Ceritasilat Novel Online

Cinta Seorang Psikopat 8

Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari Bagian 8



pas-pasan saja. Santoso bekerja sebagai buruh tani dan tukang batu, sedang Marsiah bekerja sebagai pelayan toko. Tetapi bila menolak, ia juga khawatir mereka akan tersinggung. Mentang-mentang mereka miskin dan dirinya orang kaya. Apalagi ia bersama Lis.

Indri pun tak kalah senangnya. Ia ingin menghabiskan liburnya di Jakarta dan melihat-lihat tempat wisata yang belum pernah dikunjunginya. Di samping itu ia juga merasa tidak enak kalau tak bisa memberi pelayanan yang baik kepada Lis dan Rudy karena keadaan orangtuanya. Jadi saran itu merupakan suatu hadiah besar untuknya.

Orangtua Indri sebenarnya tak terlalu senang. Setelah kehilangan Indah dengan cara yang menyakitkan, tentu mereka tak ingin kehilangan Indri juga. Meskipun Rudy anak yang santun dan ayahnya orang terhormat yang telah banyak membantu mereka, tapi hati orang susah diduga. Apalagi jurang pemisah terlalu dalam. Keluarga Rudy orang kaya, sedang mereka sebaliknya. Sementara itu pergaulan anak muda di Jakarta terkesan mengerikan. Indah sudah mendapat pelajaran pahit dari situ.

Tentu saja Indri berusaha meyakinkan orangtuanya. Ia memperlihatkan surat Lis. Mereka cukup tersentuh membacanya karena tulisan Lis mengandung empati, seperti memahami benar penderitaan mereka dan mengenal mereka biarpun belum pernah bertemu.

"Jadi di sana nanti saya nggak bergaul sama lelaki melulu. Ada juga Mbak Lis ini."

Akhirnya dengan berat hati mereka mengizinkan. Mereka melepas Indri dengan seribu satu nasihat.

Tapi yang mengejutkan kedua orangtua Indri adalah dia membawa serta gaun khusus itu, gaun kembaran seperti yang dikenakan Indah pada hari kematiannya.

"Buat apa?" tanya Marsiah, ibunya.

"Buat tambahan baju, Bu."

"Ah, masa segini kurang. Kan di sana bisa dicuci."

"Sebetulnya sih buat variasi. Kata Rudy, gaun ini bagus sekali. Pantas pada saya," Indri mengaku dengan malu-malu.

Marsiah tak bisa melarang.

Rudy menunggu Indri di Stasiun Gambir. Ia sedang duduk di bangku dengan terkantuk-kantuk ketika Indri duduk di sampingnya dan mencubitnya. Rudy segera melompat dengan tangan menyentak. Indri mengaduh sakit. Tangan Rudy menepuk kepalanya.

Rudy terkejut bukan main. Ia duduk lagi dan membelai kepala Indri.

"Maaf, In. Sakit, ya? Aduh, beribu maaf, ya," kata Rudy dengan cemas.

Indri menepis tangan Rudy.

"Malu, ah. Dilihatin orang tuh."

"Jadi nggak apa-apa, kan? Nggak sampai gegar otak, kan?" tanya Rudy dengan cerewet sambil memelototi wajah Indri.

Indri terbahak. Kepalanya memang sakit, tapi pasti tidak sampai gegar otak.

"Nggak, nggak," katanya dengan geli.

"Cubitanmu sakit sekali, In. Aku kira ada penjahat. Makanya lain kali jangan begitu lagi."

"Sori deh."

"Ayolah. Masa mau duduk terus?"

Mereka berjalan ke tempat parkir. Rudy membawakan tas Indri.

"Aku senang ketemu kamu, In," kata Rudy.

"Aku juga senang dengar kau ngomong begitu. Kukira kau ngambek."

"Bukan ngambek, tapi kaget. Untung aku nggak jantungan. Coba kalau jantungan, kasihan amat kau."

"Kok aku? Bukannya kau?"

"Orang yang nggak sadar nggak tahu apaapa. Tapi yang sadar?"

Indri tertawa. Begitulah Rudy.

"Oh, kau pinjam mobil ayahmu, ya?" kata Indri ketika Rudy membuka pintu sebuah mobil sedan.

"Bukan. Kenalkan, In. Ini mobilku."

Indri tertawa.

"Kok ketawa? Salaman dong. Kan baru kenalan. Entar dia nggak mau terima kamu, lho."

"Tangannya mana?" tanya Indri sambil terbahak.

"Yang mana aja. Itu juga boleh." Rudy menunjuk roda mobil.

"Ih, nggak mau yang itu. Sudah. Nih!"

Indri menepuk atap mobil. Mereka berdua

tertawa.

"Mobil ini bekas, In. Tapi lumayan. Daripada naik motor. Panas kepanasan, hujan kehujanan."

"Dibellin Oom Hilman?"

"Iya dong. Beli sendiri duit dari mana?"

"Mas Eddy dibeliin juga?"

"Tentu saja. Dia ngiri dong kalau nggak."

Dalam hati Indri merasa takjub dan juga sedih. Untuk sebagian orang, membeli mobil seperti membeli kacang goreng. Uang mereka tentu berlimpah, kalau dibandingkan dengan orangtuanya...

"Hei, kenapa melamun?" teguran Rudy memotong pikiran Indri.

"Oh nggak. Lihat Jakarta, aku jadi ingat Mbak Indah," Indri beralasan.

"Sudahlah. Kau ke sini untuk bergembira, kan?"

"Ya," sahut Indri dengan perasaan bersalah karena telah berbohong. Sebenarnya ia tidak ingat pada Indah karena gembira bisa berlibur. Ah, kalau saja sekarang Indah masih ada dan bekerja di rumah sakit tentu ia pergi mengunjunginya, lalu mereka jalan-jalan bersama.

"Sebelum ke rumahku, kita mampir dulu di rumah Mbak Lis, ya. Dia sudah tahu kau akan datang."

"Waduh, aku kusut dan bau begini."

"Nggak. Kau cantik kok. Dan sama sekali nggak bau."

"Kenapa nggak nunggu sampai besok saja, Rud? Saat aku segar-bugar?"

"Nggak lama kok. Dia sudah ingin sekali ketemu kau. Apa kau sendiri tidak ingin ketemu dia?"

"Tentu saja ingin."

"Nah, nunggu apa lagi? Ayo, jalan!" seru Rudy sambil mengacungkan tinjunya ke depan.

Indri tak bisa membantah. Sebenarnya ia juga tidak keberatan. Cuma merasa tegang. Seperti apa gerangan perempuan yang bisa menulis demikian menyentuh?

Malam sebelumnya, setelah mengetahui kepastian kedatangan Indri dari Rudy. Lis bercerita

kepada keluarganya perihal Indah, seperti yang diceritakan Hilman.

Mereka semua terkejut dan ngeri.

"Jadi ada juga korban yang dikenali keluarganya. Kasihan sekali," kata Petty.

"Dia seorang perawat, tapi disangka pelacur. Benar-benar gila si Mandar itu." Anas memaki.

"Tapi dia mengatakan tidak ingat, Pa," kata Lis.

"Meskipun Indri sudah bergaya di depannya dengan mengenakan gaun yang persis sama seperti yang dikenakan Indah saat dibunuh. Padahal katanya wajah Indri pun sama dengan kakaknya itu."

"Kalau dipikir-pikir, buat apa sih dia berbohong dengan mengatakan tidak ingat? Dia toh sudh dihukum. Apa susahnya mengakui saja?" Anas tak habis pikir.

"Apalagi menurut pemeriksaan forensik, lndah adalah korban paling akhir," kata Lis.

"Jadi mestinya ingatannya mengenai Indah paling kuat dibanding yang lain."

"Mungkin dia menyesal karena sadar telah keliru, seperti perbuatannya padamu, Lis," komentar Satya.

"Ya, mungkin begitu," Aria sependapat.

"Orang seperti itu pintar berpura-pura.

Rudy dan Indri mendapat sambutan hangat dari Lis sekeluarga yang saat itu berkumpul komplet. Indri merasa takjub, tak mengira akan keramahan yang diterimanya. Ia mengira keluarga Lis adalah kerabat dekat keluarga Rudy karena Rudy sendiri tak pernah menjelaskan. Tapi ia tak mengerti kenapa dirinya sampai diperlakukan istimewa. Apakah mereka memang kelompok orang-orang ramah yang jarang ada?

Indri pun tercengang ketika diperkenalkan kepada Lis, orang yang selama ini rajin mengirim dan membalas surat-suratnya. Ia tak menyangka Lis masih muda dan cantik. Padahal dalam surat-suratnya Lis seolah menempatkan dirinya sebagai orang yang sudah berumur.

Indri sangat canggung dan malu karena dirinya menjadi pusat perhatian. Orangtua Lis bertanya ini-itu perihal orangtuanya, tidak mendetail melainkan basa-basi keramahan saja.

Sedang kedua kakak Lis tak berlama-lama menemani. Mereka pergi setelah bicara sedikit. Pada perasaan Indri mereka hanya ingin melihat dan berkenalan dengannya saja. Apakah mereka hanya ingin tahu seperti apa rupa gadis pacar Rudy?

Lalu dia teringat dengan terkejut bahwa mereka tentu sudah tahu mengenai kisah Indah. Itu jelas. Lis tahu dari Rudy dan surat-suratnya. Jadi semua keluarga tahu. Itu sebabnya mereka sangat ramah dan penuh perhatian. Kecurigaan dan kebingungannya lenyap berganti menjadi keharuan. Orang-orang ini biarpun kaya dan terpelajar tapi masih menaruh iba dan perhatian kepada penderitaan orang lain. Ini adalah hal baru baginya. Ia harus menceritakannya kepada orangtuanya nanti.

Lis menyilakannya untuk mandi dan menggunakan kamarnya untuk berdandan. Semula Indri menolak karena malu, tapi orangtua Lis juga mendorongnya.

"Supaya jadi segar dan bersih sebelum melanjutkan perjalanan," kata Fetty.

"Kan nggak jauh, Bu."

"Jauh juga sih."

Indri menurut juga karena kemudian ia berpikir, pertemuan dengan Hilman tentu lebih penting lagi. Ia ingin tampil bersih dan segar.

Lis mengajaknya ke kamarnya. Rudy membawakan tasnya. Setelah meletakkannya di dalam kamar, Rudy keluar lagi untuk bergabung bersama orangtua Lis.

"Kapan-kapan menginaplah di sini, In," kata Lis.

"Kau bisa tidur sekamar denganku."

"Aku takut tidurnya ngorok, Mbak," Indri sudah bisa bergurau.

"Biarin ngorok juga. Nggak apa-apa. Nah, kamar mandinya di belakang, ln. Terus saja ke sana."

Saat Indri mandi, Lis berkumpul dengan Rudy dan orangtuanya. Satya dan Aria tak kelihatan.

"Dia cantik ya, Rud. Jadi Indah mirip dengan dia," kata Lis.

"Ya. Gaunnya yang khusus itu pun dibawanya serta. Aku yang minta."

"Eh, buat apa? Memangnya mau diperlihatkan lagi kepada si Mandar?" tanya Anas.

"Entah, Oom. Nggak ada maksud tertentu sih, Cuma ingin lihat lagi."

"Aku juga ingin melihatnya," kata Lis.

Fetty berdiri.

"Aku akan siapkan makan, ya. Dia tentu lapar. Kautemani dia ya, Rud. Kalau makan ramai-ramai nanti dia malu."

Anas ikut masuk bersama Fetty.

"Kau jangan cerita dulu tentang diriku, Rud," kata Lis setelah mendapat kesempataan berduaan.

"Tentu saja nggak, Mbak. Aku nggak pernah ngomong kepada siapa pun. Kecuali dengan Eddy."

"Sebenarnya sudah banyak orang yang tahu, hingga itu bukan lagi rahasia. Tapi biar aku cerita sendiri bila saatnya tiba."

"Ya, Mbak," sahut Rudy dengan respek. Kini Lis bukan lagi orang yang menyimpan misteri di matanya. Tadinya ia sering mempertanyakan hal itu meskipun cuma pada diri sendiri. Bertanya pada ayahnya tentu tidak mungkin. Ternyata itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Dia dan Eddy sangat kaget mendengarnya. Tapi mereka berdua sangat respek untuk kesediaan Lis membuka diri. Hilman sudah mengatakan bahwa Lis sendiri yang memintanya untuk bercerita. Itu berarti Lis sudah merasa dekat dan

mempercayai mereka.

"Entar ikut ke rumah, Mbak? Mungkin Papa sudah selesai praktik."

"Nggak ah. Habis praktik biasanya dia mempelajari lagi kasus-kasus pasiennya. Kalau aku datang kan mengganggu. Besok lusa toh masih bisa ketemu."

Mereka berbincang-bincang sampai Indri keluar. Dia sudah mandi dan tampak ayu.

"Mbak Lis, ada surat dari Ibu," katanya sambil menyodorkan amplop tertutup.

Lis membuka amplop lalu membacanya. Kemudian ia menatap Indri.

"Kau sudah tahu apa yang ditulisnya?"

"Nggak tuh, Mbak. Waktu aku tanya, dia bilang pokoknya ini pesan dari Ibu aja."

"Ya. Dalam surat ini jelas tertera kekhawatiran seorang ibu yang melepas putri dan anak satu-satunya pergi jauh ke Jakarta, padahal trauma kehilangan belum pupus dari ingatan."

Indri menatap Lis dengan cemas.

"Apa katanya, Mbak? Memang dia berat hati, tapi aku bilang di sini ada Mbak Lis yang sangat memperhatikan. Aku berikan surat-surat yang ditulis Mbak dan setelah membacanya baru dia percaya."

"Kau memaklumi kekhawatirannya, kan? Kehilangan anak itu berat sekali, In." Mata Lis menerawang sejenak.

Rudy memahami kata-kata dan sikap Lis.

"Aku akan menjaga Indri dengan baik, Mbak. Di rumah dia aman, biarpun semuanya lelaki. Dan ke mana-mana dia tidak boleh sendirian."

"Itu bagus sekali, Rud," kata Lis.

"Begini, In. Ibumu menitipkan kau padaku. Tanggung jawab itu berat sekali. Kita harus bekerja sama. Bukan hanya kami yang harus menjagamu, tapi kau juga harus menjaga dirimu sendiri dengan sebaik-baiknya. Yang paling tahu tentang kita adalah kita sendiri, bukan? Tak mungkin orang lain menjaga terus-terusan. Maaf, kalau aku terkesan menggurui, In. Tapi aku bisa ngomong begini berdasarkan pengalaman pribadi."

Indri mengangguk.

"Ya, Mbak. Terima kasih sudah diingatkan."

Ia jadi malu pada diri sendiri. Tadinya surat itu tak mau ia sampaikan kepada Lis. Ia sudah bisa memperkirakan apa isinya dan menganggap ibunya terlalu mengada-ada. Ia yakin bisa menjaga diri dengan baik. Biarpun menginap di

rumah pacar, tapi di sana mereka tidak hanya berdua, kan? Tapi melihat sikap Lis dan seisi rumah itu, ia tak jadi menyembunyikan surat itu.

Tak lama setelah Rudy dan Indri berangkat dari rumah Lis, telepon berdering dari Hilman.

"Oh ya, Dok. Mereka tadi mampir dulu ke rumahku. Indri sempat mandi dan makan dulu. Kelihatan capek. Ada bagusnya juga. Saya sempat berbincang dengan Indri. Ibunya menitipkan surat, minta tolong menjaga Indri. Ia khawatir karena Indri menginap di rumah pacar dan mereka sama-sama masih muda."

"Wah, sayalah yang mestinya diserahi tanggung jawab karena itu saranku. Tapi saya percaya mereka tidak akan macam-macam. Karena tahu riwayat Indri dan kakaknya, pasti Rudy menaruh respek. Apalagi Rudy pun pernah ke rumah Indri dan mengenal orangtuanya."

"Saya juga percaya sama Rudy. Tadi dia juga

ngomong akan menjaga Indri dengan baik. Berikan kepercayaan kepadanya."

"Kenapa nggak ikut sama mereka, Lis?"

"Tadi Rudy juga mengajak, tapi saya tahu apa yang sedang Dok lakukan sekarang. Masih mempelajari kasus pasien, bukan?"

"Kok tahu sih?" Hilman tertawa.

"Tahu aja. Buat kita waktu masih banyak."

"Besok, ya? Saya jemput sore-sore."

"Baik, Dok. Siap-siaplah menyambut kedatangan anak titipan dari Purworejo!"

Lis tertawa dan menutup telepon.

"Aku malu dititipi surat sama Ibu," kata Indri kepada Rudy dalam perjalanan.

"Kenapa?"

"Aku merasa dianggap seperti anak kecil."

"Ah, kenapa kau mesti merasa begitu? Itu pikiran yang salah! Mestinya kau bersyukur punya ibu yang memikirkan dan mengkhawatirkan dirimu. Coba kalau dia biarkan saja kau keluyuran ke mana-mana tanpa diperhatikan, gimana? Itu kan tandanya sayang. Dulu waktu mamaku masih ada, dia juga suka cerewet begitu dan aku sering kesal. Tapi setelah dia tak ada lagi, aku menyesal dan merasa kehilangan. Tak ada lagi orang yang memikirkan dan mengkhawatirkan aku."

Indri tertegun, tak menyangka mendapat reaksi emosional dari Rudy.

"Kan masih ada papamu," katanya menghibur.

"Seorang ayah itu lain dari seorang ibu, In. Masa kau nggak bisa bedain sih?"

Indri termenung. Tentu saja ia membenarkan ucapan Rudy itu. Hatinya jadi penuh sesal karena sempat menganggap ibunya terlalu cerewet. Ia juga sempat jengkel karena disamakan dengan Indah. Pergi jauh tahu-tahu kemalangan menimpa. Dia kan berbeda. Tapi sekarang ia sadar bahwa kemalangan yang menimpa itu bisa berbeda bentuknya.

"Oh ya, Rud. Nanti setibanya di rumah tolong teleponin nomor ini." Indri mengeluarkan secarik kertas bertuliskan nomor dari dalam tasnya.

"Ini telepon tetangga. Kasih tahu aku

sudah tiba dengan selamat."

Rudy menolak menerima kertas ke itu.

"Kau saja yang nelepon, In. Kalau disimpan olehku nanti bisa hilang."

"Tapi teleponnya tentu mahal, ya. Interlokal sih."

"Sudah nggak apa-apa. Itu nggak ada artinya dibanding kecemasan ibumu."

"Baiklah. Terima kasih, Rud. Kalian semua baik banget sama aku."

"Itu disebabkan karena kau pacarku. Coba kalau bukan," Rudy menyombong.

Indri memonyongkan mulutnya.

"Huuu...! Kamu geer deh!"

"Ah, nggak. Mestinya yang ge-er itu kamu, bukan aku."

"Masa sih?"

"Iya. Coba pikir saja."

Indri memikirkannya, tapi tidak menemukan jawabannya. Rudy menertawakannya. Akhirnya ia ikut tertawa.

"Nanti kapan-kapan aku nginap di tempat Mbak Lis ya, Rud."

"Oh ya, tentu."

"Dia sangat menyenangkan, ya."

"Oh iya. Tentu," sahut Rudy bangga.

"Kok kamu kelihatan begitu kagum padanya, Rud."

"Tentu saja. Dia calon ibuku," Rudy kelepasan bicara.

"Apa?" Indri terkejut. .

"Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu bahwa kau tahu ya, In? Apalagi tahunya dari aku."

"Oke. Beres. Kapan mereka kawin?"

Indri membayangkan pesta yang meriah.

"Belum tahu. Rencananya belum ada. Mereka baru pacaran."

"Mereka pasangan serasi, Rud!" seru Indri.

Rudy terheran-heran. Pernyataan itu begitu

spontan. Semula dikiranya Indri akan mengemukakan perbedaan umur yang terlalu besar. Rupanya ada saja orang yang melihatnya dari sisi lain.

****

ADRIAN dilanda stres selama berhari-hari, berawal dari pengakuannya kepada Lis. Ia merasa hidupnya kosong. Dulu ia suka merasakan hal yang sama, tapi penyebabnya berbeda. Dulu ia miskin, dan betapa kerasnya pun ia bekerja dan berupaya, tetap saja miskin. Segala yang menyenangkan diperolehnya dari Mandar. Kadang-kadang ia menikmati, tapi kadangkadang ia merasa harga dirinya terusik. Mandar membagi kesenangan karena membutuhkan teman. Selain hartanya, sesungguhnya Mandar bukanlah seorang teman yang sejati. Tak bisa melakukan curhat atau berbagi duka dan isi hati dengannya. Mandar hanya ingin berbagi suka dan tawa, karena tertawa sendiri bisa dianggap gila.

Baru sekarang ia menyesal karena membiarkan hidupnya dimonopoli oleh Mandar. Dan juga oleh orangtua Mandar dan orangtuanya sendiri. Mereka selalu menyuruhnya berteman dengan Mandar, karena Mandar tak punya teman. Mereka main berdua, ke mana-mana berdua, tanpa kekurangan materi sedikit pun. Itu sebabnya Mandar jadi merasa superior. Tanpa Mandar mana mungkin ia bisa makan enak, jalan-jalan ke luar negeri, dan berbagai kesenangan lainnya.

Ia menyesal karena keadaan itu membuat ia kehilangan kesempatan untuk memperluas pergaulan dan berupaya mencari teman yang baik. Tapi sebenarnya ia harus mengakui juga bahwa ketika itu ia terlalu minder. Ia sendiri juga merasa, tak ada gunanya mencari teman.

Berkali-kali Mandar menyuruhnya mencari pacar. Tanpa disuruh pun ia sudah melakukannya. Sebagai lelaki normal wajar kalau ia kerap melirik gadis-gadis dan sering mendapat tanggapan positif. Dalam satu hal ia cukup percaya diri, yaitu penampilan fisik. Ia tahu dirinya gagah dan ganteng. Tetapi ia tak mau menutupi kenyataan bahwa dirinya tidak punya apaapa. Dan semua yang ada padanya itu hanyalah

pinjaman. ia cuma seorang Karyawan pemasaran yang gajinya tak cukup untuk kebutuhan hidupnya sendiri. Lalu gadis-gadis itu pergi. Mereka tak mau diajak berbagi derita atau disuruh kerja banting tulang untuk mencukupi hidup berdua.

Mandar sering menghiburnya dengan mengatakan bahwa ia selalu memilih gadis yang salah. Ia tidak kebetulan mendapat pacar. Mungkin nanti. Jadi teruslah mencari. Padahal ia sudah lelah dan bosan. Setiap kali tertarik pada seorang perempuan, belum apa-apa ia sudah curiga duluan. Kalau sudah jelas perempuan itu mata duitan, bisa ia tinggalkan buru-buru tanpa membiarkan diri terlibat terlalu dalam.

Kemudian ia pernah menjalin cinta dengan seorang gadis yang cukup serius. Ia mengira gadis yang satu itu berbeda dibanding dengan yang lain. Ia punya harapan karena gadis itu mengaku berasal dari keluarga tidak mampu. Bila demikian tentunya tidak mengejutkan lagi baginya bila diajak hidup sederhana. Tapi apa kenyataannya kemudian? Setelah ia membuka diri, ternyata cinta si gadis lenyap. Katanya,

"Aku sudah bosan hidup melarat!"

Ia mencoba membujuk,

"Bukankah kehidupan ini bagai roda? Sekarang di bawah, besok bisa di atas. Siapa tahu suatu saat aku berhasil maju?"

"Ya, kalau berhasil. Kalau tidak? Kau terlalu spekulatif. Aku tak mau hidup dengan angan-angan dan mimpi. Yang penting itu awalnya. Bagaimana kalau pada awal membina kehidupan kita sudah melarat dan jatuh-bangun?"
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku masih punya saudara yang tidak akan membiarkan hal itu terjadi," ia terpaksa mengatakan itu, karena dorongan ingin meyakinkan.

"Ah, kau terlalu lama hidup di bawah ketiak saudaramu!"

Kata-kata itu membuat ia gusar. Sangat menyinggung harga diri.

Tapi semua itu sudah berlalu. Kemudian ia jatuh cinta lagi. Kali ini kepada Lis. Tetapi Lis juga menolaknya meskipun bukan karena alasan materi. Dialah yang salah. Itu diakuinya dengan sadar. Ia tak bisa menyalahkan Lis.

Ia mulai putus asa meskipun tak ingin kehilangan harapan. Lis bilang masih mau berteman. Ia percaya, Lis orang yang tulus. Ia juga percaya lewat hubungan pertemanan cinta masih bisa tumbuh. Tapi kadang-kadang ia cemas.

Orang selalu bilang, dunia ini bukan sedaun kelor. Ada banyak perempuan lain. Apalagi sekarang ia tidak perlu lagi takut ditolak karena dirinya tak berpunya. Ia kaya sekarang. Ia bisa mendapat pacar dengan mudah. Semudah membalik telapak tangan. Tapi itu terlalu gampang. Tak ada tantangannya. Lagi pula, yang paling penting, adakah perempuan dengan kualitas seperti Lis?

Ia sangat mencintai Lis!

Perjuangannya sangat berat. Tapi itu harus dilakoninya kalau mau berhasil. Hidup mengandalkan harapan melulu adalah sia-sia.

Ia menghubungi ponsel Lis.

"Lis? Apakah aku mengganggu?"

"Oh, lan? Nggak. Ada apa?"

Suaranya kedengaran biasa saja, pikir Adrian. Tidak ada nada marah atau judes. Tapi Lis memang bukan tipe judes. Ia mendapat hati.

"Begini, Lis. Selama ini aku stres berat karena merasa bersalah. Kau sudah memaafkan aku. Tapi keluargamu belum. Boleh aku datang untuk khusus meminta maaf kepada mereka?"

Di sana hening sejenak. Lis sedang berpikir.

"Boleh. Datanglah."

Kedengarannya tak ada masalah, pikir Adrian dengan optimis.

"Terima kasih, Lis "

"Tapi Ian. Siap mental saja, ya?"

"Oh ya. Tentu saja. Terima kasih."

Setelah membuat janji, telepon ditutup. Lalu Adrian tertawa gembira. Biarpun mendapat peringatan, tapi izin dari Lis itu cukup memberi harapan.

Lis memberitahu Hilman perihal janjinya dengan Adrian itu lewat telepon.

"Itu baik, Lis. Siapkan juga keluargamu supaya mereka tidak kaget."

"Rasanya saya akan melihat pertunjukan, Dok."

"Dia sangat berani. Dan cukup kesatria."

"Ya. itu harus saya akui. Saya juga sudah bilang padanya agar siap mental."

"Orang yang stres harus ditangani dengan hati-hati, Lis."

"Tentu, Dok."

"Baiklah. Saya tunggu ceritanya ya, Sayang."

Lis menutup telepon sambil tersenyum. Ia selalu merasa tergelitik kalau Hilman menyebutnya "Sayang".

Anas menggerutu ketika Lis menyampaikan kabar itu.

"Buat apa sih dia ke sini. Lebih baik tidak pernah memperlihatkan mukanya kepada kita."

Fetty lebih toleran.

"Tapi dia membutuhkan keberanian untuk melakukan hal itu, Pa. Dia tentunya malu sekali. Dan juga takut dimaki. Toh dia mau melakoninya."

Kedua kakak Lis yang semula teramat geram kepada Adrian sudah berbalik pikiran. Mereka merasa tersentuh karena menganggap Adrian cukup berjiwa besar untuk mengakui perbuatannya. Padahal tanpa mengaku pun tak ada yang tahu. Kecuali Hilman.

"Sudahlah. Maafkan saja dia," kata Aria.

"Memberi maaf itu kan besar pahalanya."

"Betul," sambung Satya.

"Apalagi dia bukan Mandar."

"Ingat, Pa. Menurut Hilman, Adrian itu penting untuk dibaiki supaya bisa memberi info perihal Mandar. Dan jangan lupa dia bisa berbuat buruk kepada si bayi kalau disakiti hatinya," Petty membujuk suaminya.

"Ya, ya, ya. Aku cuma sebal saja sama dia," sahut Anas.

"Dan satu hal lagi," lanjut Fetty.

"Kalau dia tidak jatuh cinta kepada Lis, pasti dia akan mengikuti saja apa pun yang diperintahkan Mandar kepadanya."

Semuanya, termasuk Lis. tersentak mendengarnya. Yang itu tidak terpikirkan.

Adrian disambut dengan cukup baik oleh keluarga Lis. Itu di luar dugaannya. Meskipun ia tidak diperlakukan dengan hangat seperti dulu, tapi toh tidak dingin, apalagi dengan sikap bermusuhan. Segera terpikir bahwa hal itu pastilah karena jasa Lis yang berhasil membujuk keluarganya.

"Yang meringankan, lan," kata Anas seolah sedang mengadili,

"kau bersikap baik kepada Lis selama ini."

"Kami harap kau tidak mau melaksanakan

suruhan jahat Mandar," kata Satya.

"Tentu saja tidak. Saya sudah cukup sering membohonginya."

Sementara anggota keluarganya mewawancarai Adrian, diam-diam. Lis menyelinap pergi ke ruang lain. Lama-lama pembicaraan berkisar seputar Mandar melulu. Ia tidak suka mendengarnya.

Meskipun ditanyai kanan-kiri, Adrian menyadari kepergian Lis. Tapi ia tentu tidak berani mencegah atau memanggilnya. Sekarang yang berkepentingan dengan dirinya adalah para anggota keluarga. Demikian pula dia.

Ketika akhirnya semua itu selesai, ia pamitan dengan perasaan lega tak kepalang. Stresnya sudah hilang sebagian. Ia menemukan Lis duduk di teras. Sebenarnya ia sangat ingin duduk juga di situ dan mengobrol berdua dengan Lis, seperti dulu. Tetapi Lis berdiri dan orangtuanya mengawalnya sampai pintu pagar. Ia tidak terlalu kecewa. Bagaimanapun hari itu berakhir dengan baik.

Pada saat orangtuanya masuk rumah, Lis masih menemaninya sebentar.

"Terima kasih, Lis," kata Adrian.

"Tak perlu berterima kasih kepadaku."

"Aku tahu pasti berkat jasamu maka aku dimaafkan."

Sebenarnya Lis ingin menyahut dengan dingin, tapi ia merasa itu tidak pantas.

"Ah,, nggak begitu kok. Mereka kan punya pendirian sendiri. Jadi kau lega sekarang, Ian?"

"Ya. Lega sekali."

Ekspresi Adrian yang menampakkan kesesuaian dengan ucapannya membuat Lis cukup tersentuh. Seorang psikopat seperti Mandar tidak harus punya saudara yang jahat juga seperti dirinya. Lalu ia teringat kepada si bayi. Ia berharap si bayi iuaa demikian.

Siang itu sekeluarnya dari gedung tempat kursus, Lis melihat Adrian sedang menunggu. Ia memang tidak mengharapkan Rudy, karena Rudy tentunya sedang punya kesibukan dengan Indri.

Tani ia tidak bisa menolak aiakan Adrian

untuk mengantarkannya pulang. Itu adalah pertama kali Adrian menjemputnya lagi setelah pengakuannya. Pasti keberaniannya tumbuh setelah mendapat maaf dari semua orang. Dan setelah itu harapanyapun muncul kembali. Dia seorang lelaki yang gigih, pikirnya. Seharusnya itu merupakan nilai lebih yang patut dikagumi. Tetapi hanya kegigihan seperti itu tak bisa merebut cintanya. Ia sudah memberikan cintanya kepada Hilman karena yang dilihat dan dikaguminya dari ahli jiwa itu merupakan sesuatu yang jauh berlebih. Setelah trauma itu pandangan dan penilaiannya mengenai lelaki sudah jauh berubah dibanding dulu.

Ia jadi merasa bersalah kepada Adrian. Seharusnya ia tidak boleh membiarkan harapan Adrian tumbuh dan berkembang. Ia memang sudah menolak cintanya. Adrian hanya ingin berteman. Terlalu naif kalau ia percaya saja. Apakah ia sebaiknya berterus terang bahwa ia sudah menjalin cinta dengan Hilman supaya Adrian berhenti berharap dan berhenti pula berupaya?

Tetapi bagaimana kalau Adrian memang cuma ingin berteman dengannya? Kalau memang benar tentu dia merasa malu sendiri karena punya persangkaan yang salah. Mungkin juga Adrian akan merasa tersinggung harga dirinya. Orang cuma ingin berteman kok!

Akhirnya ia memutuskan untuk tidak perlu menyinggung soal itu. Yang penting ia tidak boleh memberi hati atau memberi harapan. Kebimbangannya bisa ia singkirkan dengan pikiran bahwa semua itu risiko Adrian sendiri. Kenapa ia harus pusing dan merasa bersalah?

"Bagaimana kalau kita makan siang dulu, Lis?" tanya Adrian dengan sikap kurang percaya diri. Ia nekat mengajak.

Lis memasang wajah segan. Sebelum ia bieara, Adrian sudah mendahului,

"Kalau kau nggak mau, nggak apaapa, Lis. Aku cuma ingin mengobrol saja sambil makan."

Tiba-tiba terpikir oleh Lis akan informasi yang bisa diperolehnya dari Adrian.

"Baiklah, aku mau. Tapi aku nelepon Mama dulu, ya?"

Adrian mengangguk senang.

***

Pas Lis masuk mobil Adrian yang kemudian melaju, muncul mobil yang dikendarai Rudy dengan Indri di sampingnya. Rudy melihat Lis

dan sempat membunyikan klakson, tapi Lis tidak menengok.

"Yaaah... dia nggak denger," keluh Rudy.

"Kejar saja," usul Indri.

"Nggak enak ah. Dia kan udah sama Mas Adrian."

"Rasanya orang itu pernah aku lihat. Tapi nggak jelas juga. Bener dia atau bukan."

"Siapa yang kaumaksud?"

Rudy melambatkan kendaraannya. Ia tak bermaksud mengejar mobil Adrian.

"Kalau aku nggak salah dia pernah kulihat waktu keluar dari penjara. Itu lho, waktu aku sama Oom dan Bapak-Ibu menemui Mandar. Dia itu pingsan lalu digotong-gotong."

"Oh ya, memang dia. Papa pernah cerita. Dia pingsan karena kaget melihat Papa."

"Melihat Oom?"

"Ah, sepertinya dia bukan melihat Oom. Tapi_.," Indri ragu-ragu.

"Tapi apa?"

"Ah, nggak. Mungkin aku salah. Jadi, kenapa dia pingsan?"

"Dia takut ketahuan identitasnya. Cuma Papa yang tahu. Eh, ketemunya di situ."

"Memangnya siapa dia?"

"Dia adalah sepupunya Mandar!" kata Rudy dengan suara yang dibuat menyeramkan.

"Idih." Indri terkejut.

"Kok Mbak Lis jalan sama orang itu? Apa dia nggak takut?"

Rudy tidak bermaksud menceritakan hubungan Lis dengan Mandar.

"Papa sudah kenal baik sama dia. Biarpun dia sepupunya penjahat, bukan berarti dia penjahat juga, kan? Papa dapat info banyak tentang Mandar dari dia."

"Jadi dia orang baik-baik?"

"Iya dong. Kalau nggak mana mungkin Mbak Lis mau jalan sama dia."

Biarpun berkata begitu, sebenarnya perasaan Rudy berkata lain. Ia dan Eddy sudah diceritai soal Adrian lebih awal dari permasalahan Lis. Biarpun kemudian Hilman juga menjelaskan bahwa hubungan mereka dengan Adrian tetap harus dijaga dengan baik supaya Adrian lebih berpihak kepada mereka dibanding kepada Mandar, tapi ia tetap merasa kurang suka melihat Lis bersama Adrian. Ia tahu, tadinya Adrian naksir berat kepada Lis, tapi kemudian Lis menolaknya. Mereka hanya berteman, katanya.

Tapi biarpun hanya berteman, bukankah Lis itu sekarang calon istri ayahnya? Seharusnya tidak pergi dengan lelaki lain biarpun cuma diantarkan pulang. Bagaimana kalau Lis diapaapakan karena merasa diberi hati? Apalagi Adrian itu sepupu Mandar. Mestinya ada sesuatu persamaan dalam darah mereka.

Ia juga bertanya-tanya. Apakah Lis tidak sakit hati kepada Mandar dan juga pada siapa pun yang punya hubungan dengan Mandar?

"Kenapa tiba-tiba jadi diam?" tanya lndri.

"Aku mau tanya, In. Kalau kamu sudah jadi pacar seseorang apa kamu masih mau jalan sama lelaki lain?"

Indri bingung sejenak. Kemudian ia tertawa.

"Oh, aku ngerti deh Mbak Lis itu, kan? Jalan sama jalan-jalan itu kan lain? Dia kan cuma dianterin pulang. Apa salahnya?"

"Jadi menurutmu itu nggak salah?"

"Nggak dong. Yang salah itu kalau mau jalan sama lelaki yang nggak dikenal."

Rudy tertegun sejenak. Dulu Lis mendapat musibah karena melakukan hal yang dikatakan Indri itu.

"Wah, kau lebih pinter, ya."

"Lebih pinter dari siapa?" Indri ingin tahu.

"Dari aku."

"Bohong, ah."

"Terserah."

Tapi Indri tidak ingin melanjutkan topik itu. Ia lebih suka memikirkan soal lain.

"Sepupunya Mandar itu, Rud. Apakah dia tahu mengenai perbuatan Mandar?"

"Katanya sih nggak. Kalau dia tahu pasti dia juga dihukum dong."

"Ada berapa sepupunya, eh, saudaranya?"

"Dia cuma satu-satunya sepupu dan saudara. Mandar anak tunggal dan Mas Ian juga," sahut Rudy.

"Dan sebelum kau bertanya lagi, aku beritahu sekalian bahwa keduanya yatim-piatu.."

"Wah...

"

"Wah, kenapa? Ya, aku tahu maksudmu. Kekayaan Mandar yang banyak itu nanti jatuh ke tangan Adrian."

"Rumahnya juga?"

"Tentu saja."

"Kau baik sama Mas Ian itu, Rud?"

"Kenapa?" Rudy jadi berprasangka.

"Barangkali dia mau mengizinkan kita melihat rumah Mandar. va Rud?"

"Apa?" Rudy terkejut. Apakah Indri sudah ketularan Lis?

"Di sana kan kuburannya Mbak Indah..." Indri terisak sebentar.

"Sudahlah, In." Rudy menepuk lengan lndri.

"Jangan mikir yang bukan-bukan. Kuburan Indah itu di sana, di kampung halamannya."

"Tapi dia sempat di situ selama entah berapa lama."

"Sebaiknya jangan melihat tempat menyeramkan, ln."

"Kan ditemani kamu, Rud. Apa kamu takut?"

Rudy geleng-geleng kepala. Apa gerangan yang menimpanya sampai dua orang perempuan yang dekat dengannya sama-sama minta diantarkan melihat rumah Mandar, si monster?

"Tolong dong, Rud," rayu Indri.

"Buat apa sih cari gara-gara...," gerutu Rudy.

"Apa, Rud?"

"Kita lihat depannya saja, yuk? Sekarang juga bisa."

"Ah, depannya sih udah lihat. Nggak mau."

"Kalau ada hantunya gimana?"

"Mbak Indah nggak akan jadi hantu."

"Tapi korbannya Mandar itu banyak, ln. Ada belasan. Semuanya mati penasaran."

"Pokoknya aku ingin lihat."

"Nanti kau mimpi buruk, In," bujuk Rudy.

"Trauma yang menyakitkan itu nantinya malah teringat terus."

"Risiko itu akan kutanggung. Kau nggak perlu cemas, Rud. Tapi biarin. Kalau kau nggak mau menolong, aku akan minta tolong sama Mbak Lis saja. Barangkali dia mau mengenalkan aku sama Mas Adrian itu. Kapan lagi aku punya kesempatan?"

Rudy terperangah. Ia tidak percaya kepada Adrian. Lelaki itu tidak membangkitkan respeknya. Sudah cintanya ditolak Lis tapi kok masih saja mendekati. Suatu kegigihan atau tidak tahu malu? Ia harus melindungi Indri, tapi tak ingin mengecewakannya.

Adrian sangat senang bisa mengajak Lis makan. Tapi ia mengingatkan diri untuk berhati-hati

dalam bersikap.

"Tempo hari aku sama Rudy menggedor pintu rumah Mandar. Kau tahu, kan?"

"Ya. Maafkan aku, Lis. Aku tidak bisa membukakan pintu. Aku sangat takut melihatmu."

Tapi Lis tertawa.

"Ya. Bisa kubayangkan betapa takutnya kau. Dan aku sendiri mungkin bisa semaput seandainya kau keluar."

Adrian tersenyum kecut.

"Ah, masa iya. Kukira malah sebaliknya. Kau akan melabrakku habis-habisan. Boro-boro mau memaafkan."

"Untung saja kau masih bisa sembunyi, ya."

"Ya," sahut Adrian tak bisa lain.

"Maafkan aku."

"Ah, sudahlah."

"Boleh aku tahu, Lis. Apa tujuanmu ke situ? Mustahil seperti orang lain yang cuma kepengin tahu saja. Kau punya trauma yang..." Adrian terdiam karena khawatir menyinggung perasaan Lis.

Tapi Lis tersenyum. Ia justru ingin mengarahkan Adrian ke sana.

"Untuk menghilangkan mimpi burukku, aku harus berani menghadapi hal-hal yang pernah membuatku trauma. Kulihat dan kuhadapi. Melihatnya secara riil. Bukan dalam mimpi yang tidak nyata. Setelah melihat yang nyata, maka yang tidak nyata tak perlu lagi ada."

"Itu sebabnya kautemui Mandar?"

"Ya."

"Sekarang tak mimpi buruk lagi?"

"Tidak. Tapi aku masih belum puas. Ada yang belum kulihat."

"Apa itu?" tanya Adrian dengan was-was.

"Kamar si Mandar. Tempat di mana dia menyiksaku."

Adrian ternganga. Dugaannya meleset. Tadinya ia mengira yang dimaksud Lis adalah ruang bawah tanah itu. Semua orang ingin melihat itu.

"Tapi "

"Boleh aku ke sana untuk melihatnya? Katanya rumah itu sudah jadi milikmu."

Adrian tak bisa menolak.

"Kau sangat berani."

"Sekarang?"

Lis memandangi ruang tidur yang besar. Ia masih ingat. Meskipun ketika itu ia dalam keadaan panik dan ketakutan, tapi ia sempat memandang berkeliling. Tak sampai mendetail, tapi secara garis besar ia masih ingat. Ruang itu masih seperti dulu. Gordennya. Seprainya. Sepertinya masih ada yang menempati.

Ia bergidik.

"Kenapa, Lis?" tanya Adrian yang sejak semula mengamati dengan cemas.

Lis menggosok-gosok kedua lengannya.

"Ayolah, kita keluar. Sudah cukup melihatnya, kan?"

"Siapa yang tidur di sini?"

"Tidak ada."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi dibiarkan seperti dulu?"

"Ya."

"Kenapa?"

"Aku belum sempat membereskan. Kupikir tidak mendesak."

"Tahukah kau? Ini ruang paling kejam!" suara Lis meninggi.

"Di sinilah si Mandar mengawali kekejiannya! Semuanya di sini! Ruang bawah itu cuma akhir!"

Adrian memegang pundak Lis, lalu setengah

menariknya ke luar ruangan. Kemudian pintu ia tutup dengan kakinya. Sesudah itu ia membimbing Lis terus ke luar, sampai ke teras.

"Duduk dulu, ya Lis. Aku ambilkan minum."

Lis menurut saja. Ia seperti orang linglung. Tapi setelah minum air putih yang diberikan Adrian, ia pulih kembali. Ia tersenyum dan mengangguk.

"Terima kasih, lan."

"Aku sungguh cemas tadi, Lis. Aduh, aku sampai berkeringat dingin."

"Semua sudah lewat."

"Sudah? Kau tidak apa-apa sekarang? Kalau sampai kenapa-napa, orangtuamu pasti marah besar padaku."

"Aku yakin tidak akan apa-apa. Karena itu aku berani melakoninya."

Adrian menatap Lis dengan bingung, tapi tambah kagum. Perempuan seperti Lis pastilah tak ada lagi. Upaya menyembuhkan diri seperti yang dilakukannya pastilah akan membuat orang lain malah semakin sakit.

"Dorongan apa yang membuat kau begitu berani?"

"Dendam!"

Ucapan yang dilontarkan Lis itu begitu ekspresif hingga menggetarkan perasaan Adrian. Ia benar-benar terpesona.

Lalu Lis melompat bangun.

"Terima kasih untuk bantuanmu, lan. Aku mau pulang sekarang."

"Nggak ngobrol dulu?"

"Ngobrol di tempat seperti ini? Harusnya kaubakar saja, Ian! Itulah yang ingin kulakukan!"

Adrian terdiam. Ia mengagumi Lis tapi juga tidak mengerti. Lis kelihatan lebih bersemangat sesudah melihat kamar Mandar, padahal waktu masih berada di situ, dia tampak amat mencemaskan. Tubuhnya seperti menggigil, wajahnya bersemu merah, dan matanya membesar. Dia seperti orang demam tinggi. Hampir saja Adrian meraih ponselnya untuk memanggil Hilman. Apa yang mau dilihatnya di kamar itu? Membangkitkan kenangan lama? Sama seperti ia menemui Mandar? Padahal bagi orang lain, kenangan menyakitkan sebaiknya dilupakan.

Semula ia senang akan keberanian Lis memasuki rumah itu. Sempat menumbuhkan angan-angannya bahwa suatu waktu Lis bisa diajak tinggal di situ. Ya, tentunya kalau ia berhasil

menaklukkan hati Lis. Tapi ternyata Lis ingin membakarnya!

INDRI sudah dianggap seperti anggota keluarga. Hal itu membuat ia cepat menyesuaikan diri karena tidak terus-terusan diganggu rasa minder. Semua orang memperlakukan ia dengan baik. Bahkan Eddy yang dulunya menjaga jarak dengan dia dan keluarganya, kini sudah bersikap ramah.

Beberapa kali mereka pergi ramai-ramai menonton bioskop. Eddy yang sudah mendapat pacar baru memilih naik mobil sendiri berduaan, sementara Hilman, Lis, Rudy, dan Indri di satu mobil lain. Enam orang satu mobil tentunya tidak nyaman.

lndri menikmati saat-saat seperti itu. Tapi di malam hari menjelang tidur ia teringat kepada orangtuanya. Ia menjadi sedih dan pilu. Sekarang ia tidur di atas kasur per yang empuk dan

kamar lega dengan pendingin. Tapi mereka di kampung tidur di balai-balai dengan kasur yang sudah tipis. Ketika Rudy menginap di rumahnya, ayahnya menyewa kasur per khusus untuk Rudy. Tentu saja Rudy tidak tahu hal itu. Dan ia memberikan kamarnya untuk dipakai Rudy. Dulu kamar itu digunakannya berdua dengan Indah.

Selain soal tidur tentu saja masih banyak perbedaan-perbedaan lain yang membuat ia pedih. Misalnya soal makan. Betapa berlimpah makanan enak di rumah Rudy. Kadang-kadang kalau sedang menikmati, tiba-tiba kerongkongannya jadi terasa seret, teringat akan orangtuanya yang makan seadanya. Tentunya perbedan itu harus dimaklumi. Keadaan orang satu dengan lainnya berbeda karena rezeki masing-masing berbeda juga. Toh ia merasa sedih.

Tak mengherankan kalau Indah sering mengatakan bahwa ia ingin menjadi orang kaya dan harus menjadi kaya. Ketika baru menjadi siswa perawat, ia suka pulang sesekali setelah mengumpulkan uang sakunya. Ia sulit menghilangkan rasa kangen pada keluarganya. Tapi setelah lulus dan menjadi perawat berijazah ia justru

jarang pulang. Suratnya pun jarang. Pernah ia menyinggung soal pacar. Katanya ia akan mencari calon suami yang kaya. Kalau susah didapat ia sendiri akan berusaha mencari uang yang banyak. Mungkin dengan bekerja di luar negeri yang gajinya berlipat kali.

"Sebenarnya jadi perawat itu banyak kesempatannya untuk mencari jodoh, ln," Indah bercerita.

"Mana mungkin? Wong orang sakit melulu yang diurus," ia tak percaya.

"Di antara mereka itu ada yang kaya lho. Dan jangan lupa, dokter juga banyak. Cuma sekarang ini nggak semua dokter itu kaya. Ada juga yang kere."

"Ih, Mbak ini kok matre sih," ia tak sependapat.

"Kamu emangnya mau miskin terus? Dari kecil kamu di sini terus, kayak katak dalam tempurung. Nggak heran kalau kamu tahunya cuma apa yang ada saja."

lndah memang benar. Di Jakarta banyak yang luar biasa.

Tetapi belum sempat meraih cita-citanya, Indah keburu kena musibah mengerikan. In

dri bergidik memikirkannya. Lebih baik dia tidak jadi kaya daripada mati mengenaskan. Yang penting tidak kelaparan, tidak sampai meminta-minta, dan tidak kehilangan harga diri. Pikiran itu tidak saja membuat ia sedih, tapi juga mengingatkannya agar baik-baik menjaga diri. Jangan sampai seperti Indah. Karena itu di rumah Rudy ia bersikap hati-hati dan menahan diri. Jangan bersikap rakus kalau makan enak. Jangan bermanja-manja mentang-mentang ada kesempatan. Dan jangan norak kalau melihat barang bagus yang belum pernah dilihat. Satu-satunya orang kepada siapa ia suka mendekat dan kadang-kadang bersikap manja adalah Lis. Instingnya mengatakan hanya Lis yang bisa didekatinya tanpa prasangka. Tapi bukan karena itu saja. Lis memang menyenangkan dan ia ingin belajar banyak hal darinya. Tapi biarpun sudah merasa dekat, ia tidak berani menyatakan keinginannya kepada Lis untuk melihat rumah Mandar. Rudy sendiri tidak mau menyampaikan permintaannya dan menyuruhnya mengatakan sendiri. Kata Rudy, ia merasa tidak enak karena itu berarti Lis harus minta tolong kepada Adrian. Padahal ia ti

dak suka kepada Adrian. Karena alasan yang diberikan Rudy itu, Indri merasa harus menahan keinginannya. Ia harus tahu diri. Kalau Rudy saja tidak berani, apalagi dia.

Untuk menghibur Indri, Rudy pernah mengajaknya bermobil melewati rumah Mandar. Tapi mereka mendapati pagar dan pintu gerbang sudah ditutupi dengan bahan anti tembus pandang. Bahkan untuk melihat halamannya dari depan pintu saja tidak bisa.

"Mas Ian tidak mau terganggu lagi rupanya," komentar Rudy.

"Rupanya banyak orang yang suka memandangi rumah itu. Kenapa dia mesti terganggu, ya? Itu kan bukan rumahnya."

"Sekarang sudah jadi rumahnya."

Rudy tidak mau menceritakan pengalamannya bersama Lis sewaktu mengamati rumah itu. Cerita itu bisa menambah penasaran Indri, di samping menumbuhkan keberaniannya untuk menyampaikan niatnya kepada Lis. Kalau Lis saja ingin tahu, apalagi dia.

"Menurut Papa rumah itu sudah bersih. Mas Ian sendiri yang membersihkan. Termasuk ruang bawah tanahnya. Papa melihat sendiri. Dia

turun ke bawah ditemani Mas Ian."

"Nggak bau?"

"Nggak dong. Kan sudah bersih. Entah berapa banyak karbol yang dipakai."

"Mas Ian sendiri yang membersihkan? Nggak ada yang membantu?"

"Katanya sih begitu."

"Justru kalau sudah bersih dan nggak bau aku jadi tambah kepengin melihatnya."

"Eh, kamu nggak lihat rumah itu sudah ditutupin? Itu berarti pemiliknya sudah sangat jengkel oleh orang-orang yang ingin tahu."

"Tapi aku bukan sekadar ingin tahu. Aku lain."

Rudy mengangkat bahu.

"Sudahlah, In," katanya setengah membujuk, setengah kesal.

"Terus terang, Rud. Aku sebenarnya punya tujuan sendiri," kata Indri malu-malu.

"Tujuan apa?"

"Aku percaya di situ masih ada sisa Mbak Indah. Jadi mungkin aku bisa mendapat sesuatu pesan darinya. Meskipun jasadnya sudah nggak ada, dan tempatya sudah bersih, tapi bekas-bekasnya tetap ada. Kecuali rumahnya dirobohkan atau dibakar habis. Maksudku ruangannya kan tertutup. Ada dindingnya, ada plafonnya. Itu kan bisa menyerap, Rud!"

Rudy jadi merinding.

"Menyerap apa sih, ln,

"Penderitaan dan ketakutan para korban. Pada saat orang berada di puncak kesengsaraan dan ketakutannya, konon ia melepas energi. Lalu diserap dinding dan plafon yang mengungkung. Dan arwah-arwah di situ terkungkung bertahun-tahun. Semuanya penasaran."

"Ah, teorimu itu mengerikan. Mereka sudah mati ketika dimasukkan ke tempat itu."

"Tidak. Aku dengar cerita polisi bahwa si Mandar itu mengaku, di antara korbannya ada yang masih hidup! Ia menikmati tangisan dan raungan mereka."

"Apa?" Rudy merasa bulu romanya berdiri semua.

Aku berharap Mbak Indah tidak termasuk." Indri hampir tersedu.

"Sudahlah, In."

Biarpun sedih, Indri belum mau mengakhiri teorinya yang mengerikan.

"Bayangin, Rud. Bila korban yang belum mati dilempar ke situ padahal sudah ada mayat

mayat lain sebelumnya. Betapa takutnya dia. Apalagi setelah ia sadar bahwa ia akan menemui ajal perlahan-lahan dan bernasib sama seperti mayat-mayat itu."

"Aduh, In. Itu memang mengerikan. Makanya jangan dibayangin."

"Mau tak mau hal itu terpikir."

"Aku mengerti perasaanmu dalam hal itu tentu berbeda dibanding perasaanku. Tapi kau harus merasa lebih beruntung karena Indah berhasil ditemukan dan dikuburkan secara layak. Sedang yang lainnya? Mereka terpaksa dikubur tanpa identitas. Keluarganya pun tak tahu."

Indri mengangguk.

"Aku juga mikir begitu. Kasihan, ya.

"Jadi bersabarlah. Tak usah buru-buru. Mungkin suatu waktu keinginanmu itu bisa terkabul. Rumah itu toh tidak akan dirobohkan."

"Baik. Aku akan bersabar."

"Nah, begitu dong."

"Kalau aku bisa ke sana, aku akan mengenakan gaun itu."

"Gaun apa?"

"Itu, yang tempo hari kukenakan waktu ke penjara. Yang sama dengan yang melekat pada

jasad Indah."

"Aduh, kau mengerikan. Jangan ngomongin itu lagi." Rudy menggoyang-goyangkan tangannya dengan ekspresi takut. Sikapnya itu malah membuat kesedihan Indri lenyap. Ia merasa tergelitik. Ia yakin Rudy cuma berpura-pura.

"Kau nggak mau dengar ceritaku yang lain, Rud? Dulu aku pernah melihat hantu lho."

"Nggak ah. Nggak mau."

"Cerita, ya?"

"Nggak."

Lalu Eddy muncul dan ikut bergabung.

"Cerita apa? Mengganggu nggak nih?" tanyanya sambil melirik adiknya.

"Nggak, Mas. Duduk sini," Rudy menyilakan.

"Cerita tentang hantu, Mas. Aku pernah melihat hantu di kebun belakang rumah. Tapi Rudy nggak mau dengar," kata lndri.

"Oh, hantu?" tanya Eddy dengan sikap tertarik.

"Kalau kau nggak mau dengar, pergi saja, Rud. Biar aku yang dengar."

Tentu saja Rudy tidak mau pergi lalu membiarkan Indri dan Eddy mengobrol berdua. Ia

terpaksa menetap.

Ternyata cerita Indri cukup menarik. Tentang permainan jaelangkung di kampungnya dan tentang hantu yang menjaga kebun belakang rumahnya. Ternyata Rudy tidak merasa ngeri mendengarnya dibanding cerita perihal kejahatan Mandar.

"Waktu aku menginap di rumahmu kok aku nggak melihat? Beberapa kali aku ikut denganmu ke kebun mencabut singkong," kata Rudy.

"Oh, dia hantu pemalu," sahut Indri.

"Apa?" Eddy dan Rudy tertawa.

"Maksudku, dia jarang memperlihatkan diri. Dan cuma aku yang bisa melihatnya. Bapak, Ibu, dan teman-temanku tidak bisa. Karena itu aku tak punya saksi yang bisa membuktikan kebenaran ceritaku. Mereka bilang aku mengada-ada."

"Hantunya cowok atau cewek?" tanya Rudy.

"Dia berupa ibu-ibu, kira-kira sebaya dengan ibuku. Tak jauh dari kebun memang ada kuburan."

"Pernah bicara dengannya?" tanya Eddy.

"Dia nggak pernah bicara. Cuma diam dan senyum lalu pergi."

"Tak kawajak bicara?" tanya Rudy.

"Pernah. Aku tanya,

"Ibu siapa?" Dia tidak menyahut, cuma senyum. Jadi setiap kali aku melihatnya, aku tak pernah bertanya-tanya lagi. Aku membalas senyumnya saja dan melambai. Lalu dia pergi."

"Dia muncul hanya untuk memberikan senyumnya padamu," kata Rudy.

"Betul. Karena dia tak mengganggu, aku jadi terbiasa dan tidak merasa takut."

"Katanya, cuma sedikit orang yang bisa melihat hantu. Kebanyakan nggak bisa. Itu sebabnya banyak yang nggak percaya. Habis nggak pernah lihat," kata Eddy.

"Kau sendiri percaya?" tanya Rudy.

"Percaya. Biarpun aku belum pernah melihat. Soalnya kemampuan melihat dan mendengar kita kan berbeda-beda. Hewan seperti anjing jenis tertentu juga punya kemampuan melihat yang sensitif," sahut Eddy.

"Itu sebabnya aku berharap bisa mendapat pesan dari Indah, Rud," jelas Indri.

"Tapi kau sendiri pernah bilang bahwa Indah nggak akan jadi hantu," kata Rudy.

"Memang nggak. Maksudku, aku tidak ber

harap melihat hantunya. Tapi pesannya."

Rudy mengangkat bahu.

"Gelap ah. Nggak ngerti."

Mereka tertawa. Ketegangan yang sempat terjadi antara Rudy dan Indri lenyap.

Sekarang, tiap sore dan malam hari suasana di rumah Hilman lebih semarak dari biasanya. Di samping kehadiran Indri yang semakin lama semakin ceria, juga ditambah. oleh Lis yang selalu datang kecuali ada urusan dengan keluarganya. Usai praktik Hilman bergabung dengan mereka. Bila tidak punya janji dengan pacarnya, Eddy ikut serta. Tak ada percakapan tentang Mandar. Yang satu itu dihindari pada saat kumpul bersama.

Jam sepuluh Lis diantarkan pulang oleh Hilman.

"Saya bertanya-tanya, kapan ya saya tak perlu lagi mengantarmu pulang?" kata Hilman.

Lis terkejut. Ia tak segera menangkap maksud Hilman.

"Biar Rudy saja yang mengantarku," katanya, sedikit kesal.

"Maksudku, kapan kau tak perlu lagi pulang?"

Lis tersipu.

"Oh, itu. Kapan, ya?"

"Kita harus membuat rencana. Tidakkah itu terpikir olehmu?"

"Saya menunggu inisiatif Dok saja."

"Kita harus sama-sama. Saya ingin kau menjadi istriku secepatnya. Apa kau sendiri memerlukan waktu?"

"Oh, nggak kok. Saya cuma beranggapan bahwa inisiatif tentang hal itu harus datang dari pihakmu."

"Ah, Sayang...." Hilman melepas satu tangannya dari kemudi. Ia membelai lengan Lis sebentar.

"Kalau begitu, kau tentu menganggap saya ini plin-plan, ya?"

"Nggak sih."

Lis menyandarkan tubuhnya sejenak ke pundak Hilinan.

"Nggak sih, tapi apa?"

"Boleh terus terang, Dok?"

"Tentu saja boleh. Mestinya kan begitu."

"Nggak marah, ya? Takut ah."

"Nggak. Ayo, nggak usah takut," desak Hilman dengan penasaran.

"Dok nggak plin-plan, tapi cuma lamban!"

Segera tawa Lis berderai. Hilman ikut tertawa.

"Ya. Saya memang lamban. Mungkin ketuaan, ya?"

"Hei, bukan begitu. Itu nggak ada hubunganya."

"Maaf ya, Lis. Saya akan lebih gesit. Nah, saya ingin melamannu. Tapi tata caranya gimana, ya? Saya tidak punya orangtua lagi. Apa saya mesti cari wakil?"

"Maaf ya, Lis. Saya akan lebih gesit. Nah, saya ingin melamarmu. Tapi tata caranya gimana, ya? Saya tidak punya orangtua lagi. Apa saya mesti cari wakil?"

"Ah, apa benar begitu? Tapi apa kata orangtuamu nanti? Kau anak perempuan satu-satunya. Tentu mereka punya harapan sendiri."

"Saya sudah lama kenal mereka, Dok. Mereka bukan orang yang kukuh pada adat. Anak perempuan dan anak lelaki kan sama saja."

"Sebaiknya kautanyakan saja, Lis. Tapi jangan membujuk mereka. Tanyakan saja. Saya juga ingin menyenangkan mereka."

"Apa pun yang kaulakukan mereka akan senang, Dok. Mereka sayang pada Dok."

"Apa karena perasaan berutang budi?"

"Itu cuma salah satu faktor. Yang utama adalah dirimu sendiri, Dok. Seperti saya melihat Dok."

"Aduh, saya merasa tersanjung, Lis. Nanti saya besar kepala, lho."

"Saya nggak menyanjung. Nah, kalau Dok sendiri senang padaku karena apa?"

"Karena dirimu."

"Nah, sama dong. Kita melihat ke dalam diri kita masing-masing."

Mereka tersenyum bahagia.

Dalam hati Hilman mengakui, dia memang lamban dalam pendekatannya terhadap Lis. Sebenarnya ada kekhawatiran kalau ia cepat-cepat mengajak Lis menikah, maka Lis akan merasa terkungkung. Mungkin Lis ingin bebas dulu meskipun terikat. Mungkin pemikiran seperti itu disebabkan karena ia terlalu sadar akan perbedaan usia. Lis masih muda, masih ingin mengejar ilmu. Padahal ia sendiri sesungguhnya ingin cepat-cepat juga karena pertimbangan usia. Justru karena itu ia jadi malu untuk berinisiatif mengajak. Mentang-mentang dia sudah tua.

Tapi sekarang ia memberanikan diri untuk

mengemukakan hal itu sesungguhnya karena alasan lain, yaitu Adrian! Ia sudah mendengar cerita Lis tentang kunjungannya bersama Adrian ke rumah Mandar. Ia hanya mendengarkan tanpa reaksi ketidaksetujuan. Tapi dari cerita itu ia serasa mendengar bunyi alarm. Mungkinkah itu yang namanya cemburu? Walaupun Lis sudah menolak Adrian, tapi lelaki itu tampaknya gigih dalam upaya pendekatannya. Perasaan aman yang semula ada padanya mulai terkikis.

Biarpun Lis sudah menjadi kekasihnya, tapi dia masih bebas untuk menentukan pilihan. Sedang Adrian terus saja berupaya. Ia harus menghentikan uoava Adrian itu.

****

KETIKA mengunjungi Mandar, sikap Adrian lebih ceria dari sebelumnya. Di luar dugaannya, Mandar mengamatinya.

"Kau pasti punya cerita baru yang seru untukku," katanya.

Adrian terperangah sejenak. Tiba-tiba ia merasa, akan sulit menyembunyikan hal-hal yang baru terjadi. Ia juga tidak siap dengan cerita lain. karena memang tidak punya. Di samping itu ia khawatir menghadapi tatapan tajam Mandar yang serasa mau mengorek isi benaknya. Belakangan Mandar selalu begitu. Ia seperti tidak percaya atau tidak puas dengan apa yang diceritakan olehnya. Apakah Mandar punya firasat bahwa kadang-kadang ia dibohongi atau ada hal-hal yang disembunyikan darinya?

"Ayo. Kau punya cerita apa? Kau datang untuk bercerita, bukan diam saja, bukan? Wajahmu memperlihatkan perasaanmu tuh."

"Baiklah," sahut Adrian setengah mengeluh.

Lalu ia menceritakan bagaimana dirinya sudah dimaafkan oleh Lis dan keluarganya. Kemudian Lis menjenguk kamar tidur Mandar.

"Bagaimana reaksinya?" tanya Mandar tak sabar ketika Adrian berhenti bercerita.

"Badannya menggigil dan matanya melotot. Ia seperti kena sihir. Aku terpaksa menyeretnya keluar."

"Apa katanya?"

"Katanya, ia ingin sekali membakar rumah itu!" Mandar bengong sejenak. Kemudian tiba-tiba ia terbahak. Ekspresinya memperlihatkan rasa geli.

"Jadi, ia marah?"

"Tentu saja, Bang. Siapa yang tidak marah diperlakukan seperti itu olehmu."

"Aha. Sekarang kamu sok membela dia, ya?"

"Sudahlah, Bang. Kau sendiri mengaku salah terhadapnya, kan?"

"Ya ya ya, baiklah. Tapi berapa sih kadar cintamu kepadanya?"
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Entah. Pokoknya sangat dalam."

Mandar menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dia kan sudah menolakmu, Ian. Nggak mikir?"

"Dia memaafkan aku biarpun aku bersalah. Dia masih mau berteman denganku. Bukankah itu berarti ada harapan?"

"Itu harapan kosong, Ian. Kalau orang udah nggak cinta, sampai kapan pun tetap aja nggak cinta!"

Adrian merasa jengkel.

"Kau jangan mengecilkan semangatku, Bang. Aku yang berhadapan dengan dia, jadi aku tahu persis orangnya seperti apa."

Mandar memonyongkan mulutnya.

"Huu... tanpa berhadapan pun aku punya perkiraan. Sudahlah. Jangan menunggu rembulan jatuh. Mendingan cari cewek lain. Kawin dan beranak banyak. Kau bermaksud menempati rumahku, kan? Nah, biarlah rumah itu diisi oleh anakanak kecil."

Adrian tercengang. Ia perlu berpikir, apakah ia pernah mengatakan kepada Mandar bahwa ia punya keinginan untuk menempati rumahnya?

"Sebelum kau mengaku dosa saja dia sudah menolakmu, apalagi setelah kau mengaku se

bagai sepupuku. Wah, dia tambah nggak mau," Mandar menambahkan.

Adrian semakin kesal.

"Jangan begitu, Bang. Dia sendiri bilang, bahwa aku dan kau beda. Aku toh bukan kau."

"Tapi ingat. Kita bersaudara dekat. Ayahmu dan ayahku bersaudara kandung. Jadi "

"Jadi apa?" tanya Adrian yang tiba-tiba cemas.

"Mungkin kita punya persamaan gen."

"Gen apa?"

"Gen membunuh!"

Adrian melotot. Ia melompat berdiri, bermaksud akan pergi. Tapi tangan kuat Mandar menarik dan menahannya.

"Tunggu dulu. Masih ada yang mau kubicarakan. Ini penting juga untukmu."

"Buat apa aku mendengar ocehan yang menyimpang?"

"Ini tidak menyimpang. Dengar dulu."

"Sebelumnya aku mau bilang, apa yang kaulakukan itu bukan penyakit keturunan. Mana ada gen seperti itu?"

"Kalau kau nggak mau dengar, ya sudah." Mandar melepaskan tangan Adrian.

"Padahal

aku belum pernah mengungkapkannya kepada siapa pun. Termasuk Dokter Hilman!"

Adrian duduk kembali. Rasa ingin tahunya muncul. Memang tak ada salahnya mendengar betapapun menjengkelkan.

Mandar tertawa. Kesannya mengejek, tapi Adrian tak memedulikan.

"Ayo, Bang. Mau cerita apa nggak?"

"Ya ya. Kau kan tahu, sejak awal aku cuma mengaku telah membunuh sebelas orang. Tapi mereka menemukan dua belas. Mereka berkeras aku salah hitung atau sengaja mengecoh. Buat apa sih? Aku juga nggak sampai keliru menghitung. Kalau jumlahnya sampai puluhan atau ratusan mungkin aku bisa salah. Mereka nggak percaya bahwa aku berkata benar. Bahkan Dokter Hilman juga nggak percaya."

"Lalu dari mana tambahan yang satu itu?" tanya Adrian dengan wajah tegang.

"Aku sudah memikirkannya. Tapi kesimpulanku tak mau kuungkapkan."

"Apa kesimpulanmu?" Adrian kesal karena Mandar tak segera menuntaskan ceritanya.

"Ah, kau kesal, ya? Tegang, ya?" Mandar tertawa.

Adrian cemberut.

"Oke. Begini. Aku pikir, mayat yang satu itu sudah ada di situ sebelum aku melempar korbanku yang pertama!"

Wajah Adrian berubah. Ia tak cemberut lagi, berganti dengan ekspresi heran.

"Nah, nggak cemberut lagi deh," komentar Mandar sambil menatap wajah Adrian.

"Terusin ceritamu!" desak Adrian.

"Kita tidak pernah tahu bahwa di belakang ada ruang bawah tanah. Aku tahunya juga secara kebetulan. Yang itu nggak perlu kuceritakan, ya? Aku juga nggak pernah cerita sama kamu. Takut rahasiaku bocor! Tapi aku tidak pernah turun ke bawah untuk memeriksa isinya. Jadi aku tidak tahu ada apa saja di situ waktu aku mulai melempari korbanku ke dalamnya. Mungkin mayat berlebih itu sudah ada di situ. Karena itu hitungannya jadi lebih satu!"

"Mayat siapa itu?"

"Mana aku tahu. Papa dan Mama kan nggak pernah cerita. Ya, mana mungkin mereka mau cerita tentang hal itu. Adanya ruang bawah itu saja aku nggak pernah dikasih tahu."

"Mungkin mereka juga nggak tahu."

"Masa pemilik rumah nggak tahu tentang isi rumahnya."

"Jadi?"

"Aku kira, pembunuhnya adalah ayahku. Korbannya nggak tahu siapa. Dan Mama? Mungkin saja dia tahu atau ikut serta. Mungkin juga dia nggak tahu."

"Kau tega berpikir seperti itu?"

"Kenapa nggak? Itu teori paling masuk akal, kan?"

"Mungkin saja kejadiannya sebelum ayahmu tinggal di situ."

"Papa yang membangun rumah itu."

Adrian termangu. Ia jadi mengenang pamannya. Oom Kasan, abang ayahnya itu, selalu baik kepadanya dan juga murah hati. Tetapi sikapnya agak arogan. Mungkin sikap seperti itu diperlukan supaya bisa tampil berwibawa dan disegani orang. Kebalikannya dengan ayahnya yang suka merunduk-runduk dan kurang berani menatap mata lawan bicara. Perbedaan itu bisa dimaklumi bila dihubungkan dengan status sosial dan ekonomi keduanya. Pamannya kaya raya dan rezekinya berlimpah. Seperti dia punya tangan ajaib. Apa pun yang disentuhn

ya menjadi emas. Bila dia bermain saham selalu mujur, spekulasi apa pun tak pernah salah. Tapi ayahnya sendiri tidak bisa begitu. Ayahnya cuma bisa jadi pesuruh Oom Kasan. Tak pernah ayahnya diberi kepercayaan dalam perusahaan pamannya. Mungkin karena ia dinilai kurang punya kemampuan. Tetapi dalam hal materi ia tidak pelit. Ayahnya cuma tinggal meminta saja. Tapi karena itu dia jadi tak ubah seorang peminta-minta atau menggantungkan hidup pada kemurahan hati orang lain, biarpun itu abang sendiri.

Cuma itu yang bisa dikenangnya dari Oom Kasan. Apakah dia punya ciri seorang pembunuh? Tentu saja ia tidak tahu. Ia juga tidak tahu apakah ada yang disebut sebagai cirri pembunuh itu. Nyatanya Mandar pun kelihatan baik-baik saja. Siapa sangka.

"Toh kau tidak boleh menuduh sembarangan, Bang. Mentang-mentang ayahmu sudah almarhum. Tak bisa ditanyai."

"Tapi yang tahu tempat itu hanya dia. Aku saja, anaknya, tidak dikasih tahu. Setelah mereka meninggal begitu mendadak, baru aku tahu."

"Setelah kau tahu, kenapa kau tidak turun ke

bawah untuk memeriksa isinya?"

"Aku takut pintu menggabruk dan tak bisa dibuka dari dalam. Memang bisa diganjal, tapi bagaimana kalau ganjalannya lepas? Aku juga takut kalau-kalau tangganya ambruk waktu kuinjak. Aku cuma mengambil senter untuk melihat isinya. Tapi tampaknya tidak ada apaapa. Senter tidak menjangkau seluruh ruang. Kupikir itu ruangan yang belum selesai."

"Lantas siapa orang yang dibunuh itu?"

"Kok tanya aku? Mana aku tahu."

Adrian termenung. Sementara itu Mandar mengamatinya.

Ketika Adrian mengarahkan tatapannya kembali kepada Mandar, ia tersentak kaget karena beradu pandang dengan tatapan yang tajam.

"Jangan pelototi aku, Bang! Bikin ngeri aja!"

"Kenapa? Kau takut sama aku sekarang?"

Nada suara Mandar mencemooh.

"Jangan begitu, Bang? Kau juga lain sekarang Kau sinis dan tajam. Tadinya kan nggak begitu."

"Ya, kau sekarang melihat diriku yng asli. Aku sudah terbuka. Tidak pura-pura lagi. Aku

seorang psikopat. Seperti itulah seharusnya seorang psikopat, bukan? Sinting tapi tidak sinting. Gila tapi tidak gila. Jadi aku bergaya seperti yang seharusnya. Nah, kau sendiri gimana? Apakah kau yang kulihat ini asli atau tidak?"

Adrian bingung sejenak. Lalu ia berkata lambat-lambat,

"Aku adalah Ian yang biasa kaukenal, Bang."

Mandar menggeleng.

"Bukan."

"Aduh, Bang. Ada apa denganmu? Kau membuatku bingung. Sudahlah. Bicara yang biasa-biasa saja."

"Aku membuatmu bingung? Baiklah. Mau bicara yang gimana?"

"Kau menyimpang sih. Tadi kan lagi cerita soal sangkaanmu kepada ayahmu itu. Lantas apa hubungannya dengan gen?"

"Papa pembunuh, dan aku pun begitu. Bagaimana dengan kau?"

Adrian tersentak.

"Apa maksudmu?" tanyanya marah.

"Hei, jangan marah. Maksudku, kau bisa saja punya gen yang sama."

Bang, semua orang punya potensi jadi pembunuh. Itu tergantung pada banyak faktor."

"Salah satunya adalah gen," Mandar berkeras.

"Ya, terserah kau saja. Kenapa tidak kaudiskusikan hal itu dengan Dokter Hilman, seorang ahli?"

"Aku ingin melindungimu dari dugaan teori itu. Kalau aku ceritakan padanya, lalu dia cerita pula pada Lis dan keluarganya, bukankah tiada maaf bagimu? Mereka akan takut padamu."

Adrian terkejut ketika menyadari kebenaran ucapan Mandar itu.

"Jadi kubiarkan dia dan orang lain menyangka aku salah hitung atau sengaja mengurangi angka dua belas jadi sebelas."

"Maksudmu, seharusnya aku berterima kasih padamu?"

"Oh ya. Tentu saja. Aku tahu, tentu tidak enak bagimu jadi sepupu seorang psikopat. Banyak duit pun tak nyaman, ya?"

Adrian menahan geramnya. Ia tak mau terpancing. Bukankah dulu pun Mandar punya kebiasaan suka menggoda dan memancing emosinya?

"Terserah apa katamu," sahutnya datar, walaupun sesungguhnya ia ingin berteriak.

Mandar mengamati wajah Adrian lalu berkata,

"Kau marah, bukan? Tapi seharusnya kau berterima kasih padaku karena aku membelamu. Buat aku harta sudah nggak ada artinya lagi. Kau nggak usah takut surat wasiat itu kubatalkan. Kalau aku sok dermawan dengan mengamalkannya, toh hukumanku tidak akan diperingan."

Perasaan Adrian melembut.

"Tentu saja aku berterima kasih padamu, Bang. Dari dulu kau selalu baik kepadaku."

"Tapi kau tidak bisa menerima kesintinganku."

"Aku tidak pernah menyangka bahwa kau bisa seperti ini. Kenapa jadi begini, Bang?"

"Jangan tanya kenapa. Kalau sudah jadi begini tidak patut lagi ditanyakan kenapa. Atau tanyakan pada rumput yang bergoyang? Ha-haha! Yah, jadinya memang begini. Arahnya ke sini. Hidup cuma sekali. Ternyata aku tidak jadi direktur pengusaha seperti Papa, tapi jadi psikopat. Tapi aku puas menikmatinya. Cukup."

"Puas?" tanya Adrian dengan tengkuk meremang. Benarlah seperti kata Mandar tadi, baru sekarang keasliannya tampak.

Mandar tertawa.

"Jangan tanya kenapa," ulangnya.

"Aku nggak mau nyalahin siapa-siapa."

"Kau menyesal, Bang?"

"Jangan tanya begitu. Itu adalah kesia-siaan. Kau tahu? Kalau aku kemaruk, korban yang jatuh bisa lebih dari belasan. ibarat orang makan, aku tidak rakus. Makan sedikit-sedikit tapi nikmat."

Mandar memejamkan mata seakan membayangkan kembali perbuatannya.

Adrian mengamatinya dengan perasaan aneh. Ia menunggu sampai Mandar membuka matanya kembali.

"Sebaiknya kau menjauh saja dari Lis, lan," Mandar buka mulut lagi.

"Kenapa?"

"Ah, kau selalu tanya kenapa. Ini untuk kebaikanmu sendiri. Percuma mendekati Lis. Dia tidak akan mau sama kamu. Mana mungkin dia bisa hidup tenang dan damai bersamamu kalau setiap kali dia menyadari bahwa kau adalah sepupu dari orang yang merupakan monster di matanya? Entar kalau kau melotot dikit aja dia udah ketakutan. Dikiranya kau akan berubah

jadi monster juga. Jangan lupa soal gen itu."

Kejengkelan Adrian muncul lagi.

"Sudahlah, Bang. Jangan memprovokasi terus. Itu kan terserah sama Lis sendiri. Kalau dia memang menerima cintaku, gimana? Dan aku juga nggak percaya soal gen itu."

"Baik. Tapi aku ngomong begitu bukan cuma buat kepentinganmu, tapi juga buat Lis."

"Buat Lis? Apa maksudmu?"

"Aku takut suatu waktu nanti kau akan membunuh Lis!"

"Apa?" Adrian ternganga sambil membelalakkan matanya. Ucapan seperti itu di luar dugaannya.

"Memangnya kau tuli?" sergah Mandar.

"Kenapa aku mesti membunuhnya? Yang bener aja, Bang!"

Kali ini Adrian benar-benar marah. Ia berdiri lalu pergi dengan langkah cepat. Mandar tidak mencegahnya seperti tadi. Ia hanya memandangi dengan wajah tanpa ekspresi. Tak jelas apa yang terasa atau terpikir.

Adrian diam sejenak di mobil sebelum menjalankannya. Ia perlu menenangkan diri dulu. Kenapa Mandar berubah semakin banvak? Pasti bukan karena ia menyatakan telah membuka diri. Karena soal gen itu? Padahal dulu ia mendukung sekali keinginannya untuk mendapatkan Lis. Dulu itu alasannya memang untuk si bayi. Tapi sekarang alasannya lain lagi. Gen keparat!

Ia yakin Mandar masih menyembunyikan sesuatu yang lain di samping hanya teori tentang pembunuhan yang dilakukan ayahnya. Itu sebabnya Mandar terus-terusan melarangnya bertanya.

Apa itu berhubungan dengan orangtua Mandar, Oom Kasan, dan Tante Mia? Adakah yang salah dengan mereka berdua atau salah satu, terutama Oom Kasan? Ia cukup sering main di rumah mereka. Tapi ia tidak melihat sesuatu yang ganjil. Mungkin ia tidak pandai mengamati. Yang pasti ia tidak pernah melihat adanya kekerasan di rumah itu. Tentu saja orangtua Mandar tak pernah memukul anak kesayangan mereka.

Tapi justru karena tadi Mandar selalu mengulang peringatan agar ia jangan bertanya, maka ia yakin mesti ada sesuatu. Mandar tidak mau menyalahkan siapa-siapa, katanya. Jadi

mestinya bisa dimaknai terbalik. Seharusnya ia bisa menyalahkan seseorang tapi tidak mau. Seseorang tidak begitu saja menjadi psikopat.

Bila Mandar sendiri tidak mau bicara, tentu sulit baginya mendapat jawaban. Mungkinkah ia bisa mendapatkannya di rumah Mandar?

Ia langsung ke rumah Mandar. Tapi ia tidak bermaksud menggeratak kamar Mandar karena sejak awal Mandar ditahan ia sudah memeriksa isinya dari sudut ke sudut. Sebelumnya ia sudah diberitahu nomor kombinasi lemari besi oleh Mandar sendiri. Di situ Mandar menyimpan semua surat-surat penting dan sejumlah uang tunai. Kelak ia memerlukan semuanya sebagai ahli waris. Sekarang barang-barang itu masih tetap di tempat semula. Kecuali uang tunainya.

Sekarang yang ditujunya adalah kamar orangtua Mandar. Kamar itu sudah terkunci sejak mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang dan sekarang tetap terkunci. Dia dan Mandar tak pernah mempersoalkan kamar itu. Mandar sengaja membiarkannya karena katanya ia tak mau mengenang mereka.

Menurut Mandar itu hanya kamar tidur. Tak ada barang penting. Itu salah satu sebab kenapa

ia tak pernah memasuki dan memeriksa isinya. Ayahnya tidak menyimpan surat penting di dalam kamar tidur.

Adrian mengambil serenceng kunci. Ia harus mencobai kunci-kunci itu satu per satu.

Setelah makan waktu cukup lama akhirnya pintu terbuka juga. Segera bau pengap dan sumpek menyergap. Bau khas dari ruang yang tertutup dalam kurun waktu yang lama. Ia menyalakan lampu dan menyalakan pendingin ruangan.

Kamar tampak rapi. Dan masih seperti semula. Tante Mia pasti merapikan kamarnya dulu sebelum berangkat dengan pesawat naas itu. Ia membayangkan sejenak perempuan itu. Tante Mia seorang pesolek yang anggun. Ibunya lebih cantik daripada Tante Mia, hanya kalah dalam seni bersolek.

Ia segera melihat keduanya pada dinding di atas tempat tidur dalam bentuk lukisan. Sepasang lelaki-perempuan yang tampak sempurna. Gagah, cantik, dan mewah. Perasaannya tak enak, merasa sedang diamati. Pantas Mandar tak mau memasuki kamar ini.

Adrian segera memulai pemeriksaannya. Ia

memang tidak tahu apa yang mesti dicarinya. Yang penting melihat-lihat saja, kalau-kalau ia bisa menemukan jawaban dari penyimpangan Mandar.

Di kamar yang luas itu terdapat dua lemari pakaian. Ia membukanya. Rupanya masing-masing suami-istri punya lemari sendiri. Masih ada bau wangi tercium dari dalamnya. Pakaian yang terlipat maupun tergantung banyak sekali. Tanpa diteliti atau dipegang-pegang pun sudah jelas semuanya dari bahan yang mahal. Ia tidak tertarik untuk memeriksa barang-barang itu. Tapi matanya sempat melotot ketika melihat pakaian dalam Tante Mia. Bukan saja baunya amat harum, tapi kemewahannya sudah tampak biarpun dalam keadaan tersusun rapi. Panty dan bra yang berwarna hitam diambilnya satu-satu. Darahnya segera berdesir. Alangkah seksinya! Ia pernah melihat film porno di mana pemeran perempuannya mengenakan pakaian dalam yang mirip. Konon, pakaian dalam semacam itu memang dirancang dengan tujuan untuk merangsang nafsu.

Sambil memegang panty dan bra itu spontan tatapannya tertuju ke wajah Tante Mia dalam lukisan. Arahnya memang berseberangan. Ia tinggal mengangkat kepala lalu beradu pandang. Tadi waktu melihat pertama kali ia menganggapnya biasa-biasa saja. Sekarang sepertinya tatapan Tante Mia terkesan mengejek dan senyumnya sinis. Dulu ia kerap mendapati ekspresi Tante Mia yang seperti itu kepada ibunya. Sebagai orang yang dianggap menerima budi, ibunya harus bersikap tahu diri, terutama dalam penampilan. Tante Mia tidak suka disaingi. Tapi untunglah ibunya memang tidak suka berdandan seperti Tante Mia. Tanpa berdandan macam-macam pun ibunya sudah cantik. Antara percaya dan tidak percaya ia menghubungkan pakaian dalam di tangannya dengan Tante Mia. Benarkah Tante Mia selalu mengenakan pakaian dalam seperti itu? Atau hanya mengoleksi saja? Padahal ia menilai Tante Mia bukan perempuan yang genit atau murahan. Dia sangat anggun dan tidak mau sembarangan bersikap. Dan meskipun pakaiannya cukup modis, tapi tak ada yang serba terbuka atau terlalu banyak menampakkan tubuhnya. Tak ada yang seksi. Semuanya berkesan konvensional. Itu bertolak belakang dengan pakaian dalamnya.

Dulu ia mengira selera Tante Mia memang seperti itu. Padahal dengan tubuh yang langsing berisi ia pasti pantas mengenakan pakaian,seksi. Ibunya sendiri punya beberapa pakaian yang menampakkan bahu dan punggung. Tapi ia tidak mau mengenakannya dalam pesta atau pertemuan di mana Tante Mia hadir. Walaupun Tante Mia tidak melarang, tapi tatapan dan ekspresinya cukup membuatnya tidak enak.

Adrian tersadar bahwa ia memegangi pakaian dalam itu selama beberapa saat sambil merenung. Buru-buru ia meletakkannya kembali ke tempatnya. Sempat terpikir mau diapakan barang-barang itu karena sepeninggal Mandar tentunya dia yang berhak menentukan. Tapi ia menyisihkan pikiran itu karena sekarang ada masalah lain yang lebih penting.

Tanpa kehilangan semangat ia terus mencari dan menggeratak. Ia menemukan kamera video dan dua buah kaset video. Tapi yang membuatnya sedikit heran adalah peletakan kaset video itu seolah tersembunyi, rapi di balik benda lain. Entah apa disebabkan karena kaset itu sudah membosankan untuk dilihat lagi atau memang disengaja dengan alasan lain. Ia tak memedulikannya. Lalu beralih ke tempat lain.

Di seberang tempat tidur ada seperangkat televisi dengan berbagai penunjangnya seperti pemutar CD! VCD dan perekam kaset video. Di bawahnya ada rak dengan cukup banyak kaset video dan CD/VCD. Melihat itu muncul lagi rasa herannya kenapa dua kaset video yang tadi ditemukannya dikucilkan di tempat tersembunyi. Kcingintahuannya tergelitik.

Ia mengambil kedua kaset video itu lalu memutar salah satu. Ia menontonnya sambil duduk di lantai. Tak berapa lama matanya terbelalak semakin lama semakin besar. Itu adalah sebuah rekaman film porno amatir. Yang unik pemerannya adalah Tante Mia dan Oom Kasan! Di situ Tante Mia mengenakan pakaian dalam seksi tadi. Rupanya mereka melakukan perekaman sendiri.

Tapi yang membuat matanya hampir meloncat keluar adalah ketika adegan yang tampak bukan cuma permainan seks belaka, tapi juga adegan sadis-masochis! Kedua manusia itu saling menggigit sampai berdarah-darah, lalu menjilati darah masing-masing!

Adrian merasa isi lambungnya menggelegak. Ia cepat-cepat mematikan pemutaran rekaman itu lalu mengeluarkan kaset video tersebut. Ia merasa tidak perlu memutar yang satunya lagi. Paling-paling isinya sama.

Ia menyandarkan tubuhnya yang lemas ke pinggiran tempat tidur yang ada di belakangnya. Begitu besar kejutan yang dirasakannya hingga jantungnya berdebar kencang. Kaset video yang dipegangnya dilemparnya ke tengah ruangan.

Saat itu juga ia segera memahami kenapa Tante Mia selalu mengenakan pakaian yang tertutup. Tentunya punggung dan bahunya penuh bekas luka!

Tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku. Ia mendengar suara menggeram di belakangnya. Dengan ketakutan ia menoleh. Rasanya seperti ada harimau yang akan menerkamnya. Tapi tidak ada apa-apa. Lalu ia mendongak menatap lukisan besar di dinding atas tempat tidur. Tidak salahkah matanya kalau ia menangkap adanya ekspresi geram di wajah kedua orang dalam lukisan itu? Mata mereka menyorot tajam penuh amarah.

Tani Adrian tidak takut lagi sekarang.

"Sebaiknya aku memusnahkan saja kaset itu ya, Oom? Tante?" katanya.

Ia merasa sorotan mata kedua orang dalam lukisan tak lagi mengekspresikan kemarahan. Tanpa buang waktu ia meraih kembali kaset video yang dilemparnya dan mengambil juga kaset satunya. Pitanya ia tarik sampai habis lalu menginjak-injaknya sampai pecah. Kemudian barang-barang itu diletakkan di wastafel dan airnya ia kucurkan. Tak mungkin itu bisa diutuhkan kembali.

Sesudah itu dengan perasaan capek ia terduduk kembali di lantai. Lalu ia mulai mengoeeh.

"Aku ini kan keponakan kalian, Oom dan Tante. Tak mungkin kubiarkan orang lain melihatnya. Tapi kenapa Oom dan Tante meninggalkan barang yang membawa aib itu? Toh tanpa barang itu aib sudah menimpa. Nama Oom dan Tante sudah tercemar oleh Mandar. Orangorang yang dulu menyanjung Oom dan Tante, merunduk-runduk penuh hormat, kini sudah menistakan dan mengutuk kami. Harta yang kalian tinggalkan tak bisa lagi membantu. Bahkan aku pun ikut pula dijauhi orang kalau mereka

tahu hubunganku dengan Mandar. Coba, kenapa Mandarjadi begitu? Oom? Tante?"

Adrian melampiaskan unek-uneknya tanpa memandang kepada lukisan di dinding. Setelah puas mengoceh baru ia mendongak kembali. Ia terkejut untuk kesekian kalinya. Tampak linangan air di mata kedua orang dalam lukisan, yang mengaliri pipi dan terus turun ke bawah!

Adrian tidak sanggup lagi berlama-Iama di kamar itu. Ia buru-buru keluar setelah memadamkan lampu, kemudian mengunci pintunya. Mungkin nanti, entah kapan, baru ia masuk lagi ke sana untuk merapikan semuanya.

Ia merasa telah menemukan jawabannya.

***

LIS menyampaikan kepada Hilman bahwa orangtuanya tidak mengharapkan macam-macam darinya bila datang melamar. Tak perlu pakai adat atau mengikuti tradisi. Cukup Hilman saja datang sendiri untuk bicara secara formal dan kemudian memutuskan hal-hal penting berkaitan dengan pernikahan mereka. Sementara orangtua Lis pun cukup berkumpul sekeluarga tanpa mengundang kerabat lainnya.

"Mereka tentu kasihan padaku. Atau kau yang membujuk mereka?" Hilman ingin tahu.

"Sama sekali bukan, Dok. Kami adalah orang-orang sederhana," jawab Lis simpel.

"Terima kasih, Lis."

"Kapan kau ingin saya ke sana?"

"Bagaimana kalau sekarang?"

"Apa?" Hilman terkejut.

Lis tertawa.

"Kapan lagi?"

Ternyata acara melamar itu tak ubahnya kunjungan biasa. Hilman tidak perlu bicara muluk-muluk dengan basa-basi yang serba klise. Toh mereka sudah tahu maksudnya. Yang lebih dipentingkan adalah rencana pernikahan. Kapan tanggal baik dan bagaimana acaranya.

Hilman menyerahkan saja penentuan hal-hal tersebut kepada Lis dan orangtuanya. Ia tinggal menurut saja karena tidak punya pernahaman. Yang pasti ia tinggal menyerahkan uang bagi biaya yang diperlukan. Ia berkeras akan membiayai semuanya. Kesungguhannya tak bisa ditentang.

"Selama ini saya bekerja keras, Lis. Materi yang dihasilkan bukan untuk disimpan saja atau untuk diri sendiri, tapi untuk keluarga. Saya senang melakukannya. Bukankah saya jadi bagian dari kegiatan ini?"

Untuk membuktikan ucapannya, Hilman langsung menyerahkan cek kepada Lis, yang tak bisa menolak. Maka kesepakatan pun dicapai. Tanggal ditentukan tiga bulan ke depan.

"Saya sangat bahagia dengan kepastian ini, Dok." Lis menyatakan.

"Saya juga." Mereka merayakannya dengan dua keluarga makan bersama. Indri dan pacar Eddy ikut serta.

****

Begitu saja muncul keinginan Hilman untuk menjenguk keluarga Atik dan Tito Wardoyo. Dan tentu saja juga si bayi. Sudah cukup lama ia tak mendengar berita dari mereka. Dalam kesibukannya belakangan ini ia sempat melupakan mereka. Dan mungkin mereka juga sibuk.

Kedua suami-istri menyambut Hilman dengan hangat.

"Tumben ada di rumah, To?"

"Ya. Hari ini aku baru saja menghentikan beberapa kegiatan, Man. Sebagai dosen dan dokter rumah sakit. Hanya praktik pribadi masih harus menunggu pengganti."

Hilman terkejut.

"Kenapa? Ada apa?"

"Begini, Man. Sebenarnya sudah lama aku mendapat tawaran dari Kanada untuk bekerja

di rumah sakit sana. Fasilitas yang ditawarkan bagus. Sejak mendapat si kecil aku jadi serius. Lalu bersama Atik kami memutuskan untuk menerimanya. Sekarang kami sedang mengintensifkan kemampuan bahasa Inggris."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah, selamat dong!"

"Terima kasih. Tempo hari aku nggak cerita karena serba belum pasti."

"Kapan berangkat?"

"Antara dua minggu sampai sebulan. Di sana sih sudah siap. Minggu lalu aku ke sana untuk melihat situasi."

"Bagus kalau begitu. Beri aku kabar bila tiba saatnya kalian berangkat."

"Tentu saja."

"Oh ya, tadi kau bilang, sejak mendapat si kecil kau jadi serius. Apa ada hubungannya?"

"Tentu. Selama kami menetap di sini, orang sekitar sudah tahu bahwa Rahmat adalah anak adopsi. Bila dia bertambah besar dan mulai mengerti tentu akan ada saja orang yang memberitahunya. Kami ingin dia tetap memandang kami sebagai orangtua satu-satunya, tanpa embel-embel orangtua angkat. Jadi kami harus punya lingkungan baru untuk menghindari terjadinya hal itu."

Hilman mengangguk. Ide itu bagus sekali, pikirnya.

Kemudian Atik muncul seraya menggendong si bayi, Rahmat. Hilman terpesona melihatnya. Anak itu sudah besar, sehat dan cakep. Tetapi ia tak menemukan persamaan wajahnya dengan Lis maupun Mandar. Mungkin kombinasi.

"Sudah enam bulan," kata Atik bangga.

Hilman mengusap kepala Rahmat yang ditumbuhi rambut hitam lebat. Anak itu tertawa.

"Dia akan jadi anak yang pintar dan baik," kata Hilman, sambil berharap dengan sungguh-sungguh.

"Kebetulan sekali kau datang, Man," kata Tito setelah bermain-main sejenak dengan Rahmat.

"Kami ingin mengundangmu makan malam besok di sini."

"Siapa lagi?" tanya Hilman.

"Cuma kita saja. Beberapa waktu yang lalu aku sudah mengundang beberapa rekanku. Tapi caranya nyicil. Dua orang, tiga orang, atau bahkan seorang. Mereka sibuk hingga tak bisa dikumpulkan bareng. Lagi pula Atik sendiri lebih

suka kalau nggak terlalu banyak yang datang. Suasananya jadi riuh katanya. Dengan cara ini kita bisa lebih tenang dan leluasa."

"Kalau Mas Hilman ada pasangannya dibawa dong," kata Atik.

Hilman tersenyum ragu-ragu.

"Nah, artinya ada tuh!" seru Tito.

Hilman merasa harus memberitahu.

"Ya, memang ada. Kami akan menikah tiga bulan lagi. Sayang kalian sudah pergi."

"Ajak dia ke sini! Kenalkan dong."

Hilman teringat pada si bayi. Apakah tidak berisiko bila Lis melihatnya? Tapi si bayi sudah jauh berubah dibanding saat masih berada di klinik. Dia juga tidak punya tanda lahir yang bisa dikenali.

"Eh, kok ragu-ragu sih? Kenapa?" desak

Tito.

"Jangan ketawain, ya. Usianya jauh lebih muda dari aku. Dia lebih tua beberapa tahun dari Eddy."

"Lho, memangnya kenapa?" tanya Tito.

"Umur bukan persoalan, Mas," kata Atik.

"Yang penting cocok."

"Baiklah." sahut Hilman.

"Aku akan mengajaknya. Tapi jangan bilang-bilang bahwa Rahmat adalah anak adopsi dan aku yang menunjukkan."

"Tentu saja tidak. Kami nggak sebodoh itu,"kata Tito.

Setelah mendapat janji suami-istri itu barulah Hilman merasa lega. Ia tahu, tanpa disuruh berjanji pun keduanya tidak akan membuka rahasia. Semakin sedikit orang yang tahu bahwa Rahmat anak adopsi buat mereka semakin baik. Justru mereka ingin pergi jauh untuk menghindari kemungkinan itu.

Lis antusias menerima ajakan makan malam di rumah keluarga Wardoyo. Itu pertama kalinya ia mendapat kesempatan diperkenalkan dengan teman Hilman. Sedang Hilman merasa tegang dan berdebar. Bahkan muncul rasa bersalah, penyesalan, idan kecemasan.

Di rumah Wardoyo keduanya disambut dengan bira dan juga antusiasme. Tito berulang kali

menyikut Hilman.

"Kau beruntung, Kawan!" bisiknya.

"Bagaimana orang alim seperti kau bisa mendapat cewek seperti itu?"

Suami-istri Wardoyo mengajak Lis berbincang. Lis yang semula canggung bisa mengatasi perasaannya. Sikap Atik yang ramah sangat membantu. Ia segera menjadi ceria kembali.

Hilman merasa lega karena si bayi tidak dibawa keluar. Mungkin sedang nyenyak tidur. Sampai selesai makan malam mereka tidak mendengar suara si bayi. Tapi kemudian, perasaannya antara berharap dan tidak berharap.

Baru saja mereka akan menyantap hidangan penutup berupa puding, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi yang nyaring. Lis tersentak. Ia baru sadar bahwa di rumah itu ada bayi. Diamdiam

Hilman mengamati wajahnya dan mendapati kesan adanya sesuatu yang terbangkitkan di situ. Lis pasti teringat akan bayinya meskipun itu cuma sekilas. Mungkin ia akan selalu seperti itu. Bayi siapa pun akan membuatnya terkenang. Tapi di sini, bayi itu adalah bayinya!

Atik berdiri.

"Dia juga mau makan

malam," katanya sambil tertawa.

"Oh, Ibu punya bayi, ya?" kata Lis. Suaranya biasa saja.

"Ya. Usianya enam bulan," sahut Tito.

Tak lama setelah Atik masuk, tangisan itu berhenti. Kembali Hilman merasa tegang antara berharap dan tidak berharap bahwa Atik akan membawa si bayi keluar.

Ternyata Atik membawanya keluar dengan meletakkannya di dalam kereta bayi. Ia ingin membanggakan Rahmat kepada Lis. Sebuah botol susu dipegang Atik.

Tatapan Lis segera tertuju kepada si bayi. Dan tatapan Hilman tertuju kepada Lis.

Lis tampak terpesona.

"Dia sangat tampan," katanya dengan penuh kekaguman.

Atik tersenyum bangga.

Rahmat tertawa-tawa dan kedua tangannya bergoyang-goyang ke depan, seakan minta digendong oleh Lis.

"Lihat! Melihatmu dia lupa sama laparnya," kata Atik.

"Apa dia selalu begitu kepada orang yang belum dikenal?" Lis ingin tahu.

"Tidak selalu. Dia selektif," Tito yang menyahut sambil tertawa.

"Boleh saya...?" tanya Lis sambil menatap Atik dan memperlihatkan isyarat menggendong.

"Tentu saja. Silakan." sahut Atik.

Dengan hati-hati Lis mengangkat Rahmat dari keretanya lalu menggendongnya. Ia membawanya ke dekat Hilman.

"Lihat, Dok. Dia lucu, ya?" katanya sambil mengamati si bayi dan menggoyang-goyangnya pelan. Rahmat tampak menikmati dekapan Lis. Ia mengamati Lis dengan sepasang matanya yang bulat. Mulutnya penuh tawa.

Hilman tersenyum. Ia mengulurkan tangan dan mengusap kepala Rahmat. Susah payah ia menahan keluarnya air matanya. Rasa haru menyesak dadanya.

Sementara itu suami-istri Wardoyo mengamati dengan sikap tertarik. Akhirnya Atik mendekat. Lis sadar itu isyarat bahwa si bayi diminta kembali. Dengan segan ia menyerahkan si bayi kepada Atik.

"Entar diompolin lho,"Atik memberi alasan.

Kemudian Atik meraba-raba pantat si bayi.

"Tuh, bener kan. Basah. Untung nggak ngompolin Tante Lis. Ayo ganti popok dulu."

Atik meletakkan Rahmat ke dalam kereta, meraih botol susu yang belum diminumkan, lalu mendorong kereta masuk ke dalam. Lis menatap kepergian mereka dengan kecewa.

Tito mengajak tamunya menghabiskan puding yang baru dimakan sedikit. Mereka mengobrol sambil menunggu Atik keluar. Hilman bersyukur bahwa Tito tidak banyak bertanya perihal Lis. Ia lebih banyak bercerita perihal rencananya di Kanada nanti. Hilman sudah siap berbohong kalau perlu.

Akhirnya Atik keluar. Ia tidak membawa si bayi. Lis merasa kecewa.

"Habis minum dia tidur," Atik menjelaskan.

"Anak yang manis," kata Lis.

"Kelihatannya dia nggak. menyusahkan, ya?"

"Oh, sama sekali nggak. Kecuali waktu sakit. Tapi itu tentunya wajar."

"Senang sekali punya anak seperti itu ya, Bu?"

"Oh, tentu saja. Nanti kau pun pasti akan mendapat yang sama, Lis. Sayang sekali kami nggak bisa menghadiri pesta kalian."

"Ya, sayang sekali," kata Hilman.

Akhirnya mereka pamitan setelah saling mengucapkan selamat untuk masing-masing.

Di tengah jalan tiba-tiba Lis berkata,

"Kita berhenti dulu di Mal, Dok. Masih buka tuh."

"Mau beli apa?"

"Kado buat Rahmat."

"Kado?" Hilman terheran-heran. Tapi ia tidak membantah.

Lis membeli sebuah boneka beruang yang besar. Hilman yang merasa sangat surprise tidak banyak bertanya. Ia mengikuti saja kehendak Lis.

"Sekarang kita kembali lagi ke sana untuk a memberikan ini," kata Lis.

"Baik."

Suami-istri Wardoyo keheranan waktu melihat mereka kembali.

"Ada yang ketinggalan?" tanya Tito.

Lis menyodorkan boneka yang semula disembunyikan di belakang punggungnya.

"Ini buat Rahmat, Bu," katanya.

"Kalau menunggu besok, takut keburu pergi."

"Aduh, terima kasih! Mestinya kami yang memberi kado buat kalian."

"Jangan beri sekarang, Bu," kata Lis.

"Kan

nikahnya tiga bulan lagi."

Mereka kembali pamitan diiringi tatapan dan lambaian tangan suami-istri Wardoyo.

"Lis sangat keibuan," kata Tito.

"Ya. Tampaknya dia suka sekali pada anakanak. Dia masih muda. Bisa punya banyak," kata Atik.

"Mestinya tadi dia dibiarkan bermain lebih lama dengan Rahmat."

"Entahlah, Pa. Aku tiba-tiba punya perasaan buruk."

"Perasaan buruk apa?" Tito terkejut.

"Sepertinya dia mau mengambil Rahmat!"

"Apa?"

"Kayaknya mengada-ada, ya? Tapi aku lebih suka mengikuti perasaan itu. Supaya aman."

Tito hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Dalam perjalanan pulang, berkali-kali Hilman melirik mengamati wajah Lis.

"Kenapa?" Lis menyadari kelakuan Hilman

itu.

"Kau senang tadi?"

"Oh ya. Saya senang bisa memberi boneka itu buat Rahmat. Apa Dok pikir mereka akan membawanya serta ke Kanada? Jangan-jangan

kegedean. Mestinya saya beli yang kecilan, ya? Tapi anak itu kelihatannya bakal tumbuh besar. Jadi cocok dengan bonekanya."

"Saya yakin mereka akan membawanya, Lis. Mereka sangat menghargai pemberianmu."

"Mudah-mudahan saja, ya."

"Jangan mudah-mudahan, tapi pasti."

Lis tersenvum cerah.

****

INDRI menikmati kesendiriannya di rumah Lis. Ia sudah menginap di situ sejak kemarin. Hari itu semua orang sedang keluar rumah, sibuk dengan urusan masing-masing. Menjelang perkawinan Lis, semua orang menjadi sibuk. Ia menawarkan diri untuk menjaga rumah.

Sambil berbaring di sofa ia merenungkan kembali perbincangannya dengan Lis semalam. Lis telah menceritakan musibah yang dialaminya lebih dari setahun yang lalu. Siapa sangka dia pun korban dari Mandar! Dia pula satu-satunya korban yang hidup. Dia juga korban dari kekeliruan persangkaan Mandar. Lis bukan pelacur seperti sangkaan Mandar.

Indri merinding mendengar cerita Lis. Begitu besar penderitaannya. Ia menangis dan memeluk Lis, padahal Lis sendiri tidak lagi

menangis.

"Waktu sudah menyembuhkan aku, ln. Tapi bukan cuma waktu, banyak orang membantuku. Itu sebabnya kan bisa melihat aku seperti sekarang ini. Ceria dan percaya diri. Aku pernah sial, tapi aku juga beruntung. Aku belajar tentang hidup."

Tapi kata-kata itu tidak bisa menghibur kesedihan Indri. Lis yang mengalami musibah, dia yang menangis. Dan semalaman tak bisa tidur. Padahal Lis tidur nyenyak sekali. Tapi cerita itu juga menghibur dan memberi kelegaan kepadanya. Jadi si Mandar itu bisa salah. Pasti lndah juga mengalami hal yang sama seperti Lis. Terlalu percaya pada lelaki tampan. Bedanya, Indah telanjur tahu alamat rumah Mandar, sehingga dia harus dibunuh untuk menghilangkan jejak. Sedang Lis tidak tahu.

Jadi itu sebabnya kenapa Lis bisa begitu empati terhadap perasaannya. Ia jadi merasa tambah dekat.

"Bolehkah aku menganggap Mbak sebagai pengganti Indah?" tanyanya.

"Tentu saja boleh."

Sekarang dalam kesendiriannya, Indri mengenang Indah kembali. Di waktu kecil mereka sangat dekat. Tapi semakin beranjak dewasa terasa semakin renggang. Lebih-lebih setelah Indah pergi ke Jakarta. Ketika akan pergi Indah berjanji akan sering-sering menulis surat. Tapi janji itu tidak ditepati.

Indri mulai mengantuk. Ketika itu terdengar ketukan keras pada pintu. Ia melompat terkejut. Ketukan itu cukup keras. Dan yang diketuk adalah pintu rumah. Tak mengherankan kalau ia terkejut karena kerasnya suara yang terdengar. Untuk sesaat ia bimbang. Sebelum penghuni rumah pergi ia sudah dipesan untuk tidak membukakan pintu pada sembarang orang. Di Jakarta banyak orang jahat.

Ia mengintip dulu dari jendela. Seorang lelaki berdiri di balik pintu. Ia mengenali Adrian. Kembali ia bimbang. Apakah ia cukup berteriak saja dari jendela dengan mengatakan bahwa Lis sedang pergi? Toh yang dicari Adrian adalah Lis. Tapi itu sepertinya tidak sopan. Kemudian teringat olehnya ketidaksenangan Rudy karena Adrian masih saja mendekati Lis meskipun Lis sudah jadi calon istri ayahnya. Hal itu memberikan ide kepadanya. Ia bisa membantu Lis dan juga Rudy. Mereka berdua tentu tidak enak memberitahu secara langsung kepada Adrian. Lebih-lebih Lis. Tapi dirinya berbeda karena dia orang luar.

Setelah ketukan berikutnya yang lebih keras lagi, Indri membuka pintu. Lalu berhadapan muka dengan Adrian. Tampak Adrian sangat terkejut. Raut mukanya menunjukkan bahwa apa yang dilihatnya sama sekali di luar persangkaannya. Mulutnya ternganga sejenak lalu berseru pelan,

"In...dah?"

Giliran Indri yang terkejut. Reaksi Adrian itu di luar dugaannya.

"Bukan. Saya Indri," katanya.

Dengan cepat Adrian pulih dari kagetnya. Ia menepuk kepalanya sendiri seakan menyesali kebodohannya.

"Oh ya. Tentu saja. Maaf saya salah. Saya pernah melihatmu di halaman penjara."

"Dan Mas jatuh pingsan."

Adrian tersenyum malu. Matanya menatap ke dalam. Ia menyadari betapa sepinya rumah itu.

"Mbak Lis pergi. Semuanya pergi," Indri menielaskan.

"Oh, begitu. Kalau nggak lama saya nunggu aja."

Indri menunjuk kursi. Biarpun ia sudah tahu bahwa Adrian itu sepupu Mandar, tapi Lis dan keluarganya sudah memaafkan dan menerimanya. Tentu tidak salah kalau ia membolehkannya menunggu.

Adrian mengulurkan tangan.

"Saya Adrian."

Indri menerima jabatan tangan Adrian.

"Ya. Saya sudah tahu. Mas kan sepupunya Mandar," katanya langsung.

Adrian terkejut tapi kemudian memaklumi. Tentunya Indri sudah diberitahu.

"Saya juga sudah tahu mengenai kakakmu. Maaf ya, ln. Saya sangat menyesal bahwa semua itu telah terjadi. Mandar telah menebar bencana. Saya yang tidak tahu apa-apa kena getahnya."

"Apakah dia mengakui telah membunuh kakak saya, Mas?"

"Dia bilang tidak ingat. Sama seperti yang dikatakannya kepada Dokter Hilman."

"Untunglah sekarang Mbak Lis sudah pulih dan bahagia. Tak lama lagi dia akan menjadi istri Dokter Hilman."

Kepala Adrian seperti disambar petir. Kuat sekali sentakan kagetnya. Ia benar-benar tak bisa menyembunyikan perasaan itu dari ekspresi di wajahnya. Beberapa saat lamanya ia tak bisa segera berbicara. Baru kemudian ia tergagap,

"A... a... apa?"

Indri menjadi iba. Mungkin ia terlalu mendadak. Dan mungkin juga ia lancang. Tapi sudah telanjur.

"Mbak Lis akan menikah dengan Dokter tiga bulan lagi. Saya kira Mas sudah tahu."

Sekarang Adrian merasa pedih. Sakit sekali. Jangan-jangan dia akan pingsan.

Indri menatapnya dengan cemas.

"Maaf, Mas," katanya pelan

Adrian berusaha keras mengendalikan emosinya. Ia menggelengkan kepala lalu tersenyum.

"N ggak apa-apa. Kau tidak perlu minta maaf. Saya ikut bahagia bahwa Lis bisa menemukan orang yang dicintainya," katanya dengan tabah. Lalu ia berdiri.

"Katanya mau nunggu, Mas."

"Nggak usahlah. Nanti saya malah mengganggu. Sampaikan saja bahwa saya ikut bersyukur. Saya akan nelepon dia."

Indri melepas kepergian Adrian dengan terharu. Kalau matanya tidak salah ia melihat genangan air di mata Adrian. Kasihan. Dia patah hati.

Kantuk Indri lenyap sama sekali.

Sambil mengemudi Adrian membiarkan air matanya mengalir bagai anak sungai. Hatinya sakit. Hancur lebur. Bagaimana mungkin Lis lebih menyukai seorang tua bangka dibanding dirinya? Tak sadarkah Lis bahwa dalam kurun waktu tak lama lagi si tua itu akan menjadi jompo dan kemudian masuk liang kubur? Apakah Lis terpengaruh oleh mantra-mantra yang diucapkan si tua dalam bentuk terapi? Si tua telah memanfaatkan kelabilan mental Lis!

Indri menceritakan pertemuannya dengan Adrian kepada Lis.

"Maafkan aku untuk kelancangan itu, Mbak," katanya penuh sesal.

"Tidak apa-apa, In. Jangan menyesal. Cepat

atau lambat dia akan tahu juga."

"Dia kelihatan terpukul sekali. Tapi cukup kesatria. Katanya dia ikut bahagia."

"Ya. Dia memang baik. Sekarang dia sedih, tapi besok lusa dia akan pulih."

Sesuai ucapannya, kemudian Adrian menelepon Lis.

"Selamat ya, Lis! Kamu kok nggak bilang-bilang!"

Lis tertegun sejenak mendengar suara Adrian yang kedengaran riang. Cepat sekali dia pulih.

"Aku mau bilang, tapi sudah keduluan Indri."

"Nanti undang aku, ya?"

"Pasti. Kau pasti datang, kan?"

"Tentu saja. Aku kan temanmu."

Lis benar-benar lega. Rupanya prasangkanya tentang Adrian salah sama sekali.

Waktu Hilman berkunjung bersama Rudy, cerita itu ia sampaikan.

"Syukurlah. Jadi masalah dia sudah

selesai."
Cinta Seorang Psikopat Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rupanya dia berjiwa besar," puji Hilman.

"Apa Dok cerita padanya tentang kakak Indri?" tanya Lis ketika teringat cerita Indri di awal pertemuannya dengan Adrian.

"Oh ya, saya minta dia menanyakan kepada Mandar apakah dia masih ingat pada perempuan yang mirip dengan Indri. Sebagai orang yang punya hubungan dekat, mungkin Adrian bisa lebih gampang mengorek kebenaran dari mulut Mandar. Tapi kemudian Adrian bilang, Mandar memberi jawaban sama. Yaitu, tidak ingat!"


The Last Demigods Karya Mrseven07 Candika Dewi Penyebar Maut I I I Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L

Cari Blog Ini