Ceritasilat Novel Online

Siluman Tikus Terbang 1

Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud Bagian 1



1)_SILUMAN TIKUS TERBANG

Sun Toa-nio (Nyonya Sun) merupakan salah seorang penduduk desa Chiu

Khe-cung, selain cantik juga rajin dan pemberani.

Belakangan ini di desa tersebut sering muncul segerombolan tikus

terbang. Sun Toa, suami Sun Toa-nio, langsung jatuh sakit saking

kagetnya.

Sun Toa memang beda dengan isterinya, penakut lagi lemah fisiknya.

Sun Toa-nio terpaksa menggantikan suami menggarap sawah, juga harus

merawat sakit suami dan anaknya.

Pada suatu hari, sepulang Toa-nio membeli obat, di tengah jalan disapa

oleh seseorang: "Belum sembuh juga sakit suami nyonya?".

Sun Toa-nio berpaling, yang menyapanya ternyata seorang Tojin

(Pendeta). "Oh. ... Lauw Totiang", ucapnya agak gagap.

"Sebaiknya kau temui Ouw Cin Kun, dia pasti dapat menyembuhkan sakit

suamimu dengan kesaktiannya" sang Toin menyarankan.

Toa-nio menunduk tanpa bersuara.

"Asal kau datang bersembahyang ke Kuilku, akan kau lihat betapa

banyaknya orang yang percaya akan kesaktian Cin Kun. Kata sang Tojin

lagi. "Tak lama lagi Pinto akan memba ngun 'Ban Siu Kiong' (Kuil Panjang

Umur), sebagai persembahan pada Thian Kun. Aku harap penduduk desa

bersedia membantu".

"Nanti saya akan ke sana, Totiang". ujar Sun Toa-nio.

Keesokan harinya Sun Toa-nio datang bersembahyang ke Ceng In Koan,

dengan harapan suaminya dapat cepat sembuh.

Selesai sang nyonya bersembahyang, Lauw Tojin mengajak Ouw Cin Kun

mendekati Toa-nio.

"Ouw Cin Kun ingin bicara denganmu", kata Lauw Tojin begitu usai pasang

hio.

"Kau harus mendengar kata Cin Kun bila ingin suamimu cepat sembuh".

"Baik Totiang", sahut si nyonya."Ikutlah Cin Kun ke ruang dalam, jangan bantah apa yang dikatakannya",

kata Lauw Tojin pula.

Toa-nio ikut Ouw Cin Kun ke ruang dalam. Di dalam kamar ternyata telah

terhidang makanan dan minuman.

"Mari kita minum arak", ajak Ouw Cin Kun.

"Maaf, saya tak pernah minum arak". Sun Toa-nio menolak halus.

"Meminum arak dapat menambah gairah", ujar Ouw Cin Kun.

Toa-nio menatap heran.

"Dengan adanya bantuanku, siluman tikus terbang itu takkan mengganggu

suamimu lagi", sambung Ouw Cin Kun pula. "Tapi terlebih dulu kau harus

bersedia denganku... ha, ha, kau tentu sukup maklum akan maksudku".

"Saya tak mengerti ....".

"Bila kau bersedia berhubungan raga denganku, aku jamin sakit suamimu

segera sembuh". Ouw Cin Kun berterus terang.

"Aku tak sudi melakukan perbuatan terkutuk itu", Sun Toa-nio tak dapat

menahan emosi.

"Janganlah kau berkata sekasar itu". Ouw Cin Kun berusaha

menenangkan.

"Kiranya kalian merupakan komplotan penipu dan suka menjerumuskan

wanita baik-baik ke lembah maksiat". Sun Toanio tetap marah.

"Kau... benar-benar wanita tak tahu di untung". Ouw Cin Kun mulai geram

juga."Orang lain mungkin takut padamu, tapi aku tidak!". Ujar

Sun Toa-nio bernada keras.

"Huh... rupanya kau sudah bosan hidup ya!?". Tak sedap dipandang wajah

Ouw Cin Kun.

Lauw Tojin yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan, begitu melihat

Sun Toa-nio bertengkar dengan Ouw Cin Kun, bergegas menghampiri

mereka seraya bertanya: "Kenapa Toanio marah-marah?".

"Kalian manusia bermuka tebal dan berhati binatang". Sun Toa-nio terus

melampiaskan kemendongkolannya.

"Bila kau tak sudi menemani Cin Kun tidur, sebaiknya kau menderma

banyakan, agar selamat". Si Tojin setengah memaksa.

"Tidak!", tolak Toa-nio.

"Bila demikian, jangan kau salahkan kami jika terjadi apaapa nanti". Kata

Lauw Tojin bernada mengancam.

"Apa maksudmu?''. Sun Toa-nio tak gentar sedikit pun. "Kau tak takut

pada siluman tikus terbang?". "Tidak!". Toa-nio meninggalkan sang Tojin.

Belum jauh Toa-nio meninggalkan 'Ceng In Koan', telah bertemu dengan

Chiu Hong, orang terpelajar di kampungnya.

"Kenapa nyonya tampak bersungut-sungut?", tanya Chiu Hong.

"Pengurus Ceng In Koan brengsek". Toa-nio memberitahu, kemudian balik

bertanya: "Ingin ke mana Chiu Siu-cay?"."Aku bermaksud ke Ceng In Koan untuk merundingkan soal pembangunan

Kuil bagi Thian Kun".

"Tak usah kau ke sana!", cegah Toa-nio. "Kenapa memang?". Chiu Hong

heran.

"Ketahuilah, bahwa mereka itu penipu serta berkomplot ingin

menjerumuskan wanita!", ucap Sun Toa-nio. "Aku baru saja dari Kuil

mereka, Ouw Cin Kun membujukku berbuat maksiat....".

"Benarkah itu?". Chiu Hong seakan meragukan keterangan si nyonya.

"Aku mengatakan apa yang sebenarnya". Toa-nio menegaskan dengan

sikap sungguh-sungguh. "Siluman tikus terbang yang sering muncul

belakangan ini, kemungkinan dari ulah mereka".

"Kemungkinan itu memang ada". Chiu Hong tidak menyanggah.

"Sebaiknya hati-hatilah kau berhubungan dengan mereka, agar tidak

tertipu", Toa-nio mengingatkan.

"Tepat sekali saran Toa-nio", sang Siu-cay mengangguk.

"Aku rasa Ouw Cin Kun memiliki ilmu hitam, tapi kita tak perlu takut

padanya", kata nyonya Sun lagi.

"Benar, yang jahat pasti takkan menang melawan yang benar!".

Setelah menyampaikan beberapa pesan lagi, Toa-nio meninggalkan

tetangganya, pulang ke rumahnya.

Ia menceritakan apa yang dialaminya di Ceng In Koan pada suaminya.

"Kau telah bersalah pada Cin Kun". Kata sang suami selesai mendengar

penuturan isterinya.

"Apakah kau ingin aku melayaninya berbuat maksiat?". Toa-nio agak

dongkol.

"Aku mengharapkan kau memohon padanya untuk melindungi

keselamatan kita, bukan menyuruhmu....".

"Aku tak takut terhadap mereka", kata sang isteri, tegas. "Tapi kau kan

tahu, betapa menakutkan tikus terbang itu".

Ucap suaminya, cemas.

"Aku tak gentar akan ilmu hitam itu", sahut Toa-nio.

"Tapi....", sang suami tak meneruskan ucapannya, menghela nafas."Minumlah terus obatmu, setelah beristirahat beberapa hari, sakitmu tentu

akan sembuh". Toa-nio mengajak anaknya keluar kamar.

"Baiklah". Sun Toa berbaring lagi.

Selagi Sun Toa-nio sibuk mengurus pekerjaan rumah, tibatiba muncul tikus

terbang mengganggu suaminya.

Sun Toa yang bernyali kecil, terperanjat dan amat ngeri menyaksikan

tikus terbang, cepat-cepat melompat turun dari pembaringan.

Tikus terbang menggigit Sun Toa yang berusaha lari ke luar kamar.

Sun Toa berteriak kesakitan, jatuh pingsan.

Ketika Sun Toa-nio masuk, terlihat tubuh suaminya menggeletak tak

sadarkan diri di lantai. Tikus terbang sudah tak terlihat lagi.

Sun Toa-nio mengguncang-guncang tubuh suaminya. Tak lama Sun Toa

siuman.

"Cin Kun telah membuktikan ancamannya", Sun Toa memberitahukan

isterinya. "Tikus terbang itu menggigitku hingga luka".

"Oh ya!?"

"Saking sakit dan takut, membuatku jatuh pingsan", Sun Toa

menerangkan lebih jauh.

"Itu pasti akibat daya ilmu hitam", kata sang isteri.

"Lekaslah kau temui Cin Kun, memohon padanya untuk menolongku dari

gangguan siluman".

"Aku tak sudi meminta tolong pada pendeta iblis itu!"."Bila demikian aku pasti akan dicelakai oleh tikus terbang". kata Sun Toa,

seperti berputus asa.

**Jangan takut!". sang isteri memberi dorongan semangat. **Kita tak

perlu takut pada Yao To".

(Yao To = Pendeta siluman/iblis).

"Tapi hari-hari selanjutnya kita akan selalu diliputi ketakutan". Sun Toa

tetap cemas.

"Sedikit pun aku tak gentar". Kata Toa-nio, lalu memanggil anaknya : "Po-

jie, aku akan ke sawah, jagalah rumah baik-baik".

"Baik Ma", sahut Po-jie.

Sun Toa-nio sama sekali tak gentar menghadapi siluman tikus, menggarap

sawah seperti biasanya.

Tapi belum lama dia berada di sawah, tampak Po-jie mendatangi sambil

berlari-lari.

"Ada apa Po-jie?", tanya Toa-nio pada anaknya yang terengah-engah.

"Ayah... lekas pulang Ma", ujar Po-jie dengan suara terputus-putus.

Nyonya Sun bersama anaknya pulang,

Terlihat Sun Toa tergolek di lantai dengan wajah pucat benar dan tak

hentinya menyebut tikus terbang.

Toa-nio memapah suaminya ke pembaringan, geram hatinya pada siluman

tikus terbang yang selalu mengganggu keluarganya, terutama suaminya.

"Mana tikus terbangnya!?", Sun Toa-nio mencari-cari tikus siluman itu.

"Tadi benar-benar ada tikus terbang ke mari", Po-jie menegaskan. "Saya

tadi melihat dua ekor yang besar-besar".

*Kau tadi melihatnya?", nyonya Sun memandang anaknya,

"ke mana perginya?".

""Terbang ke arah Ceng In Koan", Po-jie menerangkan.

Sun Toa-nio tak ragu lagi, bahwa segalanya itu memang ulah Tosu dari

Ceng In Koan, membuatnya tambah dongkol, lantas mengajak anaknya ke


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kuil itu.

Banyak sekali orang yang bersembahyang di Ceng In Koan.

Lauw Tosu menyambut kedatangan Sun Toa-nio sambil senyum.Sikap si Tosu membuat nyonya Sun tambah dongkol.

"Kenapa kalian terus menakut-nakuti orang dengan tikus terbang?", tanya

Toa-nio begitu berhadapan dengan Lauw Tosu.

*Takut kau? Kedatanganmu ke mari untuk minta ampun ya?", si Tosu balik

bertanya sambil tersenyum sinis.

"Aku takkan terperangkap oleh perbuatan busuk kalian". Ujar nyonya Sun

geram.

"Lalu apa maksudmu ke mari?'. Wajah si pendeta jadi tak sedap

dipandang.

"Akan kubongkar siasat busuk kalian, agar penduduk desa tak sampai

ditipu kalian", ujar Sun Toa-nio dengan beraninya.

"Sungguh besar nyalimu!". Si Tosu melotot. "Aku tak takut melakukan apa

saja demi kebenaran". "Lekas enyah kau!".

Tapi Sun Toa-nio bukannya pergi, malah langsung berkata pada orang-

orang yang bersembahyang: "Harap kalian waspada, jangan sampai ditipu

oleh Tosu siluman ini. Mereka selain menipu dan memeras, juga

menjerumuskan wanita!".

"Rupanya kau sudah bosan hidup ya!?", ujar Lauw Tosu penuh diliputi

kemarahan.

Namun Sun Toa-nio bukan saja tak gentar, malah mengancam: "Akan

kubongkar tipu muslihat kalian ke pihak yang berwajib".

Orang-orang yang datang sembahyang menasehati Toa-nio agar

meninggalkan Kuil.

Nyonya Sun mengajak anaknya pulang, memutuskan untuk terus

mendampingi suami, ingin menunggu kedatangan tikus terbang.

Namun biarpun dia menunggu sampai larut malam, sementara suami dan

anaknya telah tidur lelap, siluman tikus terbang belum juga muncul.

Sun Toa-nio terus menunggu dan dugaannya ternyata tidak meleset,

ketika terdengar bunyi kentongan tiga kali, tiba-tiba terlihat dua ekor tikus

terbang melayang masuk ke kamarnya.

Nyonya Sun tak gentar menghadapi kedua ekor siluman itu.

"Ayo maju, aku siap mengadu nyawa dengan kalian!", serunya.

Sun Toa terjaga dari tidurnya, memeluk anaknya dengan tangan gemetar.Kedua tikus terbang mulai menyerang Sun Toa-nio.

"Demi kebenaran, aku tak takut menghadapi ilmu siluman!". Nyonya Sun

menyabet kedua tikus itu dengan arit yang memang telah disiapkan

sebelumnya.

Akan tetapi kedua tikus itu ternyata amat gesit, selalu berhasil mengelak

sabetan arit nyonya Sun, kemudian balas menerjang, berusaha menggigit

Toa-nio.

Nafas nyonya Sun mulai memburu setelah beberapa saat melawan tikus

terbang tersebut.

Sedang Sun Toa hanya bengong menyaksikan pertarungan isterinya

dengan tikus terbang, tubuhnya menggigil ketakutan.

"Jangan takut", Toa-nio berpaling ke suaminya, "lekas buatkan obor dari

kertas minyak!".

Sun Toa memberanikan diri turun dari pembaringan, selang sesaat dia

masuk kembali ke kamar sambil membawa obor dari kertas minyak

"Bakar binatang-binatang itu!", seru sang isteri.

"Ba... baik". Biar di mulut Sun Toa berkata begitu, namun kaki dan

tangannya gemetar, sulit digerakkan.

Melihat keadaan suaminya, Toa-nio mengambil alih obor dari tangan Sun

Toa, membakar tikus terbang.

Usahanya ternyata membawa hasil, kedua tikus terbang itu berhasil

dibakarnya. Begitu pula tikus-tikus terbang yang muncul kemudian,

semuanya dapat dimusnakannya dengan obor."Dengan cara begini, kita tak perlu lagi takut pada tikus terbang" ucap

sang suami, berseri wajahnya sekarang.

"Memang tak perlu kita takuti, tikus-tikus terbang itu hanyalah ciptaan

dari ilmu hitam", kata Toa-nio.

**Tapi aku khawatir Tosu itu akan menggunakan ilmu yang lebih ganas

lagi", Sun Toa kembali cemas.

"Kau tak perlu takut, yang jahat takkan dapat mengalahkan yang benar!".

Toa-nio berusaha menenangkan suaminya.

Baru selesai Toa-nio berkata, di luar pintu terdengar orang memanggilnya.

"Siapa yang memanggilmu?" Sun Toa mulai ketakutan lagi.

"Akan kulihat", kata Toa-nio tanpa merasa gentar sedikit pun. "Kau dan

Po-jie jangan keluar!".

"Kau harus hati-hati". pesan Sun Toa, cemas. "Jangan khawatir". Toa-nio

keluar sambil membawa obor.

Begitu ia membuka pintu, terlihat hantu raksasa yang berdiri di muka

rumahnya, sangat menyeramkan keadaannya.

Namun Toa-nio benar-benar pemberani.

"Apa maksudmu ke mari!?", tanyanya, tak ngeri berhadapan dengan hantu

raksasa itu.

"Untuk menangkap dan membawamu ke hadapan Cin Kun", sahut sang

hantu seraya menghampiri Toa-nio.

"Jangan kau mendekat!", si nyonya mendekatkan obor ke

diri hantu itu."Oh...", sang hantu ketakutan.

Toa-nio membakar raksasa itu sama seperti tikus terbang, yang dalam

sekejap musna terbakar.

Mengertilah si nyonya sekarang, baik tikus terbang maupun hantu raksasa

itu diciptakan dari guntingan kertas dengan menggunakan ilmu hitam.

Selagi dia bermaksud masuk ke dalam rumah, tiba-tiba terdengar teriakan

minta tolong dari Chiu Siu-cay.

Sun Toa-nio menghampiri asal suara itu. Ternyata banyak sekali tikus

berterbangan di rumah keluarga Chiu.

Toa-nio membakar tikus-tikus itu dengan obor, dalam sekejap sirnalah

kawanan tikus terbang.

Chiu Siu-cay bergegas keluar rumah untuk mengucapkan terima kasihnya.

Isteri dan ibu sang Siu-cay juga mengucapkan terima kasih pada Toa-nio.

***Sekarang tentunya kau telah tahu, bahwa siluman tikus terbang itu

diciptakan dari kertas". Kata Toa-nio pada Chiu Siu-cay.

"Ya", Chiu Siu-cay mengangguk.

"Maka kita tak perlu takut", sambung Toa-nio. "Bila nanti kita melihat

tikus terbang, bakar saja dengan obor! Kuharap kau menyampaikan hal ini

pada para tetangga kita".

"Baik".

"Kita harus membongkar kejahatan Lauw Tosu dan Ouw Cin Kun di muka

orang-orang sekampung", kata Toa-nio lagi. "Asal kita kompak, tak perlu

takut menghadapi Tosu siluman itu lagi".

Sun Toa-nio meninggalkan keluarga Chiu, pulang ke rumah.

"Terima kasih Toa-nio", Chiu Siu-cay bersama isteri dan ibunya menyoja.

(Menyoja = Memberi hormat sambil merangkapkan tangan di depan dada).

"Saya benar-benar kagum pada keberanian Sun Toa-nio", kata isteri Chiu

Siu-cay sepergi nyonya Sun.

"Dia memang wanita pemberani", sambut sang suami. "Jika tak ada dia,

tentu takkan ada yang tahu kalau tikus-tikus terbang itu diciptakan dari

kertas. Sungguh malu aku, sebagai lakilaki tidak seberani Toa-nio ---

Sekarang aku hendak menyebar-luaskan kebusukan Yao To itu. Kita harus

bersatu menghadapinya!".*Benar Siang-kong", sang isteri mendukung.

Kau sendiri juga harus bersikap seperti nyonya Sun, Niocu", kata Chiu Siu-

cay, "berani menghadapi siluman".

"Ya, sekarang saya tak takut lagi", sahut sang isteri.

Keesokan harinya Chiu Siu-cay memberitahukan penduduk desa mengenai

peristiwa semalam.!

Namun ada sementara penduduk yang kurang yakin akan kebenaran cerita

Chiu Siu-cay. Malah ada sebagian yang bernyali kecil tetap pergi meminta

tolong Ouw Cin Kun.

Lauw Tosu amat terperanjat ketika mendengar berita Toanio berhasil

memusnakan siluman tikus terbang, bergegas menemui Ouw Cin Kun,

untuk merundingkan upaya selanjutnya dalam mempengaruhi penduduk

desa.

"Benar-benar brengsek Sun Toa-nio", gerutu Ouw Cin Kun, "dia berhasil

memecahkan ilmuku".

"Bila didiamkan, akan gagallah usaha kita membangun Ban Siu Kiong!",

ujar Lauw Tosu.

"Rupanya mereka mencari mampus". Ouw Cin Kun geram mendengar

berita itu.

"Dalam beberapa hari ini orang yang datang bersembahyang jauh

berkurang", kata si Tosu. "Masihkah kau memiliki ilmu kesaktian

lainnya?".

"Bila aku memohon pada Thian Kun, Thian Kun pasti akan mengajarinya",

sahut Ouw Cin Kun.

*Segeralah berangkat", desak Lauw Tosu.

"Tenang, segalanya pasti beres", ujar Cin Kun, lalu meninggalkan Ceng In

Koan untuk menemui Thian Kun.

Thian Kun tinggal di balik gunung, segala yang dilakukan Cin Kun

berdasarkan petunjuk Thian Kun.

Ouw Cin Kun menceritakan ulah Sun Toa-nio pada Thian Kun.

Semua ini gara-gara kau yang mata keranjang, hingga apa yang kita

rencanakan tak dapat berjalan mulus", kata si kakek yang berambut dan

berjenggot putih itu.

"Saya akui kesalahan saya", ucap Ouw Chin Kun."Sebenarnya, dengan mengandalkan ilmu yang pernah kuajarkan sudah

cukup, tapi kau....".

"Lain kali Tee-cu tak berani lagi". Ouw Cin Kun berjanji di hadapan

gurunya.

"Katakan pada penduduk desa, bahwa Thian Kun akan melindungi mereka,

asal mereka segera membangun 'Ban Siu Kiong'. Tapi kau tak boleh

kemaruk paras cantik, juga jangan sekali-kali membinasakan manusia",

pesan sang guru.


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Lalu Thian Kun menyuruh seorang Totong mengambil sebuah mangkuk

bertutup dan menyerahkan pada Ouw Cin Kun.

"Bawalah mangkuk wasiat itu, di dalamnya terdapat tikus terbang asli".

*Terima kasih Suhu", Ouw Cin Kun menyambut mangkuk tersebut.

Betapa gembiranya perasaan Cin Kun pada saat itu, segera pamit pada

gurunya....

Lauw Tosu ikut gembira ketika mendengar di dalam mangkuk

wasiat terdapat tikus terbang asli.

"Sekali ini aku ingin Sun Toa-nio datang menyembah-nyembah

padaku", kata Ouw Cin Kun sambil tersenyum lebar.

"Masih belum padam hasratmu terhadapnya?", tanya Lauw Tosu.

"Belum", sahut Ouw Cin Kun. "Akan kucoba keampuhan mangkuk

wasiat ini".

"Hati-hati"."Jangan khawatir", ujar Ouw Cin Kun. Kemudian menyoja ke arah

mangkuk wasiat itu seraya berkata: "Teecu Ouw Cin Kun memohon

'Hui Su' (Tikus Terbang) keluar!".

Ketika Cin Kun membuka tutup mangkuk, dari dalamnya mengepul

asap hitam, membuat kedua Tosu itu terperanjat.Dari dalam

gumpalan asap itu muncul seekor tikus terbang yang amat besar,

sangat menakutkan.

"Terbanglah kau mengelilingi kampung", kata Ouw Cin Kun pada si

tikus terbang, "sekedar untuk menakuti penduduk, tapi jangan

sekali-kali mencelakai manusia, bisa dimaki Suhu aku nanti".

Tikus terbang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan

mengerti apa yang diucapkan Ouw Cin Kun, kemudian melayang ke

luar."Cepat kembali!", seru Ouw Cin Kun pada si tikus terbang,

kemudian berpaling ke temannya: "Sekali ini usaha kita pasti

berhasil"

"Tapi kau harus ingat pesan Thian Kun, jangan mata keranjang".

Ouw Cin Kun bukannya mendengarkan peringatan temannya, malah

tertawa: "Ha, ha. Thian Kun ingin disembahyangi banyak orang,

sedang kau tamak harta dan aku suka wanita. Masing-masing

memiliki keistimewaan".

Tikus terbang itu terus berputar-putar, membuat penduduk desa lari

ketakutan.

Ada beberapa orang yang bernyali cukup besar, berusaha membakar

tikus terbang itu dengan obor atau membacok dengan golok. Namun

tikus terbang yang satu ini bukan saja tidak gentar, malah mulai

balas menyerang, hingga beberapa di antaranya terluka kena cakar.

Chiu Siu-cay merupakan salah seorang korbannya.Masih beruntung bagi penduduk desa, serangan-serangan tikus

terbang tak sampai menimbulkan korban nyawa. Kemudian binatang

itu terbang menghilang.

Baru pada saat itu isteri Chiu Siu-cay menghampiri dan memapah

suaminya.

"Sekali ini tikus terbang sungguhan, kita tak dapat melawannya",

kata Chiu Siu-cay pada isterinya.

"Apa yang harus kita lakukan, Siang-kong?", tanya sang isteri.

"Jangan takut Nio-cu, kita tak boleh menyerah pada Tosu siluman",

ujar Chiu Siu-cay, kemudian meninggalkan isterinya.

"Ingin ke mana Siang-kong?".

"Aku ingin menemui Sun Toa-nio untuk merundingkan soal ini".

Sahut Chiu Siu-cay.

Ketika dia tiba di rumah keluarga Sun, terlihat Toa-nio dan

suaminya sedang berusaha mengusir tikus terbang dengan

menggunakan garu dan pentungan.

Chiu Siu-cay mengambil kayu, membantu suami isteri itu mengusir

siluman tikus terbang.

Beberapa waktu kemudian tikus terbang itu berhasil diusir, namun

Toa-nio beserta suami dan Chiu Siu-cay sangat letih.

Persoalan ini tambah lama semakin merepotkan kita", kata Toa-nio

pada Chiu Siu-cay, agak memburu nafasnya.

"Menurut Toa-nio, langkah apa yang harus kita ambil?"."Tosu dari Ceng In Koan menginginkan kita membangun "Ban Siu

Kiong', tikus terbang itu merupakan salah satu alat untuk menakut-

nakuti kita, agar kita sudi membantu pembangunan Kuil itu", sahut

Toa-nio.

"Tampaknya kita harus memenuhi harapan mereka", ujar Chiu Siu-

cay, lesu sikapnya.

"Tidak! Kita tak boleh menyerah pada cara mereka yang kotor". Sun

Toa-nio tak tergoyahkan keyakinannya.

"Tapi bila terus-menerus diganggu oleh siluman tikus terbang, akan

membuat penduduk panik". Kata Chiu Siu-cay.

"Aku sama sekali tak gentar, harus kita lawan terus!", ujar Toa-nio.

"Bila Toa-nio berani, aku pun pantang menyerah", timbul lagi

semangat Chiu Siu-cay.

"Begitulah seharusnya", tambah bulat tekad Sun Toa-nio ketika

mendapat dukungan sang Siu-cay. "Kau adalah orang terpelajar di

kampung kita, kuharap kau dapat meminta bantuan pejabat

setempat. Sedang aku sendiri akan pergi ke Ceng In Koan untuk

berdebat dengan kedua Yao To itu!".

"Baiklah, akan kuminta bantuan pejabat untuk membantumu".

"Hati-hati di jalan", pesan Toa-nio.

Sepergi Chiu Siu-cay, Sun Toa yang sejak tadi berdiam diri, baru

berkata: "Kau tak takut menghadapi para Yao To itu, Nio-cu?"

"Bila kita takut, sikap mereka akan semakin sewenang-wenang",

sahut sang isteri. "Akan kutemui mereka sekarang".

Sun Toa-nio bergegas menuju ke Ceng In Koan, di tengah jalan

bertemu dengan Chi Kung Hok Hud.

Tahukah kau di mana Ceng In Koan?", tanya Chi Kung pada Sun

Toa-nio.

"Apa maksud Taysu ke sana?", Toa-nio balik bertanya.***Kabarnya banyak sekali orang yang bersembahyang ke Ceng In

Koan", sahut Chi Kung, "aku ingin minta arak pada pengurus Kuil

itu".

"Kiranya kau teman para Yao To itu", sikap Toa-nio tak seramah

sebelumnya. "Tentunya kau bukan Hweshio baikbaik".

"He, he, aku memang tak pernah mengatakan begitu", Chi Kung

nyengir.

"Kembali muncul Hweshio yang suka mencelakai penduduk",

tambah dongkol Toa-nio, segera meninggalkan Chi Kung.

"Tunggu nyonya, kau belum memberitahukan di mana Kuil itu!?". Chi

Kung mengikutinya.

"Aku akan ke Ceng In Koan", sahut Toa-nio tanpa berpaling

Ia mempercepat langkahnya, tak menghiraukan Chi Kung lagi.

Chi Kung terus mengikutinya.

Kedatangan Sun Toa-nio di Ceng In Koan disambut Lauw Tosu

dengan sikap sinis.

"Kedatanganmu sekali ini ingin meminta tolong padaku?", tanyanya.

"Bukan, tapi aku ingin memperingatkan kalian!", ujar Toanio dengan

sikap tak senang."Sebaiknya kau patuh pada Ouw Cin Kun, dengan demikian hidupmu

bersama keluarga akan tenang", tambah tak sedap dipandang wajah

si Tosu.

Sun Toa-nio bukannya takut malah semakin berani: "Telah kami

laporkan perbuatan kotor kalian ke pihak yang berwajib".

"Sungguh berani kau!", Lauw Tosu kaget campur geram.

"Tak lama lagi pihak yang berwenang akan mengirim petugas ke

mari untuk membunuh tikus terbang".

"Siapa pun takkan dapat menyirnakan pusaka Thian Kun", kata sang

Tosu dengan sikap menantang.

"Apanya yang disebut pusaka!? Yang jelas itu adalah ilmu siluman".

Kata Toa-nio dengan beraninya.

"Jangan cari penyakit!", Lauw Tosu semakin berang.

"Bila kalian tak juga menghentikan perbuatan kotor itu, jangan

salahkan kami bertindak lebih jauh". Toa-nio sama sekali tak

gentar.

"Kau cari mampus!". Tambah keras suara Lauw Tosu.

"Aku tak takut mati, akan kuhadapi kalian sampai titik daerah yang

penghabisan!".

Chi Kung yang sejak tadi berdiam diri, mulai ikut bicara: "Jangan

kau anggap dengan mengandalkan keberanian dapat menyelesaikan

segalanya".

"Kau sendiri juga bukan Hweshio baik-baik", Sun Toanio berpaling,

marah.

"Jangan galak-galak terhadap orang yang menyucikan diri, nyonya".

Chi Kung memperingati Toa-nio.

"Kau sama dengan Yao To ini, maka tak perlu aku menghormatimu",

ucap Sun Toa-nio.

"Kusarankan, sebaiknya jangan kau mencampuri urusan ini", kata

Chi Kung sambil senyum.*Tak mungkin, aku malah akan mengumpulkan orangorang kampung

untuk menyelesaikan persoalan ini". Sun Toanio tetap ngotot.

"Aku si Hweshio akan membantu kalian membereskan urusan ini",

ujar Chi Kung.

"Bukankah kedatanganmu untuk membantu Yao To?", Sun Toa-nio

menatap heran.

"Bukan", Chi Kung menggelengkan kepala. "Tapi untuk

membantumu".

"Aku tak percaya". "Dengan kehadiranku di sini, kalian akan aman".

"Huh, omong kosong". Sun Toa-nio meninggalkan Kuil.

Chi Kung membiarkan si nyonya berlalu, kemudian berkata pada

pengurus Kuil: "Apakah di sini menyediakan daging dan arak yang

enak, Lauw Toyu!?".

"Orang yang menyucikan diri makan daging dan minum arak!?", si

Tosu terbelalak heran.


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Bukankah kau sendiri juga tamak akan harta?", Chi Kung balik

bertanya."Kau... apa maksudmu sebenarnya?", Lauw Tosu terus

membuka matanya lebar-lebar."Kedatanganku ingin minta bagian".

Chi Kung tersenyum. "Bagian apa?". *Masih pura-pura lagi". "Enyah

kau!", mulai keras suara si Tosu. *Ha, ha, takkan semudah itu kau

dapat mengusirku". "Hmmm, sungguh besar nyalimu". "Sebaiknya

kau suruh Ouw Tosu ke mari!", kata Chi Kung.

"Baik... Tunggulah kau di sini". Lauw Tosu masuk. Dia bergegas

menuju ke ruang rahasia.

Kala itu Ouw Cin Kun sedang asyik bermesraan dengan seorang

wanita.

"Ada apa?", tanyanya kurang senang. Kehadiran temannya telah

mengganggu kesenangannya.

Maaf aku mengganggu", kata Lauw Tosu, lalu menuturkan duduk

soalnya.

"Sungguh kecil nyalimu, didatangi Hweeshio saja sudah ketakutan

begitu", Ouw Cin Kun menyalahkan temannya.*Kedatangannya tampaknya tak bermaksud baik", ujar Lauw Tosu.

"Apa sih kehebatannya?".

"Entahlah... tapi dia berulang kali ingin meminta bagian dari kita",

kata Lauw Tosu. "Sebaiknya kau temui dia"..

"Baik, akan kutemui Hweshio itu". Ouw Cin Kun melangkah keluar.

Lauw Tosu mengikutinya.

Begitu bertemu Chi Kung, Ouw Cin Kun langsung menegur: "Apa

maksudmu kemari?".

"Lauw Tosu tidak memberitahukanmu?", Chi Kung balik bertanya.

"Tentunya kau memiliki sedikit kepandaian hingga berani minta

bagian.". Tambah tak ramah sikap Ouw Cin Kun.

"Kita tahu sama tahu sajalah", ucap Chi Kung dengan nada

mengejek. "Kalian telah menggunakan ilmu sihir untuk menakut-

nakuti penduduk, agar mereka bersedia membangun Ban Siu

Kiong....".

"Ngaco!", potong Ouw Cin Kun.

"Kau lebih brengsek lagi, ingin memuaskan nafsumu terhadap isteri

dan anak gadis penduduk dengan menggunakan ilmu hitam...."

"Bila benar, lalu kau mau apa?", dari malu Ouw Cin Kun jadi berang.

"Yang satu tamak harta, lainnya mata keranjang...", Chi

Kung tertawa, ''sedang aku si Hweshio suka minum, maka

lengkaplah sudah keadaan di sini: Arak, harta dan wanita... ha, ha".

"Jangan kau terus memancing kemarahanku!", hardik Ouw Cin Kun.

"Kenapa harus marah!?".

"Rupanya kau belum tahu akan kehebatan tikus terbang ya!?", Ouw

Cin Kun semakin dongkol. "Thian Kun amat sakti, penduduk harus

berterima kasih karena beliau bersedia melindungi mereka".

"Thian Kun macam apa itu? Maunya disembahyangi --- Aku tak

setuju cara itu!", kata Chi Kung.

"Kau berani menghadapi Thian Kun?".

"Ha, ha, kau kira dengan hanya memiliki ilmu sihir, aku si Hweshio

jadi takut pada Thian Kun!?", Chi Kung tertawa.

"Jangan sombong kau!".

"Biarpun Thian Kun sendiri yang ke mari, aku takkan mundur".

"Sungguh besar mulut, kau!". Ouw Cin Kun semakin panas hatinya.

"Tak usah kita bertengkar dengannya, yang penting dia harus

dihajar biar tak mengoceh lagi!", sela Lauw Tosu.

"Benar, kita gunakan tikus terbang", Ouw Cin Kun menyetujui saran

temannya.

"Permainan anak kecil macam itu takkan dapat menakutiku", Chi

Kung menantang.

"Sudah bosan hidup rupanya kau". Ouw Cin Kun tambah naik pitam.

"Tunggu di sini, akan kuambil tikus terbang untuk mengigitmu

sampai mampus".

*Silakan".

Ouw Cin Kun masuk ke ruang dalam, tak lama dia keluar lagi sambil

membawa mangkuk berisi tikus terbang.

Begitu tiba di hadapan Chi Kung, dia langsung membuka tutup

mangkuk, mengira dapat membuat si Hweshio lari ketakutan.

Namun Chi Kung tetap berdiri tegak di tempatnya."Gigit dia sampai mampus!". Titah Ouw Cin Kun pada tikus terbang

yang muncul dari gumpalan asap.

Chi Kung memandang tikus terbang tersebut sambil menyebut: "O

Mi To Hud (Amitaba)".

Tikus terbang yang semula siap menerkam, ketika melihat Hok Hud,

bukan saja membatalkan maksudnya semula, malah mundur.

Ouw Cin Kun penasaran menyaksikan keadaan itu, berseru berulang

kali : "Gigit, gigitlah Hweshio itu!".

"Ha, ha, memang sulit kau melakukan tapamu", kata Chi Kung pada

si tikus terbang. "Aku tahu riwayatmu, ayo lekas turun, nanti akan

kutunjukkan jalan agar dapat mencapai apa yang kau cita-citakan".

Tikus terbang itu seakan mengerti apa yang dikatakan Chi Kung,

membuatnya ragu.

"Ho Hap Jie Sian (Dewa Ho Hap) penuh kasih sayang, lekaslah kau

menemuinya, pasti membawa kebaikan bagimu", kata Hok Hud lagi.

Si tikus segera menjatuhkan diri di hadapan Chi Kung Hok Hud.

"Oh...!", Ouw Cin Kun berseru kaget. Hal itu benar-benar berada di

luar dugaannya.

"Tikus terbang ini kenapa patuh pada si Hweshio?", tanya Lauw

Tosu pada temannya.

"Aku sendiri heran", sahut Ouw Cin Kun.

"Sudah barang tentu dia lebih mendengar kataku ketimbang kalian".

Ujar Chi Kung sambil tersenyum lebar. "Seandainya kau menyadari

kesalahanmu, aku takkan memasalahkan masa silammu".

"Thian Kun pasti takkan mengampunimu", Ouw Cin Kun tetap

penasaran. Kemudian berpaling ke tikus terbang: "Ayo tikus

terbang, lekas masuk ke dalam mangkukmu!".

*Dia tak sudi lagi mendengar katamu", ujar Hok Hud. Lalu berpaling

ke tikus terbang: "Kau tak boleh membantu Tosu tua itu lagi, agar

dapat lebih cepat mencapai kesempurnaan".

"Ayo lekas masuk!", seru Ouw Cin Kun."Bila kau tetap membantu Tosu tua itu, bukan saja akan

mencelakainya, juga akan membawa mala-petaka bagi dirimu

sendiri". Kata Hok Hud pada si tikus terbang.Tikus terbang itu

tampak ragu."Ayo lakas masuk, Hui Su!", seru Ouw Cin Kun seraya

menyodorkan mangkuk wasiat.

Si tikus terbang bukannya masuk, malah terbang menjauh.

"Ha, ha, apa kataku, dia tak sudi mendengar kata-katamu lagi", Chi

Kung tertawa.

Tikus terbang itu melayang meninggalkan tempat tersebut. "Celaka,

tikus itu hilang". Ouw Cin Kun cemas jadinya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?". Lauw Tosu mengeluh.

"O Mi To Hud, masih belum juga menyesal kalian?", tanya Chi Kung

''Hweshio, kita kan tidak saling bermusuhan, kenapa kau selalu cari

gara-gara!? Kau tak takut pada Thian Kun!?", tanya Ouw Cin Kun

sangat dongkol."Bila kau belum mau sadar juga, kemungkinan kau harus melewati

sisa hidupmu dalam penjara", ujar Hok Hud.

"Siapa pun tak dapat menyusahkanku, sebab Thian Kun selalu

melindungi diriku". Sikap Ouw Cin Kun tetap pongah.

"Kau masih terus mengandalkan Thian Kun?". Chi Kung menuding

Ouw Cin Kun.

"Begitu Thian Kun turun gunung, kau akan segera mampus!", ancam

Ouw Cin Kun.

"Bagus, aku memang ingin bertemu dengannya", ujar Chi Kung

Ouw Cin Kun menggunakan kesempatan itu meninggalkan Kuil Ceng

In Koan, berlari ke gunung.

"Cepat kau kembali!", Lauw Tosu berteriak cemas.

"Ha, ha, kau takut diam sendiri?", Hok Hud memandang Lauw Tosu

sambil senyum.

Lauw Tosu tak menyahut, hanya menatap geram.

"Setelah menyucikan diri, kenapa kau masih tamak akan harta?"

tanya Chi Kung pada Lauw Tosu.

"Aku...", si Tosu tak dapat meneruskan ucapannya.

**Tak lama lagi kau pasti akan mendekam di penjara, harapanmu

menjadi kaya takkan menjadi kenyataan", kata Chi Kung lebih

tegas.

"Aku tak takut, sebab aku dilindungi Thian Kun", ucapLauw Tosu.

Baru selesai si pendeta berkata, telah terdengar orang berseru: "Itu

dia Lauw Tosu!".

Chi Kung dan Lauw Tosu berpaling ke asal suara tersebut. Ternyata

Chiu Siu-cay mengajak sejumlah petugas keamanan ke situ.

"Apa kubilang, petugas keamanan datang untuk menangkapmu",

ujar Chi Kung pada Lauw Tosu.

"Apakah hanya aku yang ditangkap?", lemas sikap si pendeta.

"Ouw Cin Kun juga takkan lolos", sahut Chi Kung."Mana Ouw Yao To?", tanya Chiu Siu-cay begitu berada di hadapan

Lauw Tosu.

"Sedang pergi... tapi segera kembali", sahut si Tosu.

"Kedatangan pihak yang berwajib adalah untuk menangkap kalian

yang terlibat dalam kasus tikus terbang", ujar si Siu-cay.

"Chin Siu-cay tentunya maklum siapa yang bertanggung jawab

dalam kasus ini, aku hanya....".

Chiu Siu-cay tak menghiraukan ucapan sang Tosu, berpaling! ke

petugas keamanan: "Sebaiknya Toaya menangkap Yao To ini!".

"Baik", petugas itu segera memborgol tangan Lauw Tosu.

Selanjutnya bertanya pada Chiu Siu-cay : "Bagaimana dengan

Hweshio ini?". Dia menuding Chi Kung.

"Saya kurang jelas", sahut Chiu Siu-cay.


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Melihat keadaanmu juga bukan seperti Hweshio baikbaik", kata

petugas itu pada Chi Kung. "Kutangkap kau sekalian".

"Lucu, setelah Tosu yang satu kabur, kalian ingin menangkapku

sebagai gantinya", Chi Kung tertawa, membiarkan tangannya

diborgol.

"Bagaimana dengan Ouw Yao To?", tanya Chiu Siu-cay. "Kita tunggu

sampai dia kembali", sahut si petugas. Tiba-tiba Sun Toa-nio datang

bersama orang kampung dengan bersenjatakan pentungan, garu,

pacul dan sebagainya.

Kedatangan mereka adalah untuk menolong para wanita yang telah

ditipu oleh Ouw Cin Kun dan temannya. Sesungguhnya mereka amat

membenci kedua 'Yao To' itu.

"Menurut Lauw Tosu, Ouw Cin Kun pergi ke atas gunung untuk

menemui gurunya". Petugas keamanan memberitahukan Toa-nio.

"Kalau begitu, kita susul ke gunung dan menangkap Yao To itu!".

Toa-nio menyarankan.

"Tapi gurunya tentu pandai ilmu hitam, sulit bagi kita

menghadapinya", ujar Chiu Siu-cay.

"Chiu Siang-kong takut?", tanya Toa-nio."Sulit bagi kita melawan ilmu hitam", Chiu Siu-cay masih ragu-ragu.

"Kita tak usah takut, yang penting kompak!", ucap Toanio.

*Kenapa di desa kita bisa timbul macam-macam kejadian?', tanya

Sun Toa pada isterinya.

Semua ini karena ulah kedua Yao To itu", jawab Toa-nio. Tiba-tiba ia

melihat tangan Chi Kung diborgol, segera menghampirinya.

"Nyatanya kau sejalan dengan kedua Yao To itu, Hweshio".

*Bila kubantah kau tetap tidak akan percaya" ucap Chi Kung

tenang. "Tapi ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada kalian".

"Soal apa?", tanya Toa-nio penasaran.

*Setiap perbuatan baik atau buruk pasti akan ada balasannya". Chi

Kung menjelaskan. "Kalian yang sering berbuat baik, mestinya

dilindungi Thian, tapi kenapa pula sering menghadapi gangguan?"

sambungnya setengah bertanya.

Toa-nio dan lain-lainnya diam.

"Sebabnya, biarpun kau jujur, tapi kau suka menghina orang yang

menyucikan diri". Chi Kung meneruskan ucapannya. "Ada memang

orang yang telah menyucikan diri kurang kuat imannya, hingga

melakukan perbuatan tercela. Tapi itu hanya sebagian kecil saja,

hanya beberapa oknum, jangan kau menyama-ratakan!".

Sun Toa-nio menunduk, mulai menyesali sikap sebelumnya.

"Menghadapi suatu persoalan tak cukup hanya mengandalkan

keberanian saja", kilah Chi Kung lagi.

"Saya tahu", Toa-nio mengangguk.

Baru saja Toa-nio selesai berkata, di kejauhan tampak mendatangi

seorang To-su tua dengan naik awan. Di belakangnya mengikuti

Ouw Cin Kun."Ini dia Hweshionya, Suhu", Ouw Cin Kun menuding Chi Kung.

"Mundur kau, biar aku yang menghadapinya", kata si Tosu tua.

Thian Kun, Tosu tua itu, menghampiri Chi Kung seraya bertanya:

"Kau yang merusak rencanaku?".

"Kedatanganku ke mari justeru ingin membantumu mencapai apa

yang kau cita-citakan", ujar Chi Kung.

"Kau telah melepas tikus terbangku", Thian Kun masih tetap diliputi

kemendongkolan. "Binatang itu adalah pendamping setiaku untuk

mencapai kesempurnaan hidup".

"Tapi kau tak boleh menyuruhnya mencelakai orang!", Chi Kung

menyalahkannya.

Ouw Cin Kun tak dapat mengekang diri, tak menghiraukan cegahan

gurunya lagi, maju ke depan Chi Kung: "Jangan kau berdalih

macam-macam Hweshio, ayo lekas kembalikan tikus terbang kami!"

"Borgol ini memang kusediakan untukmu", ucap Chi Kung. "Jangan

bergerak kau!"

"Oh...", Ouw Cin Kun berdiri kaku.

Segera terjadi keajaiban, borgol yang semula mengikat tangan Chi

Kung, mendadak pindah memborgol tangan Ouw Cin Kun."Tolong saya Suhu!", teriak Ouw Cin Kun.

***Pantas kau besar kepala, kiranya kau memiliki sedikit

kepandaian, Hweshio", kata Thian Kun. "Sudah lebih dari 200 tahun

aku bertapa, dengan harapan dapat jadi Dewa, tapi sekarang...."

"Tak mudah untuk jadi Dewa', potong Chi Kung.

Selama ratusan tahun aku hanya makan buah-buahan dan daun-

daunan, berarti aku sudah setaraf dengan Dewa". Sambung Thian

Kun dengan nada penasaran.

"Masih terpaut jauh".

"Aku menyuruh muridku mendirikan 'Ban Siu Kiong', agar orang-

orang datang bersembahyang, supaya aku dapat lebih cepat

mencapai kesempurnaan --- Salahkah itu?".

Membodohi dan menakut-nakuti penduduk merupakan suatu dosa",

kata Chi Kung.

"Tapi aku kan tak pernah mencelakai manusia", Thian Kun masih

coba menyanggah.

"Tak pandai mendidik murid juga merupakan kesalahan", ujar Chi

Kung sambil senyum.

"Rupanya kau memang sengaja ingin mencari gara-gara denganku".

Thian Kun mulai tak dapat mengekang emosi.

"Bila kau tak dapat mengendalikan emosi, akan membuat tapamu

yang sekian ratus tahun itu hancur sama sekali", Chi Kung

menandaskan.

"Oh... itu...", Thian Kun tertegun.

"O Mi To Hud, kedatanganku ke mari justeru untuk membimbingmu

mempercepat mencapai kesempurnaan hidup!".

Chi Kung memberitahukan Tosu tua itu.

"Benarkah itu?" tanya Thian Kun dengan sikap ragu.

"Sayang sekali kalau jerih payahmu sekian ratus tahun itu menjadi

sia-sia hanya lantaran kau salah jalan", Chi Kung berusaha

meyakinkan.Tiba-tiba Thian Kun sadar, segera berlutut sambil menyoja Chi Kung

: "Tolonglah Sin-ceng memberi petunjuk pada saya".

"Kuharap kau ikut aku ke suatu tempat, di sana kuberitahukan

caranya"

"Terima kasih Sin-ceng", ujar Thian Kun sambil tetap berlutut.

"O Mi To Hud, mulai sekarang kau harus bertapa seratus tahun lagi,

bila telah tiba waktunya, akan kubimbing kau dalam mencapai apa

yang kau cita-citakan".

Chi Kung mengajak Tosu tua itu ke daerah pegunungan.

Baru pada saat itu orang-orang yang berada di situ tahu kalau Chi

Kung adalah Hok Hud (Buddha Hidup), segera menyojanya sebagai

pengungkapan rasa syukur mereka.

Ouw Cin Kun dan Lauw Tosu digiring ke kantor pihak yang berwajib

untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka.

________ooo_________ISTANA SESAT

Di luar kota Hu Seng terlihat seorang pemuda bernama Liong Siao

Beng yang bermaksud pulang ke kampung halamannya.

Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang gadis yang lari

ketakutan.

"Apa yang telah terjadi nona?", tanya Siao Beng ketika gadis itu

lewat di dekatnya.

"Ada yang ingin menangkapku", sahut si gadis sambil berpaling

tanpa menghentikan larinya.

"Siapa dia?". Siao Beng mengikutinya.

"Orang dari Bi Kiong (Istana Sesat)". Baru pada saat itu si gadis

menghentikan langkahnya.

"Apa itu Bi Kiong?". Siao Beng minta penjelasan lebih jauh.

"Saya... tak tahu". Tiba-tiba si gadis membelalakkan mata, berseru

kaget: "Celaka! Mereka datang!".

"Jangan takut nona". Siao Beng berusaha menenangkan si gadis

sambil memandang ke arah yang membuat si gadis kaget.

Ternyata ada laki-laki bertubuh tegap tengah mendatangi. . "Minggir

bocah!". Hardik si pengejar begitu berada di dekat Siao Beng.

"Kaukah orang dari Bi Kiong?". Siao Beng tak gentar sedikit pun."Minggir Siao-cu!". Bentak orang itu. "Jangan kau cari penyakit!".

"Apa maksudmu mengejar nona ini?", tanya Siao Beng lagi. tanpa

merasa takut.

"Aku diperintahkan untuk menangkapnya. Jangan cobacoba kau

menghalangi maksud kami!". Laki-laki itu tambah berang.

"Aku tak dapat berpeluk tangan menyaksikan keadaan yang tak

adil", ujar Siao Beng dengan beraninya.

"Kau benar-benar berani mencampuri urusan Bi Kiong!".

Menyaksikan keadaan yang bertambah tegang, si gadis melarikan

diri lagi.

"Jangan kabur kau, Tian Siok Cin!". Laki-laki dari Bi Kiong itu

bermaksud mengejarnya.

"Kau tak kuperkenankan mengejarnya!", Siao Beng menghalangi

maksudnya.

"Huh, sungguh besar nyalimu". Orang Bi Kiong melotot.

"Katakan dulu sebabnya, baru kau boleh mengejarnya!". Siao Beng

berdiri tegak di depan orang itu.

"Kau cari mampus!", hardik pria bertampang garang itu sambil

mencabut senjata yang berupa rantai, yang pada kedua ujungnya

diikat badi-badi.

Namun Liong Siao Beng tetap tak gentar.

Laki-laki dari Bi Kiong tak dapat lagi menahan amarahnya,

menyerang Siao Beng.

Sebagai seorang Piao-su dari kota Heng-yang, Siao Beng telah biasa

menghadapi lawan yang ganas, maka tetap tenang sikapnya dalam

menghadapi orang Bi Kiong ini.


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


(Piao-su = Pengawal barang dari perusahaan ekspedisi).

Terjadi perkelahian yang cukup seru, selanjutnya Siao Beng berhasil

mendesak dan merebut senjata lawan, bahkan kemudian

menjatuhkannya.Sebenarnya dengan mudah Siao Beng dapat membunuh lawannya,

tapi tak dilakukannya.

"Aku tidak bermaksud melukaimu, sebab di antara kita tidak saling

berdendam", katanya. "Tapi kau harus memberitahukan sebabnya"

"Sesungguhnya aku penduduk desa di Bukit Batu, tapi telah dipaksa

jadi budak di Bi Kiong oleh Hok Ong" tutur orang itu.

"Aku tak percaya ada kejadian semacam itu", ujar Siao Beng.

"Kau pasti telah lama berkelana, hingga tak tahu apa yang terjadi

belakangan ini di desa-desa yang terletak di kaki Cio-leng (Bukit

Batu)".

*Telah tiga tahun aku menetap di kota Heng-yang". Siao Beng

menerangkan.

"Bila demikian, dapat kau tanyakan pada keluargamu", ujar orang Bi

Kiong sambil cepat-cepat meninggalkan si pemuda

Liong Siao Beng tidak mencegahnya, tapi berusaha mengejar si

gadis yang melarikan diri.

Tak lama kemudian dia berhasil menyusul nona Tian. "Tunggu

nona!", panggilnya.

"Oh!". Gadis itu berpaling kaget, tapi segera tenang perasaannya

ketika melihat yang menyusulnya adalah Liong Siao Beng.

*Ke mana orang Bi Kiong itu?", tanyanya. "Kabur pulang"

"Terima kasih atas pertolonganmu", ucap si gadis. "Tapi sebaiknya

kau cepat menyingkir, orang-orang Bi Kiong tentu takkan sudi

melepaskanmu begitu saja". .

"Aku tak takut, aku ingin tahu sebabnya".

"Kau benar-benar tak tahu persoalan Bi Kiong?", si gadis menatap

heran.

"Apa itu Bi Kiong? Di mana letaknya?", Liong Siao Beng balik

bertanya.

"Orang-orang Bi Kiong memaksa para muda-mudi masuk ke istana,

tiada yang berani melawan...."."Kenapa tidak dilaporkan ke pihak yang berwajib?". "Pernah

memang pihak yang berwajib memeriksa istana itu, tapi mereka tak

pernah kembali lagi", nona Tian menerangkan, "Maka sebaiknya kau

buron saja".

"Tidak, aku tak takut!", ujar Siao Beng. "Ke mana tujuan nona

sekarang?", tanyanya lebih lanjut.

"Aku tak berani pulang". Si gadis menunduk sedih.

"Bila nona tak keberatan, sebaiknya untuk sementara tinggallah di

rumahku". Siao Beng menawarkan jasa baiknya.

"Aku khawatir akan merepotkanmu". "Sama sekali tidak".

Setelah saling memberitahukan nama masing-masing, Tian Siok Cin

ikut ke rumah Siao Beng.

Kembalinya Liong Siao Beng ke kampung halaman lantaran

mendapat kabar, bahwa ayahnya jatuh sakit.

Setiba di rumah, Siao Beng menceritakan apa yang dialami di jalan

pada ibunya.

"Itu sebabnya saya mengajak nona Tian ke mari, biarlah untuk

sementara dia tinggal bersama kita".

"Liong Pek-bo", sapa Tian Siok Cin.

Ibu Siao Beng menghibur si gadis: "Bi Kiong jauh dari sini, kau lebih

aman tinggal di sini"."Tapi saya takut...", Siok Cin tak meneruskan ucapannya.

"Kurasa orang-orang Bi Kiong takkan sudi menyudahi persoalan ini".

Ayah Siao Beng yang sejak tadi berbaring di ranjang, mulai ikut

bicara, kemudian bertanya pada Siok Cin: "Tahukah orang tuamu,

bahwa kau berhasil melarikan diri dari tangan orang-orang Bi

Kiong?".

"Belum paman", sahut Siok Cin. "Saya berhasil melarikan diri

sebelum tiba di Bi Kiong dan di tengah jalan bertemu Liong Toako".

"Orang-orang Bi Kiong pasti akan terus mencari nona Tian", ujar

ayah Siao Beng penuh diliputi kecemasan juga.

*Thia tak usah khawatir akan hal itu", kata Siao Beng.

"Kau tentu belum tahu akan kelihaian orang-orang Bi Kiong, Beng-

jie", ujar sang ayah, tetap cemas.

"Saya tak takut". Siao Beng tetap percaya pada diri sendiri.

"Kabarnya Hok Ong dan isterinya suka memakan bayi dan juga

menghisap darah manusia". Sela Tian Siok Cin.

"Kalau begitu mereka tentu bukan manusia, tapi iblis!". Siao Beng

mengernyitkan alis.

"Kudengar orang-orang yang telah masuk Bi Kiong tak dapat keluar

lagi, hanya para pembantu yang setia saja yang bebas keluar

masuk", tutur ayah Siao Beng. "Aku tahu kau pandai silat, tapi

mereka memiliki ilmu siluman!".

"Tenanglah Thia". Siao Beng berusaha menenangkan ayahnya,

kemudian berpaling ke Siok Cin: "Sekarang aku ingin ke rumah nona

Tian untuk memberitahukan orang tuamu".

"Aku jadi merepotkan Toako saja", kata Siok Cin. "Sudah

sepatutnya sesama manusia saling membantu".

Siao Beng pamit pada orang tuanya, pergi ke rumah keluarga Tian,

agar orang tua Siok Cin tak selalu cemas memikirkan anaknya.

Jarang sekali orang yang berlalu lalang di sepanjang jalan yang

dilalui Liong Siao Beng dan tak ada pemuda atau pemudi yang

terlihat.Siao Beng berhasil menemukan rumah Siok Cin setelah bertanya ke

sana ke mari.

Namun kedua orang tua Siok Cin tak ada di rumah, Siao Beng hanya

berhasil bertemu dengan nenek si gadis. Dia mengutarakan

kedatangannya ke situ.

"Aku adalah nenek Siok Cin". Menerangkan perempuan tua itu.

"Cucuku berhasil meloloskan diri dari tangan orang-orang! Bi Kiong

dan kini berada di rumahmu?".

"Benar nek". Sahut Siao Beng, lalu balik bertanya: "Kalau boleh

saya tahu, pergi ke mana paman dan bibi Tian?".

"Orang tua Siok Cin pergi ke Bi Kiong untuk memohon belas

kasihan, tapi sampai sekarang belum kembali". Menerangkan si

nenek.

"Oh".

*Entah bagaimana keadaan anak dan menantuku?". Nenek Siok Cin

menghela nafas. "Mungkin telah terjadi sesuatu yang tak

diinginkan".

"Saya akan pergi ke Bi Kiong untuk mencari paman dan bibi Tian",

ujar Siao Beng kemudian.

"Jangan kau ke sana...", cegah si nenek. "Jangan khawatir nek".

"Jangan..." Namun Siao Beng segera berlalu.Di jalan Siao Beng melihat wajah-wajah murung, bahkan ada yang

ketakutan, pergi mengungsi.

"'Pernahkan Lopek bertemu dengan suami-isteri keluarga Tian?",

tanya Siao Beng pada salah seorang pengungsi.

"Tidak". Pria yang ditanya menggelengkan kepala.

"Mungkin mereka pergi ke Cio-leng". Siao Beng mengemukakan

dugaan.

"Cio-leng... jangan kau ke sana", kata laki-laki setengah baya yang

bermaksud mengungsi itu. "Keadaan Bi Kiong di Cioleng amat

menakutkan".

"Saya tak takut", kata Siao Beng.

"Kusarankan sebaiknya kau cepat-cepat meninggalkan tempat ini".

Ujar pria itu, lalu cepat-cepat mengajak isterinya yang

menggendong anak meninggalkan Siao Beng.

Melihat orang-orang menjadi ketakutan, Siao Beng tambah gemas

dengan adanya Bi Kiong.

Dia memutuskan untuk pergi ke Bi Kiong mencari orang tua Tian

Siok Cin, sekalian ingin tahu keadaan Istana Sesat itu.

Ketika dia berada di dekat Cio-leng, terlihat olehnya dua orang Bi

Kiong tengah menyeret seorang tawanan, seorang gadis!

Siao Beng cepat menghampiri mereka, tapi telah dihalangi oleh

salah seorang dari Bi Kiong.

"Cepat lepaskan gadis itu!", hardik Siao Beng.

"Sungguh besar nyalimu mencampuri urusan orang lain". Kata orang

Bi Kiong, geram sekali.

"Aku justeru ingin ke Bi Kiong untuk menemui Hok Ong dan

isterinya". Siao Beng berterus terang.

"Kau pasti bocah yang menolong Tian Siok Cin beberapa hari yang

lalu", si orang Bi Kiong menduga.

Bila benar, kau mau apa?", ujar Siao Beng dengan sikap menantang."Akan kutangkap kau!". "Silakan!". Orang dari Bi Kiong mencabut

golok, menyerang Siao Beng.

Namun Liong Siao Beng bukanlah pemuda yang lemah, dia tidak

saja tak gentar menghadapi lawan yang bersenjata, malah sering

membuat lawannya terdesak.

Melihat temannya terdesak, orang Bi Kiong satunya ikut maju

mengeroyok Siao Beng.

Tapi mereka bukanlah tandingan si pemuda she Liong, dalam waktu

yang tak begitu lama, bukan saja senjata mereka berhasil direbut

Siao Beng, malah diri mereka menderita luka, tak berani maju lagi.

"Sungguh besar nyalimu bocah, hingga berani melukai kami...", kata

salah seorang yang tampaknya masih penasaran.

"Kusarankan agar kalian tidak membantu siluman mencelakai

orang-orang yang tak berdosa", ujar Siao Beng.

"Bila kau benar-benar pemberani, tunggulah di sini!", ucap salah

seorang Bi Kiong sambil mengajak temannya meninggalkan Siao

Beng.

"Aku tak perlu menunggu, sebab aku memang bermaksud ke Bi


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kiong", sahut Siao Beng. Lantas berpaling ke arah si gadis:

"Sebaiknya nona segera meninggalkan tempat ini".

"Jangan kau ke Bi Kiong!", cegah si gadis. "Setiap orang yang

masuk ke sana, takkan pernah dapat keluar lagi".

"Aku justeru tak percaya ada Bi Kiong begitu menakutkan". Liong

Siao Beng tetap berkeras hati.

"Jangan kau mengantarkan nyawa secara percuma", si gadis masih

berusaha mencegah

"Tak usah kau pedulikan aku". Siao Beng mengikuti kedua orang Bi

Kiong. "Cepat nona tinggalkan tempat ini!".

Siao Beng terus mengikuti kedua laki-laki Bi Kiong hingga tiba di

mulut goa di puncak Cio-leng.

Kedua orang Bi Kiong segera masuk ke dalam goa.Siao Beng ikut masuk. Namun dia lantas kehilangan jejak kedua

lawannya.

Lorong di dalam goa berliku-liku, semakin ke dalam, kian bingung

Siao Beng mencari jalan keluarnya.

Siao Beng terus berputar-putar di dalam goa, biarpun dia pemberani,

namun mengalami hal seperti itu, ia menjadi bingung, bahkan mulai

cemas.

Entah telah berlalu beberapa waktu, tenaga Siao Beng ter

kuras habis dan perutnya pun terasa lapar benar, membuatnya

lemas....

***

Di lain pihak, orang tua Siao Beng dan Tian Siok Cin menanti-nanti

kembalinya Siao Beng. Makin lama mereka jadi semakin cemas

karena yang ditunggu tak kunjung muncul.

"Kenapa Liong Toako belum juga pulang?". Siok Cin tak dapat

menahan diri dalam mengungkap kecemasannya.

"Asal saja dia tak pergi ke Bi Kiong, kita tak perlu

mencemaskannya", ayah Siao Beng berusaha menenangkan si

gadis.

"Saya justeru khawatir dia pergi ke Bi Kiong", Tian Siok Cin

mengemukakan dugaan.

"Kurasa tidak". Sekali ini ibu Siao Beng yang bicara.Semua ini gara-gara diri saya, maka saya tak dapat berpeluk

tangan". Kata Siok Cin selanjutnya.

"Apa yang ingin nona lakukan?", tanya ibu Siao Beng.

"Saya ingin pulang ke rumah untuk melihat apa sebabnya Liong

Toako belum juga kembali". Siok Cin menerangkan.

"Jangan nona, akan berbahaya bagimu". Cegah ibu Siao

Beng.

"Telah tiga hari Liong Toako tak kembali, pasti telah terjadi hal-hal

yang tak diinginkan".

"Tunggulah satu, dua hari lagi". Ayah Siao Beng turut pula

mencegah

"Tidak, saya harus segera pulang". Tian Siok Cin tetap pada

pendiriannya.

"Nona Tian...", ibu Siao Beng masih berusaha mencegahnya.

Namun Siok Cin tetap pamit, meninggalkan keluarga Liong, pulang

ke rumahnya tanpa menghiraukan lagi cegahan orang tua Siao

Beng.

Setiba di rumah hanya neneknya saja yang dijumpainya.

Dari keterangan neneknya baru dia tahu, bahwa orang tuanya

maupun Siao Beng pergi ke Bi Kiong.

"Liong Toako tentu bermaksud menolong Thia dan Nio". Tambah

cemas Siok Cin jadinya.

"Orang tuamu pergi ke Bi Kiong demi kau. Sedang pemuda she

Liong itu...", kata sang nenek, "rasanya pergi ke Istana Sesat itu

juga".

"Apa yang sebaiknya kita lakukan nek?", tanya Siok Cin tambah

gugup.

''Entahlah". Sang nenek menggelengkan kepala.

"Saya akan menyusul mereka ke Bi Kiong, Popo", kata Siok Cin.

"Mau apa kau ke sana juga?"."Saya akan memohon pada Hok Ong agar sudi membebaskan

mereka".

"Jangan pergi Siok Cin", cegah si nenek. "Saya harus ke sana,

Popo.". Siok Cin kukuh tekadnya.

Kala itu Tian Siok Cin sudah tidak mempedulikan lagi bahaya yang

dapat mengancam dirinya. Setelah pamit pada neneknya, ia segera

naik ke Cio-leng dan bertemu dengan dua orang dari Bi Kiong.

Siok Cin bukan saja tidak gentar, malah langsung menghampiri

mereka seraya bertanya: "Apakah kalian melihat pemuda she

Liong?'

"Ha, ha, pemuda yang sok berani itu kini telah hampir mati

kelaparan di Bi Kiong", sahut salah seorang yang ditanya. "'Dia

telah dipenjarakan oleh raja kami".

*Tolong Jiwie mengantarkan saya menemui Hok Ong", pinta Siok

Cin.

Kedua orang Bi Kiong segera mengajak Siok Cin menemui Hok Ong

di dalam goa.

Hok Ong ternyata seorang raja tua yang kumis dan jenggotnya telah

memutih.

"Apa maksudmu ke mari?", tanya Hok Ong, garang sikapnya.

"Sudilah Ong-ya membebaskan pemuda she Liong". Siok Cin

memohon sambil menyoja.

"Dia apamu? --- Bila kau mencintainya, akan kunikahkan kalian".

"Dia pernah menolong saya, maka saya ingin membalas budinya",

sahut Siok Cin. "'Di samping itu saya mohon agar Ongya sudi

membebaskan juga kedua orang tua saya".

"Setiap orang yang masuk Bi Kiong tak dapat keluar lagi".

"Tapi saya sering melihat orang-orang Ong-ya keluar", kata Siok Cin.

"Mereka adalah pembantuku yang setia", ujar Hok Ong. "Sedang

bocah she Liong itu keras kepala, tak sudi mendengar perintahku".

"Biar nanti saya membujuknya agar patuh pada Ong-ya", ucap Siok

Cin. "Dia masih belum berpengalaman, sering membawa caranya

sendiri, harap Ong-ya sudi memaafkannya".

"Sesungguhnya aku menyukainya, hanya sayangnya dia kepala

batu". Ujar Hok Ong.

"Izinkanlah saya menemuinya untuk membujuknya, Ongya". Siok Cin

kembali memohon.

"Dapatkah kau?" "Saya yakin dapat". Tian Siok Cin mengangguk

pasti.

"Seandainya kau dapat membujuknya, aku bersedia mene rimanya

sebagai prajurit di sini". Lalu memerintahkan seorang pembantunya:

"Ajak Tian Siok Cin ke penjara!".

"Baik Ong-ya", sahut sang pembantu.

Pria itu segera mengajak Siok Cin ke penjara-air di bawah tanah.

Terlihat Liong Siao Beng dan orang tua Siok Cin serta beberapa

orang lainnya amat menderita direndam di penjara-air yang

merupakan kolam yang cukup luas.

Liong Siao Beng dan kedua orang tua Siok Cin disuruh naik untuk

bertemu dengan si gadis.

Ibu Siok Cin langsung memeluk anak gadisnya."Bila tahu kau dapat meloloskan diri, kami takkan masuk ke Bi

Kiong", ucap sang ibu dengan bersimbah air mata.

"Nio..., saking terharu Siok Cin pun tak dapat menahan

menggulirnya air mata.

"Masih untung Ong-ya tidak membunuh kami, hanya mengurung

kami di penjara-air".

"Sabarlah Nio, saya akan berusaha membebaskan kalian". Tutur

Siok Cin, kemudian berpaling ke arah Siao Beng: "Liong Toako....".

Tapi yang disapa berdiam diri. "Aku telah merepotkan Toako...",

ucap Siok Cin lagi. Siao Beng tetap bungkam.

"Kedatangannya ke mari untuk menolong kami, tapi malah dirinya

kena ditawan Ong-ya". Ayah Siok Cin menerangkan.

Tan Siok Cin lebih mendekati si pemuda: "Toako....".

"Tak seharusnya kau ke mari". Baru pada saat itu Siao Beng

bersuara.

"Bila kau ingin hidup, hendaknya patuh pada Ong-ya", bujuk Siok

Cin.

"Aku tak sudi membantunya melakukan kejahatan". Liong Siao Beng

tetap kukuh pada pendiriannya.

"Kau salah mengerti akan maksudku, Liong Toako", kata Siok Cin,

lirih. "Asal saja kau berhasil memperoleh kepercayaan Hok Ong, kau

dapat....".

"Dapat bebas keluar masuk Bi Kiong, begitu maksudmu?", potong

Siao Beng. "Lalu bagaimana dengan kalian?".

"Asal saja kau dapat meloloskan diri, kita pasti akan dapat saling

jumpa lagi pada suatu hari nanti". Kata Siok Cin, tetap perlahan

suaranya. "Apa pula kini ayahmu sedang sakit, butuh

perawatanmu".

"Ya, sebaiknya kau turuti saran Siok Cin". Ayah Siok Cin ikut bicara.

"Tapi kau...". Siao Beng mengawasi Siok Cin, tetap ragu dia."Tak usah Toako khawatirkan diriku, untuk sementara aku aman di

sini". Siok Cin terus memberi dorongan.

Sesaat Siao Beng diam, seakan sedang mempertimbangkan usul itu,

kemudian mengangguk: "Baiklah".

Berseri wajah Siok Cin, berpaling ke diri pembantu Hok Ong yang

berdiri agak jauh: "Tolong ajak kami menghadap Ong-ya".

"Baik nona", sahut orang Bi Kiong itu.

Dengan demikian mereka meninggalkan penjara-air, naik ke tingkat

atas untuk menemui Hok Ong.

Liong Siao Beng menyatakan kesediaannya mengabdi, Hok Ong

langsung menerimanya.


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Asal kau setia mengabdi padaku, setelah aku selesai membangun

istana bawah tanah, kau pasti akan mengecap kesenangan", kata

Hok Ong. Kemudian berpaling ke Siok Cin: "Aku tahu kau menyintai

Liong Siao Beng, kurestui hubungan kalian".

"Tapi Ong-ya...", wajah Siok Cin bersemu merah. "Tak usah malu-

malu", kata sang raja. "Tapi dengan syarat,

nantinya setiap kau melahirkan, bayi kalian harus diserahkan

padaku, bila tidak, akan kurenggut nyawa kalian".

Tapi saya dan nona Tian bukan suami isteri", kata Siao Beng.

"Kau tak ingin memperisteri Tian Siok Cin?" tanya Hok! Ong."Maksud saya...."

"Kau bebas memilih wanita lain", potong Hok Ong, "setiap orang

yang ada di Bi Kiong bebas menggauli lawan jenisnya".

"Untuk sementara kami belum bermaksud meresmikan hubungan

sebagai suami isteri, Ong-ya". Siok Cin mulai ikut bicara.

"Kuharap kau dapat segera hamil", ujar Hok Ong. "Tapi aku takkan

memaksa kalian, hanya jangan sekali-kali kalian mencoba

menentangku, sebab itu akan dapat membahayakan nyawa kalian".

"Kami takkan berani berbuat begitu, Ong-ya", berkata Siao Beng.

"Mudah-mudahan begitu", Hok Ong tersenyum puas. "Sekarang

kalian boleh turun ke tingkat bawah untuk melaksanakan tugas

masing-masing".

"Baik Ong-ya". Sahut Siao Beng dan Siok Cin dengan suara hampir

bersamaan...

Sejak saat itu Siao Beng ditugaskan mengawasi para tawanan. Dia

mulai mengenakan seragam Bi Kiong.

Orang-orang yang ditawan pihak Bi Kiong dipaksa bekerja keras.

Bagi yang tak kuat melakukan pekerjaan, akan dihisap darahnya

oleh Hok Ong.

Sedangkan petugas kepercayaan Hok Ong bebas menggauli para

tawanan wanita.

Segalanya itu telah menambah kebencian Siao Beng pada Hok Ong.

Namun dia sadar kalau Hok Ong bukanlah manusia!

Siao Beng berusaha keras mencari jalan keluar dari Bi Kiong. Berkat

usahanya yang tak mengenal putus asa, pada suatu hari dia berhasil

menemukan jalan yang dimaksud, bergegaslah dia keluar dari Bi

Kiong.

Keadaannya bagaikan ikan yang lolos dari jaring, berlari menuruni

bukit batu.

Namun sebelum dia sempat mencapai kaki bukit, tiba-tiba terlihat

seorang nenek mengejar dengan melayang di angkasa.Dalam sekejap nenek itu telah melayang turun di depan Siao Beng,

menghadang langkah maju si pemuda.

"Sejak semula aku telah curiga, bahwa kau hanya pura-pura tunduk

pada Hok Ong", ujar nenek itu. "Kau rupanya memang telah bosan

hidup ya!?".

"Aku...", Siao Beng ragu sejenak, kemudian meneruskan, "aku ingin

menjenguk orang tua".

"Tak usah kau berdalih macam-macam! Ayo lekas kembali!", titah si

nenek.

"Tidak mau!", jawab Siao Beng. "Aku ingin turun gunung".

"Kau rupanya ingin memaksaku turun tangan ya!?", si nenek mulai

berang.

"Akan kubunuh kau, nenek siluman!". Liong Siao Beng mencabut

senjata.

"Sungguh besar nyalimu, bocah --- Akan kuhisap darahmu!". Si

nenek siap menerkam,

Siao Beng mendahului menusukkan senjatanya, tapi tubuh nenek itu

tak mempan senjata, kebal, membuat Siao Beng jadi amat

terperanjat dan berusaha melarikan diri.

Namun nenek berambut putih yang dapat terbang itu lebih cepat

geraknya, dalam sekejap dia telah berhasil menyusul si pemuda,

siap mencengkeramnya....Akan tetapi tiba-tiba melayang sebuah kipas butut yang

memancarkan sinar keemasan, menyilaukan pandang.

Si nenek terperanjat, batal mencengkeram Siao Beng, melejit ke

angkasa untuk menghindari sambaran kipas butut, kemudian baru

dia turun di depan seorang Padri yang mengenakan jubah penuh

tambalan.

Ternyata Chi Kung Hok Hud datang menolong Liong Siao Beng.

"Apa maksudmu mencampuri urusanku Hweshio? Kita kan tidak

saling bermusuhan, apa lagi berdendam!", hardik si nenek.

"Lekaslah kau pulang ke sarangmu, nasehati suamimu agar jangan

melakukan lagi perbuatan yang tidak patut!". Ujar Chi Kung sambil

senyum.

"Enak benar bicaramu --- Apa dasarnya?", si nenek tambah dongkol

"Sekarang masih belum terlambat kalian merobah kelakuan yang

tak terpuji itu", Chi Kung memperingatkannya.

"Rupanya kau memang sengaja ingin mencari gara-gara dengan

kami!?'. Si nenek melotot.

"Kedatanganku justeru ingin menolong kalian". Hok Hud

menegaskan.

"Kami tak butuh pertolonganmu!", ujar si nenek dengan pongahnya.

""Bila kalian masih juga melakukan perbuatan terkutuk itu,

Pengadilan Langit tentu akan menghukum kalian. Bila sudah begitu,

menyesal pun takkan ada gunanya". Sikap Chi Kung tetap sabar.

*Tak ada gunanya kau menakut-nakuti kami". Kata si nenek, geram.

"Kau kira bila berhasil membangun Bi Kiong, kalian dapat terlepas

dari Hukum Langit!?".

"Sudah jangan banyak bicara!", bentak si nenek sambil bersiap-siap

menyerang.

"Kau ingin mengajakku berkelahi?", Chi Kung menatap nenek itu

sambil senyum.

"Akan kuhisap darahmu!". Si nenek menerkam."O Mi To Hud", Chi Kung Hok Hud menggerakkan kipas, yang

membuat si nenek terpental dan jatuh terguling.

Namun nenek itu cepat bangkit seraya berkata: "Lumayan juga

kepandaianmu, Hweshio!".

"Aku memang sengaja tak ingin melukaimu!". "Apa maumu

sesungguhnya?"."Aku ingin kau membebaskannya", Chi Kung seraya

menunjuk Siao Beng, di samping itu akan kumusnakan Bi Kiong dan

mengajak kau dan suamimu meninggalkan gunung ini!".

"Kau kira mudah untuk menghancurkan Bi Kiong1?". Kata si nenek

dengan sikap menantang.

"Kau tak sudi mendengar saranku?", tanya Chi Kung.

"Sudah jangan banyak mulut!", hardik si nenek. "Hiiaaatt!".

Tiba-tiba tubuhnya berpusing, makin lama semakin cepat

berputarnya, yang menimbulkan sampokan angin kencang,

kemudian berobah menjadi angin puyuh, membuat pasir dan

batubatu krikil beterbangan.Saking kagetnya Siao Beng

membalikkan tubuh sambil menutupi muka.Namun Chi Kung tetap

tenang, mengangkat kipas bututnya.Kipas itu lantas memancarkan

sinar dan perlahan-lahan angin puyuh itu reda dan tubuh si nenek

berhenti berputar. "Tunggu kau di sini, jangan kabur!". Ujar nenek itu, lalu

membalikkan tubuh.

"Jangan khawatir, akan kutunggu kedatangan suamimu", ucap Chi

Kung.

Si nenek bagaikan angin melesat ke atas bukit.

"Mari kita kejar, Taysu". Siao Beng bermaksud mendaki bukit.

"Tunggu!", cegah Hok Hud.

"Bukankah Taysu ingin pergi ke Bi Kiong untuk membasmi

siluman!?", tanya Siao Beng.

"Mereka akan menemuiku di sini", Chi Kung menerangkan.

"Kita gunakan kesempatan ini untuk menolong orang-orang yang

tertawan di sana". Siao Beng mengemukakan pendapat,

"Bila kita naik sekarang, takkan dapat menolong orangorang yang

tertawan", ujar Hok Hud. "Aku ada cara lain untuk menolong

mereka".

"Bagaimana caranya, Taysu?".

"Kita tunggu sampai suami-isteri itu datang menemuiku, bila

mereka telah kemari, diam-diam kau naik ke atas bukit untuk

membebaskan para tawanan", Chi Kung menerangkan. "Itu mereka

datang!"

Siao Beng cepat berpaling ke arah yang dituding Chi Kung, terlihat

Hok Ong dan isterinya melayang turun dari atas bukit.

"Ini dia Hweshionya". Si nenek menuding Chi Kung begitu

menjejakkan kaki di tanah.

"Huh!", Hok Ong menggeram. "O Mi To Hud". Sambut Hok Hud

sambil senyum."Hei Hweshio, kenapa kau ingin cari gara-gara denganku!?", hardik

Hok Ong.

"Kedatanganku justeru ingin menasehati kalian, jangan berbuat

jahat". Hok Hud menerangkan

Huh, jangan macam-macam kau!", Hok Ong semakin marah.

"Bila kalian tetap keras kepala, aku akan menangkap kalian, agar

tidak lagi mencelakai manusia". Tetap tenang sikap Chi Kung.

"Sungguh sombong kau!". Hok Ong melotot. "Sebaiknya kalian

mendengar kataku!". "Kau kira kami takut padamu?"

"Sesungguhnya Thian adalah Pengasih dan Penyayang", kata Chi

Kung. "Aku sendiri pantang membunuh".

"Dia rupanya ingin menangkap kita hidup-hidup", kata si nenek pada

suaminya.

"Akulah yang akan menangkapnya", kata Hok Ong. "Mari kita serang

dia!".

"Baik", sambut sang isteri.

Kedua suami-isteri siluman itu mengeroyok Hok Hud. Namun


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


mereka tak dapat mendekati apalagi menghantam sang Padri sakti,

sebab setiap kali ingin mendekat, selalu dibikin terpental oleh

kebutan kipas Chi Kung.Liong Siao Beng menggunakan kesempatan itu meninggalkan

gelanggang pertarungan, lari secepatnya ke atas gunung.

Setiba di dalam goa, Siao Beng menceritakan pada para pembantu

Hok Ong mengenai kedatangan Hok Hud yang hendak

membebaskan orang-orang dari Bi Kiong.

"Benarkah ada kejadian semacam itu?", tanya salah seorang

pembantu Hok Ong penuh diliputi keraguan.

"Hendaknya kalian memanfaatkan keadaan sekarang ini untuk

kembali ke rumah masing-masing", ujar Siao Beng, "bila kalian tidak

cepat buron, kemungkinan besar akan mati".

"Bagaimana denganmu?", tanya salah seorang pembantu Hok Ong

pada Siao Beng.

"Aku akan menuju penjara bawah tanah untuk membebaskan para

tawanan". Liong Siao Beng menjelaskan. "Lekaslah kalian

tinggalkan tempat ini, aku akan membakar istana sesat ini".

Para pembantu Hok Ong bergegas meninggalkan tempat itu.

Liong Siao Beng memasuki penjara bawah tanah, menjelaskan

duduk soalnya pada para tawanan, menyuruh mereka segera

meninggalkan tempat itu.

"'Di mana kedua iblis itu, Toako?", tanya Siok Cin.

"Sedang mengeroyok Padri sakti di kaki gunung", Siao Beng

memberitahu.

Dapatkah Hweshio itu menandingi kedua iblis?", Siok Cin belum

dapat menghilangkan kecemasan.

"Kurasa dapat". "Dari mana asal padri itu?", tanya Siok Cin pula.

"Sudah jangan banyak bertanya, lekaslah tinggalkan tempat ini!",

kata Siao Beng.

"Bagaimana dengan Toako?", Siok Cin seakan berat meninggalkan

si pemuda.

"Aku akan membakar Bi Kiong setelah kalian meningalkan tempat

ini".Kemudian para tawanan segera melarikan diri dari Bi Kiong.

Yang terluka dan yang sakit terpaksa dipapah atau digendong.

Liong Siao Beng paling akhir meninggalkan Bi Kiong setelah

membakar tempat tersebut.

"Mari kita turun gunung Toako!". Siok Cin terus mendampingi Siao

Beng.

"Turunlah kau bersama orang tuamu", Siao Beng menyarankan, "aku

masih ada urusan lain"."Urusan apa?", tanya si gadis.

"Mau membantu Hweshio itu membasmi siluman", jawab Liong Siao

Beng."Aku turut", ucap Siok Cin. "Jangan!", cegah Siao Beng."Mari

kita pergi, Siok Cin!". Ibu Siok Cin memanggil puterinya.

"Masih belum tahu juga kau rupanya akan perasaan anak kita", ujar

ayah Siok Cin pada isterinya."Perasaan apa?"."Siok Cin tertarik

pada Liong Siao Beng", sang suami menegaskan."Ya, ya,

mengertilah aku sekarang". "Mari kita pulang duluan!", ajak sang

suami. *Baiklah".Di lain pihak Siok Cin terus mengikuti Siao Beng:

"Liong Toako tunggu aku!".

Si pemuda terpaksa menanti Siok Cin, kemudian mengajaknya ke

balik gunung. Terlihat kedua iblis tua itu masih terus mengeroyok

Hok Hud.Chi Kung Hok Hud yang berpantang membunuh, membuatnya

sampai saat itu belum berhasil menawan kedua iblis tersebut.

"Taysu, aku telah membebaskan para tawanan dan membakar Bi

Kiong!". Seru Siao Beng sambil menghampiri Hok Hud."Bagus", kata

Chi Kung."Hey bocah busuk, kau benar-benar membakar Bi Kiong?",

tanya Hok Ong penuh diliputi kemarahan.

"Akulah yang menyuruhnya". Chi Kung yang menyahut.

"Kau telah merusak segala jerih payahku, bocah!", Hok Ong tak

mempedulikan Chi Kung lagi, menghampiri Siao Beng.

"Sebaiknya kau kembali ke jalan yang benar", kata Liong Siao Beng

tanpa gentar sedikit pun.

"Akan kureguk darahmu!", hardik si raja iblis."Akulah yang bertanggung jawab atas segalanya ini!". Hok Hud

menghadang di muka Siao Beng.

"Huh!". Hok Ong batal menyerang Siao Beng, tampaknya mulai

gentar menghadapi Chi Kung.

"Tak ada gunanya kita berkelahi dengan Hweshio bau ini", si nenek

rupanya dapat menyelami keadaan suaminya.

*Ya, sebaiknya kita cari tempat lain dan memulai dari awal lagi".

Sambut Hok Ong, kemudian berpaling ke Siao Beng:

Liong Siao Beng, biar bagaimana juga kami takkan dapat

mengampunimu!".

"Aku tahu". Siao Beng siap menyambut segala kemungkinan.

"Aku takkan mencampuri urusan kalian lagi, bila ada kesempatan,

kau boleh cari Liong Siao Beng untuk melampiaskan

kemendongkolanmu", kata Chi Kung.

"Pada suatu hari nanti aku akan mencarimu!". Sejenak Hok Ong

memandang Chi Kung dengan tatapan dongkol, kemudian mengajak

isterinya meninggalkan tempat itu dengan melayang di angkasa.

"Kenapa Taysu menyuruh kedua iblis itu mencari Liong Toako?",

tanya Tian Siok Cin cemas, sepergi Hok Ong dan isterinya.

"Aku memiliki rencana yang jitu", sahut Chi Kung sambil senyum.

"Pada saat kau melangsungkan pernikahan dengan Siao Beng, akan

kuatur cara menangkap sepasang iblis itu".

Kemudian Hok Hud berpaling ke Liong Siao Beng seraya berkata

lagi : "Lekaslah kau meresmikan hubungan dengan Siok Cin".

"Baik Taysu", sahut Siao Beng.

Chi Kung memberikan guci arak pada Siao Beng sambil membisiki

sesuatu, kemudian berlalu.

Liong Siao Beng mengajak Siok Cin kembali ke kampong halaman si

gadis

Orang-orang di desa Siok Cin amat berterima kasih pada Siao Beng.

Menyambut hangat kedatangannya dan ramai-ramaimengantarkannya ketika si pemuda meninggalkan desa itu untuk

kembali ke rumahnya....

Setiba di rumah, Siao Beng menuturkan apa yang dialaminya pada

orang tuanya.

Tak lama kemudian, Tian Siok Cin naik joli, resmi menjadi isteri Siao

Beng.

Pada malam pengantin, mereka cemas menanti kedatangan

sepasang siluman.

Kecemasan mereka terbukti. Begitu lewat kentongan ke tiga,

sepasang iblis tua itu menerobos masuk ke kamar pengantin.

"Ha, ha, lekas hisap darah mereka!", kata Hok Ong pada isterinya.

"Seorang satu", sambut si nenek.

"Kuharap Jiwie tunggu kami minum arak dulu, barulah mengisap

darah kami", pinta Siao Beng.

"Tak bisa!", keras suara Hok Ong.

"Biarlah kita beri kesempatan pada mereka agar puas mati mereka

nanti", si nenek siluman mengusulkan pada suaminya.

"Baiklah". Hok Ong menyetujuinya.

Siao Beng membuka tutup guci arak pemberian Chi Kung, dari mulut

guci langsung memancarkan sinar keemasan, amat menyilaukan

pandang.

Kedua iblis tua itu amat terkejut, bermaksud melarikan diri, tapi

telah dihalangi Chi Kung Hok Hud, hingga tak lagi dapat

menghindarkan diri dan menjelma kembali dalam bentuk aslinya,

berupa sepasang siluman kelelawar dan tersedot masuk ke dalam

guci.

Dengan tertangkapnya siluman kelelawar itu, maka tenanglah

kehidupan penduduk desa di kaki Cio-leng. Mereka mengantarkan

keberangkatan Chi Kung Hok Hud dengan menyediakan meja

sembahyang.ARWAH PENASARAN

Ang Wan-gwa, yang merupakan tokoh masyarakat di kota Hong-an,

mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Anak laki-

lakinya bernama Chi Wan, telah beristeri. Sedang anak

perempuannya bernama Siao Yan, amat cantik lagi cerdas.

Yap Su Chen, menantu Ang Wan-gwa, biar telah tiga tahun menikah

dengan Chi Wan, namun belum juga memberi keturunan bagi

keluarga Ang.

Pada suatu ketika Ang Hujin (Nyonya Ang) bermaksud mengajak

menantu dan anak gadisnya pergi bersembahyang ke Vihara. Tujuan

utamanya adalah memohon pada Dewa, agar menantunya dapat

punya anak.

"Tiga hari sebelum ke Vihara kita harus Cia-cai (Makan yang terdiri

dari tumbuh-tumbuhan belaka), agar permohonan kita memperoleh

keturunan bagi keluarga Ang dapat dikabulkan Thian". Kata nyonya

Ang pada menantunya.

"Baik Popo", sahut sang menantu.

(Popo berarti nenek, tapi di sini dimaksud panggilan menantu

terhadap mertua perempuan)."Lo Han Sie berjarak 25 li dari sini, kita harus berjalan kaki ke

sana", kata nyonya Ang lagi. "Kau dan Siao Yan harus tidur agak

siang sebelumnya, agar segar melakukan perjalanan esok harinya".

"Baik Popo", sahut Su Chen, lalu mengajak adik iparnya ke ruang

dalam.

"Aku tak ingin ikut, Soso", ucap Siao Yan pada kakak iparnya.

"Jangan begitu Siao Yan, nanti Popo marah", ujar Su Chen.

"Kabarnya untuk sampai di Vihara itu kita harus mendaki bukit".

Siao Yan mengemukakan alasan.

"Kita tak boleh membantah kata Popo", ucap Su Chen.

"Tapi hanya kita beberapa wanita saja yang ke sana". Siao Yan

masih tetap ragu.


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Keadaan sekarang aman, tak ada yang perlu kita takuti". Su Chen

berusaha membujuk adik iparnya.

"Siapa bilang aman? Pernah kudengar ayah mengatakan, bahwa

belakangan ini banyak penjahat".

"Puw-sat pasti akan melindungi kita".

"Aku benar-benar enggan pergi", kata Siao Yan sambil menuju ke

kamar.

"Popo tentu akan marah".

Yap Su Chen selain cantik, baik pula wataknya. Dia selalu patuh

pada mertua maupun suami.

Sebaliknya Ang Chi Wan merupakan pria yang suka berfoyafoya.

Kendati telah memiliki isteri cantik lagi setia, tapi dia tetap mencari

hiburan di luar rumah.

Ketika Su Chen masuk ke kamar, terlihat suaminya sedang bersiap-

siap keluar.

Koan-jin, Popo memintaku ikut ke Vihara untuk memohon pada

Thian agar kita diberi keturunan", tutur Su Chen.

"Aku tahu", sahut Chi Wan singkat."Sebaiknya dalam beberapa hari ini janganlah kau pergi berfoya-

foya". Su Chen bermaksud mencegah kepergian suaminya.

"Apa hubungannya kepergianku dengan bersembahyang di

Vihara!?", Ang Chi Wan tak sudi mendengar anjuran isterinya, tetap

keluar rumah.

Su Chen tak mampu mencegah kepergian suaminya, hanya dapat

menghela nafas.

***

Tiga hari kemudian, Ang Hujin mengajak anak gadis dan

menantunya ke Vihara dengan diiringi dua pelayan wanita.

Mereka berangkat ke Lo Han Sie dengan berjalan kaki.

Tapi tak mereka sangka, ketika tiba di 'Ngo Li Po' (Lereng gunung

Lima Li) telah dihadang kawanan penjahat.

"Ha, ha... manis, mari ikut ke tempat kami, akan kujadikan kau

isteriku", kata seorang laki-laki brewok yang rupanya jadi pimpinan

penjahat, pada Siao Yan.

"Oh", Siao Yan mundur ketakutan.

Su Chen memajukan diri seraya berkata: "Jangan kau ganggu adik

ipar dan mertuaku!"."Ha, ha, kau juga akan kami boyong!", ujar

gembong penjahat itu."Aku harap sudilah kau melepaskan mereka",

kata Su Chen tak gentar sedikit pun.

"Tidak bisa!", tolak si brewok."Bila demikian, kau takkan memperoleh apa-apa", kata Su Chen.

"Aku pun takkan patuh padamu".

"Hmmm", si brewok menatap garang.

"Sebaiknya kau bunuh aku bila tak sudi melepaskan Popo dan adik

iparku". Kata Su Chen dengan beraninya. "Tapi seandainya kau

menginginkan diriku jadi isterimu, kau harus dengar kataku".

"Itu...", si kepala rampok ragu. Sesungguhnyalah dia tertarik pada

kecantikan Su Chen.

"Atau aku akan bunuh diri dengan menggigit lidahku", ucap Su Chen

lagi.

"Jangan kau bunuh diri manis". Si brewok agak cemas. "Bila

demikian, kau harus membebaskan mereka".

Si kepala penyamun diam, seakan menyetujui saran Su Chen.

Su Chen menggunakan kesempatan itu, lalu berkata pada

mertuanya : "Popo, lekas kalian tinggalkan tempat ini!".

"Soso... kau...?". Siao Yan ragu meninggalkan kakak iparnya.

*?Yang penting sekarang kalian harus cepat-cepat meninggalkan

tempat ini", ujar Su Chen.

"Apakah Soso benar-benar ingin...". Siao Yan masih tetap cemas.

"Jangan hiraukan aku, cepat kalian tinggalkan tempat ini...", Su

Chen membelakangi adik ipar dan mertuanya, tak ingin

memperlihatkan kesedihannya di hadapan mereka. "Bila terlambat,

kita akan sama-sama mati di sini".

"Oh...", keluh Siao Yan. "Aku berat meninggalkan Soso".

"Ayo lekas pergi, tak usah hiraukan aku... lekas!.., desak Su Chen.

Siao Yan terpaksa mengajak ibu dan pelayannya meninggalkan

lereng bukit itu.

"Ha, ha, mari ikut kami manis", si kepala penyamun mendekati Su

Chen.

"Tunggu sampai mereka pergi jauh". Su Chen menolak halus.Si penjahat terpaksa harus menahan sabar.

Setelah Siao Yan dan lain-lainnya tak terlihat lagi oleh mereka, si

brewok mulai mendesak: "Ayolah manis".

Namun amat dingin sikap Su Chen pada saat itu, tak bersuara.

"Kenapa kau tak mau ikut?". Laki-laki brewok itu mulai tak sabar.

"Kau kira aku benar-benar bersedia jadi isterimu?', Su Chen balik

bertanya.

"Kau ingin ingkar janji!?", sang penjahat melotot.

"Aku lebih baik mati ketimbang jadi isterimu!", ujar Su Chen tanpa

rasa takut.

"Ternyata kau telah menipuku". Gembong penyamun mulai berang.

"Kau boleh bunuh aku sekarang!", tantang Su Chen. "Aku tak

sampai hati membunuhmu", ucap si Brewok.

"Kau tak tega membunuhku? Tapi rasanya kau juga keberatan untuk

membebaskan aku bukan!?".

"Apa sih jeleknya jadi isteri penyamun?", tanya si Brewok. "Aku

akan berusaha membahagiakanmu!".

"Bagi wanita, yang utama adalah mempertahankan kehormatan,

kesucian dirinya!", sahut Su Chen. "Aku takkan sudijadi isteri

penjahat, sebab hal itu akan mencemarkan nama baik keluarga

Ang!"

Kau tak boleh mati manis", si Brewok coba membujuk.

"Bila itu yang kau ingini, harap kau sudi membebaskanku!", Su Chen

tak mampu menahan menggulirnya air mata.

"Berat bagiku untuk melepaskanmu", kata si kepala penyamun.

"Tampaknya hidupku hanya sampai di sini saja --- Aku akan terjun

ke jurang untuk mempertahankan kesucianku". Su Chen menuding

jurang yang terbentang di belakangnya.

"Kau...", kepala penyamun itu agak gugup."Matiku akan meram setelah berhasil membebaskan mertua dan

adik iparku".

*Patutkah kau mengorbankan nyawa hanya untuk menolong

orang!?".

"Kurasa mati adalah jalan terbaik setelah aku menolak ajakan

penjahat". Air mata tambah membasahi wajah Su Chen.

"Kau benar-benar ingin membunuh diri!?". Si brewok menghampiri

Su Chen.

"Berdiamlah kau di situ, bila kau maju lagi, aku akan segera

melompat ke dalam jurang".

"Jangan!", cegah si Brewok agak gugup. "Aku takkan memaksamu".

*Tampaknya Tay Ong masih memiliki hati nurani, aku kagum akan

sikapmu", ujar Su Chen.

"Pergilah kau". Agak lesu sikap si kepala penyamun.

"Terimalah hormatku sebagai pengungkapan terima kasihku dan

untuk selamanya aku takkan melupakan budi Tay Ong". Su Chen

menyoja.

"Tak usah kau berterima kasih padaku". Sang penjahat

membelakangi Su Chen.

*Tay Ong ternyata berjiwa pendekar, kenapa jadi penyamun?",

tanya Su Chen penasaran.

"Keadaan yang memaksaku jadi begini", sahut si Brewok.

"Sebaiknya Tay Ong kembali ke jalan yang benar, mendirikan pahala

bagi negara". Su Chen menyarankan.

"Itu...", pimpinan penyamun tampak ragu.

"Sebagai laki-laki sudah sepatutnya berusaha mengangkat harkat

diri, keluarga dan juga bangsa", kata Su Chen pula.

"Akan kuingat baik-baik kata-katamu itu", ujar si Brewok,

tampaknya mulai tergerak hatinya. "Bila pada suatu ketika nanti

aku berhasil dalam karir baru, aku pasti akan datang ke rumahmu"."Semoga segala usahamu yang baik akan berjalan lancar". Su Chen

ikut mendoakan.

Yo Chin Yap, pimpinan penyamun, membebaskan Su Chen.

Yap Su Chen bergegas meninggalkan 'Ngo Li Po' untuk kembali ke

rumah mertuanya....

Di lain pihak, Siao Yan bersama ibu beserta dua pelayannya

menuruni jalan pegunungan.

Tapi beberapa waktu kemudian Siao Yan menghentikan langkah.

"Kenapa kau? Cape?", tanya sang ibu penuh diliputi kekhawatiran.

"Saya akan berusaha menolong Soso!". Siao Yan mengemukakan

maksudnya.

"Sulit bagi kita untuk menolongnya", ucap Ang Hujin.

"Soso tentunya amat menderita setelah jatuh ke tangan penyamun",

Siao Yan tetap belum dapat menghilangkan kekhawatiran.

"Tapi itu kan kemauannya sendiri!", Ang Hujin berusaha

menenangkan anak gadisnya.

"Tampaknya Nio tak dapat menyelami derita hati Soso", ucap Siao

Yan. "Soso rela mengorbankan diri agar dapat menyelamatkan

nyawa kita"."Ayo lekas jalan --- Semua itu berdasarkan kerelaannya, kita tak

berdaya untuk menyelamatkannya", kata sang ibu, tak sabar.

Tapi Siao Yan tetap berdiri di tempatnya semula, menolak pendapat

ibunya: "Setelah Soso menolong kita hingga lolos dari bahaya, kita

tak boleh membiarkannya menderita".

"Di sini tempat sepi, kita tak dapat mencari orang yang dapat

menolong. Ayo lekas pulang!". Ang Hujin menarik tangan Siao Yan.

Siao Yan terpaksa mengikuti ibunya sambil menghela nafas.

Ang Hujin yang baru mengalami shock, mengajak anak gadis dan


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


kedua pembantunya cepat-cepat pulang, tanpa menghiraukan

bagaimana nasib menantunya.

Setiba di rumah, Ang Hujin menceritakan pengalaman pahitnya pada

suami dan anak laki-lakinya.

"Menantu kita ikut kepala penyamun!?". Tanya Ang Wangwa sambil

membelalakkan mata selesai mendengar penuturan isterinya.

"Ya, pada saat itu dia meminta kami segera meninggalkannya, maka

aku terpaksa mengajak Siao Yan pulang", Sang isteri mengangguk.

"Dia bukannya mempertahankan kehormatannya, malah ikut

penjahat. Benar-benar tak tahu malu dan menodai martabat

keluarga kita...", sela Ang Chi Wan.

"Toako tak dapat menyelami penderitaan Soso". Siao Yan mulai ikut

bicara."Setelah bersedia ikut penjahat, tak mungkin hidupnya menderita",

kata Chi Wan.

"Jangan Toako menyalahkannya, Soso sengaja mengorbankan diri

untuk menolong kami". Siao Yan masih berusaha membela kakak

iparnya.

"'Wanita yang takut mati untuk mempertahankan kehormatan

adalah wanita yang tak bermoral!", ujar Chi Wan penuh diliputi

kemendongkolan.

"Toako....". "Huh, dasar perempuan murahan...", gerutu Chi Wan.

"Sungguh kejam Toako...", Siao Yan kurang senang. "Kau berani

memakiku?", Chi Wan melototi adiknya.

"Sudah, sudah, jangan kalian bertengkar! ---- Tak perlu kita

memperdebatkan persoalan ini lagi, anggap saja dia telah mati".

Ang Wan-gwa menengahi. "Bila hal ini sampai tersiar, tentu akan

banyak orang yang mencemo'ohkan keluarga kita. Ya, kita-kita juga

yang akan malu".

Baru selesai Ang Wan-gwa berkata, Yap Su Chen pulang dalam

keadaan selamat.

"Soso!", seru Siao Yan kaget campur gembira. "Dengan cara apa

Soso dapat lepas dari tangan panjahat!?".

"Aku berhasil menggugah perasaan mereka, membuatnya bersedia

membebaskanku". Su Chen menjelaskan.

"Soso benar-benar hebat", puji Siao Yan.

*Seorang perampok masih punya rasa belas kasihan?", sebaliknya

Chi Wan kurang yakin akan penuturan isterinya.

"Saya telah menceritakan yang sebenarnya, Koan-jin, malah dia

telah berjanji untuk kembali ke jalan yang benar". Yap Su Chen

menegaskan.

"Huh, sulit dipercaya perampok sudi mendengar kata-katamu", kata

Chi Wan penuh diliputi curiga.

"Sungguh Koan-jin....."."Cukup!", tambah keras suara sang suami. "Kau dibebaskan setelah

kepala penyamun itu puas melampiaskan nafsunya atas dirimu!".

Hati Su Chen bagaikan diiris-iris ketika dituduh begitu.

"Itu fitnah!", katanya dengan bercucuran air mata. "Aku juga berasal

dari keluarga yang cukup terpelajar, tahu apa artinya

mempertahankan kehormatan diri".

"Bila kau dapat mempertahankan kehormatan, kau tentu takkan

dapat pulang dalam keadaan selamat". Chi Wan tambah dongkol

ketika mendengar bantahan isterinya.

"Kau...", wajah Su Chen tambah basah oleh air mata,

"Kau takut mati untuk mempertahankan kehormatan, wanita

murahan, tak patut jadi isteriku!", tambah keras suara Chi Wan.

"Kenapa kau menilaiku serendah itu, Koan-jin!?", semakin sedih Su

Chen jadinya.

"Bagi wanita yang setia, lebih rela mati dalam mempertahankan

kesucian daripada hidup bergelimang noda!". Tampaknya Chi Wan

tak sudi menerima kehadiran Su Chen di sisinya lagi.

"Kenapa Toako menuduhnya sekeji itu?". Siao Yan berdiri di fihak

kakak iparnya.

"Huh... Dia harus mampus!".

"Soso telah menyelamatkan aku dan Nio!". Siao Yan berusaha

menghilangkan kesan negatif kakaknya terhadap kakak iparnya.

"Aku tahu dia menyelamatkan kalian, tapi tak seharusnya pasrah

pada penyamun". Chi Wan membelakangi adiknya dengan wajah tak

sedap dipandang.

"Toako, kau ...". Saking dongkol, Siao Yan tak dapat meneruskan

ucapannya.

"Kenapa kau harus membela wanita tak bermoral itu, Moymoy!?",

tanya Chi Wan sengit.

"Soso bukan saja wanita pemberani, juga cerdik". Siao Yan masih

terus membela Su Chen. "Tapi kenapa Toako justeru menfitnahnya?

Apa sih maunya Toako sebenarnya?"."Diam kau!", hardik Chi Wan. "Seharusnya dia rela berkorban nyawa

untuk mempertahankan kesucian dan juga kehormatan keluarga

Ang! --- Aku tak sudi beristeri wanita yang bejat moral!".

"Toako...!", mulai keras juga suara Siao Yan. "Sudahlah Chi Wan",

sela Ang Wan-gwa.

"Thia ... aku ...". Sebenarnya Chi Wan masih ingin bicara lebih

banyak lagi.

Tapi telah langsung dicegah oleh ayahnya : "Jangan kalian

membicarakan soal itu lagi, kita harus berusaha menutupi aib

keluarga kita terhadap orang luar".

"Saya berani bersumpah, bahwa diri saya bersih. Berhasilnya saya

lolos dari tangan penjahat hanya berkat kebesaran dan kemurahan

Thian yang telah membuka pintu hati nurani kepala penyamun itu,

membuatnya bersedia melepaskan saya --- Janganlah kalian

menfitnah saya". Su Chen berusaha membela diri dengan sikap

sedih benar.

Sudah kubilang jangan kalian membicarakan soal itu lagi!". ujar Ang

Wan-gwa sambil melototi menantunya.

"Tapi nama baik saya ...". Air mata kian berderai membasahi wajah

Su Chen."Sudahlah Soso". Sekali ini Siao Yan yang mencegahnya, mengajak

kakak iparnya ke ruang dalam.

Walaupun persoalan bebasnya Su Chen dari tangan pimpinan

perampok tidak diperdebatkan lagi, namun Chi Wan dan ayahnya

berkesan buruk terhadap Su Chen.

Hanya Siao Yan yang percaya akan kesucian, juga dapat menyelami

kepedihan hati kakak iparnya. Ia terus berusaha menghiburnya.

"Aku menyesal kenapa pada saat itu tidak memilih mati saja!?",

kata Su Chen dengan bersimbah air mata.

"Janganlah Soso berpikiran begitu", hibur Siao Yan, "waktu jua yang

akan membuktikan kebersihan diri Soso".

Su Chen menghela nafas dalam-dalam.

"Saya tahu Soso bersih, maka tak usah Soso layani segala tuduhan

itu, nanti juga Toako akan sadar sendiri".

Siao Yan terus menghibur kakak iparnya, masih terkandung

harapan, bahwa sang kakak akan berbaik lagi dengan isterinya pada

suatu hari nanti.

"Sudahlah, tak usah Soso pikirkan soal itu lagi". Katanya lagi sambil

meninggalkan kakak iparnya ....

Namun sejak peristiwa itu, Chi Wan tak pernah lagi menemui

isterinya di kamar.

Harapan Su Chen agar rumah tangganya rukun kembali hanya

tinggal harapan belaka. Sering dia mendengar kasak-kusuk pelayan

keluarga Ang yang memburuk-burukkan dirinya.

Perasaan Su Chen makin hari tambah tertekan, apa pula ketika

dilihatnya sikap mertuanya acuh tak acuh, malah sering

menyindirnya.

"Bila tak ada urusan penting, tak usah kau mengajaknya bicara",

kata Ang Hujin pada Siao Yan.

"Kenapa memang nio?", tanya Siao Yan.

"Bila kau sering bersamanya, sifatmu akan ketularan jadi tak tahu

malu juga!". Ang Wan-gwa yang menjawab."Kenapa sebenci itu sikap Thia dan Nio terhadap Soso?", tanya Siao

Yan.

"Diam kau!", hardik sang ibu.

**Soso kan tidak bersalah, tak seharusnya Thia dan Nio bersikap

begitu". Siao Yan tetap membela kakak iparnya.

"Kau mulai berani melawan orang tua ya!?", sang ayah melototi Siao

Yan.

"Saya tidak bermaksud menentang orang tua, tapi hanya ingin

mengemukakan fakta. Thia tidak melihat sendiri kejadian itu".

"Jangan kau sebut-sebut pula soal itu!", Ang Wan-gwa tambah

geram.

"Tapi kalian tak layak berlaku begitu terhadap Soso", Siao Yan

masih berusaha membela Su Chen.

"Mulai berani kurang ajar kau ...", kian keras suara Ang Wan-gwa.

"Jangan kau bertengkar lantaran aku, Siao Yan". Su Chen yang

semula berdiam diri, ikut mencegah Siao Yan.

"Tapi itu tak adil, Soso", Siao Yan masih tampak penasaran. "Nio

ikut menyalahkan Soso juga".

"Mungkin sudah nasibku harus begini". Su Chen berusaha

menenangkan adik iparnya.

"Mulai saat ini aku takkan mau keluar kamar, agar kalian tidak terus

menerus menyalahkan Soso". Siao Yan melontarkan ucapannya

pada orang tuanya.

"Siao Yan!", panggil ibunya.

Tapi Siao Yan tidak mempedulikannya, lari masuk ke ruang dalam.

"Semua ini gara-garamu, membuat keruh keadaan keluarga", Ang

Hujin menyalahkan menantunya. "Mulai sekarang jangan kau keluar

kamar bila tak perlu benar!".


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Baik Popo", sahut Su Chen sambil menahan sedih. "Lekas kembali

ke kamarmu!", ujar Ang Hujin.

Su Chen terpaksa kembali ke kamarnya dengan mata berlinang.Mulai saat itu Su Chen tak berani lagi keluar kamar, makin diingat

membuatnya semakin pilu.

Ang Chi Wan tak pernah lagi masuk ke kamarnya, membuat Su Chen

tambah menderita batinnya.

"Apa salahku sebenarnya?", keluh Su Chen dengan wajah basah

oleh air mata.

Ketika seorang pelayan masuk ke kamarnya, Su Chen langsung

bertanya : "Mana Siao-ya?".

"Telah beberapa bulan Siao-ya tak pulang", sahut si pelayan.

"Oh". Su Chen menghela nafas, bertanya pula : "Bagaimana dengan

nona Siao Yan?".

"Nona juga tak pernah keluar kamar". "Loo-ya dan Hujin?".

"Mereka sering bertengkar", si pelayan menerangkan, "malah

sekarang Loo-ya jatuh sakit saking dongkolnya".

"Keadaan keluarga ini tak tenang gara-gara diriku", ujar Su Chen.

Ia menganggap semuanya itu gara-gara dirinya, maka dia hendak

berdaya untuk menyelesaikannya.

Namun biar dia telah memutar otak, tetap tak berhasil menemukan

jalan pemecahannya, membuatnya hanya dapat menyesali diri, kenapa ketika berhadapan dengan kawanan penyamun

dirinya tidak mati saja!?

"Bila tahu akan begini jadinya, lebih baik aku tak kembali",

gumannya sambil mengucurkan air mata. "Kalau saja aku mati di

'Ngo Li Po', tentu diriku takkan difitnah seperti sekarang ini".

Maka kemudian Su Chen memutuskan untuk membunuh diri, guna

membuktikan kalau dirinya masih tetap bersih. Dia pun mulai

menulis surat.

Ia meninggalkan keluarga Ang sebelum gelap cuaca, berjalan

menuju ke 'Ngo Li Po' dengan perasaan hancur. Dihampirinya tepi

jurang, bermaksud terjun ke dalamnya.

Selagi dia hendak melompat ke dalam jurang, tiba-tiba terdengar

orang memanggil : "Hey kau ...!".

Yap Su Chen berpaling, terlihat seorang pemuda menghampirinya.

"Kenapa Toaso ingin membunuh diri?", tanya si pemuda.

Su Chen menghela nafas, ragu dia menerangkan. Tapi setelah

melihat pemuda itu bukan potongan penjahat dan sikapnya pun

menunjukkan rasa simpati, maka ia bersedia juga menceritakan

pengalaman pahitnya.

"Satu-satunya jalan untuk dapat membersihkan nama baikku adalah

membunuh diri". Su Chen mengakhiri keterangannya.

"Aku maklum, hidupmu tentu sangat menderita akibat fitnah dari

suami maupun mertuamu, tapi membunuh diri bukanlah

penyelesaian terbaik", kata pemuda itu. "Bila keluarga Ang terus

menuduh yang bukan-bukan, kau dapat minta cerai. Toaso masih

muda lagi cantik, tentu akan banyak pria yang berminat

mempersuntingmu".

"Bila itu yang kutempuh, orang tentu akan membenarkan tuduhan

suamiku dan menganggapku sebagai wanita gampangan,

perempuan brengsek".

"Asal kita tak berbuat, tak usah dipusingkan isyu yang dilancarkan

orang lain". Si pemuda masih berusaha membujuk Su Chen agar

membatalkan niatnya membunuh diri."Tidak, aku amat menjunjung tinggi moral, tak ingin merusak nama

baikku", ujar Su Chen.

"Jadi kau tetap ingin mati?", tanya si pemuda. "Ya, aku harus mati!",

sahut Su Chen. "Toaso ... kau ...".

"Aku ingin bunuh diri untuk membuktikan kesucian diriku", ucap Su

Chen sambil membelakangi si pemuda.

"Masih banyak jalan lain yang dapat ditempuh, Toaso".

"Tidak! Aku ingin keluarga Ang memulihkan nama baikku". Su Chen

kukuh pada pendiriannya.

"Tapi kurasa sulit, ucap si pemuda.

"Aku ingin menjadi arwah penasaran, akan kusuruh keluarga Ang

membangun Kuil untukku, supaya orang-orang pada

menyembahyangiku".

"Itu ...", si pemuda tak dapat meneruskan ucapannya.

"Percuma saja kau mencegah maksudku, sebab telah bulat

tekadku". Su Chen menegaskan.

"Kau ....". "Terimalah hormatku, Kong-cu". Su Chen menyojanya.

"Kenapa kau menyojaku?", si pemuda keheranan.

"Sebagai pengungkapan rasa terima kasihku, karena kau percaya

bahwa diriku bersih, tak bersalah". Su Chen menerangkan.

"Kau ...."

"Terima kasih atas perhatianmu". Su Chen membalikkan tubuh,

bermaksud terjun ke jurang.

"Tunggu Toaso!", cegah pemuda itu. "Ada apa lagi?", Su Chen

terpaksa menghentikan langkah.

"Aku dapat membantu membersihkan nama baikmu". Si pemuda

mengungkapkan maksudnya.

"Tak usah, akan sia-sia saja usahamu".

"Toaso ....".Su Chen tak menghiraukannya lagi, terjun ke dalam jurang.

Si pemuda memandang jurang sambil menghela nafas. Selang

sesaat baru dia menuruni 'Ngo Li Po', menuju ke rumah keluarga

Ang.

Setelah bertanya pada beberapa orang penduduk, berhasil juga dia

menemukan rumah Ang Wan-gwa.

Dia memberitahukan nama serta maksud kedatangannya pada

pelayan keluarga Ang. Ternyata dia bernama Kwe Kiam In.

Tak lama kemudian Ang Chi Wan keluar menyambut, menyilakannya

masuk ke ruang tamu.

Setelah berbasa-basi sesaat, Kwe Kiam In mulai menyalahkan Chi

Wan : "Kalian tentu akan mendapat balasan karena memojokkan

wanita yang tak bersalah sampai harus mati membunuh diri".

"Isteriku mati?", Chi Wan kaget.

"Sayang sekali kau tak dapat mendampingi sampai tua isteri yang

begitu setia lagi menjunjung tinggi moral". Kata Kiam In dengan

nada tetap menyalahkan.

"Jadi dia benar-benar masih bersih, dapat mempertahankan

kehormatan?". Ang Chi Wan seakan masih meragukan keterangan

Kwe Kiam In.

"Tidakkah kau membaca surat wasiatnya?", tanya Kiam In.

"Meninggalkan surat wasiat?", Chi Wan heran.Kala itu Ang Wan-gwa telah pula keluar dari ruang dalam dan

langsung bertanya pada anaknya: "Kau tidak melihat surat

wasiatnya, Chi Wan?".

"Saya belum masuk ke kamar, Thia". Sang anak menjelaskan.

Mendengar suara ribut-ribut di ruang tamu, Siao Yan dan ibunya ikut

keluar juga. Mereka jadi amat sedih ketika mendengar kematian

Yap Su Chen.

Kalian benar-benar keterlaluan, hanya lantaran dia tak punya orang

tua lagi, kalian terus memojokkannya, menghinanya --- Aku akan

mewakilinya untuk menuntut kalian", kata Kwe Kiam In.

"Kenapa pada saat itu Kong-cu tidak mencegahnya?", tanya Siao

Yan.

"Aku telah berusaha membujuknya agar dia membatalkan niatnya,

tapi ternyata tak berhasil". Kiam In menjelaskan.

"Sungguh malang nasib Soso". Siao Yan tak dapat membendung

menggulirnya air mata.

"Dikatakannya, bahwa dia akan jadi hantu penasaran untuk

membuktikan dirinya tidak bersalah". Kiam In memberitahu.

"Kasihan". Semakin sedih Siao Yan jadinya.

"Akan kulaporkan hal ini pada pihak yang berwajib", ujar Kiam In.

"Begitu pun baik", sambut Siao Yan.

"Berdasarkan apa kau hendak menggugatku?", tanya Ang Wan-gwa.

"Mencelakai wanita sebatang kara!", sahut Kiam In.

"Aku cukup kaya lagi terpandang. Aku tak ingin merepotkan pihak

yang berwajib. Lagi pula aku memiliki bukti surat wasiatnya". Kata

Ang Wan-gwa, kurang senang.

"Kenapa Thia bersikap begitu?" tanya Siao Yan seakan

menyalahkan orang tuanya.

"Aku tak ingin persoalan ini sampai tersiar", ucap sang ayah.

"Lalu bagaimana jalan penyelesaiannya?", tanya Siao Yan lagi."Diamkan saja".

"Tapi aku tetap akan melaporkannya ke pihak yang berwajib!", sela

Kiam In.

"Kau ...?". Ang Wan-gwa menatap marah. Kiam In segera berlalu

dengan hati mendongkol.

Dia kembali lagi ke 'Ngo Li Po', ingin menyembahyangi Su Chen

sekalian memberitahukan, bahwa dia akan mewakili Yapsi (Su

Chen) menuntut Ang Chi Wan dan ayahnya.

Tiba-tiba dari dalam jurang mengepul asap putih, terus naik sampai

ke tebing.

Tak lama arwah Yap Su Chen muncul di hadapan Kiam In.

"Kau benar-benar menjelma jadi hantu penasaran?". Kwe Kiam In

membelalakkan mata.

Thian mengasihaniku, mengizinkan aku disembahyangi oleh banyak

orang", sahut arwah Su Chen.

"Akan kugugat mereka ke pihak yang berwajib", Kwe Kiam In

berjanji.

"Aku tak ingin kau menggugat mereka, Kwe Kong-cu, aku hanya

menginginkan mereka mendirikan Kuil untukku!".

"Tapi kurasa hal itu sulit dilakukan"."Begitu tak berperasaankah ayah dan anak dari keluarga Ang itu?",

tanya arwah wanita yang malang itu.


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Ang Wan-gwa bermaksud mendiamkan kasus ini". Kiam In

memberitahu.

"Bila demikian akan sia-sia saja matiku ini", kata arwah Su Chen,

bagaikan bergumam. "Tapi tidak, aku malah akan menguar-

nguarkan kematian ini".

"Maksudmu?" tanya Kiam In.

"Aku akan membuat orang-orang pada datang ke 'Ngo Li Po' untuk

menyembahyangiku". Sang arwah mengemukakan maksudnya. Bila

tidak, aku akan mengganggu mereka, agar hidup orang di sekitar

tempat ini tidak tenang".

"Bukankah perbuatanmu itu jadi mencelakai orang lain?", tanya

Kiam In.

Kecuali kalau keluarga Ang membangun Kuil untukku". Arwah Su

Chen melayang turun ke dalam jurang berupa asap.

Kwe Kiam In segera menuruni lereng gunung, membeli hio (dupa

linting) dan lilin untuk menyembahyangi arwah Yap Su Chen.

Sejak saat itu keadaan di 'Ngo Li Po' mulai angker.

Hantu-hantu pada gentayangan di siang hari dengan disertai tiupan

angin dingin, hendak merenggut nyawa orang-orang yang lewat di

situ.

Keadaan itu membikin panik penduduk di sekitar lereng gunung

tersebut.

Banyaklah orang yang datang bersembahyang ke 'Ngo Li Po' untuk

memohon selamat.

Sejak saat itu 'Ngo Li Po' (Lereng gunung 5 li) lebih populer dengan

sebutan 'Kouw Hun Po' (Lereng gunung pencabut sukma).

Peristiwa di lereng gunung itu sempat terdengar oleh Ang Wan-gwa

sekeluarga, yang membuat mereka jadi amat terperanjat.________________

"Ini pasti perbuatan arwah Soso yang penasaran". Siao Yan

mengemukakan pendapat di hadapan kakak dan orang tuanya.

"Itu ...", saking gugupnya Ang Chi Wan tak dapat meneruskan

ucapannya.

*Jangan kau bicara yang bukan-bukan!", bentak Ang Wangwa.

"Tapi itu adalah kenyataan", ucap Siao Yan. "Soso mati penasaran".

"Aku tak percaya!". Tetap keras suara Ang Wan-gwa. "Para Dewa

tentu takkan mengizinkan ada arwah mengganggu ketenangan

penduduk, lagi pula Su Chen membunuh diri karena ingin menutupi

aibnya".

"Terserah Thia mau percaya atau tidak". Siao Yan enggan berdebat

dengan ayahnya.

Kenyataannya Ang Wan-gwa dan Ang Chi Wan tetap berkeras

kepala, tak sudi membangun Kuil untuk Yap Su Chen, mereka

khawatir dicemo'ohkan orang.

Namun Siao Yan yakin benar, bahwa hantu yang sering mengganggu

orang di 'Kouw Hun Po' adalah arwah Sosonya, maka dia

memutuskan untuk pergi bersembahyang ke sana.

Pada suatu pagi, Siao Yan mengajak seorang pelayan, diamdiam

pergi ke lereng gunung itu.Setiba di tempat tujuan, Siao Yan melihat Kwe Kiam In sedang

bersembahyang di situ.

"Kwe Kong-cu", sapa Siao Yan. "Nona Ang", Kiam In berpaling.

"Sering Kong-cu bersembahyang di sini?", tanya Siao Yan.

"Sering. Di samping itu aku juga menganjurkan penduduk di sekitar

tempat ini untuk bersembahyang di sini, agar apa yang diinginkan

arwah Yap-si dapat terkabul".

"Kenapa Kong-cu mau bersusah payah begitu?".

"Aku menghormati kesetiaan dan kesuciannya", sahut Kwe Kiam In.

"Aku juga menghormati Soso", ucap Siao Yan.

"Aku akan membeli sebidang tanah untuk membangun Kuil

baginya". Kiam In mengungkapkan maksudnya.

*Aku heran kenapa ayah dan kakakku tak sudi membangun Kuil

untuk Soso?", Siao Yan menundukkan muka.

"Pantas arwah Yap-si jadi penasaran, semuanya karena ulah ayah

dan kakakmu", ujar Kwe Kiam In. "Tapi nona tak usah memusingkan

soal itu, aku akan berusaha sedapatnya agar apa yang diinginkan

arwah Yap-si dapat menjadi kenyataan".

"Terima kasih Kwe Kong-cu".

Kwe Kiam In pamit pada Ang Siao Yan, untuk kembali ke desanya.

Siao Yan amat bersyukur atas kesediaan si pemuda untuk

memenuhi keinginan arwah Yap-si (Yap Su Chen).

Sekembali Siao Yan ke rumah, langsung ditegur oleh ayahnya, yang

menyatakan, tak seharusnya dia bersembahyang di lereng gunung

itu.

"Saya telah bertemu dengan Kwe Kong-cu, dia bermaksud

mendirikan Kuil untuk Soso". Siao Yan memberitahukan tanpa

menghiraukan teguran ayahnya.

"Apa hubungannya dengan soal itu!?", keras suara Ang Wan-gwa.

"Kau sendiri tak tahu malu, sebagai gadis pingitan adalah tabu

berbincang-bincang dengan pemuda ...""Jangan Loo-ya terus menyalahkan anak kita", cegah Ang Hujin.

"Huh...", Ang Wan-gwa cemberut.

Chi Wan yang sejak tadi berdiam diri, mulai pula bicara : "Thia, soal

ini..."

Tapi telah langsung dipotong sang ayah : "Diam kau! --- Kau harus

rajin-rajin belajar, agar nanti dapat ikut ujian di kota

raja":

Ang Wan-gwa tetap ngotot, tak sudi membangun Kuil untuk

menantunya.

Chi Wan tak berani menentang kehendak ayahnya. Dia mulai

menyesal, mulai sadar, bahwa sesungguhnya Yap-si adalah isteri

yang patuh lagi setia!

Saat ujian negara di kota-raja semakin dekat. Ang Chi Wan pamit

pada orang tuanya untuk berangkat ke kota-raja.

Kepergiannya didampingi oleh seorang pembantu,

Namun dia tidak langsung ke kota-raja, tapi menempuh jalan

memutar, menuju ke 'Ngo Li Po' untuk menyembahyangi arwah

isterinya.

Tapi begitu tiba di 'Ngo Li Po', diri Chi Wan langsung dikurung oleh

bayangan hantu, amat menyeramkan keadaannya. Kuda

tunggangannya mengangkat tinggi-tinggi sepasang kaki depannya

sambil meringkik beringas.

Pengiring Chi Wan langsung kabur ketakutan.

Nyawa Ang Chi Wan direnggut hantu hingga tubuhnya jatuh dari

kuda.

Di hadapannya berdiri dua hantu wanita dengan rambut panjang

terurai lepas.

"Nio Nio menyuruh kami membawamu", ujar salah satu hantu itu.

"Baik". Roh Chi Wan patuh. "Mari ikut kami!".

Pada saat itu di luar sadar Chi Wan naik ke punggung kuda,

membiarkan kedua hantu itu menuntun kudanya ke bawah jurang.

Tapi rupanya Ang Chi Wan memang belum ditakdirkan untuk mati.

Chi Kung Hok Hud datang tepat pada waktunya, menyelamatkan

nyawanya dengan menarik buntut kuda, hingga Chi Wan tak sampai

jatuh ke dalam jurang.

Kedua hantu wanita itu berlutut di hadapan Hok Hud. Kala itu telah

pula muncul arwah Yap Su Chen.

"Saya harap Hok Hud tidak menyampuri urusan ini". Arwah Su Chen

memohon.

"O Mi To Hud, kedatangan Pinceng ke mari justeru ingin

menyelesaikan kasus ini agar tidak sampai berlarut-larut dan

menelan banyak korban", ucap Chi Kung. "Apakah kau ingin

mencelakai Chi Wan dan ayahnya?".

"Mereka tak sudi membangun Kuil untuk saya", tutur arwah Su

Chen. "Bila mereka tidak diajar adat, untuk selamanya takkan sudi

memenuhi keinginan saya".

"Bukankah perbuatanmu itu akan merupakan tindakan balas

dendam!?", tanya Hok Hud.

"Thian mengasihani saya, telah mengizinkan saya disembahyangi

orang banyak". Arwah Yap Su Chen menerangkan.

"Pinceng tahu", ujar Chi Kung. "Lalu kenapa Hok Hud ingin

menghalangi maksud saya?".

"Persoalan ini harus ada penyelesaiannya", Chi Kung menegaskan."Hok Hud tentunya tahu juga, bila arwah saya gentayangan, maka

akan tamatlah riwayat saya", kata arwah Su Chen.

"Tapi bila kau mencelakai Chi Wan, takkan dapat membantumu

mencapai apa yang kau inginkan", ujar Chi Kung. "Maka sebaiknya

kau dengar saran Pinceng, segala kekhawatiranmu takkan menjadi

kenyataan".

"Saya percaya, berkat kesaktian Hok Hud, arwah saya takkan

penasaran, tapi bagaimana dengan pembangunan Kuil?".

"Pinceng akan mengusahakan agar tercapai apa yang kau

inginkan", Chi Kung berjanji.

"Benarkah Hok Hud?". Arwah Yap Su Chen minta penegasan.

"Aku tak pernah ingkar janji".

"Bila demikian saya akan membebaskan sukma Ang Chi Wan".

"O Mi To Hud".

"Saya nantikan kabar baik dari Hok Hud", Su Chen mengharap.

"Tenangkanlah perasaanmu".

"Terima kasih Hok Hud". Arwah Yap Su Chen mengajak kedua hantu

wanita itu melompat turun ke dalam jurang.

"O Mi To Hud".

Setelah arwah Yap-si membebaskan roh Ang Chi Wan, keadaan Chi

Wan bagaikan orang yang baru sadar dari mimpinya."Sedang bermimpikah aku?", gumamnya.

"Bukannya mimpi, tapi baru lolos dari maut", Chi Kung


Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


memberitahu. "Arwah Yap-si belum memiliki wadah yang tetap, tak

lama lagi akan musna, maka kau dan ayahmu tak boleh keras

kepala dan mementingkan gengsi".

"Lalu apa yang sebaiknya kami lakukan, Taysu?", tanya Chi Wan.

"Bangunlah Kuil untuknya, agar arwah mendiang isterimu memiliki

wadah dan disembahyangi orang", jawab Chi Kung. "Lekaslah

nasehati ayahmu!".

"Terima kasih atas petunjuk Taysu". Chi Wan turun dari kudanya,

menyoja Hok Hud.

"Bila tidak, arwah Yap-si takkan melepaskan kalian", kata Chi Kung

pula.

"Akan saya ingat baik-baik pesan Taysu".

Ang Chi Wan benar-benar amat menyesal akan sikap sebelumnya,

pamit pada Chi Kung, meninggalkan 'Kouw Hun Po'.

Setiba Chi Wan di rumah, salah seorang pembantu lantas

melaporkan kedatangannya pada Ang Wan-gwa.

Ang Wan-gwa segera menyambut kedatangan anak lakilakinya,

diikuti oleh isterinya dan Siao Yan.

Chi Wan menuturkan prihal pemunculan arwah Yap-si pada orang

tuanya.

Ang Wan-gwa yang semula cemas, jadi gembira selesai mendengar

penuturan anaknya.

"Untuk apa kita membangun Kuil? Biar saja arwahnya gentayangan,

kita tak perlu khawatir apa-apa lagi", katanya kemudian.

"Thia...", ucap Chi Wan. "Kita tak usah takut hantu", potong

ayahnya.

"Thia tidak takut diganggu oleh arwah Soso?", tanya Siao Yan.

"Tidak!".

Baru Ang Wan-gwa selesai berkata, telah masuk seorang pelayan."Ada apa?", tanya Ang Wan-gwa.

"Di luar ada Yo Ciangkun yang ingin bertemu dengan Looya!". Si

pelayan memberitahu.

"Silakan dia masuk", ucap Ang Wan-gwa. Tak lama masuk seorang

perwira brewok, yang ternyata

Yo Cin Yap, yang setelah sadar dari kekeliruannya berkat saran

Yap-si, langsung masuk tentara.

Beberapa kali dia telah berjasa dalam menumpas musuh, hingga

cepat naik pangkat dan kini dia menyandang pangkat Ciangkun

(Kolonel).

Dia amat marah ketika mendengar kematian Yap-si yang tragis,


Mahesa Kelud Pedang Sakti Keris Ular Pendekar Naga Putih 80 Iblis Angkara Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya

Cari Blog Ini