Ceritasilat Novel Online

Cinta Seorang Psikopat 1

Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari Bagian 1

Cinta Seorang Psikopat

Karya V Lestari

Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 2003

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

****

MANDAR, tertuduh pelaku perkosaan dan pembunuhan sejumlah perempuan yang sudah terbukti, duduk tegak di kursinya menunggu dibacakannya vonis hakim. Selama berbulan-bulan sidang berlangsung, pada hari itulah nasibnya akan ditentukan.

Pada hari yang menentukan itu Mandar membuat tercengang dan surprise semua orang di ruang sidang, termasuk mereka yang mengadili dirinya. Bila pada sidang-sidang sebelumnya ia tampak menyeramkan karena rambutnya yang gondrong model kribo, kumis-jenggot dan cambang yang lebat, maka pada hari itu ia jadi klimis. Rambutnya dipangkas model cepak, kumis-jenggot dan cambang sudah dicukur bersih. Ia tampak rapi, gagah, dan tampan. Hadirin sampai ribut melihat penampilannya.

Jangan-jangan ini bukan si Mandar yang asli. Bagaimana mungkin ia bisa berubah begitu besar? Ia sama sekali tidak kelihatan seperti psikopat, sesuatu yang benar-benar terkesan pada dirinya di hari-hari kemarin.

Tetapi perubahan itu juga membuat giris perasaan orang yang tahu dan percaya akan kesalahannya. Bila orang segagah dan setampan ini berada di tengah masyarakat sebagai orang bebas, siapa yang akan percaya bahwa dia adalah salah satu dari deretan manusia terkeji di muka bumi? Apalagi bila orang seperti ini merayu perempuan yang biasanya sangat terpengaruh oleh penampilan fisik dan mulut manis, maka bisa dibayangkan akibatnya. Atau memang seperti itulah yang telah terjadi. Korban berjatuhan karena terpengaruh dan terbius oleh tampilan luar.

Ada dugaan bahwa pengklimisannya itu juga bertujuan untuk mempengaruhi perasaan mereka-mereka yang mengadilinya. Banyak yang akan meragukan, masa iya sih pria setampan ini bisa memperkosa dan membunuh orang sebanyak itu? Pasti ada kesalahan. Apalagi bila orang selalu berpikir bahwa tampilan luar dan

dalam itu pastilah sama. Bila luarnya jelek dan menyeramkan, pasti begitu pula dalamnya. Tetapi ada juga kesan sebaliknya. Orang justru menjadi semakin percaya akan kesalahannya dan ngeri setelah melihat sendiri bagaimana penampilannya bisa mengecoh. Tidak mengherankan kalau begitu banyak korban berjatuhan tanpa segera terdeteksi, dan niscaya akan semakin banyak lagi yang berjatuhan seandainya ia tidak tertangkap. Pendapat yang ekstrem malah menyimpulkan bahwa wajah tampan justru lebih berbahaya daripada wajah jelek! Hakim Ketua mulai membacakan lembar keputusannya yang terlihat cukup tebal. Mandar tidak menyimak. Meskipun saat itu merupakan saat terpenting dalam hidupnya karena menentukan nasibnya, pikirannya tidak ke situ. Bukannya ia tidak peduli, tapi ada sesuatu yang sangat penting baginya. Mau tak mau pikirannya selalu kembali ke sana setelah sempat mendengarkan satu-dua kalimat ucapan Hakim. Yang dipikirkannya adalah seorang perempuan. Namanya Amarilis, dipanggil Lis. Kurang-Iebih sembilan bulan yang lalu perempuan

itu menjadi salah satu korbannya! Hanya dia satu-satunya di antara korban-korbannya yang lain yang dibiarkan hidup olehnya! Ketika itu, sekitar jam sembilan malam, muncul keinginannya untuk memuaskan nafsu. Biasanya ia bisa menahannya selama sejam dua jam, sampai malam lebih larut dan sepi. Tetapi ketika itu nafsunya menggelegak tak tertahankan. Ia menginginkan seorang perempuan untuk dijadikan permainan, untuk dikuasai, dan ditentukan hidup-matinya! Ia ingin jadi kucing dan perempuan itu tikusnya.

Maka ia berdandan rapi. Ketika itu penampilannya seperti saat hadir di persidangan terakhir ini. Rapi dan mengesankan orang terpelajar. Ia punya modal lebih dari cukup untuk itu. Celana dan kemejanya dari merek terkenal. Saat beroperasi ia tak pernah mengenakan baju kaus dan celana jins, apalagi yang sudah lusuh. Mobilnya pun cukup mewah, sebuah sedan merek terkenal keluaran tahun terakhir. Siapa yang akan menyangka bahwa dirinya seorang maniak, apalagi psikopat!

Ia keluar dari rumahnya yang bagus dan besar, yang ditempatinya ,seorang diri. Cukup membuka gerbang dengan remote control, kemudian setelah berada di, luar ditutupnya kembali dengan alat yang sama. Sangat menyenangkan dan menjanjikan privasi seratus persen. Ia bisa melakukan apa saja tanpa ada yang tahu.

Kemudian ia mulai menyusuri jalan yang biasa dijadikan tempat mangkal perempuan yang menjajakan diri. Ia sudah mengenal jalan-jalan mana saja di Jakarta yang jadi tempat pamer mereka. Ia juga tahu persis mereka itu tidak semuanya bermotivasi sama. Ada yang cuma untuk kesenangan atau keisengan belaka dan karenanya tidak mementingkan materi, ada yang memang tujuannya materi. Golongan yang kedua itu ada berbagai "kelas". Yang berkelas tinggi sudah pasti tidak akan menjajakan diri di tepi jalan. Mereka punya tempat mangkal sendiri yang bisa dihubungi dengan telepon, punya induk semang, dan terorganisir dengan baik. Tetapi mereka yang suka mangkal di jalanan belum tentu mereka yang berkelas rendah. Mereka ini umumnya masih muda-muda, sering kali remaja atau ABG. Mereka berkumpul seolah sedang ngerumpi atau ramai-ramai,

tapi sebenarnya menunggu pelanggan. Kedua golongan itu ia hindari, karena tidak mungkin memberinya privasi atau kerahasiaan yang ia perlukan. Bila ia sampai menghilangkan salah satu di antara mereka, pastilah kelompoknya bisa mengenali dirinya atau kendaraannya, hingga jejaknya bisa ditelusuri. Pertama-tama, induk semangnya yang akan mencari, dan kali kedua, pihak orangtua yang ribut.

Maka sasarannya adalah mereka yang benar-benar berkelas rendah dan berdiri sendirian di tepi jalan. Tidak perlu cantik dan muda. Yang penting ia tidak sampai meninggalkan jejak karena tak ada saksi yang melihatnya membawa perempuan bersangkutan. Jadi yang ia utamakan adalah situasi.

Ia terus menyusuri jalan pelan-pelan. Beberapa perempuan dilihatnya berdiri sendirian. Tapi jarak satu dengan lainnya terlalu berdekatan. Bisa jadi mereka saling mengenal. Kalau satu hilang, yang lain bisa mencari atau melapor. Mungkin mereka mengenali mobilnya atau melihat mukanya juga. Itu cukup riskan. Ia selalu berhati-hati.

Lalu ia melihatnya. Dia mengenakan celana

jins biru dan blus putih. Di bahunya tersandang sebuah tas kecil dan satu tangannya menjinjing kantung plastik hitam. Rambutnya pendek lurus, tingginya sedang. Tampak cantik dan muda dalam kereruangan suasana jalan.

Ia tersenyum. Ini dia, kata hatinya. Tapi ketika ia mendekat dan berhenti di depannya, perempuan itu mundur dan menjauh. Sikapnya berbeda dibanding mereka yang sudah dikenalnya sebelumnya. Tapi itu tentu cuma semacam taktik jinak-jinak merpati. Dari pengalamannya, ia tahu ada yang begitu. Bila didekati pura-pura alim, sesuai dengan penampilannya yang seperti orang baik-baik. Ya, ada yang berkamuflase seperti mahasiswi, karyawati, bahkan ada juga yang seperti wanita karier.

Namanya Amarilis. Nama yang bagus sekali. Seperti nama bunga. Tapi mungkin juga nama samaran.

Ia sempat ragu-ragu. Perempuan yang satu ini benar-benar tampak sopan. Ia sudah bersiap-siap untuk meninggalkannya dan mencari korban lain, tetapi ia sempat terperangah ketika akhirnya Amarilis, atau Lis, mau juga masuk mobilnya untuk "diantarkan pulang". Istilah ini

juga diragukannya. Pura-pura sampai saat terakhir. Kalau memang orang baik-baik, kenapa mau saja masuk mobil lelaki tak dikenal? Bisa saja sebabnya adalah karena dirinya tampak meyakinkan sebagai lelaki baik-baik. Ketika mengajaknya, ia sengaja menyalakan lampu mobil supaya Lis bisa melihat dan menilai dirinya. Kesimpulan ini mestinya membanggakan. Tapi ia sudah terlalu pede untuk bisa merasa bangga. Ia lebih cenderung untuk percaya pada penilaiannya bahwa perempuan yang satu ini sangat pintar berakting. Dan justru karena itu gairahnya semakin bergejolak.

Itu sebabnya ketika belakangan Lis menolak ajakannya ia merasa seperti ditampar. Egonya sakit sekali. Bagaimana mungkin penilaiannya bisa salah? Bagaimana mungkin ia bisa terkecoh? Ia tidak mungkin membatalkan. Ia sudah dikenali. Tak ada lagi jalan mundur. Tak pernah ada yang menolaknya. Lagi pula ia masih tetap dengan keyakinannya bahwa perempuan ini sebenarnya bisa dibeli. Salah satu indikasi yang kuat adalah kesediaannya untuk ikut. Alasan bahwa ia sudah lama menunggu taksi sulit untuk diterima. Lantas apa yang kurang padanya

sampai ia ditolak?

Maka ia memukul gadis itu sampai pingsan lalu membawanya ke rumah.

Tetapi betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa Lis masih perawan! Ia merasa terpukul bukan karena telah merusak orang yang "salah", tapi karena kesimpulan dan penilaiannya sendiri yang salah besar.

Seharusnya ia membunuh Lis yang sudah melihat wajahnya. Tetapi ia memutuskan untuk menebus kesalahannya dengan membiarkannya hidup.

Itu terjadi sembilan bulan yang lalu.

Mandar tersentak kembali ke alam realitas ketika mendengar suara Hakim Ketua yang masih membacakan keputusan.

"...Mengingat kekejaman yang dilakukan terdakwa, yaitu memperkosa dan membunuh dua belas orang yang mayatnya ditemukan di bawah rumahnya..."

Tiba-tiba Mandar melompat sambil memundurkan kursinya hingga hadirin terkejut.

"Maaf, Yang Mulia! Sejak awal saya sudah membantah hal yang mengatakan saya telah membunuh dua belas orang. Saya cuma mengakui telah membunuh sebelas orang saja!" ia berseru.

Hakim melotot kepadanya.

"Lantas bagaimana mayat di bawah rumahmu itu bisa ada dua belas?" Hakim membentak.

"Saya tidak tahu, Yang Mulia."

"Sudah! Kau tidak perlu membantah lagi. Bukti sudah jelas. Duduk!" Hakim menudingkan telunjuknya.

Sebelum petugas mendekatinya, Mandar buru-buru duduk. Ia penasaran sekali tapi sadar tak bisa membantah lagi. Sebelum itu, dalam proses yang panjang dari penyidikan sampai persidangan, bantahannya itu tak pernah dipercaya. Malah ia disangka kurang waras.

Bagaimana mungkin membunuh sebelas orang tapi mayatnya ada dua belas?

Ia memberi suntikan obat bius kepada Amarilis lalu menggeledah tasnya. Dari kartu-kartu yang ia temukan di dalamnya ia bisa mengetahui alamat rumah Lis. Perempuan itu berusia dua puluh tiga tahun, bekerja sebagai sekretaris yang mengambil kursus komputer pada malam hari. Demikian yang ia simpulkan dari isi tas Lis.

Muncul rasa sayang ketika ia mengamati wajah Lis yang terkapar di atas tempat tidurnya. Ada luka memar yang berdarah di dahinya. Ia mengolesi luka itu dengan yodium. Lalu ia merapikan pakaiannya, mengikat kedua tangannya ke belakang dengan tali rafia. Setelah selesai ia mencium bibirnya kemudian menggendongnya dan memasukkannya ke dalam mobilnya dengan mendudukkannya di depan, di samping dirinya sebagai pengemudi. Karena tubuhnya lunglai, belum sadar dari pembiusan, Mandar mengikatnya dengan seat belt lalu menyandarkan kepala gadis itu ke belakang.

Kemudian ia mencari alamat rumah Amarilis. Suasana sepi karena malam sudah larut. Semua pintu rumah rapat terkunci. Tetapi pintu rumah Lis terbuka. Di dalamnya lampu menyala terang. Tampak beberapa orang duduk dan berdiri. Hampir bisa dipastikan mereka tengah resah menunggu kepulangan Lis.

Mandar mengambil keputusan. Ia berhenti di depan pintu pagar, membuka pintu di samping Lis, lalu menjatuhkan tubuh gadis itu ke bawah, cukup jauh dari mobil. Sesudah itu ia membunyikan klakson, lalu meluncur pergi

secepat-cepatnya. Ia masih sempat mendengar jeritan orang di belakangnya.

Setibanya kembali di rumah ia segera memasukkan mobilnya ke garasi dan mengganti nomor polisinya yang memang palsu. Besok kalau keluar rumah, ia akan menggunakan mobil lain.

Hari-hari berikutnya ia rajin membaca koran dan menonton televisi tapi tidak melihat atau mendengar beritanya. Apakah peristiwa itu dilaporkan keluarga Amarilis kepada polisi? Ia tidak pernah tahu. Seandainya benar, ia yakin jejaknya tidak pernah tercium. Nyatanya, tak ada yang mencari atau menangkapnya.

Ia tertangkap karena sebab yang lain.

PADA waktu yang sama dengan dibacakannya keputusan pengadilan bagi Mandar, Amarilis sedang berjuang keras untuk melahirkan bayinya. Sejak semalam ia berada di klinik itu. Begitu merasakan gejala akan melahirkan, ia segera diantarkan ke situ oleh ibu dan tantenya, adik ibunya. Tapi dokter dan bidan mengatakan, waktunya masih cukup lama mengingat itu adalah kehamilan pertamanya. Jadi mereka memutuskan untuk menginap saja, daripada repot-repot pulang lalu kembali lagi.

Sekarang waktunya semakin dekat. Kontraksi yang dirasakannya semakin kuat dan semakin dekat jaraknya. Setiap kali kontraksi ia mengedan dengan spontan. Sungguh menyakitkan dan melelahkan. Tenaganya terkuras dengan cepat. Untunglah ibu dan tantenya

mendampinginya di sisi kiri dan kanannya, tak putus-putusnya memberi semangat dan penghiburan.

Ia tahu, kalau ia sampai ditinggalkan sendirian, ia pasti tidak akan sanggup. Ia tidak akan tahan. Biarlah ia mati saja, tapi anaknya pasti akan selamat. Bukankah mereka akan dihadapkan pada pilihan, mana yang harus diselamatkan? Tentunya tergantung siapa yang punya prospek hidup lebih besar. Bila fisiknya semakin melemah, pastilah si bayi yang akan dipilih karena dari pemeriksaan rutin yang dijalaninya tidak ada kelainan pada bayi itu.

Setiap kali kontraksi berhenti terbayang wajah lelaki, ayah bayi yang akan dikeluarkannya ini. Dia adalah iblis berwujud manusia tampan. Benar-benar iblis. Sosok yang dulu disangkanya cuma ada dalam cerita-cerita horor, ternyata benar-benar ada. Dan sialnya, kenapa dia yang bertemu dengan iblis itu? Ya, kenapa justru dia padahal ada ribuan perempuan lain?

Iblis itu bernama Mandar. Ia mengetahuinya dari berita di televisi dan koran. Wajah iblis itu ia kenali dari televisi. Ternyata dia adalah iblis yang sama dengan yang telah menghancurkan hidupnya, merusak angan-angannya, dan membuat ia hidup tak ingin tapi mati tak bisa.

Ternyata bukan cuma dia korbannya. Tetapi berbeda dengan dirinya, para korban yang lain itu semua ditemukan mati di bawah rumah sang iblis. Apakah ada juga yang dibiarkan hidup seperti dirinya? Jelas ia bisa saja mati seperti yang lain itu. Ia sudah tidak berdaya, tidak tahu apa-apa. Tapi toh dia dijatuhkan di depan rumahnya. Kenapa ia tidak dibunuh saja seperti yang lain?

Ia tahu dari berita yang didengar dan dibacanya, bahwa Mandar tidak mengakui adanya korban lain di samping mereka yang sudah dibunuhnya itu. Ia tidak menyebut soal korban yang masih hidup, termasuk dirinya.

Ia sendiri tidak pernah melaporkan peristiwa aib yang menimpanya itu. Ia juga tidak maju ke depan untuk memberi kesaksian bahwa iblis itulah yang telah memperkosanya. Bukan cuma orangtua dan anggota keluarganya yang menganjurkannya untuk melakukan hal itu, tapi ia sendiri juga takut setengah mati. Ia gemetaran dan kemudian pingsan ketika

pertama kali melihat wajah Mandar di televisi setelah ditangkap. Meskipun ketika itu wajah Mandar tidak selicin seperti saat ia melihatnya, karena sudah berjenggot dan berewokan, tapi ia masih bisa mengenalinya dengan baik. Wajah itu, terutama matanya, takkan mungkin terlupakan olehnya. Itu sudah terpatri dalam memori otaknya, termasuk trauma yang menyiksanya. Tak mungkin menghapusnya walaupun ia sangat ingin.

Ketika melihat Mandar di televisi ia sedang mengandung empat bulan. Ia syok berat setelah menyadari bahwa ayah janin yang dikandungnya adalah iblis, manusia keji yang tidak punya hati nurani, mungkin juga psikopat. Ia menangis dan ketakutan, bagaimana kalau anak itu kelak mewarisi gen psikopat ayahnya? Ia sempat menyesal kenapa tidak dari awal ia mengikuti saran ayahnya untuk menggugurkan kandungannya. Saat itu, dalam usia kandungan empat bulan, sudah terlalu terlambat untuk melakukannya. Bila awalnya ia menolak untuk menggugurkannya karena alasan kemanusiaan, apalagi pada saat itu. Bukankah ia pun akan ikut-ikutan menjadi pembunuh?

Aduh! Kontraksi terasa lagi, lebih kuat dan lebih panjang dari sebelumnya. Apakah sudah saatnya? Bayangan Mandar, sang iblis, lenyap seketika diganti rasa sakit tiada tara. Ia menjerit kuat-kuat, melolong dan meraung. Bukan semata-mata menyuarakan rasa sakit, tapi juga segenap tekanan batinnya.

Fetty dan Hani, ibu dan tante Lis, melompat lalu memegangi Lis di kiri dan kanannya. Fetty menciumi pipi Lis dengan berlinang air mata.

"Tabah, anakku! Tabah! Ayo, kuatkan!" bisik Fetty. Ia juga merasa sakit yang sangat. Bukan fisik, tapi perasaan.

"Ayo, ngeden yang kuat, Lis! Ayo!" seru Hani, adik Petty, memberi semangat.

"Sedikit lagi, Bu Lis," Dokter Anwar sudah bersiap-siap.

"Kepalanya sudah kelihatan, Bu!" seru Rima, perawat yang mendampingi

Tetapi kontraksi berhenti. Lis kehabisan tenaga. Padahal ia sendiri sangat ingin proses ini segera selesai. Baginya proses ini adalah perjuangan untuk mengawali hidup baru. Ia masih punya kehidupan di masa mendatang, yang harus dijalaninya. Kalau proses ini selesai, maka

ia bisa memulai hidup barunya. Anggap saja ini sebagai suatu siksaan yang harus dijalani dulu sebelum ia bisa hidup kembali. Mungkin ia punya dosa yang harus dibayar dengan hukuman seperti ini. Bagaimanapun bentuk kehidupannya nanti, tapi ia sudah melewati yang ini. Begitulah keyakinannya sampai saat itu. Keyakinan yang harus dimilikinya bila ia masih ingin memberi arti bagi kehidupannya.

"Minum dulu, Sayang?" Petty menyodorkan gelas minuman dengan sedotan.

Lis mengisap sedotan dengan rakus.

Fetty mengawasi putrinya dengan penuh iba dan sayang. Sembilan bulan penuh penderitaan telah dijalani Lis. Ia terus mendampinginya untuk memberinya semangat hidup dan hiburan. Dalam melakukan hal itu ia sampai menelantarkan Anas Darwin, suaminya dan juga ayah Lis. Tetapi tentu saja Anas tidak keberatan karena dia toh tidak kekurangan suatu apa. Dua kakak lelaki Lis juga bisa mengurus diri sendiri. Justru Lis yang membutuhkan.

Setelah kejadian itu Lis berhenti bekerja dengan alasan sakit. Ia diajak pindah ke Bandung. Mereka berdua menempati sebuah paviliun di sisi rumah milik keluarga Hani, adik Fetty. Hani dan suami serta dua anak mereka menerima Lis dengan hangat dan penuh simpati. Tetapi semua kasih sayang yang diterimanya tidak bisa memulihkan jiwa Lis meskipun memang meringankan. Lis sendiri mengatakannya dengan penuh syukur dan terima kasih, tapi ibunya tahu ia sulit dipulihkan.

Sekarang mereka berada di sebuah klinik bersalin di Bandung yang dikelola sebuah yayasan sosial. Fetty mendengar keberadaan klinik itu dari Hani. Klinik itu dipilih bukan karena mereka tidak bisa membayar biaya rumah sakit yang top, tapi karena kekhususan yang dimilikinya. Setelah melahirkan, anak yang dilahirkan Lis akan diserahkan sepenuhnya kepada pihak klinik untuk diadopsi oleh siapa saja yang menghendakinya. Untuk itu mereka telah menandatangani perjanjian. Demikian pula segala biaya ekstra sudah dipenuhi.

Baik Lis sendiri, maupun pihak keluarga, tidak menghendaki anak itu. Sementara pihak klinik memang tidak sembarang menerima. Mereka menyeleksi juga. Korban perkosaan pasti diterima. Untuk itu mereka mengadakan

wawancara yang teliti dengan menyertakan psikolog.

Pada mulanya sama sekali tidak terpikir akan jalan keluar seperti itu. Mereka merencanakan akan mengurusnya sendiri. Mungkin anak itu akan diadopsi oleh Ferry dan suaminya, demi masa depan Lis. Yang penting mereka tidak meneampakkannya. Bagaimanapun di dalam darah anak itu mengalir darah mereka juga. Tetapi setelah mereka tahu siapa Mandar, bahwa dia adalah iblis pembantai yang mengerikan, mereka jadi ketakutan. Bagaimana mungkin mereka membesarkan keturunan dari iblis seperti itu? Tidak!

Hakim melanjutkan pembacaan keputusannya,

"...berkali-kali terdakwa mengatakan, bahwa orangorang yang dibunuhnya adalah sampah. Jadi dia menyimpulkan bahwa sedikit-banyak dia telah membantu membersihkan Jakarta dari sampah-sampah. Tetapi dia lupa bahwa sampah

yang dimaksudkannya adalah manusia. Sama dengannya. Jangankan manusia, hewan pun punya hak hidup sebagai ciptaan Tuhan. Alangkah sombongnya terdakwa dengan mengatakan hal seperti itu. Bukankah dengan memperkosa terdakwa juga mencari kenikmatan bagi dirinya sendiri? Dia semata-mata mencari pembenaran atas kejahatan yang telah dibuatnya. Dia sesungguhnya tahu betul bahwa membunuh adalah suatu kejahatan. Jadi alasannya mengada-ada. Bukan karena disebabkan oleh ketidakwarasan.

"Terdakwa sudah diobservasi kewarasannya oleh tim ahli kejiwaan yang dipimpin saksi ahli, Dokter Hilman. Beliau menyatakan dan memastikan bahwa sesungguhnya terdakwa cukup waras untuk bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Terdakwa melakukan kejahatan itu bukan karena tidak waras atau gila melainkan, untuk mencari kenikmatan sesat. Dia mengakui sendiri hal itu. Jadi jelas motivasinya bukanlah untuk menyingkirkan sampah seperti yang dikatakannya. Ia pun punya pertimbangan yang matang untuk melakukan aksinya, yaitu memilih korban dan situasi. Kalaupun belakangan kejahatannya terbongkar, itu karena kebetulan

ada orang lain menemukan lokasi kejahatannya. Bukan karena ia mengaku dan menyerahkan diri. Seandainya tidak ditemukan, pastilah yang menjadi korban akan lebih banyak lagi..."

Di kursinya Mandar duduk tenang, hampir tak bergerak. Dia seperti patung layaknya. Tapi pikirannya sebenarnya mengembara ke mana-mana. Terutama kepada Amarilis.

Di antara pengunjung duduk Anas Darwin, ayah Lis. Usianya sekitar lima puluhan. Pakaiannya agak kumal membalut tubuhnya yang kurus. Karena duduknya di pinggir sebelah depan, ia bisa melihat profil Mandar dengan cukup jelas. Kadang-kadang kalau Mandar menengok, ia bisa melihat wajahnya secara penuh. Sebenarnya Anas Darwin memiliki wajah ramah dan penyabar, tapi saat itu ekspresinya penuh ketegangan, dan kemarahan. Kedua tangannya mengepal keras. Rahangnya dikatupkan kuat-kuat. Urat-uratnya di kening dan leher

tampak menonjol. Matanya menyorot tajam kepada Mandar. Ia benar-benar berjuang keras untuk mengendalikan dirinya sendiri. Darahnya bergolak. Perasaannya tersayat. Marah dan sedih bergantian. Setiap kata yang diucapkan hakim sangat menusuk perasaannya.

Anakku tersayang, malangnya nasibmu. Sungguh mengerikan betapa satu orang bisa memorak-porandakan hidup banyak orang. Benar-benar iblis. Seharusnya orang seperti ini tidak diperkenankan hidup. Ia ingin tahu apa gerangan vonis hakim nantinya. Ia harus tahu. Seandainya hakim memberinya hukuman ringan, ia tahu akan sulit mengendalikan diri lebih lama. Ia tahu bahwa dirinya akan meledak. Ia tidak peduli lagi apa yang akan teijadi pada dirinya nanti.

Ia selalu menganggap Lis adalah karunia tak ternilai bagi dirinya dan Fetty. Setelah dua anak lelaki diperoleh, mereka sangat mendambakan punya anak perempuan. Mereka berdoa untuk itu. Akhirnya doa itu terkabul. Mereka mendapat seorang anak perempuan yang manis dan baik hati. Tetapi kenapa nasibnya seperti itu? Bukankah lebih baik kalau mereka tidak

pernah diberi anak perempuan? Anak lelaki juga tidak apa-apa. Setidaknya lelaki tidak akan mengalami nasib seperti itu.

Aduh, bagaimana Lis sekarang? Semalam ia menerima berita bahwa Lis sudah masuk klinik. Apakah dia baik-baik saja? Yang didoakannya semata-mata cuma Lis seorang. Bukan anak itu. Mati pun tidak apa-apa. Bahkan mati lebih baik. Dengan demikian iblis itu tidak menghasilkan keturunan.

Tiba-tiba Anas merasa bagai disambar geledek. Dulu dia dan keluarganya pernah mempersoalkan kenapa Lis tidak dibunuh seperti halnya korban lain. Apakah karena nasib baik? Itu tidak masuk akal. Ataukah karena ternyata Lis bukan perempuan pelacur seperti incarannya? Dia sendiri mengatakan dalam persidangan bahwa semua korbannya adalah pelacur, yang disamakannya dengan sampah. Tentu dia tidak menyinggung bahwa di antara para kobannya itu terdapat Lis, yang bukan saja orang baikbaik, tapi juga masih gadis! Sekarang tiba-tiba terpikir olehnya sesuatu yang mengejutkan. Janganjangan Lis dilepaskan untuk menghasilkan anak baginya! Baginya, Lis ibarat ladang

pembenihan! Pemikiran ini sangat-sangat mengerikan.

Dulu dia menganjurkan Lis agar menggugurkan saja kandungannya ketika kehamilannya masih dini. Tapi putrinya itu berhati mulia. Akhirnya ia sendiri tidak sampai hati memaksakan keinginannya. Kalau cuma dirinya sendiri yang menanggung dosanya tentu tidak apaapa. Tapi ia tidak mau menyeret Lis ke dalam dosa yang sama. Akhirnya setelah mengetahui siapa sebenarnya lelaki yang telah menghamilinya, barulah Lis menyesal. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Untung saja Lis bersedia melepaskan anak itu.

Sekarang iblis itu telah mendapat manfaat dari situasi tersebut. Dia akan mendapat keturunan!

Kontraksi datang lagi. LIS meregang dan menjerit. Semua orang di dalam ruangan menjadi si

buk. Kali ini kontraksi itu adalah yang terakhir. Dengan satu jeritan yang melengking, Lis mendorong dan menekan sekuat-kuatnya. Segenap tenaganya dikuras habis. Anak itu lahir!

Lis terkulai lemas. Ia merasa dirinya mati, tapi sadar tidak mati.

Segera saja anak itu dibawa pergi begitu tali pusar dipotong dan diikat. Sempat dia menangis saat dibawa pergi. Lis tidak mendengar tangisannya. Fetty dan Hani juga tidak peduli karena mereka lebih memperhatikan Lis.

Sesuai perjanjian sebelumnya, tak ada yang memberitahu apakah anak itu lelaki atau perempuan. Mereka pun tidak menanyakan. Mereka juga tidak ingin melihat. Itu memang lebih baik untuk menghindari kemungkinan ada yang jatuh hati. Bayi kecil biasanya punya kemampuan untuk meluluhkan hati orang.

Perawat Rima mengurus bayi itu sementara perawat lain mengurus Lis.

Dokter Anwar menyatakan kondisi Lis baik-baik saja meskipun masih harus dipantau kalau-kalau terjadi perdarahan. Ia hampir saja lupa dengan memberi selamat. Untung lidahnya masih bisa direm. Dalam profesinya pemberian selamat merupakan akhir dari proses persalinan. Itu sudah menjadi rutin. Tapi dalam kondisi seperti ini rasanya tidak patut memberi selamat meskipun prosesnya memang berakhir dengan selamat. Awalnya adalah suatu kesedihan, sedang akhirnya pun berupa kesedihan. Perjuangan melahirkan yang sebegitu beratnya tak ada imbalan seperti seharusnya, yaitu berupa bayi mungil yang akan menjadi tumpuan dan teman bagi orangtuanya kelak. Ia cuma bisa mengucapkan kata-kata penghiburan kepada Lis dengan mencurahkan segenap simpati dan empatinya.

Tetapi ia tidak tahu bahwa Lis merasakan kelegaan tak terhingga karena sudah berhasil mengeluarkan beban tubuh dan batinnya selama sembilan bulan. Ia sama sekali tidak merasa berat hati. Kewajibannya sudah selesai.

Usai memandikan dan menimbang bayi Lis lalu memasukkannya ke dalam boks dan mengisi kartu yang memuat data-data sang bayi kecuali nama orangtuanya. Perawat Rima bergegas ke telepon umum di samping klinik. Ia mengeluarkan sehelai kertas yang bertuliskan nomor-nomor sebuah ponsel, kemudian

menghubunginya. Kodenya Jakarta.

Suara lelaki menyahut.

"Halo?"

"Mas Adrian? Ini Rima."

"Ya, bagaimana, Rim?"

"Sudah lahir, Mas. Anaknya lelaki! Sehat dan gemuk!"

Adrian buru-buru kembali ke ruang sidang setelah mematikan ponselnya. Tadi selama berada di ruang sidang ia diusir keluar oleh petugas karena ponselnya berbunyi dan dianggap mengganggu ketenangan. Ia memang tidak mungkin mematikannya, karena takut ada telepon penting yang sedang ditunggunya. Tadi pagi Rima sudah mengabarinya perihal kondisi Amarilis. Ternyata memang benar. Lis sudah melahirkan.

Di pintu masuk ia dicegat petugas yang melarangnya masuk kembali. Ia disuruh tetap di luar saja. Setelah berpikir sejenak ia bergegas menuju pintu dari mana nanti terdakwa keluar.

Ia menunggu di tempat yang strategis di antara pintu dan mobil tahanan. Ia memang tidak perlu mengikuti sidang lagi karena apa pun vonis yang jatuh baginya tidaklah penting.

Ia cuma ingin menyampaikan kabar itu kepada Mandar!

DOKTER HILMAN, psikiater, juga berada di antara pengunjung yang mengikuti sidang. Dia duduk di sebelah Anas Darwin, sengaja mencari tempat dari mana ia bisa melihat Mandar dengan jelas. Tujuan kehadirannya adalah untuk mempelajari reaksi dan ekspresi Mandar pada saat vonis dibacakan. Kebetulan hari itu ia tidak sibuk, sementara kegiatan yang tidak begitu penting bisa ia wakilkan kepada asistennya.

Bagi Hilman, bukan kasus Mandar yang sensasional yang menarik minatnya. Tapi Mandar sebagai pribadi. Tidak banyak orang yang sudah terbukti secara pasti punya dorongan psikopat seperti Mandar. Itu memang patut disyukuri. Seandainya ada banyak, pasti tak ada orang yang bisa hidup tenang. Tetapi sesungguhnya

tidak bisa dipastikan apakah orang seperti itu cukup banyak atau tidak, karena segalanya serba tersembunyi di balik sikap sempurna. Yang bisa dipastikan hanyalah kasus yang ketahuan memang tidak banyak. Kadang-kadang ketahuannya karena kebetulan belaka, seperti halnya kasus Mandar.

Pada mulanya Hilman hanya memfokuskan perhatiannya kepada Mandar seorang. Tapi kemudian perhatiannya beralih kepada orang di sampingnya. Ia tidak mengenal Anas. Tapi ekspresinya yang penuh ketegangan dan kebencian menarik minatnya. Orang ini seperti gunung berapi yang siap meledak, tergantung pemicunya. Dan pemicu itu adalah sikon.

Hilman yakin orang di sebelahnya ini punya hubungan dengan Mandar. Kalau bukan orangnya, pastilah kasusnya. Kemungkinan besar adalah kasusnya. Apakah dia keluarga korban? Tetapi Mandar sendiri tidak bisa memberitahu nama-nama semua korbannya karena ia tidak tahu dan tidak pernah menanyakan. Sementara itu belum ada yang mengakui bahwa anggota keluarga mereka yang hilang termasuk di antara korban. Tapi itu bisa dipahami karena

mayat yang ditemukan sudah rusak dan hancur. Bahkan sebagian sudah menjadi kerangka. Sisa pakaian yang menempel pun tak bisa dikenali oleh mereka yang merasa kehilangan anggota keluarga. Mungkin para korban adalah orangorang yang berasal dari luar Jakarta. Atau mereka adalah orang yang terbuang mengingat profesi yang dijalani.

Semakin lama memperhatikan orang di sebelahnya ia jadi semakin tertarik. Apalagi ketika ia memikirkan suatu kemungkinan. Apakah Mandar meningg Ikan korban yang hidup? Bila korbannya masih hidup, jelas keluarganya tahu dan mereka merasakan penderitaannya. Tapi bila benar ada, kenapa keluarganya atau korban sendiri tidak melaporkan? Apakah disembunyikan untuk menghindari aib?

Selanjutnya perhatian Hilman jadi terpecah dua, antara Mandar dan orang di sampingnya.

Hakim melanjutkan pembacaannya.

"...sudah jelas terdakwa adalah orang yang berbahaya bila dibiarkan di tengah masyarakat. Kejahatan yang dilakukannya sudah menjadi kebiasaan yang memberinya kenikmatan. Apalagi ia sama sekali tidak memperlihatkan

rasa penyesalan. Ia malah menganggap dirinya berjasa. Tak ada segi yang meringankan dari terdakwa. Karena itu kami, majelis hakim, memutuskan untuk menj atuhkan hukuman mati kepada terdakwa!"

Palu diketukkan ke meja.

Suara gemuruh yang menyatakan kepuasan terdengar di ruang sidang.

Mandar tidak menampakkan ekpsresi terkejut. Ia seperti patung yang beku. Otot wajahnya tetap bergeming. Ia justru terkejut oleh sesuatu yang lain. Ada gerakan mendadak yang tampak dari sudut matanya. Tapi sudah terlambat baginya untuk bereaksi.

Tiba-tiba Anas melompat berdiri. Ia berteriak keras sambil menaikkan kedua tangannya tinggi-tinggi, kemudian menerjang ke depan, menyerbu Mandar!

Orang-orang terperangah, tak menyangka hingga tak segera bereaksi. Demikian pula Hilman. Tadi konsentrasinya terpusat pada Mandar, pada saat-saat akhir hakim membacakan keputusannya, hingga orang di sebelahnya ini sempat terlupakan. Tapi karena sudah punya persangkaan sebelumnya, ia lebih cepat dibanding orang lain, termasuk petugas. Ia lebih dulu menarik tubuh Anas, melepaskannya dari Mandar. Tetapi Anas sudah sempat memukul dan mencakar Mandar! Hasilnya terlihat dari bibir dan hidung Mandar yang berdarah dan baret-baret di pipinya! Mandar sama sekali tidak melawan atau membela diri atau dia terlalu kaget hingga tidak siap.

"Mampus lu! Mampuuuus!" teriak Anas.

Tubuh Anas yang kurus tidak memberi kesulitan pada Hilman yang ukurannya hampir dua kali lebih besar. Anas segera dipisahkan dari Mandar yang dipegangi petugas. Hilman merangkulnya.

"Sudah, Pak! Sudah! Tenang, ya. Ayo, kita duduk," ia membujuk dengan lembut sambil menarik tubuh Anas.

Suara Hilman yang profesional mampu menenangkan Anas. Segala ketegangannya sudah lepas. Apalagi ia puas dengan keputusan hakim dan puas juga karena telah berhasil menghajar Mandar. Biarpun hajarannya tak berarti, tapi setidaknya ia sudah berhasil "menangani" orang yang dibencinya itu.

Hakim dan petugas yang sudah mengenal

Hilman mengira Anas adalah kenalannya hingga mereka tidak melakukan tindakan apa pun atas perbuatan lelaki itu barusan. Di samping itu mereka merasa harus memaklumi tindakan kemarahan itu. Siapa yang tak marah pada kebiadaban Mandar?

Anas membiarkan dirinya dirangkul dan dibimbing Hilman yang mengajaknya ke luar ruangan. Ia seperti setengah sadar.

"Dia dihukum mati, bukan? Mati untuknya, bukan?" katanya, seperti mengigau.

"Oh ya. Mati untuknya!" Hilman membenarkan.

"Terima kasih! Terima kasih!" seru Anas, entah ditujukan kepada siapa.

Hilman mengamatinya dari sisi. Ketegangan yang tadi begitu memuncak di wajah Anas kini sudah tak tampak lagi. Tetapi kesedihannya masih dominan. Sisa air mata masih terlihat di pelupuk matanya. Hilman merasa tertarik. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak perihal orang ini.

"Mau minum kopi, Pak?" ia mengajak dengan ramah.

Anas terperangah. Ia baru menyadari bahwa dirinya dibimbing seorang yang tidak dikenalnya. Tapi ia melihat wajah yang ramah dan penuh simpati. Tampak cerdas pula. Yang pasti ia tidak berpotongan seperti petugas. Usia mereka mungkin sebaya.

"Saya ingin mentraktir," kata Hilman lagi.

"Kita rayakan hukuman setimpal untuk penjahat durjana."

Anas merasa senang mendengar perkataan itu. Ada orang yang seperasaan padahal bukan anggota keluarga dan tidak pula mengenalnya. Untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan ia bisa tersenyum cerah.

"Baik. Mari, Pak," sambutnya dengan bersemangat.

Hilman menggandengnya.

Adrian mengetahui vonis hukuman mati dari omongan orang-orang di sekitarnya. Yang satu menyampaikan kepada yang lain. Vonis seperti itu sudah diduganya. Mandar memang pantas menerimanya. Hakim sepatutnya menjatuhkan

hukuman seberat-beratnya kepadanya. Andaikata ada hukuman lebih berat daripada hukuman mati, pasti itulah yang dijatuhkan. Nyatanya orang-orang yang mendengar merasa puas.

Ia segera bersiap menunggu Mandar keluar. Agak lama. Ia mendengar adanya kegaduhan di ruang sidang. Katanya, seorang pengunjung sidang menyerang Mandar dengan penuh kebencian. Lalu dengan riuh-rendah orang di sekitarnya menyatakan dukungan kepada si penyerang. Mereka mengatakan ingin sekali mencabik-cabik Mandar kalau saja mendapat kesempatan.

Adrian menjadi khawatir. Ia ngeri kalau nanti dirinya sampai dicurigai punya hubungan dengan Mandar, meskipun memang benar. Bisa jadi mereka akan menjadikannya sasaran, sekadar melampiaskan kebencian. Ia harus memikirkan cara yang aman tapi efektif. Bagaimanapun kabar itu harus disampaikannya sekarangjuga.

Akhirnya, iring-iringan Mandar dengan para petugas yang menjaganya dengan ketat muncul. Adrian berusaha tetap di barisan depan. Susah payah ia menahan dorongan orang-orang di sekitarnya, yang ingin melihat wajah Mandar

dari dekat.

Ketika Mandar dan rombongan sudah berada di depannya ia berteriak,

"Bang!"

Mandar menoleh dan melihatnya. Begitu tahu bahwa Mandar sudah melihatnya, Adrian cepat melengos. Mandar berjalan terus karena ditarik oleh para petugas. Lalu Adrian berseru lagi,

"Sudah, lahir! Lelaki!" Tapi ia mengarahkan tatapannya ke arah lain, seolah ucapannya ditujukan kepada orang lain. Sesudah itu ia bergegas pergi tanpa menunggu atau melihat reaksi Mandar. Ia sangat takut menanggapi reaksi orang di sekitarnya.

Mandar berhenti mendadak, menahan langkah petugas di sekelilingnya. Sebelum mereka menyeretnya kembali, tiba-tiba ia tertawa keras sambil mendongakkan kepalanya.

"Ha ha ha! Ha ha ha! Huahahahaaa!" ia terbahak dengan ekspresi gembira.

Bukan cuma petugas, tapi orang-orang di sekitarnya juga terkejut.

Adrian yang sudah keluar dari kerumunan mendengarnya juga. Ia terkejut lalu menoleh dan sempat melihat tingkah Mandar. Cuma sesaat ia terkesiap. Kemudian buru-buru ia pergi,

tak lagi menoleh. Ia akan segera ke Bandung!

Sementara itu tawa Mandar yang aneh menimbulkan kehebohan. Orang-orang sibuk berkomentar.

"Dia sudah menjadi gila!"

"Dihukum mati malah ketawa!"

"Mestinya digantung sekarang saja!"

"Dia benar-benar iblis!"

"Setan!"

Sang iblis masih saja terus ketawa setelah naik ke mobil tahanan. Sepertinya dia sulit menghentikan tawanya karena ada arus yang kontak. Seorang petugas yang tidak tahan mendengarnya menepuk punggungnya keraskeras. Ia pun diam. Tapi sebagai gantinya ia tersenyum-senyum!

HlLMAN menghirup kopinya pelan-pelan. Di depannya Anas melakukan hal yang sama. Sebelumnya mereka sudah saling memperkenalkan nama masing-masing.

"Jadi Pak Anas baru melihat saya sekarang? Sebelumnya nggak pernah?" tegas Hilman.

"Nggak. Kenapa, Pak?" Anas heran.

"Kalau begitu Bapak tidak selalu mengikuti sidang?"

"Memang tidak. Saya hadir karena ingin dengar vonisnya. Kenapa sih, Pak?"

"Soalnya saya pernah tampil sebagai saksi. Kalau Bapak pernah lihat saya, pasti di situ."

Anas membelalakkan matanya.

"Bapak tampil sebagai saksi? Saksi apa?"

"Saya seorang psikiater. Saya yang memeriksa kejiwaan Mandar."

Hilman tidak bermaksud menyombong. Ia menganggap keterbukaan penting untuk mendorong hal yang sama dari Anas. Ia juga berharap infomasi itu bisa menimbulkan kepercayaan dari Anas, sehingga ia pun tak ragu mengemukakan isi hatinya.

Mulut Anas terbuka mendengar pengakuan Hilman. Ekspresinya menampakkan respek,
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah... rupanya Bapak orang hebat. Maaf. saya nggak tahu." Anas tersipu.

"Lho, kenapa mesti minta maaf? Bapak kan nggak salah apa-apa sama saya." Hilman tertawa.

"Saya pikir saya saya lancang dalam berSikap."

"Wah, lancang apanya? Barangkali kalau saya seorang kaisar barulah Bapak bisa dibilang lancang karena tidak berlutut di depan saya."

Mereka tertawa. Anas menjadi lebih bersemangat.

"Saya sendiri cuma seorang karyawan swasta, Pak. Saya kerja di bidang akuntansi."

"Sekarang nggak masuk kerja?" tanya Hilman.

"Saya sengaja ambil cuti."

"Saya juga begitu. Segala kegiatan saya tinggalkan sejenak. Saya perlu memantau si Mandar."

"Apakah dia masih dalam perawatan Bapak?"

"Ah, nggak. Ketika itu saya tidak memberi terapi, atau apa. Saya hanya mengikuti perintah untuk mengobservasi kejiwaannya."

"Apakah dia gila, Pak?"

"Menurut pengamatan saya dia tidak gila. Itu sebabnya dia dijatuhi hukuman."

"Apakah kalau dia gila, dia bebas dari penjara?"

"Dia dipenjara di rumah sakit jiwa."

"Bagaimana kalau dia berhasil buron, Pak? Hii... pasti dia mencari korban lagi."

"Ya, mengerikan, bukan?"

"Orang seperti itu..." Anas geleng-geleng kepala.

Hilman mengamatinya sejenak.

"Bapak sangat membencinya, bukan? Apakah dia punya hubungan dengan Bapak?" tanyanya hati-hati.

Pertanyaan itu mengejutkan Anas. Tapi dia juga jadi diingatkan. Selama di ruang sidang dia mematikan ponselnya. Padahal ada kemungkinan ia menerima berita penting dari Bandung.

"Sebentar ya, Pak?" katanya lalu buru-buru mengeluarkan ponsel. Baru saja dihidupkan ponsel itu segera berbunyi. Ia menerima pesan singkat. Bunyinya: Lis sudah melahirkan. Dia baik-baik saja. Cuma itu. Tidak ada berita mengenai bayinya. Tapi, bukankah itu memang tidak perlu?

Hilman mengamati wajah Anas yang sendu. Sepertinya itu berita buruk. Ia tidak mau bertanya.

Anas tersentak. Tiba-tiba ia tersadar bahwa dirinya tidak sendirian dan.teman duduknya sedang mengamatinya. Ia kembali tersipu. Dan lagi-lagi merasa bahwa dirinya seakan tidak riil, mengambang di udara tanpa berpijak di tanah, dan pikirannya berada di luar tubuhnya.

"Oh ya, Pak. Tadi nanya apa, ya?"

"Bapak sedang bersedih. Sudahlah. Saya khawatir pertanyaan saya malah membuat Bapak tambah sedih. Mungkin seperti orang yang luka lalu ditoreh kembali. Ayolah, kita minum dan lupakan sejenak peristiwa tadi."

Anas menggelengkan kepalanya.

"Mana mungkin saya bisa melupakan, Pak?" katanya

sambil menepuk-nepuk dahinya.

"Semua sudah terjadi, sedang terjadi, dan entah apa lagi yang mungkin terjadi. Sepertinya tidak akan pernah berakhir. Tidak akan."

"Wah, Bapak kok pesimis begitu. Jangan pernah kehilangan harapan, Pak."

"Bagaimana tidak? Semua sudah direnggut oleh iblis itu."

Hilman menggerutkan keningnya.

"Kenapa Bapak ngomong begitu? Apakah... apakah salah satu korbannya termasuk keluarga Bapak?"

"Ya," sahut Anas, sadar Hilman sudah memperkirakan hal itu. Sebagai seorang ahli jiwa tentunya dia sulit dibohongi. Selama ini masalah itu tertutup rapat di dalam lingkungan keluarga saja. Yani tahu cuma keluarganya dan keluarga adik istrinya di Bandung. Tapi ia juga mempertimbangkan profesi Hilman sebagai seorang ahli jiwa yang punya kedudukan terhormat dan punya pernahaman. Apalagi Hilman pernah mengobservasi Mandar. Barangkali ia bisa beroleh manfaat dari situ.

"Tetapi sampai saat ini belum ada yang mengajukan diri sebagai keluarga korban. Apakah Bapak tahu bagaimana kondisi para korban

yang ditemukan?"

"Tahu, Pak. Saya ,membaca koran. Katanya, mereka sudah sulit dikenali."

"Nah, lalu siapa keluarga Bapak yang jadi korban Mandar dan kenapa Bapak tidak pernah melaporkan hal itu?"

Anas tertegun sebentar lalu berkata pelan,

"Pak, bila kita jadi korban kejahatan lalu tidak melapor, apakah kita melakukan tindak pidana?"

"Tentu saja tidak. Tapi perbuatan itu bisa merugikan diri sendiri dan kemungkinan orang lain juga."

"Kami tidak mungkin merugikan orang lain, Pak. Identitas pelakunya tidak kami ketahui. Tahunya juga belakangan setelah beritanya muncul. Baru saat itu wajahnya dikenali anak saya."

"Maukah Bapak menceritakan?" tanya Hilman dengan hati-hati.

"Tapi sebelumnya saya mohon Bapak berjanji untuk tidak menceritakannya kepada orang lain, termasuk polisi. Saya percaya profesi Bapak yang mulia bisa memahami alasan dan keinginan saya untuk melindungi anak saya

dari sensasi. Bisakah Bapak bayangkan apa yang akan terjadi bila cerita itu tersiar? Anak saya bisa stres, Pak. Padahal masa depannya sudah kelam," kata Anas dengan wajah meringis menahan tangis.

Hilman menggenggam tangan Anas. Ia merasakan simpati yang mendalam.

"Saya berjanji, Pak. Saya akan memperlakukan Bapak seperti, pasien saya. Semua kasusnya adalah rahasia yang saya simpan di sini." Ia menepuk dadanya.

Anas membalas pegangan tangan Hilman.

"Saya percaya Bapak," katanya. Lalu dengan terbata-bata dan suara rendah ia menceritakan peristiwa yang menimpa Amarilis.

"Jadi sekarang ia sudah melahirkan anak dari Mandar?" tegas Hilman dengan bulu kuduk berdiri.

"Betul, Pak. Awalnya anak saya menolak untuk menggugurkannya dengan alasan kemanusiaan. Tapi setelah tahu siapa sebenarnya orang yang telah memerkosanya, ia menyesal. Waktu itu sudah terlambat, karena kehamilannya sudah empat bulan."

"Putri Bapak orang yang baik," kata Hilman.

"Percayalah, orang yang baik akan mendapat pahala. Kalau boleh saya ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan dia."

"Oh, senang sekali, Pak. Saya akan menganjurkan dia untuk konsultasi dengan Bapak. Biarpun biayanya mahal, tidak masalah, Pak."

"Jangan sebut soal biaya, Pak. Saya cuma ingin membantu sebisanya."

"Terima kasih, Pak. Sungguh beruntung saya bisa ketemu dengan Bapak. Kebencian yang mendorong saya ke sini rupanya ada hikmahnya."

Hilman tersenyum.

"Saya senang Bapak berpikir positif."

"Oh ya, Pak, ada yang perlu saya tanyakan. Harus saya katakan sekarang, takut nanti lupa."

"Silakan saja."

"Begini, Pak. Apakah anak itu akan mewarisi sifat keji bapaknya kelak? Saya dan keluarga sangat takut memikirkannya. Apalagi anak saya. Dia takut kalau-kalau melahirkan seorang monster kecil yang kelak menteror orang banyak seperti bapaknya. Itu membuat sesalnya tak habis-habis. Bila memang demikian halnya, bukankah seharusnya ia gugurkan saja sejak

awal?"

"Kalaupun dia mewarisi sifat bapaknya, tapi belum tentu secara spesifik gennya yang jahat. Dan jangan lupa, dia juga mewarisi sifat ibunya. Bisa saja yang baik mengalahkan yang jahat. Dan tentu saja lingkungan yang membesarkannya juga sangat mempengaruhi."

"Tapi tetap saja semuanya masih berupa kemungkinan, meskipun tidak pasti," keluh Anas.

"Tidak ada yang pasti dari seorang manusia, Pak. Bukankah memang begitu dari kenyataan yang kita lihat?"

"Benar sekali kata Bapak. Saya pernah baca entah di mana, bahwa manusia itu sebuah misteri. Baik bagi orang lain dan mungkin bagi dirinya sendiri juga. Saya jadi mikir apakah sesungguhnya yang menguasai dan mengendalikan manusia itu kalau bukan sepenuhnya dirinya sendiri?"

Hilman tersenyum.

"Sudahlah, Pak. Jangan mikir yang berat-berat. Jangan menambah beban yang sudah ada."

"Tapi pikiran itu suka muncul, Pak. Karena ada beban itulah maka pikiran itu muncul. Kenapa bisa begini dan kenapa bisa begitu? Coba.

apakah Bapak sendiri tidak punya beban? Oh, maaf ya, Pak. Saya ngelantur. Orang seperti Bapak punya kelebihan membimbing dan menyembuhkan orang lain. Kalau punya beban, tentu tak mungkin bisa."

"Saya juga punya beban, Pak Cuma sampai saat ini saya bisa mengatasi. Baiknya kita kembali pada persoalan putri Bapak itu. Kepada siapa anaknya akan diserahkan?"

"Yayasan asuh yang mengelola klinik bersalin bersangkutan. Apakah menurut Bapak ,itu salah? Kami tidak mungkin membesarkan anak itu dengan ketakutan."

"Ya. Saya bisa memahami. Itu sangat masuk akal. Kesediaan putri Bapak untuk menghidupi anak itu di dalam rahimnya dan kemudian melahirkanya dengan menanggung sakit sungguh terpuji. Tetapi dia memang perlu diberi penghiburan batin dan dukungan moral. Saya salut pada Bapak sekeluarga yang telah memberinya kekuatan."

"Tapi saya merasa tidak berdaya, Pak. Saya tidak bisa memberi apa-apa kepadanya. Semua yang telah direnggut penjahat itu tidak bisa lagi dikembalikan," kata Anas dengan berlinang air mata.

"Jangan begitu, Pak. Kalau Bapak tidak kuat dan merasa tidak berdaya bagaimana Bapak bisa memberinya kekuatan? Pikirkan saja akan kehidupan yang harus dijalaninya ke depan. Ada banyak yang masih bisa diperjuangkannya untuk mencapai kebahagiaan, Pak."

Anas menyusut air matanya.

"Terima kasih, Pak. Nasihat Bapak benar-benar menyejukkan perasaan saya. Pasti Bapak dikirim oleh Yang Mahakuasa untuk menolong saya. Coba kalau tak ada Bapak tadi, pasti saya sudah ditangkap hingga saya menimbulkan masalah baru bagi keluarga saya."

"Kalau begitu sepatutnya Bapak bersikap optimis mulai sekarang."

Anas mengangguk dengan bersemangat. Kemudian mereka bertukar nomor telepon.

"Sekarang saya akan segera ke Bandung untuk menjenguk putri saya," kata Anas sambil berdiri.

Hilman menatap arlojinya. Tiba-tiba saja muncul ide di benaknya. Sesuatu yang spontan. Ia paham waktu itu sangat penting maknanya bagi apa saja. Dalam melakukan sesuatu, hari

ini atau besok bisa berbeda hasilnya. Lebih-lebih ketika berhadapan dengan orang lain. Banyak hal tergantung pada situasi dan kondisi. Kadang-kadang faktor itu sulit diketahui atau diperhitungkan karena orang yang harus dittubungi tidak jelas juga bagaimana suasana hatinya. Tapi dalam kasus putri Anas jelas-sekali. Sekarang adalah waktu yang tepat. Dia baru saja melahirkan. Penderitaannya sedang berada di titik puncak.

"Bagaimana kalau saya ikut Bapak?"

Anas terperangah. Tapi saat berikut ia tertawa gembira.

DI SAMPING kesedihan dan penderitaan yang mendalam, sebenarnya Amarilis masih punya perasaan dan pemikiran yang positif. Setelah sembilan bulan menunggu dengan berbagai perasaan yang negatif, seperti ketakutan, ketegangan, dan kesedihan, sekarang ia lega. Tak ada lagi perasaan tertekan tersebut. Ia menganggap tugasnya yang mahaberat sudah selesai. Ia sudah melewati proses kehamilannya dengan sukses. Ia sudah mengantarkan anak itu ke dunia, selanjutnya bukan tanggung jawabnya lagi.

Salah satu pemikiran positif yang dijadikannya pegangan hidup adalah keyakinan bahwa dirinya terhindar dari perbuatan membunuh. Dia bukan seorang pembunuh seperti halnya iblis bernama Mandar itu. Dia bisa menghadap

Yang Mahakuasa dalam doa-doanya dengan batin yang tenang.

Pada mulanya ia sama sekali tidak peduli pada anaknya. Mau lelaki atau perempuan, cakep atau jelek. Ibunya setuju dan berpendapat, lebih baik tidak tahu daripada tahu, apalagi tahu terlalu banyak. Kalau tahu bisa memancing perasaan lain yang tidak dikehendaki dan tidak direncanakan. Lis tahu maksud ibunya karena ia pun punya ketakutan yang sarna. Anak itu bisa menggoda untuk dimiliki. Padahal ia sudah mendapat pelajaran, bahwa penampilan bisa membohongi dan menipu. Sama seperti dirinya yang memberi kepercayaan kepada Mandar dan akhirnya mendapat ganjaran yang sangat buruk.

Tapi kemudian muncul rasa ingin tahunya. Ia percaya, sekadar tahu saja tidak membuat dirinya tergoda. Bagaimanapun ia tidak akan dan tidak ingin memiliki anak itu. Jadi di luar pengetahuan ibunya diam-diam ia bertanya kepada Suster Rima yang sehari-hari merawat anak itu.

Ternyata dengan senang hati Rima memberitahu.

"Anak Ibu lelaki, sehat dan cakep. Rambutnya tebal, hitam dan ikal. Wajahnya mirip Ibu. Suaranya pun nyaring melengking. Kata

teman, mungkin dia berbakat jadi penyanyi," katanya, jauh lebih banyak dari yang ditanyakan.

"Ya, ya. Baguslah. Yang penting dia tidak cacat," sahut Lis buru-buru, sekalian menghentikan ocehan Rima.

"Dia sangat sehat, Bu. Beratnya tiga kilo. Panjangnya..."

"Cukup, Suster."

Lis memejamkan matanya, pura-pura mengantuk. Rima mengamatinya dengan tajam. Ia memang sengaja bicara banyak-banyak untuk memancing perasaan keibuan Lis. Tentu saja ia tahu bahwa Lis adalah seorang korban perkosaan, tapi sama sekali tidak tahu siapa lelaki pelakunya. Biasanya soal itu memang dirahasiakan. Mungkin juga pacar, atau lelaki tak dikenal. Soal itu tidak membangkitkan keingintahuannya. Yang membuat ia penasaran hanya keputusan Lis dan keluarganya untuk ,membuang anak itu. Ah ya, tentu bukan membuang dalam artian sebenarnya. Tapi menyerahkan kepada orang lain padahal mereka mampu memelihara , adalah suatu perbuatan yang patut disesalkan. Anak secakep itu!

Lis membuka matanya dan melihat Rima masih di sisinya.

"Masih ada lainnya, Sus?" ia bertanya.

"Sebenarnya masih ada, Bu-. Tapi saya tidak tahu apakah Ibu mau mendengarnya," sahut Rima dengan nada misterius.

"Tentang anak itu? Kalau tentang dia, tak usahlah."

"Oh, bukan, Bu. Tadi ada yang nelepon nanyain Ibu."

"Siapa?"

"Mas Adrian." Lis terkejut bagai disengat listrik. Adrian?

"Lalu Sus kasih tahu?"

"Oh, iya. Habis dia nanya."

Lis menatap Rima dengan curiga.

"Jadi Sus kenal dia?"

"Oh, nggak sih. Cuma tahu aja. Soalnya dia sering nanyain Ibu."

"Begitu, ya?" gumam Lis. Dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa Adrian terus mengejarnya? Bukankah dirinya adalah seorang perempuan yang sedang dalam kondisi tidak disukai lelaki mana pun? Barangkali cuma kasihan. Tapi dia tidak membutuhkan itu. Dia muak

akan rasa iba orang.

Rima mengamatinya. Ia benar-benar tak memahami kenapa Lis tidak kelihatan senang mendengar informasinya itu. Seorang pria segagah Adrian merupakan idaman banyak perempuan lajang. Apalagi dia tetap menaruh perhatian besar meskipun sudah tahu kondisi Lis.

Lis mendapati pandangan Rima dan merasa, tidak senang. Rasanya ia bisa memahami apa yang tengah dipikirkan perawat itu dan merasa benci karenanya. Apakah dalam keadaan seperti dirinya ia harus bersyukur karena mendapat perhatian seorang lelaki? Apakah lelaki itu sumber kebahagiaan perempuan? Justru lelaki bisa jadi sumber malapetaka seperti yang menimpa dirinya!

"Baik, Sus. Terima kasih untuk pemberitahuannya," katanya datar, tanpa emosi.

"Seandainya dia datang, boleh dia masuk, Bu?" tanya Rima.

"Tidak."

Rima tertegun sejenak mendengar jawaban pelan tapi tegas itu. Ia menganggap Lis sebagai perempuan yang judes dan tidak tahu diuntung. Kenapa meremehkan perhatian seseorang yang

begitu tulus? Rasakan kalau kelak tidak akan ada lagi lelaki yang berminat, kutuknya dalam hati.

"Baik. Nanti saya beritahu. Jadi saya tidak bertindak sendiri."

Rima berlalu. Pinggulnya yang gemuk bergoyanggoyang.

Sesaat Lis menyesali keketusannya. Seharusnya ia tidak begitu. Bukankah pada saat itu ia sedang sangat membutuhkan perhatian? Tetapi saat berikut ia merasa tidak perlu menyesal. Ia benar-benar tidak berada dalam kondisi yang menginginkan kedekatan seorang lelaki, betapapun tulusnya.

Orang yang menunggu-nunggu kedatangan Adrian dengan tidak sabar sebenarnya adalah Rima sendiri. Dia mengharapkan "uang rokok" yang dijanjikan Adrian. Ia sudah dua kali menerimanya dan jumlahnya cukup lumayan baginya. Padahal menurut Adrian, uang itu untuk membeli peuyeum atau tape Bandung karena dia tidak merokok. Berapa banyak tape yang bisa dibelinya dengan uang yang diterimanya itu? Barangkali bisa untuk jualan atau traktir rekan seklinik.

Ia juga tidak menganggapnya sebagai hal yang menyalahi aturan. Hanya sekadar informasi mengenai seorang pasien sudah tentu bukanlah perbuatan kriminal. Sebaliknya dia justru membantu seorang yang prihatin dan ingin memberi perhatian serta dukungan. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh Adrian sewaktu bertanya kepadanya mengenai seorang pasien bernama Amarilis. Karena itu semestinya Lis patut merasa beruntung.

Ia tidak mengerti keadaan itu. Kalau saja Lis mau menerima Adrian dan kemudian melanjutkan hubungan dengan serius, mereka bisa menikah hingga anak yang dilahirkan Lis itu bisa mereka pelihara. Tampaknya Adrian lelaki yang baik hingga mustahil kalau dia menolak anak itu. Dengan demikian kasusnya bisa berakhir dengan happy ending.

Jadi kenapa orang tidak memilih jalan keluar yang sudah jelas dan menyenangkan bagi semua pihak itu? Terutama bagi si anak yang bisa dibesarkan oleh ibu kandung.

Jangan-jangan Adrian adalah si pemerkosa? Tapi itu tidak mungkin. Mana ada pemerkosa yang berani memunculkan diri, apalagi

mendekati korbannya yang baru melahirkan? Pemerkosa adalah orang yang paling pengecut di dunia meskipun dia sangat perkasa di tempat tidur.

Lis mulai mengenal Adrian ketika usia kehamilannya tiga bulan. Saat itu ia belum "mengungsi" ke Bandung. Kehamilannya belum kentara untuk dijadikan bahan gunjingan tetangga. Ia memutuskan baru akan pergi ke Bandung bila busung perutnya sudah tak mungkin disamarkan lagi. Pada perasaannya ia akan masuk penjara di Bandung. Padahal ibunya berulang-ulang mengatakan, bahwa justru dengan berada di sana ia tak perlu lagi menyembunyikan perutnya dari tatapan tetangga atau siapa saja karena tak ada yang mengenalnya. Jadi ia bebas pergi berjalan-jalan.

"Lantas bagaimana kalau kebetulan ketemu orang yang dikenal, Ma?" protesnya.

"Bandung kan dekat."

Ah, gampang. Bilang saja kau sudah kawin dan sekarang tinggal di Bandung," sahut ibunya ringan.

Ya. kedua orangtua dan kakak-kakaknya memang sudah memikirkan segala sesuatu

untuknya. Sampai-sampai ia tak perlu berbuat apa-apa atau merencanakan sesuatu. Selalu ada yang punya jalan keluar untuknya. Mereka semua melindunginya. Tapi hal itu membuat ia jadi apatis dengan diri sendiri atau masa depannya. Buat apa capek-capek?

Ketika itu tiba-tiba saja Adrian muncul di depan pintu. Ia dipersilakan masuk dan dipertemukan dengan Lis karena mengaku utusan dari PT Akurasi, perusahaan tempat ia pernah bekerja sebagai sekretaris selama tiga tahun.

Lis tidak mengenal Adrian, meskipun lelaki itu mengaku sebagai karyawan perusahaan itu.

"Saya karyawan baru di situ, Mbak. Baru tiga bulan. Mungkin pas Mbak keluar, saya masuk."

"Oh, begitu. Ada urusan apa, ya?"

"Begini, Mbak. Saya cuma diminta menyampaikan ini oleh perusahaan." Adrian mengeluarkan sepucuk amplop tertutup dari dalam tasnya lalu menyodorkannya kepada Lis.

Lis terkejut melihat isi amplop putih polos tanpa logo perusahaan yang berupa sejumlah uang dan kuitansi bermeterai sebagai tanda terima. Tak ada surat atau memo menyertainya.

Juga tak ada stempel atau cap perusahaan.

"Apa ini? Buat apa?" tanyanya ingin tahu.

"Katanya, ini merupakan sekadar tanda simpati saja. Dulu Mbak tak dapat pesangon karena

minta berhenti sendiri. Tapi alasan Mbak adalah karena sakit. Jadi dianggap selayaknyalah

Mbak mendapatkan ini. Terimalah, Mbak."

Lis menerima alasan itu. Tentu saja ia akan menerimanya. Siapa yang tak memerlukan uang, lebih-lebih dalam kondisinya saat itu?

Dulu ia minta berhenti dengan mengajukan surat dokter bahwa dirinya menderita penyakit paru-pam hingga perlu istirahat total. Alasan tersebut merupakan gagasan ibunya. Dokter yang dimintai jasanya adalah kerabat mereka sendiri, yang tidak keberatan menolong meskipun tidak tahu alasan sebenarnya.

Sebenarnya bosnya keberatan melepasnya dan tak percaya bahwa dirinya yang kelihatan begitu sehat tiba-tiba menyatakan terkena penyakit paru-paru. Tapi karena surat dokter yang berkata demikian, maka mau tak mau ia harus percaya juga. Gagasan ibunya itu rupanya cukup brilian karena penyakit yang dipilihnya sebagai alasan itu dianggap mengerikan. Siapa yang mau ketularan?

Jumlah uang yang diberikan perusahaannya cukup lumayan, apalagi dalam situasi dan kondisinya saat itu. Segala rasa heran yang muncul ia singkirkan. Misalnya, kenapa setelah berjalan lebih dari tiga bulan baru uang itu diberikan dan kenapa tidak ada identitas perusahaan dalam cara pemberiannya? Terpikir akan kemungkinan bahwa itu merupakan pemberian pribadi dari bosnya yang dulu pernah melakukan pendekatan kepadanya tapi ditolaknya dengan halus karena sang bos sudah berkeluarga. Tetapi kenapa dia tak pernah menelepon untuk menanyakan kondisinya seandainya benar-benar bersimpati? Mungkinkah karena "penyakitnya" yang dianggap mengerikan? Tetapi ia tak ingin memikirkan segala yang terasa ganjil itu karena merasa tak ada gunanya. Apalagi untuk mengeceknya ke perusahaan bersangkutan. Lebih baik ia terima saja dan memanfaatkan pemberian itu. Bukankah tak ada tuntutan atau beban apa-apa di baliknya?

Sebulan setelah kunjungan Adrian, ia pindah ke Bandung bersama ibunya. Tapi baru sebulan di Bandung ia mendapat kejutan lagi. Tiba-tiba

Adrian kembali muncul! Dia dan ibunya sangat terkejut karena keberadaan Lis di tempat itu hanya keluarga yang tahu. Belakangan ternyata Anas sendiri yang memberitahu. Menurut Anas, Adrian kembali mengaku sebagai utusan perusahaan dan memerlukan tanda tangan Lis dan ia harus menemuinya sendiri. Rupanya Anas percaya benar kepada Adrian setelah kunjungannya yang pertama. Menurut Anas. tak ada salahnya memberitahu Adrian karena lelaki itu toh tidak punya hubungan pribadi dengan Lis. Ia juga yakin perut Lis belum membuncit hingga bisa memancing dugaan negatif dari lelaki itu. Ia percaya lelaki tidak suka bergosip seperti perempuan. Seandainya Adrian punya persangkaan bahwa Lis hamil, apa pedulinya? Ia tak punya urusan dan hubungan dengan Lis. Di samping itu, Anas beranggapan kalau dirinya berkeras tidak mau memberitahu di mana Lis berada justru bisa mengundang kecurigaan. Perbuatan seperti itu tentunya tidak masuk akal bagi seseorang yang tidak punya maksud jelek kecuali mengemban tugas dari perusahaan sebagai bagian dari pekerjaannya.

Pemikiran Anas itu bisa dimaklumi kemudian oleh Lis dan ibunya. Tetapi di luar persangkaan Lis ternyata sesudah itu ia masih saja bertemu dengan Adrian, bahkan setelah perutnya yang membuncit tak bisa lagi disembunyikan di balik baju longgar. Itu disebabkan karena ia tidak tahan terus-menerus mengurung diri di rumah. Kadang-kadang ia keluar berjalan-jalan sendirian meskipun ibunya melarang. Ia tidak pergi jauh-jauh. Di dekat rumah ada sebuah taman umum yang cukup terpelihara dengan sebuah empang di tengahnya. Ke sanalah ia pergi. Kalau sudah capek berkeliling ia duduk di bangku yang tersedia. Ia senang di situ karena tak ada orang yang memperhatikan atau mengenalinya. Sampai kemudian dengan tiba-tiba Adrian muncul dan duduk di sisinya!

"Apa kabar?" tanya Adrian dengan ramah, pura-pura tidak menyadari kekagetan Lis.

"Ba baik," sahut Lis. Spontan matanya menunduk ke arah perutnya. Itu tak bisa disembunyikan lagi. Siapa pun bisa melihat dan tahu.

"Saya senang kau baik-baik saja. Apa Tante tidak menemani?"

"Tidak. Memanghya kenapa?" sahut Lis ke

"Oh, nggak apa-apa. Cuma bertanya saja. Biasanya kan sama Tante,."

Lis menyadari, bukan baru kali itu Adrian melihatnya di tempat itu.

"Apakah kau tidak bekerja?" Ia jadi ingin tahu.

"Saya sudah berhenti. Mau cari kerja di Bandung saja. Di sini lebih nyaman."

"Kok aneh," gumam Lis.

"Kenapa?"

"Nggak."

"Oh ya, Lis. Saya boleh panggil namanya, kan? Di mana nanti kau akan melahirkan?"

Pertanyaan itu membuat Lis tertegun. Cara Adrian bertanya seolah itu suatu hal yang wajar-wajar saja. Dia tidak heran atau bertanya di mana gerangan suaminya berada. Dengan waswas ia berpikir, jangan-jangan Adrian sudah tahu hal-ikhwalnya? Kalau bukan begitu, kenapa Adrian tidak kelihatan ingin tahu? Tapi biarpun sudah tahu, pasti belum semuanya. Paling-paling dia berpikir dirinya hamil di luar nikah dan pacarnya kabur. Kejadian seperti itu sudah terlalu sering terjadi. Pikiran belakangan ini membuat ia lebih tenang. Ya, biarlah Adrian

berpikir begitu. Masa bodoh.

Tetapi ia memutuskan tidak terlalu membuka diri.

"Ah, di mana sajalah," sahutnya dingin.

Nada suara dan sikapnya yang kaku jelasjelas menunjukkan bahwa ia tidak menyukai kehadiran Adrian dan berharap lelaki itu tahu diri. Tapi Adrian tetap saja duduk di sisinya. Bahkan ia mengeluarkan dua kantong plastik berisi keripik kentang dari dalam tas belanjaan yang dibawanya. Satu kantong disodorkannya kepada Lis.

"Silakan, Lis. Kalau nanti haus saya juga bawa air mineral."

Lis menggeleng keras.

"Terima kasih. Saya nggak suka. Silakan makan sendiri saja."

Tentu saja itu bukan alasan sebenarnya. Ia paling suka keripik kentang. Tapi kalau sekarang ia menerima tawaran itu, maka bukan tak mungkin sesudah itu akan ada tawaran lain. Lebih baik bersikap tegas sejak awal.

Adrian tidak memaksa. Ia memasukkan kembali kedua kantong keripik itu ke dalam tasnya.

"Tidak sopan makan sendiri." katanya.

Lis tidak berkomentar. Ia juga tidak menoleh untuk memandang Adrian. Ia sudah tahu bahwa lelaki itu memiliki penampilan yang gagah dan tampan. Tapi baginya hal seperti itu tidak lagi menarik. Sudah ditanamkannya di dalam pikirannya bahwa penampilan bisa menipu. Juga keramahan dan kesantunan. Siapa yang tahu hati orang? Ia mengarahkan pandangan ke empang di depan. Kalau saja di empang itu ada angsa yang berenang-renang ke sana kemari. Dan ada pohon teratainya juga. Ah, betapa indahnya. Tapi sayang itu tak ada. Ia cuma bisa membayangkan saja.

Lelaki di sampingnya begitu diam hingga Lis melupakan kehadirannya. Ia terkejut ketika mendengar dehamannya. Ia menoleh sejenak lalu cepat-cepat berpaling ketika beradu pandang dengan Adrian.

"Kau selalu melamun begitu intens."

"Biar sajalah."

"Jangan bersedih, Lis."

"Siapa bilang saya sedang sedih?" sahut Lis ketus.

"Saya pernah melihatmu menangis."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Lis menjadi gusar.

"Kau memata-matai saya, ya?" ia berseru.

"Oh... eh... nggak. Saya saya kebetulan saja suka ke sini lalu saya melihatmu."

"Bohong! Mana ada sih kebetulan yang seperti itu."

"Maafkan saya, Lis. Apakah melihat saja tidak boleh?"

"Bukan soal, melihat. Tapi kau memata-matai. Apa sih maksudmu?"

"Jangan marah, Lis. Terus terang saya bersimpati. Saya "

"Saya tidak mau dikasihani!"

Setelah mengucapkan kata-kata itu ia berdiri lalu pergi meninggalkan Adrian. Tapi ketika menoleh, Lis terkejut karena mendapati Adrian mengikutinya dalam jarak sekitar tiga meter. Baru setelah tiba di rumah dan menutup pintu, ia tidak melihatnya lagi. Rupanya lelaki itu hanya ingin mengawalnya saja.

Tapi ia tidak menyesal telah bersikap kasar. Lebih baik begitu daripada berbaik-baik. Kalau dibaiki nanti disangka memberi harapan.

Ia tidak pernah pergi ke taman lagi sesudah itu. Ia mengurung diri di rumah dan menghabiskan waktunya dengan menonton televisi dan VCD. Jadi ia tidak pernah bertemu Adrian lagi. Ternyata lelaki itu masih saja mengikuti perkembangannya. Apakah dia benar-benar berkulit tebal?

***

ADRIAN mengendarai sendiri mobilnya menuju Bandung. Ia harus berulang-ulang mengingatkan dirinya supaya tidak ngebut. Betapa inginnya ia tiba di Bandung secepat mungkin. Tetapi ia juga takut kalau dirinya celaka maka ia tidak akan bisa tiba di sana. Apalagi kalau dia sampai mati, pasti tibanya di tempat lain Pikiran tentang mati itu membuatnya lebih tenang. Kalau dia mati lebih dulu daripada Mandar, maka segala rencananya pasti berantakan. Dia punya banyak angan-angan yang indah mengenai masa depannya. Lagi pula, kenapa mesti dirinya yang mati lebih dulu dibanding seorang penjahat terhukum mati? Itu pasti sangat tidak adil. Kepada siapa nanti harta Mandar yang lumayan banyak itu akan diwariskan? Mustahil jatuh kepada kerabat jauh yang bukan

saja jauh dalam hubungan kekerabatan, tapi juga jauh di hati. Lebih-lebih setelah Mandar ditangkap polisi dan kasusnya menggemparkan masyarakat, tak ada lagi yang mau mengaku sebagai kerabat Mandar. Semua lari. Cuma dia, satu-satunya orang yang menjadi kerabat paling dekat dan juga paling akrab yang tertinggal.

Dia tidak meninggalkan Mandar sendirian. Dia yang mengurus segala keperluan Mandar selama ditahan seperti mencarikan pengacara dan berbagai urusan lainnya. Dalam hal itu Mandar memang sangat tergantung kepadanya.

Dia adalah sepupu Mandar. Satu-satunya sepupu. Kedua orangtua mereka berdua sudah meninggal dalam suatu kecelakaan pesawat. Sebenarnya Mandar masih punya seorang saudara perempuan, tapi ia pun ikut tewas dalam kecelakaan yang sama. Dirinya sendiri adalah anak tunggal.

Kehilangan begitu banyak anggota keluarga pada saat bersamaan membuat keduanya menjadi lebih dekat. Ia sendiri ikut menikmati harta Mandar yang terlalu banyak untuk dimakan sendiri. Mandar pun lebih suka berfoya-foya bersamanya daripada dengan orang lain. Mandar tidak mudah mempercayai sembarang orang. Ia cukup hati-hati menjaga hartanya.

Dengan alasan kehati-hatian itulah maka Mandar memutuskan untuk menjual saja perusahaan yang semula dikelola ayahnya, yaitu sebuah pabrik yang memproduksi peralatan plastik dan satu lagi pabrik yang memproduksi peralatan listrik. Adrian tidak setuju karena kedua pabrik itu berjalan baik dengan pemasaran yang bagus.

"Sekarang memang bagus," kata Mandar waktu itu.

"Tapi bagaimana ke depan nanti? Aku tidak sepintar Papa. Kamu juga belum tentu bisa menjalankannya. Tanpa Papa bagaimana jalannya nanti? Apakah orang-orangnya tidak akan memanfaatkan situasi untuk korupsi? Wah, bisa habis nanti, Ian. Dan apa kau tidak melihat situasi yang menimpa banyak perusahaan lain? Para karyawan menuntut kenaikan upah lalu berdemo, bikin rusuh, merusak, dan segala macam lagi. Daripada hancur pelan-pelan mendingan dijual sekarang saja, mumpung masih berjalan dengan baik. Kalau sudah hancur siapa yang mau beli? Salah-salah harta lainnya malah ikutan habis. Aku punya cara lain,

Ian."

Ternyata cara yang ditempuh Mandar adalah cara khas pemalas yang tidak mau ambil risiko. Ia mendepositokan harta yang bisa diuangkan, lalu menikmati bunganya tanpa susah payah bekerja. Adrian tidak mau repot-repot menasihati atau menganjurkan hal yang berbeda. Toh dia ikut menikmati kesenangan bersama Mandar. Ia diajak jalan-jalan ke luar negeri, bahkan sampai keliling dunia.

Biarpun demikian, mereka tetap menjalani privasi hidup masing-masing. Ia tidak mau diajak tinggal bersama di rumah Mandar yang besar. Ia lebih suka tinggal di apartemen yang sebenarnya milik Mandar juga. Hanya sesekali saja ia datang berkunjung. Atau Mandar yang ganti mengunjunginya.

Tentu saja ia tak berkeinginan lari meninggalkan Mandar membusuk sendirian di dalam penjara meskipun perbuatannya memalukan dan mengerikan. Walaupun Mandar telah terbukti begitu kejam, tapi ia selalu baik kepadanya. Memang terpikir j uga bahwa ada kemungkinan kebaikan Mandar itu disebabkan karena Mandar membutuhkan teman dan tak ada orang

lain yang cocok selain dirinya. Tentunya bersenang-senang sendirian tidak menyenangkan juga. Tetapi yang paling menguntungkan baginya adalah surat wasiat Mandar yang menyatakan ia mewariskan seluruh hartanya kepada Adrian! Mana ada orang yang tak tergetar perasaannya mendapat warisan sebanyak itu? Apalagi dia dan orangtuanya dulu hidupnya cuma pas-pasan saja. Kalaupun mereka bisa mengadakan perjalanan dengaan pesawat, itu adalah karena dihayati orangtua Mandar.

Lucunya, pada saat Mandar membuat surat wasiat itu, kejahatannya belum terbongkar. Ia sempat bergurau,

"Ian, jangan girang dulu, ya. Ini tentunya berlaku kalau aku mati duluan. Kalau kau yang mati duluan, maka aku perlu mencari pewaris lain."

Meskipun Adrian kaget dan gembira, tapi ia curiga juga.

"Kau masih muda, Bang. Ada kemungkinan kau ketemu cewek yang berkenan di hatimu lalu menikahinya. Selanjutnya kalian punya anak-anak. Nah, bagaimana kalau begitu?"

Mandar Menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kemungkinan itu tipis, Ian. Aku tidak ingin

menikah lalu membiarkan hidupku diatur oleh seorang istri yang cerewet dan mata duitan. Aku ingin mengatur hidupku sendiri dan juga tidak ingin mengatur hidup orang lain. Kalaupun suatu ketika ada keajaiban, surat itu kan bisa saja kubatalkan. Ini hanya untuk jaga-jaga kalau-kalau aku mati duluan. Daripada nanti diperebutkan orang-orang yang tidak dekat denganku, lebih baik buat kamu saja. Eh, jangan ketawa, lan. Ini penting lho. Orang mesti berpikir jauh ke depan."

Ternyata jalan pikiran Mandar itu terbukti benar. Apakah ketika itu ia sudah punya firasat bahwa perbuatannya akan ketahuan dan dirinya akan diganjar hukuman mati?

Mestinya orang sekaya dan setampan Mandar merupakan lelaki dan suami ideal di mata banyak perempuan. Ia tidak akan kekurangan peminat dan pemuja. Tapi justru karena itu ia malah jadi ngeri bahwa perempuan yang mendekatinya sesungguhnya mengincar hartanya. Ketakutan itu bisa dipahami. Adrian sudah merasakannya sendiri. Biarpun fisiknya cukup gagah, tapi kantongnya lebih sering kempes daripada berisi. Karena urusan kantong

itulah ia pernah mengalami sakit hati ditolak oleh cewek yang diminatinya. Dalam hal itu ia memang cukup jujur dan terbuka. Bahwa mobil yang selalu dikendarainya itu bukanlah mobilnya, demikian pula apartemen yang ditempatinya. Semua itu cuma pinjaman dari seorang sepupu yang kaya. Dan penghasilannya sendiri sering kali tidak cukup untuk dipakai makan. Maklum dia cuma sales perusahaan kompor gas dan pengisap debu, yang tidak banyak menjual. Terus terang dikatakannya bahwa hidupnya sebagian besar ditunjang oleh sepupunya yang kaya itu. Setelah si cewek tahu bahwa sepupu kaya itu masih bujangan, apa yang terjadi? Dia justru ingin dikenalkan kepadanya!

Permintaan seperti itu tentu saja tidak mungkin dikabulkannya. Dan dia sendiri segera memutuskan hubungan. Pergilah kau jauh-jauh! Dalam hal itu ia punya cara sendiri bagaimana membuat cewek itu jera.

Sesudah berkali-kali sakit hati ia memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan serius dengan cewek mana pun. Paling-paling hanya iseng atau main-main saja. Ia juga tidak ingin terjebak. Kalau ceweknya mulai berminat serius kepadanya, ia segera memberitahu bahwa dirinya cuma orang miskin yang menggantungkan hidup pada sepupu kaya. Dengan kesal ia mendapati bahwa cewek yang diberitahu seperti itu segera mundur dengan senang hati. Apakah semua cewek materialistis?

Lebih menjengkelkan lagi bila ia menjumpai cewek yang memberi nasihat bagaimana caranya agar ia bisa memperoleh uang lebih banyak dan sekaligus jadi terkenal. Jadilah model atau pemain sinetron! Bukankah kau cukup punya modal untuk itu?

Ketika mendengar ceritanya, Mandar tertawa terpingkal-pingkal.

"Kenapa kau mesti jujur begitu, Ian? Bohongi saja dengan mengaku kaya. Aku nggak keberatan kau memakai milikku. Aku juga bisa memberimu uang yang kaubutuhkan untut mentraktir cewek."

"Aku tidak mau terus main-main, Bang. Aku ingin serius. Tapi aku juga tidak mau menikah dengan cewek yang cuma melihat uang."

"Ya. Betul juga sih. Rupanya jadi kaya itu susah, tapi jadi miskin juga susah."

"Abang sendiri kenapa tidak mau menikah?

Abang sudah punya segala-galanya. Tunggu apalagi?"

"Buat apa menikah sama cewek yang cuma mengincar harta, Ian? Seperti kukatakan tadi, jadi miskin susah tapi jadi kaya susah juga. Aku pernah juga mencoba serius dulu. Tapi dari pengamatan sekilas saja aku sudah tahu bahwa daya tarikku bukanlah diriku, melainkan hartaku."

"Mestinya Abang jangan ngaku dulu bahwa kau ini kaya-raya."

"Tapi aku mau jujur, Ian." Mandar tertawa.

"Bayangin. Belum tahu aku kaya apa nggak saja mereka sudah ngetes duluan. Minta dibeliin ini itu, traktir makan yang mahal-mahal. Kalau aku sanggup menuruti kemauan mereka berarti aku kaya, kan? Wah, aku sungguh nggak rela dikuras oleh mereka biarpun sanggup."

Tetapi percakapan itu terjadi jauh sebelum kejahatan Mandar terungkap. Ketika itu ia tentu saja tidak tahu bahwa sebenarnya Mandar mengidap kelainan jiwa. Bahkan ia sama sekali tidak punya kecurigaan atau perkiraan. Bahwa Mandar yang belum juga berniat menikah walaupun usianya sudah lebih dari tiga puluh bahkan mendekati empat puluh tampaknya wajar saja. Di mata Adrian, selera seks Mandar normal, dalam arti dia hanya tertarik pada perempuan, bukan sesama jenis.

Tentu saja kenyataan-yang terungkap sangat mengejutkan.

Sulit untuk memahami perbuatan Mandar kecuali menganggapnya gila. Tetapi ahli jiwa yang memeriksanya menyatakan dia tidak gila!

Boleh dikata, terbongkarnya kasus itu terjadi secara kebetulan.

Orang yang menemukan ruang bawah tanah di mana dua belas mayat atau kerangka ditemukan adalah seorang cleaning service bernama Yanto. Dia disewa untuk membersihkan rumah itu seminggu dua kali. Rumah itu terlalu besar untuk bisa dibersihkan sendiri oleh Mandar. Berbeda dengan tamannya yang ia urus dan pelihara sendiri karena Mandar memang suka berkebun.

Yanto sudah cukup sering membersihkan rumah Mandar. Ia sudah dipercaya oleh Mandar dan Mandar telah memberikan rekomendasinya kepada pimpinan perusahaan pembersih tempat Yanto bergabung. Sungguh tak disangka olehnya bahwa pada akhirnya Yanto-lah yang menemukan tempat kejahatannya dan kemudian melaporkannya.

Beberapa hari sebelum waktu yang menentukan bagi masa depan Mandar itu, Adrian menginap di situ. Ia menghabiskan waktu bersama Mandar, menonton VCD selama berjam-jam sambil makan dan minum dan mengobrol. Larut malam baru mereka berpisah untuk tidur.

Esoknya pagi-pagi sekitar jam enam Adrian sudah pergi tanpa pamit lebih dulu, karena ia tahu Mandar tidak biasa bangun pagi. Ia pulang dulu ke apartemennya sebelum berangkat ke kantor. Ia tidak pernah bertemu dengan Yanto yang biasa datang jam sembilan. Bagi Yanto, datang pagi pun percuma bila tak ada yang membukakan pintu. Tapi ia tahu mengenai petugas pembersih itu dari Mandar.

Boleh dikata malam itu adalah saat-saat kebersamaan Adrian yang terakhir bersama Mandar. Sesudah itu ia tidak bertemu atau bertatap muka. Mereka cuma saling menelepon.

Betapa ceria dan bersemangatnya Mandar malam itu. Tidakkah ia memiliki firasat ?



YANTO, seorang pemuda berusia dua puluh lima, berwajah bocah dan bertubuh kurus, dianggap banyak orang sebagai pahlawan pembongkar kejahatan Mandar. Tentu saja dia merasa bangga walaupun dengan rendah hati ia mengatakan bahwa itu hanya kebetulan saja. Perkataannya memang mengandung kebenaran, tapi sebenarnya juga dibutuhkan keberanian dan sikap ingin tahu yang besar untuk bisa menemukan lokasi kejahatan Mandar yang tersembunyi. Kalau dia bersikap cuek dan tak peduli, tentu tak ada yang akan terungkap. Kejahatan itu tetap terkubur dan pelakunya tentu akan terdorong mengulang kembali kejahatannya, yang berarti korban akan terus berjatuhan.

Yanto menjadi salah satu tokoh yang disorot secara positif dalam kasus itu. Ia bukan hanya

disanjung dengan puja-puji, tapi juga mendapat banyak hadiah materi dari pihak yang bersimpati kepadanya. Ia diwawancara media tulis dan visual, lalu mendapat honor untuk itu. Tapi dari semua hadiah yang diterimanya, ada satu yang dianggapnya paling bernilai. Ia mendapat beasiswa untuk belajar di sebuah akademi komputer. Sebagai lulusan SMU yang tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah padahal ingin menambah ilmu, maka hadiah itu sungguh luar biasa. Ia percaya sekolah bisa meningkatkan martabat dan tingkat hidupnya. Tidak seperti sebelumnya, ia cuma bisa melakoni pekerjaan sebagai seorang pembersih karena tidak punya keterampilan apa-apa.

Sesungguhnya ia menyukai Mandar yang dinilainya ramah dan dermawan. Bila bekerja di rumah Mandar, ia selalu dijamu makan siang bersama tuan rumah. Hidangannya dipesan dari restoran dan baginya luar biasa mewah. Mandar tidak suka banyak bicara, tapi hal itu memang tidak diperlukan selama mereka makan bersama, karena waktu tersebut terisi dengan menonton televisi. Mereka makan sambil menonton. Usai makan Yanto membenahi meja dan

mencuci piring, lalu melanjutkan pekerjaannya membersihkan rumah. Sedang Mandar sendiri pergi entah ke mana meskipun masih tetap di lingkungan rumah. Saking besarnya rumah itu, ia bisa menghilang tanpa diketahui keberadaannya, kecuali kalau ia sedang berkebun.

Biasanya bila ia sudah selesai melaksanakan pekerjaannya ia tidak mencari-cari tuan rumah ke segala pelosok rumah untuk pamitan. Ia duduk saja dengan sabar di teras rumah, menunggu sampai Mandar keluar. Ia tahu Mandar pasti akan menemuinya. Pada saat itu Mandar selalu memberinya tip yang sangat lumayan.

Sungguh sayang dan tak disangka, bagaimana mungkin Mandar yang ramah, dermawan, dan tampan itu bisa demikian keji? Dilihat dari sisi mana pun dia tidak punya ciri seorang pembunuh, apalagi orang sakit jiwa. Inikah yang disebut serigala berkulit domba?

Yanto selalu cermat dan rajin dalam pekerjaannya. Ia membersihkan seluruh pelosok rumah kecuali kamar-kamar yang pintunya terkunci. Itu berarti ruang yang tak boleh disentuh. Kalau pintunya terpentang, itu merupakan pertanda bahwa ia boleh memasukinya untuk

membersihkan isinya. Mandar memberitahu hal itu sebelumnya. Dan ia mematuhinya dengan baik. Di samping memang tak punya keinginan macam-macam, ia juga takut kalau-kalau rumah itu dipasangi kamera tersembunyi seperti di toko-toko besar atau tuan rumah diam-diam mengintip dari -tempat yang tak kelihatan. Karena itu barang berharga seperti arloji yang tergeletak begitu saja di atas meja tak pernah berani disentuhnya. Ia takut itu merupakan pancingan. Selama ini modalnya sebagai orang kecil hanyalah kejujuran, dan itu merupakan kebanggaan untuk dirinya sendiri. Tak perlu ada yang memuji, tapi cukup diakui nuraninya saja.

Ia juga merasa aneh, kenapa Mandar memberinya kepercayaan begitu besar padahal ia kurang mengenal dirinya. Dari pengalamannya sendiri, sangat jarang orang yang mau sembarang percaya kepada orang lain. Tentu itu disebabkan karena di zaman sekarang memang banyak orang yang sulit dipercaya. Kalau bisa menipu, ya menipu. Kalau bisa mencuri, kenapa tidak? Tapi ia sendiri tidak mau berpendirian seperti itu. Ia takut kepada nuraninya sendiri.

Kalau nuraninya marah dan menuding-nuding, maka ia akan sulit tidur dan sulit makan. Ia bisa sakit karena rongrongan dari dalam. Lalu ia bisa saja mati karenanya. Jadi keinginannya dalam hidup sederhana saja, yaitu mendapatkan kelegaan dan ketenangan batin.

Faktor kebetulan selalu ditekankannya dalam setiap keterangan yang diminta darinya. Mungkin sudah kehendak Tuhan bahwa kejahatan Mandar harus dihentikan dan karena cuma dirinya yang ada dan punya kesempatan, maka dirinyalah yang dipilih untuk menemukan tempat itu.

Ketika itu sudah keempat kalinya ia bekerja di rumah Mandar. Seperti biasa usai makan siang bersama Mandar ia melanjutkan pekerjaannya. Dan seperti biasa ia mulai dengan pembersihan rumah bagian tengah terus ke belakang, karena bagian depan sudah dikerjakannya lebih dulu.

Ia bekerja seperti layaknya robot, karena semuanya serba rutin. Tapi ketika tiba di bagian-belakang rumah ia terkesiap karena hidungnya menghirup bau yang berbeda dari biasanya. Bulu romanya langsung berdiri karena bau seperti itu cukup dikenalnya, yaitu bau bangkai!

Yang segera terpikir adalah bangkai tikus. Beberapa hari sebelumnya ketika ia bekerja di situ, bau tersebut tidak tercium. Demikian pula di waktu-waktu sebelumnya. Jadi pastilah itu merupakan sesuatu yang baru saja ada. Bagian belakang rumah tampaknya tak pernah dijelajahi atau digunakan oleh Mandar, karena perabotan di situ sebagian sudah rusak dan jelas tak memperlihatkan adanya ciri-ciri kegiatan apa pun. Berkat pembersihan yang ia lakukan, maka tempat itu tetap rapi mekipun kesan terbengkalainya tetap ada.

Sebagai seorang pembersih tentu saja bau itu membuat Yanto jengkel. Ia segera beraksi mengendus ke sana kemari mencari sumber bau. Sampai ke pojok dan ke kolong lemari pun ia telusuri. Juga lemari dan Iaci-lacinya ia buka. Baunya bukan berasal dari situ.

Akhirnya ia menemukan sumber bau, yaitu lantai! Ia terkejut karena merasa ada yang berubah di sekitarnya. Bagian lantai yang tertutup karpet tua tidak lagi tertutup karena karpet itu sepertinya bergeser. Tapi bukan itu yang membuat ia terkesiap. Ada bagian di lantai yang berlapis keramik 30X3O cm tampak menganga dan memperlihatkan rongga di bawahnya! Bagian yang menganga itu terbuat dari papan, seperti pintu berengsel. Baunya santer dari rongga yang ditimbulkan oleh pintu menganga itu! Apakah ada ruangan di bawahnya? Konon banyak rumah-rumah besar yang memiliki ruang bawah 64 tanah. Mungkin bangkai tikusnya berada di bawah sana. Jadi, buat apa ia bersusah payah?

la merapatkan pintu itu dan memasang kembali selotnya lalu menarik karpet untuk menutupinya. Ternyata sesudah itu baunya berangsur lenyap.

Selama ini ia tidak pernah mengangkat-angkat atau menggeser karpet itu. Walaupun ia rajin membersihkan segala pelosok rumah, ia merasa tidak perlu membersihkan lantai di bawah karpet itu karena yakin bahwa ruangan itu toh tidak digunakan. Sudah kelihatan bersih pun cukup. Yang penting tidak dipenuhi sarang labah-labah dan ditutupi debu tebal.

Setelah merapikan kembali letak karpet seperti semula, ia termenung sejenak. Sekarang di ruangan itu tidak tercium bau bangkai lagi.

Sudah tergantikan oleh karbol beraroma cemara yang digunakannya. Jadi seharusnya ia tidak perlu merisaukan lagi bau itu. Biar saja tikustikus membusuk di ruang bawah tanah. Itu bukan urusannya. Wilayah pekerj aannya adalah di dalam rumah, bukan di bawah rumah. Apalagi tuan rumah tidak mengeluh apa-apa. Memang tidak mengherankan. Mungkin Mandar tidak pernah menginjakkan kakinya ke situ. Lain halnya kalau Mandar sendiri yang memintanya membersihkan ruang bawah tanah itu. Tentunya dengan bayaran ekstra yang diperkirakannya akan diberikan Mandar dengan senang hati. Jadi, apakah sebaiknya ia memberitahu Mandar soal bau busuk itu? Dengan demikian ia sekalian menyatakan niat baik dan juga kerja baiknya.

Yanto memutuskan untuk menyelesaikan dulu semua pekerjaannya. Setelah tuntas baru soal itu ia kemukakan. Maka dengan giat ia melanjutkan pekerjaannya supaya tidak kesorean bila nanti ia disuruh membersihkan ruang bawah itu.

Tetapi ketika berhadapan dengan Mandar, tiba-tiba saja mulutnya serasa terkancing. Mendadak ia berkeringat dingin dan bulu romanya berdiri. Saat itu ia merasa bahwa tatapan mata Mandar tampak aneh dan misterius meskipun wajahnya mengekspresikan keramahan seperti biasanya. Sesuatu yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya. Sempat terpikir, jangan-jangan Mandar mengintip dirinya saat ia di belakang tadi dan melihatnya sedang membongkar-bongkar ruang itu. Mestinya pikiran itu justru mendorongnya untuk berterus terang perihal alasan ia berbuat demikian. Tapi ia malah jadi takut.

Ia bersiap untuk menunggu apa yang akan dikatakan Mandar saat melepasnya pergi.

"Sampai hari Kamis ya, To!" kata Mandar sambil menepuk punggung Yanto.

Ucapan seperti itu adalah yang biasa dikatakan Mandar setiap ia pamitan karena hari kerjanya adalah Senin-Kamis. Itu berarti tenaganya tetap dibutuhkan Mandar. Jadi Mandar tidak menaruh curiga.

Ia bernapas lega. Berarti tidak ada masalah apa-apa. Semuanya berlangsung seperti biasa. Apakah perasaannya sendiri terlalu mengada-ada?

Kelegaannya tidak membuat pikirannya berhenti bekerja. Semakin dipikirkan semakin terasa kejanggalannya. Kenapa pintu ruang bawah tanah itu menganga biarpun cuma sedikit? Biarpun selotnya terbuka, tapi seharusnya tidak akan membuatnya menganga sendiri. Lagi pula ruangan itu jelas-jelas tidak pernah digunakan.

Mungkinkah beberapa hari yang lalu Mandar turun ke bawah lalu lupa merapatkan kembali pintunya? Itu mungkin saja mengingat dialah yang punya rumah dan punya kepentingan.

Ya, itu merupakan jawaban yang paling masuk akal.

Tapi, bagaimana dengan bau itu?

Mungkinkah bau itu belum ada waktu Mandar turun?

Ia tak bisa membayangkan seperti apa kotor dan berantakannya ruang bawah tanah itu karena tak pernah dibersihkan. Mustahil Mandar mau membersihkannya sendiri

Ia berusaha menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dijawabnya itu, tapi setiap kali pikiran tersebut kembali lagi. Sebagai orang yang menyukai kebersihan bukan semata-mata karena profesinya, ia menganggap bau tidak wajar, apalagi bau bangkai, perlu dicari

sumbernya agar bisa disingkirkan secepatnya dan membuat udara bersih kembali. Dan bukankah bau bangkai juga merupakan bau kematian? Itu sesuatu yang mengerikan.

Hari Kamis berikutnya ketika datang lagi ke rumah Mandar, Yanto masih belum bisa memastikan tindakannya. Dan ketika tiba acara makan siang bersama Mandar, ia pun tidak bisa mengatakannya terus terang. Ada keinginan, tapi ada juga tentangan. Sepertinya ia berkewajiban untuk memberitahu, tapi ia juga takut kalau ia dianggap terlalu mencampuri. Siapa tahu Mandar tidak akan percaya bahwa pintu ke ruang bawah itu memang menganga dan bukan sengaja dibuka olehnya? Ia akan dianggap lancang dan suka mengorek sana-sini. Mentang-mentang diberi kepercayaan lalu berbuat seenaknya.

Maka ia tak berkata apa-apa. Mandar pun tidak kelihatan menyadari kegelisahannya.

Ketika akhirnya tiba giliran membersihkan ruang belakang rumah, ia mengendus-endus seperti anjing mencari jejak. Tetapi bau itu tidak tercium. Ia mendekat ke arah pintu ruang bawah tanah yang tertutup karpet lalu berjongkok dan menundukkan mukanya. Juga tak tercium. Mungkin setelah lewat beberapa hari bau itu mereda, lalu lenyap dengan sendirinya.

Kemudian ia sadar bau itu memang tak tercium bila pintunya tertutup rapat. Senin yang lalu pun demikian. Saat itu baunya tercium dengan santer, tapi begitu pintunya ditutup, baunya mereda lalu lenyap. Jadi masalahnya terletak pada pintu.

Pada saat itu tiba-tiba muncul gejolak keingintahuan yang amat sangat. Gejolak itu sebelumnya sudah ada sejak ia masih berada di dalam rumah, tapi sekarang semakin intens. Itu sebabnya ia membawa bekal berupa lampu senter kecil yang bisa dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia pun sudah memasang batere baru supaya cahayanya maksimal.

Ia bergegas ke luar ruangan untuk mencari tahu keberadaan Mandar. Doronganya adalah nekat semata. Ia sudah mempersiapkan alasan seandainya kebetulan berpapasan atau Mandar melihatnya lebih dulu. Sewaktu baru datang tadi ia sengaja meninggalkan sebuah bungkusan berisi cadangan kain pel di teras depan. Jadi akan dikatakannya bahwa ia perlu mengambil

barang itu.

Ia melihat Mandar sedang berjongkok di halaman depan dengan posisi membelakanginya. Tak begitu jelas apa yang sedang dilakukannya. Tampaknya ia sedang menggaruki tanah di seputar tanaman. Ia kelihatan begitu asyik dan intens.

Segera Yanto menyadari inilah saat terbaik untuknya melakukan sesuatu. Ia berlari ke belakang.

Pintu ke ruang bawah tanah dibukanya pelan-pelan. Karena tanpa persiapan, ia hampir saja jatuh pingsan karena sergapan bau busuk dari arah bawah. Begitu mencolok perbedaan kondisi udara di ruang atas antara tertutup dan terbukanya pintu itu. Sepertinya udara yang lama terkungkung di bawah segera menghambur ke luar begitu ada celah yang memungkinkannya lolos.

Ia menahan napas, lalu menutup hidungnya dengan mengikatkan saputangan di seputar bagian wajahnya, hingga bagian matanya saja yang tersisa. Ternyata cara itu tidak sepenuhnya membuat hidungnya terhindar dari bau. Apalagi setelah pintu ia kuakkan lebih lebar. Tapi ia

berusaha menahan napasnya.

Dengan senternya ia mencoba melihat situasi di ruang bawah. Tampak sebuah tangga kayu pas di bawah engsel pintu. Tapi ia tidak berencana untuk turun ke bawah. Terlalu riskan. Ia sadar akan waktu yang dimilikinya.

Ketika lampu senternya mengarah ke bawah tangga tampak lantai semen dan dinding bata merah yang tidak diplester. Rupanya ruang itu tidak diberi sentuhan akhir. Entah sengaja atau tidak. Mungkin dianggap tidak perlu karena toh tidak kelihatan.

Ia memutar-mutar lampurnya sampai berhenti di suatu objek. Tampak benda-benda berserakan. Mula-mula terlihat celana jins, baju kaus, baju kembang-kembang.... Tapi baju-baju itu berisi benda lain. Kerangka manusia! Masih ada beberapa tengkorak yang sudah terpisah dari kerangkanya. Ada yang sudah melulu tulang, tapi ada pula yang masih berdaging kehitaman !

la begitu terkejut. Segera matanya membelalak besar Mulutnya yang tertutup saputangan terbuka tapi tak keluar jeritan. Hanya suara ahah... uh-uh saja. Wajahnya memucat. Ia pun terjerembap ke samping. Untuk sesaat ia merasa lemas tak kepalang. Tubuhnya serasa tak bertulang. Tak ada tenaganya barang sedikit pun. Ia benar-benar syok.

Kesadaran bahwa ia bisa dipergoki tuan rumah membuat pikirannya memaksa tubuhnya untuk bergerak. Ayo, cepat! Cepat! Dengan susah payah ia memaksa tangannya yang lemas untuk menutup pintu, memasang selotnya, lalu merapikan karpet di atasnya. Sesudah selesai ia masih terduduk di lantai dengan napas terengah-engah di balik saputangannya.

Keinginannya yang sangat saat itu adalah berlari pergi lalu melaporkan apa yang dilihatnya itu kepada polisi. Tetapi ia masih bisa berpikir jernih. Mandar akan mencurigai kelakuannya itu. Jadi ia harus mampu mengendalikan diri.

Baru kemudian setelah semua pekerjaannya selesai dan pamit pada Mandar, ia bergegas ke kantor polisi terdekat. Hasil temuannya itu menimbulkan kegemparan luar biasa. Mobil-mobil milik stasiun televisi berkejaran menuju lokasi, takut ketinggalan berita.

Untuk pertama kalinya wajah Yanto muncul

di layar televisi. Semua mengarahkan kamera kepadanya dan merekam pembicaraannya. Ia merasa syok untuk kedua kalinya meskipun kali ini berbeda sifatnya. Ia senang, bangga, tapi juga sedih. Kalau saja ayah-ibunya masih ada, tentu mereka akan melihatnya dan ikut merasa bangga. Akhirnya anakmu bisa juga berbuat sesuatu yang berguna tidak cuma bagi diri sendiri.

Tetapi di samping perasaan-perasaan itu, ada juga kengerian yang sempat mencekamnya. Ketika akan dibawa polisi, Mandar menoleh berkeliling, mencari-cari dengan pandangan matanya sampai akhirnya beradu pandang dengan Yanto, yang juga sedang mengamatinya. Pandang mereka bertautan sejenak. Yanto menggigil karena merasa tatapan mata Mandar sangat berbeda dibanding dengan yang sudah dikenalnya. Ada kebencian dan kemarahan di situ, yang terasa menusuk dan membakar. Ia merasa dirinya tengah dicabik-cabik dan dimakan hidup-hidup!

Ia membutuhkan waktu cukup lama untuk melupakan tatapan mengerikan itu.

***

SORE hari itu juga, bersamaan dengan terbongkarnya kasus kejahatan Mandar, Adrian bermaksud mengunjunginya. Ia terkejut melihat pintu gerbang terbuka lebar. Orang-orang berjubel di halaman. Banyak petugas polisi di situ. Ada mobil ambulans parkir di halaman. Buru-buru ia memarkir mobilnya agak jauh, lalu berjalan kaki dengan setengah berlari ke sana.


Hadiah Membawa Bencana Karya Khu Lung Trio Detektif 16 Misteri Singa Gugup If I Stay Karya Gayle Forman

Cari Blog Ini