Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud Bagian 2
segera datang ke rumah keluarga Ang untuk menanyakan sebab
kematian nyonya muda itu.
"Apakah kematiannya gara-gara persoalanku? Dia telah kalian
fitnah! Sungguh malang nasibnya", katanya begitu masuk. Lalu
menuding Ang Wan-gwa: "Kau telah mencelakai Yap-si, aku takkan
sudi mengampunimu!".
Ang Wan-gwa ketakutan, gemetar tubuhnya.
"Dia adalah wanita pemberani, cerdik lagi dapat menjaga harga diri.
Aku amat kagum padanya". Kata Yo Ciangkun lagi.
"Ayahku tak dapat disalahkan dalam kasus ini", sela Ang Chi Wan."Lalu siapa yang harus disalah kan? Kalian memang harus
mampus!".
Baru Yo Ciangkun usai berkata, Kwe Kiam In masuk. Setelah
memperkenalkan diri, dia menceritakan pengalamannya pada sang
perwira.
"Sekarang saya telah membawa uang untuk mendirikan Kuil yang
diinginkan Yap-si", kata Kiam In lebih jauh.
"Baik sekali", sambut sang Ciangkun.
Tiba-tiba arwah Yap-si muncul di hadapan mereka, membuat semua
orang yang berada di ruang itu terkesima.
"Kematianmu sungguh sangat menyedihkan", kata Yo Ciangkun
setelah berselang sesaat.
"Usahaku untuk menyadarkan dirimu ternyata tidak siasia, Yo Cin
Yap!", kata sang arwah pada si perwira. Kemudian ia menuding Ang
Wan-gwa : "Hanya aku kecewa campur gemas terhadap laki-laki tua
ini, yang ternyata sangat keji, mengharapkan arwahku
gentayangan....
"Oh... aku ...". Ang Wan-gwa amat gugup.
"Kau benar-benar sangat keji!", ujar arwah Su Chen pada bekas
mertuanya. "Aku ingin menghabisi nyawamu juga!".
"Aku mohon sudilah kau mengampuniku". Ang Wan-gwa memohon
sambil menyoja. "Kuakui selama ini aku terlampau egois"."Sudah terlambat!", seru arwah Su Chen penuh diliputi kemarahan.
"Oh ...", menggigil tubuh Ang Wan-gwa saking takutnya.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Chi Kung muncul di hadapan
mereka : "O Mi To Hud, jangan kau berbuat salah!".
"Oh Hok Hud", kata arwah penasaran itu.
"Ang Wan-gwa adalah bekas mertuamu, kau harus menghormatinya.
Pinceng telah mewakili memohon pada Penguasa
Langit dan kau dianugerahi jabatan sebagai Malaikat 'Kiat Liat
Hujin' --- Puas kau sekarang?".
(Kiat Liat Hujin = Nyonya pahlawan).
"Terima kasih Hok Hud", ucap arwah Su Chen, kemudian berpaling
ke Siao Yan dan Kiam In : "Sebelum aku jadi Malaikat, aku ingin
menjodohkan kalian".
Siao Yan menunduk malu. Bagi seorang gadis sikap demikian itu,
cukup merupakan isarat bahwa ia menyetujuinya.
Kwe Kiam In pun tidak menolak.
Tak lama kemudian Kuil untuk menyembahyangi Su Chen selesai
dibangun.
Keluarga Ang, Yo Ciangkun, juga para penduduk desa berduyun-
duyun bersembahyang.
******************KEMBALI KE JALAN YANG BENAR
Chi Kung Hok Hud yang gemar berkelana, hari itu tiba di luar kota
Heng-yang.
Terlihat di depannya seorang Loo Tosu (Pendeta tua) berjalan
bersama Totong (Murid pendeta), amat tergesa-gesa langkah
mereka, seakan ingin memburu waktu.
Hok Hud langsung membuntuti mereka.
"Suhu, kita diikuti oleh Padri kumal", sang Totong memberitahukan
gurunya.
"Tak usah hiraukan dia, kita harus cepat sampai di kota Heng-yang",
kata Loo Tosu.
Namun Chi Kung terus mengikuti mereka.
Tahu dirinya terus dibuntuti, sang Tosu menghentikan langkahnya,
berpaling ke Chi Kung.
Chi Kung terus berjalan ke arah si Tosu.
"Hey Padri kumal, apa maksudmu terus membuntuti!?", tegur Loo
Tosu.
*'Ha, ha, aku memang berjodoh denganmu", sahut Chi Kung sambil
tersenyum."Bagaimana mungkin kita berjodoh? Aku Tosu, sedangkan kau
Hweshio", ujar Tosu tua dengan sikap kurang senang.
"Kenapa kau takut kuikuti? Kau ingin melakukan sesuatu yang
melanggar hukum?", tanya Chi Kung.
"Kau... kau ...", sang Tosu gugup.
"Ha, ha, benar kan apa yang kukatakan!?", Chi Kung tertawa.
"Janganlah kau berbuat sesuatu yang tak terpuji, lebihlebih bagi
kita, orang yang telah menyucikan diri".
"Jangan kau bicara yang bukan-bukan Hweshio sinting!", Loo Tosu
mulai berang.
"Sebaiknya kau akui saja!", ujar Chi Kung. "Mana buktinya!?". Si
pendeta tua melotot. "Hmmm, masih mau menyangkal?".
"Huh, apanya yang harus kuakui? Jangan kau memancing amarahku
...".
"Kau ..
Namun sebelum Chi Kung sempat melanjutkan ucapannya, Loo Tosu
telah mengajak muridnya meninggalkan tempat itu. "Tak usah kita
hiraukan Padri sinting itu", ujarnya.
"Tapi dia terus mengikuti kita Suhu", kata si Totong. "Tak usah
pedulikan dia, ayo lekas jalan!", ajak sang guru.
*Harus kau ketahui, bila kita sering naik gunung, suatu ketika pasti
akan bertemu harimau", ujar Chi Kung sambil terus mengikuti
mereka. "Aku bermaksud baik".
"Hmm ... rupanya kau sudah bosan hidup ya!?". Si Tosu tambah
berang.
"Kau benar-benar belum mau sadar juga!?", tanya Chi Kung.
Loo Tosu itu tidak menghiraukan Chi Kung lagi, mempercepat
jalannya dengan diikuti oleh muridnya.
"O Mi To Hud", Chi Kung menghentikan langkahnya, "susah juga
menyadarkan mereka --- Akan kucari lain daya".
***Di kota Heng-yang telah muncul tiga orang pengemis : Yang satu
kaki kanannya borokan, satunya lagi bisu-tuli dan yang ketiga orang
buta. Mereka meminta belas kasihan pada setiap orang yang berlalu
lalang.
Suatu ketika Chu Wan-gwa, seorang dermawan di kota itu,
lewat di dekat mereka dan merasa kasihan melihat keadaan
mereka, memberi sedekah.
Bersamaan dengan itu, si Tosu tua bersama muridnya tiba di tempat
tersebut.
Pengemis yang luka kakinya mendadak berteriak : "Aduh, sakit
sekali kakiku!". Menyusul dia jatuh terduduk.
"Oh kasihan", kata sementara orang yang kebetulan lewat.
Chu Wan-gwa yang semula ingin meninggalkan tempat itu setelah
beramal, jadi membatalkan maksudnya, berpaling ke si pengemis
seraya bertanya: "Kenapa kau?"
"Aduh, sakit sekali", si pengemis mengusap-usap kaki di sekitar
lukanya. "Lebih baik saya mati ketimbang harus menderita begini".
"Akan kupanggilkan tabib". Chu Wan-gwa amat iba menyaksikan
keadaan pengemis itu.
"Saya jatuh rudin gara-gara mengobati borok saya ini, tapi tak juga
sembuh", keluh si pengemis sambil terus merintih."Sungguh malang nasibmu". Si Tosu tua yang semula berdiri di sisi,
mendekati pengemis itu.
"Kaki saya sakit sekali, Totiang", kata si pengemis sambil meringis.
"Sakitmu tidak berat, akan Pinto obati", kata si Tosu. "Tapi saya tak
punya uang Totiang", ujar pengemis itu. "Jangan khawatir, Pinto
akan mengobatimu secara Cuma cuma", kata sang Tosu. Lalu
menyuruh muridnya : "Coba kau periksa sakitnya Cheng Hong!".
"Baik Suhu", sahut si Totong, berjongkok di dekat si pengemis.
"Dapatkah luka saya disembuhkan?", tanya si pengemis.
Sang Totong memeriksa luka pengemis itu sejenak, kemudian
berkata pada gurunya : "Masih dapat disembuhkan Suhu".
"Bila demikian lekas kau obati!", ujar si Tosu.
Sang Totong patuh, membersihkan luka pengemis itu, memborehi
obat.
"Harus kau obati sampai tidak menimbulkan cacat", titah sang guru.
"Baik Suhu". Si murid mengangguk.
"Sungguh luar biasa", pengemis itu menarik nafas lega, "sakitnya
hilang seketika".
Selang sesaat borok pengemis itu mengering dan rontok sendiri,
tanpa meninggalkan cacad sedikit pun.
"Lihat! Lukamu telah sembuh!". Tosu tua menuding kaki pengemis.
"Benar-benar ajaib! Tak meninggalkan bekas sedikit pun". Si
pengemis berseri wajahnya.
"Ayo lekas bangun!", titah si Tosu tua. Pengemis itu ragu, tetap
duduk di tempatnya semula "Kataku, lekas kau berdiri!", ujar Loo
Tosu lagi.
"Tak bisa bila tidak dibantu tongkat, Totiang", ucap pengemis itu.
"Bagaimana kau tahu sebelum kau coba!? Ayo lekas bangun!", kata
si Tosu."Baik Totiang", si pengemis bermaksud mengambil tongkat. "Tak
perlu pakai tongkat".
Pengemis itu kembali ragu, tapi kemudian dia berusaha bangkit
perlahan-lahan dan ternyata berhasil berdiri tanpa bantuan tongkat.
"Sungguh sulit dipercaya, saya dapat berdiri dan berjalan tanpa
Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bantuan tongkat lagi!", seru si pengemis kegirangan.
Semua orang yang sempat menyaksikan peristiwa itu terbelalak
keheranan, seakan sulit dipercaya apa yang baru mereka lihat.
Pengemis itu berlutut di hadapan Loo Tosu, berkata sambil menyoja
: "Saya amat berterima kasih atas pengobatan Totiang, sampai mati
pun takkan dapat saya lupakan budi Totiang --- Totiang benar-benar
Dewa".
"Ha, ha, tak usah kau berterima kasih padaku". Tosu itu menyuruh
si pengemis bangun, kemudian mengajak muridnya berlalu.
Tapi baru saja dia berjalan beberapa langkah, terdengar orang
bertanya : "Dapatkah Totiang mengobati mata saya yang buta ini?".
Si Tosu berpaling ke asal suara itu, ternyata pengemis tunanetra.
"Sejak kapan kau jadi buta?", tanya Tosu itu.
"Sejak kecil Totiang", sahut pengemis tuna-netra. "Sudah banyak
tabib yang memeriksa dan mengobati mata saya, tapi tak berhasil
disembuhkan"."Coba kau ke mari, akan kuperiksa matamu". Pengemis tuna-netra
itu menghampiri sang Tosu.
Loo Tosu memeriksa mata si pengemis sejenak, kemudian berkata :
"Matamu masih dapat diobati dan kau akan dapat melihat keadaan
sekitarmu".
"Benarkah Totiang?", pengemis tuna-netra seakan ragu terhadap
apa yang baru didengarnya.
"Aku yakin dapat", ucap si Tosu. Lalu berpaling ke muridnya : "Beri
dia sebutir pil!".
Si Totong memberikan obat itu pada si pengemis, yang langsung
menelannya.
Chu Wan-gwa yang memperhatikan sejak tadi, bertanya pada si
Tosu : "Benarkah dia dapat melihat, Totiang?".
"Ya", si Tosu mengangguk. "Kita tunggu beberapa saat setelah
obatku bereaksi, dia akan dapat melihat".
Namun setelah ditunggu beberapa waktu, pengemis itu belum juga
dapat melihat.
"Saya belum dapat melihat, Totiang". Katanya mulai tak sadar.
"Sabar, Pinto akan mengusap matamu, setelah itu kau pasti dapat
melihat segalanya".
Tosu tua itu mulai mengusap-usap kelopak mata si pengemis sambil
berkomat-kamit. Selang sesaat dia berkata : "Sekarang coba kau
buka matamu!".
Perlahan-lahan si pengemis membuka kelopak matanya, tiba-tiba
dia berseru girang : "Saya dapat melihat! --- Segalanya terlihat
jelas!".
Dia segera berlutut di hadapan sang Tosu sambil menyoja: "Sampai
mati pun saya takkan melupakan budi Siang Ang (Kakek Dewa)".
"Tak usah kau berterima kasih", ujar si Tosu, lantas menarik tangan
muridnya untuk diajak berlalu.
Namun pengemis yang baru dapat melihat itu berseru : "Tunggu
Sian Ang!"."Ada apa lagi?", si Tosu batal berlalu.
"Tolonglah Sian Ang menyembuhkan juga", sambil menuding
pengemis lainnya. "Dia tuli dan gagu pula".
"Oh". Sang Tosu menghampiri si pengemis bisu-tuli. Setelah
memeriksa sebentar, si Tosu mengeluarkan pisau. "U, u...",
pengemis bisu itu ketakutan.
"Harus dipotong!?". Pengemis tuna-netra yang baru melek berseru
kaget.
"Jangan takut, Pinto akan menyembuhkan sakitmu!". Sang Pendeta
menyuruh si gagu membuka mulut.
Si bisu tambah ketakutan.
Sang Tosu memegang dagunya, memaksanya membuka mulut dan
memasukkan pisaunya.
"Jangan takut, sama sekali tidak sakit", katanya sambil memotong
sesuatu di rongga mulut si pengemis. "Sekarang kau muntahkan
bagian yang baru kupotong!".
Si bisu memuntahkan sesuatu dari mulutnya, menyusul dia berseru
girang : "Saya dapat mendengar dan berbicara".
Kalian bertiga rupanya berjodoh dengan Pinto", kata si Tosu,
"Sekarang kalian boleh pulang".Si gagu lantas berlutut sambil menyoja: "Terima kasih atas budi
Siang Ang".
"'Pulanglah kau!". Sang Tosu segera mengajak muridnya berlalu.
Tapi belum jauh dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara di
belakangnya. "Tunggu Sian Ang!".
Loo Tosu berpaling, yang memanggilnya ternyata Chu Wangwa.
Chu Wan-gwa yang telah melihat sang Tosu beruntun
menyembuhkan sakit tiga orang, jadi percaya kalau pendeta itu
adalah penjelmaan Dewa atau sedikitnya manusia yang memiliki
kesaktian setingkat Dewa. Maka dia tak ingin menyia-nyiakan
kesempatan itu untuk meminta bantuannya.
"Ada keperluan apa Sie-cu?", tanya sang Tosu.
"Saya ingin meminta tolong pada Sian Ang", Chu Wan-gwa
mengungkapkan maksudnya.
"Soal apa?", tanya si Tosu.
"Sebaiknya kita bicarakan di rumah saya saja", ujar Chu Wan-gwa.
*Baiklah". Loo Tosu ikut ke rumah Chu Wan-gwa.
Setelah menyilakan tamunya duduk dan menyuruh pembantunya
menghidangkan minuman, barulah Chu Wan-gwa menjelaskan
maksudnya yang sesungguhnya. "Usia saya sekarang, hampir
setengah abad, tapi sampai kini belum juga mempunyai turunan.
Sering sudah saya bersembahyang ke Kelenteng memohon pada
Thian agar dikaruniai anak, tapi sampai sekarang belum juga
dikabulkan --- Dapatkah Sian Ang membantu saya agar memperoleh
keturunan!?".
"Kiranya kau menginginkan keturunan", kata si pendeta sambil
senyum.
"Benar Sian Ang, bila saya tak punya anak, akan termasuk orang
yang Put-hauw (tak berbakti)", ujar Chu Wan-gwa. "Apa pula artinya
harta benda yang saya miliki sekarang!?".
"Setiap orang yang telah berumah-tangga memang selalu
mendambakan anak, tapi keinginannya acap kali tak kesampaian",ujar si Tosu. "Untuk itu Pinto akan bersembahyang dan memohon
petunjuk dari Thian, apa sebabnya hingga Sie-cu tak dikaruniai
keturunan!?".
"Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih atas kesediaan
Sian Ang membantu saya". Chu Wan-gwa langsung menyoja si Tosu.
"Tak usah Sie-cu berterima kasih, sudah selayaknya Pinto
membantu orang-orang yang sedang mengalami kesulitan", ujar si
Tosu. "Pinto harap Sie-cu segera menyiapkan meja sembahyang".
"Baik Sian Ang". Berseri wajah Chu Wan-gwa.
"Tapi ada satu pesan Pinto, selama Pinto sembahyang, tak boleh
diganggu oleh siapa pun".
"Akan saya patuhi pesan Sian Ang".
Chu Wan-gwa segera menyuruh pembantunya menyiapkan meja
sembahyang.
Beberapa waktu kemudian Loo Tosu itu mulai bersembahyang.
Si Totong dan Chu Wan-gwa berdiri agak jauh tanpa berani bersuara.
Setelah berlangsung agak lama, barulah si Tosu menyudahi
sembahyangnya.
"Berhasilkah Sian Ang mengetahui sebabnya?", tanya Chu Wan-gwa,
tak sabar.
"Ternyata leluhurmu amat kikir, kurang beramal, hingga kau tidak
dipercaya untuk mempunyai anak. Tapi Pinto telah mewakilimu
memohon pada Thian dan permohonanmu dikabulkan, dalam waktu
tidak terlalu lama lagi Sie-cu akan dikaruniai seorang anak laki-
laki".
"Oh terima kasih sekali Sian Ang". Chu Wan-gwa amat gembira
ketika mendengar dirinya akan punya anak. "Dengan apa saya dapat
membalas budi Sian Ang?".
"Tak usah memberi imbalan apa-apa pada Pinto, sebab sudah
menjadi kewajiban Pinto untuk menolong orang yang sedang
mengalami kesulitan", kata si Tosu. "Sekarang sebaiknya Sie-cu
lekas pergi ke "Tiang Teng' (Gardu Panjang) yang terletak sekitar 10
li di luar kota bagian Tenggara. Di sana Sie-cu akan bertemu dengan
seorang Tojin yang sedang beristirahat sehabis memetik daun obat -
-- Mintalah padanya obat Dewa yang baru saja dipetiknya!".
"Bersediakah Totian itu memberikannya?", tanya Chu Wan-gwa.
"Aku yakin dia bersedia, tapi Sie-cu harus memberinya seribu tail
emas, sebagai tanda amalmu", sahut si Tosu tua.
Selesai berkata sang Tosu pamit pada Chu Wan-gwa, mengajak
muridnya meninggalkan rumah hartawan itu tanpa meminta imbalan
apa-apa.
Walau Chu Wan-gwa amat mendambakan anak, tapi ketika
mendengar harus mengeluarkan seribu tail emas untuk memperoleh
obat Dewa, telah membuatnya bimbang.
Dia menceritakan hal itu pada isterinya.
Sang isteri menyarankan agar suaminya tidak menyia-nyiakan
kesempatan tersebut.Jangan ragu, uang masih dapat dicari, apalagi pengeluarannya
untuk tujuan amal. Lekaslah kau memohon obat Dewa itu!", ujar
sang isteri.
"Baiklah Hujin". Sahut Chu Wan-gwa setelah mempertimbangkan
sejenak.
Chu Wan-gwa menuju ke tempat yang ditunjuk Loo Tosu dengan
membawa seribu tail emas, diiringi oleh seorang pembantunya.
Ketika hampir sampai di tempat yang dituju, Chu Wan-gwa bertemu
dengan Chi Kung Hok Hud.
Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sie-cu ingin membeli obat?", Hok Hud langsung bertanya. "Dari
mana Taysu tahu?", Chu Wan-gwa menatap heran. "Ha, ha, Sie-cu
ditipu", ujar Chi Kung. "Saya ditipu!?". Chu Wan-gwa keheranan.
"Ya, mereka merupakan komplotan penipu", Hok Hud
memberitahukan, "Tosu tua itu adalah pendeta dari Ceng In Koan di
Kim Leng, banyak orang di beberapa kota telah jadi mangsanya".
"Tapi tadi telah saya saksikan sendiri, bahwa pendeta itu berhasil
menyembuhkan tiga orang pengemis", tutur Chu Wangwa.
"Tiga orang itu adalah komplotannya", Chi Kung menjelaskan.
"Itu ...". Chu Wan-gwa ragu.
"Kau tak percaya?", tanya Chi Kung, "mari ikut aku, segalanya akan
jelas bagimu".
Chi Kung berjalan di muka, diikuti oleh sang hartawan bersama
pembantunya.Tak lama tibalah mereka di dekat sebuah rumah kecil.
"Dekatilah jendela itu untuk mendengarkan percakapan mereka",
kata Hok Hud pada Chu Wan-gwa, "tapi jangan sampai terlihat oleh
mereka".
Chu Wan-gwa menghampiri jendela, mengintai ke dalam. Terlihat
olehnya tiga orang pengemis yang sedang makan minum sambil
berbincang-bincang.
Ternyata mereka sedang membicarakan kerja sama mereka dengan
Loo Tosu untuk melakukan penipuan.
"Sekali ini Loo Tosu berhasil menjerat kambing gemuk". kata yang
seorang.
"Itu berkat jasa kita juga", ujar lainnya.
"Asal kita kompak, masa depan kita akan cerah", ujar yang seorang
lagi.
"Kenapa sampai sekarang belum juga ada kabar?", tanya pengemis
yang pertama agak cemas.
"Jangan khawatir", temannya berusaha menenangkan, "Loo Tosu
dan adik seperguruannya takkan .melupakan kita --- Setelah mereka
memperoleh 1000 tail emas, paling tidak kita masing-masing akan
memperoleh 500 tail perak".
Selagi mereka asyik berbincang-bincang, tiba-tiba masuk si Totong
dengan sikap gugup.
"Apa yang telah terjadi?", tanya salah seorang pengemis.
"Telah terjadi perkembangan di luar dugaan, Tio Toako", ujar Cheng
Hong, sang Totong, dengan nafas agak memburu.
"Perkembangan di luar dugaan?".
"Hweshio sinting itu telah merusak rencana kita", Totong itu
menerangkan. "Suhu menyuruh kalian ikut Susiok pergi ke Tiang-
sa".
"Baik, kami tunggu Susiokmu di sini, lalu sama-sama berangkat ke
Tiang-sa", kata pengemis yang dipanggil Tio Toako."Aku harus segera ke rumah keluarga Chu, Suhu juga akan ke sana",
sang Totong memberitahu, kemudian berlalu.
Segala percakapan mereka jelas terdengar oleh Chu Wangwa.
"Akan kulaporkan ke pihak yang berwajib", ucap Chu Wan-gwa.
"Sabar", cegah Chi Kung, "karena aku tahu bahwa kau seorang yang
berjiwa sosial, maka kuajak kau ke mari agar tidak ditipu mereka".
Pada saat itu terlihat seorang Tosu membawa keranjang daun obat
masuk ke dalam rumah di mana ketiga pengemis tadi berada.
"Bagaimana perkembangannya, Totiang?", tanya salah seorang
pengemis.
"Sampai sekarang Chu Wan-gwa belum juga datang ke Tiang-teng",
sahut adik seperguruan Loo Tosu. "Pasti ada orang yang sengaja
merusak rencana kita".
"Tadi Loo Totiang telah menyuruh Cheng Hong ke mari", salah
seorang pengemis memberitahu,"katanya ada seorang Hweshio
sinting yang telah mengacau rencana kita dan Loo Totiang meminta
kita pergi ke Tiang-sa".
"Benar-benar brengsek Hweshio itu", gerutu adik seperguruan Loo
Tosu. "Mari kita ke Tiang-sa, aku yakin sedikit banyak Suheng akan
memperoleh hasil".
Mereka bergegas meninggalkan rumah kecil itu.
Dari tempat pengintaiannya Chu Wan-gwa melihat ketiga pengemis
bersama adik seperguruan Loo Tosu bergegas menuju ke utara.Sang hartawan merasa bersyukur bahwa dirinya tak sampai kena
ditipu oleh mereka.
"Lekaslah pulang, kau memang sudah ditakdirkan menderita sedikit
kerugian pada saat ini, hendaknya kau merelakannya".
"Oh ...". Chu Wan-gwa kaget mendengar keterangan Chi Kung.
"Banyak beramal tentu akan membawa berkah bagimu", kata Chi
Kung lagi sambil senyum, "nantinya kau akan mendapat keturunan".
"Terima kasih atas segala petunjuk Taysu", ucap Chu Wangwa.
"Sekarang aku ingin pergi minum arak". Chi Kung segera berlalu.
"Mari kita pulang", Chu Wan-gwa mengajak pembantunya.
"Loo-ya...", si pelayan ragu, "bukankah kita ingin ke Tiangteng!?".
"Tak ada gunanya kita ke sana, sudah jelas itu merupakan
penipuan".
Chu Wan-gwa bergegas pulang ke rumahnya dengan diikuti
pembantunya...
Di rumah keluarga Chu, nyonya rumah sedang menanti kembalinya
sang suami dengan membawa obat mujarab. Tibatiba seorang
pelayannya melaporkan, bahwa ada Tosu ingin bertemu dengannya.
Chu Hujin segera ke ruang tamu, terlihat Tosu tua duduk di situ.
"Ada titah apa Sian Ang?", tanya si nyonya rumah.
"Wan-gwa akan segera kembali dengan membawa obat mujarab,
tapi harus dilengkapi pula dengan air mujarab", Loo Tosu
menerangkan. "Dan untuk tempat air mujizat itu dibutuhkan wadah
yang bersih, seyogyanya dalam 'Giok Peng (Botol Kumala) --- Apakah
di rumah nyonya tersedia botol semacam itu?"
"Saya menyimpan vas kumala antik, apakah benda itu dapat
digunakan?", tanya Chu Hujin.
"Coba Pinto lihat", ujar sang Tosu. "Harap Sian Ang tunggu
sebentar".
Chu Hujin masuk ke ruang dalam, tak lama kemudian dia keluar lagi
sambil membawa vas kumala antik, menyerahkannya pada si Tosu.Sejenak si Tosu memperhatikannya, kemudian mengangguk: "Vas
ini dapat juga dipakai''.
Lalu dia pamit dari nyonya rumah serta membawa vas antik
tersebut.
Belum lama Loo Tosu pergi, Chu Wan-gwa pulang, menceritakan apa
yang dialaminya pada isterinya.
Baru pada saat itu Chu Hujin sadar kalau dirinya telah ditipu.
"Tosu tua itu telah menipuku", katanya sambil menghela nafas, lalu
menceritakan prihal si pendeta yang meminjam vas kumala, yang
katanya untuk wadah air mujizat.
"Tepat sekali ramalan Taysu itu", ujar Chu Wan-gwa. "Apa saja yang
dikatakannya?", tanya sang isteri.
"Dia bilang, bahwa aku akan menderita sedikit kerugian, tapi harus
merelakannya", Chu Wan-gwa menerangkan, "sebagai seorang yang
cukup mampu sudah sewajarnya kita banyak beramal".
"Siapa Taysu itu?"
"Bila melihat dandanan maupun tingkah lakunya, kemungkinan
adalah Chi Kung Hok Hud dari Leng In Sie...".
"Oh...". Hanya itu yang keluar dari mulut sang isteri.
Sementara itu, Tio bersaudara yang menyamar sebagai pengemis,
bersama adik seperguruan Loo Tosu telah tiba di kota Tiang-sa.Tosu itu menuang racun ke dalam sumur di tepi jalan, menanti
Suhengnya tiba untuk mengobati orang yang keracunan karena
minum air sumur tersebut.
Di lain pihak Hok Hud masih tetap membuntuti Loo Tosu bersama
muridnya dalam perjalanan mereka ke Tiang-sa.
Pada mulanya Loo Tosu mendiamkannya saja, berpurapura tidak
tahu, tapi ketika hampir tiba di kota Tiang-sa, tibatiba dia
menghentikan langkah, membalikkan tubuh seraya menghardik:
"Apa maksudmu terus mengikutiku?".
"Aku si Hweshio selalu berkelana di kalangan Kang-ouw, menipu
orang dengan berpura-pura mengobati sakit sementara orang, untuk
sekedar dapat membeli arak. Tapi kalian telah merampas
pekerjaanku...", sahut Chi Kung sambil senyum.
"Bila kau terus mengikutiku, akan kuhajar kau nanti", ujar si Tosu
seraya melotot.
"Aku tahu, bahwa kau membawa banyak racun", ucap Chi Kung.
"tapi aku tak takut".
"Rupanya kau memang sengaja ingin cari mampus ya!?", si Tosu
mengangkat kebutan."Eh, eh... kau benar-benar ingin
membunuhku!?", Chi Kung berpura-pura terperanjat."Lebih baik
kubunuh kau daripada akan merusak segala usahaku" sang Tosu
menggerakkan kebutan.
"Aduh... sungguh kejam kau ini!", teriak Chi Kung.Menyusul tubuhnya jatuh lemas.
"Kebutanku mengandung racun, tak lama lagi kau akan mati!", ujar
Loo Tosu, tersenyum penuh kemenangan.
"Kau membunuhku justeru ingin menutupi kebusukanmu", ucap Chi
Kung sembari merintih, "aku akan jadi setan penasaran nanti".
"Ulahmu sendiri yang memaksaku harus turun tangan", si Tosu
menyalahkannya,
"Oh, rupanya aku benar-benar akan mati". Chi Kung terus duduk
lemas.
"Ampunilah dia sekali ini Suhu, keadaannya patut dikasihani",
Cheng Hong, sang Totong, yang rupanya merasa iba melihat
keadaan Chi Kung.
"Tidak bisa! Bila kita ampuni, malah dia yang akan merusak rencana
kita nanti", ujar Loo Tosu.
Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tosu kecil ternyata cukup baik hati", ujar Chi Kung, "hei Siao Tosu,
tolonglah aku... Aku akan amat berterima kasih padamu bila kau
bersedia menolongku".
"Saya tak berdaya", sahut si Totong, terus mengikuti gurunya
berlalu. "Suhu tak sudi memberi obat padamu"
"Celaka! Kalau begitu akan tamatlah riwayatku", tambah lemaslah
Chi Kung.
Tapi setelah guru dan murid itu tak tampak lagi, dia langsung
bangkit.
"Loo Tosu itu amat tamak akan harta, biar nanti akan kupermainkan
mereka lagi", kata hati si Padri sakti.
Hok Hud segera menuding sebuah batu seraya berseru: "Berobah!".
Batu itu lantas berobah, berwujud seperti dirinya.
Sedang Chi Kung sendiri lalu menggerakkan tubuh, seketika dirinya
berobah menjadi Hweshio gemuk,
Kemudian dia menggendong Chi Kung palsu, masuk ke dalam kota
Tiang-sa.Kala itu Loo Tosu baru selesai mengobati sakit Tio bersaudara di
hadapan penduduk setempat.
Hweshio gemuk menghampiri mereka sambil menggendong 'mayat
Chi Kung'.
"Sian Ang, di rumahku ada orang sakit, harap Sian Ang sudi
mengobatinya", kata salah seorang yang menyaksikan 'kesaktian'
Loo Tosu.
"Di kota ini telah terjangkit wabah", ujar Loo Tosu, "tapi kalian tak
perlu resah. Di pintu Timur kota ini terdapat seorang Tosu pemetik
daun obat, kalian dapat membeli obat padanya".
"Sian Ang tentunya memiliki kesaktian untuk menghidupkan orang
mati", sela Hweshio gemuk yang baru tiba, "tolonglah Padri ini".
"Oh", Loo Tosu terperanjat ketika melihat 'mayat Chi Kung' yang
digendong oleh si Hweshio gemuk.
"Padri ini terkena racun dan mati di tepi jalan, amat menyedihkan
keadaannya", tutur Hweshio gemuk itu sambil menuding 'mayat Chi
Kung' yang diletakkan di tanah. "Sian Ang tentu dapat
menghidupkannya kembali".
I u... aku...", Loo Tosu agak gugup.
"Kau adalah Sian Ang (Kakek Dewa), pasti dengan mudah dapat
menghidupkan kembali orang yang telah meninggal", ujar si
Hweshio..
Selama beberapa saat Loo Tosu berdiam diri, ragu dia.
"Telah kalian saksikan sendiri, bahwa Sian Ang ini tak dapat
menghidupkan orang mati", berkata si Hweshio gemuk pada orang-
orang yang berkerumun di situ, "maka janganlah kalian percaya
padanya!".
"Kau dapat menghidupkan orang mati!?", tanya Loo Tosu dengan
hati kesal.
"Jelas dapat", sahut si Hweshio. "Aku tak percaya!". Mulai keras
suara si Tosu."Mau percaya atau tidak, itu hakmu", ujar Hweshio gemuk, "Begini
saja, kau coba dulu menghidupkan mayat itu, bila tak berhasil, baru
aku yang akan turun tangan. Tapi seandainya aku berhasil, kau
harus merobah kelakuanmu yang buruk itu".
Sang Tosu membelalakkan mata, merasa seakan si Hweshio telah
tahu isi hatinya. Selang sesaat baru dia berkata: "Baik, akan
kucoba".
Dia berjongkok di sisi 'mayat Chi Kung', berusaha
menghidupkannya. Kendati dia telah mengerahkan seluruh
kepandaiannya, tapi tetap tak dapat menghidupkan Chi Kung.
"Ha, ha, nyatanya kau tak berhasil. Kini giliranku".
"Aneh, kenapa obatku tak manjur?", gumam si Tosu.
Si Hweshio gemuk mengeluarkan sepotong kue, memberikannya
pada salah seorang yang menyaksikan keramaian: "Tolong kau beri
makan dia".
"Baik Taysu", sambut penonton itu.
Begitu kue dimasukkan ke mulut Chi Kung tetiron, Padri itu
langsung membuka mata dan bangkit.
"Dia hidup!", seru orang yang memberi makan tadi.
"Lihat, aku berhasil menghidupkannya", kata Hweshio gemuk itu
pada si Tosu."Oh!", sang Tosu membuka mulutnya lebar-lebar.
Sementara Chi Kung tetiron menghampiri si Tosu: "Bagus sekali
perbuatanmu! Kau telah mencelakaiku!"
"Lekas kita tinggalkan tempat ini!", Loo Tosu menarik tangan
muridnya.
"Jangan kabur! Akan kuadukan kau ke pihak yang berwajib!", seru
Chi Kung.
Loo Tosu mempercepat langkahnya, tapi tiba-tiba dia berseru kaget:
"Celaka!". Tubuhnya bukannya maju, malah mundur ke arah Chi
Kung.
"Kenapa Suhu!?", sang murid ikut terperanjat.
*Ha, ha, jangan harap kau bisa kabur!". Duplikat Chi Kung tertawa
lebar.
Tubuh Loo Tosu bagaikan ditarik ke belakang, membuatnya hampir
jatuh ke pelukan Chi Kung.
Namun mendadak telah terjadi keanehan lain, tubuh Chi Kung
tetiron mendadak lenyap.
"Aneh, kenapa Hweshio sinting itu mendadak hilang?". Si Tosu
keheranan.
"Suhu, Hweshio gemuk juga lenyap", sang murid memberitahukan.
Tetapi sang guru seakan tidak mendengar ucapan muridnya.
"Benar-benar aneh, Hweshio sinting itu berobah menjadi batu!". Loo
Tosu menuding batu di sisinya.
"Oh...!", si Totong terbelalak. "Mana Hweshio gemuk itu?", tanya si
Tosu. "Hilang juga", jawab muridnya.
Tiba-tiba terlihat adik seperguruan si Tosu mendatangi dengan
langkah tergesa-gesa: "Suheng... tampaknya usaha kita sekali ini
sia-sia belaka, kita tak boleh berdiam lama-lama di sini".
"Kau juga bertemu dengan Hweshio siluman, Sute?", tanya si Tosu
agak panik."Benar Suheng, ada Hweshio gemuk yang menolong orangorang
keracunan", sang Sute menerangkan.
"Benar-benar sedang sial kita", Loo Tosu menghela nafas, "semula
kita diganggu oleh Hweshio siluman itu, kini ditambah dengan
Hweshio gemuk".
"Kita tak dapat mencari mangsa di sini, Suheng", ujar sang Sute.
"Ya, sebaiknya kita pergi ke kota lain", sahut Loo Tosu.
Tapi baru saja mereka ingin berlalu, di depan mereka telah berdiri
Hweshio gemuk seraya berkata: "Percuma saja kalian pergi ke
tempat lain, aku akan tetap mengikuti, tak membiarkan kalian
merugikan, apalagi mencelakai orang!".
"Kau lagi!", seru Loo Tosu, "kita kan tidak saling bermusuhan,
kenapa kau selalu ingin mencari gara-gara dengan kami!?"
"Selama kalian masih melakukan penipuan, aku akan tetap
membayangi kalian!", ujar si Hweshio gemuk.
"Bagaimana kalau kami beri sebagian dari hasil kami padamu?", si
Sute mengajukan jalan tengah.
"Aku tak butuh uang!", si Hweshio gemuk menggeleng. "Jadi kau
ingin mampus!?". "Juga tidak".
Tiba-tiba si Totong berseru: "Tio bersaudara datang, Suhu!".Sikap Loo Tosu yang semula tampak lesu jadi bersemangat kembali,
segera menghampiri Tio bersaudara: "Lekas kalian bereskan
Hweshio itu!"
"Baik Totiang". Ketiga saudara itu menghampiri si Hweshio gemuk.
"Kiranya kau yang telah menghancurkan sumber penghasilan
kami!", tuduh salah seorang dari mereka seraya menuding si
Hweshio.
"Kalian masih begitu muda lagi kuat, kenapa mau dijadikan alat
untuk menipu?", tanya si Hweshio.
"Diam kau!". Orang yang dipanggil Tio Toako menjambak leher jubah
si Hweshio.
"Hantam saja biar mampus!", seru saudaranya. "Tolong...!", teriak si
Hweshio. "Tak perlu kita kasihani dia!", seru seorang lainnya.
Namun tiba-tiba Hweshio gemuk itu lenyap, berobah menjadi
gumpalan asap. Dari dalam asap itu muncul Chi Kung Hok Hud
"O Mi To Hud"
"Oh!", ketiga saudara Tio terperanjat, "Chi Kung Hok Hud dari Leng
In Sie!". Mereka mengenali siapa yang berada di hadapannya.
"Kalian akan meringkuk dalam penjara akibat perbuatan tercela
kalian", kata Chi Kung.Tio bersaudara segera berlutut di hadapan
Chi Kung."Harap Hok Hud sudi mengampuni kami", ucap sang
Toako, "kami bersumpah untuk kembali ke jalan yang benar".
"Bagus bila kalian telah sadar", kata Chi Kung. Kemudian berpaling
ke Tosu tua: "Apakah kau masih belum mau sadar juga Loo Tosu?"
"Sudilah Hok Hud mengampuni kami". Loo Tosu lantas berlutut di
hadapan Chi Kung dengan diikuti oleh murid dan adik
seperguruannya.
"O Mi To Hud, masih belum terlambat bagi kalian menyadari
kesalahan", ujar Chi Kung.
Setelah berhasil menyadarkan komplotan penipu itu, Hok Hud lalu
berkelana ke tempat lain untuk meneruskan misinya.
********************KESETIAAN
Hari itu, selagi Chi Kung sarapan di kedai nasi sederhana, telah
dihampiri oleh seekor anjing berbulu kuning, yang terus
menyalakinya.
"Brengsek anjing ini, membuatku tak enak makan", gerutu Chi Kung
sambil berpaling ke anjing itu.
Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun sang binatang terus menyalak.
"Kau seakan ingin menyampaikan sesuatu padaku?", Chi Kung
mengawasi anjing itu.
Sang anjing tetap menggongong. "Mari kita pergi!", Chi Kung
bangkit dari tempat duduknya.
"Kenapa tidak dihabiskan makannya Taysu?", tanya pemilik kedai.
"Nanti aku balik lagi", sahut Chi Kung. Kemudian berpaling ke
anjing: "Kau ada urusan? Ayo ajak aku!".
Chi Kung berjalan di muka, sang anjing mengikuti sambil terus
menyalak.
"Diam! Ayo ajak aku ke tempatmu!".
Sang anjing mendahului Chi Kung, mengangkat sepasang kaki
depannya."Kenapa kau berhenti? Rupanya kau sengaja ingin mengajakku
bercanda ya? Bila kau tak mau mengajakku ke tempatmu, aku akan
melanjutkan sarapanku". Chi Kung meninggalkan anjing itu.
Sang anjing kembali membuntutinya sambil menyalak. "He, kau
rupanya ingin mengajakku adu lari ya!?". Chi Kung segera
mengayunkan langkah. Sang anjing mengejarnya.
Ketika Chi Kung lari melewati tempat yang agak ramai, seorang
anak berseru pada teman mainnya; "Lihat, ada anjing mengejar
Hweshio miskin! Hweshio itu pasti telah mencuri sesuatu!".
Chi Kung menghentikan langkah, anjing itu ikut berhenti.
"Dasar binatang brengsek, membuatku jadi dituduh sebagai
pencuri". Chi Kung memaki anjing itu. "Kupukul kau baru tahu rasa".
Chi Kung mengangkat kipas bututnya, seakan hendak memukul
binatang itu.
Sang anjing segera membalikkan tubuh, melarikan diri.
"Sekarang giliranku mengejarmu", Chi Kung mengejar binatang itu.
"Hendak kulihat ingin lari ke mana kau!?".
Sang anjing mempercepat larinya, Chi Kung terus mengejarnya.
Akhirnya anjing itu masuk ke dalam sebuah rumah.
"Ha, ha, kau kira akan aman masuk ke rumah?", desis Chi Kung
sambil terus mengejarnya. Tapi begitu masuk, dia jadi keheranan.
"Ke mana binatang itu?", gumamnya.
Dia memperhatikan seputar ruang, tetap tidak melihat binatang itu.
"Hei binatang, biar kau bersembunyi dimana pun akan dapat
kutemui". Chi Kung melangkah lebih jauh, namun keadaan di dalam
rumah itu sepi-sepi saja. "Rumah ini tak berpenghuni".
Chi Kung terus masuk, tiba-tiba di sebuah kamar dia melihat
seorang wanita menggantung diri.
Hok Hud segera menurunkan tubuh wanita itu, berhasil
menyelamatkan nyawanya."Kenapa Taysu menolong saya?", tanya si wanita muda sambil
mengucurkan air mata.
"Kenapa kau membunuh diri?", Chi Kung balik bertanya.
"Suami saya, Lie Chi Kho, bekerja sebagai penjaga keamanan di
keluarga Nio. Anak perempuan keluarga itu tertarik padanya,
demikian pula suami saya. Sejak beberapa waktu yang lalu suami
saya bermaksud menceraikan saya, agar dapat menikah dengan
nona Nio. Saya amat sedih, hingga memutuskan untuk membunuh
diri".
"Kiranya begitu", ucap Chi Kung,"padahal kau cukup cantik, tak
patut dia menceraikanmu".
"Ayah nona Nio adalah pejabat di kota-raja, suami saya ingin
memanfaatkan kedudukan itu untuk menolongnya memperoleh
jabatan di kota-raja", menerangkan si wanita.
"Sikap suamimu benar-benar keterlaluan, ingin memperoleh jabatan
dengan mengandalkan calon mertua".
Baru selesai Chi Kung berkata, Lie Chi Kho pulang. Begitu melihat di
kamarnya ada Hweshio, dia langsung menuding isterinya: "Bagus ya
perbuatanmu, berani menyeleweng dengan Hweshio!".
"Oh Koan-jin... Taysu ini telah menyelamatkan nyawa saya ---
Jangan kau menuduh yang bukan-bukan". Sang isteri berusaha
menjernihkan persoalan."Sebagai orang yang menyucikan diri, aku tak pernah nyeleweng
dengan wanita", Chi Kung menjelaskan pula.
"Aku tak percaya", kata Chi Kho ketus, "masihkah kau ingin
menyangkal setelah kalian berada di kamar!?".
"Oh Koan-jin... kau...", sang isteri tak dapat meneruskan ucapannya
"Kalau saja aku tidak ke mari, isterimu tentu telah meninggal", kata
Chi Kung.
"Tak usah kau mengemukakan bermacam alasan!", hardik Chi Kho.
"Kau benar-benar seorang yang tak tahu sopan santun dan
berterima kasih. Aku ke mari menolong isterimu, malah dituduh
yang bukan-bukan", ujar Chi Kung, bermaksud keluar kamar.
"Jangan pergi kau!", Chi Kho menuding Chi Kung. "Kalian pasti telah
sering berkencan di luar tahuku!".!
"Jangan kau seenaknya saja memfitnah orang, apalagi sewenang-
wenang menceraikan isteri, ingatlah akan hukum karma!", ujar Chi
Kung.
"Akan kuseret kalian ke pihak yang berwajib", Chi Kho tetap
mengancam.
"Aku tak mau berurusan dengan pihak yang berwajib, juga enggan
berdebat dengan orang yang tak memiliki perasaan sepertimu", kata
Chi Kung. "Lebih baik segera kutinggalkan rumah ini".
"Jangan harap kau dapat kabur!". Sikap Chi Kho masih tetap penuh
diliputi kemarahan.
"Sungguh keji fitnahmu itu, Koan-jin", sela isteri Chi Kho. "Diam kau
perempuan brengsek!", hardik sang suami. Chi Kung melangkah
meninggalkan rumah itu.
"Kau tak boleh pergi tanpa izinku". Bentak Chi Kho sambil
mencabut pedang.
Chi Kung mempercepat langkahnya: "Kau ingin membunuhku?".
"Ya, akan kuhabisi dulu nyawamu, setelah itu lantas si perempuan
tak tahu malu!", Chi Kho menggerakkan pedang."Kau ta takut dihukum!?". Chi Kung mengelak dari serangan
tersebut.
"Jangan Koan-jin!", isteri Chi Kho memegangi tangan kiri suaminya.
"Akan kumampuskan kau!". Chi Kho tetap penasaran. "He, he, aku
belum mau mati!". Chi Kung lari ke luar.
"Dengar dulu penjelasanku, Koan-jin". Sang isteri terus memegangi
tangan suaminya.
"Kau takut aku membunuh kekasih-gelapmu?". Chi Kho melepaskan
tangan dari pegangan isterinya.
"Aku cukup maklum apa yang terkandung di hatimu", kata sang
isteri sambil mengucurkan air mata. "Jangan kau memfitnah orang
baik-baik".
"Huh!". Chi Kho tetap diliputi kemarahan.
"Nona Nio adalah janda muda dan kau bermaksud
mempersuntingnya. Dengan mengawininya, kau mengharapkan
dapat memperoleh kedudukan di kota-raja lewat bantuan mertuamu.
Tak perlu kau memfitnahku untuk melaksanakan hasratmu itu".
"Bagus bila kau tahu itu", kata Chi Kho. "Aku memang bermaksud
menceraikanmu dan memperisteri nona Nio".
"Kau tak dapat menceraikanku, sebab aku tak pernah berbuat
salah", kata sang isteri dengan bersimbah air mata.
"Penyelewenganmu dengan Hweshio itu merupakan alasan yang
kuat bagiku untuk menceraikanmu", kilah Chi Kho.
"Kau benar-benar seorang yang tidak berperasaan".
"Terserahmu ingin mengatakan apapun tentang diriku, pokoknya
aku akan menceraikanmu, aku tak boleh melewatkan kesempatan
baik ini!".
Chi Kho segera membuat surat pernyataan cerai dan meminta
isterinya menandatanganinya sebagai tanda setuju.
Semula Lauw Giok Lan, isteri Chi Kho, keberatan, tapi karena
didesak sang suami, terpaksa dia membubuhi juga tanda tangannya.Chi Kho segera berlalu sambil membawa 'surat cerai' itu. "Apa
gunanya aku hidup!?". Giok Lan terisak-isak, amat pedih hatinya.
Ketika dia ingin mengulangi perbuatannya dengan menggantung
diri, anjing peliharaannya terus menyalakinya.
"Kenapa kau terus menggonggongiku?", ucap Giok Lan pada sang
anjing, "kau ingin aku tetap hidup dengan menanggung derita!?"
****
Lie Chi Kho memasuki halaman rumah keluarga Nio dengan wajah
berseri.
Dia langsung masuk ke ruang dalam dan bertanya pada seorang
pelayan: "Mana nona, A Siang?".
*Nona sedang menunggu tuan", sahut A Siang.
Chi Kho bergegas masuk ke kamar Nio Yu In, anak perempuan
majikannya.
*Berhasil kau selesaikan?", tanya Nio Yu In begitu melihat Chi Kho.
"Sudah", sahut Chi Kho dengan sikap penuh hormat. "Ini surat
cerainya".
Sebenarnya Nio Yu In telah menikah dengan keluarga Ho. tapi
setelah suaminya meninggal, dia kembali ke rumah orangtuanya.
Kemudian dia jatuh hati pada Chi Kho yang tegap tampan.
Dirayunya petugas keamanan itu dan menyuruh men ceraikan
isterinya.
"Kau memang pria yang pandai", berseri wajah Yu In, "Kita dapat
meresmikan hubungan sekarang. Akan kuajak kau menemui Mama
untuk membicarakan soal perkawinan kita".
Nio Yu In mengajak Chi Kho ke hadapan ibunya.
Nio Hujin amat mencintai anak perempuannya, segala keinginan
anaknya selalu dipenuhinya.
Chi Kho memberi hormat pada nyonya Nio.
Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kini Chi Kho telah cerai Ma". Yu In memberitahukan ibunya."Bagus, kau dengan Chi Kho memang merupakan pasangan yang
serasi", kata sang ibu.
"Saya mengajak Chi Kho untuk membicarakan soal perkawinan
kami, Ma", tutur Yu In.
"Mama tidak keberatan", ujar sang ibu, kemudian berpaling pada
calon menantunya: "Yu In telah pernah menikah Chi Kho, aku tak
ingin mengadakan pesta lagi. Sebaiknya kita pilih hari baik untuk
meresmikan hubungan kalian sebagai suami isteri".
Chi Kho dan Yu In serta-merta menyetujuinya.
Setelah Lie Chi Kho resmi sebagai menantu keluarga Nio, Nio Hujin
membangun rumah baru untuk anak dan menantunya.
Beberapa waktu kemudian...
"Yu In, aku bermaksud...", Chi Kho tidak meneruskan ucapannya.
"Aku tahu apa yang kau inginkan", kata sang isteri, "kau hendak ke
kota-raja bukan?".
"Ya", Chi Kho mengangguk.
"Secepat itu kau ingin meninggalkanku?". Yu In tampak keberatan
pisah dengan suami.
"Aku ingin meningkatkan karir", Chi Kho berusaha menjelaskan."Aku tak ingin kau jadi pejabat...", Yu In mengungkapkan isi hatinya.
"Sebagai laki-laki aku harus berusaha untuk maju, tak dapat terus
menerus menemani isteri di rumah", kilah Chi Kho.
"Aku malah mengharapkan selalu didampingi suami", Yu In
membelakangi suaminya. "Aku tak tahan kesepian".
"Tapi kau harus memikirkan juga masa depanku, Yu In".
"Tampaknya kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku".
"Bila aku berhasil mencapai apa yang kucita-citakan, akan segera
kuboyong kau ke kota-raja", kata Chi Kho, "sudilah kau meluluskan
harapanku".
Yu In mengajak suaminya menemui ibunya, mengharapkan sang ibu
menasehati Chi Kho agar membatalkan maksudnya.
"Apa maksud kalian ke mari?", tanya nyonya Nio.
"Dia ingin pergi ke kota-raja, Ma", ujar Yu In dan menerangkan lebih
lanjut maksud kepergian suaminya.
"Memang benar apa yang dikatakannya, kaum pria harus berusaha
meningkatkan karir dan usaha", ujar sang ibu.
"Jadi Mama sependapat dengannya?", Yu In agak kecewa.
"Ya, berilah dia kesempatan mengembangkan karir di kota-raja",
ucap sang ibu. "Biarlah dia menemui ayahmu. Setelah dia jadi
pejabat, derajatmu akan ikut terangkat".
Kemudian nyonya Nio berpaling ke menantunya: "Chi Kho, aku akan
menulis surat pada Gak-hu, agar dia membantumu mendapatkan
jabatan di kota-raja".
"Terima kasih Gak-bo", berseri wajah Chi Kho.
(Gak-hu = panggilan untuk mertua laki-laki; Gak-bo = panggilan
untuk mertua perempuan).
"Huh!", Yu In tak seronok. "Kau tak senang aku jadi pejabat, Yu
In?", tanya Chi Kho.
"Apa sih yang patut dibanggakan sebagai pejabat? Membiarkan
isteri kesepian di rumah!", sahut Yu In dengan wajah muram.Telah bulat tekad Chi Kho untuk dapat jadi pejabat, maka
ditinggalkan isterinya, berangkat ke kota-raja.
Setiba di kota-raja, dia langsung menemui mertua lakilakinya.
Nio Tay-jin, sang mertua, ketika melihat menantunya begitu tampan
lagi berambisi untuk maju, langsung menyatakan kesediaannya
untuk membantu Chi Kho memperoleh jabatan.
Berkat bantuan mertua yang menempati posisi cukup penting dalam
kerajaan, tak sulit bagi Chi Kho memperoleh kedudukan. Dalam
waktu singkat dia telah diangkat sebagai petugas pajak.
Chi Kho yang ingin cepat-cepat naik pangkat dan kaya, amat tekun
lagi tegas dalam melaksanakan tugas. Tapi berangsur-angsur dia
jadi kepala besar, tambah ketat memungut pajak, dalam beberapa
hal yang seharusnya tidak terkena cukai, dikenakannya juga.
Hingga bukan saja pedagang, rakyat kecil pun mulai gelisah akibat
tindakan sewenang-wenang Chi Kho dalam memungut pajak.
Banyak pejabat lain yang mulai kurang senang pada sikap Chi Kho,
tapi berhubung di belakang Chi Kho ada Nio Tay-jin, mereka enggan
menegur tindakan sewenang-wenang Chi Kho.
Chi Kho memanfaatkan keadaan itu, menyisihkan sebagian dari
pendapatan pajak untuk memperkaya diri sendiri.
Akibatnya kehidupan rakyat semakin gelisah, mulai enggan
berdagang ataupun meningkatkan produksi pangan dan bidang
lainnya, yang mengakibatkan menurunnya pendapatan pemerintah.
Keadaan itu sempat diketahui oleh pejabat yang ditugaskan
mengawasi keuangan negara, yang melaporkannya pada atasannya.
Maka beberapa waktu kemudian, Menteri Kehakiman
memerintahkan untuk menangkap Chi Kho dan memecat juga Nio
Hiong, mertua Chi Kho, yang dianggap melindungi menantunya.
Nio Hiong terpaksa kembali ke kampung halamannya.
Sedang Chi Kho dijebloskan ke dalam penjara, menanti saat diadili."Aku bukan saja gagal meraih pangkat yang lebih tinggi dan menjadi
kaya, malah harus mendekam dalam penjara", keluh Chi Kho. "Lebih
setengah tahun aku meninggalkan rumah, entah bagaimana
keadaan Yu In!?".
Beberapa waktu kemudian Chi Kho mulai diadili, terbukti melakukan
korupsi, tapi karena jumlahnya tidak terlalu besar, dia dijatuhi
hukuman 2 tahun penjara, dipecat dari jabatan dan disita
kekayaannya.
Dua tahun kemudian Lie Chi Kho dibebaskan dari penjara, kembali
ke kampung halamannya.
Dia datang ke rumah mertuanya. Nio Hiong sangat berang, sebab
gara-gara ulah Chi Kho dirinya jadi dicopot dari jabatannya.
Langsung dia mencaci-maki menantunya.
Chi Kho yang menyadari kesalahannya, tak berani membantah,
walau sebenarnya dongkol juga dimaki begitu, pamit dari sang
mertua.
Begitu keluar dari rumah mertuanya, telah bertemu dengan Chi
Kung
"He, he, sudah puas kau memegang jabatan?", sapa si padri sakti.
"Kau sengaja mengolokku ya!?", Chi Kho yang sedang dongkol jadi
berang."Mana berani aku mengolokmu", Chi Kung tetap senyum, "hanya
harus kau sadari, bahwa dalam hidup ini, apa yang kita harapkan
sering kali tak berhasil kita raih!".
"Enyah kau!", Chi Kho semakin marah.
"Sabar anak muda, sabar itu subur!". Chi Kung bukannya
menyingkir, malah menghalangi jalan maju si laki-laki tamak.
"Kenapa kau menghalangi jalanku?'', merah padam wajah Chi Kho
menahan marah.
"Aku ingin menyarankan agar kau tidak pulang", kata Chi Kung.
"Kenapa memang!?", tanya Chi Kho, ketus.
"Bila kau pulang sekarang, akan menjumpai hal yang kurang
mengenakkanmu". Tetap sabar sikap Chi Kung. "Aku khawatir kau
akan masuk penjara lagi".
"Minggir kau!". Habis sudah kesabaran Chi Kho. "Bila tidak, akan
kuhajar kau!".
"Aku bermaksud baik", Chi Kung terpaksa menyisi.
Lie Chi Kho segera menuju ke rumahnya dengan setengah berlari,
tak menghiraukan Chi Kung lagi. Namun begitu, dia masih sempat
mendengar peringatan Chi Kung: "Jangan kau menuruti emosi Lie
Chi Kho, tapi harus pandai mengekang diri...".
Chi Kho terus bergegas pulang. Setiba di muka rumah, didapati
pintu tembok halaman rumahnya dikunci dari dalam.
"Kenapa pintu dikunci?", gumam Chi Kho, "apakah Yu In...".
Sebagai orang yang pandai silat, tak sulit baginya masuk ke rumah,
dengan gerakan yang meyakinkan dia melompati tembok
Begitu memasuki kamar, terlihat olehnya kelambu ranjang telah
diturunkan dan terdengar bisik-bisik mesra di dalamnya.
"Bagus sekali perbuatan kalian!", hardik Chi Kho sambil menyingkap
kelambu.
Di ranjang terlihat Yu In dipeluk seorang laki-laki dalam keadaan
bugil"Celaka, dia kembali!", Yu In berseru kaget sambil melepaskan diri
dari pelukan laki-laki itu.
Sang lelaki segera melompat turun dari pembaringan, buron.
"Akan kubunuh kau!". Chi Kho bermaksud mengejarnya.
"Tunggu! Dengar dulu penjelasanku!", Yu In memeluk Chi Kho.
"Lepaskan peganganmu, wanita tak tahu malu!", bentak Chi Kho.
"Jangan kau membunuhnya!", Yu In tetap memeluk suaminya.
"Lepaskan kataku!". Chi Kho mengangkat tangan, bermaksud
memukul Yu In.
"Kau berani memukulku!?", tantang Yu In sambil melepaskan
pelukannya, lalu mengenakan pakaian.
"Perempuan brengsek, tak bermoral!", maki Chi Kho.
"Kau juga sama", Yu In membalas, "kau hanya mementingkan diri
sendiri, ingin jadi pejabat, membiarkan aku kesepian".
"Oh...", Chi Kho tak dapat meneruskan ucapannya.
"Ini rumahku, bila kau tak senang, boleh angkat kaki dari sini", kata
Yu In garang.
"Kau benar-benar melukai perasaanku, Yu In...".
"Kau boleh mencari isteri yang dapat membantumu jadi pejabat",
ujar sang isteri, "aku sih tak sanggup, daripada kesepian, lebih baik
aku kencan dengan pria lain".
"Benar-benar mendongkolkan!". Chi Kho menghentakhentakkan kaki
dalam menahan marah.
"Bila kau tak sanggup melihatku begitu, silakan kau pergi dari sini!",
Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yu In duduk di kursi.
"Pergi ya pergi", Chi Kho keluar, "sungguh sial nasibku". Chi Kho
melangkah tak menentu, bingung dia.TEL "Akan ke mana aku sekarang? Aku tak punya rumah lagi",
keluhnya dalam hati.
Akhirnya dia masuk rumah makan.
Pelayan menyambut ramah kedatangannya, menyilakannya duduk.
Dalam kekalutan pikiran, Chi Kho makan minum banyak sekali.
Ketika meninggalkan rumah makan, jalannya sempoyongan, mabuk
dia.
"Kini aku tak memiliki apa-apa lagi", gumamnya, ''segalanya
memang salahku".
Tiba-tiba dia teringat akan isterinya yang cantik lagi setia, Lauw
Giok Lan, timbul sesalnya.
"Aku akan meminta maaf padanya". Chi Kho bergegas ke rumahnya
yang lama, mengharapkan dapat rujuk kembali dengan isteri
pertamanya.
Begitu dia masuk, terlihat Giok Lan keluar dari ruang dalam sambil
memegang pelita.
"Giok Lan...", sapa Chi Kho.
"Mau apa kau kembali lagi, laki-laki keji!?", dingin sikap Giok Lan.
"Aku ingin meminta maaf padamu", kata Chi Kho. "Aku tidak
membencimu", Giok Lan membelakangi Chi Kho."Bila kau tidak membenciku, tentunya kau bersedia rujuk
denganku", kata Chi Kho.
"Tidak...", kata Lauw Giok Lan, air matanya bercucuran. "Ketika kau
masih menganggur, setiap hari tanpa memikirkan jerih-payah aku
menenun untuk membiayai kehidupan rumah tangga kita dan
selama itu aku tidak pernah mengeluh.. Tapi nyatanya, kau tamak
akan pangkat dan kekayaan, berkeras menceraikanku untuk dapat
menikah dengan janda kaya
"Tak usah kau singgung soal itu lagi", Chi Kho menunduk sambil
menghela nafas.
"Setelah kau berhasil mempersunting nona Nio, buat apa kau ke
mari lagi?".
"Dia telah menyeleweng dengan laki-laki lain", Chi Kho terpaksa
berterus terang.
"Salahmu sendiri membiarkannya kesepian selama bertahun-tahun",
kata Giok Lan.
"Kau sudah berani membangkit-bangkit ya?", Chi Kho mulai naik
pitam.
"Sama sekali tidak", sahut Giok Lan, "sebaiknya kau kembali ke
isterimu yang cantik itu".
"Kau hendak mengusirku?", kata Chi Kho sambil melotot. "Ini
rumahku, kau tak berhak mencampuri urusanku ---- Ayo lekas
rapikan pembaringan!".
"Kenapa kau marah-marah?", Giok Lan agak gentar melihat
suaminya berang.
"Bila aku tak marah, kau tentu tambah berani terhadapku", kata Chi
Kho.
"Watakmu masih seperti dulu juga, cepat naik pitam". Giok Lan
menghela nafas. "Mari...", ajaknya kemudian.
Lie Chi Kho masuk ke kamar, naik ke pembaringan, sebentar saja
dia telah tidur nyenyak.Entah telah berapa lama dia tertidur di situ, ketika terjaga dia
seakan memeluk isterinya, tapi dia merasakan suatu kelainan.
Begitu dia lebih menegaskan, ternyata yang berada di dalam
pelukannya adalah tengkorak.
Chi Kho berseru kaget seraya melompat turun dari pembaringan.
"Hantu! Ada hantu!", teriaknya.
Dia berlari ke luar, di pintu depan, entah dari mana datangnya, dia
bertemu dengan Chi Kung.
"Kenapa kau berteriak-teriak pada tangah malam begini?'', tanya
Chi Kung
"Ada hantu!", sahut Chi Kho. "Mana hantunya?", tanya Chi Kung lagi.
"'Di dalam!", Chi Kho menuding ke dalam rumah.
"Mana ada hantu di dunia ini? Itu pasti akibat khayalanmu".
"Saksikanlah sendiri olehmu!".
"Aku si Hweshio tak takut hantu", Chi Kung melangkah masuk.
"Hati-hati Taysu", Chi Kho mengikuti dengan jantung memukul
keras.
"Mana hantunya?", tanya Chi Kung setibanya di kamar,
"Tadi jelas-jelas aku melihatnya". Chi Kho keheranan, sebab
tengkorak yang dilihatnya tadi sudah tak ada lagi.
"Ha, ha, di dunia ini hanya ada hantu yang tak berperasaan, sama
sekali tak ada hantu lainnya", kata Chi Kung sambil tertawa.
Merasa dirinya disindir, Chi Kho segera melangkah keluar. "Hei,
ingin ke mana kau!?", seru Chi Kung.
"Setelah mati, arwah Giok Lan jadi hantu, aku tak mau tinggal di
sini lagi", ujar Chi Kho sambil mempercepat langkahnya.
"Dengar dulu penjelasanku, Chi Kho...", Chi Kung mengejarnya.
Namun Lie Chi Kho tak menghiraukannya. "Giok Lan masih hidup",
Chi Kung memberitahukannya."Aku tak percaya lagi akan kata-katamu, Hweshio sinting --- Jelas-
jelas tadi aku melihatnya menjadi hantu", Chi Kho terus
meninggalkan Chi Kung.
"Celaka, akan terjadi lagi suatu yang tak diinginkan", gumam Chi
Kung yang mendadak mendapat firasat kurang enak. "Lagi-lagi aku
harus mengatur cara pencegahannya".
Malam itu, di rumah Yu In, ternyata wanita yang kesepian itu
sedang kencan lagi dengan pria yang pernah ditangkap basah oleh
Chi Kho.
"Kau tak takut?", tanya Yu In pada kekasih gelapnya.
"Bukankah kau sendiri yang mengatakan tadi, bahwa Chi Kho
takkan kembali lagi?", ujar laki-laki itu.
"Kau harus menceraikan isterimu, agar kita dapat meresmikan
hubungan sebagai suami isteri", kata Yu In.
*Tapi aku sudah punya anak", laki-laki itu ragu.
"Bila kau berat melepaskan mereka, untuk selanjutnya kau tak perlu
datang ke mari lagi".
"Baiklah", ujar kekasih gelap Yu In setelah diam sejenak. "Sepulang
dari sini nanti akan kuceraikan isteriku".
"Begitu baru jantan", berseri wajah Yu In, "duduklah kau sebentar,
akan kuambilkan obat kuat untukmu".
"Jangan lama-lama kau".
*Sabar, aku segera kembali", ucap Yu In sambil mengerling genit.
Tapi baru saja dia keluar kamar, tiba-tiba terasa ada tangan dingin
yang memegang bahunya.
Begitu Yu In berpaling, langsung membelalakkan mata saking kaget
dan takutnya, pelita jatuh dari tangannya. Di belakangnya berdiri
tengkorak hidup.
"Tolong... ada hantu!", jeritnya gemetar.
"Bagus sekali perbuatanmu", kata sang hantu, "sering sudah kau
bikin berantakan rumah-tangga orang".*Tolong... tolong...!". Yu In berusaha melarikan diri, tapi kakinya
terasa berat sekali, tak dapat digerakkan.
Wanita brengsek... lagi-lagi kau menyuruh orang menceraikan
isterinya", tengkorak itu terus mendekat.
Saking gugup dan takutnya, Yu In jatuh terguling.
"Perbuatanmu telah melewati batas, aku takkan dapat
mengampunimu lagi", tengkorak hidup itu terus mendekatinya.
"Ampun... ampun...!", tambah menggigil tubuh Yu In, peluh
membasahi sekujur tubuhnya.
"Bila kuampuni, kau takkan jera, tentu akan mencelakai orang lagi",
ujar sang hantu, "Kau takkan pernah dapat merobah kelakuan
burukmu".
"Saya tak berani lagi, sungguh... ampunilah saya", Yu In memohon,
gemetar suaranya. "Saya ingin jadi Bhiksuni untuk menebus dosa
saya".
"Benarkah itu?", tanya tengkorak hidup. *Saya bersumpah akan
merobah kelakuan saya", tetap gemetar suara Yu In, "bila saya
melanggar sumpah, biarlah saya mati tanpa kubur!".
"Baik, mau aku percaya", ujar sang tengkorak, "kuberi kau
kesempatan sekali lagi".
Begitu selesai berkata, tengkorak hidup itu lenyap dari hadapan Yu
In."Ada apa?", tanya kekasih Yu In begitu keluar dari kamar. "Tolong".
"Kenapa kau?", sang kekasih mendekati Yu In.
*Sebaiknya kau segera pulang", kata Yu In dengan bersimbah air
mata. "Kau memiliki keluarga yang bahagia, punya anak isteri yang
mencintaimu, tak boleh aku mencerai-beraikan kalian".
"Kau... kenapa sikapmu mendadak berobah begini?", sang kekasih
heran.
"Aku baru saja bertemu dengan hantu", Yu In menerangkan dengan
wajah tetap basah oleh air mata. "Hantu itu telah
memperingatkanku agar jangan merusak rumah-tangga orang....".
"Sejak kapan kau mulai percaya ada hantu!?", kata lakilaki itu,
bermaksud memeluknya, "tahyul, aku tak percaya".
"Kau... lihat di belakangmu...!", Yu In menjerit ketakutan.
Laki-laki itu berpaling, seketika terbelalak matanya, mulutnya ter-
nganga. Di belakangnya ternyata telah berdiri tengkorak hidup.
...
"Oh... hantu... hantu...!", teriaknya.
"Skandal sex jauh lebih menakutkan dari hantu!", kata sang hantu
sambil memegang bahu kekasih Yu In.
"Ampun... ampun...!", gemetar tubuh laki-laki itu.
"Ha, ha, bukankah kau tidak takut hantu?", sang hantu meringis.
Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang... saya percaya... Harap kau sudi melepaskanku"Jadi kau telah menyadari kesalahanmu?".
"Saya sadar sekarang". Pria itu berlutut di hadapan sang hantu.
"Berbuat serong dengan isteri orang akan dijebloskan kedalam
Neraka lapis ke 18. Demikian pula dengan isteri yang suka
menyeleweng".
"Saya tahu", sahut si laki-laki.
Bagi yang telah dijebloskan ke Neraka itu, untuk selamanya takkan
dapat dilahirkan kembali ke dunia", ujar hantu itu pula.
"Tolong Kui Toaya melepaskan saya", kekasih gelap Yu In terus
memohon.
"Masih belum terlambat bagimu untuk memperbaiki kesalahan",
kata sang hantu. "Aku bersedia mengampunimu, asal kau tidak
mengulangi lagi perbuatan tidak terpuji itu!".
"Terima kasih akan kesediaan Kui Toaya mengampuni kesalahan
saya", laki-laki itu terus menyembah, "untuk selanjutnya saya akan
merobah kelakuan saya".
Sang hantu segera lenyap.
"Sekarang kau tentu telah mengerti", kata Yu In, "pulanglah kau".
"Ya, aku mengerti", sahut pacarnya.
Tapi sebelum laki-laki itu berlalu, telah masuk Lie Chi Kho ke situ,
membuat sepasang manusia yang menyeleweng jadi sangat
terperanjat.
"Akan kumampuskan kalian!", hardik Chi Kho. "Kuakui kesalahanku,
sudilah kau memaafkanku", kata kekasih gelap Yu In dengan tubuh
gemetar.
"Tidak! Sekali ini akan kubunuh kalian", Chi Kho menghunus
pedang.
"Kami telah sadar sekarang", Yu In yang berkata sekarang. "Tak
dapatkah kau memberi kami kesempatan untuk memperbaiki
kesalahan? --- Seandainya kau tetap ingin membunuh kami,
bunuhlah aku lebih dulu, sebab akulah yang jadi penyebab dari
segalanya ini"."Kau...", Chi Kho memandang heran akan perobahan sikap isterinya.
"Kau boleh berbuat sesuka hatimu, hanya aku mohon kau
melepaskannya", kata Yu In lagi, air matanya mulai berderai.
"Kasihan anak isterinya bila kau sampai membunuhnya --- Sedang
aku telah bertekad untuk jadi Bhiksuni".
"Kalau kau jadi Bhiksuni, bagaimana denganku?", hilang segala
kemarahan Chi Kho, menunduk lesu.
"Kau boleh pulang ke rumahmu sendiri", kata Yu In sambil
melangkah keluar, "aku akan menyucikan diri di Vihara Sui Goat".
Chi Kho dan kekasih gelap Yu In berdiri bengong.
Yu In tak menghiraukan mereka, pergi ke Vihara Sui Goat demi
menebus dosanya.
Selang sesaat, kekasih Yu In berkata pada Chi Kho: "Lie Toaya,
aku..."
"Pergilah kau". Kekasih Yu In berlalu.
"Kini segalanya habislah sudah", Chi Kho menghela nafas, "tak tahu
apa yang harus kulakukan selanjutnya?".
Dalam putus asa Chi Kho bermaksud membunuh diri dengan
memotong leher dengan pedangnya.
Namun tiba-tiba Chi Kung muncul di hadapannya, menggerakkan
kipas bututnya. Pedang yang nyaris memotong leher Chi Kho
mendadak patah dua.
"Kenapa Taysu menghalangiku?", tanya Chi Kho. "Kau kira dengan
membunuh diri, persoalanmu akan selesai?", ujar si Padri sakti.
"Kalau saja kau menyadari segala kekeliruanmu, kau akan dapat
melewati hari-hari selanjutnya dengan lebih tenang dan
menyenangkan ketimbang sekarang. Lauw Giok Lan masih hidup,
dia tetap setia menanti kembalimu".
"Dia masih hidup?", Chi Kho kurang percaya terhadap apa yang baru
didengarnya.
"Lihatlah, itu dia datang!", Chi Kung menuding ke belakang tubuh
Chi Kho.Chi Kho berpaling, dilihatnya Giok Lan memasuki ruang itu. Hal itu
benar-benar berada di luar dugaannya.
"Giok Lan...", sapanya.
"Lekas Koan-jin berterima kasih pada Hok Hud!", kata sang isteri.
Tapi selama beberapa saat Chi Kho hanya berdiri bengong.
Sementara itu Giok Lan telah memberi hormat pada Chi Kung:
"Terimalah hormat saya dan suami, Hok Hud!".
"Tak perlu kau memberi hormat atau berterima kasih padaku", ucap
Chi Kung. "Aku sudah merasa senang kalian dapat rujuk kembali.
Semoga hidup kalian selanjutnya akan bahagia".
Chi Kung meninggalkan Giok Lan dan suami.
"Kenapa kau menyebutnya Hok Hud (Buddha Hidup) Giok Lan?",
tanya Chi Kho sepergi Chi Kung.
"Ketika aku membunuh diri pada beberapa tahun yang silam, anjing
peliharaan kita mengajak Hok Hud yang ternyata dapat
menyelamatkan nyawaku. Kemudian Hok Hud memintaku bersabar,
menanti sampai kau sadar dari kekeliruanmu. Dan apa yang kau
alami di rumah pada malam itu adalah berkat kesaktian Hok Hud
dalam upaya menyadarkanmu".
"Lekas kau ajak aku menemuinya untuk mengucapkan terima
kasihku", kata Chi Kho.
"Tampaknya kini kau benar-benar telah sadar", berseri wajah sang
isteri, "mari!"
Kendati mereka telah mencari ke sana ke mari, tetap tak berhasil
menemui Chi Kung Hok Hud, sebab Hok Hud telah pergi ke tempat
lain untuk membantu insan yang membutuhkan pertolongan.
________________CERITA KLASIK MANDARIN YANG TERKENAL DI DUNIA
SERI HIKAYAT HONG SIN
Seri Hikayat HONG SIN
Karya: Siao Shen Sien
Penyadur : Benny L. Jayasaputra
SERII: SILUMAN RASE SOUW TAT KIE
Harga : Rp. 2.000,SERII: KIANG CHU GIE
Harga Rp. 3.000,SERI III (Tamat): HANCURNYA SEBUAH KERAJAAN
Harga: Rp. 3.000,
Sebuah legenda Mandarin yang amat terkenal di dunia dan telah
diterjemahkan dalam be nyak bahasa, antara lain: Inggris, Jerman,
Belanda, Jepang dan kini dapat anda nikmati dalam edisi bahasa
Indonesia
Ceritanya amat menawan, di samping mengungkapkan
kepahlawanan, ketamakan dan se gi-segi kemanusiaan lainnya, juga
melibatkan para Dewa, yang harus saling bertempur karena ulah
Kaiser Touw (Tiu Onal yang dipengaruhi siluman Dewi Kwan Im,
Pouw Hian Pou-sat Jian Tong Hud-cou terpaksa harus membantu
fihak yang benar, hingga terbentuknya kere jaan baru - Dinasti Chiul
Bila dalam setahun anda hanya membaca sebuah cerita klasik
Mandarin, ini Hikayat Hong Sin inilah bukunya SILUMAN RASE
SOUW TAT KICERITA TERMASYHUR LAINNYA
SERI JIE SIE HAUW Cerita & Lukisan : Ganes Th
1. YANG HSIANG YANG PERKASA
Harga : Rp. 1.500,
2. TERATAI KUMALA ............. ......... Harga Rp. 1.500.
3. TRAGEDI DIBALIK TEMBOK BESAR (SEGERA TERBIT)
Sekali ini pelukis terkenal kita mempersembahkan cerita bergambar
yang lain dari yang lain, diangkat dari cerita klasik Mandarin yang
amat masyhur, mengungkapkan soal bakti. Indah lukiannya dan
ceritanya pun amat memukau untuk dibaca dan diresapi.
Kami sarankan orang tua maupun pendidik membeli buku ini untuk
diberikan pada anak agar di jiwa anak anda bersemi rhe hormat dan
bakti terhadap ayah-bunda, guru maupun generasi yang lebih tua!
Cepatlah beli sebelum kehabisan!AKAN TERBIT
PERUNTUNGAN ANDA SEPANJANG HAYAT
Karya Siao Shen Sien
Di Jakarta dapat anda peroleh di TB Gunung Agung, TB Gramedia,
TB Tropen, TB Pancar Kumala dan Toko buku terkemuka lainnya
Atau dapat anda pesan melalui:
1. TB Mulle, Jl. Kramat Raya No. 3 R. Jakarta Pusat.
2. TB Budaya, JL.Pancoran No. 66, Jakarta Kota
3. Sdri. Lily Sekarwati, Kompleks Green Ville Blok M No. 2, Jl.
Tanjung Duren Barat, Tomang Barat, Jakarta Barat.
4. TB HHeuw-Hauw, JL Pancoran No. 32A, Jakarta Kota.
5. TB Mahkota, JL. Praban No. 33 A, Surabaya
TB Sutawijaya, JL. Jagalan No. 37. Surabaya Pesanan per poswesel
tambah ongkos kirim Rp. 1.000,- per buku.
penerbit Bina Pustaka KOTAK POS 1171/JAK JAKARTA 11001
Pendekar Rajawali Sakti 180 Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Wiro Sableng 133 Lorong Kematian
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama