Ceritasilat Novel Online

Iblis Dari Gunung Wilis 11

Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 11



sambil melindungi diri dengan putaran cambuknya.

Tetapi walaupun Hajar Jaladara sudah berusaha mencari selamat, tidak urunghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ujung cambuk berhasil dicengkeram Suria Kencana. Untuk sejenak dua orang ini saling

mengadu kekuatan. Yang seorang menarik untuk merebut, sedang yang lain berusaha

mempertahankan senjatanya.

Dalam keadaan seperti ini, mendadak Gajah Seto sudah menghujani serangan lagi

dengan jarumnya yang beracun. Suria Kencana kaget setengah mati dan berusaha pula

menyelamatkan diri. Ia melenting dan jarum-jarum itu menyambar di bawah kakinya.

Tetapi gentakan Hajar Jaladara menjadi berhasil. Tubuh Suria Kencana tertarik. Hajar

Jaladara gembira sekali, kemudian menggunakan jejakan kakinya ia menyambut tubuh

Suria Kencana yang melayang tiba. "Bukk!"

"Aduh............!" tetapi bukan dari mulut Suria Kencana teriakan mengaduh itu,

malah dari mulut Jaladara sendiri. Sebab jebakan Hajar Jaladara tadi luput, malah

kemudian dada Hajar Jaladara sendiri yang melesak terdupak oleh tumit Suria Kencana

yang keras.

Tetapi pada saat itu jarum beracun dari tangan Gajah Seto menyambar.

Menghadapi sambaran jarum beracun ini Suria Kencana memang sudah tidak

memikirkan hidup dan mati lagi. Dirinya telah kena racun terjahat, walaupun dengan

kesaktiannya dapat mempertahankan nyawa, tidak urung dirinya akan menjadi cacat

akibat racun itu. Mengingat semua ini, ia tidak menghindar dan langsung menyongsong

sambaran jarum tersebut, dan kemudian malah menubruk pada Gajah Seto dan

menghantam keras sekali.

"Buk buk.......... augh........!" Pukulan yang tepat mengenai dada dan kepala itu,

menyebabkan Gajah Seto hanya dapat mengeluh satu kali, kemudian nyawanya

melayang entah kemana.

Peristiwa yang terjadi itu menyebabkan Ayu Kedasih, Tohjoyo dan Danurwenda

kaget bukan main. Tiga orang itu segera maju berbareng dan menyambar tubuh Gajah

Seto dan Hajar Jaladara yang sudah tidak bernyawa. Dan hampir berbareng dengan itu,

melesatlah bayangan Tumpak Denta yang masuk ke dalam dengan pedang terhunus.

"Jangan lari!" bentaknya sambil menerjang. Pemuda ini memang menjadi marah

sekali melihat apa yang terjadi. Wajah gurunya tampak pucat, dan sekarang kakek itu

duduk bersila sambil memejamkan mata, dalam usahanya mengerahkan hawa sakti dalam

tubuhnya untuk melawan racun yang mulai bekerja.

"Biarkan dia pergi, Denta," cegah Suria Kencana tanpa membuka mata.

Kemudian. "Lekas kamu semua enyah dari tempat ini!"

Sesungguhnya, tiga orang muda ini amat penasaran sekali melihat gurunya tewas

dalam perkelahian sekarang ini. Tetapi mereka ini sadar bahwa Suria Kencana seoranghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sakti mandraguna. Walaupun sekarang sudah menderita luka parah yang amat berbahaya,

belum tentu mereka dapat mengalahkannya, lebih-lebih di samping itu terdapat pula

Tumpak Denta.

Menyadari keadaan ini, kemudian tanpa membuka mulut mereka segera

meninggalkan pondok ini sambil memondong tubuh Gajah Seto dan Hajar Jaladara yang

sudah tidak bernyawa. Adapun Ayu Kedasih mengikuti langkah Tohjoyo yang

memondong jenazah Hajar Jaladara sambil menangis terisak-isak.

Sulit dibayangkan betapa perasaan Tumpak Denta saat sekarang ini, melihat

keadaan dan akibat dari perkelahian itu. Ia duduk bersila di depan gurunya, kemudian

bertanya. "Guru, apa yang dapat murid lakukan?"

Suria Kencana menggeleng, sambil menghela napas dalam. Kemudian. "Tidak

perlu engkau sibuk anakku. Semuanya telah terjadi. Tetapi tentunya engkau sudah

mendengar pula apa yang dituduhkan mereka, atas diri Fajar Legawa. Persoalan ini

hadapilah dengan kepala dan hati dingin. Selidikilah kebenaran dari tuduhan itu. Dan

kalau tuduhan itu hanya fitnah belaka, merupakan kewajibanmu pula uatuk membela

nama baik Fajar Legawa. Aku tidak percaya Fajar sampai hati berbuat seperti itu.

Dan....."

Dada Suria Kencana makin menjadi sesak, dan napasnya tinggal satu-satu.

Tumpak Denta mengamati gurunya dengan hati bingung dan khawatir.

"Guru.........perintahkan, apa yang harus murid lakukan untuk menolong guru?"

"Tak usah. Racun telah masuk ke dalam jantung. Sudahlah, tak ada lagi yang perlu

kau ributkan," Suria Kencana berkata lirih. "Yang penting sekarang, apabila aku mati,

kuburlah di tempat yang dahulu telah aku pilih. Cari dan beritahukan semua ini kepada

adikmu Fajar Legawa. Bantulah dia untuk membersihkan namanya dari tuduhan gila ini."

"Guru .........oh guru........."

"Denta!" bentak gurunya menggeledek, sehingga pemuda ini kaget dan mengamati

gurunya .

"Jangan tolol!" kata Suria Kencana lagi sambil mengamati Tumpak Denta dengan

sepasang matanya yang sudah suram. "Semua manusia yang hidup di dunia ini tentu akan

mati. Tetapi mati dan mati ada dua macam. Mati sebagai ksatrya sejati dan mati sebagai

manusia terkutuk. Maka berusahalah agar kelak kemudian hari, apabila engkau mati,

jadilah sebagai seorang ksatrya."

Tumpak Denta terdiam walaupun sesungguhnya hatinya memberontak dan inginhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menjawab, bahwa dirinya tidak menghendaki gurunya mati sekarang. Tetapi sebaliknya

Suria Kencana sudah pasrah sepenuhnya kepada Tuhan. Dirinya sudah keracunan,

walaupun sekarang datang obat dari dewa sekalipun, tidak mungkin dirinya dapat

melepaskan diri dari maut.

Dan ternyata, tidak lama kemudian kakek ini telah menghembuskan napas

penghabisan dalam keadaan duduk bersidekap.

Betapa kaget Tumpak Denta, gurunya meninggal ini. Ia memekik nyaring sambil

menangis menggerung-gerung. Teriakan ini mengagetkan Sasongko Jati, yang kemudian

ia melompat masuk ke dalam pedepokan dan ikut pula menangis sedih.

Itulah yang sudah terjadi di Lembah Galunggung. Dan sebagai akibat tewasnya

guru yang amat dihormat dan dicintai itu, begitu bertemu dengan Fajar Legawa, pemuda

ini menjadi lupa akan pesan gururiya. Ia sudah marah sebelum mengusut, dan ia sudah

menimpakan seluruh kemarahan dan kesedihannya kepada Fajar Legawa.

Mendengar penuturan Tumpak Denta itu, Abdulrajak mengangguk-angguk sambil

menghela napas. Kemudian. "Anak, gurumu benar. Dan untuk membela kebenaran itu

gurumu sedia mengorbankan jiwa raganya. Apa yang terjadi justeru benar, bahwa Fajar

Legawa tidak salah. Dia menjadi korban fitnah keji ........."

"Paman!" potong Tumpak Denta tidak senang. "Apakah paman bisa

membuktikan bahwa dia benar-benar tak bersalah?"

"Tentu saja anak, aku seorang tua dan takkan bisa bicara sembarangan di depan

orang muda!" sahut Abdulrajak. Kemudian setelah mengamati wajah pemuda itu, ia

meneruskan. "Anak, demi Allah, aku bicara sebenarnya. Aku menjadi saksi bahwa tidak

mungkin Fajar Legawa melakukan perbuatan seperti tuduhan orang itu, karena telah lebih

setengah tahun Fajar Legawa berdiam bersama aku di tempat ini. Aku bertemu dan

menolong Fajar Legawa yang menderita luka, akibat kesembronoannya berani

mengganggu keraton Mataram."

Mendengar penjelasan ini Tumpak Denta kaget. "Ohh, terluka?"

"Begitulah," sahut Abdulrajak. "Tahukah engkau akibat dari perbuatan Fajar

Legawa itu di Mataram? Dikeroyok oleh para pengawal keraton Mataram. Untung ketika

itu aku tahu, lalu aku tolong, kemudian aku rawat lukanya di tempat tinggalku ini."

"Dan inilah bekas-bekas luka itu," Fajar Legawa memberanikan diri dan

menunjukkan bekas luka-luka, sebagai hasil maksud hatinya membalas dendam kepada

Sultan Agung waktu itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dan untuk memberi keyakinan bahwa Fajar Legawa memang tidak bersalah,

kemudian Abdulrajak menceritakan apa yang telah terjadi selama ini antara dirinya

dengan Fajar Legawa. Oleh penuturan Abaulrajak ini kemudian Tumpak Denta menjadi

tambah sadar, dan malah kemudian teringatlah ia akan pesan gurunya yang sudah

tiada. Bahwa dirinya tidak boleh begitu saja terpengaruh oleh tuduhan orang. Buktinya

sekarang menjadi lebih jelas lagi, bahwa Fajar Legawa memang tidak terbukti bersalah.

"Maafkanlah aku, adi," katanya kemudian sambil memeluk adik seperguruannya

itu. Dan kemudian mereka yang tadi berkelahi itu, sekarang berpelukan.

"Akupun mengerti engkau terlalu marah kakang, maka tak ada yang perlu

dimaafkan," sahut Fajar Legawa.

Dan Abdulrajak ketawa terkekeh senang melihat kakak beradik seperguruan itu

telah pulih kembali hubungannya. Katanya. "Bagus, aku menjadi senang sekali melihat

kamu sudah rukun kembali. Mari kita sekarang pulang ke pondok."

Mereka kemudian mengikuti Abdulrajak pulang ke pondok. Pada kesempatan ini

kemudian Tumpak Denta minta penjelasan.

"Tetapi adi," katanya. "Aku merasa heran dengan terjadinya fitnah atas dirimu

itu. Sebab adakah asap tanpa api?"

"Ya, agaknya memang ada sebabnya," sahut Fajar Legawa. Kemudian

diceritakanlah apa yang dahulu sudah terjadi. Ketika dahulu dirinya singgah di rumah

Ayu Kedasih. Ia merasa bersalah membiarkan Ayu Kedasih masuk ke dalam biliknya,

kemudian membuka tongkat berisi keris pusaka "Tilam Upih" itu. Juga perihal surat Ayu

Kedasih yang ditujukan kepada dirinya, yang mengharap Fajar Legawa berkunjung ke

rumahnya di saat Wanengboyo tidak ada di rumah. Sambil mengancam, Ayu Kedasih

akan membuka rahasia tentang keris pusaka "Tilam Upih" itu, apabila Fajar Legawatak

sedia memenuhi harapan Ayu Kedasih.

"Ahhh, aku tahu sekarang," kata Abdulrajak sambil memukul pahanya sendiri.

"Perempuan itu menjadi kecewa, setelah Fajar Legawa tidak memenuhi undangannya."

"Tetapi mengapa kemudian memfitnah aku, telah membunuh kakang

Wanengboyo?" tanya Fajar Legawa sambil mengamati Abdulrajak.

"Latar belakang dari fitnah dan tuduhan itu merupakan kewajibanmu berdua

untuk menyelidiki dan membongkar rahasianya," kata Abdulrajak. "Menurut dugaanku,

memang latar belakang fitnah ini agak berbelit-belit. Yang perlu diselidiki adalah tentang

siapakah pembunuh Wanengboyo itu sesungguhnya."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Paman, ahh ............selama ini mata saya seperti buta," Tumpak Denta

mengeluh. "Selama ini saya hanya terpengaruh oleh tewasnya guru, sehingga dalam

keadaan seperti yang terpikir, hanya ingin mencari dan menghukum adi Fajar, karena

dialah yang menjadi gara-gara. Tetapi sekarang saya teringat akan semua peristiwa ketika

itu. Dimana guru minta pembuktian dan saksi saksi, akan tetapi sebaliknya Ayu Kedasih

tidak dapat memberikan bukti dan kesaksian. Diam-diam ketika itu saya merasa heran.

Mungkinkah pada saat terjadinya pembunuhan atas diri Wanengboyo itu, semua

penduduk Mergasari tertidur lelap sekali, sehingga tidak seorangpun mendengar dan

berusaha menolong? Ya keterangan ini tidak masuk akal."

"Ya, memang tidak masuk akal," sambut Fajar Legawa. "Kalau begitu, lalu

bagaimanakah terjadinya peristiwa yang sebenarnya?"

Untuk beberapa jenak lamanya mereka berdiam diri dan tampak berpikir.

Beberapa saat kemudian, berkatalah Abdulrajak, "Hemm, aku menduga Wanengboyo

dibunuh oleh Ayu Kedasih sendiri."

Dua orang muda itu heran dan mengangkat kepalanya, memandang kepada

Abdulrajak. Tanya Tumpak Denta kemudian, "Mengapa paman bisa menduga begitu?"

"Aku menduga dari sudut rasa kecewa perempuan itu, di samping mudah diduga

bahwa perempuan itu memang jatuh cinta kepada Fajar," sahut orang tua ini. Dan Fajar

Legawa menundukkan kepalanya agak malu. Dari sikap Ayu Kedasih selama ini, ia

memang tidak dapat membantah benarnya dugaan Abdulrajak ini. Memang jelas sekali

bahwa sikap Ayu Kedasih berusaha menarik perhatiannya. Dan kalau saja ia tidak dapat

menahan hati, dirinya tentu sudah terjebak oleh perempuan itu.

"Karena Fajar tidak memenuhi undangannya, perempuan itu menjadi kecewa,"

Abdulrajak meneruskan. "Hatinya yang kecewa dan masygul karena harapannya tidak

terwujud itu, kiranya kemudian menyebabkan berubahnya sikap perempuan itu kepada

suaminya, Wanengboyo. Kemudian Wanengboyo menjadi curiga tentang hubungannya

dengan Fajar. Lalu timbullah rasa cemburu dalam hati Wanengboyo. Sebagai akibat rasa

cemburu itu kemudian antara mereka terjadi percekcokan. Akibatnya terjadilah

perkelahian, lalu Wanengboyo mati terbunuh isterinya sendiri."

"Tetapi paman," Fajar Legawa merasa ragu. ""Ayu Kedasih tidak mungkin

menang melawan suaminya."

"Ya, alasanmu benar juga," sahut Abdulrajak. "Tetapi engkau farus mengerti

bahwa antara Wanengboyo dan Ayu Kedasih bukan orang lain. Sebagai seorang suami

yang mencintai isterinya, tentu Wanengboyo merasa tidak tega menurunkan tangan jahat

ketika berkelahi. Sebaliknya, Ayu Kedasih yang kecewa dan masygul tentu tidak

tanggung-tanggung lagi dalam melayani suaminya ini. Dan akibatnya karenahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Wanengboyo mengalah dia harus mengorbankan nyawa sendiri."

Untuk beberapa lamanya mereka kembali berdiam diri. Alasan yang dikemukan

Abdulrajak memang masuk akal. Memang mungkin sekali ketika berkelahi Wanengboyo

mengalah kepada isterinya. Akan tetapi mengalah yang harus ditebus dengan mahal harus

menebus dengan nyawa sendiri.

"Tetapi saya mempunyai dugaan yang lain lagi," kata Tumpak Denta sesudah

beberapa lama berdiam diri. "Agaknya ketika itu Ayu Kedasih dibantu orang........."

"Dibantu orang?" Fajar Legawa melengak, "Lalu siapakah orang itu?"

"Hemm, aku sendiri belum tahu." sahut Tumpak Derita. "Tetapi ada perasaan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam hatiku, agaknya ada pihak ketiga dalam persoalan ini. Lebih-lebih apabila diingat,

bahwa tuduhan dan fitnah yang dilancarkan orang padamu itu, agaknya mempunyai

maksud yang lebih dalam lagi."

"Maksud apakah itu?" tanya Fajar Legawa.

"Bukankah engkau telah menerangkan sendiri, bahwa Ayu Kedasih tahu tentang

keris pusaka "Tilam Upih" itu? Hemm, keris pusaka itu mempunyai peranan pula dalam

peristiwa ini menurut dugaanku. Seperti orang yang lain, jelas sekali bahwa Ayu

Kedasihpun mempunyai kehendak untuk dapat merebut keris pusaka itu dari tanganmu.

Bukankah perempuan itu sendiri telah mengancam padamu akan membocorkan rahasia

keris itu kalau engkau tak mau melayani harapan perempuan itu? Nah, agaknya ada

seseorang yang membantu Ayu Kedasih.""

"Tetapi mengapa harus menuduh aku sebagai pembunuh kakang Wanengboyo?"

tanya Fajar Legawa.

"Itupun bukan masalah yang sulit untuk dijawab adi." sahut Tumpak Denta.

"Maksud memfitnah engkau itu jelas mengandung maksud yang lebih dalam, yang lebih

luas dan jauh. Dengan memfitnah engkau mempunyai dua maksud. Pertama, mereka

ingin mempengaruhi pendapat guru. Aku menduga bahwa mereka sudah mengenal tabiat

guru kita, seorang jujur dan benci kepada setiap perbuatan jahat. Maksudnya apabila guru

terpengaruh oleh fitnah itu, tentu akan segera menyerahkan engkau kepada mereka untuk

diadili mereka itu sendiri. Nah, apabila maksud ini terwujud, bukankah harapan mereka

memiliki keris pusaka "Tilam Upih" itu tercapai? Hemm, akan tetapi mereka kecelik,

ternyata guru kita tidak gampang mau percaya akan tuduhan itu. Yang kemudian

terjadilah malapetaka yang tidak kita harapkan."

Tumpak Denta berhenti dan menghela napas. Sejenak kemudian, ia meneruskan.

"Adapun maksud yang kedua, dengan memfitnah engkau atas tuduhan membunuhhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Wanengboyo itu akan memancing banyak orang agar membenci engkau. Dengan begitu,

banyak orang memusuhi engkau. Dan dengan begitu pula, di manapun engkau akan tidak

dapat hidup dengan aman lagi. Kemudian apabila dua jalan ini masih belum dapat

menyebabkan engkau terbunuh mati, mereka masih mempunyai senjata lain yang lebih

ampuh."

"Senjata apakah itu?" tanya Abdurajak yang menjadi tertarik juga oleh dugaan

Tumpak Denta ini.

"Senjata yang saya maksud itu paman, adalah pengetahuan Ayu Kedasih tentang

rahasia tongkat adi Fajar Legawa." Tumpak Denta menerangkan. "Perempuan itu sudah

siap untuk membocorkan rahasia tersebut, apabila usahanya tidak terwujud untuk dapat

merebut dari tangan adi Fajar Legawa. Dengan begitu, perhatian semua orang akan

tertuju kepada adi Fajar Legawa, dan saling memperebutkan keris pusaka itu. Nah,

apakah senjata ini tidak ampuh? Dimanapun adi Fajar Legawa dihadapkan dengan

bahaya yang mengancam."

Abdulrajak menganggukkan kepalanya. Kemudian. "Sungguh ruwet dan sulit pula

itu juga. Tetapi kalau benar dugaanmu bahwa di belakang peristiwa ini terdapat di pihak

ketiga, kiranya masih mempunyai hubungan dekat sekali dengan mereka. Hemm,

mengingat kemungkinan-kemungkinan ini, Fajar memang perlu berhati-hati dalam setiap

langkah. Bukan saja jiwamu terancam, tetapi keris pusaka itu sendiri salah-salah bisa jatuh

ketangan orang jahat."

"Kalau begitu, sebaiknya saya tidak membawa saja keris pusaka itu, dan lebih baik

paman saja yang melindungi!" kata Fajar Legawa yang menjadi khawatir juga oleh

kemungkinan-kemungkinan itu. Bagaimanapun ia merasa bahwa dirinya seorang lemah.

Apabila berhadapan dengan seorang sakti, dirinya tidak mungkin dapat mempertahankan

lagi keris pusaka yang harus dilindungi itu.

"Ha-ha-ha, ha-ha-ha," Abdulrajak ketawa bekakakan mendengar tawaran Fajar

Legawa ini. "Mengapa engkau mempunyai pendapat seperti itu? Apakah pasti aman

kalau keris itu dalam tanganku? Hemm, anak, tidak perlu engkau menjadi gelisah dan

khawatir berhadapan dengan persoalan ini. Serahkan saja sepenuhnya masalah ini ke

tangan Tuhan. Kalau Tuhan memang tidak menghendaki keris pusaka leluhurmu itu

lepas, tentu akan selalu memperoleh perlindungan-Nya. Tetapi sebaliknya kalau memang

sudah menjadi kehendak Tuhan, walaupun harus dijaga oleh seribu orang sakti

mandraguna, tidak urung akan hilang pula diambil orang. Begitulah anakku, maka dalam

membawa dan melindungi keris pusaka leluhurmu ini, percayalah bahwa Tuhan akan

selalu melindungimu. Dan sebaliknya kalau memang sudah dikehendaki Tuhan, engkau

akan mati sebagai ksatrya sejati dalam usahamu melindungi keselamatan "Tilam Upih".

Percaya sih percaya, tetapi sekalipun begitu Fajar Legawa menjadi khawatir jugahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

akan keselamatan keris pusaka leluhurnya itu, setelah dirinya dituduh sebagai pembunuh

Wanengboyo. Sebab peristiwa dan malapetaka yang telah terjadi di lembah Galunggung

itu tentu sudah tersiar luas. Dan kemudian pendapat orang akan pecah menjadi dua

pihak. Antara yang berpihak kepada gurunya, dan orang yang berpihak kepada Gajah

Seto dan Hajar Jaladara, yang tewas di padepokan gurunya. Dan dengan begitu, bagi

dirinya akan sulit mengenal siapakah yang berdiri sebagai musuh dan siapa pula yang

berdiri sebagai kawan. Akan tetapi sebaliknya untuk mendesak agar Abdulrajak sudi

menolong dan mengamankan keris pusana "Tilam Upih" ini, ia menjadi malu pula. Keris

yang menjadi tanggung-jawabnya sekarang ini merupakan keris warisan dari leluhurnya

sendiri. Mengapa dirinya harus minta bantuan kepada orang? Bukankah dengan begitu

berarti dirinya ingkar dari tanggung-jawab? Dan merupakan perbuatan pengecut pula?

Tetapi kemudian teringatlah Fajar Legawa kepada bocah cilik yang pernah ia

tolong Sasongko Jati. Mengapa tidak diajak serta oleh Tumpak Denta, dan apakah tidak

kasihan bocah itu ditinggalkan seorang diri di padepokan?

"Kakang, dimanakah Sasongko? Mengapa tidak engkau ajak serta?" tanyanya

kemudian.

"Sudah beberapa bulan dia ikut paman Wukirsari," sahut Tumpak Denta.

"Ahhh, syukur kalau begitu. Apakah engkau membawa dia kesana?"

Tumpak Denta menggeleng, "Tidak! Beberapa hari setelah terjadi malapetaka

hebat itu, paman Wukirsari berkunjung ke Galunggung. Maksudnya memang akan

meninjau kesehatan guru, disamping pula menanyakan kabarmu setelah pergi

meninggalkan Galunggung waktu itu. Mendengar penuturanku bahwa guru telah tewas

oleh gara-garamu, paman Wukirsari menyesal bukan main. Dan ketika paman Wukir

pergi, Sasongko diminta dan dibawa pulang."

"Aku gembira sekali mendengar paman Wukir sedia memungut Sasongko Jati."

kata Fajar Legawa. "Bocah itu sudah sebatang kara, dan atas pimpinan dan asuhan paman

Wukir, kemudian hari bocah itu akan menjadi ksatrya sejati dan gagah perkasa."

"Ya, mudah-mudahan." Tumpak Dentapun berharap.

"Kasihan juga engkau Fajar," kata Abdulrajak tiba-tiba. Dan mendengar ini Fajar

Legawa mengangkat kepalanya, mengamati Abdulrajak dengan pandang mata heran.

Begitu pula Tumpak Denta merasa tertarik juga. Apakah maksud orang tua ini?

"Engkau sudah sebatangkara pula seperti Sasongko Jati," Abdulrajak meneruskan

kata-katanya. "Tetapi engkau selalu dirundung malang dan peristiwa-peristiwa tidak

menguntungkan. Hemm, bukan saja ayahmu Adipati Ukur dibunuh mati oleh Sultan

Agung. Bukan saja ibu kandungmu yang bersedih hati itu kemudian meninggal dunia. Dihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

saat engkau dan adikmu masih kecil. Peristiwa-peristiwa menyedihkan itu kemudian

masih harus disusul dengan dibunuh matinya ayah dan ibu pungutmu oleh orang dan

sampai sekarang belum engkau ketahui, siapakah sesungguhnya pembunuh itu. Ditambah

lagi sampai sekarangpun engkau belum tahu di manakah adikmu Irma Sulatri, baik hidup

atau mati. Dan sekarang ditambah lagi dengan perbuatan orang tidak bertanggung jawab

yang memfitnah nama baikmu. Hemmm, mudah-mudahan engkau kuat menghadapi

semua ini anakku. Ya, jangan engkau menyesalkan semua itu, tetapi malah anggaplah

bahwa semua itu merupakan pupuk dalam hidupmu sekarang ini. Kalau tanaman diberi

pupuk hidup subur, maka aku berharap pula engkau hidup subur, maka aku berhadap pula

oleh peristiwa yang saling susul itu."

"Terima kasih paman, mudah-mudahan saya selalu kuat menghadapi semua

cobaan ini," katanya. Tetapi karena diingatkan kepada peristiwa-peristiwa itu, ia menjadi

sedih juga. Lalu timbul pertanyaan dalam hatinya, ya mengapa nasibku harus selalu

celaka begini?

Dan mendadak saja menyelinap dalam benaknya bayangan wajah Pertiwi Dewi

yang cantik, yang menarik hatinya, yang dicintai, akan tetapi gadis itu kemudian harus

mengalami nasib buruk, wajahnya berubah menjadi buruk. Yang kemudian mendorong

kepada gadis itu untuk melempar diri ke dalam jurang, membunuh diri.

Tiba-tiba saja Fajar Legawa menghela napas sedih. Memang nasibnya begitu

buruk, dan selama ini merasa dirinya dirundung malang.

"Memang dalam menghadapi semua ini kamu berdua tidak boleh hanya

menurutkan hati sebagai orang muda!" kata Abdulrajak kemudian. "Baik keris pusaka

"Tilam Upih" itu, maupun soal membongkar rahasia fitnah itu, merupakan kewajibanmu

berdua untuk membikin terang. Mengingat gawatnya masalah itu, aku anjurkan kepada

engkau berdua agar sejak saat sekarang ini lebik baik kamu tidak berpisah. Agar dengan

begitu, apabila Fajar Legawa menghadapi kesulitan, engkau dapat membantu dan

memberi pertolongan."

"Terima kasih paman, akan saya perhatikan petunjuk paman," sahut Tumpak

Denta. "Memang sayapun menyadari bahwa amat berat masalah-masalah yang dihadapi

adi Fajar pada saat sekarang. Ya paman, urusan adi Fajar merupakan urusan saya pula."

Tetapi tiba-tiba Fajar Legawa teringat pengalamannya ketika berkelahi melawan

Putut Jantoko. Orang itu bersenjata tongkat pula yang ampuh, karena didalamnya

tersimpan pula sebuah keris yang ampuh, dan menurut dugaan, keris Empu Gandring,

yang sudah banyak menimbulkan korban di jaman Tumapel. Bukankah ini merupakan

kesempatan baik, kalamana dijadikan sebagai pelindung?

"Paman," katanya kemudian, "saya teringat kepada salah seorang penjahathttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bersenjata tongkat dan ampuh sekali. Ketika itu pedang kakang Tumpak Denta takut

berbenturan, sebab setiap berani berbenturan akan segera patah."

"Ahhh, benarkah itu?" Abdulrajak heran.

"BENAR!" sahut Tumpak Denta. "Dan menurut dugaan dalam tongkat itu,

tersimpan pula sebilah keris, seperti tongkat adi Fajar. Malah paman Wukirsari menduga,

bahwa keris itu apa yang terkenal di jaman Tumapel keris Empu Gandring."

"Ahhh, mengapa bisa jatuh ke tangan dia, kalau itu benar?"

"Tetapi justeru dengan adanya orang yang bersenjata tongkat dan tajam seperti itu,

inginlah saya menggunakan akal muslihat."Fajar Legawa mengemukakan maksudnya.

"Akal muslihat bagaimana?" tanya Abdulrajak.

"Kerispusaka yang menjadi tanggung-jawab saya itu akan aku sembunyikan pada

suatu tempat rahasia," Fajar Legawa menjelaskan rencananya. "Kemudian saya akan

mengumumkan bahwa tongkat itu direbut dan jatuh ke tangan Putut Jantoko. Bukankah

dengan tipu muslihat ini, akan berarti saya terhindar dari ancaman orang, sebaliknya

Putut Jantoko yang akan mendapat giliran, dikejar-kejar dan dimusuhi orang.

Bagaimanakah menurut pendapat paman atas akal seperti ini?"

"Siapakah guru Putut Jantoko itu?" tanya Abdulrajak.

"Dia murid Klenting Mungil."

"Hemmm, gurunya jahat dan muridnyapun jahat," Abdulrajak mendesis lalu

menghela napas.

"Karena itu paman, saya bermaksud agar mereka yang jahat itu dimusuhi orang.

Dengan demikian pula, ancaman bahaya bagi saya akan berkurang."

"Akalmu semacam ini bagaimanapun berbau curang." Abdulrajak menghela

napas, dan ia mengamati Fajar Legawa. "Dan perbuatan curang biasanya hanya

dilakukan oleh pihak sesat dan golongan jahat. Menurut pendapatku, walaupun engkau

bermaksud baik, kalau yang dilakukan curang tetap saja tidak baik. Sebab kalau apa yang

disebut curang itu baik, tentu saja orang dari golongan lurus bersih tidak melarang murid
muridnya melakukan perbuatan curang itu. Dan kalau curang itu baik, kemudian tidak

akan sampai terjadi adanya garis pemisah, antara yang disebut lurus bersih, dan golongan

hitam atau jahat."

Jawaban Abdulrajakini tidak langsung tetapi jelas bahwa orang tua ini tidak setuju

kepada maksud Fajar Legawa yang akan menggunakan akal muslihat itu, sebab denganhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

perbuatan ini berarti tiada perbedaan antara mereka yang digolongkan lurus bersih dan

yang digolongkan jahat atau hitam.

Fajar Legawa terdiam, sedang Tumpak Dentapun tidak membuka mulut. Ucapan

Abdulrajak itu memang tidak terbantah. Memang tidak sepantasnya apabila

harusmenggunakan cara licik cara curang seperti itu.

"Anak," kata Abdulrajak lagi," sekali lagi aku katakan padamu. Apabila engkau

benar-benar percaya akan takdir dan kekuasaan Tuhan,mengapa engkau menjadi

khawatir kepada hal-hal yang belum terjadi dan akan terjadi? Orang yang percaya kepada

Tuhan, sekali lagi orang yang percaya kepada Tuhan, serahkan bulat-bulat kepada Dia.

Kalau didunia ini tidak terhitung jumlahnya manusia jahat, sebaiknya tidak terhitung

jumlahnya pula manusia baik. Kalau engkau tahu begitu, mengapa engkau khawatir?

Percayalah bahwa di samping orang berusaha merebut keris pusaka itu dari tanganmu,

ada pula orang baik yang berusaha membantu dan melindungi keselamatanmu dan

pusaka itu. Apakah engkau mengerti?"

"Ya paman, saya mengerti," sahut Fajar Legawa kemudian.

"Lalu ke manakah rencanamu,setelah dapat bertemu dengan Fajar?" tanyanya
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Tumpak Denta.

"Entahlah, saya belum mempunyai rencana." sahut Tumpak Denta sambil

menggeleng.

"Kalau begitu, aku ingin menahanmu di sini untuk beberapa waktu lagi!" kata

Abdulrajak. "Anak, bukan aku menganggap, bahwa diriku ini lebih tahu dan lebih sakti

dibanding gurumu almarhum. Tidak! Akan tetapi sekalipun begitu, inginlah aku

membantu engkau berdua dapat memiliki ilmu kesaktian lebih maju lagi, mengingat

kewajibanmu yang memang amat berat. Apakah kamu setuju?"

"Terima kasih atas kebaikan paman," sahut Tumpak Denta. Tentu saja pemuda

ini segera mengucapkan terima kasihnya dan gembira sekali atas tawaran Abdulrajak itu.

Sebab, dibawah bimbingan orang tua ini, dalam waktu beberapa bulan saja Fajar Legawa

maju pesat, Hingga walaupun tadi ia menggunakan ilmu simpanan yang tidak diketahui

Fajar Legawa, tak juga dapat merobohkan.

"Anak, engkau jangan salah tafsir," kata Abdulrajak. "Bukan sekali kali aku

menganggap bahwa aku lebih tinggi ilmu kepandaiannya dibanding gurumu. Tidak!

Tetapi engkau harus mengerti, bahwa manusia di dunia ini mengenal beberapa macam

ilmu kepandaian dan ilmu kesaktian. Dan orang yang biasa disebut tangguh dalam

berkelahi maupun menghadapi lawan itu, bukan lain oleh pengetahuannya yang luas

tentang ilmu tata kelahi. Mengingat itu, maka terpikir olehku untuk menambahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pengetahuanmu itu agar kemudian hari, jika berhadapan dengan lawan tidak repot.

Kemudian satu hal yang perlu engkau ingat lagi, bahwa aku bukan gurumu. Dan gurumu

hanya seorang saja, almarhum kakang Suria Kencana. Kamu berdua sudah tepat

memanggil aku paman, dan panggilan paman itu pergunakan terus."

"Terima kasih paman," sahut Fajar Legawa. "Tetapi saya ingin berkunjung dan

berziarah ke makam guru lebih dahulu."

"Bagus, akupun ingin berziarah ke sana." Abdulrajak menyambut dengan

senang hati. "Dan kiranya esok pagi merupakan waktu yang baik bagi kita pergi ke sana."

o

oo

DI TENGAH halaman yang bersih dan luas dalam desa Mergasari, tampak

seorang perempuan cantik duduk bersila diatas tikar yang dibentangkan, sedang seorang

laki-laki bertubuh tegap berbaring dengan kepala berbantal paha. Bulan bersinar kuning

emas menghias angkasa biru, membuat orang tidak jemunya bergadang di luar rumah.

Sementara itu tak jauh dari mereka, pada halaman rumah orang lain terdengarlah suara

riuh bocah bermain-main, berkejaran dan berteriak serta kadang-kadang bocah

perempuan menjerit.

Begitulah bocah. Mereka belum mengenal arti derita hidup di dunia ini, yang bagi

mereka sudah merasa cukup kalamana perut kenyang. Mereka tidak perduli kenyang oleh

makanan apa dan yang terpenting bagi mereka asal saja perut terisi. Dan apabila mereka

sudah berkumpul, bermain dan berkejar-kejaran itu, tidak lagi terdapat perbedaan antara

anak si kaya dan si miskin. Antara yang setiap hari makan nasi dengan lauk telor dan ikan,

dengan bocah yang hanya makan singkong dengan lauk sayur yang tidak enak. Itulah

dunia si bocah. Dunia yang sederhana, dunia yang belum dikotori oleh akal dan pikiran

yang hanya berusaha menguntungkan diri sendiri.

Tetapi kalamana si bocah itu meninggalkan dunia kebocahannya, dan harus

bergelut dengan kehidupan yang sesungguhnya, yang harus memeras tenaga dan keringat

untuk mempertahankan hidupnya, keadaannya akan jauh berlainan. Mereka sekarang

membedakan kedudukan dan harta benda. Sekalipun di masa bocah merupakan teman

bermain dan kejar-kejaran, mereka yang merasa berkedudukan dan berharta benda akan

membuang muka dan pura-pura tidak kenal lagi. Mereka malu merasa kenal dengan orang

melarat, atau orang yang kedudukannya rendah. Dan bagi mereka ini yang dikenal melulu

orang-orang berkedudukan tinggi dan berharta.

Memang menyedihkanjugabahwamakinlama di dunia ini makin tampak jauh

perbedaan antara si kaya dan si miskin. Dan makin terpisah jauh pula dunia mereka.

Lebih celaka lagi, walaupun merupakan saudara dekat, tak juga sudi menegur sapa kepada

saudaranya yang hidup miskin. Mengapa? Gampang saja dugaannya. Khawatir kalau sihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

miskin itu datang minta sumbangan.

Apabila pada pekarangan lain riuh terdengar suara bocah yang berkejaran dan

bermain-main, sebaliknya pada halamandi mana dua insan itu duduk dan berbaring,

suasananya tampak tenang dan tenteram.

"Lihatlah bulan diangkasa itu," kata si laki-laki perlahan dan masih tetap berbaring

berbantal paha. "Dia tersenyum-senyum melihat hidup kita ini yang rukun dan bahagia."

"Hemm," yang perempuan menghela napas pendek, "apakah ucapanmu itu bisa

dipercaya?"

Yang laki-laki nampak kaget dan cepat bangkit, lalu duduk berhadapan. "Apakah

maksudmu?"

"Soalnya aku sudah janda, dan engkau belum pernah kawin," sahut yang

perempuan.

"Heh.heh-heh," tiba-tiba saja si laki-laki ini terkekeh. "Apakah bedanya? Cinta

manusia yang suci tidak dapat ditentukan oleh keadaan. Bukankah sering terjadi pula

seorang janda tua kawin dengan seorang pemuda? Ada pula terjadi seorang kakek kawin

dengan seorang gadis yang pantas menjadi cucunya. Dan apabila antara aku dan engkau

terjadi seperti ini, kawin, bukankah ini peristiwa lumrah?"

"Hemm, tetapi mula pertama engkau mengenal aku, menggunakan akal licik dan

ancaman. Huh, ketika itu aku menjadi muak dan membencimu."

"Tetapi sekarang sudah tidak lagi, bukan?" sahut yang laki-laki sambil tersenyum,

kemudian jari tangannya sudah memegang dagu si perempuan. "Buktinya kita sekarang

merupakan suami isteri yang bahagia."

"Hemm, tetapi harus ada nyawa seorang yang menjadi korban

pembunuhan........."

"Ayu!" potong yang laki-laki tiba-tiba. "Sudahlah, jangan engkau bicarakan soal

itu lagi. Peristiwa terkutuk itu, menyebabkan aku menyesal bukan main. Sebab dengan

terjadinya peristiwa itu, guru kita terpaksa menjadi korban. Huh! Apabila aku teringat

peristiwa itu, hatiku panas."

"Bukan hanya engkau seorang. Akupun takkan puas sebelum berhasil membunuh

Fajar Legawa!" sahut yang perempuan dengan nada gemas.

Mereka ini dua tokoh yang sudah kita kenal. Mereka bukan lain Ayu Kedasihhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dengan Tohjoyo, yang sekarang telah menjadi suami-isteri. Terjadinya perkawinan antara

dua orang ini, kecuali memenuhi anjuran Danurwendo, di antara merekapun memang

sudah saling setuju untuk kawin.

Perputaran roda dunia ini memang aneh. Sekalipun semula Ayu Kedasih menjadi

benci setengah mati setelah lewat ancaman dan setengah paksa harus menyerah, sekarang

tanpa ancaman dan paksaanAyu Kedasih rela menjadi isteri Tohjoyo. Ada dua alasan

mengapa sebabnya Ayu Kedasih rela kawin dengan Tohjoyo. Yang pertama, bahwa

harapannya kepada Fajar Legawa jelas bertepuk sebelah tangan. Ia menjadi kecewa dan

benci kepada pemuda itu. Kemudian menyusuliterbunuh matinya Wanengboyo. Sebagai

seorang perempuan ia merasa kesepian.

Alasan yang kedua, ia memerlukan pelindung. Di samping pula teman sehidup

semati yang dapat diajak serta memusuhi Fajar Legawa. Pendeknya bagi Ayu Kedasih,

selama Fajar Legawa itu masih hidup ia takkan berhenti berusaha membunuh, dan

merebut pula senjata pusaka yang tajam luar biasa itu. Sampai sekarang Ayu Kedasih

memang masih menyimpan rahasia tentang keris pusaka "Tilam Upih" yang tersimpan di

dalam tongkat itu. Sebab Ayu Kedasih masih berharap bahwa suatu waktu dirinya akan

berhasil merebut juga. Namun apabila kemudian usahanya itu gagal, barulah ia akan

menyiarkan masalah itu agar kemudian Fajar Legawa tidak aman lagi, dan dimusuhi

banyak orang. Perempuan ini percaya penuh, bahwa apabila bekerja sama dengan

Tohjoyo, tentu akan berhasil mencapai citanya itu. Sebab Tohjoyo kakak seperguruan

Wanengboyo dan dalam bidang ilmu tata-kelahi maupun kesaktian, masih di

atasWanengboyo.

"Kalau aku tahu akan terjadi begini hubungan kita," kata Tohjoyo sambil kembali

berbaring dan berbantal paha. "Tentu saja aku tidak menggunakan ancaman dan paksaan,

pada malam pertama aku mengenal engkau."

"Idih, tidak tahu malu!" sahut Ayu Kedasih sambil mencibirkan bibir. "Kalau

engkau tidak mengancam dan setengah memaksa, apakah aku sudi menyerah atas

kehendakmu? Huh, apakah serendah dan semurah itu pandanganmu terhadap aku?"

"Aihh, bukan begitu Ayu, sungguh mat? bukan begitu yang aku maksud." Tohjoyo

cepat-cepat membujuk. "Tah?kah engkau bahwa aku benar-benar jatuh cinta setengah

mati kepada engkau? Sungguh Ayu ketika itu walaupun sudah seminggu lamanya engkau

pergi, aku terus ingat saja kepada engkau. Hampir tujuh hari lamanya aku tidak bisa tidur

dan tidak enak makan."

"Bohong!" Ayu Kedasih mencibirkan bibirnya. "Huh, aku tahu bahwa ucapanmu

ini hanyalah untuk merayu saja."

Tohjoyo kembali bangkit lalu duduk. Katanya, "Engkau tak percaya? Apakahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

engkau ingin aku bersumpah? Ayu, belahlah dadaku ini jika engkau menganggap aku

bohong. Aku selalu terkenang padamu, dan itu pula sebabnya ketika pulang dari

menghadap guru, aku ikut adi Wanengboyo datang kemari."

"Hemm.........kemudian karena........."

Tohjoyo cepat-cepat menutup mulut Ayu Kedasih, cegahnya. "Sudahlah Ayu, apa

yang sudah terjadi kurang perlu dibicarakan lagi. Sebab apakah gunanya hal itu

dibicarakan? Hal-hal yang buruk dan menyedihkan hanya akan membuat kita berduka.

Bukankah lebih baik apabila kita bicara apa yang kita hadapi saja, dan hal hal yang

menyenangkan?"

"Hemm," Ayu Kedasih hanya menghela napas pendek, tetapi tidak mengucapkan

apa-apa. Dan untuk beberapa lama kemudian, sepasang insan ini berdiam diri, tidak

membuka mulut.

Ayu Kedasih tidak menolak ketika tangan Tohjoyo meraih, kemudian mengajak

berbaring berdampingan di atas tikar itu, sambil memandang bulan kuning di angkasa

biru.

Dan bocah-bocah yang saling berkejaran itu ada kalanya berlarian lewat tak jauh

dari mereka. Tetapi para bocah itu tidak perduli kepada suami-isteri yang nampak rukun

ini. Mereka lebih penting mengurusi kebutuhan mereka sendiri, bersembunyi dalam

permainan "jelungan".

"Ayu," kata Tohjoyo memulai percakapan, setelah lama mereka berdiam diri.

"Ya," Sahut Ayu Kedasih tanpa bergerak, dan ia menelentang di atas tikar itu

sambil memandang bulan di angkasa.

"Kapankah kita seperti suami-isteri yang lain?"

Ayu Kedasih memiringkan tubuhnya, menghadapi suaminya sambil bertanya.

"Apakah maksudmu seperti suami-isteri yang lain itu? Apakah engkau ingin kita

seringkali bercekcok dan bertengkar urusan kecil seperti mereka?"

"Ha-ha-ha," Tohjoyo ketawa. "Bukan itu maksudku, Ayu.Tetapi kapankah kita

ini dapat menimang bocah?"

Setelah berkata Tohjoyo menggerakkan tangan meraba perut.

"Ihh.........!" Ayu Kedasih kaget dan cepat menepis tangan suaminya. Sejenak

kemudian perempuan ini menggeleng, jawabnya. "Dalam keadaan seperti sekarang ini,

hadirnya bocah di tengah kita hanya akan membuat kita repot saja."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ihhh........mengapa?" Tohjoyo tampak kaget.

"Apakah engkau lupa bahwa urusan yang kita hadapi banyak?Kalau kita

mempunyai anak, bagaimanakah kita dapat menunaikan tugas-tugas yang belum selesai

itu? Kakang, tentunya engkau dapat membayangkan betapa repotnya perempuan

seperti aku ini. Apakah kakang rela begitu saja guru kita berbaring di bawah tanah dengan

penasaran, dan kita tidak berusaha membalas sakit hatinya?"

"Akan tetapi pembunuh guru kita juga mampus pula," Tohjoyo menjawab.

"Kepada siapakah alamat yang harus kita tuju?"

"Huh, engkau tolol kakang. Siapa lagikah kalau bukan murid-murid bangsat Suria

Kencana itu? Huh, singkat atau lambat mereka itu harus dapat dibunuh mati. Kemudian

apabila kita sudah berhasil membunuh mereka, kemudian berhasil pula menguasai

tongkat berisi keris pusaka itu aku menjadi puas. Nah, sesudah semua itu terkabul baru

kemudian kita berpikir tentang anak. Apakah engkau mengerti?"

"Mengerti. Tetapi....."

"Tetapi apa?"

"Tetapi bukankah semua itu tidak gampang?"

"Ya, memang tidak gampang. Akan tetapi kalau cita-cita itu ditangani dengan

sungguh-sungguh apa yang kita harapkan akan terkabul juga. Cita-cita itu hanya bisa

dicapai dengan usaha yang sungguh, karena tidak akan jatuh dari langit. Begitulah, dan

aku percaya apa yang aku harapkan cepat atau lambat akan terkabul."

"Hemmm..............."

"Mengapa hemmm..............?" Ayu Kedasih curiga mendengar suaminya hanya

menggumam.

"Karena cita-citamu itu amat tinggi dan baik sekali, maka aku tidak dapat

menambah komentar lagi, dan hanya hemm, itu saja yang dapat aku ucapkan. Namun

untuk kepentingan itu, tentu saja kita tidak dapat berdiam diri di rumah seperti sekarang
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini, bukan?"

"Ya.Tetapi aku sekarang ingin bertanya padamu. Apakah engkau ini seorang

tolol?"

"Mengapa tolol?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Kalau bukan tolol, apakah engkau hanya mencintai aku tok, dan tidak yang lain?"

"Mengapa engkau masih bertanya? Sungguh mati aku hanya mencintai engkau

seorang."

"Huh!" mendadak Ayu Kedasih menggeram, lalu bangkit duduk. "Tidak kepada

yang lain?"

"Tidak!" sahut Tohjoyo sambil bangkit dan duduk juga.

Tangan Tohjoyo meraih lengan Ayu Kedasih, dan kemudian bermaksud merayu.

Akan tetapi Tohjoyo menjadi kaget ketika tangannya ditepis oleh telapak miring Ayu

Kedasih hingga merasa sakit dan meringis.

"Mengapa engkau?" Tohjoyo kaget.

"Jangan engkau pegang. Tahu? Aku muak dengan sikapmu ini.Tahu!" bentak Ayu

Kedasih.

Tohhjoyo menjadi heran atas perubahan sikap Ayu Kedasih yang tiba-tiba ini.

Mengapa bisa begini?

"Ayu, aku menjadi heran akan sikapmu ini. Apakah maksudmu yang

sebenarnya?" Muak? Hemmm............"

"Tentu saja aku muak. Sebab engkau mencintai aku hanya di mulut, dan engkau

hanya menginginkan tubuhku melulu."

"Ehh, mengapa kau ini Ayu? Mengapa engkau berkata begitu? Aku berani

bersumpah. Dan kalau perlu engkau boleh membelah dadaku ini, kemudian menjenguk

isinya."

"Tetapi apabila engkau hanya menginginkan aku, dan engkau tidak mencintai

keluargaku, huh!"

Tiba-tiba saja Tohjoyo ketawa terkekeh. Sekarang ini tahu akan sebabnya.

Kemudian. "Aihh, engkau salah paham Ayu. Bukan begitu maksudku. Tentu saja akupun

mencintai keluargamu. Ayah bundamu aku anggap pula sebagai ayah bunda kandungku."

"Kalau memang mencintai keluargaku, mengapa engkau mengucapkan kata-kata

bahwa kita tidak dapat berdiam diri di rumah seperti sekarang ini? Bagaimanakah

mungkin aku dapat pergi dan meninggalkan rumah ini, kalau ibu sedang sakit?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Aihh, bukan begitu maksudku Ayu, sungguh bukan begitu." Tohjoyo menyambar

tangan Ayu Kedasih, yang kemudian jari tangan itu dicium setelah diusap-usap sebentar,

dan perempuan itupun tidak memberontak. "Maksudku tentu saja apabila ibu telah

sembuh, kemudian kita harus pergi dan berusaha. Nah apakah engkau sudah mengerti

maksudku dan tidak marah lagi?"

"Sudahlah, mari kita masuk ke dalam rumah dan kita jenguk ibu."

Ayu Kedasih mendahului bangkit lalu masuk ke dalam rumah. Tohjoyo segera

menyambar tikar itu, dilipatnya, kemudian mengkuti langkah Ayu Kedasih masuk ke

dalam rumah.

Kemudian mereka masuk ke dalam bilik ibu Ayu Kedasih yang sedang sakit dan

berbaring di atas balai. Tampak ayah Kedasih duduk di tepi pembaringan menunggui

isterinya dengan duduk melenggut, jelas mengantuk. Melihat bahwa ibunya tidur pulas

dan ayahnya duduk melenggut, Ayu Kedasih menyilangkan jari ke bibirnya yang merah

merekah. Kemudian dengan langkah ringan suami isteri ini meninggalkan bilik menuju

ke bilik mereka sendiri.

Malam telah larut, dan suara bocah yang sejak sore bermain-main dan berkejar
kejaran telah tidak terdengar lagi. Bocah-bocah itu telah kepayahan dan sekarang telah

melingkar dan mimpi indah dalam tidurnya. Dalam keadaan seperti ini, desa Mergasari

menjadi sepi dan semua penghuni telah lelap tidur.

Tetapi di tengah malam larut dan sepi ini, Tohjoyo terjaga dari tidurnya saking

kaget, mendengar jerit Ayu Kedasih. Ketika Tohjoyo membangunkan isteri tercinta itu,

tiba-tiba saja Ayu Kedasih memeluk Tohjoyo erat sekali sambil menyembunyikan wajah

ke dada. Tubuh perempuan ini gemetaran seperti seorang sedang ketakutan. Dan Tohjoya

memeluk dan mendekap isterinya.

"Aihh............aku takut....... augh..... takut............takut....... hiiii.........takut."

"Ayu, engkau takut apa? Takut apa?" tanya Tohjoyo dengan rasa heran dan gugup.

"Takut............auhh............takut........hiii.........." ratap Ayu Kedasih sambil

memeluk lebih erat, menyembunyikan wajah ke dada suaminya, dengan tubuh yang

gemetaran.

Tohjoyo mendekap isterinya dengan heran dan hati bertanya. Mengapa isterinya

sekarang ini? Ayu Kedasih seorang wanita perkasa, dan biasanya tidak pernah takut

berhadapan dengan bahaya. Akan tetapi mengapa di tengah tidurnya sekarang ini, Ayu

Kedasih ketakutan setengah mati? Takut kepada apakah?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ayu, aku di sampingmu," bujuk Tohjoyo. "Tak ada lagi yang perlu engkau

takutkan. Siapapun yang berani mengganggu engkau, akan berhadapan dengan suamimu,

Tohjoyo. Jangan takut, tak ada apa-apa."

"Takut............hii...........takut............aku takut............" ratap Ayu Kedasih lagi.

"Apa yang engkau takutkan?"
"Hai............takut orang............aihh.........takut............"

Sekarang Tohjoyo tambah jelas, bahwa isterinya tadi mimpi buruk. Dalam

mimpinya itu jelas dia melihat sesuatu yang menakutkan. Walaupun ia menghibur,

isterinya takkan dapat dibujuk. Jalan yang paling tepat, ia segera menyambar cangkir air

teh. Isterinya diangkat supaya duduk, kemudian cangkir berisi air teh itu disodorkan ke

bibir. "Minumlah Ayu."

Perempuan ini sudah membuka matanya, lalu minum dua teguk, akan tetapi

wajahnya masih amat pucat dan napasnya masih memburu. Sepasang matanya jilalatan

mengamati sekitarnya. Tetapi ia tidak melihat apa-apa, kecuali keadaan bilik sebagaimana

biasa, dan sekarang dirinya dalam dekapan suaminya. Hatinya mulai terhibur, rasa

takutnya berkurang, kemudian ia duduk sendiri di atas pembaringan berdampingan

dengan suaminya.

"Ayu," bisik Tohjoyo sambil kembali memeluk leher perempuan itu, "engkau

mimpi agaknya? Mimpi buruk yang menakutkan, sehingga engkau girap-girap? Ayu, di

sampingku tidak ada lagi yang perlu engkau takutkan. Tidak ada yang berani

mengganggumu."

"Hem.........." Ayu Kedasih hanyamenggumam.

"Ayu, jangan memikirkan hal-hal yang buruk!" hibur Tohjoyo. "Seseorang yang

menjelang tidur memikirkan suatu yang buruk, akibatnya akan menyebabkan orang

mimpi buruk. Maka jauhkanlah dari pikiran semacam itu. Niscaya engkau tidak akan

mimpi buruk."

ToT ]oyoVerhcntisejenak, mengamati wnjsfc jsferinya yang cantik. Setelah

mencium dahinya Jfirsnya. "Ayu, apa sebabnya engkau takut dan spa pu?a yang engkau

takutkan dalam mimpi amukmu itu? Engkao seorang perempuan perkasa. Mtngapa

mimpi seja engkau ketakutan selengah maai macam ifco?"

Ayu Kedasih belum membuka zrrolut. Agaknya pengaruh mimpi buruknya hebdt

sekali, sehingga wal iipm sekarang- sudah terjaga dari tidwrnya, rasa takut itu masih saja

membekas dan tidak gampang diusir.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Tenangkan batimuAyu, dan jaagaa memikirkan yang tidak-tidak kata Tohjoyo

lagi dalam usahanya menghibur. "Tidak ada apa-apa di sini dan tidak ada yang perlu

engkau iakutan.

"Tetapi............aku benar-benar ........takut kakang........." sahut Ayu Kedasih

tak lanci,

"Takut apa Tdesak Tohjoyo.

"Kakang............ohh............ begini........."

Dan Ayu Kedasih segera menceritakan apa yang telah dialami dalam mimpinya.

Dalam mimpinya itu, menurut perasaan Ayu Kedasih, sedang melakukan

perjalanan seorang diri ke suatu tempat. Akan tetapi Ayu Kedasih tidak tahu di manakah

dirinya ketika itu. Yang masih diingat dan diketahui, bahwa di tempat itu, tiba-tiba ia

bertenu dengan Wanengboyo, bekas suaminya yang telah tewas. Tetapi kesadaran bekas

suaminya itu sudah lain. Wanengboyo mengenakan pakaian putih seluruhnya, bentuknya

seperti jubah panjang, akan tetapi menutup sampai kepala.

"Heh-heh-heh, Ayu Kedasih. Mau kemanakah engkau?" tanya Wanengboyo.

"Hemm, siapakah engkau?" balas Ayu Kedasih sambil mundur-mundur.

"Ha-ha-ha .........ha-ha-ha, pantas saja engkau tidak mengenal aku lagi, karena di

sampingmu sekarang ada laki-laki lain. Huh, laki-laki yang sekarang menjadi suamimu,

setelah aku mati penasaran........."

"Siapa engkau?" ulang Ayu Kedasih sambil tetap mundur.

"Bagus, ha-ha-ha, bagus jika engkau sudah tidak mengenal padaku lagi. Pada

Wanengboyo yang mati penasaran dibunuh orang. Hemm, Ayu Kedasih, engkau cantik

jelita bagai Dewi, dan penparuh kecantikanmu itulah aku gandrung dan kawin dengan

engkau. Tetapi huh, kecantikanmu itu hanya sebatas kulit saja. Hatimu tidak secantik

keadaanmu yang dapat dipandang mata. Tetapi hatimu buruk dan tidak kenal malu. Huh,

kecantikanmu menimbulkan bencana. Kecantikanmu mendorong padamu untuk

melakukan hal-hal yang kurang patut bagi seorang wanita, dan mencemarkan kehormatan

wanita pula. Huh, sangkamu aku tidak tahu semua itu? Huh, engkau berusaha memikat

Fajar Legawa, walaupun engkau sudah menjadi isteriku. Tetapi ternyata Fajar Legawa

tidak dapat kau bujuk, dan aku puji sikap Fajar Legawa yang jantan dan tidak sedia

melayani kehendakmu."

"Tidak.........aku tidak........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ya, antara engkau dengan Fajar Legawa memang tidak terjadi apa-apa. Akan

tetapi dengan orang lain yang sekarang menjadi suamimu itu? Huh............engkau sampai

hati menuduh dan memfitnah Fajar Legawa yang tidak bersalah. Huh, justeru oleh

fitnahmu itu menyebabkan tiga orang tua, Suria Kencana, guruku Gajah Seto dan gurumu

sendiri Hajar Jaladaramenjadi korban. Huh huh,orang yang tidak bersalah engkau fitnah

sebagai pembunuh. Tetapi orang yang bersalah dan membunuh aku secara curang........."

"Tidak.........tidak! Aku tidak........."

"Hemmm......... manusia macam engkau ini memang tidak pantas terlalu lama

hidup di dunia ini. Huh, dan selama wajahmu masih tetap cantik seperti ini, entah berapa

lagi manusia akan menjadi korban kecantikanmu. Maka sekarang juga, wajahmu harus

aku robah menjadi buruk."

"Augh ......... jangan ............jangan.........!" Ayu Kedasih berteriak.

"Jangan lari perempuan cantik yang jalang! Engkaulah yang menyebabkan aku

mati penasaran. Huh, huh, perempuan curang............engkau harus aku cekik."

"Jangan.........jangan........." dan Ayu Kedasih melompat kemudian lari secepat

terbang.

Itulah sesungguhnya yang menyebabkan Ayu Kedasih berteriak-teriak ketakutan

setengah mati. Dalam tidurnya merasa bertemu dengan Wanengboyo yang telah mati dan

dirinya dicaci maki sebagai perempuan jalang dan curang.

Tohjoyo tersenyum, lalu hiburnya. "Ayu, tidak ada manusia mati dapat membalas

dendam, mencaci-maki maupun mengancam. Yang sudah mati tetap mati, dan

Wanengboyopun sekarang sudah menjadi tanah. Ayu, tiada alasan untuk takut. Kalau dia

berani datang kemari, akulah lawannya."

Ucapan suaminya ini sedikit banyak memang menghibur pula, sehingga rasa

takutnya berkurang. Namun ia masih berkata. "Kakang, tetapi ada orang bilang bahwa di

dunia ini ada pula nyawa manusia yang melayang-layang, nglambrang tanpa tempat. Dan

roh seperti itu adalah roh orang mati penasaran, yang dapat mengganggu manusia

hidup........."

"Omong kosong!" sahut Tohjoyo membantah dalam usahanya menghibur Ayu

Kedasih. "Mati tetap mati, dan nyawanya pergi entah kemana. Sudah, mari sekarang tidur

lagi dan engkau jangan memikirkan yang tidak-tidak, agar engkau tidak mimpi buruk."

"Ya. Tetapi.........aku takut tidur.Aku .. aku takut bertemu dia lagi........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Mengapa takut? Aku di sampingmu dan menjagamu, Ayu."

Tetapi walaupun mulutnya mengucapkan kata-kata begitu, hatinya berkata lain.

Sejak tadi Ayu Kedasih tidur di sampingnya. Namun terbukti bahwa walaupun begitu

Ayu Kedasih mimpi dan dikeja-kejar oleh Wanengboyo yang telah mati, dan dirinya tidak

mencegah maupun menolong. Pengaruh cerita orang bahwa roh orang yang mati

penasaran selalu nglambrang tanpa tempat, bagaimanapun hatinya menjadi berdebar

juga.

Diam-diam iapun tidak dapat membantah bahwa Wanengboyo memang mati

penasaran karena terbunuh oleh orang dan diam-diam pula iapun merasa khawtir juga

pembalasan orang yang mati penasaran itu.

"Kakang" kataAyu Kedasih setelah beberapa saat lamanya mereka berdiam diri.

"Ada apa?" tanya Tohjoyo.

"Mengapa sebabnya dia berkata penasaran dan aku curang, justeru semua itu

terjadi akibat Wanengboyo sendiri?"

"Ya!" Tohjoyo menghela napas pendek.

Untuk beberapa saat lamanya suami isteri ini tidak membuka mulut, sehingga bilik

itu kembali sepi. Untuk beberapa jenak lamanya, masing-masing merenung. Dalam dada

masing-masing berkecamuk perasaan yang bermacam-macam. Dalam dada masingIblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masing mengikuti lamunan yang mengawang jauh di angkasa.

"Mari kita tidur lagi," ajak Tohjoyo halus sambil memeluk.

Ayu Kedasih menggeleng. Pengalamannya tadi ketika tidur, masih mempengaruhi

perasaannya hingga terasa sulit untuk mengusir begitu saja. Ia menjadi khawatir apabila

tidur lagi, dalam tidurnya bertemu lagi dengan bekas suaminya yang sudah tewas

kemudian mencaci-maki dan mengancam. Dan ketika ia teringat akan ancaman bekas

suaminya yang mau merusak wajahnya yang cantik, ia bergidik ngeri! Bagi perempuan,

kecantikan merupakan lambang kehormatan. Yang wajahnya burukpun akan berusaha

agar wajahnya menjadi cantik. Mengapa yang sudah cantik wajahnya akan dirusak agar

menjadi buruk?

"Tidak ada apa-apa, Ayu. Jangan takut," hibur Tohjoyo. "Kalau begitu, biarlah

engkau tidur dan aku berjaga. Dan apabila orang itu mengganggu, akulah yang akan

mengusirnya."

Ayu Kedasih menggeleng dan tidak juga bergerak untuk tidur. Dan Tohjoyo tidakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

berani memaksa, hanya menghela napas panjang.

O

000

SEPERTI telah disinggung pada bagian sebelumnya, bahwa Suria Kencana pernah

menerima kehadiran seorang tamu yang memberitahukan, bahwa adik Fajar Legawa

yang bernama Irma Sulastri itu masih selamat tak kurang suatu apa. Pemberitahuan itu

memang benar. Dan orang yang memberi khabar tentang Irma Sulastri itu bukan lain

Menak Singgih, seorang kakek sakti yang pernah menyelamatkan Fajar Legawa, Tumpak

Denta, Wukirsari, Gadung Melati dan yang lain dari ancaman bahaya keganasan

Klenting Mungil.

Ketika itu Menak Singgih sedang berkelana tanpa tujuan. Dan di saat ia berada di

pinggang gunung Slamet, kakek ini menjadi kaget dan tertarik perhatiannya mendengar

pekik perempuan. Ternyata pekik perempuan itu dari rombongan orang berkuda sedang

menuruni pinggang gunung. Menak Singgih segera menghadang di tengah jalan.

Walaupun dibentak dan diancam oleh para penjahat, Menak Singgih tetap berdiri di

tengah jalan, sehingga membuat para penjahat yang mengganggu keluarga Fajar Legawa

itu marah bukan main. Dengan senjata masing-masing mereka segera turun tangan dan

mengeroyok. Tetapi kemudian ternyata dengan gampang para penjahat itu dapat

ditundukkan. Dan ternyata para penjahat itu hanyalah gerombolan pengecut. Mereka

garang apabila menghadapi orang yang lemah. Akan tetapi berhadapan dengan kakek

sakti mandraguna seperti Menak Singgih mereka tidak berdaya sama sekali dan tanpa

malu mereka meratap-ratap minta ampun sambil menyembah-nyembah. Untung juga

bahwa Menak Singgih memang tidak menghendaki nyawa mereka. Menak Singgih

menghadang di tengah jalan dan menghalangi mereka tiada maksud lain hanya ingin

menolong dan menyelamatkan para perempuan yang diculik para penjahat itu. Maka

mereka disuruh pergi tanpa diganggu, dan selanjutnya dengan perasaan penuh iba Menak

Singgih menghantar perempuan itu pulang kepada keluarganya.

Ketika bertanya kepada Irma Sulastri dan mendapat jawaban bahwa anak Kiai

Abdulfatah alias Kiai Kusen, kakek Menak Singgih ini kaget. Ia kenal kepada Kiai

Abdulfatah walaupun tidak begitu rapat. Dan apabila anaknya sampai bisa diculik oleh

penjahat, tentu Kiai Abdulfatah tertimpa kemalangan. Dugaannya ternyata benar, ketika

tiba di rumah, ayah bunda Irma Sulastri sudah meninggal, dan ketika itu sedang dirawat

oleh para tetangga.

Sulit dibayangkan betapa sedih Irma Sulastri menghadapi kenyataan sepahit ini. Ia

menangis sejadinya, malah kemudian gadis ini pingsan. Menak Singgih merasa tidak tega.

Kemudian atas persetujuan Irma Sulastri sendiri, bocah itu kemudian dibawa pulang dan

dirawat bagai cucu sendiri, gadis itu kemudian berdiam bersama Menak Singgih di Teluk

Prigi tepi laut selatan yang terasing. Namun walaupun tempat itu terasing, Irma Sulastri

hidup senang dan penuh cita-cita. Ia belajar dengan tekun dan tidak mengenal lelah. Cita-https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

citanya, kalamana dirinya telah cukup kemampuan, ia akan mencari pembunuh

keluarganya.

Pagi ini ia terlambat bangun karena sebab kemarin sore dan kemarin malam ini

Sulastri terlalu memaksa diri dalam latihannya. Mengapa memaksa diri? Memang gadis

ini merasa tidak telaten kalau harus menunggu dalam waktu lama, untuk diperbolehkan

pergi dan mencari pembunuh keluarganya itu. Beruntung juga Irma Sulastri seorang gadis

yang cerdik dan berbakat, disamping rajin. Sifat rajin dan bakat ini banyak menolong

kepada Irma Sulastri. Hingga sekali Menak Singgih memberi petunjuk, gadis ini akan

hafal di luar kepala dan tidak perlu mengulang lagi. Dan justeru kerajinan, kecerdikan dan

bakat Irma Sulastri ini, makin menambah kasih sayang Menak Singgih.

Agak malu juga Irma Sulpstri ketika bangun, sudah melihat persediaan air teh pada

tempurung kelapa gading yang dipergunakan sebagai pengganti cangkir. Dan sementara

itu pada tempat nasi yang terbuat dari bambu, asap tipis masih mengepul dari nasi itu,

pertanda belum lama nasi itu masak. Di dekat tempat nasi yang masih mengepul tampak

tempat sayur dari tanah liat, dan di atas meja kayu kasar itu telah tersedia pula tempurung

kelapa yang hitam warnanya dalam ukuran besar, sebagai piring.

Memang di tempat terpencil yang jauh dari pedesaan ini Menak Singgih dan Irma

Sulastri hidup secara sederhana. Banyak perabot rumah tangga dan alat makan yang

terbuat dari tempurung kelapa. Alat makan itu cukup awet asal tidak terbanting. Tetapi

kalau toh pecah, tidak perlu repot, dapat dibuat lagi dari tempurung kelapa, justeru di

sekitar pondok ini tumbuh pohonkelapa yang subur dan berbuah lebat.

"Heh-heh-heh, engkau baru bangun?" tegur Menak Singgih ketika melihat Irma

Sulastri muncul dari pintu belakang pondok. "Cepatlah engkau mandi agar kembali segar.

Sesudah itu, sarapan sudah tersedia dan makanlah."

Setelah berkata, tanpa menunggu jawaban Menak Singgih telah menyambar

cangkulnya lagi, untuk menyemai kebon sayur. Walaupun usianya telah tua tetapi

tenaganya masih kuat. Malah tubuh Menak Singgih juga masih kokoh dan tegak, tidak

mempunyai cacat bongkok seperti kakek yang lain. Bagi Menak Singgih, merupakan

kebiasaan telah bangun menjelang fajar. Setelah mencari hawa segar dengan beberapa saat

sambil berjalan-jalan, kemudian kakek ini mandi di sumber air. Kemudian ia segera

menjerang air dan menanak nasi. Atau kalau Irma Sulastri sudah mengerjakan kebutuhan

pagi, Menak Singgih segera menggunakan waktu untuk mengelilingi kebun sayur dan

ladangnya yang menjadi tiang hidup.

"Kek, engkau membuat aku malu saja," kata gadis ini agak mengeluh.

"Apakah sebabnya engkau merasa malu?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Aku bangun terlalu siang, semuanya sudah engkau kerjakan, engkau tak mau

membangunkan aku. Bukankah ini memalukan?" protes Irma Sulastri.

"Engkau menjadi malu karena merasa. Dan orang merasa karena menggunakan

perasaan itu, tentu engkau tak merasa malu dan menganggap bahwa semua itu merupakan

sesuatu yang sudah lumrah."

"Mengapa lumrah?"

"Mengapa tidak? Yang butuh makan dan minum bukan engkau seorang. Dan aku

hanya hidup dengan engkau, tiada lain orang lagi. Mengapa aku harus mencari enak

sendiri, memeluk lutut dan membiarkan engkau payah? Maka aku biarkan engkau tidur

dan pagi ini aku menyediakan sarapan pagi untukmu. Bukankah akan lebih baik jadinya

apabila kita ini hidup bergotong royong? Malah kalau dihitung, engkau lebih banyak

menyediakan makan dan minum untukku dibanding aku menyediakan semua itu untuk

engkau. Heh-heh-heh."

"Hemm, sudahlah jika memang begitu. Setiap bicara, aku selalu kalah saja dengan

kakek." Irma Sulastri segera melangkah menuju ke sumber air.

"Eh, nanti dulu!" cegah Menak Singgih, "Engkau bilang apa tadi?"

"Engkau terlalu pandai bicara, sehingga aku selalu kalah saja."

"Engkau keliru."

"Mengapa keliru?"

"Heh-heh-heh, antara engkau dan aku sama saja. Sama-sama pandai bicara, yang

sudah dilatih semenjak bayi. Jadi tidak ada yang pandai dan tidak pandai. Bedanya

terletak pada pengetahuan dan pengalaman hidup ini. Engkau masih terlalu muda hingga

belum tahu banyak tentang keadaan dunia yang sesungguhnya. Engkau masih harus

menyusuri hidup ini puluhan tahun lamanya, untuk mencapai idaman hatimu sebagai

manusia yang hidup tenteram dan tenang. Sebaliknya orang seperti aku ini, semuanya

sudah dilalui dan langkahku sekarang ini menuju liang kubur. Semua usaha, semua cita
cita dan semua harapan hanyalah agar dapat mati sebagai manusia yang baik."

Irma Sulastri tidak jadi melangkah pergi. Ucapan Menak Singgih ini agaknya

menarik perhatiannya. Dengan sepasang matanya yang bening, gadis ini mengamati

Menak Singgih seperti orang menaksir. Kemudian tanyanya. "Kakek aku heran akan kata
katamu tadi. Mengapa mati masih terbagi menjadi dua yang baik dan yang tidak baik?

Bukankah setiap orang mati itu sama saja, raganya kaku membujur dan kemudian dikubur

orang?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Heh-heh-heh, itu benar cucuku," sahut Menak Singgih, "Benar apabila masalah

itu dipandang melulu dari kaca mata lahir. Manusia yang mati akan membujur dan kaku

dan tidak bisa mandi sendiri."

"Ihh.. .......ada-ada saja kau kek, tentu saja orang yang mati tak dapat mandi

sendiri. Hi hi hik, dan itu pula sebabnya harus dimandikan orang."

"Begitulah apabila dipandang dari kacamata lahir. Tetapi kalamana orang mau

memandang dari sudut batiniah, dari pengertian bahwa manusia ini ada yang memberi

hidup dan menguasai, akan menjadi lain. Apa yang biasa disebut mati itu, sesungguhnya

tidak."

"Ihh ..........mengapa tidak kek, engkau jangan membual sepagi ini." Irma Sulastri

mencela tanpa takut mendapat dampratan dari gurunya.

Namun Menak Singgih memang tidak marah dan mendamprat. Kakek ini malah

terkekeh-kekeh, seperti orang sedang mentertawakan badut di atas panggung. Semua itu

terjadi karena hubungan antara Irma Sulastri dengan Menak Singgih, bukan seperti murid

dengan guru. Tetapi lebih tampak sebagai seorang cucu kepada kakeknya. Maka Menak

Singgih sikapnya momong dan mengalah, disamping amat menyayangi.

"Irma, sesungguhnya raga manusia itu ibarat sangkar bagi seekor burung. Kalau

burung dalam sangkar itu terbang, maka sangkar itu akan kosong. Begitu pula manusia

ini, tubuh kita ini hanya sangkar saja. Kalamana nyawa ini telah pergi, sangkar itu akan

hancur menjadi tanah dan kembali asal. Akan tetapi sebaliknya nyawa ini sendiri belum

mati. Nyawa ini masih tetap hidup, hanya hidup di alam lain........"

"Hidup di alam lain yang mana?" Irma Sulastri heran.

"Alam lain yang berlainan sekali dengan dunia ini, Irma, itulah sebabnya orang

mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini ibarat singgah minum. Singgah minum

dalam perjalanannya yang jauh, jauh sekali. Yang dimaksud bukan lain manusia ini

menuju ke alam lain sesudah meninggalkan dunia fana ini. Jadi, yang dikatakan mati itu

hanyalah raganya saja. Tetapi nyawa tetap hidup di alam lain yang tidak terbilang

tahunnya lagi. Hemm? Kalau manusia di dunia ini dapat bebas melakukan perbuatan apa

saja selaras dengan kehendak sendiri, dapat berbuat jahat, dapat serakah, memfitnah

orang untuk mencari keuntungan sendiri, aji mumpung dan seterusnya, di sana lain. Di

sana nyawa manusia ini akan berhadapan dengan Pengadilan Tuhan. Di sana nyawa

manusia ini akan diperiksa secara teliti dan tidak mungkin lagi bisa mungkir. Nasibnya

akan tergantung kepada apa dan perbuatan apa selama manusia ini singgah minum di

dunia. Yang baik akan mendapatkan tempat baik, dan yang jahat akan mendapat tempat

yang tidak menyenangkan, malah akan mendapat siksa segala."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ihhh........disiksa? Apakah tak ada yang menolong?"

"Di sana tidak lagi yang dapat menolong kecuali diri sendiri. Orang tua, keluarga,

saudara, semuanya takkan dapat menolong. Ya, hanya diri sendiri yang dapat menolong,

dan itu selaras dengan sepak terjang dan tingkah laku selama singgah minum di dunia.

Ialah amal di saat hidup. Memang hanya amal baik itu sajalah yang dapat menyertai

menghadap pengadilan Tuhan. Dan apabila selama singgah minum di dunia ini

menjauhkan diri dari sosial, perbuatan baik, berusaha menumpuk harta kekayaan dan

perbuatan-perbuatan lain untuk kepentingan diri melulu, tentu saja amal itu tidak

menyertainya menghadap pengadilan Tuhan. Irma, itulah yang tadi aku maksud bahwa

aku ini berharap dapat mati sebagai manusia yang baik.

Irma Sulastri mengangguk-anggukkm kepalanya dan apa yang sudah dikatakan

kakek itu dicatat baik baik dalam lubuk hatinya. Sadarlah gadis ini sekarang bahwa

sesudah manusia ini hidup di dunia, kemudian hari masih akan hidup di alam lain yang

tidak terbilang tahunnya. Dan iapun berjanji pula kepada dirinya sendiri, agar kelak

kemudian hari dirinya dapat mati sebagai manusia yang baik pula.

Menak Singgih telah meneruskan pekerjaannya lagi, dan Irma Sulastri cepat-cepat

menuju sumber air untuk membersihkan tubuh.

Tanpa terasa sudah cukup lama Irma Sulastri hidup dengan gurunya di tempat

terasing ini, dan waktu empat tahun telah dilampaui tanpa rintangan. Waktu yang empat

tahun telah kuasa merubah Irma Sulastri. Ia bukan lagi sebagai gadis lemah seperti yang

lalu, walaupun ia masih tetap lemah lembut dan sikap dan gerak-geriknya tetap halus. Ia

sekarang telah menjelma sebagai seorang gadis yang terampil dan trengginas dalam ilmu

tata kelahi, dan walaupun kepalan tangannya kecil serta jari-jari tangannya itu halus dan

runcing, pukulannya keras sekali dan dapat membuat lawan pusing tujuh keliling.

Pendeknya Irma Sulastri sekarang telah menjelma sebagai gadis cantik jelita yang perkasa.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia telah berhasil menguras semua ilmu kesaktian Menak Singgih.

"Irma." kataMenak Singgih pada malam hari, ketika mereka duduk di tengah

pondok sesudah selesai makan malam, "aku sudah tidak punya apa-apa lagi, dan semua

telah aku berikan padamu. Engkau sekarang bukan seperti empat tahun yang lalu, dan

engkau akan sanggup berhadapan dengan lawan tangguh walaupun seorang diri. Namun

begitu janganlah mabuk, kemudian sombong dan congkak kepada manusia lain. Ingat

bahwa di dunia ini tidak terhitung jumlahnya manusia sakti mandraguna, dan tidak dapat

membanggakan diri sebagai manusia tersakti tanpa tanding. Hindarkan diri dari keributan

dan percekcokan, kalau tidak terlalu memaksa. Sebab akibatnya hanya akan memancing

permusuhan."

"Tetapi kek, bagaimanakah kalau berhadapan dengan orang yang berbuat jahathttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dan sewenang-wenang?" tanya gadis ini.

"Tentu saja semua itu tergantung dari penilaianmu sendiri. Kewajiban sebagai

seorang puteri bangsawan dan puteri seorang Adipati pula seperti engkau ini............"

"Ihh, kakek jangan ngelantur!" potong Irma Sulastri yang nampak kaget.

"Siapakah yang kau maksudkan sebagai puteri Adipati itu?"

"Irma, siapa lagi kalau bukan engkau?"

"Ihh............aku hanya anak seorang petani di pegunungan, bernama AbduIfatah!"

bantah Irma Sulastri.

"Hemm, itu memang benar, tetapi sebagai anak pungut. Irma, apakah engkau mau

mendengar keteranganku, babwa sesungguhnya baik engkau maupun kakakmu Fajar

Legawa itu, sebenarnya anak seorang Adipati?"

"Ohhh............benarkah itu? Mengapa selama ini aku tak tahu?" Irma Sulastri

terbelalak dan mengamati Menak Singgih. "Ceritakan kek, lekas ceritakan. Mengapa bisa

terjadi seaneh ini sehingga aku tidak tahu?"

"Memang panjang kisahnya, Irma. Dan semua ini aku dengar dari Suria Kencana,

guru kakakmu Fajar Legawa."

Menak Singgih terbatuk-batuk beberapa kali, kemudian menceritakan semuanya

dengan lancar. Sejak Adipati Ukur ditangkap dan dibunuh mati di Mataram, kemudian

ibu meninggal karena sedih dan kemudian Fajar Legawa dan Irma Sulastri menjadi anak

pungut Kyai Abdulfatah.

"Ohh...... ohh........jadi ayahku Adipati Ukur............" kata Irma Sulastri dengan

nada gemetar, dan sepasang matanya berkaca-kaca. "Dan............ayahku mati dibunuhh

algojo Mataram............? Aihh.........aku harus membalas dendam ............ harus aku

bunuh raja Mataram itu........"

"Sabar, Irma, sabar!" bujuk Menak Singgih. "Engkau jangan terburu nafsu dan

menurutkan hati melulu. Bukankah aku sudah memberi nasihat padamu bahwa balas

membalas dan menurutkan sakit hati itu, berakibat buruk. Sebab bukankah balas

membalas itu akan berlarut-larut dan tiada akhirnya?"

"Tetapi ayah mati penasaran. Apakah aku sebagai anaknya ........ membiarkan

ayahku mati sebagai seorang yang terhukum?" bantah Irma Sulastri sambil menyeka air

mata yang mulai menitik pada pipi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Irma, semua manusia ini mati oleh takdir Tuhan. Mengapa harus engkau

sesalkan? Disamping itu engkau harus mengerti Irma, bahwa dalam kedudukannya

sebagai Adipati, ayahmu di bawah kekuasaan Raja Mataram. Seorang ponggawa

dihukum mati oleh penguasa bukanlah peristiwa aneh dan muskil. Siapa tahu kalau

ayahmu dahulu memang benar bersalah, sehingga harus menebus dengan hukuman mati

itu? Irma, engkau harus mau mengerti bahwa urusan Raja sangat luas. Bukan saja

mengemudikan pemerintahan, tetapi juga memikirkan kesejahteraan negara dan

kawulanya dalam negara itu, disamping harus menanggulangi rongrongan dari luar.

Untuk itu dibutuhkan seorang Raja yang tegas, berwibawa dan bijaksana. Di tangan

seorang Raja hukum berlaku. Nah, apabila seorang ponggawa yang salah dibiarkan

melulu, tanpa ditindak dan dihukum, bukankah negara itu akan hancur sendiri akibat

banyak ponggawa yang berbuat sekehendak hati? Jadi, seorang raja menghukum

ponggawanya bukan lain untuk menyelamatkan negaranya dan untuk kepentingan

kawula pula."

Menak Singgih berhenti dan mengamati Irma Sulastri yang menundukkan

kepalanya sambil terisak-isak menangis sejenak kemudian sesudah menghela napas

pendek, ia meneruskan, "Irma apa yang aku katakan tadi perlu kau endapkan dalam lubuk

hatimu. Manakala benar dugaanku bahwa ayahmu sebagai seorang Adipati dan

ponggawa Mataram melakukan perbuatan salah, apakah engkau akan membela orang

bersalah sekalipun dia itu ayahmu sendiri? Tidak! Orang yang sadar akan hukum, siapa

pun yang bersalah pantas mendapat hukuman. Tidak perduli anak, saudara, suami atau

isteri. Malah kalau perlu, dirinya sendiri yang merasa bersalah, harus menghukum diri

sendiri sebelum orang lain menghukumnya."

"Tetapi.........kalau ayah tak bersalah....?" tanya Irma Sulastri tiba-tiba sambil

mengangkat kepalanya, dan mengamati Menak Singgih dengan wajah yang basah.

"Orang bisa tahu salah dan tidak salah apabila telah melakukan penyelidikan.

Tetapi dalam menyelidik inipun memerlukan langkah yang teliti, agar orang tidak sengaja

menjerumuskan engkau kepada perbuatan yang keliru. Akan tetapi Irma, seperti aku

katakan tadi, bahwa balas-membalas itu bukanlah perbuatan bagus. Aku hanya bisa

bernasihat, dan semua itu tergantung kepada engkau sendiri."

Irma Sulastri terisak-isak dan Menak Sngit berdiam diri, sambil beberapa kali

menghela napas. Kakek ini tidak menyesal telah memberitahukan asal usul Irma Sulastri,

yang kemudian menyebabkan gadis ini penasaran dam ingin membalas dendam kepada

Sultan Agung. Sebab apabila soal ini yang memberitahukan orang lain, ia khawatir

apabila timbul hal-hal yang tidak diharapkan. Sebaliknya kalau ia membocorkan

sekarang, sedikit banyak ia akan bisa memberi nasihat. Tetapi sudah tentu semua itu

tergantung kepada tanggapan Irma Sulastri.

Untuk beberapa saat lamanya di pondok ini sepi, yang terdengar hanyalah suarahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

isak Irma Sulastri. Dan kakek itu membiarkan gadis ini menangis terus, sebab ia tahu

bahwa tiada gunanya menghibur apabila gadis ini belum puas menangis.

"Kakek," kata Irma Sulastri kemudian, "apakah kiranya kakang Fajar sudah tahu

pula tentang ini? Tentang ayah Adipati Uku?"

"Hemmm, aku belum tahu pasti." sahut Menak Singgih. "Tetapi mungkin sudah."

"Di manakah, dia sekarang?"

Menak Singgih menggeleng. "Sudah lama sekali aku tak pernah bertemu dengan

dia. Tak tahu aku di mana sekarang dia berada?"

"Kek, akan aku cari dia sampai ketemu, dan dia akan aku ajak bicara soal ini."

Irma Sulastri tampak menjadi tidak sabar. "Tetapi, apakah kakek mengijinkan aku pergi?"

"Heh-heh-heh," Menak Singgih terkekeh, "Tanpa engkau mintapun aku akan

menganjurkan engkau agar pergi ke masyarakat. Sebab engkau tidak boleh terus hidup

terasing dari pergaulan di tempat ini. Irma, engkau memang harus pergi dan

memanfaatkan ilmu kesaktian yang telah engkau pelajari dan engkau peroleh selama ini.

Engkau harus bergaul dengan masyarakat agar engkau tahu akan arti hidup yang

sesungguhnya bahwa manusia ini berbudaya. Bahwa manusia hidup ini penuh dengan

cita-cita, tetapi sebaliknya apabila tidak berhati-hati dan tergelincir akan menerima

akibatnya. Apakah engkau mengerti kata-kataku ini?"

"Ya, saya mengerti. Bukankah kakek menganjurkan agar aku selalu berhati-hati

dalam segala langkah?"

Menak Singgih mengangguk. "Benar! Langkah hati-hati ibarat jembatan emas

menuju ke tempat indah dan menyenangkan. Dalam menghadapi setiap persoalan,

pikirlah dalam-dalam dengan akal dan pikirn sebelum memutuskan, dan jangan

menggunakan hati melulu. Menurutkan hati akibatnya manusia akan menderita. Dan

akupun berharap bahwa dengan kepergianmu, engkau akan memperoleh banyak

pengalaman sehingga engkau akan dapat berpikir lebih dewasa. Yang tampak dipandang

mata belum tentu benar, dan ini harus engkau perhatikan benar. Manusia yang

mengucapkan kata-kata belum tentu pencerminan hati."

Menak Singgih berhenti, mengamati Irma Sulastri mencari kesan. Sejenak

kemudian kakek ini meneruskan. "Apabila engkau terlalu percaya kepada hasil pandang

matamu dan ucapan orang, engkau akan mudah terpengaruh dan tertipu oleh akal

muslihat manusia. Manusia wajib mencurigai yang lain dalam batas tertentu, agar

terjauhkan dari akal busuk manusia yang tidak bertanggung jawab."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Irma Sulastri mengangguk-angguk sambil meresapkan petunjuk-petunjuk Menak

Singgih yang aneka macam. Yang pada akhirnya, kakek itu bangkit dari tempat duduknya

sambil berkata. "Irma, tunggulah sebentar. Ada semacam tanda mata dari aku, sebuah

benda tidak berharga."

Irma Sulastri mengangguk dan menunggu dengan hati berdebar. Benda apakah

yang akan diterima dari gurunya ini? Ia menduga-duga, akan tetapi tidak juga dapat

menjawab.

Tidak lama kemudian muncullah Menak Singgih sambil membawa sebatang

pedang kecil dan tipis, bersarung hitam legam tidak menarik. Baik sarung pedang itu

maupun hulunya kotor penuh debu. Agaknya pedang itu sudah amat lama tersimpan dan

tidak pernah terjamah. Akan tetapi Irma Sulastri mengamati pedang kecil dan tipis yang

dipegang oleh kakek Menak Singgih itu penuh perhatian.

Menak Singgih menggosok hulu pedang itu dengan robekan kain dengan hati-hati.

Dan tiba-tiba sepasang mata gadis ini terbelalak, mulutnya melongo ketika melihat

perubahan yang terjadi. Ternyata hulu pedang yang semula kotor itu, setelah digosok

dengan kain menyinarkan cahaya kemilauan tidak bedanya dengan emas. Demikian pula

ketika sarung itu telah digosok dengan kain, walaupun warnanya tetap hitam tetapi tidak

buruk, dan dihias oleh lukisan bunga.

"Irma," kata Menak Singgih kemudian, "pedang ini aku hadiahkan kepadamu.

Apakah engkau mau?"

Irma Sulastri mengangguk, tetapi tidak mengucapkan sesuatu, dan seakan

bibirnya terkancing.

"Tampaknya memang tidak menarik, Irma," kata Menak Singgih lagi. "Akan

tetapi ini pedang mustika yang dicitakan banyak orang. Inilah pedang pusaka

?Sokayana?."

"Ohhh .........!" seru Irma Sulastri tertahan.

Ia memang pernah mendengar cerita Menak Singgih tentang dua buah benda

mustika yang sejak beberapa tahun ini menjadi incaran banyak manusia. Yang pertama

keris pusaka Tilam Upih yang sekarang dikuasai kakaknya Fajar Legawa. Yang kedua

pedang pusaka ?Sokayana? dan ternyata sekarang pedang itu akan diberikan kepada

dirinya.

Irma Sulastri sudah mendengar pula penuturan Menak Singgih ini, bahwa dalam

usaha memperebutkan dan menguasai dua benda pusaka itu, manusia menjadi buas dan

kejam. Malah sudah belasan pula nyawa melayang sebagai korban benda pusaka itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sekarang terbukti bahwa pedang pusaka ?Sokayana? itu disimpan dan dikuasai

gurunya sendiri. Diam-diam gadis ini menjadi kagum akan kepandaian kakek ini

merahasiakan pedang pusaka ?Sokayana? ini. Waktu empat tahun cukup lama, akan tetapi

ia tidak pernah bisa melihat di manakah pedang itu disimpan.

Akan tetapi tiba-tiba gadis ini menjadi sadar bahwa pedang pusaka "Sokayana" itu

banyak orang mengincar dan ingin menguasai, apabila dirinya sekarang yang harus

membawa pedang ini, apakah ini tidak berarti dirinya bakal selalu berhadapan dengan

bahaya mengancam oleh orang-orang yang menghendaki? Apakah dirinya akan sanggup

mempertahankan dan menyelamatkan pusaka ini?

"Kakek! katanya kemudian. "Apakah kakek sengaja mencelakakan aku, dengan

pemberian benda pusaka yang diperebutkan banyak orang ini?"

"Heh-heh-heh," Menak Singgih terkekeh. "Apakah sebabnya engkau berkata

begitu?"

"Kakek sendiri mengatakan bahwa pedang ?Sokayana? ini banyak diperebutkan

orang! Bukankah mereka akan segera memusuhi dan berusaha mencelakakan aku,

kalamana tahu pedang dalam tanganku."

"Apakah sesudah pedang ini aku serahkan padamu, engkau segera akan

mengumumkan kepada orang, bahwedang pusaka ?Sokayana" dalam tanganmu?"

"Tentu saja tidak!"

"Nah, apabila engkau tidak mengumumkan dan orang tidak tahu, mengapa

engkau sudah bingung dan khawatir sendiri?"

Irma Sulastri terbungkam mendengar ucapan Menak Singgih ini. Memang tidak

beralasan ia mengemukakan dirinya terancam bahaya, kalau orang tidak tahu. Seperti

halnya kakaknya Fajar Legawa, walaupun membawa keris "Tilam Upih" namun

keselamatannya tidak terancam.

Sambil menggosok dan menimang-nimang pedang itu, Menak Singgih berkata

lagi, "Irma, engkau tahu bahwa kakek tidak mempunyai pewaris lagi kecuali engkau

seorang. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pula apabila pedang ini aku wariskan

padamu. Irma apabila engkau tertib, aku percaya tidak seorangpun tahu bahwa engkau

memiliki pedang ini. Sebab, pedang ini lemas dan bisa dipergunakan sebagai sabuk."

Sambil berkata, Menak Singgih telab menekuk pedang itu. Kemudian disabukkan

ke pinggangnya. Dan Irma Sulastri makin heran dan ternganga bahwa pedang itu lemashttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dan bisa dipergunakan sebagai ikat pinggang. Selama hidup baru sekarang ini sajalah ia

memperoleh kesempatan melihat pedang ajaib seperti itu.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, dengan disimpan pada pinggangmu, pedang "Sokayana" ini akan aman,"

kata Menak Singgih, "Tetapi di samping pedang ini lemas dan dapat disimpan sebagai

ikat pinggang, pedang ini tajam bukan main. Setiap senjata yang berbenturan dengan

pedang berhulu emas ini, akan menjadi patah."

Menak Singgih segera mencabut pedang itu. Serangkum hawa dingin segera

menyambar ketika batang pedang itu tercabut dari sarung. Ternyata bahwa pedang pusaka

itu tipis dan tidak menarik. Pedang itu warnanya hitam legam seperti arang.

"Lihatlah!" kata Menak Singgih.

"Prak!" dan mata Irma Sulastri terbelalak lagi, ketika oleh ayunan yang perlahan,

pedang hitam ini dengan gampang dapat membelah batu sebesar anak kambing yang

menggeletak dalam pondok itu. Batu hitam itu terbelah halus, seakan batu itu berubah

menjadi benda yang amat lunak.

"Sungguh tajam," desis gadis ini kemudian.

"Ya, tajam sekali," sahut Menak Singgih. "Dan inilah sebabnya banyak orang

menghendaki dan memperebutkan. Maka simpanlah pedang ini dalam bajumu, di luar

ikat pinggang. Dan jangan engkau pergunakan pedang ini apabila tidak terancam bahaya

benar-benar. Sebabnya pedang ini aku wariskan padamu, karena kegunaannya banyak

sekali bagi engkau. Sebaliknya, aku yang sudah tua ini sudah tidak membutuhkan pedang

itu lagi, karena sudah tiada gairah lagi berkelahi."

"Ya, kek," sahut Irma Sulastri sambil mengangguk tanda sudah mengerti.

"Nah, apabila engkau sudah mengerti, pendapatmu akan berbalik sekarang.

Dengan menguasai pedang ini, bukan berarti aku sengaja mendekatkan dirimu dengan

bahaya. Tetapi, malah aku berusaha menjauhkan engkau dari bahaya. Sebab apabila

engkau berhadapan dengan bahaya, dengan pedang pusaka ini aku percaya engkau akan

dapat menghalau setiap bahaya itu."

"Ya kek, aku mengerti."

"Dan sekarang, terimalah pedang ini!"

Irma Sulastri mengulurkan tangan untuk menerima pedan pusaka ?Sokayana? ini

dengan lengan yang agak gemetar. Ia tidak tahu, bagaimanakah perasaannya saat

sekarang ini. Namun sesudah pedang itu diterima, secepatnya pedang pusaka "Sokayana"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ini segera dilibatkan pada pinggangnya dan ditutup dengan baju, seakan gadis ini menjadi

takut apabila ada orang lain yang melihatnya.

Setelah pedang itu diterima oleh Irma Sulastri, kakek ini masih perlu memberi

beberapa nasihat lagi, tentang segala macam masalah hidup dan pergaulan. Wajah gadis

yang cantik dan menarik akan merangsang perhatian laki-laki untuk melakukan perbuatan

yang tidak pada tempatnya.

"Kek, kalau begitu lebik baik aku menggunakan pakaian laki-laki saja," kata gadis

ini. Sebab diam-diam gadis ini menjadi khawatir juga digoda laki-laki tidak bertanggung
jawab, yang kemudian hanya akan memancing permusuhan.

"Bagus, heh-heh-heh, engkau cerdik," puji Menak Singgih. Tetapi sejenak

kemudian wajah kakek ini tampak ragu dan berkata, "Tetapi apakah engkau tidak

menderita rugi akibat pakaian penyamaranmu itu?"

"Mengapa menderita?" tanya Irma Sulastri saking heran.

"Sebab akan berakibat banyak gadis tertarik padamu, sebaliknya laki-laki akan

menjauhimu dan setengah iri, heh heh heh."

"Hi-hi-hik," gadis inipun kemudian cekikikan, "Aku tidak perduli semua itu kek.

Dan kalau perlu, selama hidup aku tidak akan kawin."

"Hush! Jangan sembarangan membuka mulut!" cela Menak Singgih.

"Mengucapkan kata-kata memang gampang. Takkan kawin! Akan tetapi apa yang terjadi

kemudian, sulit!"

"Kakek tak percaya?" tentang Irma Sulastri. "Aku memang tak ingin kawin selama

hidup. Tidak percaya?"

"Sudahlah, cucu, hal itu tak perlu dibicarakan lagi." Menak Singgih kemudian

mencegah. "Kawin dan tidak, masalah itu urusan pribadimu dan tiada orang lain berhak

mencampuri. Kapan engkau akan berangkat?"

"Sekarang juga."

"Ihh............... mengapa sekarang?" Menak Singgih kaget. "Pakaian laki-laki

belum tersedia. Mengapa akan berangkat?"

"Bukankah aku bisa membeli dalam perjalanan?"

"Hemm, tidak. Aku tidak mengijinkan engkau pergi sekarang. Pendeknya engkauhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

harus berangkat esok pagi."

Akhirnya Irma Sulastri mengalah. Sebelum berangkat ia perlu mempersiapkan

pakaian laki-laki sebagai penyamaran, dan perlu rangkap pula untuk ganti dalam

perjalanan.

Begitulah akhirnya, pagi harinya kemudian Irma Sulastri meninggalkan pondok

terpencil dan terasing di Teluk Prigi itu, untuk memulai perjalanan tanpa tujuan yang

tertentu. Ibarat seekor burung, Irma Sulastri sekarang ini lepas dari sangkar. Ia sekarang

terbang ke alam bebas yang luas, namun sesungguhnya belum banyak dikenal. Gerakan

gadis yang mengenakan pakaian sebagai seorang pemuda ini gesit dan ringan.

Penyamarannya cukup rapi, sehingga dari seorang gadis yang cukup cantik, sekarang

berubah menjadi seorang pemuda yang cukup tampan. Wajah yang tentu saja akan besar

dan kuat sekali pengaruhnya bagi para gadis.

Apabila teringat ayahnya Adipati yang berkuasa di Ukur, kemudian harus

menemui ajalnya di tangan algojo Mataram, ia merasa penasaran juga dan ingin sekali

pergi ke Mataram menuntut balas kepada Sultan Agung. Namun apabila ia teringat akan

nasihat gurunya, penasarannya itu kemudian dapat diusirnya juga. Kemudian timbul

keputusan dalam hatinya, yang penting sekarang ini mencari kakaknya lebih dahulu.

Apabila sudah bertemu dapat berunding dan menentukan langkah. Bukankah akan lebih

menguntungkan apabila dirinya bergerak dan bekerja sama dengan Fajar Legawa?

Di saat ia sedang melangkah menyusuri jalan sempit di tengah ladang yang luas,

mendadak telinganya mendengar suara derap kaki kuda yang berlarian di belakangnya.

Dan ketika ia memalingkan muka, tampak seseorang sedang membalapkan kuda,

agaknya sedang mengadakan perjalanan tergesa. Debu mengepul tinggi oleh terjangan

kaki kuda.

Irma Sulastri yang mengenakan pakaian laki-laki itu, melangkah perlahan di tepi

agar orang yang sedang membalapkan kuda itu tidak terganggu. Akan tetapi celakanya,

ia masih mendengar teriakan penunggang kuda itu yang nyaring.

"Hai minggir! Minggir!"

Tahu-tahu jaraknya sudah amat dekat. Dan karena khawatir keterjang kuda, Irma

Sulastri segera melompat ke dalam ladang orang.

"Brubut .............!" dan seperti kilat cepatnya, kuda itu sudah lewat dan menerjang

bekas kakinya. Kalau dirinya tadi tidak masuk ke ladang orang, jelas dirinya akan

diterjang oleh penunggang kuda itu.

Ternyata penunggang kuda itu seorang perempuan muda berbaju merah. Agaknyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

gadis itu memang mahir sekali menunggang kuda, dan dalam waktu singkat telah jauh

dan hanya meninggalkan debu yang mengepul tebal, dan membuat pakaian Irma Sulastri

kotor.

"Setan alas!" desis Irma Sulastri. "Hemm, gadis liar seperti itu agaknya perlu

dihajar kesopanan."

Tiba-tiba saja timbul rasa yang tidak senang kepada gadis baju merah itu. Ia sudah

di pinggir, dan jalan ini lebih dari cukup untuk lewat seekor kuda. Tetapi mengapa gadis

tadi menerjangkan kudanya ke pinggir dan memaksa dirinya harus masuk ke ladang

orang? Maka diam-diam ia sudah mencatat dalam hati. Apabila dirinya bertemu dengan

gadis itu, ia akan mencoba-coba, benarkah gadis baju merah itu sepadan dengan

kebrandalannya?

Karena ladang itu sepi dan tidak tampak seorangpun, Irma Sulastri segera

melompat dan kemudian berlarian cepat sekali seperti terbang. Akan tetapi belum lama ia

berlarian, di depan sudah tampak sebuah desa. Agar tidak menimbulkan hal-hal yang

tidak diharapkan, terpaksa Irma Sulastri menahan langkahnya, kemudian ia melangkah

perlahan-lahan menyusuri jalan berdebu itu. Walaupun begitu hati agak penasaran. Ia tadi

bermaksud mengejar gadis baju merah itu. Tetapi karena terhalang desa ini mau tak mau

dirinya akan ketinggalan jauh sekali dengan gadis yang dikejarnya.

Ternyata desa itu cukup luas. Dan tiba-tiba saja timbullah niat Irma Sulastri untuk

membeli kuda. Dan dengan mengendarai kuda ini, tanpa kesulitan akan dapat mengikuti

perjalanan gadis sombong tadi. Sungguh beruntung bahwa seorang petani sedia

melepaskan kudanya tetapi dengan harga cukup tinggi. Maka dengan gembira Irma

Sulastri melompat ke punggung kuda, kemudian kuda ini dibalapkan keluar desa untuk

segera dapat mengejar gadis itu.

Ternyata bahwa gadis sombong yang membuat hatinya mendongkol itu sedang

mengaso di bawah sebatang pohon dan membiarkan kudanya makan rumput. Agaknya si

gadis dengan kudanya ini sedang menempuh perjalanan jauh. Buktinya, tubuh kuda itu

masih penuh peluh. Dan mungkin saking lapar, kuda itu makan rumput tanpa pilih-pilih

lagi. Kalau kuda tunggangnya itu asyik makan rumput, sebaliknya si gadis duduk

merenung-renung dan entah apa saja yang sedang direnungkannya. Gadis itu duduk di

atas batu sebesar kerbau di bawah pohon rindang dan membelakangi jalan. Agaknya gadis

itu sedang asyik dengan renungannya sehingga dia tidak memalingkan muka walaupun ia

menggerakkan kuda lewat di belakangnya.

Diam-diam timbul pula rasa heran dalam hati Irma Sulastri. Apa sajakah yang

sedang dipikir dan direnungkan "si dia" sehingga seakan tidak perduli keadaan

sekelilingnya? Karena heran, kemudian gadis ini tertarik. Tiba-tiba saja Irma Sulastri

menghentikan kudanya, dan setelah ditambatkan pada batang pohon, ia duduk tidak jauhhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dari gadis yang sedang merenung-renung itu. Untuk beberapa jenak lamanya ia

mengamati penuh perhatian. Tetapi karena gadis itu tetap merenung dan tidak juga

memalingkan muka, Irma Sulastri menjadi gemas. Mengapa secongkak dan sesombong

ini gadis yang tadi hampir menerjang dirinya itu?

Gadis ini bepergian seorang diri, sedang dirinya pun seorang diri pula. Apakah

salahnya ia berkenalan dengan gadis itu, dan bukankah akan lebih menyenangkan bahwa

dalam perjalanan seterusnya ia dapat bersama-sama, sehingga mempunyai seorang teman

bicara dalam perjalanan?

Memperoleh pikiran begitu, gadis yang menyamar sebagai laki-laki ini segera saja

menghampiri dan menegur dengan suara halus, "Nona akan pergi kemana?"

Gadis baju merah itu agaknya terkejut. Ia mengangkat kepalanya dan

memalingkan muka. Untuk sejenak gadis ini membelalakkan mata, pipinya bersemu

merah. Akan tetapi tidak menjawab dan malah cepat-cepat memalingkan muka kearah

lain.

Sikap gadis baju merah ini membuat Irma Sulastri tambah mendongkol dan

penasaran. Katanya dalam hati, "Hemmm, benar-benar gadis yang angkuh dan sombong.

Orang sudah memulai ingin berkenalan, tetapi menjawabpun tak mau. Huh, apalagi

menjawab. Memandang orangpun tak sudi."

Tetapi walaupun mendongkol dan penasaran ia bertanya lagi. "Apakah nona

seorang diri? Kalau benar begitu sungguh kebetulan, akupun seorang diri pula. Dengan

begitu kita dapat menyelenggarakan perjalanan bersama, dan bukankah ini lebih baik?"

Gadis baju merah itu mengamati Irma Sulastri sekilas. Sepasang alis yang lentik

berkerut, pertanda kurang senang. Kemudian tanpa membuka mulut dan menjawab, gadis

baju merah ini telah bangkit berdiri, menghampiri kudanya yang masih asyik makan

rumput, lalu tanpa bicara sepatahpun telah pergi dengan kudanya.

Untuk beberapa jenak lamanya Irma Sulastri mengamati kepergian gadis itu

dengan mata nyalang keheranan, tetapi juga tambah penasaran. Desisnya, "Bukan

main, gadis yang benar-benar angkuh dan sombong. Dia perempuan dan akupun

perempuan. Mengapa aku sudah memulai mengajak berkenalan, sambutannya begitu

dingin dan menyebalkan macan itu? Huh, keangkuhan dan kesombongan ini harus aku

balas. Huh, aku ingin melihat apakah engkau dapat menghindarkan diri dari aku?"

Memperoleh pikiran begitu, Irma Sulastri segera saja melepas kendali kuda yang

ditambatkan. Sesaat kemudian gadis ini telah duduk lagi di punggung kuda. Kemudian

kuda tunggangannya ini berlarian cepat mengejar gadis baju merah.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

NAMUN belum jauh ia bergerak, tiba-tiba saja ia terkesiap dan kemudian ketawa

cekikikan seorang diri. Desisnya. "Ahh, aku sendirilah yang tolol! Pantas dia begitu

angkuh dan sombong padaku, ternyata sekarang ini aku bukan perempuan, tetapi aku

seorang laki-laki. Hemm, dia tidak bersalah. Aku sendiripun kalau ada seorang pemuda

yang selancang aku tadi tentu marah. Aihh. untung dia tidak marah dan hanya

meninggalkan aku tanpa membuka mulut."

Karena ingat akan keadaannya sendiri yang sekarang ini sedang menyamar sebagai

laki-laki maka kemendongkolannya, penasarannya dan tuduhannya kepada gadis itu

angkuh dan sombong segera menghilang. Kemudian timbul rasa ragu, apakah terus

membayangi gadis itu ataukah tidak? Tetapi walaupun baru hari ini dirinya

menyelenggarakan perjalanan, terasa benar kebutuhan seorang teman perjalanan untuk

dapat diajak bicara dan mengisi waktu. Melakukan perjalanan seorang diri yang tanpa

lawan bicara terasa begitu melelahkan. Dan gadis itu menurut penilaiannya, jelas bukan

gadis sembarangan. Bukankah akan lebih menguntungkan kalamana dirinya dapat

menyelenggarakan persahabatan dengan gadis baju merah itu.

Justeru merasa perlu hadirnya seorang teman dalam perjalanan ini, dan kepada
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis itu dirinya merasa cocok, maka tanpa ragu lagi ia segera membalapkan kudanya

untuk membayangi gadis baju merah itu.

Ketika senja tiba, tibalah Irma Sulastri dalam sebuah kota yang tidak begitu luas,

akan tetapi cukup ramai, justeru dalam kota ini berdiam seorang Bupati. Ia tidak tahu

nama kota ini, dan ia memang tidak perlu tahu pula. Dan agaknya walaupun kota ini

mcrupakan kota pedalaman, namun menjadi semacam pusat perdagangan hasil bumi

yang diangkut orang dari pegunungan. Memang penduduk yang hidup di pegunungan

memiliki ciri-ciri tertentu baik laki-laki maupun perempuan lebih suka tidak mengenakan

baju. Mereka tidak begitu memperhatikan segi keindahan dan tata busana. Mereka

mengenakan pakaian dari bahan kasar dan murah, dan bagi laki-laki lebih suka

mengenakan celana warna hitam, karena warna itu walaupun jarang dicuci tidak tampak

kotor. Dan bagi para perempuan untuk menutupi bagian atas tubuhnya hanya

mengenakan kain pembalut dada. Tetapi walaupun begitu, sering juga ia membiarkan

kain pentup dada merosot turun, sehingga payudaranya tampak nyata.

Karena melakukan perjalanan malam hari dan seorang diri pula lebih banyak

bahaya dibanding dengan keselamatannya, maka kemudian Irma Sulastri memutuskan

untuk mencari tempat bermalam saja, dan mengaso di kota kecil ini barang semalam.

Setelah bertanya-tanya sebentar kepada penduduk kota ini, kemudian tibalah ia pada

sebuah rumah penginapan yang cukup mentereng. Pekarangan penginapan itu dihadangi

oleh tembok tinggi dan berpintu gerbang yang kokoh. Hingga dengan begitu, penginapan

ini akan lebih aman dan jauh dari gangguan orang jahat.

Agaknya pemilik penginapan ini memang seorang yang amat pandaihttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mengumpulkan dan mencari uang. Terbukti bahwa di samping membangun rumah

penginapan yang berkamar-kamar, dibangun pula semacam penginapan murah di dalam

sebuah bangunan yang memanjang. Bangunan ini tanpa kamar dan tanpa tempat tidur

pula. Para penginap dalam bangunan ini cukup tidur diatas tikar yang dibentangkan di

atas lantai, berjajar dan menggerombol bersama teman perjalanan. Dan umumnya mereka

ini para pedagang kecil justeru sewanya murah.

Begitu tiba seorang pelayan segera menyambut dengan ramah dan membungkuk
bungkuk. Kuda diterima, langsung dibawa ke istal kuda. Seorang pelayan lain datang

menyambut, tak kalah ramahnya dengan pelayan yang pertama.

"Masih ada kamar?" tanya Irma Sulastri.

"Masih tuan, yang besar ataukah yang kecil?" Sahut pelayan itu penuh hormat.

Untuk sejenak ia melengak disebut "tuan". Akan tetapi ketika teringat bahwa

dirinya saat ini menyamar sebagai seorang laki-laki, ia segera tersenyum dan mengangguk
angguk. Sahutnya. "Aku hanya seorang diri. Kamar yang kecilpun sudah cukup."

Kemudian pelayan ini dengan ramah mengantarkan Irma Sulasti ke kamar yang

tersedia. Ternyata walaupun kecil, kamar itu bersih dan teratur. Ia mengangguk-angguk,

kemudian mengambil uang tembaga dua benggol (sama dengan lima sen), diserahkan

kepada pelayan itu sambil berkata. "Nih, untuk engkau sebenggol, dan yang sebenggol ini

berikan kepada pelayan yang tadi menerima kudaku!"

"Yang mana tuan?" tanya si pelayan dengan wajah berseri.

"Itu tadi,yang berbaju abu-abu."

"Oya, terima kasih tuan.

Dan pelayan itu kemudian pergi dengan hati senang. Uang dua benggol

dimasukkan dalam aku, dan bagian pelayan lain tidak perlu diberikan. Untuk apa

diberikan justeru pelayan itu tidak melihat dan mendengar?

Sungguh sayang, bahwa orang sering suka memikirkan kebutuhan sendiri tanpa

memikirkan orang lain menderita rugi. Yang berkedudukan tinggi dan besar

kekuasaannya, dan lebih-lebih dikasihi Raja, dia makin banyak lagi menggunakan

kesempatan untuk mengantongi harta dan menumpuk kekayaan. Sebaliknya bagi pelayan

ini, walaupun uang hanya dua setengah sen, sampai hati merugikan teman sejawat.

Kapankah manusia di dunia ini berkesadaran tinggi, hingga lebih suka mendekatkan diri

dengan perbuatan baik yang tidak merugikan orang lain?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Bagi Irma Sulastri, perjalanan jauhnya kali ini merupakan perjalanan yang pertama

kali. Maka walaupun perjalanan ini disambung dengan menunggang kuda, perjalanan ini

cukup melelahkan juga. Begitu masuk ke dalam kamar, tubuh terasa penat sekali, maka

gadis ini segera merebahkan diri tanpa mandi dan tukar pakaian lebih dulu. Ia

menelentang di atas pembaringan dan memandang atap kamar. Dan tiba-tiba saja

pikirannya jauh melayang, teringat akan nasib keluarganya. Ayah bunda kandungnya

telah tiada, dan ayah bunda pungutpun telah tewas dibunuh orang.

Teringat akan sebabnya ayah kandungnya tewas di tangan algojo Mataram dan

bunda kandungnya meninggal akibat sedih itu, rasa penasaran kembali menyesak dalam

dada. Mengapa sekejam itu Sultan Agung kepada ayahnya? Ingin sesungguhnya ia pergi

ke Mataram. Akan tetapi ketika teringat akan nasihat gurunya, keinginan itu terdesak lagi.

Dan mendadak saja ia ingat. Yang tewas dibunuh mati orang bukan hanya ayah

kandungnya. Malah suami isteri Kyai Abdulfatah yang menjadi ayah bunda pungutpun

dibunuh orang. Dan keadaan ayah bunda pungut itu malah lebih menyedihkan lagi.

Mereka dibunuh orang sewenang-wenang, dan kalau dirinya tidak ditolong Menak

Singgih entah apa yang akan terjadi atas dirinya.

Tiba-tiba saja tubuhnya menggigil teringat pengalamannya dalam tawanan para

penjahat itu dipondong di atas kuda dalam perjalanan para penjahat itu pulang. Ketika itu

ia menjerit-jerit minta tolong dan meronta-ronta. Tetapi walaupun ia meronta-ronta

sekuat tenaganya, dirinya hanya ditertawakan oleh penjahat yang menawan dirinya.

Malah kemudian penjahat itu mendekap lebih erat lagi, dengan sebelah tangan. Lalu

tangan yang sebelah secara kurang ajar sekali, telah meraba-raba pipi, dahi, hidung dan

bibirnya. Kemudian jari tangan itu bergerak turun. Lalu tangan itu dimasukkan ke dalam

baju dan kain penutup dada. Dan dengan kasar jari tangan perjnat itu telah meremas
remas payudara.

Saking ngeri ketika itu ia berusaha meronta lagi sambil memekik-mekik. Tetapi

usahanya tetap tak berbasil, malah kemudian ketika penjahat itu mulai menghujani

ciuman pada pipi aan bibirnya, ia menjadi pingsan karenanya.

Teringat pengalamannya ketika itu, tubuhnya tambah menggigil. Bulu kuduknya

meremang, dan ia tidak dapat membayangkan apa yang terjadi atas dirinya dan juga

beberapa orang gadis tetangganya itu, apabila tidak tertolong oleh Menak Singgih.

Kalau saja peristiwa itu terjadi dalam keadaan dirinya sudah lain seperti sekarang

ini, hemm ingin sekali ia memukul mampus kepada laki-laki dan penjahat yang kurang

ajar seperti itu. Teringat kepada penjahat yang kurang ajar itu, mendadak saja Irma

Sulastri menyesal bukan main. Mengapa ia lupa bertanya kepada Menak Singgih, siapa

dan dari manakah para penjahat yang telah penyerbu desa tempat tinggalnya dan telah

membunuh ayah bunda pungut itu. Kalau saja tahu, tentu ia dapat pergi ke saranghttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

penjahat itu dan mengobrak-abrik, kemudian membunuh para penjahat itu.

"Sayang........." ia mengeluh perlahan. Ya, ia memang merasa sayang sekali

mengapa lupa menanyakan tentang penjahat itu kepada Menak Singgih. Ia kemudian

ingat sebabnya terlupa. Ketika itu ia tenggelam dalam sedih dan penasaran, mendengar

bahwa ayah kandungnya telah dibunuh mati Sultan Agung. Ia menyesal bukan main.

Mengapa hal sepenting itu sampai terlupa? Ia benar-benar bersedih sekarang. Lalu sampai

dimanakah balas budinya kepada ayah bunda pungut yang memelihara dan merawat

dirinya semenjak kecil itu? Dan apakah peristiwa menyedihkan dan yang menyebabkan

ayah bunda pungut tewas secara mengenaskan itu, harus dilewatkan begitu saja tanpa

diurus sampai terang dan diketahui siapakah yang bersalah? Lalu sampai dimanakah

baktinya sebagai anak kepada orang tua?

Makin dipikir gadis ini menjadi semakin sedih. Dan makin dirasakan, gadis ini

semakin menjadi penasaran.

Di luar tahu Irma Sulastri, bahwa gadis yang dibayangi sejak siang tadi, menyewa

kamar di sebelah. Sebagai batas kamar ini hanyalah papan kayu, akan tetapi begitu rapat

sehingga walaupun bersebelahan, orang tidak akan merasa terganggu oleh tetangga

kamar. Gadis ini sekarang sedang menelentang dan melamun. Pikirannya melayang jauh

kepada perjalanan hidup yang pernah dilalui.

Ketika ia tadi mengamati wajah Irma Sulastri yang mengenakan pakaian laki-laki

itu, gadis ini terkesiap. Wajah pemuda seperti itu selalu terkenang dalam hati, menjadi

buah mimpi setiap malam.Ia tidak tahu mengapa wajah pemuda itu selalu hadir dan

membayang dalam benaknya. Apakah itu berarti dirinya sudah jatuh cinta? Dan begitu

melihat wajah yang selalu dikenang itu, hampir saja ia tadi menyapa. Tetapi kemudian

teringat bahwa walaupun wajah itu mirip benar, tetapi bentuk tubuh jauh berlainan.

Pemuda yang selalu menjadi buah mimpi itu tegap dan gagah. Sebaliknya pemuda yang

menegurnya sekarang adalah seorang pemuda bertubuh agak kurus ramping dan tanpa

kumis pula.

Ia tadi menjadi malu sekali, dan itu pula sebabnya tanpa membuka mulut ia telah

pergi tanpa perduli lagi. Akan tetapi tiba-tiba ia sekarang menjadi menyesal sendiri.

Mengapa ia tadi tidak mau menjawab dan berkenalan? Padahal siapa tahu kalau

kemiripan wajah itu mempunyai hubungan saudara dekat dengan pemuda yang selalu

menggoda dan menjadi buah mimpi itu? Dan kalau benar pemuda yang menegurnya tadi

masih saudara, bukankah hal itu akan menguntungkan justeru dapat bertanya kepada

pemuda itu tentang dia?

Tetapi sayang, kesempatan baik itu telah disia-siakan. Dan kiranya dirinya akan

sulit dapat bertemu lagi dengan pemuda itu. Karena menyesal dan sibuk sendiri itu,

kemudian ia menghela napas berat dan mengeluh.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Helaan napas dan suaranya yang mengeluh itu dapat didengar jelas oleh Irma

Sulastri yang berbaring di sebelah. Dan diam-diam Irma Sulastri menjadi heran dan

bertanya-tanya, apakah sebabnya gadis baju merah itu menghela napas dan mengeluh

seperti itu? Apakah gadis itu juga sedang resah dan gelisah seperti dirinya? Sesungguhnya

ia ingin bersuara agar menarik perhatian gadis itu. Akan tetapi ketika teringat

tanggapannya siang tadi ia mengurungkan maksudnya.

Namun malam ini walaupun Irma Sulastri berusaha memejamkan, matanya tak

juga mau memicing dan tidur. Ia selalu gelisah walaupun sesungguhnya tubuh dirasakan

amat penat. Irma Sulastri menjadi heran sendiri. Mengapa dirinya sekarang tidur dalam

kamar yang jauh lebih bersih dibanding dengan biliknya di pondok gurunya, malah tidak

dapat tidur?

Tiba-tiba, Irma Sulastri agak kaget. Telinganya yang peka dan sudah terlatih

mendengar suara mencurigakan agak jauh di luar. Naluri sebagai gadis perkasa, tiba-tiba

saja gadis ini merasa bahwa malam ini terjadi sesuatu di luar harapannya. Ia takkan

membiarkan penjahat mengganggu penginapan ini. Maka dengan gerakannya yang ringan

tanpa suara, tak lama kemudian gadis ini sudah berada di luar kamar. Untuk kemudian

dengan gerakannya yang amat ringan, ia telah hinggap pada dahan pohon jambu hijau

yang tumbuh tidak jauh dari kamarnya.

Tetapi kalau dirinya telah bersiap menolong orang sebaliknya para penghuni

rumah penginapan ini tidak seorangpun terjaga dari tidurnya yang lelap. Malah gadis baju

merah itupun agaknya tertidur dengan pulas.

Tiba-tiba ia mendengar suara desir angin yang halus. Ketika memalingkan muka


Pendekar Rajawali Sakti 171 Sayembara Ilmu Golok Keramat Bu Tek Sin To Karya Sembilan Pembawa Cincin Lord Of Rings

Cari Blog Ini