Ceritasilat Novel Online

Cinta Seorang Psikopat 2

Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari Bagian 2



"Ada apa, Pak?" tanyanya kepada salah seorang yang berdiri menonton.

"Wah, ada banyak mayat di bawah rumah itu, Pak. Kebanyakan sudah jadi kerangka tuh," sahut yang ditanya dengan ekspresi gempar.

"Mayat siapa?"

"Nggak tahu tuh. Pasti korban pembunuhan."

"Siapa yang membunuh?"

"Sudah pasti pemilik rumah dong. Kan mayatnya ada di rumahnya."

"Jadi pemiliknya ditangkap?"

"Iya. Sudah dibawa tuh."

"Siapa yang menemukan?"

"Katanya, seorang petugas pembersih rumah. Dia mencium bau bangkai."

Adrian menerobos masuk, tapi cuma sebatas di halaman. Ia melihat petugas mengangkuti kerangka yang ditutupi kain ke dalam ambulans. Petugas lain sibuk menghalau orang-orang yang menonton, termasuk dirinya.

"Pak, saya keluarga pemilik rumah. Di mana saya bisa bertemu dengannya?" Adrian mengenalkan diri.

Ia tertegun melihat pandang mata curiga, petugas kepadanya. Ekspresi petugas itu seperti sedang melihat monster yang menjijikkan.

"Waduh, saudaranya, ya?"

"Ya. Sepupunya."

"Luar biasa sepupu Bapak itu. Monster apa sih , dia?"

"Di mana dia, Pak?"

"Di Metro. Sebaiknya Bapak ke sana. Bisa sekalian memberi keterangan. Oh ya. saya catat

dulu KTP-nya, Pak."

Segera Adrian menyadari bahwa dirinya bisa dianggap terlibat dalam kasus itu. Tapi ia toh pergi ke kantor polisi untuk memberi keterangan dengan suka rela. Itu akan lebih baik daripada bersembunyi atau melarikan diri. Lagi pula Mandar tentu membutuhkan bantuannya.

Ia memang diperiksa dengan cukup intensif. Ia tidak menyembunyikan keakrabannya dengan Mandar. Bahwa Mandar hidup sendirian di rumahnya yang besar dan ia kadang-kadang datang menginap di situ. Tetapi ia menyatakan tidak tahu mengenai pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan Mandar.

Untunglah Mandar dengan tegas mengakui bahwa ia melakukannya sendiri. Dengan rinci ia menceritakan perbuatannya. Tak ada yang membantunya melakukan pembunuhan itu karena ia memang ingin menikmatinya sendirian. Pengakuannya itu membuat bulu roma pendengarnya berdiri. Membunuh untuk kenikmatan!

Ketegasan Mandar dan keterusterangannya dalam bercerita meloloskan Adrian dari sangkaan.

Tetapi sampai akhir persidangan Mandar tetap berkeras bahwa ia hanya melakukan pembunuhan terhadap sebelas orang. Bukan dua belas, sesuai penemuan kerangka dan mayat di ruang bawah rumahnya. Tetapi semua pihak menyangsikan bantahannya. Ia pasti salah hitung. Ia mengatakan, sama sekali tidak tahu identitas korban-korbannya Bahkan nama panggilannya pun ia tidak tahu. Ia tidak mencatatnya. Dan menurut pengakuannya, ia langsung membuang tas atau dompet milik korbannya ke laut tanpa melihat-lihat dulu isinya. Pernyataannya sesuai dengan situasi di lokasi penemuan. Tak ada tas atau dompet di sana, yang biasanya selalu dibawa seorang perempuan bila keluar rumah.

Ia juga melakukan aksinya tidak pada waktu-waktu yang tertentu, hingga bukan merupakan rutinitas. Ia hanya beraksi sesuai "tuntutan hati". Dan ia melakukannya dalam kurun waktu yang sangat panjang, dengan jarak bisa setahun dua tahun. Jadi, mungkinkah ia mengingatnya kalau tidak dihitung atau dicatat? Hanya ada dua kemungkinan. Ia sengaja memperkecil jumlah untuk memperkecil dosanya biarpun

fakta berkata lain. Atau ia memang tak ingat dan hanya mengira-ngira saja.

Bagaimanapun Adrian merasa lega. Ia tahu, Mandar ingin melepaskannya dari sangkaan. Karena itu ia juga bertekad untuk membantu Mandar sekuat kemampuannya. Untuk itu Mandar telah memberitahu dia tempat penyimpanan surat-surat penting miliknya berikut nomor PlN kartu ATM-nya. Dengan demikian ia bisa leluasa mengambil uang simpanan Mandar, yang diperlukan untuk segala kebutuhannya.

Di dalam tahanan Mandar bercerita mengenai apa yang dilakukannya kepada Amarilis. Adrian sangat terkejut mendengarnya.

"Ya, ya. Aku juga kaget mengetahui dia masih perawan. Ternyata dia gadis baik-baik. Bukan pelacur seperti sangkaanku," kata Mandar.

"Tapi nasi sudah jadi bubur. Mau apa lagi? Yang penting dia tidak ikut kubunuh."

"Lantas Abang mau apa sekarang sama dia?"

"Aku yakin dia tidak melapor. Kasusnya tidak pernah terdengar. Mungkin dia dan keluarganya juga malu."

"Kasihan, Bang."

"Ya. Tapi sudah kukatakan tadi, nasi sudah

jadi bubur. Yang sudah terjadi tak bisa dihapus, lan. Jadi aku minta tolong padamu. Selidikilah dia. Aku tahu alamatnya. Nanti kuberikan. Apa yang terjadi padanya? Apakah dia baik-baik saja? Carilah upaya supaya aku bisa memberikan sejumlah uang baginya."

Adrian berhasil mengetahui hal-ikhwal Amarilis. Uang yang diberikannya kepada Amarilis memang bukan berasal dari perusahaan tempat Lis pernah bekerja, tapi dari Mandar. Kebohongan itu harus dikarangnya supaya Lis mau menerima. Bila dikatakannya terus terang, bukan saja Lis akan mengusirnya, tapi Mandar akan mendapat tuduhan baru. Mungkin dirinya juga dianggap sebagai kaki-tangan. Padahal sebelumnya ia sudah terbebas dari sangkaan itu, setelah melewati pemeriksaan yang menjengkelkan.

Belakangan ia juga mengetahui perihal kehamilan Amarilis. Ia yakin bahwa kehamilan itu pastilah karena perbuatan Mandar. Lalu ia melaporkannya kepada Mandar saat Menjenguknya di tahanan. Wah, bukan main senangnya Mandar. Kalau saja sedang tidak berada di rumah tahanan, pastilah ia sudah bersorak-sorak dan menari-nari.

"Aduh, lan! Aku akan punya keturunan! Aku akan punya anak!" katanya dengan mata berkaca-kaca saking terharunya.

Adrian cuma bisa memperhatikan tingkah Mandar dengan bingung.

"Kalau dihukum mati pun aku puas, Ian. Aku toh punya keturunan!"

"Lantas bagaimana dengan warisanmu?" Adrian mengingatkan.

"Tentunya tidaklah pantas kalau kau mewariskan hartamu kepadaku bila kau punya anak."

Mandar bengong sejenak. Setelah berpikir ia berkata,

"Itu tidak mungkin, Ian. Kalau aku terang-terangan mewariskan hartaku kepadanya, dia akan tahu siapa bapaknya. Itu tidak boleh, lan. Tidak boleh. Aku ini penjahat. Jangan sampai dia tahu bahwa bapaknya seorang penjahat."

Adrian tertegun.

"Tapi aku tentunya ingin juga memberi dia bagian dari kekayaanku, Ian. Untuk itu aku serahkan kepadamu bagaimana baiknya. Kau tetap ahli warisku. Terserah kepadamulah bagaimana dan berapa yang mau kauberikan. Tolonglah,

Ian."

Adrian menggaruk kepalanya. Itu tugas yang sulit.

Untuk bisa melaksanakan permintaan itu ia harus terus memantau kondisi dan kegiatan Amarilis. Ia sudah tahu bahwa Amarilis tidak akan memelihara anaknya. Itu lebih sulit lagi. Siapa yang akan mengadopsi anak itu nanti? Bagaimana kalau ia salah mengenali si anak? Semua bayi sepertinya sama saja. Padahal ia juga belum pernah melihatnya.

Maka satu-satunya jalan adalah mencari kaki-tangan di klinik. Dengan kekuatan uang ia berhasil mendapatkan Rima.

Tetapi dalam perjalanan waktu ia jatuh cinta kepada Amarilis!

Jarak Jakarta-Bandung terasa jauh sekali bagi Adrian. Apalagi berkendaraan sendirian. Pikirannya terus-menerus tertuju kepada Amarilis. Apakah gadis itu baik-baik saja? Maukah dia menerima kedatangannya?

Barusan ia menghubungi Rima dan mengatakan dirinya akan datang beberapa jam lagi. Tapi Rima mengatakan bahwa Lis sedang berada dalam kondisi dan emosi yang tidak memungkinkan untuk dikunjungi. Sebaiknya ia bersabar. Tapi ia optimis bahwa waktu yang berlalu akan memperbaiki kondisi Lis. Tadi dan nanti tak selalu sama. Ia maklum, Lis baru saja melahirkan, tapi anak yang selayaknya ia sayangi harus ia lepaskan. Itu sangat berat bagi siapa pun.

Tapi justru karena itu Adrian ingin sekali menghibur dan mendampingi Lis. Tidak perlu bicara, tapi cukup menemani. Ia memang belum punya hubungan yang akrab dengan Lis. Bisa dimaklumi kalau Lis enggan berdekatan dengan siapa pun, termasuk dirinya. Tapi ia bertekad akan berusaha dengan segala cara untuk bisa mendekati gadis itu.

Ia sadar betul akan kendala yang menghalanginya. Dia adalah sepupu Mandar, orang yang tentunya paling dibenci oleh Lis lebih dari siapa pun di dunia ini. Jadi bukan tak mungkin dirinya pun kecipratan rasa benci itu. Tapi ia yakin, sebelum menyerah orang harus berusaha dulu. Dan usaha saja tidaklah cukup, melainkan perlu juga dengan strategi.

Itulah yang memenuhi pikirannya selama perjalanan. Tapi ide secuil pun tak kunjung di

perolehnya. Yang pasti ia tidak boleh langsung membuka diri kepada Lis, karena hal itu bisa membuat Lis segera mengusirnya. Ia sangat takut pada kemungkinan yang satu itu. Lantas apa yang mesti dikatakannya? Mengarang kebohongan sama sulitnya dengan menceritakan kebenaran.

Sebenarnya, ada suara lain di hatinya yang mengatakan supaya ia menjauhkan diri dari perempuan itu. Kerjakan saja tugas yang diberikan oleh Mandar sebaik-baiknya, tapi jangan libatkan perasaan. Bukan karena Lis punya trauma yang membuatnya jadi orang yang sulit, tapi posisinya sebagai sepupu Mandar bisa merugikan dirinya sendiri. Kebohongan tak bisa dipertahankan terus-menerus. Lagi pula, alangkah tak nyaman hidup dalam kebohongan. Bukankah ada banyak perempuan lain yang jauh lebih baik daripada Lis? Dengan kekayaan yang diperolehnya dari Mandar, ia bisa mendapatkan mereka dengan gampang. Yang penting ia harus bisa memilih dengan kritis. Jangan sampai dikecewakan seperti dulu lagi.

Tetapi ia mencintai Amarilis. Rasa cinta itu seperti lem yang kuat sekali, melekat tak bisa lepas. Ada juga keyakinan bahwa ia akan sulit menjumpai perempuan dengan kualitas seperti Lis. Bukan fisiknya tapi kedalamannya. Salah satu yang jelas kelihatan adalah bagaimana dia bertahan tidak mau menggugurkan kandungannya biarphn itu hasil perkosaan. Sembilan bulan ia bertahan dengan siksaan fisik dan mental. Semua itu dijalaninya dengan tabah. Biarpun ia tidak mau memelihara si bayi, tapi ia memberinya kesempatan hidup. Memberikan anak itu kepada orang yang menginginkan tentu jauh lebih baik daripada memeliharanya sendiri tanpa kasih sayang, apalagi dengan kebencian. Masih ada satu hal lagi yang dikaguminya. Perempuan secantik Amarilis ternyata bisa tetap mempertahankan kesuciannya meskipun menurut kabar yang didengarnya ia pernah punya pacar beberapa kali.

Sayang sekali Mandar merenggutnya dengan kasar, bahkan hampir membunuhnya seperti ia memperlakukan korban-korbannya yang lain. Amarilis memang bunga indah yang bernasib malang. Dia dipetik bukan untuk dimasukkan dalam jambangan lalu dikagumi keindahannya, tapi dicampakkan dan diinjak-injak.

Walaupun demikian Adrian tidak mau dan tidak bisa menyalahkan Mandar. Bukan cuma karena ia memperoleh harta sangat banyak, tapi sebenarnya berkat perbuatan Mandar-lah ia berhasil mengenal Amarilis. Apakah itu yang disebut hikmah dari kebiadaban?

****

HILMAN mengemudikan mobilnya dengan santai. Meskipun sudah kurang-lebih dua pertiga perjalanan Jakarta-Bandung berhasil ditempuh tapi ia masih merasa segar, padahal jarak tersebut dilalui tanpa istirahat. Hal itu karena ia punya teman perjalanan, Anas Darwin, yang suka bicara. Tapi itu bukan berarti perbincangan hanya satu arah. Hilman menanggapi dan sesekali memberi saran.

Bagi Anas, ini merupakan kesempatan berkonsultasi dengan seorang ahli jiwa secara gratis. Tentu hal itu tidak terjadi secara formal seperti yang berlangsung di ruang resmi. Mereka layaknya orang mengobrol, meskipun dirinyalah yang lebih banyak berbicara. Tapi baginya itu tak ubahnya konsultasi. Bicara dengan seorang ahli jiwa tentu berbeda dibanding bicara dengan orang awam. Nasihat dan komentar yang keluar dari mulut seorang ahli jiwa pasti bermutu dan mengandung isi.

Topik pembicaraan adalah Amarilis. Anas bercerita mengenai putri kesayangannya itu dari kecil sampai dewasa. Sebegitu banyak dan lengkapnya hingga Hilman merasa seolah gadis itu sudah dikenalnya dengan sangat baik, padahal melihat saja belum pernah.

"Saya hampir-hampir tidak punya komplain terhadap dirinya, Pak. Biarpun dia tahu betul kami menyayanginya, tapi dia tidak jadi manja. Dia bisa mandiri tanpa diajari harus mandiri. Tapi manusia memang tidak sempurna. Ada satu sifatnya yang sering kali membuat saya jengkel."

"Dia keras kepala, bukan?" sela Hilman.

"Wah, betul sekali, Pak!" seru Anas.

"Dan sifatnya itu sering membuat kami tidak berdaya, karena dia bisa mengajukan argumen yang masuk akal. Tapi ternyata sifat itu justru membuat dia celaka. Misalnya saja pada malam yang fatal itu. Jelas dia pulang malam. Saya dan kedua

kakaknya bisa saja menjemputnya, tapi dia menolak. Katanya dia bisa pulang sendiri. Nggak usahlah jemput-jemput segala. Nyatanya apa? Terjadilah peristiwa itu. Nyesel pun percuma. Tapi sampai sekarang saya tetap nyesel setengah mati. Benci pada diri sendiri. Dan merasa sangat bodoh."

Anas mengatakannya dengan sedih. Tapi ada kelegaan di hatinya karena dia telah mengatakannya kepada Hilman. Padahal selama ini dia hanya bisa berbagi penyesalan itu dengan keluarganya sendiri. Tidak mungkin dengan orang lain.

"Ya. Itu memang patut disesali. Kalau saya di tempat Bapak, pasti akan merasakan hal yang sama," sahut Hilman dengan simpati dan empati yang mendalam.

Jawaban itu agak di luar dugaan Anas. Semula dikiranya Hilman akan melontarkan penghiburan. Biarpun demikian ucapan itu mampu menambah kelegaannya. Rupanya di situlah untungnya bicara dengan orang professional.

"Lantas apa yang harus saya lakukan dengan perasaan seperti itu, Pak?"

"Sebelum saya menjawab, saya perlu ingat

kan bahwa perasaan itu bukan cuma ditanggung oleh Bapak sendiri, tapi juga istri dan dua anak lelaki Bapak."

"Oh, ya. Mereka juga merasakan hal yang sama."

"Nah, sering-seringlah berbagi rasa. Berdoa bersama dan merundingkan segala sesuatu mengenai Lis -bersama-sama. Itu akan meringankan dan juga lebih mengakrabkan. Tidak ada yang lebih mengakrabkan hubungan selain musibah, Pak. Menyedihkan, bukan? Tapi memang seperti itulah yang biasa terjadi."

"Ya, itu benar, Pak. Tapi bagaimana cara melupakannya?"

"Trauma yang berat seperti itu tak mungkin terlupakan, Pak. Karena itu kita harus belajar hidup bersamanya. Menerimanya sebagai bagian dari kehidupan yang tak selamanya manis. Perlu waktu untuk merelakan dan belajar menerima kehidupan yang berbeda."

"Terima kasih, Pak." Anas menyusut matanya.

"Senang sekali bisa bicara dengan Bapak. Dada ini rasanya menjadi lebih lega."

Hilman tersenyum.

"Pada saatnya beban yang masih ada akan

lenyap, Pak.

"Sekarang ini saya memang konsentrasi kepada Lis saja, Pak.

"Dia masih banyak membutuhkan perhatian. Jadi saya bisa mengalihkan. Tapi kalau malam tiba, saya tak bisa tidur karena disiksa perasaan saya sendiri."

"Hadapilah dengan tabah, Pak. Karena itu memang suatu keharusan," Hilman mengatakannya dengan tegas. Itu bukanlah .teori atau sekadar kata-kata, tapi ia mendapatkannya dari pengalaman pribadi.

"Ya. Saya berusaha," sahut Anas dengan senang.

"Bagaimana dengan masalah anak Lis, Pak Anas? Apakah dia pula yang punya ide untuk menyerahkannya kepada orang lain?"

"Oh ya. Tapi untuk idenya itu kami semua setuju seratus persen. Biarpun anak itu darah daging Lis dan darah daging saya juga, tapi dia keturunan seorang psikopat. Bukan saja Lis, tapi kami juga sangat takut pada anak itu. Belum apa-apa kami sudah membayangkan kehadiran iblis di tengah keluarga. Tentunya itu sangat tidak baik bagi si anak sendiri kan, Pak?"

"Ya, ya. Saya setuju. Sepantasnya anak itu

besar di lingkungan yang tidak tahu-menahu supaya tidak ada pengaruh negatif terhadapnya. Bapak tentunya tidak ingin tahu siapa yang akan mengadopsinya kelak."

"Tentu saja. Tapi saya pernah dengar cerita tentang anak yang sesudah besar berusaha mencari tahu siapa orangtua kandungnya. Bagaimana kalau dia berhasil? Apakah dia akan terpengaruh?"

"Wah, sebaiknya jangan mikirjauh-jauh, Pak. Dalam kehidupan segala kemungkinan bisa saja terjadi. Bahkan yang dirasa tak masuk akal sekalipun. Biarkan saja semua itu terjadi, Pak. Itu di luar kemampuan kita untuk mencegah apalagi mengatur."

"Ya, sebaiknya kita memikirkan yang di depan mata saja ya, Pak. Oh, saya cuma berharap mudah-mudahan Lis tidak berubah pikiran setelah melihat anak itu."

"Maksud Bapak?"

"Siapa tahu dia jatuh hati kepada bayinya. Banyak yang begitu, kan? Tadinya nggak mau. Tapi setelah melihat berubah pikiran. Saya yakin, anak itu cakep. Habis Lis cantik dan si Mandar itu lumayan tampan."

"Walaupun tidak cakep, setiap bayi itu punya daya tarik sendiri."

Ucapan itu menambah kekhawatiran Anas.

"Wah, itu pasti godaan yang berat. Gimana ya, Pak, andai kata Lis menginginkannya? Dia begitu keras hati."

Hilman tersenyum menenangkan.

"Sudah, Pak. Jangan resah duluan. Kita kan belum tahu apa-apa."

"Tapi saya harus bersiap menghadapi kemungkinan itu. Saya tahu bagaimana Lis itu. Sudah cukup saya mengenalnya. Tolonglah saya nanti, Pak. Bicara dengannya. Nasihati dia. Seorang ahli seperti Bapak pasti punya pengaruh berheda."

"Saya akan berusaha," Hilman berjanji.

"Terima kasih, Pak. Duh, saya ini benar-benar beruntung bisa ketemu Bapak. Benar-benar Tuhan telah mengirim Bapak untuk menolong keluarga kami. Biarpun Tuhan memberi kami musibah, tapi Dia juga memberi bantuan."

Anas menangkupkan kedua tangannya ke dada dengan wajah penuh syukur, hingga Hilman terharu melihatnya. Bila bertemu dengan orang seperti Anas, ia selalu teringat pada dirinya sendiri. Ketika istri yang dicintainya meninggal tiga tahun yang lalu, ia pun sulit menerima kenyataan. Perlu waktu baginya untuk mengikhlaskan. Tuhan memberi tapi juga mengambil.

Lalu Anas tersadar. Ia menoleh dan menatap wajah Hilman yang mengekspresikan kecerdasan dan keramahan. Rambutnya sudah menipis di atas dahi dan uban sudah menghiasi sebagian kepalanya. Hidungnya agak besar, tapi tampak serasi bertengger di tengah mukanya yang lebar. Secara keseluruhan wajah itu tampak meyakinkan untuk membangkitkan kepercayaan pasien kepadanya.

"Maafkan saya, Pak. Kedengarannya saya egois benar, ya? Dari tadi ngomongin masalah sendiri saja. Kesannya seperti mumpung dekat sama ahli jiwa. Jadi terus saja nyerocos. Padahal Bapak mungkin sudah muak, ya? Benar-benar nggak tahu diri. Setelah menyadari hal itu saya jadi malu. Maafkan saya, Pak."

Hilman menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bapak tidak membuat saya muak. Sungguh. Saya senang mendengarnya. Profesi saya' adalah mendengar pembicaraan. Bukan saja saya

sudah terbiasa, tapi saya menganggap bicara adalah suatu pengungkapan diri yang penting bagi siapa saja. Tapi sebenarnya itu penting bukan cuma bagi yang bicara, tapi juga bagi yang mendengarkan. Betapa banyak yang sudah saya pelajari dari situ. Wawasan saya menjadi tambah luas saja. Dan jangan lupa," katanya sambil tertawa,

"kalau Bapak dari tadi diam saja, wah, saya bisa ngantuk tuh. Dengan berbicara kita tidak menyadari waktu yang lewat. Tahu-tahu kita hampir sampai."

Anas tampak lega.

"Ibaratnya saya ini buku yang terbuka setiap lembarannya bagi Bapak. Tapi saya belum tahu apa-apa tentang Bapak, kecuali mengenai profesi. Boleh nggak saya tahu sedikit lebih banyak? Tapi kalau Bapak keberatan sih jangan," katanya agak malu karena berani berbicara seperti itu.

"Oh, saya nggak keberatan. Tapi seperti kata Bapak sendiri, yang Bapak ingin ketahui cuma sedikit lebih banyak, kan? Kalau banyak-banyak, wah, saya malu tuh." Hilman tertawa.

"Jadi begini. Umur saya empat lima. Sudah sepuluh tahun saya jadi psikiater. Istri saya meninggal tiga tahun yang lalu. Saya punya dua anak lelaki, Eddy dan Rudy, yang masih jadi mahasiswa kedokteran. Eddy dua puluh satu, sedang Rudy delapan belas. Jadi tanggungan saya lumayan berat karena anak-anak belum mandiri."

"Maaf, Pak. Saya nggak tahu bahwa Bapak seorang duda."

Hilman tertawa.

"Memangnya kenapa? Kematian itu kan lumrah. Setiap orang akan mati. Ya, sekarang saya memang gampang ngomong begitu. Dulu beratnya bukan main."

Anas mengangguk dengan simpati. Cerita Hilman itu membuat dia merasa lebih ringan. Adakah orang yang tak pernah mengalami musibah dalam hidupnya?

"Bapak pernah memeriksa Mandar. Apa sebenarnya yang membuat dia berbuat seperti itu? Orang terpelajar, kaya, kok malah cari masalah."

"Perbuatan itu memberinya kenikmatan, Pak. Itu yang selalu dikatakannya. Tapi dia selalu mengatakan bahwa dia selektif memilih korbannya. Dia tak mengakui bahwa dia pernah melakukan kesalahan. Karena itu ,saya terkejut ketika mengetahui putri Bapak adalah korbannya."

"Memangnya Lis kayak pelacur?" kata Anas dengan gemas.

"Rupanya kesalahan itu disadarinya kemudian dan ia memutuskan untuk tidak membunuh Lis."

"Saya tidak perlu berterima kasih untuk kemurahan hatinya itu."

"Tentu saja. Tapi Bapak dan Lis juga tidak melaporkan peristiwa itu."

"Kami cuma memikirkan risiko yang harus ditanggung Lis. Bayangkan, Pak. Sudah menanggung malu, pelakunya malah tidak tertangkap. Tidak ada bukti atau petunjuk yang bisa mengarah kepadanya. Ketika itu Lis tidak tahu dibawa ke mana. Ia pun dibius saat dipulangkan. Jadi melapor cuma mengungkapkan kebodohan diri sendiri. Kami mempertimbangkan semuanya. Lis sangat memahami. Ia sepakat dengan kami. Untunglah."

Hilman mengangguk.

"Saya pikir, Mandar juga mempertimbangkan hal itu. Sayang saya tidak punya kesempatan lagi untuk bicara dengannya. Bagaimana perasaan dia ketika tahu telah melakukan kesalahan karena menjadikan seorang gadis baik

baik sebagai korbannya."

Ucapan itu membuat Anas terkejut.

"Pak, jangan sampai dia tahu bahwa Lis melahirkan anaknya!" ia berseru.

Hilman merasakan getaran suara Anas.

"Tenang, Pak. Tentu saja dia tidak akan tahu. Dia tidak mungkin tahu."

Anas menjadi lebih tenang.

"Aduh, Pak. Saya tibatiba merasakan kejutan luar biasa ketika teringat akan hal itu."

"Boleh tahu sebabnya, Pak?"

"Selama dia belum dihukum mati, dia tetap berbahaya. Jangan lupa, Pak. Uangnya banyak. Biarpun berada di dalam penjara, dia bisa saja menyewa kaki-tangan. Dengan uang orang bisa berbuat apa saja."

"Jadi Bapak mengkhawatirkan keselamatan Lis?"

"Ya. Dan juga anak itu."

"Anak itu? Kenapa?"

"Kalau Mandar tahu anak itu anaknya, bukankah anak itu bisa saja tahu siapa bapaknya? Entah bagaimana caranya, tapi saya yakin itu bisa. Memang Mandar dijatuhi hukuman mati, tapi eksekusinya entah kapan. Bisa saja masih

lama sekali."

"Belum tentu Mandar peduli, Pak."

"Tapi insting saya berkata lain."

"Kalau begitu, Bapak juga peduli pada anak itu."

"Entahlah. Saya tidak ingin dia menjadi monster seperti bapaknya. Bagaimanapun, dia cucu saya dan anak Lis."

"Tapi dengan menyerahkan anak itu, putuslah sudah hubungan Bapak sekeluarga dengannya. Bapak harus mengikhlaskannya, mau jadi apa dan bagaimana masa depannya. Dia bukan tanggung jawab Bapak lagi. Bahkan Bapak tidak akan mengenalnya. Kalaupun sekarang Bapak melihatnya, dia hanya berwujud bayi kecil yang wajahnya belum terbentuk. Setahun dua tahun kemudian Bapak tidak mengenalnya lagi, apalagi kalau dia dewasa."

"Saya tidak akan melihatnya."

"Nah, apalagi begitu."

"Toh saya takut...."

"Sudahlah, Pak. Tenangkan hati. Jangan sampaikan keresahan itu kepada Lis."

"Ya, betul. Saya juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba -saya jadi takut begitu. Tadinya nggak

terpikir. Aneh juga, ya."

"Itu disebabkan karena pikiran Bapak terlalu luas dan jauh. Memang sudah kita bicarakan tadi, segala kemungkinan dalam bisa saja terjadi. Tapi bukan berarti semuanya harus kita khawatirkan. Betapa berat beban kita nantinya."

"Biasanya saya tidak begini, Pak. Bahkan saya ini cenderung periang dan menggampangkan persoalan. Istri saya suka memarahi saya dalam hal itu. Katanya saya kurang serius."

"Sekarang memang situasinya lain, Pak. Ini musibah yang berat."

Anas menggeleng-gelengkan kepalanya, ingin mengusir keruwetan dari pikirannya.

"Apakah menurut Bapak, saya ini masih normal?" tanyanya.

Hilman tersenyum.

"Oh ya, masih."

"Kadang-kadang saya takut menjadi gila. Tadi di ruang pengadilan saya berlaku seperti orang gila."

"Itu ekspresi kemarahan, bukan kegilaan."

"Jangan ceritakan pada Lis atau siapa saja, ya Pak?"

"Tentu tidak. Tapi-bagaimana kalau beritanya ada di koran?"

Anas termangu. Tapi Hilman menepuk pahanya sambil tertawa.

"Sudahlah, Pak. Sebaiknya kita jangan bicara tentang kemungkinan. Yang nyata-nyata saja."

Anas mengangguk dengan wajah lebih ceria.

"Sebenarnya saya ingin bertanya tentang analisa Bapak perihal Mandar. Kalau boleh tentunya. Bagaimana sih dia itu dan apa latar, belakangnya berbuat begitu? Masa cuma untuk kenikmatan saja, seperti yang dikatakannya? Tapi saya pikir, buat apa saya tahu hal itu? Nanti saya malah jadi tambah ruwet."

"Betul sekali, Pak. Membicarakan dia cuma memberi kemurungan pada kita."

Hilman punya alasan sendiri dengan pembenarannya itu. Bercerita tentang Mandar membuat perasaannya sendiri sangat tidak nyaman. Ia memang tidak perlu menyampaikan semua yang diketahuinya tentang Mandar pada Anas, karena ia bisa saja mengatakan bahwa itu merupakan rahasia, walaupun tidak sepenuhnya benar. Tetapi ingatan tentang Mandar selalu membangkitkan bulu romanya. Padahal dengan bercerita berarti kembali menggali semuanya.

***

BEBERAPA bulan yang lalu.

Di dalam sebuah ruangan khusus Hilman berhadapan dengan Mandar. Seharusnya Hilman lebih superior daripada Mandar karena dia merupakan seorang petugas ahli yang akan memeriksanya, tetapi sikap Mandar begitu arogan dan penuh percaya diri. Dia tidak tampak takut atau merasa bersalah. Sorot matanya tajam dan ikut "memeriksa" orang yang mau memeriksanya. Mau tak mau sikap yang sepertinya tidak manusiawi itu membuat Hilman agak gentar. Ia belum pernah memeriksa seseorang yang bertingkah seperti itu. Apalagi tatapan mata Mandar membuatnya sangat tidak nyaman.

Tetapi hanya pada menit-menit pertama saja Hilman merasa agak gugup. Ia harus berjuang keras mengatasi perasaannya sendiri untuk

mengembalikan wibawanya. Kalau tidak, ia bisa kehilangan kepercayaan diri. Selanjutnya, analisanya bisa tumpul karena sibuk mengurusi perasaan sendiri. Untunglah ia berhasil.

Sebenarnya, seperti diakui polisi sendiri, Mandar bukan orang yang sulit. Pengakuannya serba gamblang dan tegas. Tidak pernah berbelit-belit. Ia seorang tersangka yang gampang. Tapi saking gampangnya ia sering membuat pemeriksanya tercengang-cengang.

Tak terkecuali Hilman sendiri. Karena cara pemeriksaannya berbeda dengan petugas, maka ia memperoleh tambahan pengakuan yang lain dari Mandar. Itu adalah pertanyaannya mengenai orangtua Mandar dan hubungan Mandar dengan mereka.
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada usia sepuluh tahun, Mandar kecil mendapat pengalaman mengejutkan. Begitu mengesankan hingga terpateri dalam memorinya dan kelak mempengaruhi jalan hidupnya hingga menjadi dirinya yang sekarang. Semestinya itu bisa dianggap sebagai musibah karena pada kenyataannya telah mencelakakan dirinya. Andaikata hal itu tidak pernah terj adi, mestinya dia menjadi seseorang yang berbeda dari sekarang. Dia bisa menjadi orang baik-baik menurut ukuran kepatutan. Tetapi ia tidak pernah menyalahkan siapa-siapa atas pembentukan dirinya yang sekarang. Padahal ia bisa saja melemparkan kesalahan atau tanggung jawab kepada orangtuanya. Toh mereka juga sudah meninggal hingga tak bisa dikonfirmasi kebenarannya.

Waktu itu sudah larut malam. Tiba-tiba Mandar terbangun dari tidurnya yang lelap. Ia terduduk di atas ranjangnya sambil mengucek mata. Situasi kamarnya temaram oleh lampu kecil warna hijau. Ia mendengar suara-suara aneh yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Suara itu seperti rintihan, ah-ah... uh-uh, diseling oleh tawa cekikikan. Anehnya, biarpun ada bunyi tawa, tapi juga ada erangan kesakitan.

Mandar adalah anak pemberani. Ia tidak jadi ketakutan mendengarnya. Sebaliknya, muncul rasa ingin tahu. Ia buru-buru turun dari ranjang, lalu keluar dari kamar. Di depan pintu ia celingukan sejenak sambil memasang telinga. Bunyi itu datang dari kamar orangtuanya yang bersebelahan dengan kamarnya.

Ia bergegas ke sana tanpa mengenakan alas

kaki. Karena itu langkahnya tak menimbulkan bunyi. Seandainya berbunyi pun, pasti sulit mengatasi bunyibunyian yang didengarnya itu. Di depan pintu kamar orangtuanya ia berdiri sejenak. Bunyinya semakin jelas terdengar.

Ia sudah membuka mulutnya untuk memanggil tapi kemudian tak jadi. Lalu ia mencoba membuka pintu tanpa keyakinan bahwa hal itu bisa dilakukannya. Biasanya pintu terkunci karena dulu ketika masih lebih kecil, ia sering mencoba membukanya supaya bisa tidur bersama mereka. Sewaktu berumur lima tahun ia masih suka dikeloni ibunya kalau mau tidur. Kebiasaan itu sulit dilepaskan. Tapi setelah lewat usia lima tahun ia dipaksa untuk tidur sendiri. Anak lelaki harus berani tidur sendiri, demikian kata ayahnya. Tentu saja ia bukan takut, tapi hanya ingin bermanja-manja. Ia merindukan pelukan ibunya.

Sebenarnya sudah cukup lama, tak diingatnya lagi berapa lama, ia tak pernah lagi mencoba membuka pintu kamar orangtuanya di waktu malam. Di samping tak punya keperluan, ia juga sudah tak ingin lagi bermanja-manja.

Dengan keheranan ia mendapati bahwa pintu

dengan mudah terbuka. Pelan-pelan ia dibukanya lebih lebar, lalu menjulurkan kepalanya ke dalam. Ada juga rasa takut ketahuan. Belakangan ayahnya suka bersikap galak kepadanya.

Tapi suara yang kedengarannya jadi lebih keras itu benar-benar merangsang keingintahuannya. Ia menjadi nekat.

Suasana kamar terang-benderang. Arah suara datang dari tempat tidur, tapi ia tak bisa memandang dengan jelas karena terhalang oleh tirai yang tertutup di depan tempat tidur. Tapi itu ada baiknya, karena bila tirai tidak tertutup atau tak ada tirai, kehadirannya bisa langsung terlihat dari tempat tidur. Tirai yang berbahan tipis menampilkan bayang-bayangan yang tak dimengertinya. Sementara suara-suara itu terus saja terdengar.

Mandar terbengong-bengong sambil berdiri mematung. Ia sudah memasukkan tubuhnya ke dalam kamar dengan satu tangan memegangi daun pintu. Bulu romanya berdiri. Apa yang terjadi pada kedua orangtuanya? Dari bayangbayang yang terlihat pada tirai tampaknya mereka tengah bergumul atau berkelahi. Ia menjadi takut sekarang. Apakah sebaiknya ia berlari

pergi saja? Tapi kakinya seperti terpaku. Ke mana ia akan pergi mencari pertolongan kalau selama ini ia berlindung pada orangtuanya?

Jadi ia harus tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi instingnya yang kuat mengatakan dirinya harus berhati-hati dan berupaya agar kehadirannya tidak sampai diketahui.

Ia merangkak menuju tempat tidur lalu menguak sedikit tirai yang berada di sisi dinding. Itu merupakan tempat yang paling aman. Begitu tatapannya bebas tertuju ke balik tirai, ia sangat terkejut. Boleh dikata ia syok secara fisik dan kejiwaan. Rasanya mau pingsan, jantungnya berdebar kencang dan perasaannya tak karuan.

Kedua orangtuanya dalam keadaan telanjang. Mereka bergumul dengan paha saling menjepit, bergantian yang satu di atas yang lain. Ayahnya menggigit-gigit tubuh ibunya sampai berdarah-darah. Demikian pula ibunya melakukan hal yang sama terhadap ayahnya! Tubuh mereka, terutama di dada, punggung, pinggang, penuh dengan luka gigitan. Mulut mereka menyuarakan macam-macam bunyi. Ada tawa, rintihan, lenguhan, pekikan. Kedengarannya sangat tidak manusiawi. Di telinga Mandar,

bunyi-bunyian seperti itu adalah sesuatu yang baru. Apalagi keluar dari mulut dua orang yang dikenalnya sepanjang hidup. Kemudian tatapan Mandar terpaku pada wajah keduanya. Ekspresi mereka sangat aneh. Belum pernah ia melihat mereka berekspresi seperti itu. Bahkan juga pada orang lain. Suatu ekspresi yang sangat menarik baginya. Ia terpesona sampai sempat melupakan gerak,gerik kedua orang itu. Yang terus diperhatikannya hanyalah ekspresi mereka.

Baru belakangan ia memahami bahwa ekspresi seperti itu adalah ungkapan kepuasan tak terhingga yang hanya bisa diperoleh secara seksual!

Sebenarnya ia belum puas. Ia masih ingin menyaksikan. Tapi rasa takut lebih dominan. Bagaimana kalau ia ketahuan mengintip? Ia tahu betul bahwa perbuatan semacam itu tidak patut. Apalagi yang diintipnya adalah orangtuanya sendiri. Memang ia tidak tahu apakah perbuatan yang tengah dilakukan orangtuanya itu tergolong patut atau tidak. Kalau salah satu dianiaya yang lain, kenapa dia tidak meminta tolong atau meronta melepaskan diri? Yang ia

simpulkan adalah kedua orang itu saling menggigit dan mereka sama-sama merasa senang. Tapi bolehkah perbuatan seperti itu? Bukankah dalam setiap perbuatan selalu ada batasan boleh dan tidak boleh? Kepadanya selalu diajarkan seperti itu. Yang ini tidak boleh, yang itu boleh bahkan harus.

Akhirnya dengan tubuh gemetar ia merangkak kembali menuju pintu. Jantungnya berdebar kencang oleh ketegangan bahwa setiap saat ia bisa mendengar hardikan keras ayahnya. Tetapi ia selamat keluar dari kamar itu tanpa ketahuan. Pintu ia tutup kembali pelan-pelan. Dengan perasaan ketakutan kalau-kalau tangannya yang gemetar membuat pintu berbunyi.

Ia lari kembali ke kamarnya sendiri. Meskipun sudah berada di atas tempat tidur, tubuhnya masih gemetar. Dan jantungnya masih berdebar kencang. Lama sekali baru ia tertidur. Lalu terkejut karena tubuhnya digoyanggoyang ibunya yang membangunkannya karena ia harus ke sekolah pagi-pagi.

Rasanya seperti mimpi. Mungkinkah ia bermimpi? Sikap ibu dan ayahnya biasa-biasa saja. Seperti tak pernah terjadi apa-apa. Kemudian ia

melihat bekas luka di leher ibunya.

"Kenapa itu, Ma?" ia bertanya sambil menunjuk.

Ibunya tampak gugup. Jelas tak menyangka akan ditanya seperti itu.

"Oh... eh... ini digigit nyamuk," katanya sambil menaikkan kerah dasternya untuk menutupi.

Ayahnya malah tertawa.

"Iya, digigit nyamuk gede," komentarnya dengan nada geli.

lbunya juga tertawa. Tapi Mandar tidak ikut tertawa. Ia menjadi yakin, dirinya tidak bermimpi.

Esok malam dan esoknya lagi ia menunggu-nunggu terdengarnya lagi suara-suara itu. Tidurnya menjadi tidak tenang. Malam demi malam berlalu tanpa hasil sampai ia menjadi bosan sendiri. Entah berapa malam sudah lewat, ia tidak sempat menghitung, sampai tiba-tiba ia terbangun karena telinganya kembali menangkap suara-suara itu.

Ia melompat duduk. Tapi ia tidak berniat untuk mengulangi perbuatannya tempo hari. Ia tahu, bila ia melakukannya lagi, belum tentu ia akan selamat tanpa ketahuan. Ia tidak ingin ke

takutan dan tegang lagi. Lagi pula, buat apa? Ia toh sudah tahu apa yang tengah dilakukan kedua orang itu. Sampai kapan pun ia takkan bisa melupakannya. Kejadian itu cuma membuatnya tambah yakin bahwa apa yang telah dilihatnya itu bukan mimpi. Seganjil apa pun, itu benar-benar terjadi.

Andaikata ia melihatnya bertahun-tahun yang lalu, mungkin ia akan segera menanyakan kepada ibunya apa yang sebenarnya ia lakukan itu. Ia dekat dan sangat manja pada ibunya. Tapi pada usia sepuluh tahun itu ia sudah punya insting yang cukup kuat meskipun ia masih dekat dan manja pada ibunya. Sesungguhnya ketelanjangan ibunya dalam dekapan ayahnya membuat ia syok. Diam-diam ia iri dan geram kepada ayahnya yang bisa melakukan hal itu. Bahkan sampai menggigit-gigit segala. Dirinya yang yakin amat disayang oleh ibunya tentu tak bisa berbuat seperti itu. Bukankah itu berarti bahwa ibunya sepenuhnya merupakan milik ayahnya, dan ia tak punya bagian sedikit pun?

Ia juga teramat penasaran kenapa ibunya mau saja dibegitukan. Tentu ibunya pun balas menggigit dan tampaknya tak kalah ganas

dibanding ayahnya. Tetapi kenapa berbuat begitu? Dan kenapa harus telanjang? Ia menganggap ketelanjangan ibunya itu sungguh memalukan. Pada usia sepuluh tahun dan bertahun-tahun sebelumnya ia tak pernah melihat ibunya telanjang. Ia tak ingat lagi kapan terakhir kalinya melihat ibunya tanpa pakaian. Yang diingatnya ibunya selalu mengganti pakaiannya di kamar yang pintunya tertutup tanpa dirinya boleh masuk.

Semakin dipikirkan semakin membuatnya jijik dan marah. Apalagi ekspresi kepuasan kedua orang itu membekas dalam di benaknya.

Ia menutup telinganya dengan bantal setiap kali terbangun dan mendengar suara-suara itu.

Ia mulai menjauhi ibunya. Serta-merta hilanglah semua sifat kemanjaannya. Pembahan hubungan yang terjadi dengan ayahnya tak begitu mencolok karena ayahnya memang tak pernah memanjakannya.

Rupanya ibunya menyadari hal itu.

"Kamu kok seperti ngambek sama Mama, Dar. Kenapa?" tanya ibunya.

"Ah, nggak. Memangnya kenapa?" ia balas bertanya dengan sikap secuek mungkin.

"Ya, sudah. Syukur kalau nggak ngambek sih."

la mendengar perbincangan ayah dan ibunya perihal dirinya.

"Itu kan bagus," komentar ayahnya.

"Artinya dia belajar dewasa. Kenapa mesti dipersoalkan?"

Ia benci betul mendengarnya. Apalagi ibunya tak pernah berusaha untuk mendekatinya lagi seperti dulu. Ia dibiarkan jadi "dewasa"

Mandar menceritakan semua itu kepada Hilman. Dengan gaya yang ringan dan lancar, seolah baru saja terjadi dan memang sangat ingin mengungkapkannya. Cukup satu pertanyaan dari Hilman, maka ceritanya pun mengalir.

"Apakah Anda menganggap bahwa pengalaman masa kecil itu yang telah merangsang Anda melakukan perbuatan sadis?"

"Entah. Tapi saya pikir, tidak perlu cari kambing hitam. Saya berbuat, saya senang. Kenapa mesti menyalahkan ini-itu?"

"Baik. Umur berapa Anda mengenal seks?"

"Lima belas."

"Dengan siapa?"

"Seorang tante. Perempuan yang pantas jadi

ibu saya. Dia yang ngajarin saya."

"Bagaimana gaya hubungan seks Anda dengan tante itu? Biasa saja? Coba ceritakan."

Mandar tertawa.

"Oh, Dok tertarik juga, ya? Begini. Mula-mula sih biasa-biasa saja. Dia seorang perempuan lajang dengan nafsu yang sangat besar. Rupanya dia mau menjadikan saya objek seks gratisan. Tapi keinginannya yang terlalu menggebu membuat saya tidak sanggup melayaninya. Maklum, saya barusan puber. Biarpun dia bisa menyenangkan dan memuaskan dorongan biologis saya, tapi saya kewalahan juga. Apalagi lama-kelamaan dia jadi bersikap menguasai. Sepertinya saya ini mainan miliknya. Dia memonopoli lebih dari orangtua saya. Muncul kebencian dalam diri saya kepadanya. Tapi biarpun benci, sesungguhnya saya juga melihatnya sebagai objek pelampiasan. Lalu pada suatu kesempatan berhubungan dengannya, menggelegaklah rasa benci bercampur nafsu. Terbayang adegan orangtua saya lima tahun yang lalu. Saya begitu terdorong. Tak tahan lagi saya ,gigiti dia di mana saja mulut saya berada. Dia pun menjerit-jerit. Tapi jeritannya membuat saya kesenangan. Oh, puasnya.

" Mandar

memejamkan matanya, seakan berusaha mengeNang kembali momen itu. Lalu melanjutkan,

"Saya yakin, ketika itu ekspresi saya pun seperti kedua orangtua saya waktu itu. Ternyata jauh lebih memuaskan daripada berhubungan secara biasa."

"Bagaimana dengan perempuan itu? Apakah dia menyukainya juga?"

Mandar kembali tertawa.

"Wah, sebaliknya. Dia marah sekali. Saya memang telah membuat beberapa bagian tubuhnya berdarah-darah. Saya mengobatinya dengan yodium. Ia menjerit-jerit lagi keperihan. Saya malah tertawa melihat dia kesakitan. Tapi saya tidak minta maaf. Dia memaksa saya berjanji untuk tidak melakukan seperti itu lagi. Saya tidak mau. Terus terang saya katakan akan melakukannya lagi karena itu sangat menyenangkan. Wah, dia mencak-mencak lalu memaki-maki dengan umpatan kasar. Kemudian saya diusirnya pergi."

"Apakah dia kapok berhubungan dengan Anda lagi?"

"Hanya dua minggu. Sesudah itu dia membujukku lagi. Kalau mau, jangan pakai gigitan, katanya. Tapi saya menolak. Saya bilang, tidak

bisa menjamin. Lalu dia mengalah, oke boleh menggigit tapi jangan keras-keras. Akhirnya saya setuju. Begitu kejadian saya tidak bisa menahan diri. Rasanya memang tidak mungkin. Dia menjerit dan memukul. Tapi dengan disakiti ternyata saya merasa tambah senang. Dia tidak tahan. Itu adalah hubungan kami yang terakhir. Dia menyebut saya drakula. Katanya, lama-kelamaan saya tidak lagi menggigit tapi memakannya!"

"Sesudah itu, bagaimana dengan kehidupan seks Anda? Tidakkah sulit menahan kalau sudah terbiasa?"

"Oh, memang sulit, Dok. Rasanya seperti gila kalau dorongan itu muncul. Tapi saya tidak mau kembali lagi pada tante itu meskipun dia pernah menghubungi saya lagi. Tentunya asal saya tidak menggigitnya lagi. Terus terang saya bilang tidak bisa menjamin. Dia bilang, bisa saja asal mulut saya ditutup lakban! Kurang ajar, kan?"

"Lalu bagaimana caranya Anda menyalurkan kebutuhan biologis?"

"Karena saya diberi uang cukup banyak oleh orangtua. maka saya bisa mencari pelacur yang

bersedia diperlakukan sadis asal dibayar mahal. Susahnya kalau sudah mendapatkan orang yang cocok tapi dia menolak untuk jadi langganan secara kontinyu meskipun dibayar mahal. Alasannya, takut badannya akan rusak. Karena itu saya jadi iri sekali pada ayah saya karena dia tidak perlu susah-susah mencari orang yang mau dibegitukan. Rasa iri yang membuat saya semakin benci saja pada keduanya."

"Apakah mereka tidak menyadari perasaan Anda itu?"

"Kelihatannya tidak. Mungkin mereka pikir itu bagian dari proses menjadi dewasa. Ada baiknya juga. Kalau mereka tahu apa yang terjadi pada saya, mungkin mereka terkena serangan jantung."

"Apakah kegiatan seksual Anda itu tidak mempengaruhi pelajaran sekolah? Waktu itu Anda tentunya masih duduk di sekolah menengah."

"Saya belajar seadanya saja. Tapi lumayan juga. Bisa naik terus dan bisa lulus."

"Sesudah itu sekolah di mana?"

"Kuliah di Teknik Mesin PTS. Tapi cuma sampai sarjana muda. Lalu saya disuruh ayah

saya untuk masuk ke perusahaannya."

"Ketika orangtua Anda meninggal karena kecelakaan pesawat, sedihkah Anda?"

"Tidak."

Jawaban spontan itu membuat Hilman tertegun. Mandar sangat terbuka dan terus terang.

"Mereka beruntung karena mati berdua dan cepat. Coba kalau kena penyakit, misalnya."

"Oh. itu alasan Anda tidak bersedih?"

"Ah, saya sudah terlalu lama membenci mereka."

"Tapi alasan Anda membenci mereka karena kegiatan seksual mereka saja, kan? Tidakkah terpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu karena suka sama suka dan dalam ikatan suami-istri? Ayah atau ibu Anda tidak melakukannya dengan orang lain."

"Ya, saya tahu maksud Dokter. Mereka berhak saja melakukannya, tapi kenapa begitu ceroboh hingga bisa diintip oleh anak mereka?"

"Jadi Anda menyalahkan mereka juga untuk situasi dan kondisi yang Anda hadapi."

"Entahlah. Yang jelas, saya membenci mereka karena saya jadi peniru mereka dan menikmatinya. Saya membenci mereka karena tidak

bisa seperti mereka. Untuk menikmati hal itu saya harus susah payah mencari pasangan. Padahal mereka bisa sepenuhnya berada dalam privasi."

"Sepertinya masalah seksual sangat mendominasi pikiran Anda sehingga Anda melupakan sisi lainnya dari orangtua Anda. Sebagai anak satu-satunya bukankah Anda sangat disayang? Tidak berkesankah kasih sayang mereka itu bagi Anda? Padahal Anda sendiri bilang betapa manjanya Anda kepada Ibu. Kemanjaan itu timbul karena disayang, bukan?"

"Saya ini seorang maniak, Dok. Pengaruh seks terlalu besar buat saya."

"Pada saat itu tidakkah terpikir oleh Anda untuk mencari pertolongan atau terapi?"

"Tidak. Buat apa? Saya malah senang kok."

"Jadi Anda tidak punya keinginan untuk menjalani kehidupan seks normal tanpa kesadisan?"

"Oh, tidak."

"Pada awalnya Anda cuma menggigit dan menyakiti, kenapa meningkat jadi membunuh?"

"Mulanya saya tidak mau membunuh, tapi perempuan itu mengancam saya. Dia memang

orang pertama yang saya bawa ke rumah. Biasanya saya melakukannya di tempat lain, tapi karena ada di antaranya yang menjerit kesakitan hingga membawa masalah, maka saya pikir tempat aman adalah di rumah. Ternyata di rumah pun ada masalah lain lagi. Katanya, dia akan bilang-bilang sama tetangga orang macam apa saya ini. Padahal saya sudah membayarnya cukup mahal. Saya tidak takut pada mulanya. Silakan saja, kata saya. Toh tetangga juga nggak peduli. Sebaliknya, orang akan tahu perempuan macam apa dia itu. Lalu dia ngomong lain lagi. Katanya, dia akan menyebarluaskan alamat saya sebagai tempat tinggal maniak seks. Ujung-ujungnya dia ingin duit lebih banyak lagi. Dia memeras saya. Seandainya saya berikan, sampai berapa lama bertahan? Suatu saat dia akan minta lagi. Saya benar-benar nggak mikir risikonya bisa seperti itu. Saking marahnya saya cekik dia sampai semaput. Kemudian saya lemparkan dia ke ruang bawah. Dia adalah korban yang pertama."

"Tunggu. Anda bilang, Anda mencekiknya sampai semaput lalu melemparkannya ke bawah. Apakah itu berarti dia belum mati pada

saat itu?"

"Memang belum," sahut Mandar enteng. Wajahnya tanpa emosi.

"Saya dengar dia berteriak-teriak di bawah. Tak begitu keras suaranya karena ruangannya memang serba tertutup. Lalu dia juga menggedor-gedor pintu."

"Anda biarkan saja?" tanya Hilman dengan bulu roma berdiri.

"Tentu saja. Kalau saya angkat dia, ngomongnya bisa lebih galak lagi dong. Dia bisa melaporkan saya. Biarin aja. Toh lama-kelamaan suaranya nggak kedengaran lagi."

Hilman bergidik.

Tapi Mandar melanjutkan ceritanya yang mengerikan.

"Dok tahu? Suara meraung dan merintih itu lama-lama memberikan sensasi yang luar biasa menyenangkan bagi saya. Mula-mula saya menjauh dari ruang belakang supaya tidak perlu mendengar suara-suara itu. Tapi ada daya tarik yang kuat supaya saya kembali ke sana dan mendengarkan. Mumpung masih terdengar."

Sambil berbicara Mandar memejamkan matanya, seakan mencoba mengingat kembali.

Hilman merasa begitu ngilu sampai tak bisa

berbicara.

"Korban kedua dan seterusnya lebih sensasional lagi, Dok," Mandar melanjutkan, tak peduli akan reaksi Hilman.

"Jeritan mereka lebih mengerikan karena mereka melihat di situ sudah ada penghuni sebelumnya yang akan jadi teman mereka untuk seterusnya. Ha ha ha!" Ia tertawa seolah hal itu merupakan sesuatu yang lucu.

"Sudah! Hentikan!" seru Hilman dengan napas sesak. Tiba-tiba sosok Mandar berubah menjadi monster di matanya.

Mandar cemberut.

"Tadi saya disuruh cerita," gerutunya.

"Baik." Hilman mengatur napasnya.

"Sadarkah Anda hukuman berat menanti Anda?"

"Oh, tentu saja. Mungkin saya akan dihukum mati. Lebih baik begitu daripada dipenjara seumur hidup. Saya toh sudah puas dengan segala kenikmatan."

"Pernahkah terpikir bahwa perbuatan seperti itu tak mungkin bisa Anda lakukan terus-menerus tanpa ketahuan?"

"Nggak. Ngapain mikir-mikir begitu? Bukankah orang juga tak akan hidup selamanya?"

"Barangkali di bawah sadar Anda sendiri, Anda sudah bosan dengan perbuatan itu hingga ceroboh membiarkan pintu ruang bawah tanah itu menganga?"

"Saya tidak ceroboh. Itu cuma omongan si Yanto saja. Pasti dia yang korek sana-sini."

"Saya heran juga. Anda kok membiarkan dia membersihkan rumah tanpa pengawasan, padahal risikonya begitu besar."

"Saya percaya dia. Pernah saya intip pekerjaannya. Dia tak pernah mencuri."

"Ternyata kepercayaan Anda itu salah. Anda menyesal?"

"Ah, nggak," sahut Mandar enteng.

"Saya bukannya salah, tapi sial. Mungkin sudah saatnya saya berhenti."

"Anda nggak pernah mikir penderitaan korban Anda?"

"Nggak," sahut Mandar tanpa emosi.

"Ada alasannya?"

"Biarpun ini kehidupan modern, di dunia ini tetap berlaku hukum rimba. Yang kuat menghancurkan yang lemah. Caranya saja berbeda-beda. Manusia itu ada yang serigala, ada

yang domba, tapi ada juga yang setengah-setengah. Saya tergolong serigala. Ha ha ha!"

Selama beberapa hari sesudah itu Hihnan tak bisa tidur. Cerita Mandar itu menghantui pikiran dan perasaannya. Sering kali ia tertidur dengan mimpi buruk. Semuanya mimpi mengenai horor di ruang bawah tanah rumah Mandar.

Ia perlu waktu untuk memulihkan dirinya. Ia sadar tak boleh membiarkan dirinya dikuasai perasaan seperti itu karena bisa kehilangan kekuatannya. Tanpa kekuatan mana mungkin ia bisa jadi seorang penyembuh. Hal itu juga yang mendorongnya menyelidiki Mandar lebih jauh. Segala sesuatu mengenai Mandar jadi menarik. Ia memang tak bisa memahami, tapi bisa mengetahui.

***

RIMA memperlihatkan buket bunga mawar merah tua kepada Amarilis.

"Indah ya, Bu?"

"Ya. Dari siapa, Sus?" tanya Lis, menatap ke arah kartu yang terselip di sana.

"Sebentar."

Rima meletakkan buket di atas meja lalu mencopot kartu dan menyerahkannya kepada Lis.

Semoga lekas sembuh dan salam manis dari Adrian.

Kata-kata itu membuat Lis termenung. Ia sempat melupakan kehadiran Rima yang pura-pura mematut-matut buket mawar di atas meja dan menciumi bunganya, sambil diam

diam memperhatikan wajah Lis. Setelah Lis bergerak baru ia bicara.

"Yang mengantar masih menunggu tuh, Bu," katanya pelan. Datar saja.

"Oh." Lis terkejut.

"Memangnya belum ditanda tangan?"

"Yang bawa itu Pak Adrian sendiri, Bu. Dia ingin ketemu Ibu sebentar saja kalau Ibu berkenan."

Rima mengatakannya selembut mungkin. Kalau Lis bersedia bertemu dengan Adrian, dia bisa dianggap berjasa.

Lis berpikir sebentar. Tatapannya tertuju ke buket mawar di atas meja depannya. Memang indah sekali, pikirnya. Tak ada yang membawakan bunga untuknya selain Adrian. Tapi buat apa? Kejadian yang dialaminya sekarang toh bukan sesuatu yang pantas untuk dirayakan. Kebebasan yang sempat dirasakannya bukanlah sesuatu yang menggembirakan. Tapi bunga itu memang indah, bisa menyentuh perasaan yang sedang galau. Dan harumnya sudah memenuhi ruangan. Sebenarnya, tak ada salahnya berbaik-baik kepada orang lain. Tapi bukankah itu sama artinya dengan memberi hati? Kalau

sekarang diberi-hati, besok dia minta jantung!

"Bagaimana, Bu?" tanya Rima, berusaha tidak kedengaran mendesak.

"Baiklah. Sebentar saja," kata Lis akhirnya

Rima tersenyum gembira sambil melangkah keluar.

Biar saja dia minta jantung, pikir Lis. Kalau tidak diberi kan tidak bisa memaksa, apalagi mengambil sendiri!

Cepat sekali Adrian muncul. Ia tersenyum, mengangguk sopan, lalu berdiri dengan sikap gugup. Meskipun sudah memikirkan sebelumnya, ia bingung juga harus berkata apa. Mengucapkan selamat sepertinya tidak cocok. Ia takut salah bicara. Tapi melihat tatapan Lis yang diam saja, seolah menunggu, menyadarkannya bahwa ia harus bicara.

"Kau... kau baik-baik saja, Lis?" ia bertanya dengan memberanikan diri.

Lis tersenyum. Ia merasa geli melihat sikap Adrian.

"Ya, baik. Silakan duduk. Terima kasih untuk bunganya," ia menyahut sambil menunjuk kursi.

Bukan kepalang leganya perasaan Adrian. Ia segera duduk.

"Kau tahu dari mana tentang aku?" tanya

Lis.

"Sebelumnya aku sudah tahu kau selalu periksa rutin ke sini. Jadi aku menelepon ke sini bertanya tentangmu."

"Suster Rima yang memberitahu?"

"Ya. Apakah dia ngomong begitu?"

Lis mengangguk.

"Rupanya dia kenal dekat denganmu, ya?"

"Ah, kenalnya kebetulan saja."

"Dia memberimu segala info tentang aku kepadamu, bukan?"

Adrian terkejut.

"Apakah menurutmu itu tidak benar? .Jangan marah kepadanya, Lis. Akulah yang terus-terusan mencecarnya dengan pertanyaan tentangmu. Mau tak mau dia terpaksa menjawab."

"Aku heran buat apa kau tahu macam-macam tentang diriku?"

"Aku simpati dan empati padamu."

"Huh." Lis mendengus.

"Simpati dan empati? Mana mungkin kau bisa begitu?"

"Bisa saja."

"Bisa? Tahu apa saja kau tentang aku?"

Lis membelalakkan matanya dengan tatap

menyelidik. Adrian sadar, ia harus hati-hati berbicara. Rupanya Lis bukanlah orang yang bisa menerima begitu saja penjelasan orang.

"Aku aku sebenarnya tidak tahu, cuma mengira-ngira saja."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang kauperkirakan?" tanya Lis, agak galak. Terkesan interogatif.

"Maaf kalau perkiraanku salah, Lis. Kupikir kau jadi korban lelaki tidak bertanggung jawab."

"Tidak bertanggung jawab bagaimana?" desak Lis.

"Maaf, Lis. Kau melahirkan tanpa suami. Itu saja yang kutahu."

"Tahu dari Rima?"

"Oh, tidak. Dia cuma memberitahu bahwa kau sudah melahirkan."

Lis menatap tak percaya.

"Bagaimana kau biSa tahu kalau tak diberitahu?"

"Tidak sulit memperkirakannya. Kau mengaku sakit lalu mengundurkan diri dari perusahaan. Tapi kemudian kau hamil dan melahirkan. Terakhir aku menemuimu aku sudah melihat perubahan pada dirimu."

"Lalu kau membuntuti aku terus. Mau apa

sebenarnya? Apa sekarang kau mau membawa kabar ini kepada semua orang termasuk mantan bosku?" tanya Lis kesal. Dia dan keluarganya sudah susah payah berusaha menyembunyikan keadaannya. Tahu-tahu orang satu ini, bisa mengetahui tanpa mengalami kesulitan.

Adrian terkejut.

"Jangan marah, Lis. Aku tidak bermaksud begitu. Sungguh. Berani sumpah. Aku melakukannya karena simpati dan empati semata. Bukan lainnya. Buat apa? Tak ada untungnya untukku, kan? Kau bukan selebriti atau artis yang skandalnya bisa kujual kepada tabloid murahan. Siapa pula yang mau mendengarkan ocehanku?"

Lis merasakan kebenaran kata-kata itu. Dia sudah bersikap berlebihan.

"Maaf aku bersikap kasar, Mas ," katanya melunak tapi masih kesal.

"Panggil saja Ian," potong Adrian.

"Ya, baik. Tapi terus terang saja, pada saat ini aku sungguh tidak ingin menerima simpati dan empati dari orang di luar keluargaku. Trauma yang kualami terlalu berat. Aku cuma ingin sendirian. Tolonglah pahami."

"Aku mengerti. Tentu aku tidak berhak

memaksa mendekati orang , yang tidak mau didekati. Tapi sekali lagi kutegaskan aku tidak berniat buruk. Semata-mata karena simpati saja."

"Terima kasih kalau begitu."

"Sekarang kau memang ingin sendiri. Tapi nanti pada suatu_saat kau mau lagi bersosialisasi, kan?"

"Entahlah."

"Ya, kau memang belum tahu jawabannya sekarang. Tapi maukah kau menghubungi aku bila kau sudah mau berteman? Bolehkah aku menelepon atau bertemu kapan-kapan?" tanya Adrian penuh harap.

Lis menatap Adrian yang menampakkan ekspresi harap-harap cemas. Ia merasa kasihan meskipun pada saat bersamaan ia sadar tak boleh bersikap lemah. Banyak temannya mengatakan, lelaki adalah makhluk yang pintar memanfaatkan kesempatan dalam menghadapi lawan jenisnya

"Ya, ya. Tapi sebaiknya jangan terlalu berharap."

Adrian berdiri. Ia merasa harus tahu diri. Bagaimanapun hasil yang sudah diperolehnya

sekarang sudah cukup bagus. Ia harus tahu kapan harus maju dan kapan harus mundur.

"Terima kasih, Lis. Kuharap kau cepat pulih, baik fisik maupun psikis," katanya dengan sungguh-sungguh.

"Terima kasih juga, Ian. Maafkan aku kalau bersikap kasar."

"Tidak apa-apa. Aku mengerti. Mari, Lis."

Adrian membungkuk lalu melangkah pergi. Ia tersenyum senang karena Lis mau memanggil namanya. Ia juga bangga karena yakin pendekatannya tepat.

Lis mengarahkan tatapannya kepada bunga mawar di atas meja. Tiba-tiba ia jadi sedih karena merasa dirinya tidak utuh lagi. Bukan cuma karena kerusakan pada hsiknya, tapi juga kejiwaannya. Ia sulit berpikir positif tentang orang lain, dan mungkin juga paranoid.

Adrian mencari Rima.

"Terima kasih untuk bantuan Sus Rima," katanya. Ia menyisipkan amplop yang sudah dilipat ke dalam tangan Rima setelah yakin situasi sepi.

"Ah, itu sih nggak seberapa," sahut Rima tersipu sambil memasukkan amplop ke dalam

saku seragamnya.

"Saya juga terima kasih, Mas."

Adrian tersenyum. Uang selalu menolong.

"Apakah saya boleh melihat bayi itu, Sus? Sebentar saja."

Permintaan itu tidak berat untuk dipenuhi Rima. Ia mengajak Adrian ke kamar bayi. Di sana. Adrian disuruh menunggu di balik dinding kaea. Ia sendiri masuk. mengenakan jubah menutupi seragamnya dan menutup mulutnya dengan masker. Lalu ia mengambil salah satu bayi dari boksnya dan memperlihatkannya kepada Adrian.

Bagai terpesona Adrian mengamati bayi itu. Ada perasaan aneh yang menyelimutinya saat ia memandanginya. Bayi itu cakep dengan hidung mancung dan rambut hitam tebal. Matanya masih terpejam hingga tak kelihatan besar-kecilnya. Tapi Adrian tak bisa menemukan adanya persamaan, baik dengan Lis maupun dengan Mandar.

Cukup lama Adrian memandanginya sampai Rima merasa tak sabar. Ia memberi tanda dengan ketukan pada kaca. Adrian mengangguk dengan malu. Ia sudah lupa diri.

Rima keluar dan tersenyum.

"Dia cakep sekali, bukan?"

"Ya, Sus."

"Pasti akan banyak sekali yang naksir. Biasanya orang yang mau mengadopsi mencari bayi yang cakep. Biasalah."

Adrian terkejut sekali mendengarnya.

"Apakah besok lusa orang sudah boleh mengambilnya?" tanyanya cemas.

Rima tersenyum menenangkan.

"Oh, nggak dong. Bayi ini masih terlalu kecil. Paling-paling orangtua yang berminat memesannya lebih dulu, lalu mengambilnya sesudah berusia dua-tiga bulan. Mereka khawatir tak bisa mengurus. Nanti biaya pemeliharaannya mereka yang bayar."

"Memesan? Kayak pesan barang begitu?"

"Yah, begitulah istilahnya. Di sana itu juga ada bayi yang sudah dipesan orang. Surat-suratnya lagi diurus. Jadi sekalian menunggu proses berlangsung."

"Oh, begitu," sahut Adrian setengah mengeluh. Rima mengamati wajah Adrian.

"Memang sayang, bukan?"

Adrian terkejut.

"Sayang apaan, Sus?"

"Bayi secantik itu diambil orang lain."

"Ya, memang. Tapi mau apa lagi? Bayi itu terlalu kecil untuk bisa memutuskan sendiri."

"Tampaknya Mas menyukainya. Saya lihat dari cara Mas memandang tadi."

"Ya. Mungkin karena dia cakep."

Rima tidak mempercayai alasan itu, tapi merasa tidak berhak bertanya. Lebih baik tidak terlibat terlalu dalam dengan masalah pribadi orang lain yang bukan urusannya.

"Siapa nama anak itu, Sus?"

Rima tertawa.

"Ya, dia memang harus segera diberi nama. Tapi kami belum mendapatkannya. Mungkin nanti malam kami akan merundingkan. Barangkali Mas punya usul?"

"Ada, Sus," sahut Adrian bersemangat."Begitu saja muncul dalam pikiran saya. Yaitu Darman!"

"Wah, boleh juga, tuh," komentar Rima, sekalian mengambil hati.

"Nanti saya usulkan pada Dokter Anwar. Biasanya sih kami nggak cerewet cari nama. Yang penting nggak aneh dan jelek didengar."

Adrian mengangguk. Tentu saja orang-orang

di klinik ini tak mau bersusah payah mencari nama buat bayi-bayi yang kelak akan diambil orang. Yang penting mereka punya nama sebagai identitas untuk dibedakan satu dengan yang lainnya. Tapi mereka tentu tidak tahu bahwa ia punya alasan sendiri dengan nama pilihannya itu. Darman adalah kebalikan dari Mandar!

"Terima kasih, Sus. Ada satu hal lagi Bila suatu saat bayi itu diambil orang, maukah Sus memberitahu saya?"

Rima ragu-ragu sejenak. Selama kariernya di klinik itu ia belum pernah terlibat sejauh itu dengan pasien. Memang tidak ada larangan untuk memberitahu hal itu, tapi perasaannya sendiri yang mengatakan sebaiknya tidak meluluskan permintaan itu. Ia tidak tahu siapa Adrian sebenarnya dan apa motivasi permintaannya itu.

"Kalau saja saya punya istri, pastilah saya yang mengambilnya, Sus. Tapi sebagai bujangan, mana mungkin saya diperbolehkan," kata Adrian dengan nada membujuk.

"Lantas buat apa Mas tahu? Ibunya sendiri tidak mau tahu."

"Justru karena itulah, Sus. Saya bermaksud baik. Barangkali saya bisa ikut mengawasinya diam-diam dan menolong kalau dia membutuhkan. Ya, siapa tahu."

"Oh, begitu." Rima mengamati wajah Adrian dengan tajam, lalu memberanikan diri untuk bertanya,

"Maaf ya, Mas. Saya perlu bertanya dulu. Apakah Mas ayah bayi itu?"

Adrian tertegun sejenak, lalu ia tertawa.

"Tentu saja bukan. Saya baru kenal Lis setelah dia mengandung."

"Barangkali Mas tahu siapa bapaknya?"

"Tidak,"sahut Adrian cepat. Ia sudah siap dengan pertanyaan itu.

Rima cukup puas.

"Baiklah. Nanti saya bantu."

"Oh, terima kasih, Sus." Dengan gembira Adrian berlalu. Di belakangnya Rima memandangi dengan perasaan heran. Dia baru tahu ada lelaki seperti Adrian. Biasanya, lelaki tidak begitu peduli dengan bayi, kecuali bayinya sendiri yang memang diinginkannya. Seandainya Adrian memang jatuh cinta pada Lis, kenapa ia harus peduli pada bayi yang merupakan hasil hubungan Lis dengan lelaki lain? Bukankah Lis

sendiri tidak menghendaki bayi itu? Dan bila kelak Lis menerima Adrian menjadi suaminya, bukankah lebih baik bila Adrian konsentrasi kepada anaknya sendiri bersama Lis?

Rima merasa ada yang tidak logis. Tapi ia pusing sendiri memikirkannya. Buat apa ikut campur urusan orang lain?

Di halaman parkir Adrian melangkah menuju mobilnya. Ia bersiul-siul dan tersenyumsenyum. Tapi kegembiraannya segera lenyap setelah ia berpapasan dengan Anas Darwin, ayah Lis! Anas yang disertai Hilman juga terkejut melihat Adrian. Keduanya sempat terbelalak saling menatap sebelum bereaksi.

Adrian segera membungkuk hormat.

"Selamat sore, Pak," ia menyapa.

Anas sulit menyembunyikan kecemasannya."Sore. Dari mana, Mas?"

"Oh... eh saya habis menjenguk kenalan. Mari, Pak? Saya permisi pulang," kata Adrian dengan gugup. Tanpa menunggu jawaban ia melangkah cepat-cepat, terus masuk ke mobilnya dan segera melaju pergi. Dari kaca spion ia bisa melihat bagaimana Anas berdiri mematung memandanginya. Anas masih saja bengong

sampai lengannya ditarik Hilman.

"Siapa anak muda itu, Pak?

Kok Bapak sepertinya kaget sekali melihatnya," tegur Hilman.

"Dia pernah dua kali ke rumah," jelas Anas, lalu menceritakan perihal Adrian seperti yang diketahuinya.

"Lantas kenapa Bapak kaget?"

"Saya khawatir dia ke sini untuk menjenguk Lis. Bagaimana dia bisa tahu tentang Lis?"

"Tenang, Pak. Mungkin dia menjenguk orang lain."

"Tapi..."

"Sudahlah. Kepastian kan bisa ditanyakan kepada Lis nanti."

Perkataan itu membuat Anas melangkah lebih cepat. Hilman mengejar.

"Pak! Pak! Jangan terlalu buru-buru menanyakan hal itu kepada Lis. Berikan dulu perhatian kepada kesehatannya. Ingat, saat ini dia sedang peka. Bersabarlah."

Anas tertegun lalu menghentikan langkahnya. Ia menghela napas panjang.

"Terima kasih sudah diingatkan, Pak. Saya kok lupa, ya."

Hilman menepuk pundak Anas. Sebenarnya ia juga terkejut melihat Adrian. Sepertinya ia pernah melihat Adrian di persidangan Mandar! Mungkin saja ia salah lihat. Orang terlalu banyak dan pandangannya tentu tak bisa fokus kepada setiap wajah. Tetapi yang jelas Anas tak pernah melihatnya di situ. Kalau memang melihat, tentu dia tadi mengatakannya dan karenanya dia bisa lebih cemas lagi.

Tetapi Hilman tidak mau menyampaikan dugaannya itu. Ia mungkin saja salah. Apalagi kecemasan Anas bisa berlebihan.

ADRIAN mengemudikan mobilnya dengan tangan masih gemetar. Jantungnya masih berdebar kencang. Tadi ia bukan saja terkejut melihat Anas, tapi juga Hilman. Ia selalu menghadiri setiap persidangan Mandar, jadi tahu persis siapa Hilman. Dia adalah saksi ahli yang memeriksa kejiwaan Mandar dan kemudian memberi kesimpulan bahwa Mandar bisa bertanggung jawab penuh atas perbuatannya dan karenanya dia tidaklah gila. Yang dikhawatirkannya adalah kalau-kalau Hilman pernah melihatnya di ruang itu.

Satu hal yang disyukuri Adrian adalah ia tak pernah diajukan sebagai saksi karena hubungan kekerabatannya dengan Mandar. Cuma dia satu-satunya saudara terdekatMandar. Keterangan yang diberikannya bisa tidak objektif karena ia tidak disumpah.

Dengan demikian Adrian bisa tetap menyembunyikan identitasnya dan hubungannya dengan Mandar dari publik. Ia sadar akan kemungkinan keluarga Lis ikut menghadiri ruang sidang padahal dirinya sudah cukup dikenal oleh orangtua Lis karena pernah datang ke rumah mereka. Jadi ia cukup berhati-hati bila datang ke sidang. Duduknya selalu di belakang atau di sudut di antara orang banyak. Tetapi yang pernah dilihatnya hanyalah Anas, yang memilih duduk di depan.

Ia cemas kalau-kalau Hilman pernah melihatnya lalu menceritakannya kepada Anas. Kemudian Anas pasti bercerita tentang dirinya dan hubungannya dengan Lis. Apalagi kedatangannya ke klinik pasti akan dikonfirmasikan kepada Lis. Ia akan dicurigai punya hubungan dengan Mandar atau ada sesuatu keterkaitan antara dirinya dengan Mandar. Padahal ia harus menghindari hal itu. Setidaknya pada saat ia mulai berusaha membina hubungan dengan Lis.

Masih ada, yang mengganggu pikirannya. Ada hubungan apa antara Hilman. dan Anas?

Apakah Hilman tahu bahwa Lis, putri Anas, adalah. korban Mandar yang hidup, bahkan menghasilkan anak darinya? Mungkinkah mereka punya ikatan keluarga? Patutkah Hilman, sebagai seorang yang pernah jadi saksi ahli, tidak melaporkan kasus yang menimpa Lis itu?

Menilik hal-hal itu sepantasnya bila ia lebih berhati-hati. Optimismenya untuk mendapatkan Lis jadi berkurang. Bahkan suara hatinya mengatakan agar ia menghentikan saja usahanya itu. Mustahil fakta bahwa dirinya adalah sepupu Mandar bisa disembunyikan terus. Pada suatu saat bisa saja ketahuan. Jadi sebaiknya alihkan saja perhatian kepada gadis lain. Masih banyak yang lain. Seperti yang dikatakan Mandar, itu tidak akan sulit baginya. Sekarang dia sudah kaya.

Tetapi ia merasa sudah telanjur jatuh cinta kepada Lis. Ia tidak mungkin bisa melupakannya. Ia akan terus berupaya sampai final. Ia akan membuktikan kepada Lis dan keluarganya bahwa dirinya pantas diterima.

Anas masuk lebih dulu ke kamar Lis. Untuk sementara Hilman menunggu di luar.

"Papa!" seru Lis sambil tersedu dalam pelukan ayahnya.

"Sudah, sudah." Anas menepuk-nepuk punggung Lis.

"Papa senang kau baik-baik saja. Itulah yang terpenting. Jangan sedih lagi. Ke mana Mama dan Tante?"

"Mereka pulang sebentar."

"Kok dua-duanya? Bukan bergiliran." Anas mengerutkan kening. Ia tak senang dengan kenyataan bahwa Lis ditinggalkan sendirian. Padahal ada si Adrian tadi.

"Saya yang suruh, Pa. Ada yang mau diambil di rumah. Sebentar kan mereka menginap lagi di sini. Biar saja. Kan saya nggak apa-apa. Gimana vonisnya, Pa?"

"Mati!"

"Syukurlah." Lis mengelus dadanya.

"Sudahlah. Jangan mikirin iblis itu lagi. Bikin panas hati saja."

"Tapi saya ingin tahu, Pa. Gimana reaksinya saat dijatuhi vonis mati?"

Anas tak begitu senang menceritakannya. Tapi keingintahuan Lis itu pasti tak mungkin

diredam.

"Dia tenang-tenang saja tuh. Sama sekali tidak kelihatan kaget, takut, atau sedih. Benar-benar iblis."

"Jadi dia tidak gila, Pa?"

"Tidak. Saksi ahli, seorang psikiater terkenal, yang memastikan begitu. Namanya Dokter Hilman."

"Papa tahu betul rupanya."

"Tentu saja Papa tahu. Papa sudah berkenalan dengannya, bahkan dia ikut dengan Papa ke sini."

Lis terkejut.

"Ikut? Kok nggak ada?" tanyanya sambil mengarahkan pandang ke pintu.

"Dia masih di luar. Papa mau memberitahu dulu supaya kau nggak kaget."

"Mau apa dia ikut ke sini, Pa? Jadi Papa menceritakan kasus saya kepadanya?"Lis agak emosi.

"Sebenarnya begini, Lis. Dia bukan sembarang orang.

Dia ahli jiwa. Sudah biasa baginya merahasiakan kasus kliennya. Dia pun sudah berjanji akan merahasiakan kasusmu. Karena itulah Papa cerita kepadanya. Di samping itu, Papa berharap dia mau memberi terapi untukmu."

"Aduh, Papa ini gimana sih!" seru Lis dengan kesal.

"Saya kan nggak apa-apa. Saya cuma perlu waktu saja untuk pulih. Kayak luka aja kan begitu. Jangan nambah orang yang tahu, Pa. Biarpun dia ahli."

Anas menatap Lis dengan kecewa. Reaksi Lis itu di luar dugaannya.

"Lagipula bayarnya kan mahal, Pa? Kita sudah mengeluarkan uang cukup banyak.

"Dia tidak mau dibayar."

"Ha? Mana ada orang begitu baik. Apalagi dia profesional. Pasti ada udang di balik batu. Tahu-tahu kasus saya dipublikasikan olehnya. Jangan percaya sembarang orang, Pa. Pasti ada alasannya kenapa dia mau membuang waktu untuk ikut Papa ke sini. Orang seperti dia pasti sibuk sekali. Jadi dia ingin sekali melihat satusatunya korban Mandar yang masih hidup, karena yang lain sudah jadi mayat. Dia ingin melengkapi penelitiannya tentang Mandar."

Anas tertegun. Dia merasa seperti tertampar. Kalau dugaan Lis itu benar, betapa bodohnya dia. Tapi dia tak ingin mempercayai, prasangka putrinya itu. Tentu Lis berkata begitu karena belum mengenalnya.

"Dia sudah berjanji, Lis," katanya lesu.

Lis menatap ayahnya dengan iba. Meskipun masih kesal, tapi ia tahu maksud ayahnya sangat baik.

"Pa," katanya dengan nada lembut.

"Saya bukan melecehkan usaha Papa. Tapi kita harus belajar untuk berhati-hati. Manusia itu tak bisa diduga hatinya. Tampang suci pun bisa saja iblis. Kayak si Mandar itu!"

"Jadi kau tidak mau bertemu dengan Dokter Hilman, Lis?" tanya Anas kecewa.

"Nasi sudah jadi bubur, Pa. Dia sudah telanjur tahu. Kalau dia disuruh pergi tanpa bertemu dengan saya, dia bisa penasaran. Orang penasaran itu berbahaya, Pa. Bisa nekat."

Anas tertegun-tegun. Alangkah banyaknya teori Lis yang sedikit pun tak pernah terpikir olehnya.

"Maafkan Papa, Lis."

"Sudahlah, Pa. Suruh dia masuk dan ketemu saya. Tapi biarkan saya berdua saja dengannya, Pa."

"Lalu kau mau bicara apa?" tanya Anas khawatir.

"Sava belum tahu. Pa. Lihat nanti saja. Ide

akan keluar begitu melihat dan mendengarnya. Apa dia kira saya ini bodoh mau mengeluarkan semua isi hati kepadanya? Ahli sih ahli, tapi dia tetap manusia!" kata Lis dengan sengit.

Anas tambah cemas. Timbul sesalnya karena telah mengajak Hilman. Sungguh di luar persangkaannya bahwa Lis akan bereaksi seperti itu.

"Baiklah. Papa akan keluar sebentar, ya."

Begitu ayahnya melangkah ke pintu, Lis segera duduk dan meraih cermin kecil di laci meja sampingnya, berikut bedak dan sisir. Ia benar-benar melupakan rasa sakit dan mulas perutnya yang masih terasa. ia tidak ingin tampak semrawut di mata sang ahli jiwa.

Begitu kembali berhadapan dengan Hilman,. Anas merasa Sulit mempercayai semua teori Lis tadi. Justru putrinya itu tengah terganggu. Memang sebaiknya tidak mempercayai sembarang orang, tapi Hilman bukan sembarang orang. Justru mencurigai semua orang juga tidak baik.

Tapi ia menyampaikan pendapat Lis tadi dengan terus terang kepada Hilman.

Hilman tidak tersinggung.

"Saya paham, Pak. Wajar kalau dia bereaksi begitu. Tapi saya

kira itu ada segi positifnya. Dia memperlihatkan perlawanan dan punya inisiatif."

"Silakan masuk saja, Pak."

"Tenang saja, ya Pak. Saya akan hati-hati menghadapinya. Oh ya, apakah Bapak sudah cerita soal Adrian yang kita lihat tadi?"

"Belum sempat."

"Itu kita tunda saja."

Sebelum Hilman sempat masuk, muncul dua perempuan. Mereka adalah Fetty dan Hani, ibu dan bibi Lis. Mereka segera diperkenalkan kepada Hilman oleh Anas. Lalu Anas mengajak keduanya ke ruang tunggu lebih dulu pada saat Hilman memasuki kamar Lis. Di sana Anas bisa bercerita dengan leluasa, dan tidak mengganggu Hilman dan Lis.

Hilman merasa agak surprise melihat Lis. Perempuan muda itu tampak cantik dan segar. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya berbedak tipis, juga bibirnya diolesi lipstik warna lembut. Dia sama sekali tidak kelihatan seperti seorang perempuan yang belum lama melhirkan anak pertamanya

Hilman mengulurkan tangannya, yang disambut tanpa ragu oleh Lis yang kemudian

menyilakannya duduk. Aku tidak ingin kelihatan paranoid olehnya, karena dia sedang menilaiku.

"Saya Dokter Hilman. Pak Anas sudah cerita tentang saya?"

"Oh ya, sudah. Katanya Anda mau berkenalan dengan saya. Rupanya Papa juga sudah cerita semua tentang diri saya," kata Lis sambil mengamati wajah Hilman dengan tatapan selidik. Jangan dikira cuma dia yang mengamati dan mempelajari diriku. Aku pun berlaku sama kepadanya supaya dia tidak merasa sok. Memang sih tampangnya simpatik dan kebapakan. Tipe orang yang gampang membuka mulut orang. Tidak heran kalau Papa menumpahkan cerita seperti air dari mulutnya. Aku sendiri tidak akan segampang itu. Coba saja kalau bisa.

Lis tersenyum sendiri saat pikirannya berjalan. Dan senyumnya tambah lebar menyadari kekikukan Hilman. Pasti dia tidak biasa ditatap seperti itu oleh pasiennya, karena kebalikannyalah yang terjadi.

"Ya. Ceritanya merupakan empati dan kecemasan seorang ayah. Dia tidak akan melakukan hal itu kalau tidak sayang kepada Anda."

"Dan Anda memanfaatkan hal itu," kata Lis agak ketus. Tapi kemudian terkejut sendiri oleh sikapnya.

Hilman menjadi semakin tenang. Ia tersenyum.

"Anda lupa, sebelum dia bercerita, saya kan tidak tahu apa-apa."

"Itu betul. Setelah tahu, Anda menggunakan pendekatan yang jitu yang bisa membawa Anda kepada saya, dengan alasan mengobati saya. Lihatlah, Dok. Saya sudah berhasil mengatasi trauma itu. Saya akan segera pulih."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya tidak bermaksud mengobati Anda, Bu Lis. Saya hanya ingin berkenalan."

"Untuk apa? Saya punya perkiraan, Anda'ingin tahu perempuan dengan penampilan seperti apa sih saya ini sampai-sampai Mandar terkecoh mengira saya" seorang pelacur, bukan? Apakah saya seperti pelacur, Dok?" tanya Lis dengan suara meninggi.

"Mandar sudah sering bermain dengan pelacur, Bu Lis. Pengalamannya banyak. Kesalahannya bukan disebabkan karena penampilan Anda. Tapi karena keyakinannya bahwa banyak orang yang munafik. Yang liar purapura suci. Yang binal pura-pura alim."

"Apakah dia bilang sendiri kepada Anda soal itu?"

"Tidak. Dia tidak pernah bercerita tentang kesalahannya telah menjadikan Anda sebagai korbannya. Yang dia akui hanyalah sebelas orang korban yang berada di ruang bawah rumahnya. Saya kira dia merasa malu dan menyesal karena kesalahan itu. Jadi dia tidak pernah mengatakannya kepada para penyidik dan juga saya. Pasti dia bisa memperkirakan bahwa Anda pun ingin menyimpannya sebagai rahasia karena tidak pernah melaporkan."

"Tidak ada gunanya melaporkan, karena apa yang hilang dari saya tak bisa kembali!" kata Lis ketus.

"Betul sekali. Jadi percayalah. buat saya juga tidak ada gunanya cerita kepada orang lain."

"Tapi mesti ada motivasinya. Tidak mungkin Anda yang sesibuk ini mau jauh-jauh pergi dari Jakarta ke Bandung untuk menemui saya tanpa ada maksud tertentu."

"Betul sekali. Memang ada maksud," Hilman mengakui terus terang.

Lis menyipitkan matanya. Nah, akhirnya dia mengaku. Bukankah ini suatu kemenangan?

"Apa itu? Tadi Anda bilang, tidak bermaksud cerita kepada orang lain." katanya, tak urung khawatir.

"Oh, bukan itu. Anda memang tidak puas dengan penjelasan singkat. Tidak merasa cukup dengan janji. Baiklah. Sesungguhnya saya belum pernah menangani orang seperti Mandar dengan tingkat kekejian yang begitu dahsyat. Saya merasa tergetar membayangkan derita para korbannya. Pendeknya apa yang saya rasakan saat berhadapan dan mendengar pengakuannya belum pernah saya rasakan sebelumnya. Berhari-hari saya tak bisa tidur karenanya. Bahkan sempat saya menyesal kenapa saya yang ditunjuk memeriksa dia. Kenapa bukan orang lain saja. Tapi itu semua sudah terjadi. Biarpun demikian, saya jadi tertarik untuk mempelajarinya. Tentu di mana. mana ada saja orang keji seperti dia. Kita sering mendengar dan membaca beritanya. Tetapi yang satu ini saya hadapi sendiri. Nilainya jadi lain. Karena itulah sewaktu bertemu dan mendengar cerita ayah Anda, saya jadi tertarik dan merasa kasus Anda tak boleh saya lewatkan. Pendeknya segala yang berhubungan dengan Mandar menjadi daya tarik bagi saya. Jadi sekali lagi, maksud saya bukanlah sesuatu yang bersifat gosip sensasional, melainkan segi ilmiahnya. Saya tidak menyimpannya sebagai data yang diarsipkan dengan identitas jelas, tapi cukup di sini saja." Hilman menunjuk dahinya.

Lis mengerutkan keningnya.

"Toh Anda menjadikannya sebagai kepentingan pribadi."

"Bila Anda melihatnya seperti itu, mungkin betul juga. Tergantung dari sisi mana melihatnya."

"Ya. Tapi terus terang saja, Dok. Saya tidak punya sesuatu yang baru yang bisa saya ceritakan kepada Anda, karena semuanya sudah diceritakan oleh Papa."

"Saya tidak minta Anda bercerita. Saya cuma ingin berkenalan dengan Anda. Saya ingin sekali menyatakan simpati dan empati saya. Itu cuma bisa saya lakukan secara langsung, bukan?"

Jadi sudah ada dua orang yang menyatakan simpati dan empati. Gampang sekali kata-kata itu diucapkan. Apakah memang bernilai atau tidak?

"Terima kasih, Dok. Tapi saat .ini saya sungguh tidak membutuhkan simpati dan empati dari siapa pun kecuali anggota keluarga sendiri. Cuma mereka yang bisa sungguh-sungguh merasakan. Bagaimanapun saya tetaplah orang yang merasakan semuanya. Seberat-beratnya mata memandang, tetap saja..."

"Lebih berat bahu yang memikul, bukan?" Hilman melanjutkan ketika Lis menghentikan ucapannya.

"Jadi Anda ingin sesedikit mungkin orang yang memandang Anda, di luar keluarga Anda sendiri. Dalam kesedihan orang selalu ingin sendirian. Dalam kesendirian orang merasa lebih bebas berekspresi. Tak ada batasan untuk berteriak, menjerit, atau menangis. Tapi bila fase itu lewat, orang membutuhkan yang lainya. Ah, saya cuma berteori saja, ya? Saya sudah mengganggu ketenangan Anda. Terima kasih karena Anda sudi berkenalan dengan saya."

Hilman berdiri.

Tapi Lis menatapnya dengan heran. Jadi cuma begitu saja? Tak kusangka ia tidak bersikap mendesak atau sok pintar. Apakah sikapku membuat dia takut? Kalau begitu aku menang dong!

"Jadi Anda sudah puas hanya karena sudah berkenalan dengan saya?" ia merasa perlu menegaskan.

"Ya. Itu sudah melampaui harapan saya."

Tapi kata-kata itu membuat Lis tidak puas. Ia penasaran. Ia tidak percaya.

"Kata Papa, saya bisa konsultasi dan mungkin menjalani terapi pada Anda."

Hilman tersenyum.

"Saya kira itu tidak perlu. Anda begitu tegar dan tabah. Beruntunglah Anda memiliki jiwa yang kuat. Setelah ini saya yakin Anda bisa memulai hidup baru dengan penuh semangat."

Hilman mengulurkan tangannya, yang disambut oleh Lis. Jabatannya terasa kokoh.

Lis terpana. Bukan karena jabatan tangan itu, tapi karena kata-kata yang diucapkan Hilman. Aku serasa ditonjok! Apa benar aku tegar, kuat, dan tabah? Aduh, sepertinya ada ejekan di situ! Tapi ngomongnya sih serius. Ah, justru karena serius itu aku jadi merasa diejek!

Sebelum membuka pintu, Hilman menoleh ke belakang. Lis tidak memandang kepadanya, dan tidak tahu bahwa dirinya dipandangi. sedang termangU. Biarpun dari pinggir tampak

ekspresinya yang murung. Sebenarnya Hilman ingin kembali dan bicara lebih banyak, tapi ia merasa telah bicara cukup banyak. Lebih dari itu akan terlalu banyak. Akibatnya akan melelahkan. Padahal tujuannya berbicara adalah untuk meringankan.

Ia menemui keluarga Anas Darwin di ruang tunggu. Setelah basa-basi sejenak, ibu dan tante Lis segera menuju kamar Lia. Anas menemani Hilman sampai ke tempat parkir.

"Bagaimana reaksinya, Pak?" tanya Anas ingin tahu.

Hilman menceritakan percakapannya dengan Lis.

"Wah, maafkan sikap anak saya, Pak!" seru Anas.

"Tidak apa-apa. Saya pikir sikapnya itu disebabkan karena dia cerdas. Dia menggunakan otaknya. Bukan cuma perasaannya. Dan bagusnya dia tidak apatis. Tapi saya harap Bapak tidak teperdaya oleh sikapnya yang seperti tabah dan kuat itu. Belum tentu di dalamnya sama."

"Jadi bagaimana, Dok?" tanya Anas cemas.

"Jangan khawatir. Dia perlu waktu."

Anas melambaikan tangan, melepas kepulangan Hilman ke Jakarta. Ia berharap akan bertemu lagi dengan Hilman kelak. Mungkin nanti kalau Lis sudah pulih dan kembali ke Jakarta. Beberapa saat kemudian ia teringat akan Adrian. Ia bergegas masuk.

"Dia memang menjenguk saya, Pa," Lis mengakui.

"Itu buket dari dia."

"Bagaimana mungkin dia bisa tahu?"

"Entahlah. Sejak ketemu pertama kali rupanya dia terus memata-matai dan membuntuti saya."

Lis bercerita tentang pertemuannya di tepi empang dengan Adrian.

Anas berpandangan dengan Petty.

"Apakah dia tahu?" tanya Anas.

"Kayaknya sih nggak. Memangnya dia tahu dari mana? Yang jelas tahu kan dokter itu," sahut Lis.

"Hati-hati kalau begitu, Lis," kata Fetty.

"Saya sudah ketusin dia kok. Tapi orang itu kelihatannya ngotot betul. Biarin sajalah."

"Mungkin dia cuma naksir kamu saja," kata Anas.

"Yang penting dia jangan sampai tahu soal Mandar," kata Fetty.

"Tentu saja, Ma!" seru Lis.

"Bagaimana dengan Dokter Hilman?" tanya Anas.

"Apakah dia cukup baik?"

"Kelihatannya begitu," sahut Lis dingin.

Anas tidak berani lagi membicarakan Hilman dengan Lis.

Baru saja keluar dan halaman parkir, tiba-tiba Hilman merasa ada yang kurang. Jauh-jauh dia datang, tapi kalau yang satu itu tidak dipenuhi rasanya tidak lengkap. Ia ingin melihat bayinya Lis!

Sambil berharap tidak berpapasan dengan anggota keluarga Anas, ia masuk lagi ke klinik, mencari kamar bayi.

"Bisa saya bantu, Pak?" tanya seorang perawat.

"Oh, saya ingin melihat bayinya Bu Amarilis Darwin."

"Bapak siapa?"

"Saya kerabatnya."

Seorang perawat lain yang muncul kemudian mengenalinya sebagai orang yang datang bersama Anas. Tidak ada kesulitan lagi baginya.

Dari balik dinding kaca ia mengamati bayi Lis dengan terpesona. Ia yakin, seandainya istrinya masih hidup, pastilah dia jatuh hati lalu menginginkannya. Bayi-bayi, apalagi yang secakep bayi Lis, punya daya tarik bagi kaum perempuan. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah Lis Sempat melihat bayinya itu?

Begitu saja, muncul ide di benaknya.

"Suster, apakah saya bisa bertemu dengan pimpinan klinik?"

"Yang mana, ya? "

"Yang menangani adopsi bayi-bayi ini."

"Oh, Dokter Anwar. Dia juga yang menolong kelahirannya."

Sebagai sesama rekan dokter, keduanya langsung bersikap ramah, dan familiar. Hilman menyerahkan kartu namanya kepada Anwar.

"Saya ingin membicarakan bayinya Lis Darwin, Dok. Begini. Saya punya teman pasangan suami-istri yang usianya empat puluhan, tak mungkin lagi punya anak sendiri. Mereka punya rencana mengadopsi anak. Saya pikir, mungkin mereka tertarik pada bayinya Lis."

"Wah, itu bagus. Anak itu bisa punya orangtua yang baik."

"Tapi saya belum bisa memastikan. Saya harus bicara dulu dengan mereka."

"Baik. Itu gampang. Nanti bayi itu saya amankan dulu dari incaran orang lain sampai ada kepastian dari Anda."

"Terima kasih, Dok. Tapi saya punya satu permintaan. Mohon soal ini jangan diberitahu pada keluarga Anas Darwin. Saya tidak enak kepada mereka."

"Saya kira sebaiknya memang begitu. Mereka sudah melepaskan anak itu dan tidak mau tahu lagi. Bahkan ibunya pun tak mau melihatnya. Kasihan juga, ya?"

Lebih baik begitu daripada menerimanya dengan terpaksa lalu mengasuhnya dengan kebencian. Hamil karena perkosaan itu lebih menyakitkan daripada karena cinta yang dikhianati."

Anwar mengangguk-angguk.

"Betul sekali."

"Saya sendiri juga tidak akan memberitahu siapa orangtua bayi itu kepada calon orangtua

angkatnya nanti."

"Ya. Sebaiknya memang begitu."

Mereka berpisah sambil berjabat tangan.

Ada perasaan lega di hati Hilman ketika meninggalkan tempat itu. Biarpun sambutan Lis tidak bersahabat, tapi ia tidak kecewa.

Ia berharap pasangan suami-istri yang disebutnya tadi, menginginkan anak itu. Kelak anak itu akan punya orangtua yang baik, yang tentunya akan merawatnya dengan baik pula. Ia tidak akan punya orangtua seperti orangtua Mandar.

****

PITA kuning yang melintang di depan pintu gerbang rumah Mandar sudah diangkat. Kunci gembok sudah dikembalikan kepada Adrian yang mendapat kuasa dari Mandar. Sekarang Adrian bisa kembali menggunakan remote control untuk membuka dan menutup pintu gerbang seperti semula. Dia dan Mandar masing-masing memiliki satu.

Sekarang Adrian mengamati rumah itu dengan perasaan gamang. Aneh dan seram. Tapi dia tidak merasa takut. Selama berbulan-bulan rumah itu dibiarkan telantar, sekarang ia sudah tampak kumuh bagaikan rumah tua. Semak belukar tumbuh di halaman, di sela-sela tanaman kering. Taman yang tadinya apik karena diurus dengan baik oleh tangan Mandar sendiri, sekarang menjadi tersia-sia karena pemiliknya

mendekam di balik terali besi.

Adrian menarik napas dalam-dalam lalu membuka pintu rumah. Bau sumpek menyambar hidungnya. Ia segera membuka lebar-lebar semua jendela. Listrik masih menyala. Ia memasang kipas angin supaya udara cepat berganti. Rumah itu memang didesain untuk tidak menggunakan AC.

Sekarang rumah itu cuma memerlukan pembersihan besar-besaran supaya bisa menjadi nyaman kembali. Ia bisa mengerjakannya sendiri. Mungkin perlu waktu seharian atau lebih. Toh rumah itu boleh dikata menjadi miliknya. Tapi ia tidak yakin apakah ia berani membersihkan ruang bawah tanah di belakang rumah. Barangkali bagian itu bisa belakangan saja. Mungkin tidak perlu dibersihkan, melainkan ditutup saja dengan semen. Tapi ia tidak berminat dengan bagian yang satu itu. Ia toh tidak berkepentingan dengan ruang tersebut, meskipun akan terasa seperti duri dalam daging.

Meskipun segan ia pergi ke belakang. Rasanya tidak akan lengkap kalau ia tidak menjelajahi semuanya. Barang-barang dan perabotan serba berantakan dan berdebu. Kondisi

seperti itu disebabkan oleh penggeledahan yang dilakukan petugas dan tak pernah dibereskan lagi. Melihat semua itu ia jadi hilang semangat. Barangkali sebaiknya menyewa tukang pembersih saja. Tapi adakah yang mau melakukannya mengingat rumah itu sudah terkenal sebagai "rumah iblis"?

Pelan-pelan ia melangkah ke belakang. Jantungnya berdebar-debar. Ia yakin dirinya tidak takut, tapi hanya tegang saja. Semakin tegang rasanya ketika bau yang khas menyergap hidungnya. Sudah berbulan-bulan lewat, tapi bau itu masih saja menetap.

Ruang belakang di mana terdapat pintu ke ruang bawah tanah itu kondisinya lebih porak-poranda dibanding ruangan lain. Karpetnya teronggok di sudut. Meja kursi terguling, ada yang patah-patah.

Tiba-tiba kejutan menyergap Adrian hingga ia terjengkang dan jatuh terduduk. Sebabnya, ia melihat pintu ke ruang bawah tanah menganga selebar-lebarnya. Tentu saja baginya itu merupakan pemandangan yang sangat tidak biasa. Ia bisa menerima perabotan yang berantakan, tapi pintu yang ngablak itu pemandangan yang

sangat mengejutkan baginya. Pintu itu bukan sembarang pintu, karena membatasi ruang kematian dengan udara kebebasan.

Keringat dingin membasahi tubuhnya dan sesaat ia rasanya seperti lumpuh. Tatapannya terpaku ke arah lubang pintu. Di bawah tampak gelap. Sepertinya ia melihat ,bayang-bayang putih melayang keluar dari lubang bersama dengan bau menyengat. Ia membuka mulutnya tapi tak ada suara keluar.

Kemudian ia sadar sendiri. Tak ada apa-apa. Logis kalau pintu itu menganga selebar-lebarnya. Pasti dibuka oleh para petugas sibuk mengeluarkan mayat dan kerangka dari dalamnya. Kemudian tak ada yang peduli untuk merapatkannya kembali mengingat masih ada pemeriksaan lanjutan sesudahnya. Akan terasa merepotkan bagi mereka jika harus membuka-menutup berulang kali. Nyatanya perabotan yang berserakan pun dibiarkan saja. Tentu mereka pikir, buat apa capek-capek merapikan kembali "rumah iblis"?

Pelan-pelan ia melangkah ke belakang. Jantungnya berdebar-debar. Ia yakin dirinya tidak takut, tapi hanya tegang saja. Semakin tegang rasanya ketika bau yang khas menyergap hidungnya. Sudah berbulan-bulan lewat, tapi bau itu masih saja menetap.

Ruang belakang di mana terdapat pintu ke ruang bawah tanah itu kondisinya lebih porak-poranda dibanding ruangan lain. Karpetnya teronggok di sudut. Mejakursi terguling, ada yang patah-patah.

Tiba-tiba kejutan menyergap Adrian hingga ia terjengkang dan jatuh terduduk. Sebabnya, ia melihat pintu ke ruang bawah tanah menganga selebar-lebarnya. Tentu saja baginya itu merupakan pemandangan yang sangat tidak biasa. Ia bisa menerima perabotan yang berantakan, tapi pintu yang ngablak itu pemandangan yang sangat mengejutkan baginya. Pintu itu bukan sembarang pintu, karena membatasi ruang kematian dengan udara kebebasan.

Keringat dingin membasahi tubuhnya dan sesaat ia rasanya seperti lumpuh. Tatapannya terpaku ke arah lubang pintu. Di bawah tampak gelap. Sepertinya ia melihat, bayang-bayang putih melayang keluar dari lubang bersama dengan bau menyengat. Ia membuka mulutnya tapi tak ada suara keluar.

Kemudian ia sadar sendiri. Tak ada apa-apa. Logis kalau pintu itu menganga selebar-lebarnya. Pasti dibuka oleh para petugas sibuk mengeluarkan mayat dan kerangka dari dalamnya. Kemudian tak ada yang peduli untuk merapatkannya kembali mengingat masih ada pemeriksaan lanjutan sesudahnya. Akan terasa merepotkan bagi mereka jika harus membuka-menutup berulang kali. Nyatanya perabotan yang berserakan pun dibiarkan saja. Tentu mereka pikir, buat apa capek-capek merapikan kembali "rumah iblis"?

Kesadaran itu membuat ia malu sendiri. Alangkah bodoh dan pengecutnya. Padahal ia sudah yakin, tidak merasa takut sedikit pun.

Pelan-pelan ia berdiri sambil menepis-nepis debu di bokongnya. Lalu menghibur diri. Ah, ia sebenarnya bukan takut melainkan kaget saja. Siapa sangka pintu itu menganga?

Dengan langkah gagah ia maju kemudian merapatkan pintu dan menguncinya dengan selot seperti biasa. Pada saat melakukannya ia berusaha tidak memandang ke bawah, khawatir menemukan kejutan lain. Sesuatu yang sebenarnya bukan apa-apa, tapi tidak biasanya ada di situ, bisa membuatnya terkejut untuk kedua kali.

Setelah pintu tertutup ia mengambil karpet yang teronggok di sudut lalu menutup lantai di mana pintu berada. Sesudah itu ia menata meja-kursi yang terguling di atasnya. Pemandangan ke ruang bawah tak ada bekasnya lagi. Ia bernapas lega.

Dari ruangan itu ia ke halaman belakang. Di situ ada kolam renang, tapi tak ada airnya. Mandar tak suka berenang, jadi ia tak pernah memanfaatkan kolam itu. Jelas tempat itu sekarang lebih semrawut lagi. Dulu secara bergurau ia pernah mengusulkan kepada Mandar agar kolam itu dijadikan kolam ikan saja daripada dibiarkan kosong atau menjadi sarang nyamuk. Tetapi Mandar mengatakan, ia tidak suka makan ikan dan juga tidak suka hewan peliharaan . Siapa yang akan mengurus nanti? Secara lebih serius ia mengusulkan agar menggunakan tenaga seorang tukang kebun merangkap pemelihara ikan tersebut.

"Kalau tempat ini ditata kan jadi indah, Bang? Kau bisa duduk-duduk di tepi kolam sambil memandangi ikan warna-warni hil

ir-mudik dalam air. Apa jenis ikannya terserah seleramu. Mau ikan mas atau ikan yang mahal seperti louhan. Pelihara ikan tak selalu untuk dimakan, kan? Untuk pemandangan, Bang!"

Tetapi Mandar cuma tertawa tanpa sikap tertarik sedikit pun. Belakangan, Adrian bisa memahami sikap Mandar tersebut. Menginginkan sesuatu yang memerlukan tenaga dan bantuan orang lain mengandung risiko rahasianya akan terbongkar. Padahal rahasia itu tersimpan baik di bawah tanah. Nyatanya, seorang tenaga pembersih yang kerjanya cuma seminggu dua kali berhasil menemukan rahasia itu. Kalau saja Mandar bisa sepenuhnya sendirian di situ, tanpa bantuan dan kehadiran siapa pun, pastilah sampai sekarang ia aman-aman saja.

Sekarang rumah itu boleh dikata menjadi miliknya. Ia bisa menatanya sesuka hati. Misalnya, kolam itu akan dikembalikannya ke fungsinya sebagai kolam renang. Pasti akan nyaman sekali berenang di kolam renang milik sendiri. Tentu hal itu akan dilakukannya kelak bila rumah itu sudah sah miliknya. Sekarang ada banyak masalah penting yang mesti diurus lebih dulu.

Pemikiran itu membangkitkan semangatnya. Ia akan bekerja membersihkan rumah itu sebelum dipenuhi serangga dan sarang labah-labah. Dan tentu saja jangan sampai rumah itu keburu dikuasai oleh setan dan hantu!

"baguss" seru mandar senang ketika Adrian mengunjunginya dan menceritakan apa saja yang telah dilakukannya sampai saat itu.

"Jadi kau sudah berhenti kerja?"

"Sudah, Bang."

"Bagus! Dengan demikian kau bisa konsentrasi pada pekerjaan ini. Buat apalah kerjamu itu dipertahankan. Gajinya cuma sedikit dan gengsinya juga nggak ada."

"Tapi aku sekarang terpaksa hidup dengan uangmu, Bang," kata Adrian dengan segan.

"Jangan ngomong begitu. Itu kan uangmu juga. Ingat. Aku sudah mewariskannya padamu dan aku juga sudah memberi hak padamu untuk menggunakan segala milikku. Apalagi tugas

yang kaukerjakan sekarang ini buat kepentinganku. Sudah, tak perlu sungkan."

"Terima kasih, Bang."

"Akulah yang mestinya berterima kasih kepadamu, Ian. Pikir saja. Kalau tak ada kau, pastilah hartaku sudah dijarah orang. Sementara aku di sini membusuk sendirian tanpa ada yang peduli."

Sebenarnya Adrian juga berpikir begitu, tapi tentu saja tidak pantas mengatakannya. Ada baiknya kalau Mandar menyadari hal itu. Dengan demikian ada kesadaran pada mereka berdua bahwa masing-masing telah memberi dan menerima. Apalah artinya uang dalam situasi Mandar yang seperti itu?

Sampai saat itu, dalam setiap kali kunjungan, Adrian tak pernah bertanya kepada Mandar mengenai perbuatannya. Kenapa dan bagaimana? Ia tak berani mengusik soal yang satu itu. Apalagi Mandar sendiri tak pernah menyinggung. Memang tak ada gunanya menyinggung masalah yang jelas tak mungkin bisa diperbaiki lagi. Semua sudah terjadi. Lebih baik bila ia tak mengetahui karena khawatir menjadi beban baginya.

"Jadi dia baik-baik saja, lan?"

Adrian paham siapa yang dimaksud Mandar. Pasti Amarilis.

"Ya. Dia baik."

"Anaknya sehat?"

"Oh ya. Wajahnya cakep sekali, Bang!"

"Kayak siapa? Aku atau ibunya?" tanya Mandar bersemangat.

"Wah, belum kelihatan dong, Bang."

Mandar tertawa.

"Aduh, aku masih saja nggak nyangka bahwa aku bisa punya anak, Ian!"

"Selama kau nggak mandul, kau bisa saja punya seratus!"

Mandar tertawa ngakak. ia tidak tersinggung. Padahal Adrian ingin sekali mengatakan, kalau saja dulu ia hidup baik-baik, berkeluarga secara normal, tentulah ia bisa punya anak sebanyak yang dikehendakinya. Masalahnya, Mandar tidak normal!

"Ingat, lan. Jangan sekali-kali kau kehilangan jejak anak itu," Mandar mengingatkan.

"Oh, pasti tidak. Aku punya mata-mata di sana."

Mandar mengangguk senang.

"Kau sangat pintar, Ian," pujinya.


Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Sapta Siaga 13 Keributan Sesama Kawan Bayi Pinjaman Baby On Loan Karya Liz

Cari Blog Ini