Pendekar Mabuk Korban Asmara Terkutuk Bagian 1
12 DISCLAIMER
Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi para
pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi
pengetahuan dan pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk
melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan
dipasaran dari kpunahan, dengan cara mengalih mediakan
dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan abjek alih media
diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan,
usia,maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari
kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek
buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan
kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital
sesua? kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari
buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.
Salam pustaka!
Team Kolektor Ebook34
PENDEKAR MABUK
Dalam Episode KORBAN ASMARA TERKUTUK
KARYA SURYADI
Sumber Buku YANU ARTHA NUGRAHA
Edit OCR YONS
First in share KOLEKTOR EBOOK5
1 ANGIN berhembus bagai tiupan istri muda. Selain
nyaman juga semilir dan nikmat dirasakan. Tak heran jika
perjalanan Pendekar Mabuk sengaja dihentikan untuk
menikmati buaian 'istri muda' itu. la duduk di atas
bongkahan akar yang menyerupai batu, tepat di bawah
pohon. Tentu saja akar itu akar dari pohon tersebut, bukan
dari pohon tetangga.
Bumbung tuak dibuka tutupnya, diintip sebentar
seperti mengintip pengantin baru. Setelah dilihatnya masih
tersisa tuak di dalam bumbung sekitar sepertiga bagian, Suto
Sinting pun menenggaknya beberapa teguk. Glek, glek,
glek...
"Haaahhh...!" napas dihembuskan dalam kesegaran.
Rasa nyaman mengalir dalam tubuh Pendekar Mabuk. Rasa
segar menyebar luas dalam tiap aliran darahnya. Kelelahan
terasa lenyap dalam sekejap setelah meminum tuak saktinya
itu. "Kurasa sebaiknya memang aku istirahat dulu di sini.
Percuma kejar-kejar si keparat Durmala Sanca itu, setiap6
terdesak selalu kabur dan sukar dilacak. Tapi aku yakin, suatu
saat la akan adu muka denganku lagi. Kalau sudah tiba
saatnya, ia pun akan mati di tanganku. Jika ia sudah mati,
baru aku mau menikah secara resmi dengan Dyah
Sariningrum".
Begitu kecamuk hati Pendekar Mabuk. Rupanya ia
habis bertarung dengan Siluman Tujuh Nyawa yang punya
numa asli Durmala Sanca Itu.
Pertarungannya tak menghasilkan kematian.
Durmala Sanca melarlkan diri ke alam gaib. Suto
mengejarnya, tapi tak berhasil menemukan si manusia paling
terkutuk di seluruh rimba persilatan itu.
Akhirnya Pendekar Mabuk hentikan pongejarannya
di bawah pohon rindang itu. la dipaksa oleh keadaan untuk
tetap bersabar menunggu saat yang baik buat mencabut
nyawa Durmala Sanca.
"Bagaimana pun Juga, ternyata mencabut nyawa si
keparat itu tidak semudah mencabut singkong di kebun,"
gumamnya dalam hati. "Pantas kalau dia berjuluk Siluman
Tujuh Nyawa. Sebab nyawanya memang seperti ada tujuh.
Mungkin termasuk juga nyawa kambing, nyawa kucing,
nyawa penyu, nyawa tikus, nyawa kodok dan entah nyawa
apa lagi. Hmmm.. Yah, tunggu saja saatnya, Durmala Sanca ,
Pada suatu saat nanti aku pasti berhasil memenggal
kepalamu, asal jangan kau penggal dulu kepalaku."7
Jika ada orang bertanya pada Suto. "Apa cita-citamu,
Suto Sinting?" maka ia akan menlawab. "Memenggal
kepalanya Siluman Tujuh Nyawa?"
Kepala itu akan dipersembahkan sebagai mas kawin
pinangannya terhadap ratu ayu di negeri Puri Gerbang
Surgawi yang ada di Pulau Serindu.
Ratu ayu itu dikenal dengan julukan Gusti Mahkota
Sejati, alias Dyah Sariningrum, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode "PRAHARA PULAU MAYAT').
Hembusan angin sejuk semakin membuat Pendekar
Mabuk seperti dikipasi delapan janda cantik. Rasa kantuk
pun tiba. Kepalanya mulal condong ke depan. Matanya
terpejam samar-samar, seperti sedang menikmati usapan
lembut tangan seorang janda tanpa sarung.
Sebelum rasa kantuknya terseret ke alam mimpi,
tiba-tiba Pendekar Mabuk dikejutkan oleh suara ledakan
yang berasal dari tempat tak jauh darinya.
"Blegaaarr. Spontan kakinya menyentak tubuhnya
terlonjak. Wees, duuk.. !"
Saking tingginya lonjakan itu kepala Suto
membentur dahan pohon yang cukup keras dan besar
"Aauh...!"' ia memekik kesakitan sambil bergerak
turun menyeringai. Ubun-ubunnya diusap-usap dengan
telapak tangan. Wajahnya mendongak ke atas sambil cengarcengir.
Terlihat olehnya kepulan asap hitam yang
melambung tinggi, bergulung-gulung bak selimut tak pernah8
dicuci. Rasa sakit di kepalanya langsung hilang begitu
keheranannya muncul.
"Asap apa itu?" pikirnya "Yang jelas bukan asap
orang merokok. Hmmm.. coba kuperiksa sejenak ke sana!"
"zlaap..!" Dengan menggunakan jurus 'Gerak
siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya
pindah tempat itu, Pendekar Mabuk melesat menerabas
semak ilalang untuk mencapai tempat kepulan asap itu.
"Astaga..?1" ia terbengong melompong. Matanya
memandang tiga pohon yang hancur menjadi arang dan
mengepulkan asap tebal. Tentu saja pohon itu bukan
terbakar dan hancur karena disambar petir, sebab siang hari
bolong tak mungkin ada petir lewat, kecuali petir kepepet.
Tak jauh dari tiga batang pohon besar yang
mengepulkan asap hitam itu, tampak dua orang sedang
mengadu kesaktiannya. Pendekar Mabuk kaget lagi tanpa
dipaksa oleh siapa pun. Hal yang membuat Pendekar Mabuk
kaget adalah sosok kedua orang yang bertarung itu sangat
dikenalinya. Mereka adalah seorang lelaki berusia sekitar
dua puluh tujuh tahun, dan seorang perempuan yang masih
tampak muda tapi sebenanya sudah berusia banyak.
Si lelaki muda itu mempunyai rambut sepunggung,
warnanya putih rata, tanpa ikat kepala. Hembusan angin
membuat rambutnya meriap-riap bagaikan rambut setan.
Kedua alisnya juga berwarna putih rata dan dalam bentuk
terangkat naik. Wajahnya kuning mayat dan berkesan dingin.
Bibirnya abu-abu seperti habis minum tinta.9
Lelaki berjubah tanpa lengan warna hitam itu
mengenakan celana juga berwarna hitam, tapi dari kain yang
bagus dan mahal harganya. Jubahnya tak terikat sehingga
jika ia melompat tampak seperti sayap kelelawar raksasa.
Melihat matanya yang cekung berkesan bengis itu, Suto ingat
betul bahwa lelaki itu tak lain adalah si Pawang Setan, tokoh
aliran hitam dari Pulau Darah. Dulu orang itu pernah
berhadapan dengan Pendekar Mabuk, tapi sempat dibuat
kalang kabut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"TEROR PEMBURU CINTA").
Rupanya menghilangnya si Pawang Setan sekian
waktu lamanya itu bukan lantaran ia terkena likuidasi, tapi
lantaran memperdalam ilmunya yang bakal dipakai untuk
membalas dendam kepada lawan-lawannya. Salah salu
lawannya adalah Pendekar Mabuk sendiri. Terbukti secara
sepintas Suto Sinting dapat melihat gerakan aneh yang cukup
cepat dilakukan oleh Pawang Setan hingga lawannya sempat
terkecoh dan nyaris celaka.
"Pasti dia mencariku!" gumam hati Pendekar Mabuk.
"Selain mau balas dendam atas kekalahannya tempo hari,
pasti ia juga pakai alasan menuntut balas atas kematian
adiknya: Delima Wungu."
Suto ingat tentang perempuan berilmu hebat yang
bernama Delima Wungu yang mempunyai jurus 'Mayat
Merinding itu. Hampir saja pada waktu itu Suto menjadi
korban jurus Mayat Merinding jika Ia tidak segera10
mengadunya dengan Jurus Surya Dewata yang dahsyat itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:"KEMATIAN
MISTERIUS")
"Aku harus segera bertindak!" sentak hati Suto
sebab ia segera sadar siapa perempuan cantik yang menjadi
lawan si Pawang Setan itu. la tak boleh berdiam diri terlalu
lama. la harus lakukan tindakan secepatnya agar perempuan
cantik itu tidak terluka atau cedera sedikit pun.
Pawang Setan yang kali Ini berpedang baja anti karat
itu, bergegas menebaskan pedang tersebut ke arah
lawannya, Tetapi sebelum pedang diangkat, tubuhnya
tumbang ke samping dalam keadaan terpental dan
terbanting.
"Zlaaap.. Bruuus..!" Siapa lagi yang merjangnya jika
bukan si murid sintingnya Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
"Bangkai busuk! Rupanya kau ingin serahkan nyawa
padaku, Pendekar Mabuk?" geram Pawang Setan sambil
bergegas bangkit. Gerakan bangkitnya nyaris tak terlihat,
karena sentakan pinggulnya begitu cepat, sehingga ia
tampak seperti kutu loncat Tahu-tahu sudah berdiri sambil
menggeram dan memandang ke arah Suto dengan bengis.
"Tak usah basa-basi lagi, Pawang Setan! Akuilah kau
ingin membalas dendam padaku. Jangankan pihak lain.
Hadapilah aku! Sekarang pun aku siap menghadapi dendam
mu!" tegas Suto Sinting. lalu bicara pelan seperti untuk
dirinya sendiri.11
"Ngomong-ngomong ilmumu cukup hebat juga. Kau
bisa bangkit dengan cepat, padahal sudah kuterjang sebegitu
kerasnya?!"
"Pendekar Mabuk, dia punya urusan denganku. Tak
ada sangkut pautnya dengan dirimu. Kumohon
menyingkirlah. Akan kuhadapi sendiri anak setan itu!"
Suto Sinting melirik ke arah perempuan cantik
berjubah ungu tipis bintik-bintik emas. Perempuan yang
mengenakan kutang dan pembungkus bagian bawahnya
berwarna kuning emas itu lak lain adalah Nyimas Gandrung
Arum, penguasa Bukit Esa, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode:" RATU PAKAR SELINGKUH")
"Benarkah tak ada sangkut pautnya denganku,
Nyimas?"
"Sungguh tidak ada!"
Pawang Setan memanfaatkan percakapan itu
dengan lepaskan pukulan tangan kirinya yang mengandung
sinar kuning seperti telur burung. Claap...!"
Pendekar Mabuk mendengar gerakan tangan
disentakkan. Dengan cepat ia melambung ke atas.
"Suuut..!" Lalu bersalto satu kali dalam ketinggian
sekitar tiga tombak. Wuuuk...!"
Sinar kuning itu memang tidak kenai Suto, tapi
karena Nyimas Gandrung Arum berada dalam posisi sejajar
dengan Suto. Maka sinar kuning itu akhirnya menyasar ke
arah Nyimas Gandrung Arum.
"Wees..!"12
"Nyimass.." pekik Suto dalam keadaan melayang
turun.
Rupanya Nyimas sendiri tidak menduga kalau akan
diserang sinar kuning sebesar telur burung itu, sehingga ia
kelabakan menghindarinya. Dengan sebuah lompatan
menyamping, Nyimas Gandrung Arum mencoba mengelak
serangan sinar kuning itu.
"Wuuut...!"
Tapi kecepatannya masih kalah dengan kecepatan
sinar kuning itu. Akibatnya, sinar tersebut kenai pinggul kiri
Nyimas Gandrung Arum.
"Dess...!"
"Ooh.?!" Nyimas Gandrung Arum jatuh berlutut
denga satu kaki. la cepat rapatkan kedua telapak tangannya,
tubuh pun bergetar karena tenaga dalamnya melawan
kekuatan sinar tersebut dari dalam.
"Nyoossss...!" Tubuh Nyimas Gandrung Arum
mengepulkan asap, seperti bara api disiram air dingin Nyimas
Gandrung Arum tetap diam, kerahkan hawa saktinya untuk
melawan kekuatan sinar kuning itu. la bahkan duduk bersila
tak perdulikan lagi lawannya.
Pawang Setan memanfaatkan diamnya Nyimas
dengan serangan pedangnya yang di ujung gagangnya
beronce-ronce benang merah. Dalam satu lompatan saja ia
dapat menebaskan pedang, lalu kepala Nyimas Gandrung
Arum akan terpenggal tanpa malu malu lagi.13
"Wuuut..!" Tetapi Pendekar Mabuk tak tinggal diam.
Baru saja kakinya memijak tanah, Ia sudah harus
menggunakan jurus Gerak Silumannya lagi untuk
membelokkan arah gerakan Pawang Setan.
"Zlaaap....Bruuus...!"
"Weerrr..!" Kali ini Pawang Setan terlempar lebih
jauh lagi, sebab terjangan Suto menggunaka dua kaki, dan
kedua kaki itu kenai lengan kiri lawan. Tubuh Pawang Selan
jatuh terbanting dalam jarak sekitar lima tombak.
"Bruuuk. Wuuut, jleegg...!"
"Gila! Dia sudah berdiri lagi!" gumam Suto dalam
hati "Heeaaaah.." Pawang Setan memekik panjang,
menumbuhkan semanga pertarungannya agar lebih besar
lagi. Pedang dari baja putih berkilauan memantulkan sinar
matahari itu dikibaskan dengan cepat ke sekeliling tubuhnya.
Tubuh itu sendiri menyerang Suto Sinting bagaikan terbang
di angkasa.
Pendekar Mabuk Korban Asmara Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan cepat Pendekar Mabuk pun segera lakukan
hal yang sama. Tubuhnya melayang cepat sambil memutarmutar bumbung tuaknya. Bumbung itu dipakai menyambar
pedang yang berkelebat ke arah pinggangnya.
"Traang. Blaaar....!"
Cahaya merah memercik, pertanda kedua senjata
saling mengandung tenaga dalam cukup tinggi. Ledakan itu
membuat Pendekar Mabuk dan Pawang Setan sama-sama
terpental ke arah berlawanan. Mereka berdua juga sama-14
sama terbanting dengan menyedihkan. Tetapi bumbung tuak
Suto tetap utuh tanpa luka segores pun, sedangkan pedang
si Pawang Setan juga tetap utuh tanpa retak seujung rambut
pun. "Uuh ! Kurangajar Kekuatan apa yang ada pada
pedangnya itu?!" geram Suto Sinting sambil menggeliat
bangkit. Sementara itu, Pawang Setan sudah lebih dulu
berdiri dengan tegak. la bagaikan tak merasakan sakit sedikit
pun. Padahal Suto Sinting merasakan sakit di sekujur
tubuhnya. Tulang-tulangnya bagaikan diremas oleh tangantangan raksasa.
"Terimalah ajalmu, Pendekar keparat! ...Wuuut !"
Pawang Setan melemparkon pedangnya. Pedang itu menyala
merah seperti habis terpanggang api. Suto Sinting dipaksa
unluk sigap kembali. Tetapi ia sangat terkejut melihat pedang
itu bisa berubah menjadi empat dan masing-masing menyala
merah membara semua.
"Garuda Mudik..!" seru Suto Sinting sambil ayunkan
bumbung tuaknya memutar dan dilepaskan cepat-cepat.
...Wuuung!"
Bambu sakti itu melayang dalam gerakan
membentuk lingkaran. Empat mata pedang itu diterjang dari
samping kanan ke kiri.
"Blaar, blaar, jlegaar...!"
"Wuuub... Teeb...!"
Ledakan dahsyat terjadi. Pedang-pedang itu pecah
menjadi percikan api yang menyebar ke mana-mana, namun15
segera padam. Ternyata bukan keempat pedang yang pecah.
Salah satu pedang ada yang bergerak mundur bagai terhisap
oleh satu kekuatan. Pedang itu tahu-tahu sudah di tangan
Pawang Setan.
Sementara itu, bumbung tuak tetap meluncur dalam
garis edarnya, dan mendekati Suto dari arah kiri. Tangan Suto
pun menangkapnya dengan tangkas. Teeb...! Tubuhnya
segera oleng ke kiri, depan, belakang dan tegak kembali.
Jurus kuda-kuda mabuknya mengiringi getaran tanah yang
terjadi akibat ledakan tadi.
Pawang Setan justru terhuyung-huyung ke belakang
karena didorong kuat oleh angin ledakan tadi. Namun dalam
sekejap ia sudah tegak kembali dengan kuda-kuda yang
kokoh.
"zlaap, zlaap..!" Suto Sinting bagaikan hilang dalam
sekejap. Tahu-tahu sudah ada di samping kiri Pawang Setan.
Kemunculannya sangat mengejutkan Pawang Setan.
"Heaaahhh..." Pawang Setan cepat berbalik dengan
pedang diayunkan ke arah Suto. Namun sebelum tubuhnya
berbalik total menghadap ke arah Suto, sebelum pedang
diayunkan ke depan, Suto Sinting sudah lebih dulu lepaskan
jurus lain.
"Terimalah Pukulan Gegana-ku ini! Seet.." Dua jari
disabetkan ke depan, seperti melemparkan pisau. Jari
tersebut keluarkan sinar kuning patah-patah. Gerakannya
sangat cepat dan tak bisa dihindari atau ditangkis. Mau tak
mau Pawang Selan pun tersentak mundur dan memekik16
dengan suara tertahan, karena sinar kuning patah-patah itu
kenai dadanya dengan telak.
"Derrbhh...!"
"Oohk..!"
Kulit tubuh Pawang Setan menjadi hitam. Masih
untung itu, padahal Pukulan Gegana itu bisa untuk
melobangi dua-tiga pohon sekaligus.
"Bangsat! Rupanya dla punya Jurus semacam ini?! "
geram Pawang Setan dalam hatinya, "Untung saja aku
menggunnkan jurus Lapisan Hawa Baja, kalau tidak. habislah
riwayatku. Tapi, uuh... Urat-uratku seperti mau putus semua.
Hmmm, sebaiknya kutinggalkan saja dia. Lain waktu akan
kuserang kembali dengan jurus lain. Pasti dia modar saat itu
juga! Blaasss...Pawang Setan pergi tanpa pamit, alias
minggat.
Pendekar Mabuk ingin mengejarnya, tapi ia ingat
keadaan Nyimas Gandrung Arum. Maka diputuskan lebih
baik membantu lukanya Nyimas Gandrung Arum ketimbang
mengejar Pawang Setan.
*** KORBAN ASMARA TERKUTUK
Koleksi Kolektor Ebook17
2 LUKA yang diderita Nyimas Gandrung Arum
sebenarnya sangat berbahaya. Sinar kuning itu bisa bikin
tubuh manusia meledak menjadi berkeping-keping. Tetapi
berkat kekuatan hawa sakti di dalam tubuh Nyimas
Gandrung Arum, kekuatan sinar kuning itu berhasil
dilumpuhkan.
Tetapi agaknya keberhasilan melumpuhkan sinar
kuning itu mempunyai dampak sendiri yang tak disadari oleh
Nyimas Gandrung Arum. Jantungnya menjadi berdetak lebih
cepat dari biasanya. Darahnya mengalir lebih cepat dari
aliran sewajarnya. Perasaannya pun menjadi lebih peka oleh
hal-hal yang bersifat keindahan.
"Minumlah tuakku, Nyimas," Suto menyodorkan
tuak yang sudah dituang dalam tempurung. Tempurung itu
adalah satu-salunya alat yang dipakai untuk menutup
bumbung tuak selama ini. Tempurung itu hanya separoh
bagian, dan merupakan pemberian seorang remaja yang
usianya sangat muda, yaitu Badrun, adik seorang kepala Suku
Mabayo, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
:TAWANAN BERMATA NAKAL").18
"Keadaan ku sudah baik, Suto," ujar Nyimas
Gandrung Arum, nenolak tawaran Suto Sinting secara halus.
"Sekali pun begitu, tuak ini bisa untuk menyegarkan
badan , Nyimas. Minumlah saja, tanpa dipungut biaya kok "
canda Suto dalam bujukannya.
Demi menghargai kebaikan soorang sahabat, Nyimas
Gandrung Arum tersenyum, lalu menerima pemberian
tersebut. Tuak pun diminumnya.
"Yaah .. memang menyegarkan, Suto." Senyum
Nyimas yang selama Ini mahal, kall ini mekar dengan ceria.
"Cantik sekali dia kalau tersenyum lebar begitu? Ya
ampuuun.. baru sadar aku kalau Nyimas mempunyal senyum
yang manis dan sangat menawan. Suto pun membalas
senyuman dengan cerianya,
"Mau tambah lagi?"
"Jangan, ah. Nanti aku mabuk."
"Tuak ini tidak membuat mabuk."
"Yang kutakutkan bukan mabuk seperti biasa, tapi.
mabuk asmara. Repot sekali kalau sampai begitu, bukan?"
Senyum Nyimas lebih ceria lagi. Suto Sinting sempai
membatin heran, "Biasanya ia tampak wibawa, tapi
mengapa sekarang sikap wibawanya itu hilang? Hmm,
sepertinya ia kembali bersikap seperti remaja lagi.
Senyumnya berkesan genit dan caranya memandang
sungguh mempesona lawan jenisnya. Wow...!" Dalam hati
Suto berdecak, tapi dalam kenyataan Suto hanya simpulkan
senyum keramahan.19
"Katamu tadi, urusan dengan Pawang Setan tidak
ada sangkut pautnya dengan diriku. Apa benar begitu,
Nyimas?"
"Ya, benar.. Jahanam dari Pulau Darah itu kukejar
sampai dl sini, karena ia mencuri empat roh muridku".
"Membunuh empat muridmu, begitu?"
"Mencuri empal roh muridku! ulang Nyimas
Gandrung Arum. Pengulangan itu membuat Suto Sinting
berkerut dahi karena merasa janggal dengan kata-kata
tersebut.
"Mencuri empat roh, bagaimana?"
"Ia mempunyal ilmu yang dapat menyedot roh orang
lain untuk dimasukkan dalam pedangnya. Entah berapa roh
yang sudah dimasukkan ke dalam pedangnya itu .
Kemungkinan besar, empat roh muridku itu adalah empat
pedang merah yang kau hancurkan tadi."
"Gila! Ilmu apa itu namanya?"
"Setahuku, ilmu yang dapat menyedot roh orang lain
dan dimasukkan ke dalam benda, lalu benda itu bisa
bergerak sendiri menjadi beberapa nyawa, adalah ilmu
Sangkar Iblis. Itu ilmu yang berbahaya. Tak kusangka kau tadi
bisa menghancurkannya. Tapi ilmu itu tetap ada padanya.
Mungkin dia cari roh lain untuk dihisap dan dimasukkan ke
dalam pedangnya. Makin banyak roh yang dihisapnya,
pedang itu bisa berubah menjadi lebih banyak lagi. Jumlah
itu tergantung dari gerakan jurus yang digunakan."20
Suto Sinting berdecak-decak kagum. "Baru sekarang
kudengar ada ilmu seaneh itu. Kurasa ilmu itu termasuk Ilmu
yang hebat."Suto Sinting manggut-manggut, hatinya merasa
kagum dengan ilmu aneh tersebut. "Menurutmu, dari mana
Pawang Setan mendapatkan ilmu tersebut, Nyimas?"
"Seingatku, orang yang memiliki ilmu 'Sangkar Iblis'
adalah seorang sakti beraliran hitam, yang dikenal dengan
nama: Dedengkot Dewa, Tokoh tua itu tinggal di Kawah
Bumi."
"Ooo , rupanya selama ini la menghilang lantaran
berguru kepada Dedengkot Dewa?!"
"Mungkin saja begitu. Sebab setahuku dulu si
Pawang Setan tidak memiliki ilmu 'Sangkar blis'. makanya dia
kukejar karena aku ingin merebut empat roh muridku itu.
Tapi karena empat pedang merah tadi sudah kau hancurkan,
berarti roh keempat muridku itu sudah pulang ke alam
kelanggengan. Rohnya tak bisa dikembalikan lagi."
"Maafkan aku, Nyimas. Aku sama sekali tidak
bermaksud mengirim roh keempat muridmu itu kealam
kematian. Kalau saja."
"Itu memang bukan salahmu, Pendekar tampan,"
sahut Nyimas Gandrung Arum dengan senyum dan
pandangan mata yang terasa aneh untuk tokoh sewibawa
dia. Tapi Suto Sinting mencoba untuk tidak memikirkan
keanehan itu,
"Kawah Bumi itu ada di mana, Nyimas?"
"Kawah Bumi ada di puncak Gunung Bangkai21
Kurasa termasuk sinar kuningnya tadi, juga ilmu yang
diperolehnya dari si Dedengkot Dewa".
Nyimas Gandrung Arum mendekat. Jaraknya tinggal
satu jangkauan dari Suto Sinting. Pandangan matanya
menatap lurus ke wajah Suto, tapi dengan sorot mata yang
lembut, sedikit sayu. Bukan dengan tatapan berwibawa atau
berkharisma seperti biasanya.
"Kuharap kau jangan pergi ke Kawah Bumi. Kau tak
akan mampu hadapi Dedengkot Dewa. Kesaktiannya boleh
dibilang sejajar dengan Siluman Tujuh Nyawa, walaupun jika
mereka bertarung, aku yakin Siluman Tujuh Nyawa tetap
akan unggul, meski babak belur. Tapi kau jangan coba-coba
melawan Dedengkot Dewa, ya?"
Lembutnya tutur kata itu, terasa janggal di terima
hati Suto. Bahkan kali ini Nyimas Gandrung Arum mengakhiri
bicaranya sambil mengusap pipi kiri Suto memakai langan
kanannya. Usapan itu terkesan lembut dan penuh perasaan
yang cukup dalam.
Sekali lagi Suto Sinting mencoba untuk tidak
berpikiran yang bukan-bukan. la hanya tersenyum malu
menerima usapan lembut tersebut. la mencoba alihkan
pandangan ke arah lain, agar tidak terjadi kontak rasa yang
dapat mengakibatkan mabuk kepayang.
"Nyimas, lalu apa yang akan kau lakukan jika
keempat nyawa muridmu itu sudah tak bisa dikembalikan
lagl?"22
"Sudah menjadi suratan takdir, mereka harus pergi
selamanya. Tak perlu dipikirkan lagi,"
"Semudah itukah, Nyimas?!" tanya Suto bernada
heran
Perempuan berkulit putih itu bersidekap di depan
Suto, masih menatap dengan sorot pandangan terasa aneh
bagl si pemuda tampan bertubuh tegap, gagah dan tampak
jantan itu.
"Lalu apa yang bisa kita lakukan jika nyawa
seseorang sudah kembali ke alam kelanggengan? Sudah tak
bisa diburu lagi. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah
memburu si penghisap nyawa dan bikin perhitungan
dengannya."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. "Kalau
begitu, ilmu itu harus dimusnahkan. Bila perlu, Pawang Setan
sendiri harus dihancurkan. Jika dibiarkan berkellaran ke
mana-mana, akan banyak korban yang kehilangan rohnya
dan dimanfaatkan untuk tindakan semena-menanya!"
"Aku sependapat denganmu. Tapi apakah harus hari
ini juga orang itu bisa kita hancurkan?"
Untuk sesaat Suto Sinting terbungkam dan
memikirkan langkahnya. Ketika ia menemukan sebuah
pernyataan, bahwa mengawali pekerjaan lebih dini itu
adalah hal yang baik, tiba-tiba bumi terasa bergetar tanpa
sebab yang pasti. Pohon-pohon berguncang, daunnya
berguguran.23
"Ada gempa, Nyimas.. " ujarnya tegang. Nyimas
Gandrung Arum pun ikut tegang juga. la memandang ke
sana-sini sambil tangannya berpegangan pada lengan Suto.
"Rasa-rasanya ini bukan gempa, Suto. Ada seseorang
yang berniat tak baik pada kita!"
"Dari mana kau yakin begitu, Nyimas?" sambil suto
menggeloyor hampir jatuh, tapi segera ditahan dengan
tangan Nyimas Gandrung Arum.
"Lihat, tanah di tempat lain tak mengalami
guncangan seperti ini! Hanya tanah tempat kita berpijak dan
sekelilingnya. Jika memang ini adalah gempa, maka...!"
Kat?-kata Nyimas Gandrung Arum terputus, karena
Pendekar Mabuk Korban Asmara Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba-tiba tanah yang mereka pijak longsor ke bawah. Mereka
terbenam sebatas lutut. Sruuutt...!
"Nyimas. ". Tangan Suto ganti mencekal Nyimas.
Tapi tanpa sadar tangan itu melingkar di pinggang Nyimas
untuk menahan agar Nyimas tidak terperosok lebih ke dalam
lagi.
"Wweeess... Pendekar Mabuk gunakan ilmu Layang
Raga-nya, Tubuhnya dapat mengambang di udara setinggi
tiga jengkal dari permukaan tanah semula.
"Hampir saja kita mati terkubur hidup-hidup, Suto!"
"Gunakan ilmu peringan tubuhmu, Nyimas. Biar aku
tak terlalu berat menahan beban tubuhmu!"
"Ak.. aku.. aku tak punya ilmu peringan tubuh," ujar
Nyimas seolah-olah berkesan menggunakan kesempatan
dalam ketegangan. "Angkatlah aku lebih tinggi lagi!"24
pintanya sambil merangkuikan kedua tangannya ke leher
Suto. Mau tak mau Suto pun menggantungkan bumbung
tuaknya ke pundak, dan kedua tangannya memondong
tubuh Nyimas yang masih sekal dan meliuk Indah itu
"Wuuut...!" Suto bagaikan melayang di atas
permukaan tanah, mencari tempat yang aman. Tiba di
tempal yang tanahnya tldak bergerak-gerak. Nyimas
Gandrung Arum pun diturunkan dari pondongannya.
"Di sini kita aman, Nyimas."
Tak ada alasan untuk menolak bagi Nyimas
Gandrung Arum, karena memang tempat itu aman dari
getaran aneh tadi. Mau tak mau Nyimas pun menurunkan
kedua kakinya dan menapak di tanah kembali.
"Aku yakin ada orang yang.."
"Duuurrr.. ! Tiba-tiba tanah bergetar lagi!, Gerakan
tanah terasa makin hebat. Mereka berdua langsung
terperosok ke dalam tanah, seakan ada yang menarik kedua
kaki masing-masing. Sruuut..!.
"Wuuut.. Lagi-lagi kedua langan Suto menangkap
tubuh Nyimas. Tubuh itu dipondong kembali sementara ia
menggunakan jurus 'Layang Raganya, sehingga bisa
mengambang di atas permukaan tanah.
Pada saat itu, Suto melihat sekelebat bayangan
berpindah tempat. dari balik pohon yang satu ke balik pohon
yang lainnya. Kecurigaan Suto pun menjadi tumbuh dan
membenarkan pendapat Nyimas Gandrung Arum Maka
kedua kaki Pendekar Mabuk segera keluarkan hawa padat.25
Hawa padat itu dapat dipakai sebagai pijakan, sehingga
kakinya depan menjejak sesuatu yang padat.
"Zlaaap...!" Sambil memondong Nyimas, Suto
Sinting melesat bagalkan cahaya berpindah tempat. Tapi
dalam hatinya sempat menggerutu, karena la tak percaya
kalau Nyimas Gandrung Arum tak memiliki ilmu peringan
tubuh. Hanya saja, hal itu tak dipikirkan dulu. Y?ng
terpikirkan oleh Pendekar Mabuk adalah sekelebat bayangan
yang berpindah tempat tadi. Suto Sinting mengejamya
dengan 'Gerak Siluman' dan tetap memondong Nyimas
Gandrung Arum.
"zlaap, zlaap..Blaas, blaas..!"
Bayangan ltu berpindah lempat lagi ketika didekati
Pendekar Mabuk. Makin penasaran hati Suto Sinting,
demikian pula hati Nyimas yang mengetahui bergeraknya
sesosok bayangan.
"Dia lari ke sana, Suto!" tuding Nyimas dalam
pondongan.
"zlaap, zlaaap..Wuuus, blaaassss...!"
Orang yang berkelebat ltu rupanya juga mempunyai
gerakan yang cukup hebat, dan lincah. Kecepatan geraknya
nyaris membuat ia seperti hilang dari tempat semula.
Pendekar Mabuk mengejarnya terus. Dan, walaupun la
sudah tidak berada di tanah yang berguncang tadi, tapl
Nyimas Gandrung Arum masih saja dipondongnya. Kedua
tangan Nyimas sendiri semakin erat memeluk Suto Sinting.
Bahkan wajahnya begitu dekat dengan pipi Suto. Gerakan26
cepat Suto sering membuat Nyimas Gandrung Arum
sepertinya tak sengaja mencium pipi Suto. Hal itu tak
dihiraukan oleh Suto, karena pusat perhatiannya kepada si
bayangan yang bergerak cepat dan zig-zag itu.
"Kurangajar! Dia hilang, Nyimas!"
"Orang itu pasti berilmu tinggi, Suto. Hati-hati dalam
mengejarnya.
"Aku tak perduli dia berilmu tinggi atau rendah, atau
pas-pasan! Tapi aku ingin tahu apa maksudnya membuat kita
berdua hampir saja mati terkubur hidup-hidup?!"
Untuk sesaat, Pendekar Mabuk masih belum sadar
dengan apa tindakannya yang memondong Nyimas
Gandrung Arum. Begitu sadar, ia malu sendiri dan buru-buru
menurunkan sang penguasa Bukit Esa itu.
"Maaf, Nyimas.. aku lupa menurunkanmu."
"Kalau kau masih suka memelukku, aku tak marah!"
jawab Nyimas dengan tersenyum-senyum.
Tapi ucapan dan senyuman itu tak terlalu dihiraukan
Pendekar Mabuk. Mata si pemuda tampan berambut
sepundak tanpa ikat kepala itu justru lebih jeli lagi
memandang sekelilingnya.
"Tadi dia belok kemari. Aku sempat melihat
paka?annya yang berwarna abu-abu. Kurasa yang dipakainya
adalah jubah abu-abu," ujar Suto Sinting sambil sedikit
memunggungi Nyimas Gandrung Arum.
"Aku yakin dia sudah kabur jauh! Sudahlah, tak perlu
repot-repot mencarinya. Sebaiknya..."27
Terdengar suara gemuruh yang mengejutkan
mereka. Kata-kata Nyimas terpotong sampai di situ. Karena
posisi mereka ada di kaki sebuah bukit yang tak seberapa
tinggi, maka pandangan mata mereka dapat melihat dengan
jelas gerakan batu besar yang menggelinding dari atas bukit
menuju tempat mereka berada.
"Awas..!" seru Pendekar Mabuk sambil melompat.
Tanpa disengaja mereka melompat dalam satu arah.
Ternyata yang menggelinding bukan hanya satu batu besar,
tapi anak-cucu batu ikut juga menggelinding.
"Gluurr, gluuurrr, glluuuur....!"
Batu-batu itu menyebar arah, seakan membuat
perangkap agar Suto Sinting dan Nyimas Gandrung Arum tak
bisa menghindarinya. Hati mereka berdua yakin, bahwa
batu-batu itu bukan menggelinding dengan sendirinya atau
karena ditiup angin perbukitan, tapi karena ada yang
menggelindingkan dengan seenak perutnya sendiri.
"Hancurkan mereka, Nyimas!" seru Suto Sinting,
kemudian mengawali melepaskan pukulan tenaga dalamnya
tanpa sinar ke arah batu-batu tersebut.
"Wuuut, wuuut, praaak.. praaasss.!"
Batu-batu itu pecah menjadi beberapa bagian kecil.
Tapi sisanya masih banyak. Mau tak mau Nyimas Gandrung
Arum juga melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bersinar
hijau patah-patah.
"Claap,.claap, claap...!"
"Blaar, jegaar, duaaar...!"28
Kini batu-batui sudah menjadi seukuran genggaman
tangan orang dewasa. Sekali pun demiklan, Suto Sinting
merasa perlu menyambar tubuh Nyimas Gandrung Arum,
lalu dibawanya terbang ke atas pohon.
"Wuut, wess...!"
"Hei, Suto. mau kau bawah ke mana aku?"
"Diamlah saja,Nyimas. Aku akan melihat kemana
larinya orang itu dari atas pohon ini!"
Tiba-tiba dari arah belakang, Suto Sinting merasakan
ada hawa panas mendekatnya. la buru-buru berbalik, tapi
terlambat. Hawa panas itu sudah menghantamnya lebih dulu
dengan cepat dan kuat. Seperti sebatang balok besar yang
habis dipanggang api. "Wuuus, buuuhkk..!"
"Aaahk..!"
"Sutooo..!"
suto Sinting terpekik dan jatuh dalam keadaan
limbung. Nyimas Gandrung Arum yang semula masih ada
dalam pondongannya ikut meluncur jatuh ke bawah.
"Bruuk..!"
"Uuuhkk.!" Suto Sinting mengerang pendek dengan
suara nyaris tak terdengar. Punggungnya berasap dan kain
bajunya yang coklat menjadi berwarna hangus, membentuk
noda hitam sebesar telapak tangan bayi.
Tetapi pada saat itu, Nyimas Gandrung Arum
berhasil terpental dari pondongan Suto. Tubuhnya Jatuh dl
atas semak-semak. Tapi daun semak-semak itu tidak rusak,
bahkan tak ada sehelai daun pun yang patah. Ini29
menandakan Nyimas Gandrung Arum segera kerahkan ilmu
peringan tubuhnya sehingga dapat jatuh di atas daun-daun
semak.
Nyimas pun memandang ke arah atas pohon
seberang sana, mencari tahu siapa orang yang telah
menyerang Suto dan sekarang keadaan Suto menjadi tak
sadar alias pingsan. Pukulan jenis apakah yang bisa membuat
Suto Sinting pingsan, ini yang menjadikan Nyimas Gandrung
Arum penasaran
*** KORBAN ASMARA TERKUTUK
Koleksi Kolektor EBook30
3 DENGAN melayang lurun darl atas pohon bagaikan
hantu kesiangan, tokoh berjubah abu-abu itu berdiri di
depan Nyimas Gandrung Arum. Rupanya ia seorang lelaki
berusia sekitar delapan puluh tahun. Berkepala gundul,
berkalung manik-manik putih panjangnya sebatas perut. la
mempunyal wajah bertonjolan dan mengenakan antinganting satu buah dl sebelah kiri. Lelaki tua yang tak seberapa
tinggi Itu memandangi Nyimas Gandrung Arum dengan mata
tajam.
Tatapan itu dibalas sama tajamnya oleh Nyimas
Gandrung Arum. Kali ini wajah penguasa Bukit Esa itu tak
mempunyai keceriaan sedikit pun, yang ada hanya
kemarahan dan geram penuh dendam.
"Rupanya kau yang bikin ulah, Lepak Legong!"
Nyimas Gandrung Arum kenal dengan tokoh
tersebut. Tapi dia tidak tahu bahwa Lepak Legong punya
masalah tersendiri dengan Pendekar Mabuk. Dua muridnya
yang menjadi ibu dan anak itu pernah bertarung melawan
Pendekar Mabuk. Sang anak yang bernama Rokatama tewas
dalam pertarungan itu, walaupun sebenarnya yang31
membunuh adalah Citra Bisu. Sedangkan ibunya;
Watumenak, kala itu luka parah dalam pertarungannya
melawan Suto dan berhasil dibawa lari oleh Lepak Legong.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "SIASAT
BERDARAH").
"Aku sengaja mencari Pendekar Mabuk, Gandrung
Arum!" geram Lepak Legong "Dia harus menebus kematian
Rokatama dan Watumenak yang akhirnya tak berhasil
kuselamatkan nyawanya itu!"
"Barangkall memang muridmu pantas mati, Lepak
Legong!. Pendekar Mabuk tidak pernah membunuh orang
tak bersalah. Semua pasti dilakukan karena terpaksa, demi
menyelamatkan kehidupan manusla lainnya. Jika kau ingin
menuntut balas kepada Pendekar Mabuk, kau harus
berhadapan denganku dulu, Lepak Legong!"
Nyimas Gandrung Arum bicara sambil melangkah
pelan-pelan dekati bumbung tuaknya Suto Sinting. la
bermaksud menyiram wajah Suto yang terkapar dengan
mulut sedikit ternganga itu. Harapannya, siraman tuak itu
nanti ada yang tertelan masuk ke mulut Suto dan keadaan
Suto akan segera menjadi sehat kembali. Tetapi tiba-tiba
bumbung tuak yang tergeletak di tanah itu terpental sendiri,
bagaikan ada yang menyeretnya ke tempat lain.
"Wuuut..!" Nyimas Gandrung Arum terperanjat,
kecewa hatinya, namun berusaha menutupi kekecewaan
tersebut Seolah-olah ia tak perdulikan bumbung tuak, dan32
tetap pandangi Lepak Legong dengan ketajaman mata
murkanya.
"Kuingatkan padamu, Gandrung Arum... Pihakku tak
pernah punya urusan dengan Bukit Esa! Tapi jika kau
sekarang mau bikin urusan denganku, hmmm..." Lepak
Legong manggut-manggut. Lalu menyambungnya lagi, " aku
tidak akan beri kesempatan padamu untuk hidup lebih dari
setengah hari lagi! Jadi kusarankan, pergilah dari sini
sekarang juga, Nyawa si bocah sinting itu sudah menjadi
milikku!"
Nyimas mendengus sinis. "Hmmh...! Boleh kau
memiliki nyawa Pendekar Mabuk asalkan Nyimas Gandrung
Arum sudah menjadi bangkai!" sambil menepuk dadanya
sendiri.
"Perempuan terkutukl" geram Lepak Legong. "Kalau
begitu terimalah ajalmu sekarang juga! Wuuut..!"
Lepak Legong kibaskan tangan kanannya seperti
memercikkan air. Yang keluar adalah bunga api yang segera
memercik ke wajah Nyimas Gandrung Arum. Tetapi
perempuan ilu cukup sigap. la pun segera sentakkan tangan
kanannya. Sentakan tangan itu keluarkan angin besar yang
mampu mengalihkan percikan bunga api tersebut.
"Wuuusss..!"
Kedua bola mata Lepak Legong menjadi hijau.
Sepasang sinar hijau melesat dari mata itu, sehingga mata
menjadi normal kembali.
"Claap, claap..!"33
Nyimas Gandrung Arum melenting ke udara untuk
hindari dua sinar hijau tersebut.
"Wuut... blaar.. blaar...!"
Dua sinar hljau menghantam dua pohon cukup
besar. Setelah terdengar ledakan menggetarkan bumi, kedua
pohon itu menjadi lenyap tanpa bekas sedikit pun. Seakan
tanah itu tak pernah ditumbuhi dua pohon besar tersebut.
"Gawat Ilmunya tinggi juga orang ini. Aku bisa kalah
ilmu dengannya," pikir Nyimas Gandrung Arum setelah
mengetahui akibat terkena sinar hijau tersebut.
Nyimas Gandrung Arum mundur beberapa langkah.
Kedua tangannya bergerak cepat membuka jurus. Tiba-tiba
kedua tangan itu menyentak ke depan dengan masingmasing telunjuk mengacung keras. Dari ujung-ujung telunjuk
Pendekar Mabuk Korban Asmara Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu keluar sinar biru kecil sebesar lidi.
"Slaap, slaap...!" Kedua sinar biru itu menerjang
Lepak Legong. Tapi tokoh tertinggi di antara orang-orang
Dasar Kubur itu tidak menghindar sedikit pun. la tetap berdiri
di tempat dengan kedua tangan disentakkan ke depan.
Masing-masing telapak tangan keluarkan sinar hijau yang
besarnya tiga kali lipat dari besar masing masing sinar
birunya Nyimas Gandrung Arum
"Suuut, suuut.. !" Kedua pasang sinar itu bertemu di
pertengahan jarak.
"Duuubbbb..!" Mereka saling kerahkan tenaga
seperti saling dorong menggunakan masing-masing sinarnya.34
Tubuh perempuan cantik itu bergetar. Peluhnya
cepat membasahi sekujur tubuh. Sepasang sinar biru
perlahan-lahan bergerak mundur, menandakan sinar
hijaunya Lepak Legong punya daya dorong yang lebih kuat.
Nyimas Gandrung Arum semakin menyeringai kerahkan
tenaga. Tak terasa kedua kaki Nyimas Gandrung Arum
terbenam ke tanah sedikit demi sedikit. Tapi perempuan itu
belum juga menyerah la menambah kekuatan tenaga
dalamnya untuk kalahkan sinar hijau tersebut.
"Sruuub..!" Kaki makin terbenam ke tanah,
mencapal bagian atas mata kaki. Merasa kuda-kudanya
mulai lemah, Nyimas Gandrung Arum segera membuka
semua jari-jarinya dan telapak tangannya menyentak secara
bersama.
"Wuuut, wuuut..!" Dua sinar biru itu menjadi besar.
"Bluub..!" Tapi Lepak Legong tambahkan
kekuatannya, sehingga sinar biru meliuk naik dan terjadilah
ledakan yang cukup dahsyat.
"Blegaarr..!"
Nyimas Gandrung Arum terlempar ke belakang
sejauh sepuluh langkah. la melayang dalam keadaan tubuh
berputar tegak lurus. Akhirnya membentur pohon dengan
keras. "Bruuussk... Bluuukk...!" Tubuh perempuan itu
terbanting. Hidungnya berdarah, telinganya juga berdarah,
mulutnya memuntahkan darah kental. Kulit wajah sampai
dada menjadi biru legam, Napasnya pun terengah-engah
menyedihkan sekali.35
Dalam keadaan terpuruk di bawah pohon, Nyimas
Gandrung Arum melihat lawannya melayang tanpa
menginjak tanah tapi tetap berdiri tegak melewati tubuh
Suto Sinting yang masih terkapar tanpa gerak.
"Wuut...!" Lepak egong berhenti dalam jarak empat
langkah dari tempat Nyimas Gandrung Arum terpuruk.
"Kelancanganmu berani melawanku, melebihi
kesalahan Pendekar Mabuk, Gandrung Arum! Maka
nyawamu harus kuhabisi lebih dulu dari si bocah gendeng
itu!"
Lepak Legong memutar kedua tangannya, lalu
disentakkan ke depan agar bisa keluarkan sinar hijau seperti
tadi. Tetapi sebelum hal itu dilakukan, sekilas cahaya kuning
menyambar tubuhnya dari samping kiri.
"Wuuut, blaaarrr...!" Ledakan itu berhasil
lemparkan tubuh kurus Lepak Legong hingga melambung
tinggi, lalu jatuh terbanting dalam jarak empat tombak dari
tempatnya berdiri semula.
"Bruuukkk... Aahk.Bangsaatt..!" geramnya penuh
murka. Nyimas Gandrung Arum memang terluka lumayan
parah, tapi la masih bisa berdiri dengan kerahkan sisa
tenaganya. Bahkan ia sedikit terperanjat melihat
kemunculan orang yang menyerang Lepak Legong itu, sebab
ia kenal dengan orang tersebut.
Siapa lagi orang yang seperti tokoh Semar dalan
pewayangan jika bukan si Dewa Kubur, gurunya Dimas
Genggong dari Gunung Gandul? Dengan agak gemuk perut36
buncit, jambul putih di ubun-ubun dan berjubah coklat
bintik-bintik puth, celana dan baju dalam warna hijau, siapa
pun dari golongan tua akan mengenalinya sebagai Dowa
Kubur yang selalu sering bicara dengan menggantung kata
akhirnya.
Nyimas Gandrung Arum kenal dengan tokoh kalem
ini, karena kakak dari Dimas Genggong adalah murid Nyimas
Gandrung Arum. Sekali pun usianya sudah sekitar delapan
puluh tahun juga, tapi Dewa Kubur masih tampak gagah dan
lincah, seakan hidupnya selalu penuh semangat dan
keceriaan. Kini ia melirik ke arah Nyimas Gandrung Arum
sambil pegangi tongkat besinya yang berujung trisula itu.
"Bagaimana dengan lukamu, Gandrung Arum?"
"Aku bisa atasi, Kakang Murcapana," jawab Nyimas
dengan menyebut nama asli Dewa Kubur. sebenarnya Dewa
Kubur masih ingin bicara dengan Nyimas Gandrung Arum,
sehubungan dengan terkaparnya Pendekar Mabuk. Tetapi
suara Lepak Legong membuatnya harus cepat pindah
perhatian jika tak ingin kecolongan jurus dari lawannya.
"Brandal tengik samber kolor..!" maki Lepak legong
kepada Dewa Kubur seraya berdiri tegak kembali. "Lancang
betul keberanianmu campuri urusanku, Dewa Kubur!"
"Aku hanya hentikan keganasanmu yang liar itu,
Lepak Legong. Kebetulan saja aku lewat si... Sini! Seandainya
dari kadipaten Simaluhun aku lewat balik bukit , tentunya
aku tidak akan jumpa de...? Denganmu!"37
"Minggat kau dari sini! Jangan ikut campur dengan
urusanku!"
"Nanti dulu," ujarnya kalem dalam senyum tipis "Kau
Ingin mencelakai dua sahabatku. Gandrung Arum sudah
bukan orang lain bagiku, Lepak Legong. Dan Pendekar Mabuk
yang terkapar itu sudah kuanggap cucuku sendi....? Sendiri!
Jadi kalau aku harus tinggal diam melihat dua orang ini kau
celakai, ooh.. semua orang akan mengecamku sebagai orang
yang bo..? Bodoh!"
"Kalau begitu aku harus memaksamu minggat dari
sini, Murcapana! Weess...!" Lepak Legong menerjang.
Bagaikan kilat Dewa Kubur sentakkan tongkatnya dalam
posisi miring dan hanya dengan satu tangan. "Suuut..
Wwwuuusss...!" Angin kencang menjemput terjangan Lepak
Legong. Tubuh itu bagaikan dinding bendungan.
"Bruuk.. !" Da langsung jatuh terpuruk di
pertengahan jarak.
"Heeaaah." Lepak Legong cepat hantamkan sisi
tangan kanannya ke tanah. 'Krraak.. Bweeerrr..!"
Tanah retak, menyentak bikin celah lebar. Celah
lebar itu bagaikan berjalan seperti ular naga. Keretakan itu
sampai di tanah tempat Dewa Kubur berpijak.
"Sruuk..!" Hampir saja Dewa Kubur terperosok
masuk ke dalam keretakan tanah selebar satu tombak
kurang itu. Tapi untung tongkatnya segera menekan tanah
yang masih keras dan tubuhnya melenting di udara setelah
tongkat itu disentakkan38
"Wuuut,..Blaab... !" Dewa Kubur yang sodang
bersalto di udara tiba-tiba lenyap. Kejap berikutnya sudah
muncul di belakang Lepak Legong. Sedangkan Lepak Legong
sendiri tenggelam ke bumi, seperti disedot oleh kekuatan
dahsyal dari dalam tanah.
"Srruuubb...!"
la lenyap. Dewa Kubur bingung mencarinya. Clingakclinguk memandang ke bawah seperti orang kehilangan uang
logam buat telepon. Sampai beberapa saat ternyata Lepak
Legong tldak muncul dari dalam tanah.
"Hmnm... dia kabur!' gumamn Dewa Kubur
agak/keras, terdengar sampal di tempat Nyimas Gandrung
Arum yang baru saja kerahkan hawa murni untuk mengalasi
luka dalamnya, Maka dengan langkah santai Dewa Kubur
dekati perempuan cantik sahabatnya itu.
"Sebenarnya kau mampu kalahkan Lepak Legong,
Tapi mungkin kau terlalu mengumbar mur...? Murka!,
Gandrung Arum. Melawan orang satu itu tidak boleh dengan
luapan amarah yang berlebihan, sebab dia akan masuk ke
sela-sela amarah kita, dan jika sudah begitu, kita tidak akan
sempat menutup kesempatan terse...? Tersebut !"
"Kakang Murcapana, aku terpaksa melawannya
karena ia akan membunuh Pendekar Mabuk
"Apa persoalannya?"
"Pendekar Mabuk telah menewaskan kedua
muridnya: Watumenak dan Rokatama. Lepak Legong
menuntut balas. Aku tak rela jika Pendekar Mabuk tewas di39
tangannya, bahkan di tangan siapa pun, Kakang. Dia sudah
sering membantuku, termasuk menyelamatkan nyawaku."
"Ya ya.. aku mengerti perasaanmu, Gandrung Arum
," Dewa Kubur manggut-manggut. la melirik ke arah Suto
Sinting. "Apakah lukanya sangat parah?"
"Sepertinya begitu, Kakang"
"Usahakan bisa memberinya minum tuaknya itu. Dia
pasti akan sehat kemba...?"
"Kembali" lanjut Nyimas. Dewa Kubur mengangguk
membenarkan lanjutan katanya. "Jika bukan dia yang
menderita pukulan si Lepak Legong, aku yakin sudah mati
hangus atau lebih mengerlkan lagi!"
"Sudah, jangan banyak bicara. Kejar nyawanya agar
jangan pergi dulu dengan cara meminumkan Tu..?"
"Tulalit, eeh " Nyimas Gandrung Arum tersipu,
kemudian curahkan perhatian kembali pada keadaan Suto
Sinting. la segera mengambil bumbung tuak itu untuk
diminumkan isinya kepada Suto. Bukan diminumkan
bumbungnya.
Bertepatan dengan Nyimas Gandrung Arum
membungkuk untuk ambil bumbung tuak, tiba-tiba ia
dikejutkan oleh ledakan di belakang Dewa Kubur. Rupanya
saat itu Lepak Legong muncul kembali dari dalam tanah
dalam satu lompatan tinggi.
"Brraaassss...!"40
Sambil melambung ke udara dan menyebarkan
tanah tanah di sekitarnya, Lepak Legong kirimkan sepasang
cahaya hijau dari bola matanya.
"Claap,.claap..! Arahnya tepat ke punggung Dewa
Kubur. Serta merta Dewa Kubur berpaling, kemudian
berbalik arah sambll lepaskan pukulan sinar merah bintikbintik dari telapak tangannya.
"Sraabb... !" sinar merah bintik-bintik itu melebar di
pertengahan jarak dan menghantam dua sinar hijaunya
Lepak Legong.
"Blegar..ganarr..!"
Alam berguncang cukup hebat. Pohon-pohon
bergetar merontokkan daun-daunnya. Batu-batu
menggelinding dari lereng. Tanah berekah di sana sini, angin
besar berputar-putar di pertengahan jarak, bergerak ke
sana-sini. Bahkan satu pohon tak begitu besar tercabut oleh
gerakan angin putar itu.
Dewa Kubur sendiri terlempar ke sana-sini walau
bertahan diri melawan pusaran angin. Lepak Legong
terlempar oleh gelombang sentakan dari ledakan tadi.
Tubuhnya yang terkapar di tanah berputar cepat Seperti
gangsing.
"Arum.... Bawa pergi Suto..." terdengar seruan
Dewa Kubur.
Nyimas Gandrung Arum jatuh berguling-guling
karena tanahnya bergelombang naik-turun, Tubuh Suto yang
terkapar dalam keadaan masih pingsan itu juga41
menggelinding ke sana-sini. Suara gemuruh masih terdengar
seakan gema ledakan itulah yang mengguncangkan alam
cukup lama. Nyimas Gandrung Arum berhasil pegangi eraterat bumbung tuak Suto Dengan susah payah, seperti
melawan hembusan badai, Nyimas Gandrung Arum akhirnya
berhasil dekati Suto Sinting. Dengan tenaga dalamnya yang
baru pulih, ia menyambar tubuh Pendekar Mabuk, langsung
disampirkan ke pundak kiri.
"Teeb..Blaasss. Blaaasss.Blaaasss..!"
Nyimas Gandrung Arum membawa lari Suto Sinting
dengan jurus peringan tubuhnya yang mampu membuatnya
lenyap dari tempat itu. la tak perduli lagi dengan pertarungan
Dewa Kubur dan Lepak Legong yang merusakkan alam itu.
Menurutnya, jika kedua orang itu masih selamat, sewaktuwaktu pasti akan bertemu lagi dengan mereka. Jika Dewa
Kubur tewas, ia pun akan cepat dengar kabar dari Dimas
Genggong.
Kini persoalannya bagi Nyimas adalah, ke mana ia
harus membawa Pendekar Mabuk? Jika harus membawanya
ke Bukit Esa, jaraknya cukup jauh dikhawatirkan nyawa Suto
tidak terkejar, alias koit!. Padahal luka parah Suto itu cepatcepat butuh pertolongan.
"Sebaiknya kucari tempat aman di mana saja, asal
tidak terganggu hal-hal lain saat meminumkan tuak ke
mulutnya" pikir Nyimas Gandrung Arum seraya clingnkclinguk cari tempat aman.42
Bumi masih lerasa bergetar samar-samar, Suara
dentuman dahsyat masih sesekall terdengar. Itu
menandakan bahwa pertarungan Dewa Kubur dengan Lepak
Legong masih berlanjut. Sama-sama seru, sama-sama
mempunyal jurus andalan. Nyimas Gandrung Arum punyai
rada cemas terhadap keselamatan Dewa Kubur. Akhirnya ia
hentikan langkahnya dengan hati diliputi kebimbangan,
antara membawa terus Suto Sinting ke tempat yang aman
atau kembali ke tempat tadi untuk membantu Dewa Kubur.
*** KORBAN ASMARA TERKUTUK
Koleksi Kolektor EBook43
4 MENJELANG SORE, Nyimas Gandrung Arum baru
ingat rumah seorang sahabatnya semasa muda. Rumah itu
merupakan sebuah pondok di tepi pantai, tak jauh dari
tempatnya berhenti menimbang-nimbang langkah. Hanya
saja, Nyimas kembali dihinggapi keraguan dalan hatinya.
"Apakah sl Mendung Lara masih tinggal di Pantai
Kutu? Jangan-jangan sudah pindah ke tempat lain. Hmm. ..
Sebaiknya kucoba lewat sana, siapa tahu dia masih tinggal di
sanal" pikir Nyimas Gandrung Arum, kemudian berkelebat
menuju Pantai Kutu.
Ternyata pondok itu masih ada. Terbuat dari kayu
jati purba yang tersusun rapat, sisinya saling bertumpuk.
Pondok itu terdiri dari dua lantai. Mempunyai teras yang
Pendekar Mabuk Korban Asmara Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat dipakai untuk mengawasi daerah sekelilingnya. Tapi
warna hitam pada kayu kayunya menandakan bahwa
pondok itu sudah tua.
Anehnya, Pantai Kutu yang dulu dikenal Nyimas
sebagai pantai yang cukup ramai, banyak penduduknya,
sekarang menjadi sepi bagaikan kuburan tanpa hantu.44
Alangkah sepinya? Kuburan saja sudah sepi, apalagl tanpa
hantu. Apa yang terjadi di Panuti Kutu ini? Padahal dulu
ramai dikunjungi para pelancong yang sering mandi matahari
di sekitar pasir pantai?"
Rumah-rumah penduduk lainnya ternyata sudah
rubuh semua. Pohon-pohon yang semula tumbuh dengan
rindang, sekarang menjadi jarang, nyaris gundul. Tempat itu
menjadi kotor, penuh bangkai rumah di sana-sini. Tak satu
pun penduduk yang terlihat batang hidungnya, apalagi isi
hidungnya, sama sekali tak bakal kelihatan.
"Hmm, hanya pondoknya si Mendung Lara yang
masih tampak berdiri kokoh, walaupun juga kelihatan sudah
dimakan usia. Apakah pondok itu masih ada penghuninya?"
Nyimas Gandrung Arum cepatkan langkahnya. Tapi
baru saja ia ingin memasuki halaman pondok itu yang
dipagar dengan susunan batu-batu karang berkeliling
setinggi satu tombak, tiba-tiba sekelebat bayangan
menerjangnya dari balik pagar batu karang itu.
"Wesss..!"
Nyimas Gandrung Arum yang masih memanggul
Suto Sinting segera lompat mundur dan pasang kuda-kuda.
Beban di pundaknya tidak jadi masalah. la mampu berdiri
kokoh, seperti tanpa beban sedikitpun. Bayangan yang
menerjangnya itu mengulangi tingkahnya tanpa menunggu
lama-lama.45
"Wees...Piak, plak, dess..!" Adu kecepatan tangan
terjadi. Nyimas Gandrung Arum menggunakan satu tangan.
Lawannya juga gunakan satu tangan.
"Plak, plok, plak, plok..!"
Adu kecepatan kaki juga dilakukan oleh mereka.
Nyimas Gandrung Arum berhasil tangkis tendangan
lawannya, tapi satu kali ia terkena tendangan pada
pinggulnya. Tendangan itu hanya membuatnya oleng.
Sementara tendangan Nyimas yang terakhir berhasil kenai
bahu lawannya. Lawan oleng ke kiri.
"Wuut, dees..!"
Nyimas segera kejar orang itu. Tapi orang berJubah
merah itu cepat bangkit dan menangkap pukulan tangan
Nyimas dengan menggenggamnya.
"Teeb..!"
"Hampir saja mukaku bonyok oleh jurus tangan
kosongmu, Gandrung Arum!"
Nyimas tersenyum. "Tak mungkin tanganku
membonyokkan wajah cantik teman lama sepertimu,
Mendung Lara!"
"Hiiik, hiiik, hiiik..."
Mereka saling menepak pipi satu kali. "Plok, plok..
ltulah ungkapan rasa gembira mereka bertemu teman lama
yang cukup dirindukan. Si jubah merah itu ternyata adalah
Nyai Mendung Lara yang tampak lebih tua dari Nyimas
Gandrung Arum, sekitar berusia enam puluh tahun. Tapi
sesungguhnya usia mereka berdua sudah mencapai sembilan46
puluh tahun. Hanya saja, Nyimas Gandrung Arum punya llmu
awet muda yang lebih ampuh dari yang dimiliki Nyai
Mendung Lara, sehingga Nyai Mendung Lara tampak lebih
tua dari Nyimas Gandrung Arum.
"Sialan! Rupanya kau tekuni ilmu 'Rona Lestarl',
sehingga sampai sekarang kau masih tetap awet cantik dan
awet muda, seperti masih berusia tiga belas tahun!"
"Ah, kelewatan sanjunganmu!" Nyimas bersungulsungut geli.
"Ooh, kau membawa seorang pemuda? Hmm.. Nyai
Mendung Lara mengelilingi Nyimas sambil memperhatikan
Pendekar Mabuk. "Boleh juga!" ujarnya setelah tiba
berhadapan kembali dengan Nyimas.
"Sudah setua ini kegenitanmu masih saja dipelihara,
Mendung Lara !"
"Hii,hii, hii, hiii..sekedar buat mengenang masa
muda kita, Arum. Tapi ooh. agaknya pemuda ini lerluka?"
"Benar Karena itu aku butuh tempat untuk
sembuhkan dia!"
"Hmmm, siapa pemuda ini, Arum?"
"Hanya seorang sahabat muridku," jawab Nyimas
Gandrung Arum sengaja sembunyikan jati diri Suto Sinting.
Tentu saja ia punya maksud tertentu. Setidaknya agar tidak
dikecam oleh Nyai Mendung Lara dengan praduganya yang
bukan-bukan. Tampaknya Nyal Mendung Lara sangat
percaya.47
"Sayang sekali, Arum. kebetulan hari inl aku harus ke
Bukit Topong. Keponakanku menikah disana dan hari ini
perayaan pernikahannya. Kalau aku tak datang, dia akan
menangis seumur hidupnya. Keponakanku itu memang
manja, Arum."
"Jadi..!"
"Tapi tak perlu cemas. Pakailah pondokku. Tak perlu
sungkan-sungkan. Gunakan apa yang bisa kau gunakan. Tapi
kuminta tinggallah sampai esok sore. sebab aku rindu
padamu dan ingin mengenang masa lalu
"Esok sore kau sudah kembali?"
"Mungkin sebelum sore aku sudah kembali!"
Nyai Mendung Lara membawa masuk Nyimas
Gandrung Arum. Suto Sinting dibaringkan di sebuah dipan
tak berkasur tapi dilapisi tikar pandan.
"Gandrung Arum, sebenarnya aku tadi baru saja
berangkat, tapi.. karena melihat kecantikanmu aku jadi
terpana di balik batu tadi."
"Aah, jangan menyanjungku terus. Kau pun biar tua
tapi tetap tampak cantik, Mendung Lara."
"Terima kasih." senyum Nyai Mendung Lara semakin
ceria. "Kau memang teman yang pandai menghibur hatiku,
Arum. Hmmm... aku harus berangkat sekarang, supaya
Sampai Bukit Topong tak kemalaman."
"Mendung Lara, boleh kutanya sesuatu padamu?
"Kau pasti mau tanyakan suamiku, si Gupar Gapir?
Hmmm.. !" Nyai Mendung Lara tersenyum hambar. "Dia48
sudah tewas dua tahun yang lalu. Tewas di tangan Siluman
Tujuh Nyawa."
"Ooh, menyedihkan sekalil" gumam Nyimas
Gandrung Arum." Lalu penduduk desa lainnya? Mengapa
mereka tak ada dan rumah mereka hancur Semua?"
"Sekitar delapan bulan yang lalu, tempat ini dilanda
bencana alam. Badai lautan menerjang tempat ini. Yang
hidup hanya beberapa orang, termasuk aku, karena waktu
itu aku sedang pergi. Mereka yang hidup tak mau tinggal di
sini lagi..". Nyai Mendung Lara menatap ke arah bangkai
rumah dari serambi depan. "Rumah mereka pun hancur, tapi
pondok ini tetap utuh. Oleh sebab itu aku tetap menempati
pondok ini untuk mengenang mendiang suamiku, karena dia
hanya meninggalkan rumah ini (tanpa meninggalkan
keturunan seorang pun)."
"Ooo, jadi bukan karena serangan manusia-manusia
rakus?"
"Bukan," Nyai Mendung Lara menggeleng. " Oh ya..
kudengar kau sekarang masuk aliran putih. Apa benar?"
"Yah, aku sudah bosan hidup sesat dan penuh
kebusukan. Sebentar lagi aku akan tiada, kembali ke
pangkuan Yang Maha Kuasa. Aku harus ubah kejahatanku
dengan kebaikan yang setimpal."
"Syukurlah! Aku ikut senang jika kau sudah beralih ke
aliran putih."
Nyai Mendung Lara menepuk-nepuk pundak
sahabat lamanya yang sudah empat tahun tidak saling jumpa49
itu. Kemudian ia pun segera pergi ke Bukit Topong, tinggal
Nyimas dan Suto yang belum sadar-sadar juga. Suto Sinting
dipindahkan ke lantai atas. Di sana terasa lebih lega karena
tidak banyak perabot rumah. Di lantai atas itu pun ada
ranjang berkaki rendah yang dibentangi kasur empuk di
atasnya.
Suto dibaringkan di sana, tak jauh dari jendela yang
masih terbuka. Pemandangan pantai di waktu senja dapat
dinikmati hanya dengan duduk di tepian ranjang tersebut.
Tapi sekali pun matahari senja mau terbenam memancarkan
cahaya tembaganya yang membuat laut berkilauan seperti
terbakar, Nyimas Gandrung Arum justru menutup jendela
tersebut. la tak berminat menikmati pemandangan senja
hari itu karena hatinya menjadi berdebar-debar, jantungnya
terasa lebih cepat. la gagal sadarkan Pendekar Mabuk.
Padahal ia sudah menuangkan tuak ke mulut pendekar
tampan itu dengan bantuan sendok keramik. Tapi agaknya
usaha itu tak membuat Pendekar Mabuk siuman kembali.
"Celaka! Kalau sampai dia mati karena luka ini
kuhancurkan orang-orang Dasar Kubur bersama si Lepak
Legong keparat itu!" geram hati Nyimas Gandrung Arum
sambil mondar-mandir. Beberapa kejap kemudian ia
temukan gagasan.
"Mungkin harus kubantu dengan salurkan hawa
murni ke dalam tubuhnya? Hmmm.. sebaiknya kucoba!"50
Baju buntung warna coklat dibuka. Dada bidang
terpampang jelas di mata Nyimas Gandrung Arum. Hati
berdebar-debar saat pandangi dada tersebut.
"Sial! Kenapa hatiku sejak tadi berdebar-debar
begini?! Debar-debar Ini sepertinya.. sepertinya menuntut
sebentuk keindahan. Sejak tadi kurasakan, tapi kucoba untuk
menahannya. Ooo.. kurang ajar sekali. Apa yang dalam
hatiku tumbuh desiran-desiran aneh begini?! Mengapa
semakin lama semakin terasa jelas?"
Penguasa Bukit Esa mencoba tak mau hiraukan
perasaannnya. la pusatkan perhatiannya, kekuatannya.
hawa murninya dan kesungguhannya untuk sembuhkan
keadaan Pendekar Mabuk. Kedua tangan ditempelkan di
dada Suto. Boberapa kecap, kedua tangan itu keluarkan asap
dingin, seperti uap es. Napas yang tertahan terlalu lama
membuat Nyimas Gandrung Arum terengah-engah. Bintikbintik keringatnya mulal timbul di bagian pelipis dan leher. la
melepaskan jubahnya. Tinggal mengenakan kutang dan
celana kecil pembungkus bagian bawahnya. Kedua penutup
tempat terlarang itu terbuat dari kain kuning emas
berkilauan.
Kini Nyimas Gandrung Arum melangkahi tubuh Suto
Sinting, sediki jongkok di atas perut, dan kerahkan tenaga
dalamnyn dengan gerakan kedua tangan mengeras ke atas,
lalu turun pelan-pelan h?ngga telapak langan keduanya
menempel di dada Suto Sinting.
"Haaahhhhkkk...!"51
Napas panjang dibuang lewat mulut. Kedua telapak
tangan kembali keluarkan asap samar-samar yang membuat
permukaan kulit dada Suto berembun.
"Huahh..!"
"Wuuus, jleeg!"
Nyimas Gandrung Arum terpental, tubuhnya
melambung ke atas, hampir membentur atap. Tapi ia segera
sigap dan berhasil mendarat dengan kedua kaki sedikit
merenggang.
"Edan! Ada hawa besar yang menyentak dari dalam
tubuhnya7! Hawa apa itu? Sepertinya hawa itu tak mau
menerima hawa murniku?" gumam Nyimas sambil dekati
jubahnya, bersiap-siap kenakan jubah lagi kalau-kalau Suto
siuman. Tapi ternyata pemuda itu tetap diam tak bergerak
dengan wajah pucat pias.
Berbeda dengan kulit tubuh Nyimas Gandrung Arum.
Ternyata kulit yang putih mulus itu sekarang sudah berubah
menjadi semburat merah. Baik kulit pada lengannya,
dadanya, perutnya dan pahanya. Merah samar-samar,
seperti habis dirayapi ulat bulu.
"Tapi tak terasa gatal sedikit pun?" ujarnya dalam
hati. "Ooh, kenapa kulitku jadi begini?! Apakah ada
hubungannya dengan debar-debar jantungnya yang
menggelitik hasrat wanitaku?! Aduh. Celaka kalau sampai
berlarut-larut begini! Sebaiknya kucoba mengatasinya
dengan tuak sakti itu".52
Tuak pun diteguknya. Tak banyak tapi cukup
membuatnya merasa lega. Pernapasan agak ringan. Tapi
detak-detak jantungnya makin bertambah cepat. Desir-desir
di hati semakin terasa lebih menggelitik gairah. Nyimas
sempat tegang dan resah.
"Aah, persetan dengan perasaanku ini. Mungkin
hanya sisa-sisa dari jurus Asmara Loka yang sudah
kuhilangkan itu. Sebaiknya tak perlu kuhiraukan.Bagaimana
dengan Pendekar Mabuk itu?!"
Petang mulai muncul ke permukaan bumi. Nyi mas
Gandrung Arum sengaja tidak menyalakan lampu untuk
ruang bawah. Tapi ia menyalakan lampu minyak untuk ruang
atas, sehingga tampak terang.
"Hawa aneh di dalam tubuh Suto itu apakah akibal
pukulan si Lepak Legong, alau kekuatan hawa saktinya
sendiri? Tapi kurasakan jalur darahnya makin lama makin
mendidih," ujar Nyimas sambil menekan-nekan urat nadi
Suto, termasuk di bagian dada dan leher.
"Sebaiknya kugunakan napas 'Relung Sukma untuk
mendinginkan aliran darahnya! Tap... tapi harus napas itu
harus kusemburkan melalui mulutnya. Itu berarti.. bibirku
harus menyentuh bibirnya. Oooh, padahal getaran hatiku
masih begin!. Jika kulakukan semburan napas 'Relung
Sukma, apakah tidak akan memancing hatiku semakin
nakal?"
Semburan napas 'Relung Sukma' adalah jurus
menyalurkan hawa sakti yang jarang digunakan Nyimas53
Gandrung Arum. Orang yang menerima semburan napas
Relung Sukma kekuatan dan kesaktiannya akan bergolak dan
menjadi lebih tinggi. Tapi sesungguhnya semburan napas
Relung Sukma adalah cara terbaik untuk pertahankan nyawa
orang yang sedang sekarat. ilmu itu sering disebut sebagai
ilmu 'Sambung Nyawa' Tidak semua tokoh sakti mempunyal
ilmu itu.
Pendekar Mabuk Korban Asmara Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak ingin dia mati. Apapun ak?batnya nanti,
aku harus menyambung nyawanya!" Nyimas memutuskan
dalam hatinya. Ia pun naik ke ranjang, duduk bersimpuh di
samping Suto Sinting. Kemudian membungkuk,
menempelkan mulutnya ke mulut Suto Sinting.
"Pleek!"
Tapi baru saja bibir itu menempel di bibir Suto. rasa
hangat memancing desiran hati semakin nakal, Nyimas tak
buru-buru semburkan napas Relung Sukma-nya. la
berkecamuk dalam hati tanpa gerakan apapun.
"Aduuh.bibir ini makin menggetarkan hatiku. Hangat
dan... dan... oooh, kenapa aku ingin menikmatinya?
Mengapa aku ingin melumat bibir ini? Sudah lebih dari
setengah tahun aku tidak merasakan sentuhan hangat
begini, sekarang.. sekarang... ooh, haruskah kulewatkan
kesempatan emas ini? Haruskah. oooh, aku. aku aku tak
tahan lagi. Maafkan aku Suto. Aku hanya mencicipinya
sebentar, sekedar melegakan gairahku yang mulai mendidih
ini. Ooohmmm...!"54
Bibir Suto Sinting yang merah ranum untuk ukuran
biblr seorang lelaki itu, kini disapu dengan ujung lidah
Nyimas Gandrung Arum. Lidah itu menjalar mengitari setiap
permukaan bibir.Sentuhan hangat dan mesra menambah
jiwa semakin melayang-layang. Hasrat yang menggoda sejak
tadi bagaikan diberi kesempatan unluk lebih beraksi lagi.
Nyimas Gandrung Arum tak mampu menahan
hasratnya. Bibir Suto pun akhirnyna dilumatnya pelan-pelan,
Dikecup, dan dilepaskan perlahan-lahan. Dikecup lagi, lalu
dilumat dengan lidahnya yang menari-nari. Teringat dingin
mengucur, detak jantung membentur-bentur. Gemetar
kedua tangan Nyimas menyangga tubuhnya sendiri.
"Jlegaar...!"
Nyimas Gandrung Arum tersontak kaget mendengar
suara ledakan yang membahana itu, Kepalanya cepat ditarik
mundur. Secara reflek ia lompat ranjang. Jubahnya segera
dikenakan, karena menyangka ada pertarungan atau bahaya
di luar pondok.
Tapi ketika ia mengintip lewat celah Jendela, kilatan
cahaya petir berkerlip dari langit. Maka sadarlah Nyimas
bahwa suara menggelegar itu tadi adalah suara petir
memandu hujan. Terbukti anginpun berhembus dengan
kencang, dan suara gelegar petir terdengar lagi bagaikan
berlari ke arah selatan.
Nyimas duduk terengah-engah. Hatinya merasa lega.
Tapi hati ltu masih punya debar-debar yang menggoda gairah
kewanitaannya. Nyimas Gandrung Arum melepas jubahnya,55
matanya pandangi tubuh suto Sinting yang diam tak
bergerak dalam keadaan bajunya terbuka lebar.
"Gawat! Rasa-rasanya aku tak bisa lakukan
semburan napas 'Relung Sukma' pada dirinya. Hasratku
selalu menuntut dan menjadi menggebu-gebu jka bibirku
menempel pada bibimya. Oooh bukankah aku ini sebenarnya
sudah tua? Sudah tak layak lagi bercumbu dengan lelaki
semuda dia. Tapi mengapa aku berhasrat sekali padanya?!
Setan mana yang merasuki tubuhku yang telah bersih ini?"
Perempuan yang sedang dimabuk gairah cinta itu
sengaja tarik napas dalam-dalam untuk kendalikan
perasaannya. Tapi semakin tarik napas panjang semakin kuat
dorongan cumbunya menyiksa jiwanya. Keringat dingin kian
bercucuran sebagai akibat dari adanya perlawanan batin
dengan akal sehatnya,
"Tidak Aku tidak boleh melakukannya. Suto sudah
milik Ratu Gusti Mahkota Sejati. Walau belum resmi, tapi
mereka punya hubungan batin. Aku kenal baik dengan
ibunya Dyah Sariningrum yang bernama Gusti Pandan Wangi
itu. Ooh, celakalah aku kalau sampal menodai kesucian cinta
calon menantunya ini. Aku harus bisa melawan hasratku
sendiri. Napas Relung Sukma' harus kusemburkan sekarang
juga!"
Hati bertekad demikian. Namun mampukah Nyimas
Gandrung Arum itu melawan hasrat asmaranya jika setiap
mulai mendekati blbir Suto. gejolak batinnya mengamuk ini
menuntut kemesraan? Dapatkah ia melakukan niatnya jika56
setiap menyentuh biblr Suto, akal sehatnya lenyap tanpa
tersisa secuilpun?
Angin berhembus membawa udara dingin. Hujan
Pun turun dari rintik-rintik, akhirnya ngelunjak menjadi
deras. Semakin dingin udara yang masuk ke kamar itu
semakin berkobar hosrat bercumbu Nyimas Arum. Semakin
deras suara gemuruh hujan semakin menuntut batin
perempuan itu untuk mendapatkan kemesraan dan
kenikmatan dari seseorang. Padahal satu-satunya lelaki yang
ada di sampingnya adalah Pendekar Mabuk.
*** KORBAN ASMARA TERKUTUK
Kolektor EBook57
5 RUPANYA kali ini pengaruh tuak Suto cukup lamban
dalam melawan tenaga daiam Lepak Legong. Tuak itu tidak
mudah menghancurkan hawa iblis dari pukulan maut si
Lepak Legong, tetapi perlu perlawanan sengit yang tidak bisa
dilihat oleh siapa pun.
Setelah beberapa saat lamanya tuak itu melawan
hawa iblis tersebut, akhirnya ia berhasil melumpuhkannya.
Lumpuhnya hawa iblis itu keluar dari pori-pori kulit si
pendekar tampan itu dalam bentuk keringat
Sekujur tubuh Suto bermandi keringat, basah kuyup
seperti habis nyolong ikan di empang orang.
Rambutnya pun seperti orang habis keramas tanpa
handuk. Sebagian air keringat menetes di lantai lewat
rambut panjangnya itu. Tentu saja kasur menjadi basah
kuyup juga, airnya sampai tembus ke bawah menetes di
lantai.
Tetapi pelan-pelan napas Suto mulal meringan.
Matanya dibuka sedikit demi sedikit. Tangan kirinya mulai
bisa bergerak menyeka keringat di wajah. Tapi gerakan itu
cukup lamban karena urat-urat tubuh masih lemas.58
"Di mana aku ini?!" tanyanya dalam hati saat
menatap langit-langit kamar. "Di rumah dukun bayi itu atau
di rumah mertua sendiri?!" semakin lebar matanya
memandang, pertanda semakin pulih kesadaran Pendekar
Mabuk. la pun menyadari akan keringatnya ynng mengucur
deras, sederas hujan dl luar sana.
Dalam keadaan masih tidak banyak bergerak, Suto
mengingat-ingat peristiwa yang dilaluinya. Ia Ingat semua
Lalu ia pelan pelan berkerut dahi.
"Ooh, ada suara tangis ?!" ujarnya membatin. "Eeh,
bukan. Suara hujan. Topi... aah, sepertinya ya suara hujan..
ya suara tangis. Mana ada hujan mengisak-isak?"
Pelan-pelan juga Suto Sinting bangkit dan duduk.
"Ya, ampun...? Yang hujan di luar kenapa yang basah di
dalam ?" kata hatinya sambil pandangi sekujur tubuhnya
yang basah, termasuk celana dan bajunya. "Lho.. ? " kini Suto
benar-benar kaget. Bukan kaget tiruan. Matanya sedikit
dilebarkan melihat Nyimas Gandrung Arum meringkuk di
sudut ruangan, menggelar tikar dan memunggungl ranjang.
Karenanya ia tak tahu kalau Suto sudah siuman.
Tubuh yang meringkuk seperti orang kedinginan
berselimut jubah itu bergerak-gerak. Guncangan tubuh itu
seirama dengan suara isak tangis. Tentu saja Suto menjadi
heran.
"Kenapa dia menangis?! Ooh.. dia yang menolongku
membawa kemari. Entah rumah siapa ini. Tapi mengapa dia
menangis, itu persoalannya! Apakah dia kebingungan tak59
bisa bayar uang sewa rumah ini? Atau menangis karena
kecewa tak bisa pingsan sepertiku?"
Untuk memancing perhatian Nyimas Gandrung
Arum, suara Suto dipaksakan untuk batuk kecil.
"Uuhuk, uhuk... Ehmm."
Spontan perempuan itu bangkit dan berpaling
menatap Suto.
"Hahh...? Sutoo...?!Kau... kau sudah bisa siuman?!"
Wajah cantik itu berburai air mata. Tapi di sela
kekuyupan wajah cantik itu, tampak senyum kegirangan
Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama