Ceritasilat Novel Online

Gazebo 3

Gazebo Karya V Lestari Bagian 3



Lalu Pandu menyerahkan selembar cek.

"lni uang mukanya, Pak. Bila perlu melakukan perjalanan, pakailah ini dulu. Nanti saya ganti."

Don menerimanya dengan mengucapkan terima kasih. Ia sudah siap untuk pamitan, tapi kemudian Pandu berkata lagi.

"Cari tahu juga apakah dia atau salah satu anggota keluarganya pernah punya hubungan dengan almarhum istriku."

Lalu Pandu pergi, meninggalkan Don terperangah sendirian. Ia termangu. Ternyata memang ada hubungannya dengan Nyonya Melia. Kasus yang diberikan kepadanya tidak berdiri

sendiri. Ia tidak mengerti. Bukankah Nyonya Melia sudah meninggal lebih dari setahun yang lalu? Apa itu berarti ia harus kembali ke masa lalu?

Pemikiran itu membuat ia tidak nyaman. Semula ia sudah merasa lega karena mendapat kasus yang sama sekali baru. Entah apa yang dilakukan atau akan dilakukan orang bernama Maxi itu hingga perlu diselidiki. Tapi itu bukan urusan Don karena itu bukan kasusnya. Ia cuma menyelidiki siapa dan bagaimana orang itu. Perintahnya sudah jelas. Tapi siapa sangka. Ternyata punya hubungan dengan Nyonya Melia, orang yang ingin dilupakannya.

Serta-merta perasaannya terhadap Pandu berubah jadi negatif. Mungkin Pandu sudah menjadi berlebihan. Trauma telah membuatnya seperti itu. Bukankah seharusnya Pandu berusaha melupakan?

Semangat Don menurun sejenak. Sempat terpikir untuk membatalkan saja transaksi itu. Tapi kemudian ia merasa pembatalan bisa merusak integritasnya. Ia toh sudah menerimanya. Lagi pula apa alasannya nanti? Tiba-tiba ia jadi takut kalau-kalau dirinya dicurigai. Bila dugaannya tentang Pandu benar, bahwa trauma telah membuatnya curiga berlebihan, maka kemungkinan itu bisa saja terjadi.

Ia harus tabah, tekadnya. Beginilah hidup. Ada kegembiraan, ada kesedihan.

Ia menatap piring dan gelas minumannya. Juga piring dan gelas minuman yang ditinggalkan Pandu. Masih ada sepotong croissam dan espresso-nya masih setengah gelas. Sementara di piring yang ditinggalkan Pandu. ada sepotong donat dan espresso-nya juga tersisa setengah. Mendadak ia merasa lapar. Semua makanan itu sudah dibayar Pandu. Alangkah sayangnya kalau tidak dimakan.





Malam yang sama, setelah ayahnya pergi. Mariska juga bersiap untuk pergi. Ia ke garasi untuk mengambil mobil kecilnya. Sengaja ia menunggu ayahnya pergi lebih dulu untuk menghindari pertanyaan yang pasti akan dilontarkan ayahnya. Padahal hampir setiap malam ayahnya pergi dan ia tak pernah bertanya kemana. Tadinya ia suka bertanya tapi setiap kali jawaban yang diterimanya selalu sama.

"Ada urusan," begitu sahutan singkat ayahnya disertai ekspresi agar ia tak perlu bertanya lebih

banyak.

"Mau ke mana, Mbak?"

Tiba-tiba Indiarto muncul mengejutkan Mariska.

"Ah, mau tahu aja kau."

"Apa ada urusan juga?" tanya Indiarto.

Mariska tertawa mendengar sindiran yang terkandung dalam pertanyaan itu.

"Tentu saja. Kalau tidak ada urusan masa pergi sih."

"Bisa saja untuk berangin-angin."

"Kalau cari angin sih di sini juga banyak."

"Apa itu urusan pribadi hingga aku tak boleh tahu?"

Mariska membiarkan pintu mobil terbuka. Ia menatap wajah adiknya dengan heran.

"Tumben. Biasanya kau nggak suka nanya-nanya."

"Aku punya feeling jangan-jangan urusannya menyangkut peristiwa tadi."

Mariska terdiam.

"Aku jadi bingung, Mbak."

Indiarto bersandar ke mobil.

"Kenapa?" tanya Mariska. Tiba-tiba ia merasa iba kepada Indiarto.

"Rasanya Mama jadi hidup lagi. Tapi aku sama sekali tidak senang."

"Kenapa?" tanya Mariska lagi.

"Caranya itu. Kenapa harus seperti itu? Dia membuatku takut. Aku takut sendiri di rumah."

"Kau tidak sendiri, In. Ada Bi Emi, Bi Inah, Mang Toha..."

"Ah, mereka kan orang lain. Aku... aku ingin sekali membicarakannya, Mbak. Kayaknya kau menyimpan sesuatu yang aku tidak tahu."

"Semuanya sudah kau ketahui. Tadi kau dengar sendiri cerita Pak Maxi, kan? Dan hasil pembicaraanku dengan Bu Grace juga sudah kuceritakan kepadamu dan Papa."

"Bukan. Bukan cerita itu. Tapi apa yang tersimpan di hatimu sendiri."

Mariska termenung.

"Apa alasanmu hingga ngomong begitu, In?"

"Kau bersemangat sejak awal. Kau lebih dekat dengan Mama daripada aku."

"Sudah kukatakan aku ingin sekali tahu apa sebenarnya yang diinginkan Mama dari Pak Maxi. Kalau perlu bantuan kenapa tidak sama kita-kita saia? Masa sih karena Pak Maxi pintar

nyanyi keroncong saja?"

"Sebabnya, Pak Maxi itu disukai arwah. Kita tidak."

Jawaban yang simpel itu membuat Mariska tertawa.

"Kayaknya ada betulnya juga, In. Tapi aku patut juga bertanya, kan?"

"Jadi sekarang kau mau menemui Pak Maxi lagi?"

"Ah, nggak."

"Yang bener?" Indiarto tidak percaya.

"Kau ingin tahu rupanya."

"Tentu saja. Ayolah, Mbak. Aku kan adikmu. Sama-sama anak Mama."

"Aku mau menemui si Ivan, orang yang dicurigai mencuri itu. Aku bermaksud meminta dompet yang diambilnya"

Indiarto terkejut.

"Mana mungkin dia mau memberikan? Lagi pula belum tentu dia yang mengambil."

"Aku yakin memang dia. Ibu Grace sangat yakin. Aku percaya padanya."

"Kalau begitu, aku ikut. Dia lelaki, bukan?"

"Memangnya kenapa kalau dia lelaki?"

"Kau perempuan."

"Oh, aku ngerti. Aku lemah, dia kuat. Begitu?"

"Hei, jangan tersinggung. Aku cuma ingin bilang, kalau dia mau macam-macam sama kau kan ada aku yang bisa membantu."

"Tapi janji. kau tetap di mobil. Jangan ikut mendampingi aku."

"Kenapa?"

"Dia akan ketakutan kalau kita berdua. Aku memang ingin tampil lemah di depannya, supaya dia mau menyerahkan dompet itu."

Indiarto menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jangan buang waktu," kata Mariska tak sabar.

"Mau ikut nggak?".

Indiarto cepat masuk.

"Ingat janjimu!" seru Mariska.

Sebenarnya Mariska senang juga ditemani Jadi dia punya teman berbincang.

"Aku tidak begitu yakin dia mau menyerahkan dompet itu, Mbak. Yang dicurinya kan bukan cuma dompet. Mengembalikan yang satu berani harus mengembalikan yang lain."

"Ah, sebaiknya jangan membicarakan kemUngkinan-kemungkinan, In. Kita lihat saja nanti."

"Ya, ya. Tapi, pernahkah terpikir olehmu bahwa kemungkinan Pak Maxi sebenarnya tidak memiliki dompet itu? Maka ia mengarang cerita seakan ada yang mencuri."

Mariska menoleh dengan rupa kesal.

"Kau ini bagaimana sih, In? Kalau berpikir tentang kemungkinan lihat dulu logikanya dong. Bagaimana Pak Maxi bisa tahu tentang dompet itu, padahal melihat saja belum pernah? Tak ada yang tahu selain aku. Dan uang di dalamnya? Dan kisah-kisah lainnya?"

"Baiklah. Aku memang bodoh," Indiarto merajuk.

"Jangan ngambek. Ngomong seperti itu tidak berarti kau bodoh. Makanya lebih baik kita ngomongin yang lain saja. Misalnya tentang Papa."

"Kenapa Papa?"

"Menurutmu, apakah dia punya pacar?"

"Pacar? Mana aku tahu."

"Dia nggak pernah ngomong atau menyinggung?"

"Kapan Papa pernah ngomong masalah pribadinya sama aku? Mestinya sama Mbak dong."

"Ya. sudah."

"Kalaupun dia punya pacar. wajar saja dong. Dia kan lelaki normal."

"Jadi kau belum pernah melihat dia bergandengan sama cewek?"

Indiarto tertawa.

"Belum tuh. Eh, Mbak kok kelihatannya serius betul soal itu. Takut punya ibu tiri, Mbak?"

"Ya," sahut Mariska terus terang.

"Silakan saja Papa pacaran. Asal jangan kawin."

"Mana bisa begitu. Biasanya cewek nggak mau dijadikan pacar terus-terusan. Dia akan merajuk dan menuntut. Apalagi Papa kan kaya. Lumayan gagah lagi. Pasti banyak cewek yang naksir dia."

"Dalam hal itu kau kelihatannya pintar."

Indiarto tertawa.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah Mbak serius ingin tahu? Kita sewa detektif saja. Suruh dia membuntuti Papa. Pasti ketahuan."

Mariska terkejut.

"Mana ada detektif swasta di sini? Jangan ngibul, ah."

"Yaaah, Mbak ketinggalan. Belum dengar rupanya."

"Dengar apa? Ayolah."

"Ada teman kuliah yang orangtuanya pernah menggunakan jasa detektif itu. Kakaknya

temanku itu mau kawin dengan cowok pilihan hatinya. Lalu orangtuanya meminta detektif itu menyelidiki si cowok. Hasilnya mengejutkan. Ternyata si cowok itu sudah punya istri dan tiga anak di luar kota. Dia juga bukanlah seorang direktur seperti yang diakuinya melainkan karyawan staf. Nah, tertarik, nggak?"

Mariska tertegun. Ia berpikir sejenak.

"Tapi rasanya nggak enak ya, In. Masa memata-matai ayah sendiri."

"Ya, itu terserah Mbak. Kalau berminat bisa kuminta nomor teleponnya. Namanya aku lupa."

"Nantilah. Kalau perlu."

"Menarik juga lho, Mbak. Seandainya Papa memang punya pacar yang mendesak untuk diperistri, kita bisa menyelidiki cewek itu. Apa dia cuma mengincar harta atau gimana? Jadi kita bisa mengatur perlawanan."

"Begini. Kau minta saja nama dan nomor teleponnya. Kita simpan kalau perlu."

Indiarto merasa senang. Kali ini ia merasa dirinya tidak bodoh.

"Kayaknya kita harus lebih memberi perhatian kepada Papa. In. Jangan sampai dia merasa

sendirian dan terlantar."

"Aku setuju. Tapi dia sekarang lebih tertutUP dibanding dulu. Dia selalu memperlihatkan bahwa dia tidak membutuhkan kita."

"Nyatanya untuk ke rumah di Menteng, dia mengajakku," kata Mariska.

"Itu karena dia takut."

"Kenapa sih dia mesti takut? Hantu itu kan Mama, istrinya sendiri."

"Tapi kau lupa, Mbak. Kematian Mama itu tidak wajar. Apalagi ada kemungkinan dia... dia..."

"Sudah! Jangan diterusin!"

"Nah, begitu kan. Kita tidak pernah bisa membicarakan soal itu," keluh Indiarto.

"Padahal dalam hati, kita sibuk bertanya-tanya. Kalau bukan antara kita berdua, sama siapa lagi? Papa sudah jelas melarang."

"Soal apa maksudmu?"

"Ah, Mbak jangan pura-pura. Tadi aku mau ngomong, disuruh diam."

"Begini saja, In. Kita akan bicarakan soal itu, tapi jangan sekarang, ya? Sekarang aku mau dekati Pak Maxi dulu. Siapa tahu dari sana aku bisa tahu banyak."

"Jadi kau memang mau menjadikan dia sebagai medium."

"Yaaa..., kira-kira begitulah. Aku sudah punya rencana untuk itu."

"Nggak kasihan sama dia?"

"Kasihan apaan? Itu kan nggak menyakitkan."

"Buktinya tadi kauajak dia ke kamar Mama, dia lantas muntah-muntah. Pasti dia melihat sesuatu yang mengerikan. Siapa bilang itu nggak menYakitkan?"

"Tapi aku mau jujur sama dia. Terus terang mengutarakan maksudku. Kalau dia mau aku bersyukur. Tapi kalau dia nggak mau, ya sudah. Kan aku nggak bisa memaksa."

"Syukurlah kalau memang begitu. Tadinya kukira kau mau memanfaatkan diam-diam."

"Ah, jahat sekali pikiranmu itu, In."

"Sori."

"Orang itu punya suatu kelebihan, In. Itu karunia. Dia harus memanfaatkannya untuk kebenaran."

"Kebenaran? Bagaimana kalau kebenaran itu malah menyakitkan?"

"Wah, serem amat sih perkiraanmu itu?

Ingat, ln. Menurut Pak Maxi, Mama bermaksud minta bantuannya. Nah, apakah itu harus disepelekan? Kukira, Pak Maxi sendiri punya keinginan untuk memenuhi permintaan itu. Kalau tidak, kenapa dia datang tadi?"

"Ya, ya. Kita lihat saja bagaimana tanggapannya. Apa kau akan mampir juga ke rumahnya nanti? Kan dekat."

"Kita,lihat saja hasil pertemuan dengan si Ivan itu."





Sesudah mandi Ivan menaburi tubuh seputar perutnya dengan bedak antibiang keringat. Ia optimis ruam-ruam dan gatal-gatalnya akan mereda lalu lenyap. Tapi dengan terkejut dan was-was ia mendapati harapannya itu bukan saja tidak terwujud, tapi kesengsaraannya malah meningkat. Ruam merah, bentol, dan rasa gatal itu malah menjalar ke punggung. Bagian yang susah digaruk. Celakanya lagi, semua itu menjalar ke mukanya hingga mukanya menjadi bengkak. Ia menggaruk di sana dan di sini. Ia menangis dan meraung. Lalu dia kejang-kejang berkelojotan. Ibu kos dan pembantunya kebingungan.

Pada saat itulah Mariska memarkir mobilnya

di depan rumah. Ia menyatakan maksudnya ingin bertemu dengan Ivan. Ibu kos menerimanya bagaikan seorang penyelamat. Ada orang yang bisa ia mintai bantuan.

"Kebetulan sekali," katanya girang.

"Apakah Adik ini teman atau saudara?"

Mariska berpikir sejenak.

"Teman, Bu," sahutnya sambil mengarahkan pandang kepada Indiarto yang duduk di mobil.

"Kalau begitu tolonglah si Ivan. Dia lagi sakit. Parah juga tuh. Kayaknya mesti dibawa ke rumah sakit. Ibu nggak ada mobil. Jadi susah."

Mariska terkejut.

"Tadi siang. dia nggak apa-apa."

"Ya. Tadi sih nggak. Baru sekarang."

"Sakitnya apa, Bu?"

"Dia gatal-gatal. Terus menggaruk-garuk. Kulitnya pada merah dan bentol-bentol segede gini," si ibu kos memperagakan dengan tangannya.

Mariska tertegun sejenak. Ia merasa segan untuk terlibat.

"Apa dia parah, Bu?"

"Wah, nggak tahu juga. Ayolah Dik, cepat

tolong."

"Apa dia masih bisa bicara?"

"Masih. Masih."

"Tunggu sebentar."

Mariska berlari ke mobil untuk memanggil Indiarto. Kali ini ia merasa tidak bisa sendiri.

Bersama ibu kos mereka naik ke loteng.

"Itu kamarnya, Dik," Ibu kos menunjuk tanpa mendekat. Ia segan masuk kamar Ivan karena takut melihat keadaannya.

"Baik. Biar kami tangani berdua saja, Bu."

Mariska menganggap sikap ibu kos itu lebih baik. Dengan demikian ia bisa bicara leluasa dengan Ivan, kalau lelaki itu memang bisa diajak bicara.

Setelah mengetuk, Mariska membuka pintu. Dengan menarik tangan Indiarto, ia masuk.

Di atas tempat tidur Ivan sedang menggeliat ke sana kemari. Kedua tangannya menggaruk ke sekujur tubuhnya. Sesekali tubuhnya mengejang.

Mariska dan Indiarto terkejut melihatnya. Mereka sampai bengong sejenak.

Ivan pun melihat mereka. Dalam keadaan

seperti itu. ia masih bisa bereaksi. Dengan tangan tak berhenti bekerja ia bertanya,

"Kalian siapa? Mau apa?"

Nada pertanyaannya kasar, tapi hal itu justru membuat Mariska lebih berani.

"Katanya kamu telah mencuri di rumah Pak Maxi Tuwana."

"Apa? Sembarangan!" teriak Ivan. Tapi ia terus menggaruk.

"Nggak ngaku, ya?"

"Nggak!"

Mariska berpandangan sejenak dengan Indiarto. Sebuah ide melesat di kepala Mariska.

Ia tertawa sinis.

"Aku bermaksud meminta dompet itu. Sebuah dompet beludru hitam. Itu barang milik ibuku almarhum."

"Mana mungkin! Adanya di lemari Oom Maxi kok!" seru Ivan sambil menggaruk. Tudingan itu membuat ia bertekad membela diri. Tanpa berpikir.

Mariska berpandangan sejenak dengan Indiarto. Lalu ia melompat ke samping tempat tidur. Indiarto menempel di sisinya, karena khawatir Ivan masih punya tenaga untuk melakukan sesuatu terhadap Mariska.

"Bagaimana kau bisa tahu, barang itu ada di

lemari Oom Maxi kalau bukan kau yang mengambilnya dari situ?" tanya Mariska dengan nada menyergap.

Ivan tertegun meskipun tangannya tak berhenti menggaruk. Ia sungguh tersiksa tapi sekarang siksaan bertambah dengan rasa takut. Ia sudah terjebak ucapannya sendiri.

"Kalau kau tidak mau mengembalikan barang itu, kau tidak akan kutolong. Lagi pula selama barang itu kausimpan kau akan terkutuk. Lihatlah, kutukannya sudah kaujalani sekarang!"

Ivan mengejang karena rasa takut.

"Baiklah. Yuk, kita pulang, In," Mariska menarik tangan Indiarta.

"Biar dia mati kegatalan!"

Mereka sudah akan membuka pintu ketika Ivan berteriak.

"Baik! Ini barangnya!"

Ia merogoh ke bawah bantal. Cepat-cepat Mariska mendekati. Ia menerima dompet dari tangan Ivan yang gemetaran. Begitu dompet pindah ke tangan Mariska, Ivan segera menggunakan tangannya untuk kembali menggaruk.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mariska langsung mengenali dompet. Ia tidak membukanya untuk mengetahui apakah isinya masih ada. Itu tidak penting.

"Betul. Ini dompetnya," katanya sambil memasukkan dompet itu ke dalam tasnya.

"Sekarang kami akan membawamu ke rumah sakit. Tapi untuk itu kami perlu bantuan Pak Maxi. Rumahnya dekat. Kami akan memanggilnya dulu. Ayo In, telepon ke sana!"

Ivan melotot.

"Jangan panggil mereka!" serunya.

"Tidak bisa," kata Mariska, dingin dan tegas.

"Kau mengambil uang Pak Maxi. Jadi harus mengembalikannya juga. Kau terkutuk karena mengambil barang orang lain."

Ivan menangis tersedu-sedu.

Indiarto bergegas ke luar kamar untuk menelepon dengan menggunakan HP-nya sementara Mariska masih di samping Ivan.

"Kau akan mengembalikan uangnya, kan?" tanya Mariska. Kali ini lebih lembut.

Ivan tetap menangis. Kedua tangannya tetap sibuk.

Lama-lama Mariska jadi kasihan.

"Tadinya kau suka gatal-gatal juga?"

"Nggak!"

"Nah, pasti kau kena kutuk. Dompet ini bukan barang sembarangan. Aku yakin, kalau kau tidak mengembalikan semua barang yang kau ambil itu, kau tidak akan sembuh."

"Ya, ya! Akan kukembalikan!" teriak Ivan.

"Bagus. Janji itu harus kau tepati. Jadilah orang baik-baik."

Ivan menangis lebih keras.

Mariska memperhatikannya dengan ngeri. Ia takut kalau-kalau seluruh kulit ivan akan terkelupas habis. Ia juga takut bukan cuma itu saja yang akan terjadi. Bagaimana kalau Ivan tewas?

Untunglah keluarga Maxi datang. Mereka terkejut melihat kondisi Ivan.

"Sebelum Bapak membawanya, mintalah dia berjanji dulu untuk mengembalikan uang Bapak," kata Mariska.

"Ya, ya!" teriak Ivan.

"Akan kukembalikan! Asal aku nggak keburu mati!"

Maxi menggotong Ivan bersama Rico dan Indiarto. Mariska dan Grace mengikuti dari belakang. Mereka menjadi tontonan anak-anak kos bersama induk semang mereka. Penampilan Ivan memang tampak memelas tapi juga



aneh. Wajahnya yang imut-imut itu sudah tidak kelihatan aslinya lagi karena bengkak penuh bentol-bentol. Bukan itu saja. Dia tidak berhenti menggaruk.

Ivan dimasukkan ke dalam mobil Rico. Mariska memutuskan untuk mengikuti mereka meskipun maksudnya sendiri sudah tercapai. Indiarto tidak keberatan karena dia juga ingin tahu apa yang akan teriadi.

Dokter yang bertugas di Unit gawat darurat yakin bahwa penderitaan Ivan itu akibat alergi berat. Para pengiring Ivan mengiyakan saja. Mereka memang tidak tahu sebab-sebabnya.

Ivan diberi suntikan penenang supaya dia berhenti menggaruk. Setelah dia tertidur mereka semua keluar dari ruangan.

"Dia sudah mengembalikan ini," Mariska mengeluarkan dompet dari tasnya.

"Ya. Memang itu." kata Maxi dengan lega. Ia membuka dompet dan mendapati isinya tak

ada lagi.

"Ia sudah mengambil uangnya," kata Mariska.

"Ya. Tapi kemungkinan dia belum menggunakannya. Nanti kita tanyakan lagi. Yang penting kan lembaran uangnya itu. Bukan jumlahnya.

"Betul, Pak."

Maxi menyerahkan dompet kepada Mariska.

"Lho, kok Bapak kasih saya? Kan Mama sudah memberikannya kepada Bapak."

"Tidak. Saya tidak bisa menyimpannya, Ris. Ini adalah barang kenangan dari ibumu. Kau yang paling pantas menyimpannya."

Mariska tidak menolak.

"Terima kasih, Pak."

"Kami juga berterima kasih. Karena kaulah maka Ivan berhasil dijebak."

"Tapi Bapak harus hati-hati juga menghadapinya. Kalau dia sembuh, bisa saja dia melanggar janji."

"Aku yakin dia akan menepati janjinya," Rico menyela.

Mariska menatap Rico. Baru kali ini mereka bertatapan secara langsung.

"Oh, begitu?" tegas Mariska.

"Rupanya kau sudah mengenalnya dengan baik."

Rico diam sejenak. Grace dan Maxi pura-pura memandang ke arah lain.

"Tentu," sahut Rico tenang.

"Kami rekan sekantor. Dan dia tinggal serumah dengan kami cukup lama."

"Terus terang saja, tadi dia kutakut-takuti. Mungkin itu sebabnya kenapa dia mengaku."

"Kau bilang apa?" tanya Rico.

"Aku bilang, dia mungkin saja dikutuk karena berani mengambil barang ini."

Mariska mengatakannya setengah bergurau. Tapi ia melihat semua wajah menatapnya dengan ngeri hingga ia jadi tidak nyaman.

"Kalau tidak begitu, dia tetap tak mau mengaku," katanya membela diri.

"Oh ya. Tentu saja. Kukira itu cara yang bagus. Dia memang harus dibegitukan," Grace membela.

Mariska tersenyum kepada Grace.

Indiarto menyenggol kakaknya.

"Apakah Papa perlu ditelepon, Mbak? Dia tentu harus tahu juga."

Mariska melihat arlojinya. Tak terasa sudah lewat jam sepuluh.

"Sebentar lagi kitajuga pulang, In."

"Mungkin saja ketika kita pulang, dia sudah tidur."

"Ya Kau sajalah yang nelepon."

Indiarto menjauh sedikit untuk menelepon dengan HP-nya.

"Sebaiknya kalian pulang saja," kata Rico.

"Biar aku di sini menunggui si Ivan. Dan mengurus yang lainnya."

Maxi bertukar pandang dengan Grace.

"Jangan, Ric. Kau harus bekerja besok pagi. Biar aku saja di sini. Kau pulang sama Mama."

"Tidak apa-apa bergadang satu malam saja, Pa. Ada yang perlu kubicarakan dengan Ivan."

Lalu Rico memandang Mariska.

"Bisakah aku minta tolong kau mengantarkan pulang ayah-ibuku?"

Mariska mengangguk.

"Tentu saja bisa."

"Terima kasih."

Maxi dan Grace menyadari ada masalah pribadi yang mau dibicarakan Rico dengan Ivan. Setelah apa yang telah dilakukan Ivan. mustahil Rico mau berbaikan lagi dengannya. Apalagi menjalin kembali hubungan masa lalu seperti yang mereka khawatirkan.

"Apa kata Papa?" tanya Mariska kepada Indiarto setelah mereka menurunkan Maxi dan Grace di depan rumah mereka.

"Dia bilang bagus."

"Cuma itu?"

"Ya."

"Kok seperti tidak bersemangat, ya?"

"Sepertinya begitu. Entahlah. Mungkin dia lagi sibuk waktu itu."

"Sibuk?"

"Ya. Aku tanya dia ada di mana. Tapi tak dijawabnya. Katanya, nanti saja bicaranya. Akulah yang kehilangan semangat bicara."

"Mungkin telepon mengganggu keasyikannya."

"Mestinya dimatikan saja."

"Sudahlah. Yang penting kita mendapat hasil. Jadi tak ada keraguan lagi mengenai Pak Maxi."

"Mbak, apa benar si Ivan itu kena kutuk?"

"Ah, kok kau kena juga?" seru Mariska tertawa.

"Aku cuma menakut-nakuti dia saja."

"Dari mana Mbak mendapat ide itu?"

"Entah. Muncul begitu saja. Hei, kau tidak percaya itu kan?"

Indiarto diam sejenak Mariska meliriknya.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan beritahu Papa soal itu, ya?" kata Mariska.

"Ah, biarpun diberitahu Papa tidak akan peduli. Memangnya kenapa dia tidak boleh tahu?"

"Aku cuma khawatir kalau-kalau dia ketakutan."

"Ah, masa bodoh."

"Eh, In, taruhan yuk, Papa tidak akan mau melihat dompet itu."

"Nggak, ah. Dia pasti tidak akan mau melihat."

"Kau sendiri juga tidak, In."

"Pak Maxi juga tidak mau lagi, Mbak. Dulu dia terima karena dia tidak tahu asal-usulnya. Sekarang dia pasti takut juga. Coba. Kenapa benda itu bisa keluar sendiri?"

"Jangan tanya aku. Tapi Pak Maxi bisa saja menemukan jawabannya. Kalau dia berusaha."

"Ah. Itu kalau dia mau. Jangan paksa dia. Mbak."

"Aneh kau ini. Biasanya kau tidak peduli sama orang lain."

"Sekarang aku peduli. Apakah itu tidak

boleh?"

"Bukan begitu, adik manis. Itu tentu bagus sekali. Cuma biasanya nggak begitu."

"Ya. Biasanya memang nggak. Tapi sekarang aku merasa kasihan pada Pak Maxi. Hidupnya yang semula tenang tiba-tiba jadi mengerikan. Dia tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba jadi terlibat dengan peristiwa aneh. Mimpi buruk segala."

Mariska mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka Indiarto bisa bicara seperti itu. Apakah ada sisi lain dari adiknya yang tidak ia kenal? Ataukah selama ini mereka memang berada dalam jarak yang tak memungkinkan mereka untuk saling mengenal? Dekat tapi jauh?

Tiba-tiba Indiarto berseru,

"Stop!"

Mariska terkejut. Ia menginjak rem hingga mobil terlonjak.

"Ada apa?" teriaknya. Ia mengira ada kucing melintas.

"Antarkan aku kembali ke rumah sakit!"

"Ha? Mau apa kau ke sana?"

"Aku ingin melihat perkembangan kondisi Ivan."

"Besok kau bisa tahu juga. Tanya si Rico juga bisa."

"Aku ingin membuktikan apakah si Ivan itu betul kena kutuk atau tidak. Dengan mata kepalaku sendiri tentunya."

"Apa?" Mariska tertawa. Ternyata Indiarto benar-benar serius.

"Jangan ketawa, Mbak. Kalau kau tidak mau mengantarku, aku naik taksi saja. Atau bajaj."

"Baiklah. Jangan merengut begitu. Nanti kuturunkan kau di depan rumah sakit, lalu aku pulang."

Mariska memutar mobilnya.



RICO duduk di samping tempat tidur, tempat Ivan berbaring. Ada beberapa tempat tidur di ruang gawat darurat itu. Satu dengan yang lain dibatasi dengan gorden tertutup rapat. Tak semua tempat tidur itu terisi. Suasana sepi. Tampaknya para perawat lebih memusatkan perhatian mereka kepada pasien tertentu di sudut lain. Mungkin pasien yang parah.

Suasana seperti itu membuat ia merasa lebih nyaman. Menurut dokter yang memeriksa tadi, bila Ivan sudah sadar dan tak gatal-gatal lagi, ia boleh pulang mengingat kondisi fisiknya secara umum baik-baik saja. Jadi ia akan menunggu.

Sekarang wajah Ivan sudah tidak sebengkak tadi. Raut muka aslinya sudah tampak. Yang masih tertinggal adalah ruam merah dan bentol kecil-kecil. Mungkin itu disebabkan karena suntikan yang didapatnya juga karena tidak di

garuk-garuk lagi. Entah apa yang akan terjadi padanya bila ia dibiarkan saja. Seandainya Mariska dan adiknya tidak kebetulan datang maukah ibu kosnya membawanya ke sini? Sepertinya Ivan patut berterima kasih kepada kedua kakak beradik itu meskipun kedatangan mereka bukan untuk tujuan itu. Dan seandainya Ivan tidak terkena gatal-gatal yang parah, maukah ia mengembalikan barang curiannya? Pasti tidak. Pintar juga Mariska membohongi Ivan dengan menyebut soal kutukan itu.

Ia tahu, Ivan takut akan hal-hal takhayul dan mistik. Ia sendiri tidak mau mempercayainya. Jadi tidak perlu merasa takut. Tapi bagaimana dengan pengalaman ayahnya yang aneh itu? Karena itu merupakan pengalaman dari orang yang tidak mungkin berbohong, maka ia tidak bisa tidak mempercayainya. Pengalaman adalah kenyataan. Apakah itu membuat ia percaya sekarang, bahwa kehidupan itu menyimpan misteri yang tidak bisa dipahami seluruhnya? Jawabannya adalah ya!

Kepastian itu membuat jantung Rico berdetak lebih keras. Ada getaran menjalari tubuhnya. Ia merasa bagai orang bodoh yang selama

ini cuma berkubang dalam dunia sempit. Ia juga merasa malu akan wawasannya yang sempit. Padahal selama ini ia menganggap dirinya sudah pintar dan berhasil dalam kehidupan, termasuk kecenderungan seksualnya. Dalam hal yang satu itu setiap orang berhak memilih sebagai wujud kebebasan menentukan jalan hidupnya sendiri. Bukankah ia tidak merugikan orang lain?

Pemikiran itu sangat kuat melandasi setiap langkah Rico sebelum kedatangan orangtuanya. Bahkan orangtuanya tidak berhak mengubah apa yang ia yakini sebagai kebenaran. Pilihannya tidak merugikan siapa-siapa termasuk orangtuanya. Mereka memang menghadirkannya ke dunia. Tapi hal itu semata-mata masalah biologis. Bukan dirinya yang minta dihadirkan. Justru seandainya ia memaksa diri untuk memenuhi kehendak orangtuanya, agar menikah dan punya anak, ia akan merugikan orang lain. Yaitu, perempuan yang jadi istrinya! Dan mungkin anaknya sendiri!

Tetapi pada hari-hari menjelang kedatangan orangtuanya, Rico merasakan keresahan dan kegelisahan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Itu bukan Semata-mata disebabkan kerusuhan berkepanjangan yang terjadi di Maluku hingga ia mengkhawatirkan keselamatan mereka. Tentu faktor itu juga merupakan penyebab. Tetapi ia merasakan suatu kerinduan yang sangat kepada mereka. Kenangan masa kecil yang sudah lama terlupakan begitu saja bermunculan. Perasaan itu menimbulkan kekosongan dalam dirinya. Itu tak dapat diisi dengan kedekatan Ivan, cumbu rayu dan seks membara sekalipun. Tiba-tiba terasa betapa palsu semuanya itu. Kenikmatan yang ditimbulkan cuma sekejap, sekadar memenuhi kebutuhan. Mana mungkin yang seperti itu bisa mengisi jiwanya yang kosong?

Tiba-tiba Rico terlonjak kaget. Ia merasakan cengkeraman yang kuat pada tangannya yang terletak di atas tempat tidur. Hampir saja ia memekik kalau tak segera menyadari bahwa Ivanlah yang melakukannya. Ivan sudah sadar dan sedang memandanginya dengan mata mengantuk.

"Ric! Kamukah itu?"

"Ya. Tentu saja aku. Memangnya siapa?"

"Kenapa aku di sini, ya?"

Ivan tak segera menyadari situasinya.

Cepat Rico menjelaskan.

"Oooh...." keluh Ivan dalam-dalam. Air matanya berlompatan keluar.

"Kau harus bersyukur sudah diselamatkan," kata Rico.

"Ya, ya. Tapi aku malu sekali."

"Sudahlah. Yang penting kau sudah sembuh. Tidak gatal lagi?"

Pertanyaan itu membangkitkan kekhawatiran Ivan. Ia mengangkat tangan lalu merabai mukanya, lehernya, kemudian lengannya. Lalu ia menarik dan mengembuskan napas lega.

"Oh, tidak gatal lagi, Ric. Tidak lagi!" serunya gembira.

"Tapi... apakah... apakah mukaku menjadi cacat?"

"Tidak. Sudah hampir normal."

"Syukurlah. Betapa senangnya."

"Tapi tadi kau seperti barongsai."

"Idih, ngeledek."

Ivan sudah bisa tertawa. Rasa senangnya juga disebabkan karena kehadiran Rico. Ia menarik tangan Rico lebih dekat lalu mengelusnya. Tapi Rico menarik kembali tangannya.

"Kenapa, Ric? Tidak bolehkah kuutarakan rasa terima kasihku?"

"Untuk apa? Aku melakukan ini karena tidak ada orang lain. Aku tidak tahu siapa yang harus kuhubungi."

"Ah, jangan begitu, Ric. Kau marah padaku, ya? Tapi aku melakukannya karena ingin membalas perlakuan mereka."

"Mereka siapa?"

"Orangtuamu. Terutama ibumu."

"Jangan bicara jelek tentang mereka, Van!"

"Aku sudah janji akan mengembalikan uang itu. Aku juga sudah mengembalikan dompet sialan itu. Apa lagi?"

"Kau sudah menyusahkan. Sekarang kau sudah sembuh. Ayolah, pulang."

"Maafkan aku, Ric."

"Sudahlah. Jangan lupa janjimu. Besok harus segera kau kembalikan uang yang kau curi kepada ibuku dan minta maaf kepadanya."

"Bila kulakukan itu, maukah kau baikan lagi denganku?" tanya Ivan dengan nada memohon.

"Baikan apa?"

"Kita seperti dulu lagi, ya? Kau dan aku?"

Rico menatap Ivan dengan dingin.

"Tidak! Kita sudah putus dan tetap putus!"

Ivan menangis.

"Aku membutuhkan kau.

Ric. Jangan campakkan aku!"

"Ini bukan soal mencampakkan, Van. Aduh, bagaimana aku bisa membuatmu mengerti?"

"Aku tidak mau mengerti. Aku mau kau. Huuu... huuu ..."

"Hus. Jangan berisik. Ini ruang gawat darurat rumah sakit."

Terdengar suara berdehem dari balik gorden. Mereka terdiam, sama-sama menatap ke sana.

Gorden terkuak. Muncul Indiarto. dengan wajah tak berdosa.

"Maaf mengganggu. Perlu bantuan, Mas Rico?" ia bertanya.

Ivan melotot. Ia memandang Rico dan Indiarto bergantian.

"Jadi kau sudah mendapat ganti, ya?" tanyanya kepada Rico. Nadanya menuduh.

"Ganti apa?"

"Dia pacar barumu?"

Rico berdiri.

"Ayo, kita pulang saja. Aku tak mau buang waktu lebih lama di sini."

Indiarto berdiri saja dengan bingung.

"Cepat bangun dan segera ke ruang depan. Aku akan urus administrasinya dulu," kata Rico, lalu berjalan pergi.

Indiarto menatap Ivan sejenak lalu ia buru-buru mengikuti langkah Rico.

"Apakah aku mengganggu tadi, Mas?" tanyanya.

"Sama sekali tidak. Orang itu memang susah diurus," gerutu Rico.

Indiarto meliriknya. Ia menganggap wajah Rico yang cemberut itu tampan dan jantan!
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka semobil bertiga. Ivan duduk dibelakang. Indiarto di samping Rico yang mengemudikan mobil.

"Ini jam tiga subuh. Mau dibawa ke mana aku?" tanya Ivan.

"Aku sudah punya rencana," sahut Rico."Sekarang kau ke rumahku saja. Istirahat di sana. Lalu begitu bank dibuka, kita ke sana. Kutunggu kau mengambil uang itu. Lalu dari sana, terserah kau mau ke kantor sama-sama aku atau istirahat dulu. Tapi sudah tentu kau harus kembali ke rumah kosmu. Ibuku sudah marah sekali padamu."

Ivan terperangah. Ia merasa terpojok.

"Kau benar-benar tidak mau melepaskan aku. Tidak percaya padaku."

"Terserah kau mau bilang apa. Tapi aku

harus mendapatkan uang orangtuaku. Mereka mendapatkannya setelah menabung "bertahun-tahun."

Indiarto merasa dirinya dilupakan untuk sejenak. Ia sungguh tidak menyangka bahwa kesembuhan Ivan bisa begitu cepat. Ia mengira bisa menemani Rico sambil menunggui Ivan. Tetapi ia cuma bisa mendengarkan sedikit perbincangan di antara kedua orang itu. Sedikit tapi cukup.

"Dari sini ke rumahku lebih dekat. Jadi aku akan menurunkan Ivan dulu, menyerahkannya kepada orangtuaku, lalu mengantarmu pulang, Indi," kata Rico.

"Sebenarnya aku bisa pulang naik taksi," kata Indiarto ragu-ragu.

"Sudahlah. Nggak apa-apa."

"Mendingan naik taksi," gerutu Ivan.

Rico sudah menelepon ke rumahnya lebih dulu untuk memberitahukan rencananya. Kedua orangtuanya sangat setuju. Dengan cara itu, mereka tidak memberi ruang dan waktu bagi Ivan untuk mengulur-ulur atau melarikan diri. Seorang pencuri tidak boleh diberi hati. Masih bagus dia tidak diserahkan kepada polisi.

Dengan demikian Maxi dan Grace sudah siap menunggu kedatangan mereka.

Ivan digiring ke kamarnya yang dulu ia pakai dan masih kosong. Grace sudah menyiapkan kamar itu.

"Kau tidur saja, Van. Jangan ke mana-mana," kata Rico.

Ivan tertawa sinis.

"Jangan khawatir. Memangnya aku mau kemana?"

Rico menatap ayahnya.

"Papa bisa menjaganya? Aku mau mengantar Indi pulang dulu."

"Aku bisa pulang sendiri, Mas. Sudahlah. Lebih baik menjaga dia," kata Indiarto.

"Ya. Lebih baik menjaga aku," sindir Ivan. Rico memelototinya. .

"Tidak apa-apa. Pergilah. Papa bisa jaga dia kok," kata Maxi sambil memperlihatkan otot lengannya.

Akhirnya Ivan masuk ke dalam kamar yang pintunya dkunci dari luar.

"Kalau kau tidak istirahat cukup, nanti gatalmu kumat," Rico menakut-nakuti.

"Aku memang mau tidur kok. Ngantuk."

Rico percaya omongan itu karena obat penenang yang terakhir diberikan perawat di

rumah sakit masih menyisakan efek.

"Sebetulnya aku ingin bicara berdua denganmu, Indi," Rico berkata terus terang dalam perjalanan berdua menuju rumah Indiarto.

"Wah, sama dong! Kalau tidak sih dari tadi aku sudah lari dari rumahmu!" seru Indiarto.

"Oh ya? Kau ingin bicara juga? Kalau begitu, kau duluan saja. Siapa tahu materinya sama," kata Rico tenang.

"Baik. Ini tentang Pak Maxi dalam kasus yang aneh itu. Aku dan kakakku punya pendapat yang sedikit berbeda tentang hal itu. Tapi kalau ingin tahu, ya sama. Meskipun aku orang yang penakut sedang kakakku tidak. Aku cuma tidak ingin Pak Maxi terbawa-bawa. Kasihan."

"Tunggu," Rico menyela.

"Sikap ayahku tidak menampakkan bahwa dirinya patut dikasihani. Dia tidak mengeluh atau merasa takut. Sebaliknya dia kelihatan antusias. Mungkin kau belum kenal dia. Sejak muda dia gemar bertualang. Dia pemberani. Dan dia selamat dari kerusuhan di desanya karena peristiwa yang aneh juga."

"Wah, maukah kauceritakan?"

Berbeda dengan Grace yang ragu-ragu menceritakannya kepada Mariska, Rico tidak keberatan bercerita.

Indiarto terheran-heran.

"Luar biasa Pak Maxi itu. Sekarang aku tidak heran lagi kenapa arwah ibuku muncul di depannya."

"Kata Papa, ibumu senang mendengar suaranya."

"Entahlah. Mungkin juga, itu sebab yang lain."

"Sekarang teruskan pembicaraanmu yang tadi. Kau bilang, ada perbedaan pendapat antara kau dan Mariska. Apa itu?"

"Oh ya. Dia ingin minta bantuan Pak Maxi untuk melanjutkan kasus itu. Katanya, Mama bermaksud minta bantuannya, tapi belum jelas untuk apa. Sampai-sampai Pak Maxi bermimpi tentang hal itu. Jadi Mbak Riris berharap Pak Maxi menuntaskannya. Entah dengan cara apa. Barangkali berusaha supaya ibuku mau menghubunginya lagi atau gimana. Tapi aku khawatir hal itu akan mempengaruhi mental Pak Maxi. Bagaimana kalau dia sampai kenapa-kenapa, padahal itu sama sekali bukan urusannya? Aku sudah membicarakannya dengan Mbak

Riris. Dia bilang, kalau Pak Maxi tidak mau sudah tentu dia tidak akan memaksa. Semuanya terserah pada Pak Maxi untuk menentukan. Aku ingin minta padamu supaya membujuk Pak Maxi agar dia tidak mau."

"Boleh aku tahu kenapa kau begitu concern pada ayahku? Padahal yang minta bantuan itu adalah ibumu, eh..., arwah ibumu."

"Seandainya ibuku masih hidup, tentu aku tidak punya keberatan apa-apa. Tapi ini? Aku takut akibatnya bagi Pak Maxi, Mas."

"Sebaiknya jangan panggil aku Mas. Aku juga tidak memanggilmu begitu."

"Baiklah, Rico. Nah, bagaimana?"

"Aku sangat berterima kasih atas perhatianmu, In. Sesungguhnya aku juga ingin membicarakan hal yang sama. Aku juga ingin minta bantuanmu supaya mau membujuk Riris agar dia tidak mendesak atau membujuk orangtuaku. Aku bisa melihat semangatnya yang tinggi. Keingintahuannya membuat aku cemas. Tentu bisa kumaklumi bahwa dia sayang pada ibunya. Tapi aku tidak ingin dia melibatkan keluargaku. Aku juga bisa melihat sikap ayahmu yang kelihatannya tidak menyukai kami. Dia

sangat dingin, berbeda sekali dengan Riris. Jadi di dalam keluargamu memang hanya Riris yang bisa mempengaruhi orangtuaku. Ibuku sudah menyukainya. Ayahku kemungkinan juga. Dia punya tipe sama dengan Riris. Suka perbuatan yang mengandung risiko."

"Wah, jadi kita sama dong!" seru Indiarto.

Mereka bertukar pandang sejenak dengan tersenyum.

"Aku belum bicara banyak dengan Papa. Waktunya belum ada. Tapi aku akan mencoba membujuknya."

"Dan aku akan bicara dengan Mbak Riris."

""Sebenarnya bisakah kau memperkirakan apa kira-kira bantuan yang mau diminta arwah ibumu dari ayahku?"

"Aku tidak punya perkiraan apa-apa. Mbak Riris juga tak habis pikir."

"Kata orang, hanya arwah yang mati penasaran yang bisa berbuat begitu. Eh, sori ya, In."

"Tidak apa-apa. Tapi memang benar Mama mati penasaran. Dia dibunuh orang."

"Bukankah pembunuhnya sudah menerima hukuman?"

Indiarto terdiam.

"Dulu aku pernah membaca tentang peristiwa itu di koran. Menggemparkan sekali."

"Ya."

"Aku bisa memahami perasaanmu."

"Terima kasih."

"Kembali pada kasus yang tadi. Sebenarnya aku tidak begitu yakin, apakah Papa bisa dibujuk. Mungkin aku perlu bantuan ibuku."

"Dia ibu yang baik dan simpatik."

Indiarto mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Ia juga sekaligus merasa pedih karena ingat akan kehilangannya sendiri.

"Oh, memang iya," sahut Rico bangga.

Indiarto menepis kepedihannya.

"Aku juga belum tahu apa yang direncanakan Mbak Riris. Tampaknya dia sedang sarat dengan pemikiran."

"Kau harus mendekatinya supaya dia mau mengungkapkan apa saja rencananya itu."

"Kukira dia akan mengatakan. Dia perlu bantuanku. Kami cuma berdua. Jadi harus kompak."

"Bagaimana dengan ayahmu?"

"Papa tidak suka dengan kasus itu. Dia penakut seperti aku. Sebagai suami mungkin trauma

yang harus dipikulnya jauh lebih berat daripada kami."

"Ya. Bisa dimengerti."

Sebenarnya Rico ingin bertanya, benarkah ibu Indiarto berselingkuh dengan sopirnya seperti gosip yang diembuskan koran pada waktu itu. Tapi ia merasa pertanyaan itu bisa menyinggung.

"Setelah kasus si Ivan itu, tampaknya semangat ayahku dan kakakmu jadi semakin berkobar. Ini berat juga, In."

"Ya. Tampaknya begitu. Apakah kau percaya pada kutukan seperti yang dikatakan Mbak Riris?"

Rico tertawa.

"Riris patut dikagumi. Dia cerdik."

"Kenapa setelah Ivan mengembalikan dompet, dia segera sembuh?"

"Barangkali alerginya memang terhadap dompet itu," sahut Rico enteng.

"Mudah-mudahan dia tidak akan mengganggumu lagi, ya?"

Rico tertegun. Dalam kegelapan ia mencuri pandang. Diamatinya sejenak wajah Indiarto yang tampan. Wajah itu tidak mirip dengan

wajah Mariska. Dalam hati ia bertanya-tanya, seberapa banyakkah yang berhasil didengar Indiarto sewaktu ia berbicara dengan ivan tadi?

"Kita akan bekerja sama, Indi."

"Ya."

Indiarto tersenyum senang.

Mariska belum tidur. Ia menunggui kepulangan Indiarto dengan berbaring di sofa dekat pintu masuk. Bila bel dari pintu pagar berbunyi ia bisa terjaga.

"Papa sudah pulang?" tanya Indiarto begitu berhadapan dengan Mariska.

"Sudah tidur. Ketika aku pulang dia sudah dirumah. Sempat kuceritakan apa yang telah terjadi. Aku perlihatkan juga dompet itu."

"Lalu?"

"Ia cuma melihat sekilas lalu mengangguk. Tapi tak mau menyentuh."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa katanya?"

"Katanya, bagus. Jadi Pak Maxi nggak bohong. Sudah, cuma begitu."

"Apakah dia memang tidak berminat?"

"Entahlah. Mungkin lagi ngantuk."

"Ya. Terlalu banyak yang terjadi hari ini. Penat rasanya."

"Sekarang cerita apa yang kaubawa pulang?"

Indiarto menceritakan seadanya.

"Itu penyelesaian yang bagus," puji Mariska.

"Si Rico itu cowok yang hebat juga, ya?"

"Tapi sebaiknya kau jangan berharap banyak, Mbak."

"Kenapa?" tanya Mariska dengan jengkel.

"Dia homo!"

Mariska terkejut. Mulutnya sampai ternganga.

Indiarto menatapnya dengan iba. Semula ia cuma bergurau. Tapi sekarang ia menyadari, Mariska merasa cukup terpukul karena informasinya. Mungkin seharusnya ia tidak mengatakannya. Tapi tentu saja sudah terlambat untuk menariknya kembali.



Hari itu Don membawa mobil Kijangnya karena baru berbelanja ke pasar tradisional. Sesekali ia masih suka membantu istrinya dalam hal apa saja yang bisa ia lakukan. Tapi karena melakukannya tanpa terikat, ia merasa senang-senang saja.

Saat itu ia sekalian menuju alamat rumah Maxi karena menganggap masih cukup waktu. Dengan berada di dalam mobil, ia lebih leluasa mengamati dibanding naik motor. Ia pun harus menghindari kecurigaan orang.

Ia parkir di seberang lokasi rumah Maxi. Belum lama di situ ia melihat empat orang keluar dari dalam rumah Maxi. Dua anak muda dan pasangan perempuan dan lelaki setengah umur. Ia memperkirakan lelaki setengah umur itulah yang bernama Maxi Tuwana, sesuai deskripsi yang diberikan Pandu. Apalagi Maxi mengenakan pakaian rumah, celana pendek, dan kaus kumal. Sedang pasangan perempuannya, yang kemungkinan adalah istrinya, juga mengenakan pakaian rumah berupa daster. Tapi kedua anak muda tampak berbeda. Salah satu di antaranya yang berkulit lebih gelap dan bertubuh lebih tinggi, berpakaian lebih rapi dibanding temannya. Si teman ini tampak kuyu dan wajahnya kemerah-merahan seperti orang belum sembuh benar dari penyakit campak. Mereka berdua berjalan pergi ke arah yang menuju ujung jalan. Lelaki yang lebih tinggi memegang lengan temannya yang wajahnya cemberut.

Setelah keduanya pergi, Maxi dan istrinya masih tetap di balik pagar. Rupanya menunggu. Tatapan mereka ke arah perginya dua anak muda tadi.

Don masih tetap mengamati. Sebenarnya itu pemandangan yang biasa-biasa saja. Tetapi lewat pengamatan yang biasa-biasa itu, ia bisa sekalian mempelajari orang yang harus diselidikinya.

Maxi tampak berbincang-bincang dengan istrinya. Keduanya kelihatan cukup akrab. Dan suasana yang melingkupi mereka kelihatan ringan tanpa beban. Setidaknya wajah mereka tidak tampak stres atau murung. Sebaliknya mereka banyak tertawa.

Tiba-tiba Don mendapat ide. Ia membuka laci mobil lalu mengambil sebuah brosur dari usaha katering milik istrinya. Kemudian ia menyeberang.

"Selamat pagi," ia menyapa Maxi dan istrinya.

"Selamat pagi," sahut mereka.

"Saya bermaksud promosi usaha katering istri saya," kata Don sambil menyodorkan brosurnya. Dalam hati ia merasa geli. Tanpa promosi seperti itu pun, istrinya sudah sangat sibuk.

Maxi dan Grace sama-sama mengamati brosur yang diberikan.

"Kalau Bapak dan Ibu berniat mengadakan pesta, bisa mencoba masakan kami," kala Don.

Grace mengangguk.

"Saya akan menyimpan brosur ini."

"Istri Bapak pintar masak, ya?" kata Maxi.

"Oh ya."

"Bapak juga?" tanya Grace.

"Saya jadi tukang belanja. Sambil belanja,

saya suka membagi-bagi brosur ini. Tapi di sini sepi, ya. Kalau nggak kebetulan ada orangnya di luar, saya segan mengetuk karena tak mau mengganggu. Tapi kalau dilempar begitu saja, bisa hilang sia-sia."

Maxi dan Grace mengangguk dengan simpati. Menurut mereka, itu memang sikap yang baik.

Sebelum Don pamitan, Rico dan Ivan muncul kembali. Ivan sudah berganti pakaian, lebih rapi daripada yang tadi dikenakannya.

"Mari, Pak? Bu?" Don buru-buru pamitan. Seorang sales tak boleh berlama-lama kalau tak mau membangkitkan antipati.

Maxi dan Grace cuma mengangguk. Mereka lebih menaruh perhatian kepada Rico dan Ivan.

Don melihat Rico dan Ivan memasuki mobil yang berada di halaman rumah Maxi. Ia mengikuti mobil mereka. Tak terlalu lama, karena mobil itu memasuki halaman sebuah bank. Setelah melihat itu Don segera pulang. Tak ada tujuan apa-apa dengan berbuat begitu. Ia hanya mencari masukan kalau-kalau ada sesuatu yang bermanfaat.

Di dalam mobil Ivan menyerahkan amplop

berisi uang yang barusan ditariknya dari bank kepada Rico. Wajahnya masih cemberut.

"Tuh, ambil!" katanya kasar.

"Kau seharusnya bersyukur karena tidak dilaporkan kepada polisi."

"Kalau mau lapor, ya lapor saja!"

"Sudah tak ada kasus," sahut Rico tenang.

"Tapi omong-omong apa yang telah kaulakukan hingga ibuku pingsan?"

Ivan menutup mulutnya.

"Kau pasti memasukkan sesuatu ke dalam gelas minumnya."

"Jangan menuduh sembarangan. Itu fitnah!"

"Ya sudah. Aku memang tak punya bukti. Tapi jangan salahkan siapa-siapa kalau kau jadi menakutkan untuk didekati."

"Aku mau pulang ke tempat kos."

"Memang aku bermaksud begitu. Wajahmu masih nggak normal."

"Cowok yang kemarin malam itu, siapa dia?"

"Cowok yang mana?"

"Itu yang semalam ikut-ikutan."

"Memangnya kenapa?"

"Dia pacar barumu? Cepat sekali kau dapat

ganti!"

"Aku tidak punya pacar siapa pun. Apalagi cowok."

"Oh, kau mau ganti haluan sekarang, ya? Desakan orangtuamu?"

"Aku tak mau bicara soal itu!"

"Aku akan memberitahu cewek mana pun yang kaudekati bahwa kau homo. Sekali homo tetap homo!"

"Itu kan pendapatmu. Silakan saja."

Ivan menjulurkan lidahnya.

Rico tertawa. Mana cewek yang akan didekatinya? Rasanya belum ada. Mungkin masih jauh. Barangkali di ujung dunia!

Tetapi ucapan Ivan itu terasa sebagai tantangan. Masih ditambah lagi kesebalannya kepada Ivan yang kelakuannya sekarang jadi terasa menjijikkan. Pada suatu masa ia pernah menganggap Ivan lucu, imut-imut. manja, menggemaskan, dan sangat menghibur. Sesuatu yang membuat ia merasa ingin melindungi. Tapi saat lain, ia juga bisa bermanja-manja kepadanya dan punya perasaan dilindungi. Betapa kontrasnya dengan keadaan sekarang. Sepertinya, ada tabir di depan matanya yang barusan terungkap.

Tetapi beda dengan dulu ketika ia putus cinta dengan cewek. Sekarang ia tidak merasa sakit. Bahkan ia justru lega. Mungkin penyebabnya memang berbeda. Dulu ia yang didepak. Sekarang ia yang mendepak.

Masih ada perbedaan lain. Ia tidak sampai menyamaratakan semua cowok seperti Ivan. Tidak sampai muncul kebencian seperti yang pernah dirasakannya kepada kaum perempuan. Kebencian yang membuat darahnya mendingin terhadap mereka.

Muncul pertanyaan. Apakah itu berarti ia masih bisa menerima cowok, tapi tidak cewek?

Ia juga teringat kepada tudingan Ivan. Apakah Indiarto pacar barunya?

Indiarto pemuda yang baik. Tapi ia tidak tahu kecenderungan pemuda itu meskipun bisa menangkap kekaguman pemuda itu kepadanya. Kagum kepada sesama bukan berarti hanya suka kepada sesama. Toh ia punya feeling kalau ia melakukan upaya pendekatan, Indiarto bisa ia "taklukkan"!

Tapi dengan terkejut ia menepis pemikiran itu. Lupakah ia akan tekadnya sendiri? Dan cinta orangtuanya?

Dengan cemas ia menyadari, bahwa ternyata "berpindah jalur" itu tidaklah gampang meskipun sudah berbekal tekad dan dorongan cinta kepada orangtua. Tampaknya masih diperlukan pula hal-hal lain yang masih gelap untuknya.

Setelah menyerahkan amplop berisi uang sepuluh juta lebih kepad Grace, Rico memeluk kedua orang tuanya bergantian.

"Nanti jangan disimpan di bawah kasur lagi, Ma."

"Ya, ya," kata Grace berurai air mata.

"Kita akan segera menyetornya ke bank, ya, Pa?"

"Masalahnya uang kita kan tidak bertambah seperti dulu waktu masih punya penghasilan," kata Maxi.

"Jadi buat apa ditaruh di bank? Lama-lama malah habis dipotong ini-itu."

"Siapa tahu bisa nambah, Pa? Setidaknya uang itu aman di sana," sahut Rico.

"Oh iya. Tiba-tiba aku ingat si Riris menawarkan aku untuk bernyanyi dalam acara tertentu yang diadakannya. Ia juga ingin mempromosikan aku kepada relasi-relasi dan kawan-kawannya. Ia menyukai suaraku."

"Bagus kalau begitu. Itu cara mengamen

yang pantas buat Papa. Honornya bisa menambah tabungan."

Grace menatap suaminya dengan bangga.

"Aku sih nggak lihat honornya," kata Maxi tersipu.

"Eh, mungkin saja Papa bisa muncul di televisi," kata Rico.

"Jangan ngeledek kau, ya!"

Mereka tertawa.

Di kamar kosnya Ivan menangis tersedu-sedu. Ia merasa jadi orang paling malang di dunia.

"Sok jagoan lo, ya! Sok jagoan! Emangnya gue takut sama lo?" makinya di sela isak tangisnya.

Ia membayangkan hari-harinya ketika masih bersama Rico. Betapa singkat semua itu lewat.

Lalu muncul pengacau-pengacau. Rico pun berpaling.

Ia sangat iri kepada Rico. Kalau saja dia juga memiliki orangtua seperti yang dimiliki Rico.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesedihannya bertambah. Rasa pilu menyayat kalbunya. Sekarang tak ada lagi yang memeluknya, membelai dan menghiburnya. Ia sadar Rico tidak menghendakinya lagi. Hubungan mereka tak bisa diperbaiki lagi. Mungkin

ia harus mencari orang lain. Tapi pengalaman membuktikan betapa susahnya mendapat pasangan yang baik, yang mau take and give secara seimbang. Kebanyakan maunya take saja, maunya memanfaatkan. Adakah orang yang seperti Rico? Begitu banyak orang di dunia ini, sampai penuh sesak, tapi kenapa sampah melulu.

Pintu kamarnya diketuk.

"Mas Ivan! Maaas!" terdengar suara Ibu kos.

Ivan menghentikan tangisnya.

"Yaaa?" serunya serak.

"Mas baik-baik saja?"

"Baik, Bu! Baik!"

Ivan tak menangis lagi. Tiba-tiba muncul kecemasan kalau-kalau induk semangnya memintanya pindah karena menganggap dirinya pengusik ketenteraman.

Pemikiran itu membantunya meredakan emosi. Semakin lama ia jadi semakin tenang. Bahkan ia bisa merenungkan masa indahnya bersama Rico tanpa kesedihan berlebihan lagi.

Mereka saling mengenal karena bekerja di tempat yang sama. Ia lebih dulu tertarik kepada Rico tetapi tentu saja tidak bisa mendekat

karena pada waktu itu Rico mempunyai pacar. Namanya Inge. Dia gadis yang rupawan dan kelihatan cerdas.

Ivan kerap mengamati keduanya bila Inge berkunjung ke perusahaan tempat kerjanya. Gadis itu bekerja di perusahaan asuransi yang letaknya tak jauh dari situ. Pada saat istirahat siang atau pulang kerja, gadis itulah yang datang menjemput Rico. Mereka pergi makan siang bersama-sama atau pulang bersama-sama.

Karena cantik dan menarik, gadis itu selalu jadi pusat perhatian bila datang berkunjung. Rico tampak bangga sekali bisa menggandengnya. Sepertinya dia mengatakan,

"Kalian boleh iri, boleh ingin, tapi dia kepunyaanku!"

Bagi Rico, jelas Inge itu ibarat dewi. Puja-puji di matanya dan sikapnya kepada Inge memperlihatkan itu. Ivan merasa sebal melihatnya. Tapi ia terus saja mengamati. Ia punya keyakinan, gadis itu bukanlah dewi seperti yang diperkirakan Rico. Ia merasa gadis itu sangat menyukai keberadaanya di perusahaan mereka, bukanlah karena ada Rico di situ, tapi karena dirinya jadi pusat perhatian dan kekaguman para cowok, rekan-rekan sekerja Rico. Perusahaannya sudah dikenal sebagai gudang para insinyur tampan. Kalau tidak begitu, kenapa ia tidak membiarkan Rico saja yang menjemputnya daripada sebaliknya? Dan lihatlah bagaimana ekspresinya bila sedang dikerubuti atau jadi pusat perhatian. Lagaknya seperti selebriti. Ivan merasa ingin muntah melihatnya. Ia heran, kenapa Rico tidak menyadari hal itu. Buta karena cinta?

Berbulan-bulan Ivan mengamati pasangan itu. Pada mulanya ia iri dan cemburu, tapi kemudian merasa kasihan kepada Rico. Sambil mengamati ia juga bersiap terhadap segala kemungkinan buruk yang akan menimpa hubungan pasangan itu. Siap untuk menolong Rico!

Seperti yang sudah diperkirakan dan diharapkannya, saat itu pun tiba.

Seorang lelaki lain muncul dan segera mengalihkan perhatian Inge dari Rico. Lelaki itu bukan orang sembarangan. Dia orang Jepang, salah satu direktur dari perusahaan induk di negara asalnya. Lelaki itu jatuh hati kepada Inge yang kebetulan dilihatnya saat sedang menjemput Rico. Lalu ia berusaha merebut Inge dari

tangan Rico.

Dari segi penampilan, lelaki itu kalah jauh dibanding Rico. Tapi dari segi kedudukan dia menang jauh. Pasti itulah sebabnya kenapa dialah yang menang dalam persaingannya dengan Rico. Tampaknya ia pun tidak perlu berjuang terlalu keras. Inge tidak kelihatan berat hati untuk meninggalkan Rico.

Selanjutnya mereka mendengar berita bahwa Inge menikah dengan lelaki Jepang, lalu pindah tinggal di Jepang bersama suaminya. Semuanya berlangsung begitu cepat. Sepertinya perempuan itu tak punya perasaan karena ia tak menyisakan apa-apa buat Rico. Benar-benar habis manis sepah dibuang.

Ivan yang sudah lama bersiap segera maju "menyelamatkan" Rico dari kehancuran. Persiapannya yang matang membuat kehadirannya diterima dengan tangan terbuka dan rasa syukur. Rico merasa terhibur. Pada awalnya ia menerima Ivan sebagai seorang sahabat sejati, yang datang di kala duka. Ivan benar-benar memanfaatkan situasi. Dengan pintar ia menceritakan hasil pengamatannya selama ini perihal Inge. Bahwa perempuan seperti itu tidak layak

ditangisi. Justru kepergiannya patut disyukuri. Lebih baik putus sekarang daripada nanti, kalau sudah telanjur menikah dan punya anak. Lebih-baik kebusukannya itu diketahui sekarang daripada nanti. Jadi semua itu merupakan hikmah. Bukan musibah.

Ivan juga menceritakan pengalaman dirinya yang dikhianati perempuan. Jadi mereka senasib hingga dia tahu benar bagaimana rasanya dikhianati. Tentu cuma karangan belaka. Tapi ceritanya itu berhasil mendekatkan Rico kepadanya. Tak ada teman yang lebih baik daripada dia yang senasib. Bukan cuma itu. Ia juga berhasil menumbuhkan kebencian Rico kepada semua perempuan.

Lambat laun barulah hubungan mereka berkembang lebih jauh lagi. Ivan tidak tergesa-gesa. Ia tahu tidak boleh mendesak atau membujuk. Setelah hubungan mereka semakin erat, sepertinya dengan sendirinya saja menjurus ke seksual. Tak ada yang lebih intim dan lebih satu daripada hal itu.

Lalu mereka serumah. Tak pernah ada konflik atau masalah serius yang mengganggu hubungan mereka. Sampai kedatangan orangtua Rico.

Ataukah sebelumnya juga sudah ada gejala tanpa ia sadari?

Ia memikirkannya lebih kritis sekarang. Mungkinkah Rico merasa bosan kepadanya? Ia yakin bukan itu sebabnya. Kalau memang ada kebosanan, ia pasti bisa merasakannya. Instingnya tajam mengenai hal itu. Tak bisa lain memang pengaruh orangtua Rico. Ada kontak batin di antara mereka. Meskipun berjauhan mereka bisa merasakan kontak itu.

Lalu ia tersentak kaget. Tiba-tiba ia menyadari bahwa dirinya telah melakukan kesalahan. Karena dorongan ketakutan akan kehilangan Rico, ia telah bertingkah laku menyebalkan. Ia cengeng dan berlebihan. Ia paranoid sampai melupakan harga diri. Padahal sebelumnya ia tak pernah berlaku seperti itu. Paling akhir adalah kelakuannya mencuri uang orangtua Rico. Ia benar-benar bodoh. Bukan saja tujuannya membalas dendam tak berhasil, malah dirinyalah yang kena bencana. Rico jelas tak akan memaafkannya. Kalaupun bersedia memaafkan, pria itu takkan mau berbaikan lagi.

Ia telah melakukan kebodohan karena panik.

Dunia memang bukan sedaun kelor. Tapi

aduh, ia sangat mencintai Rico.

Hampir saja ia menangis lagi kalau tidak teringat hal lain. Sesuatu yang mengejutkan.

Uang yang berasal dari dompet sialan itu masih ada padanya. Tak ada yang menanyakan. Mungkin mereka lupa. Pengalaman yang mengerikan itu terkenang kembali.

Ia melompat lalu membuka laci mejanya. Ia tertegun. Uang kertas dua puluh ribuan sebanyak lima lembar masih di situ. Tapi yang mengherankannya adalah uang kertas itu sudah dalam keadaan berlipat-lipat kembali! Persis seperti saat pertama kali ia melihatnya! Padahal ia ingat betul sudah membuka semua lipatannya dan melicinkannya.

Ia bergidik. Tangannya yang sudah terulur ditarik-nya lagi. Tidak. Ia tidak mau menyentuhnya. Bagaimana kalau benda itu pun mengakibatkan alergi padanya, sama seperti yang dialaminya semalam?

setelah memandang berkeliling, Ia meraih ember sampah. Ada kantong plastik bekas roti di situ. Dengan selembar tisu bekas, ia mencomoti lipatan uang itu satu per satu lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik itu.

Lalu ia berpakaian rapi. Ia mengamati wajahnya di cermin dan merasa puas atas apa yang dilihatnya di situ. Ruam merah yang beberapa jam yang lalu masih jelas terlihat, kini sudah memudar. Wajahnya sudah bersih dari bentoI-bentol. Ia kembali tampak tampan dan imut-imut. Ia tersenyum sambil memainkan bola matanya. Ia memperlihatkan berbagai ekspresi dan mengaguminya.

"Oh, aku sangat bodoh. Kenapa aku mesti menangis? Aku masih punya diriku sendiri kok!"

Ketika keluar dari kamarnya ia menampilkan seseorang yang bertolak belakang daripada sebelumnya. Ibu kos yang melihatnya keheranan. Padahal ia sudah cemas membayangkan yang bukan-bukan.

"Mau ke mana, Mas? Masuk kerja?" ia bertanya dengan tatap penuh selidik.

Ivan memberikan senyum mautnya.

"Nggak, Bu. Saya ada urusan. Sebentar lagi juga kembali," sahutnya. .

Ibu kos mengamatinya dari belakang.

"Lalu siapa yang menangis tadi, ya?" tanyanya pada diri sendiri.

Dengan menenteng kantong plastik berisi lipatan-lipatan uang itu, Ivan berdiri di depan-pintu rumah Rico. Ia mengetuk.

Grace membuka pintu lalu bersikap waspada melihat Ivan.

"Ada apa lagi?" tanya Grace.

ivan tersenyum ramah. Sama sekali tidak memperlihatkan dirinya tersinggung.

"Maaf sudah mengganggu, Tante. Saya mau mengembalikan ini," Ivan mengangkat kantong plastiknya setinggi tatapan mata Grace.

"Tapi saya mau menyerahkannya ke tangan Oom Maxi. Ini kepunyaan dia. Dan barang ini berbahaya."

Grace mengamati kantong plastik itu sejenak tanpa menyentuhnya. lalu memalingkan kepala ke belakang.

"Pa a! Sini dulu!" teriaknya tanpa beranjak. Ia tidak berniat menyilakan Ivan masuk.

Dengan tenang, Ivan bersandar ke kusen pintu.

Maxi tergopoh-gopoh keluar lalu tertegun melihat Ivan.

"Dia mau mengembalikan isi dompet itu," Grace memberitahu.

Ivan mengacungkan kantong plastik.

Maxi mendekat lalu menerima kantong itu. Ia mengamati isinya. Ketika ia akan memasukkan tangannya ke dalam kantong, Ivan berseru,

"Jangan!"

Maxi menarik kembali tangannya. Dia dan Grace memandang Ivan.

Ivan tersenyum.

"Oh. maaf. Itu spontanitas saja. Saya lupa, bagi Oom barang itu tidak berbahaya. Tentunya Oom sudah sering menyentuhnya. Termasuk dompet itu."

"Terima kasih kau sudah mengembalikannya."

"Oh, tak usah berterima kasih, Oom. Saya memang harus mengembalikan, bukan? Tapi bagaimanapun saya tidak mau menyimpan barang mengerikan itu. Serem! Hiii!"

"Ah, tentu saja kau bilang begitu karena kau sudah mencurinya dan merasakan akibat buruknya," kata Grace.

"Ya, ya. Memang betul, Tante. Saya kapok, sungguh-sungguh menyesal dan saya minta maaf."

Grace dan Maxi berpandangan. Mereka tak segera menjawab.

"Kata orang bijak," Ivan memasang ekspresi serius.

"Kalau kita tidak bisa menambah teman, janganlah menciptakan musuh."

"Kami memaafkanmu," kata Grace.

"Tapi kami harap, kau tidak mengganggu Rico lagi. Jangan dekati dia lagi, Van. Kami ingin dia jadi lelaki normal."

Kata-kata tajam sudah di ujung lidah Ivan, tapi dia menahannya. Ia tersenyum dan mengangguk.

"Tidak, Tante. Saya tidak bermaksud mengganggu Rieo. Tapi kalau berteman secara biasa, boleh kan?"

"Itu terserah Rico," sahut Maxi.

"Kami tidak bisa membujuk atau memaksanya."

"Baiklah. Terima kasih. Saya permisi saja. Sekali lagi, hati-hatilah terhadap barang itu. Saya kira, itu kiriman iblis!"

Grace memekik.

"Apa?"

"Apa maksudmu?" tanya Maxi.

"Oh, saya tidak bermaksud menakut-nakuti. Tapi saya barusan mendapat pengalaman mengejutkan. Itu sebabnya saya buru-buru ke mari. Saya tidak mau menyimpan barang itu lama-lama."

"Pengalaman apa?" tanya Grace dan Maxi hampir berbarengan.

"Kemarin saya mengeluarkannya dari dompet. Lipatan-lipatan itu saya buka lalu saya luruskan. Kemudian saya taruh di laci dengan menyusunnya. Barusan saya lihat lembaran-lembaran uang itu sudah kembali dalam bentuk semula Persis seperti asalnya."

Ivan menunjuk kantong plastik di tangan Maxi. Kemudian ia mengangguk.

"Pemiisi," katanya. Ia berlalu tanpa menunggu reaksi kedua orang yang masih diliputi kejutan akibat ceritanya.

Ivan merapatkan pintu di belakangnya lalu melangkah ke pintu pagar. Di situ ia diam sejenak dengan tangan memegang pintu. Ia memasang telinganya.

"Cepat kembalikan kepada Riris, Pa!" seru Grace.

Ivan tersenyum lalu membuka pintu.





Pagi itu keluarga Rahman sarapan bertiga seperti kebiasaan sehari-hari. Dan seperti biasanya juga, Pandu makan sambil membaca koran pagi. Berkali-kali Indiarto menguap. Kuliahnya agak siang. Tapi ia tidak mau mengecewakan ayahnya bila tidak ikut sarapan bersama. Rencananya usai sarapan, saat ayah serta kakaknya berangkat ke kantor, ia akan menikmati tidur lagi barang sejam dua jam.

Pandu melirik dari balik korannya.

"Jam berapa kau tidur semalam?"

"Subuh, Pa."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memangnya kau dari mana?"

"Kan saya ikut menjenguk si Ivan di rumah sakit, Pa."

"Si Ivan?"

"Itu, yang nyolong duitnya Pak Maxi. Dan dompetnya juga."

"Oh, apa urusanmu? Kan dompetnya sudah ada pada Riris."

"Nggak apa-apa, Pa. Cuma kepengin tahu."

Pandu meletakkan korannya. Tampak minatnya muncul. Mariska mendengarkan saja sambil mengunyah rotinya pelan-pelan. Dia juga sangat mengantuk.

"Lantas gimana dia? Sudah sembuh?"

"Sudah, Pa. Saya ikut mengantarnya pulang bersama Rico."

"Rico?"



"Dia putra Pak Maxi. Anak satu-satunya."

"Oh, yang itu."

Mariska mengangkat kepalanya. Sesaat tatapannya berkaitan dengan tatapan Indiarto. Dia jadi diingatkan akan informasi yang disampaikan Indiarto sebelumnya. Rico itu homo! Bagaimana Indiarto bisa tahu bahwa dia homo? Seperti apa sih ciri-ciri orang homo itu? Tampaknya Rico biasa-biasa saja, sama seperti lelaki normal lainnya. Dia sama sekali tidak seperti wadam. Apakah tidak semua orang homo itu seperti wadam? Bagaimana mengenali mereka? Apakah dia merayu Indiarto? Memang Indiarto orangnya tampan dan lembut. Apakah lelaki seperti Indiarto selalu menarik perhatian orang homo?

Barangkali dia perlu bertanya lebih detail tentang hal itu kepada Indiarto. Tapi buat apa? Apa pedulinya kalau Rico itu homo atau bukan? Nanti Indiarto akan menyangka macam-macam.

"Saya punya usul, Pa," kata Mariska kemudian.

"Apa?" tanya Pandu tanpa mengalihkan perhatiannya dari koran.

"Bagaimana kalau rumah di Menteng itu direnovasi saja?"

Pandu menyisihkan korannya.

"Buat apa?" tanyanya.

"Toh dijual tak ada yang mau beli. Dikontrakkan juga tak ada yang mau. Apalagi kalau ada hantunya."

"Kalau dibiarkan akan cepat rusaknya, Pa. Sayang."

"Butuh biaya tidak sedikit. Ris."

"Hanya perbaikan yang rusak saja, Pa. Tidak perlu mengubah atau membongkar strukturnya."

"Nantilah kupikirkan dulu."

Indiarto tidak tertarik akan tema pembicaraan itu. Ia lebih memikirkan tempat tidurnya yang empuk.

Baru kemudian ia menjadi lebih segar setelah dalam kesempatan berdua, Mariska berkata,

"Bantu aku membujuk Papa untuk perbaikan rumah itu, Indi."

"Kayaknya penting amat sih, Mbak."

"itu caraku untuk menarik Pak Maxi ke sana, In."

"Bagaimana?" tanya Indiano dengan minat penuh.

"Bukan cuma rumah yang mau kuperbaiki, tapi juga tamannya. Gazebo itu, In! Itu adalah tempat favorit Mama, tempat Pak Maxi melihatnya. Aku ingin menjadikannya seperti dulu lagi, seperti Pak Maxi melihatnya. Tentu aku perlu bantuan Pak Maxi. Kalau dia bersedia, dia akan kujadikan mandor. Siapa tahu di sana dia bisa ketemu Mama lagi!"

Indiarto ternganga. Ini berita hangat untuk Rico!



MALAMNYA, mereka bertiga memperbincangkan peristiwa yang baru saja terjadi.

"Jadi, sebentar lagi Riris akan ke sini untuk mengambil uang itu." kata Rico.

"Pasti ia sekalian akan minta bantuan Papa soal perbaikan rumahnya.

"Bukankah ayahnya belum memutuskan?" tanya Maxi.

"Menurut kabar Indi yang terakhir, ayahnya sudah setuju. Ia menyerahkan semuanya kepada Riris."

"Kenapa si Indi selalu memberi kabar kepadamu? Apa dia sudah kaujadikan mata-mata?" gurau Grace.

Rico tersipu dan gugup sejenak.

"Ah, Mama bisa aja. Sebenarnya begini. Biar aku terus terang saja. Indi merasa kasihan kepada Papa." Maxi mengangkat kepala.

"Kasihan

kepadaku? Kenapa?" tanyanya heran.

"Dia khawatir Papa merasa tertekan karena peristiwa itu. Nanti dapat mimpi buruk segala macam. Itu sudah terbukti, kan? Pokoknya Papa bisa dapat susah. Sedang Riris punya keinginan kuat untuk mendorong Papa terlibat lebih dalam. Dia sangat ingin tahu apa yang dikehendaki arwah ibunya dari Papa. Jadi dia minta aku membujuk Papa supaya menolak saja permintaan Riris itu."

Maxi termangu sejenak. Ia menatap istri dan putranya silih berganti.

"Lantas pendapatmu sendiri gimana?" tanya Maxi kepada Rico.

"Aku sependapat dengan Indi. Dia bukan apa-apanya Papa, tapi aku kan anak Papa. Aku pasti lebih concern daripada dia."

"Dan kau, Ma?', tanya Maxi kepada Grace.

Grace ragu-ragu sejenak. Akhirnya dia berkata pelan-pelan,

"Aku juga khawatir kau kenapa-kenapa, Pa. Padahal urusan mereka bukanlah urusan kita. Seandainya mereka itu kerabat kita mungkin lain lagi. Tapi ini? Kenal juga nggak. Aku masih saja merasa seram mendengar cerita si Ivan tadi."

Maxi menggeleng-gelengkan kepala.

"Seram atau tidak seram itu mesti dilihat dulu dari segi yang mana. Aku kan tidak mendapat gangguan apa-apa. Lain dengan si Ivan. Dia memang kurang ajar. Jadi kenapa aku mesti dicemaskan? Kalian tahu? Aku lebih takut kepada manusia yang masih hidup, daripada hantu. Ingat pengalaman kita di desa, Ma? Para pembunuh dan perusuh itu adalah manusia, sesama kita juga."

Grace tertegun. Tentu saja bila dibandingkan dengan peristiwa masa itu, dia lebih takut pada saat itu daripada sekarang.

"Papa muntah-muntah waktu berada di kamar tidur tempat kejadian peristiwa. Bukankah itu saja sudah membuat Papa sakit?" Rico mengingatkan.

"Ya. Aku muntah karena tidak tahan melihat darah." Maxi mengakui.

Rico dan Grace berpandangan. Soal itu belum pernah diceritakan oleh Maxi.

"Memangnya Papa melihat apa di situ? Bukankah tempat itu sudah dibersihkan?"

Maxi merasa kelepasan bicara. Sebenarnya ia tidak ingin bercerita tentang hal itu karena

tak ingin menimbulkan sensasi. Tetapi tatapan mendesak dari kedua orang di depannya membuat ia terpaksa bercerita. Seperti yang sudah diduganya ceritanya itu membuat mereka cemas.

"Itu... itu sangat mengerikan, Pak" seru Grace.

"Aku takut kalau-kalau yang diminta arwah itu tidaklah sederhana, Pa," komentar Rico.

"Apakah kalian berdua tidak ingin tahu apa yang sebenarnya diinginkannya?" tanya Maxi.

Grace dan Rico tak bisa menjawab. Tidak mungkin mengatakan tidak, karena sewajarnya bila orang memiliki rasa ingin tahu. Mereka juga ingin tahu

"Dengarkan," kata Maxi lagi.

"Kalau sampai aku bertemu lagi dengan Nyonya Melia. aku bisa tahu apa yang sesungguhnya ia inginkan dariku. Tapi aku kan tidak harus membantunya. Itu terserah padaku, kan? Apalagi aku tidak tahu apakah aku sanggup atau tidak. Terakhir ketemu dia juga bilang, nanti kita bicarakan. Jadi baru membicarakan, bukan?".

"Jadi Papa ingin ketemu dia lagi?" tanya Rico.

"Tentu saja. Bagaimana aku bisa tahu apa yang dia inginkan kalau tidak ketemu?"

"Bagaimana kalau kalau ...," Grace tidak. melanjutkan ucapannya.

Maxi menggeser kursinya lebih dekat kepada Grace, lalu ia merangkul pundaknya.

"Ma, sudah jangan cemas," hiburnya.

"Aku akan baik-baik saja."

"Tapi kau harus berjanji tidak akan merahasiakan lagi. Apa pun yang terjadi."

"Ya, aku berjanji. Apa pun yang terjadi." Maxi mengucapkan janjinya dengan serius.

"Papa juga tidak boleh selalu jalan sendiri," kata Rico.

"Ingat sama kami, dong. Kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Papa, bagaimana dengan kami? "Jangan sampai membela orang lain membuat keluarga sendiri menderita."

"Ric, Papa tidak akan mengambil keputusan sendiri, tapi selalu konsultasi dulu dengan kalian. Kita kan satu keluarga. Tak ada yang lebih berharga daripada keluarga."

Rico menarik kursinya lalu merangkul pundak ayahnya. Bertiga mereka berangkulan. Mereka menikmati saat-saat penuh kedekatan itu sampai terdengar dering telepon. Rico berdiri lalu pergi untuk mengangkat telepon.

"Itu Riris! Dia sudah di depan pintu!" ia berseru.

Mariska datang sendiri. Uang berlipat-lipat yang dikembalikan Ivan sudah disiapkan di atas meja. Plastiknya sudah diganti dengan yang baru. Mariska menerima uang itu lalu memasukkannya ke dalam tasnya. Sebelumnya ia sudah mendengar cerita yang disampaikan Ivan lewat telepon.

"Mengejutkan, bukan?" katanya.

"Tapi saya sudah siap dengan kejutan setelah mendapat berbagai kejutan sebelumnya. Seandainya ini bukan menyangkut ibu saya sendiri. pastilah saya juga merasa ngeri."

"Jadi kau tidak ngeri?" tegas Rico.

"Oh ya, adajuga sedikit. Perasaan seperti itu pasti ada."

"Sekarang mau kau apakan dompet dan isinya itu?" tanya Maxi.

"Untuk sementara ini saya simpan saja. Tak mungkin saya memasukkannya kembali ke dalam kubur, bukan?"

Mariska memandang ketiga wajah di depannya yang menatapnya dengan ekspresi ngeri,

Lalu tersadar.

"Oh, maafkan kata-kata saya itu. Maaf." katanya memohon.

"Tak apa-apa," kata Maxi.

"Kau bicara apa adanya."

"Tapi memang tidak patut. Saya menyesal."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mariska benar-benar menyesali dirinya. Ia, datang dengan niat minta bantuan tapi membuat mereka takut lebih dulu.

"Sudahlah. Tidak apa-apa." Rico menegaskan. Kemudian Mariska bertanya perihal Ivan.

"Dia sudah sembuh, Ris," Grace memberi

tahu.

"Syukurlah. Jangan sampai ada korban."

"Maksudmu?" tanya Rico.

"Kau percaya dia terkena kutukan dompet itu?"

"Ya," sahut Mariska tegas.

"Dia mengatakan, sebelum ini tak pernah mengalami yang seperti itu."

"Itu tidak memastikan," sahut Rico.

"Ada yang percaya, ada yang tidak. Itu terserah kepada masing-masing. Soal begitu sulit didiskusikan karena tak ada bukti fisik. Kita cuma pakai logika."

Rico terdiam.

Mariska berpaling kepada Maxi.

"Pak, saya mau memberitahu rumah di Menteng itu mau diperbaiki. Terutama taman dan gazebonya."

"Wah, bagus sekali," sahut Maxi.

"Memang sayang kalau rumah dan taman sebagus itu ditelantarkan. Apalagi gazebonya."

Maxi jadi terkenang akan gazebo yang indah itu. Tapi dalam mengenang itu ternyata bukan cuma gazebonya yang muncul dalam kenangan, namun juga penghuninya. Nyonya Melia! Ketika ia mencoba membayangkan hanya gazebonya, ternyata tak bisa. Perempuan itu tetap di situ, jadi bagian dari gazebo juga bagian dari kenangannya!

Maxi tersadar setelah mendapati tatapan aneh dari ketiga orang di depannya.

"Kenapa, Pa? Melamun atau apa?" tanya Grace.

"Oh..., ya. Aku membayangkan gazebo itu."

"Tapi kelihatannya Bapak tidak sekadar membayangkan. Ada sesuatu di mata dan wajah Bapak," kata Mariska.

Maxi tertegun. Ia tahu ia tak bisa mengelak.

"Baiklah. Tadi aku coba membayangkan gazebo itu, tapi tidak bisa hanya gazebonya. Nyonya Melia, Ibumu, tetap ada di sttu. Bagian dari gazebo itu."

Suasana hening sejenak. Ada yang mencengkam perasaan ketiga orang setelah mendengar ucapan itu. Sedang Maxi sendiri justru merasa nyaman karena telah berterus terang. Dia sudah menepati janjinya kepada Grace untuk tidak menyimpan rahasia. Ternyata memang lebih enak begitu.

"Benar. Gazebo itu milik Mama. Dia senang sekali diam di situ di pagi dan siang hari. Papa yang membuatkan untuknya," cerita Mariska.

"Tapi ide bangunan dan tanaman yang menghiasinya sepenuhnya dari Mama. Tidak terlalu rumit memang. Sederhana tapi indah. Tanaman bugenvilnya diperhatikan dengan teliti oleh Mama. Memang ada tukang kebun. Tapi ia memelihara keseluruhan taman, bukan cuma yang itu."

"Apa saja yang dikerjakannya di situ?" Rico ingin tahu.

"Macam-macam. Membaca atau melamun sambil mengamati lalu lintas. Panas atau hujan tak jadi masalah karena di situ terlindung. Dia membekali diri dengan HP kalau-kalau memerlukan apa-apa dan orang rumah."

"Padahal di dalam rumah yang begitu bagus mestinya jauh lebih nyaman," kata Maxi.

"Mama suka udara terbuka. Sebagus-bagusnya rumah tetap saja tertutup," sabut Mariska.

"Kalau begitu ia jarang ke luar rumah," kata Grace. ia merasa tertarik. Perasaan tercekamnya sudah tak ada lagi.

"Ia suka juga berjalan-jalan. Entah ke mana tidak jelas. Katanya sih ke mal atau Kebon Binatang."

"Kebon Binatang?" tegas Maxi.

"Ya. Katanya hewan-hewan itu lucu dan manis. Buaya dan harimau pun lucu baginya." Mariska tertawa.

"Dia mengajakmu ke sana?"

"Waktu masih kecil sih iya. Tapi sesudah dewasa aku dan Indi nggak mau lagi diajak ke sana. Jadi Mama pergi sendiri kalau sedang ingin."

"Sendiri?"

"Nggak juga. Sama sopir."

Sesudah berkata begitu Mariska tertegun. Sebenarnya ia tidak ingin menyebut kata "sopir" itu. Tapi waktu bicara ia tidak berpikir tentang hal lain.

"'Yang namanya Malik itu?" tanya Rico.

"Ya. Tapi belakangan aku tidak yakin lagi apakah Mama memang benar pergi ke Kebon Binatang seperti yang dikatakannya." Mariska mengeluarkan unek-uneknya. Biar sajalah. Toh gosip sudah lama berlalu. Dan ia sudah menyimpannya terlalu lama. Di samping itu, ia sudah merasa dekat dengan keluarga Maxi. Terutama Maxi sendiri. Bahkan Maxi yang tadinya tidak tahu apa-apa sekarang malah lebih banyak tahu daripada orang yang merasa paling tahu.

Ucapan Mariska itu membuat ketiga pendengarnya saling memandang. Mungkin sebaiknya tidak mengungkit luka lama.

"Kapan perbaikan rumah itu dilakukan, Ris?" Maxi mengalihkan sekalian mengingatkan.

"Seecpatnya, Pak. Sebelum itu saya ingin memohon bantuan Bapak dulu. Kalau Bapak bersedia, maukah Bapak menjadi konsultan perbaikan rumah dan taman itu? Terutama gazebonya?"

Maxi pura-pura heran.

"Wah. kau salah alamat. Ris. Aku kan tak

punya latar belakang arsitektur atau konstruksi. Mana mungkin bisa bermanfaat?"

"Itu sama sekali tidak perlu. Saya sendiri sudah lupa dengan kondisi taman dan gazebo di masa lalu. Tapi Bapak masih ingat, kan? Saya ingin semua kembali seperti dulu."

"Apakah memang hanya itu yang kaubutuhkan dariku, Ris?" tanya Maxi.

Mariska terperangah sejenak. Pertanyaan itu langsung dan menjurus. Ia menjadi gugup apalagi melihat tatapan tiga pasang mata yang tajam kepadanya.

Pipinya memerah ketika akhirnya ia mengakui,

"Baiklah. Sudah saya katakan kemarin, saya ingin tetap menjaga hubungan dengan Bapak karena lewat Bapak saya bisa tahu lebih banyak tentang ibu saya. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Saya tidak tahu bagaimana caranya mengetahui. Hanya di rumah itu Bapak bisa berkomunikasi dengan ibu saya. Sebenarnya perbaikan rumah itu hanya kamuflase di depan mata ayah saya. Supaya saya dan Bapak bisa leluasa ke sana."

"Apakah Pak Pandu sendiri tidak ingin tahu?"

"Dia tak mau mengungkit masa lalu."

"Aku setuju dengannya, Ris," kata Rico.

"Lukanya bisa berdarah lagi. Tidakkah kau takut hal itu akan terjadi?"

"Karena itu dia tidak akan tahu. Tidak boleh tahu. Biarlah akibatnya kutanggung sendiri. Ini menyangkut ibuku. Aku anaknya, kan? Dia menjerit dari dalam kuburnya. Dia tidak tenang. Masa aku diam saja?"

Hening sejenak.

"Begini, Ris," Maxi memecah keheningan.

"Aku bukannya tidak mau membantu. Aku mau. Tapi untuk itu aku harus mendapat persetujuan keluarga dulu. Biarlah kami berunding, ya?"

Mariska berwajah cerah. Ucapan itu terdengar bijaksana.

"Baik, Pak. Terima kasih untuk waktunya."

Ia berdiri dan pamitan.

Rico mengantarnya ke mobilnya yang diparkir di tepi jalan.

"Langsung pulang, Ris?" tanya Rico.

"oh, nggak. Aku bermaksud ke Menteng dulu. Mau bikin sketsa."

Rico terkejut.

"Rumah yang itu?"

Mariska tertawa melihat kejutan di wajah Rico.

"Tentu saja yang itu. Kami tak punya rumah lain di sana."

"Ini sudah malam, Ris. Ngapain ke sana sendirian?"

"Jangan khawatir. Listrik masih menyala kok," gurau Mariska.

"Wah, kau berani sekali."

"Hanya kalau Pak Maxi ada di sana, terjadi sesuatu. Tanpa dia, takkan ada apa-apa."

"Boleh aku ikut?"

Mariska memandang dengan heran.

"Kenapa? Kau mengkhawatirkan aku? Tidak perlu. Aku bisa jaga diri. Hantu takkan menggangguku karena aku anak Mama."

"Bukan begitu. Aku ingin melihat rumahmu itu. Kalau boleh."

"Tentu saja boleh. Aku senang ditemani."

"Tunggu sebentar. Aku beritahu orangtuaku dulu, ya."

Maxi dan Grace melepas kepergian Rico bersama Mariska dengan senang.

"Bagus sekali Rico sudah mau bergaul dengan perempuan, ya, Pa?"

"Tujuannya mau melihat rumah. Tapi itu bisa juga sebagai batu loncatan. Yang penting dia bisa akrab dengan lawan jenis. Bukan cuma lelaki melulu yang didekati. Karyawan di perusahaannya kebanyakan lelaki."

"Aku suka Riris"

"Kelihatannya dia baik. Tapi kita belum kenal betul."

"Apakah Riris mirip ibunya, Pa?"

"Sama sekali tidak. Yang mirip itu indi. Riris mirip ayahnya. Terbalik, ya?"

Grace tertawa.

"Dengan melihat rumah itu dan mungkin merasakan suasananya, Rico bisa menentukan pendapat dengan lebih pasti," kata Maxi.

"Aku tahu kau ingin memenuhi permintaan Riris, bukan?" kata Grace.

"Aku merasakan dorongan itu di dalam hatiku. Tapi aku juga ingin mendapat support dari kalian. Aku ini kan nggak hidup sendiri."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Grace merangkul Maxi.

"Aku senang kau berpikir begitu."



Mariska menunjuk gazebo yang tampak suram dan seram di kegelapan malam. Untung ada lampu jalan dan sinar bulan yang masih bisa memberikan ciri-ciri gazebo itu. Meskipun Mariska membawa senter, tapi cahaya yang diberikannya cuma sepotong-sepotong.

"Lain kali lihatnya di waktu siang, Ric. Di sinilah ayahmu melihat ibuku."

"Ya. Lain kali."

Rico mendekat lalu masuk ke bawah naungan gazebo. Tapi ia tidak berani duduk. Meskipun setengah gelap, tampaknya jok kursi jauh dari bersih.

Mariska mengikuti lalu mengamati wajah Rico.

"Bagaimana?" tanyanya.

Rico tak menjawab. Ia memandang berkeliling sejenak lalu menggamit lengan Mariska dan mengajaknya berjalan menuju rumah. Mariska tidak membantah. Baru setelah mendekati teras rumah ia kembali menatap Rico.

"Bagaimana?" tanyanya kembali.

"Aku merasa dingin di situ," Rico menepuk belakang lehernya.

"Sekarang?"

"Tidak lagi. Tapi,jangan kaitkan aku dengan Papa. Meskipun aku anaknya, tidak berani aku mewarisi keanehannya."

Mariska tertawa. Ia mengajak Rico masuk.

Setelah lampu dinyalakan, barulah Rico bisa melihat jelas isi rumah itu.

"Megah, ya. Memang sayang kalau ditelantarkan seperti ini," komentarnya.

"Kalau dilihat sekarang rasanya memang begitu. Tapi pada saat itu lain lagi. Kepenginnya cepat-cepat pergi saja dari sini. Pergi sejauh mungkin. Dan tak ingin melihat tempat ini lagi. Mau roboh kek, atau terbakar, atau rusak, tak peduli. Nyatanya kami memang tak pernah ke sini selama waktu itu. Cuma orang suruhan Papa yang sesekali ke sini kalau ada keperluan."

"Bisa dibilang kalian melarikan diri?"

"Ya. Memang begitu."

Mariska memandang berkeliling. Dalam hati ia berharap ada sesuatu yang bisa ia lihat atau rasakan. Sesuatu yang aneh. Penanda dari ibunya. Ia meyakinkan dirinya tidak akan takut. Biarpun sudah jadi hantu dia toh tetap ibunya. Atau mantan ibunya.

Rico mengamati sikap Mariska. Lalu ikut memandang berkeliling. Perasaannya menjadi tegang.

"Ada apa? Lihat sesuatu?" tanyanya.

"Tidak."

"Kau sepertinya kecewa," kata Rico heran.

"Memang ya. Kenapa Mama memperlihatkan diri kepada Pak Maxi saja? Dan tidak kepadaku juga?" tanya Mariska. Tatapannya tidak kepada Rico melainkan kepada dinding-dinding rumah.

"Ris, jangan begitu," kata Rico pelan.

"Soal itu tidak bisa dipertanyakan. Kita tidak tahu apa-apa tentang hal itu."

"Aku berhak saja, Ric. Dia kan mamaku."

Rico mengangkat bahu. Gadis ini keras kepala, pikirnya. Tapi ia mengagumi keberaniannya. Andaikata tidak ditemani, ia pasti sendirian di sini. Apa yang akan dilakukannya? Memanggil-manggil ibunya? Tentunya dia penasaran sekali kenapa arwah ibunya memilih orang yang tidak dikenal untuk diajak berkomunikasi sementara dirinya tidak diacuhkan.

"Lebih baik kita naik saja. Mau lihat TKPnya?" tanya Mariska kemudian. Sikapnya lebih

tenang.

"Mau," sahut Rico.

Ketika akan naik tangga. Mariska meraih tangan Rico dan menggenggamnya sambil melangkah. Getaran perasaan Mariska menjalari Rico lewat sentuhan itu. Ia juga senang karena pegangan erat itu bisa selalu menyadarkannya bahwa ia tidak sendirian di tempat seperti itu. Dengan demikian ia tidak lagi merasa seram.

Sambil melangkah Rico melirik kiri-kanan. Ada foto-foto di dinding, juga lukisan. Tapi tidak ada foto keluarga. Ia tidak punya gambaran seperti apa wajah Nyonya Melia.

Mariska melepaskan pegangannya ke tangan Rico setelah sampai di depan kamar yang akan dimasuki. Ia harus membuka kunci dulu.

Pintu terbuka lebar. Kegelapan di dalamnya menyambut mereka.

Rico mendengar suara dengung yang bernada tinggi. Seperti peralatan audio yang mengalami gangguan. Telinganya sampai terasa ngilu. Tapi Mariska tampaknya tidak mendengar atau merasakan sesuatu.

Begitu lampu kamar dinyalakan dengung itu tidak kedengaran lagi.

Mariska memegang tangan Rico. setengah menariknya ke dekat tempat tidur. Rico mengikuti saja, ia tidak berani melangkah lebih jauh karena takut menginjak TKP.

"Itu di situ, Ric," kata Mariska sambil menunjuk lantai di depannya.

Mereka sama-sama menatap tempat itu dengan diam. Keheningan terasa mencekam. Mereka konsentrasi. Tetapi di mata mereka tetap tidak terlihat perubahan atau keganjilan. Lantai tetap kosong berdebu.

Rico merasakan butir-butir keringat dingin bermunculan di pori-porinya.

Mariska melepaskan pegangan tangannya.

"Tanganmu dingin dan basah!" serunya.

Rico mengeringkan tangannya ke sisi celananya. Tetapi dengan cepat kembali menjadi basah.

"Ayo kita keluar saja," katanya. Tanpa menunggu Mariska, ia melangkah ke luar. Mariska mengikuti di belakangnya. Ia memadamkan lampu lalu mengunci pintu.

Saat menatap wajah Rico, Mariska terkejut.

"Aduh! Mukamu kuyup. Seperti habis kehujanan. Ayo kita cepat turun!"

Sambil menuruni tangga. Rico melap muka dan lengannya dengan saputangan. Dalam sekejap saputangan itu begitu basahnya hingga bisa diperas. Tetapi keringatnya tak keluar lagi.

Mariska memutuskan untuk tidak berlama-lama. Ia memadamkan lampu dalam rumah tapi menyalakan lampu taman.

"Oh, untung masih menyala!" serunya dengan lega.

Di halaman barulah Rico merasa nyaman. Ia melangkah dengan santai di sisi Mariska. Gadis itu ikut merasa santai. Ia bersyukur atas kehadiran Rico.

Di depan gazebo keduanya berhenti. Di bawah penerangan lampu taman, gazebo tampak lebih jelas dibanding tadi. Kentara kerusakannya. Mereka memperhatikannya sesaat. Tapi tetap tidak ada apa-apa.

Mariska menarik napas panjang.

"Sudahlah. Yuk, kita pulang saja. Kuantar kau dulu, ya. Ric."

"Jangan risaukan aku, Ris. Aku bisa pulang dengan taksi. Nanti kau pulangnya terlalu jauh. Dari utara ke selatan."

"Alah, jangan pikirkan soal itu. Ayolah."

Ketegasan Mariska membuat Rico tak bisa

membantah.

"Sebenarnya aku ingin bicara juga, Ric," Mariska mengakui setelah berada di balik kemudi mobilnya.

"Di rumah tadi tak ada kesempatan, ya?"

"Suasananya kurang enak."

"Mestinya siang hari."

"Ya, mestinya begitu. Tapi tadi muncul spontan saja. Habis omong-omong dengan keluargamu. Terutama omong dengan Pak Maxi dan ingat pengalamannya. Aku penasaran sekali. Masa sih aku, anak ibuku, tidak bisa mengalami sedikit saja dari apa yang dialaminya? Jadi aku harus ke sana sekarang juga. Malam-malam tak jadi masalah. Kalau perlu aku tidur di sana!"

"Nyatanya niat itu kau batalkan. Takut?"

"Oh, bukan itu. Aku sudah ditemani lelaki gagah dan kuat. Anak Pak Maxi lagi. Mustahil aku takut. Mestinya aku tambah berani."

"Tapi kau begitu terburu-buru keluar dari sana. Apakah kau tidak merasakan sesuatu yang membuatmu tidak nyaman?"

"Aku kecewa. Aku pesimis. Yang merasa tidak nyaman itu kau. Bukan aku. Lihat saja. Siapa yang merasa dingin dan berkeringat dingin? Kau! Aku nggak apa-apa. Jadi, apa lagi yang kuharapkan? Tak ada gunanya menginap di sana. Aku takkan mengalami apa-apa."

"Mungkin ada alasannya kenapa arwah ibumu tidak mau mengusikmu. Dia lebih suka orang luar."

"Ah, alasan yang tak masuk akal."

"Semuanya memang tak masuk akal."

Mereka terdiam. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri.

"Oh ya, tadi katanya mau bicara. Ayo, nanti kehabisan waktu. Besok sih masih banyak waktu, tapi mungkin kau perlunya sekarang," Rico mengingatkan.

"Memang aku perlu sekarang. Begini, Ric. Tadi Bapak bilang, ia perlu persetujuan dari keluarga untuk menentukan kesediaannya membantuku. Apakah kau setuju? Maukah kau memberinya support?"

"Sebenarnya pikiranku masih mendua," Rico mengakui terus terang.

"Antara setuju dan tidak. Tapi pertimbanganku lebih condong ke tidak. Aku takut Papa mengalami goncangan atau risiko berat lainnya bila ia sampai terjun ke dunia arwah. Ya, aku pakai istilah itu saja,

ya? Kalau pekerjaan yang harus dilakoninya itu kegiatan yang jelas dan bisa diperhitungkan secara rasional, tentu untung-rugi dan risikonya pun jelas. Tapi ini? Semuanya masih gelap."

Mariska mengangguk.

"Aku mengerti. Aku juga mikir begitu. Tapi aku yakin, Bapak orang yang kuat baik fisik maupun mentalnya. itu sebabnya Mama memilihnya. Dan pasti juga Bapak punya keistimewaan lainnya yang tidak kita sadari. Tapi apa salahnya untuk tahu lebih dulu apa sebenarnya yang dikehendaki Mama dari Bapak? Memutuskannya baru belakangan. Yang penting tahu dulu. Bagaimana menurutmu?"

"Papa juga bilang begitu. Tapi aku rasa masalahnya tidak sederhana. Apa iya bisa seperti itu?" Kayaknya sekali maju sulit mundur. Aku juga kenal betul Papa."

"Oh ya, aku tahu," sahut Mariska pelan. Setengah mengeluh.

Dia tahu, aku tidak setuju, pikir Rico. Tapi aku harus tegas dari sekarang. Jangan melakukan sesuatu, apalagi yang riskan, hanya didasarkan atas keingintahuan semata.

"Maafkan aku kalau aku tidak bisa membantumu, Ris. Kalau saja aku bisa menggantikan ayahku."

"Terima kasih. Ric. Kau anak yang baik. Aku sendiri mungkin bukan anak yang baik, hingga ibuku tidak memilihku. Selama ini kukira hubunganku cukup dekat dengannya. Ternyata tidak juga. Buktinya aku tidak tahu banyak tentang dirinya. Apa saja yang dilakukannya di waktu luangnya, yang, sebegitu banyak? Ternyata aku tidak ingin tahu karena aku merasa tahu. Apa sih yang dilakukan seorang ibu rumah tangga yang kaya raya tanpa kesibukan di luar rumah? Paling-paling menghambur-hamburkan waktunya. Karena dia tidak pernah cerita apa-apa, tentunya tidak ada yang pantas untuk diceritakan."

"Dia tidak ikut dalam bisnis keluarga?"

"Tidak. Papa tidak mengizinkan."

"Kenapa?",

"Dulu Mama pernah ikut serta. Tapi kemudian ia melakukan kesalahan transaksi. Boleh dibilang suatu blunder, atau kebodohan. Akibatnya perusahaan merugi. Untung nggak sampai bangkrut. Tapi asetnya berkurang banyak. Sejak itu habislah karier Mama di perusahaan.

Ia juga tahu diri."

"Oh, begitu."

"Apakah keputusanmu itu sudah final, Ric? Ayahmu bilang akan merundingkannya dulu." Ada harapan terkandung dalam suara Mariska.

"Ya. Kami akan merundingkannya, Ris. Tapi sebaiknya jangan terlalu berharap. Maaf, ya?"
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak apa-apa. Selama belum ada keputusan, boleh dong aku berharap?"

Rico tersenyum. Ia menyukai sikap Mariska. Gadis itu berbeda dengan Ivan yang suka memaksakan kehendak dengan merengek dan membujuk. Bahkan Inge pun suka sekali memanfaatkan daya tarik fisiknya untuk memaksakan kehendak. Tapi anehnya, ia sendiri ketika itu tidak merasa dipaksa. Mungkin ia terbuai oleh pesona bujukan.

Ia melirik diam-diam, mengamati Mariska dari atas ke bawah. Ia menyimpulkan gadis itu cantik. Tapi kecantikannya berbeda dengan Inge. Daya tariknya tak segera disadari. Mungkin karena Mariska selalu tampak mandiri, penuh ketegasan, dan tegar. dia jadi terlihat keras. Sedang Inge tampil lembut, feminin, dan

cengeng!

Mariska menoleh. Rico terkejut dan merasa kedapatan lalu buru-buru melengos.

"Kenapa?" tanya Mariska.

"Oh..., eh..., nggak apa-apa," sahut Rico gugup. Mariska hanya tersenyum.

Senyum itu membuat wajah Rico menjadi panas. Apa gerangan yang dipikirkan oleh Mariska? Normalkah dirinya sekarang? Hampir normal? Ada gejala menjadi normal? Apa sih sebenarnya kriteria normal itu?



DON tak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan semua infomasi yang dibutuhkan Pandu. Ia pun sudah mengunjungi desa asal Maxi di Maluku Utara. Ia tak menemukan kesulitan untuk mendapatkan jawaban dari hal hal yang ingin diketahuinya. Dengan sikapnya yang supel dan ramah, ia bisa membuat lawan bicaranya tidak menaruh prasangka buruk kepadanya. Mereka menceritakan apa adanya sebanyak yang mereka ketahui.

Seminggu setelah Pandu memberinya order, ia sudah berhadapan kembali dengan kliennya itu untuk memberikan laporan.

"Maxi Tuwana dan istrinya baru sekitar tujuh bulan berada di Jakarta. Sebelum itu ia tak pernah meninggalkan desanya. Hanya kerusuhan saja yang membuat mereka berdua terpaksa mengungsi ke sini dan tinggal bersama

putranya, seorang insinyur elektro, bckerja di Matsu Corp. sudah lebih dari lima tahun. Punya kedudukan yang baik di sana. Mereka sekeluarga tidak punya hubungan dengan Nyonya Melia. Lebih-lebih Maxi sendiri. Dia dan istrinya dikenal sebagai orang baik-baik, tidak punya musuh. Orang-orang yang mengenalnya bicara baik melulu tentang mereka. Oh ya, Maxi itu pintar menyanyi keroncong. Kata tetangganya, dia suka menyanyi sambil memetik gitar. Suaranya merdu."

Pandu mengangguk-angguk. Semua cerita itu sudah ia dengar dari Mariska. Dan mengenai suara Maxi tentu saja sudah ia buktikan sendiri. Yang ia perlukan dari Don adalah pembenaran dari cerita itu. Orang seperti Don tentu bisa dipercaya

"Sebenarnya masih ada satu hal lagi, Pak Pandu. Ada cerita yang cukup menarik. Dari seisi desa yang diserbu dan dibakar hanya Maxi dan istrinya yang selamat meskipun rumah dan harta bendanya juga musnah. Mereka bersembunyi di kebun belakang rumah. Ada yang sempat bertanya kepadanya bagaimana ia bisa menyelamatkan diri pada waktunya. Tapi dia

sendiri kebingungan dan bilang cuma firasat yang membuat ia terbangun di tengah malam penyerbuan itu. Bahkan ia sempat membuntal beberapa barang berharganya untuk dibawa serta."

Pandu termenung mendengarnya. Kisah itu tidak lagi membuatnya heran. Bisa dibilang yang semacam itu cocok dengan apa yang telah diperbuat Maxi. Dia memang orang aneh. Karena itu mestinya tidak ada unsur penipuan. Dia tidak punya motivasi.

Tetapi yang sekarang termotivasi adalah Mariska. Putrinya itu jelas tampak bersemangat sekali menanggapi cerita Maxi. Ia benar-benar tak memahami putrinya itu. Mustahil karena semata-mata menyayangi ibunya sewaktu masih hidup. Sekarang jelas masalahnya berbeda. Ibunya itu sudah jadi hantu. Relakah Riris membiarkan ibunya terus-menerus menjadi bantu? Menurut keyakinan Pandu, memang itulah yang akan terjadi kalau Riris minta bantuan Maxi untuk berhubungan dengan Ibunya. Biarkanlah para arwah di tempatnya yang seharusnya.

Sebenarnya ia pun tergelitik. Apa sebenarnya yang dikehendaki hantu itu? Baginya, wujud yang dilihat Maxi itu bukan lagi istrinya melainkan hantu semata. Masa ada hantu minta bantuan. Bukankah biasanya hantu itu senangnya cuma menakut-nakuti?

Tetapi untuk mengetahui hal itu sudah tentu tak mungkin minta bantuan Don, seberapa pun pintarnya dia. Itu bukan bidangnya.

Maka ia mengeluarkan cek yang sudah disiapkannya lalu menyodorkannya kepada Don.

"Ini, Pak. Terima kasih. Saya puas."

"Oh, terima kasih juga, Pak."

Don membungkuk. Sebenarnya dia sendiri tidaklah puas. Bukan masalah honornya. Tapi pekerjaannya kali ini benar-benar terlalu gampang. Sama sekali tidak menantang. Semua orang yang ditemuinya memberikan informasi yang dibutuhkannya tanpa berat hati.

Mestinya ia justru senang. Kerja ringan bayaran lumayan. Tapi ia merasakan sesuatu yang kurang pas. Sepertinya laporan yang ia berikan tadi tidak terlalu mengejutkan bagi Pandu. Tidak biasanya begitu. Dan Pandu juga tidak banyak bertanya atau mempertanyakan laporannya. Langsung percaya dan langsung puas. Lalu

berakhir sudah.

Tetapi itu bukan urusannya.

Biarpun demikian. tetap muncul pertanyaan. Kalau orang bernama Maxi itu memang tak punya hubungan dengan Nyonya Melia, dan tampaknya juga sudah diduga begitu oleh Pandu, untuk apa ia menyelidikinya? Mestinya ada sesuatu yang dilakukan orang itu sampai perlu diselidiki. Padahal dari penilaian pribadinya ia menganggap Maxi orang yang cukup jujur. Ia memang belum kenal betul tapi ia menilai dari pengalamannya bergaul dan mendekati banyak orang. Dulu waktu belum berpengalaman, ia sering terkejut mendapati orang-orang yang sudah lama dikenalnya ternyata punya sisi lain yang sangat berbeda. Entah mereka ini sangat pintar bersandi wara atau memiliki kemunafikan yang luar biasa. Ternyata pekerjaannya yang sekarang ini telah memberinya suatu kemampuan yang tak pernah terpikir sebelumnya. Dulu, meskipun suka terkejut atau surprise menghadapi orang-orang, tapi sesudah itu lewat saja. Ia tak menganggapnya sebagai sesuatu yang perlu dipelajari. Tapi sekarang menjadi perlu.

Raut wajah, ekspresi, tatapan mata. terutama disaat pemiliknya merasa tak ada yang memperhatikan, merupakan petunjuk yang amat penting. Lihat saja bagaimana tatapan lembut penuh perhatian dan senyum ramah menyejukkan tiba-tiba hilang lenyap begitu tak lagi jadi fokus perhatian. Persis seperti pemain Film setelah sutradara meneriakkan,

"Cut!"

Untuk pertama kali sepanjang kariernya jadi detektif amatir atau mata-mata menurut istilah istrinya, ia merasa tergelitik terhadap sesuatu yang bukan urusannya.





"Kapan kau mau mulai?" tanya Pandu kepada Mariska.

"Mulai apa, Pa?" Mariska mengangkat kepala dari sarapan paginya.

"Pasti perbaikan rumah, ya, Pa?" Indiarto nimbrung.

"Ya. Apa lagi?" sahut Pandu.

"Oh itu. Belum ada jadwal pasti, Pa. Saya lagi nyari tukang."

"Ngapain repot-repot? Hubungi saja kontraktor. Suruh dia yang urus."

"Kontraktor itu suka semaunya sendiri, Pa. Sok tahu. Sok pintar."

"Apa kau sendiri yang mau jadi mandor?"

"Lihat saja nanti, Pa."

"Jangan lupa berikan perincian biayanya nanti."

"Wah, sulit dong. Mana mungkin bisa saya berikan sebelum dilaksanakan. Bahan bangunan kabarnya naik terus. Sekarang dan besok bisa berbeda. Papa berikan saja plafon biayanya, berapa maksimum yang bisa Papa berikan."

"Ya, ya. Sudahlah. Perbaiki sajalah sesukamu. Nggak diubah strukturnya, kan?"

"Nggak, Pa. Saya cuma memperbaiki yang rusak. Pasti biayanya nggak banyak-banyak amat."

Indiarto diam saja mendengarkan.

"Kalau sudah diperbaiki rencananya mau diapakan?"

"Saya mau menempatinya. Pa."

Indiarto tersedak kopi. Batuknya hebat sekali. Ayahnya sampai tak sempat kaget mendengar ucapan Mariska.

"Kau mau tinggal sendirian di situ? Ah, yang bener," Pandu tidak percaya.

"Bener, Pa. Mungkin Indi juga mau menemani kapan-kapan."

"Nggak mau," sahut Indiarta.

"Ya sudah. Siapa yang maksa?" Mariska melotot kepada adiknya.

"Saya sendirian juga nggak apa-apa. Mungkin juga nggak sendirian."

"Sama siapa?" tanya Indiarto.

"Jangan bawa cowok," kata Pandu.

"Nggak dong, Pa. Cowok dari mana memangnya?"

"Habis siapa?" Indiarto ingin tahu.

"Sama Mama," sahut Mariska tenang.

Dua pasang mata menatapnya dengan terkejut.

"Dan pak maxi belum memberikan jawaban?" tanya Indiarto kepada Mariska setelah ayah mereka berlalu dari ruangan.

"Belum," sahut Mariska lesu.

"Tidak kau telepon saja?"

"Dia bilang, dia yang akan nelepon. Aku tidak berani nelepon duluan. Takut disangka

mendesak atau memaksa."

"Padahal sudah lewat hampir seminggu."

"Iya. Makin lama makin pesimis rasanya."

"Mungkin dia perlu waktu untuk merenung atau bertapa dulu."

"Jangan ngeledek, Indi."

"Sori. Kupikir, dia tak ingin membuatmu terlalu berharap. Itu memang tidak baik, Mbak. Kau harus realistis."

"Kalau dia tidak mau, ya, tidak apa-apa. Aku akan mencari jalan lain. Seperti kukatakan tadi, aku akan tinggal di sana. Masa sih selama waktu aku di sana, Mama takkan muncul di depanku barang sebentar?"

Indiarto menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku dengar, orang yang bisa berhubungan dengan roh itu bukan sembarang orang. Biarpun dia kerabat dekat atau orang yang pernah akrab dengannya."

"Eh, bagaimana dengan permainan jalangkung? Tahu, kan?"

"Tahu sih tahu, Mbak. Tapi jangan mainmain dengan itu. Aku pikir yang begitu sama sekali tidak meyakinkan. Siapa tahu roh yang datang itu pura-pura jadi Mama?"

Mariska melotot.

"Masalah seperti ini tidak pantas jadi gurauan, Indi."

"Sori."

Mariska merenung.

"Aku pikir, Pak Maxi sendiri bukan tidak ingin. Tapi si Rico tidak setuju. Memang dia tidak memastikan. Tapi sepertinya begitu. Dan Bu Grace tentunya mendukung anaknya. Pak Maxi tidak berdaya," katanya.

"Aku takkan heran kalau Rico dan ibunya tidak setuju. Mereka takut Pak Maxi kenapa-kenapa."

"Ah, aku tidak mengerti. Kenapa-kenapa gimana sih? Belum-belum sudah takut. Tak berbuat apa-apa pun ada risikonya. Begitu malah konyol," kata Mariska sengit.

"Supaya kau nggak mikir macam-macam, bagaimana kalau aku saja yang nelepon Rico?" Indiarto menawarkan.

"Sudah, nggak usah. Nanti dikiranya aku ngebet banget."

Indiarto tertawa.

"Daripada Mbak jadi stres, mendingan nanya, kan?"

"Siapa bilang aku stres?"

"Jadi aku sebaiknya nelepon, nggak?"

"Nggak usah."

"Bagaimana kalau aku nelepon untuk keingintahuanku sendiri?"

"Terserah. Asal jangan bawa-bawa namaku."

"Entar Mbak kepengin tahu juga," goda Indiarto.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau aku sih lebih baik tahu dari sumbernya langsung."

"Ya sudah."

"Eh Indi. Tiba-tiba aku jadi ingat. Tempo hari kau bilang, si Rico itu homo. Bagaimana kau bisa tahu soal itu? Apa dia bilang sendiri padamu sebagai sesama cowok?"

"Aku cuma punya feeling, Mbak."

"Huh, aku tak percaya. Biasanya orang bisa mengenali kelainan orang lain kalau dia pun punya kelainan yang sama."

"Apa?" seru Indiarto terkejut.

Mendadak darah Indiarto naik ke muka. Dia merah padam.

Tatapan tajam Mariska menangkap gelagat itu.

"Hei, kenapa? Kesambar ucapanku, ya?"

Indiarto perlu waktu untuk menenangkan dirinya.

"Aku tidak percaya kalau adikku yang gagah ini seorang homo." kata Mariska pelan.

"Alangkah sedihnya hatiku. Katakan, bahwa ucapanku itu tidak benar!"

"Ah, Mbak kok sedih. Kenapa?" tanya Indiario sinis.

"Tentu saja aku sedih, Indi. Kau kan adikku satu-satunya. Aku sayang sama kamu."

Mariska yang biasa tegar dan keras itu tiba-tiba menangis. Mukanya memerah dan air matanya keluar bertetesan.

Indiana bengong sejenak. Rasanya ia hampir tidak percaya mendengar pernyataan langsung Mariska itu. Benarkah kakaknya itu menyayanginya? Selama ini ia lebih sering mendengar gerutuan dan kritikan Mariska terhadapnya. Mariska selalu menganggap dirinya lebih pintar sedang dia tak henti-hentinya melakukan kesalahan. Celakanya, orangtua mereka pun sepertinya sependapat. Bahkan ibunya pun begitu.

Mariska jadi semakin sedih. Ia sesegukan.

Setelah bingung sejenak, Indiano berdiri dan menghampiri Mariska. Ia memegang pundak Mariska.

"Sudah, Mbak. Jangan nangis. Maafkan aku

kalau omonganku menyinggung perasaanmu."

Mendadak Mariska berdiri hingga hampir membuat Indiarto terpelanting. Mereka kini berhadapan. Indiarto lebih tinggi setengah kepala Mariska memegang kedua pundak Indiarto lalu mengguncangnya pelan.

"Terus teranglah padaku, Indi. Kau bukan homo, kan?" desak Mariska sambil menatap lurus-lurus mata Indiarto dengan matanya yang basah.

Dia punya mata yang bagus, pikir Indiarto. Dan air mata membuatnya berkilau.

"Aku takkan memaafkan diriku kalau kau sampai jadi homo," isak Mariska.

"Jangan, In. Kau tidak boleh jadi homo."

"Tenanglah. Mbak. Kita ngomong dengan kepala dingin."

"Kenapa kau tidak membantah saja kalau memang bukan homo? Aduh, bagaimana ini? Jangan-jangan untuk urusan inilah Mama menampakkan dirinya. Mama khawatir putranya jadi homo. Aduuuh hik-hik-hik," Mariska tersedu lagi dengan kesedihan menggunung.

Indiarto memeluk kakaknya. Dia sangat terharu. Begitu besarkah perhatian Mariska ke

padanya? Itu sama sekali di luar persangkaannya.

"Tenanglah, Mbak. Kau membuatku bingung. Begitu mendadak "

"Terus teranglah. Kau homo atau bukan?"

"Terus terang, sampai saat ini aku belum jadi homo. Entah nanti," sahut Indiarto sejujurnya.

Mariska melepaskan pelukan lalu menatap Indiarto seakan mau menelannya bulat-bulat.

"Jangan, Indi. Jangan. Tidak boleh!"

Indiarto menarik kursi lalu mendudukkan kakaknya. Ia sendiri duduk di dekatnya.

"Mbak, isu itu kau sendiri yang munculkan. Bukan aku."

"Tapi kau sendiri bilang "

"Aku cuma bilang, belum jadi homo. Entah besok."

"Memangnya kau sendiri mau? Sudah punya kecenderungan ke situ? Besok kita ke ahli jiwa, yuk?"

Indiarto menggelengkan kepala sambil tertawa.

"Aduh, Mbak. Kan sudah kukatakan, aku belum jadi homo."

Mariska menyusut mata dan hidungnya. Ia

sudah lebih tenang.

"Tapi kau ngomongnya nggak tegas. Sepertinya kau calon. itu berarti kau punya kecenderungan. Kau bilang, si Rico itu homo. Bagaimana kau tahu? Pertanyaan itu belum kaujawab. Jangan bilang bahwa itu cuma Feeling. Aku tidak percaya itu."

Indiarto tak segera menjawab. Ia menyesali perkataannya tempo hari.

"Aku tahu sekarang," kata Mariska dengan berapi-api.

"Apakah Rico merayumu? Dia mengajakmu? Awas dia! Aku akan melabraknya! Aku akan mengadukannya kepada orangtuanya!"

"Hei, hei. Mbak." Indiarto terkejut. Ia memegang lengan Mariska.

"Jangan sembarang menuduh begitu."

"Lantas apa? Kalau kau tidak mau berterus terang, aku akan menanyakannya kepada Rico sekarang juga," ancam Mariska.

Indiarto mengeluh dalam hati. Benar rupanya kalau dia selalu dikatai bodoh.

"Baiklah. Mbak." ia mengeluh dan menyerah.

Setelah bercerita mengenai apa yang didengarnya dari percakapan Rico dan ivan,

"Sekarang Mbak sudah tahu. Jadi tidak perlu bertanya lagi kepadanya, kan? Itu tidak etis."

Mariska melompat berdiri, memeluk leher Indiarto, lalu menciumi kepalanya.

"Syukurlah kalau memang itu ceritanya. Oh, leganya hatiku mendengarnya Kenapa tidak segera kau ceritakan saja? Kau membuatku cemas bukan main!" ia berseru sambil tertawa.

"Tapi kau janji tidak akan menyinggung soal itu kepada Rico, kan?"

"Oh iya. Buat apa? Tak ada sangkut-pautnya denganku. Tapi maukah kau berjanji juga, In? Jangan jadi homo, ya? Kalau kau sampai jadi homo, aku akan jadi lesbian! Biarlah kita jadi keluarga aneh sekalian!"

Indiarto terkejut. Sampai sejauh itukah sikap concern Mariska?

Ia merasa menghadapi dilema. Sesungguhnya ia merasa tersentuh atas sikap Mariska yang begitu emosional. Ia tidak pernah menyangka bahwa Mariska menyayanginya. Betapa senangnya mengetahui bahwa ada seseorang yang menyayangi dan prihatin atas dirinya. Tetapi ia juga tidak ingin menjanjikan sesuatu yang masih diragukannya.

Mariska kembali menaruh curiga melihat keraguan Indiarto.

"Kenapa, In? Kalau ada sesuatu beritahu aku dong. Ingatlah. Kita ini sedarah dan sedaging. Orangtua kita sama. Bagaimanapun kita satu sama lain lebih dekat dibanding dengan orang lain. Pacar sekalipun. Aku sayang padamu. Cuma aku memang tidak memperlihatkannya. Aku takut kau jadi manja dan bergantung. Biarpun aku tidak bisa memecahkan masalahmu, tapi aku bisa berusaha. Aku akan berusaha. Percayalah aku, Indi."

Tentu saja Indiarto percaya. Ia sudah melihat buktinya, bagaimana Mariska berusaha membantu arwah ibunya dengan penuh kesungguhan. Kakaknya itu orang yang berani dan dapat diandalkan. Padahal ia sendiri berupaya merintangi. Berpikir ke situ ia jadi malu sendiri.

"'Bagaimana Indi?" Suara Mariska melembut.

"Aku akan berusaha tidak menjadi homo, Mbak. Untuk menjadi atau tidak menjadi sesuatu, orang tidak cukup berjanji. Tapi juga berusaha. bukan?"

Wajah Mariska menjadi cerah.

"Ucapanmu sungguh bijak. Itu sangat bermakna dibanding sekadar janji. Aku sangat menghargainya, Indi."

Setelah Mariska meninggalkannya, Indiarto termangu sendirian. Ia merasa telah mendapat hadiah yang amat berharga secara tak disangka-sangka. Mimpi pun tak pernah. Bukankah perhatian yang diberikan Mariska itu menandakan bahwa dirinya berharga? Kalau orang lain sampai mencemaskan, mestinya dirinya sendiri juga.

Ada lagi perkiraan Mariska mengenai kemungkinan arwah ibunya mencemaskannya. Mustahil ibunya sampai begitu takut kalau-kalau dirinya jadi homo sampai-sampai melibatkan seorang asing seperti Pak Maxi? Dulu ketika ibunya masih hidup, ia tidak merasa mendapat perhatian yang sebegitu besarnya. Mustahil baru dilakukan sekarang setelah ia jadi arwah. Bukankah itu sesuatu yang amat sangat terlambat? Lagi pula ia tidak ingin mendapat perhatian dari arwah, atau hantu. Ia takut!
Pendekar Rajawali Sakti 82 Selendang Girl Talk 07 Pasangan Aneh Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga

Cari Blog Ini