Ceritasilat Novel Online

Penghisap Darah 2

Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap Bagian 2



Lurah Joko segera memperolehnya. Tiap kali ia bergidik. Ia juga memperoleh sebuah bungkusan kecil dari salah seorang tetua desa. Ikut tahlilan sebentar terus pulang ke rumah. Setelah bersalin pakaian ia bergegas ke terminal. Sunyi sepi tempat itu. Gelap lagi. Jadi ia pergi menunggu di Pos Hansip. Merasa tenteram berada dekat orang lain, ia rebahan sebentar. Malang ia tertidur dan bus antar kota lewat tanpa ia ketahui. Hansip yang bertugas menerangkan mereka sedang pergi berkeliling ketika bus itu lewat.

Baru pukul empat dinihari datang bus lain.

Lalu....

"Bagaimana tentang lintah-lintah itu."

Orang tua kecil kurus di depannya memotong halus.

"Waktu kau datang tadi, kau bilang jumlahnya ribuan ekor."

"Mereka yang bilang. Kukira, mereka melebih-lebihkan,"

Lurah Joko memberengut.

'Tidak mustahil mereka benar," bekas gurunya bergumam.

"Satu petak sawah."

"Lima petak," tukas Lurah Joko.

"Salah seorang pegawaiku telah pergi memeriksa tempat itu kembali. Ternyata ada lima petak yang hancur dimakan hama"

"Dimakan lintah."

"Eh. Eyang percaya lintah makan batang padi?"

"Lintah biasa, tidak. Tetapi lintah-lintah yang merenggut nyawa Salbiah dan menciderai beberapa orang lain itu, aku percaya berada di bawah pengaruh dan kekuasaan roh jahat."

Tubuh kurus itu tampak tegang.

"Roh jahat dapat berbuat apa saja."

Lurah Joko mencicipi tehnya.

"Lima petak sawah,"

Ia berdesah lirih.

"Dan semua itu bekas milik si Dudung."

"Dudung. Siapa dia?"

"Orang yang juga dulunya pemilik rumah tempat Arpan ditemukan mati...."

"Rumah baru itukan punya...."

"Rumah sebelumnya, Eyang. Rumah tua. Rumah pembawa sial itu."

'Rumah yang merenggut empat nyawa manusia. Begitu kau bilang beberapa hari yang lalu. kalau tak salah."

"Lima. Kalau diurut ke belakang. Dudung mati di rumah itu,"

Lurah Joko memperbaiki.

"Dudung lagi. Apa yang membuatmu tertarik pada orang itu?"

"Banyak yang bilang, sebelum ia pindah ke daerah kami. Dudung itu di tempat asalnya konon dikenal sebagai penyihir. Tukang teluh. persisnya."

Lurah Joko mendecap-decap, tak senang.

"Setahuku, ia berperilaku baik dan sopan selama ia tinggal dengan kami. Sayang aku tak bisa mencegah penduduk yang berusaha memencilkan dia, karena takut ditenung. Jarang orang mau datang ke rumahnya. Dan tak ada yang mau menggarap sawahnya. Ia mengerjakannya sendiri. Dibantu anak gadisnya.

Ia duda, supaya eyang tahu. Isterinya telah meninggal ketika mereka masih tinggal di kampung asal. Sempat juga aku kasak kusuk sana sini, dan besar kemungkinan istrinya itulah yang sebenarnya tukang teluh. Isterinya mati dikeroyok penduduk kampung mereka, menyusul beberapa musibah dan penyakit menular yang melanda kampung itu.

Suatu hari, Dudung jatuh sakit.

Sakitnya parah sekali, Eyang. ia terbaring saja di tempat tidur sepanjang hari dan malam. Hanya satu dua yang mau menjenguk. Anak gadisnya bilang padaku; ayahnya terserang sakit lumpuh. Dengan sendirinya gadis itu terpaksa...."

"Siapa nama anak gadis Dudung itu, Joko?"

"Nurjanah."

"Nama yang kurang enak di telinga,"

Si tua kurus geleng-geleng kepala.

"Tetapi ia anak baik, Eyang. Cantik. Lembut. Sayang, nama buruk orangtuanya ikut membuatnya tersisihkan. Ia jadinya sangat pendiam. Dan selalu murung. Ada juga satu dua pemuda yang berusaha mendekatinya. Tentu saja sembunyi sembunyi. Takut ketahuan orangtua mereka, atau penduduk lain yang membenci anak beranak itu. Mungkin Nurjanah tahu pemuda pemuda itu cuma iseng dan menginginkan kecantikannya saja, tanpa mau bertanggungjawab. Ia mengusir mereka. Akibatnya. musuhnya bertambah."

Lurah Joko menarik nafas. Prihatin. seakan Nurjanah itu anak gadisnya sendiri.

"Apa yang dikerjakan Nurjanah setelah ayahnya sakit?" tanya tuan rumah. tertarik.

"Mengurus ayahnya. Hanya mengurus ayahnya. Ia tak berani pergi ke sawah sendirian. Eyang kan maklum. Ia seorang perawan. Tak punya teman."

"Hem hem. lantas?"

"Yah. Lantas, sawah mereka terlantar. Mata pencaharian mereka dengan sendirinya hilang pula. Sakit ayahnya bertambah-tambah. Aku membantu juga sedikit-sedikit. Juga pengurus masjid di daerah kami. Tetapi jangankan untuk makan. Untuk obat Dudung saja. hampir tak mencukupi. Nurjanah mulai menjual satu persatu barang barang mereka. Termasuk perhiasan ibunya. Celakanya, permusuhan dari orang lain, membuat barang-barang itu jatuh harga jauh di bawah

pasaran. Untunglah Rukmana datang menolong. Ia membeli barang-barang itu dengan harga lebih memadai...."

"Rukmana. Siapa pula itu?"

"Suami Salbiah. Eyang."

"Oh, ya. Ya Rukmana. Suami Salbiah. Maaf. Aku lupa."

Berlagak pula eyang-ku ini. pikir Lurah Joko menahan senyum, ia belum pernah memberitahu nama suami Salbiah kepada orangtua itu.

"Berapa lama sakitnya si Dudung itu?"

"Berbulan-bulan. Eyang. Aneh juga. Padahal tubuhnya tinggal kulit berbalut tulang. Jangankan makan. Minum pun susahnya bukan main. Ahhh, lantas orang pun semakin percaya ia itu terkena kutuk. Sebagian penduduk ingin mengusir Dudung dan anaknya dari daerah kami. Untunglah dibantu pengurus masjid, aku dapat menahan kemarahan penduduk. Itu pun dengan janji, aku menyetujui Dudung dan anaknya harus pindah begitu Dudung sudah sembuh."

"Dan, ia tak pernah sembuh."

"Ia tak pernah sembuh," keluh Lurah Joko, mengiyakan.

"Hidup mereka semakin morat marit. Sawah mereka lalu ditawarkan pada Rukmana. Uang penjualan sawah itu pun lama-lama habis pula .Menyusul rumah. ikut dijual dan diambil alih oleh Rukmana...."

"Baik hati benar si Rukmana itu," gumam tuan rumah sambil melinting tembakau dengan kertas papier. Tembakau dan papier itu tentu saja oleh-oleh yang dibawa Lurah Joko. Harganya murah sekali. Tetapi itu lebih baik. Ketimbang

membawa rokok atau Kueh-kueh mahal. Bisa sang guru cemberut.

"Lintingkan aku satu, Eyang."

"Eh? Katamu anti..."

Mata orangtua itu mengawasi tamunya. Mata tua tetapi sinarnya begitu tajam dan berpengaruh.

"Setelah melihat mayat Salbiah, aku sudah menghabiskan tiga batang rokok, Eyang."

"Kasihan," rungut gurunya.

Tembakau lintingnya ia sulut, dihisap dengan nikmat. ia tidak melintingkan yang baru untuk tamunya. Ia cuma berkata:

"Minumlah tehmu."

Lurah Joko mengumpat dalam hati, ia minum tehnya. dan kemudian berpikir maksud orangtua itu baik. Agar Lurah Joko tidak kecanduan.

Matahari naik semakin tinggi.

Jauh di lembah, di bawah rumah itu, pucuk pepohonan cemara menimbulkan perasaan tenteram di hati. Sungai yang meliuk-liuk bagai ular tengah merayap keluar dari sarang, airnya berkilau-kilauan dijilat cahaya matahari.

Seekor burung gagak terbang lalu melewati beranda. Si kurus kecil memandang tak tertarik.

"Baik benar si Rukmana itu," gumamnya pelan.

Mengulangi apa yang tadi ia ucapkan.

Lurah Joko maklum.

"Kecurigaan kakek tidak berlebihan," ia mengakui.

"Mengapa harga pembelian harta benda Dudung, memadai. Tetapi sebagian besar menurutku dianggap sebagai pembayar hutang. Plus bunganya. Tahu berapa bunganya, Eyang?"

"Lima persen," bekas gurunya menebak.

"Tiga puluh, Eyang. Tiga puluh persen."

"Lintah darat!"

Tubuh kurus itu terlonjak di kursinya. Tangannya tanpa sengaja membentur tepi meja. Terdengar sesuatu menggelinding lalu jatuh berderai di lantai.

"Dan si lintah darat itu telah membuatku rugi sebuah cangkir yang mahal,"

Tuan rumah memberengut, kesal.

Isterinya segera berlari-lari datang.

Dengan cepat ia bersihkan pecahan cangkir di lantai. Sebelum menghilang, ia mengintip kuatir. Kali ini, ke arah suaminya.

"Lintah darat,"

Si suami yang tak perduli kekuatiran istrinya. bergumam serius.

"Kau tahu, joko?"

"Apa. Eyang?"

"Lintah darah. Apa kata lain untuk lintah darat?"

"Pemeras."

"Bukan. Yang kumaksud. dalam arti kata harfiah."

"Ooo. Pacat. Benar?"

"Ya. Pacat. Mendengar ceritamu mengenai kematian Arpan, aku sudah curiga. Pacat yang menyebabkan kematiannya."

"Lubang di dada Arpan besar sekali, Eyang. Sebesar lenganku."

"Dan sebesar Itu pulalah pacat yang membunuhnya,"

Tuan rumah berkata acuh tak acuh.

"Apakah ada tanda-tanda serupa di tubuh Salbiah?"

"Ya. Di betis...."

Bibir Lurah Joko terasa kering kerontang. Ia menyambar cangkirnya. Ternyata Sudah kosong. Ia letakkan cangkir itu pelan-pelan, takut ketahuan tuan rumah kalau ia sedang ketiban Sial.

orangtua itu sedang termenung.

Lama.

Kemudian:

'Jadi, si Dudung akhirnya mati," gumamnya.

Datar.

"Kok eyang tahu?"

"Lho. Bukankah kau bilang tadi. Di urut ke belakang. Korban yang mati di rumah itu jadi lima."

"Oh ya. Ya Memang eyang benar. Suatu hari Dudung kami temukan mati di kamar tidurnya. Tergeletak di ranjang. Dengan wajah kering kaku, dan mata melotot. Seolah ia penasaran akan sesuatu, menjelang ajalnya tiba."

"Kalian temukan. Kau bilang, kalian temukan. Mengapa?"

"Dudung kami temukan tiga hari setelah ia meninggal. Karena ada bau tak sedap datang dari rumahnya. Lalu seorang tetangganya memanggil aku. Ditemani oleh...."

"Anak gadisnya. Nurjanah. Ke mana dia?" potong orang tua itu.

Tubuh kurusnya, tampak semakin kecil saja, karena mengkerut dalam di tempat ia duduk.

"Hilang!" jawab Lurah Joko, pendek.

"Begitu saja?"

"Begitu saja...." sahut Lurah Joko, dengan pikiran melantur.

Ya. Ke mana perginya anak gadis yang malang itu?

Apakah ia tak tahan menderita lalu diam-diam kabur meninggalkan ayahnya?

Atau barangkali. Ya. Barangkali, setelah ia lihat ayahnya mati pada akhirnya, Nurjanah hilang ingatan. Mungkin ayahnya mati sekitar tengah malam. Karena sore harinya masih ada orang melihat Nurjanah di jendela rumah. Nurjanah hilang ingatan. hem, hem, mungkin itulah yang paling cocok. Lalu ia kelayapan keluar rumah. Entah ke mana ia pergi. tak seorang pun tahu. Tidak pula ada orang melihatnya .

Tengah malam buta.

Tak heran, bukan?

Yang pasti, Nurjanah tak pernah kembali!

Kursi rotan berkeriut Nyaring. Lurah Joko melirik. Ia lihat tubuh kurus kecil itu bangkit lalu tegak memandangi lembah. Arah matanya kesungai. Lalu ke matahari. Berulang-ulang orangtua itu berbuat sama.

Lantas mendengus, kecewa:

"Aku telah salah mengatakannya"

"Mengatakan apa. Eyang?" tanya Lurah Joko heran.

"Itu. Pada Salbiah memang kuperingatkan agar menjauhi tempat yang basah. Basah berlumpur. Tetapi siang hari. Ia kuSuruh mengurangi keluar malam. Entah ia ingat atau tidak pesanku. Entah ia lakukan atau tidak pula. Nyatanya, roh jahat itu justru muncul di siang hari. Ini mencemaskan aku...."

Ada rahasia terpendam dalam nada suaranya.

Lurah Joko ingin tahu. Tetapi tidak berani bertanya. Entah mengapa, diam-diam ia ikut merasa cemas. Bukan lagi malam Jum'at. Bukan lagi dari kegelapan. Roh jahat itu muncul di siang bolong! .

Tanpa sadar ia masukkan tangan ke saku kemeja.

Dan terjengah.

"Hem?"

"Barangkali ini dapat menolong,"

Lurah Joko mengeluarkan bungkusan kecil yang tadi ia ceritakan. Diletakkan di meja. Ia berharap tuan rumah yang membuka bungkusan itu, karena ia tak suka melakukannya. Tetapi mata tua itu hanya menatap. Tidak berbuat sesuatu.

Terpaksalah lurah Joko melepaskan kain pembungkus yang ia perlihatkan. Masih ada lapisan pembungkus daun keladi. Dengan tangan gemetar daun keladi itu diungkapkan Lurah Joko, lantas lekas-lekas menjauhkan tangannya

"Apa itu?" tanya tuan rumah dengan dahi berkerut.

Lurah Joko gelagapan. Sadar, gurunya merasa tidak senang. Sayang terlanjur sudah. Maka ia menerangkan juga:

"Ini kuterima dari salah seorang yang mengurus mayat Salbiah. Dapat mencabuti dari kulit dan daging tubuh Salbiah."

Ada enam ekor.

Semuanya sudah mati. Empat di antaranya menggelembung kecoklatan. Dua yang lain, gepeng pucat.

"Buat apa kau perlihatkan bangkai lintah itu. Joko?"

"Eh... aku, ah!"

Lurah Joko menyerah.

Ia duduk terhenyak. Patah semangat.

"Bangkai tetaplah bangkai.Joko,"

Orangtua di hadapannya bergumam hambar.

"Kita cuma dapat memeriksa. Melihat kalau-kalau ada sesuatu petunjuk. Atau sesuatu yang tersembunyi dan tidak dapat dilihat mata biasa...."

Ia mengawasi tamunya

dengan sorot mata kecewa.

Bertanya:

"Kau mengharapkan aku membangkitkan bangkai itu ya, Joko? Memanggil rohnya?! Lalu bicara pada mereka?"

"Eyang, aku...!"

"Tak apa. Tak apa. Dapat kumengerti. Memang ada juga orang lain berbuat seperti itu. Mampu berbuat seperti itu. Tetapi aku, Joko. Aku tidak diijinkan Tuhan menempuh ilmu sesat itu."

"jadi?"

Lurah Joko mengeluh.

"Aku tidak dapat memanggil roh. Aku hanya dapat mengenyahkannya. Dengan ijin Tuhan."

Sepi. Hening.

Akhirnya Lurah Joko menggeliat lalu bangkit dari kursi.

"Kukira aku harus pulang sekarang. Banyak tugas menungguku"

Ia menatap tuan rumah penuh harap. Mendesah:

"Eyang tidak sedang sibuk?"

"Kebetulan tidak."

Yang ditanya tersenyum manis.

Suasana tegang itu mereda melalui senyumannya.

"Kalau begitu...?"

"Kau terpaksa pulang sendirian, Joko."

"Wah...."

"Aku kurang berkenan. kalau diusir sampai dua kali."

orang tua itu cemberut. Mengingatkan Lurah joko atas sambutan Salbiah beberapa hari yang lalu. Sebelum perempuan itu mati, karena mengusir bekas gurunya ini, atau karena....

"Tetapi tak usah kecewa, joko," ujar tuan rumah.

Ramah. Dan janjinya sungguh menyenangkan:

"Tak usahlah repot-repot memanggilku. Bila

waktunya kurasa sudah tepat, aku akan datang sendiri ke sana."

Lurah Joko dapat memahami.

Orangtua itu perlu bersemadi dulu.

Setelah permisi pada kedua tuan rumahnya, Lurah Joko melangkah ke jalan setapak menuju jalan raya. Tetapi orang yang ditinggalkan, memanggil:

"Joko. Kau melupakan sesuatu."

"Ya, Eyang?"

"Bangkai-bangkai ini?"

Di tengah perjalanan pulang, Lurah Joko membuang bungkusan berisi bangkai lintah-lintah yang menjijikkan itu.



*****



Delapan



Tujuh orang tengah berkumpul di ruang duduk rumah besar itu.
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selain Herman serta dua orang adik kandungnya, ikut hadir pula uwa dan paman mereka yakni saudara kandung Salbiah .Kemudian dua orang saudara sepupu Herman, anak uwa-nya. Di tikar yang tergelar tampak gelas gelas berisi kopi atau teh dan beberapa piring panganan kecil. Di tempat yang sama dua malam sebelumnya, terbujur mayat Salbiah.

Suara mereka berdebat tidaklah terlalu keras. Sehingga pantulan suara orang mengaji dan berdo'a di kamar tamu tetap terdengar dan tidak terganggu. Perdebatan itu berlangsung tenang dan damai. Saripah toh sudah menerima bagiannya sebelum menikah dengan Arpan. Ia hanya sedikit ribut meminta beberapa potong perhiasan almarhum ibunya. Dua orang saudara sepupu sama-sama menyerahkan bagaimana kebijaksanaan orang tuanya. Uwa Herman tidak begitu ngotot. Ia sudah cukup kaya. Tambahan sedikit dari peninggalan Salbiah tak berarti apa-apa.

Sang paman termasuk pengurus masjid.

Jadi ia hanya menuntut apa adanya.

"Toh, kalian anak anaknya yang lebih berhak,"

Ia berkata .

Sumarna-lah yang paling blingsatan.

"Aku menerima terlalu banyak," katanya. ribut.

"Aku tak senang. Aku hanya mau menerima apa yang menjadi hakku. Dan jangan lupa. Bang Herman telah banyak membantuku selama ini. Mengapa pula sekarang aku harus menerima warisan yang merupakan bagian dia?"

Orang paling tua dari ketujuh orang itu mengangguk setuju.

"Benar sekali apa yang dikatakan adikmu, Herman. Tidak usahlah keras kepala begitu. Ayah kalian sudah lama meninggal dunia. Mengapa kau tetap masih membencinya?"

"Aku tidak membenci pribadi ayah, Uwa," jawab Herman.

Membela diri.

"Aku hanya tak suka caranya menambah kekayaan. Jadi apa yang ia tinggalkan untukku, tetap saja tidak dapat kuterima"

"lalu?"

Wajah Sumarna merah padam.

"Rumahmu itu. Mengapa harus dijual? Mengapa sebagian hasil penjualannya harus dibagi antara aku dan Ipah?"

Anak muda itu menggerak-gerakan tangan dan dengan mimik muka bagai cacing kepanasan. lanjutnya:

"Bagianmu saja sudah sangat sedikit, Bang Herman. Tidak! Rumahmu tidak akan dijual oleh siapapun juga."

"Rumahku,"

Herman tersenyum pahit.

"Jadi kalian semua setuju itu rumahku. Jadi aku berhak berbuat apa saja untuk rumahku, bukan?"

Semua terdiam.

Kecuali Sumarna. Dengusnya:

"Uang ibu tertanam di rumah itu. Bang Herman. Ingat apa katanya? Penanda kasih sayang. Mau kau jual

berapa kasih sayang ibu yang tulus ikhlas itu?"

"Dan Arpan."

Saripah buka suara sebelum Sumarna bernafas dengan tenang. Dengan wajah getir, Saripah meneruskan:

"Arpan telah mati. Dan... sebelum ia mati, ia begitu tergila-gila terhadap rencananya merombak rumah itu. Ia sangat keranjingan untuk memberimu sesuatu yang paling bagus dari semua apa yang telah ia pernah buat. Kau akan mengecewakan suamiku, Bang Herman. Kalau ia tahu rumah yang telah ia bangun dengan susah payah kau jual juga, betapa akan sakit hatinya di alam kubur...."

Air mata Saripah menetes.

Terkenang suami yang dicintainya. Herman tahu arti tetesan air mata Saripah. Ia pernah jadi berandalan. Malah sempat masuk bui. Ia telah belasan tahun berjuang mempertahankan hidup yang keras dan kasar.

Tetapi air mata.

Air mata Saripah melunakkan hatinya.

"Baiklah,"

Ia mengeluh, kalah.

"Aku tak akan menjual rumah itu."

Semua bernafas lega. Tetapi Sumarna kelewat berlebihan mengutarakan kegembiraannya. Ia melirik ke arah Saripah.

Berseru riang:

"Lihat, Ipah. Ia mau juga menerima usul kita. Namun begitu, dari kita semua yang ada di sini. tetap saja ia paling miskin...."

Ia mengangguk sopan setengah minta maaf pada Herman, lalu kembali berpaling pada Saripah. Ia begitu bernafsu. Langsung saja menyerbu:

"Bagianmu sudah berlimpah, Ipah"

"Katakan saja Jangan berbelit,"

Saripah nyeletuk,

"Abang Herman tak jadi menjual rumahnya. Jadi ia tetap punya hutang padamu. Mana rumahnya belum rampung. Mengapa tidak kau anggap lunas saja piutanganmu, mulai detik ini?"

Sumarna salah duga .

Herman mendelik. Tetapi terlambat sudah. Tenang dan datar, Saripah mengemukakan pendiriannya:

"Mengenai hutang itu, ia boleh membayar kapan saja ia mau!"

Titik.

Uwa dan paman mereka saling lirik, lantas tersenyum. Sang Uwa bergumam:

"Kukira sudah waktunya kamu pulang."

Paman mereka mengatakan akan tetap tinggal bersama istrinya Untuk berdo'a demi keselamatan mereka semua. Dan membantu apa-apa yang dapat dibantu.

Pertemuan keluarga itu berakhir.

Saripah pergi buang air ke kamar mandi. Lalu kembali masuk ke dalam membuka sebuah pintu tertutup. Noni tertidur lelap diranjang neneknya. Di dekatnya rebah pulas seorang anak laki-laki usia tujuh tahun, keponakan bungsu Saripah. Tak sampai hati mengusik kedua orang anak itu .Saripah memilih tidur di lantai. Di situ sudah tergelar kasur cadangan .

Malam semakin larut

Angin berhembus di luar rumah. Lemah dan berbau pengap. Sudah beberapa hari hujan tak jadi turun. Udara didalam kamar tidur itu sedikit gersang tetapi tidak terlalu menggerahkan. Saripah menelan sebutir pil tidur.

"Arpan-ku, Sayang!"

Ia merintih, lalu berbaring di kasur cadangan.

Pengaruh pil tidur itu segera terasa.

Saripah menghitung mundur: "... 25 -24 23."

Angin keras menerpa jendela tiba-tiba. Saripah membuka kelopak matanya .Menatap kaca jendela .Tirainya agak tersingkap. Gelap di luar. Sinar rembulan merembes masuk. Lemah. tak berdaya

"22 -21 -18-. 12"

Hitungan Saripah mulai kacau.

Mengapa kamar tiba-tiba terasa sangat dingin?

9 -8 -7...

Saripah merasa lemah sekujur tubuh. Kantuk menyerang semakin hebat.

4 -3...

Angin menerpa jendela lagi. Saripah sudah terlelap. Sesuatu tampak mengambang di luar jendela. Dari kegelapan muncul sepasang titik kemerahan. Menyerupai titik api. Semakin dekat ke kaca jendela, semakin berbentuk titik api itu.

Ternyata sepasang mata merah menyala.

Seraut wajah pucat tetapi berkeriput menanggung azab sengsara melayang semakin dekat ke jendela. Noni mulai merengek. Kepala tanpa tubuh di balik jendela, menyeringai seram. Gigi taringnya putih gemerlapan. Lidahnya semerah darah.

Hiihhhh....

sayup-sayup ada desah lirih tertiup angin masuk lewat ventilasi jendela .

Mendadak orang yang sedang mengaji di depan memperkeras suaranya. Orang itu rupanya baru saja disuguhi segelas lagi kopi kental hangat. Tanpa mengetahui apa yang tengah berlangsung tidak jauh dari kamar depan itu.

Di luar jendela kamar tempat Saripah,anak dan ponakannya terlelap, seketika itu juga terlihat gerakan meliuk yang keras. Wajah pucat berkulit keriput itu menjauhi jendela, disertai keluhan

perih. Gaung ayat-ayat suci membuat kepalanya Seakan meledak. Panas bagai bara api. Benda misterius itu terbang tinggi. Hilang di rimbun pepohonan selama beberapa menit.

Kepala itu hinggap di salah satu dahan pohon yang gelap. Sepasang matanya yang merah bersinar-sinar merah. Sel-sel jarum otaknya menggerakkan mulut yang kering hitam, dan memperdengarkan bisikan setajam sembilu:

"Ssssial... saaakit.. nyaaahhh...."

Terdengar bunyi nafas naik turun. Sesak .

Kebanyakan kopi buat orang tertentu dapat menyebabkan ia tetap terjaga .Tetapi untuk orang tertentu pula, justru mendatangkan kantuk lebih cepat. Tak heran kalau suara gaung mengaji dari rumah besar itu kembali merendah dan mulai tersendat-sendat.

Bayangan hitam melesat keluar dari pohon.

Kepala tanpa tubuh itu bermaksud menerobos masuk melalui ventilasi tentu saja dengan melenturkan kepala sedemikian rupa.. ketika ia tertegun. Cahaya yang samar di kamar tidur tadi memperlihatkan tanda-tanda ada orang bergerak di dalam. Wajah di luar, mengintip ke dalam.

Herman sedang mengawasi Noni.

Mengusap-usap rambutnya, supaya anak yang merengek dari tadi itu tertidur kembali. Ia telah mendengar Noni menangis lalu masuk diam diam. Meraba leher anak itu, ia menarik nafas.

"Panas lagi,"

Herman berpikir.

"Demamnya belum sembuh juga rupanya...."

Sel-sel otak di kepala tanpa tubuh yang

mengintip dari luar jendela, menyeringai putus asa. Ia mampu meninabobokkan siapa saja yang ada di kamar itu.

Tetapi Herman...!

Herman duduk di pinggir tempat tidur. Noni sudah terlelap kembali. Namun Herman tak beranjak dari tempatnya. Ia ingin berjaga-jaga, kalau kalau Noni bertambah tinggi suhu badannya.

Wajah di luar jendela, bertambah keriput. Bertambah pucat.

Dengan desahan tajam yang mendirikan bulu kuduk, wajah itu lenyap lagi dalam kegelapan. Tidak menyelinap kerimbunan pohon tadi. Melainkan terus saja melayang di bawah sinar rembulan. Berpindah dari satu rumah ke lain rumah. Lantas memperdengarkan ratapan kematian yang semayup sampai.

Lolong anjing yang lirih, memusiki ratapannya.

Sudah dua malam berturut-turut mangsanya menginap di rumah lain. Dua malam berturut turut banyak orang mengaji di dekat mangsa yang segar bugar itu. Malam ini tidak segegap gempita malam sebelumnya. Tetapi laki-laki yang ada di kamar itu,

hhhheeeeeehhhh!

Bayangan hitam itu terus saja melesat.

Rambutnya yang tergerai lebat dan panjang, berkibar-kibar. Liar. Mata merah menyala semakin ganas.

"Haus! Haus! Aku tak tahan lagi...!"

Terdengar suara merintih kesakitan di antara tiupan angin malam yang dingin membeku.

Lampu belakang salah satu rumah penduduk. tiba-tiba menyala terang. '

Penghuninya sedang bertengkar berbisik, di seling rengekan tak sabar seorang anak kecil.

" aku ngantuk. Harus masuk kerja pagi-pagi sekali. Kau bawalah Jajang ke kakus,"

Suara seorang laki-laki, bermalas-malasan.

"Dasar!"

Berengut suara perempuan. Sambil membopong anaknya keluar menuju pekarangan belakang, perempuan itu menggerutu:

"Dan, kau. Berak tengah malam!"

Mendekati sumur, anak laki-laki yang Juni nanti berusia tiga tahun itu dibiarkan sang ibu berjalan sendiri. Merasa terbebas, anak itu langsung jongkok.

"He. Jangan di sini. Dan buka celanamu dulu!" hardik si ibu.

"Enggak tahan, Mah," jawab si anak satu kata demi satu kata tetapi rangkaian kata itu sangat fasih. Tidak cadel.

Sesuatu melayang di atap.

Anak itu melihatnya.

"Mah?"

Sang ibu yang tengah membukakan celana si anak. mendengus:

"Uh?"

"Ada burung"

"Iya. Burungmu!"

Ibunya tertawa juga, mendengar ucapan si anak.

"Burung!"

Si kecil ngotot.

"Iya-iya..lbu tahu. Ayo, jongkok tuh di sana. Di lubang kakus!"

"Mah,..."

"Katanya mau berak!"

"Bu-rung di...."

"Burung lagi! Burung lagi! Anak nakal, mau berak kagak?!"

Sang ibu mencak-mencak. Mula mula blingsatan marah. Kemudian gerakannya berubah semakin perlahan.

"Cepatlah, Jang." desahnya, lemah.

"Ibu ngantuk nih...."

Lantas perempuan itu menguap. Panjang.

Waktu menguap, lumrah kelopak matanya terpejam. Maka, meski ia tertengadah ia tidak melihat benda aneh kehitam-hitaman meluncur dari atas langsung ke arah mereka. Jajang kecil melihat sepasang mata merah semerah saga. Dasar anak, bukannya takut, ia malah merentangkan kedua lengan untuk menyambut.

"Ke sini... ke sini... ayo!"

Lalu tiba-tiba anak itu dapat menangkap lebih jelas wajah mengerikan yang melayang mendekat. Mata merah menyala. Lidah lebih merah lagi. terjulur-julur keluar. Lalu taring-taring runcing, mengancam.

"Mamaaah!"

Anak itu menjangkau ibunya .

Angin kosong yang terpegang. Rupanya ibunya sudah terkulai di tanah lembab basah. Jatuh tertidur.

Si anak meronta-ronta melepaskan sesuatu yang melekat sangat kuat di lehernya. Saking takut dan terperanjat anak itu tak mampu lagi bersuara. Ia terus bersikutet dengan makhluk yang hinggap di pundak dan merasakan bibir panas memanggang kulit lehernya. Si kecil tidak tahu arus apa yang mengalir sangat cepat dalam tubuhnya. Mengalir naik ke atas semakin banyak dan banyak lalu bermuara pada lehernya. Tangannya yang memegang seonggok rambut hitam panjang makin lemah. Anak itu lantas terkulai.

Kepalanya membentur tepi sumur.

Si kecil terjerembab jatuh. Membawa serta kepala mengerikan yang lengket seperti lintah pada lehernya.

Suara berisik di luar sampai ke dalam rumah. Si laki-laki yang tadi merepeti istrinya. mendengar suara anaknya memanggil:

"Mamaaah!"

Ia berlari keluar. Naluri kebapakan membisikkan sesuatu telah mengancam keselamatan anaknya.

Mendengar suara langkah-langkah kaki di dalam rumah, makhluk yang tengah memuaskan dahaganya itu secepat kilat melepaskan bibir dan sedotan lidahnya di leher si anak. Lebih cepat lagi, melesat tinggi. Terbang menuju rembulan, kemudian sirna tak berbekas.

"Nina? Jajang? Hei, apa yang kalian..?"

Si ayah berlari-lari ke dekat sumur.

Ia menyambar tubuh anaknya dari tanah, memeluknya kuat-kuat dan panik melihat dahi anaknya mengeluarkan darah.

Apakah istrinya telah terluka pula?

"Nina! Nina... he, bangun. Bangun! Mengapa kau tidur di sini?"

Perempuan itu bangun perlahan-lahan.

Kucak kucek mata, lantas menjerit ketika melihat dahi anaknya mengucurkan darah.

"Kenapa dia?"

"Kenapa! Goblok! Dungu! Ibu tak tahu diuntung! Tidur tak pandang tempat. Lihat. Lihat anakmu! Kau biarkan ia jatuh terpeleset...!"

Beriring-iringan mereka lari ke dalam rumah.

Si kecil dibaringkan di tempat tidur. Luka di dahinya dibersihkan. Dicuci dengan air garam. Lalu dikasih obat merah .Dipoles minyak jelantah .Setelah

itu lukanya diperban dan ditutup dengan plester. Sang ibu tak henti-hentinya menangis gegerungan.

Ayah si anak tak perduli.

Ia membuka semua pakaian anaknya. Memeriksa kalau-kalau ada luka yang lain. Setiap jengkal ia teliti. Termasuk leher. Leher anak itu agak merah, namun tidak tampak bekas luka. Mungkin terbentur pula, pikir si ayah dan menggosok leher anak itu pakai minyak angin.

Beberapa menit kemudian, si kecil meringis. . Mulutnya terbuka:

"Bu... rung..."

Ibunya menjerit lagi.

"Dari tadi ia mengatakan..."

"Diamlah!" bentak si suami.

"Kau dapat membangunkan tetangga dengan jerit tangismu yang memalukan itu. Bantu aku memasangkan baju si Jajang."

"Badannya panas sekali,"

Si istri berdesah cemas selagi memasangkan pakaian bersih ke anak laki-lakinya.

"Tenanglah. Besok juga ia sembuh."

"Kita bawa saja ke Puskesmas...."

"larut malam begini?"

Si suami mengeluh. Ia perhatikan anaknya dengan perasaan iba.

Jajang masih mengerang-erang, tetapi sudah mulai tidur.

Menjelang pagi suhu badannya menurun. Dan ibunya tidak heran ketika anak itu mengigau:

"Ada bu-rung.... Burung naga...."



*****



Sembilan



Hujan bagai tercurah dari langit.

Lalu lintas di luar bar tampak sepi. Lengang. Saat itu Sabtu siang, akhir minggu kedua bulan Januari. Seorang pejalan kaki lari menghindari terpaan badai. Tempat berteduh terdekat cuma bar itu. Ia masuk dengan pakaian basah kuyup.

Dari mejanya, Laila memperhatikan pria itu berdiri bimbang di ambang pintu. Tidak segera mencari tempat duduk. Mata si pria berpindah pindah mengawasi tempat macam apa yang ia masuki. Tampak pria itu risih menghadapi suasana eksklusif dalam bar yang berperabotan serba mewah. Di sepanjang lemari rak makanan serta minuman tercium bau serba mahal.

Untuk orang berpenampilan sesederhana dia, mungkin kurang tepat masuk ke tempat serupa itu. Pertengahan bulan begini.

Namun toh ia mengambil tempat duduk juga. Dekat pintu.

Pelayan segera mendatangi. Melirik tak senang ke lantai di sekitar pria itu. Lantai itu digenangi air yang jatuh dari celana maupun

sepatu si pria.
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pesan apa, Bung?" Bukan:

"Pesan apa. Tuan?"

"Teh manis."

Laila terkejut. Tangannya ada yang menjamah. Ketika berpaling ia lihat senyum kecil bermain di bibir Sumarna.

"Oh,"

Laila mengeluh.

"Kau melamun dari tadi," bisik Sumarna, lembut.

"Pria itu bukan tipemu. Aku tak cemburu. Karena tahu kau menjadikan kehadiran pria itu sebagai pelarian dari kegelisahan hatimu."

"Kau banyak omong. Nana."

"Karena belakang ini kau semakin pendiam."

Sumarna menusukkan sinar matanya yang tajam langsung ke bola mata Laila.

"Matamu pudar sekali. Tak bergairah."

"Sejak dari rumah sudah kubilang. Aku tak enak badan," kata Laila getir.

Ia dekatkan sloki Martini ke bibirnya yang kaku. Meneguk kaku pula. Kerongkongannya terasa hangat. Tetapi hatinya tetap dingin. Membeku.

"Kekeliruan apa yang telah kuperbuat, Laila?"

"Tak ada."

"Tetapi tampaknya kau tengah berusaha menjauhi aku...."

"Ah!"

Laila meletakkan sloki minumannya. Beralih pandang keluar jendela yang basah. Tak satu apapun yang mampu ia lihat .Matanya nanar. Nanar sekali. Dalam cuaca seperti ini ia ingin sendirian. Ingin berkurung di kamarnya .Tetapi Sumarna tidak bersalah. Waktu mereka meninggalkan rumah Laila, cuaca masih cerah.

"Laila?"

"Mmm...."

"Apa yang ada di benakmu yang sebeku salju itu?"

Suara Sumarna lembut. Namun tusukannya tajam. Mengiris-iris. Laila tetap saja menatap ke luar lewat jendela yang ditetesi butiran-butiran air hujan.

Di benakmu yang sebeku salju!

Lebih dua tahun ia bergaul intim dengan Sumarna. Hanya kemunafikan saja yang ia lakukan, ucapkan, berikan pada Sumarna. Sedang pemuda itu begitu tulus hati. Dua tahun lebih. Dan Sumarna terlalu tulus hati untuk menyadari bahwa Laila telah keliru melangkah sejak semula

"Aku...."

Laila meneguk habis minumannya, untuk menggapai keberanian yang hampir pergi kabur.

"Aku harap kau tidak berprasangka buruk."

Ia berbisik getir.

Sumarna tercenung.

Menikmati deburan jantungnya yang lebih keras dari biasa .Kenikmatan paling akhir. yang akan ia pilih.

"Haruskah aku berjanji?"

Laila diam.

"April nanti aku tepat 30 tahun,"

Sumarna berkata Di bathin: dan Laila baru 21. Itukah sebabnya?

Sumarna menelan ludah

"April nanti. Itulah maka kupilih pernikahan kita berlangsung pada bulan yang sama. Kuanggap sebagai hadiah ulang tahun. Paling indah. Mungkin juga paling buruk: April nanti aku berhenti membujang,"

Sumarna tertawa lunak.

Tapi segera tawanya ia tahan, manakala dilihatnya wajah Laila berubah pucat. Gadis itu menggigit bibir dengan keras.

"Laila?"

Sumarna menggenggam tangan kekasihnya .

"Ulang tahunmu harus tetap dilangsungkan. Nana." ujar si gadis.

Tersendat.

Makin keras deburan jantung Sumarna.

Ulang tahun. Hanya ulang tahunnya.

"Bagaimana dengan hadiahnya?"

Ia bertanya hati-hati. Dan tiba-tiba sadar, pertanyaan itu mestinya ia simpan untuk dirinya sendiri. Karena ia sudah meraba jawaban Laila.

"Kita tunda saja. Oh, Sumarna!"

Dengan berlinang air mata, laila berpaling menatap pemuda di sampingnya.

"Aku tidak bermaksud mengucapkannya. Aku...."

Wajah Sumarna tegang.

"Kau telah mengucapkannya!"

Ia merintih. Dengan emosionil ia lepaskan tangannya dari genggaman Laila. Ia ingin membalikkan meja di hadapannya. Ingin menyambar sebuah kursi dan melemparkannya ke jendela. Denyut jantungnya bagai terhenti. Dan ia masih tetap hidup. Masih tetap bernafas.

Atau sekedar mimpi celaka belaka?

Ujung kakinya ditekan kuat ke ujung sepatu.

Sakit.

Sumama tidak sedang bermimpi.

"Sumarna?"

Laila menatap cemas.

Sumarna diam.

"Ayolah. Kita pulang saia. Ah, ah. Bukan pulang."

Laila kalang kabut sendiri.

"Maksudku, kita teruskan niat kita. Nonton. Film apa tadi? Di bioskop mana? Apakah kita belum terlambat.?"

Sumama berdiri.

Ia berjalan dengan kepala tegak ke pintu. Terjengah, Laila membuka tas. Tanpa menghitung lagi. ia letakkan beberapa lembar uang di meja mereka lantas berlari mengikuti Sumarna. Waktu ia lewat, tanpa sengaja menyenggol meja dekat pintu. Meja tergetar. Gelas berisi teh manis di meja itu, tumbang. isinya tertumpah membasahi kemeja pria yang duduk di belakang meja itu.

Pria itu diam saja .

"Orang-orang kaya. Biasa,"

Ia mengeluh dalam hati. Di mobil, Sumarna menjauhi setir. Terlintas dalam benaknya:

Mengapa aku masuk ke mobil ini.

Inikan mobil dia!

Tetapi Laila sudah memegang kemudi. memutar kunci kontak dan mobil itu pun melaju ke jalan raya yang licin dan basah. Mobil melaju tak tentu arah. Dan Laila memegang kemudi dengan hidung terisak-isak.

"Nana. Bicaralah. Bicaralah. Katakanlah apa saja jangan membuatku tersiksa begini," tangis Laila.

"Kalau bulan April buatmu sangat...."

"April,"

Mendadak Sumarna buka mulut.

Denyut jantungnya sudah terasa lagi.

"Ya, Nana? Ya? Ya?"

Sumarna mengawasi jalan kelabu di depan mereka. Jalan yang diterpa hujan badai habis habisan. Dan Sumarna tidak ingin berhabis habisan, ia mencintai Laila. Sesungguh hati. Setelah April, masih ada bulan-bulan lainnya

"Jangan berzig zag," ia coba tersenyum.

"Bisa membahayakan kita."

"Aku gugup, Nana."

"Tenanglah."

Mobil melaju lebih perlahan sekarang.

Sukar sekali melakukan hal yang sama dengan jiwa kita sendiri!

"Tidak marah lagi?"

Laila melirik.

"Aku berhak kau damprat, Sumarna." .

"Marilah kita bersikap dewasa," kata Sumarna.

"Sebentar tadi, aku sempat jadi anak kecil yang tolol. Akulah yang pantas didamprat, Laila."

"Aku gembira mendengarnya,"

Laila menarik nafas lega.

Heran. Terpaan hujan perlahan-lahan ikut pula mereda. Betapa senangnya.

Tetapi, bukankah sudah waktunya bersenang-senang?

"Laila?"

"Aku masih di sini, Nana."

"Boleh kugenggam tanganmu?"

"Kok lucu!"

Laila tertawa. Tawa munafik yang sama selama dua tahun lebih.

"Ambillah,"

Ia ulurkan lengan kirinya yang segera disambut Sumarna dengan genggaman kuat. Tangan pemuda itu terasa panas dan gemetar. Bibirnya ketika mencium tangan Laila, lebih panas lagi. Lebih gemetar. Laila hampir menangis kembali. Tetapi ia sudah lama bermain sebagai aktris kawakan.

"Hai. Hai. Jangan dihabiskan sekarang!" katanya dengan tawa berderai.

Sumarna justru menggigit.

"Au!"

Laila terpekik. Manja.

"Bulan apa, Laila?"

Kembali Laila terpekik. lebih keras. Kali ini, dalam hati.

Bulan apa?

Tentu saja. Kalau bukan April, lantas bulan apa?

Laila hampir gila memikirkan jawabannya.

Ajaib, justru pertolongan datang dari mulut Sumarna:

"Baiklah. lain kali saja kita rembukkan mengenai bulan apa yang paling cocok pernikahan kita dilangsungkan...."

Sumarna diam sejenak. Kemudian:

"Akulah penyebabnya, laila?"

"Penyebab apa, Nana?"

"Kau mundur."

"Sudah kubilang, tidak."

"Ibumu? Papamu?"

"Mereka menyenangimu. bukan? Apalagi selama ini sudah kau buktikan sendiri. Papa memperlakukan kau bagai anak kandung sendiri...."

Laila tersenyum manis. Ia ingat papanya. Yang tak beruntung punya anak laki-laki. Ia ingat pula hutang budi papanya, yang tak pernah ter-balaskan. Menerima kehadiran Sumarna, hampir-hampir jalan keluar satu-satunya.

Setelah lama terdiam, Sumama berkata bingung:

"Kalau begitu, tinggal dua hal penyebabnya. Laila."

"Oh. ya?"

"Satu. Kematian yang susul menyusul dalam keluargaku."

Sumarna bergumam murung. Laila terpaksa mengusap paha pemuda itu, untuk menentramkan hatinya.

Ujar Laila bersimpathi:

"Semua orang akan mati juga. Nana."

"Tidak dengan cara Arpan mati. Cara ibuku mati."

"Duh. Nana. Mengapa kita tibak ngobrol soal lain saja. Misalnya...?"

"Kematian yang mengerikan. Dengan sejuta

desas desus yang lebih mengerikan lagi,"

Sumarna berkata tak perduli.

"Itulah sebabnya, Laila? Desas desus tentang kutukan masa silam? Tentang roh jahat yang meminta tumbal?"

"Hentikan!"

Laila menggigil.

"Kau membuatku takut, Sumarna."

Laila membelokkan mobil. Membelokkan begitu saja ketika ia bertemu simpangan tanpa punya tujuan tetap. Lanjutnya:

"... setiap orang menanggung dosa dosanya sendiri. Persetan dengan dosa turunan! Dan roh jahat. Roh jahat hanya ada di film-Film horror!"

"Itu pendapatmu sendiri?"

"Aku. Dan mama. Dan papa,"

Laila meyakinkan.

"Jadi hentikan saja omong kosong yang tak sedap itu. Kau punya dua kemungkinan. bukan?"

"Ah. Ya. Sebab kedua kau menunda perkawinan kita. Kau kecewa. Mamamu kecewa. Papamu kecewa!"

"Terhadap apa?"

"Penolakan Herman!"

Laila tergetar. Aneh, masih mampu ia tertawa. Ujarnya:

"Aku tahu apa maksudmu. Herman tidak menolak. Bisnis yang ditawarkan ayah, tetap diterima Bang Herman. Selama masih dalam batas batas kewajaran. Lalu...?"

"Awas!"

Sumarna berteriak.

Laila membanting setir ke kanan. Mobil zig zag dengan keras dan hampir saja membentur tembok di pinggir jalan. Tetapi dengan terampil Laila berhasil juga menguasai kemudi. Laju mobil terkendali. Laila menghela nafas panjang. Melirik pucat ke kaca spion. Lantas mengumpat:

"Anjing. Cuma anjing. Kukira orang yang menyeberang." "

"Anjing juga makhluk Tuhan. Laila."

"Syukur kau peringatkan,"

Laila berterimakasih.

"Kau lihat anjing itu tadi? Hitam sekali. Dari kepala sampe ke kaki. Aku tak suka warna serba hitam begitu. Mengingatkan aku pada Suasana dukacita di pekuburan."

"Kau membenci upacara kematian?"

"Benci sekali!"

"Kalau begitu, semoga aku yang lebih dulu mati sebelum kau.-."

Sumarna tertawa geli.

"Jadi kau tidak harus membenci upacara penguburan jenasahku!"

"Sudah! Sudah!"

Laila mendengus. Dongkol.

"Tak baik omong sembarangan. Bisa termakan sendiri."

"Kata siapa?" _

"Moyangku."

"Tetapi aku tetap berharap. aku lebih dulu mati dari kau. Jadi, aku pun tidak harus menghadiri pemakamanmu. Bila kau meninggal dan aku tetap hidup, aku lebih suka terjun bersamamu ke liang kubur. Agar roh kita...."

"Nana...!"

Laila merajuk.

'Tak usah jengkel,"

Sumarna tertawa renyai.

"Aku cuma ingin mengalihkan pikiranku yang sedang kusut ini."

"Semua akan berjalan lancar. Nana"

"Mestinya begitu. Tetapi Bang Herman memang keterlaluan. Niat baik papamu ikut andil membangun rumah Bang Herman secara tak langsung, ditolaknya mentah-mentah. Aku lantas berpikir saudaraku itu memang orang tak berperasaan!"

Coba Herman mendengarnya, pikir Laila.

Dan Laila sakit hati.

"Laila..."

"Hem?"

Suara Sumarna terdengar serius:

"Kau tega membiarkan aku nanti malam tidak bisa tidur?"

"Eh. Apa pula ini?"

"Semua dugaanku menurutmu salah. Tak ada satu pun yang benar. Kalau demikian, mengapa tidak kau sendiri yang mengatakan?"

"Mengatakan apa, Sumarna?"
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Penundaan waktu."

Sumarna melihat ke sepanjang jalan yang mereka tempuh. Rumah rumah penduduk, kebun, petak-petak sawah yang menghampar, sungai yang mengalir deras.

"Kulihat saat ini kau pun dengan sengaja mengantar aku langsung pulang ke rumahku. Aku cukup dewasa untuk tidak berbuat hal-hal yang diperbuat pemuda lainnya yang sedang patah hati. Tanpa kau antarpun."

"Kau masih mempersoalkan itu!"

Laila mulai jengkel.

"Sepanjang kau tidak memberitahu masalah sebenarnya, Laila. Aku tidak ingin jadi pecundang tanpa punya kesempatan membela diri."

"Tadi kau sudah setuju melupakannya."

"Soal rembukan waktu, memang. Mengenai sebab musababnya, tidak."

"Oh,"

Kelopak mata Laila bengkak rasanya.

"Rumahku sudah dekat. Laila. Kemudian kaupun akan segera pulang. Dan seperti biasa, semenjak ibuku meninggal. Kau enggan kuajak kencan. Senyummu pun sangat mahal. Apa salahnya berbuka-buka kartu sekarang saja. Laila?"

"Kau... kau marah lagi."

"Maaf."

"Sebentar tadi kita Sudah berbaikan,"

Laila menggigit bibir keras-keras.

"Belum pernah kau seperti sekarang. Tidak berpendirian..."

"Aku ingin tahu, Laila. Itu saja."

"Jangan mendesak aku, Nana."

"Oh. Oh. Bukankah kau yang memulai di bar tadi?"

Sepasang mata Sumarna tampak menggelap. Tarikan mukanya membuat Laila merasa takut. Selama tiga hari terakhir ini ia sudah menduga akan mengalaminya. Tetapi Laila tidak dapat menunggu berlama-lama. April memang masih tiga bulan lagi. Namun itu terlampau singkat untuk merelakan masa depannya terancam.

Ancaman itu semakin jelas terukir ketika belum lama berselang ia duduk di pinggir jendela ruang kuliah dan melihat mobilnya masih belum beranjak dari gerbang fakultas. Ia tahu apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran Herman. Keyakinan Laila semakin kuat setelah ia pergi ke mobil itu dan menyaksikan sendiri betapa sakit mata Herman. Dua tahun laila ingin menikmati pemandangan itu. Atau, tiga tahun?

Lalu ketika saat yang ia nanti-nantikan itu datang juga, datangnya sudah terlampau kasip.

April!

Betapa singkat dan mengerikan. Betapa ingin Laila, agar rencana pernikahan yang Sudah ia setujui itu hanya sekedar mimpi.

Kecewa oleh kebungkaman Laila, menusuk hati Sumarna.

'Terimakasih aku kau antar pulang,

Dan sebelum Laila tersadar apa makna ucapan itu, Sumarna menegaskan:

'Tak usah sampai ke rumah!"

"Nana!"

Laila tersentak.

"Berhentilah. Sebelum aku meloncat keluar." kata Sumarna.

Tenang dan datar.

Tapi menyakitkan.

Sorot mata Sumarna tidak ingin dibantah. Perpisahan yang aneh. Laila membiarkan Sumarna turun, memutar mobil dan kembali menempuh arah ke kota. Tak seorang pun mereka berdua yang ingin berpaling ke belakang. Laila juga sudah lama menanti-nanti saat semacam ini tiba. Cuma tak menduga datangnya secepat itu.

Semasih pacaran. boleh saja Laila bersikap munafik.

Begitu akad-nikah diucapkan kemunafikan itu harus dibunuh. Dan Laila tidak akan pernah mampu melakukan pembunuhan paling tersadis itu: membunuh kemunafikan.

Kaki melangkah. Dagu terangkat. Sumarna berjalan terus. Kepalanya gegap gempita.

Mengapa?

Sumarna tidak akan memperoleh jawaban pertanyaan itu sampai kapanpun juga. Karena ia memilih kuliah di jurusan ekonomi. Coba, andaikata Sumarna memperdalam psikologi. maka ia akan tahu.



******



Sepuluh



Diam di rumah malah membuat bathin semakin tertekan. Memang ada kerabat yang masih tinggal atau baru datang dari tempat jauh untuk menyatakan belasungkawa yang.

"Semoga belum terlambat, Anakku."

Sumarna mengenal mereka dengan baik. Tetapi tidak sebaik ia mengenal ibunya, Herman dan Saripah. Mungkin kesalahannya sendiri. Jarang bergaul. Kurang pula berkunjung. .

Jadi Sumarna menganggap rumah itu tetap kosong melompong. Dan memuakkan: seorang tua nyinyir tidur di bekas ranjang ibunya. Dan tiga anak tanggung berlari-larian dari satu ke lain ruangan dengan suara riuh rendah. Ia pergoki pula seorang perempuan tetangga di dapur, telah bergunjing dengan salah seorang kerabat. Pantas Herman tak betah di rumah. Abangnya itu tentu minggat ke kota. Melarikan kegundahan hati dengan berkumpul bersama teman-temannya di pangkalan tempat jual beli kendaraan bekas itu.

Ataukah Herman sedang mengunjungi Saripah?

Ah, ya. Mengapa ia tidak berbuat sama. Kalaupun nanti Herman tidak ada di sana, paling mis Saripah mau diajak bertukar pikiran. Ia mungkin terlalu membabi buta selama bersama Laila tadi. Dan Saripah barangkali dapat memberi petunjuk. Siapa tahu, dapat pula menebak apa gerangan yang menyebabkan perilaku Laila berubah drastis dan menganggap bulan pernikahan yang sudah demikian matang dimasak, tak lebih dari April mop.

Sumarna lalu minta maaf dan pamit pada satu dua orang tamu yang ia anggap patut dihormati. kemudian berjalan keluar. Pintu terbuka lebar. Tidak ada benda apapun yang menghalangi. Lantai bersih. Tidak licin. Malah agak kotor berdebu bekas banyak kaki keluar masuk.

Ketika melalui pintu. toh Sumarna terpeleset.

Tanpa sebab.

Salah seorang tamu segera mendekati Sumarna dan membantunya berdiri.

"Kau cidera?"

"Syukur tidak. Oom," sahut Sumarna bingung sesudah memeriksa kaki maupun tangannya dan sia-sia mencari sumber gara-gara ia sampai terjerembab.

"Sudahlah. Tinggal di rumah."

"Aku mau ketemu Ipah, Oom."

"Lebih baik batalkan saja. Nak."

"Kenapa?"

'Yang barusan kau alami. Oom rasa. itu pertanda buruk. Tak baik meneruskan perjalanan sekarang. Dan aku lihat -hari mendung pula. Hujan akan turun lagi."

"Dekat kok, Oom," rungut Sumarna lantas berlalu dengan kesal.

Tentulah oom-nya itu sudah mendengar banyak gunjingan para tetangga. Cuma terpeleset. Dan dia bilang, pertanda buruk.

Huh!

Namun satu hal oom-nya benar.

Hujan deras tiba-tiba turun tanpa pemberitahuan. Sumarna ribut mencari tempat berteduh. Ia bersyukur hujan turun pas ia lewat di depan rumah Herman yang masih terbengkalai itu. Tidak berpikir dua kali, Sumarna langsung masuk ke halaman dan berlindung di keteduhan beranda. Angin menerpa mukanya dengan keras disertai butir-butir air hujan. Sumarna mundur, memasuki ruang tamu yang menganga karena belum diberi pintu dan kaca jendela.

Ia menggigil kedinginan.

Mengumpat diri sendiri, tidak menuruti petuah oom-nya. Dan semua ini gara-gara Laila Hem. hem. Gara-gara memikirkan Laila pulalah ia tadi terpeleset di pintu rumah. Omong kosong dengan pertanda buruk. Tetangga usilan yang suka bergunjing itu akan ia damprat suatu hari .

Dan Sumarna tertegun.

Diam mendengarkan.

Suara samar yang tadi menyentuh gendang telinganya, terdengar semakin jelas. Krasak-kresiiikk Uff-ufff, duuk-duk-duk. Krasak kresiiikk.

Apakah ada orang sembunyi di para?

Atau tikus mengorek sesuatu?

Sumarna tengadah. Ia tidak menemukan apa yang ia cari.

Angin kencang bertiup lebih ribut.

Hujan kian membadai. Kalau tak salah masih sekitar pukul tiga. Masih siang. Tetapi mendung gelapnya bukan main. Pekat, menjemukan.

"Kreeesaaak...!"

Sumarna memutar tubuh.

Suara asing itu datang dari ruangan dalam yang teram-temaram.

Anjing nyasar?

Tanpa curiga apa-apa, Sumarna melangkah hati-hati memasuki ruang dalam. Suasana di situ mestinya lebih hangat. Ternyata jauh lebih dingin. dan berbau sedikit aneh. Ia sukar menebak.

Bau harumkah itu?

Atau bau busuk?

"Kresaaak, ufff."

Sumarna menyerbu masuk. Mau berteriak:

"Anjing buduk, enyahlah!"

Seketika itu juga ia terpaku. Dengan mulut mangap menahan teriakan yang tak jadi keluar. Seseorang yang tengah membungkuk di lantai tanah, bangkit berdiri. Sama terperanjatnya seperti Sumarna. Di remang remang cahaya sekitar rtaangan itu, terlihat sangat kontras gaun panjangnya yang berwarna putih. Atau barangkali krem. Ia berkulit kuning langsat. dengan wajah mempesona dan rambut hitam panjang tergerai di depan dua bukit dadanya yang mencuat penuh.

"Sss... siapa... kau?"

Perempuan itu berbisik.

Sumarna menghirup udara segar dan mengisi rongga dadanya dengan udara itu, supaya terasa lebih ringan dan lapang.

"Mestinya pertanyaan itu aku yang mengajukan," ia mencoba tersenyum, namun tetap bersikap waspada.

Ekor matanya mengintai ke sekitar dan segera mengetahui kalau perempuan itu cuma seorang diri.

Seorang diri.

Muda belia Elok rupawan pula!

"Apa kerjamu di sini?"

Sumarna memperdengarkan suara keras menghardik biarpun sesungguhnya ia ingin bersikap lembut ramah.

"Aku... aku kehujanan,"

Gadis itu mepet ke tembok bata.

"Siapa kau?"

"Sumarna. Aku adik pemilik rumah ini. Dan kau?"

"Oh. Jadi kau adik pemilik rumah ini,"

Samar samar senyum si perempuan mengambang di bibirnya. Meski gelap, tergambar jelas bibir kecil mungil, ranum kemerah-merahan. Sepasang bola matanya yang bundar bersinar terang benderang. bagai kerlip bintang kejora di langit kelam.

"Maaf. Aku masuk tadi tanpa permisi"

"Hem. Tak apa,"

Sumarna mendekat.

Gadis itu semakin rapat ke tembok.

"Jangan takut,"

Senyum Sumarna, mulai tertarik pada kecantikan dan cara berpakaian serampangan gadis itu sehingga tak tahu kalau kancing atas gaunnya terlepas memperlihatkan bundaran payudaranya yang seputih salju. Pandangan Sumarna kemudian beralih ke tanah. Lantas bertanya heran:

"Kau yang membuat lubang besar ini?"

"Aku... eh, iya Aku."

Suara gadis itu terdengar gelisah.

"Buat apa?"

"Yah... Sekedar pengisi waktu saja. Menunggu hujan reda."

"000. Rumahmu di mana?"

"Di sini. Eh... maksudku tak jauh dari sini."

"Aku tak pernah melihatmu,"

Sumarna menyimak perempuan itu dari ujung rambut ke ujung kaki. Gadis itu telanjang kaki. Tangan yang satu dipergunakan menutupi dadanya yang setengah terbuka. Tangan lain mencengkeram bagian bawah gaun yang ia pakai. Rupanya ia mencoba menguasai ketakutan dengan cara begitu, pikir Sumarna. Tak sadar si gadis, kalau perbuatannya menyebabkan gaunnya sedikit terangkat, memperlihatkan betis putih mulus dan panjang semampai.

"Aku dari tempat lain." ujar si gadis.

"Bibiku sudah lama tinggal di sini...."

Gadis itu membelalak ngeri waktu angin topan membuat atap genteng di atas mereka berderak-derak. Beberapa tetes hujan jatuh menimpanya. Saking terkejut gadis itu terlonjak ke depan. Jatuh dalam pelukan Sumarna.

'Tenang sajalah" bujuk Sumarna melihat bayangan ketakutan di wajah si gadis.

"Sebentar juga reda. Kau akan kuantar pulang."

"Tetapi aku takut."

'Tak perlu takut. Kau tak akan...."

"Dingin sekali. Aku tak tahan."

Gadis itu menggigil dalam pelukan Sumarna.

'Hiii, dingin sekali."

Sumarna merangkul gadis itu rapat ke tubuhnya. Dada mereka menyatu.

Hangat. Berapi-api.

"Neng,..."

"Mmh?"

Si gadis tengadah.

Sumarna tergagap jadinya. karena wajah mereka begitu rapat. Hendusan nafas gadis itu malah terasa hangat menyapu pipinya. Setengah bermimpi, Sumarna bergumam:

"Jadi namamu Neng Atau Neneng ya?"

"Terserah kau saja. Mau panggil apa,"

Gadis itu tersenyum untuk pertama kali. Senyum yang memabukkan. Tanpa menjauhkan wajahnya pula.

Dada Sumarna meledak-ledak Kelelakiannya menuntut penyaluran hasrat yang tidak terkendali.

Selintas terbayang di matanya wajah Laila.

Ia bimbang.

Lalu terngiang ucapan Laila:

"Kita tunda saja...."

"Apa yang kau pikirkan?"

Si gadis berbisik Lirih.

Sumarna terkejut. Menyahut seenak perut:

"Kau."

"Aku? Kenapa?"

Mulut gadis itu setengah terbuka. Memperlihatkan lidahnya yang lembut basah kemerah-merahan.

"Kau cantik," bisik Sumarna gemetar.

"Aku... aku ingin menciummu."

Gadis itu menaikkan tumit.

Bibir mereka bertemu.

Perasaan mabuk Sumarna menyerang semakin hebat. Ketika tubuh mereka berdua pelan pelan meluncur turun dan bersimpuh di tanah masih tetap saling berpelukan, dengan kedua pasang paha saling bersilang, lengkaplah sudah perasaan itu. Sumarna tenggelam dalam birahi mabuk kepayang.

"Oh. Jangan-.." gadis itu berbisik ketika Sumarna meremas payudaranya yang semakin terbuka.

"Jangan," katanya. tetapi tidak ada usaha penolakan pada pisiknya. Malah penerimaan yang pasrah. Gadis itu merintih pelan.

Sesuatu yang sangat diingini Sumarna dari Laila tetapi dengan teguh dipertahankan gadis itu, menjelma dalam benak Sumarna yang sudah kehilangan akal sehat itu.

"Aku menginginimu," ia berbisik di telinga si gadis,

"Ohhh,"

Gadis itu merangkul lehernya.

"Aku akan bertanggungjawab..."

Sumarna bergumam setengah gila manakala ia rebahkan gadis itu dipermukaan tanah berpasir dan dengan gerakan kasar tak sabar menanggalkan kain penutup si gadis.

Pasrah. Benar-benar pasrah perempuan misterius itu.

Sumarna tak tahu apa sebabnya. Dan ia tak mau tahu. Ia berbuat dan bekerja mengikutkan naluri seksuilnya yang menggebu-gebu. Pun juga ia tidak tahu kalau kulit tubuh mulus yang menyatu dengan tubuhnya perlahan-lahan berubah warna jadi coklat kemudian lebih hitam. Sumarna terpejam menghayati senggama itu seutuhnya.

Tidak perduli, bagaimana rambut hitam panjang itu sirna begitu saja.Tinggal kepala gundul. Dan kepala itu pun coklat kehitam-hitaman. Tampak denyut-denyut lemah yang makin lama makin kuat. Itu bukan denyut dari ubun-ubun, melainkan denyut dari keseluruhan kepala yang kemudian berubah bentuk.

Atau, tanpa bentuk.

Kecuali bulat memanjang, seperti juga seluruh anggota tubuhnya yang dengan cepat sekali saling bertaut untuk mengikuti pembentukan wujud sesungguhnya.

"Kok seperti memeluk bantal guling." pikir Sumarna mulai tergugah.

"Dan eh, dinginnya Licin pula lagi. Eh. eh, makin mengecil _ hai. Apa ini yang menggeliat di pahaku? Dan apa yang merayapi dadaku. Hei.."

Sumarna membuka matanya lebar-lebar.

Ia tidak melihat perempuan itu.

Yang ia saksikan. hanya makhluk mengerikan yang merayap sepanjang perut sampai ke dadanya. Sumarna pun terbadai, lantas menjerit setinggi langit.

Lalu sesuatu yang lunak licin, menghunjam ke jantungnya.

Lalu menghirup darahnya.

Buas.

Baru esok paginya mayat Sumarna di ketemukan orang dalam keadaan tidak saja bugil. tetapi dengan lubang menyeramkan di dada.



*****



Pagi hari yang sama Herman dijemput Saripah lagi ke percetakan. Setelah mengambil alih kemudi dari tangan Saripah yang pucat lesi, Herman tancap gas ke rumah sakit.



"mengapa tidak kau bawa serta Bi Ijah?"

"Aku panik," bisik Saripah gemetar seraya mendekap bayinya rapat ke dada.
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku panik. Aku hanya ingat'. Noni harus kubawa ke rumah sakit."

"Bagaimana kau menyetir dari rumah?"

Saripah diam saja. ia sendiri tidak pernah ingat bagaimana ia dapat mengendarai mobil dengan satu tangan memegang kemudi dan satu tangan lagi merangkul Noni.

"Syukurlah kau mampir ke percetakan," ucap Herman.

"Dan lebih penting, syukurlah kau dan anakmu selamat,"

Ia mengawasi bayi dalam dekapan adiknya

"Bagaimana terjadinya?"

"Seperti dulu. Dan ah. sejak aku kembali dari rumah ibu ke rumahku. peristiwa itu berulang lagi. Noni menjerit-jerit. Tubuhnya panas sekali. Tadi malam, setelah dinina bobokkan Bi Ijah ia mau tidur. Setelah kuberi obat, panasnya turun. Lalu tadi. suaranya begitu lemah. ia tak mau diam. Dan obat habis."

Herman bergidik.

Gidikannya baru reda setelah Noni ditangani dua orang dokter di rumah sakit. Noni dibantu dengan transfusi darah yang tampaknya cukup banyak. Saripah terus saja menangis hingga Herman sibuk mendiamkannya sambil menjawab sejumlah pertanyaan dokter.

Mereka berdua diajak ke kamar pribadi salah seorang dokter itu.

Setelah duduk berhadapan dan tangis Saripah mereda, dokter berkata dengan nada menghibur:

"Tidak usah cemas. Anak anda tidak menderita kelainan apa-apa."

"Tetapi kulitnya, Dokter?"

Herman mendesak.

"Sudah tidak asing buat kami. Kulit pucat, kering. Itu biasa. Bung Herman. Gejala kurang darah."

"Parah benarkah dia."

"Mungkin harus diapname. Paling lama, besok pagi sudah dapat kalian bawa pulang. Tak ada yang perlu dikuatirkan..."

Dokter tersenyum, namun membathin di hati:

"Benarkah tidak ada? Bagaimana sampai bayi itu kehilangan cairan tubuh sedemikian banyak, tanpa terluka?"

Zuster masuk tiba-tiba.

"Saudara Herman?"

Herman berpaling.

"Ya?"

"Ada telepon."

Herman dan Saripah bertukar pandang. Saripah pucat pasi lagi. Herman menoleh pada dokter dan berkata:

"Boleh melihat Noni"

"Silahkan."

Herman memaksa Saripah pergi mengikuti dokter menuju tempat Noni dirawat dan sedang diberi transfusi. Ia sendiri lantas menguntit di belakang suster tadi menuju kantor bagian perawatan anak-anak. Tangan Herman gemetar ketika memegang gagang telepon.

"Halo?"

"Nak Herman?"

"Ya. Ini siapa?"

"Joko."

"Eh, Pak Lurah. Kukira siapa. Aku sedang...."

"Ngiiing...."

Telinga Herman berdenging nyaring.

"Lurah Joko. Mengapa? Ada apa, Pak Lurah? Darimana

bapak menelepon? Kok bapak tahu aku ada di sini?"

Ia mengajukan serentetan pertanyaan dengan bernafsu.

"Segeralah pulang."

"Pak Lurah?"

Herman mendesak

"Baiklah. Aku mencari kau ke rumahmu. Tapi tak ada. Lalu aku ke rumah adikmu. Dari pelayannya aku tahu kau ke sini. lantas...."

"Lantas?"

Herman merasakan sekujur bulu kuduknya merinding.

Arpan sudah.

Ibunya sudah.

Siapa sekarang?

"Sumarna,"

Sayup-sayup ia dengar suara lurah di seberang sana. Ia tidak mendengar lagi lanjutannya. Telepon di tangan Herman lepas begitu saja. Jatuh dan tergantung di antara meja dan lantai kantor. Ia tegak mematung.

Dengan wajah kelabu.

Lalu, mendadak patung itu hidup kembali dan terbang ke pintu.



*****



Pada saat itu Hakim Saroso sedang berdiri tegang menghadap ke jendela. Matanya suram.

"Mengapa kami tidak kau beritahu sebelumnya?"

Ia mengeluh, getir.

Laila yang berbaring di ranjang dan yang rambutnya sedang diusah-usap penuh kasih sayang oleh sang ibu, menangis lagi.

"Maafkan aku, Papa,"

Ia menjawab tertata-bata.

"Niat buruk itu tiba-tiba saja muncul di kepalaku...."

"Memutuskan hubungan dengan Sumarna.

"Hem!"

Tubuh Hakim Saroso semakin tegang.

"Anak kita tadi bilang, hanya menunda, Mas,"

Ibu laila mengingatkan.

"Apa bedanya?"

"Banyak."

"Banyak atau sedikit, tetap saja menggemparkan. Nama kita akan tercemar!"

"Mas! Kasihanilah anak ini. Coba lihat bagaimana ia menderita. Dan apa salahnya menunda beberapa waktu? Barusan tadi Laila toh memutuskan akan tetap menikah dengan Sumarna, bila itu yang mas kehendaki."

Dering telepon memutus pertengkaran itu.

Hakim Saroso meninggalkan jendela. Ia berjalan setengah hati menuju ruang duduk untuk menerima telepon itu.

Apa-apaan si Laila. Sepanjang malam menangis saja. Membanting bantingkan diri di ranjang seperti orang kesurupan. Dan setelah orang lain kalang kabut habis-habisan, baru mau mengatakan sebabnya.

Menunda pernikahan.

Tak bilang-bilang.

Uh!

"Hallo? Saroso. Ini siapa?"

Istrinya mendengar sambutan kasar si suami di telepon.

Si istri mengurut dada.

Lalu kembali membujuk anak gadis kesayangannya dengan kata-kata menghibur. Suara Hakim Saroso di ruang duduk semakin rendah saja. Kemudian hening. Tak lama. Telepon diletakkan. Langkah-langkah kaki ke arah belakang, dan suara memerintah pada pelayan mereka yang laki-laki:

"Jang! jajang! Siapkan mobil, aku mau pergi."

waktu masuk lagi ke kamar, wajah Hakim Saroso biasa-biasa saja.

"Kalian berdua, teruskan. Pikirkan jalan bagaimana caranya kita akan minta maaf pada...."

Ia pura-pura mengawasi telapak tangan yang dibolak balik tak menentu.

"Kalian kutinggal dulu sebentar."

Suaranya tenang .Sikapnya pun tenang.

Ia kemudian berjalan ke pintu depan setelah terdengar bunyi mesin mobil dihidupkan.

"Mas?"

Hakim Saroso tidak berpaling.

"Ya?"

"Gantilah dulu piyamamu. Dan pakai sepatu."

"Astaga!"

Hakim Saroso mengeluh. Kaget sendiri. ia bersalin pakaian di kamarnya dengan bantuan sang istri. Namun tidak mengatakan apa-apa. Masih saja ia memperlihatkan wajah dan sikap tenang luar biasa. isterinya berpikir, tak aneh!

Bukan dokter saja yang sering menerima panggilan mendadak. Menyangkut perkara-perkara besar, hakim pun bisa Jadi. sang iStri tidak berprasangka apa-apa ketika ia mengantar suaminya sampai ke pintu. Saling melambai. Lalu kembali menemui anaknya. Baru setelah mobil meluncur di jalan raya, wajah Hakim Saroso berubah sepucat kertas. Keringat membercik di jidatnya. Sekujur tubunya gemetar. Lantas bergumam parau:

"Tuhanku! Mengapa... mengapa justru Sumarna yang mati?"



*****



Lurah Joko membuka pintu.

"Eyang terlambat," katanya murung.

"Satu mayat lagi telah dikuburkan tadi siang."

Tamunya menyahut datar:

"Aku sudah tahu."

"Eyang sudah tahu?! Dan eyang tidak berbuat apa-apa?"

"Janganlah cemberut begitu, Joko. Aku dapat tahu dari orang yang berpapasan di jalan ke mari...."

Tubuh kecil kurus itu menggerak gerakkan kaki.

"Boleh masuk? Makin peot, makin tak kuat aku berdiri lama-lama."

Tersipu-sipu Lurah joko mempersilahkan tamunya duduk. Tergopoh pula ia menyelinap ke belakang memberitahu istrinya bahwa ada tamu. isteri Lurah Joko keluar menyambut.Cium pipi kiri dan kanan sang eyang, berbasa basi sebentar lalu kembali ke dapur untuk membuatkan minuman.

'Jadi si Herman telah"

"Bukan Herman. Eyang. Sumarna, adiknya."

"Ah. Aku salah dengar tadi, kalau begitu. Penanda yang sama dengan Arpan, kira-kira?"

"Mirip eyang. Bedanya, Arpan masih pakai celana. Sedang Sumarna, bugil sama sekali. Pakaiannya tertumpuk dekat kakinya. Kuat dugaanku ia lebih dulu bercumbu dengan seseorang. sebelum makhluk itu menyerangnya."

"Atau, ia telah bercumbu dengan makhluk itu sendiri."

"Yang benar. Eyang! Entah pacat entah lintah, tetapi bercumbu dengan manusia.... Jangan-jangan eyang mulai pikun ya?" lurah Joko tertawa sumbang.

Isterinya muncul dengan hidangan.

Mau ikut nimbrung ngobrol tetapi mundur dengan wajah memberengut setelah dipelototi suaminya.

"Aku menyesal pernah punya murid macam kau. Joko."

Tamu tua renta itu mengeluh _ it.

"Sumarna bercumbu dengan seseorang. Dan kenapa perempuan itu tidak ikut diserang? Umpamakan, perempuan itu pergi duluan? Kenapa Sumarna tidak segera mengenakan pakaiannya kembali? Kudengar, hujan terus turun malam itu. Udara dingin membeku. Umpamakan pula ia ketiduran lalu ditinggalkan si perempuan. Hanya satu jenis perempuan yang mau berbuat begitu. Kau menyimpan pelacur di kelurahan ini, joko?"

"Setahuku, tak seorang pun."

Lurah joko bingung sendiri. Tetapi ia tidak mau kesalahan ditimpakan atas kepalanya seorang. Maka dengan suara ketus ia berkata:

"Bercumbu dengan perempuan nakal atau dengan roh jahat. sama saja eyang. Sumarna toh sudah mati. Dan itu tidak akan terjadi seandainya eyang tidak datang terlambat."

"Bagus. Bagus caramu mencari kambing hitam,"

Si tua renta meneguk tehnya. Dengan nikmat! Lalu:

"Kalau Tuhan menghendaki besok hari seratus orang mati di suatu tempat, apakah aku harus hadir di sana untuk mencegahnya?"

Wajah Lurah Joko yang tadi cemberut, berubah kemerahan menahan malu.

"Maafkan aku. Eyang."

"Sudahlah .Antarkan saja aku menemui Herman," orang tua itu bangkit seraya menjinjing bungkusan yang tadi ia letakkan dekat kakinya.

"Jangan sampai kita terlambat pula"

Lurah joko pergi memberitahu istrinya.

Kemudian bersama sama mereka meninggalkan rumah. Malam belum larut. Masih sekitar pukul sembilan. Tetapi langit gelap tertutup mendung tebal. Hempasan angin di rumpun bambu mendesahkan suara suara gaib yang tak seorang pun tahu maknanya.

"Bukankah rumah yang di sana itu? Kok kita menyimpang,"

Sang eyang bertanya heran.

"Herman lebih suka tinggal bersama adiknya. Eyang. Si Ipah. Semua tersedia lengkap di situ. Mobil, telepon, pelayan. Jadi gampang bertindak kalau terjadi apa-apa."

Lurah Joko mengintip ke jinjingan di tangan orangtua itu. Bertanya menyelidik:

"Eh, Eyang. Omong omong, ke mana saja eyang beberapa hari ini? Dan tumben, muncul sekarang."

"Aku pergi ke Pantar Cicarita. Menggarang air laut."

"Menggarang apa?"

Lurah Joko kaget.

"Air laut. Biar air berlimpah ruah di pantai, hujan pun tetap punya hak turun di sana.Jadi aku terpaksa menggarang air laut. Dengan bantuan

seorang nelayan sahabatku. Selain karena matahari malas keluar, dengan menggarang air laut aku memperoleh endapan garam dengan khasiat yang lebih manjur."

"Garam? Cuma untuk mengambil garam. eyang buang tempo dan enerji?"

"Apa itu, enerji?"

"Uh, ah. Tenaga, begitu?"

"Hem. Hem. Supaya kau tahu, garam dapur paling banter mampu mematikan makhluk-makhluk kecil menjijikkan yang bangkainya pernah kau bawa sebagai oleh-oleh untukku."

Si kecil kurus tersenyum dan ikut mengangguk ramah bersama pak lurah kepada beberapa orang pemuda yang berpapasan dengan mereka. Lurah Joko rikuh dengan sindiran itu.

"Bungkusan ini. Joko...."

Lanjut bekas gurunya tak acuh.

"..E en, en apa tadi?"

"Enerji. Tenaga."

"Ah ya Enerji yang tersimpan di bungkusan ini bukan enerji sembarangan. Garam mentah, kau tahu. Kuendapkan sendiri. Dengan caraku sendiri pula."

"Cara yang bukan sembarangan, aku percaya,"

Lurah joko tersenyum. .

"Pujianmu tak kuperlukan."

Ia mendapat jawaban ketus.

"Lebih baik kau ceritakan sedikit sedikit mengenai kehidupan dua orang bersaudara yang akan kita temui."

"Herman dan Ipah adalah.... Eh, Eyang. Kenapa eyang cuma memusatkan perhatian pada mereka? Masih ada kematian-kematian lain yang juga patut diperhatikan."

"Tetapi tidak seperti matinya Arpan, Salbiah

lalu Sumarna. Tentang bayi, baru bayi Bu Endah. Sepengetahuanku, Joko. selama belum terlambat maka serangan terhadap anak kecil semacam bayi Bu Endah masih dapat diselamatkan. Lain halnya dengan roh jahat yang menyerang keluarga Herman. Camkan. Yang terbunuh, semua keluarga Herman. Sudah terbuka otak budekmu sekarang?"

"Alaa, eyang ini. Jangan sewot begitu dong."

"Herman dan Ipah. Bagaimana tadi?"

Memberengut si eyang. Tak acuh.

****



Karena sudah diberitahu lebih dulu oleh lurah Joko. Herman tidak heran kedatangan tamu tidak dikenal yang memasuki rumahnya berdua dengan Lurah Joko. Namun toh sempat juga ia dibuat tercengang melihat penampilan orang itu. Sudah tua bangka, kurus dan kecil pula lagi Wajah pun biasa-biasa. Tutur kata teratur dan sopan.

Tadinya Herman berharap akan melihat tubuh yang kuat, sehat. Biarpun tua bangka, tetap kekar dan kuat.

Bukankah punya ilmu?

Lalu, ia juga tadinya membayangkan akan melihat kain hitam melilit kepala. Bukan peci. Pakai sarung hitam, dan telanjang kaki. Bukan kemeja dan celana, berselop. Sepasang matanya merah saga. Bukan mata bening jernih. Mulut tak berhenti menceracau. kumat kamit setengah kesurupan. Bukan mulut tersenyum ramah, simpatik. Bau keringat busuk memualkan. Bukan bau keringat biasa, seperti keringat Herman sendiri.

Hampir saja ia bertanya pada pak lurah. apakah kepala daerahnya itu tidak membawa orang yang keliru. Tetapi orangtua sederhana lagi necis yang duduk santai di depannya, mendahului dengan kata-kata:

"Aku tidak membutuhkan ramu ramuan atau jimat, Nak Herman. Yang sangat kubutuhkan dan harus kuterima dengan ikhlas, cuma satu. Kepercayaan!"

Herman terhenyak.

Maluu

"Apa yang dapat kubantu, Pak tua?"

Ia mendesah. Lirih.

"Namaku Mahmudin. Kalau kau suka. sebut saja Aki Udin,"

Orangtua yang tampaknya "tidak punya apa-apa" itu tersenyum manis.

'Dan yang perlu dibantu, adalah kau dan adikmu Saripah."

"Terimakasih. Aki Udin."

"Percaya pada kebesaran Tuhan, Anakku?"

"Ah, Aki Udin...."
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Herman melengos tanpa menyolok.

"Aku menempuh kehidupan yang buruk hampir selama dua puluh tahun. Jadi...?"

"Dapat dimengerti,"

Eyang Mahmudin manggut manggut.

"Juga dari apa yang kudengar dari orang lain tentang kehidupan saudara perempuanmu, dapatlah aku menjelaskan dengan ringkas. Rumah yang bersih, sebenarnya tidak perlu ditepung tawari."

Orang lain itu tentunya lurah. rungut Herman di sanubari. Namun ia tidak berkecil hati .Berkat kalimat tamunya yang menyindir sedemikian halus rumah yang bersih. tak perlu ditepung-tawari. Arpan memang seorang yang soleh. Tetapi Arpan telah gagal membagi kesolehannya kepada istrinya sendiri, Saripah.

Pikir Herman lagi:

"Kalau si tua bangka ini menyebut rumah yang bergelimang dosa. biarpun

mungkin benar, tentulah ia sudah kutendang keluar?"

Di mulut, Herman berkata ingin tahu:

"Boleh aku tahu dengan apa Aki Udin akan menepung tawari rumah ini?"

"Ini."

Eyang Mahmudin meletakkan bungkusan di meja. Ketika dibuka, tampaklah setumpuk bubuk halus berwarna putih kekuning kuningan.

"Apa ini?"

"Garam mentah."

"000."

Pada saat itu Bi Ijah masuk untuk menghidangkan minuman dan penganan. Karena ketiga orang laki-laki yang tengah berembuk itu rupanya tidak merasa terganggu oleh kehadirannya, Bi Ijah bekerja berlamhat-lambat. Nguping, biasa.

"Garam ini taburkanlah di sekeliling rumah,"

Eyang Mahmudin menerangkan.

"Utamakan celah celah pintu. jendela atau kalau mau boleh pula di para-para itu kalau kalian berangkat tidur. Dan kalau salah satu dari kaliar keluar rumah, bekalilah segenggam garam di saku. Dengan demikian saya harap apa yang telah menciderai almarhum keluargamu, tidak berani mendekati kau dan adikmu"

Bi Ijah melirik ke bungkusan terbuka di meja, ketika ia pura-pura membetulkan letak pot bunga di atas rak .Berpikir.

"Garam Aku punya banyak di dapur."

"Eh, aku tidak melihat lpah,"

Lurah Joko menukas ingin tahu.

Bi Ijah segera berlalu.

"Ia ada di kamar, Pak Lurah. Sejak tadi malam, terus-terusan menelan pil tidur. Kalau tak kujaga, maulah ia habiskan satu ples penuh."

Herman

geleng-geleng kepala, sedih. Mudah-mudahan saja tidak ia telan pula nanti garam ini.

Garam. Hem.

"Dan Noni?" tanya pak lurah lagi.

"Di rumah sakit. Pak. Jadinya saya terpaksa pulang-pergi sepanjang hari. Noni diopname."

"Sakit apa, nak?" '

"Demam." jawab Herman, pendek. Di benaknya masih berputar pikiran yang sama: garam. Hem, betapa sederhananya. Pacat. Lintah. Dan garam. Mengapa ia tidak berpikir ke arah itu?

Betapa sederhana. Dari pikiran seorang tua bangka yang sederhana pula.

Tetapi apakah yang ia cemaskan, sesederhana itu penanganannya?

Mereka bertiga terus berembuk. Serius.

Wajah Bi Ijah ketika tadi meninggalkan kamar duduk. tenang dan biasa saja. Begitu ia tiba di koridor, wajahnya pun berubah serius. Sangat serius. Ia langsung menghambur ke dapur. Mengambil segenggam garam. Garam segenggam itu ia taburkan di sekeliling dapur, kamar mandi. kamar cuci dan kamar tidurnya Bila kurang. ia berlari lagi mengambilnya ke dapur.

Kemudian ia berdiri agak jauh, menyimak apakah "daerah kekuasaan" nya itu sudah terlindung aman. Cukup, pikirnya. sambil masuk ke kamar tidur. Berbaring di dipan, rupanya ia masih gelisah. Ia menatap curiga ke celah pintu.Bubuk garam bertaburan di sekitar celah pintu itu.

Tetapi apakah ia sendiri sudah aman?

Bi Ijah berpikir keras.

Lalu ia bangkit dari dipan. Membuka pintu dan berlari-lari ke dapur. Kali ini ia bawa satu mangkok

penuh garam. Kembali ke kamar. setelah mengunci pintu, Bi Ijah menanggalkan semua pakaiannya .Tinggal kutang dan celana dalam. Lalu garam semangkok itu ia tabur dan oleskan ke Setiap sudut tubuhnya, tak dilewatkan seincipun juga. Malah diselundupkan juga sejumput bubuk garam di balik kutangnya. Ragu-ragu sebentar, lantas menaruh pula sejumput di balik celana dalam.

Ia merasa geli sedikit.

Tetapi ketimbang mati dengan dada berlubang?

Bi Ijah mengenakan pakaiannya kembali. Baru sesudah ia dapat berbaring di dipan dengan perasaan aman.

Di kamar duduk, Lurah Joko bergumam:

"Berani kau berdua saja di rumah ini? Tanpa ada yang menemani?"

"Aku punya pisau komando. Dan telah pula kusiapkan sebilah golok,"

Herman mengaku.

"Tetap saja kalian perlu ditemani. Kulihat, banyak keluargamu di rumah ibumu. Mengapa tidak meminta bantuan mereka saja"

Herman menjawab kesal:

"Yang ada belum pulang, yang lain sudah datang pula. Mereka harus kuberi makan semua. Tetapi bukan itu yang membuatku tak senang. Mereka semua tiap kali

menatap waswas padaku dan Ipah. Sampai aku berpikir, mereka menginap berlama-lama karena ingin tahu, siapa di antara kami berdua yang akan menyusul Arpan, Ibu, Sumarna? Kurang ajar. Benar-benar kurang ajar!"

"Sabar, Nak. Sabar. Mereka bertujuan baik. Turut berdukacita. Ikut memanjatkan do'a. Oh ya. Apakah tahlilan terus saja diadakan di masjid? Tidak di salah satu rumah kalian?"

"Lebih baik tetap di masjid, Pak lurah. Kalau di rumah ibu. aku terpaksa harus hadir dan meninggalkan Ipah sendirian di sini. Ipah tak mau beranjak dari ranjang. Ia terpukul. Sangat terpukul. Aku juga. Dan ah, kalau diadakan di rumah ini pula, yah. Bagaimana ya. Aku dan Ipah sangat ingin sendirian. Tanpa terganggu. Kami berdua ingin tetap berduaan satu sama lain. dan merenungi bersama mengapa kutuk yang mengerikan itu hanya tertimpa atas kami saja..?"

Di kamar pembantu. Bi Ijah tersentak bangun.

Suara apa itu?

"Kresak kresek, seeerrrr."

Lalu tak tik tak suara lembut kaki melangkah .Dengan wajah takut. Bi Ijah mencari mangkoknya. Masih ada garam tersisa. Lekas ia genggam, lantas ditaburkan semua di sekitar dipan sambil mulut kumat-kamit memanjatkan do'a.Sebentar kemudian suara ganjil itu menjauh. Lalu lenyap.

"Besok akan kubeli lebih banyak garam di pasar," desah Bi ljah lega.

Sosok tubuh yang barusan melewati kamar pembantu sambil melakukan sesuatu, tampak membuka pintu samping lalu menghilang dalam kegelapan malam di luar rumah.

Bi Ijah tak bisa tidur.

Dan di kamarnya, Saripah sebaliknya, justru tidur pulas. Malah sampai mendengkur. Ia tidak perduli pada alam sekitar. Pil-pil yang dibeli Herman di apotek melalui resep dokter. malam

itu ia telan sampai tiga butir.

Tak heran ia lupa menutup tirai jendela kaca.

Kegelapan malam tampak menganga di luar jendela. Rembulan bersinar pucat, menerangi alam sekitar. Dari balik rimbunan daun rambutan yang rindang, membersit sepasang kilatan merah bernyala. Tak lebih dari titik api besarnya. Kilatan mata itu menatap lurus ke jendela kamar tidur Saripah. Karena tirai terpentang membuka dengan sendirinya tampak nyata bahwa di kamar itu hanya ada Saripah seorang.

Mana sang bayi?

Bayangan hitam itu melesat dari pohon rambutan dan terbang melayang memperhatikan jendela jendela yang lain, terutama kamar tidur pembantu. Tetap sama bayi yang darahnya segar bugar itu, tidak terlihat. Tidak ada petunjuk bayi itu di dalam rumah.

Di mana bayi itu mereka sembunyikan?

Sesosok tubuh kehitaman muncul dari belakang rumah. Sepasang mata merah saga itu melihatnya, lantas membawa kepalanya melesat terbang sejauh mungkin dan lenyap ditelan kegelapan malam .

Anjing melolong lirih.

Entah di mana.

"... baiklah,"

Di kamar duduk, Herman menarik nafas panjang setelah ia mengambil keputusan yang bulat.

"Aku tak keberatan, Pak Lurah. Tetapi Bi Ijah tetap di kamarnya. Sungguh tak pantas kalau pak lurah serta Aki Mahmudin tidur dikamar pembantu. Begini saja .Aku akan pindah dari kamar tidur untuk tamu dan menempati kamar kerja Arpan. Pak lurah dan Aki Mahmudin menempati kamar yang kutinggalkan."

"Do'akan saja, agar semua ini lekas berlalu. sahut Lurah joko, puas.

"Berapa lama kira-kira, Pak Lurah?"

"Mana aku tahu. Eyang meramalkan, satu minggu ini hujan akan turun terus menerus. Dua minggu atau mungkin satu bulan setelahnya. panas dan kering lagi. Karena itu ia yakin. terjadinya ah, maksudku, makhluk terkutuk itu akan muncul kembali hari-hari ini juga."

"Makhluk terkutuk!"

Herman mengeluh.

"Seperti apa kira-kira bentuk maupun rupanya, Pak Lurah?"

Lurah Joko tidak mampu menjelaskan. Dan tidak sempat. Sosok tubuh kurus kecil dari Eyang Mahmudin sudah masuk lewat pintu depan yang terbuka. Bungkusan yang tadi ia bawa ke dapur terus ke sekeliling rumah sudah berkurang isinya.

"Selesai, Eyang?" tanya Lurah Joko.

"Sebagian. Tinggal kamar Saripah. Itu tugas Nak Hermanlah."

Orangtua itu duduk keletihan di kursi semula, lantas seraya menahan senyum ia berkata:

"Kalian tahu?"

"Apa. Aki Udin?"

"Tadi aku temukan banyak sekali garam bertaburan. Bukan garamku."

"Ah, masa Di mana?"

"Di dapur, di kamar mandi, di kamar cuci. Dan bertumpuk tumpuk di celah pintu kamar pelayan."

"Bi Ijah. Astagaaa...."

Herman menggeleng dan untuk pertama kali setelah Arpan meninggal dunia, Herman kemudian tertawa berderai-derai.

****



Dua belas



Siang yang mendung berhujan, pertengahan minggu kedua bulan Januari.

Di rumah Hakim Saroso, dua orang perempuan tengah berbincang bincang dengan nada duka.

"Kau tak kuliah lagi, Laila."

Laila meletakkan buku saku yang tengah ia baca. Buku saku yang telah ia baca empat hari terus-menerus, tanpa mengerti satu kata pun jalan ceritanya .Padahal selamanya ia menghabiskan paling banyak tiga jam untuk menelan seluruh isi cerita buku saku karya Harold Robbins itu.

Ia tidak sedang menangis.

Namun kelopak matanya masih saja sembab, ketika ia menatap ibunya yang masuk ke kamar dengan suara menyesalkan tetapi bibir mengulas senyuman sayang.

"Aku tak dapat konsentrasi, Mama"

"Mestinya kau keluar. Jalan-jalan."

"Aku tak bernafsu, Mama"

Dan ibu membereskan sprei tempat tidur anaknya yang makin kurang rapih belakang ini.

Lantas berpaling kaget waktu mendengar anaknya bertanya:

"Apa yang mama dan papa rahasiakan?"

"Rahasia?"

Perempuan yang lebih tua, mendekat ke tempat anaknya duduk dekat jendela. Mengusap rambut hitam berkilauan dan harum semerbak itu dengan campuran haru dan kasih sayang.

"Buat apa kami menyimpan rahasia? Terhadap kau, puteri kami satu satunya?"

"Mama berbohong."

"Laila, Anakku!"

"Mama berbohong. Mama kira aku tak tahu bahwa ada yang telah berubah di rumah ini?"

"Berubah? Apanya yang berubah, Laila?"

"Mama Dan papa"

"Hem. Kami tetap mengasihimu. Tidak ada yang...!"

"Pura-pura .Mama pura pura tak tahu. Sudah berapa hari ini. mama dan papa jarang bercakap cakap. Kalaupun pernah kupergoki. kalian berdua lantas memutuskan pembicaraan seketika, dan berlaku manis padaku. Manis pura-pura. Masih ada lagi: mama dan papa semakin jarang mengungkit rencana pernikahanku dengan Sumarna. Padahal, kemarin-kemarin ini, wah, mengeroyokku habis-habisan!"

Mata sang ibu berkilat perih.

Mulut tetap saja tersenyum, luar biasa, kemudian:

"Anakku, Manis. Bukankah kau sendiri yang bermaksud menundanya?"

"Dan papa marah, ya? Papa marah sekali!"

"Tidak. Papamu tidak marah."

"lantas? Apa yang menyebabkan tingkah papa dan mama tampak sangat ganjil?"

Sang ibu mengawasi wajah anaknya dengan seksama. Sinar matanya kelihatan tegang sejenak, kemudian sembari menarik nafas, ia mendesah:

"Cobalah berterus terang pada ibumu, Laila. Siapa sebenarnya yang kau cintai?"

Laila menatap heran. Lantas bergumam bingung:

"Ya. Dua-duanya. Cinta mama. Cinta papa"

"Kau tahu apa yang ibu maksud, Laila,"

Ibunya menyerang.

"Mama...."

Sudut-sudut mata Laila mulai basah.

"Siapa, anakku? Siapa di antara mereka berdua yang sesungguh sungguhnya kau cintai?"

Laila merangkul ibunya kuat-kuat.

Menangis tersedu-sedu.

"Jangan tanyakan itu padaku, Mama jangan! Aku takut. Takut sendiri menjawabnya!"

ibunya ikut menangis.

Tak lama kemudian ia berkata lembut:

"Ayo. Kau perlu istirahat. Minumlah obatmu. Lihat. Betapa kau tambah pucat dan kurus hari-hari belakangan ini...."

Ia mengulas senyuman lirih.

"Siapapun juga yang kau cintai, Laila, yakinlah mereka tak akan senang melihat penampilanmu seburuk sekarang."

Tangis Laila menurun.

"Minum obat sekarang?"

"Ya, Mama"

"Nih...."

Lalu:

"Tidurlah ya, Laila?"

"Ya, Mama."

Setelah menunggui anaknya hampir satu jam dan yakin Laila sudah pulas, perempuan yang lebih tua beranjak ke pintu. Menutupnya hati-hati. Lalu kembali duduk menunggu, di kamar depan. Bersama curah hujan yang membanjir dari langit kelam, sebuah mobil memasuki halaman sekitar pukul tiga siang.

Perempuan itu menyambut suaminya di pintu.

Sambil membantu melepaskan dasi sang suami, ia bergumam pelan:

"Laila membuatku makin cemas. Pak."

"Mana dia?"

"Tidur. Jangan terlalu keras suaramu."

Ia menarik suaminya ke kamar mereka sendiri, menutup pintu rapat-rapat. Curah hujan ribut bukan main. Toh perempuan itu tetap berbicara dengan bisik-bisik

"Apakah tidak sebaiknya ia kita beritahu saja?"

Lama, baru ada sahutan:

"Tunggulah. Kita harus pasti dulu."

"Tetapi ia tidak juga mau menjelaskan, siapa sebenarnya yang paling ia dambakan dari kedua orang pemuda itu."

"Hem"

"Bagaimana, Pak?"

"Biar saja seperti ini dulu. Sampai kita yakin benar. Kalau ia mencintai Sumarna, aku ngeri membayangkan apa yang bakal terjadi atas diri anak kita."

"lalu. kalau bukan Sumarna?"

Suaminya tersenyum. Lantas berujar, munafik:

"Aku malah berharap. bukan Sumarna. Konon pula Sumarna telah. Eh. Bu. Kau tetap berada di dekat telepon, bukan?"

"Benar, Pak. Untung kau nasihatkan keluarga

Sumarna agar jangan berbicara langsung dengan Laila. Dan ah, ya. Mujur pula, anak kita malas keluar dari kamar. Kerjanya cuma berkurung dan berkurung. Makan pun, susahnya bukan main."

"Kau hibur teruslah dia. Dan..."

"Dan apa, Pak?"

"Kebiasaan buruknya sekarang ini, kukira sebagai penebus dosa. Tanpa ia sadari. ia tengah menjalaninya."

Mereka kemudian berpelukan.

Erat.

Dengan tangan-tangan sama gemetar .

Karena riuh rendahnya hutan di seputar rumah, mana berbisik bisik pula, Laila tidak mendengar apa yang dipercakapkan ibunya. Ia tidak pula tidur seperti dugaan ibunya.

Mata Laila terbuka Lebar. Bola mata itu kemerah-merahan.

Ia turun dari ranjang. Mendekat ke jendela .Menatap hujan dan diam-diam menikmati hempasan angin topan di luar. _

"Aku harus pasti," bisiknya, nekad

"Aku harus berani melakukannya!"

Hujan kian membadai.



****
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Malam pertama ketika garam ditaburkan, hujan turun rintik rintik .Tetapi tidak ada sesuatu yang terjadi. Paginya Saripah bangun dengan mata terkantuk kantuk. Ia tidak mau mandi. Tidak mau sarapan. Saripah minta Herman mengantarkannya ke rumah sakit untuk membesuk Noni. Kesehatan bayi itu bertambah baik. Tetapi masih perlu dirawat satu dua hari, untuk menormalkan kulit tubuhnya. '

Mereka singgah di restoran untuk makan Siang.

Tak satu pun hidangan dapat mereka nikmati dengan baik ke percetakan. Ia sudah menelepon tidak akan masuk untuk jangka waktu yang ia sendiri tidak bisa menentukan.

Pulang dari kota, Herman menyempatkan singgah di rumah kost Rosida. Gadis itu tak ada di tempat. Rupanya Herman lupa waktu ia menelpon ke percetakan, ia sempat bicara dengan Rasida. Gadis itu mengatakan ia sudah agak baikan. Gusinya masih bengkak, tinggal benjolan kecil. ia bekerja dengan saputangan tetap terpegang di depan benjolan mulutnya, malu dilihat orang.

Dari rumah kost Rosida, Herman dan Saripah menjenguk kaum kerabat yang masih tinggal di rumah ibu mereka. Sebagian sudah pulang, rupanya. Setelah melihat-lihat apa yang kurang dan diperlukan oleh sisa keluarga yang masih bermaksud menginap, keduanya kemudian pamit dan pulang ke rumah Saripah.

Hujan badai menyambut mereka setiba di rumah.

Pak Lurah joko sedang pergi ke rumahnya. Eyang Mahmudin tengah ngobrol dengan Bi Ijah di beranda belakang. Eyang minum teh pahit dan obrolan boleh dikata diborong semua oleh Bi Ijah yang sesekali melirik teman bicaranya dan tertawa-tawa genit.

Saripah langsung ke kamar.

Tidur.

Ia telah melupakan urusan dagangnya, membuang keuntungan jauh-jauh dengan memberitahu Herman agar telepon dari relasi relasinya ditolak saja untuk sementara. Sebelum tidur, diawasi Herman dengan seksama. Saripah menelan hanya satu butir pil.

Garam ditaburkan lagi oleh Eyang Mahmudin. Jejak-jejak kaki rupanya membuat celah-celah masuk yang tidak disenangi orangtua yang apik itu.

Tengah malam, Saripah terbangun. ia tidak tahu, apakah tadi ia bermimpi buruk. atau sekedar gelisah saja sehingga tidurnya terganggu. Badannya terasa panas. Lamat-lamat ia dengar suara orang ngobrol di kamar duduk. Lurah joko rupanya sudah bergabung lagi.

Udara dalam kamar terasa sangat gerah.

Dan punggung Saripah, gatal.

Oh. Sudah dua hari ia tidak mandi rupanya. Dan meski saat itu tengah malam, ia tidak tahan gerah dan segera masuk ke kamar mandi yang terletak di pojok kiri, bersatu dengan kamar tidur tersebut.

Tanpa prasangka sedikit pun. ia membuka keran air. Dua-dua sekaligus. Yang bertitik biru.



Dan bertitik merah. Seraya menunggu air hangat mengalir masuk semakin banyak ke bak air, Saripah menanggalkan gaun tidurnya. Pintu kamar mandi ia biarkan tetap terbuka. Toh, pintu kamar tidur terkunci dari dalam.

Sekilas ia lihat taburan garam mentah di luar pintu kamar mandi.

"Pekerjaan sia-sia,"

Ia menggeleng. lantas sikat gigi.

Habis ia sikat gigi, bak air baru terisi setengah. Saripah melangkah masuk ke bak porselen itu. Kaki-kaki telanjangnya sangat bagus dan cantik. Sebelum berendam di dalam air, ia tanggalkan pula kutang dan celana dalam. Dengan berbugil ia kemudian rebah. Berbaring telentang. Santai.

Lima menit ia nikmati kehangatan air di sekujur tubuhnya, tanpa bergerak. Kraan air telah ia matikan, karena bak hampir penuh. Dijangkaunya sabun mandi lantas mulai menggosoki tuhuh bugilnya yang mulus halus, ia bayangkan Arpan yang membelainya. Matanya merem, dengan telapak tangan terus membelai, mengusap, membiarkan busa sabun memenuhi permukaan air, dan menikmati orgasme dengan bibir gemetar mengeluarkan erang dan rintih.

Setelah itu, sejenak ia terkulai.

Lemah.

Lalu dengan kakinya, ia tarik rantai pengikat tutup lobang keluar air di dasar bak. Genangan sabut semakin merendah, merendah dan merendah bersama arus air yang mengalir ke lubang pembuangan. Merasa semua air dan kotoran

akibat tadi ia mengalami orgasme, telah terbuang semua, maka Saripah membuka lagi kran. Titik biru dulu baru merah. Air dingin sejuk mengalir sedikit. Begitu pula air panas.

Macet?

Pikir Saripah, dan lupa menutup lubang pembuangan.

Dengan menaikkan leher, ia gapai kran-kran air dan memutarnya sampai titik maksimal. Campuran air dingin dan panas mengucur lebih banyak. kemudian arusnya mengecil lagi. Ia tidak melihat busa di sekitar kakinya bergerak. Dan pelan-pelan bercampur warna. Putih busa. digoyang-goyang oleh makhluk-makhluk kecil berwarna coklat, yang menjulur masuk lewat lubang pembuangan dan menggelupur serta menggeliat ribut di dasar bak yang licin.

"Sialan!"

Saripah memaki.

Lalu memukul-mukul kran dengan perasaan kesal.

Aneh. Air mengalir kembali. Lebih deras dari tadi. Wajah Saripah lega. Berbaring santai seperti semula dan meresapi kehangatan air yang jatuh membasahi rambut, wajah, leher, pundak lalu dadanya yang menggelembung padat.

"Hei, apa ini...." ia tertegun, ketika merasakan sesuatu yang dingin dan lunak merayapi betisnya. Mula-mula satu. Lalu bertambah banyak. Kedua betisnya merasakan kegelian yang amat sangat, apalagi setelah telapak kakinya mulai pula diserang.

Air mampet lagi.

Sambil mengawasi gerakan busa di sekitar kaki dan pahanya, tangan Saripah menggapai kepala kran. Dipukul-pukul lagi. Pukulan yang

mujarab.

Sangat mujarab!

Karena yang keluar dari kran, baik bertitik putih maupun bertitik merah, bukan air dingin dan air panas. Melainkan potongan-potongan kecil sepanjang dan sebesar jari kaki ayam. Warnanya coklat. Kulitnya lunak. Dingin. Licin. Berlendir.

Dan, hidup!

Ratusan lintah dan pacat mengalir deras dari pipa-pipa kran, menggelinding di kepala Saripah. Menggelupur, menggeliat lalu merayapi wajahnya, pundak, leher, dada dan semua tubuhnya. Lima detik Saripah terpana saking tak percaya.

Detik keenam. ia tersadar.

Terutama, setelah ia mulai merasakan tusukan demi tusukan disertai sedotan demi sedotan pada sekujur kulit tubuhnya. Busa telah berubah warna sama sekali. Coklat. Hanya coklat. Menggeliat, menggempur, merayap, menusuk, menyedot. Ribut sekali.

Saripah serempak bangun.

Dengan ratusan, mungkin ribuan lintah dan pacat lengket menggigiti dan menerobos kulit memasuki daging-daging tubuhnya. Lidah Saripah terlalu kelu untuk berteriak .Mulutnya mangap. tetapi nafaspun hampir tak mampu ia keluarkan.

Saripah limbung.

Terkulai ke lantai kamar mandi. Dengan posisi duduk. Punggung menghempas tembok.

Di kamar duduk, pak lurah menguap.

"Suara apa itu?"

Eyang Mahmudin diam mendengarkan.

Herman mengamati kartu-kartu bridge yang ia pegang, kecewa melihat Lurah Joko menguap. lantas mendengus:

"Ipah. Pasti bermimpi buruk lagi."

Dan Ipah, si Saripah malang menggeliat-geliat dalam usahanya untuk melepaskan diri dari terkaman teror yang dahsyat itu. Selintas, di tengah rasa sakit, perih, nyeri, geli dan seram sekaligus, terbelalak matanya menatap kran air. Dari mulut salah satu pipa kian air itu, pelan-pelan meluncur turun makhluk sejenis dengan yang kini memenuhi bak dan lantai kamar mandi.

Tetapi yang turun itu lain sekali.

Warnanya lebih hitam sedikit. Dan, makhluk itu turun seorang diri. Dengan susah payah pula, karena berusaha sedemikian rupa mengecil dan memanjangkan tubuh agar dapat lolos dari pipa. Mencapai setengah meter, makhluk itu meliuk keras menggapai tepi bak. Sisa tubuhnya melengkung tinggi, dan dengan satu kali sentak, keluar semua dari pipa kran. Jatuh terhempas di pangkuan Saripah. Bentuknya pun berubah. Tambah pendek, namun tambah besar pula. Sampai mencapai panjang dan sebesar lengan atau paha Saripah.

itulah dia.

Kejutan puncak dari ribuan kejutan yang telah menggerogoti Saripah. Kesadarannya tinggal sedikit. Tenaganya apalagi. Melawan ia tak mampu. Meronta, pun tak kuat.

Tetapi kejutan puncak di haribaannya.

Menggelinding-gelinding menimpa ratusan kejut lain yang telah lebih dulu menempati

haribaan itu.

Sisa kesadaran dan naluri di tubuh Saripah. melahirkan suatu jerit lengking menyayat tulang, mengiris sumsum.

"Duuuaaarrr, buk!"

Pintu kamar tidur yang terkunci itu terhempas membuka oleh tendangan kaki yang disertai tenaga berlipat ganda. Cemas memukirkan nyawa adik perempuannya, Herman memperoleh tenaga di luar ukuran normal. Begitu pintu terbuka ia menghambur masuk disertai jerit marah:

"Saripah! jangan! Jangan Saripah!"

Lurah joko merungkut di kursinya.

Pucat.

Sesosok tubuh yang lebih kurus dan lebih kecil. serta jauh lebih tua dari Lurah Joko, dengan tangkas bangkit dan menyerbu masuk kamar di belakang punggung Herman. Sambil bangkit, sambil ia sambar bungkusan garam mentah yang tak pernah jauh dari tangannya.

Lampu kamar tidur menyala terang benderang.

Begitu pula lampu kamar mandi. Pintu kamar mandi itu terbuka. dan ratusan lintah yang merayap keluar, serempak tertegun ketika mencium bau garam. Ada pula yang nekad maju menerobos rintangan di ambang pintu kamar mandi. Puluhan ekor banyaknya, yang segera menggempur-gelupur. Mati.

Tampak betis Saripah terjulur.

Pucat. Dilengketi warna coklat yang hidup. menggeliat-geliat. Herman menderu masuk ke kamar mandi.

"Saripaaaah!"

Ia dalam posisi setengah berdiri setengah bungkuk. Maksud semula, merenggut tubuh sang adik yang sudah diam, membeku. Sepasang mata Saripah terpentang lebar. Menatap mohon perlindungan. Namun, tanpa sinar kehidupan walau sepercik. di bola mata yang tadinya bundar indah itu.

Sinar mata itulah yang membuat Herman mendadak membeku.

Di belakangnya tanpa mengeluarkan Suara apa-apa kecuali menyebut kebesaran nama Tuhan. Eyang Mahmudin menaburkan bubuk garam sebanyak-banyaknya ke pintu, ke lantai, ke bak mandi. Gerakan liar dengan suara yang riuh rendah bergalau di kamar mandi. Ribuan yang mati. Tetapi beratus-ratus ekor makhluk makhluk kecil menjijikkan itu mampu juga lolos. Melarikan diri lewat lubang pembuangan. Saling berdesak desak, dan membuat lebih banyak mati terkena siraman bubuk garam.

Karena terhalang oleh tubuh besar dan kekar milik Herman, Eyang Mahmudin tidak melihat makhluk yang mestinya jadi sasaran utama. Hanya Herman seorang yang melihat dengan mata tak berkedip. Makhluk ajaib tetapi laknat itu tegak di haribaan mayat Saripah. Seolah memiliki sepasang mata, ujung paling atas makhluk itu meliuk dan "menatap" langsung ke mata Herman.

Kemudian, makhluk itu sirna. Dalam sekejap mata.

Dan Herman merasakan uap dingin merasuki kepala, kemudian seluruh tubuhnya. Kebekuan

itu, mengendur. Perlahan, Herman meluruskan tegaknya lalu berusaha lolos dan ambang pintu kamar mandi.

Sesaat, Eyang Mahmudin menepi. Naluriah, memberi jalan.

Saat berikutnya, Eyang Mahmudin melihat kelainan dalam sinar mata Herman.

Orangtua itu kaget.

Melompat-lompat mundur ke tengah kamar. Menghalangi jalan ke pintu.

"Berhenti. kau!"

Ia membentak.

Sinar mata bening dan ramah di bola mata Eyang Mahmudin berubah ngeri bercampur marah, tatkala ia lihat leher Herman terputar. Sungguh, terputar mengikuti arah jarum jam. kemudian berlawanan dengan arah jarum jam lalu kembali dengan posisi semula. Leher Herman bagaikan terbuat dari mainan plastik saja, yang digerakkan Otomatis dengan bantuan batu baterai.

" biarkan... aku... lalu!"

Mulut Herman terbuka.

Suara yang terdengar, bukan suara Herman yang gagah dan parau. Melainkan suara lirih seorang perempuan.

Lutut Eyang Mahmudin goyah.

'Si... siapa engkau?"

Ia menggagap.

"Nurjanah!"



*******



Tiga belas



Selasa.Ya Hari itu Selasa Memasuki minggu ketiga bulan Januari yang lembab. Basah berkabut. Pukul lima, pagi. Belum terang benar tetapi lalu lintas di depan rumah Laila sudah mulai hidup. Seperti biasa, sehabis sembahyang subuh kedua orangtuanya kembali tidur untuk bangun lagi sekitar pukul tujuh.

Laila meluncurkan mobil hati-hati dari dalam garasi ke jalan raya yang berlapis kabut. Setelah menemukan putaran yang benar, mobil langsung dikebut. Beberapa belokan, kemudian lurus menuju pinggir kota. Mendekat tujuan utama. laila menyimpang lalu menghentikan kendaraan di depan sebuah rumah.

Rosida sendiri yang membuka pintu.

"Kau, Laila Tumben, pagi begini." sambutnya dengan mata setengah mengantuk.

Wajahnya kelihatan tidak sehat.

"Kumohon,"

Laila tidak berbasa basi lagi.

"Demi masa depanku yang terancam, sudilah Kak Ida ikut dengan aku...."

Terpesona sebentar, Rosida kemudian tergugah oleh bunyi suara dan sorot mata Laila yang minta dibelas kasihani.

"Tunggulah sebentar."

Tak lebih dari lima menit, Rosida sudah duduk di sebelah Laila dalam mobil. ia telah bersalin pakaian. Dan memberi pupur merah jambu pada pipinya yang... hanya Rosida saja yang tahu... kering pucat. Mobil pun melaju kembali.

"Ke mana kita, Laila?" tanya Rosida, lembut.

"Menemui Bang Herman." '

Terjadi ketegangan sebentar. Rosida memberengut mengatakan tujuan mereka terdengar aneh. dan Laila tanpa tedeng aling-aling menjawab dengan penanyaan:

"Kak Ida. Cintakah engkau pada Bang Herman?"

"Oh. Aku kira."

"Cinta?"

"Kau menghendaki jawaban yang jujur?"

Rosida menantang.

Ngeri membayangkan kemungkinan jawaban apa yang ia terima, Laila berbisik:

"Berikan saja pengakuan dusta"

Dan ketika pengakuan Rosida keluar juga, Laila yakin itu adalah pengakuan yang tulus:

"Cinta."

Namun ada keraguan di mata Rasida. Laila tidak mengetahuinya, dan hati Laila menjerit-jerit sakit.

"Tapi. Laila..."

Laila menekan keperihan di dada.

"Tetapi apa, Kak Ida?"

"Aku meragukan Herman."

jeritan di hati Laila, melemah. Mulutnyalah kini sebaliknya yang hampir menjerit:

"Mengapa

kau meragukan Bang Herman?"

"Ia tidak sungguh-sungguh mencintaiku."

Sepi.

jalanan keluar kota itu, lebih sepi lagi. Sebentar gerimis. Setelah gerimis, kabut

"Dari mana Kak ida tahu?"

Laila merintih. Padahal, ia ingin bersorak sorai.

"Naluri perempuan, laila."

Sepi lagi.

Kemudian:

"Kau mencintai Herman?'

Pertanyaan Rosida itu sudah diharapkan Laila. Ia sudah menerima jawaban tulus ikhlas. Maka ia pun harus mengimbanginya. jawab Laila, gemetar:

"Aku sangat mendambakannya."

"Aku mengerti."

Tidak tergambar nada sakit hati atau marah maupun tersinggung dalam ucapan Rosida itu. Ia mengerti. Itu saja. Tanpa embel embel. laila tidak tahu apa sebabnya, dan memang hanya Rosida seorang saja yang tahu. Ramah dan bersimpati, Rosida bergumam:

"Apa rencanamu?"

"Buka kartu!" sahut Laila, bernafsu.

"Mendengar dari mulut Bang Herman bahwa ia mencintaimu, dan bersedia menikahimu. Setelah itu Kak Ida. Apa boleh buat. Aku akan menyerah .Bersedia menikah dengan Sumarna."

Rosida menatap kuatir:

"Kau belum tahu?"

Jantung Laila berdetak. Ia tidak bertanya, tetapi ia siap mendengarkan. Diam diam ia berpikir, di sinilah terletak kunci pembuka rahasia tingkah laku papa dan mamanya yang lain dari biasa.

Tanpa berperasaan, Rosida memasukkan anak

kunci ke lubang rahasia kemudian memutarnya dengan suara berdetak nyaring:

"Sumarna sudah mati." '

"Ci-ci-ciiiittt...!"

Mobil zig zag, lalu terhempas diam di tepi jalan.

Laila mencengkeram kemudi kuat-kuat, seakan ingin mematah matahkannya.

Pandangan matanya gelap.

Masih hari selasa. Awal minggu ketiga bulan Januari yang sama.

Pada pukul lima pagi itu Herman tampak masih berdiri. Tegak mematung di antara kamar mandi dan pintu kamar tidur Saripah. Suara berisik tajam dari kamar mandi sudah lama menghilang. Tetapi di lantai kamar mandi itu masih tetap tertumpuk beribu-ribu ekor bangkai lintah dan pacat. Hampir tertutupi tumpukan bangkai menjilikkan itu terlihat pula sebelah kaki mayat Saripah terjulur kaku.

Tiga jam lebih Herman berdiri tanpa bergerak.

Toh, tegaknya tetap kokoh. Mata kelabu, tak berkedip.

Di hadapannya duduk tegang dan pucat

Lurah Joko pada sebuah kursi yang telah ia seret dari kamar duduk ke dalam kamar tidur Saripah. Kursi itu ditempatkan persis memenuhi ambang pintu.

Sebelumnya, sekitar pukul dua pagi lebih lima menit. Lurah Joko yang hampir semaput karena terkejut dan takut, memasuki kamar tidur Saripah dan dengan ngeri memandang terpelotot suasana di sekitarnya .Betis Saripah, ribuan bangkai memuakkan, dan Herman yang berdiri dalam sikap aneh. Lurah Joko merapat ke punggung Eyang Mahmudin, dan mendengar bekas gurunya itu bertanya gagap:

"Sss... siapa... engkau?"

Herman menjawab. Bukan suaranya sendiri. Tetapi suara lain. Suara lirih perempuan.

"Nurjanah!"

Lurah Joko merasakan lutut Eyang Mahmudin goyah. Lurah Joko, jangan dikata lagi. Terasa sesuatu mengalir deras pada bagian bawah tubuhnya.

Eyang Mahmudin berbisik:

"Kau membasahi celanaku."

"Celanamu?"

Mulut Herman memperdengarkan suara Nurjanah.

"Aku tidak membasahi celanamu."

"Bukan kau," sahut Eyang Mahmudin cepat cepat. Lututnya tidak goyah lagi.

"Ini, murid yang nempel di punggungku. ia kencing di celana, dan ikut membasahi celanaku pula."

Diam.

"Nurjanah?"

"Aku masih di sini...." sahut roh Nurjanah,

Dingin.

"Apakah kau ini Nurjanah, anak gadis Dudung yang dinyatakan hilang?"

"Dari mana kau tahu?"
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mulai tertarik. pikir Eyang Mahmudin dengan sukacita.

Anak ini dapat diajak bicara. Anak ini, dulunya, pasti memiliki sifat-Sifat lembut. Peka. Dan Eyang Mahmudin tidak takut lagi.

"Aku banyak mengetahui, Anakku."

Eyang Mahmudin berujar lembut. Terasa irama belas kasih pada alunan kata katanya yang lembut mengalun itu.

"Kau sangat menderita. bukan?"

Tubuh Herman tergetar.

Tetapi suara Nurjanah yang keluar dari mulut pemuda itu agak tenang:

"Bagaikan tersiksa api neraka. Gelap sekali di mana mana. Sunyi mengerikan. Aku tak bisa melarikan diri...."

"Kau akan kulindungi, Anakku."

"Kau? Kau akan melindungi aku?'

Terdengar tawa rendah. Pahit. Menyakitkan.

"Aku sudah lama mati. Sudah lama mati. Dengar? Aku tidak mungkin tertolong lagi." ,

"Rohmu, Anakku. Rohmu yang ingin kulindungi. Kau tentunya teramat sengsara, karena tak diterima langit tak diterima bumi, bukan?"

"Eh. Ya. Aku sangat takut."

"Kami juga takut, Anakku."

"Kalian takut? Aneh. Mengapa kalian takut? Hanya aku dan ayahku saja yang pantas menerima ketakutan itu. Hanya aku dan ayahku. Serta ibuku. Kami bertiga tidak pernah kalian perkenankan mencicipi sedikit kebahagiaan. Kalian semua...."

Suaranya mendadak naik, lengking:

"Kalian membakar ibuku! Kalian membakar ibuku!"

"Kami tidak pernah bertemu dengan ibumu. Nak. Belasungkawa kami untuknya. Terimalah. Dan ayahmu"

"Si Rukmana membunuhnya"

Eyang Mahmudin terdiam.

Bingung.

Di belakang. Lurah joko berbisik tanpa melepaskan pandangan matanya yang melotot cemas ke arah Herman berdiri.

"Rukmana Ayah Herman."

Eyang Mahmudin manggut-manggut. Dia ingat sekarang.

Katanya.

"Apa yang telah diperbuat Rukmana? Sungguh, percayalah. Kami semua tidak tahu. Kalau kami tahu."

Suara eyang mengancam, tetapi tanpa lanjutan ancaman yang jadinya mengambang itu.

"Apa yang diperbuatnya?"

"Ia memeras ayahku. Menimbuni kami dengan hutang budi, dan kemudian mengambilnya kembali lewat kekayaan kami yang tidak seberapa. ia, si lintah darat itu...."

Tubuh Herman bergetar hebat lagi. Getaran amarah yang meluap luap. Mulut Herman yang terbuka kaku, memperdengarkan jerit lengking:

"Lintah darat! ia lintah darat terkutuk! Karena itulah, dengan bantuan roh ayah dan ibuku, aku bangkit kembali. Bangkit dalam wujud yang mestinya dimiliki Rukmana. Melalui wujud lintah akan kulakukan apa yang ia perbuat padaku, pada ayahku. Menghisap darahnya. Menghisap darahnya sampai tidak tersisa sebutirpun juga!"

"Rukmana sudah menerima hukumannya, Anakku."

"Aku tahu! Aku tahu! Tetapi bukan tanganku yang melakukan. Alam mendahului aku. Dan

sebelum alam mendahului lagi, maka kupikir tidak ada salahnya menghisap darah semua keluarga Rukmana. Toh mereka semua pernah hidup dari penghasilan Rukmana Dari darahku. Darah ayahku!"

"Maafkan, Nak."

"Maaf. Kepada roh jahat terkutuk? "

Lurah Joko tak mengerti. Tetap lengket di punggung Eyang Mahmudin. ia dengarkan juga lanjutan kata-kata eyang itu:

"Perbuatanmu tidak patut."

Hening.

Menyentak. Lebih-lebih, curah hujan di luar rumah sudah reda betul. Angin pun seolah enggan bertiup.

Hampir pingsan Lurah Joko waktu sekonyong konyong keheningan itu dipecahkan suara melolong Nurjanah:

"Demi setan yang diusir dari syurga! Demi setan penghuni neraka! Berani kau katakan perbuatanku tidak patut?"

Leher Herman bergerak. Terdengar nafas sesak tak berkeputusan.

"Apakah patut. perbuatan Rukmana? Ia memperkosa aku. Kalian dengar? Ia memperkosa aku. Di depan mata ayahku sendiri!"

Lurah Joko mengucap istigfar.

Eyang Mahmudin bertanya getir:

"Kapan terjadinya peristiwa terkutuk itu. Anakku?"

"Malam itu. Sudah lima belas tahun berlalu! Dan umurku pun ketika itu persis lima belas tahun pula. Ia datang ke rumah. Menerobos masuk tanpa mengetuk pintu. Ia... ia mengingatkan ayah pada hutang-hutang kami yang belum terlunasi. Dengan bunganya sekalian. Sedang sawah dan rumah kami sudah lebih dulu dirampasnya. Lalu ia bilang, aku akan dinikahinya, sebagai pembayar hutang ayah. Demi ayahku, aku setuju... hi. aku setuju. Malu aku mengakuinya. Demi ayahku..

Tetapi dia... si lintah darat jahanam itu. Dia marah sekali setelah mendengar penolakan ayah. Ayahku bilang. lebih baik ia mati berkalang tanah daripada melihat putri kesayangannya dinodai makhluk terkutuk macam Rukmana

Bajuku dipretelinya!

Aku berusaha melawan. Tetapi sia sia. Aku baru 15 tahun. Miskin, kurang makan. Lemah karena hampir tak pernah tidur demi mengurus ayahku yang terlantar. Aku tak berdaya... Lalu ayahku yang lumpuh, tiba-tiba bangkit! Hebat dia. bukan? Demi aku, anaknya, ia bangkit dari lumpuhnya Kemudian"

Suara Nurjanah melemah, berubah jadi rintihan pilu:

"Kemudian... ayah terjerembab kembali di dipan. Itulah gerakan terakhir yang ia lakukan. Ia mati."

Lurah Joko merasakan punggung eyang terguncang. '

Sayang, Lurah Joko berdiri di belakang si kunis kecil tua bangka itu. Kalau ia panjangkan leher untuk melihat, ia akan tahu kalau Eyang Mahmudin mengucurkan air mata.

"Anak malang...." desah Eyang Mahmudin terbata-bata.

Melalui pundak Herman ia lihat cahaya terang-terang ayam mulai masuk melalui jendela. Entah sejak kapan, hujan reda.

"Apa yang kemudian kau lakukan. Anakku?"

"Menangisi ayah. apalagi!" jawab Nurjanah.

Kasar.

"Ia meninggal. Baiklah. Tetapi mengapa kau menghilang?" .

"Siapa bilang aku menghilang?" teriak Nurjanah.

Lalu suaranya merendah lagi. Getir dan sakit:

"Aku... aku bangun setelah Rukmana pergi. Tahu ayahku mati aku tak punya apa-apa lagi, tak punya siapa-siapa... aku berlari keluar. Kuikat badanku dengan tali. Ujung tali yang lain kuikatkan pula ke batubatu besar. Tahu sajalah. Takut megap megap dan aku berteriak minta tolong, maka kupergunakan batu-batu itu. Supaya aku terbenam sekaligus. Mati. Menyusul roh ayah. Roh ibu."

"Terbenam. Di mana?"

"Di mana lagi. Di sumur. tentu. Sumur yang terletak di depan rumah kami!"

Lalu sepasang mata Herman terpejam. Dari mulutnya terdengar suara megap-megap. suara mengerang merintih dan kutukan-kutukan semoga arwah ayah dan arwah ibunya membantu Nunjanah untuk membalaskan dendam.


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Santana Dan Garuda Bulu Emas Karya Wiro Sableng 053 Kutukan Dari Liang

Cari Blog Ini