Ceritasilat Novel Online

Cinta Seorang Psikopat 9

Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari Bagian 9



"Apa Dok memberitahu nama kakak Indri kepada Adrian?"

"Tidak. Saya masih ingat dengan jelas. Bahkan nama Indri yang ikut ke penjara pun tidak kuberitahu."

"Lantas bagaimana dia bisa tahu?"

Hilman termangu sejenak.

"Mungkinkah dari si Mandar?"

"Kan Ian memberitahu bahwa menurut Mandar dia tidak ingat, Dok. Kalau Mandar tahu nama Indah berarti dia ingat dong. Mungkinkah si lan disuruh Mandar untuk berbohong?"

Hilman menggeleng.

"Kayaknya nggak mungkin. Waktu itu Adrian lebih berpihak kepada kita karena dia ingin berbaik-baik. Mematuhi Mandar tak ada gunanya, karena Mandar toh tidak bisa memantaunya. Adrian sendiri bilang, kalau dibohongi pun Mandar tidak akan tahu."

Keduanya berpandangan dengan dahi berkerut. Lalu Lis berdiri.

"Biar saya panggil Indri supaya dia bisa cerita lebih rinci," katanya.

Indri datang bersama Rudy. Mereka duduk berempat.

"Begitu saya buka pintu, dia kaget melihat saya. Benar-benar kaget. Matanya melotot dan mulutnya sampai menganga," Indri memeragakan.

"Lalu dia berseru dengan gagap,

"In... dah!" Tentu saja saya ikut kaget. Tapi saya pikir kagetnya wajar, karena waktu pertama ketemu di halaman penjara dia juga kayak gitu. Bahkan sampai pingsan."

"Lantas apa kautanyakan bagaimana dia bisa tahu nama Indah?"

"Katanya dikasih tahu sama Oom Dokter."

Hilman berpandangan dengan Lis.

"Lalu saya bilang, nama saya Indri. Dia mengulurkan tangan mengajak salaman. Saya bilang sudah tahu tentang dia, bahwa dia ada

lah sepupu Mandar. Dia segera minta maaf dan menyatakan penyesalan. Sikapnya simpatik."

"Kagetnya itu, ln," kata Hilman.

"Apakah menurutmu itu wajar?"

"Itu sempat saya pikirin, Oom. Nggak wajar sih. Kagetnya itu sama seperti waktu melihat kita di halaman penjara, Oom. Dulu itu juga saya sempat ragu-ragu. Oom bilang, dia tentu pingsan karena mengenali Oom dan takut hubungannya dengan Mandar ketahuan. Tapi saya punya feeling, dia bukan menatap Oom, tapi saya! Cara menatap dan kagetnya itu sama dengan yang dia lakukan tadi."

Kejutan merayapi keempat orang. Bahkan Rudy tidak ikut bicara saking tegangnya.

"Itu berarti...," kata Lis, tak berani meneruskan karena takut sendiri.

"Dia kenal Indah," Hilman yang meneruskan.

"Kenapa dia begitu kaget seperti melihat hantu?" tanya Indri.

"Dia pikir kau adalah hantu," sahut Rudy.

"Bukan," bantah Indri.

"Dia pikir melihat Indah. Padahal dia tahu Indah sudah meninggal. Padahal Mandar saja tidak bereaksi sedikit pun waktu melihatku bergaya dengan baju itu. Apakah dia yang membunuh Indah?"

Lis menggelengkan kepalanya.

"Jangan buruk sangka dulu, In. Kita tidak tahu persis."

"Tapi dia tahu sesuatu tentang Indah," kata Hilman.

"Apa sebaiknya kita hubungi dia dan minta dia berterus terang?" tanya Lis.

"Jangan sekarang, Lis. Kita lihat situasi dulu. Sebaiknya kita tidak memojokkan orang. Belum tentu dia sejahat yang kita pikir. Mungkin ada sesuatu dari Mandar yang ingin disembunyikannya."

"Mungkin dia menunggu Mandar dihukum mati baru mau ngomong," kata Lis.

"Ah, kapan pula dia dihukum mati?" keluh Indri.

"Bagaimana mungkin Mandar tidak tahu nama Indah, sedang dia tahu?" kata Rudy.

"Mungkin dia kenal baik Indah, tapi Mandar yang sedang kumat menjadikannya sebagai korban. Dia tidak berdaya atau terlambat mencegah. Karena itu Mandar menyerahkan seluruh hartanya sebagai imbalan."

"Kalau begitu, tentu Adrian tahu mengenai

kejahatan yang dilakukan Mandar sebelumnya. Bukankah mayat Indah itu yang paling akhir menurut penelitian forensik? Tapi dia bilang tidak tahu apa-apa mengenai perbuatan Mandar," kata Lis.

"Ah, itu kan katanya. Semua orang bisa saja berbohong," sanggah Rudy.

"Begini saja," kata Hilman.

"Sekarang kita simpan dulu pernahaman kita ini. Jangan kita siarkan ke luar. Biarkan Adrian mengira kita tidak punya persangkaan buruk. Besok atau lusa aku akan mengunjungi Mandar."

"Buat apa, Dok? Dia pasti akan melindungi sepupunya," kata Lis.

"Yang penting aku ingin lihat reaksinya."

Diam-diam Lis berharap, sangkaan buruk terhadap Adrian tidaklah benar. Biarpun tidak mencintainya, ia punya penilaian baik terhadap Adrian. Ia masih ingat bagaimana di saat-saat ia stres berat menunggu kelahiran si bayi, Adrian datang mendekati dan berusaha menghiburnya. Ia sangat gigih dan boleh dibilang berkulit badak, karena biarpun diperlakukan kasar tetap saja berusaha mendekat. Memang bisa dikatakan bahwa Mandar telah menyuruhnya

memata-matai, tapi ia bisa saja melaksanakan suruhan itu tanpa harus mendekati. Ia bisa melakukannya dari jauh. Bagaimanapun kehadiran Adrian mampu menghiburnya dan meringankan stresnya.

Lis tidak ingin melupakan jasa Adrian begitu saja.

DUA hari kemudian baru Hilman berkesempatan mengunjungi Mandar. Ia sengaja mencari waktu yang bukan jam kunjungan untuk umum, karena tak ingin bertemu dengan Adrian.

"Kebetulan sekali, Dok," kata Rahman yang menyambutnya.

"Dia mengeluh sakit kepala. Sudah diperiksa oleh dokter sini. Secara umum dia sehat. Kata dokter, mungkin dia stres. Maka dia cuma dikasih obat penghilang sakit."

"Tak mengherankan kalau dia stres. Apa kemarin sepupunya datang menjenguk?"

"Nggak, Dok. Biasanya dia selalu dapat kunjungan."

"Oh, mungkin karena itu, ya? Boleh saya melihatnya?"

"Boleh, Dok."

Hilman langsung masuk ke sel Mandar. Lelaki itu tengah berbaring. Wajahnya tampak lesu sekali. Tapi begitu melihat Hilman ia langsung duduk.

"Kau sakit apa, Man?"

"Ini." Mandar menunjuk keningnya.

"Sudah makan obat?"

"Nggak ada gunanya itu. Percuma."

"Mikirin apa, Man?"

Mandar tidak menyahut. Ia juga tidak membalas tatapan Hilman.

"Kau harus pasrah, Man. Ikhlas."

"Jangan nasihati aku, Dok. Buat apa? Terus terang saja, ada perlu apa?" tanya Mandar agak ketus.

"

Baik. Aku langsung saja. Begini. Untuk kesekian kalinya aku mau tanya. Tahukah kau siapa nama orang terakhir yang kaubunuh? Itu yang mirip dengan perempuan yang kuajak ke sini tempo hari."

Mandar menatap Hilman. Tanpa berpikir ia menggeleng.

"Ayolah, Man. Dengan berterus terang kau membantu banyak orang."

"Apa ada gunanya buat aku?"

"Memang tidak ada."

"Nah, buat apa?"

"Mau dengar ceritaku, Man? Pertanyaanku itu ada hubungannya dengan ceritaku."

"Mau cerita, ya cerita saja. Aku kan tak bisa melarang," sahut Mandar dengan sikap tak peduli.

Hilman menceritakan perihal Adrian yang mengetahui nama Indah padahal tak ada yang memberitahu. Dan keterkejutannya yang amat sangat ketika melihat Indri yang wajahnya mirip Indah.

"Dia bilang nama itu diketahuinya dari kamu, Man. Bener nggak?"

Sikap Mandar sekarang berbeda. Dia menyimak dengan serius.

"Kalau dia memang bilang begitu, tentunya bener," ia menyahut kemudian.

"Kalau benar begitu, kamu bohong dong. Bilangnya nggak ingat."

"Nggak taulah."

"Ada yang kausembunyikan, Man?"

Mandar tidak menyahut.

"Kalau begitu, jumlah korbanmu memang ada dua belas."

"Sebelas."

"Yang satu lagi siapa yang bunuh? Adrian?"

Mandar mengangkat bahu.

"Nggak tahu atau nggak ingat?"

"Dua-duanya. Kepala sakit, Dok. Aduh, mau pecah rasanya."

Mandar kembali merebahkan diri. Keningnya dipijit-pijit. Wajahnya meringis-ringis. Tapi Hilman menganggap tingkahnya itu sebagai alasan menghentikan percakapan dan menyuruhnya pergi.

"Obat itu untuk menghilangkan sakit. Mestinya kauminum."

"Dokter membuatku tambah sakit."

Hilman menahan marahnya. Orang seperti Mandar harus dimaklumi. Kalau dimarahi dia malah tambah menjauh.

"Baiklah. Aku anggap kau belum mau bicara. Bukannya tidak mau. Bantulah, Man. Berbuatlah kebaikan sesekali. Jika kau berubah pikiran panggil saja aku lewat Pak Rahman."

Tanpa menunggu jawaban Mandar, Hilman pergi.

Setelah ditinggal sendiri, Mandar tak lagi memijit keningnya.

***

Siang itu Lis keluar dari tempat kursus dengan perasaan kesal. Ia lupa mengisi batere ponselnya. Sedang telepon umum di tempat kursus rusak.

"Kenapa cemberut, Lis?" , Lis menoleh.

Ia melihat Adrian tersenyum kepadanya. Wajah Adrian demikian polos hingga ia melupakan segala persangkaan buruk yang pernah dibicarakan tentang dirinya. Ia balas tersenyum.

"Aku nggak bisa nelepon," sahut Lis.

"Kenapa hp-nya?"

"Baterenya habis. Dan telepon itu rusak," kata Lis sambil menunjuk telepon umum.

"Mau nelepon ke mana?"

"Ke rumah. Aku mau ke mal sekarang. Ada yang perlu kubeli. Jadi akan kutanyakan Mama, dia mau pesan apa."

"Kalau begitu, pakai saja ponselku."

Adrian menyodorkan ponselnya. Setelah mengucapkan terima kasih, Lis sibuk bicara dengan ibunya. Sementara Adrian berdiri di sisinya, mengawasinya dengan tatapan sendu.

Lis mengembalikan ponsel Adrian dengan ucapan terima kasih.

"Yuk kuantar ke mal," Adrian menawarkan.

Mal yang dituju Lis tidak jauh dari situ hingga Lis tidak keberatan.

"Lis, sebelum pergi ke sana, boleh aku bicara sedikit denganmu? Itu memang tujuanku menemuimu. Aku ingin bicara."

"Bicaranya di mobil saja, ya?"

"Oke."

"Di mana mobilnya?"

"Itu." Adrian menunjuk sebuah mobil Kijang yang diparkir sekitar sepuluh meter dari gedung tempat kursus.

"Oh, mobilnya ganti,"

"Ya. Yang lama rusak."

Adrian membukakan pintu bagi Lis.

"Bicaranya sambil jalan atau di sini saja?" tanya Adrian.

"Mending di sini saja, ya? Ayolah, mau ngomong apa?"

"Pertama aku mau mengucapkan selamat padamu dan Dokter Hilman."

"Oh, kan sudah." Lis tersipu.

"Lewat telepon sama berhadapan kan lain.

Tapi bukan cuma itu. Indri tentunya cerita tentang pertemuan aku dan dia."

"Ya. Kami merasa ada hal-hal yang janggal, Ian," kata Lis dengan hati-hati. Ia tidak khawatir bicara terus terang karena itu merupakan tempat umum. Lagi pula sikap Adrian sangat baik.

"Aku mengerti. Karena itu aku merasa perlu menjelaskan. Tidak enak ada ganjalan. Apalagi tuduhan. Sebelum aku pergi aku ingin tidak ada masalah lagi di antara kita."

"Kau mau pergi? Ke mana?"

"Pokoknya ke luar dari Jakarta. Aku perlu suasana yang lain, Lis."

"Tentu," sahut Lis. Untuk hal itu ia tidak perlu bertanya-tanya

"Sekarang katakan saja apa yang menurutmu janggal itu."

"Bagaimana kau bisa tahu nama Indah padahal Mandar saja tidak ingat? Kau bilang pada Indah bahwa kau tahu itu dari Dok padahal menurut Dok ia tidak pernah menyebut nama."

"Aku terpaksa berbohong pada Indri karena tidak enak padanya kalau terus terang. Ya, aku memang pernah melihat Indah sewaktu ia dibawa Mandar ke rumahnya. Waktu itu kebetulan aku berkunjung. Aku sempat berkenalan dengannya. Karena itu aku masih ingat gaun yang dikenakannya. Merasa jadi orang ketiga, aku pergi lagi. Sejak itu aku tidak pernah melihatnya lagi. Ketika kutanyakan ia bilang hubungan sudah putus. Aku nggak nanya-nanya lagi. Hal itu kuanggap masalah pribadi. Ketika kejahatan Mandar terbongkar aku segera ingat pada Indah yang kuyakini pasti jadi korban. Jadi jangan heran kalau kemudian aku kelenger waktu melihat Indri, yang kukira Indah."

Lis merenung. Cerita itu masuk akal.

"Tapi kenapa kau tidak menceritakan saja terus terang kepada Dokter Hilman?"

"Buat apa? Tidak ada manfaat apa-apa. Cuma sepotong nama yang kudengar. Siapa dia dan di mana tinggalnya aku tidak tahu. Kepada polisi aku pun tidak bilang apa-apa. Aku takut dianggap terlibat. Waktu itu aku bukan cuma kaget, tapi juga takut sekali, Lis."

"Aku mengerti, lan."

Lis teringat kepada Indri. Kalau Indri mendengar cerita itu tentunya dia sangat sedih. Memang kesediaan Indah diajak ke rumah Mandar

tidak berarti dia seorang perempuan yang bisa dibeli. Tetapi indikasi ke situ mungkin saja ada. Berarti rasa penasaran Indri akan semakin bertambah.

"Nah, ceritanya begitu. Apa masih ada yang janggal?" tanya Adrian mengamati Lis yang termangu.

Lis menggeleng.

"Mestinya kau cerita saja padaku supaya kami nggak nyangka macam-macam."

"Nyangka apa, Lis?"

"Pokoknya jelek. Aku bersyukur bahwa kenyataannya tidak begitu."

"Jadi kau percaya padaku?"

"Ya."

"Ah, kau memang baik."

Tatapan Adrian menjadi sendu. Lis memahami ekspresi Adrian.

"Kau jangan pesimis, Ian. Dengan kondisi seperti yang kaumiliki, kau punya harapan besar mencapai kebahagiaan. Aku bukan orang yang cocok."

"Maksudmu, aku yang tidak cocok untukmu. Ya, mungkin memang begitu. Dokter Hilman Iebih mampu membimbing dan melindurigimu."

"Sudahlah, Ian. Jangan menyesali."

"Aku akan berusaha, Lis. Biarpun susah."

Sebenarnya Lis ingin memegang tangan Adrian. Tapi ia sadar, sentuhan bisa berakibat buruk.

"Aduh, akibat ngomong banyak kerongkonganku menjadi kering. Mau minum, Lis?"

Sebelum Lis menjawab, Adrian berdiri dan meraih sebuah termos yang digantung di belakang kursinya.

"Kalau di jalan kehausan aku suka minuman dingin," katanya. Lalu ia mengeluarkan dua minuman jus dalam kotak. Satu ia sodorkan kepada Lis yang dengan senang hati menerimanya karena ia pun haus. Daripada minum di kafe atau warung yang berarti membuang waktu, tentu lebih baik minum di situ.

Mereka menghabiskan dulu minuman masing-masing, lalu Adrian menjalankan kendaraannya.

Baru saja mobil bergerak, Lis menguap Iebar-lebar.

"Wah, ngantuk, Lis? Jadi ke mal atau pulang saja?" tanya Adrian sambil tertawa.

"Jadi dong," kata Lis dengan tegas.

Tapi semenit sesudah berkata begitu kepalanya mulai terantuk-antuk. Adrian menghentikan kendaraannya. Ia menarik kursi yang diduduki Lis ke belakang supaya kepalanya lebih nyaman bersandar. Kemudian ia menjalankan mobilnya kembali.

Berkai-kali ia menoleh, memandang Lis yang tidur mendengkur. Ia tertawa.

"Nggak jadi ke mal ya, Lis? Pulang saja!"

Hilman sedang makan siang di kantin rumah sakit ketika ponselnya berbunyi. Wajahnya menjadi tegang ketika mengetahui Adrian yang menelepon.

"Apa saya mengganggu, Dok? Saya perlu bicara sebentar saja."

"Silakan, Mas Ian. Ada apa, ya?"

"Begini. Saya perlu mengklarifikasi masalah yang saya kira pasti ditimbulkan oleh pertemuan saya dengan Indri. Saya tidak ingin timbul dugaan jelek perihal diri saya."

"Teruskan saja, Mas. Memang Anda perlu menjelaskan."

"Baik. Sebenarnya saya pernah bertemu dengan Indah ketika diajak Mandar ke rumahnya. Saya berkenalan dengannya dan saya tahu namanya. Lalu saya segera pulang karena merasa mengganggu. Sesudah itu saya tidak pernah bertemu dia lagi. Mandar bilang, hubungannya dengan Indah sudah putus. Sesudah kejahatan Mandar terbongkar saya ingat pada Indah. Jangan-jangan dia merupakan salah satu korbannya. Saya sempat melihat baju yang melekat pada salah satu mayat. Saya mengenali itu. Tapi saya tidak berani mengatakan kepada polisi atau siapa pun. Saya takut dituduh terlibat. Waktu diperiksa polisisaya merasa mereka mencurigai saya. Jadi saya harus hati-hati. Karena itu saya kaget sekali ketika melihat Indri mengenakan baju itu. Dan terakhir saya kaget ketika mendadak berhadapan muka dengan dia di rumah Lis. Wajah mereka benar-benar mirip."

"Cerita Anda cukup jelas. Tapi Mandar berkeras bilang, dia tidak ingat. Bahkan dia tidak terkesan sedikit pun ketika melihat Indri bergaya di depannya dengan mengenakan baju khusus itu."

"Ah, kenapa Dok mesti terlalu percaya kepada Mandar? Dulu dia tidak-begitu. Setelah masuk penjara tampaknya dia semakin lama semakin berubah. Saya tidak mengerti dia sekarang. Mungkin stres, ya?"

"Ya. Mungkin juga begitu."

"Cuma itu saja yang mau saya utarakan, Dok. Apakah Dok punya pertanyaan lain? Soalnya sekarang saya ada di bandara."

"Anda mau ke mana?"

"Saya mau pergi sejauh mungkin, Dok."

"Saya harap Anda sukses, Mas Ian," kata Hilman dengan perasaan bersalah. Dialah yang berhasil merebut cinta Lis dari Adrian.

"Sekali lagi selamat, Dok. Mudah-mudahan kalian berbahagia."

"Terima kasih, Mas Ian. Dan terima kasih juga untuk penjelasannya."

Setelah telepon ditutup, Hilman termangu. Begitu sederhanakah ceritanya? Jadi benar dugaan Indri. Adrian terkejut karena melihat Indri, bukan karena dirinya. Tapi kenapa sampai pingsan? Mestinya itu disebabkan oleh sesuatu

yang lebih mendalam. Ah, dia lupa menanya kan ke mana Adrian berniat pergi.

****

LlS terbangun dan mendapat dirinya sedang terbaring miring di atas tempat tidur. Ia masih mengantuk, tapi berusaha membuka matanya lebar-lebar karena merasa ada yang ganjil. Dengan terkejut ia menyadari bahwa kedua tangannya terikat ke belakang, demikian pula kedua kakinya terikat menjadi satu! Susah payah ia berusaha duduk. Berkali-kali ia jatuh lagi. Kepalanya pusing dan pandangannya berkabut. Akhirnya ia bisa mengenali tempat di mana ia berada. Lampu yang menyala terang-benderang membantunya. Itu adalah kamar tidur Mandar!
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lis merasa syok. Tubuhnya gemetaran. Ia berteriak keras-keras,

"Ian! laaaan...!" Suaranya parau.

Sepi menyambutnya. Ia beringsut ke tepi tempat tidur lalu berusaha berdiri. Tapi baru sedetik tubuhnya tegak, ia menggabruk jatuh ke lantai. Ia berusaha duduk kembali lalu beringsut-ingsut menuju pintu. Kemajuannya lambat karena sebentar-sebentar ia beristirahat untuk mengumpulkan tenaga. Setiap berhenti ia berteriak memanggil nama Adrian.

Terdengar langkah-langkah kaki. Lis berhenti bergerak dan bersuara. Tatapannya ke arah pintu dengan perasaan tegang.

Pintu terbuka. Adrian muncul. Di mata Lis yang duduk di lantai sosok Adrian tampak tinggi sekali.

"Ian! Cepat buka talinya!" seru Lis.

Adrian tertawa. Ekspresinya merupakan sesuatu yang baru bagi Lis. Ia sadar tadi dirinya telah terbius gara-gara minuman yang diberi oleh Adrian. Tapi sampai saat itu ia tidak berprasangka jelek tentang lelaki itu. Adrian pasti cuma mau main-main. Gara-gara aku ingin menghadapi trauma itu, seperti bertemu dengan Mandar dan melihat kamar tidurnya, maka dikiranya aku juga ingin menjalani kembali pengalaman itu.

Adrian duduk di lantai berhadapan dengan Lis.

"Bagaimana rasanya, Lis?" ia bertanya dengan senyum yang aneh.

"Jangan main-main, Ian! Ayo, lepaskan aku!"

"Tidak bisa, Lis. Menyesal sekali."

"Apa?" teriak Lis dengan mata melotot. Tampaknya Adrian tidak main-main.

"Kalau kulepaskan pasti kau lari ke pelukan dokter tua itu, kan? Tua bangka nggak tahu diri! Kambing bandot!"

Biarpun ketakutan Lis tak bisa membendung marahnya.

"Jangan ngomong sembarangan!"

Adrian tertawa.

"Aku mau ngomong apa terserah aku dong. Punya hak apa kau melarang?"

"Lantas kau mau apa?"

"Aku tak rela kau jatuh ke tangan kambing bandot. Atau ke tangan siapa pun. Kau telah mengelabui aku. Diam-diam kau menjalin hubungan sama dia. Padahal sepertinya nggak ada apa-apa. Kukira kau terlalu trauma untuk menjalin hubungan dengan lelaki, siapa pun itu. Tahunya nggak. Kau milih-milih rupanya. Kaucampakkan aku untuk si tua, kambing bandot itu!"

Lis benar-benar terkejut. Rasanya baru sekarang dia melihat seorang Adrian yang lain. Jadi itukah sebabnya kenapa Adrian ngotot ingin tetap berteman meskipun cintanya ditolak?

"Jadi kau mau menyekap aku di sini?" tanyanya. Panik mulai menyergapnya.

"Tidak Itu tidak mungkin, kan? Aku pasti kerepotan. Untuk orang secerdik kau, pasti bisa kabur. Tidak. Ada cara lain yang lebih gampang. Ah, buang waktu saja ngomong-ngomong seperti ini. Baik aku terus terang saja. Aku cinta padamu, Lis..."

"Kalau begitu, bagaimana kau tega menyakitiku?" potong Lis.

"Aku ini bisa jadi orang yang paling tega kalau harga diriku terinjak."

"Apakah aku menginjak harga dirimu?"

"Oh iya. Sudah jelas. Kau mempermainkan aku."

"Mempemainkan? Aku sudah memaafkan kau. Demikian pula keluargaku."

"Itu disebabkan karena kalian masih ingin memanfaatkan aku. Pasti atas saran si bandot."

"Jangan sebut bandot!" teriak Lis.

"Ha-ha-ha! Membela. ya? Kau memang hebat, Lis. Dalam keadaan di pinggir jurang seperti ini, kau masih ingin membelanya. Coba kaubela aku."

Wajah Adrian menjadi murung.

"Tadi katamu kau cinta padaku," Lis mengingatkan.

Dengan cepat ekspresi Adrian berubah lagi.

"Ya, tentu saja. Justru karena itu aku tidak rela bila kau sampai dimiliki orang lain. Kau tahu, apa satu-satunya jalan supaya kau tidak sampai dimiliki siapa pun?"

Lis terkejut. Bulu romanya berdiri. Kini kembali rasa takut itu harus dihadapinya.

"Kau mau... mau membu... bu... nuh... ku?" tanyanya dengan susah.

"Pintar sekali kau menebak."

Jangan, lan. Jangan lakukan itu. Jangan ikuti langkah si Mandar. Apa kau mau dipenjara juga?"

Adrian terbahak.

"Aku sudah memikirkannya. Aku tak akan dipenjara. Tak ada orang yang tahu kau ikut aku. Kau bilang pada ibumu, mau ke mal, kan? Tapi kau tidak menyebut aku. Kalau saja kau tidak bilang ponselmu tak bisa dipakai, aku bisa pakai cara lain. Aku juga sengaja ganti mobil supaya tidak dikenali."

"Jadi kau sudah merencanakan?" Lis berteriak.

"Ya. Setelah aku tahu kau bermaksud menikah dengan si bandot."

"Jangan, lan. Jangan jadi pembunuh seperti Mandar. Kau orang yang baik. Jangan kau gelap mata karena cinta."

"Oh, bukan karena cinta, Lis! Bukan itu! Sudah kubilang, ini masalah harga diri."

"Tapi kenapa untuk itu harus membunuh, Ian? Sadarlah. Itu bukan jalan keluar. Jangan nodai hidupmu dengan desa. Buktikan bahwa kau tidak sama dengan Mandar."

"Kaukira aku ingin seperti dia?"

"Kalau nggak mau, jangan membunuh dong. Kau beda dengan dia."

"Maksudmu beda itu apa? Dia jahat, aku baik? Begitu?"

"Ya. Aku tahu, kau baik. Sedang Mandar itu iblis."

Adrian tertawa.

"Ah, aku juga iblis kok. Tapi kecilan."

Lis bergidik. Rasanya ia tidak melihat gurawan pada sikap Adrian.

"Aku tidak mengerti, Ian. Kenapa kau jadi begini? Apa kau dipengaruhi Mandar?"

"Aku bukan orang goblok, Lis. Ya, bisa dipahami kalau kau tidak mengerti. Aku memang tidak akan jadi seperti Mandar, tapi aku bukan orang baik. Aku sudah telanjur basah. Ah, kau bingung, bukan? Supaya kau tidak penasaran, baiklah kuberitahu saja. Kau toh tidak bisa memberitahu orang lain."

Lis terkejut. Adrian benar-benar serius.

"Jangan membunuh, lan. Aku janji tidak akan cerita pada siapa pun tentang perbuatanmu ini."

"Masalahnya bukan cerita atau tidak cerita. Tapi aku tidak ingin kau jadi milik orang lain."

"Kau orang baik. Kau tidak akan sanggup membunuh orang."

"Siapa bilang? Tadi aku mau ngomong, tapi kaupotong. Aku sudah berpengalaman kok."

"Kau yang membunuh Indah?"

Adrian tertawa.

"Aduh, kau pintar menebak."

"Kenapa?"

"Dia sudah menginjak harga diriku."

"Jadi ceritamu di mobil tadi bohong?"

"Ya. Pintar juga aku mengarang, ya? Indah adalah mantan pacarku. Tapi dia mau sama aku karena mengira aku kaya. Setelah aku berterus terang bahwa aku disokong Mandar, dia mundur. Katanya dia sudah bosan hidup miskin. Padahal aku meyakinkan dia, bahwa Mandar tidak akan membiarkan aku melarat. Tapi dia bilang, aku hidup di bawah ketiak orang. Coba, aku mau jujur malah dihina. Jadi kubawa dia ke rumah ini ketika Mandar sedang ke luar negeri. Cerita selanjutnya tak usahlah. Kau bisa memperkirakan sendiri."

Mulut Lis ternganga. Ia merasa terpukul sekali. Kembali ia terpedaya oleh sikap dan penampilan.

"Ja... jadi saat itu kau sebenarnya sudah tahu tentang perbuatan Mandar?"

"Tentu saja. Kalau tidak, ke mana harus kubuang mayat Indah?" Adrian balik bertanya tanpa emosi.

"Apakah Mandar tahu bahwa kau tahu?"

"Tidak. Ah, aku cerita saja, ya? Kau tak perlu tanyatanya terus. Biarlah aku curhat padamu." Adrian tertawa.

"Aku pernah memergoki perbuatannya tanpa dia tahu. Kebetulan aku datang

ke sini tanpa nelepon dulu. Dia selalu berpesan supaya aku nelepon dulu kalau mau datang. Aku punya remote sendiri untuk membuka pintu. Untung waktu itu aku parkir mobil di tepi jalan. Dia terlalu yakin akan keamanannya hingga pintu pun tidak dikunci. Sebenarnya aku tidak melihat semua proses perbuatannya terhadap korbannya. Yang kulihat adalah ia tengah menyeret korbannya terus ke belakang. Dari situ aku jadi tahu bahwa di ruang belakang itu ada ruang bawah tanahnya. Aku sadar ia sudah membunuh orang. Tapi aku tidak tahu bahwa korbannya begitu banyak. Aku tidak berkeinginan untuk memeriksa ruang bawah tanah itu meskipun punya kesempatan. Aku ngeri."

"Tapi kau tidak ngeri saat membunuh Indah dan membuangnya ke tempat yang sama."

"Mungkin aku terinspirasi oleh perbuatan Mandar. Tapi aku tidak sama dengannya. Dia membunuh untuk kenikmatan. Sedang aku untuk membela harga diriku. Aku mencintai Indah dan tidak rela dia dimiliki orang lain. Sama seperti kau. Aneh juga. Kenapa aku harus mengalami hal yang sama?"

"Kau harus merelakan, lan. Itu masalahnya. Bukankah tidak semua hal yang kita inginkan bisa tercapai?"

Adrian tersenyum sinis.

"Ini bukan saatnya untuk menasihati, Lis. Percuma. Aku tidak bisa tidur dan makan kalau setiap kali terbayang bagaimana orang yang kucintai dipeluk dan dicumbu orang lain."

Lis merenung. Ia tahu betapa sulit posisinya. Ketakutan membuat ia tak bisa berpikir jernih. Apakah aku akan mati ketika kebahagiaan sudah kuperoleh? Betapa singkatnya kebahagiaan itu!

"Oh ya. Masih ada yang belum kuceritakan," Adrian melanjutkan.

"Lama-lama aku tak tahan lagi menyimpan misteri ruang bawah tanah itu. Aku sudah tahu hari-hari apa petugas pembersih, si Yanto itu, datang untuk kerja rutinnya. Maka malam sebelum hari tugasnya, aku menginap di situ. Mandar suka bangun siang. Pagi-pagi aku bangun, lalu ke ruang blakang untuk mengangakan sedikit pintu ruang bawah tanah dan mengatur perabot supaya si Yanto bisa menemukan. Ternyata dia memang berhasil. Jadilah dia pahlawan!"

Adrian tertawa geli.

Lis menatapnya dengan ngeri tapi juga marah. Ia sudah tak peduli lagi akan reaksi Adrian. Kalau dia sudah tak bisa dibujuk atau dihadapi dengan baik, lebih baik dimaki saja.

"Kau keji! Kau sengaja membiarkan Mandar menanggung perbuatanmu terhadap Indah!"

"Dia sudah membunuh sebelas orang. Apa salahnya ikut menanggung satu lagi?"

"Kayaknya bukan cuma itu tujuanmu. Kau juga ingin menguasai hartanya, bukan?"

Adrian melotot dengan ekspresi marah, tapi kemudian ia tertawa.

"Ah, kau memang pintar. Apa sekarang kau mau membela dia, orang yang telah menjerumuskanmu? Kalau bukan karena perbuatannya, kau sekarang tak akan mati muda! Lolos dari tangannya, jatuh ke tanganku. Kalau bukan karena dia, aku tidak akan ketemu kau lalu jatuh cinta setengah mati padamu. Dialah sumber malapetaka. Bukan aku!"

"Kalau orang menemukan mayatku di, rumah ini, pasti kau akan diburu!"

"Oh, kau tidak akan ditemukan," kata Adrian dengan pasti.

"Tidak ada yang tahu kau ke sini. Tadi aku sudah nelepon Dokter Hilman. Aku bilang ada di bandara. Sebentar lagi, kalau urusanku denganmu selesai, aku akan pergi jauh. Semua sudah kupikirkan dan kuurus."

"Justru bila kau pergi, orang akan mencurigai dirimu. Siapa lagi yang dekat denganku, kalau bukan kau?"

"Tidak. Orang selalu melihatku sebagai orang baik. Termasuk kau. Mana mungkin?"

"Mungkin saja. Jadi lebih baik lepaskan aku, Ian," Lis mengucapkannya dengan nada memohon.

Adrian menatapnya. Tampak rasa iba melintas di wajahnya. Tapi cuma sekejap.

"Barangkali kau bisa minta tolong pada Mandar. Dia jatuh cinta padamu. Jadi dia akan mengirimkan iblisnya untuk menolongmu," katanya mengejek.

Tiba-tiba Lis membuka mulutnya lalu menjerit sekuat-kuatnya.

"Tolooong ? Tolooong...! Tolooong...! "

Adrian mengangkat tangannya lalu memukul wajah dan kepala Lis. Dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan. Lis terkulai. Ia pingsan.

"Ya. Begini lebih baik," kata Adrian.

Ia menyeret tubuh Lis menuju ruang belakang.

Setelah membuka lebar pintu ruang bawah tanah ia membuka ikatan kaki dan tangan Lis. Sambil melakukan itu ia bicara sendiri,

"Di bawah sana kau bisa menjelajahi ruangan itu dari sudut ke sudut. Kau beruntung karena sudah kubersihkan."

Ia mendorong tubuh Lis ke bawah. Terdengar suara berisik kemudian bunyi berdebum.

"Selamat tinggal. Lis!"

****

SETELAH menerima telepon dari Adrian, Hilman menghubungi ponsel Lis. Ternyata tidak aktif. Ia ganti menghubungi telepon rumah. Petty yang menerima.

"Oh, Man! Lis belum pulang. Dari kursus dia mau ke mal dulu. Itu yang dekat gedung kursus."

"Sama siapa perginya, Bu?"

"Sendiri. Dia tanya Ibu mau pesan apa. Katanya sih nggak lama. Sebentar lagi juga pulang."

"Ponselnya mati rupanya, Bu."

"Mungkin dia pakai telepon umum tadi."

"Kalau begitu sebentar saya telepon lagi, Bu."

Sebenarnya Hilman ingin sekali segera bicara dengan Lis untuk memberitahu cerita yang

disampaikan Adrian itu. Lis tentu akan senang kalau tahu bahwa Adrian benar-benar orang baik seperti perkiraannya. Tapi ia harus bersabar.

LIS membuka matanya. Ia terkejut. Sesaat ia mengira matanya menjadi buta. Gelap sekali. Hitam sekitarnya. Ia buru-buru memejamkan matanya lagi. Kemudian ia menyadari rasa sakit dan nyeri di seluruh tubuhnya. Sepertinya remuk. Dan kakinya perih, Ia merabai kepalanya. Terasa keningnya basah dan lengket. Ia mencium jarinya yang basah. Baunya amis. Ia sadar itu darah. Bagian lengan dan kakinya yang perih juga terasa sama. Basah dan berbau darah. Entah seperti apa lukanya. Tapi ia masih bisa menggerakkan kaki dan tangannya tanpa rasa nyeri. Itu berarti tak ada tulang yang patah.

Kemudian dengan sentakan kaget dan panik ia teringat kembali pada peristiwa sebelumnya. Jadi sekarang ia sudah berada di ruang bawah tanah! Adrian benar-benar sudah membuktikan niatnya.

Lis meraba lantai kasar di sekitarnya. Tangannya menyentuh sesuatu. Ia menariknya. Rupanya itu tasnya. Ia juga meraba buku dan kertas-kertas yang tentunya tumpah bertebaran saat tasnya dilempar ke bawah. Ia beringsut-ingsut sambil duduk untuk mencari dan mengumpulkan barang-barangnya. Ponselnya ketemu tapi tampaknya sudah remuk. Lalu ia berhasil menemukan kantong tisunya. Dengan tisu ia mengeringkan darah yang mengalir dari keningnya

Sesudah itu ia mencoba berdiri. Biarpun terasa perih dan ngilu ia bisa tetap tegak. Lalu dengan kedua tangan terulur ke depan ia melangkah maju perlahan-lahan. Ia seperti orang buta yang kehilangan arah. Setiap berhenti ia mengayunkan kedua tangannya ke sekitarnya untuk mencari dinding. Bila dinding sudah diperoleh ia bisa lebih mudah menelusuri. Yang mau dicarinya adalah tangga.

Akhirnya ia berhasil menemukan dinding. Itu menjadi lebih mudah. Ia bisa melangkah dengan tangan bertumpu ke dinding dan ses

ekali bersandar. Kegelapan dan rasa sakit di sekujur tubuhnya sangat menghambat gerakannya. Sambil melangkah kedua kakinya pun bergantian menyapu sekitarnya, kalau-kalau ada benda yang menghalangi. Tapi ia percaya akan kebersihan ruang itu karena ingat akan cerita Hilman yang pernah masuk ke situ. Dari dinding ia bisa mencium bau karbol.

Setelah menemukan sudut ia menyusuri dinding lagi. Ia sadar telah mengambil arah yang salah. Tapi yakin biar lambat bisa mencapai tangga. Semangat yang tinggi untuk survive mendorongnya untuk terus maju. Ia tidak mau mati di situ. Setidaknya sekarang ia belum mati. Ia masih punya tenaga.

Akhirnya, setelah melewati dua sudut dan jarak yang terasa amat jauh, ia berhasil menemukan tangga. Ia merabai tangga untuk memperkirakan bentuknya. Sesaat ia memeluk tangga itu. Di atas ada kebebasan. Apakah ia bisa mencapainya? Siapa tahu Adrian cuma merapatkan pintunya. Menurut cerita Hilman, pintu itu diselot di sebelah atasnya lalu ditutup karpet. Kalau tidak diselot, ia bisa mendorongnya.

Dengan dua tangan berpegangan pada pinggir tangga dan kakinya mencari anak tangga untuk menapak, ia mulai menaikinya. Ia meringis kesakitan saat kakinya bertumpu pada anak tangga dan menekannya untuk mengangkat tubuhnya. Air matanya bercucuran setiap kali ia melakukan hal yang sama. Aduh, berapa anak tangga yang harus kunaiki?

Baru empat anak tangga ia sudah merasa kepayahan. Sakitnya tak tertahankan. Ia tidak tahu di mana sumber sakitnya. Di kaki atau di tubuh. Pokoknya, yang satu bergerak, semua sakit.

Tapi ia harus terus maju. Sesudah sampai di situ mustahil turun lagi. Tentunya gerakan turun pun akan menghasilkan sakit yang sama. Maka dengan menguatkan diri ia mengangkat kakinya untuk meraba dan merasakan keberadaan anak tangga kelima. Dengan merintih dan mengaduh ia menginjaknya lalu mengangkat beban tubuhnya. Beberapa detik kemudian terdengar suara mengerikan. Braaakkk...! Seiring dengan bunyi itu, papan di bawah kaki Lis patah dalam beberapa bagian!

Lis berteriak oleh rasa kaget dan sakit. Tubuhnya menggantung sejenak karena kedua tangannya masih memegangi pinggiran tangga.

Ia berusaha bertahan dengan mengaitkan kedua kakinya pada pinggiran tangga, lalu merosot ke bawah untuk mencari pijakan pada anak tangga keempat karena memanjat ke atas lebih sulit. Tapi pinggiran tangga tak kuat menanggung beban tubuhnya. Kayu berderak-derak lalu ambruk bersama tubuhnya ke bawah! Ia terkapar di lantai, lalu potongan kayu berjatuhan menimpanya!

Meskipun jatuhnya dari anak tangga kelima, tak terlalu tinggi, tapi baginya sakit yang ditimbulkan sungguh luar biasa, karena menambah sakit yang sudah ada. Ia tidak pingsan, tapi merasa kehilangan tenaga dan semangatnya. Ia terisak-isak dan diam saja tak bergerak di tempatnya. Lima menit kemudian baru ia mencoba duduk sambil membersihkan debu dan potongan kayu dari kepala dan tubuhnya. Sesudah itu dengan meraba-raba ia beringsut mencari dinding untuk bersandar. Ia tak berani mencoba berdiri karena takut kakinya tak kuat. Dengan potongan kayu yang agak panjang ia lebih mudah menemukan dinding.

Ia bersandar ke dinding lalu meraba kedua kakinya. Sepertinya tidak ada yang patah. Cuma rasa sakit dan nyeri yang terasa. Celana panjangnya sobek di beberapa tempat.

Ia sadar tak ada gunanya lagi mencoba iniitu. Demikian pula berteriak minta tolong. Itu cuma akan menghabiskan tenaga dan cedera sia-sia. Aku tidak ingin mati perlahan-lahan di sini, seperti korban lain sebelumnya. Tapi itulah yang akan terjadi bila tak ada yang tahu tentang keberadaanku. Siapa yang bisa tahu? Tak ada suara-suara dari atas. Tentunya Adrian sudah pergi jauh seperti yang dikatakannya sebelumnya. Dan pintu gerbang terkunci. Siapa akan menyangka bahwa rumah yang biasanya kosong ini ada penghuninya yang membutuhkan pertolongan? Oh, Dok, tolonglah aku. Tuhan. tolonglah aku!

Lis merasakan kepanikan merayapi dirinya. Suatu ketidakberdayaan yang sangat menyakitkan hati. Lebih sakit daripada sakit di tubuhnya. Ia menumpahkannya dengan menangis meraung-raung! Aku tidak rela! Tidak pasrah! Tapi aku tidak berdaya!

Lalu ia berhenti menangis karena kecapekan. Pikirannya tak bisa fokus. Kacau oleh ketakutan. Ia sama sekali tidak takut pada hantu

yang mungkin ada di tempat itu. Terpikir ke situ pun tidak. Yang ditakutkannya adalah kematian dalam keadaan penasaran! Padahal tampaknya rasa takut itu begitu dekat dengan kenyataan.

Ia sempat teringat pada saran Hilman untuk bermeditasi bila ingin mendapatkan ketenangan pikiran. Tapi betapa besar bedanya situasi yang melingkupi dirinya pada saat lalu dengan sekarang. Dulu tak ada ancaman kematian. Bahkan kematian itu sudah di depan mata. Tapi ia harus mencoba daripada tidak berbuat apa-apa. Maka dengan posisi duduk yang seenak mungkin ia menangkupkan kedua tangannya. Lalu memejamkan mata.

Kerongkongannya kering. Perutnya berbunyi. Haus dan lapar

Ia berusaha mengatasi tuntutan tubuhnya itu dengan menguatkan pikirannya. Tapi yang muncul setiap kali adalah Mandar! Semua ini gara-gara Mandar. Kalau tak ada Mandar, tak mungkin ia mengalami hal seperti itu. Ia teringat pada Mandar saat menemuinya di penjara. Ah, apa kata Adrian tadi? Mandar jatuh cinta padanya? Huh, mana mungkin psikopat jatuh cinta! Yang dicintainya kan cuma diri sendiri. Demi kenikmatan sesaat ia tega menyiksa dan menghilangkan nyawa orang lain. Tapi ia teringat bagaimana Mandar menatapnya dengan lembut. Tatapan seperti itu bukan pura-pura.

Ia tak mau memikirkan Mandar. Tapi pikiran itu ternyata bisa mengalihkan haus dan laparnya. Oh, Mandar! Mandaaar...! Mandaaar...! Tahukah kau bahwa orang yang kau cintai ini hampir mati dalam ruang maut ciptaanmu?

Ketika hari sudah gelap dan Lis belum juga pulang, keluarganya menjadi gelisah. Fetty sudah menangis oleh rasa cemas yang sulit diatasi. Mau tak mau pikiran kembali kepada musibah dulu.

Hilman yang baru selesai praktik datang dengan wajah cemas. Ia tahu tidak biasanya Lis pergi begitu lama tanpa memberi kabar. Kebiasaan seperti itu sudah dilakukan Lis sejak mengalami musibah.

"Terakhir dia nelepon itu sebelum pergi ke

mal," kata Fetty.

"Kalau dia ke tempat lain lagi, pasti memberi kabar. Tapi mau ke mana lagi? Belakangan ini dia tidak punya teman dekat."

"Bagaimana dengan si lan?" tanya Anas.

Hilman menceritakan perbincangannya lewat telepon dengan Adrian tadi siang.

"Saat dia menelepon itu kurang lebih bersamaan dengan kepergian Lis ke mal. Katanya, dia mau pergi jauh untuk mengobati kepedihannya. Ia minta saya menyampaikan klarifikasinya itu kepada Lis."

"Itu berarti dia tidak bertemu Lis hari ini," komentar Aria.

Hilman mengambil ponselnya lalu mencoba menghubungi telepon Adrian. Mula-mula di apartemennya, tapi tak ada yang mengangkat. Ponselnya pun nonaktif.

"Mungkinkah dia mengalami kecelakaan lalu tak bisa memberitahu identitasnya?" tanya Satya.

"Ah ya. Mungkin juga dia jadi korban kejahatan sopir taksi atau perampokan," sambung Aria.

Kedua orangtuanya memandang Aria dengan kesal. Perkiraan seperti itu menakutkan. Tapi memang terasa kemungkinannya.

Hilman mengajukan usulnya,

"Kita harus menelusuri semua rumah sakit di Jakarta untuk mencari infomasi."

Mereka setuju lalu sama-sama membuat daftar rumah sakit yang ada dari buku telepon. Karena jumlahnya cukup banyak, Hilman memanggil Rudy dan Eddy untuk ikut membantu. Setelah kedua orang itu datang bersama lndri yang tak mau ditinggalkan, mereka membentuk tim pencarian. Sebenarnya mereka bisa melapor ke polisi, tapi waktunya belum terlalu lama.

Hampir tengah malam setiap tim yang dibentuk pulang kembali satu persatu ke markas, yaitu rumah orangtua Lis. Mereka kembali dengan tangan hampa. Kecemasan pun meningkat. Semakin lama Lis "hilang", maka situasi semakin mencemaskan. Hampir pasti ada sesuatu yang di luar kewajaran.

"Kita lapor ke polisi," Hilman memutuskan.

Hilman bersama Anas melaporkan ketidakpulangan putrinya ke Polsek dan Polres terdekat sambil menyertakan identitas Lis. Lalu mereka pulang dengan lesu dan sedih.

Fetty menangis tersedu-sedu. Hilman dan

Anas juga berlinang air mata. Lis. di mana kau?

Di dalam selnya, Mandar tersentak. Ia duduk dalam kegelapan. Tiba-tiba kepalanya terasa sakit sekali. Berdenyut-denyut seperti ada bom yang siap meledak di dalamnya. Padahal sejak kedatangan Hilman, sakit kepala itu sudah mereda.

Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas dipan, lalu berbaring miring dengan menekuk kedua kakinya setinggi mungkin. Kedua tangannya memegang kepala yang ditundukkan ke lututnya. Lalu ia mulai merintih kesakitan.

Tak ada yang terganggu oleh ulahnya itu karena sejak bertingkah aneh-aneh ia menempati sel kecil sendirian. Karena itu tidak ada yang tahu kondisinya. Tapi ia juga tidak ingin ditolong. Paling-paling diberi obat yang tidak ingin dimakannya.

Lalu ia seperti mendengar suara-suara yang

memanggil namanya. Apakah itu arwah dari para korbannya? Ia tidak percaya hal-hal seperti itu. Ia tidak mau percaya. Kalaupun ada halhal semacam itu, ia tidak takut. Tapi ia merasa mengenali suara itu. Ah, ia tidak mau memikirkan apa-apa karena itu membuat kepalanya semakin sakit. Ia harus mengosongkan kepalanya dari berbagai pikiran kalau tak ingin sakitnya bertambah Ah... suara itu. Tapi konsentrasi ke sana membuat ia menjerit kesakitan. Tidak! Jangan ganggu! Biarkan aku sendiri!

MALAM itu dilalui Hilman dan keluarga Lis dengan perasaan kacau. Tak ada yang bisa tidur pulas. Menunggu datangnya pagi untuk melakukan kegiatan terasa lama sekali. Tapi semua orang cukup menyadari bahwa menangis dan menunggu saja tidak membuahkan hasil apa-apa.

Fetty pergi mencari "orang pintar" untuk meminta bantuannya. Hilman dan Anas memutuskan untuk mengunjungi apartemen Adrian. Memang tak jelas apa sesungguhnya yang mereka cari. Tapi Adrian cukup dekat dengan Lis. Barangkali dia belum pergi atau tak jadi pergi hingga bisa dimintai bantuannya atau memberikan suatu informasi yang bisa berguna.

Penjaga apartemen mengatakan, Adrian sudah pergi. Dan apartemennya sudah dijual dengan harga yang miring. Ia juga tidak tahu ke mana Adrian pergi.

Lalu mereka pergi ke tempat ,Lis mengikuti kursus. Di sana mereka menunjukkan foto Lis. Ada yang mengenal Lis seperti rekannya sesama pengikut kursus dan satpam yang biasa berjaga di depan gedung. Tapi mereka tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memperhatikan satu demi satu orang-orang yang keluar-masuk gedung, apalagi yang berada di luar.

Dari sana mereka kembali ke kantor polisi yang semalam didatangi untuk menanyakan kelanjutan dari laporan mereka. Tapi petugasnya menggelengkan kepala. Mencari orang hilang itu tidak segampang membalik telapak tangan.

Fetty sudah kembali dari "orang pintar" yang dikunjunginya. Ia tampak optimis.

"Katanya, Lis masih hidup," ia memberita

"Lalu, dia ada di mana?" tanya Anas.

Fetty menggeleng dengan sedih.

"Dia tidak bisa memberitahu. Katanya, dia dihalang-halangi sesuatu."

"Ala, bilang aja nggak tahu," sungut Anas.

"Yang penting Lis masih hidup," kata Fetty.

"Kita harap begitu, Bu," Hilman menghibur sambil meyakinkan dirinya sendiri

Indri merasa liburannya menjadi kelam. Tak ada lagi kegembiraan. Begitu singkat semua berlalu. Ia sering sekali menangis setiap memikirkan Lis. Mustahil ia harus kehilangan lagi seorang kakak? Bukankah monsternya sudah ditangkap? Memang dunia ini penuh dengan monster. Hilang satu muncul lagi yang lain. Tapi kenapa Lis harus mengalaminya lagi? Itu tidak adil.

Rudy mempunyai teori yang lain dari yang lain.

"Mbak Lis itu punya jiwa petualang. Mungkin dia sedang melakukan suatu eksperimen rahasia yang akan diungkapkannya sebagai surprise."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa pun yang dilakukannya tidak mungkin ia sampai menghilang," sanggah Eddy.

Hilman menggelengkan kepala.

"Ya, tidak mungkin. Ia tidak akan tega membiarkan kita cemas dan sedih seperti ini," katanya dengan lesu.

"Tapi aku tidak percaya kalau ada orang yang mengalami musibah yang sama untuk kedua kali," kata Rudy.

"Ada saja orang yang dirampok sampai berulang kali. Atau kemalingan Atau kebanjiran," kata Eddy.

"Tapi ini kasusnya lain."

Hilman meninggalkan anak-anaknya yang berdebat untuk menyendiri ke ruang praktiknya. Di situ ia merenung dan mengenang Lis. Ia merasa sedih dan putus asa. Baru kemarin Lis menghilang. Hitungannya baru satu hari. Tapi rasanya lama sekali.

Seandainya Lis diculik lalu ada yang minta tebusan, ia akan menyerahkan semua hartanya demi keselamatan Lis. Tapi bila kasusnya seperti itu, pasti ada yang menghubungi dalam waktu cepat. Itu masih lebih baik daripada tak ada kabar berita sama sekali.

Apakah Lis punya musuh yang membenci dan dendam padanya hingga berniat melenyapkannya? Hilman yakin, tidak ada. Yang dikenalnya hanya orang-orang yang mencintai Lis. Mereka ini tidak mungkin berbuat jahat kepadanya. Bahkan monster seperti Mandar pun jatuh cinta kepada Lis.

Mungkinkah Lis dirampok sopir taksi

sewaktu akan pulang lalu dianiaya dan tubuhnya dibuang di suatu tempat? Hal seperti itu sering sekali kejadian. Mungkin ia masih hidup tapi karena tempat pembuangannya tersembunyi maka tidak bisa segera ditemukan. Dalam keadaan seperti itu tentunya ia harus secepat mungkin ditemukan. Waktu menjadi amat penting.

Ah, kalau saja ia punya kemampuan telepati!

Tiba-tiba Hilman melompat. Ia tahu satu orang yang diduga kuat punya kemampuan itu. Memang baru dugaan, tapi apa yang telah terjadi pada Lis tempo hari bisa menguatkan dugaan itu.

Ia berlari menemui anak-anaknya.

"Aku mau ke penjara menemui Mandar! Kalian di sini saja."

Rudy mengejarnya.

"Pa! Biar aku yang nyetir. Papa lagi banyak pikiran. Itu nggak baik."

Hilman menerima usul itu.

Setelah berada di jalan baru Hilman teringat untuk menghubungi Rahman lebih dulu. Tidak etis kalau secara mendadak ia datang. Memang sekarang ini pun sama mendadak seperti waktu itu, karena tak ada perjanjian lebih dulu. Tapi masih lebih baik daripada langsung mengetuk pintu. Satu keuntungannya adalah profesi dan hubungannya dengan Mandar. Biarpun tidak resmi, ia tetap dianggap sebagai psikiater Mandar. Walaupun untuk itu ia tidak mendapat bayaran.

"Waduh, Dok. Mendadak amat, ya."

Suara Rahman kedengaran ragu-ragu.

"Ini penting sekali, Pak. Saya perlu informasi dari dia sekarang juga. Ini berhubungan dengan korbannya."

Kata-kata itu sangat ampuh.

"Baiklah kalau begitu. Silakan saja. Tapi saya khawatir dia tidak bisa banyak membantu. Kepalanya lagi kumat."

"Tidak apa-apa. Kita lihat saja. Terima kasih banyak, Pak"

Melihat ayahnya serius berpikir, Rudy tidak berani bertanya-tanya. Sebenarnya ia tidak mengerti, informasi apa yang mau dicari ayahnya dari Mandar mengingat lelaki itu tidak tahu perkembangan yang terjadi di luar penjara. Bagaimanapun ia bersyukur karena ia lebih dulu yang berinisiatif mendampingi ayahnya. Dengan demikian bila ada sesuatu ia akan tahu

lebih dulu daripada Eddy. Dan tentu saja, mengalami sendiri akan berbeda dibanding mendengar cerita orang lain. Sempat teringat bahwa ia meninggalkan Indri bersama Eddy. Tapi berbeda dari biasanya, hal itu tidak membuat ia khawatir.

****

LIS merasa capek luar biasa. ia tidak bisa lagi melanjutkan meditasinya. Pikirannya sudah ngawur. Tak bisa lagi dikendalikan apalagi dihilangkan. Ia membiarkan saja pikiran apa pun muncul, hilang, lalu digantikan oleh yang lain lagi. Pikiran-pikiran itu seperti awan berarak yang ditiup angin. Datang dan pergi.

Perutnya tak lagi berbunyi. Tapi kerongkongannya semakin kering. Bukankah kata orang. air kencing juga bisa diminum? Masalahnya, ia tak ingin kencing. Oh, air! Betapa nikmatnya kalau bisa kukecap. Betapa sayangnya air yang dulu kubuang dan kuboroskan sia-sia. Ah, sudahlah. Mikir begitu takkan bisa menolong.

Aduh, hausnya.

Ia merasakan cairan menetesi lengannya. Oh, apakah itu air? Aduh, ada air!

Tapi ketika ia mencium lengannya ia sadar itu bukan air. Itu tetesan darah dari keningnya. Rupanya pendarahan masih terus terjadi. Lama-lama ia bisa kehabisan darah. Pantas ia semakin lemas saja. Ia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Tapi kenapa harus capek-capek? Ia toh akan mati juga. Berdarah atau tidak berdarah. Jadi buat apa ia merisaukan lukanya? Apalagi ia merasa lebih enak duduk diam tak bergerak.

Tapi kemudian ia merasa ada yang mendorongnya untuk lebih bersemangat. Ayolah, jangan putus asa begitu. Lakukan sesuatu!

Dengan memaksa diri ia duduk tegak. Ia membuka kaitan beha-nya, lalu .menariknya keluar lewat lubang lengan kausnya. Beha itu ia lekatkan pada keningnya yang luka, lalu mengikatnya seputar kepalanya. Sepertinya itu kurang menekan karena behanya elastis, tapi tak ada lagi yang bisa ia gunakan. Ia tak mau menggunakan bajunya karena, tak mau telanjang saat ditemukan nanti. Walaupun sudah

mati, ia ingin tubuhnya tertutup.

Sesudah itu ia terkulai lemas. Pekerjaan seperti itu saja membuat ia sangat capek. Ia bersandar ke dinding. Aneh, sekarang sakit-sakit yang tadi itu tidak terasa lagi. Juga lapar dan haus. Tapi aku tak mau di sini terus. Aku rindu pada Dok, Mama, Papa, kakak-kakakku, Rudy, Eddy, Indri, dan oh...

Kepalanya tertunduk. Dagunya menyentuh pangkal leher.

Pikiran datang bagai awan berarak. Kali ini awannya tipis-tipis.

***

hilman duduk di depan mandar yang tergolek di atas dipannya dengan posisi membelakangi. Seputar kepalanya terikat kain dekil.

"Man, aku butuh bantuanmu."

"Bantuan apa, Dok? Apa nggak salah?" tanya Mandar tanpa membalikkan tubuhnya.

"Ini mengenai Lis. Dia hilang sejak kemarin siang."

****

mati, ia ingin tubuhnya tertutup.

Sesudah itu ia terkulai lemas. Pekerjaan seperti itu saja membuat ia sangat capek. Ia bersandar ke dinding. Aneh, sekarang sakit-sakit yang tadi itu tidak terasa lagi. Juga lapar dan haus. Tapi aku tak mau di sini terus. Aku rindu pada Dok, Mama, Papa, kakak-kakakku, Rudy, Eddy, Indri, dan oh...

Kepalanya tertunduk. Dagunya menyentuh pangkal leher.

Pikiran datang bagai awan berarak. Kali ini awannya tipis-tipis.

***

Hilman duduk di depan Mandar yang tergolek di atas dipannya dengan posisi membelakangi. Seputar kepalanya terikat kain dekil.

"Man, aku butuh bantuanmu."

"Bantuan apa, Dok? Apa nggak salah?" tanya Mandar tanpa membalikkan tubuhnya.

"Ini mengenai Lis. Dia hilang sejak kemarin siang."

Mandar berbalik lalu duduk. Sekarang ia berhadapan dengan Hilman. Tampak wajahnya yang murung dan terkesan menua.

"Apa urusannya denganku?" tanya Mandar. Lalu ia meringis sambil memijit kepalanya.

"Kepalamu masih sakit?" tanya Hilman.

"Ya. Eh, apa yang Dok bilang tadi?"

"Lis hilang sejak kemarin siang. Tidak biasanya dia pergi lama tanpa memberi kabar. Dia selalu menelepon ke rumah bila akan pulang terlambat. Tapi ini tidak ada kabar beritanya."

"Aku tidak mungkin menculiknya, Dok. Aku di sini terus. Banyak saksi mata," kata Mandar dengan nada sinis.

"Aku bukannya menyalahkanmu, Man. Aku bermaksud minta bantuanmu."

Mandar lupa memijit kepalanya. Ia bengong.

"Aku? Aku bisa apa?"

"Kau bisa telepati."

"Telepati? Apa itu?"

"Kau bisa menghubungi pikiran Lis. Itu disebut telepati. Aku tahu, beberapa kali kau melakukannya."

"Sekarang kepalaku sedang sakit, Dok. Tidak bisa."

"Bisa kalau kau mau. Demi keselamatan Lis."

"Dok tahu dari mana bahwa Lis dalam bahaya? Mungkin dia pergi jalan-jalan sama pacarnya."

"Jangan begitu, Man. Sudah kukatakan tidak mungkin dia berbuat seperti itu. Kami sudah putus asa."

"Si lan sudah tahu?"

"Dia sudah pergi entah ke mana. Apartemennya dijual. Tidak ada yang tahu dia ke mana. Terakhir dia menelepon aku untuk mengklarifikasi perihal Indah. Dia adalah korbanmu yang paling akhir. Yang nomor dua belas. Adiknya pernah kuajak ke sini supaya bisa kaukenali. Ingat?"

Hilman terpaksa menceritakan hal itu padahal ia tak ingin membuang waktu. Mandar tidak boleh dipaksa karena hasilnya akan sia-sia. Maka ia menceritakan perbincangannya yang terakhir dengan Adrian lewat telepon.

Mandar berteriak gusar.

"Apa? Dia bohong! Sjalan si Ian! Rupanya Dok lebih percaya dia daripada aku, ya? Sudah kubilang berkali-kali bahwa korbanku cuma sebelas. Bukan dua belas."

"Kami pernah mencurigai dia sebagai pembunuh Indah."

"Nah, pasti dialah yang membunuhnya. Bisa saja dia ikut memanfaatkan ruang bawah itu."

"Apa kau memberitahu dia tentang ruang itu?"

"Tidak. Tapi bisa saja dia tahu kalau dia menggeratak. Dia punya kesempatan."

"Kalau dia tahu tentang ruang itu, pasti dia tahu juga keberadaan mayat-mayat di dalamnya. Apa kaupikir tidak aneh bahwa dia tidak menanyakan hal itu padamu? Kok dia malah ikut-ikutan membuang mayat ke situ."

Mandar terpaku.

"Kenapa dia pergi?" tanyanya kemudian.

"Dia mengaku kecewa karena cintanya ditolak Lis."

"Tidak mungkin cuma karena itu. Dia punya harapan besar."

Hilman memutuskan untuk berterus terang.

"Aku akan menikahi Lis, Man. Adrian sudah diberitahu."

Mandar terkejut.

"Oh, begitu? Jadi Dok yang dapat Lis?"

"Kita tidak boleh membuang waktu, Man. Ayolah," desak Hilman.

Sesaat Mandar menatap Hilman dengan matanya yang tajam. Hilman merasa cemas kalau-kalau Mandar menolak. Apalagi ia sudah berterus terang dengan mengatakan dirinya akan menikahi Lis.

Tanpa mengatakan apa-apa, Mandar melipat lututnya. Kemudian ia memejamkan mata. Keningnya berkerut. Baru beberapa detik ia menjerit. Lalu membuka matanya kembali. Ekspresi sakit tampak di wajahnya.

"Kenapa?" tanya Hilman cemas.

"Nggak bisa, Dok. Kepalaku jadi sakit sekali. Bisa pecah kalau dipaksa," keluh Mandar sambil memijit kepalanya.

Hilman sadar tak bisa memaksa. Kalau nanti Mandar berpura-pura pun ia tak tahu. Supaya berhasil Mandar harus melakukannya dengan sukarela dan didorong oleh keinginannya sendiri. Ia menjadi putus asa dan sedih. Betapa tak berdayanya ia menolong dan melindungi Lis. Tak terasa air matanya menggenang. Kemudian ia terkejut ketika menyadari Mandar tengah mengawasinya. Buru-buru ia memalingkan

muka, lalu menggosok matanya. Ketika berpaling lagi ke arah Mandar kembali ia terkejut.

Mandar sudah kembali ke posisi tadi. Matanya terpejam. Wajahnya memperlihatkan konsentrasi yang mendalam. Tapi bibirnya dikatupkan dan ujung mulutnya kelihatan bergetar. Urat-urat di keningnya bertonjolan. Lalu ia merintih-rintih.

Hilman tahu Mandar benar-benar mencoba dengan sepenuh hati sambil melawan rasa sakitnya. Ia merasa iba sekaligus tegang. Apakah Mandar berhasil? Ia menunggu tanpa berani bersuara, takut mengganggu konsentrasi Mandar.

Entah berapa lama waktu berlalu. Hilman merasa tubuhnya kaku. Sementara Mandar masih saja seperti tadi. Tapi sekarang rintihan pelan keluar dari mulutnya. Jelas ia berada dalam keadaan kesakitan. Lalu tiba-tiba ia terjerembap ke sisi di atas dipannya. Matanya terbuka lebar. Mulutnya membuka dan menutup. Napasnya megap-megap.

Hilman menubruk lalu memeluknya.

"Man! Maaan!" ia berteriak sambil menggoyang-goyang tubuh Mandar.

Petugas yang berjaga di luar segera masuk.

"Panggil Pak Rahman!" kata Hilman.

Petugas berlari pergi. Sementara Hilman berupaya menyadarkan Mandar.

Akhirnya tatapan Mandar fokus kepada Hilman.

"Dok!" bisiknya lemah.

"Aku... aku ta... hu. Lis... Lis..."

Hilman mendekatkan telinganya ke mulut Mandar. Biarpun pelan dan lirih ia bisa memahami apa yang dikatakan Mandar. Ia sangat ingin berlari pergi untuk segera menolong Lis, tapi ia tak bisa meninggalkan Mandar begitu saja.

Rahman masuk. Hilman sudah merebahkan tubuh Mandar. Wajah Mandar pucat pasi. Matanya terpejam. Tubuhnya dingin.

"Pak, ia harus segera dibawa ke rumah sakit," kata Hilman.

"Baiklah."

"Tolong ya, Pak. Sayang saya tidak bisa mengantarkan. Bapak ada kendaraan? Panggil ambulans saja."

Hilman mengeluarkan uang dari dompetnya lalu menyerahkannya kepada Rahman.

"Ini untuk biava ambulans. Pak. Tolonglah. Saya

harus pergi secepatnya untuk menolong seseorang. Barusan Mandar sudah memberi saya info berharga. Karena membantu saya itulah dia mengalami serangan. Nanti saya ceritakan selengkapnya ya, Pak. Sekarang saya tak boleh membuang waktu."

Rahman tak bisa berkata apa-apa karena Hilman sudah bergegas pergi.

"Ya, Dokter berutang cerita padaku," katanya pada diri sendiri.

Rahman beralih kepada Mandar.

"Dengar itu, Man? Kau harus ke rumah sakit. Macam-macam saja kau ini."

Mandar tidak menyahut dan tidak bergerak. Rahman mengulurkan tangan untuk meraba Mandar. Ia terkejut lalu memeriksanya lebih teliti. Mandar sudah tak bernapas! Ia sudah meninggal!

***

RUDY terheran-heran melihat ayahnya berlari keluar seperti dikejar hantu. Sesaat terpikir bahwa ayahnya akan ditangkap lalu melarikan diri. Entah apa yang dilakukannya. Buru-buru ia menghidupkan mesin, siap membawa ayahnya kabur secepat mungkin. Ketika ayahnya memasuki mobil, ia segera menjalankannya.

"Ke mana, Pa?"

"Kantor polisi! Ayo, nanti kutunjukkan jalan."

Lalu Hilman meraih ponselnya. Ia menghubungi Eddy.

"Ed, segera ke rumah Mandar! Kalau belum ada orang, tunggu di luar! Cepat!"

Sesudah itu ia melepon ke rumah Lis.

"Bu, minta Aria dan Satya ke rumah Mandar. Tunggu kami di luar. Suruh cepat ya, Bu.

Kami akan minta bantuan polisi dulu. Penjelasannya nanti."

Sesudah itu ia memandang Rudy.

"Kita butuh bantuan sebanyak mungkin," katanya.

"Untuk apa, Pa?"

"Lis ada di sana. Rud!" teriak Hilman penuh emosi.

"Mudah-mudahan kita belum terlambat!"

"Siapa yang memberitahu, Pa?"

"Mandar."

"Mandar? Bagaimana dia bisa tahu?"

"Dia punya ini." Hilman menunjuk kepalan

"Ini apa, Pa?"

"Kemampuan telepati."

Rudy terdiam. Dia tahu maksud ayahnya. Tapi, bagaimana kalau Mandar berbohong atau salah? Ia tidak berani mengajukan pemikiran itu.

Meskipun polisi cuma sembilan puluh persen percaya kepada Hilman, mereka menanggapi secara positif. Dua orang petugas ikut serta dengan Hilman.

Ketika mereka tiba di sana, tampak dua mobil parkir di depan pintu gerbang. Bukan cuma Satya dan Aria ada di situ, tapi juga kedua orangtuanya! Sedang Eddy tidak sendiri. Indri bersamanya. Situasi menjadi ramai.

"Pintu itu dikunci. Hanya bisa dibuka dengan remote," kata Hilman.

Salah seorang petugas mencoba mengutak-atik kunci. Ternyata tidak mudah.

Situasi, itu menarik perhatian tetangga. Satu demi satu berdatangan. Mereka adalah para penghuni rumah elite di sekitarnya, yang biasanya acuh tak acuh terhadap kegiatan yang berlangsung di salah satu rumah. Tapi karena rumah Mandar punya makna khusus, reaksi mereka pun lain. Setelah diberitahu bahwa tujuan orang ke situ adalah Untuk mencari seorang korban, mereka menjadi gempar.

Seorang tetangga menanyai petugas yang sedang mengutak-atik pintu.

"Perlu bantuan, Pak? Saya ahli kunci."

"Wah, perlu! Perlu!"

Tetangga itu berlari ke rumahnya untuk mengambil peralatan. Tak lama kemudian ia mulai mengutak-atik kunci. Dalam waktu lima menit usahanya telah berhasil. Pintu gerbang berhasil

dibuka lebar-lebar. Mobil-mobil masuk ke halaman. Demikian pula para tetangga dan penonton. Tapi petugas meminta mereka tetap di halaman saja supaya tidak mengganggu. Sementara tetangga yang ahli kunci itu tetap diperlukan bantuannya untuk membuka pintu rumah.

Begitu pintu terbuka, mereka semua berlari masuk. Hilman di depan.

Di ruang belakang mereka menyingkirkan karpet dan meja yang menindihnya. Lalu membuka ruang bawah tanah. Meskipun di bawah gelap, tapi karena cahaya masuk dari ruang di atasnya, mereka bisa melihat keadaan di bawah pintu yang menganga. Tampak tangga yang porak-poranda dan tak jauh dari situ Lis duduk terpuruk, menundukkan kepalanya yang terbungkus beha. Diam tak bergerak. Orang-orang berteriak antara senang dan cemas.

Hilman dan yang lain berteriak-teriak memanggil Lis. Tampak Lis menggerakkan kepala dan tubuhnya. Mereka bersorak gembira.

"Dia masih hidup! Oh Tuhan, terima kasih!"

Hilman mengambil tangga yang dulu dipakainya bersama Adrian. Ia turun duluan dan langsung mendekap Lis.

****

Ia terkejut melihat dibuka lebar-lebar. Mobil-mobil masuk ke halaman. Demikian pula para tetangga dan penonton. Tapi petugas meminta mereka tetap di halaman saja supaya tidak mengganggu. Sementara tetangga yang ahli kunci itu tetap diperlukan bantuannya untuk membuka pintu rumah.

Begitu pintu terbuka, mereka semua berlari masuk. Hilman di depan.

Di ruang belakang mereka menyingkirkan karpet dan meja yang menindihnya. Lalu membuka ruang bawah tanah. Meskipun di bawah gelap, tapi karena cahaya masuk dari ruang di atasnya, mereka bisa melihat keadaan di bawah pintu yang menganga. Tampak tangga yang porak-poranda dan tak jauh dari situ Lis duduk terpuruk, menulidukkan kepalanya yang terbungkus beha. Diam tak bergerak. Orang-orang berteriak antara senang dan cemas.

Hilman dan yang lain berteriak-teriak memanggil Lis. Tampak Lis menggerakkan kepala dan tubuhnya. Mereka bersorak gembira.

"Dia masih hidup! Oh Tuhan, terima kasih!"

Hilman mengambil tangga yang dulu dipakainya bersama Adrian. Ia turun duluan dan langsung mendekap Lis. Ia terkejut melihat

kondisi Lis yang lemah. Lis juga terlihat mengenaskan karena darah dari keningnya, selain membasahi beha yang menutupi, juga merembes dan mengalir ke pipinya.

Biarpun demikian Lis masih cukup sadar. Ia tersenyum mengenali Hilman.

"Lama sekali...," katanya lirih.

"Saya dibantu Mandar, Lis," kata Hilman sambil memeriksa tubuh Lis sejenak, kalau-kalau ada yang patah.

"Oh ya, saya mimipi dia...," sahut Lis.

"Siapa yang melakukan ini?"

"Adrian."

Mereka berteriak marah. Tapi terhibur karena Lis selamat.

Setelah mendapat pertolongan dan perawatan di rumah sakit, Lis menjadi lebih segar. Ia minum banyak sekali. Tak ada yang lebih nikmat selain air, katanya.

Di seputar ranjangnya ia dikerubuti orangorang yang menyayanginya. Melihat Indri, ia tak mau menunda ceritanya. Indri harus tahu apa yang telah terjadi pada Indah. Cerita yang menakjubkan, tapi menyedihkan. Siapa sangka bahwa Adrian berhati keji.

Sementara itu Hilman mendapat berita dari Rahman mengenai Mandar.

"Mandar sudah meninggal, Lis," ia memberitahu.

"Diperkirakan ia mengalami perdarahan di otak. Ada pembuluh darahnya yang pecah. Ia meninggal karena membantuku. Tadinya ia tidak mau karena kepalanya sakit. Tapi untuk menolongmu, ia mau juga. Ia memaksa diri hingga kolaps. Tapi ia sempat memberitahu keberadaanmu.

Lis memejamkan mata sejenak. Ia menyadari bahwa apa yang terjadi dengannya di ruang bawah tanah itu bukanlah mimpi ketemu Mandar. Dalam "mimpi" itu terjalin komunikasi singkat dengan Mandar. Ia ingat, bahwa ia sempat minta tolong kepada Mandar. Dulu kau tidak menjebloskan aku ke sini seperti korbanmu yang lain karena kawanggap aku punya keistimewaan. Tapi sekarang sepupumu yang menjebloskan aku. Maka kewajibanmulah mengangkatku dari sini.

"Aku maafkan dia, Dok," katanya dengan berlinang air mata.

Hilman mengangguk.

"Ya, kau menerimanya dengan wajar."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia mati setelah melakukan kebaikan," kata Anas.

"Sulit dipercaya bahwa monster pun bisa berbuat baik," Fetty menambahkan.

"Dia terhindar dari eksekusi. Bukankah mati seperti itu lebih baik?" kata Rudy.

"Tapi sekarang muncul monster lain! Adrian!" kata Indri dengan gemas.

"Kau lega sekarang, ln? Bahwa Indah bukan pelacur seperti yang dituduhkan?" tanya Rudy.

"Oh ya. Tapi aku sedih untuk hal yang lain. Kalau saja dia tidak mengucapkan kata-kata yang menghina Adrian, mungkin dia tidak akan dibunuh," kata Indri.

"Bukan begitu, ln. Adrian tidak senang bila orang yang dicintainya dimiliki orang lain," sanggah Lis.

Indri mengangguk. Kata-kata Lis itu memang benar. Lis ingin menghiburnya. Tapi sebenarnya ada yang lain yang membuatnya sedih. Ia malu untuk mengungkapkannya. Sejak dulu ia sudah tahu bahwa indah itu matre, mementingkan materi. Itu diakui sendiri oleh Indah, yang selalu mengatakan bahwa dirinya bosan hidup miskin. Ternyata keinginan seperti itulah yang membawanya pada kematian yang mengenaskan.

"Mudah-mudahan si Ian cepat tertangkap," harap Fetty.

"Dia sudah pergi jauh," kata Lis.

"Lalu siapa yang mengurus jenazah Mandar? Bukankah si lan itu satu-satunya kerabat dekat?" Anas mempertanyakan.

"Apalagi dia mewarisi hartanya," tambah Satya.

"Kalau muncul dia pasti ditangkap," kata Rudy.

"Mana dia berani?"

"Dia sudah merencanakan kepergiannya," kata Lis.

"Orangnya pintar. Sudah terbukti bagaimana dia menjebak Mandar."

"Kalau jenazah Mandar tak ada yang mengurus, biarlah aku saja yang urus. Kau setuju, Lis? Cuma dialah yang bisa dan mau membantu kita," kata Hilman.

Lis mengangguk.

"Tentu saya setuju."

Hilman mendapat telepon dari Tito Wardoyo.

"Man! Kami akan berangkat besok pagi-pagi sekali. Maaf, tak bisa menemuimu lebih dulu untuk pamitan."

"Oh, tidak apa-apa, To. Kuucapkan selamat

jalan pada kalian. Semoga kalian sukses di negeri baru!"

"Terima kasih. Aku juga mendoakan kau dan Lis berbahagia."

"Eh, bagaimana beruangnya? Dibawa?"

"Tentu dibawa. Itu adalah hadiah khusus dari seorang teman baik. Masa tidak dibawa?"

"Dia khawatir kalian tidak membawanya karena kegedean."

"Ah, masa nggak? Terus terang kami tersentuh oleh perhatiannya. Itu membuat hadiahnya menjadi khusus."

"Syukurlah, To. Terima kasih."

"Lho, kok terima kasih? Kamilah yang seharusnya berterima kasih."

"Sama-sama kalau begitu." Hilman tertawa.

"Aku mau minta tolong, Man. Sesekali tengoklah rumahku. Bila ada kiriman pos bisakah kau mengirimkan pada kami? Kunci kutitipkan pada tetangga sebelah."

"Tentu saja bisa."

"Alamat di Kanada masih kausimpan?"

"Tentu. Jangan khawatir. Selamat jalan, ya!"

Hilman menyampaikan berita itu kepada Lis, yang menyambutnya dengan gembira. Ia membayangkan seorang anak lelaki kecil memeluk beruang besar mainannya. Sebuah tanda mata.

****

SUDAH sekitar dua minggu Adrian diburu polisi. Tapi ia seperti hilang ditelan bumi. Benarkah ia pergi ke luar negeri seperti yang dikatakannya kepada Hilman lewat telepon? Tidak ada yang tahu. Suatu keuntungan bagi Adrian dan kerugian bagi yang mencarinya adalah dia tidak punya teman, keluarga dekat, dan juga tidak bekerja atau punya hubungan bisnis dengan siapa pun. Karena itu tidak ada yang bisa ditanyai atau dimintai informasi. Dan bagi Adrian, tidak ada yang bisa mengkhianatinya. Satu-satunya yang ditinggalkannya adalah rumah Mandar, benda mati yang tak bisa bicara kecuali meninggalkan bekas kejahatannya.

Bagi Hilman dan Lis serta keluarga mereka, hal itu tentu saja amat mengecewakan.

"Pada suatu saat ia pasti akan tertangkap,"

kata Hilman dengan yakin.

"Kalau tidak, ia akan terkena hukum karma," sambung Lis dengan gemas.

Mereka berdua sudah kembali disibukkan oleh persiapan pernikahan. Ketika Hilman bertanya apakah sebaiknya mereka mengundurkan tanggal pernikahan supaya Lis punya waktu lebih banyak untuk beristirahat, Lis menolak.

"Saya sudah pulih, fisik dan mental, Dok," katanya meyakinkan.

"Kau memang menakjubkan. Dengan pengalaman mengerikan seperti itu, kau bisa segera pulih. Tidak ada mimpi buruk lagi?"

"Awalnya memang ada, Dok. Tapi saya sudah tahu cara mengatasinya. Saya pikir, pengalamanlah yang membuat saya lebih kuat dan tabah. Ada satu hal yang terpikir ketika berada di ruang bawah itu. Untunglah ruang itu bersih dan kosong. Bagaimana kalau bau dan ada mayatnya? Bagaimana perasaan korban-korban lain itu ketika mereka dilemparkan ke bawah lalu mencium bau dan meraba tengkorak? Mungkin ada keuntungannya karena situasi di situ gelap hingga tak bisa melihat kenyataan. Tapi justru tanpa bisa melihat orang jadi

membayangkan hal-hal yang lebih mengerikan lagi. Saya merasa beruntung tidak perlu membayangkan yang serem-serem. Di situ bersih dan wangi karbol. Jadi saya bisa konsentrasi pada diri sendiri saja."

"Kau tidak merasa ngeri membayangkannya lagi sekarang?"

"Bayangan itu suka datang, Dok. Seperti awan berarak. Nanti hilang lagi. Saya menerimanya sebagai bagian dari kehidupan saya."

Hilman meraihnya. Mereka berpelukan erat.

Indri pamitan untuk kembali ke kotanya. Rudy akan mengantarnya pulang.

"Nanti kami diundang kan, Mbak Lis?" tanyanya.

"Tentu saja. Biarpun tanpa kartu undangan, kalian harus datang. Awas ya kalau nggak!" sahut Lis sambil tertawa.

"Ini benar-benar liburan yang hebat, Mbak. Menakjubkan. Luar biasa. Ah, susah menggambarkannya. Aku akan pulang dengan membawa cerita bagi orangtuaku, cerita yang bisa melegakan hati mereka. Terima kasih ya, Mbak."

"Wah, terima kasih? Jangan begitu, ah."

"Mbak telah memberiku pengalaman dan pelajaran berharga. Aku merasa bertambah dewasa."

"Bukan aku yang memberikan itu padamu, In. Ada banyak orang yang bermain di sini. Mandar, Adrian, Dok, Rudy, dan semuanya yang lain. Kita saling menjalin, menimbulkan sebab dan akibat. Jadilah pengalaman bagi kita masing-masing."

Indri mengangguk. Ia memeluk Lis dan memberinya kecupan di kedua pipi. Baginya, Lis tetap tokoh paling berjasa dalam membangkitkan kepercayaan dirinya. Sekarang ia sudah punya seseorang yang bisa dijadikan panutan dalam menempuh kehidupan. Dan jalan hidup yang pernah ditempuh Indah akan dijauhinya.

***

Untuk kedua kalinya Hilman mengunjungi rumah Tito Wardoyo, mengecek kiriman pos

yang datang. Waktu pertama kali ke sana, yang ditemukannya cuma brosur-brosur.

Kali ini ia menemukan setumpuk surat di samping beberapa brosur. Ia harus menyeleksi dulu.

Ia tidak membaca nama-nama pengirim. Yang penting ditujukan bagi Tito dan istrinya. Tapi kemudian ia tertegun ketika di bagian belakang salah satu amplop terbaca olehnya, tanpa sengaja, sebuah nama yang sangat dikenal dan terkenal. Yaitu, Mandar! Tidak ada alamat. Hanya nama itu. Tapi cukup mengejutkan bagi Hilman.

Ia termangu sambil memelototi amplop surat di tangannya. Apakah Tito punya kenalan bernama Mandar? Mungkin saja ada orang lain yang punya nama sama. Tapi kenapa dia tidak mencantumkan alamat? Ia memeriksa surat-surat lain. Semua lengkap dengan nama dan alamat. Kalau hanya nama saja, bisa dikategorikan sebagai surat kaleng.

Ia tersentak ketika teringat kepada Rahmat, si bayi. Tito mungkin saja tidak punya kenalan bernama Mandar. Tapi yang pasti dia memiliki seseorang yang punya hubungan dengan Mandar. Yaitu Rahmat!

Tapi mana mungkin Mandar mengirim surat kepada Tito? Dia sudah meninggal.

Lalu dengan perasaan cemas Hilman teringat kepada Adrian!

Mungkin saja dia mengalami phobia. Ketakutan yang tidak pada tempatnya. Ia mencoba menenangkan perasaannya. Tak urung keringat dingin mengaliri tubuhnya.

Akhirnya ia memutuskan untuk membuka surat itu. Dengan hati-hati ia membuka bagian penutup amplop supaya nanti bisa direkatkan lagi bila ternyata dugaannya itu salah.

Selembar kertas ketikan komputer berada di tangannya. Ia membaca. Bulu kuduknya meremang.

Tuan Tito Wardoyo yang terhormat,

Berhati-hatilah terhadap anak angkat Anda! Dia adalah anak haramku, Mandar sang psikopat, dengan salah satu korbanku! Tentunya Anda tahu siapa Mandar itu, kan? Baiklah, kuingatkan lagi bahwa kurang-lebih dua tahun yang lalu aku pernah menggegerkan Ibukota karena membantai belasan perempuan, yang

mayatnya kusimpan ruang bawah tanah rumahku

Kalau Anda tidak percaya tanyakan saja pada Dokter Hilman! Suruh dia mengaku! Bukan tanpa sebab dia peduli pada anak itu.

Waspadalah! Sekarang anak itu memang lucu dan manis. Tapi kelak dia bisa saja menjadi iblis seperti aku. Dia mewarisi sifatku kan? Bagaimana kalau Anda suami-istri dibantainya? Ha-ha-ha!

Aku cuma mengingatkan saja supaya Anda sedia payung sebelum hujan! Dari Mandar: psikopat.

Tangan Hilman gemetar. Jantungnya berdegup kencang. Dia merasa tubuhnya lemas. Bayangkan kalau surat semacam itu dibaca oleh Tito dan istrinya. Bukankah itu merupakan teror mental? Dan bagaimana pula akibatnya bagi si bayi? Ah, ia benar-benar takut memikirkannya.

Ia yakin surat itu ditulis dan dikirim oleh Adrian. Stempel pada perangko menunjukkan nama sebuah kota di Jawa Barat. Tapi itu

saja tidak bisa memastikan keberadaan Adrian. Mungkin dia memang masih berada di dalam negeri. Tapi ia bisa saja mengirim surat itu dari kota yang kebetulan disinggahinya.

Jelas ia tidak mungkin memberikan surat itu kepada polisi, meskipun tujuannya adalah untuk melacak keberadaan Adrian. Lagi pula informasi apa yang bisa didapat dari surat kaleng semacam itu?

Yang membuatnya merinding dan merasa seram adalah tekad Adrian untuk membalas dendam. Bukan cuma kepada Lis, tapi juga kepada si bayi yang tidak punya salah apa-apa kepadanya.

Ia merobek-robek surat itu menjadi potongan kecil kecil. Bahaya kalau disimpan.

Meskipun merasa kaget dan cemas, tapi ia juga merasa beruntung. Bagaimana kalau bukan dirinya yang dimintai tolong mengirim surat-surat itu kepada Tito? Bagaimana kalau tadi ia tidak melihat nama pengirim surat itu? Dan yang paling penting, bagaimana kalau Tito sekeluarga masih tinggal di situ?

Ia percaya, semua itu bukan kebetulan belaka. melainkan bantuan dan perlindungan dari

Yang Maha Kuasa!

Nantikan Kelanjutannya dalam:

Ayahku Seorang Psikopat.

Tamat


Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan

Cari Blog Ini