Ceritasilat Novel Online

Misteri Dua Cinta 2

Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari Bagian 2


akan lebih sulit daripada dulu ketika pilihannya adalah Arie
atau Alex. Benny tidak akan rela ditinggalkan begitu saja,
sedangkan Arie akan tahu bahwa dia selingkuh bila Benny
sampai meradang. Kedua orang yang tadinya bersahabat itu
akan bermusuhan.71
Ah, kalau saja Benny membiarkan dia meminta cerai
dari Arie. Tentu Arie akan maklum dan ikhlas karena
menyadari kesalahannya.
Erwina tak bisa merenung berlama-lama karena bel
pintu pagar berbunyi. I senang karena mengira yang datang
Benny. Tak sembarang orang mengetahui ada bel di balik
pintu. Orang yang tidak tahu akan menggedornya. Bel
sengaja diletakkan agak tersembunyi supaya tidak
dimainkan orang iseng.
Ia terkejut karena orang yang masuk diantar Bi lyah
adalah Martin. Di belakang Martin, Bi Iyah memperlihatkan
mimik wajah cemas. Mulutnya membuka tutup tanpa suara
menyebutkan kata "polisi". Erwina paham, Bi Iyah tak bisa
melarang keinginan Martin masuk rumah karena ia
mengaku sebagai polisi. Sebelumnya, Erwina sudah
berpesan wanti-wanti agar tidak membukakan pintu pagar
bagi sembarang orang.
"Selamat pagi, Bu!" sapa Martin ramah.
"Selamat pagi, Pak."
Erwina berusaha menyembunyikan kekecewaan dan
kekhawatirannya dengan senyum yang ramah juga. Ia
menyilakan Martin duduk di teras, padahal Martin
melongok ke dalam seakan ingin disilakan masuk.
"Bagaimana kabarnya, Bu? Baik-baik saja?"
"Ya, baik. Ada berita apa, Pak?"
"Oh, nggak ada yang baru sih. Saya cuma mampir
sambil lewat. Tadi saya tanya Bibi, Ibu sudah pergi ke
rumah sakit atau belum. Katanya belum. Jadi, saya mampir.
Ibu berencana akan menengok? Tentunya ya, kan? Saya
nggak perlu tanya."
"Ya, saya akan menengok ke rumah sakit."
Erwina menyembunyikan kekesalannya. Apakah ada
penyelidik yang punya waktu luang untuk mampir-mampir?
"Pukul berapa akan pergi, Bu?" tanya Martin, dengan
tatapan menjelajah ke seputarnya.72
"Sekarang sudah akan pergi. Lagi siap-siap."
"Oh, begitu. Bersama siapa perginya, Bu?"
"Sendiri saja."
"Pakai mobil, Bu?"
Martin menengok ke samping. Tampak bagian depan
mobil Arie yang diparkir.
"Ah, nggak. Pakai taksi saja."
"Sori tanya-tanya, Bu. Saya pikir, kalau Ibu bawa mobil
saya mau menebeng. Kebetulan motor lagi di bengkel."
Bi Iyah keluar membawa secangkir teh manis. Erwina
mengernyit, harusnya Bi Iyah tak usah membawakan
minuman apa-apa.
"Terima kasih, Bi," kata Martin, dengan hangat sekali
hingga Bi Iyah tersipu.
"Silakan diminum, Pak," Erwina pura-pura ramah.
Martin menyeruput minumannya pelan-pelan,
seolah-olah tidak terburu-buru. Erwina mulai gelisah.
Bagaimana kalau Benny datang?
"Bapak belum menengok ke rumah sakit?"
"Sudah, kemarin. Hari ini belum. Siapa tahu ada
perkembangan. Katanya, Ibu kemarin malam nggak ke
sana."
"Di sana sudah ada ibu dan mertua saya. Kalau ada apaapa pasti saya diberi tahu."
"Ibu pasti gembira sekali karena kondisi Pak Arie yang
mengejutkan itu."
Erwina termenung. Ia tahu, Martin sedang berupaya
menjebaknya. Merasa disudutkan, ia terdorong untuk
mencari jawaban yang sebaik-baiknya. Ia tidak boleh gugup.
"Saya malah bingung, Pak. Perasaan saya seperti
dipermainkan. Kalau sekarang saya gembira, bagaimana
kalau itu cuma sementara saja? Sekarang ini kan dia cuma
memperlihatkan tanda-tanda kehidupan, bukan hidup benarbenar?"
Martin mengangguk-angguk. Tampak terkesan.73
"Benar juga. Situasi yang aneh. Waktu itu Ibu sampai
pingsan. Syok ya, Bu?"
"Ya."
"Kalau begitu, sebaiknya Ibu memang jangan gembira
dulu. Siap mental saja. Ibu berdoa juga, kan? Kehidupan ini
mahal sekali."
Erwina mengangguk. Ia merasa tersindir. Kehidupan ini
memang mahal. Aku dan Benny berupaya merenggutnya
dari Arie karena Arie memang harus membayar mahal!
Martin memandang berkeliling. "Nyaman sekali di sini.
Sejuk dan segar. Apakah nggak terlalu rimbun, Bu?"
"Maksud Bapak?"
"Rumah Ibu jadi tertutup. Kalau ada apa-apa nggak
kelihatan dari luar."
"Apakah rumah harus terbuka? Bisa dilihat semua
orang dong!"
"Maksud saya, segi keamanannya."
"Oh, di sini aman."
"Dengan tetangga kenal?"
Erwina menggeleng malu. "Jarang bertemu," ia
mengakui.
Martin tersenyum. "Bisa dimaklumi."
Tiba-tiba terdengar klakson di luar pintu pagar. Bunyi
yang sudah sangat dikenal Erwina, tetapi juga mengejutkan.
Saat itu, ia sangat tidak mengharapkan kedatangan Benny.
Ia juga tidak keburu mencegah Bi Iyah, yang tergopohgopoh keluar dari pintu samping untuk membukakan pintu.
Bi Iyah keluar tanpa bertanya dulu kepadanya, apakah mobil
yang baru datang itu boleh dibukakan pintu atau tidak.
"Itu Benny," kata Erwina mendahului. "Dia sering main
ke sini karena dia sahabat keluarga."
"Saya sudah tahu. Pak Benny sahabat Pak Arie dan
saudara kembarnya sejak kecil. Dia sudah cerita."
Erwina tidak berani menghampiri Benny sebelum
mobilnya mencapai teras untuk memberitahu perihal74
kehadiran Martin karena takut dicurigai. Jadi, ia hanva
melambaikan tangan.
Pada mulanya, Benny heran melihat Erwina tetap saja
duduk tanpa menyambutnya. Ia tak langsung melihat Martin
yang duduknya lebih ke tengah, terhalang pot tanaman hias.
Begitu melihatnya, ia sangat terkejut hingga tak bisa
menyembunyikan ekspresinya. Meskipun ia bisa segera
mengubah ekspresinya menjadi biasa kembali, ia tidak tahu
apakah Martin berhasil menangkap ekspresinya tadi.
Mereka bersalaman.
"Sudah lama, Pak?" tanya Benny, mendudukkan dirinya
di sebelah Martin.
"Belum. Saya baru mau jalan, eh, Anda kebetulan
datang. Mau ke rumah sakit atau mengobrol di sini saja?"
"Ke rumah sakit dong, Pak."
"Aduh, kebetulan lagi. Saya boleh menebeng, dong!"
seru Martin riang.
Erwina dan Benny hanya bisa berpandangan dengan
senyum kaku.
Di dalam mobil mereka tak banyak bicara. Lebih
banyak diam. Martin duduk di belakang, dan lebih banyak
sibuk dengan ponselnya. Bagi Erwina dan Benny, situasi itu
lebih baik dibandingkan perbincangan yang mengarah ke
interogasi. Namun demikian, mereka bisa sesekali merasakan tatap tajam dan mempelajari dari belakang mereka.
Martin minta turun sebelum tiba di rumah sakit.
"Saya ada urusan lain dulu. Nanti saya menyusul ke
sana. Trims untuk tumpangannya," katanya.
Erwina dan Benny merasa lega.
"Jelas dia cuma ingin mengamati kita," kata Erwina
jengkel.
"Oleh karena itu, kita harus semakin hati-hati.
Sebaiknya ini kali terakhir kita pergi bersama-sama. Apakah
dia tahu alamat butikmu?"
"Tahu. Dia catat tuh."75
"Semuanya dia catat," keluh Benny. "Heran. Apakah
dia nggak punya kasus lain?"
"Dia pernah bilang kasus ini menarik."
"Menarik apanya? Apakah karena Arie hidup lagi?"
Benny hampir berteriak karena jengkel.
"Kita belum sempat bicarakan soal itu, Ben," Erwina
mengingatkan.
"Ah, mau bicara apa lagi? Kita toh nggak berdaya.
Cuma menunggu apa yang akan terjadi."
"Justru itu. Kita harus ambil sikap jaga-jaga sebagai
antisipasi."
"Entah. Pikiranku buntu. Mungkin karena terlalu kaget.
Kok bisa begitu, ya?"
"Aku takut, Ben," keluh Erwina dalam-dalam. Baru kali
ini ia bisa menyampaikannya dengan lebih leluasa kepada
Benny.
"Takut kepada Arie?" tanya Benny, dengan suara penuh
empati. Tangannya menepuk paha Erwina.
"Ya. Siapa lagi?"
"Nggak usah takut. Dia kan nggak tahu apa yang kita
perbuat kepadanya."
"Bukan itu. Tetapi... tetapi... apa dia bukan zombie?"
Benny tertawa. "Masa sih kau percaya yang begitu?
Memang dokter bilang itu rada aneh. Fenomena, begitu. Hal
yang aneh-aneh di bidang medis kan ada saja. Ilmu kita saja
yang belum sampai. Sebaiknya pikiran kita yang rasional
saja, Win. Jangan berpikir macam-macam. Tunggu perkembangan saja. Kita lihat apa yang akan terjadi. Kalau dia
hidup, bagaimana? Kalau dia mati lagi, bagaimana?"
"Kau sih enak bisa bilang begitu, tetapi aku kan hidup
bersamanya. Bagaimana kalau dia jadi aneh?"
Benny melirik jengkel. Ia sadar, sebaiknya tidak
memarahi. Erwina bisa stres dan itu berbahaya bukan saja
bagi Erwina sendiri, tetapi juga bagi dirinya.76
"Sudahlah, Win. Jangan cemas. Kan ada aku. Kita
sudah menjalaninya bersama-sama. Kita juga hadapi
risikonya bersama-sama, ya?"
Tiba-tiba saja Erwina membayangkan sel penjara, di
mana dia berada bersama Benny. Bukankah itu yang akan
terjadi kalau perbuatan mereka ketahuan? Benny sudah
mengatakan, tak mungkin ketahuan karena tak ada saksi dan
tak ada bukti. Curiga boleh saja, tetapi tidak boleh
sembarang menuduh, apalagi menangkap.
"Ah, sudah hampir sampai," Erwina menyadari. "Aku
masih ingin mengobrol. Kapan lagi kita punya kesempatan,
ya? Kelihatannya waktu makin sedikit saja."
"Betul. Aku juga masih ingin mengobrol. Itu ada kafe.
Kita ke situ dulu saja. Mengobrol sampai puas, baru hadapi
kenyataan di rumah sakit," sahut Benny.
"Si intel menguntit kita nggak, ya?"
"Ah, nggak mungkin. Dia kan punya urusan sendiri.
Masa sih menempeli kita terus."
Ucapan Benny menenangkan. Erwina merasa senang
bila Benny bicara meyakinkan seperti itu.
Di kafe mereka memesan kopi susu dengan sepotong
croissant.
"Nah, lanjut yang tadi," Erwina memulai. Tatapannya
berkeliling ruangan. Sepi. Tidak ada Martin atau orang yang
dikenal. Dia sudah jadi paranoid, pikirnya.
"Tadi aku bilang sebaiknya lihat perkembangan saja
dulu, tetapi tak apalah kalau kita berandai-andai. Memang
hanya ada dua kemungkinan. Hidup atau mati. Kalau dia
hidup, kita bukan p... disingkat saja, ya. Tahu kan maksudku
dengan p...? Jadi, kita nggak punya salah. Mungkin
kasusnya dihentikan. Ya, sudah. Kita jalani hidup seperti
sebelumnya saja. Kau harus kuat mental, Win. Oh... ya,
bukankah dia pernah memberimu hadiah kalung? Itu jelas
maksudnya. Dia ingin baik lagi dengan kau. Kau nggak77
perlu takut kepada dia. Kau pura-pura saja, Win. Apa kau
bisa pura-pura?"
Benny mengelus tangan Erwina. Tatapannya fokus ke
mata Erwina, mengajak beradu pandang.
Erwina terkejut. "Apa maksudmu menjalani hidup
seperti sebelumnya? Kita putus?" Ia bertanya cemas.
"Maksudku tentu sementara saja. Sampai kita
menemukan cara lain."
"Cara lain apa? Mengulangi lagi?"
"Tenang dulu. Aku pikir, dalam hal kasus seperti dia
mati untuk kedua kali nggak lagi terkesan jang-gal.
Bukankah dia sudah pernah mati? Orang nggak akan heran
kalau sekarang dia hidup dengan kerusakan di tubuhnya
sebagai komplikasi. Otaknya sudah nggak bagus.
Jantungnya juga nggak beres. Jadi, nggak susah. Kita pasti
menemukan cara."
"Kita akan tetap jadi p... Ben."
"Bagaimana lagi? Kita sudah telanjur. Masa kita mesti
membatalkan rencana?"
Erwina termenung. Tentu ia tak ingin membatalkan
rencana. la ingin hidup bersama Benny dengan mewarisi
harta Arie. Kalau hanya butik saja, ia takkan bisa hidup.
Butik itu nyaris bangkrut. Sementara itu, Arie sukses sekali
dengan bisnisnya.
"Hei, kok melamun," tegur Benny. "Memikirkan apa?"
"Caranya tentu harus lain, Ben. Nggak mungkin kayak
dulu lagi."
"Oh, tentu saja. Asalkan jangan sampai diautopsi. Bisa
ketahuan."
"Itu sih beres. Aku berhak menolak sebagai istrinya."
"Ingat! Dia masih punya ibu dan saudara. Mereka
nggak boleh curiga, apalagi Martin."
"Tentu saja. Aku akan selalu ingat. Tempo hari Mama
Susan merasa bersyukur sekali karena Arie nggak diautopsi.78
Jadi, nggak mungkin dia setuju, apalagi sampai menuntut
autopsi."


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, kalau nanti dia mati lagi maka persoalan menjadi
beres. Orang sudah siap dengan kemungkinan itu. Nggak
kaget lagi. Walaupun begitu, kita harus tetap ekstra hati-hati
karena kalau jadi kasus p... Martin pasti akan mengusut.
Walaupun nggak ada saksi dan bukti, kita tetap harus
menjauh. Kau perlu mendekati ibumu lagi. Jangan sampai
dia curiga."
Erwina mengangguk. "Memang Mama pernah omong,
jangan dekat-dekat Benny."
"Oh, ya? Mama Katrin pernah omong begitu?" Benny
terkejut.
"Nggak apa-apa. Asal sekarang kita saling menjauh,
Mama pasti berpikir aku menuruti nasihatnya."
"Baguslah kalau kau yakin begitu. Kita harus bisa
menahan diri. Kau bisa kan, Win? Telepon saja kalau
kangen, tetapi hati-hati juga. Jangan menyebut nama kalau
menelepon."
"Baik. Oh... rasanya lega kalau sudah mengobrol
begini, Ben. Aku jadi punya pegangan."
"Tadi Martin masuk ke dalam rumah nggak?"
"Nggak. Kentara dia ingin diundang masuk, tetapi aku
minta dia duduk di teras. Matanya jelalatan ke mana-mana.
Heran! Kok bisa sih dia mencurigai kita, ya?"
"Kayaknya sih dia bukan curiga, tetapi sengaja cari-cari
kesalahan. Biasalah orang seperti itu."
"Kalau begitu, kita nggak boleh bersikap cemas kalau
ditanya-tanya. Kayaknya susah juga, ya. Tadi aku terkejut
melihat kedatangannya. Bi Iyah membukakan pintu karena
dia mengaku polisi. Aku kira kau yang datang."
"Memang susah," Benny mengakui. "Aku juga kaget
melihat dia duduk di teras."
"Aduh, dia seperti momok," keluh Erwina gemas.
"Kita harus berusaha, Win. Nggak ada jalan lain."79
"Ya, tentu saja."
Benny senang melihat sikap Erwina sudah mantap.
Wajahnya sudah cerah dengan senyum manisnya yang
mengembang.
"Kau tahu, dokter bilang Arie punya tempurung kepala
yang ekstra keras. Mungkin lebih keras daripada tempurung
kepala kita." Benny memijit kepalanya.
Erwina tertawa. "Mengapa dia bilang begitu?"
"Katanya, benjol begitu besar, tetapi di dalam
kepalanya semua baik-baik saja."
"Jadi, mengukurnya dari benjol?"
"Entahlah. Aku sendiri merasa sudah memukul keras
sekali. Mau kuulang takut berdarah banyak. Kalau kuulang
sekali lagi saja, pasti dia mati di tempat."
Erwina geleng-geleng. Dia tidak ingin hal itu terjadi.
Seprai dan tempat tidur pasti akan ternoda dan
merepotkannya. Kalau dia tidak bisa membersihkannya
dengan tuntas maka itu bisa jadi barang bukti. Tentunya ia
harus mencucinya sendiri. Tidak mungkin menyuruh Bi
Iyah.
"Mungkin itu sebabnya mengapa dia tidak langsung
mati. Tempurung kepalanya memang keras sekali," Benny
menyimpulkan.
"Ah, belum tentu juga. Kalau obat biusnya kukasih
semua pasti dia mati."
Erwina baru menyadari dirinya kelepasan bicara setelah
melihat ekspresi kaget Benny.
"Apa? Kau nggak kasih semua? Sisanya kau
kemanakan?" tanya Benny gusar.
"Aku... aku... buang di wastafel." Erwina menyesal,
tetapi tentu sudah terlambat.
"Mengapa?"
"Aku terburu-buru buka kapsulnya satu per satu. Dia
sudah memanggil-manggil minta minum. Aku takut dia
menyusul ke dapur." Erwina terpaksa berbohong. Ia bisa80
mengingat dengan baik, saat itu ia terpengaruh oleh kilau
kalung yang memantul di peles obat. Kilau itu bagai
hipnotis.
Benny berusaha menekan emosinya yang menggelegak. Erwina tidak boleh digusari.
"Ya, sudah," Benny meraih tangan Erwina, lalu
meremasnya dengan lembut. "Kita sama-sama membuat
Arie setengah mati, tetapi bukan kita yang membuat dia
hidup lagi."
"Kau nggak marah?"
Erwina melirik wajah Benny. Pandang mereka bertautan. Benny tersenyum. Erwina merasakan kerinduannya memuncak. Ingin sekali ia mencium dan melumat bibir
yang tengah mengembang itu.
"Memang aku kelihatan marah? Aku tadi cuma kaget.
Nggak tenis terang sih. Lain kali bilang terus terang, ya?"
rayu Benny.
"Ya, Say."
"Nah, begitu. Ayolah sekarang kita pergi!"
Sebelum memasuki rumah sakit, mereka saling
menguatkan mental. Siap-siap kalau mereka menjumpai
Arie sudah bangun. Mereka harus tersenyum dan tertawa
gembira. Erwina akan memeluknya, lalu mengucapkan
selamat. Demikian pula Benny.
Ternyata, Arie masih dalam keadaan koma. Di kamar
Arie mereka berjumpa dengan Susan dan Katrin, juga
Martin! Mereka jadi salah tingkah, dan berupaya
menutupinya dengan memeluk Susan serta Katrin
bergantian. Martin tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya
tersenyum, tetapi sorot matanya jelas bertanya-tanya.
Bukankah seharusnya kalian sudah ada di sini dari tadi? Ke
mana saja?
***81
Setelah turun dari mobil Benny tadi, sebenarnya Martin
tidak ke mana-mana. Ia hanya beralasan bahwa dirinya
punya urusan di tempat lain. Ia memanggil ojek dan
menyuruhnya menguntit mobil Benny dari jarak yang aman.
Ia melihat mobil itu berbelok ke halaman sebuah kafe.
Setelah itu, baru ia menuju rumah sakit. Ia sudah tahu ke
mana Benny dan Erwina pergi. Jadi, sambil menjenguk Arie
ia bisa menghitung waktu yang dihabiskan kedua orang itu
di kafe tadi.
Tentu saja pemandangan seperti itu tidak serta-merta
menandakan sesuatu yang buruk. Mungkin saja mereka
merasa lapar dan haus, tetapi ia yakin keduanya ingin
berbincang dengan leluasa berdua saja. Ia sendiri sudah
memainkan peran sebagai orang ketiga, yang sangat
mengganggu. Suatu kesengajaan karena ia merasa ada yang
kurang pas pada sikap kedua orang itu satu terhadap yang
lain. Pengamatannya memang terbatas pada saat berada di
rumah duka, tetapi ia tak ingin mengabaikan perasaannya
yang tajam. Sering kali perasaannya bicara lebih dulu
dibandingkan pikirannya.
Ia sudah mendengar cerita dari Susan bahwa Benny
adalah sahabat Arie dan Alex almarhum sejak kecil. Susan
menganggap Benny sangat berharga karena banyak membantu. Ia dianggap sebagai anggota keluarga. Susan tak
segan bercerita karena berharap kejahatan yang dialami
putranya itu bisa terungkap. Lagi pula, Martin bisa
membawa diri dengan baik. Ia santun dan sangat berempati.
Tidak semata-mata menempatkan diri sebagai petugas yang
kerjanya cuma mengorek.
Berbeda dengan Susan, Katrin tidak menyukai Martin.
Ia sudah mengingatkan Susan bahwa Martin seorang intel.
Jadi, jangan cerita terlalu banyak. Nanti orang yang tidak
bersalah malah dianggap bersalah, yang tidak ada malah
diada-adakan atau sebaliknya.82
"Aku cerita apa adanya kok. Memang begitu. Nggak
ada yang salah."
"Profesi Arie kan jual-beli mobil. Mungkin dia ingin
tahu, apakah ada mobil hasil kejahatan di showroom-nya."
"Dia nggak tanya soal itu kok."
Susan tetap pada pendiriannya. Martin bisa mengungkap kejahatan. Itu adalah tugasnya. Hanya kepada
Martin ia bisa menaruh harapannya.
Dengan intuisinya yang tajam, Martin tahu siapa yang
bisa didekati. Dia adalah Susan.
"Bu Erwina bilang, Pak Arie sering keluar malam. Dia
nggak tahu ke mana karena Pak Arie nggak pernah
mengatakan. Barangkali kepada Ibu dia cerita?"
"Kalau kepada istrinya saja nggak bilang, apalagi
kepada saya, Pak. Saya nggak serumah. Dia pernah bilang
suka main catur dengan temannya. Kalau sudah main
keasyikan sampai lupa pulang."
"Siapa temannya?"
"Nggak tahu, Pak."
"Bukan Pak Benny?"
"Benny nggak suka main catur."
"Menurut Pak Benny, dia juga nggak tahu. Teman yang
misterius, ya?"
"Kalau anak sudah dewasa dia nggak lagi mau cerita
semuanya, Pak. Ada persoalan rumah tangga juga nggak
mau bilang."
"Memang ada persoalan, Bu?"
"Nggak tahu. Itu contoh saja. Saya yakin mereka nggak
ada masalah. Bu Katrin, ibu Erwina sekaligus juga sahabat
saya, pasti tahu kalau ada apa-apa. Dia pasti akan cerita
kepada saya. Menurut saya, kalau suami-istri sesekali
bertengkar kan wajar saja. Ya kan, Pak? Bapak sudah
berkeluarga?"
"Belum, Bu. Saya setuju dengan pendapat Ibu. Jadi,
pada malam kejadian itu Ibu nggak bisa tidur."83
"Saya mimpi buruk, lalu saya minta Katrin menelepon
Wina, menanyakan apakah Arie ada di rumah. Ternyata, dia
belum pulang. Telepon saya ke Arie nggak diangkat."
"Ibu kemudian malah dapat kabar buruk. Ibu bergegas
ke rumah sakit ramai-ramai. Bu Erwina sendirian di rumah.
Dia pergi bersama siapa?"
"Bersama Benny."
"Oh, begitu."
"Saya ingin tanya, Pak. Arie kan ditemukan di dekat
perumahan. Apakah warga di situ nggak ada yang kenal
Arie? Mungkin saja teman Arie tinggal di situ."
"Sementara ini, belum ada yang menyatakan kenal. Dua
warga di situ yang menemukan Pak Arie juga nggak
mengenalnya."
"Siapa tahu yang menganiaya dia orang perumahan situ,
Pak. Dia kemudian dibuang dan dibuat seolah-olah
dirampok."
Martin mengangguk. Ibu Susan cukup imajinatif.
"Kemungkinan itu memang ada, Bu. Semua kemungkinan saya selidiki."
"Mudah-mudahan cepat ya, Pak. Kalau Arie bangun
tentunya dia bisa cerita."
Martin mengangguk setuju. Ia juga berharap begitu,
tetapi ia yakin tidak semua orang berharap Arie bisa bangun
kembali.
Ia mengamati Arie yang terbaring diam. Hanya dadanya
yang turun-naik pertanda kehidupan. Di samping keingintahuan yang menyangkut tugasnya, ia juga sangat ingin tahu
perihal berbagai aspek kondisi Arie. Medis dan spiritual.
Dokter tidak bisa berkata banyak. Hasil CT-scan baik secara
menakjubkan. Ada beberapa sel otak yang mati, tetapi
segera terbentuk lagi yang baru. Tidak ada perdarahan
hingga tak perlu dikhawatirkan ada penyumbatan dari
bekuan darah yang menghambat aliran. Jantung dan paru-84
parunya juga baik. Tak terlalu prima karena Arie seorang
mantan perokok, tetapi juga tak terlalu buruk.
Di aspek spiritual ia ingin tahu perihal "pengalaman"
Arie selama sembilan jam dalam kematian. Orang yang mati
suri selama beberapa menit saja konon punya pengalaman
mengenai "perjalanannya" di alam baka, apalagi Arie yang
menghabiskan waktu sembilan jam. Begitu lama.
Hal itu hanya dimungkinkan bila Arie bisa bangun
kembali dalam kondisi normal atau sehat walafiat. Sel-sel
otak memang terlihat baik-baik saja, tetapi apakah itu cukup
untuk menyimpan memori?
Kadang-kadang ada yang bisa terlihat secara fisik,
seperti penggambaran hasil-hasil tes. Bisa jadi juga ada
yang lolos dari pengamatan atau tidak bisa ter-pantau
dengan tes-tes apa pun.
Beberapa kali wartawan atau pemburu berita berhasil
masuk kamar untuk menjenguk Arie. Susah melarang masuk
karena mereka mengaku sebagai kerabat, apalagi Arie
berada di kamar rawat biasa. Bukan di ruang perawatan
intensif yang tertutup.
Seperti sudah direncanakan, Susan dan Katrin menutup
mulut mereka terhadap semua pertanyaan.
"Tanya dokter saja. Saya nggak tahu apa-apa." Jawaban
itu cukup membuat para wartawan keluar untuk mencari
dokter atau perawat.
Setelah kedatangan Benny dan Erwina, Martin hanya
singgah selama beberapa menit saja dan kemudian pamitan.
Susan mengantar kepergiannya sampai ke lorong depan
kamar. Martin tahu, Susan ingin berbicara. Ia menyukai
perempuan tua itu.
"Ada apa, Bu?" tanya Martin, sambil menggandeng
lengan Susan.
Susan menengok dulu ke belakang sebelum berbicara.
Ia menghentikan langkah setibanya di depan pintu lift.85
"Bagaimana hasil penyelidikannya, Pak? Apakah di
dompet Arie nggak ada sidik jari? Nggak ada sisa uang kecil
atau uang logam di bagian pinggir dompetnya?"
Pertanyaan itu terasa mengentak hati Martin.
Perempuan tua yang cerdas, pujinya dalam hati.
"Di dompet Pak Arie nggak ada sidik jari, Bu. Bersih
seperti sudah dilap. Uangnya licin tandas, tak ada sepeser
pun, yang tersisa cuma KTP."
"Kalau begitu, rakus benar perampok itu sampai uang
logam pun diambil."
"Memang Ibu yakin Pak Arie suka bawa uang logam di
dompet? Berat, kan?"


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yakin sih nggak, tetapi saya ingat kebiasaan dia dulu
saja. Kalau habis belanja, kembalian uang logam
dimasukkan ke dalam bagian pinggir yang ada ritsluitingnya. Saya sudah diperlihatkan dompetnya di kantor polisi.
Masih yang lama. Katanya, uang logam itu buat pengamen
atau pengemis di lampu merah."
"Mungkin lagi kebetulan kosong, Bu."
"Yah, mungkin saja." Susan tidak tampak percaya
sepenuhnya.
"Sekarang Ibu tenang saja. Nggak usah berpikir terlalu
dalam. Kalau Ibu punya ide atau ingat sesuatu, kasih tahu
saya, ya? Ibu bisa sangat membantu Iho."
Wajah Susan yang tampak kurang tidur itu menjadi
ceria. Ia tersenyum.
"Benar, ya? Jangan ditertawakan nanti."
"Nggak mungkin, Bu," sahut Martin serius. "Ide Ibu
tentang dompet itu tadi bagus sekali."
"Oh, ya?" Mata Susan bersinar.
"Ya, Bu."
Susan kembali ke kamar dengan langkah yang ringan.
Martin tersenyum memandangi punggung perempuan tua
itu, yang gerak-geriknya masih lincah. Ia telah mendapat
seorang partner.86
Sebenarnya, memang ada sesuatu yang janggal dengan
dompet itu. Bukan tentang uang logam, seperti yang dikatakan Susan tadi. Itu merupakan sesuatu yang baru. Namun,
perihal letak dompet itu saat ditemukan.
Kedua warga yang menemukan tubuh Arie dan
kemudian melaporkan kepada polisi mengatakan, mereka
sama sekali tidak menyentuh tubuh Arie. Petugas yang
mengangkat tubuh Arie juga mengatakan, mereka tidak
memeriksa pakaian Arie. Dialah orang pertama yang
memeriksa dan menggeledah. Dompet itu ada di dalam saku
celana belakang, sedangkan kunci di dalam saku yang
satunya lagi.
Keberadaan dompet itu terlalu rapi. Mungkinkah
perampok mengambil dompet, menguras isinya, lalu
memasukkannya kembali dengan rapi ke dalam saku hingga
tak terlihat menonjol ke luar? Logikanya, perampok itu
terburu-buru karena takut tepergok hingga tak punya waktu
untuk melakukan seperti itu. Setelah mengambil isi dompet,
ia akan melemparnya begitu saja sebelum cepat-cepat pergi.
Mengapa harus susah-susah?
87 5 SUSAN sangat gembira oleh sikap Martin. Ia merasa
dihargai dan dihormati. Orang lain mungkin akan
mengejeknya sebagai nenek tak tahu diri yang sok pintar
mau mencampuri masalah yang bukan urusannya. Begitu
kembali masuk ke kamar Arie ia segera menghampiri
tempat tidur, lalu membungkuk di atas tubuh Arie. la
mencium dahi Arie, lalu berbisik di telinganya, "Cepat
bangun, Sayang. Jangan lama-lama tidurnya. Apakah kamu
nggak ingin tahu siapa yang membunuhmu?"
Ketika ia menegakkan tubuh dan memandang ke
sekitarnya, ia baru menyadari pandang heran dari tiga orang
yang lain di kamar itu. Ia tersenyum malu.
"Mama ada apa?" tanya Erwina.
Susan tak bisa segera menjawab.
"Ya, kamu ini ada apa?" ulang Katrin, sambil mendekat
dan merangkul Susan. "Tadi kamu omong apa dengan intel
itu?"
"Namanya Martin."
"Ya, ya. Martin atau apalah. Ada apa sih? Kok kamu
kelihatan senang?"
Benny hanya mengamati dengan bingung, tetapi
waspada.
"Nggak ada apa-apa."
"Ah, masa nggak ada apa-apa, Ma?" desak Erwina.
"Tadi Martin omong apa?"
"Aku menyampaikan info. Ah, bukan info, tetapi ide."88
"Info apa? Ide apa?" Erwina penasaran. Ia tak melihat
kedipan mata Benny.
Sebenarnya, Susan tak ingin bercerita. Ia menyesal
telah bersikap terlalu bersemangat, tetapi ada juga perasaan
bangga.
"Soal dompet Arie itu...."
Belum selesai Susan bicara, Erwina sudah berteriak,
"Dompet? Ada apa dengan dompetnya?"
Benny terkejut melihat emosi Erwina, tetapi ia menahan
diri.
Susan menatap menantunya sejenak, lalu bicara lambatlambat, "Aku bilang, mengapa dompetnya kosong melompong tanpa sisa sepeser pun, padahal Arie suka
menyimpan uang logam di pinggiran dompetnya. Kok
perampok itu rakus amat."
Baik Erwina maupun Benny tersentak. Keduanya
berusaha keras tidak saling memandang.
"Memang Arie suka menyimpan uang logam?" tanya
Katrin, tertuju kepada Erwina.
Erwina menggeleng. Ia sudah bisa menenangkan diri.
"Nggak tahu, Ma. Aku nggak suka buka-buka dompetnya."
"Itu kebiasaan dia dulu," Susan melanjutkan. "Nggak
tahu sekarang? Kulihat dompetnya masih yang dulu. Masih
bagus sih."
"Mungkin saja perampok itu memang rakus," komentar
Katrin. "Kalau uang logamnya lima ratusan atau ribuan kan
lumayan. Aku juga suka menyimpan di tas buat tambahan
belanja di pasar swalayan, daripada dapat kembalian
permen."
"Martin bilang apa, Tante?" Benny tak tahan ikut
bertanya.
"Dia senang. Katanya, itu ide yang baik."
Katrin menatap sahabatnya dengan sedikit iri.89
"Barangkali dia cuma ingin menyenangkan kamu saja,"
kata Katrin. "Kau harus hati-hati bicara dengan orang
seperti itu."
"Ya, Ma," Erwina membenarkan. "Sebaiknya jangan
cari masalah."
"Betul, Tante. Hati-hati!"
Kegembiraan Susan meredup. Ia tidak sependapat
dengan ketiga orang itu, yang seolah-olah menyudutkan
dirinya.
"Tadi membisiki Arie apa, Ma?" tanya Erwina.
"Oh, aku membisiki dia supaya cepat bangun."
Kali ini Erwina dan Benny tidak tahan untuk tidak
berpandangan.
"Bukankah kamu juga ingin begitu, Win?" tanya Susan.
Erwina beradu pandang dengan Katrin. Ia melihat
anggukan kepala Katrin.
"Tentu saja, Ma. Masa sih nggak?" Cepat Erwina
menjawab.
Susan tidak lagi memperhatikan jawaban Erwina karena
ia kembali mendekati Arie. Ia menatap penuh sayang dan
membelai-belai kepala Arie.
Katrin menarik tangan Erwina ke luar kamar. Benny
berdiri kebingungan sebentar, antara ikut ke luar atau tetap
di kamar. Akhirnya, ia memutuskan tetap di kamar saja,
tetapi tak mau memandangi ulah Susan.
Di luar, Katrin berkata pelan, "Tadi kamu ada apa sih,
Win? Kok emosional amat? Abaikan saja apa pun yang
Mama Susan lakukan. Dia kan sayang banget kepada Arie.
Mama sudah takut kau omong soal zombie itu. Ingat, jangan
ucapkan kata itu di depannya! Masa anak kesayangannya
dikatai zombie, yang benar saja?!"
"Ya, Ma. Nggak lagi deh. Kan aku nggak sampai
omong begitu."
"Jagalah sikapmu!"
Saat mereka berdua akan masuk, Benny keluar.90
"Aku pulang duluan, Tante. Win!"
"Baiklah," kata Katrin.
Erwina hanya mengangguk, dan melambaikan tangan.
Benny pergi.
Tiba-tiba Katrin memanggil Benny. "Ben! Tunggu
dulu!"
"Ada apa, Ma?" tanya Erwina heran.
Benny kembali. "Ada apa, Tante?"
"Aku menebeng pulang, ya? Biar Wina di sini
menemani Mama Susan."
Erwina memperlihatkan ekspresi merajuk. "Aduh, Ma.
Apakah aku di sini seharian? Kan sudah ada Mama Susan."
Katrin mengerutkan kening. Ia merasa tidak senang.
"Bukankah kamu istri Arie? Sepantasnya kamu juga
menginap."
Erwina menggeleng kuat-kuat. "Ma, aku kan mesti
kerja. Toko sudah tutup dua hari."
"Pokoknya, sekarang aku mau pulang! Kau di sini!
Kapan kau mau pulang, terserah. Aku akan kembali besok."
Tanpa menunggu komentar Erwina, Katrin masuk ke
dalam kamar untuk pamitan kepada Susan dan mengambil
tasnya,
Erwina merajuk kepada Benny. "Aduh, Ben, bagaimana
ya?"
"Sudahlah. Kamu di sini kan nggak sendirian. Tabah
dong. Ingat pembicaraan tadi."
Erwina memegangi lengan Benny hingga Benny merasa
khawatir. Saat Katrin keluar Erwina buru-buru melepas
pegangannya. Tanpa bicara apa-apa, Katrin menarik tangan
Benny. Mereka berlalu dari hadapan Erwina. Sesaat wajah
Erwina merengut menahan tangis. Dia ingin berlari
mengejar kedua orang itu. Jangan tinggalkan aku sendiri!
Ia tidak bisa diam di luar kamar terus. Dengan
menguatkan perasaan, ia masuk ke dalam.
Susan menoleh. "Oh... Win, aku kira kau ikut pulang."91
"Belum, Ma. Aku menemani Mama dulu."
"Ayolah sini! Duduk di sini, Win!" Susan menepuk
sofa di sisinya.
Erwina menurut. la berusaha supaya arah pandangnya
tidak tertuju kepada Arie.
Susan merangkul bahu Erwina. "Kau kelihatan pucat,
Sayang. Pasti nggak bisa tidur, ya?"
"Ya, Ma."
"Aku maklum, Win. Keadaan ini memang berat, bukan?
Kita harus berdoa bersama supaya Arie cepat bangun. Bagi
Arie kita adalah orang-orang terdekatnya, yang paling dekat.
Aku yakin dia akan segera bangun. Setiap hari aku bisiki
dia, 'Kalau kau bangun maka kau bisa membalas perbuatan
orang yang jahat kepadamu.'"
Erwina merasa bulu romanya berdiri.
* * *
Di dalam mobil Benny, Katrin masih merasa kesal. Ia
merasa kecewa terhadap Erwina, dan menganggap
ketakutannya tidak beralasan. Masa suami dianggap zombie.
"Ada apa, Tante?" Benny melirik.
"Masalah ini bikin pusing. Tante Susan malah jauh
lebih tabah daripada aku, padahal Arie putranya."
"Tante masih kesal terhadap Wina?"
"Ya, sih. Kadang-kadang dia masih saja seperti anak
kecil."
Dalam hati Benny membenarkan.
"Semua salah kami sebagai orangtuanya. Terlalu
memanjakan."
"Ah, jangan menyalahkan diri sendiri, Tante. Ada
saatnya dia juga bisa bersikap dewasa."
Katrin memutar tubuhnya, menatap Benny.
"Kau cukup kenal dia rupanya ya, Ben?"92
Benny tertegun sejenak, lalu buru-buru menjawab,
"Dari pengamatan sekilas saja, Tante."
Katrin mengalihkan pandang. "Sekarang dia memang
nggak seperti dulu lagi..."
Benny mengharap penjelasan lebih banyak, tetapi
Katrin tidak meianjutkan ucapannya. Benny tidak berani
bertanya apa yang dimaksud Katrin dengan ucapannya itu.
Sebelum turun dari mobil di depan rumahnya, Katrin
berkata dengan nada memohon, "Ben, maukah kau menjaga
jarak dari Erwina? Apa pun alasannya, untuk menghibur
atau apa, jangan lakukan! Arie sedang menderita."
Tampaknya Katrin tidak mengharapkan jawaban karena
dia segera masuk ke halaman rumah, yang pintunya sudah
dibukakan Bi Iyah.
Sepanjang jalan Benny berupaya mencerna maksud
ucapan Katrin. Apakah Katrin mengendus sesuatu mengenai
hubungannya dengan Erwina?
Katrin merasa cukup puas melihat ekspresi wajah
Benny saat dia melontarkan ucapan tadi. Tanpa mendengar
jawaban pun dia sudah bisa memahami. Jawaban akan
percuma saja bila isinya cuma kebohongan.
"Jangan pandang enteng orang yang sudah tua," ia
menggerutu.
"Apa, Bu? Omong apa, ya?" tanya Bi Iyah.
"Sudah masak belum?"
"Rasanya tadi omongnya nggak begitu, Bu."
Katrin tertawa. "Tadi sih omong sendiri, Bi."
Bi Iyah membantu membawakan sebuah tas plastik ke
kamar Katrin.
"Itu isinya baju kotor, Bi. Bawa ke belakang saja!"
"Nanti balik lagi ke rurnah sakit, Bu?"
"Nggak. Besok saja. Sekarang mau tidur nyenyak. "
"Bu Wina di sana?"
"Ya. Gantian dong. Di sana ada Bu Susan juga."
"Bu Wina menginap?"93
"Nggak tahu, Bi. Mungkin nggak."
"Boleh tanya, Bu? Bagaimana keadaan Pak Arie?"
"Masih belum bangun, Bi. Begitu-begitu saja."
"Dia hidup kan, Bu?"
"Tahulah. Hidup nggak, mati juga nggak."
"Kasihan ya, Bu. Saya juga kasihan kepada Bu Wina.
Kelihatannya ketakutan saja tuh. Kalau malam tidurnya di
kamar Ibu."


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, ya?"
"Tadi malam pintu kamar saya digedor. Katanya, ada
suara orang menangis di kebun belakang. Saya disuruh lihat.
Ih, saya juga takut. Bagaimana kalau ada maling. "
"Kamu lihat nggak?"
"Ya, terpaksa, Bu. Saya pakai senter. Tahunya itu mah
suara kucing mau kawin."
Setelah Bi Iyah pergi, Katrin duduk di tempat tidurnya
yang agak kusut. Erwina tidak merapikan lagi setelah
ditiduri. Katrin merenungkan perilaku Erwina. Bukankah
Erwina takut pada zombie, seperti pengakuannya? Si
zombie, atau Arie, kan berada di rumah sakit. Pantas kalau
dia takut berada di sana. Di sini kan tak ada zombie. Ia tak
memahami kelakuan Erwina. Mungkin Erwina membutuhkan perhatian lebih pada saat seperti ini. Katrin menyesal
telah bersikap agak galak kepada Erwina tadi. Mungkin
harapan dan keinginannya agar Erwina tumbuh dewasa
sesuai umurnya tidak bisa tercapai.
Katrin keluar, lalu menuju kamar Erwina dan Arie.
Pintunya tidak dikunci supaya lantai bisa dibersihkan, yang
dikunci pintu lemari dan laci-laci. Meskipun Bi Iyah bisa
dipercaya, sebaiknya tidak diberi kesempatan.
la melihat tempat tidur tidak dilapis seprai dan bantal
tidak dibungkus sarung bantal. Mungkin Erwina malas
memasang seprai dan sarung bantal hingga memilih tempat
tidur ibunya untuk "di-kotori". Kalau nanti Erwina pulang,
ia akan memasangnya supaya Erwina bisa tidur di94
ranjangnya sendiri. Katrin tak mungkin berbagi ranjang
dengan Erwina karena ukurannya kecil.
Ia juga menyadari ada perbedaan lain. Dinding tampak
bersih dari foto-foto perkawinan, yang semula tergantung di
situ. Mengapa Erwina menyingkirkannya secepat itu?
Kapan ia punya waktu untuk itu? Apalagi sejak kejadian
naas itu dia selalu tampak lesu dan kurang tidur.
Bila nanti Arie kembali, tentunya foto-foto itu harus
digantung lagi. Tiba-tiba Katrin merasa iba kepada Arie.
Perasaan iba yang berbeda daripada sebelumnya. Ia merasa
cemas, apa yang akan terjadi nanti bila Arie kembali?
Bisakah hubungan Arie dan Erwina kembali seperti semula
kalau Erwina ketakutan seperti itu?
Katrin merasa yakin, ketakutan Erwina itu harus
dilenyapkan dulu sebelum dia bisa menerima Arie kembali,
tetapi ia tidak tahu bagaimana melenyapkannya.
Ia ingin tahu di mana Erwina menyimpan foto-foto itu.
Apakah semua dilepas dari bingkainya atau disimpan
dengan bingkainya? Beberapa foto itu kan berukuran besar?
Tentu saja itu pekerjaan yang cukup melelahkan.
Bi Iyah yang ditanyai tidak tahu. Ia tampak bodoh
sekali kalau tidak memahami persoalan. Katrin paham pasti
barang-barang itu disingkirkan Erwina pada saat Bi Iyah
belum pulang dari kampungnya. Bi Iyah pulang pada hari
Sabtu pagi ketika Arie terbaring sebagai jenazah di rumah
duka, sedangkan Arie lenyap pada Jumat malam. Jadi,
mestinya Erwina melakukannya pada Jumat malam itu
ketika Arie pergi dan dia sendirian di rumah. Katrin sendiri
tak sempat pulang karena berada bersama Susan. Mereka
langsung ke rumah sakit, menunggu di sana, lalu menuju
rumah duka. Baru sekarang ia berada di rumah kembali. Bi
Iyah tak mungkin tidak tahu kalau ia berada di rumah
bahkan kemungkinan ia akan dimintai bantuan.
Kalau begitu, ada apa ini? Foto-foto itu tidak bersalah,
yang salah mereka yang membangkitkan kenangan. Apakah95
Erwina tak ingin terus diingatkan kepada Arie karena yang
bersangkutan sudah dinyatakan meninggal? Dalam
perkiraan waktu saat Erwina menyingkirkan foto-foto itu
Arie kan belum meninggal bahkan belum ditemukan!
Katrin menuju gudang di bagian belakang rumah.
Sebuah kamar kosong dijadikan gudang karena ada banyak
barang yang tak terpakai, tetapi sayang dibuang.
Tak sulit menemukannya. Semua foto berikut
bingkainya diberdirikan dan disandarkan ke dinding di sudut
ruang. Foto yang besar-besar dan yang kecil-kecil
ditumpukkan jadi satu. Ada yang menghadap ke belakang,
dan ada yang menghadap ke luar. Semua tampak acakacakan, memperlihatkan pekerjaan yang dilakukan terburuburu.
Katrin jongkok, lalu memeriksa semua foto itu. la
tertarik mengamati kembali foto-foto itu. Dirinya juga ada
di beberapa foto itu bersama Susan mengapit mempelai.
Seketika ia terkejut. Ada satu foto yang kacanya pecah,
tetapi pecahannya masih menempel dan fotonya juga lecek.
la mengamati dengan saksama setelah menyingkirkan
pecahan kaca. Foto itu memperlihatkan Arie dan Alex
mengapit Erwina! Ketiganya tertawa riang dan bahagia.
Erwina yang cantik dalam gaun pengantinnya diapit dua
lelaki yang berwajah sama dan berjas sama-sama hitam.
Arie dan Alex tampan sekali. Sulit membedakan mana yang
Arie dan mana yang Alex, yang sebelah kiri atau sebelah
kanan. Apakah Erwina bisa membedakan mereka?
Katrin tak pernah bisa. Ia juga tak mau bersusah payah
berusaha membedakan. Pernah ia bertanya kepada Susan,
tetapi Susan hanya tertawa tanpa mau menjelaskan. Cari
sendiri, katanya.
Dulu, Erwina memang pernah kesulitan sewaktu akan
memilih satu dari kedua saudara itu. Akhirnya, setelah Alex
mengundurkan diri dari persaingan, Erwina menerima Arie.
Setelah mereka menikah, Alex tak pernah menyambangi96
mereka. Oleh karena itu, baginya tidak ada kesulitan untuk
membedakan. Pria yang tinggal serumah dengannya adalah
Arie. Kalau kebetulan bertemu di luar dengan pria serupa
Arie, lalu orang itu memanggilnya "Tante" maka dia
pastilah Alex karena Arie memanggilnya "Mama".
Mengapa justru foto yang satu itu pecah, sedangkan
yang lainnya bahkan yang besar-besar masih tetap utuh?
Apakah karena jatuh tanpa sengaja? Katrin merasa tubuhnya
dingin dengan tiba-tiba oleh kecemasan. Bagaimana kalau
penyebabnya bukan kecelakaan, melainkan amarah atau
kebencian? Mengapa waktu terjadinya justru pada saat itu,
ketika nasib Arie tak menentu?
Ia menghambur ke luar gudang dan kembali ke
kamarnya sendiri. Di sana ia meraih ponselnya, lalu
menelepon Susan.
"Sus, Wina masih di situ?"
"Masih. Ada apa?"
"Ssst! Jangan bilang aku menelepon. Dia di mana?"
"Di kamar mandi," suara Susan merendah pelan.
"Bagaimana dia tadi?"
"Kelihatannya stres, ya. Dia perlu istirahat, Kat. Akan
kusuruh pulang saja. Di sini dia nggak mau memandang
Arie," suara Susan lebih pelan lagi.
"Ya, lebih baik begitu."
Buku kuduk Katrin meremang lagi. Erwina tidak mau
memandang Arie. Jelas dia memang takut. Apakah jadinya
bila orang yang ketakutan dipaksa-paksa? Katrin takut akan
akibatnya.
"Kalau perlu suruh pulang sekarang saja, Sus. Jangan
bilang aku menelepon, ya," Katrin berpesan lagi.
*** Usai menelepon, Susan termenung. Ada apa dengan Katrin?
Suaranya kedengaran gelisah. Sama sekali tidak biasa.97
Erwina mendekat. "Siapa yang menelepon, Ma?"
"Oh, Dian. Dia tanya aku bersama siapa."
"Dian akan ke sini, Ma?" Erwina tampak lega. "Kalau
Dian datang aku pulang, ya?"
"Nggak usah menunggu Dian, Win," kata Susan,
dengan ramah. "Kau pulang saja. Kan di sini ada Mama."
"Betul, Ma? Nggak apa-apa Mama sendiri?"
"Betul, nggak apa-apa. Istirahat di rumah, ya? Jangan
capek-capek."
Erwina menyambar tasnya, memeluk dan mencium pipi
Susan, lalu keluar tanpa sekalipun menatap kepada Arie.
Kelihatannya dia terlampau senang bisa keluar dari tempat
itu. Susan termangu dengan kecewa dan sedih. Apakah
Erwina tidak mencintai Arie? Apakah pula makna telepon
Katrin tadi? Kelihatannya ada sesuatu yang disembunyikan
darinya. Dia merasa kesal juga kepada Katrin karena selama
ini mereka telah berjanji untuk selalu bersikap terbuka.
"Arie, kalau ingin kembali ke dunia ini, kembalilah
cepat-cepat! Jangan berlama-lama! Kalau kau nggak berniat
kembali, ya sudah. Pergilah dengan tenang! Mama sudah
ikhlas kok," kata Susan kepada Arie.
"Omong apa, Ma?"
Susan terkejut. Di belakangnya sudah ada Dian dan
David tanpa disadarinya.
'"Ah, biasa. Kalau lagi sendirian, ya omong sendiri.
Atau omong dengan Arie."
"Kasihan Mama," Dian memeluk Susan. "Kalau aku
nggak harus kerja, aku mau menemani Mama. Atau
gantikan Mama. Biar Mama bisa tidur di rumah. Atau, aku
minta cuti saja, ya?"
Dian menatap suaminya. Sebelum David menjawab,
Susan cepat-cepat berkata, "Aku nggak mau pulang sebelum
ada kepastian mengenai Arie. Aku tetap di sini. Kalau ada98
yang mau boleh saja menemani. Kamu jangan. Untuk apa?
Di sini cuma bengong."
"Mestinya Wina yang di sini. Dia kan istri Arie," kata
Dian.
"Wina sedang stres."
"Oh, ya?" Dian tampak kurang percaya.
"Sudahlah. Jangan omong tentang keharusan ini-itu.
Kita nggak tahu seberapa berat tekanan batin yang dialami
Wina."
Dian tak membicarakan hal itu lagi. Ibunya wanita
bijaksana, yang selalu berpikiran positif. Kalau ia ingin
bicara soal itu, ia akan membicarakannya dengan David
saja. Ia tidak tahu ucapannya itu membuat Susan tambah
sedih.
"Oh... ya, Ma. Tadi aku menjenguk showroom. Masih
tutup. Ada beberapa karyawan nongkrong di depannya.
Mereka mengeluh nggak ada kepastian kapan buka lagi.
Banyak juga pelanggan yang datang. Mobil di sana kan
sebagian titipan. Apakah Wina nggak suka ke sana?
Mending dia mengurus itu saja. Tokonya bisa diurus
wakilnya."
Susan dihadapkan pada masalah baru. Ia segera
menyingkirkan kesedihannya.
"Apakah Wina bisa, ya? Bagaimana kalau kita minta
bantuan Benny?"
Dian berpikir sejenak. "Entah, Ma. Apakah dia bisa
dipercaya?"
"Dia kan sudah seperti anggota keluarga. Masa sih dia
curang?"
"Aku dengar ada karyawan yang omong bahwa mobil
yang dipakai Benny dibeli dari showroom Arie, tetapi belum
lunas. Cicilannya seret."
"Bukan Arie yang omong?"
"Bukan. Arie nggak pernah cerita. Karyawan yang
omong itu namanya Kadir. Dia juga minta supaya namanya99
jangan disebut. Dia mendengar itu nggak sengaja. Arie
menagih, tetapi Benny mengulur-ulur terus."
"Kalau begitu, nanti aku omong dulu kepada Wina.
Bagaimanapun dia istrinya. Tetapi..."
"Tetapi apa, Ma?"
"Kondisi dia seperti orang linglung. Kalau stres begitu
tuh. Apakah dia bisa mengatur? Katanya, orang seperti itu
mengurus diri sendiri saja susah, apalagi mengurus orang
lain."
"Wah, kok bisa begitu ya, Ma? Logikanya dia senang
dong Arie nggak jadi mati. Kan jadi punya harapan lagi."
"Mungkin logika dia beda, Dian."
Dian geleng-geleng. Apakah sebaiknya orang berpikir
positif terus?
"Apakah susah bisnis Arie, Dian?" tanya Susan tibatiba.
Dian menatap heran. "Susah juga dong, Ma. Kita nggak
tahu liku-likunya seperti apa. Mesti pintar-pintar mengatur
harga. Beli semurah-murahnya, jual semahal-mahalnya."
Susan tertawa. "Prinsip orang dagang memang begitu,
kan? Semuanya begitu."
"Ya, sih, tetapi kita mesti tahu harga di pasaran."
"Itu kan ada daftarnya. Bisa tanya karyawannya yang
sudah lama di situ. Bisa belajar dari karyawan itu juga."
"Wah, memang Mama mau belajar?" tanya Dian.
"Ide itu muncul begitu saja, tetapi aku kan mesti tetap
di sini."
Susan mengarahkan pandangnya kepada Arie. Aduh,
dia masih saja tidur dengan tenangnya. Kalau memang
rohnya melayang-layang di atas masa tak bisa melihat
betapa banyak persoalan sekarang ini?
Dian saling berpandangan dengan David, yang sejak
datang tak banyak bicara. Dian mengedipkan mata, tetapi
David menggeleng. David tak ingin menampilkan diri kalau
tak diminta. Sebagai menantu, ia merasa tahu diri. Sejak tadi100
ia berada di situ, tetapi seolah-olah Susan tidak menyadari
kehadirannya. Tak mengherankan kalau Susan lebih ingat
kepada Benny karena mereka memang dekat. Tidak sedekat
dengannya.
Semula Dian ingin mengusulkan agar David yang
mengelola sementara bisnis Arie. Untuk itu, ia bisa minta
cut?, ia sudah punya pengalaman dalam urusan jual-beli
mobil sewaktu masih lajang. Tentu hanya sementara saja,
paling lama dua minggu, yang penting Arie tidak sampai
kehilangan kepercayaan dari pelanggan. Tentu saja ada
pemasukan juga untuk membayar karyawan.
"Ada apa?" tanya Susan.
"Sebaiknya Wina ditanya dulu saja, Ma," David cepatcepat bicara sebelum didahului Dian. "Dia kan istri Arie.
Dia mau atau nggak, bisa atau nggak, terserah dia.
Pokoknya, yang penting sudah ditanya."


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Susan mengangguk. "Pantasnya sih begitu. Kalau
begitu, biarlah soal itu aku yang urus."
David mengerling kepada Dian. Malu kan kalau
menonjolkan diri?
"Mama sangat sayang kepada si kembar," kata Dian
kepada David ketika mereka sedang berduaan. "Lihat saja
dedikasinya kepada Arie. Dari dulu aku selalu merasa
Mama lebih sayang kepada si kembar daripada aku."
"Wah... wah, kau iri, ya?" David memeluk istrinya,
berusaha menghibur. "Lihat dari sisi yang lain, Sayang. Arie
sedang membutuhkan perhatian. Sedang kau punya aku."
Dian eukup terhibur. la memang sulit meng-hilangkan
perasaan itu. Ibunya bukan tidak sayang kepadanya, tetapi
bila dibandingkan ada perbedaannya. Orang lain seperti
David bahkan ibunya sendiri pasti membantahnya, yang
merasakan cuma dirinya sendiri.
***101
Erwina tidak segera pulang. Ia sadar benar dirinya tengah
mengalami kesulitan mengendalikan diri. Seharusnya ia
tenang, dingin, dan pandai berpura-pura seperti Benny.
Benny tidak penakut seperti dirinya. Bisakah rasa takut itu
dihilangkan?
Ia menemukan tempat yang nyaman di taman rumah
sakit. Banyak pohon yang rindang. Di depannya ada
bangunan UGD. Tempat yang ramai, tetapi orang-orang
lalu-lalang tanpa memedulikan dirinya. Rumah sakit adalah
tempat orang-orang yang mendapat kemalangan. Kerabat
dan teman yang berkunjung lebih peduli pada nasib orang
yang mereka kunjungi daripada orang lain yang tak mereka
kenal. Apalah arti dirinya yang sendirian tanpa dikenal dan
mengenal siapa pun?
Erwina melihat ambulans meraung-raung masuk
halaman, berhenti di depan UGD. Petugas menghampiri,
lalu mengeluarkan pasien dari dalamnya.
Di atas brankar pasien didorong masuk. Semua serba
tergesa-gesa. Ada mobil pribadi, ada taksi, silih berganti
menurunkan orang yang tampak sakit dipapah kerabatnya.
Wajah-wajah yang sedih, wajah-wajah yang cemas. Ada
harapan, ada ketakutan. Bisakah mereka keluar dari tempat
itu dengan selamat? Bisakah kehidupan diraih kembali?
Tiba-tiba Erwina melihat sosok yang mengenakan
pakaian hitam seperti jubah panjang dengan tudung kepala.
Dia wara-wiri di situ, keluar-masuk. Dia melayang, bukan
berjalan. Wajahnya di balik tudung tampak seperti
tengkorak. Dia adalah Sang Maut! Sosok itu memandang
kepadanya. Dia tak punya mata, hanya lubangnya saja.
Meskipun ada banyak orang di sekitarnya, Erwina yakin
sosok itu menatapnya. Sosok itu, Sang Maut, kemudian melambai kepadanya!
Erwina bergidik. Dia takut. la teringat, bukankah dia
pernah mempersembahkan nyawa Arie kepada Sang Maut?
Walaupun itu batal terjadi, sekarang Arie sedang bergulat102
mendapatkan kembali hidupnya. Apakah dia akan berhasil
merenggut dirinya dari cengkeraman Sang Maut? Sekarang
ini, separuh diri Arie masih dicengkeram Sang Maut.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia tersentak, kembali
pada realitas. Sang Maut lenyap dari pandangan mata. Ia
meraih ponselnya, dan memindahkan posisi duduknya
hingga pandangnya tidak lagi terarah ke pintu UGD.
Telepon itu dari Susan. Tadinya ia berharap dari Benny.
Setiap kali ponselnya berbunyi harapan seperti itu selalu
muncul.
"Ya, Ma?"
"Sudah sampai rumah?"
"Belum, Ma. Lagi di apotek. Cari obat sakit kepala,"
Erwina bisa berbohong dengan cepat.
"Kau cuma kurang tidur, Win. Kalau cukup tidur pasti
sakit kepala itu hilang."
"Ya, Ma. Setelah ini juga pulang."
"Aku cuma mau tanya, kamu minat nggak pada bisnis
Arie? Kalau ya, kau bisa meneruskan. Butik bisa titip
karyawan yang kaupercaya. Dikontrol sesekali."
Erwina tertegun sejenak. Ia tak menyangka.
"Aku nggak mengerti bagaimana mengelolanya, Ma."
"Kau bisa tanya karyawan di sana. Siapa ya namanya.
Kalau nggak salah Kadir. Setahu aku, dia karyawan
kepercayaan Arie."
"Aku kenal dia, tetapi aku sudah lama nggak pernah ke
sana, Ma," Erwina mengakui. "Sibuk di butik terus sih."
"Arie nggak pernah cerita-cerita soal bisnisnya itu?"
"Nggak, Ma."
"Jadi, kamu nggak berminat?"
"Mengapa harus dibuka sekarang, Ma? Tutup saja
sementara."
"Banyak pelanggan menanyakan, dan ada desakan dari
karyawan juga."
"Nanti salah. Jual mobil kemurahan."103
"Kan ada catatannya. Kadir pasti tahu."
Erwina berpikir sejenak. Sebuah ide muncul.
"Bagaimana kalau minta tolong Benny saja, Ma? Dia
suka nongkrong di showroom dan bantu-bantu Arie."
"Nggak enak, Win. Dia kan punya pekerjaan sendiri."
"Kayaknya sih bisa, Ma. Pekerjaannya kan bebas.
Sesekali bisa ditinggal."
"Apa kaupikir dia mau? Dia bisa dapat komisi kalau
ada penjualan."
Erwina tersenyum. Berita gembira untuk Benny.
Untuknya juga. Ada alasan untuk bertemu tanpa perlu
dicurigai. Semangatnya tumbuh.
"Baik, Ma. Nanti aku tanyakan."
"Kamu urus saja deh. Kalau dia mau, kasih kunci
kantornya. Kau bisa juga sekalian belajar."
Senyum Erwina tambah lebar. Dia membalik tubuhnya
kembali ke posisi tadi, menghadap pintu UGD. Tak ada lagi
jejak Sang Maut. Semuanya sudah kembali pada realitas.
Ia segera mencari nomor telepon Benny. Ah, dia rindu
sekali mendengar suaranya, apalagi ia membawa kabar
gembira. Benny pun menyambut berita itu dengan tertawa
senang. Ia akan menyisihkan pekerjaan apa pun yang sedang
dilakukannya untuk menemani Erwina.
Di rumah Erwina disambut Katrin, yang keheranan
melihat wajahnya yang ceria. Ia mengira akan melihat yang
sebaliknya.
"Ada apa, Win? Kelihatannya ceria."
Erwina menyadari wajahnya mudah dibaca. Itu salah
satu hal yang kerap diingatkan Benny.
"Tadi makan obat. Rasanya enakan, Ma. Kepala nggak
sakit lagi."
"Oh, begitu. Di mana makannya? Dikasih Mama
Susan?"
"Di apotek. Begitu beli, langsung dimakan."104
"Mestinya makan dulu, baru makan obat. Sudah
makan?"
"Belum. Lapar nih, Ma."
"Ayo sana, makan dulu! Mama sih sudah."
Katrin menemani Erwina makan. Ia melihat Erwina
makan cukup lahap. Benar-benar lapar, pikirnya. Mungkin
ia tidak stres lagi. Ia tidak percaya kalau tak ada
penyebabnya, yang pasti bukan karena kemajuan kondisi
Arie. Bila itu yang terjadi, ia yakin Erwina akan bersikap
sebaliknya.
Katrin tak bertanya. Ia menunggu saja dengan sabar.
Malamnya, baru pertanyaan di dalam hati Katrin
terjawab. Erwina menceritakan telepon dari Susan
sepulangnya dari rumah sakit tadi.
"Oh, begitu? Benny mau?"
"Ya. Lumayan sebagai tambahan, katanya."
"Mestinya kau saja sendiri. Kalau belajar masa sih
nggak bisa?"
"Aku akan belajar dari Benny, Ma. Mama Susan
menyuruh begitu. Kalau aku sudah mampu, Benny akan
mundur."
"Butikmu bagaimana?"
"Mungkin akan kututup, Ma. Sekarang menghabiskan
stok yang ada saja."
Katrin geleng-geleng. "Kalau nanti Arie kembaii, ia
tentu mengambil alih bisnisnya. Lalu, kau mau kerja apa?"
Erwina tak segera menjawab. Pertanyaan itu tak terduga
olehnya.
"Itu gampang. Bisa dipikir belakangan kalau sudah jadi
kenyataan," jawabnya kemudian.
Jawaban itu seperti menggampangkan, pikir Katrin.
Atau asal bicara. Bisa juga merupakan ungkapan keyakinan
bahwa Erwina tidak berharap Arie akan kembaii. Respons
sekejapnya adalah kemarahan, apalagi kalau mengingat foto
yang pecah dan kesimpulannya pada saat itu. Namun, ia105
sudah belajar dari pengalaman untuk mengendalikan
kemarahannya.
"Kalau Arie sampai kembaii, kau dan dia bisa
mengelola bisnis itu bersama-sama," kata Katrin datar.
Katrin pura-pura tidak menyadari bagaimana ekspresi
Erwina berubah keruh.
Pada saat akan tidur, Erwina minta tidur bersama
ibunya. Katrin menolak.
"Ranjangku kan kecil, Win. Cuma muat satu orang.
Masa kita saling tindih. Bukankah kau punya tempat tidur
sendiri?"
"Belum dipasang seprai, Ma."
"Pasang dong. Suruh Bi Iyah."
"Dia sudah tidur."
"Memang kau nggak bisa pasang sendiri?"
"Malas, Ma," Erwina bergaya manja.
"Baik. Aku pasangkan."
Dengan kesal Katrin pcrgi ke kamar Erwina untuk
memasang seprai berikut sarung bantalnya. Dia menjadi
lebih kesal ketika kembali ke kamarnya, Erwina sudah
bergelung di tempat tidurnya. Kelihatannya sudah lelap, dan
tak bisa dibangunkan. Ia tahu Erwina cuma pura-pura, tetapi
ia tak mung-kin menyeretnya turun.
"Ya, sudah. Tidurlah!" katanya keras-keras. "Aku akan
tidur di kamarmu. Mudah-mudahan roh Arie akan terkejut,
lalu buru-buru kembali."
Katrin keluar kamar. Erwina membuka matanya.
Terbelalak.106
6 HART Senin, tiga hari setelah kejadian.
Kondisi Arie masih sama saja seperti semula. Para
pemburu berita sekarang tidak lagi langsung memasuki
kamar Arie. Mereka bertanya dulu kepada perawat. Kalau
jawabannya masih sama mereka pergi. Tak perlu mengecek
sendiri bahkan ada yang membujuk perawat untuk memberitahu secara pribadi lewat telepon kalau ada perkembangan baru. Mereka menjanjikan akan memberi honor.
Demikian pula Martin, yang menelepon Susan untuk
menanyakan keadaan Arie. Martin beruntung karena Susan
berjanji akan menjadikan dia orang pertama di luar keluarga
yang akan diberitahu. Sudah pasti Susan akan jadi orang
pertama yang melihat situasi karena terus mendampingi.
Bagi Susan, permintaan Martin dihubungkan dengan
penyelidikan kasusnya. Susan senang akan antusiasmenya.
Itu berarti, Martin petugas yang rajin dan tekun. Hanya dia
seorang yang secara rutin menjenguk dan berbincang
dengannya. Tak ada petugas yang lain.
Sikap Susan merupakan keuntungan bagi Martin. Ia
tidak mungkin berterus terang bahwa sebenarnya ia punya
motivasi lain, yaitu ketertarikannya pada kasus mati suri.
Kalau ia berterus terang ada kemungkinan Susan akan
tersinggung atau tidak lagi memercayai keseriusannya.
Dikira ia hanya memanfaatkan kondisi Arie.
Beberapa tahun lalu, ia pernah mengalami keadaan mati
sejenak di tengah berlangsungnya operasi untuk
mengeluarkan peluru yang bersarang di kepalanya, yang107
hampir menembus otaknya. Ia tertembus peluru itu dalam
sebuah baku tembak dengan penjahat.
Ketika itu detak jantungnya sudah mendatar dan
tckanan darah menurun drastis. Ia diberi kejutan listrik
beberapa kali tanpa hasil. Para dokter mengira ia sudah
"lewat", padahal operasi belum tuntas. Peluru sudah berhasil
dikeluarkan, tetapi penutupan luka belum selesai. Untung
masih ada yang mencoba lagi. Kejutan listrik kembali
diberikan. Ternyata, gra?ik yang mendatar itu kembali bergelombang. Semula kecil, hanya riak-riak, kemudian
gelombang berangsur membesar dan tekanan darah naik lagi
sampai normal.
Menurut cerita yang didengarnya, dokter dan paramedis
yang ada di ruang itu bersorak gembira karena mereka
memang tak mungkin bisa bertepuk tangan. Kebahagiaan
tak terkira bila nyawa bisa dipertahankan di dalam tubuh
pasien. Sayangnya, ia tak bisa melihat adegan dramatis itu.
Logikanya memang tak bisa karena ia tidak berada dalam
kesadaran bahkan sempat mati. la dipengaruhi cerita tentang
orang-orang yang nyawa atau rohnya sempat keluar dari
tubuh, seperti mati suri, bahwa mereka bisa melihat apa
yang sedang terjadi terhadap tubuh yang mereka tinggalkan.
Meskipun cuma dalam hitungan detik, ia menyimpulkan
kondisi dirinya saat itu tidak berbeda. Ia juga mengalami
mati suri. Kesimpulan itu menjadi keyakinan. Benarkah
pada saat itu ia sungguh-sungguh sudah mati?
"Kalau kejutan listrik tidak diberikan lagi dan Anda
dibiarkan maka Anda akan benar-benar mati," jawab dokter
yang menanganinya.
"Jadi, saya belum mati saat itu?"
Dokter garuk-garuk kepala. "Mungkin setengah, eh...
tiga perempat mati," sahutnya, entah serius atau bergurau.
"Kalau begitu, yang disebut mati suri adalah keadaan
hidup lagi tanpa pertolongan medis apa pun?"108
"Wah, saya bukan ahlinya dalam bidang itu. Tugas saya
hanya mempertahankan kehidupan pasien. Jangan terlalu
percaya pada cerita-cerita semacam itu. Bisa saja mereka
membual. Bilang mengalami ini-itu. Siapa yang bisa


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuktikan kebenaran atau kebohongannya? Memang
harus mati juga supaya bisa mencari bukti? Bisa jadi malah
nggak hidup lagi."
"Cerita seperti itu kan ada yang bisa diperoleh melalui
cara hipnotis, Dok. Orang omong di bawah sadar kan nggak
bisa bohong."
"Mungkin saja. Mengapa Anda penasaran? Seharusnya
Anda senang bisa hidup kembali setelah nyawa hampir
hilang."
"Saya sungguh senang dan bersyukur. Cuma rasa ingin
tahu saja, mengapa saya beda."
"Menurut saya memang beda. Orang-orang dalam cerita
itu sudah benar-benar mati bahkan akan dikuburkan, tetapi
katanya bisa hidup lagi. Anda kan beda. Anda sedang
berjuang antara hidup dan mati. Jantung belum benar-benar
berhenti. Cuma ngos-ngosan. Mpot-mpotan. Nyaris nggak
terdeteksi."
"Jadi, roh saya belum keluar?" Martin merasa bodoh
saat bertanya seperti itu.
Si dokter tidak tertawa. Dia tampak serius.
"Saya kira belum. Mungkin masih di ujung ubun-ubun,
ragu-ragu akan keluar atau nggak."
"Pantas dia nggak bisa melihat apa yang terjadi di luar
tubuh saya."
"Pantasnya begitu. Saran saya, Anda baiknya konsultasi
saja ke psikiater yang pintar hipnotis. Jangan ke orang yang
mengaku bisa hipnotis. Kalau nggak, nanti Anda penasaran
terus. Bisa jadi obsesi tuh."
Martin mengikuti saran itu.
Dokter Nadya, psikiater perempuan setengah baya,
bersikap serius mendengarkan kisah dan keinginannya.109
Martin memang sengaja mencari dokter perempuan karena
yakin perempuan lebih lembut dan keibuan. Ia tidak suka
harapan dan keinginannya dijadikan guyonan.
Dokter Nadya menyiapkan alat perekam, lalu
menyuruhnya berbaring di sofa yang lembut dan sejuk. la
memejamkan mata, lalu mengalunlah musik yang nadanya
datar dan terus mengulang-ulang nada yang sama,
kedengarannya seperti gemercik air dipadu dengan
berdesirnya daun-daun pohon bambu. Sangat menenangkan
dan menenteramkan. Bahagia tanpa beban sedikit pun.
Dokter Nadya menyuruh pikirannya kembali ke saat
menjelang dirinya dioperasi dalam keadaan setengah sadar
untuk melakoni kembali pengalamannya sampai ke saat usai
operasi dan sadar kembali.
Wajah Martin mengernyit menahan sakit.
"Aduh, sakit. Perih, pe... rih. Kepala mau pecah. Datang
suster. Ih, cantik banget. Dia menyuntik lenganku, lalu
tersenyum manis. Tangannya mengusap-usap lenganku.
Heran. Sakitku berkurang. Aku harus sembuh. Ingin kenal
suster ini. Mataku mulai berkunang-kunang. Terpaksa
memejamkan mata. Aku merasa tubuhku diangkat,
dipindahkan ke brankar. Aku sempat membuka mata.
Brankar didorong. Aku tahu akan dioperasi. Aku memejamkan mata lagi karena pandangan semakin buram. Aku
tahu suntikan tadi penyebabnya. Di dalam kamar operasi
aku paksa mataku tetap terbuka. Aku dipindahkan ke atas
meja operasi. Aduh, aku takut sekali. Rasa takut ini lebih
dari rasa sakit. Rasanya aku ingin berteriak. Aku sudah
nggak sakit lagi! Aku nggak perlu dioperasi, walaupun aku
sadar untuk apa aku dioperasi."
"Aku takut kepalaku dipotong. Pakai apa, ya? Pisau
atau gergaji? Leluasa juga ya mengiris kepala yang sudah
gundul plontos ini. Perlu waktu lama untuk membuat
gondrong lagi, tetapi buat apa memikirkan rambut sekarang
ini?"110
"Wajah-wajah bertutup masker putih dan kepala bertopi
putih menunduk di atasku. Hanya mata dan mata yang
menatapku. Ah, makin tak jelas. Semua seperti berbaur jadi
satu. Hidungku kemudian ditutupi cungkup. Aku mulai
melayang. Gelap... gelap... gelap. Aku menangis. Aku
menjerit. Aku ingin keluar dari tubuh yang menyiksa ini.
Jalan bawah atau jalan atas, ya? Jalan bawah nggak bisa
karena sempit sekali. Maunya jalan atas, tetapi tertutup sekat
yang kenyal dan alot. Gelap... gelap... gelap!"
Tubuh Martin di sofa bergetar dan melonjak-lonjak.
Dokter Nadya menggeser kursi mendekat ke sofa untuk
menjaga supaya Martin tidak terjatuh. Ia tahu, Martin
sedang mengalami fase ketika ia menerima kejutan Iistrik.
"Gelap! Gelap!" seru Martin. Suaranya lalu merendah,
pelan bergetar, "Eh, ada apa itu? Kayak mata kucing..."
Kemudian, ia diam. Demikian pula lonjakan lubuhnya.
Ia mendengkur. Dokter Nadya membiarkan saja. Ia hanya
memegangi nadi Martin, meraba detak jantungnya. Sangat
teratur dan jelas. Martin tertidur. Seperempat jam kemudian,
ia mengoceh kembali. Masih dengan mata terpejam.
"Duh, kepalaku nyut-nyutan. Sakit amat, ya. Kubuka
mataku. Pandangan nggak buram lagi. Ada suster
tersenyum. 'Sudah bangun?' katanya lembut. Ah, dia bukan
suster yang tadi. Ke mana si cantik ?tu?"
Dokter Nadya menghitung sampai tiga, lalu menjentikkan jarinya. Martin membuka matanya. Ia segera
duduk, lalu menatap Dokter Nadya.
"Minumlah dulu."
Dokter Nadya menunjuk segelas air putih di atas meja.
Martin mereguk air yang terasa nikmat sekali mengaliri
kerongkongannya, yang tiba-tiba kering.
"Jadi?" tanyanya.
Dokter Nadya mengambil rekaman yang tadi disiapkan, lalu memutarnya di depan Martin yang mendengarkan dengan saksama. Sesudah selesai, ia berkata111
dengan nada kecewa, "Hanya itu saja, Dok? Hanya mata
kucing?"
Dokter Nadya mengangguk. "Mungkin bukan mata
kucing yang sebenarnya. Anda sendiri bilang, seperti mata
kucing. Itu cuma pengandaian saja. Saya pikir yang Anda
lihat adalah cahaya, tetapi sedikit sekali. Seperti mata
kucing di dalam gelap."
Meskipun kurang puas, Martin cukup antusias.
"Kalau begitu, bila saya mati lebih lama pasti saya bisa
melihat cahaya lebih banyak."
Dokter Nadya tertawa. "Memang Anda ingin mati?"
"Tentu saja nggak, Dok. Saya ingin juga mengalami
seperti yang orang-orang ceritakan."
"Mungkin waktunya memang kurang lama, Pak, tetapi
kalau lama-lama bisa mati benaran lho."
Tampaknya Dokter Nadya kurang suka mendiskusikan
soal itu. la menasihati agar Martin fokus pada hal-hal yang
riil saja, yang nyata dalam kehidupan. Betapapun asyik dan
menariknya sebuah kisah yang diakui sebagai kisah nyata,
tetapi fenomena seperti itu tetap saja tidak bisa dibuktikan.
Seseorang bisa saja terinspirasi oleh cerita yang ia dengar
sebelumnya, lalu menyamakan. Sulit pula membuktikan
bahwa kisahnya tidak diberi bumbu atau tambahan.
Sekarang ada kasus Arie. Itu juga fenomena, tetapi riil
dan senyata-nyatanya serta jauh lebih menghebohkan dibandingkan kasus-kasus sebelumnya. Orang akan penasaran
ingin mendengar cerita Arie tentang pengalamannya selama
mati, dan bagaimana dia bisa kembali hidup. Termasuk
dirinya. Namun, itu hanya bisa terjadi kalau Arie bisa bercerita. Kalau Arie cuma koma entah sampai kapan maka itu
kurang menarik, meskipun tetap fenomenal.
Martin sungguh bcrharap Arie segera bangun dan
bercerita. Keinginan itu begitu kuat sampai kadang-kadang
mengatasi keinginannya membongkar kasus kriminalnya. Ia
terdorong untuk menunggu sampai Arie bangun dan bisa112
bercerita. Bukan hanya mengenai pengalamannya di alam
baka, tetapi juga siapa yang telah mencelakainya. Namun, ia
juga sadar harapan itu bisa sia-sia. Ia tidak boleh menunggu
dalam kasus kriminal apa pun.
Siang itu ia mengendarai motornya ke butik Erwina. Ia
melihat toko masih tutup. Tidak ada siapa-siapa di sana.
Mungkin Erwina berada di rumah atau di rumah sakit. Ia
kemudian ke showroom milik Arie.
Seperti layaknya sebuah showroom, dinding bangunannya didominasi kaca untuk mempertontonkan mobil-mobil
yang dijual. Bangunannya besar, sekitar lima ratus meter
persegi dengan bentuk kotak. Di dalamnya jelas terlihat
mobil-mobil jualan, yang sebagian besar terlihat mewah. Di
sudut bangunan terlihat kantor showroom dengan meja,
kursi, dan lemari-lemari file. Tak ada sekat yang menutupi
atau membatasi kantor itu dengan mobil-mobil yang
dipajang. Bukan hanya di dalam gedung bangunan, tetapi di
halaman yang luas pun dijajari mobil-mobil yang tergolong
bukan mobil mewah. Meskipun terbuka, ada atap pelindung
dan pagar besi. Tampak cukup terlindung dan aman.
Ada perubahan dibanding hari kemarin. Sekarang
tampak ada kegiatan di situ. Beberapa orang tampak
melihat-lihat. Karyawan yang berseragam kaus oranye hilirmudik. Mereka tampak bersemangat.
Martin mengamati semua itu dari jalar?an, tanpa turun
dari motornya. Siapa yang mengelola? Tentu yang pasti
bukan Arie atau ibunya. Betapa tercengangnya ia ketika
melihat sosok Benny dengan wajah sumringah berbicara
dengan calon pembeli. Martin lebih tercengang lagi ketika
mengenali Erwina berada di kantor showroom itu, duduk di
belakang meja. Seorang Erwina yang tampil beda.
Meskipun dari jauh, Martin bisa melihat gerak-gerik Erwina
yang energik sewaktu bangkit dan menghampiri tamu.
Lincah bergerak dan senyumnya terus mengembang113
menyambut klien. Sungguh berbeda dibandingkan hari-hari
kemarin. Saat itu ia tampak gelisah, sedih, dan murung.
Terlihat Benny sesekali menoleh ke arah Erwina. Jarak
mereka tak terlalu dekat. Dari ekspresi Benny tampak lelaki
itu senang sekali melihat Erwina, mengagumi, dan sangat
mengapresiasi. Ia melambaikan tangan, yang dibalas
Erwina.
Pemandangan itu sudah cukup bagi Martin. Ia khawatir
akan dicurigai kalau kelamaan berada di situ. Sudah ada
yang menunjuk-nunjuk ke arahnya. Ia melaju pergi menuju
rumah sakit. Arie, kau harus cepat bangun sebelum milikmu
diambil orang!
Sebenarnya, ia tidak perlu menjenguk Arie karena
Susan sudah berjanji akan meneleponnya bila ada perubahan
pada diri Arie, tetapi kali ini ia ingin bertemu Susan untuk
menyampaikan apa yang barusan dilihatnya.
*** Katrin datang menemani Susan, yang menyambutnya
dengan gembira. Selama ini, ia hanya bisa berteleponan
kalau ingin bicara. Bila tidak ia bicara dengan Arie, yang
tidak bisa menjawab. Tak ubah bicara sendiri.
Katrin membawakannya makanan dan pakaian bersih,
yang diambilnya dari paviliun tempat tinggal Susan. Ia tidak
bermaksud menginap malam itu menemani Susan. Bukan
karena sudah jera akibat tak bisa tidur, tetapi ia masih ingin
mengamati kelakuan Erwina dan mencoba berbicara
dengannya.
Semalam, ia tidur di ranjang besar milik Erwina dan
Arie. Di situ ia sulit tidur karena tidak terbiasa. Ada
perasaan aneh yang menghinggapinya. Ia terus teringat
kepada Arie. Dinding yang kosong melompong juga tidak
menyenangkan untuk dilihat bila ia membuka mata.114
Kamarnya sendiri memiliki banyak hiasan dinding di
samping beberapa foto.
Waktu makan pagi bersama Erwina, Katrin melihat
wajah Erwina segar. Matanya tak tampak kuyu seperti
kemarin. Erwina pasti tidur nyenyak semalam. Apakah
karena ia tidur di ranjang ibunya? Malam kemarin ia pun
tidur di situ, tetapi tampak kurang tidur.
"Punya rencana apa hari ini, Win? Buka toko?" tanya
Katrin, sengaja tak menyinggung soal tidur. Sesuatu yang
sudah diyakininya tak perlu ditanyakan lagi.
"Oh, Mama belum tahu, ya? Aku mau buka toko Arie,"
sahut Erwina riang.
"Apa?" Katrin keheranan. Selama ini, Erwina tidak
pernah tertarik pada bisnis Arie bahkan menurut
pengakuannya selama setahun terakhir ia tak pernah
berkunjung ke showroom.
"Ya, Ma. Mama Susan belum kasih tahu, ya? Begini,
Ma. Dia yang menyuruh aku ke sana karena banyak
langganan yang mesti dilayani. Aku bilang, aku nggak
mengerti. Dia kemudian minta Benny menemani aku di sana
untuk mengajari. Benny kan sudah pengalaman."
Mulut Katrin terbuka. Ia mengerti sekarang, apa
penyebab keriangan Erwina pagi itu, dan mengapa ia bisa
tidur nyenyak.
"Dengan Benny?" katanya, beberapa saat kemudian.
Erwina menyadari nada waswas dalam suara ibunya.
"Ya, Ma. Mama nggak usah khawatir. Aku bisa jaga
diri."
Kata-kata nasihat dan peringatan sudah terkumpul di
ujung lidah Katrin, tetapi kata-kata yang sudah siap
dikeluarkan itu ditelannya lagi. Ia sadar bahwa nasihatnya
tidak akan berarti apa-apa. Rasa sedih menggumpal di
dalam dadanya. Dulu setiap kali ada sesuatu yang terjadi,
dia jadi orang pertama yang diberi tahu. Sekarang mesti
bertanya dulu, dan belum tentu dijawab dengan benar.115
Mengapa tidak sejak kemarin Erwina memberi tahu? Ada
cukup banyak waktu untuk itu.
"Tokomu bagaimana?"
"Tutup sementara. Sekarang perlu belajar dulu
bagaimana menjalankan bisnis Arie. Kalau sudah lancar bisa
bergantian dengan Benny. Butik bisa tetap buka. Ada
asisten, kan?"
Erwina bicara dengan bersemangat. Tak menyadari
ibunya mengamatinya dengan kurang senang.
"Bagaimana kalau besok lusa Arie bangun?" tanya
Katrin.
Erwina seperti tersengat. Ekspresinya langsung
cemberut.


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan omong begitu dong, Ma."
"Lho, itu kan misalnya. Kemungkinan selalu ada, kan?
Hal yang mustahil saja bisa kejadian."
"Itu sih bagaimana nanti deh, yang penting jalani saja
yang sekarang," sahut Erwina dingin.
Katrin tersentak mendengar nada bicara Erwina, yang
terasa berbeda dari biasanya. Mandiri dan tegas. Tak mau
lagi bertanya. Tak lagi memerlukan saran.
"Mudah-mudahan kau bisa, ya. Kalau nanti Arie pulih,
kalian bisa bisnis berdua."
Wajah Erwina menjadi muram. Keningnya berkerut. la
diam saja.
"Oh... ya, mengapa foto-foto di kamar kautaruh di
gudang?" tanya Katrin, mendadak ganti topik.
Erwina terkejut. "Memang ada apa?"
"Nggak apa-apa. Cuma tanya."
"Oh, dindingnya mau dicat, Ma."
"Masih bagus kok."
"Ganti warna."
"Warna apa?"116
"Hitam!" Erwina setengah membentak, lalu berdiri
dengan menyentakkan tubuh. Ia kemudian pergi ke luar
rumah tanpa pamit.
Katrin hanya terbengong-bengong. Kejutan dari sikap
Erwina itu terasa keras sekali memukul perasaannya. la
sedih, tetapi tak bisa menangis.
Tak lama kemudian, Erwina menelepon.
"Ma, maaf ya. Tadi aku emosi. Jangan marah, ya?"
Hati Katrin luluh. "Ya, sudah. Nggak apa-apa."
"Mama cerewet sih. Besok-besok jangan begitu ya,
Ma?"
Kembali Katrin terkejut. Perasaannya yang sempat
melunak jadi mengeras lagi. Erwina seolah-olah mengambil
alih posisinya sebagai ibu, dan dialah anak yang berkelakuan buruk. Ia berusaha mengendalikan emosinya.
"Sudahlah," katanya datar, lalu ia menutup telepon.
Sebenarnya, ia masih ingin menanyakan soal foto yang
kacanya hancur itu. Ia yakin Erwina akan marah dan
kembali mengatainya cerewet. Belum pernah ia dikatai
cerewet oleh siapa pun.
Ia pergi ke kamar Arie, lalu merebahkan dirinya di
ranjang. Semalam, ia kurang tidur. Sekarang, ia jadi
mengantuk. Besarnya ranjang tidak lagi membuatnya
canggung. la tertidur sejenak, lalu bermimpi melihat Arie
tersenyum kepadanya. Ia berkata, "Kapan sih kau kembali,
Ar?" Arie tetap saja tersenyum. Ia melihat tangan Arie
bertambah dua, menjadi empat. Demikian pula kakinya
menjadi empat. Kepalanya menjadi dua, seakan-akan ada
dua di dalam satu. Keduanya tersenyum dengan cara yang
sama. Tetap tersenyum.
Katrin tersadar dengan keringat dingin bercucuran. Ia
duduk dengan tubuh lemas, seolah-olah ia sudah tidur lama
sekali, padahal cuma setengah jam saja. Ia membutuhkan
waktu untuk bisa bangun. Ia merenungkan mimpinya.
Setelah merasa bisa memahami arti mimpinya, ia tidak lagi117
merasa ngeri. Dalam mimpinya ia tidak hanya melihat Arie,
tetapi juga Alex!
Bunyi ponselnya menyadarkannya sepenuhnya. Ia
memperoleh tenaganya kembali.
Susan menelepon. "Kapan akan ke sini? Jangan lupa
bawakan aku baju, ya?"
"Ya, Sus. Sekarang juga aku ke sana. Eh, ke paviliun
dulu."
"Oke."
Katrin bergegas segera berangkat. Di dalam taksi ia
memikirkan mimpinya tadi. Tak menyadari taksinya jalan
memutar. Baru sadar setelah argometer menunjukkan angka
yang lebih banyak dibandingkan biasanya. Ia tak ingin
komplain, ia merasa itu kesalahannya sendiri karena tidak
konsentrasi. Sopir tahu penumpangnya sedang melamun,
lalu memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan.
Setelah bertukar sapa dengan Susan, ia mengamati Arie
dengan intens dan memeriksanya seperti seorang dokter.
Tingkahnya itu dipengaruhi mimpi-nya tadi. Tiba-tiba saja
ia terdorong oleh rasa ingin tahu, apakah Arie bisa
menunjukkan tanda-tanda kemajuan? Sebenarnya, ia tidak
tahu tanda-tanda itu seperti apa. Bukankah ketika di rumah
duka dia yang paling dulu menemukan tanda Arie masih
hidup?
Susan mengamati dengan heran. Biarpun tak mengerti,
ia jadi berdebar.
"Ada apa?" tanya Susan, sambil ikut mengamati Arie.
Katrin tersadar. Ia tersenyum menenangkan. "Ah,
nggak ada apa-apa. Ingin tahu saja, Sus. Ke sinilah, aku mau
cerita."
Mereka duduk berdampingan di sofa. Katrin bercerita
tentang mimpinya tadi. Susan mendengarkan dengan
antusias. Tegang dan juga senang.
"Wah, itu pertanda baik, Kat. Dia tersenyum, artinya
akan baik-baik saja. Kalau menangis, artinya buruk."118
"Penampakannya yang jadi dua itu, apa?"
"Kesimpulanku sama denganmu. Itu Alex."
"Untuk apa Alex ikut-ikutan? Dia kan sudah pergi
lama?"
"Mana aku tahu kalau mimpimu begitu? Kenyataannya
seperti itu."
"Ya, kita lihat saja. Mudah-mudahan pertanda baik."
Katrin mengarahkan pandangnya kepada Arie. Kalau dia
tiba-tiba duduk, lalu tersenyum aku pasti menjerit kaget.
Mungkin juga pingsan. Apakah Susan akan pingsan juga?
Katrin kemudian bercerita tentang Erwina, yang akan
membuka showroom.
"Katanya atas suruhanmu."
"Oh, ya. Benar sekali. Tadinya dia kedengaran ogah.
Dia bilang, nggak bisa dan nggak mengerti. Aku suruh dia
belajar dari karyawan. Dia mengajukan Benny, yang
katanya sudah pengalaman. Lumayan kan, Kat. Bisa ada
tambahan penghasilan."
Jadi, Erwina berbohong, pikir Katrin. Dia yang
mengajukan Benny, dan bukan inisiatif Susan.
"Bagaimana sikap Wina tadi?" tanya Susan.
"Wah, dia bersemangat sekali."
"Syukurlah kalau begitu."
"Mestinya sebelum ke toko dia ke sini dulu untuk
menjenguk suaminya. Ya, lihat saja sebentar. Cium
pipinya," Katrin menyesali.
"Nggak apa-apa. Dia kan tahu aku akan memberi kabar
kepadanya kalau ada perkembangan," kata Susan, tetapi
hatinya berkata lain. Dia setuju dengan pendapat Katrin,
tetapi dia merasa berkewajiban membela Erwina.
Di balik tembok, Martin berdiri menguping. Sebenarnya, dia tak ingin berbuat begitu. Setelah mengetahui
kehadirannya tidak disadari karena pintunya tidak berbunyi
ketika dibuka ia jadi keasyikan, apalagi topik
pembicaraannya mengenai Erwina dan Benny. Barulah119
setelah pembicaraan mereka berakhir ia menampakkan
dirinya.
"Selamat siang, ibu-ibu," ia menyapa. "Apa kabarnya
Pak Arie?"
"Oh, selamat siang, Pak Martin," Susan yang menyahut,
sedangkan Katrin hanya mengangguk.
Susan menyambut Martin dengan senang. Berbeda
dengan Katrin, yang memilih diam. Ia curiga, apakah tadi
Martin sempat mendengarkan pembicaraannya dengan
Susan? Ia pun mengingat-ingat apa saja yang dibicarakannya dengan Susan tadi.
"Dia masih begitu-begitu saja, tuh," kata Susan,
mendampingi Martin di sisi Arie.
"Dokter bilang apa, Bu?"
"Nggak bilang apa-apa. Katanya sabar saja."
"Nggak ada tes-tes lagi?"
"Nggak ada. Katanya, semua sudah dilakukan. Kalau
cuma begini-begini saja kan mendingan dibawa pulang saja.
Biar dirawat di rumah. Di sini biayanya mahal."
"Jangan, Bu. Di rumah repot. Infusnya? Oksigennya?"
"Bisa pakai perawat pribadi, Pak. Saya bisa membantu
juga."
Katrin baru mendengar rencana itu. "Kau serius, Sus?"
"Idenya baru sih. Pak Martin yang kasih inspirasi."
Martin tersenyum, tetapi Katrin menatap sahabatnya
dengan kening berkerut.
"Nanti Arie dibawa pulang ke mana, Sus?" tanya Katrin
cemas.
Susan memahami kecemasan Katrin. "Aku akan
membawanya ke paviliunku supaya nggak membebani
kamu dan Wina."
Katrin tersipu. Kesal melihat tatapan Martin.
"Bukan begitu, tetapi...." Katrin tak bisa menemukan
alasan. Mustahil mengatakan bahwa kemungkinan Erwina
akan enggan merawat Arie.120
"Ya, sudah. Nggak apa-apa. Baru ide kok. Belum jadi
rencana," Susan menenangkan.
Katrin keburu malu oleh ungkapan kecemasannya. Ia
tak bisa berpura-pura. Kehadiran Martin mengganggu
perasaannya. Tatapan Martin terasa mengejek.
"Oh... ya, Bu. Tadi saya lewat showroom. Wah... sudah
ramai, ya? Banyak pengunjungnya. Sudah buka rupanya,"
kata Martin.
"Betul sekali. Kan lumayan buat tambahan biaya
pengobatan Arie. Kalau tutup terus nggak ada pemasukan,
padahal karyawan mesti terus dibayar."
"Saya lihat Pak Benny di sana. Juga Bu Wina," kata
Martin, dengan nada melapor biasa. Dia merasakan
kegelisahan Katrin. Sesuatu yang tak dipahaminya.
"Anda bicara dengan mereka?" tanya Susan ingin tahu.
"Ah, nggak. Saya cuma lihat dari jauh. Mereka
kelihatan bersemangat. Bisnis Pak Arie maju, ya?"
"Ya," sahut Susan bangga.
Martin mendekat ke tempat tidur. Ia membelai kepala
Arie. Rambutnya terasa berminyak. Perlu keramas.
"Pak Arie, cepatlah bangun!" katanya. "Anda beruntung
punya ibu yang begitu sayang dan setia. Siang malam
mendampingi."
Susan tersenyum, terharu dan bangga. Katrin melengos
dengan perasaan tersindir. Seharusnya, Erwina juga berada
di sini. Seharusnya, ia mengatakan sesuatu untuk membela
Erwina, tetapi ia takut salah bicara. Ia pun menyadari
dirinya bukan hanya takut salah, tetapi juga malas bicara.
Apakah orang yang dibela akan menghargainya?
Martin pamitan kepada kedua ibu itu. Ia membungkuk
di atas Arie, dan berbisik, "Awas lho, Pak Arie. Nanti milik
Anda diambil orang kalau nggak cepat bangun!"
Keluar dari kamar, ia tak segera berlalu. Ia berdiri,
bersandar di samping pintu, dan memasang telinganya121
tajam-tajam. Kalau-kalau ada percakapan di antara kedua
ibu di dalam, yang bisa tertangkap oleh telinganya.
"Dia bisikkan apa, ya?" kata Susan.
"Intel itu usil, Sus. Mestinya jangan dekat-dekat," suara
Katrin.
"Dia kan petugas, Kat. Kepadanyalah terletak harapan
kita supaya penjahatnya bisa tertangkap."
"Biarpun begitu, pekerjaannya kan di luar sana. Bukan
di sini."
"Dia berharap Arie cepat bangun supaya bisa ditanyai.
Kita juga berharap sama, kan?"
Martin tersipu ketika ada perawat lewat dan
memandanginya dengan heran. Ia bergegas pergi.
Keluar dari pintu lift di lantai dasar, ia mendengar
ponselnya berbunyi. Rekannya menelepon. Sesaat ia terlibat
pembicaraan sambil berdiri di pinggiran. Perhatiannya
kemudian teralih kepada perawat-perawat yang lalu-lalang.
Mereka tampak tegang dan penuh sensasi bicara satu sama
lain. Saling memberitahukan.
"Hei, sudah tahu? Arie sudah bangun!"
"Arie yang di lantai tiga?"
"Arie yang itu?"
"Ya! Arie yang itu!"
Hiruk-pikuk. Ada yang bergegas ke lift. Susulmenyusul. Ada yang meraih ponsel, lalu menelepon.
Martin membeku sejenak. Arie? Yang itu? Dia sudah
bangun?
Rekannya di telepon berteriak-teriak karena tak
disahuti. "Sudah dulu, ya? Nanti disambung lagi. Ada berita
penting," Martin menyudahi pembicaraan, tak peduli
rekannya akan merasa tak senang.
Ia melompat dan menerjang ke pintu lift yang
membuka. Ia sudah kehilangan momen. Menyesal sekali
karena tidak bertahan lebih lama di kamar Arie.122
*** Setelah Martin berlalu, Katrin dan Susan masih duduk di
sofa mengobrol. Mereka membicarakan soal mimpi Katrin
tentang Arie. Katrin tidak men-ceritakan bahwa dia
mengalami mimpi itu pada saat tidur di ranjang Arie. Dia
pun tidak bercerita tentang perilaku Erwina dan kejanggalan
yang dilihatnya. Bukan saja ia merasa perlu melindungi
Erwina, tetapi juga tidak ingin menyakiti hati Susan. Ia tahu,
sampai saat itu Susan tidak pernah berpikir jelek tentang
Erwina.
"Aku heran, mengapa justru kau yang bermimpi seperti
itu. Bukan aku yang tidur di sini, di sebelahnya," sesal
Susan.
"Aku kan sudah dianggap ibunya juga, Sus. Sama saja
dong."
"Ya, sih," Susan membenarkan. "Kita berdua memang
ibunya."
Katrin merangkul Susan. Ia mengagumi kebesaran hati
Susan. Dari dulu sampai sekarang masih tetap baik.
"Aku ingin melihat dia tersenyum," kata Susan.
Sambil berangkulan mereka menatap Arie, kemudian
keduanya terkejut.


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, apa aku nggak salah lihat, Sus?!" tanya Katrin,
dengan suara tinggi. "Tidurnya kok miring sekarang?"
"Bukan aku yang memiringkan. Tadi masih telentang
kok."
Keduanya membelalak. Tubuh Arie miring ke arah
mereka, tetapi matanya masih terpejam.
Kedua ibu itu saling mencengkeram. Terpesona dan
tegang. Saat berikutnya, hampir dengan berbarengan mereka
melompat dari sofa dan menghampiri Arie. Susan memeluk
dan menciumi Arie, lalu dia mendengar ucapan lirih,
"Mama!"123
Susan memekik. Katrin menjerit. Suara-suara mereka
itulah yang mengundang kedatangan perawat. Selanjutnya,
terjadi kehebohan.
Ketika Martin sampai di depan kamar, ia sulit masuk
karena kamar itu sudah berjejal dengan perawat yang ingin
melihat momen pertama sadarnya Arie. Biarpun cuma
sebentar karena memang tak bisa lama-lama, mereka tak
ingin melewatkan saat penting itu. Pergi satu datang satu,
bahkan dua-tiga.
Martin sadar kalau dia bersikap ragu maka tak akan
berhasil masuk. Dia menerobos kerumunan, tak peduli kalau
yang disikutnya adalah perempuan. Segera dia melihat
pemandangan yang mengharukan.
Arie duduk diapit Katrin dan Susan, yang naik ke
tempat tidur. Rambut Arie sudah mulai gondrong, ikalnya
kusut. Dia tersenyum. Wajahnya tampan. Pipi dan bagian
atas bibirnya kehitaman oleh kumis dan berewok yang mulai
tumbuh karena lama tak bercukur. Keadaan itu malah
membuat dia jadi tambah tampan karena terkesan jantan.
Tak mengherankan kalau para perawat senang
memandanginya berlama-lama. Sapaan kepada Arie ditambah berbagai komentar terdengar ribut bagai gaung
lebah.
Martin mengeluarkan ponselnya untuk memotret
adegan itu. Melihat tingkah Martin, para perawat yang
mengantongi dan memiliki ponsel berkamera ikut pula
memotret. Saking terkesimanya mereka lupa mengabadikan
adegan itu. Tak ada duanya dalam sejarah karier mereka.
"Selamat!" sera Martin, lalu ia bertepuk tangan. Para
perawat ikut pula bertepuk tangan. Riuh ren-dah.
Kedatangan sosok-sosok berbaju putih lainnya
membubarkan kerumunan perawat. Mereka adalah para
dokter. Ada yang langsung dari tempat praktek, yang baru
datang, dan yang mau pulang semua menyempatkan diri
menengok. Besok bisa terlambat. Waktu bisa kedaluwarsa.124
Martin sudah mendapat tempat yang strategis di sisi
tempat tidur. Dia tidak akan beranjak dari situ sampai
mendapat kesempatan bicara dengan Arie. Semua orang
yang berkerumun itu tak akan lama karena waktu mereka
singkat, tetapi dia memiliki waktu tak terbatas. Pekerjaan
lain bisa menunggu.
Arie dianggap sebagai manusia luar biasa.125
7 ERWINA dan Benny baru saja menghabiskan makan siang
mereka di sebuah restoran tak jauh dari showroom ketika
berita tentang bangunnya Arie diterima Erwina lewat
ponselnya. Katrin yang memberi tahu.
Wajah Erwina menjadi pucat. Matanya menyorotkan
kecemasan.
"Win! Win!" teriak ibunya di telepon. "Bisa ke sini
sekarang? Pergi sendiri saja. Biar Benny jaga showroom."
Erwina tidak menyahut. Mulutnya tak bisa mengeluarkan suara. Ia menutup telepon dan meletakkannya di
meja dengan tangan yang kehilangan tenaga.
"Ada apa, Win? Ada apa?" tanya Benny khawatir. Ia
sudah bisa menduga, tetapi tak ingin membenarkan
dugaannya.
Tatapan Erwina bergulir kepada Benny, lalu matanya mengerjap disusul keluarnya butiran air mata.
"Di... dia... dia sudah bangun," katanya lirih.
Wajah Erwina tampak susah payah menahan tangis.
Benny memegang tangan Erwina dan mengelusnya.
Tak mungkin berbuat lebih dari itu karena mereka berada di
tempat umum. Masih ada rasa malu.
"Tahan emosi, Win! Sabar! Tenang! Ayo, keringkan air
mata!"
Benny mengulurkan tisu. Erwina mengeringkan mata
dan hidungnya.
"Sekarang pandang aku dengan konsentrasi," lanjut
Benny.126
Erwina mematuhi. Tatapan Benny menyihirnya.
Kesedihan dan kecemasannya berkurang. Betapa inginnya ia
dipeluk dan memeluk Benny, lalu merasakan belai dan
ciumannya. Sudah lama. la rindu.
"Dengarkan! Kita sudah siap dengan kemungkinankemungkinan, kan? Sekarang sudah terjadi, meskipun di
luar harapan kita. Kita nggak mungkin mengubahnya, yang
penting bagi kita bagaimana menghadapinya. Kalau kamu
bereaksi seperti ini terus, mana mungkin bisa melakukannya
dengan baik? Sikapmu yang seperti ini bisa mengundang
tanya dan kecurigaan orang. Masa berita gembira seperti ini
ditanggapi dengan sedih dan takut oleh seorang istri? Orang
akan berpikir, istri macam apa sih kamu ini? Belum lagi
kalau Martin yang menanggapi. Jangan-jangan dia juga
sudah mendengar."
"Aku mesti bagaimana, Ben?" keluh Erwina.
Kedengaran putus asa.
"Bersikaplah wajar, seperti yang seharusnya."
"Wajar bagaimana?"
"Segera pergi ke sana, pasang wajah gembira, lalu
peluk dan cium Arie."
Erwina membelalakkan mata. Benny mengatakan hal
itu dengan dingin.
"Kau nggak keberatan aku melakukan itu?"
"Demi keselamatan kita berdua, kau harus melakukannya. Jangan persoalkan keberatan macam-macam."
"Keselamatan?"
"Ya. Keselamatan kita bersama. Ingat bagaimana mata
Martin mengamati gerak-gerik kita? Bayangkan bahwa ini
merupakan pertarungan kita dengan dia. Siapa yang menang
tergantung pada apa yang kita lakukan dan sikap kita. Jadi,
jaga sikap, Win. Tiap kali emosimu bicara, ingat pada
keselamatan kita."
"Ke... se... la... mat... an," kata Erwina lambat-lambat.127
"Ya. Keselamatan," kata Benny tegas. Ia mengkhawatirkan emosi Erwina, yang kadang-kadang lepas
kendali. Ia memang mudah mengendalikannya, tetapi sulit
bila berjauhan, padahal dalam kasus sekarang ini mereka
justru harus menjaga jarak.
Setelah merenung beberapa saat, Erwina tampak pulih
kembali. Ia menarik napas panjang. Tersenyum manis
kepada Benny, yang merasa debar jantungnya bertambah
kencang. Ia cemburu kepada Arie, tetapi sebagai suami Arie
punya hak yang tak dimilikinya.
"Apa yang disampaikan melalui telepon tadi? Siapa
yang menelepon?" tanya Benny.
"Itu Mama. Mama bilang, Arie sudah bangun dan aku
disuruh ke sana sekarang. Mama teriak-teriak. Kedengarannya ribut sekali di sana."
"Kau nggak jawab, kan?"
"Nggak. Teleponnya kumatikan."
"Mamamu pasti akan heran. Sebaiknya kautelepon
balik dan tanya dengan tenang apa yang terjadi."
"Oke."
Erwina menelepon Katrin.
"Aduh, Win. Kamu ini bagaimana sih?! Orang
menelepon kok dimatikan. Arie sudah bangun. Dia sudah
jalan-jalan seputar kamar. Infusnya sudah dicabut. Kelihatan
baik-baik saja. Tahu apa yang dia lakukan begitu turun dari
ranjang? Dia sikat gigi pakai sikat punya mamanya.
Mulutnya bau, katanya. Dia lempar senyum ke mana-mana.
Banyak sekali yang mengerubuti dia. Kelihatannya dia lebih
ganteng deh. Banyak suster yang kepincut," cerita Katrin,
dengan bersemangat
"Dia tanya aku, nggak?"
"Nggak. Mungkin belum sempat saja. Begitu banyak
orang yang tanya ini-itu. Periksa ini-itu."
"Ada siapa saja di sana selain Mama Susan dan orang
rumah sakit?"128
"Ada Pak Martin. Dian dan David akan datang pulang
kantor. Eh, kamu kapan ke sini? Cepat lho."
"Mama menelepon dari kamar?"
"Nggak mungkin bisa menelepon di situ. Terlalu ribut.
Mama menelepon di luar kamar."
"Baik. Sebentar aku datang, Ma. Arie kan nggak ke
mana-mana."
"Bagaimana kalau dia... ah, kayaknya sih nggak bakal
terjadi."
"Bagaimana kalau apa, Ma?" desak Erwina.
"Yaaa... kalau dia ambruk lagi kau nggak sempat
bertemu," suara Katrin perlahan.
Erwina tersenyum. Justru itu yang ia harapkan.
"Aku perlu bawa sesuatu nggak, Ma?"
"Nggak perlu, yang penting diri kamu. Oh... ya, jangan
datang berduaan dengan Benny," suara Katrin merendah
lagi. "Datang sendiri saja. Kalau Benny ingin menengok,
biar dia datang sendiri juga."
"Oke, Ma."
Selama Erwina menelepon, Benny mengamati. Erwina
sudah pulih. Cukup menakjubkan perubahannya. Dalam
keadaan seperti itu, Erwina bisa dipercaya mampu
mengendalikan situasi. Erwina memang gampang
dipulihkan, tetapi hanya kalau ada yang bisa memulihkan.
Celakanya kalau sedang lepas kontrol, sesingkat apa pun
akibatnya bisa fatal. Itulah yang ia takutkan. Ia percaya akan
kemampuannya mengendalikan Erwina, tetapi tak mungkin
baginya terus-terusan mendampinginya, apalagi dalam
kondisi sekarang. Ia hanya bisa mengandalkan kemampuan
suara lewat telepon. Itu pun memiliki kemungkinan yang
terbatas. Bagaimana kalau dalam keadaan darurat dan
mendesak tak ada kesempatan menelepon? Ia tidak bisa
melihat sendiri bagaimana kondisi mental Erwina pada saat
itu. Erwina yang harus berinisiatif menelepon. Bagaimana129
kalau ia tidak bisa menelepon karena situasinya tidak
memungkinkan?
Untuk memperlancar kemampuan menjualnya, Benny
giat belajar hipnotis. Tak bisa dengan cara wajar maka ia
menggunakan ilmunya. Tak selalu berhasil, tetapi sebagian
berhasil. Ia menganggap keberhasilannya itu disebabkan
ilmunya, sedangkan yang gagal d?sebabkan karena ia
menghadapi "lawan" yang kebal secara alamiah atau sudah
membekali diri dengan ilmu juga.
Dalam usaha memengaruhi orang lain ia tak hanya
mengandalkan pandangan mata, tetapi lebih-lebih lewat
suara dan sentuhan. Bila sedang berdekatan dan berhadapan
ketiga cara yang digabung itu bisa efektif sekali, apalagi
tanpa kehadiran orang ketiga yang punya sensibilitas tinggi.
Orang ketiga seperti itulah yang menjadi pengganggu utama
keberhasilannya.
Ila sudah melatih diri dengan intensif, dan beberapa kali
sangat bangga akan hasilnya. Kebanggaan yang tak bisa
dibaginya dengan orang lain karena ia sadar caranya tidak
terpuji. Bukan saja ia bisa dicerca orang, tetapi juga
merusak citra dirinya. Orang akan takut didekati.
Ia terkejut karena ternyata Arie tidak bisa dipengaruhi
dengan cara itu. Ia seperti menghadapi tembok tebal. Sama
sekali tidak mempan. Bahkan Arie pernah melontarkan
gurauan, "Kok suaramu jadi mendayu-dayu begitu sih?
Belajar jadi penyanyi, ya?"
Bukan saja suara, tetapi tatapan mata dan sentuhan pun
tidak memberi efek apa-apa terhadap Arie. Ia malah
bertanya, mengapa dipelototi. Benny menyimpulkan, hal itu
bukan disebabkan karena Arie kebal, tetapi karena sudah
terlalu lama mengenalnya. Dari kecil mereka tumbuh
bersama. Ada suka dan duka yang dijalani bersama.
Berbeda dengan Arie, Erwina sangat mudah ditaklukkan. Dalam waktu singkat Erwina jatuh dalam
pelukannya. Tentu saja ia juga menyadari keberhasilannya130
bukan sepenuhnya upaya dirinya, melainkan ada sebab lain.
Erwina memang jatuh cinta kepadanya, biarpun tak ada
pengaruh hipnosis. Erwina pun menyimpan dendam kepada
Arie. Tanpa ragu Erwina menceritakan semuanya, dan
menjadikannya tempat curhat. Erwina berterus terang bahwa
ia lebih suka mengadu kepadanya daripada kepada Katrin,
ibunya. Dari Benny, Erwina bisa mendapatkan cinta dan
seks. Sesuatu yang tak bisa diberikan ibunya.
Dari restoran mereka kembali dulu ke showroom untuk
membereskan beberapa hal. Sebenarnya, Erwina juga ingin
mengulur waktu.
Sebelum melepas Erwina ke rumah sakit, Benny
bcrpesan, "Ingat, Win! Setiap kali kau merasa bingung dan
goyah, telepon aku! Usahakan pergi ke tempat di mana kau
bisa menelepon tanpa gangguan."
"Tentu saja, tetapi kadang-kadang aku suka lupa."
Benny sungguh kesal kalau mendapat sahutan
kekanakan seperti itu, tetapi ia tidak boleh menyuarakan
kekesalannya. Itu bisa memengaruhi efek suaranya.
"Kau nggak boleh lupa, Win. Lihat aku!" Benny
menatap mata Erwina. Ia mengulang kata-katanya dengan
lambat, tetapi penuh tekanan, "Nggak... boleh... lupa. Ingat,
ya?!"
"Ya, Sayang."
Mereka berusaha tidak bersentuhan dan berdekatan.
Para karyawan tampaknya saja tidak peduli, tetapi bukan tak
mungkin ada yang memperhatikan. Terutama Kadir yang
tidak begitu disukainya, tetapi harus diandalkan karena ia
paham banyak hal tentang perusahaan itu.
Bahkan saat Erwina pergi, Benny tidak mengantarkan
sampai ke jalan. Erwina bermaksud naik taksi.


Misteri Dua Cinta Dalam Satu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kadir mendekati Erwina. "Ibu mau pergi?"
"Ya. Ke rumah sakit."131
"Oh, bagaimana keadaan Pak Arie, Bu? Kemarin saya
dan teman-teman menjenguk, tetapi nggak boleh masuk oieh
suster."
Erwina menimbang-nimbang jawabannya sejenak. Ia
tahu, sebaiknya tidak menyembunyikan berita. Ia pun harus
berpura-pura. Oleh sebab itu, ia memasang wajah ceria.
"Bapak sudah bangun, Dir," katanya tersenyum. "Tadi
saya dapat kabar."
Hanya itu yang sempat dikatakannya karena ada taksi
yang berhenti. la masuk ke dalam taksi setelah melambaikan
tangan ke arah kantor tempat Benny berada.
"Wah!" pekik Kadir girang. Kepada rekan-rekannya ia
segera membagi berita itu. Mereka semua tertawa-tawa. Ada
juga yang bersorak. Tamu yang kebetulan ada di situ ikut
bergembira. Tak ada yang tidak tahu tentang peristiwa yang
menimpa Arie.
Dari balik dinding kaca di ruang kantor showroom
Benny melihat kejadian itu. Ia menundukkan kepala,
menatap meja, dengan perasaan pahit. Ia tak melihat
lambaian tangan Erwina.
Baru satu hari ia menikmati posisinya sebagai pengeloia
tempat itu. Sempat membayangkan dirinya jadi bos di situ.
Pekerjaan yang sangat menyenangkan. Tahu-tahu datang
berita bagai sambaran geledek. Arie sudah bangun. Berarti
Arie akan kembali mengambil tempatnya. Mungkin tidak
dalam waktu cepat karena Arie perlu pemulihan, tetapi itu
sama saja. Dia hanya sementara di situ, dan bukan
seterusnya.
Sempat muncul pemikiran yang meresahkan.
Bagaimana kalau Erwina kembali kepada Arie? Mungkin
saja Erwina melupakan dendamnya dan memaafkan Arie,
lalu mereka berbaikan. Tidakkah ia akan ditinggalkan
sendiri, kalah dan tak mendapatkan apa-apa? Tidak! Ia
menenteramkan dirinya sendiri. Erwina tidak mungkin132
mengkhianatinya karena dia adalah partnernya dalam
kejahatan.
Hampir sejam lamanya Arie jadi tontonan. Dia duduk,
berdiri, berjalan, dan mcnggerak-gerakkan otot serta
sendinya. Terasa pegal-pegal. Ia sedikit bicara. Ia hanya
tersenyum dengan ekspresi bingung menanggapi
pertanyaan. Terutama pertanyaan yang paling banyak
diajukan, "Arie, ke mana saja selama ini? Pengalamannya
apa?"
Arie hanya memandang ibunya bila ditanyai seperti itu.
Ia menggeleng.
Susan bertindak menyelamatkan anaknya. "Mohon
maaf, bagaimana kalau Arie istirahat dulu? Dia baru sadar.
Perlu waktu."
Orang-orang yang berkerumun, termasuk para dokter,
baru menyadari hal itu dengan malu. Mereka terlalu
bernafsu, takut ketinggalan berita. Seolah-olah bagi mereka
yang paling penting bukanlah sembuh dan bangkitnya Arie,
tetapi ceritanya yang sensasional.
"Ya... ya, besok saja. Sekarang istirahat," kata seorang
dokter.
Dengan segan orang-orang keluar dari kamar, tetapi
menyempatkan diri menyentuh dan memegang Arie. Besokbesok belum tentu bisa, misalnya kalau Arie cepat pulang.
Masalah itu juga ada dalam pemikiran Susan.
"Baiknya besok pulang saja ya, Ar. Bagaimana
menurutmu? Toh sudah nggak ada infus atau oksigen."
"Ya, Ma," sahut Arie. "Enakan pulang."
Katrin tak ikut bicara atau bertanya. Ia menunggu
disapa Arie, yang sejak awal belum sempat memperhatikan
dirinya karena terlalu banyak orang. Sedangkan Martin pun
duduk saja diam-diam di pinggir ranjang, tetapi mengamati
dengan cermat.
Tiba-tiba tatapan Arie tertuju kepada Katrin, yang
tersenyum kepadanya. Katrin berdebar.133
"Tante...?"
Katrin terkejut. Susan menepuk lengan Arie.
Arie tersentak. "Oh... salah. Mama Katrin."
Arie mengembangkan kedua tangannya. Katrin masuk
dalam rengkuhan kedua tangan itu. Pelukan yang hangat dan
terasa amat menyenangkan. Tadi dia sempat merasa iri
melihat Arie dan Susan berpelukan erat, sementara dia
seolah dilupakan. Ia segera mencium pipi Arie, yang terasa
lembab dan kasar oleh bulu-bulu.
"Selamat ya, anakku Arie," kata Katrin penuh haru.
Pada saat itu tumbuh rasa sayang yang sebelumnya tak ada.
Akhirnya, Arie menatap Martin, lalu menatap ibunya
dengan sorot bertanya.
"Ini Pak Martin, petugas yang menyelidiki kasusmu,"
Susan memperkenalkan.
"Kasusku? Orang sakit diselidiki petugas?" tanya Arie,
dengan nada bergurau.
Susan dan Martin saling memandang sejenak. Jelas
bahwa kondisi otak Arie belum normal sepenuhnya. Arie
hanya berpikir bahwa dirinya sakit karena berada di rumah
sakit.
Martin menepuk lengan Arie. "Pak Arie perlu istirahat
supaya pikiran Anda jernih dan memori Anda kembali
seutuhnya. Masih banyak waktu untuk itu. Nikmati
kesembuhan Anda. Mestinya Anda makan enak sekarang
ini. Sudah lama nggak makan, kan? Cuma cairan infus."
Arie menekan perutnya yang kempis. "Betul. Lapar nih,
Ma," katanya, menoleh kepada Susan. "Eh, saya penasaran
juga nih. Ada kasus apa sih, Pak? Saya bukan kriminal,
kan?"
"Oh, bukan. Baiklah. Saya kasih tahu saja, ya. Nanti
bisa diingat-ingat lagi. Pada hari Jumat malam Anda
ditemukan terbaring di selokan dalam keadaan sekarat,
itulah kasusnya. Tampaknya ada kejahatan menimpa diri
Anda."134
"Oooh... jadi saya berhasil disembuhkan? Begitu saja
kok sampai dikerubuti, ya?"
Martin, Susan, dan Katrin tak tahan untuk tidak tertawa.
Arie begitu polos. Ekspresinya pun seperti itu. Mungkin
memang begitu kondisi otaknya sementara ini. Memorinya
seperti bayi.
"Kau mau makan apa, Ar? Nanti Mama belikan di
kantin saja. Makanan rumah sakit kurang enak," kata Susan.
"Mmm... apa ya? Nggak tahu adanya apa. Enakan
makan di rumah saja, Ma. Sayur lodeh...."
Susan tertegun sejenak. "Ah, salah kali. Kamu kan
sukanya sayur asam, bukan sayur lodeh. Kalau yang itu sih
kesukaan..."
"Ya, salah, Ma. Kesukaan Alex, ya," Arie tersipu. "Ah,
jadi hilang laparnya. Sudah, Ma. Nggak usah saja."
"Jangan begitu, Ar. Nanti kamu kena sakit maag."
Saat itu, masuk perawat membawa baki berisi makanan.
Isinya nasi dengan sayur sop, tempe bacem, dan daging
empal dilengkapi dengan buah pisang.
"Nah itu saja, Ma," kata Arie. "Terima kasih, Suster."
Arie memberikan senyumnya kepada perawat, yang
merasa senang tak kepalang. Tadi dia berebut dengan
rekannya untuk membawakan makanan itu.
"Habiskan ya, Pak Arie," katanya.
"Kalau bisa, Sus."
Setelah perawat pergi, ia berkata pelan, "Kalau
makanannya enak, pasti habis." Ucapannya disambut tawa
ketiga orang di dekatnya.
Pada saat Arie makan, Martin memberi tanda kepada
Susan untuk keluar kamar. Ia ingin bicara.
Mereka berdiri di lorong, tak jauh dari pintu kamar.
"Begini, Bu. Bila tiba saatnya, Pak Arie pasti akan
bicara paling dulu dengan Ibu. Jangan biarkan orang lain
mendahului Ibu. Saya kira Bu Katrin pun akan sependapat.
Saya pikir, paling baik kalau Pak Arie sudah menyiapkan135
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan
diajukan orang-orang, padahal jumlah mereka bisa banyak
sekali."
"Jadi, jawabannya apa, ya?" Susan tertarik. Itu ide yang
baik.
"Mereka semua ingin tahu, apa yang dialami Arie
selama sembilan jam meninggal dan saat-saat sebelum sadar
dari koma. Mereka mengejar cerita yang penuh sensasi. Apa
pun yang dialami Pak Arie, jangan ceritakan yang
sebenarnya. Kasih tahu saja bahwa dia nggak ingat apa-apa.
Semuanya gelap, begitu. Itu jawaban yang singkat dan
nggak bisa memancing pertanyaan berikutnya. Jawaban itu
harus sama kepada semuanya. Mereka akan kecewa dan
bosan, lalu meninggalkannya."
"Wah, itu bagus sekali. Saya akan bilang kepada Katrin.
Pastinya sebelum Arie omong pun saya akan berpesan
begitu. Takut keduluan."
"Dia akan mematuhi Ibu. Katakan saja, kalau nggak
dijawab begitu orang akan terus mengejarnya. Jangan bilang
'belum ingat', tetapi 'nggak ingat'. Itu punya arti berbeda.
Besok-besok dikejar lagi. Sudah ingat belum?"
"Ya, ya. Terima kasih untuk usulnya. Bagaimana kalau
dokter yang tanya?"
"Bilang sama juga. Dokter kan bisa omong sana-sini."
"Betul."
"Nanti akan ada juga orang dari media yang membujuk
akan memberi honor besar kalau diceritakan, apalagi kalau
dapatnya eksklusif. Jangan mau dibujuk begitu."
Susan geleng-geleng. la tertawa. "Kalau dibohongi pun
juga mereka nggak akan tahu."
Martin tertawa, teringat akan pengalamannya sendiri
dulu. "Lebih baik jangan, Bu."
"Tentu saja. Nanti bisa dosa, kan? Sudah dikasih
Sembilu Bermata Dua Karya Marga T Animorphs - 48 The Return Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye

Cari Blog Ini