Ceritasilat Novel Online

Gazebo 5

Gazebo Karya V Lestari Bagian 5



"Apa dia tidak akan marah dan mengamuk seperti kemarin?" tanya Grace.

Tidak ada yang menjawab. Mereka memang tidak tahu jawabannya.

Dalam perjalanan pulang dari rumah Maxi, Indiarto mengemudi. Mariska di sampingnya

asyik membuat catatan di sebuah buku tulis .

"Apa yang kau tulis, Mbak?"

"Perkembangan terakhir."

"Wah, jadi sejak awal semua kau tulis?"

"Iya. Sejak perkenalan kita dengan Pak Maxi. Jangan sampai ada yang terlewatkan. itu menyangkut ibu kita, Indi."

"Kau cermat, Mbak!" seru Indiarto kagum.

"Oh, harus begitu dong, Indi. Ini sesuatu yang luar biasa. Tidakkah kau juga menganggapnya begitu?"

"Tentu saja."

"Indi, aku sudah memikirkannya. Sebaiknya kita sewa detektif saja. Itu yang pernah kau sebutkan."

Indiarto terkejut, tapi lalu berkata,

"Kan kau sudah punya nomor telepon dari mana Papa nelepon kemarin malam? Tanya alamatnya pada Telkom, lalu kita menguntit ke sana. Aku sendirian juga mau. Naik motor lebih leluasa."

"Aku sudah mengecek nomor itu., Ternyata non-aktif. Cepat sekali, ya? itu mencurigakan. Kalau memang tidak merasa ada apa-apa, kenapa harus begitu? Lagi pula apa kau kira gampang menguntit orang? Apalagi orang itu Papa, orang yang sudah mengenal kita. Mobil

dan motor sudah dikenalnya. Lebih baik pakai orang profesional saja. Aku pakai duitku sendiri kok."

"Apa yang mau kau selidiki nanti, Mbak?"

"Ke mana saja Papa pergi di waktu luangnya. Sekarang kita tak punya lagi nomor telepon yang bisa diselidiki. Jadi dia harus menguntit Papa. Dengan demikian kita punya gambaran lebih jelas mengenai Papa."

"Mbak masih penasaran mengenai si Mimi?"

"Oh iya. Tentu saja. Kau tahu, Indi? Rasa penasaran itu penting. Banyak misteri bisa terbongkar bila kita mengikuti rasa itu. Sebaliknya, bila kita biarkan atau pendam saja maka kita tak akan mendapat apa-apa."

"Jadi kasus ini sebuah misteri?"

"Tentu. Karena itu kasihan kalau Pak Maxi harus memecahkannya sendirian."

"Mama percaya padanya. Apa karena dia pintar nyanyi?"

"Kukira bukan karena itu. Pak Maxi punya kualitas lain. Kita tidak tahu, Indi. Lebih baik tidak perlu bertanya-tanya soal itu, karen bukan bagian kita."

"Kapan kau akan menghubungi detektif itu,

Mbak?"

"Besok."

"Boleh aku ikut menemanimu saat kau bicara dengannya?"

"Tentu saja boleh. Kita kan partner, Indi!"

Indiarto tersenyum senang. Tapi senyumnya segera lenyap ketika Mariska berkata,

"Kita ke Menteng dulu, Indi !"

"Ngapain?"

"Cuma mampir."

"Masuk, nggak?"

"Lihat saja. Hei, nggak takut, kan?"

Indiarto berpikir sejenak. Memang tak ada yang perlu ditakutkan.

"Tentu saja nggak. Aku heran saja. Kita kan nggak ada keperluan."

"Bukan masalah ada keperluan atau tidak, Indi. Rumah itu harus sering dikunjungi. Ada Mama di sana."

Ucapan itu disuarakan Mariska dengan serius. Indiarto agak meremang mendengarnya.

Mobil diparkir depan pintu gerbang. Mariska turun. Dengan segan Indiarto mengikuti.

Mereka menatap ke dalam. Lampu taman kembali mati. Padahal kemarin mereka meninggalkannya dalam keadaan menyala. Demikian pula lampu teras. Pendeknya tak ada satu pun lampu yang menyala.

Satu-satunya benda yang kelihatan agak jelas dari tempat mereka adalah gazebo meskipun cuma tampak strukturnya dalam bentuk bayang-bayang.

"Daun keringnya sudah copot semua," kata Mariska.

"Kata Pak Maxi, dia bernyanyi dengan daun-daun berjatuhan di atasnya. Sayang sekali aku tidak melihatnya."

"Kalau kau mengintip, mungkin hal itu tidak terjadi," sahut Indiarto.

"Ya. Sayang sekali. Kita cuma kebagian marahnya."

Tiba-tiba Mariska berbalik, kembali ke mobil. Indiarto buru-buru mengikuti. Ia merasa lega, mengira Mariska akan pergi dari situ. Ternyata Mariska mengambil koran dan senter, lalu kembali lagi ke pintu gerbang. Kunci sudah di tangannya.

"Mau masuk, Mbak?"

"Iya. lkut?"

Indiarto tak bisa lain.

Mariska langsung menuju gazebo dengan

membawa koran dan senternya. Ia mengalasi jok kursi dengan kertas koran. lalu duduk.

"Mau duduk juga, Indi? Kertasnya masih ada."

Mariska mengalasi jok kursi di sampingnya dengan koran, lalu menarik lengan Indiano. Dengan segan Indiarto duduk. Tetapi kakaknya mengambil sikap yang santai. bahkan menaikkan kaki ke atas kursi di depannya.

"Ayo, tirulah aku, Indi. Enak kok. Aku ingin merasakan apa yang si Rico rasakan waktu duduk di sini."

Indiarto mengikuti anjuran itu.

"Gimana kalau kita ketiduran disini, Mbak?"

Mariska tertawa.

"Nggak apa-apa. Ini toh rumah sendiri," sahutnya ringan.

Mereka diam sejenak menikmati saat-saat yang berlalu. Angin yang bertiup sepoi-sepoi terasa menyejukkan dan membuat nyaman. Tidak ada rasa dingin yang membuat bulu roma berdiri. Semua wajar saja. Itu membuat mereka tenang dan rileks.

"Pernahkah kau duduk-duduk di sini dulu, Indi?"

"Hanya sekali waktu gazebo ini baru selesai

dibangun. Mama memintaku mencoba duduk di sini. Sebenarnya aku tidak tertarik, tapi untuk menyenangkan hatinya aku duduk juga. Paling beberapa menit saja. Aku bilang di sini menyenangkan. tapi itu juga untuk menyenangkan hatinya. Bagiku duduk di mana pun rasanya sama saja. Belakangan, tempat ini menjadi tempat favorit Mama. Aku jadi tak ingin duduk di sini lagi."

"Karena ini tempat favorit Mama?"

"Bukan. Tapi karena aku khawatir mengganggu privasinya. Rumah ini kan besar. Masih banyak tempat dan kursi yang bisa diduduki. Tak harus di sini, bukan? Nyatanya aku memang tak pernah melihat orang lain duduk di sini."

"Termasuk Papa?"

"Ya. Aku tak pernah melihat mereka duduk berdua di sini. Mungkin pernah juga, tapi aku tidak melihatnya. Rumah ini terlalu besar. Mata kita tidak bisa menembus dinding-dinding."

"Papa lebih suka di teras belakang."

"Sebenarnya gazebo ini juga tidak memberikan privasi, ya, Mbak? Letaknya dekat pintu sih. Orang lewat di jalan bisa melihat."

"Tempat ini pilihan Mama. Dia memang ingin melihat ke jalan."

"Di sini sepi. Apa yang mau dilihat?"

"Biar sepi ada juga yang lewat. Ada tukang roti, tukang sayur, tukang tanaman. Banyak tanaman bias di sini dibeli Mama dari penjual yang lewat."

"Kau pernah duduk di sini bersama Mama, Mbak?"

"Nggak juga." Mariska mengakui.

"Aku kan sibuk, Indi."

"Padahal kalau Mama nggak dipecat dari perusahaan, mungkin dia tidak kebanyakan duduk di sini, ya?"

"Jangan bilang dipecat, Indi. Papa tidak memecatnya."

"Tapi mereka terus-menerus bertengkar soal itu. Sepertinya Papa tidak bisa memaafkan kekeliruan Mama sampai rugi besar itu. Baru setelah Mama menyatakan akan keluar dan tinggal di rumah, Papa diam. Mungkin maunya Papa memang begitu, tapi tidak berterus terang."

"Kejadian itulah yang membuat mereka jadi dingin satu sama lain. Kenapa, ya, Indi? Kukira



setiap orang bisa saja membuat salah. Uang bisa dicari kalau terus berusaha, tapi nyawa yang hilang tetap hilang."

"Ya. Kita tidak boleh diperbudak uang. Kata orang, ada iblis di balik uang. Dia yang menggoda orang, hingga tak pernah puas, menjadi keji dan serakah."

"Barangkali itu benar. Banyak buktinya sih. Biar jadi pelajaran buat kita, Indi."

"Aku pernah mendengar nama Frans disebut sebut dalam pertengkaran mereka. Siapa dia itu. Mbak?"

"oh, itu Frans Dinata, relasi yang menipu Mama."

"Kenapa tidak diadukan saja orang itu"?"

"Tidak ada bukti, Indi. Mereka bertransaksi semata-mata atas dasar kepercayaan."

"Tidak ada surat perjanjian, kontrak, atau jual-beli?" Indiarto heran.

"Tidak."

"Kok aneh."

"Ya, aneh bagi kita memang. Nyatanya Papa juga tidak mau menuntut. Kadang-kadang aku bertanya-tanya, apakah Papa takut pada orang itu"

"Mbak kenal Frans itu?"

"Kenal. Tapi nggak pernah berhubungan. Waktu itu aku di sana cuma dalam proses belajar mengenal seluk-beluk perusahaan, belum seperti sekarang."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kayak apa sih orang itu?"

"Secara fisik dia cukup ganteng. Badannya tinggi, atletis, dan wajahnya tampan. Tutur katanya halus dan sopan. Pendeknya dia gampang mengambil hati orang."

"Mungkin itu sebabnya Mama percaya."

"Entahlah. Tapi masa cuma itu sebabnya. Mama kan banyak bergaul dengan macam-macam orang. Yang ganteng juga banyak."

"Eh, kita ngomongin Mama di sini," bisik Indiano.

"Apa dia mendengarkan?"

"Kuharap lebih dari itu. Aku ingin dia mau berkomunikasi dengan kita. Bukan cuma dengan Pak Maxi," kata Mariska sambil memandang berkeliling.

Indiarto mengikuti pandangan kakaknya dengan berdebar. Apakah akan terdengar suara dari kegelapan atau terlihat sosok putih yang melayang?

Tetapi harapan itu sia-sia. Tidak terdengar

apa-apa dan tidak pula terlihat sesuatu yang luar biasa.



JAROT menatap Mariska dengan terkejut dan heran. Topiknya sangat di luar dugaannya. Dia sudah berusaha melupakan Malik dan peristiwa itu.

"Malik sudah tidak punya orangtua. Dia juga tidak pernah cerita soal kerabatnya. Saya benar benar tidak tahu. Tapi kenapa kerabatnya itu tidak pergi saja sendiri ke sana?" tanya Jarot.

"Dia tidak kenal wajah Malik karena sudah lama tidak ketemu. Terakhir ketemu Malik masih kecil katanya."

"Dia bisa bertanya pada petugas di sana."

"Dia takut dicurigai. Masa mengaku kerabat tapi nggak tahu orangnya? Eh, kau segan ke sana, ya? Nolong orang kan nggak ada salahnya, Rot."

"Bukan begitu, Bu. Saya jadi benci sama Malik sejak peristiwa itu. Nggak sangka hatinya keji. Padahal Ibu begitu baik sama dia." Jarot menundukkan kepala karena matanya menjadi basah.

"Sudahlah, Rot. Dia sudah menjalani hukumannya. Tapi begini. Kau tidak usah ketemu sama Malik. Cukup tunjukkan saja orangnya kepada Pak Maxi, kerabat yang ingin ketemu itu. Kau tidak usah menemani mereka. Sesudah menunjukkan, kau bisa pergi."

"Oh, begitu, Bu. Baiklah. Kapan waktunya, Bu?"

"Kau lihat dulu ke Salemba. Hari dan jam kunjungannya kapan. Pilih yang secepatnya. Terus kau beritahu aku. Nanti Pak Maxi kutelepon."

"Baik, Bu. Sebentar lagi saya ke sana?"

"Boleh. Oh ya, Rot. Kita bicara sebentar tentang peristiwa itu, ya?"

Kembali Jarot menatap heran. Baru kali itu Mariska mengajak bicara tentang peristiwa tersebut. Buat apa mengorek luka? Tapi untuknya sendiri, tentu saja tidak ada masalah. Bagaimanapun sedih dan terpukulnya dia, tapi keluarga Mariska toh bukan apa apanya. Dia malah mendapat pekerjaan yang lebih baik.

Dari tukang kebun menjadi karyawan pabrik dengan gaji yang meningkat.

Mariska mengajak Jarot ke kantornya.

"Belakangan ini aku sering bermimpi kedatangan ibuku, Rot," Mariska mulai dengan cerita yang sudah disusunnya.

"Itu sebabnya aku mau menolong Pak Maxi. Dan aku ingin mengajakmu berbincang soal kejadian itu bukan untuk menjadi sedih lagi. Tapi ada hal-hal yang ingin kuketahui. Padahal dulu aku sengaja menghindar. Tidak ingin tahu. Tidak perlu tahu. Tapi sekarang rasanya beda. Mungkin karena kejadiannya sudah lewat cukup lama."

Jarot mengangguk dengan simpati. Ia masih ingat bagaimana saat itu Mariska pingsan begitu tiba di rumah. Padahal dia tidak sempat melihat tubuh ibunya dan Malik yang terkapar. Dia cuma melihat sisa-sisa kejadian. Tapi rupanya itu saja sudah cukup membuatnya shock.

"Apa yang ingin Ibu bicarakan?" tanyanya.

"Ceritakan kejadian itu dari pengalamanmu sendiri, Rot. Apa yang terjadi hari itu?"

Jarot tertegun sejenak. Cerita itu sudah berulang kali disampaikannya kepada polisi dan sidang pengadilan. Dia sampai hafal akan pertanyaan dan jawabannya sendiri. Rupanya Mariska memang tidak mengikuti.

"Begini, Bu. Waktu itu menjelang tengah hari, saya di kebun depan. Biasalah, untuk menyelesaikan pekerjaan saya. Kemudian mobil masuk. Malik yang mengemudi. Ibu duduk di belakang. Terus Ibu turun dan masuk rumah. Malik terus membawa mobil ke depan garasi. Ibu tidak muncul lagi. Tapi Malik saya lihat sedang melap mobil. Saya tidak memperhatikannya lebih jauh karena saya sibuk dengan urusan saya sendiri. Belakangan saya nengok lagi, dia sudah tidak kelihatan ...."

"Si Mimi?" potong Mariska.

"Saya tidak melihat dia dari kebun, Bu. Pasti dia sibuk di belakang. Biasanya jam segitu dia di dapur. Apalagi Bi Onah lagi pulang kampung. Kira-kira sejam kemudian, tepatnya jam dua belas lewat, karena saya lihat jam, saya mencuci tangan dan kaki di keran depan. Sudah jam makan. Saat itulah saya mendengar jeritan si Mimi. Saya lari masuk rumah, mengikuti jeritannya. Dia terus menjerit-jerit. Rupanya dari kamar Ibu di atas. Saya ke sana, lalu ...," Jarot diam sejenak, menelan ludah, lalu melanjutkan dengan suara lebih perlahan,

"saya melihat Mimi duduk di lantai, terus menjerit-jerit seperti orang lupa diri. Dan di atas karpet depan tempat tidur saya lihat Ibu menelungkup dengan pisau menancap di punggungnya. Kepalanya ke arah samping, tidak ke arah Malik yang terlentang di sisinya. Malik terlentang dengan pisau menancap di dadanya. Saya begitu kaget hingga saya tidak sadar bahwa saya tidak lagi mendengar jeritan Mimi. Ketika saya menoleh ternyata dia sudah pingsan. Saya gemetaran dan sangat takut, Bu. Tapi melihat kedua tubuh masih bergerak, saya tahu harus cepat berbuat. Saya tidak berani memegang-megang. Saya nelepon Bapak lebih dulu, tapi Bapak nggak ada di kantor. Saya kasih tahu aja pada yang nerima telepon. Suruh dia yang ngurusin. Belakangan saya tahu dia adalah Bu Elly, sekretaris Bapak. Nah, itu ceritanya, Bu."

Cerita itu tidak lagi membangkitkan kesedihan, pikir Mariska. Mungkin karena sekarang dia menilainya dari sisi yang lain.

"Sesudah itu bagaimana, Rot?"

"Rumah jadi ramai. Polisi datang Ambulans datang. Mereka masih hidup, katanya. Saya terus berdoa, semoga mereka bisa diselamatkan. Tiba-tiba saya jadi takut, Bu. Bagaimana kalau saya dituding sebagai pelakunya? Kadangkadang itu bisa saja, ya. Siapa tahu saya dituduh kerja sama dengan Malik. Polisi selalu menakutkan saya. Untunglah itu nggak terjadi."

"Bagaimana dengan si Mimi?"

"Dia bengong saja seperti orang lupa ingatan. Bajunya juga berdarah. Katanya dia berusaha membangunkan Malik. Nggak heran sih. Dia kan pacarnya."

Mariska terkejut.

"Mimi pacar Malik?" tegasnya.

"Ya. Ibu nggak tahu rupanya. Mereka sudah punya rencana kawin, tuh."

"Oh, begitu. Sekarang tahukah kau di mana Mimi berada?"

"Setelah sidang-sidang selesai. dia sempat ngomong sama saya. Katanya dia mau pulang kampung saja. Atau pindah kerja ke mana saja. Dia tidak mau kerja lagi sama Ibu."

"Bi Onah?"

"Dia tidak kembali lagi dari kampung setelah kejadian itu. mungkin setelah tahu ada kejadian ngeri, dia memutuskan tidak kembali. Pasti dia

takut."

"Aku sama sekali tidak tahu mengenai para pembantu, Rut," Mariska mengakui.

"Papa yang mengatur mereka."

"Ibu terlalu sedih untuk berpikir ke situ." Jarot memaklumi.

"Jadi kau tidak pernah ketemu lagi sama Mimi?"

"Tidak, Bu."

"Kau juga tidak tahu apakah si Mimi suka besuk Malik?"

Jarot menggeleng.

"Mana mungkin dia mau, Bu."

"Bukankah Malik itu paearnya?"

Jarot mencibir.

"Mana dia mau sama napi, Bu. Mesti menunggu begitu lama lagi."

"Nggak setia dong, ya."

"Ah, cewek kayak gitu sih mana mungkin setia, Bu. Dia sih matre!" seru Jarot.

Mariska menangkap nada kesal dalam seruan Jarot.

"Wah, kau sepertinya tahu betul tentang dia, Rot! pernah dekat?"

Jarot tersipu.

"Nggak, Bu. Saya cuma menyimpulkan dari kelakuannya"

"Memangnya kelakuannya kayak apa?"

Jarot tertegun.

"Maksud saya, dari omongannya, Bu."

Mariska tak mau mendesak.

"Ya sudah. Lebih baik kau ke Salemba melihat informasi, Rot. Oh ya, sebaiknya jangan bilang-bilang Papa tentang percakapan kita ini, ya? Dia bisa marah besar lho."

"Baik, Bu."

Jarot bergegas pergi. Senang karena percakapan itu sudah berakhir. Ia tak menyangka bahwa Mariska punya perhatian begitu besar akan soal itu sekarang. Padahal dulu tak ingin tahu. Bilang-bilang kepada Pak Pandu? Oh, tentu saja tidak! Kenapa mengusik macan tidur?

Mariska termenung setelah itu. Percakapan tadi tidak membuatnya lebih memahami situasi. Tapi ia merasa Jarot tidak menyampaikan semuanya. Atau menyembunyikan sesuatu.



Usai makan siang itu, Don sudah menunggu di tempat yang sudah dijanjikan. Sebuah kafe di mal Karawaci, Tangerang. Tidak ada tempat yang terlalu jauh untuknya bila harus menemui calon klien. Sebagai orang yang tidak punya kantor ia memang harus menerima risiko itu.

Sesuai janji, ia mengenakan kemeja lengan panjang kotak-kotak kecil warna merah-biru, celana panjang hitam, dan topi pet biru. Pada saat duduk menunggu di situ. ia tidak melihat ada orang lain yang berpenampilan mirip dengannya. Jadi pastilah kliennya tidak akan keliru mengenali orang.

Kliennya mengenalkan diri dengan nama Mariska. Tak jelas apakah itu nama asli atau palsu. Baginya tak penting. Yang penting adalah info untuk bahan penyelidikannya tidak palsu.

Don menunggu sekitar sepuluh menit. Kemudian muncul seorang gadis bersama seorang pemuda. Si gadis memiliki deskripsi yang cocok dengan penggambaran yang diberikannya. Don segera berdiri dan mengangguk.

"Ibu Mariska? Saya Don Tamba."

Mariska mengulurkan tangan. Indiarto yang mendampinginya melakukan hal yang sama. Mereka bersalaman.

Setelah makanan dan minuman yang dipesan dihidangkan di depan mereka, Mariska mulai dengan permintaannya untuk menyelidiki Pandu Rahman.

Don menyembunyikan rasa kagetnya. Tapi ia tidak mengenal Mariska dan Indiarto. Mereka pun tidak mengenalkan diri sebagai anak anak Pandu. Itu memang tidak diperlukan. Banyak klien merahasiakan jati diri sesungguhnya dan hubungan mereka dengan orang yang mau diselidiki. Mereka ingin merahasiakan. Tapi bagi Don, hal itu selalu menjadi jelas pada penyelidikannya kemudian. Rupanya para klien itu tidak menyadari bahwa keterbukaan yang satu menghasilkan keterbukaan yang lain. Yang mau ditutup jadi terbuka tanpa mereka sadari. Tapi Don tentu saja tidak memberitahu. Ia menyimpannya untuk diri sendiri. Semua disimpannya dalam memori otaknya. Itu tempat yang paling aman.

Baru kali itu Don mendapatkan klien yang memintanya menyelidiki mantan klien. Untuk sesaat ia ragu-ragu. Apakah itu pantas? Tapi dalam pekerjaannya itu memang tidak ada kode etik yang harus dipatuhi. Ia merasa lega karena permintaan Mariska tidak berat.

"Saya cuma ingin tahu apa yang dikerjakan Pandu Rahman di waktu luangnya di luar rumah. Apakah dia punya hubungan gelap. dengan seorang perempuan dan siapakah perempuan itu? Ini alamat rumahnya, Pak."

Mariska menyodorkan alamat rumahnya sendiri.

"Hanya ini saja. Bu?"

"Ya. Hanya itu."

"Baiklah. Saya terima."

Mariska memberi nomor telepon genggamnya setelah dicapai kesepakatan mengenai honor. Don tidak minta mahal-mahal karena ia menganggap pekerjaan semacam itu sangat ringan. Bahkan Mariska merasa heran karena menganggapnya sangat murah. Tanpa menawar ia langsung menyetujui.

"Paling lama seminggu saya sudah bisa memberi kabar, Bu. Tapi mudah-mudahan cukup satu-dua hari saja," kata Don sebelum mereka berpisah.

Mariska dan Indiarto pergi lebih dulu. Kali ini Don tidak membuang waktu banyak-banyak. Ia mengikuti Mariska dan Indiarto setelah mengenakan jaket untuk menutupi kemejanya yang mencolok dan membuka topi petnya. Ia mencatat nomor mobil yang dikendarai Mariska, lalu menguntit mereka dengan motornya.

Mariska dan Indiarto langsung ke pabrik.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di luar gerbang Don mengamati. Ia sudah tahu bahwa pabrik ubin keramik dan peralatan saniter itu milik Pandu. Ia bisa melihat bagaimana hormatnya Satpam penjaga pintu menyambut kedatangan Mariska. Sudah pasti di tempat itu Mariska bukan orang sembarangan. Don memiliki dugaan sendiri.

Setelah menunggu sampai mobil Mariska masuk ke dalam, Don turun dari motor lalu menghampiri Satpam yang tadi.

"Maaf. Pak," sapanya sopan.

"Apa yang di mobil hitam tadi Ibu Mariska Rahman, putri Pak Pandu?"

"Betul. Ada urusan apa, Pak?" tanya Satpam selidik.

"Saya dijanjikan pekerjaan oleh Ibu Mariska. Tapi katanya kalau ada lowongan. Apa ada lowongan, ya, Pak?"

"Bisanya kerja apa?"

"Kerja administrasi."

"Wah, saya mah nggak tahu. Tapi kalau soal itu jangan langsung sama Ibu, dong. Kirim surat lamaran dulu."

"Oh ya. Tentu saja. Nantilah saya kembali

lagi. Terima kasih, Pak."

Bagi Don informasi itu sudah cukup. Jadi Mariska adalah putri Pandu. Dengan pemahaman seperti itu ia bisa menempatkan dirinya lebih baik.

Jarot membawa kabar bahwa besok merupakan hari kunjungan.

"Bagus," kata Mariska.

"Jadi besok jam sepuluh kau tunggu Pak Maxi di depan rumah lama di Menteng. Pakai saja motormu. Jadi dia bisa kau bonceng. Di sana setelah bertemu dengan Malik, kau tinggal saja. Pak Maxi bisa pulang sendiri ke rumah tumpangannya."

"Depan rumah di Menteng, Bu?" tegas Jarot.

"Ya. Kenapa?"

"Di trotoar saja, kan?"

"Tentu. Memangnya nunggu di dalam? Kan rumahnya kosong. Takut, ya?" Mariska tersenyum.

"Bukan takut, Bu. Nggak enak aja."

"Jadi begitu saja, ya. Nanti dia akan kutelepon. Pulang dari sana baru kau ke sini."

"Bagaimana kalau dilihat Pak Pandu saya datang terlambat?"

"Bilang saja kau sudah minta izin padaku untuk berobat."

"Baiklah, Bu."

Dalam hati sebenarnya Jarot bertanya-tanya kenapa Mariska jadi menaruh perhatian kepada Malik. Seharusnya Mariska membenci pria itu dan tak perlu peduli pada kerabatnya. Biar saja si kerabat berupaya sendiri. Kenapa justru minta tolong pada anggota keluarga dari orang yang sudah dibunuh saudaranya?

"Apakah kau heran kenapa aku mau menolongnya?" tanya Mariska, seolah bisa menebak pikiran Jarot.

Jarot tersipu.

"Heran juga sih, Bu," ia mengaku.

"Si kerabat itu, Pak Maxi, orangnya baik. Dia kan tidak salah, Rot. Lagi pula dia bilang ada masalah penting yang mau dibicarakan dengan Malik. Jadi pantas dong ditolong," Mariska merasa perlu menjelaskan. Orang yang heran dan penasaran bisa mengganggu di kemudian hari. Bila keingintahuannya tidak dipuaskan.

Jarot mengangguk-angguk.

"Betul, Bu. Ibu baik hati."

"Oh ya. Rot. Aku mau tanya. Kau kerja di

sini ditawari Pak Pandu, atau melamar sendiri?"

Jarot tertegun. Pertanyaan itu tidak mengenakkan. Tapi ia merasa harus berkata sejujurnya. Kalau berbohong bisa ketahuan. Bukankah Mariska anak Pak Pandu? Bisa saja jawabannya dicocokkan nanti.

"Saya diajak Bapak, Bu. Katanya, kamu mau kerja di pabrik, nggak? Tadinya saya kira jadi tukang kebun lagi. Tapi di sini nggak ada kebun," Jarot tertawa.

"Kalau begitu, Bapak sayang sama kamu, dong."

Jarot cuma tersipu.

"Ah, nggak, Bu. Biasa aja."

"Kuingatkan lagi, Rot. Kalau ditanya Bapak ngomong apa sama aku. bilang kau minta izin untuk masuk lebih siang besok untuk berobat. Jangan sekali-kali beritahu urusan yang sebenarnya. Bapak bisa marah."

Jarot tidak keberatan untuk berjanji.

Baru sekarang Mariska berpikir tentang pekerjaan Jarot di situ. Sudah jelas Jarot tidak punya pengalaman apa-apa di bagian pembakaran keramik. tapi begitu masuk dia langsung dijadikan asisten mandor. Lalu setelah tiga bulan, dia diangkat jadi mandor. Rupanya tiga bulan dianggap cukup sebagai proses belajar.

Ketika itu dia tidak memusingkan soal ini. Bagian yang ditanganinya adalah manajemen, bukan masalah teknis. Tetapi sekarang dia mulai memikirkan dan merasakannya sebagai sesuatu yang kurang wajar. Perlukah dia menanyakan soal itu kepada ayahnya? Tetapi ia merasa kurang patut. Perusahaan itu milik ayahnya. Jadi pengangkatan itu hak ayahnya. Wajar atau tidak wajar.

"Ngapain si Jarot di kantormu?" tanya Pandu kepada Mariska.

Biarpun sudah siap, toh Mariska kaget juga mendengar pertanyaan itu. Biarpun ayahnya tidak melihat sendiri, rupanya ada saja yang menyampaikan.

"Oh, dia minta izin besok masuk siangan. Katanya mau berobat."

"Kok minta izinnya sama kau."

"Mungkin tadi kebetulan papasan saja. Pa. Saya bertanya apakah dia senang kerja di sini dan bagaimana dibandingkan dengan saat jadi tukang kebun dulu."

Mariska berharap jawaban itu bisa memuaskan ayahnya. Tapi ternyata tidak.

Pandu mengeluarkan dengusan lewat hidungnya.

"Tentu saja dia lebih senang di sini. Gajinya saja lebih besar beberapa kali. Cuma tukang kebun. Huh! Tapi aku jadi heran. Kenapa kau tiba-tiba jadi tertarik mengobrol dengan dia?"

"Saya nggak ngobrol, Pa. Cuma basa-basi."

"Apa saja yang dikatakannya padamu?"

"Dia lebih senang di sini. Kalau dulu gajinya nggak cukup, sekarang ia dan keluarganya bisa rekreasi seminggu sekali."

"Sejak kapan kau jadi menaruh perhatian kepadanya? Sejak awal dia di sini kau bahkan tidak menyadari kehadirannya."

"Tidak begitu, Pa. Tentu saya tahu dia di sini. Kan saya punya mata. Saya cuma tidak tertarik."

"Sekarang jadi tertarik, begitu? Kenapa?"

Mariska tertegun. Ia menatap wajah ayahnya

dan tiba-tiba merasa wajah itu menjadi asing. Dia sendiri pun merasa jadi orang asing di mata ayahnya. Ia menjadi sedih dan kecewa. Seharusnya hal seperti itu tidak terjadi. Justru di saat seperti itu mereka harus lebih dekat dan saling membutuhkan.

"Entahlah, Pa. Tapi tidak tepat kalau Papa bilang saya jadi tertarik. Masa cuma ngajak bicara dibilang tertarik."

"Tadinya kau selalu menghindari semua hal yang berhubungan dengan... dengan peristiwa itu."

"Memangnya Jarot berhubungan dengan peristiwa itu, Pa?"

Pandu terdiam. Dia melengos.

Sikap ayahnya itu membuat Mariska mendapat hati.

"Oh ya. Pa. Tiba-tiba saya jadi mikir. Kenapa Papa menerimanya bekerja di sini? Dia kan cuma tukang kebun."

"Apa dia bilang padamu bahwa aku yang memintanya kerja di sini?" Pandu tampak kesal.

"Ah, nggak. Memangnya begitu, Pa?"

"Tentu saja nggak. Aku cuma kasihan. Ya sudah! Lebih baik kau menjauh saja darinya."

"Kenapa, Pa?"

Pertanyaan itu tidak dijawab Pandu. Dia sudah pergi.

Mariska mengawasi Pandu dengan tatapan sendu. Ibunya sudah pergi selamanya dari sisinya .Ayahnya masih ada, tapi kenapa berubah? ia tidak ingin kehilangan ayah juga.



"Kuminta kau jangan ngomong macam-macam sama Bu Riris, Rot!" kata Pandu dengan nada tinggi.

Jarot terkejut. Tadi dia tidak melihat Pandu sewaktu dirinya berbincang dengan Mariska. Apakah Mariska sendiri yang mengatakan? Tapi itu tidak mungkin. Mariska sendiri memintanya untuk merahasiakan. Ataukah dinding-dinding itu mempunyai mata, telinga, juga mulut untuk mengadu?

"Ngomong macam-macam apa, Pak? Saya cuma minta izin masuk siangan besok untuk berobat. Kebetulan ketemu Ibu, jadi saya ngomong. Beliau tanya bagaimana keadaan saya dan keluarga setelah kerja di sini. Saya jawab seadanya."

"Awas ya kalau bohong!"

Pandu berlalu dengan meninggalkan

perasaan tidak enak di hati Jarot. Apa yang bisa ia lakukan? Ayah dan anak sama-sama ia segani. Keduanya sama sama punya kekuasaan di perusahaan itu. Tapi bila dibandingkan. sudah tentu sang ayah lebih berkuasa. Biarpun begitu ia juga tidak bisa memihak secara terang-terangan. Ia harus hati-hati. Kedua orang itu gajah. biarpun yang satu lebih besar daripada yang lain. Tapi biarpun kecil Mariska tetaplah gajah, padahal ia cuma pelanduk.

"Sekarang kita terpaksa merahasiakan segala tindakan kita dari Papa," kata Mariska setelah menceritakan peristiwa itu kepada Indiarto.

"Kelihatannya bukan cuma Papa yang menyimpan rahasia, tapi si Jarot juga."

"Dan sekarang kita juga punya rahasia. Apa yang akan dilakukan Papa kalau tahu kita menyuruh orang memata-matainya?"

"Wuih! Takut juga, Mbak!" seru Indiarto.

Indiarto benar-benar serius.





SEJAK sore, hari itu juga, Don sudah nongkrong di depan perusahaan milik Pandu. Ia berlagak seperti tukang ojek tapi setiap kali didatangi calon penumpang ia mengatakan dirinya sedang menunggu langganan. Ia sabar menunggu keluarnya mobil milik Pandu yang sudah dikenalnya. Pekerjaannya memang menuntut kesabaran. Ia juga belum tahu pasti apakah Pandu berada di dalam atau sebenarnya sudah keluar sejak sebelum ia datang. Untuk memastikan hal itu, ia tidak berani bertanya-tanya kepada orang di situ karena takut dicurigai. Ia harus bersikap tidak mencolok atau menarik perhatian.

Tak lama kemudian karyawan tampak berhamburan keluar untuk pulang ke rumah masing-masing. Di antara mereka ia melihat mobil Mariska yang rupanya pulang tepat waktu. Don senang karena Mariska telah memberikan keleluasaan kepadanya. Perempuan itu tentunya sudah memperkirakan bahwa ia sedang beroperasi. Dan menilik kecerdasan yang memancar dari wajah Mariska, mestinya perempuan itu bisa mengira bahwa identitasnya sudah terbuka. Bagi orang-orang yang memerlukan jasa Don, biasanya situasi sudah terasa mendesak bagi mereka dan tak bisa lain. Tetapi mereka juga menaruh kepercayaan kepadanya. Itu sudah pasti. Karena itu Don tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan itu.

Sejam setelah kepergian Mariska, barulah ia melihat mobil Mercy milik Pandu keluar dari pintu gerbang. Kaca-kaca sampingnya sedikit gelap, tapi ia masih bisa mengenali Pandu yang mengendarai sendiri mobilnya. Don mengenakan helm lalu melesat mengikuti.

Selalu ada kemungkinan bahwa Pandu langsung pulang ke rumah keluarganya. Bila demikian, berarti Don harus melanjutkan pengamatannya sampai malam atau entah sampai kapan. Bisa saja Pandu tidak berencana ke mana-mana lagi setelah pulang. Maka itu berarti Don pun harus pulang tanpa basil.

Tetapi akibat seperti itu masih tidak seberapa. Kalau hujan turun padahal ia menggunakan motor, ia harus menanggung risiko basah kuyup. Sesungguhnya motor adalah sarana penguntit yang lebih efisien ketimbang mobil. Bila orang yang harus diikutinya masuk gang kecil padahal ia menggunakan mobil, pekerjaannya pun akan terhambat. Tapi kesabaran Don tak pernah habis.

Hari sudah senja dan gelap membayang.

Ternyata tak sampai setengah jam Don membuntuti mobil Pandu, mobil itu memasuki jalan selebar dua mobil lalu berhenti di depan rumah mungil. Segera jantung Don berdebar-debar karena yakin itu bukanlah rumah keluarga. Apakah keberuntungan berada di pihaknya?

Pintu pagar sudah dibuka lebar-lebar dan seorang perempuan yang wajahnya tidak jelas terlihat menunggu di sisi pintu. Begitu mobil memasuki halaman, perempuan itu segera menutup pintu kembali. Don tidak bisa melihat ke dalam. Ia pun harus berhati-hati agar tidak memancing kecurigaan warga. Tapi ia merasa cukup puas. Dicatatnya alamat rumah itu. Jalan Anggrek I No. l3. Lalu ia pulang dengan senang. Malam itu iuga Mariska bersama Indiarto

berkunjung ke rumah Maxi untuk memberitahukan perkembangan terakhir.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Besok saya jemput Bapak," kata Mariska.

"Lalu saya turunkan di depan rumah di Menteng. Dari sana Bapak pergi bersama Jarot."

"Baik," sahut Maxi gembira.

"Papa bisa pergi bersama aku," kata Rico.

"Ah, jangan. Kau tidak kenal Jarot. Sudahlah. Tidak apa-apa."

Grace memegang lengan Maxi.

"Aduh, Pa. Belum apa-apa aku sudah tegang."

Maxi-tersenyum menenangkan.

Kemudian Mariska bercerita mengenai Jarot seperti yang dikenalnya sewaktu menjadi tukang kebun.

"Dia baru kerja sekitar enam bulan. Orangnya cukup baik dan sopan. Umurnya sekitar empat puluhan. Sedang Malik lebih muda sepuluh tahun darinya. Kerjanya lebih lama Ada kali setahun. Mereka berdua itu diterima oleh Papa. Sedang urusan pembantu menjadi bagian Mama."

"Tapi dia kan tukang kebun, kok bisa jadi mandor di pabrikmu, Ris?" Rico menyatakan keheranannya.

"Tidak mengherankan sih. Mungkin dia bisa beradaptasi dan belajar dengan baik." sahut Mariska ringan.

Diam-diam Indiarto melirik dan mengamati kakaknya.

Dalam perjalanan pulang, Indiarto mengungkapkan keheranannya kepada Mariska.

"Kau tidak mengatakan semuanya kepada mereka, Mbak. Tidak terbuka lagi?"

"Entahlah, Indi. Maksudku bukan begitu. Aku menghadapi dilema. Ini kan menyangkut nama baik Papa. Dia ayah kita. Sedang mereka orang luar."

"Ah, jadi kau punya kecemasan perihal Papa, ya."

"Tidakkah kau juga begitu, Indi?"

"Ya, Mbak. Aku juga."

"Melihat sikap Papa tadi, perasaanku jadi ngilu, Indi. Dia menanyaiku dengan mata melotot sepertinya tengah menginterogasi tersangka. Sudah jelas kita dan dia sama-sama mempunyai rahasia yang tidak mau diungkapkan satu kepada yang lain. Kenapa harus begitu, ya? Kita kan anak-anaknya. Apa ada yang lebih berharga daripada kita?" Mariska menggugat dengan

penuh emosi.

"Biasanya dia pulang dulu ke rumah baru pergi lagi. Ini sama sekali tidak pulang," keluh Indiarto.

"Pasti dia kesal sama aku."

"Kalau saja dia tahu apa yang kita lakukan."

"Jelas dia akan marah sekali, Indi."

"Apa yang akan dia lakukan kepada kita? Kita kan anak-anaknya, Mbak."

"Tidak ingat perlakuannya kepada Mama setelah Mama membuatnya hampir bangkrut? Mama kan istrinya."

"Mereka cuma bertengkar. Setelah itu sudah."

"Apa memang hanya bertengkar dan setelah itu sudah?"

"Apa maksud Mbak?"

"Entahlah. Kalau kupikir-pikir lagi sekarang rasanya banyak hal-hal janggal dulu itu. Tetapi sayangnya aku tidak memperhatikan. Kalau Papa dan Mama bertengkar mestinya aku pasang kuping. Tapi aku malah menghindar, tidak mau mendengar dan menjadi pusing karenanya. Aku juga menjauh dari keduanya, takut dijadikan tong sampah. Akibatnya aku malah tidak

tahu persoalan. Jadinya biarpun mengingat-ingat, aku tetap saja tidak bisa menyimpulkan sesuatu."

"Ya sudahlah, Mbak. Kita tunggu saja sampai semuanya menjadi jelas. Sampai Pak Maxi berhasil mendapatkan kehenaran yang dicarinya itu."

"Kita dulu keluarga yang cukup rukun dan bahagia, ya, Indi."

"Ya," sahut Indiarto lirih.

"Lalu datang badai yang merenggut Mama. Kemudian kita kira badai sudah berlalu. Akankah dia datang lagi untuk menghancurkan kita, Indi?"

Indiarto terkejut. Pertanyaan itu sungguh mengerikan.



Malam itu Pandu menginap di rumah Minarti. Ia sama sekali tidak pulang ke rumah keluarganya.

Minarti menyambutnya dengan senang. Keceriaan yang diperlihatkan Minarti cukup membuat kejengkelan Pandu menjadi sirna. Tetapi perasaannya masih belum plong benar-benar. Percakapannya dengan Mariska dan Jarot terus saja mengganggu pikirannya.

Minarti tahu diri. Pengamatan dan pengenalannya selama ini mengenai Pandu menahannya untuk bertanya atau bersikap ingin tahu. Semua urusan Pandu bukanlah urusannya kecuali yang benar-benar menyangkut dirinya. Dan bila Pandu tidak membicarakannya berarti bukan menyangkut dirinya.

Tentu saja keingintahuan ada pada setiap orang. Demikian pula pada diri Minarti. Tetapi ia tidak mau memperlihatkannya kepada Pandu karena tahu akibatnya akan buruk. Ia menyadari bahwa di mata Pandu ia bukanlah kekasih yang sebegitu disayanginya hingga bisa membuatnya lupa daratan. Dirinya masih dianggap sebagai pembantu dan pelayan. Dan Pandu adalah sang tuan. Mereka berbeda derajat. Karena itu ia tidak mau keluar jalur. Ia harus hati-hati menjaga sikap.

Tingkah laku Minarti itu disenangi Pandu. Ia merasa di situ ia mendapatkan pelabuhan yang aman dan tenteram. Tidak ada yang cerewet menanyainya ini-itu, tidak ada yang menuntut begini-begitu. Ia cuma dilayani, dihibur, dan dipuaskan. Tentu ada yang kurang. Minarti tidak bisa diajaknya berdiskusi atau berbagi

perasaan. Tetapi ia memang tidak bisa dan tidak ingin melakukannya. Bukan cuma dengan Minarti, tapi juga dengan siapa saja. Misalnya anak anaknya. Ia takut, bukan kelegaan yang bakal diperolehnya melainkan sebaliknya. Orang bijak bilang,jangan sekali-kali membuka diri sampai tak ada lagi yang tersisa karena itu bisa merugikan diri sendiri. Orang yang mengenakan bikini kelihatan seksi dan merangsang, tapi orang yang telanjang bulat akan kehilangan harga diri dan martabatnya. Maka ia harus tetap mengenakan pakaian biarpun kepanasan. Dalam pelukan Pandu malam itu, mata Minarti masih terbuka lebar. Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Pandu. Makannya sedikit, bicaranya juga sedikit, Pandu malah merenung dan berpikir sebegitu intensnya sampai dahinya penuh kerutan. Apakah lelaki ini teringat kepada istrinya? Minarti bergidik ketika teringat kepada mantan nyonya majikannya itu. Lalu ia khawatir kalau-kalau gerak tubuhnya membangunkan Pandu. Lelaki itu baru saja terlelap setelah melakukan kegiatan seksual rutin yang sepertinya cuma memuaskan dirinya sendiri. Rupanya, biarpun banyak urusan dan banyak pikiran, lelaki tetap memerlukan seks seperti makan dan minum.

Gerakan Minarti tidak membuat Pandu terbangun. Bahkan tak lama kemudian dengkurnya mulai terdengar. Itu berarti tidurnya sudah lelap. Minarti pelan pelan mengangkat lengan Pandu dari dadanya lalu bergeser menjauh ke tepi ranjang. Barulah ia bisa bernapas lega.

Setiap kali mereka melakukan hubungan seks, Minarti membayangkan seseorang lain yang tengah memeluknya. Dia adalah Malik! Wajahnya licin dan tampan, tidak kendur berkeriput seperti wajah Pandu. Lengannya perkasa, berotot, dan bertenaga hingga pelukannya yang ketat membuat ia sulit bernapas. Semakin menyesakkan semakin menyenangkan. Dan ciumannya ah... cukuplah untuk menghibur perasaannya sendiri.

Tetapi sesudahnya kenyataan jadi terasa menyakitkan. Pandu bukan Malik.

Bukan itu saja. Ia tidak pernah tahu seperti apa rasanya berhubungan seks dengan Malik karena ia tidak pernah melakukannya!

Keperawanannya ia berikan kepada Pandu.

Dia adalah lelaki satu-satunya.

Pelan-pelan ia berdiri. Ia tak mungkin bisa tidur. Ia merapikan pakaian Pandu yang berserakan di kursi lalu menggantungnya di kapstok. Ada sesuatu yang jatuh dari kantong celana Pandu. Itu dompet. Semula Minarti mau memasukkannya lagi di saku. Tapi kemudian ia berubah pikiran. Pelan-pelan ia membuka pintu, lalu keluar dengan membawa dompet itu. Di dalam kamar tak mungkin ia bisa melihat jelas isi dompet karena cahayanya temaram, lagi pula ada kemungkinan Pandu terbangun. Ia bisa celaka kalau ketahuan.

Mungkin naluri yang mendorong Minarti berbuat begitu. Ia tidak biasa mengorek dompet Pandu saat lelaki itu tidur. Kalau mau mencuri pun pasti duitnya tidak banyak. Yang ada cuma kartu kredit. Ia pernah mencuri lihat ketika Pandu membuka dompet untuk memberikan uang padanya. Sekarang dompet itu jatuh sendiri seperti minta di gerayangi. Ah, ia cuma ingin tahu. Padahal untuk tujuan apa ia juga tidak tahu.

Minarti pergi ke kamar mandi yang letaknya di luar kamar tidur. Di situ ia aman dari gangguan. Andai kata Pandu terbangun, lelaki itu pasti

tidak akan segera memeriksa saku celananya.

Ia membuka dompet yang cukup tebal. Seperti sudah diperkirakannya, uang di dalamnya tidak banyak. Ia tidak berani mengambil walaupun cuma selembar dua lembar. Bila Pandu sudah mengetahui persis jumlah uang di dalam dompetnya, lelaki itu bisa menaruh curiga. Minarti tahu, Pandu orang yang teliti.

Selembar kertas kecil putih terselip di antara kartu kredit. Ia menariknya, membuka lipatannya. Terbaca di situ coretan sebuah alamat. Tak ada nama. Yang tertulis hanya "th". Apakah itu inisial sebuah nama? Langsung saja melintas nama yang sudah dikenalnya. Jarot si tukang kebun!

Tapi itu cuma kemungkinan kecil. Sama sekali belum tentu. Pikiran itu muncul karena nama itu pernah punya arti baginya di masa lalu. Mereka bertiga, bersama Malik, sering mengobrol bersama. Tapi masih ada lagi yang lain. Mereka berbagi bersama pengalaman mengerikan itu.

Ketika akan memasukkan kertas itu lagi ke tempat semula, mendadak muncul ide. Minarti menyalin alamat itu di kertas lain yang kemudian disembunyikannya. Untuk apa ia juga tidak tahu. Semuanya terjadi spontan saja. Yang pasti Pandu tidak akan senang bila tahu ia melakukan hal itu. Mungkin juga lelaki tersebut bukan sekadar tidak senang, tapi lebih dari itu. Minarti jadi gemetar membayangkannya.

Pandu masih dalam posisi yang sama seperti saat Minarti meninggalkannya. Minarti patut merasa lega, tapi ketika merebahkan diri di samping Pandu, ia merasa ada beban berat yang menindihnya.

Paginya ketika Pandu sarapan ditemani Minarti, telepon genggam Pandu yang diletakkan di meja di depannya berbunyi. Itu dari rumahnya. Ada juga rasa senang. Masih ada yang ingat padanya.

"Halo? Papa kok nggak pulang semalam? Nggak ngasih kabar lagi!" seru Mariska.

"Saya menghubungi HP Papa tapi dimatikan. Apa Papa baik-baik saja?"

"Baik. Aku baik kok. Sori nggak memberitahu. Aku di rumah relasi, keasyikan mengobrol terus diajak menginap."

Sambil bicara Pandu membayangkan Mariska mengerutkan keningnya. Percaya atau tidak

percaya bukan urusannya. Biar saja Mariska merasakan bagaimana kalau dibohongi.

"Ya sudah. Nggak apa-apa, Pa. Yang penting Papa baik-baik saja. Kami khawatir, Pa."

"Oh, begitu? Indi juga?"

"Tentu. Anak Papa kan ada dua. Lupa, ya?" Mariska tertawa.

Pandu tertawa juga. Kejengkelannya sirna mendengar tawa Mariska. Semangatnya bangkit kembali.

"Nggak dong. Memangnya aku sudah pikun?"

"Papa langsung ke kantor atau ke rumah dulu?"

"Ke kantor saja, ya."

"Baiklah. Sampai nanti, Pa. Daaah!" seru Mariska.

Suaranya terdengar hangat di telinga Pandu. Dia anakku, pikirnya bangga.

Sementara itu Minarti menatapnya dengan cemberut. Ia tahu dirinya bukan bagian dari mereka.



Mariska menatap adiknya.

"Papa nggak kedengaran marah. Indi."

"Tentu saja. Papa sudah mendapat penghiburan dari pacarnya."

"Jangan nyangka jelek dulu."

"Ya, kita lihat saja bagaimana hasil, sang detektif."

"Ingat kesepakatan kita, Indi. Kita harus berupaya untuk mendekatkan Papa kepada kita. Jangan sampai Papa direbut si pacar kalau memang dia punya pacar. Jangan sampai Papa jadi orang asing bagi kita."

"Ya, ya. Papa juga tidak boleh melupakan kita dong."

"Papa kesepian, Indi. Bagi lelaki seumur Papa, kesepian bisa menyebabkan stres berat."

"Papa tidak perlu kesepian, Mbak. Dia punya kita."

Mariska mengamati adiknya.

"Kukira, justru kau yang lebih membela Papa daripada aku."

"Papa menyembunyikan sesuatu. Itu bukan karena kesepian."

"Kita lihat saja, Indi." Mariska menghibur.



"Nanti siang saya mau belanja, Pak," kata Minarti kepada Pandu sebelum lelaki ini berangkat ke kantor.

"Ke mana? Pasar?"

"Ah, ke pasar swalayan saja, Pak."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Habis belanja segera pulang, ya? Jangan keluyuran ke mana-mana. Nanti aku telepon."

"Saya pergi sekitar jam sebelas. Bukanya kan jam sepuluh."

"Biasa sajalah. Sebelum pergi kau nelepon dan sesudah pulang nelepon juga."

"Baik, Pak."

Setelah menyerahkan sejumlah uang, Pandu pergi.



Minarti mulai memukuli bantal dan gulingnya. Ekspresi di wajahnya sangat berbeda dibanding saat ia melepas Pandu pergi. Tadi ia kelihatan begitu manis dan memikat hingga Pandu tidak tahan untuk tidak mencium pipinya dan mencubit pinggulnya. Sekarang ia kelihatan menyeramkan, bibirnya ditarik ke bawah, kuping hidungnya kembang-kempis, matanya seperti menyorotkan api, urat-urat di kening dan lehernya bertonjolan bagai akan pecah.

"Bangsat! Bangsat! Bangsaaaat...!" teriaknya dengan suara parau.

Don sudah dua kali lewat di depan rumah Minarti. Pertama lewat, ia bisa melihat mobil Pandu berada di halaman dari celah-celah pagar. Dati situ ia tahu Pandu masih berada di rumah

itu dan semalam tidak pulang ke rumah keluarganya. Sejam kemudian ia lewat lagi. Melihat mobil Pandu masih ada, Don memutuskan untuk menunggu di warung kopi yang tak jauh dari tempat itu dan cukup strategis untuk memberinya pemandangan ke sana. Ia harus yakin dan melihat sendiri bahwa Pandu sudah pergi dari sana sebelum melanjutkan rencananya.

Sambil minum kopi dan membaca koran pagi, mata Don tak lepas dari rumah itu. Akhirnya kesabarannya membuahkan hasil. Pintu pagar terbuka, mobil Pandu keluar kemudian turun ke jalan. Sesudah itu pintu tertutup lagi. Perempuan yang menutup pintunya cuma kelihatan sekilas. Meskipun tidak jauh tapi tidak cukup dekat untuk bisa melihat dengan jelas.

Don menunggu lagi sekitar sepuluh menit kemudian menaiki motornya untuk menuju rumah itu. Ia tahu tidak boleh membuang waktu terlalu banyak. Bagaimana kalau penghuni rumah itu pergi? Waktu selalu memainkan peran yang penting bagi apa saja, lebih lebih bagi pekerjaannya.

Setibanya di depan rumah itu, Don mengeluarkan amplop cokelat ukuran kuarto yang sudah ditulisi alamat. Lalu ia mengetuk pintu.

Setelah pintu terbuka dan seorang perempuan berdiri di depannya, hampir saja Don ternganga saking kagetnya. Tentu saja ia mengenali Mimi, mantan pembantu rumah tangga Pandu. Tapi perempuan itu tidak mengenalnya. Don mengenali dan tahu tentang diri Mimi dari sidang-sidang pengadilan atas Malik sebagai tertuduh pembunuh Nyonya Melia. Waktu itu Mimi ditampilkan sebagai saksi. Don rajin mengikuti setiap sidang yang digelar karena nuraninya merasa terlibat dalam tragedi itu.

"Cari siapa, Pak?" tanya Mimi.

"Oh, apa saya bisa ketemu nyonya rumah? Ada kiriman," kata Don dengan sopan.

"Saya nyonya rumah," sahut Mimi judes.

"Oh, maaf, Bu. Apa Ibu Nyonya Suharti?"

"Bukan. Saya Minarti."

"Wah, salah dong," Don menggaruk-garuk kepalanya sambil memelototi amplop di tangannya.

"Ya, memang salah. Udah, ya?" kata Minarti sambil menggerakkan pintu untuk menutupnya.

"Tunggu, Bu. Ini alamatnya, Jalan Anggrek dua nomor tiga belas?"

"Bukan. Ini Jalan Anggrek satu!"

Minarti segera menutup pintu lalu menguncinya.

"Terima kasih, ya, Bu!" seru Don.

Dengan gembira Don melajukan motornya. Pekerjaannya sudah ia selesaikan dengan cepat. Tapi kemudian ia melambatkan laju motor. Perasaan gembiranya pun lenyap. Rasa simpatinya tercurah kepada Mariska dan adiknya. Apa yang terjadi pada keluarga itu?

Sondang adalah tempat Don mencurahkan isi hati sebelum ia mengabari Mariska perihal penemuannya.

"Bayangin, Son! Kenapa sampai terjadi begitu, ya?" kata Don dengan emosi.

"Mungkin dunia sudah ketuaan, Don!"

"Ah, jangan ngomong gituan, Son! Pakai sudut pandangmu sebagai seorang detektif!"

"Ya, ya," Sondang menepuk dahinya sendiri.

"Jadi kau merasa ada yang janggal? Apa bukan karena kebobrokan moral saja? Sang tuan main dengan pembantu dan sang nyonya main dengan sopir?"

"Tetapi kisahnya berakhir dengan happy end bagi sang tuan. Sang nyonya tewas dan si sopir masuk penjara. Sedang sang tuan hidup bahagia

dengan si pembantu. Kenapa sang tuan begitu munafik memintaku membuktikan perselingkuhan sang nyonya dengan sopirnya, padahal dia sendiri melakukan hal yang sama dengan pembantunya? Oh... oh...," keluh Don.

"Aku jadi bingung. Buat apa dia membayarku mahal-mahal kalau begitu'? Sudahlah kalau sama sama mau main. Fifty-fiftv saja. Menurut istriku yang mendengar banyak cerita skandal, ada tuh suami-istri yang begitu. Tak ada ribut-ribut, apalagi sampai ada yang mati segala."

Sondang tertawa. Don begitu serius sampai wajahnya tampak tua sekali.

"Hei, kau lupa, ya? Itu kasus perampokan yang gagal. Si sopir mau merampok sang nyonya tapi tidak jadi. Dia malah merampok nyawanya. Andaikata dia tidak melakukan itu, mereka tetap bisa berselingkuh tanpa ribut ribut."

"Kalau memang begitu si suami tidak perlu memakai jasaku dong."

"Kita belum tahu banyak, Don. Mungkin saja mereka berhubungan setelah kasus itu selesai. Si suami sudah jadi duda. Si pembantu perempuan lajang. Sah saja mereka melakukannya."

"Sepertinya ada hukum karma, Son. Dulu Pandu menyuruhku menguntit istrinya. Sekarang anaknya menyuruhku menguntit dia. ni...," Don bergidik.

"Aku jadi takut menyampaikan berita itu kepada Mariska."

"Kau harus. Untuk itulah kau dibayar."

"Bagaimana kalau nanti ada pertumpahan darah lagi, Son?"

"Jangan mengada-ada. Kau cuma menyampaikan kebenaran."

"Tentu. Itu kewajibanku."

"Kalau nuranimu terganggu. kau bisa saja melanjutkan penyelidikanmu. Siapa tahu memang ada yang berbau di situ."

"Nanti bantu aku, ya?"

"Ya. Itulah gunanya sahabat, bukan?"

Don merasa lebih lega. Ia akan mengikuti anjuran Sondang itu. Semangatnya kembali lagi. Ke mana sekarang? Sebelum bertemu dengan Mariska pada jam istirahat siang nanti, ia akan memanfaatkan waktunya lebih dulu. Ia akan ke rumah Maxi. Alasannya berkunjung akan ia pikirkan dalam perjalanan. Biasanya justru dalam keadaan terdesak akal pun muncul.



DON sudah berada di seberang rumah Maxi. Kali ini ia menggunakan mobil Kijang. Jalan di situ cukup lebar dan udara sudah panas meskipun baru menjelang tengah hari. Ia lebih nyaman berpikir di dalam mobil.

Ide sudah diperolehnya. Ia akan berterus terang saja kepada Maxi bahwa ia pernah melihatnya memasuki rumah Pandu di Menteng kemudian bernyanyi di situ. Ia akan melihat bagaimana reaksi Maxi. Selanjutnya dari sana ia bisa memikirkan lagi apa yang akan dikatakannya. Yang penting adalah melihat dulu apa reaksi pertama Maxi.

Ketika akan membuka pintu mobil, Don melihat sebuah mobil dengan nomor yang sudah kenalnya datang mendekat. Itu mobil Mariska. Mula-mula Don terkejut, mengira Mariska mengenalinya lalu bermaksud menyapanya.

Tetapi perkiraannya itu salah. Mobil Mariska menuju rumah Maxi, lalu berhenti di depan pintu. Ia membunyikan klakson. Segera pintu pagar terbuka. Maxi keluar. Sepertinya lelaki itu sudah menunggu. Seorang perempuan, istri Maxi, muncul di sampingnya. Ia melambaikan tangan setelah Maxi masuk ke dalam mobil Mariska.

Tanpa membuang waktu, Don juga menjalankan mobil mengikuti mobil Mariska. Perkembangan ini membuat ia melupakan idenya barusan. Jadi Maxi sebenarnya orang siapa? Mariska atau Pandu? Kalau orangnya Mariska, apakah itu bisa menjelaskan kenapa Pandu menyuruh ia menyelidiki Maxi?

Akhirnya Mariska menghentikan mobil di depan rumahnya di Menteng. Don parkir juga di belakang mereka. Di depan rumah itu ada seorang lelaki duduk di atas sadel motornya. Ia segera turun setelah mobil Mariska mendekat. Mariska dan Maxi keluar. Maxi dan lelaki bermotor itu bersalaman. Tampaknya Mariska memperkenalkan keduanya. Tanpa bicara lama-Iama, lelaki itu menghidupkan motor dan Maxi naik ke boncengan. Mereka melaju pergi

setelah mengangguk kepada Mariska.

Kemudian Mariska tampak bimbang sejenak. Ia berjalan ke depan pintu gerbang. Semula Don mengira ia akan masuk. Tapi Mariska cuma memandang sejenak ke dalam, lalu berbalik dan kembali ke mobilnya.

Don ikut bimbang. Siapa yang akan ia ikuti sekarang? Ia yakin Mariska akan kembali ke kantornya. Akhirnya ia memutuskan untuk menjalankan kendaraannya ke arah yang dituju motor dengan dua orang tadi.

Ia tercengang ketika mengetahui tujuan kedua orang bermotor itu. Penjara Salemba!

Ia ikut ke tempat parkir dan hanya memandangi mereka. Rupanya kedua orang itu akan besuk narapidana. Siapa?

Don mengambil telepon genggamnya lalu menghubungi Sondang. Ia memberitahu hasil penguntitannya sampai saat itu.

"Siapa dua orang itu?" tanya Sondang.

"Satunya adalah Maxi, lainnya tidak kukenal, Son. Yang kulihat sepertinya Mariskalah yang menyuruh mereka ke sana. Yang ingin kuketahui siapa yang mau dibesuk. Jangan-jangan si Malik!"

"Berikan deskripsi kedua orang itu. Don! Nanti kusampaikan kepada temanku di dalam sana. Tunggu berita dariku!"

Don masuk kembali ke dalam mobil lalu menunggu.

Maxi dan Jarot menunggu keluarnya Malik tanpa berbicara. Mariska sudah berpesan kepada Maxi agar hati-hati menjawab pertanyaan Jarot. Tapi Jarot tidak ingin bertanya-tanya. Ia merasa tidak nyaman di tempat itu. Suasana di ruangan dipenuhi para napi dengan keluarga dan pembesuk masing-masing. ia ingin cepat-cepat pergi.

Kemudian Jarot melihat Malik. Ia terkejut melihat perubahan penampilan Malik. Anak muda yang dulu gagah dan ceria itu sekarang tampak loyo dan kurus. Jalannya pun sedikit membungkuk. Kepalanya pelontos habis dicukur bersih hingga kulit kepalanya mengkilat. Tak kelihatan rambutnya yang tebal, hitam dan ikal. Dia kelihatan seperti pecandu narkotik!

Setelah kagetnya reda, ia segera berkata kepada Maxi,

"Itu dia, Pak! Tuh yang gundul dan jangkung."

Lalu Jarot berteriak sambil menggapai,

"Lik! Sini, Lik!"

Malik mendekat. Ia kelihatan surprise.

Tiba-tiba Jarot dipenuhi rasa iba. Keinginannya untuk secepatnya pergi dari situ lenyap seketika. Ia tidak sampai hati. Bagaimana mungkin ada orang yang menghancurkan dirinya sendiri seperti itu? Malik bukan dihancurkan oleh narkotik tapi oleh perbuatannya sendiri.

Jarot berdiri, demikian pula Maxi. Jarot mengulurkan tangan untuk menyalami Malik. Setelah menyentuh tangan Jarot, tiba-tiba Malik lepas kendali. Ia memeluk Jarot lalu menangis tersedu-sedu. Jarot menepuk-nepuk punggung Malik untuk menghiburnya. Matanya ikut menjadi basah.

"Kau baik sekali mau menjengukku, Rot! Cuma kau yang menjengukku! Cuma kau!" Malik tersedu.

Di balik punggung Malik, Jarot beradu pandang dengan Maxi. Kemudian Maxi memalingkan muka. Sementara Jarot sibuk menghibur dan menenangkan Malik, Maxi mencoba mengenang kembali pemandangan yang dilihatnya di lantai kamar, tempat kejadian perkara. Betapa berubahnya Malik bila dibandingkan dengan saat itu. Pasti bukan semata-mata karena kepalanya yang gundul. Ia juga melihat seseorang yang tersiksa. Apakah itu disebabkan karena kehidupannya di dalam penjara atau deraan batinnya sendiri?

Akhirnya badai emosi Malik mereda.

"Aku bukannya tak ingin menjengukmu, Lik. Tapi aku sekarang kerja. Sibuk terus. Sekarang pun aku sebenarnya mesti kerja, tapi minta izin masuk siangan. Aku diberi izin oleh Bu Riris untuk mengantarkan Pak Maxi, kerabatmu dari kampung."

Jarot menunjuk Maxi. Malik menatap Maxi dengan pandang bingung.

"Aku kerabat jauh dari ayahmu," kata Maxi.

"Susah membeberkan detail silsilah keluarga karena aku sendiri bingung. Tapi aku ada urusan penting yang perlu dibicarakan denganmu, Lik."

Malik mengangguk, masih tetap bingung.

"Jadi sebaiknya kutinggalkan saja kalian bicara berdua, ya Lik," kata Jarot.

"Kapan-kapan aku datang lagi menjengukmu."

"Terima kasih Rot."

"Ada pesan apa-apa, Lik?,'

"Pesan?" Malik bengong sejenak.

"Buat siapa?"

"Barangkali buat si Mimi," tercetus begitu saja dari mulut Jarot. Ia menyesal kemudian. Semata-mata karena dorongan keisengan saja ia berkata begitu. Padahal ia sama sekali tidak tahu di mana Mimi berada sekarang.

Jelas tampak kepedihan di wajah dan mata Malik. Seperti orang kesakitan.

"Ah, nggak. Nggak," sahut Malik.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jarot pergi sambil menyesali kata-katanya. ia tahu ia telah menyiksa Malik dengan kata-kata itu.

"Ada apa, Pak?" tanya Malik kepada Maxi.

Maxi mengamati wajah Malik. Masih ada sisa ketampanannya. Kalau saja rambut lelaki itu sudah tumbuh dan semangat hidupnya kembali, Malik pasti akan tampak gagah lagi.

"Begini. Lik. Sebaiknya aku berterus terang saja, ya. Aku sebenarnya bukan kerabatmu. Aku berkata begitu kepada Jarot supaya dia mau mengantarkan dan tidak banyak bertanya. Tapi sebelum aku bercerita banyak aku harap kau bisa menguatkan mentalmu untuk mendengarnya. Tabahlah."

Di luar dugaan Maxi, wajah Malik tidak menampakkan kekhawatiran.

"Apa pun yang Bapak ceritakan, tidak akan membuatku pingsan atau kaget. Aku sudah kebal," katanya.

"Tapi tadi..."

"Oh itu. Aku cuma terharu dan tersentuh karena masih ada orang yang ingat padaku. Rupanya nggak begitu juga, ya. Si Jarot cuma mengantarkan Bapak."

"Baiklah kalau begitu. Kau akan kuat dan tabah mendengarnya. Aku ke sini bukan diutus oleh Bu Riris. Tapi oleh Bu Melia!"

Malik kaget. Kepalanya tersentak seperti habis ditampar. Wajahnya memucat. Tapi ia masih bisa duduk tegak.

"Mana mungkin," katanya pelan.

"Ceritanya memang panjang. Tapi itu harus kalau mau jelas. Dengarkan, ya." Malik mengangguk.

Maxi pun bercerita sejak awal pertemuannya dengan Nyonya Melia. Ceritanya lancar dan jelas. Sambil bercerita ia mengamati wajah Malik. Tampak Malik mendengarkan dengan

tegang tapi penuh perhatian.

Ketika sampai pada bagian terakhir, yaitu pembicaraannya dengan Nyonya Melia di kamar tidur yang berantakan, ia melihat mata Malik membesar dan satu tangannya menekan dadanya. Rupanya kejutan yang menerpanya sudah sampai pada puncaknya.

"Kau tidak apa-apa, Lik?" tanya Maxi cemas. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Malik ia bisa repot.

"Tidak apa-apa, Pak. Teruskan saja"

"Memang tinggal sedikit kok."

Maxi menyelesaikan ceritanya.

"Jadi Ibu ingin tahu, kenapa kaulakukan itu?" tanyanya.

Malik mengangkat tangan dari dadanya. Ia tak segera bicara, tapi kelihatan ketegangannya berangsur menurun. Tatapannya jauh ke depan.

"Perlukah itu ditanyakan lagi? Aku sudah menerima hukumanku," sahut Malik.

"Ibu tidak percaya bahwa kau berniat merampoknya. Katanya, kau tidak perlu merampok!"

Malik menatap Maxi. Di matanya tampak kesedihan.

"Oh, Ibuuu ..., maafkan aku," katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

"Cuma itu yang kaukatakan, Lik? Ibu minta penjelasan. Jangan buat dia penasaran. Kasihanilah dia. Kau menderita dalam kehidupan, tapi dia lebih lagi. Dalam kematian dia tidak mendapatkan ketenangan."

Malik tersentak. Kepedihan tampak di wajahnya. Ia menutup muka dengan kedua tangannya lalu terisak-isak. Rupanya daya tahan lelaki itu sudah habis.

Maxi melihat arlojinya. Betapa cepat waktu berjalan.

"Tolong sampaikan kepada lbu, aku minta ampun kepadanya. Tolong jangan pikir macam-macam. Aku sudah dihukum."

"Bukan itu yang diinginkannya. Dia tidak minta macam-macam. Apakah itu berat buatmu, Lik? Dia cuma menginginkan kebenaran. Dan itu hanya bisa diberikan olehmu!"

"Kenapa harus lewat orang lain, Pak? Kenapa harus lewat Bapak? Kenapa Ibu tidak bertanya sendiri kepadaku?"

"Bu Riris juga kerap bertanya-tanya begitu. Bahkan ia datang ke rumah itu dan mempertanyakannya. Ia juga ingin berkomunikasi dengan ibunya. Tapi tidak bisa. Ibu memilihku

dan aku juga tidak tahu kenapa. Aku berjanji hanya akan menyampaikan penjelasanmu itu kepadanya, bila itu yang kauinginkan."

"Tapi Bapak orang asing bagiku. Bagaimana mungkin."

"Bagi Ibu, aku juga orang asing. Tidak kenal dan tidak tahu apa-apa. Tapi ia memilihku. Aku ingin membantunya."

"Tapi ini bukan urusan Bapak."

"Sekarang menjadi urusanku, karena aku diminta sendiri oleh Ibu. Tidak sembarang orang bisa, Lik!"

Malik termangu.

Maxi tidak sabar tapi tahu ia tidak bisa mendesak. Padahal waktu semakin sempit.

"Apa kau tidak bisa menyimpulkan kenapa Ibu jadi penasaran, Lik?"

Malik menatap dengan pandang bertanya.

"Itu karena ia tidak percaya bahwa kaulah yang telah menusuknya!"

Malik tertegun. Bibirnya tampak bergetar.

"Waktu sudah habis, Lik. Kau perlu memikirkannya dulu. Nanti aku datang lagi pada kunjungan berikut."



Don sudah mendapat kepastian dari Sondang lewat telepon genggamnya.

"Memang dua orang yang kau deskripsikan itu mengunjungi Malik. Kayaknya menarik juga, Don!"

"Aku teruskan pengamatanku dulu, ya?"

"Silakan!"

Don melihat teman Maxi keluar sendirian, menaiki motornya lalu pergi. Berarti Maxi masih di dalam, berbincang berdua saja dengan Malik. Ia akan menunggu dan memanfaatkan waktunya untuk berpikir.

Jadi Maxi dan temannya datang menemui Malik atas restu atau suruhan Mariska. Di samping itu, Mariska juga memintanya memata-matai Pandu, ayahnya sendiri. Mungkin Mariska sudah memiliki kecurigaan bahwa perempuan yang jadi gundik ayahnya adalah Mimi. Tapi Maxi, yang mungkin orang suruhan Mariska, menemui Malik sebelum dia tahu pasti perihal hubungan ayahnya dengan Mimi. Berarti, urusan Maxi bukan mengenai hal itu.

Apakah Mariska dan ayahnya bertentangan? Bila memang demikian, berarti ada masalah yang cukup penting untuk dipertentangkan. Apakah seorang perempuan seperti Mimi, yang

tampaknya lugu dan sederhana, cukup penting untuk jadi masalah seperti itu?

Seperti yang dilihat Don sendiri, Mimi memang tampak berubah dibanding dulu. Tetapi itu tentunya wajar saja. Seorang perempuan dari desa yang semula lugu dan tak tahu berdandan bisa berubah drastis bila didandani. Apalagi kalau keadaan ekonominya pun meningkat. Ia bisa membeli banyak barang yang semula cuma bisa diimpikan.

Memang menakjubkan perubahan itu, pikir Don. Di sidang-sidang pengadilan Malik, Mimi kelihatan kecil dan terpuruk di kursinya saat tampil sebagai saksi. Dengan pakaian kedodoran dan wajah tanpa riasan, ia kelihatan seperti anak yang belum dewasa. Lugu dan bodoh. Suaranya bergetar ketika menjawab pertanyaan. Matanya sayu dan sebentar-sebentar diusapnya dengan punggung tangan. Sepertinya ia bisa pecah berantakan setiap saat. Karena itu tak ada yang membentak-bentaknya saat menanyai. Mereka semua sabar dan simpatik. Bisa dimaklumi karena Mimi adalah saksi penting.

Tetapi ketika Don melihatnya tadi, Mimi kelihatan dewasa dan cantik. Padahal orangnya

sama. Biarpun demikian, ia bisa mengenalinya tanpa ragu. Mata Don sudah terlatih.

Pikirannya terputus. Ia melihat orang banyak keluar dari pintu. Jam kunjungan sudah usai. Buru-buru Don keluar dari mobil lalu mendekati pintu untuk mencari Maxi. Ia khawatir kehilangan orang yang ditunggu-tunggunya itu. Untunglah ia segera melihatnya, berbaur di antara orang banyak. Ia cepat mengejar.

"Pak Maxi!" seru Don.

Maxi terkejut. Ia mengenali.

"Oh, Bapak yang punya usaha katering, itu, kan?" katanya.

"Betul, Pak."

"Wah, ada order dari penjara rupanya," kata Maxi, setengah bergurau.

Don tertawa. Tapi tidak menyangkal atau mengiyakan.

"Bapak habis besuk, ya?" tanya Don.

"Iya. Ada kenalan."

"Mau pulang ke Kelapa Gading, Pak? Ayo sama sama saja." Maxi tidak berpikir lama untuk menyetujui ajakan itu. Tentu menyenangkan sekali bila ada yang menawarkan tumpangan. Apalagi perasaannya sedang galau.

Sebelum menjalankan kendaraannya, Don

mengirimkan pesan singkat melalui telepon genggamnya kepada Mariska, bahwa ia tidak bisa menemui Mariska siang itu. Bagaimana kalau malam hari saja? Jawaban diperolehnya. Mariska setuju lalu menentukan waktu serta tempat pertemuan.

Don dan Maxi berbincang mengenai hal-hal umum. Don tidak menanyakan siapa yang dikunjungi Maxi dan kenapa sampai dipenjara. Ia memilih topik yang netral. Lalu dengan mendadak ia mengalihkan.

"Oh ya, tempo hari saya melihat Bapak di Menteng. Bapak bawa gitar."

Maxi terkejut. Ia tersentak menoleh, menatap wajah Don dengan tajam.

"Di Menteng? Sedang jalan?" ia menegaskan.

"Mulanya ya. Saya kebetulan lewat di situ. Lalu Bapak masuk ke sebuah rumah di situ. Maaf ya, Pak. Saya heran karena saya tahu riwayat rumah itu. Sekarang kosong dan tidak terurus, kan? Kok Bapak masuk ke situ. Jadi saya berhenti dan menjenguk. Ternyata Bapak duduk di gazebo kemudian bernyanyi. Maaf sekali lagi, Pak. Saya terpesona mendengar suara Bapak. Bagus sekali!"

Don mengoceh tanpa perasaan bersalah meskipun meminta maaf berulang kali.

Maxi mendengarkan dengan sesal. Jadi ada yang mengamatinya. Tapi Don tidak kelihatan jahat atau berniat jelek.

"Saya benar-benar kagum pada Bapak," celoteh Don lagi.

"Tapi saya jadi takut lho."

"Kenapa?"

"Bapak berani sekali bernyanyi di situ. Apakah Bapak tahu riwayat rumah itu?"

"Tahu."

"Saya melihat daun-daun berguguran menimpa Bapak sewaktu bernyanyi. Suara Bapak sangat bangus tapi membuat bulu roma saya berdiri. Saya sampai tidak sanggup mendengarkan sampai selesai. Saya pergi buru-buru. Mungkin itu akibatnya kalau mendengarkan tanpa izin."

Maxi bingung sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

Tetapi Don bicara lagi,

"Saya tahu betul riwayat rumah itu, Pak. Sangat mengerikan, bukan? Dulu saya tidak pernah absen menghadiri persidangan Malik, orang yang dituduh mem



bunuh nyonya rumah."

Maxi terkejut.

"Apakah Bapak po..: po... li... si?" ia bertanya cemas.

"Ah, bukan," sahut Don tertawa.

"Saya pensiunan pegawai negeri, suami dari seorang pengusaha katering."

"Tapi kok Bapak rajin menghadiri sidang-sidang itu?"

"Ada yang membuat saya tertarik."

Maxi tidak percaya.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, masa."

"Terserah kalau Bapak tidak percaya. Tapi semasa kecil saya kepengin sekali menjadi detektif. Tapi badan saya kecil. Nggak diterima. Sahabat saya yang badannya gedeanlah yang diterima. Sekarang dia yang jadi detektif. Saya penggemar cerita detektif. Ha ha ha!" Don tertawa riang.

Kekhawatiran Maxi terhadap Don lenyap. Ia ikut tertawa.

"Jadi Bapak tahu banyak mengenai kasus itu?"

"Oh ya. Saya mengikutinya dengan teliti."

"Bapak percaya si Malik itu pembunuhnya?" tanya Maxi.

Pertanyaan itu menggelitik perasaan Don. Ia

sadar, jawabannya atas pertanyaan itu bisa merangsang cerita Maxi yang lebih banyak lagi. Tapi ia harus hati-hati untuk tidak bersikap terlalu yakin.

"Bagaimana tidak percaya kalau dia sendiri mengakuinya?"

"Ya. Dia memang mengaku. Tapi...." Maxi tidak meneruskan ucapannya. Ia takut keceplosan.

"Saya menyimpulkan, dia mengaku tanpa paksaan. Pasrah sekali."

"Ceritakan, Pak. Bagaimana sikapnya selama persidangan itu?"

"Murung, pasrah, dan sangat sopan. Kadangkadang seperti orang linglung. Dia selalu menundukkan kepala. Tampak malu menentang tatapan orang. Kalau menjawab serba singkat."

"Apakah dia ditanyai perihal hubungannya dengan Ibu Melia?" tanya Maxi.

"Ya. Tentu saja."

"Lantas apa jawabannya?" tanya Maxi bernafsu.

Nada suara Maxi disadari oleh Don.

"Ia bilang hubungan itu sebatas sebagai sonir dan majikan. Tidak lebih dari itu. Kenapa

tubuh mereka berdua berada di kamar tidur itu disebabkan karena dia masuk diam-diam untuk merampok, tapi ternyata majikannya berada di situ. Jadi dia menusuknya."

"Kalau begitu dia sudah membawa pisau."

"Jelas dong. Maling saja yang masuk diam diam di tengah malam sering kali membawa senjata untuk berjaga-jaga," sahut Don, merasakan keingintahuan Maxi kian meningkat.

"Apakah dia membawa dua pisau? Satunya kan digunakan untuk menusuk dadanya sendiri. Masa setelah menusuk punggung majikannya dia berlari turun ke dapur untuk mengambil pisau lagi, lalu lari lagi naik tangga untuk merebahkan diri di samping majikannya?"

Don tertawa.

"Itu pemikiran yang bagus, Pak. Katanya. dia memang membawa dua pisau. Satu di balik baju, satu dipegang. Kayaknya repot, ya? Tapi pengakuannya begitu."

"Bagaimana dengan saksi-saksi, Pak?"

"Mimi, pembantu rumah tangga, menemukan mereka. Ia menjerit, memanggil Jarot, tukang kebun."

"Tadinya mereka berada di mana?"

"Jarot ada di halaman depan. Mimi di dapur.

Rumah itu besar. Dapurnya di belakang dan punya pintu keluar sendiri."

"Apa Mimi tidak melihat Malik mengambil pisau?"

"Kata Mimi itu pisau Malik sendiri. Bukan diambil dari dapur."

"Sudah direncanakan?"

"Katanya iya. Ia mencari waktu yang tepat."

"Apakah Bapak sendiri merasa puas dengan pengakuan Malik yang begitu gampang?"

"Entahlah. Puas atau tidak puas itu relatif."

"Apakah ada kemungkinan dia melindungi seseorang hingga dia pasang badan?"

Don melirik Maxi. Tampaknya serius.

"Siapa yang mau dilindunginya? Kayaknya nggak ada."

"Siapa tahu."

"Saat itu tidak ada yang mencurigakan, Pak. Tidak ada indikasi ke situ."

"Wah, saya nanya banyak sekali, Pak," kata Maxi.

"Maaf, ya."

"Tidak apa-apa. Bagi saya, membicarakan perkara kriminal justru menyenangkan. Tak terasa waktu berlalu. Lihat. Kita sudah hampir sampai di rumah Bapak."

"Terima kasih, ya, Pak."

"Kembali."

Setelah berpikir sejenak, Maxi berkata,

"Boleh saya tahu nomor telepon genggam Bapak?"

"Tempo hari saya sudah memberikan brosur. Ada teleponnya di situ."

"Itu kan telepon rumah, Pak. Kalau Bapak tidak keberatan mungkin suatu waktu saya perlu konsultasi dengan Bapak."

"Soal katering?" tanya Don dengan serius.

Max tertawa.

"Bukan, Pak. Masalah kriminal."

"Wah. Menarik juga. Tapi ngomongin soal itu bisa menghabiskan baterai telepon."

Maxi tersipu. Susah juga kalau bicara terselubung.

"Maksud saya, janjian dulu gitu. Tentunya kalau Bapak ada waktu."

Don tak segera berbicara. Maxi melirik dengan khawatir.

"Apakah tentang masalah yang menyangkut Malik, Pak?" tanya Don dengan tajam.

Maxi terperangah. Pertanyaan itu benar-benar langsung.

"Tadi Bapak besuk dia, kan?" kata Don lagi.

Maxi menjadi cemas. Dia terlalu bersemangat. Siapakah Don ini? Ia sama sekali tidak mengenalnya.

Don menepuk paha Maxi sambil tertawa.

"Hei, kok Bapak takut sama orang kecil seperti saya ini? Saya cuma pengamat. Dari pertanyaan gencar Bapak seputar persidangan Malik, lalu tadi Bapak habis besuk penjara yang merupakan tempat penahanan Malik, tidak sulit untuk menyimpulkan hal itu. Dan pasti ada hubungannya juga dengan kedatangan Bapak ke rumah TKP. Di sana Bapak seperti di rumah sendiri. Bapak menyanyi dengan irama yang sendu. Benar-benar sepenuh hati. Saya merinding mendengarnya. Tidak mungkin orang yang hanya iseng bisa menyanyi seperti itu. Apalagi dengan suasana yang terlihat aneh. Tempat itu, gazebo namanya ya, katanya merupakan tempat duduk-duduk favorit Nyonya Melia. Jadi dari kesemua itu, bagi saya kesimpulannya jelas. Bapak punya hubungan dengan keluarga Rahman. Bener, nggak, Pak?"

Dalam hati Maxi mengeluh. Beginilah kalau bicara dengan orang yang pintar. Tapi. bukankah justru orang seperti ini yang bisa dimintai bantuan kalau nanti ia menemukan kebuntuan?

"Ya, memang benar, Pak," Maxi mengaku.

"Hei, nggak usah malu begitu karena ketahuan. Bapak kan nggak berbuat salah. Orang yang suka mengamati dan menyelidiki seperti saya ini juga nggak salah karena tidak merugikan orang. Kita kan tidak memfitnah atau memeras orang."

"Ah, Bapak pintar. Pantas kalau jadi detektif," puji Maxi.

Hidung Don mengembang saking bangganya.

Lama-kelamaan Maxi merasa aman terhadap Don. Jelas lelaki kecil ini bukan polisi. Barangkali perkenalannya dengan Don bisa memberikan hikmah baginya. Mencari kebenaran seperti yang diminta Nyonya Melia itu pasti sulit dilakukannya sendiri. Ia perlu bantuan orang yang punya kemampuan dan memahami kasus itu.

Don memberikan nomor telepon genggamnya setelah Maxi berjanji untuk tidak sembarang memberikannya pada orang lain. Ia benci pada orang yang suka iseng. katanya.

"Boleh saya tahu, apakah Bapak punya kemampuan spiritual?" tanya Don.

"Apakah Bapak bertanya begitu karena melihat saya menyanyi waktu itu?" Maxi balas bertanya.

"Ya."

"Sebenarnya saya tidak merasa punya kemampuan. Nyatanya saya sendiri tak habis pikir kenapa saya bisa mendapatkan pengalaman aneh yang tidak bisa dijelaskan. Padahal saya bukan paranormal atau dukun. Saya orang biasa saja, Pak."

"Pengalaman aneh, ya? Apa Bapak sering mengalaminya?"

"Beberapa kali."

"Menyangkut kasus Nyonya Melia?"

Maxi tertegun sejenak. Tapi ia menjawab,

"Ya."

Don tidak puas dengan jawaban singkat itu. Ia merasa sudah semakin dekat dengan apa yang ingin dicapainya. Kalau dilepaskan sekarang, mungkin tak bisa ia peroleh lagi.

Ia menghentikan mobil di tepi jalan lalu menatap Maxi.

"Pak, saya berjanji akan membantu Bapak sekuat kemampuan saya kalau suatu waktu

Bapak membutuhkan bantuan," kata Don sambil memegang tangan Maxi.

"Saya tidak mengambil keuntungan apa-apa. Saya cuma senang melakukannya."

"Apakah begitu jelas kelihatan bahwa saya membutuhkan bantuan?" Maxi ingin tahu.

"Bagi saya begitu. Pertama, nyanyian Bapak begitu sendu. Kedua, Bapak besuk Malik. Ketiga, Bapak gencar bertanya perihal kasusnya, bahkan bertanya apakah saya percaya dia pembunuh. Tapi saya belum tahu siapa yang mau dibantu Bapak itu. Apakah Malik?"

"Bukan. Saya diminta Ibu Melia."

"Apa?" Don mengira ia salah dengar. Barangkali yang dimaksud itu Mariska.

"Saya diminta Ibu Melia," tegas Maxi.

"Mengherankan, bukan? Tapi memang begitu. Permintaan arwah sulit ditolak."

"Tapi mana mungkin. Katanya Bapak bukan paranormal."

"Baiklah. Saya akan bercerita. Tapi sebelumnya saya mohon Bapak jangan menyebarluaskan cerita saya itu sebagai gosip atau kisah sensasi. Saya tidak ingin almarhum dilecehkan. Itu tidak boleh. Kalau saya bercerita kepada

bapak, itu Karena saya mungkin membutuhkan bantuan Bapak nanti. Di samping karena Bapak seorang pengamat. Bapak juga punya teman detektif. Saya sadar sulit bagi saya memenuhi permintaan almarhum tanpa bantuan."

"Tentu. Saya berjanji. Bapak tidak salah memilih orang." kata Don serius.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maxi pun bercerita untuk kedua kalinya hari itu. Yang pertama tadi kepada Malik.

Perlahan-lahan bulu roma Don berdiri.



MlNARTI berangkat dari rumahnya. Ia membawa serta kertas bertuliskan alamat yang disalinnya dari kertas di dalam dompet Pandu. Dorongan yang terasa dalam dirinya sangat kuat untuk menemukan dan membuktikan sendiri siapa sebenarnya "th" itu. Apakah dia adalah Jarot, si tukang kebun? Sebenarnya dorongan itu sama kuatnya dengan larangan hati kecilnya. Buat apa mengorek masa lalu kalau itu sudah terkubur dengan baik? Tapi masa lalu tersebut, betapapun mengerikannya. seakan melambai-lambai terus ke arahnya. Memanggil dan membujuk. Ayolah ke sini!

Yang membuatnya penasaran adalah hubungan Jarot dengan Pandu. Seandainya "th" itu memang Jarot, si tukang kebun, kenapa ada di dalam dompet Pandu? Bukankah itu berarti Jarot masih punya hubungan dengan Pandu, seperti juga dirinya?

Setelah bertanya sana-sini dan mencari dengan gigih, akhirnya ia sampai di kawasan perumahan sederhana. Ia menemukan alamat yang dicarinya. Sebuah rumah yang tak beda dengan sekitarnya. Sederhana kalau tak bisa dibilang jelek. Tapi bagaimanapun itu sebuah rumah, masih jauh lebih baik daripada di kolong jembatan atau emperan toko. Bagi Mimi, rumah itu sangat jelek bila dibandingkan dengan rumahnya. Ah. rumah itu memang jadi milik Mimi karena Pandu menghadiahkannya untuknya. Surat-surat rumah tersebut sudah atas nama dirinya dan disimpan olehnya sendiri. Jadi biarpun kelak Pandu mendepaknya karena sudah bosan atau sebab lain, ia tetap berhak atas rumah itu.

Ia menemukan rumah th. Nomornya sesuai. Tapi rumah itu tampak sepi. Pintunya terkunci dengan gembok di sebelah luar. Setahunya, Jarot sudah berkeluarga. Mungkin juga . itu bukan Jarot, si tukang kebun.

Mimi melewati rumah itu karena memang tak ada lagi yang bisa diamatinya. Apakah sebaiknya ia bertanya kepada tetangga sebelah rumah? Tapi andaikata th itu memang singkatan dari Jarot, belum tentu dia Jarot yang dikenalnya.

Ia kembali menyusuri jalan sempit. Lalu terdengar klakson motor di belakangnya. Ia memang jalan agak ke tengah. Ia menyisih, memberi jalan. Tapi kemudian motor itu berhenti di depannya. Pengendaranya membuka helm. Dia Jarot, si tukang kebun!

Mimi terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang yang dicarinya muncul begitu saja di depannya, seperti dijatuhkan dari langit.

Jarot tersenyum lebar dan mengamati Mimi dari atas ke bawah dengan tatapan kritis.

"Wah, wah, wah. Ck, ck, ck," desisnya tanpa menyembunyikan kekaguman dalam ekspresinya.

"Kau Mimi, kan? Waduh, pangling aku!"

"Duh, Mas Jarot! Di sini, ya?" seru Mimi sambil tersenyum manis, memamerkan segala kemanisannya. Tak lupa menggerakkan tubuhnya bagai pramugari. Ketika itu ia mengenakan celana panjang ketat warna cokelat dengan blus ketat warna krem kembang-kembang putih dan menyandang tas kecil warna cokelat. Dulu ia tidak pernah mengenakan pakaian yang ketat ketat. melainkan serbalonggar. Daster dan kaus

gombrong dipadu dengan celana kolor selutut. Dengan demikian bentuk tubuhnya tak pernah kelihatan jelas. Beda dengan sekarang. Lekuk liku tubuhnya serba jelas. Rambutnya yang panjang sebahu dibiarkan tergerai, kelihatan indah seperti iklan sampo di televisi. Dulu selalu diikat karet gelang. Dan wajahnya sekarang sudah tentu dirias meskipun tidak terlalu tebal. Padahal dulu, jangankan dirias, cuci muka saja sepertinya jarang.

Pendeknya di mata Jarot, Mimi sungguh cantik tak kepalang. Mungkin cocoklah kalau jadi artis sinetron. Tapi kemudian perasaannya berganti jadi pedih ketika teringat kepada Malik yang barusan ditengoknya. Nyata benar bedanya kedua orang itu. Yang satu terangkat, sedang yang lain terpuruk. Bagaimana jadinya kalau keduanya bertemu dan saling melihat? Entah siapa Yang akan pingsan di antara mereka.

"Apa kabar, Mi? Kayaknya kamu sekarang jadi nyonya besar," goda Jarot.

"Jangan gitu, Mas. Aku belum jadi nyonya. Nyonya kecil juga belum," sahut Mimi tertawa.

"Tapi kamu berubah begitu banyak. Pasti peruntunganmu jauh lebih baik, ya?"

"Ya, begitulah," Mimi tak ingin bercerita terus terang. Itu akan sangat merugikan dirinya sendiri.

"Sekarang kerja di mana Mi?"

"Aku jadi sales," sahut Mimi sekenanya.

Jarot membelalak.

"Wah, apa yang kau jual?"

"Kosmetik. Cocok sama penampilan, kan?"

"Ya, ya. Cocok banget. Pantasnya kau cukup sukses, ya? Syukurlah. Selamat."

"Terima kasih. Mas Jarot sendiri kerja di mana sekarang? Udah pakai motor, ya? Pasti nggak main tanah lagi, nih."

"Aku kerja di pabrik plastik. Main tanah paling di rumah. Nanam pohon di pot." Jarot tertawa.

"Sekarang nggak kerja? Kalau aku sih libur."

"Aku dapat izin masuk siangan. Pulang dulu ke rumah. Tuh di situ dekat. Tapi aku nggak ngajak mampir lho. Rumah lagi kosong. Istri dan anakku sedang pulang ke kampung. Jadi serba berantakan. Malu. Lagi pula kalau dilihat tetangga aku bisa diadukan ke istriku. Siang bolong bawa cewek cakep."

Mimi tertawa senang. Dulu mana mungkin

dia bisa membuat istri orang cemburu.

"Eh, ngapain kau ke sini, Mi? Cari siapa? Mau jualan?"

"Aku nyari rumah teman. Tapi kayaknya nggak ketemu."

"Alamatnya di mana?"

Mimi asal menyebut dengan mempelesetkan nama kawasan itu.

Jarot menggeleng.

"Wah, nggak tahu di mana itu," katanya.

"Udah, ya, Mas. Aku mau pulang aja."

"Tinggalnya di mana, Mi? Yuk aku antar?" Jarot menepuk sadel motornya.

"Terima kasih, Mas. Jangan ah. Entar ada yang lihat terus lapor sama istrimu, wah, bisa heboh nanti. Lebih baik jangan cari gara-gara, Mas."

Jarot tertawa. Sebenarnya menyenangkan juga memboncengkan gadis cantik. Tiba-tiba ia teringat lagi kepada Malik. Tawanya lenyap oleh kepedihan.

Mimi menatap heran.

"Kenapa, Mas? Sakit perut?"

Jarot memutuskan untuk mengatakannya.

"Aku ingat pada si Malik, Mi. Barusan aku

menjenguknya."

Mimi tersentak kaget. Mukanya memucat sejenak. Tapi dengan cepat ia berhasil menguasai perasaannya.

"Ba... bagaimana dia, Mas?"

"Dia jadi kurus, bungkuk, dan murung. Kelihatan stres berat, Mi. Kasihan."

"Dia ngomong apa?Apa dia menyebut aku?" tanya Mimi dengan bernafsu.

Nada suara Mimi membuat Jarot heran. Apakah Mimi masih punya rasa terhadap Malik?

"Nggak sih. Justru aku yang menyebut namamu. Kelihatannya dia ingin ngomong sesuatu, tapi nggak jadi."

"Sesuatu apa?"

"Entahlah. Mungkin lain kali dia mau ngomong. Soalnya dia kaget lihat aku. Nggak nyangka aku besuk dia."

"Tumben kau besuk dia."

Jarot tak mau menyebut nama Mariska atau Maxi. Sebaiknya jangan bawa-bawa nama orang lain.

"Entahlah. Mungkin karena aku suka mimpiin dia. Kamu nggak suka mimpiin dia. Mi?"

"Nggak. Buat apa?" kata Mimi judes.

"Ah, jangan gitu. Kamu kan pacarnya."

"Itu dulu, Mas. Sekarang nggak lagi."

"Kasihan dia. Kayaknya dia mau beri pesan sesuatu kepadamu. Mungkin nanti dia ngomong lebih banyak." Jarot kesal karena sikap Mimi. Mentang mentang lebih beruntung, pikirnya.

"Mau ngomong apa sih?" tanya Mimi dengan membelalakkan matanya.

"Sesuatu mengenai kau tentu saja," sahut Jarot, sengaja membangkitkan keingintahuan Mimi.

"Aku kepengin tahu juga tuh. Makanya nanti aku mau besuk dia lagi. Kau mau ikut, Mi? Kan dia bisa bicara langsung denganmu."

"Nggak! Nggak! Aku nggak mau! Udah ah. Aku mau pulang!"

Mimi segera melangkah cepat. Pergi dari hadapan Jarot. Lalu dia setengah berlari seperti takut dikejar.

Jarot tak bermaksud mengejar. Dia hanya ingin pulang untuk beristirahat sebentar, lalu kembali ke pabrik untuk bekerja.

Jarot langsung melaporkan peristiwa yang dialaminya kepada Mariska, baik di LP Salemba maupun pertemuannya dengan Mimi. Ia yakin Mariska tidak keberatan dirinya tidak

segera kembali ke pabrik sesudah kunjungan ke Salemba, mengingat ia membawa cerita mengenai Mimi. Tentunya Mariska juga akan terheran heran melihat perubahan pada diri Mimi seperti yang dialaminya sendiri. Ia juga memberi tambahan bumbu pada ceritanya, tentang judes dan sombongnya Mimi sekarang. Mentang-mentang sudah jadi sales yang berpenampilan cantik. Lalu sekarang Mimi tak mau peduli lagi pada nasib Malik. Bagaimanapun Malik itu kan pernah menjadi pacarnya. Mentang-mentang sekarang sudah jadi napi. Apa salahnya mengunjungi, sekadar memberi perhatian dan simpati? Jangan jangan Malik berniat merampok itu juga buat dia, begitu Jarot mengeluarkan unek-uneknya.

Ternyata Mariska memang sangat senang mendengar cerita Jarot meskipun ia bisa menduga ada bumbu yang ditambahkan. Amplop berisi sedikit uang yang sudah ia sediakan diserahkannya kepada Jarot.

"Belikan kue buat anakmu, ya, Rot. Terima kasih untuk bantuanmu," kata Mariska.

Jarot sangat senang.

"Terima kasih kembali. Bu."

"Ingat, Rot. Jangan cerita sama Bapak. Biar itu untuk pengetahuan kita saja."

Jarot berjanji.

Setelah itu Mariska menelepon Maxi, ingin tahu ceritanya. Ternyata telepon genggamnya nonaktif. Dan ketika ia telepon ke rumah Maxi, Grace berkata suaminya belum pulang. Mariska jadi harus menahan keingintahuannya. Apalagi Don juga sudah mengirimkan pesan bahwa ia tak bisa menemuinya siang itu.

Kemudian Maxi balas menelepon.

"Bagaimana kalau kau ke rumah nanti malam, Ris? Kita bisa membicarakannya bersama-sama seperti biasa."

"Baik, Pak. Tapi sebelum ke rumah Bapak, saya harus menyelesaikan urusan dulu. Jadi saya tidak bisa memastikan jamnya. Yang pasti saya akan ke sana. Saya juga mendapat cerita dari Jarot."

Ya, pembicaraan akan ramai, pikir Mariska setelah mematikan telepon.

Siang itu Rico makan di sebuah restoran siap saji bersama Ivan dan beberapa kawan sekerjanya yang lain. Hubungannya dengan lvan sudah membaik. Sekarang lvan sedang sibuk

mencari pasangan baru, begitu ia mengakuinya sendiri. Istilahnya hunting. Bagaikan pemburu yang sedang mencari mangsa. Tapi hal itu membuat Rico lega dan bebas.

Ketika mereka sedang makan sambil riuh berbincang-bincang, dengan heran Rico mendapatkan suasana tiba-tiba senyap. Ivan dan yang lainnya tiba-tiba diam seribu basa. Tawa mereka pun lenyap.

"Ada apa?" tanya Rico.

Belum lagi kalimatnya berakhir, teman-temannya itu berdiri sambil membawa baki masing-masing. Mereka pindah ke meja yang lain tanpa mengatakan apa-apa kepadanya. Sesudah itu, Rico yang terheran heran menjadi bengong ketika seseorang muncul di depannya. Inge!

Perempuan itu membawa baki dengan piring penuh dan botol minuman yang penuh juga. Jelas dia baru mengambil makanan. Dengan tersenyum manis dia berkata,

"Boleh duduk di sini, Ri?"

Sebelum Rico menjawab, Inge sudah duduk di depannya. Rico memandang berkeliling. Teman-temannya duduk di sudut yang lain.

Ivan memonyongkan mulutnya. Teman yang lain melambaikan tangan. Ada lagi yang memberi isyarat dengan ibu jari ke bawah. Jelas bagi Rico bahwa Inge telah mengusir teman-temannya itu dari belakang punggungnya.

"Nggak apa-apa aku duduk di sini, kan?" Inge menegaskan lagi.

"Nggak," sahut Rico tanpa memandang inge. Ia terus menyantap makanannya.

Inge duduk di depan Rico.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingin sekali bicara denganmu, Ric," katanya sambil mengaduk-aduk nasinya.

"Bicara saja."

"Tapi tidak sekarang. Waktunya kan sempit. Aku sudah kembali bekerja di tempat yang lama."

"Oh, begitu."

"Kau sudah tahu tentang aku rupanya."

"Tidak. Tahu apa?"

Wajah Inge yang cantik merengut kesal. Tapi cuma sebentar. Ia tersenyum kembali.

"Aku sudah bercerai."

"Aku ikut prihatin."

"Anakku harus kutinggalkan di sana. Dia warga negara sana. Aku tidak bisa membawanya. Tapi mereka harus membayar mahal untuk itu."

Inge menggoyang lengannya. Terdengar bunyi gemerencing. Rico mengarahkan tatapannya. Tampak beberapa gelang emas bertabur berlian kecil memenuhi pergelangan tangan Inge. Kalau tidak tertutup lengan panjang blazer, gelang-gelang itu pasti akan kelihatan mencolok.

"Sayang sekali," komentar Rico.

Inge mengerutkan kening. Sambutan dingin dari Rico tidak membuatnya surut.

"Aku tahu, kau masih marah padaku. Tempo hari aku tidak sempat menjelaskan padamu. Si Jepang itu benar-benar agresif dan menyambar seperti elang. Dia membuatku lupa diri."

"Tidak baik menyalahkan orang lain."

"Ya. Aku tahu kau akan berkata begitu. Aku terima apa pun yang kaukatakan. Aku menyesal. Maafkan aku."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan."

"Jadi kau tidak marah?" tanya Inge penuh harap.

"Semuanya sudah berlalu. Badai sedahsyat ana pun akan berlalu."

"Maukah kau berbaikan lagi denganku, Ric?"

"Maksudmu?"

"Hubungan kita bisa baik kembali. Jangan musuhi aku. Kau terlalu baik untuk jadi musuhku."

Kali ini Rico menatap Inge. Dia lebih cantik daripada dulu, pikirnya dengan pahit. Tapi kecantikan itu seperti racun.

"Aku tidak memusuhimu. Akujuga tidak ingin punya musuh."

Inge tertawa riang.

""Terima kasih, Ric. Maukah kau kutraktir makan malam nanti?"

"Sayang sekali. Aku tidak bisa."

Inge kecewa.

"Kenapa tak bisa? Sudah punya janji?"

"Ya."

"Kau sudah punya pacar?"

"Ya."

"Oh, sori. Tapi kan baru pacar. Belum jadi istri. Tidak apa-apa, kan? Aku ingin bicara panjang denganmu." Inge pantang menyerah.

"Wah, aku tidak ingin melanggar janji. Sori, ing."

Rico bangkit dari kursinya.

"Lho, makananmu belum habis." kata Inge.

"Sudah kenyang. Pergi dulu, ya."

Rico pergi dengan langkah cepat. Sebuah siulan panjang terdengar di belakangnya. Ia tidak menoleh.

Belakangan, ketika bertemu kembali dengan Ivan dan rombongan yang makan bersama, Rico mendapat pujian. Jempol-jempol mengacung untuknya.

"Perempuan tebal muka!" sungut Ivan.

Rico hanya tersenyum. Tetapi mereka tidak tahu, perjumpaan dengan Inge itu seperti mengorek luka yang sudah menutup. Perasaannya sakit dan sedih. Apakah itu berarti sesungguhnya jauh di lubuk hati ia masih mencintai Inge? Apakah ia menolak ajakan Inge karena persoalan harga diri?



Don sengaja mengulur waktu pertemuannya dengan Mariska supaya punya waktu untuk bertemu Sondang. Ia berutang cerita kepada temannya itu. Apalagi cerita itu menggemparkan. Pastilah Sondang sendiri akan terkejut-kejut. Mana ada duanya cerita seperti itu.

Benar saja. Sondang terbengong-bengong.

"Kalau bukan kau yang cerita dan subenarnya pun orang yang bisa dipercaya, tentulah itu rekaan belaka. Fiksi!"

"Benar dugaanku tentang Maxi itu. Dia punya kelebihan yang aneh. Tapi dia menolak dianggap sebagai orang aneh. Dia tidak punya semacam kemampuan luar biasa, tapi hanya kebetulan disukai arwah Nyonya Melia untuk dijadikan medium."

"Luar biasa!" seru Sondang.

"Lantas apa yang dikatakan si Malik kepadanya?"

"Malik tidak mau bicara lain daripada yang pernah dia katakan sebelumnya. Jadi dia tetap mengaku sebagai perampok dan pembunuh."

"Orang itu memang dalam proses memakan hati sendiri."

"Itukah pendapatmu, Son?"

"Ya. Lihat saja tampangnya kayak gitu. Suatu saat nanti, hatinya akan habis dimakan sendiri lalu tentu saja dia akan jatuh mati."

"Lalu meninggalkan kebenaran dalam kegelapan."

"Bahkan dia tidak mau mengaku bahwa dirinya kekasih gelap sang nyonya."

"Mungkin dia mau menjaga nama baik sang nyonya. Itu sebabnya dia mengajukan isu perampokan. Makanya sang nyonya mengatakan sebenarnya dia tidak perlu merampOk. Sebagai kekasih tentunya minta apa pun pasti diberikan. Kenapa mesti merampok?"

"Mungkin ada baiknya dia dikonfrontir dengan hasil penyelidikanmu sendiri, Don. Lihat bagaimana reaksinya."

"Ya. Itu ide yang baik. Tapi kelihatannya aku harus bekerja sama dengan Maxi. Apa untuk itu aku harus buka kartu, Son? Sudah jelas dia dekat dengan Mariska. Jangan-jangan perjumpaannya denganku pun dia ceritakan kepada Mariska. Kalau dia memberikan deskripsiku pastilah dia bisa menebak siapa aku. Jarang ada orang kecil seperti aku, kan?"

"Biarpun badan kecil tapi hatinya besar."

Mereka tertawa.

"Tapi aku tidak suka kerja ramai-ramai begitu, Son. Aku lebih suka kerja sendiri."

"Kalau begitu, ngapain kau harus buka kartu? Buka kalau terpaksa saja!"

"Ya. Betul sekali."

Sampai saat pulang kantor, Mariska tidak ditanyai perihal Jarot oleh ayahnya. Demikian Dula Jarot. lelaki itu tidak melapor bahwa dia

terkena teguran atau pertanyaan dari Pandu. Jadi semuanya baik-baik saja. Sekarang MariSka hanya tinggal menunggu waktu untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut.

Ya, waktu akan mengungkapkan rahasia sedikit demi sedikit. Apakah semua akan terungkap? Semua itu seberapa? Dan berapa waktu yang diperlukan?

Pintu kantornya terbuka. Kepala Pandu nongol.

"Kau nggak mau pulang?" tanya Pandu. Suaranya ramah.

"Mau, Pa." Mariska bangkit dari kursi lalu menyambar tasnya.

"Papa pulang ke rumah, kan?"

"Tentu saja. Memangnya kau pikir aku mau kemana?"

"Habis kemarin Papa menghilang tanpa bilang-bilang," kata Mariska dengan gaya manja.

"Apa kau kehilangan?"

"Bukan kehilangan lagi, Pa."

Pandu tertawa.

"Indi bilang apa?"

"Ribut tuh, Pa. Katanya kita mesti ngecek ke semua rumah sakit kalau-kalau Papa kecelakaan," Mariska berbohong dengan rasa bersalah.

"Waduh, sampai seperti itu?" Pandu malah senang.

"Iya. Lain kali jangan bikin kami ketakutan lagi dong. Pa. Yang penting kasih kabar."

"Iya deh."

Pandu merangkul pundak Mariska saat berjalan menuju pintu. Mariska senang karena ayahnya tidak lagi meributkan soal Jarot. Barangkali kecemasannya sama sekali tidak berdasar.

Pada saat itulah telepon genggam Pandu berbunyi. Pandu meraih dan melihatnya, lalu menjauh.

Mariska menunggu di tempat.

"Halo?" kata Pandu.

"Ada apa? Oh, penting? Ya, baiklah. Aku ke sana sekarang."

Pandu mematikan teleponnya lalu menatap Mariska.

"Ris, aku harus pergi ke tempat lain dulu. Pulanglah duluan. Mungkin aku nggak perlu lama."

"Baik, Pa. Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa jangan lupa telepon. Itulah gunanya telepon. Pa."

"Ya, ya. Tentu."

Pandu melangkah cepat-cepat ke tempat

parkir. Mariska tak mau mengimbangi. Ia malah jalan lebih perlahan, membiarkan ayahnya pergi lebih dulu.

Pandu menurunkan kaca jendela saat melewati Mariska yang masih berjalan menuju mobilnya sendiri.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu hati-hati juga. Ris!" seru Pandu sambil mengangkat tangan.

"Daaah, Papa!"

Mariska merasa bisa menebak ke mana ayahnya pergi. Meskipun sikap Pandu sudah lebih hangat dan ramah kepadanya, tapi Pandu pasti tetap saja merasakan kekosongan di dalam hati. Seorang ayah tidak cuma membutuhkan anak-anaknya, tapi juga yang lain. Sesuatu yang khusus untuk dirinya sendiri yang tak bisa diberikan anak-anak. Apakah perempuan di sana itu bisa memberikannya?

Setiap orang membutuhkan hal yang sama. Sesuatu untuk diri sendiri. Cinta memang bisa diperoleh dari orang yang bukan kekasih. Tapi, bukankah hanya kekasih yang bisa memberikan sesuatu yang khusus itu?

Mariska tak segera menjalankan mobil. Pikiran itu membuatnya kesepian. Keinginan

mendapatkan kekasih terasa amat sangat. Bahkan saat itu siapa pun akan ia terima dengan tangan terbuka. Ke sinilah! Temani aku, peluk aku, dan berikan kehangatan pada hatiku yang dingin!

Tiba-tiba ada ketukan pada kaca mobilnya. Ia terkejut. Tampak wajah Satpam di kaca. Mariska menurunkan sedikit kaca jendelanya.

"Ibu nggak apa-apa?" tanya Satpam dengan rupa prihatin.

"Oh, nggak. Terima kasih. Aku lagi mikir."

Satpam mengangguk sopan lalu memberi aba-aba jalan ketika Mariska menghidupkan mesin mobil. Mariska tersenyum. Ah, emosional sekali dirinya. Barangkali ia iri kepada ayahnya?

Tetapi emosi yang dipuaskan hanya memberi kenikmatan sekejap. Efek sampingannyalah yang panjang. Begitu pikiran waras Mariska mengingatkan.

Tiba-tiba muncul keinginan untuk menyendiri di tempat vang seni dan hening. Sebentar saja.

Rico siap untuk pulang. Barusan ia ditelepon ayahnya.

"Ric, jangan pulang malam-malam, ya. Kita akan rapat bersama Riris dan Indi."

"Wah, ada berita menggemparkan, Pa?"

"Ya. Dan Riris pun punya berita."

"Aku segera pulang, Pa!"

Ada sensasi menjalari dirinya mendapat berita itu. Tapi ketika ia teringat kembali kepada Inge, sensasi itu lenyap.

"Kau tidak lihat bagaimana rupanya saat kautinggalkan," cerita Ivan tadi.

"Oh, ya? Bagaimana?" tanya Rico. Sebenarnya ia tidak tertarik.

"Wah, betapa marahnya dia! Mukanya yang cantik itu jadi serem. Kayak kuntilanak. Hiii...!"

Rico jadi tidak enak. Bukan maksudnya membuat Inge semarah itu. Ia hanya ingin menjauh.

"Hei, jangan merasa bersalah!" seru Ivan.

"Dia pantas mendapat balasan setimpal. Padahal itu belum setimpal. Masih jauh."

Sebenarnya Rico tidak ingin membahas soal ini. Ia hanya ingin melupakan. Kenapa Inge tidak menetap saja di Jepang sana? Kenapa dia harus kembali lagi ke sini?

Apakah perempuan memang berkulit tebal seperti Inge? Tapi ibunya tidak. Mariska juga tidak.

Ah, Riris. Begitu saja muncul keinginan untuk bertemu dan bicara hanya berdua. Sebentar malam mereka memang akan bertemu. Tapi tidak berdua saja. Ada banyak orang. Mereka pun tidak akan punya kesempatan untuk membicarakan masalah pribadi. Ada soal lain yang menggemparkan dan karenanya lebih menyita perhatian. Mana mungkin ada waktu tersisa. Memang masih ada hari esok. Tapi ia ingin sekarang. Oh, betapa sedikitnya waktu.

Ia mengambil telepon genggamnya. Lalu menghubungi Mariska.

"Hai, Ris! Dalam perjalanan? Apakah aku mengganggu?"

"Sama sekali tidak. Kau di mana?"

"Aku baru mau pulang."

"Nanti malam kita kumpul, ya."

"Ya. Papa juga memberitahu. Oh ya. kau akan pulang ke rumah sekarang? Kata Papa, kau ada urusan dulu."

"Sekarang masih sore. Urusannya nanti malam. Nggak lama sih. Cuma menunggu info dari orangku. Kenapa?"

"Jadi sekarang istirahat dulu di rumah, dong."

"Ah, nggak. Aku kepengin nyepi, Ric."

"Nyepi?" Rico tertawa.

"Maksudku, aku ingin merenung sejenak. Ada banyak kejadian belakangan, ya. Rasanya aku jadi melupakan diriku sendiri."

"Mau nyepi ke mana. Ris?"

"Aku mau ke Menteng saja."

"Sama siapa?"

"Sendiri tentu saja."

"Apa aku... boleh bergabung? Tapi itu tentu bukan nyepi namanya, ya. Sori. Nggak deh."

"Hei, aku senang ditemani. Sungguh. Datanglah. Mungkin aku duluan nyampai. Kutunggu."

Rico tertawa gembira setelah mematikan telepon. Suara Mariska yang didengarnya itu benar-benar menyatakan ketulusan bahwa dia senang ditemani. Bukan cuma basa-basi.

Persetan dengan Inge! Pergilah kau ke neraka!





MARISKA duduk di dalam gazebo beralaskan kertas koran. Posisinya menghadap ke arah rumah. Cuaca belum terlalu gelap tapi lampu di taman sudah ia nyalakan. Suasana jadi tidak seram lagi. Dan itu menambah perasaan nyaman. Mungkin juga karena keyakinan sebentar lagi ia akan mendapat teman. Kok bisa-bisanya Rico menelepon di saat ia amat sangat kesepian? Apakah itu kebetulan? Atau ada suatu kontak batin? Apakah tanpa sadar ia telah memanggil-manggil Rico di dalam hatinya ketika itu? Rasanya ia tidak melakukan hal itu. Tapi ia memang membayangkan sosok seseorang walaupun tidak jelas siapa itu. Yang pasti dia adalah lelaki. Jangan-jangan dia memang Rico. Aduh, betapa memalukan.

Kelebihan apa yang sebenarnya dimiliki Rico dibandingkan dengan lelaki-lelaki lain

yang pernah dekat dengannya? Mariska belum tahu. Yang sudah pasti diketahuinya adalah kekurangannya. Rico mantan homo. Atau masih ada sisa-sisa yang mengendap? Kata orang, sekali gay tetap gay. Benarkah begitu?

Pemikiran Mariska yang mendalam membuat ia melupakan suasana sekitarnya. Ia benar-benar meresapi keheningan dalam suasana hati yang pribadi. Tidak terpikir akan hantu atau masalah berat yang sedang dihadapinya belakangan ini.

Tetapi itu cuma sementara. Tiupan angin menyadarkannya. Ia melayangkan pandang ke sekitarnya. Taman yang menyedihkan. Rumput sudah menjadi ilalang dan gundul di beberapa tempat. Tanaman hias ada yang mati, ada pula yang tumbuhnya tidak keruan.

Perhatiannya beralih ke gazebo tempat dia berada. Daun-daun mati sudah tak ada lagi yang melekat. Tunas-tunas sudah tambah besar. Bahkan ada yang berbunga. Hal itu terjadi pada keempat batang yang melingkari tiang besi. Tampaknya tak perlu diganti pohon baru. Cukup dengan mengurus tanaman yang lama saja. Cuma repotnya kalau tiang besi yang sudah karatan itu mau dicat. Bisakah pohonnya dilepaskan dari belitan? Mereka seperti... seperti berpelukan erat bagai sepasang kekasih!

Ah, buat apa pula hal itu ia pikirkan? Sekarang tak ada lagi niat untuk merenovasi rumah berikut tamannya. Dulu ia memang cuma menjadikan hal itu sebagai alasan supaya Maxi mau datang ke situ dan membantunya. Sekarang itu tidak lagi diperlukan. Ayahnya pun seperti melupakan rencana itu karena tak pernah menanyakan lagi. Apa karena dia terlalu asyik dengan pacarnya hingga segala sesuatu terlupakan? Seharusnya ayahnya mengenalkan pacarnya itu kepada dia dan Indi. Lebih baik tidak main sembunyi dan gelap-gelapan. Ia tidak keberatan ayahnya punya pacar. Itu menandakan ayahnya adalah lelaki normal. Asal saja si pacar itu bukan Mimi!

Terbayang. olehnya sosok seorang perempuan kumal. Dialah Mimi yang selalu tampak kedodoran. Tapi kata Jarot tadi, Mimi sudah berubah menjadi cantik dan menarik. Pekerjaannya pun tak lagi sebagai pembantu. Apa benar dia jadi sales seperti pengakuannya kepada Jarot"? Jangan-jangan bukan.

Kepastiannya baru didapat nanti malam. Sekarang dia perlu menguatkan mental.

Oh, kuatkan aku, pintanya. Apa yang harus aku lakukan bila ayahku benar-benar "menyimpan" Mimi?

Pikiran Mariska semata-mata dipenuhi masalah itu. Sedang masalah ibunya tersisih sejenak.

Ia terkejut ketika mendengar suara berdehem lalu melihat Rico menghampirinya. Rupanya pikirannya begitu intens hingga tidak mendengar kedatangan lelaki itu.

"Kuperhatikan kau sejenak," kata Rico.

"Kau kelihatan asyik merenung. Benar-benar nyepi, ya? Apa aku mengganggu?"

"Sama sekali tidak. Duduklah. Aku masih punya kertas koran."

Mariska mengalasi jok kursi di sampingnya dengan koran yang sudah ia sediakan di meja.

"Terima kasih," kata Rico sambil meletakkan pinggulnya di kursi.

"Sudah lama?"

"Paling seperempat jam."

"Dari tadi di sini terus?"

"Oh iya. Aku mikirin macam-macam. Banyak sekali. Penuh di sini." Mariska menunjuk

dahinya.

"Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang belum jelas. Nanti kalau sudah jelas baru dipikirkan."

"Untuk menguatkan mental, Ric."

"Jangan. Nanti malah kacau."

"Apa bisa begitu? Ah, serem juga."

Rico tertawa.

"Serem? Tapi kulihat kau tidak merasa serem di sini," katanya sambil memandang berkeliling.

"Ah, tidak. Dulu kau juga duduk di sini. Ingat?"

"Tentu saja aku ingat. Apa kau memikirkan ibumu tadi, Ris?"

"Nggak. Aku mikirin Papa terus. Mama malah kelupaan."

"Kok begitu?"

"Entahlah. Padahal aku baru tahu jawabannya nanti, tapi sekarang sudah cemas duluan."

"Jawaban apa? Bukankah apa yang akan kita bicarakan nanti bukan mengenai ayahmu?" Rico heran.

Mariska memutuskan untuk berterus terang saja. Bila Rico kelak akan tahu segala masalah ibunya, apa salahnya bila dia juga tahu perihal

ayahnya? Sudah terlanjur basah.

"Oh, begitu. Alangkah rumitnya," komentar Rico usai mendengar cerita Mariska.

"Mungkin kau mikir jelek tentang aku. Kok ayah sendiri dimata-matai."

"Aku akan melakukan hal yang sama bila berada di posisimu," kata Rico, menghibur dan memberi semangat.

"Sungguh?" Mariska senang.

"Ya. Jadi sekarang tenang saja dan tunggu apa kata si detektif. Hasilnya yang sudah jelas baru dipikirkan. Kalau kau mau. aku ingin bisa membantu. Dengan apa saja."

"Terima kasih, Ric."

"Sekarang, bisakah kita bicara tentang diri kita, Ris?"

"Kita?"

"Ya. Apakah itu sesuatu yang aneh?"
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak sih. Tapi apanya tentang kita?"

"Wah, pasti banyak. Kalau boleh, aku ingin tahu banyak tentang dirimu. Apa kau ingin hal yang sama dari diriku?"

Wajah Mariska menjadi ceria. Ia duduk lebih tegak.

"Oh ya..Mau!" serunya.

"Tapi kau duluan. ya?"

Rico senang melihat reaksi Mariska. Itu reaksi yang wajar, tanpa kepura-puraan. Spontan dan apa adanya. Maka ia bercerita mengenai inge dan Ivan.

"Kau melakukannya dengan bagus. Dingin dan terkendali," puji Mariska.

"Seharusnya dia bersyukur bahwa kau tidak memaki-maki dan mempermalukannya. Semua orang kan sudah tahu bahwa dia yang salah."

"Tapi dengan berbuat begitu pun cukup membuat ia malu. Ia punya harga diri yang tinggi."

"Apa kau merasa tak enak karenanya? Kau menyesal karena tidak memperlakukan dia sesuai harga dirinya?"

Rico tersentak.

"Aku memang merasa tak enak. Aku juga menyesal. Tapi sebabnya bukan karena itu. Aku merasa bodoh sekali. Apakah cinta bisa membuat orang bodoh. Ris?"

Mariska mengangguk.

"Katanya begitu. Cinta juga membuat orang buta."

"Kalau begitu cinta sebenarnyajuga sesuatu yang tidak baik. Bisa membutakan dan membodohkan."

"Bisa lupa diri. Bisa mati konyol juga."

"Wah..."

"Tapi ada senangnya, kan? Biarpun cuma sebentar."

"Buat apa senang sebentar, tapi sedih berkepanjangan."

"Lantas kau memutuskan tidak akan mencintai orang lagi?"

"Aku pikir, soal itu bukan aku yang memutuskan."

"Siapa kalau begitu?"

"Dewa atau Dewi Asmara. Orang Yunani bilang, Cupid. Kalau dia mengarahkan panahnya kepadaku, mana mungkin aku bisa menghindar."

Mariska tertawa.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kau kena panah?"

"Aku akan menerimanya. Tapi aku tidak mau buta dan bodoh lagi. Kan sudah pengalaman."

"Apakah hanya orang berpengalaman yang bisa menjadi bijak dalam memilih, Ric?"

"Setidaknya dia sudah belajar. Itu lebih baik dari pada orang yang tidak pernah belajar."

"Aku senang kau tetap optimis biarpun punya pengalaman pahit."

"Justru karena optimislah aku menjalin hubungan dengan Ivan."

"Kau tidak merasa kejeblos untuk kedua kali?"

"Tidak. Waktu itu aku tidak melihat jenis kelamin meskipun aku menyadarinya. Yang terpenting adalah batin."

"Apakah itu berarti kau biseks?"

Rico terkejut oleh pertanyaan yang langsung itu.

"Tidak. Aku hanya memilih satu. Dua adalah pengkhianatan. Aku tidak mau mengkhianati tapi aku pun tidak mau dikhianati."

"Itu pendirian yang bagus. Aku suka yang seperti itu."

"Sekarang giliranmu bercerita, Ris."

"Cerita apa, ya?" Mariska menggaruk-garuk kepala.

"Ayo, jangan ingkar janji."

"Pengalamanku tidak sebanyak dan sehebat kau. Aku punya beberapa teman lelaki. Cukup dekat tapi belum sempat jadi pacar sudah lepas."

"Lho, kenapa?"

"Habis kalau tidak cocok, kenapa diteruskan? Mereka membuat aku sebal."

"Kenapa? Apa barangkali kau menuntut kesempurnyaan? Kau perempuan yang sudah memiliki banyak hal lho."

"Aku tidak percaya pada kesempurnaan. Yang seperti itu tidak ada. Aku percaya, orang tidak akan bahagia bila hidup hanya untuk mengejar hal itu."

"Menurutmu, apa yang bisa membahagiakanmu?"

Mariska menoleh, menatap wajah Rico lekat-lekat.

"Aku akan bahagia sekali kalau aku bisa mencintai dan dicintai!" katanya yakin dan bersemangat.

"Cuma itu?"

"Oh, tentu masih ada, yaitu menjalani hidup yang penuh cinta itu dengan jiwa-raga yang sehat! Hei, jangan tanya lagi lainnya. Orang gampang terjebak dalam keserakahan, Ric. Orang serakah tak kunjung bahagia."

"itu pendapat yang bagus sekali, Ris. Nggak sangka, ya. Waktu pertama berkenalan kukira kau arogan."

"Sama dong! Kukira kau juga begitu."

Mereka tertawa.

"Kita memang sama-sama menjaga jarak,

ya Maklum belum kenal betul," kata Mariska.

"Tapi kukira saat itu kau masih dipengaruhi kebencian pada kaum perempuan. Aku maklum untuk soal itu orang perlu waktu. Dan aku sepertinya arogan karena memang begitulah seharusnya sikap perempuan terhadap lelaki. Bukan karena aku merasa cantik dan kaya. Aku tidak cantik juga tidak kaya. Yang kaya itu ayahku."

"Sikap yang seharusnya memang begitu itu bagaimana?"

"Pada umumnya lelaki menilai negatif perempuan yang terlalu ramah dan akrab pada perkenalan awal. Aku menilai begitu dari pengalaman. Itu membuatku heran dan sebal.

" Kenapa ya mereka selalu membuat penilaian yang menjurus ke seks setiap berkenalan dengan perempuan? Gampang atau sulit dapat, ya? Mereka menilai perempuan seperti barang! Sulit mencari sahabat lelaki karena pikiran mereka sering kali ngeres duluan. Kita inginnya bersahabat, diskusi, dan kerja sama. Mereka inginnya ke tempat tidur."
Gento Guyon 14 Kemelut Iblis Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo

Cari Blog Ini