Ceritasilat Novel Online

Gazebo 7

Gazebo Karya V Lestari Bagian 7



"Jadi Papa nggak membantah? Ayo bantah kalau memang nggak benar"

"Anak kurang ajar kau!"

"Ya. Aku memang kurang ajar. Tapi siapa

yang memulai? Papa duluan! Papa yang membuat keluarga ini berantakan !"

Kembali Pandu naik darah. Betapa besar pun kesalahannya, ia tidak rela dihakimi oleh anaknya sendiri.

"Hei,jangan sembarang ngomong, ya! Aku ini bapakmu! Kamu masih ingusan. Masih diberi makan olehku! Tahu?"

"Ya. Tahu, Pa. Tapi semua omonganku itu betul, kan? Papa nggak membantah. Papa cuma bisa marah. Apa Papa lebih sayang pembantu macam si Mimi itu daripada anak-anak Papa sendiri?" Indarto mengeluarkan perkataan paling tajam yang muncul di benaknya. Apa saja asal bisa balas menyakiti ayahnya.

Kembali Pandu tertegun. Ternyata anak-anaknya tahu lebih banyak daripada persangkaannya.

"Siapa yang bilang begitu?" tanyanya dengan suara tetap keras. Ia tak ingin kehilangan kewibawaannya.

"Itu nggak penting. Yang penting adalah kebenaran!" seru Indiarto.

"Jadi kamu bilang aku yang duluan berkhianat?"





"Kamu salah! Mamamu yang melakukannya duluan!"

"Sama siapa, Pa'? Si Malik?"

"Bukan! Frans Dinata!" Pandu mengeluarkan unek-uneknya. Ia juga tak berpikir panjang lagi. Apa saja dikeluarkannya untuk membela diri.

Indiarto ternganga. Ia serasa dipukul untuk kedua kalinya. Lebih keras dan menyakitkan. Ia ingin lari dari situ, menjauh dari ayahnya, tak perlu melihat lagi wajah ayahnya yang memuakkan. Tapi ia masih ingin mendengar penjelasan. Tak peduli ia bisa pingsan mendengarnya.

"Jadi Papa melakukannya dengan si Mimi untuk membalas perbuatan Mama?"

"Tentu saja! Apa dikiranya aku tidak bisa melakukan hal yang sama?"

"Tapi buat apa Papa melakukan itu sekarang? Mama kan sudah nggak ada. Dia tidak bisa melihat dan tidak bisa merasakan! Mana mungkin Papa bisa menyakitinya!"

Mulut Pandu sudah terbuka, tapi kemudian menutup lagi. Ia segera menyadari kebenaran ucapan Indiarto. Kepalanya tiba-tiba pusing.

Ia cepat-cepat duduk lalu memejamkan mata. Suatu isyarat untuk mengakhiri percakapan.

Indiarto merasakan kemenangan ada di pihaknya. Ayahnya sudah tersudut. Ia jadi tak ingin pergi.

"Pantaslah kalau Mama menuntut kebenaran," katanya lagi.

"Karena memang ada yang nggak bener!"

"Jangan anggap dia yang benar. Dia itu pelacur!" kata Pandu tanpa membuka mata. Suaranya menurun memperlihatkan energi yang terkuras.

Indiarto tidak puas. Ayahnya hanya balas menuduh tanpa mengungkapkan apa pun.

"Apakah ada yang Papa sembunyikan?" Indiarto mendera lagi.

Pandu membuka mata lalu berpaling menatap Indiarto. Tampak wajahnya yang kelabu. Indiarto bergidik. Jangan-jangan dia sudah kelewatan.

"Tutup mulutmu! Pergi sana sebelum aku lupa diri!"

Tetapi Indiarto belum ingin pergi. Ia penasaran.

"Siapa sebenarnya yang membunuh Mama?

Apa betul si Malik?" katanya, seolah bertanya pada diri sendiri.

Pandu melompat. Wajahnya garang.

"Kau anak brengsek!" Ia mendekati Indiarto dengan sikap tubuh seperti mau menyeruduk. Indiarto terkejut. Ia mundur. berbalik, lalu berlari. Pandu mengejarnya dengan tangan diacung-acungkan. Indiarto lebih kencang larinya. Ia tidak terkejar dan berhasil berlindung di dalam kamarnya yang terkunci.

Pandu menggebrak-gebrak pintu kamar Indiarto beberapa kali lalu capek sendiri.

Di dalam kamar Indiarto gemetaran. Waduh, apakah ia telah melakukan kesalahan?





Film yang mereka tonton film thriller. Adegan-adegannya yang menegangkan dan mencekam membuat tangan Mariska terus-menerus mencengkeram tangan Rico. Hal itu membuat Rico berharap supaya adegan seperti itu tak pernah habis sampai akhir.

Tetapi pertunjukan tetap harus usai. Sudah hampir jam sebelas malam. Tontonan yang mencekam menghilangkan kantuk. Tapi Mariska menolak ajakan Rico untuk minum dulu.

"Sudah terlalu malam. Ric. Aku bawa kunci

sih. Tapi besok hari kerja. Kau dan aku harus berangkat pagi."

"Biarpun perusahaan itu milik sendiri?" gurau Rico.

"Eh, itu bukan milikku. Tapi milik ayahku. Aku digaji di situ lho."

"Suatu saat akan jadi milikmu juga. Apa kau tidak menyadari itu?"

"Tentu saja, Ric. Karena itu aku bekerja dengan baik. Sambil kerja aku juga belajar. Aku sudah punya konsep-konsep yang ingin kuterapkan kalau nanti aku punya kuasa untuk itu."

"Kenapa tidak kauajukan sekarang saja kepada ayahmu?"

"Oh, tidak. Papa tidak akan senang, Ric. Aku tahu tabiatnya. Sekarang aku cuma kerja dengan baik, mematuhi segala instruksi yang sudah digariskannya. Dan jangan ikut campur dengan kebijakan yang Papa ambil. Apalagi selama ini Papa memang tidak pernah minta pendapatku. Mungkin Papa menganggapku masih hijau. Aku baru tiga tahun di situ, Ric. Begitu lulus sekolah langsung masuk."

"Tentunya Indi pun dipersiapkan untuk masuk ke situ juga."

"Oh ya. Kalau tidak kan sayang, Ric. Daripada bekerja giat di perusahaan lain, memajukan usaha orang lain, kan lebih baik melakukannya untuk perusahaan sendiri."

"Itu pendapat yang bagus. Tapi bekerja di perusahaan sendiri sering membuat orang berbuat semaunya. Mentang-mentang begitu."

"Wah, itu sih tak punya tanggung jawab namanya. Orang yang seperti itu kerja di mana pun akan sama saja."

Rico menggandeng lengan Mariska menuju mobil. Baru setelah berada di mobil, Mariska menghidupkan telepon genggamnya. Lalu mendapati sebuah pesan singkat dari Indiarto yang bunyinya:

Aku plg dgn Pp. Dia mrh skl. Sdh tahu bhw kita tahu ttg Mi. Jng nelp. Aku nggak berani ngom, tk! dia ngping di dpn ptu. Aku sembu di kmr. .jg diri, ya!

Rico mengamati wajah Mariska yang tampak terkejut.

"Ada apa?"

Mariska memperlihatkan teleponnya.

"Wah, dia perang dengan ayahmu?" Rico terkejut juga.

"Celaka! Ayo pulang, Ris!"

Mereka setengah ngebut.

"Kok bisa begini, ya, Ric? Kukira Indi bisa menjaga mulutnya." Mariska menyesali.

"Belum tentu salah Indi juga, Ris. Jangan terlalu cepat menilai. Kita lihat saja."

"Mungkin Papa yang provokasi. Indi cepat emosi."

"Ternyata ayahmu juga tidak cuek sama sekali. Dia ingin tahu juga."

"Itu pertanda bahwa dia memang menyembunyikan sesuatu. Dia ingin tahu apakah kita tahu apa yang disembunyikannya itu."

"Tentang Mimi?"

"Bukan. Yang lainnya. Kukira soal Mimi saja bukan sesuatu yang besar-besar amat. Itu cuma masalah seks. Umumnya orang menganggap itu soal lumrah bagi lelaki. Kalau ketahuan Papa kan nggak perlu marah besar."

"Ya. Itu masuk akal. Kita lihat saja apa kata Indi nanti."

"Bila dia sampai bersembunyi di kamarnya. pastilah Papa bukan sekadar marah. Apa yang mau dilakukan Papa, ya?" Mariska jadi cemas.

Rico menjadi cemas juga. Perasaan itu memuncak setelah tiba di rumah Mariska.

"Aku akan ikut masuk bersamamu." katanya.

"Jangan. Nanti dia bisa tambah marah."

"Bagaimana kalau kau diapa-apakan? Memang dia ayahmu, tapi dia juga manusia."

Mariska berpikir sebentar.

"Kalau begitu, kau tunggu di luar sini saja, ya? Pintu tidak kukunci dulu. Kalau aku kenapa-kenapa aku akan berteriak, jadi kau bisa masuk."

"Bagaimana kalau kau tidak bisa berteriak?"

"Aku pasti bisa. Ric. Pasti bisa."

Tanpa menunggu jawaban Rico, Mariska bergegas turun dari mobil lalu berlari ke pintu.

Rico turun juga. Ia menunggu di luar pintu pagar dan mengamati dari luar. Ia melihat Mariska berlari di halaman menuju rumah. Dengan gelisah ia menunggu. Satu tangan memegang pintu, siap untuk membukanya lalu menerobos masuk. Ia tidak mendengar suara-suara beberapa saat lamanya.

Ia tidak perlu menunggu lama. Kurang lebih sepuluh menit kemudian Mariska sudah muncul kembali. Wajahnya tidak tampak tegang lagi. Di belakangnya Indiarto mengikuti.

"Papa tidak ada. Mobilnya juga," kata Mariska.

"Aku dengar bunyi mesin mobilnya dari

loteng," kata Indiarto.

"Karena itu aku berani keluar dari kamar. Lalu aku menunggu Mbak di depan."

"Sudah lama perginya?" tanya Rico.

"Mungkin ada sejam sebelum kalian datang."

"Sebelum pergi, apakah Papa memanggilmu atau mengajak bicara dulu?" tanya Mariska.

"Nggak tuh. Dia hanya menggedor-gedor dan memaki-maki saat aku baru masuk kamar dan menguncinya. Sesudah itu dia pergi. mungkin turun ke ruang depan menunggu Mbak pulang. Makanya aku cuma bisa ngirim SMS. Ngirit baterai. Aku juga takut dia menguping pembicaraan. Aku benar-benar menyesal telah keceplosan bicara. Habis aku penasaran sekali kepadanya, Mbak."

"Ya sudah. Nggak apa-apa. Kita ikuti saja perkembangannya."

"Ada infomasi baru yang kuperoleh dari Papa, Mbak. Dia juga keceplosan rupanya. Katanya, Mama duluan yang selingkuh. Tebak sama siapa, Mbak. Frans Dinata itu!"

Mariska terkejut. Ia tak bisa berkomentar. Diamnya Mariska digunakan Indiarto untuk menceritakan lebih detail peristiwa yang telah

terjadi.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rico mendengarkan saja tanpa komentar apa-apa. Simpatinya tercurah pada kedua kakak beradik itu. Dia juga merasa kurang enak karena mendengar kisah keluarga yang buruk.

"Aku rasa dia pergi ke rumah Mimi," kata Mariska.

"Kukira juga begitu."

"Akhirnya bisul ini pecah juga, ya, Indi," keluh Mariska.

"Memang harus begitu, Mbak. Tapi pecahnya dini. Ada kalanya aku menyesal, tapi ada kalanya tidak juga."

"Sudahlah," kata Rico akhirnya.

"Sebaiknya kalian tenangkan pikiran lalu tidur. Besok masih banyak waktu untuk merundingkannya lagi. Pak Pandu juga bisa menenangkan dirinya. Mungkin besok dia sudah tenang kembali."

Mereka berpisah. Rico pulang dengan perasaan lebih lega. Ternyata tidak sampai terjadi drama yang mengerikan. Padahal dia sudah membayangkan yang bukan-bukan saat menunggu tadi.

Sementara Mariska dan Indiarto masuk rumah dengan berpegangan tangan.

"Nggak sangka Mama sama Frans juga berbuat begitu," kata Mariska.

"Lantas buat apa aku ketemu sama dia? Untuk konfmnasi skandal? Rasanya menjijikkan, Indi."

"Memang betul. Tapi tak ada salahnya mendengar apa yang dia mau bicarakan. Katanya penting."

"Barangkali dia mau mengaku dosa, Mbak."

"Penting buat dia dong."

"Siapa tahu ada juga pentingnya buat kita."

"Jadi kau berpendirian sebaiknya aku temui dia?"

"Kayaknya begitu, Mbak."

"Ya, baiklah," keluh Mariska.

Di teras Mariska mendadak berhenti melangkah. Ia berpikir.

Indiarto menatap heran.

"Ada apa, Mbak? "

"Aku tiba-tiba punya keinginan, Indi. Bagaimana kalau sekarang kita ke rumah Mimi?"

Indiarto terkejut.

"Sekarang, Mbak? Ini kan sudah malam. Mau apa pula kau ke sana?"

"Kau mau belajar?"

"Wah, sudah tidak bisa lagi."

"Mau tidur?"

"Belum ngantuk."

"Nah, kita pergi aja ke sana. Bukan maksudku untuk berkunjung tapi lewat saja. Bukankah kita belum pernah melihat rumahnya?"

"Kalau hanya sekadar melihat rumahnya sih masa harus sekarang, Mbak?"

"Entahlah. Rasanya ada dorongan gitu. Mungkin pengaruh suasana, ya? Biarlah kalau kau nggak mau ikut. Aku pergi sendiri saja."

Bila Mariska sudah berkata begitu, Indiarto mau tak mau menurut juga. Mustahil kakak yang ia sayangi ini ia biarkan pergi sendirian menjelang tengah malam seperti itu, kan?

Pergi berdua memang lebih menyenangkan. Di samping tidak kesepian, bisa mengisi waktu dengan berbincang-bincang, juga mencari alamat yang masih asing buat keduanya. Meskipun sudah diberitahu secara lengkap dan detail oleh Don, tapi lingkungan perumahan Jakarta sering kali rumit untuk ditelusuri. Jangankan pemukiman yang berupa gang-gang kecil, pemukiman yang memiliki jalan cukup besar pun bisa memberi kesulitan karena nomor-nomornya yang kacau. Kesulitan bertambah karena suasananya malam hari.

"Jadi kita cuma mengamati lalu lewat, Mbak?" Indiarto menegaskan. Ia khawatir kalau Mariska tiba-tiba mengubah rencana. Bayangkan betapa marahnya ayah mereka kalau didatangi malam-malam di saat ia tengah menikmati hiburan Mimi. Padahal amarahnya saat meninggalkan rumah belum lagi surut.

"Tentu. Jangan khawatir. Aku juga nggak mau dong dimarahi," Mariska menenangkan.

"Mbak ternyata impulsif juga, ya."

"Begitulah." Mariska tersenyum.

Mereka berhasil menemukan alamat yang dicari lewat proses yang cukup lancar. Tidak ada, portal yang ditutup atau pos-pos penjagaan Siskamling yang harus dilalui. Mariska menjalankan mobilnya pelan-pelan. Indiarto mencari nomornya. Mereka harus waspada karena hanya mengandalkan penerangan di teras rumah yang berhadap-hadapan. Untunglah nomornya berurutan.

"Rumahnya mungil tapi bagus, begitu kata Pak Don," kata Indiarto.

"Nah, kayaknya yang itu, Mbak."

Seperti halnya kebanyakan rumah yang dilalui, rumah itu pun sepi. Mungkin penghuninya sudah tidur. Mariska tidak menghentikan mobil karena khawatir dicurigai warga. Mereka hanya melintas pelan dan sesudah itu meluncur normal.

"Kau lihat, Indi?" seru Mariska.

"Ya. Tentu saja aku melihatnya. Rumah itu memang mungil dan bagus. Pantas Papa betah juga bersarang di situ, ya."

"Bukan soal itu, Indi. Mobil Papa tidak ada disitu."

"Oh iya," Indiarto tertegun.

"Garasinya tidak berpintu."

"Berarti Papa tidak ada di situ."

"Lalu ke mana?"

"Mana aku tahu. Mungkin dia punya tempat lain."

"Pacar lain?" seru Indiarto ngeri.

Mariska tertawa.

"Itu tidak kupikirkan. Tapi kenyataan bahwa Papa tidak pergi ke situ setelah marah-marah berarti Papa tidak menjadikan Mimi sebagai tempat pelarian."

"Syukurlah kalau begitu. Berarti perempuan itu cuma dijadikan pelampiasan kebutuhan biologis," kata Indiarto.

"Aduh Indi. jaga bahasamu "

"Ya, Mbak. Tapi itu kenyataan, kan?"

"Ada juga kemungkinan Papa tidak ke sana karena kita sudah tahu. Mungkin dipikirnya karena sudah tahu alamat Mimi, siapa tahu kita akan mendatangi mereka dan benar benar menangkap basah mereka."

"Jangan-jangan Papa malu ketemu Mbak karena rahasianya sudah terbongkar. Padahal mula-mula Papa begitu garang."

"Aduh, Indi, kenapa jadi begini, ya? Aku jadi semakin takut saja memikirkan Papa. Apa yang akan terjadi dengan keluarga kita?"

"Ya, aku juga takut. Kadang-kadang kebenaran itu bisa menakutkan. bukan?"

"Apakah kau menyesali tuntutan Mama, Indi?"

"Kadang-kadang. Tapi kita memang tidak bisa menyalahkan Mama. Bukan tentang perbuatannya yang sesat tentunya, tapi mengenai tuntutannya sebagai arwah."

"Tapi aku tidak, Indi! Aku tidak!"

Indiarto menatap kakaknya dengan perasaan miris. Ia ingin dirinya bisa setegar dan setegas kakaknya.

"Aku bangga untuk sikapmu kepada Papa

tadi, Indi. Kau bisa mengendalikan diri. Biarpun dipukul tapi tidak balas memukul."

Ucapan itu sangat menghibur.

Malam itu terjadi kegemparan di seputar rumah kediaman Jarot. Lelaki yang sedang sendirian di rumah itu ditemukan tetangganya terkapar di ruang depan rumahnya. di depan televisi yang menyala dalam keadaan sekarat!

Ia masih hidup tapi tidak sadarkan diri lalu dilarikan ke rumah sakit terdekat. Petugas menyimpulkan, Jarot korban penganiayaan. Pada belakang kepalanya terdapat luka hantaman dengan benda tumpul. Sepotong besi yang diduga menjadi alat pemukul diamankan sebagai barang bukti.

Menurut paramedis di ruang gawat darurat rumah sakit bersangkutan, bila terlambat ditolong bisa dipastikan jiwa Jarot takkan tertolong. Ia mengalami perdarahan di dalam kepala hingga memerlukan operasi segera.

Sebenarnya penemuan Jarot terjadi secara kebetulan. Tetangga sebelah yang sudah ingin tidur merasa kebisingan karena bunyi televisi Jarot yang dianggapnya terlalu keras. Ia memutuskan untuk mendatangi dan menegurnya.

Setelah mengetuk pintu dan memanggil-manggil berulang kali tapi tak mendapatjawaban, ia mencoba membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Ia masuk dan menemukan Jarot.





Mariska mengunci pintu rumah. Bersama Indiarto mereka menaiki tangga menuju kamar masing-masing. Saat itulah telepon di ruang depan berbunyi. Keduanya menghambur ke sana.

"Mungkin itu Papa!" seru Mariska. Tapi ia mendengar suara lain.

"Ini Ibu Riris?"

"Betul," sahut Mariska dengan berdebar.

"Selamat malam, Bu. Maaf telah mengganggu malam-malam begini. Saya satpam jaga di pabrik. Saya terpaksa nelepon Ibu karena tidak tahu mesti ke mana. Begini, Bu. Barusan saya didatangi tetangga Jarot yang kebingungan. Katanya, Jarot luka parah dan masuk rumah sakit. Dia perlu dioperasi segera tapi rumah sakit perlu jaminan dan persetujuan operasi. Keluarganya nggak ada. Barangkali Ibu bisa membantu?"

"Tentu saja bisa," Mariska tak berpikir lama.

"Katakan di mana rumah sakitnya. Saya segera ke sana."

"Oh, terima kasih, Bu" sahut Satpam setelah memberitahu nama dan alamat rumah sakit

yang dimaksud. Suaranya yang semula tegang terdengar lega tak kepalang.

Setelah meletakkan telepon, Mariska menatap Indiarto.

"Jarot luka parah, Indi. Aku segera ke rumah sakit. Dia membutuhkan bantuan. Biar aku pergi sendiri saja. Kau coba menghubungi Papa."

"Aku ikut, Mbak."

Mariska berterima kasih untuk kesediaan Indiarto itu. Tampaknya malam itu malam yang sangat berarti bagi mereka berdua.



INDlARTO tidak berhasil menghubungi ayahnya. Ponsel Pandu dimatikan. Jadi Indiarto hanya mengirimkan SMS. Bila sewaktu-waktu Pandu mengaktifkan telepon, ia bisa membaca pesan itu.

Sementara itu Indiarto menemani Mariska di ruang tunggu kamar operasi. Ia menolak disuruh pulang.

"Malam ini sudah tidak bisa dilalui dengan tidur, Mbak. Serba tanggung."

"Terima kasih, Indi. Mudah-mudahan Papa segera membaca pesan kita, ya."

"Kayaknya nggak bakal cepat, Mbak. Sekarang dia sedang enak tidur."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarlah. Yang penting sekarang kita doakan biar Jarot selamat."

"Siapa yang melakukan itu, Mbak?"

"Entahlah. Kita tidak tahu apakah Jarot punya musuh atau tidak."

"Tadi kata petugas tidak tampak ada tanda perampokan. TV-nya aja menyala. Kalau tidak bunyi, tentu tetangganya tidak tahu hingga dia bisa mati pelan-pelan."

"Betul. Bahkan katanya ada dua gelas minum berisi air putih di atas meja. Dua-duanya sudah berkurang isinya. Kalau cuma untuk dirinya sendiri masa sampai dua gelas. Berarti itu untuk tamunya. Dan mungkin juga pelakunya. Nyatanya tidak ada bekas kekerasan di ruang itu. Pada pintu masuk pun tidak ada."

"Mukulnya juga dari belakang. Pengecut!"

"Kalau dia bisa sembuh, dia bisa menunjukkan siapa pelakunya, Indi."

"Tapi kata dokter tadi, kemungkinan sembuhnya fifty-fiffy-"

"Toh kemungkinan itu ada."

"Mbak, tidakkah sebaiknya kita beritahu saja Pak Don dan Pak Maxi?"

"Ah, jangan. Mereka sedang enak tidur. Lagi pula kita tidak tahu pasti apakah peristiwa ini ada hubungannya dengan masalah yang tengah kita selidiki. Mungkin dia punya musuh lain."

"Tapi Jarot itu sepertinya tahu sesuatu,



Mbak."

"Itu mengenai Papa, Indi."

Lalu keduanya sama-sama terkejut dan saling memandang dengan mata membelalak. Kemudian Mariska mencengkeram tangan Indiarto.

"Aduh, Indi. Masa sih Papa terlibat. Nggak ah. Nggak mungkin," ia nyerocos dengan panik.

"Ssst...," Indiarta meletakkan telunjuknya di bibir.

"Tenang, Mbak."

"Bagaimana aku bisa tenang, Indi?" keluh Mariska.

"Aku sungguh-sungguh takut. Coba pikir. Papa semalam ke mana?"

Indiarto menatap kakaknya itu dengan heran. Ternyata Mariska bukan perempuan super bermental baja. Pengendalian dirinya bisa juga goyang. Biarpun begitu kekagumannya tidak terhapus karena itu. Ia justru lebih menyukai Mariska yang seperti ini. Jadi ganti dirinyalah yang sekarang menghibur.

"Kita lihat saja bagaimana reaksi Papa nanti, Mbak."

"Oh, aku benar-benar resah, Indi."

"Tak mau nelepon Rico, Mbak? Dia bisa membantu menenangkan."

Mariska mencubit Indiarto hingga anak muda itu mengaduh.

"Jangan menggoda di saat begini Indi," ia mengomel. Tapi kemudian ia buru-buru mengusap-usap lengan Indiarto yang dicubitnya untuk melenyapkan sakitnya.

"Sori ya, Indi. Aku lagi kacau."

"Ya, ya. Nggak apa-apa. Dicubit lagi juga aku mau, Mbak."

"Sudahlah. Lebih baik kita nunggu berdua saja. Besok baru mereka kita kabari."

Sekitar jam tiga dini hari itu, barulah Jarot didorong keluar dari kamar operasi. Dokter yang melakukan operasi mendatangi Mariska dan Indiarto. Keduanya segera melompat berdiri.

"Bagaimana, Dok?" tanya Mariska cemas.

"Tahap awal sudah berhasil dilalui dengan cukup baik, Bu. Perdarahan sudah bisa dihentikan. Cuma tahap selanjutnya masih harus dilihat. Terutama mengenai kondisi otaknya yang mengalami gegar cukup berat. Asal dia bisa sadar dari koma kemungkinan sembuh cukup besar. Jadi kita harus menunggu."

"Terima kasih, Dok."

"Sekarang dia harus masuk ruang intensif."

"Ya, Dok."

"Ibu majikan pasien?"

"Betul, Dok. Keluarganya sedang berada di kampung. Saya tidak tahu di mana alamatnya. Nanti saya tanya teman-temannya, barangkali ada yang tahu."

"Wah, dia sepatutnya bersyukur punya bos yang baik."

"Dia karyawan yang baik. Dok. Jadi kami sekarang bisa pulang, Dok?"

"Oh. tentu saja. Pulanglah. Istirahat. Kalau ada sesuatu nanti kami telepon."

Mariska menyikut Indiarto setelah dokter itu berlalu.

"Kenapa, Mbak?"

"Dokter itu nggak tahu aja apa yang tengah terjadi, Indi."

"Andaikata Jarot itu tidak ada hubungannya dengan kasus kita, apakah Mbak juga akan menolong seperti ini?"

"Tentu saja. Aku kan punya hati nurani. Kenapa?"

"Soalnya Mbak nyikut sih tadi."

"Ah, itu nggak ada hubungannya, Indi. Aku cuma kepengin menyikutmu."

Kemudian mereka menengok Jarot di ruang intensif. Dengan rasa iba memenuhi dadanya, Mariska mengamati Jarot yang berbaring diam. Hanya dadanya yang turun-naik menandakan dia masih hidup.

"Andaikata kau jadi begini karena terlibat dalam kasusku, aku minta maaf, Rot. Mungkin kau terlalu lugu untuk menyadari bahayanya. Seharusnya kau tidak menyimpannya sendiri." kata Mariska dalam hati.

Mereka berdua pulang dan sempat tidur selama dua jam. Inginnya lebih dari itu, tapi dering beker memaksa bangun. Bagaimanapun, tidur sebentar masih lebih baik daripada tidak tidur sama sekali. Tidur itu pun tanpa gangguan. Ponsel mereka di samping bantal tidak berbunyi. Berarti tak ada masalah dengan Jarot. Juga tak ada kabar dari ayah mereka.

Pagi itu mereka sarapan berdua.

"Jadi kita harus berpisah kali ini, ya, Mbak," kata Indiarto.

"Oh, tentu. Kita sekarang melakukan kewajiban rutin. Usai kuliah kau langSung pulang saja, Indi. Bila ada perkembangan baru kau kutelepon. Sudah diisi baterai ponselmu?"

"Sudah, Mbak. Kalau Papa datang ke kantor, beritahu aku ya, Mbak?"

"Tentu. Sekarang aku akan memberitahu Rico dan Pak Don."

Indiarto mengawasi kakaknya saat menelepon kedua orang tadi.

"Bagaimana?" tanyanya setelah Mariska mengakhiri percakapan singkat dengan mereka.

"Mereka terkejut. Rico menyesali kenapa aku tidak meneleponnya semalam. Tapi ketika kutanya dia sedang ngapain waktu itu, katanya sedang tidur. Nah, kasihan, kan? Pak Don juga sama. Jadi biarlah mereka segar sekarang. Satu orang yang loyo sudah cukup. Nyatanya kita juga tidak membutuhkan bantuan mereka. Berdua sudah cukup. Terlalu banyak bisa bikin ruwet, Indi. Tapi terus terang, aku sebenarnya khawatir juga bagaimana kalau semalam Papa tiba-tiba muncul di rumah sakit padahal di situ ada Pak Don dan Pak Maxi. Papa sudah kenal Pak Don, kan? Nah, bisa ribut tuh. Itu cuma menimbulkan masalah baru."

"Lalu apa yang akan mereka lakukan sekarang?"

"Mereka kuminta menunggu saja perkembangan berikutnya yang akan kukabari nanti. Mereka tidak perlu menjenguk Jarot. Mereka tidak kenal Jarot. Lagi pula ada yang lebih penting bagi Pak Don. Yaitu si Malik. Sebaiknya kepadanyalah ia memfokuskan perhatian."

"Dan Jarot bagian kita."

"Betul, Indi."

Saat mereka bersiap-siap berangkat, muncul Pandu yang berwajah keruh seperti tak tidur semalaman. Spontan Indiarto mengambil posisi di belakang Mariska.

"Ada apa dengan si Jarot?" tanya Pandu kepada Mariska. Tidak sedikit pun pandangnya tertuju kepada Indiarto.

"Oh, Papa sudah baca pesan kami?" tanya Mariska.

"Ya, ya. Sudah. Ada apa sih?"

Mariska segera menceritakan apa yang telah terjadi atas diri Jarot.

"Oh, begitu. Lantas kenapa kau yang pusing?" tanya Pandu dingin.

Mariska tertegun. Ia tak menyangka bahwa ayahnya berkata seperti itu.

"Keluarganya tak ada, Pa. Ia harus ditolong segera."

"Ya sudah. Tapi kau tidak perlu capek-capck begitu. Suruh saja salah seorang temannya menengok dan menjaganya kalau perlu. Masa kamu?"

"Semalam tidak ada siapa-siapa, Pa. Siapa pula yang mau menjamin karena rumah sakit minta uang muka."

"Ya sudah. Itu kan sudah kejadian. Untuk seterusnya kau tidak perlu melakukannya."

"Papa akan menengoknya? Kita bisa pergi sama-sama."

"Nggak ah. Aku nunggu kabar saja. Kau tahu aku paling nggak senang nengok orang di rumah sakit."

"Kalau begitu, saya berangkat duluan, Pa."

"Saya juga, Pa," sambung Indiarto.

Pandu melotot kepada Indiarto. Tetapi Indiarto cepat pergi.

Mariska menunggu dulu sampai Indiarto tak kelihatan. Ia juga ingin tahu apakah ada yang mau dikatakan ayahnya mengenai keributan semalam.

"Katanya mau pergi," kata Pandu, setengah mengusir Mariska.

Tapi Mariska jadi penasaran.

"Bagaimana dengan ribut-ribut semalam, Pa'? Apa ada yang

mau dibicarakan?" ia memberanikan diri bertanya.

Wajah Pandu menjadi lebih keruh.

"Nggak ada!" sahutnya keras.

"Katanya Papa mau bicara. Lebih baik dibicarakan saja, Pa." Mariska bertahan.

"Bicara apa? Memangnya aku harus mengaku dosa kepadamu? Kamu ini siapa? Itu masalah pribadiku !"

"Tapi semalam Papa bilang sama Indi, Papa mau bicara sama kami. Saya kira itu baik. Supaya segalanya menjadi jelas."

"Jelas apanya? Kau anggap aku ini siapa? Bukannya membela ayah sendiri, malah berkomplot menentangku!"

"Kami tidak menentang Papa. Kami cuma ingin memenuhi permintaan Mama."

"Jadi kau lebih membela arwah daripada orang yang masih hidup? Logika macam apa itu?"
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pa, sebenarnya ada apa?"

Wajah Pandu semakin keruh saja. Sebenarnya Mariska merasa takut. Tapi ia terdorong oleh keinginan menuntaskan masalah itu.

"Justru akulah yang semestinya bertanya

begitu. Kalian kasak-kusuk dengan mengajak orang luar yang tak ada hubungannya tanpa memberitahuku."

"Papa sudah diajak serta, tapi tidak mau. Pak Maxi itu ikut serta karena diminta Mama."

"Kau membuat rahasia keluarga diketahui orang luar yang siap menggosipkan."

"Rahasia apa, Pa'?"

Pandu terdiam sejenak.

"Aku tak mau bicara lagi! Pergilah!"

"Pa, ada apa dengan Frans Dinata?" tanya Mariska nekat.

Wajah Pandu merah padam. Hidungnya kembang-kempis. Ia seperti banteng marah yang siap mengamuk.

"Pergiii...!" teriaknya.

Dua pembantu mereka berlarian masuk. Mariska cepat pergi.

Sebelum ke kantor, Mariska mampir ke rumah sakit untuk menjenguk Jarot. Dia masih dalam keadaan koma. Kondisinya tak lebih maju daripada semalam. Tapi juga tidak mundur. Dia stabil.

Mariska bertanya kepada petugas medis di situ apakah ada lagi yang diperlukan sebelum berlalu. Ia kembali berpesan agar menghubungi

nomornya bila ada yang terjadi. Pihak rumah sakit tampak senang dengan perhatian yang diberikan Mariska. Mereka tidak perlu merasa cemas kalau si pasien kelak tak mampu membayar biaya yang mahal.

Di perusahaan, berita tentang Jarot sudah menyebar. Para karyawan menyambut Mariska dengan hormat berlebih daripada biasa. Di mata mereka jelas terlihat pemujaan. Inilah bos yang ideal.

Mariska menjadi rikuh dan malu sendiri. Kalian tidak tahu saja apa arti Jarot bagiku, bagi keluarga kami, pikirnya. Ya, kalau kalian tahu tentu nilaiku sebagai pahlawan akan berkurang atau mungkin juga hilang sama sekali.

Ayahnya yang muncul belakangan bersikap seolah tak ada apa-apa yang terjadi di antara mereka sebelumnya. Ia hanya bersikap dingin dan menjaga jarak.

Seharusnya Papa menjenguk Jarot, pikir Mariska dengan sedih. Apakah benar ucapannya bahwa ia paling tidak suka menengok orang di rumah sakit? Andaikata itu benar mestinya ada pengecualian. Bagaimana kalau orang yang tergolek di rumah sakit itu keluarganya sendiri?

Dan Jarot yang kelihatannya punya arti khusus baginya?

Kemudian kesedihan itu berubah menjadi kecemasan. Sama seperti yang dirasakan Mariska bersama Indiarto semalam. Sepertinya kecemasan itu terlalu berlebihan. Orang seperti ayahnya mustahil melakukan hal tercela seperti itu. Apalagi melakukannya dengan tangan sendiri. Bukankah orang sekelas ayahnya tidak suka mengotori tangan sendiri? Orang-orang seperti itu akan menggunakan jasa pembunuh bayaran. Uang bisa menyelesaikan masalah.

Pikiran itu membuat Mariska terkejut. Bagaimana mungkin ia bisa berpikir begitu mengenai ayahnya sendiri?

Ketika telepon dari Frans Dinata masuk, perhatiannya segera beralih. Ia menerima ajakan makan siang dari Frans di suatu tempat yang ditentukan. Bagus sekali, pikirnya. Bila tidak bisa mendapat konfirmasi dari ayahnya, Mariska bisa bertanya langsung kepada pelakunya sendiri, yaitu Frans Dinata. Tambahan lagi waktunya tepat. Masalah itu sedan bergolak di dalam darahnya,

Don menelepon dari rumah sakit Kramatjati.

Ia sedang menjenguk Malik bersama Sondang. Katanya Sondang akan segera mencari informasi perihal penganiayaan yang menimpa Jarot semalam. Ia juga bertanya mengenai kondisi Jarot. Kemudian dengan nada hati-hati bertanya apakah ayah Mariska sudah kembali. Lalu Don mengajak untuk berkumpul seperti biasa di rumah Maxi nanti malam.

Rico juga menelepon. Ia rindu. dan mencemaskan keadaan Mariska, lalu mengajak makan siang bersama. Sepertinya jarak antara satu tempat dengan tempat lain di Jakarta bisa ditempuh dengan lancar, pikir Mariska dengan senyum. Ia memberitahu janji yang sudah dibuatnya dengan Frans.

"Kalau begitu, hati-hati, ya. Perlu ditemani?" tanya Rico.

"Wah, untuk masalah seperti itu sepertinya harus berlangsung empat mata saja, Ric!"

"Baiklah. Jaga emosimu ya, Ris."

Berpikir tentang emosi membuat Mariska memutuskan untuk tidak memberitahu Indiarto dulu mengenai janjinya dengan Frans Dinata. Ia tahu, Indiarto akan bergegas untuk ikut serta, diajak atau tidak. Emosi dua orang akan lebih

sulit dibendung dibanding dengan Satu orang saja. Sementara itu Pandu mondar-mandir di ruang kantornya dengan gelisah. Ia sadar telah melakukan kesalahan. Seharusnya ia tidak memusuhi kedua anaknya. Seharusnya ia merangkul mereka, menjadikan mereka teman yang berpihak kepadanya. Tetapi ia berada dalam kondisi yang salah dan membuatnya serbasalah. Ia malu kepada mereka karena tidak bisa menjadi contoh dan panutan. Ia sudah kehilangan wibawa di mata mereka. Hal-hal itulah yang ingin ditutupinya lewat kemarahan. Padahal jalan yang diambilnya itu telah membuat mereka membencinya. Ia cuma ditakuti tapi tidak diakrabi. Tetapi bagaimana caranya memperbaiki kesalahan itu pun ia tidak tahu. Yang jelas ia tidak mungkin mengikuti kemauan Indiarto yang memperlakukannya sebagai seorang pendosa. Mungkin Mariska bisa lebih didekati? Tapi keduanya pasti sehati. Ia bergegas menuju ruang kantor Mariska. Setelah ragu-ragu sejenak ia mengetuk pintu.

"Ya? Masuk!" seru Mariska dari dalam. Pandu membuka pintu. Ia segera melihat

kejutan di wajah Mariska dan sikap siaganya. Tentunya Mariska mengira ia akan melanjutkan pertengkaran di rumah tadi. Niat yang semula terpikir dibatalkanya. Ia tidak mau merendahkan diri di depan anaknya.

"Ada apa., Pa?" tanya Mariska sambil berdiri.

Wajahnya tegang.

Pandu tertegun. Suara Mariska terdengar dingin dan waspada.

"Duduklah, Pa."

"Tidak. Aku tidak lama. Aku cuma mau nanya, di rumah sakit mana Jarot dirawat?"

Sekarang giliran Mariska yang tertegun. Semula ia mengira ayahnya datang untuk berbincang. Ia yakin akan hal itu dan karenanya siap mendengarkan hal-hal mengejutkan yang mungkin bisa membuat ia pingsan. Ternyata dugaannya meleset.





KONDISI Malik sudah jauh lebih baik dibanding kemarin. Ia pun sudah bisa berbicara meskipun pelan-pelan. Sekarang ia menatap kedua interogatornya dengan lesu. Sikapnya menampakkan betapa menyesalnya ia karena tidak jadi mati.

"Walaupun kau tidak ingin hidup, tapi kau bisa sembuh" kata Sondang.

"Dan walaupun kau tak ingin bicara, tapi kau bisa bicara sekarang. Itu berarti kau belum diperkenankan mati oleh Yang Kuasa. Hidup mati itu berada di tangan-Nya, bukan di tanganmu sendiri."

"Ya, Pak," sahut Malik lesu.

"Mau tahu kenapa kau bisa diselamatkan pada waktunya?" tanya Sondang.

Malik tak menjawab. Ia hanya memandang heran.

Tanpa menunggu jawaban Sondang pun

bercerita dengan sedikit mendramatisir. Reaksi Malik cukup mengejutkan. Tubuhnya gemetar, mukanya memerah, lalu ia menangis.

Sondang berpandangan dengan Don sebentar,

"Jadi kau bisa memperkirakan siapa yang ada di balik semua itu, bukan?" tanya Sondang.

Malik menyusut matanya. Ia mengangguk.

"Sekarang katakan, apa tujuanmu membunuh diri? Tidak tahan hukuman di penjara, mau menyembunyikan kebenaran, atau tidak punya harapan akan masa depan?"

Sekarang wajah Malik tampak pasrah.

"Saya ingin bertemu dengan Bu Mel untuk menyampaikan kebenaran yang diinginkannya itu langsung kepadanya. Saya tidak mau mengatakannya pada orang lain," katanya dengan suara parau di sela sedikit batuk-batuk

Don menyodorkan gelas besar penuh berisi air putih yang sudah disiapkan di meja di samping Malik. Tetapi Malik menggoyangkan tangan.

"Baiklah Kuanggap perbuatanmu itu sebagai niat baik. Tapi nyatanya Bu Mel tidak mau hal itu kaulakukan. bukan? Coba katakan. pernahkah ia muncul dalam mimpimu atau dalam realitas seperti yang dialami Pak Maxi misalnya?" tanya Sondang lagi.

"Tidak pernah, Pak. Karena itu saya penasaran. Saya sudah memanggil-manggilnya, memohon kepadanya. Apakah dia marah kepada saya?"

"Wah, mana aku tahu. Itu kan cuma dia yang tahu. Tapi kita lihat saja kenyataannya. Tidak terpikirkah olehmu bahwa dengan kematianmu berarti kau tetap menyembunyikan kebenaran? Kau malu atau takut mengatakannya di depan umum. Padahal mengatakannya secara terus terang, apa adanya, itulah menyampaikan kebenaran. Bukan cuma menjadi jelas bagi Bu Mel sendiri, tapi juga menjernihkan masalah bagi mereka yang masih hidup. Kau menyisakan persoalan besar bagi keluarga Bu Mel, Lik. Jadi apa sebabnya kau begitu ngotot? Apakah kau bermaksud melindungi seseorang?"

"Saya cuma ingin bertanggung jawab sendiri.

"Oh begitu? Jadi sebetulnya ada orang lain yang seharusnya ikut bertanggung jawab?" Malik terkeiut. Ia diam.

"Lihat dirimu," kata Sondang kesal.

"Sampai sebegitu jauh. masih saja tutup mulut. Kemarin kita bicara soal cinta. Sekarang kita lanjutkan."

Malik menggeleng-gelengkan kepala. Ia kelihatan lebih terkejut lagi.

"Jangan, Pak. Jangan soal itu," ia mengiba.

"Lho, semauku dong. Kok kau yang ngatur. Sekarang katakan, pada saat menjelang kematian Bu Mel siapa sebenarnya kau yang cintai? Bu Mel atau Mimi?"

Wajah Malik tampak kacau. Ia gelisah dan bingung.

"Jawab!" bentak Sondang.

Malik terlonjak kaget. Lalu berkata gagap,

"Ti... ti tidak ta... hu, Pak."

"Wah, mana bisa begitu?"

Malik menundukkan kepala dengan diam.

"Apa kau tetap bertahan dengan alasan mu membunuh Bu Mel untuk merampok?"

"Ya, Pak," sahut Malik lirih.

"Merampok buat Mimi? Apa Mimi yang suruh?"

"Nggak, Pak. Nggak ada yang suruh."

"Apa kau punya hubungan cinta terlarang dengan Bu Mel?"

"Ng... nggak, Pak."

"Kamu ini luar biasa bandel, Lik. Benar-benar alot," keluh Sondang kesal.

Don berbisik di telinga Sondang. Lalu ia keluar dari kamar. Ia mengeluarkan ponselnya kemudian menghubungi Maxi.

"Pak Max, bisa datang ke rumah sakit Polri di Kramatjati? Ya, sekarang. Kami tunggu. Jangan lupa bawa gumpalan kertas yang ditemukan di gazebo itu. Ya, semuanya saja. Cepat, ya, Pak. Pakai taksi saja."

Don kembali mendampingi Sondang. Tapi Sondang memutuskan untuk memheri istirahat bagi Malik yang kelihatan sudah lelah.

"Sebentar kita lanjutkan, Lik. Jaga dirimu baik-baik. Minum yang banyak. Kau tak mau jadi gagu, kan? Bila suatu waktu kau jadi orang bebas, kau akan menyesal setengah mati. Ingat pengalaman berharga itu. Biarpun kau kepengin mati, bila belum tiba saatnya, kau tidak akan mati. Jadi bila kau sampai cacat, wah, menyesal pun percuma," Sondang mengingatkan sebelum meninggalkan Malik.

Sebenarnya Sondang memang khawatir kalau-kalau Malik akan mengulangi niatnya. Apalagi Malik sudah tahu dirinya akan mendapat desakan yang kuat pada interogasi berikutnya. Untuk sementara Malik dalam posisi terpojok.

Tetapi kekhawatiran itu sebenarnya tidak perlu. Setelah mendengar cerita bagaimana dirinya diselamatkan, Malik yakin dan percaya bahwa Bu Mel akan menjaganya dari kemungkinan melakukan hal serupa. Bu Mel tidak ingin dia mati. Dan untuk itu tentu ada alasannya.

"Mari kita ngopi, Don," Sondang mengajak.

Mereka mencari tempat di mana mereka bisa melihat Maxi kalau dia datang nanti.

"Mudah-mudahan kita bisa mengorek mulut si Malik," kata Sondang.

"Sesudah itu masih ada kasus si Jarot, Son. Kayaknya ada hubungannya."

"Kasihan juga anak perempuan itu kalau papanya benar-benar terlibat."

"Ya. Kelihatan dia sangat mencemaskan hal itu. Berat untuknya berpihak ke mana pun. Ibunya atau ayahnya. Tapi karena ibunya menuntut kebenaran, ia tak bisa lain."

"Kalau begitu ia tidak berpihak pada salah satu dari mereka. Ia berpihak pada kebenaran!"
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Padahal kebenaran itu kelihatannya akan menyakitkan. Bahkan bisa merobek-robek. Simpati dan empatiku benar-benar tercurah pada kakak beradik itu."



Pandu mengamati Jarot dari balik kaca. Kepada petugas medis yang menanyakan. ia mengenalkan diri sebagai majikan Jarot dan ayah Mariska yang menunggui semalam. Pemberitahuan itu membuat ia lebih dihormati dan diberi keleluasaan. Tetapi ia menolak ketika disilakan masuk dalam ruangan dan menengok Jarot dari dekat. Ia cuma berdiri di luar.

"Dia masih koma, Pak," perawat menjelaskan ketika ditanya.

"Apakah ada kemungkinan ia sadar?"

"Entahlah, Pak. Saya tidak tahu."

Pandu tidak bertanya lebih banyak.

"Tolong, ya, Sus. Berikanlah perhatian yang sebaik-baiknya padanya. Terima kasih."

Ketika meninggalkan rumah sakit, wajahnya yang semula keruh tampak lebih tenang. Ia duduk di belakang kemudi mobilnya dan berpikir sejenak. Apa yang mau dilakukannya sekarang? Ia tak ingin bekerja dulu. Di sana ada Mariska yang bisa mewakili dirinya. Lalu ia teringat kepada Mimi.

Lama ia berpikir sebelum akhirnya memutuskan untuk menjumpai Mimi.

Betapa terkejutnya ketika mendapati Mimi sedang berkemas, memasukkan pakaiannya ke tas.

"Lho, mau ke mana kau?" tanyanya.

Mimi juga terkejut karena tidak biasanya Pandu datang di saat seperti itu. Wajahnya segera menjadi murung. Ia menubruk Pandu sambil menangis. Serta-merta Pandu berpikir buruk. Apakah Mimi didatangi kedua anaknya, terutama Indiarto, lalu dilabrak habis-habisan?

"Ada apa, Mi?"

"Pak, si Jarot " Mimi menangis tersedu-sedu.

Tiba-tiba saja jantung Pandu serasa berhenti berdetak.

"Kenapa si Jarot?"

"Apakah Bapak tidak nonton berita di televisi tadi pagi?"

Oh, televisi, pikirnya. Sekarang televisi cepat sekali menyiarkan peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat. Tidak seperti koran.

"Ada apa dengan si Jarot? Aku nggak nonton. Sudah dong, ngomong!"

Mimi terduduk di tepi ranjang. Mukanya

merah karena air mata.

"Pak, katanya semalam si Jarot dianiaya orang. Hampir mati dia."

"Jadi kamu nangisin dia?" tanya Pandu kesal.

"Lantas apa hubungannya dengan koper? Mau ke mana kau?"

"Saya takut, Pak."

"Takut apa? Sama siapa?" Pandu melotot.

"Saya takut nanti digituin orang juga."

"Lho, apa hubungannya? Apa kau sudah gila?"

"Pokoknya saya takut, Pak Apalagi saya sering sendirian. Si Jarot tentunya lagi sendirian juga."

Pandu mengerutkan keningnya. Ia teringat sesuatu lalu menyambar lengan Mimi.

"Kau ngomong apa sama si Jarot tempo hari? Apa ada yang kausembunyikan?"

"Aduh, Pak! Tangan saya sakit!" rintih Mimi. Mukanya menampakkan rasa takut.

"Lepasin, Pak! Lepasin!"

"Kau bohong sama aku, Mi! Kau bilang ketemu Jarot di supermarket, padahal nggak begitu. Kau sengaja mencarinya, bukan? Mau apa kau mencarinya? Ngomong apa saja kau sama

dia? Ayo, bilang! Bilang!" Pandu mulai kehilangan kesabarannya. Tangannya mencengkeram lengan Mimi semakin keras.

Mimi semakin ketakutan.

"Pak, ampun. Saya nggak ngomong apa-apa. Justru si Jarot yang cerita tentang Malik. Sungguh. Saya memang bohong. Maapin saya, Pak. Saya cuma kangen kepengin ketemu Jarot."

"Dari mana kau tahu alamatnya?"

"Ampun, Pak. Jangan marah, ya," Mimi meringis.

"Dari mana?" bentak Pandu.

"Dari... dari dom.. pet Ba pak. Ampun, Pak"

"Kurang ajar!" Pandu mengangkat tangan untuk memukul Mimi. Tapi ekspresi Mimi di saat terakhir menyadarkannya. Rasa heran menyergap Pandu hingga emosinya mereda seketika.

"Ampun, Pak. Saya nggak nyolong kok," rintih Mimi.

Pandu berpikir sejenak. Ia melepaskan cekalannya pada lengan Mimi. Perempuan itu segera menjauh sambil mengusap-usap lengan. Kemudian Pandu mengeluarkan dompet lalu

melemparkannya pada Mimi.

"Ayo mana!" serunya.

Mimi menatap dompet, ragu-ragu sejenak lalu mengulurkan tangan. Ia membuka dompet lalu mencari-cari di antara lembar-lembar kertas dan kartu. Sementara itu Pandu mengamatinya dengan perasaan aneh. Tiba-tiba ia melihat seorang Mimi yang lain. Bukan lagi Mimi yang selama ini dikenal dan dipahaminya sebagai orang yang lugu dan bodoh. Jadi siapa sebenarnya yang bodoh selama ini?

Mimi sudah menemukan kertas yang dicarinya. Ia menyodorkannya kepada Pandu tanpa mendekat. Pandu segera mengenali kertas coretan yang dibuat Jarot sendiri ketika ia meminta alamatnya. Tapi di situ Jarot hanya menulis inisialnya.

"'Tidak ada nama Jarot di situ. Itu cuma singkatan. Bagaimana kau bisa tahu bahwa itu nama Jarot?" tanya Pandu dengan tajam.

"Saya cuma menebak, Pak."

"Apa kamu biasa menggeledah dompetku?" Pandu bertanya sambil berusaha meredam amarah. Jangan melampiaskan amarah dulu sebelum semua menjadi jelas. Bukankah ia sudah

belajar dari pengalaman dengan anak-anaknya sebelum ini?

"Ampun, Pak. Baru sekali ini. Cuma kebetulan. Waktu saya mau pindahin celana panjang Bapak, dompet itu jatuh. terus saya jadi kepengin tahu isinya apa aja. Tapi sungguh saya nggak nyolong, Pak. Buat apa saya nyolong? Saya udah dicukupin kok sama Bapak," kata Mimi dengan suara takut-takut.

"Baik. Baik," Pandu mengangkat kedua tangannya yang dinaik-turunkan, isyarat menenangkan.

"Jadi sesudah itu kau pergi mencari alamat Jarot. Betul tujuanmu cuma melepas kangen?"

"Betul, Pak."

"Memangnya kamu dulu akrab dengan dia? Bukankah dia sudah punya keluarga?"

"Oh, bukan akrab seperti itu, Pak."

"Kamu nyari dia untuk mencari tahu perihal Malik, bukan?"

Mimi menundukkan kepala. Wajahnya tampak pasrah.

"Jawab!" bentak Pandu.

"iya, Pak." sahut Mimi lirih.

"Jadi kamu masih cinta dia?" tanya Pandu

dengan suara tinggi.

Mimi tidak menjawab.

Pandu melompat dari duduknya. Mimi tersentak kaget. Ekspresinya ketakutan. Tapi Pandu tidak menyerangnya. Ia berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan terkepal. Mukanya merah padam. Ia sedang berusaha meredam amarah. Diam-diam Mimi mengamati gerak-gerik Pandu dengan sikap waspada. Tangan Mimi yang berada dekat tas, merayap mendekati kantong depan tas, menarik ritsletingnya lalu merogoh isinya. Tetapi saat itu Pandu berbalik menatapnya. Mimi cepat-cepat menarik kembali tangannya dari dalam kantong tas.

"Sekarang kamu mau apa?" tanya Pandu.

"Mau... mau pulang aja, Pak."

"Pulang ke mana?"

"Ke kampung. Saya... saya takut di sini."

"Takut sama aku?"

Mimi menggeleng cepat-cepat.

"Ah, ng... nggak, Pak. Masa takut sama Bapak?"

"Habis takut sama siapa?"

"Takut sama si Jarot... eh... saya takut jadi seperti si Jarot."

Pandu mengerutkan keningnya_ "Logika

macam apa itu? Kalau kamu mikir begitu, pasti kau punya suatu hubungan dengan Jarot. siapa penganiayanya?"

"Nggak, Pak." Barangkali kau tahu .

Pandu duduk lagi di samping Mimi. Segera Mimi beringsut hingga pinggulnya menutupi kantong tasnya yang sedikit menganga karena tadi dirogoh olehnya. Pandu menyadari gerakan Mimi itu dan menjadi kurang senang.

"Kau takut padaku, bukan? Aku tak mengerti kenapa. Bisa kaukatakan?"

"Bapak marah karena saya berbohong."

"Jadi kau takut karena perbuatanmu sendiri?"

Mimi tidak menjawab pertanyaan itu.

"Kalau aku tidak datang sekarang, apa kau akan pergi diam-diam?" tanya Pandu. lebih tenang sekarang.

"Saya cuma berbenah, Pak. Belum akan pergi."

"Baik. Kalau kau memang mau pergi, aku tidak bisa memaksamu tinggal. Apalagi hatimu masih sama si Malik. kan? Jadi pergilah sekarang juga kalau kau tetap mau pergi. Tapi aku tidak bisa memberimu uang. karena kepergianmu ini atas kehendakmu sendiri."

Mimi terkejut.

"Saya perlu ongkos, Pak," katanya memelas.

"Bukankah tabunganmu sudah cukup banyak? Dan entah berapa banyak lagi yang sudah kau kuras dari dompetku."

"Tapi..."

"Sudahlah. Pergi!"

Mimi memalingkan muka untuk menyembunyikan ekspresi marahnya. Ketika ia menatap Pandu kembali, ekspresi yang tadi sudah tak kelihatan.

"Surat rumah ini saya bawa, Pak."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa? Kau mau membawanya? Ini rumahku, kan?"

"Bapak bilang, rumah ini hadiah bagi saya. Surat rumahnya atas nama saya. Bapak lupa, ya?" kata Mimi dengan bersemangat.

"Ah, masa."

"Nanti saya kasih lihat."

Mimi berdiri lalu bergegas ke lemari. Saat ia berdiri,

Pandu segera beringsut mendekati tas Mimi. Pandu menjulurkan kepala melongok isi kantong depan tas yang menganga ke arahnya. Sesuatu yang berkilau menyambut tatapannya.

Ia terkejut lalu menarik kembali kepalanya dan beringsut menjauh lagi.

Mimi kembali membawa map berisi sertifikat rumah. Ia membukanya dan memperlihatkan namanya yang tertera di situ kepada Pandu. Tapi ia tidak melepaskan pegangannya. Ketika Pandu akan memegang map itu, Mimi cepat menariknya kembali.

"Betul kan, Pak? Ini sah milik saya?" ia menegaskan.

Pandu termenung. Bukan sertifikat itu yang mengejutkannya. Ia tentu sudah tahu bagaimana isinya. Tapi yang mengejutkannya adalah apa yang ada di dalam kantong tas Mimi. Sudah terbiasakah Mimi membawa pisau ke mana-mana?

Mimi mengira Pandu sedang kecewa berat karena merasa kalah. Ia tertawa.

"Jadi surat ini akan saya bawa pulang saja.

"Lalu pada kesempatan berikut nanti saya akan menjualnya," katanya dengan penuh percaya diri.

"Kau akan membiarkan rumah ini kosong tanpa penjaga?"

"Kan nggak apa-apa, Pak?"

"Memang rumahnya tak bisa lari, tapi dia akan kotor, berlumut, berjamur, dimakan rayap, atau dijarah orang yang mempreteli genteng, kusen, pintu, jendela. Lalu saat kau ke sini, kau akan menemukan rumah bobrok. Tak ada yang mau beli kecuali kau memperbaikinya. Punyakah kau duit untuk itu? Memperbaiki rumah, biarpun sekecil ini, butuh biaya besar."

"Saya akan jual murah saja. Pasti cepat laku."

"Huh, di zaman susah seperti ini kau kira itu gampang? Pengusaha real estate saja kepusingan

karena jualannya nggak laku. Apalagi kamu!"

"Habis gimana, Pak? Masa Bapak nggak mau menolong saya?" Mimi merendahkan suaranya. Ia juga merangkul Pandu lalu menyandarkan kepala ke lengan Pandu.

Tapi rayuan Mimi itu kini tidak berhasil meluluhkan Pandu. Ia malah jadi muak dan merinding. Mimi tidak lagi tampak sebagai perempuan yang punya daya tarik seks seperti selama ini dilihatnya. Mimi menjadi lain, seseorang yang tidak dikenalnya. Terutama karena

ada satu hal yang membuat Pandu miris, rasa herannya akan bagaimana selama ini Mimi bisa bercinta dengannya dan bertingkah sangat manis di depannya padahal hati perempuan itu sebenarnya ada pada Malik!

Pandu melepaskan tangan Mimi.

"Aku akan menolongmu. Biar aku saja yang membeli rumah ini. Tapi prosesnya tidak seperti jual-beli barang lain. Butuh waktu untuk menghubungi notaris, balik nama, dan sebagainya. Itu perlu tanda tanganmu. Padahal kamu mau pergi sekarang. Jadi kuberi kau uang muka saja dulu. Surat rumah aku yang pegang. Sisa uang kuberikan kalau nama di surat ini sudah berganti namaku. Tapi kalau kau mau menunggu sampai semuanya selesai, kau bisa mendapat uangnya penuh. Nah, apa, yang kaupilih?"

"Berapa Bapak akan membayarnya?" tanya Mimi bernafsu.

"Lima puluh juta."

"Seratusjuta, Pak."

"Tidak bisa. Rumah ini kecil. Itu sudah harga pasaran. Kalau kau tidak mau, ya sudah. Bawalah surat itu lalu kaujual sendiri."

Mimi berpikir sejenak.

"Berapa uang mukanya kalau saya pergi sekarang?"

"Lima belasjuta."

"Wah, kekecilan dong, Pak. Tiga puluh deh."

"Dua puluh.,"

"Sudah, dua puluh lima saja, Pak."

"Baik. Mau kuberi cek?"

"Oh, nggak mau. Pak. Saya mau tunai saja."

"Tidak takut dirampok di jalan?" Pandu, bertanya sinis.

"Tidak."

"Kalau begitu kau harus menunggu dulu sebentar. Aku. harus ke bank mengambil uang."

"Ya, Pak. Saya tunggu."

Mimi menari-nari setelah Pandu pergi. Ia lebih suka uang dari pada rumah ini. Setelah kejadian ini tentunya Pandu tidak mau lagi mempertahankannya. Jadi ia harus mencari nafkah sendiri bila ingin tetap tinggal di situ. Punya rumah tapi tidak punya penghasilan tak ada gunanya. Tambahan lagi ada rasa takut itu. Lebih baik ia pulang kampung lalu membeli sebidang tanah kebun atau sawah.

Pandu kembali ke kantor. Setelah mondar-mandir sejenak di ruangannya, akhirnya ia mengambil keputusan. Ia bergegas ke ruang

kerja Mariska. Tapi sekretaris di luar ruangan memberitahu bahwa Mariska pergi karena ada janji makan siang dengan seseorang. Barulah Pandu menyadari bahwa hari sudah siang. Ia sama sekali tidak merasa lapar. Peristiwa dengan Mimi tadi membuat ia kenyang.

Tapi ia tidak ingin buru-buru kembali ke rumah Mimi. Benda berkilat di dalam tas Mimi terus teringat. Akhirnya ia menghubungi ponsel Indiarto.

"Ada apa, Pa?" suara Indiarto terdengar cemas.

"Indi, Papa mau minta tolong. Apa kau masih ada kuliah?"

"Nggak lagi, Pa. Saya mau pulang."

"Bagus. Jangan pulang dulu. Langsung ke kantor Papa aja, ya?" kata Pandu dengan ramah.

"Ada apa sih. Pa?" suara Indiarto kedengaran segan.

"Tolong temani Papa, ya. Papa mau menyelesaikan urusan dengan Mimi. Kau bisa jadi saksinya. Penjelasannya nanti."

"Baik, Pa. Saya segera berangkat." Sekarang suara Indiarto kedengaran bersemangat.

Pandu pun optimis. Barangkali kepergian

Mimi ada hikmahnya. Ia bisa memperbaiki hubungan dengan kedua anaknya. Bukankah itu yang mereka inginkan?





FRANS DINATA memang memilelkl daya tarik, pikir Mariska. Meskipun sebaya dengan ayahnya, dia tampak lebih muda dan segar. Rambutnya sudah banyak yang memutih tapi tidak membuat dia kelihatan tua karena raut wajahnya masih terlihat kencang. Tidak mengherankan kalau ibunya jatuh hati. Tapi biarpun begitu, sangat tidak patut kalau alasan orang jatuh hati hanya karena tergoda ketampanan belaka. Pikiran itu sangat menyebalkan dan membuat Mariska kehilangan nafsu makan.

"Bagaimana kalau kita minum saja, Pak? Saya tidak ingin makan. Jadi kita bisa langsung bicara tanpa buang waktu untuk makan. Apalagi kalau tidak tertelan, kan sayang," kata Mariska.

Frans terperangah. Tiba-tiba ia menyadari bahwa Mariska sudah mengetahui masalahnya. paling tidak sebagian. Kalau ia sudah tahu semua, pasti tidak ingin lagi bertemu.

"Baik. Terserah keinginanmu, Ris. Kulihat kau sudah tahu. Tak mengherankan kalau sikapmu tampak tidak suka padaku. Kalau kau sudah tahu hingga aku tidak perlu bercerita lagi, aku tinggal meminta maaf, Ris. Maafkan aku untuk perbuatanku. Tapi sungguh, aku mencintai Mel. Bukan semata-mata karena menerima tantangan Pandu."

Mariska terkejut.

"Apa? Tantangan apa, Pak?"

"Ah, jadi belum tahu? Sebenarnya aku juga ragu-ragu, perlukah lagi mengorek masa lalu itu? Mel sudah tiada. Dan Pandu juga sudah menyesal. Sudahlah, Ris. Mohon maaf. ya?"

"Tunggu, Pak. Kita sudah bertemu. Awalnya adalah keinginan Bapak untuk bicara. Masa dibatalkan begitu saja? Biarlah semua menjadi terbuka."

"Ya. Aku ingin bicara juga untuk melegakan perasaanku sendiri. Aku merasa bersalah. Karena itu aku bermaksud mengembalikan ini."

Frans membuka tasnya lalu menyerahkan sebuah amplop cokelat berukuran folio kepada

Mariska.

"Bukalah. Lihat isinya."

Mariska mengeluarkan beberapa buku sertifikat rumah dan tanah yang masih atas nama Pandu. Dengan heran ia menatap Frans.

"Apa maksudnya, Pak?"

"Aku mengembalikan semuanya. Dulu diberikan ayahmu karena aku berhasil mengalahkan tantangannya."

"Tantangan apa sih. Pak?"

"Dia menantang apakah aku bisa menaklukkan ibumu atau tidak."

"Apa?" teriak Mariska.

Orang di sekitar mereka menoleh dan menatap ingin tahu. Mariska segera menundukkan kepala dan menenangkan diri.

"Maaf, Ris. Kami memang keterlaluan."

Susah payah Mariska menahan amarah. Bukan hanya Frans yang keterlaluan tapi lebih-lebih ayahnya sendiri. Masa istri dijadikan taruhan seperti itu?

"Katanya dia ingin menguji sampai di mana kesetiaan istrinya," kata Frans pelan.

"Kalau aku berhasil, aku mendapat ini." Ia menepuk amplop cokelat berisi dokumen tadi.

"Sampai hati...," keluh Mariska.

"Aku melakukannya bukan karena barang-barang ini. Tapi karena aku betul-betul jatuh hati kepada Mel."

"Mestinya Bapak jangan mau. Coba kalau istri Bapak sendiri yang dibegitukan orang. gimana rasanya?"

"Maafkan aku, Ris. Aku memang bejat. Mentang-mentang mendapat lampu hijau dari suaminya, aku melakukan segala upaya untuk menalukkan Mel. Tapi setelah ternyata aku berhasil, Pandu malah sakit hati. Ia marah padaku, juga Mel. Katanya, itu bukti bahwa Mel memang istri yang tidak setia."

Mariska ingin sekali melempar isi gelasnya ke muka Frans. Tapi hatinya mengingatkan bahwa Frans tidak bersalah sendiri. Bukan cuma ayahnya, tapi ibunya juga bersalah. Ah, permainan apa ini? Apa pun itu. ia telah membawa korban karena menyeret orang-orang lain ke dalamnya. Seperti Malik dan Mimi. Mungkin ibunya ingin membalas dendam lalu menjadikan Malik sebagai korbannya. Ah, tepatkah disebut sebagai korban karena Malik ternyata menikmatinya? Sedang Mimi pun demikian.

"Jadi apa yang dikatakan sebagai kebodohan Mariska dalam melakukan transaksi dengan Bapak itu hanyalah rekayasa untuk menghukum Mama?"

Frans mengangkat tangan.

"Soal itu aku tidak tahu-menahu, Ris. Itu urusan Pandu."

"Ya. Setelah Bapak menipu Mama dan berhasil mendapat hadiah kemenangan berupa aset-aset ini, Bapak pergi dan tak peduli lagi akan kehancuran keluarga kami," kata Mariska ketus.

Frans menundukkan kepala.

"Maafkan aku, Ris. Aku bersalah dan aku menyesal."

"Penyesalan selalu datang terlambat."

"Betul, Ris. Tapi masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Coba pikirkan. Aku bisa saja tidak membuka ini dan kau tidak akan tahu."

"Aku sudah tahu sebagian lalu kukejar yang sebagian lagi."

"Oh, begitu? Kau memang punya ciri yang seperti itu. Tapi aku sudah siap menerima risiko ini. Hanya satu di antara dua. Aku mendapat maaf atau tidak. Yang penting aku mau mengeluarkannya dan mengembalikan barang yang membuatku muak. Diberi maaf atau tidak

olehmu bukan masalah bagiku karena aku bersalah bukan terhadapmu tapi terhadap Melia. Sekarang aku tak punya beban lagi."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah Mama tahu bahwa sebenarnya dia dipermainkan?"

"Tidak. Ia berinisiatif memutuskan hubungan setelah Pandu mengancam akan memberitahu penyelewengannya kepada anak-anak."

"Padahal Papa tahu tentunya dari Bapak sendiri bahwa Bapak telah berhasil menaklukkan Mama, bukan?"

"Ya, begitulah. Aku terpaksa memberitahu karena terus didesak."

"Beratkah bagi Bapak memutuskan hubungan?"

"Tentu saja berat. Aku juga merasa bersalah kepada Mel. Tapi aku tidak berani mengatakannya, Aku takut dia akan terpukul."

"Padahal untuk itu Mama mendapat hukuman dikeluarkan dari perusahaan lalu dirumahkan. Seandainya Mama tahu bahwa sebenarnya Mama dijebak Papa. tentu Mama tidak akan rela dibegitukan. Mama akan melawan."

"Entahlah. Itu deal antara mereka berdua. Aku tidak ikut campur."

"Ya. Bapak sudah mendapat keuntungan sendiri, bukan? Kemudian Bapak cuci tangan. Dalam pandangan saya, sebenarnya Bapak cuma dijadikan alat oleh Papa untuk menyingkirkan Mama. Karena Bapak punya daya tarik, maka Papa memanfaatkannya," kata Mariska tanpa basa-basi.

Wajah Frans memerah. Ia menjadi sedikit gugup.

"Baiklah. Aku pantas dimarahi karena aku memang bersalah. Tapi kau harus ingat juga, Ris. Kuceritakan ini kepadamu tanpa ada yang memaksa atau menyuruh. Semuanya atas dorongan nuraniku sendiri. Sekarang kau sudah tahu. Apakah buatmu lebih baik tidak tahu saja?"

Mariska diam sejenak. Kemudian ia menyahut pelan,

"Saya senang diberitahu, Pak. Dan saya berterima kasih untuk itu. Saya sadar, dibutuhkan keberanian yang besar untuk mengatakannya. Tapi bagaimanapun saya merasa sangat sakit mendengar hal ini."

"Maafkan aku, Ris," kata Frans untuk kesekian kalinya.

"Ya, Pak," sahut Mariska lirih.

"Masih adakah yang ingin kauketahui. Ris?"

"Apakah Bapak tahu sesuatu mengenai kasus kematian Mama?

Frans terkejut.

"Oh, itu? Wah, aku tahunya cuma dari koran. Aku sangat terkejut mendengarnya. Sudah kukatakan aku tak pernah berhubungan lagi dengan Mel. Nelepon saja tidak pernah."

"Kalau begitu, tak ada lagi yang perlu saya tanyakan."

"Baiklah. Aku permisi, Ris. Jaga dirimu."

Frans berdiri, menganggukkan kepala lalu melangkah pergi.

Mariska termangu di kursinya. Ia disadarkan oleh bunyi ponsel. Dari Indiarto.



Maxi bergabung dengan Don dan Sondang. Itu untuk pertama kalinya Maxi bertemu dengan Sondang.

"Jadi inilah Pak Maxi yang punya indra keenam," kata Sondang.

"Ah, bukan begitu, Pak," sahut Maxi tersipu.

"Itu terjadi secara kebetulan saja."

"Ibu Mel memilih Pak Maxi," kata Don, setengah bergurau.

"Dari sekian ratus juta penduduk dia memilih Pak Maxi. Kenapa nggak memilihku atau Don?"

Maxi hanya tersenyum. Tentu dia tak bisa menjawab pertanyaan itu.

"Aku tahu," kata Don.

"Pak Maxi punya suara bagus. Dia pintar nyanyi Bengawan Solo. Kau dan aku kan dari dulu juga nggak bisa nyanyi, Son. Kalau kita nyanyi, apalagi duet, pasti orang yang mendengar pada sakit kuping."

Mereka tertawa. Gurauan bisa mendekatkan orang-orang yang baru berkenalan.

Sebelum menemui Malik, mereka sama-sama mengatur apa saja yang mau ditanyakan dan topik apa yang mengena dan peka bagi Malik. Setelah kesepakatan dicapai, Sondang meminta paramedis mempersiapkan Malik.

Lelaki itu tampak terkejut ketika mengenali Maxi. Kecemasan membayang di matanya. Dia seperti orang yang tengah menunggu hukuman yang menyakitkan.

Sondang menepuk bahu Malik.

"Rileks saja, Lik. Kau begitu tabah ingin bunuh diri. Masa sekarang jadi ketakutan begini. Apa karena ada Pak Maxi? Ya, Bapak ini memang orang pilihan Bu Mel. Dari sekian ratus juta orang dialah yang dipilih. Padahal kenal juga nggak."

Malik mengangguk saja. Ia menatap Maxi dengan pandangan ngeri.

"Aku orang biasa. Lik," Maxi menenangkan.

"Bukan dukun atau tukang sihir. Cuma kebetulan saja Bu Mel meminta tolong kepadaku. Sudah kujelaskan kemarin, bukan? Sayangnya kau mengambil jalan pintas. Kau harus menyayangi dirimu sendiri dan karenanya membela dirimu juga. Jangan biarkan orang lain memperlakukanmu secara semena-mena."

Malik menundukkan kepala. Air matanya menitik.

"Kita langsung saja, Lik," kata Sondang."Pak Maxi ingin menunjukkan sesuatu kepadamu."

"Ya. Riris menemukan barang-barang ini di bawah jok kursi gazebo."

Malik tersentak kaget. Lebih kaget lagi ketika Maxi memperlihatkan barang yang dimaksud. Ia meraih sebuah gumpalan kertas warna merah jambu dengan tangan gemetar lalu membukanya. Kemudian meremasnya lagi. Pandangnya menerawang jauh ke depan. Dia sepertinya melupakan orang-orang di sekitarnya.

Mereka pun sengaja membiarkan dirinya larut dalam kenangan. Tak ada yang berbicara.

Lalu sebuah teriakan kesakitan, jauh entah di mana, menyadarkan Malik dengan sentakan kaget. Ia tersipu ketika melihat pandangan semua orang yang intens kepadanya.

"Oh..., maaf, saya saya ," katanya terbata, gugup dan malu.

"Tidak apa-apa," kata Maxi dengan suara ramah.

"Kau tentu sedang mengenang saat-saat manis bersama dia, bukan?"

Tidak ada nada sinis atau menyindir dalam suara Maxi. Wajar dan ramah dengan kandungan simpati.

Malik memandang Maxi dengan ekspresi berterima kasih.

"Kau mengakui itu tulisanmu?' tanya Sondang.

"Ya, Pak."

"Dan yang di kertas merah jambu itu tulisan Bu Mel?"

"Betul, Pak," sahut Malik dengan nada pasrah.

"Jadi sekarang kau mengakui bahwa memang ada hubungan asmara antara dirimu dengan Bu Mel, bukan?" desak Sondang.

Malik tertunduk. Tampaknya berat benar baginya untuk mengakui.

"Sebenarnya kau tidak perlu malu untuk mengakui," kata Don.

"Atau kau disuruh seseorang untuk menyembunyikan hubungan itu?"

"Saya tidak boleh mempermalukan orang, Pak."

"Siapa yang kaupermalukan?"

"Keluarga itu."

"Jadi tidak ada yang menyuruh?"

"Tidak ada, Pak."

"Wah, hebat. Jadi secara tak langsung kau mengakui hubungan itu, kan? Kau tahu itu memalukan."

Malik kembali diam.

"Aduh, Lik. Hal itu sudah kami ketahui sejak awal kok. Tahukah kau bahwa Pandu telah menyewa Pak Don ini," Sondang menunjuk Don,

"untuk menyelidiki hubunganmu dengan Bu Mel? Dia membuntutimu ke mana-mana, sampai ke motel segala lho. Jadi sejak awal bukan cuma kami, tapi Pandu juga sudah tahu."

Malik tersentak kaget. Wajahnya memerah.

Tapi masih ada kejutan lagi untuknya.

Sondang melanjutkan,

"Dan sekarang ini Mimi menjadi wanita peliharaan Pandu, Lik."

Malik temganga. Wajahnya tampak mengerikan, memerah dan memucat bergantian. Jelas dia shock.

Sondang tak menunggu sampai shock Malik mereda. Dia melanjutkan lagi,

"Si Mimi itu dikasih rumah sendiri lho. Kami tahu persis karena yang menyelidiki adalah Pak Don ini. Dan orang yang menyewa Pak Don untuk menyelidiki itu adalah Riris. Jadi tidak ada keraguan tentang soal itu. Kau perlu menyadari bahwa orang yang kau cintai itu sudah mengkhianatimu."

Kepala Malik jatuh menekuk ke bawah. Tertunduk dan tergantung. Lemas dan lunglai. Ia berada di ambang kehancuran mental.

Maxi tampil sebagai penyelamat.

"Tapi Bu Mel masih menyayangimu, Lik. Dia tidak percaya bahwa kau tega sekejam itu kepadanya. Dia tidak percaya kau mau merampoknya karena kau tidak perlu melakukan itu. Berarti kalau kau memang membutuhkan uang, dia selalu bersedia membantu. Nah. berdasarkan ketidakpercayaannya itulah maka dia memintaku untuk mencari kebenaran. Kalau dia memang sudah percaya, dia tidak perlu berbuat begitu, bukan? Hanya kau yang memegang kunci kebenaran. Jadi katakanlah kepada kami, Lik. Bukan cuma Bu Mel yang senang, tapi kau sendiri bisa memperbaiki keadaan. Kalau kau tidak bersalah, kami akan membantumu. Bukan begitu, Pak Sondang?"

"Oh ya. Tentu," sahut Sondang.

"Buat apa kau membela orang yang tidak patut dibela?"

Beberapa saat lamanya Malik tetap menunduk. Lehernya seperti tak punya kekuatan, lumpuh tak berotot atau bertulang. Ia membuat cemas ketiga penanya. Jangan-jangan Malik tak mampu mengatasi shock yang mendera batinnya hingga fisiknya terkena. Mereka tak cuma cemas tapi juga merasa bersalah. Barangkali mereka sudah kelewatan mendesak Malik hingga terjungkal melewati ambang batas daya tahan.

Sondang memutuskan untuk memanggil dokter.

Tapi kemudian Malik mengangkat kepala. Wajahnya tak lagi menampakkan ciri-ciri yang

di takutkan.

"saya akan mengatakan yang sebenarnya," katanya dengan suara parau tapi mantap.





Di ruang kerja Pandu, Indiarto menatap ayahnya setengah tak percaya.

"Papa bisa aja memindahkan si Mimi ke tempat lain." katanya

Pandu melotot gusar.

"Kau memang kurang ajar sekarang," katanya.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi tidak apa-apa. Nanti kau bisa lihat sendiri. Makanya kau kuajak supaya bisa jadi saksi bahwa niatku memang sungguh-sungguh. Aku sudah memutuskan hubunganku dengan dia supaya anak-anakku senang."

Pintu terdengar diketuk.

"Yaaa!" seru Pandu.

Pintu terbuka. Seorang karyawan melangkah masuk. Ia meletakkan amplop dengan kop nama sebuah bank swasta.

"Ini, Pak. Sudah diuangkan. Mau dihitung dulu, Pak?"

"Ya. Coba kau hitung."

Indiarto mengawasi penghitungan. Ia tahu jumlahnya dua puluh limajuta rupiah.

Setelah karyawan tadi pergi, Pandu memasukkan amplop itu ke dalam tasnya.

"Oh, jadi uang sebanyak itu untuk si Mimi? Ck, ck, ck. Kayak karyawan di-PHK terus dapat pesangon aja," kata Indiano tanpa rasa takut lagi.

"Tutup mulutmu!" bentak Pandu kesal.

"Aku berniat baik kau malah melecehkan. Sudah, lebih baik kau tak usah ikut saja. Pergi sana! Pulang!"

Indiarto tak ingin pulang. Ia benar-benar ingin menyaksikan perpisahan ayahnya dengan Mimi, sang kekasih.

"Maaf deh, Pa. Habis ngasih uangnya banyak bener sih. Siapa yang nggak iri?"

"Memangnya kamu mau duit juga buat apa?"

"Bukan mau duit, Pa. Tapi mau tahu aja. Kenapa sih dia perlu dikasih duit?"

Wajah Indiarto yang imut-imut dengan sorot mata yang memohon melunakkan hati Pandu. Ia kembali diingatkan pada niatnya untuk berbaikan dengan anak-anaknya. Mereka tak boleh dikasari kalau ia tak mau kehilangan.

"Dia perlu biaya hidup, Indi. Bagaimanapun aku tak boleh mencampakkannya begitu saja, bukan? Dia mau pulang ke kampung halamannya. Di sana dia bisa menggunakan uang ini sebagai modal hidup. Apa kau keberatan?"

"Tidak, Pa. Apa dia sendiri keberatan?"

"Tidak juga."

Pandu tak ingin berterus terang bahwa sebenarnya Mimilah yang berinisiatif pergi. Bila diceritakan, akan terkesan dirinyalah yang dicampakkan. Bukan sebaliknya.

"Dia tentu tergiur dengan uang dua puluh lima juta, ya, Pa."

"Aah! Sudahlah. Ayo pergi! Aku mau memberi pesan dulu pada sekretaris Mariska."

"Mbak Riris sudah saya telepon, Pa."

Pandu agak jengkel mendengarnya. Baginya, cukuplah salah satu antara kedua anaknya yang ikut. Tak perlu dua-duanya karena dia akan merasa terkepung. Tapi masalah itu tidak penting lagi sekarang.



Mimi mondar-mandir dengan kesal. Sebuah koper beroda, tas besar, dan kantong plastik jinjing sudah ia siapkan di ruang depan. Begitu Pandu datang membawa uang, ia akan segera berangkat dengan meminta tumpangan ke stasiun Gambir. Tentu saja kalau Pandu bersedia mengantarkannya. Kalau tidak ia bisa memesan taksi.

Ia ingin membawa semua barang di rumah itu. Sayang tidak bisa. Misalnya, televisi, radio kaset, kompor gas. kulkas, kipas angin. dan berbagai perabotan yang dibelikan Pandu. Toh barang-barang itu dibelikan untuknya. Yah, kalau saja ia bisa menyewa truk, ia akan melakukan hal itu. Sayang sekali. Bila ia bisa melakukannya maka ia sudah bisa membayangkan betapa gemparnya orang sekampung.

Yang bisa dibawanya hanyalah barang-barang kecil yang bisa dimasukkan ke dalam tas. Itu pun tak bisa semuanya. Masih ada hiasan dinding, bunga-bunga imitasi, dan berbagai pernak-pernik lainnya. Ada juga kesadaran kalau ia memaksa diri membawa lebih banyak, ia akan kesulitan sendiri di jalan.

Semakin lama menunggu ia jadi semakin resah. Bagaimana kalau Pandu tak muncul-muncul? Bagaimana kalau waktu itu dimanfaatkan Pandu untuk melakukan sesuatu yang lain? Mungkinkah ia semurah hati itu untuk memberikan uang dengan gampang? Apalagi ia pergi meninggalkannya begitu saja. Masih teringat bagaimana keruhnya wajah Pandu saat berlalu dari rumah itu. Sebenarnya ia takut menunggu

lebih lama. Ada dorongan di hatinya agar ia segera pergi. Tak perlu menunggu Pandu. Tak perlu uang itu. Tetapi ada rasa sayang untuk meninggalkannya. Ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan uang sebanyak itu. Memang ia punya tabungan, tapi tanpa penghasilan, itu bisa habis dalam waktu singkat.

Setiap kali terdengar deru mobil melintas atau berhenti ia berlari ke luar. Akhirnya ia bosan sendiri lalu duduk kelelahan.

Pandu memarkir mobilnya satu blok dari rumah Mimi.

"Lho kok di sini, Pa?" tanya Indiarto heran.

"Ya. Di sini saja. Dan kau tunggu di sini, ya? Sekalian jaga mobil."

"Ah, ikut dong, Pa. Masa saya ditinggalin di sini. ikut, ya? Kan mobilnya ada alarm," rengek Indiarto.

"Sudah, tunggu di sini. Kalau ku perlukan akan kuhubungi lewat ponsel."

Tanpa menghiraukan protes Indiarto, Pandu bergegas pergi dengan menenteng tasnya. Indiarto cuma bisa merengut kesal. Untuk apa ia diajak kalau tak bisa menyaksikan sendiri? Kalau saja ada Mariska, ia bisa meminta pendapatnya.

Awalnya ia merasa gelisah dan cemas kalau-kalau ayahnya berniat buruk dengan pergi sendiri. Tapi kecemasannya mereda setelah ia berpikir bahwa ayahnya pasti tidak akan mengajaknya ataupun memberitahu soal itu bila ia memang punya niat buruk, Selain itu ayahnya membawa uang.

Kemudian muncul juga pikiran lain. Bila Mimi akan pulang ke kampungnya, entah di mana, sudah pasti ia membutuhkan kendaraan untuk membawanya ke terminal bus atau stasiun. Apalagi kalau ia membawa barang banyak. Mungkin ayahnya tak ingin mengantarkan lalu memberi alasan mobil sedang mogok. Indiarto tersenyum membayangkan kemungkinan itu. Enak saja perempuan itu. Sudah dikasih uang ingin diantarkan pula.

Sekarang ia bisa menunggu dengan tenang. Ia mengatur posisi duduknya. Tapi baru sekitar lima menit ia bersantai, ia dikejutkan oleh ketukan pada kaca. Wajah Mariska tampak di situ. Cepat ia membuka pintu.

"Kamu kok di sini, Indi? Mana Papa?"

Indiarto segera menceritakan apa yang telah

terjadi.

"Aduh, kamu kok mau saja ditinggalkan di sini.

Ayo, kita menyusul ke sana!"

"Tapi..."

"Ayo!"

Mariska bergegas pergi. Indiarto cepat cepat menyusul setelah mengunci mobil dan memasang alarm. Ayahnya bisa mengamuk kalau mobil itu sampai kenapa-kenapa.



MIMI menyambut kedatangan Pandu dengan senang. Tatapan matanya segera tertuju ke tas Pandu.

"Ya, aku membawanya," kata Pandu dengan sinis.

Mimi tidak merasa tersinggung.

"Saya mau secepatnya berangkat, Pak," katanya sambil mengulurkan tangan, meminta uangnya.

Dengan cemberut Pandu membuka tas lalu mengeluarkan amplop berisi uang tadi. Sebelum ia sempat menyodorkannya, Mimi sudah bergerak cepat merebutnya dari tangan Pandu lalu membukanya. Ia menghitung dengan penuh semangat.

Sementara itu Pandu mengamatinya dengan gamang. Jadi seperti inikah Mimi yang selama ini digaulinya? Seorang perempuan yang polos,

lugu, dan bodoh?

Pelan-pelan kebencian merayapi perasaannya. Hilang sudah rasa tergila-gila. suka, dan bergairah kepada Mimi. Berbarengan dengan lenyapnya perasaan itu, pikiran lain mulai muncul. Sepertinya kewarasan baru datang. Pandu mengamati saja tingkah Mimi yang menghitung uang dengan mata berkilat, memasukkannya ke dalam tas, lalu menyelipkannya di antara pakaian yang sudah ditumpuk rapi. Ternyata pakaian Mimi banyak sekali, berjejalan di dalam tas.

Kemudian Mimi menoleh dan menatap Pandu. Ia terkejut melihat Pandu menatapnya dengan sorot aneh dan kening berkerut. Ia menjadi takut.

"Kenapa, Pak?"

"Kenapa tidak berangkat besok pagi saja?" tanya Pandu.

"Ah, nggak mau. Saya sudah siap sekarang."

"Jam berapa nanti tiba di kampung?"

"Biarin jam berapa juga. Pendeknya saya mau cabut."

"Kenapa begitu tergesa-gesa, Mi? Kau seperti ketakutan."

"Masak."

"Kau tidak perlu takut. Bila kau berangkat besok pagi, nanti malam kutemani."

Mimi tersenyum sekarang. Ia menganggap Pandu tidak rela melepasnya pergi dan masih ingin bersamanya.

"Nanti saya kembali lagi, Pak," katanya dengan gaya manja. Lalu memeluk Pandu. Tetapi Pandu tidak membalas pelukan itu. Mimi menarik diri dengan cemas. Ia menjauh.

"Ke mana mobilnya Pak? Saya dianterin ke Gambir, ya?"

"Tadi aku nggak pakai mobil. Mogok tuh. Kau panggil taksi saja. Kupanggilkan?"

Mimi mengangguk.

"Ya, Pak. Tolong."

Pandu menghampiri telepon di atas meja. Ia menekan nomor-nomor, tetapi tangannya yang satu lagi menekan tombol pemutus hubungan. Ia melakukannya dengan memunggungi Mimi hingga tidak kelihatan.

"Bisa datang sekarang, Pak? Ya sekarang. Tujuannya stasiun Gambir. Bisa, ya? Terima kasih," kata Pandu kepada telepon. Lalu ia berbalik, menatap Mimi.

"Sebentar lagi taksinya datang. Tunggu saja."

Mimi merasa lega.

"Berikanlah alamatmu di kampung, Mi," Pandu menyodorkan kertas dan bolpen.

Mimi mencoret-coret lalu mengembalikannya kepada Pandu. Tanpa memperhatikan tulisan Mimi, Pandu melipat kertas lalu memasukkannya ke dalam dompet.

"Kita bicara dulu sambil menunggu." Mimi duduk dengan perasaan segan. Ia ingin secepat mungkin pergi dari situ.

"Mana sertihkatnya, Mi? Kau belum menyerahkannya."

"Biar saya saja yang menyimpannya, Pak."

Pandu melotot.

"Bukankah kau menjualnya kepadaku? Uang mukanya sudah kuserahkan, bukan?"

"Tapi itu kan cuma uang muka, Pak. Nanti kalau saya dapat sisanya, baru saya serahkan. Sekalian mengurus yang lain-lain."

"Apa salahnya disimpan olehku?"

"Saya aja yang simpan, Pak," kata Mimi dengan ekspresi kukuh.

Pandu segera menyadari kesalahannya. Untuk uang muka itu sama sekali tak disiapkan tanda terima atau kuitansi yang bermaterai cukup. Tak terpikir olehnya untuk menyiapkan se



belumnya karena tidak menyangka Mimi akan bersikap seperti itu.

Sementara itu, Mariska dan Indiarto sudah berada di teras. Keduanya berjongkok di bawah jendela yang memisahkan teras dengan ruang depan tempat Pandu dan Mimi berada. Mereka bisa mendengarkan kata-kata yang diucapkan dengan cukup jelas.

"Memangnya Bapak nggak percaya saya?" tanya Mimi.

"Nggak," sahut Pandu terus terang.

"Kenapa?"
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah ketahuan bahwa kau pembohong. Sekalinya pembohong tetap pembohong."

Mimi terdiam. Ia kembali merasa takut. Tapi kali ini ketakutannya diwarnai dengan kebencian. Tangannya meraba ke samping. Tas besar di ujung sofa berada di situ. ia membuka ritsletingnya lalu menarik keluar benda di situ.

"Dari tadi aku mikirin sesuatu tentang kamu, Mi."

Mimi menoleh kaget.

"Kejadiannya waktu Ibu ditusuk itu," Pandu melanjutkan.

Wajah Mimi tampak tegang.

Pandu berusaha mengembalikan ingatannya.

"Hari itu, aku melihatmu berlari turun dari loteng dengan wajah panik, terus ke belakang. Apa yang membuatmu seperti itu?"

"Saya kan melihat kejadian itu. Jadi saya panik."

"Mana mungkin? Sebelum masuk rumah aku sempat melihat si Malik mencuci mobil di depan garasi. Dia tidak melihatku dan kelihatan tenang-tenang saja."

"Jadi jadi Bapak sebetulnya kembali ke rumah?" tanya Mimi dengan mata besar.

"Apa yang Bapak lakukan?"

"Eh, aku tanya kau duluan. Kok malah balik nanya. Kenapa kau berlari turun dengan panik?"

"Saya nggak ingat."

"Waktu itu aku nggak terlalu memperhatikan. Tapi setelah kuingat-ingat sekarang, kok bajumu banyak bercak-bercaknya, ya? Kayak darah. Apa memang bajumu dekil?"

"Kan saya memang kena darah."

"Tidak, tidak. Mestinya kan itu sebelum kejadian. Kau tidak melihatku. Aku buru-buru pergi lagi. Yang melihatku adalah Jarot. Sebetulnya apa yang kaulakukan waktu itu?"

Tiba-tiba tangan Mimi terangkat tinggi-tinggi. Di tangan itu terhunus pisau yang tajam berkilat!

Di bawah jendela depan, Mariska dan Indiarto mendengar jeritan Pandu. Keduanya terjerembab kaget tapi cepat bangun kembali lalu menyerbu ke dalam. Pada saat itu mereka melihat Pandu tersungkur ke bawah dan Mimi siap menghunjamkan pisaunya kembali. Tanpa pikir panjang Indiarto menyeruduk bagai seekor banteng. Kepalanya menghantam perut Mimi yang memekik kesakitan. Mereka berdua jatuh menimpa kursi, lalu bergumul. Pisau di tangan Mimi terlempar. Mariska buru-buru menyepaknya ke kolong kursi lainnya.

Sementara Indiarto berusaha meringkus Mimi, Mariska menubruk Pandu. Tubuh Pandu berdarah. Tapi cederanya tidak parah. Lukanya tidak dalam. Ia merintih-rintih kesakitan. Mariska memandang berkeliling. ia tidak melihat sesuatu yang bisa digunakan untuk menekan luka Pandu yang terus mengucurkan darah.

"Buka kausmu, Indi! Cepat!" perintahnya.

Mariska ganti memegangi Mimi yang masih

meronta-ronta sementara Indiana melepaskan kausnya. Setelah Indiarto mengambil alih kembali pengendalian tas Mimi, Mariska menggunakan kaus Indiarto untuk mengikat pundak Pandu, melewati ketiak terus ke atas pundak satunya lagi, setelah sebelumnya mengganjal lukanya dengan saputangan Pandu. Sesudah itu ia membantu Pandu bersandar ke dinding.

"Gimana, Pa'? Enakan'?"

Pandu mengangguk.

"Dia... dia...," katanya sambil menatap Mimi.

"Ya, dia menusuk Papa. Biar saya cari tali untuk mengikatnya."

"Cari bantuan, Mbak!" seru Indiarto yang kewalahan menahan Mimi. Ternyata tenaga Mimi luar biasa.

Kegaduhan suasana yang mereka alami membuat mereka tidak menyadari bahwa di luar rumah berhenti sebuah mobil. Dan kemudian tiga orang berturut-turut memasuki ruangan. Mereka adalah Don. Maxi. dan Sondang! Mereka sebegitu tercengangnya melihat pemandangan di depan mata mereka hingga termangu-mangu sejenak sebelum bertindak!

"Malik sudah mengatakan yang sebenarnya,"

kata Maxi.

"Mimi-lah yang menusuk Bu Mel. Sesudah itu ia berlari menemui Malik yang tengah mencuci mobil. Malik yang terkaget-kaget segera berlari ke kamar untuk melihat peristiwanya. Mimi memohon bantuannya sambil menangis dan mengatakan bahwa ia melakukan itu karena tidak tahan melihat hubungan mereka berdua. Ia sangat cemburu melihat cinta di mata Malik kepada Bu Mel. Ia marah dan tidak bisa menahan emosi. Ia juga menyalahkan Malik. Sesudah itu Malik mencoba mencabut pisau yang menancap di punggung Bu Mel, tapi tidak bisa. Itu membuat sidik jarinya berada di situ. Panik dan shock mendorongnya berlari ke dapur, mengambil pisau lain lalu menusuk dirinya sendiri di samping Bu Mel. Baginya. itu cara terbaik untuk menebus kesalahan dan tentu saja sekalian untuk membela Mimi. Dia menanggung semuanya sendirian."

"Bukankah waktu itu Mimi sudah tahu mengenai hubungan Malik dengan Mama? Jarot mengatakan mereka bertengkar tapi kemudian berbaikan. Mungkin ada semacam perjanjian antara mereka."

"Ya. Sebenarnya mereka tidak putus. Malik

masih mencintai Mimi. Dia mendua. Kepada Bu Mel dia memuja dan kepada Mimi dia mencintai. Tapi kepada Mimi, dia mengatakan dirinya terpaksa melakukan itu karena mengharapkan materi. Hadiah-hadiah yang diperolehnya dari Bu Mel diserahkannya kepada Mimi. Ia juga menjanjikan hubungan itu cuma sementara. Kalau ia mendapat pekerjaan di tempat lain, ia akan pergi. Itu sebabnya Mimi diam. Tapi kemudian Mimi tidak bisa dibohongi. Nyatanya Pak Don saja bisa melihat ekspresi Malik saat memandang Bu Mel."

"Tapi apa sebenarnya yang mau dilakukan Pak Pandu ketika datang ke rumah?" tanya Sondang.

"Papa mengaku dengan malu bahwa sebenarnya Papa ingin sekali menangkap basah Malik dan Mama. Papa kembali ke rumah dengan meninggalkan mobilnya di pinggir jalan. Ketika masuk, Papa disapa oleh Jarot yang sedang bekerja di kebun. Jadi Jarot melihat Papa datang dan pergi. Sebelum masuk rumah, Papa melihat Malik sedang mencuci mobil di depan garasi yang letaknya di samping rumah. Malik tidak melihatnya. Saat itu karena tidak berhasil

menangkap basah, Papa sudah berpikir untuk kembali saja, tapi Papa masuk juga. Lalu Papa melihat Mimi berlari menuruni tangga dengan wajah panik. Baju Mimi ada bercaknya. Semula Papa mengira itu cuma kotor karena Mimi memang suka berpakaian kumal. Mimi tidak melihatnya. Tapi Papa kemudian memutuskan untuk pergi. Padahal itu momen penting. Kalau saja Papa terus masuk dan naik ke kamar, Papa bisa menangkap basah sesuatu yang lain. Sesuatu yang tersimpan dengan rapi di hati Malik selama satu tahun setengah," cerita Mariska.

"Dan tersimpan oleh Mimi," sambung Indiarto dengan gemas. Ia tak bisa melupakan pergumulannya dengan Mimi. Bagaimana mungkin ia hampir dikalahkan oleh perempuan yang ukuran badannya lebih kecil daripada dirinya?

"Ya. Bisa-bisanya Papa bercintaan dengan perempuan yang telah membunuh istrinya sendiri," kata Mariska.

"Itu cinta buta," kata Sondang.

"Ah, itu bukan cinta," bantah Mariska.

"Itu kehodohan lelaki!"

Para lelaki saling memandang. Mereka

memutuskan untuk tidak memhantah.

"Jadi setelah menyadari apa yang telah terjadi diseputar waktu kembali ke rumah. Pandu menjadi cemas karena khawatir menjadi tertuduh," kata Don.

"Itu sebabnya ia minta Jarot agar merahasiakan perihal dirinya yang datang dan pergi di saat itu. Jarot tidak keberatan juga tidak berat hati karena Malik sudah mengaku. Jarot tentu berpikir, bila pembunuhnya sudah jelas mengapa harus mencurigai Pandu? Ia menganggap kekhawatiran Pandu adalah wajar."

"Lantas siapa yang mencoba membunuh Jarot?" tanya Mariska.

"Pasti bukan Papa, kan?" tegas Indiarto.

"Oh, bukan," Sondang menenangkan.

"Pelakunya. Dia sudah mengaku. Nanti bila Jarot sadar keterangannya bisa dikonfrontir."

"Waduh, jadi dia pelaku tunggal." Indiarto merasa takjub. Kalau begitu ia tidak perlu merasa malu karena sulit menundukkan Mimi. Perempuan seperti itu pastilah cuma ada satu dalam sejuta.

"Kenapa dia menusuk ayahmu?" tanya Sondang.

"Menurut Papa. dia ngomong soal melihat Mimi berlari turun di tangga dengan baju ada bercak darah. Dia yakin ucapan itu mengagetkan Mimi dan membuatnya terdesak."

"Ya, itu memang cocok," kata Don.

"Oh ya, ada satu hal yang ingin saya tanyakan," kata Mariska.

"Strategi apa yang Bapak gunakan untuk membuat Malik berbicara?"

Pertanyaan ditujukan kepada Sondang.

"Kemarin kami sudah yakin bahwa kepekaan Malik adalah masalah cinta. Jadi tadi kami mencecarnya dengan itu. Mula-mula kami memanggil Pak Maxi dan memintanya membawa serta gumpalan-gumpalan kertas tanda cinta itu. Setelah diperlihatkan, Malik langsung jadi lemas. Orang itu tampaknya sentimentil. Setelah tampak goyah, dia langsung diberitahu mengenai keadaan Mimi sekarang. Wah, dia benar-benar jadi hancur. Untung nggak kenapa-kenapa."

"Jadi motivasi merampok itu bohong belaka," kata Indiarto.

"Ya. Dia memang mesti mencari alasan bagi perbuatannya," kata Don.

"Malik itu orang yang luar biasa juga, ya,"

kata Sondang.

"Dua pihak yang ia lindungi. Pertama si Mimi. Dan kedua adalah keluarga Pandu. Ia tahu pengakuan mengenai hubungan intimnya dengan Bu Mel bisa membuat malu bagi keluarga yang ditinggalkan. Sudah kepalang basah. ia mandi sekalian. Semua ditanggung sendiri. Karena cinta atau kebodohan?"

Sondang menujukan pertanyaannya kepada Mariska dengan nada gurau.

Tapi Mariska menyahut dengan serius,

"Menurut saya, karena cinta dan ketulusan. Tapi cintanya mendua. Ke sana dan ke sini sama beratnya. Kepada Mama, dia sadar cintanya adalah kemustahilan. Tapi dia memujanya. Sedangkan kepada Mimi, dia bisa mengangankan realitas. Mimi bisa menjadi istri dan ibu anak-anaknya. Bila dia membela Mimi, maka dia berharap Mimi akan membalas budi dengan setia kepadanya. Toh Mama sudah meninggal, hingga hubungan mereka sudah selesai. Tak mengherankan kalau dia hancur luluh ketika diberitahu bahwa Mimi jadi peliharaan Papa. Dua orang yang dibelanya ternyata mengkhianatinya."

"Itu analisa yang bagus. Kau menganggap Malik orang yang tulus dan jujur. Dia terlalu mempercayai orang, bukan?"

"Ya. Itu beda dengan kebodohan."

"Tapi tipis juga bedanya, ya."

Mereka tertawa.

"Masih ada satu hal yang jadi tanda tanya bagi saya, Pak," kata Mariska.

"Apa motivasi Mimi melenyapkan Jarot?"

"Itu karena Jarot bilang dia baru saja mengunjungi Malik. Dan dia berencana untuk mengunjunginya lagi lain kali. Mereka bertiga punya hubungan cukup dekat saat masih bekerja sama-sama. Malik menyimpan rahasia Mimi. Bagaimana kalau nanti Jarot berkunjung lagi ke penjara lalu bercerita tentang Mimi yang sudah berubah penampilan dan menjadi sales? Tentunya Malik akan berpikir, kalau Mimi sudah maju dan tetap berdomisili di Jakarta, kenapa tidak pernah mengunjunginya? Padahal pada saat kejadian, Mimi memohon kepadanya, demi cinta kita, tolonglah aku! Nah, mana cinta itu sekarang? Kalau Malik sakit hati bisa saja dia mengungkapkan rahasia itu kepada Jarot. Jadi Jarot berbahaya bagi Mimi," papar Sondang.

"Itu sebabnya ia memutuskan untuk kabur. Ia takut kalau Jarot sadar dia akan mengatakan siapa penganiayanya," komentar Indiarto.

"Apalagi ia tahu adanya hubungan antara Papa dengan Jarot setelah menemukan kertas bertulisan nama dan alamat Jarot di dompet Papa. Padahal di situ cuma tertulis inisial."

"Ia cerdik," kata Don.

"Juga mata duitan," tambah Indiarto.

"Kalau tidak menunggu duit dari Papa, ia sudah kabur entah ke mana."

"Bagaimana keadaan papamu sekarang?" tanya Don.

"Sudah jauh lebih baik. Tak ada organ penting yang terkena tusukan. Mungkin satu-dua hari ia sudah boleh pulang dari rumah sakit," sahut Indiarto.

"Dia sempat melihatku waktu terkapar itu. Wah, kayaknya dia kaget betul. Apakah dia sudah tahu mengenai keterlibatanku?" tanya Don lagi.

"Sudah, Pak. Mulanya Papa kesal karena banyak orang yang ikut campur padahal tak ada urusannya. Tapi kemudian Papa sadar, itu bukan ikut campur melainkan membantu. Katanya Papa akan meluangkan waktu khusus untuk berterima kasih kepada Pak Don, Pak Maxi, dan Pak Sondang."

"Ya. Kami sungguh tidak tahu bagaimana harus menyatakan terima kasih. Kami berutang budi kepada Bapak-bapak sekalian," kata Mariska dengan mata berkaca-kaca.

"Dengarlah, Ris. Kami senang membantu karena itu demi kebenaran," kata Sondang. Toh dia bangga dan tersentuh oleh sikap Mariska dan adiknya.

Maxi pun berlinang air mata. Tanpa bantuan orang-orang ini, ia takkan bisa melaksanakan permintaan Melia. Sekarang ia bisa menyampaikannya kepada Melia dengan penuh kelegaan. Dan tentunya Melia juga bisa tenteram di alamnya.

Mariska dan Indiarto menyampaikan perkembangan terakhir kepada Pandu.

"Terima kasih," kata Pandu.

"Kepada kalian terutama."

"Ah, bukan kami yang utama, Pak. Ketiga Bapak itulah yang berjasa," kata Mariska.

"Tanpa mereka, kebenaran itu akan tetap disimpan Malik"

"Dia bodoh!"

"Bukan, Pa. Dia lugu dan tulus."
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandu termangu. Dia masih sulit menerima kesalahannya. Rasa egonya sibuk mencari objek yang bisa disalahkan.

"Saya sudah ketemu Frans Dinata, Pa. Dia cerita semuanya dan dia juga mengembalikan sertifikat rumah dan tanah yang diberikan Papa kepadanya."

Pandu terkejut. Wajahnya memerah.

"Dia... dia memberitahu?"

"Ya. Semuanya."

Pandu memalingkan muka. Rasa malu menyergapnya. Mariska dan Indiarto mengamatinya. Mereka juga dilanda kejengkelan setelah masalah itu teringat kembali. Di satu pihak mereka merasa lega karena ternyata Pandu tidak terlibat dalam pembunuhan ibu mereka, tapi di pihak lain mereka benci pada kelicikan dan kebohongan ayah mereka itu. Kalau saja mereka membiarkan diri dikuasai perasaan, tentu mereka sudah meninggalkannya sendiri. Tetapi Pandu sudah mendapat pelajaran pahit dari pengalaman ini.

"Aku menyesal. Maafkan aku." kata Pandu

akhirnya

"Mama juga harus mendengarnya, Pa."

"Aku takut. Apalagi dia sudah jadi hantu."

"Berikanlah Mama kedamaian, Pa."

"Kemarahannya bisa menghancurkan isi kamar. Bagaimana kalau dia mengamuk lagi?" Pandu benar-benar ngeri.

"Papa harus berani menghadapinya. Itu risiko perbuatan Papa," kata Indiarto.

"Tapi kalau dia setia, dia tentu tidak akan menghiraukan rayuan si Frans." Pandu masih mencoba membela diri.

"Dia juga manusia yang punya kelemahan, Pa. Seperti Papa sendiri."

"Lantas bagaimana caranya aku minta maaf kepada Mel?"

"Pergilah bersama Pak Maxi ke rumah di Menteng, Pa."

"Kenapa harus dengan orang lain?"

"Pak Maxi bukan orang lain, Pa. Dia sudah seperti keluarga sendiri. Lagi pula Pak Maxi perlu ke sana untuk bertemu Mama. Lewat Pak Maxi, Papa akan bisa berkomunikasi dengan Mama."

Pandu benar-benar ngeri.

"Aku lebih suka ziarah ke makamnya saja," kata Pandu, mencari yang aman.

Tetapi tatapan kedua anaknya menyadarkannya. dia tidak punya pilihan lain.





MEREKA memilih hari Minggu untuk melaksanakan rencana selanjutnya. Mariska, Indiarto dan Rico duduk menunggu di gazebo sementara Maxi dan Pandu memasuki rumah. Mereka tak mau mengganggu suasana dengan terlalu ramai.

Pandu melangkah dengan kaki gemetar. Tangannya memegangi lengan Maxi. Ia benar-benar takut.

Maxi mengiringi langkah pelan Pandu dengan sabar. Ia merasakan tangan dingin Pandu di lengannya. Ia sendiri juga merasa tegang biarpun percaya diri. Bukankah ia sudah melaksanakan permintaan Melia dengan sukses? Ia berharap kesuksesan itu bisa mengurangi kemarahan Melia bila mendengar pengakuan Pandu nanti. Tak mengherankan bila Pandu ketakutan seperti itu. Rupanya Pandu cukup sadar bahwa

apa yang telah dilakukannya terhadap Melia memang keterlaluan.

Sebelum berangkat mereka sempat berbincang berdua saja. Selain menyatakan rasa terima kasihnya, Pandu juga mengungkapkan perbuatannya kepada Melia di masa lalu. Terus terang Pandu mengatakan bahwa ia menceritakannya supaya bila kelak mereka berdua berhadapan dengan Melia nanti. ceritanya itu tidak lagi merupakan kejutan bagi Maxi. Dan tentu saja ia juga meminta supaya Maxi membantu melunakkan Melia.

Di depan pintu kamar tempat peristiwa, Pandu menahan tangan Maxi yang akan membuka pintu.

"Tunggu sebentar."

Maxi menunggu dengan sabar sementara Pandu menarik napas dalam-dalam dan menyeka keringat. Akhirnya Pandu mengangguk. Maxi membuka pintu kemudian mengulurkan tangan ke dinding mencari sakelar untuk menyalakan lampu. Tapi lampu tidak mau menyala. Cahaya masuk dari penerangan di luar ruangan. Cukup untuk tidak membuat ruangan gelap total. Lama-kelamaan mata mereka terbiasa dan

mereka bisa melihat benda-benda yang ada.

Pandu memekik dan wajahnya pucat pasi melihat keadaan ruangan yang porak-poranda. Tentu ia sudah diberitahu sebelumnya mengenai keadaan di situ, tapi melihat sendiri adalah sesuatu yang berbeda. Apalagi di samping melihat, ia juga merasakan suasananya. Mau tak mau ia terkenang pada kejadian mengerikan dulu. Kakinya gemetaran, lututnya menekuk-nekuk dan sekujur tubuhnya basah karena keringat dingin. Ketika Maxi mengajaknya duduk bersimpuh di lantai di ambang pintu yang terpentang lebar, ia buru-buru mengikuti. Ia tak mampu berdiri lebih lama lagi. Duduknya pun mepet ke pinggir tubuh Maxi.

"Bu Mel ! Kami datang. Saya dan Pak Pandu," kata Maxi.

Ada gaung di ruangan itu. Pandu mendengarnya juga. Jantungnya berdebar kencang.

"Buuu...," Maxi tak melanjutkan kata-katanya. Ia melihat sosok putih yang semula samar tapi lama kelamaan menjadi semakin jelas. Melia duduk di atas lemari yang terguling. Ia masih mengenakan gaun panjangnya yang putih dengan bunga-bunga kecil merah jambu.

Maxi menyikut pelan lengan Pandu.

"Pak, dia muncul. Tuh!"

"Mana? Mana?" tanya Pandu sambil menggulirkan matanya ke sana kemari.

"Itu di tengah ruang. Dia duduk di atas lemari pakaian yang terguling. Lihat?"

"Nggak. Aku nggak lihat apa-apa di atas lemari," sahut Pandu. Bibirnya bergetar. Ia kedinginan.

Maxi segera menyadari bahwa Pandu tidak melihat Melia. Maka ia segera berkonsentrasi kepada Melia.

"Bu Mel, saya datang untuk melaporkan bahwa kebenaran seperti yang diinginkan Ibu sudah saya dapatkan."

Melia tersenyum. Bibirnya yang merah tanpa lipstik itu merekah bagai mawar yang mekar dengan indahnya.

"Oh ya? Ceritakanlah. Tapi tunggu. Kenapa Pandu ikut-ikutan denganmu? Apakah dia ingin melihatku juga?"

Pandu tersentak karena rasa kaget yang tak kepalang. Beberapa saat lamanya mulutnya mengeluarkan suara, ah-ah... uh-uh berulang kali. Ia mendengar suara Melia!

Maxi mengamati Pandu. Ia tahu. Pandu tidak

bisa melihat Melia tapi bisa mendengar suaranya.

"Tenang, Pak. Kalau Bapak mau ngomong, ngomonglah."

"Aku... aku...," kata Pandu dengan susah.

"Baik. Biar saya bicara dulu saja, ya," Maxi menepuk paha Pandu. Lalu ia mengarahkan tatapan kepada Melia.

"Pak Pandu juga mau bicara, Bu. Tapi biarlah saya duluan. Ibu tentu sudah ingin mendengarnya. Saya cerita, ya, Bu."

Lalu Maxi bercerita mengenai pengakuan Malik. Kemudian diiringi pengakuan Mimi juga. Tapi ia menghindari cerita mengenai keterlibatan Pandu di dalamnya. Biarlah itu menjadi bagian Pandu sendiri nanti.

Melia meletakkan tangan di dadanya dengan mata terpejam. Ia diam saja selama beberapa saat usai Maxi bercerita.

"Apakah dia masih ada?" bisik Pandu yang Sudah berhasil menguasai dirinya kembali.

"Ya. Masih. Dia sedang merenung," bisik Maxi.

Lalu Melia membuka mata.

"Aku senang Malik tidak terlibat. Dia sungguh mulia, menanggung semuanya sendirian. Dia juga membelaku tanpa mau mengakui hubungan

kami. Ya, kau tentu sudah tahu juga, Pa," katanya ditujukan kepada Pandu.

"Tapi untuk selanjutnya dia tidak perlu lagi melakukannya. Biarlah hubungan kami diketahui umum karena bila kasusnya dibuka lagi tentu hal itu harus diungkapkan. Apakah Malik akan diusahakan keluar dari penjara. Maxi?"

"Oh ya, tentu saja, Bu." Maxi menyikut Pandu. Isyarat bahwa pembicaraan itu merupakan bagiannya.

"Ya, Mel," kata Pandu.

"Kami akan menggunakan pengacara bagus untuk mengupayakan peninjauan kembali bagi kasusnya. Mimi kan sudah mengaku. Aku juga bersedia jadi saksi yang melihat Mimi turun dari tangga dengan baju berdarah. Itu akan berat sekali, tapi aku bersedia."

"Wah, kau berubah sekarang, ya. Kau tidak malu nanti?"

"Tidak, Mel. Aku akan melakukannya. Tapi aku mohon kau mau memaafkan aku."

"Memaafkan?" suara Melia meninggi. Ia tampak heran.

"Untuk apa? Yang salah kan aku. Yang nyeleweng itu aku. Dua kali aku selingkuh. Sama si Frans dan sama Malik."

"Aku juga salah."

Dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan kekuatannya, Pandu bercerita mengenai persekongkolannya dengan Frans dan terakhir perbuatannya dengan Mimi. Bahwa ia sebenarnya sudah berselingkuh dengan Mimi pada saat Mimi masih menjadi pembantu di rumah itu, jadi pada saat Melia masih hidup. Sambil berbicara ia merasa bersyukur karena tidak bisa melihat Melia. Dengan demikian ia tidak perlu melihat kegusarannya.

Tapi yang menjadi saksi mata adalah Maxi.



"Kasihan juga Papa, ya," kata Mariska.

"Ya. Dia kelihatan seperti orang yang mau dieksekusi," sahut Indiarto.

"Butuh keberanian untuk melakukannya," komentar Rico.

"Berani berbuat, harus berani pula menanggung," kata Indiarto.

"Bila ini semua berakhir, kita harus memperbaiki banyak kerusakan, Indi. Maksudku, hubungan kita dengan Papa. Kita harus memaafkannya dan menerimanya dengan baik. Ada ucapan klise bahwa dari kesalahan kita mendapat pelajaran berharga dan dari musibah

kita mendapat hikmah. Kalian berdua harus mencamkannya baik-baik."

"Lho, kok kami? Mbak juga dong."

"Kalian kan lelaki."

"Perempuan juga bisa melakukannya. Buktinya Mama..."

Ponsel Mariska berbunyi.

"Oh, Pak Don. Ada apa?"

"Bagaimana prosesnya? Sudah selesai?"

"Oh, belum, Pak. Kami menunggu di luar. Papa dan Pak Maxi ada di dalam. Sudah sekitar setengah jam tuh."

"Boleh aku bergabung?"

"Oh. tentu saja boleh. Silakan datang, Pak."

Betapa tercengangnya Mariska ketika orang yang barusan menelepon itu menampakkan wajahnya di balik pagar.

"Maaf, tadi aku nelepon dari luar situ," Don tersenyum.

Mereka menyambutnya dengan hangat.

"Ada berita dari rumah sakit," kata Don setelah duduk, bergabung di gazebo.

"Aku mendengarnya dari Sondang. Katanya, Jarot sudah sadar. Kata-kata pertama yang diucapkannya adalah "Mimi! Mimi!' Jelas maksudnya. kan?"

Mereka tertawa.

"Wah, itu bagus sekali!" seru Mariska.
Gazebo Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kuharap dia cepat pulih."

Don menatap ke arah rumah.

"Jadi mereka di dalam. Kalian tidak tegang menunggu?"

"Tegang sih," sahut Mariska.

"Tapi kami tidak mau mengganggu suasana, Pak."

"Tentunya arwah Bu Mel akan segera merasakan kedamaian."

"Kami harap begitu, Pak."

Mereka menatap ke arah rumah dengan diam.



Maxi sangat tegang mengamati gerak-gerik Melia. Dia berdiri, melangkah mondar-mandir, kedua tangannya mengepalkan tinju yang diangkat dan digoyang-goyangkannya. Ketika akhirnya ia berdiri diam lalu memalingkan muka, tampak ekspresinya yang penuh kemarahan. Maxi menjadi ngeri.

Pandu kembali mengucurkan keringat dingin. Ia tidak melihat dan mendengar apa-apa, tapi itu membuatnya semakin tegang dan takut karena tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi. Ketika akhirnya ia mendengar suara Melia, ia terlonjak kaget. Suara itu keras

bagai mengguntur.

"Jahat! Jahat sekali kau! Tega betul!" seru Melia.

"Maafkan aku, Mel. Aku menyesal."

"Kau menyesal karena akhirnya adalah tragedi bagimu. Andai kata cuma aku yang mengalami kan pasti tidak menyesal."

"Maafkan aku, Mel. Berilah aku maaf. Kalau saja waktu bisa berjalan mundur..."

"Katakan, kenapa kau sampai merasa perlu mencobai aku? Jangan bilang cuma iseng!"

"Aku... ya, baiklah. terus terang saja, aku tidak suka sifatmu yang kadang-kadang liar dan seenaknya saja. Aku curiga apakah kau seorang perempuan yang yang murahan. Jadi..."

"Oh, begitu. Kau menilai orang dari apa yang tampak rupanya. Apa kaupikir dirimu yang kelihatan alim dan sopan itu bukan lelaki murahan? Apalagi kau menjebak aku dengan akal busuk! Pakai taruhan segala lagi! Kau sama sekali tidak menghargai aku sebagai istrimu !"

"Maafkan aku, Mel. Aku memang salah. Sebenar...nya aku ngetes kau bukan karena ingin tahu saja, tapi karena aku mencintaimu. Aku cemburu ..."

"Puih! Cinta'? Gombal sekali kau! Jangan bicara cinta sama aku, ya! Kau cuma cinta dirimu sendiri!"

Semakin banyak berbicara, Pandu menjadi semakin tenang. Ia semakin disadarkan bahwa hanya dengan berbicara ia bisa membela dirinya. Dan itu adalah keharusan kalau ia tidak mau tampak konyol dan penuh dosa.

"Kita sama-sama, Mel. Kau juga begitu, kan? Ingatlah, bahwa aku tidak menuntut cerai setelah tahu perbuatanmu dengan Frans."

"Tapi kau mendepakku dari perusahaan.. Memang itu yang kauinginkan, bukan? Licik sekali akalmu!"

"Aku masih mencintaimu, Mel!"

"Sudah kubilang, jangan bicara cinta-lagi! Lantas apa yang mendorong perbuatanmu dengan si Mimi?"

"Itu nafsu. Bukan cinta!"

"Gombal!" teriak Melia.

Sementara itu Maxi diam saja, mengamati dan mendengarkan. Ia merasa sungguh tidak nyaman.

"Habis aku mesti apa untuk mendapat maafmu. Mel? Kau sudah jadi arwah. Antara kita

terpisah jauh. Aku tidak bisa lagi melakukan hal-hal yang nyata untukmu. Aku cuma bisa minta maaf. Aku akan mendoakan supaya kau tenang dan damai."

"Aku mau kau berbuat sesuatu untukku !"

"Apa itu, Mel?"

"Bunuh si Mimi!"

Pandu dan Maxi terlonjak kaget.

"Tidak!" kata Pandu.

"Itu akan membuatku menjadi pembunuh."

"Jangan begitu, Bu Mel," Maxi ikut bicara.

"Kasihanilah anak-anak. Mereka sudah berjuang keras supaya kebenaran ini bisa terungkap. Jangan menimbulkan masalah baru."

"Bunuh si Mimi!" seru Melia lebih keras.

"Tenang, Bu," kata Maxi.

"Bukan begitu penyelesaiannya. Pak Pandu sudah menghimpun segala keberaniannya untuk datang ke sini. Dengan segala kerendahan hati ia memohon maaf padamu. Coba pikirkan juga, Bu. Kalau Mimi tidak bersamanya, tentu akan sulit menangkapnya. Malik juga tidak akan mau mengakui apa yang telah terjadi. Tolonglah, Bu. Maafkan dia."

"Tidaaak...! Bunuh si Mimi! Bunuuuh ...!"

jerit Melia.

Lantai bergetar. Kedua lelaki melompat berdiri.

"Mel..."

Ada bunyi berderak-derak di atas plafon. Percikan api terlihat di plafon lalu menjalar sepanjang dinding kamar! Pandu menatap ke atas dengan tubuh terpaku. Maxi menarik tangan Pandu lalu menyeretnya ke luar kamar. Mereka berlari menuruni tangga. Sebelum tiba di lantai bawah, kaki Pandu tergelincir. Maxi membangunkannya. Dengan terpincang-pincang Pandu melangkah. Maxi terpaksa membimbingnya. Baru beberapa langkah tiba-tiba beberapa kayu kasau berjatuhan dari plafon dan menimpa mereka! Keduanya jatuh kemudian kayu-kayu itu menguruk tubuh mereka. Sementara itu api dengan cepat menjalar turun! Tampaknya mereka akan segera menjadi umpan api!

Kedua tubuh yang teruruk itu diam saja seolah tidak menyadari bahaya. Sebenarnya bukan itu sebabnya. Mereka pingsan karena kepala mereka tertimpa.

Empat orang yang tengah duduk-duduk di gazebo sibuk mengobrol membicarakan kasus

yang baru saja lewat.

"Bila semua ini berakhir, aku akan mengadakan syukuran," kata Mariska.

"Apa aku diundang?" tanya Don.

"Oh, sudah tentu. Semua yang terlibat akan diundang. Juga seisi perusahaan Papa dan segenap relasi. Pokoknya semua."

"Wah, terlalu ramai dong," protes Indiarto.

"Dengar dulu. Nanti aku akan meminta Pak Maxi untuk bernyanyi. Suaranya yang bagus itu harus diperkenalkan kepada sebanyak mungkin orang. Boleh kan, ya, Ric?" Mariska menujukan penanyaannya kepada Rico.

"Oh, itu sih terserah kepada Papa sendiri. Tapi secara pribadi aku nggak keberatan. Kalau mengamen di jalanan baru aku keberatan."

"Kaupikir dia akan mau?"

"Kayaknya sih mau. Dia senang bernyanyi dan sejak peristiwa ini dia tak pernah kedengaran menyanyi di rumah. Pasti dia sudah kangen."

Tiba-tiba Don berteriak.

"Hei! Ada kebakaran!" Sesudah itu ia melompat lalu berlari menuju rumah.

Dari gazebo terlihat asap hitam mengepul di

atas rumah!

Mereka berlari menuju rumah sambil berteriak-teriak memanggil Maxi dan Pandu. Tapi kedua orang itu tidak tampak. Bahkan suara mereka pun tidak terdengar.

Di depan pintu mereka tertegun karena asap hitam pekat menyembur-nyembur keluar.

"Awas! Tutup hidung! Tutup hidung!" teriak Don. Ia mengeluarkan saputangan lalu menutup mulut dan hidung dengan mengikatkannya ke belakang kepala.

Rico melepas kausnya untuk melakukan hal yang sama.

"Ris, kau telepon pemadam! Cepat!"

Sementara Mariska keluar untuk menelepon, Indiarto pun melepas kaus untuk digunakan menutup hidung dan mulutnya. Bersama-sama mereka menerjang asap masuk ke dalam rumah. Di ruang depan tidak terlihat Maxi dan Pandu. Di situ banyak sekali kayu-kayu bergelimpangan. Yang mengejutkan adalah pemandangan di atas tangga. Asap dan api menyembur dari sana! Jelas bagian loteng sudah terbakar dan tangga tak bisa lagi dinaiki.

"Papaaa!" jerit Indiarto.

"Papaaa!"jerit Rico.

Mariska yang muncul kemudian dengan tangan menutupi hidung, usai menelepon, juga menjerit-jerit memanggil ayahnya. Tapi kedua orang yang dipanggil-panggil tidak juga kelihatan.

Plafon di atas mereka berderak-derak.

"Ayo! Cepat keluar! Cepat!" teriak Don.

Mereka berlari keluar. Tepat setibanya mereka di halaman, bagian atas rumah itu runtuh menimpa lantai bawah. Kalau mereka tidak keluar pada waktunya pastilah mereka sudah tertimpa bara api.

Mariska menangis histeris. Mereka berpelukan. Kesedihan yang terasa benar-benar menikam jantung.

Don menatap ketiga anak muda dengan penuh iba. Ia juga bertanya tanya apa yang sebenarnya telah terjadi. Sebuah rumah besar tiba-tiba terbakar padahal tadi tidak apa-apa. Mustahil kedua orang di dalamnya tadi tidak punya kesempatan sedikit pun untuk menyelamatkan diri.

Rumah terus terbakar. Orang-orang mulai berdatangan. Tampaknya rumah itu tak bisa

diselamatkan. Untunglah jarak dengan rumah tetangga kiri-kanan cukup jauh dan angin pun tidak bertiup kencang.

Lalu Don terbelalak. Ia menepuk ketiga anak muda yang tengah menangis sambil berpelukan.

"Lihat! Itu mereka!" seru Don.

Dari samping rumah muncul Maxi dan Pandu. Mereka berjalan tertatih-tatih dengan berpegangan tangan. Sekujur tubuh mereka, dari kepala sampai kaki, melekat tanah dan daun daunan! Wajah mereka penuh kebingungan.

Mereka berempat menghambur, menubruk kedua orang yang baru muncul itu. Rico memeluk Maxi. Mariska dan Indiarto memeluk Pandu. Don merentangkan tangan merangkul keduanya.

"Papa nggak apa-apa?" tanya Rico.

"Papa nggak apa-apa?" tanya Mariska dan Indiarto.

Kedua orang yang ditanya menggelengkan kepala. Mereka hanya memandangi rumah yang terbakar.

Lalu keduanya saling memandang.

"Kenapa kita bisa ada di sana. ya?"

"Di mana, pa"! Di mana!" tanya anak-anak mereka.

"Tadinya kami ada di ruang depan," cerita Maxi.

"Sudah tidak bisa bangun karena tertimpa kayu. Kelenger lagi. Tahu-tahu kami sadar ada di kebun samping, tergeletak di tanah."

"Mama!" cetus Mariska.

"Ya, kukira Bu Mel yang menyelamatkan kita." Maxi sependapat.

"Tapi, mungkinkah dia juga yang sengaja membakar?" tanya Pandu.
I Am Number Four Karya Pittacus Lore Lima Sekawan 04 Petualangan Di Laut Joko Sableng Tabir Asmara Hitam

Cari Blog Ini