Ceritasilat Novel Online

Deviasi 4

Deviasi Karya Mira W Bagian 4



"Kau tidak tahu? Rizal tidak cerita kepadamu?"

"Tahu," cetus Rivai setelah diam sejenak.

"Perempuan itu diperkosa dan dipukuli Rizal."

"Yang bersalah harus dihukum. Dia menggodamu, kan?"

"Dia selalu menggodaku di kantor. Rizal bilang,

dia yang akan membereskannya."

"Jangan biarkan lagi perempuan menggodamu."

"Kecuali Arneta. Dia milikku."

"Jangan pikirkan dia lagi!"

"Dia milikku. Milikku."

"Kalian sudah bercerai!"

"Dia tetap milikku. Sampai kapan pun. Aku akan

mengambilnya kembali!"

"Jangan dekati dia lagi, Rivai! Kau bisa kalah

digugat bekas sekretarismu kalau dia muncul!"

"Arneta menghilang. Orangtuanya tidak mau bilang di mana dia berada. Aku sedang berpikir untuk

mengirim Rizal kepada mereka."

"Buat apa?"

227

"Memaksa mereka mengatakan di mana Arneta."

"Jangan sekarang, Rivai ! "

"Rizal selalu tahu apa yang harus dilakukan. Dia

selalu bisa melakukan apa yang diinginkannya."

"Tapi jangan sekarang! Perkaramu belum beres!"

228

BAB XXII

TAUFAN menikahi Arneta secepat mungkin.

"Aku tidak ingin bayimu lahir tanpa ayah."

"Tapi bayi ini bukan tanggung jawabmu," bantah

Arneta lirih.

"Aku tidak ingin membebanimu ...."

"Aku tidak menganggapnya sebagai beban. Aku

ingin menjadi ayahnya. Ketika pertama kali aku melihatnya di layar monitor USG, sudah terbit keinginanku untuk menjadi ayah anakmu."

Mereka memutuskan untuk menikah tamasya.

Dan Arneta memilih India ketika Taufan menanyakan ke mana mereka hendak pergi.

"Bukan Sun City?" goda Taufan sambil membelai

pipi Arneta.

"Aku bisa minta kamar kita yang dulu."

"Tidak." Arneta memalingkan wajahnya.

"Aku tidak ingin melihat kamar itu lagi."

Taufan merangkulnya. Dan memegang dagu Arneta dengan lembut. Memalingkan wajahnya sehingga mata mereka saling tatap.

"Mengapa? Di situ pertama kali kita memadu cinta, bukan?"

"Itu bukan cinta." Arneta menurunkan pandangannya dengan getir.

"Aku terpaksa menyerahkan

diriku."

229

"Tapi di sanalah aku pertama kali mengenal dirimu."

"Aku tidak ingin ke sana lagi."

"Mudah?mudahan kamu sudah bisa memaafkan

perbuatanku."

"Aku bisa memaafkan, tapi tak mungkin melupakannya. Jika ada tempat yang tidak ingin kukunjungi

lagi..."

"Karena mengingatkanmu pada bekas suamimu?"

Sekilas bayangan Rivai melintas di depan mata Arneta.

Tidak sadar dia menggigil sedikit. Dipejamkannya matanya rapat?rapat. Seolah-olah tidak ingin melihatnya lagi.

Taufan seperti memahami perasaan Arneta.

Didekapnya wanita itu ke dadanya.

"Lupakan dia," bisiknya lembut.

"Jangan menoleh

ke masa lalu lagi. Dia cuma tinggal bayang-bayang."

***

Taj Mahal masih tegak dengan anggunnya di

ujung senja. Sama putihnya. Sama megahnya. Sama

cantiknya. Tiga ratus lima puluh tahun tegak dalam

keabadian. Bagai saksi bisu bagi pasangan yang sedang memadu janji di hadapannya.

Sudah empat jam Taufan dan Arneta duduk berjuntai berdua memandangi musoleum yang agung

itu. Kali ini mereka dapat saling rangkul dengan lebih bebas. Lebih mesra. Bahkan di depan tukang potret berkulit gelap berkemeja putih yang berkeliaran

menawarkan jasa.

"Semoga cinta kita seabadi cinta Shah Jehan kepada Mumtaz Mahal," bisik Taufan mesra.

"Tapi jangan buatkan aku kuburan seperti ini kalau

aku mati," balas Arneta lembut.

"Aku ingin dikubur

bersamamu di desa tempat kelahiranku di Gadog.

Dalam sebuah pemakaman kecil di kaki gunung."

"Maukah kamu tidak membicarakan kematian

pada hari perkawinan kita?"

"Siapa yang salah? Kamu mengajakku menikah

tamasya ke depan kuburan!"

Mereka tertawa geli. Saling rangkul dengan

mesra. Dan saling kecup tanpa memperhatikan seorang tukang potret yang mencuri adegan itu dengan

kameranya.

Ketika Taufan membawa Arneta memasuki lobi

hotelnya malam itu, si tukang potret sudah menunggu di sana. Dia menyapa Taufan dengan sopan. Dan

memperlihatkan fotonya.

"Kurang ajar," gerutu Taufan sambil tertawa.

"Dia

benar?benar pintar cari duit!"

Diperlihatkannya foto itu kepada Arneta. Sebuah

foto yang sangat bagus. Fokusnya. Pencahayaannya.

Sudut pengambilannya. Mereka sedang berciuman

dengan Taj Mahal sebagai latar belakang.

"Foto sebagus ini sayang bila tidak diambil, kan?"

bujuk tukang potret itu harap-harap cemas.

"Tidak

mahal. Hanya dua ratus rupee."

"Lima puluh," sahut Taufan santai.

"Atau kuadukan kau kepada polisi karena mencuri potret!"

231

Tentu saja Taufan hanya bergurau. Tetapi ketika

mereka selesai makan dan tiba di lobi kembali, orang

itu sudah menunggunya di sana.

"Kalau dia minta lima ratus pun akan kubeli

juga." Taufan tersenyum lebar di dalam lift.

"Ini kan

foto pengantin kita!"

"Boleh kulihat lagi?"

"Tentu. Kamu boleh melihatnya sepuas?puasnya.

Tapi tidak sekarang."

"Kenapa?"

Saat itu pintu lift terbuka. Taufan meraih Arneta

ke dalam pelukannya.

"Karena sekarang aku akan menggendongmu ke

kamar pengantin kita."

Arneta melingkarkan lengannya ke leher Taufan

ketika laki-laki itu mengangkat tubuhnya keluar dari

lift.

Taufan mengecup bibirnya. Dan menggendongnya ke kamar yang telah disediakan.

***

Hati-hati Taufan membaringkan Arneta di tempat

tidur. Arneta tertelentang dengan perutnya yang sudah membukit.

"Berat?" sapanya sambil tersenyum.

"Kapan lagi bisa menggendong istri dan anakku

sekaligus!"

Dengan lembut Taufan membelai perut istrinya.

"Dia tidak marah kalau kita bercinta sekarang?"

232

"Dokter Arif tidak melarang kita bercinta asal

hati- hati."

"Aku akan hati-hati sekali." Taufan membaringkan tubuhnya di samping Arneta.

"Ingatkan kalau

aku terlalu kasar."

"Kalau aku masih ingat" Arneta tersenyum mesra sambil membelai pipi suaminya.

"Tidak menyesal

mengawini seorang wanita yang sedang hamil delapan bulan?"

"Apa bedanya dengan mengawini seorang wanita

yang sedang hamil dua bulan?"

"Seharusnya kamu bisa mengawini seorang gadis

yang masih suci."

"Kalau gadis itu bukan kamu, apa gunanya?"

Mereka saling tatap dengan mesra. Taufan mencium pipi istrinya dengan lembut. Arneta mendorong

dagu suaminya. Dan memandang langsung ke dalam

matanya.

"Kamu benar?benar tidak menyesal?"

"Aku harus membuktikannya?"

"Buktikanlah," bisik Arneta manja.

Taufan melucuti pakaian istrinya dengan hati-hati.

Begitu hati?hatinya sampai Arneta merasa geli.

"Kamu tidak perlu begitu," desisnya sambil

tersenyum.

"Aku tidak akan melahirkan di sini!"

"Aku takut menyakitimu."

"Tentu saja tidak, Pandit!" Arneta membuka baju

suaminya dengan cepat.

"Aku wanita hamil, bukan

bayi baru lahir!"

233

***

Arneta bangun pagi itu dengan perasaan sangat

lega. Dia merasa amat segar sehingga hampir lupa

dia sedang hamil. Untuk pertama kalinya sejak mengetahui kehamilannya, dia dapat menghirup udara

dengan nyaman. Tanpa disertai perasaan takut.

Beban berat yang mengimpit dadanya seperti lenyap begitu saja bersama hembusan napasnya. Kehadiran seorang suami bagi ibu hamil ternyata banyak

sekali faedahnya. Lebih-lebih suami yang sangat

mencintai dan memanjakannya seperti Taufan.

Baru saja Arneta membuka matanya, Taufan sudah masuk ke kamar. Mendorong kereta makanan

berisi santapan pagi mereka.

Arneta menggeliat manja sambil tersenyum.

"Selamat pagi, Cantik." Taufan mencium pipi istrinya dengan mesra.

"Lapar?"

Dan Arneta merasa heran ketika untuk pertama

kalinya dia merasa lapar. Dia beringsut bangun. Dan

sebuah tendangan halus di perutnya membuatnya

menyeringai.

"Sakit!" tanya Taufan sambil membantunya

duduk.

"Putri Candra Kirana memberi salam selamat

pagi."

"Oh, dia harus memberi salam kepada ayahnya

juga!"

Taufan melekatkan kepalanya di perut Arneta.

Dan sebuah tendangan lembut membuatnya tertawa
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

234

bahagia. Bukan main. Rasanya dia seperti mendapat

salam dari Presiden Amerika!

"Selamat pagi, Manis," sapa Taufan sambil membelai perut Arneta.

"Papa sayang kepadamu!"

Arneta meremas rambut Taufan untuk menahan

gairah yang meluap di dadanya ketika Taufan mencium perutnya dengan mesra.

Seperti memahami keinginan istrinya, Taufan

mengecup bibir Arneta. Dan Arneta balas memagut

dengan penuh gairah.

"Jangan," pinta Taufan sambil mengulum bibir istrinya.

"Jangan terlalu sering...."

"Benarkah wanita hamil punya gairah seks yang

lebih besar?"

"Anggap saja karena kita masih pengantin baru,"

bisik Taufan lembut.

"Tapi demi Putri Candra Kirana,

kita sudahi sampai di sini dulu, ya?"

Dilepaskannya bibirnya dari pagutan bibir istrinya. Di susunnya bantal untuk mengganjal punggung

Arneta. Dibantunya istrinya bersandar.

"Tahukah kamu berapa lama kupandangi wajahmu ketika masih tidur tadi?" Taufan membelai pipi

istrinya dengan hangat.

"Hampir tidak percaya kamu

sudah menjadi milikku!"

Lalu dia berbalik untuk mengambil roti. Ketika

Taufan sedang duduk memunggungi istrinya sambil

mengolesi roti dengan butter, Arneta merangkulnya

dari belakang. Begitu mesranya sampai Taufan tidak

mampu menolak lagi.

235

BAB XXIII

SETIBANYA kembali di Jakarta, Taufan membawa

Arneta tinggal di rumahnya. Dia merenovasi rumah

itu. Dan mulai mencari pekerjaan.

Karena tidak mempunyai keahlian apa?apa kecuali sebagai dokter, tidak mudah baginya memperoleh pekerjaan yang cocok dengan minatnya. Oleh

karena itu ketika ayah Arneta menawarkan pekerjaan

sebagai karyawati di kantornya, dia langsung menerimanya. Meskipun sebenarnya dia tidak tahu apa?apa

tentang komputer.

Ayah Arneta memiliki perusahaan perakitan dan

jualbeli komputer yang sedang berkembang pesat.

Walaupun dia tahu menantunya tidak punya keahlian

dan pengalaman di bidang itu, dia siap membantu.

"Kelihatannya dia lelaki yang baik," kata ayah

Arneta kepada istrinya, yang masih lebih suka mempunyai menantu seorang dokter.

"Punya kemawan

keras dan otak encer. Jangan khawatir. Aku akan

mendidiknya."

"Mudah-mudahan Arneta bahagia menjadi istrinya," ibu Arneta menghela napas panjang.

"Sudah terlalu lama dia menderita di tangan Rivai."

"Menurut penglihatanku, Arneta sangat bahagia.

236

Kemarin Arneta menjemputnya ke kantor. Mereka

sangat mesra. Taufan amat memperhatikannya."

"Mudah-mudahan kita tidak terkecoh lagi seperti

dulu."

"Seperti Rivai maksudmu?"

"Siapa yang sangka, ya, Pak? Dulu kukira Rivai

suami teladan!"

"Kukira Taufan tidak begitu. Dia memang tidak

sekaya Rivai. Tetapi anak itu kelihatannya baik. Jujur. Dan yang penting, sangat mencintai Arneta."

"Dulu Rivai juga begitu. Siapa sangka cintanya

sakit!"

"Rasanya Taufan tidak seperti itu. Hari ini dia

minta izin untuk membawa Arneta ke dokter. Periksa

hamil."

"Kata Arneta dia juga ingin membeli perlengkapan untuk bayinya. Sebetulnya aku juga ingin membelikan ranjang bayi untuk cucuku, Pak."

"Biar saja mereka memilih sendiri. Ini kan anak

pertama. Biar saja mereka memilih yang sesuai dengan selera mereka. Aku sih mau kirim cek saja."

"Ah, Bapak selalu begitu! Maunya yang praktis

saja."

"Lho, uang kan lebih berguna! Belum tentu barang pilihan kita sesuai dengan selera mereka. Iya,

toh? Coba saja lihat anak sekarang. Kalau menikah,

mereka minta jangan dikirimi barang atau kembang,

kan?"

***

237

"Taufan, tolong aku!"

"Ada apa, Arneta?" Bergegas Taufan meninggalkan stereo set yang sedang dipasangnya di kamar.

Berlari?lari dia memburu istrinya di dapur.

"Kamu kenapa?"

"Kakiku kramp!"

"Aduh, manjanya!" Taufan menghela napas lega.

"Sampai kaget! Kukira jatuh! Mau dipijat lagi?"

Taufan membimbing istrinya yang sedang bersandar kesakitan di dapur ke ruang tengah. Tiah yang

lugu melongo di depan kompor.

Kasihan Ibu, pikirnya iba. Barangkali berat sekali

membawa perutnya yang gendut itu ke mana-mana!

Arneta membawa Tiah ke rumah barunya karena

dia menyukai pembantu yang masih muda belia itu.

"Memang agak bodoh. Penakut. Sering gugup.

Tapi saya menyukainya, Bu. Dia polos. Lugu. Tidak

banyak tingkah. Dan pasti," Arneta tersenyum,

"tidak

berbahaya bagi Taufan. Dia nggak genit kok. Boleh,

ya, Bu? Tiah buat saya saja, ya? Ibu cari pembantu

lagi."

Tentu saja ibunya mengizinkan. Anak tunggalnya

sedang hamil. Jangankan cuma pembantu. Seandainya Arneta minta dirinya yang ikut ke rumahnya pun,

dia pasti tidak menolak!

"Lagi ngapain sih di kamar melulu?" gerutu Arneta pura?pura kesal.

"Istri hamil ditinggal?tinggal!"

"Pasang stereo set. Aku percaya bayi kita senang

musik. Kayak bapaknya."

"Masih di dalam perut sudah disuruh dengar

musik?"

238

"Siapa bilang bayi di dalam perut tidak bisa menikmati Beethoven?"

"Asal jangan lagu disko saja. Kalau dia berajojing, bisa mules perutku!"

"Sini, duduk di sini." Taufan membantu istrinya

duduk di sofa.

"Injakkan kakimu ke tanah." Taufan berjongkok di samping kaki Arneta. Dan mulai

memijati betis istrinya.

"Mmm, enak sekali...." Arneta memejamkan

matanya sambil tersenyum.

"Masih sakit?"

"Sedikit." Arneta menyandarkan kepalanya dengan santai.

"Terus dong. Baru sebentar."

"Nanti kamu ketiduran lagi. Seperti kemarin."

"Fan," panggil Arneta lembut.

"Hm?"

"Kalau aku sudah tidak hamil lagi nanti, kamu

masih mau memijati kakiku seperti ini?"

Taufan tersenyum. Dipijatnya betis Arneta agak

keras. Arneta pura-pura memekik.

"Sori!" Taufan membelai-belai betis istrinya dengan mesra

"Sakit?"

"Jangan diusap-usap begitu dong! Geli!" Arneta

purapura menarik kakinya dengan manja.

"Pijat saja.

Seperti tadi."

"Angkat jari kakimu ke atas, Arneta. Seperti ini."

Taufan menekuk ibu jari kaki istrinya dengan hati-hati.

"Ayo, terus. Latih otot-ototmu, Pemalas!"

"Pijati dulu betisku. Seperti tadi!"

"Oke. Tapi lima menit lagi kita harus mulai berlatih. Sudah lama kita tidak ikut kelas senam."

239

"Malas."

"Harus. Supaya bentuk tubuhmu tetap bagus

setelah melahirkan nanti...."

"Bentuk tubuhku bagus menurut pendapatmu?"

"Sekarang tidak lagi."

"Tapi kamu masih tetap menyukaiku, kan? Seperti apa pun bentuk tubuhku sekarang?"

"Makanya harus giat berlatih. Supaya otot perutmu tidak kendor setelah melahirkan nanti! Dan tubuhmu kembali seksi...."

"Kamu masih tetap menyukaiku jika perutku kendor?"

"Tentu saja tidak!" Sekali lagi Taufan memijat

betis istrinya agak keras.

"Karena itu kita harus berlatih!"

Arneta memekik lagi. Tetapi kali ini tidak terlalu

panjang. Karena Taufan keburu mencium bibirnya.

"Mmm...." Arneta membelai pipi suaminya dengan kedua belah tangannya.

"Boleh minta tambah?"

"Tidak, Cantik!" Taufan meraih istrinya bangun.

"Sekarang kita harus berlatih dulu!"

***

Taufan menghamparkan sehelai permadani kecil di lantai. Dan menyuruh Arneta duduk bersila di

atasnya. Kedua telapak kakinya dipertemukan di depan tubuhnya. Dia sendiri duduk di belakang Arneta.

Siap menyangga punggung istrinya.

240

"Ayo kita mulai melatih pernapasanmu," katanya

sambil memegang lengan istrinya dan membelainya

dari bahu ke bawah.

"Taruh tanganmu di perut. Tarik

napas dalam dan berirama."

"Buat apa aku mengikuti kelas senam kalau suamiku sendiri bisa menjadi pelatih?" gerutu Arneta

manja.

"Supaya kamu bisa melihat, kamu ibu hamil yang

paling cantik!"

"Benar?" Arneta menyandarkan kepalanya di

dada suaminya.

"Kamu tidak melirik ibu muda yang

senam di sebelahku? Katanya dia bintang sinetron!"

"Oh, aku cuma melirik suaminya!"

"Jadi kamu AC DC?"

"Aku melirik perutnya! Kalau mereka masuk VK

sama-sama, siapa yang dikira bidan bakal melahirkan

lebih dulu?"

Arneta tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar

air mata.

"Jahat kamu, Fan!" Dipukulnya tangan suaminya

dengan gemas.

"Sampai mules perutku!"
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, itu bukan alasan untuk berhenti berlatih!"

"Boleh minta time out?"

"Tidak!"

"Tapi aku kepingin pipis!"

241

BAB XXIV

"SEMUANYA baik." Dokter Arif menepuk bahu

sahabatnya sambil tersenyum lebar.

"Taksiran partus?nya kira?kira seminggu lagi."

"Terima kasih, Rif. Mudah-mudahan minggu depan kau tidak ke luar negeri."

"Aku punya hadiah untukmu."

"Hadiah? Untuk apa?"

"Untuk calon bapak."

"Tapi anakku belum lahir! Masa sudah diberi hadiah?"

"Bukan untuk anakmu. Buat kau, Her!"

Dokter Arif menyerahkan sebuah tas dokter. Dan

meletakkannya di atas meja tulisnya.

"Kalau mau kau tolong sendiri partus?nya

"Jangan bercanda! Aku sudah pesan tempat buat

Arneta. Kau yang harus menolongnya."

"Kalau tidak keburu ke sana, sudah kusiapkan

alatalatnya untukmu."

"Sekarang pasienku komputer. Bukan orang!"

kata Taufan sambil menyorongkan kursi buat Arneta

yang baru keluar dari balik tirai.

"Jangan khawatir, Arneta. Semua baik-baik saja,"

kata Dokter Arif sambil duduk di depan pasiennya.

242

"Kudengar kalian sudah lama tidak ikut kelas senam.

Malas, ya?"

"Kami senam sendiri di rumah." Arneta tersenyum

sambil melirik Taufan.

"Tapi instrukturnya lebih galak."

Taufan meremas bahu istrinya dengan lembut. Ditatapnya wanita itu dengan penuh kasih sayang.

Dari balik meja tulisnya, Dokter Arif menyadari

betapa besar cinta Taufan kepada istrinya.

"Pulang dulu, Rif," ujar Taufan sambil membimbing istrinya bangun.

"Mau cari ranjang bayi."

"TP seminggu lagi ranjang bayi saja belum ada!"

seru Dokter Arif pura-pura kaget.

"Khas Heri!"

"Ah, sebenarnya sih sudah ada." Arneta memukul

punggung suaminya dengan hangat.

"Cuma Taufan

yang tidak pernah puas!"

"Aku ingin yang terbaik untukmu dan untuk bayi

kita," sahut Taufan sambil tersenyum lunak.

"Boleh,

kan?"

***

Taufan amat menyukai pengalaman yang satu itu.

Mendampingi Arneta mencari barang-barang perlengkapan bayi, memberi sensasi lain yang belum

pernah dirasakannya.

Apalagi setiap memilih barang, Arneta selalu

menanyakan pendapatnya, seolah?olah dialah pakarnya. Padahal tahu apa dia tentang bayi? Dia anak

tunggal. Tidak pernah melihat bayi di rumahnya.

243

Tetapi karena Arneta selalu menanyakan pendapatnya Taufan bersikap seolah-olah dialah yang paling

tahu. Akibatnya mereka sudah dua kali menukar tempat tidur.

Pertama, ranjang itu terlalu kecil untuk bayi mereka. Tentu saja itu kata Taufan. Menurut Arneta, ranjang itu cukup besar buat bayi mereka main bola.

Kedua, kasur ranjang itu terlalu rendah. Dan tidak

dapat dinaik-turunkan. Taufan khawatir pinggang istrinya pegal kalau dia harus membungkuk-bungkuk

setiap hari.

Hari ini pun setelah dua jam berputar-putar mencari ranjang bayi, mereka baru menemukan yang cocok. Ketika semuanya sudah sesuai, mereka terbentur pada warna. Taufan memilih kuning. Arneta lebih

menyukai merah.

Karena ingin menyenangkan suaminya, Arneta

mengalah. Dia segera minta ranjang yang kuning.

Sebaliknya Taufan memilih yang merah. Akhirnya

mereka tertawa sendiri. Dan membuat si penjual jadi

tujuh keliling.

"Bagaimana kalau catnya separo merah, separo

kuning?" gurau Taufan.

"Sudahlah, Fan. Biar yang kuning saja. Aku juga

senang kuning kok. Kalau anak kita yang kedua nanti

laki-laki, tidak usah beli ranjang baru. Kuning kan

netral."

"Kapan bisa dikirim, Pak?"

"Besok siang," sahut penjual ranjang itu sambil

7.44

menghela napas lega. Pembeli yang paling memusingkan kepala ini akhirnya mencapai kata sepakat

juga.

"Capek?" tanya Taufan ketika mereka keluar dari

toko itu. Dilihatnya peluh bercucuran di wajah istrinya.

Arneta tersenyum letih.

"Sedikit."

"Duduk dulu di sini. Kubelikan minuman."

Taufan membimbing istrinya mencari bangku.

Dan membantunya duduk. Lalu dia bergegas membeli minuman.

"Hai, Cantik," sapanya hangat ketika kembali

membawa minuman.

"Haus?"

"Jangan panggil seperti itu lagi."Arneta tersenyum

pahit.

"Aku sudah tidak cantik lagi."

"Siapa bilang?"

"Sudah gembrot begini masih cantik? Mukaku

pasti sudah melembung seperti balon!"

"Bagiku kamu masih tetap cantik." Taufan membelai pipi istrinya dengan lembut. Disodorkannya

gelasnya ke bibir Arneta.

"Minumlah. Kamu pasti

haus."

Arneta meneguk minuman itu. Dan mengembalikan gelasnya ke tangan suaminya.

"Sekarang aku gampang lelah," keluh Arneta

sambil menghela napas panjang.

"Tenagaku cepat

sekali terkuras habis."

"Tentu. Ke mana-mana kamu menggendong seorang putri raja."

"Kamu nggak bosan?"

"Pertanyaan apa itu!"

245

"Sebentar?sebentar mesti menemaniku duduk dan

membeli minuman."

"Tidak ada artinya dibandingkan apa yang kamu

lakukan untukku."

"Apa yang kulakukan kepadamu?" Arneta memandang suaminya dengan manja.

"Menggendong anakku."

Ada pukulan lembut di perut Arneta. Entah si kecil benar-benar menendang, atau cuma perasaannya

saja. Tetapi Taufan membaca perubahan wajah Arneta.

"Ada apa? Dia benar anakku, kan?"

"Masih perlu tanya?" Arneta merasa perutnya

tiba?tiba mules sedikit.

"Kamu ingin melakukan tes

darah dan genetika kalau dia lahir nanti?"

"Tidak perlu. Siapa pun ayahnya, dia tetap anakku."

Arneta menatap suaminya dengan terharu.

"Tahukah kamu, Fan?"

"Apa?"

"Kamu sangat baik padaku."

"Kamu sebut itu baik?"

"Aku harus menyebutnya apa?"

"Cinta."

Senyum Arneta mengembang. Parasnya memerah

segar. Matanya bercahaya.

"Kamu cinta padaku?"

"Perlu bukti, Cantik?"

"Buktikanlah."

"Di sini?"

"Jangan." Arneta tertawa geli.

246

"Nanti diusir satpam."

"Tidak, kalau kutunjukkan surat nikah kita."

"Kamu membawa-bawa surat nikah?"

"Ini yang di perutmu." Taufan menepuk perut istrinya dengan lembut.

Arneta menggeliat geli. Si kecil ikut?ikutan menendang lagi.

***

"Paula?" Suara Rivai di telepon terdengar dingin.

"Rivai Maringka. Sudah dengar hasil gugatanmu?"

"Sudah," sahut Paula tawar.

"Pak Rivai menang.

Tuntutan saya gagal."

"Sudah dengar apa yang akan saya lakukan?"

"Menuntut balik saya?"

"Saya sudah menyuruh pengacara saya, Otto Danusuripto SH, untuk menyusun gugatan balik terhadapmu. Ganti rugi lima ratus juta. Ditambah tuntutan

pidana jika ada peluang sekecil apa pun."

"Saya tahu." Paula menggigit bibirnya menahan

tangis.

"Saya masih membuka kesempatan kalau kau

mau berdamai."

"Menulis permintaan maaf di koran? Terima

kasih, Pak. Sudah cukup sekali saja Bapak menghina

saya."

"Jika pikiranmu berubah nanti, temui saya malam

ini."

Rivai menyebutkan nama sebuah hotel di kawasan

247

perbelanjaan yang terkenal.

"Datanglah seorang diri.

Akan kita rundingkan semuanya"

"Masih ada yang perlu dirundingkan?" geram

Paula jijik. Dia tahu apa keinginan Rivai jika dia diminta datang seorang diri ke hotel.

"Kalau ingin berdamai, kita harus berunding,

kan? Sudah terlalu banyak yang kaurusak. Banyak

pula yang harus diperbaiki."

"Jadi Bapak menganggap sayalah yang telah merusak?"

"Nama baikku," sahut Rivai angkuh.

"Reputasiku."

"Saya bukan yang pertama, kan, Pak? Cuma sayalah yang pertama berani menggugat Bapak!"

"Pukul Sembilan malam," potong Rivai pendek.

"Kalau kau tidak datang, saya akan minta pengacara

saya untuk bertindak."
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rivai meletakkan teleponnya dengan tenang. Beberapa meter dari sana, Rana mengawasinya dengan

dingin.

"Masih mau menemui dia lagi?"

"Saya akan mengirim Rizal," sahut Rivai santai.

"Dia tahu apa yang harus dilakukan."

Sore itu juga, Rivai telah bersiap?siap. Dia menelepon hotel langganannya. Memesan kamar. Dan

pergi ke pusat perbelanjaan di dekat hotel itu.

Dia membeli sebuah gaun mini berwarna merah.

Merah darah. Bahannya tipis. Bagian atasnya terbuka. Talinya model Spageti. Di tubuh Paula Usman,

gaun ini pasti pas. Ketat. Seksi.

248

Rivai menyeringai puas. Yang bersalah harus dihukum. Dan Paula akan menerima hukuman yang

setimpal. Rizal sudah menyanggupi akan membereskan semuanya. Dan Rizal selalu tahu apa yang harus

dilakukan.

Karena masih sore, Rivai belum mau pergi ke hotel sekarang. Dia merasa lapar. Dan hendak mengisi

perutnya lebih dulu. Ah, dia memang selalu merasa

lapar kalau puas.

Rivai memutar tubuhnya menuju ke sebuah kedai

fast food. Dan matanya terpaku melihat sesuatu.

249

BAB XXV

"FAN, ranjang bayi kita datang!" seru Arneta dari ruang makan.

Taufan yang sedang memasang kertas dinding

baru di kamar bayinya langsung keluar.

"Lho, kok diantar hari ini juga," gerutunya heran.

"Janjinya besok siang, kan?"

"Wall paper?nya belum selesai ditempel semua,

ya?"

"Tinggal sedikit"

"Siapa suruh diganti-ganti terus."

"Supaya warnanya sesuai dengan ranjangnya.

Biar nanti malam saja kuteruskan."

"Nanti malam kamu punya tugas lain!" Arneta

menepuk punggung suaminya dengan manja.

"Memijati kakimu?" Taufan berbalik dan

mengecup pipi istrinya.

"Memang-mentang hamil,

manjanya dobel!"

"Nggak apa-apa, kan, manja sama suami sendiri?" Arneta menggelitiki pinggang suaminya sambil

tertawa.

"Masuklah sana!" Taufan mendorong tubuh istrinya dengan lembut.

"Sebelum aku lupa kamu sedang hamil!"

250

Tetapi Arneta belum puas menggoda suaminya.

"Apa yang akan kamu lakukan kalau sampai

lupa?"

Taufan tertawa hangat.

"Tunggulah di kamar. Aku akan mengusir mereka

dulu!"

"Mengusir orang yang membawa ranjang bayi

kita?"

Arneta pura-pura membelalak kesal.

"Tahukah

kamu sudah berapa lama kita memilihnya?"

"Akan kusuruh mereka datang besok saja!"

"Tapi orangnya sudah masuk, Pak," cetus Tiah

yang tahu-tahu sudah muncul di sana.

"Lagi nunggu

di ruang tamu!"

"Kenapa dikasih masuk?"

"Maksa, Pak. Katanya bawa ranjang bayi yang

Bapak pesan."

Taufan memandang Arneta sambil mengangkat

bahu.

"Apa boleh buat, Cantik," katanya sambil

tersenyum.

"Kamu harus menunggu sampai nanti

malam. Sanggup?"

"Lebih baik aku mandi dulu."

"Supaya wangi kalau dekat-dekat mereka? Jangan

membuat suamimu cemburu!"

"Supaya anyep!"

"Anyep? Bahasa apa itu?"

"Pokoknya anyep!" Arneta memutar tubuhnya

sedemikian rupa untuk menggoda suaminya. Dan

melenggak lenggok meninggalkan Taufan yang masih menatapnya antara gemas dan geli.

251

Tiah ikut?ikutan mengawasi majikannya dengan

mulut separo ternganga.

Mengapa Ibu jadi genit begini, pikirnya heran.

Apa begitu tingkah pengantin baru?

"Oke, mari kita lihat mereka salah alamat atau tidak," kata Taufan sambil mendahului Tiah berjalan

ke depan.

Tiah mengikuti di belakangnya sampai ke ruang

tamu.

"Selamat sore," sapa Taufan kepada pembawa barang yang sedang menunduk mengeluarkan sesuatu

dari tasnya itu. Topinya yang terbenam dalam menutupi sebagian wajahnya.

"Mengapa diantar sekarang?

Janjinya kan besok...."

Dan Taufan terkesiap.

***

"Siapa yang menelepon, Paula?" tanya ayahnya

dengan suara lemah.

Beberapa hari ini kondisi Dokter Tiarno memang

sangat menurun. Dokter sudah menyuruhnya masuk

rumah sakit. Tetapi dia ingin menunggu sampai kasus

Paula selesai.

"Bukan siapa-siapa," sahut Paula sambil berusaha

menutupi perasaannya.

"Cuma teman. Ngajak pergi

nanti malam."

"Lebih baik kau jangan ke mana-mana dulu."

"Paula harus membereskan urusan penting nanti

malam, Ayah."

252

"Tidak bisa ditunda sampai esok pagi?"

"Rasanya tidak bisa, Ayah."

"Malam ini, Ayah ingin sekali makan malam bersamamu."

Sesaat Paula terdiam. Seumur hidup, ayahnya

adalah seorang dokter yang sibuk. Dia hampir tak

pernah makan malam bersama keluarga.

Dua tahun terakhir ini, sejak didiagnosa mengidap

kanker prostat, dia sibuk mencari pengobatan. Dia

baru menyerah setelah dokter mengatakan tak ada

harapan lagi. Kankernya telah bermetastasis ke paru-paru.

Hari-harinya sudah dapat dihitung dengan jari.

Keadaan umumnya kian hari kian memburuk. Hampir dua hari sekali paru-parunya harus dipunksi.

Disedot untuk mengeluarkan cairan yang terkumpul

di sana.

Tetapi selama ini, ayahnya belum pernah mengajaknya makan malam bersama. Apakah... saatnya

hampir tiba?

Kalau benar demikian, mengapa harus malam ini?

Malam ini Paula harus menemui Rivai Maringka.

Terus terang Paula sudah putus asa. Dia tahu apa

yang diinginkan Rivai. Dan dia tidak sudi dihina untuk kedua kalinya.

Tetapi membiarkan lelaki itu balas menggugatnya, pasti amat memukul perasaan Ayah. Jumlah uang

yang digugatnya sangat besar. Dan hari-hari yang

akan datang, pasti merupakan hari?hari yang sangat

berat. Apalagi bagi seseorang yang sudah di ambang

maut.

253

Paula sudah memutuskan untuk datang menemui

Rivai. Dia akan membawa sebuah tape recorder kecil untuk merekam kata-kata Rivai. Mudah-mudahan dia mampu memancing bajingan itu agar masuk

perangkap.

Paula juga sudah berpikir untuk membawa sebilah pisau. Jika dia gagal, lebih baik dia mati bersama

monster itu. Paling-tidak, dia mampu membalas sakit

hatinya.

Satu-satunya yang dipikirkannya cuma ayahnya. Sejak Ibu pergi bersama lelaki lain, dialah orang

yang paling dekat dengan ayahnya. Dan sejak sakit,

Ayah tampak begitu membutuhkannya. Siapa yang

akan mengurus Ayah jika dia mati?

"Ada apa, Paula?" desak ayahnya heran.

"Mukamu muram sekali."

"Tidak apa-apa. Ayah mau makan apa?"

"Apa saja," sahut Ayah lemah.

Beberapa hari ini nafsu makan Ayah sudah tidak

ada, sama sekali. Sekarang dia yang mengajak makan

bersama.

Tentu Paula harus menyiapkan hidangan istimewa.

"Paula tidak keburu masak. Beli saja, ya?"

"Ayah bisa menunggu."

"Tapi teman saya tidak, Ayah. Kami ada janji jam

sembilan."

"Kalau begitu terserah Paula saja."

"Saya akan pergi sebentar untuk membeli

makanan. Ayah tunggu sebentar, ya?"

254

"Ayah menunggu di kamar saja," kata Dokter

Tiarno lemah.

"Rasanya letih-sekali."

"Mari Paula antarkan."

Paula membantu ayahnya bangkit dari kursi.

Tertatihtatih mereka melangkah ke kamar. Napas

ayahnya memburu ketika mereka duduk di tempat

tidur.

"Rasanya esok Ayah harus masuk rumah sakit,"

keluh Paula sedih.

"Kondisi Ayah sudah lemah sekali."

Dokter Tiarno mengangkat tangannya menyatakan tidak. Napasnya tersengal-sengal sampai dia

tidak mampu bicara.

Paula menyusun bantal supaya ayahnya bisa bersandar. Berbaring memang sudah tidak mungkin lagi

tanpa menimbulkan sesak napas.

Dokter Tiarno memejamkan matanya dengan letih. Paula menatap ayahnya sesaat.

Seandainya tidak ada peristiwa naas dengan Rivai Maringka, barangkali Ayah dapat menjalani harihari terakhirnya dengan lebih tenang, pikir Paula iba.

Sejak Ayah tahu apa yang terjadi dengan dirinya,

keadaan umumnya merosot drastis.

Dia sudah mencoba segala jalan. Meminta tolong

teman temannya. Bekas pasiennya. Bahkan berusaha

menemui dan membujuk mantan istri Rivai. Tetapi

semuanya gagal.

Arneta Basuki sangat egois. Dia hanya memikirkan diri sendiri. Sama sekali tidak mau membantu.
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia malah menghilang justru pada saat pertolongannya sangat dibutuhkan!

255

***

Arneta masih tersenyum-senyum seorang diri ketika membuka bajunya di kamar mandi. Geli rasanya

melihat wajah Taufan tadi.

Arneta tahu dia telah membangkitkan gairah suaminya. Tetapi Taufan tidak mampu berbuat apa-apa.

Dan Arneta amat menikmatinya.

Dia sendiri merasa heran mengapa gairahnya

akhirakhir ini demikian menggelegak. Apakah benar

pengaruh kehamilannya?

"Hormonmu lagi kacau!" goda Taufan setiap kali

melayani keinginan istrinya.

"Akibatnya libidomu

melonjak!"

Atau... karena kini dia bebas mencintai suaminya?

Menghendaki kapan saja dia membutuhkan belaian

kasih sayang Taufan?

Dengan Rivai, semuanya berbeda. Arneta hanya

obyek. Tidak pernah diajak berbagi kasih. Bercinta

dengan Rivai hanya berarti penderitaan....

Rivai selalu mengambil apa yang dianggapnya

miliknya. Dengan caranya sendiri. Arneta tidak pernah merasa indahnya merenda kasih. Tidak pernah

merasa indahnya memiliki dan menyerahkan diri.

Ah, mengapa harus teringat kepada Rivai dalam saatsaat seperti ini?

Lupakan masa lalumu, kata Taufan dulu. Rivai

tinggal bayang-bayang.

Tapi... mungkinkah dia melupakan Rivai? Dia

mengandung anak laki-laki itu! Bagaimana kalau

256

anaknya lahir dengan wajah yang mirip Rivai? Kelakuan yang... mirip ayahnya?

Ah, mungkinkah anak ini anak Rivai? Bukan

anak... Taufan?

Aku tidak peduli siapa ayahnya, kata Taufan mantap. Dia tetap anakku.

Kadang-kadang Arneta merasa amat terharu. Dia

merasa sangat beruntung menemukan seorang laki-laki seperti Taufan. Dia tidak segagah Toni. Tidak

sekaya dan seganteng Rivai. Tetapi cintanya sangat

tulus. Dan dia sangat kebapakan. Bahkan terhadap anak yang belum pernah dilihatnya. Yang tidak

diketahui siapa ayahnya.

Belaian tangannya di perut Arneta begitu lembutnya sampai Arneta selalu merindukannya. Tatapan matanya demikian penuh cinta sampai Arneta

tak pernah bosan memandangnya. Dan kebersamaan

yang mereka nikmati selama memadu cinta mengajarkan kepada Arneta arti memiliki dan dimiliki oleh

orang yang dicintainya.

Dengan Taufan, Arneta baru menyadari betapa

seks yang indah dan sehat dibutuhkan oleh pasangan

suamiistri untuk melanggengkan perkawinan mereka. Dan tibatiba saja, Arneta merasa iba kepada Rivai. Bukankah dia tak pernah merasakan arti cinta

yang sesungguhnya?

***

257

"Tiah, lari ke kamar!" teriak Taufan meskipun

dia sudah terkapar dengan kepala berlumuran darah.

"Suruh Ibu mengunci pintu kamar!"

Saat itu Arneta sedang mandi. Kamar mandi mereka terletak di kamar tidur utama. Jika Arneta keburu

mengunci pintu kamar....

Sambil memekik ketakutan Tiah berbalik untuk

menghambur ke kamar majikannya. Tetapi Rivai

lebih cepat lagi menangkapnya. Dan menghajarnya

dengan sebuah pukulan keras sampai Tiah tersungkur

tak sadarkan diri.

"Bajingan kau!" geram Taufan sengit.

"Dia masih

anakanak!"

Dengan susah payah dia mencoba merangkak bangun. Tetapi sebuah tendangan keras membuatnya

terjungkal. Dia jatuh tertelentang. Dan Rivai tidak

memberinya kesempatan lagi. Bertubi-tubi tendangannya melanda tubuh dan kepala Taufan.

Ketika dia sudah terkapar tak berdaya, Rivai

menyeretnya bangun. Dan mengikatnya di kursi.

"Kau tidak berhak memiliki Arneta," geramnya

sengit.

"Dia milik Rivai! Milik Rivai!"

Dihajarnya wajah Taufan berulang-ulang dengan

tinjunya. Darah yang mengalir di muka lelaki itu

malah membangkitkan naluri primitif Rivai. Membuatnya semakin sadis menghajar lawannya yang sudah tidak berdaya.

"Jangan ganggu Arneta," desah Taufan susah

258

payah. Dia sudah melupakan sakitnya. Yang diingatnya cuma Arneta. Apa yang akan dilakukan bajingan

gila ini?

Dan aku tidak bisa menolongnya, geram Taufan

putus asa. Aku sungguh tidak berguna! Aku tidak

bisa melindungi Arneta!

"Kalau Rivai tidak bisa memiliki Arneta, kau juga

tidak!"

"Jangan sakiti Arneta! Dia sedang hamil tua!"

"Menjadi istrimu suatu kesalahan besar. Mengandung anakmu, dosa! Yang bersalah harus dihukum!"

"Hukumlah aku. Pukul. Siksa. Bunuh semaumu!

Tapi jangan sakiti Arneta. Dia tidak bersalah!"

"Aku akan menghajarmu di depan Arneta! Dia

harus dihukum berat karena mengkhianati Rivai

Maringka!"

"Kau sudah menceraikannya! Dia bukan istrimu

lagi...."

"Dia tetap milik Rivai! Kau tidak berhak memiliki

Arneta!"

Dengan ganas Rivai memukuli Taufan. Dia baru

berhenti ketika terdengar keluhan Tiah. Ketika dilihatnya pembantu itu mulai siuman, diseretnya ke kamar makan. Dipukuli dan diperkosanya dengan buas.

Taufan sudah hampir pingsan. Kepalanya terasa

berat. Pandangannya berkunang-kunang. Dia hampir

tidak dapat membuka matanya. Tertutup oleh darah

yang melumuri wajahnya.

Sekujur paras dan tubuhnya nyeri berdenyut-denyut. Tetapi dia masih dapat mendengar jeritan kesakitan Tiah. Masih dapat mendengar pekikannya

meminta tolong.

"Bajingan kau, Rivai!" geram Taufan sengit.

Dia mencoba meronta sekuat tenaga. Tetapi ikatannya sangat kuat. Dan tubuhnya sudah amat lemah.

Dia hanya dapat menyumpahi Rivai. Tanpa dapat

melakukan sesuatu untuk menolong pembantu yang

malang itu.

"Ibu! Bapak! Tolong!" pekik Tiah lemah sebelum

dia jatuh pingsan. Suaranya demikian lirih di telinga Taufan. Demikian menyayat hati. Suara yang tak

akan dapat dilupakannya seumur hidup. Suara seorang gadis kecil yang tak berdaya dalam cengkeraman seekor hewan buas berwujud manusia.

***

Arneta mematikan keran air yang mengucur deras

di kamar mandi. Mengambil handuk. Dan mengeringkan tubuhnya.

Sengaja dia memilih gaun hamilnya yang paling

bagus. Memakai minyak wangi kesukaan Taufan.

Dan berdandan rapi meskipun terus terang sejak

hamil dia menjadi malas berhias.

CD di kamarnya sedang mengalunkan Unehained

Melody. Arneta bersenandung perlahan sambil mengolesi bibirnya dengan lipstik. Sengaja dipilihnya

warna yang merangsang. Dia ingin menggoda suaminya.

260

Taufan pasti payah menahan gairahnya untuk

menggauli istrinya. Arneta tersenyum sendiri ketika

membayangkan sikap Taufan nanti.

Dia pasti gelisah. Harus menunggui tukang yang

memasang ranjang. Sementara matanya sebentar?sebentar menjilati tubuh istrinya.

Arneta akan berdiri diam di sana. Tidak terlalu

jauh. Supaya Taufan masih dapat menghirup aroma

parfumnya. Tetapi tidak terlalu dekat agar tangannya

tak mampu meraih.

Arneta akan memberinya senyum yang paling

manis. Lirikan yang paling menggoda. Supaya Taufan makin resah....

Arneta akan menyiapkan makan malam yang paling nikmat untuknya. Biasanya Taufan akan lapar

sekali sesudahnya.... Ah, masih sempatkah dia menyiapkan makanan? Masih sempatkah menelepon Ibu

menanyakan resep nasi goreng favoritnya?

Sekali lagi Arneta menyemprotkan parfumnya.

Mematikan CD. Membuka pintu kamar... dan memekik sekuatkuatnya seperti melihat hantu.

261

BAB XXVI

"MENGAPA Arneta belum menelepon, ya, Pak?"

keluh ibu Arneta.

"Dia janji mau telepon sore ini."

"Namanya juga pengantin baru. Kan banyak lupanya," sahut suaminya santai.

"Tapi kali ini nggak mungkin Neta lupa. Dia mau

tanya resep nasi goreng ikan asin favoritku. Katanya

dia mau masak buat suaminya malam ini."

"Hm." Ayah Arneta tersenyum tipis.

"Tumben dia

mau masak. Biasanya kan Neta malas sekali masak.

Apalagi sedang hamil."

"ini kali kan lain, Pak! Nggak lihat mukanya? Belum pernah aku melihat wajah Neta sumringah begitu!"

"Kali ini kelihatannya dia bahagia sekali di samping Taufan, ya, Bu?"

"Mudah?mudahanlah, Pak. Tapi dulu pun aku tidak tahu dia tidak bahagia."

"Itu karena Ibu tidak mau dengar keluhan-keluhannya! Sudah terpengaruh sekali oleh kebaikan-kebaikan Rivai!"

"Sudah beberapa hari ini dia tidak menelepon."

"Pasti sudah bosan."

"Atau sedang sibuk menyusun gugatan terhadap

Paula Usman. Ah, kasihan gadis itu."

262

"Begitulah hidup. Kadang-kadang keadilan seperti bersembunyi entah di mana."

"Pokoknya aku sudah bersyukur kalau Rivai tidak

mengejar?ngejar Arneta lagi. Orang sakit seperti itu

kan berbahaya sekali, ya, Pak?"

***

Refleks Arneta masuk kembali ke kamar. Dan menutup pintu. Tapi terlambat. Rivai sudah mendahului

mengganjal pintu itu dengan kakinya.

"Mau lari ke mana, Arneta?" Rivai mencengkeram lengan Arneta dan mengempaskan pintu sampai terbuka lebar.

"Kau tidak bisa lari dari Rivai!"

"Lepaskan aku, Rivai!" jerit Arneta antara takut

dan sakit.

"Aku bukan istrimu lagi!"

"Sampai kapan pun kau tetap milik Rivai!"

"Aku sudah istri orang lain! Kau tidak berhak ..."

Dan tiba?tiba saja Arneta teringat Taufan. Ya Tuhan!

Apa yang telah dilakukan Rivai pada suaminya?

"Di

mana Taufan?"

"Aku di sini, Arneta!" seru Taufan dengan susah

payah. Digoyang?goyangkannya kepalanya untuk

mengusir kepusingan yang menyerang. Digigitnya

bibirnya sampai luka supaya rasa sakit menjaga kesadarannya.

"Aku tidak apaapa!"

"Aku akan menyiksanya di depanmu," geram Rivai sambil mendorong Arneta ke tempat tidur.
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan

kubakar kalian berdua hidup?hidup!"

263

"Jangan siksa suamiku, Rivai," pinta Arneta sambil menangis.

"Kau juga akan kuhukum karena mengkhianati

Rivai!"

"Jangan ganggu dia, Rivai!" geram Taufan panik.

Dengan susah payah dia berusaha melepaskan diri.

Tetapi ikatannya sangat kuat.

"Aku akan menghukummu!" Dengan buas Rivai

mencabik pakaian Arneta.

"Yang bersalah harus dihukum!"

Arneta memekik histeris. Dan pekikan itu malah

semakin merangsang Rivai. Membangkitkan naluri

paling primitif dalam dirinya.

"Kau milik Rivai! Milik Rivai!" geraman itu

berulangulang menggedor telinga Taufan. Dan sepotong dugaan melintas di otaknya yang hampir beku.

Mungkinkah bukan Rivai yang datang? Mungkinkah

ini pribadinya yang kedua?

"Berhentilah menyiksanya!" teriak Taufan

sekuat-kuatnya dari luar kamar.

"Arneta sedang hamil! Dia mengandung anak Rivai!"

Mendadak tubuh Rivai mengejang. Dia menatap

Arneta sedemikian rupa seolah?olah baru pertama

kali melihatnya.

"Jangan sakiti dia!" sambung Taufan bersemangat begitu kesunyian tiba?tiba meliputi kamar mereka.

"Rivai akan membunuhmu jika kau menyakiti

anaknya ! "

Rivai menatap perut Arneta dengan nanar. Sorot

matanya begitu mengerikan sampai Arneta tidak berani memandangnya.

264

"Kau mengandung anak Rivai, Arneta?" gumamnya tidak percaya.

Arneta cuma mengangguk. Air matanya berlinang.

"Rivai... punya anak?"

"Panggillah Rivai kemari!" seru Taufan dari luar.

"Dia harus melihat anaknya!"

"Kau hamil, Arneta?" Rivai mencoba merapikan

kembali pakaian Arneta. Dia duduk dengan hati-hati di sisi pembaringan, seolah-olah takut menyakiti

Arneta.

"Kau mengandung anak Rivai dan berani

meninggalkannya?"

"Panggil Rivai kemari." Arneta berusaha menekan rasa takutnya dan mengikuti siasat Taufan.

"Aku harus bicara dengan dia."

"Tapi Rivai mengirimku kemari untuk menghukummu."

"Siapa kau?" tanya Arneta ketakutan. Jadi mantan

suaminya ini benar?benar gila!

"Rizal. Aku datang untuk menghukum yang bersalah."

Arneta tidak dapat lagi menahan ketegangan

sarafnya. Perutnya terasa sangat mulas seperti hendak buang air besar.

"Taufan, tolong!" pekiknya ketakutan.

"Perutku

mulas sekali!"

"Ya, Tuhan!" keluh Taufan sama takutnya.

"Jangan jangan..."

"Kau kenapa, Arneta?" Rivai mengawasi mantan

istrinya dengan bingung.

265

Arneta menggeliat kesakitan. Peluh membasahi

sekujur wajah dan lehernya.

"Tolong...," desahnya menahan sakit.

"Aku hampir melahirkan...."

"Kau... melahirkan?" Rivai membelalak kaget.

Matanya melotot mengawasi air bercampur darah

yang membasahi seprai.

Dan peristiwa tiga puluh tahun yang lalu kembali

melintas di depan matanya.... Ibu terkapar di lantai.

Darah membasahi lantai rumahnya... dan Ibu kehilangan adik kecil....

Dalam sekejap Rivai seolah?olah kembali menjadi Rivai yang berumur tujuh tahun. Panik dan ketakutan memegangi ibunya yang terkapar kesakitan....

"Panggil Taufan kemari, Rivai," bisik Arneta

lemah.

"Dia dokter. Dia bisa menolongku melahirkan anakmu "

"Panggil Rana," bisik Ibu lemah.

"Bawa Ibu ke

dokter. Mereka bisa menolong adikmu.

"

Tetapi Rana sudah tegak di belakangnya. Menatap

mereka dengan tatapan dingin.

Rivai merangkul Arneta dengan ketakutan.

"Apa yang harus kulakukan?" desisnya bingung.

"Panggil Taufan," pinta Arneta sambil menahan

tangis.

"Aku tidak tahan lagi.... Anak ini hampir lahir!"

Bergegas Rivai berlari?lari ke depan. Seperti seorang anak kecil yang kelabakan mencari pertolongan.

"Tolong!" serunya kepada Taufan.

"Tolong aku!"

266

"Bebaskan ikatanku," perintah Taufan sambil menekan rasa takutnya.

"Aku akan menolongmu!"

Secepat kilat Rivai melompat ke dekat Taufan.

Dan melepaskan ikatannya. Taufan sudah mengepal

tinjunya untuk menjotos Rivai ketika tiba?tiba dibatalkannya.

Rivai sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda hendak berkelit. Apalagi balas memukul.

Dia seperti seorang anak kecil yang panik dan tidak

tahu harus melakukan apa.

Bergegas Taufan menghambur ke kamar. Rivai

mengikutinya dari belakang.

Arneta sedang menggeliat-geliat kesakitan. Wajahnya pucat pasi bermandikan keringat.

"Tolong aku, Taufan!" erangnya menahan sakit.

"Aku tidak sanggup, Arneta!" rintih Taufan putus

asa.

"Kamu harus ke rumah sakit! Aku akan membawamu."

"Tidak ada waktu lagi.... Anak ini hampir lahir...."

"Ya Tuhan!" keluh Taufan panik.

"Aku tidak bisa

"Tolong..., rintih Arneta kesakitan. Tangannya

mencengkeram lengan suaminya erat-erat. Matanya

yang memancarkan rasa sakit dan takut menatap Taufan. Mengharapkan pertolongannya.

"Tolong aku,

Taufan Aku... tidak... tahan... lagi...."

Melihat mata istrinya, rasanya Taufan rela

menyerahkan jantungnya sekalipun asal dapat menolong Arneta.

267

"Bertahanlah, Sayang," bisiknya gemetar.

Dengan susah payah dia bangkit. Kakinya terasa

amat lemas sampai hampir tak kuat menopang tubuhnya.

"Rivai," Taufan berusaha memperdengarkan

wibawa dalam suaranya.

"Ambil tas dokter di lemari

itu!"

Rivai yang sedang separo bersembunyi dengan

ketakutan di samping lemari buru?buru melaksanakan

perintah Taufan. Dibawanya tas hadiah Dokter Arif

itu ke atas meja.

"Tas ini?" tanyanya gugup. Tak ada lagi gambaran

laki-laki buas yang tadi memukuli Taufan dan memperkosa Tiah. Yang muncul kini cuma seorang anak

kecil yang panik dan ketakutan.

"Taruh di situ. Ambil air hangat di kamar mandi.

Masukkan dalam ember. Taruh pakaian bayi dan selimutnya di atas meja."

Rivai menjalankan perintahnya dengan patuh.

Taufan sendiri merasa heran. Bukan hanya karena

kepatuhan Rivai. Tetapi juga karena dengan memerintah Rivai, dia seperti memperoleh kembali

wibawanya sebagai dokter.

Rasa takutnya perlahan-lahan menghilang. Berganti dengan kepercayaan diri yang semakin menguat. Seorang dokter harus mampu menguasai

keadaan. Menjadi pimpinan di lapangan. Bersikap

tenang dan percaya diri adalah kunci tindakan menolong pasien.

268

"Oke, Cantik," suaranya yang tenang dan mantap

meredakan ketakutan Arneta.

"Aku akan memeriksamu. Lebarkan kakimu. Tarik napas dalam-dalam."

"Apa lagi?" tanya Rivai, gemetar ketakutan melihat tangan Taufan yang berlumuran darah.

"Berdiri diam?diam di samping tempat tidur. Biar

Arneta mencengkeram tanganmu sekuat?kuatnya

waktu mengejan."

Dengan patuh Rivai mengikuti perintah Taufan.

Dia tegak di samping tempat tidur. Menyodorkan

tangannya dengan gemetar.

"Mulailah mengejan, Arneta," kata Taufan lembut.

"Pembukaanmu sudah lengkap. Kontraksimu

kuat. Ingat metode yang kita pelajari waktu senam?

Bagus. Tutuplah mulutmu rapat?rapat. Tarik napas

dalam. Mulailah mengejan."

Mula-mula Arneta tidak sudi memegang lengan

Rivai. Tetapi ketika sakitnya sudah tidak tertahankan

lagi, dia mencengkeram erat?erat benda apa saja yang

ada di dekatnya. Termasuk tangan Rivai.

***

Paula melangkah memasuki lobi hotel dengan

wajah membeku. Dia langsung menuju ke resepsionis. Menanyakan kamar Rivai Maringka.

"Pak Rivai memang sudah pesan kamar." Wanita yang berada di belakang meja itu menampilkan

269

senyum profesional.

"Tapi sampai sekarang belum

datang. Ibu hendak tunggu di lobi atau di kamar?"

"Saya tunggu di lobi saja," sahut Paula datar.

Dia melangkah menuju ke kursi yang tersedia.

Dan duduk sambil memangku tasnya. Tas itu terasa

berat. Tetapi lebih berat lagi beban yang mengganjal

hatinya.

Trauma itu seakan tak pernah lenyap menggerogoti ketenangannya. Malam peristiwa itu menyerbu

kembali sebagai mimpi. Siang membayangi setiap

pekerjaan yang dilakukannya.

Rivai Maringka memang bedebah. Pandai

menyelubungi kebiadabannya dengan topeng keramahan dan sopan santun. Sayang dia tidak berhasil

menelanjangi kebrutalan lelaki itu.

Tetapi Paula telah bertekad akan menghentikan

kebiadaban Rivai. Sekaligus membalas dendam.

Tak akan dibiarkannya lelaki itu menyiksanya lagi.

Menghinanya lagi. Menyakitinya lagi.

Sampai dua jam Paula menunggu dengan sabar di
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lobi. Tetapi Rivai belum muncul juga. Padahal jam

tangannya sudah menunjukkan hampir setengah sebelas malam.

Barangkali dia tidak datang, pikir Paula gemas.

Barangkali ada mobil yang menubruknya!

Dengan kesal dia melangkah ke WC wanita. Sesaat sebelum dia mendorong pintu, pintu itu telah

terempas dari dalam. Karena kuatnya empasan itu,

Paula terjajar mundur. Tasnya terlepas. Jatuh ke lantai. Tutupnya terbuka. Isinya berserakan.

270

Wanita bertubuh tinggi besar yang baru keluar

dari dalam itu menutup mulutnya dengan tangannya. Permintaan maaf yang telah tersembul di ujung

lidahnya ditelannya kembali. Matanya terbelalak menatap sebilah pisau pemotong daging yang besar dan

berkilat di lantai.

271

BAB XXVII

BAYI wanita seberat dua ribu sembilan ratus gram

itu lahir dengan selamat. Mula-mula dia tidak mau

menangis. Taufan harus meresusitasinya lebih dulu.

Ketika tangisnya yang pertama pecah, bukan hanya Taufan dan Arneta yang menghela napas lega.

Rivai juga.

Lama dia tegak di samping Taufan. Mengawasi

Taufan membersihkan bayinya. Tanpa berani mengucapkan sepatah kata pun. Sikapnya persis anak kecil

yang sedang menonton ibunya merawat bayi.

Ketika Taufan selesai membungkus bayinya, baru

Rivai berani membuka mulut.

"Boleh... menggendongnya?" tanyanya gugup.

Taufan menoleh. Dan melihat cara lelaki itu menatapnya, dia merasa iba. Sekaligus cemas.

Mampukah Rivai menggendong bayinya? Tidak

jatuhkah bayi mereka nanti?

"Sebentar saja...," pinta Rivai hampir merengek.

"Bawalah ke ibunya." Taufan menyerahkan bayinya kepada Rivai dengan dada berdebar?debar.

"Hati-hati. Jangan sampai jatuh!"

"Taufan...," desah Arneta khawatir.

272

"Tidak apa-apa." Taufan menoleh ke arah Arneta sambil tersenyum.

"Dia akan menjaga Putri baikbaik."

"Dia... baik-baik saja? Tidak... cacat?"

"Dia cantik dan sempurna seperti ibunya."

Rivai menatap bayi dalam gendongannya dengan

berbagai Perasaan. Hampir tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Akhirnya... dia bisa juga menggendong bayi! Menggendong adik kecil!

Air mata meleleh di pipi Rivai ketika dia menimang bayi itu dengan gembira. Seperti anak kecil dia

buru?buru membawa bayinya kepada ibunya.

"Dia cantik sekali...," bisik Rivai ketika menyerahkan bayi itu kepada Arneta.

"Mukanya mirip aku,

ya?"

Arneta memeluk bayinya dengan penuh kasih

sayang.

Aku tidak peduli rupamu, Arneta menciumi anaknya, dengan hangat. Aku akan tetap menyayangimu.

"Kau bisa dipercaya untuk menjaga bayi ini?"

tanya Taufan kepada Rivai.

Suaranya yang tegas dan berwibawa berhasil

mempengaruhi Rivai.

"Apa... apa yang harus kulakukan?" Rivai menggagap bingung.

"Gendong dia selama aku menolong Arneta."

Kemudian Taufan menoleh kepada istrinya Dan

suaranya berubah lembut. Amat lembut.

"Berikan bayimu kepadanya, Arneta Biarkan aku

menolongmu."

273

Sesaat Arneta menatap Taufan dengan ragu-ragu.

Seolaholah dia tidak rela menyerahkan bayinya kepada Rivai.

"Tidak apa-apa," Taufan menenangkan istrinya.

"Saat ini tidak ada yang lebih disayangi Rivai selain

bayi ini. Dia tidak akan menyakitinya."

"Tapi dia akan..." Air mata Arneta berlinang. Dipegangnya tangan Taufan dengan ketakutan.

"Jangan khawatirkan aku," bisik Taufan lembut.

Ditatapnya istrinya dengan hangat.

"Semuanya akan

beres."

Terpaksa Arneta menyerahkan bayinya kepada

Rivai.

"Hati-hati," pintanya cemas.

"Jangan jatuh!"

Rivai menerima bayi itu dengan hati?hati. Memeluknya erat-erat. Membelai rambutnya yang halus

dan tipis itu dengan takjub.

"Siapa namamu?" Rivai mencolek pipi bayinya

dengan gembira.

"Dari mana asalmu? Siapa ayahmu?

Siapa ibumu?"

Sambil menggendong bayinya, Rivai mengangkat

telepon. Menghubungi kakaknya. Seakan-akan ingin

mengabarkan kabar gembira itu kepada Rana. Berita

besar! Horee! Dia punya bayi!

"Dia cantik dan lucu sekali, Kak!" lapor Rivai, gembira dan bersemangat seperti anak kecil

mendapat mainan yang telah lama diimpikannya.

"Dia mirip aku! Kau harus melihatnya!"

"Dia anakmu?" potong Rana dingin.

"Tidak

mungkin!"

274

"Anakku?" gumam Rivai dengan paras kosong.

"Mungkinkah bayi ini... anakku?"

"Tidak mungkin!" bentak Rana.

"Kau tidak mungkin punya anak!"

"Kenapa tidak?" Air muka Rivai mengeras. Wajah polos dan gembira seorang anak kecil menghilang. Berganti dengan kejengkelan.

"Datanglah kemari. Lihat sendiri! Bayi ini mirip aku!"

"Bagaimana kau bisa punya anak?"

"Arneta melahirkan." Suara Rivai melunak kembali.

"Aku ayahnya. Aku sedang menggendong anakku...."

"Tidak mungkin, Rivai! Kau jangan bodoh! Mereka menipumu! "

"Datanglah ke sini. Lihat anakku! Dia mirip aku!"

Rivai membanting teleponnya dengan kesal

setelah memberikan alamat rumah Taufan. Direnggutnya pesawat telepon itu sampai kabelnya putus. Lalu

dilemparkannya dengan sengit ke sudut ruangan.

"Kenapa Kak Rana tidak percaya aku punya

anak?" gerutunya penasaran. Ditatapnya bayi dalam

gendongannya dengan marah.

"Kau anakku, kan?

Kau anakku! Anak siapa lagi kalau bukan?"

***

Sementara itu Taufan telah selesai menolong Arneta. Plasenta telah lahir. Luka telah dijahit. Darah

275

telah dibersihkan. Pakaian Arneta pun telah digantinya dengan yang bersih.

"Terima kasih," bisik Arneta ketika Taufan mencium pipinya.

"Untuk apa?"

"Menjadi dokter kembali dan menolongku."

Taufan menyeringai pahit.

"Tunggulah di sini. Aku akan keluar. Mengunci

pintu. Dan menyelipkan anak kuncinya di bawah pintu."

"Jangan tinggalkan aku!" desah Arneta ketakutan

sambil memegangi lengan suaminya.

"Aku akan mengambil bayi kita dan mengusir Rivai."

"Jangan! Dia... gila!"

"Mumpung dia masih menjadi anak kecil, aku

akan mempengaruhinya dan mengusirnya keluar dari

rumah kita."

"O, Taufan! Aku takut!"

Taufan merangkul istrinya yang masih berbaring

di tempat tidur.

"Aku akan menendang bajingan itu keluar,"

geram Taufan mantap.

"Akan kubalas perbuatannya

padamu dan Tiah "

"Tiah?" Arneta melepaskan rangkulan Taufan.

Ditatapnya suaminya dengan mata menyipit.

"Apa...

apa yang dilakukannya pada... Tiah?"

"Menyesal aku tak dapat menolongnya ...," keluh

Taufan lirih.

276

"Tiah?" Air mata Arneta mengalir lagi.

"Rivai

mem...?"

"Kasihan," desah Taufan iba.

"Dia masih anakanak Aku tidak tega mendengar jeritannya.... Tetapi tidak mampu menolongnya!"

"Ya Tuhan!" Arneta terpuruk lemas dalam kepiluan. Biadab kau, Rivai! Biadab! Tiah yang masih

anak-anak masih polos... masih lugu... sampai hati

kaugarap dia juga!

"Kalau saat itu aku menolong Paula dengan memberi kesaksian," rintih Arneta getir.

"Kalau dunia

tahu penyimpangan seks Rivai... mungkin Tiah tidak

ikut menjadi korban kebuasannya!"

"Aku juga menyesal, Arneta." Taufan berjongkok

di samping istrinya.

"Rasa bersalahku tidak lebih

kecil dari perasaan berdosamu Aku tidak mampu

menolongnya ...."

Taufan melekatkan pipinya di wajah Arneta. Air

mata istrinya membasahi mukanya. Mereka masih

saling rangkul. Sama-sama bingung. Sama-sama takut. Sama-sama menyesal. Tetapi justru pada saat itu,

kebersamaan terasa manis. Dan cinta semakin terasa

menggigit.

Keheningan dipecahkan oleh masuknya Rivai ke

kamar itu. Sesaat dia tertegun ketika melihat Arneta

dalam pelukan Taufan. Matanya yang kosong tiba-tiba menyala. Kemarahannya langsung berpijar.

"Lepaskan dia!" bentak Rivai sengit.

"Dia milikku!"

277

Terlambat, pikir Taufan sambil melepaskan pelukannya. Tetapi Arneta tidak mau melepaskan lengan

Taufan. Dia tetap mencengkeramnya dengan ketakutan. Rivai kecil telah pergi.

"Sekarang Arneta istriku," jawab Taufan tenang

dan mantap.

"Bayi yang kaugendong itu memang darah dagingmu. Tapi sekarang dia anakku. Putri milik

kita bersama. Kalau kau berjanji tidak akan menyakiti Arneta dan Putri, kau boleh datang untuk melihatnya setiap hari."

"Apa hakmu mengaturku? Arneta milikku! Bayi

ini anakku!"

"Bayi itu bukan anakmu."

Rivai memalingkan wajahnya ke pintu. Arneta

dan Taufan pun sama?sama menoleh.

Di ambang pintu kamar, tegak Rana Maringka.

Wajahnya sedingin patung batu pualam. Tatapannya

beku.
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bayi ini anakku." Rivai mendekap bayinya dengan lembut.

"Darah dagingku. Arneta sudah hamil

ketika kami bercerai."

"Bukan kau yang menghamilinya."

"Apa katamu?" Mata Rivai terbeliak lebar. Sorotnya liar. Seperti binatang buas yang masuk perangkap.

"Kau tidak bisa punya anak," suara Rana sedingin

tatapannya.

"Jangan berkata begitu, Kak Rana!" teriak Rivai

sengit. Urat?urat lehernya tampak menonjol. Parasnya mengejang.

"Anak ini anakku!"

278

"Tidak mungkin."

"Lihatlah! Mukanya mirip denganku, bukan?"

"Kau mandul."

Wajah Rivai berubah. Kosong dan pucat seperti

topeng. Arneta menggenggam lengan Taufan lebih

erat lagi.

"Kau telah divasektomi sejak berumur lima belas

tahun."

"Tidak." Suara Rivai terdengar dalam, datar, dan

asing.

"Waktu itu kau harus dioperasi usus buntu. Aku

minta dokter sekalian melakukan vasektomi. Keluarga kita mengidap penyakit jiwa yang parah."

"Kau tidak berhak melakukannya." Suara Rivai

melengking ganjil.

"Ayah sakit. Kau juga sakit. Buat apa punya anak?

Cuma bikin susah saja"

"Aku tahu kenapa kau melakukannya..," bisik Rivai sambil menatap kakaknya dengan penuh kebencian. Bayangan malam yang mereka lewati bersama

berputar lagi di depan matanya seperti adegan dalam

film.

"KAU yang tidak ingin punya anak!"

Melihat mata Rivai yang mengingatkan pada

mata orang sakit jiwa, baik Arneta maupun Taufan

sama-sama merasa ngeri.

"Ambil bayi kita, Fan!" bisik Arneta ketakutan.

"Aku takut...."

Perlahan-lahan Taufan menggeser tubuhnya. Begitu hati?hatinya supaya Rivai tidak melihat.

279

"Telepon pengacaramu," perintah Rana tawar.

"Buat apa?"

"Ingat ketika kau dituduh memperkosa?"

Taufan duduk di sisi tempat tidur. Arneta melekat

rapat di belakangnya. Merangkul pinggangnya dengan ketakutan.

"Untuk melengkapi prosedur pemeriksaan, spermamu diperiksa."

Rivai memeluk bayinya erat-erat. Wajahnya

kosong dan beku. Rahangnya terkatup rapat.

Dengan lembut Taufan melepaskan tangan istrinya. Dia sudah bersiap?siap untuk menerjang Rivai.

Yang di pikirkannya hanyalah bagaimana caranya

merampas bayinya. Sekaligus melumpuhkan Rivai.

"Air manimu kosong. Tidak ada sperma yang

dapat membuahi sel telur. Bagaimana kau bisa menghamili istrimu?"

Rivai menatap kakaknya dengan tatapan yang

dapat membuat bulu roma meremang. Arneta menggigil ketika menyadari, bukan Rivai yang dikenalnya

yang kini tengah berdiri di hadapannya. Dia sudah

menjelma menjadi orang lain....

Tetapi Rana tidak bergeming sedikit pun. Dia menatap adiknya dengan dingin.

"Bekas istrimu menipumu. Dia sudah menyeleweng dengan orang lain waktu masih menjadi istrimu."

Taufan mulai menghitung-hitung jarak. Dan bersiap mengambil ancang?ancang untuk menerjang Rivai.

280

"Yang bersalah harus dihukum." Suara Rana semakin dingin membekukan tulang. Membuat bulu

kuduk Arneta meremang.

"Istrimu mengkhianatimu.

Anak itu lahir dalam dosa...."

Rivai terhuyung mundur. Menubruk meja di belakangnya. Meja berderak. Sesuatu bergulir ke arahnya. Menyentuh pinggulnya. Rivai menangkap benda

itu dengan sebelah tangan. Dan mencengkeramnya

erat-erat.

281

BAB XXVIII

"FIRASATKU tidak enak, Pak." Nyonya Basuki

menyambar mantelnya.

"Arneta tidak menelepon.

Aku sudah beberapa kali mencoba menelepon ke rumahnya. Tetapi teleponnya tidak ada yang angkat."

"Mungkin mereka belum pulang."

"Sampai semalam ini? Tidak mungkin! Lagi pula

ke mana si Tiah? Dia kan bisa angkat telepon."

"Barangkali teleponnya rusak." Pak Basuki

membolakbalik korannya dengan santai. Diangkatnya kakinya. Di lunjurkannya ke atas meja di hadapannya.

"Arneta kan bisa telepon dari luar kalau teleponnya rusak."

"Mungkin lagi malas. Neta kan bilang, hamil tua,

ngapain juga segan."

"Nggak mungkin! Kata Arneta, malam ini dia

mau masak buat Taufan. Dia minta resep nasi goreng

istimewaku."

"Ya, bisa saja kan dia lupa. Namanya saja masih

pengantin baru. Atau mengganti rencananya. Siapa

tahu Taufan mengajaknya makan di luar. Di Jakar

282

ta kan banyak restoran yang punya nasi goreng yang

lebih enak dari nasi goreng istimewamu!"

"Tidak mungkin!" bantah Nyonya Basuki kesal. Mukanya cemberut.

"Arneta sudah bilang, nasi

goreng ikan asinku yang paling enak!"

"Ah, dia cuma tidak mau bikin ibunya kecewa."

"Mereka kan mau beli ranjang. Arneta pasti lelah.

Dan Taufan ingin cepat-cepat membawanya pulang."

Pak Basuki tidak menjawab. Karena menganggap

pendapat istrinya ada benarnya juga.

"Antarkan aku ke sana, Pak."

"Ke mana?"

"Ke rumah mereka. Ke mana lagi?"

***

Arneta memekik histeris melihat benda yang dicengkeram tangan kanan Rivai... gunting yang dipakai Taufan untuk memotong tali pusat dan belum

sempat dibereskannya kembali....

Tanpa berpikir dua kali. Taufan menerjang ke

depan untuk merampas anaknya. Tetapi Rivai lebih

cepat sedetik. Dia mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, sementara tangan kirinya masih mendekap

Putri.

Arneta sudah memejamkan matanya rapat-rapat. Tidak berani melihat. Taufan menubruk tempat

kosong karena Rivai sudah keburu maju ke depan.

Tangan kanan Rivai yang memegang gunting sudah

terayun cepat... turun menikam leher Rana!

283

Tangis Putri menyentakkan Arneta. Membangkitkan naluri keibuannya. Mencetuskan kekuatan yang

hanya dapat dilakukan oleh seorang ibu demi melindungi anaknya. Dalam keadaan lemah sehabis bersalin, dia mampu bangkit dari tempat tidur. Menghampiri Rivai yang masih tegak dengan gunting terhunus

berlumuran darah.

Di hadapannya, Rana bersandar lemah ke dinding. Menebah lehernya yang berlumuran darah. Tak

ada jeritan yang keluar dari mulutnya. Dia hanya menatap adiknya, dengan tatapan tidak percaya.

"Kenapa, Rivai?" Suaranya masih tetap segagah

tadi. Cuma bernada kecewa dan heran.

"Bukankah

yang bersalah yang harus dihukum? Istrimu menyeleweng. Anak itu anak haram. MEREKA yang harus

dihukum!"

Rivai membisu. Seolah-olah Rana bukan berbicara kepadanya. Dia hanya menatap kakaknya dengan

tatapan hampa.

Lalu tangannya bergerak, seolah-olah digerakkan

oleh tangan lain yang tidak kelihatan. Gunting itu

terangkat ke atas. Dan terayun turun dengan cepat ke

bayi dalam gendongannya

Pada saat itu Taufan menerjangnya dengan nekat.

Rivai memiringkan arah guntingnya ke dada Taufan

sambil bergeser ke samping.

Dan Taufan melakukan perbuatan yang sangat

berani. Disaksikan oleh Arneta yang tinggal dua

langkah di depan mereka, Taufan tidak mengelakkan

tikaman Rivai. Dia membiarkan dadanya menjadi

sasaran tikaman gunting Rivai

284

Tanpa mengacuhkan rasa sakitnya, Taufan merampas bayi dalam gendongan Rivai dengan kedua belah

tangannya. Arneta memekik histeris melihat darah

yang membasahi kemeja suaminya.

Tetapi Taufan seperti tidak mengacuhkan dirinya lagi. Dia membalikkan tubuhnya. Memunggungi

Rivai yang masih memegang gunting terhunus. Seolah?olah dia ingin melindungi bayinya dengan tubuhnya sendiri. Dia rela mati demi anaknya.... Tidak

memedulikan tikaman gunting Rivai

Dan pada saat yang kritis itu, Arneta pun melakukan tindakan yang sangat berani. Tanpa berpikir lagi,

dia melemparkan dirinya menerjang Rivai...

Rivai terhuyung sedikit. Tikamannya ke punggung Taufan meleset. Tetapi dia masih sempat mengayunkan tangan kirinya memukul Arneta.

Arneta terjajar ke belakang. Dia jatuh terduduk.

Darah mengalir dari bibirnya yang pecah. Dan dari

selangkangannya akibat jahitan yang terlepas.

Tetapi dia sudah memberi peluang untuk Taufan.

Dan waktu yang cuma sepersekian detik itu tidak disia-siakannya. Taufan memutar tubuhnya dan mengirimkan tendangan ke perut Rivai.

Rivai terjajar mundur dengan sempoyongan.

Gunting terlepas dari tangannya. Dan Taufan tidak

memberinya kesempatan lagi untuk memperbaiki

posisinya. Sambil masih memeluk bayinya erat?erat,

Taufan mengayunkan dua tendangan beruntun ke rahang Rivai.

Rivai jatuh tertelentang. Terkapar tak jauh dari

285

tempat Arneta meringkuk kesakitan. Dan tak jauh

dari tempat gunting yang jatuh itu.

Ketika tangan Rivai terulur untuk meraih gunting,

Arneta mendahuluinya. Tanpa memedulikan rasa

sakitnya, dia menyambar gunting, hanya sepersepuluh detik lebih cepat dari Rivai. Lalu tanpa ragu?ragu

diayunkannya gunting itu menusuk tangan Rivai.

Saat itu orangtua Arneta menerjang masuk. Dan

Nyonya Basuki memekik ngeri melihat adegan di hadapannya.

***

Rana meninggal di ruang gawat darurat. Sementara Taufan, Arneta, dan Tiah mendapat perawatan di

rumah sakit yang sama. Rivai ditahan setelah lukanya dijahit dan dibalut.

Arneta telah bertekad untuk menuntut mantan

suaminya, apa pun risikonya. Sekarang dia sadar,

betapa berbahayanya manusia seperti Rivai. Bukan

untuk keluarganya saja, tetapi juga untuk masyarakat

di sekitarnya. Dia tidak dapat dibiarkan bebas.

Taufan menyokong pendapat istrinya.

"Aku akan menopangmu," katanya lembut.

"Jika

dua hati yang rapuh bertemu, jika dua jiwa yang

pengecut bersatu, keberanian pun akan timbul."

Dan mereka telah membuktikannya dalam mengalahkan Rivai. Kini mereka ditantang kembali untuk membuktikannya. Arneta akan mengalami harihari yang berat dalam memberikan kesaksian tentang

286
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

deviasi seksual mantan suaminya. Tetapi dengan Taufan di sampingnya, dia akan menghadapinya dengan tabah.

"Rivai sakit," katanya kepada pengacaranya.

"Penjara bukan tempat yang tepat untuknya. Barangkali rumah sakit jiwa lebih cocok."

"Pengadilan yang akan memutuskannya," sahut

Hadi Sukamto SH serius.

"Sebuah tim medis akan

menilai kondisi jiwanya. Jika Rivai Maringka dianggap tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa."

***

"Semuanya baik, Cantik?" Sapa Taufan mesra

Arneta tersenyum manis, seolah suaminya berada

di hadapannya, bukan di kantor.

"Jangan khawatir. Semua baik. Kamu sibuk?"

"Ah, biasa saja. Bagaimana putri rajaku? Masih

berbaring tenang di peraduannya?"

"Baru habis kumandikan. Kulitnya halus sekali."

"Pasti sehalus kulit ibunya."

"Mau kamu belai?"

"Yang mana?"

"Yang mana yang mau kamu belai?"

Taufan tersenyum bahagia.

"Dua-duanya."

"Pulanglah kalau begitu. Aku dan Putri sudah rindu."

287

"Nanti dipecat ayahmu. Masih dapat menunggu

dua jam lagi?"

"Ada klien yang mengajak makan malam?"

"Malam ini? Main-main! Aku punya undangan

bersantap malam bersama putri raja!"

"Fan," suara Arneta lembut. Sangat lembut. Di

telinga Taufan, suara istrinya seperti embusan angin

sepoi-sepoi.

"Hm?"

"Pulanglah."

"Sekarang?"

"Minta izin Ayah."

"Apa yang harus kukatakan? Istriku kangen?"

"Perlu aku yang minta izin?"

"Oops! Jangan!"

"Takut di-PHK?"

"Aku sudah terlalu banyak bolos!"

"Tahukah kamu siapa bosmu?"

"Mertuaku."

"Perlu telepon sakti ke meja ayahku?"

"Jangan." Taufan tersenyum tipis.

"Aku cuma

harus menyelesaikan satu tugas lagi. Lalu aku akan

terbang ke rumah!"

"Berapa lama?"

"Ngngng... satu jam?"

"Nggak bisa ditawar?"

"Oke, lima puluh lima menit!"

Mereka sama-sama tertawa lunak.

"Fan," panggil Arneta sekali lagi, lebih lembut.

"Ya, Cantik?"

288

"Aku dan Putri sayang kepadamu."

Taufan merasa dadanya bergetar diguncang keharuan.

"Aku akan segera pulang, Cantik," katanya hangat.

Dikecupnya telepon dengan mesra.

"Berapa lama lagi?"

"Lima puluh empat menit! "

289

LEMBAR PENUTUP

"APA sebenarnya yang terjadi pada masa kecilnya,

Dok?" tanya Arneta sedih pada psikiater yang merawat Rivai.

Dia baru saja menjenguk mantan suaminya bersama Taufan. Dan merasa sedih melihat keadaannya.

Rivai Maringka harus menjalani petawatan di

rumah sakit jiwa. Dia sudah berubah total menjadi Rizal, kepribadiannya yang kedua, yang selalu

melakukan semua kejahatan yang diperbuatnya.

"Ayah?ibu Rivai Maringka adalah pasangan sadomasosis yang sempurna. Sejak kecil Rivai sudah sering menyaksikan ayahnya menyiksa ibunya. Ambivalensi Rivai terpecah antara menikmati kesadisan itu

sendiri dan membenci tokoh yang melakukannya."

"Dia... membenci ayahnya?"

"Kebencian terpendam Rivai kepada ayahnya

meledak ketika ibunya dianiaya sampai keguguran.

Tapi kasusbeli(pencetus)nya baru terjadi beberapa hari kemudian, ketika ayahnya memukulinya dengan kalap."

"Apa yang terjadi, Dok?"

"Cerita Rivai kecil tidak begitu jelas. Saat itu dia

290

ditemukan ayahnya di kamar, sedang berdua dengan

kakaknya. Apakah ada hubungan inses di antara mereka, sampai sekarang masih tanda tanya. Kemungkinannya besar bila diingat Rivai divasektomi pada

usia lima belas tahun atas permintaan Rana."

"Jadi mereka benar-benar sakit!"

"Rivai membakar gudang karena mengira hanya

ayahnya yang berada di dalam. Saya kira, kegilaannya baru mulai bermanifes ketika mengetahui ibu

yang disayanginya juga berada di dalam gudang dan

ikut terbakar hangus."

"Jadi Rivai membunuh kedua orangtuanya?" Tidak sadar Arneta menggigil dan merapat pada Taufan. Sungguh tidak disangka. Hampir setahun dia

telah hidup bersama orang sakit jiwa, tidur seranjang

dengan pembunuh yang mengidap deviasi seksual!

"Sesudah peristiwa kebakaran itu, Rivai dan Rana

tinggal bersama paman mereka. Tetapi empat tahun

kemudian, ketika lulus SMA, Rana membawa adiknya pindah ke Jakarta. Rana mendidik adiknya dengan sangat keras. Semua yang bersalah harus dihukum. Karena takut kepada kakaknya, perkembangan

kepribadian ganda Rivai menjadi makin subur. Bila

dia berbuat salah, dia menyalahkan kepribadiannya

yang lain. Sehingga dia luput dari hukuman. Bebas

dari perasaan bersalah."

"Itu sebabnya seperti ada dua Rivai."

"Sebenarnya ada tiga dengan Rivai kecil," sambung Taufan datar.

"Rivai yang sangat ingin menimang bayi."

291

"Jika Rivai ingin mengumbar naluri primitifnya,

dia berubah menjadi Rizal. Pada pribadi yang kedua

ini, id dalam dirinya tidak usah lagi disensor oleh ego

dan superego. Insting dasarnya dapat diumbar sebebas-bebasnya tanpa perlu menghiraukan etika dan

moral. Rizal inilah yang sedang kita lihat sekarang.

Rizal yang memperkosa Tiah, menganiaya kalian,

dan yang paling berat, membunuh kakaknya."

"Dok," pinta Arneta tiba-tiba.

"Bisakah Dokter

memunculkan Rivai sekali lagi?"

Taufan menoleh dengan heran ke arah istrinya.

Tetapi Arneta sedang memandang psikiater itu dengan sungguhsungguh. Matanya begitu penuh permohonan.

"Rivai-lah yang menceritakan semua kejahatan

Rizal. Tetapi setelah tahu Rana meninggal, Rivai belum mau muncul lagi sampai sekarang."

***

"Mengapa kamu ingin bertemu dengan Rivai

sekali lagi, Arneta?" tanya Taufan penasaran dalam

mobil yang membawa mereka pulang.

Arneta menyusut air mata yang diam-diam mengalir ke pipinya.

"Aku ingin mengatakan kepadanya, aku tidak pernah menyeleweng, seperti yang dikatakan Rana."

Taufan merangkul Arneta dengan lembut.

"Tentu. Dia yang menyerahkanmu kepadaku.

292

Kamu sama sekali tidak bersalah. Masih merasa

menyesal?"

"Setelah melihat Putri, aku malah menyesal kalau tidak pernah memilikinya. Tetapi kalau hidup ini

punya cetakan kedua, aku ingin bertemu denganmu

dalam situasi lain."

"Terima kasih telah memberikan putri secantik itu kepadaku, Arneta. Kamu yang membuatku

merasa hidup kembali setelah hampir terbunuh oleh

perasaan bersalah. Kamu membuat hidupku indah.

Putri menyempurnakannya"

Dan Taufan hampir terlambat menginjak rem

karena sedang terbuai oleh perasaan bahagia. Seseorang tiba?tiba menyeberang di depan mobilnya. Dan

menghilang sebelum Taufan sempat memaki.

Sesaat Taufan tertegun. Seperti tidak percaya pada

penglihatannya sendiri.

"Ada apa?" tanya Arneta cemas melihat tegangnya paras Taufan.

"Orang itu tidak apa?apa. Kamu

tidak menubruknya."

"Kamu lihat dia, Arneta?"

"Tidak terlalu jelas. Dia sudah keburu menghilang."

"Apakah aku salah lihat?" Taufan menoleh ke

tempat menghilangnya wanita itu dengan tatapan tak

percaya.

"Perempuan itu mirip... Rana Maringka!"

Arneta ikut berpaling dengan terkejut. Tetapi dia

tidak melihat apa-apa.

"Mungkin cuma ilusimu saja. Rana sudah meninggal. Mungkin kamu sangat terkesan pada penampi

293

lannya. Ketika pertama kali aku melihatnya, aku juga

tidak bisa tidur."

Taufan menggeleng?gelengkan kepalanya dengan

heran. Perlahan?lahan dia menjalankan kembali mobilnya.

"Wanita itu mirip sekali Rana Maringka," gumamnya resah.

"Hanya lebih muda. Ketika dia menoleh kepadaku sekilas, aku hampir mengira melihat

hantu Rana...."

"Jangan menakut-nakuti aku, Taufan!" Arneta

memukul bahu suaminya dengan gemas.

"Seumur

hidup dia menakutnakuti aku. Masa baru saja lepas

dari bayangannya kini hantunya yang ganti menerorku?"

"Tak akan kuizinkan dia atau hantunya sekalipun

mengganggumu." Taufan memeluk istrinya dengan

hangat.

"Aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk

melindungimu dan Putri."

"Sudah kulihat buktinya," bisik Arneta lembut.

"Kamu sangat mencintai kami."

"Mau meneriakkannya lebih keras? Supaya

seluruh dunia mendengarnya!"

"Boleh berteriak di telingamu?" Arneta menempelkan bibirnya di telinga suaminya sampai Taufan

menggeliat geli.

"Hanya kamu yang perlu mendengarnya."

Tamat

(berlanjut ke deviasi 2 / Delusi)


Dewi Ular 88 Misteri Bencana Kiamat Sang Penebus Karya Wally Lamb Pendekar Rajawali Sakti 60 Badai Di

Cari Blog Ini