Ceritasilat Novel Online

Gazebo 2

Gazebo Karya V Lestari Bagian 2



"Oh, begitu."

"Bapak nggak takut, kan, masuk ke dalam?

Temani saya sekalian. Habis Papa nggak mau masuk."

Wajah Mariska mengandung permohonan hingga Maxi tidak tega. Tapi dalam hati ia juga memarahi diri sendiri. Bukankah ia juga ingin masuk untuk memenuhi keingintahuannya? Barusan Nyonya Melia sudah memanggilnya!

"Baiklah."

Mariska tertawa.

"Terima kasih, Pak."

Ketika melangkah menaiki beberapa anak tangga ke teras, Mariska memegang lengan Maxi. Hampir saja Maxi memekik saking kagetnya. Betapa dinginnya tangan Mariska!

Pandu yang berada di dalam mobil, sudah segar dan tenang kembali. Ia meraih telepon genggam begitu Mariska meninggalkannya. Ia menghubungi putranya, adik Mariska.

"Indi? Kamu masih di kampus? Oh, sudah mau keluar. Baguslah. Cepat ke sini, ya? Rumah lama di Menteng. Penting. Ada kasus menggemparkan. Cepatlah. Nggak usah tanya-tanya. Nanti saja di sini. Papa di luar rumah, nunggu di mobil. Cepat, ya!"

Usai menelepon, Pandu diam merenung. Meskipun tak diinginkannya, kenangan akan

Melia kembali lagi. Perempuan, itu menjadi istrinya selama dua puluh lima tahun. Sampai maut memisahkan. Setiap Mariska, anak sulungnya, berulang tahun, ia diingatkan sudah berapa lama usia perkawinannya. Tinggal menambah setahun pada usia Mariska.

Mereka belum sempat merayakan kawin perak, atau ulang tahun perkawinan kedua puluh lima, ketika peristiwa itu terjadi. Mimi, pembantu rumah tangga, menemukan Melia sekarat di lantai kamar tidur dalam posisi telungkup bersimbah darah. Sebuah pisau menancap punggungnya. Tetapi bukan cuma itu yang mengejutkan. Melia tidak sendirian. Di sampingnya rebah seseorang lain yang juga bersimbah darah. Dia adalah Malik, sopir pribadi mereka. Berbeda dengan Melia, posisinya terlentang dengan pisau menancap di dadanya. Keduanya masih hidup saat ditemukan. Tapi Melia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Sedang Malik berhasil diselamatkan.

Dari pemeriksaan selanjutnya, didapatkan sidik jari Malik terdapat pada pisau yang menancap di punggung Melia!

Peristiwa itu cukup menggemparkan karena

mereka adalah orang-orang dengan status sosial terpandang di ibu kota. Pandu Rahman tak ingin lagi menoleh ke belakang. Tetapi sekarang muncul seseorang yang sama sekali asing, datang dari belahan bumi Indonesia yang jauh, tak ada urusan dan tak tahu-menahu, tiba-tiba kembali mengobok-obok masa lalu.

Ia tidak ingin mempercayai segala omong kosong itu. Tapi bagaimana mungkin semua yang dikatakannya begitu pas dengan kenyataan masa lalu? Jangan-jangan lelaki itu. bukanlah seseorang yang sama sekali asing dan bukan pula orang yang tak ada urusan serta tidak tahu-menahu. Tapi suara nyanyiannya itu masih segar dalam ingatan. Begitu merdu mendayu-dayu. Bulu romanya sampai berdiri. Bahkan sekarang pun, saat mengingat-ingat, ia sempat merinding. Tak mengherankan kalau Melia bisa terpikat. Ah, mana mungkin. Itu tidak mungkin.

Hanya ada satu cara untuk mengetahui apakah lelaki itu berbohong atau tidak. Ia meraih lagi telepon genggamnya. Kali ini ia menghubungi Don Tamba, seseorang yang punya kerja sambilan sebagai detektif swasta. Tentu

saja pekerjaan seperti itu sama sekali tidak resmi. Tidak ada izin bagi pekerjaan itu di Indonesia. Pendeknya, pekerjaan itu dilakukan secara diam-diam. Tetapi sebenarnya juga tidak bisa dibilang melanggar hukum karena apa yang dilakukan cuma sebatas mencari informasi. Tak lebih tak kurang bila dibandingkan dengan pekerjaan wartawan. Bedanya, wartawan bertujuan untuk memuatnya di media, tapi sang detektif swasta memberikan semua info perolehannya kepada orang yang menyewanya.

Pandu pernah menyewa Don sebelumnya. Dan ia merasa puas dengan hasil kerjanya.

Sekarang ia hanya membuat janji dulu karena ia sendiri perlu mengetahui lebih banyak perihal Maxi. Ia juga belum tahu apakah Don Tamba masih eksis dengan pekerjaannya dan masih menggunakan nomor yang bisa dihubungi. Sudah cukup lama ia tidak berhubungan lagi dengan pria itu. Ia memanfaatkan jasanya sekitar dua tahun yang lalu.

Ternyata Don masih eksis. Ia kedengaran senang sekali. Tentu saja ia senang karena membayangkan imbalan yang besar. Seperti dulu.

Mereka membuat janji di sore hari. Usai menelepon, Pandu merasa lebih lega. Barangkali ia harus berterima kasih kepada Mariska. Tadi Mariska membujuknya agar memberi izin dengan alasan ia juga ingin mengecek kebenaran cerita Maxi. Sebenarnya ia kurang mempercayai alasan itu. Pasti Mariska bilang begitu supaya ia memberi izin dan kunci rumah. Ia menganggap Mariska cuma ingin memuaskan rasa ingin tahunya. Memang jelas cerita Maxi itu sangat menggetarkan hati. Tetapi sekarang ia bisa menilai perbuatan Mariska dari sisi yang lain.

Ia memang tidak bisa melepaskan Maxi tanpa mengetahui lebih jelas identitas dan latar belakangnya. Kalau itu sudah diketahui maka akan mudah menyelidikinya.

Seandainya memang benar seperti yang dikatakan Maxi, bahwa ia tidak tahu-menahu dan tidak berkepentingan, maka siapa dan bagaimanakah sebenarnya dia sebagai manusia? Sejenis paranormal? Tiba-tiba Pandu teringat akan cerita Maxi yang paling menggetarkan. Dompet itu! Ia harus melihat dan memeriksanya. Ia sendiri tidak begitu mengenal dompet itu.

Tapi Mariska pasti bisa mengenali.

Sebuah motor berbelok lalu berhenti di sebelah mobil Pandu. Pengemudinya melepas helm. Tampak wajah seorang pemuda berkulit putih dan tampan. Rambutnya ikal agak gondrong. Ia menyisir rambutnya dengan tangan sambil bercermin di kaca mobil.

"Oh, Indi!" Pandu tersentak dari kantuk.

"Cepat juga kau datang."

"Ada apa sih, Pa? Tumben ke sini?" tanya Indiano.

Ia menegakkan tubuh dan melayangkan pandangnya ke dalam rumah. Ekspresinya memperlihatkan rasa segan dan galau.

"Masuklah. Papa cerita dulu," Pandu membuka pintu mobil.



***

GRACE mengamati wajah Ivan saat pemuda itu asyik bercerita dengan beragam perasaan. Ada rasa iba dan simpati, tapi juga bingung. Antipatinya yang dulu menggunung, sedikit demi sedikit terkikis. Kasihan juga, pikirnya. Tak ada orang terlahir sebagai homo. Ada prosesnya.

"Umur sepuluh tahun saya dikerjain paman saya, adik ayah. Dua tahun saya diperlakukan seperti pacarnya. Dia sayang betul sama saya. Apa pun yang saya inginkan dibelikannya. Dia sudah bekerja dan gajinya lumayan. Hal itu membuat saya senang dan tidak keberatan diperlakukan apa pun. Orangtua saya juga tidak menyangka apa-apa. Setelah dua tahun dia pergi karena dipindahtugaskan ke luar Jawa. Saya jadi kehilangan. Tapi itu tidak lama. Saya segera mendapat penggantinya. Begitulah terus-menerus, Bu. Mungkin itu sebabnya saya

tidak pernah tertarik kepada cewek. Lalu saya ketemu dengan Rico. Saya tertarik sama dia. Dia pun begitu "

"Ah, pasti kau yang merayunya," potong Grace.

"Dia kan tidak punya riwayat seperti kamu."

Ivan tersenyum tipis.

"Tapi dia juga punya sejarah sendiri, Tante. Tidak semua orang prosesnya sama."

"Lalu prosesnya gimana? Tentu dia pernah cerita padamu."

"Oh ya. Tapi Tante jangan beritahu dia bahwa saya yang cerita. Nanti dia membunuh saya."

"Apa? Memangnya dia pembunuh?" Grace melotot.

"Sembarangan aja kau!"

"Ya sudah. Kalau Tante nggak mau janji, saya nggak bisa cerita."

Ivan mempunyai gaya merajuk yang hebat.

"Ya, ya. Aku janji. Ceritalah."

"Tapi leher saya kering, Tante. Air putih dong."

Grace jadi geregetan. Ia merasa Ivan sengaja mempermainkan. Tapi ia sangat ingin tahu.

"Baiklah. Tunggu."

"Dua gelas, Tante. Untuk Tante juga. Nggak enak minum sendiri," kata Ivan dengan manja.

Grace menjulurkan lidahnya sebelum melangkah ke dalam.

Ivan tertawa.

"Hi hi! Tante jadi kayak korban gantung diri deh!"

Grace berbalik lalu melotot. Ivan buru-buru menutup mulutnya.

Sepeninggal Grace, Ivan tersenyum. Belum hilang senyum Ivan, Grace sudah muncul kembali membawa dua gelas air putih. Grace memang cepat-cepat karena khawatir Ivan berulah macam-macam.

"Boleh saya ambil barang saya dulu, Tante? Supaya ngomongnya enak? Nanti begitu selesai bicara, kan saya bisa cepat angkat kaki," kata Ivan sebelum Grace bicara.

Grace menggelengkan kepala dengan kesal.

"Barang apa sih?" ia bertanya.

"Nggak banyak kok, Tante. Sudah disiapkan kok. Tempo hari nggak terbawa karena nggak muat di tas.

"Grace tidak ingin Ivan masuk ke dalam. Bagaimana kalau dia nyelonong masuk ke kamar Rico dan berbuat macam-macam? Orang seperti Ivan nampaknya bisa melakukan hal-hal yang tak terduga.

"Biar aku ambilkan kalau begitu."

"Oh, terima kasih, Tante," Ivan tertawa lebar.

"Barangnya berupa satu kantong plastik belanjaan di dalam lemari yang sudah kosong. Gampang tak usah cari sana-sini. Tapi..., berat juga tuh, Tante. Biar saja saya ambil sendiri. Kalau Tante nggak percaya, Tante bisa ikut mendampingi."

"Nggak usah."

Grace segera berlalu. Begitu Grace tak tampak, Ivan mengeluarkan kantong plastik putih kecil dari sakunya. Isinya sebuah sendok kecil dan sebuah kantong yang lebih kecil. Isi kantong yang kecil itu berupa serbuk putih. Ia memasukkan sedikit serbuk itu ke dalam gelas minum Grace lalu mengaduknya dengan sendok tadi. Ketika Grace kembali, ia sudah selesai melaksanakan perbuatannya itu. Lalu ia buru-buru berdiri untuk menyongsong barang yang disodorkan Grace.

"Terima kasih, Tante. Terima kasih. Duh, jadi ngerepotin," ucapnya dengan kenes.

"Nah, sekarang berceritalah. Jangan mengulur-ulur lagi."

"Oh, tentang apa, ya? Oh ya, tentang Rico. Minum dulu, ah. Ceritanya panjang sih. Ayo dong, Tante. Minum juga. Masa saya minum sendiri."

Dengan jengkel Grace ikut minum. Dari sudut mata Ivan mengamati. Senyum kembali menghiasi bibir Ivan ketika melihat Grace menghabiskan setengah gelasnya.

"Baiklah. Begini. Rico pernah berpacaran dengan cewek cantik. Namanya ah, siapa, ya? Lupa tuh. Ya sudahlah. Pendeknya dia lelaki yang normal waktu itu. Tapi kemudian cewek itu berpaling pada cowok lain, pewaris tunggal dari om yang mahakaya. Padahal mereka berdua tidak punya masalah. Bahkan Rico sangat serius, sudah sampai pada tahap persiapan untuk menikah. Dia sudah akan memberi kabar pada Tante dan Oom untuk melamar cewek itu. Untung saja belum, ya? Tak lama sesudah hubungan mereka putus, cewek itu langsung kawin dengan cowok itu. Tega betul dia. Rico dicampakkannya begitu saja. Bisa dibayangin kayak apa sakitnya, Tante. Pada saat Rico terluka itulah saya mendekat."

"Oh, jadi kau yang merayu dia?" tanya Grace sewot.

"Ih, kok Tante menuduh begitu, sih? Bukan begitu dong pendekatannya. Kasar amat. Saya cuma simpati berat sama Rico. Dia membutuhkan teman curhat. Sayalah orangnya."

"Ya, terus kau memanfaatkan. Oh ," Grace memijit-mijit keningnya. Kepalanya berdenyut-denyut dan kelopak matanya berat.

"Kenapa, Tante?"

"Kau pulang saja, Van. Aku... aku..."

Grace tak bisa melanjutkan ucapannya. Tubuhnya oleng. Cepat Ivan berdiri dan menyambarnya supaya tidak jatuh ke lantai, lalu merebahkannya pelan-pelan di atas sofa. Sesudah itu ia merapatkan pintu dan menguncinya, lalu berlari ke kamar yang ditempati Grace dan Maxi.

Tak lama kemudian ia kembali ke ruang tamu dan menemui Grace yang masih terkapar di atas sofa. Ia tersenyum sambil mengamati wajah Grace.

"Waduh, Tante manis sekali, deh," katanya sambil mencolek pipi Grace.

Kemudian ia mengangkat pesawat telepon

untuk menghubungi Rico.

"Ric? Sori mengganggu. Aku di rumahmu sekarang. Bisa cepat pulang? Ada masalah dengan Tante. Tadi kami sedang berbincang baikbaik. Tiba-tiba dia mengeluh sakit kepala, lalu dia teler, eh... pingsan, eh... bukan, kayaknya tidur. Entahlah. Aku jadi bingung nih. Sudah, lihat saja sendiri."

Rico cepat datang. Wajahnya cemas. Ia mendengarkan cerita Ivan sambil memeriksa ibunya.

"Papa ke mana?"

"Katanya latihan band."

"Latihan band?" ulang Rico heran.

"Ya. Makanya untung ada aku."

Rico menatap Ivan. Ia bersyukur tapi juga heran.

"Kau mau apa ke sini? Dan kenapa kau tidak masuk kantor?"

"Tadi pagi aku kurang enak badan. Sekarang sudah enakan. Jadi kumanfaatkan waktunya." Grace menggeliat.

"Mau kubantu membawanya ke dokter? Tapi Tante sudah sadar tuh," kata Ivan.

Grace bergumam.

"Tidak usah," kata Rico.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bisa sendiri. Kau pulang sajalah."

Sepertinya memang itu yang ditunggu Ivan. Segera ia berdiri lalu menyambar kantong plastiknya.

"Aku pergi, ya. Semoga Tante cepat baik."

Rico tidak memedulikan Ivan. Ia memusatkan perhatian kepada ibunya.

Grace membuka mata, mengucek-uceknya. Ia memandang terheran-heran. Ia belum hilang ingatan untuk melupakan bahwa tadi yang ada di dekatnya adalah Ivan. Kenapa sekarang jadi Rico? "Mama sudah baik?" tanya Rico girang.

Grace memijit-mijit keningnya.

"Oh ya. Tadi kepalaku pusing lalu aku terjatuh."

"Kata Ivan, Mama jatuh pingsan. Dia memanggilku. Aku bermaksud membawa Mama ke dokter sekarang juga."

Grace segera duduk. Ia menggelengkan kepala.

"Ah, nggak. Aku merasa baik-baik saja."

"Jangan begitu, Ma. Itu pasti suatu gejala. Kita tidak boleh meremehkan. Kalau diperiksa dengan teliti, nanti bisa ketahuan dengan jelas."

Grace memandang berkeliling.

"Ke mana Si Ivan sekarang?" tanyanya.

"Dia sudah kusuruh pulang, Ma."

Grace memandang meja. Gelas bekas minum masih ada di atas meja. Tapi kedua-duanya sudah kosong. Diingatnya, tadi ia tidak menghabiskan air minumnya. Masih ada setengah. Mungkin Ivan yang menghabiskan. Dasar rakus.

Rico mengikuti arah pandang Grace.

"Tadi Mama habis mengobrol dengan dia, ya?"

"Ya. Ngobrol sebentar."

"Jadi kita ke dokter, ya, Ma?"

"Nggak ah. Nantilah kalau memang perlu. Jangan sekarang."

"Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesehatan, Ma."

"Aku merasa sehat, Ric. Aku tahu betul bagaimana kondisiku sendiri."

"Lantas kenapa tadi itu?"

"Entahlah. Aku belum pernah begitu."

"Baiklah. Kita tunggu Papa saja. Ke mana sih dia? Kata Ivan, dia latihan band. Kok Papa nggak pernah cerita soal itu."

Grace berpikir sejenak. Rasanya kurang enak

untuk membohongi Rico seperti halnya kepada orang-orang lain. Rico itu anak sendiri. Kalau pada suatu waktu kebohongan itu ketahuan, dia akan lebih marah daripada bila diberitahu sekarang. Tapi kalau diceritakan, apakah Maxi akan marah kepadanya?

"Kenapa Mama memandangiku seperti itu?"

Grace berpaling. Cerita atau tidak? Rico merangkul Grace.

"Mama ada masalah dengan Papa? Ayolah Ma, ceritakan padaku. Aku bukan orang lain, kan?"

Tentu saja Rico bukan orang lain, pikir Grace. Dia adalah orang yang paling kucintai. Dan kalau dibandingkan dengan Maxi... ah, ia tidak boleh membanding-bandingkan.

"Mama takut kau akan marah, Ric."

"Tidak," sahut Rico dengan tegas.

"Aku janji. Aku tidak akan marah. Tidak mungkin marah."

Grace tersenyum.

"Kupegang janjimu."



****



Begitu pintu depan rumah terbuka, Maxi mendengar bunyi gaung yang panjang dan tinggi. Bunyi itu pelan saja, tapi nadanya yang tinggi membuat telinganya sakit. Ia tersentak ke

belakang.

"Kenapa, Pak?" tanya Mariska, heran campur tegang.

"Non tidak mendengar?"

" Dengar apa?"

Maxi segera tahu bahwa Mariska tidak mendengar. Ia buru-buru menggelengkan kepala.

"Nggak. Nggak apa-apa, Non. Mungkin suara tikus. Rumah kosong suka memantulkan bunyi"

Mariska tidak puas dengan penjelasan itu.

"Ah, pasti Bapak mendengar sesuatu. Ayo, Pak. Apa itu?" ia mendesak.

Maxi menyerah.

"Saya dengar bunyi gaung. Nadanya tinggi. Itu saja."

"Cuma itu?" Mariska menatap tajam. Kurang percaya.

"Ya. Betul, Non."

Mariska mengangkat bahu, lalu memegang lengan Maxi dan setengah menariknya ke tengah ruangan. Ia khawatir kalau-kalau Maxi lari ke luar.

Ruang depan itu masih berperabot, tapi semua ditutupi kain putih. Pemandangan ini jadi tampak seram di tengah suasana remang-remang karena cahaya cuma masuk dan pintu yang dibiarkan terpentang. Jendela besar di kiri dan kanan pintu yang seluas dinding, tertutup gorden tebal. Perabotan yang tertutup kain putih itu jadi kelihatan seperti hantu-hantu. Mariska menyalakan lampu kristal besar di tengah ruangan. Sekarang jadi terang-benderang. Ruangan itu luas sekali. Beberapa lukisan yang indah dengan beragam corak menghiasi keempat dinding. Yang besar dan yang kecil diatur dengan harmonis dan semarak.

Belum puas Maxi mengamati satu per satu, Mariska sudah menariknya lagi.

"Ayo duduk, Pak. Kita bisa bicara dengan leluasa."

Mariska menarik kain yang menyelubungi sofa. Tampak sofa besar berdesain gaya Eropa dengan jok berlapis kulit. Mariska menyilakan dengan tangannya. Mereka duduk di kedua ujung.

Maxi menyadari benar bahwa tatapan Mariska terus-menerus mempelajarinya saat ia mengamati ruangan. Ia tahu, Mariska menantikan kejutan dari reaksi yang diperlihatkannya. Bahkan sepertinya gadis itu sangat ingin ia bereaksi. Kalau ia pura-pura kesurupan misalnya, tentulah gadis itu akan percaya dan senang karena memang berharap begitu. Tapi tentunya ia tidak akan dan tidak ingin berbuat demikian.

"Rumah yang bagus," katanya memuji.

"Berceritalah, Pak." Mariska meminta.

"Baik. Saya akan bercerita. Mungkin saya dipertemukan dengan Non karena memang saya harus bercerita. Tapi boleh saya minta Non juga bercerita tentang peristiwa itu bila saya selesai? Saya juga harus tahu."

"Oh ya. Tentu saja. Memang harus begitu. Biar seimbang."

Maxi tak segera berbicara karena mereka mendengar langkah kaki yang cepat-cepat di halaman kemudian naik ke teras. Keduanya menoleh ke ambang pintu dan menunggu. Apakah itu Pandu yang memutuskan untuk ikut bergabung?

Sosok yang muncul bukanlah Pandu. Dia adalah Indiarto, adik Mariska. Ia tertegun sejenak di ambang pintu dan memandang ke sekitarnya dengan ekspresi ngeri. Setelah matanya menangkap kakaknya buru-buru ia mendekat.

"Kau dipanggil Papa, ya?" tanya Mariska.

"Ya. Katanya ada heboh," sahut Indiano sambil memandang Maxi.

Yang dipandang menganggukkan kepala.

"Kenalin, In. Bapak Maxi," kata Mariska lalu berpaling kepada Maxi,

"Pak Maxi, ini adik saya Indiarto."

Keduanya bersalaman. .

Maxi merasakan kejutan ketika menyadari betapa miripnya Indiarto dengan Melia. Padahal Mariska tidak memiliki kemiripan itu. Mariska lebih mirip ayahnya. Andaikata terbalik pastilah kejutan itu lebih besar. Potongan rambut Mariska sama dengan Melia. Dan tentunya karena mereka sama-sama perempuan.

"Aku ingin dengar cerita juga. Apa sudah selesai?" tanya Indiarto, menatap kedua orang di depannya bergantian.

"Kebetulan amat sih! Baru saja mau mulai. Ya, Pak?" Mariska tertawa.

Ketegangan yang tadi terasa segera mencair. Mereka menjadi lebih rileks.

Tanpa canggung Indiarto segera mengambil tempatnya. Ia duduk di tengah-tengah, di antara Maxi dan kakaknya.

"Di situ saja!" Mariska menunjuk kursi di

depannya.

"Nggak ah. Kejauhan," sahut Indiarto.

"Jadinya Pak Maxi nggak perlu ngomong keraskeras. Capek, kan?"

"Alasan saja kau!" seru Mariska.

"Aku kan jadi kehalangan kamu. Aku tak bisa melihat wajah Pak Maxi saat bercerita."

"Bagaimana kalau Pak Maxi duduk di tengah?"

Kesepakatan itu dicapai.

Maxi bercerita tentang awal pertemuannya dengan Melia. Sebagian sudah diungkapkannya tadi, tapi sekarang lebih urut dan lengkap. Ia juga menggambarkan dengan lebih detail penampilan Melia, gaun yang dipakainya, suaranya yang agak besar, dompet yang diberikannya dan uang dua puluh ribuan sebanyak lima lembar yang sudah dikumpulkannya. Ia juga menunjuk Indiarto dan mengatakan betapa miripnya pemuda itu dengan ibunya.

Mariska tidak menyela cerita Maxi. Ia menyimak dengan penuh konsentrasi. Sesekali ia tersentak kaget dan memekik pelan, tapi tidak berbicara. Indiarto mengikuti kakaknya. Tapi ekspresinya memperlihatkan rasa takjub.

Ia melotot terus mengawasi Maxi.

Kemudian Maxi berhenti.

"Ceritanya sudah sampai pada pertemuan kita barusan, Non Ris."

"Sebelum melanjutkan, gimana kalau Bapak memanggil saya Riris saja dan adik saya Indi? Enakan gitu."

"Betul, betul!" Indiarto setuju.

"Baik. Saya setuju," sahut Maxi.

"Tapi Bapak melewatkan cerita soal mimpi itu. Gimana mimpinya?" Mariska mengingatkan.

Maxi terdiam sejenak. Tapi ia merasa dikepung dari dua sisi. Kedua anak muda sama-sama memelototinya. Akhirnya dengan terpaksa ia menceritakannya juga.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah," kata Indiarto.

"Luar biasa," kata Mariska.

"Bahkan istri' saya tidak saya ceritakan," kata Maxi setengah mengeluh. Seharusnya ia menceritakan. hal itu kepada Grace terlebih dulu.

Mariska segera menyambar keluhan itu.

"Kenapa begitu Pak?"

"Saya tidak ingin dia khawatir."

"Apakah dia tahu pengalaman Bapak dengan almarhum ibu saya?"

"Tidak. Saya tidak menceritakan karena ...," Maxi tidak meneruskan ucapannya. Mustahil dia mengatakan bahwa ia khawatir istrinya akan cemburu mengingat reputasinya di masa lalu. Itu adalah masalah pribadi. Wajahnya jadi memanas.

"Kenapa? Katanya Bapak tidak kenal sama sekali dengan ibu saya," desak Mariska.

"Oh ya. Memang tidak pernah kenal. Bagaimana bisa?"

"Lantas kenapa Bapak tidak cerita kepadanya? Mungkin Bapak suka berahasia kepada istri."

Maxi jadi jengkel didesak seperti itu. Ia tahu dirinya sedang dites apakah kebenaran ceritanya bisa diterima atau tidak. Padahal ceritanya semua benar semata. Tidak ada yang dikurangi dan tidak pula ada yang dilebihkan.

"Terus terang saja. Saya takut dia cemburu," akhirnya Maxi terpaksa berterus terang.

"Kalau saya cerita apa adanya, bagaimana kalau dia menyangka yang bukan-bukan? Nanti dia melarang saya mengamen."

"Melarang? Ah, saya tahu. Kalau begitu, Bapak mengamen bukan untuk mencari nafkah."

"Memang bukan. Saya cuma hobi menyanyi."

"Ya. Suara Bapak itu bagus sekali."

Mariska berpaling kepada Indiarto.

"Tadi Bapak menyanyikan Bengawan Solo, In. Papa juga mendengar. Waduh, kami sampai merinding deh. Pak Maxi ini mestinya nyanyi di tempat bergengsi. Bukan mengamen."

Maxi tidak ingin perbincangan jadi beralih.

"Tadi Riris sudah berjanji untuk menceritakan tentang ibu Riris," segera dia mengingatkan.

"Oh, ya. Tentu saja. Satu setengah tahun yang lalu kejadiannya. Harinya hari Kamis. Saya dan Indi sedang di luar rumah. Papa di kantor. Malik ditunggu di pabrik untuk membantu mengantar barang. Tapi tak kunjung datang. Paginya dia memang mengantar Mama dulu untuk berbelanja. Sesudah mengantar Mama, baru dia ke pabrik. Orang di sana nelepon ke rumah. Yang menerima telepon adalah Mimi, pembantu. Katanya mobil masih ada di halaman. Tapi dia nggak tahu di mana Malik berada. Lalu dia

ke kamar Mama. Pintunya tidak dikunci. Dia mendapati Mama sudah terkapar dengan tusukan pisau di punggungnya. Tubuhnya telungkup. Di sampingnya terkapar Malik dengan tubuh terlentang. Diajuga berdarah dengan pisau menancap di dadanya. Tapi luka Malik tidak dalam. Dia berhasil diselamatkan."

"Jadi pembunuhnya adalah Malik?"

"Ya. Dia mengakui perbuatannya Lagi pula pada gagang pisau yang menancap di punggung Mama ditemukan sidik jarinya. Demikian pula pada pisau yang menancap di dadanya sendiri. Sekarang dia ada di penjara. hukumannya sepuluh tahun."

"Motifnya apa?"

"Dia bermaksud merampok perhiasan. Tapi setelah menusuk Mama, dia menyesal. Lalu dia mencoba bunuh diri. Peristiwa itu membuat kami terpukul bukan cuma karena kesedihan tapi juga karena gosip orangorang. Mereka bilang Mama selingkuh dengan Malik. Kami jadi susah berkelit dari gosip itu. Habis mereka berdua ditemukan di kamar tidur. Bersisian lagi."

Maxi mengangguk dengan simpati. Ia bisa memahami perasaan keluarga itu. Aib yang di

coreng orang-orang usil tidak bisa dibersihkan karena korban sudah meninggal. Apakah orang seperti Nyonya Melia itu bisa berselingkuh? Ia membayangkan lagi pertemuannya dengan perempuan itu. Lalu teringat akan kesimpulannya yang melintas pada saat itu. Perempuan itu punya potensi tidak terduga. Dia bisa lembut tapi bisa juga liar. Tapi tentu saja kesimpulan itu cuma selintas. Ia sama sekali tidak mengenal perempuan itu. Tak mungkin menyimpulkan kepribadian seseorang dari perkenalan sebentar.

Tiba-tiba Mariska mengajukan usulan yang mengejutkan.

"Maukah Bapak melihat kamar tempat peristiwa itu terjadi?"

Bahkan Indiarto tersentak kaget. Ia menatap kakaknya dengan ekspresi tak setuju.

Tetapi Maxi berdiri.

"Mau," sahutnya dengan antusias. Itu mengherankan dirinya sendiri.

Indiarto ragu-ragu sejenak. Apakah ia akan mengikuti langkah kedua orang itu atau pergi ke luar menjumpai ayahnya yang menunggu di mobil? Ia merasa ngeri untuk melihat lagi ruangan itu. Tentu ia tahu bahwa tempat itu sudah bersih, tapi sudah terlalu lama dibiarkan

kosong. Tapi kalau ia menunggu di luar, ia tidak akan tahu apa yang terjadi. Berarti ia melewatkan kesempatan untuk menyaksikan sesuatu. Kalau memang ada sesuatu. Barusan ayahnya mengatakan, bahwa Mariska ingin mengecek kebenaran cerita Maxi dan ingin melihat hantu. Mariska memang berani. Ia tidak mau kalah dari Mariska.

Indiarto segera berlari menyusul kedua orang yang sudah menaiki tangga.

Maxi mengagumi kemegahan rumah itu. Sayang waktu setahun lebih dibiarkan kosong membuatnya benar-benar kelihatan terlantar. Yang banyak merajalela adalah sarang laba-laba. Tampaknya binatang itu senang sekali mempunyai rumah yang indah tempat ia memiliki kebebasan penuh tanpa dikejar-kejar manusia. Seperti di luar rumah, cat dinding banyak yang mengelupas. Beberapa bagian plafon memperlihatkan noda-noda habis kebocoran. Di antaranya ada yang sebegitu parahnya hingga menggembung dan bergelombang.

Rumah itu masih memiliki perabot lengkap, termasuk hiasan dindingnya.

"Kami pindah tanpa membawa perabot atau

apa pun yang jadi bagian rumah ini," Mariska menjelaskan.

"Papa yang menyuruh begitu."

"Tidak dikontrakkan saja?" Maxi mengutarakan rasa ingin tahunya.

Mariska tenawa.

"Siapa yang mau?"

Mereka menoleh karena mendengar langkah berlari. Indiano datang bergabung.

"Kukira kau keluar," kata Mariska

"Nggak dong."

"Mestinya kau menemani Papa."

"Justru Papa yang menyuruhku menemanimu."

"Oh, begitu?"

Mereka melanjutkan perjalanan di lantai atas. Mariska menunjuk sebuah pintu.

"Ini dulu kamar saya. Dan itu kamar Indi."

Lalu mereka berhenti di depan pintu berikutnya.

"Nah, ini dia."

Mariska mengeluarkan rencengan kunci, lalu mencobai kunci-kunci itu satu demi satu. Akhirnya diperoleh kunci yang pas. Pintu berderit terbuka. Tampak ruangan yang gelap. Indiarto buru-buru mengambil posisi di belakang Maxi. Mariska paling depan.

Mariska meraba dinding mencari sakelar. Ia menyalakan lampu. Lalu melangkah masuk diiringi kedua orang. Indiarto tetap di posisi belakang Maxi. Ketika Mariska berhenti beberapa langkah dari pintu. mereka berhenti juga. Maxi di sisi Mariska.

Kamar terang benderang memperlihatkan isinya. Tampak interior yang mewah. Semuanya terlihat lengkap. Tempat tidur pun rapi siap ditiduri setiap saat. Sebuah lukisan besar bergambar sepasang manusia yang tengah bermesraan tergantung di dinding belakang tempat tidur.

"Keadaan di sini persis sama seperti saat itu," kata Mariska.

"Ah..., sebenarnya tidak persis. Ada yang berkurang. itu ..., di situ...." Mariska menunjuk lantai depan tempat tidur.

"Tadinya ada karpet di situ. Tubuh Mama dan Malik berada di atasnya. Jadi karpet itu dipenuhi noda darah. Papa menyuruh orang membuangnya."

Tatapan Maxi lekat ke arah yang ditunjuk Mariska. Saat itu ia tidak menyadari bahwa diam-diam Mariska melirik kepadanya dan mengamati wajahnya.

Dalam pandangan Maxi. lantai itu tidak lagi

kOSong. Kagetnya masih ada, warnanya kuning cokelat dengan motif bunga matahari. Di atasnya ada dua sosok terbujur. Ia mengenali Nyonya Melia. Perempuan itu mengenakan gaun putih panjang, sama dengan yang dikenakannya ketika mendengarkan ia menyanyi, juga sama dengan yang tampak di dalam mimpi buruknya. Gaun itu tidak lagi putih melainkan penuh bercak merah oleh darah yang mengalir dari luka tusuk di punggungnya. Posisinya telungkup dengan kedua tangan di sisi kepala. Wajahnya miring ke sisi. Pisau di punggungnya menancap dalam hingga seluruh bagian tajamnya tidak tampak. Cuma gagangnya yang di luar. Padahal melihat gagangnya yang besar pastilah pisau itu pun besar dan panjang.

Ia cepat berpaling ke tubuh satunya lagi. Tubuh itu bergerak-gerak. Posisinya telentang hingga tampak jelas pisau yang menancap di dadanya sebelah kanan. Pisau itu memiliki gagang yang sama dengan pisau di punggung Melia. Kemungkinan jenis pisaunya sama. Tapi tancapannya tidak dalam. Bila dibandingkan dengan pisau yang menancap di punggung Melia paling hanya sepertiganya yang masuk.

Sosok itu pastilah sopir yang bernama Malik. Melihat panjang tubuhnya dia pastilah memiliki tubuh yang tinggi. Wajahnya tak begitu jelas karena penuh kernyit kesakitan. Tapi dia jelas masih muda, meski pun dalam keadaan begitu sulit memperkirakan usianya. Seperti Melia, ia pun berkaus putih yang sama-sama penuh bercak merah. Darah yang mengalir dari lukanya seperti anak sungai. Apalagi luka Melia yang lebih dalam. Darah yang keluar deras sekali. Sementara yang mengalir ke lantai, merembes dari karpet tampak mengental.

Kepala Maxi menjadi pusing. Lambungnya menggelegak. Isinya terancam keluar. Ia membungkuk untuk menekan lambungnya. Mulutnya mengeluarkan bunyi. Cepat-cepat ia menutup mulutnya dengan panik. Lalu menoleh kepada Mariska.

Gadis itu cepat tanggap. Ia menarik tangan Maxi lalu bergegas ke kamar mandi. Di sana ia membukakan pintu dan menyilakan dengan tangannya. Maxi menghambur masuk, membuka tutup kloset lalu memuntahkan isi lambungnya. Suaranya cukup keras. Mariska mengikuti untuk menjenguk sejenak lalu buru-buru keluar

menjumpai Indiarto yang sudah berada di luar kamar, bersandar ke dinding. Wajahnya terlihat pucat.

"Kau kenapa?" tanya Mariska.

"Di... dia ke... ke... na... pa?" Indiarto menggagap.

"Dia muntah.,

"Ya. Ke... ke... napa?"

Mariska tak segera menjawab. Ia berpikir sejenak. Segera ia teringat, dulu ketika Indiarto melihat pemandangan mengerikan itu, ia muntah-muntah. Sekarang Maxi pun berbuat hal yang sama. Tapi bedanya, sekarang di lantai tidak ada apa-apa! Apakah itu juga yang terpikir oleh Indiarto?

"Indi " Mariska menarik adiknya yang mengikuti gerakannya dengan lemas. Keduanya terduduk di lantai.

"Bapak itu melihat sesuatu di sana. Mungkin pemandangan yang sama, ya?"

"Siapa sih sebenarnya dia, Mbak? Dukun?"

Mariska menggeleng. Wajahnya membayangkan tekad.

"Kita harus tahu lebih banyak tentang dia,

"Kaupikir dia jahat?"

"Ah, nggak. Bukan soal itu yang kupikir. Tapi aku membutuhkan bantuannya.

"Bantuan apa, Mbak?"

"Jangan bilang-bilang Papa, lho. Dia bisa marah."

"Ya, memang. Dia bilang, orang itu membangunkan hantu "

"Apa?" Mariska terkejut.

"Papa bilang begitu?"

"Ya. Seharusnya roh atau apalah namanya, tetap tenang di alamnya sendiri. Jangan kembali atau gentayangan di bumi."

Wajah Mariska menjadi muram.

"Teganya Papa bilang begitu," ia mengeluh.

"Kenapa? Kan ada benarnya, Mbak."

"Tapi ini kan hantunya Mama. Bukan orang lain."

"Ssst...," Indiarto menengok ke arah kamar, lalu berbisik "Jangan ngomong begitu di sini ah. Takut."

"Ah, kamu. Dari dulu penakut. Kamu kan cowok."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarin. Cowok itu juga manusia."

Mereka berhenti bicara. Maxi muncul. Dia



kelihatan lemas dan wajahnya pucat.

Mariska melompat berdiri.

"Bapak sakit?" tanyanya cemas.

Maxi menggelengkan kepala, lalu duduk di lantai di samping Indiarto.

"Duduk sebentar, ya?" katanya lalu menyandarkan kepalanya ke belakang.

Mariska ikut duduk tapi di sisi lain Indiarto. Kedua kakak-adik itu beradu pandang sejenak. Indiarto menggelengkan kepalanya sebagai isyarat. Tapi Mariska sudah melontarkan pertanyaannya,

"Bapak shock karena melihat sesuatu, ya?"

Indiarto menyikut kakaknya, tapi, Mariska menyikut balik.

Maxi menggelengkan kepalanya lagi.

"Ah, lihat apa? Nggak," sahutnya pelan.

"Lantas kenapa Bapak muntah tadi?"

"Saya masuk angin. Lebih baik saya pulang saja ya, Ris."

Mariska tidak percaya. Indiarto kembali menyikutnya.

"Kau menyiksanya," ia berbisik.

"Sudahlah."

Barulah Mariska tersadar bahwa ia terlalu mendesak Maxi. Kalau Maxi sampai kenapa-kenapa dirinyalah yang bersalah. Ia pindah duduk ke sebelah Maxi, lalu memegang lengannya.

"Maafkan saya, ya Pak. Saya terlalu memaksa Bapak. Gara-gara saya, Bapak jadi sakit."

"Oh, bukan karena Riris. Karena saya sendiri kok. Saya memang masuk angin. Entar lagi juga segar."

"Nanti Bapak kami antar pulang saja, ya?"

"Ah, nggak usah. Saya sudah biasa keliling Jakarta."

"Katanya di Jakarta belum lama, kok sudah bisa keliling, Pak? Nggak takut kesasar?"

"Belajar dari peta Jabotabek, Ris," kata

Maxi dengan bangga. Ia sudah merasa enak.

"Wah, Bapak punya peta segala. Hebat," puji Mariska.

"itu kepunyaan anak saya."

"Berapa anak Bapak?"

"Satu. Lelaki. Saya dan istri tinggal bersamanya."

"Apa dia sudah berkeluarga?" tanya Mariska lagi.

Indiarto menggeleng-gelengkan kepalanya. Kakaknya ini seperti interogator saia. Dia jadi

iba kepada Maxi. Tak ada hubungan apa-apa tiba-tiba jadi terlihat seperti ini.

Tetapi pertanyaan Mariska itu tiba-tiba mengingatkan Maxi kepada kondisi kehomoan Rico. Ia menjadi sedih. Apakah Rico akan berkeluarga pada suatu saat nanti? Kalau cuma masalah berat jodoh itu tidaklah sulit-sulit amat. Tapi homo?

Mariska menyentuh lengan Maxi.

"Pak?"

"Oh..., tadi nanya apa ya, Ris?" tanya Maxi gugup.

"Apakah putra Bapak sudah berkeluarga?"

"Belum."

"Dia sudah kerja, Pak?"

"Sudah. Di Matsu Corp. Dia insinyur elektro."

"Oh!" Mariska terkejut. Ia sempat ternganga sejenak. Demikian pula Indiarto. Keduanya berpandangan.

"Wah, itu perusahaan besar, Pak. Instalasi lift di perusahaan ayah saya dipasang oleh Matsu."

Maxi mengangguk dengan bangga. Ia selalu merasa bangga bila mengungkapkan karier

Rico, tapi berbeda halnya bila persoalannya mengenai masalah keluarga atau pacar.

"Ya. Pekerjaannya bagus," katanya.

"Boleh saya tahu alamat Bapak?" tanya Mariska lagi. Bukan apa-apa. Saya tidak ingin putus hubungan sama Bapak."

Maxi tidak keberatan memberitahu alamat Rico di kawasan Kelapa Gading.

Lagi-lagi Mariska terkejut. Ia mengenal kawasan yang disebut Maxi. Itu adalah pemukiman golongan menengah ke atas. Rasa kagetnya itu disebabkan karena Maxi pengamen. Mana mungkin pengamen tinggal di pemukiman seperti itu dan punya anak yang pekerjaannya bagus? Itu sangat tidak cocok.

Tiba-tiba Maxi sadar ketika mengenali ekspresi Mariska. Ia memahami jalan pikiran Mariska.

"Tadi saya sudah bilang, saya mengamen bukan untuk mencari nalkah. Itu cuma hobi. Saya suka menyanyi. Saya senang melihat orang menyukai suara saya. Seperti halnya Ibu Melia."

Habis berkata begitu ia tertegun. Perkataannya itu tidak rasional. Bukan Melia yang hidup

yang sebenarnya menyukai suaranya, tapi rohnya! Secara rasional mana mungkin hal seperti itu bisa terjadi.

"Ya. Tidak mengherankan kalau Mama menyukai suara Bapak. Bagus banget sih. Omong-omong, kalau nanti ada suatu acara di kantor saya, maukah Bapak menyanyi di sana?"

Maxi tersipu.

"Wah ," katanya ragu-ragu.

Belum sempat ia melanjutkan ucapannya. Mariska sudah bertanya lagi,

"Maaf. Pak. Apakah putra Bapak mengizinkan Bapak mengamen?"

"Dia tidak tahu. Cuma istri saya yang tahu. Wah, kalau anak saya tahu, pasti dia marah."

"Ya. Saya kira begitu, Pak. Kalau saya punya ayah seperti Bapak, tentu saya juga akan melarang. Sudahlah, Pak. Jangan mengamen di jalan lagi. Apalagi di bus-bus, itu berbahaya."

"Ah, banyak pengalaman menarik di situ, Ris."

"Apakah kita akan mengobrol terus di sini?" Akhirnya Indiarto bersuara. Ia merasa tak nyaman.

"Sebaiknya saya pulang saja," Maxi juga diingatkan.

Mereka berdiri.

"Bapak akan kami antar pulang."

"Wah, bukannya saya nggak mau. Tapi istri saya akan kaget. Padahal tentang masalah saya di sini dia tidak tahu."

"Jelaskan saja, Pak. Sebaiknya terbuka, kan?"

"Saya takut dia marah. Dia pasti menuduh, saya tidak percaya padanya."

Mereka bicara sambil menuruni tangga.

"Terus terang saja, Pak," Mariska mengakui.

"Sebenarnya saya ingin melihat dompet yang diberikan Mama itu. Cuma saya yang mengenal dompet itu."

"Oh, begitu. Bagaimana kalau saya diberi waktu untuk menjelaskan pada istri saya lebih dulu barang sehari? Jangan datang sekarang pada saat dia belum tahu apa-apa."

"Sebaiknya memang begitu, Mbak. Kasihan Pak Maxi dong," Indiarto membela.

"Baiklah. Kami akan mengantar Bapak, tapi tidak mampir. Maaf ya, Pak. Saya kedengarannya mendesak. Itu disebabkan karena saya kelewat bersemangat. Saya ingin tahu sebanyak-banyaknya. Maaf ya, Pak. Apakah Bapak

marah sama saya"!"

"Tidak, Ris. Saya maklum. Kalau saya di tempat Riris pasti saya pun penasaran."

Sementara Mariska dengan Maxi berjalan lambat sambil berbincang, Indiarto berlari keluar meninggalkan keduanya. Sejak tadi ia ingin sekali melakukan hal itu, tapi rasa ingin tahunya menahannya.

Sebelum melangkah keluar rumah, Maxi mengarahkan pandangnya sekali lagi ke sekeliling.

"Selamat tinggal, Bu Melia. Saya kan sudah memenuhi janji," ucapnya dalam hati.

Bunyi gaung yang bernada tinggi kembali memekakkan telinganya.





PANDU mondar-mandir di depan pintu pagar dengan wajah kesal. Ia juga risau memikirkan apa yang tengah dilakukan ketiga orang itu di dalam rumah. Berkali-kali ia berniat menelepon ke dalam, tapi membatalkan ketika terpikir anak-anaknya akan terkejut karena dering telepon yang mendadak. Tapi sesungguhnya ia juga takut kalau-kalau mendengar sahutan yang lain. Bukan dari anak-anaknya melainkan dari Melia!

Sebenarnya mereka berada di dalam rumah belum terlalu lama. Baru sejam lebih. Tapi untuk orang yang menunggu tanpa tahu apa-apa, itu terasa lama sekali. Apakah Indiarto sudah melupakan pesannya untuk mengingatkan Mariska agar jangan lupa diri? Rupanya anak itu ikut-ikutan lupa diri.

Dari awal ia sudah bisa melihat bahwa Mariska terbius pesona cerita Maxi. Mungkin karena Mariska sangat menyayangi ibunya. Mariska berharap bisa melihat hantu ibunya juga. Mungkin dia ingin berkomunikasi untuk memuaskan rasa ingin tahu dan penasarannya. Benarkah Melia berselingkuh dengan Malik?

Masalah yang satu itu tak pernah diperbincangkan oleh dirinya dan kedua anaknya. Ia melarang mereka membicarakan hal itu. Biarpun isu dan gosip di luar sangat tidak sedap dan santer terdengar, ia menyuruh mereka menulikan telinga. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Begitu katanya. Lama-kelamaan orang akan melupakan dan kehidupan akan berjalan biasa lagi. Hal itu sudah terbukti. Setelah lewat lebih dari setahun tampaknya tak ada lagi yang memperbincangkan hal itu. Mereka sudah diterima di tengah pergaulan tanpa bisik-bisik menyambut kehadiran mereka. Selama waktu itu sudah banyak peristiwa lain yang terjadi, yang lebih seru dan menggemparkan. Topik pembicaraan selalu berubah.

Tapi ia tahu, mereka sekeluarga tidak mungkin bisa melupakan. Di dunia boleh terjadi ribuan peristiwa tapi itu menyangkut orang lain.

Sementara pengalaman mereka adalah masalah dan trauma mereka. Maka yang bisa dilakukan hanyalah berusaha pasrah lalu beradaptasi dengan situasi. Perlahan-lahan perasaan pun menumpul. Tak lagi ada kemarahan dan kesedihan, kecuali bila dikenang kembali. Tak bisa lain kenangan selalu diusir pergi bila datang sendiri atau dibiarkan datang.

Karena itu satu tahun setengah kemudian, setelah merasa sudah cukup mampu mengatasi trauma, ia mengajak Mariska ke rumah itu untuk melihat situasi. Tidak ada hambatan bagi Mariska meninggalkan pekerjaannya karena ia toh bekerja di perusahaannya sendiri. Ada alasan kenapa ia justru mengajak Mariska dan bukan Indiarto. Ia menilai Mariska pemberani dan sangat berinisiatif. Berbeda dengan Indiarto. Jadi ia bisa sekalian mendapat kekuatan dari Mariska bila merasa takut atau ragu-ragu. Apalagi sudah cukup sering Mariska mengajaknya ke situ.

"Saya sudah kangen sama rumah itu, Pa," begitu alasan Mariska.

Ia sendiri selalu menghindari tempat itu. Dan menurut pengakuan kedua anaknya, mereka juga melakukan hal yang sama. Selalu ada jalur lain yang bisa dilewati. Alasannya sama. Mereka tak ingin diterpa kenangan mengerikan. Itulah yang diyakini akan terjadi bila mereka melewatinya. Biarpun cuma lewat, mustahil rasanya tak menengok. Mula-mula cuma melihat sedikit, tapi bisa jadi muncul keinginan untuk melihat lebih banyak lagi. Selanjutnya bisa diduga. Mereka akan sulit melepaskan diri. Membayangkan dalam khayalan saja sudah menimbulkan perasaan macam-macam, apalagi melihat kenyataan. Tambahan lagi rumah itu sudah dibiarkan terlantar dan tersia-sia. Sudah pasti tamannya akan tampak mengerikan. Lebih-lebih gazebo beratapkan bunga bugenvil yang merupakan tempat Favorit Melia. Gazebo itulah yang akan tampak paling dulu bila tempat itu ditengok.

Sebenarnya dalam perjalanan ke situ, Pandu merasa tegang. Ia yakin Mariska juga merasakan hal yang sama. Mereka lebih banyak diam dengan pikiran masing-masing. Ia tahu, apa yang dipikirkan Mariska tentunya tak berbeda dengan pikirannya sendiri.

Ternyata di situ sudah ada lelaki asing yang

mengaku bernama Maxi. Ketegangan mereka seperti meletus karena cerita Maxi yang menggemparkan.

Aneh juga, kenapa lelaki itu justru datang pada hari yang sama? Kenapa bukan kemarin atau besok? Dia mengaku biasanya datang hari Kamis. Kenapa hari Kamis dia sakit? Kenapa ini dan kenapa itu?
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandu tersentak. Indiarto tampak berlari ke arahnya. Ah, kenapa pula dia lari? Apakah dia dikejar hantu?

Indiarto terengah-engah bersandar ke mobil. Pandu menggelengkan kepalanya. Cowok kok penakut. Bayangkan kalau dia cuma berdua dengan Indiarto. Barangkali mereka berdua sudah angkat kaki dari tadi. Tapi, mungkinkah hal itu ada hikmahnya juga? Bila mereka cepat-cepat pergi, mereka tidak perlu mendengar cerita Maxi yang semakin ngawur, apalagi mendengar nyanyiannya yang membuat gila itu. Kalau dipikir lagi, sebenarnya Maxi sendiri tampak enggan bercerita banyak. Mariskalah yang mendesaknya.

"Ada apa?" tanya Pandu ketika Indiarto masih sibuk mengatur napasnya.

Indiarto bercerita dengan cepat, khawatir kakaknya keburu keluar.

"Mbak Riris punya bakatjadi reserse," Indiarto menyimpulkan.

"Mau apa anak itu?"

"Dia ingin terus berhubungan dengan Pak Maxi."

'Buat apa?"

Indiarto mengangkat bahu. Mariska memang tidak menjelaskan soal itu kepadanya.

"Jadi kita akan mengantarkan Pak Maxi pulang. Papa nggak keberatan, kan?"

"Oh, nggak. Itu bagus. Jadi kita bisa tahu alamatnya."

"Dia bukan sembarang pengamen, Pak."

"Aneh memang. Mengamen kok hobi."





Rico terkejut mendengar cerita ibunya. Tapi setelah kejutan lewat, ia tertawa.

Grace yang merasa tegang pada mulanya jadi heran.

"Kok malah ketawa, Ric?" ia bertanya.

"Biarpun sudah tua, tapi Papa masih bengal, ya, Ma?"

Ucapan itu membuat Grace lega. Ia tertawa juga.

"Jadi kau nggak marah. Syukurlah. Aku takut kau merasa tersinggung dan malu."

"Kan aku sudah janji nggak akan marah."

"Jadi karena janji."

"Nggak juga sih. Kasihan Papa dong, kalau dimarah-marahi. Aku tidak mau mengatur-atur dan melarang-larang, Ma. Sudah begitu besar rasa syukurku karena Papa dan Mama bisa selamat sampai di sini. Masa sih sampai marah karena soal itu. Yang penting Papa bisa menjaga dirinya. Cuma rasanya sayang kalau suara emas Papa itu dijajakan di jalanan."

"Buat Papa bukan uangnya, Ric. Dia juga suka jalan. Jakarta ini sangat besar hingga membuat dia tak bosan-bosan. Katanya kalau cuma celingukan kanan-kiri tentunya nggak menarik. Pada suatu saat dia akan bosan, Rie."

"Ya. Aku mengerti, Ma"

Grace memeluk Rico.

"Oh, kau anak baik, ya Ric. Mama senang sekali punya kamu."

"Bener?" goda Rico.

"Iya. Memangnya bobong?"

"Tapi aku nggak normal. Nggak bisa membahagiakan Mama."

"Ah, normal atau nggak, kau tetap anakku.

Tapi aku yakin. Ric, kau bisa normal kembali. Yang penting kau mau. Harus ada tekad. Nggak semua cewek itu brengsek. Nyatanya cowok juga ada yang brengsek. Tub sih ivan buktinya. Orang kayak gitu..."

Tiba-tiba Grace tersentak.

"Kenapa Ma?" Rico kaget.

"Tadi waktu aku kelenger, si Ivan ngapain ya?"

Grace melompat berdiri dan menarik Rico.

"Cepat periksa kamarmu, Ric!" seru Grace lalu berlari menuju kamarnya.

Rico terperangah sebentar kemudian mengikuti langkah ibunya. Kamarnya memang tidak pernah dikunci kalau ia pergi. Demikian pula lemari dan laci-lacinya. Selama ia tinggal bersama Ivan ia tidak pernah merasa kehilangan apa-apa.

Hanya sebentar ia memeriksa kamarnya. Ia yakin tak ada barang yang hilang. Ibunya pasti terlalu berprasangka buruk. Tapi belum sempat melangkah ke luar kamarnya, ia mendengar jeritan Grace.





"Di sini saja, Pak," kata Maxi kepada Pandu yang mengemudi mobil. Ia duduk di belakang,

di samping Indiarta yang meninggalkan motornya di rumah kosong mereka.

"'Yang mana rumahnya?" tanya Pandu sambil celingukan.

Jalanan yang dilalui tak seberapa lebar. Cuma selebar dua kendaraan besar. Tetapi rumah-rumah di situ kebanyakan bagus-bagus meskipun tak terlalu besar. Daerah itu mempakan pemukiman baru.

Maxi menunjuk.

"Itu, Pak. Sebelah rumah ini."

Pandu menghentikan mobilnya.

"Terima kasih, Pak. Non Riris dan Indi," sahut Maxi sambil keluar dari mobil.

"Sudah minta nomor teleponnya, Ris?" tanya Pandu

"Sudah, Pa," sahut Mariska, lalu berseru kepada Maxi,

"Tunggu sebentar, Pak!"

Mariska buru-buru keluar mendekati Maxi.

"Pak, di samping berterima kasih dan bersyukur saya juga ingin minta maaf karena telah menyusahkan Bapak. Apa sekarang Bapak sudah benar-benar sehat?"

"Oh, sudah. Saya benar-benar sehat."

"Nanti kita ketemu lagi ya, Pak? Sceepatnya"

"Saya akan telepon."

"Biar saya saja yang nelepon. Pak. Nanti malam, ya?"

Maxi berpikir sejenak. Gadis ini memang punya semangat keingintahuan yang tinggi. Dia berbeda dibanding Indiarto. Menyadari rasa cinta Mariska kepada ibunya sebagai pendorong, ia tidak keberatan membantu dan tidak merasa disulitkan. Ia cuma takut untuk dirinya sendiri!

"Boleh, Ris. Kapan saja."

Mariska melepas Maxi pergi. Ia melambaikan tangan dengan perasaan haru. Kini kepercayaannya kepada Maxi sudah seratus persen. Ia yakin, lelaki itu bukan penipu. Tidak ada penipu yang bisa berakting begitu hebat. Apalagi bisa mengetahui hal-hal kecil mengenai ibunya. Terutama dompet itu. Gemetar tubuhnya bila membayangkan ia akan melihat lagi dompet yang sudah dimasukkannya ke saku gaun ibunya kemudian masuk ke dalam kubur!

Di samping dompet yang bisa dideskripsikan dengan jelas oleh Maxi, jumlah uangnya pun pas. Dialah yang sengaja memasukan uang dua

puluh ribuan sebanyak lima lembar ke dalamnya! Tak mengherankan kalau pada hari kelima Maxi mengamen uang di dompet habis. Sampai-sampai dompetnya pun ikut dilemparkan. Ibunya memang suka urakan.

Cerita itu sungguh menggetarkan perasaannya. Mana mungkin Maxi bisa mengarang sendiri cerita seperti itu?

Sebenarnya ia sendiri tak punya maksud apa-apa dengan memasukkan uang ke dalam dompet itu. Cuma terpikir masa dompet kosong yang ia masukkan ke dalam saku gaun ibunya. Paling tidak harus ada isinya. Itu saja alasannya. Dan jumlahnya seratus karena genap. Ia memilih pecahan dua puluh ribuan karena kebetulan ia punya lembaran uang pecahan itu yang masih baru. Sementara pecahan seratus ribuan dan lima puluh ribuan terlalu sedikit. Masa cuma selembar atau dua lembar.

Yang jelas cuma dia yang tahu mengenai dompet dan isinya. Dia memasukkannya diamdiam. Jadi tidak mungkin orang seperti Maxi, yang tidak pernah mereka kenal dan berasal dari jauh, bisa tahu begitu detail. Bahkan ayahnya dan Indiano saja tidak ia beritahu.

Ibunya senang mengenakan gaun yang memiliki saku di pinggirannya, seperti saku celana panjang. Jadi terasa praktis baginya. Saku itu terisi sekantong tisu di sisi yang satu dan dompet itu di sisi satunya lagi. Ibunya alergi terhadap banyak hal yang membuat hidungnya cepat berair. Maka tisu jadi terasa penting. Sementara dompet yang berisi uang bisa bermanfaat kapan saja diperlukan dan di mana saja ia berada. Ia senang bersantai di gazebo dekat pintu pagar seperti yang dilihat Maxi. Dari situ ia bisa melihat orang lewat, termasuk para pedagang makanan. Kalau ia bermaksud jajan ia tinggal mengeluarkan dompet dari sakunya. Tak perlu capek-capek masuk rumah dulu. Apalagi rumah dan halamannya begitu luas.

"Kok ngelamun di sini, Mbak.?" Indiarto sudah berada di sisi kakaknya.

"Aku mau lihat dia masuk ke dalam rumahnya.

"Untuk membuktikan?" tanya lndiarto.

"Ah, bukan seperti itu."

"Artinya kau tidak percaya seratus persen seperti yang kau katakan tadi?"

"Seratus persen kok."

"Tapi kenapa kau masih meragukan apakah itu memang atau bukan?"

""Ah, kau salah paham. Indi."

Mariska berbalik menuju mobil. Indiarto buru-buru mengikuti.

"Pa, kita jangan jalan dulu, ya?" kata Mariska kepada ayahnya.

"Kenapa? Ada apa?" tanya Pandu dengan mata membesar.

"Nggak. apa-apa, Pa. Cuma ingin memandangi rumahnya Sebentar," sahut Mariska tenang.

"Curiga juga, ya?"

"Ah, nggak."

"Bagus juga sih diamati. Siapa tahu dia keluar lagi."

"Ah, Papa ini."

Pandu tersenyum. Dia lebih merasa mantap bila berada dekat Mariska dibanding Indiarto.

Maxi masuk rumah dengan heran dan was

was. Ia melihat mobil Rico, fasilitas perusahaan, berada di halaman rumah. Tidak biasanya Rico pulang siang-siang.

Baru masuk ke ruang depan ia mendengar jeritan Grace. Lalu ia melihat Rico berlari ke belakang. Kamarnya dengan Grace berada di sebelah ke dalam. Ia segera berlari masuk.

"Maa! Ada apa, Ma?" teriak Maxi.

Rico menoleh sejenak kepadanya tapi tidak menghentikan langkahnya.

Di dalam kamar, mereka melihat Grace berdiri di depan lemari sambil menutup mulutnya dengan dua tangan. Matanya mengekspresikan horor.

"Ada apa, Ma?" tanya Rico.

"Kenapa, Ma?" tanya Maxi.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Grace segera menghambur ke dalam pelukan Maxi lalu menangis tersedu-sedu.

"Uang kita, Pa! Amblas! Hilang!" ia berseru.

Maxi terkejut. Demikian pula Rico.

"Siapa yang ambil? Siapa?" tanya Maxi.

"Pasti si Ivan! Siapa lagi?" seru Grace di sela isak tangisnya.

"Apakah Mama melihatnya mengambil?"

"Nggak, dong! Tapi siapa lagi yang tadi ke

sini? Dia memanfaatkan kesempatan saat aku pingsan," kata Grace dengan gemas.

"Kau pingsan? Kenapa?" Maxi tak mengerti.

Dengan cepat Grace menceritakan kisahnya bersama Ivan tadi. Sementara Rico dilanda kebingungan. Apa betul Ivan mencuri? Selama ia tinggal bersama Ivan, tak pernah ia mengalami kehilangan uang atau barang. Lagi pula Ivan tak perlu mencuri. Gajinya cukup besar untuk seorang bujangan. Ia juga tahu betul Ivan tak suka berjudi atau kegiatan menghabiskan uang lainnya.

Usai mendengar cerita Grace, Maxi termenung.

"Berapa uang yang diambilnya, Ma?" tanya Rico.

"Ada sekitar sepuluh juta, Ric. Itu uang simpanan kami yang berhasil kami bawa dari desa."

Rico sebenarnya ingin mengatakan, kenapa uang itu tidak disimpan di bank saja. Tapi ia berhasil menahan kata-kata itu. Tak ada gunanya menyesali karena sudah kejadian.

Tiba-tiba Maxi tersentak. Ia teringat akan dompet beludru pemberian Nyonya Melia yang

disimpannya di bawah tumpukan pakaiannya. Cukup tersembunyi tapi sebenarnya juga tidak terlalu rahasia. Ia menghambur ke sana diikuti Grace.

Sekarang giliran Maxi yang berteriak. Dompet itu sudah raib!

Giliran Grace dan Rico yang bingung.

Terpaksa Maxi menceritakan asal-usul benda yang hilang itu. Saat bercerita yang sama sekali di luar perkiraan. Memang tak mungkin lagi mengulur waktu.

"Maafkan aku, Ma. Bukan aku tak percaya kepadamu. Tapi aku takut kau akan marah dan menuduh yang bukan-bukan. Padahal aku nggak seperti dulu lagi."

Grace melotot sebentar. Rasanya dia seperti habis jatuh lalu tertimpa tangga. Tapi emosinya yang sempat melonjak segera menurun ketika teringat bahwa itu bukan saatnya untuk bertengkar atau marah-marah. Mereka harus berbuat sesuatu secepatnya.

Rico terkejut mendengar cerita Maxi yang lain lagi.

"Baiklah, Pa. Itu kita bicarakan lagi belakangan saja. Sekarang kita harus mengejar si ivan."

"Belum tentu dia yang mengambil, Ma," Rico menyela.

"Kalau bukan dia, siapa lagi?"

"Kemarin masih ada, Ma?"

"Entah. Nggak lihat."

"Sebaiknya kita datangi saja dia. Kita lihat bagaimana reaksinya. Ingat, Ma. Kita tidak boleh menuduh orang sembarangan meskipun kelihatannya memang begitu. Kan nggak ada saksinya."

"Rico benar, Ma," Maxi membenarkan.

"Aku juga jadi ikut susah. Dompet itu diinginkan oleh putri Nyonya Melia..Bagaimana aku bisa mengatakan dompet itu hilang pas pada saat dia menginginkannya? Wah, aku bisa disangka macam-macam."

Baru sekarang Rico dan Grace menyadari persoalan yang dihadapi Maxi. Cerita yang disodorkannya memang terlalu banyak untuk dicerna. Dan lebih dari itu juga terlalu menggemparkan!



Sementara Rico dan Maxi berencana mencari Ivan, Grace memutuskan tinggal di rumah. Ia melepas kepergian anak dan suaminya di halaman, lalu memutuskan untuk menunggu di

pintu pagar. Perasaannya Kacau, gabungan antara pengalamannya bersama Ivan, kehilangan simpanan selama bertahun-tahun, dan cerita aneh Maxi.

Grace melihat sebuah mobil diparkir di depan rumah tetangga yang akan dilewati Maxi dan Rico. Seorang perempuan muda berdiri bersandar ke mobil itu. Di dalam mobil duduk dua orang lelaki yang tak jelas wajahnya. Perempuan muda itu berdiri tegak menyambut Maxi. Mereka bercakap-cakap. Maxi menunjuk Rico. Lalu Rico dan perempuan itu bersalaman. Kemudian Maxi menoleh ke belakang, lalu menunjuk kepadanya juga. Sepertinya dia mengenalkan dirinya. Perempuan muda itu segera mengangguk hormat kepadanya. Ia menyambut dengan sikap yang sama.

Apakah mereka orang-orang yang barusan diceritakan oleh Maxi? Kenapa mereka di situ seakan menunggu, padahal Maxi tidak menyinggung hal itu? Maxi sedang terlibat dalam petualangan aneh. Mestinya hal itu sesuatu yang menyenangkan. Ataukah sekarang justru jadi menyulitkan? Ia teringat bagaimana shocknya wajah Maxi ketika menyadari kehilangan dompet milik perempuan yang sudah meninggal itu. Kalau perkiraannya tadi benar, tentunya perempuan muda yang sedang berbincang dengan Maxi dan Rico itu adalah putrinya, atau orang yang menginginkan dompet itu. Kalau memang situasi jadi menyulitkan bagi Maxi, tentunya sedikit-banyak gara-gara ulahnya juga. Siapa suruh berkeliling mengamen segala. Akhirnya jadi ketemu hantu! Itulah akibatnya kalau merahasiakan untuk diri sendiri. Jadi ngerinya pun tak bisa dibagi.

Grace mengamati dengan asyik. Ia bisa melihat kekecewaan di wajah perempuan muda itu ketika mendengarkan Maxi bicara. Kemudian seorang penumpang mobil keluar lalu mendekati kerumunan ketiga orang itu. Dia seorang lelaki muda. Perbincangan di antara mereka tak berlangsung lama. Maxi dan Rico segera melangkah pergi. Lelaki dan perempuan muda itu mengamati sejenak tanpa beranjak dari tempatnya. Kemudian perempuan muda itu menoleh kepadanya, bicara sejenak kepada lelaki di sampingnya, lalu melangkah mendekati Grace.

Grace menunggu. Tiba-tiba ia dilanda

keingin tahuan.





IVAN berbaring telentang di kamar kosnya yang tak terlalu luas, sekitar tiga kali empat meter. Di sudut ruangan, kipas angin di atas meja berputar-putar meniupi wajahnya. Ia meletakkan kedua tangan di bawah kepala dan matanya terbuka menatap langit-langit. Ekspresinya memperlihatkan kepuasan. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar.

"Pasti mereka sekarang sedang ribut besar. Rasain! Memangnya kalian pikir aku ini apa? Seonggok sampah yang bisa dicampakkan begitu saja? Aku juga tidak takut akan tuduhan kalian! Ya, aku siap menunggu!"

Kemudian tangannya ditarik dari bawah kepala. Ia meraba ke bawah bantal. Dari situ dikeluarkan sebuah dompet hitam kecil dari kain beludru. Ia mengusap-usapnya. Ujung ujung jarinya merasakan kelembutan kain,

membuatnya keenakan. Ia perlu memaksa diri untuk menghentikan jari-jarinya terus mengusap tanpa henti. Matinya terus-terusan.

"Lucu juga si Oom menyembunyikan dompet ini di bawah bajunya," ia bicara sendiri lagi.

"Kenapa mesti ditaruh di situ? Pasti kenang-kenangan dari cewek. Masa lelaki punya dompet beginian. Pasti cewek itu bukan si Tante. Kabarnya dulu dia mata keranjang."

Ia membuka dompet dengan penuh keingintahuan. Sejak mengambilnya ia belum sempat memeriksa. Uang kertas yang berlipat-lipat terdapat di dalamnya. Ia memiringkan tubuh lalu menjatuhkan isi dompet di sampingnya. Ada empat buah lipatan sedang satu cuma terlipat dua. Masing-masing bernilai dua puluh ribu.

"Yaah..., cuma seratus ribu. Kenapa pula uang ini dilipat-lipat seperti ini? Aneh juga si Oom itu. Sableng kali. Apa uang ini juga barang kenangan? Macam-macam aja. Siapa normal, siapa abnormal? Tunggu aja. Entar duit ini gua beliin bakso dan ketoprak. Sampai kenyang deh. Rasain!"

Ia berpikir sejenak lalu memasukkan kembali uang yang masih berbentuk lipatan ke dalam

dompet. Kemudian ia tertegun sejenak. Hidungnya mengendus-endus.

"Ih, bau apaan ini, ya? Bau apa wangi?"

Ia mendekatkan dompet itu ke hidungnya lalu kembali mengendus-endus.

"Oh, parfum rupanya. Aneh baunya. Kayak ada campuran dupanya. Aneh juga selera si Oom!"

Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada ketukan keras di pintunya.

"Mas! Maaas! Ada yang nyari tuh!"

Itu teriakan pembantu rumah tangga di rumah kosnya.

"Yaaa...! Nanti saya turun!" ia berseru.

Ia melompat bangun. Mula-mula dompet itu ia surukkan ke bawah bantal, tapi kemudian diambilnya lagi. Lalu diangkatnya kasur dan ditaruhnya di atas papan ranjang. Ketika kasur itu diletakkannya lagi di atas papan, dompet itu nyeplos jatuh ke lantai. Ia memungutnya. Saat akan meletakkannya lagi di tempat yang sama mendadak terpikir, bagaimana kalau Rico dan rombongannya memutuskan untuk menggeledah kamarnya. Biasanya tempat tidur merupakan salah satu tempat yang sering dibongkar. Di

bawah bantal, di dalam bantal, di bawah kasur. di kolong Jelas benda itu tak bisa ia letakkan sembarangan. Berbeda dengan uang yang sudah ia setorkan sejak tadi ke bank terdekat. Padahal penemuan benda itu di kamarnya bisa menjadi bukti bahwa ia memang telah mencuri. Dasar dompet sialan. Entah kenapa ia sampai mengambil dompet itu. Padahal sejak awal ia tidak pernah menyangka bahwa dompet itu berisi uang banyak. Dompet sekecil itu paling-paling berisi uang receh. Mana mungkin berisi uang banyak, apalagi lembaran uang besar. Tak mungkin orang seperti Maxi menyimpan uang di dompet perempuan. Ia yakin itu memang kepunyaan Maxi karena berada di bawah tumpukan pakaian Maxi.

Akhirnya tanpa pikir panjang ia menyelipkan dompet itu ke balik celana dalamnya! Ia harus buru-buru sebelum orang-orang yang marah dan kehilangan kesabaran itu menyerbu masuk. Ia juga harus tenang. Cuma ketenangan yang bisa menyelamatkannya.

Masih dengan bercelana pendek dan kaus oblong ia keluar dari kamarnya. Justru dengan pakaian seperti itu mereka takkan berpikir untuk menggeledahnya.



Mariska berhadapan dengan Grace.

"Selamat siang, Bu," sapa Mariska dengan hormat. Lalu ia mengulurkan tangannya.

"Nama saya Mariska. Panggil saya Riris saja."

"Selamat siang," sahut Grace, menerima uluran tangan.

"Saya Grace. Ayo, silakan masuk."

"Nggak usah, Bu. Terima kasih. Biar di sini saja. Jadi Ibu sudah tahu kisah pertemuan saya dengan Pak Maxi?"

"Ya. Tapi saya baru saja diceritakan tadi waktu dia pulang. Itu pun belum banyak. Habis suasananya lagi gempar sih. Apa tadi dia cerita bahwa saya barusan kemalingan?"

"Ya. Katanya barang yang hilang termasuk dompet yang saya ingin lihat. Apa Ibu sudah tahu juga mengenai dompet itu?"

Grace mengangguk.

"Sudah. Sayang saya tidak pernah melihatnya. Dia umpetin sih. Takut saya cemburu kali. Padahal dengan berbuat begitu dia malah menyusahkan diri sendiri. Lihat saja sekarang."

Mariska tersenyum mendengar gerutuan itu. Dia menyukai perempuan ini pada pandang

pertama. Mestinya tidak ada alasan bagi Maxi untuk tidak mempercayai Grace. Mungkinkah memang ada? Ia tahu, ibunya memang punya pesona yang besar.

"Mau menunggu suami saya kembali, Ris?" tanya Grace. Ia merasa tak enak melihat senyuman Mariska.

"Kalau boleh, Bu."

"Oh, tentu saja boleh. Tapi kan lebih enak di dalam."

"Di sini bisa kelihatan munculnya, Bu. Mungkin nggak lama, ya?"

"Mudah-mudahan."

"Memangnya kenapa orang itu yang dicurigai mencuri, Bu?"

"Waktu Ibu pingsan, dia yang menemani. Tak ada yang tahu apa saja yang dilakukannya saat itu."

"Kenapa Ibu pingsan?"

"Entahlah. Kepala tiba-tiba pusing terus tidak ingat apa-apa lagi."

"Memangnya dia itu siapa?"

Grace tidak ingin bercerita terlalu banyak mengenai Ivan. Itu akan memalukan diri sendiri.

"Dulu sebelum Ibu dan Bapak ke sini, dia kos di sini. Anak Ibu kan sendirian."

"Oh, begitu. Bapak memang cerita bahwa Bapak dan Ibu belum lama tinggal di Jakarta."

"Ya. Apakah dia bercerita juga bagaimana kami berdua bisa selamat tiba di sini?"

"Nggak tuh, Bu. Ceritain dong."

Melihat wajah Mariska yang terang-terangan memperlihatkan keingintahuan, muncul keraguan di hati Grace. Gadis itu belum dikenalnya. Mengapa harus bercerita banyak-banyak? Ia juga tidak tahu apakah Maxi akan senang bila soal itu diceritakan. Selama ini yang tahu tentang itu hanya Rico. Jadi bila sekalinya cerita itu sampai ke telinga orang luar, maka bisa dipastikan akan tersebar ke mana-mana. Siapa bisa menjamin mulut seseorang yang tidak dikenal?

Mariska menyadari keraguan Grace. Ada sesuatu dalam diri perempuan ini yang mencegahnya untuk terus mendesakkan keingintahuannya seperti yang ia lakukan terhadap Maxi.

"Kalau Ibu keberatan bercerita, tak usah, Bu."

"Ya. Nggak apa-apa, kan? Kalau Bapak mau

cerita, biar dia saja yang bercerita. Saya khawatir dianggap lancang olehnya."

Mariska mengangguk. Ia menyentuh lengan Grace untuk menenteramkan.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya mengerti, Bu. Tidak apa-apa. Seharusnya sayalah yang minta maaf karena kepengin tahu terlalu banyak."

"Saya juga ngerti, Ris. Kau telah melewati masa sulit."

"Ya, mengerikan sekali semua itu, Bu. Mestinya semua itu telah berada di belakang meskipun tidak bisa dilupakan. Tapi sekarang kembali berada di depan."

"Gara-gara Maxi?"

Mariska menggeleng kuat-kuat.

"Ah, bukan. Jangan bilang begitu, Bu. Pak Maxi tidak melakukannya dengan sengaja, bukan? Dia terbawa ke dalam situasi ini tanpa kehendaknya. Barangkali bukan sekadar kebetulan. Barangkali memang sudah diatur seperti itu. Harus begitu, Bu. Jadi mestinya saya berterima kasih kepada Bapak. Terus terang, tadinya saya sulit percaya pada ceritanya. Habis begitu aneh sih. Tetapi justru karena itu saya harus percaya. Bapak tak mungkin mengarangnya. Boleh saya

tahu, Bu. Apakah dia memang punya bakat untuk hal-hal yang sulit dijelaskan?"

Grace mengangguk dengan tegas.

"Ya. Tapi rasanya, yang begitu terjadi baru-baru saja. Dulu-dulunya nggak."

"Ibu tentunya belum tahu banyak mengenai kisah ibu saya."

"Belum. Bapak baru cerita sedikit. Cuma dikatakannya, bahwa Nyonya Melia yang ditemuinya selama lima Kamis berturut-turut itu sebenarnya sudah almarhum. Dia menyanyi untuknya lalu mendapat dua puluh ribu. Pada hari kelima ia diberi uang beserta dompetnya. Semua itu disimpannya sendiri sampai lenyap tadi diambil orang bersama uang simpanan kami. Kau ingin melihat dompet itu karena kaulah yang memasukkannya ke dalam saku gaun ibumu setelah berada di dalam peti mati."

"Betul, Bu. Mungkin nanti Bapak bisa cerita lebih banyak lagi. Bersama Bapak tadi kami sudah melalui saat-saat yang menggemparkan di rumah kami yang terlantar itu."

Grace membelalakkan matanya. Saat-saat yang menggemparkan? Wah, rasa ingin tahunya melonjak. Ia lupa sejenak akan uang simpanannya yang sudah melayang.

Ketika menyadari senyum Mariska, ia berusaha menyembunyikan perasaan itu dari wajahnya. Terlalu ingin tahu itu tidak sopan.

"Saya harap Maxi tidak membangkitkan kembali kesedihan kalian sekeluarga," katanya dengan simpati.

"Tahukah Ibu bagaimana ibu saya meninggal?" tanya Mariska tiba-tiba

Grace tertegun sejenak. Lalu ia menggeleng.

"Tidak."

"Dia mati dibunuh!" kata Mariska dengan emosi.

"Oh!" Grace memekik terkejut. Bulu kuduknya berdiri.

Dengan cepat, emosi Mariska menurun. Ia menepuk pundak Grace.

"Maaf, saya telah mengejutkan Ibu."

"Tidak apa-apa. Saya sedih dan ngeri. Benar-benar menyesal. Seharusnya kenangan itu tidak dibangkitkan kembali. Mestinya Maxi tidak..."

"Ah, jangan menyesal lagi, Bu. Sudah jalannya seperti itu. Apakah Bapak tidak cerita bahwa ibu saya memerlukan bantuannva?"

Grace bengong. Ia menggeleng.

"Di akhir pertemuan mereka, ibu saya meminta Bapak datang lagi Kamis berikut karena ada yang ingin dibicarakannya, yaitu mengenai bantuan yang dimintanya. Ternyata Kamis itu Bapak tidak bisa datang karena sakit. Itu sebabnya dia datang hari ini, yaitu tadi. Akibatnya dia bertemu dengan kami. Kalau Bapak tidak sakit mungkin dia tidak bertemu dengan kami. Atau ada cara lainnya lagi. Entahlah. Yang penting satu hal itu tadi. Ibu saya minta bantuan Bapak. Tapi apa?"

Grace masih saja bengong. Cerita itu lebih mengejutkan lagi.

"Aneh memang, ya, Bu? Ibu saya kan sudah almarhum. Perlu bantuan apa sih? Mintanya sama Bapak lagi, orang yang tak pernah dikenalnya. Kenapa nggak minta sama saya saja? Kan saya ini anaknya. Saya sangat mencintainya," kata Mariska, seperti menggugat.

Grace begitu terharu hingga matanya menjadi basah. Spontan ia menarik Mariska ke dalam pelukannya. Mariska membalas pelukan. Ia menyukai perlakuan itu.

"Kau gadis yang tabah. Ris. Saya kira Bapak

cuma diminta jadi perantara dan yang benar-benar bisa membantunya adalah kau. Siapa lagi?" kata Grace di balik punggung Mariska.

Mariska melepaskan pelukan lalu menatap wajah Grace. Ucapan Grace itu terasa ada benarnya. Ia merasa terhibur juga tersanjung.

"Sungguhkah Ibu berpikir begitu?" tanyanya dengan wajah cerah.

Grace mengangguk.

"Oh ya. Tentu saja. Bapak bisa membantu apa kalau dia tidak tahu apa-apa tentang keluargamu atau orang-orang di sekitarmu?"

"Mulanya Bapak mengira ia diminta bernyanyi. Tapi setelah tahu bahwa ibu saya sudah tiada ia sadar bahwa itu tidak mungkin."

Mereka jadi merasa akrab. Mariska mau diajak duduk di teras. Lama-lama terasa pegal berdiri terus-terusan. Lagi pula orang-orang yang mereka tunggu belum juga kelihatan batang hidungnya.





setelah mondar-mandir beberapa saat lamanya, dan kekesalan Maxi dan Rico sudah sampai pada puncaknya, akhirnya Ivan muncul. Ia kelihatan kucel dan kuyu dalam celana pendek dan kaus belel, rambutnya kusut dan wajahnya mengantuk.

"Ada apa? Bagaimana dengan Tante? Kuharap bukan kabar buruk," ia nyerocos sebelum Maxi dan Rico bersuara.

Maxi dan Rico berpandangan sejenak. Mereka sudah sepakat bahwa yang akan berinisiatif bicara adalah Rico.

"Mama baik-baik saja. Bukan soal itu, Van. Ada yang mau kami tanyakan."

"Apa itu?" tanya Ivan dengan wajah tak berdosa.

Maxi melotot dengan gemas.

"Mama kehilangan uang dan Papa kehilangan dompet yang disimpan di dalam lemari. Kehilangan itu baru disadari Mama tadi. Ia menyangka kau pelakunya. Cuma kau yang ada di sana waktu itu dan kau punya kesempatan saat Mama tidak sadar."

Rico mengatakannya tanpa basa-basi. Sambil bicara ia mengamati wajah Ivan.

Ivan diam sejenak. Ia tampak terkejut dan terpukul. Benar-benar akting yang bagus. Lalu

wajahnya terlihat sedih. Bahkan matanya berair!

"Aduh! Teganya kau menuduhku! Teganya ...," ia mengeluh.

Rico memalingkan muka. Ia tak ingin melihat wajah Ivan. Sekarang ia merasa sebal melihat sikap memelas Ivan. Padahal dulu ia mudah sekali jatuh iba bila Ivan melakukan hal serupa.

"Cuma kau yang berada di sana," kata Rico dengan suara tegas.

"Apa ada saksi mata?"

"Tidak ada."

"Nah, kau tidak punya dasar kuat untuk menuduh."

"Kalau bukan kau siapa lagi? Ayolah, Van. Kembalikan saja. Kita selesaikan ini dengan baik-baik. Kasihan orangtuaku yang sudah menabung bertahun-tahun dari usaha warung di desa. Uang itu kan tidak seberapa buatmu. Tega kau melakukannya. Dan dompet itu pun barang kenangan. Kembalikanlah," Rico berkata dengan nada memohon. Ia tahu sulit memaksa Ivan karena memang tak ada yang melihatnya mengambil barang-barang itu.

Tiba-tiba Ivan jadi diingatkan akan dompet

di perutnya yang terasa dingin menempel. Ah, kenapa semakin dingin? Ia menggeliat-geliat. Dompet itu malah semakin jatuh ke sebelah bawah. Kini menempel pada alat vitalnya! Hiii..., ia menyeringai.

Rico dan Maxi terheran-heran.

"Jangan main-main, Van. Ayo, kau ambil barang itu atau tidak?" tanya Rico kesal.

Sekarang dompet itu menimbulkan rasa gatal. Ivan tidak tahan lagi. Ia menggaruk!

Rico dan Maxi tertegun. Wajah mereka jadi panas. Perbuatan seperti itu tentu saja amat tidak sopan. Mereka merasa dilecehkan.

"Hei! Apa-apaan sih kau ini?" bentak Rico.

Ivan cuma menyeringai. Ia masih saja menggaruk. Besar sekali keinginan untuk mengeluarkan dompet itu, tapi ia masih cukup menyadari risikonya. Tuduhan sebagai pencuri, berat sekali akibatnya. Mustahil mengaku bahwa ia cuma mengambil dompet. Mengambil yang satu berarti mengambil yang lainnya juga. Ia memang tak ingin mengembalikan.

Rico menyambar leher kaos Ivan. Satu tangan Iagi dikepalkan ke depan wajahnya.

"Jangan main-main sama aku, Van!" ia mengancam

"Maaf, Ric. Aku merasa gatal. Sungguh gatal. Bukan melecehkan," kata Ivan dengan nada mengiba.

Perasaan gatal itu mereda. Mungkin karena garukannya terlalu keras.

Rico belum melepaskan cengkeramannya.

"Kamu ambil atau tidak?" tanyanya" lagi.

"Tentu saja tidak. Memangnya aku maling? Sudah berapa lama aku tinggal sama kau? Apakah selama itu aku pernah mencuri barangmu? Buat apa sih? Seperti katamu tadi aku tidak kekurangan duit."

Rico melepaskan kaos Ivan.

"Mana ada maling mengaku sih?" Maxi nimbrung. Ia khawatir Rico melepaskan Ivan begitu saja.

Ivan mengarahkan tatapannya kepada Maxi. Matanya menyorotkan kemarahan. Tetapi Maxi tidak melepaskan tatapannya. Akhirnya Ivan lebih dulu berpaling.

"Kalau kau kembalikan semuanya, kami akan menyudahi urusan ini sampai di sini," kata Rico.

"Bagaimana aku bisa mengembalikan kalau

aku tidak mengambil," sahut Ivan dengan tegar. Bila dompet itu tidak mengganggu perut dan alat vitalnya ia bisa lebih konsentrasi dengan aktingnya. Untunglah saat itu si dompet tidak berulah. Mungkin sekarang kulitnya sudah beradaptasi dengan sentuhan itu.

Rico berpandangan sejenak dengan Maxi

"Kami akan menggeledah kamarmu," kata Rico.

"Apa kau bawa surat penggeledahan?"

Rico melotot.

"Baik, baik. Tapi janji, bila tidak ditemukan kalian jangan mengganggu aku lagi."

"Tidak ada janji!"

Terpaksa Ivan mengajak kedua orang itu ke kamarnya. Ia gentar juga menghadapi sikap keras Rico. Biar sajalah mereka menggeledah kamarnya. Mereka toh tidak akan menemukan apa-apa.



***

Pandu dan Indiarta sangat kesal menunggu. Tadi katanya cuma sebentar. Sekarang sudah lewat sejam Iebih. Bahkan Mariska pun tidak kelihatan. Sedang dua orang lelaki yang katanya akan mencari maling juga belum muncul.

Pandu teringat pada janjinya dengan Don

Tamba, detektif swasta tanpa lisensi itu. Ia khawatir tak bisa memenuhi waktu yang dijanjikan. Lagi pula ia ingin melihat dulu perkembangan situasi dan informasi yang diperoleh Mariska. Sampai saat itu tampaknya Maxi adalah orang yang bisa dipercaya. Tapi ia tidak ingin membatalkan janji itu. Ia percaya Don bisa memberikan lebih banyak informasi perihal Maxi dibanding apa yang diceritakan Maxi sendiri. Ia tidak percaya bahwa seseorang, siapa pun itu, mau membuka dirinya sampai detail kepada orang lain, baik yang sudah lama dikenal maupun yang baru saja kenal. Ya, apalagi orang yang baru dikenal. Memang bisa saja Maxi berkata jujur tentang dirinya. Tapi bagaimana dengan yang tidak dikatakannya?

"Bagaimana kalau kau jenguk Riris, In?" katanya kepada Indiarto yang sedang terkantuk-kantuk di jok belakang. Bisa-bisanya anak ini mengantuk di dalam situasi seperti itu.

"Oh , eh..., ada apa, Pa?"

"Pergilah jenguk Riris. Lagi ngapain sih

dia?"

"Cuma jenguk saja, kan? Nggak ikut nimbrung? Soalnya malu. Pa."

"Iya. Pokoknya lihat saja. Jangan-jangan dia disandera."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Indiarto tertawa. Lalu ia keluar dan berjalan lambat-lambat.

Setelah, Indiarto berlalu, buru-buru Pandu mengambil telepon genggamnya. Ia menghubungi Don Tamba untuk mengundurkan waktu perjanjian dari sore menjadi malam hari. Don tidak keberatan. Pasti dia sudah merasa beruntung karena aku tidak membatalkan janji, pikir Pandu.

Kedua anaknya tidak pernah mengetahui bahwa ia menggunakan jasa seorang detektif swasta. Don sudah dipesannya agar tidak memberitahu atau menyampaikan pesan apa pun kepada anak-anaknya. Ia mengkhawatirkan reaksi Mariska. Sedang Indiarto tidak begitu dicemaskannya. Tapi bila Indiarto tahu, hampir bisa dipastikan Mariska pun akan tahu.



***



Ivan duduk di sudut kamar, menyaksikan Maxi dan Rico menggeledah lemari dan tempat tidurnya. Semua sudah dibolak-balik tapi tentu saja tidak menemukan apa-apa. Yang berjatuhan cuma kapuk.

Diam-diam Ivan tersenyum-senyum. Tetapi

mendadak ia menyeringai lagi. Selama beberapa saat ia sempat melupakan dompet di balik celana dalamnya. Sekarang dompet itu kembali "mengingatkannya". Ia menggaruk lagi. Sekarang dengan posisi duduk, pada saat kedua orang tidak memperhatikan, ia bisa diam-diam merogoh dompet itu dengan menyeploskan tangan lalu memindahkannya ke tempat yang lebih aman, yaitu diselipkan di tengah karet celana. Walaupun ia berhasil melakukannya, tapi rasa gatal itu menetap. Maka ia terus saja menggaruk.

"Eh, kenapa sih kamu? Kayak monyet saja. garuk sana-sini!" seru Rico dengan kesal karena tidak berhasil menemukan barang yang dicari. Sejak awal ia sudah pesimis. Ivan mempunyai cukup banyak waktu untuk menyembunyikannya. Mereka sudah terlambat untuk melakukan penggeledahan. Itu sebabnya Ivan tidak keberatan digeledah. Sekarang ia sudah yakin memang Ivanlah pelaku pencurian itu. Tadi ia sempat melirik kepada Ivan dan melihatnya tersenyum. Biarpun tak ada saksi mata yang bisa memperkuat tuduhan, dan reputasi lvan sebelumnya baik-baik saja, tapi hal-hal itu tidak

menjamin ia tidak bersalah. Ia punya motivasi untuk melakukan hal itu, yaitu membalas dendam.

Akbirnya mereka berdua berhenti berupaya. Tidak ada lagi tempat yang bisa dibongkar di ruangan sekecil itu.

"Tidak ketemu?" ejek Ivan.

"Biarpun begitu, bukan berarti kau bebas dari sangkaan!" sahut Rico.

"Hati-hati menyimpan dompet itu, Van," tambah Maxi.

"Itu barang milik seorang yang sudah meninggal dan sempat berada di liang kubun"

Ivan terkejut sampai hampir terjungkal dari kursinya.

Kedua orang melihat reaksi Ivan dan merasa puas.

"Tak salah lagi. Memang dia pelakunya," kata Maxi saat mereka menuruni tangga.

"Kukira juga begitu. Pa."

ivan cepat-cepat mengunci pintu lalu mengeluarkan dompet dari balik celana dalamnya. Ia



memeriksa perut dan bagian bawahnya. Betapa terkejutnya ketika ia melihat kulitnya di sekitar tempat itu dipenuhi ruam-ruam merah dan bentol-bentol seperti kalibata. Tak mengherankan kalau ia kegatalan. Tapi hal itu membuat ya lega. Itu cuma reaksi alergi kulitnya terhadap! kain beludru. Dan tak ada hubungannya dengan soal-soal gaib seperti yang mau diusik oleh Maxi. Pemiliknya orang yang sudah mati? Huh, biar saja! Apa ucapan seperti itu bisa membuat ia takut? Betapa banyaknya barang di dunia yang bekas milik orang mati. Tak ada orang mati yang bisa membawa serta barang miliknya.

"Kami tidak berhasil, Ris. Maaf. Saya menyesal sekali," kata Maxi kepada Mariska di rumahnya, di depan Grace, Rico, dan Indiarto.

"Bisakah saya tahu namanya?" tanya Mariska.

Maxi berpandangan dengan Rico. Maxi tak ingin memberitahu tanpa persetujuan Rico.

Tetapi Rico tidak keberatan.

"Namanya Ivan. Tinggalnya di rumah kos bertingkat di ujung jalan ini."

"Terima kasih. Mas."

"Panggil saja Rico."

"Dan. Saya Riris."

"Saya Indi," Indiarto ikut-ikutan, setengah meledek.

Lalu mereka pamitan dengan janji akan tetap berhubungan.

"Tadi kami bicara banyak," ungkap Grace.

"Riris cerita tentang pertemuan kalian. di rumahnya tadi. Dia juga cerita tentang kasus pembunuhan ibunya."

"Wah, kasus ini telah membuat kau ikut gempar, ya, Ma? Nggak marah karena aku menyembunyikan dompet itu, kan?" gurau Maxi.

"Mau marah juga percuma. Tidak ada gunanya kita berantem sekarang. Kita sama-sama kehilangan," sahut Grace dengan jiwa besar.

"Terima kasih, Ma. Apa saja yang diceritakan Riris?"

Grace mengulang cerita Mariska. Sebagian besar sudah diketahui Maxi. Tapi ia memberi kesempatan kepada Rico untuk mengetahui lebih jelas permasalahannya.

"Kisahnya sungguh menggemparkan. Nggak sangka aku punya ayah yang luar biasa."

Rico menepuk pundak ayahnya.

Maxi tidak tahu apakah ia patut merasa bangga untuk komentar itu.

"Mulai besok aku akan berhenti mengamen," katanya.

Rico dan Grace berpandangan. Mereka tersenyum.



***



"Jadi dia tidak mau mengaku, ya? Mana mau dia mengaku!" sungut Pandu.

"Bikin repot orang saja."

"Mestinya Papa ikut serta supaya nggak kesal," kata Mariska.

"Masa aku ikut-ikutan kamu."

"Sudah, Pa. Jangan kesal. Aku akan berusaha mendapatkan dompet itu!"

"Kau?" tanya Pandu.

"Ya."

"Bagaimana caranya?"

"Akan kupikirkan. Nama dan tempat tinggalnya sudah kuketahui."

"Tapi belum pasti dia yang mengambil, kan? Dia baru tersangka," kata Indiarto.

"Cuma dia yang berada di rumah itu pada saat Ibu Grace pingsan. Dia leluasa berbuat apa saja."

Mariska mengatakannya dengan begitu bernafsu hingga Indiarto yang duduk di depan. di samping ayahnya yang mengemudi, menoleh ke belakang. Tapi Mariska tidak membalas tatapan adiknya. Ia memandang ke luar jendela. Wajahnya membuat Indiarto merinding. Tentu ia sudah cukup mengenal kakaknya itu sebagai orang yang keras hati. Tapi ekspresinya sekarang bukan sekadar memperlihatkan kekerasan hatinya. Ada sesuatu yang lain yang sulit dipahami olehnya!

**

DON TAMBA adalah pria setengah baya bertubuh kecil. Tingginya sekitar seratus lima puluh sentimeter dan beratnya empat puluh lima kilogram. Perbandingan yang cukup ideal. Itu membuat ia bisa bergerak dengan gesit. Langkahnya sangat cepat dan bisa berlari seperti kijang. Kepalanya setengah botak. Wajahnya ramah tapi menampakkan kecerdasan karena sorot matanya yang tajam dan jernih. Kemampuan penglihatannya tergolong luar biasa karena pada usia setengah abad, ia belum membutuhkan kacamata, bahkan untuk membaca. Kesehatannya prima. Ia pun pintar bicara, pintar mengekspresikan simpati dan empati. Semua itu modal utamanya untuk menunjang profesinya.

Sebenarnya pekerjaan sebagai pencari informasi bukanlah pekerjaan utama atau penunjang

hidup dirinya dan keluarga. Karena itu ia tidak terlalu ngotot dalam usaha mencari klien sebanyak-banyaknya. Ia juga suka memilih-milih klien. Mana yang disetujuinya untuk dibantu dan mana yang ditolak dengan memberi alasan kemampuannya terbatas. Karena itu ia tidak populer di kalangan orang yang membutuhkan jasa profesi ini. Orang yang menghubungi Don biasa mendapat informasi dari orang yang pernah ditolongnya. Promosi perihal dirinya beredar dari mulut ke mulut.

Don bukanlah mantan polisi atau reserse hingga punya kemampuan mengendus. Tetapi ia punya banyak kenalan polisi dan reserse, karena pernah beberapa kali membantu mereka. Khusus untuk mereka, ia tidak minta bayaran. Tapi imbalan untuknya adalah ia bisa mendapat infomasi dari mereka mengenai hal-hal yang ia butuhkan dan hanya bisa diberikan oleh mereka. Polisi kadang-kadang membutuhkan orang seperti dirinya karena status dan penampilan Don tidak membuat masyarakat segan. Banyak orang tidak suka ditanyai polisi walaupun mereka punya jawaban bagi hal-hal yang perlu ditanyakan. Biasanya mereka takut mendapat kesulitan. Tetapi Don yang lincah dan pintar bicara dengan akalnya yang segudang bisa mendekat dengan mudah.

Dari para polisi kenalannya itu, ia banyak belajar. Ia memahami manusia pada umumnya dari pengalaman dan pergaulan. Kasus-kasus yang pernah ditanganinya juga merupakan objek pembelajaran. Kehidupannya sendiri adalah suatu proses pembelajaran yang tak habis-habis. Setiap hari ada saja yang bisa dipelajari. Ia percaya selama hidup orang tak mungkin berhenti belajar. Perkecualian adalah kalau hidup sudah tak punya makna misalnya orang yang sudah tak berdaya karena penyakit fatal. Apa gunanya belajar kalau hasilnya tak bisa digunakan?

Jadi ia tidak pernah belajar secara formal untuk menunjang profesinya itu, misalnya psikologi atau kriminologi. Pendidikan formalnya adalah perbankan. Ia mantan karyawan bank pemerintah. Sewaktu bank itu akan dimerger, ia bersama rekan-rekannya ditawari pensiun dini dengan mendapat pesangon lumayan. Setelah berunding dengan Anie, istrinya, ia menerima tawaran itu.

Anie bukan pekerja kantoran seperti dirinya. Tetapi Anie juga bekerja di rumah. Ia punya usaha katering dan kue yang sudah dijalani selama dua tahun sebelum suaminya pensiun. Anie pintar memasak dan membuat kue. Dalam dua tahun itu usahanya berkembang sedikit demi sedikit. Karyawannya bertambah seiring bertambahnya langganan.

Uang pesangon yang diterima Don digunakan untuk memperluas usaha Anie. Mereka membeli rumah tetangga yang sudah ditawarkan kepada mereka. Dengan demikian tempat usaha Anie bisa lebih luas dan bisa menyediakan tempat tinggal bagi karyawan penting mereka. Mereka juga membeli mobil boks yang bisa dikhususkan untuk mengantar pesanan. Tadinya mereka menggunakan mobil Kijang yang merupakan mobil pribadi satu-satunya. Maka habislah pesangon yang diperoleh Don. Tapi ia merasa melakukan hal yang tepat.

Selanjutnya ia membantu usaha Anie. Ia mengerjakan pembukuan, menangani karyawan. menjadi sopir, dan segala sesuatu di luar masak-memasak. Lama-lama ia merasa bosan tapi berusaha bertahan. Anie tidak tahu

tentang hal itu karena Don menyembunyikannya dan ia sendiri terlalu sibuk. Sampai kemudian Don memperoleh kasusnya yang pertama secara kebetulan.

Ia bertemu dengan kawan lama, seorang reserse, yang datang untuk memesan masakan katering dari Anie untuk suatu acara selamatan para polisi. Sondang, nama kawan itu adalah sahabatnya ketika sekolah menengah. Persahabatan itu tetap berlanjut setelah mereka punya profesi masing-masing dan berkeluarga, tetapi kadarnya sudah tidak seperti dulu lagi. Masing-masing sudah terlalu sibuk dengan urusan pribadi dan pekerjaan hingga jarang bertemu.

Mereka pun mengobrol banyak. Kepada Sondang, Don menyampaikan suasana hatinya yang tidak pernah ia utarakan kepada Anie.

"Mestinya kau terus terang saja bahwa kau sudah jenuh dengan pekerjaan ini. Daripada kau simpan sendiri lalu menjadi stres. Itu malah bisa merepotkan nantinya," usul Sondang.

"Aku malu, Dang. Awalnya aku memang bersemangat membantu. Aku senang. Tapi sekarang kok jadi melempem."

"Bilang saja begitu. Dia kan tidak menuntut

kau untuk terus membantunya."

"Memang sih, tapi aku saja yang nggak enak. Sudah nggak kerja kok nggak mau membantu."

"Ah, itu sih perasaanmu sendiri saja. Kukira Anie nggak seperti itu. Mungkin dia malah senang jadi bos sendiri."

Don terkejut.

"Dia masih tetap jadi bos kok. Aku cuma pembantu."

"Biar bagaimanapun dia tak mungkin menganggapmu sebagai pembantu atau karyawan. Kau adalah suami dan sebagian modal berasal darimu."

"Kalaupun dia nggak apa-apa, aku mesti mikirin juga apa yang mau kukerjakan jika menganggur. Masa tidur-bangun-makan? Malu dong!"

"Jadi maumu kerja apa, sih? Kantoran atau dagang atau apa?"

"Entahlah. Pendeknya suatu kegiatan yang bermanfaat."

"Dengan imbalan besar?"

DOn menggeleng.

"Tanpa imbalan pun tak aPa. Asal menyenangkan."

"Wah, apa, ya?"

Sondang berpikir serius.

"Tadi katamu, tanpa imbalan pun tak apa?"

"Ya. Asal menyenangkan buatku."

"Bagaimana kalau membantu aku? Kau suka pekerjaan menyelidik? Aku ingat dulu kau suka sekali membaca buku detektif. Kita selalu membahasnya bersama sebelum akhir ceritanya kita ketahui. Analisamu bagus. Dan kau selalu berhasil menebak siapa pelaku pembunuhnya. Aku tidak. Padahal yang kemudian berhasil jadi detektif sungguhan adalah aku. Bukan kau."

"Itu karena tubuhku terlalu pendek. Aku harus tahu diri dong. Polisi yang badannya kecil pastilah tidak membuat penjahat takut. Biar pakai kumis pun tetap saja imut-imut."

Mereka berdua tertawa mengenang masa lalu yang indah.

"Tapi kau pasti main-main," kata Don kemudian.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sama sekali tidak. Aku tak mungkin mainmain dalam soal seperti itu."

"Suka sih suka. Tapi masalahnya, aku takut nanti aku jadi batu sandungan buatmu," Don tertawa geli.

Sondang tertawa juga.

""Ah. itu tak mungkin. Lihat dulu batunya kayak apa, dong. Dan

yang jalan itu siapa."

"Kenapa kau jadi punya ide seperti itu, Dang? Apa yang kau lihat dariku?"

"Masih segar dalam ingatanku bagaimana kau dulu bermain sandiwara di sekolah. Kau main bagus sekali. Aktingmu hebat."

Don terperangah. Ia merenungkan kembali masa lalunya sejenak lalu tertawa geli.

"Kau belum lupa dulu itu aku berperan sebagai apa?"

"Tentu saja tidak."

"Aku jadi penipu!"

"Justru itu. Kau bagus sekali. Banyak yang terkesan. Sampai kemudian para gurujadi ngeri padamu. Jangan-jangan kau suka menipu sungguhan."

Mereka terbahak.

"Tapi apa hubungannya dengan tawaranmu tadi? Kau tidak berniat menyuruhku menipu, kan? Kalau itu sih, sori aja Dang. Aku nggak mau."

"Wah, jangan mikir jelek dulu, Don. Memang sih ada kemungkinan kau perlu juga melakukan soal tipu-menipu itu. Tapi yang ini untuk kebaikan."

"Mana ada orang menipu untuk kebaikan."

"Ada. Tujuannya untuk mendapat informasi yang perlu bagi kebenaran."

Don ternganga.

"Kau pintar bicara, Don. Gaya bahasamu bagus. Wajahmu tak berdosa."

"Tapi aku tidak memahami lapangan."

"Kau akan segera paham. Orang kan bisa belajar. Nanti kuajak kau ke sana-kemari. Yang penting kau suka atau nggak. Kalau nggak suka ya nggak masalah."

Don tertarik akan ide itu.

Kemudian ia menyampaikannya kepada Anie. Ternyata Anie mendukung ide itu meskipun pada mulanya ia khawatir kalau kalau pekerjaan seperti itu mengandung bahaya. Tapi Sondang menjamin.

Don belajar banyak dari Sondang. Ia membuka mata dan telinganya lebar-lebar. Karena pada dasarnya ia suka belajar dan menganggap hidup ini adalah proses belajar, maka ia tidak mengalami kesulitan dalam lingkungan barunya. Bahkan sepertinya ia tidak merasa asing lagi.

Sondang tak membiarkan Don berlama-lama di sisinya. Ia tahu kalau terlalu lama, orangorang di luar institusinya bisa mengenali wajah Don sebagai wajah polisi. Itu tak boleh terjadi. Don adalah orang sipil dengan citra lembut tanpa kekerasan. Untungnya Don memiliki wajah yang biasa-biasa saja, tanpa sesuatu keunikan atau ciri khusus padanya. Sepertinya ada banyak orang yang berwajah seperti dirinya. Ia tidak mencolok. Apalagi tubuhnya yang kecil membuat ia selalu tidak kelihatan di balik orang lain.

Setelah lepas dari Sondang, Don mulai melakukan tugasnya sendirian. Ia pergi menemui orang-orang yang diincar Sondang untuk mencari tambahan informasi mengenai suatu kasus yang sedang diselidiki. Menurut Sondang, orang-orang itu sepertinya masih menyimpan informasi yang dibutuhkan polisi. Sebenarnya mereka bukanlah tersangka, tapi merupakan saksi penting. Mereka takut bicara karena takut terlibat dan salah-salah dijadikan tersangka. Atau mereka takut bicara kepada polisi karena aparat sering dianggap identik dengan kekerasan. Bagaimana kalau mereka sesungguhnya cuma tahu dari A sampai D, tapi

dicurigai tahu sampai Z? Jadi lebih baik bilang saja tidak tahu sama sekali. Itu sesuai dengan naluri manusia yang punya kecenderungan mencari aman.

Tentu saja Don harus mencari taktik sendiri bagaimana menghadapi orang-orang yang diincar tersebut. Tidak ada teori yang pas mengenai hal itu. Orang yang satu berbeda dengan yang lain. Kesulitan itu juga yang membuat Don merasa ditantang. Ia tahu, kalau dalam kasusnya yang pertama ini ia tidak berhasil, maka pintu bagi masa depan kariernya ini mungkin jadi setengah tertutup. Sedang semangat dan kepercayaan dirinya pun akan menurun. Jadi ia harus cermat dan tidak bertindak sembarangan.

ia mempelajari dulu orang-orang itu. Kalau cuma satu orang menjadi lebih mudah baginya. Ia menguntitnya dan menanyai orang-orang sekitarnya. Tentu tidak secara mencolok. Untuk itu ia menyamar jadi apa saja. Jadi pedagang keliling, jadi kerabat yang jauh, jadi teman lama yang terlupakan, atau teman dari teman. Pendeknya apa saja asal bukan polisi. Untuk itu ia mengeluarkan keahliannya berbicara dan berekspresi. Tetapi untuk berbicara pun

ia harus punya bahan yang cukup. Sembarang bicara dan berlebihan bisa membuat belangnya kelihatan. Maka ia harus tahu dulu siapa dan bagaimana orang yang harus dihadapinya. Lalu ia mempelajari bahan percakapannya nanti. Sesuatu yang bisa menarik minat orang itu kepadanya. Kadang-kadang ia perlu orang lain untuk memperkenalkan dirinya dengan orang itu. Ada seribu satu cara yang bisa ia temukan.

Kadang-kadang ia heran sendiri bagaimana ia bisa melakukannya. Tentu ada saat ketika ia mengalami kesulitan. Tak ada orang yang sempurna. Tetapi sampai saat itu ia selalu berhasil lolos dari kesulitan.

Betapa bangganya ketika ia berhasil melaksanakan tugas yang diberikan Sondang kepadanya. Ia mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan. Ia tidak mendapatkan imbalan apaapa Seperti perjanjian mereka sebelumnya, tapi ia mendapat kepuasan batin.

Ia tidak pernah ditampilkan secara terbuka sebagai pembantu tidak resmi dari polisi. Ia memang sengaja "disembunyikan" untuk melindungi dirinya sendiri. Karena itu ia heran ketika belakangan ia mendapat order profesionalnya

yang pertama lewat telepon. Ia begitu kaget dan bingung. Orang yang memberi order itu pun tidak bisa mengatakan siapa yang memberi nama dan nomor teleponnya. Ia menduga Sondanglah orangnya. Tetapi Sondang tidak mau mengakui. Ia hanya tertawa.

"Mulai sekarang kau jadi detektif swasta," gurau nya.

"Tapi berapa tarifnya?" ia bertanya-tanya. Ia memang tidak siap. Tidak berpikir ke situ.

Sondang berpikir sebentar lalu menyebut angka.

Don terkejut.

"Sebesar itu?"

"Kukira akan terjadi tawar-menawar. Buat saja transaksi. Perjanjiannya kalau tidak berhasil dipotong sekian persen. Waktu dan jerih payahmu kan harus dibayar."

Selanjutnya ia jadi keasyikan dengan profesi barunya itu. Mayoritas order yang diperolehnya adalah kasus perselingkuhan. Suami menyelidiki istrinya atau istri menyelidiki suaminya. Atau orang yang ingin tahu apakah calon menantu atau calon suaminya masih bujangan dan orang baik-baik. Kasus yang tidak begitu sulit. Ada juga kasus berindikasi penipuan ketika si pemberi order ingin kepastian apakah calon mitra kerjanya seorang penipu atau bukan. Di situ si pemberi order belum sampai tertipu hingga belum terjadi kasus kriminalitas. Seandainya memang terbukti ada, maka ia melimpahkannya kepada polisi dengan meminta si pemberi order agar menuntut dengan menyertakan bukti-bukti yang berhasil diperolehnya.

Tetapi ia tidak selalu menerima setiap order yang ditawarkan. Kalau ia menganggap terlalu rumit dan sulit, ia berterus terang bahwa dirinya tidak sanggup. Bukan karena ia tidak merasa tertantang tapi ia tidak ingin mengecewakan orang yang sudah terlalu berharap. Ia toh bukan malaikat.

Mungkin karena ia pandai memilih kasus yang ditawarkan maka ia selalu berhasil. Ia tahu mana yang bisa ia kerjakan dan mana yang tidak. Dengan demikian ia bukan saja menghindari kekecewaan dari pemberi order tapi juga dirinya sendiri.

Anie sepenuhnya berada di luar lingkup pekerjaan Don. Mereka sudah berjanji tidak akan membicarakan kasus yang ditangani Don. Itu sepenuhnya rahasia. Don tidak ingin kliennya jadi objek gosip. Bukan karena ia tidak mempercayai Anie, tapi bisa saja suatu ketika ada ketidaksengajaan dari Anie yang keceplosan bicara. Anie sendiri punya langganan cukup banyak. Lingkup pergaulannya pun cukup luas hingga peredaran gosip bisa cepat terjadi. Don menghormati pekerjaannya dan kliennya juga. Berbeda dengan Don, Anie suka membicarakan gosip yang didengarnya dari para kliennya. Objek pembicaraan itu juga menjadi salah satu pengisi waktu berkumpul mereka di malam hari. Pada mulanya mereka menjadikan bahan pembicaraan itu sebagai olok-olok yang pantas ditertawakan. Ada orang yang begini. Ada yang begitu. Yang aneh, ganjil, lucu, bahkan mengerikan. Tapi kemudian Don menjadi lebih cermat mendengarkan dan mencatat dalam otaknya. Itu terjadi setelah ia mendapat manfaat dari gosip-gosip yang diceritakan Anie. Ternyata ada masukan penting mengenai kliennya. Tentu ia perlu mengujinya dulu apakah gosip itu mengandung kebenaran atau tidak. Belakangan terbukti bisa dijadikan petunjuk yang kemudian justru menjadi kunci dari keberhasilannya. Mereka memiliki dua orang putri. Yang sulung, Elsa, sudah berkeluarga dan tinggal bersama keluarganya di Bandung. Sementara yang bungsu, Elvira, masih gadis dan tinggal bersama mereka. Elvira berusia dua puluh dua, hampir lulus dari Akademi Sekretaris.

Elvira juga suka membawa cerita dari kampus. Tentang perilaku para dosen dan teman teman kuliah. Setiap hari ada saja yang terjadi. Dari yang sepele sampai yang menggemparkan. Tentang dosen yang terpeleset di lantai yang licin lalu kepalanya terbentur sampai gegar otak. Tentang perselingkuhan dosen dengan rekan sekerjanya. Tentang kedatangan istri dosen itu ke kantor untuk melabrak selingkuhannya. Tentang kenakalan teman-teman kuliahnya. Dan banyak lagi.

Semua itu mengisi hari-hari mereka sekeluarga hingga suasana rumah tak menjadi sepi. Cerita-cerita tentang beragam manusia jadi pengisi kehidupan. Tapi hal itu juga bisa memenuhi kebutuhan seseorang untuk berbicara. Mulut dan lidah memang diciptakan untuk itu.

Don bukan saja menikmati, tapi ia juga memanfaatkan. Profesinya membutuhkan cerita sebanyak mungkin. Dari siapa saja dan tentang

apa saja. Tetapi istri dan putrinya tidak tahu.

Setelah makan malam, Don sudah berangkat dengan motornya ke tempat perjanjiannya dengan Pandu Rahman, sebuah kafe di bilangan Senayan. Seperti pertemuan mereka yang pertama dulu, mereka juga akan bertemu di tempat umum yang ramai. Tidak ada kesan formal seperti halnya bila pertemuan dilakukan di kantor atau rumah.

Ia sengaja datang lebih awal. Jangan sampai kliennya yang menunggu.

Kafe yang serba terbuka membuatnya bisa melihat apakah Pandu sudah ada di sana atau belum. Demikian pula sebaliknya. Tapi ia tidak menunggu di dalam karena khawatir Pandu datang terlambat. Ia mencari tempat strategis di luar. Ia bisa duduk santai, tidak mencolok dan bisa melihat jelas kedatangan siapa saja ke dalam kafe.

Sambil menunggu, ia merenungkan kembali order yang dulu pernah diberikan Pandu kepadanya. Kasus itu istimewa baginya karena memberi kesan luar biasa dan menggemparkan sesudahnya. Ia cuma berkesempatan menikmati hasil suksesnya selama kurang lebih seminggu. Setelah itu ia dikejutkan peristiwa menggemparkan. Nyonya Melia ditemukan dalam keadaan sekarat bersama Malik, sopirnya, di rumahnya yang mewah di bilangan Menteng! Kemudian Nyonya Melia tewas. Malik selamat tapi dituduh sebagai pembunuh.

Kasus yang diberikan Pandu kepadanya waktu itu adalah untuk menyelidiki apakah benar istrinya berselingkuh seperti persangkaannya. Dan kalau benar dengan siapa.

Sepertinya halnya kasus perselingkuhan lain, tidak begitu sulit bagi Don untuk menemukan jawaban. Orang yang sedang kasmaran biasanya sulit menutupi perbuatannya dengan sempurna. Bahkan ekspresi wajah dan matanya pun sulit disembunyikan.

Dalam waktu hanya kurang-lebih sebulan, ia berhasil menyelesaikan tugasnya. Ia menyertakan hasil kerjanya berupa bukti penemuan dalam bentuk foto. Nyonya Melia Rahman memang benar berselingkuh. Dan pasangannya adalah Malik, si sopir!

Dalam kasus perselingkuhan lain biasanya pasangan suami-istri yang terlibat bercerai baik-baik. Tetapi kasus yang satu ini berbeda.

Ia shock dan merasa bersalah.

"Kalau saja aku tahu akan begini jadinya, aku pasti akan menolak tawaran si suami," keluhnya kepada Sondang, satu-satunya orang tempat ia mencurahkan isi hati.

"Jangan berpikir begitu. Setiap pekerjaan ada risikonya. Itu bukan salahmu," sahut Sondang.

"Mungkin mereka bertengkar hebat sesudah si suami tahu. Entah apa yang dikatakan si suami dan perlakuan apa yang ia berikan kepada sopirnya," ia masih diliputi penyesalan.

"Bukan salah si suami kalau dia marah besar. Coba kau sendiri kalau berada di tempatnya bagaimana?"

Ia tahu, sulit menemukan jawaban yang pas untuk pertanyaan itu. Sulit juga untuk berkomentar, kenapa tidak bercerai baik-baik saja seperti yang lainnya?

"Jadi, jangan salahkan dirimu. Tapi salahkan cinta yang buta!" kata Sondang lagi.

"Cinta?"

"Ya. Kata Malik, motivasinya adalah cinta. Ia mencintai sang nyonya."

"Dan sang nyonya?"

"Mana aku tahu. Orangnya tak bisa lagi ditanyai." Ia membayangkan lagi Nyonya Melia seperti yang hidup dalam kenangannya. Perempuan yang cantik. Tapi ada kesan misterius dalam diri perempuan itu. Sesuatu yang tak bisa ia gambarkan. Berbeda halnya dengan Malik, yang usianya belasan tahun lebih muda daripada sang nyonya. Malik bisa ia gambarkan dengan mudah. Meskipun pendiam, tapi Malik tak sulit didekati asal tahu caranya.

Ia pernah dua kali berbincang dengan Malik setelah menyamarkan dirinya sebagai sopir juga. Kesannya tentang Malik cukup baik. Anak muda ini ternyata suka humor dan berpikir positif tentang berbagai hal yang mereka bicarakan.

Malik memuja sang nyonya. Ia bisa melihatnya dengan jelas dari sorot mata Malik kepada majikannya itu. Di mata itu Don melihat isi hati Malik.

Don memotret sang nyonya sedang mencium Malik. Kejadiannya di dalam mobil saat suasana sepi dan gelap. Fotonya cukup jelas. Tentu orang berciuman belum pasti selingkuh. Tapi ada bukti lain. vaitu foto-foto keduanya

memasuki beberapa motel. Tentu tak bisa dipastikan juga bahwa pasangan yang memasuki motel akan berselingkuh. Don tentu tak bisa memotret mereka berdua saat berada di dalam kamar. Tapi orang bisa memperkirakannya dengan akal sehat. Sedang Don sendiri memastikan bahwa kedua orang itu memasuki kamar yang sama.

Don selalu menjadi sedih kalau mengenang mereka berdua.. Yang satu mati, sedang yang lain masuk penjara. Tetapi penyesalan tidak bisa mengobati kesedihan. Semua sudah terjadi. Ia pun sudah putus hubungan dengan Pandu. Perjanjiannya begitu. Setelah ia menyerahkan bukti dan kesaksian lalu menerima honor, maka hubungan pun berakhir. Tak ada lagi komunikasi. Ia juga tidak bisa dijadikan saksi karena hubungannya dengan Pandu tetap berupa rahasia yang hanya diketahui mereka berdua. Tentu masih ada satu orang yang tahu, yaitu Sondang. Tapi Sondang pun tidak akan membawa-bawa sahabatnya itu. Maka perselingkuhan antara Nyonya Melia dan Malik tetap berupa gosip karena Malik membantah adanya hubungan itu.

Padahal Don ingin sekali menyatakan belasungkawanya kepada Pandu. Tapi ia cukup menyadari hal semacam itu tidak boleh ia lakukan. Bila berbuat begitu ia melanggar janji meskipun janji itu berupa lisan belaka. Mereka sama-sama tahu bahwa perjanjian di atas kertas mengandung risiko bahaya. Menepati janji adalah nama baik dan integritas bagi Don.

Kasus itu adalah yang terakhir bagi Don. Selanjutnya ia tidak mau lagi menangani kasus perselingkuhan. Padahal kasus semacam itu merupakan mayoritas dari semua kasus yang ia tangani. Ia sudah kapok.

Ketika menerima telepon dari Pandu, ia sungguh terkejut. Setelah berusaha melupakan lalu sedikit demi sedikit berhasil mengatasi traumanya, ia mendengar lagi suara pria itu. Kenangan pahit kembali menyeruak batinya. Rasanya seperti mendengar suara dari liang kubur!

Mau apa lagi Pandu darinya? Apakah ada kasus lain? Siapa yang selingkuh kali ini?

Ternyata memang ada kasus lain. Mereka tak mungkin bicara lewat telepon.





MEREKA duduk berhadapan, saling memandang dan mempelajari sebentar. Waktu dua tahun memang tak terlalu lama untuk membuat orang merasa pangling satu terhadap yang lain. Keduanya masih memiliki fisik yang sama seperti pertemuan mereka yang pertama.

Tetapi mata tajam Don menemukan kegelisahan dalam gerak-gerik Pandu. Matanya sering bergerak ke sana kemari, tak mau fokus lama-lama ke satu objek termasuk ke wajah Don. Ini sangat berbeda dibanding pertemuan pertama mereka. Ketika itu Pandu tampil sangat pede dan berwibawa. Terpikir oleh Don, apakah itu karena trauma kematian istrinya yang tragis?

Sebelum pertemuan itu, Don sudah sempat menyelidiki sedikit perihal Pandu. Lelaki itu masih menduda dan bersama anak-anaknya

sudah pindah rumah dari Menteng ke Kebayoran. Sedang bisnisnya di bidang produksi barang-barang keramik untuk lantai dan sanitair masih berjalan dengan baik. Informasi singkat seperti itu penting baginya untuk mengambil sikap terhadap apa pun yang dikehendaki Pandu darinya nanti. Karena Pandu belum menikah lagi, maka tentulah kasusnya bukan penyelidikan mengenai perselingkuhan.

"Apa kabar, Pak?" sapaan Don pertama kali. Basa-basi yang biasa.

"Baik. Bapak juga begitu, kan?"

"Ya."

Setelah memesan minuman dan makanan kecil, pembicaraan langsung ke tujuan. Jelas bagi Don, Pandu tidak menginginkan hubungan mereka lebih daripada suatu bisnis yang bersifat rahasia. Jadi tak ada perbincangan ringan mengenai apa saja. Tak ada humor atau kelakar. Pembatasan itu perlu untuk menjaga jarak. Seperti kebanyakan kliennya, Pandu tentu tidak ingin pribadinya jadi terbuka di depan Don. Bisa jadi seorang detektif itu bukan cuma dibutuhkan tapi juga dibenci dan ditakuti. Pemahaman seperti itu membuat Don selalu berupaya tampil

merendah dan menjaga jarak sesuai keinginan sang klien.

Pandu menyodorkan sehelai kertas bertuliskan nama Maxi Tuwana beserta alamat dan nomor teleponnya.

"Saya ingin tahu mengenai orang ini. Apakah dia orang baik-baik? Katanya dia berasal dari sebuah desa di Maluku Utara," Pandu menyebut nama desa seperti yang didengarnya dari Mariska.

Don menulis nama desa itu di kertas tadi.

"Katanya dia baru sekitar tujuh bulan di Jakarta.

Sebelumnya ia belum pernah menginjakkan kakinya di sini. Ia melarikan diri dari kerusuhan yang berlangsung di sana. Betulkah ceritanya itu? Kalau perlu pergilah ke desanya itu untuk mendapatkan informasi lebih akurat. Biayanya akan saya berikan tersendiri. Saya juga ingin. tahu sebanyak mungkin mengenai dirinya dan keluarganya."

Don berpikir sejenak. Tampaknya tidak terlalu sulit untuk diterima.

"Anda bersedia?" tanya Pandu.

"Ya. Saya terima."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana kalau honornya sama dengan dulu, Pak? Itu bersih. Di luar biaya perjalanan."

Don cuma memerlukan waktu sebentar untuk berpikir.

"Baiklah. Saya setuju. Pak."

"Mulailah secepatnya. Saya perlu cepat."

"Baik."

Pandu tidak berniat menceritakan kisah pertemuannya dengan Maxi kepada Don. Itu tidak perlu. Don-lah yang harus bercerita dan memberi informasi kepadanya. Bukan sebaliknya.
Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru Gento Guyon 14 Kemelut Iblis Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini