Ceritasilat Novel Online

Karena Wanita 2

Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



maklum bahwa dibalik kata-kata yang halus itu bersembunyi kemauan keras yang tak mudah

dibantah.

"Nah, sekarang jawablah terus terang kepadaku. Adakah engkau mencintai Yitna?"

Ratna tidak berani memandang wajah ayahnya, namun ia yakin bahwa ayahnya sedang

memandang dengan tajam.

"Aku ............... aku tak dapat menjawabnya, ayah," bisiknya perlahan.

"Ratna," suaranya makin lembut saja, namun makin menggelisahkan hati gadis itu, ?kita

adalah ayah dan anak, bukan? Apa sukarnya bagimu untuk menjawab pertanyaan itu?

Jawablah dengan ya atau tidak. Ingatlah, nak, di dalam jawabanmu ini terletak nasib kita

dikemudian hari. Jawablah!"

"Mengapa engkau memaksa juga, ayah?" mata Ratna mulai membasah. "Aku tidak ingin

menyakitkan hatimu, tapi ....... sebenarnya aku ......... mencintai padanya."

Terdengar batuk Pak Harjo. Batuk perlahan penahan rasa pukulan yang didatangkan oleh

pengakuan anaknya.

"Ratna, sudahkah kau timbang baik-baik putusan perasaan hatimu itu? Jangan hanya

menurutkan bisikan hati mudamu, nak. Engkau adalah seorang gadis terpelajar, pasti dapat

menimbang dengan pikiran sehat. Engkau mencintai Yitna? Tidakkah terpikir olehmu, siapa

dan apakah Yitna itu. Seorang tukang kebun, petani desa tak berpendidikan, dan tukang

kebun kita sendiri malah. Adakah itu tidak memalukan jika diketahui orang bahwa Ratna

gadis terpelajar, anak seorang pegawai tinggi, jatuh cinta kepada ......... tukang kebunnya

........ sendiri?"

"Ayah!" air mata mengalir panas dipipinya. "Engkau terlampau menghina. Apakah yang

merendahkan pekerjaan bertukang kebun? Apakah perbedaan antara pegawai tinggi dan

tukang kebun? Adakah cinta itu membutuhkan kedudukan dan pendidikan? Pegawai tinggihttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dihormat orang, memang. Tapi bukan karena sifat pekerjaan itu yang terhormat. Orang

menghormat penghasilan dan kedudukannya. Sebaliknya, tukang kebun dipandang rendah,

hanya karena kecilnya penghasilan. Bagiku tukang kebun atau petani, maupun pegawai

tinggi, semua sama saja. Semua pekerjaan adalah mulia. Rendah atau tidaknya hanya

bergantung kepada orang yang mengerjakannya Aku tidak malu mengaku bahwa aku

mencintai Yitna, karena ia seorang berhati mulia, jujur, berani, dan sopan. Pendeknya ia

menarik hatiku. Timbanglah dengan seadil-adilnya, ayah. Kalau seorang tukang kebun dan

seorang berpangkat tinggi kedua-duanya memakai pakaian yang sama, dapatkah orang

membedakannya? Tukang kebun pun seorang manusia, ciptaan Tuhan!" Ratna menentang

pandangan ayahnya dengan berani dadanya bergelombang, terengah-engah.

Untuk sesaat Pak Harjo memandang anaknya dengan kagum. Tapi segera terganti

kemarahan melihat perlawanan itu yang dianggapnya adalah terdorong oleh kemanjaan.

"Enak saja engkau berteori, Ratna. Kata-katamu itu hanya teori lapuk yang hanya

terdapat di dalam filsafat pujangga canggung. Bayangkanlah pikiranmu kepada kenyataan.

Orang berumah tangga tidak cukup hanya bermodal cinta. Biar bagaimana tak sedap

didengarnya, namun adalah satu kenyataan bahwa nama terhormat dan uang memegang

peranan penting di dalam kebahagiaan rumah tangga. Kalau engkau sampai menjadi isteri

seorang tukang kebun yang bergaji limapuluh rupiah sebulan, bayangkanlah, alangkah akan

sukarnya hidupmu!"

"Tapi aku sendiri dapat bekerja mencari uang, ayah."

"Engkau terlalu, Rat. Baru ini kali engkau mengecewakan hatiku. Lebih sakit rasa hatiku

daripada ketika ibumu meninggalkan kita. Anakku yang hanya seorang mencintai seorang

tukang kebun! Ya Allah, apakah akan terjadi dengan kita kelak?"

Ratna maju berlutut di depan ayahnya dan menangis. "Ayah ....... ampunkan ....... aku,

ayah ...... Dengan Yitna aku akan menemui kebahagiaan ......."

Pak Harjo tunduk memandang kepala anaknya yang bersandar di pahanya. Jari-jari

tangannya membelai-belai rambut yang halus berombak itu. Ia menghela napas.

"Rat, biarlah. Untuk sementara ini kuterima bahwa engkau mencintai Yitna. Tapi

aku ingin sekali mengetahui apakah tukang kebun itu mencintai padamu?"

"Begitulah agaknya, ayah ..................... Ia pernah menyatakan cintanya kepadaku ketika

ia hendak pergi." Ia lalu menceritakan peristiva di Sriwedari dan tentang Yitna hendak pergi

meninggalkan pekerjaannya.

Pak Harjo mengangguk-angguk.

"Sudahlah itu cukup menjadi bukti bahwa ia benar-benar mencintai padamu, Rat?

Mencintai dengan suci? Ingat nak, sampai matipun aku masih akan merasa penasaran kalau

kelak ternyata bahwa cintanya padamu itu tak lain hanya karena melihat kecantikanmu atauhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

karena uang kita!"

Kembali Ratna berdiri menentang ayahnya. "Tak mungkin, ayah! Tak mungkin Yitna

akan serendah itu."

"Engkau belum berpengalaman, nak. Mudah terpedaya oleh kemanisan mulut dan

kehalusan sikap. Kalau menurut pandanganku aku masih sangsi apakah ia itu benar-benar

jujur."

"Akan sama-sama kita lihatlah, ayah."

Pak Harjo tersenyum sedih. "Ya akan sama-sama kita lihat. Tapi, Ratna, jagalah

kehormatan namamu sendiri. Jangan engkau bergaul terlampau dekat dengan Yitna. Aku

belum dapat memutuskan sebelum yakin benar akan kejujurannya."

"Yitna dan aku bukan orang-orang rendah dan hina, ayah. Aku yakin, cinta kami bersih.

Dan Yitna adalah seorang yang bercita-cita untuk memperbaiki keadaannya. Ia pasti akan

berhasil kalau saja mendapat jalan."

Kembali ayahnya tersenyum. "Hm, akan sama-sama kita lihat, Rat." Kemudian tanpa

berkata apa-apa, Pak Harjo keluar dari kamar meninggalkan Ratna.

==== mdn ====

"Tarmi .........." suara Ratna mengandung kecemasan. Tarmi yang sedang memasak air

di dapur, berlari ke kamar Ratna.

"Ada apakah, den Nana?"

"Tarmi. Sudahkah engkau memasuki kamar ini pagi tadi?"

"Belum, den. Bukankah den Nana baru saja bangun?"

"Kamarku terbuka, Tarmi, dan ....... dan kotak perhiasanku! Malam tadi kutaroh di meja

rias. Sekarang sudah ....... hilang. Rupanya ada pencuri masuk malam tadi. Wajah Ratna

pucat dan ia hampir menangis, mencari-cari di dalam lemari dan laci meja.

"Maling? Ya Allah, den. Jangan-jangan malingnya masih berada di sini!" suaranya

menurun berbisik dan ia menjenguk ke bawah ranjang Ratna dengan takut-takut.

"Ah, jangan bicara tidak karuan, Tar." Ratna makin pucat dan diam-diam ia mengerling

kearah gelap di belakang lemari dimana seorang maling mungkin menyembunyikan diri.

"Lekas beritahukan kepada ayah."

Pak Harjo nampak tenang dan sabar.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ada pencuri, Rat? Apa saja yang dicurinya?"

"Kotak perhiasan, ayah. Dan semua perhiasanku berada di situ. Malam tadi sepulangku

dari pesta di rumah Pak Wignya semua perhiasan kulepas dan kumasukkan ke kotak."

"Dan dimana kausimpan kotakmu itu?"

"Di atas meja rias itu, ayah."

"Mengapa tidak ditaruh di dalam lemari? Sudah kau cari dimana-mana?"

"Sudah, ayah, tapi tiada terdapat." Ratna menunduk, takut ayahnya akan marah.

"Malam tadi sudah engkau kunci kamarmu?" ia menghampiri pintu dan meraba-raba

kenopnya.

"Sudah, ayah. Tapi tadi kudapati pintu sudah terbuka."

"Heran, bagaimana pencuri bisa masuk? Bukankah hanya ada sebuah kunci untuk pintu

ini?" Ratna mengangguk, pikirannya bingung.

"Tarmi!" berkata Pak Harjo kepada pelayan yang masih berdiri ketakutan itu, "engkau

betul-betul tidak tahu tentang kehilangan ini?"

"Bagaimana saja bisa tahu, ndoro?"

"Malam tadi engkau tidak masuk kesini?"

"Ya Allah, ndoro ...... bagaimana saya berani masuk kesini? Apa ndoro mendakwa saya

.......?"

"Bukan mendakwa, karena siapa lagi yang biasa memasuki kamar Ratna? Pencuri ini

tentu bukan orang luar. Mana Yitna?"

"Mas Yitna ........? Ia tadi telah pergi, ndoro."

"Pergi? Kemana?"

"Bukankah ayah kemarin menyuruhnya mencari bibit Dahlia?"

"O ya ndoro. Tadi mas Yitna bilang kepada saja bahwa ia hendak mencari bibit

kembang." Pak Harjo mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Biarkan semua begini, Rat, jangan diraba-raba. Aku mau menelepon polisi."

"Perlukah itu, ayah?"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Perlu? Tentu saja. Habis, apakah harus kubiarkan saja barang-barangmu hilang dicuri

orang tanpa dicari?" Ratna tidak membantah pula, tapi di dalam hatinya terbit gaduh dan

cemas.

Polisi ditelepon dan setengah jam kemudian Inspektur Barja sendiri datang memeriksa.

Pak Harjo telah kenal baik dengan inspektur itu.

Setelah memeriksa kamar dan pintunya, Inspektur Barja mengetahui bahwa pintu kamar

Ratna telah dibuka orang dengan menggunakan kunci palsu dan bahwa maling itu telah kenal

benar akan keadaan dalam rumah itu. Lalu ia menyatakan akan memeriksa semua kamar
kamar pelayan, yaitu kamar Yitna, kamar Tarmi, dan tempat tinggal Sukro sopir yang

terletak tak jauh dari rumah Pak Harjo.

Pada saat itu Yitna datang dengan membawa bibit Dahlia seikat. Wajahnya yang

bergembira berubah cemas ketika melihat mobil polisi di pekarangan depan. Ia membatalkan

maksudnya hendak mengambil cangkul untuk menanam bibit kembang itu, lalu berjalan

dengan cepat mencari Tarmi. Tiba-tiba Pak Harjo keluar dari dalam dan memanggilnya.

Yitna makin heran tercampur cemas melihat Inspektur Polisi berada di situ.

"Engkau yang bernama Yitna?" tanya Inspektur Barja.

"Prayitna, Pak."

"Hm, Prayitna. Engkau sepagi ini pergi kemana?"

"Saya pergi membeli bibit Dahlia, Pak." jawabnya sambi memandang Pak Harjo, tapi

orang tua itu seakan-akan menghindari pandangannya.

Pak Harjo memotong, "Maaf, inspektur. Bolehkah saya menerangkannya?" Inspektur

Barja mengangguk.

"Begini, Yitna. Ratna telah kecurian. Maling malam tadi memasuki kamarnya dan

mencuri kotak berisi perhiasannya. Kami tidak menyangka siapa-siapa, tapi untuk memenuhi

pemeriksaan maka semua kamar-kamar bujang akan diperiksa."

"Ooh ......" Yitna kaget dan memandang Ratna dengan khawatir. Gadis itu juga

memandangnya dengan wajah pucat.

"Silahkan, pak," katanya kemudian.

"Kamu berdua tak boleh pergi kemana-mana," berkata Inspektur Barja kepada Yitna dan

Tarmi. Kemudian mereka beramai-ramai mengikuti Inspektur itu yang mulai memeriksa

kamar Tarmi. Tiada sesuatu didapatkan di dalam kamar Tarmi, kecuali barang-barangnya

sendiri yang berupa beberapa potong pakaian dan uang simpanan sebanyak Limapuluh

Rupiah. Kemudian kamar Yitna mendapat giliran. Ratna dan Tarmi tidak ikut masuk.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Inspektur Barja membuka bungkusan itu dan ............ Yitna dibongkar-bongkar. Tiba
tiba ia menjenguk ke bawah bale dan mengulurkan tangannya ke dalam.

"Apakah ini?" katanya sambil menarik keluar sebuah bungkusan. Yitna memandang

dengan heran dan menggerakkan pundaknya.

"EntahIah, Pak. Kemarin belum ada di situ," ia mengenali bahwa pembungkus itu adalah

bajunya sendiri. Bajunya yang kotor dan belum dicuci. Ia tidak mengerti mengapa bajunya

bisa berada di situ.

Inspektur Barja membuka bungkkusan itu dan ......... Yitna merasa seakan-akan

kamarnya berputar ketika melihat sebuah kotak kaju kecil dikeluarkan dari bungkusan itu.

"Inikah?" menanya Inspektur Barja sambil menengok memandang Ratna yang telah ikut

masuk. Ratna terbelalak memandang kepada kotaknya dan lalu memandang kepada Yitna

yang berdiri dengan pucat dan terheran.

"Ya benar, inilah kotak perhiasan anakku." menjawab Pak Harjo. Inspektur Barja

membuka kotak itu dan berkata kepada Ratna,

"Cobalah periksa, nona. Masih lengkapkah?" Ratna memeriksa dengan jari-jari gemetar.

Ia lalu berkata pelahan, "Masih lengkap."

Inspektur Barja lalu menghadapi Yitna dengan mata menyala,

"Keterangan apakah yang akan kauberikan mengenai ini, anak muda?"

Yitna yang sejak tadi memandang kepada Ratna dengan mata memohonkan pembelaan,

kaget mendengar pertanyaan ini. Hatinya berdebar keras.

"Pak, sungguh mati saja tidak mengerti mengapa kotak itu bisa berada di sini. Saya tidak

melakukan itu, pak."

"Percuma saja engkau menyangkal, Yit. Bukti-bukti sudah ada yang menyatakan bahwa

engkaulah yang ........ mengambil perhiasan Ratna. Tak kusangka engkau dapat sejahat ini,"

berkata Pak Harjo dengan suara menyesal.

"Tapi, Pak ........ bisakah engkau percaya bahwa saja mencuri? Nona Ratna! Percayakah

engkau bahwa aku mencuri perhiasanmu? Aku? Ini tentu fitnahan keji belaka. Aku bukan

pencuri. Mana dik Tarmi ......? Tarmi ........!" matanya mencari-cari dan akhirnya ia melihat

Tarmi berdiri di belakang Ratna. "Engkau sudah mengenalku dengan baik. Bukankah aku

tak pernah berbuat jahat kepada siapa juga? Bilanglah, engkau tentu mengetahui siapa yang

berlaku sekeji ini?" Tapi Tarmi hanya menunduk. Tak seorangpun membelanya. Ia melihat
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke kanan kiri seperti seekor harimau terkurung dan ingin melarikan diri dari bahaya yang

mengancam. Tapi ia tak berdaya.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Sudah, hayo ikut ke kantor polisi. Tak perlu berdebat di sini!" berkata Inspektur Barja.

"Tapi, Pak, aku bukan pencuri! Nona Ratna, bilanglah aku bukan pencuri!" Ratna

memandangnya dengan air mata memenuhi pelupuk matanya. Bibirnya bergerak-gerak

hendak mengatakan apa yang dipinta oleh Yitna. Mau ia meneriakkan bahwa Yitna bukan

pencuri, tapi pikirannya mencegah, karena bukti-bukti telah dilihatnya sendiri. Hatinya

hancur dan dengan isak tertahan ia lari ke dalam menuju ke kamarnya. Yitna masih dapat

menangkap kata-kata keluar dari bibir gadis itu. "Engkau ......... pencuri!"

Mendengar tuduhan Ratna itu lemaslah seluruh tubuhnya Ratna juga menuduhnya! Ia

menjadi penasaran. Dengan mengangkat dada ia berkata keras-keras, hampir berteriak,

"Aku bukan pencuri! Biar aku miskin, aku belum begitu rendah untuk mencuri!" Ia

berkata keras-keras mengharap Ratna keluar, tapi gadis itu tidak menampakkan diri lagi. Ia

menangis di atas tempat tidurnya. Air matanya membanjir membasahi bantalnya dan

bibirnya berkali-kali membisikkan kata-kata, "Engkau pencuri ...... pencuri .......!"

Tiba-tiba Pak Harjo yang masih mencari-cari menemukan sebuah kunci di sudut kamar,

di bawah peti kosong. Kunci itu adalah kunci palsu yang sama benar dengan kunci pintu

kamar Ratna. Yitna makin heran dan dengan diketemukannya kunci itu di kamarnya, maka

makin beratlah bukti-bukti menekannya.

Dengan tak berdaya Yitna digiring ke kantor polisi dan untuk menunggu pemeriksaan ia

dimasukkan ke dalam kamar tahanan.

Pak Harjo menghampiri Ratna yang masih menangis.

"Sudahlah, Ratna. Jangan menangis. Engkau masih beruntung dapat terlepas dari

pemuda tak setia itu sebelum terlambat," katanya memegang-megang pundak Ratna.

Ratna duduk dan memandang ayahnya dengan mata se dih, "Beruntung? Oh ..... ayah

......." kembali ia menangis.

"Ayah, kasihanilah Yitna. Perhiasanku belum ada yang hilang. Bebaskanlah ia, ayah ....."

"Engkau sungguh aneh, Rat. Orang macam ia harus mendapat hukuman. Biar ia tidak

berani mencuri lagi. Apa kataku dulu, Rat. Engkau jangan terlampau mudah terpikat oleh

kata-kata manis. Orang desa tak terpelajar macam ia, tak mungkin jujur. Tidak boleh

dipercaya. Pantaskah ia menerima cintamu?"

"Ayah ..... jangan diulangi lagi soal ini. Aku tahu bahwa pilihanku keliru, tapi .... tapi,

bagaimana juga, aku ........... masih cinta padanya ........"

"Aah ...... engkau bodoh dan keras kepala!"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Jangan salah sangka, ayah. Ayah boleh merasa girang karena tentu aku tak mau kenal

lagi padanya. Tapi rasanya takkan mudah namanya hilang dari dasar hatiku. Aku kasihan

padanya, ayah. Bebaskanlah ia ......"

"Tak mungkin. Selain dari aku tidak mau membebaskannya, polisi pun takkan

membiarkan kejahatan tak terhukum." Lalu ia meninggalkan gadisnya yang masih menangis

dengan sedihnya.

Ratna merasa tubuhnya lemah lunglai, pikirannya kacau. Hatinya bimbang ragu

memikirkan Yitna. Ia pencuri! Pikiran ini berkata berulang-ulang menyesakkan dadanya.

Yitna, kekasihnya itu mencuri? Ah, mengapa ..... mengapa? Mungkinkah pemuda seperti

Yitna itu mencuri? Hampir ia berteriak mengatakan tidak percaya! Gerak-gerik dan sikapnya

yang sopan. budi-bahasanya yang halus, matanya yang menyinarkan kejujuran dan

keberanian, semua itu menyatakan bahwa tak mungkin ia mau mencuri. Dan mencuri

perhiasannya pula. Ah, ia percaya akan cinta Yitna yang murni kepadanya. Tapi kotak

perhiasannya berada di bawah balenya! Dan terbungkus oleh bajunya. dan kunci palsu .......

Betulkah ia seorang palsu? Betulkah bahwa cintanya itu hanya karena menginginkan harta?

Ah, kalau benar demikian, aku benci padanya! Aku benci padanya! Dengan pikiran yang

makin mengeruhkan hatinya ini Ratna menjatuhkan dirinya memeluk bantal dan menangis

pula dengan sedihnya

------- m d n ------
"Saya tidak merasa mencuri, pak. Biar dihukum mati sekalipun saja tak dapat mengakui

perbuatan yang tidak saja lakukan," demikianlah Yitna menjawab tuduhan hakim di dalam

sidang pengadilan. Tiga bulan ia berada di dalam tahanan polisi dan selalu ia menyangkal

bukti-bukti pencurian dengan jawaban tersebut. Walaupun diancam, dibujuk bahkan dipukul

beberapa kali, polisi tak dapat memaksanya untuk mengaku.

"Engkau keras kepala!" berkata hakim tak senang. "Bukti- bukti sudah cukup dan engkau

masih berani menyangkal. Mengakulah saja agar meringankan hukuman dan memudahkan

pemeriksaan."

"Haruskah saya berbohong kepada Bapak dan membuat pengakuan palsu?" Yitna berkata

dengan keras. Hakim diam saja dan lalu berbisik-bisik dengan jaksa yang duduk di kanannya.

Ratna yang berada di situ pula dengan ayahnya mendengarkan kata-kata Yitna dengan

perasaan terharu dan kagum. Ia terharu melihat Yitna berpakaian kusut, rambutnya panjang,

wajah pucat dan tubuh kurus. Ia kagum akan keberanian Yitna. Ia dan ayahnya berada di

situ untuk memberikan keterangan mereka sebagai saksi-saksi.

Saksi pertama dipanggil menghadap. Pak Harjo berdiri dan pergi duduk di depan meja

hakim, di sebelah Yitna. Setelah disumpah, ditanya nama dan lain-lain, ia lalu diminta untuk

menerangkan apa yang diketahuinya. Pak Harjo menceritakan semua hal yang terjadi,

diakhiri dengan pernyataannya demikian,

"Yitna telah tiga bulan bekerja di rumah saja. Biasanya ia berkelakuan baik, danhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

nampaknya jujur. Tak saja sangka bahwa ia sebenarnya menanti saat baik untuk melakukan

pencurian!" Hakim memberi tanda supaya ia kembali keternpat semula, dan saksi kedua lalu

dipanggil. Ratna bertindak perlahan menuju ke kursi bekas ayahnya dan duduk. Yitna yang

duduk di sebelahnya mengerling dengan ujung matanya. Hatinya berdebar. Ia merasa seakan
akan menjadi pengantin! Kalau saja hakim tua itu dapat bertindak sebagai penghulu! Ratna

pun mengerling ke kiri sebentar, lalu memandang kepada hakim. Ia mengucapkan

sumpahnya perlahan, menurutkan pengambil sumpah yang memegang sebuah Quran di atas

kepalanya. Kemudian, setelah menerangkan nama dan lain-lain, ia menjawab pertanyaan

hakim,

"Tuan Hakim," suaranya mengharukan hati Yitna, "tentang terjadinya kehilangan kotak

berisi perhiasanku adalah seperti apa yang telah diceritakan ayah tadi. Tentang pencurian

sebenarnya saja tidak percaya bahwa ...... Saudara Yitna ini yang mencurinya, namun bukti
bukti yang terdapat di dalam kamarnya ...... ah, saya tak dapat mengerti ........"

"Mengapa nona tidak percaya bahwa Yitna yang mencuri?" menanya hakim. Yitna

berdebar-debar bangga mendengar pengakuan dan pernyataan Ratna, tapi Pak Harjo

memandang kepada anaknya dengan marah.

"Mengapa? Ya ... karena biasanya ia bekerja dengan baik dan jujur. Sikapnya tidak sekali
kali menggambarkan bahwa ia mungkin dapat melakukan perbuatan rendah itu."

Hakim tersenyum. "Kalau begitu, siapakah yang kau sangka melakukan pencurian ini,

nona?"

Ratna menjadi bingung, di dalam kebingungan ia memandang Yitna yang pun sedang

memandangnya. Pandangan mata mereka beradu, dan Ratna makin bingung melihat Yitna

tersenyum!

"Saya ..... saya tidak menyangka siapa juga, Tuan," ia terpaksa menjawab.

"Ada hubungan apakah antara nona dengan terdakwa?"

"Hubungan ....... ? Apa maksud Tuan? Tidak ada hubungan apa-apa kecuali bahwa ia

adalah pegawai ayah!" suaranya terdengar marah.

"Tidak lebih mendalam?"

"Tuan hakim! Pertanyaan ini bukan semestinya diajukan kepada anak saya. Tidak

pantas! Hanya orang gila yang menyangka anak saya mempunyai hubungan dengan seorang

pencuri rendah!" Pak Harjo membantah marah. Ia tidak mempedulikan kepada hakim yang

mengangkat tangan menyuruh ia diam. Ratna menunduk, air matanya mengalir. Yitna

merah padam wajahnya. Ia yakin akan kebaikan Ratna yang hendak menolongnya, dan ia

merasa seakan-akan mendapat pukulan pada mukanya mendengar kata-kata Pak Harjo yang

menghinanya. Ia menengok memandang Ratna. Kasihan ia melihat gadis itu yang

menitikkan air mata. Ia maklum bahwa hal yang diperbantahkan tadi dapat merusak namahttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

baik Ratna. Mempunyai hubungan dengan seorang pencuri rendah! Ia seorang pencuri

rendah? Biar bagaimana juga, bukti-bukti mengatakan demikian. Mengaku atau tidak, ia

akan dihukum. Tiba-tiba ia kaget ketika mendengar pertanyaan hakim.

"Prayitna! Bagaimana sekarang, kamu masih membandel dan menyangkal?"

"Bapak hakim!" ia sengaja terus menyebut ?bapak" walaupun dari pandangan mata

hakim itu ia maklum bahwa hakim itu tidak menyukai sebutan ?bapak" dan lebih senang

panggilan "tuan". "Saya tidak pernah membandel dan tidak pernah menyangkal. Sejak

didalam pemeriksaan polisi saya selalu berkata dengan sebenarnya. Tapi rupa-rupanya

kebenaran itu bukan soal penting bagi pengadilan. Yang terpenting bukti, dan bukti-bukti

mudah sekali dibuat oleh orang-orang lain. Tak perlu saya berpanjang jawab, kalau sekiranya

sudah terang kesalahan-kesalahan saya, yakni menurutkan bukti-bukti yang ada, maka

hukumlah saya. Saya akan menerima hukuman itu, tapi untuk mengakui pencurian, tidak!

Seluruh dunia boleh menganggap saya seorang pencuri, tapi hanya Tuhan Allah yang

mengetahui bahwa saya tidak berdosa."

Setelah mengeluarkan kata-kata ini dengan bernapsu, Yitna tidak banyak cakap lagi.

Ratna pergi dan duduk kembali di dekat ayahnya.

Hakim lalu memutuskan hukuman dua tahun. Yitna mendengar itu dengan tenang. Ia

tidak melihat bahwa Ratna hampir jatuh pingsan mendengar putusan itu. Wajahnya pucat

dan matanya memandang sayu kearah Yitna. Pak Harjo menundukkan kepala. Dengan tak

banyak rewel lagi Yitna menanda-tangani keputusan itu. Sebelum ia dibawa pergi keluar dari

tempat sidang ia masih sempat berkata kepada Pak Harjo dan Ratna,

"Pak, selamat tinggal dan banyak terimakasih atas segala kebaikan yang telah

dilimpahkan kepada saja. Ratna, selamat tinggal, Rat. Maafkan aku akan segala yang terjadi.

Aku kini tak berharga untukmu. Namaku telah ternoda. Tapi, kita akan berjumpa kembali

kelak, Rat."

"Pergi engkau, pencuri!" membentak Pak Harjo dengan marah. Yitna tersenyum dan

berkata, "Terimakasih, Pak." Pak Harjo akan memaki pula, tapi Ratna mencegahnya,

"Ayah, sudahlah , kang Yitna, selamat berpisah ......." kata-kata ini dibarengi isak tangis

dan air mata membanjir.

Yitna menggunakan kepalan tangan kanannya untuk mengusir dua butir air yang keluar

dari sepasang matanya, lalu ia digiring ke penjara. Aku akan kembali, Rat. Aku pasti

kembali!! Demikian pikirnya.

------ m d n -----
Bahagian ke V

Yitna hanya berdiam empat bulan di dalam penjara Solo, lalu dipindahkan ke penjarahttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Semarang. Di dalam tempat hukuman itu ia menjumpai bermacam-macam orang dan

mendengar bermacam-macam cerita. Diantara ratusan orang hukuman, hanya Mangun,

Slamet, Ho Jin dan Dadang yang menjadi kawan baiknya. Mereka berlima tinggal bersama
sama di dalam sebuah kamar segi empat. Sebulan setelah ia memasuki kamar itu, mereka

menjadi kawan-kawan baik yang bersimpati kepadanya setelah mendengar nasibnya.

Sambil menghisap rokok cengkeh yang keluar dari saku Ho Jin, mereka duduk bercakap
cakap. Makan malam berupa sepiring nasi dengan ikan asin dan sayur kangkung baru saja

habis dimakan dan masih menekan berat di dalam perut mereka.

"Engkau beruntung, Jin," kata Mangun sambil mengebulkan asap rokoknya dan matanya

yang dikelilingi keriput itu memandang ke atas, seakan-akan sedang menghitung jumlah

tusuk genteng. "Engkau beruntung masih mempunyai seorang saudara yang mempedulikan

dan bahkan mengirim rokok. Bagiku, tiada seekor setanpun yang akan peduli." Ia menghela

napas dan menggaruk-garuk rambutnya yang panjang penuh uban, "Bagiku asal setiap hari

mendapat nasi cukuplah. Yang lain-lain tak kupeduli. Lebih-lebih kalau nasi itu cukup

banyak dan dikawani ikan asin dan akhirnya disempurnakan pula dengan asap rokok

kretekmu! Dulu tidak setiap hari mulutku dapat menikmati kesedapan nasi. Jarang perutku

dapat merasa sepuas ini." Ditepuk-tepuknya perut yang gendut itu, satu-satunya yang gemuk

diantara anggauta-anggauta tubuhnya yang tipis kecil.

"Ceritakanlah mengapa engkau menjadi penghuni kamar ini, pak Mangun," meminta

Yitna.

Mangun menghela napas kembali. "Aku dihukum sembilan tahun karena membunuh."

Yitna memandang tak percaya. Bagaimana seorang selemah pak Mangun ini dapat

membunuh?

"Sekarang tinggal enam tahun lagi," menyambung Mangun tak mempedulikan

pandangan ganjil Yitna, "tapi apakah aku akan dapat menahan nyawaku tinggal di dalam

tubuh rusak ini sampai selama itu, hanya Tuhan yang menentukan. Dulu aku seorang petani,

petani busuk kata kaum priyayi."

"Sama dengan aku," menyambung Yitna.

"Engkau? Mungkin, melihat tubuhmu yang kuat. Tapi mukamu terlampau cakap, tak

pantas menjadi petani busuk."

"Dan engkaupun tak pantas menjadi seorang pembunuh," membalas Yitna.

Mangun memandangnya dan mengangguk-angguk. "Memang, begitulah dimana-mana.

Lain luar lain dalam."

"Teruskanlah ceritamu, pak Mangun," meminta Ho Jin.

"Orang sedesaku semua petani. Hidup serba kurang. Biasa saja, habis panen menjual padihttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

untuk keperluan lain dan beberapa bulan kemudian setiap hari makan gaplek." Ia

memandang kepada Yitna yang mengangguk-angguk maklum. "Tapi karena kebiasaan atau

mungkin karena mulut pun menyerah kepada keadaan yang memaksa, nasi gaplek atau
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

campuran jagung dan ubi itu buktinya tertelan juga dan bahkan dapat memelihara hidup.

Tentu saja mulut dan perut tidak sepuas kalau bertemu dengan nasi tulen. Semua berjalan

dengan baik di dalam desaku. Walaupun kekurangan namun cukup puas dan seperti biasa

dilakukan oleh nenek moyang kita, kami sedesa selalu menerima nasib. Kami tidak mengiri

melihat den Danu dan pak Haji Ramli yang hidup mewah dan sawahnya berpetak-petak."

"Lalu datanglah malapetaka menimpa desa kami, merupakan diri seorang pemuda

bernama denmas Giman dari kota, keponakan den Danu. Tutur sapanya sopan, gerak

geriknya halus, sikapnya manis dan pandai bicara. Ia membicarakan tentang prasi-prasi atau

apa namanya entah, aku sudah lupa lagi. Maksudnya untuk mengadakan persatuan petani.

Karena tertarik oleh janji-janji baik, harga hasil sawah yang tinggi, pembelian keperluan

sehari-hari dengan murah dan lain-lain, kami lalu mengangkatnya menjadi ketua."

"Mula-mula baik juga hasilnya. Pekerjaan terbagi dengan adil dan pendapatan penjualan

padi dan lain-lain yang dilakukan oleh denmas Giman ternyata lebih tinggi daripada kalau

kami menjualnya masing-masing. Barang-barang kebutuhan kami didatangkan dari kota dan

memang lebih murah. Tapi setelah berjalan setahun, ternyata keadaan kami makin jelek.

Harga hasil sawah menurun, dan bahkan padi yang kami setorkan kepada denmas Giman

sering kurang banyak timbangannya. Tidak tahunya, denmas Giman berlaku koresi ........"

"Maksudmu barangkali korupsi, pak?" membenarkan Ho Jin.

"Ya korupsi. Padi kami dikurangi timbangannya. Harga penjualan dan pembelian bahan
bahan dicatut. Dan celakanya, setelah mendapat pengaruh ia mulai bertindak bergila-gila.

Gadis-gadis kampung kami dijadikan korban, termasuk juga ....... Asih."

?Siapakah Asih, pak?" menanya Dadang.

"Asih adalah anakku ............ anak tunggal. Setelah kuketahui akan hal itu, aku lalu pergi

menjumpainya dan menuntut supaya ia suka mengawini Asih, tapi ia hanya ketawa

menghina. Aku naik darah dan mcmakinya. Kami berkelahi. Hampir saja aku dapat

menghancurkan kepalanya dengan linggisku, tapi kawan-kawan datang memisah. Asih yang

mendengar bahwa bangsat itu tidak sudi mengawininya bahkan telah berkelahi dengan aku,

menjadi sangat bersedih dan seminggu kemudian, malam-malam ....... ia lenyap ....."

"Lenyap? Kemana, pak?" menanya Slamet.

"Ia ........... ia menceburkan diri ke dalam sungai di desa kami ........" Mangun menunduk

dan memandang ke atas lantai. "Lalu ....... besok paginya, ketika kawan-kawan sedang

mengangkat mayat Asih dari sungai ke rumahku, aku mencari Giman dan kutanamkan

golokku dalam-dalam diperutnya."

"Itu bagiannya!" berkata Slamet dengan puas.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Kasihan si Asih ........" berbisik Dadang.

"Sayang maksud koperasi yang mulia itu tercemar oleh korupsi." Ho Jin ikut

mengomentar.

Yitna berdiam saja. Teringat ia akan kata-kata bapaknya. Bapaknya dulu berkata, "Orang
orang kota busuk-busuk. Biar mereka dimakan setan! Darimanakah datangnya segala

bajingan-bajingan, tukang copet, dan penipu jahat? Dimanakah orang-orang kampung dan

petani yang tadinya jujur menjadi rusak, laki-laki menjadi buaya dan perempuan menjadi

jalang? Dimana lagi kalau bukan di kota?" Kata-kata ini masih berdengung di telinganya

kalau ia kenangkan. Benarkah kata-kata ayahnya? Baru beberapa bulan itu tinggal di kota

sudah difitnah orang sehingga masuk penjara. Dan Giman jahat itupun orang kota yang

mengacau desa. Tapi Ratna? Ia orang kota juga. Yitna ragu-ragu.

"Sekarang aku hanya tinggal menanti nyawaku meninggalkan tubuhku yang bobrok ini.

Aku mengharapkan mati di sini. Karena kalau aku keluar dari sini, hendak kemana?"

"Sebetulnya maksud koperasi itu baik sekali," berkata Ho Jin pula. Ia nampak kecewa

dan sangat menyayangkannya.

"Sayangnya yang memegangnya kurang jujur. Dan terlebih sayang pula tiada

pengawasan dan bimbingan pemerintah. Alangkah baiknya kalau pemerintah yang

mengaturnya. Tentu pak tani akan makin terangkat derajat hidupnya." Slamet mengutarakan

pendapatnya.

"Percuma saja biar pemerintah akan membimbingnya sekalipun." Semua mata

memandang Dadang dengan pandangan menanya.

"Biarpun pemerintah bermaksud mulia, tapi kalau yang diberi tugas merusaknya dengan

berkorupsi, tetap saja pak tani akan menggigit jari. Memang semua itu salah pak tani kita

sendiri. Mereka terlampau lemah, Telah mendalam benar perasaan mengalah dan menerima

nasib. Bisanya hanya meraba-raba dada sendiri sambil menyebut nama Allah. Persatuan

mereka hanya terbatas kepada bergotong-royong bermanis-manisan di dalam soal-soal kecil.

Di dalam perkawinan, khitanan, kematian, paling tinggi di dalam soal meronda malam.

Kalau persatuan itu dibangunkan kearah perbaikan nasib bersama, melawan fihak pemeras

keringat mereka, tentu tak seorang koruptor berani bermain gila pula."

"Tapi harus ada yang pandai dan terpelajar diantara mereka," berkata Ho Jin, "karena

bapak-bapak tani yang masih buta huruf itu demikian mudah ditipu."

"Memang sulit. Nasib bapak dan ibu tani bergantung kepada pembelaan anak-anak muda

desa yang kini telah mulai maju di dalam mengejar ilmu. Tapi celakanya, mereka yang sudah

menjadi orang terpelajar kebanyakan tak suka bertani, kehendaknya lari ke kota saja,"

berkata Slamet menghela napas.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Mudah-mudahan keadaan akan berubah ........" mendoa pak Mangun.

"Mudah-mudahan ........" kawan-kawannya membantu. Tapi Yitna diam saja.

Pikirannya dilamun perbandingan-perbandingan antara desa dan kota dan keadaan dirinya

sendiri. "Apakah kemajuanku yang dapat tercapai jika aku tinggal bertani di desa?" pikirnya.

Dan ia ragu-ragu pula.

?ooo?

"Sekarang giliranmu untuk bercerita, Jin," mendesak Mangun.

Lim Ho Jin berbatuk-batuk kecil. Ia pergi duduk ke atas tikar kertas yang berserakan di

lantai. Malam itu hawa agak panas, dan mereka lebih senang duduk di bawah. Dengan

matanya yang tidak sipit benar ia memandang kepada kawan-kawannya berganti-ganti, lalu

tersenyum lebar hingga gigi mas di sudut kiri dalam mulutnya nampak.

"Sebenarnya aku hendak merahasiakan riwayatku yang memalukan ini, tapi melihat

Saudara-saudara demikian berterus terang, maka apa boleh buat. Nah, dengarlah."

"Enambelas tahun yang lalu, ketika aku masih berusia duapuluh, aku kawin dengan

Mimiati, bekas kawan sekolahku dulu di H.I.S. Keluarga kami semua memprotes, lebih-lebih

ayahku yang masih berdarah totok, menentang keras. Hanya ibuku seorang yang juga beribu

Indonesia, menyetujui. Aku kawin dan diusir oleh ayahku. Tapi bagiku hal itu tidak

kusedihkan benar karena aku dan Mimi saling mencinta. Pula, akupun sudah berpenghasilan

cukup dengan berdagang cita di pasar."

"Kemudian datanglah penyeranganJepang. Seperti saudara-saudara pun tentu masih

ingat, penyerangan Jepang itu berakibat bermacam-macam malapetaka kepada rakyat

Indonesia. Perampok-perampok menggunakan saat-saat kacau-balau itu untuk berpesta

merajalela. Polisi-polisi tidak ada, karena mereka lari ketakutan akan Jepang. Di kotaku

banyak terjadi perampokan. Akupun mengalaminya. Barang-barangku habis dan aku

ditawan oleh perampok-perampok itu. Mimi yang hendak menolongku bahkan dihina. Di

depan mataku sendiri Mimi dipukul karena berani melawan hendak menolongku. Aku tidak

tahan melihat isteriku dimaki dan dipukul. Aku berontak melawan, tapi berpuluh-puluh

tangan dan kayu memukulku. Hanya karena aku disangka telah mati dan ditinggalkanlah

yang menolongku daripada kematian. Aku masih hidup, tapi Mimi dibawa mereka ke hutan.

Aku menyusul mencari, tak mempedulikan tubuhku yang lebih mendekati mati daripada

hidup itu. Akhirnya kudapat menemukan isteriku yang kucintai itu. Tapi dalam keadaan

bagaimana?" Ho Jin memandang kawan-kawannya seorang demi seorang.

"Ia telah mati! Ya, saudara-saudara, isteriku, Mimiku yang tercinta itu telah mati dalam

keadaan yang sangat menyedihkan" Ho Jin berhenti bercerita, menutupkan matanya dan

menghela napas dalam-dalam. Pendengar-pendengarnya tiada yang membuka mulut, mereka

menghormati kenang-kenangan sedih dari kawannya itu.

"Saudara-saudara, tak perlu kiranya kujelaskan. Tentu saudara-saudara mengetahui atauhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dapat menduga mengapa isteriku mati dalam keadaan demikian. Dapat dibayangkan betapa

hancurnya hatiku. Kupeluki mayat Mimi dan aku jatuh pingsan di sebelah mayatnya untuk

berjam-jam karena sedih, sakit hati dan badan. Setelah aku tersadar, hari telah gelap.

Kuangkat mayat Mimi dan kukuburkan dengan sederhana. Sejak saat itu hatiku dipenuhi

kebencian. Kebencian yang dahsyat dan sakit hati yang mendalam. Aku harus membalas

dendam. Tapi kepada siapa?"

"Saudara-saudara, kalau hanya barang-barangku saja yang dihabiskan, aku takkan

bersedih benar. Takkan sehebat itu sakit hatiku seperti ketika aku kehilangan Mimi. Dan

penghinaan kepada tubuh isteriku itu Ah, pikiranku menjadi gelap, pertimbanganku patah

oleh kedukaan yang hebat. Aku menjadi tersesat. Aku hanya ingin menjadi kaya-raya. Tak

peduli dengan jalan apa. Aku lalu menjadi penyebar uang palsu. Uang palsu Jepang kusebar

semau-mauku. Seperti tadi telah kukatakan, aku menjadi gelap mata dan pikiran. Tak

kupeduli siapa yang akan menderita akibat pekerjaanku yang terkutuk itu. Aku benar-benar

menjadi kaya raya. Jauh lebih makmur daripada ketika jaman Belanda. Tapi kebahagiaanku

musnah. Aku bermain gila. Tidak ada kejelekan yang tak kukerjakan. Melacur, berfoya-foya,

berjudi. Segala! Ya, aku, orang lemah iman ini, batinku dibutakan oleh rasa duka kehilangan

Mimi. Aku bermain gila. Tidak ada kejelekan yang tak kukerjakan, tak kudengarkan. Aku

nekat. Pada pikiranku kematian bukan apa-apa bagiku, itu hanya akan mempercepat

perjumpaanku dengan Mimi."

"Kemudian datanglah revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Tapi semua itu tidak

merobah kelakuan. Kini uang republiklah yang kupalsukan. Aku maklum bahwa itu adalah

perbuatan yang jahat, tapi aku tidak peduli. Akhirnya aku tertangkap. Aku tidak peduli lagi.

Nasihat-nasihat keluargaku yang dekat hukum mati, demikian pikirku ketika tertangkap.

Atau setidak- tidak aku akan disiksa. Aku mengakui segalanya. Tapi ternyata ....... aku

diperlakukan dengan baik Hanya dihukum tujuh tahun!! Aku heran. Tak kusangka aku akan

menemui kebijaksanaan seperti itu. Kukira tadinya semua orang akan memperlakukan

padaku, sejahat perampok-perampok itu. Aku mulai bimbang, mulai timbul pertimbanganku.

Dan setelah aku berjumpa dan bergaul dengan saudara-saudara, barulah aku tersadar."

Ho Jin menghela napas dalam-dalam dan memandang kepada kawan-kawannya untuk

melihat bagaimana sikap mereka. Tapi Mangun hanya mengepul-ngepulkan asap rokoknya.

Slamet bertopang dagu. Dadang menggigit-gigit kuku jari, dan Yitna memandangnya dengan

kasihan. Baru ia berani melanjutkan ceritanya,

"Aku insyaf akan kesesatanku. Bukan aku saja yang menjadi korban peperangan. Dimana

ada perang, disana tentu timbul bermacam-macam kehancuran dan kekacauan. Orang-orang

jahat mengacau, mendapatkan ketika baik. Dan bukan di Indonesia saja, dimana-mana di

seluruh dunia ini terdapat pula orang-orang jahat dan pengacau seperti itu. Dan juga bukan

hanya dilain-lain negeri terdapat orang-orang terpelajar dan berbudi, di Indonesia pun

banyak.

"Kini aku yakin akan hal ini. Aku menjadi malu, malu sekali. Malu kepada Indonesia,

dimana aku diiahirkan dan dibesarkan. Malu kepada Tiongkok, dimana nenek-moyangku

yang menurunkanku tinggal. Dan yang lebih-lebih sekali, aku malu kepada Mimiku. Ia tentuhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menangis sedih melihat suaminya menjadi rusak dan hina. Ah, kalau saja Mimi masih hidup,

tentu takkan begini kesudahannya."

Ho Jin tak dapat menahan pula kesedihannya dan segera menutup mukanya dengan

kedua tangannya, menangis. Kawan-kawannya, lebih-lebih Yitna menjadi sangat terharu.

Mangun memegang pundak Ho Jin. "Sudahlah, Jin. Setiap orang pernah bertindak keliru

dalam hidupnya. Engkau masih muda. Sekeluarmu dari sini, masih banyak tempo bagimu

untuk menebus dosa. Engkau dapat berbuat banyak guna kebaikan masyarakat dan

pemerintah."

Setelah dihibur-hibur, Ho Jin tenang kembali.

"Nah, sekarang engkau, Dang, giliranmu bercerita," berkata Mangun.

"Ah, aku malu menceritakan," berkata Dadang.

Kawan-kawannya tertawa, juga Ho Jin wajahnya mulai terang kembali.

"Lihat anak perawan ini, kemalu-maluan disuruh kawin," menggoda Mangun. Mereka

mendesak dan dengan wajahmerah Dadang mulai bercerita,

"Aku dihukum karena..............lari dengan gadis kekasihku." Kawan-kawannya tertawa

kembali, kini Ho Jin pun ikut tersenyum.

"Teruskan, teruskan" mendesak Mangun.

"Aku mempunyai seorang kecintaan, anak gadis kepala kantorku. Tapi orang tua gadis

itu tak menyetujui karena mereka adalah masih keturunan Raden Mas dari Solo, sedangkan

aku hanya seorang pegawai kecil, lagi keturunan Sunda biasa bukan menak. Tapi, Yati

kekasihku itu mencinta pula padaku dan tidak mempedulikan segala keningrat-ningratan.

Akhirnya kami berdua mencari akal, karena ternyata Yati dipaksa hendak dikawinkan

dengan lain orang, seorang Raden pula dan calon dokter. Kami bermufakat untuk lari

bersama-sama. Setelah minggat selama seminggu, Yati pulang dan mengaku bahwa telah

menjadi isteriku, walaupun belum syah."

Kawan-kawannya tertawa pula, kini lebih keras.

"Dan engkau .............. sudah ............ ?" bertanya Mangun.

Dadang menggelengkan kepala. "Tentu saja belum! Kami hanya bersiasat. Kami takkan

melanggar kesopanan Timur yang menjadi pusaka tiap pemuda Indonesia. Ketika Yati

pulang, akupun mengantarkannya. Ayahnya marah, hampir aku dipukulnya, tapi tidak jadi.

Barangkali takut melihat tubuhku yang nampak kuat ini. Ibunya menangis seperti seorang

anak nakal minta dibelikan es. Lalu aku dituntut dan masuk penjara."https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Dan kalau engkau sudah bebas, bagaimana"

Dadang memandang kepada kawan-kawannya dan tersenyum gembira,"Kawin dengan
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yati!"

Semua tertawa kembali dengan ramai dan Ho Jin bahkan memukul-mukul bahu Dadang

dan berkata,"Engkau hebat!"

Yitna pun tertawa gembira. Tapi diam-diam ia berpikir. Cerita Dadang itu hampir sama

dengan keadaannya sendiri. Ratna dan ayahnya. Bagaimana kalau ia meniru siasat Dadang?

Tapi sekarang tidak mungkin. Ia sudah menjadi orang hukuman. Dan Ratna? Ratna seorang

gadis cantik terpelajar dan kaya pula, pantaskah dilarikan Ratna tentu akan menolaknya. Dan

ia sendiripun masih ragu-ragu apakah pelanggaran macam itu benar.

Malam itu Yitna gelisah tak dapat tidur. Wajah Ratna terbayang jelas jika ia menutupkan

matanya dan suara Ratna berkemandang di telinganya. Akhirnya, menjelang pagi ia tertidur

juga, penuh dengan impian tentang Ratna.

"Aku lebih jahat daripada kamu semua," berkata Slamet memulai riwayatnya. Semua

mata memandangnya agak tak percaya. Mana bisa seorang pemuda sehalus Slamet gerak
geriknya itu menjadi seorang yang sangat jahat. Slamet maklum akan pandangan kavan
kawannya dan menghela napas.

"Benar, saudara-saudara. Aku adalah seorang jahat. Seorang pengacau negara yang gila

karena iri hati dan karena kebodohan mudah ditipu orang. Aku dimasukkan penjara karena

menjadi anggota gerombolan." Ia diam memandang kavan-kawannya kembali. Mereka

memandang keheranan.

"Aku menjadi anggota gerombolan ?Membalas Sakit Hati" yang disingkat "MSH".

Dahulu aku adalah seorang pejuang dikala revolusi empatpuluh lima. Tapi setelah Indonesia

Merdeka, dan diadakan penyortiran dikalangan tentara, aku dan beberapa orang kawanku

dipecat karena buta huruf.

Setelah dipecat aku menjadi kecewa dan bingung. Mau bekerja, bekerja apa? Aku tidak

berpengalaman, sedangkan untuk bekerja kasar aku merasa malu. Masak seorang bekas

tentara pejuang menjadi kuli. Untuk bekerja halus aku tak mampu. Hidupku makin sukar.

Lebih-lebih sedih hatiku ketika aku berjumpa dengan seorang gadis yang menarik hatiku.

Tapi ia miskin seperti aku pula. Perasaanku terhadap ia hanya terkurung di dalam hati. Tak

berani aku meminangnya. Karena uang tiada. Keluargaku hanya seorang ibu yang sudah tua.

Kemudian ibuku meninggal dunia. Aku demikian mskin sehingga untuk penguburan jenazah

ibuku pun baru dapat dilakukan setelah mendapat sumbangan dari beberapa orang tetangga.

Pukulan kedua menghancurkan benar-benar hatiku, yaitu ketika gadis pujaanku itu diserobot

dan dikawin orang lain.

"Telah ada usaha dari Persatuan Bekas Pejuang di kotaku untuk menolongku dengan

menjual gambar atau mencari pemasangan iklan. Aku berjalan dari kota ke kota. Membekalhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

beberapa buku bacaan, majalah dan sebuah buku tulis untuk mencatatkan sumbangan
sumbangan dan pemasangan iklan. Beberapa bulan lamanya usaha ini baik juga hasilnya.

Sambutan masyarakat, terutama toko-toko dan perusahaan-perusahaan amat baiknya.

Penghasilanku, yakni kelebihan uang yang kusetorkan ke pusat, cukup kupakai makan dan

membeli pakaian. Dari pemasangan iklan kumendapat keuntungan duapuluh lima persen.

Lumayan juga.

"Tapi sayang, itu tak berjalan lama. Beberapa bulan kemudian tak seorangpun mau

membeli buku, jangan katakan memasang iklan." Ia berhenti dan menghela napas. Matanya

bersinar menunjukkan kekesalan dan kemarahan.

"Mengapa" Yitna bertanya. Ia heran mendengar cerita ini. Belum pernah ia mendengar

hal-hal demikian.

"Karena kecurangan beberapa orang jahanam! Kalau tadinya masyarakat menerima

usahaku dengan senyum senang melihat usaha bekas pejuang yang jujur, akhirnya

masyarakat menerima kedatanganku dengan pandangan membenci dan tidak percaya.

Begini, saudara-saudara, usaha seperti yangkujalankan itu, lama-kelamaan banyak pula

dilakukan oleh bekas-bekas pejuang seperti aku. Tapi itu tidak mengapa, yang celaka sekali,

pemuda-pemuda malas dan bajingan-bajingan mengaku bekas pejuang dan menjalankan pula

pekerjaan itu."

"Aku pernah melihat seorang pemuda berusia kira-kira dua puluh tahun berjalan meminta

sumbangan dan mengaku bekas pejuang," berkata Ho Jin. "Padahal ketika revolusi meletus

ia paling banyak baru berusia delapan tahun."

"Ya, begitulah," Slamet melanjutkan ceritanya, "itu sebenarnya tidak mengapa. Yang

mendatangkan celaka dan mematikan mata pencaharianku yakni beberapa orang yang

mengaku bekas pejuang itu bertindak seakan-akan penjahat atau perampok. Mereka meminta

dengan ancaman dan paksaan. Dan juga pemasangan-pemasangan iklan yang sudah terbayar

itu tak pernah dimuat karena memang mereka itu kolportir-kolportir palsu. Nah, sejak

manusia-manusia begini ini berkeliaran, maka orang tak suka lagi menerima dan

membantuku. Yang pernah menjadi korban kehilangan kepercayaan kepada semua

pemungut iklan dan akupun tidak dipercaya lagi. Pakaian kami habis dimasukkan ke perut."

"Gara-gara korupsi lagi," mencela Mangun.

"Ya, memang itupun merupakan korupsi setengah penipuan. Karena keadaan yang

makin sukar itu, timbul kembali rasa sedih hatiku yang dulu. Mengapa aku tersia-sia?"

"Nah, ketika rasa penasaran dan sengsara di dalam hatiku sedang memuncak, aku

berjumpa dengan seorang kawanku seperjuangan dulu. Ia telah menjadi sersan gerombolan

?MSH". Dibujuk-bujuknya aku, dibakarnya hatiku, dan kemudian diberinya aku janji-janji

indah. Aku tertarik, lebih- lebih ketika ia memberikan uang dan pakaian kepadaku. Uangnya

banyak benar, membayangkan kemakmuran hidupnya. Tak mengerti aku darimana ia

memperoleh uang sebanyak itu.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Sejak hari itu, aku masuk menjadi anggota gerombolan. Merampok, membakar rumah,

pendeknya, mengacau negara. Dalam hati kecilku aku berkeyakinan bahwa yang kukacau itu

bukannya negara Indonesia yang kucinta, tapi adaIah bapak-bapak gemuk makmur yang

tidak mempedulikan nasib rakyatnya."

"Tapi lama kelamaan aku melihat beberapa gejala-gejala yang tidak sehat di dalam

gerombolanku. Pembunuhan rakyat yang tak berdosa, hanya berdasarkan sentimen

perseorangan. Dan lebih kecewa lagi aku ketika timbul kecurigaanku bahwa kapten kami

rupa-rupanya mempunyai hubungan dengan pengacau Belanda. Aku bimbang ragu. Lebih
lebih ketika kumendengar suara radio dimana Bung Karno berpidato."

"Dimana engkau dapat mendengarkan radio" menanya Dadang.

"Di hutan. Kami merampas sebuah radio dengan accunya. Setelah mendengar pidato

Bung Karno yang sejak dahulu kuanggap satu-satunya pemimpin sejati yang kuketahui, aku

lalu timbul keinginan hendak lari, kembali ke masyarakat seperti yang dianjur-anjurkan oleh

Bung Karno. Tapi aku tidak berani, takut akan pembalasan kawan-kawanku, dan pula

bayangan-bayangan kesengsaraan di kota tanpa pekerjaan membimbangkan kehendakku.

"Akhirnya, aku dan beberapa orang kawanku terjebak di dalam perangkap T.N.I. Banyak

kawan-kawanku mati. Aku dan beberapa orang kawan tertangkap. Sekarang aku menyesal.

Setelah mendapat nasehat-nasehat dari mayor yang menemuiku ketika aku tertangkap, aku

menjadi insyaf akan kesesatanku. Lapangan pekerjaan banyak bagiku, asal aku mau bekerja.

Biarpun pekerjaan kasar."

"Memang tiada pekerjaan yang hina," berkata Yitna.

"Tapi, bagaimana juga, seperti telah kukatakan di depan mayor itu, aku belum puas

melihat perhatian pemerintah yang masih sangat kurang terhadap pemuda-pemuda terlantar

seperti aku ini."

Mangun yang sejak tadi mendengarkan sambil menundukkan kepala, berkata dengan

suaramenghibur, "Sabarlah, Slamet, Kuatkan imanmu. Jangan mudah pengaruh oleh

bujukan jahat. Engkau masih muda. Tenagamu masih kuat. Mudah bagimu untuk mencari

pekerjaan."

"Tapi aku tak berkepandaian," jawabnya menghela napas.

"Kedua lenganmu masih kuat. Dan banyak orang yang lebih bodoh dan lebih lemah

daripadamu dapat juga bekerja."

Slamet menunduk. "Mungkin engkau benar."

Kelima orang itu berdiam diri, masih terpengaruh oleh cerita Slamet yang mengecewakan

hati itu. Lalu Ho Jin berkata sambil tersenyum,https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Nah, kawan-kawan. Sekarang kita telah mengerti keadaan masing-masing. Setiap orang

mempunyai kekecewaan dan kesengsaraan sendiri. Lihat Yitna ini. Tak bersalah apa-apa,

namun di penjara juga! Memang hidup ini banyak kekecewaan. Banyak kepalsuan. Tapi,

marilah bergembira, tak perlu engkau bermuram durja, bung Slamet."

Kemudian Ho Jin membuka bungkusan hantaran saudaranya siang tadi.

"Ini, kue masih ada. Hayo kita makan. Masih adakah tehnya, Dang?"

Dadang berdiri lalu pergi mengambil tempat air teh dan menyediakan cangkir yang hanya

ada dua buah itu untuk kawan-kawannya dan ia sendiri. Mereka makan kue, minum teh

sambil bercakap-cakap sampai jauh malam.

------ m d n -----
Bahagian Ke VI

"Daryo menginjak rem prahotonya dan mengoper persneling. Dan prahotonya berhenti

di pinggir jalan dan ia keluar menemui polisi lalu lintas yang menyetopnya. Daftar angkutan

barang telah siap ditangannya.

"Selamat pagi, pak." salamnya.

"Pagi. Muat apa ini?"

"Biasa saja, pak," katanya sambil menyerahkan daftar angkutan. Lalu ia pergi memeriksa

ban belakang dan berjongkok.

"Ban kiri agak kempis, Na." katanya kepada keneknya. Yitna segera menghampiri.

"Tadi sudah ditambah angin, mas Daryo," katanya membela.

"Bawa berapa ton, bung"

"Paling banyak empat ton, pak. Barang ringan sih ........................"

Polisi itu membungkuk memeriksa per.

"Mana bisa empat ton. Pernya sampai melengkung gitu."

"Betul pak, hanya empat ton. Pernya memang sudah lemas sih .........."

Setelah memeriksa barang-barang angkutan dan mencocokkan dengan daftar

angkutannya, polisi itu mengembalikan daftar angkutan kepada Daryo.

"Terimakasih, pak," berkata Daryo. "Hayo, Na. Sudah siang ini!"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Yitna meloncat ke belakang prahoto dengan cekatan dan duduk di atas sebuah peti

muatan dengan memegangi tali yang besar kuat itu.

Prahoto berjalan lagi. Suara mesinnya menderu-deru karena diberi gas sebanyak
banyaknya oleh Daryoyang ingin meninggalkan tempat itu secepat-cepatnya.

Prahoto berjalan dengan kencangnya. Yitna melanjutkan lamunannya yang tadi telah

terganggu oleh penyetopan itu. Telah lima bulan semenjak keluar dari penjara ia bekerja

sebagai kenek di Perusahaan Angkutan ?Hasil" dan diperbantukan kepada Daryo. Ia keluar

dari penjara meninggalkan Mangun, Ho Jin dan dua orang baru yang menggantikan tempat

Slamet yang telah keluar setahun yang lalu dan Dadang yang telah keluar lebih dulu pula.

Setibanya di luar penjara, ia merasa seakan-akan terlahir kembali. Ia bingung. Sebuah kopor

terisi pakaian dan uang sebanyak seratus rupiah adalah kawan satu-satunya. Semua itu

dikirimkan oleh Pak Harjo ketika ia masuk penjara. Hendak kembali ke Solo, ia malu.

Kemudian ia mengelilingi kota Semarang mencari pekerjaan dan akhirnya ia diterima di

Perusahaan Angkutan ?Hasil" itu.

Pekerjaannya berat. Sangat berat. Kadang-kadang pada jam sembilan malam ia masih

terayun-ayun di atas truck. Jam lima pagi sudah harus siap untuk jalan lagi. Hidupnya hanya

dilewatkan di sepanjang jalan antara Semarang dan Jakarta tiap harinya. Tapi

penghasilannya lumayan juga. Gaji seratus limapuluh rupiah. Uang makan sehari sepuluh.

Dan pembagian uang catut dari Daryo kadang-kadang sampai duapuluh lima. Boleh juga!

Tapi itu semua belum begitu menggirangkan hatinya seperti apa yang ia dapatkan dari

pengalamannya. Daryo baik hati. Ia diberi kesempatan belajar mengemudi. Kini ia telah

pandai menyopir. Prahoto chevrolet yang membawa muatan enam ton mudah saja ia

jalankan. Kadang-kadang, dan ini sering terjadi, kalau merasa lelah dan mengantuk karena

malam habis bermain-main dengan perempuan jalang semalam penuh, Daryo memanggilnya

duduk di depan dan ia disuruh menggantikan menyopir. Daryo pula yang menolongnya

sehingga ia dapat mengikuti ujian untuk mendapatkan Kartu Pengemudi. Sebetulnya,

menurut peraturan, sebelum mengikuti ujian B-satu, ia harus mempunyai rijbewijs A terlebih

dulu. Tapi karena Daryo mempunyai hubungan baik dengan orang-orang atasan, dapat juga

Yitna mengikuti ujian itu. Ia harus mengeluarkan uang limaratus rupiah. Habis perkara, tak

banyak cekcok. Kemarin ia telah mengecap jari di atas Kartu dan seminggu lagi ia akan

menerimanya. Lalu ia akan menjadi sopir seperti Daryo!

Yitna merasa dirinya sudah maju. Calon sopir! Dan ia tahu betapa baiknya penghasilan

seorang sopir. Gajinya memang tidak besar. Paling banyak empatratus rupiah dan uang

makan paling banyak duapuluh lima rupiah sehari. Tapi catutannya! Ia mengerti pula bahwa

seorang sopir seperti Daryo itu sedikitnya dapat menerima penghasilan seribu limaratus

rupiah sebulan. Tentu saja uang itu habis tak keruan bagi Daryo karena seperti kebanyakan

sopir-sopir lain, Daryo mudah sekali menghambur-hamburkan uang di hotel-hotel.

Tapi aku tidak demikian pikirnya. Akan kuperhemat. Kumpul-kumpulkan uang dan

kalau sudah banyak lalu ........ lalu .........https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tiba-tiba prahoto dihentikan dengan tiba-tiba. Yitna harus kuat-kuat memegang tali agar

tak sampai terbanting keluar. Segera ia meloncat turun. Ternyata di depan truck ada sebuah

mobil hitam. Yitna mengenal mobil itu yang terkenal diantara sopir-sopir sebagai harimau

pengangkutan. Lalu lintas! Mereka tercegat di tapal batas kota Pekalongan.

Dua orang berpakaian putih dengan garis-garis kuning di bahu turun dari mobil dan pergi

mendapatkan sopir. Daryo nampaknya tenang-tenang saja. Dua buah prahoto lain telah

berhenti pula di situ.
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He, kenek! Coba bantu angkat timbangan ini!" memerintah seorang dari mereka. Yitna

lari menghampiri dan bantu mengangkat timbangan. Prahoto ?Hasil" ditimbang. Setelah

menghitung-hitung, ternyata kelebihannya satu setengah ton dari maksimum muatan yang

dipergunakan

"Wah, berat benar muatanmu, pak," berkata seorang pemeriksa yang berkacamata.

"Ya, tuan. Karena kepalang sih ......................... Barang muatan ini hanya satu party

dan pemiliknya meminta barangnya dimuat sekaligus. Terpaksa saya angkut semua." Seperti

biasa Daryo menggunakan alasan ini.

"Mana nummerbewijs" Inspektur Lalu-lintas itu berkata.

"Wah, diteruskan sajakah, pak?" menanya Daryo dan lupa sebutan tuan. Tapi ia masih

tersenyum-senyum, matanya memandang penuh harapan minta diampuni.

"Tentu" jawab yang ditanya. Nummerbewijs diberikan dan ia mendapat sehelai tanda

penerimaan sebagai gantinya. Lalu ia naik kembali, dan setelah mengangguk memberi

hormat. trucknya melanjutkan perjalanan memasuki kota Pekalongan. Peduli amat,

dendanya toh akan dibayar oleh majikan

Setelah mengisi bensin dan angin untuk ban, Daryo mengajak Yitna berhenti makan di

warung langganannya. Warung itu disuka benar oleh para sopir, karena pelayannya seorang

gadis genit. Cantiknya tak seberapa, tetapi genitnyalah yang terutama sekali membikin

warung ibunya laku keras. Gaya penariknya hanya terletak kepada kebusungan dadanya

yang tinggi. Senyumnya murah, tidak semahal nasi ramesnya. Tahu menerima kata-kata

sindiran yang berarti. Pandai pula membalas olok-olok dengan kata-kata yang penuh sindiran

genit.

"Wah, engkau makin cantik saja, Yem. Seperti mawar merah waktu pagi. Sayang banyak

durinya," menggoda Daryo.

Kadang-kadang Yitna heran melihat Daryo sedemikian berani dan pandainya bila

berhadapan dengan wanita. Tentu karena pengalamannya, pikir Yitna. Setahunya, Daryo

beristeri dua orang. Seorang di Semarang, yakni ibu dari empat orang anaknya, isteri

pertama. Dan seorang pula di Jakarta, seorang perempuan muda genit dan cantik yanghttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

didapatnya memungut dari pinggir jalan. Belum lagi di jalan-jalan sering benar Daryo

bermain gila dengan perempuan lain. Inikah gerangan yang membuat ia demikian pandai

berlagak di depan wanita

"Mas Daryo" menegus Wagiyem dan segera gadis itu melepas kerling matanyayang lebar

berikut senyumnyayang dapat menjatuhkan hati setiap langganannya. "Engkau baru tiba?

Kusangka masih pulas di Jakarta. Maklumlah, enak benar tidur di Jakarta, biar hawanya

panas kaya neraka, tapi bagimu sorga belaka!" Terdengar suara ketawa beberapa orang sopir

yang sudah berada di situ sejak tadi.

"Memang, mas Daryo pemah berkata bahwa baginya hawa di Jakarta itu terlampau

dingin, hingga biarpun sudah berselimut tebal masih juga kedinginan," menggoda seorang

sopir bernama Mijan. Sopir truck "Berkah" dari Semarang juga, dan trucknya pada ketika

itupun berada di depan warung.

"Aah, engkau bisa saja, Jan. Yang kuherankan, mengapa kembang seindah ini belum juga

ada yang memetiknya, ya?" kembali ia menggoda.

"Sayang kembang indah terpetik oleh tangan yang kurang pandai merawatnya,"

menyambung Wagiyem dengan masih tersenyum.

"Aduuh lagaknya! Minta ditempatkan dimana? Kalau roda truckku masih dapat berputar,

aku sanggup mengadakan tempat yang terindah untuknya," menyindir Daryo.

"Bagaimana juga, yang berbicara itu sudah memelihara dua tiga kembang."

"Apa salahnya? Biar kutambah dengan setangkai mawar lagi biar lebih sedap dipandang

dan harum dicium." Kembali mereka tertawa gembira.

"Kumbang selalu pandai berlagak, tapi sangat berbahaya," membalas Wagiyem.

"Jangan cemberut, Yem. Tolong siapkan dua piring rames. Perutku sudah lapar benar.

Yang pedas, ya? Sini Na, jangan diluar saja."

Yitna masuk dan duduk di dekat Daryo.

"Pemuda cakap ini betul-betul masih jejaka, Yem. Seratus persen tulen. Ia pemalu dan

nampaknya lemah, walau sebenarnya tenaganya melebihi kerbau." Wagiyem mengerling dan

tersenyum kepada Yitnayang menunduk malu.

"Wagiyem lebih menyukai yang sekuat kuda daripada kerbau." menyindir seorang sopir

dengan olok-oloknya. Wagiyem tersenyum saja. Setiap menghadapi olok-olok yang agak

kasar ia tak pernah marah. Tapi ia tidak mau melayaninya sehingga akhirnya yang berolok
olok berhenti dengan sendirinya.

"Ia boleh diadu dengan kuda sekalipun," memuji Daryo. "Coba saja, kemarin dulu dihttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Bekasi aku hampir dikeroyok mati oleh pencoleng karena seorang diantaranya kutempeleng

ketika ia hendak menyerobot tasku. Dan apa yang diperbuat oleh Yitna."

Yitna menyentuh lengan Darjan. "Aah .............. ....... tak perlu diceritakan hal itu,

mas."

"Teruskan, mas Daryo! Teruskan. Aku ingin sekali mendengarnya."

Daryo memandang kepada Yitna dan matanya berkata, "Tidak apa-apa. Seorang

diantaranya, yakni kepalanya, bercambang galak berkata "Kamu berani memukul orangku"

Sikapnya sangat menakutkan, tapi aku tidak takut. Sebelum aku menyahut, Yitna melangkah

menghalangi di depanku dan berkata, "Orangmu hendak mencuri, tentu saja dipukul!"

Kepala pencoleng memandang Yitna dengan marah dan menghardik, "Pergi kamu atau akan

kupatahkan batang lehermu" Anak muda inimenantang, "Cobalah!"

"Nah, lalu tanpa berkata apa-apa, kepala pencoleng itu menyerang kearah leher Yitna

hendak mencekik. Dan, apa yang dilakukan oleh Yitna." Daryo diam menghirup tehnya.

Orang-orang makin tertarik, tapi Yitna beberapa kali menjentuh kaki Daryo menyuruh diam.

"Yitna lalu berkelit dengan berjongkok dan dari bawah melayangkan tinjunya yang kuat

keras menghantam perut lawan. Terdengar suara ?hek" dan kepala pencoleng kumisan itu

jatuh tersungkur. Tak dapat bangun kembali. Hanya berduduk mengaduh-aduh dan

memegangi perutnya. Rupa-rupanya usus buntunya kena benar. Kawan-kawannya

mengeroyok, tapi kami berdua lalu mengamuk. Lebih-lebih Yitna. Diangkatnya seorang

daripada mereka ke atas dan dilontarkannya kearah kawan-kawannya, bagaikan kamu orang

melontarkan seekor kucing ringannya. Mereka lari tunggang langgang. Tak seorangpun yang

tak makan pukulan kami. Memang, anak muda ini jagoan benar!"

Semua mata memandang kepada Yitna dengan kagum. Yitna tunduk saja, ia merasa malu

karena sesungguhnya Daryo amat menyombong tadi. Tak diceritakannya bagaimana sebelah

mata Daryo menjadi bengkak biru dan bibir Yitna berdarah di dalam perkelahian itu. Tapi ia

tak mau mengecewakan Daryo dengan membantah.

"Kelihatannya pendiam tapi ....................." berkata Wagiyem dengan kagum dan

memandang Yitna dengan mesra.

"Diam-diam air dalam ..................... " meneruskan Mijan.

"Inilah orangnya yang pantas memetik mawar warung ini ......" menggoda sopir kasar

tadi yang segera diam kembali ketika Yitna memandangnya.

"Ini nasinya, mas." berkata Wagiyem ketika pembantunya mengantarkan dua piring nasi

rames. Mereka lalu makan sambil mengobrol riang. Tapi Yitna berdiam saja mendengarkan.

Ia menikmati nasi rames itu dengan diam-diam dan memikirkan peruntungannya dengan hati

puas. Lebih-lebih kalau ia teringat rijbewijs yang akan diterimanya minggu depan nanti.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

------ m d n -----
"Berhati-hatilah kalau sedang mengemudikan truck. Jangan menuruti hati ingin

berlomba-lomba saja. Perhatikan benar-benar peraturan lalu lintas," demikian pesan terakhir

komandan polisi lalu-lintas ketika memberikan rijbewijs kepadanya.

Yitna keluar dari kantor polisi membawa rijbewijs B-satu dengan hati besar dan bangga.

Ia merasa seakan-akan seorang mahasiswa yang telah lulus dalam ujian terakhir.

Segera ia mendapatkan Daryo. Dan dengan pertolongan kawan yang baik hati ini, Yitna

diterima menjadi sopir dari truck ?Mulyo" di Pekalongan. Gajinya pertama-tama duaratus

limapuluh rupiah. Uang makan limabelas sehari. Mencari muatan sendiri, karena ?Mulyo"

hanya mempunyai dua buah truck dan tak mempunyai kantor.

"Aku menyesal harus berpisah dengan engkau, Na. Berpisah di dalam pekerjaan,

maksudku, karena kita akan sering bersua juga. Takkan mudah bagiku mencari seorang kenek

seperti engkau. Tapi aku gembira benar karena engkau mendapatkan kemajuan ini."

"Terima kasih atas segala bantuan dan kebaikanmu, mas Daryo."

Demikianlah. sejak hari itu Yitna menjadi sopir. Ia bekerja siang malam. Lebih rajin

daripada Daryo. Hasilnya lumayan juga dan setelah bekerja selama setahun ia dapat

mengumpulkan uang sebanyak tujuhribu limaratus rupiah! Hasil dari gaji, sisa uang makan,

dan catutan di jalan, walaupun cara mencatutnya tak seberani Daryo. Semenjak bekerja

menjadi sopir, setiap bulan dikirimkannya uang barang seratus duaratus kepada ayahnya di

Rejowinangun. Tapi ia tak pernah menyurat karena ia merasa bahwa keadaannya belum

patut dibanggakan kepada orang tuanya.

Pada suatu hari trucknya sampai di Semarang. Hari sudah malam dan karena hotel

?Dana" dimana ia biasa bermalam telah penuh, maka ia bermalam di hotel ?Nyaman". Ia

tiba di hotel itu pada jam enam sore.

Sehabis mandi ia makan dan lalu pergi berjalan-jalan. Sidin, keneknya ia suruh menjaga

truck. Karena malam itu terang bulan, maka banyak pula orang-orang yang berjalan-jalan

menikmati hawa malam yang sejuk. Kemudian Yitna dengan naik becak menuju ke

pelabuhan.

Telah beberapa kali ia melihat pelabuhan dan laut. Di situ ia selalu merasa gembira dan

kagum. Ketika pertama kali ia datang melihat air laut maka ia merasa seakan-akan dirinya

kecil tak berarti. Banyak pertanyaan diajukannya kepada Daryo yang mengajaknya kesitu.

Tapi kebanyakan jawaban Daryo tak memuaskan hatinya. Banyak pula pertanyaannya tak

terjawab oleh kawannya itu. Sampai saat itu, ketika ia sedang berdiri memandang laut luas,

masih belum terjawab juga olehnya pertanyaannya sendiri tentang darimana terkumpulnya

air yang sekian banyak itu?

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara yang memanggil namanya!https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Mas Yitna" Ia menengok cepat dan berhadapan dengan Tarmi! Gadis pelayan yang dulu

menjadi kawan sekerjanya itu kini berdiri di hadapannya. Yitna terheran, bukan karena

perjumpaan itu, tapi karena melihat perubahan yang nampak pada diri Tarmi. Pakaiannya

kain batik halus, kutang model BH membayang di balik bajunya sutera tipis. Pakaian mewah

dan modern itu bahkan belum seberapa. Bibirnya kini memerah gincu. Bedaknya tebal.

Bahkan alis matanya melengkung hitam panjang buatan tangan.

"Engkau ................... dik Tarmi" Tarmi memandang kepadanya dengan heran pula.

Dipandangnya Yitna dari rambutnya yang tersisir rapi menghias wajahnya yang cakap, lalu

kepada kemeja lengan panjangnya sampai kepada sepatu yang hitam baru.

"Mas Yitna, engkau ...................... kini makmur, ya?" suaranya masih tertahan-tahan,

rupa-rupanya ada juga rasa terharu padanya dalam perjumpaan itu.

"Engkau seorang diri saja, dik?" timbul tenggelam pengharapan di dalam hatinya kalau
kalau Ratna ada bersama-sama pula dengan Tarmi. Matanya mencari-cari.

"Aku sendirian saja, mas. Dimana engkau tinggal sekarang Dan apa pekerjaanmu? Dan

bilakah engkau keluar?"

Yitna melihat banyak orang memandang kearah mereka, maka ia lalu mengajak Tarmi

pergi memasuki sebuah restoran yang banyak berada disitu. Mereka duduk berhadapan. Di

bawah sinar lampu listrik yang terang Yitna dapat melihat Tarmi dengan jelas. Ternyata

bahwa dibalik kemewahan itu terbayang kelelahan dan kekesalan yang bersembunyi dibalik

sinar matanya yang layu. Bibirnya yang digincu itu sering gemetar. Telinga kirinya yang rupa
rupanya tak kebagian bedak tampak memucat.

Kemudian datanglah pertanyaan bertubi-tubi dari Tarmi. Yitna menceritakan

keadaannya dengan singkat. Ingin sekali hatinya menanyakan tentang Ratna, tapi mulutnya

tak sampai rnengucapkan pertanyaan itu. Lalu ia menanyakan tentang keadaan Tarmi.

Tarmi menghela napas berkali-kali dan memandang kepada Yitna dengan perasaan

menyesal.

"Mas Yitna, engkau kasihan sekali dan aku ........................... aku ........ telah berdosa

padamu."

"Berdosa? Aku tak mengerti, dik."

"Sebenarnya aku dapat membelamu dulu, tapi aku ....................... aku mengiri dan juga

aku tidak berani, mas." Dan ketika ia melihat Yitna bingung tak mengerti, ia melanjutkan

cepat- cepat, "Dengar, mas. Aku tahu bahwa engkau dahulu itu tidak berdosa. Aku bahkan

tahu pula siapa yang telah memfitnahmu."

Yitna bangun berdiri dengan berdebar, tapi lalu terduduk kembali.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Ceritakanlah dik, siapakah pengecut itu?"

"Ia adalah .................... den Harjo sendiri, mas."

"Pak Harjo?" Yitna menyandar kepada kursi, terkejut dan heran. Di dalam penjara sering

ia memperbincangkan hal itu dengan Mangun. Tidak lain, kalau bukan si Tarmi tentu sopir

itu yang menjadi pencurinya, berkata Mangun dengan penuh keyakinan, dan ia percaya juga

walaupun ia tak dapat menemukan alasan mengapa seorang diantara mereka itu akan

memfitnahnya. Tapi Pak Harjo? Tak termakan oleh akal. Ia memandang kepada Tarmi

dengan tidak percaya.

"Pak Harjo Tapi ......................... tapi ............ mengapa ...........?"

"Begini, mas. Aku tak perlu bersembunyi lebih lama. Selama ini aku merasa berdosa

kepadamu. Dengarlah, mas. Dulu ketika aku melihat den Nana dengan engkau di belakang,

yaitu ketika engkau mau pergi dulu, masih ingatkah engkau, mas?" Yitna mengangguk, tentu

saja ia masih ingat akan hal itu.

"Nah, ketika itu hatiku menjadi panas, iri dan cemburu.Aku lalu melaporkan hal

itu kepada den Harjo. Tentu saja ia tidak menyetujui hubunganmu dengan den Nana. Tapi
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

den Nana rupa-rupanya mencinta benar kepadamu. Maka den Harjo lalu menggunakan

siasat."

Yitna memandangnya dengan bibir terbuka.

"Aku melihat ia pergi memasuki kamarmu pada pagi hari pencurian itu terjadi. Ketika itu

engkau sudah pergi membeli bibit kembang. Maka tahulah aku bahwa den Harjolah yang

mencuri perhiasan anaknya sendiri dan kemudian disembunyikan di dalam kamarmu."

"Tapi, apa maksudnya?"

"Tak dapatkah engkau meraba? Ah, engkau bodoh sekali, mas. Apa maksudnya? Tentu

saja karena ia tak menyukai hubunganmu dengan den Nana. Dengan berbuat demikian,

maka ia dapat menyingkirkan engkau dari rumahnya dan membuat den Nana

membencimu."

Yitna memerah mukanya. Jari-jari tangannya mengepal keras. Sinar matanya berapi-api.

"Engkau marah, mas. Maafkanlah aku. Aku seharusnya memberitahukan hal itu

kepadamu."

"Marah? Apa gunanya aku marah? Ia ayah Ratna. Mungkin maksudnya baik yaitu untuk

kepentingan anaknya. Dan ....... dan memang ada pula baiknya perbuatannya itu bagiku.

Aku

mendapat banyak pengalaman. Dan ..................... dan sudah kawinkah Ratna sekarang?"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Entahlah, mas. Aku tidak tahu akan hal itu. Karena setelah engkau masuk penjara, rupa
rupanya den Harjo maklum pula bahwa aku mengetahui akan rahasianya. Aku lalu

diberhentikan dan disuruh pergi dari Solo dan diberi uang tiga ribu rupiah. Maka aku lalu

pindah kesini sampai sekarang."

"Biarlah, dik. Yang sudah biarlah lalu."

"Engkau memang orang baik, mas. Kalau saja anak kambing itu tidak merindukan

puncak cemara dahulu ........."

Yitna tersenyum sedih. "Anak kambing itu kini telah lebih pandai daripada dahulu, dik."

"Benarkah?" ia memandang dengan tajam. "Marilah mampir di rumahku, mas."

"Di rumah......................suamimu?"

Tarmi tersenyum. Baru kali ini ia tersenyum sejak perjumpaan tadi. Senyumnya lebar dan

bebas. Ia nampak gembira. Heran benar hati Yitna akan perubahan yang tiba-tiba ini.

"Suami?" katanya, alis buatan itu bergerak-gerak. "Ah, mas Yitna, siapakah yang sudi

untuk menjadi suamiku?Hayo kita pergi, naik beca saja."

SebenarnyaYitna tak ingin sekali pergi ke rumah Tarmi, tapi tak enaklah perasaannya

kalau ia menolak. Mereka naik beca dan menuju ke sebuah gang yang gelap.

Rumah Tarmi adalah sebuah rumah sederhana tapi diatur dengan sangat menyenangkan.

Kembang-kembang menghias media menggembirakan suasana. Yitna melihat di ruang

depan terdapat sebuah lemari kecil penuh botol limun dan bir. Juga tempat kue penuh terisi

kue kering. Baru saja masuk hidungnya bertemu dengan bau harum minyak wangi. Bau

macam ini diciumnya juga ketika mereka naik becak berdampingan tadi. Ia merasa

bagaimana Tarmi tadi mendesak-desakkan tubuhnya menyatakan perasaannya.

"Duduklah, mas," katanya dan seorang perempuan tua keluar dari pintu tengah.

"Ini ....................... bibiku, mas." Yitna mengangguk hormat. Tapi Tarmi tidak

mempedulikan perempuan tua itu yang lalu kembali masuk ke dalam.

Keheranan Yitna karena kelakuan Tarmi ini bertambah ketika dari dalam keluar dua

orang perempuan muda. Pakaian dan cat muka mereka tidak kalah mewahnya oleh Tarmi.

"Ini Marsih dan ini Lasmini." Kedua wanita itu terkekeh genit.

"Kawan barumu ini muda dan gagah benar, Mi," berkata Lasmini dengan suara berirama.

Marsih pun lalu mengambil tempat duduk di tangan kursiYitna, Pemuda itu heran dan malu.

Ia bangun berdiri termangu-mangu dengan canggungnya.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Tapi, dik Tarmi ......................."

Tarmi lalu memberi tanda dengan matanya kepada kedua kawannya.

"Mas Yitna ini sahabatku sejak dulu. Bertahun-tahun sudah kami tidak berjumpa.

Janganlah mengganggunya, dik," katanya.

Kedua wanita itu ketawa dan Lasmini berkata kecewa, "Dimonopolikah? Ah, biarlah.

Biar puas kamu berdua." Mereka lalu pergi masuk kembali dengan terkekeh genit.

Yitna memandang kepada Tarmi dengan tak senang.

"Dik Tarmi, aku tidak mengerti. Rumah apakah ini"

Tarmi tersenyum sedih. "Masih seperti dulu juga engkau, mas. Canggung, bodoh dan ....

menarik."

Tiba-tiba terdengar siul gembira dari luar dan dua orang pemuda memasuki rumah itu

tanpa permisi.

"Halo, Mi." salam mereka. "Mana Marsih?"

"Halo mas Ton! Hey, mas Jon! Duduklah, mereka sedang di belakang. Tunggulah

kupanggil mereka. Mari kita bicara didalam, mas Yitna."

"Ah, jangan terganggu olehku, dik. Aku mau pulang saja."

Tapi Tarmi memegang lengannya dan menariknya ke dalam.

"Bukankah kita dahulu menjadi kawan senasib" katanya mengerling genit. "Belum hilang

rasa kangenku." Yitna terpaksa menurut dan seperti seekor kerbau dibawa ke penjagalan ia

dituntun ke sebuah kamar.

Kamar itu kecil. Hanya berisikan sebuah dipan bertilam putih, sebuah lemari kecil, dua

kursi dan sebuah meja. Di atas meja terdapat kembang mengharum layu.

Tarmi menutupkan daun pintu kamarnya.

"Nah, sekarang kita dapat bercakap-cakap dengan bebas."

"Tapi, apakah artinya ini, dik? Rumah ini ............... ....... perempuan-perempuan itu

apakah engkau sudah menjadi .......................................?"

Tarmi memandangnya dan di bibirnya bermain senyuman manis.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Engkau maksudkan ...................... pelacur, mas! Ya memang benar," ia menghela

napas, "memang aku seorang pelacur."

"Tapi .............................................. tapi ............. dik."

"Dengar, mas. Jangan mencela dulu. Aku belum menceritakan pengalamanku sampai

habis. Setelah aku terlepas dari pekerjaanku dan mendapat uang dari den Harjo, aku hidup

mewah dengan uang itu. Tapi beberapa bulan kemudian uang itu menipis dan aku sudah

menjadi biasa dengan cara hidup mewah. Dan hidup mewah memerlukan banyak uang, mas.

Lalu, bagaimanakah seorang perempuan bodoh seperti aku dapat menghasilkan banyak

uang? Terpaksa aku melacurkan diri, jalan satu-satunya bagiku untuk mendapat uang besar,

mas."

"Tapi dik, pekerjaan macam itu hina dan kotor. Mengapa engkau mengatakan terpaksa?

Engkau belum kelaparan. Masih banyak jalan untuk engkau mencari kerja lain!" Yitna

merasa kecewa dan penasaran.

"Misalnya menjadi babu orang? Menjadi manusia kuda diperbudak dan diperas

tenaganya?" kata-katanya mencemoohkan. "Kerja berat, hasil kecil, derajat rendah."

"Tapi tidak serendah derajat pelacur!"

"Derajat pelacur rendah! Itulah kalau cara memandangmu dangkal, mas. Tahukah

engkau bahwa para bapak-bapak yang terhormat, pemuda-pemuda yang bersih cakap

terpelajar, pengusaha-pengusaha hartawan, mereka itu suka sekali mendekati orang yang kau

sebut rendah derajat seperti aku ini?" Ia tersenyum lebar. "Tapi sebaliknya, siapakah yang

sudi menghiraukan seorang babu? Paling-paling jongos atau tukang kebun. Pula, engkau

harus ingat, mas. Aku masih muda sudah menjadi janda, gara-gara ketidak-setiaan laki-laki.

Setiap laki-laki mudah saja pergi mencari pelepas dahaga mudanya. Bukankah aku ini

manusia jua? Tidakkah aku pun berhak melepas dahagaku dengan meminum air yang sama?

Orang memandang rendah kepada perempuan pelacur, tapi lupa bahwa laki-laki hampir

semua pergi melacur. Bukankah mereka itupun rendah?"

"Bagiku orang melacur pun rendah juga, tapi tak serendah pelacurnya sendiri. Pekerjaan

hina, memikat merusak laki-laki, menyebarkan penyakit."

"Sst! Jangan keras-keras. Terdengar oleh orang lain kurang baik."

"Sudahlah, aku pulang saja, dik Tarmi. Tak perlu aku berlama-lama di sini," ia berdiri

tapi Tarmi segera memegang lengannya.

"Nanti dulu, mas. Tidak maukah engkau ..................... menghibur diri dengan aku?

Engkau tak perlu membayar, mas. Aku tak membutuhkan uangmu."

"Tidak!"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Hanya untuk memberi kenang-kenangan padaku, mas? Demi persahabatan kita

dahulu!" Tarmi membujuk merayu sambil memeluk. Tapi Yitna melepaskan lengan yang

memeluknya itu.

"Tidak, dik. Tidak sudi aku! Aku bukan seorang rendah yang suka melakukan

perhubungan hina."

Tarmi melepaskan pelukannya. Matanya menyinarkan kekecewaan. Tapi tiba-tiba mata

itu berair dan iapun menangis. Kekerasan hati Yitna agak melembut.

"Mas, engkau ..................... engkau terlampau menghina padaku."

"Aku tidak menghina engkau, dik. Aku hanya memandang rendah kepada perempuan

pelacur. Semua jalang bagiku sampah masyarakat."

Tarmi mengangkat mukanya dan terbayang rasa penasaran hatinya.

"Engkau ................... laki-laki ........... engkau sungguh tak tahu diri. Duduklah, mas.

Jangan pergi dulu sebelum engkau habis mendengarkan kata-kataku. Dengarlah, pertama
tama kau katakan bahwa pelacur itu hina? Bahwa pekerjaan melacurkan diri itu rendah? Tapi

ketahuilah, bagaimana juga, pekerjaan tetap tinggal pekerjaan. Dan tiada pekerjaan yang

rendah. Hubungan gelap karena dorongan nafsu itulah yang boleh dikatakan rendah, tapi

orang seperti aku ini melacurkan diri dengan hanya dua dasar. Mencari nafkah dan mencari

kesenangan. Hubungan yang terang-terangan mas. Suka sama suka. Tidak ada rahasia dan

kegelapan di dalam pekerjaanku ini. Kau katakan tadi memikat merusak laki-laki? Benarkah?

Bukankah lebih tepat kalau kukatakan bahwa laki-lakilah yang memikat perempuan dengan

uang dan lagaknya sehingga banyak perempuan terjebak? Kemudian perempuanlah yang

disia-siakan oleh laki-laki sehingga menjadi pelacur! Laki-lakilah yang memikat wanita

menurutkan nafsu jahatnya dan kemudian habis manis sepah dibuang. Kau katakan tadi

penyebar penyakit? Tahu benarkah engkau bahwa penyakit itu tidak didatangkan oleh laki
laki? Seperti kukatakan tadi, perempuan seperti aku ini melacurkan diri karena menganggap

ini suatu pekerjaan untuk mendatangkan penghasilan uang dan juga untuk memberi jalan

pelepas dahaga. Lebih baik membuat hubungan dengan lelaki secara terang-terangan

daripada menggelap memperebutkan suami orang! Tengoklah, mas. Suami, ayah, tunangan,

semua datang kesini untuk melacur. Manakah yang lebih hina? Aku atau mereka?"

"Perempuan seperti aku mencari kesenangan untuk memenuhi kehendak tubuh,

pembawaan dari kodrat alam. Aku tidak mengkhianati siapa-siapa. Tapi sekalian lelaki yang

datang kesini, apakah maksudnya? Mencari kesenangan pula, dan menghamburkan uang.

Kadang-kadang uang yang dibutuhkan oleh rumah tangganya. Di sini suami mencurangi

isterinya, pemuda mencurangi kekasihnya, dan calon ayah merusak kesehatan calon

turunannya. Tidakkah mereka itu jauh lebih hina daripada aku? Siapa yang pantas disebut

sampah masyarakat? Siapa yang lebih pantas dibasmi?"

Tarmi berhenti berkata-kata dan menangis penasaran. Yitna termenung dan tak tahu

harus berkata bagaimana. Serangan-serangan bernafsu itu sebenarnya mudah saja baginyahttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

untuk membantah karena ia sendiri memang tidak pernah melacur. Tapi bagaimana dengan

lain laki-laki seperti Daryo dan lain-lain? Ia teringat bagaimana Daryo yang telah beristeri

dua dan beranak empat itu berlagak dan memikat hati Wagiyem.

"Mas Yitna, dunia ini bukan dunia laki-laki saja. Kesenangan pun bukan hanya untuk

lelaki saja. Perempuan seperti akupun berhak akan kesenangan. Coba bayangkan, mas. Kalau

engkau menjadi seorang perempuan seperti aku. Tak mampu mencari penghasilan cukup,

masih muda dan tak seorangpun yang mau memperisterikan, betapa hebat penderitaanmu?"

"Setidak-tidaknya, walaupun bagaimana rendahnya masyarakat memandang pelacur,

namun kamipun ada mempunyai jasa, mas. Pelacur merupakan minuman pelepas dahaga

bagi mereka yang membutuhkan dan tak mempunyai air penawar. Pelacur pulalah yang telah

menghibur ratusan ribu laki-laki yang sedang duka dan patah hati. Pelacur memberikan

seluruh yang dimiliki dengan hati tulus ikhlas dan tuntutannya hanya uang. Uang untuk

makan dan pakai. Masih engkau anggap hinakah aku, mas"

Untuk beberapa detik Yitna tak dapat berkata-kata.

"Tapi, dik Tarmi, bagaimana benar juga pembelaanmu, aku tetap tidak suka melihat

engkau menjadi pelacur."

"Mas Yitna, maukah engkau kawin dengan aku?"

Pertanyaan yang tiba-tiba ini mengejutkan Yitna benar dan cepat-cepat ia menggelengkan

kepala seperti seorang anak kecil disuruh minum jamu pahit.

Tarmi bersenyum mengejek. "Engkau tak suka melihat aku menjadi pelacur. Tak suka

pula menjadi suamiku. Habis, engkau akan senang melihat aku menjadi apakah, mas?"

"Menjadi apa saja, dik, asal bukan menjadi pelacur serendah ini."

"Jadi pengemiskah?"

Yitna menggelengkan kepala cepat-cepat.

"Menjadi babu lagi barangkali? Menjadi bujang orang?" katanya marah. "Mas Yitna,

engkau tidak adil. Seakan-akan hidup seorang perempuan bodoh dan tak berdaya seperti aku

ini terkurung tak berdaya oleh keinginan laki-laki yang ingin melihat mereka menurut

pendapatan yang seenaknya saja. Tak mengingat sedikit juga akan keadaan perempuan itu

sendiri. Hah! Sebal aku melihat kebodohanmu." Tarmi marah benar.

Yitna bangun berdiri. "Maaf, dik. Mungkin pendirianku salah, karena seperti katamu

tadi, aku masih bodoh. Aku hanya memberi nasehat. Engkau boleh hidup mewah dan

bersenang-senang sesuka hatimu setiap hari, tapi itu hanya ketika engkau masih muda,

bagaikan bunga masih segar. Tapi nanti, bila engkau sudah tua, dan bagaikan bunga sudah
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

layu, bagaimanakah?"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Soal tua dan tidak laku itu adalah urusan nanti. Apa kau kira seorang perempuan tua

dan lemah akan laku juga menjadi babu? Setidak-tidaknya sekarang aku dapat

mengumpulkan uang untuk hari tuaku. Dapatkah seorang babu mengumpulkan uang selama

hidupnya? Pendeknya, seperti kukatakan tadi, soal tua itu soal nanti, yang perlu sekarang ini.

Aku bisa bersenang-senang, mendapatkan uang dengan mudah, dan hidup merdeka tak

terjajah. Aku berjasa kepada orang yang membutuhkan hiburan dan aku dapat pula

mempermainkan lelaki yang hidupnya hanya pantas menjadi permainan seorang seperti aku.

Dan engkau ...... hah, engkau terlampau suci, terlampau bersih. Aku tidak membutuhkan

orang seperti engkau." Kembali air mata mengalir di pipi Tarmi.

Yitna menghela napas dan lalu menuju ke pintu.

"Selamat tinggal dik dan terimakasih bahwa engkau sudah menceritakan padaku tentang

hal-hal dahulu. Bolehkahkiranya aku membantumu dengan .......... uang?" Ia mengeluarkan

dompetnya, pada pikirannya akan memberi Tarmi barang duaratus rupiah.

"Uangmu? Terimakasih. Aku tak pernah menerima uang tanpa bekerja. Engkau tidak

sudi menerimaku, dan akupun tak sudi menerima uangmu."

Yitna menggerakkan pundaknya. "Nah, selamat tinggal, dik Tarmi."

Ia bertindak keluar, tapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Tarmi dari belakang. Ia

menengok dan menampak Tarmi menangis terisak-isak.

"Mas ..........." bisiknya, "maafkan segala kata-kataku. Engkau benar. Aku adalah seorang

hina. Janganhh melupakan aku mas, walaupun kita tak mungkin dapat berjumpa kembali.

Selamat berpisah, kudoakan engkau akan hidup beruntung ........."

"Aku tidak memandang rendah padamu, dik," katanya terharu.

Yitna keluar dari rumah itu. Sehelai uang kertas limapuluh rupiah ia lemparkan kepada

nenek tua yang menghadangnya di luar pintu. Suara ketawa riuh rendah dari rumah itu

mengikutinya dari belakang. Ia berhenti untuk mendengarkan lebih jelas. Seakan-akan

terdengar olehnya suara Tarmi ikut tertawa bergelak-gelak. Dan suara itu seakan-akan

mengejeknya. Kemudian telinganya dapat menangkap keluh ratap bersembunyi diantara

gelak gembira itu.

"Semoga dik Tarmi dapat kembali kejalan benar," bisiknya dan menghela napas dalam
dalam. Tapi apakah jalan benar itu? Dan ia tak sanggup menjawab.

------ m d n -----
Sejak menjadi sopir, Yitna menggunakan waktu luangnya untuk menghafal pelajaran
pelajaran yang diambilnya dari kantor pelajaran dengan surat. Ia mempelajari bahasa

Inggeris, pembukuan dan administrasi. Disamping itu ia gemar pula membaca buku-bukuhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pengetahuan dan politik. Kini mengertilah ia arti kata-kata birokrasi, korupsi, kompetensi,

dan lain-lain si lagi dan juga organisatoris, diktatoris, dan segala macam istilah lainnya. Dulu

kata-kata komunisme, kapitalisme, borjuis dan yang macam itu membingungkannya, tapi

sekarang semua itu dimengertinya benar. Sebuah kamus politik jarang bercerai dari saku

celananyayang lebar.

Pada suatu hari trucknya mengangkut barang alat-alat mobil dari Jakarta untuk ke firma

?Jaya & Co" di Semarang. Alangkah girangnya ketika ternyata direktur firma itu adalah Ho

Jin.

"Jin! Bila engkau keluar" teriaknya gembira.

Ho Jin yang kini nampak bersih dan cakap itu memandangnya dan beberapa saat

kemudian barulah ia mengenalnya.

"Yitna! Engkau? Menjadi sopir?" dan Ho Jin memeluk bahunya. "Bagaimana, kawan?

Banyak maju? Mari kita mengobrol didalam!" dan ditariknya lengan Yitna menuju

kekantornya.

"Senang benar aku berjumpa dengan engkau, Yit. Sering aku mengenangkan engkau. Aku

keluar setahun yang lalu dan membuka perusahaan import ini. Engkau sudah menjadi sopir?

Tak kusangka engkau pandai menyopir."

Yitna lalu menceritakan pengalamannya. Ho Jin mendengarkan dengan girang.

"Engkau sekarang sudah kaya raya, Jin? Heran benar aku. Dulu engkau katakan sudah

habis-habisan disita pemerintah. Tapi sekarang sudah menjadi direktur importeur. Sungguh

aku tidak mengerti mengapa engkau begitu mudah menjadi kaya."

Ho Jin tertawa. "Karena rajin, pengharapan dan kemauan besar, dan ........ kemujuran,

Yit. Aku mendapat pertolongan dari saudara-saudaraku dan beberapa orang kawan.

Dipinjami modal, aku berusaha dan begitulah. O ya, Yit, coba sebutkan alamatmu, sewaktu
waktu aku hendak bercakap-cakap dengan engkau. Aku suka padamu, dan aku ingin

membantumu mencapai kemajuan. Masih teringat olehku ceritamu dulu itu, yakni tentang

cita-citamu. Masih adakah cita-cita itu tersimpan di dalam hatimu?"

Yitna mengangguk. "Terimakasih, Jin. Tapi aku tak berumah tinggal. Tempatku ialah

dimana prahoto itu berada. Di situ aku berada pula. Ini hari di Semarang. Besok di Jakarta,

lusa mungkin di Pekalongan dan dimana saja prahotoku membawaku pergi."

"Kalau begitu, nanti bila engkau datang ke Semarang lagi, mampirlah kesini. Yit. Ada

sesuatu yang sangat penting hendak kubicarakan, tapi tak dapat sekarang, karena aku harus

berunding dulu dengan kakakku. Ketahuilah, firma ini adalah milik kakakku dan aku

berdua."

"Baik, Jin," dan iapun pergilah meninggalkan Ho Jin dengan kata-kata Ho Jin ituhttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

merupakan teka-teki baginya. Ia tak menyangka sedikit juga bahwa perjumpaannya dengan

HoJin itu akan mendatangkan perubahan yang besar sekali dalam hidupnya.

Empat hari kemudian, ketika prahotonya membawa muatan ke Semarang, ia

mengunjungi Ho Jin. Di situ, dengan hati berdebar-debar ia mendengarkan penawaran Ho

Jin dan kakaknya, Ho Kiat. Ia diminta untuk menjadi direktur firma ?Jaya & Co".

Penawaran yang hampir tak dapat dipercaya karena keistimewaannya! Ia merasa seakan
akan bermimpi.

Firma ini nanti namanya akan dirubah menjadi "NV. Persatuan". Engkau tak perlu

mengeluarkan uang modal, Yit. Modal nama dan tenaga saja. Tapi engkau berhak 10% atas

keuntungan yang didapat oleh NV. Persatuan kita."

"Tapi ............... tapi aku masih belum mengerti. Mengapakah engkau melakukan ini,

Jin"

"Begini, saudara Yitna," berkata Ho Kiat. "Kami membutuhkan seorang yang benar
benar jujur dan dapat diajak bekerja sama. Ho Jin telah menceritakan padaku akan

keadaanmu dan akupun setuju bila saudara suka bekerja sama dengan kami."

"Tapi ...... tapi aku tak mengerti sama sekali tentang urusan import."

"Itu mudah dipelajari, Yit," menghibur Ho Jin, "dan pula, bukankah kau katakan bahwa

engkau mengerti tentang pembukuan?"

"Ya, tapi apakah ini tidak ............... melanggar peraturan dan tidak jahat?"

"Jahat." Ho Jin tertawa. "Sekali-kaIi tidak, Yit. Dan tentang melanggar peraturan, saya

rasa tiada peraturan yang kita akan langgar. Percayalah, Yit, jika engkau suka menerima, itu

berarti kebaikan besar bagi kita bersama dan engkau ........ akan mencapai cita-citamu. Seperti

kukatakan tadi, engkau tidak perlu menyetor modal."

"Tapi akau ada mempunyai juga simpanan uang barang sepuluhribu."

"Sepuluh ribu tak berarti banyak, Yit. NV kita ini bermodal satu juta rupiah."

"Tapi boleh juga kalau saudara Yitna ingin membeli beberapa saham. Sepuluh misalnya,

dari seribu rupiah........."

"Baiklah, hal itu mudah diurus kemudian. Sekarang yang terpenting, bagaimana

pendapat dan pendirian Yitna. Bagaimana, Yit?"

"Bersabarlah, Jin. ini sangat tiba-tiba datangnya. Aku menjadi bingung karenanya.

Seorang sopir menjadi direktur NV bermodal sejuta? Seperti dongeng. Hampir tak dapat

kupercaya, Jin. Bagaimana kata orang nanti"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Engkau tidak terkenal di sini. Takkan ada orang yangmengenalmu."

"Baiklah, akan kupikir-pikirkan hal ini masak-masak, Jin. Berilah tempo seminggu.

Akupun perlu berberes dengan majikanku."

"Oke, Yit. Kami menanti-nanti dengan tak sabar."

Seminggu kemudian Yitna datang kembali dan menerima penawaran Ho Jin. Sejak hari

itu ia menjadi direktur ?NV. Persatuan". Uangnya sebanyak sebelas ribu rupiah, hasil

simpanan setahun setengah menyopir, ia berikan kepada Ho Jin dan ia menjadi pemegang

sebelas saham dari seribu rupiah sebuah. Ia mendapat kantor terbesar. Pekerjaan setiap

harinya memeriksa surat-surat yang masuk dan menandatangani yang keluar. Untuk

sementara Ho Jin membimbingnya. Tapi, tiga bulan kemudian, berkat dari pengetahuan yang

didapatnya belajar malam, ia faham sudah akan maksud-maksud dan cara bekerjanya NV

yang dipegangnya.

Kemujuran rupa-rupanya sayang kepada Yitna. Sejak dipegangnya, NV. Persatuan makin

maju. Setahun kemudian, neraca dan perhitungan rugi untung menunjukkan keuntungan

sebesar empatratus ribu rupiah! Tapi Yitna tetap hidup sederhana. Tidak menghambur
hambur uang. Uang keuntungannya hanya diambilnya limabelas ribu, ditambah keuntungan

sahamnya yang empat ribu, dan ia mengirim uang kepada ayah bundanya sepuluh ribu

rupiah berikut surat yang meminta supaya uang itu sebagian dibelikan sawah. Selebihnya ia

belikan pakaian dan barang-barang keperluannya. Kelebihan keuntungan ia tambahkan

sahamnya kepada NV. Persatuan.

Ia mulai bergerak di dalam perkumpulan. Yang dipilihnya yaitu perkumpulan P.R.K.

yang berarti Perkumpulan Pembela Rakyat Kecil. Tujuan perkumpulan itu ialah

memperbaiki tingkat hidup rakyat kecil. Mula-mula ia hanya menjadi anggota biasa. Tapi

karena kesungguh-sungguhannya maka di dalam pemilihan tahunan, ia diangkat menjadi

ketua. Di bawah pimpinannya, P.R.K. mendirikan koperasi-koperasi tani di desa-desa,

membantu perjuangan rakyat miskin. Tak sayang-sayang ia mengeluarkan uang untuk

keperluan membantu rakyat kecil.

Namanya mulai harum. Tapi itu tak membuatnya berlagak sombong. Bahkan makin

dalam ia memasuki pelbagai lapisan masyarakat, makin merasalah ia betapa kurangnya

pengetahuannya. Maka diperdalamnya pula pengetahuannya dengan mengambil les malam

dan membaca buku-buku pengetahuan.

------ m d n ------https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Bahagian Ke VII

"Yit, engkau sudah berusia berapa tahun ini?" tanya Ho Jin ketika pada suatu sore Yitna

mengunjungi rumahnya.

"Duapuluh lima. Mengapa?"

"Duapuluh lima? Waah, sudah pantas kawin kalau begitu," menggoda Ho Jin, dan Lin

Hwa, isterinya yang baru keluar dari dalam, ikut ketawa. Ho Jin baru lima bulan kawin

dengan Lin Hwa, gadis dari Solo yang manis.

"Aah, engkau ada-ada saja, Jin."

"Yit, aku tidak berolok-olok. Engkau menunggu apa lagi? Mengapa engkau tidak ke Solo

Tidak inginkah engkau mengunjungi ........ den Harjo"

Yitna terdiam. Bibirnya yang tadi bersenyum kini merapat ditarik ke dalam. Ia tak dapat

menjawab, hanya menggelengkan kepala.

"Den Harjo yang mana ngko" tanya Lin Hwa. "Den Harjo yang dulu di Gading itu?"

Yitna terkejut memandang Lin Hwa. "Engkau sudah kenal kepadanya nso" ia menyebut

nso kepada Lin Hwa atas permintaan Ho Jin, dan Lin Hwa menyebutnya mas. Nso berarti

kakak ipar.

"Kalau den Harjo ayah Ratna aku kenal."

Yitna membungkuk mengambil gelas kopi susu dan menghirupnya sekali habis. Mukanya

merah padam.

"Ratna adalah kawanku sekolah di SMA. Ia baik benar kepadaku. Kenalkah engkau

kepadanya, mas Yitna?" Ho Jin terbatuk-batuk. Ia maklum bahwa kata-kata isterinya itu

dengan tak disengaja mendatangkan kenang-kenangan lama.

"Ya ............ aku ........... aku kenal mereka."

"Kasihan Ratna ............. " berkata Lin Hwa kemudian.

Yitna berdebar pucat. "Mengapa kasihan, nso?"

"Ketika terjadi pembersihan korupsi, den Harjo tertangkap karena korupsi dan ia

dihukum enam bulan. Barang-barangnya disita. Lalu setelah keluar dari penjara mereka

pindah ke Pasarpon, dimana den Harjo mempunyai rumah tua, rumah keturunan. Dan

semenjak itu ia menjadi gila judi. Keadaannya makin sulit. Kasihan Ratna gadis baik itu."

"Sudah ............. kawinkah nona Ratna?" tanyaYitna malu-malu.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Setahuku belum, mas Yitna. Akupun heran. Banyak sudah datang lamaran tapi

semuanya ditolak. Rupa-rupanya ia sudah mempunyai pilihan," berkata Lin Hwa sambil

tersenyum, manis benar wajahnya. "Dulu kudengar ia bekerja disebuah kantor. Kasihan

benar gadis itu."

"Lin, tolong pesankan masakan direstoran Syanghai untuk kita. Yitna malam ini makan

di sini, bukan, Yit?"

Yitna hanya mengangguk. Memang sering ia diajak makan disitu dan iapun sudah tak

malu-malu lagi berada di rumah Ho Jin dan isterinya itu. Lin Hwa pergi masuk.

"Yitna, maafkan isteriku. Ia tidak mengetahui akan hubunganmu dengan nona Ratna."

"Tidak apa, Jin."

"Nah, kau mendengar tadi, Yit. Ratna masih belum kawin. Tunggu apa lagi Tentu engkau

adanya orang yang dinanti-nantikan, Yit."

Tapi Yitna tak menjawab, hanya tersenyum sedih. Terbayang pula pengalaman dahulu.

Ia menjadi gelisah. Masih cintakah ia kepada Ratna? Dan Ratna sendiri?

"Yit, ini ada sebuah surat hypotheek atas rumah seorang di Solo. Ia menggadaikan

rumahnya kepada CV. Bali dan karena perlu memakai uang maka CV itu menjualnya surat

ini kepadaku dengan dirugikan."
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Inikah yang kau uruskan di Solo minggu yang lalu itu?" tanyaYitna sambil menerima

amplop panjang itu. "Mengapa amplopnya ditutup, Jin?"

"Ya, karena pemiliknya ingin namanya dirahasiakan. Ia malu kalau ketahuan oleh umum

bahwa ia menggadaikan rumahnya. Tapi aku telah melihat isinya sebelum ditutup, Yit. Besok

gantilah uangku. Rumah itu digadaikan untuk duapuluh lima ribu dan aku membelinya

duapuluh ribu. Sekarang export agak sepi, Yit, kita mesti menukar haluan. Surat-surat effect

yang safe pun boleh kita beli."

"Memang benar, Jin. Tapi ................. bagaimana aku harus memasukkan buku kalau

tak mengetahui nama dari pemilik rumah itu"

"Masukkan saja dengan nama Tuan X dari Solo. Temponya akan habis pada tanggal

duapuluh satu bulan depan." Yitna mencatatkan semua itu di atas amplop.

Lin Hwa keluar kembali. "Sudah kupesan dengan telepon, ngko. Sate babi untukmu,

masak ca udang untuk mas Yitna, ayam tomat, bakso gurame dan goreng ayam."

"Engkau pandai benar mengingat kesukaan orang, nso," memuji Yitna.https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Lin Hwa hanya tersenyum manis dan memandang kepada suaminya. Kemudian ia

menghampiri record-changer dan memasang piringan hitam.

"Long-play dari Harry James, nso," berkata Yitna dan ia berdiri menghampiri untuk ikut

memilih piringan hitam.

Demikianlah, Yitna petani bodoh itu kini telah mencapai puncak kemuliaan. Menjadi

direktur NV, mobil tersedia untuknya sendiri, bertempat tinggal disebuah villa indah,

menyetel

lagu-lagu solo trompet Harry James! Sungguh, belum tentu ada keduanya diantara seribu

orang yang sebaik itu peruntungannya.

------ m d n -----
"Masuk!" berkata Yitna ketika mendengar pintu kantornya terketuk.

"Ada apa, Har?" Juru tulis Haryono mengangguk hormat

"Di kamar tamu ada seorang dari Solo hendak berjumpa dengan Tuan. Katanya hendak

membicarakan soal rumah."

"Dari Solo? Baiklah, minta ia menunggu sebentar."

Setelah membereskan penandatanganan surat-surat dan memberikan itu kepada

pembantunya di kantor luar, ia lalu pergi menuju ke kamar tamu.

Seorang lelaki berambut putih, tinggi kurus, bangun berdiri dari kursinya.

"Pak Harjo!" berseru Yitna dengan terkejut heran.

"Engkau ............Yitna? Ada apa engkau .................di sini?"

Masih congkak, pikir Yitna. "Aku ................... bekerja disini, pak."

Harjo berduduk kembali. Wajahnya nampak tak senang melihat Yitna berada disitu.

"Oo ........ engkau seorang pegawai di sini. Coba beritahukan kepada tuan direktur bahwa

aku ingin berjumpa," perintahnya. Alangkah tinggi hati, pikir Yitna. Masih belum hilang sifat

keningrat-ningratannya. Tapi ia hanya mengangguk, seperti dulu ketika masih menjadi

tukang kebunnya. "Baik, pak." Lalu pergilah ia kembali ke kantornya.

Sepeninggal Yitna, Harjo berpikir dengan heran. Bagaimana Yitna bisa menjadi pegawai

kantor? Ah, mungkin hanya penjaga atau pesuruh saja.

"Tuan direktur minta Tuan datang ke kantornya," seorang pegawai memberitahukan den

Harjo lalu berdiri mengikuti pegawai memberitahukan dan Harjo lalu berdiri mengikutihttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tulisan "Direktur". Pegawai itu mengetok pintu. Harjo mendengar suara dari dalam

menyuruh masuk dan iapun menolakkan daun pintu dan bertindak masuk.

"Engkau lagi?" katanya ketika melihat Yitna bangun berdiri dari belakang meja tulisnya.

"Dimana tuan direktur?"

Yitna tersenyum. "Duduklah, pak," ia menunjuk kursidi depan meja tulisnya. "Bapak

hendak berjumpa dengan aku?"

"Engkau? Engkaukah .............. ?" katanya gagap.

Yitna mengangguk, senyumnya masih belum lenyap dari bibir. "Benar, pak. Aku yang

rendah ini adalah direktur NV. Persatuan." Tiba-tiba bel telepon di atas meja tulis itu

berdering. Yitna mengangkat alat teleponnya dan memandang kelain jurusan. Karena itu ia

tak melihat bagaimana Harjo memandangnya dengan wajah pucat dan mata berikut

mulutnya terbuka lebar-lebar menatap wajahnya dengan tak percaya.

"Hallo ............ya! Dengan direktur Persatuan di sini." Harjo terduduk di atas kursi.

Kakinya lemas dan dadanya berdebar-debar. Ia tak dapat mendengar apa yang dipercakapkan

oleh Yitna didalam telepon itu. Seakan-akan setengah pingsan ia duduk tak bergerak. Ia baru

tersadar ketika mendengar Yitna bertanya kepadanya,

"Apakah yang dapat kulakukan untukmu, pak?" Ah, pertanyaan itu serupa benar dengan

pertanyaan yang diajukan ketika masih menjadi tukang kebunnya. "Masya Allah" pikir Harjo

dan ia merasa wajahnya panas karena malu.

"Aku .............. aku ........." jari tangannya bergemetar mencari-cari di dalam saku

celananya dan mengeluarkan sebuah amplop. "Aku hendak membicarakan tentang isi surat

ini ...............................tuan."

Yitna kembali tersenyum. Senyuman yang sekarang merupakan sebuah pisau tajam

menikam hati bagi Harjo. "Aku masih tetap Yitna, pak. Jangan memakai tuan-tuanan."

Iapun menerima amplop itu dan membukanya. Sebelum dibacanya, ia mengambil sekaleng

rokok luar negeri.

"Merokok, pak?"

"Terimakasih ............" jari-jari Harjo masih bergemetarketika ia mendekatkan rokoknya

untuk menerima api dari geretan yang dicetuskan oleh Yitna.

Ternyata surat itu dari NV. Persatuan untuk Harjo. Isinya sebuah peringatan agar segera

menebus rumahnya, karena sebagaimana perjanjian, kalau sampai terlambat lebih dari

sebulan maka rumah itu akan dilelang dan ia harus meninggalkan rumah itu. Penandatangan

surat adalah Ho Jin dan segera Yitna mengerti kemana maksud Ho Jin dengan perbuatan itu.

"Ya.......... surat ini dari kami, pak. Habis bagaimana?"https//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Tuan ! .... eh, nak Yitna. Telah lama kita berpisah dan engkau tentu tidak mengetahui

betapa sukarnya keadaantumah tanggaku. Aku sudah ......jatuh benar-benar. Dan ....... dan

milikku hanya tinggal rumah itu. Kalau aku dan ....... Ratna terusir, kami harus pergi

kemana?" Suaranya menyatakan kebingungan hatinya dan ia seakan-akan memohon, tapi

Yitna mendengarkan dengan tenang.

"Kalau bapak tidak ingin terjadi hal itu, mudah saja. Bayarlah hutang bapak. Beres,

bukan" kembali ia tersenyum.

"Itulah soalnya, nak Yitna." Yitna merasa geli mendengar tambahan sebutan nak di

depan namanya itu. "Aku ... tidak mempunyai uang. Karena itulah, maka saya datang

kesini, dengan maksud memohon tempo. Barang sebulan dua bulan. Aku dan Ratna akan

berdaya mengumpul uang. Aku tidak tahu bahwa engkaulah yang menjadi direkturnya."

"Kalau bapak mengetahui sebelumnya lalu bagaimana" tanyaYitna tajam.

"Tentu ............ tentu aku akan datang juga. Apa bedanya Tolonglah padaku, nak."

"Ini bukan urusan perseorangan, pak. Aku bertindak atas nama NV. Persatuan. Maka

menyesal aku tak mungkin dapat memperpanjang tempo penebusan yang telah dijanjikan.

Kalau bapak tak dapat membayar sampai tanggal duapuluh satu, jadi seminggu lagi, terpaksa

kami bertindak menurut hukum dan melelang rumah bapak. Kalau ditunda-tunda lagi itu

berarti satu kerugian bagi NV kami, pak."

Tangan Harjo menggigil. "Kami akan diusir? Diusir dari rumah pusaka nenek moyang

sendiri Ah ........................................................... apa kata Ratna nanti?"

"Kecuali kalau bapak dapat membayar................."

"Nak Yitna. Engkau menjadi direktur di sini. Tentu engkauberhak memutuskan sesuatu.

Tolonglah, demi ......hubungan kita dahulu."

"Hubungan kita tak patut dikemukakan, pak. Ingatlah, bukankah aku pernah mencuri di

rumahmu?" Yitna memandang tajam.

"Aah...................aku....... aku ................. tolonglah, nak. Kasihanilah aku ..........."

Harjo menunjukkan kelemahannya dania hampir menangis. Yitna kasihan juga melihatnya,

tapi ia mengeraskan perasaannya.

"Tak perlu memohon-mohon pak. Tiada guna. Aku tak dapat menolong."

"Kasihanilah ............ Ratna,nak Yitna! Ia tak berdosa .........."

TapiYitna mengangkat bahunya. Heran dan penasaran rasa hatinya. Ia telah mengharap
harapkan Harjo akan mengakui kecurangannya dahulu. Kalau orang tua itu tanpa dimintahttps//www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

suka mengakui kedosaannya, mungkin hatinya takkan sekeras itu

"Menyesal, pak. Urusan tetap urusan. Aku hanya memenuhi kewajibanku. Dan, maafkan

aku, pak. Bukannya aku mengusir. Tapi aku harus pergi ke rapat." Yitna memandang jam

tangannya dan bangun berdiri.

"Tapi, nak Yitna. Sungguh-sungguh aku tak berdaya. Tolonglah, tidak teringatkah

engkau kepada Ratna? Bukankah kamu berdua saling mencinta?"

Yitna yang tadinya menghadapi tembok untuk mengambil jasnya, memutar tubuhnya

dengan cepat. Sinar matanya seakan-akan membakar tubuh Harjo.

"Jangan diulangi lagi hal itu! Bukankah engkau sendiri memisahkan kami? Bukankah aku

hanya seorang rendah? Tak pantas mencintai anakmu! Dadanya berombak marah dan dan

hilanglah harapan Harjo yang terakhir. Iapun berdiri lemah.

"Baiklah nak Yitna. Kuterima pembalasanmu. Memang aku dahulu ........ bersalah

besar."

"Sekarang engkau masih belum berubah," berkata Yitnayang teringat akan kesombongan

Harjo tadi.

"Tapi bagaimana juga aku tak percaya engkau akan sekejam itu. Engkau dahulu demikian

sabar dan halus budi."

"Mengapa baru sekarang engkau berkata demikian?" Yitna menyerang dengan

sindirannya.

Harjo menunduk dan berkata lemah,

"Aku pergi, nak Yitna. Nasibku terletak di dalam tanganmu. Selamat tinggal." Lalu ia

keluar dan diantar oleh Yitna sampai kepintu. Ia masih dapat mendengar suara Yitna berkata

kepada seorang pegawainya supaya mobilnya disediakan di depan.

Serasa dalam mimpi Harjo keluar dari kantor itu. Benarkah ini Yitnayang dulu? Ah,

sungguh ganjil peruntungan manusia

------- m d n -----
"Ayah, engkau mengapakah? Dan bilakah engkau pulang?" tanya Ratna dengan khawatir


Eyes Wide Open Blackstone Affair 3 Emptiness Of Soul Karya Andros Luvena Aileen Karya Sherls Astrella

Cari Blog Ini