Ceritasilat Novel Online

Krismon 2

Krismon Lupus Karya Hilman Bagian 2



Fitri kembali berbisik ke telinga si kakek Kakek itu melihat Boim. Lalu dengan sekuat tenaga dia mulai berbicara. Tetapi tak satu patah kata pun berhasil keluar dari mulutnya. Lewat isyarat tangan, si kakek lalu memanggil semua orang. Lupus, Cusur, dan Boim mendekatkan diri mereka ke kakek itu. tetapi tak satu pun mendengar apa yang dikatakannya. Fitri lalu menyuruh Gusur, Boim, dan Lupus menyingkir. Kakek itu membisikkan sesuatu ke Fitri.

Fitri lalu berujar,

"Dia lupa resepnya karena sudah lama sekali dia tidak buat bakso. Dulu ada catatan resepnya, tapi sudah dirampok orang. Dirampok oleh bapaknya si Acin..."

"Acin?" Lupus, Gusur, dan Boim terpekik serentak.

Tiba tiba kakek itu menyentuh tangan Fitri, sambil membisikkan sesuatu.

"Oh, ternyata dia ingat.

" ujar Fitri.

Dengan semangat '45 Lupus, Boim, dan Gusur langsung mendekat lagi ke si kakek Lupus langsung mengeluarkan bolpen, sementara Gusur buru buru menyediakan kertas. Boim memegang tangan Fitri.

"...daun bawang... merica.

" gumam Fitri sambil terus mendekatkan telinganya ke mulut kakeknya.

"Pus, tulis... tulis... daun bawang, merica... lalu apa...?" ujar Boim nggak sabar.

"Tulang sapi... satu... ki..."

Boim jadi panik.

"Aduh, kalau gini kelama an... Mbak, biar aye aja yang dibisikin!"

Fitri tukar posisi dengan Boim. Boim menaruh kupingnya di mulut si kakek.

"Direbus... lalu "

Kakek itu tampaknya sudah nggak kuat lagi berbicara. Rupanya beliau sudah hampir mengembuskan napas terakhirnya.

"Kek, tahan... Kek... tahan.

" ujar Gusur me mompa semangat.

"Iya, Kek, jangan dulu... Jangan " Boim ikut memberi semangat.

Kakek itu kembali tenang. Akhirnya, Lupus, Boim, dan Gusur dengan sekuat tenaga berusaha membuat sang kakek berbicara lagi. Si kakek pun meneruskan membisikkan resep baksonya.

Sepulang dari rumah Pak Suroso, dengan perasaan gembira karena merasa telah berhasil mendapatkan kembali resep bakso lezat, lupus cs langsung mau mencobanya. Seharian mereka bekerja keras untuk nolongin Mila. Niat mereka emang cuma satu, nebus kesalahan mereka dan bikin bakso yang oke buat Mila. Mereka nggak pengen Kedai Mila bangkrut. Mereka takut keilangan tempat tongkrongan, tempat bisa makan gratis atau ngutang. Makanya mereka bekerja ekstra keras.

Menjelang malam, resep itu sudah berhasil diramu. Mereka tinggal duduk-duduk menunggu resep baru itu matang. Mereka udah nggak sabar, ingin segera mencicipinya.

Dan begitu tutup panci bergerak gerak karena tekanan uap dari kuah yang mendidih, pertanda bakso sudah matang, mereka pun langsung bersemangat mengangkat panci dari kompor dan membuka tutupnya. Saat itu mereka baru sadar, ada sesuatu yang ganjil.

"Kok jadinya nggak ada baksonya???"

Lupus langsung mencicipi.

"Kakek itu salah, masa kita dikasih resep sop tulang! Bukan bakso!!!"

Semua kaget dan lemes.

Waduh, gagal lagi deh!

***

BAKSO VEGETARIAN

KARENA si kakek salah kasih resep, Lupus masih ngerasa punya utang sama Mila. Lupus udah ngusulin ke Mila untuk ganti usaha aja: jualan sop tulang. Tapi Mila nolak. Karena di papan udah ditulis Kedai Bakso Mila. Bukan Kedai Sop Tulang.

"Kalo diganti lagi, ntar gue dibilang nggak konsisten, lagi. Lagian gue kan demen bakso, jadi kalo jualan nggak laku, minimal gue bisa ngabisin tu bakso. Tapi kalo sop tulang gue nggak demen!" tolak Mila.

Lupus nggak bisa maksa lagi.

Mila orangnya emang keras, susah dibelokin maunya.

Dan pagi itu ceritanya Lupus dan Lulu udah siap Siap mo berangkat ke sekolah. Mereka nongkrong di depan teras sambil nungguin dijemput Devon. Dari dalam rumah, muncul Kelik sambil menenteng tas belanjaan. Kelik menadahkan tangan ke Lulu.

Lulu langsung menyerahkan sejumlah uang

padanya.

"Nih, Lik, masak yang enak, ya! Tapi jangan ngantongin kembalian!"

"Beres, Mbak! Oya, Mbak Lulu sama Mas Lupus mo dimasakin apa? Semur daging? Ayam bumbu rujak? Atau dendeng balado?" tawar Kelik.

"Nggak, nggak! Kemaren baru daging, hari ini sayur aja! Kita mesti irit, Lik! Situasi negara dalam resesi, dan bisnis Mami di Bandung seret!" tolak Lupus.

"Ya udah, saya masak daun singkong aja," putus Kelik sambil berlalu. Lulu menatap Lupus, sebel. Tapi Lupus malah celetak-celetuk mainin permen karet, cuek.

"Pus! Kok daun singkong sih? Gue ogah makan daun singkong!" ujar Lulu.

"Kejar tuh Kelik. Bilangin, daun pepaya aja."

"Pepaya kan pait, gue lebih nggak doyan!"

"Ya udah, kalo gitu biar daun singkong aja."

Lulu mendengus sebel. Saat itu Devon datang, langsung turun dari mobilnya. Devon melihat Lulu yang cemberut, langsung merangkul dengan mesra.

"Kok manyun? Lupus nakal, ya? Biar deh kalo gitu, pulang Sekolah nanti dia nggak usah diajak."

"Emang pulang sekolah kita mo ke mana?" Lulu langsung ilang ngambeknya.

"Ke restoran Sunda yang baru di Kebayoran. Lalap daun singkongnya, alamak! Enak se kaleeeeee! Elo harus nyobain! Pokoknya harus!" ujar Devon berapi api.

Mendengar kata "daun singkong", Lulu kontan cemberut lagi. Lupus langsung megangin perut, ngakak berat.

Devon bengong.

***

Sementara tekanan dari Tante Merry terus membuat Mila bingung.

"Gimana? Kok bakso kamu nggak laku-laku juga? Apa kamu mau kawin tanpa katering? Usaha dong, usaha!!!" begitu kata Tante Merry tadi pagi, ketika melihat kedai masih juga sepi pengunjung.

"Kalo gini terus, tutup aja deh!"

"Jangan, Tante, Mila masih mau nyoba terus."

"Ya cepet, dong!"

Dan karena panik, siangnya Mila mengajak Kevin dan Bule untuk meeting.

"Gue nggak tau, harus gimana supaya bakso gue bisa laris. Kayaknya ini akhir dari karier gue. Kedai kita bakal bubar!!" keluh Mila.

"Makanya dari dulu gue saranin, promosi promosi! Tapi elo nggak pernah ngegubris," ujar Kevin.

"Maksud lo, beli satu mangkok, dapet dua mangkok? Itu bukan laris, Vin, tapi mempercepat kebangkrutan!" tolak Bule.

"Makanya, bantuin mikir dong! Gimana gitu. biar gaji lo berdua bisa naek."

Mendengar kata "gaji naik", Kevin langsung nyengir.

"Itu dia yang gue suka! Mo nyoba ke Mbah Singo Mangan Mejo?"

"Dukun palsu yang lagi disidang itu? Elo sakit ya, Vin?"

Kevin cengengesan. Mila manyun.

Tiba tiba Lupus datang. Dan tanpa basa basi langsung duduk dan memesan,

"Mil, gue mo bakso yang harganya miring. Terserah lo, mo bakso dari daun singkong, pepaya apa daun melinjo...."

Mila, Bule, dan Kevin pada kompak bengong.

Lupus jadi kesel.

"Cepetan! Gue laper berat nih!"

Mila memandang Lupus, curiga.

"Pus, to becanda, kan?"

Lupus menatap Mila, sebel.

"Kayaknya dia serius. Liat tuh, nggak cengengesan!" ujar Bule.

Lupus makin sebel. Jidatnya mengernyit menatap wajah teman-temannya satu per satu.

"Gue tau nih, elo lagi diet ya, Pus? Ogah makan daging dagingan, pengen sayuran aja. Jadi menu makanan lo vegetarian kayak bakso tahu, bakso tempe, bakso oncom," tebak Kevin sok tau.

"Tumben lo agak cerdas! Tapi gue nggak lagi diet. Gue lagi ngirit, soalnya krismon, bo. Harga daging kan naek!" ujar Lupus.

Tiba-tiba Mila memekik, seperti dapet ide,

"Gue suka ide lo, bakso dari sayuran! Kayak nya boleh dicoba buat terobosan!"

"Betul, Biar aja si Lulu yang masak. Soalnya setiap gue ajak makan, dia sibuk nguragin jumlah kalori. Satu tusuk sate ayam, kalorinya harus dibuang dengan berenang 200 m gaya kupu kupu " ungkap Bule.

Semua ketawa.

Kevin lalu mengendus endus.

"Idung bisnis gue mencium suatu peluang! Kayaknya kita harus jalanin, Mil! Pangsa pasarnya masih oke. Apalagi cewek sekarang, baru dibilang segeran dikit udah tersinggung. Dikira nyindir, ke gemukan. Padahal... emang kegemukan!"

Anak-anak ngakak bareng lagi, kecuali Mila.

"0, jadi kemaren pas lo bilang gue segeran, maksud lo gue gemuk? Iya, Vin?" sungut Mila kesel

"Enggak, Mil! Suer, enggak!" Kevin jadi panik.

Bule ngebelain Kevin.

"Maksud Kevin, elo keliatan lebih sehat, Mil,"

Mila makin sewot.

"Apa? Lebih sehat? Hu sama aja, Le! Sama aja elo bilang gue gemuk!"

Lupus menengahi,

"Udah! Udah! Jangan ribut! jadi rencana lo gimana, Mil? Mau bikin bakso vegetarian?"

Mila mengangguk.

"Ya! Kayaknya ide yang bagus tuh. Pasti laku deh! Apalagi gue bisa jual dengan harga murah. Zaman sekarang kan orang seneng yang harganya murah! Cihuiiii, gue jadi semangat!!!"

Mila lalu mengajak Lupus, Kevin, dan Bule segera membuat ramuan bakso vegetarian.

Sementara nun jauh di sebuah restoran khas Sunda gaya lesehan, Lulu dan Devon lagi duduk di bawah, beralas tikar. Di meja cuma ada sebakul kecil nasi, sewadah besar lalapan daun singkong, dan sambelnya. Devon makan dengan nikmat, sedang Lulu cuma ngeliatin kesel.

"Ayo dong, Von, pesen ikan bakar. Lulu laper nih!" rengek lulu.

"Di sini ciri khasnya ya ini. Lu, lalapan daun singkong! Kalo ikan bakar, di tempat lain aja. Lagian kasian ikannya, lagi enak enak berenang dibakar!" sahut Devon sambil terus asyik makan.

"Nggak lucu, ah!" Lulu terpaksa menggigit daun singkong sambil manyun. Devon cengengesan.

Malam harinya, Gusur dan Boim main ke rumah Lupus. Gusur sedang asyik menghitung hasil jualannya hari itu, sedang Boim membolak balik tabloid. Lupus di meja, sibuk mengetik naskah buat majalah Wow!.

"Sur, tabloid yang kagak laku, bakal gue ya?" pinta Boim.

"Buat dikau? Lantas gimana Engkong? Kambing Engkong kan perlu rumput segar!" tolak Gusur.

Boim mengernyitkan dahi.

"Rumput sama tabloid, kagak ade hubungannya! Ngaco lo, Sur!"

"Justru sangat berhubungan sekali. jika tiada tabloid, dari mana Engkong dapat uang untuk membeli rerumputan?"

"Jadi, Engkong lo ngejualin tabloid bakal beli rumput?"

Gusur mengangguk mantap.

"Dulu waktu lo belon jualan, Engkong beli rumput pake apaan? Kaleng?"

Gusur mengangguk lagi.

Boim geleng-geleng kepala.

Lupus selesai mengetik, lalu berdiri sambil merentangkan tangannya.

"Beres. Oh iya, eh, elo-elo ntar malem diundang Mila makan bakso di kedainya."

Dengar undangan makan gratis, Boim dan Gusur langsung girang.

"Boleh bawa Nyak, nggak?" tanya Baim.

"Engkong? engkong daku ajak, ya?" ucap Gusur.

"Ajak aja semua. Tapi yang gratis cuma menu baru aja, yang laennya bayar."

"Yang laen bayar? Nggak apa, biar gue makan menu baru aja."

"Daku pun juga demikian. Selama tiada perlu membayar. di sana daku berada."

****

Sore itu di rumah Boim, Nyak memecah celengan ayam ke lantai. Uang kertas dan receh yang kumel dan dekil berserakan di lantai. Dengan semangat Nyak Boim menghitung jumlah uang yang ia kumpulkan dari tetesan keringetnya saban hari. Nyak bukannya nggak percaya sama bank yang belakangan sering obral bunga deposito meski buntut buntutnya dilikuidasi, tapi karena uangnya recehan semua, Nyak lebih nyaman nabung di celengan ayam ayaman.

Nyak menghitung uang recehnya, dan sesaat kemudian wajahnya berubah kecewa lagi. 'Kagak ada lima rebu. Kasian si Boim, ampe abis bulan kudu makan nasi dikecapin. Mana badan kering kerontang percis cecek kejepit pintu."

Nyak mengumpulkan uang uangnya itu, yang kalo dituker dolar, satu dolar pun nggak nyampe. Jadi gimana Nyak mau cinta dolar?

Saat lagi bingung begitu, tiba tiba Boim masuk dengan ekspresi ceria.

"Nyak! Ntar malem kite diundang Mila makan makan, Nyak! Asyik ye, Nyak?"

Nyak heran memandang Boim.

"Diundang kondangan? Si Mila nikah? Nah, elu keduluan

lagi, lm! Kemaren temen lu si Pi'i, kemarennya lagi Nurlela. Kapan giliran lu?"

Boim bengong.

Tapi tiba tiba Nyak berpikir.

"Eh, tapi jangan buru buru deh, Im. Buat makan aman aja Nyak kudu mecah celengan. Pegimane kalo elu nikah?"

"Mecahin gentong kali!" celetuk Boim.

"Si Mila kagak nikah, Nyak. Lagian ngapain sih Nyak mikir nyang jauh jauh? Aye pan masih demen pacaran, belon ade niatan ke sono. Mikir nyang deket deket aja, Nyak. Contohnya ntar malem, Nyak pake kaen yang mane "

Nyak Boim langsung panik.

"Iye, bener juge!" Lalu Nyak Boim sibuk ngebongkarin koleksi kain batiknya. Bingung milih milih.

"Im, engkongnya Gusur diundang kagak?"

"Diundang, Nyak. Kenapa sih Nyak tanya tanya Engkong?" Boim bertanya curiga.

Nyak Boim tersenyum ganjen. Makin heboh milih kain.

"MaSa nyak lu kagak boleh tanya tanya?"

Boim makin curiga.

"Bukannya kagak boleh, Nyak. Aye jadi curiga. Hayo, Nyak, kenapa nanyain Engkong?"

Nyak Boim nyengir.

"Kagak kenapa kenapa, Nyak cuman mo akrab!"

Dan di halaman rumahnya, Gusur juga sedang mengajak Engkong ikut ke Kedai Mila.

"Enggak deh, Sur, Engkong kagak demen ngumpul ngumpul sama anak mude. Rese!

Engkong dibungkusin aja, Sur. Lu bilangin ke Mila, Engkong minta berkat," tolak Engkong.

"Berkat? Emang si Mila selametan! Ayolah, Engkong, ikutlah bersama Gusur. Di sana nanti Engkong bisa makan sepuas hati, tiada ada yang memungut bayaran."

"Engkong malu, ntar apa kata orang. Engkongnya Gusur minta makan gratis. Pokoknya Engkong nggak bakal ikut, Engkong mau besek nya aja!"

"Engkong kok ngotot sekali? Nyak Boim saja tiada begini. Ya sudah, Gusur tiada mau memaksa lagi," ujar Gusur kesel. Lalu Gusur ber balik meninggalkan Engkong.

Mendengar Cusur menyebut nyebut Nyak Boim mau ikutan juga, Engkong jadi kaget. Lalu buru buru mengejar Gusur.

"Sebentar, Sur, sebentar! Ape bener, Nyak Boim mo dateng juga?"

Gusur dengan masih cemberut, mengangguk

Engkong langsung melonjak gembira.

"Asyiik! Engkong ikut, Sur! Engkong harus ikut! Bantuin Engkong milih palekat, cepetan, Sur! Cepetan!"

Engkong menyeret tangan Gusur ke dalem rumah.

Gusur takjub.

Malamnya, Kedai Mila sangat rame. Semua

orang ngumpul. Di dinding dipasang tulisan promosi. MENU BAKSO VEGETARIAN Hidup Sehat Bersama Mila. Kamu kamu takut kolesterol tinggi, tapi tetep mau makan bakso? Kamu kamu ingin hidup sehat dan murah? Cobalah bakso jamur; bakso tempe, bakso tahu, dan lain lain, dengan rasa daging sapi dan ayam. Khusus malam ini semua menu vegetarian, gratis!!!

Nyak Boim dan Engkong makan bakso sambil main mata. Gusur dan Boim sebel ngeliat tingkah ortu mereka. Di meja lain, Lupus dan Devon cengengesan memperhatikan.

Sementara Gusur berbisik ke Boim,

"Gejala tiada sehat, lm. Engkong kecentilan pada Nyak."

Boim membalas berbisik,

"Gue juga kesel! jangan sampe mereka jadian. Gue ogah sodara an sama lu, Sur!"

"Daku pun tiada sudi!"

Lagi rame ramenya, tiba tiba Tante Merry datang. Dia heran liat kedai rame. Dia sok akrab senyum sana sini. Engkong terpesona liat Tante Merry, kepala Engknng sampe muter. Nyak Boim kesel, ngambil mangkok Engkong, hingga Engkong salah menyuap bakso.

Tante Merry mendatangi Mila yang sibuk menyiapkan pesanan.

"Bagus, Mil, kedai mulai rame lagi. Kamu bisa kawin dengan biaya katering itu! Dan kalo begini tiap hari, kita bisa buka cabang di tempat lain."

"Buka cabang, Tante? Sekarang aja belon ketawan untungnya. Maklum, menu barunya kan masih gratisan...," ujar Mila kalem.

Tante Merry kaget.

"Apa, Mil? Gratisan? Kamu mah bener bener, duh eling! Kamu pikir di sini dapur umum? Itu mah jaman perang! Sekarang jaman pembangunan, apa apa kudu bayar! Jualan nggak boleh gratis! Pamali!"

"Biarin, Tante, namanya juga promosi. Lagian, ini asli dari kantong Mila kok.'

Tante Merry tampak mulai tenang.

"Ya udah kalo begitu, Tante dibungkusin menu gratisnya, tiga bungkus buat icip-icip!"

Mila manyun, terpaksa mbungkusin pesanan Tante Merry.

Lulu langsung berbisik pada Mila,

"Kok enak bener minta dibungkusin? Tiga bungkus lagi, nggak kira kira!'

"Katanya buat icip icip... Kali se erte diajakin ngicip, ya?" tambah Lupus.

Mila tersenyum.

"Namanya juga Tante Merry. Si Ogah Rugi!"
Krismon Lupus Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lupus dan Lulu ikutan ngikik.

Tapi sejak itu bakso Mila memang bener bener jadi laris. Karena saat ini yang orang

orang cari, hidup sehat dan hemat.

"Kalo kreatif, nggak usah pake resep turunan juga kita bisa sukses!" ujar Lupus ke Mila.

Mila mengangguk setuju.

Dan di rumahnya, Tante Merry berdecak mencicipi bakso vegetarian Mila.

"Dari dulu saya selalu yakin, anak itu emang bisa diandalkan," gumam Tante Merry. Mulai detik itu, Tante Merry sendiri jadi keranjingan bakso vegetarian Mila. Soalnya murah dan sehat. Apalagi Tante Merry kan sangat menjaga kebugaran tubuhnya.

"Pokoknya bikin terus, Mil, jangan sampe berenti. Kalo nggak ada yang beli, biar Tante sendiri yang borong buat arisan. Ibu ibu arisan pasti suka!" ungkap Tante Merry keesokan harinya.

Dada Mila disesaki perasaan bangga.

****

MENGUNTIT

SELEBRITI

MINGGU pagi buat Lupus adalah saat yang paling enak untuk tidur sampe sekitar jam sembilanan. Soalnya tiap pagi, dari Senin sampe Sabtu, Lupus kan harus pagi pagi ke sekolah. Makanya minggu pagi itu, Lupus sakral banget membenamkan kepalanya di balik bantal. Asyik dengan mimpi indahnya. Dan kalo tidur, Lupus nggak pernah bisa diem. Selalu ngubah posisi. Sekarang Lupus udah tidur dengan gaya melintang. Kepala dan anggota badannya berada di luar tempat tidur. Cuma badannya yang berada di atas tempat tidur.

lagi asyik asyiknya bermimpi, tiba tiba Kelik masuk kamar sambil mengendap-endap mendekati Lupus. Mau ngapain tu orang? Olala, ternyata Kelik mau menyelipkan selembar kertas kecil di tempat tidur. Kertas kecil itu pesan yang Kelik terima dari Mas Sarendo buat Lupus. Barusan Mas Sarendo nelepon, tapi Lupus nya masih bobo.

Tiba tiba Lupus ngubah posisi jadi telentang. Kertas kecil yang diselipkan Kelik jadi tertimpa Lupus. Nggak keliatan lagi. Kelik sebel, lalu pelan pelan mengangkat tubuh Lupus, dan mengambil kertas kecil itu untuk kemudian diselipkannya kembali di tempat tidur. Lupus kembali bergerak. nggak sengaja tangannya menepis kertas kecil itu hingga terbuang ke lantai. Kelik jadi makin sebel. Ia memungut kertas kecil itu dari lantai, dan menyelipkannya ke badan Lupus. Lupus kegelian, terbangun dan langsung ngomel ngomel,

"Ngapain sih lo? Ngganggu orang tidur aja! Apa lo nggak tau, ini hari Minggu? Boleh dong gue bangun siangan. Emang nggak capek bangun pagi terus?"

Kelik menatap bengong. Dia sudah buka mulut mo ngomong, tapi Lupus sudah mengatur posisi tidurnya lagi. Kelik nggak jadi ngomong. Dia menggumam sambil berjalan ke pintu,

"Ya udah, saya cuma nyelipin pesennya Pak Sarendo. Ya udah, kalo tidur lagi."

Mendengar kata "Sarendo", Lupus langsung terlonjak kaget. Spontan ia mencari cari kertas yang diselipkan Kelik.

"Mana pesennya Mas Sarendo, Lik? Mana? Kenapa lo nggak nge bangunin gue?"

"Lho, katanya kalo hari Minggu Mas Lupus nggak mau bangun pagi."

Lupus cemberut. Sesaat kemudian dia berhasil menemukan kertas kecil yang menempel

di badannya. Dia mengernyit membaca tulisan pada kertas itu.

"Apaan nih? Wawancara, sekarang juga! Wawancara siapa, Lik? Lo nggak tanya?"

Kelik menggeleng.

"Tadi ya cuma begitu pesennya. Katanya Mas Lupus pagi ini juga harus wawancara."

"Wawancara siapa?"

"Mana saya tau? Kok malah tanya saya? Kan situ yang wartawan, bukan saya."

Lupus manyun, lalu langsung lari ke luar kamar, mo telepon balik ke Mas Sarendo. Tapi Kelik membuntuti dari belakang.

"Katanya, Pak Sarendo pesiar sama keluarganya ke Kalianda."

Lupus nggak menggubris Kelik, ia tetap nekat tetap memijit nomor telepon Mas Sarendo.

"Kata beliau, nggak mau diganggu. Handphone nya juga nggak dibawa," ujar Kelik lagi.

Lupus menatap Kelik dengan kesal, sambil membanting telepon.

Pas hari Seninnya, Mas Sarendo uring uringan kayak orang kebakaran bulu idung. Ia mondar mandir di ruangannya dengan tampang kusut banget. Tamara, sang sekretaris redaksi yang smelohei, juga ada di ruangan itu, memperhatikan dengan gelisah. Mereka berdua sama

sama menunggu kedatangan Lupus. Begitu Lupus nongol di pintu dengan senyum polosnya, suara Mas Sarendo menggelegar,

"Lupus! Mana tanggung jawabmu? Dibikinin janji wawancara, malah nggak dateng? Apa kamu pikir Wow! itu pasar? Hanya perlu didatengin kalo cari kunyit aja? Yang bener kalo kerja!"

Lupus cengok, nggak nyambung.

Tamara menahan senyumnya.

"Wah, saya baru tau, Mas, kalo di majalah Wow! bisa beli kunyit!" ujar Lupus polos.

Mas Sarendo langsung mencopot sandal jepitnya. Siap menimpuk Lupus. Tapi Lupus keburu ampun ampun.

"Ampun, Mas, ampun! Lagi Mas Sarendo nyuruh wawancara mendadak amat. Udah gitu, nggak bilang lagi, si apa yang harus saya wawancarai. Emang saya paranormal, yang bisa tau sendiri?"

Sejenak Mas Sarendo bengong mendengar penjelasan Lupus. Lalu menatap Tamara. Si sekretaris Jelita itu kontan salah tingkah, dan beringsut ke dekat pintu.

"Permisi, Mas, mo ke ruang lay out dulu. Ada yang harus..."

Mas Sarendo membentak,

"Nggak pake lay out lay out an! Kamu kan ndak mati kalo ndak ke sana! Sekarang, saya tanya kamu, Tamara, jumat kemaren apa kamu menyampaikan pesan saya untuk Lupus?"

Tamara tertunduk lesu, lalu menjawab dengan suara memelas,

"B belum sempat, Mas...."

"Belum sempat, gundulmu! Sana cepet pergi,

kamu ngabis ngabisin waktu saya aja!" usir Mas Sarendo kesal.

Tamara bergegas pergi.

lupus menatap Mas Sarendo dengan pandangan bertanya.

"Hari Jumat kemaren saya pesan sama Tamara kalo kamu datang, saya sudah buatkan janji wawancara sama Enrico hari Minggu. Si Rico udah bisa Minggu pagi, setelah dia main golf di Matoa. Siangan dikit, dia cabut ke Lampung, ada show," papar Mas Sarendo.

"Enrico? Enrico Gustav? Model merangkap bintang sinetron sekaligus penyanyi itu?" tanya Lupus.

Mas Sarendo mengangguk.

"Wah, susah, Mas, nangkepnya susah! Si Rico kan orang sibuk! Yang biasa biasa aja deh, Mas, kayak Vira Yuniar atau Lulu Tobing. Mereka kan nggak sesibuk Enrico," tawar Lupus.

"Eh, Pus, kamu saya suruh wawancara bukan buat ditawar. Saya ndak tanya pendapat kamu, mo wawancara Siapa kek. Pokoknya saya mau si Enrico Gustav kamu wawancara. Kamu kuntit dia dari bangun tidur sampe tidur lagi. Mo berapa hari, terserah kamu! Yang penting, bulan depan edisi khusus Wow! isinya Enrico. Soalnya dia satu-satunya artis yang di saat krismon ini masih kebanjiran job, dan bisa menolong menaikkan oplah majalah kita yang kian susut halamannya ini!" perintah Mas Sarendo.

Selesai ngomong begitu Mas Sarendo keluar ruangan.

Lupus cemberut sebel.

"Enak aja Mas Sarendo nyuruh gue nguntit Enrico. Giliran artis cewek, dia yang pengen nguntit. Brengsek, ah!"

Tapi aktor ganteng Enrico Gustav digandrungi banyak cewek. Dari tingkat ABG sampe ibu ibu rumah tangga, garagara sinetron sinetronnya yang sukses di TV,

Mila sama Lulu aja saat itu lagi heboh nge. rumpi di salah satu meja di Kedai Mila sambil ngeliatin pinup Enrico Gustav yang bertelanjang dada di halaman berwarna majalah Wow!.

"Elo elo statusnya kan dobel, gue yang singel ini yang kudu usaha. Kan gue udahan sama Lupus. Lagian si Rico udah keren, macho, tajir lagi! Siapa tahan?" ujar Mila memujamuja abis Enrico.

"Eh, gue sih nggak peduli, mo singel, dobel, apa tripel. Yang penting, gue juga mo usaha. Siapa yang ngelarang gue suka sama Rico? Si Devon? Ets, bebas gaul dong! Gue kan belon diiket! Emang kambing diiket?" cetus Lulu.

Mereka berdua pun cekikikan.

Bule yang sejak tadi memperhatikan dari jauh, mendatangi Lulu dan Mila.

"Eh, gue lupa, Mil, tadi Kevin bilang nggak bisa dateng, soalnya mo ikut Lupus wawancarain Enrico Gustav di fitness Manggala Wanabhakti..."

Lulu dan Mila serentak menoleh.

"APA???"

"Sialan, si Lupus mo wawancara Enrico nggak bilang bilang! Ayo kita susul, Lu!" pekik Mila.

"Ayooooo...."

Sejurus kemudian, Mila dan Lulu serentak berdiri lalu menghambur keluar kedai.

Bule bengong.

Dan memang benar Lupus lagi mengajak Kevin mencegat Enrico Gustav yang lagi berlatih kebugaran dengan peralatan fitness. Saat itu bodi si Rico yang oke itu udah penuh keringet, napasnya pun satu satu. Lupus, dibuntuti Kevin, dengan antusias berusaha me wawancarai Enrico.

"Rico, apa cita-cita lo dari dulu emang pengen jadi orang terkenal? jadi selebriti?" tanya Lupus.

"Gue nggak punya cita cita. Kalo sekarang gue ngetop, itu sih udah takdir. Dulunya gue malah pengen main Sega aja di mall seumur idup! Asyik, kan? Eee, tau tau ada talent scout yang nemuin gue, trus gue ditawari jadi model, jadi pemain sinetron, jadi penyanyi.

" jawab Enrico cuek.

Lupus dan Kevin saling tatap.

"Enak banget, ya? Jadi bener bener bakat alam?"

"Ambilin anduk gue dong!" Enrico bukannya ngejawab, malah menyuruh Lupus ngambilin anduknya yang tergantung pada sebuah peralatan fitness, yang sebetulnya malah lebih dekat ke Rico.

Lupus sempat bengong sejenak disuruh-su ruh begitu. Tapi kemudian dia ambilin juga handuk si Enrico.

"Sekalian lo lap deh keringet di punggung gue," perintah Enrico.

Lupus mulai kesal.

"Kok gue nggak denger kata 'tolong'...."

Enrico bukannya ngejawab, malah dengan cuek berujar ke Kevin,

"Elo juga, daripada nganggur, pijetin bahu gue nih. Pegel!"

Kevin dengan sigap langsung memijit bahu si Rico. Lupus yang mulai ngelap keringet si Rico dengan gerakan kasar, jadi tambah kesel.

"Apa susahnya sih minta dengan baik baik.... Ucapin please, tolong...."

Kevin bukannya mendukung Lupus, malah membela Enrico,

"Biarin, Pus, jarang-jarang kan gue dapat kesempatan mijitin Enrico Gustav. Lagian, kita bisa cerita ke anak anak kalo kita jadi pelatih fitness nya si Rico."

Mendadak Enrico berdiri. Lupus yang ngerasa sebel menyerahkan handuk bekas ngelap keringet ke Rico. Enrico mencium handuknya, lalu mengernyitkan hidung. Sambil berjalan, Enrico melemparkan handuknya ke belakang. Handuk nyangkut di kepala Lupus. Lupus gelagapan.

"Buat lo aja, gue mo mandi," ujar Enrico santai.

Lupus mencampakkan handuk itu ke lantai dengan penuh dendam. Kevin buru buru

memungut handuk tersebut Lalu menimang dengan ekspresi girang.

"Buat gue aja, Pus! Anduk bekas keringet Enrico, kalo gue lelang. pasti harganya tinggi!"

Lupus menatap Kevin, muak

Wawancara dilanjutkan di kedainya Mila. Lupus membawa Enrico ke sana untuk mencicipi bakso vegetarian yang lagi in itu. Lupus yakin, Enrico pasti seneng. Bule yang lagi jaga kedai, langsung surprais melihat Lupus membawa Enrico. Begitu juga pengunjung lainnya. Mereka langsung heboh minta tanda tangan.

Bule berbisik ke Kevin.

"Eh, kok si Rico di bawa ke sini? Wawancaranya bukannya di tempat fitness?"

Kevin menjawab bangga,

"Tadi kita udah dari sana. Gue sama Lupus jadi "

"Mila sama Lulu pada nyusulin ke fitness. Ntar gue disangka bohong!" potong Bule.

Tapi Kevin nggak peduli. Dia sibuk men servis Enrico.

Tak berapa lama, Enrico pun kekenyangan.

"Asyik juga gue bisa ngabisin tiga mangkok bakso dan tiga gelas es teler. Udah lama banget gue nggak makan makanan rakyat jelata. Abis bosen makan steak steak an."

Fnrico berdiri, berjalan ke luar kedai. Lupus dan Kevin panik, masing masing mengintip dompet. Ternyata uang mereka nggak cukup. Lupus berbisik ke Bule,

"Ngebon dulu, Le. Duit gue nggak cukup."

"Alaa, Le, bilang aja, Rico dijamu Lupus di kedai ini, pasti Mila nggak keberatan," ujar Kevin.

Lalu Lupus dan Kevin menyusul Enrico.

Bule cemberut.

Di depan kedai, Enrico ketemu Gusur yang baru mau masuk sambil membawa tabloid dan majalah. Gusur langsung menawarkan dagangannya pada Enrico, dan dia langsung memborong beberapa tabloid dan koran. Gusur kegirangan. Waktu Gusur mau membungkus tabloid tabloid tersebut, Enrico menolak. Ia malah menoleh pada Kevin.

"Bawain, ya?"

Kevin dengan senang hati membawakan tabloid milik Enrico.

Enrico melenggang pergi.

Tinggal Gusur yang panik.

"Heii! Dikau Mlum bayar!"

"Sori, gue nggak bawa uang, Kalo lo punya setrikaan, gue bayar!"

Gusur bengong, minta penjelasan dari Lupus. 'Setrikaan? Bagaimana ini, Pus? Daku tak pernah bawa setrikaan ke kios. Mengapa dia menanyakan setrikaan?"

"Setrikaan kartu kredit, tau!" jelas Lupus.

Melihat ada peluang pasar, Kevin yang bakat bisnis langsung menyambut.

"Lo butuh setrikaan, Sur? Gue bisa usahain buat lo. Mo strikaan apa? VISA? Master? Diners? Bayarnya boleh nyicil!"

Gusur menggeleng mantap.

"Daku tak mau!

Setrikaan arang milik Engkong sudah cukup panasnya. Daku tak ingin setrikaan lain." Lupus menggiring Kevin pergi. Gusur ngomel ngomel sendiri.

Siang itu, Mas Sarendo lagi makan nasi Padang di mejanya ketika tiba tiba aja Lupus muncul. Lupus langsung duduk di depan Mas Sarendo dengan wajah lesu-kuyu. Kayak baru begadang.

Mas Sarendo kaget.

"Kenapa kamu ke sini? Bukannya nguntit Enrico Gustav?"

Lupus menunduk lesu.

"Capek, Mas, saya capek hati ngikutin dia. Biar Tamara aja yang nerusin, dia kan napsu pengen nguntit si Rico. Biar Tamara aja ya, Mas?"

Tamara yang sedang mengantar minuman untuk bosnya, langsung menyahut tiang,

"Iya deh. Saya aja. Saya bisa nulis: Semalam Bersama Enrico Gustav. Boleh, Mas?"

Mas Sarendo melirik sebal ke sekretarisnya yang kecentilan itu.

"Tam, majalah kita ini majalah remaja, bukan majalah Playboy. Mending kamu ngegantiin si joko aja tuh nagih setoran ke agen!"

Tamara sebel, langsung keluar.

"Dan kamu, Pus, saya nggak mau tau. Kejar

terus tu Enrico. Dan jangan balik ke sini se belum bawa tulisan!"

Lupus memainkan permen karetnya dengan kesal.

Sementara itu, beberapa meter dari situ, Devon sedang berjalan dengan Boim di bawah terik matahari. Ceritanya mobil Devon rusak dan saat ini ada di bengkel abangnya Boim. Boim yang mempromosikan bengkel abangnya ke Devon. Soalnya bengkel Abang lagi sepi, dan kalo Boim bisa dapetin order, Abang bakal ngasih persen ke Boim.

"Im, lo yakin abang lo bisa ngebetulin mobil gue? Setau gue bengkel abang lo khusus buat sepeda motor," tanya Devon sangsi.

"Motor sama mobil apa bedanya sih? Cuma yang satu rodanya lebih banyak aja. tenang aja, Von. Mobil lo pasti beres!" sahut Boim mantap.

"Beres bener ya, Im?"

"Gue yakin, Von. Apalagi mobil lo itu mobil pertama yang dikerjain abang gue. Pasti abang gue nggak mo gagal."

Devon kaget.

"Apa, lm? Mobil pertama yang dikerjain abang lo? Tega lo, lm! Kalo jadinya makin parah, gimana?"

"Kata abang gue, elo boleh bawa pulang motor yang ada di sana. Tenang aja deh!"

Devon melotot, kesel.

Lagi seru serunya berdebat, tiba tiba ada sedan melintas cepat dan menyerempet seorang anak ABG yang lagi jalan di trotoar. Anak itu

jatuh dan terluka. Kakinya berdarah. Boim dan Devon kaget, lalu melihat wajah si penabrak yang sangat mereka kenal muncul dari balik kaca mobil. Si penabrak tampak panik, nengok kanan kiri sejenak, lalu buru buru tancap gas, kabur. Tanpa memedulikan korbannya lagi. Tentu saja ulahnya membuat Devon dan Boim kaget. Devon dan Boim pun bergegas menolong remaja itu. Orang orang mulai merubung. Devon memangku kepala remaja itu.

"Panggil ambulans, lm. Dia harus dibawa ke rumah sakit!" teriak Devon.

Boim jadi panik, mondar mandir sambil ber teriak teriak,

"AMBULANS, Oh! AMBULANS!!!"

Remaja ABG yang tertabrak itu mulutnya bergerak gerak seperti mo ngomong. Devon mendekatkan kupingnya ke mulut remaja ter sebut. Anak itu berkata terbata bata,

"Enrico Gustav yang nabrak..."

Devon kaget,

"Apa? Enrico Gustav?"

Boim langsung menyahut,

"Betul! Pantesan gue seperti kenal orang itu. Dia emang Enrico, si bintang sinetron!"

Semua orang jadi heboh.

Cerita itu pun langsung sampai ke telinga anak anak yang lagi pada ngumpul.

"Elo berdua juga liat?" tanya Lulu nggak yakin.

Devon dan Boim mengangguk cepat.

"Pada salah liat, kali. Masa si Rico tabrak lari begitu? Nggak gentle amat!" ujar Mila sangsi.

"Iya, kok nggak seperti lagunya yang romantis banget, Senyuman Selembut Es Krim," komentar Lulu.

"Atau waktu dia jadi jagoan yang nolong nenek-nenek nyebrang. di sinetron Kugenggam Dunia," tambah Mila.

Devon mendbir.

"Itu kan di lagu, di sinetron, bukan kehidupan nyata!"

"Kenyataannya si Rico pengecut. Abis nabrak, langsung kabur," tukas Baim.

"Iya, kata Lupus juga, abis makan bakso, dia jalan lempeng aja, kagak mo bayar!" tambah Devon lagi.

Bule mengedipkan mata pada Devon, ngasih isyarat supaya jangan cerita cerita ke Mila. Tapi Devon nggak ngeh, malah terus ngocol,

"Bener kan, Le? Si Rico makan bakso tiga mangkok sama es teler tiga gelas nggak bayar, kan?"

Mila memelototi Bule.

"Bener, Le?"

Bule mengangguk pelan.

"Bener, Mil. Itungitung kita menjamu selebriti."

Mila mendorong kepala Bule, kesel.

"Selebriti? Selebriti apaan? Gue brenti ngefans sama Enrico. Dia ternyata jahat!!!"

Dan Lupus dan Kevin pun kaget waktu di tunjukin berita di tabloid yang dijual Gusur, berjudul Enrico Gustav, Pelaku Tabrak Lari.

"Tapi gue nggak heran, kelakuan si Rico emang asli sengak! Kalo deket sumur, rasanya pengen gue ceburin!" ujar Lupus.

"Daku juga kesal, Pus. Gara gara ulahnya memborong tabloid tanpa bayar, daku kehilangan penghasilan seminggu. Kalau dia datang lagi, biar daku suruh kambing Engkong menyeruduk perutnya," ucap Gusur.

"Gue juga empet, anduk bekas keringetnya nggak ada yang mo beli. Rugi gue!" Kevin ikut ikutan ngasih komentar.
Krismon Lupus Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lupus dan Gusur memandang Kevin dengan bengong.

Dan bagaimana nasib Enrico Gustav? Ternyata artis ganteng itu memang lagi belingsatan di rumahnya gara gara berita yang beredar luas di tabloid. Jefri, cowok muda yang jadi pengacara merangkap manajernya, secara khusus dipanggil.

"Jadi gue mesti gimana dong, Jef? Produser narik semua album gue yang beredar. Rumah produksi juga ngeberentiin kontrak Agen model, nggak ada yang mo pake gue lagi. Gue harus gimana.?" pekik Enrico panik.

"Harusnya elo nggak perlu kabur waktu nabrak, Ric," sahut Jefri.

Enrico marah.

"Eh, gue nggak minta saran kejadian yang udah lewat! Sekarang bilang aja gue harus ngapain? Lo kan manajer gue?"

"Tabrak lari bukan perkara ringan. Masalah nya elo public figure, semua orang kenal tampang lo. Sekali lo bikin kesalahan, orang nggak simpati lagi sama elo."

Enrico mengibas-ngibaskan tangan dengan

nggak sabar.

"Iya iya, gue tau itu! Terus, gue mesti gimana lagi?"

"Satu satunya cara, supaya persidangan nanti berjalan mulus, elo mesti bisa menarik simpati lagi. Mungkin dengan publikasi yang bagus."

Enrico menatap Jefri, girang.

"Betul juga. Nggak percuma lo jadi manajer merangkap pengacara gue! Ternyata lo cukup cerdas. Oke, gue setuju! Publikasi bagus! Sekarang gue akan ngubungin wartawan!"

Maka Rico pun berusaha menjalankan usul Jefri. Ia mengontak semua wartawan media massa. Dia menawarkan janji wawancara. Tapi ternyata nggak ada satu pun yang berminat mewawancarai Enrico. Padahal dulunya semua media mengejar ngejar dia. Enrico sampe frustasi sendiri. Sampai suatu ketika, ia teringat Lupus. Rico langsung mengontak nomor rumah Lupus.

"Halo, Lupus? Gue Enrico. Gimana? Lo kapan nguntit gue lagi?" ujar Enrico ramah.

Lupus yang menerima telepon dari ruang tengah rumahnya, menyahut,

"Nguntit elo? Buat apa?"

"Jangan gitu, Pus. Sekarang gue mau deh dikuntit ke mana aja sama elo..."

Lupus berpikir, mendadak ia tersenyum jail.

"Oke.... Gimana kalo nanti sore kita ketemu di tempat fitnes?"

"Oke, sampe nanti!" Rico menyambut hangat.

Dan tepat jam empat sore, di tempat fitness terlihat pemandangan ganjil. Enrico Gustav, sang artis top itu, tampak lagi sibuk mengelap keringat sambil memijit bahu Lupus yang sedang mengayuh sepeda statis. Wajah si Rico tampak manyun, sedang Lupus cengengesan.

Sementara Kevin menunggu giliran dengan nggak sabar.

"Abis itu gue ya? Gue mo pijit Jepang, Ric..."

Enrico makin manyun. Sedang Lupus terus menghibur,

"Terus pijit. Ntar gue tulis yang bagus bagus. Enrico Gustav alih profesi, jadi tukang pijit!"

Enrico serasa mau nangis, berteriak,

"Gue nggak pernah dihina begini, gue nggak pernah!"

"Terus pijit, jangan ngomel! Dari sini elo mesti ngelunasin utang utang lo. Utang bakso, es teler, sama korannya Gusur," ancam Lupus.

"Sama utang anduk bau keringet lo!" cetus Kevin bersemangat.

Enrico Gustav bengong.

****

LAYU SEBELUM KUNCUP

SEJAK bubaran sama Mila, Lupus jadi deket sama cewek teman kursus Inggrisnya yang bernama Priscilla. Cewek cantik ini semula emang asli nyuekin abis si Lupus. Tapi dasar lupus anaknya gigih, tiap pulang kursus si Priscilla ditempel terus. Sampe akhirnya Pricilla jadi suka juga ama Lupus. Dan lama lama, Priscilla yang berbalik sering ngasih perhatian ke Lupus. Seperti sore itu, sepulang kursus, Priscilla menyodorkan permen karet pada Lupus. Dengan semangat Lupus langsung mengulumnya. Tapi mendadak langsung dimuntahkan lagi.

Priscilla kaget.

"Kenapa, Pus? Bukannya kamu suka permen karet?"

Lupus menyeringai jelek.

"Iya, tapi nggak yang pait begitu! Kamu ngasih saya apa sih?"

"Itu permen karet mahal lho, Pus, oleh oleh Papi dari Belanda. Sebiji harganya satu gulden," ujar Priscilla bangga.

Lupus menjulurkan lidah, paitnya masih nempel.

"Permen karet apa jengkol?"

"Seratus buat kamu! Itu emang permen karet rasa jengkol. Permen karet diet. Yang bikin, orang lndoneSia yang tinggal di Belanda!"

Priscilla menyodorkan permen karet lagi.

"Mau lagi, Pus? Rendah kalori lho!"

Lupus menggeleng cepat, tapi Priscilla memaksa. Akhirnya Lupus ngalah, dia masukkan permen karet tersebut ke saku kemeja.

"Dicobain, Pus! Itu lain, rasa pete bakar."

"Enggak, nanti aja. Saya mo simpen buat, buat..."

"Buat ngelembur? Ngejar deadline majalah? Oke, jangan kuatir!" Priscilla mengeluarkan seraup permen karet dari tasnya, lalu menjejal kannya ke dalam tas Lupus. Lupus pasrah.

"Tuh, saya udah bekelin banyak! Rasa pete, jengkol, pare, brotowali, sama terasi. Pasti dead line kamu nggak molor."

Dua kali mendengar kata deadline cukup membuat Lupus jadi gelisah. Priscilla memper hatikan dengan heran.

"Kenapa kamu? Mo pipis?"

"Saya lupa, besok ada tulisan yang harus saya serahin ke Wow!."

Priscilla cemberut.

"tapi kamu janji, mo ngajak saya nonton."

"Besok sore aja ya? Janji deh!"

"Nggak bisa, besok saya les pingpong."

"Malamnya?"

"Kursus catur."

"Kalo gitu, besok sorenya lagi deh."

"Besoknya lagi kan saya les jaipong. Udah ah, kamu ngerusak acara. Saya udah bela belain nggak kursus baca kamus biar bisa nonton, kamu seenaknya ngubah jadwal!" sungut Priscilla langsung pergi.

Lupus bengong.

Malamnya Lupus sibuk ngetik artikel, sementara lulu leyehleyeh menemani sambil membaca novel Danielle Steel koleksinya di atas tempat tidur Lupus.

Lupus agak heran juga ngeliat adiknya yang biasanya rajin ngelayap itu ngejogrok di kamarnya.

"Lo nggak jadi pergi, Lu?" tanya Lupus sambil ngetik.

"Enggak, Devon nganter pembantunya yang ketabrak bajaj ke rumah sakit. Katanya sih, lukanya lumayan parah," ungkap Lulu.

Lupus berhenti ngetik dan menoleh.

"Lo percaya? Jangan jangan si Devon selingkuh sama pembantunya...."

Lulu marah, membuang novelnya lalu mendekati Lupus.

"Elo tuh kebanyakan curiga. Makanya nggak pernah sukses pacaran. Liat dong gue sama Devon, kita jalan terus soalnya saling percaya!"

Lupus nyengir.

"Alaa, waktu di Bandung lo berdua ribut."

"Itu kan gara gara si ganjen Tamara. Bukan gara gara gue atau Devon."

Pada saat itu Kelik masuk membawa buket mawar kiriman Devon.

"Mbak Lulu, ada kembang dari Mas Devon."

Dengan riang Lulu menyambut mawar dari Devon. Dengan sepenuh hati diciumnya mawar tersebut. Mendadak hidungnya menger nyit, tangannya mengibas ngibas ngusir bau.

"Buseet, kenapa mawar baunya begini? Apa Devon mo melet gue?"

Kelik nyengir dan buru-buru keluar. Dia ngerasa bersalah, soalnya tadi mawar itu dikepit di ketiaknya.

Lulu mengeluarkan kartu yang menempel di luar buket, dan membaca,

"Iulu sayang, anggap aja mawar ini pengganti kehadiran Devon malam ini."

"Romantis amat?" ledek Lupus.

"Iya dong! Kalo elo suka sama orang, lo harus tunjukin. Lewat bunga kek, cokelat kek, atau benda benda kecil sebangsanya. Nggak usah mahal, yang penting ccwek jadi ngerasa diperhatiin banget."

lulu mencium lagi buket bunga tersebut. Dan sekali ini Lulu langsung bersin-bersin, gara-gara bau yang nggak sedap itu. Lulu lalu mendekap mesra kartu dari Devon ke dadanya sambil tersenyum bahagia.

Bikin Lupus tambah sirik.

Di ruang kerjanya, Mas Sarendo yang cuma bercelana pendek plus kaos singlet bolong lagi sibuk mengipas ngipas pakai kipas batik. Kemeja dan celana panjangnya tergeletak be gitu saja di sandaran kursi. Mas Sarendo duduk lalu berdiri dengan resah. Mendadak dia membuang kipasnya, lalu berusaha membuka kaca jendela ruangannya. Sekujur tubuhnya bercucuran keringat.

Tamara-sang sekretaris-masuk. Ia terpana takjub meliat kostum Mas Sarendo yang ajaib.

"Ngapain, Mas?"

Mas Sarendo berbalik kaget, lalu buru buru menyilangkan kedua tangannya ke dada, nutupin singlet bolong bolongnya.

"Sori nih pake singlet bolong. Wong katanya kulit perlu venti lasi, supaya bisa bernapas."

Tamara lalu mengendus endus.

"AC nya mati ya, Mas?"

"iya, makanya mo tak buka nih jendela." Mas Sarendo kembali berusaha membuka jendela mati itu.

"Kalo gitu, saya telponin tukang service AC." Tamara langsung menuju pesawat telepon.

"Kelamaan, begitu tukang AC dateng. aku

wis mati lemes..." Mas Sarendo terus berusaha membuka jendela kacanya yang macet. Tapi gagal. Tamara lalu membuka sepatu hak tinggi nya. Ia menyuruh Mas Sarendo menyingkir dari jendela. Dengan sigap Tamara memecahkan kaca jendela dengan hak sepatunya. Kaca jendela pecah berkeping keping. Udara segar segera masuk ke ruangan.

"Nggak perlu nunggu tukang AC, kan'

Tamara mengenakan lagi sepatunya, dan dengan cuek melenggang pergi. Mas barendo bengong.

Sesaat kemudian Lupus masuk. Langsung kaget liat di lantai banyak pecahan kaca bertebaran.

"Abis ngamuk, Mas?"

"Sapo sing ngamuk? Kozue ojo ngawur, Pus!" Mas Sarendo lalu duduk di depan komputernya, merasa seger karena ada udara masuk. Dia pun mulai mengetik.

"Saya tau, kowe mau nawar deadline toh? Kowe beruntung, deadline boleh molor sampe jam lima besok sore..."

Dengan wajah manyun Lupus melempar hasil tulisannya ke meja Mas Sarendo.

"Nggak usah ngomong, Mas! Saya udah ribut sama pacar gara gara ngebelain deadline itu."

"Oh, punya pacar toh? Kenapa kalo sama Tamara kamu suka kegenitan?"

"Si Tamara yang kegenitan. Lagian, pacaran nya belon jadi bener kok, Mas. Masih dalam rangka proses daripada..."

"Ah, kamu kayak pejabat aja, ngomongnya mbulet," potong Mas Sarendo.

Lupus berjingkat, pengen ngintip layar monitor, ngeliat apa yang dikerjakan Mas Sarendo. Mas Sarendo spontan menutupi monitornya dengan kedua telapak tangannya.

Lupus kesel.

"Pelit amat? Nggak bakal di contek!"

Lupus pun berjingkat ke luar ruangan sambil bergumam,

"Daripada Tamara ngecetin kuku, suruh dia nyapu pecahan kaca."

Mas Sarenelo heran.

"Pecahan kaca?"

Mas Sarendo mengangkat sebelah kakinya yang bersandal jepit. jempol kaki gendutnya berdarah-darah. Mas Sarendo menatap jempol nya, dan berteriak panik,

"TAMARAAA!!!"

****

Pulang dari majalah, Lupus langsung curhat sama kedua sohibnya, Boim dan Gusur.

"Gue lagi bingung nih ngadepin Priscilla. Belon pernah gue naksir cewek kayak begini."

"Alaa, Pus, nggak usah naksir, suka, cinta, semua itu palsu!" ujar Boim sinis.

"Tak usah dikau dengar kicawan Boim, daku percaya, daku ini pemuja asmara. Dikau bisa bertanya apa saja tentang asmara pada daku, Pus!" ungkap Gusur.

"Priscilla tuh maniak les dan gila kursus! Baru gue dapat kesempatan buat jalan berdua, eh, mendadak gue inget janji wawancara, harus ngejar deadline! Priscilla nggak mau ngertiin gue, dia ngambek!" ujar Lupus lagi.

"Emang dia nggak pengertian! Udah jelas yang namanye pacaran, kudu ada fulus, ade duitnya! Kasih tau si Priscilla, kalo elo tuh bisa dapat duit dari ngejar ngejar deadline. Kalo dia tetap ngambek, ya udah, jangan mau sama wartawan. Sama Bang Boim aja, fotografer lepas."

Lupus makin manyun. Gusur menarik Lupus menjauhi Boim.

Boim menatap curiga.

Gusur berbisik ke Lupus,

"Beri Priscilla perhatian, kirimi dia kejutan kejutan kecil."

"Kejutan apa? Bom plastik?"

Gusur langsung menyambar sebuah tabloid wanita dari tas jualannya.

"Berikan tabloid ini buat Priscilla. Isinya sarat dengan trik trik menjaga kebugaran wanita pujaan dikau."

Dengan antusias Lupus menyambar tabloid di tangan Gusur, lalu bergegas pergi.

"SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU!" pekik Gusur.

Tapi tips dari Gusur itu ternyata nggak ngaruh juga. Buktinya begitu besoknya Lupus ketemu Priscilla di tempat kursus, Priscilla kayaknya nggak seneng, walau abis dikirimin tabloid. lupus sampe penasaran.

"Gimana, Cilla? Udah

terima tabloidnya? Semalam pas kamu masih kursus catur, saya kan nganterin tabloid ke rumah ka..."

"Udah, udah terima. Saya kasih ke pembantu, buat bungkus tempe," potong Priscilla ketus.

"Perasaan tempe dibungkus pake daun deh!" ujar Lupus polos.

Priscilla mendelik judes.

"Maksud kamu apa, ngasih ngasih tabloid begituan ke saya? Apa saya kurang cantik? Kurang bugar? Kurang seksi?"

Selesai ngomong begitu, Priscilla masuk ke ruang kursus. Lupus kebingungan. Bule yang jadi staf pengajar di kursus Inggris itu, menghampiri dan menepuk nepuk bahu lupus.

"Say it with flowers, Pus. Say it with flowers..."

Lupus jadi mikir sarannya Bule. Kenapa enggak, ya? Lulu aja girang banget dikirimin Devon bunga... Priscilla pasti juga dong! Lupus pun berniat ngirimin bunga ke Priscilla. Tapi Lupus inget lagi, nanti malam dia punya deadline lagi. Wah, berarti kudu minta tolong Boim nih!

***

Nyak Boim sedang ngangkatin jemuran. Lupus dateng.

"Elu telat sih, Pus. Belon ade lima menit Boim nganter bini abangnye pake motor. Susulin aja ke bengkel."

Lupus menggeleng.

"Aye ada kerjaan mendesak dari majale, Nyak. Nitip pesen aja ya ke Nyak?"

Nyak mengangguk.

"Bisa... bisa... pesen apa?"

Lupus mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya.

"..ini aja deh, Nyak, lupus kan kudu begadang. Tolong bilang Boim, Lupus nitip beli kembang. Trus malam ini juga, tolong diantar ke rumahnya Priscilla."

Lupus lalu memberikan uang dan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Priscilla.

Nyak ngangguk angguk.

Apesnya, sampe malem si Boim belum pulang juga, Nyak baru bisa nyampein pesan Lupus sekitar jam sembilanan.

"Im, lu Nyak tungguin, juga...."

'Ada ape, Nyak?" tanya Boim.

"Tadi Lupus kemari. Katanye dia nitip beliin kembang, abis itu kembangnye kudu lu anter ke rumahnya Pris... Pris siapa gitu.... Pokoknya, nih alamatnya...."

"Pegimane, Nyak? Lupus nitip beliin kembang? Trus aye kudu nganterin tuh kembang ke Priscilla, gitu?"

"Nah, tuh ngarti. Buruan lu pergi, keburu tukang kembangnye tutup."

"Iya deh, Nyak, aye langsung jalan...."

Boim pun pamit pergi lagi.

Karena udah malam, Boim minta ditemenin Gusur. Mereka muter muter nyari kembang, tapi nggak dapet-dapet. Sampe akhirnya mereka berdua tiba di kuburan. Soalnya di deket kuburan situ, katanya ada yang jual kembang 24 hours. Kalah deh Cirele K.

Suasana di kuburan itu sepi mencekam. Boim dan Gusur dorong dorongan di depan sebuah kios kembang buat nyekar kuburan. Sementara tukang kembangnya, seorang ibu ibu muda, sedang tiduran di bangku panjang yang nggak terliat oleh Boim dan Gusur.

Boim langsung ngumpet di belakang Gusur.

"Sur, tukang kembangnya ke mane? Ngumpet, kali."

"Dikau sudah memaksa daku ikut, jangan suruh daku mencari cari. Daku khawatir, yang tiada kita cari malah menjelang...."

Belum abis gema kata-kata Gusur, si tukang kembang terbangun karena mendengar suara Boim dan Gusur yang ribut. Wajahnya tibatiba muncul dari balik tumpukan kembang. Boim dan Gusur kontan kaget. Mereka berdua teriak sambil saling mendekap.

Tukang kembang ngomel ngomel,

"Anak anak ngagetin aja! Mo beli kembang apa enggak? Kalo enggak, aye mo tidur lagi."

Boim dan Gusur lega, setelah tau yang muncul mendadak itu ternyata tukang kembang.

"Aduh, maapin ya, Mpok? Kita ngebangun in, ya? Lagian Mpok sore sore udah molor."

"Kagak usah komentar lu! Belon ngerasain aja, jualan kembang di kuburan.

" ujar si mpok ketus.

Boim buru buru menyerahkan uang pada tukang kembang tersebut. Setelah dapat kembang sekantong plastik gede, Boim buru buru mengajak Gusur pergi.

Sepeninggal Boim dan Gusur, si tukang kembang ngomel ngomel lagi karena tidurnya terganggu.

"Mo beli kembang, nggak sabaran amat! Nunggu pagian dikit kek, biar yang jaga segera...."

Setelah ngomel begitu, mendadak tukang kembang itu ketawa ngikik. Gigi taringnya yang mirip drakula, berkilat kilat.

"Belon tau die...."

Dan tukang kembang pun lenyap. Kios tukang kembang berubah jadi dipan reyot yang berbunyi berderit derit ketika tertiup angin.

Anehnya lagi, kembang yang dibeli Boim dan Gusur, begitu sampai ke tangan Priscilla tiba tiba berubah jadi sampah dedaunan kering. Boim dan Gusur jelas kaget sekali.

Priscilla yang menerima bungkusan plastik itu, langsung terpekik, menjerit.
Krismon Lupus Karya Hilman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tadi isinya kembang! Ada mawar, melati... Banyak, macem macem ya, Sur?" ungkap Boim keheranan.

"Baim betul! Kelopak segala jenis bunga. berbagai warna. Bisa dipakai untuk mandi atau ditebarkan dalam kamar...."

"Atau ke kuburan!" potong Priscilla ketus.

"Bilang Lupus, ini sama sekali nggak lucu! Apaan tuh, ngirim sampah pake kurir!"

Boim mendadak ikut sewot.

"Enak aja! Gue bukan kurir, tau! Gue ngejalanin ini karena Lupus sobat gue. Ini kerja sukarela, kagak ade bayarannya!"

"Sudah, lm, sudah! Tugas telah kita tunai kan, sekarang kita pulang."

Gusur menyeret Boim meninggalkan rumah Priscilla.

Saat jalan bareng pulang sekolah, Lupus kesel dengar cerita Boim dan Gusur tentang kejadian di rumah Priscilla.

"Udah deh, pokoknya mulai detik ini gue kapok melibatkan lo berdua ke urusan gue sama Priscilla," ambek Lupus.

"Daku tiada terlibat, Pus! Boim yang meminta daku mengantarnya ke tukang kembang di depan pekuburan," bela Gusur.

Lupus kaget. Ia menatap Boim, minta penjelasan.

"Tukang kembang yang paling deket rumah gue emang yang di kuburan, Pus. Lagian buka nya sampe malem. 24 hours. Udah untung gue mo ngebeliin...."

"Elo kira si Priscilla zombie? Jelas aja dia marah, dikasih kembang kuburan!" maki Lupus. "Berubah, Pus, bunganya berubah jadi dedaunan kering," ralat Gusur.

'Betul, Pus, bukan sulap bukan sihir. Sur, jangan jangan tukang kembangnya..."

Boim dan Gusur berpelukan ketakutan.

lupus menatap mereka, sebel.

****

Akhirnya karena nggak tahan, Lupus curhat juga ke Mila, mantannya itu. Bule dan Kevin ikut nguping curahan hati Lupus.

"Gue nggak tau lagi, Mil, gue mesti gimana ke Priscilla..." ungkap Lupus.

'Kasih bunga dong!" usul Kevin.

"Gue udah saranin tuh! Lo kerjain nggak, Pus?" tanya Bule.

Mila cekikikan.

"Boim tadi pagi cerita, katanya dia sama Gusur yang jadi kurir bunganya yang kena semprot. Udah deh, Pus. Kasih bakso udang aja, ya? Cewek kan demen bakso.... Mau? Murah kok?" ujar Mila berpromosi.

Lupus akhirnya setuju. Dia pun memesan bakso udang buat dikasih ke Priscilla pas kursus sore hari.

Ternyata Priscilla memang penggemar berat bakso. Priscilla menerima dengan gaya malu malu, saat Lupus menyerahkan bungkusan bakso udang. Mereka lalu meminjam mangkok ke abang tukang somai, dan menyantapnya di kantin tempat kursus.

Dengan mesra Lupus menyuapi Priscilla.

"Enak, kan? Janji nggak ngambek lagi ya?"

Priscilla mengangguk.

"Tau aja kamu, kelemahan saya di bakso. Bakso apa nih, Pus?"

"Bakso udang...."

Mendadak Priscilla melotot hebat. Rambutnya mulai berdiri kayak John Banting.

"UUU... DAANG??? Saya kan alergi udang!"

Sejenak kemudian Priscilla sibuk menggarukgaruk wajahnya yang kegatelan. Lupus menatap kebingungan.

Semua anak yang lagi jajan di kantin menatap heran.

Tamat


Pendekar Rajawali Sakti 157 Dendam Mustika Lidah Naga 5 Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana

Cari Blog Ini