Ceritasilat Novel Online

Jangan Renggut Matahariku 1

Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W Bagian 1

Jangan Renggut Matahariku

Mira W

Penerbit Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 2002

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

****

"KAMU tidak bisa melakukannya, Mas Pras." suara Monika di telepon terdengar setengah histeris.

"Apa yang harus kukatakan pada orangtuaku?"

"Bilang saja aku ada urusan bisnis," sahut Prasetya, santai seperti biasa.

"Penting. Tidak dapat ditunda." '

"Juga untuk hari pernikahanmu?" Monika hampir berteriak saking gemasnya. Duh, lelaki yang satu ini! Kalau saja dia ada di depannya sekarang...

Tapi kalau Prasetya ada di depannya sekarang, apa yang akan dilakukannya? Di hadapannya, Monika selalu tak berkutik! Tak berdaya! Itu sebabnya Pras dapat sewenang-wenang mempermainkannya! Seperti sekarang!

Prasetya kabur begitu saja. Padahal hari pernikahan mereka sudah di depan mata. Urusan bisnis, katanya! Persetan! Dia cuma takut menikah! Takut bertanggung jawab! Takut membuat komitmen!

Padahal Monika sudah bersusah payah membujuknya. Membenamkan dirinya. Menyadarkannya bahwa pernikahan bukan sesuatu yang menakutkan.

Monika begitu bahagia ketika akhirnya dia dapat membawa laki-laki itu ke hadapan orangtuanya. Prasetya memang tidak memalukan. Sudah wajahnya tampan, tubuhnya tegap, lagi. Tinggi besar. Tapi tidak gemuk. Perutnya juga tidak mancung ke depan seperti layaknya pebisnis yang kurang gerak. Maklum hobinya berenang. Rajin fitness, lagi. Jadi dia dapat menjaga kondisi tubuhnya dengan baik walaupun selalu sibuk dilibat pekerjaan.

Bukan itu saja. Bukan cuma wajahnya yang ganteng dan tubuhnya yang mengagumkan. Sikapnya juga sangat menggemaskan wanita. Tenang. Percaya diri. Menguasai.

Dan matanya! Mata yang selalu tersenyum itu, dengan tatapan yang tenang-tenang menghanyutkan, begitu memikat. Jangankan wanita. Pria pun. tentu saja kalau punya kelainan. pasti terpikat.

Belum lagi senyumnya yang khas itu. Senyum santai tapi menggoda. Melecehkan tapi menguasai. Senyum yang sangat digandrungi wanita. Yang sering membuat mereka tidak bisa tidur.

Masih ada yang lain lagi. Dalam usia tiga puluh enam tahun, dia sudah meraih sukses dalam bisnisnya. Dan usahanya bukan warisan orangtuanya. Dia merintis usaha itu dari nol. Kalau sekarang dia menjadi seorang eksportir yang sukses, semua itu berkat kerja kerasnya sendiri. Tanpa bantuan fasilitas ayahnya yang diplomat itu.

Yang lebih membanggakan lagi, ayah Monika tahu siapa Prasetya. Jadi dia tidak keberatan ketika Monika memperkenalkannya sebagai calon suaminya. Ayah Monika malah mendesak mereka agar segera menentukan tanggal pernikahan.

"Kalian sudah sama-sama dewasa." itu alasan ayahnya.

"Sudah cukup umur untuk menikah. Tunggu apa lagi? Segera saja tentukan kapan kalian akan menikah. Ibumu juga sudah ingin sekali menimang cucu."

Dan sjalan si Pras! Tanggal pernikahan sudah di depan mata. Dia malah kabur begitu saja!

Urusan bisnis. katanya. Bohong! Dia pasti bohong! Dia cuma ingin melarikan diri. Dia belum berani menikah! Itu sebabnya sampai umur tiga puluh enam tahun dia belum menikah juga! Entah sakit apa dia!

Sementara Monika sedang memaki-maki dirinya. Prasetya Sanjaya sudah berada di dalam pesawat terbang yang menerbangkannya ke Singapura. Dia sendiri belum tahu mau ke mana. Dia hanya ingin pergi. Melarikan diri sejauh-jauhnya dari pernikahan yang sedang direncanakan pacarnya.

Memang Monika bukan pacarnya yang pertama. Bukan pula gadis pertama yang mendesaknya untuk menikah. Bukan pertama kali juga Pras melarikan diri dari hari pernikahannya. Sepuluh tahun yang lalu. dia malah sudah hampir menandatangani surat nikahnya. Lalu kebimbangan itu tiba-tiba menyergapnya. Dan dia memilih membatalkan pernikahannya.

Lega rasanya dapat berada seorang diri di dalam pesawat yang separo kosongini. Prasetya menyandarkan punggungnya dengan santai di bangku pesawatnya. Dan memejamkan matanya dengan tenang.

Wah, enaknya berada di sini. Padahal Prasetya tidak punya rencana apa-apa di Singapura. Dia cuma ingin melarikan diri sejauh-jauhnya dari Surabaya. Dari Monika. Dari pernikahannya.

Mengapa? Jangan tanya. Dia sendiri juga tidak tahu. Dia menyukai wanita. Senang pacaran dengan mereka. Tapi jangan paksa dia untuk menikahi salah satu di antaranya. Dia tidak sanggup! Dia khawatir tidak dapat membahagiakan mereka. Tidak dapat memuaskan hati istrinya. Tidak dapat melanggengkan pernikahannya. Tidak dapat membesarkan anak-anak mereka dengan sempurna. Dia khawatir... ah. semuanya memang serba mengkhawatirkan.

Kata orang, pernikahan itu seperti judi, kan? Ada yang kalah. Ada pula yang menang. Jadi kalau takut berjudi, lebih baik tidak bertaruh. Dan kalau tidak mau mempertaruhkan masa depannya, lebih baik dia melarikan diri....

Tentu saja itu cuma pendapat Prasetya. Yang jelas, dia sangat mencintai kebebasannya. Dia tidak mau diikat. Oleh sesuatu yang namanya pernikahan sekalipun! "'"

Dia khawatir tidak dapat berada terus di rumah. Bisnisnya mengharuskannya sering berada di luar kota. Bahkan di luar negeri. Stres yang menekan dalam pekerjaannya juga cukup berat. Dia tidak mau membawa ketegangan itu ke rumah. Nanti dia marah-marah terus. Dan anak-istrinya yang

menjadi sasaran. Lalu mereka harus bercerai. Dan anak-anaknya menjadi korban.

Jadi bukankah lebih baik kalau dia tidak usah menikah saja? Dia senang hidup begini. Rasanya hidupnya sudah cukup sempurna. Tetapi... ah, mengapa setiap wanita yang dipacarinya selalu mendesaknya untuk menikah? Mengapa mereka tidak dapat puas hanya dengan bergaul begini saja?

Padahal betapa nikmatnya kalau dia dapat hidup begini terus. Pacaran. Tapi tanpa ikatan apa-apa. Tanpa menjanjikan apa-apa. Tanpa tanggung jawab apa-apa! Bebas bagai burung di langit!

"Kamu serius, Ris? Kamu mau ajak kita orang naik kapal pesiar? Kamu yang bayar semuanya?"

"Asal bisa ajak si Vania, kamu cukup bayar fiskalnya aja. Yang lain urusanku deh."

"Serius nih. Ris?" desak Kiki tidak percaya. Gila si Aris! Sudah begitu tergila-gilanya dia pada si Vania sampai betul-betul jadi gila! "Asal kita bisa ajak si Vania?"

Sudah lama memang Kiki tahu, Aris naksir berat pada vania. Tapi Vania terlalu lugu untuk menanggapinya. Dia lebih banyak menyingkir sambil mengulum senyumnya yang manis tapi misterius itu daripada melayani ajakan Aris untuk pulang bersama. Makan bareng di kantin. Atau malah nonton sama-sama kalau malam Minggu.

"Tapi jangan kamu ajak satu RT ya, Ki! Bisa bangkrut nih!"

"Iyalah. Pokoknya kita-kita aja, oke?"

"Kita-kita itu termasuk aku kan, Ris?" sela Taufik gesit. Takut tidak kebagian jatah.

"Si Kiki masih pacarku tuh. Dia pergi. aku ikut. Iya. kan, Ki?"

"Iya, pokoknya kita berempat aja. Tapi orang yang keempat mesti si Vania. Aku nggak mau yang lain."

"Oke. Kamu tahu beres aja!"

Tetapi ketika yang muncul mengantar Silvania Kusumadewi hampir setengah lusin remaja. Aris hampir semaput.

"Lo, kok banyak banget, Ki?" bisiknya setelah berhasil menemukan gadis itu di antara kerumunan teman-temannya.

"Aku kan udah bilang...."

"Yang aku ajak emang cuma si Vania. Tapi yang mau ikut banyak. Ris!"

"Emangnya kamu bilang apa sama si Vania?"

"Aku bilang Bokap dapat undangan naik kapal laut ke Singapura buat empat orang. Gratis."

"Terus yang lain tuh mau ngapain? Pada ngantar doang?"

"Mereka pada mau ikut, katanya. Kan pas liburan sekolah."

"Enak aja! Emangnya nenek moyangku yang punya kapal?"

"Katanya mereka bayar sendiri, Ris! Makanya mana bisa kularang? Sejak kapan aku jadi polisi pelabuhan?"

Celaka, pikir Aris kesal. Kalau Vania diantar begini banyak fansnya. mana bisa pacaran dengan enak?

Lebih celaka lagi, Rifa ada di antara mereka! Padahal Rifa itu saingan beratnya! Tampaknya dia juga sudah lama naksir Vania. Jadi dia lengket terus di belakang gadis itu. Persis buntut. Ke mana pun Vania pergi, dia pasti ikut. Namanya saja buntut. Untung dia tidak ikut bergoyang kalau Vania tertawa.

"Kenapa sih kalian pada sok borju banget," gerutu Aris jengkel.

"Liburan sekolah aja pada naik kapal pesiar segala! Kenapa sih nggak pada naik gunung aja? Emang udah pada ke mana sih tu gunung? Udah jadi vila semua, ya?"

"Mumpung lagi murah, kita jadi kepengen nyobain jadi orang kaya," sahut Mutiara santai.

"Bolehnya kok kamu yang pasang tampang perang, Ris! Emang kamu doang yang mau jalan-jalan?"

Mereka memang memesan kabin yang paling murah. Kabin di dek yang paling bawah. Dan tidak mempunyai jendela. Karena sedang promosi, biayanya hampir sama dengan liburan ke Bali dengan pesawat terbang. Tidak heran kalau empat orang teman Vania langsung ikut mendaftar begitu diajak Kiki naik kapal pesiar.

Rutenya memang tidak jauh. Hanya ke Singapura. Lalu balik lagi ke Jakarta. Lamanya pun hanya empat hari dua malam. Tetapi buat anak-anak remaja seusia mereka. perjalanan itu terasa sangat mengesankan.

Tentu saja mengesankan untuk mereka. Untuk penumpang lain, apalagi yang kabinnya berdekatan, kegaduhan yang mereka buat sangat membisingkan.

Nah, coba saja bayangkan. Di lorong depan kabin yang sempit itu, yang pas buat lewat dua orang, mereka dudukduduk seperti di warung kopi. Mengobrol dan tertawa gelak-gelak seolah-olah kapal itu mereka yang punya.

Ketika Mutiara lewat hendak ke kamarnya, Rifa menimpuk kepalanya dengan setangkai bunga yang dicomotnya entah dari mana. Bunga yang sudah hampir layu itu rontok kelopaknya. Mengotori rambut Mutiara dan sebagian lantai. .

Mutiara mengejar Rifa dengan gemas hendak menggebuk bahunya. Rifa buru-buru kabur. Tapi Aris yang sedang duduk berlunjur di lantai langsung mengganjal dengan kakinya.

Rifa tersandung dan jatuh tersungkur. Mutiara menggebuk punggungnya beberapa kali sambil memaki-maki. Rifa berusaha menangkis sambil tertawa geli. Teman-temannya menyoraki memberi semangat. Gaduhnya bukan main.

Sepasang kakek-nenek yang kabinnya berada di lorong yang sama, sudah minta pindah kabin. Tetapi permintaan mereka ditolak dengan alasan semua kabin sudah terisi.

"Saya mau menghadap Kapten," gerutu si kakek kesal.

"Kami ke sini mau mengenang masa lalu. Kalau kabin kami di sebelah anak-anak berandalan ini, bukan nostalgia yang kami dapat tapi cephalgia!"

"Jangan ribut dong," pinta Vania kepada temantemannya ketika didengarnya si kakek minta tukar kabin. Dia sedang mengangkut kopernya ke kabin ketika kebetulan mendengar pengaduan si kakek.

"Kasihan mereka sampai minta tukar kamar. Katanya kita terlalu berisik. Mereka jadi sakit kepala."

"Ah, cuek aja," Sahut Aris yang segera bangkit menolong Vania. Didorongnya koper gadis itu ke dalam kabinnya "Nanti malam kalau giliran mereka yang berisik, kakek itu udah pasti ngos-ngosan, lihat aja udah uzur tapi neneknya masih seksi. mau nggak tukar kamar sama kita?"

Taufik yang juga sedang memasukkan koper Kiki tertawa gelak-gelak. Tawanya keras sekali sampai Kiki memukul bahunya dengan gemas.

"Kira-kira dong, Fik! Kamu ketawa atau mau nenggelemin kapal?" berungutnya pura-pura marah.

"Masa ketawa aja nggak boleh sih. Ki? Kan mumpung belum dilarang!"

"Ketawa sih boleh, tapi kan nggak perlu ngeluarin semua isi perutmu, Fik! Simpan aja anginnya buat nanti malam! Siapa tahu kapalnya mogok!"

***

"PAMAN serius!" tanya frida bingung, nampir taak mempercayai pendengarannya sendiri.

"Saya boleh ikut kapal ini?"

Paman Sofyan menghela napas panjang. Dahinya yang sudah berkerut tambah keriput karena sedang berpikir keras.

"Sini, berikan saja paspormu." katanya murung.

"Biar Paman yang urus semuanya."

Memang. Kalau Frida yang meminta tolong, Paman Sofyan tidak pernah dapat menolaknya. Betapapun sulitnya. dia pasti berusaha keras menolong keponakan kesayangannya ini.

"Tapi saya tidak punya uang untuk membeli tiket. Paman. Gaji saya masih disimpan majikan saya. Ketika kabur ke sini, saya tidak sempat lagi mengambilnya."

"Sudahlah, serahkan saja semuanya kepada Paman. Kamu tahu beres saja."

"Terima kasih, Paman," Frida mengambil tangan pamannya dan menciumnya dengan hormat.

"Memang cuma Paman Sotyan harapan saya satusatunya."

Sekali lagi Paman Sofyan menghela napas panjang. Memang benar. Sejak dulu sampai sekarang, cuma dialah harapan Frida Cuma dia yang selalu datang menolong kalau keponakan kesayangannya ini sedang dalam kesulitan. Seperti sekarang.

Entah siapa yang membujuknya untuk datang ke Singapura. Bekerja sebagai perawat orang sakit pada sebuah keluarga di sini. Dengan diimingimingi gaji tinggi yang dibayar dalam bentuk dolar.

Baru dua bulan bekerja, Frida sudah tidak betah. Majikannya sudah beberapa kali mencoba menggerayanginya. Tentu saja majikan mudanya. Bukan nenek tua yang dirawatnya. Nenek itu sudah lumpuh akibat dua kali stroke beruntun. Sudah tidak bisa bicara pula. Jangankan memegang-megang perawatnya, memegang badannya sendiri saja dia sudah tidak mampu.

Tetapi anaknya masih muda dan gesit. Walaupun sudah punya istri dan dua orang anak yang masih kecil-kecil, tangannya masih sering iseng. Frida jengkel sekali. Dia merasa tersinggung.

Safrida Rahman seorang perawat yang teruji dan berpengalaman. Dia punya ijazah perawat dan surat rekomendasi yang bagus untuk merawat orang sakit. Dan dia datang jauh-jauh ke sini karena ditawari pekerjaan dengan masa depan dan gaji yang baik.

Dia tidak rela kalau sesampainya di sini dia diperlakukan seperti wanita murahan. Dipegang

pegang semaunya. Bahkan pernah diajak masuk ke kamar 'majikan mudanya ketika istrinya sedang pergi bersama anak-anaknya.

Frida khawatir suatu hari nanti majikannya akan bertindak lebih jauh lagi. Karena itu dia mencari agen yang mengirimkannya kemari. Maksudnya tentu saja untuk mengadukan kelakuan majikannya. Dia ingin pindah kerja. Kalau tidak ada lowongan lagi. lebih baik dia pulang ke Jakarta.

Tetapi saat itu dia baru tahu, agen yang mengurus penempatannya di sini bukan agen resmi. Mereka cuma calo. Mereka tidak dapat ditemukan lagi. Bahkan alamat yang diberikannya pada Frida ternyata alamat palsu. Padahal sebelum dikirim ke sini, Frida diharuskan membayar dalam jumlah yang cukup besar kepada agen mereka di Jakarta.

Akhirnya Frida terpaksa kembali ke rumah majikannya. Dan sesampainya di sana, ternyata bencana sudah menantinya.

Frida dimarahi habis-habisan karena meninggalkan tugasnya tanpa izin. Ketika Frida menyatakan keinginannya untuk berhenti, dia malah diancam. Kontrak yang telah ditandatanganinya diacungacungkan ke depan mukanya. Katanya dia bisa didenda karena memutuskan hubungan kerja. Kalau tidak dapat membayar denda, dia malah akan dijebloskan ke penjara.

Tetapi Frida tidak peduli. Dia sudah nekat. Kalau dilaporkan kepada yang berwajib, dia juga akan mengadukan kelakuan majikan mudanya.

Dia dikontrak sebagai perawat. Bukan pelacur Dan dia tipe wanita yang tidak mudah digertak. Tidak mempan diancam.

Tetapi majikan mudanya malah menyusul ke kamarnya. Ketika Frida sedang sibuk membenahi bajunya, laki-laki itu menerkamnya dari belakang.

Merasa akan diperlakukan tidak senonoh, Frida berjuang mati-matian untuk membebaskan diri. Dia bukan jenis gadis yang mudah menyerah. Prinsipnya lebih baik mati daripada dipermalukan. Dan itu yang tidak diduga oleh majikannya.

Dalam sebuah pergulatan sengit. Frida berhasil meraih sebuah gunting. Dan menikamkannya tanpa ragu-ragu ke perut majikannya.

Lelaki hidung belang itu ternyata cuma seekor ayam sayur. Sekali tusuk saja dia sudah menggelepar di lantai. Sambil mengerang dia menebah perutnya.

Melihat darah yang melumuri tangan yang sedang menebah perutnya itu. Frida menjadi panik. Tanpa berpikir panjang lagi dia merenggut kopernya. Dan kabur secepat-cepatnya. Meninggalkan korbannya sedang merintih kesakitan.

Karena tidak tahu lagi harus pergi ke mana, Frida minta tolong pada pamannya. Kebetulan kapal Paman Sofyan tengah berlabuh di Singapura. Paman Sofyan yang sudah beberapa tahun menjadi ABK di kapal itu tidak dapat menolak permintaan keponakannya.

Jika dia tidak membantu Frida melarikan diri, keponakannya itu pasti harus berurusan dengan pihak yang berwajib. Kedudukan Frida lemah sekali

karena dia merupakan tenaga kerja ilegal di negeri

ini. Agen ketenagakerjaan yang mengurus keberangkatan dan penempatannya di sini ternyata gelap. Lebih celaka lagi. sekarang agen itu tidak dapat ditemukan lagi.

Jika Paman Sofyan membelikan Frida tiket pesawat terbang ke Jakarta, dia takut Frida akan dicekal di Bandara Changi jika majikannya sudah melapor ke polisi. Jadi tidak ada pilihan lain.

Kapal laut ini memang harapannya satu-satunya. Pasti tidak ada yang menduga seorang tenaga kerja buronan akan kabur dengan kapal pesiar!

Jadi dengan bantuan teman-temannya, dia menyelundupkan Frida ke kapal itu.

"Ada sebuah kabin kosong di dek sepuluh." kata Paman Sofyan sambil menyelipkan sebuah kartu ke tangan keponakannya "ini kuncinya. Jangan sampai hilang."

Frida mengawasi kartu itu dengan gugup.

"Tapi ini bukan nama saya. Paman."

"Tentu saja bukan. Kabin itu sudah dipesan dari Jakarta oleh sepasang pengantin baru. Tapi sampai saat terakhir mereka tidak muncul."

"Saya boleh menempati kabin itu?"

"Paman sudah atur semuanya. Asal kamu hatihati saja. Besok sore kapal ini akan tiba di Jakarta. Mudah-mudahan semuanya beres."

"Terima kasih, Paman," sekali lagi Frida hendak meraih tangan pamannya untuk menciumnya. Tapi Paman Sofyan buru-buru menariknya.

"Sudahlah. Lekas masuk ke kabinmu. Jangan

keluar kalau tidak perlu. Dan ingat, jaga kelakuanmu. Kamu sekarang seorang wanita kaya dari Jakarta. Cobalah bertingkah seperti orang kaya."

"Orang kaya?" gumam Frida bingung.

"Kalau tidak kaya, kamu tidak bisa menempati executive suite."

Mula-mula Frida tidak begitu memahami katakata pamannya. Tetapi ketika dia tiba di dalam kabin itu. dia baru terlongong-longong. Dia hampir jatuh tersungkur saking kagetnya. Dia malah sudah berbalik untuk kabur kembali mencari pamannya. Minta tukar dengan kabin yang lebih kecil saja. Karena kabin ini terlalu "wah"!

Karena terlalu tergesa-gesa berbalik, dia hampir menubruk pelayan yang mengantarnya, yang masih berdiri menunggu tip di belakangnya.

"Maaf!" cetus Frida rikuh.

Dia baru ingat, dia tidak datang seorang diri ke sini. Dan dia mematung di tempatnya. Tidak jadi lari keluar mencari pamannya. Tidak jadi pergi ke mana-mana.

"Silakan, Bu." kata pelayan itu sopan. Disodorkannya kartu kunci pintu yang tadi dimintanya dari Frida dengan penuh hormat, seolah-olah Frida tiba-tiba menjelma menjadi Ratu Inggris.

Frida menerima kartu itu dengan kaku. Pelayan menunggu sebentar sambil sekali lagi mengangguk. Frida membalas mengangguk. Tetapi pelayan itu belum pergi juga.

Ketika dilihatnya Frida masih bengong saja. dia membuka pintu kamar tidur. ' .

"Ini kamar tidurnya, Bu," katanya seolah-olah Frida anak TK yang sedang belajar mengenai seluk-beluk sebuah rumah.

Dia langsung menyalakan lampu. lalu membuka pintu kamar mandi. Menyalakan lampunya pula. Menekan tombol flush di kloset sehingga air langsung menyemprot keluar, seakan-akan dia takut WC-nya kurang bersih.

"Ini kamar mandinya. Dan ini bathtub yang temperatur airnya bisa diatur, Bu. Dari sini mengaturnya. Mau saya isikan airnya. Bu?"

"Tidak usah," sahut Frida dari luar, masih terlongong-longong seorang diri.

Pelayan itu keluar dari kamar mandi. Sekarang dia sibuk membuka tutup lemari es kecil dan menyalakan televisi. lain dia meletakkan remote control-nya di meja di dekat Frida berdiri.

"Kalau perlu apa-apa, panggil saja Abas, Bu," katanya santun sekali.

"Terima kasih," gumam Frida masih diliputi kabut kebingungan.

Akhirnya pelayan itu putus asa. Dia mengundurkan diri sambil menutup pintu. Di luar pintu dia memaki, tentu saja hanya dalam hati.

Kayakaya pelit!

Sementara di dalam, Frida masih tegak di tempatnya, mengawasi seluruh ruangan itu dengan perasaan kagum.

Kabin itu luasnya hampir empat kali luas kamar tidurnya di rumah majikannya Satu set meja makan dan satu setel sofa terhampar lengkap di depan

sebuah teras yang menghadap ke laut terbuka. TeleviSi, bar, lemari es, semuanya tersedia. Barangkali cuma dapur yang tidak ada.

Kamar tidurnya ditata seperti kamar dalam sebuah hotel mewah. Tempat tidur berukuran kingsize dengan tilam yang berwarna lembut mengundang mendominasi isi kamar itu. Seolah-olah memang di sanalah letak seluruh daya tarik kabin istimewa ini.

Kamar mandi beraroma harum semerbak yang luasnya hampir seluas kamar tidur, dilengkapi dengan bathrub dan dua wastafel. Handuk-handuk lebar berwarna putih bersih bergantungan di rak handuk sementara sepasang kimono handuk terlipat rapi di atas rak susun. Sementara tumpukan sabun mungil, botol-botol kecil berisi bath gel, sampo, dan entah apa lagi, berderet-deret di atas meja wastafel.

Dengan penuh keingintahuan, Frida menciumi isi botol-botol mungil itu satu per satu. Dan dia merasa takjub melihat kompletnya perlengkapan mandi di sana.

Lama Frida tertegun bengong mengawasi semua itu sebelum dia berhasil meyakinkan dirinya sendiri, dia tidak sedang bermimpi.

Benarkah dia boleh tidur di kamar ini? Benarkah dia boleh tinggal di sini selama pelayarannya ke Jakarta tanpa membayar satu sen pun?

Aduh. Ingin rasanya Frida mencari Paman Sofyan dan mencium tangannya sekali lagi!

Tetapi mendadak dia ingat pesan Paman Sofyan.

Jaga kelakuanmu. Cobalah bertingkah seperti orang kaya.

Dan seorang wanita kaya pasti tidak menciumi tangan seorang anak buah kapal. apa pun pangkatnya!

Jadi meskipun ingin sekali keluar untuk mencari pamannya, terpaksa Frida menahan keinginannya dan mengurung diri dalam kabinnya. Dia hanya memadamkan lampu dan televisi lalu melangkah keluar menuju ke balkon kabinnya. Mengawasi kesibukan di pelabuhan sana.

Arus penumpang masih berdesak-desakan naik ke dalam kapal. Tetapi penumpang kelas istimewa seperti Frida memang didahulukan masuknya Dia dapat masuk ketika kapal masih sepi. Dan dia disambut oleh pelayan yang tadi mengantarnya kemari seolah-olah dia seorang ratu.

Mudah-mudahan bajingan itu tidak mencariku ke sini, pikir Frida cemas. '

Selama kapal belum membuang sauh, memang dirinya belum aman sama sekali. Masih ada kemungkinan mereka mencarinya. Walaupun kemungkinan itu rasanya kecil sekali.

Ini sebuah kapal pesiar. Tempat dalam kapal ini harus dipesan jauh-jauh hari sebelumnya. Mustahil mereka dapat menduga Frida berada di kapal ini.

Tetapi bagaimanapun, Frida tetap merasa cemas. Dia yakin, majikannya tidak akan tinggal diam. Dia telah melukai majikannya Kabur dari rumahnya. Memutuskan kontrak begitu saja. Mereka pasti akan mengejarnya! Pasti!

****

KETIKA Prasetya Sanjaya tiba di pelabuhan, kapal hampir berangkat. Dia merupakan penumpang terakhir yang. naik ke dalam kapal. Kalau bukan penumpang kabin paling mahal di kapal itu, barangkali dia sudah digerutui petugas. Tapi begitu melihat kabin yang dipesannya, sikap para petugas itu langsung berubah.

Tepat waktu memang ciri khas eksekutif. Jadi check in satu menit sebelum counter ditutup pun dapat dimaklumi.

Prasetya bukan hanya tidak ditegur. Tidak disuguhi tampang asam. Dia malah diantar seperti pangeran ke kabinnya.

Abas. pelayan yang tadi mengantar Frida, membukakan pintu kabin untuknya dengan sopan. Lalu memberikan kunci berbentuk kartu itu ke tangan Prasetya.

"Koper Bapak segera diantar," katanya dengan hormat.

Prasetya menerima kartu itu dan memberikan tip yang membuat pelayan itu sekali lagi membungkuk hormat sambil mengucapkan terima kasih. Lalu dia keluar dan menutup pintu.

Sekarang dia tidak menyumpah-nyumpah lagi. Dia malah memuji-muji tamunya.

Istrinya pelit. suaminya royal, pikirnya sambil menyeringai.

Prasetya membuang kunci kabinnya ke atas meja. Merentangkan lengannya lebar-lebar untuk merenggangkan otot-ototnya.

Hhh, lega rasanya berada .di kabin yang nyaman ini. Dilayangkannya pandangannya ke seluruh kabin. Dan dia tersenyum lega.

Seandainya dia tidak keburu membatalkan pernikahannya, seharusnya dia sudah berada di sini bersama Monika. Prasetya memang sudah memesan kabin ini untuk bulan madu mereka. Rencananya dari Jakarta dia hendak berbulan madu ke Singapura.

Tetapi karena pada saat terakhir pernikahannya batal. ah. bukan batal, mungkin hanya ditunda. Entah ditunda sampai kapan. '

Karena pernikahan mereka ditunda, bulan madu pun terpaksa ditunda. Jadi kabin yang sudah dipesan dan dibayar penuh ini pun terpaksa dibiarkan kosong.

Baru ketika sedang jenuh di hotelnya, Prasetya teringat lagi pada kabin yang telah dipesannya. Kebetulan kapal itu sedang berlabuh di Singapura. Jadi Prasetya dapat menumpang kapal ini pulang ke Jakarta.

Hm, boleh juga, pikirnya sambil tersenyum terus.

Senyum lega. Senyum puas. Monika pasti menjemputnya di Bandara SoekarnoHatta. Padahal dia tiba di Pelabuhan Tanjung Priok! Ha, ide yang brilian!

Senyumnya baru memudar ketika terdengar sebuah pengumuman melalui pengeras suara. Para penumpang diminta ke geladak untuk menjalani latihan bila kapal dalam bahaya
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan Prasetya belum sempat memutar tubuhnya ketika seseorang muncul dari teras. Seorang wanita berwajah sederhana Sesederhana pakaiannya. Dia muncul begitu saja dari balik pintu teras yang terbuka.

Mula-mula dikiranya wanita itu pelayan pembersih kamar. Tetapi ketika wanita itu terbelalak kaget saat melihatnya. Prasetya sudah merasa ada yang tidak beres. Lebih-lebih ketika sambil menutup mulutnya untuk mencegah jerit tertahan, wanita itu seperti hendak melarikan diri.

Dan Prasetya belum sempat berbuat apa-apa ketika pintu kabinnya diketuk dari luar. Ketukannya terdengar sangat tidak sabar dan agak kurang sopan.

Prasetya yang sedang kesal karena merasa terganggu, langsung membuka pintu dengan kasar.

Paman Sofyan tegak di ambang pintu bersama pelayan yang tadi mengantar Prasetya. Wajahnya tampak bingung bercampur takut. Lebih-lebih ketika mata Paman Sofyan bertemu dengan mata Frida yang menyiratkan kebingungan.

"Saya minta penjelasan," kata Prasetya dingin.

"Siapa wanita ini. Dan mengapa dia berada dalam ,

kabin saya. Atau saya akan menghubungi Kapten sekarang juga."

Ketika mendengar penjelasan Paman Sofyan. Prasetya hampir tidak percaya. Mula-mula dikiranya mereka menjual lagi kabin yang telah dibayarnya karena mengira kabin itu kosong.

Tetapi ketika melihat wanita muda yang duduk di hadapannya, menunduk dengan wajah pucat sambil meremas-remas tangannya, tiba-tiba saja Prasetya merasa iba.

"Siapa namamu?" tanya Prasetya setelah Paman Sofyan meminta maaf untuk ketiga belas kalinya.

"Sofyan," sahut laki-laki separo baya itu segera.

"Bukan kamu. Keponakanmu." Siapa yang peduli kalau namamu Kampret sekalipun! Setelah saat ini, aku tidak ingin melihat tampangmu lagi!

"Frida."

Sekarang wanita itu mengangkat wajahnya. Dan matanya bertemu dengan mata Prasetya. Sesaat Frida merasa dadanya berdebar aneh. Mata lelaki itu begitu magis. Begitu penuh pesona. Lebihlebih kalau dia sedang menatap seperti itu.

Tatapan yang sangat sulit ditentang. Tatapan yang menilai. Tapi tidak terasa menghina.

"Benar apa yang diceritakan pamanmu?" tanya Prasetya tanpa berusaha menyembunyikan kekagumannya. Wanita berwajah sederhana ini memiliki kharisma dalam kesederhanaannya. Dan kalau benar

cerita pamannya, dia bukan hanya memiliki kharisma. Dia memiliki keberanian.

Frida hanya mengangguk.

"Tolonglah keponakan saya, Pak," pinta Paman Sofyan dengan suara memelas.

"Kalau saya tidak menyelundupkannya ke kapal ini, dia tidak mungkin meloloskan diri ke Jakarta. Dia akan ditangkap. Mungkin dipenjara. Atau dikembalikan ke rumah majikannya yang jahanam itu."

"Oke," Prasetya menghela napas panjang.

"Saya tidak akan melaporkan perbuatan kalian. Sekarang carikan saja saya kabin lain."

"Terima kasih, Pak. Terima kasih," kata Paman Sofyan berulang-ulang. Air mukanya berubah sangat lega. Suaranya juga.

Melihat wajah dan sikap pamannya. Frida hampir menangis didera perasaan bersalah.

Kasihan Paman. Untuk menolongku, dia hampir saja kehilangan pekerjaannya!

Memang sejak dulu, hanya Paman Sofyan yang selalu datang menolongnya. Ketika ayah Frida meninggal, sebenarnya Paman Sofyan sudah datang pada Ibu. Minta izin pada kakaknya untuk merawat Frida.

Tapi Ibu keberatan. Ibu berkeras hendak merawat sendiri kelima anaknya.

"Kamu kan belum menikah," itu alasan Ibu.

"Pelaut pula. Bagaimana kamu bisa mengurus anak kalau tidak pernah pulang?"

Paman Sofyan memang tidak menikah. Kata Ibu, sebagai seorang pelaut, Paman memang sebaiknya tidak menikah. Pelaut punya istri di setiap pelabuhan. Tetapi tentu saja itu kata Ibu. Karena akhirnya, Ibulah yang menikah lagi. Dan lelaki yang dinikahinya ternyata bukan seorang ayah yang baik.

Frida tidak terlalu cantik. Tapi dia memiliki sesuatu dalam dirinya yang menarik minat setiap laki-laki yang melihatnya. Semakin besar, daya tariknya semakin menonjol walaupun dia selalu menutupinya dengan kesederhanaannya.

Sebenarnya tidak ada yang terlalu memikat dalam dirinya. Tubuhnya biasa saja. Tidak kurus. Tapi tidak juga menggiurkan.

Tatapannya redup. Matanya teduh. Tak ada kerIingan yang memabukkan. Tak ada pula kedipan yang menggoda. Hanya caranya menatap mungkin yang berbeda. Entah ada apanya mata itu. Tetapi siapa pun yang ditatapnya akan merasa tertarik, walaupun kadang-kadang mereka tidak menyadarinya. '

Giginya putih. Tapi tidak terlalu rata. Taringnya yang sebelah kanan agak gingsul. Senyumnya menarik walaupun samar dan jarang disunggingkan.

Ketika masih kecil, Frida tidak ada bedanya dengan saudara-saudara perempuannya. Tapi semakin besar, kharisma yang dipancarkannya semakin kuat.

Karena itu tidak heran ayah tirinya paling menyukai Frida dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Dia yang paling dimanjakan. Paling sering diberi hadiah. Paling sering pula dibelai-belai.

Tidak heran pula ketika berumur enam belas tahun, Frida nekat melarikan diri dari rumah. Ke mana lagi kalau bukan ke Paman Sofyan.

Setiap kali kapalnya berlabuh di kota kelahirannya, memang Paman Sofyan selalu menyempatkan diri menengok keponakan kesayangannya. Dan ketika mendengar pengaduan Frida, Paman Sofyan insaf. dia harus menyelamatkan Frida sebelum terlambat.

Dia membawa Frida ikut berlayar ke Jakarta. Menitipkannya pada seorang kenalannya. Dan membiayai sekolahnya sampai selesai.

Frida tidak pernah dapat melupakan jasa Paman Sofyan menyelamatkannya dari ayah tirinya lima belas tahun yang lalu. Kini untuk kesekian kalinya dia harus berterima kasih. Kali ini Paman menyelamatkannya dari tangan majikannya. Mungkin pula dari pengapnya sel penjara.

* * *

"Kenapa kau tidak bilang dulu padaku?" geram Paman Sofyan kesal kepada Abas. pelayan yang mengantar Prasetya ke kabinnya.

"Bilang apa. Bang? Itu kan memang kabin dia. Mana aku tahu Abang sudah berikan kabin itu pada keponakan Abang? Kukira yang tadi itu istrinya."

"Waktu check in, mereka tidak bilang kabin itu sudah terisi?"

"Kira orang di bawah, istrinya yang sudah

datang duluan, Bang. Abang kan yang sudah atur begitu."

"Sial betul," keluh Sofyan kesal.

"Kukira dia tidak jadi naik kapal ini. Kau kan tahu dari Jakarta kabin itu kosong! Kenapa mendadak dia muncul?"

"Mana aku tahu, Bang? Sekarang yang penting dia mau ditaruh di mana, Bang?"

"Kudengar Dokter Joko minta "pindah kabin, Bas." '

"Dokter Joko?" _

"Dek paling bawah. Biar kubawa Frida ke kabinnya."

"Memang kabin itu sudah kosong, Bang?"

"Dokter Joko mengadu ke reception Dia merasa terganggu. Katanya anak-anak muda di sebelah kabinnya berisik sekali. Dia mengancam akan menulis di koran. Itu pasti iklan jelek buat kita. Padahal kapal ini lagi promosi."

"Lantas?"

"Terpaksa kabinnya di-upgrade. Katanya kabinnya dipindahkan ke dek delapan. Biar kucek dulu dia sudah pindah atau belum."

"Abang mau pindahkan keponakan Abang ke sana? Tidak takut dicek, Bang? Kabin itu kan mestinya kosong."

"Harus bagaimana lagi, Bas? Keponakanku tidak bisa tinggal bersama Pak Sanjaya, kan?"

"Seharusnya Pak Sanjaya-lah yang pindah ke sana, Bang. Kalau ada pemeriksaan, dia memang penumpang yang sah."

"Jangan keterlaluan, Bas! Dia tidak mengadu ke Kapten saja sudah bagus!"

"Apa salahnya minta tolong sekali lagi, Bang? Kelihatannya Pak Sanjaya orangnya baik. Dan dia tidak terlalu ingin menikmati fasilitas istimewa yang disuguhkan. Dia sudah biasa dengan kemewahan kok."

"Justru karena dia sudah biasa dengan kemewahan, apa dia mau tidur di kabin yang paling murah di dek lima?"

Tetapi tampaknya Pantau Sofyan memang tidak punya pilihan lain. Kalau ada tempat yang paling aman di kapal itu, tempat itu pastilah kabin eksekutif yang sekarang ditempati Frida. Di kabin semahal itu. jarang ada yang mengutak-atik.

Jangankan memeriksa. Bertanya pun orang segan seandainya Frida berbuat kesalahan sekalipun. Orang kaya memang sering bertingkah yang aneh-aneh, kan? Makin kaya biasanya malah makin aneh!

Jadi terpaksa sekali lagi Paman Sofyan memberanikan diri meminta tolong. Dan keberaniannya muncul ketika melihat apa yang sedang dilakukan Prasetya di dalam kabinnya.

Orang kaya itu ternyata sedang membantu mengangkat koper Frida ke dalam kamar. Dan ketika melewati pintu, kopernya tersangkut di pintu. Koper itu langsung menjeblak terbuka. Dan isinya berserakan ke sana kemari.

"Ops! Maaf!" cetusnya spontan sambil buruburu membantu Frida memunguti isi kopernya yang bertebaran di lantai.

Ketika dia hendak meraih sebuah medali bulat yang menggelinding cepat di lantai, tangannya bersentuhan dengan tangan Frida yang juga hendak memungutnya. Dan mereka sama-sama tertegun sesaat.

"Medali apa ini?" gumam Prasetya heran ketika dia sudah berhasil menguasai dirinya dan mendahului meraih medali itu. Diamat-amatinya benda di tangannya dengan penuh perhatian.

"Bentuknya aneh."

"Bola Neptunus. Jimat keberuntungan seorang pelaut," sahut Frida segera.

"Paman Sofyan memberikannya ketika saya masih kecil."

Paman Sofyan yang sedang tegak terpaku di ambang pintu yang terbuka karena daun pintu diganjal oleh koper Prasetya1 langsung memberi salam.

Kedua orang yang Sedang berhadapan sambil berjongkok itu sama-sama menoleh ke pintu. Melihat siapa yang datang, mereka segera berdiri.

"Sudah ada kabin untuk saya?" tanya Prasetya sambil meletakkan medali itu di atas meja.

"Tolong bawakan koper saya ke sana. Saya mau minum dulu di pub."

"Tapi, Pak..." gumam Paman Sofyan ragu-ragu.

"Kami tidak berhasil memperoleh kabin yang sesuai untuk Bapak.... Erecutive suite kami sudah penuh semua...."

"Sudahlah," potong Prasetya jemu.

"Yang penting saya tidak usah tidur di geladak!"

"Mengapa bukan saya saja yang pindah, Paman?" sela Frida dengan perasaan tidak enak.

"Saya tidak berhak berada di sini...."

"Kamu penumpang gelap, Da. Namamu tidak terdaftar di kapal ini. Menurut pengalaman Paman, penghuni kabin seperti ini yang paling jarang dicurigai..."

"Bawakan saja koper saya ke sana," potong Prasetya tidak sabar.

"Berikan kuncinya kepada saya."

"Akan kami antar Bapak ke sana...."

"Tidak perlu. Saya bisa mencarinya sendiri!"

* * *

Tentu saja Prasetya tidak mengharapkan kabin yang sebagus kabinnya. Tetapi ketika dia menemukan kabin barunya di dek yang paling bawah itu, mau tak mau dia merasa frustrasi juga.

Ketika melewati lerengnya yang sempit dan pengap, beberapa orang anak muda sedang berjejaljejal menghalangi jalan. Dan tampaknya mereka tidak mau minggir biarpun tahu ada yang mau lewat.

Aris memang sudah melihat Prasetya sejak masih di ujung lorong. Baik perawakan maupun penampilannya sudah memperlihatkan dari kelas mana dia berasal. Heran juga kalau dia memilih kabin di dek yang paling murah.

Dia sedang menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari nomor kabinnya. Sedikit pun dia tidak memandang sebelah mata kepada mereka. Dan Sikapnya sudah menimbulkan antipati sejak pertama kali Aris melihatnya.

"Minggir, Ris," desis Soni separo bergurau.

"Babe mau lewat tuh!"

"Biar aja dia lewat," sahut Aris acuh tak acuh. Sedikit pun dia tidak mau bergeser. Apalagi me.nyingkir. Kalau si angkuh itu mau lewat, dia harus permisi dulu!

Tetapi Prasetya juga tidak mau mengalah. Dia tahu anak-anak muda itu sengaja tidak mau minggir. Dan dia tidak merasa perlu untuk minta irin kalau mau lewat. Karena itu dia mendesak mereka begitu saja.

Merasa didesak. Aris jadi tersinggung.

Nggak sopan banget ni orang! Aku yang duluan berada di sini. kan!

Melihat Aris sengaja menghalangi. kemarahan Prasetya juga langsung meledak.

Mau apa sih bocah-bocah ini? Kalau mau sok jago. bukan di sini tempatnya!

Dan mereka sudah berhadapan seperti dua ekor ayam jantan yang siap berlaga. Dada saling membusung. Mata saling tatap dengan penuh tantangan.

Taufik, Rifa. dan Soni sudah menahan napas. Sebentar lagi mereka akan disuguhi tontonan gratis. Di SMU mereka, siapa yang tidak kenal si Aris Romangihut?

Jago berkelahi. Jago di lapangan basket. Jago pula menaklukkan hati cewek.

Lihat saja postur tubuhnya. Tinggi atletis. Bukan imut-imut seperti si Taufik. Atau nyiur melambai

seperti si Soni. Tidak heran kalau di sekolah dia jadi rebutan. Tentu saja rebutan gadis-gadis. Kalau diperebutkan anjing, itu sih tulang.

Tetapi pada saat terakhir, hanya sedetik sebelum tontonan tinju gratis itu digelar, kepala seorang gadis melongok ke luar dari dalam kabin. Dan ketika Vania melihat adegan di depan matanya. dia langsung tahu apa yang terjadi.

Tidak heran. Di kelasnya, kelas III IPA, Vania memang terkenal sebagai ranking pertama. Pertama cantiknya. Pertama pula cerdasnya. Memang kombinasi yang jarang. Tapi bukannya tidak ada.

Jadi begitu melihat kedua orang yang sedang saling berhadapan itu, dia sudah dapat menerka sebentar lagi perang pecah.

"Ris, jangan!" tanpa berpikir lagi, Vania langsung bertindak. Memang itu kelebihannya yang lain. Meskipun tampak lugu, Vania mampu bertindak cepat. Tentu saja bukan bertindak cepat memindahkan dompet orang. Kalau itu namanya copet.

Dengan berani, tanpa ragu Sedikit pun. Vania menyelak ke tengah-tengah kedua laki-laki itu. Dan mendorong Aris mundur.

Tentu saja dorongan Vania terlalu lemah untuk Aris. Kalau bukan Vania yang mendorongnya, Aris pasti melawan. Kalau Rifa yang mendorongnya, dia malah akan sekalian menghantam mukanya.

Tapi itulah. Karena Vania yang mendorongnya, Aris terpaksa mundur. Dan karena dia mundur, Vania juga buru-buru menepi, Prasetya dapat lewat.

Aris masih menatap lelaki itu dengan berang Kalau dapat bicara, matanya pasti bilang begini, awas ya, kalau berani lewat lagi!

Prasetya membalas tatapan yang penuh kemarahan itu dengan lirikan tajam menantang. Kalau bisa berkata, barangkali matanya juga akan menyahut, sama anak kecil, siapa takut?

Tetapi sesaat sebelum lewat, matanya bertemu dengan sepasang mata yang lain. Mata yang bening. Indah memesona. Dan untuk pertama kalinya Prasetya menyadari, betapa cantiknya wajah yang terhidang di depan matanya.

Wajah yang muda. Segar. Polos. Sangat meman jakan mata Wajah seorang bidadari yang baru selesai mandi di mayapada karena mungkin di kahyangan tidak ada sungai. Kuncup mawar yang baru merekah. Matahari yang baru menyingsing.

Dan untuk seraut wajah sejelita itu, Prasetya tidak merasa rugi menyunggingkan senyum terbaiknya. Senyum paten miliknya. Yang membuat setiap wanita yang melihatnya mabuk kepayang.

Tidak terkecuali Vania. Karena dia juga wanita. Dan masuk kategori normal. Dia juga tidak mampu mengusir daya pikat dalam senyum yang magis itu. Sesaat dia tertegun seperti kena pukau. Dan Aris tambah berang ketika melihatnya.

Tentu saja dia tahu mengapa Vania mendadak terlongong bengong seperti orang hilang ingatan. Senyum maksiat itu!

Memang tak dapat dipungkiri. itu senyum terbaik yang pernah dilihatnya di luar adegan film. Kalau dia bukan lelaki tulen. barangkali nanti malam dia

juga akan mengetuk pintu kabin si angkuh itu! Sekadar ingin melihat senyumnya sekali lagi!

Tetapi karena Aris Romangihut laki-laki sejati luar dan dalam, dia bukannya terpikat malah tersinggung. Pacarnya dianugerahi senyum yang begitu menggoda!

Kurang ajar lelaki sjalan itu! Kurang ajar! Siapa yang memberinya hak untuk tersenyum seperti itu kepada Vania? Berani sekali dia menggoda pacarnya!

Tetapi Prasetya sudah masuk ke kabinnya. Dan ternyata kabinnya di sebelah kabin Aris! Kabin bekas kakek-nenek yang pindah itu!

Hah, lagaknya saja selangit! 'Tidak tahunya cuma menempati kabin sisa yang kakek bungkuk saja sudah tidak mau!

PRAsetyA SANJAYA terenyak di dalam kabinnya. tidak pernah disangkanya dia akan mendapat kabin sekecil ini.

Dan tempat tidur itu! Dua dipan kecil, ah, yang satu mungkin sofa lipat, mengapit sebuah meja mungil di bawah jendela yang ditutupi selembar tirai pendek. Dan ketika Prasetya menyibakkan tirai itu, tiba-tiba saja dia merasa pengap.

Tidak ada jendela di balik tirai itu. Yang ada cuma selembar dinding! Jadi kabin ini tidak punya jendela!

Prasetya duduk dengan lemas di dipannya. Dipan yang hanya pas dengan ukuran tubuhnya yang tinggi besar. Bahkan kalau dia berbaring sedikit merosot ke bawah, kakinya pasti akan menjulur ke luar. Menggelantung di udara.

Sesaat dia berpikir untuk mengangkat telepon. Menghubungi reception. Minta pindah kabin. Kalau perlu, tambah biaya pun oke.

Tetapi... siapa dia? Nama siapa yang akan disebutkannva? Bukankah namanya Sudah terdaftar di

kabin lain? Dia mau pindah ke mana lagi kalau sudah ditempatkan di kabin eksekutif.?

Dan bayangan wanita muda berparas sederhana itu kembali melintas di depan matanya. Wajahnya memang tidak terlalu cantik. Tapi ada sesuatu di balik kesederhanaannya yang menarik. Mungkin itu yang disebut kharisma. Mungkin itu pula yang menggoda majikannya. Karena tampaknya wanita itu tidak genit. Pasti bukan dia yang lebih dulu menggoda.

Dia memang sudah tidak muda lagi. Umurnya pasti tidak di bawah tiga puluh. Baik wajah maupun penampilannya sudah terlihat dewasa. Matang. Jauh berbeda dengan gadis cantik itu... gadis yang ditemuinya di lorong pacar pemuda pemberang itukah dia?

Wajahnya yang muda dan segar menyiratkan usianya yang' pasti masih belasan. Paling-paling dia masih remaja SMU. Tetapi kecantikannya sudah demikian mengusik mata. Pantas saja teman prianya tampak begitu posesif. Ah, benarkah pemuda pemberang itu pacarnya? Tampangnya sih boleh juga. Bodinya juga bagus. Tapi lagaknya selangit. Sok!

Biasalah, anak muda. Apalagi kalau di depan pacarnya. Suka sok jago. Padahal tidak ada apaapanya!

Prasetya tersenyum seorang diri. Diangkatnya kakinya dengan santai. Berlunjur sambil bersandar di tempat tidur mungil itu. Dan tatapannya melayang pada televisi yang sedang menyiarkan latihan bahaya di laut.

Karena bosan melihatnya, Prasetya meraih remote control. Dia mencoba mengganti saluran. Tapi tak ada perubahan. Remote itu seperti macet. Mungkin tusak. Mungkin pula baterainya lemah.

Akhirnya Prasetya mencoba memadamkannya. Ditekannya tombol power berkali-kali. Tapi televisi itu tetap saja menyala. Dengan siaran yang itu-itu juga.

Dengan gemas Prasetya melemparkan remotenya. Ketika TV itu belum padam juga, dia bangkit dengan kesal. Ditariknya kabelnya.

Untung. TV itu padam. Kalau tidak, mungkin Prasetya akan melemparkannya ke kamar mandi.

Celaka dua belas, pikirnya gemas. Begini susahnya menolong orang. Dapat kabin kecil yang pengap. Bahkan TV-nya pun ngadat!

Ketika dia merasa haus, tangannya menggerayang ke bawah meja untuk mencari lemari es. Tapi yang ditemukannya cuma laci kosong berisi kantung plastik binatu.

Akhirnya dia benar-benar putus asa. Lebih baik dia tidur saja. Tapi baru juga dia membaringkan tubuhnya dengan hati-hati di dipan mungil itu supaya tidak terjun ke lantai, dinding di sebelahnya ditinju dengan keras sekali. Dan sebelum dia sadar apa yang terjadi, terdengar dentuman yang lebih keras lagi. Seolah-olah dinding itu ditumbuk benda keras berulang-ulang.

Lalu dia mendengar suara tawa yang keras sekali. Tawa dua orang anak muda yang begitu

bebas seperti di lapangan bola. Dan tiba-tiba saja Prasetya mengerti.

Jadi merekalah tetangganya! Anak-anak muda beranda! yang tadi ditemuinya di lorong di depan kamarnya!

Mula-mula Prasetya mencoba tidak menghiraukannya. Dia tidak ingin ribut dengan anak-anak bawang seperti mereka. Malu.

Tetapi ketika makin lama mereka makin gaduh dan tawa mereka semakin menyakitkan telinga, Prasetya merasa dia tidak dapat tinggal diam lagi. Anak-anak ini benar-benar kurang ajar! Dan mereka seperti sengaja menantangnya!

Tanpa memakai alas kaki, hanya mengenakan celana Bermuda dan T shirt santai, Prasetya membuka pintu kabinnya. Dia melongok ke luar. Dan melihat lorong di depannya kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Tapi keributan tampaknya datang dari kabin di sebelahnya. Dan dia tahu siapa yang berada di sana.

Tanpa ragu sedikit pun Prasetya menggedor pintu kabin itu. Segera kegaduhan di dalam mereda._ Sesaat dia tidak mendengar apa-apa. Sunyi. Lalu pintu terempas terbuka. Dan Aris tegak berkacak pinggang di hadapannya Hanya mengenakan celana pendek, bertelanjang dada.

Mata pemuda itu menatapnya dengan penuh tantangan. Melihat cara pemuda itu menatapnya, Prasetya sadar, Aris sudah tahu maksud kedatangannya. Karena itu dia tidak perlu lagi menjelaskannya. :

"Cuma pengecut yang berani bikin ribut di kamar sendiri," kata Prasetya dingin.

"Cuma bangsat kurang ajar yang berani menggedor kamar orang!" sahut Aris beringas.

"Kalau ingin membuktikan kejagoanmu di depan gadismu, carilah cara lain."

"Sebutkan saja cara dan tempatnya!"

"Apa yang dapat dilakukan anak seumurmu kecuali tawuran?"

"Kalau berkelahi satu lawan satu, kaupikir jantungmu masih cukup kuat?"

"Pernah memegang tongkat biliar?"

"Untuk menyodok bola atau pantat tuamu?"

"Kutunggu nanti malam di Sports Deck. Jangan lupa ajak teman gadismu. Supaya dia tahu kualitas ayam sayurnya Dan bisa memilih lagi sebelum terlambat." ' "Pasti pilihannya bukan kambing bandot tua yang sudah loyo menunggu disate!" * * *

Tapi ternyata baik kambing bandot tua maupun ayam sayur sama-sama memperlihatkan keunggulannya di meja biliar. Mereka sama-sama dapat menyodok bola dengan sempurna sehingga semua bola yang dibidik dapat meluncur masuk lubang dengan mulus. Bukan hanya Vania dan teman-temannya yang mulai mengagumi Prasetya. Aris pun mulai menyadari kualitas lawannya. Ternyata dia bukan cuma

pintar jual aksi. Bukan cuma senyumnya yang maut. Sodokannya juga.

Di pihak lain, Prasetya juga mulai mengagumi Aris. Ternyata anak muda yang satu ini punya kelas. Bukan hanya sok jago di depan pacarnya Biar masih muda, gaya permainannya sudah matang. Pantas saja gadis cantik yang sedang asyik menonton itu mengaguminya.

Bukan hanya sekali dua mereka bertemu pandang. Dan setiap kali mata mereka bertemu, Prasetya selalu menghadiahi Vania senyum terbaiknya. Membuat gadis itu menunduk tersipusipu dengan'paras memerah. Dan membuat Aris yang kerap memergokinya bertambah naik pitam.

Beberapa kali tongkatnya hampir melayang ke dada Prasetya. Beberapa kali Prasetya menyingkirkan ujung tongkat Aris. Dan mereka saling melotot dengan tongkat saling bertumbukan di depan dada.

Vania mengawasi tingkah kedua pria itu dengan cemas. Suatu saat dia yakin, perang pasti meletus. Dia tahu sekali adat Aris. Dia memang baik. Jantan. Selalu bersikap melindungi, Tapi dia juga pemberang.

Dan hari ini tampaknya dia bertemu imbang. Pria rupawan ini. tampangnya memang seperti bisnismen, tapi ternyata dia mampu mengimbangi Aris. Mampu menjawab setiap tantangannya.

Vania begitu terpesona melihat senyumnya. Tatapan matanya. Gayanya. Dia bukan cuma keren. Dia tampak begitu benyibawa. Begitu menguasai. *

"Cab! banget sih dia," ternyata bukan cuma Vania yang panas dingin terjangkit wabah yang disebarkannya.

Kiki juga. Padahal Taufik menjaganya siangmalam. Tentu saja kalau sedang tidak tidur. Dia kan bukan jaga malam. Bukan pula satpam. Berani bayar berapa. Bapaknya si Taufik kan punya minimarket. Biar kecil juga komplet. Sama seperti si Taufik juga. Kecil-kecil komplet.

"Kayaknya kamu sih sudah terlambat, Ki," cetus Tiara sambil menyeringai pahit.

"Dia kelihatannya naksir Vania!"

"Pantas saja si Aris sudah kelojotan kayak disengat tawon!" Atiek tertawa mengikik. Itu memang tawanya yang khas. Untung dia tidak sering tertawa. Apalagi kalau tawanya malam-malam. Di bawah pohon pula. Pasti dia sudah di booking untuk menjadi dubber film mistik. Disuruh tertawa di sepanjang film.

Tapi apa pun ocehan teman-temannya, Vania tidak menyangkal. Di antara dirinya dan pria ganteng itu memang sudah terjalin semacam ikatan batin. Buktinya setiap kali Vania menatapnya, Prasetya juga menoleh ke arahnya. Seperti ada magnet yang menariknya untuk berpaling.

Dan setiap kali mata mereka bertemu, pria itu tersenyum. Persis iklan pasta gigi. Membuat dada Vania semakin berdebar debar tidak keruan. Dan dia hampir lupa menarik napas.

Duh. senyum itu! Entah ada apanya, tapi senyum itu benar-benar membuatnya tergilagila!

Sayangnya. dia bermusuhan dengan Aris. Dan tampaknya. permusuhan mereka tidak main-main!

Mereka benar benar bersaing keras untuk memenangkan pertandingan. Ketika pertandingan semakin memanas, mereka malah hampir terlibat perkelahian. Sehingga pertandingan seru itu terpaksa dibubarkan. Dan mereka diusir keluar ruangan.
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bisa main basket?" tantang Aris ketika mereka melangkah keluar dengan diiringi para suporter yang sama-sama mengagumi permainan mereka.

"Masing masing memasukkan dua puluh bola. Kalau kalah, kepalamu yang kumasukkan ke dalam keranjang!"

"Bisa berenang?" balas Prasetya bersemangat. Tiba-tiba saja dia merasa muda kembali.

"Kalau kalah, kepalamu kubenamkan ke dalam air!"

"Sudah! Sudah!" protes Vania panik. Dia mendengar pembicaraan mereka. Dan dia tahu betapa se riusnya keduanya.

"Kenapa sih kalian jadi begini?"

Mendengar suara gadis itu, Prasetya menoleh ke belakang. Dan untuk kesekian kalinya, tatapan mereka bertemu.

"Boleh mengundangmu makan malam?" tanyanya dengan gaya yang sangat memikat. Santun. Tapi tidak merendah. Mengajak. Tapi seperti memerintah. Inikah yang disebut wibawa? Atau daya tarik seorang pria perkasa yang sudah matang?

Mendengar undangannya, apalagi undangan itu disertai senyumnya yang khas. bukan cuma Vania yang tertegun. Teman-temannya juga. Tetapi ArisIah yang meledak paling dulu.

Bajingan itu berarti mengundang pacarnya makan malam? Sjalan dia! Ini benar-benar sebuah penghinaan!

"Ajak saja istrimu!" bentak Aris sengit sambil merenggut tangan Vania dengan kasar.

"Kalau ada yang mau jadi istrimu!"

"Aris!" sergah Vania, masih terperangah melihat kekasaran pemuda itu.

Tetapi Aris tidak memberinya kesempatan lagi. Dia menyeret Vania pergi. Tetapi pada saat terakhir, Vania masih sempat menoleh. Dan matanya bertemu kembali dengan mata Prasetya. Hanya sesaat memang. Tetapi meskipun hanya sejenak, Prasetya sempat memberinya seuntai senyum.

* * *

Frida merasa bosan di kamar. Tetapi dia memang tidak ingin keluar dari kabinnya. Bajunya tidak ada yang sesuai. Tentu saja sesuai dengan harga kabinnya.

Jadi lebih baik dia mengeram saja di kamar. Menonton televisi. Memandang ke laut bebas me lalui balkon yang terbuka. Atau sekadar berendam di bak mandi sambil memejamkan mata. Berusaha melupakan semuanya.

Duh, enaknya berendam di bak ini. Tangannya tidak henti-hentinya memutar-mutar keran. Sebentar airnya mernancur. Sebentar berputar. Sebentar menyemprot. Kadang kadang malah seperti memijat. Frida tertawa geli.

Lalu dia mulai memainkan tombol putar untuk mengatur temperatur. Sebentar airnya panas. Sebentar lagi dingin. Hiii. nikmatnya!

Frida baru agak kalang kabut ketika busa sabun meluap keluar dari bak karena dia terlalu banyak menuangkan bath foam Karena terburu-buru melompat keluar dari bak, dia tergelincir di lantai yang licin oleh busa sabun. Dia jatuh terduduk. Bukannya mengaduh kesakitan, dia malah tertawa geli. Ini sungguh pengalaman yang sangat menakjubkan!

Tanpa mengacuhkan rasa sakit di panggulnya. Frida mengambil handuk untuk menyerap air yang menggenangi lantai. Kemudian dia merayap kembali ke dalam hak dan membuang sedikit isinya.

Lama Frida berendam dalam lautan busa sabun yang sejuk. Dia merasa nikmat. Merasa mengantuk. Matanya. mulai terpejam dibelai kantuk sebelum mendadak dia tersentak bangun.

Bayangan darah di tangan majikannya tiba-tiba mengusiknya Tubuhnya yang terhantar di lantai sekonyong-konyong melintas lagi di depan matanya. Semakin lama dipikirkan, Frida malah semakin khawatir. Tewaskah dia? Atau hanya sekadar luka?

Sudah melaporkah dia kepada yang berwajib? Sudah dikerahkankah polisi untuk mencari dan menangkapnya?

Frida menghela napas berat. Mengapa nasibnya jelek sekali? Padahal dia kemari hanya untuk meningkatkan karier. Meningkatkan penghasilan.

Agen yang mengurus penempatannya itu pintar sekali membujuknya. Dan yang tertipu bukan hanya Frida saja. Dia sudah melihat beberapa orang teman senasibnya. Mereka juga sudah membayar sejumlah uang. Sudah dikirim ke tempat yang membutuhkan. Entah di mana mereka sekarang dan bagaimana nasibnya.

Ah, mengapa ada orang-orang yang tega mencari uang di atas penderitaan orang lain? Mengapa ada orang yang sampai hati menipu orang yang hidupnya sudah susah?

Dua bulan Frida bekerja siang-malam. Merawat orang sakit bukan pekerjaan yang enteng. Sekarang apa yang diperolehnya? Tidak ada. Dia tidak punya uang satu dolar pun!

Padahal pekerjaannya yang lama sudah ditinggalkan. Dia sudah jenuh bekerja di rumah sakit. Sejak lulus sekolah perawat, dia memang tenis-menerus bekerja di rumah sakit. Dia ingin hidup yang lebih santai. Ingin gaji yang lebih besar. Dan ingin suasana yang baru.

Bukan itu saja. Dia juga ingin meninggalkan Dokter Harsa. Lima tahun berhubungan dengannya, yang dijanjikan hanyalah janji kosong belaka.

Entah sudah berapa ratus kali dalam lima tahun Dokter Harsa berjanji akan menikahinya. Tapi sampai sekarang dia belum menceraikan istrinya juga. Memang lagu lama Tapi masih selalu terdengar. Selama masih ada wanita yang rela dipacari oleh pria yang sudah menikah. Tidak peduli pria itu dokter atau tukang sampah.

Frida merasa dadanya sesak. Bukan hanya sesak.

Perih. Masa depannya terasa gelap. Segelap laut di luar sana.

Tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya sekarang kecuali melakoni hidup ini. Meniti jalan panjang berkelok yang terbentang di hadapannya.

Menyadari dirinya kini sudah tidak punya siapasiapa lagi. Kecuali Paman Sofyan. Paman yang selalu membantunya. Tidak pernah menolak permintaan tolongnya.

Ah, mengapa lelaki sebaik Paman Sofyan belum menikah juga? Tidak adakah seorang wanita yang cukup jeli untuk melihat betapa baiknya sebenarnya Lari Paman Sofyan?

Atau Paman Sofyan sendiri yang tidak ingin menikah? Dia memilih hidup melajang karena mencintai kebebasannya sebagai seorang pelaut?

Adakah lelaki yang seperti itu? Lelaki yang tidak ingin memiliki keluarga.... Dan tidak sadar ingatan Frida kembali kepada lelaki pemilik kabin ini....

Lelaki yang tampan itu tampaknya kariernya sudah cukup mapan. Kalau tidak, mustahil dia bisa menyewa kabin seperti ini!

Di mana istrinya? Di mana anak-anaknya? Mengapa dia bepergian sendirian dalam kabin semewah ini?

"Kabin itu sudah dipesan dari Jakarta oleh sepasang pengantin baru," kata Paman Sofyan tadi siang.

Jadi lelaki itu sudah menikah? Atau dia hampir menikah? Mengapa dia membatalkan pernikahannya? Karena dia mencintai kebebasannya seperti Paman Sofyan?

Ah, bukan urusanku, keluh Frida dalam hati. Urusanku sendiri sudah banyak. Mengapa harus menambah padat isi kepalaku yang sudah berjejaljejal seperti ini?

Sekali lagi Frida menghela napas panjang. Dia keluar dengan lesu dari bak mandi. Padahal seharusnya dia merasa segar. Kegembiraannya lenyap seketika

Frida mengambil kimono mandinya. Memakainya ke kamar tidur. Lalu dia memakai kembali gaun karun yang tadi dipakainya. Gaun sederhana, bahan maupun modelnya. Tapi enak dipakai. Sejuk. Modelnya memang konvensional. Tapi peduli apa? Gaunnya yang lain sudah dibuangnya karena ada percikan darah di sana.

Frida melangkah keluar ke kamar duduk. Angin dingin yang berembus dari arah balkon yang terbuka menyegarkan tubuhnya. Tiba-tiba saja dia merasa lapar.

Dan dia baru ingat. Dari pagi dia belum makan apa-apa. Tapi... apa yang harus dimakannya? Kalau dia memesan makanan... apakah dia harus membayar makanannya?

Frida tidak punya uang. Kalau dia membebankan biaya makanannya kepada Paman Sofyan... itu namanya tidak tahu diri! Bukan saja Paman harus keluar uang. Mungkin juga dia malah dikeluarkan dari pekerjaannya. Dia pasti dicurigai kalau biaya_

penumpang di kabin ini dibebankan ke dalam tagihannya!

Jadi Frida terpaksa menahan lapar sambil duduk berlunjur di sofa menonton televisi. Dan ketukan di pintu menyentakkan keheningan.

Siapa yang mengetuk pintunya malam-malam begini? Paman Sofyan? Pamankah yang membawakan makanan untuknya?

Hampir melompat Frida dari sofa. Dia menghambur ke pintu. Dan membukanya dengan segeta.... Pria yang tegak di depan pintunya itu benarbenar pria terakhir yang dibayangkannya akan muncul di sini lagi.

"Sudah makan?" tanya Prasetya setenang biasa.

"Belum," sahut Frida, masih diliputi kabut keheranan.

"Tapi terima kasih telah menanyakannya."

"Bukan hanya menanyakan," kata Prasetya tanpa perasaan rikuh sedikit pun.

"Saya ingin mengajakmu makan malam."

"Saya?" cetus Frida tidak percaya "Bapak mengundang saya makan malam?"

"Bukan mengundang. Saya mengajakmu makan bersama. Karena di restoran itu semua penumpang boleh makan tanpa perlu membayar lagi."

"Ya Tuhan, bodohnya saya!" Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Frida merasa malu sendiri. Dia sampai hendak menggigit lidahnya karena kelepasan bicara seperti itu!

Prasetya tersenyum. Bukan senyum mencemooh. Senyum yang penuh pengertian. Lebih mirip senyum persahabatan. Senyum yang sangat simpatik. Yang membuat Frida merasa cepat lengket. Dan tidak merasa tersinggung.

"Kamu pasti puasa sejak siang."

"Sejak pagi."

"Menyesal sekali saya terlambat datang."

"Untung Bapak datang sebelum saya pingsan."

"Saya juga beruntung kalau tidak dipanggil Bapak. Rasanya saya sudah tua sekali."

"Saya harus panggil apa? Mas?"

"Nama saya Prasetya."

"Saya Frida."

"Saya tahu. Kamu lupa, ya?"

"Maaf, saya sedang banyak masalah."

"Saya tahu. Saya juga ingin tahu, apakah saya boleh masuk sambil menunggumu tukar baju?"

"Saya harus menukar baju?"

"Ada baju yang lebih cocok?"

"Untuk menemani Mas Pras makan malam?"

"Untuk meyakinkan mereka bahwa kamu salah seorang penyewa kabin paling mahal di kapal ini."

"Saya tidak punya baju sebagus itu."

"Pilih saja bajumu yang paling cocok untuk makan malam."

"Ini satu-satunya baju saya selain seragam perawat."

Prasetya hampir menebah dadanya karena terkejut. Untung dia keburu membatalkannya. Kalau tidak. perempuan ini pasti tersinggung!

"Boleh saya membelikan kamu gaun yang cocok untuk makan malam?"

"Saya tidak punya uang. Mereka menahan semua gaji saya."

"Kalau kamu tidak tersinggung, saya ingin memberikannya kepadamu."

"Saya tidak bisa menerimanya"

"Karena kamu terlalu sombong?"

"Kanena saya tidak boleh menerima hadiah dari orang yang tidak saya kenal."

"Kamu tidak kenal saya?" Prasetya hampir mengutuk. Kamu tinggal di kabin saya! Saya sampai terpaksa harus tinggal di lubang tikus!

"Maafkan saya. Bukan maksud saya menyinggung perasaan Mas Pras. Tapi itu prinsip saya, Mas."

"Saya hargai prinsipmu. Sekarang mari kita makan. Tidak peduli kamu pakai baju perawat sekalipun!"

"Saya pakai sepatu dulu."

"Saya boleh tunggu di dalam?"

"Tentu saja. Silakan masuk."

"Saya boleh duduk sambil nonton TV?"

"Di kabin Mas Pras tidak ada TV?"

'Tidak perlu," Prasetya tersenyum pahit.

"Kabin di sebelah saya ramai seperti kebun binatang."

"Kasihan."

Ya, memang kasihan sekali.

Prasetya menghela napas panjang. Lega rasanya berada di kabin yang luas dan nyaman ini. Dia menjatuhkan dirinya di sofa empuk. Menonton televisi sambil meraih sebotol minuman.

Ah, kalau saja Frida tidak sepuritan itu! Barang,

kali dia bisa minta izin untuk tidur di sini! Bagaimanapun, tidur di sofa ini masih lebih nyaman daripada meringkuk di kabinnya yang sempit!

****

NGAPAIN kamu main mata terus sama dia'!" bentak Aris geram.

"Main mata gimana sih?" gerutu Vania penasaran. Diempaskannya tangan Aris yang mencekalnya dengan kasar.

"Kamu menyakiti tanganku, Ris!"

"Kamu juga menyakiti hatiku, Nia!"

"Memangnya aku kenapa? Kamu yang penasaran tidak bisa mengalahkannya, kenapa aku yang disalahkan?" _ _

"Kamu kira aku tidak lihat kamu main mata sama dia'?"

"Kamu kira aku cewek apaan sih, Ris?" geram Vania tersinggung.

"Main mata sama pria yang namanya saja aku tidak tahu!"

"Tapi kamu senyum-senyum terus sama dia!"

"Dia yang senyum, masa mesti kularang? Bibir ya bibir dia! Apa hakku melarang dia tersenyum?"

"Kamu bukan cuma tidak melarang, Nia! Kamu menanggapi!"

"Bagaimana' sih maumu. Ris? Kalau ada orang

tersenyum padaku, aku harus memejamkan mata. begitu?"

"Aku tidak mau pacarku diajak senyum-senyum lelaki lain! Murahan!"

"Apa katamu?"

"Kamu kuajak naik kapal ini buat menemani aku! Bukan menemani setiap lelaki yang mengajakmu senyum!"

"Kamu yang mengajakku?" Vania berjengit kaget.

"Jadi bukan Kiki yang punya tiket gratis? Dia bohongi aku? Ini semua ulahmu kan, Ris?"

Dengan marah Vania meninggalkan Aris. Dia langsung menuju ke kamarnya. Ingin mencari Kiki. Dia berutang penjelasan kepadanya!

Tapi Kiki tidak ada di sana. Dia mungkin sedang makan bersama Taufik. Atau dia masih betah mengukur lantai dansa di diskotek. Atau di ruang karaoke mengasah pita suara ,

Dengan gemas Vania mencari Kiki di setiap ruangan. Tetapi ketika dia masuk ke ruang makan, dia tertegun.

Vania melihat Prasetya sedang duduk makan bersama seorang wanita. Dan yang membuatnya heran, wanita itu tampak sangat sederhana. Penampilan, sikap, maupun pakaiannya.

Rasanya wanita itu bukan pasangan yang cocok untuk pria selevel Prasetya. Entah dari mana dipungutnya wanita sekelas dia! Barangkali hanya supaya ada yang menamainya makan. Dari dapur pun dicomotnya saja!

Hati Vania jadi bertambah nanas. Lebih-lebih

ketika Prasetya melihatnya. Dan senyumnya tersungging seperti biasa Tetapi kali ini dada Vania tidak berdegup kencang. Senyum Prasetya tidak berani apa-apa kalau dia sedang marah! "Boleh mengajakmu _ makan bersama?" sapa Prasetya ketika dilihatnya Vania datang seorang diri.

"Terima kasih," sahut Vania datar.

"Saya sedang mencari teman saya."

"Teman priamu yang pemberang itu?" senyum Prasetya melebar.

"Mungkin dia sedang latihan basket!" Entah kenapa tiba-tiba saja Vania merasa tersinggung. Dia sedang marah pada Aris. Tapi mendengar pria ini mengejeknya, Vania jadi berbalik kesal pada Prasetya. Tidak pantas dia melecehkan Aris! Tidak pantas! "Aris tidak perlu latihan lagi." sahutnya ketus.

"Dia pemain basket paling top di sekolah kami!"

"Maaf." seperti menyadari kemarahan gadis itu, Prasetya melunakkan suaranya.

"Boleh saya menebus kesalahan saya dengan menawarimu minum?" Ada sesuatu di dalam suara pria itu yang membuat Vania tidak dapat melanjutkan kemarahannya. Pria ini sangat menarik. Dia dapat mempermainkan perasaan wanita seperti memainkan senar gitar.

"Terima kasih," sahut Vania tersendat. Kemarahan sudah lenyap dari suaranya. Hilang entah ke mana.

"Tapi saya harus mencari Kiki."

"Bukan teman gadismu yang mungil itu? Yang punya lesung pipit di pipi kirinya?"

Sesaat Vania terenyak heran. Bukan main lelaki ini! Dia bukan cuma pintar mempermainkan perasaan wanita. Dia juga ahli merekam wajah mereka!

"Kalau benar dia, saya tadi melihatnya di ruang karaoke." Senyum Prasetya melebar. Sama sekali tidak melecehkan.

"Memang seharusnya ke sana dulu baru ke sini. Katanya menyanyi bikin perut lapar."

"Atau malah kenyang berisi angin," sambung Frida sambil tersenyum.

"Gadis yang luar biasa," puji Prasetya setelah Vania pergi.

"Cantik pula," Frida menimpali tanpa perasaan iri.

"Di mana Mas kenal gadis itu?"

"Kabin saya di sebelah kabin mereka. Yah, ramailah seperti di halaman SMU."

"Kasihan. Mas Pras pasti merasa terganggu."

"Tidak juga kalau gadisnya cantik-cantik."

Senyum Frida melebar.

"Pergaulan Mas Pras pasti luas. Mas tahu sekali cara menghadapi gadis-gadis."

"Tidak juga. Buktinya saya belum menikah.

Padahal umur saya sudah tiga enam."

"Mengapa membatalkan pennkahan, Mas?"

"Membatalkan?" Prasetya menatap Frida sambil memiringkan kepalanya.

"Saya dengar Mas menyewa kabin itu untuk berbulan madu."

"Wah. pamanmu pasti sudah menyelidikinya sebelum memberikan kabin itu padamu!"

"Kata Paman, dikiranya Mas tidak jadi memakai kabin itu."

"Ya, tiba-tiba saja saya ingin pulang naik kapal laut."

"Di mana calon istri Mas kalau saya boleh tahu?"

"Boleh saja. Tapi terus terang saya juga tidak tahu. Mestinya hari ini dia menjemput saya di Bandara Soekarno-Hatta."

"Mas sering mempermainkan wanita?"

"Mempermainkankah namanya berbuat seperti itu?"

"Membatalkan pernikahan lalu pulang naik kapal laut tanpa memberitahu bukan sebuah permainan?"

"Saya hanya tidak suka dikejar-kejar."

"Calon istri Mas Pras mendesak untuk dinikahi?

"Beginikah biasanya cara perawat menganalisa pasiennya?"

"Maafkan saya Rasanya saya sudah keterlaluan."

"tidak juga. Cuma rasa ingin tahumu memang melewati batas rata-rata. Mungkin itu ciri khas perawat. Selalu ingin tahu keadaan pasiennya."

"Mas tidak memandang rendah profesi saya, kan?"'

"Tentu saja tidak. Saya malah sangat menghargainya. Kalau tidak, masa saya berani mengajakmu makan malam?"

"Mengapa Mas mengajak saya makan? Mengapa begitu baik pada saya?"

"Saya hanya tidak ingin makan seorang diri. Lagi pula saya tidak membayari makananmu. Apa salahnya makan bersama? Kita sama-sama sendirian."

"Saya memang selalu sendirian."

"Di mana keluargamu?"

"Saya tidak punya keluarga lagi kecuali Paman Sofyan."

"Orangtuamu Sudah meninggal?"

"Ibu masih tinggal bersama adik-adik," Frida mengangkat gelasnya dan menghirup minumannya sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Tapi mereka sudah tidak mau mengenal saya lagi. karena saya kabur dari rumah lima belas tahun yang lalu."

"Pasti bersama pacarmu." Pras tertawa pendek.

"Hm, kamu sama nakalnya dengan saya!"

Tidak, pikir Frida sedih. Kita sangat berbeda. Kamu lari bersama pacarmu. Saya lari dari ayah tiri saya!

"Dalam hidup ini saya memang tidak pernah berhenti berlari," sambung Pras santai. Dia memotong steak-nya. Dan memasukkan sepotong kecil daging ke mulutnya. Gayanya enak sekali dilihat. Demikian pula gaya bicaranya.
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mas Pras lari dari apa?" Diam-diam Frida mengawasi pria di hadapannya dengan perasaan kagum. Alangkah tampannya dia. Semua yang dilakukannya begitu enak dilihat. Begitu serasi. Begitu padu. Begitu memikat.

"Dari wanita-wanita yang menuntut untuk dinikahi," Pras tertawa lagi. Mungkin pengaruh anggur merah yang terlalu banyak diminumnya.

"Makanya jangan mendesak saya untuk menikah."

"Mengapa Mas takut menikah?"

"Tidak tahu. Mungkin karena saya terlalu mencintai kebebasan."

"Dan takut bertanggung jawab'?"

"Mungkin," sahut Prasetya acuh tak acuh.

"Wanita terakhir yang hampir Mas nikahi ini, dia juga mendesak untuk menikah?"

"Monika?"

Monika Dian Sari. Itu nama yang tertera di kartu kunci kabinnya. Jadi itulah wanita yang hampir dinikahi Prasetya.

"Dia sama saja dengan yang lain. Hhh, perempuan. Mengapa mereka selalu mendesak pria untuk menikah? Mengapa mereka lebih menyukai terikat ..daripada bebas seperti burung di udara?"

"Karena wanita menyukai kepastian," sahut Frida tegas.

"Mereka butuh keluarga untuk dirawat dan dicintai."

"Kalau begitu mengapa kamu belum berkeluarga?"

Sesaat Frida tertegun. Tidak mampu menjawab pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu. Dia

bahkan tidak mampu membuka mulutnya.

"Mustahil kamu belum punya pacar. Mengapa belum menikah? Umurmu pasti sudah di atas tiga puluh. Maaf.'apa saya salah menebak?"

"Salah dan benar," sahut Frida datar.

"Saya belum punya pacar. Dan umur saya tiga satu."

"Bohong."

Frida membelalak tersinggung.

"Mas tidak percaya saya baru tiga satu?"

"Saya tidak percaya kamu belum punya pacar!"

Ya sudah. Bukan urusanmu. Aku memang belum punya pacar! Dokter Harsa bukan pacarku. Bukan! Dia suami orang lain! Sekarang, besok, selamalamanya!

Semakin malam, ruang dansa itu semakin ramai. Semakin penuh dipadati pengunjung.

"Dansa?" pinta Prasetya ketika dia membawa Frida masuk ke sana. '

"Maaf. Saya tidak bisa dansa."

"Saya ajari."

"Jangan. Biar saya duduk minum saja."

Ketika Pras mengantar Frida duduk, dia melihat Vania sedang duduk seorang diri. Wajahnya cemberut. Matanya yang bening berkilau mengawasi sepasang muda-mudi yang sedang berdansa di antara belasan pasangan yang juga sedang melantai.

"Boleh mengajakmu berdansa?" pinta Prasetya kepada Vania dengan gaya yang sulit ditolak. Gaya yang enak dilihat. Yang entah mengapa membuat Frida merasa tidak nyaman.

Sebenarnya Vania sedang tidak ingin melakukan apa-apa Dia sedang kesal. Dia sudah menemui Kiki. Menanyakan kebenaran kata-katanya ketika mengajaknya ikut kapal ini.

"Kamu bilang bokapmu dapat undangan gratis kan, Ki!"

"Apa sih bedanya. Nia?" jawab Kiki santai. Dia sedang asyik tarik suara bersama Taufik di ruang

karaoke. Tidak peduli suara mereka malah merusak suara Mariah Carey yang sedang meliuk-liuk di layar.

"Jadi betul si Aris yang belikan aku tiket?" sergah Vania marah.

"Apa bedanya sih? Pokoknya kan gratis!" sahut Kiki tanpa perasaan bersalah.

Tapi tentu saja beda! Kalau Aris yang membelikan tiket, itu berarti dia berutang budi pada Aris! Itu berarti keberadaannya di kapal ini karena Aris! Pantas saja Aris sudah bertingkah seolah-olah dia miliknya!

Lebih kurang ajar lagi. Aris seperti ngambek. Setelah pertengkaran mereka tadi. dia bukannya datang minta maaf. Dia malah menghilang entah ke mana. Tahu-tahu dia sedang asyik berdansa dengan Tiara!

Jadi kalau akhirnya Vania menerima ajakan Prasetya, sebenarnya dia hanya ingin membalaskan sakit hatinya pada Aris!

Dan memang. Aris melotot marah ketika melihat dengan siapa Vania berdansa. Seperti mengerti perasaan Vania. Prasetya sengaja membawa Vania mendekati Aris. Dan ketika mereka sudah berada begitu dekat, Pras sengaja memeluk Vania lebih erat. Lebih romantis. Membuat darah Aris tambah menggelegak.

Tidak sadar dia sudah melepaskan Tiara. Hendak merenggut Vania dari dekapan Prasetya. Tapi Tiara lebih cepat lagi meraihnya.

Terpaksa Aris melanjutkan dansanya bersama

Tiara. Meskipun sebentar-sebentar dia melirik cemburu ke arah Vania. Dan karena dia terlalu sering melirik, ayunan kakinya jadi kacau. Dan dia beberapa kali menginjak kaki Tiara. Membuat gadis itu mendesis dan membelalak marah.

Sambil mengulum senyumnya, Prasetya membawa Vania menjauh. Membuat Aris bertambah curiga dan bertambah seru menoleh-noleh.

"Kamu menyukainya?" bisik Prasetya sambil mengayun tubuh gadis mungil dalam pelukannya.

"Hhh?" Vania mengangkat wajahnya. Matanya yang bening berkilawan menatap Prasetya dengan tatapan polos yang membuat dia tambah memikat.

Alangkah cantiknya gadis ini, pikir Prasetya ketika dia sedang mengagumi sebentuk wajah jelita di hadapannya. Dia begitu muda. Begitu segar. Begitu inosen. Seandainya saja umurku tidak dua kali umurnya.

"Kamu menyukai dia?" Prasetya melirik Aris sambil mengulum senyum.

"Aris?" wajah Vania memerah.

"Dia ganteng, kan?"

"Yang paling ganteng di sekolah."

"Kamu naksir dia?"

Vania tidak menjawab. Dia tampak tersipu-sipu.

"Pasti banyak saingan di sekolahmu."

Vania cuma mengangguk.

'Tapi pasti tidak ada yang secantik kamu."

Sekarang Vania menatap Prasetya. Matanya mengawasi pria itu dengan sungguh-sungguh.

"Saya... cantik'?" gumamnya ragu-ragu.

"Tidak ada yang 'pernah mengatakannya padamu?"

Vania menggeleng.

"Tidak ada yang berani."

"Kalau begitu, biar saya yang mengatakannya." bisik Prasetya dengan suara selembut tatapannya "Kamu cantik. Gadis paling cantik yang pernah saya temui."

Sekujur wajah gadis itu berlumur cahaya. Merah sumringah. Matanya berbinar-binar dibalut kebanggaan yang berbaur dengan rasa haru. Membuat wajahnya tambah merangsang untuk dibelai. Bibirnya tambah menantang untuk dicium.

Prasetya harus menahan dirinya baik-baik. Harus berulang-ulang menanamkan kesadaran itu di benaknya. Gadis ini masih di bawah umur! Dia masih terlampau belia! Umurnya baru separo usianya! Bahkan mungkin lebih muda lagi!

Sebaliknya, Vania juga sedang melayang dibuai perasaannya sendiri. Lelaki tampan ini, pria matang dan macho ini. pria yang dikagumi setiap wanita yang melihatnya, dia mengagumi kecantikannya!

Dan mereka melantai dengan lebih mesra. Lebih penuh perasaan. Membuat Aris yang menyaksikan dari jauh bertambah sakit hati.

Dia melihat bagaimana lelaki sjalan itu memeluk Vania. Membawanya melantai dengan gaya yang sangat menakjubkan. Dia begitu mahir mengayun langkahnya mengikuti alunan musik bercorak apa pun. Dia begitu ahli membuat setiap wanita dalam

pelukannya merasa betah. Merasa tersanjung. Melupakan segala-galanya.

Lihat saja bagaimana terpukaunya Vania. Dia menengadah seperti sedang memandang dewa yang sangat dihormati. Sangat dikagumi. Wajahnya berbinar-binar. Matanya seperti tidak berkedip menatap wajah pria yang begitu dekat menunduk di atas parasnya sendiri.

Aris sudah tidak sabar lagi. Dia melepaskan Tiara. Dan mendesak kerumunan muda-mudi yang menyesakkan lantai dansa untuk mendekati Vania.

"Ke mana. Ris?" tegur Soni yang sedang bergoyang pinggul bersama seorang pria bertubuh tinggi besar.

Aris tidak menjawab. Di depan matanya cuma ada Vania. Persetan yang lain!

"Jangan. Ris!" cegah Soni ketika dia melihat pasangan mana yang hendak dibongkar Aris.

"Kamu bisa diusir lagi nanti! Tukar partner saja deh! Tuh, ceweknya lagi minum! Kenapa nggak kamu ajak dansa juga?"

Aris menoleh. Dan dia melihat Frida. Sedang minum seorang diri.

Wajahnya muram. Bibirnya terkatup rapat. Matanya mengawasi Prasetya dengan redup.

Sama nenek itu. pikir Aris bingung. Tapi mengapa tidak? Kalau itu bisa menyinggung harga diri lelaki sjalan itu! Dia ngaduk kaplingku. aku garap lahannya!

Terhuyung-huyung Aris mendesak ke depan. Maju menghampiri meja Frida. Dan sebelum wanita

itu tahu apa yang terjadi, Aris telah menarik lengannya. Agak terlalu kasar sampai Frida sempeyongan setengah berdiri dari kursinya.

"Eh!" cetus Frida kaget.

"Kamu mabuk ya. Buyung?"

"Namaku Aris! Bukan Buyung! Dan aku mengajakmu dansa!"

"Tidak!" protes'Frida sambil melepaskan tangan Aris dan duduk kembali dengan kesal.

"Aku tidak bisa dansa! Cari saja gadis yang seumurmu, Buyung!"

"Gadis yang seumurku lagi digarap oleh pacarmu!" Aris menjatuhkan dirinya di kursi di samping Frida. Dia menunjuk ke arah Prasetya dengan marah.

"Lihat? Pacarmu yang tidak tahu diri itu sedang menggoda pacarku!"

"Jadi kamu hendak balas dendam dengan mengajakku dansa? Aku sudah terlalu tua untuk permainan seperti itu! Main saja sendiri. Buyung!"

"Sekali lagi kamu panggil aku Buyung, kusiram mukamu!" geram Aris jengkel.

"Terbuat dari apa sih hatimu? Kok kamu nggak marah sih pacarmu dansa sama cewek lain di depan matamu?"

"Kenapa aku harus marah?"

"Kamu tidak cemburu?"

"Tentu saja tidak. Cemburu artinya kamu tidak percaya pada kesetiaan gadismu. Tidak percaya pula pada kemampuan dirimu mempertahankannya."

Tentu saja tidak. Karena yang penting, dia bukan pacarku! Punya hak apa aku untuk cemburu?

Sesaat Aris terenyak diam. Ditatapnya wanita

sederhana di hadapannya dengan tatapan tidak percaya.

Petempuan yang sudah tidak muda lagi ini, perempuan dengan penampilan yang sangat sederhana, mampu berkata seperti itu? Tinggi benar kepercayaan dirinya!

"Kok Mbak pede banget sih?" cetus Aris heran. Kemarahannya sudah merosot sampai ke titik nol.

"Padahal Mbak kan nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan Vania!"

"Maksudmu gadismu yang sedang berdansa itu?" sergah Frida tersinggung. Tentu saja dia tahu, dia tidak cantik. Tapi belum pernah ada yang berani mengatakannya di depan mukanya! Dasar anak muda! Mulutnya tidak ada remnya!

"Yang mana lagi? Yang paling cantik di ruangan ini!" Ketika mengucapkan kata-kata itu. tersirat perasaan bangga dalam suara Aris.

"Tapi umurnya baru separo umurku. Dia masih anak-anak! Bukan saingan berat."

"Vania sudah tujuh belas! Dia sudah dapat haid!"

"Mas Pras terlalu tua untuknya. Dan dia terlalu pintar untuk serius dengan gadis seumur pacarmu. Jadi jangan khawatir. Tunggu saja. Sebentar lagi, milikmu pasti dikembalikan!"

"Aku belum pernah bertemu dengan perempuan seperti Mbak!" cetus Aris kagum.

"Mbak tidak cantik. Tapi Mbak'punya sesuatu yang lain!"

"Aku tidak punya apa-apa, pandir! Jangan memujiku supaya aku tidak lupa siapa diriku!"

"Aku tambah ingin mengajak Mbak dansa!"

"'Bagaimana kalau kamu belikan saja aku minuman?"

"Mbak mau minum apa?"

"Apa yang boleh diminum oleh anak di bawah umur seperti kamu?",

DENGAN sudut matanya, Prasetya sudah melihat Frida sedang mengobrol dengan santainya bersama Aris. Sebentar-sebentar mereka tertawa lalu meneguk minumannya.

"Dia memang hebat," gumam Prasetya sambil tersenyum.

"Dia bisa menjinakkan macanmu yang galak itu."

Vania menoleh. Dia memandang ke arah Aris. Dan wajahnya berubah murung.

"Aris memang seperti itu," keluhnya pahit.

"Sebetulnya dia baik. Selalu ingin membantu. Melindungi. Tapi adatnya jelek. Kasar. Pemberang. Gampang marah. Apa memang begitu adat anak muda, Oom?"

"Tidak semua. Waktu muda. saya tidak seperti dia."

"Bagaimana saya dapat mengubah sifatnya?"

"Mengapa kamu ingin mengubahnya?"

"Karena saya ingin dia berubah menjadi lebih baik. Lebih sabar."

"Kamu benar-benar menyukainya, ya?"

"Kok Oom tahu?"

"Wajah dan suaramu berkata begitu."

"Betul? Apakah air muka saya begitu gampang dibaca?"

"Wajahmu polos seperti halaman buku yang terbuka."

"Ah," Vania menunduk tersipu-nipu.

Diam-diam Prasetya mengeluh dalam hati. Gadis ini begitu cantik. Begitu polos. Begitu menantang untuk dimiliki.

Tapi pada saat terakhir dia sadar, gadis ini bukan ditakdirkan untuknya. Gadis ini masih terlalu muda. Dia punya dunia yang berbeda. Dunianya sendiri. Dunianya bersama anak muda itu. Si pemberang.

"Suatu hari dia akan berubah," cetus Prasetya sabar.

"Dan kalau dia berubah, saya percaya, kamulah yang mengubahnya."

"Saya? Bagaimana saya dapat mengubah sifat kris yang jelek itu?"

"Dengan kesabaran dan kelembutanmu," sahut Prasetya lunak.

"Dengan kedewasaan yang akan segera menjenguk kalian."

"Tapi hubungan kami sudah putus!"

"Siapa bilang?"

"Aris marah pada saya. Dia ngambek. Tidak mau mendekati saya lagi. Dia kini mengejar Tiara."

"Temanmu yang pakai kacamata itu? Yang benar baja! Dia kan cuma ingin memancing kecemburuanmu!"

"Betul?" mata Vania berkedip-kedip tidak percaya. Ditatapnya pria di hadapannya dengan ragu.

"Aris menyukaimu. Karena itu dia tambah marah pada saya!"

"Kenapa?"

"Kenapa? Tentu saja karena cemburu! Dia tidak bisa cemburu kalau tidak mencintaimu, kan?"

"Cinta?" wajah Vania bersemu merah. Matanya menatap jengah.

"Ah, kami belum... belum... sampai. .. sejauh itu. . . ."

Ya Tuhan, lugunya gadis ini! Dan Prasetya bertambah yakin. gadis ini memang bukan disediakan untuknya.

Dengan lembut dia membawa gadis itu keluar dari ruang dansa yang semakin malam semakin penuh sesak. Musik yang semakin panas seolah mengajak seluruh pengunjung untuk ikut bergoyang bersama penyanyi di panggung itu. Sementara di bar, busa alkohol semakin melimpah memabukkan.

Dengan sudut matanya Prasetya melirik Frida. Dia sedang memegang gelasnya sambil tertawa lepas. Di depannya tegak anak muda itu. Aris. Pacar Vania .Tampaknya dia juga sedang bergembira. Entah cerita apa yang sedang diceritakannya.

Tapi yang jelas cerita itu pasti sangat menarik hati Frida. Kalau tidak, pasti tawanya tidak sebebas itu. Atau Aris mencampurkan sesuatu ke dalam minumannya?

"Kamu harus hati-hati menjaga dirimu, Nia," kata Prasetya ketika dia sedang bersandar berdua saja dengan Vania di geladak kapal.

Memandang ke laut bebas yang gelap gulita di

cengkeram kebengisan badai yang mulai mengusik malam. Ombak yang mulai mengganas menampar lambung kapal sementara angin yang bertiup kencang mengusutmasaikan rambut Vania.

"Jangan percaya pada janji laki-laki. Karena lebih banyak yang tidak ditepati daripada yang dipatuhi."

Prasetya sendiri tidak tahu mengapa dia mengatakannya. Inilah pertama kali dia menasihati seorang gadis, seolah-olah gadis itu putrinya sendiri.

"Maksud Oom... Aris?" tanya Vania bimbang. Ditatapnya pria di hadapannya dengan tatapan lugu.

Pria yang sangat dikaguminya. Yang pada suatu saat dapat bersikap seperti seorang kekasih yang romantis. Tapi di saat lain dapat bersikap seperti seorang ayah yang bijak.

"Bukan cuma dia." Prasetya menghela napas panjang. Tapi memang terhadap pemuda seperti dia kamu harus ekstra hati-hati! Dia terlalu berbahaya karena terlalu menarik "Kamu masih terlampau lugu. Dan kamu sangat cantik. Kamu ibarat bunga yang baru mekar. Banyak kumbang yang ingin mengisap madumu."

"Oom selalu berkata begini kepada setiap teman gadis Oom?"

"Tentu saja tidak. Hanya kepadamu."

"Kenapa?"

"Kenapa?" Prasetya berpikir sebentar.

"Karena kamu istimewa!"


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Perang Bangsa Naga War Of Dragons Karya Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu

Cari Blog Ini