Ceritasilat Novel Online

Gaun Sutra Warna Biru 1

Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono Bagian 1

Maria A. Sardjono

GAUN SUTRA

WARNA BIRU

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta, 2003

E-Book by syauqy_arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

Satu

DENGAN tubuh gemetar dan tangan lemas,

kuletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya

semula. Akhirnya berita yang paling tak ingin

kudengar itu masuk juga ke telingaku. Selama

ini meskipun sadar bahwa anganku untuk hidup

bersama Mas Arya cuma angan kosong, namun

jauh di lubuk hatiku masih tersimpan setitik

harapan akan terjadinya semacam keajaiban. Lalu

apa yang mustahil, akan menjadi sesuatu yang

mungkin terjadi. Tetapi akhirnya, memang hanya

kenyataan sebenarnyalah yang harus kudengar

dan kuhadapi betapapun pahitnya itu. Bukan

angan-angan. Ironisnya, berita itu kudengar

langsung dari mulut yang bersangkutan sendiri.

"Aster, sebelum kau mendengar berita ini dari

orang lain, aku ingin kau mengetahuinya dari

mulutku sendiri," begitu tadi Mas Arya menyampaikan berita yang telah melenyapkan angan-anganku itu.

"Kemarin, kedua belah pihak keluarga

telah menentukan kepastian hari dan tanggal perkawinan kami."

Meskipun seluruh isi dada dan perutku sepeni

dijungkir balik dan seluruh tubuhku gemetar sejak dari ujung kepala hingga ke ujung jari kaki,

5

E-Booh by syauqy_arr

namun aku bersyukur masih sanggup menahan

diri ketika mendengar berita tak menyenangkan

itu.

"Terima kasih atas pemberitahuanmu itu, Mas

Ary!" Dengan sisa-sisa kekuatan yang masih ada,

aku bisa menanggapi berita itu dengan sikap dan

suara yang terkendali.

"Semoga kau berbahagia

hidup bersamanya."

"Mana mungkin, Aster?" Kudengar nada sedih dalam suara Mas Alya.

"Sebab sesungguhnya

kebahagiaanku hanyalah hidup di sisimu. Bukan

dengan orang lain. Sedangkan itu tak mungkin

terjadi. Ah, Aster, kalau ingat perpisahan kita

waktu itu, hatiku terasa amat perih."

Keluhan bernada sedih seperti itu pula yang

pernah kudengar meluncur dari mulut Mas Arya,

hampir tiga bulan yang lalu, ketika kami terpaksa

memutuskan hubungan. Ketika teringat peristiwa

itu, luka hatiku yang masih menganga ini jadi

terasa perih kembali. Ah, seharusnya laki-Iaki

itu tak perlu menyinggung hal-hal yang pernah

terjadi di antara kami, demi menjaga perasaanku. Sungguh, Mas Arya tidak memiliki kepekaan

sama sekali. Padahal dia tahu betapa besar pengorbanan yang telah kuberikan untuknya.

"Tetapi kau sudah mengambil keputusan atas

pilihan hidup yang dihadapkan padamu, Mas."

Sebelum aku terjatuh lebih dalam ke lembah

duka, cepatcepat kusela kata-katanya barusan.

"Jadi, Mas, hadapilah itu dengan segala konsekuensinya dan dengan segenap rasa tanggung

6

jawabmu."

"Yah, memang seharusnya demikian meskipun pilihan itu bukan dilandasi keinginan pribadiku sendiri...." Suara sedih itu terdengar lagi.

"Apa pun itu, kau telah memilihjalan yang dihadapkan oleh keluargamu. Maka mau tak mau,

jalan itu harus kautempuh. Jadi ayolah, Mas, realistislah." Ah, betapa pandainya aku berkata-kata seperti itu. Padahal hatiku porak-poranda dan

kakiku mulai terasa goyah.

"Aster, bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu?" Dengan mengalihkan pokok pembicaraan,

Mas Arya berkata lagi. Tetapi nada suara sedih

itu masih tertangkap pendengaranku.

"Minta apa, Mas?"

"Datanglah ke resepsi pernikahanku nanti,

Aster," Mas Arya menjawab pelan.

"Aku ingin

kau hadir di sana untuk menguatkan hatiku agar

mampu menapaki masa depan yang rasa-rasanya serbasuram tetapi yang mau tak mau harus

kujalani. Sebagai seorang perempuan, kau pasti

memiliki ketabahan, lebih daripada yang kumiliki...."

Mendengar permintaan seperti itu aku tertegun selama beberapa detik. Begitulah rupanya

pandangan kebanyakan laki-laki mengenai perempuan dengan egoisme mereka. Dalam banyak

hal bagi kaum lakilaki, perempuan adalah sosok

ibu, sosok yang harus memiliki segudang pengertian, menyimpan permaafan seluas samudra, dan

mempunyai bertumpuk-tumpuk kekuatan yang

7

siap menjadi penopang untuk siapa saja. Sehingga menurut Mas Arya, kehadiranku di pestanya

nanti bisa menjadi penguat hatinya dan penopang

kelemahannya. Sungguh, cara pandang yang

mengandung keberpihakan, menyangka perasaan perempuan lebih kuat daripada laki-laki dan

menganggap perempuan terlahir untuk menghadapi pelbagai macam penderitaan. Tidak tahukah Mas Arya bahwa sama seperti dirinya dan

sesama manusia, aku dan banyak perempuan lain

juga merasa lemah dan tak kuat menghadapi penderitaan? Sebaliknya, ada banyak pula laki-Iaki

yang amat kuat menghadapi penderitaan. Dan

bagaimana seseorang menghadapi penderitaan,

itu sungguh bersifat individual. Jadi semestinya dia memahami galaunya perasaanku. Sebab

bagiku beberapa bulan sebelum hari ini, masa

depan yang disebutnya itu adalah masa depan

yang amat berbeda, yaitu masa depan yang hanya

akan menjadi milik kami berdua. Dan sekarang

enak saja dia mengharapkan aku hadir sebagai

penguat hatinya dan menyaksikannya bersanding dengan perempuan lain yang akan menguntai masa depan bersamanya. Tidak mengertikah

Mas Arya bahwa aku masih dalam kondisi yang

amat labil sesudah seluruh rencana dan anganku

untuk hidup bersamanya di masa depan hancur

berkeping-keping? Tidak mengerti pulakah dia

bahwa justru dirikulah yang lebih membutuhkan

penopang untuk menguatkan batin, sebab hati

siapa yang tahan melihat kekasih yang dicintain

8

ya akan bersanding dengan orang lain?

Namun kalau memang Mas Arya tidak mengerti itu semua, ia tak boleh mengetahui betapa

tereabikcabiknya hatiku mendengar permintaannya itu. Aku harus mampu bersikap lebih bijak

daripada dirinya. Aku juga harus bisa mengikis

perasaan marah atas permintaannya yang tak

memiliki timbang rasa terhadap perasaanku ini.

"Baiklah, Mas, kalau tidak ada halangan aku

akan datang ke resepsi pernikahanmu," meskipun

dengan susah payah, permintaannya yang tak punya tenggang rasa itu kujawab juga.

"Karena masih agak lama, undangannya belum dibuat. Nanti pasti akan kukirimkan padamu,

Aster." Kudengar nada lega dalam suaranya.

"Ya..." Hm, apakah dia mengira aku begitu

mengharapkan kartu undangannya itu?

"Dan satu hal lagi yang kuinginkan darimu,

Aster."

"Apa lagi, Mas?"

"Pakailah gaun sutra birumu itu." Kini suaranya terdengar penuh permohonan.

"Aku ingin

menatap keeantikanmu untuk yang terakhir kali

sebelum kakiku benar-benar terikat perempuan

lain. Kau mau mengabulkan keinginanku ini, bukan?"

Aku tertegun lagi. Kali ini hampir saja aku

tak mampu menahan luapan emosi. Tetapi ajaran yang kudapat sejak kecil mengarahkanku

agar memiliki kemampuan menahan emosi. Sebab begitulah antara lain yang kudengar tentang

9

bagaimana caranya agar menjadi perempuan

yang baik, anggun, dan terhormat. Ah, kenapa

sejak kecil laki-laki tidak diajar hal yang sama,

supaya mereka juga mampu menahan emosi

dan bukannya mengumbarnya, sehingga mereka

menjadi rentan terlibat dalam tawuran, perkelahian, dan pelbagai kekerasan?

"Akan kuusahakan, Mas..." Sekali lagi, aku

merasa terpaksa menunjukkan kesabaran dan

"kebaikanku" sebagai perempuan yang terdidik

dengan "sempurna".

"Terima kasih, Aster. Aku yakin, sedikit-banyak, kehadiranmu dengan gaun biru itu akan

mengusap kegamangan hatiku," Mas Arya berkata lagi.

"Aku tak akan pernah melupakan betapa

cantik dan anggunnya dirimu dalam gaun sutra

itu."

Aku mendesah di dalam hati. Seandainya aku

tidak cantik dan tak pantas memakai gaun biru

itu, akankah ia mengharapkan kehadiranku? Ah,

kenapa laki-laki selalu melihat perempuan dengan mata yang ada di bagian wajahnya itu? Tidak

berfungsikah mata hatinya?

Untunglah di saat aku hampir meneteskan air

mata, Mas Arya mulai menunjukkan tanda-tanda

mengakhiri pembicaraan.

"Sampai di sini dulu ya, Aster. Sekali lagi aku

ingin mengucapkan terima kasih atas segala pengertianmu selama ini, juga atas kesediaanmu untuk hadir di pesta pernikahanku nanti," katanya.

"Ya."

10

"Aster...?"

"Ya ?" Ah, belum juga dia mengakhiri bicaranya.

"Apa pun yang terjadi, aku masih tetap

mencintaimu, Aster. Sangat," ia berkata lagi.

"Kau menempati tempat yang khusus dan istimewa di hatiku, yang tak akan bisa tergantikan oleh

perempuan mana pun, sampai kapan pun."

Tanpa menunggu tanggapan dariku, selesai

berkata seperti itu Mas Arya langsung menutup teleponnya. Dan dengan tangan gemetar sebagaimana yang kuceritakan tadi, aku meletakkan

gagang telepon ke tempatnya kembali. Kemudian

sambil memejamkan mata, kuletakkan tubuhku

yang tiba-tiba terasa letih ke sandaran kursi.

Apakah yang saat ini sedang dibayangkan

oleh Mas Arya? Mengira aku merasa senang atas

pernyataannya barusan tadi? Tidak terpikirkah

olehnya bahwa aku malah jadi meragukan kemurnian perasaannya? Kalau memang benar aku

menempati tempat istimewa di hatinya, kenapa

dia memilih untuk menuruti keinginan orangtuanya? Tidak teringatkah dia pada apa yang terjadi

di antara kami selama ini, terutama pada malam

terakhir sebelum kami berpisah waktu itu?

Beberapa bulan yang lalu setelah tahu bahwa

hubungan yang terjalin di antara diriku dan dirinya tak mungkin berlanjut, kami pergi berduaan

untuk yang terakhir kali. Dia mengajakku ke pesta yang diadakan kantornya. Menuruti permintaannya, aku mengenakan gaun sutra biru. Gaun
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu hadiah darinya saat aku berulang tahun kedua

11

puluh lima, beberapa bulan sebelumnya. Seusai

pesta, Mas Arya tidak segera mengantarkan aku

pulang.

"Kita ke tempat kosku dulu, ya? Mau, kan?"

ia mengusulkan.

Mas Arya memang tidak tinggal bersama orangtuanya lagi semenjak bekerja. Jarak kantor

dan rumah orangtuanya jauh. Sudah begitu, harus pula melalui jalan-jalan yang sering macet.

Jadi ia menyewa paviliun kecil yang terdiri atas

satu ruang tamu, satu ruang tidur, kamar mandi

dan dapur yang merangkap ruang makan. Juga

ada garasi untuk mobil dinasnya. Ke sanalah ia

mengajakku.

"Buat apa sih, Mas? Aku tidak ingin memperpanjang saat-saat terakhir bersamamu ini. Toh cepat atau lambat kita harus berpisah juga."

"Tetapi aku masih ingin memeluk dan menciummu untuk yang terakhir kali di tempat yang

paling aman, Aster. Sebab di mana lagi tempat

seperti itu kalau bukan di tempat kosku." Mas

Arya mengusap lembut tanganku. Suaranya

menyiratkan kesedihan bercampur harapan.

"Aku ingin mengenang kebersamaan kita untuk

yang terakhir kalinya."

Saat itu otakku sedang tumpul. Bayangan perpisahan kami begitu menghantui dan mencekam

hatiku sehingga ajakannya langsung kuiyakan.

Mampir ke tempat tinggalnya bukan baru sekali itu kulakukan. Di tempatnya itu, suasananya cukup menyenangkan. Antara rumah induk

12

dengan paviliun yang dikontrak Mas Arya diberi

pagar, sehingga tak saling mengganggu. Kalau aku berlama-lama di sana entah untuk mengobrol, berkaraoke, atau untuk menonton film

bersama-sama, tak akan ada orang yang memperhatikan kami. Sering kali pula kami membeli makanan di suatu tempat, menikmatinya di

tempat kosnya, lalu bersama-sama pula mencuci

peralatan kotor yang baru kami pakai. Dan tak

jarang pula aku sengaja datang ke sana untuk

mandi sebelum kami pergi ke suatu acara. Sebab

kalau aku pulang ke rumah lebih dulu, pasti akan

makan waktu. Pendek kata, paviliun mini itu sering menjadi tempat pertemuan kami berdua.

Tetapi malam itu aku lupa bahwa suasana sudah berbeda daripada biasanya. Kali itu aku datang ke tempat itu bukan untuk mengobrol, bukan

untuk berkaraoke, atau untuk menonton hlm drama dari VCD. Juga bukan untuk makan sesuatu

yang kami beli bersama-sama, tetapi untuk memperpanjang saat-saat perpisahan kami. Tatkala itu

hati kami berdua sedang dipenuhi perasaan sedih

dan otak kami sedang dalam keadaan tak sehat.

Bahkan sedang labil.

Biasanya kalau aku datang ke sana, Mas Arya

akan mengambilkan minuman atau aku sendiri

yang langsung pergi ke dapur untuk mengambil minuman, buah, atau sesuatu yang lain dari

lemari es mininya. Tetapi kali itu aku langsung

duduk di sofa dan Mas Arya menyusul duduk di

sampingku. Dan begitu duduk, begitu pula tan

13

gannya segera memeluk bahuku. Kurasakan lengannya agak bergetar.

Aku memahami perasaannya sebab inilah kali

terakhir kami duduk berdekatan sebagai sepasang

kekasih. Dengan pikiran seperti itu kurebahkan

kepalaku ke bahunya dan kunikmati pelukannya

yang hangat untuk terakhir kali. Kurasakan suara detak jantungnya dengan hati gundah. Aku

sadar betul, mulai esok dada bidang dan bahu

yang kokoh itu tak lagi menjadi tempat kepalaku

berlabuh. Mas Arya bukan lagi milikku. Dia akan

menjadi milik perempuan lain.

"Aster... aku mencintaimu...." Laki-laki itu

mengusap rambutku dengan bibirnya.

"Akujuga mencintaimu, Mas."

"Apakah kau masih akan tetap mencintaiku

kalau kita sudah berpisah nanti, Sayang?"

"Ya, tentu saja..." Suaraku mulai bergelombang dan air mataku mulai ikut ambil bagian di

dalam pembicaraan kami.

"Jangan menangis, Sayang." Mas Alya meraih wajahku dan mengecup pipiku yang basah.

Kemudian sebelum air mata berikutnya mengalir lagi, laki-laki itu menangkap bibirku dengan

bibirnya. Ia meneiumku lama sekali.

Karena sadar itu adalah ciuman kami yang

terakhir, kuraih kepala Mas Arya dan kutenggelamkan ke atas dadaku. Laki-laki itu balas memelukku dan mulai mengeeupi leher dan bahuku. Otak kami yang kurang sehat tadi semakin

tak bisa dikendalikan. Maka lupalah kami ber

14

dua untuk berpikir jernih. Apa yang selama ini

kami jaga untuk malam pengantin sebagaimana

angan-angan dan keinginan kami, hancur berantakan. Kami berdua lupa diri sehingga terjadilah

apa yang seharusnya tak boleh kami lakukan.

Gaun sutra biru yang kukenakan malam itu

menjadi saksi bisu peristiwa malam itu. Bercak

darah yang menodai lapisan dalam gaun sutra

biruku itu seakan menjadi bukti telah ternodanya seorang perawan pada suatu saat dan tempat

yang tidak semestinya. Apa pun kata-kata hiburan yang menyusup ke telingaku sesudah terjadinya peristiwa itu, tak mampu mengusap hatiku

yang dipenuhi rasa sesal. Pada perasaanku, saat

itu seluruh dunia sedang menuding batang hidungku dan menyalahkan keteledoranku. Ingin

sekali aku bersembunyi di bawah perut bumi dan

menghilang di situ.

Namun tentu saja semua itu hanyalah suatu

keinginan yang tak masuk akal. Nasi yang telah

menjadi bubur harus kupertanggungjawabkan

sendiri di hadapan hati nuraniku. Bahwa aku kehilangan keperawananku pada saat yang tak semestinya dan pada tempat yang tak seharusnya,

itu adalah risiko yang harus kutanggung sendiri

pula.

Berminggu-minggu lamanya sesudah malam

perpisahan itu aku seperti hidup dalam mimpi.

Rasanya seperti berada dalam keadaan nyata dan

tiada. Perasaanku mati. Aeap kali aku lupa bahwa

Mas Arya sudah tak akan datang lagi untuk me

15

nemuiku dan mengajakku pergi seperti biasanya.

Dan yang paling menyakitkan, aku sadar bahwa

dia telah hilang dari kehidupanku dan meninggalkanku sendirian dengan gaun sutra biru yang

telah ternoda. Berita tentang dirinya yang pernah

kudengar hanya dari Ani, adik perempuannya. Itu

pun tanpa sengaja. Ani dan aku pernah kuliah di

tempat yang sama dan hubungan kami cukup akrab meskipun aku lulus setahun lebih dulu darinya.

"Mas Arya masih saja sering murung lho, Aster," begitu dia menceritakan tentang kakak lelakinya itu ketika kami bertemu tanpa sengaja di

suatu tempat.

"Pulang dari kantor, dia langsung

ke tempat kosnya dan menenggelamkan diri di

sana. Hampir-hampir dia tidak pernah pulang ke

rumah. Aku tahu apa sebabnya, Aster. Dia masih

memikirkanmu. Tetapi, kalau aku menyuruhnya

meneleponmu, dia menolak keras. Alasannya,

semakin sering ia mendengar suaramu, akan semakin sulit ia melupakanmu."

Mendengar itu, hatiku amat sedih. Entah apakah kemurungan Mas Arya itu disebabkan karena cintanya yang besar kepadaku ataukah karena

rasa bersalahnya atas kejadian malam itu, aku tak

tahu. Tetapi yang harus kusyukuri adalah bahwa

peristiwa malam itu tidak mengakibatkan sesuatu

yang lebih memberatkan diriku. Aku masih tetap

mendapatkan haid sebagaimana biasanya.

"Aster!" Suara Ibu yang tiba-tiba memanggilku dari arah dapur menggugahku dari lamunan

16

dan bayangan masa lalu bersama Mas Arya. Aku

tersadar kembali dalam ruang dan waktu yang sedang kuhadapi. Bayangan masa lalu itu pun buyar dari ingatanku dan aku kembali pada realitas

yang ada.

"Ya, Bu?" Lekas-lekas kubuka kembali kedua

belah mataku yang semula terpejam rapat. Dan

cepatcepat pula aku bangkit berdiri, menjauhi

meja telepon, kemudian pergi menemui ibuku

yang ada di dapur.

"Tolong timbangkan tepung ini," katanya

begitu melihatku datang.

"Mata Ibu sudah tidak

bisa lagi melihat dengan jelas. Kalau salah melihat angka, bisa-bisa kue ini tidak jadi. Dan

bapakmu hanya akan gigit jari saja di hari ulang

tahunnya!"

Baru kuingat, besok Bapak akan berulang tahun. Ibu memang pandai dan suka sekali membuat kue tart sendiri. Rasanya juga lebih mantap

daripada kalau beli di toko kue. Bahkan menurut

pendapatku, tak ada kue tart selezat buatan Ibu.

Apalagi kue buatannya selalu terbuat dari bahan-bahan pilihan, sejak dari tepungnya, gulanya, telurnya, menteganya, sampai pada tambahan rasanya. Ibu juga tidak pernah memakai

bahan-bahan buatan termasuk zat pewarna dan

pengawet.

Begitulah, tanpa suara aku segera melaksanakan apa yang diminta Ibu. Setelah menimbang

tepung, kutimbang juga gula, mentega, bubuk

cokelat, dan bahan-bahan lain yang diperlukan

17

untuk membuat kue tart itu.

"Apa lagi yang harus kutimbang, Bu?" tanyaku sesudah itu.

"Cukup," Ibu menjawab pertanyaan tadi

sambil menatapku. Kemudian tersenyum manis.

"Untunglah Ibu bisa meminjam matamu yang besar dan indah itu, Aster!"

Aku membalas senyum Ibu tanpa berniat

membalas eandanya sebagaimana biasa. Bahkan tatapan matanya kuhindari. Yang kuinginkan

saat itu adalah Iekas-lekas pergi dari dapur untuk

menyendiri di kamar. Berita mengenai kepastian

perkawinan Mas Arya masih menyayat-nyayat

perasaanku. Aku ingin menenangkan diri. Tetapi,

baru saja selangkah kakiku bergerak, Ibu sudah

memanggilku lagi.

"Aster!"

"Ya, Bu?" Terpaksa kuhentikan langkah kakiku dan memutar kembali tubuhku menghadap ke

arahnya, siap menunggu permintaan untuk membantunya membuat kue.

"Ada apa?" Aku tak menyangka Ibu akan

menanyakan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan urusan membuat kue tart.

"Apanya yang ada apa, Bu?" aku balik bertanya, pura-pura tidak tahu arah pertanyaannya.

"Wajahmu agak pucat dan matamu kehilangan seri," sahut Ibu dengan kata-kata yang juga

tidak kusangka-sangka itu.

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa, Bu."

"Percuma saja kau menyembunyikan sesuatu

18

dari ibumu, Aster," Ibu langsung mengomentari

jawabanku. Suaranya terdengar amat tegas.

Aku menarik napas panjang. Seandainya suaranya tidak terdengar setegas itu pun aku sudah

tahu bahwa akan sia-sia saja aku menyembunyikan sesuatu dari Ibu. Ia sangat memperhatikan

diriku sampai ke hal yang sekecil-kecilnya.

"Baru saja Mas Ary meneleponku, Bu," akhirnya aku terpaksa mengaku juga.

"Jadi telepon tadi darinya!" Ibu menegakkan

punggungnya, menatapku dengan saksama. Bahan-bahan kue yang terletak di hadapannya, terabaikan.

"Mau apa lagi dia!"

"Mas Ary memberi kabar tentang akan dilaksanakannya hari pernikahannya, Bu," jawabku

pelan, tak ingin Ibu mendengar suaraku yang mulai agak bergetar lagi.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia ingin mengabarkan

berita itu dari mulutnya sendiri."

"Dan dia memintamu datang ke pesta perkawinannya nanti!"

"Ya."

"Kau tidak usah datang ke sana, Aster

"Tetapi dia sangat mengharapkannya, Bu. Katanya, kehadiranku akan menguatkan hatinya."

"Gombal itu, Nduk. Kau tak usah pergi." Ibu

tampak marah. Dahinya berkerut dalam.

"Orang

kok seenaknya sendiri. Apa kau tidak sadar dia

itu lakilaki yang tidak memiliki sikap dan tidak

pula memiliki prinsip hidup sendiri, Aster? Masa

hidup di zaman sekarang kok mau-maunya dia

diperlakukan dan diatur orangtua seperti di zam

|,,

19

an Siti Nurbaya? Dan sekarang enak saja dia

menyuruhmu datang sebagai penguat hatinya."

"Sudahlah, Bu," aku menyabarkan Ibu.

"Apa, Nduk? Sudahlah?" Ibu mulai menyemburkan kemarahannya.

"Tidak bisa. Hati Ibu

masih sakit kalau mengingat alasan orangtuanya menyingkirkanmu dari kehidupan anaknya.

Apalagi si Ary itu kok ya menurut saja seperti

kerbau dicucuk hidungnya. Laki-Iaki macam apa

dia itu!"

Hatiku berdenyut diingatkan tentang apa yang

menjadi penyebab putusnya hubunganku dengan

Mas Arya. Bagi keluarga laki-laki itu, aku tidak

layak menjadi istri Mas Arya karena asal-usulku yang tak jelas. Sebab kedua orangtuaku yang

kusebut Bapak dan Ibu itu bukanlah orangtua

kandung. Mereka berdua tidak mempunyai anak.

Bapak steril dan karenanya tak mungkin mempunyai anak sendiri. Oleh sebab itu, mereka mencari seorang bayi di rumah yatim-piatu. Dan begitu melihatku, langsung saja mereka jatuh hati,

mengadopsiku secara hukum, dan menjadikan

diriku sebagai anak mereka. Selama dua puluh

lima tahun lebih berada dalam asuhan mereka,

aku selalu dilimpahi kasih sayang dan perhatian

yang amat tulus. Diberinya aku pendidikan yang

baik. Di sekolah maupun di rumah. Dan tampaknya, akan terus demikian tanpa pernah ada batasnya. Kurasakan sungguh kasih dan ketulusan

hati mereka berdua hingga ke relung hatiku yang

paling dalam.

20

Sampai detik ini, aku benar-benar tidak pernah

tahu siapa kedua orangtua kandungku. Menurut

kisah hidup yang kudengar, aku diserahkan ke rumah yatim-piatu oleh seorang suruhan yang tidak

tahu apa-apa. Ia dibayar oleh seseorang di sudut

jalan, untuk menyerahkan diriku yang saat itu

masih berwujud bayi merah ke rumah yatim-piatu, tanpa keterangan apa pun kecuali tanggal dan

kota tempat kelahiranku yang disematkan pada

pakaianku. Para petugas dan pengasuh rumah

yatim-piatu itu mengalami kesulitan menelusuri

siapa keluargaku. Dan karenanya hingga kini aku

kehilangan jejak untuk mengetahui asal-usulku.

Yang pasti, aku adalah anak yang tidak dikehendaki keluarga kandungku sendiri. Bagi orangorang tertentu, sebagaimana halnya keluarga Mas

Arya, keadaanku yang seperti itu adalah suatu

cacat. Tetapi tidak bagi ibu dan bapak angkatku. Mereka selalu memberiku pengertian bahwa

yang penting bagiku adalah melihat ke depan

bersamasama mereka.

"Tanamkan saja di dalam pikiran dan hatimu

bahwa orangtuamu hanyalah kami berdua dan

asalusulmu adalah segala hal yang menyangkut

asal-usul kami berdua pula. Titik. Jadi, Sayang,

kau tidak usah memikirkan hal-hal yang ada di

belakangmu. Sebab hanya akan membuatmu

sedih," begitu antara lain yang mereka katakan

di antara hiburan-hiburan dan dukungan yang

diberikan kepadaku.

Berbeda daripada orangtua angkat lainnya,

21

Ibu dan Bapak memang telah memberitahu siapa diriku sebenarnya begitu menginjak bangku

kuliah. Mereka tidak ingin aku mengetahui hal

itu dari orang lain. Mereka juga tidak ingin aku

menyangka mereka sengaja menyembunyikan

kenyataan itu dariku. Demikianjuga mereka sangat terbuka sehingga rasanya aku dapat melongok hati mereka yang amat tulus dan penuh kasih

tanpa pamrih apa pun itu. Sepanjang hidupku

bersama mereka, tak sekali pun aku menemukan hal-hal yang sebaliknya. Aku dikasihi seperti

anak kandung. Aeap kali aku bersyukur mendapatkan orangtua seperti mereka, sebab tak jarang

aku menyaksikan orangtua kandung yang malah

mengabaikan darah daging mereka sendiri.

Selama ini Ibu dan Bapak selalu saja mendampingi, menyertai, dan mengikutijalan hidupku dengan sepenuh perhatian mereka, dengan

kasih yang tulus dan hati yang terbuka. Oleh

sebab itu aku juga selalu menceritakan apa saja

yang kualami kepada mereka berdua. Termasuk

ketika aku mulai berpacaran kemudian jatuh cinta kepada Mas Arya beberapa tahun yang lalu.

Kasih yang diwarnai kejujuran dan keterbukaan adalah sesuatu yang kudapatkan dari Ibu

dan Bapak. Oleh sebab itu ketika Mas Arya mulai menyinggung mengenai keinginannya untuk

melamarku, aku mulai membuka rahasia kelahiranku kepadanya. Namun sayangnya, keluarganya tidak bisa menerima kenyataan itu. Mereka

terlalu menekankan bobot, bibit, dan bebet yang

22

celakanya tak bisa kutunjukkan. Bagi mereka,

aku adalah gadis cacat. Bahkan kemudian di

dalam pikiran mereka muncul dugaan-dugaan

negatif mengenai latar belakang hidupku. Aku

dianggapnya sebagai anak haram, anak yang tak

dikehendaki keluarga, anak yang mungkin juga

lahir dari perempuan nakal yang tak jelas siapa

yang menghamilinya. Pendek kata, apa pun perkataan Mas Arya tentang hal-hal positif yang ada

padaku, mereka tetap menganggapku tidak pantas menjadi menantu. Untuk memisahkanku dari

Mas Arya, eepat-eepat mereka mencari seseorang

yang bisa menggeser tempatku di hati anak emas

mereka itu. Seseorang itu adalah putri kenalan ayah Mas Arya. Ada-ada saja perintah yang

mereka berikan kepada Mas Arya agar dia sibuk

bersama gadis itu sehingga tidak punya waktu

lagi untukku. Dan akhirnya, kedua anak muda itu

akan dijodohkan dengan alasan klise bahwa ibu

Mas Arya yang agak sakit-sakitan itu ingin lekas

mempunyai cucu.

Waktu itu, selama berminggu-minggu sesudah hubunganku dengan Mas Arya berakhir, aku

terus saja menangisi kehilangan itu sampai akhirnya Ibu menjadi marah.

"Untuk apa membuang-buang air matamu

yang berharga itu, Aster?" katanya.

"Ayo, bersihkan wajahmu, lalu bangkitlah dari perasaan terpuruk yang sia-sia ini. Sadarilah bahwa kau seorang perempuan yang bermartabat, sama dengan

manusia mana pun di dunia ini, apa pun asal-usul

23

mu. Jangan biarkan dirimu dihakimi pendapat

yang tidak adil dan melecehkan itu. Berpikirlah

secara positifdengan membuang pikiranmu bahwa kau tak layak bagi Arya. Sebab sesungguhnya

yang tidak layak ya si Arya dan keluarganya yang

sombong itu. Kau terlalu berharga buat mereka.

Jadi, mereka dengan pemikiran mereka yang

pieik dan kerdil itulah yang tak layak untukmu.

Bukan sebaliknya!"

Bapakjuga memberi masukan-masukan yang

membuat perasaanku bukan saja terhibur namun

juga membuat wawasanku jadi terbuka semakin

lebar. Bersama-sama, mereka berdua mengajariku untuk mampu berpikir secara lebih obyektif

dan kritis.

"Kita sesama manusia tidak berhak menilai

dan menghakimi orang lain dengan menganggap

mereka lebih rendah derajat dan asal-usulnya.

Hak seperti itu hanya ada pada Tuhan, Nduk. Di

hadapan-Nya, martabat setiap manusia adalah

sama!" begitu antara lain yang dikatakan Bapak

kepadaku.

Nasihat, dukungan, pembelaan, dan ajakan

mereka berdua agar aku mampu melihat segala

sesuatu dengan cara pandang yang lebih luas itu

benar-benar merupakan nilai yang tak terhingga

bagiku. Bukan saja karena aku tahu betul bahwa

semua yang mereka lakukan itu dilandasi kasih

sayan g yang teramat besar terhadapku, tetapi juga

karena kusadari kebenaran kata-kata mereka berdua. Oleh sebab itu meskipun memakan waktu

24

yang tidak sebentar, akhirnya aku bisajuga mengangkat kepalaku kembali. Untuk itu diam-diam

aku sering mengucap puj i syukur kepada Tuhan

karena Ia telah memberiku orangtua angkat yang

begitu baik dan penuh kasih sayang kepadaku,

sesuatu yang barangkali saja belum tentu bisa

kudapat dari orangtua kandungku sendiri.

Tetapi saat ini perasaanku yang tadinya sudah agak stabil mulai terguncang kembali setelah

menerima telepon dari Mas Arya barusan. Aku

mulai kehilangan semangat hidup lagi. Tak heran

jika Ibu menjadi jengkel melihat keadaanku itu.

Telah bersusah payah ia dengan Bapak berusaha

menegakkan kepalaku kembali. Dan kini hanya

karena beberapa kalimat yang diucapkan oleh

Mas Arya melalui telepon, kepalaku sudah jatuh

terkulai kembali.

"Aster, pikirkanlah perasaanmu sendiri!" begitu Ibu menggerutuiku.

"Kalau kau tidak ingin

datang ke pesta pernikahannya, ya tidak usah ke

sana. Tetapi kalau kau memang ingin memenuhi

undangannya, ya jangan bersedih. Anggap saja

kau datang ke pesta seorang teman. Jangan biarkan dirimu memiliki anggapan sebagai penguat

hati suami orang. Enak betul laki-laki itu!"

Mendengar gerutuannya, kepalaku tertunduk.

lbu mengatakan sesuatu yang tidak salah dan karenanya akan baik bagiku kalau aku menurutinya. Tetapi duh, betapa sulitnya itu.

"Menurut logika kita, kalau seorang laki-laki sudah berani mengambil keputusan untuk

25

menikah dengan gadis lain walau itu dilakukan

dengan berat hati, ia bukan lelaki yang kuat kesetiaannya," Ibu berkata lagi demi melihat kepalaku tertunduk.

"Bahkan menurut Ibu, dia itu

laki-laki berkepribadian lemah, yang tak berani

membela kebenaran. Dan sekarang, kok enak

saja dia, memintamu datang untuk menguatkan

hatinya. Betapa egoisnya dia. Apakah kau tidak

berpikir ke arah itu, Aster?"

Aku masih belum mampu berkata apa pun

meskipun kusadari semua yang dikatakan Ibu

benar. Apalagi aku pun pernah berpikir hal yang

sama. Tetapi yah, orang kalau sudah dibutakan

perasaan cinta, pikirannya jadi tak waras lagi.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi rupanya, Ibu memahami hal itu.

"Masih cukup waktu bagimu untuk memikirkan kembali permintaannya itu, Aster!" ia berkata

dengan suara yang lebih lembut.

"Asal kau tahu

saja, Nduk, Ibu tidak rela kau dijadikan alas kaki

oleh orang. Siapa pun dia. Apalagi oleh orangorang yang wawasannya sempit seperti keluarga

Arya itu!"

"Aku mengeiti itu, Bu," sahutku pelan.

"Sebab akan seperti itu jugalah aku kalau ada orang

yang menghina atau menyakiti hati Ibu dan

Bapak."

Ibu melemparkan senyum manis kepadaku.

"Sudahlah, beristirahatlah di kamarmu sana,"

katanya kemudian. Suaranya terdengar lembut

dan mengandung kasih sayang.

"Nanti kalau

kuenya sudah jadi, bantu Ibu menghiasnya. Biar

26

bapakmu senang mengetahui kau ikut menyiapkan kue tart ulang tahunnya ini!"

Sambil tersenyum, kuanggukkan kepalaku.

Kemudian dengan langkah gontai, kutinggalkan

Ibu sendirian di dapur. Tetapi sesampai di ambang

pintu, kuhentikan langkah kakiku dan kutolehkan lagi kepalaku ke arah Ibu yang sudah mulai

menaruh perhatiannya kembali ke bahan-bahan

mentah yang ada di hadapannya itu.

"Bu...." kupanggil beliau dengan suara lembut.

"Hmm?" Ibu mengangkat kepalanya kembali.

Pandang matanya terarah padaku.

"Aku cinta Ibu," kataku.

Ibu tertawa. Kedua lesung pipinya muncul di

kiri dan kanan. Perkataan sederhana itu membuat

wajahnya yang manis tampak bercahaya dan menarik.

"Terima kasih," sahutnya kemudian.

"Ibujuga

mencintaimu, Nduk. Amat sangat!"

Aku tidak tahu apakah kehadiran Mas Bondan

sebagai anggota keluarga baru kami beberapa

minggu kemudian merupakan salah satu bentuk

manifestasi cinta Ibu kepadaku ataukah itu hanya kebetulan. Yang pasti laki-laki muda itu telah

mulai mengisi kehidupan kami sekeluarga. Ibu

tahu, sejak kecil Mas Bondan mempunyai tempat

yang istimewa di hatiku.

Mas Bondan adalah keponakan Ibu. Ibu Mas

Bondan, kakak kandung Ibu. Jadi seandainya aku

ini anak kandung, Mas Bondan dan aku memiliki

27

hubungan darah sebagai saudara sepupu.

Sejak kecil aku sudah terbiasa bergaul dengan

Mas Bondan. Ketika aku duduk di SD, dia sudah di SMP. Untuk masa kanak-kanak, jarak usia

lebih dari lima tahun itu cukup besar. Dan karenanya, Ibu selalu memintanya menjadi penjaga

atau pelindungku jika kami pergi bersama dengan sepupu-sepupu lainnya. Kalau dia menginap

di rumah, dia selalu menemani dan mengawalku

ke mana pun kami pergi. Semakin aku besar, semakin jarak usia kami yang lima tahun itu tidak

menjadi masalah lagi. Kami bisa mengobrol berlama-lama dan bercanda. Bahkan dialah yang

menjadi guruku dalam pelbagai macam kebolehan yang kudapat sekarang ini. Dia yang mengajariku mengemudikan mobil. Dia yang mengajariku mengoperasikan komputer dengan benar.

Diajuga yang melatihku bermain piano jika aku

mengalami kesulitan dengan pelajaran musikku.

Dan Mas Bondan pulalah yang sering menegur

dan memberiku semangat kalau aku menyambut

kehadiran guru pianoku dengan malas-malasan.

Padahal, Ibu sering lemah hati kalau melihatku

mulai bosan belajar musik. Pernah dua kali beliau bersekongkol denganku, mengatakan kepada guru pianoku bahwa aku tak bisa mengikuti

pelajaran karena sedang tak enak badan, padahal

sebenarnya aku bersembunyi di kamar.

Tetapi tidak demikian halnya dengan Mas

Bondan. Dia tak kenai kompromi apa pun.

"Tak ada pemain musik yang kehebatannya

28

datang secara tiba-tiba, Aster." Begitu Mas Bondan sering berkata kepadaku beberapa tahun yang

silam.

"Mereka belajar dan belajar terus, serta

berlatih tanpa hentinya. Dan itu bukan dilakukan

selama setahun atau dua tahun saja, tetapi sampai

belasan dan bahkan puluhan tahun lamanya."

Waktu itu, aku membantahnya. Pikirku, Ibu

toh berada di kubuku. Beliau tahu, aku sedang

bosan dan lebih suka menonton televisi.

"Bosan dan malas ah," begitu aku dulu sering

menunjukkan keakuanku.

"Lagi pula, aku tidak

ingin jadi pemain musik yang hebat kok!"

"Nah, itulah dia musuh utama manusia untuk

mencapai sukses." Mas Bondan tidak mau mengalah.

"Malas, tak punya keinginan untuk maju,

tak ada target yang ingin dicapai. Kalau begitu

itu, lalu apa yang bisa kita dapatkan untuk masa

depan? Bukankah hidup ini tidak berhenti di sini

saja tetapi mengarah ke depan sana?"

"Memangnya kau tak pernah mengalami rasa

malas dan bosan, Mas?" Aku masih tak mau

mengalah. Pikirku, bosan adalah perasaan yang

manusiawi. Jadi kenapa harus mengerasi diri

sendiri untuk menjadi setengah malaikat?

"Tentu saja pernah. Justru karena itulah aku

berani menegurmu. Maka sebaiknya atasi dan

kendalikanlah perasaan-perasaan yang menghambatmu ke arah kemajuan itu, Aster."

"Dengan cara apa misalnya?" Aku masih menentangnya. Pertanyaanku itu lebih terdengar sebagai tantangan daripada rasa ingin tahu.

29

"Caranya dengan mencintai apa pun yang kita

hadapi dan apa pun yang kita kerjakan. Sebab,

Aster, setiap hal dan setiap pekerjaan pasti ada

sisisisinya yang menyenangkan. Maka, carilah

itu. Juga, sedikit kreatiflah!"

"Konkretnya bagaimana, Mas? Misalnya,

bagaimana kau dulu mengatasi rasa jenuh atau

rasa malas waktu belajar piano?" Akhirnya aku

mulai tertarik pada pendapat-pendapatnya yang

tak goyah pada tantangan dan sindiranku itu.

Keluarga ibuku memang sangat menyukai

musik. Musik apa pun. Hampir semuanya pernah

belajar pelbagai hal mengenai seni musik dan

memainkan beberapa alat musik. Mereka mempelajarinya sejak masih amat kecil. Begitu pula

generasi selanjutnya, yaitu Mas Bondan dan saudara-saudara sepupu lainnya.

"Begini caranya. Pertama-tama, kenalilah

lebih dulu lagu-lagu yang diberikan oleh guru

pianomu. Hayatilah iramanya. Kenapa lagu itu

berirama tango, misalnya. Resapi isi dan makna

syairnya. Pelajari kenapa di bagian-bagian tertentu harus dimainkan dengan lembut tetapi di

bagian lain harus dengan lebih keras atau lebih

cepat. Dan kenapa pula sebuah lagu di bagian tertentunya harus dimainkan secara cressendo, dari

lembut semakin lama semakin keras. Atau sebaliknya, dari keras ke lembut...."

"Mmh, oke juga saranmu itu, Mas!" aku

menyela, semakin tertarik.

"Dan ingat juga, pelajari pula seluk-beluknya

30

yang lain. Seperti misalnya siapa pengarangnya,

apa latar belakang budayanya, apakah ada tujuan

khusus kenapa lagu itu diciptakannya. Umpamanya, seorang komponis menciptakan lagu itu

ketika dia sedang mengagumi alam ciptaan Tuhan, atau ketika dia sedang sedih. Dan lain sebagainya. Begitu lho, Aster. Jadi jangan melihat

bagaimana guru pianomu menyuruhmu berlatih

lagu itu sehingga yang kaurasakan adalah keharusan pada kewajiban belaka atau karena perintahnya saja. Pendek kata, cintai dan kenalilah

seluk-beluk pekerjaan dan apa pun kegiatanmu.

Pasti akan lain hasilnya. Percayalah."

Melihat prestasi-prestasi yang pernah dicapai

oleh Mas Bondan, aku memang mempercayai

apa yang dikatakannya itu. Oleh sebab itu dengan

dipenuhi rasa ingin tahu, kutanyai resep-resep

kehidupannya yang lain.

"Apakah di bidang lain pun kau bersikap

sama, Mas?" tanyaku ketika itu. Hatiku semakin

tertarik pada apa-apa yang ia sarankan kepadaku.

"Ya. Sebab bekerja dan melakukan kegiatan

apa pun jika disertai dengan perasaan-perasaan

positif seperti itu, bukan saja akan membuat hati

kita jadi senang mengerjakannya, tetapi pekerjaan itu juga akan menjadi hiburan buat kita.

Dan jika pekerjaan sudah menjadi sesuatu yang

menyenangkan, hal itu sungguh akan melancarkan segala sesuatunya, termasuk kesuksesan kita.

Bekerja dengan cara seperti itu bisa membuat

kita lupa waktu lho, Aster!"

31

Resep dan saran-saran Mas Bondan ketika itu

memang sangat mujarab bagiku. Meskipun pada

awalnya tidak mudah, dalam banyak hal akhirnya

aku berhasil mencapai prestasi yang cukup membanggakan. Kuliahku berhasil baik. Pelajaran piano yang ketika masih kecil sering membuatku

jenuh, kini merupakan sesuatu yang amat menggairahkan bagiku. Kucari buku-buku musik dan

lagu ke tokotoko buku dan toko musik. Kuboron g

CD dan kaset untuk menambah perbendaharaan

lagu maupun jenis iramanya. Dan jadilah aku

sekarang orang yang mahir bermain musik dan

mahir pula mendendangkan lagu. Bahkan lagulagu lama yang populer di saat aku masih belum

lahir pun mampu kumainkan dan kunyanyikan.

Apalagi Bapak dan Ibu menyukai dan mengoleksi lagu-lagu abadi yang tak lekang dan lapuk dimakan umur. Termasuk lagu-lagu klasik ciptaan

para komponis besar dunia seperti Mozart, Chopin, Bach, Schubert, Schumann, Handel, dan

sebagainya. Begitu pun lagu-lagu ciptaan komponis Indonesia seperti Ismail Marzuki, Binsar

Sitompul, Mochtar Embut, Saiful Bachri, dan

lain-lainnya.

Boleh dibilang hampir semua keberhasilanku, terutama di bidang musik, adalah berkat jasa

Mas Bondan. Di zaman yang maunya serbacepat

dan serbamudah begini, aku yang masih muda ini

mampu menunjukkan prestasi melalui perjuangan yang tidak sebentar berkat bimbingan orang

yang juga masih muda. J adi rasanya tidaklah ber

32

lebihan kalau aku sering menganggap Mas Bondan sebagai pahlawanku.

Singkat kata mengingat pengalamanku bersama Mas Bondan selama belasan tahun ini, kehadirannya telah menumbuhkan segenggam harapan

dalam batinku. Seperti yang sudah-sudah, ia pasti

tidak akan membiarkanku tetap terpuruk seperti

ini. Jadi apakah kehadiran Mas Bondan di rumah

kami itu atas permintaan Ibu, ataukah karena

laki-laki itu memang ingin tinggal bersama tantenya, atau pula karena alasan lainnya yang juga

tidak kuketahui, yang penting dan yang membuat

hatiku senang adalah ia hadir di saat aku membutuhkannya. Dan meskipun aku menaruh rasa
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

curiga adanya campur tangan Ibu atas kehadiran

Mas Bondan yang tampaknya tidak direncanakan

jauh hari sebelumnya, aku tak ingin mempersoalkannya. Sebab sejak Mas Bondan hadir di tengah

keluarga kami, suasana di rumah jadi terasa lebih

hidup.

Namun terlepas dari rasa senang kami atas

kehadirannya itu, di dalam hatiku muncul suatu pertanyaan yang cukup menggelitik. Kenapa

Mas Bondan lebih suka tinggal di rumah kami

padahal selama ini ia tinggal di apartemen yang

menyenangkan? Di sana tentu saja ia memiliki

lebih banyak kebebasan. Mau berbuat apa saja,

mau bermalas-malasan sepanjang hari, atau mau

berteriak keras-keras tidak ada yang mengganggu ataupun merasa terganggu. Dan mau pacaran

berlama-lama dengan Mbak Astri, kekasihnya,

33

siapa yang akan memedulikannya?

Pengalamanku berpacaran dengan Mas Arya

dulu membuatku merasa agak heran kenapa Mas

Bondan malah memilih tinggal bersama kami. Di

sini, di bawah pandang mata kami sekeluarga,

tentulah dia tidak bisa semau-maunya berpacaran

dengan Mbak Astri. Padahal di apartemennya,

dia bisa bercanda, berciuman sepuasnya, menonton televisi sambil berpelukan dengan kekasihnya, atau tertawa cekikikan berdua kalau ada acara

televisi yang lucu.

Sungguh, meskipun sejak kecil kami sering

bersama-sama dan aku merasa sudah amat mengenalnya, namun ternyata masih ada bagian-bagian lain dalam dirinya yang tak kukenal. Bahkan

terasa asing, sehingga baru kusadari sekarang

bahwa manusia memang penuh dengan misteri.

34

Dua

SEJAK Mas Bondan tinggal bersama kami,

suasana di rumah memang jauh lebih semarak

rasanya. Mas Bondan sangat menyukai musik.

Dari dalam kamar yang disediakan Ibu untuknya,

kami sering mendengar lagu-lagu yang enak

didengar, entah itu dari permainan gitarnya,

entah pula dari sejumlah CD yang sengaja

dibawanya ke sini. Dan kalau suara musik itu

tidak keluar dari arah kamarnya, ruang tengah

di rumah kamilah yang akan terasa semarak oleh

permainan pianonya. Atau, koleksi CD Bapak

yang karena kesibukan beliau jarang dibunyikan

itu, kini mulai mengumandang di seluruh penjuru

rumah karena perbuatan tangannya.

Jenis musik yang disukai Mas Bondan amat

beragam. Gamelan pun ia suka. Hal itu sungguh

menyentuh perasaanku. Tidak banyak yang begitu, bahkan kalau dihitung berdasarkan jumlah

orang Jawa di Indonesia ini, presentasi anak-anak

muda yang menyukai gamelan amat sedikit. Dan

Mas Bondan termasuk yang sedikit itu. Aneh

tetapi menyenangkan rasanya mendengar gending-gending Jawa tiba-tiba memenuhi udara di

rumah kami. Sampai-sampai Mbok Sum, tukang

35

cuci-setrika, yang datang setiap hari ke rumah,

berulang kali mengucapkan rasa senangnya.

"Kalau begini, menyetrika sebanyak apa pun

tidak terasa capek!" begitu antara lain katanya

padaku.

"Coba Mas Bondan sejak dulu-dulu tinggal di sini ya, Mbak?"

Begitulah Mas Bondan dengan dunia musiknya. Hampir semua keluarga besar ibu angkatku

memang sangat mencintai musik. Bahkan tidak

salah kalau kukatakan mereka dapat disebut sebagai para musisi. Hanya kebetulan, keahlian

mereka itu tidak dijadikan profesi yang menghasilkan uang. Untuk itu mereka mempunyai

profesi lain. Ada yang bekerja di bank, ada yang

menjadi dosen, ada yang menjadi dokter, dan lain

sebagainya. Sepengetahuanku, hanya Oom Hardy yang mencari nafkah dari keahliannya bermain musik. Oh ya, dia dan Mas Bondan tentu

saja.

Orangtua ibuku mengharuskan semua anaknya belajar bermain piano. Namun meskipun

semua saudara kandung ibuku ahli bermain piano, tetapi masingmasing mereka mempunyai

kemahiran lain yang lebih khusus. Ibu, misalnya, suaranya bagus sekali. Jenis suaranya yang

sopran itu terdengar bening dan pulen. Kalau ia

bernyanyi sambil bermain piano, aku jadi pengagumnya yang paling fanatik. Oom Asto, kakak

lbu, pandai bermain saksofon. Oom Hardy, adik

lbu, mahir bermain biola dan organ. Seperti

yang sudah kuceritakan, hanya dia yang men

36

cari nafkah dengan keahlian musiknya. Ia menjadi dosen di institut kesenian jurusan musik. Ia

juga menjadi pemusik di mana-mana. Bahkan

penampilan grup musiknya sering ditayangkan di

televisi. Sedikit-sedikit aku pernah belajar biola

kepadanya. Ibu Mas Bondan, kakak Ibu, pandai

memainkan organ dan menggubah lagu. Tante

Titik, adik Ibu, lebih suka gamelan. Dan sekarang

generasi berikutnya juga telah memperlihatkan

keahlian serupa. Mas Bondan misalnya, selain

bermain piano, ia juga pandai memainkan gitar.

Suaranya pun bagus.

Harus kuakui, kehadiran Mas Bondan dengan pelbagai kesukaannya itu telah ikut membubuhkan warna-Warna lain di atas kertas kelabu

yang bercerita tentang kegagalan kisah cintaku

bersama Mas Arya. Secara diam-diam, setiap

dia memainkan piano atau gitarnya, aku selalu

menikmati keahlian jemarinya yang lincah. Bahkan tak jarang pula muncul keinginan di dalam

hatiku untuk menirunya dan mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalamannya. Ia pandai

mengaransir sendiri sebuah lagu sehingga lagulagu itu lebih enak didengar. Bahkan lebih enak

daripada aslinya. Hal-hal baru semacam itulah

yang akhirnya berhasil menyita perhatianku.

Tanpa kusadari, pelanpelan tetapi pasti, pikiran

dan perasaanku yang semula hanya tersita rasa

sedih akibat kehilangan Mas Arya, mulai tersingkir. Semaraknya bunyi musik dan keceriaan Mas

Bondan mulai mengisi hari-hariku yang semula

37

terasa kelam.

Begitulah, suatu siang di hari Minggu, lagi-lagi aku mendengar permainan piano Mas Bondan

dari arah ruang tengah. Saat itu Ibu dan Bapak sedang pergi, sementara aku berada di kamarku sedang mengerj akan pekerjaan kantor yang kubawa

ke rumah. Tetapi begitu mendengar bagaimana

sebuah lagu biasa menjadi begitu indah di tangan

Mas Bondan, serta-merta terlingaku tergelitik

dan perhatianku langsung tercurah ke sana. Maka

apa yang terpampang di layar monitor komputerku begitu saja terabaikan. Dan ketika godaan dari

ruang tengah itu semakin merebut perhatianku,

aku pun menyerah dan pekerjaan kutinggalkan.

Saat itu dia sedang memainkan lagu Widuri. Tanpa diketahuinya, aku berdiri di belakangnya untuk mengagumi permainannya.

Merasa terbuai, begitu lagu itu selesai, lekas-lekas aku menyela keasyikannya.

"Ajari aku berimprovisasi seperti itu dong,

Mas!" aku merengek di sampingnya.

Mas Bondan menoleh, kemudian tertawa.

"Wah, rupanya aku telah mengganggu pekerjaanmu, ya," katanya kemudian.

"Tante Pur mengatakan padaku, selama dua hari ini kau sibuk

mengerjakan pekerjaan kantor di kamarmu. Pasti

kau repot sekali."

"Ah, sudah hampir selesai kok. Dan tidak

begitu penting," sahutku eepat-eepat.

"Aku bisa

melanjutkannya nanti malam atau di kantor besok."

38

"Kata Tante Pur, kau karyawati yang rajin dan

penuh dedikasi. Rupanya, dia tidak salah," Mas

Bondan berkata lagi.

"Ah, Ibu suka berlebihan kalau memujiku,"

aku menggerutu.

"Selalu saja begitu."

Mas Bondan tertawa lagi.

"Itu yang namanya menggarami air laut," candanya kemudian.

"Penilaian yang dilandasi kasih

sayang seorang ibu memang acap kali terlalu

subjektif. Tetapi dalam banyak hal ketika Tante

Pur memujimu, ada dasarnya kok. Bukan cuma

bersifat subjektif!"

"Ah, kau!" lagi-lagi aku bersungut-sungut

sehingga untuk ke sekian kalinya Mas Bondan

tertawa. Agar dia tidak melantur lagi, eepat-cepat kukembalikan pembicaraan ke arah semula.

"Ayolah, Mas, ajari aku memainkan lagu Widuri

dengan aransemenmu tadi!"

"Wah, terus terang aku tadi asal main saja.

Jadi apa yang kumainkan itu ya sesuka gerakan

hati dan tanganku. Secara spontan, begitu saja,"

sahutnya.

"Aku tahu," kataku.

"Sebab, aku juga sering seperti itu. Hanya sayangnya tidak bisa bagus seperti permainanmu tadi. Jadi, Mas, tolong

ajari aku aturan-aturan bakunya. Maklum, bakat

musikku kan cuma seujung kukumu. Bukan atas

dasar bakat turunan seperti yang mengalir dalam

darahmu."

"Ah, kau selalu saja merendah. Sebetulnya,

tidak terlalu sulit untuk berimprovisasi sesukamu

39

lho, Aster. Asalkan kita tidak membiasakan diri

terlalu terpaku pada teks lagu yang ada di buku-buku musik. Apalagi kau kan sudah menguasai pelbagai macam tangga nada dan trinada, baik

mayor, minor, dan lain sebagainya yang berkaitan

dengan itu."

"Ya. Memang kuakui, aku sering terlalu terpaku pada apa yang tersaj i di hadapanku atau pada

apa yang kuhafal. Habis, dulu guru pianoku kan

begitu kalau mengajar. Tidak boleh keliru!"

"Dia tidak salah, Aster. Dalam pelajaran, harus ada buku-buku piano yang menjadi pegangan

dan yang perlu ditaati. Sebab, dengan memainkan Iagulagu yang disajikan buku-buku itu, kelincahan tangan kita akan terlatih. Begitu pula

perasaan dan pendengaran kita dilatih untuk peka

menangkap nada dan suara yang harmonis. Tetapi di luar itu, kita juga harus belajar dan mencari sendiri cara berimprovisasi dan mengaransir

lagu. Bahkan menggubah lagu-lagu sendiri."

"Ya. Dari tangga nada dan trinada, kita juga

diasah untuk mengerti komposisinya. Kurasa, itu

juga bisa dijadikan pijakan untuk melakukan improvisasi."

"Benar."

"Nah, sekarang mainkanlah sebuah lagu lagi,

Mas. Aku ingin melihat caramu berimprovisasi

lebih dekat."

"Oke."

Mas Bondan mulai meletakkan kembali jemarinya ke tuts piano. Kemudian menoleh lagi

40

ke arahku.

"Nah, kau ingin mendengar lagu apa?"

"Lagu apa sajalah."
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lagu yang kalem dulu, ya, biar kau bisa lebih mudah mengikuti gerakanjari-jariku."

"Setuju!"

Tak lama kemudian di ruang tengah yang

asri itu berkumandang lagu Angin Malam yang

pernah dinyanyikan oleh almarhum Broery Marantika. Dimainkan oleh Mas Bondan dengan

caranya sendiri, lagu itu terdengar begitu indah

mendayu-dayu. Lagu itu memang lagu lama,

tetapi masih saja enak didengar oleh siapa pun.

Termasuk oleh kaum muda sebagaimana diriku

ini. Bahkan semakin kuresapi lagunya, semakin

perasaanku terhanyut. Terlebih ketika aku teringat bagian lirik lagunya yang berbunyi: "Itulah

kenangan, yang terakhir denganmu".

Termangu-mangu mataku menatap kelincahan jemari tangan Mas Bondan sementara pikiranku melayang-layang ke sana kemari. Bahkan

juga teringat masa laluku bersama Mas Arya,

terutama kenanganku yang terakhir bersamanya.

Ah, ternyata banyak Iagulagu lama yang masih

saja tetap enak didengar. Dan bahkan lebih enak

didengar daripada lagu-lagu baru yang terkadang

enaknya karena ditunjang suara musik dan cuma

populer untuk sesaat lamanya. Nyatanya, ada

penyanyi-penyanyi yang sukses mendendangkan lagu-lagu yang pernah populer pada belasan,

bahkan puluhan tahun yang lalu.

41

Selesai memainkan lagu itu, Mas Bondan menoleh ke arahku. Pandangannya menatap lurus ke

mataku, lalu dahinya mulai berkerut.

"Kok malah termenung begitu sih?" ia menegurku.

Aku tersipu. Rupanya dia tahu, aku sedang

melamunkan Mas Arya. Pasti, sambil bermain

piano tadi Mas Bondan melirikku untuk mengetahui sampai di mana perhatianku kepadanya.

Tetapi bukannya memperhatikan sungguh-sungguh gerakan jemarinya, aku malahan melamun.

Tak heran kalau dia agak kecewa.

"Aku... aku terpesona pada permainanmu,"

sahutku mencoba membela diri.

"Apalagi lagunya begitu indah, sampai-sampai aku tak bisa

berkonsentrasi penuh pada permainan tanganmu!"

"Lalu kenangan itu terkait kembali, kan, Aster...?"

Aku tertegun sesaat lamanya. Selama beberapa minggu hidup di bawah atap yang sama, baru

kali itulah Mas Bondan menyinggung masalah

pribadiku. Terus terang, aku tidak tahu seberapa banyak yang ia ketahui tentang masa laluku

bersama Mas Arya dan seberapa banyak pula

yang Ibu ceritakan kepadanya. Tetapi apa yang

ia katakan itu tidak salah. Aku tadi memang sempat terseret kenangan masa laluku bersama Mas

Arya.

Melihatku tertegun, Mas Bondan menyadari

perkataannya yang tak dipikirkannya lebih dulu

42

itu.

"Maaf," katanya.

"Aku tidak bermaksud

menyinggung perasaanmu."

"Aku tahu...."

"Tetapi aku tetap ingin minta maaf kepadamu," sahut Mas Bondan. Kudengar nada menyesal dalam suaranya.

"Kau tidak perlu minta maaf kepadaku, Mas.

Di rumah ini kisah cintaku yang gagal sudah bukan rahasia lagi."

Mas Bondan menganggukkan kepalanya.

Tetapi kemudian tiba-tiba saja ia melontarkan

pertanyaan yang sama sekali tak kuduga.

"Bolehkah aku tahu... apakah sudah ada teman

untuk mendampingimu pergi ke pestanya nanti?"

Sekali lagi aku tertegun. Hm, rupanya dia tahu

juga mengenai permintaan Mas Arya agar aku

datang ke acara perkawinannya nanti.

"Kau... kau tahu tentang hal itu, Mas?" Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah ganti

bertanya. Itu pun setelah beberapa saat lamanya

mulutku seperti terkunci. Ah, seberapa banyakkah yang diketahui Mas Bondan mengenai kisah

cintaku bersama Mas Arya?

"Ya. Tante Pur yang cerita," Mas Bondan

menjawab pertanyaanku dengan sabar.

"Memang

tidak banyak yang diceritakannya kepadaku

mengenai kisah cintamu itu, Aster. Tetapi selama

beberapa minggu berada di rumah ini aku dapat

melihat masih ada luka menganga di hatimu. Sejujurnya, aku prihatin melihat keadaanmu."

43

Aku tertunduk begitu mendengar pengakuannya. Permainan pianonya yang menggairahkan

dan mengagumkan tadi luruh dengan seketika

dari pikiranku. Kurasa, Mas Bondan juga telah

melupakan permintaanku untuk mengajariku

berimprovisasi. Ia memutar tubuhnya dan membelakangi piano. Inilah pertama kalinya aku dan

Mas Bondan membicarakan urusanku yang paling pribadi....

"Kau tidak boleh membiarkan dirimu tenggelam terlalujauh, Aster," kudengar Mas Bondan

berkata lagi.

"Tetapi itu tidak mudah, Mas. Keluarganya

mempersoalkan asal-usulku yang tak jelas..."

Kuangkat wajahku kembali. Kurasa sudah saatnya aku membuka diri di hadapan Mas Bondan.

Kurasa pula, seberapa banyak pun yang telah ia

ketahui dari Ibu tentang diriku, pasti akan lain kalau aku sendiri yang membicarakannya.

"Hatiku

amat terluka, Mas...."

"Aku dapat merasakannya, Aster." Mas Bondan menganggukkan kepalanya lambat-lambat

dengan penuh perasaan.

"Sebab mempersoalkan

haI-hal semacam itu, sama saja dengan mempermasalahkan harga diri dan eksistensimu sebagai

seorang individu. Ironisnya, hal itu dilakukan

oleh keluarga orang yang paling kaucintai dan

telah kauberi kepercayaan untuk menjalin ikatan

batin denganmu."

Untuk ketiga kalinya aku tertegun. Apa yang

baru saja diucapkan oleh Mas Bondan telah

44

menyentuh hatiku. Kutatap mata laki-laki itu

dengan pandangan nanar.

"Kau benar...." aku bergumam pelan.

"Kau

benar, Mas."

"Tetapi meskipun begitu tidak seharusnya

kau membiarkan dirimu larut dalam perasaan

terluka. Sebab jika demikian, sadar atau tidak,

hati kecilmu mengakui bahwa anggapan mereka

tentang dirimu itu benar. Padahal, hal itu sama

sekali jauh dari kebenaran yang sesungguhnya. Kau makhluk bermartabat yang sama tinggi

dengan manusia mana pun di dunia ini. Apa pun

latar belakangmu. Maka bila ada pendapat yang

merendahkan keberadaanmu sebagai makhluk

yang paling mulia di dunia ini, sadarilah bahwa

pendapat itu pasti berasal dari orang yang wawasannya sempit. Orang yang hanya tahu menempatkan nilai hakiki seseorang pada hal-hal yang

di luar inti kemanusiaan itu sendiri. Mereka hanya mampu melihat apa yang tertempel di permukaan. Atributnya saja."

Ibu dan Bapak pernah mengatakan hal senada

dengan apa yang baru saja kudengar itu.... Akan

tetapi ketika itu diucapkan oleh Mas Bondan dengan suara lembut, dengan tekanan pada kata-kata tertentu, dan diucapkan dengan penuh makna,

tiba-tiba saja mataku terasa terbuka lebih lebar.

Aku mulai menyadari kebenaran pendapat itu.

"Kalau begitu, Mas Ary juga termasuk dalam

kelompok orang-orang yang wawasannya sempit, kan, Mas?"

45

Mas Bondan menatapku beberapa saat lamanya.

"Apa alasanmu berpikir seperti itu, Aster?" ia

ganti bertanya.

"Karena tiba-tiba saja, ketika mendengar

katakatamu tadi, mataku mulai melihat sesuatu

yang selama ini tak berani kupikirkan. Bahkan,

aku juga mulai sadar bahwa selama ini aku seperti menghindar dari suatu kenyataan yang sebenarnya sudah ada di lubuk hatiku."

"Apa itu, Aster?"

"Adanya kenyataan bahwa Mas Ary menurut

saja pada keinginan orangtuanya tanpa banyak

membantah, itu artinya disadari olehnya atau

tidak, sebenarnya dia juga mempunyai pandangan yang sama sempitnya," sahutku.

"Sekarang

aku tahu, pastilah jauh di relung hatinya, seluruh

nilai-nilai yang pernah diajarkan dan diarahkan

orangtua kepadanya telah terinternalisasi dalam batinnya dan menjadi nilai-nilainya sendiri.

Maka meskipun di mulut ia tidak mengakuinya,

tetapi di dalam hati ia beranggapan bahwa bobot, bibit, dan bebet merupakan sesuatu yang amat

penting, melebihi perasaan cintanya...."

Sungguh mati tidak mudah mengatakan suatu

kenyataan dengan blak-blakan seperti itu. Sebab

setiap kali kata meluncur dari mulutku, setiap

kali pula luka di hatiku terasa berdenyut nyeri.

Mas Bondan tidak membantah perkataanku.

Diajuga tidak mengiyakannya. Namun dari pandang matanya aku tahu bahwa ia sedang mem

46

beriku kesempatan untuk berpikir sendiri. Dan

dari senyumnya, aku juga tahu dia berada di pihakku. Bukan karena aku saudaranya, tetapi karena aku membawa bendera kebenaran. Hal itu

menumbuhkan keberanianku untuk memuntahkan sesuatu yang selama ini hanya mengganjal

di dada.

"Menurutku selama kami berpacaran waktu

itu, Mas Ary telah memisahkan dua hal yang paling penting dalam suatu hubung kasih. Cintanya

kepadaku berjalan sendirian, tidak seiring dan

sejalan dengan penghargaan atas keberadaanku

sebagai seorang pribadi...." aku berkata lagi. Dan

seperti tadi, setiap kata yang meluncur dari mulutku bagai pisau yang menusuk hatiku sendiri.

Mas Bondan pasti tahu itu. Dia mengibaskan

tangannya ke udara. Bola matanya yang menatap

ke arahku berlumur pengertian yang amat kental.

"Sudahlah, Aster," katanya.

"Kalau kau sudah

menyadari kenyataan itu, rasanya tak perlu dibabas lagi. Untuk apa? Toh tidak ada gunanya. Lebih baik kawarahkan saja pikiranmu ke masa-masa

mendatang. Perjalanan hidupmu masih panjang.

Pasti masih banyak kesempatan lain di hadapanmu yang mudah-mudahan lebih indah."

"Ya ."

"Kembali pada pembicaraan kita tadi, aku

ingin mengatakan padamu bahwa aku bersedia

mendampingimu pergi ke pesta perkawinannya

nanti. Itu kalau belum ada seseorang yang berjanji untuk menemanimu."

47

"Belum ada, Mas. Dan aku senang sekali kalau kau mau pergi bersamaku," sahutku dengan

perasaan lega.

"Dengan Mbak Astri, ya?"

"Kalau dia mau, ya."

"Pasti dia mau. Pacarmu itu gadis yang baik

dan penuh pengertian kok."
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mudah-mudahan."

"Hatiku akan senang sekali kalau kalian berdua mau mendampingiku nanti," kataku lagi.

"Untuk itu, aku mengucapkan terima kasih."

"Masih agak lama, kan?" Mas Bondan

tersenyum sambil memutar tubuhnya kembali ke

arah piano.

"Nah, bagaimana kalau sekarang kita

melanjutkan acara yang tertunda tadi? Katamu,

kau ingin menggali pengalamanku berimprovisasi...?"

"Lain kali saja, ya, Mas." Aku mendesah.

"Gairah dan keinginanku untuk belajar, sudah

surut sejak tadi."

Mas Bondan menganggukkan kepalanya dengan air muka penuh pengertian.

"Baiklah," sahutnya kemudian sambil menelengkan kepalanya ke arahku.

"Tetapi dengarkan dulu saranku. Jangan pernah lagi kaubiarkan

hatimu tenggelam dalam pusaran perasaan yang

sia-sia itu. Sayangilah dirimu sendiri secara semestinya. Lalu angkatlah dagumu dan pandangilah dunia indah yang ada di hadapan kita ini.

Kau masih muda, cantik, mempunyai karier yang

bagus, keluarga harmonis yang sangat mencintaimu, dan seterusnya serta seterusnya lagi."

48

"Aku akan mendengarkan saranmu, Mas."

"Jangan hanya mendengarkan, Aster. Tetapi

menurutinya."

"Ya, Eyang." Aku tersenyum untuk melegakannya.

"Nah, begitu sungguh bagus!" Mas Bondan

tertawa.

"Eyang kakungmu ini senang sekali melihat senyummu itu. Sekarang, masih ada sedikit

lagi saran Eyang yang juga harus kauturuti. Yaitu, daripada menangisi sesuatu yang sudah hilang, lebih baik syukurilah segala hal yang masih

kaumiliki. Seperti masa depanmu, keluarga besarmu yang selalu berada di kubumu dan seterusnya lagi seperti yang sudah Eyang katakan tadi.

Apalagi kalau yang ditangisi itu sama sekali tak

sebanding dengan air matamu yang berharga itu,

Nduk. Oke?"

"Oke, Eyang."

"'Oke"-mu jangan sebatas di bibir saja ya,

Nduk."

"Akan saya usahakan, Eyang," aku berjanji.

Ah, tahu saja Mas Bondan kalau "oke"-ku tadi

cuma untuk melegakan hatinya.

"Bagus. Sekarang kalau kau ingin beristirahat di kamar atau mau melanjutkan pekerjaanmu

yang tertunda, silakan."

"Aku akan menonton televisi saja." Sekarang

aku bersikap lebih serius.

"Tetapi sebelumnya,

izinkanlah aku mengucapkan rasa terima kasih

atas segala perhatian dan saranmu, Mas."

"Wah, resmi amat sih!" Dengan cara yang

49

lucu, Mas Bondan membeliakkan matanya ke

atas sehingga hanya putihnya yang kelihatan.

Aku tersenyum. Kali ini senyumku diwarnai

rasa geli. Bukan lagi demi sopan santun atau

demi melegakan hatinya saja seperti tadi. Kemudian aku pergi ke ujung ruang, tempat kami sekeluarga menonton televisi. Ruang tengah atau

ruang keluarga di rumah orangtua angkatku ini

termasuk luas. Di ujung yang satu, Ibu meletakkan piano dan meja pajangan di dekatnya. Di

bagian tengah, seperangkat sofa yang menjadi

tempat favorit keluarga, ditata dengan apik dan

nyaman. Di tempat itulah kami sekeluarga sering

mengobrol, bercanda, membaca, atau menerima

tamutamu akrab kami. Di ujung lain, dua buah

kursi empuk dan selembar karpet tebal dengan

bantal hias besarbesar di atasnya, merupakan

tempat kami menonton televisi. Dengan demikian seperangkat sofa nyaman yang kuceritakan

tadi membatasi tempat Mas Bondan sedang bermain piano dengan tempatku menonton televisi.

Jaraknya kira-kira tujuh meter jauhnya.

Tetapi meskipun suara televisi masih bisa

kudengar, suara piano yang dimainkan oleh Mas

Bondan lebih mendominasi ruangan bahkan ke

seluruh penjuru rumah. Dan meskipun mataku

menatap ke layar televisi, tetapi aku tidak tahu

apa yang kutonton. Perhatianku sepenuhnya tercurah pada lagu-lagu yang dimainkan Mas Bondan. Ia benar-benar ahli memainkan pelbagai

macam lagu. Berganti-ganti ia mengumandang

50

kan lagu-lagu klasik Eropa, juga lagu-lagu seriosa lndonesia yang membuatku jadi terbuai. Aku

yang belakangan ini lebih perasa, mulai tak tahan.

Mataku mulai terasa panas dan basah. Dan hatiku penuh dengan pelbagai macam perasaan yang

baur menjadi satu, sementara suatu dorongan

kuat yang tak kumengerti dari mana asalnya mulai mengganggu dan mendesakku agar menumpahkan perasaanku yang membuncah itu ke dalam

suatu tulisan. Menyesakkan sekali dorongan itu.

Maka akhirnya tanpa dapat kutahan lagi, aku

segera bangkit dari kursi untuk mengambil kertas

dan pulpen yang selalu tersedia di meja telepon.

Sebelumnya, aku memang pernah beberapa

kali menulis puisi. Tetapi tentu saja itu bukan

puisi yang indah. Bahkan puisi itu kubuat asalasalan saja, tanpa teori dan tanpa aturan tertentu. Aku bukan ahlinya seperti Chairil Anwar dan

WS Rendra. Seujung kuku mereka saja pun aku

tidak. Namun demikian, aku merasa puas karena

puisi itu bukti konkret perasaanku yang paling

dalam. Puisi itu merupakan pernyataan hitam di

atas putih yang melukiskan benar siratan dan gejolak hati apa yang tertuang di sana, tetapi yang

barangkali belum tentu bisa dimengerti orang

lain. Sebab dengan kalimatkalimat pendek dan

terkadang menyimpan kejujuran yang hanya bisa

ditangkap orang lain dengan cermat, aku bisa

melahirkan secara tepat seluruh gerak alun jiwa

dan perasaanku saat itu. Sesuatu yang pasti tak

akan kutuliskan ke dalam kalimat-kalimat yang

51

lugas seperti apa adanya. Bahkan juga tidak akan

kutulis di dalam buku harian pribadi sekalipun.

Aku tidak ingin ada orang yang kebetulan menemukan tulisanku, lalu membacanya secara harliah begitu saja.

Maka begitulah, dengan diiringi lagu-lagu indah yang menyungkup perasaanku saat itu, aku

mulai menumpahkan dorongan hati tadi lewat

puisi sebagai berikut:

Gaun Biru

Ketika sebait lugu indah mengumandang di

seluruh penjuru rumah

Dan mengangkat kalbuku ke langit berawan

kenangan

Ketika itu pula air mataku merebak dan pipiku mely'aa'i basah

Ketika kenangan pahit merusak semua

kemanisan yang pernah ada

Dan mengempaskun jiwaku pada suatu kenyalucm

Ketika itu pula kusadari gaun biru yang kupakai telah terkoyak

Alangkah semakin ngilunjfa hatiku yang tercabik

Alangkah semakin birunya gazmku yang terobek

Tak mungkin itu kurekal kembali

Tak mungkin itu kukenakan lagi

52

Tetapi takkan kubiurkan diriku berselubzmg

nista dan mulu

Telanjang di baimh tatapan mata bak pisau

sercy'am sembilu.

Usai puisi itu kubuat tanpa tersendat barang

sepatah kata pun dan tanpa kubaca sekali lagi,

aku langsung melupakannya. Akan tetapi tiba-tiba saja aku merasa amat letih. Derita kehilangan

yang selama berbulanbulan ini kugendong di

pundakku, rasanya begitu berat. Kalau aku tetap

di sini, pasti aku tak akan sanggup bertahan lagi.

Tangisku pasti meledak dan Mas Bondan bisa kebingungan. Oleh sebab itu, sebelum itu terjadi,

lekas-lekas aku masuk ke kamarku kembali dan

menumpahkan kesedihanku di sana. Aku yakin,

seandainya saja dorongan hati untuk menulis

puisi tadi kubendung, saat ini aku pasti meraung-raung.

Kehilangan yang kurasakan kali ini bukan hanya melulu karena hilangnya saat-saat manisku

bersama Mas Arya ataupun karena kehilangan seseorang yang katanya sangat mencintaiku dan ingin membangun rumah tangga bersamaku. Tetapi terlebih lagi karena kehilangan keperawanan

yang baru sekarang kusadari apa akibatnya bagi

hidupku di masa mendatang.

Seluruh struktur sosial, politik, dan budaya

yang menyungkup kehidupan anak manusia di

dunia ini adalah milik budaya patriarkat, di mana

antara lain keperawanan menjadi simbol kesu

53

eian seorang gadis. Penjabarannya, seorang gadis yang bisa mempertahankan keperawanannya

hingga memasuki pernikahan adalah gadis yang

baik dan dianggap sebagai gadis yang suci dan

murni. Gadis yang pantas menjadi istri idaman.

Entah, apakah kesucian seperti itu mengatasi kesucian yang lain, aku tidak tahu. Jadi pertanyaan tentang manakah lebih suci, seorang

pembunuh yang masih perawan ataukah seorang

yang tak pernah berbuat dosa kecuali satu kali

perbuatan yang mengakibatkan keperawanannya

hilang, silakan menjawab sendiri.

Memang, di pelbagai sektor kehidupan ini ada

banyak ketidakadilan yang dialami para perempuan sebagai akibat sistem nilai yang timpang.

Pelbagai macam ajaran yang intinya demi menjaga "kesucian" misalnya, tak pernah dikenakan

pada kaum laki-laki. Kalau memang mitos tentang "kesucian" itu bertujuan agar para laki-laki bisa menyunting gadis yang masih "suci",

yang belum pernah tersentuh laki-laki mana pun,

kenapa hal itu tidak dikenakan buat sebaliknya?

Tak terpikirkah oleh mereka bahwa perempuan

juga ingin menerima keperjakaan suami sebagai

persembahan cinta? Tetapi apa yang terjadi di dalam kenyataan ini?

Laki-laki bereputasi buruk dalam pergaulannya dengan banyak perempuan, misalnya, sering

tak tersentuh penilaian orang. Sementara perempuan, sang warga negara kedua dunia, hanya bisa

dihargai dan diagungkan manakala mereka mam

54

pu menjaga keperawanannya sampai tiba saatnya

menikah nanti. Dan rancunya, martabat perempuan sering dikaitkan dengan keperawanan. Bukan

pada inti terdalam atau hakikat kemanusiaan dan

eksistensinya sebagai subjek. Dalam hal ini martabat manusia memang sering dimaknai secara keliru atau entah mungkinjuga sengaja dipelesetkan

kebenarannya demi tujuan tertentu yang kurang

mendasar. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan terjadinya pelbagai macam penderitaan yang

dialami perempuan-perempuan yang kehilangan

keperawanan sebelum memasuki pernikahan.

Meskipun aku sadar bahwa martabatku sebagai manusia ciptaan Tuhan tidak tereuil karena hilangnya keperawananku, namun tetap saja

kehilangan itu meninggalkan rongga besar yang

kosong dalam batinku. Rupanya sudah terlalu

dalam nilai-nilai patriarkat yang terinternalisasi dalam batinku sehingga meskipun sadar akan

makna martabat manusia yang sesungguhnya,

kesadaran seperti itu tak mampu mengusap duka

hilangnya keperawananku. Rasanya, aku tidak

lagi sempurna sebagai seorang gadis. Rasa malu

atas hilangnya keperawanan itu tak mungkin bisa
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuabaikan begitu saja. Kentalnya nilai-nilai patriarkat yang hidup di masyarakat Timur tempat aku

tinggal ini masih menempatkan keperawanan sebagai citaeita istri ideal bagi kaum laki-laki. Jadi

meskipun aku tahu bahwa pandangan itu dapat

mencuil kebenaran akan makna menjadi insan

ciptaan Tuhan, namun tak mungkin aku bisa

55

melupakan kehilangan itu. Sungguh, ambivalensi dalam batinku ini telah menyiksaku sepanjang

siang hari Minggu.

Kuakui dengan rendah hati, tidak mudah bagiku membebaskan diri sama sekali dari sistem

nilai patriarkat yang sudah sedemikian mengurat akar di seluruh kehidupan masyarakat Timur

seperti Indonesia ini. Meskipun aku tahu bahwa

itu salah namun dengan hilangnya keperawananku, aku tak lagi berani membuka diri di dalam

pergaulanku dengan kaum lelaki. Bahkan di kantorku sekalipun. Dan itulah salah satu bentuk pemikiran ambivalenku. Di satu pihak aku merasa

diriku masih sesempurna semula karena mengerti bahwa martabat manusia tidak ada kaitannya

dengan masalah hilangnya keperawanan. Tetapi di lain pihak aku masih memiliki rasa cemas

menghadapi masa depan akibat kehilangan itu.

Sungguh, memang tidak mudah menjadi seorang

perempuan.

Sebelum Mas Arya masuk ke dalam kehidupan pribadiku, ada dua laki-laki muda di kantorku yang begitu kentara ingin menjalin hubungan

khusus denganku. Yang seorang bernama Adri,

bekerja sebagai account executive. Dan yang

lainnya bernama Tomi, atasanku sendiri di bagian personalia. Tetapi hatiku tak pernah tertarik

kepada keduanya meskipun mereka sama-sama

menarik. Soal perasaan adalah suatu misteri. Aku

tak pernah mengerti kenapa aku jatuh cinta kepada Mas Arya dan bukannya kepada Adri atau

56

kepada Tomi.

Dalam perjalanan waktu, keduanya segera

mundur satu per satu begitu mengetahui keseriusan hubunganku dengan Mas Arya. Akan tetapi kini setelah mengetahui aku sudah tidak lagi

menjadi kekasih Mas Arya, pelan-pelan mereka

berdua mulai lagi mencoba meraih hatiku. Tetapi

sama sekali aku tidak ingin menanggapinya. Kalau dulu ketika masih perawan saja aku tak punya

keinginan untuk menjalin hubungan dengan salah

seorang di antara mereka, apalagi sekarang? Dan

yang jelas, hatiku yang pada dasarnya memang

sudah beku, sekarang ini menjadi semakin beku

menghadapi laki-laki. Semenarik apapun mereka, hatiku tak akan tergerak. Lagi pula, aku harus

mampu memagari diriku agar jangan sampai terlibat masalah yang menyusahkan diriku sendiri.

Sebab jika Mas Arya yang katanya mencintaiku

saja bisa goyah ketika dihadapkan pada asalusulku yang tak jelas, apalagi laki-laki yang baru

mulai mengadakan pendekatan kepadaku. Belum

lagi sekarang ini setelah keperawananku lenyap.

Rasarasanya, pada diriku sudah tak tersisa apa

pun lagi yang bisa kubanggakan.

Termangu sedih seorang diri di kamar dengan pikiran melayang ke mana-mana seperti itu

lamalama membuatku letih. Maka kupejamkan

mataku sehingga suara lagu-lagu yang masih

saja dikumandangkan jari-jari Mas Bondan di

luar sana menyusup kembali ke telingaku. Agar

pikiranku jangan mengembara terlalu jauh lagi,

57

kupusatkan saja perhatian dan telingaku kepada

permainan piano Mas Bondan dan kuikuti lagu

demi lagu yang dimainkannya. Sungguh, laki-laki itu memang memiliki bakat besar di bidang

musik. Seharusnya keahlian seperti itu jangan

hanya menjadi miliknya sendiri.

Sedemikian aku terlarut pada lagu-lagu indah itu sampai ketika akhirnya lagu-lagu tersebut berhenti tiba-tiba. Entah mungkin Mas Bondan mulai merasa lelah atau entah apa, aku tidak

tahu. Tetapi beberapa menit kemudian ketika aku

mengira Mas Bondan telah mengakhiri permainannya, suara piano mulai terdengar lagi. Tetapi

bukan lagu-lagu indah yang kudengar, melainkan

dentang-dentang yang diulangulang sampai beberapa kali. Entah apa maksudnya, aku sudah terlalu letih untuk memikirkannya. Saat itu seluruh

diriku mulai terseret kantuk. Dan aku tertidur tak

lama kemudian.

Aku tidak tahu berapa lama sudah aku tertidur,

tetapi ketika seluruh paneaindraku telah berfungsi kembali, kudengar suara piano di ruang tengah

masih berkumandang. Dengan tetap berbaring di

tempat tidur, kulirik jam duduk di meja dekat bagian kepala tempat tidur. Jam empat lewat sedikit.

Hari sudah sore. Heran aku, Mas Bondan masih

saja asyik bermain piano tanpa bosan-bosannya.

Menurut perkiraanku, dia sudah bermain selama

hampir empatjam.

Kuikuti lagu yang dibawakannya saat itu. Entah lagu apa, aku belum pernah mendengar sebel

58

umnya. Dan entah apakah itu lagu Indonesia atau

lagu dari Barat sana, aku tidak tahu. Tetapi harus

kuakui, lagunya sungguh indah dan manis. Kapan-kapan aku harus mempelajarinya dari dia.

Pikiran itu memberi semangat sedikit padaku.

Pelan-pelan aku bangkit dari tempat tidur lalu

kutinggalkan kamarku yang nyaman itu. Tanpa

suara aku kembali ke ruang tengah dan duduk di

salah satu sofa untuk menikmati lagu yang sedang dimainkan Mas Bondan sampai dia menyelesaikannya.

"Lagunya bagus sekali, Mas!" pujiku sesudah dia menyelesaikan lagu itu. Kalau aku tidak

memberi komentar sekarang, pasti dia akan memainkan lagu yang lain lagi.

Mendengar suaraku, Mas Bondan menoleh.

Dia pasti tidak tahu aku sudah duduk di situ sejak

beberapa menit lalu. Pandang matanya mengarah

ke rambutku, kemudian tertawa.

"Wah, putri kita sudah bangun dari tidur rupanya," katanya.

Aku tersenyum malu. Pasti rambutku tampak

berantakan. Aku lupa menyisir lebih dulu ketika

keluar dari kamarku tadi.

"Gara-gara terbuai permainan pianomu, aku

jadi tertidur tanpa terasa," sahutku sambil merapikan rambutku.

"Terbuai atau bosan sehingga mengantuk?"

"Permainan pianomu mana bisa membosankan sih, Mas. Apalagi yang baru saja kaumainkan

tadi. Lagu apa yang kaumainkan tadi, Mas, aku

59

belum pernah mendengarnya!"

"Kenapa kau ingin tahu?"

"Lagu itu indah," aku menjawab sesuai dengan kenyataan yang kurasakan.

"Tetapi herannya, aku sama sekali belum pernah mendengarnya.

Lagu bagus begitu kan biasanya populer. Paling

tidak, sekali atau dua kali entah kapan, aku pernah mendengarnya. Apakah itu lagu lama?"

"Menurutmu?"

"Entahlah. Kalaupun lagu lama, Bapak dan

terutama Ibu, pasti pernah menyanyikan atau memainkannya. Kau tahu sendiri, kan, Mas, lagulagu nostalgia mereka banyak sekali."

"Jadi menurutmu, lagu itu bagus?"

"Bukan hanya bagus, tetapi bagus sekali!"

Mas Bondan tertawa. Ada binar gembira dalam matanya ketika aku memuji lagu itu.

"Kau mau mempelajarinya?" ia bertanya sesudah tawanya terhenti.

"Mau sekali."

"Kalau begitu, dengarkan dulu sekali lagi.

Setuju?"

"Sangat setuju!"

"Hm, bukan main antusiasnya." Mas Bondan

tertawa lagi. Kemudian dengan jemarinya yang

lincah dan ahli, lagu indah tadi mulai berkumandang lagi. Dan semakin lagu itu kuresapi, semakin terasa keindahannya.

Selesai memainkan lagu itu, Mas Bondan

memutar tubuhnya menghadap ke arahku kembali.

60

"Nah, bagaimana?" ia bertanya dengan pandang mata penuh rasa ingin tabu.

"Masih rnenganggap lagu itu indah atau malah sebaliknya?"

"Justru semakin kuresapi, semakin lagu itu

terasa indah," sahutku.

"Rasa-rasanya agak romantis, ya, Mas? Ajari aku dong. Kau punya teks

lagunya, kan?"

"Punya "

"Not balok?"

"Ya. Ini dia." Mas Bondan menunjuk sesuatu

di hadapannya. Tetapi aku hanya melihat sebuah

buku musik dalam keadaan tertutup.

"Lihat dong." Aku merasa senang mendengar

jawabannya itu. Lagu apa pun kalau ada teksnya,

bisa kupelajari. Soal mudah atau sulit, soal cepat

atau lambatnya aku belajar, itu nomor dua.

"Boleh saja kaulihat, Aster. Tetapi ada syaratnya lho." Mas Bondan tidak segera menyerahkan

teks lagu yang kuminta tadi.

"Syarat apa?"

"Syaratnya, kau tidak boleh marah kepadaku

kalau teks lagu ini kuberikan kepadamu."

"Memangnya kenapa aku harus marah kepadamu?" Mataku kujinjitkan. Apa kaitan lagu itu

dengan kemarahanku?

"Pokoknya berjanjilah dulu, kau tak akan marah kepadaku. Baru teks lagu ini akan kuberikan

kepadamu."

"Baiklah, aku tidak akan marah kepadamu."

"Sungguh?"

"Sungguh!" Kukerutkan dahiku.

"Ada apa

61

sih, Mas, kok serius amat!"

"Bener lho ya, kau tidak akan marah kepadaku. Janji?" Mas Bondan seperti tidak mendengar

pertanyaanku.

"Janji!"

"Janji harus dipegang dan ditaati lho, ya!"

Aku mulai merasajengkel.

"Oke. Tetapi kalau kau keberatan menunjukkan teks lagu itu, ya sudah. Jangan berbelit-belit

begitu ah!"

"Wah, belum-belum kok sudah marah." Mas

Bondan memonyongkan mulutnya.

"Padahal

dengan tulus ikhlas aku ingin memberikan teks

lagu ini kepadamu."

Melihat wajahnya yang tampak lucu itu mau

tak mau akujadi tertawa. Rasa jengkelku lenyap

seketika.

"Oke, oke. Aku akan bersikap manis dan tidak

akan marah kepadamu," kataku kemudian.

"Syukurlah." Mas Bondan membungkukkan

tubuhnya, seolah sedang berhadapan dengan penonton. Kemudian dari balik buku musik yang

tersandar di atas piano, laki-laki itu mengeluarkan dua lembar kertas yang masih ditutupinya

dengan tangan.

"Tetapi sebelumnya, maukah kau

mendengar syair atau liriknya lebih dulu?"

"Mau."

"Dengan hati tulus?"

"Ya. Dengan tulus hati," sahutku sambil memperhatikan bagaimana Mas Bondan memegang

teks lagu dan menghadapkan kertas itu ke wajah

62

nya.

"Dengan menyanyikannya, kan?"

"Ya, tentu. Kalau hanya membacakannya, bukan lagu namanya." Mas Bondan menyeringai.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tertawa.

"Ayolah," kataku kemudian.

"Aku ingin

mendengar suaramu."

Mas Bondan menganggukkan kepalanya.

Wajahnya mulai tampak serius. Aku tahu, suara laki-laki itu bagus sekali, sama seperti suara

Ibu, suara Tante Titik, dan sebagian besar saudara Ibu lainnya. Mereka benar-benar keluarga

pemusik yang andal, sebenarnya. Sayang sekali

hanya sedikit orang yang tahu, sebab tampaknya

mereka bermain musik karena memang mencintai musik. Sepengetahuanku, tak ada niat mereka

untuk menjadikannya sebagai profesi, atau setidaknya sebagai hiburan bagi banyak orang.

Begitulah, setelah memainkan intronya, suara merdu Mas Bondan pun mulai terdengar

menyemaraki suasana sore hari itu.

"Ketika sebait lagu indah mengumandang di

seluruh penjuru rumah, dan mengangkat kalbuku

ke langit yang berai-van kenangan..."

Begitu mendengar apa yang dinyanyikannya

itu, aku tersentak kaget.

"Mas Bondan!" aku berseru sambil bangkit

dari tempat duduk.

Ternyata, lagu indah itu menggunakan puisi

yang kubuat tadi siang. Siapa yang tidak jadi kaget karenanya? Aku tadi memang telah melupakan puisi itu dan membiarkannya tergelak begitu

63

saja di meja. Rupanya Mas Bondan melihatnya.

"Kau sudah berjanji tidak akan marah lho."

Mas Bondan menghentikan nyanyiannya. Begitu

juga permainan pianonya.

Aku tertegun, tidak tahu harus mengatakan

apa. Tetapi tampaknya Mas Bondan memahami

perasaanku. Dia melanjutkan perkataannya tadi.

"Aku minta maafsebesar-besarnya atas kelaneanganku ini, Aster. Terus terang saja waktu aku

mau mengambil pulpen untuk memperjelas tanda

baca di salah satu buku musikku, tanpa sengaja

puisimu itu terbaca olehku. Saat itu hatiku tiba-tiba saja bergolak. Rasanya aku didorong suatu

kekuatan besar agar segera membuatkan lagunya. Dorongan hati yang tak kumengerti dari mana

datangnya itu sulit kubendung sampai akhirnya

lagu itu lahir."

Aku masih belum mampu bersuara untuk

mengomentari perkataan Mas Bondan. Tetapi aku

mengerti betul apa yang dimaksudnya dengan

dorongan yang sulit ditahan itu. Sebab dorongan

kuat semacam itu jugalah yang tadi membawaku

pada kondisi tak tertahankan untuk menulis puisi.

Dan ternyata, puisi itu juga yang mendorong Mas

Bondan melahirkan suatu lagu. Lagu yang indah

pula. Seolah dorongan itu merupakan penyebab

yang satu ke penyebab berikutnya.

"Kau sudah berjanji untuk tidak marah kepadaku lho," kudengar suara Mas Bondan lagi.

"Sudah kukatakan tadi, aku tidak sengaja membaca puisimu. Tetapi celakanya, puisimu itu

64

membuatku begitu terobsesi untuk menciptakan

lagunya. Mengenai hal itu, sudah kujelaskan

tadi...."

Aku terdiam. Pelbagai macam perasaan baur

menjadi satu. Tetapi untuk melampiaskan amarahku atas kelaneangannya itu, aku tak sanggup.

Bukankah dengan puisiku itu ia telah melahirkan

sebuah lagu yang begitu romantis, manis, dan indah?

"Kok diam saja, Aster?" Sekali lagi kudengar

suara Mas Bondan menyusupi telingaku.

"Marah, ya?"

Aku menarik napas panjang demi mendengar suaranya yang bernada cemas itu. Pelan-pelan

kugelengkan kepalaku.

"Mana bisa aku marah kepadamu, Mas," akhirnya aku mampu bersuara lagi.

"Kau telah bersusah payah membuat lagu dari puisi yang kubuat

asal-asalan itu ."

"Itu bukan puisi asal-asalan, Aster."

"Apa pun katamu, puisi itu memang kubuat

secara asal-asalan."

"Sudahlah, asal-asalan atau bukan, yang penting hasilnya bagus. Dan ketika puisi itu dibuat

lagu, hasilnya juga lumayan."

"Lebih dari lumayan," aku mulai mampu menerima kenyataan.

"Alias bagus."

"Dan kau tidak marah."

"Tidak...."

"Tetapi ?"

"Tetapi aku bingung," sahutku terus terang.

65

"Bingung karena apa?" Mas Bondan menatapku, penuh rasa ingin tahu.

"Bingung, karena aku tidak tahu apa yang

sedang kurasakan saat ini. Marahkah aku, keeewakah, sedihkah, atau malah gembira dengan

lahirnya lagu itu, aku tidak tahu. Semuanya baur

menjadi satu."

"Kalau begitu ambil saja yang paling positif,

kau gembira karena ada lagu yang baru lahir. Lalu

bayangkanlah, bagaimana seorang laki-laki yang

bukan pencipta lagu berani-beraninya menciptakan sebuah lagu hanya karena dorongan hati.

Dan dengan seluruh hasratnya yang menggebu

itu, berjam-jam lamanya dia berusaha menghadirkan puisi itu ke dalam sebuah lagu...."

Aku tertegun mendengar perkataannya. Dia

benar. Memang seharusnya setiap kita memandang masalah apa pun, hendaknya jangan hanya

ditinjau dari sudut pandang kita sendiri. Sebab

acap kali di balik keterbatasan pandang mata kita

ternyata ada sesuatu yangjauh lebih bermakna.

"Kau benar, Mas. Terima kasih," sahutku

kemudian.

"Akulah yang harus berterima kasih kepadamu karena kau tidak marah atas kelaneanganku."

"Aku juga harus berterima kasih karena gubahanmu telah membuat puisikujadi lebih indah

dan lebih hidup."

"Sebaiknya sudahi saja acara resmi penuh

ucapan terima kasih ini," kata Mas Bondan sambil tertawa.

"Sekarang, dengarkanlah lagu itu se

66

cara utuh!"

Kemudian dengan iringan permainan piano,

Mas Bondan mulai menyanyikan lagu ciptaannya itu dengan penuh perasaan. Aku benar-benar

terhanyut sampai mataku tiba-tiba saja menjadi

basah. Kusadari kini dengan sesadar-sadarnya

bahwa hari ini, sebuah lagu berjudul Gaun Biru

telah lahir.

67

T iga

TUBUH tinggi menjulang yang tiba-tiba berada

di muka meja kerjaku itu menghalangi cahaya

dari arah jendela yang semula membantu

penglihatanku. Kuangkat wajah dari pekerjaan

yang sedang kutekuni. Mas Tomi, atasanku,

sedang berdiri di sana.

"Kau sedang sibuk, Non?" tanyanya begitu

mata kami bertemu.

"Seperti yang Mas Tomi lihat, sejak tadi aku

terpaku di sini tanpa sempat memegang lainnya,"

kataku terus terang.

"Memangnya kenapa?"

"Kalau kau sudah tidak sibuk nanti, aku ingin

minta bantuanmu sebentar."

"Bantuan apa, Mas?"

"Aku ingin minta pendapatmu tentang beberapa surat lamaran hasil penyortiran yang sudah

masuk ke mejaku."

"Berapa yang sudah Mas Tomi pisahkan?"

"Ada lima yang rasa-rasanya pas dengan persyaratan kita," sahut Mas Tomi sambil tersenyum

lembut.

"Terus terang aku mengalami kesulitan

untuk memilih tiga di antara kelimanya itu."

"Mana surat-suratnya?" Daripada pikiranku

terganggu surat-surat lamaran itu, lebih baik aku

68

menyelesaikannya sekarang.

"Ada di ruang kerjaku. Kau bisa ke sana sekarang, atau nanti saja...?"

"Sekarang saja."

Ruang kerja Mas Tomi tidak besar. Tetapi

tampak nyaman dan menyenangkan. Terutama

yang ada di dalam rak bukunya. Seperti diriku,

Mas Tomi juga suka membaca dan mengoleksi

buku dari pelbagai macam topik bahasan. Aku

dan anak-anak buahnya yang lain pernah diundang ke rumahnya. Di sana aku melihat rak buku

besar dengan seluruh isinya yang membuat mataku berulang kali melotot ke sana.

Begitu berada di ruang kerjanya, Mas Tomi

langsung duduk di balik meja tulis.

"Tolong ini dipelajari secara cermat," katanya

kemudian. Dari atas meja tulisnya yang besar dan

kokoh, ia menyerahkan lima buah amplop besar

berisi surat lamaran dan berkas-berkas milik si

pelamar.

"Baik," sahutku setelah kelima amplop besar

itu berada di tanganku. Kemudian kuputar tubuhku, bermaksud pergi ke meja kerjaku kembali.

Tetapi Mas Tomi mencegahku.

"Dibaca di sini saja, Dik Aster," katanya.

"Aku tidak ingin ada orang melihatku sedang

minta bantuanmu dan bukannya dirapatkan dengan yang lain. Jadi, bantuan yang kuminta darimu ini lebih bersifat pribadi."

Aku menatap matanya.

"Sesudahnya akan dibicarakan dengan Pak

69

Herman dan dirapatkan juga, kan?"

"Tentu saja. Seperti biasanyalah, biar bagian

yang bersangkutan yang membahasnya," sahut

Mas Tomi sambil tersenyum.

Pak Herman adalah kepala bagian marketing.

Bagian itulah yang saat ini membutuhkan beberapa tenaga baru. Perusahaan tempat kami bekerja

memang sedang mengalami peningkatan produksi berkaitan dengan permintaan pasar yang lebih

baik daripada waktu-waktu sebelumnya.

"Oke, kalau begitu," sahutku sambil mulai

membuka salah satu amplop yang kupegang itu.

Melihatku tetap berdiri, Mas Tomi bangkit

dari tempat duduknya dan berjalan mendekat ke

arahku.

"Duduklah, Dik Aster," katanya kemudian sambil menyorongkan kursi yang terletak di

seberang meja tulisnya, dekat tempatku berdiri.

"Kok seperti tidak ada kursi saja!"

Aku terpaksa duduk. Tetapi sekarang justru

Mas Tomi yang berdiri. Dan yang membuatku

merasa risih, dia berdiri tepat di belakang kursiku. Aku seperti merasakan angin dari napasnya
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada ubun-ubunku.

Merasakan itu, aku tak lagi dapat berkonsentrasi pada apa yang sedang kubaca. Lebih-lebih

ketika kemudian dia juga bersuara di sisi telingaku. Rupanya dia ikut membaca lewat kepalaku.

"Latar pendidikannya sih psikologi," begitu

dia berkata.

"Akan tetapi pengalamannya bekerja

sebagai sales representative selama dua setengah

70

tahun di perusahaan besar, dua tahun menjabat

Humas di sebuah hotel bintang lima, dan dua tahun bekerja di bagian purchasing, patut digarisbawahi..."

"Digarisbawahi bagaimana, Mas?" tanyaku

memotong perkataannya, sambil mencoba mengusir perasaan risih yang disebabkan kedekatan

hsik di antara kami. Kepala Mas Tomi berada

dekat sekali dengan rambut di belakang telingaku.

"Pengalaman kerjanya bisa menguntungkan

kita!" Laki-laki itu menjawab pertanyaanku.

"Apalagi kalau melihat usianya yang masih tergolong muda, ia pasti masih bisa berkembang semakin matang dalam karirnya."

"Itu menurut pandangan Mas Tomi, kan?"

Aku berhasil mengalihkan pikiranku kepada isi

pembicaraan yang sedang berlangsung di antara

kami. Bukan pada keinginan untuk mendorong

tubuhnya agar menjauh dariku.

"Maksudmu, Dik Aster?"

"Mas Tomi tadi minta pendapatku mengenai

surat lamaran ini, kan?"

"Ya, memang begitu."

"Kalau memang begitu, dalam menilai pelamar ini aku tidak sependapat dengan Mas Tomi.

Alasannya, pelamar ini belum lagi berumur tiga

puluh tetapi pengalamannya bekerja selama enam

tahun lebih di tiga tempat yang sebetulnya cukup

bagus prospeknya itu menimbulkan tanda tanya

bagiku. Dia itu pembosan, ambisius, kurang bisa

71

bergaul dengan orang lain, tak punya loyalitas

dan dedikasi pada pekerjaan, atau apa," sahutku.

"Lebih-lebih lagi kalau kita ingat dia itu seorang

sarjana psikologi."

"Nah, inilah yang ingin kudengar darimu, Dik

Aster. Sepanjang pengalamanku bekerja sebagai

atasanmu, aku melihat betapa cermat dan luasnya

pandanganmu!"

"Ah, itu kan masalah sepele," bantahku.

"Semua orang yang mau berpikir kritis tentu dengan mudah bisa melihat kelemahan itu."

"Tetapi kau sungguh sangat istimewa, Dik

Aster," aku mulai mendengar nada rayuan dalam

pujiannya itu.

"Aku sungguh beruntung dapat

bekerja sama denganmu."

"Ah, pengalaman kerjaku belum banyak,

Mas. Dan apa yang bisa kusumbangkan kepada

perusahaan masih jauh dari memadai!" Lekas-lekas aku mengibaskan pujiannya.

"Jadi jangan

berlebihan memujiku. Aku masih harus banyak

belajar."

"Dik Aster, yang memujimu bukan aku saja

kok. Ada banyak orang mempunyai penilaian

yang sama denganku!" Mas Tomi ganti membantahku.

"Tetapi harus kuakui, menilaimu sangat

istimewa itu mungkin memang lebih banyak diwarnai unsur subjektif yang berasal dari perasaanku."

Perkataan Mas Tomi membuatku merasa tak

enak. Pembicaraan kami sudah bergeser pada

hal-hal yang bersifat pribadi. Dan itu sama sekali

72

tidak kuinginkan.

"Sudahlah," kataku cepat-cepat, merebut

bicara Mas Tomi agar dia tidak melantur ke mana-mana.

"Aku berada di sini kan bukan untuk

membicarakan diriku. Masih ada empat pelamar

yang belum kita bahas lho, Mas."

"Oke." Mas Tomi menjawab perkataanku

dengan mengelus lembut rambutku. Kelihatannya dia tidak memedulikan isyarat tak suka yang

ada di balik sikap dan perkataanku tadi.

"Mari

kita lanjutkan pembicaraan kita tadi."

Sikapnya itu membuatku merasa jengkel.

Enak saja dia mengelus rambut orang, seolah itu

bukan perbuatan yang sifatnya khusus. Aku tahu,

dia merasa yakin sekali hubunganku dengan Mas

Arya sudah benar-benar patah arang, dan dia

mempunyai kesempatan untuk berakrab-akrab

denganku. Entahlah, apa yang ada di dalam pikirannya itu. Aku akan mengobati hatiku dengan

cara menjalin hubungan baru dengan laki-laki

lain? Huh,jangan harap!

Memang, harus kuakui sikapku kepadanya

selama ini selalu manis. Tetapi semestinya dia

tahu, sikap manis itu tidak hanya kuberikan kepadanya. Aku suka berteman dengan siapa saja.

Dan karenanya aku selalu menebarkan keakraban kepada siapa saja yang menjadi temanku.

Rupanya dia tidak bisa membedakan antara kasih

dan keakraban sesama teman, dengan keakraban

khusus yang hanya diberikan kepada orang yang

khusus pula.

7.3

"Bagaimana, Dik Aster?" Mas Tomi bertanya lagi. Aku baru mulai membaca surat lamaran

yang kedua dan sekarang dia bertanya dengan

kepala menunduk, dekat sekali dengan sisi wajahku. Sungguh, membuatku semakin risih dan

semakin ingin mendorong tubuhnya agar menjauhiku.

Aku menarik napas panjang. Setelah dia

mengelus rambutku tadi, konsentrasiku sempat

terpecah karena perasaan jengkel. Maka untuk

mengatasi keadaan itu aku mulai bersikap tegas.

"Mas, biarkan aku mempelajari kelima surat

lamaran ini secara cermat dulu," kataku.

"Jangan

ditanya satu per satu sebelum kubaca semuanya.

Beri aku waktu untuk membacanya sendirian."

"Oke." Ah, untunglah Mas Tomi lekas menyadari bahwa saat itu kami sedang membicarakan

hal-hal yang menyangkut urusan kantor. Sungguh lega hatiku ketika melihatnya kembali ke

kursinya.

Dengan bersusah-payah karena tahu dia sedang menatapi wajahku, aku mencoba memusatkan pikiran kepada surat-surat yang kubaca itu

sampai akhirnya aku berhasil memisahkan tiga

pelamar yang kunilai paling memenuhi pelbagai

persyaratan.

"Tiga pelamar yang menurutku oke ini bisa

dibicarakan dengan Pak Herman, Mas," begitu

aku berkata sesudah menyisihkan tiga di antara

lima pelamar itu.

"Tetapi ada baiknya kalau dua

pelamar lainnya juga dijadikan bahan pertimban

74

gan sebab siapa tahu ada hal-hal lain yang lolos

dari pandanganku. Dan siapa tahu pula Pak Herman mempunyai kebijakan lain yang barangkali

lebih sesuai dengan kebutuhan di bagiannya."

"Aku sependapat denganmu, Dik Aster." Mas

Tomi tersenyum manis, menatapku dengan pandang matanya yang lembut.

"Rupanya, cukup

banyak persamaan yang ada di antara kita berdua, ya."

Aku tidak memberi komentar atas perkataannya itu. Tetapi sebagai gantinya, aku berdiri dari

tempatku duduk.

"Kurasa sudah saatnya aku kembali melanjutkan pekerjaanku sendiri," kataku.

"Masih banyak

yang harus kuselesaikan."

"Baiklah," sahut Mas Tomi.

"Tetapi bolehkah

pada jam istirahat nanti aku mengajakmu makan

di luar?"

"Maaf, Mas, aku sudah terlanjur janji makan

siang bersama Mbak Asih," dustaku. Mbak Asih

Pribadi juga bekerja di bagian yang sama denganku.

Hubungan kami berdua, sangat akrab. Aku

bisa mengajaknya kerja sama dalam dustaku itu.

"Batalkan saja, Dik Aster."

Selama beberapa saat lamanya, kutatap

matanya dengan pandangan mencela.

"Aku tidak pernah mengingkari janji apa pun

yang pernah kuucapkan di hadapan orang, Mas,"

sahutku kemudian.

"Kecuali karena hal-hal di

luar kemampuanku. Lagi pula, aku punya prinsip

75

untuk tidak melakukan sesuatu yang aku tidak ingin orang lakukan terhadapku."

Usai berkata seperti itu aku membalikkan tubuhku, berniat meninggalkan tempat itu selekas

mungkin. Tetapi sebelum tanganku sempat memegang pegangan pintu, Mas Tomi sudah menyusul dan langsung meraih telapak tanganku yang

langsung berada di dalam genggamannya.

"Maafkan aku," katanya.

"Saat ini perasaanku sedang kacau, membuat pikirankujadi sinting

sampai lupa sopan-santun. Aku tak bermaksud

bersikap tidak sopan dengan perkataanku tadi.

Tentunya kau maklum, kan, bagaimana bodohnya orang yang sedang tergila-gila begini?"

Perkataannya sudah lebih menjurus ke arah

yang paling kutakuti. Apalagi itu diucapkannya

dalam keadaan aku tidak siap. Untuk beberapa

saat lamanya aku kehilangan kata-kata, tidak

tahu apa yang harus kukatakan. Kutatap matanya,

nyaris tak berkedip.

Entah Mas Tomi tahu aku sedang berada dalam keadaan bingung seperti itu entah tidak, yang

jelas ia membalas tatapanku. Tetapi tidak dengan

tatapan bingung seperti yang terpancar dari mataku melainkan dengan pandangan mata mesra

yang begitu kental.

Tentu saja aku jadi semakin bingung. Apa

yang harus kulakukan? Mendorong dadanya,

merenggutkan tanganku dari genggamannya, lalu

lari keluar, atau apa?

Untunglah pada saat aku tidak tahu harus ber

76

buat apa, tiba-tiba saja pintu diketuk, lalu kepala

Mbak Asih menjulur masuk begitu daun pintunya ia dorong. Pasti ia melihat apa yang sedang

terjadi di ruang itu. Dan pasti pula ia memiliki

dugaan yang keliru tentang kami. Itulah suatu

bukti bahwa apa yang tampak, sering kali bukan

kenyataan yang sesungguhnya. Nanti kalau ada

kesempatan, aku akan mengatakan kebenaran
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sesungguhnya itu kepada Mbak Asih. Jangan sampai dia terus berada dalam kesalahsangkaan yang berkelanjutan.

Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menarik tanganku dari genggaman tangan Mas

Tomi.

"Mencariku, ya, Mbak?"

"Ya. Mau mengajakmu makan di luar." Aku

tahu betul, Mbak Asih sedang mencoba bersikap

biasa, seolah tidak melihat bagaimana tadi tangan Mas Tomi menggenggam tanganku.

"Tetapi

kalau kau ada acara lain, ya lain kali saja, Aster.

Maaflho, Pak Tomi."

"Tidak apa-apa," sahut Mas Tomi.

"Saya tidak

melihatjam tadi. Ternyata sudah pukul dua belas,

"

ya.

"Aku tidak punya acara lain, Mbak. Kita

bisa makan di luar sebagaimana janji kita." Aku

memotong perkataan Mas Tomi. Mudah-mudahan Mbak Asih tidak mengomentari perkataanku. Memangnya kapan kami berdua berjanji mau

makan siang di luar?

"Sungguh?" Mbak Asih tampak bimbang.

77

"Sungguh, Mbak. Ayo, kita pergi sekarang."

Kebimbangan Mbak Asih segera kupatahkan.

Bukan main lega hatiku bisa melarikan diri

dari hadapan Mas Tomi. Saat itu Mbak Asih

bagaikan malaikat penolong bagiku.

Kusangka, peristiwa itu akan selesai hanya

sampai di situ. Apalagi ketika aku dan Mbak Asih

sudah berada di luar jangkawan telinga orang

lain, aku sudah menceritakan semua hal yang

baru saja kualami bersama Mas Tomi kepadanya.

Tetapi ternyata, buntutnya cukup panjang. Ketika

Mbak Asih membuka pintu ruang Mas Tomi tadi,

ada seorang kawan kebetulan melihat adegan di

mana tanganku masih berada dalam genggaman

Mas Tomi. Dalam waktu singkat, peristiwa itu

menyebar ke teman-teman lainnya.

Kusadari sungguh, meskipun aku hanya

berterus terang kepada satu atau dua orang teman

mengenai Mas Arya yang meninggalkanku, tetapi kisah gagalnya percintaanku itu sudah menjadi

rahasia umum. Hal itu tidak aneh. Di kantor, aku

cukup populer. Bukan karena kelebihan-kelebihan yang kumiliki karena aku memang bukan

orang yang mempunyai keistimewaan, tetapi

karena pergaulanku yang luas. Temanku banyak

dan mereka menyukai keakraban yang kutebarkan.

Aku juga mengerti betul, ada banyak temanku yang begitu mendengar kisah cintaku itu,

langsung berada di pihakku dan menyalahkan

Mas Arya yang tidak setia. Oleh karena itu

78

lah ketika mendengar kabar angin bahwa aku

mulai menjalin hubungan dengan Mas Tomi,

teman-temanku menyambutnya dengan gembira.

Sebagian di antaranya malah mulai menggodaku.

Dan meskipun berulang kali kukatakan bahwa

apa yang mereka duga itu keliru, tak seorang pun

mempercayainya. Sikap Mas Tomi yang mesra

memang seperti membenarkan dugaan itu. Mbak

Asih sajalah yang tahu tentang kenyataan sebenarnya.

Sebetulnya kalau karena adanya gosip itu

tanggapan teman-temanku hanya sebatas menggoda, aku masih mampu mengatasinya. Setidaknya masih ada harapan padaku, gosip itu akan

menghilang dengan sendirinya seiring dengan

berjalannya waktu. Pikirku, kalau mereka melihat hubunganku dengan Mas Tomi masih saja

tetap seperti antara atasan dan anak buah, bantahanku bahwa tidak ada apa-apa di antara kami

berdua pasti akan dipercaya juga pada akhirnya.

Tetapi buntut panjang itu ternyata tidaklah

sesederhana yang kusangka. Sikap Tatik, salah

seorang temanku, tiba-tiba saja berubah. Dia sering tampak sinis terhadapku. Bahkan meskipun

berpapasan muka, dia bersikap seperti tidak melihatku. Lama-kelamaan, sikap seperti itu sungguh

membuat perasaanku tidak nyaman. Aku tidak

suka dimusuhi orang. Apalagi kalau aku tidak

bersalah.

Tatik adalah sekretaris direksi di kantor kami.

Dia cantik, menarik, anggun dan modis. Siapa

79

pun yang memandangnya pasti terkesan olehnya. Cara bicaranya, caranya berjalan, dan bahkan

caranya duduk, serbaenak dilihat. Tampaknya dia

pernah mengikuti kursus mengenai keluwesan

dan pelbagai hal yang menyangkut seni tata cara

pegaulan. Sering kali aku bertanya-tanya dalam

hatiku, kenapa dia tidak memilih profesi sebagai

foto model atau peragawati saja. Pasti dia akan

lebih sukses.

Selama ini hubunganku dengan Tatik cukup

baik dan hangat meskipun dia tidak termasuk sebagai kawan akrabku. Tetapi belakangan ini aku

melihat dia selalu berusaha menghindariku. Kalau kebetulan kami berada di tempat yang sama

dan ada temanteman lain di sekitar kami, sering

kali Tatik melontarkan kata-kata sindiran yang

tak enak didengar.

Aku tidak tahu persis kenapa sikap Tatik jadi

berubah seperti itu terhadapku. Tetapi mendengar sindiran-sindirannya, sedikit atau banyak aku

tahujuga kalau hal itu ada kaitannya dengan Mas

Tomi. Tampaknya dia tidak menyukai "hubunganku" dengan Mas Tomi. Entah kenapa. Tetapi,

mungkin saja hal itu disebabkan karena dia menaruh hati pada Mas Tomi. Laki-laki itu memang

tampan, menarik, dan hangat. Selain itu kariernya juga menjanjikan.

Sudah kukatakan, aku tidak suka mempunyai

musuh. Demi hal itu aku sering bersikap mengalah guna menjaga hubungan baik di antara diriku

dengan teman-teman. Tetapi meskipun demikian,

80

tidak berarti akujuga akan membiarkan kepalaku

diinjak orang. Terutama kalau aku harus membela suatu kebenaran dan kejujuran. Dan menurutku Tatik telah melewati garis kebenaran yang

seharusnya. Aku tidak berpacaran dengan Mas

Tomi. Bahkan sedikit pun aku tidak bermaksud

menjalin hubungan khusus dengan laki-Iaki itu.

Pikirku, satu-satunya orang yang bisa membantu meringankan beban pikiranku itu adalah

Mbak Asih. Perempuan itu delapan tahun lebih

tua daripada umurku, sudah menikah dan bahkan sudah menjadi seorang ibu. ia mempunyai

kepribadian yang matang. Dalam menghadapi persoalan apa pun, ia memiliki pandangan

yang luas dan obyektif. Sejak awal bekerja di

tempat ini, aku sudah akrab dengannya. Bagiku, dia bagaikan seorang kakak yang tak pernah

kumiliki. Kepadanya aku sering menceritakan

persoalanpersoalan pribadiku, termasuk hubunganku dengan Mas Arya. Jadi kepadanya jugalah

aku menceritakan tentang perubahan sikap Tatik

terhadapku.

"Aku ingin kau menolongku dengan memberi jawaban yang jujur pada pertanyaanku nanti, Mbak." Begitu aku mulai memasuki pembicaraan dengannya.

"Pertanyaan apa?"

"Pertanyaan tentang sikap Tatik kepadaku.

Apakah kau melihat perubahan sikapnya kepadaku, Mbak? Jawab secarajujur lho."

Mbak Asih tersenyum.

81

"Sebetulnya aku ingin mengatakan hal itu

kepadamu, Aster. Tetapi karena kukira kau tidak

merasakannya, maka pikirku buat apa aku mengatakannya kepadamu," sahutnya kemudian.

"Aku tidak ingin membebani pikiranmu."

"Jadi Mbak Asih merasakan perubahan sikapnya kepadaku itu?"

"Ya. Dan bukan hanya aku saja lho yang melihatnya. Linda dan Wiwikjuga melihat hal yang

sama."

"Oh, ya? Lalu apakah Mbak Asih juga bisa

melihat apa kira-kira penyebab perubahan sikapnya itu?"

Mbak Asih tertawa kecil. Matanya yang

menyipit, menatapku.

"Masa kau tidak tahu sih, Aster?" Bukannya

menjawab, Mbak Asih malah melontarkan pertanyaan kepadaku.


Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Joko Sableng 42 Rahasia Darah Kutukan Goosebumps Si Raja Cacing

Cari Blog Ini