu. mengapa masih diaduk lagi,?"
"Hemm. tentu saja! Bukankah dahulu engkau merupakan tokoh yang mati-matian melawan Mataram? Tentu saja mereka menjadi kecewa dan tahu tahu kangmas Pekik kawin dengan aku. Lebih-lebih hemm tentu saja Inten penasaran.... hi-hihik. Tetapi hemm. sudahlah! Kurang perlunya kita bicira hal sudah lalu. Untuk menghadapi rencana itu, perlu kita persiapkan segala sesuatunya."
Setelah berkata, Ratu Wandansari melambaikan tangannya ke arah pelayan, dan disuruhnya pelayan itu memanggil seorang gandek. Seorang abdi dalem keraton yang tugasnya memang sebagai pesuruh. Setelah gandek itu datang menghadap segera diperintah oleh Ratu Wandansari untuk memanggil Yoga Swara, Madu Bala dan Hesti Wiro.
Pangeran Pekik dan Pangeran Kajoran heran. Tanya Pangeran Pekik,
"Untuk apa memanggil mereka ?"
Ratu Wandansari tersenyum manis. Jawabnya,
"Mereka harus mendengar langsung semua ini. Mereka harus kita ajak berunding menemukan siasat perlawanan."
"Ahh. 'engkau memang cerdik, diajeng,"
puji Pangeran Pekik terus terang.
Ratu Wandansari mengerling.
"Tentu saja! Kalau tidak cerdik, manakah engkau sudi memilih aku '!"
Pangeran Kajoran tertawa mendengar kelakar adiknya itu, sedang Pangeran Pekik sekalipun senang, tetapi wajahnya agak menjadi merah. Diam diam ia merasa disindir. Teringatlah akan ucapannya ketika itu. Ketika
di depan Rara Inten, dan ditanya siapakah Wanita yang benar-benar dicintai. Ketika itu tanpa tedeng aling-aling Pangeran Pekik menjawab, bahwa hanya Ratu Wandansari saja yang dicintai. Lebih-lebih ketika ia teringat akan pengalamannya ketika dalam sebuah perahu kecil, bersama Kreti Windu, Sawitri, Salindri, Rara Inten dan Ratu Wandansari. Ketika itu timbullah pikirannya, betapa bahagia hatinya kalau memperoleh empat orang isteri sekaligus yang semuanya cantik jelita. Akan tetapi sekarang, walaupun dirinya hanya memperoleh Ratu Wandansari. sulit digambarkan betapa rasa bahagianya saat ini.
Tak lama kemudian, orang yang dipanggil Ratu Wandansari telah datang menghadap dengan sikap mereka yang amat hormat. Madu Bala dan Hesti Wiro yang sudah kenal dengan Sindu saling mengangguk.
Dengan sikapnya yang ramah, Ratu Wandansari mempersilahkan mereka, agar duduk pada kursi yang masih kosong. Kemudian kata puteri jelita ini,
"Ada persoalan yang amat penting, yang perlu kalian dengar sendiri. Sindu yang telah tiga tahun menghilang, sekarang melaporkan tentang adanya rencana orang, yang mempunyai sangkut-paut langsung dengan aku maupun kangmas Pekik."
Betapa kaget dan marahnya tiga orang sakti ini, begitu mendengar rencana itu. Madu Bala yang wataknya masih berangasan cepat berkata,
"Gusti, apabila demikian halnya. ijinkanlah hamba bersama Hesti Wiro, Yoga Swara dan Sindu pergi menghancurkan Kendeng, Perguruan Tuban dan Perguruan Semeru! Huh-huh, mereka kurang ajar. Maka secepatnya mereka harus dihajar!"
Hesti Wiro setuju dan cepat menyambut,
"Hamba setuju dengan kehendak Madu Bala. Maka ijinkanlah
hamba berempat berangkat menghancurkan mereka. Apa bila dibiarkan, mereka akan merajalela dan lebih kurang ajar lagi."
Ratu Wandansari tersenyum. Kemudian katanya.
"Terimakasih akan kesetiaan kalian. Dan betapa gembira hatiku, mempunyai pembantu pembantu setia seperti kalian ini. Akan tetapi hemm, janganlah kalian gampang terpancing oleh kemarahan. Segala sesuatu perlu kita pikirkan masak masak. Dengar........"
"Tetapi diajeng,"
kata Pangeran Pekik memotong kata-kata isterinya yang belum selesai,
"maksud paman Madu Bala dan kawan-kawannya memang baik. Aku setuju dengan kehendak mereka, Biarlah aku sendiri yang memimpin mereka menghancurkan Kendeng, Semeru dan Tuban. Huh-huh. dahulu. paman Wongso Dipo membalas kebaikanku dengan kejahatan dan hampir saja membunuh aku dengan racun. Kemudian, di Gunung Arjuna dulu, Wongso Dipo dan isterinya juga. mengulangi perbuatannya yang tidak baik. Akan tetapi semua itu sudah kulupakan dan kumaafkan, dengan harapan mereka sadar. Tetapi ternyata sekarang harapanku tak terbukti. Malah langsung memusuhi aku. Huh. tanganku sendiri yang akan menghukum suami-isteri tamak itu !"
Sambil mengucapkan kata-kata itu. tampak sekali Pangeran Pekik geram. Kemudian lanjutnya,
"Dan Kirtaji, huh! Manusia licik yang jahat itu. jika terlalu lama dibiarkan hidup, akan membuat dunia ini terus kacau dan tidak tenteram. Huh-huh, kalau saja dahulu tidak melarikan diri, apakah Kirtaji tidak kuhancurkan kepalanya? Ah, kurang ajar! Kalau Kirtaji berkuasa di Kendeng, apakah kalau demikian jahanam itu berhasil merebut kedudukan di Kendeng lagi?"
Ratu Wandansari tertawa. Katanya kemudian,
"Tentu saja! Tanpa ditanyakan sudah jelas, bahwa peristiwa terulang kembali seperti dahulu. Dengan tipu muslihat dan akal busuknya, Kirtaji merebut kekuasaan di Kendeng dan membelokkan arah perguruan itu menjadi gerombolan penjahat. Ya, memang orang macam itu tak bisa diberi ampun lagi. Harus dihukum! Tetapi kangmas. bukankah mereka yang bersekutu bukan hanya dua orang itu? Lalu bagaimanakah dengan yang lain? Misalnya Rara Inten..."
Mendengar pertanyaan itu Pangeran Pekik menjadi merah wajahnya. Telah berkali kali Rara Inten melakukan perbuatan dan bersikap memusuhi terhadap dirinya. Akan tetapi untuk bertindak dan menghukum kepada perempuan itu, entah mengapa hatinya merasa tidak tega. Oleh sebab itu, Pangeran Pekik terbungkam dan tak lekas bisa menjawab. Melihat itu Ratu Wandansari tersenyum. Katanya lagi,
"Mengapa kangmas menjadi bingung? Percayalah bahwa aku tidak cemburu dan percaya padamu. kangmas. Hemm, akan tetapi terus terang aku tak dapat menyetujui kehendak kalian. Sebab tindakan itu amat berbahaya, dan salah salah Mataram dituduh menindas perguruan Semeru dan Tuban. Jika demikian halnya, peristiwa ini bisa berekor panjang."
Pangeran Pekik, Madu Bala dan Hesti Wiro heran mendengar itu. Yoga Swara yang cerdik, cepat bisa menduga maksud Ratu Wandansari. Katanya,
"Gusti Ratu Wandansari benar. Hal itu memang bisa menimbulkan salah tafsir bagi perguruan lain. sekalipun cukup alasan dan bukti. Oleh sebab itu hamba berpendapat, bahwa kita tunggu saja yang mereka lakukan, sambil kita mempersiapkan diri untuk menghadapi mereka. Kalau telah terjadi mereka benarbenar menghadang pada saat
rombongan boyong ke Surabaya,
keadaan akan menjadi lain. Mata semua orang terbuka, bahwa pihak Kendeng, Tuban dan Semeru memang sengaja memusuhi Mataram dan Surabaya. Dengan bukti penghadangan ini, tidak seorangpun dapat membantah, penghancuran pihak tersebut memang perlu sesuai dengan dosa mereka."
Semua orang yang mendengar mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ratu Wandansari tersenyum senang. Akan tetapi Madu Bala masih membela pendapatnya.
'Tetapi bagi sebuah negara dan pemerintahan, penyelidikan yang sudah diperoleh Sindu, sudah merupakan bukti persekutuan itu yang berusaha memberontak. Kalau orang menuduh Mataram menindas dan berbuat sewenang-wenang, hal tersebut bisa dibuktikan dengan peradilan. Mereka yang tak percaya bakal memperoleh bukti tak terbantah. Kalau saja gusti berkenan memberi persetujuan, kiranya lebih tepat apabila kami berempat mendahului bertindak, tanpa menunggu mereka melancarkan pemberontakannya."
"Ya, alasanmu memang benar, guru !"
sahut Ratu Wandansari.
"Akan tetapi. kita harus berpikir lebih luas. Tanpa meninggalkan pertimbangan pertimbangan demi tercapainya cita-cita Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung, yang berusaha mempersatukan Nusantara ini. Untuk kemudian kita dapat mempersatukan tekad dan kekuatan, guna mengusir Kumpeni Belanda yang makin lama, perbuatan dan tindakannya memuakkan. Ya, sesuai dengan cita-cita kangmas Sultan Agung itu, maka kita harus bersikap lebih bijaksana dan lapang dada dalam menghadapi setiap persoalan. Dengan sikap demikian. aku percaya mata semua orang terbuka. Bahwa maksud kangmas Sultan Agung memerangi beberapa bupati dan adipati yang tak mau tunduk kepada Mataram, bukankah bermaksud menjajah maupun mengumbar hati serakah. Sama sekali tidak. Bukan itu tujuan yang terutama. Tujuan kangmas Sultan Agung, untuk mempersatukan kekuatan menghadapi Kumpeni Belanda. Kita semua ini adalah saudara dan sebangsa. Maka musuh yang penting, tidak lain orang kulit putih yang tindak dan perbuatannya memuakkan itu."
Mendengar kata-kata Ratu Wandansari ini, semua yang hadir mengangguk-anggukkan kepalanya, setuju di samping kagum. Baru sekarang inilah secara terbuka dan terang-terangan, Ratu Wandansari mengemukakan cita-cita Raja Mataram yang terpuji itu. Pada mulanya semua orang menduga bahwa Mataram memerangi para bupati dan adipati bukan lain terdorong oleh keinginan menguasai dunia. Tetapi sekarang diketahui, bahwa tujuan Sultan Agung jauh dari itu. Tujuan utama berusaha mempersatukan kekuatan menghadapi Kumpeni Belanda.
Madu Bala yang sekarang terbuka mata dan hatinya memberikan sembahnya kepada Ratu Wandansari sambil berkata.
"Ahhh...... kalau demikian halnya, sudilah gusti memaafkan kelancangan hamba. Kalau demikian halnya memang lebih tepat apabila kita tunggu saja apa yang akan mereka perbuat, dan baru kemudian kita hadapi dengan kekerasan."
Ratu Wandansari tersenyum.
"Terima kasih atas pengertianmu, guru. Kalau kalian Semua telah setuju, sekarang mari atur dan kita rencanakan. Bagaimana tindakan terbaik untuk menggagalkan usaha mereka itu."
Madu Bala cepat memberikan pendapatnya. Katanya,
"Apabila gusti memperkenankan dan mengijinkan, hamba berempat mempersiapkan diri di pelabuhan, sambil melihat perkembangan keadaan orang-orang yang bersekutu dan mau memberontak itu. Hamba berempat akan menghancurkan mereka sebelum mereka menyerang perahu."
Diam-diam Sindu gelisah mendengar dirinya selalu diikutsertakan dalam barisan pengawal rahasia Mataram itu. Padahal dirinya sudah tiada nafsu lagi mengabdi ke pada Siapapun. Ia ingin menjadi manusia merdeka dan bebas dari perintah siapapun. Sayang sekali dirinya belum sempat mengemukakan hal ini, telah terdesak oleh persoalan lain yang lebih penting. Maka agar tidak mengecewakan Ratu Wandansari dan yang lain, ia telah memutuskan. Ia menunda persoalan pribadinya, untuk memberikan jasanya kepada Ratu Wandansari, menghancurkan persekutuan jahat itu. Maka setelah memutuskan demikian. hatinya kembali tenang. Biarlah untuk sementara dirinya kembali menjadi salah seorang pengawal rahasia Mataram.
Sekalipun demikian Sndu tidak membuka mulut dan memberikan pendapatnya. Adalah Hesti Wiro yang cepat menyetujui maksud Madu Bala. Katanya,
"Hamba setuju dengan pikiran Madu Bala. Dengan demikian, akan dapat menghindari sejumlah korban perajurit Mataram yang mengawal rombongan paduka. Hamba berempat akan menyerang kepada mereka sebelum mereka berhasil mendekati perahu rombongan."
Pangeran Kajoran agaknya sependapat. Sambutnya,
"Bagus, aku setuju dengan rencana itu. Justeru dengan rencana itu, gerak-gerik mereka takkan luput dari pengamatan. Sebab, kita tak boleh meremehkan kekuatan dan kepandaian mereka. Siapa tahu, sekalipun sekarang tokoh terpenting dalam persekutuan mereka, ialah Patra Jaya telah mati, mereka masih mempunyai jago jago sakti yang belum kita ketahui."
"Ya. akupun sependapat,"
kata Ratu Wandansari.
"Meremehkan kekuatan lawan memang merupakan suatu kebodohan. Sebab hal itu akan menimbulkan kerugian bagi kita sendiri. Oleh sebab itu, memang tepat kalian berempat mempersiapkan diri disekitar pelabuhan Tuban yang mereka jadikan pangkalan. Kalian dapat menyamar sebagai nelayan-nelayan. Akan tetapi. persiapan tidak cukup hanya Itu."
Ratu Wandansari menatap Pangeran Pekik sambil tersenyum amat manis. Kemudian terusnya,
"Kanda Pekik, aku perlu mohon persetujuanmu."
"Oh, apa maksudmu?"
pangeran Pekik agak tergagap.
"Sudilah Paduka Raja Gagak Rimang.."
"Aduh...apa-apaan ini diajeng?"
potong Pangeran Pekik kaget, tetapi mau tak mau ketawa lebar mendengar kelakar isterinya, yang mengingatkan kedudukannya sebagai Raja Gagak Rimang.
Ratu Wandansari dan Pangeran Kajoran tertawa geli, sedang yang lainpun ikut tertawa.
Tetapi sesaat kemudian Ratu Wandansari berkata lagi. nadanya sungguh-sungguh,
"Kangmas Pekik. kalau tadi aku menyebut engkau Paduka Raja Gagak Rimang engkau perlu menugaskan orang, memanggil pasukan penyelam Gagak Rimang pilihan, agar secepatnya siap di sini. Tentang tugas mereka, dapat kita atur kemudian hari. Pendeknya kita harus mempersiapkan diri secara matang dalam menghadapi mereka. Perlunya, sekali bertindak mereka dapat kita hancurkan."
Pangeran Pekik mengangguk-angguk tanda setuju. Kemudian katanya kepada Madu Bala,
"Paman Bala. Perintahkan kepada Kalintung. Agar secepatnya dia berangkat ke Surabaya, dengan membawa surat perintahku!"
"Apakah tidak sebaiknya hamba sendiri yang pergi ke Surabaya?"
Madu Bala menawarkan diri.
Akan tetapi sebelum Pangeran Pekik membuka mulut, Ratu Wandansari sudah tertawa merdu dan mendahului menjawab..
"Hi-hi-hik, aku tahu maksud hatimu, guru!"
"Apakah maksud gusti?"
"Hem, engkau akan mencari kesempatan memuaskan hati dan perasaanmu. Bukankah engkau bermaksud mampir ke Semeru ?"
"Ahhh......"
Madu Bala kaget mendengar tepatnya dugaan Ratu Wandansari itu. Lalu tanyanya,
"Mengapa gusti dapat menduga perasaan hamba ?"
Ratu Wandansari tersenyum.
"Tentu saja! Aku melihat perobahan wajahmu, ketika engkau mendengar Wongso Dipo dan isterinya dalam persekutuan ini. Orang boleh melupakan peristiwa yang sudah lama berlalu, tetapi aku tidak! Aku tahu bahwa semenjak lama engkau menanam dendam kepada tokoh Semeru itu. Pertama sikap Wongso Dipo yang begitu sombong ketika dalam tawananku. Yang kedua engkau merasa jengkel kepada Wongso Dipo, oleh sikapnya terhadap kangmas Pekik sebagai Raja Gagak Rimang, maupun kepada Gagak Rimang sendiri Wongso Dipo selalu membanggakan dari aliran lurus bersih. Dan sekalipun Gagak Rimang sudah menunjukkan jasa-jasanya yang menguntungkan Perguruan Semeru dan yang lain, Perguruan Semeru tak juga berubah pandangannya terhadap Gagak Rimang. Tetapi kukuh beranggapan bahwa Gagak Rimang merupakan perkumpulan manusia-manusia sesat, sehingga tak mungkin dapat berdiri sejajar dengan Perguruan Semeru. Akan tetapi keangkuhan sikapnya itu, ternyata tidak setulus hati. Buktinya sekarang. Semeru malah bersekutu dengan Gerombolan Kendeng yang terbukti merupakan gerombolan penjahat setelah dipimpin oleh Kirtaji. Benarkah dugaanku ini, guru?"
Madu Bala kagum akan tepatnya dugaan Ratu Wandansari ini. Memang dalam hatinya menjadi penasaran dan marah sekali akan sikap Wongso Dipo dan isterinya, maupun Perguruan Semeru terhadap Gagak Rimang. Sejak lama ia selalu mencari alasan agar dapat berkelahi melawan tokoh penting Semeru itu. Akan tetapi selama ini tidak diperoleh alasan kuat. Maka sambil tertawa, Madu Bula menjawab,
' Sebenarnya hamba memang amat penasaran dan benci oleh sikap Wongao Dipo yang amat sombong. Hamba memperoleh alasan untuk menghajar orang yang tak tahu diri itu. Namun demikian hamba memang bisa menduga,_ mengapa sikap Wongso Dipo terhadap Gagak Rimang menghina dan merendahkan. Hal itu bukan lain karena dia merasa iri. Sejak lama ia menginginkan kedudukan terpandang dan menduduki tempat tertinggi di antara perguruan lain. Akan tetapi betapa menyesal dan kecewanya bahwa tokoh perguruan lain malah menempatkan diri di bawah pengaruh Gusti Pangeran Pekik, sebagai Raja Gagak Rimang."
Ratu Wandansari tersenyum. Katanya kemudian,
"Guru, pada akhirnya orang tahu mana loyang dan mana emas. Kalau toh engkau penasaran kepada suami. isteri itu, bakal terkabul pula niatmu. Wongso Dipo dan isterinya engkaulah yang mempunyai bagian untuk membereskan. Akan tetapi sekarang, belum waktunya. Sabarkan hatimu, guru, dan sekarang...."
Ia berhenti dan memandang Yoga Swara. Terusnya.
"Paman Yoga Swara. Tulislah surat perintah untuk Kalintung."
"Sendika. Gusti,"
sahut Yoga Swara.
Lalu ia minta diri untuk melaksanakan perintah itu.
tak lama kemudian Yoga Swara sudah kembali sambil membawa surat bersampul. Setelah surat itu ditanda tangani Pangeran Pekik dan disertai cap Kadipaten Surabaya. surat tersebut diserahkan kepada Madu Bala. Dengan sikapnya yang hormat Madu Bala menerima surat, kemudian pergi melaksanakan perintah itu kepada Kalintung.
Ratu Wandansari berkata,
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kangmas Kajoran. Apakah hal ini cukup kita rahasiakan dan kita selesaikan sendiri, ataukah kita perlu lapor kepada kangmas Sultan ?"
"Menurut pendapatku, lebih baik soal ini kita selesaikan sendiri. Bagaimanapun pula masalah ini terlalu kecil. Dengan begitu, kita telah membantu kangmas Sultan, untuk tidak menambah kerepotannya memikirkan persoalan-persoalan yang lebih besar."
"Kalau begitu, cocok dengan pikiranku, kangmas. Yang penting sekarang perlu kita atur segala sesuatunya."
Ratu Wandansari berhenti sejenak. Lalu terusnya,
"Kelak harus kita adakan perubahan tentang susunan rombongan perahu. Sebaiknya rombongan perahu kita bagi dua. Perahu rombongan boyong yang sebenarnya, melalui laut agak tengah. Sedang perahu rombongan palsu, lewat agak pinggir. Dengan begitu, yang akan mereka serang adalah rombongan perahu pasukan, dan bukan perahu rombonganku."
"Ahhh, mengapa begitu, diajeng?"
Pangeran Pekik tampak tidak setuju.
"Mengapa kita harus berdiam diri dan membiarkan orang orang kita menyabung nyawa melawan musuh? Itu tidak adil! Dan apakah sikap itu bukannya memalukan kita sendiri?"
Ratu Wandansari tersenyum. Kemudian jawabnya.
"Kangmas Pekik, Siapakah yang tidak tahu bahwa Raja Gagak Rimang seorang jantan gagah perwira? Ya, aku
mengerti bahwa engkau mencintai orang sebawahanmu, seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Dan banyak kali pula engkau menempuh bahaya dalam usahamu melindungi orang orangmu. Ya, memang sikap pemimpin seperti sikapmu ini terpuji. Membuktikan engkau mempunyai tanggung jawab yang amat besar. Akan tetapi kangmas. di samping kegagahanmu, engkau dikenal pula sebagai seorang pemimpin berhati emas, engkau terlalu jujur.Tak pernah berprasangka jelek kepada orang. Dalam kehidupan sehari hari, kejujuran dan hati emasmu itu patut ditiru dan dijadikan contoh. Akan tetapi sayang bahwa engkau tak bisa membedakan tempat dan keadaan. Walaupun engkau berhadapan dengan lawan sekalipun, sikapmu terlalu baik."
"Tapi...... tapi, hatiku selalu merasa tidak tega...."
"Itulah bahayanya. kangmas. Lebih-lebih dalam masalah ini, engkau akan berhadapan pula dengan Rara Inten. Kalau Sikapmu lemah, apakah hal itu tidak berarti merugikan kita sendiri? Tentang dirimu aku tahu, akan terluput dari bahaya, dilindungi kesaktianmu. Tetapi bagaimanakah dengan yang lain?"
Ratu Wandansari menatap suaminya. Lalu terusnya,
"Dan lebih lagi kangmas, engkau harus bisa membedakan waktu dan keadaan. Engkau dan aku adalah sepasang pengantin yang sedang boyong ke Surabaya. Pantaskah sebagai pengantin akan menyabung nyawa menghadapi musuh, dan meninggalkan isterinya yang gelisah dan khawatir? Maka kangmas tak dapat membawa kemauan sendiri. Biarkan orang-orang yang kita tugaskan bertempur melawan musuh, sedang rombongan kita langsung ke Surabaya."
"Ya, ya. terserah diajeng."
akhirnya, Jaka Pekik yang tidak pernah menang berdebat dengan Ratu Wandansari ini mengalah dan tunduk.
Demikianlah, setelah Ratu Wandansari selesai mengatur segala sesuatunya dan disetujui pula oleh Pangeran Kajoran, akhirnya mereka bubaran. Hanya Sindu yang masih ditahan oleh Ratu Wandansari, karena puteri ini masih ingin berbicara. Hal ini sungguh kebetulan bagi Sindu. Ia memperoleh kesempatan untuk mengemukakan isi hatinya kepada Ratu Wandansari. Agar setelah selesai tugas yang dibebankan pada pundaknya, dirinya dibebaskan dari tugas kewajibannya, untuk dapat menunaikan tugasnya mengabdi kepada masyarakat dan mencari muridnya yang sampai sekarang belum diketahui tempat tinggalnya.
******
Marilah kita ikuti perjalanan Titiek Sariningsih yang ditolong oleh "Gadis Berbaju Kuning". Ia dipondong oleh Rukmi, pengawal kepercayaan Gadis Baju Kuning.
Titiek Sariningsih Sadar dan membuka matanya ketika merasa tubuhnya dihembus oleh angin kencang, dan dalam pada itu ia merasa tubuhnya dipeluk orang.
"Ohh.......!'
Titiek Sariningsih membuka mata dan mengeluh perlahan, ketika ia mendapatkan dirinya dalam pondongan seorang perempuan yang belum ia kenal.
Sri Rukmi mendengar keluhan itu, dan menghentikan langkahnya. kemudian menurunkan Titiek Sariningsih dari pondongannya dengan bibir yang merah merekah itu tersenyum manis._Katanya halus,
"Kau sudah sadar?"
"Mengapa aku.....? "
Titiek Sariningsih heran.
"Semuanya akan bisa engkau dengar nanti setelah kita tiba di rumah. Engkau tadi pingsan berkelahi, dan ditolong oleh majikanku"
Rukmi menerangkan dengan wajah yang tetap manis menarik.
Tentu saja Titiek Sariningsih sekarang tak gampang percaya kepada orang yang belum dikenal, setelah ia berhadapan dengan kenyataan kenyataan pahit yang dialami. Cara berpikirnya mulai dewasa. Tanyanya,
"Siapakah majikanmu itu? Dan aku akan dibawa ke mana? Kau... kau menawan aku?"
Rukmi terkekeh. Sahutnya,
"Tuh di depan, majikanku mengenakan baju kuning. Jangan engkau salah duga adik yang manis, majikanku tidak mempunyai maksud jelek terhadapmu. Engkau tidak kami tawan, dan sekarang kita menuju ke rumah majikanku."
Titiek Sariningsih melihat seorang wanita muda berbaju kuning. Dan secara kebetulan, Gadis Baju Kuning itu berhenti pula dan memutarkan tubuhnya, sehingga Titiek Sariningsih dapat melihat wajah gadis itu yang amat cantik. Sepasang matanya bersinar-sinar sejuk, akan tetapi berwibawa.
"Ah, sinar mata itu seperti sinar mata kakek,"
pikir gadis ini.
Dengan begitu ia segera menduga, bahwa tentu wanita muda tersebut bukanlah orang sembarangan.
Dalam jarak yang agak jauh, Gadis Baju Kuning itu tersenyum manis. Katanya halus,
"Adik cilik, jangan engkau curiga akan sikapku! Ketahuilah bahwa kami tadi menyaksikan engkau hampir saja celaka di tangan orang! Kami menolongmu dan menyelamatkan. Kami menolongmu tanpa pamrih apa-apa."
"Tetapi. . .. . mengapa aku kalian bawa pulang .?"
tanya Titiek Sariningsih yang masih curiga.
Gadis Baju Kuning itu dengan tersenyum menjawab,
"Oh, itu? Begini sebabnya. Engkau tadi masih pingsan. Dan kalau harus menunggu engkau siuman, terlalu banyak membuang waktu. Akan tetapi engkau sekarang sudah siuman kembali. Jika engkau memang tak ingin
bersama kami pulang ke rumahku, tidak mengapa. Engkau bebas menentukan sikap sendiri. Engkau boleh meneruskan perjalananmu sendiri, dan boleh pula ikut kami pulang. Aku sudah senang dapat menolong engkau, dari bahaya keganasan laki-laki bernama Sungsang itu."
Sejak kecil Titiek Sariningsih justeru sudah memperoleh pendidikan dari gurunya, tentang tata kesopanan umum. Sekarang, mendengar jawaban Gadis Baju Kuning itu, hilanglah keraguan dan kecurigaannya. Sebab apabila rombongan perempuan ini memang mempunyai maksud tidak baik, tentunya dirinya tadi ditelikung. Nyatanya dirinya tidak diapa-apakan, malah sekarang diberi kebebasan memilih. Jelas bahwa pertolongan yang diberikan itu tanpa pamrih.
Berpikir demikian. Titiek Sariningsih segera mengbampiri Gadis Baju Kuning tersebut. Ia membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Lalu katanya,
"Terima kasih atas kebaikan dan pertolongan mbakyu. Ahh .... kalau saja tidak mbakyu tolong.. entah apa yang bakal aku alami dengan laki-laki lawanku berkelahi tadi"
Titiek Sariningsih bergidik. Teringatlah ia akan sikap Sungsang yang jelas, mempunyai maksud yang terkutuk. Lalu terusnya.
"Mbakyu. apabila saya boleh bertanya, Siapakah mbakyu ini, dan di manakah tempat tinggalnya? Aku bernama Titiek Sariningsih. Dan guruku bernama Sindu. Saat ini aku terpisah dengan guru, sehingga aku berkeliaran seorang diri, kemudian terlalu lancang menolong orang orang yang dikerjapaksakan oleh orang-orang Kendeng."
Gadis Baju Kuning itu tersenyum makin lebar, dan mengangguk-angguk. Diam-diam ia memuji akan keberanian gadis cilik ini, di samping sikapnya yang penwira. Sayang, kurang dapat mengukur kemampuan diri, hingga hampir saja. celaka di tangan orang-orang Kendeng. Jawabnya kemudian,
"Adik cilik, tentang nama maafkan, aku tidak dapat memperkenalkan namaku di sembarang tempat. Akan tetapi nanti setelah tiba di rumahku, di kaki Gunung Wilis, engkau bakal tahu juga siapakah aku ini. Terus terang aku tertarik akan pribadimu, adik Sariningsih, maka apabila engkau tidak keberatan, aku ingin sekali mengundang engkau datang ke rumahku. Engkau dapat berkenalan dengan keluargaku, dan mungkin pula perkenalan kita ini, berguna pula bagi hidupmu kemudian hari."
Tentu saja undangan ini amat menggembirakan hati gadis cilik ini. Dirinya sekarang ini sedang terpisah dengan gurunya. Kalau berkeliaran seorang diri tentu selalu berhadapan dengan bahaya. Sebaliknya dengan mengikuti Gadis Baju Kuning ini untuk sementara waktu, di samping memperluas hubungan, tentu memberikan keuntungan pula bagi hidupnya kemudian hari.
Hanya yang membuat Titiek SariningSih ini heran, mengapa Gadis Baju Kuning ini aneh?
Mengapa sebabnya hanya nama saja dirahasiakan ?
"Terima kasih atas kebaikan mbakyu,
" sahut Titiek Sariningsih kemudian.
"Baiklah, dengan senang hati aku ingin sekali ikut mbakyu pulang ke Wilis. Tetapi mbakyu.. .. aku seorang bodoh yang masih picik pengalaman. Maka sudilah mbakyu memaafkan kekuranganku."
Gadis Baju Kuning itu tertawa merdu. Kemudian memeluk Titiek Sariningsih. Sesudah itu, Titiek Sariningsih diminta untuk berkenalan kepada yang lain. Termasuk kepada gadis sebaya dengan dirinya, dan bagi semua rombongan ini, merupakan gadis yang wajahnya paling jelek. Nama gadis ini Mulatsih, yang bukan lain adalah
anak mendiang Raja Tambakyoso, pemimpin Kendeng. Gadis jelek Mulatsih'ini, baru saja dibebaskan oleh Gadis Baju Kuning dari penjara rahasia di bawah tanah.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan cepat. Diam'diam ia menjadi gembira berbareng kagum. Agaknya Mulatsih terlalu lambat bergerak, maka gadis wajah jelek itu dibimbing sendiri oleh Gadis Baju Kuning. Keadaan itu menimbulkan pemandangan yang bertentangan. Yang seorang terlalu cantik, sedang yang seorang begitu jelek.
Adapun Titiek Sariningsih, segera mengimbangi gerak cepat rombongan itu, dengan mengerahkan kepandaiannya lari. Gadis cilik ini menjadi gembira. Perjalanan cepat ini di samping merupakan kesempatan berlatih, juga bisa diartikan semacam ujian.
Apakah ilmu yang dipelajari dari warisan Ki Ageng Purwoto Sidik merupakan ilmu tinggi, ataukah hanya semacam ilmu pasaran. Kemudian timbullah rasa gembira dan bangga dalam hati Titiek Sariningsih, bahwa ternyata dalam lari, ia tidak perlu malu dengan orang lain. Meskipun belum matang, dirinya dapat mengimbangi mereka.
Melihat Titiek Sariningsih dapat mengimbangi gerak cepat mereka, Rukmi, Domasri dan Gadis Baju Kuning itu diam-diam memuji. Makin keras dugaan mereka ini, bahwa Titiek Sariningsih merupakan murid seorang sakti mandraguna. Lebih-lebih tiga orang ini menjadi kagum, setelah melihat bahwa dibanding dengan lima orang gadis pengawal yang lain, dalam soal lari Titiek Sariningsih masih menang setingkat. Lima orang gadis pengawal itu sudah menggeh-menggeh, sedang Titiek Sariningsih baru berobah merah wajahnya.
Cuaca sudah mulai menjadi gelap, namun mereka tak berhenti. Hanya bedanya. ketika matahari masih menyinarkan cahayanya, mereka berlarian, dan sekarang melangkah tidak tergesa. Gelapnya cuaca menuntut kepada mereka untuk lebih berhati-hati. Untung juga bahwa jaraknya dengan Gunung Wilis sudah tidak jauh lagi. Samar-samar, tampak Gunung Wilis yang menjulang tinggi dengan warna biru. Tampaknya gunung itu halus membiru. laksana sebuah tumpeng raksasa. Akan tetapi pemandangan tersebut akan segera berobah bentuknya, apabila orang Sudah memulai mendaki. Ternyata bukanlah halus, melainkan penuh pohon-pohon, hutan belantara. batu-batu besar dan jurang yang amat dalam.
"Kita hampir sampai,"
kata Gadis Baju Kuning itu halus.
"Kita perlu mempercepat perjalanan lagi. Bagaimanakah dengan kau, adik cilik? Apakah engkau masih kuat lari lagi?"
Bagaimanapun, Titiek Sariningsih tidak biasa berlarian cukup jauh, dan ia juga belum terlatih. Di samping itu cuaca yang gelap, membuat dirinya ragu-ragu, karena belum mengenal wilayah ini. Untuk membuat Gadis Baju Kuning itu senang hatinya, maka gadis cilik ini berterus-terang.
"Ah, mbakyu. ternyata ikut-sertaku dalam rombonganmu ini hanyalah membuat mbakyu repot saja. Maafkan aku mbakyu, aku sudah tak kuat lagi berlarian."
Gadis Baju Kuning itu tersenyum. Jawabnya,
"Tak apa! Biarlah Rukmi membantu engkau."
Ia memandang pembantunya itu, kemudian terusnya.
"Rukmi, bantulah adik Titiek Sariningsih."
Rukmi memberikan hormatnya sambil mengiakan. Kemudian Rukmi menyambar lengan Titiek Sariningsih, untuk membantu lari. Hati gadis cilik ini agak terhibur, sesudah melihat bahwa lima orang gadis pengawal yang lain itupun sekarang harus dibantu pula. Yang dua
orang dibantu oleh Gadis Baju Kuning, yang dua orang dibantu oleh Domasri, sedang yang seorang lagi dibantu oleh Rukmi. Akan tetapi untuk meringankan beban Rukmi, Titiek Sanningsih juga mengerahkan kepandaiannya lari.
Bagaimanapun juga, perjalanan itu bertambah sulit. Sebab perjalanan mereka sekarang mendaki Gunung Wilis yang tinggi. Keadaan hawa berobah. Makin lama semakin menjadi dingin. Tak lama kemudian tampaklah berkelap kelip lampu dipasang orang. Rukmi berbisik,
' Kita hampir sampai. adik cilik. Di depan itulah tempat tinggal kami. Sebuah desa yang sepi, akan tetapi memberikan ketenteraman hati."
"Namanya desa apa, mbakyu?"
tanya Titiek Sariningsih.
"Desa Lumbungkerep."
"Dan rumah mbakyu itu ?"
karena tak tahu nama Gadis Baju Kuning itu, maka Titiek Sariningsih hanya menyebut "mbakyu itu ".
"Juga di desa Lumbungkerep."
"Luaskah desa itu ?"
"Ya! Desa di pegunungan umumnya luas. Akan tetapi rumahnya agak berjauhan, dan tidak begitu banyak jumlah penduduknya. Berbeda dengan keadaan di kota."
"Tetapi aku senang di tempat ini. Hawanya begitu sejuk. Membuat orang kerasan. Dan tentu pemandangan alam indah sekali, di kala siang hari. Ahh, sayang aku datang di waktu malam."
Rukmi dan seorang pengawal yang dibimbing dengan tangan kiri tertawa. Kemudian pengawal yang bernama Miyem itu ikut bicara.
"Tetapi esok pagi, engkau akan memperoleh kesempatan menikmati keindahan alam gunung Wilis ini."
"Ya, dan tentu kalian akan sedia membantu aku bukan?"
"Tentu saja! Engkau tamu majikan kami. Merupakan kewajiban kami semua, untuk membantu kebutuhanmu."
Tak lama kemudian mulailah mereka masuk ke desa Lumbungkerep. Sekalipun desa di atas gunung, namun jalan desa itu cukup baik. Tidak berdebu, karena jalan itu diberi dasar batu-batu gunung yang diatur. Dan walaupun cuaca gelap, Titiek Sariningsihpun masih bisa melihat bahwa pagar-pagar pekarangan diatur begitu rapi, dengan pagar hidup yang dilengkapi dengan anyaman belahan bambu.
Setelah berkali-kali membelok, mendadak jalan yang dilalui menurun. Titiek Sariningsih baru sadar ketika kakinya menyentuh air yang dingin. Ternyata jalan yang menurun itu, melewati sungai kecil yang airnya mengalir dengan deras. Setelah sampai di atas tebing sungai kecil itu, tiba-tiba Titiek SariningSih terbelalak heran. Di depannya sekarang tampak beberapa lampu dipasang sebagai penerangan jalan. Lalu tampak oleh Titiek Sariningsih sebuah pintu gerbang, yang dijaga oleh empat orang laki laki bersenjata pedang. Empat orang penjaga itu cepat-cepat membuka pintu dan memberikan hormatnya, ketika Gadis Baju Kuning itu melangkah memasuki pintu gerbang. Demikian pula kepada para pengawal. Dan walaupun empat orang itu semuanya terdiri dari laki laki muda, sedang yang lewat rata-rata berwajah cantik, akan tetapi penjaga itu begitu sopan. Tidak berani main mata ataupun mulutnya cengar-cengir.
Setelah lewat pintu gerbang tersebut sampailah pada halaman yang luas penuh dengan tanaman bunga dan buah buahan. Ternyata pekarangan rumah ini dipagar dengan batu gunung yang ditumpuk dan diatur rapi, dan
tingginya lebih dua meter. Diam diam Titiek Sariningsih
bisa menduga bahwa di sinilah rumah Gadis Baju Kuning itu.
Agak jauh di sebelah kanan. Titiek Sariningsih melihat sebuah rumah agak besar lampunya agak terang. Di rumah itu ia melihat beberapa orang laki-laki muda sedang duduk menggerombol dan bercanda.
"Ah, kiranya di samping murid-murid perempuan, mempunyai pula murid laki-laki."
pikir Titiek Sariningsih.
"Jadi. Gadis Baju kuning ini, puteri seorang tokoh perguruan? Pantas begitu dihormati dan berilmu tinggi."
Tibalah kemudian Titiek Sariningsih di depan sebuah rumah berbentuk kuno. Berdinding papan kayu kasar. Titiek Sariningsih lalu dibimbing oleh Gadis Baju Kuning itu bersama Mulatsih, langsung diajak masuk ke dalam rumah. Tetapi tujuh orang pengawal tersebut, tak langsung masuk dan melangkah lewat pinggir rumah.
"Damayantikah itu ?"
terdengar suara halus dari dalam rumah, akan tetapi suara itu cukup berwibawa.
Tiba tiba Gadis Baju Kuning itu menjatuhkan diri berlutut didepan pintu. Mulatsih dan Titiek Sariningsih meniru, menjatuhkan diri pula dan ikut berlutut. Lalu terdengar suara Gadis Baju Kuning itu menyahut,
"Benar eyang, saya Damayanti."
( Bersambung jilid 17 )
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 17 18
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
SEKARANG baru tahulah Titiek Sariningsih, bahwa Gadis Baju Kuning yang telah menolongnya ini,
bernama Damayanti.
Yang membuat Titiek Sariningsih
heran dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa sebabnya hanya nama saja dirahaSiakan?
Dari dalam segera terdengar Suara yang tadi.
"Masuklah!"
Mendadak pintu rumah terbuka, dan Titiek Sariningsih merasa disambar oleh angin yang halus. Tanpa bisa dicegah lagi, dirinya sudah bangun berdiri seperti diangkat orang. Diam-diam Titiek Sariningsih kagum. Tentu angin halus yang mengangkat tubuhnya tadi, bukan angin biasa. Tetapi merupakan sambaran tenaga halus dari jarak jauh. Demikian pula pintu yang terbuka tiba-tiba itu, tentu terbuka oleh tenaga halus itu pula,
Begitu memandang ke dalam rumah belakang, Titiek Sarinigsih terbelalak. Di tengah ruangan tersebut, tampak seorang kakek yang sudah amat tua sekali duduk bersila tanpa bergerak. Dua lengannya menumpang pada lutut, sedang telapak tangannya dipersatukan di antara dua lutut. Baik rambut, alis, kumis maupun jenggotnya semua sudah putih seperti kapas. Rambut yang putih itu dibiarkan terurai lepas di belakang punggung .Kumisnya
yang putih itu panjang menjuntai di kiri-kanan mulut. Sedang jenggotnya yang putih tersebut begitu panjang, menjuntai di depan dada. Sulit ditaksir, berapa puluh tahun usia kakek ini. Wajahnya sudah penuh keriput, akan tetapi masih tampak agung dan berwibawa.
Titiek Sariningsih ragu-ragu untuk masuk. Tetapi ia disentuh oleh Damayanti, sebagai isyarat supaya mengikuti masuk. Akan tetapi bukannya melangkah seperti biasa. Melainkan melangkah sambil berjongkok (laku dodok-Jawa), seperti biasanya yang berlaku dalam kalangan bangsawan, untuk menghormati. Tentu saja Titiek Sariningsih yang tidak biasa, menjadi kikuk. Sebab walaupun ia dilahirkan oleh keluarga bangsawan, namun ketika masih di tengah keluarganya, ia masih begitu kecil.
Kakek itu tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepalanya, agaknya gembira melihat bocah yang pandai menghormati orang tua. Tiga orang gadis ini kemudian berhenti dan duduk bersila tanpa bergerak, di depan kakek tersebut dalam jarak lebih kurang dua depa.
"Ehh, syukur engkau dapat menolong Mulatsih dari penjara Kendeng,"
kata kakek itu dengan suaranya yang halus.
Yang membuat Titiek Sariningsih terbelalak heran mengapa bibir kakek itu tidak tampak bergerak. Namun suaranya terdengar jelas.
"Berkat doa dan restu eyang, saya berhasil menolong tanpa kesulitan,"
sahut Damayanti.
"Dan saya menghaturkan terima kasih kepada eyang yang telah membebaskan saya dari tawanan,"
kata Mulatsih, sedang mata gadis jelek ini berkaca-kaca mau menangis.
"Segala yang lewat tak perlu kanpikirkan lagi. Mulatsih"
kakek itu menasihati.
"Percayalah, bahwa Tuhan akan selalu menolong umatNya yang tak bersalah"
Kakek ini berhenti sebentar. lalu terusnya,
"Dan siapakah bocah ini, Damayanti ?"
"Titiek Sariningsih,"
jawab Damayanti.
Lalu Gadis Baju Kuning ini menceritakan apa yang telah terjadi menolong Titiek Sariningsih yang pingsan melawan Sungsang.
"Ya Tuhan. terimakasih aku ucapkan padaMu,"
tibatiba kakek itu menyebut nama Tuhan.
"Ya Tuhan engkau telah mempertemukan aku dengan pewaris Ki Ageng Kebo Kanigoro."
"Ahhhhh.......!"
tak dapat dicegah lagi, gadis cilik ini sudah bertanya.
"Bagaimana eyang tahu, bahwa Titiek salah seorang pewaris guru Ki Ageng Kebo Kanigoro atau Ki Ageng Purwoto Sidik?"
"Aihh.......!"
berganti sekarang kakek tua ini berseru tertahan.
"Pantas, aku kehilangan jejak. Ternyata sudah mengganti nama dengan Ki Ageng Purwoto Sidik. Hemm, anak, engkau heran agaknya, begitu bertemu engkau, aku sudah mengatakan bahwa engkau pewaris Ki Ageng Kebo Kanigoro? Pedang lemas yang kausimpan pada pinggang itulah sebagai tanda dan pengenal."
"Ahhh......!"
lagi-lagi Titiek Sariningsih berseru tertahan.
Sungguh hebat, pikir bocah ini. Pedang lemas yang ia sembunyikan dan tertutup baju, ternyata tak lepas dari pengamatan kakek itu. Ini membuktikan bahwa kakek tua ini, tak terukur lagi ketinggian ilmunya.
Karena kakek itu sudah tahu tentang pedang lemas Si Buntung yang ia sembunyikan di dalam baju. maka tiada gunanya lagi berpura-pura. Diambillah pedang Pusaka tersebut, lalu diangsurkan kepada kakek tersebut sambil berkata,
"Apabila eyang menghendaki, maka pedang Pusaka ini saya persembahkan kepada eyang."
Kakek tua itu terkekeh, akan tetapi suaranya terdengar sejuk. Mata yang redup itu mengamati Titiek Sariningsih, kemudian katanya,
"Anak, engkau jangan keliru duga. Bukannya aku minta pedang, anak. Sebab pedang pusaka itu adalah hakmu sebagai pewaris Ki Ageng Kebo Kanigoro. Tetapi, ya, oleh sikapmu ini, aku menjadi kagum. Tidak mengecewakan engkau menjadi murid Ki Ageng Kebo Kanigoro, yang telah berganti nama Ki Ageng Purwoto Sidik. Juga akupun kagum akan tepatnya gurumu memilih engkau sebagai muridnya. Dan di samping itu, engkaupun merupakan seorang yang rejekinya besar sekali, anak."
"Tapi...... tapi menjadi murid guru Ki Ageng Purwoto Sidik tidak sengaja, eyang."
jawab Titiek Sariningsih.
"Sebab beliau telah lama meninggal..."
"Hhh.. apa......? Kau bilang Ki Ageng Purwoto Sidik sudah meninggal?"
kakek itu membelalakkan matanya seakan tidak mau percaya.
Kalau kakek itu heran, Titiek Sariningsih sendiripun menjadi heran pula.
Mana mungkin Ki Ageng Kebo Kanigoro yang hidup pada jaman Demak itu, sekarang masih hidup?
Padahal Jaka Tingkir sendiri sebagai anak kemenakan Ki Ageng Kebo Kanigoro, yang kemudian menduduki tahta Kerajaan Pajang, juga sudah amat lama meninggal. Sultan HadiWijoyo (Jaka Tingkir) telah meninggal pada tahun 1582 dalam usia tua. Padahal sekarang sudah tahun 1626. Kalau sekarang masih hidup, berarti usianya sudah lebih 150 tahun.
Manakah mungkin?
"Eyang......"
kata Titiek Sariningsih kemudian,
"guru Ki Ageng Kebo Kanigoro alias Ki Ageng Purwoto Sidik itu, sekarang bersemayam di Banyubiru, tak jauh letaknya dengan Taruwongso dan Pegunungan Kidul. Saya menjadi murid guru tidak sengaja. Menemukan peti batu yang tersimpan di bawah pohon beringin tua yang tumbang."
Akan tetapi kakek itu berdiam diri. Dan Titiek Sariningsih, Damayanti maupun Mulatsih menjadi kaget dan heran, ketika ia melihat ada dua titik air mata yang menitik dari mata kakek yang telah berkeriput itu. Mereka tidak berani membuka mulut, dan tetap duduk tanpa bergerak. Entah mengapa sebabnya kakek tua renta ini tiba-tiba menangis.
Tak lama kemudian kakek tua renta itu menyapu air mata yang menitik pada pipi tuanya, lalu berkata lirih, akan tetapi bibirnya tidak nampak bergerak,
"Anak, tentunya engkau menjadi kaget dan heran mengapa aku tadi hampir tidak percaya, mendengar ceritamu bahwa Ki Ageng Kebo Kanigoro sudah tiada. Ahhh.... aku ini yang telah pikun menjadi amat pelupa. Ya Tuhan... akibat Engkau terlalu panjang memberi usia padaku. hambaMu ini tidak menyadari keadaan diri. Anakku dan menantuku, juga isteriku, sudah meninggal amat lama. Ya... ketahuilah bahwa usiaku sekarang ini sudah 151 tahun........."
"Ahhh........"
lagi-lagi Titiek Sariningsih berseru tertahan.
Pikirnya, pantas sudah begitu tua.
Tetapi mengapa kakek ini bisa berumur begitu panjang?
Baru sekali ini saja, ia berhadapan dengan seorang yang berusia lebih 100 tahun.
Mengapa bisa terjadi?
"Anak, memang Tuhan mengaruniai aku umur terlalu panjang. Nanti engkau akan segera tahu, siapakah aku
ini"
kakek itu berkata tanpa menggerakkan bibirnya.
"Sekarang simpanlah kembali pedang pusaka milikmu itu. Dan aku ingin sekali mendengar ceritamu, bagaimanakah engkau dapat menjadi murid Ki Ageng Kebo Kanigoro itu."
Sebelum Titiek Sariningsih sempat menyawab, Damayanti telah mendahului,
"Eyang...... memang sesungguhnya pedang lemas tersebut yang menarik perhatian saya untuk mengajak adik Titiek Sariningsih ini menghadap eyang. Sebab saya masih ingat akan cerita eyang tentang sebatang pedang pusaka yang lemas, sedang ujungnya buntung."
Kakek yang sudah berusia lebih 150 tahun itu menghela napas pendek. Jawabnya,
"Ya, aku memang pernah menceritakan soal pedang pusaka tersebut, baik kepada engkau, ibu atau ayahmu. Maka betapa gembira hatiku, engkau berhaSil membawa kemari pewaris Ki Ageng Purwoto Sidik ini."
Kakek itu menatap Titiek Sariningsih, lalu terusnya,
"Coba kauceritakan bagaimana engkau menemukan warisan gurumu itu."
Tanpa ragu sedikitpun lagi, Titiek Sariningsih segera menceritakan apa yang sudah dialami bersama Sindu. Namun demkian Titiek Sanningsihpun mengakui, bahwa dirinya belum dapat menyelami ilmu warisan tersebut, karena waktunya belum cukup.
"Kalau begitu, gurumu yang pertama itu,
sekarang merupakan kakak seperguruanmu pula ?"
tanya kakek tua ini.
"Benar, eyang, dan sayang... saat ini kami berpisah tanpa sengaja."
Titiek Sariningsih berterus-terang.
"Ahhhw.. betapa gembira hatiku, kalau kakak seperguruanmu yang bernama Sindu itu dapat pula berkenalan dengan aku. Tahukah engkau anak, mengapa begitu besar perhatianku kepada Ki Ageng Purwoto Sidik itu ?"
"Tidak, eyang."
Titiek Sariningsih menggeleng.
"Ketahuilah anak, bahwa sebenarnya Ki Ageng Kebo Kanigoro, yang kemudian berdiam di Banyubiru berganti nama Ki Ageng Purwoto Sidik, dan yang ternyata kemudian meninggal dan bermakam di tempat itu pula, adalah kakak seperguruanku......"
"Ahh..."
sekarang bukan hanya Titiek Sariningsih yang berseru tertahan, tetapi juga Damayanti dan Mulatsih.
Memang Damayanti belum pernah diberi tahu oleh kakeknya, bahwa Ki Ageng Kebo Kanigoro itu kakak seperguruannya. Ia hanya banyak kali mendengar cerita kakeknya bahwa di jaman Demak Bintoro,'hiduplah seorang sakti berhati emas, bernama Ki Ageng Kebo Kanigoro.
Tanya Damayanti kemudian,
"Eyang...... kalau begitu. bagaimanakah saya sekarang, kalau menyebut.... dia? Ehh.... maafkanlah saya yang telah kurang menghargai eyang perguruanku sendiri......."
"Ihhh... aku...... nenek perguruanmu......?"
Titiek Sariningsih terbelalak.
Kakek yang sudah pikun itu tersenyum. Kemudian katanya,
"Damayanti, akan kurang enak didengar orang, jika engkau nanti menyebut kemenakan perguruan ini, dengan sebutan eyang (nenek) perguruan. Mengingat bahwa Titiek Sariningsih berusia lebih muda dan dalam pada itu mungkin pula dalam hal ilmu masih di bawah tingkatanmu maka gunakanlah sebutan yang telah engkau pergunakan. Anggaplah dirimu lebih tua, sehingga lebih pantas memanggil adik."
Titiek Sariningsih masih belum berkurang rasa herannya.
Mengapa dirinya merupakan nenek perguruan!
Mengapa bukan bibi perguruan?
Agaknya kakek itu dapat menduga perasaan Titiek Sariningsih. Kemudian katanya,
"Anak, tentu engkau heran mengapa menurut urutan perguruan dari aku, Damayanti merupakan cucu perguruan? Dengarlah anak, bahwa sesungguhnya Damayanti ini bukanlah cucuku, melainkan cicitku."
"Ahh..."
lagi-lagi Titiek Sariningsih berseru tertahan.
Jadi kakek tua ini merupakan kakek buyut Damayanti?
Ketika itu, masuklah seorang laki-laki dan perempuan setengah baya. Yang laki laki bertubuh jangkung tetapi wajahnya tampan, sedang yang perempuan bertubuh langsing dan amat cantik. Wajahnya mirip sekali dengan Damayanti. Maka diam-diam Titiek Sariningsih menduga, bahwa laki laki dan perempuan ini tentu ayah dan ibu Damayanti. Dua orang itu masuk ke rumah ini seperti yang tadi dilakukan oleh Damayanti dan dirinya. Tidak melangkah seperti biasa, melainkan laku dodok (berjalan menggunakan ' lutut ).
"Nah, kenalkanlah dirimu Titiek. mereka berdua ini adalah orang tua Damayanti."
kakek itu berkata,
"Ibu Damayanti adalah cucuku. Sedang ayah Damayanti adalah cucu menantu."
Titiek Sariningsih yang sudah mengenal sopan-santun, segera memberikan hormatnya kepada ayah dan ibu Damayanti, sambil memperkenalkan namanya.
"Ya, aku tadi sudah mendengar cerita Rukmi, bahwa engkau memiliki sebatang pedang lemas dengan ujung buntung. Cerita itu amat menarik perhatianku, dan itulah sebabnya aku dan suamiku ingin pula bertemu,"
kata ibu Damayanti dengan suaranya yang merdu.
"Tetapi ehh.... biarkanlah bocah ini mengurangkan penatnya dengan membasuh tubuh,"
kata kakek tua itu.
"Damayanti, antarkan dia. Sesudah itu ajaklah makan. Nanti aku akan menceritakan peristiwa yang amat menarik. Peristiwa yang selama ini kusimpan dalam hati. Mengapa aku sekarang ingin bercerita? Tak lain apa yang telah lama aku harapkan, malam ini telah dikabulkan Tuhan. Dengan datangnya Titiek Sariningsih sebagai pewaris kakak seperguruanku Ki Ageng Kebo Kanigoro."
Tentu saja Damayanti menjadi gembira sekali memperoleh janji kakeknya. Selama ini, diam-diam ia memang penasaran dan kurang mengerti. Mengapa eyangnya itu dengan kerasnya melarang dirinya memperkenalkan nama kepada umum. Hingga orang yang telah mengenal dirinya, hanya bisa menyebut "Gadis Berbaju Kuning". Sejak lama eyangnya itu selalu ia desak tentang alasannya itu, akan tetapi selama ini tidak pernah diberikan. Kakeknya selalu berputar-putar dan berbelit-belit, dalam menjawab, seakan menghindarkan diri dari pokok persoalan.
Demikianlah, tiga orang gadis ini kemudian keluar dan menuju sumber air.
Di luar rumah hawa terasa amat dingin menusuk tulang. Bagi orang biasa, hawa sedingin ini membuat orang malas ke luar rumah. Akan tetapi mereka ini merupakan gadis-gadis luar biasa. Gadis yang sudah terlatih, dan dalam tubuhnya sudah beredar hawa sakti. Berkat perlindungan hawa sakti dalam tubuh ini, maka sekalipun hawa amat dingin seperti tidak terasa. Dan merekapun
kemudian mandi dengan air yang sedingin air es sambil bercanda, tanda mereka tidak merasa kedinginan.
Setelah mandi dan berganti pakaian bersih, ternyata rasa tubuh mereka lebih enak dan nyaman, Lalu diajaklah Titiek Sariningsih dan Mulatsih ke ruangan makan. Mereka dilayani oleh Rukmi dan Domasri, dan Titiek Sariningsih yang sudah amat kelaparan itu tanpa malu malu lagi makan dengan amat lahapnya. Sebab sudah sejak kemarin malam ia kelaparan. Maka semua makanan yang dihadapi rasanya amat lezat. Namun sekalipun ia amat lapar, ia tak dapat makan lebih banyak dari biasanya. Perutnya terasa tak kuat untuk makan berlipat ganda, guna melunasi hutangnya pada perut yang tidak makan sehari semalam.
Selesai mengisi perut, tiga orang gadis ini kembali masuk ke dalam rumah besar. Di mana ayah bunda Damayanti masih tetap duduk didepan kakek tua renta itu. Begitu mereka kembali duduk didepannya, kakek ini bertanya,
"Nah, tentunya kamu sekarang sudah memperoleh kesegaran baru. Mari sekarang dengarkan baik-baik, aku akan membeberkan peristiwa seratus tahun lebih yang lalu."
Tentu saja mereka menjadi amat tertarik sekali. Peristiwa yang terjadi lebih 100 tahun yang lalu, adalah langka bisa diceritakan oleh seseorang yang mengalami sendiri. Biasanya orang bisa menceritakan, hanya berdasarkan, cerita para sepuh, yang mendasarkan cerita itu dari cerita ayah, embah dan leluhurnya.
Kakek tua itu mendehem. Kemudian memulai.
"Cerita ini bakal berguna bagi hidupmu kelak kemudian hari. Akan tetapi sebelum aku menceritakan semua ini, berjanjilah kamu bahwa semua ini jadikan rahasia dalam
hatimu. Berjanjilah bahwa kamu semua tidak akan menceritakan kepada siapapun,"
Atas permintaan ini, kemudian ayah Damayanti memimpin semua yang hadir, untuk berjanji di depan kakek itu. Dan kakek ini tampak lega, setelah mendengar mereka benar-benar berjanji.
"Baiklah cerita ini aku awali dengan terdapatnya Lima orang saudara seperguruan, bernama Kebo Kanigoro, Kebo Kenongo. Lontang semarang. Ki Ageng Tingkir dan Gajah Seto. Lima orang saudara seperguruan ini adalah murid-murid setia dari Seorang wali bernama. Syekh Siti Jenar. Juga dikenal dengan Syekh Lemah Bang atau "Syekh Lemah Abang. Di antara lima orang murid itu, Lontang Semaranglah merupakan murid tertua, dan ke manapun hampir tak pernah berpisah. Tetapi ah....."
kakek itu berhenti dan menghela napas.
Semua yang hadir berdiam diri dan hanya mengamati kakek itu, yang tiba tiba nampak bersedih hati. Setelah sesaat berhenti dan menghela napas. lalu terusnya,
"..... guru yang baik hati dan murid tertua itu, kemudian mati dibunuh para wali..."
"Ahhh. ahhh......!"
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak tercegah lagi mereka yang hadir berseru tertahan.
Kemudian ayah Damayanti memberanikan diri bertanya.
"Apakah salah mereka, eyang?"
"Hemm......"
kakek yang telah berusia lebih l50 tahun itu menghela napas panjang.
Tak lama kemudian sahutnya,
"Guru yang baik hati itu, dituduh oleh para wali mengajarkan ilmu yang dapat membahayakan perkembangan Agama Islam. Sedang murid tertua bernama Lontang Semarang itu ikut_mati dibunuh, karena membela guru.... .."
"Eyang... diantara lima orang saudara seperguruan itu, apakah salah seorang termasuk eyang sendiri?"
tanya ibu Damayanti yang mulai bisa menduga duga.
"Heh-heh-heh,"
kakek tua itu terkekek perlahan.
"Gajah Seto itulah sesungguhnya aku ini, yang kemudian hanya dikenal dengan sebulan Ki Ageng Lumbungkerep."
"Apakah yang dimaksud dalam tuduhan para wali, bahwa Syekh Siti Jenar itu dipersalahkan memberi pelajaran ilmu yang dapat membahayakan perkembangan Agama Islam?"
desak ibu Damayanti lagi.
"Sesungguhnya, sampai sekarang aku sendiri belum bisa jelas apa yang dimaksud oleh para wali itu,"
jawab kakek tua ini, yang ternyata ketika mudanya bernama Gajah Seto dan setelah tua hanya dikenal dengan nama Ki Ageng Lumbungkerep.
"Namun setelah aku pikun seperti sekarang ini, dan setelah mawas diri puluhan tahun lamanya, aku bisa mengatakan, bahwa kiranya yang dimaksud ajaran yang membahayakan
Islam itu, adalah karena guru mengajarkan tasawwuf yang disesuaikan dengan paham-paham yang telah ada di Jawa ini. Dengan begitu, mungkin sekali guru dipersalahkan telah mencampuradukkan ajaran Islam dengan paham a'paham yang hidup dalam masyarakat. Juga tentang ilmu makrifat, sehingga membuat para wali khawatir apabila rakyat kurang bisa menangkap maksudnya dan membingungkan rakyat itu sendiri. Aku bisa mengerti alasan para wali, sebab ketika itu Agama Islam baru berusaha mendesak pengaruh Agama Hindu dan Buddha yang sudah lebih dahulu dianut oleh masyarakat Jawa."
Ki Ageng Lumbungkerep berhenti, seakan sedang mengingat-ingat peristiwa yang sudah lama berlalu. Kemudian terusnya,
"Ya, memang guru Syekh Siti Jenar bisa dikatakan terlalu blak-blakan. Maksudnya memang akan mendekatkan ajaran Islam dengan masyarakat, agar cepat berkembang dan disukai. Tetapi caranya yang keliru! Berbeda dengan seorang wali yang kemudian namanya amat terkenal, bernama Sunan Kalijogo .Walaupun Sunan Kalijogo berpikir mirip dengan guru Syekh Siti Jenar, bahwa untuk mengembangkan Agama Islam perlu mendekati hati rakyat dan memperhatikan kepentingannya, akan tetapi caranya lebih cerdik dan tidak membahayakan Islam itu sendiri. Kangjeng Sunan Kalijogo dalam usaha menarik perhatian rakyat agar masuk Agama Islam, menggunakan gamelan yang ditabuh di dalam pelataran masjid Demak pada Maulid Nabi Besar Muhammad. Yang kemudian hari dan kelak seterusnya, dikenal orang dengan nama gamelan Sekati."
Ki Ageng Lumbungkerep kembali berhenti. tampak sedang mengingat-ingat. Sejenak kemudian ia meneruskan,
"Setelah terjadi peristiwa dibunuh matinya guru Syekh Siti Jenar tersebut bersama kakang Lontang Semarang, tinggal empat orang saja muridnya yang masih hidup. Guna menyelamatkan diri dari kejaran para wali, maka kemudian empat orang saudara seperguruan itu berpisah. Aku merantau menurutkan kehendak hati, demikian pula kakang Kebo Kanigoro. Hanya dua orang dari saudara seperguruanku yang tidak giris oleh peristiwa dibunuh matinya guru Syekh Siti Jenar dan kakang Lontang Semarang. Ialah kakang Kebo Kenongo yang menjabat sebagai Adipati Pengging, dan Ki Ageng Tingkir yang berdiam di desa Tingkir. Memang terdapat perbedaan pendapat antara aku dan kakang Kebo Kanigoro di satu pihak, dengan kakang Kebo Kenongo dan kakang Ki Ageng Tingkir. Aku dan kakang Kebo Kanigoro berpendapat bahwa kita perlu mempertahankan hidup, agar warisan ilmu dari guru kita tidak hilang tanpa bekas.
Maka perlu menyelamatkan diri. Akan tetapi sebaliknya kakang Kebo Kenongo dan kakang Ki Ageng Tingkir menganggap _bahwa sikapku itu pengecut. Sebagai seorang ksatrya, mengapa harus takut akan datangnya maut? Justeru dengan maut tersebut, terbebaslah kita Ini dari Siksa dunia. Mengapa harus takut mati? Yang hidup tentu mati. Dan bagaimanakah rasanya manusia mati itu, mengapa ditakuti?"
"Eyang, mengapa eyang Kebo Kenongo itu bisa menjabat sebagai adipati?"
sela Damayanti yang tertarik.
"Oh... ya. aku lupa memberitahukan padamu. Ketahuilah bahwa kakang Kebo Kanigoro dan kakang Kebo Kenongo itu adalah putera Adipati Handayaningrat di Pengging. Adipati Handayaningrat tersebut, adalah keturunan Raja Majapahit. Maka setelah Adipati Handayaningrat meninggal sudah barang tentu jabatan tersebut digantikan oleh puteranya. Dan karena kakang Kebo Kanigoro tidak suka memangku jabatan tersebut. maka kakang Kebo Kenongolah yang menggantikannya."
"Eyang. apabila saya boleh mohon keterangan. mengapa sebabnya eyang dapat menjadi saudara seperguruan dengan keturunan Raja Majapahit?"
tanya ayah Damayanti.
Ki Ageng Lumbungkerep mengangkat alisnya.
'Apa maksudmu ?"
"Eyang tadi menyebut bahwa eyang Kebo Kanigoro maupun eyang Kebo Kenongo adalah keturunan Raja Majapahit. Padahal eyang, menurut silsilah keturunan, adalah keturunan eyang Ronggo LaWe Tuban"
"Ahh..."
Titiek Sariningsih berseru tertahan, memotong kata-kata ayah Damayanti yang belum selesai.
Ayah Damayanti menatap Titiek Sariningsih dan bertanya.
"Mengapa engkau kaget?"
"Ah..... ah."
Titiek Sariningsih tergagap.
"..... kalau begitu...... mempunyai leluhur yang sama dengan saya. Sebab ayah saya bernama Tumenggung Kebo Bangah."
"Apakah engkau mengenal nama eyangmu?"
tanya Ki Ageng Lumbungkerep.
"Ahhh..... ketika saya meninggalkan Tuban, saya masih begitu kecil,"
sahut Titiek Sariningsih.
Kemudian gadis Cilik ini berusaha mengumpulkan ingatannya. Sesaat kemudian terusnya,
"Ahh, saya ingat.... ya ingat akan nama eyang. Ayah yang memberi tahu, namanya Kebo Pangesti."
"Ya Tuhan "
tiba-tiba Ki Ageng Lumbungkerep menyebut nama Tuhan.
"Terima kasih atas limpahan rahmatMu. Tanpa sengaja Engkau telah mempertemukan hambaMu ini, dengan cucuku sendiri."
"Bagaimana bisa demikian?"
tanya Titiek Sariningsih dengan nada keheranan.
"Ya, karena aku memang sengaja mengasingkan diri dan menyembunyikan diri, maka silsilah keturunan selalu aku rahasiakan. Baiklah aku terangkan secara singkat tentang hubungan keluarga ini. Dahulu, eyang Ronggo LaWe berguru kepada eyang Selo Katon. Kemudian malah menjadi menantunya, karena memperisteri eyang puteri Sukeksi. Lahirlah kemudian anak laki-laki bernama Umbaran. Eyang Umbaran mempunyai dua orang putera dan seorang putri. Salah seorang dari putera itu bernama Mahisa Dirada. Mengapa yang aku sebutkan hanya seorang saya, karena beliaulah yang menurunkan kita ini. Lalu terlahirlah seorang wanita bernama Raden Ayu Sobrah. Kemudian mempunyai putera bernama Jayengranu. Disambung anaknya bernama Wisynu. Nah, dari eyangmu
wisynu ini, lahirlah kemudian anak laki-laki bernama Gajah Seto dan seorang anak perempuan bernama Raden Ayu Mirah. Anak yang bernama Gajah Seto itu bukan lain aku sendiri. Sedang Raden Ayu Mirah, adalah ibu Tumenggung Kebo Pangesti, eyangmu. Ahh, sungguh kebetulan sekali, secara tak terduga engkaupun cicitku sendiri. Maka tepat pula kiranya engkau menyebut Damayanti mbakyu, sedang kepada Damarjati ayah Damayanti ini, engkau memanggil uwa."
Tanpa sengaja dapat bertemu dengan eyang buyut dan ahli warisnya ini, Titiek Sariningsih amat gembira sekali.
"Nah, sekarang aku jawab pertanyaan Damarjati,"
kata Ki Ageng Lumbungkerep meneruskan ceritanya.
"Cucuku, dalam sejarah hidup kita memang terbukti bahwa eyang Ronggolawe dahulu, gugur dalam pertempuran melawan Kebo Anabrang. setelah eyang Ronggolawe memberontak kepada Majapahit, sebagai akibat sakit hati. Akan tetapi tepatkah apabila kemudian keturunan-keturunannya saling bermusuhan sebagai akibat sejarah leluhurnya? Tentu saja hal itu tidak benar. Itulah sebabnya walaupun aku bisa dikatakan keturunan pemberontak, sedang kakang Kebo Kanigoro dan kakang Kebo Kenongo merupakan keturunan Raja Majapahit, kami dapat menjadi saudara seperguruan yang amat baik."
Ki Ageng Lumbungkerep mengamati mereka agaknya mencari kesan. Setelah tidak ada yang mengajukan pertanyaan, ia meneruskan ceritanya.
"Baiklah sekarang kita teruskan ceritaku. Begini. di waktu guru Syekh Siti Jenar dan kakang Lontang Semarang dihukum mati, yang menduduki tahta Kerajaan Demak Bintoro, adalah Panembahan Patah. Karena merasa penasaran maka kakang Kebo Kenongo tidak sudi memenuhi kewajibannya sebagai adipati. Tidak mau datang ke Demak Bintara menghadap raja. Oleh Sikap kakang Kebo Kenongo ini, Panembahan Patah menjadi amat marah. Kakang Kebo Kenongo dituduh memberontak. Lalu diutuslah salah seorang wali untuk datang ke Pengging. Ialah Sunan Kudus. Bukan hanya seorang diri, melainkan sudah memimpin sepasukan perajurit, kalau perlu akan memerangi Pengging."
Ki Ageng Lumbungkerep berhenti lagi. Setelah menelan ludah, dan kemudian minum air teh yang tersedia, terusnya,
"Perlu engkau ketahui, bahwa kakang Kebo Kenongo telah mempunyai seorang putera, diberi nama Karebet, yang kelak kemudian hari menjadi Raja Pajang. Akan tetapi Karebet kemudian diminta oleh kakang Ki Ageng Tingkir, karena beliau tidak mempunyai seorangpun putera. Tetapi agaknya meninggalnya guru Syekh Siti Jenar dan kakang Lontang Semarang, membuat kakang Ki Ageng Tingkir selalu susah hati. Maka waktu Karebet berusia 3 tahun, meninggallah kakang Ki Ageng Tingkir. Hem...... sayang waktu itu aku sedang pergi merantau, sehingga tidak mendengar meninggalnya kakang Ki Ageng Tinggir. Hingga aku sebagai saudara seperguruannya tidak datang melayat."
"Meninggalnya kakang Tingkir ini, bagi kakang Kebo Kenongo merupakan pukulan batin. Ah, kasian juga kakang Kebo Kenongo. Di antara saudara seperguruannya, tinggal kakang Kebo Kanigoro dan aku. Akan tetapi kakang Kebo Kanigoro menghilang tak terdengar beritanya, sedang aku sendiripun _juga selalu berkelana. Ia merasa bahwa hidupnya hanya seorang diri, maka ia selalu bersedih dan tak kerasan lagi hidup. Secara kebeiulan, datanglah utusan Panembahan Jimbun (Patah), yang bernama Sunan Kudus itu ke Pengging. Pendeknya Sunan Kudus mendesak apakah maksud kakang Kebo Kenongo, yang tak mau memenuhi kewajibannya datang ke Demak. Dan kakang Kebo Kenongo yang sudah setengah mengharapkan kematian itupun, menjawab seenaknya. Kalau Raja Demak Bintoro sekarang ini keturunan Majapahit, dirinyapun keturunan Majapahit. Berarti sama-sama keturunan raja. Ia mempunyai kemerdekaan hidup, mengapa harus diwajibkan menghadap ke Demak setiap tahun ?"
Ki Ageng Lumbungkerep menghela napas lagi. Tiba tiba Damayanti bertanya,
"Eyang, apakah dengan jawaban seperti itu, bukan berarti terang-terangan tidak patuh kepada raja dan memberontak?"
"Ya, menurut pendapat umum memang demikian. Kakang Kebo Kenongo bisa dituduh sengaja memberontak,"
sahut Ki Ageng Lumbungkerep.
"Akan tetapi sesungguhnya kakang Kebo Kenongo mempunyai keyakinan bahwa dirinya bukanlah kawula Demak. Hemm, tentang keyakinan ini tak perlu kalian mendesak aku dan ingin tahu. Pendeknya dengan jawaban kakang Kebo Kenongo itu, Sunan Kudus segera menuduh bahwa kakang Kebo Kenongo sengaja melawan raja dan memberontak. Tetapi sudah tentu kakang Kebo Kenongo menolak tuduhan itu. Ia tidak memberontak dan tidak merasa melakukan sesuatu kesalahan. Atas jawaban itu, Sunan Kudus baru bisa percaya tidak memberontak, asal saja sedia bersama dirinya datang menghadap kepada raja di Demak. Manakah mungkin kakang Kebo Kenongo sudi menuruti kehendak Sunan Kudus ini? Kakang Kebo Kenongo tetap kukuh pada pendiriannya. Dirinya tak memberontak dan melawan raja namun juga tidak sudi dipaksa supaya menghadap raja. Jawaban ini tentu saja membuat Sunan Kudus marah. Kalau demikian, Orang yang melawan raja harus menyerah untuk dibunuh mati."
"Mendengar ancaman Sunan Kudus itu, kakang Kebo Kerongo tertawa. Siapapun takkan bisa membunuhnya. kalau dirinya sendiri tidak menghendaki. Jawaban ini membuat Sunan Kudus penasaran. Ia menggunakan senjata untuk membunuh kakang Kebo Kenongo yang sama sekali tidak melawan. namun segala usahanya tak berhasil. Tidak selembar bulu pada tubuhnya runtuh oleh sabetan pedang, tusukan keris maupun pukulan sakti."
"Ah. mengapa bisa demikian, eyang?"
tanya Damarjati.
"Kalau demikian. eyangpun memiliki kesaktian yang sama dengan eyang Kebo Kenongo ?"
Ki Ageng Lumbungkerep tersenyum.
"Sudahlah. soal ini tak perlu engkau perhatikan. Sebab manusia ini, tidak urung mesti mati sesuai dengan takdir Tuhan. Sedang tentang keselamatan seseorang bukanlah tergantung kepada kesaktian dan kekebalan tubuhnya. Akan tetapi keselamatan seseorang ditentukan bagaimanakah sikap hidupnya di dunia ini. Maka yang penting kamu ingat, berusahalah sahabat sebanyak-banyaknya, dan janganlah mempunyai seorangpun musuh. Sebab walaupun mempunyai seribu sahabat. apabila masih mempunyai seorang musuh, akan sangat membahayakan diri pula."
"Tetapi bagaimanakah dengan keadaan saya ini, eyang?"
tanya Damayanti tiba-tiba.
"Sesungguhnya aku memang tidak ingin bermusuhan dengan seorangpun. Akan tetapi, Kirtaji dan gerombolan penjahat Kendeng itu, perbuatannya tidak patut, sehingga memaksa diriku untuk bermusuhan."
"Apa yang engkau lakukan itu adalah lain,"
sahut Ki Ageng Lumbungkerep
"Engkau menempatkan dirimu sesuai dengan dharma baktimu, melawan kebatilan. melawan kesewenangan dan penindasan. Itu merupakan kewajiban bagi seorang ksatrya, dan bukan Sengaja mencari musuh. Mati dalam menunaikan tugas seperti itu, adalah mati mulia. Berarti gugur sebagai ratna.
Damayanti puas oleh jawaban kakek itu. Ia tidak membuka mulut lagi, sehingga untuk beberapa saat keadaan sepi. Ki Ageng Lumbungkerep batuk batuk. Lalu terusnya,
"Begitulah, tentu saja Sunan Kudus menjadi marah dan penasaran sekali, usahanya menghukum kakang Kebo Kenongo tidak berhasil. Lalu Sunan Kudus mencaci-maki. Menuduh bahwa kakang Kebo Kenongo pada lahirnya sedia mati, akan tetapi dalam hati masih sayang kepada nyawanya. Bukan hanya itu, malah menuduh pula bahwa kakang Kebo Kenongo menyombongkan kesaktiannya. Menghina Sunan Kudus. Menghina utusan raja, sama artinya pula menghina raja sendiri. Apakah kakang Kebo Kenongo tidak takut akan akibatnya menghina urusan raja?"
"Akupun sependapat dengan Sunan Kudus, eyang. Apakah itu bukan Sikap pengecut? Seseorang ksatiya, tidak benar apabila lain di bibir dan lain di hati!"
sela Damayanti, menunjukkan sikapnya yang tak senang.
Damarjati dan isterinya menatap Damayanti dengan pandang mata khawatir. kalau kakek itu sampai marah. Akan tetapi ternyata kekhawatiran suami isteri ini tidak beralasan. Sebab kakek itu terkekeh. Lalu jawabnya,
"Hem. jangan engkau cepat menuduh kakang Kebo Kenongo pengecut Sikapnya. Sebab dalam peristiwa ini bukan kakang Kebo Kenongo yang salah, melainkan Sunan Kudus sendiri yang bertindak kurang teliti."
Damayanti melengak heran. Lalu tanyanya,
"Mengapa kurang teliti?"
"Seharusnya tidak begitu saja bertindak tanpa menyelidik lebih dahulu. Begini kakang Kebo Kenongo itu seorang yang tidak sudi mati dengan nama ternoda. Mati sebagai seorang pemberontak. Padahal tidak pernah terpikir untuk memberontak. Tentu saja begitu Sunan Kudus menggunakan kekerasan, kakang Kebo Kenanga pun diam -diam melawan, sekalipun tampaknya hanya berdiam diri."
"Ahhh... tetapi mengapa akhirnya meninggal juga ?"
Damayanti heran.
"Tentu saja. Yang hidup mesti mati. Akan tetapi kakang Kebo Kenongo bukannya mati terbunuh oleh petugas Raja Demak, melainkan meninggal sesuai dengan takdir, dan ia sendiri memang sudah ikhlas akan nyawanya. Itulah sebabnya, setelah Sunan Kudus mencaci maki, kakang Kebo Kenongo berkata, ' Sunan Kudus, siapa yang bersalah dalam hal ini? Begitu tak dapat membunuh aku, engkau segera menuduh bahwa aku menyombongkan diri. Siapakah sesungguhnya yang sombong? Aku ataukah engkau? Engkau menganggap dirimu sendiri sebagai seorang sakti, sehingga meremehkan orang lain. Hemm, Sunan Kudus, siapakah orangnya yang mau mati dengan nada sebagai seorang pemberontak? Mati dihukum oleh petugas raja? Tentu saja tidak seorangpun yang sudi, demikian pula aku. Ya. Sunan Kudus, aku tidak sudi mati sebagai pemberontak. Akan tetapi sebaliknya kalau engkau mengingini aku mati, dan engkau minta padaku dengan Sikapmu yang baik, supaya aku menyerahkan nyawaku, itu adalah lain. Tak sulit aku mati."
"Kemudian bagaimana eyang?"
sela Damayanti lagi.
"Pada mulanya Sunan Kudus memang malu. Ia terus
berusaha membunuh dengan senjata-senjatanya yang ampuh. Tetapi ternyata semua senjatanya tidak mempan."
Ki Ageng Lumbungkerep menerangkan.
"Karena. usahanya tak juga berhasl, akhirnya Sunan Kudus menyerah dan terpaksa minta agar kakang Kebo Kenongo sedia mati dan menyerahkan nyawanya. Kakang Kebo Kenongo tersenyum. lalu memberitahukan kepada Sunan Kudus, tentang sarana dirinya mati, Disuruhlah Sunan Kudus menghunus golok kecil, dan kemudian dipersilahkan untuk melukai Siku belakangnya."
Titiek Sariningsih yang sejak tadi hanya berdiam diri, amat tertarik sekali, kemudian memberanikan diri menyela,
"Eyang, apakah golok kecil itu bisa melukainya? Bukankah tadi eyang mengatakan, tak mempan oleh senjata macam apapun?"
Ki Ageng Lumbungkerep tersenyum. Lalu jawabnya,
"Seperti sudah aku ceritakan tadi, diam-diam Ki Ageng Kebo Kenongo memang melawan. sehingga tidak mempan oleh senjata macam apapun. Hal itu bukan lain karena kakang Kebo Kenongo tidak mau mati dibunuh seperti itu. Akan tetapi setelah kakang Kebo Kenongo merelakan nyawanya, tentu saja golok kecil tersebut dapat melukainya. Begitulah, tanpa sungkan sungkan lagi Sunan Kudus segera melukai siku belakang kakang Kebo Kenongo. Begitu terluka, tak lama kemudian kakang Kebo Kenongo menghembuskan napasnya yang terakhir."
"Ahhh......!"
mereka yang hadir tanpa terasa telah berseru tertahan.
"Ya, takdir Tuhan telah tiba. Setelah kakang Tingkir meninggal dunia, kakang Kebo Kenongo menyusul. Aku mendengar peristiwa tertebut telah tiga tahun berlalu."
Ki Ageng Lumbungkerep menghela napas panjang.
"Betapa perasaanku ketika itu, sulit sekali aku lukiskan. Marah. penasaran dan masygul sekali. Mengapa Panembahan Jimbun itu begitu kejam? Kakang Kebo Kenongo sudah secara jujur menerangkan bahwa dirinya tidak ingin memberontak, tetapi juga tidak sudi diperintah datang menghadap ke Demak. Oleh dorongan rasa marah yang tak tertahankan itu, datanglah kemudian aku ke Demak Bintoro. Maksudku tidak lain untuk mengamuk, dan kalau perlu untuk membalas dendam. Akan tetapi ah. . . . . . "
"Mengapa, eyang?"
Damayanti heran.
Ki Ageng Lumbungkerep menghela napas panjang.
"Hemm...._. maksudku tidak terkabul ......"
"Apa sebabnya? Apakah eyang dikalahkan?"
tanya Damarjati.
"Bukan begitu."
Ki Ageng Lumbungkerep lagi-lagi menghela napas panjang.
"Ternyata ketika aku datang ke Demak, Panembahan Jimbun yang berdosa itu sudah meninggal dunia.....Raja Demak Bintoro sudah diganti oleh puteranya, Pangeran Sabrang Lor."
"Bukankah dosa raja itu bisa dilimpahkan kepada anaknya ?"
tanya Titiek Sariningsih.
"Heh-heh heh,"
Ki Ageng Lumbungkerep terkekeh perlahan,
"memang sering sekali orang sesat berpikir seperti cara berpikirmu. Orang yang bertanggung jawab tentang meninggalnya kakang Kebo Kenongo adalah Panembahan Patah. Bukan anak dan. bukan isteri, maupun keluarganya. Maka dosa tersebut tidak bisa dibebankan kepada orang lain. Kalau Panembahan Patah sudah mati, maka selesailah segala persoalan. Aku tidak dapat menimpakan kepada orang lain. Kalau aku sampai melakukan kepada orang lain, berarti aku sendiri yang lebih berdosa daripada Panembahan Patah."
Mendengar jawaban Ki Ageng Lumbungkerep itu,
Titiek
Sariningsih menjadi sadar dan malu. Dan sekalipun tidak langsung, Ki Ageng Lumbungkerep menjawab sambil memberikan nasihatnya.
"Demikianlah, yang masih hidup tinggal aku dan kakang Kebo Kanigoro. Aku berusaha mencari menjelajah dunia. Tetapi, usahaku itu tidak juga berhasil. Kakang Kebo Kanigoro lenyap seperti ditelan bumi. Ahh........"
Ki Ageng Lumbungkerep menghela napas panjang.
"Sungguh tak pernah kuduga sama sekali, bahwa kakang Kebo Kanigoro mengasingkan diri di tempat yang tak begitu jauh. Hanya mengasingkan diri di Sendang Sanga termasuk wilayah Gunung Kidul. Ternyata kakang Kebo Kanigoro telah berganti nama dengan Ki Ageng Purwoto Sidik, dan meninggal dunia di situ pula, yang dikenal orang dengan nama kuburan Banyubiru. Tetapi ah, bagaimanapun aku bersyukur juga. Tanpa sengaja aku telah dapat bertemu dengan pewaris kakang Kebo Kanigoro."
Ki Ageng Lumbungkerep mengamati Titiek Sariningsih. Lalu katanya lagi,
"Titiek, mulai esok pagi, aku ingin melihat sendiri sampai di mana ilmu warisan kakang Kebo Kanigoro yang berhasil engkau kuasai. Apabila ternyata terdapat kekuranganmu, aku dapat mewakili kakang Kebo Kanigoro memberi petunjuk-petunjuk yang engkau perlukan."
"Terima kasih eyang, saya amat gembira sekali,"
sahut Titiek Sariningsih cepat.
Tak aneh kalau Titiek Sariningsih cepat mengemukakan perasaan gembiranya itu, sebab setelah ia terjun dalam masyarakat, tahulah ia akan manfaat dan kegunaan ilmu tinggi. Pengalamannya menghadapi Sungsang dan dikalahkan, menyadarkan kepada dirinya, bahwa dirinya masih belum berarti apabila berhadapan dengan lain orang. Untuk mengejar kekurangannya itu, dirinya harus rajin berlatih. Maka sungguh tepat sekali apabila Ki Ageng Lumbungkerep yang merupakan adik gurunya ini, sedia mengulurkan tangan melatihnya.
Mulatsih yang semenjak tadi tidak membuka mulut, sekarang memberanikan diri bertanya,
"Eyang, lalu bagaimanakah dengan nasib saya ini ?"
"Tentu saja, tidak kami biarkan begitu saja."
sahut Ki Ageng Lumbungkerep.
"Akan tetapi kita tidak benar apabila harus mengulang peristiwa yang telah lalu. Sebab akibatnya, hanya bakal merugikan diri sendiri."
"Apakah maksud eyang?"
tanya Damayanti _heran.
"Lupakah engkau bahwa dalam usahamu menolong dan membela Mulatsih dan Perguruan Kendeng, engkau terpaksa memeras tenaga dan kepandaian, di samping pula engkau harus mengesampingkan kebutuhanmu sendiri?"
sahut kakek itu.
"Tetapi kemudian bagaimanakah akan hasilnya ? Walaupun engkau berhasil merebut kembali Perguruan Kendeng, juga berhasil mengusir orang-orang yang tak bertanggung jawab, peristiwa tak terduga terulang kembali. Orang berkhianat lagi dan Mulatsih dipenjara orang. Mulatsih tak berdaya sama sekali. Kalau engkau turun tangan, tidak urung kemudian hari akan terjadi lagi pengkhianatan."
"Eyang!"
Damayanti kaget.
"Apakah kalau demikian eyang bermaksud membiarkan urusan Kendeng ini, tanpa kita campur tangan ?"
"Bukan begitu maksudku, Damayanti, dengarlah,"
Ki Ageng Lumbungkerep mengurut-urut jenggotnya yang panjang itu, kemudian terusnya,
"Kita tak boleh membiarkan peristiwa macam itu terus berlangsung. Kita tolong Mulatsih tetapi kemudian hari akan timbul peristiwa macam itu lagi, dan Mulatsih diancam bahaya lagi."
"Tetapi eyang, apa bila orang yang berkhianat itu aku bunuh, manakah mungkin bisa berkhianat lagi?"
bantah Damayanti.
"Heh-heh-heh. engkau lupa agaknya akan segala sesuatu yang berlangsung di dunia ini. Yang satu mati, yang lain akan tumbuh. Apa bila manusia di dunia masih seperti sekarang ini, masih saling berlomba mengumbar nafsu dan keserakahannya, selama itu di dunia masih akan dipenuhi oleh manusia-manusia berwatak jahat dan berlangsung pula kejahatan. Apabila manusia maSih selalu mencari, yang didapatkannya hanyalah kekecewaan."
Ki Ageng Lumbungkerep berhenti sejenak. lalu terusnya,
"Ya, Damayanti, memang sudah kehendak Tuhan. bahwa dunia ini di samping terdapat manusia baik, tentu terdapat pula manusia jahat. Walaupun kita sudah berusaha dengan tuntunan dan bimbingan, namun tentu ada pula manusia yang tak mempan oleh petunjuk baik, tak mau dituntun dan dibimbing ke jalan benar. Hal ini tak perlu disesalkan, namun tak boleh dibiarkan terus, dan diusahakan supaya berkurang. Berkurang kataku. tidak mungkin untuk memberantas dan menghilangkannya. Sebab itu sesuai dengan garis dan takdir Tuhan."
"Damayanti, pertentangan antara manusia di dunia ini tentu saja akan selalu berlangsung. Karena masing masing mengejar dan berusaha mencari keuntungan diri sendiri. Dan ancaman bahayapun, akan selalu pula terjadi. Oleh karena itu Damayanti, khusus dalam menghadapi persoalan Mulatsih, apa bila apa yang engkau lakukan masih seperti yang lalu, ancaman bahaya bagi Mulatsih akan tetap berlangsung. Sebab Mulatsih kurang
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama