Ceritasilat Novel Online

Gazebo 6

Gazebo Karya V Lestari Bagian 6



Rico tertawa. Menurutnya, itu pemikiran yang terbuka.

"Bagus," katanya.

"Jadi bener. kan? Karena itu ketika kudengar kau homo, ada senangnya juga. Kupikir kau pasti seorang yang bisa diajak diskusi dengan serius tanpa disertai pikiran kotor. Apalagi kau anak Pak Maxi, orang yang sangat kuharapkan bantuannya."

"Lantas bagaimana sekarang setelah ternyata aku tak ingin jadi homo lagi?"

"Aku percaya padamu karena keyakinanku sendiri. Itu kudapat karena perkenalan kita ini berkembang dari situasi yang tidak biasa. Sebelum mengenalmu aku lebih dulu berkenalan dengan ayahmu, lalu ibumu. Aku suka mengamati orang, Rie."

"Sekarang pun kau masih mengamati aku?"

"Kukira yang namanya pengamatan itu tak pernah berhenti selama ada kehidupan. Tapi ingat. Mengamati itu bukan memelototi."

Rico tertawa.

"Terima kasih kau percaya padaku. Tapi aku rasa setiap orang, cowok maupun cewek, normalnya punya juga pikiran ngeres terhadap lawan jenisnya pada suatu waktu."

"Oh iya. Tentu saja. Temasuk aku, kan? Tapi itu tidak harus mendominasi pikiran. Apalagi dijadikan tujuan."

"Ya. Senang sekali berdiskusi begini denganmu."

Mereka diam sejenak. Istirahat dari percakapan panjang. Tanpa sadar keduanya sudah melonjorkan kaki ke atas kursi di depan masing-masing. Angin sepoi-sepoi terasa menyejukkan.

Rico menolehkan kepalanya sedikit, cukup untuk mengamati wajah Mariska. Gadis ini memang tidak secantik lnge. Tapi dia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Inge. Sesuatu itu adalah pemikirannya yang luas dan terbuka serta sikapnya yang menyenangkan. Ia juga memberi rasa aman dari kekhawatiran dikhianati.

"Kenapa?" tanya Mariska tiba-tiba.

Rico tersipu, merasa kedapatan.

"Nggak apa-apa. Kau berhak mengamati aku," kata Mariska dengan senyum.

"Bolehkah aku? Ah..., nggak. Nggak jadi." Rico tersipu lagi. Ia merasa seperti orang bodoh.

"Boleh," sahut Mariska. Suaranya menenangkan

Rico heran.

"Boleh?" tegasnya.

"Ya, boleh."

"Tapi kau belum tahu apa yang mau kutanyakan."

"Lho, kan sudah." Mariska yang heran sekarang.

"Apa coba?" Rico ingin tahu.

"Ah, aku nggak mau mengulangi. Jangan main-main." Mariska merengut.

"Baiklah. Jadi boleh, ya?"

"Sejak kapan kau jadi cerewet?"

Tiba-tiba Rico mendoyongkan tubuhnya sambil menarik Mariska. Ia mencium Mariska di bibirya. Gadis itu tegang pada mulanya, tapi kemudian otot ototnya mengendur. Ia membalas memeluk.

Beberapa saat lamanya mereka berciuman, merasakan kehangatan respons masing-masing. Sama sama menikmati kencangnya aliran darah dan debaran jantung. Akhirnya dengan perasaan berat Rico melepaskan pelukan. Kemudian mereka berpandangan.

"Benarkah kau sudah tahu apa yang mau kutanyakan tadi?" tanya Rico lagi.

"Pertanyaan yang mana?"

"Aku cuma bertanya bolehkah aku...? Tapi kemudian kukatakan nggak jadi. Tiba-tiba aku takut kau salah paham. Tapi kau segera bilang boleh."

"Apa iya? Apa aku salah dengar? Nggak ah. Aku dengar jelas kok. Dan kau sama sekali tidak bilang nggak jadi."

"Jadi kau dengarnya apa?"

"Ya. seperti yang kaulakukan itu."

Mereka berpandangan.

"Sudahlah. Jangan dipertanyakan," Rico memutuskan.

Mereka kembali bersandar dengan sikap santai.

Tangan keduanya berpegangan. Keanehan itu harus mereka terima. Anehnya lagi, mereka tidak merasa seram karenanya. Tentu karena keanehan seperti itu menyenangkan bagi mereka berdua.

"Bagaimana rasanya?" tanya Mariska.

Pertanyaan itu mengejutkan Rico.

"Aku suka. Kau?"

"Ya. Sama. Tapi karena suka itu, tentu kita tidak terdorong untuk sering melakukannya, bukan?"

"Tentu saja. Bagiku, cium adalah ekspresi perasaan. Bukan semata-mata karena ingin saja."

"Kukira juga begitu."

"Entah bagaimana denganmu, Ris. Tapi kukira aku jatuh cinta padamu."

Mariska tertawa.

"Apa kau mengatakan itu karena diskusi kita yang panjang tadi?"

"Itu cuma salah satu."

"Bagaimana kalau aku mengecewakanmu? Nanti hatimu lebih sakit lagi. Aku tidak ingin seperti Inge."

"Kau tidak akan seperti Inge, karena kau bukan dia. Sekarang yang kutakutkan adalah apakah aku mendapat tanggapan yang positif darimu. Jangan jangan cuma bertepuk sebelah tangan," kata Rico dengan khawatir.

Mariska tersenyum menenangkan.

"Kaupikir kenapa aku mau saja dicium?" katanya dengan manis.

"Setiap perbuatan kan ada alasannya."

Rico memekik gembira. Untuk kedua kalinya mereka kembali berciuman. Kali ini lebih lama.

Tiba-tiba Mariska menarik diri lalu melompat berdiri. Rico terkejut.

Mariska mengibaskan pantatnya berulang-ulang sambil berjingkrak-jingkrak.

"Ada ulat! Hiii...!" serunya dengan penuh rasa jijik.

Rico terkejut. Ia segera memeriksa bagian belakang celana panjang yang dikenakan Mariska.

"Tenang, Ris. Nggak ada ulat."

Lalu mereka memeriksa koran yang dijadikan alas duduk. Koran itu dikibas-kibas. Tak ada apa pun yang jatuh ke bawah. Di jok kursi yang dekil itu pun tidak ada benda asing.

Mereka berpandangan sejenak.

"Aku merasa ada yang menggelitiki pantatku," kata Mariska.

"Bukan aku," Rico cepat menyahut.

"Ya. Aku tahu di mana tanganmu."

Dengan penasaran Mariska menyambar jok kursi. Sebelum ia sempat meneliti jok itu, tatapannya cepat beralih ke dudukan kursi dari pelat besi yang semula tertutup jok. Di situ ada beberapa gumpalan kertas yang diremas dan sudah menjadi gepeng karena diduduki. Sebagian berwarna biru, sebagian lagi merah jambu.

"Mustahil barang-barang itu bisa menggelitiki," kata Mariska.

Ia melemparkan jok yang ada di tangannya ke kursi di depannya, lalu mengambil sebuah gumpalan kertas berwarna biru. Ia membukanya lalu melicinkannya di meja. Lembarannya sebesar buku saku. Ada tulisan dengan spidol hitam pada kertas itu. Meskipun kertas itu sudah remuk, tapi bisa terbaca...dengan jelas.

"Aku cinta Bumel!"

"Apa ini?" tanya Mariska.

Rico mengambil gumpalan lain yang berwarna merah jambu. Ia membukanya. Besarnya sama dengan yang biru. Ada tulisannya juga.

"Aku cinta Lik!"

Mereka kembali berpandangan. Lalu seperti dikomando keduanya serentak mengambil gumpalan-gumpalan kertas yang lain dan membukanya. Ternyata semua sama. Yang biru bertuliskan "Aku cinta Bumel!" Dan yang merah jambu bertuliskan "Aku cinta Lik!"

Mariska mengangkat jok kursi yang lain. Rico membantunya. Ketiga kursi lainnya tidak ada apaapanya. Mereka memandangi lembaran-lembaran kertas kumal yang diletakkan di meja.

"Para pembantu juga Malik memanggil ibuku dengan sebutan Bu Mel. Dan Malik biasa dipanggil Lik," kata Mariska dengan suara lirih. Ada kesedihan mendalam di hatinya. Betapa mudahnya kebahagiaan lenyap. Beberapa menit yang lalu ia merasa bahagia, tapi sekarang sebaliknya.

Rico memahami kesedihan Mariska. Ia memeluknya. Dalam pelukan Rico, Mariska merasa terhibur.

"Belum tentu dugaanmu itu benar. Ris," bisik Rico.

"Lalu siapa yang berbuat iseng seperti ini, Ric? Ini tempat pribadi Mama."

"Ingat waktunya sudah lewat lebih dari setahun."

"Tapi siapa yang mau berbuat begitu? Apa keuntungannya?"

Rico tak bisa berkata-kata lagi.

Pada saat itu telepon genggam Mariska berbunyi. Dari Don.

"Baik, Pak," Kata Mariska.

"Tempat yang dulu, ya? Saya akan ke sana kira-kira sejam lagi. Bisa? Terima kasih."

Mariska menutup telepon lalu menatap Rico.

"Itu sang detektif. Ayo kita pulang. Aku mau menjemput Indi dulu. Dia bisa ngambek kalau nggak diajak."

Mariska meraup semua kertas yang bertebaran di meja lalu memasukkannya ke dalam tas. Rico membantunya. Ada sepuluh lembar kertas itu, lima lembar bagi masing-masing warna.

"Kau bisa pulang sendiri, Ris?" tanya Rico.

"Kau bisa kutemani sampai rumah. Nanti aku kembali lagi ke sini mengambil mobil."

"Aku tidak apa-apa. Terima kasih."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan mikir macam-macam. Ingat. Masih banyak persoalan yang mesti dituntaskan. Ini cuma salah satu."

Mariska berjanji. Tapi dalam perjalanan ia tidak bisa tidak memikirkannya.

Ia teringat kepada masa remajanya dulu. Ketika itu ia suka sekali mencoret-coret nama cowok yang disenanginya dengan tulisan "I love you" atau gambar hati dengan anak panah. Buku catatannya penuh dengan coretan. Tak ada kertas yang dibiarkan kosong. Kalau semua itu dilihat sekarang, rasanya menggelikan.

Tetapi ia juga teringat kepada sesuatu yang menggelitiki pantatnya tadi. Kalau tidak begitu, ia tidak akan menemukan kertas-kertas itu. Mungkin orang lain juga tidak. Seandainya gazebo itu jadi direnovasi termasuk kursinya lalu kertas-kertas itu ditemukan, paling-paling

orang akan menganggap semua itu sampah lalu membuangnya. Siapa yang mau susah payah membuka kertas-kertas itu satu per satu. Lagi pula orang yang tidak mengenal mereka tidak akan memahami maknanya.

Ibunya telah melakukan itu dengan sengaja supaya Mariska menemukan surat-surat tersebut. Apakah itu suatu pengakuan?



DON sudah menunggu sekitar sepuluh menit ketika Mariska dan Indiarto datang dengan tergesa-gesa.

"Maaf Pak, telat nih," kata Mariska dengan malu.

"Pantasnya Bapak telah menunggu lama sekali."

"Oh, belum. Saya juga telat."

Mariska menyuruh Indiarto membeli makanan dan minuman. Sementara Don sudah tidak menyisakan apa-apa lagi di piringnya. Ia menolak ketika ditawari tambahan makanan.

Mereka berdua menunggu dulu sampai Indiarto kembali ke meja untuk memulai topik utama pembicaraan.

Don mengeluarkan secarik kertas lalu menyerahkannya kepada Mariska.

"Itu nama dan alamat dari penghuni rumah tempat Pak Pandu Rahman menginap."

Diam-diam Don mengamati wajah Mariska dan Indiarto saat mereka berdua membaca. Jelas tampak olehnya wajah-wajah yang tersengat.

"Minarti alias Mimi," baca Mariska. Suaranya terdengar pilu.

Don menyembunyikan rasa ibanya.

"Bagaimana penampilannya, Pak?"

Don memberikan deskripsi seperti yang dilihatnya.

"Apakah ada lagi yang diketahui Bapak tentang perempuan itu?"

"Yah, waktu Pak Pandu masih tinggal di Menteng, dia pembantu rumah tangga di sana," sahut Don. Lebih baik kedua orang itu tahu dengan pasti daripada terus bertanya-tanya.

Mariska memekik pelan sambil meremas tangan lndiarto.

"Jadi benar dia," keluh Indiarto.

"Bagaimana Bapak bisa tahu pasti tentang hal itu?" Mariska belum puas.

"Saya tahu karena saya mengenali dia sewaktu mengikuti sidang perkara Malik yang jadi tertuduh dalam kasus kriminal di rumah .

Mariska dan adiknya terkejut.

"Bapak ini siapa? Polisi? Jaksa?" tanya Mariska.

"Oh, bukan. Saya cuma pengunjung. Kebetulan saya suka kasus-kasus kriminal," kata Don dengan suara menenangkan.

Mariska dan Indiarto berpandangan.

"Jadi Bapak tahu hubungan kami dengan Pak Pandu?" tanya Mariska. Ia belum yakin benar, tapi ekspresi Don yang tampaknya tahu banyak itu sepertinya memang sudah tahu.

"Ya. Pada saat saya menyelidiki, hal itu terbuka dengan sendirinya."

Mariska mengangguk.

"Betul, Pak. Barangkali Bapak punya prasangka jelek tentang kami, ya."

"Ah, sama sekali tidak, Bu. Dalam profesi saya ini, yang harus saya kerjakan cuma order yang saya terima dari klien. Kalaupun ada prasangka, itu bukan urusan saya."

"Kami cuma ingin tahu, Pak."

"Saya mengerti."

"Apakah di rumah itu ada anak kecil, Pak?" tanya Mariska.

"Tidak ada. Rumah itu cuma ditempati Mimi

sendirian."

"Baguskah rumah itu, Pak?" tanya Indiarto.

"Ukurannya mungil, tapi lumayan bagus."

Mariska menyerahkan cek, sisa dari uang muka yang sudah dibayarkan sebelumnya.

"Apakah ada lagi yang mau ditanyakan, Bu? Barangkali saya bisa jawab," kata Don dengan simpati.

"Sebenarnya ada, Pak. Tapi saya khawatir itu di luar tugas yang saya berikan."

"Tidak apa-apa. Kalau saya bisa jawab, apa salahnya? Saya kan tidak perlu melakukan penyelidikan lagi."

Mariska dan Indiarto tampak bersemangat.

"Mengingat Bapak menghadiri sidang-sidang kasus Malik, saya jadi tertarik. Tentunya Bapak tahu, yang menjadi korban adalah ibu kami. Begini, Pak. Malik itu kan sudah divonis dan dinyatakan sebagai pelaku penusukan ibu saya. Dia pelaku tunggal. Kasusnya sudah dinyatakan selesai. Tapi Bapak yang menyukai kasus kriminal dan rajin menghadiri sidang mungkin punya pendapat sendiri. Apakah ada keganjilan yang Bapak temukan dari sidang-sidang itu? Terutama pada Mimi yang jadi saksi?"

"Itu merupakan kasus yang boleh dibilang gampang dan cepat selesai karena Malik mengakui dan bersikap kooperatif. Dia juga memperlihatkan penyesalan yang sangat. Mimi kelihatan histeris pada awalnya, tapi tenang kemudian."

"Dia pacar Malik, Pak."

Don terkejut.

"Oh, saya tidak tahu."

"Jarot mengatakan, Mimi itu matre. Mata duitan begitu."

"Jarot? Apakah dia salah satu saksi? Tukang kebun?"

"Betul. Sekarang dia kerja di pabrik ayah saya."

"Oh begitu. Jadi tiap hari bisa ketemu." Don teringat kepada teman Maxi yang datang ke penjara bersamanya, lalu pulang lebih dulu. Jadi itulah Jarot. Ketika itu Don tidak begitu mengenalinya. Jarot mengenakan helm dan sewaktu membuka helm lelaki itu membelakangi Don. Lalu saat ke luar sendirian, wajahnya tak terlihat secara penuh. Begitu naik motor Jarot pakai helm lagi. Yang dijadikan ciri untuk pengenalan hanya bajunya.

"Saya ingin tahu, bagaimana sikap Jarot



sewaktu jadi saksi. Pak?"

"Dia kelihatan biasa saja. Dia lebih tenang dibanding Mimi. Tapi waktu menceritakan apa yang dilihatnya di TKP, suaranya bergetar dan sempat hilang. Dia juga sempat mengucek mata. Katanya ia tak habis pikir bagaimana Malik bisa begitu tega."

"Lalu Malik gimana?"

"Dia lebih banyak menunduk. Mungkin untuk menyembunyikan mukanya. Beberapa kali dia menyusut hidung dan mata."

"Apakah kepada saksi-saksi ditanyakan tentang hubungan Malik dengan ibu saya?"

"Oh iya. Tapi mereka bilang tidak tahu,"

"Bapak percaya bahwa mereka tidak tahu?"

Don tertegun sejenak. Tentu dia sendiri tahu betul bagaimana sebenarnya hubungan Malik dengan Nyonya Melia.

"Ketika itu saya tentunya percaya saja. Mereka kan disumpah. Tapi sekarang tidak percaya."

"Kenapa?"

"Waktu itu Mimi kan pacar Malik. Sebagai pacar, tentunya dia lebih memperhatikan dan mengamati gerak-gerik Malik dibanding orang

lain. Ekspresi, cara memandang, dan sebagainya. Pendeknya, gampang cemburu dan curiga."

Don teringat kepada pengamatannya dulu. Bagaimana Malik memandang pada nyonya majikannya. Mata dan wajahnya memperlihatkan puja dan puji yang mendalam. Sulit untuk dipercaya bahwa pada saat bersamaan ia pun bisa berpacaran dengan Mimi. Mustahil kalau Mimi tidak merasakan. Orang biasanya peka dalam situasi seperti itu.

Don melihat tatapan selidik Mariska kepadanya. Ketika menyadari sesuatu ternyata sudah terlambat.

"Bagaimana Bapak bisa bilang begitu? Bukankah ketika itu tidak ada kepastian mengenai hubungan Malik dengan ibu saya? Tidak ada yang bilang atau menyatakan melihat sendiri bahwa ada perselingkuhan, di antara mereka. Tapi Bapak sepertinya sudah tahu," Mariska mencecar.

Untuk pertama kalinya Don menjadi gugup. Mariska bersikap seperti interogator meskipun dalam nada yang ramah. Kegugupannya malah membuat Mariska semakin mendesaknya.

"Pasti Bapak menyimpulkan sesuatu yang

ganjil. Apakah itu dari pengakuan Malik atau ucapan para saksi?"

"Apakah saya harus menjawab pertanyaan itu, Bu?" Don balas bertanya dengan tenang. Ia sudah bisa menguasai dirinya kembali.

Sekarang Mariska yang tersipu. Mungkin ia didorong emosi karena barusan menemukan kertas-kertas itu. Ia jadi penasaran bagaimana orang luar seperti Don, yang tidak punya hubungan apa-apa, bisa mengetahui hal itu. Padahal dia yang merupakan orang terdekat dari ibunya malah tidak tahu .

Indiarto memperhatikan dengan khawatir. Ia merasa kakaknya telah berbuat terlalu jauh. Bukankah mereka sudah tahu pasti sekarang, dari kertas-kertas itu? Kenapa harus mendesak orang lain?

"Maafkan saya, Pak. Sudah diberi kesempatan kok saya malah mencecar," Mariska tak enak hati.

"Tidak apa-apa. Saya mengerti bagaimana perasaan kalian berdua. Tapi menurut saya. semua itu sudah terjadi. Sudah lewat. Kita yang masih hidup bisa menerimanya sebagai suatu pelajaran. Ambil hikmahnya dari situ. Jangan

menanggapinya dengan emosional. Nyonya Melia itu ibu kalian. Hormatilah dia sebagai ibu. Tapi terimalah dia sebagai manusia biasa."

"Ya, Pak. Terima kasih."

Don berdiri, diikuti Mariska dan Indiarto.

"Kalau kalian memerlukan bantuan, saya bersedia membantu. Tapi bukan dalam hubungan kerja seperti ini. Saya sukarela dan tulus. Telepon saja."

"Terima kasih, Pak."

Don meninggalkan keduanya dalam keadaan bingung.

"Jadi lain kali kita bisa kontak dia tanpa harus membayar," kata Indiarto.

"Bukan itu yang kupikir. Sepertinya dia tahu lebih banyak daripada yang kita kira. Tapi dia tidak mau bilang."

"Kenapa dia tidak mau bilang? Bukankah katanya dia mau membantu?"

"Entahlah. Tapi sebagai orang yang memahami kasus itu, pasti dia punya cukup informasi yang kita butuhkan, Indi."

"Lantas apakah soal Papa dengan si Mimi itu akan kauceritakan pada Rico dan orangtuanya. Mbak?" tanya Indiarto.

"Sebaiknya begitu. Kita tidak perlu malu lagi. Masalahnya sudah terbuka. Apalagi kemungkinan ada kaitannya. Jadi semua harus dibuka. Rico sudah tahu mengenai kertas-kertas itu. Dia juga tahu aku akan bertemu dengan detektif yang menyelidiki Papa. Nah, tentu dia ingin tahu juga hasilnya. Hanya keterbukaan bisa menghasilkan kerja sama yang baik, Indi."

"Malu juga ya punya orangtua seperti ini, Mbak."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Malu sih malu. Tapi ingat nasihat Pak Don tadi. Terimalah orangtua kita sebagai manusia."

"Aneh juga orang itu. Apa motivasinya membantu kita?"

"Kelihatannya sih nggak ada."

"Apa ada orang sebaik itu? Mestinya ada sesuatu padanya, ya Mbak."

"Kukira dia tidak berniat jelek, Indi. Apa coba yang dia inginkan? Tidak ada sesuatu keuntungan yang bisa dia harapkan dari kita."

"Dari Papa?"

"Ah, dia justru menyampaikan berita jelek tentang Papa."

"Jadi Mbak berminat juga minta bantuannya kalau dibutuhkan nanti?"

"Jelas, Indi. Dia seorang detektif. Dan dia punya pemahaman tentang kasus itu."

Di rumah Rico, kedua pihak saling bercerita.

"Malik tidak mau mengakui bahwa dia punya hubungan dengan Mama. Tapi bila kertas-kertas ini diperlihatkan kepadanya, ia pasti tidak bisa mengelak."

Mariska menyerahkan kertas-kertas warna biru dan merah jambu yang ditemukannya di bawah jok kursi gazebo kepada Maxi untuk disimpan. Bila besok lusa Maxi berkunjung lagi ke LP maka kertas kertas itu bisa diperlihatkannya kepada Malik.

"Jarot pun bertemu dengan Mimi. Entah apa yang dilakukan Mimi di dekat rumahnya hingga mereka bisa bertemu. Aku jadi mikir, apa sebetulnya Mimi bermaksud mengunjungi Jarot?" Mariska bertanya sendiri.

"Dia kan nggak tahu alamatnya, Mbak." sanggah Indiarto.

"Mungkinkah dia nanya sama Papa?"

"Masa sih Papa mau memberitahu? Dia kan nggak mau diketahui orang bahwa Mimi menjadi kekasihnya sekarang. Apalagi bila si Jarot sampai tahu, aku bisa tahu juga. Tapi ada satu

komentar Jarot yang menarik. Dia bilang, jangan-jangan tujuan Malik merampok itu buat si Mimi."

Para pendengarnya terkejut.

"Wah, itu menarik sekali," komentar Maxi.

"Apa kata-kata itu sebaiknya kusampaikan juga kepada Malik?"

"Lihat situasi saja, Pa. Kalau bandel. sudutkan dia," usul Rico.

"Tapi dia kelihatan begitu rapuh, Ric. Aku ngeri kalau-kalau dia jadi berantakan."

"Ah, Papa kan berniat mengorek kebenaran dari dia. Jadi tidak boleh dikasihani."

"Pak Maxi juga tidak perlu segan memberitahu bagaimana dan di mana Mimi sekarang," kata Mariska dengan tegas.

Rico dan orangtuanya terkejut.

"Apa itu boleh, Ris?" tanya Maxi khawatir.

"Itu kan menyangkut ayahmu."

"Untuk mencari kebenaran kita tidak boleh menyembunyikan apa-apa, Pak. Dengan demikian, bila prasangka Jarot itu ternyata benar. dia bisa berubah pikiran. Mungkin ngomongnya lebih banyak. Kita kan hanya mengandalkan dia seorang. Pak."

"Baik kalau begitu. Tapi alangkah baiknya bila saat itu aku ditemani seseorang. Jadi ada saksi. Aku teringat pada seseorang yang rasanya cocok untuk itu. Tapi aku perlu persetujuanmu dulu, Ris."

Maxi menceritakan pertemuannya dengan Don usai kunjungannya ke LP tadi siang.

"Namanya siapa, Pak?" Mariska terkejut ketika mendengar nama Don. Ia mengira salah dengar.

"Namanya Don. Panjangnya nggak tahu."

Mariska berpandangan dengan Indiarto.

"Orangnya kayak apa, Pak?" tanya Indiarto.

Maxi menjelaskan sambil memeragakan dengan kedua tangannya, bahwa orang yang dimaksud bertubuh kecil pendek.

"Bener dia. Mbak!" seru Indiarto.

"Dia menjanjikan bantuan pada Bapak?" tanya Mariska.

"Ya. Katanya dia menyukai kasus itu."

"Tentu dia memberikan nomor telepon."

"Oh ya," Maxi bergegas ke meja, mengambil bloknotnya dari laci. Setelah membuka halaman tertentu, ia menyerahkannya kepada Mariska yang segera mencocokkannya dengan

nomor Don yang ia simpan di telepon genggamnya.

"Sama!" seru Mariska sambil melompat.

"Memang dia orangnya! Pak Maxi. orang ini detektif. Dia yang kami sewa itu."

Mereka semua terdiam sejenak untuk menyimak pemahaman baru yang terasa menakjubkan itu.

"Siapa dia dan apa urusannya dengan kita?" tanya Rico.

"Diam-diam dia banyak tahu tentang keluargaku dan kasus itu," kata Mariska.

"Kukira sama sekali bukan kebetulan kalau dia berada di LP juga, lalu menghampiri Pak Maxi."

Maxi merenung lalu manggut-manggut.

"Ya, betul sekali. Kukira begitu. Pasti bukan kebetulan juga kalau dia melihatku menyanyi di gazebo tempo hari."

"Jangan lupa dia pernah menghampiri kita waktu berada di depan rumah dan menyerahkan broSur katering pada kita," Grace mengingatkan.

"Itulah awalnya dia mengenalkan dirinya pada kita. Pa."

"Ya, ya. Rupanya dia memang ingin mengenalku." kata Maxi.

"Apakah itu berarti dia menguntit Papa?" tanya Rico.

"Bila benar demikian, itu berarti ada yang menyewa dia," Mariska menyimpulkan.

Yang lain setuju dengan pendapat itu.

"Kalau benar, siapa?" Mariska melanjutkan.

"Untuk apa aku diselidiki?" tanya Maxi.

"Memangnya aku berbuat apa?"

"Siapa bilang kau tidak berbuat apa-apa?" Grace tertawa.

"Kan sudah jelas Papa punya acara dengan arwah."

Mereka saling pandang. Sama-sama berpikir keras tapi tak bisa menduga siapa pun.

"Kayaknya dia cuma detektif satu-satunya di kota sebesar Jakarta ini," gurau Indiarto.

"Semua orang pakai dia. Jadi ketemunya dia lagi, dia lagi."

"Aku punya satu jalan keluar," kata Rico.

Mereka semua menatapnya.

"Kita undang dia ke sini. Sekarang."

"Oh, itu bagus sekali!" seru Mariska bersemangat.

"Tapi apa alasannya?"

"Kita pikirkan."

Don tengah berbincang di teras rumah Sondang. Mereka asyik membicarakan keluarga Pandu Rahman.

"Aku merasa kasihan melihat anak-anak itu. Tapi tampaknya mereka sudah siap mental. Sepertinya sudah berprasangka sebelumnya. Tinggal mencari kepastian saja."

"Sesudah ini, apa?"

"Mariska berkolusi dengan Maxi. Itu sudah jelas. Tapi kukira si ayah tidak tahu, karena dia termasuk orang yang diselidiki."

"Apakah si ayah patut dicurigai?"

"Dalam hal apa?" Don balas bertanya.

"Kematian Nyonya Melia."

"Belum sejauh itu. Masih ada yang belum jelas. Pandu memintaku mengusut perihal Maxi, tentu karena dia tidak percaya Maxi benar-benar telah dikontak arwah istrinya. Dia takut Maxi paranormal gadungan yang bermaksud memerasnya atau gimana. Pendeknya dia curiga. Setelah menerima laporanku mungkin dia puas dan percaya."

"Tapi dia tidak kelihatan terlibat apa-apa

dengan kegiatan putrinya. Tidakkah dia juga ingin tahu perihal kebenaran yang dituntut arwah istrinya? Dan kenapa tidak tampak aktivitasnya untuk membantu? Malah anaknya yang pontang-pontang menyelidiki bapaknya. Ternyata si bapak malah enak-enak pacaran. Macam apa itu?"

"Rupanya dia sengaja tidak dilibatkan, Son."

"Mesti ada alasannya kenapa Mariska tidak mau melibatkan bapaknya."

"Apa sebelumnya Pandu nggak tahu bahwa si Mimi itu pacar Malik?"

"Masalahnya bukan soal tahu atau nggak tahu, Don. Kalau Mimi memang mencintai Malik, kenapa dia mau sama Pandu?"

"Lalu Malik memacari sang nyonya. Apa karena dendam? Tapi aku tidak melihat itu dalam ekspresinya saat memandangi majikannya itu."

"Membingungkan sekali," keluh Sondang.

"Ruwet!"

"Kalau dilihat kisah cintanya memang begitu. Tapi jangan terpaku ke sana, Son. Nanti pusing duluan sebelum sempat berpikir tentang kasusnya."

"Kasus... kasus apa namanya itu. Don?"

"Kasus gazebo!" seru Don sambil tertawa,

"Ah, yang bener."

"Maxi melihat arwah sang nyonya pertama kali di situ. Aku melihat dengan mata kepala sendiri keanehan Maxi di tempat yang sama. Cocoklah dikasih nama itu."

"Ya, terserah kamulah itu. Lantas apa yang mau kau kerjakan sekarang?"
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku yakin mereka akan bertemu dan membicarakannya. Maxi akan cerita tentang pertemuannya denganku di LP. Sedang Mariska cerita tentang detektif amatir yang simpatik menawarkan bantuan sukarela. Mereka mencocokkan deskripsiku. Eh, kok sama. Kecil, imut imut. Nama depannya sama. Dan... oh! Nomor teleponnya juga sama! Menurutmu apa yang akan terjadi?"

Sondang menatap Don seolah dia anak kecil bengal yang perlu dipukul pantatnya.

"Mereka akan segera menghubungimu," katanya.

"Eh, lihat!" seru Don sambil mengarahkan telunjuk ke kelopak mata kanannya.

"Ada apa di situ?"

"Dia bengerak sendiri. kedutan. tahu apa

artinya? Aku lagi digosipin orang. Pasti mereka itu, ya?"

Mereka tertawa.

Tak lama kemudian telepon genggam Don berbunyi.

"Pasti itu!" seru Sondang.

Don menyahut teleponnya.

"Halo? Oh, begitu? Sekarang? Bisa! Nggak, nggak mengganggu kok. Sekarang saya berangkat, ya?"

Setelah menutup telepon, Don menatap sahabatnya.

"Benar, Son! Aku diundang ke Kelapa Gading sekarang. Mereka sedang rapat katanya. Tapi di situ ada tokoh kecil yang nyelip. Siapa lagi kalau bukan aku. Jadi aku perlu menjelaskan. Kayak puzzle aja, ya. Padahal aku belum mampu mengisi bagian-bagian yang kosong."

"Kau sendiri memang belum mampu. Ngisinya kan harus ramai-ramai."

"Terus terang, aku ngeri juga nih, Son. Jangan jangan aku dikeroyok ramai-ramai. pendeknya kalau aku nggak pulang..."

Sondang tertawa.

"Ayolah, cepat pergi sana!"

"Mohon doa restu, ya, Son!"

"Pergi!" seru Sondang sambil terkekeh.





Minarti alias Mimi menyambut Pandu seperti biasa.

"Mau nginap lagi, Pak?" tanyanya manja.

"Maumu apa?"

"Nginap dong. Supaya saya nggak sendirian."

"Sendirian di rumah mungil justru lebih menyenangkan."

"Ah, masa begitu sih, Pak."

"Pelihara kucing saja. Mau kucing yang bagus? Yang gede dan matanya kayak kamu?"

Mimi tertawa.

"Mau, Pak!"

"Besok ya. Tapi kalau dicakar tanggung sendiri."

"Tentu aja, Pak. Mana mungkin saya bisa membaginya dengan Bapak. Kecuali Bapak dicakar juga."

Mereka sama-sama tertawa geli seolah kucing yang dimaksud benar-benar ada. Keduanya berlagak dan bercanda seperti anak kecil. Tapi di belakang punggung Pandu, Mimi menjulurkan lidahnya ke arah Pandu dengan sorot mata mengejek.

Setelah canda tawa berlalu. Mimi berkata dengan gaya sambil lalu,

"Tahu nggak Pak, saya ketemu siapa tadi siang di supermarket?"

"Nggak," sahut Pandu, tak begitu peduli.

"Si Jarot!"

Pandu terkejut sampai koran yang dipegangnya terlepas sendiri. Reaksinya itu tak lepas dari pengamatan Mimi, tapi ia berpura-pura tidak menyadari. Ia memungut koran yang jatuh lalu menyerahkannya kembali ke tangan Pandu. Sesudah itu ia beranjak untuk berlalu. Tapi tangan Pandu menyambarnya lalu menariknya duduk di sisinya.

"Si Jarot yang dulu tukang kebun?" tegas Pandu.

"Iya. Dia, Pak."

"Ngomong apa dia?"

"Dia heran lihat saya. Katanya pangling. Dia tanya saya tinggal di mana dan kerja apa?"

"Kamu nggak bilang yang sebenarnya, kan?" tanya Pandu dengan ekspresi cemas.

"Tentu saja nggak, Pak. Saya bilang saya kerja jadi sales barang kosmetik dan tinggal numpang sama teman. Nggak bilang sih alamatnya."

"Apa dia percaya?"

"Kelihatannya sih begitu. Biarpun dia nggak

percayakan sebodo amat, Pak. Bukan urusan dia."

"Kamu tentu nanya dia juga." Pandu ingin

tahu.

"Oh iya. Saya tanya dia kerja di mana dan tinggalnya di mana. Biasalah. Dia bilang kerja di pabrik plastik. Alamatnya di... mana sih itu, lupa."

"Kerja kok keluyuran di supermarket."

"Katanya dapat izin masuk siangan. Keluarganya lagi pulang kampung."

"Oh, begitu. Cuma itu ngomongnya?"

"Iya. Dia mau buru-buru. Saya juga."

Pandu tampak lega.

"Bagus. Jangan suka mengobrol dengan sembarang orang. Apalagi sama yang nggak dikenal. Tahu-tahu kau ditepuk lalu kena hipnotis. Habis deh duit tabunganmu." Ia menakut-nakuti.

"Gimana dong menghindar supaya jangan kena tepuk, Pak?"

"Tentu saja harus waspada. Lihat keliling. Kalau ada yang mendekat cepat menghindar. Dan kalau ada yang mengangkat tangan lalu menepuk cepat teriak."

Mimi tertawa. Pandu juga ikut tertawa karena ia memang tidak serius. Tapi ia senang karena bisa tertawa. Ia juga merasa lega karena kekhawatirannya mengenai pertemuan Mimi dengan Jarot tidak beralasan. Tetapi kelegaan itu cuma sementara karena Mimi belum selesai dengan informasinya.

"Kata Jarot, ia habis besuk Malik di penjara," kata Mimi, seolah ia lupa mengatakannya tadi.

Untuk kedua kalinya Pandu terkejut. Diam diam Mimi mengamatinya.

"Apa... apa katanya tentang Malik?"

"Katanya Malik stres. Jadi kurus kering," kata Mimi dengan suara pelan. Ekspresinya sedih.

"Mana mungkin orang dipenjara nggak stres? Mana ada yang jadi gemuk? Siapa suruh membunuh. Tapi yang ingin kuketahui, apa yang dikatakan Malik kepada Jarot?"

"Nggak ada."

"Ah, masa nggak ada."

"Kalau ada juga, pasti saya nggak dikasih tahu. Mana mau dia ngasih tahu? Si Jarot itu sirik sama saya."

Pandu mengamati wajah Mimi yang sayu. Ia

buru-buru merangkulnya. Mimi terisak-isak.

"Apa kamu masih mikirin si Malik?"

Mimi tidak menjawab.

"Buat apa kamu mikirin dia? Apa yang kauharapkan dari orang yang tidak punya masa depan seperti itu?"

Mimi masih terisak.

"Sudahlah. Sekarang bilang. Apa kamu menyesal karena telah jadi pacarku?"

"Ng... nggak, Pak. Nggak."

"Ya sudah. Nggak perlu nangis dong."

Setelah diam beberapa saat, Mimi berkata,

"Kapan kita ke Bali, Pak?"

"Secepatnya. Nanti kucari waktunya, ya?"

"Betul ya, Pak?"

Pandu berhasil melenyapkan kesedihan Mimi. Tetapi setelah ditinggalkan sendiri, ia kembali dikuasai kecemasan dan kegundahan. Juga kemarahan. Kenapa Jarot tiba-tiba mengunjungi Malik di penjara? Apakah memang barukali ini atau sudah sering? Sebegitu setiakawankah si Jarot itu sampai perlu minta izin hanya untuk mengunjungi Malik? Berbohong lagi!

Ia penasaran. Tetapi susahnya ia tak bisa

mengkonfirmasi cerita Mimi itu kepada Jarot.





KETIKA Don tiba di rumah Maxi, ia disambut beragam ekspresi. Tapi ia tidak menemukan kemarahan atau kecurigaan. Yang kuat terasa adalah keingintahuan.

"Mari, Pak Don. Silakan duduk dan bergabung dengan kami," kata Maxi dengan ramah. Ia mengenalkan Don kepada Rico, satu-satunya di antara mereka yang belum mengenal Don.

"Kalau Riris dan Indi, Bapak sudah kenal, kan?" kata Maxi sambil menunjuk kedua orang yang dimaksud.

Don mengangguk sambil tertawa. Mariska dan Indiano pun demikian.

Don lega. Semua bersikap bersahabat.

"Maafkan kelancangan kami. Pak Don," Maxi memulai.

"Kami memanggil Bapak seenaknya. Padahal Bapak tentunya lagi istirahat bersama keluarga, ya?"
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, tidak. Aku bisa memahami perasaan kalian. Sulit menunggu sampai besok lusa, bukan? Masalah seperti ini menimbulkan ketegangan dan beban batin. Apalagi bagi Pak Maxi yang sudah diserahi tugas luar biasa. Jarang ada orang seperti Pak Maxi."

Don diam sejenak lalu memandang berkeliling. Ia melihat wajah-wajah yang penuh hormat kepadanya. Ada rasa bangga menyeruak dadanya. Sesaat itu ia merasa dirinya seperti Hercule Poirot dalam novel Agatha Christie. Tapi dengan cepat kebanggaan itu pergi ketika ia menyadari bahwa dirinya belum melakukan apa-apa yang berarti. Selama ini ia hanya menyelesaikan order sesuai pesanan.

"Tadi, waktu saya ditelepon, saya sedang berbincang dengan sahabat saya, seorang detektif beneran. Dia masih aktif bertugas dan temasuk salah seorang yang ikut menyelidiki kasus di Menteng. Maafkan saya juga. karena saya telah menceritakan semua infomasi yang saya peroleh, baik dari Ibu Mariska maupun Pak Maxi. Terus terang, kami merasa takjub dan tergugah."

Sebenarnya Mariska merasa kesal karena

hasil penyelidikan Don mengenai ayahnya, yang sebenarnya dibayar, diceritakan Don kepada orang lain. Tapi kemudian ia menyadari itu bagian dari kebenaran yang sedang dicari.

"Ya. ibu Mariska kesal, bukan?" Don menebak.

"Tapi percayalah, semua data dan informasi yang saya peroleh dari klien saya tersimpan dengan baik dalam diri saya sendiri. Hanya mengenai kasus gazebo, eh, kasus Menteng itu ada perbedaannya. Kasus itu ada buntutnya yang belum kelihatan. Padahal buntut itu menggelitiki kita."

"Bagaimana Bapak bisa tergelitik bila kasus itu tak ada hubungannya dengan Bapak?" tanya Mariska.

"Sebenarnya ada. Bukan secara pribadi, tapi moral." Don menggaruk kepala. Apa yang mau diungkapkannya adalah pengakuan yang terasa berat tapi merupakan keharusan. Itu juga bebannya sendiri yang selama ini mengendap dalam batin.

"Pak Don tentunya merasa tertantang oleh kasus ini, bukan?" Maxi menolong keraguan Don.

"Itu sebabnya Bapak jadi ikut-ikutan."

"Tapi pada mulanya, kasus ini tidak menarik

karena Malik segera mengaku," Mariska menyambung, sebelum Don sempat menjawab.

"Tak ada lagi yang perlu dikorek atau diselidiki kalau pelakunya segera mengaku, bukan? Tampaknya sama sekali tidak rumit. Tidak menantang. Padahal sudah sejak awal kasus itu disidangkan, Bapak sudah tertarik. Itu sebabnya Bapak setia menghadiri semua sidangsidangnya. Hal itu terjadi sebelum Bapak bertemu dengan kami dan mengetahui kisah aneh Pak Maxi. Jadi sebelum Bapak menyadari kasus itu ada buntutnya."

Don tertegun. Gadis yang pintar, pikirnya. Sebelum sempat menyampaikan pengakuan, ia sudah disudutkan lebih dulu. Dengan demikian ia tidak bisa mengelak atau berubah pikiran.

"Ibu Mariska "

"Panggil Riris saja," potong Mariska.

"Lebih enak begitu. Yang muda-muda panggil namanya saja, Pak. Ini adik saya, Indi. Dan itu putra Pak Maxi, Rico. Kita semua bekerja sama. Sudah seperti keluarga"

"Baik, baik," Don menganggukkan kepala kepada semuanya.

"Saya akan bercerita. Tapi dengarkan sampai selesai. Lalu renungkan sejenak. Baru sesudah itu berkomentar. Jadi.

emosi yang muncul bisa diredam."

Mariska dan Indiarto yang merasakan bahwa perkataan itu ditujukan kepada mereka segera mengiyakan.

Don bercerita mengenai order yang diberikan Pandu kepadanya untuk menyelidiki Melia dan Malik. Sebisa mungkin ia menggunakan kata-kata yang berupa fakta singkat saja.

"Sesudah menyerahkan laporan itu. saya menganggap selesai. Sama seperti semua order yang pernah saya selesaikan sebelumnya. Tapi yang satu ini ternyata berakhir buruk sekali. Di luar dugaan saya yang paling buruk sekalipun. Ternyata kasusnya jadi kriminal. Benar-benar membuat saya sedih. Apakah itu terjadi berkat hasil penyelidikan saya? Saya jadi merasa bersalah. Itulah yang menyebabkan ketertarikan saya pada kasus itu sejak awal."

Don mengakhiri kisahnya. Ia terdiam kecapekan. Grace menyodorkan gelas minum. Ia menerimanya dengan berterima kasih. Air putih dingin yang terasa sejuk dan menenangkan mengaliri kerongkongannya. Dan hatinya. Semua sudah diucapkan.

Seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya,

suasana hening sejenak. Mariska dan Indiarto menundukkan kepala mereka. Yang lain menunggu dengan empati.

"Bapak tidak salah," kata Mariska akhirnya.

"Itu risiko profesi. Saya just berterima kasih untuk rasa bersalah Bapak. Itu menandakan Bapak orang yang lembut hati."

"Saya juga berterima kasih," kata Indiarto.

"Karena Bapak tidak mengungkapkannya kepada polisi, hingga Bapak tidak ikut-ikutan dijadikan saksi."

Don merasa terharu. Reaksi seperti itu di luar harapannya.

"Saya sudah sepakat dengan sahabat saya yang detektif itu, bahwa saya tidak mungkin dijadikan saksi. Apa yang saya selidiki dan saya dapatkan tidak relevan dengan kejadian itu. Peristiwa itu bukan akibat emosi dari kekasih yang marah atau keinginan bunuh diri . Malik mengatakan, itu perampokan yang gagal."

"Bapak percaya itu sekarang?" tanya Maxi.

"Tidak," sahut Don tegas.

Ketegasan itu mengejutkan semuanya.

"Kenapa?" tanya Mariska.

"Nyonya Melia bilang, Malik tidak perlu merampok. Jarot bilang, jangan-jangan Malik merampok untuk si Mimi. Saya lebih percaya yang pertama. Saya yakin keduanya saling mencintai. Jadi kalau Malik membutuhkan sesuatu yang mendesak, ia tinggal mengatakannya saja. Nyonya Melia akan membantunya. Ia tidak perlu merampok apalagi membunuhnya. Itu sebabnya Nyonya Melia penasaran. Apakah cinta Malik itu gombal? Tapi pengamatan saya, meskipun dari kejauhan, meyakinkan diri saya bahwa keduanya memang saling mencintai. Entah apa daya tariknya satu terhadap yang lain, itu tidak penting. Cinta memang misterius. Buta dan bodoh di mata orang lain. Tapi tidak bagi yang bersangkutan. Jadi Malik mengucapkan kebohongan di pengadilan semata-mata untuk menjaga nama baik Nyonya Melia dan mungkin juga keluarga yang ditinggalkan. Ia menanggungnya sendiri."

"Bila sejak awal Bapak sudah yakin mereka saling mencintai, berdasarkan pengamatan Bapak itu, kok Bapak percaya saja bahwa motifnya perampokan?" tanya Mariska.

"Ya, bagaimana lagi? Saya tidak terlibat di

situ untuk menyampaikan kesangsian."

"Oh ya, maaf."

"Tidak apa-apa. Toh itu sesungguhnya memang cuma keyakinan berdasarkan pengamatan. Saya bisa saja salah. Mungkin saja si Malik itu gombal. Tapi kalau benar begitu sih tentulah dia gombal luar biasa."

Mariska meminta Maxi mengeluarkan kertas-kertas yang ditemukannya lalu memperlihatkannya kepada Don. Ia pun menceritakan kisah penemuan kertas kertas itu.

"Apakah barang-barang ini bisa menyimpulkan adanya cinta di antara mereka?" tanyanya.

"Bisa saja. Kayaknya, cinta bisa membuat orang jadi kekanak-kanakan. Orang yang tidak terlibat mungkin menganggapnya lucu dan mengada-ada."

"Tapi kalau Malik benar mencintai Mama, kenapa dia tega membunuhnya?" tanya Mariska.

"Ya. Itu yang membuat Nyonya Melia penasaran," sambung Maxi.

"Jawabannya hanya bisa diberikan oleh Malik," sahut Don.

"Bagaimana dengan teori Jarot. bahwa kemungkinan Malik merampok untuk si Mimi?" tanya Rico.

Don menggelengkan kepala.

"Itu tidak masuk akal. Kalau kita menghapus kemungkinan Malik merampok, tentunya teori itu pun tidak mungkin. Bila Malik memang ingin memberi sesuatu kepada Mimi, ia bisa saja berbohong kepada Nyonya Melia dengan mengatakan itu untuk dirinya sendiri. Ia tidak perlu membunuh."

"Mungkinkah dia masih mencintai Mimi?" Mariska menduga-duga.

"Apakah bisa seseorang mencintai dua orang dengan sama besarnya?" Don balas bertanya.

Mereka berpandangan. Tak ada yang tahu jawabannya.

"Yang tahu cuma Malik," kali ini Grace bersuara.

"Ya, semua jawaban ada pada Malik," kata

Don.

"Tapi dia menutup mulut," kata Maxi.

"Tadi kami sepakat, kalau nanti Pak Maxi mengunjungi Malik lagi, dia akan membawa semua bukti itu kepada Malik. Lihat bagaimana reaksinya." kata Mariska.

"Tapi untuk itu aku membutuhkan seorang teman. Sebagai saksi juga pendukung," Maxi menimpali.

Semua mata menatap Don. Yang dipandang tahu apa yang dikehendaki darinya.

"Baik. Saya bersedia. Katakan saja waktunya."

"Oh, terima kasih, Pak," kata Maxi.

"Kami benar benar sudah menguras tenaga dan waktu Bapak. Padahal untuk itu-tak ada imbalannya."

"Hei, jangan ngomong begitu, Pak. Imbalannya ada. Di sini," Don menunjuk jantungnya.

"Kami berutang budi kepada Bapak," kata Mariska.

"Saya belum berbuat apa-apa, Bu, eh, Ris. Jangan menyanjung dulu. Nanti saya bisa malu kalau ternyata tak mampu."

Kemudian Don bertanya,

"Apakah Pak Pandu tahu mengenai aktivitas kalian ini, Ris?"

"Tidak. Kami sembunyi-sembunyi."

"Kenapa? Apakah dia keberatan?"

"Entah. Mungkin juga begitu. Sayalah yang keberatan mengikutsertakan Papa karena hubungannya dengan perempuan lain. Papa sepertinya tidak peduli lagi dengan Mama. Jadi

apa gunanya?"

"Kalau begitu bukan karena dia keberatan?"

"Saya yakin, kalau Papa tahu Papa akan keberatan."

"Apakah dia percaya akan cerita Pak Maxi mengenai arwah Bu Melia?"

"Kelihatannya, mau tak mau Papa percaya juga. Habis fakta tak bisa ditolak lagi. Tapi Papa tak peduli. Itu saja. Bertanya pun tak pernah."

"Apa dia tahu bahwa arwah Bu Melia menginginkan kebenaran?"

"Saya sudah memberitahunya, tapi seperti itulah reaksinya. Tak ada komentar."

"Dia khawatir Pak Maxi penipu. Karena itu dia menyewa saya untuk menyelidikinya. Dari situ jelas ada kepeduliannya," kata Don.

"Tapi setelah tahu Pak Maxi bukan penipu, kenapa dia tidak mendukung?" kata Mariska penasaran.

"Mungkin Papa sedang kasmaran sama si Mimi," sahut Indiarto.

Tatapan orang-orang di ruangan kepadanya membuat Indiarto tersipu.

"Nyatanya benar, kan?" ia membela diri.

"Ya. Begitulah," kata Mariska.

"Papa tidak peduli lagi kepada Mama. Mereka saling mengkhianati."

"Sudahlah," Grace memeluk Mariska.

"Jangan sedih."

"Ya. Semua itu kelemahan kita sebagai manusia," Don ikut menghibur.

"Kesedihan juga manusiawi. Tapi jangan berlebihan sampai merusak. Perbuatan seseorang selayaknya ditanggung olehnya sendiri."

Nasihat seperti itu sudah pernah didengar Mariska dari Maxi, Grace, Rico, dan orangorang lain. Memang kedengaran klise Tapi terasa menghibur.




Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di kamar tahanannya, Malik berbaring tanpa menutup mata walaupun sekitarnya gelap. Dengkur temannya terdengar riuh-rendah. Semua itu hal yang biasa dan ia sudah terbiasa. Setahun lebih seperti itu. Ia juga jarang bisa tidur lelap seperti temannya. Biasanya ia baru bisa tertidur setelah kelelahan mendera hingga tak tertanggungkan. Saat itulah baru tuntutan fisik bisa mengalahkan siksaan pikiran.

Biarpun semuanya sudah biasa, tapi malam itu terasa luar biasa. Siksa batin dan pikirannya lebih dari biasa. Ia terus-menerus memikirkan

cerita Maxi tadi. Selama berada di penjara tak pernah ada yang menjenguknya. Sekalinya ada, dia muncul membawa teror.

Benarkah cerita Maxi itu?

"Kalau kau tidak percaya. nanti kuajak Riris ke sini sebagai saksi yang bisa menguatkan."

Ia terkejut. Ia tidak mau ketemu Riris. Ia takut kepadanya.

"Ibu Melia cuma menginginkan kebenaran dari mulutmu sendiri, Lik. Aku yang bukan apa-apanya. kenal pun tidak, tiba-tiba didatangi olehnya. Bayangkan. Panjang sekali jalannya. Permintaan seperti itu mana mungkin bisa kutolak? Kalau manusia bisa saja, tapi arwah? Lagi pula permintaannya tidaklah muluk-muluk amat. Ia cuma menginginkan kebenaran!"

"Kebenaran apa, Pak? Saya sudah mengakui semuanya."

"Ah, bukan pengakuan yang kau berikan itu. Lantas ada apa di balik perbuatanmu itu? Ketahuilah. Bu Melia tidak percaya kau sebegitu teganya membunuh dia. Katanya ia ditusuk dari belakang. ia tidak melihat siapa yang menusuk, jadi tidak mau percaya begitu saja. Ia juga tidak melihatmu berbaring di sampingnya

karena kepalanya menoleh ke arah sebaliknya."

"Saya sudah mengaku, Pak," rintihnya ketika itu.

Tapi Maxi tidak juga menghentikan ucapannya.

"Kalau kau memang pelakunya, lantas kenapa? Motivasinya apa?"

"Mau merampok, Pak. Tapi nggak jadi. Saya lupa diri."

"Kau menusuknya karena lupa diri? Lantas merampok itu buat apa? Perlu uang buat apa?"

"Buat... buat ya, khilaf aja."

"Tidak mungkin. Ibu berkata, kau tidak perlu merampok. Nah, apa tanggapanmu?"

Ia tidak bisa menjawab. Ia tahu, Malik kecewa karena tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Kalau kau nggak mau ngomong yang benar, lantas aku mesti bilang apa sama Ibu?"

Ia juga tidak menjawab pertanyaan itu.

Sekarang pertanyaan-pertanyaan itu terus mendera pikirannya.

Kenapa Ibu mengutus orang itu? katanya di dalam hati. Orang itu kan tidak tahu apa-apa. Bukan pula urusannya. Kenapa harus lewat orang lain? Kenapa Ibu tidak muncul sendiri

di dalam mimpiku, bertanya langsung kepadaku? Aku mau mengatakannya tapi langsung pada lbu! Tidak lewat perantara, siapa pun itu! Mana mungkin orang lain mengerti apa yang kurasakan? Dia hanya akan menertawakan dan menganggapku dungu. Barangkali aku memang dungu. Tapi semuanya sudah terjadi. Aku sedih sekali, Bu Mel! Sedih! Mestinya aku ikut mati bersama Ibu. Tapi aku tidak berani menusuk dadaku terlalu dalam. Aku pengecut, Bu! Maafkan aku! Coba kalau, aku mati, tentu aku sudah bersama Ibu. Jadi Ibu tidak perlu jadi arwah penasaran. Ayo dong, Bu! Datanglah ke sini Muncullah! Katakan padaku, bahwa Ibu benar-benar mengutus orang itu!

Malik duduk, memelototkan mata lalu mengarahkan tatapan ke sekelilingnya. Beberapa lamanya ia begitu. Tapi cuma kegelapan yang membalas tatapannya. Tidak ada sesuatu yang tampak meskipun ia sudah berusaha berkonsentrasi memanggil-manggil nama Bu Mel.

Akhirnya dengan kelelahan ia terjerembab ke atas tikar. Kepalanya sakit terantuk ke lantai tapi ia tidak peduli. Ia menangis tanpa suara.

Kesedihan itu teramat menekan. Ia merasa

dirinya sudah tak punya arti apa-apa. Bahkan Bu Mel yang sudah jadi arwah pun lebih suka mendatangi orang lain, yang sebelumnya tidak dikenalnya sama sekali, daripada dirinya yang semestinya punya arti bagi Bu Mel. Sebenci itukah Bu Mel kepadanya?

Mendadak muncul pikiran lain. Barangkali itu cara Bu Mel untuk menyadarkannya, bahwa lebih baik bagi mereka untuk bertemu sebagai sesama arwah! Dulu dia seharusnya menjadi arwah juga, tapi terlalu pengecut untuk itu. Dia lebih suka hidup, padahal hidup seperti ini juga sia-sia.

Ia bangkit dengan ketetapan hati. Sekarang ia berdiri dengan tegak. Untuk pertama kalinya sejak masuk ke tempat itu ia bisa tegak berdiri. Jadi, ia menyimpulkan, ini keputusan yang benar!

Dalam kegelapan, matanya sudah terbiasa. Pelan pelan, supaya tidak membangunkan, dua teman sekamarnya, ia mengambil beberapa kaus oblongnya lalu mengikatnya satu sama lain hingga menjadi panjang. Satu ujungnya ia lingkarkan seputar lehernya lalu mengikatnya menjadi simpul mati.

Ia sudah tahu tempat yang bisa dicapainya tanpa kursi. Itu lubang jendela berjeruji besi setinggi kurang lebih dua meter dari lantai. Ia sendiri memiliki tinggi seratus tujuh puluh. Jadi kalau bisa mencapai jeruji itu. ia tidak membutuhkan terlalu banyak kaus untuk mengikat ujung lain kaus yang sudah melingkari lehernya ke jeruji tersebut, dan membuat tubuhnya tergantung!





Malik mengambil ancang-ancang lalu melompat. Sekali lompat ia berhasil menggapai jeruji, memegangnya dengan dua tangan, menguatkan posisinya dengan satu sikunya, lalu mengikatkan ujung kaus ke jeruji. Ia menarik-nariknya dulu untuk memastikan apakah ikatannya cukup kuat. Setelah yakin, ia berbisik pelan,

"Jemputlah aku, Bu Mel!" lalu melepaskan seluruh bobot tubuhnya ke bawah!

Apin, salah seorang teman sekamar Malik terbangun dengan tiba-tiba. Ada yang menamparnya dengan keras. Pipinya nyeri. Dengan marah ia melompat. Pasti ini perbuatan Dodi yang tidur di sampingnya yang sekarang berpura-pura tidur kembali setelah menamparnya. Ia menyepak temannya itu.

"Ayo, bangun! Jangan pura-pura lo!" bentak Apin.

Dodi yang disepak gelagapan. Ia tidak buang waktu untuk segera melompat bangun, takut diserang untuk kedua kali. Di tempat seperti itu orang harus belajar membela diri tanpa kata-kata.

Sebelum mereka terlibat dalam perkelahian, Dodi memandang ke arah Malik tergantung. Mulanya ia mengira melihat hantu.

"Hei, lihat!" serunya sambil menunjuk.

Keduanya segera melupakan insiden tadi. lalu sama sama menghambur ke sana.

Tak lama kemudian teriakan keduanya menghebohkan seisi bangunan.

Berkat perbuatan kedua teman sekamar Malik yang berusaha keras menyangga tubuhnya agar tidak terus tergantung sampai bantuan petugas datang, nyawa Malik berhasil dipertahankan meskipun kerongkongannya cedera. Ia dilarikan ke rumah sakit Polri.

"Eh, Dodi. Kalau lo lihat yang gituan bangunin aja baik-baik. Kan nggak perlu nampar!" keluh Apin yang pipinya masih terasa nyeri.

"Siapa yang nampar?" bantah Dodi.

"Lo

yang nyepak duluan. Gua liatnya juga setelah lo sepak."

"Lalu siapa yang nampar gue?"

"Memangnya lo lihat gue nampar lo? Buktinya mana? Saksinya mana?"

Apin tertegun. Kalau dipikir-pikir, mustahil juga gerakan tangan si Dodi bisa secepat itu. Habis menampar berpura-pura tidur lagi. Tapi kalau bukan Dodi, siapa lagi? Malik jelas tak bisa dipersalahkan.

"Habis siapa?"

"Mana gue tahu?"

Keduanya cuma bisa berpandangan. Tak ada yang tahu jawabannya.





SEORANG petugas LP, teman Sondang. yang dimintai tolong mengamati gerak-gerik Malik. segera mengabarkan peristiwa itu kepadanya. Selanjutnya, masih malam itu juga, Sondang meneruskan berita tersebut kepada Don.

"Sori membangunkanmu, Don. Tapi kukira berita ini penting."

"Aku justru berterima kasih karena dibangunkan. Tentu saja penting, Son. Lantas bagaimana keadaannya? Aduh, aku jadi cemas."

"Dia masih hidup saat diturunkan dari gantungan. Tapi kerongkongannya cedera. Informanku tidak tahu pasti kondisinya. Maklum dia bukan dokter. kepastiannya hanya bisa didapat dari rumah sakit."

"Ya sudah, nanti pagi sajalah. Sekarang kita tidur dulu. Aku pun tidak akan memberitahu

Riris dan Maxi sekarang. Biar nanti pagi saja setelah kepastian diperoleh. Tidurlah lagi, Son. Terima kasih, ya."

Tetapi setelah menutup telepon, Sondang termangu. Ia tahu, tak mungkin bisa tidur lagi. Di samping itu ia pun menyadari pentingnya arti waktu dalam kondisi seperti itu. Sekarang si Malik memang masih hidup, tapi sebentar lagi belum tentu. Jadi selama ia masih hidup ada kemungkinan ia bisa bicara. Kalau sudah mati jelas itu tak mungkin lagi. Padahal apa yang Malik bicarakan bisa sangat penting artinya Alangkah sayangnya bila itu disia-siakan.

Don tentu menyadari hal itu juga. Tapi Don tidak enak hati menyuruh Sondang pergi di tengah malam seperti itu. Sementara ia sendiri tidak bisa melakukannya biarpun ingin. Ia tidak memiliki fasilitas seperti Sondang yang bisa seenaknya masuk rumah sakit, lalu menanyai Malik yang narapidana.

Sondang pamit kepada istrinya untuk pergi ke Rumah Sakit Polri.

Kurang-lebih seperempat jam setelah kepergiannya, Don meneleponnya ke rumah. Istri Sondang memberitahu tentang kepergian suaminya. Berita itu membuat Don bergegas pergi juga. Ia memang sudah siap berpakaian untuk pergi. Sama seperti Sondang, ia pun berniat pergi ke rumah sakit. Karena merasa tak sampai hati mengajak sahahatnya itu, Don bemiat pergi sendiri lalu nekat mencoba menjenguk Malik. Tapi setelah memikirkannya lagi, Don khawatir kalau kalau usahanya itu akan sia-sia bila di sana permintaannya tidak diluluskan. Jadi sebelum pergi, ia menelepon Sondang dengan maksud meminta Sondang merekomendasikan dirinya kepada petugas di sana. Mungkin bisa dilakukan lewat telepon, sekadar memberitahu bahwa akan ada seseorang dengan identitas dan deskripsi dirinya ingin menjenguk Malik lalu diberi fasilitas untuk itu. Ternyata di luar dugaannya, Sondang sudah pergi sendiri ke sana. Tentu saja Don senang sekali. Ah, seharusnya Sondang mengajaknya kalau memang berniat pergi.

Malik terbujur di tempat tidur. Sebagian wajahnya tidak kelihatan karena masker oksigen menutup hidungnya. Ia juga diinfus. Kerongkongannya yang cedera menyulitkan dia untuk minum. lebih-lebih makan.

Ia setengah sadar. Karenanya ia tak bisa memastikan di mana dirinya berada. Ia juga tak peduli. Tapi rasa sakit di lehernya cukup memberikan pemahaman bahwa dirinya belum mati. Pemahaman ini menambah rasa sakitnya. Dua kali ia gagal mati. Gagal pula keinginannya bertemu dengan Bu Mel.

Dalam keadaan seperti itulah Don dan Sondang menemuinya. Masing-masing duduk di sisi tempat tidur yang berbeda.

"Kau berada di rumah sakit, Lik. Tahu?" kata Sondang.

Malik mengeluarkan suara melenguh.

"Tentunya lehermu sakit. Begini saja. Dengarkan pertanyaanku. Kau mengangguk kalau jawabanmu ya. Dan menggeleng kalau tidak. Mengerti?"

Malik mengangguk.

"Jadi kau mencoba gantung diri?"

Malik mengangguk.

"Sudah bosan hidup?" Malik mengangguk.

"Tidak takut ketemu Bu Mel kalau kau mati?"

Malik menggeleng.

"Kau kira kematianmu bisa menyelesaikan

masalah? Kau justru malah membuat Bu Mel penasaran. Tahu? Dia menginginkan kebenaran, seperti yang disampaikannya kepada Pak Maxi, yang tadi siang menemuimu itu. Tapi kau malah memilih mati karena takut menjawab pertanyaannya. Iya, kan?"

Malik menggeleng.

"Kalau bukan takut, lantas apa?" Sondang melanjutkan tanpa belas kasihan.

"Kalau tidak takut, kenapa tidak bekerja sama dengan Pak Maxi. Orang itu sangat baik. Dia tidak kenal sama Bu Mel. Tidak tahu apa-apa. Tapi dia bersedia membantu Bu Mel padahal tidak ada imbalan apa-apa untuknya. Tapi kau? Kau pernah disayangi Bu Mel, tapi mana balas jasamu? Bahkan kau mengaku tidak ada hubungan apaapa antara dirimu dengan dia. Lantas apa artinya pengakuan cintamu kepadanya itu? Gombal betul kamu!"

Biarpun sebagian wajah Malik tertutup. tampak jelas kejutan yang sangat di wajahnya. Matanya membesar. Lalu ia menggeleng-gelengkan kepala dengan ayunan keras, sambil melenguh-lenguh.

"Oh, kau tidak mengaku gombal? Tapi kami

sudah menemukan salah satu bukti cinta kalian berdua. Adanya di bawah jok kursi gazebo!" cecar Sondang.

Sementara Don mengamati wajah Malik dengan iba. Ia sadar, dirinya tidak akan mampu menanyai Malik seperti itu.

Malik tersedu-sedu. Air mata mengaliri pipinya.

Melihat itu Sondang berhenti bicara, menunggu sampai Malik tenang. Don mengambil tisu lalu mengeringkan mata dan pipi Malik.

"Apakah kita bisa meneruskan?" tanya Sondang dengan suara lebih lembut.

Malik mengangguk.

"Jadi kau tidak mengaku gombal?"

Malik menggeleng.

"Kau cinta sama Bu Mel?"

Malik ragu-ragu sejenak, kemudian mengangguk.

"Cinta yang bener-bener? Asli dari hati?"
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam-diam Don tersenyum. Kalau begitu, cinta palsu bukan dari hati, pikirnya.

Malik mengangguk lagi.

"Ingat, Lik. Berikan jawaban yang sejujurnya. Karena semua ini berguna untuk dirimu

sendiri. Hidup dalam kepalsuan itu menyiksa, Lik. Kau telah mengalaminya sendiri, bukan?"

Malik mengangguk.

"Apakah si Mimi masih menjadi pacarmu sekarang?"

Malik terkejut. Matanya membesar kemudian meredup. Tampak sedih. Lalu ia menggeleng.

"Saat kau berhubungan dengan Bu Mel, apakah Mimi masih jadi pacarmu?"

Malik mengangguk lemah.

"Tahukah Mimi bahwa kau berhubungan dengan Bu Mel?"

Kembali Malik mengangguk.

"Apa dia marah?"

Malik menggeleng.

"Ah, masa. Bener dia nggak marah?"

Malik mengangguk.

Sondang berpandangan dengan Don.

"Lho, kok begitu, ya? Pacar nyeleweng kok nggak marah?"

Air mata kembali muncul di sudut mata Malik. Don cepat-cepat berdiri, memutari tempat tidur untuk mendekati Sondang lalu berbisik di telinganya,

"Jangan beritahu dulu tentang

hubungan si Mimi dengan Pandu."

Sondang mengangguk. Don kembali lagi ke tempatnya.

"Baiklah. Aku nggak mau menyinggung soal cinta. Tanya yang lain saja, ya?"

Malik mengangguk.

"Apakah Pandu tahu mengenai hubunganmu dengan Bu Mel?"

Malik menggeleng.

"Dia tidak memakimu atau bermaksud memecatmu sebelum tragedi itu terjadi?"

Malik menggeleng.

Kembali Don dan Sondang berpandangan. Rasa heran tampak di wajah keduanya.

"Sebelum tragedi itu apakah Bu Mel bermaksud mengakhiri hubungan denganmu?"

Malik menggeleng.

Sondang menggaruk kepalanya. Ia tampak bingung.

"Kalau begitu, kau tidak punya alasan untuk menusuknya dari belakang. Tega benar. Tak ada yang memarahimu. Tak pula ada yang mendepakmu. Bu Mel sayang padamu, hingga andaikata kau punya kesulitan keuangan pasti ia akan senang hati membantumu. Ini kok mau merampok. Betulkah kau berniat merampok?"

Malik diam. Tidak mengangguk atau menggeleng. Wajahnya memucat.

"Ada yang bilang, jangan-jangan kau merampok untuk si Mimi!" Sondang melemparkan dugaan Jarot itu.

Malik terkejut sekali. Mulutnya terbuka di balik maskernya yang tembus pandang.

"Kalau kau memang cinta sama Bu Mel, masa sih kau tega merampok apalagi menusuknya," Sondang melanggar janjinya barusan untuk tidak bicara soal cinta lagi.

Mendadak mata Malik terpejam dan kepalanya miring ke samping.

Don dan Sondang terkejut. Sondang menekan bel untuk memanggil perawat. Ketika perawat dan dokter jaga datang, mereka berdua meninggalkan ruangan setelah dokter memastikan kondisi Malik baik-baik saja.

"Dia pingsan," dokter menjelaskan.

"Sebentar lagi juga siuman."

"Ya. Cukuplah untuk saat ini, Son. Biarkan dia istirahat."

"Baik. Tolong jaga dia, ya, Dok? Sus?"

Di kantin rumah sakit. mereka berdua minum kopi.

"Hari sudah pagi. Kalau kita tidur, bisa-bisa bangunnya siang," kata Sondang.

"Betul. Kantukku pun sudah hilang."

"Orang itu benar-benar alot," keluh Sondang.

"Masih ada yang memberatkan dia."

"Tampaknya begitu. Soal merampok itu menjadi alasan baginya atau motivasi untuk membunuh Melia. Kalau itu diragukan berarti ada motivasi yang lain. Itu yang mau dia sembunyikan. Kelihatannya sesuatu yang menggemparkan."

"Mungkinkah dia cuma orang suruhan?"

"Disuruh Pandu misalnya? Ya, itu suatu kemungkinan."

"Tapi untuk imbalan apa dia melakukannya mengingat cintanya kepada Bu Mel?" Don tak habis pikir.

"Tampaknya cintanya memang dalam, mengingat ekspresinya begitu sedih."

"Justru karena cintanya itulah dia menyesal dan tak tahan menanggungnya."

"Yang mengherankan adalah sikap Pandu. Sudah tahu sopirnya memacari istrinya, kok dia tidak marah apalagi memecatnya. Buat apa

dia menyewaku untuk menyelidikinya? Hanya untuk sekadar tahu dan memastikan saja? Kok aneh."

"Ya, dia memang mencurigakan di banyak segi. Tapi kalau memang dia yang menyuruh Malik, itu agak aneh juga. Bukankah lebih baik bila dia menyuruh pembunuh bayaran saja? Bagaimana kalau si Malik tidak sanggup membunuh kekasihnya?"

"Mungkin ini pemerasan, Son. Setelah tahu si Malik berpacaran dengan istrinya, ia menyuruh Malik membunuhnya dengan ancaman. Atau imbalan sangat besar. Sekalian membalas dendamnya juga kepada Malik. Nyatanya itu berhasil, bukan? Dia sudah menghancurkan Malik, jiwa dan raga."

"Bodoh amat si Malik itu. Tapi memang cuma dia yang tahu kebenarannya. Kalau dia mau bicara yang benar, kita tinggal mencari bukti-bukti lalu menangkap orangnya."

"Kita harus tahu kepekaannya di mana. Lalu mendesaknya di situ."

"Sudah jelas kepekaannya adalah soal cinta. Tadi kudesak soal itu dia kelenger."

"Ya. Biarkan dia pulih dulu. Son. Biar dia

bisa bicara supaya kita juga nyaman. Masa cuma melihat dia mengangguk dan menggeleng."

"Aku cuma takut dia keburu mati, Don."

"Aku juga."

"Kukira, sebaiknya kausampaikan saja diskusi kita ini kepada Mariska. Bagaimanapun dia juga harus tahu seberapa jauh ayahnya patut dicurigai. Dia tinggal bersama dengan lelaki itu hingga bisa mengamatinya dengan lebih baik. Mungkin juga dia bisa mencari ide bagaimana memancing ayahnya."

"Wah, apa bisa? Kemarin saja dia kelihatan sedih karena perilaku kedua orangtuanya."

""Tapi dia cukup kuat untuk memintamu memata matai ayahnya."

"Hasilnya kan cuma diketahui secara pribadi. Bukan untuk umum. Tapi kalau ayahnya jelas melakukan kejahatan, masalahnya lain lagi."

"Jadi kau mau menutupi?"

"Oh, tentu saja tidak. Dia orang yang terbuka. Sudah pula disepakati, apa pun yang ditemukan harus diungkapkan dan dibicarakan bersama-sama. Aku akan mengatakannya di dalam pertemuan mendatang."

"Harus secepatnya, Don. Jangan menyimpan. Masalah berikut bisa saja muncul lebih cepat daripada yang kita perkirakan."

Ketika Don tiba di rumah, saat itu baru jam lima pagi. Don segera menghubungi Mariska lebih dulu lewat telepon genggamnya sambil berharap gadis itu sudah bangun dan teleponnya diaktifkan. Ia tak mau menghubungi telepon rumah karena khawatir diterima oleh Pandu. Mungkin saja suaranya masih dikenali dengan baik. Andaikata tak bisa menghubungi Mariska, ia akan menelepon ke rumah Maxi saja. Di sana sekeluarga sudah tahu masalahnya. Siapa pun yang menerima tak jadi soal.

Harapan Don tercapai. Mariska menyahut dengan cepat. Don memberitahu kasus Malik dengan singkat sambil menambahkan bahwa selengkapnya akan dibicarakan dalam pertemuan. Sesudah itu ia meminta Mariska menyampaikan kabar itu kepada Maxi.

"Betul, nggak?" kata Maxi kepada anak istrinya.

"Si Malik itu sangat rapuh. Pasti dia melakukannya setelah mendengar ceritaku."

"Dia punya rasa bersalah yang besar," komentar Grace.

"Cuma aku heran kenapa arwah Ibu Melia tidak mendatanginya, ya? Lalu bicara langsung dengannya." kata Rico.

"Entahlah. Mana aku tahu. Aku kan nggak boleh nanya-nanya," sahut ayahnya.

"Aku tahu," kata Grace.

Kata-kata itu membuat Maxi dan Rico menatap kepadanya dengan ingin tahu.

Grace tersenyum dan mengamati wajah-wajah di depannya silih berganti.

"Begini. Kalau dia mendatangi si Malik akan percuma saja hasilnya. Kenapa? Si Malik itu kan dipenjara. Dia terkungkung tidak punya kebebasan. Kalaupun dia mengungkapkan kebenaran, yang tahu cuma si arwah. Si Malik dan arwah sama-sama tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi Papa kan orang bebas. Bila Papa mendapatkan kebenaran yang dikatakannya itu, Papa bisa berbuat sesuatu. Seperti sekarang ini. Kita dibantu detektif amatir juga detektif beneran. Jadi nanti bisa menangkap orang yang benar-benar salah."

Maxi dan Rico menatap Grace dengan kagum. Sementara Grace menerima tatapan itu

dengan sikap bangga yang dilebih-lebihkan.

"Ih, Mama pintar ya?" kata Rico.

"Oh. baru tahu?" sergap Grace dengan senyum manis.

"Mama sepertinya yakin si Malik itu nggak salah," kata Maxi.

"Ya. Aku yakin."

"Alasannya apa, Ma?" tanya Rico.

"Begini. Kedua orang itu saling mencintai. Hal ini diperkuat penyelidikan Don dan penemuan kertas kertas di bawah jok kursi. Nah, masa yang satu tega membunuh yang lain karena ingin merampok. Apalagi merampoknya juga nggak jadi. Di samping itu Bu Melia juga bilang, si Malik tidak perlu merampok. Maksudnya tentu kalau butuh uang, bilang saja, nanti dia bisa membantu. Motivasinya sama sekali nggak kuat. Biasanya yang begitu terjadi karena cemburu atau yang satu mau mendepak yang lain. Karena itu yang paling cocok jadi pembunuh itu si suami. Tapi kalau si suami adalah pembunuhnya, dia juga salah sasaran. Mestinya yang dia bunuh itu kan si Malik. Bukan istrinya."

"Teori Mama itu ada benarnya. Tapi jadi

ruwet ya, Ma," kata Rico sambil menggaruk kepalanya.

"Eh, hati-hati. Nanti ketombemu berjatuhan ke dalam kopi," Maxi mengingatkan.

Mereka tertawa.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Pandu sarapan bersama Mimi. Di ruang itu terpasang TV. Pandu meraih remote lalu memindahkan saluran ke stasiun televisi berita. Penyiarnya sedang membacakan berita.

Tiba-tiba kedua orang itu berhenti makan. Tatapan mereka tertuju ke televisi.

Sang penyiar berkata,

"Semalam, seorang napi di LP Salemba bernama Malik, yang dihukum sepuluh tahun penjara karena membunuh majikannya dengan motivasi merampok, berusaha gantung diri di selnya. Usahanya itu diketahui teman satu selnya hingga ia berhasil diselamatkan. Sekarang ia dirawat di Rumah Sakit Polri Kramatjati ..."

Kemudian mereka saling memandang.

"Si Malik yang itu...," kata Pandu tanpa menyelesaikan kalimatnya.

"Iya. Yang itu," sahut Mimi, agak sinis.

Tetapi Pandu tidak menyadari kesinisan nada bicara Mimi. Ia termangu-mangu.

"Kenapa Pak?" tanya Mimi.

Pandu tersadar.

"Nggak apa-apa. Cuma teringat," katanya pelan.

Mimi melompat dari duduknya lalu merangkul Pandu dari belakang.

"Sudahlah, Pak. Jangan sedih."

Mendadak Pandu tertawa. Ia menarik Mimi hingga jatuh ke pangkuannya.

"Aku nggak sedih lagi karena ada kau," katanya di telinga Mimi, lalu menggigit gigit telinga itu hingga Mimi menggeliat-geliat kegelian.

"Aduh, Bapak jangan makan telinga saya!" jerit Mimi.

Mereka bercanda dan tertawa. Malik yang sempat menghebohkan suasana itu segera terlupakan.

Tetapi ketika Pandu pergi, Mimi kembali menghajar kasur dengan bantal dan guling sambil memaki-maki dengan kata-kata kotor. Setelah kelelahan ia menangis tersedu-sedu.





JAROT menemui Mariska dengan ekspresi gempar.

"Apakah Ibu sudah dengar dari televisi tadi pagi?" tanyanya.

Mariska segera memahami apa yang dimaksud Jarot.

"Maksudmu berita tentang Malik?"

"Betul sekali, Bu."

"Ya. Untung saja dia tidak mati, ya."

"Kenapa begitu, ya, Bu? Kok nekat sekali dia."

"Pasti karena dia stres."

"Itu sudah jelas. Bu. Tampangnya saja sudah kayak begitu. Tapi yang jadi pemicu pasti kedatangan Pak Maxi, kerabatnya itu. Entah apa yang dibicarakannya. Mungkin dimarahi ya."

"Mungkin."

"Kasihan juga, ya."

"Kau kasihan padanya, Rot?"

Jarot tak segera menjawab. Ia takut salah menjawab. Mariska pasti membenci Malik.

"Ya. Memang kasihan. Hidupnya jadi hancur," kata Mariska tanpa menunggu jawaban Jarot.

Jarot tertegun. Ucapan itu di luar persangkaannya.

"Tadinya saya berencana mengunjunginya lagi, Bu. Mungkin dihari libur. Saya ingat, pada saat pertama melihat saya, dia kelihatan senang. Tapi kemudian pasti tidak lagi setelah tahu tujuan saya bukanlah menjenguknya."

"Oh ya, kau berniat begitu? Kukira itu bagus. Sebagai manusia, kita memang harus manusiawi, Rot."

"Wah, Ibu baik, ya."

"Jangan begitu, Rot. Mau menjilat, ya?" gurau Mariska.

Jarot tertawa. Penilaiannya kepada Mariska semakin positif saja. barukali ini ia merasa lebih dekat. Dulu semasa masih menjadi tukang kebun, ia sangat jarang bercakap-cakap dengan Mariska dan Indiarto. Kedua anak majikannya itu jelas tak punya sesuatu urusan yang bisa dipercakapkan dengan dirinya. Percakapan

hanya terjadi secara kebetulan saja. bila berpapasan atau berdekatan. Pada saat itu tentunya dialah yang menyapa duluan. Lalu Mariska menyahut asal saja. Bahkan kadang-kadang tanpa memandang wajahnya. Dirinya hanya berinteraksi dengan kedua majikannya, terutama dengan Nyonya Melia.

"Eh, kalau suatu waktu kau ketemu si Mimi lagi, cerita ya Rot'?"

"Ya, Bu. Sayang waktu itu dia nggak sempat memberitahu alamatnya. Apa Ibu ada perlu dengannya?"

"Ah, nggak. Cuma kepengin tahu."

"Waktu itu saya ketemu dia tak jauh dari rumah saya. Katanya lagi nyari rumah temannya yang alamatnya aneh banget. Entah di mana. Tapi kok nyarinya di situ."

"Kaupikir itu aneh, Rot?"

"Aneh juga sih. Dia kan nggak bodoh-bodoh amat, Bu. Masa bisa salah gitu."

"Ya, betul juga. Jadi kau pikir dia nggak bodoh."

"Ah, nggak. Kalau bodoh mana mungkin dia bisa jadi sales, Bu."

"Itu sih sekarang. Kalau dulu gimana? Kalian sering ngobrol bertiga sama Malik, kan."

"Dulu juga kelihatannya nggak bodoh. Cuma dia kelihatan kumal. Nggak bisa dandan."

"Apa dia dan Malik bener-bener saling mencintai? Maksudku, dari pengamatanmu."

"Kelihatannya sih begitu, Bu."

"Apa mereka suka bicara berdua saja?"

"Oh, tentu, Bu. Namanya juga orang pacaran. Tapi mereka jarang mendapat kesempatan. Si Malik kan nggak tinggal di dalam. Katanya kalau tinggal di dalam nggak bisa istirahat penuh. Nanti disuruh suruh di luar jam kerja. Bener juga, sih."

"Si Malik orangnya gagah juga, ya Rot."

"Oh iya, Bu. Cuma sekarang jadi hancur. Mukanya jadi tua dan pundaknya bungkuk."

"Begini, Rot. Aku ingin dengar jawaban yang jujur. Jangan pandang aku sebagai anak Bu Mel, tapi sebagai orang yang menginginkan kebenaran. Apa kau dengar juga gosip tentang hubungan Bu Mel dengan Malik? Pandanganmu sendiri bagaimana?"

Jarot terkejut. Bila semula ia bicara dengan ringan, sekarang ia menjadi berat hati. Mana mungkin ia tidak menganggap Mariska sebagai



anak Bu Mel'?

"Tidak apa-apa, Rot. Katakan saja sejujurnya. Aku ingin tahu kenyataannya. Aku tidak akan marah atau gimana," Mariska membesarkan hati Jarot.

"Ya, saya juga dengar gosip itu, Bu. Tapi itu kan belakangan setelah peristiwa itu terjadi. Sebelumnya nggak ada."

"Pengamatanmu sendiri gimana? Tinggal serumah masa nggak lihat apa-apa?" desak Mariska.

"Tadinya saya sih nggak menyadari apaapa. Saya memang nggak suka ngintip-ngintip, kecuali kebetulan melihat. Tapi saya dibisikin si Mimi. Katanya, kamu lihat Bu Mel sama si Malik, nggak? Saya bilang, nggak. Memangnya kenapa? Katanya, mereka ci... wah, maaf, Bu," Jarot ragu-ragu.

"Nggak apa-apa. Ayo bilang," desak Maris

"Katanya, mereka ciuman. Wah, saya bilang mana mungkin. Kamu jangan mengada-ada. Tapi si Mimi bilang, dia melihat dengan mata kepala sendiri. Sesudah mendengar itu, mau nggak mau saya jadi memperhatikan mereka

kalau sedang berduaan. Ternyata..., maaf ya. Bu, kelihatannya memang ada sesuatu yang beda dari biasanya. Kalau nggak diperhatikan sih nggak kentara. Sesudah itu saya jadi nggak enak. Malu sendiri. Maka saya berusaha tidak lagi memperhatikan. Karena itu saya tidak lagi melihat apa-apa. Lebih enak begitu. Jadi nggak ada beban."

"Apa si Malik dan Mimi bertengkar soal itu?"

"Ya. Saya pernah melihat mereka ribut. Tapi saya nggak dengar apa yang mereka bicarakan. Kelihatannya si Malik sibuk menenangkan Mimi. Belakangan si Mimi bilang sesuatu kepada saya tentang Ibu. Tapi itu tidak pantas saya ucapkan, Bu. Saya tidak mau mengulangnya. Itu ucapan yang kotor. Karena itu kemudian saya menghindar saja, tak suka lagi kumpul-kumpul kayak dulu. Saya urus saja kerjaan sendiri. Dan kalau sudah beres, ngelamun saja sendiri. Itu lebih baik daripada mendengarkan cerita jelek tentang majikan sendiri. Bu Mel selalu baik sama saya, pernah saya pinjam uang beberapa kali, tapi tak pernah ditagih atau dipotong gaji. Dia juga suka memberikan makanan

untuk dibawa pulang. Bagi orang kecil seperti saya, yang cuma sibuk untuk urusan perut, halhal seperti itu sangat menyentuh."

"Apakah sesudah itu hubungan si Mimi dengan Malik putus?"

"Herannya, kok nggak. Mereka malah mesra lagi."

"Mesra?"

"Ya. Kayaknya nggak ada apa-apa. Mungkin si Mimi sudah memaafkan Malik. Biarpun begitu, saya tetap menghindar karena saya punya perasaan bahwa sesungguhnya Malik masih dekat sama Bu Mel. Saya takut mendengar omongan kotor dari Mimi lagi."

"Bagaimana waktu kamu jadi saksi dalam persidangan? Apakah soal itu ditanyakan?"

"Saya sudah dipesan Bapak, kalau ditanya soal itu bilang nggak tahu saja. Buat saya itu memang lebih baik."

"Bagaimana dengan si Mimi?"

"Dia juga ditanyai, tapi sama seperti saya. dia pun bilang nggak tahu apa-apa. Mungkin dipesan Bapak juga."

"Apa untuk berbuat begitu, kau dijanjikan hadiah oleh Bapak?"

"Nggak, Bu. Yang jelas saya ditawari kerjaan yang sekarang. Apa menurut Ibu itu hadiah?"

"Ah, nggak. Kau bekerja baik di sini."

"Tapi sebenarnya masih ada yang lain...," Jarot berhenti bicara. Tampak keceplosan.

"Yang lain apa, Rot?"

"Nggak, Bu. Sebaiknya saya nggak ngomong sesuatu yang bisa ditafsirkan salah."

"Tentang Bapak?"

"Ya."

"Lho, kan nggak apa-apa. Dia ayahku, Rot."

"Justru karena itu, Bu. Maafkan, ya, Bu. Saya pamit saja, ya?"

"Baiklah. Terima kasih untuk bincang-bincang ini, Rot. Lain kali kalau kau mau memberitahuku soal itu, jangan segan. Penting untuk pemahamanku saja."

"Baik, Bu."

Setelah Jarot pergi, Mariska merasa teka-teki yang dihadapinya jadi bertambah. Setelah mendapat kesan bahwa kesediaan Jarot menutup mulut di persidangan mengenai hubungan ibunya dengan Malik bisa jadi merupakan penyebab kenapa Jarot dipekerjakan ayahnya di pabrik, ia merasa lega. Itu menandakan
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahnya merasa berterima kasih karena Jarot telah membantu menjaga nama baik keluarga. Tetapi kemudian Jarot tidak berhenti sampai di situ. Ada yang lain, katanya. Tampaknya masih ada yang dirahasiakan Jarot. Sesuatu mengenai ayahnya yang tak mau dikatakan lelaki itu. Oh. itu sangat menggemaskan!

Jarot berjalan ke halte bus usai jam kerja. Motornya mogok hingga ia terpaksa menggunakan bus kota. Ada perasaan kurang enak yang menetap sejak perbincangannya dengan Mariska siang tadi. Perasaannya sempat tercekat ketika menangkap ekspresi wajah Mariska yang begitu ingin tahu. Sepertinya Mariska penasaran benar oleh cerita Jarot yang tak berlanjut mengenai ayahnya. Mariska benar-benar tak menyembunyikan keingintahuannya yang mendalam. Hal itu membuat Jarot jadi takut sendiri. Apalagi kemudian Mariska kembali menekankan agar ia tidak menceritakan perbincangan mereka itu kepada ayahnya. Ada apa sebenarnya antara ayah dan anak itu? Kenapa Mariska tidak bicara langsung dengan ayahnya saja? Itu lebih baik daripada mendesak dirinya menceritakan sesuatu yang tak boleh ia ceritakan kepada siapa pun. Dan itu tentunya termasuk kepada Mariska. Tapi akan lain halnya bila Pandu bicara sendiri kepada Mariska. Tidak perlu ada pihak ketiga di antara mereka. Ia tidak ingin jadi pelanduk yang terjepit di antara gajah.

Tiba-tiba terdengar bunyi klakson dekat di sampingnya. Ia terlompat kaget. Tapi ketika menoleh, ia melihat wajah Pandu di dalam mobilnya. Ia mengangguk hormat. Tapi mobil Pandu berhenti dan ia memberi tanda supaya Jarot mendekat.

"Motormu ke mana, Rot?" tanya Pandu.

"Mogok, Pak."

"Ayo kuantarkan. Masuklah."

Jarot ragu-ragu. Ketakutannya yang tadi kembali menyeruak perasaannya. Mana ada bos yang sebegitu baiknya sampai mau mengantarkan karyawan bawahan sepertinya? Ia mencium udang di balik batu. Tambahan lagi barusan pikirannya sedang ruwet memikirkan desakan Mariska yang berhubungan dengan Pandu. Jangan-jangan ia akan menjadi pelanduk yang terjepit.

"Terima kasih, Pak. Nggak usah. Naik bus gampang kok."

"Ayolah. Nggak apa-apa."

"Rumah saya masuk gang sempit. Nggak bisa dimasuki mobil."

"Ya, sampai di luar gang saja. Kebetulan aku perlu bicara denganmu."

Jarot tak bisa mengelak lagi. Kedengarannya itu bukan lagi ajakan, melainkan perintah. Ia terpaksa masuk ke mobil.

"Kabarnya, semalam si Malik mencoba bunuh diri. Dengar beritanya di TV?" tanya Pandu.

Dia langsung ke tujuan, pikir Jarot dengan resah.

"Ya. Saya dengar, Pak."

"Menurutmu bagaimana?"

"Bagaimana apa, Pak?" tanya Jarot was-was. Ia menganggap pertanyaan itu sebagai jebakan.

"Ya, pendapatmu tentang perbuatannya itu."

"Kasihan, Pak."

"Kasihan?"

"Ya. Hidupnya hancur."

"Itu kesalahannya sendiri. Siapa suruh berbuat keji."

Jarot melirik diam-diam. Wajah Pandu dalam keremangan senja tampak keras. Tak meng

herankan kalau dia membenci Malik, pikirnya. Tetapi tadi sikap Mariska lain.

"Apakah kau pernah menjenguknya selama ia dipenjara, Rot?"

Jarot tersentak. ia benar-benar terkejut. Pertanyaan itu tidak seperti pertanyaan melainkan penegasan. Apakah itu berarti Pandu sudah tahu? Dari mana ia tahu? Dari Mariska? Tapi Mariska sendiri berpesan agar ia tidak memberitahukan hal itu kepada Pandu. Masalah itu menjadi rahasia mereka. Jadi tidak mungkin ia mengkhianati. Tadi pun Mariska berpesan agar tidak memberitahukan perbincangan mereka kepada Pandu. Seandainya Mariska sendiri yang memberitahu, tentu mereka berdua sudah memperbincangkannya hingga tak perlu ada lagi yang dirahasiakan. Dia tidak boleh mengkhianati komitmennya dengan Mariska. ia memang pelanduk. Tapi kalau hanya satu gajah yang menyeruduknya sementara gajah yang lain tidak, ia tidak akan terjepit.

"Tentu saja tidak, Pak. Buat apa saya menjenguknya?"

"Jadi memang tidak pernah?"

"Tidak, Pak. Kenapa, Pak? Apa Bapak ingin

saya menjenguknya?"

"Oh, tidak Buat apa?" kata Pandu kesal. ia tidak bisa memaksakan pengakuan Jarot karena ia tahu itu dari Mimi. Padahal ia harus merahasiakan hubungannya dengan Mimi. Sesaat terpikir untuk menggunakan nama Mariska, tapi ia juga tidak tahu apa hubungan Mariska dengan soal itu. Bila Jarot mengadu, ia bisa repot.

"Tadi kulihat kau bicara dengan Bu Riris di kantin. Ngomongin apa, Rot?"

Jarot sadar, ia tak bisa menyangkal kenyataan itu. Bagaimanapun Pandu adalah majikannya. Ia harus bicara tapi tidak boleh mengatakan yang sebenarnya. Betapa sulitnya.

"Bu Riris juga nonton berita di TV. Dia nanya apa saya juga lihat. Ya, sama kayak Bapak tadi."

"Terus apa lagi? Masa itu doang."

Jarot mengeluh dalam hati.

"Dia bilang, kasihan juga ya."

"Apa? Dia bilang kasihan? Lalu?"

"Ya sudah. Bu Riris nggak ngomongin soal itu lagi. Dia bicara soal pabrik. Dia juga nanya keluarga saya. Apa saya nggak kesepian ditinggal sendirian," Jarot sibuk mengarang.

"oh, begitu. Apa kamu kesepian?"

"sedikit, Pak."

"Memangnya ngapain sih istrimu ke kampung?"

"Ibunya sakit keras, Pak."

"Oh, begitu. Eh, kamu tunjukin jalannya, ya. Entar kita kesasar."

"Baik, Pak." Jarot sudah merasa lega. Dia tidak perlu menjadi pelanduk yang terjepit, asal tahu caranya. Bukankah pelanduk itu cerdik?.

"Jadi kamu nggak pernah cerita soal itu, kan?" tegas Pandu.

"Soal itu? Oh, nggak dong. Pak."

"Bener, ya. Aku percaya padamu."

Jarot merasa tidak enak diingatkan seperti itu. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa dirinya sebenarnya menyimpan ganjalan di dalam hati. Kalau soal itu tidak berarti bagi Pandu, kenapa harus dirahasiakan dan diingat-ingatkan? Ia tahu, dulu itu bisa menyulitkan bagi Pandu. Tetapi masa sulit itu sudah lewat setelah Malik menerima hukumannya. Jadi tidak perlu was-was lagi.

"Karena kesan baikku tentang dirimu itulah aku menerimamu kerja di pabrik," Pandu

melanjutkan.

"Ya, Pak. Terima kasih. Saya memang tidak suka ngomong soal itu. Tanya saja sama Bu Riris."

"Apa dia nggak pernah tanya-tanya, kenapa aku sampai menerimamu kerja di pabrik?"

"Nggak, Pak. Malah tadi dia bilang, kerja saya cukup baik."

"Oh, begitu. Ya sudah."

Dia tidak puas, pikir Jarot. Lalu ia memutar otak, memikirkan materi aman apa yang bisa dibicarakan. Sesuatu yang bisa mengalihkan.

"Oh ya, Bu Riris nanya apa saya pernah ketemu sama Mimi," katanya sambil lalu.

Pandu terkejut seperti disengat listrik.

Reaksi Pandu itu juga mengejutkan Jarot. Dalam hati ia mengeluh. Apakah ia salah ngomong?

"Kenapa dia nanya begitu?" tanya Pandu.

"Mungkin dia perlu pembantu, Pak. Zaman sekarang sulit cari pembantu yang baik."

"Kok nanyanya sama kamu? Apa hubungannya Mimi sama kamu?"

"Dulu kan kami kerjanya sama-sama di rumah Bapak. Jadi Ibu mungkin mengira saya

tahu di mana Mimi sekarang berada."

"Apa kamu tahu?"

"Nggak dong, Pak. Tapi saya memang ketemu sama dia secara kebetulan. Kejadiannya tempo hari, ketika saya minta izin masuk siangan."

"Di mana ketemunya?"

"Dekat rumah saya."

Pandu terkejut untuk kedua kalinya. Bukankah menurut Mimi, dia bertemu dengan Jarot di pasar swalayan?

"Lho, ngapain dia di situ?"

"Katanya dia mencari rumah temannya, tapi nggak ketemu. Alamatnya lain."

"Di mana dia sekarang?"

"Katanya, dia jadi sales sekarang," cerita Jarot dengan bersemangat. Ia tidak menyadari keingintahuan Pandu. Sikap Pandu memang berbeda dibanding Mariska.

"Wah," komentar Pandu.

"Hebat dong. Apa perempuan kumal itu bisa jadi sales?"

"Penampilannya beda sekarang. Pak. Kalau Bapak lihat dia, pasti nggak mengenali. Dulu memang kumal, tapi sekarang nggak. Pangling deh, Pak."

"Kalian ngobrol lama dong."

"Ah, nggak lama, Pak. Dia mau buru-buru. Saya juga."

"Ngomongin apa sih?"

Jarot cukup hati-hati untuk tidak menyinggung soal Malik. Soal yang itu tabu dibicarakan.

"saya nanya soal kerjaannya. Dan dia juga balas nanya yang sama."

"Kau nggak bilang yang sebenarnya, kan?"

"Saya bilang kerja di pabrik plastik."

"Bagus. Kamu pintar."

"Dia nanya saya tinggal di mana. Saya kasih tahu."

"Oh, begitu."

"Sesudah itu tak ada lagi yang dibicarakan. Kami berpisah."

Jarot merasa lega. Tampaknya cerita itu membuat Pandu senang dan lebih mempercayai dia.

Ia diturunkan di mulut gang, lalu mobil Pandu melaju pergi. Jarot melangkah tanpa semangat sekarang. Rumahnya yang sepi dan gelap menyambutnya. Ia merindukan keluarganya.

Sementara itu Pandu bingung sejenak, ke

mana ia akan pergi. Sudah beberapa hari ini ia langsung ke rumah Mimi sepulang kerja. Hal itu terjadi karena ia merasa kesal kepada Mariska yang dianggapnya sok pintar dan tidak bersikap terbuka kepadanya. Tapi sekarang ia marah kepada Mimi karena telah membohonginya. Ia yakin dalam hal itu Jarot-lah yang benar, karena Jarot tidak tahu perihal Mimi. Memang Mimi pun tidak tahu perihal Jarot, tapi dalam cerita itu Jarot tidak punya kepentingan apa-apa. Sedang Mimi takut dimarahi kalau terus terang memberitahu tujuannya.

Tapi apa yang dilakukan Mimi di dekat rumah Jarot? Kalau benar dia bertemu Jarot di sana, jelas ia memang sengaja ke sana. Sekadar kangen sebagai kawan lama? Dan bagaimana Mimi bisa tahu alamat Jarot? Setahu Pandu, Mimi tidak punya akses ke mana-mana.

Ia segera teringat sesuatu. Secarik kertas di dompetnya. Itu alamat Jarot yang sudah lama ia simpan dan ia minta dari Jarot sendiri. Tapi ia ingat betul, pada kertas itu tidak jelas tertulis nama Jarot melainkan inisialnya saja.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandu menepikan kendaraan lalu mengeluarkan dompet. Kertas itu masih terselip di sana.

Tapi itu tidak berarti bahwa tulisannya tidak bisa disalin. Apakah Mimi untung-untungan saja memperkirakan bahwa inisial th itu Jarot?

Semakin Pandu pikirkan ia jadi semakin marah, karena tidak bisa menemukan jawaban. Apalagi berbagai kemungkinan buruk bermunculan di benaknya. Mungkinkah semua itu bermuara kepada Malik? Menurut Mimi, Jarot berkunjung ke penjara menemui Malik. Tapi Jarot tidak mengakui. Yang mana yang benar sulit diperkirakan. Jarot tidak punya kepentingan dengan Malik. Tapi Mimi?

Jangan-jangan justru Mimilah yang ingin memanfaatkan Jarot untuk mengunjungi Malik, karena ia sendiri tidak bisa pergi ke sana. Lalu tentu saja Mimi berpesan kepada Jarot untuk tidak memberitahu dirinya. Sementara Jarot yang goblok itu mau saja. Lama-lama si Jarot itu bisa bercerita apa saja. Lihat bagaimana ia didekati Mariska. Orang seperti Jarot punya kecenderungan seperti itu.

Pandu merasa terbakar api amarah. Kenapa orang orang mengkhianatinya? Padahal orang orang itu sudah ia perlakukan dengan baik?

Biarpun ada dorongan yang terasa sangat kuat untuk segera menemui Mimi lalu menanyainya, tapi ada kesadaran lain. Emosi bisa membuat ia kehilangan kendali. Ia sudah belajar dari pengalaman bahwa membiarkan diri dikuasai emosi adalah suatu kebodohan. Akibatnya ia bukan lepas dari kesulitan melainkan terjerat kesulitan lain.

Tentu saja Mimi akan berbohong untuk menyelamatkan diri. Dan Pandu tidak bisa membuktikan kebohongan itu. Lagi pula bagaimana caranya ia mengatakan bahwa Jarot telah memberitahu soal pertemuan mereka? Hanya kebetulan ketemu? Padahal Jarot tidak pernah memberitahu Mimi bahwa dia bekerja pada Pandu. Pandu percaya itu, karena bagi orang seperti Jarot pekerjaan adalah hidupnya dan hidup keluarganya.

Akhirnya Pandu memutuskan untuk pulang kerumah keluarga. Memang sudah saatnya ia bertemu anak-anaknya.



PANDU dan kedua anaknya makan malam bersama. Baru beberapa hari Pandu absen dari kegiatan rutin seperti itu tetapi Mariska dan Indiarto sudah merasa canggung. Sekarang mereka merasa kehilangan privasi karena biasanya mereka bisa memperbincangkan masalah yang tengah mereka hadapi dengan bebas. Apalagi setiap hari ada saja perkembangan baru yang terjadi. Dan Pandu tidak pernah diikutsertakan.

"Kenapa kalian diam saja? Apa nggak senang Papa di rumah?" Pandu menggugat.

"Oh, senang, Pa. Masa sih nggak senang," sahut Mariska.

"Lalu kenapa kalian tidak seperti biasanya?"

"Biasanya juga begini, Pa," kata Indiarto.

"Mestinya ada banyak cerita yang terkumpul selama beberapa hari nggak ketemu. Nah, mana ceritamu. Indi?"

"Ah, cerita apa, Pa? Masa kuliah dan temanteman di kampus mesti diceritain? Mestinya Papa yang punya cerita banyak. Ke mana aja tuh Papa selama beberapa hari ini?" cetus Indiarto.

Mariska menyepak kaki Indiarto di bawah meja.

Pandu merengut sejenak. Kemudian ia menjawab dengan nada tidak ramah,

"Itu sih bukan cerita namanya. Tapi laporan."

Sahutan itu membuat Mariska dan Indiarto menutup mulut.

Pandu menjadi tidak nyaman.

"Ris, bagaimana dengan rumah di Menteng itu? Katanya mau direnovasi. Kok nggak ada kabar ceritanya?"

"Sebentar lagi mau ke sana, Pa," sahut Mariska.

"Papa mau ikut?"

"Ah, nggak." Pandu menyahut segan.

Mariska sengaja berkata begitu karena rencananya, ia bersama Indiarto akan ke rumah Maxi untuk mengadakan pertemuan lagi. Itu alasan bagus. Ia tahu ayahnya takkan mau diajak ke rumah mereka di Menteng.

"Tapi Papa belum melihat kamar tidur yang berantakan itu." Indiarto sengaja menambahkan.

"Waduh, Papa akan terkaget-kaget melihatnya."

"Kamar itu masih belum diapa-apakan, Pa. Saya dan Indi tidak sanggup membereskan. Lagi pula perabotannya pada hancur," kata Mariska.

"Begitu, ya," kata Pandu lirih. Ia jadi diingatkan kembali kepada hantu yang bermukim di rumah itu. Bagaimana mungkin ia ke sana?

"Lihat aja, Pa. Sama-sama kami," Indiarto belum puas menakut-nakuti.

"Saya juga takut. Tapi kalau sama Mbak Riris sih nggak. Bagaimanapun hantu di sana itu kan hantu Mama. Masa dia jahat sama kita."

"Sudah!" bentak Pandu.

"Lagi makan jangan ngomongin soal itu!"

Mereka melanjutkan makan dengan diam.

Pandu menyadari dan menyesali kesalahannya. Ia membawa emosinya ke rumah dan siap meledakkannya di situ. Hal itu sama sekali tidak menguntungkan. Seharusnya dia marah kepada Mimi. Bukan kepada anak-anaknya.

"Apa kalian sudah dengar tentang si Malik?" Pandu mencoba berbaikan.

"Oh, sudah, Pa. Tapi dia selamat," kata Indiarto.

"Katanya dia selamat secara aneh," Mariska menambahkan. Ia mendengar cerita tambahan dari Don lewat telepon tadi siang. Rupanya Don tidak tahan menyimpannya sampai pertemuan mereka nanti malam.

"Aneh bagaimana?" tanya Pandu dengan mata membelalak.

"Dia selamat karena kedua temannya satu sel terbangun lalu melihat dia tergantung."

"Ah, itu sih nggak aneh. Orang bisa saja terbangun dari tidur yang paling lelap tanpa alasan."

"Yang ini ada sebabnya, Pa," Indiarto menyela.

"Katanya, salah satu teman selnya itu terbangun karena tamparan di pipi. Padahal teman yang tidur di sebelahnya tidak mengaku melakukan hal itu karena dia sendiri sedang tidur lelap. Hampir keduanya berantem kalau tidak melihat Malik tergantung. Jadilah Malik selamat."

Pandu menghentikan makannya sejenak. Lalu menggelengkan kepala.

"Aku nggak ngerti apa yang seperti itu bisa dianggap aneh," katanya datar.

Mariska berpandangan dengan Indiarto.

"Yang merasakan keanehan itu adalah yang mengalami, Pa," kata Mariska.

"Rupanya si Malik belum boleh mati," tambah Indiarto.

"Seharusnya dia dihukum mati," kata Pandu dingin.

Indiarto sudah membuka mulut, tapi sepakan kakaknya di kolong meja membuat ia menutup mulut kembali.

"Oh ya, bagaimana kabarnya dengan Pak Maxi itu?Apa dia sudah mendapat titik terang?" tanya Pandu, setengah mengejek.

"Sudah, Pa. Tapi belum terang benar," sahut Mariska.

Pandu meletakkan sendoknya lalu menatap Mariska dengan selidik.

"Apa saja yang diperolehnya?" tanyanya ingin tahu.

"Dia belum mau mengatakannya sekarang. Nanti kalau sudah terang benar baru akan dibeberkannya."

"Oh. begitu?" dengus Pandu mengejek.

"Apa dia melakukannya dengan bertapa di gunung?"

Mariska tersenyum. Tapi Indiarto merengut kesal.

"Memangnya apa sih yang dicarinya?" Pandu tak bisa menahan keingintahuannya.

"Sesuai keinginan Mama."

"Apa itu?"

"Kebenaran, Pa."

"Jadi selama ini ada kesalahan?"

"Itulah yang mau dicari tahu olehnya."

"Huh! Dasar orang aneh! Mengganggu ketenangan orang saja," sungut Pandu.

"Memangnya Papa merasa terganggu?" tanya Indiarto.

Pandu melotot kepada Indiarto.

"Tentu saja!" bentaknya.

"Semula kita tenang-tenang saja. Tahu-tahu dia muncul dan bikin heboh segala macam."

Pandu mengeluarkan unek-uneknya. Kalau ditelusuri sudah jelas semua kegelisahan yang dialaminya sekarang ini berawal dari kemunculan Maxi.

"Mestinya kalian jangan memberi hati kepadanya. Kalau tidak dipedulikan dia akan mundur sendiri."

"Tidak bisa, Pa. Dia sudah menerima permintaan Mama. Kami sebagai anak-anaknya harus membantunya."

"Mamamu sudah meninggal."

"Memang sudah. Jadi yang memintanya adalah arwah Mama. Dia menghormatinya."

"Ya sudahlah. Terserah kalian. Aku tidak mau ikut campur," keluh Pandu.

"Nanti kalau semua sudah terbuka, kami pasti akan memberitahu Papa." Pandu tidak menyahut.

"Apakah Papa akan pergi nanti?" tanya Mariska.

"Nggak. Papa mau tidur cepat."

"Baiklah. Kami berdua tidak pulang malam kok."

"Hati-hati dijalan," pesan Pandu.

Pesan itu membangkitkan rasa haru di hati Mariska. Sudah lama ia tidak mendengar pesan seperti itu dari ayahnya.

"Papa juga baik-baik di rumah," ia membalas.

"Kalau Papa perhatian seperti itu rasanya jadi bersalah lelah membohongi dia," kata Mariska ketika berada di mobil bersama Indiarto.

"Papa juga membohongi kita. Jadi sama-samalah," sahut Indiarto.

"Kaupikir kenapa hari ini dia tidak menginap bersama Mimi?"

"Mungkin peristiwa Malik itu. Mbak."

"Apa hubungannya?"

"Dia ingin tahu apa yang kita ketahui. Tapi ternyata tidak berhasil."

"Rupanya dia sangat ingin tahu, tapi pura-pura cuek"

"Itu sikap yang wajar. Logis, Mbak. Eh iya, hampir lupa. Habis ada Papa sih. Aku tadi ketemu seseorang di kampus, Mbak. Coba tebak siapa."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak mau tebak-tebakan ah. Ayo siapa?"

"Frans Dinata. Masih ingat dia, Mbak?"

Mariska terkejut. Tentu saja dia masih ingat orang itu.

"Jadi kau mengenalinya, Indi?"

"Dia pernah datang ke rumah beberapa kau, kan? Dia juga masih mengenaliku. Bahkan dia mendekati dan bertanya apa kabar."

"Kok dia di kampus. Apakah dia menjadi dosen di sana?"

"Dia menjemput anak perempuannya yang kuliah di sana. Oh ya, dia juga nanyain Mbak. Katanya dia kepengin sekali ketemu Mbak."

"Ngapain?"

"Nggak tahu. Aku bilang kalau mau ketemu, ya datang aja. Tapi dia terus terang, takut ketemu Papa."

"Tentu saja dia takut. Apa dia mau dijotos?"

"Tapi dia ngomong baik-baik, Mbak. Aku tak mungkin menjotosnya."

"Apa dia masih gagah kayak dulu?"

"Masih. Cuma kepalanya sudah banyak ubannya. Apakah kau mau menemuinya kalau dia menghubungimu?"

"Menurutmu bagaimana?" Mariska balas bertanya.

"Kepengin tahu juga apa yang dia mau bicarakan."

"Ya. Sama. Kita lihat saja."

Pertemuan di rumah Maxi dihadiri Don yang membawa cerita perihal interogasi yang diajukan Sondang kepada Malik di rumah sakit. Itu perkembangan paling akhir.

"Jadi masalah cinta itu merupakan kepekaan bagi Malik."

"Apakah aku boleh mengunjunginya di rumah sakit, Pak Don?" tanya Maxi.

"Nanti kumintakan izin dari temanku, Pak. Mungkin lihat kondisinya dulu. Kalau dia belum bisa ngomong sih nggak asyik. Pak. Bisanya cuma mengangguk dan menggeleng."

"Kalau begitu, saya tunggu kabar dari Bapak saja."

"Nanti kita perginya sama-sama saja. Bisa ditemani Sondang juga. Dia teman yang kukatakan itu."

Kemudian Mariska memberi tambahan informasi yang diperolehnya dari Jarot.

"Katanya, Malik dan Mimi masih bersikap mesra satu sama lain meskipun Mimi sudah tahu bahwa Malik punya hubungan khusus dengan Mama."

"Menurut Malik, dia tidak lagi berpacaran dengan Mimi," kata Don.

"Mungkin maksudnya sekarang," kata Mariska.

"Itu sudah jelas. Sekarang Mimi sudah jadi pacar Papa."

"Memang susah kalau bisanya cuma mengangguk dan menggeleng," keluh Don.

"Kalau begitu, apa mungkin Malik benar merampok untuk Mimi?" kata Maxi.

"Siapa tahu itu syarat Mimi untuk berdamai. Lalu Malik yang merasa telah mengkhianati Mimi terpaksa mengabulkannya."

"Menggemaskan sekali si Malik itu!" seru Don dengan wajah kesal.

"Oh ya. Ada satu hal penting lagi. Si Jarot itu kelihatannya masih menyembunyikan satu hal tentang Papa," kata Mariska.

"Aku tidak tega mengoreknya karena Jarot tentunya merasa berutang budi kepada Papa. Orang yang seperti itu takkan mau mengkhianati."

"Mungkin dia perlu didekati dengan cara yang lain," usul Don.

"Bagaimana, Pak.?" Mariska ingin tahu.

"Menilik ceritamu mengenai perbincangan dengan Jarot selama ini, kau jelas memperlihatkan keingintahuanmu yang besar, ditambah lagi berulang-ulang mengingatkan Jarot agar tidak. memberitahu ayahmu karena dia bisa marah. Sikapmu itu justru menakutkan dia. Tentu dia akan bertanya-tanya kenapa kau sebagai anak tidak. bertanya langsung saja kepada ayahmu? Wah, ini pasti bukan main-main. Dia akan bingung kepada siapa harus berpihak. Dua-duanya sama berarti. Tapi kemungkinan dia lebih berat kepada ayahmu. Di lain pihak. dia juga harus berbaik-baik kepadamu. Jadi dengan senang dia memberi cerita kepadamu, tapi tetap menjaga rapat apa yang mungkin harus dirahasiakannya dari siapa pun, yaitu rahasia yang membuat ayahmu mempekerjakannya di pabrik dengan kedudukan lumayan."

"Tapi saya yakin dia orang yang baik, Pak. Dia tak mungkin memeras Papa."

"Aku masih ingat wajah dan sikapnya selama di persidangan," sahut Don.

"Tampaknya dia lugu dan polos. Tapi aku melihatnya dari jauh dan tidak pernah berbicara dengannya. Sulit juga memastikan. Riris lebih mengenalnya."

"Lantas bagaimana sebaiknya aku menghadapi dia supaya mau bercerita, Pak?" tanya Mariska.

"Jangan mendesaknya terus-terusan dalam soal yang sama. Itu akan membuat dia menjauh darimu. Tapi bersikap seperti biasa saja. Wajar dan ramah. Pendeknya, jangan buat dia menjauh."

"Ada baiknya Bapak ketemu dia nanti."

"Ya. Itu baik juga."

"Dengan Mimi juga."

"Oh, sama dia sudah." Don tidak keberatan menceritakan pertemuannya dengan Mimi.

Mereka tertawa mendengarnya.

"Itu profesi yang penuh tipu daya, ya," komentar Rico.

"Tapi bukan menipu."

"Lantas bagaimana penilaian Bapak tentang Mimi?" tanya Indiarto ingin tahu.

"Wah, dia susah dinilai. Perubahan fisik maupun perilakunya terlalu drastis bagiku. Dulu aku melihatnya seperti itu, sekarang seperti ini. Yang itu dan yang ini bedanya terlalu besar. Perlu waktu dan kesempatan untuk mempelajarinya."

"Bapak benar-benar berpengalaman memahami orang," kata Maxi kagum.

"Ah, aku bukan manusia super. Bisa salah juga," Don tersipu tapi bangga juga.

"Oh ya, Ris. Mengingat pentingnya faktor Pak Pandu dalam masalah itu, kenapa tidak kau dekati dan kau bujuk dia supaya mau berpartisipasi dan terbuka? Tentunya jauh lebih baik kalau dia sendiri yang cerita daripada Jarot."

"Itu benar, Pak. Tapi Papa sulit didekati. Tapi kami akan berusaha, ya. Indi?"

Indiarto hanya mengangguk.

Pertemuan tidak berlangsung lama. Mereka memutuskan akan menunggu Malik pulih untuk mendapatkan informasi yang baru. Sedang Mariska dan Indiarto akan berusaha mencari masukan dari ayah mereka.

Lalu Rico berpaling kepada Mariska.

"Ada Film bagus di bioskop 21, Ris. Masih ada waktu untuk menonton. Mau, yuk? Tentunya sama Indi juga."

Sesaat Mariska dan Indiarto berpandangan.

"Kalian berdua saja yang nonton. Aku mesti belajar. Besok ada kuliah pagi," Indiarto menolak.

Rico memandang Mariska penuh harap. Baginya, penolakan Indiarto itu merupakan pucuk dicinta ulam tiba.

"Oke," sahut Mariska.

"Kalau begitu kau bawa saja mobil, Indi."

"Ya. Nanti Riris kuantar pulang," Rico melanjutkan dengan hati senang.

"Baik. Bagaimana kalau aku mengantarkan Pak Don dulu? Tadi naik taksi, kan?" tanya Indiarto.

Don mengangguk.

"Wah, terima kasih. Tadi motorku dipakai si Elvi."

"Elvi?" tanya Indiarto.

"Elvira. putri bungsuku."

Mereka pun bubar dengan tujuan masing-masing, meninggalkan Maxi dan Grace berdua.

"Wah, pertanda baik, ya, Pa?" kata Grace sambil tertawa gembira.

"Ya. Kelihatannya mereka saling menyukai. Mudah-mudahan saja bisa berlanjut," sahut Maxi dengan wajah ceria.

"Apakah Riris tahu masa lalu Rico?" tanya Maxi kemudian.

"Ya. Rico sudah menceritakan semuanya."

"Baguslah itu. Aku bangga Rico telah berlaku jujur."

"Pa, aku yakin apa yang terjadi pada Rico sekarang ini bukan semata-mata karena dia berusaha keras untuk berubah, tapi lebih disebabkan perkembangan situasi belakangan ini."

"Maksudmu, peristiwa ini?"

"Ya. Apa yang kaualami itu berdampak juga pada yang lainnya. Mereka berdua jadi dekat karena itu. Lihat bagaimana mereka bersama-sama melalui saat-saat menegangkan di rumah yang seram itu. Orang mudah menjadi dekat dalam keadaan seperti itu. Coba kalau tidak ada yang begitu, misalnya cuma

didekat-dekatkan dan terus diusahakan bersama-sama, belum tentu bisa menjadi benar-benar dekat di hati. Lihat juga hubungan Riris dengan Indi. Keduanya tampak lebih akrab dan dekat dibanding permulaan aku mengenal mereka. Keduanya punya masalah keluarga yang sama, harus memecahkan dan mengatasinya bersama juga."

"Mama benar. Pengamatan yang bagus, Ma."

"Aku bisa ngomong begitu karena pengalaman kita sendiri, Pa. Puluhan tahun kita hidup bersama, tapi tak ada yang bisa lebih mendekatkan dibanding pengalaman mengerikan kita waktu lolos dari maut itu."

Maxi menatap istrinya dengan takjub lalu memeluknya.

"Ma, aku merasakan hal yang sama. Tapi aku tidak sampai memikirkan dan menyimpulkannya. Cuma merasakan. Oh Ma, kita sungguh beruntung, ya?"

Berpelukan dalam diam, keduanya meresapi dan mensyukuri keberuntungan itu.

Don dan Indiarto cepat menjadi akrab dalam kebersamaan menuju rumah Don. Sepanjang jalan diisi dengan obrolan santai yang menyenangkan. jauh dari masalah yang tengah mereka hadapi.

"Rumahku sudah dekat, Indi. Pelan-pelan saja," kata Don kemudian.

"Enak juga lingkungannya, ya, Pak."

"Aku dan keluarga sudah lama tinggal di sini, Indi. Tetangga silih berganti, tapi kami tetap."

Perhatian Don kemudian tertuju ke pinggir mobil. Seorang pengendara motor baru saja menyusul lewat sisi kiri.

"Bunyikan klakson, Indi."

"Kenapa, Pak?" Indiarto heran.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bunyikan saja Motor itu kok nyusul."

"Lho kan nggak apa-apa, Pak?" Indiarto agak keberatan. Apakah Don mau cari gara-ga

"Itu motorku !"

"Motor Bapak?"

Sesaat terpikir oleh Indiarto bahwa pengendara motor itu telah mencuri motor Don. Spontan dia membunyikan klakson dengan keras. Pengendara motor tampak terkejut lalu menoleh. Helm yang dikenakannya cuma menutup kepala hingga tampak wajahnya. Di bawah penerangan lampu jalan, cukupjelas terlihat bahwa dia perempuan muda. Dia memelototkan matanya. Tampak gusar.

"Wah, dia cewek, Pak!" seru Indiarto. Dia juga lega. Semarah-marahnya cewek pasti tidak agresif seperti cowok. Ia ngeri membayangkan kalau mobil Mariska sampai digores atau dibuat penyok.

Don menurunkan kaca jendela. Lalu dia memberi tanda dengan jarinya membentuk huruf O sambil tertawa memperlihatkan giginya. Segera wajah pengendara motor yang semula tampak gusar berubah seratus delapan puluh derajat. Ia juga tertawa dan mengangkat tangannya.

"itu si Elvi, anakku, Indi!"

"Oh, Bapak kok nggak bilang dari tadi."

Diam-diam Indiarto mengamati. Ada rasa ingin tahu. Bila si ayah berpotongan tubuh kecil, apakah anaknya pun kecil? Tapi dengan duduk di atas motor, Elvira tidak tampak kecil. Perawakannya sedang dan posisi duduknya terlihat gagah dengan kepala tegak. Potongannya memang tidak terlihat jelas karena dia bercelana

panjang dan berbalut jaket. Rambutnya tidak kelihatan tertutup helm. Sepintas dia kelihatan seperti cowok.

"Aku punya dua anak. Semua perempuan. Yang sulung sudah berkeluarga. Elvi kuliah tingkat akhir di Akademi Sekretaris. istriku bos dari usaha katering di rumah. Aku pembantunya," Don menjelaskan.

Elvira terus mendampingi mobil Indiarto sampai tiba di rumahnya. Setelah dia turun dari motor dan membuka helm, barulah Indiarto bisa melihatnya lebih jelas. Ia tercengang karena Elvira ternyata bertubuh cukup tinggi, hampir menyamai tinggi tubuhnya sendiri dan sudah jelas jauh lebih tinggi daripada ayahnya. Tapi wajahnya mirip dengan ayahnya, manis dan imut-imut. Hanya gerak-gerik dan gaya bicaranya yang tegas yang membuat ia tampak maskulin.

Don memperkenalkan Indiarto kepada Elvira dan Anie, istrinya. Mereka mengundangnya untuk duduk sejenak dan menikmati sekoteng bersama, tapi Indiarto menolak dengan alasan sudah terlalu malam dan ia perlu belajar. Padahal sebenarnya ia berselera juga terhadap

sekoteng yang ditawarkan itu. Tapi lingkungan keluarga yang hangat itu membuat ia sedih ketika teringat akan keluarganya sendiri.

"Apakah dia klien Papa?" tanya Elvira setelah Indiarto berlalu.

"Bukan. Ngapain Papa bawa-bawa klien ke rumah," sahut Don, setengah berbohong.

"Syukurlah."

"Kenapa?" Don ingin tahu.

"Kalau orang semuda itu sudah punya masalah rumit sampai perlu menyewa detektif, kasihan amat!"

Don tertegun.



TERNYATA Pandu belum tidur ketika Indiarto tiba di rumah. Tampaknya ia sengaja menunggu di ruang depan meskipun wajahnya terlihat mengantuk.

"Ke mana Riris, Indi? Kok nggak pulang sama-sama?" tanyanya.

"Dia pergi nonton sama Mas Rico. Pa."

Indiarto bermaksud ngeloyor masuk ke dalam. Tapi Pandu memanggilnya.

"Indi, duduk dulu. Kita tetap di sini menunggu Riris pulang. Papa bermaksud menegurnya. Nonton sama cowok nggak minta izin dulu. Memangnya dia sudah nggak punya orangtua?"

Indiarto terperangah.

"Menunggu disini? Saya mau belajar, Pa."

"Bawa bukumu ke sini!"

"Nggak mau, Pa. Saya nggak bisa belajar sambil dipelototi."

"Siapa yang melototi kamu? Sudah, di sini saja! Kau bisa nemenin Papa."

"Nggak mau, Pa!"

"Hei, Bandel, ya!" bentak Pandu marah.

Indiarto menatap ayahnya dengan heran.

"Pa, saya bukan anak kecil lagi. Papa nunggu di sini sendiri kan nggak apa-apa."

"Aku mau ngomong!"

"Saya mau belajar, Pa. Ini sudah malam. Besok saja ngomongnya."

"Kalau tahu sudah malam, kenapa pulang malam-malam?"

"Urusan penting, Pa."

"Penting apaan? Aku kan bapakmu, masa nggak dikasih tahu?"

"Kami mencoba berkomunikasi dengan Mama. Tadi Papa diajak nggak mau."

Pandu tenegun sejenak.

"Lantas apa kalian berhasil berkomunikasi dengan... dengan dia?"

Indiarto tak segera menjawab. Ia sebenarnya penasaran sekali terhadap ayahnya. Tapi ia juga khawatir salah bicara. Ia menyadari dirinya tidak sebijak Mariska.

"Nggak, Pa. Sudah ya, saya mau ke kamar."

Indiarto tak menunggu jawaban Pandu. Ia

melangkah dengan tekad tak akan mematuhi ayahnya. Tapi dengan cepat Pandu berdiri lalu menyorongkan sebelah kakinya ke depan, hingga Indiarto tersandung dan terjerembab jatuh. Sesudah itu Pandu berkacak pinggang dan menatap Indiarto dengan puas.

"Rasain, anak bandel!" bentaknya dengan nada mengejek.

Indiarto bangkit sambil meringis kesakitan.

"Papa curang!" ia berseru.

"Apa katamu?" Pandu mengangkat tangan.

Indiarto sudah kehilangan rasa takut dan hormatnya. Baginya, dipukul masih lebih baik daripada kakinya disandung dengan sengaja. Ia benci sekali diperlakukan seperti itu. Bila pelakunya adalah teman atau siapa saja pasti sudah ia hajar. Tapi ini ayahnya sendiri!

"Aku bilang, Papa curang! Papa khianat!" seru Indiarto. Ia tak mau berpikir lagi.

"Apa? Aku khianat, katamu? " Pandu benar-benar tak mampu lagi menguasai emosinya. Ia memukul Indiarto dengan dua tangan bergantian. Tak peduli lagi di mana tangannya mendarat.

Indiarto hanya bisa mengangkat dua tangannya untuk melindungi muka dan kepalanya.

Ia tidak melawan tapi mulutnya tidak berhenti bersuara.

"Ya, Papa khianat! Papa selingkuh sama pembantu! Papa jahat! Jahaaaat... !"

Tangan Pandu berhenti di udara. Ia tertegun. Rasa kaget tampak di wajahnya. Itu membuat emosinya surut. Lebih-lebih setelah ia menyadari perbuatannya. Ia melihat darah di mulut dan hidung Indiarto. Itu hasil pukulannya! Ia telah menganiaya anak sendiri!

"Bagaimana kamu bisa berkata begitu? Siapa yang bilang? Siapa?" ia bertanya. Suaranya tak sekeras tadi.

Indiarto sudah terlanjur sakit hati. Seumur hidup ia belum pernah dipukul orangtuanya. Tiba-tiba di usia yang dewasa, ia dibegitukan tanpa merasa telah melakukan kesalahan sedikit pun.

Ia menyusut darah dari lubang hidung dan bibirnya yang pecah. Rasanya perih. Tapi tidak seperih hati nya. Ia balas menatap ayahnya dengan tatap menantang.
Benteng Digital Digital Fortress Karya Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya

Cari Blog Ini