Ceritasilat Novel Online

Karena Wanita 1

Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 1



https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"KARENA WANITA"

HASIL KARYA KHO PING HOO

Bahagian I

"Crok! Crok! Crok!"

Entah sudah keberapa ratus kalinya cangkul itu diayun kembali ke atas kepalanya dan

diluncurkan ke bawah dengan kepastian yang tak dapat disangkal pula, menghantam

belahkan tanah merah di depan kakinya. Tanah merah basah itu menanti pukulan

penyerangnya dengan penuh kesabaran, menyerahkan diri dengan penuh keikhlasan dan

membiarkan sebagian tubuhnya dibelah, diungkit, dan dibuka. Hanya suara crok-crok

berirama bunyi percik air berlumpur itulah yang memprotes. Air yang selalu mudah

tersinggung dan suka marah itu memprotes dengan suara dan perbuatan. Setiap kali mata

cangkul itu datang menyerang, ia memercik ke atas melontarkan lumpur kearah

penyerangnya. Bagian muka kedua kaki Yitna telah berlumur lumpur setinggi paha.

Tapi tanah yang menjadi sasaran utama cangkul Yitna diam saja. Tanah tak pernah

menaruh dendam. Ia tak pernah marah. Ia memberikan seluruh yang ada padanya dengan

tulus ikhlas, bebas adripada kehendak mendapat jasa maupun pembalasan. Ia tidak meminta

dan tidak akan pernah meminta, karena dalam membisunya itu ia maklum dengan penuh

keyakinan bahwa semua itu akan kembali kepadanya. Cepat atau lambat. Tanah selalu sabar

menanti.

Asyik benar Yitna mencangkul. Matanya menentang mengukur tanah, lengan tangannya

menggerak hidupkan cangkul, dan kakinya mengatur langkah menjaga jarak antara cangkul

dan kaki. Mata, tangan, dan kakinya bergotong royong, bekerja di bawah pimpinan perasaan.

Seluruh perhatiannya tercurah penuh kepada barang-barang yang dilihatnya. Tanah, air,

mata cangkul. Tanah, air, mata cangkul. Hanya tiga macam benda itu, yang lain tak masuk

hitungan.

Perubahan warna pada tanah yang membentang di hadapannya tak terlihat olehnya.

Sejam yang lalu tanah itu masih nampak kelabu kehitam-hitaman. Kini berwarna coklat

kemerah-merahan. Perubahan bunyi-bunyian pun tidak terdengar olehnya. Sejam yang lalu,

ketika ia mulai mencangkal, bunyi percik air di depan kakinya masih berselang-seling dengan

bunyi kokok ayam jantan dan bunyi kerik jengkerik kini kokok dan kerik makin berkurang,

terganti oleh bunyi kicau dan nyanyi burung.

Alangkah gembira makhluk-makhluk kecil bersayap itu menyambut datangnya fajar.

Kegembiraan asli, tidak dibuat-buat. Puja-puji yang suci sesuci-sucinya kepada Tuhan Maha

Pengasih. Demikianlah sepatutnya makhluk yang tahu menerima dan menghargai pagi.

Adakah di dunia ini puja-puji yang lebih utama dan suci daripada sifat tahu menerima dan

tahu menghargai pemberianNya?

Dari arah kebun kelapa di seberang sawah terdengar suara burung perkutut diantarahttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bunyi-bunyi burung lain. Cangkul yang telah diayun di atas kepala itu tiba-tiba ditahan dan

diturunkannya kembali perlahan-lahan. Yitna menggerakkan kepala untuk menghadapkan

telinga kirinya kearah suara perkutut itu.

"Perkutut celaka! kutuknya dan dilepaskannya cangkul dari tangan kanan. Tangkai

cangkul itu berdiri miring seperti seorang kakek yang sudah bungkuk.

Telah dua minggu burung itu dikenal mereka. Mula-mula pak Kromo yang mendengar

suaranya. "Dengar Yit, manggungnya benar-benar kung! Alangkah nyaringnya. Aku harus

menangkap burung itu!" demikian kata ayahnya memuji, dan semenjak saat itu, ayahnya

tergila-gila benar kepada bunyi perkutut itu.

"Burung bedebah!" diulangi kutuknya. Diam-diam iapun mengakui bahwa suara perkutut

itu memang merdu, keras, dan panjang-panjang pula. Tapi sungguh edan untuk menjadi

tergila-gila kepada bunyi-bunyian kosong itu. Malu ia ketika mendengar pernyataan ayahnya

kemarin yang disetujui juga oleh kawan-kawannya. Katanya, "Anggung seekor perkutut

keramat lebih sedap didengar daripada suara nyanyian yang manapun. Tiada terlawan! Tiada

teralahkan. Suara Maduraras bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan suara perkutut yang

baik."

Gila benar! Suara Maduraras, ledek (penyanyipenari) Sragen dengan suara peraknya itu

kalah oleh suara perkutut?!?

Sejak didengarnya bunyi burung itu, segala daya upaya telah di jalankan oleh ayahnya

untuk menangkap. Tapi burung itu ternyata tidak mudah ditangkap. "Perkutut keramat

memang tak mudah dipikat," berkata pak Kromo setengah menghibur hati sendiri. Tapi

setelah dua minggu kemudian burung keramat itu belum juga berkenan memasuki perangkap

yang disediakan untuknya, kesabaran meninggalkan hati pak Kromo dan tempatnya segera

diduduki oleh kemarahan. Sebutan bagi perkutut itupun berubah pula dimulut pak Kromo.

Bukan perkutut keramat lagi, tapi perkutut setan, perkutut bedebah, perkutut neraka, dan lain

sebutan yang tak menguntungkan lagi.

Yitna meluruskan tubuhnya dan menggerak-gerakkan tubuh atasnya ke kanan kiri

mengusir pegal. Lalu diisapnya hawa pagi yang sejuk segar itu melalui hidung dan mulutnya.

Dalam-dalam dan banyak-banyak. Sebanyak ruang dadanya dapat menerima. Dadanya

melebar dan pada saat hawa terakhir memasuki tubuhnya, ia seakan-akan merasa bahwa ada

sesuatu terbawa masuk ke dalam tubuhnya, sedetik sebelum hawa di dalam tubuhnya keluar

kembali ke tempat asal. Sesuatu yang tenggelam ke dasar lautan dalam dirinya dan yang

tinggal terletak di situ, yang membawa rasa bahagia dan kepuasan. Pada saat itu hidungnya

menikmati bau tanah yang sedap. Ia memandang tanah sekelilingnya. Telah lebih setengah

sawahnya tercangkul. Dua hari lagi, maka akan siaplah tanah merah subur ini menerima

bibit-bibit padi dan menjaga memeliharanya sampai tumbuh dan besar. Ia memandang puas.

Ditengoknya ayahnya yang tadi mencangkul di sawah sebelah, tapi ternyata pak Kromo telah

meninggalkan cangkulnya. Ia maklum kemana ayahnya pergi dan sekali lagi ia menengok

kearah kebun kelapa dari mana suara perkutut tadi terdengar. Ia menghela napas sekali.

Dalam-dalam, tapi kali ini tiada membawa sesuatu yang tenggelam ke dasar lautan di dalamhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dirinya. Lalu diambilnya kembali cangkulnya dan diayunkannya ke atas kepala, kemudian

diluncurkan ke bawah dengan keras. "Crok! Crok!" dan air memercik-mercik ke atas

membawa lumpur mengotori mata kakinya.

Belum juga sepuluh kali ia mengayun cangkulnya tiba-tiba ia berhenti bekerja pula.

Seperti tadi, ia menggerakkan sedikit kepalanya untuk menghadapkan telinganya kearah

jalan yang menuju ke rumahnya. Dari jauh terdengar suara tembang (nyanyian). Yitna

tersenyum. Dikenalnya habis-habis suara itu suara yang dulu mendendangkan lagu setiap

malam mengantar ia ke alam mimpi. .

Sekali lagi Yitna melepaskan cangkulnya dan sekali lagi ia tersenyum ketika ia

mengarahkan pandangannya ke tempat suara. Sepagi ini ibunya telah menembang. Pangkur

Palaran pula, pikirnya. Ia bangga mempunyai lbu seperti ibunya. Mbok Kromo pandai

menyanyi dan suaranya merdu. Memang ia seorang ledek sebelum menjadi mbok Kromo.

Ketika itu namanya masih Ngatinem, ledek muda yang mulai terkenal di desa Pungkruk.

Banyak lelaki tua muda berlomba untuk mendapatkannya, dengan cara yang sah maupun

tidak. Hampir saja Ngatinem yang masih perawan tak kuat bertahan menghadapi bujukan

dan rayuan yang disertai umpan uang dan perhiasan. Mujur baginya, pada waktu yang

berbahaya itu, datanglah pemuda Rejowinangun yang bernama Pardiman ke desanya,

menjatuhkan hatinya dengan kejujuran sinar matanya dan kebersihan senyumnya. Memang

mujur bagi Ngatinem, karena diantara sekian banyak lelaki yang membujuk-pikatnya, belum

tentu ada seorang yang sesungguh-sungguh Pardiman cintanya.

Pardiman membawanya ke Rejowinangun, sebuah desa di kaki gunung Lawu. Mereka

menjadi suami isteri yang hidup rukun. Setahun kemudian lahirlah Yitna. Seperti kebiasaan

umum di desanya, Pardiman mengganti pula nama kecilnya menjadi Kromosentono. Orang
orang menyebutnya pak Kromo dan Ngatinem dengan sendirinya menjadi mbok Kromo.

Tentu saja dulu mereka disebut kang Kromo dan yu Kromo.

Sesungguhnya ibunya patut dibanggakan, pikir Yitna sambil memandang kearah ibunya

mendatang. Cantik dan setia. Ya ibunya memang cantik. Kembang desa Pungkruk, kata

ayahnya bangga. Bahkan sekarangpun masih cantik. Dan setia pula. Sungguh! Ia lulus

dengan baik dalam ujian kesetiaaan ketika selama Jepang menguasai Indonesia ayahnya

menjadi korban "romusha" yang pada ketika itu disebut pekerjaan kebaktian tanah air. Tiga

tahun mbok Kromo ditinggalkan suaminya. Ia hidup berdua dengan Yitna yang baru berusia

tujuh tahun. Ia masih muda, cantik pula. Godaan-godaan berupa cumbu-rayu lelaki kehausan

nafsu datang berduyun-duyun menguji keteguhan imannya. Tapi mbok Kromo dapat

mengatasi semuat itu dengan hati setia, seperti Dewi Anggraini isteri Raden Palgunadi.

Yitna bangga beribu ibunya. Dipandangnya sosok tubuh ibunya yang kini telah dekat.

Seperti Ibu Pagi sendiri berjalan perlahan, membawa sebuah keranjang gantung di tangan

kiri. Di belakangnya nampak matahari merah bercahaya lembut tersembul di balik gunung.

Sinarnya indah kuning kemerahan melingkungi seluruh tubuhnya, mendatangkan bayang
bayang menakjubkan. Pangkur telah habis dinyanyikan. Mbok Kromo menurunkan

keranjang gantungnya di atas tanggul sawah dan memandang Yitna dengan wajah

tersenyum.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Pagi benar engkau telah datang, mbok," berkata Yitna yang merupakan salam pagi,

karena sesungguhnya, mereka tak mengenal salam seperti "selamat pagi", "selamat malam",

dan lain-lain "selamat" sebagainya.

"Dan engkau, sudah banyak benar engkau mencangkul sepagi ini, Yit," jawab ibunya

yang merupakan salam pagi yang menyenangkan pula. Salam desa yang bersifat saling

memuji ini lebih menggembirakan mereka agaknya daripada "selamat pagi" kita yang lazim.

"Mana bapakmu, Yit?"

"Biasa saja mbok, perkutut itu lagi tentu," jawabnya tak menengok.

Mbok Kromo memandang kearah kebun kelapa dan menghela napas. "Burung itu

mempermain-mainkan bapakmu sungguh." Dan ia lalu pergi menyusul suaminya.

Yitna menghampiri keranjang gantung dan duduk di dekatnya, di atas tanggul sawah

dimana tanah telah mongering putih. Ia mengeluarkan sekalian isi keranjang, dua buah

cangkir kosong yang telah menguning karena tuanya dan sebuah cerek penuh air teh yang

telah menghitam pantatnya karena dijilat api setiap hari. Sedap dan berjasa benar air teh

panas bagi seseorang pada pagi hari sedingin ini, pikirnya, sambil menikmati harum teh yang

menyengat memasuki kerongkongnya. Ditiup-tiupnya teh panas di dalam cangkir yang

dipegangnya untuk mengurangi panasnya dan kadang-kadang dicucupnya sedikit.

Ibunya memang seorang isteri sejati. Mencintai suami. Dan seorang ibu sejati pula.

Cintanya kepadaku melebihi cintanya kepada bapak. pikirnya sambil meneguk tehnya sekali

lagi. Masih teringat olehnya betapa hebat ibunya membela kalau ayahnya sedang marah dan

hendak memukulnya. Bagaikan Dewi Arimbi membela puteranya, ditentangnya segala,

pantang mundur. "Seorang anak harus menurut kepada orang tuanya karena cinta, bakti, dan

taat, bukan menurut karena takut akan pukulan," demikian ia mengalahkan suaminya. Dan

kalau sudah melihat isterinya memandang kepadanya dengan mata basah dan dada menahan

gelombang nafsu amarah, sedangkan di dalam matanya tiada terdapat lagi kemesraan

sebagaimana biasanya terdapat kalau mata itu sedang memandangnya, maka menunduklah

pak Kromo. Ia takluk tak bersyarat. Jika isterinya sudah demikian, maka merasalah ia akan

kelebihan isterinya.

Memang mbok Kromo lebih terpelajar daripada pak Kromo. Ia sampai di kelas lima

sekolah desa, sedangkan suaminya hanya sampai di kelas tiga. Kelebihan dua tahun di

bangku sekolah ini sewaktu-waktu membuat pak Kromo menghargai buah pikiran isterinya.

Bagi pak Kromo sendiri terlampau lama bersekolah adalah tidak perlu. Menghabiskan waktu

saja, katanya. Maka ketika Yitna telah menamatkan pelajarannya di sekolah rakyat desa pada

tujuh tahun yang lalu menyatakan keinginannya hendak melanjutkan sekolahnya kesekolah

menengah di Sragen, ayahnya menentang keras.

"Apa? Sekolah lagi? Kurang banyakkah waktu yang enam tahun engkau habiskan dengan

sia-sia di sekolah itu? Hendak sekolah lagi katanya! Hasil apakah yang kaudapat darihttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sekolahmu? Engkau sudah pandai membaca, menulis, dan menyanyi. Mau belajar apa lagi?

Apa engkau dapat menghasilkan padi yang gemuk dengan membaca atau menulis atau

menyanyi? Apa gunanya pensil, pena, dan buku? Hanya untuk membuang-buang waktu.

Alasan untuk dapat bermalas-malasan. Coba tengok peganganku, cangkul, arit, dan luku.

Dapatkah orang hidup tanpa yang tiga itu?"

"Tapi pengetahuanku masih rendah, pak. Meskipun aku sudah dapat membaca, namun

banyak yang belum kumengerti. Lebih terasa kekuranganku ketika kemarin kubaca koran pak

lurah yang dibawa oleh Jana. Banyak terdapat kata-kata yang tak kumengerti maksudnya.

Lebih-lebih mengenai politik."

"Politik, katamu? Engkau mau belajar polirik? Hendak memolitik siapakah engkau?

Hanya bajingan-bajingan saja yang suka molitik orang." Marahlah pak Kromo mendengar

bahwa anaknya hendak mempelajari politik, sebuah kata yang dibencinya, yang menurut

anggapannya dan juga anggapan hampir semua kawan-kawan di desanya, berarti sebuah

pengertian curang penuh daya-upaya busuk dan mencelakakan.

"Engkau salah paham, pak. Yang kumaksud dengan politik adalah politik negara.

Misalnya politik pemerintah kita sekarang ini terhadap lain-lain negara, dan politik blok

kanan atau blok kiri, dan ........"

"Persetan sama segala politik-politikan!" pak Kromo membentak marah. "Kalau engkau

ingin belajar politik, nanti kuajar engkau bagaimana caranya memolitik tanah. Engkau bisa

molitik tanah sesuka hatimu, dan hasilnya akan memuaskan hati. Aku tidak mengerti

sedikitpun tentang politik yang pasti sekali tidak baik itu."

"Tapi orang sekarang dianggap bodoh dan ketinggalan jaman kalau tidak mengerti

tentang politik, pak."

"Lebih baik bodoh dan ketinggalan jaman daripada pandai dan maju tapi penuh akal

busuk. Ya, begitulah politikmu itu akal busuk belaka." Ia mengangguk-angguk senang
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan kata-kata baru itu untuk menggambarkan kejelekan politik yang tak dimengerti

dan tak disukainya.

"Kalau memang pemerintah kita membutuhkan politik seperti yang kau maksudkan itu,

serahkanlah saja politik itu kepada para pemimpin. Bagian merekalah itu! Bagianmu ialah

mentaati pemerintah, dan politikmu tak lain ialah yang mengenai pekerjaanmu!"

"Tapi, pak .................."

"Cukup! Engkau tidak sekolah lagi, dan habis perkara. Sudah sepatutnya engkau

membantu aku di sawah. Umurmu sudah tigabelas, dan ingat, Yit, sekolah ke Sragen itu

memakai uang dan bapakmu bukanlah orang kaya, mengerti?" lalu dengan marah pak

Kromo berangkat ke kebun, memanggul cangkulnya.

Yitna menahan air matanya yang sudah hampir jatuh dari kelopak matanya. Mbokhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Kromo datang mendekat dan menaruh kedua tangannya di atas pundak anaknya. Sentuhan

tangan yang mesra ini bagaikan mendorong air mata Yitna, tapi ia mengatupkan bibirnya

dengan keras supaya jangan keluar sedu sedan yang sudah memenuhi kerongkongan itu dari

mulutnya.

"Yit, bapakmu benar. Pengertianmu sudah cukup banyak. Aku sendiri takkan senang kau

tinggalkan. Lebih baik engkau mulai belajar tani agar kelak engkau bisa menjadi petani yang

pandai dan kaya." Ia tak mau bicara tentang politik yang sesungguhnya tak dimengertinya

sama sekali, walaupun ia pernah duduk di bangku kelas lima sekolah desa. Dan Yitna

terpaksa menurut. Ia melanjutkan sekolahnya di sawah. Melepas pena memanggul cangkul.

Ayahnya puas, ibunya senang, dan ia sendiri??

"Aku tidak beruntung," bisik Yitna kepada diri sendiri. Digeleng-gelengkan kepalanya

dan dituangkannya kembali teh panas ke dalam cangkirnya yang telah kosong. Ayahnya

memang berwatak keras. Lebih-lebih sekarang, sejak tergila-gila kepada perkutut setan itu.

Tidak, lebih lama lagi, semenjak ia menyatakan maksudnya hendak mengembara sebulan

yang lalu. Maksudnya itu menimbulkan geger (ribut-ribut) dalam rumah. Masih teringat

olehnya perbantahan mereka bertiga tentang maksudnya mengembara itu.

"Engkau gila!" memulai ayahnya ketika mendengar akan maksudnya. "Pergi

mengembara? Meninggalkan kampung halaman dan sawah? Engkau gila! Mencari pekerjaan

di kota, katamu? Di sinipun tak kekurangan pekerjaan. Sawah terbentang luas dan tanah

menanti untuk dikerjakan setiap saat."

"Tapi tanah orang lain, pak," bantahnya.

"Apa bedanya? Bukankah kita juga mendapat upah?"

"Tapi alangkah kecilnya, pak."

"Kecil, katamu? Yitna, engkau tidak menaruh penghargaan kepada tenaga kita. Upah

kecil yang didapatkan oleh tenaga kita itu cukup untuk mengisi perut kita bertiga setiap

harinya! Biar aku dimakan setan kalau itu kecil namanya."

"Memang benar bahwa upah yang kita dapatkan itu cukup untuk mengisi perut kita setiap

harinya, pak. Tapi masih terlampau kecil untuk dapat membeli sarung baru yang kau

inginkan dihari Lebaran yang lampau dan jauh terlampau kecil pula untuk dapat membeli

kain baju simbok. Dan aku aku kepingin membeli sepeda."

"Dan engkau dapat mencari pekerjaan dengan upah besar?"

"Tentu, pak." katanya gembira. "Aku akan bekerja di kota. Gajiku besar dan akan

kubelikan sarung plekat untukmu dan kemeja, dua tiga setel akan terbeli olehku, dan kain

baju untuk simbok dan sepedaku "

"Biar aku dimakan setan! Alangkah sombongnya anakmu ini, mbok. Dengar baik-baik,https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Yitna. Aku tidak suka engkau pergi mengembara. Mbokmu pun tidak. Kami tidak

perkenankan engkau pergi meninggalkan kami. Dan ......rupa-rupanya .......... buku-buku

sekolahmu itulah yang merusak pikiranmu. Pelajaranmu itu telah memupuk nafsu angkara

murkamu sehingga engkau menjadi haus tak kenal puas. Memang, upah kita tidak cukup

untuk memenuhi kehendak nafsu kita, tapi, dimanakah di dunia ini ada upah yang cukup

besar untuk dapat memenuhi dan memuaskan nafsu orang?"

Mbok Kromo yang semenjak mendengar kehendak anaknya telah bermerah mata dan air

matanya tinggal jatuhnya saja, membantu suaminya mengoposisi kehendak Yitna, dan

berkata, "Yitna, ingatlah, nak. Orang tuamu telah tua. Kalau engkau pergi mengembara,

siapa pulakah yang menjadi andalan orang tuamu? Siapa yang akan menjagamu dan

merawatmu nanti bila engkau sakit di kampung orang? Dan, jika aku mati nanti ......" kata
katanya terhenti karena kerongkongannya tersumbat sedu-sedan yang keluar dari dadanya,

air matanya jatuh menitik, "siapakah yang akan memikul ke makam?"

"Ah, engkau berkata yang bukan-bukan, mbok," menghibur Yitna.

"Pendeknya bagaimana juga, engkau tak kuperkenankan pergi merantau," berkata lagi

ayahnya. "Aku tidak suka engkau menjadi rusak seperti orang-orang kota. Tak dapat tiada

engkau akan rusak kalau bercampur gaul dengan segala orang-orang busuk di kota."

"Apa salahnya orang kota, pak?"

"Apa salahnya orang kota? Biar mereka dimakan setan! Darimanakah datangnya segala

bajingan, tukang copet, dan penipu jahat? Dimanakah orang-orang kampung dan petani yang

tadinya jujur menjadi rusak, laki-laki menjadi buaya dan perempuan menjadi jalang? Dimana

lagi kalau bukan di kota? Dan engkau hendak pergi ke tempat macam itu? Tidak! Biar aku

dimakan setan, aku tak suka engkau pergi!"

"Betul, nak, jangan engkau pergi. Kasihanilah mbokmu yang sudah tua ini. Yit. Banyak

jeleknya daripada baiknya yang akan kau dapat jika engkau pergi mengembara. Tidak

teringatkah engkau akan dongeng Dampoawang itu? Bagaimana berbakti ia kepada ibunya

sebelum pergi mengembara. Tapi setelah ia menjadi kaya di dalam perantauan, ia melupakan

ibunya. Ia malu mengaku ibu kepada ibu kandungnya sendiri. Malu karena kemiskinan

ibunya. Ia menjadi buta karena harta benda yang didapatkannya di kota, nak. Dan akhirnya

ia kena kutuk, mendapat celaka. Jangan engkau menjadi seperti Dampoawang, Yitna,"

dengan menggunakan ujung bajunya, mbok Kromo mengeringkan pipinya yang basah.

Demikianlah, telah sebulan ia menahan kehendak hatinya. Tak pernah ia menyinggung
nyinggung perkara mengembara itu di depan ayah ibunya. Tapi ayahnya rupa-rupanya

maklum bahwa keinginan itu masih dikandungnya. Dan ibunyapun maklum.

"Aku tidak beruntung," bisik Yitna kepada diri sendiri untuk kedua kalinya.

Diletakkannya cangkirnya ke dalam keranjang kembali dan dengan hampir marah ia berdiri

lalu menghampiri cangkulnya. Kemudian ia melepaskan kekesalan hatinya kepada tanah di

depannya. Dicangkulnya kuat-kuat dan dalam-dalam, seakan-akan tanah jua yanghttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

membuatnya tidak beruntung. Ia mendapat ketika membalas sakit hatinya kepada tanah. Dan

tanah diam saja, sabar menanti!

Ia tidak mendengar ayah bundanya mendatangi.

"Yit, berhentilah dulu. Mari kita minum teh dan mengobrol sebentar."

"Tadi aku sudah minum, mbok," jawabnya, tapi ia berhenti juga mencangkul,

menghampiri mereka dan duduk di atas tanggul di belakang ayahnya.

"Biar dimakan setan perkutut neraka itu, belum pernah kujumpai burung yang sesukar itu

dipikat," merongseng ayahnya sambil menerima cangkir yang sudah diisi penuh dengan air

teh oleh ibunya.

"Ah, engkau ini hanya memikirkan burung saja, pak," mencela mbok Kromo. "Seolah
olah tiada yang lebih penting daripada burung itu."

Ketika pak Kromo menjenguk ke dalam keranjang, mbok Kromo berkata dengan suara

menyatakan menyesal dan minta maaf, "Tidak ada apa-apa, pak. Ubi kita sudah habis."

"Tapi nanti siang kita makan dengan bakmi," ia segera menyambung bicaranya dengan

suara menghibur ketika dilihatnya pak Kromo menghela napas. "Malam tadi yu Darmo

mendapat kiriman dari menantunya di Sragen dan aku diberinya sebungkus."

"Bakmi? Digodok saja, mbok, jangan digoreng. Digodok lebih segar dan lezat," Mbok

Kromo mengangguk tertawa.

"Akupun mengerti kesukaanmu, pak," katanya dan pak Kromo tertawa pula. Mbok

Kromo melihat Yitna tunduk saja lalu memberi isyarat kepada suaminya sambil memandang

Yitna. Pak Kromo mengangguk dan lalu menggerakkan tubuhnya menghadapi anaknya.

"Yit, tahukah engkau, sudah berapa umurmu?" ia menanya.

Yitna menggerakkan kepalanya dan memandang mata bapaknya dengan heran, tapi ia

menjawab juga, "Duapuluh, kalau aku tak khilaf, pak."

Pak Kromo mengangguk-anggukkan kepalanya yang sudah mengelabu di atas telinga.

"Duapuluh tahun tidak kecil lagi," katanya perlahan seakan-akan ditujukan kepada diri

sendiri, lalu disambungnya, kini melihat kepada anaknya, "Sungguh, Yit. Duapuluh tahun

bukan kecil lagi namanya. Dulu bapakmu ini kawin ketika masih berumur delapanbelas

tahun."

Yitna tidak melepaskan pandangnya dari muka ayahnya. "Apa maksudmu, pak?"

"Begini, Yit," menyambung mbok Kromo untuk menolong suaminya yang nampak

seakan-akan malu dan sukar untuk menjawab, "bapakmu dan aku sekarang sudah tua danhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sudah sepantasnya mempunyai menantu."

"Bahkan sudah patut mempunyai cucu!" menambah pak Kromo.

"Karena itu" menyambung ibunya, "sudah sepatutnya engkau kawin dan menurut

pandanganku dan bapakmu, Sutinah adalah seorang gadis yang sehat dan rajin, pantas

menjadi menantuku."

"Bahkan cukup cantik!" menambah pula pak Kromo.

"Sutinah? Di sekolah dulu ia bodoh dan paling gembeng (suka menangis)! Ah, mbok, aku

tidak ingin kawin." Ia tidak berani menentang wajah ayah maupun ibunya.

"Tapi bapakmu dan aku sudah ingin mempunyai menantu, Yit."

"Aku tidak suka ................... aku benci melihat Sutinah!" ia hampir marah karena malu.

Pak Kromo berdiri. "Anak bedebah! Sombong! Engkau tidak suka dan benci kepada

Sutinah? Engkau? Engkau sudah mempunyai seorang kendak barangkali! Hayo katakan,

jalang mana yang mengeretmu!"

Mbok Kromo berdiri pula dan menentang suaminya, "Allah tobaat! Engkau sudah

kemasukan setan barangkali, pak. Tiada hujan tiada angin engkau memaki-maki. Kita harus

berunding perlahan-lahan. Dan itu tak mungkin kalau engkau hanya marah-marah saja."

Lalu ia menghadapi anaknya kembali dan suaranya berbeda benar dengan ketika ia berkata

kepada suaminya. "Yit, bilanglah padaku, mengapa engkau tidak senang kepada Sutinah?

Apakah barangkali engkau sudah mempunyai pilihan gadis lain?"

Yitna menggeleng-gelengkan kepala, matanya memandang tanah.

"Mbok," katanya kemudian perlahan, "aku sungguh heran mengapa tiba-tiba saja simbok

dan bapak menghendaki supaya aku kawin. Sudah banyakkah uang simpanan bapak maka

ingin mengawinkan aku?" dipandangnya ayahnya dengan berani dan tampak olehnya pak

Kromo menghindari pandangan matanya.

"O, tidak sekarang, Yit." Mbok Kromo segera membela suaminya. "Bapakmu dan aku

akan cukup merasa puas jika engkau sudah mau menerima dan kami akan segera mengajukan

lamaran kepada kang Danu. Soal hari kawinnya mudah diatur belakangan. Tentu saja kita

harus hemat-hemat memakai uang dan sedari sekarang mengumpul-ngumpulkan uang."

"Dan pula," menyambung bapaknya, "kalau engkau sudah mempunyai pacangan

(tunangan), engkau tak mudah tergoda oleh segala jalang!"

Yitna menahan-nahan gelombang marah yang bergulung-gulung dari dalam dadanya

hendak menyerbu keluar. Gatal-gatal lidahnya dan bibirnya hendak meneriakkan bahwa ia

telah dapat menangkap rahasia pikiran ayah ibunya, bahwa ia telah maklum mengapa ayah

ibunya menghendaki supaya ia kawin, bahwa sebenarnya ayah ibunya hanya ingin supaya iahttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

terikat di kampung ini, kawin, kemudian menjadi bapak dari anak-anak, seorang, dua orang,

tiga, empat, bahkan sampai enam orang anak seperti pak Wiryo itu, dan sementara itu, setiap

hari mencangkul, meluku, mengerjakan tanah yang bukan tanahnya, menerima upah yang

hanya cukup untuk mengisi perut lain tidak, lalu menjadi tua, mati hidup di kampungnya,

sampai berkarat di situ juga, menerima nasib, dapat sedikit makan sedikit, dapat banyak

makan banyak, seperti bapaknya ................

"Tidak! Tidak mungkin! Tidak!" pikiran yang terakhir ini diucapkan keras-keras dan

iapun larilah meninggalkan bapak ibunya yang saling memandang, kehabisan akal.

Yitna menjatuhkan dirinya di atas rumput hijau yang masih berselimut embun pagi.

Rumput tebal dan basah itu mendinginkan dadanya yang terasa panas dan membiasakan pula

napasnya yang terengah-engah karena debaran kencang aliran darah dalam urat-urat di

tubuhnya ketika ia berlari keras. Perlahan-lahan rumput dingin sedap dan kesunyian tempat

itu menenteramkan kembali pikirannya dan menyejukkan hatinya. Ia membalikkan

tubuhnya menjadi telentang. Baru sekarang terdengar olehnya bunyi riak air mengalir,

bersenda-gurau dengan batu-batu dalam alirannya, seakan-akan selalu bergembira-riang,

mendendangkan lagu tak kunjung putus, lagu kebebasan abadi. Alangkah nikmatnya

berbaring di situ, pikirnya. Bertilam rumput sedap. Ia memutar-mutarkan pandangan

matanya. Alangkah indahnya di dunia ini. Pohon, daun, kembang, langit biru, awan putih,

sinar matahari yang menembus celah-celah daun pohon, burung-burung, semua itu seakan
akan merupakan kelambu besar nan indah melindungi tubuhnya yang telentang di atas tanah.

Ia merasa bebas, terlepas dari segala yang menyusahkan hatinya. Bebas merdeka!

Yitna bangun duduk tersentak. Bebas merdeka! Itulah yang dibutuhkan. Ayah ibunya

menghendaki ia terikat di kampung. Hendak membuat ia menjadi seperti seekor katak di

dalam sumur, sampai tua dan mati di situ pula, tak sempat menikmati keindahan dunia di

luar sumur.

Sutinah sudah sepantasnya menjadi menantunya, kata ayah ibunya. Cukup cantik untuk

menjadi menantunya. Mereka sudah ingin benar bermenantu dan bercucu. Mereka sudah

sepantasnya bermenantu. Bermenantu! Ya, itulah sebenarnya yang terpenting bagi ayah

ibunya. Bermenantu! Soal bermenantu yang lebih penting, menjadi soal pertama, berkawin

hanya merupakan akibat dari soal pertama. Ia harus menurut dan taat, tak berhak suara,

karena ini adalah soal ayah ibu ingin bermenantu, bukan soal ia ingin kawin!
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sutinah! Hah! Ia tertawa keras-keras, mengalahkan bunyi riak air, ganjil terdengarnya di

tempat sesunyi itu. Sutinah! Gadis genit itu. Dan dulu ketika sedang menonton wayang kulit

di rumah pak lurah ia melihat bagaimana Sutinah dicubit oleh pak lurah dari belakang, dan

gadis yang hendak dijadikan bininya itu hanya terkekeh genit!

Yitna memandang air jernih anak sungai yang mengalir di hadapannya. Alangkah

gembiranya air itu. Dan alangkah senangnya menjadi daun-daun kering yang terbawa oleh

alirannya. Celakalah daun kering yang terhalang batu menonjol di tengah-tengah sungai itu.

Diam dan membusuk di situ! Dan ia harus menjadi seperti sebuah daripada daun-daun yang

berlomba menurutkan aliran air, bukan seperti daun berdiam membusuk di belakang batu. Iahttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

harus bergerak. Ia bebas. Ia harus pergi!

Lapang rasa dadanya ketika dua jam kemudian kakinya melangkah tetap menuju pulang.

Keragu-raguannya lenyap, keputusannya telah tetap. Sedikit gangguan yang merupakan rasa

kasihan kepada ayah ibunya dihilangkan oleh sebuah tuntutan pikiran bahwa ayahnya telah

mempunyai ibunya dan ibunya telah mempunyai ayahnya dan mereka tak boleh merampas

kemerdekaannya!

------ m d n -----
Bahagian Ke II

Senjakala menghilang dan malam datang menyelimuti segala yang nampak dengan tirai

hitamnya. Semua insanpun menghormat dan taatlah kepada kehendak alam ini. Pekerjaan

ditinggalkan dan dicarilah tempat beristirahat melepaskan lelah tnbuh dan pikiran.

Sesungguhnya, telah menjadi hukum alam bahwa orang diharuskan beristirahat dimalam

hari. Mereka yang memaksakan diri bekerja, tentu akan melanggar sebuah daripada tiga

peraturan yang dipakai orang, yaitu peraturan Tuhan, peraturan pemerintahan, atau

peraturan kesehatan.

Tapi setengah orang menderita pula di dalam istirahatnya itu, seakan-akan kegelapan

malam menggelapkan juga pikiran mereka. Lebih-lebih bagi orang-orang kampung yang

miskin. Bayang-bayang kecemasan karena memikirkan kebutuhan esok hari yang belum

tersedia, dan esok harinya lagi, dan lusa ...... dan hari-hari datang tak kunjung habis, dan

malam-malam datang pula membawa bayang-bayang kecemasan dan kesengsaraan, terbawa

ke dalam mimpi, memburu, menyergap, mencekik

Sejak malam belum masuk dan matahari masih memuntahkan sisa cahayanya sebelum

memulai tugasnya dilain muka dunia, Yitna telah berada di kebun kelapa. Ia tengah duduk

di atas sebuah batang pohon kelapa yang rebah melintang dan tengah melihat-Iihat ke atas.

Malam itu adalah malam ketiga ia berada di dalam kebun dengan maksud hendak

mendapatkan perkutut yang digilai ayahnya. Ia ingin memberi sesuatu kepada ayahnya

sebelum ia pergi meninggalkan kampungnya.

Kini ia telah tahu dimana tempat burung itu bermalam, dan akan dicobanya malam ini

daya upaya yang baru. Tadi siang ia pergi kerumah Jamin meminjam perkutut dengan ku
rungnya sekalian. Dan sekarang kurung itu tergantung di atas, diantara cabang-cabang pohon

manggis, satu-satunya pohon bukan kelapa dalam kebun itu. Perkutut Si Jamin bertengger di

dalam kurung, sebelah kakinya terikat untuk menjaga ia terbang keluar dari pintu kurung

yang terbuka. Di dalam kurung telah dipasangnya jerat dan celakalah burung luar kurung

yang berani memasukinya. Yitna tahu bahwa perkutut yang hendak dijerat itu telah berada

pula di dalam kumpulan daun-daun pohon.

Tiba-tiba ia tersentak berdiri dari duduknya. Suara menggelepar di atas pohon itu.

"Rasakan olehmu sekarang, setan!" teriak suara hatinya. Segera ia menarik tali menurunkan

kurung. Hatinya berdebar girang. Perkutut keramat telah terjerat. Kakinya terikat, hasil kerja

per bambu yang dipasangnya. Lihat ia memukul-mukulkan sayapnya membuat perkutut Sihttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Jamin menggelepar-gelepar pula ketakutan.

Diambilnya perkutut keramat dan dimasukkannya ke dalam sebuah kurung yang telah

disediakan sejak dua hari dimuka. Malam itu juga ia mengembalikan kurung dan burung

Jamin. Perkutut baru di dalam kurung masih saja menggelepar-gelepar, takut dan bingung,

tak mengerti apa yang telah menimpa dirinya. Kurungnya lalu digantungkan di belakang

rumah. Lalu Yitna memasuki biliknya. Tempat tidur bambunya berkereot menerima berat

badannya.

Kokok ayam jantan bersahut-sahutan, menghidupkan suasana, yang sunyi-mati dan

mengabarkan kepada sekalian orang bahwasanya malam dingin gelap telah pergi. Yitna

membuka matanya dan dengan perlahan-lahan ia keluar dari biliknya menuju ke sumur

belakang.

Sekembalinya ke dalam bilik ia segera mengumpul-ngumpulkan pakaian dan

membungkus semua itu dalam sehelai kain sarung. Semua ini dilakukan di dalam gelap dan

dengan cepat pula, karena pakaiannya tak banyak. Lalu dikeluarkannya dari dalam saku

celananya sehelai kertas yang telah ditulisinya beberapa hari yang lalu dan diletakkannya

kertas bersurat itu ke atas meja. Kemudian ia berdiri menghadapi bilik yang memisahkan

kamarnya dengan kamar ayah ibunya yang masih sunyi karena mereka masih tidur. "Selamat

tinggal, mbok. Selamat tinggal, pak," demikian bibirnya bergerak seakan-akan berdoa dan

lalu kedua kakinya yang telah hafal benar keadaan biliknya mencari jalan keluar.

Yitna melangkahkan kaki menuju kejalan. Ditengoknya sekali lagi gubuk bapaknya.

Duapuluh tahun ia terkurung di situ. Kini ia terlepas dari kurungan. Bebas merdeka seperti

daun kuning mengikuti aliran air yang hidup. Ia teringat akan perkutut yang terkurung di

belakang rumah. Biar ia merasa, burung keramat itu, pikirnya. Kemarin pagi ia masih

menyanyi gembira di atas dahan daun kelapa. Pagi nanti ia akan menyanyi duka, atau diam

berkabung menyesali untungnya. Kini telah tiba gilirannya untuk menikmati kemerdekaan,

pikirnya. Peduli apa perkutut setan itu. Memang sudah seharusnya demikian. Suka dan duka,

dua saudara sepupu itu berselang-seling menghias hidup, memasak jiwa.

Di dalam suratnya ia menjanjikan bahwa ia takkan melupakan ayah ibunya, bahwa kalau

sudah mendapat hasil ia tentu akan membelikan barang-barang keinginan mereka. Dan lain
lain lagi alasan-alasan mengapa ia hendak mengadu untung dirantau orang. Penghabisannya

ia mengharap agar ayah ibunya tidak menjadi marah kepadanya dan terutama jangan

terlampau bersedih.

Ah, semua itu telah lalu. Tak perlu kupusingkan lagi, pikirnya. Jalan raya membentang

panjang di hadapannya. Angin pengarak pagi menghembus sepoi-sepoi, menggerakkan kabut

putih perlahan-lahan naik menuju bukit disebelah kiri jalan. Udara mulai menjernih. Kokok

ayam mulai menghilang, kini hanya terdengar sayup sampai di belakangnya. Burung-burung

di atas pohon sepandiang jalan yang dilaluinya menyanyi pagi ria gembira, seakan-akan lagu

selamat berjuang baginya. Hawa dingin sejuk menyegarkan dan menjernihkan otaknya.

Karena dingin jua perutnya mulai berbunyi dan terasa lapar.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Perut tak tahu diri, celanya dan mempercepat langkahnya. Dari saat ini ke atas engkau

harus tahan berpuasa, katanya sambil menepuk-nepuk perutnya dengan tangan kiri. Uang

bekalnya hanya Sepuluh Rupiah, tak kurang tak lebih. Hasil simpanannya selama dua bulan

ini, semenjak Lebaran yang lalu. Sedianya uang simpanannya itu dimaksudkan untuk

pembeli pakaian dihari Lebaran nanti.

Sepuluh Rupiah tidak banyak, ya, memang tidak banyak pada waktu nilai uang serendah

itu. Tapi cukup kiranya untuk belanja selama ia belum bekerja. Barangkali dapat bertahan

untuk seminggu, kalau berhemat benar-benar.

Matahari telah mulai nampak tersembul dibalik gunung di belakangnya, merupakan

bundaran merah indah, mengintai di kiri puncak. Kicau burung makin ramai dan makin

gembira pula hati Yitna. Indah benar pemandangan pagi hari itu. Sunyi bersih menyedapkan

mata. Di sawah-sawah pun sunyi karena bibit padi telah tersebar. Di sebelah kiri jalan, sejauh

mata memandang, nampak sawah mendatar luas. Kepunyaan beberapa orang saja, ini Yitna

tahu benar. Di sebelah kanan jalan, tanaman serat nanas menghijau, runcing-runcing

daunnya bagaikan ribuan ujung pedang terhunus, siap digunakan untuk memarang musuh.

Tak lama kemudian dijumpailah olehnya orang pertama di pagi hari itu. Seorang laki-laki

sebaya ayahnya yang memikul kelapa. Suara bambu pikulannya berkereat kereot,

mengingatkan Yitna akan bunyi bale tempat tidurnya. Mereka berjumpa di jalan perempatan

pertama dan menuju sejurusan.

"Ke pasar, pak?" salam tanya Yitna.

"Ya," jawabnya pendek. Yitna harus mempercepat langkahnya karena orang itu berjalan

cepat dan secepat itu pula pikulannya terayun.

"Pasar mana, pak?"

"Sragen," keluar pula jawaban pendek. Penjual kelapa itu makin cepat saja jalannya,

seakan-akan tergesa-gesa. "Mengapa bercepat-cepat benar engkau, pak?"

"Berlumba."

Yitna menengok ke belakang, tapi tak melihat seorangpun. Ia kembali memandang kawan

seperjalanannya dan menanya heran, "Berlumba katamu, pak? Dengan siapa?"

"Dengan Batara Surya!" Yitna ternganga tak mengerti.

"Dengan matahari maksudmu, pak?"

"Ya, dan kalau engkau menanya saja, biniku akan terpaksa berpisah dengan kainnya yang

penghabisan."

"Apa maksudmu, pak? Maaf kalau aku terlampau cerewet, tapi sesungguhnya

keteranganmu itu teka-teki belaka bagiku."https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Orang itu memandangnya dan pandangan mata mereka beradu. Yitna melihat sepasang

mata bersalut keriput, mata orang tua biasa. Orang itu tiba-tiba saja berhenti melangkah.

Diturunkannya pikulan dari pundak. Yitna melihat kulit pundak itu telah menebal di kanan

kiri, seperti kulit tebal pantat kera.

"Anak muda," katanya dengan suara kesal disabarkan. "Engkau sukar mengerti maksud

orang. Nah, dengarlah. Kalau Batara Surya itu lebih dahulu daripadaku sampai ke pasar

Sragen, berarti aku kesiangan. Dan penjual kelapa bukan aku sendiri. Dan sekarang harga

hasil desa makin menurun. Kalau aku datang kesiangan kelapaku ini akan kehabisan harga

baik sehingga terpaksa akan kujual murah supaya dapat pulang hari ini. Dan pendapatan

uang yang sedikit itu tak cukup pembayar utang. Dan, akhirnya, semua itu berarti malang

bagi biniku, karena baju dan kain yang tinggal satu-satunya itu terpaksa digadai pula. Nah,

mengerti engkau sekarang, anak muda?"

Yitna mengangguk maklum. Tentu saja ia mengerti. Hal-hal demikian itu tidak asing

baginya. Lagu lama, lagu pak tani miskin di desa. Setelah meludah sekali di atas tanah

berdebu tak beraspal itu dan membakar ujung sebatang rokok kertas koran yang dijepitnya di

ujung mulut, ia mengangkat kembali pikulannya ke atas pundak kanan dan segera berlari

anjing melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Yitna jauh terbelakang.

Setelah melalui Blimbing yang terkenal dengan serat nanasnya, banyaklah orang-orang

yang seperjalanan dengan Yitna. Tujuan mereka semua hanya satu, pasar Sragen. Hari itu

hari pasaran Sragen seperti terjadi tiap lima hari sekali, yaitu tiap hari Paing. (Di Jawa Tengah

orang mempunyai lima hari pasaran, yaitu, Paing ? Pon ? Wage ? Kliwon dan Legi).

Hanya Yitna seorang diantara mereka yang tidak membawa barang dagangan, hanya

mengepit bungkusan pakaiannya. Kawan-kawan seperjalanannya semua membawa

dagangan hasil kampung. Kayu bakar, ubi, lombok, daun jati, daun pisang, kangkung, dan

segala macam daun-daun lagi yang dapat disayur. Bahkan ada beberapa orang anak

membawa bambu kecil pendek berisi jengkerik. Anak-anak kota paling suka mengadu

jengkerik. Mereka berani membayar setalen untuk seekor jengkerik.

Yitna berjalan perlahan, tidak tergesa-gesa seperti mereka. Ia tidak berlumba dengan

matahari. Ia hendak menikmati pagi pertama dari hari kebebasannya. Sekalian orang-orang

kampung itu setengah berlari-larian, sehingga Yitna tertinggal di belakang untuk segera

tersusul pula oleh yang mendatangi kemudian. Ia tidak khawatir akan dikenal orang, karena

sekalian orang itu orang lain kampung belaka. Orang di desanya jarang berdagang ke Sragen.

Terlampau jauh.

Desa Blimbing jauh di belakang sudah. Perut Yitna berbunyi kembali, cacing perutnya

menggeliat-liar. Tiba-tiba bau sedap bawang digoreng menyerang hidungnya. Cacing

perutnya rupa-rupanya mencium pula bau sedap itu, ternyata dari geliatnya yang makin

menjadi. Tak disengaja benar, jari-jari tangannya telah memasuki saku celananya dan

mempermain-mainkan uang yang berada di dalamnya.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Alangkah sedapnya," pikirnya, "pedagang ketupat tahu rupanya."

"Orang bekerja untuk mencarikan isi perut, kata bapak. Sekarang perutku menagih,

mengapa aku ragu-ragu? Kalau tidak sekarang, nantipun harus kuisi, sama saja. Lebih baik

makan sekarang, uang habis dan soal besok, ya ................ perkara besok sajalah itu."

Dengan pikiran itu masih mendorong bujuk di dalam telinganya, ia mempercepat langkahnya

menuju ke warung nasi di pinggir jalan yang menantang setiap orang lapar.

Seorang perempuan muda menyambutnya dan menyilahkannya duduk dengan

pandangan matanya. Yitna melihat tiga orang tengah duduk mengobrol menghadapi cangkir

kopi. Dari pakaian ketiga orang itu ia dapat menduga bahwa mereka tentu pegawai pabrik

serat. Pak Kerto di desanya yang menjadi mandor pabrik serat di Blimbing pernah pulang

dalam pakaian seperti itu. Yitna lalu mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku

bambu tua menghitam.

"Sarapan (makan pagi) apa, mas?" tanya perempuan muda itu, diiringi senyum paksa

penjual.

"Apa sajakah yang ada?" balas tanyanya.

"Nasi pecel, nasi tumpeng, ketupat tahu ........................."

"Baiklah, tolong beri ketupat tahu sepiring dan minumnya............"

"Teh, kopi, limun .............. ........?"

"Kopi manis secangkir," jawabnya dan menundukkan kepala untuk menyembunyikan

kalamenjingnya berloncat naik ketika ia menelan air liurnya. Perempuan itu mengangguk

manis lalu menyiapkan semua pesanan itu dengan berdiri membelakangi tamu-tamunya.

"Ramping juga pinggangnya, kulitnya kuning dan senyumnya manis," pikirnya
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjumlahkan pendapatan tafsiran mata jantannya. Kemudian iapun duduk menyandarkan

punggung dan melonjorkan kaki dengan hati senang.

"Memang sesungguhnya, seperti bumi dan langit jauh perbedaan antara keadaan kita

dijaman Belanda dulu dan dijaman merdeka sekarang ini." Yitna menengok dan ternyata

suara parau kasar itu keluar dari belakang kumis tebal seorang yang bertubuh besar panjang,

seorang daripada tiga mandor tadi. Wajah yang serem kejam, pikirnya. Kini mata besar

diliputi urat-urat merah itu mengerling liar kearah tubuh bawah pelayan yang bulat besar itu.

"Dulu aku tak lebih tak kurang hanya seorang kuli biasa, tapi sekarang ......." kembali

mata liarnya mengerling pelayan, "gaji cukup, ditambah jaminan keluarga, jaminan, sosial,

belum dihitung penghasilan luar. Ah, memang enak hidup dijaman kita ini!"

"Memang sudah sepantasnya begitu," membenarkan mandor kedua, seorang berkepala

botak, agak lebih muda sedikit daripada si kumis tebal, "kita telah berjuang mati-matian

melawan penjajah Belanda. Kita sudah cukup lama menderita. Tigaratus enampuluh tahun!https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Setelah kini merdeka sudah sepatutnya kita hidup makmur. Sekarang kita telah merdeka,

seratus prosen. Tanah Indonesia ini tanah kita, semua yang berada di Indonesia ini milik kita

sendiri." Ia melihat berkeliling untuk mengetahui pengaruh kata-katanya.

Berubah pandangan Yitna kepada mereka. Orang-orang pandai kiranya mereka ini,

pikirnya. Iapun tidak berani makan cepat-cepat. Dikunyahnya tahu dan ketupat satu-satu,

dengan bibir tertutup, hanya urat gerahamnya di kanan kiri saja yang bergerak-gerak. Cara

bersopan makan ini ditirunya dari orang- orang di desanya ketika mereka makan di hadapan

pak lurah yang sedang mengadakan perayaan sunat anaknya. Ia harus bersopan diri pula di

hadapan orang-orang cerdik pandai macam mandor- mandor itu.

"Memang kita tidak boleh ketinggalan jaman," berkata pula si kumis tebal mengangguk
anggukkan kepalanya yang besar, "jaman ini jaman kita. Kita berada di rumah sendiri. Di

tanah sendiri. Tanah tempat kaki kita berpijak ini tanah kita, kawan. Tanah ini dan semua

yang berada di atasnya." Jari telunjuknya menunjuk ke bawah.

Yitna yang sejak tadi telah tertarik hatinya kini menjadi heran. Tanah ini semua tanah

kita? Berarti tanahnya diuga? Ah, main-main ia tentunya! Iapun mengerling kepada pemilik

warung itu.

Perempuan muda itu memandang kepada si kumis tebal dan berkata dengan suara

menuntut memperingatkan, "Warung ini kepunyaanku."

Mandor kumis itu nampak kaget lalu tersenyum lebar, memperlihatkan dua buah gigi

emas dibarisan atas. "O, ya, tentu tentu, manis. Tapi pernyataanku tadi tidak mengenai

warung ini, tidak kumaksudkan warungmu ini, tapi mengenai tanahnya dan ......."

"Dan tanah ini milik pak haji Jaelani," berkata pula perempuan itu.

"Ya ..ya... akupun tahu pula............" si kumis mengangguk-angguk dan seakan-akan

kehabisan akal diminumnya kopi dari cangkirnya. "Maksudku tanah semua, bukan khusus

tanah tempat warungmu berdiri. Tanah air Indonesia, yang telah kita bela dengan darah

mengalir, ini semua milik kita. Milikmu, milikmu, milikmu, dan...milikku!" katanya sambil

menunjuk dengan telunjuknya berganti-ganti kepada Yitna, lalu kepada perempuan itu, lalu

kepada mandor botak, lalu mandor yang seorang lagi, dan lalu kepada dirinya sendiri.

Yitna tak dapat menahan sabar lagi. Sejak isi piringnya telah habis, pindah ke dalam

perutnya, diikuti secangkr kopi pahit-manis hangat-hangat, telah gatal-gatal bibirnya hendak

menanyakan sesuatu. Kini terdorong oleh pernyataan si kumis tebal yang mengatakan bahwa

tanah semua ini termasuk miliknya juga, ia memberanikan diri berkata,

"Maafkan kelancanganku, saudara." Tadinya ia hendak menyebut den, tapi mengingat

bahwa orang-orang pandai lebih suka disebut Bapak atau Saudara, maka ia menggunakan

sebutan terakhir itu. "Saya masih belum faham benar akan maksud saudara mengatakan

bahwa semua tanah yang terbentang luas ini adalah milik kita. Setahuku, tanah di desaku

adalah milik perseorangan, dan saya sendiri, belum pernah merasakan kenikmatanhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mempunyai tanah sendiri, walaupun hati saya sangat beringin. Barusan saudara mengatakan

bahwa tanah semua ini milik kita bersama, termasuk saya sendiri pula, tapi rasanya tak masuk

akal ........"

Semua orang kini memandang kepadanya, membuat ia malu dan kata-katanyapun

terhenti. Lebih-lebih ketika dilihatnya mata si kumis yang besar dan seram itu

memandangnya dengan tajam dan bibir bawahnya yang tak tertutup kumis berkerenyut

dalam senyum menghina. Ia menundukkan muka, kemalu-maluan. Ia hanya menanti

jawaban si kumis.

"Memang bagi seorang yang tak pernah mengikuti perjuangan kemerdekaan, tak

mungkin pula mengharap memperoleh ganjaran," katanya. "Dan seorang yang terbatas jejak

langkahnya oleh tanggul sawah tentu tak mungkin pula dapat berjuang. Ketahuilah olehmu,

anak muda, bahwa tidak sembarang orang dapat menikmati kemerdekaan kita. Lebih-lebih

tidak, orang-orang yang tidak ikut berjuang melawan penjajah."

"Tapi ayah saya pernah menjadi romusha," berkata Yitna yang teringat cerita orang

desanya bahwa romushapun merupakan sebuah pekerjaan bakti tanah air.

"Romusha?? Ha, ha! Menjadi romusha dijaman Jepang bukan berjuang namanya.

Bahkan satu pekerjaan yang memalukan bangsa kita. Menjadi anjing Jepang! Bah, romusha

Dan engkau anak romusha, ya? Ha, ha. Lihatlah aku ini. Baru seorang pejuang namanya.

Ketika Indonesia sedang bergolak, revolusi memecah, bamboo runcing mengamuk, aku

berjuang mati matian dan menjadi ......"

"Perampok!" menyambung perempuan muda pemilik warung.

Bekas pejuang mati-matian itu kaget dan menengok memandang perempuan yang berani

berlancang mulut sedemikian kepadanya.

"Apa katamu?" tanyanya, kedua matanya disipitkan.

"Kataku engkau berjuang menjadi perampok, penggedor, pembakar rumah!" berkata

perempuan muda itu dengan berani, matanya tajam menentang musuhnya, bibirnya

ditajamkan, sangat manis dalam pandangan Yitna.

"Engkau berani berkata begitu?" suara parau itu heran menggetar.

"Mengapa tidak? Karena itu memang kenyataan. Siapakah yang tidak tahu bahwa engkau

dulu merampok di Sragen? Menjadi romusha jauh lebih mulia daripada menjadi penggedor.

Bapakku dulu juga seorang romusha, bahkan mati di tempat romusha pula! Engkau

menghina pekerjaan romusha, tapi adakah yang lebih hina daripada pekerjaan merampok?"

"Engkau salah paham, manis," si kumis berkata sabar. Tak mudah baginya untuk marah

kepada gadis semerah itu pipinya dan semanis itu bibirnya. "Engkau tidak mengerti.

Perampokan yang kulakukan dahulu itu termasuk perjuangan juga. Aku merampok Belandahttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dan Tionghoa, bukankah itu perjuangan jua namanya?"

"Cis! Tak bermalu! Biar merampok siapa juga, sekali perampok tetap perampok hina."

Kulit muka si kumis memerah seperti udang direbus. "Tini! Engkau keterlaluan. Kalau

bukan engkau yang berkata begitu, sudah kusobek bibirnya. Kau kira engkau perempuan

tercantik? Kau kira aku tak dapat mencari yang lebih ayu? Jangan engkau sombong, Tini.

Kalau aku sudah marah, mudah saja aku menangkap menciumi bibirmu yang lancang itu.

Siapa akan membelamu? Engkau akan ku ........" ia maju menghampiri. Tini menjadi pucat

ketakutan dan mundur menjauhi. Kedua kawan mandor itu mencegah, "Sudahlah, Singo.

Mari kita ke pabrik." Tapi si kumis tak memperdulikan mereka. Ia melangkah maju, matanya

yang besar memerah, hidungnya berkembang-kempis.

"Hm, belum puas rasa hatiku kalau belum mencium mulut manis lancang kurang ajar

ini."

Tiba-tiba perempuan muda itu lari mengelilingi meja dan berdiri di belakang Yitna.

"Tolonglah, mas. Tolonglah aku," bisiknya dan Yitna merasa lengan tangannya terpegang

oleh jari-jari halus dengan erat sekali.

Ia berdiri perlahan melepaskan pegangan Tini. Dengan sekali lompat, Singo sudah berada

di hadapannya.

"Minggir!" dengusnya. "Jangan menghalangi atau akan rusakkan mukamu yang licin ini,

petani busuk!" diamang-amangkan tinjunya di dekat hidung Yitna.

"Tadi kusangka bahwa Tuan adalah seorang pejuang nan cerdik pandai dan gagah

perwira," berkata Yitna, "tapi ternyata......."

"Ya ............. ?" tanya Singo mengandung ancaman.

"Ternyata tak lebih tak kurang Tuan hanya seorang perampok dan bajingan pengganggu

wanita. Lelaki hina, tak bermalu ....."

Secepat tinju lengan besar berbulu itu diayunkan kearah dagunya, Yitna menghela sigap

ke kiri.

"Dahuluilah lawanmu," nasehat Pak Ramaji, guru pencak yang pernah mengajarnya di

desa duiu, masih teringat benar olehnya dan nasehat itupun dipraktekkan sekarang. Tinju

kanannya yang keras menyambar hantam menumbuk dada kanan Singo yang belum dapat

menarik kembali lengannya.

Buk! dan dengan mengeluarkan suara tertahan di dada, mandor tinggi besar berkumis itu

terpental dan roboh menimpa bangku bambu. Pukulan Yitna sekali itu keras benar, terdorong

tenaga besar yang diperolehnya ketika mengerjakan tanah. Singo terbatuk-batuk dan merayap

bangun. Tapi Yitna mendahuluinya pula dengan ayunan kakinya, telak menendang kearahhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

leher. Kembali terdengar suara mengaduh tertahan dan Singo roboh untuk kedua kalinya.

Malang baginya kepalanya membentur ujung meja kayu jati yang berat dan keras. Tapi ia

merayap kembali, matanya bagaikan mata setan memandang Yitna. Mukanya makin seram

karena darah mengalir dari kepala menurun dahinya.

"Bangsat keparat! Rasakan pembalasanku!" Tini memekik kecil ketika melihat tangan

kanan Singo mencabut pisau dari ikat pinggangnya.

"Larilah, mas .................! Lari ..............!" bisiknya, tapi Yitna tak mempedulikannya,

karena seluruh tubuhnya telah terasa panas karena marah. Ia melompat ke depan.

Disambarnya sebuah botol limun yang berisi penuh. Ketika Singo melompat mengayun

pisau, botol limun dilemparkan oleh Yitna kearah mukanya. Suara botol pecah dibarengi

suara mengerang kesakitan diikuti oleh berdebuknya badan Singo yang jatuh tersungkur. Dari

keningnya mengalir darah.

Yitna pucat. Timbul khawatirnya kalau-kalau musuhnya tewas. Kedua kawan Singo yang

tadi hanya menjadi penonton saja kini maju menolongnya. Singo tak berdaya, tangan kiri,

memegang kaki meja dan tangan kanan meraba-raba keningnya. Tapi bibirnya masih ramai

memaki-maki, menyumpah-nyumpah.

Yitna menghela napas. Lenyaplah rasa khawatirnya. Ia memandang keluar pintu. Banyak

orang telah datang melihat perkelahian itu. Banyak diantaranya memandangnya dengan

heran. Bahkan ada suara-suara orang sedang mempercakapkan dan mengagumi

keberaniannya melawan pak Singo yang terkenal seorang jagoan. Ia menengok memandang

Tini yang sedang duduk menangis, menutup mukanya dengan kedua tangannya. Lalu

diambilnya bungkusan pakaiannya dan menghampiri perempuan yang tengah menangis itu.

"Berapa aku harus bayar, dik?" tanyanya kepada Tini, tapi yang ditanya tak menjawab.

Menengokpun tidak. Bahkan isaknya makin menjadi.

Yitna mengeluarkan sehelai uang kertas lima rupiah, ialah setengah daripada seluruh

hartanya dan meletakkan itu di atas meja. Lalu ia melangkah kearali pintu. Tiba-tiba sebuah

tangan yang berjari halus menyentuh lengannya.

"Mas, ambillah kembali uangmu ini. Engkau telah menolongku. Terima kasih banyak

akan budimu, budi yang takkan kulupakan seumur hidupku." Perempuan muda itu

mengembalikan uangnya, tapi Yitna tidak mau menerimanya.

"Simpanlah saja, dik. Untuk pembayar ketupat tahu dan kopi dan selebihnya sekedar

pengurang jumlah kerugianmu." Ia menunjuk kepada pecahan botol, dan lalu pergilah ia

keluar cepat-cepat.

Dipanjangkannya langkahnya. Matahari sudah naik tinggi. Ia harus cepat-cepat sampai

ke Sragen. Tapi, apakah yang akan dilakukan di Sragen? demikian pikirnya bimbang.

Mencari pekerjaan? Tapi, Sragen bukanlah kota idamannya. Terlampau kecil dan terlampau

dekat dengan desanya. Kurang ramai pula. Ia harus bekerja di sebuah kota yang besar danhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ramai. Sekurang-kurangnya di Solo.

Uangnya tinggal lima rupiah. Tapi ia tidak menyesal kehilangan setengah dari uang

bekalnya. Kasihan si manis Tini. Ia puas telah memberi sedikit rasa kepada pak Singo. Laki
laki kotor dan sombong. Orang macam itu mengaku seorang pejuang. Hah! Yitna mengepal

tinjunya. Ia teringat akan kata-kata ayahnya bahwa di kota itu tempat bangsat-bangsat

bertinggal. Seperti pak Singo itukah? Ah, ayahnya tak perlu khawatir, ia tak mungkin akan

menjadi seperti orang itu!

Hari telah siang ketika ia memasuki kota Sragen. Ketika itu pabrik gula "Mojo", satu
satunya pabrik besar yang meramaikan kabupaten Sragen, sedang mati. Tidak menggiling

tebu. Pabrik gula lebih banyak matinya daripada hidupnya. Ia pernah mendengar bahwa

pabrik itu hanya bekerja empat bulan di dalam tempo setahun.

Yitna hanya sebentar berhenti membeli es sirop di depan pasar. Memang benar-benar

ramai hari itu di pasar Sragen. Dilihat dari luar, pasar itu seakan-akan merupakan sebuah

sarang lebah yang besar, dan orang-orang yang keluar masuk melalui pintu pasar itu tiada

bedanya dengan lebah-lebah yang rajin. Kebanyakan perempuan belaka yang memenuhi

pasar. Perempuan-perempuan desa, itu Yitna tahu benar. Kaki telanjang berlumpur, pakaian

kehitam-hitaman, rambut kering mengusut, dan dari mulutnya berhamburan kata-kata dalam

bahasa yang sederhana dan tak dimanis-maniskan, gambaran dari orang-orang bodoh jujur,

itu semua membedakan orang-orang desa daripada orang-orang kota. Perempuan kota

mudah saja dikenal di dalam kandang manusia itu. Kaki berlindung di dalam sandal, pakaian

berkembang aneka warna, rambut licin tersisir rapi, kata-kata yang diucapkannya teratur

pula, diiringi senyum sopan merendah-rendah, gambaran dari orang-orang terpelajar dan

hidupnya terkurung di dalam pakaian, karena dari sandalnya yang berkeriat-keriet sampai

kepada senyum yang diiringi angguk dalam-dalam dan sopan itu, semuanya hanya pakaian

belaka.
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah beristirahat sebentar, Yitna lalu melanjutkan perjalanannya, dilangkahkan

kembali kakinya di atas jalan raja membentang panjang, menuju ke barat. Solo!

------ m d n -----
Bahagian ke III

Telah dua hari Yitna mencoba peruntungannya mencari pekerjaan dengan memasuki

toko-toko dan kantor-kantor, tapi sia-sia. Tak ada sebuah perusahaanpun yang dapat

menerima seorang dengan penddikan hanya sekolah desa. Bahkan telah dimasukinya pula

jawatan Penempatan Tenaga. Tapi dari kantor ini didengarnya keterangan yang makin

mengecilkan hatinya. "Banyak pemuda-pemuda keluaran S.M.A. yang datang juga ke sini

untuk mencari pekerjaan. Maksud saudara untuk bekerja di toko atau di kantor rupa-rupanya

takkan berhasil. Entah kalua bagian pekerjaan yang agak kasar. Kuli harian misalnya ....."

demikian keterangan pegawai jawatan itu dengan suara menyesal.

Karena dari keterangan selanjutnya ia mendengar bahwa, hasil seorang kuli tak lebih

besar daripada hasilnya mencangkul di desa, maka Yitna tidak mau menerimanya, dan iahttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

lalu berusaha sendiri dengan memasuki pula toko-toko untuk tiap kali keluar pula dengan

kecewa.

Sejak hari kemarin ia belum makan. Uangnya telah habis sama sekali. Bahkan dua setel

pakaiannya pun telah dimasukkan ke dalam perutnya. Hari itu hari Minggu. Sejak pagi

kakinya tak mau diam, dan akhirnya ia memasuki pasar Besar. Dilihatnya banyak pengemis

berkeliaran di dalam dan di luar pasar Akan menjadi pengemiskah ia? pikirnya. Ah, tidak

mungkin! Lebih baik mati kelaparan daripada menjadi pengemis. Rendah dan hina. Tiba-tiba

masuk saja ke dalam pikirannya membanding-bandingkan kehinaan seorang pengemis dan

seorang seperti Singo perampok itu. Matanya memandang kearah tiga orang pengemis yang

duduk di depan toko tertutup. Mereka duduk bermalas-malasan. Pakaian- compang-camping,

wajah pucat tubuh kurus tapi perut gendut!

Yitna pergi duduk di atas sebuah bangku bambu yang di tinggalkan dipasar itu oleh

seorang penjual sate, dan ia memikir-mikirkan dan membanding-bandingkan. Apakah jasa

hidup seorang pengemis? Dan apakah kejelekannya? Tentu saja pengemis-pengemis itu

merupakan sebuah pemandangan yang kotor, hina. dan menjemukan. Tapi apakah

perbuatannya mengemis itu merugikan lain orang? Tidak, bahkan perbuatan itu

menggerakkan dan membangkitkan rasa perikemanusiaan, membangkitkan rasa kasihan

yang terlampau sering tertidur dalam lubuk hati manusia. Ya, pengemis tidak merugikan

orang, walaupun pekerjaan itu memang jelek dan memalukan bangsa.

Tapi menjadi seorang seperti pak Singo itu lebih hina lagi. Hidupnya hanya menjadi

hamba nafsu. Berbahaya bagi orang lain. Tentu saja merugikan, bahkan memalukan pula.

Lebih baik menjadi pengemis psminta-minta belas kasihan orang daripada menjadi seorang

pejuang palsu dan pengacau keamanan seperti pak Singo itu, pikir Yitna kemudian.

Bagaimana juga, aku takkan menjadi pak Singo, dan juga tidak menjadi pengemis. Hari

telah sore ketika ia meninggalkan pasar Besar dan kakinya membawanya ke jalan Gading. Ia

berjalan perlahan, karena sesungguhnya tubuhnya telah sangat lelah. Perutnya kosong dan

perih, kerongkongannya kering meminta siraman air. Tapi kemanakah ia harus mencari air

minum? Gangguan dahaga lebih hebat daripada lapar. Maka setiap kali terdapat pedagang es

sirop di pinggir jalan, dipaksanya matanya untuk memandang ke lain jurusan agar tidak

melihat air jernih menetes-netes dari es yang putih beruap itu.

Ia teringat akan kekosongan perutnya kalau sedang berpuasa selama bulan Puasa. Tapi

berbeda benar perasaan lapar dan haus ketika itu dengan yang dideritanya sekarang. Dulu

perasaan lapar dan haus itu bahkan dirasakannya menyenangkan dan membesarkan

kenangan nikmat berbuka puasa di senja hari. Tapi sekarang tiada kenangan demikian itu.

Bahkan makin dikenang, makin dibayangkan, makin bingunglah ia memikirkan nasibnya

besok dan lusa.

Matanya memandang dengan acuh tak acuh kearah rumah- rumah gedung dengan taman

bunganya yang indah di sepanjang jalan yang dilaluinya. Tiba-tiba ia melihat seorang tua

sedang mencangkul. Cangkul itulah yang memaksanya untuk memperhatikan orang itu.

Seorang tua berpakaian piyama mengayun cangkul di dalam kebun bunga. Di dekatnyahttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

berdiri seorang gadis memegang sebuah linggis kecil. Yang menarik perhatiannya ialah cara

orang tua itu mencangkul. Canggung benar. Salah-salah akan tercangkul kakinya yang

bersandal itu, pikir Yitna.

Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah pikiran. Ia berhenti bertindak. Mengapa tidak? Lebih

baik daripada menjadi kuli, pikirnya. Dan jauh lebih baik lagi daripada mati kelaparan di

pinggir jalan. Iapun lalu melangkah memasuki pintu depan yang terbuka. Sengaja diinjaknya

batu-batu kerikil di jalan kecil itu keras-keras supaya orang tua itu mendengarnya. Ketika

orang tua itu menengok, Yitna telah berdiri di dekatnya dan menganggukkan kepala dengan

hormatnya.

"Permisi, ndoro," salamnya merendah.

Orang itu meluruskan pinggangnya dan lima jari tangan kanannya menekan-nekan

punggungnya yang terasa pegal karena membungkuk. Gadis itu menengok pula dan

memandangnya dengan heran.

"Ada apa, anak muda?" menanya orang tua itu dengan suara manis.

"Saja mohon pertolongan ndoro, sudilah kiranya memberi pekerjaan kepada saya," suara

Yitna agak gemetar, penuh pengharapan.

"Oh, engkau mencari pekerjaan?"

"Betul, ndoro. Saya datang dari desa, ingin sekali bekerja di kota ini." Ia telah siap untuk

menerima penolakan, seperti yang telah diterimanya berkali-kali kemarin dan kemarin dulu.

Orang tua itu mengangguk-angguk dan memandangnya dengan penuh selidik. "Engkau

berijazah apa?"

Pertanyaan yang sama, pikir Yitna. Tak dapat ia menjawab, hanya menggeleng
gelengkan kepala.

"Pernah bekerja di kantor?" Kembali kepalanya digelengkan, harapannya menipis.

"Ada pengalaman bekerja?"

"Tidak ada, ndoro. Saya belum pemah bekerja di kantor. Pengalaman bekerja kantor

belum pernah saya rasai."

Orang tua itu memandangnya heran. "Habis, apa saja yang dapat kaukerjakan?"

Yitna memandang kearah cangkul yang masih berdiri di belakang orang tua itu dan

dengan menunjuk kepada barang itu dan ia berkata, "Saya pandai mencangkul, ndoro!"

Orang itu makin heran dan akhirnya tertawa. Gadisnya ikut tersenyum pula, hal yanghttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menyakitkan hati Yitna benar.

"Saya anak petani, ndoro. Dan saya kuat melakukan pekerjaan yang berat-berat," ia ingin

mengatakan bahwa tidak sepatutnya pekerjaan mencangkul itu ditertawakan, tapi ia tak

berani.

Orang tua itu tak menjawab, hanya berdiri memandangnya, nampaknya ragu-ragu.

Gadisnya lalu berkata, suaranya merdu dan manis terdengar oleh Yitna, matanya bercahaya

mengingatkan Yitna akan bintang di langit.

"Ayah, barangkali ayah membutuhkan tukang kebun?"

"Tukang kebun?" mengulang ayahnya, masih ragu-ragu.

"Saya sanggup untuk bekerja sebagai tukang kebun ndoro " berkata Yitna cepat-cepat,

sakit hatinya karena ditertawakan oleh gadis tadi lenyap terganti rasa terima kasih.

Orang tua itu mengangguk-angguk, memandang kembali kepada Yitna dan lalu

menengok kearah cangkul. Jari-jari tangannya kembali menekan-nekan pinggangnya.

"Baiklah, tapi upah tukang kebun tidak besar."

"Saya tidak menghendaki upah besap ndoro. Asal mendapat makan dan tempat

menidurkan badanku yang hina ini cukuplah."

"Tentu engkau kuberi upah. Limapuluh rupiah sebulan, makan duakali dan soal tempat

tidur, ya ........................................................... dapat diatur nanti, digarasi masih ada tempat

barangkali."

"Terimakasih, ndoro." segera dipegangnya cangkul itu dan ia bertanya, "Manakah yang

harus dikerjakan, ndoro?" Orang tua itu tersenyum melihat kesediaan Yitna.

"Kami baru saja pindah kesini, maka kebun ini belum terurus. Aku ingin membuatnya

menjadi taman bunga. Buanglah terlebih dulu semua rumput-rumput. itu." Kemudian ia

memberi petunjuk kepada Yitna. Setelah itu ia lalu mengajak gadisnya masuk. Yitna

memulai dengan cangkulnya. Tapi sebelum mereka memasuki pintu rumah, gadis itu berkata

sesuatu kepada ayahnya, dan Yitna dapat melihat ini dari sudut matanya. Orang tua itu

kembali pula dan menanya kepadanya apakah ia sudah makan. Dengan sejujurnya dijawab

belum, dan orang itu menyuruhnya makan lebih dulu di dapur, dimana Tarmi, pelayan

mereka, gadis muda hitam manis, melayaninya dengan ramah tamah.

Sehabis makan, Yitna kembali pula kepada cangkulnya dan ia melanjutkan pekerjaannya.

Dua piring nasi dengan sayurnya yang dimasukkan ke dalam perutnya itu mengembalikan

tenaganya yang seakan-akan meninggalkan tubuhnya ketika perutnya kosong tadi. Cangkul

diayun cepat, pukulannya keras membelah tanah dan tubuhnya tak kenal lelah. Ia

mencangkul dan mencangkul dengan perasaan berterima kasih kepada cangkul yanghttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dipegangnya, lebih-lebih kepada orang tua itu dan terlebih-lebih sekali kepada gadis bermata

bintang itu.

Gadis cantik jelita, pikirnya. Kulitnya kuning bersih. Rambutnya yang hitam panjang

dikepang dua. Bibirnya, hidungnya, raut mukanya, cantik dan indah jelita! Lebih-lebih

matanya, ah, hanya Dewi Komaratih saja yang mempunyai mata seindah itu. Suaranya

merdu halus, seperti seperti perkutut keramat yang digilai ayahnya! Ayahnya tentu tak

berani membandingkan suara perkutut keramat itu dengan suara gadis ini.

"Berhentilah mencangkul. Hari sudah mulai gelap." Yitna terkejut dan tersadar dari

lamunannya. Cangkul yang sudah hampir terayun ke atas itu ditahannya. Ia menengok,

memandang bingung.

"Berhenti, .............. den roro?" tanyanya gugup, khawatir kalau-kalau sebutan itu kurang

tepat.

Gadis itu tersenyum. "Ya, apakah engkau mau bekerja dalam gelap juga?"

"Kalau perlu saya sanggup, den roro. Sudah biasa saja mencangkul, walau di dalam gelap

malam sekalipun. Sudah pekerjaan saja sejak kecil." ia puas melihat gadis itu tidak marah.

"Besok masih ada hari. Berhenti dan mengasolah. Kata ayah tadi engkau dapat bermalam

digarasi. Tanyalah saja kepada Tarmi."

"Baik, den roro," ia mengangguk hormat, tidak berani menentang mata bintang itu lama
lama.

Gadis itu hendak melangkah keluar, tapi ditahannya dan ia menengok. Dilihatnya Yitna

masih memandangnya, tapi segera menunduk ketika pandangan mata mereka beradu.

"O ya," katanya cepat-cepat, "dan engkau jangan menyebut ndoro kepada ayah, cukup

dengan tuan saja. Tuan Harjo."

"Baik, den roro."

"Dan kepadaku cukup dengan nona saja."

"Nona ..............? Cuma nona saja ....................?"

"Boleh ditambahkan .................... Ratna. Namaku Sri Ratnaningsih."

"Baik, nona ................. Sri!"

"He?! mengapa nona Sri?" mata bintangnya melebar heran.

"O, maaf, nona .................. Ratna. Saja teringat akan seorang gadis di desaku yang

bernama Sri juga." Yitna menunduk malu.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Gadis ................... kawanmukah? Cantikkah ia?"

"Bukan main cantiknya, nona Ratna. Dan ia yang terpandai dikelasnya."

"Murid SMAkah ia? Atau SMP?"

"Bukan, nona. Ia duduk di kelas tiga SR!"

"Ooo ......................."

"Ya, nona Ratna. Ia baru berumur sembilan tahun".

"Hm ........" Yitna melihat gadis itu menggigit bibirnya.

"Kalau begitu, bolehlah engkau menyebutku nona ......Sri, atau Ratna, bagiku sama saja."

"Terimakasih, nona."

Gadis itu akan bicara puia, tapi ditahannya. Ia merasa tak pantas bicara banyak-banyak

dengan tukang kebunnya, seorang pemuda pula. Ia memutar tumitnya hendak melangkah

menuju ke pintu luar. Tapi pada saat itu ayahnya keluar, berpakaian setelan putih dan

wajabnya nampak gembira.

"Engkau belum pergi, Ratna? He, engkau masih bekerja?" tanyanya kepada Yitna.

"Baru saja aku menyuruhnya berhenti, ayah," kata Ratna tersenyum. "Kalau tidak

barangkali ia akan mencangkul terus sampai dunia kiamat!" Mereka tertawa. Yitna hanya

tersenyum malu.

"Jika engkau hendak makan, minta saja kepada Tarmi." berkata pak Harjo. "Dan

mintalah juga tikar dan bantal kepadanya. Hayo, Rat, kita pergi." Tapi ia teringat sesuatu

dan menengok kembali.

"O, ya. Siapa namamu?"

"Saya Yitna, ndoro ................. eh, Tuan. Lengkapnya Prayitna."

Pak Harjo agak heran, tapi Ratna segera menerangkan, "Aku yang menyuruh ia

menyebut engkau Tuan, ayah."

Pak Harjo mengangguk-angguk. "Ya ya. Akupun sudah bosan mendengar sebutan

kendoro-ndoroan." Mereka lalu pergi.

Yitna memanggul cangkulnya menuju ke dapur di belakang gedung.

"Taro saja cangkul itu disudut sana, mas Yitna," berkata Tarmi, "dan pergilah mandihttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dulu. Nanti kita makan bersama. Tikar dan bantal untukmu ielah kusediakan di garasi. Dulu

mas sopir tidur di situ, tapi sopir yang sekarang ini orang sini dan ia tak pernah bermalam di

sini."
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terimakasih, dik Tarmi. Engkau sungguh baik hati."

"Aah! Kita senasib harus saling menolong, bukan?"

"Senasib??"

"Engkau tukang kebun, aku pelayan, sama-sama buruh rendah, bukankah itu senasib

namanya?" katanya tertawa, memperlihatkan barisan gigi yang tidak rata, tapi putih

terpelihara.

"Mungkin engkau benar." Yitna mengangguk, tertawa pula, lalu pergi membersihkan

badan ke dalam kamar mandi yang khusus disediakan untuk pelayan.

Sehabis mandi tanpa mengganti pakaian, karena hanya yang menempel di tubuhnya

itulah pakaian satu-satunya, Yitna bermakan malam dengan Tarmi. Dari gadis pelayan ini ia

mendengar bahwa majikannya adalah seorang pegawai tinggi di kantor DKA. Mempunyai

sebuah mobil yang kini sedang masuk bengkel. Seorang duda berpenghasilan besar. Ratna

adalah anak tunggal. Masih duduk di SMA kelas III. Mereka masih kaum ningrat, bahkan

ibu Ratna yang telah meninggal dunia dua tahun yang lalu, adalah masih dekat dengan

kraton, kata Tarmi. Kemudian Tarmi mengatakan bahwa pak Harjo adalah seorang sabar

yang sayang sekali kepada anaknya. Dan bahwa Ratna adalah seorang gadis modern.

Kemudian Yitna terpaksa mendengarkan pula riwayat singkat Tarmi sendiri. Bahwa ia

adalah orang Solo asli dan bahwa ayahnya telah mati menjadi korban serangan Belanda, dan

bahwa ibunya lalu kawin dengan orang lain, kini berada di Semarang. Dan Tarmi pernah

kawin dengan seorang tentara, tapi hanya bertahan lima bulan.

"Ia mata keranjang benar-benar, mas. Semenjak kawin ia berubah benar, bahkan berani

bermain gila dengan seorang gadis tetangga. Ah, lelaki celaka betul ia, mas. Lalu kami

bercerai dan aku bekerja di sini. Aku senang benar bekerja di sini. Pekerjaan tidak berat,

majikan tua muda berhati baik."

"Sudah lamakah engkau bekerja di sini?" Yitna menanya.

"Sudah empat tahun. Semenjak den Nana masih ada di SMP."

"Den Nana siapa?"

"Itu, den Ratna," katanya ketawa, "ia biasa menyebut nama sendiri Nana. Ibunya dulu

menyebutnya pun begitu."

Yitna berdiri dari kursinya. "Maaf, dik Tarmi. Aku ingin beristirahat," katanya dan

melangkah kearah garasi.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Engkau tidak mengganti pakaianmu, mas Yitna?" dan ketika melihat Yitna

menggelengkan kepala kemalu-maluan ia segera menyambung, "Ah, maaf, mas. Aku tidak

menyangka bahwa engkau tak mempunyai ganti." Segera ia berlari ke biliknya dan keluar

pula membawa sebuah baju piyama.

"Ini, pakailah. Ini baju piyama pengasih ndoro. Karena sudah tua maka kemarin akan

dijual, tapi kupinta untuk kupakai tidur. Pakailah, pakaian ini bersih, belum kupakai,"

katanya tertawa pula.

"Ah, terimakasih, dik. Sungguh-sungguh engkau baik-hati."

"Kawan senasib, kataku tadi," ia memperingatkan.

Malam itu Yitna tidur dengan nyenyak dan puas.

Telah sebulan lamanya Yitna bekerja menjadi tukang kebun. Selama itu ia telah

mengerjakan taman bunga dengan penuh kerajinan. Kini bibit-bibit bunga yang ditanam

olehnya atas petunjuk Ratna dan ayahnya telah mulai bersemi. Bahkan Dahlia dan Mawar

cangkokan dari Tawangmangu kini telah berkembang.

Ternyata sebagaimana yang diceritakan Tarmi, pak Harjo sangat sabar dan berhati baik.

ia mendapat hadiah sesetel piyama dan sesetel kemeja dan celana yang masih baik, walaupun

agak sempit untuknya. Tapi yang herkesan dalam-dalam dihatinya, ialah pemberian selimut

dari Ratna. Teringat selalu olehnya kejadian seminggu yang lalu.

Ketika itu ia sedang tidur ketika Ratna dan ayahnya pulang dari menonton film. Karena

mereka berhenti berbelanja direstoran, mereka tiba di rumah sudah jam duabelas malam.

Yitna terbangun dari tidurnya dan membuka pintu garasi.

Malam itu sangat dingin, karena sejak pagi tadi hujan turun saja. Pak Harjo setelah turun

dari mobilnya, segera mendahului Ratna memasuki rumah. Ratna mernandang kepada Yitna

yang hanya bercelana piyama dan berbaju kaos. Bajunya semua masih basah karena tak

mendapat sinar matahari dalam sehari itu. Jelas nampak bahwa ia kedinginan. Ratna

memandang kearah tempat tidur Yitna. Sehelai tikar di atas lantai dan sebuah bantal, lain

tiada.

"Engkau tak berselimut, kang Yitna?" sudah biasa Ratna menyebutnya kang dan Yitna

senang benar dengan sebutan itu.

"Tidak, nona."

"Dalam hawa sedingin ini?"

"Saya tidak mempunyai ................ ah, saya tidak merasa dingin, nona."https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Engkau bohong," katanya perlahan lalu meninggalkan ruangan garasi.

"Selamat tidur, nona Ratna," berkata Yitna perlahan.

Dan pada besok harinya, pagi-pagi sekali Tarmi menyerahkan padanya sehelai selimut.

"Pemberian den roro Nana." katanya. Yitna menerimanya dengan dada berdebar.

Selimutnya! Tentu selimutnya. Ah, ia sangat gembira. Kalau ia diberi selimut baru dan mahal

sekalipun, tak kan sesenang itu rasanya. Selimut Ratna! Sejak malam itu, setiap tidur Yitna

berselimut kembang itu, dan sering bermimpi berjumpa dengan Ratna.

Dalam waktu sebulan itu, sering timbul pikirnya, apakah yang akan dicapainya dengan

bertukang kebun. Beberapa kali datang kehendaknya untuk minta berhenti dan melanjutkan

perantauannya. Ke Semarang atau Jakarta. Tapi bayangan Ratna dengan mata bintangnya

membuat ia lemah dan tidak sanggup meninggalkan rumah gedung di jalan Gading itu!

Memang aku lemah, demikian pikir Yitna dengan perasaan tak puas kepada diri sendiri.

Aku keedan-edanan. Sungguh tak tahu diri tergila-gila kepada Ratna! Ia, seorang tukang

kebun! Bagaikan seekor katak merindukan bulan.

Yitna marah kepada perasaan sendiri. Malam itu ia tiada kerja. Pak Harjo dan Ratna sejak

sore tadi telah pergi keluar rumah. Berbaik dengan Tarmi menjadi berbahaya juga, karena

kini Tarmi bersikap terlampau baik padanya. Bersikap memikat, menarik, menantang, tanda
tanda dari seorang wanita terjerat perangkap asmara. Yitna segera mengganti pakaiannya

dengan celana dan kemeja pemberi majikannya dan karena baru pagi tadi ia menerima gaji,

maka dalam saku celananya terdapat uang limapuluh rupiah.

Malam hari Minggu. Di sepanjang jalan yang dilaluinya ramai orang berpesiar dengan

gembira. Lebih-lebih di Sriwedari, karena pada malam hari itu rombongan sandiwara

"Pelangi" bermain di gedung wayang orang.

Yitna ikut berdiri di dalam antrian yang panjang. Dan setelah mendapatkan karcis kelas

II, ia memasuki ruangan gedung yang telah penuh dengan penonton. Ketika ia sedang berdiri

mencari-cari tempat kosong dengan pandangan matanya, tiba-tiba terlihatlah olehnya Ratna

dengan beberapa orang gadis lain duduk dibarisan terbelakang dari kelas I. Hatinya berdebar.

Aneh, mengapa ia merasa sangat girang melihat gadis itu di sini? Ia lalu mendapatkan sebuah

ku

rsi kosong yang agak jauh di belakang tempat Ratna dan kawan-kawannya. Tapi ia dapat

melihat gadis itu.

Semenjak sandiwara dimulai sampai tiba waktu istirahat, perhatian Yitna terbagi dua

antara permainan di atas panggung dan Ratna. Ia tak dapat melepaskan pandangannya lama
lama dari gadis majikannya itu. Maka ketika dilihatnya Ratna bersama seorang kawannya

berdiri dan keluar pada waktu beristirahat, iapun keluar pula.

Dari belakang dilihatnya Ratna dan kawannya itu menghampiri seorang penjual rokok

permen, dan membeli permen. Pada saat itu terdenear Ratna memaki agak keras, "Bangsat

kurang ajar kau!" Yitna terkejut dan melihat dua orang pemuda tersenyum-senyum danhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

berlagak di depan Ratna. Ia segera mendekati.

"Engkau terlampau angkuh, nona manis. Sudah sepatutnya dalam tempat ramai seperti

ini orang bersentuh-sentuhan, disengaja maupun tidak. Dan pinggangmu tersentuh oleh

tanganku dengan tak disengaja, mengapa engkau marah-marah?" berkata seorang daripada

mereka dengan masih tersenyum.

"Kalau marah makin bertambah manisnya," menggoda pemuda kedua.

"Memang kalian orang tak beradat. Tak bersopan, tak bermalu." Ratna segera menarik

lengan kawannya untuk diajak kembali memasuki ruangan gedung sandiwara. Tapi kedua

pemuda itu segera mendahului dan menghalang jalan.

"Eit, nanti dulu, nona manis. Engkau telah memaki-maki, kami. Tapi kami tak pernah

membalas. Kami pun tak ingin membalas, hanya engkau harus memberitahukan nama dan

tempat tinggalmu," berkata pemuda pertama.

"Ya untuk pembayar maki dan cacimu tadi," berkata yang kedua.

"Pergi kau!" tapi mereka hanya tersenyum mengejek. Tiba-tiba mereka melihat seorang

pemuda mendekati mereka. Ratna memandangnya dengan heran, ketika mengenal bahwa

pemuda itu adalah tukang kebunnya.

"Jangan mengganggu wanita. Itu bukan laki-laki namanya," menegur Yitna. "Hayo pergi

kalian!"

Kedua pemuda itu menjadi marah. "Apa? bukan laki-laki? Kaukira engkau sendiri yang

jantan?"

Yitna tak mempedulikan mereka, tapi segera memandang Ratna dan berkata, "Masuklah

kembali, nona. Biarkan aku yang membereskan anak-anak ini." Tapi pada saat itu Ratna

berteriak, "Awas, kang Yitna!"

Yitna menghelakan kepalanya, tapi terlambat. Sebuah tinju yang dilingkari besi peninju

menghantam atas telinganya. Untung baginya tak tepat kenanya, namun cukup membuat ia

jatuh tersungkur. Penyerangnya maju menubruk, tapi disambut oleh kaki Yitna yang

menendang. Bagi yang pernah merasainya, tentu dapat menceritakan betapa sakitnya perut

tertendang. Dengan mengaduh keras, pemuda itu memegangi perut dan jatuh terlentang. Ia

tak segera berdiri, hanya berduduk di bawah mengaduh-aduh. Yang seorang lagi mengayun

tinjunya kepada Yitna yang sudah berdiri, tapi dengan mudah Yitna dapat menangkisnya

dengan lengan kiri dan tinju kanannya balas memukul, tepat menghantam pangkal telinga

lawannya. Lawannya yang pertama sudah berdiri kembali dan menyerangnya kembali

dengan marah. Yitna tenang melawan. Ia gesit dan kuat. Lebih banyak ia membagi pukulan

daripada menerima. Akhirnya orang-orang datang memisah. Yitna terengah-engah. Dengan

lengan bajunya dikeringkannya keringat yang membasahi muka dan lehernya. Ia melihat

darah di kain lengan baju itu. Tapi hanya sedikit. Bekas pukulan krakeling pertama tadi. Tapi

kedua lawannya lebih banyak menderita. Yang seorang mendapat mata biru dan bibirhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bengkak. yang kedua berdarah hidungnya dan masih menekan-nekan perutnya yang

tertendang.

Yitna memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Tapi Ratna tak nampak. Ia merasa

kecewa. Yang dibelanya tak tahu terimakasih. Tidak peduli melihat ia berkelahi, dikeroyok

pula. Tapi, mengapa Ratna harus berterimakasih? Mengapa harus mempeduli? Ia tidak minta

dibela, teristimewa tidak oleh seorang tukang kebun! Yitna tersenyum pahit. Ia harus tahu

diri.

Ia tidak kembali ke gedung sandiwara. Tanpa melihat sekalipun kearah gedung itu

dimana ia maklum Ratna berada ia berjalan menuju ke pintu luar dengan kepala terkulai.

Kedua kakinya terasa lemah, bukan karena perkelahian tadi, tapi karena kecewa yang

mengamuk di dalam dadanya.

Tiba-tiba ia melihat Ratna berdiri di depan Sriwedari, agak jauh dari pintu. Tapi Yitna

pura-pura tidak melihat, walaupun hatinya berdebar ganjil. Ia menunduk dan berjalan terus.

Ketika Ratna sudah terlalui olehnya, gadis itu memanggil,

"Kang Yitna!" suaranya perlahan, merdu seperti biasanya.

Yitna menahan langkahnya, menengok. Ratna menghampiri. Mereka saling memandang.

Ratna menghela napas, menunduk, dan berjalan perlahan. Yitna mengikuti. Mereka berjalan

berdampingan dengan perlahan dan Yitna mendengar Ratna bebernpa kali menghela napas.

"Sakitkah kepalamu yang terpukul?" tanyanya tanpa melihat.

"Kepala? O, tidak hebat benar. Hanya berdarah sedikit. Tapi, mengapa engkau ketahui?

Bagaimana .......!" ia bingung.

"Mengapa? Aku melihat sendiri bagaimana engkau berkelahi. Aku girang engkau

memberi mereka. Hebat betul! Sayang orang datang memisah! Sebentar lagi, aku berani

bertaruh mereka tentu knock-out" kini ia memandang kepada Yitna, mata bintangnya

bercahaya gembira.

Yitna memandangnya heran, "Jadi engkau berada disana tadi ketika aku berkelahi, nona?

Kukira ...................."

"Tentu saja aku berada disana. Aku lari pergi ketika orang datang memisah, karena aku

malu kalau mereka bertanya sebab-sebab perkelahian, lalu aku menjadi pusat perhatian.

Maka aku lari."

"Dan engkau menungguku di sini?"

"Ya Aku menantimu di sini, mengapa?"

"Oh, tidak. Hanya ..................... tadi kusangka, nona kembali ke dalam gedung

sandiwara dan tidak mempedulikan padaku yang berkelahi."https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"He, mengapa engkau berkata begitu? Engkau telah membelaku, kang Yitna. Dan aku

berterimakasih padamu. Mengapa engkau menyangka begitu?"

"Karena ........ ........... karena aku hanya ..................... hanya tukang kebun!"

Ratna berhenti melangkah dan menatap wajah Yitna.

"Engkau terlampau merendahkan dirimu, kang. Itu tidak benar dan tidak baik. Apakah

perbedaan antara tukang kebun dan lain pekerja? Bagiku sama saja, tukang kebun, tukang

sapu, ataupun pegawai tinggi, semua itu pekerja namanya. Sudahlah, jangan berpikir tentang

pekerjaan atau tentang kedudukan. Aku tadi sangat bangga melihatmu, kang Yitna."

"Bangga?"
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya karena engkau berkelahi dengan gagah dan untuk aku."

Mereka berjalan terus. Perlahan-lahan. Untuk beberapa lama mereka tak berkata-kata.

Yitna mendengar kata-kata Ratna merasa sangat beruntung. la dapat berjalan berdampinga.

Ratna. Ah, tak mungkin ia dapat mengharapkan yang lebih dari itu. Andaikata mereka

berjumpa dengan pak Harjo. Yitna khawatir, perasaannya tak sedap. Bukan takut ia akan

mendapat marah, tapi ia khawatir bahwa Ratna tentu akan disalah sangkakan dan mendapat

marah ayahnya.

"Mengapa engkau tidak pergi bersama Tuan Harjo, nona?" Ratna yang sedang terbenam

dalam lamunan, tersadar kaget dan tersenyum manis.

"Ayah pergi berkonperensi di Semarang. Mungkin besok baru kembali. Aku tadi

menonton dengan empat orang kawan pelajar." Kembali untuk beberapa lama mereka

berdiam.

"Nona, baru sekarang aku berkesempatan mengucapkan banyak terimakasih padamu."

"Terimakasih? Untuk apa?"

"Engkau telah memberi selimutmu kepadaku. Telah kuterima dari Tarmi, seminggu yang

lalu."

Muka Ratna memerah. Yitna maklum akan hal ini karena untuk sesaat Ratna

menundukkan mukanya.

"Ah, hanya selimut. Aku kasihan melihatmu, kang Yitna. Maka selimutku kuberikan.

Aku masih mempunyai sebuah yang baru. Tak perlu engkau berterimakasih untuk selimut

bekas itu."

"Karena bekas itulah maka aku berterimakasih kepadamu, nona."https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ah, sudahlah kang Yitna, engkau membuatku malu!"

Yitna merasa makin beruntung. Mungkinkah di dunia ini ada tukang kebun seberuntung

ia? Beramah-tamah, berbicara bermanis-manisan dengan puteri majikan?

"Tak mungkin," pikiran ini dengan tak disengaja dikatakan oleh mulutnya. Ratna

menengok, memandang heran, tapi lalu menunduk kembali. Tak lama kemudian sampailah

mereka di rumah. Tarmi menyambut kedatangan mereka dengan heran tertahan.

"Den Nana? Kok berjalan saja? Dan mas Yitna ................."

"Aku berjumpa dengan kang Yitna di Sriwedari. Dan ia telah menolongku dari gangguan

pemuda-pemuda kurang ajar." Lalu Ratna menceritakan tentang perkelahian itu. Sementara

itu Yitna telah berada dalam kamarnya dan dengan perasaan sangat beruntung ia mengambil

air untuk mencuci luka di kepalanya.

Tarmi memasuki garasi. "Kepalamu luka, mas? Mana, biarkan aku yang mencucinya."

Yitna akan menolak, tapi Tarmi memaksanya, maka dibiarkannya perempuan itu

membasahi luka di kepalanya dengan sebuah sapu tangan.

"Mas Yitna," katanya sambil membalurkan obat luka di kepalanya Yitna, "tak mungkin

seekor domba merindukan daun cemara yang tinggi, bukan?"

Yitna menahan rasa perih lukanya dengan menggigitkan giginya. "Apa maksudmu, dik

Tarmi?" tanyanya heran.

"Jawablah dulu pertanyaanku," berkata Tarmi yang lalu berdiri membawa tempat air

pencuci itu keluar. Yitna memikir-mikirkan maksud kata-kata Tarmi, tapi tetap tidak

mengerti. Ketika Tarmi datang kembali ia menjawab, "Memang sukar bagi domba itu, dik

Tarmi, karena domba tak dapat terbang atau memanjat pohon."

Tarmi tersenyum puas. "Jadi engkau setuju bila kukatakan bahwa domba itu tidak

seharusnya merindukan daun cemara dan harus menerima dan puas dengan rumput saja?"

Yitna mengangguk. "Begitulah sepatutnya. Domba itu bodoh sekali kalau merindukan

sesuatu yang tak mungkin didapatkannya."

"Tapi mengapa engkau sendiri sebodoh domba itu, mas Yitna? Mengapa engkau

merindukan seorang yang berada jauh lebih tinggi daripada yang dapat engkau capai?"

Yitna memandang tajam. "He, dik Tarmi! Apa pula ini? Apa maksudmu?"

"Bukankah den Nana itu jauh lebih tinggi dari puncak cemara, mas?"

"Oooo ......" Yitna menundukkan kepalanya, "itukah gerangan maksudmu? Engkauhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menuduh aku merindukan den Ratna?"

"Bukan menuduh, mas. Aku sudah yakin. Terbayang belaka pada matamu kalau engkau

sedang memandangnya. Aku sudah tahu, sejak engkau diberinya selimut dulu. Dan tadi pula

.......... Aku, ah ........" Tarmi menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Yitna makin

heran melihat air mata Tarmi mengalir diantara celah-celah jarinya.

"Mengapa, dik? Engkau menangis! Mengapa?"

"Jawablah dulu, mas ................... benarkah engkau mencintai den Nana?"

Yitna menunduk dan berkata perlahan. "Aku memang bodoh, dik. Lebih bodoh daripada

domba itu, barangkali?" Makin menjadilah isak Tarmi.

"Tapi, mengapa engkau menangis, dik?"

"Dan aku ............... ah ............. domba itu merindukan daun cemara, tanpa

mempedulikan rumput-rumput hijau yang berada di bawah kakinya dan aku rumput hina

ini ................................ ................... selalu mengharap-harap dengan sepenuh ajiwa "

Yitna bangun berdiri. "Engkau ................. ? Engkau cinta padaku?"

"Tentu tak kau peduli ......." Ia berdiri pula dan hendak meninggalkan garasi. Tapi Yitna

memegang lengannya.

"Maafkan aku, dik. Engkau seorang berbudi baik. Aku suka kepadamu dan aku sayang

engkau, tapi cinta ........ ah, maafkan, dik." t

Tarmi menahan air matanya dan mencoba tersenyum. Senyum duka yang menyayat hati

Yitna. "Tidak apa mas. Memang sudah nasibku untuk selalu menderita kekecewaan. Biarlah.

Tapi jangan engkau melanjutkan kebodohanmu juga. Engkau akan kecewa pula seperti aku

nanti."

"Terimakasih, dik, Tapi, perasaan cinta itu bukan dibuat-buat dan bukan pula disengaja.

Ia datang tanpa dikehendaki. Dan aku telah terjerat."

"Dan cemara itu terlampau tinggi, mas."

Yitna menghela napas. "Ya ................. tapi ada kalanya angina meniupnya sehingga

daunnya patah terlepas dari cabangnya dan jatuh ke bawah memungkinkan si domba datang

mendapatkannya."

"Oh, den Nana. Maaf, den. Saya tidak melihat."

"Mengapa engkau berlari-larian?" suaranya tajam pendek, dan ketika dilihatnya mata

Tarmi basah memerah. "Ada apakah maka engkau menangis?"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Tidak ............. tidak apa-apa, den. Hanya tadi ketika mencuci luka di kepala mas Yitna,

terpercik air ke mataku ............"

Ratna memandang tajam. Ia dapat membedakan antara mata terpercik air dan mata bekas

menangis. Dan suara Tarmi menggetar itu. Tanpa berkata apa-apa ia bertindak masuk. Yitna

masih duduk di atas lantai bertikar. Kepalanya telah terbungkus sapu tangan Tarmi. Ia

mendengar juga suara Ratna, dan ia hanya duduk menanti di bawah dengan hati bergoncang.

"Lukamu sudah terbalut baik-baik, kang Yitna?" tanyanya kaku.

"Ya nona. Oleh Tarmi, baik benar hatinya."

Tarmi menghela napas dan lari keluar dari garasi. Masih terdengar isaknya tertahan.

Hampir saja ia bertubrukan dengan Ratna yang berjalan masuk ke garasi.

"Memang. Baik benar hatinya. Tentu nyaman rasanya sekarang, bukan?"

Yitna heran mendengar tekanan kata-kata yang kaku itu, tapi dijawab juga, "Hampir

lenyap rasa perihnya."

"Tarmi pandai benar membalut, ya? Dan ia cantik pula!" suaranya meninggi memaksa

Yitna mengangkat muka memandang. Heran benar ia. Ratna nampak marah. Ia tak berani

berkata apa-apa, hanya lalu berdiri dengan canggung. Tiba-tiba Ratna menegakkan

kepalanya, dan suaranya tajam ketika ia berkata,

"Bagaimana juga, tak pantas seorang perempuan muda membalut kepala seorang laki
laki di dalam kamar laki-laki itu pula. Kecuali kalau ada apa-apa diantara kamu berdua."

Yitna terkejut. "Tapi, nona. Kami tidak mempunyai maksud jahat."

"Hm! Laki-laki tetap laki-laki. Tak tahu bersopan dan menjaga nama baik!"

"Tapi, nona ........" Yitna tak melanjutkan bantahannya karena melihat Tarmi tiba-tiba

masuk.

Tarmi memandang kepada Yitna dan Ratna dengan takut-takut. "Den Nana," katanya

kemudian, "sungguh, den. Mas Yitna tak bersalah apa-apa. Janganlah menuduh yang bukan
bukan."

Ratna makin marah. "Engkau lancang benar. Tak dipanggil berani ikut-ikut berbicara.

Pendeknya, aku tak suka kamu berbuat sesuka-suka di sini. Engkau tak patut memasuki

garasi ini pada waktu tengah malam. Tak pantas benar seorang wanita memasuki kamar laki
laki."

Tarmi berkata merendah, hampir menangis, "Saja hanya kasihan dan ingin menolong,

den. Dan bukankah den Nana sendiri juga masuk kesini?" sambungnya perlahan.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ratna memerah mukanya. "Aku adalah pemilik rumah ini. Boleh kumasuki kemana yang

aku suka!!"

Yitna berdiri. "Nona Ratna, maafkanlah saya," katanya merendah. "Bukan maksud saya

menyakiti hatimu."

Ratna tak menjawab, hanya bertindak keluar dan ketika ia mendengar suara tangis Tarmi,

ia berhenti dan memandang kepadanya. Lalu katanya perlahan, penuh penyesalan. "Aku

menyesal, Mi. Tadi aku marah-marah. Entah mengapa, tapi aku sedang pusing. Sudahlah,

jangan menangis. Engkau jangan terlampau sering memasuki kamar Yitna. Tak baik dilihat

orang," dan iapun pergilah.

Setelah mendengar pintu tengah tertutup oleh Ratna, Tarmi berkata kepada Yitna.

"Engkau benar, mas. Memang mungkin sekali cemara yang tinggi itu akan patah

ditumbangkan angin." Dan Yitna tak diberinya kesempatan untuk menjawab karena ia terus

lari menuju ke kamar sendiri.

Semalam itu Yitna tak dapat tidur. Ia merasa tidak senang jika teringat akan kemarahan

Ratna. Mengapa gadis itu menuduhnya demikian? Kasihan Tarmi. Alangkah menghinanya!

Ia dan Tarmi disangka orang macam apakah? Seolah-olah ia seorang pemuda yang mudah

bermain gila dengan segala perempuan yang dikenalnya. Sungguh tak senang ia

mengenangkan sikap Ratna tadi. Alangkah rendahnya pandangan nona itu kepadanya. Ah,

memang aku yang bodoh, pikirnya. Mengapa menerima nasib menjadi tukang kebun saja?

Mana cita-citaku? Aku harus pergi. Ya. besok aku harus pergi dari sini!

Ia masih dapat mendengar jam tembok berbunyi dua kali ketika tidur sudah hampir

menguasainya dan jam empat pagi ia telah bangun kembali. Setelah mandi, dikumpul
kumpulkannya pakaian dan setengah jam kemudian siaplah ia sudah. Kopor pakaian kecil

dari seng telah menanti untuk diangkat. Tarmi sedang menyapu di depan rumah. Ia tak perlu

memberitahukannya. Tapi, demikian hatinya membantah, ia harus melihat Ratna sekali lagi.

Hatinya bimbang diantara segera pergi dan menanti dulu. Ah, lebih baik berpamit. Tak sopan

itu namanya kalau pergi saja. Pula, mungkin orang akan mendakwanya yang tidak-tidak.

Pintu tengah terbuka. Ratna keluar berpakaian house-coat merah menuju ke kamar

mandi. Yitna pura-pura tak memperhatikan, padahal seluruh perhatiannya menuju kepada

Ratna sehingga setiap bunyi air menyiram gadis itu didengarnya belaka.

Ketika Ratna keluar dari kamar mandi, rambutnya basah kusut, wajahnya segar, mata

bintangnya menyaingi bintang pagi, senyumnya membayang di bibir, Yitna masih berdiri! di

situ memandang. Alangkah cantiknya!

"He, ada apa, kang Yitna?" pandangnya beralih-alih dari muka ke tangan kirinya dan

senyumnya menunjukkan kegelian hati. Baru Yitna sadar bahwa tak terasa ia memegang

sapu di tangan kirinya dengan canggung, berdiri saja dan memandang gadis itu seperti

seorang peranan wayang! Segera dilepaskannya sapu itu, dengan kemalu-maluan.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Hendak dipengapakan sapu itu, kang Yitna?"

"Oh ..ini sapu ..saya sedang hendak menyapu, nona."

Ratna tertawa kecil. "Sudah lupakah engkau menyalam pagi kepada lain orang?"

"Oh ..ya.." Yitna makin bingung, "selamat pagi, nona Ratna." Alangkah manisnya,

alangkah jelitanya, pikiran Yitna penuh dengan kecantikan gadis itu. Tiba-tiba pandangan

Ratna berubah.

"He, kang Yitna. Engkau hendak kemanakah? Sepagi ini sudah bersolek. Dan ......"

pandangan matanya mengarah kopor, kopor itu ..........?"

"Nona Ratna. Maafkan aku, nona ................. Aku ............ hendak memohon diri .......

......... ...."

"Apa? Mohon diri .......................................... engkau ....... akan pergikah?"

Yitna mengangguk dan memandang tajam. "Ya nona Ratna. Aku pikir ..... akan lebih

sempurnalah kiranya jika ........ aku pergi. Pertama, untuk melanjutkan maksudku merantau

yang menjadi cita-citaku pertama. Kedua, aku tak akan menyusahkan nona lagi dengan

Tarmi. Aku akan pergi merantau, nona, dan sekarang juga!"

Sikat gigi dan Colgate terlepas dari tangan kiri Ratna dan terjatuh ke bawah. Terdengar

bunyi "trak!" dan sikat itu patah menjadi dua. Ratna seakan-akan terkejut dan memandang

ke bawah. Lalu diambilnya perlahan-lahan kedua barang itu dan ketika ia berdiri kembali

memandang kepada Yitna, wajahnya memerah.

"Benar-benarkah engkau akan .................... pergi?"

"Ya nona."

"Sudah tetapkah ................ kehendakmu?"

"Putusanku sudah tetap, nona. Aku hendak memenuhi ................"

"Cita-cita, engkau katakan tadi?" potongnya, "apakah cita-citamu itu, kalau aku boleh

bertanya?"

Yitna agak bingung. "Cita-citaku ................ aku ingin memenuhi janjiku terhadap orang

tuaku dan, dan .................................................. sedapat mungkin memenuhi pengharapan

mereka, nona."
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah janjimu dan apa pulakah pengharapan mereka?"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Aku berjanji akan bekerja mencari uang dan membelikan kain dan baju untuk ibu dan

pakaian untuk bapak dan .......... dan ............ tentu mereka mengharapkan supaya aku

menjadi ............. orang."

"Menjadi orang?" tanyanya ragu-ragu.

"Yang kumaksudkan, orang pantas, nona. Tidak seperti sekarang ini. Menjadi tukang

kebun." Lalu ditambahnya cepat- cepat, "walaupun menjadi tukang kebun itu baik juga,

apalagi kalau menjadi tukang kebun di sini. Tapi ....... dengan .......... keadaanku yang miskin

dan hina ini, pada pendapatku, aku ............ belum memenuhi syarat untuk menjadi ...........

orang."

Ratna diam saja. Mereka kedua-duanya menundukkan kepala. Beberapa puluh detik

berlalu sunyi, kemudian,

"Izinkanlah aku pergi, nona Ratna. Dan aku menghaturkan banyak terimakasih akan

segala kebaikanmu dan juga ayahmu. Percayalah selama hayat belum meninggalkan tubuhku

ini, aku takkan melupakan tempat ini."

"Kang Yitna. Tinggallah sampai ayah datang."

"Tidak, nona. Tolong sampaikan saja terimakasih dan hormatku kepada beliau." Ratna

memandang kepadanya. Bibirnya bergemetar. Berdebar hati Yitna. Berat rasa hatinya harus

bercerai dengan gadis yang telah mengikat jiwanya.

"Kang Yitna ............. tak dapat ditundakah pergimu ini?"

Yitna menggeleng kepala. Matanya terasa panas. Hatinya terharu dan sedih.

"Tidak ............... beratkah engkau meninggalkan ............ aku?" lalu segera

disambungnya, "dan rumah ini?" kedua lengannya tak disengaja bergerak ke depan terbuka.

Yitna melangkah setindak ke depan. Dadanya makin berdebar.

"Tidak berat meninggalkan? Ratna ........................ nona ............. tidak berat, kau kata?

Ah, kalau saja engkau dapat mengetahui rasa hatiku .. Kalau aku harus bercerai dengan ke

dua tanganku, takkan seberat ini rasanya. Bahkan matipun takkan kuberatkan seperti

perceraian ini, nona," suaranya menggetar. Ratna mundur selangkah dan memandangnya

dengan pucat dan mata berlinang air. "Ketahuilah, Ratna .......... tak ............ perlu aku

bersembunyi lebih lama. Boleh engkau memaki padaku nanti, tapi .......... sesungguhnya,

aku .......... aku cinta padamu! Nah, puas aku sekarang. Sudah terlepas kata-kata yang selama

ini memberatkan lidahku. Aku cinta padamu, tidak karena kekayaanmu, tidak pula karena

kecantikanmu atau karena engkau pandai belaka. Tapi, ah ........ aku tak mcngerti. Aku cinta

padamu dan karena itulah aku harus pergi." Ia berhenti terengah-engah.

Air mata mengalir dari kedua mata Ratna. Dadanya berombak. Bibirnya bergerak-gerak.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ratna, engkau boleh marah kepadaku. Boleh menghinaku. Aku takkan meminta maaf

karena kata-kataku tadi. Sesungguhnya, baru sekali ini aku mengalami perasaan seperti ini.

Aku maklum bahwa ini tak mungkin. Aku hanya tukang kebun. Engkau puteri majikanku.

Engkau adalah Sumbadra dan aku tak lebih hanya Burisrawa yang tak pantas mendekatimu."

Ia teringat akan kata-kata Tarmi. "Dan ....... dan engkau adalah daun cemara, sedangkan

aku hanya seekor domba hina. Engkau terlampau tinggi bagiku ..........." Ratna

menundukkan kepala. Kini terdengar isak tangisnya tertahan-tahan.

"Nah, selamat tinggal, nona Ratna. Aku akan sering berjumpa dengan nona di dalam

mimpiku. Selamat tinggal "

Yitna membungkuk dan mengambil kopornya. Ketika ia berdiri, Ratna sedang

memandangnya dengan mata sayu. Bibirnya bergerak-gerak dan akhirnya keluarlah kata-kata

bisikan,

"Kang Yitna .................. jangan ............... jangan pergi. Jangan tinggalkan aku."

Kini kopor itulah yang terlepas dari pegangan Yitna. Benarkah itu kata-kata Ratna? Tidak

mengimpikah ia?

"Apa nona? Apa yang kaumaksudkan .......................?"

"Jangan engkau pergi dari sini, kang Yitna. Berat hatiku engkau tinggalkan ........."

"Mengapa, nona? Mengapa begitu?"

"Kang Yitna, tak mengertikah engkau? Haruskah aku mengatakan bahwa akupun cinta

padamu? Begitu bodohkah engkau?" Ia menutup mukanya dengan kedua tangan. Dan ia

memberikan saja ketika Yitna memegang lengan kirinya dan menciumi tangannya dengan

bibir gemetar.

"Ya Allah Yang Pengasih! Engkau cinta padaku .......................... ? Ratna cinta

padaku?" bisiknya dan kembali ia menciumi jari-jari tangan kuning halus itu dengan penuh

khidmat. "Tidak ganjilkah itu, Rat? Sumbadra mencintai Burisrawa?"

"Engkau bukan Burisrawa bagiku, kang. Kalau aku Sumbadra, maka engkau adalah

Arjunaku ..........." Ratna memandang dengan matanya yang memancarkan sinar cinta yang

dalam pandangan Yitna menggenggam penuh kesucian. Mereka saling memandang. Dan

dalam pandangan itu, seakan-akan hati mereka saling berbicara, saling berjanji, dan saling

maklum.

"Engkau tidak pergi bukan, kang?" Yitna menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum

bahagia.

Diudara ramai suara burung-burung menyambut pagi. Tiba-tiba Ratna melepaskan

tangannya dari pegangan Yitna dan iapun larilah ke dalam. Pada saat itu Tarmi mendatangi

dari luar. Yitna pura-pura tak melihatnya dan ia lalu mengembalikan kopornya ke dalamhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

garasi. Hatinya penuh kebahagiaan, dan bergemetar seluruh tubuhnya karena kata-kata

Ratna masih berkemandang dalam telinganya. "Aku cinta padamu!" Alangkah merdunya.

Alangkah sedapnya kata-kata itu, dan alangkah ganjilnya! Ia duduk di atas bangku garasi

dengan tenang. Demikian asyiknya gelombang kebahagiaan mengayun-ayunnya di dalam

lamunan sehingga tak terlihat olehnya bahwa Tarmi sedang memandang kepadanya dengan

sinar mata menunjukkan kebencian dan kesedihan. Tak teringat pula olehnya bagaimana

sikat gigi Ratna tadi patah menjadi dua!

------ m d n -----
Bahagian Ke IV

Ratna memasuki kamar ayahnya dengan gelisah. Telah dua hari semenjak datang dari

Semarang, ayahnya nampak marah-marah saja. Dan sekarang, sepulangnya dari sekolah,

ayahnya memanggilnya ke kamar. Biasanya kalau ada sesuatu yang perlu dibicarakan,

ayahnyalah yang datang mencarinya.

"Ada apakah, ayah?"

"Duduklah, Rat." Ganjil pula ini. Ayahnya nampak demikian sungguh-sungguh. Ia lalu

pergi duduk disebuah kursi menghadapi ayahnya, mencoba menahan guncangan hatinya.

"Ratna, sejak ibumu meninggalkan kita dua tahun yang lalu, aku bertahan hidup seorang

diri dan berusaha sedapatku untuk menjadi seorang ayah yang baik." Ratna makin heran.

Rahasia apakah ini? Tiba-tiba hatinya seakan-akan berhenti berdetik ketika timbul

persangkaannya bahwa mungkin ayahnya akan kawin lagi, atau ia akan dikawinkan! Tapi

segera ditenangkan kembali hatinya.

"Memang engkau adalah seorang ayah yang baik. Dan akupun berdaya sedapatku untuk

menjadi seorang anak yang baik pula, ayah."

Kemuraman wajah ayahnya untuk sesaat lenyap tertutup sinar kegembiraan.

"Aku percaya, Rat. Engkau tentu akan selalu taat dan menjaga nama baik ayahmu."

Mengapa nama baik? Apakah gerangan ini?

Mereka berdiam diri dan keadaan di dalam kamar menjadi sunyi. Ratna menanti kata
kata yang agaknya sukar keluar dari mulut ayahnya.

"Ratna, pada pendapatku, lebih baik Yitna kuhentikan dari pekerjaannya." Ratna

memandang ayahnya dan melihat sinar mata ayahnya seakan-akan hendak menembus pusat

pikirannya. Ia menekan perasaan hatinya dan berusaha berkata setenang-tenangnya.

"Dikeluarkan maksudmu, ayah? Tapi mengapa? Bukankah ia seorang pekerja yang rajin

dan baik? Lihatlah kebun bunga kita demikian rapi dan bersih ........"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Memang, ia seorang pemuda yang patut dipuji karena rajinnya," menjawab Pak Harjo

menghela napas, "tapi sayang ....... ia tak tahu diri."

"Tak tahu diri?" Ratna menduga-duga, hatinya makin gelisah.

"Ia telah berani coba menggoda anakku!" Ratna tersentak dan berdiri dari kursinya

dengan maksud hendak membantah, tapi karena pandangan mata ayahnya demikian

meyakinkan, ia terduduk kembali dengan lemah, kepalanya terkulai.

"Ratna, tak perlu kita berpanjang kata. Itu hanya akan mendatangkan perasaan tak sedap

belaka. Engkau seorang terpelajar, dan tentu sudah pandai berpikir. Kita selalu sama-sama

berterus terang, bukan?"

Ratna mengangguk berhati-hati. Ia maklum akan keahlian ayahnya dalam berdebat. Ia


Rajawali Emas 46 Panah Cakra Neraka Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Candika Dewi Penyebar Maut X I I I

Cari Blog Ini