Deviasi Karya Mira W Bagian 3
"Sakit?"
"Ah, tidak apa-apa," sahut Arneta lirih meskipun
dia merasa hampir pingsan.
"Duduklah di sini, di tempat teduh." Taufan membantu Arneta duduk di dekat tukang kasut.
"Tarik napas dalamdalam. Mau minum?"
Taufan mengeluarkan sebuah botol plastik berisi
air mineral. Di India, dia memang selalu membawa?bawa air ke mana-mana. Dia tidak mau minum di
sembarang tempat. Angka penderita kolera di tempat
ini masih cukup tinggi.
Arneta mengikuti anjuran Taufan. Menghela napas dalam?dalam. Dan minum beberapa teguk air.
154
Benar. Dia merasa lebih enak. Meskipun masih
merasa lemas.
"Terima kasih," gumamnya lemah.
"Sudah agak
baikan."
Taufan mengawasi Arneta dengan lebih cermat.
Wajahnya yang manis itu tampak pucat dan letih.
"Sudah sarapan tadi pagi?"
Arneta mengangguk. Bibirnya menggeletar sedikit. Dan Taufan mengajukan pertanyaan lagi. Pertanyaan yang tidak disangka-sangka.
"Kamu hamil?"
Bukan pertanyaan itu yang membuat Arneta
tersentak. Bukan pula cara Taufan menanyakannya.
Tetapi sesuatu mengguncang dadanya. Menggedor
jantungnya.
Parasnya berubah dua kali lebih pucat. Keringat
dingin membasahi sekujur tubuhnya. Matanya menggelepar dalam kepanikan.
Taufan tidak membutuhkan jawaban lagi.
"Mari kuantar kamu pulang ke hotel," kata Taufan tegas.
"Kamu harus istirahat. Dan makan secukupnya."
"Saya tidak apa-apa."
"Siapa bilang? Kekurangan kalori, stres, dan keletihan dapat membuat kehamilanmu berbahaya."
"Saya..."
"Jangan membantah lagi. Saya tahu yang terbaik
untukmu. Sekarang buka kasutmu. Kita pulang ke
hotel."
155
***
Karena tidak ada taksi, Taufan terpaksa membawa Arneta naik becak yang banyak terdapat di depan
mesjid itu. Dan becak tanpa tudung itu menyelinap
dengan gesit menelusuri gang-gang pasar tradisional
yang kumuh.
Sebenarnya naik becak di India merupakan pengalaman yang menarik seandainya perasaan Arneta
tidak sedang gundah. Jalan kecil yang mereka telusuri, gang sempit yang mereka terobos, mungkin tidak
terdapat dalam peta. Tapi kalau ingin melihat India,
tempat inilah salah satu tempat yang harus dilihat.
Tempat duduk becak itu cukup sempit untuk dua
orang. Arneta terpaksa duduk berimpitan dengan Taufan. Sementara tungkai Taufan yang panjang harus
ditekuk sedemikian rupa supaya ujung sepatunya tidak menyenggol si abang becak yang sedang menggenjot pedal di depan mereka.
Dan karena beraninya becak mereka berlari di antara belasan becak lain dan mobil, tidak sadar Arneta
mengerut ngeri di bangkunya. Taufan melingkarkan
lengannya di bahu Arneta. Seolah-olah ingin memberikan perasaan aman kepadanya.
Jalan yang mereka lewati memang sempit. Di kirikanan terdapat kios-kios daging dan toko-toko yang
menjual makanan dan sayuran.
Lalu lintas di sana amat semrawut. Becak, bemo,
motor, mobil tidak mau kalah. Saling sikat berebut
jalan.
156
Bunyi klakson berbaur dengan suara manusia dan
keledai yang menarik gerobak memekakkan telinga.
Pedati tak bertutup yang mengangkut beberapa orang
wanita yang duduk berdesak-desakan sudah bukan
pemandangan langka lagi. Ikut menyalip di antara
belasan becak dan bemo berwarna hitam-kuning
yang tidak mau kalah saling pacu berebut jalan.
Debu yang ditebarkan membuat Arneta beberapa
kali terbatuk?batuk. Belum lagi bau tak sedap yang
harus mereka irup di tempat itu. Kotoran binatang
dan sampah menggunung di pinggir jalan.
Ketika becak mereka tiba di jalan besar, kengerian
baru menyambut di sana. Kalau jalan di Jakarta sudah semrawut, di Delhi lebih kacau lagi.
Hari itu hari Sabtu siang. Jalan raya penuh sesak.
Bus yang hendak berangkat ke luar kota, parkir
seenaknya di pinggirjalan, sehingga jalanan menjadi
macet total.
Penduduk dari luar kota yang hendak menumpang bus, berkemah di pinggir jalan, di atas kaki lima.
Mereka menggelar tikar. Menumpuk panci. Kendi.
Kaleng. Dan berbagai peralatan makan-minum lainnya.
"Kalau mau lihat jalanan yang macet total, di
sinilah tempatnya." Taufan tersenyum lebar.
"Dan
becak sungguh pilihan yang paling tepat, asal punya
jantung cadangan!"
Becak mereka dapat menyelinap di antara kemacetan dengan gesit. Menyalip ke sana. Menyerobot
ke sini. Memotong jalan semaunya. Bahkan menyeberang dengan gagah berani sampai Arneta memekik
ngeri.
Ketika becak itu sudah berhenti sama sekali, Arneta tidak dapat turun dari becak sampai beberapa
saat lamanya. Mukanya pucat. Keringatnya bercucuran. Jantungnya memukul dua kali lebih cepat. Sesaat
dia malah merasa heran belum keguguran.
Sesudah membayar ongkos becaknya, Taufan
membantu Arneta turun. Dan menyewa taksi ke hotel
Arneta yang terletak di New Delhi.
Jalan ke sana agak lengang. Lalu lintas cukup
teratur. Bangunan-bangunan modern menjulang di
kanan-kiri jalan.
Di pinggir jalan, sapi?sapi tengah berbaring santai
sambil melenguh malas. Di India, sapi pasti binatang
yang paling beruntung karena dianggap binatang
suci.
Sementara rekan mereka, keledai-keledai kurus,
dengan susah payah sedang menarik gerobak yang
sarat muatan.
Tidak kalah santainya dengan sapi, beberapa
orang laki-laki sedang nongkrong di atas barang dagangan mereka sambil mengipas-ngipas kepanasan.
Sementara wanita-wanita India, yang lebih banyak mengenakan sari daripada pakaian Barat, melangkah tanpa tergesa-gesa di kaki lima. Beberapa
orang di antaranya, menyunggi kendi di atas kepala.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku," kata Taufan ketika mereka sudah duduk santai di dalam taksi
yang meluncur mulus.
"Pertanyaan apa?"
"Sedang apa kamu di sini? Jalan?jalan?"
Arneta cuma mengangguk. Habis dia harus menjawab apa lagi? Dia ingin menyingkir sementara dari
Jakarta. Dan Dila kebetulan mengajaknya ke India.
"Tumben laki lu kasih!" Surprise juga Dila ketika
Arneta bilang mau ikut.
"Pilihan yang tepat." Taufan menghela napas.
"India memang negeri yang unik. Alamnya cantik.
Budayanya tinggi. Sayang, sebagian besar rakyatnya
masih hidup di bawah garis kemiskinan."
"Kamu sendiri?" Arneta kelepasan bertanya.
"Judi lagi?"
"Judi?" Taufan menyeringai pahit.
"Di sini? Di
Delhi?"
Arneta memalingkan wajahnya ke luar. Berusaha
menyembunyikan perasaannya.
Judi selalu mengingatkannya kepada Rivai. Pada
taruhannya. Dan pada malam jahanam itu....
Arneta belum dapat melupakannya. Dia masih
merasa tersiksa setiap kali mengingatnya. Dia merasa
terhina sampai ke dasar. Entah kapan dia baru dapat
memulihkan harga dirinya yang terbanting remuk.
"Wanita yang memeliharaku ada di sini."
"Di India?"
"New Delhi. Suaminya sedang bertugas di sini."
"Kamu juga ikut bertugas?"
159
Sinisnya suara Arneta membuat Taufan tersenyum
pahit.
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal.
Sesuatu yang tidak sempat kulakukan waktu harus
mengantarmu pulang ke Jakarta."
"Selamat tinggal? Dia sudah menemukan pemuda
yang lebih ganteng?"
"Aku yang minta berhenti."
Arneta menoleh. Tepat pada saat Taufan tengah
memandangnya. Sekilas mereka saling tatap. Dan sama-sama merasakan getar aneh di dada. Tidak keras.
Tapi justru karena halusnya, getaran itu menjadi terasa berbeda.
"Ini hotelmu?" Taufan seperti mengalihkan per
hatian.
"Kita sudah sampai."
***
Begitu masuk ke lobi hotel, Arneta sudah merasa
lebih lega. Udara yang sejuk dan bersih sungguh kontras dengan suasana panas dan berdebu di luar.
"Tidak mau makan dulu?" tanya Taufan sambil
mengantarkan Arneta ke depan lift.
"Rasanya capek sekali. Ingin langsung istirahat."
"Tapi kamu tetap harus makan. Room service saja
kalau lelah."
"Terima kasih. Biar sampai di sini saja," kata Arneta begitu pintu lift_terbuka.
"Boleh mengantarmu ke atas?"
160
"Ke mana?" tanya Arneta sambil bergerak hendak
masuk ke dalam lift.
"Ke depan pintu kamarmu. Suamimu ada di sini?"
Arneta sedang melangkah ke dalam lift ketika Taufan mengajukan pertanyaan itu. Lift kosong melompong. Pintunya terbuka lebar.
Tidak ada lipatan permadani yang membuat kakinya tersandung. Tetapi tidak urung dia terhuyung
hampirjatuh. Dengan gesit refleks Taufan merengkuh
tubuhnya. Dan menghelanya masuk sesaat sebelum
pintu lift tertutup.
Sesaat Taufan merasa terbius ketika tubuh wanita
itu berada dalam pelukannya. Kulitnya yang halus...
tubuhnya yang lembut... aromanya yang harum...
mengembalikan kenangannya ke malam pertama
mereka di Sun City.... Sampai sebuah tamparan keras
melanda wajahnya.
Kepala Taufan tersentak ke samping. Tetapi bukan itu yang membuatnya kaget.
Arneta meronta lepas dengan panik. Menghambur
ke sudut lift. Dan meringkuk ketakutan seolah?olah
segerombolan manusia primitif akan datang menerkamnya.
"Maaf," desis Taufan antara kecewa dan bingung.
"Saya tidak sengaja.... Ada apa? Saya... menyakitimu?"
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lift berhenti di lantai delapan. Pintu lift terbuka.
Tetapi Arneta tidak bergerak juga. Dia seperti terpaku
di sudut lift. Matanya yang menggelepar panik menatap Taufan dengan ketakutan.
161
Kasihan, keluh Taufan dalam hati. Trauma
perkosaan itu membekas begitu dalam... dia sangat
ketakutan.... Dan semua itu salahku!
"Maafkan saya, Arneta," gumam Taufan dengan
perasaan bersalah.
"Saya berjanji tidak akan mengganggumu lagi. Kamu tidak usah takut. Jika kamu
menginginkan saya keluar, saya akan pergi."
Pintu lift tertutup kembali. Ketika lift hendak
meluncur kembali ke lantai bawah, lantainya berguncang sedikit. Dan guncangan itu seperti mengembalikan pikiran sehat ke kepala Arneta.
Dia seperti baru terbangun dari syok yang amat
hebat. Diputarnya tubuhnya. Menghadap ke dinding
lift. Diangkatnya lengan kanannya untuk menyangga
kepalanya ke dinding. Dan tangisnya meledak.
Taufan menghampirinya dari belakang.
Menyentuh bahunya dengan hati?hati. Ketika
dirasanya wanita itu tidak menolak, dirangkulnya
dengan penuh kelembutan.
Saat itu pintu lift terbuka di lantai dua. Seorang
wanita India masuk ke dalam lift. Arneta menjadi
lebih tenang. Dia tidak meronta lagi ketika Taufan
memeluknya.
Wanita itu keluar di lantai dasar. Dan Taufan bertanya dengan lunak sebelum menekan tombol lantai
delapan.
"Boleh mengantarmu ke atas? Atau kamu mau
saya keluar?"
Arneta menggeleng sambil menyeka air matanya.
Dia merasa malu. Merasa kesal dengan tingkahnya
162
sendiri. Lelaki ini tidak bermaksud jahat. Dia hanya
ingin menolong. Mengapa begitu benar perlakuannya pada Taufan?
Tetapi... bagaimana mengenyahkan perasaan itu
dari hatinya? Lelaki ini pernah menidurinya. Dan
dia bukan suaminya! Ketika lengannya melingkari
tubuhnya, refleks sekujur tubuhnya memberontak...
dan tidak sadar Arneta menamparnya...
Taufan melepaskan Arneta. Dan menghampiri
pintu lift yang hampir tertutup. Dia menekan tombol
pembuka pintu. Agak terlalu kasar sampai Arneta
mampu membaca perasaannya.
Pintu lift terbuka kembali. Dan Taufan melangkah
keluar. Sesaat sebelum tubuhnya melewati pintu, Arneta memanggilnya.
Suara wanita itu amat lemah. Ragu-ragu. Getir.
Tapi bagi Taufan, itulah suara paling merdu yang
pernah didengarnya.
Dia berbalik. Dan tertegun sesaat di ambang pintu. Menatap Arneta dengan tatapan yang membuat
Arneta menggigil. Bukan karena takut. Tapi karena
secercah perasaan, hanya secercah, menjalari hati kecilnya. Dan perasaan itu, hangat dan lembut, seperti
membelai kisi?kisi hatinya yang paling dalam....
Hanya sekejap mereka saling tatap. Pintu lift keburu menutup kembali. Dan karena Taufan masih
terenyak di ambang pintu, daun pintu lift itu membentur bahunya. Menyadarkan dirinya dari pesona
yang memukau.
163
"Kamu... memanggilku?" Suara Taufan berbaur
antara harapan dan keraguan.
Arneta masih menatapnya dengan air mata berlinang. Tetapi ada sesuatu yang berubah di mata itu.
"Tolong ...." desahnya lemah.
"Antarkan aku...."
Taufan melangkah masuk. Dan menekan tombol
lantai delapan. Lalu dia berdiri di dekat pintu. Di
tempat yang paling jauh dari Arneta. Sikapnya membuat Arneta terpukul. Dan air matanya mengalir lagi.
"Maafkan aku," gumamnya lirih.
"Aku jahat
sekali kepadamu ...."
"Kamu pantas melakukannya," sahut Taufan pahit.
"Aku hanya tidak menyangka begitu berat penderitaanmu akibat perbuatanku."
Lift berhenti di lantai delapan. Taufan menahan
agar pintunya tetap terbuka. Dia tidak berani bergerak sampai Arneta melewati ambang pintu. Lagi?lagi
sikapnya memukul batin Arneta.
Dia berbalik. Dan menatap sedih kepada Taufan
yang masih tegak di dalam lift.
"Tolong," pintanya getir.
"Jangan bersikap begitu
kepadaku...."
"Aku hanya tidak ingin membuatmu takut."
Arneta memutar tubuhnya dengan cepat untuk menyembunyikan tangisnya. Dia menghambur
menyusuri lorong sunyi yang menuju ke kamarnya.
Sesaat Taufan menatapnya dengan bimbang. Sebelum memutuskan untuk mengejar wanita itu.
Ketika Taufan tiba di sana, Arneta sedang berjongkok di depan pintu kamarnya. Menutupi wajahnya sambil menangis.
164
Lama Taufan mengawasinya sebelum perlahan-lahan dia menghampiri Arneta. Tegak mematung di hadapannya. Sebelum Arneta mengangkat wajahnya.
Dan matanya bertemu dengan mata perempuan muda
itu. Mata yang basah oleh air mata. Yang memancarkan sorot yang membuat Taufan rela ditampar seribu
kali lagi pun seandainya Arneta menginginkannya.
Taufan membungkuk. Meraih wanita itu ke dalam pelukannya. Dan kali ini, Arneta tidak melawan.
Dia menyandarkan kepalanya di dada Taufan. Lalu
tangisnya meledak. Begitu hebatnya. Seakan?akan
dia telah menyimpan tangis itu berbulan-bulan untuk
dirinya sendiri.
Semua kekesalan, kemarahan, kehinaan, sakit
hati, seperti ditumpahkan sekaligus dalam tangisannya. Benteng pembatas yang memagari stres yang
dipendamnya ke alam tak sadar, kini ambruk sudah.
Arneta merasa lebih lega. Seakan-akan luka di hatinya yang telah berdarah dan bernanah sekarang mulai
mengering sembuh.
Dia dapat bernapas lebih lapang. Kepengapannya
mereda. Dan sakit hatinya jauh berkurang.
Ketika tangisnya mereda, Taufan mengangkat
dagu Arneta dengan jarinya. Dihapusnya air mata
wanita itu dengan lembut. Ditatapnya matanya dengan hangat. Dia memang sengaja membiarkan Arneta
menumpahkan tangisnya. Karena dengan menangis
wanita dapat meluapkan emosinya dan mengurangi
stresnya.
165
"Boleh mengajakmu makan?" tanyanya sambil
tersenyum lunak.
Sebenarnya Arneta tidak merasa lapar. Siapa yang
ingat makan dalam keadaan seperti ini? Tetapi ada
sesuatu di dalam mata laki-laki itu yang tak dapat ditolak. Dan Arneta merasa makin bersalah kalau menolak tawarannya.
"Boleh cuci muka dulu?"
"Silakan." Taufan melepaskan pelukannya.
"Aku
tunggu di sini saja."
***
Nasi di India memang berbeda. Baunya khas.
Kelembekannya pun lain. Tetapi Kicheri, nasi kacang
kuning yang dimakan dengan Tandouri Murgh, ayam
panggang dengan yoghurt dan pewarna merah yang
berasal dari sayuran yang disebut Tandoori, lumayan
nikmat bagi Taufan. Tetapi tidak buat Arneta.
Dia hanya bisa minum es krim. Itu pun setelah pelayan yang sudah putus asa itu menanyakan makanan
apa yang diinginkannya setelah semua makanan yang
dipesan Taufan ditolaknya.
"Mual," katanya kesal kepada dirinya sendiri
karena mengecewakan Taufan.
"Berapa bulan?"
"Apanya?"
"Kehamilanmu."
"Tidak tahu. Mungkin empat bulan. Mungkin lebih."
166
"Masuk trimester kedua seharusnya kamu sudah
tidak merasa mual lagi. Tidak pernah periksa hamil?"
Arneta menggeleng.
"Kamu tidak menginginkan bayi ini?"
Arneta menatap Taufan dengan marah.
"Kok tanya begitu?" desisnya tersinggung.
"Maaf menanyakannya. Tapi yang aku tahu, jika
seorang ibu di bawah sadarnya menolak kehadiran
janinnya, kehamilan merupakan siksaan baginya.
Mualnya lebih hebat dan lebih lama sehingga dia
menderita anoreksia, tidak mau makan."
"Aku minta buah dan sayuran segar saja," Arneta
seperti membelokkan arah percakapan mereka.
"Di India, kalau tidak di hotel besar seperti ini,
lebih baik kamu tidak menyantap sayur?sayuran
mentah."
"Kebetulan. Aku memang jarang makan."
"Dan rela membiarkan anakmu kelaparan? Tahukah kamu, dia hanya mengharapkan makanan dari
ibunya saja?"
Benarkah aku tidak menginginkan anakku, pikir
Arneta gundah. Benarkah di bawah sadarku... aku
menghendaki janin ini... gugur?
"Dengar, Arneta." Taufan menatap wanita itu
dengan sungguh-sungguh.
"Anakmu sudah berada
dalam rahimmu. Sekarang sudah terlambat untuk
mengenyahkannya. Apa pun yang terjadi dengan perkawinanmu, kalau kamu menghendaki anakmu lahir
sehat, berilah dia apa yang dibutuhkannya!"
Mengapa dia begini memperhatikanku, pikir Arneta resah. Dan mengapa dia demikian menghiraukan... anakku?
"Pergi ke dokter. Periksakan kandunganmu. Jaga
kondisimu." Taufan berhenti sebentar. Memandang
Arneta dengan ragu?ragu sebelum bertanya lagi,
"Di
mana suami mu?"
Arneta tidak menjawab. Wajahnya berubah muram.
"Maaf," gumam Taufan pahit.
"Seharusnya aku
tidak menanyakannya. Dengan siapa kamu tinggal di
sini?"
"Teman."
"Wanita?"
"Pertanyaan apa itu!" desis Arneta tersinggung.
"Maaf sekali lagi. Aku menyinggung perasaanmu?"
"Pertanyaanmu merendahkan diriku!"
"Aku tidak bermaksud demikian. Tapi aku senang
mendengar jawabanmu."
"Bahwa temanku seorang wanita?" Jantung Arneta berdebar aneh. Mengapa Taufan berkata demikian? Apakah dia... cemburu? Dan parasnya langsung
memerah.
"Boleh aku menjemputmu besok?" Suara Taufan
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu cerah. Ceria. Bersemangat.
"Ke mana?"
"Ke mana saja kamu suka."
"Besok kami berangkat ke Agra.
"Taj Mahal?"
168
BAB XVII
TAJ MAHAL. Salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Monumen agung yang selesai dibangun pada tahun 1643 itu berdiri dengan megahnya di kejauhan.
Tiang-tiangnya tampak demikian serasi dan simetris.
Kubahnya yang besar, putih dan bulat, tampak kokoh
menjulang ke angkasa.
Rombongan Arneta tidak besar. Hanya terdiri dari
beberapa wanita dan seorang pemandu wisata pria.
Seorang arkeolog India yang mengenakan sorban.
Tubuhnya tinggi besar. Kulitnya hitam seperti Gurkha. Pengetahuannya tidak memalukan sebagai pemandu wisata.
Ketika Taufan melewati gerbang Taj, pemandu itu
sedang menerangkan sejarah Taj Mahal. Turis?turis
yang dipandunya, dan beberapa orang wisatawan lain
yang ikut mencuri dengar, berjejer di sampingnya.
Asyik mendengarkan ceritanya sambil memandang
lurus ke depan.
Taufan tegak agak ke belakang. Mengawasi Arneta. Sekaligus menatap monumen dari abad ketujuh
belas di hadapannya.
Nun jauh di depan sana, di ujung Chahar bagh
yang terbentang luas, berdiri dengan megahnya, Taj
169
Mahal. Musoleum terindah di dunia yang dibangun
Shah Jehan untuk istrinya tercinta, Mumtaz Mahal.
Bangunan yang dibuat dari batu pualam putih
bergaya klasik Persia, yang dipersembahkan oleh
seorang raja sebagai manifestasi cintanya yang abadi
untuk almarhum istrinya yang meninggal dalam usia
muda.
Karena tak ada bangunan yang menjulang dan
pepohonan tinggi di sekitarnya, Taj Mahal seakan-akan menyembul sendirian di keabadian alam.
Hanya birunya langit yang menudungi kubah
marmernya yang putih bersih. Yang seakan tak pernah tersentuh debu dan polusi.
Sementara Sungai Yamuna yang melatarbelakangi Taj Mahal selama tiga setengah abad mengalir tenang, seperti menjanjikan kesejukan abadi sekalipun
dalam teriknya matahari musim panas.
Selesai menceritakan sejarah Taj Mahal, pemandu
itu mengajak rombongannya menyeberangi lapangan
luas di depan Taj. Tentu saja Arneta tahu siapa yang
mengikutinya dalam jarak hanya beberapa meter di
belakangnya. Yang Arneta tidak tahu hanyalah siapa
yang lebih diperhatikan Taufan. Taj Mahal. Atau dirinya.
Walaupun tidak berani menoleh, Arneta dapat
merasakan tatapan Taufan di belakang tubuhnya.
Dan entah dari mana datangnya perasaan itu, tiba-tiba saja Arneta menyesal, mengapa bentuk tubuh seorang wanita harus berubah jika sedang hamil.
Setelah mengelilingi Taj, mereka masuk ke dalam
170
musoleum. Pemandu wisata itu menyorotkan senternya ke dinding, supaya anggota rombongannya
dapat menikmati keindahan dinding marmer yang
sangat menakjubkan itu.
Lalu mereka menyambangi kuburan Shah Jehan
yang berdampingan dengan makam Mumtaz Mahal.
Beberapa orang India sedang meletakkan bunga-bunga segar di depan makam itu. Menyiratkan nuansa
khusuk yang ganjil pada sebuah makam yang dikunjungi sekian banyak manusia dari seluruh dunia.
Cintanya begitu abadi, pikir Arneta ketika dia sedang merenungi makam kedua sejoli itu. Masih adakah cinta semurni itu dewasa ini? Ketika kelainan
dan kebebasan seks sedang menggejala? Betapa sulitnya mempertahankan cinta dan kehormatan dalam
dunia yang sedang sakit ini!
"Mereka sudah keluar." Arneta tidak tahu sudah
berapa lama Taufan berdiri di dekatnya. Tetapi ketika
dia menoleh, teman?temannya memang sudah lenyap.
"Sekarang acara bebas. Kamu masih mau melamun di sini?"
"Ada pilihan lain?"
"Boleh foto bersamamu?"
"Di mana?"
"Di depan. Di dalam sini dilarang memotret."
Ketika Taufan melihat keresahan Arneta, segera
disambungnya,
"Takut suamimu marah kalau menemukan foto
kita? Jangan khawatir, biar aku saja yang menyimpannya."
171
***
Lama mereka duduk berjuntai di lantai, memandangi bangunan megah yang perlahan-lahan sedang
ditelan malam itu. Keremangan senja membiaskan
cahaya kemerahan yang magis.
Keheningan mulai menyelimuti lapangan, luas
yang mulai sepi. Satu per satu pengunjung mulai
meninggalkan Taj Mahal. Tetapi saksi sejarah itu
masih tetap tegak dalam keabadian. Seakan malam
pun tak mampu menenggelamkannya dalam bayang bayang.
Keempat tiang utamanya tetap menjulang gagah
menyapa langit yang merona merah. Sementara kubahnya yang cantik tetap berdiri kokoh, sekokoh cinta Shah Jehan kepada istrinya.
Dibuai suasana yang melelapkan, Arneta tidak
melawan ketika Taufan merengkuhnya sampai tubuh
mereka merapat dalam keremangan senja.
"Pulanglah bersamaku, Arneta," pinta Taufan
sungguhsungguh. Setelah dua hari bersama wanita
ini, Taufan merasa tidak ingin berpisah lagi.
"Ada
kereta api berangkat ke Delhi jam setengah sembilan
malam nanti. Jam sepuluh tiga puluh kita sudah sampai di sana. Pukul lima pagi kita terbang ke Jakarta.
Bagaimana? Mau kabur lagi bersamaku?"
"Tapi kali ini aku tidak bersama suamiku. Buat
apa kabur?"
"Aku tidak ingin berpisah lagi."
Arneta terdiam. Sungguh hubungan yang aneh.
Mereka dipertemukan dalam kenistaan. Lelaki ini
172
memaksanya menyerahkan kehormatannya. Dia masuk dengan paksa ke dalam hidupnya.
Taufan meluluhlantakkan kehormatannya. Arneta
seperti ditenggelamkan ke dalam telaga kenistaan.
Ada masa di mana dia merasa begitu hinanya seperti pelacur. Tetapi mengapa... mengapa kini dia juga
merasa berat untuk berpisah? Walaupun bingung,
Arneta terpaksa mengakui, bukan hanya Taufan yang
tidak ingin berpisah!
"Kamu... mengajakku pulang ke Jakarta...?"
tanya Arneta terbata?bata. Pulang. Jakarta. Paula Usman. Rivai
"Sebenarnya aku cuma sedang melarikan diri."
Apa bedanya dengan diriku? Aku juga sedang
melarikan diri dari Paula dan Rivai!
"Aku melarikan diri dari perasaan bersalah. Tapi
kini aku sadar, di mana pun aku berada, perasaan itu
tetap mengusikku."
"Kamu... pernah berbuat jahat?"
"Bukan seperti yang kamu sangka."
"Tidak sengaja?"
"Ceritanya panjang. Kita punya waktu dua jam
dalam kereta ke Delhi."
"Mengapa tiba-tiba mau meninggalkan India?"
"Apa lagi yang kucari di sini?"
"Wanita yang memeliharamu?"
"Aku sudah mengucapkan selamat berpisah."
"Kamu... mencintainya?"
Lama Taufan terdiam sebelum menjawab dengan
suara pahit.
"Ya. Kupikir aku memang mencintainya. Dia tipe
173
seorang wanita tempat seorang laki-laki ingin kembali kalau sudah letih."
"Mengapa meninggalkannya?"
"Karena dua orang wanita."
"Dua?"
"Yang pertama sudah meninggal. Karena merasa
bersalah kepadanya, aku berniat menghukum diriku
sendiri. Aku kemari untuk memutuskan hubunganku
dengan Helga. Kuanggap hidupku bersamanya terlalu enak."
"Dan... yang kedua?"
"Kamu membuatku ingin hidup kembali."
Arneta menatap Taufan dengan ganjil. Dalam
kegelapan, matanya yang bening tampak bersinar cemerlang.
"A... aku...?"
"Maukah kamu menemani lelaki yang sudah kamu
bangkitkan dari kematian ini ke Jakarta? Supaya aku
berani hidup menghadapi kenyataan biarpun harus
menanggung beban perasaan bersalah seumur hidupku?"
Beranikah aku mendampingimu pulang ke Jakarta, keluh Arneta bingung. Menemui Paula dan Rivai?
Tetapi kalau tidak... sanggupkah aku berpisah dengan... lelaki ini?
***
Dengan alasan urusan keluarga yang amat mendesak, Arneta memisahkan dirinya dari rombongan.
174
Tentu saja Dila kesal. Sekarang dia terpaksa tidur
seorang diri di kamarnya. Padahal perjalanan masih
cukup jauh.
"Dulu kamu selalu mau cepat?eepat pulang karena takut kepada suamimu! Sekarang mau buru?buru pulang supaya bisa pergi berduaan dengan lelaki
itu?"
Arneta tidak dapat menjawab. Tentu saja dia
merasa bersalah kepada Dila. Meninggalkannya begitu saja bukan perbuatan terpuji. Tetapi... dia harus
bagaimana lagi?
Terus terang, dia sendiri takut pulang ke Jakarta.
Kasus Paula Usman sedang ramai-ramainya. Rivai
pun mungkin tengah uring-uringan. Buat apa dia
pulang sekarang?
Tetapi Taufan... ah, Arneta sendiri bingung. Mengapa dia tidak sampai hati menolak permintaan lelaki
itu? Sebenarnya bukan hanya tidak sampai hati. Dia
sendiri merasa enggan berpisah....
"Kesalahan yang kulakukan kepadamu tak terampuni seumur hidup, Arneta," terngiang kembali pengakuan Taufan.
"Aku sangat menyesal. Rasanya aku
rela melakukan apa pun untuk menebus dosaku..."
Dia rela melakukan apa pun untuk menebus
dosanya, pikir Arneta resah. Mengapa aku pun rela
mengorbankan kepentinganku untuk mendampinginya ke Jakarta?
"Aku tidak memaksamu, Arneta," kata Taufan sabar ketika melihat keraguan Arneta.
"Jika kamu lebih
suka tinggal di India lebih lama..."
175
"Bawalah aku pulang," potong Arneta sendu. Aku
tidak mampu berpikir lagi. Hanya mengikuti naluriku
saja....
Akhirnya Arneta ikut Taufan ke stasiun. Dan
menyaksikan peron yang paling menyayat hati yang
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah dilihatnya.
Puluhan gelandangan tidur berdesak-desakan di
stasiun. Berbaur dengan orang yang hendak naik
kereta api. Amat sulit membedakan mana penumpang
yang hendak berpergian, mana yang cuma menumpang tidur.
Karena beberapa orang yang menunggu kereta
juga tidak segan-segan menggelar tikar dan berbaring di peron. Buntalan yang mereka bawa, hampir tak
ada bedanya dengan bungkusan milik para gelandangan. Pakaian merekapun hampir sama lusuhnya.
Dalam suasana yang hiruk-pikuk, beberapa orang
anak kecil ikut mendesak-desak sambil menadahkan tangan meminta sedekah. Anak yang lebih besar
malah berani mencolek-colek lengan menawarkan
barang dagangan.
Arneta sudah melekat rapat ke tubuh Taufan sambil memegangi tasnya erat-erat. Sementara Taufan
yang menjinjing kedua koper mereka, berdesakan
maju untuk mencapai pintu kereta.
Untung mereka masih dapat karcis kelas utama,
padahal kereta yang penuh sesak itu sudah hampir
berangkat.
Karena terburu-buru melangkah, hampir Arneta
menginjak seorang pengemis cacat yang tengah melata di tanah sambil menadahkan tangan.
176
"Maaf," cetus Arneta spontan. Dengan gugup dia
melemparkan satu rupee, satu-satunya uang yang
masih tersisa di saku jaketnya.
Sambil melempar dia berdoa semoga tak ada
pengemis lain yang melihat. Kalau tidak... aduh. Dia
akan dikerubungi pengemis lagi....
Arneta menoleh ke sekitarnya sambil buru-buru melangkah di samping Taufan. Untung tidak ada
yang mengejarnya. Anak-anak kecil yang mengemis
tadi juga sudah tidak kelihatan lagi.
Taufan sedang menanyakan gerbong mereka
kepada seorang petugas ketika Arneta menoleh ke
kanan Astaga! Ada seorang pengemis sedang menatapnya. Seorang lelaki tua kumal berpakaian lusuh
yang sedang duduk di atas tikar, memeluk bungkusan
kainnya....
Sebelum Taufan tahu, lebih baik buru-buru diberinya pengemis ini sedekah. Supaya dia jangan diserbu lagi.
Tetapi Arneta sudah tidak punya uang. Dia cuma
punya sepotong roti sisa sarapannya tadi pagi. Tanpa
berpikir lagi, Arneta mengeluarkan roti itu. Secepat
kilat disodorkannya kepada si pengemis. Dan... Ya
Tuhan!
Lelaki itu menggoyangkan tangannya. Menolak
pemberiannya! Aduh, malunya! Ternyata lelaki kumal itu bukan pengemis! Dia penumpang yang sedang
menunggu kereta api....
***
177
"Hampir enam tahun aku tidak berani pulang
ke Indonesia," Taufan menggigit rotinya dengan
murung.
"Takut dibunuh ayah pasienku."
Kereta api sedang melaju cepat menuju Delhi.
Semua penumpang mendapat senampan makanan.
Tetapi Arneta tidak ingin menyentuhnya.
Kabin mereka penuh, tapi tidak sesak seperti di
gerbong lain. Udara pun cukup sejuk, karena kelas
utama di kereta itu berpendingin ruangan.
"Itu yang membuatmu merasa bersalah?"
Perasaan simpati mulai menjalari hati Arneta ketika
mendengar kisah laki-laki itu.
"Aku merasa bersalah kepada pasienku. Dia
menaruh harapan padaku sebagai dokternya. Aku
menyia-nyiakan harapannya."
"Bukan seluruhnya salahmu. Kamu sudah berusaha menyembuhkannya. Tapi Tuhan berkehendak
lain...."
"Sebagai dokter, aku yang bertanggung jawab.
Mengapa Suster Andini yang harus menanggung hukumannya?"
"Suster Andini... dihukum?" belalak Arneta iba
"Dia menghukum dirinya sendiri."
"Apa... yang dilakukannya...?"
"Membunuh diri."
Arneta terenyak. Ditatapnya Taufan dengan getir.
Sekarang dia dapat merabarasakan penderitaan laki-laki ini. Betapa berat perasaan bersalah yang harus
ditanggungnya!
"Karena dia... merasa bersalah? Atau... merasa
kehilangan?"
178
"Mungkin kedua-duanya."
"Itu yang menambah rasa berdosamu." Arneta
menghela napas berat. Suaranya lunak. Nadanya pahit.
"Kamu mengira, kepergianmulah yang menyebabkan Suster Andini membunuh diri."
"Bukan itu saja," sambung Taufan lirih.
"Sehari
setelah mengantarkanmu ke Jakarta, aku mengunjungi mantan direktur rumah sakit, Dokter Burhan
Effendi. Hendak menanyakan di mana Suster Andini
sekarang."
"Dia yang mengatakan kepadamu Suster Andini
sudah meninggal?"
"Ada lagi yang membuatku sangat terpukul."
"Dokter Tiarno?"
"Yang ini tidak ada hubungannya dengan dia."
"Apa yang terjadi?"
"Ketika membunuh diri, Suster Andini sedang
hamil."
Arneta tertegun. Kali ini lebih lama.
"Perbuatanmu?" Ingin dia mencetuskan pertanyaan itu. Tetapi tidak berani....
"Pernahkah kamu merasa begitu berdosa sampai
rasanya tidak ingin hidup lagi?" Suara Taufan begitu
getir tertekan. Diremasnya gelas plastik minumannya
sampai remuk.
"Pernahkah kamu merasa begitu tak
berguna karena tidak mampu menolong orang yang
kamu sayangi? Pernahkah kamu merasa jijik kepada
dirimu sendiri karena pergi melarikan diri pada saat
seseorang sangat membutuhkan dirimu?" Taufan
mengatupkan rahangnya menahan emosi. Wajahnya
179
berkerut seperti menahan nyeri yang amat sangat.
"Aku pengecut! Pengecut!"
Arneta tidak mampu membuka mulutnya. Heran.
Dia seperti dapat merasakan sepenuhnya kesakitan
yang dirasakan laki-laki itu. Dia ikut merasa nyeri.
Ikut merasa terguncang.
Tidak sadar dia mengulurkan tangannya. Dan
meremas tangan Taufan dengan lembut.
Ketika tengah memejamkan matanya, tiba-tiba saja bayangan Paula Usman melintas di depan
matanya.
Apa bedanya dia dengan diriku? Aku juga pergi
melarikan diri pada saat seseorang sangat membutuhkan diriku. Aku juga seorang pengecut!
180
BAB XVIII
BEGITU sampai di rumah, Arneta langsung
menanyakan perkembangan kasus Paula Usman.
"Tidak ada kemajuan," sahut ayahnya yang rajin
mengikuti berita?berita di koran.
"Rasanya dia bakal
gagal."
"Paula tidak punya bukti apa-apa," sambung ibunya iba.
"Dia diketahui punya banyak teman pria. Beberapa orang malah bersedia bersaksi, sering berkencan dengan Paula."
"Entah berapa Rivai membayar mereka!" geram
ayahnya gemas.
"Masa bekas pacarnya sendiri memihak Rivai!"
"Mungkin juga lelaki itu sakit hati kepada Paula,"
bantah Ibu.
"Paula kan sering gonta-ganti pacar!"
Arneta terenyak. Barangkali benar Paula senang
bergantiganti pacar. Dia cantik. Masih muda. Atraktif. Dan belum menikah.
Tetapi bagaimanapun kualitas moralnya, Rivai tidak berhak memperlakukannya seperti itu!
Bagaimanapun genitnya Paula, dia tentu tidak mau
diperkosa dan dianiaya seperti binatang!
"Rivai sudah sesumbar akan menuntut balik Paula
Usman. Menuduhnya memfitnah dan merusak nama
baik."
181
"Saksi-saksi yang dihubungi semua memuji Rivai." Ibu Arneta menghela napas berat.
"Ya, siapa
yang percaya? Ibu saja bisa terkecoh!"
"Satu-satunya cacatnya hanyalah dia baru saja
bercerai," kata Ayah lambat-lambat.
"Seandainya dia
masih menjadi suamimu, rasanya kasus pelecehan
seksual ini bisa ditutup lebih cepat."
"Karena itu mereka mencarimu, Arneta. Beberapa
wartawan malah sudah berani menelepon kemari. Ibu
rasa, lebih baik kamu menyingkir dulu. Jika kamu tidak mau ke luar negeri lagi, bersembunyilah di rumah peristirahatan kita di Gadog."
Tetapi mengapa aku yang harus bersembunyi,
pikir Arneta murung. Bukankah Rivai yang bersalah?
"Rivai juga sudah beberapa kali menelepon mencarimu. Tidak tahu mau apa lagi bajingan itu."
"Ibu sudah mengatakan kamu di luar negeri. Kalau mereka tahu kamu sudah kembali, Rivai dan para
wartawan itu pasti mencarimu!"
***
"Ke mana suamimu?" tanya Taufan ketika beberapa hari kemudian dia mengunjungi Arneta di rumah
orangtuanya.
Dia baru saja kembali dari Medan. Mengunjungi
makam Suster Andini. Ternyata Andini pulang ke rumah orangtuanya sebulan sesudah Taufan pergi. Di
sanalah dia menyembunyikan kehamilannya sampai
saat membunuh diri.
182
Orangtua Andini tidak mau bercerita banyak.
Tampaknya mereka sangat tidak menyukai Taufan.
Mereka menimbulkan kesan menutup diri. Dan tidak
suka mengungkit ungkit lagi masa lalu putrinya.
Akhirnya Taufan kembali ke Jakarta. Dan karena
baru kembali dari India, Taufan tidak tahu-menahu
tentang kasus Rivai Maringka.
"Ke luar negeri," sahut Arneta spontan.
Sesudah menjawab, baru dia menyesal. Mengapa
harus membohongi Taufan? Tetapi berterus terang
pun Arneta tidak berani. Dia takut Taufan semakin
mendekatinya jika tahu dia sudah bercerai. Padahal
Rivai sudah bersumpah.
"Kalau aku tidak bisa memilikimu, orang lain
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga tidak!"
Dan Arneta percaya sekali, Rivai tidak main-main
dengan ancamannya Dia sakit!
"Parasmu pucat sekali," cetus Taufan cemas.
"Istirahatlah. Mungkin terlalu lelah. Besok saja kujemput."
"Ke mana?"
"Ke dokter."
"Aku tidak sakit!"
"Bukan cuma orang sakit yang perlu ke dokter."
"Apa yang harus diperiksa?"
"Kehamilanmu."
"Aku tidak merasa ada yang salah dengan kehamilanku."
"Tapi kamu tetap harus melakukan pemeriksaan
183
antenatal. Demi bayimu. Dan demi kesehatanmu
sendiri."
"Kamu dokter, kan? Mengapa tidak kamu periksa
sendiri?"
"Aku sudah berhenti jadi dokter." Taufan
tersenyum pahit.
"Apalagi kalau pasiennya kamu."
"Apa yang salah dengan diriku?"
"Tidak ada. Yang salah aku."
"Sudah lupa ilmumu?"
"Tidak ada kepercayaan diri lagi. Trauma itu sangat berat. Aku sudah bersumpah tidak akan menjadi
dokter lagi."
"Juga kalau ada yang memerlukan pertolonganmu?"
"Masih banyak dokter lain."
"Kalau kebetulan tidak ada dokter?"
"Pergilah ke sinse. Ke tabib. Ke dukun. Atau, persetan, ke mana saja! Jangan datang kepadaku! Aku
bukan dokter!"
"Kalau aku yang membutuhkan pertolongan dokter?"
"Akan kubawa kamu ke dokter yang paling pintar!"
"Kalau tidak punya uang untuk membayar dokter?"
"Kujual diriku sekalipun aku tidak menyesal."
"Kalau tidak sempat lagi?"
"Mengapa tidak sempat?"
"Para dokter menyebutnya apa? Emergency case?
"Akan kularikan kamu ke unit gawat darurat."
"Kalau tidak ada waktu lagi?"
184
"Jangan mengujiku, Arneta!"
"Seseorang harus mengembalikan kepercayaanmu."
"Percuma. Aku sudah hancur. Tidak sanggup
menjadi dokter lagi."
"Aku yakin kamu masih berguna bagi sesamamu."
"Bukan sebagai dokter."
"Di suatu tempat, pada suatu masa nanti, kamu
pasti masih dapat menolong pasien."
"Kamu tidak mengerti ...."
"Aku mengerti sekali. Aku malah tidak mengerti mengapa begitu mudah bagiku untuk memahami
penderitaanmu."
"Kamu bukan dokter. Kamu tidak tahu bagaimana
rasanya kehilangan pasien karena kesalahanmu!"
"Tapi aku dapat merasakannya. Aku hanya tidak
ingin kamu menyia-nyiakan hidupmu."
"Hidupku memang sudah sia?sia!"
"Kalau begitu, buat apa kamu ajak aku pulang ke
Jakarta?"
Taufan tidak menjawab. Dia hanya menatap Arneta dengan tatapan hampa.
"Kamu pernah mengatakan, aku yang telah membangkitkan kembali semangat hidupmu. Itu cuma bohong belaka?"
"Kamu tidak tahu arti dirimu bagiku. Kamu muncul pada saat hidup pun aku sudah merasa enggan."
"Kalau begitu," pinta Arneta lembut.
"Buktikanlah. Biarkan Dokter Herikusumanto hidup kembali!"
Taufan menatap Arneta dengan berbagai perasaan.
185
Seandainya aku tidak berjumpa lagi denganmu,
pikirnya dengan putus asa. Tetapi... masih adakah
gunanya berjumpa lagi? Kamu sudah milik orang
lain.... Di rahimmu telah hadir anak lelaki itu!
***
"Semuanya baik," kata Dokter Arif selesai memeriksa Arneta dengan perasat Leopold.
"Kehamilan
kira-kira dua puluh minggu. Mari kita lihat USG-nya.
Mau ikut, Her?"
Taufan melongok dari balik tirai. Menatap Arneta dengan ragu-ragu. Seakan minta izinnya. Arneta
cuma mengangguk. Tanpa berkata apa-apa, Taufan
berdiri di dekat sejawatnya. Di depan monitor USG.
Seorang perawat menyelimutkan sehelai kain putih ke atas perut Arneta. Lalu menurunkannya sampai
sedikit lebih atas dari tulang pubisnya.
Dokter Arif mengoleskan jel ke atas perut Arneta.
Lalu menyalakan monitornya.
"Itu dia," katanya sesaat kemudian sambil menunjuk monitornya
"Ini kepalanya. Lihat?"
Arneta mengangguk meski dia cuma melihat
garis garis dan titik-titik tak beraturan di layar monitor. Itukah anaknya?
Ada secercah perasaan ganjil menyelusup ke hatinya ketika melihat gambar di layar itu... gambar
yang tidak dimengertinya, tapi yang menunjukkan
kehidupan.... Ada kehidupan lain dalam dirinya....
Anaknya hidup!
186
Tak terasa air matanya meleleh. Dia merasa sangat terharu. Anaknya! Darah dagingnya! Benarkah
dia anak Rivai? Atau
Di depan monitor, Taufan juga sedang tercenung.
Seandainya... ya, seandainya janin itu anaknya... Seandainya wanita ini istrinya...
Sebuah perasaan aneh menyelinap ke dadanya.
Perasaan yang asing. Yang belum pernah dirasakannya. Perasaan yang muncul begitu saja ketika melihat janin itu... inikah naluri kebapakan? Mungkinkah
naluri itu muncul terhadap anak orang lain?
"Sampai sebegitu jauh, semua baik," Dokter Arif
memadamkan monitornya.
"Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Bulan depan Anda boleh datang untuk periksa lagi. Dokter Heri sudah memberikan Vitamin-vitamin yang diperlukan?"
"Aku bukan dokter lagi," potong Taufan datar.
"Kau saja yang bikin resepnya."
"Lho, orang awam juga boleh kan beli vitamin?"
"Jangan bercanda. Bikin resepnya sekalian s.p.
untuk lab."
"Kau belum lupa ilmumu, kan, Her?"
"Sudah tidak ada sepotong pun di kepalaku." Taufan mendahului sejawatnya berjalan menuju ke meja
tulis.
"Beri dia Vitamin yang terbaik, Rif. Periksa
darahnya di laboratorium dekat rumahmu saja, ya?
Kalau laborannya masih yang dulu, venanya jarang
jebol."
"Ah, khawatir banget sih! Apamu sih dia, Her?"
bisik Dokter Arif ketika Arneta sedang berpakaian di
balik tirai.
187
"Teman."
"Calon?"
"Ngaco!"
"Tampaknya hubungan kalian cukup dekat."
"Nggak lucu."
"Kamu pasti belum lupa, dukungan moral suami
sangat dibutuhkan wanita hamil."
"Suaminya sedang ke luar negeri."
Dokter Arif tidak jadi bertanya lagi. Arneta sudah
keluar dari balik tirai. Taufan menyorongkan kursi
untuk Arneta.
"Ini resepnya. Dan ini surat pengantar untuk
periksa darah di laboratorium. Kalau sudah ada hasilnya, tunjukkan saja kepadanya. Saya yakin, Dokter
Heri belum lupa sama sekali pada ilmunya."
"Terima kasih, Dokter." Arneta membuka tasnya
dan mengeluarkan dompetnya.
"Berapa, Dok?"
"Ah, tidak usah, Arneta. Boleh ya panggil Arneta saja? Heri teman baik saya kok. Temannya teman
saya juga. Jadi jangan panggil saya dokter! Panggil
saja Arif."
"Terima kasih."
Dengan ramah Dokter Arif mengantarkan mereka
ke pintu kamar prakteknya. Sesaat sebelum Taufan
keluar, Arif memegang bahunya.
"Aku ikut menyesal soal Suster Andini," katanya
dengan suara rendah.
"Kau sudah dengar, kan?"
Taufan mengangguk. Wajahnya berubah kaku.
"Aku menyesal tidak mengetahuinya lebih cepat.
Kalau dia datang kepadaku, mungkin aku dapat menolongnya."
188
Taufan cuma mengangguk. Tanpa menoleh lagi,
dia meninggalkan Arif. Menyusul Arneta yang sudah
berjalan lebih dulu.
"Dokter Arif baik sekali, ya?" cetus Arneta.
Karena Taufan tidak menjawab, Arneta menoleh.
Dan melihat betapa muramnya wajah laki-laki itu,
dia menjadi cemas.
"Ada apa?" Tidak sadar Arneta memegang lengan
Taufan.
"Tentang kehamilanku? Sesuatu yang tidak
dikatakannya kepadaku?"
"Tentu saja tidak. Semua baik."
"Kamu membuatku takut!"
"Tidak ada apa-apa. Dia hanya minta maaf karena
tidak dapat menolong Suster Andini."
Arneta menatap Taufan dengan iba.
"Maafkan aku," gumamnya perlahan.
Taufan hanya mengangguk. Dia membukakan
pintu mobil buat Arneta. Tetapi belum sempat Arneta
masuk ke dalam mobil, sebuah jip berhenti di samping mereka. Seorang laki-laki melompat turun. Dan
menegurnya dengan suara bernada tidak percaya.
"Arneta?"
Terperanjat Arneta memutar kepalanya. Dan dia
hampir tidak mempercayai penglihatannya sendiri.
"Toni?" desahnya tertahan.
Terlambat untuk menyembunyikan keriangannya.
Suaranya tak mampu meredam kelegaan hatinya. Taufan sampai berpaling dengan perasaan tidak enak.
Siapa yang dapat membuat Arneta begitu gembira?
Dan perasaannya tambah tidak enak melihat lelaki muda yang ganteng itu. Tubuhnya tinggi tegap.
189
Matanya tajam. Dagunya kokoh. Rahangnya kuat.
Dia benar?benar menampilkan sosok seorang jantan.
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Usianya pun masih sangat muda. Barangkali hanya setahun lebih tua dari Arneta. Jipnya keluaran
tahun terbaru yang harganya saja di atas seratus juta.
Pantas saja Arneta begitu gembira bertemu dengan
dia!
"Halo, Manis!" Lelaki itu langsung memegang
lengan Arneta tanpa canggung.
"Apa kabar?"
"Baik," sahut Arneta tersendat. Karena tidak
pernah menghubunginya lagi, Arneta malah pernah
berpikir jangan-jangan Rivai sudah menghajar Toni
karena lancang pergi dengan istrinya.
"Kamu sendiri?"
"Rivai menyewa dua orang Zulu untuk menghajarku," Toni menyeringai pahit.
"Untung mereka tidak membunuhku."
"Ya Tuhan!" Arneta menebah dadanya. Parasnya
memucat.
"Aku tidak tahu...."
"Tidak apa-apa. Suamimu memang bajingan.
Kudengar sudah ada wanita yang coba menuntutnya
"Sedang apa kamu di sini, Toni?" potong Arneta
gugup. Khawatir Taufan mendengar kata?kata Toni.
"Kamu tidak sakit, kan?"
"Sejak dipukuli mereka, kepalaku sering sakit.
Aku sudah periksa semuanya. EEG, CT scan, foto
tengkorak. Semuanya baik. Kata dokter, mungkin
cuma gejala post comotio cerebri. Akibat gegar otak
yang kuderita saat di Afrika Selatan."
190
"Aku menyesal sekali...."
"Bukan salahmu."
"Bagaimana Ivon? Dia baik?"
"Sehat. Kalau itu yang kamu maksud." Toni
tersenyum masam.
"Kamu sendiri sedang apa di sini?
Sakit apa?"
Arneta hanya menggelengkan kepalanya. Dan dia
baru ingat untuk menoleh kepada Taufan ketika Toni
mengundangnya minum.
Tetapi belum sempat Arneta membuka mulutnya,
Taufan sudah mendengus dengan kasar.
"Aku pulang duluan."
"Taufan," desah Arneta dengan perasaan serba
salah.
"Kenalkan dulu, Toni Tambing, temanku waktu SMA."
Tetapi Taufan sudah berlalu tanpa menoleh lagi.
Dengan sengit dia masuk ke dalam mobil dan membanting pintu.
"Tidak apa-apa," cetus Toni tegas.
"Nanti kuantarkan kamu pulang. Kita ngobrol sambil minum.
Banyak yang ingin kutanyakan sejak tiba?tiba kamu
menghilang dari Afrika."
Tetapi Arneta sudah tidak berminat lagi. Dia melihat betapa terpukulnya Taufan. Betapa sakitnya
tatapan matanya. Dan heran. Tiba-tiba saja dia ikut
merasa sakit.
"Taufan, tunggu!" seru Arneta sambil buru-buru masuk ke dalam mobil Taufan yang sudah mulai
bergerak.
"Arneta?" panggil Toni kecewa.
l9l
"Sampai bertemu lagi, Toni!" Arneta melambaikan tangannya.
Dan mobil meraung pergi. Meninggalkan segumpal debu buat Toni.
"Kok marah?" tanya Arneta hati-hati.
"Kamu begitu gembira melihatnya."
"Toni teman baikku."
"Bekas pacarmu waktu SMA?"
"Antara kami sudah tidak ada apa-apa lagi." Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Arneta sendiri heran.
Untuk apa pernyataan itu? Taufan toh bukan suaminya!
"Pantas saja Rivai menyuruh orang menghajarnya!" gerutu Taufan jengkel.
Arneta menatap Taufan dengan bingung.
"Mengapa kamu marah?"
Taufan tidak menjawab. Tiba?tiba saja pertanyaan
itu menyentakkan kesadarannya. Mengapa dia harus
marah? Mengapa hatinya terasa sakit? Inikah... cemburu?
"Maafkan aku," desisnya tawar.
"Seharusnya aku
tidak berhak marah."
Cemburukah dia, pikir Arneta resah. Karena aku
tampak begitu gembira melihat Toni? Apa haknya
mencemburuiku? Aku bukan apa-apanya! Tetapi...
mengapa aku tidak merasa kesal dicemburui oleh
orang yang tidak berhak?
Sebuah gerakan halus menyentakkan perutnya.
Tidak menyakitkan. Sama sekali tidak. Tapi membuat paras Arneta langsung memucat.
192
Gerakan itu memberi sensasi aneh yang belum
pernah dirasakannya gerakan itu merupakan komunikasi pertama yang terjalin antara ibu dan anak. Sang
jabang bayi seakan menegurnya dengan lembut. Dan
refleks Arneta membalasnya dengan mengelus perutnya.
"Kenapa?" tanya Taufan, tanggap melihat gerakan Arneta.
"Perutmu sakit? Atau dia bergerak?"
Melihat Arneta duduk separo mengejang di sampingnya, Taufan segera menepikan mobilnya. Wajah
wanita itu tampak amat tegang. Seakan?akan sedang
menantikan sesuatu.
"Ada apa?" desak Taufan lagi.
Tanpa menjawab Arneta meraih tangan Taufan.
Dan menaruhnya di atas perutnya
"Kamu rasakan?" tanyanya gugup.
Taufan menggeleng.
"Aku tidak merasakan apa?apa"
Arneta menatap Taufan dengan bimbang.
"Benarkah... dia... bergerak?"
"Pada primigravida, ibu yang baru pertama kali
hamil, biasanya gerak baru mulai dirasakan pada bulan kelima kehamilan. Pada multigravida, kadangkadang bulan ke empat sudah terasa. Jangan takut,
Arneta. Kurasa anakmu hanya ingin menyapa ibunya."
"Oh, kamu tidak tahu bagaimana rasanya," gumam Arneta gemetar menahan haru. Air matanya
berlinang. Tapi matanya bersinar. Membiaskan kilau
keharuan ke hati Taufan.
"Dia bergerak, Taufan! Dia
benar-benar ada di dalam perutku ...."
193
"Dia memang berada di sini." Taufan membelai
perut Arneta dengan lembut.
"Setiap detik bertumbuh
dan bertambah besar...."
Arneta menyingkirkan tangan Taufan dengan halus. Dan memperbaiki letak duduknya. Air mukanya
sudah lebih tenang.
"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan."
"Soal apa?"
"Bayi ini."
"Mengapa tidak kamu tanyakan kepada Dokter
Arif?"
"Aku malu."
"Tentang penyakit?"
"Apakah penyimpangan seksual diturunkan pada
anak?"
Tertegun Taufan menatap Arneta. Wanita itu
membalas tatapannya antara jengah dan khawatir.
"Tidak," sahut Taufan setelah lama terdiam.
"Deviasi seksual lebih banyak ditentukan oleh faktor
lingkungan daripada genetik."
"Terima kasih." Arneta menarik napas lega.
"Untuk pertama kalinya setelah tahu hamil, aku merasa
plong."
"Boleh tanya, Arneta? Jangan jawab kalau tidak
mau."
Arneta menatap langsung ke mata Taufan. Dan
merasa heran. Dia dapat membalas tatapan laki-laki
itu tanpa merasa malu, meskipun harus membuka rahasia perkawinannya.
194
"Aku tahu apa yang ingin kamu tanyakan," katanya tenang.
"Rivai memang sadis. Dia baru memperoleh kepuasan bila menyakiti dan memperkosa
pasangannya."
"Penderitaanmu sangat berat"
"Yang membuatku bingung, kadang-kadang dia
lupa pada apa yang telah dilakukannya."
"Lupa?"
"Dia menyangkal telah memperkosa dan menganiayaku. Dia tidak mengakui pernah menjualku kepadamu."
Taufan mengerutkan dahinya dengan bingung.
"Selain mengidap deviasi seksual, mungkinkah
Rivai juga mempunyai kepribadian ganda?"
"Maksudmu, dia bukan berpura-pura lupa?"
Taufan mengangguk.
"Ada sesuatu pada masa kanak-kanaknya. Suatu
peristiwa yang membekaskan trauma hebat dalam
jiwanya. Dia memunculkan pribadi yang lain setiap
kali melakukan kesalahan, untuk menghindari hukuman. Jadi seolah?olah bukan dia yang melakukannya."
"Apakah Rivai mengetahui kelainannya?" tanya
Arneta sedih.
Taufan menggeleng.
"Dia kenal pribadi yang lain itu. Tetapi jika dia
sedang menjadi Rivai, mereka seolah-olah dua orang
yang berbeda. Dengan menjadi pribadi yang kedua,
Rivai bebas dari perasaan bersalah, karena bukan dia
195
yang melakukan kejahatan. Id-nya, tidak usah lagi
dikontrol oleh ego dan superegonya. Bebas melakukan apa pun yang dikehendakinya, tanpa perlu dibatasi oleh etika dan moral."
"Itu sebabnya Rivai yang mula-mula kukenal
sungguh berbeda," gumam Arneta lirih.
"Rivai yang kamu cintai?" potong Taufan pahit.
Arneta menatap Taufan dengan air mata berlinang.
"Terima kasih, Taufan," bisiknya tersendat.
"Kamu tidak tahu arti kehadiranmu bagiku. Kamu
membuat aku tidak takut lagi mengandung bayi
ini...."
"Kamu takut kelainan Rivai akan menurun kepadanya?"
"Sekarang aku tidak takut lagi." Arneta tersenyum
lunak. Dan karena dia tersenyum dengan air mata
berlinang, dia menampilkan pemandangan yang
mengharukan.
"Akan kulimpahi anakku dengan
kasih sayang. Sehingga seandainya darah Rivai mengotorinya sekalipun, kelainannya tak akan sempat
berkembang."
"Aku mengagumimu, Arneta." Taufan menyentuh
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan wanita itu dengan lembut.
"Sejak pertama
kali aku melihatmu. Tetapi sesudah mengenalmu,
aku malah memujamu. Kamu wanita yang hebat.
Anakmu pasti sangat bangga mempunyai ibu seperti
kamu."
196
BAB XIX
"ARNETA!" Ibu sudah bergegas menyongsongnya
begitu Arneta turun dari mobil.
"Ada yang mencarimu!"
Tubuh Arneta langsung mengejang.
"Bukan! Bukan Rivai. Bukan wartawan. Katanya
dia ayah Paula Usman ...."
Refleks tangan Arneta mencari lengan Taufan.
Dan menggenggamnya tanpa sadar. Tangan itu terasa
dingin di kulit Taufan.
"Ibu sudah bilang kamu sedang ke luar negeri...
lekaslah pergi!"
Tetapi laki?laki itu sudah muncul di ambang pintu. Percuma ayah Arneta mencoba menghalanginya.
"Ibu Arneta Basuki?" sapa laki-laki itu sopan.
Dia menatap Arneta dengan penuh harap. Dan
matanya mendadak terbelalak ketika melihat Taufan. Mulutnya yang sudah separo terbuka langsung
mengejang. Semua katakata yang telah disiapkannya
untuk Arneta lenyap dalam sekejap mata.
Lelaki itu memang sudah banyak berubah. Wajahnya jauh lebih tua. Keriput hampir memenuhi
parasnya. Rambutnya pun telah hampir memutih semua. Tubuhnya kurus kering. Punggungnya
197
bungkuk. Tetapi tidak ada perubahan sedahsyat apa
pun yang dapat membuat Taufan melupakannya.
"Dokter Rantiarno Usman," desisnya dingin.
"Selamat sore."
"Jadi Anda benar Dokter Herikusumanto?" gumam Dokter Tiarno gugup. Matanya menggelepar
gelisah.
"Benar," sahut Taufan tawar.
"Kecuali bahwa
saya bukan dokter lagi."
"Sudah lama saya ingin bertemu." Dokter Tiarno
mendekat untuk menyalami Taufan. Sikapnya sudah
jauh berubah. Tidak ada lagi kepala bagian bedah
yang arogan dan pantang dikritik itu. Dia kini cuma
sesosok lelaki tua yang renta dan rapuh digerogoti
penyakit.
Taufan menyambut uluran tangannya dengan dingin. Lalu tanpa mengacuhkan Dokter Tiarno lagi, dia
berkata kepada Arneta,
"Tidak apa?apa kalau aku tinggal?"
Arneta menggeleng. Dia tahu, kejam meminta Taufan tinggal lebih lama lagi bersama lelaki tua ini.
Mengembalikan ingatannya pada peristiwa paling
tragis dalam hidupnya.
"Kunci mobilmu masih di dalam," sambung Taufan sebelum memberi salam kepada orangtua Arneta. Lalu dia meninggalkan tempat itu tanpa menoleh
lagi.
***
198
"Apa yang dapat saya bantu?" tanya Arneta datar.
Jadi inilah dokter sombong yang diceritakan Taufan! Arneta sudah membencinya bahkan sebelum
melihat orangnya. Sekarang dia duduk seperti seorang pesakitan. Tidak ada lagi kesan keangkuhan.
Apalagi kekuasaan.
"Saya datang untuk minta tolong," suara Dokter
Tiarno hampir sampai ke nada putus asa.
Tentu. Kalau tidak, buat apa kau datang ke sini?
"Sebelumnya saya ingin menjelaskan dulu, Bu
Arneta. Saya ayah Paula Usman, bekas sekretaris
pribadi Pak Rivai Maringka."
"Saya tahu," potong Arneta tawar.
"Tapi Rivai bukan suami saya lagi. Saya tak dapat menolong Paula"
"Ibu tahu Paula sedang mencoba menuntut Rivai
Maringka?"
"Paula sendiri yang mengatakannya kepada saya.
Bagaimana hasilnya?"
"Gugatan itu bakal gugur. Pengacara Paula mengatakan hampir tidak mungkin menyeret Rivai Maringka ke pengadilan, kecuali Ibu mau menolongnya"
"Saya tidak dapat menolong Paula."
"Hanya kesaksian Ibu yang dapat menolongnya."
"Menyesal sekali...."
"Sebagai mantan istri, Ibu tentu tahu kalau Rivai
Maringka mengidap penyimpangan seksual."
"Saya tidak ingin terlibat. Terlalu berat bagi saya."
"Tetapi Paula sudah tersudut, Bu. Tolonglah dia.
Dia anak saya satu?satunya. Dan saya sedang sakit.
Kanker. Ajal saya sudah dekat...."
199
"Saya ingin menolong Paula. Tapi dulu pun sudah
saya katakan kepadanya, saya tidak berani menjadi
saksi"
"Pengacara kami pun sebenarnya sudah meramalkan, tuntutan ini sangat lemah. Tidak ada bukti. Rivai
Maringka tokoh terhormat. Tidak ada yang percaya
pada tuduhan pelecehan seksual yang diajukan Paula.
Tetapi Paula berkeras. Dia merasa sangat terhina. Katanya harus ada wanita yang berani membuka kedok
Rivai Maringka. Dan menghentikan kebrutalannya
terhadap wanita."
"Saya salut kepada Paula. Saya sendiri tidak punya keberanian seperti dia."
"Tapi kini dia terdesak, Bu Arneta. Kalau gugatannya gugur, Rivai Maringka bukan hanya tidak
dapat diseret untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dia malah memperoleh kesempatan untuk menuntut balik Paula. Saya dengar tuntutannya
menyangkut jumlah uang yang sangat besar.... Belum
lagi kalau ada tuntutan pidana...."
Kasihan Paula. Tapi apa yang harus kulakukan?
Menceritakan kenistaanku di depan umum? Membuka penghinaan demi penghinaan yang kuterima untuk
menyeret Rivai ke penjara atau ke rumah sakit jiwa?
"Saya heran mengapa tidak ada wanita yang solider kepada rekannya yang sedang berjuang untuk
memulihkan harga dirinya yang dikoyak-koyak oleh
seorang lelaki," geram Dokter Tiarno antara kesal
dan kecewa.
"Apakah perempuan akan menerima begitu saja kaumnya dihina oleh pria sakit seperti Rivai
Maringka?"
200
"Apa yang harus kami lakukan?" balas Arneta sedih.
"Menceritakan penghinaan yang kami terima?
Apakah itu menjamin pria seperti Rivai akan menerima hukuman yang setimpal? Kalau tidak, bukankah
hanya akan menambah penderitaan kami?"
"Tetapi jika kaum wanita tidak berani menggugat,
pria seperti Rivai akan semakin merajalela!"
***
Semalam?malaman Arneta tidak dapat memejamkan matanya. Dia membayangkan apa yang akan
dilakukan Rivai terhadap Paula. Kasihan gadis itu.
Umurnya baru dua puluh satu tahun. Cantik. Terpelajar. Anak dokter pula. Masa depan terbentang cerah
di hadapannya. Dan kini masa depannya hancur. Dirusak oleh seorang pengidap kelainan seksual....
"Harus ada wanita yang berani membuka kedok
Rivai Maringka. Menghentikan kebrutalannya terhadap wanita." Kata?kata Paula masih terngiang jelas
di telinga Arneta.
Dia sungguh gadis yang berani. Tidak mau dihina
begitu saja. Nekat menuntut balas. Sayang, dia cuma
sendirian. Dan seorang diri, dia tidak cukup kuat untuk mengalahkan Rivai
Arneta yang justru sangat diharapkan pertolongannya malah buru-buru menyingkir! Sak si kunci
itu justru melarikan diri untuk bersembunyi....
"Jangan, Arneta!" tukas ibunya tegas.
"Buat apa
201
mengorbankan diri untuk orang lain? Neta sudah
cukup menderita. Jangan ditambah lagi!"
"Jadi saksi memang tidak ringan, Neta," sambung
Ayah murung.
"Pikirkanlah dulu baik-baik. Semua
terserah kamu saja. Orang seperti Rivai memang berbahaya jika dibiarkan bebas. Tapi melawan dia juga
pekerjaan yang penuh risiko."
"Lebih baik bersembunyi di Gadog, Neta. Sampai
perkara ini selesai!"
***
Toni Tambing tiba di rumahnya tepat ketika Arneta sudah bersiap untuk berangkat ke rumah peristirahatannya di Gadog.
"Mau ke mana, Arneta?" tanyanya setelah memberi salam kepada ayah Arneta.
"Mau kuantarkan?"
"Memang lebih baik Toni yang mengantarmu,"
kata ayahnya sebelum Arneta sempat menjawab.
"Asal dia dapat memegang rahasia. Ayah harus ada di
rumah kalau sebentar lagi ayah Paula Usman datang.
Dia sudah menelepon tadi. Mau datang membawa
temannya, seorang psikiater. Tampaknya dia belum
putus asa mendesakmu."
"Ada apa, Arneta?" desak Toni bingung.
"Rivai
lagi?"
"Nanti kuceritakan di mobil," potong Arneta sambil masuk ke dalam mobil Toni.
Dia mengajak pembantunya yang baru berumur
enam belas tahun untuk menemaninya di sana.
202
Saat itu Taufan tiba di depan rumah Arneta. Dia
masih sempat berlindung di balik pohon ketika mobil
Toni meluncur ke luar halaman. Dan wajahnya berubah dingin tatkala melihat Arneta duduk di samping
Toni.
Lelaki itu lagi. Bekas pacarnya di SMA. Rupanya
dia masih penasaran. Ingin mengobrol sambil minum
bersama Arneta.
Atau... mereka bukan hanya sekadar minum?
Mungkin mereka mengenang kembali masa-masa
pacaran mereka? Itukah sebabnya Rivai menghajarnya? Dia cemburu karena lelaki itu selalu mencoba
mendekati istrinya?
Sekarang Rivai tidak ada. Toni pasti memakai kesempatan langka ini untuk.... Untuk apa? Benarkah
Toni bermaksud mendekati Arneta kembali?
Mungkin Toni tahu kemelut rumah tangga Arneta. Mungkin dia tahu Arneta sudah hendak minta cerai. Mungkin juga Arneta?lah yang menceritakannya
sendiri kepada Toni.
Itukah sebabnya Toni begitu gencar mendekati
Arneta? Dia tahu Arneta sedang hamil. Dan emosi
seorang wanita hamil biasanya sangat labil
Sambil menggeram marah, Taufan mencegat sebuah taksi yang kebetulan lewat.
***
203
Rumah peristirahatan itu terletak di daerah Gadog.
Jaraknya kira?kira dua kilometer dari jalan raya. Terletak di tengah-tengah area perbukitan dan sawah.
Sebuah rumah tua yang tidak terlalu besar, dengan arsitektur tahun lima puluhan bergaya pendopo.
Di sekelilingnya terbentang kebun luas yang penuh
ditumbuhi pepohonan yang rindang.
Karena letaknya agak tinggi, jika menatap ke kejauhan, Gunung Gede seolah berada lebih rendah.
Udaranya tidak terlalu dingin. Tetapi sejuk menyegarkan.
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di sekitar mereka belum ada Vila-Vila mewah milik orang Jakarta. Belum banyak mobil yang lewat
menyemprotkan gas CO. Udara masih bersih dari
polusi, sehingga bernapas pun terasa lega.
Rumah itu terpencil sendirian. Agak jauh dari rumah penduduk. Menyatu dengan alam sekitarnya.
Bunyi jangkrik dan tonggeret masih terdengar
jelas bila malam tiba. Bersahut-sahutan laksana simfoni malam mengisi kesunyian. Sementara salak anjing kampung sekali-sekali terdengar di kejauhan.
Selesai makan malam, Arneta dan Toni duduk di
bawah sebuah gazebo tua yang sudah reot di tengah
kebun. Setapak ke bawah, sebuah kolam renang kering penuh ditaburi dedaunan yang luruh.
Setindak lagi ke bawah, sebuah jalan setapak
membelah kebun. Tembus ke luar melalui sebuah
pintu besi tua. Menuju gang kecil yang dipagari
kawat berduri, yang memisahkan kebun rumah itu
dengan tanah penduduk.
204
Malam itu bulan sedang purnama. Mereka hanya
berdua di kebun yang sepi dan temaram. Tetapi Arneta tidak merasakan suasana romantis. Hatinya sedang
gundah. Dia malah merasa resah. Ingin buru-buru
ditinggalkan sendirian. Tetapi Toni agaknya belum
mau meninggalkannya.
"Dia benar?benar harus dihajar," gerutu Toni sambil menyulut rokok.
"Sayang kamu tidak dapat memberikan kesaksian, Arneta."
Nada sesal dalam suara Toni membuat Arneta
merasa tidak nyaman. Toni ingin Rivai dihukum.
Jelas. Tetapi... apakah dia tidak memikirkan perasaan
Arneta? Menanggung malu karena harus memberikan kesaksian yang membuka kehidupan perkawinannya?
"Seharusnya kamu membantu Paula," sambung
Toni penasaran. Dia mengisap rokoknya dengan gemas.
"Orang seperti Rivai mesti dihukum! Apa kamu
sendiri tidak ingin membalas perlakuannya kepadamu?"
"Aku hanya ingin menjauhkan diri dari Rivai."
Dengan gemas Arneta memukul nyamuk yang hinggap di lengannya.
Toni menjentik bangkai nyamuk yang melekat
di lengan Arneta. Mengusap lengan itu. Dan ketika
dirasanya Arneta tidak menolak, digenggamnya dengan lembut. Dan diraihnya lengan Arneta sehingga
tubuh wanita itu lebih merapat ke tubuhnya.
"Aku sudah memikirkannya, Arneta," bisik Toni
hangat.
"Aku akan menceraikan Ivon. Dan mengawinimu."
205
"Jangan dulu membicarakan perkawinan, Toni,"
sanggah Arneta sambil berpikir?pikir mengapa tak
ada lagi kemesraan di antara mereka. Padahal suasana sangat menunjang.
Arneta malah merasa resah. Ingin buru-buru
menyuruh Toni pergi. Dilepaskannya lengannya dari
genggaman Toni. Dijauhkannya sedikit tubuhnya
"Pulanglah, sudah malam."
"Kamu menyuruhku pergi?" desis Toni kecewa.
Gairahnya langsung merosot.
"Aku lelah. Udara mulai dingin. Banyak nyamuk,
lagi."
Nyamuk? Siapa yang ingat nyamuk pada suasana
seperti ini? Mereka hanya berdua. Tempat ini sepi.
Dan malam mulai larut....
"Aku tidak ingin meninggalkanmu, Arneta."
Toni membuang rokoknya. Dan meraih tubuh
Arneta ke dalam pelukannya. Tetapi kali ini Arneta
langsung menolak.
"Jangan." Arneta segera berdiri. Menjauhkan dirinya dari Toni.
"Kenapa, Arneta?" geram Toni kecewa.
"Kamu masih suami Ivon."
"Persetan! Ivon juga tidak setia!"
"Itu dosanya. Jangan jadikan dosaku juga."
"Kamu bicara dosa dalam suasana seperti ini!
Bravo, Arneta!" Dengan marah Toni membanting kakinya. Dan bangkit dari bangkunya.
"Pulanglah, Toni. Aku tidak ingin bertengkar
denganmu. Tolong rahasiakan tempat persembuny
206
ianku. Aku tidak ingin Rivai atau siapa pun mengetahuinya."
"Rivai-lah yang seharusnya dipenjara, bukan
kamu!"
"Aku belum dapat berpikir. Butuh ketenangan."
"Aku akan melindungimu, Arneta. Dan memberikan ketenangan yang kamu butuhkan."
"Yang kubutuhkan sekarang hanya tidur, Toni.
Aku lelah sekali."
"Mari kuantar kamu ke dalam."
"Aku bisa jalan sendiri. Naiklah ke mobilmu."
"Tidak. Aku akan mengantarmu. Paling tidak,
sampai di depan pintu. Jika kamu tidak mengizinkan
aku masuk."
Terpaksa Arneta mengabulkan permintaan lelaki
itu. Mereka berjalan bergandengan tangan sampai ke
depan pintu rumah.
"Terima kasih, Toni." Arneta menarik tangannya ketika dia merasa Toni tidak mau melepaskannya
juga walaupun mereka sudah tiba di depan pintu.
Toni menatap Arneta dengan penuh harap.
"Tidak ada secangkir teh hangat di dalam?"
"Maaf, tidak dapat mengundangmu masuk. Sudah
malam."
"Mengapa jadi sekaku ini kepadaku, Arneta?"
"Kamu masih suami wanita lain."
"Kita seperti dua orang asing. Rasanya jauh sekali...."
"Kita memang sudah terpisah jauh. Ada Ivon di
antara kita."
207
"Aku akan menyingkirkannya."
"Tanpa memikirkan anakmu?"
"Kamu sendiri memikirkan anakmu?"
"Aku baru tahu hamil sesudah bercerai."
"Jika tidak?"
Arneta terdiam sesaat.
"Aku tidak tahu," katanya
polos.
"Mungkin aku akan memikirkannya kembali.
Demi anakku."
"Aku bersedia menjadi ayah anakmu, Arneta."
"Kamu sudah punya anak!"
"Apa salahnya punya dua anak?"
"Tidak ada. Tapi Ivon juga mungkin menginginkannya."
"Dia hanya menginginkan lelaki itu. Pacarnya
yang baru."
Arneta menghela napas.
"Aku menyesal, Toni. Apakah tidak ada jalan
lain? Demi anak kalian?"
"Kami akan bercerai," tukas Toni tegas.
"Sesudah
itu, aku akan datang kepadamu. Dan kamu tidak bisa
melarikan diri lagi."
***
Lambat?lambat Arneta memutar tubuhnya. Mobil
Toni sudah meninggalkan halaman. Tiah, pembantunya yang dibawanya dari Jakarta, baru kembali
setelah menutup pintu gerbang.
Arneta melangkah gontai ke dalam rumah. Tiah
mengikutinya dari belakang.
208
"Kunci pintunya, Tiah," kata Arneti tanpa menoleh.
"Saya tidak keluar lagi."
"Baik, Bu."
Dengan patuh Tiah menutup pintu yang separo
bagian atasnya terbuat dari kaca buram itu. Dia baru
hendak memutar kunci ketika mendadak tubuhnya
mengejang.
Ada suara kerikil terinjak sepatu di luar. Dan
sekilas dia seperti melihat bayangan orang melalui
kaca pintu....
"Ada apa, Tiah?" tanya Arneta kaget.
"Kayaknya ada orang di luar, Bu," bisik Tiah ketakutan. Dia baru berumur enam belas tahun. Baru dua
bulan datang dari kampung. Masih lugu dan penakut.
"Bukan Bang Madi?"
Bang Madi adalah penjaga rumah itu. Sejak tadi
dia tidak kelihatan.
"Tadi Bang Madi permisi beli rokok. Dikiranya
Ibu masih lama di luar."
Siapa, pikir Arneta sama takutnya dengan Tiah.
Mungkinkah Toni kembali? Tapi tidak terdengar
sama sekali suara mobilnya.... Rivai? Atau... Taufan?
Ah, mengapa tiba-tiba teringat laki-laki itu? Dia
tidak tahu di mana Arneta malam ini. Dan Arneta
tidak sempat memberitahu Taufan. Sejak pagi rumahnya kosong. Tidak ada yang mengangkat telepon. Arneta hanya meninggalkan surat pada ibunya.
Kalau?kalau Taufan datang ke rumah....
Ada gerak yang cukup keras di perutnya. Arneta
mengaduh. Bukan karena sakit. Cuma kaget.
Tiah yang sedang mengintai ke luar dengan keta
209
kutan ikut melompat mundur dengan terkejut. Dan
tubuhnya menyenggol tubuh Arneta yang berdiri tepat di belakangnya.
Arneta terhuyung mundur. Tidak sempat menjaga
keseimbangan, dia jatuh terduduk. Pinggulnya menghantam lantai. Dan dia memekik. Kali ini karena khawatir.
"Ya, Tuhan!" rintihnya sambil memegangi perutnya.
"Anakku!"
"Ibu!" Tiah ikut menjerit sekuat-kuatnya antara
takut dan kaget.
"Ibu mau beranak?"
Seseorang menerjang dari luar. Pintu terempas
terbuka. Tia memekik lagi. Tapi Arneta tidak. Dia
hanya terenyak mengawasi lelaki yang memburunya
dengan cemas itu.
"Arneta!" Taufan merangkulnya dengan khawatir.
"Ada apa? Apa yang terasa? Ada yang sakit?"
"Kandunganku ....," bisik Arneta ketakutan.
Taufan menggendong Arneta ke sofa. Membaringkannya dengan hati?hati. Dan memeriksa perutnya.
"Ada yang sakit?"
Arneta menggeleng. Matanya menatap Taufan
dengan panik.
"Terasa ada darah keluar?"
Sekali lagi Arneta menggeleng ketakutan. Matanya menatap Taufan dengan penuh harap seolah-olah
hanya dia yang dapat menolongnya menyelamatkan
bayinya.
"Rasanya tidak apa-apa."
210
"Betul?" Arneta memegang tangan lelaki itu dengan cemas.
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kandunganku... tidak apa-apa?"
"Istirahatlah. Besok kita periksa ke Dokter Arif."
"Periksalah sekarang!" pinta Arneta separo memaksa. Digenggamnya tangan Taufan erat-erat.
"Anakku,..."
"Kandunganmu tidak apa-apa. Tenanglah. Kamu
hanya perlu istirahat." Tanpa menoleh, Taufan
menyuruh Tiah mengambil segelas air.
Tiah yang masih tegak mematung dengan wajah
tegang langsung menghambur ke dapur.
"Sedang apa kamu di luar?" tanya Arneta sesudah
merasa lebih tenang. Dilepaskannya tangan Taufan
ketika dia menyadari betapa eratnya dia mencengkeram tangan pria itu.
"Nggak apa?apa."
"Kamu mengawasiku?"
"Ah, nggak. Buat apa?"
"Kamu tidak pandai berdusta. Mengapa tidak
langsung masuk saja menemuiku?"
"Masih ingin kutemui?"
Dinginnya suara Taufan menyentakkan Arneta.
"Lho, kok tanya begitu sih?" Arneta sedikit merajuk.
"Kalau bukan untuk menemuiku, buat apa kamu
kemari?"
"Aku datang terlambat. Sudah ada yang menemanimu."
"Toni? Dia sudah pulang."
"Buat apa kemari bersama dia?"
"Kamu tidak baca suratku?"
"Surat apa?"
211
"Aku meninggalkan surat di rumah."
"Bahwa kamu mau ke sini bersama Toni?"
"Bahwa aku tidak sempat memberitahu kamu aku
harus segera kemari!" sembur Arneta kesal.
"Mengapa kamu selalu begini?"
Dua tetes air mata kejengkelan mengalir ke pipinya. Ah, mengapa akhir-akhir ini dia menjadi cengeng? Karena kehamilannya?
"Maafkan aku." Taufan menghapus air mata di
pipi Arneta dengan jarinya.
"Yang hamil kamu, tapi
emosi kita rupanya sama-sama labil."
"Mengapa kamu selalu marah-marah kalau ada
Toni?"
"Aku tidak tahu." Taufan memalingkan wajahnya. Menyembunyikan tatapan matanya. Khawatir Arneta mampu membaca isi hatinya.
Untung Tiah pas datang membawa air. Taufan
mengambil gelas dari tangannya. Dan menyodorkan
gelas itu ke bibir Arneta.
Setelah minum dua-tiga teguk, Arneta merasa lebih lega. Lebih segar. Perutnya juga tidak apa-apa. Dia
merasa lebih tenang.
Taufan mengembalikan gelas itu kepada Tiah.
Karena gugup, gelas terlepas dari tangan Tiah. Hancur berderai di lantai.
"Aduh, Ibu! Maaf!" teriaknya ketakutan.
"Nggak apa-apa," keluh Arneta mangkel.
"Sudahlah, sana pergi ke belakang! Kamu selalu bikin
kaget saja!"
Tiah berjongkok memunguti pecahan gelas itu
212
dan tergopoh-gopoh menyingkir ke dapur.
"Mengapa kamu harus kemari bersama dia?"
"Bersama siapa? Tiah? Dia lugu dan polos. Aku
suka kepadanya walaupun kadang-kadang bodohnya
kelewatan! "
"Kamu tahu bukan dia yang kumaksud!"
"Maksudmu Toni?"
"Mengapa harus pergi bersamanya?"
"Dia cuma kebetulan datang ketika Ayah mau
mengantarku kemari."
"Kamu bisa mencariku kalau cuma butuh pengantar!"
"Aku sudah meneleponmu ke rumah. Tapi kamu
tidak ada! "
"Suamimu belum pulang?"
"Bukan karena itu aku mencarimu!" Arneta meledak lagi.
Taufan mendekatkan wajahnya ke paras Arneta.
"Kamu mencariku?"
"Aku menunggumu sejak pagi!"
"Meskipun sudah ada Toni?"
Sesaat mereka saling tatap. Sesaat ada yang berpijar di mata mereka. Dan ketika pada saat yang sama
hati mereka sama-sama terasa hangat, tiba?tiba saja
mereka samasama menyadari mereka telah jatuh
cinta.
Sekarang Arneta tahu, mengapa tidak ada lagi getar kemesraan walaupun dia duduk berdua bersama
Toni dalam suasana yang demikian romantis. Ada lelaki lain yang telah memiliki hatinya... lelaki ini. Le
213
laki yang datang dengan paksa ke dalam hidupnya....
Cinta sungguh ganjil. Dia datang tanpa dapat dicegah. Dipatahkannya semua dalil ketidakmungkinan.
Kehadiran pria ini telah memberikan nuansa baru
dalam hidup Arneta. Tiba-tiba saja dia tidak merasa takut lagi. Dia merasa aman. Merasa terlindungi. Karena ada seseorang yang sungguh-sungguh
mencintainya.
Perasaan aman itu membangkitkan kembali semangat hidupnya. Arneta merasa mempunyai hak
untuk menikmati kembali hidupnya. Untuk memiliki
hari-harinya. Untuk mencintai seseorang.
Dia akan menutup tirai masa lalunya. Dan membuka lembaran baru. Bersama laki-laki ini.
Gairahnya sekonyong-konyong meletup. Dan untuk pertama kalinya Taufan melihat mata yang indah
itu bersinar penuh gairah.
"Ada yang ingin kukatakan kepadamu," bisiknya
dengan suara yang terdengar aneh di telinga Taufan.
"Sesuatu yang selama ini kurahasiakan."
"Maukah kamu menyimpannya sampai besok?"
balas Taufan sambil tersenyum lembut.
"Malam ini
kamu mesti cukup istirahat. Supaya kandunganmu
baik-baik saja."
214
BAB XX
"TIDAK ada yang perlu dikhawatirkan," kata Dokter
Arif selesai memeriksa.
"Hasil USG juga tidak memperlihatkan kelainan. Tetapi sebaiknya mulai bulan
depan, Anda ikut senam hamil."
"Senam?"
"Ada kelas yang melatih ibu-ibu hamil di sini.
Bapak bapak juga boleh ikut." Dokter Arif tersenyum
tipis.
"Masuk bulan keenam, Anda sudah boleh
mengikutinya. Untuk melatih otot?otot perut dan
panggul. Juga untuk melatih pernapasan."
"Apakah ada gunanya?" tanya Arneta ragu. Dia
malas sekali keluar rumah.
"Di kelas itu ada guru senam yang mengajarkan
teknik melatih otot perut dan panggul, supaya cara
mengejan Anda waktu melahirkan nanti lebih efektif.
Demikian juga diajarkan cara bernapas dan relaksasi
untuk mengurangi rasa sakit.
Bagaimana pendapatmu, Dok?" Arif menoleh ke
Taufan.
"Aku sih setuju saja. Terserah Arneta."
"Kau juga boleh ikut kalau mau, Her," potong
Arif santai.
"Di sana ada juga kok bapak-bapak yang
ikut mendampingi. Efek psikologisnya baik sekali. Menambah semangat dan memberikan perasaan
aman."
"Kamu mau mendampingiku?" tanya Arneta lembut sambil menoleh ke Taufan.
"Aku?" Taufan menatap Arneta dengan takjub.
"Tentu saja. Asal suamimu tidak keberatan ...."
Aku sudah bercerai, hampir saja terlepas kata?kata
itu dari mulut Arneta. Tetapi ketika melihat senyum
Dokter Arif, digigitnya kembali bibirnya.
***
"Kamu serius, Arneta?" tanya Taufan di dalam
mobil yang membawa mereka pulang.
"Tentang apa?"
"Kamu mau aku mendampingimu di kelas senam?"
"Keberatan?"
"Tentu saja tidak."
"Aku merasa aman kalau ada dokter di dekatku."
"Perlu kusewa Dokter Arif?"
Mereka sama-sama tertawa.
"Apa benar ada gunanya senam hamil seperti itu?"
"Tentu. Kamu masih meragukannya?"
"Bagaimana kalau aku senam di rumah saja?"
"Ramai?ramai kan lebih enak. Lebih semangat."
"Aku malas keluar."
"Bulan depan aku akan menyeretmu ke sana"
"Di rumah aku bisa berhenti kapan saja."
216
"Kata siapa di sana tidak bisa? Jangan khawatir.
Aku akan membantumu."
"Kedengarannya kamu bersemangat sekali."
"Karena kamu."
"Aku? Apa yang kulakukan?"
Taufan menoleh sekejap. Dan menghela napas
panjang.
"Kamu membuatku merasa menjadi calon
ayah."
"Maafkan aku...."
"Aku menikmatinya." Taufan menggenggam tangan Arneta dengan hangat.
"Entah sampai kapan aku
boleh memiliki perasaan seperti ini. Mungkin sampai
suamimu kembali. Dan dia mengambil alih tugasku."
"Dia tidak pernah kembali."
Taufan menoleh dengan kaget.
"Awas!" teriak Arneta ngeri ketika melihat mobil
mereka hampir menyenggol sebuah bajaj.
Taufan langsung menepikan mobilnya. Mematikan mesin. Dan menatap Arneta dengan serius.
"Apa katamu tadi?"
"Kataku, awas!" Arneta menutup mulutnya menahan tawa.
"Tadi kan kamu hampir menubruk bajaj!"
"Kamu tahu bukan itu maksudku!" Taufan meraih
kedua tangan Arneta dan menggenggamnya erat?erat.
"Jangan permainkan aku lagi, Arneta!"
"Aku tidak berani." Arneta tersenyum manis.
"Mengapa suamimu tidak pernah kembali?" desak Taufan tak sabar.
"Dia masih hidup, kan?"
"Tentu saja...."
217
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang terjadi?" desis Taufan penasaran.
"Kami bercerai."
Taufan menatap Arneta dengan tatapan tak percaya. Arneta sangat menikmati pemandangan itu. Ditatapnya Taufan dengan lembut. Bibirnya menyunggingkan seuntai senyum menggoda.
Refleks Taufan meraih wanita itu ke dalam pelukannya. Agak terlalu kasar sampai Arneta memekik.
Bukan karena sakit. Tapi karena manja. Taufan melepaskannya dengan terperanjat.
"Aku menyakitimu?" tanyanya cemas.
"Tidak."
"Kenapa menjerit?"
"Tidak boleh?"
Taufan tersenyum hangat.
"Tentu saja boleh. Menjeritlah sekuat-kuatnya."
"Kalau begitu, peluklah aku dulu. Seperti tadi."
Dengan mesra Taufan meraih wanita itu ke dalam
pelukannya.
"Menjeritlah," bisik Taufan lembut.
"Seperti
tadi."
"Boleh menjerit di telingamu?" bisik Arneta di
telinga Taufan.
***
Taufan membawa Arneta kembali ke tempat
persembunyiannya di Gadog.
"Sekarang ceritakan kepadaku, mengapa kamu
218
harus bersembunyi di sini. Takut mantan suamimu
masih mengejar?ngejar kamu?"
"Bukan itu saja. Ingat Dokter Tiarno?"
"Apa yang diinginkannya?"
"Dia ingin aku membantu anaknya menuntut Rivai."
"Menuntut mantan suamimu?" Taufan mengernyitkan keningnya dengan heran.
"Pelecehan seksual."
"Pe...?" Taufan melongo.
"Anak Dokter Tiarno bekas sekretaris Rivai."
"Dia minta kamu menjadi saksi penyimpangan
seks mantan suamimu?"
"Karena dia tidak punya bukti apa?apa. Wanita
lain yang menjadi korban kebrutalan Rivai, juga tidak berani bersaksi. Dia memilih diam. Supaya suaminya tidak tahu. Masyarakat tidak tahu."
"Wajar. Kamu juga menolak? Bukan karena dia
anak Dokter Tiarno, kan?"
"Aku sudah menolak sebelum tahu siapa dia."
"Aku mengerti alasanmu."
"Aku tidak sanggup bersaksi!" Arneta menggigit
bibirnya menahan tangis.
"Aku pengecut!"
Taufan merangkulnya dengan lembut.
"Jangan salahkan dirimu. Kamu tidak sendirian.
Aku sama pengecutnya denganmu. Aku juga melarikan diri pada saat seseorang amat mebutuhkanku."
"Aku merasa bersalah pada Paula Usman. Pada
semua wanita yang pernah dilecehkan Rivai. Tapi aku
219
tidak berani bersaksi. Aku malu kalau harus membuka penghinaan itu di depan umum! Egoiskah aku?"
"Manusiawi sekali, Arneta," bisik Taufan lunak.
"Sebagian besar kasus perkosaan memang tidak dilaporkan karena korban pelecehan seksual mempunyai perasaan yang sama seperti kamu."
"Aku tidak sanggup menghadapi media massa...."
"Kasus ini memang bisa menjadi berita yang
menarik."
"Aku tidak tahan kalau harus duduk di kursi saksi,
membuka rahasia kehidupan seksku bersama Rivai!
Aku malu...."
"Bersaksi bagi korban pelecehan seksual memang
dapat menambah penderitaan mereka. Belum tentu
hukuman yang dijatuhkan pada pelaku sesuai dengan
penderitaan yang harus dialami korban. Pada kebanyakan kasus, pelaku bahkan sudah bebas kembali
sebelum trauma perkosaan itu dapat diatasi korban."
"Tapi aku merasa bersalah pada Paula, Fan. Dia
gadis yang berani. Dan dia harus berjuang sendirian
karena aku pengecut! Aku benci kepada diriku sendiri!"
"Arneta." Taufan membelai wajah wanita itu dengan penuh kasih sayang.
"Pandanglah aku. Aku sama
pengecutnya dengan kamu. Maukah kamu menerima
si pengecut ini untuk mendampingi hidupmu, supaya
kita dapat saling menguatkan?"
Arneta menatap langsung ke dalam mata Taufan.
Tepat pada saat laki-laki itu tengah memandangnya
dengan mesra.
220
Lama mata mereka beradu. Terkunci diam-diam
dalam ikatan bersimpul pengertian dan kasih sayang. Mata mereka seolah berbisik, jika dua hati yang
rapuh bertemu, jika dua jiwa yang pengecut bertaut,
mungkinkah akan timbul keberanian?
221
BAB XXI
RIVAI memeluk Rana dengan ketakutan. Matanya
menggeliat panik. Parasnya tegang.
"Bukan aku, Kak!" teriaknya di sela-sela kegaduhan.
"Bukan aku!"
Rana merangkul adiknya erat?erat.
"Bukan kau yang melakukannya, Rivai," katanya
tegas.
"Aku tahu. Bukan kau."
Hampir dua jam penduduk berusaha memadamkan api. Ketika akhirnya api berhasil dipadamkan,
gudang itu sudah menjadi tumpukan puing, arang,
dan abu.
Dua sosok mayat yang sudah hangus diusung keluar. Rivai mengawasinya dengan mata terbelalak.
"Yang bersalah harus dihukum," bisik Rana dingin.
"Ayah sudah memperoleh hukuman yang setimpal."
"Tapi ibu...."
"Jangan takut. Bukan kau yang melakukannya.
Bukan kau."
Ketika beberapa orang penduduk menemukan
sebuah jeriken minyak tanah yang telah kosong di
dekat gudang, mereka langsung menduga, kebakaran
ini disengaja. Apalagi ketika ditemukan juga sebuah
222
gembok yang telah menghitam di antara puing-puing
yang berserakan.
Tapi... siapa yang ingin membalas dendam kepada
keluarga Maringka? Siapa yang sengaja membakar
gudangnya?
"Suaminya memang penjudi. Tukang mengadu
ayam," seorang tetangga memberi kesaksian.
"Musuhnya banyak. Tapi istrinya sangat baik. Mengapa
dia ikut dibunuh?"
"Mungkin orang yang membakar gudang itu tidak tahu istri Pak Maringka juga ada di dalam," kata
polisi yang datang mengusut perkara itu.
"Kami akan
menyelidiki sampai tuntas."
"Rivai di kamar bersama saya," Rana memberikan kesaksiannya dengan tegas, tanpa keraguan sedikit pun.
"Ketika api sudah berkobar, kami baru keluar dari rumah."
Para tetangga mengagumi ketabahan anak-anak
yang malang itu. Mereka berbondong-bondong
datang menghibur dan membantu.
Tetapi petugas?petugas malah merasa heran.
Ganjil rasanya melihat gadis berusia empat belas tahun yang tatapan matanya dingin dan air mukanya
kosong seperti mayat itu. Mengapa dia tidak tampak
sedih sama sekali?
"Yang mati ibu tiriku," sahut Rana datar.
"Ayah
kandungku juga tidak pernah baik kepadaku. Buat
apa bersedih?"
"Apa maksudmu ayahmu tidak pernah baik kepadamu? Kau diurus, diberi makan, disekolahkan ...."
"itu memang tugasnya."
223
"Ayahmu sering memukulimu?"
Rana tidak menjawab. Tetapi wajahnya menampilkan kebencian yang amat sangat.
Apakah dia korban penyiksaan anak, pikir petugas yang memeriksa Rana. Atau ayahnya sering...
"Adikmu masih kecil. Kalau orangtuamu tidak
ada, siapa yang mengurusnya?"
"Aku yang akan mengurus Rivai."
Jawaban?jawaban Rana membuat dia sendiri yang
di curigai polisi. Tetapi karena tidak ada bukti kuat
yang menunjang, akhirnya Rana pun dibebaskan dari
tuduhan.
Karena masih di bawah umur, mereka diserahkan
di bawah pengawasan pamannya. Tetapi ketika Rana
berumur delapan belas tahun, dia membawa Rivai
merantau ke Jakarta. Dia bekerja keras untuk membiayai sekolah adiknya. Warisan ayahnya dipakainya
untuk modal berdagang.
Sementara itu Rivai tumbuh menjadi seorang
pemuda yang tampan. Pandai. Dan santun. Tetapi
tidak seorang gadis pun dapat mendekatinya selama
ada Rana. Siang ataupun malam dia milik kakaknya.
Sampai dia bertemu dengan Arneta Basuki.
***
"Jangan keluar malam dulu," tegur Rana dingin.
"Kasusmu sedang ramai. Kalau sampai ada perempuan lagi yang datang mengadu, kau bisa diseret ke
pengadilan!"
224
"Aku tidak melakukan apa-apa," sahut Rivai santai.
"Mengapa perempuan itu menuntutmu?"
"Bukan aku yang melakukannya. Bukan aku.
Rizal bilang dia yang akan membereskannya."
"Lalu apa yang kau lakukan padanya?" desak
Rana curiga.
"Tidak ada. Dia memang genit. Selalu menggodaku di kantor."
"Sudah kuduga," geram Rana muak.
"Betul kau
tidak ikut menggodanya?"
"Tidak," sahut Rivai datar.
"Bukan aku. Bukan
aku. Rizal bilang dia yang akan membereskannya."
"Apa yang dilakukan Rizal?"
"Memukuli dan memperkosanya. Itu memang
yang diinginkannya."
"Diinginkan siapa? Rizal atau perempuan itu?"
"Perempuan itu. Dia sudah dapat apa yang diinginkannya. Rizal yang membereskannya. Bukan aku.
Bukan aku."
"Kalau begitu dia sudah mendapat ganjaran yang
setimpal."
"Belum. Dia berani menggugatku. Padahal aku
tidak melakukan apa-apa."
Deviasi Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia tidak akan berhasil."
"Dan aku akan menggugatnya kembali."
"Yang bersalah harus dihukum." Suara Rana terdengar dingin membeku.
"Dia harus masuk penjara!"
"Aku akan menuntut ganti rugi lima ratus juta."
"Tidak cukup!"
225
"Akan kusuruh Otto Danusuripto SH menggugatnya dengan tuntutan pidana."
"Itu baru adikku!" Rana merangkul adiknya dan
membelai?belai punggungnya dengan perasaan puas.
"Memang semua perempuan sudah bejat! Seperti
bekas istrimu itu...."
Rivai mendadak melepaskan pelukan kakaknya
dengan kasar.
"Arneta milikku!" gumamnya datar.
"Milikku!"
"Kau masih memikirkannya?" geram Rana sengit.
"Kalau aku tidak bisa memilikinya, orang lain
juga tidak!"
"Lupakan dia, Rivai!"
"Dia milikku! Milikku!"
"Lupakan dia, Rivai." Rana meraih lengan adiknya dan membawanya ke kamar.
"Cuma kita yang
saling memiliki."
***
Sejak kecil, Rivai senang sekali memijati tubuh
Rana. Menurut pendapatnya, tubuh Rana tidak kalah
indahnya dengan tubuh Arneta. Biasanya kalau dia
sudah lelah, Rana akan ganti membelainya.
Rivai sangat menyukai saat-saat seperti ini. Setiap kali dia sedang stres, Rana akan mengajaknya
ke kamar. Tetapi entah mengapa, orangtuanya tidak
menyukai kebiasaan mereka ini.
Jika Ibu yang menemukan mereka, dia akan memarahi Rana. Dan membawa Rivai ke kamarnya.
226
Tetapi jika Ayah yang memergoki mereka, Rivai?lah
yang mendapat pukulan dan tendangan. Rana akan
diseret ke gudang. Dan cuma rintihannya yang kemudian terdengar.
Setelah tinggal berdua, mereka bebas melakukan
apa saja. Sampai suatu hari Rivai menemukan Arneta. Dan Rana tidak bisa lagi masuk ke kamar adiknya.
"Coba ceritakan apa yang dilakukan Rizal pada
perempuan itu, Rivai," pinta Rana ketika Rivai sedang memijati punggungnya.
"Tidak tahu," sahut Rivai santai.
Meraba Matahari Karya S H Mintarja Wiro Sableng 056 Ratu Mesum Bukit Raja Petir 02 Empat Setan Goa Mayat
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama