Ceritasilat Novel Online

Penghisap Darah 1

Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap Bagian 1





Penghisap Darah

Abdullah Harahap



Abdullah Harahap

PENGHISAP DARAH

Jakarta 1991.

Penerbit Sarana Karya

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa ijin tertulis dari Penerbit.

Cerita ini fiktif.

Penamaan nama tokoh, tempat maupun ide hanyalah kebetulan belaka.



*******

Djvu : Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)

(Team Kolektor E-Book)

(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)

*****



Satu



Akhir Desember, sesaat lewat tengah malam. Belum sejam hujan berhenti. Tetapi rembulan sudah muncul dari balik sisa-sisa awan pekat kelabu. Cahayanya yang pucat menerangi jalan aspal kelas tiga di pinggir kota. Aspal terasa basah.

Lembab.

Luapan air dari parit berlumpur di tepi jalan menerbitkan bau tak sedap. Seekor tikus besar berenang cepat menuju semak belukar tatkala terdengar suara langkah-langkah kaki mendekat.

Arpan berjalan tertegun-tegun. Hatinya sedang diliputi kegelisahan. Sesekali ia berhenti.

Bimbang.

Lantas melangkah kembali.

Pulang ke rumah?

Lantas minta maaf pada Saripah?

Nanti dulu!

Ipah telah meludah. Tidak ke muka Arpan, melainkan ke lantai. Namun tetap saja hal itu tidak dapat dimaafkan. Baiklah. Arpan akan terus keluyuran sepanjang malam. Pagi-pagi, gedor saja pintu seorang teman. Pinjam seperangkat pakaian. Lalu enyah ke mana saja selama beberapa hari.

'Biar Saripah kalang kabut!

"Sialan!"

Arpan tiba-tiba memaki. Salah satu

kakinya terperosok masuk lubang.

Sandalnya terlepas.

Dan kakinya tergenang air lumpur sampai kepertengahan betis.

Dinginnya. ampun!

Arpan membungkuk memungut sandalnya. Mengenakannya kembali sambil menggerutu. Betapa sembrono ia tadi. Menampar Saripah saking tak kuat mengendalikan emosi. Kemudian minggat begitu saja. Lupa, ia cuma bercelana pendek. Alas kaki pun cuma sepasang sandal jepit yang terasa semakin licin di telapak kakinya. Mana baju kaos yang ia kenakan mulai pula basah tertimpa butir-butir air yang jatuh dari pepohonan sepanjang jalan.

Lolong anjing menggema di kejauhan.

Sayup.

Dan lirih menyayat tulang.

Arpan menggigil.

Bukan karena ratapan anjing yang menyedihkan itu. Tetapi karena udara tengah malam terasa semakin dingin.

Semakin beku.

Apakah ia tidak lebih baik pulang saja?

Tidur di bawah selimut hangat, dan Siapa tahu Saripah lebih dulu minta maaf. Arpan bimbang lagi.

Ah. Jangan!

Ipah akan mentertawakannya, lalu semakin menekan Arpan.

Sudah berapa lama Arpan selalu merasa tertekan bila berada di samping istrinya?

Arpan tersentak waktu terdengar suara perempuan menjerit keras. Disusul raung tangis berkepanjangan. Ia mencari arah suara itu. Tampak lampu-lampu sebuah rumah di sebelah kanan dinyalakan.

Oh, mereka kiranya.

Pasti Bu Endah telah dipukuli suaminya lagi.

Soal apalagi.

Kalau bukan suami pulang larut malam membawa bau parfum perempuan lain, dan menemukan istri yang tertekan jiwanya sedang mabuk berat.

Semua orang sudah tahu.

Tak heran, kalau rumah rumah lain tetap tampak tenang.

Tak acuh.

Para tetangga sudah terbiasa. Percuma saja dinasehati karena suami istri itu sama-sama keras kepala.

Arpan angkat bahu.

Kadang kadang ia suka juga mengalah. Sayang tidak demikian halnya dengan Saripah. Perempuan itu sangat teguh pada pendiriannya, tidak mau menerima uluran tangan orang lain.

"Aku bisa mengurus diri sendiri."

Ipah selalu mendengus.

Tentu saja dengan tambahan yang menyakitkan hati:

"Tanpa bantuan Arpan, toh aku dapat hidup!"

Arpan menyumpah serapah dalam hati.

Kemarahannya baru agak reda ketika ia tertegun di depan sebuah rumah setengah jadi. Tak ada penerangan sedikit pun di rumah itu. Saluran listrik telah diputuskan PLN untuk sementara. Arpan sendiri yang meminta, ketika ia mulai membongkar bangunan lama karena ingin lebih leluasa membentuk arsitektur rumah itu dan para pekerja bangunan terhindar dari kecelakaan yang tidak dikehendaki.

Tanpa ragu-ragu Arpan memasuki halaman rumah setengah jadi itu. Tembok bata semua telah terpasang. Begitu pula semua kusen dan atap. Tinggal pasang pintu-pintu, jendela-jendela kaca dan lantai teraso. Dan justru semua bahan itu belum tersedia.

Herman kehabisan uang. ibunya.... mertua Arpan... masih menunggu hasil panen sawah sekitar bulan April. Sumarna akan menikah pula pada bulan yang sama sehingga ibu mereka sangat hati-hati mengeluarkan persediaan uang yang masih ada.

Dan Saripah?

Dengan kepala

batunya Saripah berkata:

"Hutang Bang Herman sudah bertumpuk. Biarkan saja rumahnya terbengkalai!"

Sinar rembulan semakin terang. Tetapi di dalam rumah tetap gelap gulita. Arpanpun tidak berminat masuk ke dalam. Ia lebih suka mengitari halaman depan, lalu pekarangan samping. Kemudian di salah satu sudut ia berhenti. Sisa-sisa bahan bangunan yang belum terpakai dibiarkan terlantar di sudut halaman, campur baur dengan bekas bongkaran bangunan lama yang belum sempat disingkirkan. Tertumpuk di situ kayu-kayu rapuh barangkal dan seng bekas dak di antara pecahan genting yang berserakan.

Dari tempatnya berdiri.

Arpan merasa tidak leluasa memandang, ia lalu berpindah ke bagian lain. Dibantu cahaya rembulan ia amati pekarangan semrawut itu dengan cermat. ia telah lama menyusun rencana. Taman hias, kolam kecil mungkin dengan sebuah patung di tengahnya akan merubah sudut halaman yang kini porak poranda itu. Herman mempercayakan segala sesuatunya pada kejelian mata Arpan. Juga abang iparnya itu telah setuju sumur tua di pojok kanan ditutup saja. Toh air ledeng sudah memasuki daerah mereka sehingga sumur tua itu tidak lagi diperlukan.

Arpan merasa kakinya kebas.

Ia lalu berjongkok. Persis di tepi sumur. Tak ada lagi lubang yang menganga dalam. Tak ada kilatan air bening yang tak pernah kering itu, biar musim kemarau panjang telah membuat rumah rumah lain di dekatnya kekurangan air. Sumur

tua itu telah ditutup.

Dengan sampah, tanah galian, barangkal. Pendeknya, apa saja yang dapat masuk ke dalam dan membuat timbunan semakin tinggi. Permukaan sumur kini tampak hampir rata dengan permukaan tanah di sekitarnya.

Iseng, Arpan melangkah ke permukaan bekas sumur tua itu.

Kaki berlapis sandal jepit dijejakkan kuat kuat, tetapi dengan hati-hati. Tanah bercampur pasir dan baru di bawah kakinya, pelan-pelan bergerak. Cepat Arpan menghindar. Karena licin. kembali sandal jepit yang ia pakai terlepas.

Arpan meringis ketika pecahan kaca melukai telapak kakinya.

Tidak begitu sakit. Darah pun tidak seberapa keluar.

Lupakan saja!

Ia akan memanggil seorang kuli untuk memadatkan sumur ini suatu hari kelak. Di sinilah patung yang ia rencanakan di tempatkan. Kemudian air mancur -Tanpa menyadari darah terus menetes dari luka di telapak kaki, Arpan bergerak ke bagian lain. Pikirannya terpusat penuh pada rencana mengenai bentuk taman hias itu. Akibatnya, kembali ia harus meringis. Kali ini disertai pekik halus karena kaget.

Betisnya yang telanjang, tergores pula oleh ujung seng yang tajam. Darah menetes lebih banyak.

"jadah!"

Ia mengutuk

Bayangan mengenai taman mungil yang indah perlahan mengabur. Ia bergerak ke beranda rumah, duduk tersengal-sengal di kusen jendela. Tangan yang satu sibuk merogoh saku, tangan lain menutupi luka pada betis.

Sial! ia tidak bawa

saputangan. Lebih celaka lagi, darah terus saja merembes dari sela-sela jari tangan yang menutupi luka. Ketika ia perhatikan. tampaklah samar samar kakinya berubah merah .Begitu juga telapak kaki. Luka bekas tusukan kaca masih meneteskan darah.

Tanpa berpikir panjang lagi, Arpan menanggalkan baju kaos yang ia pakai. Bersusah payah ia mencoba merobek kaos yang masih baru itu. Ketika usahanya berhasil, ia telah semakin lemah. Terlalu banyak mengerahkan tenaga. sementara darah semakin banyak pula merembes keluar.

Sial benar, ia tidak menyuruh seseorang menyimpan kotak P3K di rumah ini. Sekarang ia sendiri yang harus merasakan akibatnya.

Dengan sobekan baju kaosnya. Arpan membalut luka baik di betis maupun di telapak kaki. Kemudian ia tersandar di kusen jendela. Letih dan mulai merasakan sakit pada luka-lukanya.

Pulang sekarang?

Atau pergi ke rumah terdekat?

Akal sehatnya melarang.

Pulang, berarti Saripah menang. Membangunkan tetangga, sungguh memalukan. Belum jalan becek berkuman.

Maka ia putuskan saja bermalam di bangunan setengah jadi itu.

Arpan merangkak turun dari kusen jendela, masuk ke dalam. Udara dingin membuat sekujur tubuhnya terasa kaku.

Entah mengapa, matanya mulai pula diserang kantuk yang hebat. Begitu punggungnya mencapai lantai tanah, langsung saja ia rebah. Tak perduli alam sekitar. Tak perduli gerimis mulai jatuh lagi. Juga tak mengambil perduli pada genangan darah dari lukanya

ketika ia berjalan meninggalkan sumur tua itu.

Rembulan dengan marah terpaksa menerima rangkulan awan pekat yang kian bergumpal. Malam semakin gelap gulita. Samar-samar kembali terdengar raungan tangis yang sayup dari rumah Bu Endah. Lolong anjing tidak mau kalah. Anjing itu terus meratapi langit hitam, lirih, mengerikan. Gerimis digantikan hujan lebat yang jatuh disertai tiupan angin keras dengan suara berdesah bersuit dan bersiul nyaring mendirikan bulu roma.

Tetesan darah di tanah berumput menyerap bersama air hujan.

Genangan air bercampur darah itu dengan sendirinya mencari muara yang rendah. Dan itu adalah bekas sumur tua yang telah ditimbun segala macam sampah dan barangkal buangan, tanah dan pasir. Genangan air kemerah-merahan itu menciptakan semacan lubang kecil ke mana air menyerap masuk.

Waktu terus berjalan.

Arpan telah tertidur.

Dan lubang yang diciptakan genangan air tampak semakin membesar.

Menganga.

Suatu saat, kilat menyambar dari langit kelam. Halaman rumah itu terang benderang selama satu helaan napas. Namun waktu yang pendek itu telah cukup untuk memperlihatkan, bagaimana timbunan tanah pasir berbatu di bekas sumur tua, bergerak.

Timbunan itu seakan hidup.

Sekali, menggeliat di sekitar lubang tempat air masuk. Lain saat, timbunan pasir naik turun seolah didorong kekuatan gaib. Dan ketika petir

menyambar lagi,timbunan bergerak semakin tinggi lantas jatuh berserakan di sekitar pinggiran bekas sumur. Dari lubang yang menganga semakin lebar,sesuatu menggapai keluar.

Tangan seseorang?

Ah. Bukan.

Sesuatu yang berwarna coklat kehitaman dan licin berlendir. Hampir pula tak berbentuk. Mula-mula besarnya seinduk jari kaki terjulur panjang keluar lubang. Ujung sesuatu yang hidup dan ganjil itu kemudian menghunjam di rerumputan.

Diam sebentar.

Angin malam bersorak, seram. Dan hujan membadai, liar.

Dengan ujung tetap melekat di rerumputan, bagian lain dari tubuh sesuatu itu pelan-pelan melengkung ke atas, menggeliat sebentar, lalu merayap di sekitar lubang.

Benda hidup,coklat kehitaman, basah berlendir itu melepaskan rerumputan, kemudian merayap semakin jauh dari lubang. Gerakannya menurutkan datangnya air. Air bercampur genangan darah. Bagian ujung makhluk itu sekali terbuka. memperlihatkan semacam mulut lebar yang gelap untuk menyerap air berbau darah, lalu menggeliat lagi, melengkungkan tubuh bagian tengah, menarik sisa tubuh lainnya yang masih tertinggal di sebelah dalam lubang

Pacat!

Sungguh mati, pacatlah yang keluar dari lubang itu. Namun luar biasa besar. Hampir sebesar lengan perempuan dewasa. Bila berhenti, panjangnya cuma selengan pula. Tetapi bila mulai melengkungkan tubuh. lalu merayap, panjangnya berubah hampir sepanjang manusia dewasa.

Satu dua kali kepalanya terangkat

Mencium.

Mengendus.

Lalu tubuh binatang menyeramkan itu bergerak maju.

Tujuannya sudah pasti.

Yakni ke bau tetes darah terakhir masih melekat. Makhluk itu menggeliat pelan ketika menaiki beranda yang sedikit becek. Desir tubuhnya lalu begitu halus.

Arpan bermimpi buruk.

Namun terus saja mendengkur.

Gelisah.

Ia sama sekali tidak melihat, sesuatu menjulur lewat kusen jendela. Tak tampak sinar mata sepercikpun jua. Hanya garis tipis sebuah mulut yang menyeringai.

Buas.

Angin malam menjerit.

Lengking.



*******



Dua



Pelayan membuka pintu.

Herman menguap.

Lalu masuk.

"Ipah ada, Bi?"

Ia bertanya seraya terus saja menerobos ke ruang dalam.

"Masih tidur, Den Herman."

"Pukul sembilan begini?"

Dahi Herman berkerut.

Ia menatap ke sebuah pintu tertutup.

"Dan Arpan?"

Diam.

Tak ada jawaban.

Herman berpaling mengawasi wajah si pelayan. Perempuan setengah umur itu tampak pucat, mengkerut. Herman menarik napas panjang.

Geleng kepala.

Kemudian bersungut malas:

"Buatkan aku segelas kopi. Bi Ijah."

Pelayan seperti terbang menuju dapur. Ia telah lolos dari lubang jarum. Majikan perempuan akan mencaci maki dia habis-habisan, sekali Bi Ijah lepas omong pada orang lain menceritakan betapa riuh rendahnya rumah ini tadi malam. Sambil lewat, Bi Ijah melongok ke pintu kamarnya yang terbuka. Tampak sesosok bayi mungil

meringkal tenang di bawah selimut.

Bi Ijah tersenyum.

Sedih.

"Dan anak itu ikut jadi korban," keluhnya.

Di ruang dalam, Herman tidak senang menunggu.

Begitu Bi Ijah menghilang, langsung saja ia mengetuk pintu tertutup tadi.

"Ipah?"

Herman memanggil.

Sepi.

Diketuknya lebih keras, berulang-ulang.

"Sudah siang, Saripah!"

Ranjang berderit di dalam.

Terdengar langkah-langkah kaki mendekat, lalu pintu kamar terbuka.

Wajah Saripah kusam.

Matanya agak merah, kurang tidur.

"Kau kiranya,"

Ia memberengut.

Dan bermaksud menutup pintu kembali, kalau tak keburu Herman menghalangi dengan kaki.

"Aku mau bicara sebentar, Ipah."
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nanti saja. Aku masih ngantuk."

"Kau kira aku tidak?"

Tanpa dapat ditahan. Herman menguap sekali lagi. Ia menyisir rambut dengan jari, memijit bagian belakang kepala yang terasa berdenyut.

"Sepanjang malam aku tak bisa bekerja. Aku kuatir telah terjadi sesuatu. Karena itu aku datang...."

Saripah hilang sebentar di kamarnya. Rupanya ia terus ke jamban.

Membasuh muka .

Ketika keluar lagi, ia tampak lebih segar dan cantik. Hanya matanya saja yang kelihatan masih murung. Duduk berhadapan dengan saudaranya, ia bergumam tanpa semangat:

"Aku siap mendengarkan, Bang Herman."

"Begitukah sambutanmu, Ipah?"

Saripah angkat bahu.

Kemarahan Herman bangkit.

Untung Bi Ijah muncul dari dapur. Tahu tamu mereka orang tak sabaran, pelayan membawa pula segelas air bening untuk majikannya .Dengan biiaksana ia kemudian menyelinap ke dapur. Meninggalkan dua orang bersaudara itu saling tatap. Herman yang mengalah.

"Aku tak melihat Arpan,"

Ia memulai, dengan suara direndahkan.

"Ia pergi. Tengah malam tadi."

"Hem. Bertengkar lagi, ya?"

Saripah diam saja.

"Pasti aku yang jadi benih keributan,"

Herman mencicipi kopinya tanpa selera.

"Benar, bukan?"

"Kalau abang sudah tahu, mengapa bertanya lagi?" sahut Saripah.

Ketus.

"Karena aku ingin kalian berdamai."

"Bah!"

"Aku terlibat, Ipah. Aku tak mau dijadikan biang keladi. Karena itu tadi malam kuputuskan untuk menghentikan saja pembangunan rumah itu. Biar begitu saja dulu, untuk setahun dua tahun. Atau seabad, aku tak perduli. Yang penting aku ingin memberitahu suamimu, supaya melupakan saja niat baiknya menyelesaikan pembangunan rumah itu dengan mempergunakan uangnya sendiri."

"Uangku!" potong Saripah, pendek.

"He-eh. Uangmu!"

Herman setuju, tetapi dengan nada suara jengkel. Ia bangkit dengan marah. Berjalan mundar mandir, sambil menggerutu:

"Kau ini seperti bukan adik kandungku saja, Ipah. Baiklah. Uangmu. Pada waktunya, uangmu yang telah terpakai, akan kuganti. Hitung saja

bunganya sekalian."

"Abang menyindirku,"

Saripah mendelik.

Herman tertawa.

Sumbang.

"itu pekerjaanmu, bukan? Membungakan uang, seperti dulu dilakukan ayah!"

"jangan membangkit kejelekan orang mati,"

"Oke!"

Herman menyeringai, lalu menadahkan tangan seraya berdo'a dengan suara munafik:

"Semoga Tuhan mengampuni dosa almarhum ayah kita. Dan semoga..."

Suaranya lebih lembut dan khusuk.

"Semoga kami yang masih hidup tidak bercerai berai dikarenakan uang."

"Bang Herman"

"Uang!"

Herman tidak perduli.

"Aku kehabisan uang. lalu Arpan terus saja mendesak. Ia begitu bernafsu untuk menyelesaikan rumah itu. Tiap hari ia menemuiku. Mengajukan usul agar aku tidak menolak niatnya meminjam uang ke bank. Padahal di rumahnya sendiri, sudah ada bank yang...."

"Hentikan, Bang Herman!"

"Diamlah, saudaraku. Sepanjang malam tadi, aku tak bisa menekuni pekerjaan. Entah mengapa, pikiranku hanya tertuju kepada suamimu. Arpan ingin aku lekas berumah tangga. Dan mempersembahkan rumah mungil cantik sebagai hadiah perkawinan. Dan aku, si perjaka tua yang tak beruntung ini, hampir kewalahan menghadapi niat baik adik iparku. Lantas tadi malam aku berpikir, sekali Arpan meminjam ke bank, dengan usahanya yang morat marit seperti sekarang. Dan terpaksa uang saudaraku yang pemurah, keluar lagi dari laci."

"Kredit dari bank akan keluar besok" tukas Saripah. setengah hati. ,

"Arpan memberitahu hal itu tadi malam. Kami-kami lantas ribut dan aku beritahu dia. Biarpun aku mencintainya, kali ini aku tak akan memberi ampun. Kelak bila bank mulai menagih dan ia kepepet, aku tak akan sudi untuk.... Lalu ia mengucapkan sesuatu yang membuatku sangat marah dan tanpa sadar, ia kuludahi."

"La kau:."

Herman terkejut

"Astaga apa yang telah kau perbuat, Saripah?"

"Aku tak kuat membendung emosi, Bang,"

Suara Saripah tergetar, menahan tangis

"Ucapannya itu."

"Apa yang diucapkan?"

"Ia bilang...."

Saripah tak mampu menjelaskan.

Herman mengurut dadanya yang terasa sakit. Berkata:

"Persetan dengan uangmu. Uang haram. Itukah yang ia bilang, ipah?"

Saripah manggut manggut.

Air matanya merembes keluar.

"Arpan tidak pernah berkata sekasar itu. Bang Herman. Ia... ia sebenarnya suami yang baik. Suami yang mau mengerti bahwa _ bahwa aku harus ikut berusaha untuk menjamin kelanjutan hidup kami, ia hanya mengomel kalau kalau aku menentukan bunga terlalu besar pada seseorang, atau kalau terlalu Cepat melaporkan barang jaminan yang ada di tanganku. Ia juga tahu apa yang selama ini kami makan, lebih banyak dari hasil jerih payahku sendiri. Ia tak pernah...."

Saripah terisak-isak.

Herman tercenung di jendela.

Menatap keluar.

Matahari pagi bersinar terik. Sekelompok laki-laki dan perempuan berjalan menuju ke satu arah. Herman menelan ludah. Lantas bergumam lirih:

"Kau tahu ke mana orang orang itu semua menuju, Ipah?"

Saripah yang hatinya terguncang, menyahut ak bersemangat:

"Siapa. Bang?"

"Mereka di luar sana. Semua pergi ke rumah Bu Endah."

"Oh."

"Cuma oh? Tidakkah kau tahu apa yang terjadi tadi malam?"

Perhatian Saripah mulai terbangkit. Ia seka air mata di pipi.

"Apa yang terjadi? Kukira. paling-paling ia... ia dipukuli suaminya lagi. Eh. Apakah ia... mati?"

"Bukan Bu Endah. Tapi anak mereka"

"Yang mana?"

"Bayi yang lahir. Baru berumur tiga bulan. kalau tak salah,"

Herman kembali ke tempat duduknya. Mereguk kopi sampai habis. Dari belakang, terdengar rengek bayi. Lalu suara Bi Ijah membujuk penuh kasih sayang. Dahi Herman berkerut lagi.

"Kau biarkan Noni tidur dengan pembantu, ipah?" ia bertanya.

"Terpaksa. Bang."

Saripah tampak malu.

"Noni menjerit saja sepanjang malam tadi. Aku sampai kewalahan. Baru setelah dipangku Bi Ijah,

Noni diam...."

"Kalian bertengkar di dekat Noni?"

"Tidak, Bang. Kenapa?"

"Kapan ia mulai menangis?"

"Antara pukul satu dan dua, begitu. Aku tak

ingat betul. Pokoknya, tak lama setelah ayahnya pergi."

"Tuhanku!" bisik Herman.

Gemetar.

"Ada apa. Bang?"

"Pada jam itu pulalah aku tadi malam memukul seorang pegawai percetakan. Aku teringat kau dan Arpan. Lalu mulai gelisah, dan tiba-tiba ingin marah. Pegawai itu kupukul tanpa sebab."

"Abang toh tidak...."

Wajah Saripah berubah pucat.

Herman memperhatikan arloji di tangannya.

"Hampir tengah hari. Dan suamimu belum pulang. Pernah ia minggat selama itu. Ipah?"

"Tidak, Bang,"

Saripah mulai kuatir.

"Biasanya ia akan pulang untuk sembahyang subuh. Lantas tanpa sarapan ia pergi lagi. Tentu saja tanpa pamit."

Saripah tersipu malu.

Sebuah pikiran muncul di benaknya. Wajah bertambah pucat dan tangan diletakkan di dada menahan deburan jantung yang berdetak sangat keras.

"Bang?"

"Heh?"

"Abang jangan berpura-pura."

"Hai. Apa pula maksudmu?"

"Yang mati itu bukan... bukan anak Bu Endah. Abang mengatakan itu hanya karena..."

Herman memburu ke depan begitu ia lihat tubuh adiknya limbung mau pingsan.

"Tenangkan hatimu, Ipah. Suamimu tidak apa-apa. Paling juga ia nginap di rumah seorang teman. Dan."

Ia membantu Saripah duduk lebih tenang.

"Memang yang meninggal bayi Bu Endah. Kebetulan aku lewat di sana sebelum ke rumah ini. Aku sempat

melayat sebentar. Kudengar, telah dua minggu anak itu sakit. Kau tahu apa yang kusaksikan. Ipah? Mayat bayi itu demikian kering. Kurus kering. Tak berdarah. Ada yang bilang, darahnya telah dihisap roh jahat dan.... Eh, Ipah. Ada apa dengan kau? Saripah! Saripah!"

Ternyata Saripah benar-benar pingsan.

Herman menggotongnya ke kamar. Dibaringkan di tempat tidur. Ia sudah tahu di mana letak obat. Dalam sekejap ia telah menggosokkan minyak angin di beberapa bagian tubuh Saripah, lalu mengendus-enduskan di lubang hidung adiknya itu. Bi Ijah datang bergegas dari dapur.

'Tak apa. Ia akan segera baik,"

Herman memberitahu.

"Ada yang perlu saya bantu. Den?"

'Tidak usah Urus saja si Noni."

Bi Ijah bimbang tetapi kemudian mundur juga. Dan memang Saripah tak lama setelahnya siuman.

Herman mendesah senang. Dan ia sudah siap menyatakan penyesalan karena telah menceritakan sesuatu yang menakutkan mengenai bayi Bu Endah sehingga Saripah pingsan. Tetapi begitu Saripah membuka mata, maka pertanyaan yang pertama keluar dari mulutnya adalah:

"Arpan?"

"ini aku, Ipah,"

Herman menepuk-nepuk pipi adiknya dengan sayang.

"ini aku, Abangmu."

"Arpan," ulang Saripah.

"Cari dia sampai ketemu, Bang Herman!"

"Oke. Oke. Ia akan kutemukan. Arpan baik baik saja. Kau tidurlah, Ipah."

"Aku takut, Bang."

"Alaaa..."

"Pergilah. Bang. cari dia untukku"

Yang pertama-tama dilakukan Herman, menemui Bi ijah. Perempuan itu berkata tidak tahu jelas isi pertengkaran kedua majikannya tadi malam, ia dengar Arpan membanting pintu. Tetapi tidak tahu apakah majikan laki-lakinya mengatakan akan pergi ke suatu tempat. Dan Bi Ijah tidak pernah tahu ke mana pula biasanya majikannya ngelayap untuk menghindari kobaran api neraka di rumah mereka.

Herman menjangkau telepon,

ia tahu beberapa alamat dan ingat satu dua alamat itu selalu didatangi adik iparnya. Jawaban mereka semua sama. Arpan tidak mengetuk pintu rumah mereka. Herman menelpon pula ke kantor biro bangunan. Siapa tahu Arpan memutuskan tidur di kantor malam tadi. Tetapi pegawai yang menerima telepon berkata, majikan mereka belum datang di kantor. Penjaga kantor juga mengatakan hal yang sama.

Jantung Herman berdetak keras.

Ia menemui Saripah lagi. Bertanya segala sesuatu dengan gaya tenang, kalem dan tidak terlalu serius sambil menghibur adiknya dengan janji-janji kosong. Kemudian ia tahu, Arpan meninggalkan rumah tanpa dibekali uang. Ia hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Dalam keadaan serupa itu mustahil Arpan mempermalukan dirinya menemui orang lain.

"ia mungkin ke rumah ibu,"

Herman menyimpulkan.

"Tadi aku belum sempat pulang, jadi tidak tahu apakah ia ada di sana. Baiklah aku pergi sekarang. Ipah-"

Saripah memegangi tangan abangnya.

Berkata, panik:

"Bilanglah, Bang Herman. Arpan masih hidup!"

Bukan Herman yang menjawab.

Melainkan ketokan keras di pintu depan. Kemudian bunyi bel yang berdering-dering.

Saripah sesak nafas.

Herman menghiburnya dengan kata paling manis:

"itu Arpan tentunya,"

Lalu ia bergegas membuka pintu depan,ia mengenali wajah dua orang tetangga

Salah seorang, ketua er-te. Ketua er-te itulah yang dengan wajah murung dan suara gagap memberitahu:

"Kami menemukan ma _ eh, menemukan Pak Arpan."

Dada Herman bergemuruh keras.

Ia menarik kedua tamu itu menjauhi rumah adiknya, lantas bertanya gelisah:

"Di mana?"

"Rumahmu. Yang sedang dibangun."

"Ia...."

Kedua orang tetangganya saling pandang.

Enggan mengatakan.

Akhirnya Herman berjalan meninggalkan mereka. ketua er-te dan temannya kemudian menguntit diam-diam di belakang, sambil berbisik-bisik prihatin.

Semakin dekat ke rumah yang dituju, semakin Herman was-was dan takut, ia mengenali beberapa orang tetangga yang tadi ia lihat di tempat Bu Endah, kini berjalan setengah berlari ke arah sama. Membelok di samping jalan, rumah setengah jadi itu mulai tampak di kejauhan.

Dan banyak sekali orang berkerumun.

Seperempat jam sebelum Herman diberitahu,seorang penjual sayur lewat di depan rumah itu.

Ia tertarik mendengar salak anjing yang ribut. Ketika ia menoleh, Ia lihat seekor anjing melompat-lompat di bagian dalam rumah sambil terus menyalak dan melolong. Sedang anjing lain mengendus-endus dari luar lewat kusen jendela.

Penjual sayur meletakkan pikulannya.

Ia masuk ke halaman sambil mengusir kedua ekor anjing itu yang segera kabur terbirit-birit dengan ekor terlipat di paha. Mendadak si penjual sayur tertegun. Matanya menangkap sebuah kaki telanjang, kotor dan pucat. Dengan jantung berdebar, ia terus saja mendekat meski hati kecilnya menyuruh lari.

Lalu ia terpekik ngeri.

Di lantai tanah, terbujur kaku mayat seorang laki-laki. Wajah dan kulit mayat itu mengeriput.

Tak ada darah.

Tetapi dadanya berlubang.



*****



Tiga



Jenazah bayi Bu Endah dimakamkan pukul dua siang. Tidak begitu banyak orang hadir. Mungkin mengingat reputasi buruk suami istri yang tertimpa musibah itu. Mungkin pula karena sebagian orang lebih suka ikut sibuk mengerjakan apa saja untuk meringankan beban keluarga Saripah yang tengah berkabung. Selagi para pengantar jenasah tekun mengikuti pembacaan do'a oleh seorang ustad. Dua orang laki-laki terus saja bekerja, tidak jauh dari kuburan si bayi.

Kedua orang itu sedang menggali liang lahat baru.

Paling lambat pukul empat sore, kuburan baru itu harus siap pakai. Tetapi sampai pukul empat lebih seperempat, jenasah Arpan belum juga diberangkatkan dari rumahnya. Di antara Suara raung dan tangis, Herman sibuk bertengkar dengan seorang pejabat polisi setempat.

"Tidak!"

Ia berkata ngotot. Mukanya merah padam.

"Mayat itu tidak boleh kalian jamah."

Lawan bicaranya menerangkan dengan sabar:

"Tetapi kami harus melakukan autopsi. Kuat

dugaan, adik ipar Bung Herman mati dibunuh."
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dibunuh? Oleh siapa?"

Herman menantang.

"Terus terang, kami belum tahu,"

Pejabat polisi itu berkata, sedikit bingung.

"Memerlukan tempo untuk mengusutnya. Bung Herman sudah lihat sendiri. Hampir tak ada jejak atau petunjuk di tempat mayat ditemukan."

"Oke. Kalian carilah pembunuh biadab itu,"

"Jadi, kami boleh mengambil mayat Arpan?"

"Tidak!"

Seorang tua datang mendekat.

"Aku lurah di daerah ini."

Ia mengenalkan diri pada si pejabat.

"Boleh saya menengahi?"

"Silahkan."

"Hiburlah adikmu, Nak Herman,"

Lurah mengusir Herman secara halus, ia menunggu sampai Herman pergi, kemudian menarik lengan si polisi menjauhi keramaian orang di dalam rumah.

"Tengah malam tadi, Arpan masih hidup." katanya.

"Jam berapa tepatnya ia meninggal?"

Pejabat polisi membuka buku notes. Lalu:

"Menurut dokter kami, Arpan meninggal sekitar pukul satu dua puluh dinihari. Apa yang ingin bapak ceritakan?"

"Tak banyak,"

Lurah mengelus jenggot putihnya, dengan wajah masygul.

'jadi tidak sampai dua belas jam ketika mayatnya ditemukan. Waktu yang teramat singkat untuk membuat mayat berbau sedemikian busuk,"

Lurah ingin meludah, tetapi ia menahan diri.

"Mati karena keracunan dapat saja menimbulkan bau busuk sebelum waktu yang normal," bantah polisi itu.

"Apakah kalian menemukan darah? Walau setetes?"

"Itulah yang mengherankan!"

Yang ditanya merasa jabatannya tiba-tiba dipertaruhkan.

"Tak setetes pun yang tersisa Di sekitar mayat. Bahkan dalam tubuhnya."

"Masih ada lagi,"

Lurah menarik nafas.

"Racun apa yang membuat mayat Arpan begitu rusak mengerikan? Kulitnya kering. Berkeriput. Biji matanya pun sangat menjorok ke dalam. Seolah sesuatu yang masuk ke tubuhnya, lewat dadanya, ingin sekalian menyedot biji matanya itu."

"Pak lurah berlebihan,"

Mau tak mau, sang polisi bergidik.

"Aku mengatakan apa adanya. Kalian tidak akan pernah tahu, makhluk apa yang telah membunuhnya. "

Wajah pejabat polisi itu cerah sedikit

"Jadi bapak sependapat dengan kami, Arpan telah dibunuh. Saya harap, bapak berkenan pula membujuk keluarga almarhum supaya kami dapat mengurus mayat itu. Melalui pemeriksaan laboratorium, sebab kematiannya pasti ditemukan."

"Menyesal sekali, saya tak dapat"

"Oh!"

Sang pejabat, kembali patah hati.

"Bapak pulang saja ke kantor. Buatlah laporan apa saja. Tetapi setelah itu, lupakanlah mayat Arpan."

"Ini perintah?"

Sang pejabat tersinggung.

"Maafkan saya,"

Lurah membungkukkan kepala. Hormat dan menyesal.

"Saya harus pergi."

"Tidak keberatan saya ikut?"

"Saya bukan mau ke dalam rumah, Pak

Letnan. Saya akan pergi Ke tempat jauh. sangat jauh." !

"Ingin menemui seseorang?"

"Persis."

"Siapa, kalau boleh saya tahu?"

Pejabat polisi itu membuka notesnya kembali, siap mencatat.

Lurah memandangi notes. Tak acuh. Katanya:

"Saya akan menemui bekas guru saya. Ia seorang ahli kebathinan,"

Lantas lurah berlalu setelah mengangguk sopan. Meninggalkan si Letnan Polisi termangu-mangu sendirian.



*****



Seusai-upacara pemakaman Arpan, Herman pulang ke rumah ibunya sebentar untuk berganti pakaian. Kemudian ia kembali ke rumah Saripah. Hampir semua keluarga maupun kerabat memenuhi seisi rumah. Ratap tangis tidak lagi sehebat tadi siang,tetapi gaungnya masih tetap saja mengharu biru. Saripah pingsan berkali-kali. Ia ditemani ibunya dan ibu Arpan di kamar. Di dapur kaum perempuan sibuk mempersiapkan jamuan untuk tamu yang mau tahlilan.

Habis kencing di jamban, Herman berpapasan dengan seorang gadis semampai. Rambutnya yang lebat panjang disanggul di atas kepalanya yang manis bentuknya .Wajahnya tidak begitu cantik. Tetapi sinar matanya yang senantiasa tampak sejuk, benar-benar merupakan tempat berteduh paling menyenangkan. Belum lagi betisnya yang panjang, memberi daya tarik tersendiri.

"Hai, Bang,"

Gadis itu yang mula-mula menyapa.

"Oh Kau. Laila,"

Jantung Herman berdetak.

"Kapan tiba?"

"Baru saja. Dijemput Sumarna."

"Uh! Mestinya Sumarna tak perlu membuatmu ikut repot,"

Herman menyesali adiknya.

"Aku toh calon istrinya, Bang Herman,"

Laila tersenyum manis.

Ucapan itu sebenarnya tidak punya maksud tersembunyi. Namun Herman diam-diam merasa terpukul. Agak risih ia balas senyuman Laila

"Maaf ya. Aku harus menemani tamu-tamu di depan,"

Lalu Herman berlalu dengan jantung terasa meleleh.

Tetapi Herman tak mampu bertindak sebagai tuan rumah yang baik, ia tak bisa menyembunyikan wajah murung, dan sifat pendiam yang datang tiba-tiba saja. Sampai ia berseru kaget kalau ditegur seseorang. Raung tangis yang datang dari kamar Saripah,membuat hatinya semakin melilit. Ucapan belasungkawa yang setiap saat ia terima dan tamu, tidak mengurangi tekanan jiwanya

Ia lalu menemui Sumarna.

"Aku pergi sebentar," katanya.

"Abang mau ke mana?"

"Bukan urusanmu."

Tujuannya tidak begitu jauh. Tetapi udara malam yang mengandung kabut sungguh tak enak ditempuh berjalan kaki. Maka ia meninggalkan rumah Saripah dengan mempergunakan mobil adik iparnya. Sepuluh menit sesudahnya, ia telah memasuki pekarangan sebuah rumah besar model lama. Hampir sama besar dan modelnya dengan rumah ibunya.

Tahu ada tamu, tuan rumah lekas membuka pintu.

"Oh. Nak Herman kiranya," sambut seorang perempuan setengah umur.

Ramah, sambil membuka daun pintu lebar-lebar.

"Hebat, kau berhasil memukul mundur polisi yang streng itu."

"ibu kok tahu?"

"Aku dengar kalian berdebat Waktu aku mau pulang dari rumah adikmu,"

Perempuan setengah umur itu tersenyum.

"Kuharap kau baik-baik saja, Nak Herman. Ingin bertemu Rosida. ya?"

Herman manggut ,tersipu.

"Sehari ini ia tidak keluar-keluar dari kamarnya."

Si perempuan bergumam lirih.

"Tak masuk dulu, Nak Herman?"

"Terimakasih, Bu. Dan eh. apakah ia... sakit?"

"Entahlah, Nak. Ida tak mau ditemui."

"Mudah-mudahan ia tidak mengusirku suka." rungut Herman kemudian meninggalkan si perempuan yang segera menutup pintu.

Herman berjalan ke samping rumah menuju pavilyun.

Beranda gelap.

Begitu pula bagian dalam pavilyun.

Herman mengetuk.

Lama, baru terdengar sahutan:

"Siapa?"

"Aku."

"Aku Siapa?"

"Alaaa .Cepatlah buka Aku kedinginan, ida."

Herman sedikit kaget ketika lampu beranda menyala. Disusul lampu ruang depan pavilyun. Seorang gadis membuka pintu tanpa ragu setelah mengenali suara orang yang datang.

Tanpa dipersilahkan Herman melangkah masuk. Si gadis menepi memberi jalan. Setelah pintu ditutup kembali, Herman berbisik kasar:

"Kau satu-satunya orang yang kuharap, tetapi tak hadir di rumah adikku."

Rosida berbadan sehat dengan lekak lekuk tubuh yang tak puas sekali memandang. Tetapi pada saat ia berdiri tepat di bawah lampu yang bersinar terang, kelihatanlah betapa wajahnya pucat. Bibir atasnya tertonjol ke depan. Parit di bawah hidungnya tak tampak sedikitpun juga

"Gusimu kambuh lagi?"

Herman melembutkan suaranya.

"Ya"

Herman mengusap pipi Rosida. Usapan itu beralih ke leher, lalu pundak si gadis. Herman berkata terkejut:

"Panas sekali!"

"Nanti juga sembuh,"

Si gadis mencoba tersenyum. Sungguh janggal dengan bibir atas menonjol tanpa parit itu.

"Sudah ke dokter?"

Herman memeluk Rosida dan membimbingnya ke kamar tidur. Karena ia sudah tahu jawaban Rosida. Gadis itu paling enggan menemui dokter. Ia jarang sakit. Dan kalau sakit, pastilah pada tempat yang sama Gusi bengkak, katanya Lalu sedikit demam, tetapi dengan beristirahat satu dua hari penyakitnya akan hilang sendiri.

"Bagaimana keadaan di sana?" tanya Rosida sambil duduk berjuntai di tepi ranjang,

"Seperti neraka."

"Adik iparmu sudah dikuburkan?"

"Sudah."

"Tentu ibumu bertanya-tanya dan kecewa, karena aku tak datang."

"Tak seorang pun mengingatmu, Ida. Dalam keadaan kacau begitu, hanya aku saja yang selalu terkenang. Aku tak tahan mendengar jerit tangis di rumah, lantas aku pergi ke mari," ia mengawasi Rosida yang masih saja duduk, lantas bergumam:

"Kau berbaringlah." '

"Aku lebih sehat sekarang, Man. Setelah melihatmu,"

Rosida tersenyum.

Tetap janggal.

"Aku tak sesakit yang kau perkirakan. Hanya ya dengan tampang sejelek ini, tak berani aku keluar rumah. Kuharap kau tak pula kecewa melihatku."

"Bukan sekali dua aku melihat mulut ikanmu,"

Herman tertawa.

Maju selangkah, kemudian membungkuk mencium bibir Rosida. Bibir atas Rosida terasa keras di bibir Herman. Tetapi lidahnya yang menggapai lembut, hangat dan basah.

"Aku merindukanmu, Sayangku,"

Ia berbisik di telinga gadis itu.

Rosida merangkulnya erat-erat.

Getaran tubuhnya bukanlah getaran birahi. Heran, Herman bertanya lembut:

"Kau yakin, kau akan sembuh tanpa menemui dokter?"

Rosida mengangguk

"Dekap aku lebih kuat. Man,"

Suaranya bergetar, ganjil.

"Oh. Dekap dan ciumlah aku sekali lagi."

Herman mengawasi wajah Rosida

"Kau tampaknya... ketakutan, Ida?"

"Herman"

"Apa yang kau takutkan?"

"Aku tak apa-apa. Aku...."

"jangan berdusta. ida. Sudah lama aku mengenalmu dan mengetahui apa yang tersirat di balik mata maupun Suaramu."

Rosida melepaskan diri dari rangkulan Herman. Berbaring di ranjang dengan kelopak mata terpejam. Dadanya naik turun, gelisah.

"Aku ingin pulang, Herman," ia berkata.

Datar.

"Pulang?"

"Ya. Ke orang tuaku. Sudah bertahun tahun aku tidak melihat mereka. Aku memang selalu mengirim uang. Atau surat. Tetapi itu tidak cukup. Tiba-tiba aku ingin sekali berkumpul lagi dengan mereka. Dengan adik-adikku yang masih kecil. Dengan tetangga Kerabat. Teman-teman masa kecil. Kampungku memang sangat jauh di pedalaman Sumatera, Herman. Tetapi kampung terpencil itu kini memanggilku pulang."

"Kau tidak serius, ida,"

Herman berkata, kecut.

"Aku sungguh-sungguh."

"Tetapi kita akan menikah."

"Bila?"

"Setelah rumah kita selesai. Jangan lupa. uangmu ikut tertanam di rumah itu, Ida. Tak lama lagi kita akan."

'Tak lama?"

Rosida memandang Herman, sedih. Ia geleng-geleng kepala, lantas mengeluh:

"Simpananku sudah habis, Sayang. Begitu pula kau. Sedang kita masih memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk menyelesaikan rumah itu. Tidak, Herman. Biarkan aku pulang. Biarkan aku jauh dari tempat yang menakutkan ini. Aku....."

Herman terkesiap.

Ia naik ke ranjang. Duduk di sebelah Rosida

lalu dengan lembut memegang tangan gadis itu.

"Bukan karena panggilan kampung halaman, kalau begitu."

"Apa apa maksudmu?"

Rosida membuka matanya.

"Kau takut. Takut dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Terutama, takut terhadap rumah yang sedang kita bangun. Katakan saja terus terang, Ida."

"Herman, sayangku."

Rosida menarik tubuh Herman, merangkulnya rapat ke tubuhnya sendiri. Getaran di dadanya, keras dan tidak teratur.

"Kau tak mengerti."

"Aku mengerti," desah Herman. getir.

"Kau percaya pada tahayul itu. Pada dongeng memuakkan tentang rumah kita!"

"Lantas, Herman. Apa pula pendapatmu? Ayahmu meninggal karena rumah itu...."

"Ia meninggal terkena arus listrik, Ida!" bentak Herman marah.

Ia kemudian duduk serentak.

Marah.

"Arus listrik, benar. Tetapi kabelnya berasal dari rumah itu."

"Hanya kebetulan. Semua orang berkata demikian. Ida. Hanya kebetulan saja ayah ada di sana. Ia mau menagih uang dari pengontrak itu. Kesalahan ayah, cuma tak pandang waktu. Tahu hujan deras dan petir menyambar, ia pergi juga ke sana. Tetapi cobalah maklumi ayahku, Ida. "

"Pengontrak rumah itu telah menunggak satu tahun. Kalau dibiarkan terus.... Hehhh. Mestinya ayah memilih waktu yang lain saja. Tetapi itulah takdir, Ida. Takdir menghendaki petir menyambar saluran kabel ke rumah itu. Salah satu kabel

putus, jatuh menimpa ayah. Sederhana, bukan? Tidak ada unsur jahat dalam peristiwa itu. Apalagi, roh gentayangan."

"Bagaimana dengan para penyewa yang menempati rumah itu, Herman?"

Rosida tidak mau kalah.
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selama sepuluh tahun, tiga keluarga telah menempatinya secara bergiliran. Dan tiap kali mereka pindah. tiap kali salah satu anggota keluarga mereka tidak ikut pindah."

"Tak ada hubungan!"

Herman berkata jengkel.

"Kau kan sudah tahu dari cerita orang-orang. Korban pertama mati ditabrak mobil di tengah kota. Korban kedua, mati setelah berkelahi dengan teman sekolahnya. Dan anak kecil malang, korban terakhir mati karena tetanus."

"Ia bukan korban terakhir, Herman-.."

Seketika, Herman terdiam. Dua tahun terakhir rumah yang diwariskan untuknya tidak lagi disewa orang. Rumah pembawa sial, begitu bunyinya promosi buruk itu. Dua tahun rumah itu kosong, tak ditempati .Sesekali Herman tidur pula di sana. Tak ada gangguan apa-apa. Ia tetap hidup dan sehat. Lalu Arpan membongkar rumah itu.

Dan Arpan mati.

"Kematiannya sangat menyeramkan bukan, Herman?" bisik Rosida, menggigil.

"Tak ada yang tahu apa penyebab kematiannya, itulah yang kudengar dari induk semangku. Ataukah kau telah mengetahuinya, dan tidak mengatakan pada orang lain?"

Herman tidak tahu harus menjawab apa.

Ketegangan yang merayapi dirinya semenjak Arpan meninggal, kembali muncul. Ia mencengkeram sprei tempat tidur, lalu sebagai pelarian ia berkata kesal:

"Baiklah Kita pikirkan rumah itu lain

kali. Kita dapat menetap di sebuah rumah lain. Jadi kau tidak perlu pulang kampung sekarang!"

"Mendekatlah, sayang,"

Rosida menggapai, lembut.

"Aku tahu, seperti aku, kau pun diam-diam menyimpan rasa takut. Ayolah. Peluk aku, kekasih dan mari kita lupakan obrolan terkutuk itu!"

Herman merangkul Rosida. Gadis itu membuka mulut, dengan mata setengah terbuka. Bukan waktu yang tepat. Bukan pula perbuatan yang pantas. Tetapi mereka berdua sama-sama tegang. Sama sama memerlukan penyaluran untuk mengurangi ketegangan itu. Dan salurannya cuma satu.

Setengah jam berlalu.

Kemudian, baik Herman maupun Rosida sama-sama terkulai di bawah selimut. Letih tetapi menyenangkan.

"ida?"

Herman menyeka keringat yang membasahi wajah si gadis.

"Mmm?"

Rosida membuka matanya .

Setengah mengantuk.

"Apa kata orang, kalau mereka tahu apa yang kita lakukan malam ini?"

"Aku tak perduli."

"Kau mencintaiku?"

"Melebihi segalanya,"

Rosida tersenyum.

Ia menyambar apa saja. Yang terpegang, blousenya sendiri. Blouse yang terkapar dekat kakinya itu dipergunakan sebagai lap untuk menyeka pula peluh yang membanjiri punggung kekasihnya.

"Ingin mengatakan sesuatu?"

"Ya."

"Ayolah. Tak usah malu-malu,"

Rosida mencium bibir Herman.

"Kau batal pulang."

Herman bergumam, penuh harap.

Usapan tangan Rosida di punggung kekasihnya, tertegun sebentar. Ketika ia meneruskannya, suara Rosida terdengar bimbang:

"Aku tidak tahu."

"Aku tak bisa jauh darimu, Ida."

"Lebih-lebih aku, Herman sayang'

Mereka berciuman lagi.

Dan menikmati hubungan intim seperti tadi, kali ini lebih lama. Menjelang subuh Herman pamit, tanpa janji apa-apa dari Rosida. Ketika berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman, dengan cemas Herman melirik ke rumah induk.

Sepi dan gelap.

Belum ada penghuni rumah induk yang bangun. Dan semoga, tidak pula ada yang nguping.

Herman menghidupkan mesin mobil.

Gerungnya lembut.

Namun toh sempat membuat Herman kembali melirik ke rumah induk.

Masih saja sepi.

Ia meluncur ke jalan, diam-diam. Sebelum tancap gas, sempat ia melihat wajah Rosida di balik kaca jendela depan pavilyun.

Herman melambai.

Dari tempatnya berdiri, Rosida balas melambai.

Sambil bergumam, sakit:

"Bagaimana aku harus mengatakannya kepadamu, Herman?"

Ia menyeka bibirnya.

Yang atas.

Tonjolannya tidak sebesar tadi malam. Tak lama lagi, parit di bawah hidungnya akan timbul kembali,ia akan kembali sehat Kembali lebih cantik. Lebih segar dari semula.

Tetapi hatinya,terasa bertambah sakit.



******



Empat



Salbiah menatap tamunya tak senang. Ia berkata dingin:

"Bu Endah boleh saja membiarkan kuburan anaknya digali. Tetapi kuburan menantuku, jangan coba"

Tamu itu berperawakan kecil Kurus. Pembawaannya tenang, dengan sinar mata jernih dan mulut senantiasa memperlihatkan senyum bersahabat. Orang semacam dia biasanya tidak suka mencari musuh namun tak akan menghindar kalau bertemu.

"Aku tidak bermaksud buruk," katanya, sabar.

"Mungkin tidak. Tetapi dapatkah bapak memahami bagaimana perasaan kami? Anak perempuanku sedang berdukacita. Begitu ia dengar kuburan suaminya dibongkar penderitaannya akan bertambah-tambah. Apapun yang bapak perbuat, toh suaminya tidak akan hidup kembali...."

"Paling sedikit, kita tahu penyebab kematian suaminya."

"Oh ya? Lantas cerita burung yang memalukan akan sampai di telinga semua orang. Ada segelintir orang yang tidak menyukai Saripah. Mengungkapkan rahasia kematian suaminya. akan

membuat namanya semakin tercemar. Lalu apa pula nanti kata besanku, calon mertua Sumarna? Belum lagi tunangan Herman. Aku sudah tua. Pak! Tak lama lagi aku pun akan mati seperti... seperti suamiku."

Salbiah menelan ludah, pahit.

"Tetapi nama baik keturunanku, harus tetap terjaga."

Lurah yang diam saja dari tadi, membuka mulut mau mengutarakan Sesuatu. Namun keburu dicegah orangtua yang ia antar berkunjung menemui Salbiah.

"Apa bolah buat. Saya sekedar ingin membantu."

Orang tua itu bergumam tenang. Tak ada tanda-tanda kecewa atau sakit hati baik di wajah maupun dalam nada suaranya .Sambil bangkit dari duduknya, ia berpesan pada tuan rumah

"Kurangilah keluar malam. Sedapat mungkin, jauhi pula tempat-tempat yang basah berlumpur."

Mereka lalu pamit.

Setelah lama saling berdiam diri, di tengah perjalanan lurah bertanya:

"Apa maksud eyang tadi?"

"Yang mana?"

"Mengurangi keluar malam. Menjauhi tempat...?"

"Oh. itu,"

Si tua kurus mengusap dagu.

"Aku mencium bau busuk di sekitarku."

"Mengapa harus malam?"

"Roh jahat, nak, hanya berani keluar malam."

"Lalu tempat basah berlumpur?"

"Bukankah kau sendiri yang bilang? Tak ada setetes darah pun di tubuh Arpan. Kau bilang kau telah menyaksikan sendiri di sekujur kulit wajah maupun tubuh Arpan yang mengeriput kering, terdapat lendir melekat. Lendir berlumpur."

"Itu tidak membuktikan apa-apa, Eyang."

"Di matamu, tidak. Di bathinku, lain lagi?"

Orangtua itu tersenyum .

Lurah diam saja. Ia percaya apa yang dituturkan bekas gurunya itu. Lama waktu berselang ketika ia masih tinggal di padepokan sang guru, ia pernah menjerat seekor celeng hutan yang kesasar. Sewaktu ia akan menyembelih celeng tersebut, gurunya melarang.

"Manusia itu jahat. Tetapi jangan membunuhnya," ujar sang guru.

Mereka kemudian menunggu matahari terbit sementara celeng yang terjerat memperdengarkan suara mengik-mengik pilu. Begitu matahari pagi membersit di ufuk Timur, gurunya menutup seluruh tubuh celeng dengan kain sarung. Berdo'a sebentar, lantas berujar:

"Bukalah kain sarung itu."

Ketika ia buka, bukan celeng yang dilihat lurah.

Melainkan sesosok tubuh laki-laki, yang meringkel gemetar dan wajah pucat pasi ketakutan.

"Pulanglah,"

Gurunya berkata pada laki-laki itu.

"Kalau mau cepat kaya, rajinlah berusaha. Temui istrimu, dan minta ampunlah kepada Tuhan. Jangan coba ulangi perbuatanmu yang jahat itu. Sekali kudengar kau melakukannya lagi, kau akan kukejar biar ke ujung langit!"

'joko?"

Lurah tersadar dari lamunan masa lalu. Mereka telah sampai di terminal bus, dekat pasar.

"Ya, eyang?"

"Tentang bayi itu...."

"Bayi Bu Endah?"

"He, eh. Bayi malang itu. Aku tak mau

berdusta padamu. Karena itu baiklah kujelaskan. Kau benar. Bayi itu bukan mati karena penyakit kekurangan darah. Kematiannya datang perlahan lahan. Bukan penyakit. Melainkan, perbuatan roh jahat. Aku belum tahu roh macam apa. Yang aku tahu, roh itu memuaskan dahaganya dengan menghirup darah bayi...."

Pundak Lurah Joko meremang.

"Dapat kau musnahkan, Eyang?"

"Barangkali. Dengan syarat."

"Apa?"

"Beritahu aku secepatnya, apabila kau dengar ada bayi lain mengalami nasib sama .Agar tidak merepotkanmu. kujelaskan beberapa penanda. Umur si anak berkisar antara satu dan tiga tahun. Bila ia terserang roh jahat seperti yang kuduga, biasanya ia menangis menjerit-jerit sejak tengah malam sampai pagi. Mungkin lebih pendek waktunya. Tetapi selalu terjadi tengah malam. Tubuhnya panas seperti bara api. Kulit pucat kering. Jangan cari bekas luka (gigitan atau semacamnya. Lihat saja. Apakah jari tangan atau jari kaki bayi itu lebih kecil dari biasa."

Lurah Joko menjilati bibir.

"Kemudian, aku harus berbuat apa eyang?"

"Seperti kukatakan tadi."

Orangtua itu menjawab ramah.

"Cepat hubungi aku"

"Eyang... eyang mau pulang sekarang? Tidak menginap dulu? Isteriku telah..."

"Sampaikan salam dan terimakasihku pada isterimu, Joko. Aku harus pergi. Ada beberapa orang sakit yang membutuhkan pertolonganku. Dan eh. kau punya tembakau?"

Lurah Joko merogoh saku kemeja safarinya. Ia keluarkan sebungkus tembakau. Dan sepucuk amplop. Di dalam amplop telah ia selipkan dua lembar uang kertas lima ribuan. Tembakau diterima dengan senang hati. Amplop ditolak dengan ucapan:

"Biasakan untuk tidak merendahkan martabat gurumu. Joko."

Lurah Joko malu sekali.

Satu-satunya bus di terminal yang menuju keluar kota, siap berangkat. Gurunya naik tertatih-tatih.

Mereka saling mengucapkan salam.

Kalau ada bayi lain!

'Tuhanku!"

Lurah Joko bergidik.

"Jangan lagi. Jangan cucuku!"

Disertai do'a sangat egois itu Lurah Joko melompat naik sebuah Oplet yang kebetulan lewat. Tiba di rumah salah seorang anaknya, Lurah Joko berlari-lari masuk seraya berseru seru:

"Legoh! Cucuku begoh, mana dia hah?"

Menantu perempuannya yang sedang menanak nasi di dapur kaget setengah mati. Tergopoh-gopoh ia menyongsong mertua yang muncul seperti hantu kesiangan itu.

"Legoh Mana dia?" ulang pak lurah, kalang kabut.

Sang menantu pergi keluar rumah dan mengambil anaknya yang berusia tiga tahun dan sedang asyik bermain petak umpet di halaman rumah tetangga. Lurah joko segera menyambar anak itu dan berteriak panik:

"Badannya panas!"

'Tentu saja, Pak," sahut menantunya.

'Hari sangat panas dan sejak tadi ia bermain di luar."

"Legoh, cucuku sayang!"

Lurah Joko memeluk cucunya yang kebingungan.

"Mana tangan dan kakimu. Coba kulihat."

Sebentar kemudian:

"Uh. Bau pesing. Kau menginjak apa tadi, Legoh?"

"Tahi ayam. Aki!"

Lurah ]okoh bergegas menurunkan cucunya ke lantai.

"Hayo. Pergi sana. Cuci kaki!"

Ia berteriak. Habis berteriak.Ia dekatkan tangan yang tadi memegang kaki cucunya. Digerak-gerakkan di depan hidung lantas menggerutu:

"Sial!"

"Habis?"

Menantunya tertawa hergelak.

"Sudah tahu bau. Masih dicium!"

Sepeninggal lurah Joko dan gurunya, Salbiah bersijingkat menuju kamar tidur anaknya. Hati-hati pintu ia buka. Sudah dua hari Saripah tidak dapat tidur. Kini tampak ia lelap sekali berkat obat penenang yang diberikan dokter. Tangan Saripah memeluk Noni bayinya yang bulan lalu menginjak usia satu tahun. Bayi itu menggeliat. Tetapi begitu menemukan puting Susu ibunya yang sengaja dibiarkan terbuka. Noni mengenyot lalu tidur kembali.

Syukurlah Ipah tak mendengar kedatangan kedua tamu mereka. Pikir Salbiah. Pintu ia tutup lalu mengambil tasnya. Pergi ke dapur.

"Bi?"

Pelayan mematikan mesin cuci.

"Ada apa. Juragan?"

"Kalau Ipah bangun. katakan ibu pulang sebentar. Nanti malam ibu kembali lagi."

"Baik, Juragan."

"Tutup pintu ini rapat-rapat. Dengung mesin cuci itu dapat membuat Ipah terbangun,"

Salbiah mengingatkan, dan masuk lagi ke dalam. Bersijingkat pelan ketika melewati kamar anaknya. Saking hati-hati. ia terpekik sendiri waktu telepon berdering-dering. Salbiah berlari ke meja kerja Arpan dan mengangkat telepon cepat-cepat.

"Ya?"

Ia berbisik.

Namun tetap saja percuma. Ia lupa telepon itu punya saluran di kamar Saripah. Selagi Salbiah mendengarkan pembicaraan orang di seberang sana, terdengar bunyi detak lembut. Disusul desah Saripah, menyela:

"Biarkan kuterima. Bu."

Terjengah, Salbiah meletakkan gagang telepon yang ia pegang.

Kemudian ia duduk. Menunggu.

Tak lama, Saripah membuka pintu kamarnya. Kelopak matanya bengkak. Mata pun merah.

"Tidurlah lagi,"

Salbiah menelan ludah.

"Ibu mau pulang?"

"He, he. Tidurlah lagi."

"Nanti saja. Ada yang perlu kukerjakan,"

Saripah membuka laci meja dan mengeluarkan setumpuk map.

"Kau tidak meminum obatmu,"

Salbiah menuduh.

"Kuminum, Bu. Mataku memang mengantuk. Tetapi pikiranku terus berjalan...."

Saripah menemukan map yang ia perlukan lalu sibuk menekuni selembar daftar penuh angka-angka yang ditulis tangan. Tercantum nama seorang di sudut atas daftar. Tentu si penelepon tadi.

"Dagang lagi?" tanya Salbiah, kecewa.

"Aku dan anakku harus tetap hidup, Bu."

"Tetapi suamimu...?"

"Ia sudah mati, bukan?" rungut Saripah. Datar.

"Yang ia tinggalkan untuk anaknya, cuma sebuah perusahaan yang terancam bangkrut. Selama ini pun. uangku lebih banyak ia pakai, ketimbang gajinya tiap bulan...."

"Astaga, Nak!"
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah, Bu,"

Saripah terhenyak di samping ibunya.

"Aku memang tahu, Arpan orang jujur. Ia mau semuanya berjalan bersih, tanpa setitik noda. Akan tetapi, ini bisnis, Bu. Dalam dunia bisnis diperlukan kelihaian. Sifat jujur dan percaya pada orang lain, tak lagi dipakai. Kelihaian, Bu. Kelihaian. Main di sini. Main di sana. Harus pula pintar sulap. Merubah angka misalnya. Semua orang sudah tahu. Mereka menerimanya. Asal rejeki dibagi-bagi...."

Saripah menghela nafas. Lanjutnya:

"Arpan setia membagi rejeki yang ia peroleh. Tetapi main sulap? Ia tak berbakat!"

"Kau membuatku bingung. Nak. Sekaligus. takut."

Saripah menyeringai. Sumbang.

"Mestinya ibu gembira," katanya.

"Orang yang menelpon tadi akan membayar semua tunggakannya dan memesan beberapa kodi pakaian untuk dijual kredit. Biar aku sudah janda, keuntungan tetap mengalir bukan?"

Salbiah berusaha mencerna kata-kata anaknya. Ia juga janda. Setelah suaminya meninggal, ia terpaksa mencari kesibukan untuk mengurangi duka cita. Mengurus anak-anak, teutama si Herman petualang yang berandalan itu. Melihat-lihat

sawah dan kebuh cengkeh peninggalan si suami. Mendatangi penyewa rumah, kalau-kalau ada yang perlu diperbaiki. Saripah benar. Usaha dagangnya harus tetap berjalan .

Dengan perasaan terharu, Salbiah berkata:

"Kau persis ayahmu. Tak mau melepaskan setiap kesempatan."

Salbiah resah gelisah. Apalagi setelah ia tiba di rumahnya. Herman baru saja selesai mandi. Masih berhanduk, Herman berkata pada ibunya:

"Kupikir hakku atas rumah itu lebih baik kulepaskan, Bu."

"Aduh, Nak. Mengapa?"

"Bagus dijual saja. Sebagian uangnya pergunakan membayar utangku pada si Ipah. Sebagian kecil, mengembalikan tabungan Rosida yang sudah terpakai. Sisanya cukup banyak untuk bekal Sumarna kawin. April, bukan?"

"Kau menyimpan sesuatu," ucap Salbiah, kuatir.

Herman terduduk. lesu.

Katanya.

"Rumah itu berhantu!"



*****



Malam itu, penyakit tak bisa tidur hinggap di kepala Salbiah. Ia melarang Sumarna pergi untuk kencan dengan laila.

"Besok saja kau temui dia. Besok malam Minggu, bukan?"

Lalu Sumarna ia ajak ngobrol tentang apa saja. Sampai mereka berdua mengantuk.

Di percetakan, Herman sama gelisah.

Tepatkah keputusannya menjual tanah dan rumah itu?

Arpan pasti kecewa. Adik iparnya itu

sampai melupakan sebuah proyek lain karena mencurahkan perhatian pada rumah Herman.

"Aku merencanakan sebuah model paling indah yang pernah kubuat,"

Arpan pernah berkata dengan bersemangat.

"Rumah mungil tapi antik. Kau dan Rosida akan jatuh cinta pada rumah itu begitu selesai kurampungkan."

Karena kekurangan modal, rencana Arpan terbengkalai. Namun meski demikian, rumah setengah jadi itu sudah tampak bentuk. Belum pernah Herman melihat rumah demikian. Biar belum jadi ia telah menyukainya. Rosida malah telah jatuh hati.

"Ditawar berapa pun, haram aku melepaskannya."

Gadis itu sampai bersumpah.

Lalu Arpan mati.

Rosida ketakutan.

Bersikeras ingin pulang kampung, Tak acuh sama sekali pada rumah mereka. Rumah pembawa sial itu ditujukan untuk bangunan lama. Dan untuk bangunan baru lebih mengerikan: rumah berhantu!

Malam yang sama di sebuah rumah lain. Seorang perempuan berdiri gelisah di balik jendela kaca. Matanya sedari tadi tak berkedip menatap langit biru jernih. Ia tidak sedang menghitung jumlah bintang gumintang. Karena di bola matanya, hanya ada pantulan rembulan empat belas. Mata itu terpentang lebar.

"Mestikah aku melakukannya lagi?"

Ia berbisik. '

Tetapi dadanya begitu kosong. Kerongkongan pun terasa kering kerontang. Menggigit, perih.

"Aku haus!"

Ia merintih.

"Haus! Haus! Haus!"

Perempuan itu kemudian bergerak mundur

menuju tempat tidur. Kamarnya gelap. Cahaya rembulan yang mengintai lewat jendela, menjilati wajahnya. Wajah yang tegang.

Kaku.

"Rembulan. Jangan biarkan aku mati karena dahaga."

Sinar rembulan semakin terang. Perempuan itu gemetar hebat. Sambil kumat kamit tak karuan ia menyusun bantal serta guling di tempat tidur. Ditutupi sehelai selimut. Sepintas lalu tampak seperti orang tengah tidur pulas.

Ia lalu merangkak ke bawah tempat tidur.

Di situ sudah tergelar sehelai tikar. Dengan nafas sesak, si perempuan berbaring di kegelapan kolong ranjang. Mata dipejamkan. Mulut terus kumat kamit.Kian berisik Kian kacau balau. Lalu pelan-pelan kedua telapak tangan bergerak ke arah leher jenjang mulus.

"Pergilah!"

Ia berkata setengah memerintah. Telapak tangan mendorong leher. Makin lama, makin kuat.

"Pergilah. Ambilkan aku minuman sejuk segar itu!"

Samar-samar, garis hitam muncul di antara batang leher dan kepalanya .Sebuah garis pemisah yang setiap detik bertambah lebar dan lebar. Tidak ada darah tersembur keluar.

Kepala perempuan itu tanggal begitu saja lalu melayang keluar. Lewat lubang ventilasi. Di kejauhan lolongan anjing malam berkumandang lirih. Dan di langit, rembulan tersentak kaget.



*****



Lima



"Anakku!"

Saripah tersentak bangun. Ia telah bermimpi buruk. Waktu itu sekitar pukul tiga dinihari. Minggu pertama bulan Januari. Kasur di sebelahnya kosong. Dan dingin.

"Tuhan. Kau kemanakan anakku? Noni. Noni!"

Saripah setengah menjerit begitu ia sadari Noni tidak pula terjatuh ke lantai.

Ia menghambur ke pintu. Pintu itu setengah terbuka. Padahal sebelum tidur ia telah menutupnya rapat-rapat. Noni tak ada di ruang tengah, begitu pula di ruang depan. Berlari-lari Saripah menuju ke belakang. Pintu penghubung ke situ juga terbuka. Koridor gelap. Tetapi ada nyala lampu di dapur. Sebentuk bayangan jatuh di koridor. Hitam, dan memanjang.

Bukankah bayangan seperti itu yang ia lihat dalam mimpinya?

Bayangan-bayangan hitam yang melesat masuk ke kamarnya kemudian membawa Noni hilang dalam kegelapan.

Saripah menahan nafas.

Bayang-bayang hitam di koridor tampak bergerak-gerak.

Apa yang dikerjakan makhluk itu di dapur?

Mencabik-cabik tubuh Noni?

Memakani daging bayinya?

Saripah dilanda ketakutan yang amat sangat. Tetapi naluri keibuannya mendesak lebih kuat.

"Makhluk terkutuk!"

Ia berteriak, lalu menyerbu ke dapur.

Pada waktu bersamaan, bayangan itu bergerak pula keluar dapur. Mereka berdua saling bertubrukan. Tangan-tangan Saripah terangkat sudah siap mencakar. Terdengar suara gelas jatuh ke lantai. Pecah berderai. Saripah terbelalak.

Dan, Bi Ijah ternganga.

"Ada... ada apa,juragan?"

Pelayan itu bertanya gagap setelah kejut agak reda di jantungnya.

"Apa apa kerjamu di dapur?"

"Bikin kopi. Juragan. Kopi kental pahit. Supaya saya jangan mengantuk...."

"Kau mau berjaga-jaga?"

"Ya, Juragan."

"Untuk apa.?"

"Neng Noni."

Barulah Saripah teringat kembali pada anaknya. Curiga ia mengawasi dapur, lewat pundak Bi ljah.

"Mana dia?"

"Tidur, Juragan. Di kamarku."

"oh!"

Saripah menarik nafas lega. Ditemani pelayan yang setia itu ia pergi melihat anaknya .Benarlah. Noni tertidur nyenyak di ranjang si pelayan.

"Badannya panas!"

"Sudah agak turun, Juragan. Dua jam yang lalu panasnya wah. Bagai dipanggang!"

"Apa ?"

"Aku baru mau tidur sekitar pukul satu, ketika kudengar Neng Noni menjerit-jerit. Kutunggu sejenak, kalau-kalau juragan bangun. Tetapi Neng Noni terus saja menjerit. Makin lama makin lemah. Parau. Aku mendatangi kamar juragan. Mengetuk. Karena tak bersahut, kubuka saja. Wah, juragan pulas bukan main."

"Aku menelan pel tidur melebihi takaran,"

Saripah mengaku.

"Apa yang kau lihat?" ia teringat bayangan hitam mengerikan dalam mimpinya

'Tak ada, Juragan. Cuma Neng Noni. Ia setengah menggelupur. Waktu kupegang, suhu badannya sangat tinggi. Tetapi ia segera diam setelah kubujuk. Juragan menggeliat, dan mengigaukan sesuatu yang tak kudengar jelas. Lantas pulas lagi. Jadi kubawa saja Neng Noni ke kamarku. Kukompres. Belum lima menit ia tidur."

Saripah dihinggapi perasaan tak enak.

Ia mengambil anaknya dari ranjang pelayan.

"Berkemaslah. Kita bawa Noni ke rumah sakit."

****

Bi Ijah duduk di jok belakang mobil dengan menggendong Noni yang terbungkus rapat dalam selimut. Saripah memegang setir, dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi ke pusat kota. Ada puskesmas di daerah mereka, tetapi Saripah ingin anaknya mendapat perawatan kelas satu.

Tiba di kota yang masih sunyi sepi, Saripah tiba-tiba membelokkan kendaraan dari tujuan semula. Karena tak menduga putaran mendadak itu. Bi Ijah terpelanting. Kepalanya membentur kaca jendela mobil. Perih, tak terkira. Tetapi ia tidak mengeluh ia hanya meraba kepala yang terasa sakit tanpa berkata apa-apa.

Wah. benjol!

Di depan sebuah percetakan besar, mobil

berhenti.

Saripah keluar. Petugas itu kemudian masuk. Waktu keluar lagi, ia sudah ditemani oleh Herman. Bersama Saripah. Herman masuk lagi ke mobil. Herman mengambil alih setir, sedang Saripah duduk di jok belakang dan mengambil Noni dari pangkuan Bi Ijah

"Mungkin cuma demam."

Herman bergumam. Bimbang.

Mobil melaju ke rumah sakit.

"Suhu badannya tak pernah setinggi ini. Bang."

"Memang flu Hongkong lagi musim,"

Herman masih tetap berusaha menghibur adiknya yang pucat dan panik.

"Aku tak yakin."

"Punya dugaan, Ipah?"

"Bayi Bu Endah"

Nafas Saripah sesak.

"Ceritakan lagi padaku, Bang, Apa kata mereka mengenai bayi Bu Endah yang meninggal itu?"

"Mereka bilang, perbuatan roh jahat. Alaa, Ipah. Sudah.Jangan dengar omong kosong itu. Itu cuma cerita burung. Semata-mata melampiaskan kekesalan hati mereka terhadap perilaku orang tua si bayi. Ayah tukang lacur. Ibu pemabuk berat. Anak itu tak terurus jadinya. lalu sakit, dan mati itu saja."

Saripah sedikit tenang setelah mendengar penuturan saudaranya .Tidak demikian halnya Herman. Justru terbalik. Herman yang panik diam-diam. Bayi Bu Endah mati kehabisan darah. Kulit kering. pucat. Jari kaki dan tangan kisut. Lalu Arpan. Arpan juga mati kehabisan darah.

Kulit mengeriput. Dada berlubang.

Benarkah roh jahat sedang gentayangan di sekeliling mereka?

Mujur, kepala bagian anak di rumah sakit sedang bertugas. Ia memeriksa Noni dengan teliti. Menyenter bola mata, rongga mulut bahkan hidung dan telinga. Sambil memeriksa ia bertanya satu dua yang penting-penting. Kata katanya yang menghibur tidak memuaskan Herman. Dokter lalu memeriksa denyut jantung dan tekanan darah Noni.

"Normal," katanya.

"Sedikit lebih cepat memang. Tetapi itu karena ia demam."

Dokter mempergunakan beberapa peralatan untuk memeriksa ulang atas desakan Herman. Hasilnya tetap sama .Dengan tambahan:

"Besok juga dia sudah sembuh,"

Lalu ia menulis resep untuk ditukar di apotek.

"Tidak disuntik, Dokter?"

"Lebih baik jangan. Obat antibiotika sangat peka, apalagi anak ini masih demam."

"Syukurlah,"

Saripah benar-benar lega sekarang.

"Kalian terus saja pulang. Aku akan turun di percetakan. Masih ada peekrjaan yang harus kuselesaikan dan tak bisa ditangani orang lain," kata Herman.

"Pulang dari percetakan, aku akan langsung ke rumahmu untuk melihat-lihat apakah demam Noni sudah turun."

Nyatanya, Herman tidak memenuhi janji.

Pukul tujuh lewat lima ia keluar dari percetakan dan heran melihat Laila menunggu dalam sebuah mobil. Laila turun. Matahari pagi menjilati

wajannya yang merah Segar, menggapai bibirnya yang ranum basah, merah dan sangat hidup.

"Kau mencariku, laila?"

"Sengaja mencari abang," sahut Laila menegaskan.

Matanya yang teduh bersinar-sinar mengawasi Herman yang tampak letih dan agak kotor. Memelas dalam hati: pewaris harta jutaan rupiah, tetapi memilih jadi pengawas dan tukang mereparasi mesin-mesin cetak Dengan jumlah gaji yang pasti membuat mahasiswa fakultas tehnik berkerut dahinya.

'Kok tidak dengan Sumarna?"

"Nyambil, Bang. Tempat kuliahku tak jauh dari sini. bukan?" laila masuk ke mobil.

Duduk di depan, tetapi mengosongkan tempat untuk pengemudi. Herman memundurkan mobil ke luar dari pelataran parkir.

"Ada yang perlu kubantu?"

"Pertama, tolong antarkan aku ke fakultas."

"Hem. Lainnya?"

"Februari nanti papa pindah tugas ke lain kota,"

Liala menyebut nama kota dimaksud.

"Untuk itu kau menyatroni aku, Laila?"

"Jelasnya,"

Laila tersenyum manis. Senyum yang tiap kali membuat jantung Herman berdetak kencang.

"Mobil ini suka ngadat. Papa tidak sampai hati meninggalkan mobil rongsokan untuk kami. Seorang temannya menawarkan mobil bekas tetapi masih termasuk baru dan mulus. Uang papa tak banyak. Jadi mobil ini harus dijual."

"Begitu,"

Herman dengan cepat menangkap maksud Laila.

"Terimakasih. komisi tidak kau lempar ke tangan orang lain. Berapa lama ayahmu memberi tempo?"

"Kalau dapat, hari ini juga."

"Tambahkan satu hari. Mencari pembeli, gampang. Tetapi sebelumnya. aku dan beberapa teman harus menservis dan mereparasi dulu mobil ini. Supaya dapat dijual dengan harga tinggi. Eh, sambil lalu. Berapa patokan harga dari ayahmu?"

"Dua setengah. Kalau bisa. tiga juta"

"Yang benar!"

"Kelewat mahal?"

"Sebaliknya. Laila,"

Herman berpikir keras. Kemudian ia bergumam dengan nada tak suka:

"Aku tak ingin menerima balas jasa yang berlebihan, Laila. Sungguh mati. Apa yang dulu kulakukan. hanya dorongan naluri. Tanpa pamrih!"

Laila terdiam. Sebentar cuma. Kemudian, ia mengeluh:

"Papa bilang, jumlah itu harga pasaran sekarang"

"Ayahmu tahu harga jual mobil ini, laila. Jadi beritahu dia nanti. Kepada orang lain. kami minta komisi 15 sampai 20 persen. Dari ayahmu, cukup 10 persen saja. Itu satu. Yang kedua, setelah kami perbaiki sedikit, mobil ini laku terjual paling tidak empat juta."

Laila mau prores.

Tetapi wajah Herman yang tegang membuatnya terbungkam. Mereka tak berkata apa-apa lagi sampai mendekati kampus fakultas yang dituju. Herman yang lebih dulu sadar ketegangan itu tidak semestinya terjadi, ia mencoba tersenyum, lantas bertanya lembut:

"jadi papamu pindah tugas ya?" '

"He, eh."

Suara laila masih gusar.

"Kau dan ibumu tetap tinggal?"

"Aku masih kuliah. Dan mama tak mau jauh dariku."

"Hebat. Paling kurang dua atau tiga tahun kalian akan berpisah."

"Papa akan pulang tiap Sabtu siang. Berangkat ke tempat tugas lagi Senin paginya"

'Bagaimana dengan April nanti?"
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara Herman merendah, tanpa berani melihat wajah Laila.

Lain Laila. Ia menatap wajah Herman. Tajam.

Lantas mendesah:

"Semoga tidak ada halangan,"

Laila setengah berdo'a, setengah melamun.

Jantung Herman berdetak lagi. Halangan itu tak akan ada, pikirnya dengan gundah. Aku sudah bertemu Rosida. Sudah berbuat sangat dalam yang mengharuskan kami segera menikah.

Wahai. masa lalu!

Ketika Laila turun dari mobil di pintu gerbang fakultas, gadis itu bimbang sesaat. Kemudian:

"Bang Herman?"

Ia melongok lewat jendela

"Hem?"

"Abang mencintai Kak Ida?"

Herman terperanjat mendengar pertanyaan yang di luar dugaan itu. Gagap. ia menyahut:

"Ya, eh, kukira. ya,"

Lalu mengumpat-umpat karena jawabannya terasa ngambang

"Mengapa kau tanya?"

'Hanya ingin tahu."

Laila tersenyum, misteri.

Kemudian berlalu.

Herman masih tetap memandangi gadis itu pergi. Makin jauh, bayangan Laila makin mengabur. Tetapi pinggulnya yang bergoyang gemulai selagi melangkah, justru makin tampak jelas.

Pinggul penuh. Padat Dengan rok warna hijau, berbercak merah. Darah.



*****



Rasanya baru kemarin terjadi .

Tetapi peristiwa penuh kenangan manis itu telah berlalu tiga tahun. Laila baru kelas dua es-em-a, ketika itu. Harinya Selasa. Tepat tengah hari. Bubaran sekolah. Laila bermaksud pergi ke rumah seorang famili. Honda bebeknya mogok di tengah jalan. Karena belum hafal soal seluk beluk mesin Laila mendorong sepeda motor itu sambil mencari-cari bengkel terdekat.

Dua buah sepeda motor lain, lalu di dekatnya .

Ada tiga orang pemuda di masing-masing jok sepeda motor itu. Menyandang tas sekolah seperti Laila. Dengan seragam sekolah yang sama pula. Bedanya, Laila kelas pagi dan tiga pemuda itu masuk siang. Bukannya turun untuk menolong. Tiga pemuda berandalan itu tetap saja duduk di kendaraan mereka, dengan kecepatan diturunkan agar tetap sejajar dengan Honda bebek yang didorong Laila.

Wajah gadis itu bersimbah peluh.

Sekali, ia berhenti untuk menyeka. Baru saat itulah ia tahu kehadiran tiga pemuda tadi. Mereka tak begitu kenal satu sama lain. Diam-diam Laila mengharapkan teguran ramah dan uluran tangan budiman. lain yang diharap, lain yang tiba..

Seraya menyeringai lebar, salah seorang pemuda itu berkata pada Laila:

"Mari kuusap, Neng."



Teman yang satu. lebih kasar lagi:

"Wah, banjir. Boleh kusumbat",

Laila yang mandi peluh. tersinggung seketika.

"Jadah!" ia memaki.

"Beraninya cuma ngomong! Ayo turun kalau kalian laki-laki!"

"Hei. Galak juga! Dan makin cantik saja,"

Dua kendaraan lain, berhenti.

"Apa yang kita tunggu? Ia sudah rela kita kerjai!"

Lantas ketiganya turun berbarengan. Barulah Laila menyadari kekeliruannya. Tadi ia terpancing emosi, dan berharap pemuda itu meninggalkannya karena malu. Ternyata tantangannya dilayani. Gelisah, ia memandang berkeliling. Malang baginya Jalanan kebetulan sedang sepi. Kalaupun ada orang lain lalu, tidak ada yang turun tangan. Melihat seragam Laila dan para pemuda itu, orang lain menduga mereka berempat tentunya teman yang sedang meributkan sesuatu yang tak perlu dicampuri.

Pikiran demikian pulalah yang ada di kepala Herman.

Ia dan beberapa temannya sedang menghadapi seorang calon pembeli mobil bekas yang mau dijual. Tempat mereka mangkal terletak berseberangan dengan tempat keempat orang remaja itu bertengkar. Untung besar membuat teman-teman Herman terus sibuk dengan calon pembeli. Herman baru saja datang dengan sebuah sepeda motor, juga untuk dijual. Sebelum ke pangkalan, ia sempat melewati para remaja itu dan mendengar sedikit pertengkaran mereka.

Ia simpan motornya di tempat motor lainnya terparkir.

Lalu melirik ke seberang jalan.

Salah seorang dari tiga pemuda tadi ia lihat menggapai lengan si gadis cantik semampai. Si gadis menghindar. Tetapi tasnya terpegang. Terjadi saling betot dan si gadis tampak pucat menahan marah campur takut. Tiga pemuda berandalan itu tertawa berderai seraya mengucapkan ajakan-ajakan kotor.

Herman segera tahu apa yang sesungguhnya terjadi.

Dengan cepat ia menyeberangi jalan. ia pegang pemuda terdekat. Mendorongnya mundur. Pemuda lain yang rupanya telah berhasil menjamah payudara Laila dan tengah meremasnya, ia renggut pundaknya .Laila bebas sudah. Ia menangis terisak isak.

Tiga pemuda, naik pitam.

"Siapa kau, he?"

Seorang membentak.

Temannya menjawabnya:

"ia calo, kukira. Calo motor. Tetapi tiba-tiba berpikir untuk beralih professi. Mau jadi calo perempuan. Germo!"

Mendengar gerakan yang sukar dilihat. Herman memutar tubuh dan tinjunya melayang. Pemuda yang mencapnya germo terjungkal jatuh. Kemudian lari terbirit-birit ke sepeda motornya. Tancap gas. Ngacir. Dua yang lain lebih berani. Bersama-sama mereka mengeroyok Herman.

Di pangkalan teman-teman Herman melihat apa yang terjadi. Mereka pun datang beramai ramai. Tetapi belum sempat ada yang turun tangan dua pemuda berandalan itu telah jatuh terkapar di aspal. Yang satu bangkit terhuyung huyung dengan muka pucat dan mulut meringls kesakitan. Temannya tidak. Tidak bangun sama

sekali. Anak itu jatuh oleh tendangan Herman. setelah lebih dulu membentur tiang listrik.

Apa yang kemudian dikerjakan teman-teman Herman hanyalah sibuk mengurus pemuda yang pingsan terluka itu lalu melarikannya ke rumah sakit. Laila tidak kelihatan batang hidungnya. Waktu dicari Herman, tampaklah gadis itu tengah bergegas mendorong sepeda motornya tak sampai seratus meter dari tempat kejadian .

Waktu tadi ia menyerbu si pengganggu sepintas lalu Herman telah melihat ada yang janggal pada rok si gadis. Menatap Laila yang memunggunginya di kejauhan. Herman mengamati lebih seksama Kemudian ia susul Laila diam-diam. Begitu sampai. cepat ia pegang tangan si gadis.

Laila terkejut.

Tetapi segera memperlihatkan wajah malu:

"Maaf, saya lupa mengucapkan terimakasih"

"Berikan motormu padaku,"

Herman jadi gugup ketika melihat mata Laila.

"Apa? Kau minta bayaran sebesar itu?"

Si gadis kaget setengah mati

"Maksudku."

Herman mencoba menjelaskan:

"Biarlah motormu ini kuurus. Aku mangkal di sana..."

Herman kemudian menuding ke pangkalan mereka

"Aku tak akan membawa kabur milikmu. Dan kau, pulanglah segera. Naik becak, kalau mau. Asal tidak jalan kaki."

"Kok aneh."

"Rokmu...?"

"Ada ada dengan?"

Gadis itu tak meneruskan ucapannya. Dari tadi ia berpikir apa maksud ketiga pemuda dengan ucapan-ucapan kasar yang

memuakkan itu. Pasti bukan semata-mata karena ia mandi peluh.

Wah, banjir. Boleh kusumbat?

Baru setelah Herman menyinggung tentang roknya, ia tersadar.

"Oh!"

Ia hampir pingsan saking malu. Lantas mepet ke tembok bangunan toko di dekatnya. Merapatkan punggung seakan ingin menyelinap masuk ke tembok. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya apalagi, ia tak berani memandang Herman.

"Aku... aku tak tahu. Mens-ku terlalu cepat... datangnya...."

Pelan-pelan wajahnya memerah kembali.

"Boleh minta tolong lagi?"

Ia tampak gelisah.

"Papa akan marah kalau ia lihat aku pulang tanpa kendaraan itu. Jadi..."

"Tunggulah,"

Herman berkata. Ia mencari tempat teduh dan terlindung dan setelah menemukannya ia ajak gadis itu ke sana. Buka sana, buka sini. Lalu:

"Hem. Platina-nya sudah aus. Harus diganti,"

Herman memberitahu sambil menghamplas benda yang ia sebutkan.

"Tetapi untuk sementara masih dapat kau pakai."

Pekerjaannya rampung tak lama kemudian ia coba menghidupkan mesin. Nyala sekali starter.

"Namaku Laila,"

Gadis itu memperkenalkan diri begitu ia duduk di jok Honda bebeknya.

"Kapan-kapan. berkunjunglah ke rumah. Kalau mau,"

Ia memberikan alamatnya .Tersenyum. Lalu pergi.

Tiga hari berlalu tanpa terjadi apa-apa. Kecuali mimpi Herman. Dalam mimpinya ia lihat gadis itu datang, tersenyum, lalu pergi. Di mimpi lain, gadis itu malah mengecup pipinya. lalu pergi. Herman mulai gelisah ingin bertemu Laila.

Hari keempat, ia beranikan berkunjung.

Nyatanya ia cuma lewat saja di depan rumah Laila. Tak berani masuk. Rumah keluarga Laila besar, megah dengan eksterior taman yang mewah.

"Berapa kami harus membayarmu?" ia bayangkan ucapan sinis yang mungkin ia terima.

Herman langsung mundur teratur. Ngeper.

Hari kelima, dua orang petugas polisi turun dari sebuah mobil dinas di pangkalan jual beli kendaraan bekas. Mereka bertanya mana yang bernama Herman. Sialnya, pas pula Herman yang menerima mereka.

"Ikut kami ke kantor,"

Polisi itu berkata.

Satu minggu kemudian ia dihadapkan ke meja hijau. Tuduhan jaksa: penganiayaan, yang menyebabkan korban menderita gegar otak. Pemuda yang pingsan itu sudah sembuh, ia muncul di sidang bersama dua temannya, sebagai saksi.

Hakim yang mengadili perkara penganiayaan itu membuat Herman merasa kecut. Benar saja. Ketika sidang dimulai dan jaksa selesai membacakan tuduhannya maka hakim yang dari tadi mengawasi Herman dengan mata tak berkedip. bergumam dingin:

"Ketemu lagi, ya?"

"Ya. Pak."

Herman menyeringai. Lesu.

"Dulu kau berjanji akan tobat,"

Hakim mengingatkan. serius.

"Walau itu kau tetap ngotot pada pengakuanmu, tidak merasa menadah mobil curian. Katamu, karena kau menerima Surat-surat lengkap. Tidak tahu kalau surat-surat itu dipalsukan."

"Memang begitu. Pak."

"Ya. Ya. Memang begitu, menurut pengakuanmu. Dan berdasarkan pengakuanmu itu kau cuma dijatuhi hukuman tiga bulan penjara. Dengan apa yang dituduhkan bapak penuntut tadi, rupanya kau ingin nginap dan makan gratis lebih lama. Begitu?"

'Tidak, pak. Saya-!"

Dan sidang diteruskan. Seperti halnya di depan polisi pemeriksa,tiga orang saksi itu tetap bersikeras menerangkan bahwa mereka sedang ngobrol dengan seorang teman gadis satu sekolah, ketika sekonyong-konyong Herman datang menyerbu.

"Sebabnya?" tanya hakim.

"Enggak tahu, Pak," jawab saksi utama.

"ia menyerbu begitu saja."

Dua temannya manggut manggut setuju. Tetapi segera terdiam waktu hakim mendengus:

"Menyerbu begitu saja? Kulihat, tertuduh bukan orang tak waras."

Dan kepada Herman hakim bertanya:

"Tentu ada sebabnya, bukan?"

Herman bercerita apa adanya, ia tekankan pada soal kata kata penghinaan yang dilontarkan ketiga orang saksi sehingga emosinya terpancing lalu memukul mereka Juga, seperti halnya pengakuan Herman di depan polisi pemeriksa, ia hanya menceritakan sambil lalu mengenai gadis itu. Ia tahu tiga saksi tadi melindungi nama dan alamat si gadis karena tak ingin membahayakan posisi mereka.

Celakalah Herman, ia kecewa karena laila tak pernah menampakkan batang hidung. Tetapi entah mengapa, ia sependapat untuk berbuat sama. Mata teduh dan senyum yang

mendebarkan jantung itu terlalu lembut untuk dicemari. '

Baik Herman maupun tiga saksi lupa hakim bukan orang bodoh.

"Dari tadi kudengar disebut-sebut tentang seorang gadis...." ia bersungut.

Lantas berpaling ke arah jaksa:

"Apakah namanya tidak tercantum dalam daftar kesaksian?" .

"Tidak, Pak."

Jaksa menelan ludah.

"Tiga saksi itu .Sudah Cukup. Lagipula tertuduh tidak ingin menampilkan saksi baru."

"Meski itu akan meringankan tuduhan atas dirimu?"

Hakim berpaling lagi pada Herman.

Yang ditanya diam saja.

Hakim yang ingin berlaku adil. berkata datar.

"Begini. Bung Herman. Kau dituduh melakukan penganiayaan berat. Bila kau terbukti bersalah, kau kemungkinan besar akan dihadapkan lagi ke pengadilan perdata dengan tuntutan ganti rugi yang tidak sedikit. Dua saksi lain sampai hari ini belum mengajukan tuntutan apa-apa. Kami tak akan heran apabila kelak tuntutan pertama gol, maka dua saksi lain akan berbuat sama."

Herman melirik.

Dua saksi dimaksud balas melirik. Keduanya tersenyum mengejek, dengan mata bersinar-sinar menyetujui ucapan hakim. Herman melengos marah dan muak. Hampir tak ia dengar suara hakim yang menyesalkan mengapa Herman tidak meminta bantuan seorang pembela hukum dan menolak pula ketika ditawarkan padanya bantuan gratis pembela hukum yang ditunjuk oleh pengadilan.

"... kau akan meringkuk di penjara sekian tahun. Dan harus membayar ganti rugi yang jumlahnya.... Yah. Hanya Tuhanlah yang tahu," ujar hakim, masih tetap ingin besikap adil.

Orangtua yang baik, pikir Herman Dan gadis yang tak tahu berterimakasih, umpatnya.

Ia gemetar. Takut. Dan marah.

"Bagaimana?"

Hakim mendesak.

'Panggilah dia sebagai saksi!" jawab Herman tergopoh-gopoh.

Hakim berpaling kepada panitera Juga pada jaksa. Kedua orang itu mengangguk. siap untuk mencatat.

"Nama gadis itu?" tanya Hakim.

"Laila"

"lai...."

Hakim mendadak terdiam. Ada sesuatu yang ganjil pada sinar matanya

"Laila siapa?"

"Tidak tahu, Pak. Ia hanya memberi nama Laila saja."

"Hem. Alamat rumahnya"

Bukan saja sinar mata, Wajah dan penampilan hakim ikut pula berubah begitu alamat si gadis disebut tertuduh, lama sekali hakim terdiam. Wajahnya murung. Ia terperanjat ketika jaksa bertanya hati-hati:

"Apakah kami harus memanggil saksi tersebut dengan surat panggilan resmi. Bapak Hakim?"

Hakim menjawab lirih:

"Tak usah. Laila yang dimaksud anak gadisku sendiri. Ia akan hadir pada sidang berikutnya."

Dengan wajah semakin murung hakim kemudian memutuskan sidang ditunda.

Orangtua yang malang karena ingin bertindak adil itu tidak tampil dalam sidang kedua Panitera menjelaskan pendek.

"Hakim sebelumnya berhalangan karena tidak enak badan."

Hakim pengganti meneruskan pemeriksaan perkara.

Dari tempat duduknya di bangku saksi, laila tak berhenti menatap ke arah tertuduh. Herman tak sekalipun menoleh ke belakang. Semangatnya luntur sudah. Ia pucat, menyesal dan marah pada diri sendiri. Sebelum sidang dimulai ia telah berbicara dengan laila. Gadis itu menyatakan penyesalan karena tak dapat menemui Herman setelah mereka berpisah.

"Peristiwa hari itu membuatku shock. Aku jatuh sakit hampir satu minggu...."

Ketika menghadiri sidang, Laila masih tampak lemah.

Tetapi ia tetap memaksakan hadir. Bukan karena diperintahkan ayahnya. Melainkan karena ia sangat mencemaskan nasib Herman .

Hanya lima kali sidang perkara itu selesai.

Vonis hakim pengganti:

"Terdakwa dihukum penjara tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan!" Artinya, Herman bebas bersyarat. Dan kepada saksi, hakim tak lupa memperingatkan. Mereka telah melakukan sumpah palsu, memberikan keterangan yang menyesatkan. Tetapi mengingat mereka masih muda belia, buta hukum dan masih bersekolah dan atas jaminan keluarga untuk mendidik mereka lebih baik, ketiga saksi tidak diadili atas perilaku mereka yang buruk

"Dan jelas,"

Hakim menyindir.

"Saudara Herman dapat saja mengajukan kalian ke muka hakim

dengan tuduhan penghinaan di tempat umum."

Orangtua saksi utama, lesu dan pucat.

Laila telah membisikkan ke telinga Herman. orangtua itu berpangkat kolonel dan berpengaruh. Tetapi rupanya kolonel itu masih memiliki kehormatan diri, ia mendatangi Herman seusai sidang, menyalaminya dengan hangat dan berkata sedih:

"Kau maafkanlah keteledoran adik adikmu itu. Nak. Mereka bertiga masih mentah, kau tahu."

Herman memeluk orangtua itu. dan kemudian sambil tersenyum haru menjabat tangan ketiga orang adik-adiknya.

Hari kelima puluh tiga.

Laila datang berkunjung ke rumah orangtua Herman dengan sekeranjang oleh-oleh .Begitu pintu dibuka ibu Herman, pertanyaan gadis itu adalah:

"Bang Herman ada?"

Herman mestinya bersukacita.

Tetapi ia menyambut Laila dengan hati setengah setengah. Sidang-sidang pengadilan yang mengerikan itu tak lepas dari pikirannya. Juga vonnis tiga bulan penjara yang diancamkan atas kepalanya, sekali dalam tempo enam bulan berikut ia memukul atau menganiaya orang lain itu tidak seberapa. Yang sangat ia sesalkan, adalah ketergopohannya menyebut nama dan alamat laila. Laila yang begitu lembut, manis dan polos.
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Herman tidak akan pernah dapat mengampuni kecerobohan terbesar yang pernah ia perbuat. Betapa tidak. Si gadis terpaksa tampil di pengadilan dengan kondisi kurang sehat dan masih dipermalukan dengan kisah "menstruasi

yang datang kelewat cepat". Laila tidak menampakkan hati tersinggung. Namun tetap saja Herman mempersalahkan diri sendiri.

Ia gugup dan malu ngobrol berlama-lama dengan Laila. Untunglah Sumarna ikut menemani. Dengan alasan pusing, Herman masuk ke kamar tidurnya dan membiarkan Laila ditemani Sumarna.

Hari ketujuh puluh satu.

Pintu diketuk dari luar. Kali ini Sumarna yang membuka pintu. Pertanyaan masih:

"Bang Herman, ada?"

Laila waktu itu berusia 18 tahun. Sedang Herman telah menginiak usia 32. Perbedaan yang sangat menyolok itu ikut pula menghantui Herman. Laila kaya raya pula. Sedang Herman, cuma seorang calo, dan nyambil malam hari di percetakan. Mana bekas orang hukuman. Kembali Herman mundur teratur. Kembali ia biarkan Sumarna yang menemani Laila, kemudian mengantar gadis itu pulang ke kota.

Semenjak itu, diperhatikan Herman bagaimana adiknya yang mahasiswa fakultas ekonomi itu mulai rajin nampang di kaca lemari, rajin menulis surat bahkan sejumlah puisi. Lalu tepat pada hari keseratus, Laila seperti biasa mengetuk pintu. Kebetulan, Herman pula yang membuka.

Polos dan tak berdosa, Laila bertanya:

"Ada Sumarna, Bang?"

'Bang? He. Bang Herman!"

Herman terlonjak. Ia masih duduk di mobil. Masih di depan pintu gerbang fakultas.

Wajah Laila muncul di jendela mobil.

"Kok abang masih di sini," ujarnya, heran.

"Kau... kau tak kuliah?" sahut Herman gugup.

Mesin mobil ia hidupkan dengan rusuh.

"Aku sudah masuk, Bang Herman. Di sana, tuh!"

Ia menunjuk sederetan kaca di lantai dua fakultas.

"Dudukku kebetulan di pinggir jendela. Setelah melihatmu masih di sini, aku lantas permisi sebentar. Apakah abang sakit? Wajah abang pucat."

"Oh. ah. Aku agak pusing Kurang tidur. Kau tahu biasanya.. ya. Ya. Biasanya aku tidur dulu dua jam sepulang dari percetakan. Baru ke pangkalan. Dan... dan...."

"Pulanglah, Bang Herman."

Ketika mobil yang membawa Herman lenyap di pengkolan jalan, Laila masih berdiri di tempatnya semula.

Air matanya meleleh.

Membasahi pipi.



*****



Enam



"Hai, Papa."

".... Eh, Laila. Cepat benar pulang?"

Hakim Saroso meletakkan surat kabar yang tengah ia baca. Matanya mengikuti anak gadisnya yang masuk ke kamar untuk menyimpan tas kuliah tetapi segera kembali lagi. Duduk menemani ayahnya di ruangan duduk bermesin pendingin dengan lantai berlapis karpet beludru.

Wajah anaknya tampak lain dari biasa.

"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Nak,"

Hakim Saroso memperingatkan. Lembut.

"Cuma dua mata kuliah, Papa. Dosen bahasa Jerman sakit."

"Oh..."

Hakim Saroso melembari kembali surat kabarnya. Ia tidak membaca. Ia pura-pura asyik membaca. Sedang pikirannya bekerja keras, ingin mengetahui mengapa anak gadisnya kelihatan lesu. Kehilangan semangat.

"Bagaimana hasilnya, Nak?"

Hakim Saroso bergumam sambil lalu.

"Apa, Papa?"

"Herman. Ia mau?"

Sang ayah mengintip dari balik bingkai kacamatanya

"Mau, Papa."

"Sudah kuduga."

Hakim Saroso mendengus. Puas.

"Biar bagaimana pun, Herman itu tetap saja seorang calo."

Melihat sepasang mata anaknya mendelik marah, ia cepat-cepat meneruskan:

"Aku tidak bermaksud menghina. Aku hanya ingin mengatakan, orang macam dia, dengan usaha yang hasilnya tidak berketentuan seperti itu, memang harus bermata jeli. Dan menyambar mangsa secepatnya, apabila mangsa itu mendatangkan untung besar...."

"Papa keliru.'

"Maksudmu?"

"Bang Herman memang mau menjualkan mobil itu. Tetapi ia tidak dapat papa bodohi...."

Laila tersenyum senang ketika ia lihat cuping telinga sang ayah bergerak. Itu penanda pemilik telinga mengalami kejutan yang ingin disembunyikan

"Ia lebih tahu harga pasar, ketimbang papa."

"Hem. Lantas?"

"Bang Herman menyinggung selisih harga yang papa tawarkan. Ia bilang, akan berpegang pada patokan jual beli yang syah."

Hakim Saroso tidak saja meletakkan bacaannya. Ia juga meletakkan kacamatanya .Dan mengawasi anaknya dengan bingung.

"Sungguh tak masuk di akal,"

Ia berkata.

"Jadi Herman menyebutkan empat. Bukan dua setengah atau tiga juta?"

"Persis."

"Dungu!"

Kelembutan hati Hakim Saroso terlecut juga akhirnya

"Dungu si Herman itu. Bayangkan, Nak. Selisih harga satu juta .Mungkin satu setengah. Dan masih ditambah komisi dua

puluh persen...."

"Sepuluh,"

Laila membetulkan.

"Sama saja, Nak. Jumlahnya tetap saja hampir mencapai dua juta. Setelah dibagi dengan teman temannya, dikurangi pula ongkos servis dan reparasi, paling kurang Herman bakal menerima lima ratus ribu rupiah. Dengan jumlah itu ia dapat membeli beberapa lembar pintu jati dan kaca untuk jendela rumahnya yang terbengkalai itu. Dan kau bilang, ia menolak. Aku sungguh tak mengerti."

"Papa pasti mengerti!" tuduh Laila Tajam.

Hakim Saroso manggut-manggut Lemah.

"Anak sialan, si Herman itu!"

Ia mengumpat. Dari nada suaranya, Laila tahu kalau ayahnya bukan mengumpat karena marah. melainkan karena kagum.

"Bayangkan. Aku sudah sering mencoba Lewat kau. Lewat Sumarna. Lewat ibunya. Semua gagal. Hem. Hem. Anak itu rupanya ingin aku meninggal dengan membawa hutang budi yang tak pernah dapat kupenuhi."

"Papa tak perlu begitu kecewa,"

Laila menghibur.

"Tak lama lagi aku toh akan diangkat jadi anggota keluarga mereka. Dan Bang Herman dengan sendirinya jadi anggota keluarga papa pula. Jamu ia makan sesekali. Ajak piknik bersama, atas tanggungan papa. Banyak jalan ke Roma bukan?" _

Setelah berkata demikian, laila bangkit. Mencium pipi ayahnya.

'Aku sedikit tak enak badan, Papa. Tak apa kutinggal tidur?"

"Pergilah, Anakku," jawab Hakim Saroso, seraya memikirkan usul anak gadisnya .Laila benar.

Membalas budi baik orang, tidak selamanya dengan jalan memberi hadiah-hadiah materi. Laila menghilang ke belakang. Waktu kembali

ia membawa sesuatu yang dikepit di ketiak dan

membuat ayahnya tercengang.

"Buat apa tikar itu, nak?" tanya sang ayah.

"Mestinya hujan, Papa. Tetapi sudah beberapa hari. panas terus. Tak alang kepalang lagi. Kasur busa di ranjang tidurku. bikin aku mandi keringat saja."

"Itulah!"

Hakim Saroso menyesali anaknya.

'Papa 'kan sudah berapa kali bilang. Kita pasang saja AC di kamarmu."

"Lantas ketika bangun, aku terserang selesma?"

Laila tersenyum manis. Hidungnya mengendus-endus hawa sejuk ruang duduk itu. Purapura bersin keras sampai ayahnya kaget. Lalu sambil tawanya meledak, Laila menyelinap ke kamar tidurnya.

Setelah ia sendirian saja di kamar, tawa Laila hilang lenyap seketika. Wajahnya berubah suram. Sesungguhnya ia tidak mengantuk. Ia hanya ingin menghindar dari ayahnya. Ingin menikmati kesendirian. Meresapi hari-hari yang telah lalu. Merangkai kenangan-kenangan lama.

Jiwanya begitu tertekan, saat ini.

Seenak perut ia lemparkan tikar di tangannya Jatuh ke kolong ranjang. Kemudian laila bergerak ke jendela. Menatap keluar. Suatu saat, bibirnya bergerimit. Pucat. Di saat berikutnya, bibirnya mengarak senyum. Bibir ranum itu pun lantas tampak kemerahan. Segar. Bergairah. Sebentar kemudian, kembali lagi bergetar. Pucat.

Kelopak mata laila terpejam.

Kepalanya terangkat.

Menengadah.



*****



Jiwa Salbiah juga tertekan.

Ia tidak begitu mengkuatirkan Saripah. Memang, anak perempuannya itu kini berstatus janda seperti dia pula. Tetapi Saripah ulet berusaha. Dua puluh enam tahun, merupakan usia lagi matang-matangnya .Perempuan seusia Saripah akan tabah dan mau menghadapi kenyataan. Apalagi Saripah memiliki modal yang kuat: kecantikan. Saripah akan segera menemukan jodoh yang lain. Mungkin akan lambat. Karena ia tahu Saripah biar suka merendahkan tetapi jauh di sanubari, tetap saja mencintai almarhum suaminya. Dan bila saat itu kelak tiba. semoga Noni belum mengenal apa perbedaan ayah tiri dengan ayah kandung. .

Tidak. Bukan persoalan Saripah yang menekan jiwa Salbiah. Bukan pula Sumarna. Anak tengahnya itu telah lulus menempuh ujian sarjana ekonomi. Sudah pula ada pendekatan dengan sebuah perusahaan terkemuka. Masa depan Sumarna cukup cerah. Konon pula akan didampingi istri secantik laila. Berpendidikan, keturunan baik-baik dan terhormat pula. Segala puji syukur untukmu, Tuhanku!

Hanya, mengapa tak kau cipratkan sedikit karunia-Mu untuk si anak sulung?

Herman-lah yang mengganggu pikiran Salbiah.

Sudah semenjak kecil anak itu memperlihatkan temperamen keras .Ia menaruh harga yang sangat mahal untuk menerima kompromi. Dengan orang lain, tak apalah.

Ini, dengan ayahnya sendiri!

"Kalau ayah mau membantu orang, bantulah dengan sukarela. Jangan pasang bunga yang membuat orang lain sakit jantung. Jangan pula main sewa tukang pukul kalau menagih piutang!"

Ucapan itu dilontarkan Herman pada ayahnya, semasih Herman berusia 14 tahun.

Sayang suami Salbiah berpenyakit darah tinggi. Suaminya berteriak lengking:

"Kau pikir, dengan apa kau bernafas Herman? Dengan apa darahmu mengalir? Apa yang kau minum? Apa yang kau makan? Apa yang kau pergunakan membayar sekolahmu? Uangku! Dengar? Uangku!"

Ayah yang tidak bijaksana.

Malam itu juga Herman mengemasi pakaiannya. Ia minggat lewat jendela. Pagi-pagi, semua orang kalang kabut. Jerit tangis histeri memenuhi seisi rumah. Sang ayah seorang saja yang tenang. Sinis, ia berkata

"Berhentikan membuat gempar. Herman akan kembali."

Herman memang kembali.

Tetapi sekali satu tahun. Paling banyak dua kali apabila ia dengar salah seorang adik terutama ibunya sakit. Ia menjual suratkabar di kaki lima. Tidur di emper-emper toko ibukota yang hirup pikuk. Jadi kuli bangunan. Perantara jual beli. Yang penting asal halal, begitu Herman

pernah mengatakan.

Dan Herman semakin jauh dengan ayahnya.

Akibatnya, Herman baru tahu ayahnya meninggal setelah ayahnya itu dikuburkan satu minggu. Barulah sifat lembut-nya yang tersembunyi mengalir tumpah. Satu malam Herman menangis di makam ayahnya. Pulang ke rumah ibunya, mata Herman bengkak .

"Aku akan kembali ke ibukota." katanya

Salbiah menangis. Sumarna gemetar. Saripah berguling-guling di lantai.

"Kalian bisa hidup tanpa aku,"

Herman bersikeras.

"Warisan ayah berlimpah ruah."

Saripah merangkul paha saudaranya. Meratap:

"Sebelas tahun kau terpisah dari kami, Bang Herman. Haruskah kini kau pergi lagi? Ayah sudah mendahului kita semua. Apa arti semua harta yang ia tinggalkan? Tega kau membiarkan kami terlunta-lunta tanpa ada yang melindungi?"

Barulah mata Herman basah.

Kekerasan hatinya luluh.

"Baiklah," katanya.

"Aku akan menjaga kau, Ipah. Dan kau, Sumarna. Bersama-sama kita merawat ibu. Aku tidak akan meninggalkan kalian, sebelum kau Ipah dan kau Sumarna, berhasil jadi orang."

Ia tetap tinggal di rumah ibunya.

Tidak mau menempati salah satu rumah kosong peninggalan ayahnya.

"Jual saja," kata Herman.

"Pergunakan uangnya untuk biaya sekolah Ipah dan Sumarna."

Salbiah memberitahu, harta warisan sebaiknya tidak dijual. Lebih bijaksana ditambah .Selama kita mampu

"Oke. Sewakan, kalau begitu. Ketimbang ambruk tak dihuni"

Dan Herman tetap bertualang. Menempuh Cara hidupnya yang lama. Bedanya sekarang ia tiap hari ada di rumah. Merawat ibunya. Mengurus adik-adiknya. Hermanlah yang menikahkan Saripah dengan Arpan. Herman pula yang mempertemukan Sumarna dengan Laila.

Dan ia sendiri?

"Aku akan berumahtangga. kalau aku sudah ingin,"

Itu jawabnya kalau ditanya Salbiah.

Telah banyak lamaran yang terpaksa ditolak. Salbiah hampir panik memikirkan jangan-jangan anak sulungnya mengidap kelainan seksuil. Tetapi aneh, penandanya tidak ada sama sekali.

Apakah Herman pernah dikecewakan seseorang?

Herman bukan tidak tahu apa yang digelisahkan ibunya .

Dan suatu hari ia membawa seorang gadis ke rumah mereka.

"Namanya Rosida. Orang seberang. Sumatera,"

Herman memperkenalkan gadis itu.

"Ia temanku sekantor. Maksudku, di percetakan aku dinas malam. Sedang Rasida dinas pagi."

Salbiah tenteram hatinya.

Malang, tak lama. Persoalan lain segera timbul. Herman baru mau menikah dengan Rosida, apabila Sumarna sudah berumahtangga seperti Saripah. Dengan begitu ia menganggap sebagian tanggung jawabnya telah terpenuhi. Aneh, Rosida pun setuju dengan keputusan Herman: Sumarna yang muda belia, melonjak gembira

"Abang jadi juga menikah," teriaknya.

"Aku punya usul. Kelak setelah kalian menikah, tempati

saja rumah yang kosong tak terpakai itu."

Barulah Salbiah mengerti maksud anak tengah-nya. Rumah tersebut telah diwariskan untuk Herman. Juga beberapa petak sawah. Baik rumah maupun sawah itu dulunya milik satu orang tetapi kemudian diambil alih suami Salbiah melalui jual beli. Tentu saja, sebagian besar sebagai pembayar hutang pemilik lama .

Dan apa jawab Herman.

"Boleh. Boleh. Rumah dan tanahnya akan kami tempati. Setelah aku dan Rosida membayarnya harga yang pantas kepada ibu."

Perih hati Salbiah.

Tetapi segera pula ia tersenyum. begitu dapat akal.

Harga tanah dan rumah di atasnya, lantas ditetapkan. Uang tabungan Herman sekian tahun ternyata cukup menutupinya. Begitu ia terima, Salbiah menyerahkan uang itu utuh utuh ke tangan Arpan yang sangat bernafsu membangun rumah model baru sebagai pengganti model lama yang kuno itu. Herman mau marah. Tetapi kemudian terdiam, setelah Salbiah berkata:

"Ini uangku, bukan?"

Ya, uang itu sekarang uang Salbiah, bukan uang ayah Herman.

"Terimalah. Anggap saja sebagai tanda kasih sayang ibumu."

"Beres sudah,"

Mereka semua waktu itu sependapat

"Apa yang beres? Arpan meninggal dunia. lalu Herman mendadak bilang, rumah miliknya dihuni hantu. Jual rumah itu! Gampang terdengarnya. lalu apakah Salbiah membiarkan hidup anak sulungnya tetap terkatung-katung.Tak berketentuan?

Rumah bobrok macam apa nanti yang akan ditempati keluarga Herman?

Dengan apa ia memberi makan anak istrinya.

Menantu dan cucu Salbiah?

Sedang di sini harta mereka berlimpah ruah. Mereka dapat hidup senang berkecukupan.

Hati Salbiah perih lagi.

Dengan hati yang perih melilit itu ia tercenung di dangau. Tampaknya ia tengah asyik mengawasi para penggarap sawahnya bekerja dengan giat. Kejang dan kebas duduk melamun saja, sore hari di Minggu pertama bulan Januari itu Salbiah turun dari dangau ia berjalan-jalan sepanjang tegalan sawah. Merendam kaki di saluran air yang sejuk bening.

Ia memandang petak sawah di dekatnya.

Lalu Salbiah tiba-tiba terkejut. Petak sawah itu ditanami padi yang telah berumur satu bulan. Beberapa hari yang lalu, padi di situ tumbuh subur, hijau segar. Sore hari ini, Salbiah lihat semua padi di petak itu rebah ke tanah basah berlumpur. Daun-daun padi berwarna coklat, kering layu.

"Bu Omi?"

Salbiah memanggil salah seorang penggarap.

Perempuan yang dipanggil datang bergegas.

"Ada apa, Juragan?"

"Apa yang terjadi dengan padi-padi ini?"

Penggarap sawah bernama Omi itu menarik nafas.

"Bukankah telah saya beritahu juragan? Tadi, ketika juragan duduk di dangau."

"Oh. Aku tak mendengarnya. Mengapa padipadi ini roboh dan layu, Bu Omi?"

Salbiah mengulang pertanyaannya, sambil bangkit lalu

turun ke tengah sawah yang dilanda bencana itu.

Omi memperhatikan majikannya turun. Berkata bimbang:
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasti diserang hama, Juragan."

"Wereng? Atau tikus?"

Salbiah meneliti seonggok pagi. Kakinya terbenam sebatas pertengahan betis, di dalam tanah basah berlumpur.

"Tak ada tanda-tandanya Dan eh. apa pula itu?"

Salbiah mengamat-amati garis-garis kecil malang melintang di permukaan lumpur, itu bukan bekas digaru. Bukan pula pekerjaan usil seseorang, karena garis-garis memanjang itu demikian banyaknya. Menyilang dan berputar ke berbagai arah.

Mungkinkah bekas tikus berlari kian ke mari?

Tetapi garisnya terlalu tipis. Terlalu dangkal. Bukan tikus. barangkali.

Tetapi apa?

Salbiah tercekat .

Lumpur di kedua kakinya tibatiba bergerak. Pelan dan samar, memang, tetapi tetap saja bergerak. Sebelum Salbiah mengetahui apa sebab lumpur bergerak, sesuatu telah mencengkeram betisnya. Sesuatu di lumpur. Besar dan licin. Darah Salbiah tersirap. Sesuatu yang hidup dan kini melingkari betis kanannya, terasa menggeliat. Lantas betis Salbiah bagai dihunjam benda lunak tetapi menembus kulit dan daging betisnya lalu mulai menyedot darahnya keluar.

Omi melihat wajah majikannya yang tegang, pucat

"Eh. Juragan, sedang apa sih?"

Salbiah tak menjawab. Tak kuasa meniawab. Denyut jantungnya seakan terhenti saking terkejut

dan panik. Tubuhnya tegak setengah membungkuk. Kejang. kaku.

Mungkinkah ia terkencing di celana, pikir Omi.

Pikiran itu segera lenyap. tatkala si penggarap sawah yang sudah tua itu melihat sesuatu meliuk keluar dari dalam lumpur. Warnanya coklat. Atau hitam, berlumur lumpur.

Omi ingin menjerit.

Sayang, suaranya tak mau keluar. Lidah kelu. Ia cuma mampu menutup mulut dengan tangan yang justru malah menahan jeritannya bila pun mampu ia lepas. Dengan mata terbelalak, penggarap sawah itu terpana mengawasi lumpur di sekitar kaki-kaki majikannya benda aneh tadi lenyap.

Salah pandangkah dia? _

Tidak-tidak. Benda itu masih ada. Tetapi kini lebih kecil. Sangat kecil. Mula-mula hanya beberapa ekor. Kemudian berpuluh-puluh lalu beratus-ratus.

"Lintah!"

Omi tersentak mundur lantas mampu juga ia menjerit:

"Lintah! Lintah! Oh, ob, oh.... Tolonglah. Tolonglah. Ada lintah!"

Ia kemudian berlari-lari menemui yang lain. Para penggarap sawah menyongsong terkejut.

"Mana Mana lintah itu, Bu Omi?"

Mereka memegangi kaki si perempuan yang menggelupur di rumput. Histeri.

"Apa-itu, lintah... kaki kencing... eh, ul-al," sahutnya dengan bola mata berputar-putar.

Salah seorang penggarap, laki-laki yang masih terhitung muda, menampar pipi Omi dengan keras. Begitu deras bunyi tamparan di pipinya tak terdengar, Omi berteriak lantang:

"Lintah! Banyak sekali

lintah! Cepatlah Juragan Salbiah..."

Salbiah jatuh tertelungkup ke lumpur ketika orang-orang itu berlarian mendatangi. Baik kaki, tangan, punggung maupun leher dan kepala Salbiah penuh dilengketi lintah yang menggeliat geliat ganas dan buas. Seorang perempuan kecil jatuh pingsan. Dua yang lain menjauhkan diri dengan terkejut. Empat terpaku diam di tempatnya berdiri.

"Allah ya Robbi!"

Terdengar suara laki-laki

lalu empunya suara terjun ke lumpur. Melompat-lompat mendekati tubuh Salbiah yang tertelungkup setengah terbenam. Dua orang lainnya segera menyusul. Mula-mula mereka hanya menepis-nepis, kemudian memukul-mukul dan akhirnya baru teringat mengangkat tubuh Salbiah ke tanah kering.

Ratusan lintah tetap lekat di sekitar tubuh Salbiah setelah ia dibaringkan ke tanah. Para penolongnya kemudian sibuk pula melepaskan cengkeraman banyak lintah di kaki ataupun tangan masing-masing. Dua orang lagi perempuan jatuh pingsan. Yang lain berlari ke dangau. Hanya seorang saja yang menempuh arah benar. Ia berlari menuju rumah Salbiah yang jaraknya dari sawah itu baru akan ia capai setengah jam berikutnya.

Penggarap sawah yang masih waras otaknya, segera membungkuk. Semua pakaian yang melekat di tubuh Salbiah cepat ia tanggalkan. Teman temannya segera mengikuti perbuatan orang itu. Salbiah bugil dalam sekejap. Namun toh masih tersisa puluhan ekor lintah. Sebagian dari lintah

itu hanya tampak ekor, karena sudah terlalu dalam masuk menerobos ke daging tubuh Salbiah.

Tubuh itu diam. Tak bergerak.

Matanya melotot. Menatap matahari senja yang kelabu.

Dan tanpa ada yang mengetahuinya dari tegalan petak sawah tadi muncul sebentuk makhluk yang menggeliat, melengkung, memanjang. pendek lagi dan terus merayap memasuki selokan. Merasa tubuhnya yang sebesar lengan manusia dewasa itu terbenam dalam di selokan, makhluk itu melenturkan tubuh.

Ia bergerak ke hilir.

Mengikuti arus air.



*****



Tujuh



"Nafsu makanmu buruk sekali," kata tuan rumah sembari mengawasi Lurah Joko tengah mengunyah-ngunyah dengan tarikan muka mirip orang sakit gigi.

"Mabokku belum hilang betul, Eyang," sahut Lurah Joko, berdusta.

Wajahnya memang sedikit pucat. Tetapi bukan karena mabok perjalanan. Ia mabok melihat makanan yang terhidang di meja. Tumis daging cincang di piring mengingatkannya pada lintah yang gepeng dipencet lumat diinjak. Sop jamur dalam pasu besar, tak ubahnya irisan pacat yang mengambang mati karena kekenyangan menghisap darah. Ayam panggang di depan Lurah Joko pasti menerbitkan air liur orang lain. Tetapi warnanya yang merah berminyak, mengingatkan Lurah Joko pada tubuh bugil Salbiah yang berlendir.

Dua jam isteri tuan rumah berkurung di dapur untuk mempersiapkan hidangan istimewa itu. Dan tiga menit setelah terhidang, Lurah Joko meletakkan sendok garpunya.

"Permisi, Eyang. Mau ke jamban sebentar.'

Lurah Joko bersungut-sungut bangkit. Setengah berlari ia pergi ke belakang rumah. Belum sampai ke sumur, ia sudah meliuk, terbungkuk. Dan,

"Woaaak...."

Isi perutnya tertumpah ke tanah.

Isteri tuan rumah tergopoh-gopoh mengantarkan segelas air. Tak lama kemudian, Lurah Joko merasa lebih enakan dan masuk lagi ke rumah. Menemui bekas gurunya yang sudah menunggu di beranda depan.

"Mau aspirin?"

Ia bertanya pada tamunya.

Lurah Joko menggeleng.

Belum lama ia henyakkan pantat di sebuah kursi rotan. Istri tuan rumah muncul dengan dua cangkir teh pahit, Setelah melirik kuatir ke arah tamu mereka yang tampak masih pucat, perempuan itu mengundurkan diri. Ia tidak terus ke dapur. Melainkan sibuk memeriksa Sisa hidangan di meja.

Apakah ada rambut di tumis?

Atau kecoa nyelip dalam sop jamur?

Tubuh kecil kurus di beranda, menggeliat sebentar. Lalu berkata santai:

"Nah. Mari kita bicarakan masalah yang tadi ingin kau sampaikan. Pertama-tama, mengapa kau begitu lambat?"

Lurah Joko menelan ludah.

"Aku terlalu mencemaskan kesehatan cucuku,"

Ia menjawab malu malu.

Namun toh terselip jua rasa kebanggaan seorang kakek ketika Lurah Joko menceritakan bagaimana ia tiap hari mengunjungi anak perempuannya di kota. Melihat-lihat apakah Legoh. cucu satu-satunya dalam keadaan sehat. Memeriksa jari kakinya, jari tangannya, suhu badannya. Setelah

puas ia baru pulang.

Kemarin ia tiba di rumah lepas isya dan terkejut mendengar Salbiah meninggal. Bergegas ia pergi ke rumah yang tertimpa musibah itu. Jenasah Salbiah dibaringkan di tengah rumah. Kain selendang menutupinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Herman menjaganya dengan ketat. Tidak seorangpun tamu yang datang melayat diperkenankan membuka kain itu tanpa seijinnya. Ijin itu cuma diberi pada orang-orang tertentu saja. Melihat kaitan keluarga, atau kedudukan sang tamu. Lurah Joko termasuk salah seorang yang diperkenankan melihat keadaan jenasah.

Ia terkejut melihat mata Salbiah melotot.

"Astagfirullah!"

Ia mengucap. Mengumpulkan kekuatannya baru memberanikan diri mengangkat kain lebih tinggi sedikit. Tubuh bugil itu berlendir dan ada ratusan lubang-lubang kecil menganga di sana sini. Gemetar Lurah Joko menyelimuti jenasah kembali. Ia mengangguk ke arah Herman lalu pergi menemui beberapa orang yang ia perkirakan dapat memberi keterangan.


Dewi Sri Tanjung 7 Rahasia Dewa Asmara My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Pendekar Rajawali Sakti 189 Dendam

Cari Blog Ini