Ceritasilat Novel Online

Jangan Renggut Matahariku 2

Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W Bagian 2



Vania senyum tersipu. Pipinya memerah segar. Menambah-gemas setiap pria yang melihatnya.

"Oom juga istimewa. Kenapa Oom belum berkeluarga?"

Prasetya balas tersenyum. Tipis.

"Karena Oom istimewa." katanya separo bergurau.

"Dan lelaki istimewa mesti mendapatkan gadis yang istimewa pula!"

Mereka sama-sama tertawa cerah. Dan samasama merasa tertarik. Sama-sama merasa ada seutas benang tipis yang menghubungkan hati mereka. Membuat mereka merasa lebih dekat. Lebih saling mengerti.

Lalu kapal mendadak oleng. Diterpa badai yang semakin mengajuk laut. Vania terhuyung hampir jatuh. Refleks Prasetya menangkap tubuhnya. Dan untuk sekejap. tubuh gadis itu berada dalam pelukan hangatnya.

Sekejap mereka sama-sama terlena. Sekejap dada Prasetya bergemuruh dilanda gairah yang membeludak Lalu di detik lain Prasetya sadar, dia harus cepat-cepat menyingkirkan gadis ini. Sebelum sisi jahat dalam dirinya berhasil menaklukkan sisi baiknya. Karena gadis ini terlalu menarik! Dia terlalu berbahaya kalau dibiarkan terus berada di dekatnya!

"Mari kuantar ke kabinmu." cetusnya sambil melepaskan pelukannya.

"Malam sudah larut. Dan tampaknya cuaca sangat tidak bersahabat. Malam ini mungkin ada badai. Kamu punya obat untuk mabuk laut?"

Vania cuma mengangguk. Dia sendiri masih terpukau. Masih dilihat pesona akibat pelukan yang tidak disangka-sangka itu.

Belum pernah ada seorang pria pun yang memeluknya .Belum pernah ada yang berani. Tennasuk Aris. Tapi malam ini dia merasakan pelukan seorang laki-laki. Pelukan yang sangat berbeda dari pelukan ibunya. Pelukan seorang ayah belum pernah dirasakannya Karena ayahnya sudah keburu meninggal sebelum Vania lahir.

Tapi kalaupun Vania sempat merasakan pelukan ayahnya, pelukan itu pasti berbeda dengan pelukan Prasetya. Pelukan itu terasa begitu menggetarkan sukma. Nikmatnya membuat ketagihan. Pelukan yang sangat menguasai. Pelukan seorang jantan.

Vania tersipu-sipu disergap rasa malu. Sekaligus bahagia. Dadanya berdebar hangat. Sementara pipinya terasa panas. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya. Dia tidak rela kalau lelaki ini sampai tahu! Karena dia merasa malu!

Prasetya sendiri tidak berkata apa-apa lagi. Dia sudah kembali menguasai dirinya. Sikapnya sudah kembali seperti semula Tenang. Tak terusik. Wajar. Dia mengantarkan Vania ke kamarnya. Membukakan pintu untuknya dengan sopan. Lalu dengan gaya yang sangat menawan, mengembalikan kunci itu ke tangan Vania.

Vania merasa diperlakukan seperti seorang wanita terhormat. Wanita dewasa. Dan dia merasa tersanjung.

"Di mana teman sekamarmu?" tanya Pras ketika sekilas dia melihat kamar Vania masih gelap.

"Kiki senang sekali karaoke," sahut Vania sambil memaksakan sepotong senyum.

"Mungkin dia

masih di atas dengan Taufik. Kalau Tiara mungkin di diskotek. Atiek nggak tahu di mana. Mungkin shopping."

"Tidak takut sendirian di kamar?"

Pertanyaan apa pula itu! Pras jadi terkejut sendiri. Tapi sungguh mati. Dia tidak punya maksud apa-apa. Lebih bersikap melindungi daripada menggoda '

Untung Vania tidak mengerti. Dia masih terlalu inosen. Masih terlalu hijau untuk menangkap pertanyaan bersayap semacam itu. Lagi pula dia sangat mengagumi Prasetya. Tak pernah terlintas di kepalanya, pria yang dikaguminya itu hendak menggodanya.

"Saya tidur saja. Sudah ngantuk. Kalau tidur. saya lupa segalanya. Hantu pun tidak bisa membangunkan saya."

"Jadi bagaimana cara ibumu membangunkanmu?" Pras tertawa lunak.

Digenggamnya tangan gadis itu. Setelah ragu sesaat, dibawanya dengan sopan ke bibirnya. Dan dikecupnya dengan lembut. Padahal sesaat tadi dia ingin sekali mencium bibir gadis itu.

Bibirnya sangat ranum menantang. Suasana sepi pun sangat menunjang. Tapi pada saat terakhir, Prasetya membatalkannya. Dia tidak sampai hati.

Kalau gadis ini harus menerima ciuman pertama. ciuman itu harus datang dari seorang pemuda seperti Aris. Karena ciuman pertama bagi seorang gadis remaja sangat berkesan. Dan akan terkenang sampai seumur hidupnya.

"Selamat malam," gumam Prasetya lembut.

"Tidur yang nyenyak."

"Terima kasih, Oom." sahut Vania dengan perasaan terbuai.

"Untuk segalanya. Untuk semua yang Oom lakukan bagi saya."

Seharusnya kamu berterima kasih untuk sesuatu yang tidak kulakukan, keluh Prasetya dalam hati ketika dia sedang meninggalkan lorong di depan kabin Vania. Karena aku tidak sebaik yang kamu kira!

Dan sesaat sebelum masuk ke dalam lift, entah mengapa tiba-tiba saja Prasetya teringat kepada semua wanita' yang pernah dipacarinya. Dan dia merasa menyesal.

Vania langsung melompat ke atas tempat tidurnya. Memeluk bantalnya Mendekapnya erat-erat dengan berbagai perasaan.

Dia merasa sangat bahagia. Bangga. Tersanjung. Perlakuan Prasetya seolah-olah melambungkannya ke angkasa. Dia merasa seperti terbuai dalam pelukan awan. Semuanya begitu menakjubkan.

Malam ini tiba-tiba saja dia merasa seperti wanita dewasa. Disanjung dan diperlakukan begitu romantis oleh seorang pria yang sangat mengagumkan!

Prasetya memang tidak melakukan sesuatu yang berlebihan. Apalagi yang kurang ajar. Tapi justru karena itu Vania merasa lebih lagi menghargainya. Kalau malam ini dia memperoleh kedewasaannya. itu semua karena Prasetya! Dia yang telah mengubahnya dari seorang gadis remaja yang lugu menjadi seorang wanita dewasa!

Mama, desahnya sambil memeluk bantalnya eraterat. Tahukah Mama betapa bahagianya aku malam ini? Ada seorang pria yang begitu tampan memuja dan mengagumiku. Ma! Perasaanku begitu melambung sampai jantungku rasanya tidak mau berdenyut dengan irama yang biasa lagi!

Lalu bagai di alam mimpi. Vania bangkit perlahan dari tempat tidurnya. Sambil masih memeluk bantalnya, dia berputar-putar di kabinnya yang sempit dalam alanan maya sebuah waltz.

Dipejamkannya matanya. Ditengadahkannya kepalanya. Dibukanya bibirnya sedikit. Seolah-olah menantikan sebuah kecupan.

* * *

Ketika Prasetya kembali ke ruang dansa, dilihatnya Frida masih mengobrol dengan Aris. Sebentarsebentar dia tertawa. Tawanya begitu bebas. Lepas tanpa beban.

Menurut pengalaman Prasetya, anggurlah yang dapat membuat seorang wanita sesederhana Frida dapat tertawa sebebas itu. Dan kalau dia tidak triliu son drink-nya sudah dicampur alkohol, atau lebih celaka lagi, dicampur obat, Prasetya ingin sekali menghajar Aris.

Kalau dikiranya dia dapat membalas dendam kepadanya melalui Frida, dia akan menyesal!

Tetapi ketika Prasetya sampai di dekat mereka, dia sendiri terperanjat. Aris tidak tampak mengganggu. Tidak terlihat kurang ajar. Dia malah tampak begitu respek pada Frida. Mereka mengobrol begitu bebasnya seolah-olah dua orang teman lama. Kelihatannya. Aris malah lebih cocok dengan Frida daripada dengan Vania!

Prasetya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan heran. Mereka berasal dari dua generasi yang berbeda. Tetapi tampaknya, tidak ada jurang yang terlalu terjal untuk dijembatani.

Prasetya jadi betah duduk di sana. Ikut menemani mereka mengobrol sambil minum. Dan sikap Aris sungguh-sungguh telah berubah. Dia tampak lebih santai. Dan dia mendengarkan cerita Frida dengan kritis tapi simpatik. Kadang-kadang dia menyelingi dengan celetukan yang spontan dan jenaka.

Prasetya baru bertindak ketika dilihatnya cerita Frida hampir melewati batas. Begitu bebasnya dia bercerita sampai hampir kelepasan membuka penyamarannya sendiri. Ketika dia mulai memasuki area yang berbahaya itu, kisah tragisnya dengan majikannya. Pras buru-buru meraih gelas Frida.

"Kamu sudah saatnya istirahat." katanya sambil meletakkan gelas itu di meja.

"Kalau sudah ngantuk berat. bicaramu suka kacau."

"Dia belum mau tidur!" protes Aris penasaran. Amarahnya timbul lagi. Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Prasetya. Mengapa lelaki yang satu ini sok dominan sekali? Apakah memang begitu

sifatnya? Di luar kelihatan gallan! terhadap wanita, di dalam posesif? "Dia kan bukan anak kecil lagi! Tidak perlu disuruh cuci tangan, cuci kaki, sikat gigi lalu bobok!"

"Bikin saja PR-mu," sahut Prasetya tenang tapi dalam nada melecehkan.

Tanpa menunggu persetujuan Frida lagi. dirangkulnya bahu wanita itu lalu dibawanya keluar ruangan.

Frida tidak melawan. Dia ikut saja ke mana Prasetya membawanya. Dia hanya merasa sulit melangkah dengan benar.

"Mengapa saya jadi begini?" gumamnya sambil melangkah limbung.

"Apa saya mabuk laut? Kapalnya goyang, ya?"

"Kapalnya memang goyang," sahut Prasetya sabar. Dan kamu mabuk. Tapi bukan mabuk laut! Kamu mabuk akibat minumanmu. Karena kamu tidak biasa minum!

Ketika Frida hampir jatuh tersungkur di lorong yang menuju ke kabinnya, Prasetya merengkuh tubuhnya ke dalam gendongannya.

Frida tidak melawan. Dia merasa mabuk. Merasa berbeda. Tetapi dia masih sadar penuh. Dia tahu apa yang sedang terjadi. Tetapi dia diam saja.

Dibiarkannya saja pria itu menggendongnya ke dalam kabinnya. Heran. Tiba-tiba saja dia kehilangan rasa malunya. Dia merasa lebih bebas. Lebih santai. Dia malah merasa tersanjung. Merasa dimanjakan oleh seorang pria yang diam-diam dikaguminya.

Saat itu lampu di dalam kabin belum dinyalakan. Tetapi ada cahaya lemah lapat-lapat menerobos dari bawah pintu kamar. Rupanya Frida lupa memadamkan lampu. Dan cahaya itu membuat ruangan duduk tempat mereka berada menjadi remang-remang.

Prasetya meletakkan tubuh Frida dengan lembut di atas sofa. Lalu dia melakukan sesuatu yang tidak diduga. Dia mencium bibir Frida.

Frida memejamkan matanya. Merasakan kehangatan yang mengalir dari bibir ke hatinya Dan' sesaat dia lupa di mana dia berada. Dengan siapa dia di sana.

"Mas Har..." bisiknya setengah mengerang.

Sesaat Prasetya tertegun. Tapi hanya sesaat. Karena di detik lain. bayangan Vania yang cantik sudah kembali memenuhi imajinasinya. Dan dia mengulum bibir Frida sedemikian mesranya sampai Frida mendesah nikmat.

Belum pernah dia merasakan ciuman sepanas itu. Bahkan dari Dokter Harsa sekalipun. Belum pernah dia menghayati ciuman yang begitu memabukkan. Rasanya begitu nikmat. Begitu memukau. Seperti menghelanya ke alam mimpi yang indah memesona. Membuatnya melupakan segala-galanya.

Alkohol yang dicampurkan Aris ke dalam minuman ringannya membuat Frida terbuai. Membuatnya terlena. Dan cumbuan Prasetya begitu memabukkan. Begitu sulit ditolak.

Dia begitu ahli mencumbu wanita. Begitu mahir

membuat setiap wanita terjebak dalam kenikmatan sesaat.

Lalu angin yang menderu kencang menampar daun pintu balkon. Pintu terempas tertutup. Menyentakkan kesadaran Frida. Membangunkannya dari mimpi yang indah tapi fana.

Dan dia terperanjat ketika menyadari dirinya sudah berada dalam dekapan hangat seorang pria yang tidak dikenalnya. Pria yang baru ditemuinya tadi siang!

Pria asing itu kini yang sedang menindihi tubuhnya Melumatkan bibirnya. Mengambil kehormatannya. Memiliki dirinya.

"Mas Pras!" desah Frida dengan perasaan menyesal ketika dia berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Prasetya. Didorongnya tubuh laki-laki itu dengan perasaan bersalah.

Dia telah melakukan sesuatu yang belum boleh dilakukannya! Lima tahun dia telah berjuang untuk menghindarkan perbuatan seperti ini bersama Dokter Hama. Entah sudah berapa belas kali Dokter Harsa memintanya. Merayunya. Mencumhunya. Tetapi Frida selalu menolak. Dan dia selalu berhasil menjaga kehormatannya.

Mengapa sekarang dia begitu lemah? Mengapa dia begitu mudah menyerahkan kehormatannya kepada lelaki yang baru saja dikenalnya? Apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya?

Pria ini memang sangat menarik. Daya tariknya sangat kuat. Boleh dikatakan jauh lebih kuat daripada Dokter Harsa. Tapi lelaki ini bukan suaminya!

Dia tidak berhak mengambil sesuatu yang belum jadi miliknya!

Sementara itu Prasetya juga sedang terguncang. Dorongan itu menyadarkan dirinya, dia telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Kesalahan yang sangat disesalinya.

Tiba-tiba saja bayangan Vania lenyap. Sebagai gantinya dia melihat seorang wanita berwajah sederhana.

Wanita itu sedang mengawasinya dengan air mata berlinang. Tatapannya sama sekali tidak memancarkan kemarahan. Tetapi di balik mata yang redup itu, Prasetya menemukan sekerat penyesalan.

Dia telah merusak masa depan wanita ini. Dia lupa, wanita ini bukan tipe wanita-wanita yang biasa dipermainkannya. Wanita ini berbeda. Dan karena dia berbeda, Prasetya tidak sampai hati merusaknya.

Yang lebih disesalinya lagi, ketika bercumbu, dia telah membayangkan perempuan lain. Dia membayangkan Vania.'Dia telah meniduri wanita ini dengan bayangan seorang gadis lain dalam imajinasinya!

Sungguh kejam! Tidak pantas dia berbuat seperti itu!

Wanita ini melarikan diri dari majikan yang hendak memperkosanya. Dia berlindung di kapal ini. Tapi justru di kapal ini kehormatannya telah dirusak oleh seorang lelaki lain! Lelaki yang bahkan baru sehari dikenalnya! Lelaki yang tidak pernah bermaksud memilikinya karena lelaki itu sebenarnya menginginkan perempuan lain!

"Maaf," gumam Prasetya sambil meluncur turun dari atas tubuh Frida.

"Rupanya laut memang memabukkan. Suasana romantis yang dihidangkannya bisa membuat orang lupa segala-galanya."

Tentu saja Prasetya tidak mengatakan. yang membuatnya lupa bukan laut. Tapi kecantikan Vania.

"Kamu tidak menyesal, kan?" sambung Prasetya setelah dia mampu menguasai dirinya.

"Kita melakukannya atas dasar saling menyukai. Dan kita sudah sama-sama dewasa."

Lama sesudah pria itu meninggalkan kabinnya, Frida masih tercenung di atas sofa. Bibirnya seperti masih merasakan ciuman yang memabukkan itu. Itu pasti ciuman paling hebat yang pernah dirasakannya.

Bagaimana seorang laki-laki dapat mempersembahkan ciuman yang begitu mengesankan? Sudah biasakah Prasetya melakukannya?

Pantas saja begitu banyak wanita yang tergilagiia padanya. Wanita yang mendesak untuk dinikahi.

Tetapi tidak ada seorang pun' yang berhasil menjinakkan kuda liar itu. Tidak seorang wanita pun berhasil melingkarkan laso di lehernya, menyeretnya, dan mengurungnya di dalam kandang.

"Saya mencintai kebebasan." katanya tadi. Begitu besarkah obsesinya pada kebebasan sampai dia rela kehilangan wanita yang dicintainya? Atau...

belum adakah seorang wanita yang benar-benar dicintainya?

"Kamu tidak menyesal, kan?" hanya itu katakatanya sebelum meninggalkan Frida.

"Kita melakukannya atas dasar saling menyukai. Dan kita sudah sama sama dewasa."

Selesai. Hanya sekian. Hanya sebegitu sajakah nilai kehormatannya? '

Tak terasa air mata Frida meleleh. Ya. dia memang tidak menyesal. Dia telah mengalami nuansa yang sangat indah. Kenikmatan yang tak terbayangkan. Walaupun cuma sesaat, dia telah merasakan dicintai oleh laki-laki yang dikaguminya.

Dia hanya menyesal karena mereka melakukannya terlampau cepat. Mereka melakukan sesuatu yang belum boleh mereka lakukan, meskipun seandainya mereka melakukannya atas nama cinta.

Cinta. Tiba-tiba saja sepotong kata sakti itu menyeruak ke benak Frida. Cintakah yang mendasari perbuatan mereka tadi? Mungkinkah cinta tumbuh dalam sehari?

Seandainya pun dia sudah jatuh cinta pada lelaki itu, cukup berhargakah cintanya bagi Prasetya?

Tampaknya pria itu sudah biasa mempermainkan wanita. Di hatinya tidak ada cinta. Cintanya hanya untuk kebebasan.

"Kita melakukannya atas dasar saling menyukai."

Hanya itu. Karena memang hanya sekian pernahamannya atas perbuatan mereka tadi.

Frida bangkit dengan lemah dari sofa. Disekanya air mata yang meleleh ke pipinya. Ketika hendak melangkah, dia melihat benda itu. Dompet kulit milik Prasetya

nama Prasetya.

tiba di dek olahraga, Aris dan teman-teman prianya sudah berkumpul di sana. Karena sudah pukul satu malam. dek paling atas itu sudah sepi.

"Hebat! Dia berani muncul!" cetus Taufik ketika melihat kedatangan Prasetya.

Badai yang masih berlangsung di luar kadangkadang menggoyang-goyangkan badan kapal itu. Sekali-sekali menerbitkan bunyi berderak-derak yang mengerikan. Kalau kapal sedang oleng, mereka agak sulit berdiri tegak. Tetapi tampaknya tidak ada yang peduli.

"Heran, pinggangnya belum patah juga!" Aris tertawa mengejek sambil berputar-putar di atas kursi roda di ruang basket.

"Buat orang setua dia tenaganya boleh juga! Dia minum obat kuat apa, ya?"

"Kita mau main basket atau ngadu mulut seperti perempuan?" sindir Prasetya setenang biasa.

"Melawan orang setua kamu, aku cukup duduk di kursi roda." Aris melemparkan bolanya ke muka Prasetya.

Dengan tangkas Prasetya menangkapnya, meskipun arahnya sudah agak melenceng karena kapal pas oleng sedikit.

Prasetya tersenyum dingin. Lihat saja nanti, gerutunya dalam hati.

Dan ketika melihat Prasetya mampu memasukkan lima belas kali dari dua puluh bola yang dimilikinya, tawa Aris lenyap. Kalau dia berhasil memasukkan bola dalam situasi kapal tidak stabil begini. Aris tidak boleh main-main.

Sjalan, si tua ini boleh juga, geramnya dalam hati. Aku harus ekstra hati-hati. Kalau tidak mau dipermalukan. . ..

Taufik dan Soni pun sudah kehilangan senda guraunya. Mereka mulai terlihat cemas. Sebaliknya Rifa tertawa mengejek.

"Jangan bangun. Ris!" celotehnya sinis.

"Duduk saja di kursi rodamu! Nanti jatuh!"

Aris bangkit dengan berang hendak memukul Rifa. Sudah lama memang dia mendendam pada cowok yang satu ini. Dia terlalu dekat pada Vania! Mentang-mentang rumahnya di sebelahnya!

Rifa juga sudah pasang kuda-kuda. Siap menjaga serangan Aris dan mengirim serangan balasan.

Gara-gara Aris, si Vania jadi segan diajak pulang sekolah bersama-sama. Padahal sejak kecil. mereka kan selalu pulang-pergi bareng. Namanya juga tetangga. Waktu kecil sih untuk ngirit ongkos. Tapi

sekarang tentu alasannya berbeda. Si Vania kan bukan cewek matre. Dia bisa tersinggung kalau diajak boncengan motor hanya untuk menghemat biaya.

Tetapi sesaat sebelum kedua pemuda itu terlibat adu jotos. Prasetya melemparkan bolanya ke punggung Aris. Buk. Bunyinya cukup keras ketika bola itu dengan telak menghantam punggungnya.

Kaget dan sakit Aris berbalik dengan marah. Tetapi Prasetya hanya menyeringai dingin.

"Mau WO? Atau mau latihan dulu? Kalau sudah. bilang. Kutunggu di bar."

Tanpa berkata apa-apa, sambil mengatupkan ra hangnya menahan marah. Aris mendribel bolanya dan melemparkannya ke jaring. Dengan manis sekali bola itu meluncur masuk.

Hebat, pikir Prasetya kagum. Bocah ini punya bakat.

Dan kekagumannya memang beralasan. Aris mampu memasukkan lima belas bola dengan mulus. Ketika bola yang kedua puluh meluncur masuk pula, Aris melompat ke udara sambil mengacungkan tinjunya tinggi-tinggi.

"Yes!" dia berteriak antara gembira dan lega.

"Boleh juga," Prasetya tersenyum sportif.

"Kalau napasmu masih cukup. kutunggu di kolam renang. Atau kamu mau minum susu dulu?"

"Betul kamu belum mau menyerah juga?" ejek Aris dalam nada kemenangan.

"Tidak takut rematikmu kumat berenang malam-malam begini?"

Dan pertandingan di kolam renang yang terletak satu dek lebih bawah, berlangsung lebih seru lagi. Dalam lima puluh meter pertama, kecepatan mereka

relatif sama sehingga kalau ditebarkan sehelai permadani, keduanya akan sama-sama terselubungi.

Dalam lima puluh meter kedua. mereka saling susul-menyusul. Begitu sengit dan tegangnya pertarungan, sampai para suporter yang bersorak di pinggir kolam hampir kehabisan suara saking serunya berteriak-teriak memberi semangat.

Baru pada saat-saat terakhir Prasetya berhasil melewati Aris. Dan dengan satu kali kayuhan sekuat tenaga. tubuhnya meluncur ke depan bagai meteor. Lebih banyak karena kelincahan teknik daripada empasan tenaga, tangannya berhasil menyentuh dinding finish hanya beberapa detik sebelum Aris.

Ketika sedang bersandar terengah-engah ke dinding kolam tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun, sebenarnya baik Aris maupun Prasetya sudah sama-sama mengagumi lawan. Dan mereka sudah hampir mengakuinya ketika peristiwa itu tiba-tiba terjadi.

Mula-mula. tidak seorang pun sadar ada apa sebenarnya. Tepuk tangan masih riuh member-i aplaus pada keduanya untuk pertunjukan hebat yang baru saja mereka sajikan. Lalu mereka merasakan guncangan yang sangat hebat bersamaan dengan terdengarnya dentuman yang sangat keras.

Ketika mereka sedang berebutan melompat keluar dari kolam. terdengar bunyi sirene tanda bahaya. Tujuh kali raungan pendek dan sekali panjang.

"Ini tanda latihan atau apa, Ris?" teriak Taufik antara kaget dan cemas.

Tetapi Aris tidak dapat menjawab. Tidak seorang pun tahu apa yang terjadi.

Kegaduhan segera terjadi di mana-mana. Tibatiba saja orang seperti muncul dari segenap penjuru. Semuanya panik. Semuanya berlarian ke sana kemari.

"Aku cari Kiki dulu, Ris!" seru Taufik di selasela keributan.

"Kayaknya mereka masih di ruang karaoke!"

Ketika sedang berlari turun ke geladak, mereka baru melihat apa yang terjadi. Ternyata dalam dekapan badai. kapal mereka bertabrakan dengan sebuah kapal tanker yang langsung meledak dan menimbulkan kebakaran yang sangat hebat.

Para penumpang berjejal-jejal di geladak menunggu sekoci diturunkan. Sementara yang baru datang seperti tidak putusputusnya mengalir dari segenap penjuru. Semuanya berdesak-desakan. Ingin naik ke sekoci secepat mungkin. Para ABK berjuang keras mengatur mereka. '

"Vania!" seru Aris seperti baru teringat sesuatu ketika pelampung sedang dibagikan.

"Di mana dia?"

Sesaat dia saling pandang dengan Prasetya yang berada di sebelahnya.

"Dia berada di dek yang paling bawah!" cetus Prasetya dengan wajah memucat. Kalau biasanya dia selalu tampak tenang menguasai keadaan, baru saat ini Aris melihatnya panik.

"Aku yang mengantarkannya ke kabin!"

"Dia pasti sedang tidur! Dan dia sendirian di sana!" !..

"Katanya dia sulit dibangunkan...."

"Dan dia tidak bisa berenang!"

Lalu seperti dikomandokan, keduanya melompat masuk dan berlari-lari menuruni tangga. Mereka harus berjuang keras melawan arus penumpang yang sedang berdesakdesakan naik ke geladak.

Saat itu kapal mulai miring dan tenggelam sedikit demi sedikit. Arus air menerobos masuk melalui lambung kapal yang robek, sementara api mulai mengganas dan melalap apa saja yang menghalangi amukannya.

Ketika dengan susah payah Aris dan Prasetya tiba di dek yang paling bawah, dek itu sudah separo terbenam. Air sudah mencapai setengah dada mereka. Kemiringan kapal sudah lebih parah lagi sehingga rasanya sebentar lagi seluruh badan kapal akan terbenam dengan cepat.

Aris yang tiba lebih dulu di depan kabin Vania sudah menggedor pintu dengan kalap.

"Vania! Vania!" teriaknya panik.

"Bangun, Nia! Kita sedang tenggelam!"

Sesaat sunyi sebelum tiba-tiba mereka mendengar jeritan ketakutan Vania.

"Lekas buka pintunya, Nia!" seru Aris lagi.

"Lekas!"

Tapi yang mereka dengar justru tangisan histeris seorang gadis yang mendadak sadar betapa dekatnya sudah maut menghadang.

"Vania, dengar!" Prasetya mendorong Aris dan melekatkan mulutnya sedekat mungkin dengan pintu.

"Saya perintahkan kamu secepatnya ke pintu.

Buka pintunya. Jangan pikirkan apa-apa lagi. Saya dan Aris ada di sini."

Lalu mereka mendengar langkah-langkah kaki yang menyibakkan air. Bunyi handel yang dibuka. Tapi pintu itu tetap tertutup!

"'Saya tidak bisa membuka pintu!" teriak Vania bercampur tangis.

"'Pintunya macet!"

"Air!" sergah Prasetya sambil memandang Aris.

"Air menghalanginya. Kita harus mendorong pintu ini. Bantu aku!"

Prasetya meletakkan bahunya di pintu.

"Minggir, Nia! Kami akan mendorong pintu!" serunya sambil mulai mendorong.
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa diminta lagi, Aris membantunya. Dan pintu itu perlahan-lahan bergerak terbuka.

"Keluar, Nia" seru Prasetya sambil menahan daun pintu sekuat tenaga.

"Lompat!"

Aris mengulurkan tangannya ke dalam dan merenggut lengan Vania. Ketika rubuh Vania berhasil dikeluarkan, dia menangis histeris dalam pelukan Aris.

Tatkala mereka sampai di atas dengan susah payah setelah melawan kemiringan, genangan air. dan serbuan api, hanya tinggal sebuah sekoci yang tersisa. Sekoci terakhir itu sedang diturunkan. Tapi penumpangnya sudah penuh.

ABK yang memimpin sekoci itu berteriak ketika

melihat ketiga orang yang terakhir muncul di geladak kapal yang sudah separo tenggelam itu.

"Itu mereka!" jerit Frida yang berada di salah satu sekoci yang masih berada di sekitar kapal.

Sejak tadi dia mencari-cari Prasetya dalam kekacawan yang terjadi. Berulang-ulang Paman Sofyan mendesaknya untuk masuk ke sekoci. Tapi Frida masih mengulur waktu. Dia menunggu Prasetya. Begitu melihatnya muncul bersama Vania dan Aris. jantungnya seperti melompat ke mulut.

"Tunggu!" teriaknya panik.

"Tunggu mereka!"

"Masih ada tempat!" teriak ABK itu ketika sekocinya menyentuh permukaan laut.

"Lompat! Cepat! Lompat!"

Aris sudah hendak melompat. Tapi tiba-tiba dia teringat Vania.

"Kamu duluan." katanya sambil mendorong gadis itu ke tepi.

Tetapi Vania tidak berani melompat.

"Aku tidak bisa berenang!" tangisnya ketakutan.

"Kamu duluan. Ris," cetus Prasetya tiba-tiba.

"Sekarang. Sebentar lagi kapal tenggelam. Dia akan mengisap semua yang berada di dekatnya. Sekoci itu harus cepat menyingkir!"

Sesaat Aris mengawasi Prasetya dengan raguragu.

"Kamu tunggu Vania di bawah," Prasetya mengulurkan tangannya menepuk bahu Anis. Suaranya terdengar sangat berwibawa.

"Selamatkan dia."

Untuk pertama kalinya, Aris mematuhi perintah

Prasetya. Dia melompat ke air. Dan menunggu Vania di sana.

Prasetya merengkuh Vania ke dalam pelukannya. Saat dia memakan kehangatan tubuh gadis itu sudah lenyap. Dia menggigil kedinginan. Ketakutan.

Bajunya basah. Mukanya juga. Prasetya mengusap pipi gadis itu dengan lembut. Pipinya terasa halus dan dingin. '

"Pejamkan matamu. tahan napas," bisiknya di telinga gadis itu.

"Aris sudah menunggumu. Jangan khawatir. Kamu tidak akan tenggelam."

Lalu dia mendorong Vania ke air.

****

MONIKA melemparkan ponselnya dengan gemas. Sudah seharian dia mencoba menelepon Prasetya. Tapi lelaki itu seperti menghilang ke planet lain.

Telepon genggamnya tidak menyahut. Di luar jangkawan atau dimatikan. Di rumah dia tidak ada. Kala pembantunya belum pulang dari Singapura. Di kantor pun sekretarisnya tidak tahu dia ke mana.

"Urusan bisnis?" sekretaris Prasetya melongo bingung.

"Urusan apa, Mbak? Kok saya tidak tahu? Tidak ada dalam agenda."

"Tiba-tiba dia ke Singapura," geram Monika kesal.

"Katanya ada urusan mendadak. Sekarang dia menghilang. Padahal seharusnya dia pulang hari ini."

Dengan jengkel Monika mematikan ponselnya. Dan melemparkannya dengan gemas.

Alasan saja! Prasetya pasti menghilang karena takut menikah! Dia melarikan diri untuk menghindari pernikahan. Sama seperti dulu. Dan dulu lagi.

Entah sudah berapa banyak wanita yang jadi korbannya! Semoga dia ditelan hantu laut!

Di belakang Monika, televisi sedang menyiarkan berita tenggelamnya sebuah kapal pesiar karena bertabrakan dengan sebuah kapal tanker akibat badai. Penumpang yang selamat sudah diperbolehkan pulang. Yang luka-luka dirawat di rumah sakit umum di Singapura.

Tetapi Monika tidak peduli. Di hatinya cuma ada lelaki sjalan itu. Prasetya Sanjaya! Entah di mana dia bersembunyi!

Dengan geram Monika masuk ke kamarnya. Matanya menatap sedih ke gaun mempelai yang tergantung di sisi tempat tidurnya. Gaun mempelai yang sangat indah. Yang dibelikan Prasetya untuknya

Sekarang gaun itu seperti tertawa mengejeknya. Nasibnya ternyata tidak berbeda dengan nasib belasan wanita korbannya yang lain. Dia cuma ditinggali sehelai gaun mempelai dan sebentuk cincin! murah benar harga seorang perempuan!

Monika merenggut gaun itu dengan gemas. Dilernparkannya ke sudut ruangan dengan sengit. Lalu dia melangkah ke jendela. Dibukanya jendela itu lebar-lebar. Diisapnya udara sepenuh-penuh parunya. Tapi heran. Dia tetap merasa pengap.

Tidak sadar ingatannya melayang pada kejadian dua tahun yang lalu. Ketika pertama kali dia mengenal Prasetya.

Dia sedang berdiri di pinggir jalan menunggu taksi. Hari sudah malam. Hampir pukul sembilan. Monika baru berbelanja di mal. Dia hendak pulang ke hotelnya .

Sebuah taksi berhenti di depannya. Dan Monika sudah mengulurkan tangannya untuk membuka handel pintu ketika dia mendengar bunyi klakson di belakangnya.

Ketika Monika menoleh, dia melihat sebuah jip berhenti di belakang taksi itu. Lampu dimnya dimati-hidupkan seperti memberi kode.

Siapa ya, pikir Monika bingung. Rasanya di Jakarta aku tidak punya teman yang punya jip.

Tetapi klakson mobil itu berbunyi lagi. Kali ini lebih panjang. Lebih mendesak.

"Taksi, Bu?" tanya pengemudi taksi itu sambil membuka kaca depan sebelah kiri dan melongokkan kepalanya ke luar.

Monika mengangguk. Dia sudah mengulurkan tangannya sekali lagi untuk membuka pintu taksi. Tapi seorang pria yang tidak dikenalnya tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya. Seorang pria tampan bertubuh tinggi besar dengan penampilan seorang eksekutif.

"Ikut mobil saya saja. Mbak," katanya dalam nada mendesak. Suaranya begitu berwibawa. Tidak memerintah. Tapi sulit ditolak. Dia menunjuk jipnya.

Ketika Monika sedang tertegun sesaat, sopir taksi itu sudah menggeram marah. Tentu saja kepada orang yang hendak merampas penumpangnya. Bukan kepada Monika.

"Mau ngambil penumpang saya, ya?" geramnya sengit.

"Kalau kesepian. cari saja perek!"

Sekarang laki-laki bertubuh tinggi besar itu ber

paling pada si pengemudi taksi. Sikapnya sama sekali tidak menampakkan ketakutan.

"Kamu benar-benar mau cari urusan?" katanya sambil menghampiri pintu depan mobil.

"Bagaimana kalau saya minta kamu buka bagasimu, supaya nona ini bisa melihat berapa orang yang kamu simpan di sana?"

Ketika mendengar kata-kata pria itu, ketika melihat gayanya yang menantang, ketika melihat beberapa orang pria mulai mendekat, sopir itu memilih jalan yang paling aman. Dia kabur secepat-cepatnya. Meninggalkan Monika melongo kebingungan.

"Di lampu merah tadi mobil saya berada di belakang taksi itu. Kebetulan saya melihat ketika bagasi belakang taksi itu terbuka sedikit lalu tertutup kembali," kata laki-laki bertubuh tinggi besar itu kepada Monika "Karena itu saya yakin ada orang dalam bagasinya."

"Wah, Mbak pasti sudah dirampok kalau tidak ada bapak ini!" cetus salah seorang pria yang sudah ikut berkumpul di sana.

"Nanti kalau taksinya sudah jalan. orang yang sembunyi di bagasi itu akan keluar menodong Mbak!"

"Sayang kira tidak keburu meringkus sopir taksi itu!" gerutu yang lain.

"Mbak mau ikut saya atau mau saya teleponkan taksi?" tanya pria yang menolongnya itu dengan ramah. Dia mengeluarkan ponselnya.

"Terima kasih," sahut Monika masih terlongonglongong menyadari bahaya yang hampir menimpanya.

"Rasanya sekarang saya butuh segelas air es."

Pria itu tersenyum. Dia menyimpan kembali ponselnya dan menyilakan Monika menghampiri mobilnya. Lalu dia membukakan pintu depan dengan gaya yang membuat Monika tiba-tiba merasa sangat aman.

"Nama saya Prasetya," kata laki-laki itu setelah dia menghidupkan mesin mobilnya.

"Prasetya Sanjaya. Nah, sekarang ke mana saya harus mengantarkan Mbak minum segelas air es? Ke rumah atau ke kafe tenda?"

"Rumah saya di Surabaya," sahut Monika setelah berhasil menenangkan dirinya. Sikap pria itu banyak membantunya. Dia tampak begitu tenang. Begitu pandai membawa diri. Tahu sekali bagaimana harus melayani wanita.

"Nama saya Monika Dian Sari."

"Kalau begitu saya tahu ke mana harus membawa Anda," Prasetya tersenyum tipis. Senyum yang membuat Monika terpukau.

"Izinkan saya membelikan Mbak segelas air es."

Malam itu Prasetya membawa Monika minum di sebuah kafe tenda. Tetapi perkenalan mereka tidak hanya sampai di sana. Hubungan mereka menjadi bertambah intim.

Selama dua tahun. Monika menjadi pacar Prasetya. Dan selama itu. Prasetya telah menunjukkan dirinya memang layak dijadikan calon suami idaman. Karena itu Monika mendesak Prasetya untuk menikahinya.

"Tunggu apa lagi. Pras? Kamu sudah punya segalanya kecuali sebuah keluarga."

Walaupun mula-mula Prasetya masih ragu. akhirnya Monika berhasil meyakinkannya, pernikahan bukan sesuatu yang harus ditakuti. Lalu Prasetya melamarnya di sebuah restoran eksklusif di Sydney. Restoran yang khusus diperuntukkan bagi pasangan yang sedang jatuh cinta seperti mereka.

Malam itu, Prasetya memberinya sebentuk cincin bermata berlian sebagai cincin pertunangan mereka. Monika begitu bahagia. Dia begitu yakin Pras akan segera menjadi miliknya.

Lebih-lebih ketika sepulangnya dari Australia. ternyata ayahnya tidak keberatan Monika menikah dengan Prasetya. Ayahnya malah mendesak agar mereka buru-buru menikah.

Prasetya sendiri yang mengantarkan Monika memilih gaun mempelainya. Dia yang membelikan gaun itu walau Monika lebih suka menyewa.

"Buat apa beli?" kilahnya.

"Dipakainya juga cuma sekali kok!"

"Justru karena dipakainya cuma sekali, aku tidak ingin ada perempuan lain yang memakainya," sahut Prasetya, tenang dan mantap seperti biasa. Dan seperti biasa pula, dia Sulit dibantah.

Akhirnya Prasetya membelikan gaun mempelai itu untuk calon istrinya. Keluarga Monika menyiapkan pesta pernikahan yang meriah di Surabaya Sementara Prasetya menyiapkan bulan madu yang romantis untuk mereka

Dia memesan kabin eksklusif di sebuah kapal pesiar yang akan membawa mereka ke Singapura. Dia sudah membayangkan romantisnya perjalanan

itu nanti. Tetapi ketika sedang melihat-lihat gambar kapal itu, tiba-tiba saja perasaan jemu itu menyelusup ke hatinya.

Suasana romantis seperti apa lagi yang belum mereka alami? Mereka sudah mengalami saat-saat romantis ketika naik gondola di Venezia. Ketika menelusuri Champs-Elysees di Paris. Ketika melayari Harbour Bridge di Sydney.

Lalu... apa lagi yang mereka harapkan? Suasana romantis bulan madu setelah pernikahan, apakah masih ada bedanya dengan suasana romantis ketika mereka masih pacaran?

Mereka sudah mengalami semua yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan sebelum menikah. Lalu apa artinya lagi pernikahan?

Dan kekhawatiran itu kembali menyeruak ke benak Prasetya. Penyakit lamanya Ketakutannya untuk menikah. Mengikat diri. Kehilangan kebehasan.

Lalu dia melarikan diri. Lari dari pernikahan. Seperti dulu. Dan dulu lagi. Meninggalkan Monika seperti gadis-gadisnya yang lain.

"Sjalan kamu, Prasetya Sanjaya!" teriak Monika setengah histeris.

"Semoga kamu tidak bisa makan enak hari ini. di mana pun kamu berada!"

****

PRASETYA tidak berhasil melompat Ke dalam boat. Sesaat sebelum dia melompat setelah mendorong Vania. sebuah tiang kapal patah dan menimpa kepalanya. Dia roboh tak sadarkan diri dengan kepala berlumuran darah.

Frida yang melihat peristiwa itu dengan jelas dari sekocinya, menjerit histeris. Hampir saja dia melompat ke laut kalau orang-orang tidak keburu memeganginya.

Tubuh Prasetya meluncur ke laut ketika kapal tenggelam. Beberapa ABK melompat ke laut. berusaha untuk menolongnya. Menariknya sebelum tubuhnya ikut terisap dan terbawa oleh kapal ke dasar laut.

Tetapi Aris-lah yang lebih dulu berhasil mencapainya. Ketika peristiwa itu terjadi. dia sedang mendorong Vania naik ke sekoci. Dia sendiri masih berada di air.

Lalu dia mendengar jeritan Frida. Dan dia menengadah. Melihat apa yang terjadi.

Beberapa ABK melompat dari sekoci. Bersicepat

berenang untuk menyelamatkan Prasetya. Tetapi Aris yang berada paling dekat berhasil sampai lebih dulu. Dia menyelam dan merenggut baju Prasetya. Ditariknya sekuat tenaga hanya sesaat sebelum tubuh yang berat itu tenggelam lebih dalam lagi.

Lalu para ABK membantu Aris membawa Prasetya yang sudah tidak sadarkan diri ke sebuah sekoci yang terdekat Ketika melihat tubuh Prasetya ditarik beramai-ramai ke dalam sekoci, Frida hampir kehabisan napas karena terlalu lama menahan napasnya. Dia merasa tegang dan cemas sekali.

Tanpa dapat dicegah lagi. Frida berusaha keras pindah ke sekoci itu.

"Dia tunangan saya." katanya kepada setiap orang yang berusaha mencegahnya.

"Dan saya seorang perawat! Saya dapat memberinya pertolongan pertama sebelum bantuan datang!"

"Biarkan dia kemari!" seru Aris dari dalam sekoci Prasetya. Dia sedang menggigil kedinginan. Tapi dia masih dapat melihat usaha Frida untuk menolong Prasetya.

"Dia memang tunangannya! Dan tampaknya orang ini butuh pertolongan segera!"

Lalu orang-orang mulai membantu Frida pindah ke sekoci Prasetya. Aris mengulurkan tangannya. Dan menarik Frida ke dalam sekocinya.

Frida langsung menghambur mendekati tubuh Prasetya yang sudah diam tak bergerak lagi. Tubuhnya basah kuyup. Wajahnya pucat.. Kepalanya berlumuran darah. Vania berlutut di sampingnya sambil menangis.

Frida meraba nadi di leher Prasetya. Dan dia hampir bersorak ketika merasakan denyut nadinya.

"Dia masih hidup!" desahnya gemetar menahan perasaannya.

Air matanya langsung merebak. Ditatapnya mata yang sudah terpejam rapat itu. Dibayangkannya mata yang dikaguminya. Mata yang selalu tersenyum. Mata yang selalu bersorot tenang tapi menguasai.

"Bertahanlah, Mas Pras," bisiknya sambil menyeka pipi dan bibir laki-laki itu.

"Jangan pergi! Jangan tinggalkan saya!"

Tapi mata Prasetya tetap terpejam. Bibirnya juga tetap terkatup. Bibir yang selalu menyunggingkan senyum magis yang sangat memikat itu kini diam mernbiru.

Meskipun begitu, Frida pantang menyerah. Dia mencoba melakukan resusitasi karena Prasetya sudah tidak bernapas lagi.

Berkat pertolongan pertama yang dilakukannya sebagai seorang perawat senior yang telah berpengalaman, Prasetya dapat bernapas kembali, meskipun napasnya dangkal dan tak teratur.

Tetapi dia tetap belum memperoleh kesadarannya Frida juga telah membalut kepalanya, mencoba menghentikan perdarahannya. Namun perdarahan di dalam kepala Prasetya tidak dapat diatasinya.

Darah yang semakin banyak berkumpul di dalam kepala itu menekan otak Prasetya sehingga dia kehilangan kesadarannya. Jika tidak segera dioperasi. dia pasti tidak tertolong lagi. '

Ketika sedang menolong pria itu dengan sekuat tenaga tanpa memedulikan dirinya sendiri, tibatiba saja Frida sadar. Dia telah jatuh cinta.

Dia bahkan melupakan ketakutannya ketika harus kembali ke Singapura. Dia tidak meninggalkan Prasetya barang sekejap pun.

Frida mendampingi terus ketika Prasetya dibawa ke rumah sakit umum di Singapura. Dia yang memberi keterangan. Dia yang memberi izin operasi karena dia mengaku sebagai Monika Dian Sari'. tunangan Prasetya.

Hilangnya semua barang dan paspor di kapal yang tenggelam itu memberikan kesempatan yang baik bagi Frida untuk menyamar dan meloloskan diri. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia sebenarnya kecuali Paman Sofyan dan Prasetya.

"Lebih baik kamu cepat pulang ke Jakarta. Da." bisik Paman Sofyan kelika dia menemui Frida di rumah sakit. Saat itu fajar sudah menyingsing. Tapi Frida masih menunggu Prasetya yang sedang dioperasi.

"Sebelum penyamaranmu ketahuan. Nanti sore ada kapal ke Jakarta. Semua penumpang yang selamat sudah boleh pulang."

"Saya tetap di sini sampai Mas Pras siuman, Paman," sahut Frida tegas.

"Dia tidak punya siapasiapa di sini. Kalau ada apa-apa..."

"Kalau ada apa-apa pun. apa lagi yang dapat kamu lakukan? Semua orang sudah tahu bagaimana kamu berjuang menolongnya. Sekarang, tolong dirimu sendiri. Selamatkan dirimu mumpung masih sempat!" .

"Mereka percaya saya tunangannya, Paman. Dan mereka tidak menanyakan ID saya karena semua paspor penumpang sudah ikut tenggelam. Mereka juga tidak akan mempersulit kita karena kita baru saja kena musibah."

"Paman tahu. Tapi sebaiknya kamu cepat pulang ke Jakarta sebelum rahasiamu terbongkar. Siapa tahu ada yang mengenalimu di sini. Pulanglah bersama anak-anak SMU itu. Mereka yang menjadi saksi kamu tunangan Prasetya!"

"Maafkan saya. Paman," gumam Frida lirih.

"Tapi saya tetap dengan tekad saya. Saya ingin mendampingi Mas Pras."

"Kamu memang kepala batu! Dia memang baik. Kita berulang budi padanya. Tapi tak ada lagi yang dapat kamu lakukan, Da! Kamu telah membalas budinya. Lagi pula kata dokter, harapan hidupnya sangat tipis. Buat apa kamu mempertaruhkan kebebasamnu?"

Tetapi Frida tetap dengan pendiriannya. Dia tidak akan meninggalkan Prasetya. Ketika rombongan penumpang yang selamat diantar pulang ke Jakarta. dia memilih tetap tinggal di rumah sakit.

Dia mendampingi Prasetya yang baru selesai dioperasi dan masih dirawat di ruang pascabedah. Siang itu, Prasetya memang tidak bisa makan enak. Tepat seperti kutukan Monika.

* * *

Operasi Prasetya berhasil menghentikan perdarahan di dalam kepalanya. Berhasil mengeluarkan gumpalan darah yang mendesak otaknya. Tapi tidak berhasil menyadarkannya dari koma.

Setiap saat dia dapat meninggal, sehingga dokter menganjurkan Frida agar memberitahukan keluarganya yang lain. Saat itu baru Frida ingat dompet Prasetya yang selalu disimpannya di saku bajunya. Melalui SIM yang ditemukannya di sana, dia dapat menghubungi alamat Prasetya di Jakarta. Dia minta agar orangtua Prasetya dihubungi. Dan dia mengaku sebagai Monika Dian Sari, tunangan Prasetya.

Dalam dompet itu Frida juga menemukan beberapa ratus dolar Singapura yang dapat dipakainya sementara menunggu kedatangan orangtua Prasetya. Kebutuhan makannya selama ini memang masih ditanggung oleh rumah sakit. Dia juga diperbolehkan tinggal di kamar Prasetya selama laki-laki itu belum sadarkan diri. Para dokter malah menganjurkan Frida agar selalu mengajak Prasetya yang masih koma itu berkomunikasi.

Menurut mereka, komunikasi dengan seorang pasien yang berada dalam keadaan koma, banyak membantu meskipun perbuatan itu tampaknya siasua.

Biaya perawatan Prasetya pun ditanggung oleh asuransi kapal yang tenggelam itu, sehingga Frida tidak usah memusingkan biayanya. Tetapi sampai kapan? Maukah pihak asuransi menanggung terus biaya perawatan Prasetya kalau dia tidak siuman juga dari komanya? ,

Frida sendiri lebih suka menanggung sendiri biaya hidupnya. Karena kalau asuransi campur tangan, dia malah takut rahasianya terbongkar! Jadi dia tidak minta fasilitas apa-apa dari rumah sakit, meskipun mereka menawarkan pemeriksaan gratis dan kamar tersendiri.

Frida memilih tidur di sofa di kamar Prasetya. Alasannya tentu saja supaya dia dapat selalu berada di dekat tunangannya.

Hampir sepanjang hari Frida duduk di samping tempat tidurnya. Mengawasi dokter atau perawat yang bolak-balik memeriksa Prasetya.

"Tidak ada-perubahan," kata perawat yang mengobservasi fungsi-fungsi vitalnya sambil menggelengkan kepalanya.

Tetapi Frida belum putus asa. Dari pengalamannya dia tahu. beberapa pasien koma memperoleh kembali kesadarannya pada saat kasus mereka sudah dinyatakan sebagai lost case. Tidak peduli berapa lama mereka telah mengalami koma.

Setelah dokter atau perawat meninggalkan kamar, ketika dia tinggal berdua saja dengan Prasetya, dipegangnya tangan laki-laki itu. Digenggamnya tangannya erat-erat. Lalu dibisikkamiya di dekat telinganya,

"Bangunlah, Mas Pras. Jangan menyerah. Saya tahu kehebatanmu. Kamu lelaki yang pantang menyerah!"

Lalu Frida akan mengajaknya mengobrol. Menceritakan pengalaman-pengalamannya di rumah sakit. Menceritakan kisah hidupnya sejak kecil. Bahkan sampai alasan mengapa dia melarikan diri dari rumah.

"Ayah tiriku sangat memanjakanku. Ketika masih kecil. aku masih dapat menerimanya Tetapi semakin besar, aku semakin dapat merasakan keinginannya yang lain. Dia semakin sulit ditolak. Dan perbuatannya semakin menjijikkan. Aku terpaksa melarikan diri dari rumah. Ka1ena aku tidak tega mengadukan perbuatannya kepada ibuku."

Tidak ada reaksi. Mata Prasetya masih tetap terpejam rapat. Tangan-kakinya masih tetap terkulai mati. Tidak bergerak sedikit pun.

"Besok lagi ceritanya, ya. Sekarang Mas Pras harus tidur." '

Frida merapikan letak selimut laki-laki itu. Lalu dia berdoa. Memohon keajaiban. Memohon kesembuhan Prasetya.

Tetapi keajaiban itu tak kunjung tiba. Keadaan Prasetya malah bertambah buruk sehingga dia harus dibantu dengan alat-alat penyokong kehidupan. Tanpa dukungan alat-alat itu, dia tidak mungkin bertahan lagi.

"Bertahanlah, Mas," pinta Frida hampir putus asa.

"Jangan tinggalkan saya sendiri...."

Tetapi beberapa hari kemudian, Frida tidak sendiri lagi. Orangtua Prasetya muncul di rumah sakit.

Pembantu di rumah Prasetya mengirimkan kabar dari Frida ke kantornya. Sekretaris Prasetya segera menghubungi ayahnya yang masih bertugas sebagai diplomat di sebuah negara sahabat.

Mereka baru sekali melihat Monika ketika tahun

lalu Prasetya mengajaknya melihat orangtuanya Mereka sudah tidak begitu ingat lagi wajahnya. Apalagi Prasetya punya banyak pacar. Beberapa malah hampir dinikahinya.

Jadi ketika Prasetya membawa Monika dan memperkenalkannya, orangtuanya tidak begitu menaruh perhatian. Mereka pikir. sebentar lagi gadis yang ini pun hanya tinggal deretan nama di agenda masa lalu anaknya. Nasibnya pasti tidak berbeda dengan belasan gadis lain yang pernah jadi pacar Prasetya.

Mereka juga sudah mendengar Prasetya akan menikah. Tetapi hanya sehari sebelum ibunya berangkat pulang untuk menghadiri pernikahan anaknya, Prasetya menelepon. Mengabarkan penundaan pernikahannya.

Ibunya sudah tidak terlalu terkejut. Tapi tak urung dia mengurut dada.

Yang membuatnya sangat terkejut justru berita dari sekretaris anaknya. Prasetya dikabarkan mendapat musibah. Kapal laut yang ditumpanginya tenggelam. Dan dia luka parah. Kini dirawat di rumah sakit umum di Singapura.

Ketika melihat keadaan Prasetya, ibunya menangis tak tertahankan lagi. Sekali lihat saja dia tahu, anaknya sudah hampir tidak tertolong lagi. Firasatnya mengatakan, umur Prasetya hanya tinggal hitungan hari. Bahkan mungkin hitungan jam. Maut dapat menjemputnya setiap saat.

Ayahnya hanya tegak termangu di samping tempat tidur Prasetya. Mengawasi anaknya dengan wajah getir dan air mata berlinang.

Anaknya yang biasanya gagah dan penuh percaya diri itu kini terhantar kaku tak berdaya Tak mampu menggerakkan seujung jari pun.

Matanya yang biasanya selalu tersenyum itu sekarang terpejam rapat. Senyumnya yang khas dan sangat memikat wanita itu tak tampak lagi di

bibirnya

Di ujung maut. dia telah kehilangan semuanya Kegagahannya. Ketampanannya. Penguasaan dirinya. Semuanya lenyap.

Kini dia cuma sesosok tubuh yang tak berdaya. Seonggok daging yang napas kehidupannya hanya tergantung pada mesin!

Setelah lama meratapi anaknya, orangtua Prasetya baru teringat pada Frida, yang tegak mematung di dekat mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tanpa bertanya lagi, mereka sudah menduga siapa wanita itu.

Monika Dian Sari, tunangan anaknya.

Kata sekretaris Pras, dialah yang mengirim kabar ke Jakarta. Dialah yang terus-menerus mendampingi Prasetya.

Tanpa berkata apa-apa lagi. ibu Prasetya menghampirinya. Dan memeluknya sambil menangis.

Merasakan kesedihan wanita itu, air mata Frida _ikut merebak lagi. Dihelainya punggung ibu Prasetya dengan lembut, seolah-olah ingin menghiburnya walau dia sendiri juga sebenarnya perlu dihibur.

Lalu Frida membawa wanita itu duduk di sofa yang menjadi satu-satunya tempat tidurnya di kamar itu. Disingkirkannya bantal kecil dan selimutnya.
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di sini kamu tidur selama menjagai Pras, Monik?" tanya ibu Prasetya trenyuh melihat penderitaan sekaligus kesetiaan calon menantunya

Frida hanya tersenyum pahit. Ketika dia sedang tersenyum, butir-butir air di matanya tampil berkilau. membuat ibu Prasetya tambah trenyuh. Dan tambah bersimpati sekaligus berterima kasih pada wanita yang tampil seadanya ini.

Terus terang, dia sendiri terkejut. Selama ini belum pernah dia menemukan wanita semacam ini dalam koleksi wanita-wanita yang dipacari anaknya. Wanita yang satu ini tampak sangat berbeda.

Sudah tahukah Pras, dialah yang akan mendampinginya di akhir hidupnya? Sudah punya firasatkah dia, maka dia memilih wanita yang berbeda?

Sebelum tahu apa pekerjaan Monika, ibu Pras sudah dapat menduga. pacar Pras yang satu ini pasti punya latar belakang medis. Di meja bertumpuk-tumpuk buku-buku jurnal dan majalah kedokteran yang mungkin dipinjamnya dari rumah sakit. Caranya berbicara dengan perawat yang datang memeriksa kondisi Pras pun menyatakan dengan jelas latar belakang pendidikannya.

Jadi rupanya Pras memang sudah punya firasat! Dia memang pria yang hebat! Sekali lagi. bahkan di akhir hidupnya, dia memperlihatkan kualitasnya Dia memang seorang ahli! Dan dia tidak pernah salah memilih!

Mama bangga padamu, Pras, bisik ibu Prasetya dalam hati. Jangan pergi dulu. Pras. Supaya Mama

tetap dapat membanggakan dirimu sampai akhir hayat Mama!

Ayah Prasetya juga sangat menyukai Monika. Meskipun seperti istrinya juga, dia heran pada tipe wanita terakhir yang dipilih anaknya.

"Oom tidak mengerti, Monik," cetus ayah Pras dengan suara pelan ketika mereka sedang duduk di sofa.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah kalian menunda pernikahan? Mengapa kalian jadi ikut berlayar dengan kapal itu?"

"Kami malah tidak tahu kalian pergi." sambung ibu Pras sedih.

"Terakhir kali Pras menelepon, dia hanya bilang pernikahan kalian ditunda. Dia tidak hilang sampai kapan. Ah. kalau saja Tante tahu, itu terakhir kali Tante mendengar suaranya...."

Air mata ibu Pras meleleh lagi. Dan dia terisak menahan tangis. Suaminya segera merengkuhnya ke dalam pelukannya. Berusaha menabahkannya dengan merangkulnya.

Frida menundukkan kepalanya dengan sedih. Pada suasana seperti ini, dia tidak ingin membohongi sepasang mmgtua yang sedang berduka ini. Ingin sekali rasanya dia membuka penyamarannya. Berterus terang di depan mereka. Karena mereka berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi!

Tetapi kata-kata yang sudah di ujung lidahnya tersendat kembali. Di sana ada perawat. Dan seandainya pun tidak ada siapa-siapa, beranikah Frida membuka rahasianya?

Dia seorang buronan di negeri ini. Dia hanya bisa selamat kalau dia tetap dalam penyamarannya.

Barangkali sesampainya di Jakarta nanti, dia baru berani berterus terang. Lagi pula, apa bedanya lagi untuk mereka?'

Kejujurannya tidak akan mempengaruhi kesembuhan Prasetya Tidak akan menyurutkan kesedihan orangtuanya. Malah akan membuat mereka tambah bingung!

"Mas Pras memang menunda perkawinan," kata Frida lirih tanpa berani mengangkat wajahnya. Khawatir matanya tak dapat berdusta.

"Tapi tempat di kapal itu telah dipesan. Bahkan telah dibayar penuh. Jadi pada saat terakhir, Mas Pras memutuskan untuk' ikut. Siapa tahu kebersamaan kami dalam kapal itu dapat meredakan ketakutannya untuk menikah...."

Ketika selesai mengucapkannya, Frida sendiri merasa heran. Bagaimana dia dapat berbohong dengan selancar itu? Sejak kapan dia menjadi seorang pendusta?

"Pras memang selalu takut menikah," keluh ibunya pahit. Dilepaskannya dirinya dari pelukan suaminya. Disekanya air matanya yang meleleh terus ke pipinya.

"Dia sangat mencintai kebebasannya. Tapi ketika melihatmu, Tante yakin, kali ini dia tidak salah memilih. Pada akhir hidupnya, akhirnya Pras sempat menemukan wanita yang sesuai dengan dirinya...." Tangis ibu Pras meledak lagi.

Tak sadar Frida meraih ibu Pras dan memeluknya dengan lembut.

"Saya percaya Mas Pras akan berhasil melewati masa kritisnya. Tante," gumamnya lirih.

"Mas Pras

seorang laki-laki yang kuat dan ulet. Maut sekalipun tak akan mudah mengalahkannya."

Terima kasih, Monik. bisik ibu Pras dalam hatinya. Biar kamu mesti berbohong sekalipun, katakatamu sungguh manis mengidburku! Kamu memang perempuan pilihan!

Saat sedang menggenggam tangan Prasetya sambil menceritakan kisah cintanya dengan Dokter Harsa ketika dokter dan perawat memasuki ruangan bersama orangtua Prasetya. Frida segera menyudahi ceritanya dan bangkit dari kursinya di dekat pembaringan.

Ketika dia melihat ibu Pras sedang menangis tertahan dalam pelukan suaminya, Frida sudah merasa yang akan disampaikan dokter adalah kabar buruk. Dadanya langsung terasa sesak. Matanya panas.

"Anda seorang perawat, Nona Monik," kata dokter itu perlahan.

"Kami tahu tidak perlu menjelaskannya dengan panjang-lebar. Anda pasti sudah tahu. tak ada lagi yang dapat kami lakukan untuk Prasetya. Kami telah menjelaskannya pada orangtuanya. Dan mereka setuju untuk menghentikan semuanya."

Menghentikan semuanya! itu berarti mereka akan mencabut semua alat-alat penunjang kehidupannya! Dan Frida tahu, begitu dicabut, Prasetya langsung akan meninggal!.

"Tidak," sanggahnya dengan suara gemetar. Air matanya merebak.

"Anda seorang paramedis. Dengan latar belakang medis yang Anda miliki, kami tahu, Anda seorang yang rasional. Semua usaha yang dapat kita lakukan telah kami jalankan. Dan Anda juga pasti tahu. semua itu percuma. Sudah tidak ada harapan lagi."

"Tidak! Beri dia kesempatan beberapa hari lagi!" bantah Frida menahan tangis.

"Saya yakin, dia akan kembali! Dia pasti siuman!"

Dokter menggelengkan kepalanya dengan penuh simpati.

"Kami mengerti perasaan Anda. Kami juga tahu apa yang telah Anda lakukan untuknya. Tapi menyesal sekali..."

"Saya yakin dia akan sembuh!" potong Frida tegas.

"Saya kenal Mas Pras! Dia tidak mudah menyerah!"

"Kami juga berpendapat begitu, Monik." ayah Pras melepaskan istrinya dan menepuk bahu Frida dengan lembut. '

Ketika Frida menoleh, dia melihat wajah lakilaki itu telah penuh dengan air mata. Matanya, mata tua seorang pria berumur enam puluhan.

tampak tua dan letih. Mata itu kini yang sedang menatapnya dengan getir dan penuh permohonan.

"Tapi kami juga percaya, Pras sudah telah berjuang. Dia sudah ingin beristirahat dengan tenang. Mengapa tidak kita biarkan dia pergi dalam damai, Monik? Kami sudah rela ."

Ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir itu,"

air matanya mengalir deras tak tertahankan. Sementara tangis ibu Pras pecah kembali sehingga perawat harus membantunya untuk duduk.

"Tapi saya belum rela, Oom!" sanggah Frida getir.

"Dan saya tahu, Mas Pras juga belum mau pergi! Semangat hidupnya masih besar sekali! Dia masih ingin menikmati hidup!"

"Tapi hidup dan mati bukan kuasa manusia, Monik. Itu hak Tuhan untuk menentukannya. Kita

hanya dapat memohon "

"Kalau begitu saya akan memohon, Oom! Saya akan memohon lagi! Berikan kami kesempatan weberapa hari lagi!"

"Bukan Oom yang memintanya. Monik. Tapi

pihak asuransi. Mereka yang keberatan...."

"Mereka minta kami memberi penilaian," sambung dokter yang merawat Prasetya dengan suara tertekan.

"Dan Anda kau tahu, kami harus memberi penilaian yang jujur dan obyektif."

Penilaian yang jujur dan obyektif! Apakah itu 'terarti vonis mati untuk Pras?

"Beri kami kesempatan semalam lagi. Dok,"

pinta Frida sungguh-sungguh.

"Beri saya waktu semalam lagi untuk berada bersama laki-laki yang aya cintai..." air mata Frida meleleh ke pipi.

Membuat semua yang melihatnya merasa trenyuh. Suaranya begitu memelas. Begitu melukiskan cinta yang menimbulkan keharuan yang dalam di hati mereka yang mendengarnya.

"Sebelum kami harus berpisah... sebelum dia meninggalkan saya untuk selama-lamanya...." .

"Oke." kata dokter itu akhirnya sambil menghela napas berat.

"Semalam lagi. Besok pagi, kalau tidak ada perubahan juga, kami terpaksa mengakhirinya. Sebelum pihak asuransi datang, semuanya harus sudah selesai."

Frida mengangguk. Dia menyeka air matanya sambil mengawasi dokter dan perawat yang sedang meninggalkan ruangan. Lalu dia merasa seseorang menepuk bahunya.

Ketika Frida menoleh, dia melihat ayah Pras tegak di belakangnya. Matanya berlinang air mata.

"Terima kasih, Monik," gumamnya lirih.

"Terima kasih untuk semua yang kamu lakukan untuk Pras

Lalu dia meraih Frida ke dalam pelukannya.

Semalaman Frida tidak tidur. Dia duduk di samping pembaringan Prasetya. Memegangi tangannya tanpa melepaskannya sekejap pun. Seolah-olah dia ingin memegang tangan itu selama mungkin. Selama dia masih dapat memegangnya.

Tangannya yang lain membelai-belai paras Prasetya dengan lembut. Wajahnya memang sudah jauh berubah. Dalam beberapa hari saja, dia sudah kehilangan hampir semua miliknya. Semua yang dibanggakannya.

Tak ada lagi rambut yang hitam lebat itu. Kepalanya sudah digunduli sebelum dioperasi. Pembalut masih membebat kepalanya. Membuat wajahnya tampak berbeda.

Tak ada lagi mata yang selalu tersenyum itu. Mata yang selalu bersorot tenang menguasai. Mata itu kini tetap terpejam rapat.

Senyumnya pun sudah tak pernah tersungging lagi di bibirnya Padahal Frida begitu merindukannya Rasanya dia rela kehilangan tangannya asal dapat melihat senyum itu lagi.

Lelaki yang begitu dinamis dan energik itu kini tak ada bedanya dengan mayat. Tubuhnya sudah tergolek diam. Terbujur tak berdaya. Terhantar tak bergerak. Dan sebentar lagi... sebentar lagi hanya beberapa jam lagi... dia sungguh-Sungguh akan menjadi mayat .

"Bangun, Mas Pras..." bisik Frida di telinga pria itu.

"Ingat apa yang kita lakukan di kapal? Saya merindukannya, Mas... Saya rindu ciumanmu... belaian kasihmu..."

Saat itu Sudah tengah malam. Tak ada orang di sana kecuali mereka berdua.

Orangtua Prasetya sudah kembali ke hotel meskipun sebenarnya ibu Pras berkeras ingin tinggal. Ingin menemani anaknya pada malam terakhir dia masih dapat mendengar napas Prasetya .

Dia ingin membelai anaknya seperti ketika dia masih bayi dulu. Ketika dia masih menyusu di dadanya sementara matanya yang lucu itu menatap ibunya dengan tatapan yang polos menggemaskan.

Tetapi suaminya memaksanya pulang. Dia tahu istrinya sudah sangat lelah. Kesedihan dan keletihan dapat mengganggu kesehatannya.

Ayah Pras juga ingin memberikan kesempatan

kepada Frida untuk berada berdua saja dengan kekasihnya. Jika memang ini malam terakhir yang dimiliki Pras, ayahnya ingin malam itu dapat dilalui putranya berdua saja dengan wanita yang dicintainya.

Ayah Pras sudah pasrah. Kalau boleh memiiih, tentu saja dia menginginkan putranya hidup. Tapi dia insaf, tak mungkin melawan takdir. Dia menyerahkan segalanya pada kehendak Yang Mahakuasa.

"Tapi saya belum rela. Oom!" Air matanya merebak lagi setiap kali teringat kata-kata Frida "Dan saya tahu. Mas Pras juga belum mau pergi! Semangat hidupnya masih besar sekali! Dia masih ingin menikmati hidup!"

Tetapi bukankah memang demikian misteri kehidupan?

Maut menyapa manusia yang belum pantas untuk mati, yang masih begitu fit dan bergairah menikmati hidup. Manusia yang kepergiannya ditangisi dan disesali orang-orang yang mencintainya. Sementara di pihak lain, mereka yang sudah bosan hidup, bahkan tidak mati sekalipun sudah mencoba membunuh diri!

Ayah Prasetya tahu. di hotel pun malam ini dia dan istrinya tidak dapat memejamkan mata sekejap pun. Apalagi tidur lelap. Tapi di mana pun mereka berada, apa bedanya lagi bagi Prasetya?

Dia sudah berada jauh entah di mana. Mungkin dia sudah berada di setengah perjalanan ke akhirat. Mungkin dia malah sedang bingung hendak ke mana.

Gelapkah jalan yang dilaluinya? Tak tampakkah ujung jalan itu, Pras?

Ayah Pras memilih berdoa untuk membantu putranya menemukan jalan ke surga daripada menangis di sisi tempat tidurnya. Dia mengajak istrinya untuk memohon ampun bagi dosa-dosa anak mereka. Karena menurutnya, justru hal itulah yang paling dibutuhkan Prasetya sekarang.

Prasetya merasa dirinya sedang terbenam dalam kubangan lumpur yang hitam pekat. Napasnya terasa sesak. Dadanya sudah hampir meledak karena terlalu lama menahan napas.

Tetapi kubangan ini belum dapat ditinggalkannya juga. Dia sudah berusaha berenang naik ke permukaan. Tapi... yang mana permukaannya?

Semuanya serbagelap. Hitam pekat menyesakkan napas. Ke mana pun dia berenang, yang tampak hanya lumpur pekat yang membutakan matanya.

Dia ingin menjerit. Ingin berteriak meminta tolong. Tapi lumpur menyumbat mulutnya. Setiap kali dia hendak membuka mulut. lumpur pekat menyumpalnya kembali.

Apa sebenarnya yang terjadi? Dia seperti sedang tenggelam di pasir apung. Tak mungkin naik lagi ke atas. Tubuhnya seperti terbenam makin dalam....

Lalu tiba-tiba dia melihat sinar itu... secercah sinar yang amat lemah... menerobos dari atas.

Sinar apakah yang dilihatnya itu? Cahaya mataharikah?

Kalau benar matahari, artinya di atas sana masih ada kehidupan! Dan kalau sinar matahari dapat menerobos masuk, berarti lumpur ini masih mungkin dilalui... dia masih punya harapan untuk menembus ke atas... menghirup udara bebas di luar sana....

Lalu dia mendengar suara itu. Suara yang dikenalnya. Suara yang selalu menerpa telinganya. Lapat-lapat tapi tak pernah hilang sama sekali.

Suara yang memanggil-manggil namanya. Dari mana suara itu berasal? Kalau dia mengikuti arah suara itu... akan selamatkah dia? Akan berhasilkah dia keluar dari lumpur yang menyesakkan napas ini?

Semuanya terlalu gelap. Terlalu sunyi. Terlalu misteriUS.

Tapi paling tidak suara itu memberinya secercah harapan. Dia tidak sendirian. Masih ada orang di dekatnya. Orang yang dikenalnya. Di mana dia?

Prasetya berjuang sekuat tenaga untuk mengangkat tubuhnya ke atas. Entah mengapa tubuhnya kini terasa sangat berat. Tangan-kakinya yang biasanya begitu lincah berenang kini bagaikan sebatang kayu yang lumpuh. Mati. Sulit digerakkan. ' Tapi dia belum putus asa juga. Dia masih pantang menyerah. Suara yang didengarnya itu masih terus memanggil-manggil. Dia hanya tinggal mencari dari mana suara itu berasal.

Lalu sinar. itu... sinar yang menerobos dalam

kegelapan.... Sinar matahari itu seperti secercah harapan yang memacu semangatnya. Sebelum ajal berpantang mati. Semuanya masih mungkin selama umurnya belum sampai di batas yang ditentukan....

Namun tiba-tiba saja Prasetya tersentak kecewa. Sinar itu tiba-tiba meredup. Kian gelap. Hampir lenyap. Meninggalkan kegelapan kembali menguasai.

"Jangan!" Prasetya ingin berteriak.

"Jangan! Jangan ambil matahariku!"

Tetapi suaranya tersekat di tenggorokan. Terbenam dalam pekatnya lumpur yang mengurungnya.

* * *

Frida masih memegangi tangan Prasetya sambil berdoa. Sambil memohon. Sambil berbisik di telinga laki-laki itu, ketika tiba-tiba dia seperti mendengar suara Prasetya begitu perlahan tapi begitu jelas di telinganya.

"Jangan! Jangan! Jangan ambil matahariku"

Frida tersentak kaget. Bulu romanya langsung meremang. Dia mengangkat kepalanya Dan memandang ke seluruh ruangan.

Tidak. Tidak ada siapa-siapa di sana. Kamar itu -sepi. Tidak ada orang. Tidak ada dokter. Tidak ada perawat. Hanya mereka berdua

Tetapi dia mendengar suara itu dengan jelas sekali! Mungkinkah hanya sebuah halusinasi pendengaran?

Frida menoleh ke arah monitor di samping kepala Prasetya. Tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi.

Ditatapnya Wajah Prasetya dengan harap-harap cemas. Tapi wajah itu pun tidak memperlihatkan perubahan apa-apa. Matanya masih terpejam. Tubuhnya masih belum bergerak.

Sudah gilakah aku, pikir Frida bingung. Aku mendengar suaramu dengan jelas sekali, Mas Pras! Di manakah kamu sekarang? Katakanlah bagaimana aku dapat menolongmu!

Tapi memang tak ada lagi yang dapat dilakukannya. Suara itu tidak terdengar lagi sampai pagi. Dan tampaknya, memang Frida sudah tidak dapat lagi menolong Prasetya.

Karena dokter sudah keburu datang bersama orangtua Prasetya. Dan Frida insaf. semuanya sudah berakhir.

Begitu datang, ayah Pras menyentuh bahunya 'dengan getir. Dia tahu, wanita ini tidak tidur semalaman. Matanya sembap. Wajahnya pucat. Rambutnya kusut masai. Ibu Pras langsung memeluknya sambil menangis.

Tetapi Frida tidak membalas pelukannya Dia malah mendorong ibu Pras dengan mantap.

"Saya mendengar suaranya, Tante!" cetusnya seperti orang hilang ingatan.

"Saya dengar Mas Pras minta tolong!"

Dokter menatapnya sekilas sebelum menggelenggelengkan kepalanya sambil menghela napas.

"Kalau Anda memerlukan tranquilliser..."

"Saya tidak berhalusinasi, Dokter!" sanggah

Frida keras.

"Saya benar-benar mendengar suaranya! Katanya, jangan! Jangan ambil matahariku!"

Mendengar kata-katanya, ibu Pras menangis makin sedih. Suaminya langsung meraihnya. Dan tangis ibu Pras pecah dalam pelukannya.

Dokter tidak berkata apa-apa lagi. Ketika perawat menoleh padanya dia mengangguk. Dan perawat itu bergerak untuk mematikan mesin.

Tetapi Frida lebih cepat lagi menerjangnya.

"Jangan!" serunya setengah histeris.

"Jangan ambil mataharinya!"

Perawat itu sempoyongan menabrak mesin karena diterjang terlalu kuat. Dia tampak agak kesal walaupun memahami benar perasaan Frida.

"Saya akan minta bantuan, Dokter," katanya pahit.

Dokter belum sempat menyahut. Belum sempat mengangguk ataupun menggeleng, ketika tiba-tiba dia tersentak kaget. Dia mendengar Frida memekik histeris.

"Lihat! Lihat. Dok! Jarinya bergerak!"

****

MONIKA tahu benar mengapa sudah dua bulan dia tidak mendapat haid. Itu juga salah satu alasannya mendesak Prasetya untuk menikah. Meskipun dia belum mengatakan apa-apa tentang kehamilannya.

Dia takut. Prasetya malah semakin takut menikah kalau belum'apa-apa mereka sudah punya anak.

"Begitu banyak anak telantar di dunia ini." kilahnya kalau pembicaraan mereka sudah sampai kepada soal anak "Mengapa kita harus mempunyai anak? Lebih baik kita angkat saja salah satu dari anak-anak telantar itu. . .."

Tentu saja Monika tidak menanggapi perkataan Prasetya. Karena dia tahu bukan itu alasan yang sebenarnya. Bukan anak telantar yang dipikirkan Prasetya. Tapi ketakutannya untuk menjadi seorang ayah! Menjadi seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab!

"Aku takut tidak dapat membahagiakan anakistriku," katanya muram ketika Monika mendesaknya untuk menikah.

"Aku khawatir tidak punya cukup waktu untuk mereka."

"Bukan cuma kamu satu-satunya bisnismen yang sibuk, Pras," bujuk Monika sabar.

"Banyak yang lebih sibuk dari kamu. Tapi mereka menikah juga, kan? Dan anak-anak mereka tidak telantar!"

Akhirnya Prasetya memang menyerah. Dia melamar Monika. Mereka menyiapkan pernikahan. Lengkap dengan bulan madunya. Lalu lelaki itu kabur! Melarikan diri dengan alasan sibuk! Menunda pernikahan dengan alasan klise. Ada urusan penting. Tidak dapat ditunda.

Dan dia tidak muncul lagi. Dia menghilang begitu saja!

Sia-sia Monika menunggu di bandara. Prasetya tidak muncul. Padahal hari itu seharusnya dia pulang dari Singapura.

Lalu dia lenyap seperti ditelan hantu laut. Tidak ada kabar beritanya lagi.

Monika kembali ke Surabaya dengan patah hati. Jengkel. Marah. Putus asa. Sudah hampir sebulan Prasetya menghilang. Dan dia tidak pernah. menghubunginya lagi. Jangankan datang. Menelepon saja tidak!

Monika merasa percuma saja dia menelepon. Percuma mencari laki-laki itu. Percuma mengejar ngejarnya lagi.

Monika bukan perempuan yang masih hijau. Pengalamannya sudah cukup banyak. Tentu saja pengalaman dengan laki-laki. Dia tahu sekali. jika seorang pria seperti Prasetya menunda pernikahannya, itu sama saja dengan membatalkan. Dan kalau dia menghilang. tak perlu dicari lagi. Percuma saja.

Jadi dia memutuskan untuk mengambil jalan terbaik untuk mengakhiri semuanya. Dia ingin mengakhiri kehamilannya.

Hari itu dia sedang duduk di ruang tunggu sebuah klinik MR yang terkenal. Tentu saja terkenal di antara ibu-ibu yang ingin melakukan aborsi. Dia sudah membuat janji. Dan sebentar lagi namanya akan dipanggil. Sebentar lagi semuanya akan beres.

Semua pemberian Prasetya akan dienyahkannya .Termasuk cincin berlian yang sudah digadaikannya. Dan bayi dalam kandungan yang akan dilenyapkannya pula.

Tak ada lagi yang tersisa. Semuanya lenyap bersama cinta yang sia-sia!

Pengalamannya dengan Prasetya akan tinggal kenangan. Sama seperti pengalamannya dengan pria-prianya yang lain. Orangtuanya tentu saja kecewa. Tetapi mereka harus tahu, bukan cuma mereka yang keceWa! Bukan cuma mereka yang marah!

Lelaki sialan itu memang pandai menipu wanita. Mempermainkan mereka. Tapi Monika menyumpahinya. suatu hari dia akan ketemu batunya!

Suatu hari Prasetya akan bertemu dengan seorang wanita tua yang jelek dan jahat. Dan dia jatuh cinta setengah mati sampai tak mampu meninggalkannya lagi!

Atau lebih celaka lagi, dia akan dikurung terus di rumah oleh istrinya yang jahat, jelek, dan tua itu. Syukur-syukur kalau dia dirantai di bawah tanah atau di kamar seperti adegan dalam film! Biar

dia tahu rasa! Semoga sumpah serapah semua wanita yang pernah dipermainkannya akan menjadi kenyataan!

Duh, jahatnya perempuan kalau hatinya disakiti! Tapi apa bedanya dengan laki-laki? Batas cinta dan benci memang hanya secarik tirai tipis!

Monika meremas korannya dengan sengit. Amarahnya memang selalu timbul kalau teringat Prasetya. Dia baru sadar dia bukan berada di rumah ketika ibu muda di sampingnya menoleh. Dan melirik koran yang diremasnya.

Jangan-jangan dia mau pinjam koran. Enak saja. Orang lagi kesal! Kalau mau baca koran. beli dong! Sudah tahu nunggunya lama.

Buru-buru Monika meraih korannya lagi. Merapikannya Dan ketika dia sedang merapikan bagian belakang koran itu, matanya terantuk pada sebuah foto di halaman itu.

Monika hampir lupa bernapas ketika melihat foto yang terpampang di depan matanya. Foto seorang pria di atas kursi roda. Seorang wanita tegak di belakang kursinya, seolah-olah sedang mendorong kursi rodanya. Dan mata Monika terbelalak sampai hampir melejit keluar begitu dia mengenali foto siapa itu!

Pria di atas kursi roda itu... mirip sekali Prasetya Sanjaya!

Lekas-lekas Monika membaca teks di bawah foto itu. Dan dia sampai tidak mendengar suara perawat yang memanggil namanya.

"Prasetya Sanjaya. korban terakhir kapal pesiar yang tenggelam sebulan yang lalu. tiba di Jakarta dari Singapura bersama tunangannya, Monika Dian Sari."

"Ibu Monika!" seru perawat untuk keempat kalinya. Matanya menatap Monika dengan kesal.

"Anda mau masuk tidak?"

Tetapi Monika tidak menyahut. Mendengar saja tidak. Seperti orang hilang ingatan. dia bangkit dari kursinya. Dan menghambur ke pintu keluar.

* * *

Prasetya memperoleh kembali kesadarannya setelah hampir sebulan mengalami koma. Dokter menyebutnya keajaiban medis. Tapi ayah Prasetya percaya, Tuhan-lah yang membuat mukjizat itu.

Sayangnya. kesadarannya tidak diikuti dengan kesembuhan total. Dia menderita amnesia. Tidak mengenali siapa pun. Termasuk ibunya sendiri. Bahkan Prasetya tidak tahu siapa dirinya Siapa namanya.

"Amnesia biasa diderita oleh pasien yang mengalami trauma kepala yang berat," hibur dokter yang merawatnya ketika orangtua Prasetya menanyakannya. '
Jangan Renggut Matahariku Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kapan anak saya akan memperoleh kembali ingatannya, Dokter?"

"Tidak seorang pun dapat menerkanya, Bu. Tidak juga dokter yang paling ahli sekalipun. Otak manusia adalah rahasia alam yang terbesar."

"tapi dia bisa sembuh kan, Dok? Maksud saya, ingatannya bisa pulih?"

"

"Kita harapkan begitu. Pak. Tapi waktunya tidak ada yang tahu. Mungkin besok. Mungkin bulan depan. Mungkin pula tiga tahun lagi."

Tiga tahun! Ya Tuhan!

"Kesembuhannya saja sudah merupakan keajaiban, Pak. Jadi tolong, jangan mengharapkan terlalu banyak."

Memang. Dokter itu benar. Ketika maut sudah di ujung jari perawat yang hendak mematikan mesinnya, Prasetya tiba-tiba tersadar dari komanya. Jari-jari tangannya bergerak. Dan dokter memberinya waktu lagi untuk membuktikan. belum saatnya Prasetya mati!

Prasetya siuman beberapa menit kemudian. Bukan hanya jari tangannya yang bergerak. Matanya pun tiba-tiba terbuka. Frida dan ibu Plas menjerit sambil memeluknya.

Sayang, Prasetya tidak mengenali mereka. Dia menatap mereka bergantian dengan tatapan kosong. Seolah-olah bukan Prasetya Sanjaya yang berada dalam tubuh itu!

Tetapi siapa pun yang berada di sana, Frida merasa amat bersyukur. Dia bersimpuh mengucap syukur. Doanya terkabul. Kegigihannya membuahkan hasil. Tanpa kedegilannya memohon agar Prasetya diberi kesempatan lagi, laki-laki itu sudah mati!

"Pras berutang nyawa padamu, Monik," desah ibunya getir sambil mendekap Frida erat-erat. Air matanya membasahi pipi Frida ketika dia melekatkan pipinya dengan penuh terima kasih.

"Hidupnya tidak akan bahagia jika dia melupakanmu."

"Jangan berkata begitu, Tante," Frida melekatkan jarinya di bibir ibu Pras dengan lembut.

"Jangan pernah berkata begitu kepada anak Tante. Karena kata-kata seorang ibu sangat bertuah."

"Tidak," ibu Pras menggeleng mantap.

"Jika dia sudah siap, Tante akan menceritakan perjuanganmu menyelamatkan nyawanya."

"Bukan saya, Tante. Tuhan-lah yang menolong Mas Pras."

"Dan Tuhan telah memakai tanganmu. Karena kamu perempuan yang setia dan berbudi."

***

Tetapi respek dan simpati orangtua Prasetya terbentur pada sebuah kenyataan pahit. Monika muncul malam itu juga di rumah Prasetya.

Begitu menghubungi sekretaris Prasetya. Monika tahu apa yang terjadi.

"Mbak Monik?" gumam sekretaris Prasetya bingung.

"Jadi... bukan Mbak yang mendampingi Pak Sanjaya di Singapura? Lalu siapa yang mengirim pesan ke rumah? Siapa yang... mengaku jadi tunangan Pak Sanjaya?"

Ya, siapa perempuan itu, pikir Monika gemas. Siapa yang berani menyamar menjadi dirinya? Mengaku-aku tunangan Prasetya Sanjaya dan bernama Monika Dian Sari?

Prasetya-kah yang merancang semuanya? Dia yang mengajak pacar barunya berlayar dengan kapal pesiar yang telah dipesan atas nama mereka?

Kapal yang seharusnya menjadi tempat bulan madu mereka! Kurang ajar!

Saking marah dan penasarannya, hari itu juga Monika berangkat ke Jakarta. Orangtuanya yang kebingungan tidak berhasil mencegahnya.

"Kepala dingin bagaimana lagi sih, Pa?" sergah Monika sengit.

"Perempuan itu memakai identitas saya! Dia mengaku-aku tunangan Prasetya! Mengaku bernama Monika Dian Sari! Memang ada berapa orang Monika Dian Sari yang tunangan Prasetya Sanjaya?"

Sebelum berangkat ke Jakarta, Monika sempat menebus cincin pertunangannya. Dia juga masih keburu memasukkan kartu undangan pernikahan yang telah dicetak. Akan dilemparkannya ke muka perempuan itu! Biar dia tahu siapa Monika Dian Sari! Biar dia tahu siapa tunangan Prasetya Sanjaya yang asli!

Ketika melihat perempuan yang muncul dengan wajah diliputi kabut kemarahan itu, Frida sudah punya firasat, dunianya bakal berakhir. Dunianya bersama Prasetya Sanjaya sudah kiamat. Dia harus menyingkir. Meninggalkan tempat yang memang bukan haknya. Meninggalkan lelaki yang bukan miliknya, betapapun dia mencintai laki-laki itu.

Ketika Monika muncul di ruang makan dengan diantar pembantu yang kebingungan, Frida sedang menyuapi Prasetya makan. Ibunya duduk di sampingnya Sementara ayahnya duduk di seberang meja. _

Mereka sama-sama menoleh ketika Monika muncul dengan wajah merah padam. Mata Monika langsung tertuju ke arah Frida. Tatapannya dibakar api kemarahan dan kebencian.

"Siapa kamu sebenarnya?" bentaknya sambil menunjuk muka Frida dengan telunjuknya.

"Beraninya kamu mengaku-aku sebagai diriku?"

Ketika Monika melewati tempat ayah Pras tanpa menoleh untuk menghampiri Frida, ayah Pras langsung berdiri mencegahnya.

"Maaf, bisa jelaskan dulu ini urusan apa?" tanyanya kesal.

"Oom!" cetus Monika sambil menatap pria itu dengan menahan marah.

"Apakah mata Oom sudah selamur itu sampai tidak dapat membedakan saya dari perempuan semacam ini?"

Gambar di koran memang tidak terlalu jelas. Tetapi ketika Monika sudah melihat wanita itu dengan mata kepalanya sendiri. dia benar-benar tidak menyangka. Wanita itu sama sekali tidak secantik yang diduganya. Wanita itu terlalu sederhana untuk ukuran seorang playboy kawakan seperti Prasetya Sanjaya!

Ditegur seperti itu, ayah Pras jadi melongo. Istrinyalah yang sudah keburu mendekat.

"Siapa perempuan ini, Ning?" bentaknya kepada pembantunya yang masih tegak kebingungan di ambang pintu.

"Kenapa dikasih masuk? Segala macam orang tidak keruan kamu izinkan masuk!"

"Itu Non Monik, Bu!" sahut si Ningsih gelagapan.

"Calon istrinya Bapak!"

"Tante lupa sama saya?" sela Monika menahan

kekesalannya. Dasar perempuan tua! Sudah pikun, kali! "Saya Monika. Tunangan Prasetya yang asli!"

"Kamu ?" Ibu Prasetya menggagap bingung.

"Jadi...?" dia menoleh ke arah Frida yang sedang duduk tepekur tanpa berani membantah.

"Jadi...?"

"Dia palsu!" potong Monika geram.

"Dia mengaku-aku tunangan Prasetya! Dia berani menyamar menjadi saya! Biar saya panggil polisi! Supaya diselidiki apa motifnya!"

"Jangan!" cegah ayah Pras tegas.

"Siapa pun dia, dialah yang telah menyelamatkan Prasetya. Kalau dia bukan Monik, dia pasti malaikat yang diutus oleh Yang Mahakuasa untuk menyelamatkan anak kami!"

"Dia penipu, Oom!" geram Monika gemas. Dia berbalik pada Frida dan menghampirinya dengan sengit.

"Lekas bilang apa maumu sebelum kupanggilkan polisi!"

"Siapa kamu?" tanya Prasetya dengan suara tidak senang.

"Kalau kamu tidak bisa bersikap sopan. akan saya usir kamu!"

Dia memang masih kehilangan memorinya. Tetapi dia sudah sadar penuh. Dia tidak tahu siapa wanita yang duduk di sampingnya. Menyuapinya dan melayaninya setiap hari. Tapi siapa pun dia, perempuan asing yang galak ini tidak berhak marah-marah begini di rumahnya!

"Mas Pras!" sergah Monika menahan kejengkelannya.

"Jadi Mas juga lupa padaku? Aku Monika, tunanganmu! Calon istrimu! Ingat cincin ini, Mas?"

Monika mengacungkan jarinya dan memperlihatkan cincin di jari manisnya. Kilau berlian itu menikam mata Prasetya. Mengilaskan secercah kilas balik di otaknya. Tapi hanya rasa sakit yang tibatiba menyengat kepalanya. Bekas lukanya. Dan dia mengaduh sambil memegangi kepalanya.

"Mas?" desah Frida khawatir. Diletakkannya piringnya. Diperiksanya kepala laki-laki itu.

Tetapi Monika merenggut tangannya dengan kasar.

"Jangan sentuh tunanganku lagi!" geramnya sengit.

"Mulai saat ini, kamu tidak boleh menyentuhnya lagi! Lebih baik kamu pergi sebelum kuusir!"

"Saya akan pergi." sahut Frida sabar. Pasrah.

"Tapi ijinkanlah saya menjelaskan semuanya dan meminta maaf...."

"Tidak perlu!"

"Biar dia menjelaskan semuanya," potong ayah Pras dingin.

"Kalau kamu tidak mau mendengarnya Monik. lebih baik kamu keluar!"

Terpaksa Monika mendorong Frida dengan kasar dan mengambil kursinya. Tetapi ketika dia duduk di samping Prasetya dan memeluknya. laki-laki itu malah menyingkirkan tangannya dan menggeser duduknya. Monika membelalak tersinggung. Tetapi Prasetya tidak menggubrisnya sama sekali.

Lambat-lambat Frida melangkah menghampiri ibu Prasetya. Dia bersimpuh mencium tangannya. Tetapi ibu Pras menarik tangannya dengan wajah datar.

"Maafkan saya, Bu." kata Frida lirih.

"Saya

memang bukan Monika. Saya bersalah telah membohongi Ibu, Bapak, dan semua orang. Tapi kalau Ibu percaya, saya melakukannya dengan cinta...."

Monika mendengus sinis.

"Bukan dengan harapan dapat menguasai kekayaan Mas Pras?"

"Diam kamu!" sergah ayah Pras dengan suara dingin.

Frida menatap ibu Pras sedetik. Mengharapkan wanita itu akan memaafkannya. Tetapi melihat wanita itu malah memalingkan wajahnya ke tempat lain dengan air muka kosong, dia sadar. Mereka tidak dapat memaafkannya.

Frida bangkit dengan perlahan-lahan. Kedua kakinya terasa lemah tak bertenaga. Tiba-tiba saja dia baru merasakan keletihan yang telah menumpuk selama sebulan terakhir ini.

Dihampirinya ayah Pras yang masih tegak dengan kedua belah tangan di belakang tubuhnya. Ketika dia hendak bersimpuh di hadapannya, lelaki itu keburu mencegahnya.

"Tidak usah," katanya dingin.

"Katakan saja berapa yang kamu butuhkan supaya kami dapat membalas jasamu."

Frida menatap ayah Pras dengan air mata berlinang. Hatinya terasa sakit. Sakit sekali. Begitukah selalu orang kaya memperlakukan orang miskin? Begitukah selalu anggapan mereka tentang si papa? Uang. Cuma uangkah yang ada di kepala mereka?

"Tidak usah, Pak," sahutnya sambil menggigit bibir menahan tangis.

Sesudah itu dia tidak dapat membuka mulutnya lagi. Karena Frida sadar. begitu dia membuka mulutnya, tangisnya akan meledak tak tertahankan lagi. Dan dia tidak mau menangis di depan mereka. Karena air matanya pun mungkin akan dihitung dengan uang!

Yang dilakukannya terakhir kalinya adalah menoleh ke arah Prasetya. Lelaki itu memang sedang mengawasinya. Tapi baik matanya maupun parasnya tidak menampakkan perasaannya. Wajahnya kosong. Datar tanpa emosi. '

Melihat cara Prasetya menatapnya. Frida insaf, percuma mengucapkan kata perpisahan yang paling manis sekalipun. Sesudah memperoleh kesadarannya, Prasetya seperti menjelma menjadi orang lain. Tak ada lagi Prasetya yang dikenalnya di kapal itu.

Yang hilang dalam dirinya bukan hanya ingatannya. Tapi sekaligus kepribadiannya. Ciri khasnya. Sifatnya. Kelembutannya pada wanita. Daya tariknya. Pandangan matanya yang selalu tersenyum. Senyumnya yang menawan. Semua itu lenyap bersama memorinya!

Hanya karena cintanya yang tulus Frida masih dapat bertahan mendampingi dan melayani lakilaki itu. Dia tidak peduli bagaimana sikap Prasetya. Dia tetap melayaninya dengan sabar dan lemah lembut.

Karena cinta hanya memberi, bisiknya dalam hati. setiap kali Prasetya memperlakukannya dengan dingin. Cinta selalu memaafkan. Cinta itu pengertian. Dan cinta tak pernah menuntut.

Ketika mereka harus berpisah. ketika Frida harus meninggalkannya, dia merasa sangat berat .Seolaholah dia harus meninggalkan sebelah hatinya. Tetapi dia memang tidak punya pilihan lain. Waktunya telah habis. Kesempatannya untuk berada bersama Prasetya telah usai. Dia harus pergi.

Karena itu sambil masih menggigit bibirnya. Frida memutar tubuhnya dan menghambur keluar dari ruang makan. Dia baru menumpahkan tangisnya ketika udara malam yang hangat menyambutnya di luar rumah Prasetya.

Selamat tinggal. Mas, desahnya lirih. Terima kasih untuk. malam tak terlupakan yang pernah kita lalui bersama. Terima kasih untuk saat-saat paling indah yang pernah kauberikan padaku....


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api Pasukan Mau Tahu 13 Misteri Penyamar Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro

Cari Blog Ini