Ceritasilat Novel Online

Kamis, 07 Februari 2019

Jalan Simpang Diatas Bukit 1

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 1


HERMAN PRATIKTO
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Penerbit "MELATI"
Jakarta
******
"JALAN SIMPANG DI ATAS BUKIT"
Oleh:
HERMAN PRATIKTO
Jilid:1
*****
Buku Koleksi : Gunawan Aj
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(Team Kolektor E-Book)
*******
I. MEMBOBOL PENJARA
PADA SUATU hari, kota Lamuri yang berada hampir di ujung pulau Sumatera dikunjungi seorang asing dari Jawa. Orang itu berpakaian penuh debu, karena melarikan kudanya siang malam tak kenal beristirahat. Umurnya kira-kira tigapuluh tahun. Berperawakan gagah perkasa. Berberewok dan bermata tajam. Namanya Mojang.
Hubungan lalu lintas laut Sudah lancar semenjak abad kedua. Perahu dan kapal-kapal Cina, India, Afrika dan Malaya, seringkali keluar masuk kawasan Nusantara. Karena itu, bukan suatu hal yang mustahil, bahwa Mojang dapat mendarat di bumi Suwarnadwipa (Sumatera) dan kemudian merantau sampai ke kota lamuri. Waktu itu, tahun 456 Masehi. Kerajaan Kutai. Sriwijaya dan Taruma Negara, sudah dikenal orang-orang Cina di seberang lautan.
Sepanjang jalan di kota Raja tadi bersolek indah dengan hiasan aneka warna. Juga di jalan-jalan kota Lamuri. Di depan gedung pemerintahan, terdapat tulisan yang berbunyi:
"Raja berbesanan dengan wangsa Syailendra. Negara akan bertambah makmur.?"
Benarkah itu?
Kalau benar alangkah cemerlang masa depan kerajaan Sriwijaya.
Akan tetapi apa sebab wajah penduduk nampak muram?
Tentunya ada sesuatu yang disembunyikan.
Mojang memperhatikan kesan itu dengan diam-diam.
Meskipun dia belum mengenal adat istiadat penduduk dengan baik, tetapi bukankah manusia dimana saja sama kodratnya?
Selain berakal tentunya memiliki perasaan. Kata orang, sumber akal berada di otak. Sumber rasa berada di hati. Dan bila hati dirundung duka, akan terbayang jelas di wajahnya meskipun pemiliknya berusaha menyembunyikannya.
Dengan hati-hati, Mojang singgah di sebuah rumah makan Cina. Pada dinding sebelah dalam, terdapat papan pengumuman. Bunyinya:
"Negara sedang gembira. Urusan Negara bukan urusan makan-minum."
Mojang memperhatikan bunyi tulisan itu. Sejenak kemudian dia tersenyum dan duduk di pojok ruang makan. Beberapa orang sedang berbicara dengan berbisik-bisik. Sekilas ia mendengar seorang berkata tak jelas:
- Sepuluh tahun lagi. negeri kita akan dipenuhi orang orang Chaiya.
Chaiya terletak di semenanjung Malaya. Kelak menjadi pusat kerajaan Syailendra dengan rajanya yang termashur bernama: Sanggrama Bhananjaya. Raja Syailendra kemudian menyerang Sriwijaya dan bertahta di daerah sekitar Jambi.
Tentu saja Mojang tidak memahami apa makna katakata itu. Dia hanya merasakan sesuatu yang bersembunyi di balik ucapannya. Apa itu, dia tetap tak memahami. meskipun andaikata memeras otaknya sekalipun. Apalagi perhatiannya tidak berada pada mereka. Meskipun demikian sambil makan ia memasang pendengarannya.
- Kau maksudkan orang-orang asing itu? -terdengar seseorang menegas.
- Ssst! Kalau sudah mengerti, tutup mulutmu!
Orang yang duduk membelakangi Mojang kemudian
mengangguk pendek. Selagi hendak membuka mulutnya, temannya berkata lagi sambil menyenak nafas.
Katanya setengah berbisik:
- Kasihan utusan dari Jawa itu. Entah apa alasannya dia dikurung dalam penjara di kota ini.
- Darimana kau mendengar kabar itu?
- Paman yang bekerja sebagai sipir penjara. Malam nanti, paman akan datang menjenguk untuk mengantar nasi. Hebat orang itu. Lima hari. dia tidak sudi makan atau minum. Meskipun begitu, tubuhnya kuat. Karena itu terpaksalah dia dirantai kuat-kuat..
Mojang menegakkan kepalanya. Kedua alisnya berdiri. Hampir saja dia bergerak hendak bergabung untuk memperoleh penjelasan lebih jauh lagi. Tetapi pada detik itu pula ia seperti tersadar. Segera ia mengunyah nasi yang memenuhi mulutnya. Sambil meneguk air, ia menajamkan pendengarannya lagi. Sayang, mereka mengalihkan pembicaraannya. Ia menoleh menjelajahkan pengamatannya. Seseorang yang mengenakan pakaian seragam masuk dalam serambi rumah makan memesan minuman. Maka tahulah Mojang, apa sebab orang-orang itu tidak melanjutkan kata-katanya.
Merasa diri tak aman pula. Mojang kemudian meninggalkan rumah makan. Sekarang timbullah semangatnya hendak menyelidiki keadaan kota. Meskipun masih samar samar, namun ia sudah memperoleh kesan tentang sikap penduduk. Rupanya, penduduk tidak senang mendengar rajanya berbesanan dengan raja Syailendra. Mereka sudah menduga buruk. Jangan-jangan ikatan keluarga itu akan merubah tahta kerajaan di kemudian hari.
- Persetan dengan urusan mereka! pikir Mojang di dalam hati.
- Yang penting. aku harus tahu dengan pasti. di mana Yang Mulia Lembu Seta.
Lembu Seta adalah utusan Raja Purnawarman. Sepuluh tahun lamanya dia meninggalkan negerinya. Mula-mula ia berlayar ke Kerajaan Kutai dengan tugas mempererat tali persahabatan antara Kerajaan Taruma Negara dan Raja Mulawarman. Setelah lima tahun berada di kerajaan itu ia melanjutkan perjalanan ke Sriwijaya. Tugas yang dibawanya sama pula. Akan tetapi di sini terjadi suatu keanehan. Lembu Seta hilang atau menghilang tiada kabar beritanya.
Raja Purnawarman kemudian mengutuskan tiga orang pahlawannya untuk mencari jejaknya. Mojang. Kadung dan Jagadpati. Ketiga orang itu mengarungi lautan Selat Sunda dan mendarat dengan selamat di bumi Suwarnadwipa. Pelacakan dan penyelidikan mulai dilakukannya. Hasilnya tidak menggembirakan. Apalagi, Raja dikabarkan sedang gering. Para Nayaka bersikap menutup mulut. Dengan demikian mereka tidak memperoleh keterangan resmi seperti yang diharapkan.
Namun mereka tidak putus asa. Mereka bertekad lebih baik mati di rantau orang daripada pulang dengan tangan hampa. Melalui perundingan yang rumit mereka mereka memutuskan hendak mengadakan penyelidikan secara terpisah. Tentu saja hal itu membutuhkan ketekunan, kesabaran dan keuletan.
Jagadpati yang sesungguhnya seorang panglima perang Taruma Nagara. kemudian membeli sebuah rumah di sebuah desa tak jauh dari kota raja. Dialah yang memimpin pelacakan itu dan yang mengatur tindak lanjutnya. Kepada Kepala kampung dia mengaku sebagai seorang perantau yang kini memutuskan ingin menetap sebagai penduduk biasa untuk menghabiskan sisa-sisa umurnya. Untuk meyakinkan alasannya itu, ia membuktikan dengan hidup berkebun dan berternak. Karena pandai membawa diri dan pandai pula bergaul, ia dihormati dan dicintai penduduk. Meskipun demikian, ternyata dirinya tidak luput dari pengamatan orang-orang pemerintahan.
Ini terjadi sewaktu Mojang dan Kadung tidak berada di rumah. Mojang seperti hari-hari yang lalu bekerja sebagai pengawal pengantar barang. Tugasnya menyerap kabar berita penduduk yang biasanya menyebar luas dari mulut ke mulut. Walaupun belum tentu benar, akan tetapi sering pula dapat disimpulkan. Sedang Kadung berusaha mencari persembunyian Tilam, puteri Lembu Seta yang selalu menyertai ayahnya. Setelah puteri itu dapat diketemukan, teka-teki hilangnya Lembu Seta tentunya akan tersingkap dengan sendirinya.
Jagadpati baru saja menghirup air minumnya tatkala tiba-tiba ia mendengar suara tertawa aneh seperti bunyi pekik seorang perempuan. Ia menoleh dan melihat dua orang laki-laki berpakaian seragam perajurit Sriwijaya. Yang tertawa mengerikan tadi berperawakan luar biasa. Tubuhnya pendek kecil ibarat ayam kate, tetapi berkepala besar. Sedang temannya, berparas tawar. Tubuhnya tinggi tipis, bermata tajam dan berlengan panjang.
- Tuanku Jagadpati! -demikian seru yang berperawakan pendek kecil.
- Engkau biasa hidup mewah di sebuah kota besar. Masakan sekarang dapat hidup tenteram di sebuah desa terpencil sebagai seorang petani yang tidak berpenghasilan? Ah. engkau membuat kami berdua jadi sibuk mencarimu . . . .
Dengan mengerinyitkan dahinya. Sebagai seorang panglima perang yang berpengalaman. Ia sadar akan ancaman bahaya. Perlahan lahan ia meletakkan gelasnya dan memandang tajam kepada tetamunya. Sejenak kemudian, teringatlah dia siapa mereka sesungguhnya. Tatkala dirinya memasuki istana untuk menyerahkan surat kepercayaan. kedua orang itulah yang menyambutnya. Yang pendek kecil memperkenalkan dirinya dengan nama: Anila. Yang tinggi semampai bernama: Dumba. Tentunya mereka temasuk perwira-perwira kepercayaan raja. Karena itu mereka bersikap congkak.
Jagadpati mendehem beberapa kali. Menyahut:
- Ah. kukira siapa? Tak tahunya. tuanku Nila dan Dumba. Apakah maksud kedatangan tuan-tuan besar yang terhormat ini? Silahkan duduk!
Nila tertawa tinggi lagi. Dengan memanggut-manggut dia menjaWab:
- Syukurlah, tepat sekali tuan mengenal kami berdua. Pantas, Sri Baginda memuji kegagahanmu. Tiga kali, kami diutus mencarimu. Tiga kali pula, kami gagal. Siapa mengira, tuan hidup senang di tempat terpencil ini. Kukira, tuan sudah berangkat pulang ke Jawa. Memang, tiada undang-undang yang melarang, tuanku akan menetap di sini. Apalagi Sri Baginda berkenan di hati. Hanya saja, apa sebab tuan tidak lebih baik mengabdi ke duli Baginda? Baginda akan segera mengangkat tuan menjadi salah seorang panglimanya.
Jagadpati menatap wajah kedua tetamunya dengan mata berkilat-kilat seolah ingin mengetahui isi perut mereka. Sebab ia tahu dengan pasti, bahwa dirinya belum pernah bertatap muka dengan Sri Baginda.
Apa sebab mereka mengoceh tak keruan tentang pendapat Sri Baginda mengenai dirinya?
Anila yang berkepala besar itu. tertawa haha hehe lagi.
Temannya yang berparas tawar kemudian menyambung:
- Benar! Pada saat ini lalu lintas dunia sudah terbuka lebar, Perahu-perahu Kerajaan Nubia. Aksum. Calukia. Pallawa. Sri Dhannaraja sudah sering berlabuh di sini. Semuanya itu. mencanangkan tanda bahaya.
Ibarat harimau tersentak dari tidurnya teringatlah SriBaginda akan kegagahan tuan. Tuhan yang bijaksana mengirimkan tuan terdampar sampai kemari. Apa lagi maksud Tuhan itu. kalau bukan demi membantu perkokoh kerajaan Sriwijaya? Maka bisa dimengerti apa sebab Sri Baginda tidak akan membiarkan tuanku pulang ke Jawa.
- Tuanku berdua. dengarkan kata-kataku! -tungkas Jagadpati.
- Tuanku berdua salah tafsir mengenai diriku. Aku mengetahui dengan mata kepalaku sendiri, bahwa Sri Baginda tidak hanya didampingi para menteri yang bijaksana dan pandai saja tapipun didukung oleh ribuan panglima perang yang pandai. Apakah arti manusia tak berguna seperti diriku ini? Aku sudah tua. Tulang-tulangku telah keropos. Otakku bebal pula. Mustahil, Sri Baginda berkenan memikirkan diriku yang tiada harganya sepeserpun jua. Kecuali itu kata-kata tuan tidak masuk akal. Kerajaan Sriwijaya pada dewasa ini aman sentausa makmur dan sejahtera. Apalagi kudengar. Sri Baginda hendak berbesanan dengan Raja Syailendra. Apalagi yang dipermasalahkan? Musuh? Musuh yang mana? Musuh dari seberang lautan yang kau katakan tadi. barangkali? Sungguh tidak masuk akal. Taruh kata. mereka datang dengan membawa seratus duaratus kapal. Tetapi karena sudah kehilangan tenaga oleh perjalanan jauh, akan menjadi makanan empuk bagi bala tentara Sriwijaya yang terkenal tangkas gagah perkasa. Apakah karena raja tuan menaruh curiga terhadap maksud baik Sri Baginda Purnawarman? Sri Baginda mengirimkan Duta Lembu Seta demi memperkokoh ikatan persahabatan. Mengapa maksud baik itu, tidak berkenan di hati rajamu? Mengapa pula membuat susah Duta Raja Besar sehingga sampai kini tiada kabar beritanya?
- Membuat susah? Siapa yang membuat susah? Nila terbelalak heran.
- Kau maksudkan raja kami menahan atau menyekap duta Raja Purnawarman? Oh. tidak! Sama sekali. tidak! Tuan salah duga.
- Kalau tidak. mengapa tidak memberi keterangan yang jelas padaku? Sekarang di mana dia berada? -bentak Jagadpati.
Dumba yang berparas tawar, tertawa terbahak-bahak. Sahutnya sambil mendongakkan kepalanya:
- Katakan terus terang saja! Kau ingin mendengar beritanya?
Jagadpati tidak menjawab. Akan tetapi pandang matanya menyala bagaikan seekor harimau hendak menerkam mangsanya.
- .... Tuanku Jagadpati. - Kata Dumba dengan menurunkan pandang matanya.
- Kami berdua adalah orangorang militer. Isi perut kami lurus seperti isi perut tuan. Kami tidak biasa berputar lidah. Maka kukatakan dengan sebenarnya bahwa raja kami tidak membuat susah duta Raja Purnawarman. Dia hanya diamankan untuk sementara.
- Diamankan? Dipenjarakan, maksudmu? -potong Jagadpati.
- Bolehlah kau berkata begitu. sahut Dumba setelah berdiam sejenak.
- Tetapi selanjutnya. coba pertimbangkan lagi yang lebih seksama. Sebentar tadi aku membicarakan masalah canang bahaya. Sebenarnya bahaya itu bukan datang dari negeri-negeri jauh yang kusebutkan. Tetapi justru negeri tetangga yang lebih dekat. Bukan negeri tuan
Taruma Nagara, tetapi kelompok penguasa yang bermukim di Chaiya. Itulah dinasti Syailendra. Sekarang putera Mahkota Raja Syailendra berkenan melihat kecantikan Puteri raja kami. Ayahnya segera meminangnya dan berharap akan berbesanan dengan raja kami. Tuan pasti sudah dapat menebak delapan bagian makna perkawinan ini. Ya. apalagi tuan seorang panglima kerajaan besar. Sedang rakyat jelata saja, sudah dapat menebak akal licik kaum Syailendra. Nah selagi urusan itu memusingkan Sri Baginda. datanglah Duta lembu Seta. Kedatangan Duta tuan. sungguh menggembirakan hati Baginda. Tetapi apakah demikian pula halnya kaum Syailendra? Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka Duta Lembu Seta diamankan untuk sementara waktu.
- Hm, dimana tuanku lembu Seta kini berada?
Jagadpati tak sabar.
- Sabar dahulu! - sahut Dumba.
- Aku tadi membenarkan kata-kata tuan. Sebab dibalik itu, sesungguhnya Sri Baginda mempunyai maksud terselubung. Dengan sengaja, Sri Baginda menahan Duta Lembu Seta. Tentunya, Sri Baginda Purnawarman tidak akan tinggal diam. Perhitungan beliau ternyata tidak meleset sedikitpun. Buktinya, tuan datang untuk mengurusnya. Dan tentunya. tuan adalah seorang panglima andalan Kerajaan Taruma Nagara. Sekiranya tidak. mustahil tuan mendapat kepercayaan besar dari raja tuan untuk menilik keselamatan dutanya
- Kau berkata, isi perutmu'lurus seperti isi perut perajurit sejati. Ternyata isinya hanya usus yang melingkar lingkar tak keruan juntrungnya. Jagadpati mulai mendongkol.
- Sebentar engkau menggunakan istilah diamankan. Sebentar pula, menyinggung-nyinggung tentang perhitungan yang tepat. Perhitungan tentang apa? Hai, sebenarnya apa maksud kalian datang kemari? Kalian membawa-bawa nama Sri Baginda. Padahal semenjak datang kemari, belum pernah sekalijua aku bertatap muka. Kapan? Bukankah Sri Baginda sedang gering? Karena alasan itu pulalah aku memutuskan untuk menunggu sampai diperkenankan menghadap. Atau apakah mulut orang-orang Sriwijaya memang tak ada harganya untuk didengarkan?
Hebat kata-kata Jagadpati. Dia tidak hanya mengengkau saja tetapi setiap ucapannya membawa nada tajam luar biasa. Wajah Dumba merah padam seperti kepiting terebus. Syukur, Anila masih juga pandai membawa diri.
Dengan tertawa hahahehe,menyahutlah dia:
- Dumba! Rupanya kita harus menerangkan masalah ini sejelas-jelasnya untuk menghindarkan salah faham.
- Kau terangkanlah! - ujar Dumba pendek.
Kembali lagi Anila tertawa haha hehe, lalu berkata menguasai diri:
- Kawan aku bisa mengerti keadaan hatimu menghadapi masalah pelik ini. Sriwijaya memang kuat dari luar, tetapi sebenarnya retak di dalam. Tahukah engkau, bahwa Raja kami sebenarnya sudah tertawan musuh semenjak belasan tahun yang lalu?
Jagadpati tercengang sampai kedua alisnya berdiri tegak
- Kau dengarkan ceritaku ini sampai selesai! Cerita turun temurun dari leluhur yang sebenarnya membawa pesan sandi. Anila meneruskan.
- Dahulu, entah pada jaman apa, tersebutlah seorang kesatria gagah perkasa bernama Dapunta Hyang. Kabarnya, dia berasal dari Minanga Tamwan. Dia datang dengan membawa perahu dan kapal berisikan dua ribu tentara. Daerah Matayap digempurnya. Lalu membangun sebuah kerajaan, setelah menaklukkan pula beberapa daerah. Dan kerajaan itu adalah Sriwijaya kita.
- .. Hm, lalu apanya yang penting? -potong Jagadpati dengan hati sebal.
- Dengarkan dahulu yang seksama! Bukankah mengandung keanehan?
- Apanya yang aneh?
- Dapunta Hyang dikabarkan datang dari Minanga Tamwan. Tahukah engkau dimana beradanya Minanga Tamwan?
- itu urusanmu sendiri! Apa hubungannya denganku.
- Benar. Tetapi sebagai seorang panglima. bukankah engkau berkewajiban memiliki pengetahuan Kawasan Nusantara? -tungkas Anila. Lalu meneruskan:
- Dia membawa dua ribu tentara. Jumlah dua ribu itu selalu diulang-ulang. Mustahil engkau tidak dapat menebak makna cerita leluhur itu.
Merasa direndahkan. terpaksa Jagadpati menaruh perhatian. Benar. pikirnya. Jumlah dua ribu itu, bukan sedikit. Apalagi harus mengarungi lautan. Artinya, dia harus membawa puluhan perahu.
Berapa tahun dia mempersiapkan rencana penyerangan itu?
Kecuali membutuhkan ketekunan kesabaran dan perhitungan rumit harus melalui perencanaan yang matang. Paling tidak. Dapunta Hyang membutuhkan waktu lima sampai sepuluh tahun. Belum lagi soal perbekalan obat-obatan, makan minum dan persenjataannya.
Anila seperti dapat membaca pikiran Jagadpati. Maka dengan tertawa haha hehe lagi. ia berkata:
- Memang benar! Penyerbuan itu. tidak mudah dilakukan dengan rencana untung-untungan belaka. Diapun harus memperhitungkan makan-minumnya. Kukira. perbekalan itu mustahil dapat terangkut dengan perahu perahunya sekaligus. Resikonya terlalu besar. Kalau begitu, jelas sekali dia mengandalkan bantuan dari darat. Bantuan yang
berada di daratan Suwarnadwipa. Siapa lagi. kalau bukan penghianat-penghianat yang sudi menghambakan diri kepada orang asing. Celakanya. kita ini temasuk salah satu keturunan orang-orang yang tidak mempunyai harga diri itu. Darah kita yang mengalir dalam tubuh adalah keturunan darah penghianat. Maka terjadilah peristiwa seperti sekarang ini.
- Peristiwa apa?
Baik Anila maupun Dumba tidak segera menjawab. Mereka menyenak nafas beberapa saat lamanya seperti seseorang yang sedang menelan makanan yang mengganjal dalam kerongkongannya.
- Tahukah siapa gelar raja kita? akhirnya Anila mulai lagi.
- Sri Baginda Dharmajaya. sahut Jagadpati dengan suara pasti.
- Betul. Tapi tahukah engkau. siapa Raja Muda Dharmaputera? Tatkala engkau tiba di istana, diapun hadir. Itulah sebabnya, kami semua menutup mulut.
- Apa sebab?
- Inilah soalnya. tungkas Anila.
- Seperti kukatakan tadi, cikal bakal negeri kita ini datang dari negeri entah betentah. Katakan saja dari Siam. Kalau dia berhasil membangun sebuah kerajaan yang makmur sejahtera di negeri orang, bukankah orang lain boleh berangan-angan demikian pula? Nah, dialah orang-orang Chaiya. Orang-orang yang mendirikan kerajaan di sepanjang teluk Banden. Karena sesungguhnya mereka termasuk anak keturunan cikal bakal raja Sriwijaya, maka merekapun diperkenankan bermukim di sini. Mula-mula sebagai hamba sahaya. Lalu meningkat menjadi pembantu-pembantu penting di segala bidang pemerintahan. Dan setelah melalui kurun waktu dua atau tiga abad. mulailah anak keturunan mereka memduduki jabatan-jabatan penting. Di antaranya ada yang menjadi Raja Muda yang memerintah sebuah wilayah, seperti Raja Muda Dharmaputera. Mereka kemudian mengadakan persekutuan untuk merebut tahta kerajaan. Tentunya engkau belum mengetahui masalah ini.
- Benar. Andaikatapun aku mengetahui, juga bukan menjadi masalahku. Kalian lupa, bahwa aku adalah hamba Kerajaan Taruma Nagara yang terletak di seberang negeri Sriwijaya. -jawab Jagadpati.
- Jenderal! ujar Dumba dengan suara nyaring.
- Kamipun tahu. bahwa engkau salah seorang panglima terkenal Kerajaan Taruma Nagara. Tetapi kalau masalah ini menyangkut pula keselamatan Duta Lembu Seta bukankah engkau tidak akan berpeluk tangan saja?
- Apa? Jagadpati terperanjat.
Tetapi pada detik itu pula ia menguasai gejolak hatinya sehingga wajahnya nampak tenang kembali.
- Raja Dharmajaya sengaja menahan Duta Lembu Seta dengan maksud baik. Yang mulia Dua Lembu Seta ditempatkan di sebuah istana terpencil. Dengan penjagaan ketat demi menjaga keselamatannya. Hal itu tidakkah menjadi halangan. bukan? Sebab menurut kabar, Duta Lembu Seta pernah menetap selama lima tahun di Kutai dengan tak kurang suatu apa.
- Ya, tetapi laporan-laporannya sampai ke duli Baginda.Tetapi kali ini.... ,
- Kali ini memang diusahakan jangan sampai terjadi demikian.
- Mengapa? bentak Jagadpati.
- Terus terang saja. Raja Dharmajaya mengharapkan Sri Baginda Purnawarman mengirimkan angkatan perang untuk menuntut bela. Bila hal itu terjadi, akan terkikislah persekutuan Raja Muda Dharmaputera. Raja kami percaya, bahwa Sri Baginda Purnawarman akan dapat dijelaskan permasalahannya. Tetapi . . .
- Tetapi apa?
- Yang datang hanyalah engkau seorang dengan dua pengiring. Meskipun demikian. lihat! - ujar Anila sambil memperlihatkan sehelai kertas yang tergulung rapih.
- Inilah firman Sri Baginda. Sri Baginda mengangkat engkau sebagai Komandan Pengawal Peribadi. Bagaimana? Bukankah Sri Baginda menghargai kedudukanmu?
Mendengar keterangan itu, wajah Jagadpati merah padam. Tangan kanannya menggempur meja sambil berteriak nyaring:
- Meskipun aku bukan orang yang pandai berpikir, jelek-jelek mempunyai otak. Bukankah diriku akan dipersamakan pula seperti Yang Mulia Lembu Seta, agar kerajaan kami mengirimkan angkatan perangnya? Hm, hm . . . . . kalian bermimpi di siang hari bolong!
Anila melompat dari tempat duduknya. Berkata garang:
- Baiklah, engkau memang mempunyai kesetiaan terhadap rajamu. Tetapi bagaimana dengan nasib Duta Lembu Seta?
- Kenapa? Selama Jagadpati masih bisa bernafas. tidakkah kubiarkan rajamu mengganggu sehelai rambutnya.
- Bagus! Legakan hatimu. kawan! Sri Baginda tidak akan berbuat serendah itu. Tetapi bagaimana dengan Raja Muda Dharmaputera yang sudah bersekutu hendak merobohkan kekuasaan raja? Bila dia sampai dapat merebut tahta, siapakah yang akan menjamin jiwanya?
- Apakah dia mempunyai keberanian untuk menghabisi jiwa duta Kerajaan Taruma Nagara?
- Kenapa tidak? -sahut Anila cepat.
- Taruh kata, negerimu mengirimkan angkatan perangnya dan berhasil menghancur leburkan kerajaan Sriwijaya diapun tidak merasa kehilangan. Karena dia orang Syailendra.
Jagadpati tergugu. Alasan Anila masuk akal juga. Memperoleh pikiran demikian, hatinya berdebaran dan wajahnya berubah pucat. Berbagai pertimbangan berserabutan di dalam benaknya. Tak dikehendaki sendiri ia bergidik dengan mulut terkatup rapat.
Hebat sekali, bila hal itu terjadi!
Selagi demikian, telinganya yang tajam mendengar langkah ringan mendekati halaman rumahnya. Seperti berjanji. Anila dan Dumba melompat di balik ambang pintu. Dua orang perwira yang mengenakan seragam laskar Syailendra memasuki halaman rumah dengan sebilah pedang tergantung di Pinggangnya
- Hai! Apakah benar-benar Sri Baginda memperhatikan diriku? Tak pernah kuduga, bahwa pada hari ini aku kedatangan dua rombongan tetamu.
Dengan sebat. Anila menyambar gulungan kertas firman raja dan dimasukkan di balik bajunya. Lalu berbisik kepada Jagadpati:
- Jenderal! Selamat atau celaka tergantung belaka kepadamu.
Setelah berbisik demikian. ia lari bersembunyi di balik tirai kamar diikuti Dumba. Menyaksikan hal itu, Jagadpati tercengang. Kemudian dengan pandang mata berteka-teki, ia mengamat-amati topi pembungkus kedua perwira pendatang itu yang berwarna merah menyala. Tiba-tiba teringatlah dia siapakah mereka.
Bukankah mereka perwira pengawal Raja Muda Dharmaputera yang tidak pernah beranjak dari tempatnya tatkala dia berada di istana hendak menghadap raja?
Oleh ingatan itu ia menyambut tetamunya dengan tertawa lebar.
- Tuan-tuan berkenan mengunjungi gubuk kami yang
reyot ini? sambutnya dengan suara ramah.
- Ah. tak usahlah jenderal terlalu merendahkan diri. sahut perwira yang berada di sebelah kanan temannya.
- Perkenalkanlah, aku perwira rendahan yang kebetulan bernama Prem.
- Dan aku disebut dengan nama: Samrin. perwira yang lain memperkenalkan diri.
Jagadpati tahu, mereka berdua sesungguhnya berkedudukan tinggi. Barangkali pangkatnya lebih tinggi setingkat daripada Anila dan Dumba. Karena itu, cepat cepat pula ia membawa diri:
- Kedatangan jenderal Prem dan Samrin benar-benar mendebarkan hati kami.
- Ah, janganlah membahasakan diri dengan kami. Bukankah kita sama-sama penduduk kawasan Nusantara? tungkas Prem dengan tertawa lebar.
- Hanya selintasan saja, kami berdua bertatap muka dengan jenderal. Meskipun demikian. peribadi tuan sangat mengesankan.
- Ah, aku hanya seorang dusun di negeriku. Maksudku, aku berasal dari dusun. Itulah sebabnya, aku memilih hidup bercocok tanam sambil menunggu perkenan Sri Baginda untuk datang menghadap.
Prem berpaling kepada Samrin. Kemudian mereka berdua membungkuk hormat kepada Jagadpati dengan berhareng. Jagadpati terkejut. Cepat ia melompat ke samping seraya berkata:
- Hai! Apakah artinya ini?
- Mulai sekarang, kita adalah jenderal-jenderal dari suatu kerajaan yang menjanjikan kemakmuran dan kesejahteraan. Karena pengalaman kami berdua masih dangkal maka nasehat jenderal sangat kami harapkan. Jelasnya. tuan adalah komandan kami. Nah. terimalah hormat kami berdua. Ujar Prem.
Jagadpati tersirap darahnya. Pada detik itu pula, ia bingung tak tahulah ia. apa yang hendak dilakukannya. Selagi demikian. Samrin mengeluarkan firman rahasia junjungannya.
- Jenderal! Perkenankanlah jenderal mendengarkan bunyi keputusan junjungan kami. katanya.
- Siapa? pikir Jagadpati di dalam hati.
Mengapa ada firman lagi?
Memikir demikian ia menjawab:
- Jenderal Samrin! Aku adalah seorang perantau. Baiklah katakan saja yang lebih jelas. Aku adalah utusan raja yang bertahta di pulau Jawa. Apakah hubungan surat firman ini denganku? Mohon, tolong jelaskan! kehadapan duli tuanku. Aku datang kemari diutus untuk membawa pulang Duta Lembu Seta. '
Diluar dugaan, tiba-tiba Prem dan Samrin tertawa dengan berbareng seolah-olah mendengar suara badut sedang mengocok perut. Kata mereka hampir berbareng pula:
- Firman ini datang dari raja kami yang baru. Firman Sri Baginda Dharmaputera.
Raja Dharmaputera?
Jagadpati terperanjat.
- Kenapa? sahut Samrin dengan suara tinggi.
- Aku tak tahu. apakah Jenderal benar-benar tidak mengenal beliau atau hanya berpura-pura. Tahta ini adalah milik Sri Baginda turun-temurun. Raja Dharmajaya adalah seorang raja seumpama buah pohon cangkokan. Sebaliknya Sri Baginda Dharmaputera adalah sebatang pohon yang asli. Kakek moyang Raja Dharmajaya adalah orang pelarian dari negeri asal. Sebaliknya. Sri Baginda Dharmaputera adalah keturunan asli negeri asal yang memikul tugas membersihkan kotoran-kotoran sejarah yang memalukan. Karena itu, sudah semestinya Sri Baginda memperoleh
dukungan dari para menteri dan jenderal-jenderal angkatan perang Sriwijaya. Sebenarnya. Sri Baginda dengan mudah dapat mencabut jiwa Dharmajaya. Tetapi demi menjaga keresahan rakyat, penyerahan dan peralihan pemerintahan hanya dikabarkan seolah-olah berbesanan. Bukankah mulia hati Sri Baginda? Terhadap raja demikian. siapapun bersedia mengabdi dengan setia. Maka teringatlah Sri Baginda masalah Duta Raja Purnawarman dan jenderal yang memikul tugas untuk membawa pulang. Demi menghormati makna persahabatan, dengan hati lapang tuan diangkat menjadi Panglima Besar yang mengepalai angkatan perang. Cobalah baca sendiri bunyi firman ini.
Jagadpati tertawa terbahak-bahak.
Ajaib!
Sungguh ajaib dan menggelikan!
Siapapun yang mau menggunakan pikirannya sedikit saja akan segera terbangun rasa curiganya.
Betapa tidak?
Sebab apapun alasannya. Jagadpati adalah orang asing, hamba seorang raja Jawa.
Muslihat apakah yang sedang bermain di belakang firman itu, sampai dirinya dilibatkan dalam suatu percaturan negara lain. Kecuali tiada sangkut-pautnya, tidak memiliki saham sama sekali. Sekarang tiba-tiba diangkat dengan begitu saja, menjadi Panglima Besar yang menguasai
Angkatan Perang.
Hai! Apakah dirinya hendak dijadikan dalih pemusuhan antara Sriwijaya dan Taruma Nagara?
Kalau benar demikian tentunya pada saat itu kepalanya sudah terpisah dari tubuhnya tatkala hendak mulai bekerja.
Atau dirinya akan dijadikan umpan dan alat ekspansi ke Taruma Nagara?
Teringat akan kata-kata Anila dan Dumba tentang asal usul orang Chaiya itu, ia tiba pada kesimpulan demikian. Seketika itu juga, berkatalah ia menyindir:
- Rupanya rajamu yang baru itu kekurangan orang sampai keliru membagi rejeki.
Samrin dan Prem mendongkol bukan main sampai
wajahnya berubah hebat. Tetapi sebagai perwira yang biasa melayani atasan demi mengambil hati. dapatlah mereka membawa sikapnya yang tenang. Sambil menggulung kertas firman raja. Samrin berkata:
- Jadi sudah jelas. bukan?
- Apanya yang jelas? bentak Jagadpati.
- Bahwa surat ini adalah firman Raja Sriwijaya yang baru. Sri Baginda Raja Dharmaputera. Dan tuan sudah mengetahui dengan jelas pula akan maksud Sri Baginda yang mulia.
Samrin menekan-nekankan tiap patah katanya.
- Kalau begitu, tuan akan mendapat kesukaran. Sedang raja yang lama saja. kini berada dalam pengasingan. Apalagi Duta Lembu Seta saat ini terpaksa mendekam di penjara Lamuri. Tuan tahu letak kota Lamuri? Kota itu terletak di ujung utara Suwarnadwipa. Bagaimana tuan bisa membawa dia pulang ke kampung dengan selamat?
- Jadi Yang Mulia Duta lembu Seta kalian tawan di kota Lamuri?
Jagadpati menegas dengan wajah merah membara.
Baik Samrin maupun Prem, tidak menjawab. Setelah menyimpan surat Firman, mereka membungkuk hormat. Tiba-tiba kedua tangan mereka bergerak dan menyerang dengan tenaga dahsyat. Rupanya mereka sudah diperintahkan raja untuk menghabisi jiwa Jagadpati, apabila dia menolak pengangkatan itu.
Serangan itu dilakukan dengan tiba-tiba dan sama sekali tak terduga. Syukur, sebagai seorang panglima yang berpengalaman, semenjak tadi Jagadpati sudah mencium adanya ancaman bahaya. Meskipun bersikap tenang. sebenarnya ia selalu bersiaga. Melihat gerakan tangan lawan dengan cepat ia menangkis.
Bres!
Kedua tenaga saling berbenturan. Yang satu menyerang. Yang lain bertahan.
Akibatnya Samrin dan Prem terpelanting menumbuk pintu.
- Jahanam rendah! maki Jagadpati.
- Kalian hendak membunuh utusan raja?
Sebat luar biasa. Samrin menghunus pedangnya dan disabetkan ke arah pundak lawan. Jagadpati mengibaskan tangannya.
Prak!
Samrin tercengang.
Apa sebab pedangnya tak mampu memapas tangan Jagadpati?.
Apakah Jagadpati kebal dari senjata?
Teringatlah dia akan kabar berita, bahwa laskar Jawa Dwipa kebanyakan kebal dan sakti. Sekarang ia membuktikan dengan mata kepalanya sendiri.
- Prem! -teriaknya.
- Manusia ini tak mempan terpangkas pedang.
Jagadpati menggerung. Dengan membalikkan tangannya ia merebut pedang Samrin. Samrin tak sudi kehilangan pedangnya. Dengan mati-matian, ia mempertahankan. Tetapi ia kalah tenaga. Genggaman tangannya pecah dan darahnya membasahi hulu pedang.
Prem melompat hendak menolong temannya. Dengan mantram saktinya, ia melepaskan pukulan dari jauh. Jagadpati tidak beranjak dari tempatnya. Sambil tetap menarik pedang Samrin, ia menyongsong pukulan sakti Prem dengan pukulan sakti pula.
Bres!
Sekali lagi, Prem terpental mundur dan terbanting di atas lantai.
- Samrin, jangan takut! Dia sudah terkena pukulanku. teriak Prem membesarkan hati rekannya.
Namun pada saat itu. Samrin sudah kehilangan pedangnya. Takut akan pembalasan lawan ia menggulingkan diri. Ternyata Jagadpati tidak sudi membiarkannya bebas dari ancaman. Panglima Taruma Nagara itu melompat dan menendang iga-iga.
Mati aku!
Samrin berteriak memilukan. Kemudian
ia mengerang kesakitan. ternyata iganya patah lima batang. Prem dengan cepat memotong gerakan kaki Jagadpati. Diluar dugaan, Jagadpati gesit luar biasa. Tangan kirinya mengibas dengan disertai kesiur angin.
Prem terkejut bukan main. Tak pernah ia bermimpi, bahwa panglima Taruma Nagara itu benar-benar gagah perkasa. Tenaganya bagaikan gugur gunung. Kesiur angin kibasan tangan Jagadpati mengenai mukanya. Rasa panas dan pedih bercampur aduk seperti seorang terjerumus ke ke dalam tungku air yang mendidih di atas unggun api.
- Samrin. cepat bangun! Desak dia dari belakang! - ia berteriak kacau.
- Benar! Apapun jadinya, dia harus mampus! Kalau tidak, kita tidak mempunyai hari depan. sahut Samrin. Tetapi lain di mulut. lain pula gerakannya. Karena iga-iganya patah lima batang, tak sanggup lagi ia bergerak dengan leluasa. Pada saat itu. Jagadpati menggeram bagaikan harimau terluka. Tangan kanannya memapas, sedang tangan kirinya yang membawa pedang rampasan menusuk Prem. Samrin menjatuhkan diri dan menghampiri diambang pintu dengan langkah terhuyung-huyung. Tahu-tahu,Jagadpati sudah berdiri dengan gagahnya di tengah pintu.
- Binatang! Kau mau melarikan diri? bentaknya.
- Apa sebab kalian menyerang tanpa alasan? Siapa yang menyuruh kalian berbuat serendah ini?
Prem tertawa terbahak-bahak. Sahutnya:
- Masih saja engkau berkaok-kaok dengan pertanyaan setolol itu? Kau berani menolak bunyi firman. Apakah kau kira yang menanda tangani firman itu akan tinggal diam saja menerima penghinaanmu? Jangan lagi hanya menghadapi engkau seorang. Panggillah seluruh angkatan perangmu kemari! Darah dan bangkai mereka akan berserakan memenuhi persada bumi ini, hanya oleh sepatah kata perintahnya. Kau ingin tahu. siapa gerangan Sang mahakuasa itu? Dialah raja kami. Sri Baginda Dharmaputera yang kini menguasai bumi dan lautan kerajaan Sriwijaya.
Prem dan Samrin, sebenarnya bukan orang lemah. Mereka termasuk jajaran perwira tinggi. Pada jaman dahulu. seseorang tidak mudah mencapai kedudukan perwira. Apalagi setinggi kedudukan mereka berdua. Sebab dia harus melalui ujian-ujian berat sengit dan bersaing dahulu. Tidak hanya kepandaian jasmaniah semata yang diujikan. tetapi otaknyapun harus terang. Di kemudian hari, apabila dia memiliki ilmu-ilmu sakti dan mantra-mantra gaib, atau jimat-jimat yang dapat menunjang kegagahannya, barulah ada harapan untuk naik pangkat. Makin tinggi ilmu saktinya, pangkat dan kedudukannya akan menanjak dengan cepat. Demikian pulalah syarat-syarat yang sudah dilalui Prem dan Samrin, sehingga mereka kini berpangkat perwira tinggi. Bahkan perwira tinggi yang menjadi kepercayaan raja. Tentunya sesudah menjatuhkan dan mengalahkan saingannya. Maka dapat dimengerti. apa sebab mereka membawa adatnya yang congkak dan meremehkan orang. Juga terhadap Jagadpati salah seorang perwira tinggi kerajaan Taruma Nagara. Tetapi kali ini, mereka menumbuk batu. Mereka tak pernah berpikir, bahwa Jagadpati sesungguhnya termasuk jajaran pendekar nomor satu di negerinya. Itulah sebabnya pula. dengan sekali gempur, ia dapat menjungkalkan mereka dengan mudah. Tulang rusuk Samrin patah lima batang, sedang Prem terbanting di atas lantai nyaris pecah kepalanya.
Sekarang sadarlah mereka, bahwa Jagadpati tak dapat disamakan kepandaiannya dengan perwira-perwira yang pernah dikalahkannya. Tetapi agaknya sudah kasep. Dipihaknya hanya Prem seorang diri yang masih dapat bergerak dengan leluasa. Menyadari akan hal itu, Prem kemudian memutar lidahnya. Ia berbicara berkepanjangan dan menusuk perasaan untuk memecah perhatian lawan. Di dalam hati ia berharap moga-moga Samrin mengerti maksudnya. sehingga dapat menggunakan kesempatan itu sebagus-bagusnya.
Samrin rupanya mengerti maksud Prem. Meskipun rasa sakit nyaris tak tertahankan lagi. Namun tangannya masih dapat bergerak dengan leluasa. Diam-diam ia mencabut sumpitnya dan menulupkan butiran-butiran beracun. Pikirnya, Jagadpati boleh kebal dari sekalian senjata, tapi masakan tidak mempan tertulup peluru berbisa?
Hatinya lega tatkala melihat Jagadpati tergeliat kaget. Tetapi akibatnya hebat juga. Jenderal yang gagah perkasa itu menggeram seperti seekor harimau terjebak dalam perangkap. Dengan sekali bergerak, kaki kirinya menendang dada Prem. Kemudian melompat menerkamnya. Tahu-tahu lengannya kena sambar dan patah dengan suara bergemeretak.
- Aduh!
Samrin memekik setinggi langit. lengannya tidak hanya patah tetapi meretakkan pula tulang pergelangan tangan. Dapat dimengerti apa sebab dia mengerang kesakitan. Meskipun demikian, oleh rasa penasaran masih bisa ia mengisiki temannya.
- Desak terus! Dia sudah kena peluru racunku. Satu jam lagi, dia pasti mampus!
- Jahanam! maki Jagadpati.
- Kalian benar-benar manusia rendah. Di negeriku tidak ada ada seorang perwira tinggi bermain racun. Rupanya kalian ingin menjual darahku demi menaikkan pangkat. Bagus! Tetapi jangan tergesa berangan-angan semuluk itu! Sebelum mati, akupun masih sempat mencabut jiwa kalian. Lihat!
Jagadpati berputar hendak melepaskan pukulan berantai. Ia sudah memutuskan hendak membunuh mereka
berdua betapapun akibatnya. Karena itu. Ia memusatkan seluruh tenaganya. Selagi demikian. tiba-tiba ia mendengar peringatan nyaring yang datang dari halaman depan.
- Jenderal, awas!
Pada saat itu, ia melihat berkelebatnya bayangan di belakang punggungnya. Tak sempat lagi ia mengelak.
- Bluk!
Suatu tenaga gabungan yang kuat luar biasa menghantam pundaknya. Kuda-kudanya gempur dan ia terhuyung hampir menumbuk dinding. Siapa yang memukul dirinya secara curang. Garang ia menoleh.
Ah, ternyata Anila dan Bumba.
Mengapa mereka tiba-tiba memusuhinya?
Bukankah majikan mereka kini menjadi tawanan majikan Prem dan Samrin?
Anila dan Dumba ternyata manusia licik. Dengan penuh perhatian, mereka mendengarkan percakapan Jagadpati dan utusan Raja Muda Dharmaputera dari belakang tirai. Kini mereka tahu, bahwa Raja Muda Dhrmaputera sudah berhasil merebut tahta. Bahkan Raja Dharmajaya diasingkannya pula. Artinya, Raja Muda Dharmaputera kini benar-benar sudah menjadi penguasa Tunggal yang memerintah kerajaan Sriwijaya. Pada detik itu pula, mereka mengambil keputusan cepat. Raja lama akan ditinggalkannya untuk segera berputar haluan mengabdi kepada majikan baru. Tetapi untuk meratakan jalan mereka harus bermodal jasa yang cukup berharga.
- Raja Dharmaputera semenjak dahulu benci kepada semua utusan dari kerajaan lain, demi menghimpun dan mengobarkan semangat kebangsaan. pikir Anila.
- Duta Raja
Taruma Nagara., dipenjarakan. Dan sekarang, utusannya ternyata diperintahkan pula menghabisi jiwa Jagadpati. Jika aku dapat menghabisi jiwa Jagadpati. jasa ini layak kupersembahkan kepada majikan baru.
Tetapi menyaksikan betapa gagah panglima Taruma Nagara itu, hatinya kecut. Dibandingkan dengan Prem dan Samrin rasanya kepandaiannya sendiri hanya setaraf. Sebaliknya dengan sekali pukul, kedua perwira itu tak
dapat berkutik lebih leluasa lagi.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu bagaimana?
Setelah memeras utak beberapa saat lamanya. ia menemukan jalan keluar yang paling baik. Berkatalah ia di dalam hati:
- Untuk sementara, biarlah aku menjadi penonton dahulu untuk menunggu saatnya yang tepat. Bukankah seekor kucing sering kali berhasil menerkam buruannya dengan berbekal kesabarannya?
Mereka berkelahi seperti harimau. Satu atau dua jam lagi, tentu ada yang mampus. Atau . . . masing-masing akan menderita luka parah. Kalau mereka sudah dalam keadaan demikian, nah barulah aku turun tangan. Prem dan Samrin sebentar lagi tentu mampus. Jagadpati sendiri, tentunya tidak menyangka diriku akan menyerangnya dengan tiba-tiba.
Kalau diapun mampus, siapa lagi yang akan menduduki jabatan setinggi itu, selain diriku?
Ah, Jagadpati!
Relakan kepalamu demi masa depanku!
Demikianlah, Anila menunggu dengan sabar. Diluar dugaan. arena pertarungan jadi berubah. Samrin terkapar dengan lengan dan tangannya yang parah. Sedang Prem terpental merobohkan dinding kamar tempat persembunyiannya oleh tendangan Jagadpati yang dahsyat luar biasa. Mau tak mau, ia harus memasuki gelanggang. Sebab andaikata mereka masih hidup, setidak-tidaknya akan menjadi saksi utama betapa dia membunuh Jagadpati dengan tangannya sendiri.
Memikir demikian secepat kilat ia menerkam kedua pundak Jagadpati dari belakang. Dumbapun rupanya tidak tinggal diam pula walaupun tidak berjanji. jalan pikirannya setali tiga uang. Diluar perhitungannya, mendadak terdengarlah suara peringatan dari luar pintu. Oleh peringatan itu sebat luar biasa Jagadpati berputar dan menggempurkan kedua tangannya.
Bres!
Gempuran tangan Jagadpati
tepat mengenai dada Anila. Sedang Dumba yang ikut-ikut menyerang, kebagian sodokan siku. Ia terhenyak mundur dan pada saat itu di arena pertandingan bertambah seorang yang berberewok. Dialah Mojang yang segera menikamkan pedangnya. Dumba tidak sempat mengelakkan diri. Dengan teriakan tinggi, dadanya tertembus pedang.
- Bagus!
Jagadpati memuji.
- Kedatanganmu tepat sekali.
Setelah berkata demikian. Jagadpati tertawa lega. Memang, dengan munculnya Mojang. kedudukan lawan jadi lemah. Baik Samrin. Prem dan Anila menderita luka parah. Dumba sudah mampus dalam sekali gebrak. Tinggal mereka bertiga kini yang harus menghadapi dua orang lawan tangguh. Mungkin sekali, Jagadpati tidaklah setegar tadi karena dirinya terkena peluru berbisa Samrin. Tetapi Mojang benar-benar dalam keadaan segar bugar.
- Bereskan lainnya! Biarlah aku yang menghadapi orang berkepala gede ini. . ujar Jagadpati.
Kemudian membentak:
- Hai! Mengapa engkau menyerang dari belakang?
Anila yang tergeletak di lantai, mencoba menegakkan badannya dengan melontakkan darah. Memang ia tahu, Jagadpati gagah perkasa. Tetapi tak pernah terbayang di benaknya, bahwa diapun akan mengalami nasib yang sama seperti Samrin. Dengan sekali gempur saja, dia jatuh terkulai. Padahal dia menyerang dari belakang. Hatinya penasaran, mendongkol dan malu. Apa daya, tenaganya kini punah.
- Benar-benar, aku ini binatang tolol! - ia mengutuk diri sendiri.
- Aku terlalu ceroboh. Mengapa tak terlintas dalam pikiranku, bahwa kemungkinan sekali dia dapat menangkis dan membalas. Dengan begitu, bukankah aku dapat berjaga-jaga diri?
Sekarang ia menghadapi bentakan Jagadpati yang
bagaikan guntur. Telinganya sampai terasa pengang, karena hatinya meringkas. Dan tiba-tiba saja. ia merasa diri wajib menjawab. Sebaliknya bila mengaku dengan terus terang. akibatnya bakal hebat. Syukur. otaknya yang licik sekali lagi menolong memberinya jalan keluar. Dengan menuding tubuh Dumba yang sudah tak bernyawa lagi. ia memaksa diri membuka mulutnya. Katanya tersekat-sekat:
- Semuanya ini akibat gara-gara binatang itu! Dialah yang menyuruh aku menyerangmu dari belakang. Syukur, berkata nama besarmu, kawan itu berhasil menembus dadanya dengan sekali gebrak. Kalau tidak, entah apa lagi yang akan dilakukannya.
- Kau bukan anak kemarin sore, bukan budak belian pula. Kaupun seorang perwira tinggi yang tentunya biasa memerintah. Masakan sudi mendengar perintahnya. Kaulah binatang rendah yang tidak mempunyai harga diri. -bentak Jagadpati.
Panglima Taruma Nagara itu menggeram dalam. Rasa marahnya sudah mencapai puncaknya. sehingga rambut dan misainya berdiri tegak. Tiba-tiba ia berpaling kepada Mojang yang tengah menghampiri Samrin. Serunya meledak:
- Jangan kotori pedangmu dengan darah binatang binatang itu!
Rasa marah Jagadpati dilampiaskan kepada Samrin dan Prem yang sudah tak berkutik lagi. Sebat luar biasa tangan dan kakinya bergerak-gerak. Dan mereka mati terjangkung tanpa sempat membuka mulutnya. Tulang belulangnya rontok bagaikan kena gempur dinding baja seratus ton. Menyaksikan hal itu, terbanglah semangat Anila.Manusia licik ini tiba-tiba saja dapat mengambil keputusan luar biasa. Dengan mengorbankan harga dirinya.
terus saja ia merangkak-rangkak seperti anjing takut kena pukul. Dengan suara merintih ia memohon belas kasih. Katanya:
- Jenderal! Eh, tuan jenderal besar . . . ampuni jiwaku. Anila memang binatang kotor yang pantas tuan pukul sampai mampus. Tetapi kali ini . . . ampuni jiwaku. Aku masih mempunyai orang tua. isteri dan anak. Mereka semua masih perlu kuberi makan dan minum. Am . . am . . . .ampuni . . .
- Binatang! maki lagadpati.
- Selama hidupku baru kali ini aku bertemu dengan binatang rendah bermuka orang. Orang seperti engkau ini, hanya hidup untuk mengotori martabat manusia. Aku tadi sudah berkata, sebelum ajalku tiba, masih sempat aku mencabut jiwamu. Sekarang akan kubuktikan.
Mendengar ucapan Jagadpati, Anila merasa kehilangan pegangan. Ia tahu, manusia semacam Jagadpati bukan hanya menggertak saja. Dia akan membuktikan ucapannya. Karena itu, ia putus asa. Justru demikian, timbullah tekadnya. Pikirnya, daripada mati -konyol, apa salahnya mengadu untung. Pada detik itu pula ia memutuskan hendak mempertaruhkan jiwanya. Tadi, ia berani menerkam pundak bukan tanpa alasan. Ia mengandalkan kesepuluh kukunya yang tajam. Kuku yang menyembunyikan bubuk beracun. Jagadpati memang kebal, tetapi ia tergeliat tatkala kena peluru beracun Samrin. Mestinya demikian pula, manakala kena terkam 'kukunya. pikirnya. Sebab bubuk beracunnya akan merusak tubuhnya melalui pori-porinya. Memperoleh keyakinan itu, ia menubruk. Yang diarah kedua kaki Jagadpati yang tidak terlindungi.
Jarak sasaran hanya membutuhkan sekali loncat. karena ia sudah merangkak-rangkak menghampiri Jagadpati untuk mohon belas kasih. Ia berhasil, karena keberaniannya
yang timbul dengan mendadak itu diluar dugaan siapapun. Tetapi, justru demikian kematiannya tiba dengan cepat. Kematian yang didahului dengan suatu penderitaan yang hebat. Sebab. begitu merasa kena racun jahat. Jagadpati kalap. Kedua kakinya mendepak dan menendang. Kemudian ia menyambar pedang Samrin yang tergeletak di lantai. Dengan menggerung ia memangkas kedua tangan Anila lalu menebarkan bubuk beracun yang berada di balik kesepuluh kakinya ke seluruh tubuhnya.
Racun yang merupakan senjata andalan Anila, ternyata mengerikan tata kerjanya. Tiba-tiba saja. Anila kejang dengan menderita kesakitan yang tak tertahankan lagi. Seluruh tubuhnya hitam terbakar. Lalu mereka seperti terobek-robek. Dan setelah memekik-mekik beberapa saat lainnnya, ia mati bermandikan darah yang menyembur deras dari kedua pergelangan tangannya yang terpangkas.
Menyaksikan bekerjanya racun itu, hati Jagadpati tercekat. Sebentar tadi, dia bertahan dan bertempur dengan gagah perkasa. Sekarang. setelah ke-empat musuhnya mati tergeletak kehilangan nyawanya, rasa tegangnya lenyap. Dan terasalah kini reaksi racun yang merusak ke dalam tubuh. Syukur yang terkena racun hanya lengan dan kakinya. Meskipun demikian, mukanya sekarang berubah menjadi pucat dan badannya bergoyang-goyang. Cepat ia merobek lengan dan kakinya yang kena racun. Darah hitam meruap membasahi lantai, ia tidak menghiraukan hal itu dan tidak sudi pula tergoncang semangatnya oleh rasa sakit yang menyengat. Dengan tenang, ia duduk bersila padmasana (salah satu ajaran Yoga). Kemudian mengatur nafas untuk melawan menjalarnya racun.
Mojang yang tertegun menyaksikan adegan dahsyat itu, mencoba memberi pertolongan. Ia hendak mendekat, tatkala mendengar Jagadpati mencegah:
- Takusah! Kau dengarkan saja kata-kataku dengan baik. Racun ini memang jahat, tetapi tidakkan mampu merenggut jiwaku.
Mojang masih saja hendak meraih lengan Jagadpati. Gerakan tangannya terhenti di tengah jalan, karena panglima yang gagah perkasa itu membentak dengan sungguh sungguh.
- Kau dengarkan tidak, kata-kataku? Racun yang sudah terlanjur menjalar ke dalam tubuhku, tidakkah sirna hanya oleh sentuhan tanganmu. Sekarang. lakukanlah perintahku! Geledahlah baju Anila dan Samrin. Di balik bajunya. akan kau dapatkan masing-masing sehelai firman yang ditanda-tangani dua orang raja yang bermusuhan.
Mojang segera melakukan perintah panglimanya. Ia menemukan dua helai kertas Firman itu yang terlindung dalam sehelai bungkus yang terbuat dari kulit kijang. Sekiranya tidak demikian. tentu tidakkan terbaca lagi oleh banjir darah yang membasahi seluruh tubuh penyimpannya.
- Jenderal! Apakah jenderal benar-benar dapat melawan racun ganas itu?
Mojang menegas dengan rasa khawatir.
Jagadpati tidak menjawab. Ia mendengus. Kemudian tersenyum pahit:
- Untung aku masih berkesempatan membedah lengan dan kakiku, sehingga sebagian besar kadarnya sudah mengalir keluar. Meskipun demikian. yang tertinggal di dalam tubuh akan menyita dua pertiga tenagaku. Moga-moga masih dapat aku pulang ke kampung dengan selamat.
Mojang tertegun. Keterangan itu menyatakan, bahwa jiwa Jagadpati terancam bahaya. Seperti gaya seorang Juru Selamat, berkatalah ia memberanikan diri:
- Jenderal! Meskipun tenagaku tidak berarti sama
sekali bila dibandingkan dengan tenaga sakti jenderal. tetapi barangkali masih dapat digunakan untuk membantu memunahkan racun yang mengeram dalam tubuh jenderal
- Lebih baik, simpan tenagamu! jawab Jagadpati cepat.
- Pada saat ini, tenagamu sangat diperlukan untuk menyelesaikan suatu tugas yang jauh lebih penting daripada diriku. Berangkatlah malam ini juga ke lamuri!
- Ke Lamuri?
- Ya. Kau tahu letak kota Lamuri?
- Menurut kabar, berada hampir di ujung utara pulau
- Benar. Jagadpati mengangguk puas.
- Nah. bawalah Yang Mulia Lembu Seta kabur dari penjara.
- Dari penjara? Maksud jenderal, Yang Mulia lembu Seta dipenjarakan?
Mojang, menegas seolah-olah tidak mempercayai pendengarannya sendiri.
Jagadpati mengerutkan dahinya. Dengan sungguh sungguh ia berkata dengan suara dalam:
- Kita tiba di negeri ini pada saat yang kurang tepat. Di sini telah terjadi suatu perebutan kekuasaan. Raja Muda Dharmaputera sudah berhasil merebut tahta Raja Dharmajaya. Kita tak perlu ikut campur tangan urusan dalam negeri orang. Akan tetapi, peristiwa peralihan kekuasaan itu mengancam keselamatan jiwa Duta negeri kita. Karena itu, engkau harus bergerak cepat. Kurasa pada saat ini, kabar peralihan kekuasaan belum tersebar-luas ke seluruh kerajaan. Kalaupun tidak demikian setidak-tidaknya pengaruh raja baru ini belum berwibawa benar. Jadi, keadaan dalam negeri belum menentu. Engkau dapat menggunakan keadaan demikian untuk berbuat sesuatu. Meskipun demikian. engkau harus tetap mempunyai perhitungan. bahwa sesuatunya bisa berubah. Nah. kau kini menggenggam dua firman raja. Bunyinya hampir sama, tetapi yang
menandatangani justru sedang terlibat permusuhan. Bila raja lama yang masih berpengaruh, pergunakanlah kertas Firman yang kau peroleh dari balik baju orang yang sebentar tadi merangkak-rangkak seperti anjing. Sebaliknya bila Raja Dharmaputera yang berpengaruh. kau gunakan kertas firman yang satunya. Mengerti?
Mojang mencoba mengerti. Sejenak kemudian minta petunjuk:
- Jenderal! Baik terhadap Yang Mulia Duta Lembu Seta maupun laskar Sriwijaya, aku akan menghadapi kesulitan. Dengan bekal apakah aku akan meyakinkannya?
- Ambil pedangku di kamar! Nama dan kedudukanku tercantum di hulunya. Terhadap Yang Mulia Duta Lembu Seta. perkenalkan dirimu sebagai salah seorang perwiraku. Demikian pulalah terhadap laskar Sriwijaya. Tetapi menghadapi laskar Sriwijaya, engkau perlu memperlihatkan kertas firman. Kurasa kertas firman itu akan meratakan perjalanan dan maksud kita.
- Tetapi bagaimana dengan jenderal sendiri?
- Jangan kau pikirkan. Aku bisa mengatur diri. Pesanku hanya pendek saja tetapi yang harus kau laksanakan tanpa ragu-ragu. Kau berarti? '
- Apapun perintah jenderal akan kulakukan tanpa ragu-ragu.
- Benar?
- Benar.
- Maukah engkau bersumpah?
- Biarlah aku mati tak berkubur di rantau orang, bila aku mengingkari perintah jenderal. sahut Mojang cepat seolah-olah bunyi sumpah itu sudah tersedia dibibirnya.
Jagadpati tertawa gelak. Wajahnya berseri, tanda hatinya lega. Kemudian mengulangi perintahnya:
- Nah. bawalah pedangku ke sini!
Dengan langkah cepat. Mojang memasuki kamar Jagadpati. Pedang panglima itu tergantung dengan megahnya pada dinding. Sarungnya terbuat dari perak yang nampak kemilau. Pada hulunya terukir nama pemiliknya dengan sebutan Jenderal di depannya.
Hati-hati Mojang menurunkan pedang itu dengan rasa hormat. Lalu di bawanya keluar kamar untuk dihadapkan kepada pemiliknya. Ia melihat Jagadpati duduk bersila seperti patung. Sama sekali dia tak bergerak. Barangkali sedang menghimpun tenaga untuk memunahkan racun ganas yang mengeram dalam dirinya. Tetapi alangkah tercekat hati Mojang, tatkala memperhatikan wajahnya. Wajah yang tadi memancarkan semangat juang. kini berubah menjadi pucat lesi. Kedua matanya tertutup. Panglima yang gagah perkasa itu ternyata tiada lagi di dunia.
Mojang terlongong. Kemudian berlutut dengan menangis sedih. Hatinya terharu bukan kepalang. Tatkala hendak bersujud untuk menyatakan hormatnya. pandang matanya melihat deretan huruf di atas lantai. Itulah tulisan penghabisan panglima Jagadpati yang dikenalnya dan yang ditulisnya dengan tinta darahnya yang menghitam. Bunyinya:
- Perbekalan di bawah tempat tidur. Bakar rumah ini. Lalu cepat berangkat! Membaca tulisan itu, tersentaklah Mojang dari rasa harunya. Teringatlah dia akan sumpahnya. Rupanya pemimpinnya itu sudah mengetahui, bahwa dirinya tidakkan tertolong lagi. Dalam keadaan demikian, masih sempat dia mengikat sumpah kepadanya agar melakukan perintahnya dengan taat, demi tugas yang harus terlaksana. Itulah tugas merebut jiwa duta negaranya dari cengkeraman musuh.
Alangkah gagah dia!
Keperwiraannya tidak mengijinkan dirinya memikirkan kepentingan pribadi.
Ah. benar-benar semangat juang seorang perajurit sejati.
Mojang semakin kagum dan sayang terhadap pribadi pemimpinnya itu. Seketika itu juga bangkit pulalah semangat jantannya. Terus saja ia melangkah memasuki kamar dan mengambil perbekalan yang disebutkan berada di bawah tempat tidur. Ternyata sebuah kantung kulit harimau, berisikan berpuluh batang emas bernilai tinggi.
Tentunya untuk beaya perlengkapan dan perjalanan pikir Mojang.
Sekali lagi Mojang menatap wajah Jagadpati yang angker berwibawa itu. Lalu bersumpah sambil mengangkat pedang Jagadpati di atas kepalanya.
- Jenderal! Pulanglah dengan tenang ke nirwana. Semenjak sekarang, akulah yang akan'merebut jiwa Yang Mulia Lembu Seta dan namamu.
Waktu itu. petang hari telah tiba. Seluruh alam mulai menceritakan kecapaiannya. Angin menghembus lembut, membuai mahkota daun. Suaranya bergemerisik seolah olah ikut menyatakan rasa duka cita atas meninggalnya seorang panglima yang gagah perkasa. Burung-burung tengah kembali ke sarangnya masing-masing dengan suara hingar-bingarnya. Malam hari akan segera datang dengan binatang-binatang yang bergetar lembut di angkasa. Dan bulan mungkin muncul pula untuk menyibakkan kegelapan. Biasanya terdengarlah kemudian kanak-kanak bernyanyi panjang dan pendek. Nyanyian yang membersit dari suara hati yang bersih dari noda.
Mojang masih belum menentukan keputusan kapan ia akan membakar rumah kediaman pemimpinnya dalam perantauan. ingin ia memperoleh kejelasan yang lebih banyak lagi tentang makna perintah pembakaran itu. Apa sebab rumah kediaman ini harus ku bakar, ia mencoba menggerayangi maksud pemimpinnya itu.
Apakah demi
mengalihkan perhatian orang?
Tentunya. kelak akan diketemukan lima sosok tubuh yang terbakar hangus. Meakipun andaikata tidak dikenal lagi yang mengutus mengantarkan kertas firman ini akan segera tahu siapa yang mati terbakar dalam rumah jenderal. Sebab, sudah bukan suatu rahasia lagi, bahwa pemerintah kenal siapa penghuni rumah ini. lalu . . . .
Berpikir sampai di situ, ia merasa seperti memperoleh penerangan hati. Tiba-tiba dapatlah ia memahami makna harus cepat-cepat berangkat ke lamuri. Ia harus berpacu dengan waktu.
Tetapi bagaimana dengan Kadung?
Kadung masih belum dapat menemukan di mana puteri Yang Mulia lembu Seta berada. Kalau ayahnya kini terkurung di dalam penjara Lamuri, tentunya Tilam dalam bahaya pula. ia berkata di dalam hati.
- Sebaliknya, tak boleh aku menyia-nyiakan waktu. Aku sudah bersumpah kepada panglima akan melaksanakan perintahnya tanpa ragu-ragu. Rumah ini harus segera kubakar. Kadung tentu akan mencari keterangan tentang sebab musabab rumah ini terbakar. Tentunya dia tidak akan sembarangan mencari keterangan. Pasti dia datang mencariku di pekerjaan. Kalau begitu, aku akan meninggalkan pesan sandi dahulu kepada seorang teman, sebelum rumah ini ku bakar.
Dengan pikiran itu, ia menutup pintu rumah rapat rapat. Kemudian berangkat ke kota dengan berkuda. Setelah menitipkan surat sandi kepada teman sekerjanya, segera ia balik kembali. Seorang diri ia mengumpulkan jerami kering dan kayu bakar. Setelah itu, menunggu sampai malam hari benar-benar sudah menyelimuti seluruh alam.
Bulan ternyata tidak muncul di angkasa. Maka malam itu gelap gulita. Hati-hati ia menghampiri timbunan jerami yang tadi disebarkan pula di atas atap. Sekali lagi ia menjenguk jenasah panglimanya yang masih duduk bersila di atas lantai seperti terpaku kencang. Dengan mengucurkan air mata, ia bersujud di hadapannya untuk menyatakan hormatnya yang penghabisan. Kemudian dengan didahului helaan nafas dalam, ia keluar pintu untuk mengambil jerami. Dengan cermat ia menimbun jenasah Jagadpati dengan jerami. Setelah itu memagarinya pula dengan kayu bakar yang mudah terbakar.
- Sekarang. ijinkanlah aku membakar jenasahmu hai jenderalku yang akan ku puja sepanjang hayatku.
Mojang berkomat-kamit di hadapan Jagadpati.
Kembali, ia menutup pintu rapat-rapat. Setelah membungkuk hormat sekali lagi, mulailah ia menyulut obor. Dengan berlari-larian kecil, ia membakar tumpukan jerami yang tertebar sekeliling dinding rumah. Yang penghabisan kali, ia melemparkan obornya ke atas rumah.
Alam seakan-akan membantu perbuatannya yang suci murni. Tiba-tiba saja angin meniup keras. Jerami yang mulai membakar dinding rumah menyala makin garang. Makin lama makin besar dan akhirnya membakar seluruh rumah. Mojang melompat ke atas punggung kudanya. Lalu melarikannya ke arah utara. Ia yakin, kebakaran itu tidak mungkin terpadamkan lagi. Sebentar lagi, jenasah panglima Jagadpati akan menjadi abu. menyusul arwahnya pindah ke nirwana.
*****
MOJANG SUDAH mendapat gambaran keadaan penduduk lamuri. Rupanya. mereka belum mendengar berita peristiwa perebutan kekuasaan di Ibu kota negara. Mereka hanya bersikap tidak senang menanggapi berita terjadinya besanan antara rajanya dan pihak Syailendra. Walaupun demikian, mereka bersikap hati-hati terhadap alat-alat negara. Memang, tidaklah mudah berita Ibu kota sampai di pendengaran penduduk Lamuri. Jaraknya terlalu jauh. Mojang sendiri yang melarikan kudanya siang dan malam, membutuhkan waktu sepuluh hari lamanya.
Aneh sikap hidup penduduk terhadap rajanya.
- Apakah jalannya pemerintahan di sini memakai tangan besi? -pikir Mojang di dalam hati.
Kalau mereka saja bersikap hati-hati terhadap alat-alat negara, apalagi aku yang sedang mengintai kelengahannya. Selain itu, menurut panglima keadaan bisa saja berubah dengan mendadak. Maka tak boleh aku menyia-nyiakan waktu.
Mojang kemudian kembali ke penginapannya untuk menunggu datangnya malam. Pedang pusaka panglima Jagadpati yang disimpannya di bawah tempat tidur. diambilnya dengan penuh rasa hormat. Seolah-olah terhadap seorang kekasih yang lama dirindukannya, ia mencium hulu pedang pusaka itu beberapa kali. Lalu berkatalah ia berbisik:
- Kau tolonglah aku malam nanti menghadapi lawan yang bermaksud menggagalkan tugasku membongkar penjara. sayang.
Mojang tak usah menunggu datangnya malam terlalu lama. Seakan-akan dipacu suasana, matahari tenggelam cepat di balik gunung. Dengan mengenakan pakaian hitam. Mojang bergerak menghampiri penjara tak ubah bayangan. Ia bersembunyi di dalam rumpun belukar. Matanya yang tajam mengamat-amati gerak-gerik laskar Sriwijaya yang
berjalan mondar-mandir tiada hentinya. Selagi otaknya sibuk mencari jalan keluar terdengarlah tiba-tiba suara terompet. Kemudian terlihat beberapa bayangan berpakaian hitam berlari larian ke arah utara. Mojang tercengang.
Apakah arti semuanya itu?
Tetapi peristiwa itu merupakan kesempatan bagin baginya. Cepat-cepat ia melemparkan dua butir batu dan dilemparkannya ke arah utara pula. Kedua batunya berbenturan di udara dan jatuh di tengah gerumbul dengan suara berisik. Dua orang penjaga pintu penjara melompat menyelidiki. Dan pada saat itu, Mojang melompat ke atas dinding.
Malam itu, sama sekali tak berbintang. Dapat dibayangkan betapa gelap pekat suasana di luar penjara. Mojang yang mengenakan pakaian hitam, dapat bergerak dengan leluasa. Seperti seekor kucing, ia meloncat ke atas genting dan hinggap tanpa suara. Lalu merangkak dengan hati hati ke seberang atap. Sayup sayup ia mendengar suara bentakan di jauh sana. Tentunya gerombolan tadi yang bertempur seru dengan laskar yang mengejarnya.
Mojang tak sudi membagi perhatiannya. Ia terus merangkak dan merangkak. Baru saja ia melewati dua wuwungan, tiba-tiba ia dihardik dengan kata-kata sandi. Sebagai seorang perwira, tahulah dia apa makna kata-kata sandi. Segera ia menjawab dengan dua patah kata ucapan yang kurang jelas.
- Hai! Mulutmu kenapa? Menjawab yang lebih jelas! bentak orang itu.
Dengan menggenggam pedang pendek di tangan kanannya. Mojang meloncat turun dan menyambar leher orang itu. Tanpa bersuara dia roboh di atas tanah. Mojang menanggalkan pakaian seragamnya dan dikenakannya. Setelah menyembunyikan mayatnya, ia melanjutkan penyusupannya menyusur dinding.
Beberapa saat kemudian. seorang penjaga membawa lentera di tangan, menghampirinya. Dengan mengancamkan pedang pendeknya, Mojang membentak perlahan:
- Hai. di mana kamar tahanan Lembu Seta?
Penjaga yang terancam pedang pendek terperanjat setengah mati. Tetapi setelah mendengar bunyi ancaman Mojang ia berseru girang. Sahutnya:
- Kau maksudkan Yang Mulia Lembu Seta Duta Kerajaan Taruma Nagara? Di dalam sel pesakitan hukuman mati, kamar nomor tujuh. Dari sini lempeng sampai di belokan itu! Kemudian belok ke kanan dan mulailah engkau menghitung. Satu, dua, tiga, empat, lima. enam . . . nah Yang nomor tujuh.
Mojang tercengang sejenak. Suatu ingatan menusuk benaknya.
Ya . . . barangkali dia termasuk salah seorang yang anti Raja Muda Dharmaputera. Tentunya berita perebutan kekuasaan, sudah didengarnya. Kalau belum mustahil ia menyebut nama Duta Lembu Seta dengan Yang Mulia. Memperoleh kesimpulan demikian, ia menyimpan pedang pendeknya sambil berkata lembut:
- Terima kasih.
- Oh ya . . . ingat-ingatlah kata sandi malam ini.
- Apa?
- Burung Merak. Dan jawablah dengan : Kuda Putih.
Mojang mengangguk dan ia mempersilahkan orang itu meneruskan tugasnya meronda halaman penjara. Ia sendiri segera melangkahkan kaki dengan langkah mantap.
Bukankah dia sudah mengenal katakata sandi yang berlaku pada malam itu?
Lagipula, dia kini mengenakan pakaian seragam penjaga penjara. Alasan untuk berkecil hati, tiada lagi.
Sesuai dengan petunjuk orang tadi, ia berjalan lurus
ke depan. Beberapa kali ia menjawab kata-kata sandi yang terlontar dari setiap sudut pagar dinding. Di antara mereka ada yang menaruh curiga kepadanya. Tetapi mereka bersikap tak acuh.
- Ah, benar. Itulah sebabnya panglima menyuruhku membawa dua kertas firman raja yang dapat kugunakan bila sewaktu-waktu terjadi suatu perubahan. kata Mojang di dalam hati.
Di depan kamar nomor tujuh, berdiri seorang penjaga dengan pedang terhunus. Mojang menghampiri dengan langkah tenang. Tiba-tiba ia menghunus pedang pendeknya dan menikam. Di luar dugaan. orang itu dapat mengelakkan diri meskipun terserang dengan mendadak. Mojang tercekat hatinya. Ia mengeluh:
"ih, celaka! Yang kuhadapi tentu bukan penjaga sembarangan . .."
Penjaga bersenjata pedang panjang itu memutar badannya.
Tetapi aneh!
Dia tidak membalas menyerang sebaliknya malahan tersenyum. Katanya setengah berbisik:
- Tikam diriku! Tetapi jangan membahayakan jiwaku!
Mojang tertegun sejenak. Lalu dapat memahami apa sebab orang itu bersikap demikian. Niscaya dia segolongan dengan pembawa lentera tadi yang rupanya masih setia kepada Raja Dharmajaya yang digulingkan. Karena itu. ia tak sampai hati untuk melukainya dengan sungguh sungguh.
- Ayo cepat! Tikamlah aku! orang itu mendesak.
Dengan terpaksa. Mojang menggerakkan pedang pendeknya. Lalu menggurat kaki orang itu.
- Masakan begini? Inikan luka kanak-kanak yang tergores sesuatu yang tajam. Tikamkan lebih dalam lagi! Tikam! - ujar penjaga itu dengan sungguh-sungguh.
Mojang berbimbang-bimbang. Terpaksalah penjaga itu merampas pedangnya dan menikam kakinya sendiri. Setelah
itu ia berkata lagi:
- Nah. sekarang tendanglah diriku!
Menyaksikan pekerti penjaga itu. Mojang tak boleh berbimbang-bimbang lagi. Kalau dia tidak menyakitinya dengan sungguh-sungguh, akibatnya malahan akan mencelakakan masa depan orang itu. Maka dengan sepenuh tenaga ia menendangnya hingga jatuh bergulingan di atas lantai. Orang itu mengerang kesakitan, namun wajahnya menyungging senyum.
Sambil menyenak nafas, Mojang memangkas rantai pengikat pintu dengan sekali tebas. Diantara suara gemerincingnya rantai yang runtuh di lantai ia mendengar seseorang menegornya dari dalam kamar:
- Tilam! Mengapa kau datang lagi? Rupanya engkau tidak sudi lagi mendengar kata-kata ayahmu. Kau pulanglah dahulu! Percayalah ayahmu akan segera menyusul.
Pada saat itu. Mojang sudah membuka pintu kamar dan memasuki ruang tahanan dengan langkah tegap. Penerangan kamar suram menyeramkan, Samar-samar Mojang melihat seorang berperawakan tipis duduk bersila di atas lantai. Rambut dan misainya putih mulus. Di dalam keremangan kamar, kesannya berwibawa.
- Tuanku lembu Seta? Mojang membungkuk hormat.
- Siapa kau?
- Aku Mojang, bawahan panglima Jagadpati. - jawab Mojang sambil menghaturkan pedang pusaka Jagadpati sebagai tanda pengenal.
Orang yang berada di dalam kamar itu, memang Lembu Seta Duta Raja Purnawarman. Ia menerima uluran pedang dan diperiksanya dengan teliti. Kemudian menegas:
- lalu, apa maksudmu?
- Di dalam negeri Sriwijaya terjadi perebutan kekuasaan. Sri Baginda memikirkan keselamatan tuanku. Maka panglima Jagadpati diutus untuk menjemput tuanku pulang.
Mendengar Mojang membawa-bawa sebutan rajanya. Lembu Seta berdiri tegak dengan wajah gembira. Dengan suara agak bergemetar. berkatalah ia:
- Sri Baginda tidak melupakan diriku? Ah . . . oh Sri Baginda, terimalah sujud hormat hambamu yang malang ini. Memang. sungguh menyedihkan! Sungguh mengecewakan! ia berhenti menghela nafas.
Kemudian menatap Mojang. Bertanya minta keterangan:
- Sekarang. di mana tuanku Jagadpati?
Mojang tersirap darahnya. Dalam keadaan demikian, tak dapat ia memberi jawaban yang sebenarnya. Maka ia berbohong:
- Beliau menunggu tuanku di luar kota.
- Apakah dia membawa angkatan perang?
Mojang mengangguk. Lalu menjawab:
- Oleh suatu pertimbangan. laskar Taruma Nagara tidak diperkenankan turun dari kapal.
- Bagus! Lalu?
- Maka jenderal hanya menitahkan daku untuk menjemput tuanku! Di luar sudah tersedia kereta berkuda.
Lembu Seta mengernyitkan dahi. Ia merasakan sesuatu yang kurang tepat. Tetapi diapun tak dapat dengan segera mengemukakan suatu pendapat bagaimana seharusnya yang tepat. Maka ia mengalihkan perhatiannya:
- Apakah engkau bertemu dengan Tilam?
- Puteri tuanku?
- Ya. Empat kali sudah. dia datang dan pergi hendak membawaku keluar penjara. Betapa mungkin! Taruh kata aku menuruti kehendaknya. paling tidak dia harus mempunyai pembantu sepuluh orang. Pembantu yang berarti bertempur mengorbankan jiwanya. Kalau tidak. mustahil
kita dapat menghadapi laskar Sriwijaya yang terkenal tangkas dan berani.
Mojang teringat akan sekawanan bayangan hitam yang berlari-larian mengarah utara.
Apakah di antara mereka terdapat puteri Tilam?
Selagi demikian tiba-tiba ia mendengar suatu kesibukan di luar kamar. Mendengar kesibukan itu, Mojang jadi gelisah. Dengan gugup ia berkata:
- Tuanku . . kita harus menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk lolos dari penjara. Kalau penjaga penjaga terlanjur meluruk kemari . . .
- Kalau begitu, kaulah yang perlu menyelamatkan diri. potong Lembu Seta. - Tuanku!
- Dengarkan dahulu kata-kataku!
Lembu Seta tidak memberi kesempatan Mojang membuka mulutnya.
- Lapor kepada panglimamu! Dia harus membawa pasukannya kemari, sekiranya ingin membawaku keluar penjara dengan selamat. Kalau tidak. jangan harap.
- Tuanku . . . barangkali tidak ada kesempatan lagi Untuk membawa laskar kemari, setidak-tidaknya memerlukan waktu seminggu lagi.
- Benar. Itulah sebabnya aku menolak maksud baik Tilam. Sebab tiada gunanya, bila membawaku keluar penjara kalau tiada yang membantunya.
- Tetapi tahukah tuanku, bahwa di Ibu kota telah terjadi suatu perebutan kekuasaan?
- Tentu saja. Kalau tidak. apa alasan pemerintah memasukkan diriku ke penjara?
- Maksudku keadaan bisa berubah dengan tiba-tiba. sehingga siapapun tidak dapat menjamin jiwanya sendiri.
lembu Seta tertawa tergelak-gelak. Sahutnya:
- Kau maksudkan jiwaku terancam bahaya? hu!
Berkata demikian. ia menyobek bajunya dan terlihatlah suatu gambar yang bersifat simbolis terlukis di dadanya.
- Kau tahu. gambar apa ini? Inilah Siddhayatra. Kau tahu arti dan makna gambar ini? Siddhayatra. artinya: perjalanan suci. Jadi. aku dipilih dan sedang melakukan perjalanan suci. Semenjak semula sudah kusadari, bahwa sewaktu-waktu diriku bisa kehilangan jiwa. Dengan demikian. mati dan hidupku tidak kupikirkan lagi . . .
Mendengar keterangan Lembu Seta. Mojang terpaku seperti sebuah arca yang tidak pandai berbicara. Tetapi sedetik kemudian. ia berlutut sambil berkata minta belas kasih.
- Tuanku . . . tetapi aku bertanggung jawab atas keselamatan tuanku. Aku pulalah yang terpilih. Untuk tugas ini aku sudah terikat sumpah. Bila tuanku . . . eh taruh kata Hyang Widdi Wisesa menghendaki jiwa tuanku . . . tuanku dapat mencapai nirwana. karena tuanku wafat dengan hormat. Sebaliknya. dosa apakah yang akan menimpa diriku. apabila aku gagal melaksanakan tugas. Jiwaku sendiri belum cukup sebagai tebusan. Karena itu, marilah kita berangkat! ' "
Lembu Seta tertawa. Menyahut:
- Baik. aku akan berangkat. Tetapi dapatkah engkau mengalahkan Boma?
- Boma?
Mojang heran.
Siapakah dia?
- Dialah ahli pedang nomor satu Kerajaan Sriwijaya. Kau belum pernah bertemu dengannya. bukan? Kau ingat ingat sajalah namanya! Boma . . . agaknya dia berasal dari Jawadwipa. Mungkin pula dari Siam. Sebab kulitnya kuning tetapi pandang matanya menyala. Bulat tajam seperti bola api. Ku kira untuk menjatuhkan dirimu dia hanya cukup menggerakkan pedangnya dua jurus saja.
Lembu Seta berhenti sejenak untuk mengesankan. Meneruskan:
- Aku kenal kegagahan Jagadpati. Barangkali Jagadpati
dapat menahannya sampai dua atau tiga ratus gebrakan. Apakah kepandaianmu berada di atas Jagadpati?
Mojang berenung-renung.
Melebihi kepandaian panglima yang gagah perkasa itu?
Ah. kalau saja dirinya dapat memiliki seperdelapan kepandaian panglima yang dikaguminya itu rasanya dia bersedia menyembah seluruh isi alam. Sekarang Lembu Seta berkata bahwa panglimanya hanya dapat menahan dua sampai tiga ratus jurus. Tetapi tidak mengalahkannya. Maka tahulah dia, apa sebab lembu Seta tadi menanyakan tentang jumlah laskar perang yang dibawa panglima Jagadpati. Sebab untuk melawan Boma saja, susahnya bukan main. Apalagi kalau Boma sampai membawa sepasukan laskar yang terlatih. Memikir demikian, ia jadi putus asa. Tiba-tiba berkatalah lembu Seta dengan suara yakin: '
- Mojang, berangkatlah dahulu! Tak usah engkau memikirkan keselamatanku. Demikian pulalah yang kukatakan berulang kali kepada Tilam. legakan hatimu. jiwaku tentu selamat. Apa sebab? Justru gambar ini yang menolong Yang akan bersedia menolong. Malahan Boma sendiri. Tentu saja harus ada alasannya . . .
Lembu Seta tak sempat menyelesaikan kata-katanya. karena pada waktu itu terdengar daun pintu tertendang hebat sampai terpental. Berbareng dengan itu seorang yang bersuara parau membentak:
- Siapa di dalam?
Kemudian terdengar suara teriakan sambung-menyambung:
- Ada orang membongkar penjara!
Dengan cepat, Lembu Seta melemparkan pedang Jagadpati kepada Mojang seraya berkata memerintah:
- Lawan dan selamatkan jiwamu. Tunggu aku di pantai Walaing! Tilam tahu di mana letak Walaing.
Mojang tidak berkesempatan untuk minta keterangan lebih jelas lagi. Dengan sebat ia menangkap pedang Jagadpati dan berputar membabat orang pertama yang memasuki kamar tahanan. Luar biasa tajamnya pedang Jagadpati. Orang yang bersuara parau tadi mencoba menangkis, tetapi pedangnya terkutung menjadi dua bagian. Ia terperanjat dan meloncat mundur. Karena mundurnya dengan tiba-tiba, teman-temannya yang berada di belakang terdorong mundur pula. Mojang tidak menyia-nyiakan kesempatan yang bagus itu. Dengan sekali loncat, ia hinggap di atas genting.
- Mau lari kemana? -bentak seseorang.
Pada detik itu pula sebatang anak panah menyambar dengan suara mendesing.
Mojang menundukkan kepalanya sambil memutar tubuh untuk menghantam anak panah yang menyambar padanya. Ternyata anak panah itu berukuran pendek dan terbuat dari besi.
Trang!
letikan api berhamburan di kegelapan malam. Mojang terkejut, Sama sekali tak diduganya. bahwa pemanahnya memiliki tenaga luar biasa kuat. Untung, dia bersenjatakan pedang pusaka. Kalau tidak, mungkin sekali akan terkurung. Walaupun demikian, masih saja tangannya merasa nyeri. Dengan mata berkilat kilat ia mencoba mengamat-amati siapa orang itu. Ternyata dia seorang perwira yang berperawakan tinggi tegap. Dia bersenjata sebatang golok raksasa. Bahwasanya perwira itu dapat melompat ke atas genting dengan membawa golok seberat itu dan berbareng menyerang, menyatakan bahwa dia memiliki tenaga istimewa. Meskipun demikian. Mojang tidak gentar menghadapi lawan yang bertenaga besar. Ia berhenti bersiaga sambil menghimpun tenaga saktinya.
Perwira itupun berhenti mengejar. Sebenarnya, diapun terkejut juga. Biasanya, serangan anak panahnya tak pernah gagal. Kali ini tidak demikian. Namun ia tak mau mengerti. Dengan goloknya. Ia mendahului menyerang. Ia merasa yakin. pedang lawan akan terkutung manakah berani menangkis serangannya. Juga kali ini, dia memperoleh pengalaman pahit. Pedang lawan yang tipis itu, bahkan dapat memapas sebagian goloknya. Oleh rasa kaget, ia berseru gugup:
- Hai! Semuanya naik ke atas. Kepung dia! Awas, pedangnya tajam luar biasa.
Mojang tidak mau kalah gertak. Sebat luar biasa ia menyerang dengan beberapa tikaman. Perwira itu menjatuhkan diri dan mengelak dengan bergulingan di atas genting. Selagi Mojang hendak mencecar dengan serangan berantai, tiba-tiba ia terhadang oleh dua bola yang menyambar bagaikan tinju seorang raksasa. Mojang tercengang. Selama hidupnya, belum pernah ia bertemu seorang lawan bersenjatakan dua bola terbuat dari besi. Ia menangkis sambaran bola besi itu dengan untung-untungan.
Trang!
Ia tergeliat mundur setengah langkah. Lalu mengamati lawan yang bersenjata aneh itu. Ternyata dia seorang laskar penjaga berseragam hitam. Perawakan tubuhnya tinggi tipis.
Apakah dia orang Cina, pikir Mojang di dalam hati.
Menurut kabar, senjata demikian hanya terdapat di negeri Cina. Mengingat Kerajaan Sriwijaya bertetangga dengan tanah Malaka (Malaya), bukan mustahil di antara laskar kepercayaan raja terdapat orang asing. Sekiranya bukan orang Cina, tentunya orang yang datang dari negeri Siam atau Muangthai.
Mojang tidak membiarkan dirinya disibukkan oleh teka teki. Segera ia mengadakan serangan balasan. Pedang Jagadpati yang tajam luar biasa membuat lawannya gentar juga. Namun orang berseragam hitam itu bukan manusia lemah. Dua bola besi itu termasuk macam senjata yang sukar dikendalikan. Meskipun demikian. dia dapat menggunakannya dengan leluasa. Tak usah dikatakan lagi, bahwa dia seorang yang berkepandaian tinggi.
Setelah bertempur beberapa saat lamanya, lambat laun Mojang mengenal nama senjata itu. Di Jawa, disebut bandringan. Bola besi itu terikat oleh seutas rantai yang dapat dihantamkan dari jarak jauh. Untuk sementara ia belum menemukan jalan keluar untuk mengalahkannya.
Sementara itu, perwira yang bersenjata golok raksasa memasuki gelanggang pertempuran kembali. Dengan menggeram gemas, ia membabat pinggang. Mojang melompat tinggi sambil memunahkan bola bandringan yang menghantam kepalanya. Tiba-tiba di sebelah kanan, seorang berseragam hitam pula, menyerang dengan tombak panjang. lagi-lagi seorang yang ahli harus dihadapi dengan mengandalkan ketajaman pedang Jagadpati. Pedangnya memapas sambil berjungkir balik di udara. Begitu mendarat di atas genting, cepat ia membalas menyerang.
Musuh ketika yang bersenjatakan sebatang tombak bertubuh pendek buntet. Tombaknya tidak hanya dapat digunakan untuk menusuk lawan saja tetapi kadang kadang berubah semacam tongkat pemukul. Gerak-geriknya tangkas dan cekatan.
Diam-diam Mojang mengeluh di dalam hati. Sekarang barulah ia menyadari apa arti kata-kata Duta Lembu Seta. Memang, kalau tiada bantuan, mustahil dirinya dapat lolos dari kepungan lawan. Apalagi kalau membawa-bawa orang yang harus dilindungi jiwa dan raganya. Walaupun demikian, ia tak sudi menyerah dengan begitu saja. Pikirnya pula di dalam hati:
- Jelek-jelek, aku seorang perwira Jawadwipa. Sekarang sudah terlanjur aku memasuki sarang harimau. Mereka berani melawanku dengan mempertaruhkan jiwanya. Kenapa aku tidak?
Dalam pada itu. di bawah genting terdengar teriakan teriakan ramai dari para penjaga penjara. Belasan penjaga yang dapat melompat tinggi sudah mendarat di atas genting dan segera mengepung Mojang di empat penjuru.
Mojang menghimpun tenaga dan semangat tempur. lalu mengamuk bagaikan seekor banteng gila. Dengan pedang Jagadpati di tangan kanan dan pedang pendek di tangan kiri, ia menyerbu ke sana kemari tak menghiraukan keselamatan jiwanya. Pada detik yang sangat berbahaya. tiba-tiba ia mendengar suara tertawa yang dikenalnya. Suara tertawa yang terendam dalam dada manakala menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan hati. Belum lagi suara tertawa itu lenyap dari pendengaran, berkelebatlah sesosok bayangan yang mengenakan pakaian warna putih.
- Kadung!
Seru Mojang bersorak.
Pada detik itu. penjaga yang bersenjata tombak panjang menghantamnya dengan sepenuh tenaga. Tak sempat lagi Mojang mengelak, karena dia sedang menangkis serangan golok. Dengan menguatkan diri, ia membiarkan punggungnya kena hantam.
Bluk!
Meskipun tidak terluka, pernafasannya menyesak.
Pada jaman itu hampir semua perajurit Taruma Nagara memiliki Ilmu Kebal. Itulah sebabnya Mojang tahan menerima hantaman telak. Walaupun demikian, hantaman itu mengurangi keterampilan tangannya. Tahu-tahu golok lawan yang sempat ditangkisnya tadi mendahului gerakan pedangnya yang jadi lambat. Dengan mati-matian, Mojang menundukkan kepalanya sambil bergulingan. Tetapi kedua penyerangnya tidak memberinya kesempatan untuk bernafas. Mereka menyerang dengan berbareng. Bahkan lawan yang ketigapun datang pula dengan menyambarkan bandringan besinya.
- Matilah aku sekarang.
Mojang mengeluh di dalam hati.
Tetapi tatkala golok dan tombak hampir mengenai sasarannya, tiba-tiba pemiliknya mengerang kesakitan. Golok dan tombak terpental dari tangan mereka masing masing dan secara kebetulan saling membentur sehingga menerbitkan suara berkelontangan. Sedang yang bersenjata bandringan memutar arah bidikannya. Semuanya itu terjadi berkat kecekatan Kadung menolong Mojang dengan melepaskan senjata andalannya pisau terbang.
Seperti yang diperhitungkan Mojang. Kadung terkejut tatkala mendengar suara kentung tanda bahaya. Itulah kentung tanda bahaya (titik) kebakaran. Setelah mengetahui apa yang terjadi segera ia menyelidiki terjadinya kebakaran itu dengan diam-diam. Ia mengitari rumah dengan berlari-larian di antara penduduk yang datang berbondong-bondong hendak memadamkan nyala api. Baik Panglima Jagadpati maupun Mojang tidak diketemukan. Jika demikian halnya, tentunya ada unsur kesengajaan.
Tidak masuk akal bila panglima Jagadpati dan Mojang membiarkan kediaman ini dibakar orang tanpa perlawanan, pikir Kadung.
Pada saat itu teringatlah dia bahwa dalam hal pengamatan situasi dan tindak laku, Mojang jauh lebih cermat daripadanya. Maka berkatalah ia di dalam hati:
- Mengapa aku tidak mencarinya di tempat pekerjaannya? Sekiranya tidak kujumpai. tentunya dia akan meninggalkan pesan untukku sebelum berangkat meninggalkan tempat.
Ia yakin akan hal itu. Dan dengan keyakinan itu, segera ia berangkat hendak mencari Mojang ke tempat pekerjaannya. Dan dugaannya sedikitpun tidak meleset. Dari teman
bekerja Mojang ia menerima surat sandi. ia terperanjat setelah membacanya.
- Oh, jenderal! Jadi beliau sudah mendahului kami berdua pulang ke nirwana?
Dengan air mata bercucuran, ia melarikan kudanya siang dan malam. Ia harus menyusul Mojang secepat cepatnya ke Lamuri. Begitu tiba di kota itu, segera ia menyelidiki keadaan penjara atas petunjuk seorang yang selama ini dicarinya.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dialah Rara Tilam, puteri Duta lembu Seta.
Munculnya di atas genting penjara tepat pada saat bantuannya dibutuhkan. Dengan pandang matanya yang tajam ia melihat betapa Mojang kerepotan menghadapi kerubutan para penjaga penjara. Segera ia memasuki gelanggang pertarungan sambil melepaskan senjata andalannya. Itulah sepasang pisau terbang yang disegani kawan dan lawan. '
Benar-benar mengagumkan sambaran pisau terbangnya. Dua perwira yang mengerubut Mojang kena dilukai. Yang bersenjata bandringan besi mencoba memukulnya jatuh. Tetapi pisau terbang itu seolah-olah mempunyai mata. Tiba-tiba saja berputar bagaikan bumerang dan berbalik dari arah yang bertentangan.
Tentu saja orang itu kaget setengah mati. Dengan berteriak kecut, ia menundukkan kepalanya dan bergulingan menjauhi. Lalu berseru nyaring kepada bawahannya:
- Cepat panggil tuanku Boma! Penjara dalam bahaya
Belum lagi gaung suaranya hilang dari pendengaran. Kadung sudah mengulangi serangannya yang berikutnya. Kali ini pisau terbang tidak memberinya ampun. Dengan mengerang kesakitan. orang itu jatuh terbanting di atas tanah.
- Mojang! Berangkat! -seru Kadung.
- Siapa yang membimbingmu kemari?
- Panjang ceritanya. Sekarang berangkatlah dahulu keWaIaing.
- Walaing? .,
Mojang menegas seraya membabatkan
pedangnya.
- Ya. Kita berpisah dahulu di sini. Tilam tidak akan membiarkan engkau tersesat.
Dalam keadaan demikian, tak mungkin Mojang dapat memperoleh keterangan lebih jelas lagi. Ia memang pandai menilai keadaan dan cermat pula dalam tindakannya. Terus saja ia menerjang barisan laskar yang mengepungnya. Syukur. kepandaian mereka tidak begitu tinggi. Begitu merasa terancam ayunan pedang Mojang yang disegani, mereka mundur berpencaran. Kesempatan itu digunakan Mojang sebaik-baiknya. Ia melesat bagaikan berkelebatnya bayangan. Tatkala puluhan obor menyala terang di setiap penjuru mata angin ia sudah melampaui dua wuwungan.
- Bahaya! ia bergumam.
Pagar dinding dilompatinya dan sebentar kemudian, bayangannya hilang ditelan kegelapan malam. Demikian pulalah dengan Kadung. si pendekar pisau terbang.
*****
2 JEBAKAN
IA TIBA di penginapan menjelang jam empat pagi. Dengan penerangan pelita minyak kelapa, ia membuka bajunya. Kemudian memeriksa punggungnya yang tadi kena hantaman telak. .
Syukur tangkai tombak itu tidak mengandung racun. Meskipun demikian, setelah rasa tegangnya reda, kepalanya pusing dan pandang matanya berkunang-knnang. Tiba-tiba saja dengan tak diketahuinya sendiri, ia roboh pingsan di atas pembaringan.
Tatkala menyenakkan mata untuk yang pertama kalinya, dilihatnya pelita kamar masih menyala. Berkat bakat pembawaannya yang biasa berpikir cermat, ia disentakkan oleh suatu ingatan.
Mengapa nyala pelita itu lebih terang?
Apakah sudah ganti minyak baru?
Kalau begitu, ia sudah kehilangan kesadaran satu hari penuh. Tentunya, kini malam hari tiba kembali. Oleh ingatan itu, ia memaksa diri bangkit dari pembaringan. Pada detik itu, ia melihat seorang laki laki berdiri tegak di tengah daun pintu kamar
yang tertutup rapat. Dialah pelayan tua yang bersikap ramah terhadapnya semenjak hari pertama.
- Hai! ..
Mojang menyapa.
Pelayan itu tidak segera menjawab. Ia menyeka air matanya yang meleleh di kedua belah pipinya. Menyaksikan hal itu, Mojang heran. Tanyanya menegas:
- Mengapa? Apakah engkau menangisi diriku? Lihat, aku belum mati.
- Duta . . . Duta dari Jawadwipa itu terbunuh. -sahutnya.
- Duta Lembu Seta yang . . .
- Ya . . . Yang tersekap di dalam penjara. Seluruh penduduk Lamuri mengelabui belaka.
- Siapa yang membunuhnya? -hati Mojang tergetar.
- Siapa lagi kalau bukan kelompok pengkhianat yang hendak mengambil hati majikan baru. Sekarang kita semua sudah tahu. Kita dibohongi mentah-mentah. Kabarnya raja berbesanan dengan orang Syailendra. Maksudnya untuk menanamkan rasa tak senang dalam hati kita. Tahu tahu telah terjadi suatu perebutan kekuasaan di Ibu Kota Kerajaan. Raja Dharmajaya, digulingkan. Sekarang muncul seorang raja baru keturunan Syailendra. Tentunya akan bertambah kejam. Kalau tidak, mengapa memerintahkan memenggal kepala seorang duta negara yang tidak berdosa? Sejak jaman purba. raja kita tahu menghormati makna duta negara. Dalam sejarah dunia, hanya Rahwana yang tidak mengenal tata-santun peradaban.
Rahwana adalah raja raksasa yang memerintah kerajaan Alengka, menurut cerita kitab Ramayana yang sudah termashur di kalangan penduduk. Dia seorang raja raksasa yang kejam dan mau menang sendiri. Jangan lagi terhadap seorang duta negara, bahkan dewa-dewa yang bertahta di Kahyangan dilabraknya dengan berani.
Mojang tidak tahan mendengar berita itu. Andaikata agak sabar sedikit saja, tentunya kecermatannya akan menuntunnya membuka tabir berita. Tetapi hatinya sudah terpukul, sehingga wajahnya berubah menjadi pucat lesi. Dengan suatu teriakan menyayat yang tertahan dalam kerongkongannya, ia jatuh pingsan kembali.
Pelayan tua itu masih berada dalam kamarnya, sewaktu ia memperoleh kesadarannya. Orang tua itu, bangkit dari tempat duduknya dan menghampirinya dengan mengangsurkan segelas air putih.
- Tuam minumlah dahulu sampai habis. -katanya dengan suara lembut.
- Jam berapa sekarang ini? -tungkas Mojang.
- Tuan pingsan satu malam dan satu hari. Sekarang ini, malam hari yang kedua.
Hati Mojang serasa tersayat-sayat. Ia merasa tidak hanya gagal dalam tugasnya, tapipun akan terkutuk sampai di alam baka. karena tidak becus menjaga keselamatan jiwa duta Lembu Seta. Alasan itulah yang membuat dirinya kehilangan kesadarannya sampai selama itu. Semangat dan obor hidupnya serasa penuh dan bernoda.
- Tuan! Bagaimana keadaan tuan? Sekiranya sudah bertenaga kembali, seyogyanya cepat meninggalkan kota! kata pelayan tua itu.
- Mengapa engkau menghubung-hubungkan diriku dengan peristiwa pembunuhan itu? Apa pula alasanmu, sehingga aku kau sarankan cepat-cepat meninggalkan kota secepat mungkin?
Mojang heran. Ia mulai cermat lagi.
- Berita peristiwa penyerbuan penjara sudah kami dengar. Ringkasnya sudah tidak lagi menjadi rahasia umum. sahut pelayan tua itu dengan tenang.
- Pedang tuan berlepotan darah. Kemudian tuan jatuh pingsan setelah
mendengar berita pembunuhan duta kerajaan Taruma Nagara. Selain itu, baik ucapan kata, tekanan lafal maupun gerak-gerik serta tingkah laku tuan,bukan tingkah laku dan pembawaan bahasa orang sini. Apakah tidak cukup jelas? sampai di sini pelayan tua itu berhenti mengesankan seraya bersenyum simpatik.
Lalu melanjutkan dengan lagu suara seakan-akan minta maaf:
- Tuan! Menyaksikan keadaan tuan, aku berbuat lancang. Tanpa menunggu persetujuan tuan aku memanggil orang tua yang biasa kita sebut: dahyang (maksudnya, panggilan terhadap seseorang yang dianggap mempunyai kepandaian sakti) kemari. Menurut beliau, tuan tidak sakit meskipun pingsan seharian. Tuan pingsan, karena kelelahan baik jasmani maupun hati. Maka aku tambah yakin, pasti tuan temasuk salah seorang di antaranya yang menyerbu penjara hendak menolong membebaskan duta negara Taruma Nagara. Lalu : . . lalu . . . karena penginapan adalah seumpama lalu-lintas umum, maka aku membersihkan pedang tuan agar tidak membangunkan perhatian orang. Sebab pada waktu ini, pemerintah mengumumkan ancaman hukuman mati bagi siapa yang sengaja atau tidak sengaja, melindungi atau menyembunyikan satria-satria yang telah membunuh beberapa penjaga penjara.
- Satria? Mojang terbelalak.
- Ya, satria. Bukankah orang-orang yang dengan gagah berani membongkar penjara, sesungguhnya hanya golongan satria yang rela berkorban jiwa demi tujuannya?
Mojang menghela nafas. Ia merasa puas. kagum dan terima kasih. Perlahan-lahan ia meneguk segelas air putih yang diterimanya dari pelayan tua itu sampai habis. Setelah meletakkannya di atas meja, ia memeluk pelayan tua itu dan didekapnya hangat.
Ah, tak pernah diduganya. bahwa cermin peribadi keluhuran Kerajaan Sriwijaya sesungguhnya berada pada sikap hidup rakyatnya yang berulah dan bermoral tinggi.
- Terima kasih.
Akhirnya dia berkata dengan berbisik
- Di mana pedangku. kini?
Pelayan itu mengambil pedang pusaka Jagadpati dari balik pembaringan. Rupanya ia perlu menyembunyikannya serapat mungkin. lalu diangsurkannya dengan ke dua belah tangannya.
Mojang menerima pedangnya kembali. Sambll mengusap usap hulunya ia menghela nafas. Bergumam:
- Aku membongkar penjara dengan maksud hendak membawa kabur Yang Mulia Duta Lembu Seta. Ternyata tindakanku malahan mempercepat kematian beliau. Apa faedahnya aku hidup berkepanjangan lagi . . .
- Tuan! Tak boleh tuan berpikir sependek itu! pelayan tua itu menungkas dengan suara gugup.
- Kalah dan menang,berhasil atau gagal adalah kejadian yang lumrah di dalam kehidupan bermasyarakat. Mengapa tuan hendak menyiksa diri hanya karena merasa bersalah? Katakanlah. tuan memang gagal dalam melaksanakan tugas. Tetapi. bukankah tuan mempunyai seorang raja yang kini sedang menunggu-nunggu berita? Seharusnya tuan bahkan harus menjaga diri sebaik-baiknya agar dapat menghadap raja tuan dengan selamat. Di sanalah nanti baru terjadi tindakan selanjutnya. Mengangkat senjata demi kehormatan negara atau bunuh diri demi kepentingan kehormatan diri sendiri.
Mendengar kata-kata pelayan tua itu. Mojang terkejut. Seseorang yang biasa berpikir cermat, menaruh curiga. benarkah kata kata seagung itu bisa keluar dari mulut sang pelayan yang mungkin sekali buta huruf.
- Sebenarnya, siapakah engkau? ia bertanya dengan hati-hati.
- Ah, aku hanya seorang pelayan. Tetapi pada jaman mudaku pernah berlayar sampai menginjak dataran bumi Jawadwipa. Di sana terdapat banyak orang-orang cerdik pandai yang tekun dalam agamanya. Lima tahun aku pernah berguru. Dan apa yang kukatakan ini, sebenarnya hanya sebagian pengertianku berkat tuntunan orang-orang bijaksana yang memenuhi persada kerajaan Taruma Nagara.
Mojang mau mengerti, karena pada waktu itu. Sriwijaya dan Taruma Negara sudah menjadi pusat ilmu agama Hindu dan Buddha. Banyak orang-orang pandai dari luar daerah yang datang untuk menambah pengetahuannya. Bahkan pendeta-pendeta dari India, Siam, Cina, Vietnam, Kamboja, Birma dan Malaka datang pula untuk belajar mendalami hikmah serta hakikat agama. Maka bukan suatu hal yang mustahil, bila pelayan tua itu, dahulu pernah mengunjungi negerinya untuk belajar menambah pengetahuan.
- Lalu di manakah jenasah tuanku Lembu Seta disimpan?
Mojang minta keterangan.
- Menurut kabar, sebagian jenasahnya ditanam dalam suatu tempat yang dirahasiakan.
- Sebagian jenasah? Apa maksudmu?
Mojang terperanjat.
Pelayan tua itu menghela nafas. Lalu menjawab dengan wajah bermuram dur-ja:
- Bukankah aku tadi berkabar. bahwa Duta lembu Seta dihukum penggal kepala? Menurut berita itu pula, kepalanya kini terpaku di atas pintu penjara sebelah timur.
Mojang terloncat karena terguncang oleh perasaannya. Ia menggerung seperti harimau masuk perangkap. Wajahnya merah padam. Kedua gundu matanya bergerak memutar dan sekujur badannya menggigil.
- Berilah aku barang sepiring nasi. sesaat kemudian
ia berkata setengah memohon.
Pelayan tua itu segera ke luar kamar dan datang kembali dengan membawa sebuah niru berisikan sebakul nasi, dua piring lauk-pauk. semangkuk sayur dan sebuah kendi. Mojang kemudian melahap hidangan itu dengan berdiam diri. Setelah itu. ia membayar sewa kamar dan harga makanan melalui pelayan tua itu.
- Terima kasih untuk segalanya. Mudah-mudahan di kemudian hari kita bisa bertemu kembali dalam suasana yang lain. katanya.
Setelah menyelipakan pedang pendek dan pedang panglima Jagadpati dipinggangnya, ia membuka jendela lebar. Dengan sekali loncat, ia sudah berada di luar dan menghilang di tirai malam. Pelayan tua itu, sejenak mengikuti kepergiannya dengan pandang matanya yang sayu. Kemudian menutup dan mengancing daun jendela rapat rapat. '
Seperti yang pernah dilakukannya dua hari yang lalu, Mojang berlari-larian dengan langkah cepat. Kota Lamuri sunyi sepi tidak seperti biasanya. Rupanya penduduk sudah mendengar kabar tentang peralihan kekuasaan, sehingga mereka merasa lebih aman berada di tengah keluarganya. Dengan demikian. gerak-gerik Mojang jadi leluasa. Cepat sekali ia menghampiri dinding penjara sebelah timur.
Malam itu bulan sipit muncul di udara. Meskipun tidak kuasa menguak tabir malam, namun cukup memberi penerangan jelas bagi seorang yang memiliki mata setajam Mojang. Dalam keremangan, ia melihat suatu benda yang tergantung pada tiang bendera. Benda itu bulat dan mengingatkan orang kepada bentuk kepala manusia. Oleh penglihatan itu. tak dapat lagi ia menguasai diri. Ia menangis tersedu-sedu. Dengan mendongakkan kepala. ia
berkata perlahan setengah meratap:
- Oh. tuanku Lembu Seta. Kedudukan tuan hanya di bawah seorang Nayaka Kerajaan. Tetapi kepalamu dipancung orang di perantauan. Kini terikat tinggi pada sebatang tiang bendera seperti buah kelapa yang berharga sepeser. Oh tuanku, legakan hati tuan. Tenteramlah di alam baka. Apapun akibatnya akan kurebut untuk kubawa pulang ke Jawadwipa agar kelak dikuburkan negara dengan iringan sasangkala . . .
Tak berpikir panjang lagi,ia melompat tinggi dan hinggap di atas dinding. Sebat ia menghunus pedang pusaka panglima Jagadpati dan menabas tiang bendera dengan sepenuh tenaga. Tiang bendera itu terbuat dari besi pilihan. Sebaliknya pedang Jagadpati termasuk jenis pusaka yang jarang terdapat di dunia. Tajamnya luar biasa ibarat dapat merajang besi seperti merajang sayuran. Tak mengherankan. tiang bendera itu tertabas kutung dan roboh. Dengan gerakan kilat, ia menyambar kepala Lembu Seta.
Tetapi kepala Lembu Seta itu, sesungguhnya terbuat dari tanah liat yang dibuat mirip sekali. Kepala palsu itu kemudian digantungkan pada tiang bendera yang tertancap kokoh di atas dinding penjara, atas perintah Kepala penjara. Dengan disertai bumbu-bumbu berita bohong ia bermaksud untuk menjebak mereka yang berani menyerbu penjara dua hari yang lalu.
Enam orang perwira yang memiliki kepandaian kelas satu, ditempatkan di sekitar tiang bendera itu. Tiga orang berjaga-jaga di atas genting dan yang tiga orang lagi bersiaga di bawah. Itulah sebabnya belum lagi Mojang berkesempatan bergerak dari tempatnya dua bayangan berseragam hitam muncul dari persembunyiannya dan menerjang dengan berbareng. Yang menyerang dari kiri bersenjata tombak panjang. Yang menerjang dari kanan bersenjata sepasang pedang melengkung berbentuk bulan sipit.
Meskipun ancaman bahaya demikian sudah diperhitungkan. namun Mojang sama sekali tidak menduga bahwa gerakan penyerangnya sangat gesit. Ia meloncat tinggi mengelakkan tusukan tombak dan memapaskan pedangnya ke bawah untuk menangkis sambaran sepasang pedang yang ganjil bentuknya.
- Ha-ha . . . -orang yang bersenjata sepasang pedang ganjil itu tertawa geli, lalu berseru:
- Anuwat, nah kau sekarang baru percaya kata-kataku. Anjing berberewok ini masuk perangkap. bukan?
- Nguyen. perhitunganmu memang tepat. Kabarnya anjing berberewok ini pandai melarikan diri. Mana teman teman kita? Hai. Monteri! Watanapong! Kepung anjing ini! Jangan biarkan dia lolos. teriak yang bersenjata tombak panjang.
- Ah, untuk menangkap anjing berberewok ini kurasa kita berdua sudah lebih dari cukup. Biarkan mereka menunggu yang lain. Pendek kata malam ini kita bakal berpesta pora memanggang bangkai anjing dan kawanan tikus sawah.
Mojang biasa berpikir cermat namun tak jarang pula mudah tersinggung. Mendengar dirinya disebut-sebut sebagai anjing berberewok, ia marah bukan kepalang. Dengan pedang Jagadpati, ia membalas menyerang dua kali berturut-turut.
- Awas pedangnya! _,
Anuwat memperingatkan rekannya. Lalu membentak:
- Hai anjing! Lebih baik kau menyerah saja. Kasihanilah kepalamu! Apakah kau ingin senasib seperti orang tua yang tak tahu diri itu? Sayang, pada akhir hidupnya kepalanya terpotong seperti babi.
Mojang menggeram. Kali ini dia menjadi kalap. Membentak dengan mata merah:
- Kau ingin aku menyerah? Nah. ambil pedangku! Nih!
Ia menabaskan pedangnya dengan sepenuh tenaga. Anuwat terpaksa menggulingkan diri. Nguyen cepat-cepat menolong temannya itu. Tetapi Anuwat tidak sudi dipandang lemah. Ia maju lagi dengan tombak panjangnya. Tombaknya termasuk jenis senjata berat. karena terbuat dari besi baja pilihan. Dengan mengandalkan senjatanya yang berat itu ia menghantamkan pangkalnya. Tetapi begitu terbentur tabasan pedang Mojang. tangannya tergetar. Hampir saja batang tombaknya terpental dari genggaman. Buru-buru ia mundur setengah langkah. Dan pada saat itu. Mojang mengerang kesakitan. Kaki kirinya tergaet pedang bulan sabit Nguyen.
Mojang berputar. Tanpa menghiraukan keselamatan dirinya lagi. ia meloncat tinggi sambil memangkaskan pedangnya. Nguyen terkejut setengah mati ia tak mengira, bahwa Mojang masih dapat membalas menyerang. Dengan hebat, meskipun kaki kirinya terluka. Karena serangan Mojang luar biasa hebatnya, terpaksa ia melepaskan sebilah pedang bulan sabitnya. Sambil bergulingan ia membolang balingkan sebilah pedangnya yang lain.
- Anuwat, tolong!
Tentu saja Mojang tidak memberinya kesempatan untuk dapat berbuat banyak. Hatinya mendongkol terhadap orang itu.
Masakan dirinya disamakan dengan anjing?
Cepat ia memungut pedang Nguyen yang terlepas dari genggamannya. Dan dengan tangan kiri ia menimpukkannya.
- Celaka
Nguyen memekik.
Syukur, tangkai tombak Anuwat cukup panjang untuk melindungi Nguyen. Dengan mengerahkan tenaga ia menghantam sambaran pedang bulan sabit. Pedang itu terpental tinggi di udara kemudian jatuh berkelontangan di tanah.
Dengan begitu tertolonglah jiwa Nguyen.
- Kau mau mati juga? bentak Mojang gemas.
Buru-buru Anuwat memutar tombaknya bagaikan kitiran. Sebenarnya ia gentar juga menghadapi perlawanan Mojang yang gagah berani. Pada saat itu. Nguyen berseru membesarkan hatinya:
- Anuwat! Kau takut? Biar aku yang ganti melindungi jiwamu . . .
Meskipun sudah kehilangan sebilah pedang, namun Nguyen tidak berkecil hati. Ia merangsek maju. Mulutnya yang jahil berkaok-kaok lagi:
- Anuwat, hayo desak dia dari belakang! Anjing ini sudah pincang. Gerakan kakinya tidak leluasa lagi. Jangan takut. sebilah pedangku ini masih sanggup memenggal kepalanya.
Dikepung dan didesak demikian, lambat laun Mojang payah juga. Kaki kirinya yang terluka mulai kejang. Bisanya ilmu kebalnya dapat melindungi tubuhnya. Tapi menghadapi tebasan pedang bulan sabit yang aneh bentuknya, rupanya ilmu kebalnya bobol. Sebab pedang bulan sabit itu, tidak hanya dapat digunakan untuk menabas saja tetapi bisa menggaet pula. Setiap gerakannya membawa dua jurus yang bertentangan.
Beberapa saat kemudian. timbullah suatu ingatan di dalam benak Mojang. Pikirnya di dalam hati:
- Tak dapat aku mengadu kekuatan maka. Akal dan kecerdikan perlu kugunakan.
Memperoleh pikiran demikian sengaja ia membuka lowongan untuk memancing lawan. Benar saja. Merasa mendapat kesempatan, Nguyen menembus masuk. Pedang bulan sabitnya bekerja dengan sabetan melingkar. Justru gerakan itu membuat dirinya terjebak akal Mojang. Tiba-tiba Mojang memiringkan tubuhnya. Pedang pusaka Jagadpati membabat ke atas. Dan diluar perhitungan Nguyen, pedang pendek Mojang yang selama itu terselip di pinggangnya menusuk dan menikam cepat.
Sret!
- mati aku!
Nguyen memekik lagi. Namun masih sempat dia mengelak meskipun demikian pergelangan tangannya sudah tergores. Kulitnya terobek panjang dan darahnya mengucur membasahi genggaman tangannya.
- Sekarang. benar-benar engkau akan mampus. gertak Mojang seraya menabaskan pedang panjangnya.
Sekonyong-konyong pada detik yang merentukan berkelebatlah sebilah pisau terbang membentur ujung pedangnya. Mojang menoleh. Sesosok bayangan, muncul dari balik tiang bendera. Sambil menimpukkan sebilah pisau pendek, bayangan itu memasuki gelanggang pertempuran. Kemudian membentak nyaring.:
- Nguyen! Melawan anjing pincang saja, engkau tak becus? Cuh!
- Tamasat! Orang itu cerdik seperti tikus.
Nguyen membela diri.
Mojang mengamat-amati orang yang disebut dengan nama Tamasat. Orang itu mengenakan seragam laskar tempur dengan tanda pangkat seorang perwira kerajaan. Perawakan tubuhnya gagah berwibawa. Menilik bunyi suaranya tentunya dia orang Syailendra yang datang dari seberang lautan seperti kedua temannya. Mojang tidak takut. Dengan mata menyala ia menyapa:
- Kaupun ingin mengeroyok diriku?
Tamasat tercengang.Melihat Pedang panjang Mojang ia berseru:
"Hai! Bukankah itu pedang yang dibawa-bawa perwira Kerajaan Taruma Nagara? Apakah kaupun ikut masuk keistana?
Mendengar tegoran perwira itu tahulah Mojang bahwa Tamasat mungkin sekali termasuk salah seorang perwira
kerajaan yang ikut menyambut kedatangan Panglima Jagadpati sewaktu mengurus masalah Duta Lembu Seta. Tetapi ia tak sudi terpengaruh. Dengan menggenggam hulu pedang makin erat. ia menyahut:
- Kalau benar, lalu bagaimana?
- Meskipun hanya selintasan, tetapi aku mengagumi pribadi panglimamu. Mengingat hal itu biarlah aku mengampuni jiwamu. Nah. menyerahlah dengan baik-baik!
Mojang mendongkol. Ia merasa dirinya direndahkan. Dengan wajah merah padam. ia berkata sambil menudingkan pedangnya:
- Meskipun aku bawahannya yang paling rendah, setidak-tidaknya aku termasuk laki'-laki. Justru diriku laki-laki, maka berani aku menginjakkan kakiku di sini. Kau mengharapkan aku menyerahkan diri? Cobalah. buatlah aku berlutut terhadapmu.
Tamasat tertawa panjang. Menyahut:
- Apa sih susahnya? Berjaga-jagalah!
Tamasat bukan membual gertakan kosong. Dapat ia membuktikan ucapannya. Sebab, sesungguhnya pangkatnya hanya setingkat di bawah Samrin dan Prem Sidikara. Dia menguasai beberapa jenis senjata. Selain pandai menimpukkan senjata tajam, termasuk seorang ahli golok pula. Sekiranya tidak demikian. mustahil dia dapat memperoleh pangkat tinggi.Sebaliknya, Mojang tak kenal takut ia bahkan bermaksud mendahului. Tiba-tiba ia mendengar bisikan suara dari bawah genting yang tepat berada di bawahnya. Bisik suara itu:
Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar Animorphs - 34 Ramalan The Prophecy