Delusi Karya Mira W Bagian 2
ketika didengarnya pintu garasi terbuka.
Tergopoh-gopoh dia memburu ke pintu depan.
Tetapi dia hanya dapat melihat mobil Taufan
sedang meluncur cepat ke luar halaman....
"Uti!" jerit Arneta antara kaget dan cemas.
Segurat sesal menoreh hatinya. Lebih-lebih
ketika malam itu Putri tidak kembali. Arneta
sudah meraih telepon untuk memberitahu
suaminya, ketika mendadak dibatalkannya
kembali.
Malam sudah larut. Taufan pasti terkejut
sekali. Tidak ada yang dapat dilakukannya
malam ini. Untuk apa membuatnya bingung?
Malam itu Arneta hanya terlelap sekejap. Dia
menunggu kepulangan anaknya. Tetapi Putri
tidak kembali. Demikian juga keesokan harinya.
Arneta bertambah cemas ketika Bi Acih
bilang Putri pergi dengan membawa kopor! Jadi
anaknya benar-benar minggat!
Ya Tuhan, keluh Arneta sedih. Aku benar
benar menyesal! Ampuni aku, Tuhan! Lindungi
88
anakku!
Dalam keadaan panik, Arneta menghubungi
orangtuanya. Tetapi ayah-ibunya juga tidak
tahu di mana Putri berada. Cucunya tidak
datang. Menelepon juga tidak.
Akhirnya Arneta nekat menelepon bekas
produser Putri, minta nomor telepon Sonny
Turangga.
"Kami tidak bisa memberikan nomor telepon
Sonny tanpa izinnya, Bu," sahut Titiek sabar.
"Fansnya kelewat banyak kalau harus dilayani
satu per satu ."
"Saya bukan fansnya!" potong Arneta
gemas.
"Saya ibunya Putri! Anak saya tidak
pulang semalaman dan dia sedang hamil! Saya
khawatir sekali...."
"Tapi kami tidak tahu di mana Putri, Bu.
Sudah lama dia tidak kemari...."
"Saya tahu! Karena itu saya cari Sonny! Tadi
malam dia mengantarkan Putri pulang!"
"Maksud Ibu," Titiek mengerutkan dahinya
dengan heran,
"Putri kembali pada Sonny?"
"Tidak ada yang kembali!" potong Arneta
tidak sabar.
"Saya hanya ingin tanya, apa dia
tahu di mana Putri!"
"Siapa, Tiek?" tanya Johan Paringian kepada
sekretarisnya.
"Ibunya Putri, Pak. Anaknya hilang. Dia
menanyakan nomor telepon Sonny!"
89
"Bilang dari ibunya Putri!" suara Arneta
terdengar kering.
"Saya ingin bicara dengan
Sonny."
"Sonny tidak ada," sahut gadis yang
menerima telepon itu sama keringnya.
"Saya ibunya Putri!"
"Saya tidak peduli!"
"Tapi ini penting sekali! Saya harus bicara
dengan Sonny!"
"Sonny tidak ingin bicara dengan Ibu!
Selamat sore!"
Meskipun harus menerima perlakuan yang
begitu kasar, dibantingi telepon sekalipun,
Arneta tidak peduli. Dia menelepon terus.
Ketika teleponnya tidak dijawab, dia datang ke
rumah Sonny.
Della Imron membuka pintu dengan gemas.
"Saya ibunya Putri."
"Saya sudah tahu!"
"Saya ingin bertemu Sonny!"
"Tapi Sonny tidak mau bertemu Ibu
Dengan tidak sabar Arneta menyingkirkan
tubuh yang menghalangi pintu itu. Della
memprotes dengan marah.
"Siapa pun Ibu, tidak berhak masuk ke
rumah orang dengan cara begini!"
Tetapi Arneta tidak peduli. Dia menerobos
masuk. Dan melihat Sonny tegak di ambang
pintu kamar. Hanya mengenakan celana dalam.
'"
90
"Di mana Putri?" tanya Arneta dingin, tanpa
merasa rikuh sedikit pun.
Sonny mengawasinya dengan heran.
"Mengapa Ibu mencarinya di sini?"
"Tadi malam kamu antarkan dia pulang!"
"Tapi Ibu sendiri yang melarang kami
bertemu lagi, kan?"
"Putri kabur dari rumah!"
Sesaat Sonny tertegun.
"Di mana dia?" desak Arneta tidak sabar.
"Dia sedang hamil tua... dan dia membawa
mobil!"
"Saya tidak tahu, Bu," ada bayangan
kecemasan melintas di mata pemuda itu.
"Tapi
saya akan bantu Ibu mencarinya! Tunggu, saya
pakai baju dulu."
"Tidak usah!" dengan kasar Arneta
membalikkan badannya dan melangkah ke luar.
Di pintu, Della menatapnya dengan tatapan
tidak senang. Dia membukakan pintu tanpa
berkata apa-apa. Arneta pun melewatinya tanpa
menoleh.
Della membanting pintu dengan gemas.
"Itu ibunya Putri?" dengusnya dalam nada
melecehkan.
"Hm, pantas saja anaknya begitu!
Ibunya juga sangar!"
"Diam kau!" bentak Sonny sambil
menyambar bajunya.
"Jangan menghina
Putri! Apalagi ibunya! Mereka orang-orang
91
terhormat!"
"Hei, kau masih memuja Putri? Masih
menghormati ibunya? Padahal mereka begitu
kasar padamu!" Della menggeram penasaran.
"Dasar lelaki tidak punya harga diri!"
"Apa yang kau harapkan? Mereka akan
memelukku dan mencium pipiku setelah apa
yang kulakukan pada Putri?"
"Katamu bukan kau yang melakukannya!"
Aku sendiri tidak tahu, pikir Sonny resah.
Makin hari, makin kupikirkan, aku sendiri
makin ragu! Dan ketika melihat kandungannya
yang sudah begitu besar... mengapa ada
perasaan aneh menyelinap ke hatiku? Perasaan
yang memaksaku mengikuti Putri tanpa alasan
ketika kebetulan aku melihatnya kemarin....
Malam itu, Arneta pulang dengan putus
asa ke rumah, setelah seharian sia-sia mencari
jejak Putri. Dan bertambah bingung ketika
mendapatkan anaknya belum pulang juga. Ke
mana Putri?
Ketika melihat Sonny tadi, dia tahu, pemuda
itu tidak berdusta. Dia memang tidak tahu
di mana Putri. Dan membayangkan cara
Sonny menatapnya, membayangkan secercah
kecemasan yang membias dari matanya, tiba
tiba saja Arneta bertambah menyesal.
Mengapa harus buru-buru mengusirnya tadi
92
malam? Mengapa dia tidak dapat bersikap lebih
bijaksana?
Mungkin saja sekarang Sonny sudah
menyesal dan mengajak Putri berdamai....
Tapi bagaimana dia bisa membiarkan
anaknya berdamai kembali dengan lelaki seperti
Sonny, yang bertukar wanita seperti bertukar
baju? Ibu mana yang tidak khawatir kalau anak
perempuannya bergaul dengan pemuda seperti
dia?
Gadis di rumah Sonny tadi lumayan cantik.
Tubuhnya pun ramping memikat. Kalau
Sonny sudah memiliki gadis seperti dia, buat
apa mengejar-ngejar seorang wanita hamil tua
seperti Putri?
Barangkali mereka memang cuma kebetulan
bertemu.... Atau benarkah seperti kata Putri,
Sonny menolongnya?
Mengapa harus apriori menuduhnya
membujuk Putri lagi? Mengapa harus
mencurigai Putri begitu bodoh, mau dijebak
lelaki yang sama untuk kedua kalinya?
"Mama kira Uti ini apaan sih? Perek? Nggak
punya harga diri?"
Putri begitu marah. Begitu tersinggung.
Merasa terhina! Ibunya sendiri tidak
mempercayainya! Mengiranya begitu rendah,
mau saja menerima kembali lelaki yang telah
mencampakkannya!
93
"Jadi Mama anggap apa anak Uti? Anak
haram jadah?"
Ya, Tuhan, pekik Arneta dalam hati. Apa
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang telah kulakukan pada anakku? Permata
hatiku? Kembalikan dia padaku, Tuhan! Supaya
dapat kubisikkan padanya, betapa menyesalnya
Mama!
Dengan air mata berlinang Arneta
menghampiri telepon. Akhirnya dia harus
menghubungi Taufan. Memberitahukan
hilangnya Putri. Taufan pasti sangat bingung.
Tapi apa lagi yang dapat dilakukan Arneta?
Dia ingin suaminya segera pulang! Dia
berharap Taufan ada di sini! 0, seandainya dia
tidak pergi, semua ini pasti tidak akan terjadi!
Taufan pasti dapat mengatasi semuanya!
Dengan tangan gemetar, Arneta meraih
telepon. Dan belum sempat mengangkatnya
ketika telepon berdering. Arneta mundur
dengan kaget.
Putri! Pasti Putri! Atau... Taufan?
Bergegas Arneta menyambar telepon.
"Uti ?" bisiknya gemetar.
Tetapi yang terdengar suara seorang laki-laki
yang tidak dikenalnya.
"Ibu Arneta Basu ki?"
"Ya?" desah Arneta heran. Suara itu begitu
formal. Dan memanggilnya dengan nama
gadisnya!
94
"Saya Dokter Winarto..."
Sia-sia Arneta mengumpulkan serpihan
ingatannya. Dokter Winarto? Siapa? Di mana
pernah didengarnya nama itu?
"Saya psikiater yang merawat Rivai
Maringka. Saya hanya hendak mengabarkan,
kemarin malam, Rivai melarikan diri dari
rumah sakit...."
Arneta jatuh terduduk dengan lemas di
kursi. Mukanya memucat.
"Saya minta agar Anda berhati-hati, karena
saya khawatir Rivai akan mencari Anda. Dia
lari setelah menonton sinetron Teror Menjelang
Subuh..."
"Putri...!!!" jerit Arneta histeris.
95
BAB X
ARNETA mengemudikan mobilnya dengan
panik. Sudah lama dia tidak menyetir mobil.
Taufan selalu melarangnya kalau dia ada di
rumah.
Arneta bukan pengemudi yang mahir.
Apalagi dalam keadaan panik seperti sekarang.
Entah sudah berapa kali ban mobilnya
menyenggol pinggiran trotoar.
Untung malam sudah larut. Tidak terlalu
banyak mobil lagi.
Arneta sendiri tidak tahu ke mana harus
mencari Putri. Tetapi dia tidak bisa menunggu
saja di rumah. Meskipun kalau hanya
memikirkan dirinya sendiri, tindakan yang
paling aman adalah mengurung diri di rumah.
Mereka sudah pindah rumah. Rivai pasti
tidak tahu ke mana harus mencari Arneta.
Tetapi yang dilihatnya adalah Putri! Dan Putri
memiliki wajah yang mirip sekali dengan
Arneta waktu muda!
Karena itu Arneta harus mencari Putri! Dia
tidak dapat mengunci diri di rumah, sementara
di luar sana berkeliaran seorang pembunuh
sakit jiwa yang mengincar anaknya!
96
E-Booh by syauqy_arr
Kalau boleh memilih, lebih baik bagi Arneta
kalau Rivai mencarinya saja. Daripada dia
menganiaya Putri!
Arneta ingin berteriak, ingin memohon agar
Rivai menemuinya saja, jangan Putri!
Masih terbayang jelas dalam ingatannya
kegilaan mantan suaminya tujuh belas tahun
yang lalu! Bagaimana dia menyiksa Taufan.
Memperkosa Tiah, dan hampir membunuh
Arneta
Oh, Tuhan, jangan! Jangan sampai Putri
mengalaminya!
Taufan merasa heran. Sudah seharian Arneta
tidak menelepon. Putri juga tidak. Setiap kali
dia menelepon, Bi Acih selalu mengatakan
mereka tidak ada di rumah dan tidak tahu ke
mana mereka pergi. Apa yang terjadi?
Sekarang sudah larut malam. Tetapi
keduanya belum pulang juga. Aneh. Arneta
jarang keluar malam. Apalagi tanpa suaminya.
Nyaris tidak pernah.
Apakah karena Putri? Mungkinkah
kehamilannya mengalami kesulitan sehingga
Arneta membawanya ke rumah sakit?
Mengapa Arneta tidak mengabarinya? Takut
suaminya menjadi bingung? Karena itukah
Arneta mencoba mengatasinya sendiri?
Lebih baik besok aku pulang, pikir Taufan
97
resah. Khawatir terjadi apa-apa di rumah! Ah,
sebenarnya sayang sekali. Urusannya hampir
beres. Tinggal sedikit lagi....
Ayah mertuanya, orang yang memberinya
pekerjaan di bidang komputer setelah Taufan
menikah dengan Arneta, menugasinya untuk
melobi sebuah perusahaan nasional yang
sedang berkembang pesat di Palembang.
Kalau mereka jadi memberi order,
keuntungan yang akan diperoleh perusahaan
ayah Arneta cukup lumayan. Dan Taufan
bersyukur karena akhirnya dia mampu
membalas budi mertuanya.
Selama ini, dia memang telah bekerja keras
untuk memajukan perusahaan ayah Arneta.
Setelah beruang belasan tahun, akhirnya Taufan
memang mampu menangani urusan komputer.
Bidang yang sebenarnya tidak dikenalnya sama
sekali.
Pendidikan formal Tau fan adalah kedokteran.
Tetapi akibat malpraktek yang tidak sengaja
dilakukannya, izin prakteknya dicabut.
Ayah Arneta-lah yang turun tangan
menolong memberi pekerjaan, pada saat Taufan
tidak tahu harus bekerja apa. Sekarang pada
saat dia mendapat kesempatan untuk membalas
budi, sesuatu yang tidak disangka-sangka
terjadi... dia harus pulang lebih cepat, sebelum
urusannya beres!
98
Ayah Arneta pasti sangat kecewa... ayah
Arneta! Tiba-tiba saja Taufan ingat untuk
meneleponnya! Tahukah dia apa yang terjadi?
" Arneta hanya menelepon sekali menanyakan
Putri," sahut mertuanya, sama bingungnya.
"Mungkinkah dia sedang mencari Putri?"
"Putri pergi?" desah Taufan gelisah.
Mungkinkah... dia bertengkar lagi dengan
ibunya?
"Urusan di sana sudah beres?"
"Masih satu kali pertemuan lagi...."
"Selesaikan saja dulu. Biar Ayah yang cari
Arneta dan Putri."
"Tolong kabari saya kalau sudah ada kabar,
Ayah," pinta Taufan lemas.
"Pasti. Tidak usah khawatir dulu. Putri
memang selalu begitu, kan? Sifatnya persis
Arneta waktu muda! Kalau sudah maunya, sulit
dibantah!"
"Itu karena dia sangat dimanjakan ayahnya!"
sambung ibu Arneta sambil menghela napas.
"Persis Putri sekarang!" '
"Siapa Arneta? Saya tidak kenal!" dengus
Della melalui telepon di rumah Sonny.
"Pemain
Teror Menjelang Subuh bukan Arneta!"
Della membanting teleponnya dengan
gemas. Sialan! Hari ini semua orang mencari
Putri! Gara-gara episode ketiga belas Teror
99
Menjelang Subuh tadi malam, dunia seolah-olah
ikut menjadi gempar!
Semua orang seperti mendadak mencarinya!
Dari dokter jiwa sampai ibunya Putri yang judes
itu! Dan sekarang, muncul seorang penelepon
gelap yang mencari entah siapa!
Sialan! Dari mana dia mendapat nomor
telepon Sonny? Dari si Titiek? Brengsek dia!
Selalu diberikannya yang tidak enak kepada
orang lain!
Seperti kemarin. Ada dokter jiwa datang,
disuruhnya Della yang melayani! Sialan!
Mau enaknya sendiri saja! Mentang-mentang
sekretaris kesayangan produser!
Enaknya diadukan saja kepada istri si Johan!
Biar dia tahu rasa!
Desas-desus yang mensinyalir ada hubungan
intim di antara mereka sudah marak.
Della melirik jam tangannya. Sudah hampir
pukul sepuluh malam. Mestinya Sonny sudah
pulang! Ke mana dia pergi? Dia haru pulang!
Dia harus ingat, Della sedang menunggunya di
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sini! Dan dia bukan penjaga rumah!
Enak saja dia pergi dari sore! Mencari Putri?
Atau... menemani gadisnya yang lain? Dasar
Don Juan!
Kalau dia belum pulang sampai jam sebelas,
kutinggal saja, geram Della dalam hati. Aku
tidak mau diam di sini, menunggui rumah
100
kosong!
Dan sebuah ketukan terdengar di pintu
depan. Cukup keras.
Pasti si Sonny, gerutu Della kesal. Kok aku
tidak mendengar suara mobilnya? Tapi siapa
lagi kalau bukan dia?
Bergegas Della membuka pintu. Dan dia
tertegun sesaat.
"Cari siapa?" bentaknya kasar.
"Sonny tidak
ada di rumah!"
***
"Belum ada pasien yang ditemukan?" tanya
Dokter Winarto setelah meletakkan telepon.
Dia baru saja menelepon Arneta Basuki.
Mengabarkan mantan suaminya menghilang
dua malam yang lalu. Dan wanita itu
kedengarannya syok sekali. Lebih cemas dari
yang disangka Dokter Winarto.
Tetapi apa lagi yang harus dilakukannya?
Bagaimanapun, dia harus memberitahu wanita
itu, orang yang paling dicari Rivai!
Supaya Arneta dapat berjaga-jaga. Karena
Rivai belum sembuh betul! Memang selama
tahuntahun terakhir ini "Rizal"-nya sudah tidak
muncul lagi. Tapi itu belum menjamin bahaya
telah lenyap!
Jiwa manusia sukar diterka. Lebih-lebih jiwa
101
yang sakit! Tidak minum obat pula!
Nah, siapa yang dapat menerka apa yang
akan dilakukan Rivai kalau dia menemukan
mantan istrinya? Paling aman Arneta harus
diberitahu, supaya dia dapat berjaga-jaga!
"Baru Indra yang kembali, Dok," sahut
Dokter Sendang, yang sudah tiga malam tidak
pulang ke rumah, sejak pasien-pasiennya
melarikan diri. Dia terus-menerus memantau
basil pencarian atas diri pasien-pasiennya.
"Katanya proposalnya ketinggalan di sini. Dan
dia ada meeting besok dengan pengusaha besar
yang berminat dengan proyeknya."
"Dia memang sakit," keluh Dokter Winarto
letih.
"Tapi tidak terlalu berbahaya. Saya justru
mengkhawatirkan pasien-pasien yang lain!"
"Terutama Rivai Maringka? Dia pasti
mencari mantan istrinya!"
"Sendang," cetus Dokter Winarto tiba
tiba.
"Kau tahu kisah sinetron Teror Menjelang
Subuh?"
Dokter Sendang menggeleng agak bingung.
"Tidak, Dok. Itu sebuah kisah thriller, kan?"
"Tokoh wanita di dalam kisah itu
menyeleweng dengan lelaki lain. Suaminya
mengirim orang untuk membunuhnya, supaya
dapat menikah dengan gadis lain...."
"Dan gadis itu kebetulan diperankan oleh
Putri Kusumanto, yang wajahnya mirip Arneta
102
Basuki?"
"Putri adalah anak Arneta," kata Dokter
Winarto perlahan-lahan dengan nada masygul.
"Dan dia tidak memerankan sang gadis. Dia
justru menokohkan si istri yang akan dibunuh
karena menyeleweng!"
Wajah Dokter Sendang berubah.
"Dokter khawatir, Rivai kabur untuk mencari
Arneta karena mengiranya menyeleweng? Rizal
akan muncul lagi untuk menghukum Arneta?"
"Bukan hanya itu," desis Dokter Winarto
resah.
"Saya mencemaskan sesuatu yang lebih
gawat bakal terjadi..."
103
BAB XI
RIVAI mundur dengan terkejut. Dia baru
berhenti setelah bahunya membentur dinding
di belakangnya.
Ditatapnya kedua belah tangannya yang
berlumuran darah. Seperti tidak percaya dengan
penglihatannya, diangkatnya tangannya lebih
tinggi... darah! Tidak salah lagi! Darah! Darah!
Darah!
Ruangan tidak gelap. Malah cenderung
terang. Dia dapat melihat semuanya dengan
jelas. Ruangan yang berantakan. Kursi yang
terbalik. Jendela yang pecah selembar kacanya.
Darah di mana-mana. Dan dan...
Mata Rivai terbuka lebih lebar . Ada sesosok
tubuh wanita terhantar di lantai. Matanya
terbeliak ngeri. Tetapi mata itu sudah tidak
bergerak....
Rivai menghampirinya dengan bimbang.
Hatihati dia berlutut di sisi tubuh wanita itu.
Diletakannya tangannya di lehernya. Hendak
meraba nadinya Dan tiba-tiba saja dia merasa
muak!
Leher wanita itu bersimbah darah.... Sebuah
luka menganga lebar di lehernya dari sisi kiri ke
104
sisi kanan .
Rivai melompat bangun dengan kaget.
Ditatapnya tangannya dengan tatapan tidak
percaya. Lalu matanya melintas cepat ke sudut
ruangan... Rizal! Diakah yang datang?
Tetapi tidak ada siapa pun di sana. Ruangan
itu kosong! Hanya dia dan mayat itu.... Di mana
Rizal?
Taufan menjabat tangan pengusaha itu.
Sebuah kesepakatan telah tercapai. Misinya
berhasil. Dalam pertemuan selanjutnya, mereka
akan menandatangani kontrak.
"Saya mengundang Anda makan malam
untuk merayakan kerja sama kita. Bagaimana
kalau nanti malam, Pak Taufan? Anda tidak
sibuk?"
"Terima kasih, Pak. Saya merasa sangat
dihargai. Tapi hari ini juga saya harus kembali
ke Jakarta."
"Ada bisnis lain?" Pengusaha itu tersenyum
penuh pengertian.
"Saya mengerti. Buat
seseorang seperti Anda, jadwal kerja Anda pasti
sangat padat."
"Sebenarnya bukan urusan bisnis, Pak,"
Taufan tersenyum malu.
"Anak saya hampir
melahirkan...."
"Bukan main!" cetus pengusaha itu kagum.
"Cucu pertama?"
105
Taufan mengangguk. Cucu pertama. Tanpa
ayah....
"Selamat!" pengusaha itu mengulurkan
tangannya sekali lagi.
"Mudah-mudahan bulan
depan, kalau Anda datang kemari lagi untuk
menandatangani kontrak, kita dapat makan
malam bersama untuk merayakannya!"
Kalau Putri sudah melahirkan, pikir Taufan
sambil menyambuti uluran tangan pengusaha
itu. Kalau tidak, aku tidak mungkin kemari! Putri
ingin sekali didampingi waktu melahirkan. Dan
Taufan ingin sekali berada di samping anaknya
saat cucu pertamanya lahir!
Barangkali kontrak mereka harus menunggu
satu-dua minggu! Dan ayah Arneta pasti
mengerti!
"Ibu belum pulang juga?" Taufan
mengerutkan dahinya dengan bingung.
"Putri
juga belum?"
"Belum ada yang pulang, Pak!" lapor Bi
Acih sama bingungnya.
"Kemarin banyak yang
telepon. Malah tadi malam ada dua tamu yang
datang, Pak!"
Ke mana Arneta, pikir Taufan sambil
menutup teleponnya. Mengapa dia tidak
menghubungiku?
Taksi yang ditumpangi Taufan berhenti
di depan bandara. Taufan melompat turun.
Membayar ongkos taksi. Si pengemudi taksi
106
membuka bagasi. Dan menurunkan kopor
Taufan.
Sonny memarkir mobilnya di halaman di
depan rumahnya. Lalu sambil menguap dia
turun dari mobil.
Semalaman dia mencari Putri. Ke tempat
tempat yang biasa mereka kunjungi waktu
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih pacaran dulu. Tetapi Putri tidak ada di
manamana.
Tidak ada teman-teman yang melihatnya.
Ke mana dia? Padahal dia sedang hamil!
Dan tampaknya fisiknya tidak begitu prima.
Bagaimana kalau dia mendadak pusing seperti
saat itu? Apalagi kalau sedang mengendarai
mobil!
Selalu terbit sedikit sesal di hati Sonny
kalau membayangkan cara mereka berpisah.
Sebenarnya dia sangat menyukai Putri. Dia
bukan hanya cantik. Sekaligus punya banyak
sifat-sifat yang menarik.
Sayang anaknya hadir terlalu cepat! Dan
Sonny belum ingin kariernya yang sedang
melangit terhambat oleh kehadiran seorang
anak!
Sonny sadar sekali, penampilannyalah yang
diincar produser dan fansnya. Bukan aktingnya.
Kalau dia menikah dan punya anak, masihkah
para fans fanatiknya memujanya seperti
107
sekarang?
Tetapi ketika melihat Putri dua hari yang
lalu, ketika melihat besarnya kehamilannya,
ada segurat perasaan aneh menoreh hatinya.
Perasaan yang sampai sekarang tak dapat
dijelaskannya.
Sonny mengeluarkan kunci rumahnya.
Dan memasukkannya ke lubang kunci lalu
memutarnya... dan dia tertegun sesaat. Pintu i tu.
tidak terkunci....
Sudah pergikah Della? Dan dia lupa
mengunci pintu depan?
Aneh, pikir Sonny sambil mendorong daun
pintu. Garasi masih tertutup. Seharusnya dia
melihat dulu apakah mobil Della masih ada di
garasi.... Dan mata Sonny terbelalak lebar....
Lampu masih menyala semua. Walaupun
sinar matahari telah menerobos masuk melalui
kaca jendela yang pecah. Ruangan serba
berantakan. Kursi terbalik. Darah berceceran
di mana-mana dan. Sesosok tubuh terhantar
bermandikan darah di lantai....
"Della!" teriak Sonny sekuat tenaga.
Tapi tidak ada suara yang keluar dari
mulutnya.
Arneta sudah putus asa. Dia sudah hampir
menyerah. Sudah dicarinya Putri ke tempat
tempat yang mungkin disinggahinya.
108
Arneta tidak tahu lagi ke mana harus
mencarinya. Akhirnya dia mencari telepon
umum. Dan menelepon ke rumah.
"Non Putri belum pulang, Bu!" sahut Bi Acih.
"Barusan saja Bapak telepon!"
Arneta meletakkan teleponnya. Dan mencoba
menghubungi hotel tempat Taufan menginap.
Tetapi suaminya telah check-out. Dan handphone
nya tidak dapat dihubungi. Barangkali karena
Taufan sudah berada dalam pesawat.
Arneta menutup telepon itu dengan air mata
berlinang. Dia merasa letih sekali. Rasanya
hampir tak dapat lagi mengemudikan mobil.
Dia harus mengisi perutnya dulu untuk
menambah tenaga. Karena itu walaupun tidak
merasa lapar, Arneta masuk ke sebuah rumah
makan.
Dia duduk di dekat televisi yang sedang
menyiarkan warta berita. Lalu memesan
makanan.
"Hanya ini, Bu?" tanya pelayan yang
melayaninya.
"Ya," sahut Arneta sambil memandang
pelayan itu.
"Tolong minumannya dulu."
"Baik, Bu."
Ketika pelayan itu menyingkir, pandangan
Arneta tidak sengaja terbentur pada layar
televisi yang sedang menayangkan foto seorang
korban pembunuhan.... Dan Arneta sampai
109
tersentak kaget ketika mengenali wajah wanita
itu....
Bukankah itu wanita judes yang kemarin
ditemuinya di rumah Sonny Turangga? Aktris
yang mendampingi Sonny dan Putri dalam
sinetron Teror Menjelang Subuh sebagai pacar
gelap Sonny?
"Della Imron, pimpinan produksi sekaligus
pemain sinetron Teror Menjelang Subuh
ditemukan tewas di rumah aktor terkenal
Sonny Turangga secara mengenaskan. Lehernya
hampir putus di gorok senjata tajam yang belum
ditemukan oleh pihak berwajib. Tidak ada
benda berharga yang hilang di rumah tersebut,
sehingga motif perampokan masih diragukan.
Sonny masih berada di Polda untuk dimintai
keterangan...."
Ketika pelayan kembali membawa minuman,
Arneta telah lenyap.
110
BAB XII
RIVAI mencuci tangannya yang berlumuran
darah di wastafel. Ditatapnya air berwarna
kemerahmerahan yang menggu yur bak wastafel
itu.
Lalu tatapannya beralih ke wajah di dalam
cermin di hadapannya.
Wajah yang kosong. Datar. Tanpa emosi
bagai topeng. Wajah Rivai. Tidak ada Rizal.
Tidak ada. Ke mana dia?
Sudah lama Rivai tidak pernah melihatnya
lagi. Tetapi mengapa rasanya dia selalu
mengikutinya terus?
Rivai memang merasa dia selalu dibayang
bayangi seseorang sejak kabur dari rumah sakit.
Dan dia yakin sekali, orang itu pasti Rizal! Siapa
lagi?
Setiap kali dia datang ke suatu tempat, pasti
Rizal mengikutinya. Dan mengambil seorang
korban.
Seperti tadi malam. Sebenarnya dia
mengunjungi rumah Sonny Turangga untuk
menanyakan di mana Arneta. Tetapi Rizal
keburu membunuh gadisnya.
Malam ini, Rivai datang ke tempat
111
produsernya. Rivai yakin, dia pasti tahu di mana
Arneta. Tetapi Rizal sudah mendahuluinya lagi.
Produser itu ditemukan di ranjang
bersama seorang wanita muda. Ketika Rivai
membalikkan tubuh mereka, ternyata mereka
sudah tewas. Leher mereka bersimbah darah.
Sekarang Rivai bingung ke mana harus
mencari Arneta. Dia kehilangan jejak.
Siapa lagi yang harus dicarinya? Ke mana?
Lalu tiba-tiba... mata Rivai terpaku pada
kertas di atas meja kecil di dekat telepon....
Dengan panik Arneta memasuki halaman
rumah sakit jiwa tempat Rivai dirawat. Setelah
beberapa jam kebingungan mencari-cari alamat
itu, akhirnya dia berhasil juga menemukannya.
Tujuh belas tahun telah berlalu sejak dia
menjenguk Rivai di rumah sakit ini. Sudah
begitu banyak perubahan yang terjadi. Pantas
saja Arneta sampai terpaksa beberapa jam
berputar-putar mencarinya.
Arneta hanya sempat menjenguk Rivai satu
kali. Sesudah itu, Dokter Winarto melarangnya
untuk datang kembali. Supaya Rivai dapat
melupakannya.
Tetapi ternyata sampai sekarang pun Rivai
belum melupakannya juga! Begitu melihat
wajahnya di layar televisi, Rivai langsung nekat
kabur dan mencarinya.
112
Dan Arneta terlambat menginjak rem.
Bumper depan mobilnya menubruk dinding
depan rumah sakit.
Seorang satpam bergegas menghampiri.
Dengan sikap waspada, khawatir orang tidak
waraslah yang berada di belakang kemudi, dia
membuka pintu dan memberi hormat.
"Malam, Bu, cari siapa?"
"Dokter Winarto," sahut Arneta gugup.
Ketika dia turun dari mobil, satpam itu malah
bergegas mundur dengan sikap siaga.
"Dokter Winarto sudah pulang, Bu."
"Saya harus menemuinya. Tentang
pasiennya. Rivai Maringka."
Dokter Sendang sedang melayani seorang
pasien wanita yang datang berobat malam
malam karena merasa mendapat gangguan
jiwa.
"Saya baru saja nonton TV, Dok," berkeras
wanita separo baya itu.
"Katanya gangguan
jiwa akibat stres berupa susah tidur, banyak
keringat, cepat marah. Akhir-akhir ini saya
mengalaminya, Dok! Sejak perusahaan saya
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangkrut sebulan yang lalu."
"Barangkali Ibu memang mengalami stres,"
sahut Dokter Sendang sabar.
"Tapi belum
berarti Ibu mengidap kelainan jiwa!"
"Pasti saya sakit jiwa, Dok! Gejala-gejala itu
113
ada semua pada saya! Tolong beri saya obat,
Dok. Saya tidak mau jadi gila!"
"Saya akan beri Ibu obat penenang untuk
membantu mengatasi stres. Jangan khawatir,
Bu. Ibu tidak gila. Karena orang gila tidak
datang mencari pengobatan! Orang lainlah
yang membawanya ke sini."
"Ada yang cari, Dok," kata Suster Ninin
setelah mengetuk pintu.
"Mantan istri Rivai
Maringka. Katanya penting sekali!"
Dokter Sendang mengawasi Arneta dengan
cermat. Akhirnya obsesinya untuk melihat
wanita ini terpenuhi juga! Wanita yang sangat
digandrungi pasiennya, Rivai Maringka!
Rivai memang benar. Wanita ini sangat
cantik. Dalam usia empat puluh tahun lebih,
kecantikannya masih begitu memesona. Dan
bukan kecantikannya saja. Ada sesuatu dalam
diri wanita ini yang membangkitkan gairah.
Pantas saja Rivai tak dapat melupakannya
sampai sekarang!
Kalau tidak sedang kebingungan memikirkan
Putri, Arneta pasti sudah merasa tersinggung.
Dokter jiwa itu menatapnya begitu rupa seolah
olah dia juga salah seorang pasiennya!
"Boleh saya bicara dengan Dokter Winarto?"
"Dokter Winarto sudah pulang, Bu. Tapi
Ibu bisa bicara dengan saya. Nama saya
114
Sendang, asisten Dokter Winarto, yang ditugasi
menangani Rivai Maringka selama dirawat di
sini."
"Tapi saya ingin bicara dengan Dokter
Winarto."
"Oke, jika apa yang ingin Ibu sampaikan
saya rasa cukup penting untuk membangunkan
Dokter Winarto, saya akan memanggilnya ke
sini. Tapi jika tidak, Ibu terpaksa menunggu
sampai besok pagi."
"Saya yakin Rivai-lah yang membunuh Della
Imron," Arneta menyodorkan selembar surat
kabar yang baru dibelinya. Gambar Della Imron
terpampang di bawah judul,
"DITEMUKAN TEWAS DI RUMAH AKTOR
SONNY TURANGGA".
Dokter Sendang meraih surat kabar itu dan
membacanya sekilas.
"Mengapa Ibu begitu yakin Rivai yang
melakukannya?" tanya Dokter Sendang sambil
mengangkat mukanya kembali dan menatap
Arneta.
" arena Sonny adalah lawan main Putri
dalam sinetron Teror Menjelang Subuh!" sahut
Arneta gemas.
"Dokter tidak melihat benang
merahnya?"
"Maksud Anda, Rivai mencemburui Sonny
karena mengira Putri adalah Anda? Tapi dia
tidak membunuh Sonny, kan? Saat itu Sonny
115
malah tidak ada di rumah, menurut penuturan
koran ini."
"Bagaimana kalau Rivai memaksa Della
menunjukkan alamat Putri? Rivai akan mencari
anak saya dan mengira Putri sebagai saya!"
"Di mana anak Anda sekarang?"
"Itu yang saya cemaskan! Dua malam yang
lalu Putri pergi dari rumah. Sampai sekarang dia
belum kembali! Saya tidak dapat memberitahu
dia betapa gawatnya situasi ini! Dia malah tidak
tahu siapa Rivai Maringka!"
"Jangan panik, Bu. Kalau Anda saja tidak
dapat menemukan Putri, bagaimana Rivai
bisa?"
"Maaf, Dok," kepala Suster Ninin melongok
di pintu. Kali ini dia tidak mengetuk lagi.
"Kapten Polisi Wibisono menelepon. Katanya
sangat penting."
Arneta mengawasi Dokter Sendang dengan
tegang. Berita apa lagi? Apakah Rivai telah
ditemukan?
"Maaf sebentar, Bu," kata Dokter Sendang
kepada Arneta. Lalu dia mengangkat telepon.
"Malam, Kapten. Dokter Sendang di sini."
"Dokter," suara Kapten Polisi Wibisono
terdengar tenang tapi formal.
"Kami baru
saja diberitahu, telah terjadi pembunuhan di
rumah Johan Paringian. Dia ditemukan tewas
di rumahnya bersama Titiek Malinda, yang
116
dikenalsebagaisekreuuisnyaf'
"Ya, apa hubungannya dengan kamu,
Kapten? Apa yang dapat kami bantu?"
"Johan Paringian adalah produser Teror
Menjelang Subuh."
Dokter Sendang tertegun sejenak.
"Sejam yang lalu Dokter Winarto
menghubungi kami. Minta dikabari bila
ada perkenibangan. sekuuutnya dari kasus
pembunuhan Della lmron. Menurut beliau,
rurnah saku jnNa ini baru sapi kehHangan
beberapa orang pasien psikosa yang potensial
rnasninunnbahayakaninasyarakat"
"Saya akan segera menghubungi Dokter
Winarto," sahut Dokter Sendang serius.
"Ada dua hal yang membuat kami
menghubungi rumah sakit Anda, Dokter.
Pembantu Johan Paringian yang pulang sore
harL ishi Johan sedang ch luar negrL baru
saja kami periksa. Menurutnya, siang itu ada
dua udeponinencungakan yanginasuk.l)ua
duanyarnenanyakan_akunatorang yang ndak
dikenal. Telepon yang ketiga, masuk sesaat
sebelum dia pulang. Dari seorang wanita
yang inenanyakan inapkannya. VVanHa ihi
rnmunggmkanrmnuntempon.Tapikmnindak
dapatnunuunukannya"
"Yang kedua?" desak Dokter Sendang agak
gugup.
117
"Luka di leher Johan dan Titiek persis
sama dengan luka di leher Della. Kami masih
menunggu hasil pemeriksaan laboratorium
forensik, tapi dari pemeriksaan awal kami
menduga, luka itu diakibatkan oleh senjata
yang sama."
"Dan Kapten menduga kedua kasus ini
melibatkan tersangka yang sama?"
"Tidak tertutup kemungkinan melibatkan
salah seorang pasien dari rumah sakit Anda.
Karena itu saya ingin bertemu dengan Dokter
Winarto malam ini juga. Kalau benar pembunuh
sakit jiwa yang sedang berkeliaran, kita harus
bertindak cepat sebelum besok malam dia
merenggut korban lagi."
Dokter Winarto datang ke tempat kejadian
perkara ditemani oleh Dokter Sendang dan
Kapten Polisi Wibisono.
Selain kedua jenazah yang telah dibawa
pergi, tidak ada yang berubah di tempat itu.
Kapten Wibisono melarang siapa pun yang
tidak berkepentingan untuk masuk ke sana.
Dan mencegah anak buahnya mengubah segala
sesuatu yang dapat dijadikan barang bukti.
Karena itu Dokter Winarto dapat melihat
tempat kejadian perkara persis sama dengan
saat kedua korban ditemukan.
Ranjang yang menjadi tempat pembantaian
118
masih berkubang darah. Tetes-tetes darah
berceceran di lantai, terus ke kamar mandi.
Noda darah yang bercampur air masih
melekat di wastafel. Tapi bukan itu yang
menarik perhatian Dokter Winarto.
Di dalam kamar mandi itu, ada dua buah
daun jendela yang menghadap ke kebun. Sebu ah
daun jendela masih tertutup dan terkunci. Daun
jendela yang kedua terbuka lebar.
"Kami masih menyelidiki apakah si
pembunuh menyelinap keluar melalui jendela
ini setelah membunuh korbannya. Jendela ini
cukup lebar untuk dilewati seorang dewasa
yang bertubuh kecil. Tetapi mengapa dia tidak
membuka kedua daun jendela itu sekaligus, itu
yang masih menjadi pemikiran saya. Dengan
membuka keduanya, dia dapat keluar lebih
mudah dan lebih cepat."
Dokter Winarto tidak menjawab. Dia sedang
tertegun mengawasi jendela itu. Dan wajahnya
perlahan-lahan berubah tegang.
"Lihat jendela itu! Satu jendelanya terbuka,
krm? Satu lagi tertutup! Artinya saya memang
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditakdirkan untuk membersihkan dunia yang farm
ini dari pelacur-pelncur kotor! "
"Kapten," cetus Dokter Winarto tiba
tiba. Suaranya terdengar dalam dan ganjil.
"Adakah jendela seperti ini di rumah korban
yang pertama? Satu jendela terbuka, yang lain
119
tertutup?"
Kapten Wibisono menatap dokter jiwa itu
dengan agak heran.
"Maksud Dokter, di rumah Sonny Turangga?
Tidak, tidak ada jendela kamar mandi yang
terbuka di sana. Korban dibunuh di ruang
tamu...." Tiba-tiba wajah Kapten Wibisono
berubah.
"Tapi memang ada sebuah jendela
yang kacanya pecah. Kaca jendela di sebelahnya
utuh...."
"Sendang!" Dokter Winarto berbalik secepat
kilat kepada asistennya.
"Cepat hubungi Arneta
Basuki! Dia masih menunggu saya di rumah
sakit?"
Dokter Sendang meraih telepon genggamnya
dan menghubungi rumah sakit.
"Suster Ninin, panggil Ibu Arneta. Katakan
Dokter Winarto ingin bicara. Penting sekali!"
Suara Suster Ninin terdengar sangat mantap.
"Ibu Arneta baru saja meninggalkan rumah
sakit, Dok! Pak Abu, satpam yang tugas malam
ini, baru saja mengadu, bumper mobil Dokter
penyok ditubruk mobil Bu Arneta waktu
mundur!"
120
BAB XIII
KANA MARINGKA menjerit sekuat-kuatnya
ketika dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir
dia mengejan. Bidan yang membantunya
melahirkan melirik ngeri ke arah perempuan
anehitu.
Hampir dua puluh tahun dia membantu
persalinan. Jerit tangis wanita yang sedang
melahirkan sudah bukan hal aneh lagi baginya.
Rasanya telinganya sudah terbiasa sekali
mendengar teriakan mereka.
Tetapijeritan yang satu ini sungguh terdengar
aneh, mengerikan. Bukan jeritan kesakitan yang
biasa. Bukan! Lebih mirip jeritan kemarahan
orang yang sakit ingatan!
Sejak tadi memang dia marah-marah
terus. Agaknya kehamilan ini bukan saja
tidak diinginkannya. Tapi sekaligus sangat
menyusahkan.
Tidak heran bayinya juga sama sekali
tidak menarik. Sudah badannya kurus kering,
rambutnya merah dan tipis, kulitnya banyak
yang mengelupas pula.
"Perempuan," kata Bidan Amah sambil
menyodorkan bayi itu kepada ibunya.
121
Tetapi wanita itu sama sekali tidak mau
melihat bayinya. Dia malah memalingkan
wajahnya ke tempat lain.
Tidak akan terulang lagi, geram Rana dalam
hati. Tidak akan terulang lagi! Aku tidak akan
pernah punya anak lagi! Tidaaak...!!
Dan malam itu juga, hanya empat belas jam
setelah melahirkan, Rana kabur dari klinik
bersalin itu. Tanpa membawa bayinya. Dia
langsung pulang ke Jakarta.
Meninggalkan Bidan Amah dalam
kejengkelan. Rana bukan hanya tidak membayar
biaya persalinan. Dia malah meninggalkan
bayinya begitu saja!
Terpaksa Bidan Amah mencari orangtua
angkat untuk bayi itu. Dan dia merasa amat
lega ketika akhirnya ada sepasang suami-istri
yang berkenan mengadopsinya.
Murtini amat suka duduk di pangkuan
ayahnya. Dia merasa senang kalau Ayah
memeluknya dengan hangat. Menciuminya.
Tetapi kalau tangan ayahnya mulai membelai
tubuhnya, dia merasa geli. Bulu-bulu halus di
tubuhnya meremang.
Sebenarnya kalau sudah sampai di sana,
Murtini ingin minta Ayah menghentikan
belaiannya. Tetapi biasanya, Ayah malah makin
bersemangat membelainya sampai Murtini
122
merasa sakit dan menangis.
Ayah lalu menggendongnya ke kamarnya.
Membujuknya sambil menciuminya. Tangannya
tidak henti-hentinya membelai dan meremas. Di
depan kamar, mereka berpapasan dengan Ibu.
Murtini ingin minta ibunya menggendongnya.
Tetapi Ibu malah pura-pura tidak melihat. Ibu
terus saja berjalan meninggalkan mereka.
Ayah lalu akan menutup pintu kamar
dan meletakkannya di tempat tidur. Dan
menanggalkan pakaiannya.
"Rivai harus dioperasi," kata dokter bedah
yang memeriksanya.
"Dia menderita radang
usus buntu. Di mana orangtuanya? Mereka
harus menandatangani izin operasi."
"Sudah meninggal," sahut Rana datar.
"Sayalah satu-satunya keluarganya."
"Anda siapa?"
"Kakaknya."
"Kalau begitu Anda boleh menandatangani
izin operasinya."
"Saya minta Rivai sekalian divasektomi,
Dokter. Keluarga kami mengidap penyakit jiwa
yang parah. Ayah kami gila. Rivai membakarnya
ketika berumur tujuh tahun."
Dokter bedah itu mengawasi Rana dengan
heran. Gilakah perempuan ini?
Tetapi Rana malah membalas tatapannya
123
dengan dingin. Wajahnya kosong dan beku.
"Dokter akan menyesal kalau kelak Rivai
sampai punya anak!"
"Untuk tindakan semacam itu, saya perlu
persetujuan Rivai."
"Umurnya baru lima belas tahun! Dia belum
tahu apa-apa!"
"Saya perlu pernyataan kalian berdua,"
sahut dokter bedah itu tegas.
"Atau cari saja
dokter lain!"
Murtini muntah-muntah di kamar mandi.
Perutnya terasa mual.
Bau alkohol yang tercium dari mulut ayahnya
bercampur dengan bau mulut yang busuk
membuatnya muak. Keringatnya yang lengket
dan bau badannya yang anyir terasa mengotori
seluruh tubuhnya.
Murtini membuka bajunya dengan jijik.
Menyirami sekujur tubuhnya dengan air dingin
berkalikali. Digosoknya kulitnya sekuat tenaga
dengan sabun sampai dia merasa perih. Kalau
dapat, ingin rasanya dia mengelupas seluruh
kulit tubuhnya!
Ketika Murtini keluar dari kamar mandi
berkerudung handuk, Ibu baru keluar dari
kamar. Dia menatap Murtini sesaat. Seolah-olah
ingin bertanya mengapa dia mandi dan mencuci
rambut pada tengah malam buta.
124
Tetapi Ibu tidak jadi bertanya. Dia hanya
mengangkat bahu. Dan melewatinya tanpa
berkata sepatah pun.
Perasaan bersalah yang dirasakan Murtini
ketika melihat ibunya tadi tiba-tiba berubah
menjadi benci.
Ibu tahu! Ibu pasti tahu! Ibu tahu dari dulu,
ketika dia masih kecil! Tapi Ibu diam saja! Ibu
diam saja!
Dibiarkannya Ayah memuaskan nafsu
kebinatangannya kepada anaknya! Padahal Ibu
bisa bertanya! Bisa mencegah!
Mengapa Ibu diam saja? Tidak ibakah Ibu
kepadaku, kepada anak kandungnya sendiri?
Atau... aku bukan anaknya?
Cuma anak angkat, kata beberapa orang
tetangga. Benarkah dia cuma anak angkat,
sampai Ibu tidak merasa perlu membelanya?
Menyingkirkannya dari tangan-tangan kotor
suaminya?
ltukah sebabnya sejak kecil Murtini tidak
pernah menerima kasih sayang ibunya?
Sejak kecil, hanya Ayah yang dekat dengan
dirinya. Hanya Ayah yang selalu memeluknya.
Membelainya. Menciuminya. Memanjakannya.
Ibu seakan-akan berada di seberang sana.
Dipisahkan sungai yang lebar. Dapat dilihat.
Tapi tak mampu diraih!
125
"Sebaiknya kita lapor polisi, Fan," sergah ibu
Arneta cemas.
"Arneta dan Putri sudah dua hari
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hilang!"
"Ayah sudah cari ke mana-mana," sambung
ayah. Arneta dengan suara perlahan.
"Ke rumah
kenalan. Teman-temannya. Bahkan ke rumah
rumah sakit...."
"Saya tidak mengerti," keluh Taufan
bingung. Dia sedang duduk tepekur di ruang
tamu di rumah mertuanya.
"Mengapa Arneta
tidak mencoba menghubungi saya?"
"Mungkin dia tidak bisa!" desis ibu
mertuanya menahan tangis.
"Ada sesuatu yang
menghalanginya!"
"Putri sangat cerdik," hibur suaminya.
"Mustahil dia tidak bisa melindungi dirinya
dan ibunya...."
"Tapi dia sedang hamil tua! Apa yang dapat
dilakukan oleh seorang wanita yang sedang
hamil delapan bulan lebih?"
"Yan g saya khawatirkan, Arneta justru belum
menemukan Putri," gumam Taufan resah.
"Dia
masih mencarinya terus. Karena itu dia belum
pulang ke rumah...."
"Berpikirlah, Arneta! Berpikirlah!" desis
Arneta seorang diri sambil mengemudikan
mobilnya.
"Kalau Rivai menemukanmu, ke
mana kira-kira di akan membawamu?"
126
Arneta memeras otaknya. Mengingat
ingat peristiwa yang justru selama ini selalu
dihindarinya untuk dikenang. Di mana tempat
yang paling disukai Rivai? Ke mana mungkin
dia membawa Putri kalau memang dia sudah
menemukannya?
Alaska. Tempat pertemuan mereka yang
pertama. Tidak mungkin! Sekarang Rivai pasti
tidak punya uang. Tidak punya paspor. Tidak
mungkin membawa Putri ke luar negeri!
Jadi Afrika Selatan juga tidak mungkin! Di
sanalah Rivai dulu menjualnya kepada Taufan
setelah dia kalah main judi!
Kalau ke luar negeri tidak mungkin, Rivai
pasti masih di Jakarta. Dan di Jakarta, tidak
banyak tempat yang harus dicarinya.
Rivai pasti membawa Putri ke tempat yang
dikenalnya dulu. Sebelum dia masuk rumah
sakitjiwa.
Kantornya dulu? Ketika dia masih menjadi
direktur? Tempat yang pasti masih diingatnya.
Tempat yang paling dibanggakannya.
Rumah Arneta dengan Taufan? Tempat Rivai
terakhir menemui Arneta sebelum dia dibawa
ke rumah sakit jiwa? Atau
Tempat yang pernah ditinggalinya dulu
bersama Arneta... bekas rumah mereka?
127
BAB XIV
RIVAI duduk seorang diri di bawah sebatang
pohon. Kegelapan menyelimuti sekelilingnya.
Sama gelapnya dengan kekelaman yang
menyelubungi otaknya.
Dia tidak dapat berpikir. Otaknya seperti
telah berubah menjadi segumpal lumpur
pekat. Dia diliputi kebingungan. Kecemasan.
Keresahan yang tak dapat dijelaskan sebabnya.
Dia tidak tahu di mana dia berada. Iam berapa
sekarang. Orientasi tempat dan waktunya
benarbenar telah kacau.
Dia ingin bertanya kepada Rizal. Biasanya
dia yang selalu serba tahu. Tetapi di mana Rizal?
Dia seperti membayangi terus ke mana
Rivai pergi. Tetapi... mengapa Rizal tidak mau
menampakkan diri?
"Siapa Rizal?" suara yang sudah sangat
dikenalnya itu. Suara yang seperti datang dari
jauh.
"Siapa Rizal? Dia hanya imajinasimu,
Rivai! Kau harus mengenyahkannya!"
Rivai melihat dirinya berbaring di sebuah
bangku panjang. Antara sadar dan tidak. Ada
seseorang duduk di sampingnya... seseorang
yang mengenakan baju putih... seorang dokter?
128
"Bukan aku, Kak! Bukan aku!" Rivai
memejamkan matanya dengan ketakutan.
Tetapi bayangan anak kecil yang sedang
memeluk kakaknya di antara kobaran api dan
kepulan asap itu tak mau hilang juga.
"Bukan kau yang melakukannya, Rivai! Aku
tahu, bukan kau!"
"Kau yang melakukannya, Rivai! Tidak ada
orang lain! Tidak ada Rizal!"
"Tidak!" Rivai menutupi wajahnya dengan
panik.
"Tidak! Bukan aku yang melakukannya!
Aku tidak membunuh mereka! Rizal yang
melakukannya!"
Lalu tiba-tiba wajah yang sudah sangat
dikenalnya itu muncul... wajah yang selalu
datang dalam mimpinya... wajah yang sangat
ditakutinya.
"Yang bersalah harus dihukum!"
"Tidaakk...!!" Rivai bangkit dengan panik.
Tergopoh-gopoh menghambur meninggalkan
tempat itu. Tetapi suara itu tetap mengejarnya.
Tetap terngiang di telinganya, ke mana pun dia
pergi.
"Yang bersalah harus dihukum
"Tidak, Kak Rana! Tidak! Bukan aku!
Bukan aku!" sambil menjerit Rivai lari
menelusuri jalan raya yang telah sepi.
"Bukan
aku yang membunuhmu! Bukan! Rizal yang
melakukannya!"
'I!
129
"Tidak ada Rizal, Rivai!" suara yang
dikenalnya itu... suara yang sangat berwibawa...
suara yang seperti datang dari jauh... dari dunia
lain....
"Rizal adalah kau sendiri! Tidak ada
Rizal!"
Lalu sengatan listrik menyentakkan
kepalanya. Menyengat otaknya. Tubuhnya
seperti mendadak terlonjak. Dan derit
rem sebuah mobil melengking panjang
mengerikan....
Rivai tersentak kaget. Cahaya menyilaukan
menikam matanya. Peru tnya membentur bagian
depan sebuah mobil yang berhenti mendadak.
Hanya sedetik sebelum menabraknya
Tiba-tiba Putri terjaga dari tidurnya. Perutnya
terasa mulas Dan dia merasa takut... inikah
tanda-tanda permulaannya?
"Papa!" desahnya ketakutan.
Keringat membanjiri sekujur tubuhnya.
Kakinya terasa lemas. Dia merasa takut... amat
takut!
Mendadak saja Putri ingin kembali ke
rumah ingin berada bersama Papa Mama....
Dia takut sendirian di sini! Kalau sudah
saatnya... ya, Tuhan! Siapa yang akan
membawanya ke rumah sakit? Kalau ada apa
apa... siapa yang akan menolongnya? Menolong
anaknya?
130
Putri ingin melahirkan didampingi ayah
ibunya! Dia tidak mau melahirkan seorang diri!
Dia takut!
"Papa.
" rintihnya ketakutan.
Bergegas dia merayap bangun. Tangannya
meraba-raba tombol lampu di samping tempat
tidur.
Begitu lampu menyala, Putri mengambil jam
tangannya. Hampir pukul dua malam. Sudah
ada di rumahkah Papa? Tapi Mama Mama
pasti ada! Mama pasti sedang tidur! Dan Mama
pasti mau menolongnya... menjemputnya....
Dengan tangan gemetar Putri meraih pesawat
telepon. Menekan nomor telepon rumahnya.
Dering nada sambung jelas terdengar. Tapi tak
ada yang menjawab.
"Angkat dong, Ma!" pinta Putri separo
memohon.
Dia yakin Mama pasti mendengar dering
telepon itu. Bukankah pesawat telepon berada di
samping tempat tidur Mama? Tapi... mengapa
tidak ada jawaban?
Putri meletakkan teleponnya dengan putus
asa. Rasa mulasnya memang sudah hilang. Tapi
bagaimana kalau sebentar datang lagi? Kata
Papa, rasa sakitnya datang secara periodik, kan?
Papa ingatan Putri melayang kepada
ayahnya. Mungkinkah menghubungi Papa
melalui telepon genggamnya?
131
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barangkali Papa masih di Palembang. Tapi
Papa pasti tahu apa yang harus dilakukan!
Papa mungkin akan menyuruh Mama
menjemputnya....
Tetapi menelepon ke telepon genggam tidak
dapat menggunakan pesawat telepon di kamar
hotel ini. Putri harus turun ke lobi. Mencari
pesawat telepon kartu.
Apa boleh buat. Lebih baik sekarang dia
mencoba menghubungi Papa. Daripada nanti,
kalau sakitnya sudah tidak tertahankan
Mengapa mulasnya sudah terasa sekarang?
Bukankah kehamilannya belum cukup bulan?
Mungkinkah... anaknya lahir prematur?
Ah, kalau saja ada Papa! Papa pasti tahu sakit
perut ini karena mau beranak atau salah makan!
Putri mengambil dompetnya. Mencari kartu
teleponnya. Dan beringsut bangkit dari tempat
Hdun
Duh! Beratnya perut ini! Rasanya ingin
ditinggalkannya saja perut ini sebentar di sini...
kalau bisa!
Putri membuka pintu kamarnya. Menelusuri
koridor di depan deretan kamar hotel. Dan
turun ke lobi.
Lobi sudah sepi. Tapi lampu masih menyala
terang. Tidak ada orang di meja resepsionis.
Barangkali petugasnya sedang beristirahat di
kamar belakang sana.
132
Putri menuju ke tempat telepon umum di
dekat pintu masuk. Ada dua buah telepon
umum. Yang satu menggunakan koin. Yang
lain menggunakan kartu.
Putri memasukkan kartunya. Tetapi tidak
ada nada sambung. Celaka dua belas! Rupanya
telepon itu rusak!
Sambil menghela napas kesal Putri menarik
kartunya keluar. Apa boleh buat! Sudah
kepalang basah. Sudah capek-capek turun ke
bawah... sudah tanggung! Lagi pula bukankah
dia sebenarnya juga sudah kepingin pulang?
Tidak mau tinggal seorang diri?
Kalau tidak... buat apa sore tadi dia
menghubungi Pak Johan setelah sia-sia mencari
Sonny? Dia meninggalkan telepon hotelnya.
Buat apa? Supaya ada orang yang tahu di mana
dia berada kalau ada apa-apa?
Papa mungkin masih di Palembang.
Mengapa tidak menghubungi Mama saja?
Tidak enak tinggal sendirian. Apalagi kalau
sedang hamil begini. Mama memang tidak
pernah memanjakannya seperti Papa. Tetapi
bagaimanapun, ada Mama masih lebih enak
daripada tidak ada siapa-siapa.
Dan meskipun bawel, meskipun selalu
mencela, sering mengritik, sebenarnya Mama
pun sayang kepadanya. Hanya saja Mama
mungkin tidak pernah memanjakannya seperti
133
Papa.
Jadi... mengapa tidak mau menghubungi
Mama? Gengsi? Malu? Masih marah karena
pertengkarannya gara-gara Sonny?
Mengapa mesti marah kalau Mama begitu
takut dia bergaul kembali dengan Sonny?
Bukankah apa yang ditakutinya selama ini
sudah terbukti? Sonny tidak mau bertanggung
jawab! Dia lari dari kewajibannya sebagai bapak
anakini!
Seandainya saat itu Putri mematuhi perintah
Mama untuk menjauhi Sonny barangkali
semua ini tidak akan terjadi! Dia tidak harus
menanggung beban seperti ini... mengandung
seorang bayi tanpa ayah!
Putri mendorong pintu kaca lobi yang
tertutup tapi tidak terkunci. Seorang satpam
yang sedang tidur di bangku di depan hotel
tidak terjaga walaupun Putri lewat di depannya.
Putri mengetatkan mantelnya ketika angin
malam berkesiur dingin menusuk tulang. Tak
terasa tubuhnya menggigil sedikit. Ah, rasanya
bukan karena angin malam. Tapi karena
sesuatu... perasaan apa ini? Takut? Tapi takut
apa?
Suasana di depan hotel memang sepi. Tapi
cukup terang. Dan tidak ada orang di sana.
Tempat telepon umum juga tidak terlalu jauh.
Dia hanya tinggal berjalan sedikit... agak di luar
134
sedikit dari halaman hotel.... Dekat pohon besar
di sana. Kalau ada apa-apa... ada apa?
Kelihatannya aman-aman saja. Dari
tempatnya berdiri, masih dapat terlihat jelas
pintu lobi dan si satpam yang sedang tidur.
Kalau Putri berteriak, pasti satpam itu terjaga.
Dan datang menolongnya.... Menolong dari
apa? Di sini tidak ada apa-apa... tidak ada
orang....
"Telepon siapa malam-malam?"
Putri menoleh dengan terperanjat seperti
ditepuk hantu. Tiba-tiba saja perempuan itu
keluar dari bayang-bayang kegelapan. Wajahnya
tidak jelas terlihat karena membelakangi sinar.
Sesaat Putri tidak mampu membuka mulut.
Dia hanya tertegun mengawasi wanita di
depannya. Memastikan dia hantu atau cuma
seorang pelacur yang kebetulan mangkal di
sana.
Tidak sadar dia melirik si satpam. Dia masih
tidur nyenyak di sana. Dan entah mengapa,
tibatiba Putri merasa aman. Dia tidak takut
pada wanita ini. Kelihatannya tidak berbahaya.
Cuma seorang wanita kok!
Tanpa berkata apa-apa diraihnya gagang
telepon, yang untungnya masih utuh, tidak
seperti kebanyakan telepon umum yang
menjadi korban tangan iseng. Dimasukkannya
kartu teleponnya. Dan ditekannya nomor
135
telepon genggam ayahnya.
Baru dua kali berdering, Putri sudah
mendengar suara ayahnya, tegang dan gugup.
"Halo?"
"Papa...!" desis Putri, hampir menangis
karena lega.
"Uti!" Taufan hampir menjerit.
"Ya, Tuhan!
Di mana kamu?"
"Uti kepingin pulang, Pa!" Mendengar suara
ayahnya, tak tahan lagi Putri menangis. Heran.
Kenapa sekarang dia jadi cengeng? Rindu
kepada Papa? Atau merasa bersalah kepada
Mama karena membuatnya khawatir?
"Kamu di mana, Sayang? Mama sudah
dua hari mencarimu! Sampai sekarang belum
pulang ke rumah!"
"Mama.
" wajah Putri memucat.
"Belum
pulang?"
"Sekarang dengar baik-baik, Manis,
kamu diam-diam saja di sana! Papa akan
menjemputmu sekarang juga! Kamu di mana?"
Putri menyebutkan nama dan alamat hotel
tempatnya menginap. Ketika dia meletakkan
gagang telepon dan berbalik, perempuan itu
mendekat dan menempelkan sebuah benda
tajam di pinggangnya.
" Kita harus menemukan Arneta dan anaknya
secepat mungkin, Kapten," pinta Dokter
136
Winarto gugup.
"Dan kita tidak bisa menunggu
sampai besok pagi! Di luar sana berkeliaran dua
orang pembunuh sakit jiwa!"
"Dua?" Kapten Polisi Wibisono mengerutkan
dahi.
"Menurut Anda tadi, Rivai Maringka
yang paling Anda khawatirkan, kan? Pasien
berkepribadian ganda, pembunuh dan
pemerkosa sadis yang melarikan diri dari
rumah sakit untuk mencari mantan istrinya
yang masih dianggapnya miliknya?"
"Sekarang saya malah berpendapat dia tidak
seberbahaya pasien yang satu lagi, Kapten!
Pasien skizoprenia paranoid yang mempunyai
delusi yang sangat kuat, dia telah ditakdirkan
untuk membersihkan dunia ini dari para
pelacur!"
"Tapi Ibu Arneta bukan pelacur!"
"Memang bukan. Tapi dalam sinetron Teror
Menjelang Subuh, putri Arneta yang mempunyai
wajah yang sangat mirip dengan ibunya waktu
muda, berperan sebagai istri yang menyeleweng!
Karena itu dia harus dibunuh! Dianggap sama
saja dengan pelacur!"
"Jadi di sini ada dua pemburu yang mengejar
dua mangsa?"
"Yang lebih berbahaya lagi, Arneta maupun
anaknya tidak mengenal Murtini! Padahal dia
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin jauh lebih berbahaya daripada Rivai!
Menilik jendela-jendela di rumah Sonny dan
137
Johan, saya merasa, Murtini-lah pembunuhnya,
bukan Rivai!"
"Tapi... mengapa mereka?"
"Murtini harus membersihkan dunia ini
dari pelacur, kan? Dalam sinetron, Della
menyeleweng dengan Sonny. Dalam kehidupan
nyata, Titiek menyeleweng dengan Johan.
Mungkin Rivai hanya datang ke tempat mereka
untuk menanyakan alamat Putri, yang dikiranya
Arneta. Tapi Murtinilah yang membunuh
mereka!"
138
BAB XV
RIVAl terkesiap. Lampu yang amat terang
menyoroti matanya.
"Mengapa kaubunuh kakakmu, Rivai?
Mengapa kaubunuh Rana?"
Rivai menggeleng kuat-kuat. Hendak
mengusir suara itu. Hendak berteriak sekuat
kuatnya. Tapi dia seperti berada dalam sebuah
kotak kaca. Dia dapat melihat mereka. Tapi
mereka tak dapat mendengar suaranya... dia
tak dapat menyentuh mereka... mendorongnya
pergi!
Lalu dia melihat wajah itu... wajah yang
sangat digandrunginya... wajah istrinya...
MlLlKNYA! Arneta! Arneta!
Dengan kalap Rivai menerjang ke depan. Tapi
sesuatu mengganjalnya. Sesuatu yang sangat
keras. Kuat. Tangguh. Tak dapat disingkirkan....
Refleks dia menghambur ke samping. Refleks
tangannya membuka pintu mobil dan meloncat
ke dalam....
"Arneta!" teriaknya parau.
"Arneta!"
Putri masih tertegun bengong. Masih dilibat
syok. Untung dia masih sempat menginjak
rem. Orang itu melompat mendadak ke tengah
139
httpzllhana-ohi.blogspot.com
jalan. Seperti terpelanting begitu saja ke depan
mobilnya.
Mobilnya berhenti tepat setelah menyentuh
badan orang itu. Tidak sampai menabraknya.
Lampu mobilnya menyala terang menyinari
sepotong wajah yang mengerikan. Pucat. Kaku
bagai topeng. Matanya membeliak seperti mata
orang gila....
Dalam keadaan biasa, Putri pasti takut
setengah mati. Dia akan kabur secepat-cepatnya.
Menginjak pedal gas mobilnya sampai ke dasar
supaya dapat melarikan diri dari wajah yang
menakutkan itu.
Tetapi dalam keadaan seperti ini, orang gila
pun masih memberi harapan! Apalagi ketika
orang itu menyerukan nama ibunya!
Ya Tuhan! Apakah orang aneh ini teman
Mama? Di mana Mama pernah bertemu dengan
makhluk aneh ini?
Tapi di mana pun mereka bertemu, dari
planet mana pun dia berasal, dia kenal Mama!
Dia pasti dapat menolong!
"Arneta!" desah Rivai sambil menjatuhkan
tubuhnya di samping Putri.
Dan sebilah pisau pemotong daging yang
tajam berkilat melekat di lehernya.
"Jalan!" desis wanita itu di telinga Putri.
"Ke mana?" tanya Putri gemetar.
"Kalau
140
mau merampok, ambil saja tas ini! Biarkan saya
pergi! Saya sedang hamil...."
"Jalan!" ulang wanita itu dingin.
"Yang mana
mobilmu?"
Dia mau mobilku? Oke, silakan ambil! Asal
lepaskan aku.
Bergegas Putri mengaduk-aduk tasnya.
Mencari kunci mobilnya. Begitu ditemukannya
kunci itu, langsung disodorkannya kepada
wanita yang tegak rapat di sampingnya.
"Mobil biru itu," katanya ketakutan.
"Yang
dekat pintu."
"Jalan!" Napas wanita itu terasa amat
memuakkan menusuk hidung Pu tri. Dia merasa
mual. Tapi ditahannya perasaan mualnya.
Ditabahkannya hatinya. Dikuatkannya kakinya
melangkah.
Putri melangkah perlahan ke samping
mobilnya. Perempuan itu mengikuti di
sampingnya. Benda tajam itu masih menempel
di pinggang.
"Buka pintunya!" bisik perempuan itu sambil
menekankan senjatanya lebih rapat ke pinggang
Putri.
"Kalau macam-macam, kubunuh kau,
sundal!"
Ketika Putri membuka pintu mobil, satpam
itu terjaga. Dia langsung berdiri ketika melihat
seseorang membuka pintu mobil.
Putri merasa ujung benda tajam itu mulai
141
merobek bajunya dan menoreh kulitnya.
Pinggangnya terasa perih. Cairan hangat terasa
meleleh ke pinggulnya.
"Malam, Pak!" sapa Putri serak.
"Saya harus
ke rumah sakit!"
Sekejap satpam itu mencoba mencernakan
katakata perempuan hamil itu. Seolah-olah
hendak menganalisis kebenarannya.
Tetapi wanita yang satu lagi, yang lebih tua,
sudah mendorongnya masuk. Kemudian dia
sendiri bergegas masuk dari pintu yang lain.
"Tunggu!" cetus satpam itu tiba-tiba, ketika
setitik kecurigaan menjentik nalurinya. Tetapi
mobil itu sudah keburu meraung pergi sebelum
dia sempat mendekat.
"Sialan!" geramnya sengit.
"Masa sih bunting
sebesar itu masih sempat jadi maling mobil?"
Dan dia belum sempat masuk ke dalam
untuk mengecek benarkah mobil itu dibawa
oleh pemiliknya sendiri, ketika sebuah mobil
menikung tajam ke halaman.
Taufan bergegas turun dari mobil yang
dipinjamnya dari mertuanya.
"Selamat malam, Pak," sapanya resah.
"Saya
hendak menjemput anak saya."
Satpam itu mengawasi Taufan dengan
curiga.
"Tengah malam begini? Siapa yang mau
Bapak jemput?"
142
"Anak saya sedang hamil tua. Barusan dia
menelepon saya."
Tiba-tiba saja satpam itu mengerti. Dan dia
merasa lega. Jadi perempuan hamil itu benar
benar mau pergi ke rumah sakit! Bukan pencuri
mobil!
"Anak Bapak baru saja pergi ke rumah sakit,"
katanya mantap.
Tetapi Taufan malah tersentak kaget.
"Ke rumah sakit? Dengan siapa? Mengapa
tidak menunggu saya?"
"Sama ibunya. Barangkali sudah nggak
tahan lagi, Pak!"
Arneta, pikir Taufan resah. Arneta sudah
menemukan Putri? Mereka langsung ke
rumah sakit? Aneh! Mengapa Putri tidak
meneleponnya lagi? Bukankah dia sudah janji
akan menunggunya di sini? Benarkah Putri
sudah tidak tahan lagi, hampir melahirkan?
Rivai mengejang kaku di tempat duduknya.
Benda tajam yang dingin itu menempel rapat di
lehernya. Hampir merobek kulitnya.
Embusan napas panas berbau busuk
menggelitik telinganya dari arah belakang
tubuhnya.
"Macam-macam, kau mati!"
Suara yang datar dan kering itu datang dari
arah belakang juga. Suara siapa? Kapan dia
143
pernah mendengar suara itu? Mengapa dia
seperti mengenalnya?
Rivai hendak menoleh. Tapi sisi tajam
pisau itu menekan jakunnya dengan kuat. Siap
ditorehkan lebih dalam.
"Bergerak, kau mati!"
Tetapi Rivai tidak takut mati. Dia malah
tidak tahu artinya. Dengan cepat dia menoleh
ke belakang, hendak melihat siapa yang bicara.
Dan matanya terbeliak kaget. Wajahnya
mengerut ketakutan.
"Kak Rana!!!" pekiknya ngeri.
Arneta masuk ke mobilnya antara letih dan
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putus asa. Mobil Taufan tidak ada di halaman
parkir gedung perkantoran itu. Tidak ada
tanda-tanda pula Rivai membawa Putri ke sana,
kalau benar dia sudah menemukan Putri.
Di rumah Arneta yang lama pun tidak ada
siapa-siapa. Rumah itu tenang dan gelap.
Barangkali penghuninya masih tidur nyenyak.
Tidak ada mobil di depan rumah maupun di
pinggir jalan.
Arneta sudah dua kali menjalankan mobilnya
perlahan-lahan mengelilingi kompleks
perumahan itu. Tetapi tidak ada tanda-tanda
Rivai membawa Putri ke sana.
Hanya tinggal satu harapan. Rumah Rivai.
Bekas rumahnya yang dulu. Sesudah itu, Arneta
144
tidak tahu lagi ke mana harus mencari mereka.
Barangkali dia harus kembali kepada Dokter
Winarto. Hanya psikiater itu harapannya satu
satunya. Hanya dia satu-satunya orang yang
mungkin dapat membaca pikiran pasien sakit
jiwa seperti Rivai!
Ke mana kira-kira dia akan membawa
korbannya kalau dia benar sudah menemukan
Putri yang dikiranya Arneta?
Taufan tertegun bingung di depan meja
perawat. Putri tidak ada di sana. Padahal di
rumah sakit inilah Taufan mendaftarkannya
untuk melahirkan.
Mungkinkah Arneta membawanya ke rumah
sakit lain? Tapi... ke mana? Mengapa?
Rasanya tidak mungkin! Ke tempat inilah
seharusnya Arneta membawa Putri! Dan
mengapa dia tidak menelepon?
Akhirnya Taufan menelepon dokter
kandungan yang menangani Putri. Barangkali
saja dia tahu di mana pasiennya berada. Kalau
Putri tidak melahirkan di rumah sakit ini, lalu...
di mana? Mungkinkah karena komplikasi
kehamilan yang tidak mungkin ditangani di
rumah sakit ini? Tetapi... komplikasi apa yang
begitu gawat?
Ketika dokter kandungan itu dengan tegas
memastikan dia tidak mendengar kabar apa-apa
145
dari Putri, tiba-tiba saja Taufan sadar, sesuatu
yang lebih gawat tengah menimpa anaknya.
B akan Arneta yang membawa Putri !
Tanpa ragu-ragu lagi, Taufan menghubungi
polisi.
146
BAB XVI
RlVAl membeliak ketakutan. Wajahnya pucat
bagai kertas. Keringat dingin membanjiri
sekujur wajahnya. Bibirnya gemetar ketika dia
mendesah ngeri,
"Bukan aku, Kak! Bukan aku! Rizal yang
melakukannya! Dia yang membunuhmu!"
Putri melirik ngeri pada orang aneh di
sampingnya. Dasar sial. Bukannya mendapat
pertolongan dari laki-laki yang kebetulan kenal
Mama, dia malah ketumpangan seorang gila
lagi!
Dan sebuah gebukan yang cukup keras
mampir di bahunya.
"Jalan!"
"Ke mana?" desis Putri sambil mencoba
memusatkan pikirannya untuk meloloskan
diri. Agaknya ada dua orang gila di mobilnya.
Mereka pasti sangat berbahaya. Tetapi dia pasti
lebih cerdik dari mereka.
"Mari kita pulang, Kak!" ratap Rivai mengiba
iba.
"Mari kita kembali ke rumah! Kita hidup
bahagia seperti dulu! Kau, aku, dan Arneta!"
"Rumah!" suara perempuan gila itu
melengking tinggi. Tiba-tiba dia tertawa.
147
Tawanya begitu aneh dan menyeramkan
sampai Putri merasa bulu romanya meremang.
Dan perutnya mendadak mulas.
"Mari kita pulang, Arneta," kata Rivai sambil
memegang bahu Putri.
Refleks Putri menggelinjang ngeri. Tetapi
ketika dia hendak bereaksi lebih keras, sebuah
pikiran sehat menyelinap ke otaknya.
Orang gila harus dilayani dengan cara orang
gila, supaya dia tidak marah dan berbuat lebih
gila lagi!
"Ke mana?" tanyanya terpaksa.
"Ke rumah. Ke rumah kita."
"Tunjukkan jalannya," pinta Putri sambil
memutar otak.
"Kau lupa rumah kita, Arneta?" gumam
Rivai marah.
"Saya bukan Arneta!" Putri kelepasan bicara.
"Saya anaknya! Di mana kau kenal Mama?
Siapa kau?"
"Kau Arneta, istriku!" teriak Rivai berang.
Matanya bersorot gusar.
"Kau milikku!
MILIKKU!"
"Istrimu menyeleweng!" perempuan gila
itu berteriak lebih keras dan lebih berang.
"Dia
pelacur! Sundal! Harus dibasmi!"
Sekarang Putri sadar, dia benar-benar
berada dalam bahaya yang sangat besar! Dan
dia menyesal sekali telah lari dari rumah. Dia
148
merasa takut... amat takut! Sampai kakinya
bergetar hebat dan perutnya mulas. Tak sadar
dia memanggil ayah-ibunya sambil menangis.
"Papa! Mama! Tolong Uti!"
"Belum ada kabar tentang orang-orang gila
yang kabur itu?" tanya Kapten Wibisono kepada
anak buahnya begitu dia tiba di kantornya pada
pukul setengah empat pagi.
"Belum, Pak. Tapi ada seorang pria yang
mengaku suami Arneta Basuki melaporkan
kehilangan anak-istrinya. Katanya anaknya
baru saja menghubunginya kira-kira satu
setengah jam yang lalu."
"Di mana dia? Panggil ke kamar kerja saya!"
kata Kapten Wibisono sambil melangkah ke
kamar kerjanya.
Dia langsung mengangkat teleponnya dan
menghubungi Dokter Winarto.
"Saya ingin Dokter datang ke kantor saya.
Suami Arneta Basuki ada di sini."
Rumah bekas tempat tinggal Rivai masih
utuh. Walaupun tampak lusuh menyeramkan
karena sudah belasan tahun tidak terawat dan
tidak berpenghuni.
Rivai masih mengenali rumahnya, walaupun
belasan tahun telah lewat. Dia malah tampak
seperti baru kemarin meninggalkan rumahnya.
149
Rivai menyuruh Putri menghentikan
mobilnya di halaman depan rumah. Sengaja Putri
mematikan mesin, tetapi tidak memadamkan
lampu kecil mobilnya. Mudah-mudahan ada
orang yang melihatnya dan menaruh curiga.
Subuh hampir tiba. Sebentar lagi orang
orang pasti terjaga dan datang menolongnya....
Melepaskannya dari cengkraman orang-orang
gilaini!
"Ayo, turun!" Rivai menyeret Putri ketika
dirasanya wanita itu enggan meninggalkan
mobilnya.
"Kita sudah sampai di rumah!"
"Ini rumah kosong, bukan rumahmu!"
sengaja Putri membantah dengan suara keras
dengan harapan ada yang mendengarnya.
Tetapi harapannya pupus dengan sendirinya.
Sampai dia diseret ke depan rumah, tidak
ada seorang pun yang muncul. Jalan di depan
rumah itu kosong dan sepi! Jangankan orang,
kucing saja tidak ada yang lewat!
Perempuan gila itu memecahkan kaca
jendela setelah sia-sia membuka pintu. Lalu
tangannya menerobos masuk melalui lubang
kaca yang pecah itu untuk memutar kunci pintu
dari dalam.
Putri berharap agar kunci itu macet. Tetapi
sekali lagi harapannya pudar. Dengan suara
berderit karena lama tidak dibuka, pintu
terbuka lebar.
150
Bau apak yang menyerbu ke luar hampir
membuat Putri muntah. Tetapi Rivai tidak
memberinya kesempatan untuk menarik
napas. Dia langsung menarik tangan Putri dan
menghelanya masuk.
"Kita sudah sampai di rumah, Arneta!"
katanya gembira seperti anak kecil menemukan
mainannya yang sudah lama hilang.
"Kita sudah
sampai di rumah, Kak Rana!" sambungnya
dengan nada suara yang persis sama.
Perempuan gila itu membanting pintu
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai tertutup. Kegelapan segera melingkupi
mereka.
Dan Putri menggunakan kesempatan itu
untuk mencoba lari. Dia menendang kaki Rivai.
Sayang dia sedang hamil sehingga tidak dapat
menendang lebih tinggi.
Ketika Rivai sedang mengaduh kesakitan,
Putri berbalik lari. Dan dalam gelap, dia
menabrak perempuan gila itu!
"Kabur, kau mati!" dalam gelap suara
perempuan itu terdengar melengking
mengerikan.
Putri mencoba mendorong perempuan itu
sekuat tenaga, tapi sebuah tikaman melukai
bahunya. Dia mengaduh kesakitan ketika rasa
nyeri menikamnya dan cairan hangat langsung
meleleh ke dadanya.
Matilah aku sekarang, pikir Putri ketakutan.
151
Sambil menebah bahunya, sesaat sebelum
rasa pusing menyerangnya, dia teringat kepada
ayahnya.
"Papa!" desisnya lirih.
"Maksud Dokter, ada dua orang gila yang
mengejar anak saya?" desak Taufan putus asa.
"Kalau menurut satpam hotel itu, wanitalah
yang membawa Putri pergi, orang itu pasti
bukan Rivai!" kata Dokter Winarto gelisah.
"Syukurlah kalau dia bukan Rivai," Taufan
merasa dadanya agak lega sedikit.
"Kalau Rivai
mengira Putri sebagai Arneta, dia berada dalam
bahaya yang sangat besar!"
Tidak sadar Taufan menggigil sedikit.
Membayangkan kembali keganasan dan
kesadisan Rivai Maringka tujuh belas tahun
yang lalu!
"Tapi kalau perempuan itu Murtini,"
sambung Dokter Winarto perlahan,
"bahayanya
mungkin malah lebih besar!"
"Murtini tidak kenal Arneta maupun Putri
bantah Taufan parau. Lehernya serasa tercekik.
"Tapi Murtini mengidap skizoprenia
paranoid. Delusinya untuk membasmi pelacur
sangat dominan!"
"Putri bukan pelacur!"
"Malam ketika dia melarikan diri, dia
menonton sinetron Teror Menjelang Subuh. Di
'II
152
sana Putri berperan sebagai seorang istri yang
menyeleweng!"
"Ya Tuhan!" desah Taufan panik. Kepalanya
tiba-tiba terasa seperti diguyur seember air
dingin. Urat sarafnya seperti mendadak
membeku.
"Mengapa harus anakku?"
Arneta hampir tidak mempercayai matanya
sendiri. Dia melihat mobil Taufan!
Mobil itu berhenti di halaman rumah Rivai.
Dan lampu kecilnya masih menyala!
"Putri!" desahnya panik.
Dia melompat keluar dari mobilnya. Dan
menghambur ke arah mobil itu. Memburu ke
jendela lalu melongok ke dalam dengan dada
berdebardebar.
Jantungnya yang hampir berhenti berdenyut
sesaat tadi bergetar kembali... tidak ada! Ya
Tuhan! Mobil itu kosong! Tidak ada mayat Putri
di sana!
Harapannya terbangun kembali. Masih ada
harapan... Putri masih hidup!
Tolong anakku, Tuhan! Selamatkan dia!
Lindungi dia!
Arneta mengawasi rumah itu sekilas. Di
dalam sangat gelap.
Tapi di atas... seperti ada sinar bergoyang
goyang... ah, benarkah sinar yang dilihatnya
itu? Sinar yang sangat lemah... sinar apa?
153
Putri tidak tahu bagaimana dia dapat
sampai ke tempat ini. Sesaat tadi rupanya dia
kehilangan kesadarannya. Dan orang-orang
gila itu mungkin menggotongnya ke atas.
Ketika dia memperoleh kesadarannya
kembali, dia telah terbaring tertelentang di atas
tempat tidur. Dia dapat melihat perutnya yang
membukit. Tetapi ia tidak dapat menggerakkan
tangan kakinya. Dia bahkan tidak dapat
membuka mulutnya.
Sesaat baru Putri menyadari keadaannya.
Dia diikat di tempat tidur dengan potongan
kain tirai jendela. Mulutnya disumbat dengan
sepotong kain berdebu yang bukan hanya
membuatnya ingin batuk, sekaligus sesak napas.
Di depannya tegak manusia-manusia sakit
jiwa itu. Wajah mereka tampak seperti iblis di
bawah cahaya api yang sedang membakar tirai
jendela yang telah terkoyak.
Mereka pasti bakal terbakar hangus dalam
kamar ini, pikir Putri ketakutan. Mereka akan
terbakar bersama karena tampaknya kedua
orang gila itu tidak menyadari bahaya yang
mengancam. Mereka tidak kelihatan panik atau
siap melarikan diri. Mereka malah tampak amat
menikmati tontonan itu.
"Kenapa Arneta harus dihukum, Kak?"
Rivai tertegun bengong mengawasi Putri yang
terbaring tak berdaya di hadapannya.
154
"Dia sundal!" dengus Murtini dengan suara
melengking mengerikan.
"Dunia yang fana ini
harus dibersihkan dari segala macam pelacur!"
Tiba-tiba dia tertawa panjang. Tawanya
melengking tinggi. Nadanya ganjil. Melukiskan
kepuasan yang aneh. Kepuasan yang sakit.
Api dari tirai yang terbakar mulai menjilat
kusen jendela. Kayunya terdengar berderak
derak dilalap api. Asap yang mulai mengurung
seperti tiba-tiba mengembalikan ingatan Rivai
ke suatu masa dulu... ketika dia masih kecil....
Api berkobar ganas. Melalap gudang di
belakang rumahnya. Lidah api menjilat ke
udara. Warna merahnya meronai hitamnya
langit....
Teriakan kesakitan... asap yang bergumpal
gumpal... wajah Ibu yang tiba-tiba menyembul
dari balik gumpalan asap... wajah yang panik...
pucat ketakutan....
"Rivai!" teriak Ibu panik.
"Rivai! Jangan
bunuh dia!"
Siapa? Siapa yang dibunuhnya? Ayah? Kak
Rana? Tapi... bukankah Ibu juga sudah... mati?
Ayah dan Ibu terbakar dalam gudang.... Asap
bergumpal-gumpal. Api berkobar... teriakan
"Rivai! Jangan bunuh dia!" Wajah Ibu
semakin dekat, semakin jelas, keluar dari
gumpalan asap.... Tiba-tiba wajah Ibu berubah
menjadi wajah Arneta "Dia anakmu!"
155
BAB XVII
MURTINI menggeram bagai harimau yang
merasa terusik ketika sedang menikmati
mangsanya. Dia menerjang Arneta dengan
pisau terhunus.
Arneta yang sedang syok melihat keadaan
anaknya hampir tak keburu mengelak. Dia
hanya mampu memiringkan tubuhnya. Tapi tak
cukup cepat untuk menghindari tikaman ganas
Murtini.
Ujung pisau Murtini menyerempet sisi
tubuhnya. Walaupun lukanya tidak terlalu
dalam, darah segar langsung mengalir.
Membuat Rivai tersentak.
"Jangan, Kak Rana!" teriaknya panik.
Kali ini Arneta ikut tersentak. Di bawah
cahaya api yang mulai berkobar, dia tertegun
kaget melihat sebentuk wajah di hadapannya...
wajah yang sangat dikenalnya.... wajah Rana
Maringka!
Tak sadar Arneta memekik ngeri. Setan Rana
Maringka-kah yang tiba-tiba muncul kembali
meneror keluarganya?
"Mati kau!" Murtini menebaskan pisaunya
ke leher Arneta.
156
Tetapi Rivai keburu mendorongnya sekuat
tenaga sampai Murtini sempoyongan mundur.
"Jangan, Kak Rana! Jangan bunuh Arneta!
Jangan ambil milikku! Dia milikku! Milikku!"
"Rivai!"desis Arneta gugup.
Dia merasa lukanya menggigit nyeri. Dia
merasa panik. Sekaligus takut. Api semakin
berkobar. Putri masih terikat di tempat tidur. Di
sini dia berada bersama dua orang yang sangat
berbahaya. Dia harus berpikir cepat kalau
hendak menyelamatkan Putri!
Dia harus melupakan rasa sakitnya.
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menekan rasa takutnya. Tidak peduli Rana atau
setannya, dia harus bisa meloloskan diri dan
menyelamatkan Putri!
"Rivai!" panggilnya pada saat yang genting
itu.
"Selamatkan anakmu!"
"Anakku?" Rivai berbalik dengan kaget.
"Putri anakmu, darah dagingmu.
"
Dan Murtini meraung sambil menerkam
Rivai dari belakang dengan pisau terhunus.
Arneta menggunakan saat yang sempit itu
untuk melompat menolong Putri. Yang pertama
dilakukannya adalah membuka sumbat
mulutnya.
Putri terbatuk-batuk sesaat sebelum
memanggil ibunya sambil menangis.
"Kuatkan hatimu, Sayang!" pinta Arneta
sambil membuka ikatan tangan anaknya.
157
Belum selesai dia membuka ikatan yang
kedua, Murtini telah menerjangnya dengan
pisau terhunus. Rivai telah terhantar di lantai.
Lehernya bermandikan darah.
Saat itu, sepotong balok yang telah terbakar
separonya jatuh di dekat mereka. Refleks Arneta
membungkuk memungutnya.
Saat tebasan pisau Murtini lewat di atas
kepalanya, dia mengayunkan balok yang telah
terbakar itu ke wajah Murtini.
Raungan kesakitan yang aneh melengking
ketika balok yang terbakar itu melukai
mukanya. Murtini terhuyung mundur. Arneta
menggunakan waktu yang sangat berharga itu
dengan sangat tepat.
Dia tidak memilih melepaskan ikatan tangan
Putri yang satu lagi. Tapi dia melompat ke
depan dan mengayunkan balok itu sekali lagi ke
muka Murtini, tanpa memedulikan tangannya
yang memegang balok itu yang sudah mulai
dijilati api.
Sekali lagi Murtini menjerit. Kali ini dia
bukan hanya memekik. Dia melolong panjang
sambil menebah wajahnya.
Secepat kilat Arneta membuang baloknya.
Dan memburu ke tempat tidur untuk
melepaskan Putri.
"Mama!" tangis Putri ketika dia sudah
mampu memeluk ibunya.
158
"Uti!" Arneta merangkul anaknya dengan
penuh penyesalan.
"Maafkan Mama!"
Mereka masih berangkulan ketika dengan
raungan histeris Murtini menerkam mereka.
Tetapi sesaat sebelum tubuhnya melayang ke
sisi tempat tidur, Rivai merengkuh kakinya.
"Kak Rana! Jangan! Jangan bunuh Arneta!
Dia milikku! Milikku!"
Murtini jatuh tersungkur di dekat Rivai.
Matanya berkilat-kilat penuh kebencian.
Tatapannya melukiskan betapa parahnya
kelainan jiwanya.
Diangkatnya pisaunya tinggi-tinggi.
Diayunkannya ke leher Rivai dengan ganas.
"Pelacur, mati kau!"
Tetapi sesaat sebelum tangannya terayun
turun, sebuah balok yang terbakar jatuh
menimpa bahunya. Pisau terlempar. Murtini
tersungkur ke lantai.
Arneta menarik Putri dengan sekuat tenaga.
Tiba-tiba saja dia seperti memperoleh kekuatan
baru. Melupakan rasa lelah dan sakitnya, dia
menyeret Putri. Berusaha menyelamatkannya
dari kobaran api.
Arneta sadar sekali, dia harus kuat, kalau
hendak melindungi anaknya. Dia tidak boleh
pingsan, walaupun tubuhnya lemas dan
napasnya mulai sesak.
"Lari, Uti!" teriaknya di tengah-tengah
159
bunyi berderak kayu yang terbakar. Asap tebal
mulai menggulung menyesakkan napas. Api
mulai mengurung mereka. Putri berteriak ngeri
sambil memeluk ibunya erat-erat ketika langit
langit rumah ambruk hampir menimpa mereka.
Di luar masyarakat mulai ramai berkerumun,
mencoba memadamkan kebakaran. Tetapi
api sudah keburu membesar. Dan pemadam
kebakaran belum tiba.
Susah payah Arneta memapah anaknya
turun, keluar dari celah-celah api yang mulai
mengurung.
"Kuatkan hatimu, Sayang," desahnya
ketika dirasanya pegangan Putri semakin erat
dan tangannya semakin dingin dan basah
berkeringat.
" Pegang Mama erat-erat... kita akan
menerobos api... dan melihat Papa di luar!"
Arneta berusaha melindungi anaknya dari
kobaran api yang mengejar mereka. Ketika
kakinya menginjak tangga, Putri tergelincir ke
bawah.
Putri memekik panik. Arneta memegangnya
kuat-kuat. Tapi tubuh anaknya terlalu berat.
Dia terseret. Dan mereka sama-sama jatuh ke
bawah.
"Uti!" jerit Arneta sambil memburu anaknya
tanpa menghiraukan rasa sakitnya.
"Kamu
nggak apa-apa kan, Sayang?"
"Ma!" desis Putri menahan sakit.
"Rasanya
160
nggak tahan lagi, Ma!"
"Itu mereka!" teriak beberapa orang yang
menerobos masuk.
"Tolong angkat anak saya!" pinta Arneta
panik.
"Dia hampir melahirkan!"
Putri tidak keburu dibawa ke rumah sakit.
Dia melahirkan di dalam mobil, dalam hiruk
pikuknya kebakaran.
Karena tak ada yang dapat menolongnya,
terpaksa Arneta yang membantu anaknya
melahirkan. Dia memimpin persalinan Putri,
menabahkannya, memompakan semangat,
meskipun sebenarnya dia sendiri sangat takut!
Apa yang diketahuinya tentang persalinan?
Dia sendiri baru sekali melahirkan!
"Tolong panggil suami saya," pinta Arneta
sambil memberikan nomor telepon Taufan.
"Suruh dia kemari secepatnya. Anaknya hampir
melahirkan!"
Tetapi Taufan belum muncul juga sampai
saatnya tiba. Arneta akhirnya insaf, dia tak
dapat menunggu lagi. Dia harus menolong
anaknya melahirkan cucunya.
"Melahirkan adalah sesuatu yang alamiah,
Sayang," bisiknya sambil meredakan debar
jantungnya sendiri.
"Semua wanita dapat
melahirkan, Walaupun tanpa pertolongan siapa
pun! Sekarang kuatkan hatimu, tarik napas
dalam dan demi Tuhan, mulailah mengejan!"
161
LEMBAR PENUTUP
PUTRI melahirkan seorang bayi laki-laki seberat
dua ribu enam ratus gram. Karena mengalami
fetal distress, para dokter harus berjuang keras
untuk menyelamatkan hidupnya.
"Jangan khawatir," bisik Taufan ketika
dia memeluk Arneta di depan kaca yang
memisahkan mereka dari bayi Putri yang masih
terlelap di dalam peti inkubator.
"Aku yakin,
koboi ini bakal sehebat ibu dan neneknya! Dia
pasti dapat mengatasinya!"
"Mengapa keturunan kita selalu harus lahir
dalam keadaan yang sangat sulit, Fan?" Arneta
mengawasi cucunya dengan sedih.
"Apa
sebenarnya dosaku?"
"Bukan salahmu," Taufan merengkuh
tubuh istrinya lebih rapat ke tubuhnya.
"Kamu
perempuan hebat. Kamu yang menyelamatkan
mereka!"
"Bukan aku," Arneta menggeleng
muram.
"Tuhanlah yang telah bermurah
hati menolongku. Dia yang menggerakkan
seseorang yang sakit jiwa dan sadis seperti
Rivai untuk menyelamatkan kami dari tebasan
pisau Murtini!"
162
"Katamu dia sangat mirip Rana Maringka.
Mungkinkah... Murtini anak Rana?" Arneta
menggeleng getir.
"Siapa yang tahu? Rahasia itu terkubur
Delusi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama api yang menghanguskan tubuh Rivai
dan Murtini.
"
"Selamat malam, Pak Bu.
"
Taufan berbalik tanpa melepaskan lengannya
dari bahu Arneta. Dan mereka melihat Sonny
tegak di depan mereka. Wajahnya tampak layu
dan letih. Tapi sikapnya masih tetap seperti
dulu. Santai. Sangat percaya diri. Walaupun
tetap santun.
"Boleh saya melihat... anak Putri?"
Taufan harus berpikir sejenak sebelum
membawa istrinya menyingkir.
"Aku ingin menjotosnya kalau tidak ingat
Putri," geram Taufan sambil meninggalkan
tempat itu.
"Jangan," cegah Arneta tenang.
"Berikan
kesempatan kepadanya. Kalau orang sakit jiwa
saja masih punya naluri kebapakan, aku tidak
percaya orang senormal dia tidak punya!"
"Apa maksudmu?" tanya Taufan curiga.
"Rivai," sahut Arneta terharu.
"Pada saat
terakhir, dia mengira Putri adalah anaknya...."
Sekejap Taufan termenung mengawasi
istrinya.
"Kamu pikir... dia keliru?"
163
"Tentu saja," Arneta membalas tatapan
suaminya sambil tersenyum lembut. Tatapan
matanya begitu tulus memancarkan kasih
sayang.
" Karena Putri adalah anakmu
Tamat
Fear Street Ciuman Selamat Malam Ii Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama