Ceritasilat Novel Online

Gone With The Gossip 2

Gone With The Gossip Lupus Karya Hilman Bagian 2

dan Vito. Sesekali ia berhenti dekat pintu masuk dan

mengintip ke luar, takut nyaknya sukses menyusulnya.

74

Pada saat itu Mila datang mendekatinya.

"Im, kok Lupus ama Gusur belon keliatan sih?

Kasian Bule ama Vito dari tadi kerja keras!"

"Eh, eh,

tau tuh, Mil. Mereka emang pada kagak disiplin!" ujar

Boim.

"Pokoknya kalo telat lebih dari lima belas menit,

mereka bisa nggak dapat jatah makan gratis!" kemudian Mila melihat ke jam tangannya.

"Dan ini mereka

udah hampir telat lima belas menit!"

Tapi baru saja Mila berkata begitu, Lupus dan Gusur muncul.

Boim yang melihat kedatangan mereka langsung

masuk ke dalam sembari pura-pura membawa gelas

kosong. Mila menahan Lupus dan Gusur yang ingin

menghampiri Boim.

"Eh, kenapa pada telat? Katanya mau disiplin. Kalian masih ingat kan sama perjanjian yang kita buat

bersama? Kalian sekarang udah terlambat lima belas

menit, menurut aturan yang kita buat itu, kalian tidak

dapat makan gratis!"

"Tapi, Mil " Lupus berusaha memberikan penjelasan.

"Ayo, kalian punya alasan apa?" ujar Mila.

Lupus dan Gusur saling berpandangan dan kemudian ngomong ke Mila.

"Nyaknye Boim!"

"Nyaknya Boim? Apa hubungannya? Nggak nyambung deh!" ujar Mila.

Belon lagi Lupus atau Gusur menambah penjelasan, Nyak Boim muncul sembari nge-jinjing tas plastik

item.

"Nak Lupus dan Nak Gusur ini gimana sih? Disuruh

75

nunggu Nyak beli mi rebus, kok malah ninggalin?" ujar

nyak Boim cuek. Setelah itu Nyak ngamatin ke sekeliling kafe, merhatiin keindahan interiornya.

"Wah, wah,

hebat juga tempat kerjaan anak Nyak."

Mila masih bingung melihat kehadiran nyak Boim.

Nyak sadar, lalu langsung memperkenalkan diri,

"Eh,

iye, kenalin, nyaknye Boim. Nyak sengaja kemari buat

ngawasin si Boim, takut kenape-nape. Tadi Nyak sengaja beli mi rebus buat jaga-jaga kalo ntar kelaperan."

Dengan wajah masih kebingungan, Mila mengangguk-angguk.

"Ooh, gitu. Ya udah, Bu, silakan duduk

deh. Tapi lain kali kalo datang kemari jangan bawa

makanan dari luar, ntar bisa-bisa dagangan kita nggak

ada yang beli."

"0, gitu ya?"

Boim yang belum tau kalo nyaknya udah nyampe

ke kafe, muncul dari dapur sambil membawa baki hidangan. Begitu ngeliat Nyak ngobrol sama Mila, Boim

langsung kaget. Boim pun buru-buru masuk ke dapur

lagi sambil memberi kode kepada Lupus dan Gusur untuk mengikutinya.

"Ah, lo gimana sih? Kok Nyak gue

malah lo ajak kemari? Lo benar-benar nyeksa. Lo pada

kagak solider ye? Nyak gue lo ajak ke pasar ikan, kek,

belanja cumi-cumi!"

Dimarahin begitu, Lupus malah balik marah ke

Boim.

"Eh, lo tuh yang kagak solider! Udah gue telat

gara-gara elo, elonya malah bukannya nyariin alasan ke

Mila, biar jatah makan gratis gue kagak dipotong!" tukas Lupus.

"Iya. Asal dikau tau, daku dan Lupus telat gara-gara ngebela-belain nemanin nyak dikau beli mi rebus!"

76

sembur Gusur.

"Iye, iye, sori, sori, terus gimana nih soal nyokap

gue? Tolongin gue dong. Ayo, Pus, lo biasanya kan punya ide-ide cemerlang!" ratap Boim ke lupus.

"Bodo, gue kagak mau ngurusin persoalan lo lagi!"

tolak Lupus.

"Daku juga! Mending daku konsentrasikan pada

cita-citaku untuk mendapatkan gadis impian!" jelas

Gusur.

Gusur dan Lupus langsung meninggalkan Boim.

Mau menjalankan tugas. Saat itulah Gusur melihat

seorang cewek manis yang duduk sendirian dengan

wajah murung. Gusur langsung sumringah, dan siapsiap melayaninya. Siapa tau jodoh. Tapi sebelumnya dia

rapikan dulu bajunya, celananya, rambutnya, bulu-bulu idungnya

"Mau pesan apa?" tanya Gusur berusaha menservis

si cewek.

Cewek itu kaget, dan menoleh ke Gusur. Lalu menjawab,

"Hm, nanti saja, saya mau duduk-duduk dulu,

mau menenangkan pikiran," jawab si cewek

"Menenangkan pikiran? Oh, boleh. Berapa piring?"

ujar Gusur lagi.

Si cewek melotot ke Gusur.

"Jangan marah dong. Daku kan cuma bercanda.

Memangnya dikau sedang tidak tenang pikiran, ya ?"

"Yah, begitulah," jawab si cewek, lalu ia menerawang.

"Ah, seandainya ada cowok yang mau menemani saya untuk ngobrol-ngobrol...."

"Oh, daku mau!" ujar Gusur sambil tunjuk tangan.

"Oh ya?" Si wanita memandang Gusur.

77

Gusur mengangguk sekali lagi, lalu dia duduk di

kursi, tepat di hadapan cewek itu.

Saat itu Mila memanggil Boim untuk ngasih kerjaan,

"Im, tolong lo angkat gelas dan piring di meja

nomer dua. Terus sekalian lo tanya nyak lo mau minum

apaan?"

Boim buru-buru muncul dengan sebuah nampan

besar, untuk menyembunyikan wajahnya dari nyaknya.

Nyak jelas heran ngeliat Boim.

"Eh, lm, kenapa muke lo ditutupin?" ujar nyak

Boim sembari megang tangan si Boim.

Boim tak menjawab, dia berusaha melepaskan tangan Nyak.

"Eh, Im, ambilin Nyak minum dong. Kalo

bisa yang berwarna!"

Boim nggak peduli dengan permintaan Nyak, dia

terus berjalan ke meja di sebelah meja Nyak, memberesi piring dan gelas.

Nyak mesem-mesem memandang anaknya bekerja.

Sementara Boim ngerasa sebel banget sama Nyak yang

ngawasin segala gerak-geriknya. Pada saat yang sama,

di pintu kafe muncul dua anak muda berandalan, memanggil Boim.

"Hoi, pelayan! Sini lo!"

Boim menoleh, lalu menghampiri kedua berandalan itu. Nyak Boim memandang dengan khawatir.

"Mau pesan apa, Bang?" tanya Boim ramah.

"Gue mau pesan miras!" jawab salah satu anak

muda yang berambut cepak tapi berwarna.

"Miras?

Apaan tuh? Sejenis obat perut, ya?" ujar Boim heran.

"Bego, lu! Miras aja nggak tau! Minuman keras!"

hardik si anak muda yang rambutnya gondrong.

78

"Wah, di sini kita nggak jual miras, Bang. Liat aja

tulisan itu," ujar Boim sembari nunjuk ke tulisan di

dinding kafe:

NO ALCOHOL, NO ECSTASY, NO TRIPPING

LA YAOW!

Mereka nggak peduli, langsung mencengkeram kerah

baju Boim,

"Eh, lo jangan bohong, ya? Masa kafe kagak

jualan miras!"

"Ini bukan sembarang kafe, Bang. Kita bener-bener

kagak jualan Miras!" jelas Boim dengan hati kebat-kebit.

"Ah, belagu amat sih, lo! Gue beri juga lo!" dengus

si gondrong. Tapi tiba-tiba saja tangan si gondrong dipegang oleh seseorang. Si gondrong kaget, lalu nengok

ke belakang.

"Eh, siapa lagi yang nekat ikut campur?"

Tapi si gondrong langsung diam begitu tau yang

megang tangannya seorang ibu berkebaya, dan menatapnya dengan garang.

"Gue yang ikut campur! Mau apa lo!" hardik nyak

Boim kemudian.

"Lo jangan macem-macem, ye! Eni

warung yang punya orang baek-baek, jadi jangan macem-macem lo!"

Nyak langsung aja menyingsingkan lengan bajunya,

siap tempur.

"Ayo! Kalo lo berani, lawan gue!"

Boim tentu malu melihat ulah nyaknya.

"Udah, Nyak, jangan ikut-ikutan, biar Boim yang

ngatasin," kata Boim.

Tapi kedua pemuda merasa risi karena harus berhadapan dengan nyak Boim. Akhirnya dengan malu-ma

79

lu mereka keluar meninggalkan kafe itu. Beberapa pengunjung kafe, termasuk Gusur dan si cewek cantik,

langsung bertepuk tangan. Memuji Nyak. Nyak keliatan bangga banget.

Sejak pertemuan di kafe itu, Gusur nggak nyangka

banget kalo akhirnya ia bisa deket sama cewek yang

bernama Cloudy itu. Pulang sekolah, Gusur sering janjian dijemput oleh Cloudy yang ternyata tajir banget.

Lupus sama Boim aja sampe hampir nggak percaya kalo

nggak ngeliat dengan mata kepala sendiri.

"Gila, mimpi ape si Gusur bisa dapat cewek kece

lagi tajir begitu?" komentar Boim.

"Iya, padahal baru aja Gusur konsultasi sama gue,

kok dia nggak dapet jodoh. Trus gue bilang, botol aja

bisa berjodoh sama sedoran. Kenapa Gusur nggak?

Nah, kali ini Gusur ketemu jodoh, deh...."

"Tapi kok kece begitu? Gue aja nggak..."

"Namanya juga rejeki, lm. lo terima aja nasib lo."

Saat itu, emang si Cloudy lagi curhat sama Gusur

soal keadaannya yang baru aja putus sama cowoknya.

Mereka duduk berduaan di kedai es krim. Mal Pondok

Indah.

"Nah, Sur, gimana menurut kamu mengenai persoalan yang saya hadapi ini? Soal putus pacar itu, lho!"

Gusur mengambil napas sejenak dan kemudian memandang ke mata Cloudy. Lalu dengan keyakinan tinggi, si gentong ini berkata,

"Sudahlah, jangan dipikirkan

yang sudah-sudah, lebih baik kita berpikir mengenai

masa depan."

"0, begitu, ya? Cloudy pikir juga begitu. Tapi... ah,

80

kamu baik sekali mau memikirkan saya.... Eh, gimana kalau mulai saat ini saya juga memikirkan kamu?

Boleh?"

"Oh, tentu saja boleh!" ujar Gusur girang.

"Sebetulnya kamu sebagai cowok lumayan juga,

tapi barangkali ukuran badan kamu aja yang kelewat

gede. Gimana kalau mulai sekarang kamu coba berdiet,

ngurangi jatah makan kamu! Jadi kamu memperhatikan saya dan saya memperhatikan kamu!"
Gone With The Gossip Lupus Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ide bagus! Dan asal dikau tau, Clod, jangankan

cuma berdiet, disuruh tidak makan selama-lamanya

daku juga siap!"

Cloudy tersenyum manis.

"Bener nih?"

Gusur kembali mengangguk-angguk meyakinkan.

"Eh, gimana es krimnya? Cukup? Atau mau nambah lagi?"

Gusur berpikir sejenak. Lalu berujar malumalu,

"Eng, t-tadi daku belum ngerasain milkshake yang rasa

rum raisin. Boleh pesen sebagai hidangan penutup?"

Cloudy mengangguk sambil cekikikan. Gile juga si

Gusur. Baru aja berniat pengen diet!

Di kafe, Mila lagi bingung karena dapet kabar kalo kafenya bakal banyak kedatengan bule bule esok harinya.

Mila ingin sekali menyuguhkan acara yang berkesan di

hati para bule itu, biar mereka datang lagi. Maka ia pun

mengajak Lupus berdiskusi, karena biasanya dia selalu

punya ide-ide yang oke.

"Harusnya, Mil, kita suguhin acara khas Indonesia.

Pasti mereka suka deh!"

"Iya, tapi apa? Soalnya ini kan buat besok, Pus."

81

"Ya, apa ajalah. Lenong, kek, ketoprak, kek," usul

Lupus.

Mila diem. Lupus pun memutar otak. Tibatiba

idungnya kembang-kempis pertanda ia dapet ide cemerlang.

"Eh, Mil, kenapa nggak kita manfaatin nyaknya si Boim aja? Daripada dia saban malam duduk

nungguin Boim kerja. Dia kan dulunya suka ngamen

topeng monyet ama almarhum lakinya keliling-keliling

kampung "

Mila tersenyum lebar.

"Iya juga, ya? Oke deh, Pus.

Kamu hubungin si Boim. Gih, buruan!"

Dan meski Boim keberatan dengan ide Lupus.

ternyata nyaknya setuju banget. Besok malemnya ketika tamu-tamu asing datang, Nyak dan Boim pun muncul dengan membawa peralatan pentas topeng monyet

peninggalan babenya Boim.

"Gimana, udah siap belon?" songsong Lupus ke

Nyak.

"Nyak sih siap aja, Pus. Cuma sayangnya Nyak

nyari-nyari monyet untuk atraksi nggak ketemu. Dulu

sih Nyak punya temen yang punya monyet yang bisa

diajak atraksi, tapi monyetnya udah mati."

"Ya, jadi gimana dong? Kita kan nggak mungkin

nyari monyet sekarang ini," keluh Lupus. Mila keliatan

kecewa.

"Tenang Non, jangan khawatir, Nyak udah punya penggantinya, kok." Nyak tiba-tiba tersenyum,

lalu menunjuk ke Boim. Wajah Boim keliatan pasrah.

Anak-anak langsung menahan cekikikan.

"Ya udah, kalo begitu silakan naik aja, Nyak," ujar

Mila menahan ketawa.

82

Maka Nyak langsung berjalan menuju panggung

sambil menyeret tangan Boim. Boim mendelik ke arah

anak-anak dengan wajah sebal.

Di atas panggung Nyak mulai beraksi.

"Sodare-sodare, atraksi topeng monyet itu biasa

dilakukan dari rumah ke rumah, dan sekarang Nyak

merasa senang bisa ngamen di restoran gede. Cuma

sayangnya Nyak nggak berhasil ngedapatin monyetnya.

Tapi jangan khawatir, Sodare-sodare, aye udah dapat

penggantinya." Kemudian Nyak mempersilakan Boim

muncul.

"Ayo, Abang Boim pergi ke pasar ."

Boim enggan-engganan bergaya seperti monyet Sarimin pergi ke pasar. Tak disangka, pengunjung bule

pada ketawa ngakak dan kelihatan senang melihat atraksi gaya Boim itu, yang menurut mereka lebih konyol dari monyet asli. Apalagi sosok Boim emang udah

ngedukung untuk mendapat pujian itu. Hehehe, sadis

ih!

Mereka tertawa melihat polah-tingkah Boim. Dan

ketika Boim mau berhenti mereka malah teriak-teriak,

"More, more, moreee!"

"Ayo, sekarang jadi kodok!" teriak Nyak memerintah ke Boim, memenuhi permintaan penonton.

"Nyak...," ratap Boim dengan tatapan protes.

"Apa?"

"Teganya, teganya, teganyaaa ...!" teriak Boim ngikutin gayanya Meggi Z waktu nyanyi dangdut.

So pasti penonton jadi makin geer!

Sayangnya ada temen Boim yang melewatkan adegan

seru itu. Siapa? Ternyata si Gusur yang belakangan ini

83

lengket banget sama Cloudy. Tapi malam itu, Gusur

lagi duduk di trotoar depan kafe, termenung sendirian.

Gusur menunggu Cloudy yang janji mau dateng ke

acara topeng monyet itu. Tapi sampai malam, Cloudy

nggak muncul-muncul.

Setengah jam kemudian, tiba-tiba mobil Cloudy

muncul. Gusur langsung bangkit dan menyambut kedatangan mobil itu dengan gembira. Dengan senyum

manis, Cloudy turun dari mobil, dan menghampiri

Gusur.

"Ah, Gusur, sori ya, udah nunggu lama. Tadi ada

urusan, tapi sekarang sudah selesai, kok," kata Cloudy.

"Daku siap untuk menunggu kamu sekalipun sampai esok pagi ...," jawab Gusur.

"Oh, ya, kamu memang baik. Nasihat nasihat yang

kamu berikan pada saya banyak manfaatnya, sehingga

saya bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik.. .."

Kemudian dari dalam mobil, muncul seorang cowok tampan.

"Nah, ini Rico. Rico, kenalkan, ini Gusur yang sering menasihati saya, sehingga sekarang kita bisa kembali bersama-sama ...."

Rico menyalami tangan Gusur.

"Saya Rico, pacarnya Cloudy "

Setelah berjabatan tangan, tiba-tiba pandangan

mata Gusur jadi kacau, perutnya yang gendut berkukuruyuk, lalu tubuhnya pun oleng...

"Sur, kenapa kamu?" tanya Cloudy.

" Sur? Wah,

Sur...."

Gusur nggak dengar apa-apa lagi, tubuhnya oleng,

lalu jatuh ke aspal. Gedebum!

84

85

Si JAGO MOGOK

KE BALI naik pesawat? Kuno! Naik bis eksekutif yang

ada AC, toilet, serta tempat duduknya bisa disetel hingga menyerupai dipan? Itu lebih kuno lagi. Bagi temanteman yang mau ke Bali, tapi suka dengan sedikit

petualangan, ikutilah cara Boim dan Gusur ini. Naik

truk! Idih, apa enaknya? Yah, memang nggak ada enaknya. Selain gerahnya kayak di oven tukang singkong,

sampenya juga dijamin lama banget. Belum lagi badan

kamu jadi bau tengik dan gatel-gatel karena tidur di

bak truk. Tapi itulah yang dilakukan Boim dan Gusur.

Soalnya buat dua orang yang keuangannya selalu cekak

itu, naik truk klop banget. Murah meriah. Nggak pake

ongkos. Paling-paling sebagai bayarannya kamu cuma

disuruh mijitin pundak sopir truk, dari Jakarta sampe

Bali. Dan sekali-sekali, kalau truknya terjebak macet.

di jalan menanjak, kamu disuruh jadi ganjel ban truk.

Hehehe .

Yah, begitulah ceritanya, Gusur sama Boim memang

sudah sejak mungil punya cita-cita pengen ke. Bali. Tapi

86

cita-cita itu selalu kandas di tengah jalan. Soalnya, duit

dari mana? Boroboro deh ke Bali, ke Pulo Gadung aja

mereka mesti ngegadein celana kolot dulu buat ongkos.

Tapi karena keinginan untuk ke Bali sudah tidak

bisa dibendung lagi, suatu hari di musim liburan panjang, di tepi sebuah kali yang airnya butek kayak kuah

sayur cumi, Boim mengajukan ide ke Gusur.

"Sur, kalo kita cuma nunggu punya duit, gue yakin

kita nggak akan pernah bisa mewujudkan cita-cita kita

melancong ke Bali."

Gusur terperangah.

"Maksud dikau, Im?"

"Yah, kita harus nekat ke Bali sekarang juga. Punya

nggak punya duit."

Gusur bengong. Mencoba mencerna semua kalimat

Boim. Sampai akhirnya Gusur terpekik penuh vitalitas,

"Betul Im, ide yang dikau kemukakan itu sangat rasional. Kalau kita menunggu sampai punya uang banyak dulu, sampai mati pun kita tiada akan pernah pergi

ke Bali. Kita tiada bisa menunggu lebih lama lagi. Kita

harus berangkat sekarang juga! Trus Lupus dan temanteman yang lain kita ajak?"

"Lupus? Mana bisa dia diajak menderita kayak kita?

Nggak usah. Kita berdua aja. Nanti sesampai di Bali,

kita kirim kartu pos buat temen-temen di sini Mila,

Lulu, Bule, Vito... biar pada surprais!"

Sekali lagi Gusur memekik,

"Setuju! Ide dikau memang luar biasa!"

Demikianlah. Setelah menebok celengan semar

yang ternyata kosong, sehingga mereka masing-masing

hanya bermodalkan duit lima ribu perak, dan mendapat

doa restu dari orangtua masing-masing, Gusur dan

87

Boim pun berangkat. Untuk mengirit biaya perjalanan, mereka terpaksa nge-lezen truk di pinggir jalan

tol Cikampek. Tapi tentu aja nggak gampang. Padahal

untuk menarik perhatian si sopir truk, Boim udah setel

abis memamer-mamerkan pahanya yang ceking kayak

suling Sunda. Malah bukan simpati yang didapat, melainkan serempetan kejam dari si sopir truk. Akibatnya,

Boim pun terhumbalang ke rerumputan dan mukanya

besor-besot. Tapi dasar muke tembok, mereka nggak

kenai putus asa. Sementara Gusur terus berdoa di balik

semak-semak, Boim terus-terusan memamerkan pahanya ke sopir truk.

Setelah tiga hari tiga malam diguyur hujan api dan

diterjang angin bahorok, akhirnya doa Gusur dan jerih

payah Boim membuahkan hasil. Sebuah truk yang

akan mengangkut barang pecah-belah ke Bali bersedia

menampung mereka.

Mereka menjalani perjalanan yang panjang dan sangat melelahkan, bertualang sepanjang Pulau Jawa dan

menyeberangi Selat Bali. Punggung keduanya sudah

penuh garis-garis merah bekas kerokan lantaran masuk

angin. Namun akhirnya kedua makhluk yang memprihatinkan itu sampai juga di Bali. Di kiri-kanan mereka

tampak sawah bertingkat-tingkat dengan warna yang

hijau segar. Angin bertiup sejuk. Sopir truk menepikan

kendaraannya.

"Selamat datang di, Bali. Mulai sekarang kalian harus jalan sendiri. Dengan kaki sendiri. Saya bosen pada

kalian!" teriak si sopir sambil menurunkan Gusur dan

Boim dengan paksa. Tapi Gusur dan Boim sama sekali

nggak marah. Malah mereka segera memeluk si sopir

88

truk sebagai tanda terima kasih.

Sepeninggal si sopir truk, Gusur dan Boim langsung

bersujud dan mencium tanah Bali dengan penuh
Gone With The Gossip Lupus Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaan.

"Ah, akhirnya cita-cita gue nginjek tanah Bali kesampean juga," desah Boim penuh perasaan.

"Tapi kok tiada bulenya, Im? Bukannya Bali terkenal banyak bulenya?" sambut Gusur. Boim terperangah.

"Betul juga, Sur. Padahal gue udah nggak sabar pengen mraktekin bahasa Inggris gue! Mana si sopir truk

ngabur Padahal kan gue yang ngerokin dia dari Cirebon sampe Gili manuk waktu dia masuk angin."

"Daku malah sudah mendorong truknya dari Bondowoso sampai Banyuwangi waktu truknya mogok,"

timpal Gusur. Lalu Gusur tercenung sejenak.

"Tapi

daku pikir sopir itu benar, lm, kita memang harus mulai belajar berjalan dengan kaki kita sendiri."

Keduanya pun lalu berjalan menyusuri tanah Bali

yang indah. Sawah mengelilingi mereka. Sampai akhirnya mereka bersua sebuah jip merah yang dikendarai oleh seorang cewek bule yang mengenakan udeng

di kepalanya. Boim yang melihat lebih dulu langsung

menjerit histeris.

"Sur, liat! Ada bule. Stop, Sur. Stop!"

Boim dan Gusur secara agresif melambaikan tangannya, berusaha menyetop jip merah itu. Tapi jip

merah itu terus saja meluncur, tanpa sedikit pun memperhatikan Boim dan Gusur, seolah-olah keduanya hanyalah setumpukan kardus bekas.

"Bule sombong!" rutuk Gusur.

89

Rupanya makian Gusur didengar oleh si ceWek

bule. Kira-kira seratus meter dari Gusur dan Boim, si

cewek bule menghentikan jipnya.

"Sur, berenti, Sur,

jip itu berenti!" pekik Boim girang. Boim pun lalu

lari meninggalkan Gusur yang menemui kesulitan untuk lari. Tapi kurang dua langkah sampai ke tujuan, si

cewek bule menginjak pedal gasnya. Jip pun melesat

meninggalkan Boim.

"Ah, siale, gue kena tipu!" Boim tampak mangkel.

Rupanya si cewek bule cuma mau ngeledek Boim. Sebab tak lama kemudian dengan senyum teramat manis,

cewek itu memundurkan mobilnya, mendekati Boim

dan Gusur. Setelah dekat, baru terlihat bahwa tampang

cewek bule itu nggak beda jauh sama Sandra Bullock.

Gusur langsung menitikkan air liur. Bola mata Boim

bahkan nyaris meloncat keluar saking terpesonanya.

"Hello, where do you comefrom? I comefrom jakarta.

I am Gemini. What areyou?"sapa Boim ramah.

"I am Leo!" ucap Gusur sambil menggeram persis

singa. Si cewek bule terkesiap memandang dua makhluk antah berantah yang baru dilihatnya itu.

"You know I want to go to Kuta!"Boim menukas lagi.

"My name Gusur" sambung Gusur.

Cewek bule itu tak bereaksi sedikit pun. Mulutnya

terkunci. Setelah beberapa saat terpana, akhirnya si cewek bule ngomong juga.

My name is Belle! " cewek bule itu menyebut

namanya.

"Apa, belek?"

"Bukan, Belle. Nggak pake (k'. Bego lu ah, Sur!"

maki Boim.

90

Belle tersenyum seolah mudeng apa yang dikatakan

Boim. Ia lalu berkata lagi,

"I come from Aussie! My car

is running out of gasoline. Couldyou tell me where is the

nearest gas stasion? "

Boim dan Gusur saling pandang.

"Dia ngomong apa sih, Im?" tanya Gusur bego.

"Guoblok lo ah, dia nanya ,di mana pom bensin,"

jelas Boim bak seorang guide.

"Do you know where is it or not?" tanya Belle lagi.

"Yes, yes,there!"jawab Boim yakin. Lalu Gusur dan

Boim bersamaan menunjuk ke arah yang berbeda. Gusur ke kiri. Boim ke kanan.

Belle melongo. Lalu menghela napas.

"You want to

know where Kuta is?"

Boim dan Gusur mengangguk-angguk. Belle memberikan sebuah buku kuning yang penampilannya cocok sama penampilan si Boim, alias sama-sama kumuh

dan usang.

Boim dengan senyum sumringah menerima buku

kuning itu. Tapi begitu buku kuning berada di tangan

Boim, Belle langsung minggat tak berbekas.

"that will help you. Bye!" teriak Belle.

Boim dan Gusur kecewa setengah mati. Mereka lalu

main salah-salahan. Apalagi setelah tau buku kuning

cuma sebuah peta Bali berbahasa Inggris. Gusur hampir saja membuang peta berjudul South East Asia on

Shoestring, kalau Boim nggak buru-buru mencegahnya.

"Jangan dibuang, Sur. Siapa tau aja berguna!" teriak

Boim sambil mengambil peta itu dari tangan Gusur,

lalu memasukkannya ke ranselnya yang butut dan bau

91

kentut.

"Ape, lm? Elu udah sampe Bali? Astaga, Im, yang betul,

Im? Oh, syukur deh, Im, syukur. Enyak bangge, lm.

Akhirnye, dari tujuh turunan keluarge kite, ade juge

yang bise pegi ke Bali. Enyak yakin, kakek buyut lo

yang udah seratus taon mendem di lobang kubur juge

ikut bangge, lm...," celoteh nyak Boim riang di telepon

milik tetangganya.

Maklum, nyak Boim memang belum punya telepon. Jadi tiap kali dapat telepon, selalu numpang di

rumah tetangganya itu. Kalau cuma sekali dua kali sih

nggak apa. Tapi rupanya nyak Boim punya kebiasaan

buruk suka memberikan nomor telepon tetangganya

itu ke setiap orang yang dikenalnya, sambil tak lupa

berucap,

"Kalau ada apa-apa, hubungin aje aye di sini!"

Akibatnya, dalam sehari bisa tiga atau empat kali, bahkan pernah sehari lima kali telepon berdering di rumah

si tetangga mencari nyak Boim. Empat di antaranya

nagih utang. Jelas si tetangga jadi kelabakan. Tapi nyak

Boim cuek-cuek saja. Padahal si tetangga sudah protes

berat atas kebiasaan buruk nyak Boim itu.

"Im, pesen Nyak, lo kudu ati-ati di Bali. Jaga diri

yang baek. Jangan sampe lo mati kesruduk mobil. Sebab kalo lo mati, siape dong yang cerite-cerite soal Bali

ke Nyak. O, iye, lm, kalo entar pulang, jangan lupe

ye oleh-olehnye. Beliin Nyak barongsai ame tenunan

Lombok kalo lo kebetulan mampir ke Lom ...," celoteh

nyak Boim lagi.

Sampai di sini rupanya si tetangga udah nggak tahan lagi. Ia pun memutuskan hubungan telepon, dan

92

menggotong nyak Boim keluar.

Di wartel Bali, Boim terheran-heran karena mendadak hubungan teleponnya terputus.

"Kenapa, lm?" tanya Gusur demi melihat perubahan wajah Boim.

"Tau nih, mati!"

"Ya sudahlah, barangkali ibu kau sudah bosan bicara dengan kau!" putus Boim sambil menarik Boim

dari wartel.

Keduanya kembali menyusuri sudut-sudut kora Bali

senti demi senti. Sampai akhirnya mereka tiba di sebatang pohon rindang. Gusur yang nggak kuat jalan

jauh, mulai merengek pada Boim.

"Im, kita istirahat dulu. Daku lelah!"

Boim sebetulnya mau menolak permintaan Gusur,

tapi Gusur sudah keburu ngejoprak di bawah pohon

dengan udel menuding ke langit.

"Ah, payah lo, Sur!" gerutu Boim yang mau tak mau

juga ikut istirahat di situ.

Angin bertiup semilir. Dan suara gamelan Bali yang

merdu terdengar dari balik pegunungan. Tapi baru

saja Boim dan Gusur mau memejamkan mata, tiba-tiba tampak meluncur jip warna biru metalik. Gusur

buru buru menyuruh Boim menyetop jip itu. Boim

langsung lompat ke tengah jalan raya, menghadang jip

yang meluncur deras.

"Hop, hop...!" teriak Boim histeris sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya. Untung sebelum menghancurleburkan tubuh Boim, jip itu berhasil

dihentikan, itu pun setelah pengemudinya menginjak

rem kuat-kuat. Dari atas jip mendarat seorang pria ber

93

wajah khas Bali, berpakaian khas Bali, bernama Ngurah

Tegeg. Setelah menggulung kain parasutnya, Ngurah

Tegeg menghampiri Boim dan langsung marah-marah

dengan hurup "t, yang kentel khas Bali.

"Hei, Sodara! Sodara brengsek, ya? Garagara sodara

nyetop-nyetop, mobil saya jadi mogok. Ayo dorong!"

Gusur dan Boim bengong. Ini orang dipanggil

supaya bisa ditumpangin, sekarang dia yang malah

nyuruh-nyuruh dorong. Gusur dan Boim main sikut-sikutan. Mereka berembuk sejenak. Akhirnya

demi amannya mereka pun menuruti keinginan N gurah Tegeg. Jadilah Gusur dan Boim mendorong mobil

Ngurah Tegeg sampai bengkel yang bernama TIADA

HARI TANPA MOGOK, yang dikelola oleh Putu Bagus sekeluarga, bekas joki karapan sapi!

Atas permintaan Ngurah Tegeg, jip lalu dibetulkan

oleh Putu dengan cara menutupnya pakai kain basah.

Setelah mengeluarkan asap tebal bak api unggun Indian, tak lama kemudian mesin jip jadi dingin kembali,

dan siap dihidupkan. Dengan jip itulah Ngurah Tegeg,

sebagai tanda terima kasih, mengajak Gusur dan Boim

mengelilingi Bali.

Sepanjang perjalanan Gusur dan Boim bernyanyi

riang. Lagunya yang pernah nge-hit di masa lalu, Ande-Ande Lumut. Gusur suara satu, Boim suara anjing

kejepit. Walhasil, walau terdengar sangat sumbang,

Gusur dan Boim tampak bahagia sekali. Apalagi sesekali angin mengempas rambut mereka. Sehingga bau

daki dan bau keringat mereka pun hilang. terbawa angin. Sementara Ngurah Tegeg mengumandangkan lagu

yang pernah disenandungkan Titiek Sandhora, 'Sijago

94

95

mogok namanya kuberikan. Keluar bengkel, sebulan masuke lagi....

"

Lagi senang-senangnya mereka menikmati perjalanan itu, mendadak suara mesin terdengar seperti orang

batuk. Ternyata memang betul, sodara-sodara, jip itu

mogok lagi. Tapi Ngurah Tegeg dengan senyum lebar,

melebihi wajahnya, berusaha menenangkan Boim dan

Gusur.

"Tenang, Sodara! Ini malapetaka yang jarang terjadi. Jadi saya persilakan dengan hormat, Sodara mendorongnya lagi!"

Gusur dan Boim jelas sebel berat. Tapi mereka nggak bisa proftes. Apalagi mereka merasa utang budi sama

Ngurah Tegeg, diajak muter muterin Bali. Tapi kali ini

Gusur dan Boim beruntung. Karena selagi mereka seru-serunya mendorong jip Ngurah Tegeg sampai keringat mereka muncrat membasahi tanah Bali, mendadak

muncul Belle, lengkap dengan jipnya. Tanpa basa-basi

lagi, Gusur segera menghambat laju jip Belle dengan

cara telentang di jalan raya. Ciiit... jip Belle berhenti mendadak. Boim langsung mencolot ke dalam jip

Belle. Gusur pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan, ia ikuran hengkang ke atas jip Belle. Ngurah Tegeg

yang merasa bakal di tinggal minggat, kontan teriak-teriak,

"He, Sodara, saya kok mau ditinggal!"

Tapi Gusur dan Boim nggak peduli. Mereka malah

senyum-senyum ngeliat Ngurah Tegeg nyap-nyap

sendirian. Sementara itu, rupanya Belle tak menghendaki kehadiran Gusur dan Boim di jipnya. Dengan

gemes Belle menginjak pedal koplingnya, dan melepasnya secara mendadak setelah menekan pedal gas

96

keras-keras. Akibatnya Gusur dan Boim terhumbalang

ke jalan raya. Badan mereka besot-besot. Sedang Belle

langsung minggat meninggalkan Gusur dan Boim.
Gone With The Gossip Lupus Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua mutan itu jelas kecewa. Tapi Ngurah Tegeg

malah senang.

"Toris, no good! Lebih baik bersama saya. Kita kan

saudara. Hidup Indonesia! Oya, perkenalkan namaku

Ngurah Tegeg. Sodara siapa?" ujar Ngurah Tegeg.

"Daku Gusur."

"Gue Boim."

"Oke, Sodara Gusur dan Boim, kita sekarang sudah

kenalan lebih dekat. Sekarang... ayo dorong!" cerocos

Ngurah Tegeg sambil nyengir.

Nggak ada pilihan bagi Gusur dan Boim. Mereka

pun terpaksa mendorong mobil Ngurah Tegeg kembali.

Setelah persediaan keringat Gusur dan Boim tercurah habis, setelah semua kata-kata makian keluar

dari mulut Gusur dan Boim, dan setelah semua bagian

badan kedua anak itu pegel-pegel, akhirnya jip Ngurah Tegeg hidup kembali. Suaranya menderam. Asap

mengepul ngepul tebal. Gusur dan Boim buru-buru

menaiki jip. Dan jip itu pun kembali melaju menyusuri kota Bali. Sepanjang perjalanan Gusur, Boim, dan

Ngurah Tegeg terus mengumandangkan lagu Si jago

Mogok.

Dan betul juga, pas sampai pada bait 'mogok lagi,

mogok lagi...!secara otomatis jip Ngurah Tegeg betul-betul mogok lagi. Gusur dan Boim melongo. Muka

mereka pucat. Tapi Ngurah Tegeg malah tersenyum

melihat kedua sobat barunya.

"Elo jangan macem-macem, ya! Gue nggak mau

97

diperkosa terus-terusan. Gue nggak mau dorong lagi.

Gara-gara jip lo yang butut ini, waktu liburan gue jadi

ilang lima jam lebih!" maki Boim sengit.

"Daripada daku dibuat sengasara oleh barang rongsokan ini, lebih baik daku mencari tumpangan lain,

Pak Ngurah!" timpal Gusur nggak kalah sengitnya.

"emang, Sodara. Montor ini pasti akan jalan lagi.

Coba dorong! Dorong gum." Ngurah Tegeg berusaha

merayu Gusur dan Boim. Tapi rupanya hati kedua

anak itu sudah terkunci rapat. Dengan kesal Gusur dan

Boim meraih ransel mereka, dan bergerak meninggalkan Ngurah Tegeg. Ngurah Tegeg berusaha mencegah .

"Jangan salah paham, Sobat-sobat, ini hanya joking. Sebenarnya montor ini masih tokcer!" kata Ngurah

Tegeg sembari menghidupkan jipnya. Betul juga, sekali kontak jip butut itu pun langsung bunyi. Suaranya

keras seperti anak baru lahir. Gusur dan Boim saling

pandang. Lalu kembali meletakkan ranselnya.

"Terus terang, bahasa Inggrisnya to be honest, saya

senang dengan Sodara berdua. Se karang Sodara mau

ke mana, biar saya antar!"

"Kuta! Kuta!" seru Boim dan Gusur girang.

"Baik saya antar Sodara ke sana."

Jip pun lalu melaju dengan lincahnya membawa

Boim dan Gusur. Tak lama, mereka sudah memasuki

kawasan Pantai Kuta. Keempat ban jip berhenti di antara gundukan pasir.

Gusur dan Boim lalu turun.

"Ini mah kayak kita di California ya, Sur!" gumam

Boim saking takjubnya memandang suasana sekitar.

Gusur yang lagi repot mengurusi ranselnya, cuma

98

menggumam. Ngurah Tegeg kembali memperlihatkan

senyumnya yang lebar.

"Di sini kalian harus hati-hati, ya? Rame sekali kalau malam. Saya tak bisa terus menemani Sodara. Kalau

Sodara kebetulan ke Ubud, harap mampir! Saya punya

galeri di Banjar Teges, Peliatan. Dekat galerinya Nyoman Sumertha."

Boim dan Gusur mengangguk girang.

"Oke, Sodara, sampai di sini kiranya petualangan

kita. Ingat, jika ke Ubud mampirlah ke galeri saya, saya

pasti tidak akan lupa sama kalian."

Boim dan Gusur menitikkan air mata.

"Terima kasih, Beli! thank you very much," tukas

Boim sambil bersalaman dengan Ngurah Tegeg.

"Pak Tegeg, daku ada pertanyaan," ujar Gusur sambil mengeluarkan buku kuning pemberian Belle.

"Apa

buku ini ada gunanya?"

Ngurah Tegeg langsung paham buku yang dimaksud Gusur.

"0, ini namanya buku panduan untuk

jalan-jalan ke Bali bagi yang berkantong cekak. Toris

banyak yang bawa. Dengan buku ini niscaya kalian

akan tetap bahagia walau ongkos kalian sedikit!"

Boim dan Gusur senang. Lalu secara berbarengan

keduanya memeluk Ngurah Tegeg erat sekali.

Sepeninggal Ngurah Tegeg, kedua tokoh kita itu

pun melaju ke pantai. Melihat orang berlalu lalang, dan

ada beberapa yang pakai bikini, Boim jadi ingat serial

Baywatch. Boim ngebayangin dirinya jadi David Hasselhold, sedang Gusur malah membayangkan dirinya

sebagai Pamela Anderson. Mereka berdua baru gelagapan ketika berjalan saling berpelukan.

99

Mereka lalu rebah-rebahan di pantai, menikmati

matahari yang hampir tenggelam.

"Indah ya, Im," celetuk Gusur.

"Iya. Di Jakarta mana bisa kita melihat matahari

tenggelam kayak gini. Sur, rasanya mati juga kita nggak

nyesel, sebab udah bisa ngeliat Bali," sambut Boim.

"Tapi sayang ya, lm?"

"Sayang kenapa, Sur?" Boim heran.

"Lupus, Mila, Lulu, dan anak-anak lain nggak bisa

ikut!"

"Yah, salahnya sendiri, mereka nggak mau susah!"

tukas Boim.

Saat itu Boim dan Gusur sama sekali nggak tau kalau Lupus, Mila, dan Lulu sebetulnya juga lagi ke Bali.

Mereka juga pergi secara diam-diam. Yaitu, supaya Gusur dan Boim nggak ikut! Kok bisa? Duit dari mana? Si

Lulu dan Mila ternyata menang kuis yang ditayangkan

di TV swasta. Sedang Lupus, dia dapet sponsor dari

majalah remaja tempat dia magang jadi wartawan freelance. Dia disuruh memburu pasangan kondang Val

Kilmer dan Cindy Crawford yang katanya berlibur ke

Bali.

Nggak seperti Boim, mereka bertiga menginap di

hotel mewah di Nusa Dua.

Apa mereka bisa ketemu? Ikuti terus .

100

101

6

MEMBURU VAL KILMER &

CINDY CRAWFORD

MALAM sudah larut. Dan seperti di kota-kota yang

lain, di Bali kalau malam ternyata gelap juga. Apalagi

pas lampu-lampu pada dimatiin.

Setelah seharian penuh berjalan, akhirnya Gusur

dan Boim kecapekan juga. Mereka ngaso di emper

toko, di depan sebuah warung mi. Bergabung dengan

turis-turis yang ternyata sama dekilnya dengan mereka.

Gusur dan Boim lalu makan mi pake telor. Rasanya

nikmat sekali, setelah sepanjang hari perut tidak diisi.

Sambil melihat-lihat bule yang nongkrong di situ,

Boim berujar "Walau kita makan di emperan, bukan

berarti kita pengemis, Sur. Kita adalah dua cowok hebat

yang bisa me naklukkan Bali dengan duit lima ribu."

"Empat ribu lima ratus. Yang dua ribu daku belikan

Salonpas untuk sopir. Yang seribu untuk parkir di Pekalongan. Dan sisanya daku belikan minyak kayu putih

untuk kenek!"

Sambil menepuk-nepuk nyamuk yang kadang

menggigiti kaki-kaki mereka, Boim dan Gusur terus

makan dengan lahapnya. Mereka sama sekali nggak

mikirin di mana ntar malem bisa tidur. Kontras banget dengan keadaan Mila, Lulu, dan Lupus yang dapet

102

kamar standar di hotel bintang lima. Lulu langsung punya cita-cita mau jadi orang kaya, ketika ia berendam

di bathtub. Sementara Mila duduk di teras hotel, yang

menghadap ke pemandangan laut lepas. Wajahnya keliatan bahagia sekali. Segudang rencana sudah disusun

matang. Antara lain, mau pijet sama luluran di ruang

Spa, mau berenang, berjemur, ngeborong baju-baju di

Kuta.

"Pokoknya liburan ini gue mau ngemanjain diri,

trus mau buang buang duit. Mumpung bisa ke Bali."

Lantas, apa yang dilakukan Lupus? Entah karena

pengaruh suasana Bali atau karena enggak enak udah

dibayarin ke Bali, tu anak bukannya menikmati liburan, tapi malah sibuk nyari info untuk mengejar siapa aja selebriti yang nginep di Hotel Nusa Dua Beach

itu. Ceritanya pas Lulu dan Mila menang kuis, dan diem-diem mau ke Bali berduaan, Mami agak keberatan.

Soalnya cewek dua-duanya. Lulu lantas bilang ke Lupus, Lupus boleh ikut, boleh pake fasilitas hotel milik

Mila dan Lulu, asal ongkos pesawat sama sewa extra

bed-nya ditanggung sendiri. Lupus jelas nggak punya duit sebanyak itu dong. Nebok celengan, palingan

cuma cukup buat biaya makan makan doang. Akhirnya

Lupus nekat nemuin Mas Denny MR di majalah HAI,

minta di sponsori tiket bolak-balik ke Bali. Lupus janji mau bikin tulisan. Nggak diduga, nggak di sangka,

gayung pun bersambut. Mas Denny emang lagi mau

nugasin orang untuk ngejar para selebriti internasional

yang suka berlibur di Bali. Usul Lupus pun disetujui.

Jadilah mereka bertiga berangkat ke Bali.

Ketika check in tadi, Lupus sempet nanya ke resepsionis, siapa aja selebriti dunia yang suka menginap di

103

Nusa Dua itu.

"0, banyak, Dik. Mick Jagger pernah. David Bowie juga. Dan sekarang, lagi ada Val Kilmer dan Cindy

Crawford, mereka menyewa president suite room yang

paling mewah."

"Oya?" Lupus kaget.

"Boleh tau kamar berapa?"

Dan ketika Lupus lagi mengendap-endap di depan kamar president suite-room, sambil menempelkan kupingnya di depan pintu, tiba tiba ada suara hardikan di

belakangnya.

"Hei, kenapa nguping-nguping?"

Lupus yang merasa salah, kontan gelagapan. Ia menoleh. Seorang pria Bali, berkulit hitam, berkacamata

gelap, berdiri di belakangnya sambil bertolak pinggang.

Ia bertopi baret seperti yang biasa dipakai Putu Wijaya,

memakai rompi, membawa kamera dan notes kecil.

"S-sori, Oom, sori," ujar Lupus sambil menerka-nerka, siapa gerangan pria ini? Dari potongannya,

mustahil dia sekuriti atau pengawal Val dan Cindy.

Pria itu menurunkan kacamatanya, lalu membentak

lagi,

"Nggak pakai sori-sorian. Ayo, pergi sana! Lain kali

ingat, jangan nguping nguping pembicaraan" orang!"

Lupus pergi, tapi ia masih penasaran. Ia berusaha

mengintai dari balik tembok. Ternyata, setelah dikiranya Lupus sudah pergi, pria itu tersenyum, lalu mengeluarkan stetoskop dari kantongnya, dan segera menempelkannya ke pintu. jelas ia juga berusaha menguping

pembicaraan orang yang di dalam. Lupus jelas jengkel,

lalu balik menghardik.

"Hei, kok sekarang jadi situ yang nguping?" dam

104

prat Lupus.

Orang itu terperanjat, lalu cengengesan.

"Kalau

kamu mau nguping juga, ayo, kita sama sama nguping!"
Gone With The Gossip Lupus Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tawaran Ketut Riang disambut baik oleh Lupus. Iapun ikut menempelkan kupingnya di daun pintu untuk mendengarkan apa yang terjadi di balik kamar. Lupus mengeluarkan notes dan bolpoin dari kantongnya.

Demikian juga pria itu.

"Mas wartawan juga, ya?" tanya Lupus.

Pria itu menatap Lupus dengan penuh curiga.

"Tepat sekali. Nama saya Ketut Riang. Adik dari

tabloid mana?"

"Saya freelance majalah remaja di Jakarta. Nama

saya Lupus. Mas wartawan gosip?"

"Jelas dong. Kalo tidak, mana mungkin saya nguping-nguping begini? Saya dari tabloid gosip terbitan

Bali. Rupanya berita Val Kilmer dan Cindy Crawford

sudah sampai ke Jakarta, ya?"

Sejak itu, Lupus dan Ketut Riang jadi akrab.

Besoknya, pagi-pagi sekali Ketut Riang sudah muncul di hotel, menemui Lupus.

"Ada berita bagus, teman.

Disinyalir hubungan mereka sedang bermasalah. Mereka tadi breakfast bareng di kamar hotelnya. Menurut

saksi mata, mereka tidak berpegangan tangan," tukas

Ketut Riang. Mimiknya serius bak orang kena malaria.

Lupus mengernyitkan keningnya.

"Lantas?"

"Sudah!"

"Apanya yang bagus?"

"Apakah itu tidak menandakan hubungan mereka

105

sudah retak?" . . .

Beli, di mana-mana yang namanya makan pagi,

nggak perlu pegang-pegangan tangan!" maki Lupus

sambil ngeloyor, menghampiri Lulu dan Mila yang sedang berjemur. Ketut Riang melongo. Melongo khas

wartawan gosip yang abis didamprat narasumbernya

karena beritanya mengada-ada.

"Pus, ntar siang lo mau ikut kita jalan-jalan ke Kuta nggak?" tanya Mila sambil mengoleskan krim ke kakinya.

"Sebetulnya sih pengen, Mil. Cuma gue nggak bisa

ninggalin job gue. Gue belum dapet apa apa tentang

Val dan Cindy," jawab Lupus.

"Tapi kan berita bahwa Cindy Crawford dan Val

Kilmer nginep di sini belum tentu bener!" ujar Lulu. .

"Iya, Pus, barangkali si resepsionis bohong. Masa

artis sekaliber begitu mau datang ke Bali?" timpal Mila.

"Ini Bali, Mil, Lu, segala apa bisa terjadi di sini. Dan

lagi soal Cindy itu, gue udah liat kaki dan sepatunya

tadi malam."

"Apa?" Lulu dan Mila langsung terpekik, dengan

mimik seperti orang bego betulan. Padahal sebetulnya

mereka memang bego. Lupus ngakak.

"Nah, sekarang lo baru yakin, kan?" ejek Lupus

sambil buru-buru ngeloyor ke kamarnya.

"Mo ke

mana, Pus?" tanya Mila setengah berteriak.

"Biasa, nulis laporan hasil pandangan mata hari ini."

"Cerita dulu, gimana tadi malam lo bisa ngeliat kakinya Cindy?" tanya Lulu.

Lupus tersenyum, lalu menoleh ke kanan dan ke

kiri.

"Tapi jangan cerita-cerita sama si wartawan gosip

106

itu, ya? Ini persaingan, dalam memburu berita. Soalnya

konon udah seminggu dia di sini, belum dapet apa-apa

"Iye! Iye!"

"Begini. Tadi malem kan gue penasaran mau ngintip ke lubang di bawah pintu kamar mereka. Tiba-tiba

pas gue lagi tiarap, pintu terbuka. Muncul kaki Cindy

yang putih mulus, bersepatu warna keemasan. Kayaknya Cindy mau pergi. Tapi belum sempat gue mendongak, pintu sudah dibanting. Ditutup lagi. Begitu. Udah

ah, gue mau nulis laporan pandangan mata dulu."

"Begitu doang?"

Lupus mengangguk, lalu pergi.

Lulu bergumam,

"Heran, tu anak bener bener nggak

tau gimana seneng-seneng. Di Bali bukannya piknik,

malah seharian mengintai kamarnya Cindy."

"Udah ah, jangan ngurusin orang. Sekarang gimana

sama rencana kita? Ke mana aja rute siang ini?" tukas

Mila sambil meraih orange juice-nya.

Lulu nggak langsung menjawab. Matanya menerawang memandang keindahan kolam hotel.

"Gue sebetulnya pengen ber-bungee jumping, rafting, parasailing,

juga pengen ngeborong baju-baju se-Kuta. Tapi apa

daya? Duit gue nggak cukup," tukas lulu akhirnya.

Lebih mirip desahan. Mila menatap Lulu tajam.

"Hei, kenapa sih lo? Kita udah bisa tinggal di hotel

ini gratis, dinner gratis, minum gratis, ke sauna gratis,

juga udah cukup. Masa lo mau minta lebih dari itu?

Mau jadi cewek apa lo?"

"Yah, setelah ngeliat semua keindahan, gue mau jadi

sesuatu.

107

"Pecinta alam?" tanya Mila.

Lulu menggeleng.

"Tukang bangun hotel?" tanya Mila lagi.

Lulu menggeleng lagi.

"Lantas lo mau jadi apa?"

"Orang kaya!" tukas Lulu menjawab pertanyaan

Mila yang udah campur emosi itu.

"Lu, di dunia ini memang banyak cewek matre, tapi

kematrean lo udah parah banget!" protes Mila.

Lulu tersenyum tipis, nyaris mencibir.

"Menurut

gue wajar-wajar aja cewek semiskin gue punya pikiran

matre. Elo mungkin udah agak enak sama kondisi lo sekarang. Elo punya kafe, udah bisa ngegaji Boim, Gusur,

Lupus. Tapi gue?" gugat Lulu kemudian.

"Ah, gue waktu masih kayak lo juga nggak matre,"

tangkis Mila.

"Matre!" tuding Lulu.

"Nggak!"

"Matre!"

Mila diam.

Mereka saling pandang dengan mata yang sama-sama merah. Mila bicara lagi dengan nada suara bergetar,

"Kenapa sih lo ngebentak gue kayak gitu?"

Lulu tersadar kalau kelakuannya tadi sudah menyakiti Mila. Dengan perasaan nggak enak Lulu memegang tangan Mila.

"Maaf, Mil, gue khilaf. Gue emang

nggak boleh ngomong begitu."

"Ah, gue kok yang salah. Gue duluan yang nuduh

lo matre!"

"Nggak, Mil, gue yang salah!"

"Nggak, gue yang salah!"

108

"Gue yang salah!"

"Gue!"

"Gue!"

Dan byur! Adu mulut itu pun akhirnya berakhir

ketika sekuriti hotel menyemplungkan mereka ke kolam, karena dianggap mengacaukan keamanan.

"Sesama cewek matre mending nyebur aje " ujar

si sekuriti.

Sengatan matahari yang panas membangunkan kedua

makhluk ajaib yang tertidur di bawah payung-payung

besar yang ada di Pantai Kuta. Ya, semalam Gusur dan

Boim langsung ngegeletak begitu saja di tepi pantai.

Gusur mengucek-ucek mata, sedang Boim menguap

lebar. Suara debur ombak dan teriakan anak-anak yang

bermain di tepi pantai terdengar di kejauhan. Boim melihat beberapa bule berjemur sambil membaca novel.

"Kalau saja kita kaya, pasti nasib kita tiada begini,

Im." Gusur bangkit dengan wajah letih.

"Gue paling nggak suka sama orang yang suka

berkhayal. Engkong lo kan pernah bilang, kita kudu

nyukurin nikmat yang udah kita dapet. Jangan cuma

ngeliat kekurangan kita. Lagian gini-gini juga kita masih lebih hebat. Lupus, Mila, Lulu belon tentu bisa kayak kita," ujar Boim sambil menikmati pemandangan di

tepi laut.

Gusur menatap sobatnya, takjub.

"Omongan dikau itu tadi benar adanya, Im. Daku

salut punya teman seperti dikau. Walau kecil, hitam

dekil dan bau, tapi punya mental kuat. Daku yakin

dikau akan tetap seperti ini.. Miskin, tapi punya se

109

mangat untuk hidup."

Keduanya lalu diam. Mereka terus melangkah

menyusuri tanah Bali. Akhirnya mereka sampai di sebuah tempat teduh dekat Pantai Legian. Mereka duduk.

Memandang laut yang ber gelora. Gusur menyeka keringatnya yang segede-gede bola bekel. Boim mengeluarkan se lembar postcard dari saku bajunya.

"Sur, gue mau kirim ini ke Lupus, Mila, sama Lulu.

Kira-kira apa ya kalimatnya?"

"Begini saja, lm. Lupus, Mila, dan Lulu, sungguh

rugi kalian. Kami hidup bahagia di Bali. Sedang kalian

tetap sengsara di jakarta "

"Hm, bagus juga ide lo, Sur."

Boim pun langsung menulis. Setelah selesai, dan

memasukkan postcard tersebut ke bus surat, Boim dan

Gusur kembali melanjutkan perjalanan mereka. Begitu

melewati depan jalan Raya Kuta, mereka melihat sebuah toko, yang judulnya Pabrik kata-kata Joger. Gusur

mengajak masuk, tapi Boim ogah.

"Nggak punya duit aja pake acara mau masuk segala!" sungut Boim.

"Im, tapi tulisannya Belanja Nggak Belanja, Tetap

Thank You. Kita masuk aja, Im. Pasti seru deh."

Boim tadinya bersikeras nggak mau masuk. Tapi

begitu dia ngeliat ada cewek cakep sendirian masuk ke

dalam toko, dengan tak sabar Boim langsung menarik

tangan Gusur, masuk ke toko.

Di dalam, ternyata cewek cantik itu masuk ke ruang

khusus ber-AC yang menjual kaoskaos. Ruang itu agak

dibedakan dengan ruangan di depannya yang menjual

kerajinan Bali. Ketika Boim dan Gusur mau masuk ke

110

ruang jual kaos, seorang penjaga menghadang mereka

sambil tersenyum dan memandang ke sepatu Boim dan

Gusur yang dekil.

"Tolong sepatunya diceraikan dulu,"

pinta si penjaga.

Boim dan Gusur melongo.

"Diceraikan ?"

"Ya, maksudnya dilepas, gitu."

Boim ngotot.

"Nggak mau. Ini sepatu gua satu-satunya selama di Bali, masa suruh diceraikan?" Terjadi

keributan kecil. Tak lama kemudian muncul seorang

pria bertampang lucu, berbadan gemuk, dan berambut

gondrong. Rambutnya diiket model pendekar silat.

"Sabar, sabar, di sini anti keributan, jadi jangan

ribut, ya? Kalau mau melucu boleh!" tukas si orang gemuk yang mengaku bernama Pak Joger, pemilik toko

itu.
Gone With The Gossip Lupus Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gimana nggak ribut, masa gue disuruh menceraikan

sepatu?" sembur Boim masih kesal.

"Ya, cukup talak satu saja. Kan nanti kalau sudah

keluar, bisa dipakai lagi. Kalau mau masuk ruangjualan

kaos, memang begitu peraturannya. Liat tuh, yang lain

juga menceraikan sepatunya!"

"Nggak mau!" Boim tetap berkeras.

"Ya udah, kalau nggak mau kalian ke ruang di belakang aja. Di sana ada ruang VIP, Very Iseng Person,"

saran si pemilik Joget.

"Di sana sepatu tak perlu diceraikan."

"Di sana tidak usah buka sepatu?" celetuk Gusur.

"Tidak. Tapi harus buka celana!" kata si pemilik

Joget sambil nyengir, dan masuk.

Boim sama Gusur bengong.

111

Tak lama wajah jenaka Pak Joget muncul lagi.

"just

joking. Silakan ke belakang tanpa harus menceraikan

sepatu dan celana. Tetapi dilarang tertawa melebihi lebar wajah Saudara sendiri."

***

Lupus menyisir rambutnya, memancungkan jambulnya pakai dua jari. Mulutnya penuh permen karet. Di

kamar Lupus itu, Lulu juga ikutan nimbrung. Lulu

sibuk ngeliat-liat alat alat tulis Lupus. Ada tape kecil

di situ. Iseng, Lulu memencet tombol play. Tak lama

kemudian terdengar suara Lupus.

"Saat makan malam ternyata Cindy dan Wzl tidak

saling berpegangan tangan. Itu menandakan hubungan

mereka mungkin retak . . . .

"

Lupus yang lagi seru nyisir, kontan kelabakan mendengar suaranya sendiri. Ia langsung merampas apa

yang dipegang Lulu.

"Ih, jail amat sih?" tukas Lupus sebel.

Lulu malah mesem.

"Pus, emang lo udah ketemu

Val sama Cindy?"

"Belon!" jawab Lupus pendek, sambil menyimpan

tape-nya.

"Gue punya tips supaya bisa mengetahui apa yang

terjadi di kamar dua selebritis itu dengan mudah,

Pus..."

"Sok tau, lo!"

"Nggak percaya? Dengerin saran gue. Kalo lo mau

tau apa yang terjadi di kamar itu, lo bisa cek dari

sampah mereka."

112

Lupus menatap Lulu heran.

"Sebab sampah yang mereka buang merupakan sisa-sisa perbuatan mereka kemarin malamnya. Nah, dari

situ lo bisa ngembangin cerita. Kalo ada tisu dengan

bercak lipstik, berarti Val nggak demen sama lipstik

yang dipakai Cindy. Kalau ada bungkus cokelat, berarti

Cindy itu doyan ngemil. Jadi untuk mengetahui hidup

seseorang, bisa dilihat dari sampah yang dibuangnya."

"Masa sih, Lu?"

"Iya. Buktinya sampah yang lo buang beda sama

sampah yang gue buang. Itu menandakan karakter

kita nggak sama!" Begitu Lulu selesai ngomong, Lupus

langsung keluar kamar sambil menyambar tapenya.

"Thanks, Lu, tipsnya

Dan tak lama kemudian, Lupus terlihat sibuk

mengintai dari semak-semak. Menunggu munculnya sang pembersih kamar yang sedang membersihkan

ruang Val dan Cindy. Tak lama kemudian, sang pembersih kamar keluar sambil menenteng tempat sampah.

Lupus buru-buru mendekatinya, dan mengutarakan

niatnya untuk mengambil sampah itu. Bukannya menolak, sang pembersih kamar malah senang. Ia menyerahkan tempat sampah itu ke Lupus.

Lupus pergi dengan perasaan senang. Tapi rupanya

kelakuan Lupus itu diintai oleh Ketut Riang. Wartawan

gosip itu pun buru-buru menghampiri sang pembersih

kamar.

"Boleh tanya, Pak, buat apa dia mengambil sampah

itu?" tanya Ketut Riang.

"Oh, mungkin dia ingin menulis tentang sampah,

Pak, saya juga heran," jawab sang pembersih kamar.

Ketut Riang berpikir keras. Matanya naik turun,

alisnya juga. Dia lalu mengangguk angguk sambil

mengelus jenggotnya yang belum tumbuh.

Di tempat lain, Lulu dan Mila sedang duduk duduk

di tepi pantai, menunggu sunset. Mereka juga baru saja

selesai menulis postcard untuk Boim dan Gusur di Jakarta.

"Yuk, Lu. Kita ke bagian pengiriman surat,ajak

Mila.

"Ah, lo aja deh. Gue nunggu di sini. Lo abis itu ke

sini lagi, kan ?"

"Gue mau ke kamar dulu, Lu. Mandi."

Mila langsung pergi. Tapi Lulu tetap bertahan di

situ. Lulu ingin menyaksikan deburan ombak Pantai

Nusa Dua sampai kenyang.

Lagi asyik-asyiknya terbawa angan, mendadak

muncul Fabio, cowok bule bertampang Stephen Baldwin dan berbulu dada banyak sekali. Lulu sudah berkenalan dengannya waktu check in.

" What are you thinking a bout?" tanya si bule.

"many... one is being a rich woman!" jawab lulu

setelah berhasil menguasai rasa kagetnya.

"Why?" tanya Fabio lagi.

"Sebab Lulu cuma bisa ngerem di hotel. Padahal

Lulu kan juga ingin nyoba bungeejumping, parasailing,

rafting, shopping, ngeliat monyet Sangeh, yah pokoknya

macam-macam deh," tukas Lulu dengan suara serak.

Seperti mau nangis. Fabio memandang Lulu sebentar.

"Oke, kalau begitu kamu saya ajak ke tempat bunga?

jumping di Kuta," ajak si bule yang ternyata fasih juga

115

berbahasa Indonesia.

"Yang bener?" tanya Lulu nggak percaya, tapi Juga

nggak sanggup menyembunyikan rasa gembiranya.

"Sure" jawab Fabio sambil tersenyum.

"I will treat

yau for one jump, tukas Fabio lagi.

Lulu terpesona, lalu bertanya,

"Kenapa? Kenapa kamu mau bayarin Lulu? Padahal

Lulu kan nggak nguntungin kamu?"

"Because i am rich man. Is it a good reason?" Bule itu

tersenyum.

Entah Lulu mau ngomong apa lagi. Yang jelas saat

itu Lulu merasa jadi orang yang paling bahagia di Pulau

Bali.

"Eh, tapi Lulu ajak temen Lulu dulu, ya?"

Bule itu mengangguk.

Lulu berlari, menelepon ke kamar. Dia menunggu

cukup lama, tapi telepon nggak di angkat-angkat. Di

kamar, ternyata Mila lagi berendam di bathtub sambil

mendengarkan walkman. Mila bernyanyi keras-keras

mengikuti lagu. Dia sama sekali nggak mendengar telepon yang berdering, yang dipararel ke kamar mandi

dan terletak cuma setengah meter dari tempatnya berendam.

Lulu jengkel juga, menyangka Mila tak ada di kamar.

"Gimana? Jadi kita pergi?" tanya si bule.

Lulu mengangguk.

"Temen gue kayaknya nggak

ada. Yuk deh!"

Mereka pun pergi

117

7

REUNI DI BALI

DI SEBUAH lorong hotel yang sepi, Lupus langsung

menumpahkan isi tempat sampah yang diduganya milik Val dan Cindy. Udara di Bali sore itu mulai terasa

sejuk, dan Lupus masih saja terobsesi oleh sampah itu.

Setelah diteliti dengan cermat satu per satu, Lupus akhirnya menemukan sejumlah sobekan kertas. Ia segera

mencomot tape mungilnya, dan mulai bicara di situ.

"Val dan Cindy ternyata cuma memproduksi

sampah kering. Kebanyakan kertas. Nggak di jumpai

plastik atau sejenisnya. Apalagi daun bekas bungkus

ketoprak. Dan yang penting, tak ada sedikit pun tanda-tanda bekas perkelahian. Berarti sampai sejauh ini,

hubungan Val dan Cindy masih oke-oke saja...."

Selesai bicara, Lupus segera mematikan tape mungilnya. Lalu ia mengambil notes dan bolpen. Nggak

lama kemudian, Lupus sudah bergegas ke tepi kolam

renang untuk menulis laporan. Ternyata di sana ada

Ketut Riang yang sedang asyik menulis laporan pakai mesin ketik. Dia mengetik dengan cepat. Saking

cepatnya kadang-kadang jari-jemarinya sampai kusut. Dan Ketut Riang baru bisa mengetik lagi setelah

jari-jemarinya dibetulkan. Lupus berusaha mengintip

apa yang ditulis Ketut Riang. Tapi serta-merta, dengan

lirikan mata yang luar biasa judesnya, Ketut Riang menutup kertas ketikannya pakai tangan.

"Wartawan dilarang nyontek!" ujarnya ketus. Lupus

bersungut, lalu duduk tak jauh dari Ketut Riang.

Ketut Riang meneruskan ketikannya. Melihat gaya

menulis Ketut Riang, Lupus yang cuma nulis pakai

bolpen jelas jadi ngiri juga. Sesekali Lupus berusaha

melirik, untuk melihat lagi apa yang ditulis Ketut Riang. Tapi Ketut Riang langsung menutup tulisannya

dengan tangan sambil protes,

"Sekali lagi mengintip,

aku ceburkan Saudara ke kolam. Mengerti?"

Lupus jadi salting. Lalu pura-pura menulis lagi dengan tekun. Tak lama kemudian, dari kejauhan muncul

seorang cewek yang tampak uring-uringan. Ternyata

dia Mila. Dia langsung menowel pundak Lupus.

"Pus, Lulu mana sih? Kok dicari-cari nggak ada?"

cerocos Mila kesal.

"Mestinya gue yang nanya ke elo. Kan tadi Lulu

sama elo."

"Ya, tapi lantas dia ngilang begitu aja. Ninggalin gue

yang lagi mandi."

"Wah, elo harus bertanggung jawab nyari dia sampe

ketemu. Kalo nggak, gue laporin ke polisi lho!" ancam

Lupus sambil terus menulis dengan tekunnya.

Mila jelas kesal. Lalu pergi dengan muka cemberut.

"Dasar manusia workaholic, bisanya ngurus kerjaan

doang, adik sendiri ilang, didiemin!" gerutu Mila sam

119

bil terus mencari Lulu ke segala sudut hotel sepanjang

sore itu. Tapi yang dicari nggak kunjung ketemu. Mila

putus asa, dan akhirnya balik ke kamar, dan tidur untuk menghilangkan semua kekesalan.

Saat itu ternyata Lulu lagi asyik ber-bungeejumping

sama Fabio.

Lift yang mengantar Lulu ke puncak menara bunga?

jumping berjalan lambat. Beda sekali dengan jantung

Lulu yang rasanya seperti ditabuh oleh suku terasing.
Gone With The Gossip Lupus Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berdegup keras. Sampai di puncak, kaki Lulu diikat

oleh seorang instruktur. Lulu sudah siap melakukan

terjun bebas. Tapi begitu melihat ke bawah, semangat

Lulu langsung kendor. Darah Lulu berdeSir. Kulitnya

memucat. Semua keberanian Lulu musnah seketika.

"Ayo! Sekarang, atau nggak sama sekali!" teriak instruktur, berusaha memompa semangat Lulu. Lambat

laun, wajah Lulu kembali memerah. Keberanian yang

tadi sempat hilang, kini bergelora lagi. Apalagi Lulu

melihat Fabio melayangkan senyum simpatik ke arahnya. Lulu ikut tersenyum. Lantas tanpa pikir panjang

lagi, Lulu langsung melontarkan badannya. Dan... plas!

Lulu pun melayang seperti sobekan kertas.

"Susah, gue betul-betul kesulitan nyari katakata yang

pas buat nyeritain pengalaman gue. Pokoknya ngeri

deh. Malahan kita kayak mau mati aja rasanya. Tapi

asyiknya bukan main. Nyesel deh kala lo nggak nyoba, Mil," cerita Lulu semangat begitu mereka makan

malam bersama di hotel.

Tapi reaksi Mila dingin. Dia diem aja.

"Lo marah ya, Mil?" tanya Lulu dengan perasaan

120

nggak enak. Mila berkata lirih,

"Lu, gue sebetulnya nggak perlu marah atau kecewa

sama elo, asal lo mau ngasih tau ke mana lo pergi. Elo

tau nggak, gue nyariin elo ke sana kemari. Gue cemas,

Lu. Gue harus jaga elo. Kalo ada apa-apa sama lo, gue

juga yang kena akibatnya."

Lulu ngeliat mata Mila berkaca-kaca. Lulu jadi makin nggak enak hati.

"Sori deh, Mil. Gue janji nggak bakal nyusahin lo

lagi. Gue tadi udah usaha nelepon lo ke kamar, tapi lo

nggak ada," kata Lulu kemudian, nggak kalah lirihnya.

Mila tiba-tiba tersenyum. Tipis.

"Ya udah, persoalannya kita anggap selesai sampai

di sini. Tapi biar gimana juga, gue perlu ngasih selamat

buat elo," tukas Mila sambil menyodorkan.tangannya

ke Lulu. Lulu heran.

"Selamat soal apa?"

"Atas keberuntungan lo bisa ber-bungee jumping.

Soalnya barusan aja lo ngomong mau ngerasain olahraga maut itu, e, nggak lama udah kesampaian!"

Lulu tersenyum, lalu buru-buru menyambut tangan

Mila.

"Mil, gue mau jadi temen lo sampe tua," desis Lulu

kemudian. Keduanya bersalaman erat sekali.

***

Gusur dan Boim rupanya betah berjam-jam di warung

kaosnya Pak Jogger. Tadinya orang orang yang ke situ

cuma ngeliatin kaos jualan Pak Jogger yang penuh dengan kata-kata unik, tapi lama-kelamaan Gusur sama

121

Boim yang jadi barang liat-liatan orang setoko. Ternyata dua makhluk membosankan itu lebih unik dari kaos

yang dijual Pak Joget. Sampai-sampai seorang pengunjung asal Jepang bernama Mr. Sakamoto begitu bernafsunya memburu Boim dan Gusur. Tadinya kedua

tokoh kita itu mengira Mr. Sakamoto mau memeluk

mereka. Ternyata Mr. Sakamoto cuma minta dipotret.

"Huh, gue kirain ni orang mau berbuat yang nggak-nggak!" kata Boim dengan napas lega, lalu meraih

kamera yang disodorkan Mr. Sakamoto.

Di depan toilet antik milik Joger, mereka lalu mulai

berfoto ria. Memang cuma di bagian itu pengunjung

diperbolehkan foto oleh si empunya tempat. Mula-mula Mr. Sakamoto seorang yang difoto dengan gaya abisabisan. Lalu Mr. Sakamoto mengajak Gusur untuk

menemaninya berpose. Keduanya pun difoto. Gayanya

nggak kalah kocak sama monyet Taman Safari. Selanjutnya Boim yang diajak foto. Terakhir, Boim dan Gusur berdua yang difoto oleh Mr. Sakamoto.

"Bagus... bagus foto kamu-kamu akan saya bawa

ke Jepang untuk bahan penelitian," tukas Mr. Sakamoto sambil cekikikan melihat gaya lucu Boim dan Gusur.

Mereka foto-foto lagi.

"Kalian orang hebat," puji Mr. Sakamoto kemudian, setelah mereka selesai berfoto-ria, menghabiskan

sepuluh rol film. Gusur dan Boim cuma mesem saja

mendengar pujian itu. Ketiganya lalu berjabatan hingan.

"Bagaimana kalau kalian ikut saya ke Nusa Dua?

Saya menginap di sana," tawar Mr. Sakamoto yang

rupanya sudah telanjur sayang sama Boim dan Gusur.

122

"Kita bisa Foto-foto lagi di sana. Pemandangannya

lebih bagus ...," lanjut Mr. Sakamoto. Gusur dan Boim

saling pandang.

"Kalau kalian tidak mau, tidak apa-apa." Mr. Sakamoto menunjukkan wajah agak kecewa. Lalu si Jepang

dengan potongan mirip mesin pemberantas hama itu

siap-siap minggat. Tapi Gusur menghentikan langkahnya.

"B-bukan tiada mau, Mr. Sakamoto. Kami cuma takut ajakan dikau ada pamrihnya, seperti... mendorong

mobil misalnya ."

Mr. Sakamoto tersenyum lebar mendengar kalimat

Gusur yang terputus-putus itu. Lalu

"Kamu betul, Gusur. Ayo ...."

Entah bagaimana caranya Mr. Sakamoto membujuk Gusur dan Boim, yang jelas kedua anak itu kini

sudah tertatih-tatih mendorong mobil Mr. Sakamoto

yang kondisinya jauh lebih parah dari mobil Ngurah

Tegeg.

Dan setelah menguras hampir seluruh tenaga mereka, mobil Mr. Sakamoto akhirnya bisa hidup. Setiba di

hotel, Mr. Sakamoto lalu mengajak Gusur dan Boim

masuk ke lobi. Suasana hotel yang mewah membuat

rasa lelah Gusur dan Boim hilang. Dengan sorot mata

penuh keheranan, Gusur dan Boim mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, sementara Mr. Sakamoto masuk ke kamarnya.

"Kalau nggak ketemu Mr. Sakamoto, mustahil kita

bisa ke sini Sur...," desah Boim.

"Yah, memang kita ini manusia beruntung, lm,"

jawab Gusur sambil meletakkan pantatnya di kursi di

123

salah satu sudut lobi.

Saat itu muncullah Ketut Riang sambil menggotong-gotong mesin tiknya yang butut. Pas di depan

Boim dan Gusur, selembar kertasnya yang berisi tulisan tentang Cindy dan Val jatuh. Boim melongok

kertas itu. Dengan kecepatan ultrasonik, Ketut Riang

menaruh mesin tiknya di lantai, lalu menutup lembaran kertas itu.

"Sodara jangan liat-liat. Sodara dari tabloid apa?"

hardik Ketut Riang. Kedua tokoh kita jelas heran.

"Tabloid apaan?"

"Sodara jangan pura-pura bego, ya!" kata Ketut Riang makin keras. Boim yang mulai memahami duduk

persoalannya buru-buru cengar-cengir.

"Oom salah paham. Kami bukan wartawan. Kami

cuma turis domestik dengan modal lima ribu perak,"

jelas Boim.

Untung Ketut Riang cepat menyadari kekeliruannya.

"Maaf, Sodara. Akhir-akhir ini saya memang gampang menaruh curiga. Soalnya banyak saingan yang ingin meredam ketenaran saya sebagai wartawan hebat.

Permisi .."

Ketut Riang lalu minta diri.

Boim geleng-geleng kepala, tapi tidak sekalian geleng-geleng badan, sebab takut dikira Vicky Burki.

"Belakangan ini memang banyak orang gila yang nggak

berani gila di rumahnya karena takut istri. Akhirnya

mereka menumpahkannya di hotel-hotel," jelas Boim

berusaha menenangkan Gusur. Gusur mendehem. Lalu

keduanya kembali teringat pada Mr. Sakamoto.

124

125

"Kok Jepang butek itu nggak nongol-nongol, Sur?"

"Iya, jangan-jangan beliau ngerjain kita. Ah, sudahlah, Im, daripada bengong di sini, lebih baik kita

melihat-lihat sekeliling hotel!"

Boim langsung menyetujui ajakan Gusur. Tapi belum sempat mereka meninggalkan lobi, tiba-tiba terdengar suara gedebak-gedebuk dari arah tangga. Setelah

diteliti, rupanya suara itu berasal dari Mr. Sakamoto

yang jatuh menggelinding. Tapi Mr. Sakamoto nggak

cedera sedikit pun. Karena ternyata begitulah cara dia

menuruni rangga. Biar cepat!

Sesampai di hadapan Gusur, sambil tersenyum

manis Mr. Sakamoto menyerahkan dua buah amplop

yang dibawanya.

"Ambillah. Ini sebagai tanda terima kasih dari orang

Jepang." Gusur dan Boim menerima pemberian Mr.

Sakamoto. Setelah dibuka, ternyata amplop itu berisi

uang bergepok-gepok. Gusur dan Boim kontan menjerit histeris saking senangnya, tapi langsung kecewa

lagi setelah diteliti lagi ternyata gepokan itu cuma guntingan bahan kimono yang nggak ada harganya. Sementara duit betulannya cuma sepuluh ribu! Si Jepang terkekeh-kekeh,

"justjoking, Man. Don't get mad."

Si Boim dan Gusur cuma mesem. Lumayanlah buat

makan-makan.

***

Siang itu Lupus lagi nelepon di kamarnya dengan

penuh khikmat. Ternyata dia sedang nelepon Kang

Denny MR.

126

"Berita tentang Cindy dan Val memang sangat

menarik. Saya sudah menuliskan tentang sampahnya.

Tapi, Bos, dalam mengejar berita sensasional ini tampaknya kita punya saingan dari tabloid yang tidak jelas

SIUPP-nya, dan apakah dia dicetak di atas kertas atau

di daun lontar. Tapi reporternya pakai mesin ketik. Sementara saya cuma pakai bolpen yang sering macet.

Saya ingin menyewa laptop. Biar nggak kalah saingan

dong. Boleh, ya ?"

Esok harinya Lupus sudah mengontak pihak hotel

untuk menyewa laptop, hingga paginya Lupus sudah

duduk di tepi kolam renang, sambil mengetik di laptop barunya yang memiliki RAM 8 mega. Tak lama,

datang Ketut Riang dengan mesin tiknya. Ketut Riang

jelas kaget melihat Lupus sudah lebih canggih, mengetik dengan laptop. Sering kali ia ber usaha mengintai

apa yang ditulis Lupus, tapi Lupus dengan sombong

menutup laptopnya.

"Wartawan dilarang menyontek!"

ujar Lupus.

Ketut Riang marah. Lalu pergi sambil menyumpah-nyumpah. Lupus tersenyum-senyum senang. Sementara jari-jemarinya terus menari nari di atas tuts

laptop.

Selagi Lupus asyik dengan pekerjaannya di pinggir

ombak Pantai Nusa Dua, Lulu dan Mila duduk sembari ngobrol-ngobrol seadanya. Angin yang keras meniup rambut mereka. Sesekali Lulu membetulkan roknya

yang tersingkap. Mila agak lebih tenang karena dia pakai celana panjang.

Tiba-tiba muncul Fabio dari kejauhan. Fabio

tersenyum kepada mereka berdua.

127

"Halo, saya mau ke Ubud. Kalian mau ikut?"

Mila dan Lulu saling pandang. Dan tak perlu waktu

lebih dari lima detik untuk menyatakan setuju. Siang

itu juga mereka langsung berangkat tanpa sedikit pun

memedulikan Lupus yang masih khusyuk dengan tulisannya.

***

Setelah. dapat duit dari Mr. Sakamoto, rupanya Boim

dan Gusur langsung ngelencer ke Ubud. Mereka mau

ketemu Ngurah Tegeg yang sesumbar punya galeri di

Ubud. Sejak awal Gusur sudah tertarik. Makanya Gusur memaksa Boim mampir ke galeri Ngurah Tegeg.

"Sur, gue yakin ini alamat Pak Ngurah Tegeg," cetus

Boim ketika sampai di depan sebuah galeri yang besar

lagi elite.

Cuma kemudian Boim sangsi sendiri.

"Tapi...masa
Gone With The Gossip Lupus Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sih orang sekaya ini mobilnya mogok terus?"

"Dikau kalau melihat kekayaan jangan dari mobilnya, Im, tapi dari duitnya," ujar Gusur.

Boim paham. Setelah menghirup napas panjang,

Boim lalu mengajak Gusur masuk. Sesampai di dalam

galeri, mereka melihat beberapa orang lagi asyik melukis. Semua memandang Gusur dan Boim. Kedua tokoh kita tersenyum. Boim mengedarkan pandangan ke

sudut yang lain, di sana dilihatnya seorang gadis khas

Bali yang luar biasa cantik.

Boim menganga. Pikirannya melayang kearah yang

bukan-bukan. Boim memang sudah lama kesengsem

sama cewek dengan cita rasa Bali macam begitu.

128

Selagi Boim hanyut dengan kecantikan si gadis Bali,

rupanya Gusur mendapat sasaran lain. Yaitu Pak Ngurah Tegeg yang lagi baca koran di samping pot kembang.

Tanpa perasaan sama sekali, Gusur segera saja

menarik tangan Boim sambil memekik.

"Im, itu Pak Ngurah Tegeg!"

Ngurah Tegeg memandang ke arah kedua tokoh

kita.

"Eh, Sodara. Ayo, mari kemari ...," sambut Ngurah

Tegeg hangat. Mereka pun lalu saling berangkulan.

"Nggak disangka Pak Ngurah punya rumah sebagus ini. Ngomong-ngomong, mana mobil antik Pak

Ngurah?" celetuk Boim kemudian. Ngurah Tegeg

tersenyum lebar.

"0, tenang, Sodara, si. jago mogok sedang dipinjam, dan saya yakin dia pasti mogok lagi. Silakan

duduk. Aduh, selama ini saya terus mimpi tentang Sodara. Siang-malam," ujar Ngurah Tegeg lantang, sambil

mengajak Boim dan Gusur duduk.

"Maaf, kami belum sempat memimpikan Pak Ngurah, sebab kami belum bisa tidur nyenyak," timpal Gusur yang langsung disambut ketawa berderai Ngurah

Tegeg.

Selesai ketawa selama sekitar lima menit, Ngurah

Tegeg lalu memanggil si gadis Bali yang sejak tadi terus

memandang ke arah kedua tokoh kita. Yang dipanggil

segera mendekat.

"Kenalkan, ini istri saya...."

Gusur terperanjat. Boim lebih-lebih lagi. Seluruh

persendiannya lemas. Kulitnya yang item berubah pu

tih saking pucatnya. Gadis yang ditaksirnya ternyata

sudah dikawini Ngurah Tegeg. Tapi mendadak Ngurah

Tegeg ketawa cekakakan.

"Maaf, Sodara, yang barusan

itu cumajokee. Ini anak saya, Ni Luh Centi!"

Nih Luh Centi tersenyum, lalu menyalami Boim

dan Gusur. Wajah Boim kembali berdarah. Semangatnya meluap-luap. Tanpa di duga sama sekali, mendadak Boim memeluk Ngurah Tegeg erat-erat bergembira

sambil meratap tersedu-sedu.

"Kaulah calon mertua yang selama ini kucari-cari.

Terimalah saya, jangan campakkan saya!"

Ngurah Tegeg kontan kelimpungan. Tapi tiga jam

kemudian, dengan iming-iming Boim akan dijadikan

menantunya asal rajin, Ngurah Tegeg akhirnya berhasil

membujuk Boim untuk mencuci motor Harley-nya.

Padahal motor itu kotornya bukan main. Tapi Boim

melakukan semua pekerjaannya dengan hati yang tulus.

Sedikit pun dia nggak ngedumel kayak biasa biasanya.

Selagi Boim dengan cekatan mengelap bodi motor,

tiba-tiba Ni Centi muncul sambil membawa segelas air

jeruk dingin. Bibirnya dihiasi seulas senyum manis.

Boim langsung menghentikan pekerjaannya.

"Minum dulu, Bang Boim, biar segar!"

Boim langsung mengambil air jeruk yang disodorkan Ni Centi.

"Bang Boim baru pertama kali ya ke Bali?"

"Iya, dan kayaknya kamu cewek paling paling cakep

yang Bang Boim temui!"

Ni Centi tersipu malu.

Mata Boim berbinar-binar.

"Bang Boim di Jakarta tinggal di mana?" Ni Cen

130

ti bertanya lagi, masih dengan tersipu sipu. Boim lalu

menjawab banyak banget.

"Mama Bang Boim tinggal di Pondok Indah, di sebuah rumah yang besar. Iya, Bang Boim punya piano.

Seperti kebanyakan orang kaya, piano itu fungsinya

hanya sebagai pajangan. Tidak pernah dimainkan. Ada

tiga telepon. Satu di ruang tamu, satu di kamar, satu

lagi di dapur. Mama Bang Boim selalu memberi uang

lebih banyak dari yang Bang Boim perlukan. Akibatnya

uang itu jadi berlebih, dan sebagian Bang Boim jadikan

pengisi bantal. Sebagian lagi Bang Boim jual ke tukang

koran bekas secara kiloan ...."

Boim menyudahi kalimatnya. Tapi saat itu juga

Boim sadar bahwa Ni Centi sudah pergi sejak tadi.

***

Lain lubuk, lain belalang. Lain Boim. lain pula Gusur.

Kalau Boim sibuk merayu Ni Centi. Gusur sibuk menggores-goreskan kuasnya di sebidang kanvas. Semuanya

biru. Tapi gayanya melukis betul-betul ekspresif. Bibirnya sampai monyong-monyong. Dan perutnya yang

buncit dibiarkan terbuka. Tapi lagi asyik-asyik melukis,

mendadak muncul Ngurah Tegeg.

"Apa ini? Hanya menghambur-hamburkan cat biru

saja!" protes Ngurah Tegeg.

"Ini keluar dari lubuk hati daku yang penuh dengan

sejuta perasaan!" tangkis Gusur.

Ngurah Tegeg hanya berdehem, lalu pergi. Selesai

melukis, Gusur menghampiri Boim yang sedang mengeringkan motor.

131

"Im, kita harus nelepon ke Jakarta, melaporkan apa

yang sudah kita lakukan hari ini di Bali!" ajak Gusur.

Merasa pekerjaannya sudah rapi jadi, Boim manut

saja ketika Gusur menyeret tangannya.

Seperginya Boim dan Gusur, Fabio muncul bersama

Mila dan Lulu. Fabio terkagum-kagum melihat lukisan

Gusur. Mila dan Lulu tak bereaksi sedikit pun. Mereka hanya duduk-duduk saja di bawah pohon. Sedang

Fabio, seraya maju-mundur, terus memperhatikan lukisan Gusur.

"Can I help you?" tanya Ngurah Tegeg yang muncul

mendadak, mengagetkan Fabio.

" Yer, I like this painting! Bagus! Kalau dijual, saya berani bayar mahal untuk lukisan ini! Lukisan ini mengingatkan pada adik saya yang sudah meninggal."

Ngurah Tegeg bingung. Mencari-cari Gusur. Tapi

nggak ada.

"Kamu bisa datang besok pagi?"

"Baik. Tapi tahan ini buat saya. Saya berani bayar

mahal!"

Fabio lalu pergi. Lulu dan Mila membuntuti.

Tapi besoknya terjadi sedikit kekacauan. Pagi-pagi

sekali Ni Centi pergi ke Celuk, tempat kerajinan perak. Tidak bisa tidak, Boim harus menyusulnya. Gusur

diajak.

"Nggak mau ah! Daku sedang asyik melukis!"

"Aduuuh, ngelukis kan di Jakarta juga bisa, Sur!"

"Tapi di sini mood-nya lain!"

"Pokoknya lo harus temenin gue, nyusul Ni Centi

ke Celuk!" ujar Boim galak.

Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Gusur pun mau.

132

Tapi dengan syarat, ia harus membawa serta lukisannya. Semula Boim keberatan. Tapi karena Gusur memaksa, akhirnya Boim pasrah. Maka pagi itu, Boim

dan Gusur pun pergi ke Celuk.

Yang paling terpukul atas perginya lukisan itu jelas

Ngurah Tegeg. Ketika bangun pagi, ia diberitahu bahwa Gusur pergi membawa serta lukisannya. Ngurah

Tegeg bingung. Tapi lantas tersenyum lebar.

"Siapkan kuas, cat biru, ukuran kanvas yang sama,

beres. Apa susahnya melukis kayak punya Gusur!" Dan

sepanjang pagi itu, Ngurah Tegeg pun sibuk melukis.

Tubuhnya berlepotan cat biru. Ketika Fabio datang

bersama Lulu dan Mila, lukisan sudah selesai. Tapi Fabio merasakan adanya kejanggalan.

"Saya rasa ini bukan lukisan yang kemarin. Goresannya lain."

"Tapi ini yang asli!" ujar Ngurah Tegeg.

"Jangan coba-coba membohongi saya. Saya ini kurator. Yang ini pasti palsu. Kalau yang kemarin itu bisa

laku di atas seratus juta!"

"Apa?" Ngurah Tegeg melongo. Ia panik.

"Gusuuur! Di mana Gusur?"

Padahal, saat ini nasib lukisan yang ditaksir berharga di atas seratus juta itu terlunta-lunta. Lukisan

yang sudah diberi pigura kayu itu ditaruh di atas kap

mobil yang menuju Celuk. Sebab waktu ditaruh di dalam, semua penghuni mobil itu marah-marah dan siap

melempar Gusur kalau dia tetap bersikeras.

"Lain kali buat yang lebih gede, biar serem!" ejek

kondektur. Boim juga ikut-ikutan sebel.

"Udah deh, Sur, buang aja. Buat apa sih ba

133

wa-bawa lukisan nggak ada harganya begini?"

Gusur merengut. Dan terus begitu sepanjang perjalanan ke Celuk. Tiba di Celuk Boim mengajak Gusur

turun. Tiba-tiba dari arah depan, meluncur mobil yang

dikendarai Ni Centi. Boim yang mengenali mobil itu

girang bukan kepalang.

"Ni Centiii, tungguu!" teriak Boim seraya mengepakkan sayapnya.

Ni Centi melongok ke luar, tersenyum hambar ke arah Boim, tapi mobilnya terus melaju kencang, meninggalkan asap hitam di muka Boim. Boim

langsung patah hati.

"Sudahlah, lm, lupakan Ni Centi," hibur Gusur

yang sudah paham betul sifat Boim, gampang jatuh

cinta dan gampang patah hati.

Boim mengangguk lemah.

"Nah, lebih baik sekarang kita kirim postcard ini

kepada Lulu dan Mila," ajak Gusur seraya mengeluarkan postcard dari kantong celananya.

Boim, lagi-lagi, mengangguk lemah. Dan ketika Gusur berbalik badan, lukisannya itu membentur

kepala Boim. Boim sampai terjengkang. Ia marah-marah.

"Hei, seniman sableng! Udah deh, gue bilang juga

apa, buang aja lukisan yang bikin sial ini! Udah tadi

dimaki-maki orang sebemo, sekarang nyusahin gue!"

"Im, lo kok nggak punya apresiasi seni sedikit pun?

Ini kan bagus?"

"Bagus apaan? Cuma cat biru doang!" Boim dengan kesal lalu merebut lukisan Gusur, dan lari menjauh.

Gusur berusaha mengejar, tapi tubuh gendutnya membuat dia nggak gesit.

134

Di tepi jurang yang ada kalinya, Boim melempar

lukisan Gusur. Gusur menjerit histeris.

"Iiiiiiim, jangaaaaaan!"

Tapi lukisan itu sudah terbawa arus. Gusur

menangis. Boim dengan jahatnya berjalan pergi.

"Emang lo mau bawa lukisan itu ke Jakarta? Bikin

repot, tau!"

"Dikau jahat!!!" maki Gusur sambil tetap menangis.

Boim tak peduli. Ia berjalan ke kotak pos, mengirim

surat buat Mila dan Lulu. Gusur ikut di belakangnya.

Sesampainya di bis surat, secara kebetulan mereka

ketemu sama Lulu dan Mila yang hendak mengeposkan

kartupos buat Gusur dan Boim. Begitu saling berpandangan, keempatnya kontan kaget setengah mati.

"Lulu, Mila, ngapain lo di sini?" pekik Boim

"Elo juga, ngapain di sini?" balas Mila.
Gone With The Gossip Lupus Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, syukurlah, Mil, kita bertemu di saat perbekalanku sudah habis!" keluh Gusur campur girang.

Keempat orang itu pun lantas peluk-pelukan untuk

melepas kangen. Gusur memeluk Boim. Dan Lulu memeluk Mila. Mereka sama sekali nggak nyangka bakal

ketemu di Bali.

Fabio yang juga ada di situ, sempat heran melihat

cara mereka melepas kangen.

***

Persaingan memperebutkan berita antara Lupus dan

Ketut Riang ternyata belum juga usai. Malah makin

sengit. Saat itu Lupus sedang menunggu pembersih

kamar Val dan Cindy keluar. Sementara Ketut Riang

135

mengintai dari balik semak. Begitu Lupus hendak mengambil kantong sampah, Ketut Riang mendahuluinya.

Lupus terpekik.

"Hai, itu. punya saya!"

"Tapi saya yang ngambil lebih dulu!" teriak Ketut

Riang sambil terus lari. Lupus mengejar.

Sesampainya di bawah pohon rindang, Ketut Riang

berhenti. Lupus juga. Ketut Riang lalu membuka kantong sampah, dan menuang isinya. Ia langsung mengeluarkan notes. Lupus juga. Mereka kemudian mengorak-arik sampah. Memeriksa, dan menulis apa yang bisa

ditulis.

"Begini lebih enak, kan? Daripada kita saingan

terus, mending kita bahu-membahu. Lagian, sampah

boleh sama, tapi tulisan kan berbeda!" Ketut Riang berkomentar. Lupus mengangguk-angguk maklum.

Sungguh di luar dugaan, peristiwa itu ternyata

membuat mereka jadi akrab. Mereka sadar, tugas wartawan berat. Jadi supaya ringan, mereka harus bersatu.

Lupus dan Ketut Riang masih asyik menulis sambil cekakak-cekikik. ketika Lulu muncul bersama Mila,

Boim, dan Gusur. Boim langsung menjerit begitu ngeliat Lupus.

"Lupusss !"

Lupus mendongak, dan kaget melihat dua sobatnya

itu.

"Boiiim. Gusuuur. lo pada di sini juga?"

Ketiganya lalu saling berangkulan.

Ternyata, walau sering berantem, kalau pisah lebih

dari seminggu, mereka kangen juga

136

mengintai dari balik semak. Begitu Lupus hendak mengambil kantong sampah, Ketut Riang mendahuluinya.

Lupus terpekik.

"Hai, itu. punya saya!"

"Tapi saya yang ngambil lebih dulu!" teriak Ketut

Riang sambil terus lari. Lupus mengejar.

Sesampainya di bawah pohon rindang, Ketut Riang

berhenti. Lupus juga. Ketut Riang lalu membuka kantong sampah, dan menuang isinya. Ia langsung mengeluarkan notes. Lupus juga. Mereka kemudian mengorak-arik sampah. Memeriksa, dan menulis apa yang bisa

ditulis.

"Begini lebih enak, kan? Daripada kita saingan

terus, mending kita bahu-membahu. Lagian, sampah

boleh sama, tapi tulisan kan berbeda!" Ketut Riang berkomentar. Lupus mengangguk-angguk maklum.

Sungguh di luar dugaan, peristiwa itu ternyata

membuat mereka jadi akrab. Mereka sadar, tugas wartawan berat. Jadi supaya ringan, mereka harus bersatu.

Lupus dan Ketut Riang masih asyik menulis sambil cekakak-cekikik, ketika Lulu muncul bersama Mila,

Boim, dan Gusur. Boim langsung menjerit begitu ngeliat Lupus.

"Lupusss !"

Lupus mendongak, dan kaget melihat dua sobatnya

itu.

"Boiiim.... Gusuuur. lo pada di sini juga?"

Ketiganya lalu saling berangkulan.

Ternyata, walau sering berantem, kalau pisah lebih

dari seminggu, mereka kangen juga

TAMAT

136

Sampe ketemu lagi di kisah seru Lupus, the Lost Boy




Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut Pendekar Mabuk 088 Rahasia Bayangan Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal

Cari Blog Ini