Ceritasilat Novel Online

Iblis Dari Gunung Wilis 10

Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 10



Kalau pemuda ini kaget dan heran, pengawal itu sendiri juga kaget. Ia bukanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sembarang orang dan namanya sudah amat terkenal diMataram. Ia berpangkat Bupati,

dengan nama Gajah Miruda. Biasanya dengan golok itu, ia dapat merobohkan tanpa

kesulitan. Akan tetapi malam ini sudah diluar dugaannya, goloknya dibentur oleh tongkat

dan membuat lengannya kesemutan.Yang lebih membuat Gajah Miruda tambah kaget,

ketika ia memeriksa goloknya, ternyata golok itu sudah rompal sebagian. Justeru keadaan

tidak terduga ini membuat Gajah Miruda agak gentar. Maka teriaknya nyaring. "Hai,

dimanakah kamu? Lekas kemari dan bantu!"

Sementara itu karena orang sudah menyerang, Fajar Legawa menjadi marah.

Tanpa membuka mulut pemuda ini sudah memukulkan tongkatnya. Akan tetapi

mendadak, berbareng dengan suara bentakan, dua buah bola besi telah menyambar

kepalanya.

Ia menghindari dengan menundukkan kepalanya, sambil pula menggerakkan

tongkat untuk menangkis.

"Trang.......!" benturan yang menerbitkan pijar api terjadi, antara tongkat dengan

bola besi tadi.Akan tetapi kemudian senjata itu ditarik oleh pemiliknya.

Ketika Fajar Legawa sempat mengamati keadaan, ternyata orang yang menyerang

tadi tubuhnya tinggi kurus. Dua bola besi yang baru saja ditangkis itu ternyata senjata

bandringan, bola besi yang diikat dengan rantai baja sehingga dapat menyerang lawan

dari jarak jauh. Dan melihat cara lawan yang dapat menyerang seperti itu, jelas bukan

lawan ringan.

Dan ternyata kemudian setelah menarik kembali bandringannya, orang itu

kembali menyerang dalam jarak lebih satu tombak. Dua buah bola besi itu kemudian

menyambar berputaran hebat sekali, sehingga ia tidak dapat melepaskan diri dari libatan

lawan.

Celakanya, di saat dirisnya sedang dilibat oleh prajurit yang bersenjata bandringan

ini, gajah Miruda dengan golok yang sudah rompal sebagian, telah menyabet pinggang.

Dalam usahanya untuk menghindarkandiri, ia menggunakan tongkatnya untuk

menangkis.

Mendadak dari sebelah kanan terdengar bentakan lagi nyaring. Kemudian

bayangan hitam berkelebat, terjun ke gelanggang perkelahian. Begitu tiba, musuh baru ini

sudah menggerakkan dua tangannya. Kemudian menyambarlah angin pukulan yang

tajam sekali ke pundaknya. Untuk menghindari pukulan yang cukup berbahaya ini, Fajar

Legawa membungkuk. Tongkatnya dipergunakan menangkis bandringan lawan, dan

berbareng itu menggunakan kakinya menendang golok Gajah Miruda, begitu berhasil

mengatasi tiga macam serangan berbareng ini secepatnya Fajar Legawa telah meloncat ke

samping.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ternyata musuh ke tiga ini seorang bertubuh pendek kecil. Sesuai dengan keadaan

tubuhnya yang pendek kecil, maka senjata orang itupun kecil. Bentuknya serupa dengan

tongkat, akan tetapi ujungnya tajam. Tahulah ia sekarang mengapa angin pukulannya tadi

begitu tajam, ternyata orang bertubuh kecil ini menggunakan sepasang tongkat kecil

berujung tajam.

Bagaimanapun Bupati Gajah Miruda dan dua orang pembantunya itu, bukanlah

orang sembarangan. Mereka merupakan pengawal-pengawal keraton yang gemblengan.

Maka walaupun Fajar Legawa memiliki ilmu kepandaian dua kali lipat dari keadaannya

yang sekarang, sulitlah Fajar Legawa menyelamatkan diri dari ancaman maut. Lebih
lebih tiga orang lawan ini memiliki keahlian masing-masing dengan senjatanya yang

berlainan. Golok besar Gajah Miruda adalah berat maka walaupun tongkat Fajar Legawa

merupakan tongkat pusaka, golok itu tidak takut membentur. Sebaliknya bandringan

orang kurus itu merupakan senjata yang amat luwes. Dapat dipergunakan menyerang

dalam jarak dekat maupun agak jauh.Sedang walaupun kecil, akan tetapi tongkat lawan

ke tiga yang berujung tajam itu, bahayanya tidak kurang pula. Ujung tongkat yang

panjnang itu apabila melubangi tubuhnya, dapat menyebabkan nyawa melayang.

Menghadapi tiga macam senjata yang berlainan itu, bagaimanapun menyebabkan

Fajar Legawa kebingungan. Sekarang ia baru sadar akan kelancangannya datang ke Karta

dan mengganggu Sultan Agung. Kota raja itu merupakan gudangnya manusia sakti

mandraguna. Mengapa dirinya tanpa memperhitungkan kekuatan telah datang ke sarang

harimau ini.

Tetapi walaupun mengeluh dan bingung, pemuda ini melawan dengan hebat.

Tongkatnya menyambar-nyambar, dan berkali-kali terdengar pula suara benturan senjata

yang nyaring. Akan tetapi kali ini sungguh sayang. Walaupun ia menggunakan tongkat

pusaka, usahanya untuk merusakkan senjata lawan kesulitan. Buktinya walaupun telah

beberapa kali terjadi benturan, senjata mereka tidak rusak. Keadaan ini kemudian

mempengaruhi semangatnya. Baru berkelahi tiga puluh jurus saja, ia merasa tidak berdaya

lagi.

Namun memang ada sebabnya, belum lama berselang ia telah berkelahi melawan

raja. Tadi ia mengerahkan banyak tenaga dalam usahanya dapat memenangkan

perkelahian, justeru kedatangannya ke Karta tidak lain untuk membalas sakit hati dan

membunuh raja.

Justeru di saat dirinya hampir tidak berdaya menghadapi tiga orang pengeroyok

ini, terdengarlah suara ribut dan teriakan di sana sini. Menyusul kemudian belasan

bayangan orang telah melesat ke atas dan hinggap di atas genteng.

Untung juga bahwa genteng keraton ini terbuat dari kayu. Maka walaupunhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dipergunakan ajang perkelahian yang hebat, atap itu tidak menjadi rusak maupun pecah.

Di saat mereka sedang berkelahi sengit ini, maka belasan orang yang melesat ke atas atap

sudah mengurung secara ketat. Empat penjuru sudah dihadang oleh pengawal bersenjata,

dan akan sulitlah ia menerobos ke luar.

Akan tetapi bagaimanapun Fajar Legawa tidak sudi mati sia-sia. Kalau toh sudah

takdirnya harus mati di Karta, setidaknya ia harus dapat membunuh beberapa orang.

Dengan demikian walaupun usahanya membunuh Sultan Agung gagal, akan tetapi

nyawanya cukup berharga, diganti oleh beberapa nyawa lawan.

Demikianlah, dengan kekuatan yang masih ada, pemuda ini terus mengamuk

dengan tongkatnya, ia selalu berusaha membenturkan senjatanya dengan maksud dapat

merusakkan senjata lawan.

Di saat perkelahian tidak seimbang sedang berlangsung dengan hebat ini, tiba-tiba

muncullah bayangan seseorang yang tinggi kurus alias jangkung. Akan tetapi Fajar

Legawa yang sedang sibuk mengadakan perlawanan ini, tidak sempat melihatnya.

Justeru pada saat itu, pengawal yang bersenjata sepasang tongkat kecil dan tajam

telah berteriak. "Kena!"

Celakanya pada saat senjata si kecil ini menyambar pinggangnya, Fajar Legawa

sedang menggunakan tongkatnya untuk menangkis sambaran bandringan lawan. Dalam

keadaan terpaksa ini, Fajar Legawa hanya dapat mengempos hawa sakti dalam tubuhnya

kearah pinggang, untuk melindungi bagian itu.

Hampir berbareng dengan menyambarnya tongkat tajam kearah pinggang, dan

tongkatnya untuk menangkis bandringan itu, golok besar Gajah Miruda sudah membacok

kepalanya.

Akibat keroyokan tiga orang, menangkis sambil mengempos semangat ini, maka

usahanya melindungi pinggang kurang berhasil.

"Cross!" pinggang Fajar Legawa tertikam oleh tongkat tajam itu dan berlubang.

Untung saja bagian itu telah dilindungi oleh hawa sakti, maka walaupun berlubang, tidak

begitu dalam. Namun walaupun tidak begitu dalam, akibatnya membuat darah mengucur

dari luka.

Sudah menahan sakit pada pinggangnya, masih juga ada golok menyambar

kepalanya. Untuk menyelamatkan nyawanya, begitu tongkatnya sudah berhasil

menangkis bandringan, maka tongkat itu diteruskan untuk menangkis golok, tetapi

bagaimanapun tenaga tangkisannya itu berkurang, sehingga di saat menyambut sambaran

golok ia mengeluh. "Mati aku!"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Aduhh............!" terdengarlah suara pekik kesakitan dari mulut Gajah Miruda.

Sungguh aneh yang terjadi. Jelas, golok yang menyambar dari atas itu tak mungkin

dapat ditahan dan ditangkis oleh Fajar Legawa yang sudah hampir kehabisan tenaga.

Akan tetapi anehnya, secara tiba-tiba Gajah Miruda menjerit nyaring dan golok besar itu

sudah terpental dan lepas dari tangan.

Nasib kalau masih mujur memang seperti diatur. Ternyata terpentalnya golok

Gajah Miruda itu sudah memukul bandringan teman sendiri. Dan sebagai akibatnya, dua

macam senjata itu runtuh ke bawah hampir berbareng.

Hampir berbareng dengan runtuhnya dua macam senjata itu, terdengarlah suara

ketawa terkekeh halus dari atap bagian atas. Fajar Legawa yang merasa tertarik

mengamati, sehingga pemuda ini lengah dan tidak menyadari bahwa seorang lawan masih

bersenjata.

Ternyata menggunakan kesempatan sebaik itu si kecil sudah menyerang lagi

dengan sepasang tongkatnya yang tajam, dengan gerakannya yang amat gesit. Fajar

Legawa kaget dan menolong diri dengan tangkisan tongkatnya. Sayang lawan bersenjata

sepasang tongkat. Yang sebatang masih dapat ditangkis, akan tetapi yang sebatang masih

sempat menikam pundak.

"Cross............aduhh..........!" saking sakit Fajar Legawa tak dapat menahan

mulutnya lagi dan berteriak. Tubuhnya terhuyung-huyung, namun ia masih dapat

mempertahankan tongkatnya.

Disaat Fajar Legawa sedang terhuyung dan kesakitan ini tiba-tiba terdengarlah

suara pekik yang berturut-turut, dan disusul tubuh beberapa orang menggelinding dari atas

atap jatuh ke bawah. Ternyata dalam keadaan Fajar Legawa dalam bahaya ini, orang

jangkung yang tadi ketawa terkekeh telah menggerakkan dua tangannya. Orang tidak

sempat melihat senjata apakah yang disambitkan oleh orang jangkung itu. Akan tetaii

setiap orang yang tersambit, segera memekik dan tubuhnya menggelinding jatuh. Maka

dalam waktu singkat saja, para pengawal yang tadi mengurung telah berjatuhan ke bawah.

Namun pada saat itu Fajar Legawa merasakan matanya kabur dan kaki tak mau

disuruh berdiri lagi. Tiba-tiba saja ia terhuyung dan roboh pingsan. Untung bahwa disaat

tubuhnya roboh itu, bayangan jangkung telah menyambar tubuh Fajar Legawa dan

dibawa berlarian pergi.

Apabila melihat lukanya. Fajar Legawa memang tidak menderita luka yang parah.

Tetapi luka pada pinggang itu menyebabkan darah mengucur deras sekali, dan akibatnya

terlalu banyak mengeluarkan darah. Manusia hidu dipengaruhi oleh adanya darah dalamhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tubuh. Dan manusia yang terlalu banyak kehilangan darah akan menyebabkan turun pula

tenaganya.

Bayangan jangkung itu sambil mendukung Fajar Legawa, harus menghadapi

keroyokan puluhan prajurit pengawal. Namun walaupun berhadapan dengan bahaya,

bayangan ini malah menyambut dengan ketawanya yang terkekeh. "Heh-heh-heh, bagus!

Majulah berbareng. Mari, mari aku layani kamu semua."

Hampir berbareng dengan ucapannya ini, beberapa sinar yang mengkilat telah

menebar dan menyambar kearah para pengawal yang datang dan mengurung itu.

Kemudian disusul pekik kesakitan beberapa orang, lalu tubuhnya roboh dan terguling ke

bawah rumah. Dengan robohnya mereka itu, dengan gerakan yang ringan bayangan

jangkung ini telah berlarian seperti terbang.

Geger dan ributlah keadaan di tempat itu. Dan mereka merasa penasaran sekali

bahwa hanya menghadapi seorang saja, mereka tidak mampu mengalahkan. Betapa

marah Ingkang Sinuhun Sultan Agung, apabila hal ini sampai diketahui.

Sayang para pengawal itu tidak menyadari sama sekali bahwa apa yang terjadi,

telah diketahui seluruhnya oleh Sultan Agung yang menyamar sebagai juru taman. Raja

Mataram tadi memang sudah mengkhawatirkan Fajar Legawa, yang tidak mungkin

dapat menyelamatkan diri dari ancaman bahaya para pengawal. Oleh sebab itu ia telah

membayangi dan bermaksud memberi pertolongan, apabila Fajar Legawa dalam bahaya.

Akan tetapi Raja Mataram ini menjadi ragu disamping heran, ketika melihat bayangan

jangkung yang gerakannya cepat sekali, sehingga para pengawal telah roboh oleh

sambitan orang itu. Dalam ragu dan heran ini, ia malah tidak sempat untuk mencegah

perbuatan orang jangkung itu dan ketika tersadar sejumlah pengawal telah roboh dan

bayangan jangkung itupun telah lenyap.

Sesungguhnya timbul rasa sesal juga dalam hati, mengapa ia tidak bertindak cepat

mencegah banyak korban diantara pengawalnya itu. Akan tetapi karena semua telah

terlanjur, maka kemudian Sultan Agung masuk kembali dalam keraton, untuk menjaga

agar para pengawal itu tidak menjadi ketakutan, apabila dirinya muncul.

Keributan yang terjadi itu tak lama kemudian sirap. Mereka yang terluka segera

dikumpulkan dan diadakan pemeriksaan. Ternyata dari sejumlah dua puluh lima orang,

tidak seorangpun yang terbunuh mati. Mereka hanya terluka saja, terluka oleh pisau belati

yang kecil. Hingga jiwa mereka tidak perlu dikhawatirkan lagi.

KETIKA Fajar Legawa membuka matanya, pertama kali ia amat terkejut. Ia

mendapatkan dirinya sudah berbaring di atas balai-balai bambu di dalam sebuah rumah

yang belum pernah ia kenal, begitu pula letaknya. Rumah itu hanya kecil saja dan

berdinding kayu kasar. Sedang atap dari rumah ini terbuat dari daun ilalang.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ia segera bangkit untuk mengetahui keadaannya sekarang ini. Tetapi ia segera

mengeluh, karena merasakan pundak dan pinggangnya sakit sekali. Dan ketika tangannya

meraba kearah pinggang, ternyata pinggangnya telah dibalut oleh kain yang agak basah,

demikian pula pundaknya. Rasa sakit pada pundak dan pinggang ini, menuntun perasaan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikirannya kepada apa yang terjadi sebelumnya. Terpeta secara jelas dalam benaknya,

bahwa ia datang ke kota Karta untuk membalaskan sakit hati ayahnya. Ia bertemu dengan

Sultan Agung, tetapi ia tidak mampu mengalahkan. Malah apabila raja itu tidak bijaksana,

manakah mungkin dirinya masih dapat ke luar dari taman itu dengan selamat?

Tetapi ketika dirinya sedang berusaha meninggalkan keraton itu, dirinya telah

dikeroyok oleh para pengawal keraton. Dalam pertempuran itu ia menderita luka. Dan

kalau sekarang lukanya itu telah diobati dan dibalut, jelas bahwa dirinya sudah

memperoleh pertolongan orang. Akan tetapi siapakah orang yang menolong dirinya

itu?Mengapa tidak tampak dan rumah ini sepi saja?

Namun ingatannya segera menolong. Ketika itu ia melihat bayangan jangkung.

Mungkinkah orang jangkung itu yang sudah menolong dirinya sehingga tiba di rumah ini.

Lalu dengan perlahan ia duduk di atas pembaringan. Tetapi diam-diam ia menyesal sekali,

mengapa usahanya membalas dendam itu tak berhasil. Nyatalah bahwa memusuhi

seorang raja besar seperti Sultan Agung memang tidak gampang. Tenaga dan ilmunya

belum cukup untuk menghadapi musuh bebuyutannya itu.

Tiba-tiba ia teringat akan tongkat yang berisi keris pusaka warisan ayahnya, keris

Tilam Upih. Mendadak saja hatinya tegang ketika melihat di sekitarnya, tongkat itu tidak

tampak. Setelah ia mengetahui asal usul dirinya, ia merasa wajib menyelamatkan dan

menyimpan keris pusaka itu.

Namun mengapa tongkat itu lepas dari tangannya? Kemudian ia menduga bahwa

kiranya tongkat itu lepas dari tangan, ketika dirinya roboh dan kemudian pingsan. Dan

karena tak tahu, agaknya penolongnya itu tidak sempat untuk mengambil tongkatnya.

Hatinya menjadi amat khawatir kalau dugaannya benar. Sebab apabila tongkat itu

lepas dari tangannya, kemudian dirampas oleh para pengawal keraton Mataram itu, sulit

kiranya ia dapat merebut kembali. Apabila sampai terjadi begitu, berarti dirinya tidak

mampu menyelamatkan dan mewarisi keris pusaka leluhurnya, yang sudah

mengorbankan nyawa ayah dan ibu angkatnya itu.

"Ahhh ........ celaka ........!" tanpa sesadarnya Fajar Legawa sudah berseru

tertahan, teringat akan keris pusaka Tilam Upih itu.

Dan justeru pada saat itu, terdengarlah suara orang menyahut dari luar pondok.

"Ada apa?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sesaat kemudian terdengarlah suara langkah yang ringan dan halus. Lalu

muncullah di pintu seorang kakek bertubuh jangkung, tanpa kumis dan tanpa jenggot,

rambutnya sudah putih tertutup oleh ikat kepala warna ungu, demikian pula dua alisnya

yang menaungi sepasang mata. Sepasang mata yang berkilat-kilat dan berwibawa.

"Engkau sudah sadar, anak?" tanya kakek jangkung ini dengan nada halus.

"Ya, terima kasih atas pertolongan kakek kepada saya," sahut Fajar Legawa.

"Saya Fajar Legawa. Dan apabila kakek tiada keberatan, saya mohon keterangan tentang

rumah ini maupun gelaran kakek yang mulia."

"Heh-heh-heh," kakek jangkung ini terkekeh mendengar ucapan Fajar Legawa.

"Mulia? Mengapa mulia? Apakah karena aku menolong dan menyelamatkan engkau

kemudian engkau menganggap bahwa aku seorang yang mulia? Aku hanya seorang petani

miskin, sedang rumah inipun hanya sebuah rumah gubug yang hanya sekedar dapat

dipergunakan berteduh dikala panas maupun hujan. Heh-heh-heh, dan apabila engkau

ingin mendengar namaku aku Abdulrajak."

"Aihhh........Abdulrajak.........?" Fajar Legawa kaget tetapi juga gembira. "Kalau

demikian, apakah saya sekarang ini di Madura?"

Kakek jangkung itu terkekeh lagi, "Heh-heh-heh, mengapa engkau merasa di

Madura? Apakah engkau ini mimpi?"

Untuk sejenak Fajar Legawa membelalakkan mata. Bukan tidak bersadar ia

Madura itu. Sebab ia pernah mendengar cerita gurunya, bahwa orang yang bernama

Abdulrajak itu seorang sakti dari Madura. Ketika itu Suria Kencana menceritakan, bahwa

sejak muda Abdulrajak sudah terkenal sebagai seorang tokoh sakti mandraguna, namanya

amat harum sekali dan dipuji sanjung orang. Malah kemudian Suria Kencana mengakui,

walaupun dalam hal usia lebih tua dibanding dengan Abdulrajak, tetapi dalam bidang

ilmu tata kelahi dan kesaktian, masih jauh dibawah tokoh sakti Madura itu.

"Sudah amat lama sekali saya mendengar nama paman yang harum," kata Fajar

Legawa.

"Harum?" ulas Abdulrajak. "Harum semacam bunga kantil ataukah bunga

kenanga? Heh-heh-heh, semua itu hanya kosong belaka. Puji sanjung itu, dapat membuat

orang mabuk. Dapat membuat orang lupa daratan, yang akibatnya pula akan merugikan

masyarakat. Heh-heh-heh, engkau sudah mengenal aku. Murid siapakah sesungguhnya

engkau ini?"

"Saya murid bapa Suria Kencana di Lembah Galunggung."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Aihh.......engkau muridnya? Pantas engkau gagh berani. Walaupun hanya

seorang diri, engkau berani mengacau keraton Mataram. Tetapi sungguh sayang, engkau

terlalu berani dan tidak mengukur kekuatan sendiri. Ibarat engkau mengacau sarang

harimau."

Fajar Legawa menghela napas, kemudian sahutnya. "Ya, saya memang terlalu

berani dan tidak mengukur kekuatan sendiri. Ya ........ memang ada persoalannya saya

menjadi lupa diri seperti itu."

"Apakah persoalannya? Apakah engkau berusaha memusuhi raja?"

"Benar."

"Aihh..... engkau memusuhi raja Mataram itu?"

Fajar Legawa mengangguk. Kemudian ia menuturkan asal usul dirinya, sehingga

tanpa ingat kekuatan dirinya sudah pergi ke Karta dengan maksud membalas dendam.

Fajar Legawa menuturkan dari awal sampai akhir. Dan mendengar penuturan ini

Abdulrajak mengangguk-angguk sambil menghela napas berat.

"Pantas, engkau menjadi lupa diri. Tetapi kalau ingkang Sinuhun Sultan Agung

sudah menawarkan kedudukan untuk engkau seperti itu, sesungguhnya sikapnya amat

baik. Lebih lagi terbukti, dia tidak mau menangkap engkau dan membiarkan engkau

pergi."

"Ya. akan tetapi apakah terbunuh matinya ayah itu, cukup hanya ditebus dengan

kedudukan seperti itu? Apakah nyawa ayah terlalu murah seperti itu?" bantah Fajar

Legawa yang masih penasaran.

Abdul rajak mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Anak, apabila orang selalu

mengenang masa lampau, peristiwa yang telah lalu, hal itu hanyalah akan menimbulkan

kerugian bagi diri sendiri. Sebab hidupnya tak merasa tenang lagi, dan dalam jiwa selalu

terjadi pertentangan. Dan apabila di dalam jiwa manusia ini sudah terjadi pertentangan

akibatnya pula akan mengotori jiwa manusia itu sendiri. Di mana jiwa ini menjadi kotor,

bisa mendorong tindakan-tindakan maupun perbuatan yang tidak baik.

"Tetapi paman.........apakah nyawa ayah yang melayang di tangan algojo

Mataram itu, harus saya biarkan begitu saja tanpa usaha membalas?" protes Fajar Legawa

yang menjadi mendongkol.

"Aku tidak bisa menyalahkan engkau anak, bahwa engkau mempunyai pendapat

seperti itu." Abdulrajak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengamati pemudahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

itu. "Tetapi kita harus mau menyadari anak, bahwa sesungguhnya manusia ini tidak akan

dapat melepaskan diri dari takdir. Apa harus dikata kalau toh memang takdir harus

berlaku atas diri seseorang? Apabila orang berusaha membantah takdir, sama pula artinya

manusia itu ingin lebih berkuasa dan melebihi kekuasnan Tuhan. Dan kalau demikian

halnya, berarti pula manusia itu tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan yang tanpa batas.

Mengapa peristiwa itu harus terjadi dan menimpa dirinya. Mengapa tidak kepada orang

lain? Hingga dengan begitu yang terpikir hanyalah demi kepentingan diri dan yang

terpenting pula mencari keuntungan diri. Bukankah sesungguhnya watak seperti ini, yang

harus selalu dijauhi oleh setiap orang yang merasa wajib membela kepentingan manusia

lain, dan mendekatkan diri dengan sifat dan sikap ksatrya."

Abdulrajak berhenti dan mengamati Fajar Legawa, seakan mencari kesan. Ketika

melihat bahwa pemuda itu tampak amat memperhatikan, kakek ini berkata lagi. "Anak,

kiranya engkaupun sependapat dengan aku, bahwa Tuhan sajalah yang berhak mencabut

nyawa manusia ini. Orang bisa saja mengancam mau membunuh. Tetapi kalamana

Tuhan tidak menghendaki, usaha orang itu takkan bisa berhasil. Kalau nyawa manusia

ini di bawah kekuasaan Tuhan, apakah sebabnya engkau menjadi menyesal kemudian

timbul pula keinginanmu untuk, membalas dendam itu? Hemm.... anak, apapun

alasannya, balas membalas tidaklah baik. Balas-membalas akan memancing kepada

keadaan manusia ini saling berselisih dan bermusuhan. Dan apabila dunia ini sudah

dipenuhi oleh manusia-manusia yang saling berselisih dan bermusuhan, akibatnya akan

runyam. Dunia ini akan menjadi kacau. Dunia ini tiada ketentraman, dan akibatnya pula

akan dunia ini takkan ada peradaban lagi. Manusia menjadi liar, manusia menjadi

ganas. Maka menjadi kewajiban setiap orang yang merasa dirinya bertanggung jawab

terhadap kesejahteraan umat manusia di dunia ini, tentu akan berusaha menjauhkan diri

dari perbuatan-perbuatan itu!"

Mendengar nasihat Abdulrajak ini datanglah kesadaran Fajar Legawa, bahwa apa

yang, sudah dilakukan memang kurang pada tempatnya. Memang apabila orang sudah

berusaha balas-membalas, akan memancing perselisihan, memancing permusuhan dan

dunia ini akan menjadi kacau dan rusaklah peradaban manusia. Tetapi walaupun ia sadar,

ia masih bertanya. "Tetapi paman apakah aku harus membiarkan terbunuh matinya ayah

begitu saja?"

"Anak, apa yang engkau hadapi adalah urusanmu pribadi, dan aku tidak berhak

mencampuri." Sahut Abdulrajak. "Aku tadi hanya mengutarakan perasaanku. Perasaan

seorang tua, yang memandang isi dunia ini dengan pandang mata yang jauh. Aku hanya

mengatakan bahwa jiwa manusia ini sepenuhnya di tangan Tuhan, dan balas-membalas

tidaklah pada tempatnya. Sebab hal itu akan menimbulkan pertikaian yang tiada

habisnya. Kalau engkau mempunyai pendapat harus membalas dendam kepada Sultan

Agung, maka sebaliknya apabila usahamu itu berhasil, apakah kemudian tidak timbul

pula usaha pihak sana mencari balas?"

Abdulrajak berhenti dan mengamati pemuda itu seakan mencari kesan. Ketikahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

melihat pemuda itu menundukkan kepalanya, ia meneruskan. "Orang-orang tua kita, dan

para cerdik pandai telah memberi nasihat kepada kita. Bahwa mempunyai seribu sahabat,

kalau masih mempunyai seorang saja musuh, hidupnya takkan merasa aman. Mengapa?

Karena setiap saat orang itu hatinya tidak tenang, hatinya selalu diliputi perasaan

khawatir kepada orang yang dianggap sebagai musuh itu. Tujuan manusia hidup di dunia

ini mencari ketenangan, ketenteraman dan keselamatan. Nah, bagaimanakah orang

merasa tenteram kalau memang digoda oleh permusuhan itu?"

Tergugah kesadaran Fajar Legawa ketika mendengar ucapan Abdulrajak yang

terakhir mi. Nasihat yang senada pernah ia dengar dari gurunya sendiri. Bahwa orang

yang ingin hidup tenang dan tenteram, harus menjauhkan diri dari rasa benci dan

permusuhan. Berikan pipimu yang kanan apabila orang menampar pipimu yang kiri."

"Terima kasih atas nasihat dan petunjuk paman," kata pemuda ini kemudian. "Ya,

saya menjadi sadar bahwa apa yang telah saya lakukan, oleh pengaruh dorongan hati

sempit dan pandangan yang cupat."

"Tetapi aku tidak melarang engkau anak," kata Abdulrajak. "Apa yang aku

katakan tadi hanya sekedar mengingatkan saja, agar kelak kemudian hari engkau dapat

hidup tenteram dan senang."

Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri. Keadaan pondok menjadi

hening. Justeru dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba Fajar Legawa teringat kembali akan

tongkat berisi keris pusaka leluhurnya. Maka sambil mengamati Abdulrajak, ia bertanya.

"Paman, ketika saya jatuh pingsan dan paman tolong, apakah tongkat saya itu dapat

paman selamatkan pula?"

"Tongkat kayu asam itu? Legakanlah hatimu bahwa tongkat itu ikut pula aku

bawa." Abdulraja menerangkan. "Tetapi ehh, aku menjadi heran akan tongkatmu itu.

Mengapa sebabnya sanggup menahan gempuran senjata tajam?"

Kalau kepada orang lain, tentu Fajar Legawa tidak akan mau mengaku tentang

sebabnya. Akan tetapi kepada Abdulrajak ini ia percaya, bahwa orang tua ini takkan

sampai hati mencelakakan dirinya, tadipun ia telah menceritakan asal-usulnya terus

terang, bahwa dirinya merupakan keturunan Adipati Ukur. Oleh karena itu kiranya tiada

halangan pula apabila sekarang ia menerangkan rahasia tongkat itu. Sahutnya kemudian.

"Paman, tadi saya telah mengaku terus terang tentang asal usulku. Dan sesuai

dengan kedudukan saya sebagai keturunan ayah Adipati Ukur itu, maka sayapun

mewarisi keris pusaka Tilam Upih......"

"Ahhh........" Abdulrajak berseru tertahan. "Jadi, keris pusaka itu tersembunyi dihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dalam?"

Fajar Legawa mengangguk. "Guru yang menyimpan keris pusaka itu di dalam

tongkat. Pada mulanya sayapun tidak menyadari, karena guru tidak memberitahukan.

Akan tetapi ketika saya dapat mematahkan senjata lawan dengan tongkat, barulah saya

sadar."

"Hemm, aku bersyukur kepada Tuhan, bahwa ketika menolongmu aku tidak

mengabaikan tongkat itu," kata Abdulrajak. "Akupun bersyukur pula bahwa keris pusaka

"Tilam Upih" itu dapat engkau warisi. Namun demikian engkau harus selalu berhati-hati

anak, sekarang banyak orang membicarakan keris itu."

"Ya, paman, akupun menyadari." Fajar Legawa mengangguk. "Mengingat

bahaya yang bisa menimpa diri saya itu paman, maka saya minta kepada guru agar keris
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pusaka ayah itu disimpan guru saja. Akan tetapi sungguh menyesal, guru menolak dan

memaksakan bahwa akulah yang harus menyimpannya."

" Gurumu benar," Abdurajak mengangguk-angguk. "Itu sependapat dengan aku.

Keris pusaka itu milikmu, maka anaknya pula yang seharusnya bertanggung-jawab

menjaga keselamatannya. Tetapi anak, janganlah engkau menjadi was-was dan khawatir.

Tuhan Maha Adil dan Maha Kasih. Maka percayalah engkau bahwa orang baik akan

selalu memperoleh perlindungannya."

Abdulrajak berhenti. Setelah batuk-batuk kecil, kemudian kakek ini meneruskan.

"Engkau harus tahu anak, bahwa ketika ayahmu masih hidup, akupun kenal. Hemm, aku

masih ingat akan watak dan tabiat ayahmu waktu itu. Dia seorang bangsawan tetapi tidak

sombong oleh kedudukannya. Dia bisa bergaul dengan segala lapisan masyarakat,

sehingga ayahmu disegani oleh lawan maupun kawan. Hemm, agaknya perlu engkau

ketahui anak, bahwa ketika terdengar ayahmu ditangkap oleh utusan Sultan Agung dan

dibawa ke Mataram, peristiwa itu dalam waktu singkat telah didengar orang secara luas.

Ahh, apakah engkau sedia mendengar ceritaku?"

"Paman, ceritakan," desak Fajar Legawa. Hatinya segera terangsang oleh

keinginan untuk dapat mengetahui peristiwa-peristiwa yang punya sangkut-paut dengan

ayahnya.

"Baiklah, aku ceritakan sekarang, secara singkat saja." Abdulrajak mendehem,

kemudian untuk sebentar seperti sedang mengumpulkan ingatan, lalu. "Ketika itu akupun

sudah mendengar tentang ditangkapnya ayahmu yang kemudian di bawa ke Mataram.

Ketika itu terjadilah keributan. Beberapa orang sahabat ayahmu, antara lain aku dan

gurumu sendiri menyelenggarakan pertemuan dengan beberapa orang tokoh sakti, untuk

bermusyawarah. Banyak yang diketemukan dalam musyawarah itu. Ada yang

menganjurkan agar bersama-sama menyerbu Mataram dan mengamuk. Ada pula yang

mempunyai pendapat bahwa bersama-sama datang ke keraton Mataram untuk

menangkap Sultan Agung dan dijadikan sandera agar sedia membebaskan ayahmu. Akanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tetapi ketika itu gurumu berpendapat lain. Dia tidak setuju dengan maksud seperti itu,

sebab bisa menimbulkan kekacauan, keributan dan salah-salah dapat membawa akibat

buruk terhadap rakyat maupun orang-orang tak bersalah."

"Mendengar pendapat gurumu itu beberapa orang heran dan mengamati."

Abdulrajak meneruskan keterangannya setelah berhenti sejenak. "Malah ada pula orang

yang menuntut kepada gurumu agar menunjukkan jalan yang lebih tepat dan selamat.

Gurumu ketika itu berkata, bahwa kalau mau, manakah mungkin Adipati Ukur dapat

ditangkap dengan mudah oleh utusan Mataram itu? Di samping ayahmu sendiri seorang

sakti, di Kadipaten Ukurpun tidak kurang-kurang jumlahnya ponggawa sakti. Kalau mau

melawan, tentu utusan Mataram itu dapat disapu dengan gampang, dan untuk

menyelamatkan diri meninggalkan Ukur dan bersembunyi. Memang ketika itu beberapa

ponggawa Ukur berusaha mempengaruhi pendapat Adipati Ukur agar melawan dan

membunuh semua utusan Sultan Agung itu. Akan tetapi ayahmu menolak, kemudian

mengatakan bahwa perintah raja tidak boleh dibantah. Maka ia melarang ponggawa Ukur

melawan utusan Mataram itu dan ayahmu memberikan dua tangannya untuk

dibelenggu."

Abdulrajak berhenti lagi dan batuk-batuk kecil. Fajar Legawa menunggu lanjutan

cerita itu dengan jantung berdebar tegang. Walaupun cerita ini sudah lama berlalu, dan

walau ayahnya sudah lama dikubur, namun cerita tentang ayahnya ini sangat menarik. Ia

harus tahu, apa yang terjadi ketika itu.

"Lalu, bagaimanakah paman?" desaknya kemudian.

"Ya, berdasar kepada alasan itu maka gurumu menolak dan tidak menyetujui

pendapat semua orang. Kemudian gurumu menyarankan agar beberapa orang bergerak

secara rahasia, datang ke penjara di mana ayahmu menunggu nasib, untuk menemuinya

dan bicara. Kalau ayahmu setuju lolos dari penjara guna menyelamatkan diri, maka

semua sahabat akan menolong. Sebaliknya kalau ayahmu tidak sedia, orang tidak boleh

memaksanya. Hemm............" Abdulrajak menghela napas pendek. "............jadilah

semua sahabat setuju dengan pendapat gurumu itu. Kemudian akulah yang terpilih untuk

masuk ke dalam penjara, bertemu dan berbicara dengan ayahmu. Sedang beberapa

sahabat yang lain, melindungi keselamatanku."

"Ya, pada suatu malam yang gelap jadilah aku dengan tiga orang sahabat datang

ke penjara, dimana ayahmu disimpan. Berkat kesigapan dan bantuan tiga orang sahabat

itu, dengan, gampang aku dapat masuk ke dalam kamar ayahmu. Hem, ternyata kamar

dimana ayahmu disimpan itu amat gelap. Hingga sekalipun aku sudah terlatih di dalam

gelap, terpaksa aku masuk ke dalam kamar itu sambil meraba-raba, khawatir kalau

tertumbuk sesuatu."

"Dan agaknya ayahmu belum tidur," kata Abdulrajak sambil mengamati Fajarhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Legawa, dimana dana pemuda itu tampak turun naik seperti orang sesak napas. Melihat

gerak dada pemuda itu, ia mengerti bahwa pemuda itu dalam keadaan tegang. "Siapa?"

tegur ayahmu perlahan, "Wukirsarikah? Engkau datang lagi! Hemm, apakah engkau tidak

mau mendengar alasanku?"

"Ahhh........." seru Fajar Legawa tertahan. "Jadi paman Wukirsari mempunyai

maksud yang sama dengan paman?"

Abdulrajak mengangguk. Kemudian..."aku sadar bahwa orang tidak boleh main
main dalam penjara ini, sebab tentu dijaga oleh prajurit Mataram dengan ketat. Maka aku

nyalakan kemudian bahan api, lalu aku berbisik. Aku Abdulrajak, aku masuk ke dalam

kamarmu untuk membawa engkau keluar dari penjara ini. Gusti Adipati, apakah engkau

terluka? Jika terluka biarlah aku gendong, agar dapat keluar secepatnya dari kamar penjara

ini."

"Kau.......kau kakang Abdulrajak....?" demikian ayahmu sambil mengamati aku

dengan mata terbelalak, hampir tidak percaya. "mengapa engkau datang kemari dan apa

pulakah maksudmu?"

"Aku bersama beberapa orang sahabat telah bersepakat untuk menolong Gusti

Adipati lolos dari penjara terkutuk ini." sahutku.

"Hemm, tidak bisa!" sahut ayahmu dengan nada yang keras. "Penjara ini dibuat

secara khusus oleh Paduka Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung, untuk menghukum

seseorang yang bersalah dan berdosa terhadap paduka raja. Oleh sebab itu engkau tak

boleh mengganggu aku, sekalipun aku amat menghargakan dan amat terima kasih atas

kebaikan hatimu."

"Hemm, sulit aku bayangkan betapa perasaanku ketika itu, setelah mendengar

jawaban ayahmu di luar dugaan itu. Dan di saat aku masih bingung dan heran itu, tiba
tiba ayahmu berkata lagi. "Aku sajalah seorang Adipati dari kerajaan Mataram yang jaya.

Seorang Adipati yang setia kepada rajanya, manakah mungkin sanggup melarikan diri

dari penjara? Bukankah dengan perbuatan itu berarti aku sudah berkhianat kepada

Ingkang Sinuhun Sultan Agung? Hemm, pergilah dan jangan mengganggu aku lagi."

Mendengar jawaban ayahmu itu, tambah rasa heranku. Mengapa ayahmu

berpendapat seperti itu? Aku bersama sahabat sudah berpayah-payah datang ke penjara

ini dengan tujuan menolong ayahmu. Namun sungguh celaka, ayahmu malah menolak.

Menghadapi kenyataan ini, aku menjadi kagum akan pendapat gurumu. Kalau saja

gurumu tidak mencegah, kemudian kami menyerbu penjara ini dan berkelahi,

penyerbuannu hanya sia-sia belaka. Sebab ayahmu akan mogok dan tak juga mau tunduk

kepada kehendak kami. Hemm, tetapi ketika itu aku tidak menyerah begitu saja. Menurut

anggapanku, apa yang sudah aku lakukan justeru tepat untuk menolong seorang sahabat.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Oleh sebab itu kataku, "Jika Gusti Adipati tidak sedia kabur, apakah tidak berarti Gusti

Adipati mengorbankan nyawa sia-sia? Dan bukankah Gusti Adipati akan tewas secara

penasaran?"

Sungguh di luar dugaan ayahmu malah ketawa bergelak-gelak. Sahutnya

kemudian. "Hemm, jika aku takut mati, tentu saja aku tidak akan menyerbu benteng

Belanda di Betawi itu bersama pasukanku. Sayang, pasukanku dan pasukan Mataram

memang kalah perlengkapan dibanding musuh. Akibatnya penyerbuan itu gagal. Kami

mundur dengan tangan hampa. Justeru oleh peristiwa yang mengecewakan itu, salahkah

apabila Ingkang Sinuhun Sultan Agung murka, kemudian menghukum aku yang

dianggap tidak becus melaksanakan tugas itu?"

"Ahhh........" Fajar Legawa berseru tertahan. "Mengapa Sultan Agung mudah

menyalahkan orang? Hemm, apakah kalau Sultan Agung sendiri yang memimpin

penyerbuan itu, tentu berhasil?"

Abdulrajak mengangguk-angguk. Kemudian katanya. "Akupun memberikan

alasan seperti alasanmu ini. Tetapi ayahmu mengatakan, bahwa itu adalah hak Ingkang

Sinuhun Sultan Agung sendiri. Seorang hamba harus tunduk kepada junjungannya. Kalau

raja mengatakan seseorang bersalah, orang itu tidak dapat mencari dalih lagi. Nah

sekarang tidak perlu engkau banyak bicara, dan lekaslah engkau pergi."

Berubah wajah Fajar Legawa mendengar penuturan ini. Diam-diam timbul

penyesalan dalam hatinya, mengapa ayahnya mempunyai pendapat seperti itu? Maka

setelah menghela napas dalam, ia berkata. "Sayang ayah berpendirian seperti itu. Kalau

tidak, kiranya ayah takkan mengorbankan nyawa sia-sia."

"Hemm, memang," sahut Abdulrajak. "Melihat sikap ayahmu itu, timbullah

kehendakku untuk membawa pergi ayahmu dengan paksa. Akan tetapi sungguh celaka,

agaknya ayahmu dapat menduga apa yang sedang aku pikirkan. Katanya, hemm apabila

engkau sampai nekat dan memaksa aku, engkaupun takkan dapat membawa aku dari

penjara ini dalam keadaan masih hidup. Huh, aku tidak dapat berkhianat kepada Ingkang

Sinuhun Sultan Agung. Maka apabila engkau memaksa, engkau hanya membawa

tubuhku yang sudah tidak bernyawa........."

"Aihh........!" Lagi-lagi Fajar Legawa kaget. Sepasang matanya mendadak saja

berubah merah. Kemudian. "Sikap ayah sungguh amat aku sayangkan. Jelas bahwa

dirinya bakal dibunuh mati oleh algojo Mataram, mengapa tidak mau ditolong orang."

"Ya," Abdulrajak menghela napas panjang. Hati kakek ini terpengaruh juga,

setelah berusaha mengingat kembali peristiwa itu. "Memang patut disayangkan sikap

ayahmu yang seperti itu. Tetapi aku masih berusaha membujuk. Kataku, GustiAdipati.

apakah engkau tidak kasihan kepada keluarga maupun rakyat Kadipaten Ukur? Tentuhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mereka akan kehilangan dan sedih."

Tetapi ayahmu ketawa terkekeh, kemudian jawabnya. "Manusia yang hidup di

dunia ini tentu mati, bukan? Mengapa engkau repot menghadapi orang mau mati? Mati

sekarang dan mati kemudian tiada bedanya, semua akan dikubur di dalam tanah. Padahal

orang yang mati takkan dapat membawa apa-apa. Nah, kalau orang sudah tahu tidak bisa

membawa apa-apa, mengapa repot? Kelak kemudian hari tidak urung keluarga dan

rakyatku Kadipaten Ukur akan aku tinggalkan mati. Nah karena itu, aku tidak mau

perduli lagi kepada siapapun yang akan merasa sedih kehilangan aku."

"Ayahku mengapa keras kepala?" desis Fajar Legawa yang menyesal dan agak

penasaran atas sikap ayahnya yang terlalu setia kepada raja itu.

Abdulrajak tidak menanggapi, dan ia meneruskan. "Hemm, ketika itu aku

mengatakan, bahwa apabila ayahmu menyerah atas kehendak raja, walaupun benar mati

akan tetapi mati tidak berharga, karena mati sebagai seorang bersalah dan dihukum."

Mendadak saja sepasang mata ayahmu melotot dan tampak merah. Bentaknya,

"Apa? Mati tidak berharga? Yang dapat membedakan adalah manusia-manusia yang

masih hidup. Tetapi bagi yang mengalami sendiri, tiada bedanya sedikitpun karena sama
sama melayang nyawanya. Hah, engkau jangan menggurui aku! Jika aku mati tidak

berharga, maka menurut anggapanmu tentu, aku harus mengadakan perlawanan. Dan

dengan begitu, barulah aku dapat mati secara berharga, karena aku mati dalam berkelahi

melawan raja? Hah-hah-hah engkau keliru. Engkau salah! Menurut pendapatku, mati

melawan raja itulah mati yang tidak berharha. Dan sebaliknya mati yang berharga,

apabila seorang kawula tunduk kepada kehendak raja."

"Hemm, ketika itu masih ingin membujuk dan memberikan alasanku. Akan tetapi

tiba-tiba telingaku menangkap suara burung hantu. Aku mengerti bahwa suara itu

merupakan kode rahasia dari kawan-kawanku, agar selekasnya aku pergi dan keluar dari

kamar penjara, karena keadaan berbahaya. Karena keadaan mendesak, maka aku masih

berusaha membujuk lagi. Tetapi diluar dugaan, ayahmu membentak dan mengusir aku."

"Tetapi ketika itu aku belum berkisar dari tempatku berdiri. Sebelum aku sempat

membuka mulut, ayahmu sudah mengancam. Huh, apabila engkau tidak lekas enyah dari

sini, apakah engkau ingin melihat aku membunuh diri dengan membenturkan kepalaku

ke tembok penjara?"

Fajar Legawa menghela napas berat. Ia tambah tidak mengerti akan sikap ayahnya

itu.

Abdulrajak meneruskan lagi. "Karena aku sudah tidak berdaya membujuk dan merubah

pendirian ayahmu, maka aku tidak dapat berbuat lain kecuali harus mengalah. Makahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kemudian aku hanya bertanya, apakah kiranya pesan yang perlu aku laksanan demi

kepentingan ayahmu. Semula ayahmu hanya menggeleng saja. Namun kemudian

ayahmu mengatakan. Agar aku dapat membantu melindungi dua orang anak yang diasuh

oleh Kyai Kusen disamping sebilah keris pusaka bernama "Tilam Upih."

"Yang dimaksud ayah adalah aku dan adikku," kata Fajar Legawa.

Abdulrajak membelalakkan matanya mengamati Fajar Legawa. Katanya.

"Engkau......?"

"Ya." Kemudian Fajar Legawa menceritakan apa yang telah terjadi. Abdulrajak

tidak terkejut, justeru peristiwa yang menimpa Kyai Kusen alias Kyai Abdul Fatah itu

sudah didengarnya pula.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ahhh, sungguh tidak pernah aku duga." Kata kakek ini kemudian. "Bahwa pada

akhirnya aku dapat bertemu dengan engkau yang pernah dititipkan oleh ayahmu."

"Terima kasih paman, atas perhatianmu padaku."

"Hemm, tentu saja! Sambil menunggu kesembuhan lukamu, kemudian engkau

akan dapat mengenal aku lebih dekat!" kata Abdulrajak. "Akan tetapi walaupun ayahmu

pernah menitipkan engkau padaku, tetapi aku tidak berani mengharapkan terlalu jauh.

Hanya engkau sendirilah yang berhak menentukan. Namun apabila engkau sependapat

dengan ayahmu, tentu aku akan menerima kehadiranmu di pondokku ini dengan senang

hati.Anakku. Aku tidak akan berani menganggap engkau sebagai murid. Tetapi apabila

engkau sendiri setuju, maka pada kesempatan pertemuanku dengan engkau ini, ingin aku

memberi tambahan ilmu untuk kepentingan hidupmu kelak.

Mendadak saja Fajar Legawa turun dari pembaringan, kemudian berlutut di depan

Abdulrajak. Tetapi Abduhrajak cepat-cepat membangunkan pemuda ini, sehingga tanpa

dapat membantah lagi tubuhnya terangkat dan kembali duduk di atas pembaringan.

"Betapa gembira hati saya kalamana paman sedia memperhatikan aku." Kata

Fajar Legawa kemudian. "Pengalaman yang baru terjadi, menyadarkan saya bahwa

keadaanku sekarang ini masih tiada gunanya apabila berhadapan dengan orang sakti."

"Kemudian, setelah engkau bertambah ilmu, akan engkau gunakan membalas

dendam dan membunuh Sultan Agung?" pancing Abdulrajak.

Fajar Legawa menggeleng. Sahutnya kemudian, "Penuturan paman membuka

mata hatiku tentang ayah. Sekarang saya tak lagi mendendam kepada raja Mataram itu,

mengingat ayah sendirilah yang memilih mati di tangan algojo Mataram.

Hemm.........kalau saja waktu itu ayah tidak............keras kepala mungkin sekali ayahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tidak mengalami nasib seburuk itu. Dan karena usaha para sahabat ayah tidak disetujui

ayah, maka ayahpun tentu akan mengutuk aku, apabila aku sampai memusuhi Sultan

Agung."

"Bagus!" puji Abdulrajak. "Itulah sikap kesatrya yang pantas aku puji. Memang

tidak pada tempatnya engkau harus melakukan pembalasan itu. Yang sudah mati biarlah

mati dengan tenang. Yang masih hidup harus berusaha hidup secara baik dan berguna

bagi manusia lain."

Untuk beberapa saat lamanya mereka kembali berdiam diri. Tetapi kemudian

teringatlah Fajar Legawa akan bahaya bagi dirinya, apabila terus membawa keris pusaka

warisan ayahnya itu. Maka pada kesempatan ini, inginlah ia membujuk Abdulrajak agar

sudi mewakili. Katanya. "Paman, mengingat bahwa sekarang orang berusaha

memperebutkan keris pusaka warisan ayah itu. Terpikir oleh saya agar paman sajalah

yang mewakili, agar menjadi aman."

"Heh-heh-heh," Abdulrajak terkekeh mendengar ucapan pemuda ini. Kemudian.

"Engkau lucu. Apakah sangkamu pusaka itu pasti aman kalau sudah aku lindungi?

Hemm, lagi-lagi engkau lupa akan kekuasaan dan keagungan Tuhan. Apabila engkau

percaya kepada kekuasaan Tuhan mengapa engkau khawatir? Di manapun keris pusaka

itu disimpan akan tetap tidak aman. Akan tetapi kalau sudah engkau serahkan

sepenuhnya atas penjagaan dan kehendak Tuhan, maka pusaka warisan ayahmu itu akan

aman. Jadi, percayalah sepenuhnya bahwa engkaupun akan dapat mengamankan keris

itu."

Mendengar jawaban Abdulrajak ini, ia tergugu. Jawaban ini memang amat tepat

dan ia tidak lagi dapat mengatasi.

Demikianlah, sambil menyembuhkan lukanya ini, maka Fajar Legawa mendapat

gemblengan dari Abdulrajak. Kehadiran Fajar Legawa secara tidak sengaja ini, telah

membuat Abdulrajak amat senang sekali. Dirinya pernah berjanji akan ikut melindungi

keturunan Adipati Ukur itu. Akan tetapi selama ini ia tidak tahu manakah anak keturunan

Adipati Ukur yang dimaksud itu.

Di samping ia ingin memenuhi pesan terakhir Adipati Ukur itu, iapun sekarang

merasa bahwa sudah tidak mempunyai pewaris ilmu lagi. Murid tunggalnya telah mati

terbunuh orang, dan untuk mengangkat dan mendidik seorang murid, ia tidak mempunyai

nafsu lagi. Maka apakah salahnya kalau sekarang ia menuangkan apa yang dimiliki

kepada anak Adipati Ukur ini?

Abdulrajak dikenal sebagai seorang sakti mandraguna semenjak masih amat muda.

Ia terkenal sebagai seorang ahli menyambit dengan pisau belati kecil. Juga ia terkenal

sebagai seorang yang ilmu tangan kosongnya amat hebat. Dan disamping itu, iapunhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

terkenal sebagai seorang ahli ilmu dengan senjata tongkat, disebut "Pasopati".

Bukankah amat kebetulan, bahwa Fajar Legawa ini senjatanya tongkat pula?

Dengan begitu ia berharap oleh gemblengannya, kemudian hari Fajar Legawa akan

menjadi seorang ahli senjata tongkat pilih tanding.

Sebaliknya Fajar Legawa percaya, bahwa oleh gemblengan Abdulrajak ini dirinya

bakal memperoleh kemajuan pesat. Ia sadar bahwa sebagai pewaris keris pusaka dari

ayahnya, dirinya akan selalu diancam oleh bahaya. Apakah yang akan terjadi kalamana

dirinya menghadapi tokoh-tokoh sakti seperti Klenting Mungil maupun Dadungawuk?

Oleh sebab itu iapun tekun sekali dalam melatih diri maupun mendengarkan keterangan

Abdulrajak. Sebab semua itu tidak lain, untuk kepentingannya sendiri pula.

Rumah di mana Abdulrajak bertempat tinggal ini, dalam sebuah hutan lebat yang

tidak jauh dengan sungai Progo. Setelah ia berdiam bersama Abdulrajak di tempat ini,

Fajar Legawa menjadi cinta akan sungai. Setiap waktu terluang Fajar Legawa selalu

berkecimpung di dalam air sungai itu, sehingga dalam waktu tidak lama ia sudah menjadi

seorang jago renang dan menyelam..

Pagi inipun Fajar Legawa asyik berenang dan berkecimpung dalam air sungai

Progo ini. Dan saking asyiknya, ia tidak sadar seorang muda telah muncul dari balik

rumpun bambu. Untuk sejenak pemuda itu mengamati dengan sepasang mata yang

menyala. Kemudian setelah mengamati, ia berteriak, "Hai, naiklah ke darat!"

Fajar Legawa kaget dan memalingkan mukanya. Tiba-tiba wajah pemuda ini

berseri, dan berteriak. "Aihh.........kakang Tumpak Denta."

Akan tetapi setelah mengucapkan kata-katanya ini, diam-diam Fajar Legawa

heran. Mengapa sikap Tumpak Denta ini berbeda dengan biasanya? Sejak dahulu sikap

kakak seperguruannya itu selalu ramah. Setiap bicara tentu memanggil namanya. Akan

tetapi mengapa sekarang ini ia hanya berteriak "hai" tanpa embel-embel nama lagi?

Namun walaupun ragu Fajar Legawa cepat pula berenang ke tepi. Ia segera menyambar

pakaiannya, tetapi karena sudah lama tidak bertemu dengan Tumpak Denta, iapun

membuka mulut.

"Kakang, amat lama sekali kita tidak bersua. Sungguh aku rindu sekali padamu."

"Hemm........."

Hanya itulah jawaban Tumpak Denta. Jawaban ini menambah rasa heran Fajar

Legawa. Apakah sebabnya begini? Dan apa pulakah salahnya, sehingga sikap kakak

seperguruannya ini menjadi dingin? Namun karena ia merasa tidak bersalah, sambil

mengenakan ikat kepala ia berkata lagi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Bagaimanakah khabar Sasongko, kakang? Bukankah dia sekarang makin maju

dan patut dibanggakan? Dia seorang anak malang, tetapi seorang bocah yang cerdas."

"Hemm........."

Lagi-lagi Tumpak Denta hanya mendehem seperti itu, dan tida kmenjawab.

Sikapnya acuh tak acuh, dan ia mengamati ke jurusan lain. Fajar Legawa tambah heran

dan makin merasa tidak enak hati. Apa sajakah yang menyebabkan sikap Tumpak Denta

sekarang ini berubah? Mungkinkah hal ini sebagai akibat dirinya yang sudah cukup lama

tidak muncul dan pulang menghadap gurunya?

Tetapi ia menahan hati dan menahan mulut, ia menyelesaikan pakaiannya cepat
cepat. Kemudian ia menghampiri dan menyapa. "Kakang..."

"Aku bukan kakakmu!" bentak Tumpak Denta sambil memutarkan tubuhnya.

Sekarang ia berhadapan dengan Fajar Legawa, dalam jarak kira-kira tiga langkah,

sepasang mata Tumpak Denta menyala dan mengamati Fajar Legawa tidak berkedip.

Sikap ini menambah rasa heran dan kaget Fajar Legawa. Apakah sebabnya?

Namun belum juga ia sempat membuka mulut, sudah terdengar Tumpak Denta

berkata lagi. "Aku bukan kakakmu. Dan aku juga tak sudi lagi mengakui engkau sebagai

adik sepengurunku. Huh, engkau pemuda bangsat. Pemuda jahanam, yang tidak tahu

malu! Lekas berlututlah engkau di depanku untuk menerima hukumanmu!"

Berubah wajah Fajar Legawa mendengar ini. Ia mengamati Tumpak Denta dengan

perasaan heran dan berdebar. Kemudian, "Aku heran dan tidak mengerti. Apakah

sebabnya engkau menyebut aku bangsat, jahanam dan tidak tahu malu? Kakang ....."

"Jangan panggil aku kakang!" potong Tumpak Denta yang berteriak. "Apakah

telingamu sudah tuli?"

Berjingkat dan mundur selangkah Fajar Legawa saking kaget. Akan tetapi karena

tidak tahu persoalannya dan tidak pula merasa bersalah, ia bertanya. "Apakah salahku?"

"Hemm, apakah salahmu?" sahut Tumpak Denta dingin, sedingin es. "Sebagai

seorang muda, sepak terjangmu amat memalukan. Berani berbuat ingkar tanggungjawab.

Huh!"

Fajar Legawa tambah heran mendengar ucapan Tumpak Denta yang kasar itu.

Apakah sebabnya Tumpak Denta tidak mau lagi mengakui dirinya sebagai adik

seperguruan? Juga, perbuatan apakah yang dianggap tidak bertanggungjawab itu? Ia tidak

merasa melakukan sesuatu yang menodai nama baik gurunya maupun kakakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

seperguruannya ini. Tetapi mengapa Tumpak Denta sudah semacam ini?

"Sungguh aku heran sekali jadinya," katanya kemudian. "Aku tidak merasa

melakukan sesuatu yang menodai nama baik guru maupun engkau. Tetapi mengapa

sekasar itu sikapmu padaku? Apakah sikapmu macam ini kalau didengar guru ........."

"Guru sudah tidak lagi mengakui orang macam engkau sebagai murid!" potong

Tumpak Denta dan membentak. "Huh, guru amat malu mempunyai seorang murid yang

ingkar akan kewajiban kesatrya yang sepi ing pamrih. Huh, manusia macam engkau ini,

yang pantas harus dihukum pancung, kemudian kepalamu ditusuk dengan bambu

runcing, dipergunakan tontonan sebagai contoh."

Wajah Fajar Legawa berubah mendengar ucapan Tumpak Denta yang makin

pedas dan sekasar ini. Sudah tepatkah kata-kata itu harus ditujukan kepada dirinya? Dan

mengapa pula tanpa sesuatu kesalahan, gurunya sudah tidak lagi mengakui dirinya

sebagai murid. Dan justeru tidak mengerti ini, ia berkata. "Aku tidak mengerti alasanmu,

mengapa guru sampai hati ........"

"Bukannya guru yang sampai hati. Tahu?" bentak Tumpak Denta makin keras

memotong ucapan Fajar Legawa yang belum selesai. "Akan tetapi engkau sendirilah

sebagai murid yang tak pandai menjaga nama baik guru dan saudara seperguruan.

Engkaulah seorang murtad, seorang pengkhianat yang tak dapat diampui lagi dosanya.

Huh, lekas katakan apa yang sudah engkau lakukan di desa Mergasari?"

Berjingkrak saking kaget Fajar Legawa mendengar disebutnya desa Mergasari itu.

Desa Mergasari adalah desa Ayu Kedasih. Akan tetapi sejak kepergiannya ke Karta, ia

tidak pernah pergi ke manapun, apa pula pergi ke Mergasari. Untuk apakah pergi kesana?

Oleh karena merasa tidak pernah melakukan sesuatu perbuatan tercela, apalagi tentang

Ayu Kedasih yang berumah di Mergasari, maka kemudian ia menyahut, "Mergasari? Aku

tidak pernah pergi ke sana. Selama lebih tiga bulan aku berdiam di pinggir sungai Progo

ini."

"Heh-heh-heh," Tumpak Denta terkekeh. Kemudian dengan sinar matanya yang

menyala, ia membentak lagi lebih lantang. "Tiada gunanya lagi engkau mungkir! Tahu?

Betapapun engkau berusaha berdalih, betapapun engkau mungkir, aku tidak akan mau

percaya. Tahu!? Huh, di dunia ini tidak seorangpun pencuri yang bersedia mengakui

perbuatannya, sekalipun sudah tertangkap basah. Tahu? Untuk membuat pencuri mau

mengakui perbuatannya, harus diancam dan dipaksa. Dan demikian pala engkau ini.

Tahu?"

KALAU saja yang mengucapkan kata-kata sekasar ini bukan Tumpak Denta,

kiranya Fajar Legawa sudah tidak kuasa lagi menahan sabar. Sebab untuk menjaga

kehormatan dirinya, iabersedia mengorbankan nyawa sekalipun. Akan tetapi karena yanghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dihadapi sekarang ini seorang kakak seperguruannya, maka walaupun ia penasaran, ia

masih berusaha menahan diri. Sahutnya. "Engkau menuduh aku sekasar itu, baiklah.

Namun sebaliknya aku tidak merasa melakukan sesuatu yang tercela."

"Ha-ha-ha-ha!" Tumpak Denta ketawa lagi. Kemudian masih sambil mengamati

Fajar Legawa dengan pandang mata yang menyala, ia berkata lagi, tetapi merupakan

sindiran. "Huh, dunia ini memang aneh. Betapapun tinggi kedudukan laki-laki, dan

betapapun masyhur nama laki-laki tetapi satu hal yang sulit menghindari godaan wanita

cantik jelita yang pandai merayu. Dan apabila seorang manusia laki-laki sudah terpikat

oleh bibir yang merah, payudara yang montok dan lirik mata yang bisa menimbulkan

birahi, manusia laki-laki itu lupa daratan. Manusia laki-laki itu kemudian lupa segalanya."

Tetapi walaupun ucapanTumpak Denta ini merupakan sindiran, namun Fajar

Legawa dapat menangkap maksudnya. Pemuda ini makin menjadi kaget lagi disamping

heran. Jelas sekarang bahwa dirinya dituduh melakukan perbuatan menyeleweng dengan

seorang wanita. Dan kalau Tumpak Denta tadi sudah menyebut-nyebut desa Mergasari,

agaknya dirinya telah dituduh melakukan hubungan gelap dengan Ayu Kedasih. Benar
benar ia merasa heran, sejak pertemuannya di desa Tohjoyo dan membela desa itu dari

ancaman penjahat, selama ini ia tidak pernah bertemu lagi dengan Ayu Kedasih. Namun

mengapa sebabnya sekarang dirinya dituduh seperti itu?

"Aku tidak pernah berhubungan dengan wanita!" sahut Fajar Legawa yang

nadanya sudah berubah keras, saking tak kuasa lagi menahan perasaan.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hek-heh-heh!" Tumpak Denta terkekeh mengejek. "Siapa mau percaya?"

"Apakah aku harus bersumpah?"

"Siapakah yang membutuhkan sumpahmu yang palsu itu? Huh, segala sumpah

tidak akan dapat meringankan kesalahan dan dosa perbuatan, tahu?"

Tumpak Denta mengamati Fajar Legawa dengan pandangannya yang makin

tajam dan berapi.

Sejenak kemudian, terusnya. "Lekas, lekaslah engkau berlutut dan menerima

hukumanmu!"

"Aku tidak merasa bersalah. Mengapa harus dihukum?" bantah Fajar Legawa

sambil menentang pandang mata kakak seperguruannya itu. "Aku memberi keterangan

sebenarnya. Aku tidak pernah pergi ke desa Mergasari, maka tidak akan bisa tahu pula

apa yang sudah terjadi di sana. Kakang........?"

"Bangsat!" putus Tumpak Denta menggeledek, "Aku bukan kakakmu danhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

melarang pula engkau menyebut aku kakang. Tahu. Huh, sejak peristiwa itu terjadi

hubunganmu dengan aku maupun dengan guru sudah putus. Mengerti? Maka jika engkau

masih mempunyai harga diri, engkau harus berlutut dan menerima hukumanmu!"

Tangan kanan Tumpak Denta bergerak dan mencabut pedang. Kemudian pedang

dilintangkan di depan dada sambil membentak. "Hai bocah, bukalah telingamu lebar
lebar. Dahulu aku mencintaimu seperti kepada adik kandungku sendiri. Sedang guru

mencintai dirimu pula seperti kepada anak sendiri. Tetapi sekarang aku amat menyesal,

sudah salah menanamkan kasihku kepada seorang yang tak pandai membalas budi guru

dan saudara perguruan. Maka sekarang lekaslah engkau menyerah untuk kuhukum!"

Panas juga Fajar Legawa mendengar kata-kata Tumpak Denta ini. Namun ia

masih tetap mencoba menekan segala perasaan dan menginginkan penjelasan yang lebih

gamblang. Apakah sebabnya dirinya dituduh telah tidak dapat membalas budi kepada

gurunya?

"Katakan apa yang terjadi. Demi Allah aku tidak tahu sedikitpun." Fajar Legawa

masih berusaha meyakinkan.

"Tak perlu cerewet!" bentak Tumpak Denta. "Bukti telah ada. Dan sekarang

engkau harus mampus!"

Setelah berkata Tumpak Denta sudah melompat dan menerjang dengan

pedangnya. Fajar Legawa terkejut, mimpipun tidak bahwa kakak seperguruannya ini

sampai hati menyerang dirinya, dengan gesit ia menghindar, mempraktekkan pelajaran

dari Abdulrajak. Hasilnya sungguh bagus, sambaran pedang itu luput.

Dalam hati Tumpak Denta keheranan melihat gerakan Fajar Legawa yang gesit

seperti itu. Dan sebaliknya pula Fajar Legawa merasa heran pula mengapa kakak

seperguruannya ini sedemikian marah, sehingga tidak mau diajak bicara?

"Tahan dulu! Tahan dulu!" teriak Fajar Legawa sambil terus berusaha

menghindarkan diri dari serangan Tumpak Denta yang bertubi-tubi itu. Sebagai saudara

seperguruan sudah tentu Fajar Legawa faham kepada semua gerakan Tumpak Denta.

Lebih lagi sekarang dirinya bukan seperti beberapa bulan yang lalu. Berkat bimbingan

Abdulrajak, dirinya dapat bergerak lebih cepat lagi.

"Cabut senjatamu dan lawanlah aku!" teriak Tumpak Denta yang menantang, dan

kemarahannya bertambah, ketika dihindari oleh Fajar Legawa dengan tangan kosong.

Akan tetapi Fajar Legawa tak juga mau mencabut senjatanya. Ia tidak merasa

bersalah sedikitpun. Maka tidak mempunyai alasan untuk berkelahi dengan Tumpak

Denta. Fajar Legawa tetap bergerak gesit dan lincah melayani serangan Tumpak Denta.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Namun sikap Fajar Legawa ini malah menambah kemarahan Tumpak Denta.

Sebab bukan saja Fajar Legawa melayani dengan tangan kosong, tetapi pemuda inipun

tidak mau membalas serangannya. Hal ini rasa marah dan jengkel tambah berkecamuk

dalam dadanya. Tumpak Denta terhina dan merasa direndahkan, justeru dirinya

berpedang tetapi Fajar Legawa bertangan kosong. Ia merasa bahwa sebagai kakak

seperguruannya dalam segala hal merasa lebih matang. Namun mengapa sekarang seperti

tidak berdaya menghadapi Fajar Legawa?

Akibatnya serangannya tidak pernah berhasil menyentuh sasarannya, dan Fajar

Legawa juga tidak mau membalas, membuat Tumpak Denta makin menjadi sengit.

Dalam hatinya berkecamuk perasaan marab, jengkel dan malu. Dirinya merasa sebagai

saudara seperguruan yang lebih tua, dan tentu saja memiliki kelebihan. Namun mengapa

tak juga berhasil menghajar adik seperguruannya ini?

Justeru penasaran dan jengkel ini menyebabkan Tumpak Denta tambah panas.

Kalau semula berharap agar adik seperguruannya ini menyerah untuk dihukum, maka

sekarang serangan-serangannya tambah ganas. Setiap sasaran pedangnya selalu mengarah

bagian tubuh yang lemah dan berbahaya, seperti menghadapi lawan benar.

Sesungguhnya pula memang ada sesuatu yang dapat dibanggakan oleh Tumpak Denta.

Sebagai seorang murid tertua, ia memang menerima ilmu khusus dari gurunya, yang tidak

diberikan kepada murid lain. Mengapa bisa begitu? Tumpak Denta merupakan bakal

menjadi penggantinya mengendalikan adik-adik seperguruannya. Untuk itu maka oleh

Suria Kencana dibekali ilmu khusus yang tidak dikenal oleh adik-adik seperguruannya.

Perubahan yang tiba-tiba dari gerak serangan Tampak Denta yang cepat seperti

tatit itu, membuat Fajar Legawa kaget berbareng heran. Gerak itu belum pernah

dikenalnya, dan sambaran pedangnya sulit diduga. Jika hanya mengandalkan

kecepatannya bergerak dan menghindar tanpa melawan, ia amat khawatir salah-salah

dirinya bisa mati terbunuh oleh kakak seperguruannya sendiri.

"Sring.........!" akhirnya Fajar Legawa mencabut pedang, guna membela diri. Fajar

Legawa memang tidak mau menggunakan tongkatnya. Sebab ia sadar, bahwa pedang

kakak seperguruannya itu takkan mampu menghadapi tongkatnya. Dan apabila pedang

itu sampai patah oleh tongkatnya tentu kakak seperguruannya ini akan tambah

marah. Karena terancam bahaya, maka pemuda ini hanya menggunakan pedang

pemberian Abdulrajak, dan ia melayani Tumpak Denta.

"Bagus!" seru Tumpak Denta, setelah Fajar Legawa mencabut pedang.

Fajar Legawa tersenyum getir. Bagaimanapun ia tak sedia melawan kakak

seperguruannya sendiri. Maka walaupun sekarang ini memegang pedang namun ia tidak

juga mau membalas serangan itu. Pedangnya melulu dipergunakan membela diri.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Tahan dulu. Mari kita bicara!" teriak Fajar Legawa berkali-kali sambil

menghindarkan diri. Ingin sekail ia memperoleh penjelasan tentang peristiwa Mergasari.

Agar mengerti duduk persoalannya.

CelakanyaTumpak Denta tidak mau memperdulikan teriakan Fajar Legawa.

Makin lama serangannya semakin menjadi cepat dan berbahaya sambil menggunakan

ilmu khusus untuk secepatnya dapat mengalahkan Fajar Legawa.

Untung juga bahwa Fajar Legawa sekarang ini telah memperoleh tambahan ilmu

tingkat tinggi dari Abdulrajak, tokoh Madura. Ia sekarang telah memiliki ilmu bernama

Pasopati, sehingga sekalipun belum memahami ilmu baru ini sepenuhnya, ia dapat

menolong diri setiap terancam oleh bahaya.

Tanpa terasa mereka telah berkelahi puluhan jurus lamanya. Tetapi sekalipun saja

Fajar Legawa tidak membalas, dan selama itu ia hanya menghindarkan diri.

Sebagai seudara tua seperguruan, Tumpak Derita sadar juga bahwa Fajar Legawa

tidak mau melawan. Akan tetapi karena saat sekarang ini dalam dadanya sedang dilanda

kemarahan, kesadarannya itu hanya sejenak saja mampir dalam dadanya. Ia malah makin

merasa terhina. Justeru dirinya sudah menggunakan ilmu khusus, lawan tak mau

membalas, belum juga berhasil menundukkan lawannya.

Dalam kemarahannya ini gerak serangan Tumpak Denta tambah ganas. Tiba-tiba

wut........... Fajar Legawa terkejut. Hampir saja pundak kirinya sudah terluka oleh ujung

pedang Tumpak Denta.

Tetapi walaupun Fajar Legawa berhasil menyelamatkan pundaknya, tidak urung

baju bagian pundaknya robek memanjang. Wajah Fajar Legawa pucat. Pemuda ini

sekarang mengerti dan menyadari, bahwa kakak seperguruannya ini benar-benar marah,

dan tega pula untuk mengambil jiwanya. Menyadari keadaan ini, jelas sekali bahwa

peristiwa di desa Mergasari itu benar-benar hebat. Sebab kuasa memancing kakak

seperguruannya yang biasanya sikapnya begitu kasih itu.

Sejak tadi ia sudah berusaha agar bisa mendapat penjelasan tentang peristiwa itu.

Tetapi sungguh sayang bahwa harapannya tidak terkabul, karena kakak seperguruannya

ini mendesak terus dan mengancam keselamatan jiwanya.

Sekalipun begitu, sekarang mendesak-desak lagi keinginannya untuk mendapat

penjelasan tentang peristiwa itu. Ia menangkis serangan susulan Tumpak Denta sambil

melompat mundur kemudian sambil melintangkan pedangnya di depan dada, ia bertanya.

"Berikan penjelasan padaku. Hemm, engkau sudah menuduh aku terlibat dalamhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

peristiwa di Mergasari. Peristiwa apakah yang engkau maksudkan itu? Demi Allah aku

benar-benar tidak tahu persoalan itu. Maka bukankah menjadi lebih adil, apabila sekarang

engkau sedia memberi penjelasan tentang peristiwa itu?"

"Huh, engkau masih berusaha mencari dalih?"ejek Tumpak Denta. "Walaupun

engkau mencoba untuk mungkir sepuluh ribu kali, tidak mungkin aku mau percaya. Huh,

Wanengboyo telah tewas dan engkaulah pembunuh itu. Huh, karena engkau

mengharapkan Ayu Kedasih yang cantik itu, maka jalan pembunuhan itulah yang engkau

ambil untuk melenyapkan Wanengboyo. Hemmm, bukankah sesudah Ayu Kedasih

menjadi janda, engkau memperoleh kesempatan bagus untuk memperisteri? Sungguh

memalukan!"

Wajah Fajar Legawa pucat saking kaget. Tubuhnya gemetar dari bibirnyapun

bergerak-gerak.

"Benarkah itu? Dan siapakah pembunuhnya?"

Tumpak Denta mengejek sambil terkekeh. "Heh-heh-heh, manakah ada maling

mau mengaku tanpa dipaksa?"

"Jangan menuduh sembarangan " tiba-tiba saja Fajar Legawa berteriak saking

marah, oleh tuduhan membabibuta itu. Demi Allah aku berani bersumpah, tidak

membunuh kakang Wanengboyo ........"

"Heh-heh-heh," Tumpak Denta ketawa dingin. "Engkau boleh mungkir seribu

kali. Akan tetapi aku tidak akan mau percaya."

"Aku mempunyai seorang saksi hidup, yang dapat menerangkan apa yang terjadi

dengan diri saya." Fajar Legawa menjadi sengit juga, dituduh membunuh Wanengboyo

dan mengharapkan jandanya. "Kakang ........."

"Tutup mulutmu!" potong Tumpak Denta lantang. "Aku tidak mempunyai lagi

saudara seperguruan seperti engkau"

Dari pucat, wajah Fajar Legawa sekarang merah padam saking penasaran. Ia

mengamati Tumpak Denta tidak berkedip. Dalam dadanya bergolak rasa marah yang

hampir tidak tertahankan lagi, justeru kesabaran manusia memang ada batasnya.

Sungguh, tuduhan Tumpak Denta ini bukan main-main, tetapi merupakan tuduhan

yang amat berat, disamping bisa menimbulkan ekor dan akibat amat panjang. Dan justeru

sadar akan akibat yang bisa timbul ini, tiba-tiba saja Fajar Legawa berteriak lantang.

"Jangan membuka mulut sembarangan! Aku tidak merasa tersangkut peristiwa itu !"

Akan tetapi kata-kata Fajar Legawa ini hanya disambut oleh ketawa Tumpakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Denta yang mengejek. Walaupun Fajar Legawa mengajukan dalih dan tidak mau

mengakui berbuat, tetapi pendirian Tumpak Denta tetap. Hanya Fajar Legawalah yang

menurut keyakinan Tumpak Denta, telah membunuh Wanengboyo dalam usahanya

memperoleh Ayu Kedasih. Maka atas kebandelan Fajar Legawa ini Tumpak Denta telah

memutuskan, harus membunuh adik seperguruannya hari ini juga.

Menyaksikan sikap Tumpak Denta yang tidak juga mau percaya akan

keterangannya itu, akibatnya terpancing juga kemarahan Fajar Legawa. Sambil mendelik

kemudian pemuda ini berteriak lantang. "Secara jujur aku sudah memberi keterangan

sebenarnya, tetapi engkau tetap saja tidak mau percaya. Hemmm, baiklah. Memang

manusia mempunyai kebebasan berpendapat. Baik! Engkau boleh menuduh diriku sudah

membunuh kakang Wanengboyo, akan tetapi sebaliknya pula aku tetap pada pendirianku,

bahwa aku tidak berbuat dan tidak pula membunuhnya. Karena itu sekarang aku

mengajak engkau menghadap pada guru. Hemmm, di depan guru aku ingin mendengar

keputusannya. Kalau memang guru ikut-ikutan menuduh aku sebagai pembunuh, dan

guru pula memberi hukuman mati padaku, aku tidak akan membantah sekalipun aku

tidak merasa bersalah sedikitpun. Tetapi ingat,bahwa aku tidak akan membantah

keputusan guru, bukan berarti aku bersalah. Semua itu aku terima demi bakti dan hormat

kepada guru!"

"Huh huh!!" Tumpak Denta menggeram. "Bakti dan hormatmu kepada guru?

Siapa yang percaya akan keteranganmu ini? Bukti sudah tidak dibantah lagi bahwa

engkaulah yang sudah mencelakakan guru."

Tiba-tiba saja mata Tumpak Denta berubah menjadi merah menyala. Air mata

mengembang memenuhi kelopak mata."Huh, murid keparat! Atas gara-garamu, guru

tewas ...................!"

Kalau halilintar menyambar, tentu tidak sekaget mendengar berita gurunya tewas

seperti sekarang ini. Fajar Legawa berjingkrak karet, wajahnya pucat dan tubuhnya

gemetaran. Lalu terdengarlah kata-kata Fajar Legawa tidak lancar. "Guru............guru

tewas? Siapakah yang membunuh?"

Sebaliknya begitu teringat kepada gurunya, Tumpak Denta menjadi kalap.

Dadanya seperti meledak, karena Fajar Legawalah yang dianggap sebagai "biang keladi".

Sambil menggeram marah, ia sudah melompat dan menggerakkan pedangnya untuk

menikam. Maksudnya jelas, karena gurunya tewas oleh perbuatan Fajar Legawa, maka
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang juga ia harus dapat membunuh murid yang dianggap sudah berkhianat ini.

Justeru pada saat itu tubuh Fajar Legawa menggigil, hatinya terpukul dan seluruh

persendiannya menjadi tak bertenaga lagi. Akibatnya pemuda ini jatuh terduduk sedang

pedangnya runtuh di atas tanah. Dan dalam keadaan seperti ini sudah tentu Fajar Legawa

tidak mungkin dapat menghindarkan diri dari serangan Tumpak Denta yang ganas itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Jika ujung pedang Tumpak Denta yang tajam itu menyambar, niscaya dada Fajar Legawa

Akan segera berlubang dan tewas pada saat itu juga.

Akan tetapi Tuhan Maha Adil. Fajar Legawa benar-benar tidak berdosa, maka

pemuda ini tidak diijinkan menjadi korban pembunuhan. Pada saat pedang Tumpak

Denta hampir menyentuh dan menembus dada Fajar Legawa ini, menyambarlah sebutir

kerikil yang seperti kilat cepatnya.

"Tring...........!" benturan kerikil dengan pedang itu terdengar nyaring. Saat itu juga

Tumpak Denta merasakan tangannya seperti lumpuh. Akibatnya pedang yang sudah

hampir menikam dada itu menyeleweng, disusul suara pedaag yang runtuh ke tanah.

Tumpak Denta kaget sekali dan memalingkan mukanya. Tampak kemudian

seorang kakek dengan langkah cepat dan ringan menghampiri. Tumpak Denta mengamati

dengan sepasang mata merah menyala, ia belum mengenal kakek ini dan mengapa pula

sekarang secara lancang berani mencampuri urusan rumah tangga perguruannya?

Sebaliknya Fajar Legawa seperti orang linglung dan tidak perduli akan keadaan

sekitarnya. Pemuda ini duduk di atas tanah sambil menangis mengguguk, dan air mata

membanjir dari sudut mata.Pemuda ini benar-benar menangis menyesal bahwa belum

juga dirinya dapat membalas budi kebaikan gurunya, ternyata gurunya sudah tewas dan

dibunuh orang pula.

"Apakah salah Fajar Legawa?" tanya kakek itu setelah berdiri di samping Fajar

Legawa. Sepasang mata Abdulrajak mengamati Tumpak Denta dengan tajam, dan diam
diam kakek ini tidak senang atas sikap Tumpak Denta yang mau menurunkan tangan

kejam kepada Fajar Legawa.

"Perkenankanlah saya yang rendah mohon bertanya kepada paman siapakah

nama dan gelaran paman yang mulia?" tanya Tumpak Denta setelah hilang kagetnya, dan

sepasang matanya mengamati Abdulrajak dengan pandang mata tidak senang. "Dan

apakah alasan paman mencampuri urusan rumah tangga perguruan kami? Dia ini adik

seperguruanku. Dan oleh perbuatannya dan gara-garanya pula, mengakibatkan guru

tewas di tangan orang..........."

"Apa?" Abdulrajak kaget. "Maksudmu, kakang Suria Kencana tewas dibunuh

orang?"

Saat sekarang ini Tumpak Denta sedang marah bukan main. Orang yang dalam

keadaan marah, tentu kurang memperdulikan keadaan dan orang lain. Padahal kalau mau

memperhatikan, Tumpak Denta seharusnya menjadi curiga mengapa kakek ini sudah

tahu bahwa guru yang dimaksud adalah Suria Kencana. Sebagai akibat dilanda

kemarahan yang hampir meledakkan dada itu, maka dengan pandangan kurang senanghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tumpak Denta mendelik, ia tidak menjawab, tetapi malah mendengus dingin.

Abdulrajak tersenyum dan mengerti tanggapan pemuda itu. Ia memalingkan

mukanya kearah Fajar Legawa, kemudian bertanya. "Fajar, apa sebabnya engkau

menangis?"

"Karena guru tewas ..........." sahut FajarLegawa. Kemudian pemuda ini

sibuk dengan tangisnya yang menyesal, dan menyeka airmata dengan lengan tangan.

"Apakah sebabnya kakang Suria Kencana tewas?" tanya Adulrajak kepada

Tumpak Denta.

Tetapi Tumpak Denta mendelik. Ia merasa tidak senang atas gangguan ini.

Jawabnya kasar. "Huh, engkau mau mencampuri urusan ini? Bagus heh-heh-heh!

Dengarkan yang jelas, bahwa gara-gra murid durhaka ini, guruku tewas! Huh, aku amat

menyesal bahwa paman secara lancang mencampuri urusan kami."

Abdulrajak tersenyum. Ia tidak menjadi marah atas sikap Tumpak Denta yang

kasar itu. Namun sebaliknya Tumpak Denta tambah marah. Ia telah memungut

pedangnya lagi, dan sambil mendelik pedang itu sekarang dilintangkan di depan dada.

"Anak, siapakah namamu?" tanya Abdulrajak.

Bukan main mendongkol hatinya Tumpak Denta atas pertanyaan ini. Ia tadi sudah

mengajukan pertanyaan tidak dijawab, malah sekarang kakek itu menanyakan namanya.

Akibat rasa mendongkol dan tidak senang, ia tidak menjawab malah membalas bertanya.

"Paman siapa?"

Abdulrajak bersenyum. Ia tahu mengapa pemuda ini membalas bertanya.

Jawabnya halus. "Aku orang Madura, bernama Abdulrajak."

Tumpak Denta kaget mendengar nama ini disebut. Nama Abdulrajak sudah lama

ia dengar dari gurunya maupun orangtua yang lain. Dan Abdulrajak adalah seorang

angkatan tua yang dihormati kawan dan disegani lawan. Malah gurunya sendiripun

seringkali membicarakan orang Madura itu, yang disanjung sebagai ksatrya berhati mulia.

Paras wajah Tumpak Denta mendadak saja berubah menjadi pucat, ia membungkuk

memberi hormat dan kemudian minta maaf. "Ahhh ............paman, maafkan akan

kekurangajaran saya. Saya Tumpak Denta murid tertua bapa Suria Kencana. Akan tetapi

saat sekarang ini, saya mohon pengertian paman. Saya sedang menyelesaikan urusan

rumah tangga sendiri."

"Ya, aku mengerti," sahut Abdulrajak dengan bibir menyungging senyum.

"Namun ketahuilah anak muda, akupun kiranya mempunyai hak mencampuri urusan ini.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sebab, aku menjadi saksi hidup bagi Fajar Legawa."

"Saksi hidup? Saksi apa?" teriak Tumpak Denta. "Dia telah membunuh seorang

muridMerbabu, bernama Wanengboyo."

"Benarkah itu? Dan kapan terjadi?"

"Hemmm," Tumpak Denta mendengus. Dalam hati makin penasaran, Abdulrajak

mencampuri urusannya. "Agar paman menjadi puas, biarlah aku menerangkan. Tetapi

sesudah aku menerangkan, saya mohon agar engkau orangtua tidak usil mencampuri

urusan rumah tangga ini. Huh! Dia telah membunuh Wanengboyo lebih kurang tiga bulan

yang lalu. Yang menjadi sebab, bukan lain karena dia itu gandrung dan menghendaki

isteri Wanengboyo yang bernama Ayu Kedasih."

"Apakah engkau bisa memberi bukti tentang tuduhan itu?" desak Abdulrajak.

"Ayu Kedasih sendiri yang menuduhnya. Dan wanita itu cukup kenal kepada

bocah itu! Huh!" Tumpak Denta tidak mau menyebut lagi nama Fajar Legawa, karena

pemuda ini menjadi benci setengah mati.

"Hemm, anak, apakah engkau percaya begitu saja akan tuduhan itu?" tanya

Abdulrajak. "Apakah engkau tidak mempunyai dugaan lain bahwa di belakang peristiwa

itu terselip suatu peristiwa? Dan apakah engkau tidak mempunyai dugaan pula, bahwa

tuduhan itu hanya fitnah melulu? Anakku, bagiku memang tidak akan mencampuri

urusan rumah tangga perguruanmu. Namun sebaliknya tentu saja aku tidak rela apabila

engkau sampai salah tangan membunuh orang tidak berdosa, akibat fitnah orang. Anak,

tenangkan hatimu dan cobalah engkau menyusuri jalan hidup Fajar Legawa. Apakah

engkau merasa pasti dan percaya bahwa hanya soal perempuan saja, Fajar Legawa

sanggup membunuh orang?"

Abdulrajak berhenti dan mengamati Tumpak Denta. Wajah pemuda ini berubah,

dan tampak pula keraguannya. Melihat ini Abdulrajak tersenyum, kemudian meneruskan.

"Anak, sadarlah bahwa engkau akan menyesal apabila sampai salah tangan membunuh

adik seperguruanmu sendiri, akibat engkau terpengaruh oleh fitnah orang. Anak, sedalam
dalamnya air laut masih, bisa diukur dan dijajagi. Akan tetapi hati manusia, siapakah

yang dapat mengukur?"

Tumpak Denta menundukkan kepalanya, keraguannya bertambah sekarang,

setelah mendengar ucapan Abdulrajak ini yang memang masuk akal. Ia tadi memang

begitu bernafsu sehingga tidak mau mendengar keterangan dan alasan Fajar Legawa.

Sekarang ia menjadi sadar, benarkah tuduhan yang ditimpakan kepada Fajar Legawa itu?

Selama ini ia memang mengenal sepak terjang Fajar Legawa yang cukup baik.

Mungkinkah dalam waktu singkat sudah berubah?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Karena Tumpak Denta tidak membuka mulut, kemudian Abdulrajak berkata lagi.

"Anak, mari sekarang kita gunakan kepala dingin menyelesaikan urusan rumah tanggamu

ini. Sebagai seorang tua dan sahabat gurumu pula, aku takkan mencampuri urusan ini.

Tetapi sebaliknya, akupun menuntut padamu agar engkau tidak sampai berbuat salah.

Sukakah engkau menceritakan sebabnya gurumu tewas itu?"

Demi rasa hormatnya kepada tokoh sakti Abdulrajak itu, maka kemudian Tumpak

Denta mengalah. Setelah termenung sejenak kemudian pemuda ini menceritakan apa

yang sudah terjadi.

Ketika itu hari menjelang siang. Lima orang tamu datang ke pondok gurunya.

Antara mereka, Tumpak Denta hanya mengenal tiga orang, ialah Danurwenda, Tohjoyo

dan Ayu Kedasih. Tetapi setelah mendengar gurunya menyebut-nyebut nama Gajah Seto

dan Hajar Jaladara, ia segera mengerti bahwa Hajar Jaladara guru Ayu Kedasih, sedang

Gajah Seto guru Tohjoyo dan Danurwenda.

Kehadiran mereka itu semua, yang terpenting untuk mengurus suatu peristiwa

memalukan yang menyangkut nama Fajar Legawa. Menurut tuduhan Ayu Kedasih,

maka Fajar Legawalah yang telah membunuh suaminya, Wanengboyo. Adapun

persoalan yang menyebabkan terjadinya malapetaka itu, tanpa malu-malu Ayu Kedasih

menerangkan bahwa Fajar Legawa gandrung (mencintai) kepada dirinya tetapi terhalang

oleh Wanengboyo.

"Hutang jiwa bayar jiwa!" tuntutan Gajah Seto kepada Suria Kencana, dan

diminta pula menyerahkan Fajar Legawa.

Atas tuduhan ini Suria Kencana kaget dan heran. Namun begitu ia tidak mudah

percaya. Benarkah Fajar Legawa sampai hati melakukan perbuatan seperti itu? Dengan

sabar Suria Kencana minta bukti dan saksi, disaat terjadinya peristiwa itu. Apabila Fajar

Legawa terbukti bersalah, dengan senang hati Suria Kecana akan menyerahkan Fajar

Legawa.

"Demi Tuhan aku memberikan keterangan sesungguhnya," Ayu Kedasih mulai

menerangkan dengan nada berapi-api dan bersemangat, "Ketika itu baru sepekan kakang

Wanengboyo pulang dari Merbau, sesudah memenuhi panggilan bapa Gajah Seto."

Perempuan ini berhenti, sepasang matanya berkaca-kaca, lalu menitiklah butiran

air mata membasahi pipi yang kuning montok. Agaknya peristiwa terbunuh matinya

suami yang amat dicintainya itu mengesan dalam hatinya, sehingga begitu menceritakan

kembali peristiwa itu, tangisnya tidak dapat ditahan.

"Adi, jangan menangis," hibur Tohjoyo. "Ceritakanlah yang jelas. Hari inilahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

penentuan terakhir hutang jiwa bayar jiwa! Engkau jangan khawatir, orang yang berdosa

hari ini juga akan memetik buah perbuatannya itu?"

"Terima kasih," Ayu Kedasih mengangguk, menyeka airmata dan berusaha

menekan perasaan. "Ya, ketika itu datanglah adi Fajar Legawa sebagai tamu di rumahku.

Sebagai sahabat, maka kehadirannya kami sambut dengan gembira dan dengan penuh

kehormatan. Dia kami tempatkan sebagai layaknya tamu. Bukan saja tempat mengaso,

malah segala kebutuhannya kami cukupi. Akan tetapi hemm........."

Ayu Kedasih berhenti lagi. Ia menahan isak dan menyeka airmatanya yang masih

menitik turun membasahi pipi. Dan sejenak kemudian, baru ia meneruskan. "Akan tetapi

sungguh tidak pernah kami duga sedikitpun. Ternyata kedatangannya ke rumahku tidak

mengandung maksud baik. Hemm, ketika itu kakang Wanengboyo sudah masuktidur

karena lelah membantu ayah di sawah. Akumasih duduk di beranda, menikmati malam

terang bulan. Belum lama aku bergadang, datanglah Fajar Legawa yang kemudian, duduk

dalam satu tikar yang aku bentangkan di beranda itu."

Perempuan ini berhenti lagi dan tampak mengingat-ingat. Dan seterusnya Ayu

Kedasih menceritakan, bahwa pada mulanya bersama dirinya. Fajar Legawa mengajak

berbicara tentang masalah ringan yang terjadi dalam masyarakat. Banyak yang

dibicarakan waktu itu. Dan tanpa terasa, ketika ituFajar Legawa telah

beringsutmendekati dirinya, kemudian duduk berdampingan. Karena tidak menduga

buruk, Ayu Kedasih membiarkan Fajar Legawa duduk di sampingnya. Namun ternyata

kemudian Fajar Legawa bertindak lebih dari itu. Tiba-tiba saja tangan Fajar Legawa telah

menyambar lengannya, dan ketika ia berusaha menghindar dan mencegah, kemudian

Fajar Legawa merayu dan membujuk.

"Aku berusaha menyadarkan dia," kata perempuan ini dengan nada mantap. "Dan

aku juga mengingatkan dia, janganlah melakukan perbuatan kurang patut. Tetapi dia

tidak mau mendengar peringatanku ini, malah dia terus merayu, meratap dan memuji
muji kecantikanku. Dia mengatakan mencintai aku, maka aku diminta sudi melayaninya.

Hemm, ketika itu aku masih bersikap sabar dan menyadarkan. Maksudku,agar dia

ingat diri dan sadar bahwa aku adalah isteri kakang Wanengboyo, seorang sahabatnya

pula."

Ayu Kedasih berhenti. Baru setelah menghela napas pendek ia meneruskan.

"Tetapi sungguh sayang bahwa semua nasihatku tidak digubris. Dia malah menubruk,

memeluk dan mendekap aku, kemudian secara paksa menghujani ciuman ............Aihh,

kalau saja ketika itu aku tidak dapat melepaskan diri, entah apa yang akan terjadi. Hemm,

untung aku dapat melepaskan diri, kemudian aku lari dan kemudian lapor kepada kakang

Wanengboyo, atas perbuatan Fajar Legawa yang kurang ajar itu. Laporanku membuat

Wanengboyo marah. Terjadilah percekcokan,yang diakhiri dengan perkelahian. Aku

berusaha membantu dan mengeroyok, akan tetapi huh .........baik senjataku maupunhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

senjata kakang Wanengboyo semuanya patah ketika berbenturan dengan tongkat Fajar
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Legawa. Dan sebagai akibatnya pula, kemudian kakang Wanengboyo terbunuh mati,

yang seterusnya Fajar Legawa melarikan diri."

Atas keterangan dan tuduhan Ayu Kedasih ini, Suria Kencana mengangguk
angguk. Lalu, tanyanya. "Apakah engkau dapat mengajukan saksi?"

"Perstiwa itu terjadi dimalam larut. Aku sendirilah saksi hidup terjadinya peristiwa

itu." Ayu Kedasih menjawab cepat.

"Tidak ada orang yang datang dan melerai?" pancing Suria Kencana.

"Orang sudah lelap tidur dan tidak mendengar terjadinya perkelahian itu."

Suria Kencana tersenyum. Dalam hati orang tua ini curiga atas keterangan

perempuan ini. Setiap perkelahian, apalagi menggunakan senjata dan malah senjata Ayu

Kedasih maupun Wanengboyo patah oleh benturan tongkat Fajar Legawa. Terjadinya

benturan yang mengakibatkan senjata menjadi patah itu, tentu keras sekali dan sungguh

aneh apabila orang tidak mendengar.

"Dan engkau tidak berteriak minta tolong?"tanya Suria Kencana lagi.

"Aku berteriak minta tolong sambil berusaha mengejar," sahut Ayu Kedasih.

"Tetapi sungguh menyesal tidak seorangpun mau keluar dan menolong aku."

"Hemmm," Suria Kencana menghela napas. Keterangan yang makin tidak masuk

akal. "Sayang sekali bocah itu tidak ada saat sekarang ini. Demi keadilan, semua ini harus

kita periksa dengan teliti dan bijaksana. Kalau benar Fajar Legawa bersalah, tentu saja

akupun setuju bocah itu dihukum. Tetapi sebaliknya kalau tidak bersalah?"

"Apa? Tak bersalah?" bentak Hajar Jaladara sambil mendelik. "Kalau bocah itu

tidak berani pulang ke mari, tentu dia takut akan bayangannya sendiri. Bagaimanakah

bisa mengusut dan mengadili?"

"Dia tentu disembunyikan!" kata Tohjoyo. "Aku tidak percaya sekarang ini dia

tidak di sini."

Tohjoyo mengamati gurunya. Kemudian. "Bapa, murid telah kehilangan seorang

adik seperguruan, dan bapa telah kehilangan seorang murid dalam keadaan menyedihkan.

Dapatkah bapa mempercayai keterangan bahwa Fajar Legawa tak ada?"

"Hemm, hutang jiwa bayar jiwa?" Gajah Seto menggeram. "Apa yang terjadi telah

diterangkan secara jelas. Apa lagi yang harus diperiksa? Huh, Suria Kencana. Lekashttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

serahkanlah muridmu yang pengecut itu!"

Watak Gajah Seto memang kasar, tetapi berwatak jujur. Sekalipun begitu ia

mempunyai kelemahan. Ia seorang guru yang amat kasih kepada murid-muridnya, namun

agak keterlaluan. Dalam menghadapi persoalan apa saja ia takkan mau percaya kepada

lain orang, dan lebih percaya kepada murid sendiri. Itulah sebabnya ia tidak mau perduli

kepada permintaan Suria Kencana tentang saksi. Pendeknya ia beranggapan bahwa

keterangan Ayu Kedasih masuk akal. Di malam larut, orang tidur lelap sehingga tentu

saja tidak lagi mendengar apa yang terjadidi sekitarnya.

Dan sebaliknya Hajar Jaladara seorang kasar pula dan tambah berangasan. Ayu

Kedasih murid perempuan tunggal yang dikasihi tidak bedanya dengan anak sendiri. Ia

menjadi iba bahwa Ayu Kedasih kehilangan suaminya akibat pembunuhan. Bagi Hajar

Jaladara lebih lagi. Ia lebih percaya keterangan Ayu Kedasih daripada orang lain.

"Lekas serahkan bocah itu!" bentaknya mengeledek. "Jika engkau bersikeras

melindungi bocah itu, jangan sesalkan aku menggunakan kekerasan!"

Namun Suria Kencana masih tetap bersikap tenang, dan menjawab dengan halus.

"Aku menerangkan sesungguhnya, bahwa saat sekarang ini Fajar Legawa tiada di

padepokan ini. Tetapi saudara, kalau toh dia di sini, dalam persoalan ini kita tidak boleh

gegabah dan hanya mendengar keterangan dari satu pihak. Semua harus kita usut secara

adil, dan jangan hantam krama main tuduh seperti sekarang ini. Maka apabila ternyata

dia bersalah, aku tak akan membela dia, dan silahkan kalian menghukum."

Gajah Seto ketawa dingin, "Heh-heh-beh, engkau menyerahkan bocah itu atau

tidak? Pendeknya utang jiwa harus bayar jiwa! Aku tidak mau mendengar segala macam

alasan dan dalihmu!"

Dan Hajar Jaladara tidak mau ketinggalan ikut mengancam. "Hai Suria Kencana,

aku tahu bahwa engkau menyayangi muridmu. Tetapi sebaliknya, orang lain apakah tidak

sayang juga kepada muridnya? Pendeknya mumpung kami masihsabar, selekasnya

eagkau serahkan bocah yang berdosa itu!"

"Aku tidak berdusta sahabat,"sahut Suria Kencana dengan sabar. "Bocah itu

memang tidak ada di sini. Dan apabila kalian tiiak percaya, kalian dapat menggeledah

padepokan ini."

Sesungguhnya dengan kata-kata yang begitu sabar dan merendah ini, Suria

Kencana ingin meyakinkan kepada tamu-tamunya ini, bahwa Fajar Legawa memang

tidak ada. Dan dengan ucapannya ini ia maksudkan agar para tamu ini menjadi percaya,

kemudian pergi tanpa rewel lagi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Celakanya baik Gajah Seto maupun Hajar Jaladara tidak mau percaya akan

keterangan Suria Kencana mi. Mereka bersikeras bahwa Fajar Legawa tentu

disembunyikan di suatu tempat.

Bukan tiada bersebab kalau dua orang ini bersikeras untuk menangkap dan

menghukum Fajar Legawa. Dua orang tua ini telah memperoleh keterangan dari Ayu

Kedasih bahwa Fajar Legawa menyimpan keris pusaka "Tilam Upih" yang saat sekarang

ini banyak diinginkan dan diperebutkan oleh banyak orang. Keterangan Ayu Kedasih ini

merangsang kehendak dua orang tua ini untuk dapat merebut dan menguasai keris pusaka

itu. Walaupun toh tiada persoalan inipun mereka tentu bersikeras mencari dan

membunuh, kemudian merebut keris pusaka itu. Maka dengan adanya persoalan ini,

mereka merasa mempunyai alasan untuk memusuhi Fajar Legawa.

Begitulah kebiasaan manusia yang hidup di dunia ini, kalamana hidupnya ini jauh

dari rasa kesadaran. Yang selalu dipikir dan dicita-citakan tentu hanya demi kepentingan

dan keuntungan diri. Dan tidak perduli lagi orang lain sengsara atas sikapnya yang tidak

pada tempatnya ini.

Manusia yang hidup tanpa kesadaran, tentu tidak perduli kepada orang lain

menderita sengsara akibat perbuatannya. Dan mannsia seperti inilah sesungguhnya

seorang jahat yang berselimut, karena tidak kenal akan jiwa ksatrya yang berkewajiban

selalu melindungi kepada mereka yang lemah.

"Baiklah!" kata Gajah Seto kemudian. "Ijinkanlah sekarang aku menggeledah!"

"Silahkan-silahkan!" sahut Suria Kencana sambil menberi hormat dan memberi

pula ijin kepada orang untuk mengadakan penggeledahan.

Akan tetapi pada saat itu tangan Gajah Seto sudah berkelebat dan menghantam

pundak Suria Kencana.

Mengapa begitu? Menurut pendapat Gajah Seto akan percuma saja mengadakan

penggeledahan. Sebab Suria Kencana tentu telah mempunyai tempat rahasia untuk

menyembunyikan Fajar Legawa. Sebaliknya tanpa dicari dan tanpa digeledah, apabila

dirinya sudah berkelahi dengan Suria Kencana, bocah yang disembunyikan itu akhirnya

akan ke luar sendiri tanpa dicari.

Begitulah, menggunakan kesempatan baik di saat orang lengah, Gajah Seto sudah

menyerang dan menghantam pundak Suria Keacana. Akan tetapi sungguh sayang

bahwa orang yang diserang sekarang ini, Suria Kencana, Seorang sakti mandraguna yang

tidak mudah diserang orang secara gelap. Orang tua ini memang tidak dapat menghindari

karena serangan itu memang tidak terduga-duga. Namun sebaliknya untuk melindungi

diri, Suria Kencana segera mengerahkan tenaga dalam ke pundak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Bukk........!"akibatnya bukan Suria Kencanayang terpelanting roboh, malah

Gajah Seto sendiri yang terpelanting roboh di lantai.

"Huh! Manusia tak kenal malu!" bentak Suria Kencana sambil mendelik. "Engkau

berani membokong aku?"

Melihat sahabatnya roboh di lantai akibat serangannya sendiri itu, Hajar Jaladara

kaget. Tetapi cepat mencabut senjata andalannya, senjata cambuk dari otot kerbau.

Cambuk tersebut langsung disabetkan ke pundak Suria Kencana.

Ayu Kedasih, Tohjoyo dan Danurwenda mundur. Diam-diam tiga orang muda ini

agak merasa gentar juga melihat Gajah Seto terpelanting sendiri oleh serangannya yang

mengenakan tepat sasarannya. Tetapi dalam mundur ini,tigaorang itu memisahkan diri.

Danurwenda ke sudut sebelah timur, sedang Tohjoyo dan Ayu Kedasih ke sudut bagian

barat. Dua orang ini berdiri berdampingan hampir mepet. Wajah Ayu Kedasih nampak

pucat dan bekas-bekas air matanya masih tampak di pipi. Melihat ini agaknya Tohjoyo

menjadi iba. Hiburnya kemudian, sambil tangannya menyambar lengan Ayu Kedasih.

"Adi, jangan sedih. Percayalah bahwa guru kita akan dapat membalaskan sakit

hati itu."

Sementara itu Suria Kencna marah bukan main atas serangan Hajar Jaladara yang

pengecut itu. Ia mengangkat tangan untuk menyambut cambuk tersebut, tetapi Hajar

Jaladara menarik kembali serangannya.

Adapun Gajah Seto, begitu terguling sudah kembali melenting dan berbareng itu

mengayunkan dua tangannya.

"Srr srr srr ........." terdengar suara yang halus sekali, dan belasan batang jarum

beracun sudah menyambar kearah tokoh Suria Kencana itu sambil berseru, "Hai Suria

Kencana! Walaupun engkau dapat terbang dan dapat amblas ke dalam bumi, hari ini

engkau takkan dapat menyelamatkan diri dari jarumku!"

Jarum yang disebarkan oleh Gajah Seto ini memang bukan jarum sembarangan.

Jarum itu mengandung racun yang jahat sekali. Siapapun yang terluka oleh jarum,

sekalipun lukanya hanya kecil, akan segera keracunan.

Sebenarnya saja belum lama Gajah Seto memiliki senjata jarum beracun ini. Dan

pada mulanya tokoh gunung Merbabu ini memang tidak mau mempunyai senjata rahasia

beracun semacam ini. Tetapi karena merasa terdesak oleh kebutuhan, maka kemudian ia

mempelajari tentang racun untuk jarum. Dan baru sekarang ini sajalah senjata rahasia

jarum beracun ini dipergunakan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Kebutuhan apakah yang mendesak Gajah Seto? Bukan lain dalam urusannya

sekarang ini. Ia menyadari bahwa tokoh yang bernama Suria Kencana itu memang bukan

lawannya. Ia merasa sendiri masih di bawah Suria Kencana. Dan walaupun mengeroyok

berdua dengan Hajar Jaladara, ia masih ragu dan belum tentu berhasil. Untuk dapat

mengatasi kekurangannya ini maka kemudian Gajah Seto menggunakan senjata rahasia

jarum beracun. Ia percaya apabila Suria Kencana terluka oleh jarumnya yang beracun

tidak mungkin bisa hidup lagi.

Di saat jarum-jarum beracun ini sedang menyambar, pada saat itu Suria Kencana

sedang menindih cambuk Hajar Jaladara dengan tangan kiri. Sadar akan ancaman

bahaya, menggunakan tangan kanan Suria Kencana mengebas jarum beracun yang

menyambar kearah dirinya itu. Wut wut dan akibatnya jarum-jarum itu berbalik arah dan

menyambar kepada pemiliknya.

Di samping senjata rahasia Gajah Seto memang berbahaya, cambuk Hajar

Jaladarapun bukan senjata sembarangan. Senjata itu kuat sekali dan tidak gampang putus

oleh sabetan senjata tajam. Maka walaupun Suria Kencana berusaha menggentak dan

membetot tidak menjadi putus.

Hanya saja akibat betotan Suria Kencaia yang kuat sekali dan Hajar Jaladara

berusaha mempertahankan, telapak tangan Hajar Jaladara menjadi berdarah. Dan di saat

dirinya sedang mengerahkan tenaga untuk dapat menarik kembali cambuknya ini, ia

menjadi kaget mendengar sambaran beberapa batang jarum beracun kearah dirinya.

Uutuk menyelamatkan diri cepat-cepat Hajar Jaladara menundukkan kepala dan

membungkukkan tubuh. Tetapi sungguh celaka, walaupun beberapa batang yang lain

dapat dihindari, tetapi masih ada sebatang yang bersarang pada lengannya.

Melihat apa yang terjadi sekarang ini, bukan main kagetnya Hajar Jaladara. Di

luar dugaannya bahwa Suria Kencana sekarang memperoleh kemajuan yang pesat sekali

setelah menyembunyikan diri di Lembah Galunggung ini.

"Kakang Jaladara!" teriak Gajah Seto. "Jangan khawatir, kita bekerja sama lebih

baik. Dia sudah terkena sebatang jarum. Hayo kita desak terus, biar dia mampus, dan

makanlah ini obat pemunah racun yang bersarang pada lenganmu."

Pada saat itu Suria Kencana memang merasakan pundaknya kesemutan dan

lengan menjadi kaku. Nyatalah walaupun ia sudah berusaha mengebas jarum yang

menyambar kearah dirinya, masih ada pula yang melukai pundaknya. Untuk mengusir

dan menahan menjalarnya racun jarum yang berbahaya itu, Suria Kencana segera

menarik napas dalam-dalam sambil pula menahan menjalarnya racun dengan hawa sakti

dalam tubuhnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Gajah Seto sudah meloncat ke depan sambil menghantam dengan tangannya, dan

dari dalam tenggorokan terdengar suara "heh". Hantaman ini walaupun hanya tangan

kosong, tetapi bahayanya tidak kalah dengan senjata yang tajam. Sebab apabila jarum

yang disebarkan tadi mengandung racun jahat, pukulan inipun mengandung racun. Orang

yang terpukul bisa menderita keracunan hebat.

Namun kali ini Suria Kencana telah mengerti semuanya. Atas serangan Gajah Seto

itu Suria Kencana telah siap sedia. Ia berlagak kebingungan dan membiarkan lawan

datang lebih dekat. Kemudian dengan gerakan tidak terduga-duga ia membalikkan tangan

dan menghantam sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Dalam kagetnya Gajah Seto

melompat mundur, tetapi sudah terlambat. Cengkeraman Suria Kencana memang seperti

kilat cepatnya, dan walaupun Gajah Seto berusaha menghindar, usahanya tak

berhasil. Kontan saja pergelangan tangan yang kena di cengkeram Suria Kencana remuk

dan tidak dapat dipergunakan lagi.

Tetapi sementara itu dengan serangan berantai. Hajar Jaladara telah menyerang
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan cambuknya tiga kali. Kemudian ia memutarkan tubuhnya dengan maksud

mundur.

"Jangan beri waktu untuk bernapas!" teriak Gajah Seto sambil meringis menahan

sakit pada pergelangan tangannya. "Kalau hari ini dia tak dapat mampus, sulit bagi kita

untuk menyelesaikan urusan dendam ini. Untuk membela kehormatan dan seorang murid

yang dibunuh orang, kita tidak boleh bersikap mengalah."

Di lain pihak wajah Suria Kencana tampak menyeramkan. Sepasang matanya

menyala seperti mata seekor harimau di waktu malam. Ia mengamati dua orang lawannya

itu tidak berkedip. Kemudian bentaknya, "Binatang alas! Mengapa engkau berbuat

curang, menyerang aku secara gelap? Huh, hari ini kamu tidak boleh hidup lagi!"

Diam-diam Hajar Jaladara menjadi gentar juga oleh ancaman Suria Kencana ini.

Tetapi tentu saja ia merasa malu kalau harus memperlihatkan ketakutannya ini di depan

Gajah Seto.

Sementara itu tiba-tiba terdengar suara Gajah Seto yang mengaduh tertahan.

Lengannya sekarang ini memang sakit bukan main. Cengkeraman Suria Kencana tadi

memang telah menyebabkan persendiannya copot.

Akan tetapi bagaimanapun pula tiga orang ini adalah jago-jago kawakan yang sakti

mandraguna. Apabila mereka sudah berkelahi, akibatnya akan hebat sekali. Mereka

sekarang telah berkelahi sengit sekali, seorang lawan dua orang. Suria Kencana dikeroyok

oleh Gajah Seto dan Hajar Jaladara.

Perkelahian dan kegaduhan yang terjadi itupun telah didengar oleh Tumpakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Denta. Akan tetapi pemuda ini tidak berani gegabah bertindak dan membantu gurunya.

Maka yang dilakukan kemudian, ia hanya memerintahkan kepada Sasongko Jati agar

menghubungi para cantrik dan penduduk pedesaan sekitar padepokan ini. Mereka

diminta bantuannya kalau perlu harus menerjang dan menyerbu tamu yang kurangajar

ini. Dan sesudah Sasongko Jati pergi, ia segera berdiri di tengah pintu samping sambil

mengamati perkelahian yang masih berlangsung sengit.

Perkelahian yang terjadi sekarang ini memang amat menegangkan. Dan Hajar

Jaladara yang bersenjata cambuk dan dapat menyerang lawan dari jarak agak jauh itu,

ternyata berkelahi dengan amat licik. Ia tidak berani berkelahi dalam jarak dekat dan

malah mengunakan siasat gerilya. Disamping menggunakan siasat gerilya inipun ia

menggunakan mulutnya untuk mengacau ketenangan lawan. Teriaknya, "Hai Suria

Kencana! Jika engkau seorang gagah dan ksatrya sejati, aku nasihatkan agar secepatnya

engkau membunuh diri saja. Agar engkau tidak menjadi buah tertawaan orang, karena

hari ini engkau harus mampus di tangan kami."

"Kentut!" seru Suria Kencana, "Aku ingin melihat apakah engkau benar-benar

gagah dan dapat membunuh aku?"

"Heh-heh-heh!" Hajar Jaladara terkekeh. "Sungguh tidak patut bahwa Suria

Kencana yang mempunyai nama harum itu, ternyata hanya kosong melompong.

Walaupun muridnya jelas bersalah masih juga berusaha melindungi."

"Bangsat Jaladara!" teriak Suria Kencana yang menjadi marah. "Aku ingin

bertanya apakah caramu yang main paksa itu sudah benar dan bisa dipuji orang? Huh,

siapa bisa menerima tuduhan yang membabi-buta dan mencari menang sendiri itu? Kalau

toh benar Fajar Legawa bersalah, harus pula lewat pemeriksaan yang teliti, bukti dan saksi

harus disertakan. Huh, jika seperti itu caramu menuduh orang, sungguh memalukan.

Dengan begitu engkau hanya main paksa dan mencari menang sendiri."

Sambil berkata ini, dua tangan Suria Kencana bergerak terus. Dua tangannya

menghantam dengan dahsyat sekali dan tidak memberi kesempatan kepada lawan

bernapas. Sambaran pukulan Suria Kencana ini ternyata berhasil memukul Gajah Seto,

membuat tokoh gunung Merbabu ini terpental ke belakang.

Hajar Jaladara tahu bhwa akibat pukulan Suria Kencana ini tentu hebat. Tiba-tiba

ia melompat dan menghadang di tengah sambil berkata. "Hai Suria Kencana! Ha-ha-ha
ha, sekarang menjadi jelas lagi. Nyatalah bahwa engkau memang seorang pengkhianat

dan diam-diam sengaja mempersiapkan pemberontakan kepada Ingkang Sinuhun Sultan

Agung. Huh, engkau pelindung Adipati Ukur yang telah dihukum mati di Mataram. Dan

dengan tingkah lakumu yang tengik ini, kiranya ada alasan pula Ingkang Sinuhun Sultan

Agung menangkap dan menghukum engkau."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Mendengar ucapan Hajar Jaladara ini dada Suria Kencana seperti mau meledak.

Mengapa orang dengan gampang menuduh dirinya pengkhianat dan mempersiapkan

pemberontakan? Dalam marahnya ini kemudian ia mengirimkan tiga pukulan berantai.

Dan akibatnya dua orang lawan itu terpaksa harus mundur beberapa langkah ke belakang.

"Huh-huh!" Suria Kencana menggeram saking marahnya. "Dengan kata lain,

engkau menganggap dirimu sebagai pahlawan Mataram, yang berusaha menghukum

orang berdosa, bukan? Bagus! Dengan jasamu sekarang ini, kemudian hari engkau akan

segera memperoleh kedudukan sebagai Bupati di Mataram."

"Heh-heh-heh." ejek Hajar Jaladara. "Engkau tak mau dituduh pengkhianat dan

pemberontak bukan? Tetapi kalau engkau tak mau disebut pengkhianat dan pemberontak,

mengapa engkau melindungi orang yang menyimpan senjata Adipati Ukur?"

Kaget tidak terkira Suria Kencana mendengar disebutnya "senjata Adipati Ukur"

ini. Mungkinkah rahasia senjata itu telah diketahui oleh orang-orang ini? Sungguh ia

menjadi heran. Mengapa rahasia itu bisa diketahui orang, justeru Fajar Legawa sudah

dipesan supaya selalu berhati-hati? Tetapi justeru mendengar persoalan ini disebut-sebut,

Suria Kencana malah menjadi sadar. Ia segera dapat menduga persoalannya mengapa

mereka bersikeras untuk menangkap dan membunuh Fajar Legawa. Ternyata masalah ini

tujuan mereka yang terutama. Mereka berusaha merebut senjata Fajar Legawa itu.

Kemudian menggunakan dalih dan alasan terbunuh matinya Wanengboyo. Makin jelas

sekarang bahwa Fajar Legawa menjadi korban fitnah. Dan bisa pula dikatakan bahwa

Fajar Legawa menjadi korban dari senjata pusaka leluhurnya yang harus diselamatkan.

Sulit dibayangkan betapa rasa marah menyesak dada Suria Kencana, memperoleh

dugaan ini. Kalau orang sudah tahu bahwa Fajar Legawa mengamankan senjata pusaka

itu, jelas bahwa persoalan yang dihadapi sekarang ini bukan sederhana seperti dugaannya

semula.

"Bagus, heh-heh-heh!" serunya kemudian diiring ketawanya yang terkekeh. "Aku

memang mau memberontak, dan engkau sekarang mau apa? Huh-huh, sekarang juga aku

mau membunuh kamu!"

Berbareng dengan ucapannya ini Suria Kencana telah menerjang maju sambil

mengerahkan segenap tenaganya.

Gajah Seto tidak takut. Ia memiliki tangan yang ampuh, yang dapat meracuni

orang dengan pukulannya. Ia cepat mempersatukan tinjunya di depan dada, kemudian

dimaksud untuk menangkis pukulan lawan yang menyambar dahsyat itu.

"Plakk............... !" benturan dua tangan itu terdengar nyaring sekali dan

mengejutkan semua orang yang melihat. Ternyata begitu berbenturan tangan, tulanghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

lengan Gajah Seto telah patah di bagian bawah pundaknya.

Tetapi walaupun begitu tokoh Merbabu ini memang bukan orang sembarangan.

Walaupun lengan patah dan dirinya menderita luka yang parah dan sakit bukan main,

mulutnya masih berteriak. "Jangan diberi waktu bernapas. Racunku sudah bekerja.

Sebentar lagi dia akan mampus!"

Dan mengandalkan kepada cambuknya yang panjang itu, Hajar Jaladara segera

menyerang sambil berputaran menggunakan siasat gerilya. Dan akibatnya untuk

sementara Suria Kencana tidak dapat membalas serangan orang ini.

Akan tetapi walaupun Suria Kencana seorang tokoh sakti mandraguna jarang

tandingan di jaman ini, ia tidak tahan akan racun. Baik luka oleh jarum beracun maupun

pukulan tangan yang beracun itu, menyebabkan tubuh Suria Kencana keracunan. Hanya

berkat tenaga dalamnya yang tinggi saja, ia masih dapat berusaha menahan menjalarnya

racun itu. Namun karena selama berkelahi ini ia menggunakan tenaga cukup banyak,

akibatnya racun itu kemudian berpengaruh dan menyebabkan lengan tambah kaku.

Hajar Jaladara yang menggunakan siasat gerilya ini sekarang ketawa bekakakan

melihat lawan tampak kepayahan. "Ha-ha-ha, Suria Kencana! Engkau sudah hampir

mampus, maka apabila engkau memang perlu memberi pesanan apa-apa kepada yang

masih hidup, lekas katakanlah padaku. Heh-heh-heh, lebih lagi kepada murid yang kau

sayangi dan sekarang engkau sembunyikan itu."

Memang ada maksudnya juga Hajar Jaladara mengucapkan kata-katanya yang

bernada mengejek ini. Dengan ejekan-ejekannya ini, ia bermaksud agar Suria Kencana

tak kuasa menahan kemarahannya lagi. Padahal seseorang yang menderita luka oleh

racun, apabila tidak kuasa menahan hawa amarah, racun akan segera menyebar ke

seluruh tubuh dan kemudian orang menjadi roboh tak mungkin tertolong lagi.

Suria Kencana memang menyadari semua ini. Tetapi sayang sekali saat sekarang

ini ia marah bukan buatan. Dalam marahnya, tiba-tiba saja ia menggunakan tangan dan

kakinya menghantam semua alat di dalam ruangan itu, dan akibatnya rusak berantakan.

Sekarang, setelah semua alat rumah tangga dalam ruangan ini berantakan, Hajar Jaladara

tidak lagi dapat main petak dan kucing-kucingan, berlindung kepada benda-benda yang

ada dalam ruangan.

Dengan kemarahannya yang meluap-luap Suria Kencana telah menubruk maju

untuk membekuk itu Hajar Jaladara. Ancaman bahaya ini membuat semangat Hajar

Jaladara seperti terbang. Dalam usahanya menolong diri Hajar Jaladara lari berputaran


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu

Cari Blog Ini